Isi Balitbanghut Kupang A4 Des15 - forda-mof.orgPertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur...

163
ISBN 978-602-73683-0-9 PROSIDING Seminar Regional Kerjasama Balai Penelitian Kehutanan Kupang dengan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Jogjakarta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Balai Penelitian Kehutanan Kupang PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG Kupang, 2 Juli 2013 PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG ISBN 978-602-73683-0-9 9 786027 368309 >

Transcript of Isi Balitbanghut Kupang A4 Des15 - forda-mof.orgPertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur...

ISBN 978-602-73683-0-9

PROSIDINGSeminar Regional

Kerjasama Balai Penelitian Kehutanan Kupang denganFakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Jogjakarta

Kementerian Lingkungan Hidup dan KehutananBadan Penelitian, Pengembangan dan InovasiBalai Penelitian Kehutanan Kupang

PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Kupang, 2 Juli 2013

PR

OS

IDIN

G S

emin

ar Reg

ion

alP

EM

BA

NG

UN

AN

KE

HU

TAN

AN

BE

RK

EL

AN

JUTA

N

DA

LA

M P

ER

SP

EK

TIF TA

TA R

UA

NG

ISBN 978-602-73683-0-9

9 786027 368309 >

ISBN 978-602-73683-0-9

PROSIDINGSeminar Regional

Kerjasama Balai Penelitian Kehutanan Kupang denganFakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Jogjakarta

Kementerian Lingkungan Hidup dan KehutananBadan Penelitian, Pengembangan dan InovasiBalai Penelitian Kehutanan Kupang

PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Kupang, 2 Juli 2013

ii

PENYUNTING

Penanggung Jawab : Kepala Balai Penelitian Kehutanan Kupang

Penyunting : DR. S. Agung Sri Raharjo, S.Hut.,M.T .

DR. Gerson Nd. Njurumana, S.Hut.,M.Sc. DR. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut.,M.Sc. Teguh Yuwono, S.Hut.,M.Sc.

Hery Kurniawan, S.Hut.,M.Sc.

Sekretariat Redaksi Ketua merangkap anggota : Kepala Seksi Data, Informasi dan Sarana Penelitian Anggota : Merry M. Dethan, SP Feri A. Widhayanto, ST Nur Aini Faridah, A.Md

KATA PENGANTAR

Dalam praktek pengelolaan kawasan hutan masih sering dihadapkan pada berbagai permasalahan. Masalah tenurial dengan masyarakat adat, sektor pertambangan, pertanian, perkebunan, dan lain-lain, sering menjadi kendala bagi investor sektor kehutanan. Untuk itu, perlu adanya upaya yang terus menerus dalam rangka sinkronisasi penggunaan ruang dari berbagai pihak. Penyelenggaraan seminar dengan tema “ Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan Dalam Persepektif Tata Ruang ” ini adalah dimaksudkan untuk membuka ruang bagi para pihak dalam berbagi konsep, pengalaman seputar pelaksanaan penataan ruang dan membangun jaringan kerjasama antara Kementerian Kehutanan, Perguruan Tinggi dan stakeholder lain di daerah. Prosiding ini merangkum semua makalah dan hasil diskusi yang berkembang selama seminar yang diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Kupang bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada pada tanggal 2 Juli 2013 di Kupang. Penerbitan prosiding dimaksudkan sebagai upaya penyebarluasan IPTEK hasil penelitian. Akhirnya kami ucapkan terimakasih dan apresiasi yang tinggi kepada penyaji materi, moderator, panitia penyelenggara, peserta dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyelenggaraan kegiatan seminar hingga selesainya penyusunan prosiding ini. Semoga prosiding ini bermanfaat.

Kupang, November 2015

Kepala BPK Kupang,

Ir. Edy Sutrisno, M.Sc NIP. 19600717 198903 1 002 Ir. Edy Sutrisno, M.ScNIN P 19600717 198903 1

iii

`

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR iii DAFTAR ISI iv SAMBUTAN KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR v ARAHAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN viii RUMUSAN xiii MAKALAH 1. EVALUASI PEMANFAATAN RUANG DALAM KONTEKS TATA KELOLA RUANG DI

KAWASAN HUTAN 1 oleh Wahyu Wardhana

2. EKSISTENSI HUTAN ADAT PASKA PUTUSAN MK.NO.35/PUU-X/2013 9 oleh Suer Suryadi

3. KAJIAN SPASIAL TINGKAT KERENTANAN AIR AKIBAT PERUBAHAN IKLIM DI DAS KAMBANIRU SUMBA TIMUR 21 oleh Eko Pujiono

4. KESESUAIAN LAHAN UNTUK MENDUKUNG TATA RUANG PENGEMBANGAN CENDANA DI PULAU SUMBA oleh Hery Kurniawan dan Sumardi 37

5. KAJIAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MODEL MUTIS TIMAU DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG 49 oleh Rahman Kurniadi

6. PEMBANGUNAN HUTAN KOTA SEBAGAI UPAYA MERESTORASI KERUSAKAN LINGKUNGAN DI PERKOTAAN 59 oleh Mariany M. Da Silva

7. PERMASALAHAN PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DI WILAYAH PROVINSI NTT 69 oleh Dhany Yuniati

8. HABITAT DAN KORIDOR SATWA LIAR DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG 77 oleh Kayat dan Grace S.Saragih

9. PEMBANGUNAN HUTAN MANGROVE DAN PERMASALAHANNYA DI NTT 87 oleh M. Hidayatullah

iv

`

10. PERAN KAWASAN PESISIR OESAPA SEBAGAI HABITAT BURUNG AIR MIGRAN DI KOTA KUPANG DAN KONSEP PENATAANYA 99 oleh Oki Hidayat

11. ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK BUDIDAYA CENDANA (Santalum album Linn.) DI KABUPATEN BELU oleh Sumardi, M. Hidayatullah, Dhany Yuniati dan Bayu Adrian Victorino 107

12. NILAI HARAPAN LAHAN BUDIDAYA CENDANA (SANTALUM ALBUM LINN) BERDASARKAN KELAS KESESUAIAN LAHAN DI PULAU TIMOR 119 oleh Hery Kurniawan dan Sumardi

LAMPIRAN Jadwal Acara 133 Daftar Peserta 134 Diskusi 137

v

vi

SAMBUTAN KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua Yang terhormat Ketua DPRD Provinsi NTT atau yang mewakili Ketua DPRD Kabupaten Kupang atau yang mewakili Kepala Badan Litbang Kehutanan atau yang mewakili Bapak / Ibu Dekan dari lembaga perguruan tinggi yang hadir pada saat ini Saudara-saudara Kepala UPT Kementerian Kehutanan Bapak dan Ibu peserta serta hadirin sekalian yang saya hormati pula Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, bahwasannya pada saat ini kita semua masih dikaruniai kesehatan jasmani dan rohani, sehingga kita semua pada kesempatan ini dapat berkumpul di ruangan ini. Selanjutnya saya mengucapkan selamat datang di Kota Kupang pada acara seminar regional atas kerjasama Balai Penelitian Kehutanan Kupang dan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dengan mengambil tema “Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan dalam Perspektip Tata Ruang”. Saya menyambut baik acara seminar regional ini, karena pertemuan ini merupakan media komunikasi bagi para peneliti, akademisi dan pengambil kebijakan serta praktisi untuk saling mengkomunikasikan pikiran dan pengalaman dalam rangka meningkatkan kapasitas masing-masing dalam mendukung pembangunan kehutanan pada umumnya, serta di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada khususnya. Hadirin yang saya hormati, Sesuai dengan kebijakan pembangunan kehutanan bahwa kegiatan penelitian dan pengembangan kehutanan diarahkan untuk menyediakan IPTEK yang dapat mendukung peningkatan produktifitas kehutanan serta penggunaan hasil-hasil penelitian yang semakin meluas dan merata. Untuk itu kami mengharapkan agar Balai Penelitian Kehutanan Kupang mampu berperan dalam : - Penyediaan paket teknologi untuk kondisi alam spesifik NTT - Menemukan teknologi/metodologi baru yang bisa diterapkan di NTT - Menyebarluaskan hasil-hasil penelitian sampai kepada pengguna

vii

- Hasil-hasil penelitiannya dapat ditindaklanjuti untuk pelaksanaan di lapangan Dengan demikian program penelitian kehutanan sebagai pemandu, pendukung dan pendamping dalam pembangunan kehutanan dapat terwujud, sehingga peran Balai Penelitian Kehutanan Kupang untuk menyediakan paket teknologi, data dan informasi yang menentukan keberhasilan pembangunan kehutanan di NTT khususnya sangat diharapkan. Demikian kiranya sambutan saya, dan sekali lagi saya mengucapkan selamat berdiskusi dan terima kasih atas prakarsanya sehingga terlaksana seminar regional ini, semoga pada pertemuan ini mampu menghasilkan rumusan yang komprehensif dan integratif yang dapat dimanfatkan sebagai bahan masukan dalam penyempurnaan kebijakan pembangunan sektor kehutanan, khususnya di Nusa Tenggara Timur. Terima kasih dan selamat pagi.

viii

SAMBUTAN

KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

Pada Pembukaan

SEMINAR REGIONAL PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA

RUANG

Kupang, 2 Juli 2013

1. Yth. Bupati Sumba Timur 2. Yth. Bupati Sumba Tengah 3. Yth. Dekan Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada 4. Yth. Saudara Kepala Dinas Kehutanan Prov NTT, Prov NTB dan Prov Bali 5. Yth. Saudara Kepala Bappeda Prov NT 6. Yth. Saudara Kepala Dinas Pertanian, Peternakan, Pekerjaan Umum 7. Yth. Saudara Kepala SKPD terkait kehutanan se- Provinsi NTT 8. Yth. Para Kepala Pusat Litbang lingkup Badan Litbang Kehutanan dan Para Pejabat

Struktural Eselon II lingkup Kementerian Kehutanan 9. Yth. Para Kepala Balai Penelitian lingkup Badan Litbang Kehutanan dan Kepala UPT

lingkup Kementerian Kehutanan. 10. Para Peneliti, Widyaiswara, Penyuluh dan Pengendali Ekosistem Hutan 11. Para Akademisi dan Para hadirin yang berbahagia

Assalamu’alaikum Wr.Wb. Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua, Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmatNya pada hari ini kita dapat menghadiri acara Seminar “ Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan dalam Perspektif Tata Ruang” dalam keadaan sehat wal afiat. Seminar yang diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Kupang bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan UGM ini kami pandang cukup strategis, mengingat tahun ini merupakan peringatan 100 tahun Kelitbangan Kehutanan; peringatan 50 tahun berdirinya Fak Kehutanan UGM serta perlunya solusi yang tepat terhadap permasalahan tata ruang khususnya di

ix

regional Nusa Tenggara pada masa yang akan datang. Kerjasama semacam ini perlu terus dikembangkan terutama dengan perguruan tinggi setempat, yang kami rasa lebih memahami dinamika pembangunan dan permasalahan sosial masyarakat setempat. Saudara-saudara sekalian, Berkenaan dengan 100 tahun litbang kehutanan, pada kesempatan kami ingin sampaikan secara singkat perjalanan Litbang Kehutanan sampai dengan saat ini. Penelitian kehutanan di Indonesia diawali dengan berdirinya Bosbouw Proef Station Voor Het Boswezen di Bogor pada tanggal 16 Mei 1913. Banyak hasil penelitian yang membanggakan yang dihasilkan oleh para peneliti pada era kolonial Belanda yang mempunyai disiplin kerja yang tinggi. Penelitian yang dihasilkan pada umumnya berorientasi pada kayu dan lebih khusu lagi pengelolaan hutan tanaman jati di Jawa. Hasil-hasil penelitian tersebut dipublikasikan pada majalah ilmiah Tectona, yang saat itu merupakan salah satu majalah ilmiah paling bergengsi. Mahasiswa kehutanan s.d tahun 80an pasti masih mengenal majalah ini. Pada era penjajahan Jepang (1942-1945), institusi litbang praktis tidak berkembang, sedangkan pada era Kemerdekaan sampai Orde Lama (1945-1965), institusi litbang kehutanan hanya mempunyai cakupan yang terbatas, dengan nama Balai Penyelidikan Kehutanan dan hasil penelitian yang kurang signifikan. Pada Awal Orde Baru (1966) sampai dengan pertengahan tahun 2013 ini, organisasi litbang kehutanan secara periodik mengalami perubahan sesuai dengan konstelasi politik dan kebutuhan IPTEK pada masa tersebut namun secara umum hasil litbang telah mempunyai cakupan yang menyeluruh, tidak hanya fokus pada kayu tetapi juga HHBK, Manajemen/Pengelolaan Hutan, keteknikan dan pengolahan hasil hutan, penelitian Sosek, kebijakan serta perubahan iklim. Pada upacara dimulainya peringatan 100 th Litbang Kehutanan di Bogor bulan Maret yang lalu, Bapak Menteri Kehutanan menyampikan pentingnya Badan Litbang Kehutanan sebagai penentu arah pengelolaan hutan di Indonesia. Kami berharap dengan kegiatan diseminasi dan diskusi-diskusi ilmiah seperti ini, kiprah Badan Litbang dan UPTnya sebagai penentu arah pengelolaan hutan dapat lebih diejawantahkan lagi. Hal ini tentunya memerlukan dukungan para pihak. Hadirin yang kami hormati Seminar yang mengangkat issue tata ruang cukup penting saat ini, mengingat upaya menciptakan ruang yang produktif dan berkelanjutan serta berkeadilan masih menghadapi tantangan yang berat. Hal ini ditunjukkan oleh masih banyaknya pendapat masyarakat yang menunjukkan kekurang puasan terhadap perkembangan tata ruang. Beberapa pendapat yang berkembang di masyarakat terkait dengan tata ruang antara lain: 1. Permasalahan bencana alam terutama akibat kerusakan lingkungan seperti banjir,

longsor, kekeringan, meningkatnya frekuensi dan cakupan bencana, semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup dan konflik pemanfaatan lahan dianggap

x

sebagai akibat dari perencanaan tata ruang yang salah. Hasil studi menunjukkan masih adanya indikasi ketidak seimbangan pemanfaatan lahan untuk sektor tertentu.

2. Belum ada koridor biologis bagi kelestarian dan keanekaragaman hayati. Hampir semua kawasan konservasi mengalami tekanan sehingga kelestarian ekosistem tidak dapat dicapai. Pemanfatan ruang/lahan di sekeliling kawasan konservasi yang berlebihan secara ekologis akan mengganggu keseimbangan ekologis dalam kawasan konservasi tersebut. Semakin kecil area suatu habitat, semakin besar pula laju kepunahan spesies yang ada di dalamnya. Konflik manusia dengan satwa (gajah, harimau dll)

3. Hak ulayat atas ruang belum terakomodasi dengan baik. Masyarakat hukum adat merasa menjadi korban dan menderita akibat konsesi-konsesi baik pertambangan, kehutanan maupun perkebunan, dengan memasukkan sebagian atau seluruh tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelola masyarakat adat ke dalam wilayah konsesi-konsesi tersebut. Tidak terakomodasinya kawasan ulayat akan menjadikan bibit konflik yang berkepanjangan apabila tidak segera diatasi. Keputusan MK No 45/2013 tentang hutan adat yang tidak sama dengan hutan negara, perlu segera dirumuskan implementasinya.

4. Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia menilai tata ruang Indonesia dalam kondisi darurat yang disebabkan proses perencanaan pembangunan yang inkonsistensi dan kontraproduktif terutama perencanaan wilayah perkotaan. Proses legalitas Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) masih dirasakan lambat, disisi lain proses pembangunan harus dilakukan di dalam ruang yang telah memiliki aturan tata ruang yang sah secara hukum. UU No 26/2007 ada sanksi pidana bagi pelanggaran pemanfaatan ruang.

5. Kementerian Kehutanan dianggap belum mempunyai strategi yang tepat dalam percepatan persetujuan substansi kehutanan dalam rangka penyusunan RTRW. Terkait dengan pendapat-pendapat tersebut, para pihak tidak perlu membela diri, lebih penting bagaimana kita menyikapi sehingga dapat menjawab harapan-harapan tersebut.

Hadirin yang berbahagia, Di sektor kehutanan, penataan kawasan hutan harus dapat mengakomodasi ruang untuk kepentingan pembangunan sektor lainnya. Dengan bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan akan ruang semakin mendesak. Disisi lain keseimbangan ekologis harus tetap terjamin untuk keberlangsungan/ keberlajutan pembangunan kehutanan. Untuk menjaga keseimbangan ekologis tersebut, maka di dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pada pasal 18 ayat 1 disebutkan bahwa “Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi masyarakat setempat”. Pada ayat 2, luas kawasan hutan yang harus dipertahankan

xi

sebagaimana dimaksud ayat 1 minimal 30 % dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Menghadapi tantangan tersebut, maka Badan Litbang Kehutanan sebagai institusi penelitian Kementerian Kehutanan, terus berupaya menghasilkan IPTEK terkait tata ruang, khususnya DAS. Sampai tahun 2013 ada 3 RPI (Rencana Penelitian Integratif) yang dilaksanakan, yaitu: RPI Lanskap Hutan Berbasis DAS. RPI Pengelolaan Sumberdaya Hutan Mendukung Pengelolaan DAS dan RPI Pengelolaan DAS Hulu, Antar Provinsi dan Antar Kabupaten. Para hadirin sekalian, Sesuai dengan UU No 26 th 2007 tentang Tata Ruang, dimungkinkan untuk melakukan penyelarasan kepentingan/kebutuhan ruang sesuai perkembangan yang ada dan menjadi tantangan yang harus diselesaikan, dengan demikian dimungkinkan untuk melakukan perubahan kawasan di tingkat Propinsi setiap 5 tahun. Pada periode 5 th pertama pelaksanaan Undang-undang tersebut, propinsi NTT tidak mengajukan perubahan kawasan hutan. Sesuai dengan Pasal 19 ayat 1 dan 2 serta PP 10 th 2010 tentang tata cara perubahan Kawasan Hutan, maka perubahan Kawasan Hutan dapat dilakukan secara parsial atau propinsi melalui usulan Kabupaten/Kota dengan rekomendasi Propinsi. Proses pengusulan perubahan dapat dimulai dari sekarang dengan mengajukan hasil kajian dan telaahan perlunya perubahan kawasan hutan dan tata ruang di wilayah propinsi NTT. Dalam hal penentuan kawasan hutan, perlu diperhatikan beberapa hal, antara lain:

- Kecukupan luas hutan selain pemanfaatannya - Kekhasan kondisi daerah, misalnya Savana di NTT perlu dipertimbangkan sebagai

kawasan lindung meskipun tidak berpohon. Penentuan di wilayah ini tidak mutlak harus menggunakan pertimbangan biofisik (faktor lereng, tanah dan curah hujan saja).

Para hadirin yang kami hormati Kami mengharapkan seminar ini dapat melahirkan suatu rumusan yang baik dan dapat diimplementasikan untuk menyelesaikan permasalahan tata ruang di regional Bali dan Nusa Tenggara, serta tercipta suatu sinergitas antar stakeholders dalam merevitalisasi tata ruang untuk dapat terwujudnya pembangunan kehutanan yang berkelanjutan. Harapan kami semoga seminar ini bermanfaat bagi para pihak terkait dan para pengguna hasil litbang. Dapat terjalin koordinasi dan komunikasi yang baik dalam menyikapi permasalahan pembangunan kehutanan pada umumnya dan permasalahan tata ruang pada khususnya. Di samping itu, kami mengharapkan berbagai masukan dari peserta seminar sebagai acuan dalam penyusunan kebijakan Kementerian Kehutanan dalam menyelesaikan tata ruang, khususnya yang terkait dengan penataan kawasan hutan. Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas terselenggaranya Seminar Regional ini; dan dengan mengucapkan

xii

Bismillahirrahmanirrohim, dengan ini “Seminar Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan dalam Perspektif Tata Ruang” kami nyatakan dibuka secara resmi. Semoga Tuhan memberikan petunjuk bagi kita semua. Terima kasih. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, 2 Juli 2013 Kepala Badan, ttd Dr. Ir. Iman Santoso M.Sc.

xiii

RUMUSAN SEMINAR REGIONAL

“PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG”

Hotel SwissBellInn Kristal, Kupang 2 Juli 2013

Seminar regional diselenggarakan atas kerjasama antara Balai Penelitian Kehutanan Kupang dan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Seminar ini diselenggarakan dalam rangka 100 tahun kelitbangan kehutanan dan sekaligus bertepatan dengan 50 tahun Fakultas Kehutanan UGM. Kegiatan kolaborasi ini diharapkan dapat memfasilitasi diskusi antar sektor dan stakeholders kehutanan di Propinsi NTT secara khusus dan regional Bali-NTB-NTT secara umum, menuju pembangunan kehutanan berkelanjutan. Pemaparan kebijakan kehutanan di tingkat pusat dan propinsi diperoleh informasi bahwa walaupun telah diterbitkan perda tata ruang, namun pada kenyataannya di lapangan masih perlu dilakukan review ulang dan masih terdapat usulan perubahan dari 16 kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa dinamika di tingkat lapangan tidak sepenuhnya dapat secara cepat diikuti oleh kebijakan nasional. Seminar dan diskusi ini memberikan ruang untuk komunikasi antara kebijakan nasional dengan kenyataan dan implementasinya di lapangan. Dari berbagai pemaparan, dapat ditarik benang merah untuk memperbaiki pengelolaan hutan dalam perspektif tata ruang adalah dengan menerapkan upaya perbaikan produktivitas bentang alam di atas upaya penguasaan kawasan hutannya. Hutan lestari dan masyarakat sejahtera akan tercapai jika tercapai beberapa persyaratan, yaitu: (a) terjadi sinergitas antar sektor dengan mengetahui isi dan kondisi SDA, (b) pengelolaan hutan dilakukan secara kolaboratif dengan menyepakati hak dan kewajiban masing-masing pihak yang bersepakat untuk kolaborasi (c) terjadi keseimbangan pengelolaan hutan oleh perusahaan besar, masyarakat, usaha kecil dan koperasi, (d) pemanfaatan hutan dilakukan secara multiguna, yang meliputi: pemanfaatan kayu & non kayu (air, wisata, energi, satwa liar, dll). Strategi yang bisa dilakukan antara lain: (a) strategi “blusukan ala Jokowi”-untuk memahami keadaan nyata di tingkat tapak-, (b) optimalisasi monitoring dan evaluasi, (c) adaptif/akomodatif terhadap kondisi setempat (budaya lokal), (d) pengelolaan hutan yang berbasis kesesuaian lahan dan ketersediaan SDM, dan (e) prinsip bottom-up dan residual dengan mengutamakan rakyat terlebih dahulu baru sisanya dikelola negara dalam penetapan kawasan hutan. Selanjutnya secara lebih rinci akan diuraikan pokok-pokok latar belakang dan ringkasan pemaparan dari nara sumber dan hasil diskusi tanya jawab secara lebih lengkap sebagai berikut :

1. Pengelolaan hutan baik regional maupun secara nasional seringkali menghadapi konflik,

xiv

yang antara lain dipengaruhi oleh belum adanya kepastian status kawasan akibat tidak jelasnya batas kawasan hutan di lapangan, keterbatasan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan, dan konflik antar sektor yang menyebabkan tumpang tindih Pemanfaatan lahan. Di NTT, terjadi pengurangan wilayah hutan akibat pemekaran wilayah, keberadaan masyarakat di dalam kawasan, dan adanya perubahan fungsi kawasan hutan. Dengan demikian, proses integrasi dalam penataan ruang harus dilakukan agar pemanfaatan ruang direncanakan sesuai dengan peruntukan pola ruang, berlandaskan keseimbangan ekosistem dan berdasar pada data yang akurat. Guna percepatan tata batas dapat dilakukan dengan menggunakan batas alam, batas propinsi, yang disebut sebagai sebagai batas kombinasi. Di samping itu, dapat pula diterapkan sistem tata batas yang menggunakan menggunakan batas koordinat di mana efektifitasnya perlu terus dikaji.

2. Dalam kaitannya dengan Putusan MK No.35/PUU-X/2012, perlu dilakukan antisipasi terhadap kemungkinan pengaruhnya terhadap program pembangunan kehutanan yang teretuang dalam dokumen rencana strategis dan RKTN 2011-2030. Dalam tataran strategis, perlu segera dibuat regulasi implementsi dari keputusan MK yang di maksud. Sedangkan pada tingkat kementerian, diperlukan keterpaduan kebijakan strategis dan teknis antara Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri dan Kepala BPN sehingga proses penetapan hutan adat di wilayah masyarakat hukum adat dapat terwujud dan mendapatkan pengakuan secara legal. Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Daerah juga secara khusus diharapkan proaktif untuk melakukan identifikasi dan revisi atas klaim-klaim hutan masyarakat hukum adat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

3. Lanskap hutan dan perubahan lanskap hutan dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, budaya dan kebijakan wilayah setempat. Perubahan lanskap hutan berupa pengurangan tutupan hutan di wilayah hulu DAS akan mengganggu kontinuitas supply air yang dikelola oleh PDAM dan mempangaruhi sosial ekonomi masyarakat.

4. Mengenai pengelolaan KPHL Mutis Timau diperoleh informasi mengenai manfaat ekologi dan ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan. Untuk menjaga kelestarian fungsi hutan di KPHL Mutis Timau, perlu penyediaan ruang yang menjamin keberadaan dan fungsi hutan dengan dukungan dari berbagai pihak. Hambatan-hambatan dalam implementasi tata ruang dan keberadaan KPHL Mutis Timau seperti permintaan masyarakat sekitar hutan untuk alih fungsi kawasan hutan, overlap antara hutan lindung dan ternak, dan batas rencana tata ruang di lapangan yang belum jelas perlu diantisipasi guna menjaga kelestarian fungsi hutan. Permasalahan adanya desa yang berada di dalam kawasan (enclave) di KPHL Mutis Timau hendaknya dilakukan pemetaan secara partisipatif, menetapkannya untuk mencegah semakin luasnya desa enclave dan berkurangnya fungsi hutan.

5. Kabupaten dengan luasan lahan untuk kelas kesesuaian I berturut turut dari yang paling besar adalah Kabupaten Sumba Timur dengan luasan 473.573,1 ha, Kabupaten Sumba Barat Daya 125.387 ha, Kabupaten Sumba Tengah 121.871 ha, dan Kabupaten Sumba Barat 60.454,14 ha. Pendekatan kesesuaian lahan untuk tata ruang pengembangan cendana dapat digunakan dengan memperhatikan aspek kepentingan lainnya, sesuai

xv

dengan perencanaan pengembangan wilayah di suatu daerah. Kelas sesuai I semestinya menjadi prioritas untuk lokasi pengembangan dan budidaya cendana.

6. Alih fungsi lahan atau Land Use, Land Use Change and Forestry (LULUCF) menyumbang 18% terhadap konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer dan perubahan iklim. Peningkatan konsentrasi GRK akan diikuti oleh peningkatan suhu dan peningkatan evapotranspirasi dan memberikan efek langsung siklus hidrologi. Terganggunya keseimbangan siklus hidrologi akan berdampak nyata pada ketersediaan air. Dengan berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS), kajian ini akan menggambarkan tingkat kerentanan air akibat perubahan iklim. Hasil kajian menunjukkan suhu rata-rata tahunan di sekitar DAS Kambaniru dari tahun 1973-2012 cenderung naik sebesar 0,4OC. Sebaliknya, curah hujan tahunan di sekitar DAS Kambaniru dari tahun 1973-2012 cenderung turun sebesar 30 mm. Berdasarkan pendekatan spasial, didapatkan bahwa sekitar 56% dari total wilayah DAS Kambaniru memiliki tingkat kerentanan tinggi, 34% diklasifikasikan ke tingkat kerentanan sedang dan 10% dikategorikan ke tingkat kerentanan rendah. Berdasarkan region DAS, bagian tengah dan hilir sebagian besar masuk kategori tingkat kerentanan tinggi, sedangkan bagian hulu memiliki tingkat kerentanan sedang.

REKOMENDASI: 1. Perlu review ulang terhadap perda tata ruang sesuai kondisi setempat. 2. Perlu kebijakan strategis dan teknis c.q hutan masyarakat hukum adat. TIM PERUMUS :

1. Dr. Ir. Petrus Gunarso, M.Sc. 2. S. Agung Sri Raharjo, S.Hut., M.T. 3. Sumardi, S.Hut., M.Sc.

xvi

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 1

Evaluasi Pemanfaatan Ruang Dalam Konteks Tata Kelola Ruang di Kawasan Hutan

Oleh:

Wahyu Wardhana*

*Staf Pengajar Fakultas Kehutanan, Bagian Manajemen Hutan Lab. Sistem Informasi Spasial dan Pemetaan Hutan

Email : [email protected]

Latar Belakang Pasca diberlakukan Putusan MK yang mengubah definisi kawasan hutan menjadi wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, namun demikian dalam hal ini polemik dan bahwa kenyataan saat ini belum ada kejelasan mengenai wilayah “pasti” dan “fix” dengan apa yang disebut dengan kawasan hutan (hutan tetap) kecuali yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan putusan sebelumnya. Tafsir definisi menurut UU Kehutanan memiliki basis kelenturan penafsiran dalam hal mengimplementasikan wilayah “kewenangan”. Banyak versi klaim terkait “kewenangan” terhadap apa yang disebut dengan kawasan hutan ini lah menjadi polemik yang sampai saat ini pun rimbawan di Indonesia belum mampu menyelesaikannya. Padahal jaminan kepastian kawasan hutan (areal yang jelas batas) dan diakui (yuridis, maupun sosial) yang jelas (clear and clean) menjadi bagian kunci utama dalam menuju pengelolaan hutan lestari (Simon, 1996). Persoalan lain bahwa hutan sesuai amanat UUD 45 pasal 33 harus dapat memberikan manfaat sebesar-besar untuk kemakmuran masyarakat Indonesia, data dari analisis dan studi PODES Kementrian Kehutanan dan BPS mengindikasikan secara wilayah administratif ada 33.000 wilayah desa yang terletak di sekitar dan di dalam kawasan hutan (jika ini berdasarkan klaim sepihak berdasarkan UU Kehutanan no 41/1999). Persoalan ini selanjutnya dalam penerapan dan implikasinya memberikan efek samping berupa benturan, konflik kepentingan terhadap pemanfaatan lahan (hutan) atas nama tujuan-tujuan tertentu (baca sektoral-kedaerahan). Banyak pihak mulai dari Kepala Daerah (kabupaten), pengusaha, masyarakat yang mengajukan uji materi konstitutionalitas kawasan hutan dalam UU Kehutanan dimana beberapa diantaranya sudah diputus sehingga memberikan perubahan-perubahan kebijakan di sektor kehutanan.

Makalah ini mencoba mengkaji dari sisi lain dimana persoalan konflik lahan dari dimensi data spasial untuk memperkuat fakta bahwa hipotesis keruwetan lain terkait dengan pengelolaan di kawasan hutan adalah terkait dengan “ketidakjelasan” data spasial khususnya mengenai data pemanfaatan ruang di kawasan hutan termasuk tumpang tindih pemanfaatan dengan sektor lain.

2 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Dimensi Data Dalam Konteks Pemanfaatan Ruang Dalam Wilayah Perencanaan Ruang di Kawasan Hutan Sejak awal pembangunan era rezim Orde Baru strategi pembangunan saat itu bertumpu pada mode pembangunan sektoral, pada saat itu karena keterbatasan data dan pengetahuan yang dimiliki saat itu maka pola pembangunan berbasis sektoral khususnya sektor yang siap sumberdaya melimpah saat itu adalah Sektor Kehutanan yang dibarengi dengan pengembangan sektor Pertanian dan sektor lainnya. Awal tahun 70-an sampai dengan pertengahan 90-an adalah era dimana sektor kehutanan menjadi primadona dengan komoditas andalan kayu sebagai modal dan saat itu banyak perusahaan HPH yang beroperasi di kawasan hutan. Namun sejak era 80-an Pemerintah mulai menyadari pentingnya ranah pengaturan ruang khususnya di kawasan hutan saat itu. Hal tersebut mulai selanjutnya dalam kebijakan sektor kehutanan munculah TGHK dalam bentuk implikasi peta. Namun karena data yang dimiliki saat itu masih minim, sehingga jika melihat bentuk garis-garis dan simbol yang digunakan di peta saat itu masih merupakan generalisasi pada skala besar (s/d lebih dari 1 : 200.000). Dengan demikian pada saat itu tidak heran bahwa jika hampir sebagian besar wilayah di Kalimantan adalah berupa kawasan hutan (sebagai mana ilustrasi gambar di bawah ini).

Disinilah letak awal polemik yang terjadi dimana dalam alur cerita selanjutnya ketika era tahun 90-an ke 2000-an dimana teknologi berkembang termasuk ranah kebijakan saat itu berkembang karena paradigma pembangunan yang juga berkembang. Sejak tahun 1997 muncul UU Tata Ruang (yang disempurnakan dengan UU 26/2007) dimana mengharuskan sinkronisasi dengan dengan berbagai sektor khususnya sektor kehutanan yang saat itu sudah memiliki TGHK. Justru disinilah letak persoalannya, level skala pada data spasial yang dimiliki sejak tahun 1990-an pada kawasan hutan diluar jawa saat itu masih pada level basis

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 3

skala 1:250.000, sementara banyak persoalan benturan-benturan lapangan pada perkembangannya memerlukan klarifikasi dan verifikasi pada skala peta yang lebih besar sehingga banyak terjadi masalah ketidak sinkronan posisi seperti inkonsistensi garis batas karena perbedaan skala sehingga batas kawasan menjadi tidak jelas sehingga berpotensi menimbulkan sengketa batas (dan tumpang tindih) serta dispute klaim kawasan, dll. Sebagai contoh kasus di Kalimantan Tengah, betapa carut-marutnya penggunaan ruang dikawasan hutan selama kurun waktu periode TGHK – RTRW (Gambar 1). Dalam grafik tersebut (Gambar 1) mengindikasikan bahwa adanya perubahan atas luasan kawasan hutan dan non hutan (fluktuasi), dimana secara RTRWP menunjukkan trend penurunan sementara menurut versi SK Menhut menunjukkan indikasi peningkatan luasan alokasi penggunaan ruang di kawasan hutan. Dapat di maknai bahwa terjadi konflik kewenangan antara pemerintah pusat melalui Kementrian Kehutanan dengan pemerintah daerah.

Gambar 1. Alokasi Penggunaan Lahan di Kawasan Hutan dari periode TGHK – RTRW 2012

Secara umum kewenenangan tersebut terlihat dari inkonsistensi alokasi ruang berdasar RTRWP dengan SK Menhut, dimana pada tahun 2007 revisi RTRWP diusulkan kawasan hutan hanya seluas 48,7% sementara tahun 2011 SK Menhut n 529/Menhut-II/2012 mengeluarkan kebijakan penunjukan kawasan dimana akhirnya menimbulkan polemik yang berlarut-larut sampai akhirnya adanya gugatan ke MK mengenai definisi kawasan hutan yang kemudian memberikan keputusan perubahan definisi kawasan hutan sebagaimana dimuat dalam awal paragraf awal makalah ini. Disamping itu kebijakan pemerintah melalui PP 10/2010 yang direvisi dengan PP 60/2012 memberikan indikasi “pemutihan” terhadap kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah.

Disinilah kunci pentingnya data tentang kawasan, data tentang kawasan baik trayek, perijinan pemanfaatan kawasan dll seharusnya dapat diakses oleh publik dan saling terintegrasi. Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan

4 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

karena akses data yang tertutup sebagai contoh persoalan kewenangan tumpang tindih kebijakan pusat-daerah (kabupaten) dalam hal penerbitan ijin pemanfaatan lahan yang sebenarnya tidak lepas dari ketersediaan data yang seharusnya dipenuhi sebagai pra-syarat untuk menjadikan dasar utama dalam hal penyusunan rencana skenario tata ruang ke depan. Sebagian kasus mencuat dengan alasan belum dilakukannya proses paduserasi Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten (RTRWP/K) dengan Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), sebagian lainnya karena tidak adanya koordinasi antara bupati dengan UPT Kementerian Kehutanan di daerah. Modus terakhir ini lebih kerap terjadi dan distimulasi oleh euforia desentralisasi. Pemerintah Daerah (bupati) ingin memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) semaksimal mungkin. Instansi di bawah kewenangan bupati, seperti Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, dan Dinas Pertambangan tentu saja membantu kelancaran pengurusan izin perkebunan (izin Lokasi, Izin Usaha Perkebunan) maupun izin pertambangan (Izin Lokasi, Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, dan Izin Pertambangan Rakyat). Namun ironisnya, UPT Kementerian Kehutanan di daerah sering tidak dilibatkan dalam pengurusan izin perkebunan dan pertambangan yang berada di dalam kawasan hutan. Dari fakta inilah polemik selalu mewarnai pengurusan izin perkebunan maupun pertambangan, baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi, pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten, kota atau antar sesama pemerintah kabupaten/kota dalam hal kewenangan pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya alam di dalamnya.

Persoalan update data dan informasi mengenai kondisi sumberdaya dan status pemanfaatan kawasan ini sampai saat ini jarang dan tidak pernah menjadi prioritas utama bahkan selama kurun waktu periode berjalan sejak orde-baru sampai sekarang. Misal apakah saat ini sebagaimana amanat sistem penyusunan rencana tata ruang maupun perencanaan sektoral seperti perencanaan sektor kehutanan dalam RKTN maupun rencana turunan dibawahnya, pertanyaannya apakah sudah pernah dilakukan kegiatan inventarisasi mengenai sumberdaya alam per sektor masing-masing ?, apakah sudah pernah dilakukan evaluasi kondisi pemanfaatan ruang yang telah berjalan dan apakah sudah memenuhi kriteria pemanfaatan ruang sebagaimana PP 47/1997 serta apakah sudah memenuhi syarat dasar tentang ketelitian skala peta sesuai PP 10 tahun 2000?. Review Alokasi Ketersediaan Ruang untuk Pemanfaatan (Perijinan pemanfaatan) Pada prinsipnya yang harus diperhatikan bahwa apapun juga bentuk pemanfatan (perijinan) terhadap kawasan hutan seharusnya adalah dalam kerangka untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UUD 45 pasal 33), dengan demikian dalam kerangka jika sekarang ada rencana tata ruang (termasuk pula rencana tata ruang dikawasan hutan).

Dalam dokumen RKTN 2011-2030 diperoleh penyajian data pemanfaatan ruang dikawasan ruang dalam berbagai alokasi realisasi pemanfaatan sebagaimana disajikan dalam gambar 2

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 5

Gambar. 2. Data Realitas Pemanfaatan Ruang pada Kawasan Hutan (Sumber : Dokumen RKTN 2011-2030)

Data tersebut menunjukkan berbagai model realitas pemanfaatan ruang pada kawasan hutan di Indonesia dimana jika dikelompokkan ada beberapa model yaitu : - Pemanfaatan untuk ijin usaha skala besar menengah : IUHPPKA, IUPHHTI - Pemanfaatan untuk ijin usaha skala kecil menengah : HTR, HKM, Hutan Desa - Pemanfaatan untuk penggunaan lain melalui pelepasan kawasan dan atau pinjam pakai kawasan : transmigrasi, kebun dll.

Dalam dokumen RKTN dijelaskan selanjutnya dengan melihat realitas data 2011 tersebut kemudian dirancang arahan spasial pola pemanfaatan secara Nasional sebagai arahan makro ke depan dengan logika pemodelan dan kriteria sebagai berikut :

6 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Beberapa arahan alokasi adalah sebagai berikut :

Ada beberapa pertanyaan atau kritik terhadap dokumen ini a) Jika ini adalah arahan makro yang memberikan informasi kepada publik dengan

output berupa pencadangan dalam bentuk arahan spasial, mengapa saat ini dapat kesan bahwa mencari lahan yang bebas (clear and clean) demikian sulit #setidaknya ini adalah menurut para pengusaha yang akan berinvestasi dalam arahan makro untuk skema pengusahaan hutan skala menengah-besar. Fakta yang terjadi mengapa alokasi lahan yang telah diberikan khususnya jika itu adalah eks HPH yang dianggap potensi rendah untuk dialokasikan untuk IUPHHT kenyataaan dilapangan sudah ada klaim dan atau okupasi atau bahkan sudah menjadi pemukiman / desa?

b) Persoalan lain dalam hal arahan makro ijin usaha skala menengah kecil, mengapa target dan realisasi yang tercapai cukup rendah dalam dokumen RKTN? Jika memang seharusnya ada keberpihakan kepada masyarakat khususnya mereka yang telah ada didalam kawasan hutan. Namun yang terjadi adalah seharusnya kawasan dialokasikan untuk arahan ijin usaha skala menengah kecil namun untuk alokasi ijin usaha besar menengah sehingga banyak muncul konflik dilapangan untuk perijinan baru

c) Agak kurang jelas sebenarnya ketika dalam dokumen RKTN ditampilkan tabel luasan namun dalam konteks arahan secara spasial berupa peta dan atau bahkan menunjuk lokasi (desa-kecamatan-kabupaten) tidak atau sulit diakses informasinya. Pertanyaannya mengapa? Apakah data-data ini merupakan data rahasia? Karena seharusnya jika menganut prinsip open government maka data-data seperti ini merupakan data yang seharusnya publik bisa mengaksesnya.

d) Dalam konteks arahan kawasan untuk rehabilitasi yang ditargetkan pada wilayah DAS kritis dan bekas pertambangan. Persoalan ini rehabilitasi dalam konteks rencana ini

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 7

menjadi prioritas utama namun persoalan sekarang adalah dalam konteks penetapan lahan kritis. Jujur jika diakui banyak pelaksana lapangan kegiatan RHL mengeluhkan betapa sulitnya mencari lahan untuk kegiatan penanaman dalam rangka RHL karena masih ada problem dalam hal penentuan lahan kritis, banyak kasus untuk hal ini misal betapa sulitnya pelaksana RHL dilapangan khususnya di Taman Nasional ketika sudah ditarget harus menanam dalam rangka RHL sekian ribu Ha namun ternyata di Taman Nasional tersebut yang disebut lahan kritis ternyata merupakan ekosistem savana sebagaimana banyak ditemui di wilayah Nusa Tenggara.

e) Persoalan lain adalah apakah terjemahan dokumen RKTN ini ke level turunan ditingkat propinsi sampai dengan kabupaten mengakomodir arahan-arahan makro tersebut? Agaknya pesimis mengingat hanya disajikan data tabuler dimana data spasial dalam bentuk peta tidak menjadi bagian yang terintegrasi dalam dokumen RKTN. Dan apakah ini ada jaminan akan diacu atau diadopsi dalam dokumen RPJMD misalnya karena operasionalisasi kegiatan pembangunan daerah saat ini adalah RPJMD?

Penutup Demikian beberapa pertanyaan atau kritik yang disampaikan dalam kegiatan seminar ini mudah-mudahan dari beberapa ulasan diatas mampu memberikan ide ataupun gagasan untuk perbaikan pengelolaan hutan kedepan yang dimulai dari hal yang paling awal dalam sebuah kegiatan perencanaan yaitu alokasi ruang yang didasari data yang akurat dari kegiatan inventarisasi.

8 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 9

EKSISTENSI HUTAN ADAT PASKA PUTUSAN MK No.35/PUU-X/20131

Oleh:

Suer Suryadi2 PENDAHULUAN Daratan Indonesia yang luasnya 190 juta hektar pada dasarnya terbagi menjadi kawasan hutan dan non-kawasan hutan atau disebut juga Area Penggunaan Lain (APL). Daratan yang tergolong kawasan hutan dikelola oleh Kementerian Kehutanan, sedangkan APL dikelola oleh Kementerian Agraria/Badan Pertanahan Nasional (BPN). Keduanya menggunakan perangkat peraturan perundang-undangan yang berbeda tetapi tetap dalam satu nafas mengelola bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya.

Tidak kurang dari 130,68 juta ha (68,7% dari luas daratan) telah ditunjuk sebagai kawasan hutan, dan sisanya APL. Dari luas kawasan hutan itu, hanya 14,24 juta ha yang telah ditetapkan (Rencana Kehutanan Tingkat Nasional/RKTN 2011-2030). Luasan kawasan hutan itupun belum tentu menyiratkan kondisi faktual di lapangan karena sudah banyak kawasan hutan, terutama Hutan Produksi Terbatas (HPT)/Hutan Produksi Konversi (HPK) sudah menjadi desa definitif yang ditetapkan pemerintah daerah.

Bahkan Menteri Kehutanan menyatakan adanya 33.000 desa di dalam dan sekitar kawasan hutan3 dengan perkiraan 48 juta jiwa. Tidak disebutkan apakah jumlah itu terbatas pada desa yang telah lama ada di dalam kawasan hutan, atau desa-desa yang baru dibentuk akibat pemekaran desa. Desa yang dihuni masyarakat adat juga banyak dijumpai berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Mereka berinteraksi secara sosial budaya dengan tanah dan hutan sebagai bagian dari hidupnya tanpa mengetahui apakah tanah/hutan tersebut berstatus tanah/hutan negara4. Kondisi ini seringkali menjadi pemicu ketika terjadilah peralihan fungsi atau pemanfaatan tanah untuk perkebunan, pertambangan, dan pembangunan industri kayu.

Di dalam Undang-Undang (UU) No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau5 ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan umumnya berhutan tetapi ada juga yang tidak berhutan, sedangkan APL umumnya tidak berhutan namun ada 1. Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan dalam Perspektif Tata Ruang, 2 Juli 2013 di Kupang, Nusa Tenggara Timur 2 . Conservation & Legal Consultant pada Suryadi Widi & Partners, Jakarta 3. Pernyataan Menteri Kehutanan disampaikan dalam International Conference on Forest Tenure, Governance, and Enterprise di Lombok, 12 Juli 2011, yang kemudian dijadikan angka referensi oleh Kuntoro Mangkusubroto di dalam makalahnya di Konferensi yang sama dan UNORCID-AMN REDD+ Roundtable di Jakarta 21 Mei 2013. 4. Pengamatan penulis di Pulau Siberut yang sebagian besar pulaunya ditunjuk menjadi Taman Nasional Siberut, mengindikasikan tidak adanya pengakuan Masyarakat Mentawai di Pulau Siberut terhadap status taman nasional karena bagi mereka tanah di Siberut adalah peninggalan orang tua mereka, bukan milik negara. 5. Dikoreksi berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011 yang menguji materi Kawasan Hutan

10 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

yang masih berhutan. Dalam hal ini, Hutan didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Kawasan hutan yang tidak berhutan (open area) dan kawasan non-hutan yang berhutan (forested land) seringkali menjadi pangkal kesalahpahaman para pihak karena tidak dapat membedakan “hutan” dan “kawasan hutan”. Pemanfaatan tanah berhutan menjadi kewenangan BPN, sedangkan kawasan hutan yang tidak berhutan tetap menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan. Verifikasi hanya dapat dilakukan berdasarkan peta kawasan hutan dan perairan dari Kementerian Kehutanan dan peta tanah dari BPN.

Konflik antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal perizinan pun terjadi. Sekitar 3,1 juta ha kawasan hutan di Kalimantan Tengah tumpah tindih dengan izin pemerintah daerah, lalu di atas izin pemda tersebut terdapat tumpang tindih lagi dengan izin dari Kementerian Kehutanan (Mangkusubroto, 2011). Demikian halnya antara masyarakat yang hidup di dalam atau sekitar hutan dengan pengusaha atau pemerintah. Konflik-konflik yang berkepanjangan itulah yang akhirnya membawa UU Kehutanan ke hadapan Mahkamah Konstitusi untuk diuji materinya.

DASAR HUKUM PENGELOLAAN HUTAN Sebagai implementasi dari pasal 33 UUD 1945, yang memberi hak kepada Negara untuk mengatur sumberdaya yang ada di bumi Indonesia, termasuk hutan dan segala isinya, maka Pemerintah bersama DPR menerbitkan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. Hak itu dikenal dengan Hak Menguasai Negara (HMN). Namun HMN tidaklah identik dengan kepemilikan sebagaimana domein verklaring di dalam Agrarische Wet (UU Agraria). Di dalam Putusan Perkara No.012/PUU-I/2003, Mahkamah Konstitusi mempertegas makna dari HMN, yaitu mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad).

Undang-undang yang mengatur masalah kehutanan Indonesia yang pertama kali adalah UU No.5 tahun 1967 yang telah diganti dengan UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya disebut UU Kehutanan). Selain itu juga diterbitkan UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya (dengan UU Konservasi Hayati) yang fokusnya mengatur mengenai perlindungan, pengamanan, dan pemanfaatan jenis dan kawasan konservasi. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan diberi kewenangan sebagaimana pasal 4 ayat 2 UU No. 41/1999, yaitu:

a). Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; b). Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; c). Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan

Kedua undang-undang bidang kehutanan itu tidak terlepas dari pengaruh UU No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang terbit lebih dulu.

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 11

Benang merahnya adalah tanah adat dan hutan adat. Undang-undang Pertanahan berprinsip bahwa seluruh tanah yang tidak ada alas hak di atasnya menjadi tanah negara. Sedangkan hutan yang tidak ada hak di atasnya menjadi hutan negara. Sementara hak ulayat (hak tradisional masyarakat yang mencakup tanah dan hutan) berlaku dengan kondisi tertentu, yang akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.

UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pernah diamandemen melalui UU No.19 tahun 2004. Perubahan itu dilakukan terkait Pasal 38 ayat 4 UU Kehutanan yang melarang pertambangan di hutan lindung dengan pola pertambangan terbuka. Dengan demikian, izin pertambangan yang diterbitkan sebelum berlakunya UU Kehutanan tetap berlaku hingga berakhirnya izin tersebut.

UJI MATERI UU KEHUTANAN Koreksi atas produk perundang-undangan kini semakin terbuka di era reformasi yang dikenal dengan istilah Uji Materi (judicial review). Uji materi atas peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU diajukan ke Mahkamah Agung. Sedangkan uji materi UU terhadap UUD 1945 (konstitusi) diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sejak Oktober 2003. Keberadaan MK merupakan implementasi dari Amandemen ke III UUD 1945, yaitu pasal 24C, yang diperkuat dengan terbitnya UU No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah diubah dengan UU No. 8 tahun 2011.

Hingga Juni 2013, UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan telah diuji materi sebanyak delapan kali. Satu perkara dikabulkan sepenuhnya dan dua perkara dikabulkan sebagian. Berikut ini disampaikan dua uji materi yang terkait langsung dengan persoalan kawasan hutan yang akan mempengaruhi kebijakan pembangunan kehutanan di masa mendatang. 1. Uji Materi 1, Perkara No.45/PUU-IX/2011 mengenai Kawasan Hutan

Pada tanggal 22 Juli 2011, para Pemohon termasuk 5 Bupati dari Kalimantan menguji-materikan pasal-pasal yang terkait dengan proses penentuan kawasan hutan, yaitu Pasal 1 angka 3. Sesuatu yang tidak terjadi apabila UU No.41/1999 tidak mengubah Pasal 1 ayat 4 UU No.5/1967 yang berbunyi "Kawasan Hutan" ialah wilayah-wilayah tertentu yang oleh Menteri ditetapkan untuk dipertahankan sebagai Hutan Tetap.

Pada tanggal 21 Februari 2012, MK mengabulkan permohonan dan menyatakan bahwa kata-kata “ditunjuk dan/atau” di dalam Pasal 1 angka 3 inkonstitusional dan tidak dapat diterapkan. Dengan demikian, Pasal 1 angka 3 dari UU Kehutanan menjadi Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Mengingat Putusan MK tidak berlaku surut (retroaktif), maka luas kawasan hutan tidak mengalami perubahan. Namun Kementerian Kehutanan diharapkan dapat menyelesaikan penataanbatas kawasan hutan untuk memberikan kepastian hukum di masa mendatang.

2. Uji Materi 2, Perkara No.35/PUU-X/2012 mengenai Status Hutan Adat

12 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Pada tanggal 19 Maret 2012, para Pemohon mengujimaterikan pasal-pasal yang terkait dengan status hutan adat, yaitu Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat 3, dan Pasal 5 ayat 1, 2, dan 3, dan pasal 67 ayat 1, 2, dan 3. Pada dasarnya para Pemohon mempersoalkan dua hal, yaitu ketentuan yang mengatur tentang status dan penetapan hutan adat; dan ketentuan yang mengatur tentang bentuk dan tata cara pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat.

Pada tanggal 16 Mei 2013, MK dalam Putusannya mengabulkan sebagian permohonan Pemohon, yaitu: 1. Pasal 1 angka 6, berubah menjadi “Hutan adat adalah hutan negara yang berada

dalam wilayah masyarakat hukum adat”. 2. Pasal 4 ayat 3 “Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat

hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional” bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kecuali dimaknai “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.

3. Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 serta Penjelasannya bertentangan dengan konstitusi dan tidak mengikat, karena hutan adat bukan bagian dari hutan negara.

4. Pasal 5 ayat 3, berubah menjadi “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”.

Di dalam Perkara No.34/PUU-IX/2011, MK juga telah menyatakan bahwa Pasal 4

ayat 3 sebagai conditionally unconstitutional, sehingga MK memaknai pasal tersebut menjadi “Penguasaan hutan oleh negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”.

WHAT’S NEXT? IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Berdasarkan dokumen RKTN 2011-203, kawasan hutan negara yang telah ditetapkan seluas 14,24 juta ha dan 126,44 juta ha (penunjukan, penataan batas). Skenario kawasan hutan pada 2030 diperkirakan seluas 112,3 juta ha. Dari jumlah tersebut, 43,6 juta ha dialokasikan untuk pengusahaan hutan skala besar (IUPHHK-HA/HT/RE) dan 5,6 juta ha (5%) dialokasikan untuk pengusahaan skala kecil dalam bentuk Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), dan Hutan Desa. Ketika skenario tersebut dibuat, Hutan Adat dikesampingkan dan tidak diperhitungkan karena masih dianggap bagian dari hutan

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 13

negara. Di sisi lain, keberadaan hutan adat kemungkinan besar memang belum terdata dengan baik. Sehingga dengan kondisi saat ini, maka hutan adat dapat saja dijumpai pada semua kawasan hutan sebagaimana Tabel di bawah ini. Tabel 1. Luas kawasan hutan dan luas penutupan lahan (RKTN 2011-2030, Permenhut P.49/2011) Luas Kawasan Hutan Luas

(Juta Ha) Luas Tutupan Lahan Luas

(Juta Ha) Hutan Konservasi/HK 26,82 Hutan Primer 41,26 Hutan Lindung/HL 28,86 Hutan Sekunder 45,55 Hutan Produksi/HP 32,60 Hutan Tanaman 2,82 Hutan Produksi Terbatas/HPT 24,46 Tidak berhutan/open area 41,05 Hutan Produksi Konversi/HPK 17,94 APL berhutan 8,07 TOTAL 130,68

Pada tanggal 14 November 2012, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) telah menyerahkan Peta Wilayah Adat kepada Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Peta tersebut mencakup wilayah seluas 2.402.222,824 ha dari 40 juta ha yang diklaim AMAN. Peta tersebut masih memerlukan verifikasi dari pihak terkait, dalam hal ini Kementerian Kehutanan dan Badan Informasi Geospasial (BIG).

Hasil uji materi pada Perkara No.35/PUU-X/2012 telah menjadi fondasi politik hukum yang baru pada rezim pengelolaan hutan. Putusan itu meninggalkan sejumlah pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam hal tenurial. Di dalam Pasal 1 angka (6) menjadi Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Terdapat tiga unsur dalam pasal itu: hutan, masyarakat hukum adat, dan wilayah masyarakat hukum adat, yang akan dibahas satu per satu. 1. Hutan Adat

Sesuai definisi Pasal 1 angka (2), Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Dalam definisi itu, hutan dapat berada di dalam kawasan hutan dan non-kawasan hutan (APL).

Mengingat bahwa yang menjadi dasar pengujian materi UU Kehutanan ini adalah konflik-konflik yang terjadi pada suatu wilayah berhutan yang dimasukkan kategori “kawasan hutan” oleh pemerintah, dan konflik terjadi antara masyarakat hukum adat dengan otoritas kehutanan atau pemegang konsesi kehutanan, maka yang menjadi obyek hukum dalam definisi hutan di Pasal 1 angka (6) adalah hutan yang diklaim Pemerintah sebagai hutan negara yang ditetapkan sebagai kawasan hutan6. Dengan

6. Kawasan Hutan ini dapat terlihat di dalam Peta Kawasan Hutan dan Perairan yang diterbitkan Kementerian Kehutanan, Dokumen Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten, dan Peta Tanah yang diterbitkan BPN.

14 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

kata lain, kawasan berhutan/tanpa hutan yang secara yuridis diakui Kementerian Kehutanan sebagai non-kawasan hutan/APL atau enclave (kawasan yang berada di tengah-tengah kawasan hutan) merupakan kewenangan BPN.

Dengan demikian, status kepemilikan hutan menjadi hutan negara, hutan hak, dan hutan adat. Hutan negara dikelola oleh Pemerintah yang batas-batasnya ditetapkan sebagai kawasan hutan; hutan hak dikelola oleh pemegang hak milik yang batas-batasnya ditetapkan berdasarkan hak kepemilikan dalam bentuk Sertipikat Kepemilikan, dan hutan adat dikelola oleh masyarakat hukum adat yang batas-batasnya ditetapkan oleh masyarakat hukum adat dengan legitimasi dari Pemerintah Daerah dimana masyarakat hukum adat itu berada dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda).

Atas dasar pemikiran tersebut, hutan-hutan negara yang diklaim dan kemudian ditetapkan sebagai hutan adat akan dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan. Statusnya menjadi non-kawasan hutan atau APL. Pengaturan kepemilikan atas hutan adat tersebut beralih dari Kementerian Kehutanan kepada BPN., namun hal-hal terkait dengan aspek pengelolaan hasil hutan tetap menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan.

Agar tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dikeluarkannya hutan adat dari kawasan hutan negara harus ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan dalam bentuk revisi kawasan hutan dan perairan provinsi. Selanjutnya hal itu juga harus tercermin di dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Provinsi.

Fungsi hutan sebagaimana Pasal ayat (1) UU Kehutanan seharusnya tetap berlaku terhadap hutan adat, yaitu fungsi konservasi, lindung, dan produksi. Dengan kearifan tradisional dan tatanan hukum adat yang berlaku di masyarakat hukum adat, seyogyanya dan sepatutnya, hutan-hutan adat juga dikelola dengan fungsi-fungsi tersebut. Ketika pemberlakukan dan keberadaan hutan adat ini justru memicu ekspolitasi besar-besaran atas hutan adat, maka eksistensi masyarakat hukum adat itu patut dipertanyakan. Untuk menghindari hal-hal tersebut, maka sudah sepantasnya pula Kementerian Kehutanan atau Dinas Kehutanan setempat tetap berwenang mengatur aspek-aspek pengelolaan hutan yang lestari.

Persoalan lain yang juga perlu dicermati adalah potensi konflik antar masyarakat hukum adat pada saat penetapan wilayah masyarakat hukum adat dan hutan adatnya. Klaim antar kesatuan masyarakat hukum adat terkadang sulit dibuktikan karena didasari oleh penuturan lisan para tetua adat. Namun ada pula wilayah adat yang memiliki tanda-tanda alam yang jelas dan diakui oleh mereka sendiri.

2. Masyarakat (hukum) Adat: Kriteria dan Legitimasi

Perdebatan penggunaan istilah “masyarakat adat” dan “masyarakat hukum adat” masih terus berlangsung dalam tataran teori dan praktis. Istilah “masyarakat adat” diambil dari terjemahan kata indigenous peoples, sedangkan istilah “masyarakat hukum adat” berasal dari istilah Belanda rechtsgemenschap yang dihubungkan dengan istilah adatrecht yang dipopulerkan Cornellis Van Vollenhoven dalam bukunya Het Adatrecht van Netherland Indie.

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 15

Istilah masyarakat adat bermakna lebih luas daripada masyarakat hukum adat karena tidak hanya berdimensi hukum, melainkan juga terkait dimensi kultural, religi, dan sosial. Namun secara yuridis-normatif istilah masyarakat hukum adat-lah yang lebih tepat jika dikaitkan dengan eksistensi dari masyarakat adat dan hak-haknya, karena eksistensi dan hak-hak tersebut justru melekat dalam masyarakat hukum adat yang diatur oleh hukum adat itu sendiri (Patittingi, 2013). Peraturan perundang-undangan termasuk UUD 1945 menggunakan istilah masyarakat hukum adat di dalam ketentuan-ketentuannya karena hak ulayat secara substantif merupakan hak yang melekat dengan hukum adat.

Berdasarkan pendapat beberapa pakar hukum adat, Patittingi (2013) menyimpulkan kriteria/ciri-ciri masyarakat hukum adat (adatrechtsgemenschap), yaitu: Adanya kesatuan manusia yang teratur; Menetap di suatu daerah tertentu; Mempunyai penguasa-penguasa; Mempunyai kekayaan, baik kekayaan materiil (berwujud) maupun yang immaterial (tidak berwujud); Memiliki sistem nilai dan kepercayaan; serta memiliki tatanan hukum sendiri.

Kriteria masyarakat hukum adat di dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 masih sangat umum. Oleh karenanya, Mahkamah Konstitusi memberikan penasfiran resmi di dalam salah satu putusannya untuk memperjelas kriteria masyarakat hukum adat yang mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk melindungi hak konstitusionalnya7, yaitu

1. Suatu kesatuan masyarakat hukum ada secara de facto masih hidup (actual existence), setidaknya-tidaknya mengandung unsur-unsur: a. Adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group

feeling); b. Adanya pranata pemerintahan adat; c. Adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; d. Adanya perangkat norma hukum adat; dan e. Khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga

terdapat unsur adanya wilayah tertentu.

2. Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut:

a. Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum atau sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, atau Perda;

b. Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.

7 Lihat Putusan Mahkaham Konstitusi No.31/PUU-V/2008 bertanggal 18 Juni 2008

16 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

3. Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak menggangu eksistensi NKRI sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum, tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Di dalam Penjelasan Pasal 67 ayat (1) UU No.41 Tahun 1999 disampaikan bahwa masyarakat hukum adat diakui keberadaannya jika masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; ada wilayah hukum adat yang jelas; memiliki pranata; dan memanfaatkan hutan untuk keperluan sehari-hari. Dalam proses legitimasi itu, Pemerintah Daerah memainkan peranan penting sebagaimana Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan yang memberikan mandat kepada Pemda.

Sayangnya, Peraturan Pemerintah (PP) sebagaimana perintah Pasal 67 ayat (3) UU Kehutanan atau pedoman/petunjuk teknis tingkat Menteri mengenai langkah-langkah untuk melegitimasi masyarakat hukum adat belum diterbitkan. Namun upaya itu dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen hukum yang telah ada.

Misalnya Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No.5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Pasal 5 1. Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagiamana dimaksud

dalam Pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam.

2. Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan, apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah.

Pasal 6 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal 5 diatur dengan Peraturan Daerah yang bersangkutan. Peraturan itu mendefinisikan hak ulayat atau hak yang serupa dengan itu sebagai

kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 17

dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Tanah ulayat diartikan sebagai bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.

Secara umum, untuk mendapatkan legitimasi tersebut, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk melakukan kajian akademis mengenai keberadaan suatu masyarakat hukum adat. Hasil kajian itulah yang menjadi dasar bagi Pemerintah Daerah untuk menerbitkan atau tidak menerbitkan Perda pengukuhan masyarakat hukum adat. Namun demikian, dalam putusan MK perkara No.35/PUU-X/2012 mengingatkan bahwa ketiadaan legitimasi itu tidak boleh merugikan hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat yang memang masih ada.

3. Hutan Adat dan Wilayah Masyarakat Hukum Adat

Hutan-hutan adat di sejumlah wilayah Masyarakat Hukum Adat telah dipetakan secara sporadis oleh AMAN dan JKPP. Berdasarkan keterangan dari AMAN, telah dipetakan sekitar 6 juta ha wilayah adat di seluruh Indonesia. Pada tanggal 14 November 2012, AMAN menyerahkan 265 peta wilayah adat dengan total seluas 2.402.222,824 ha kepada UKP4 dan BIG. Namun peta tersebut belum dapat diakses publik dan pengakuan resmi pemerintah.

Sebagaimana halnya dengan isu legitimasi masyarakat adat, hutan adat sebagai bagian dari wilayah masyarakat adat juga memerlukan legitimasi dan pengukuhan dari pemerintah daerah. Peraturan Pemerintah yang khusus mengenai penetapan hutan adat dan wilayah masyarakat hukum adat belum diterbitkan hal tersebut. Selama ini Kementerian Kehutanan lebih fokus pada pengembangan HKm, Hutan Desa, Hutan Rakyat, dan HTR.

Pengakuan eksistensi masyarakat hukum adat pernah diberikan secara parsial oleh Kementerian Kehutanan dalam bentuk izin memungut hasil hutan di wilayah masyarakat hukum adat8. Walau status hutan ulayat yang diakui itu tetap berstatus hutan negara, masyarakat diizinkan untuk memungut hasil hutan di dalam konsesi HPH di hutan produksi. Khusus di Papua, hal itu segera direspon dalam bentuk konsesi kepada Koperasi Masyarakat Adat (Kopermas). Akibat banyaknya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan keputusan menteri tersebut, akhirnya keputusan itu dicabut pada tahun 2005 melalui Peraturan Menteri Kehutanan No.P.07/Menhut-II/2005.

Persoalan hak ulayat masyarakat hukum adat atas hutan adatnya sudah cukup lama mengemuka. Konflik-konflik yang terus terjadi mendorong Menteri Kehutanan menerbitkan Surat Edaran No.S.75/Menhut-II/2004 tertanggal 12 Maret 2004. Edaran itu ditujukan kepada Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagai tuntunan mengatasi masalah tuntutan ganti rugi/kompensasi oleh Masyarakat Hukum Adat. Pada intinya, edaran tersebut mengajurkan untuk melakukan penelitian terhadap eksisten masyarakat

8. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkbunan No.317/Kpts-II/1999 tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat Hukum Adat pada Areal Hutan Produksi, sekaligus mencabut Keputusan Menteri Kehutanan No : 251/Kpts-II/1993 mengenai hak memungut hasil hutan oleh masyarakat hukum adat.

18 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

hukum adat yang melakukan tuntutan/kompensasi itu sebagaimana Pasal 67 UU Kehutanan.

Edaran itu juga memberikan arahan kepada Bupati/Walikota yang menginginkan adanya penetapan hutan negara sebagai hutan adat dari suatu masyarakat hukum adat di wilayahnya dengan tahapan sebagai berikut: 1. Melakukan kajian terhadap eksistensi masyarakat hukum adat dan wilayah adatnya,

untuk kemudian ditetapkan melalui Perda Provinsi; 2. Bupati/Walikota mengusulkan hutan negara yang dimaksud untuk ditetapkan

sebagai hutan adat dengan memuat letak, luas hutan serta peta hutan adat yang diusulkan kepada Menteri Kehutanan dengan rekomendasi Gubernur.

3. Atas permohonan tersebut Menteri Kehutanan dapat menerima atau menolak penetapan hutan adat.

4. Apabila berdasarkan permohonan tersebut Menteri Kehutanan dapat menerima maka akan ditetapkan hutan adat untuk masyarakat yang bersangkutan.

Secara normatif hal ini sudah memberikan kesempatan adanya hutan adat bagi masyarakat hukum adat, tetapi prosesnya masih panjang dan tetap memerlukan negosiasi dengan pemegang konsesi. Pengajuan kepada Menteri Kehutanan berupa permohonan yang dapat diterima atau ditolak. Pada konteks paska Putusan MK, maka hutan adat yang terletak di kasasan hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi merupakan keniscayaan sepanjang masyarakat hukum adat itu memang masih hidup sebagaimana dimaksud pertimbangan dalam putusan MK. Pengajuan ke Menteri Kehutanan dilakukan untuk mengeluarkan hutan adat masyarakat hukum adat yang telah diakui pemerintah daerah, dari luasan kawasan hutan dan perairan provinsi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Menteri Kehutanan.

Hutan adat yang telah dikeluarkan dari kawasan hutan juga akan mempengaruhi pola tata ruang wilayah dan luasan APL. Untuk mempertahankan eksistensi masyarakat hukum adat atas wilayahnya diperlukan serangkaian kebijakan terpadu di tingkat pusat, provinsi, dan daerah. Menteri Kehutanan dan/atau Menteri Negara Agraria/Kepala BPN perlu segera menerbitkan peraturan menteri mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penetapan hutan adat, perlindungan dan pemanfaatan hutan adat, dan hak-hak pengelolaan yang timbul di atas tanah hutan adat tersebut.

PENUTUP Program pembangunan kehutanan yang telah direncanakan dalam sejumlah dokumen rencana strategis dan RKTN 2011-2030 cukup terpengaruh oleh Putusan MK Perkara No.35/PUU-X/2012. Dalam tatanan strategis, perlu dibuat Peraturan Pemerintah yang mencakup Norma Standar Prosedur dan Kriteria mengenai penetapan dan pengelolaan hutan adat. Sedangkan pada tingkat kementerian, diperlukan keterpaduan kebijakan strategis dan teknis antara Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri dan Kepala BPN sehingga proses penetapan hutan adat di wilayah masyarakat hukum adat dapat terwujud.

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 19

Kementerian Kehutanan juga secara khusus dan proaktif untuk melakukan identifikasi dan revisi atas klaim-klaim hutan adat yang sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. DAFTAR PUSTAKA Indonesia. Undang-undang Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. UU No.5, LN

No.8 Tahun 1967, TLN. No.2823

Indonesia. Undang-undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. UU No.5, LN No.104 Tahun 1960, TLN. No.2043.

Indonesia. Undang-undang Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. UU No.5, LN No.49 Tahun 1990, TLN. No.3419

Indonesia. Undang-undang Tentang Kehutanan. UU No.41, LN No.60 Tahun 1999, TLN. No.3839

Kementerian Kehutanan. Peraturan Menteri Kehutanan Tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) 2011-2030. Permen Kehutanan No. P.49 Tahun 2011.

Mangkusubroto, Kuntoro. “Pentingnya Reformasi Penguasaan Hutan dan Lahan dalam Mengimplementasikan Agenda Pembangunan yang Peka Terhadap Perubahan Iklim”, makalah disampaikan dalam International Conference on Forest Tenure, Governance, and Enterprise, pada tanggal 12 Juli 2011 di Lombok.

Mochtar, Akil. “Perlindungan Hak dan Konstitusional Masyarakat Hukum Adat”, makalah disampaikan dalam Rapat Pimpinan Nasional Majelis Adat Dayak Nasional Tahun 2011, pada tanggal 26 Mei 2011 di Palangkaraya.

Patittingi, Farida. Ulasan Hukum: Problematika Pengakuan Masyarakat Hukum Adat (Antara Regulasi dan Implementasi). http://www.eksepsi.com/2013/02/ulasan-hukum-problematika-pengakuan.html.

20 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 21

KAJIAN SPASIAL TINGKAT KERENTANAN AIR AKIBAT PERUBAHAN IKLIM

DI DAS KAMBANIRU, SUMBA TIMUR

Oleh: Eko Pujiono*

*Balai Penelitan Kehutanan Kupang, Email: [email protected]

ABSTRAK

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerentanan air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kambaniru, Sumba Timur sebagai akibat perubahan iklim. Penaksiran kerentanan (vulnerability) menggunakan konsep dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), dimana kerentanan merupakan fungsi dari: keterpaparan (exposure), sensitivitas (sensitivity) dan kapasitas adaptif (adaptive capacity). Tingkat kerentanan akan diukur dengan dua pendekatan: (1) pendekatan berbasis spasial dan (2) pendekatan dengan metode skoring. Pada pendekatan berbasis spasial, kriteria dan indikator yang didapatkan dari kajian terdahulu (perubahan kondisi DAS, permintaan air, ketergantungan terhadap lahan dan kualitas SDM) disajikan dalam bentuk spasial, kemudian diberikan skor dan bobot sesuai derajat kepentingannya dan terakhir dilakukan overlay terhadap semua kriteria dan indikator dengan bantuan software pemetaan. Sedangkan untuk pendekatan metode skoring tingkat kerentanan ditentukan berdasarkan hasil skoring terhadap aspek sosial, ekonomi, infrastruktur dan ekologi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan suhu rata-rata tahunan di sekitar DAS Kambaniru dari tahun 1973-2012 cenderung naik sebesar 0,4OC. Sebaliknya, curah hujan tahunan di sekitar DAS Kambaniru dari tahun 1973-2012 cenderung turun sebesar 30 mm. Terkait dengan kondisi jasa hutan air, debit air Sungai Kambaniru (sungai utama di DAS Kambaniru) sekitar 12 m3/detik dan kualitas airnya dikategorikan baik. Sayangnya data kuantitas dan kualitas air ini tidak tersedia secara time series, jadi secara kuantitatif, dampak perubahan iklim perubahan kuantitas dan kualitas air belum bisa diketahui. Berdasarkan pendekatan spasial, didapatkan bahwa sekitar 56% dari total wilayah DAS Kambaniru memiliki tingkat kerentanan tinggi, 34% diklasifikasikan ke tingkat kerentanan sedang dan 10% dikategorikan ke tingkat kerentanan rendah. Berdasarkan region DAS, bagian tengah dan hilir sebagian besar masuk kategori tingkat kerentanan tinggi, sedangkan bagian hulu memiliki tingkat kerentanan sedang. Hal ini sedikit berbeda dengan hasil pendekatan metode skoring, dimana tingkat kerentanan air pada DAS Kambaniru berada pada kategori sedang untuk wilayah hulu dan tengah dan masuk pada kategori tinggi pada region hilir. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan aspek, kriteria dan indikator yang digunakan pada masing-masing metode.

Kata kunci: kajian spasial,metode skoring, kerentanan, air, perubahan iklim, DAS I. PENDAHULUAN Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik dalam jangka waktu yang panjang, minimal 30 tahun (IPCC, 2001). Perubahan iklim ditandai dengan perubahan suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara

22 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

bertahap dalam jangka waktu puluhan tahun. Hal ini terjadi karena terganggunya keseimbangan bumi dan atmosfer akibat meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK). Sumber emisi GRK berasal dari pemakaian bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) dan alih fungsi lahan atau Land Use, Land Use Change and Forestry (LULUCF). LULUCF ini menyumbang 18% terhadap konsentrasi GRK di atmosfer dan perubahan iklim (Stern, 2007). Pada saat ini tingkat GRK di atmosfer setara dengan 430 parts per million (ppm) CO2, dibandingkan dengan hanya 280 ppm sebelum Revolusi Industri tahun 1750.

Adanya peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer menyebabkan dunia lebih panas 0,500C dan diperkirakan akan terus meningkat minimal 0,500C dalam beberapa puluh tahun ke depan (Ginoga, 2008). Lebih lanjut dikatakan bahwa selama 100 tahun terakhir (1906-2005) suhu permukaan bumi rata-rata telah naik sekitar 0.740C (IPCC, 2001). Bagaimana dengan bukti-bukti perubahan iklim di Indonesia dan di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)? Untuk lingkup Indonesia, Word Wide Fund (WWF) melaporkan bahwa temperatur tahunan di Indonesia meningkat sebesar 0,300C sejak tahun 1990. Sebuah skenario perubahan iklim memperkirakan bahwa temperatur akan meningkat antara 1,300C sampai dengan 4,600C pada tahun 2100 dengan trend sebesar 0,100C –0,400C per tahun. Untuk lingkup NTT, sebuah persamaan regresi yang diperoleh dari analisis data suhu udara, memprediksi bahwa suhu udara tahunan rata-rata cenderung naik sebesar 0,200C (Faqih, 2011).

Peningkatan suhu akan diikuti oleh peningkatan evapotranspirasi dan memberikan efek langsung siklus hidrologi global. Terganggunya keseimbangan siklus hidrologi akan berdampak nyata pada ketersediaan air (Gain, et al., 2012; Swandayani, 2010; The Energy and Resources Institute - TERI, 2009). Pengukuran tentang kerentanan air atau tingkat kemudahan/ kesulitan untuk mendapatkan air yang mencukupi secara kuantitas dan kualitas menjadi sangat penting untuk dilakukan dalam rangka pengelolaan sumberdaya air yang berkelanjutan. Sayangnya penelitian atau informasi tentang tingkat kerentanan sumberdaya air akibat perubahan iklim ini masih sangat terbatas. Beberapa penelitian terkait kerentanan air yang pernah dilakukan adalah: (1) Swandayani (2010), yang melakukan penelitian tentang kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung dengan menggunakan kriteria paparan indeks penggunaan air, (2) Rositasari, et al., (2011) melakukan penelitian kerentanan terhadap perubahan iklim di pesisir Cirebon dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh, (3) Effendi (2012), yang melakukan penelitian berbasis DAS tentang kajian tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Garang, Jawa Tengah dengan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG). Bagaimana dengan kajian kerentanan air di NTT? Penelitian mengenai penilaian kerentanan air akibat perubahan iklim di Provinsi NTT belum pernah dilakukan sebelumnya. Antara lokasi kajian-kajian terdahulu dengan lokasi di NTT banyak terdapat perbedaan baik dari segi kondisi iklim, sosial, ekonomi dan budaya. Berdasarkan atas pertimbangan perbedaan baik dari segi kondisi iklim, sosial, ekonomi dan budaya, antara lokasi kajian sebelumya dengan di NTT, maka perlu dilakukan kajian tentang kerentanan air di NTT.

Kajian ini bertujuan untuk menggambarkan tingkat kerentanan air akibat perubahan iklim. Tingkat kerentanan air akan dianalisa dengan pendekatan tata ruang (spasial) dan

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 23

dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial (metode skoring terhadap hasil wawancara). Hasil kajian ini diharapkan akan bermanfaat bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) untuk merumuskan perencanaan, menetapkan prioritas kegiatan yang terkait dengan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim maupun pengelolaan hutan dan sumberdaya air secara berkelanjutan.

II. Metodologi A. Lokasi Kajian ini dilakukan di DAS Kambaniru, Pulau Sumba. Beberapa alasan yang mendasari pemilihan lokasi: (1) DAS Kambaniru merupakan salah satu DAS Prioritas I yang ada di Provinsi NTT, selain DAS Benain, Noelmina dan Aesesa. (2) Di daerah hulu, terdapat kawasan Taman Nasional Laiwanggi Wanggameti yang merupakan catchment area utama di Pulau Sumba. B. Data Data baik berupa data spasial maupun data atribut dikumpulkan dari berbagai instansi terkait (Tabel 1) untuk menganalisa tingkat kerentanan air akibat perubahan iklim. Tabel 1. Data yang digunakan dalam penelitian

Data Waktu pengambilan data Sumber Data time series suhu rata-rata bulanan 1973 – 2012 BMKG Data time series curah hujan rata-rata bulanan 1973 – 2012 BMKG Data kebencanaan Kab. Sumba Timur 2011 – 2012 BPBD Data pokok sumber daya air Kab. Sumba Timur 2009 DPU Data lapangan optimalisasi pengelolaan DAS 2011 BPDAS

Peta curah hujan di NTT Peta penutupan lahan di NTT Peta lahan kritis di NTT Daerah Dalam Angka

1970 – 2012 2009 2006 2012

BPDAS

BPKH BPDAS BPS

Keterangan: BMKG : Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Stasiun Meteorologi Waingapu BPBD : Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sumba Timur DPU : Dinas Pekerjaan Umum Kab. Sumba Timur BPDAS : Balai Pengelolaan Wilayah Sungai Benain Noelmina, Kupang BPKH : Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wil XIV Kupang BPS : Badan Pusat Statistik

C. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan DAS sebagai unit analisis. Wilayah unit analisis DAS dibagi menjadi tiga region yakni hulu, tengah, dan hilir yang dibedakan berdasarkan tingkat kelerengan, fungsi kawasan dan kerapatan drainase (Asdak, 1995). Alasan digunakannya DAS sebagai unit analisis: (a) Pendekatan DAS lebih holistik dan dapat digunakan untuk

24 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

mengevaluasi hubungan antara faktor biofisik dan sosial ekonomi lebih cepat dan lebih mudah, (b) DAS mempunyai batas alam yang jelas di lapangan, (c) DAS mempunyai keterkaitan biogeofisik yang sangat kuat antara hulu dan hilir sehingga mampu menggambarkan perilaku air akibat perubahan karakteristik landskap, (d) adanya suatu outlet dimana air akan terakumulasi, sehingga aliran air dapat ditelusuri. D. Prosedur Penelitian 1. Pengamatan kecenderungan (trend) perubahan suhu udara dan curah hujan Perubahan pola maupun trend suhu dan curah hujan akan dijadikan indikator untuk menilai terjadinya kejadian iklim di lokasi kajian. Pola suhu udara dan curah hujan diamati berdasarkan karakeristik suhu udara tahunan rata-rata dan curah hujan tahunan untuk jangka waktu kurang lebih 30 tahun. Kecenderungan/tren perubahan suhu udara dan curah hujan rata-rata dianalisis dengan analisis statistisk (regresi) dengan mengacu kepada data time series.

2. Pengamatan kondisi sumberdaya air Terkait dengan kondisi sumberdaya air, dilakukan pengamatan terhadap kuantitas dan kualitas sumber daya air. Pada setiap desa sampel dilakukan pengukuran debit sesaat di sungai/ sumber air untuk mengetahui kuantitas air. Data terbaru tentang kualitas dan kuantitas air ini akan dibandingkan dengan data hasil pengukuran kualitas dan kuantitas air tahun-tahun sebelumnya (dimuat dalam laporan instansi terkait) untuk mengetahui sampai sejauh mana dampak perubahan iklim terhadap air. Data-data kondisi sumberdaya air ini juga akan dikaitkan dengan tutupan lahan hutan untuk mengetahui keterkaitan antara hutan dengan air. Kondisi sumberdaya air akan dianalisis secara deskriptif kuantitatif dan kualitatif dengan mengacu kepada hasil pengukuran lapangan dan hasil wawancara dengan masyarakat.

3. Penentuan tingkat kerentanan jasa hutan air terhadap perubahan iklim Penaksiran kerentanan (vulnerability) dalam penelitian ini akan memakai rumusan IPCC. Dinyatakan bahwa kerentanan merupakan fungsi dari tiga aspek: keterpaparan/ exposure, sensitivitas/sensitivity dan kapasitas adaptif/adaptive capacity (IPCC, 2001, persamaan 1).

Vulnerability = f (Exposure+Sensitivity-Adaptive Capacity) (1) Tingkat kerentanan akan diukur dengan dua pendekatan: (1) pendekatan berbasis

spasial (tata ruang), dimana kriteria dan indikator perubahan iklim disusun dalam bentuk spasial dengan bantuan SIG untuk mendapatkan peta kerentanan dan (2) pendekatan berbasis ilmu-ilmu sosial, dimana dilakukan observasi dan wawancara terkait aspek sosial, ekonomi, infrastruktur dan ekologi pengelolaan sumberdaya air, untuk kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif melalui metode scoring.

a. Pendekatan berbasis spasial Tahap I dalam pendekatan berbasis spasial adalah penentuan kriteria dan indikator kerantanan. Kriteria dan indikator paparan diperoleh dari beberapa referensi, terutama dari

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 25

Bappenas (2010) tentang Road map perubahan iklim Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup (2010) dan Effendi (2012) tentang kajian kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim berbasis DAS di Jawa Tengah. Kriteria dan indikator yang digunakan dalam pendekatan spasial disajikan pada Tabel 2. Kriteria dan indikator yang belum berupa data spasial (peta), dirubah dalam bentuk peta. Dalam kajian ini data peta dirubah dalam bentuk raster data (raster-based analysis). Tabel 2. Kriteria dan indikator kerentanan terhadap perubahan iklim

Elemen Kriteria Indikator Paparan (Exposure) Perubahan kondisi DAS 1. Curah hujan 2. Pola penggunaan lahan 3. Tingkat kekritisan lahan Kepekaan (Sensitivity) Permintaan air 1. Kepadatan penduduk 2. Akses terhadap sumberdaya air Ketergantungan terhadap

lahan 3. Presentase masyarakat yang

bergantung pada pertanian Kemampuan adaptasi (Adaptive capacity)

Kualitas SDM 1. Indeks pendidikan

2. Perilaku konservasi Sosial ekonomi

masyarakat Fasilitas kesehatan Daerah resapan air

1. Tingkat kesejahteraan masyarakat

2. Konflik 3. Dukungan pemerintah Fasilitas yang ada Presentase daerah resapan air

Sumber: Bappenas (2010), KLH (2010), Effendi (2012)

Tahap II, pemberian bobot dan skor (weighting and scoring) pada kriteria dan indikator yang telah ditetapkan. Pembobotan dilakukan berdasarkan studi literature, pendapat para ahli dan wawancara dengan masyarakat. Bobot dan skor diberikan berdasarkan derajat kepentingan kriteria dan indikator tersebut terhadap kerentanan air.

Tahap III, penentuan indeks kerentanan, yang dilakukan dengan mengurangi indeks paparan dan kepekaan dengan indeks kemampuan adaptasi. Tahap ini dibantu dengan bantuan tools raster calculator pada software ArcGIS 9.3. Hasil akhir ditampilkan dalam bentuk peta paparan, kepekaan, kapasitas adaptif, dan kerentanan.

b. Pendekatan dengan metode scoring Kegiatan dalam pendekatan ini diawali dengan pemilihan aspek, kriteria dan indikator yang didasarkan atas penelitian terdahulu (Prasetyo, 2011). Aspek kerentanan yang dianalisis meliputi aspek sosial, ekonomi, infrastruktur dan ekologi dengan melakukan pengembangan kriteria dan indikator. Pengembangan kriteria dan indikator untuk mengukur tingkat kerentanan diawali dengan studi literatur kemudian dilakukan cross cek dilapangan untuk memperoleh gambaran yang spesifik terhadap lokasi penelitian. Masing-masing kriteria

26 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

dan indikator diberikan nilai (skor) yang didasarkan atas pengaruhnya terhadap kerentanan air. Pemberian nilai didasarkan atas hasil studi terdahulu, pendapat para ahli dan wawancara dengan warga setempat.Total nilai pada setiap region dan atribut/indikator diklasifikasi menggunakan skala interval (SI) sebagai berikut :

SI = (m - n) / b (2)

Dimana : SI : skala interval m : total skor tertinggi/maksimum yang mungkin terjadi n : total skor terendah/minimum yang mungkin terjadi b : banyaknya kelas penilaian yang dibentuk

Hasil pengolahan nilai skor kemudian diinterpretasi ke dalam 3 tingkat kerentanan, yaitu: tinggi, sedang dan rendah. Tingkat kerentanan akan dijelaskan per region, berdasarkan hasil analisis keterpaparan (deskriptif kualitatif), tingkat sensitivitas (deskriptif kuantitatif) dan kapasitas adaptif (deskriptif kualitatif). Dari hasil penjelasan tingkat kerentanan pada setiap region maka akan didapatkan gambaran tingkat kerentanan di tingkat DAS. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kondisi DAS Kambaniru DAS Kambaniru memeiliki luas 140.469 ha, terletak di Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT (BPDAS Benain Noelmina, 2011). Tingkat kekritisan DAS Kambaniru termasuk dalam kategori “sangat kritis”. Kondisi kritis menggambarkan bahwa DAS tersebut berada pada kondisi ekosistem yang rentan dan tidak stabil, yang dicirikan oleh kritisnya sumberdaya hutan, lahan dan air sehingga perubahan sekecil apapapun yang terjadi pada satu komponen dapat berdampak besar terhadap komponen lain yang terkait.

Keadaan topografi DAS Kambaniru terdiri atas perbukitan dan dataran yang landai dengan ketinggian antara 0-1.185 meter dari permukaan laut. Topografi atau kemiringan lahan didominasi oleh kelas lereng agak curam (24% dari total wilayah DAS) dan curam (35% dari total wilayah DAS), sisanya adalah kelas sangat curam, landai dan datar. Kondisi kelerengan tersebut rawan terhadap terjadinya erosi, khususnya jika intensitas hujan tinggi dan penutupan vegetasinya rendah. Peluang meningkatnya erosi makin tinggi seiring dengan tekanan penduduk terhadap pemanfaatan lahan untuk pertanian, perkebunan dan areal penggembalaan. Perbandingan antara daerah perbukitan dan dataran yang tidak seimbang akan meningkatkan tekanan lahan dengan resiko kerusakan dan erosi yang tinggi (BPDAS Benain Noelmina, 2011).

Kabupaten Sumba Timur termasuk dalam tipe iklim F atau daerah iklim kering, hutan savana. Musim hujan sangat pendek (3-4 bulan), suhu rata-rata minimum 240C dan suhu rata-rata maksimum 280C. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari dan Maret sedangkan puncak kekeringan terjadi pada bulan Agustus dan September. Terdapat

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 27

perbedaan curah hujan yang terjadi di daerah hulu, tengah dan hilir, dimana untuk daerah hulu, hujan lebih sering terjadi daripada di daerah tengah dan hilir (BPDAS Benain Noelmina, 2011).

Sungai utama di DAS Kambaniru adalah sungai Kambaniru yang beraliran mantap dan airnya mengalir sepanjang tahun. Sungai ini melewati kurang lebih 20% wilayah Kabupaten Sumba Timur. DAS Kambaniru memiliki tipe sungai radial, bentuk DAS seperti kipas dan anak sungai terkonsentrasi pada suatu bentuk yang radial. Panjang sungai rata-rata 52 km, kemiringan sungai rata-rata 4%, lebar sungai rata-rata 45 m (BPDAS Benain Noelmina, 2011).

Sebagian besar wilayah DAS Kambaniru (sekitar 60%) didominasi oleh fungsi kawasan Areal Penggunaan Lain (APL)/bukan kawasan hutan. Sisanya sekitar 40%, terdiri atas Taman Nasional, Hutan Lindung dan Hutan Produksi (Tabel 3). Sementara untuk penutupan lahan, wilayah DAS Kambaniru didominasi oleh savana/padang rumput dan sebagian kecil lainnya berupa hutan primer, hutan sekunder, semak dan pertanian lahan kering.

Tabel 3. Penutupan lahan berdasarkan fungsi kawasan

Penutupan Lahan Fungsi Kawasan (ha)

Total APL HL HPK HPT HSAW

Semak belukar 4.886 376 153 106 5.520 Bandara 110 110 belukar rawa 2.301 2.301 Mangrove sekunder 158 158 Hutan primer 1.995 2.289 6.693 10.977 Hutan sekunder 210 1.377 70 913 2.569 Pemukiman 88 88 Pertanian lahan kering 1.215 735 1.950 Pertanian campuran 126 126 Savana 74.482 18.173 14.861 9055 116.571 Tanah terbuka 98 98

85.544 18.173 19.029 223 1.7501 140.469 Keterangan: APL: Areal Penggunaan Lain; HL: Hutan Lindung; HPK: Hutan Produksi Konversi; HPT: Hutan Produksi Terbatas; HSAW: Hutan Suaka Alam dan Wisata Sumber: BPDAS Benain Noelmina, 2011

B. Kecenderungan (trend) perubahan suhu udara dan curah hujan Dari tahun ke tahun selama periode 1973-2012, di lokasi sekitar DAS Kambaniru, suhu maksimum dan suhu minimum rata-rata bulanan memiliki pola yang hampir sama, dimana suhu maksimum terjadi pada musim hujan (awal) dan suhu minimum terjadi pada musim kemarau (puncak musim kemarau, Juli-Agustus). Dari hasil analisa trend, suhu rata-rata tahunan di Kabupaten Sumba Timur dari tahun 1973-2012 cenderung naik (Gambar 1a). Selama periode 40 tahun terjadi kenaikan suhu rata-rata sebesar 0,4OC. Hasil analisa trend

28 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

yang menunjukakn adanya kenaikan suhu rata-rata tahunan di DAS Kambaniru ini sejalan dengan hasil studi sebelumnya yang dilaksanakan Faqih (2011) yang menyatakan bahwa di wilayah Provinsi NTT, suhu rata-rata tahunan menunjukkan trend naik. Berdasarkan persamaan regresi yang didapatkan dan atas dasar basis waktu yang sama (1973-2010), suhu rata-rata tahunan di NTT cenderung naik sekitar 0,2OC (Faqih, 2011).

Pola curah hujan di lokasi penelitian dapat diklasifikasikan sebagai pola hujan monsoon, karena memiliki grafik berbentuk huruf “V”, dimana terjadi perbedaan yang jelas antara musim hujan dan musim kemarau. Musim kemarau yang ditandai dengan hujan minimum terjadi pada saat bulan Juni, Juli dan Agustus atau pada saat terjadinya angin monsoon timur, yaitu pada saat matahari berada di garis balik utara. Sebaliknya pada saat terjadinya angin monsoon barat (November-Januari), terjadi hujan yang berlimpah (Sipayung et al.). Lebih lanjut ditemukan bahwa hasil analisa trend menunjukkan terjadi kecenderungan penurunan curah hujan rata-rata tahunan sekitar 30 mm selama periode 40 tahun (Gambar 1b).

(a) (b) Gambar 1. (a) Trend perubahan suhu dan (b) trend curah hujan dari tahun 1973-2012

Lebih lanjut, para peneliti IPCC memperkirakan bahwa peningkatan suhu dan konsentrasi gas rumah kaca akan memberikan efek langsung siklus hidrologi global yang berdampak pada ketersediaan air (dampak perubahan iklim terhadap sumber daya air tingkat/orde pertama). Perubahan ini pada gilirannya akan menciptakan dampak/efek lain dengan tingkat yang lebih tinggi yang ditunjukkan pada Gambar 2.

y = 0.0128x + 1.0042 R² = 0.1717

25.80

26.00

26.20

26.40

26.60

26.80

27.00

27.20

27.40

27.60

1973 1983 1993 2003

Suhu

rata

-rat

a (o C

)

Tahun Suhu rata-rata Linear (Suhu rata-rata )

y = -0.7649x + 2395.9 R² = 0.0012

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1973 1983 1993 2003

CH ta

huna

n (m

m)

Tahun CH tahunan Linear (CH tahunan)

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 29

Gambar 2. Efek bertingkat perubahan iklim terhadap sumber daya air (dimodifikasi dari Gain, et al., 2012)

C. Kondisi Sumberdaya Air Untuk mengetahui keterkaitan antara perubahan suhu udara dan perubahan curah hujan dengan ketersediaan sumber daya air diperlukan data dan informasi tentang kuantitas air menurut waktu (time series). Untuk memenuhi indikator kuantitas air diperlukan perhitungan debit air. Dari hasil pengumpulan data, data debit air time series tidak tersedia. Data debit air yang bisa didapatkan adalah data sekunder hasil pengukuran dari dinas terkait (Dinas Kimpraswil Kabupaten Sumba Timur tahun 2007) serta data primer-hasil pengukuran langsung di lapangan (pengukuran tahun 2012).

Tabel 4 menyajikan debit aliran dasar maksimum dan minimum di DAS Kambaniru pada tahun 2007. Dari data debit aliran dasar (base flow) terlihat bahwa perbandingan antara debit maksimum dan minimum masih kecil artinya perubahan simpanan air dalam satu tahun pada musim kemarau dan musim hujan tidak besar (BP DAS Benain Noelmina, 2011).

BP DAS Benain Noelmina (2011) menyatakan bahwa salah satu indikator untuk menilai debit air sungai adalah nilai parameter Koefisien Regim Sungai (KRS). KRS merupakan perbandingan antara debit maksimum dan debit minimum, semakin besar nilainya, debit air sungai diklasifikasikan jelek. Dari tabel 4, nilai KRS yang didapatkan sekitar 3. Lebih lanjut, assessment yang dilakukan oleh BP DAS menunjukkan bahwa nilai KRS pada DAS Kambaniru berkisar antara 14-40, yang diklasifikasikan baik (< 50 baik, 50-120 sedang, >120 jelek). Secara tidak langsung kondisi ini menunjukkan bahwa daya resap lahan di DAS Kambaniru cukup baik untuk menyimpan air hujan yang jatuh sehingga ketersediaan air di DAS saat musim kemarau cukup (BP DAS Benain Noelmina, 2011).

Tabel 4. Debit aliran dasar (base flow) maksimum dan minimum DAS Kambaniru

Nama Sungai

Luas DAS

(km2)

Panjang Sungai rata-rata (km)

Kemiringan sungai

rata-rata (%)

Lebar sungai rata-rata (m)

Curah hujan rata-rata

(mm)

Base flow (m3/detik)

KRS Max Min

Kambaniru 140.469 52 4 45 873 12 4,60 2,61 Sumber : Dinas Kimpraswil Kab. Sumba Timur 2007 dalam BPDAS Benain Noelmina 2011

Peningkatan suhu udara; perubahan evapotranspirasi; presipitasi; aliran permukaan; peningkatan permukaan laut

Penurunan ketersediaan air; peningkatan kejadian banjir dan kekeringan; dampak pada pertanian, kelautan dan komposisi hutan; perubahan penggunaan lahan; dampak pada kemampuan air sebagai sumber tenaga (hydropower)

Ketidakstabilan harga pangan; peningkatan bibit penyakit; peningkatan tarif listrik; ketidakseimbangan perdagangan; permasalahan perumahan

Tingkat pertama Tingkat kedua Tingkat ketiga

Migrasi; pengangguran; perkembangan ekonomi; keamanan nasional

Tingkat keempat

30 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Sebagai pembanding, Tabel 5 menyajikan hasil pengukuran debit sesaat pada beberapa lokasi sampling yang dilakukan pada tahun 2012. Pengukuran debit sesaat di lapangan dilakukan pada saat musim kemarau, yaitu bulan Mei (region hulu) dan bulan September (region tengah dan hilir). Tabel 5. Debit Sesaat di DAS Kambaniru yang diukur pada bulan Mei 2012

Region Nama Sungai/Desa Debit (m3/detik)

Hulu Sungai Tibolaha - Ds. Praingkareha 0,73 Sungai La Awu- Ds. Billa 0,19 Sungai Waikanabu 0,96 Tengah Sungai Maidang 2,67 Sungai Kiritana 3,23 Hilir Kambaniru 11,90 Sumber : Pengolahan Data Primer

Penelitian ini belum bisa menjawab keterkaitan kecenderungan perubahan suhu dan

curah hujan terhadap hasil air karena tidak tersedianya data debit air dan data kualitas air secara time series. Untuk mengetahui tingkat ketersediaan air dan kualitas air, dilakukan wawancara mendalam terhadap beberapa warga masyarakat. Hasil wawancara terhadap 78 orang responden yang tersebar di 9 desa yang terpilih sebagai desa sampel menyebutkan bahwa sumber daya air di sekitar mereka secara kuantitas dan kualitas masih bisa mencukupi dan layak konsumsi untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian di sepanjang tahun baik musim penghujan atau musim kemarau. D. Kerentanan jasa hutan air terhadap perubahan iklim 1. Pendekatan spasial Pemetaan paparan merupakan hasil tumpang tindih (overlay) peta curah hujan, peta penutupan lahan dan peta tingkat kekritisan lahan di wilayah DAS Kambaniru. Dari hasil kajian spasial, didapatkan bahwa daerah hulu memiliki tingkat keterpaparan paling rendah dibandingkan daerah tengah hilir DAS (Gambar 3a). Penutupan lahan berupa hutan di region hilir menjadikan region ini memiliki indeks exposure terendah.

Pemetaan kepekaan (sensitivitas) masyarakat terhadap perubahan iklim dipengaruhi oleh tingkat permintaan air (direpresantasikan secara spasial dengan tingkat kepadatan penduduk dan akses terhadap air bersih) dan ketergantungan masyarakat terhadap lahan. Tingginya kepadatan penduduk di daerah hilir berimbas kepada tingginya permintaan air dan menjadikan region ini memiliki indek sensitivitas lebih tinggi daripada daerah hulu dan tengah (Gambar 3b).

Terkait dengan kemampuan adaptif, daerah hilir memiliki indeks tertinggi, diikuti daerah tengah dan hulu (Gambar 3c). Sebagaimana diuraikan di metodologi bahwa, kriteria dan indikator yang digunakan untuk menilai kemampuan adaptif adalah: kualitas SDM

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 31

(indeks pendidikan, perilaku konservasi); sosek masyarakat (tingkat kesejahteraan masyarakat, konflik dan dukungan pemerintah), fasilitas kesehatan dan daerah resapan air.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 3. Peta tingkat kerentanan air terhadap perubahan iklim

32 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Tingkat pendidikan yang relatif lebih tinggi pada masyarakat di daerah hilir jika dibanding dengan daerah hulu dan tengah menjadikan region hilir memiliki indeks kemampuan adaptif tertinggi, diikuti region tengah dan hulu.

Kombinasi dari ketiga parameter tersebut menghasilkan peta kerentanan air, dimana indeks kerentanan daerah hilir lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah tengah dan hulu (Gambar 3d). Dari hasil analisis didapatkan bahwa sekitar 56% dari total wilayah DAS Kambaniru memiliki tingkat kerentanan tinggi, 34% diklasifikasikan ke tingkat kerentanan sedang dan 10% dikategorikan ke tingkat kerentanan rendah. Distribusi luasan daerah berdasarkan tingkat kerentanan pada masing-masing region disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Distribusi luasan daerah kerentanan pada masing-masing region

Tingkat kerentanan Region DAS (ha) Total luas

Kerentanan (ha) Hulu Tengah Hilir Rendah 13.237,46 511,19 121,76 13.870,40 Sedang 40.502,87 7.237,52 367,55 48.107,93 Tinggi 26.406,98 25.193,42 26.890,28 78.490,67 Total luas region (ha) 80.147,30 32.942,12 27.379,58 140.469.00 Sumber: Pengolahan data primer

Sampai sejauh mana tingkat akurasi dan presisi peta kerentanan di atas? Untuk

menjawab pertanyaan tersebut, perlu dilakukan penilaian akurasi (accuracy assessment). Idealnya, accuracy assessment dilakukan dengan meng-overlay peta kerentanan dengan peta dengan tema serupa, misalnya peta bencana. Asumsi yang dibangun, jika suatu daerah memiliki tingkat kerentanan yang tinggi berarti daerah tersebut sering dilanda bencana. Karena tidak terdapat peta bencana, maka dilakukan pendekatan dengan menganalisa jumlah kejadian dan lokasi terjadinya bencana. Terkait dengan kejadian bencana, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sumba Timur mencatat bahwa antara Januari 2011 sampai Maret 2012 terdapat 67 kasus bencana. Dari beberapa bencana, banjir merupakan kejadian bencana yang mendominasi (44%). Banjir pada umumnya terjadi di daerah hilir DAS. Pada peta kerentanan, hilir DAS merupakan daerah dengan tingkat kerentanan yang tinggi, jadi terdapat kesesuaian antara peta kerentanan dan kejadian bencana di lokasi kajian.

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 33

Gambar 4. Persentase kejadian bencana di lokasi studi

Berdasarkan review terhadap 45 publikasi ilmiah yang terbit di jurnal terkait dengan peta kerentanan, Preston et al., (2012), mengidentifikasi bahwa kelebihan pemetaan kerentanan adalah dalam hal mampu menampilkannya informasi spasial sedangkan kekurangannya adalah kebanyakan data spasial berasal dari data sekunder. Lebih lanjut dikatakan dari 45 paper tersebut, hanya sekitar 9% yang menggunakan data primer, sehingga tingkat kepercayaanya masih diragukan. Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan tersebut, pemetaan kerentanan tetap merupakan cost-effective tools (Harter and Walker, 2001) yang bermanfaat untuk keperluan perencanaan tata ruang atau penyusunan rencana adaptasi terhadap perubahan iklim.

2. Pendekatan metode scoring Tabel 7 memperlihatkan bahwa secara umum DAS Kambaniru berada pada tingkat kerentanan dengan kategori sedang. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi lapangan, region hulu dan tengah DAS Kambaniru memiliki tingkat kerentanannya sedang dan region hilir memiliki tingkat kerentanan yang tinggi.

Tabel 7. Skor kriteria dan indikator tingkat kerentanan masyarakat dalam pemanfaatan jasa hutan air di DAS

Aspek Kriteria Hulu Tengah Hilir Total Aspek Kategori

Sosial tingkat pendidikan 3 3 4 10 sedang Akses 3 2 2 7 rendah kelembagaan 3 3 5 11 tinggi

Ekonomi Sumber pendapatan 5 5 4 14 tinggi Mata pencaharian 5 5 5 15 tinggi

Infrastruktur Bangunan hidrologi 2 2 2 6 rendah Pola pemukiman di garis sungai 3 3 3 9 sedang

Ekologi Tutupan hutan 3 4 5 12 tinggi Bantaran sungai 1 2 3 6 rendah

Total Region 28 29 33 Kategori Sedang Sedang Tinggi Sumber: Diolah dari data primer

ANGIN 21%

BANJIR 44% TANAH

LONGSOR 6%

KEKERINGAN 3%

HAMA 2%

KEBAKARAN 24%

34 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Aspek utama yang menjadi faktor tingginya tingkat kerentanan di region hilir adalah aspek ekologi yaitu pada tutupan hutan dan aspek infrastruktur berupa banyaknya pemukiman di garis sungai. Region yang tingkat kerentanannya paling rendah (tingkat kapasitas adaptifnya tinggi) berada di region hulu. Aspek yang menjadi faktor penguat kapasitas adaptif masyarakat antara lain aspek sosial yaitu kelembagaan, aspek infrastruktur berupa bangunan hidrologi yang memadai dan minimnya permukiman yang berada di garis sungai, serta aspek ekologi yaitu sedikit sekali porsi bantaran sungai yang labil.

IV. PENUTUP Berdasarkan hasil kajian dapat disimpulkan bahwa: 1. Di sekitar DAS Kambaniru telah terjadi kenaikan suhu tahunan rata-rata dan penurunan

rata-rata curah hujan tahunan selama 40 tahun terakhir (1973-2012). 2. Berdasarkan region DAS, bagian tengah dan hilir sebagian besar masuk kategori tingkat

kerentanan tinggi, sedangkan bagian hulu memiliki tingkat kerentanan sedang. Hal ini sedikit berbeda dengan hasil pendekatan metode skoring, dimana tingkat kerentanan air pada DAS Kambaniru berada pada kategori sedang untuk wilayah hulu dan tengah dan masuk pada kategori tinggi pada region hilir. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan aspek, kriteria dan indikator yang digunakan pada masing-masing metode.

DAFTAR PUSTAKA Asdak, C. 1997. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University

Press. Yogyakarta.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS, 2010). Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR): Sektor Sumber Daya Air. Bappenas. Jakarta.

Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Benain Noelmina. 2011. Buku II Data Lapangan: Optimalisasi Pengelolaan DAS dalam rangka Pemberdayaan Masyarakat DAS Kambaneru. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina. Kupang.

BPS. 2011. Kabupaten Sumba Timur dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumba Timur.

Effendi, M., 2012. Kajian Tingkat Kerentanan Masyarakat terhadap Perubahan Iklim dan Strategi Adaptasi berbasis DAS (Studi Kasus: Sub Das Garang Hulu). Tesis Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Diponegoro. Semarang

Faqih, A., 2011. Kajian Ilmiah Perubahan Iklim dan Hubungannya dengan Kejadian Iklim Ekstrim di Indonesia. Simposium Penelitian Perubahan Iklim dan Launching IPCC Indonesia. IPB International Convention Center-Bogor.

Gain A.K., C. Giupponi and F.G. Renaud, 2012. Climate Change Adaptation and Vulnerability Assessment of Water Resources Systems in Developing Countries: A Generalized Framework and a Feasibility Study in Bangladesh. Water 2012, 4(2), 345-366; doi:10.3390/w4020345.

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 35

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 2001. Climate Change 2001: Impacts, Adaptation Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Geneva: UNEP/WMO.

IPCC. 2007. Summary for Policy Makers. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation And Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assesment Report of the Intergovernmental Panel of Climate Change (IPCC). In Parry, M.L. Canziani, O.F., Palukof, J.P., van der Linden, P.J., and Hanson, C.E. (eds). Cambridge University, UK.

Harter, T., L.G. Walker., 2001. Assessing Vulnerability of Ground water. University of Carolina & Caroline Department of Health Science. USA-Davis.

Kementerian Lingkungan Hidup RI (KLH), 2010, Kajian Resiko dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kerjasama antara Kementerian Lingkungan Hidup RI, Kerjasama antara RI dengan Republik Federal Jerman, GTZ, WWF dan Pemda NTB. Mataram. NTB.

Prasetyo B.D, 2012. Identifikasi Tingkat Kerentanan Jasa hutan Air akibat Perubahan Iklim dan Cuaca Ekstrim di DAS Noelmina. Laporan Penelitian BPK Kupang. Kupang

Preston, B.L., E. J.Yuen, R.M.Westaway, 2011. Putting vulnerability to climate change on the map: a review of approaches, benefits and risks. Sustainability Science. Springer. DOI 10.1007/s11625-011-0129-1

Rositasari R, Wahyu B, Indarto HS, Hasanuddin, Bayu P., 2011. Kajian dan Prediksi Kerentanan Pesisir Terhadap Perubahan Iklim: Studi Kasus di Pesisir Cirebon. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.3, No.2, Hal. 52-64.

Sipayung, B.S., L.Q. Avia, B.D. Dasanto dan Sutikno. Analisis Pola Curah Hujan Indonesia Berbasis Luaran Model Sirkulasi Global (GCM). Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim. Jakarta.

Stern, 2007. The Economics of Climate Change: The Stern Review. Cambridge University Press. UK

Swandayani, T.H., 2010. Pemetaan Kerentanan Masyarakat terhadap Perubahan Iklim dan Adaptasi Berbasis Ekosistem Hutan (Studi Kasus DAS Ciliwung). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.

The Energy and Resources Institute(TERI), 2009. Climate Change and Water Vulnerability: Strategies and Practices for Emerging Water Management and Governance Challenges-Executive Summary. The Energy and Resources Institute (TERI) in collaboration with Yale University to be released during the 15th Conference of Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), 7–18 December 2009, Copenhagen, Denmark.

United Nation Frameworks Convention on Climate Change (UNFCCC). 2007. Impact, Vulnerabilities and Adaptation on Developing Countries. United Nation Frameworks Convention on Climate Change. Bonn. Germany.

36 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 37

KESESUAIAN LAHAN UNTUK MENDUKUNG TATA RUANG PENGEMBANGAN CENDANA DI PULAU SUMBA

Oleh : Hery Kurniawan* dan Sumardi**

*Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Email: [email protected] **Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Email: [email protected]

ABSTRAK

Cendana (Santalum album L.) merupakan tanaman asli Nusa Tenggara Timur (NTT) yang bukan hanya memiliki nilai ekonomi yang tinggi, namun juga menjadi citra pemersatu masyarakat dan kearifan budaya di NTT. Keberadaan jenis tanaman ini sudah hampir punah karena adanya eksploitasi tidak terkontrol, maka perlu dilakukan upaya konservasi dan pengembangan budidaya. Upaya pengembangan budidaya memerlukan dukungan data dan informasi target lokasi lahan yang potensial untuk menunjang keberhasilannya. Penelitian ini bertujuan untuk mencari target lokasi lahan potensial untuk pengembangan cendana melalui eksplorasi habitat cendana dengan menghasilkan peta digital lahan potensial pengembangan cendana. Penelitian menggunakan metode deskriptif kuantitatif melalui survei lapangan secara langsung. Sampling ditentukan secara purposive berdasarkan variasi jenis tanah dan tutupan lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luasan lahan potensial untuk pengembangan cendana di Pulau Sumba adalah untuk kelas kesesuaian I adalah paling banyak dengan luasan 781.285,2 ha, diikuti oleh kelas kesesuaian II dengan luasan 75.907,71 ha dan paling kecil adalah kelas kesesuaian lahan IV dengan luasan 4.995,41 ha.

I. LATAR BELAKANG Populasi cendana di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terus mengalami penurunan sebagai akibat dari sistem pengelolaan yang salah, tingginya pencurian, gangguan kebakaran dan ternak serta kurangnya kegiatan pelestarian dan penanaman baik di lahan masyarakat maupun kawasan hutan. Oleh karena itu, upaya konservasi dan pengembangan budidaya cendana perlu segera dilakukan untuk memulihkan kembali masa kejayaan cendana di Provinsi NTT pada masa yang akan datang.

International Union for Conservation of Natural Forest (IUCN), sejak tahun 1997 sudah memasukkan cendana (Santalum album Linn.) ke dalam jenis yang hampir punah (vulnerable). Bahkan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) telah memasukkan cendana dalam jenis Appendix II (World Wide Fund for Nature (WWF) - Indonesia dalam anonim 2010b). Upaya pengembangan budidaya dan pemulihan cendana di NTT mulai dilakukan secara sistematis dan terencana dengan telah dirumuskannya “Master Plan dan Rencana Aksi Pengembangan dan Pelestarian Cendana di Provinsi NTT“. Dengan adanya master plan tersebut diharapkan pengembangan dan pemulihan cendana di NTT segera dapat terwujud.

Untuk mendukung perencanaan pengembangan budidaya cendana di NTT tersebut, perlu dilakukan langkah dan upaya untuk meminimalkan kemungkinan kegagalan

38 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

penanaman di lapangan. Salah satu faktor yang berperan dalam menunjang keberhasilan pengembangan budidaya cendana di lapangan adalah target lokasi pengembangan yang tepat, yaitu lokasi yang memiliki lahan potensial untuk pengembangan dan budidaya cendana. Data dan informasi mengenai distribusi luasan dan lokasi yang memiliki lahan potensial untuk pengembangan budidaya cendana yang di tuangkan dalam bentuk peta digital akan menunjang keberhasilan pengembangan budidaya cendana di NTT. Dengan demikian target lokasi perencanaan pengembangan budidaya cendana akan lebih terarah dan terencana. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat dan memanfaatkan data dan informasi peta digital lahan optimal untuk budidaya cendana guna perencanaan pengembangan budidaya cendana di Kabupaten Sumba Timur.

II. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Sumba Timur Provinsi NTT, pengambilan data lapangan dilaksanakan pada bulan Mei tahun 2013, sedangkan analisis laboratorium untuk tanah dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Fisika Tanah Universitas Nusa Cendana (Undana).

A. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kuantitatif melalui survei lapangan secara langsung. Sampling ditentukan secara purposive berdasarkan kepentingan yang terkait dengan budidaya cendana dan sejarah penggunaan lahan di masa lampau

Lahan

Analisis kimia dan fisika tanah.

Analisis dan kompilasi data biofisik lahan.

Data dan informasi hasil analisis kimia dan fisika

tanah.

Data dan informasi kondisi biofisik lahan.

Peta digital lahan potensial budidaya cendana untuk perencanaan pengembangan budidaya

cendana

Optimalisasi pemanfaatan peta digital lahan potensial budidaya cendana dalam perencanaan pengembangan budidaya cendana

Strategi dan perencanaan yang matang dengan target lokasi pengembangan budidaya cendana yang lebih terarah

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 39

B. Analisis Data 1. Analisis Kimia dan Fisika Tanah Analisis kimia dan fisika tanah dimaksudkan untuk mengetahui sifat kimia dan fisika tanah. Dari data analisis tersebut akan di hubungkan dengan persyaratan tumbuh dan kesesuaian lahan untuk budidaya cendana. Analisis kimia dan fisika tanah untuk mengetahui lahan paling optimal untuk pengembangan budidaya cendana, meliputi kondisi pH tanah, kandungan N (Nitrogen) total, C-organik dalam tanah, kandungan P2O5 dalam tanah, BO, dan tekstur tanah.

2. Analisis Overlay Kondisi Biofisik Lahan Analisis dan overlay data kondisi biofisik lahan di maksudkan untuk mendapatkan peta digital lokasi dengan lahan yang optimal untuk pengembangan budidaya cendana. Data-data kondisi biofisik digunakan untuk melakukan overlay antara satu parameter dengan parameter yang lain, sehingga didapatkan peta digital lahan optimal untuk pengembangan budidaya cendana dengan memanfaatkan data-data kondisi biofisik yang ada. Data kondisi biofisik yang di gunakan antara lain data kelerengan, tutupan dan penggunaan lahan dan jenis tanah.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Pulau Sumba Berdasarkan posisi geografis maka kondisi Pulau Sumba merupakan daerah yang berbukit–bukit dengan rata–rata kemiringan 40-50 persen luas wilayah memiliki kemiringan 140-400. Pada bagian Utara merupakan daerah yang datar dan berbatu – batu serta kurang subur, sedangkan bagian Selatan merupakan daerah yang berbukit–bukit terjal. Pada lereng-lereng bukit tersebut merupakan lahan yang cukup subur. Topografi yang berbukit-bukit mengakibatkan tanah rentan terhadap erosi (anonim, 2009).

Seperti halnya di tempat lain di Indonesia dan Provinsi NTT hanya dikenal 2 musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada bulan Juni sampai dengan September arus angin berasal dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air, sehingga mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya, pada bulan Desember sampai dengan Maret arus angin banyak mengandung uap air yang berasal dari Asia dan Samudera Pasifik, sehingga terjadi musim hujan. Keadaan seperti ini berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April-Mei dan Oktober-Nopember (anonim, 2009).

40 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

B. Karakteristik Cendana Klasifikasi cendana menurut Homes dalam Hani’in (2001) adalah sebagai berikut: Divisio : Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae Klas : Dicotylodonae Sub Classis : Rosidae Ordo : Santales Famili : Santalaceae Genus : Santalum Spesies : Santalum album Linn

Di dunia, genus Santalum terdapat pada kisaran kondisi tempat tumbuh yang lebar yaitu pada ketinggian 0-1.800 mdpl, curah hujan 500-3.000, suhu 0-40°C, pada berbagai tipe tanah. Sebaran alami (geografis) pohon cendana yang dikenal sebagai S. album Linn terdapat di Kepulauan Provinsi NTT, Maluku, Timor Timur, dan Jawa Timur. Kharisma (1994) menyebutkan bahwa sebaran alami cendana selain di Jawa terdapat di Kepulauan Flores, Solor, Alor, Pantar, Lomblen, Sumba, Rote, Timor, dan Wetar.

Beberapa referensi menyebutkan bahwa Pulau Timor, Sumba dan kawasan NTT pada umumnya merupakan pusat penyebaran alami cendana di dunia sehingga kondisi ekologi telah terbukti sangat mendukung bagi pertumbuhan cendana. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, habitat alami cendana banyak terdapat secara sporadic tumbuh di 9 kabupaten yaitu Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU), Belu, Sumba Barat, Sumba Timur, Manggarai, Alor dan Solor (anonim, 2010).

Tanaman inang disarankan karena perannya sebagai sumber Ca dan Fe (Sreenivasan Rao, 1933); N dan P (Iyengar, 1960); K, P dan Mg (Rangaswamy, Jain dan Parthasarathi, 1986); K, Ca, Mg, Fe, Cu dan Zn (Ramaiah, Parthasarathi dan Rao, 1962). Variasi dalam distribusi nutrisi pada tunas dan daun Santalum spicatum diduga merupakan cerminan dari kontribusi inang yang berbeda (Barret, Wijesuriya dan Fox, 1985).

Daun secara umum memiliki konsentrasi mineral yang paling tinggi, kemudian diikuti oleh akar dan batang. Dibandingkan dengan tanaman yang dipupuk dengan baik, perlakuan tanpa N menghasilkan konsentrasi Ca lebih rendah, khususnya pada batang; konsentrasi Mg lebih rendah khususnya pada akar; konsentrasi P dan Cl lebih tinggi terutama pada daun, dan konsentrasi S yang lebih besar pada daun namun lebih kecil pada akar. Pada perlakuan tanpa K, konsentrasi Ca dan Na meningkat; Ca khususnya pada akar dan Na pada selain akar. Pada perlakuan tanpa P, konsentrasi K dan Ca menjadi lebih rendah khususnya pada daun; NO3- lebih rendah pada daun namun lebih tinggi pada akar dan batang. Pada perlakuan tanpa S, konsentrasi N lebih tinggi terutama pada akar dan batnag, dan konsentrasi Cl lebih tinggi pada seluruh bagian. Pana tanaman dengan perlakuan tanpa Ca, P dan K lebih tinggi daripada tanaman dengan perlakuan pemupukan menggunakan seluruh nutrisi (Barret & Fox,1996).

Rasio K/Ca untuk daun semai S. album dan daun S. spicatum yang telah dewasa adalah sama. Tingginya rasio ini pada S. spicatum menandakan kecenderungan serapan

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 41

nutrisi K daripada Ca yang berasal dari tanaman inang, hal ini adalah umum untuk tanaman angiosperm yang bersifat parasit (Struthers et al., 1986). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio ini sudah ada sebelum terjadinya penempelan dengan inang dan mungkin merupakan sifat cendana apakah menempel atau tidak pada inang (Barret and Fox,1996).

Kekurangan nutrisi N, K dan P, pertumbuhan dapat bertahan hingga sekitar tiga bulan, namun semai yang kekurangan Ca atau S dapat melangsungkan pertumbuhannya secara mandiri lebih lama lagi. Hal sebaliknya, S. spicatum pada eksperimen dengan metode nutrisi hidroponik tanpa Ca mengalami kematian dalam jangka tiga minggu (Struthers et al., 1986).

Hasil penelitian oleh Barret dan Fox (1996), mengindikasikan bahwa konsentrasi yang tinggi dari K dan K/Ca rasio terjadi pada tahap pre-parasit semai Santalum album. Sementara pada tahap berikutnya, S. album akan mengambil N, P dan K dari inangnya, setidaknya selama 3 bulan mineral-mineral dapat dipenuhi dari perakarannya. Kekurangan suplai nutrisi berpengaruh secara nyata terhadap morfologi, kandungan dan konsentrasi mineral. Beberapa diantaranya diduga membatasi secara langsung bagi terbentuknya hubungan dengan tanaman inang dan menghalangi proses parasitisme dan kemampuan hidupnya (Barret and Fox, 1996).

C. Indikator dan Pengukur Penentuan indikator dan pengukur yang digunakan menggunakan pendekaan teori umum tentang kesuburan lahan serta berdasarkan hasil penelitian sebelumnya tentang cendana. Indikator dan pengukur yang digunakan terdiri dari dua Indikator, dengan indikator I menggunakan tiga pengukur (kandungan N, P2O5 dan K/Ca ratio) dan indikator II menggunakan dua pengukur (Kandungan bahan organik dan tekstur tanah). Dengan masih sedikitnya jumlah indikator dan pengukur, maka perbandingan terhadap indikator dan kriteria dalam rangka pembobotan dapat ditetapkan secara langsung, tanpa melalui suatu proses analisis hierarkis.

Selanjutnya pembobotan dilakukan pada masing-masing indikator dan pengukur terpilih, untuk mendapatkan skor akhir guna penetapan kelas kesesuaian lahan. Pembobotan didasarkan pada perbandingan berpasangan.

Tabel 1. Indikator dan pengukur

No Indikator Pengukur

I Sifat Kimia a. Kandungan N b. Kandungan P2O5 c. K/Ca ratio

II Sifat Fisik a. Kandungan Bahan Organik b. Tekstur Tanah

D. Distribusi Luasan Lahan menurut Kelas Kesesuaian Berdasarkan analisis laboratorium dan indikator serta pengukur yang digunakan, maka dapat disajikan hasil berupa luasan lahan potensial untuk pengembangan cendana sebagai berikut:

42 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Tabel 2. Distribusi Luas lahan potensial untuk pengembangan cendana berdasarkan kelas kesesuaian di Pulau Sumba

Kabupaten Sesuai I

(ha) Sesuai II

(ha) Sesuai IV

(ha) Total (ha)

Kab. Sumba Timur 473573.1 68606.18 1492.32 543671.6 Kab. Sumba Barat 60454.14 3552.87 3080.91 67087.92 Kab. Sumba Barat Daya 125387 1699.65 422.18 127508.8 Kab. Sumba Tengah 121871 2049.01 - 123920 Grand Total 781285.2 75907.71 4995.41 862188.4

Keterangan : Skor sesuai IV : 0-<10; sesuai III : 10-<20; sesuai II : 20-<30; sesuai I : 30-<40

Berdasarkan Tabel 2 di atas, dapat diketahui bahwa Kabupaten dengan luasan lahan untuk kelas kesesuaian I berturut turut dari yang paling besar adalah Kabupaten Sumba Timur dengan luasan 473573.1 ha, Kabupaten Sumba Barat Daya 125387 ha, Kabupaten Sumba Tengah 121871 ha, dan Kabupaten Sumba Barat 60454.14 ha. Selanjutnya distribusi luas kesesuaian lahannya pada tiap Kabupaten di Pulau Sumba dapat dilihat pada Tabel 2 di atas. Secara keseluruhan jumlah lahan untuk kelas kesesuaian I adalah paling banyak dengan luasan 781285.2 ha, diikuti oleh kelas kesesuaian II dengan luasan 75907.71 ha dan paling kecil adalah kelas kesesuaian lahan IV dengan luasan 4995.41 ha.

Gambar 3. Persentase distribusi luas lahan berdasarkan kelas kesesuaian

Kondisi demikian setidaknya menunjukkan bahwa hipotesis yang mengatakan bahwa Pulau Sumba merupakan daerah yang sesuai untuk budidaya cendana dapat diterima. Hanya saja kajian mendalam mengenai variasi lahan yang dikaitkan dengan kesesuaian untuk budidaya cendana tetap perlu dilakukan, terkait dengan efisiensi dan skala prioritas dalam pelaksanaan kegiatan ataupun program-program pengembangan cendana di Pulau Sumba.

Pada tingkat analisis berdasarkan indikator dan pengukur terpilih, untuk Pulau Sumba tidak terdapat kelas kesesuaian III. Kelas kesesuaian I merupakan kelas sesuai dengan jumlah skor 30 - <40, kelas kesesuaian II merupakan kelas sesuai dengan jumlah skor 20 - <30, kelas kesesuaian III merupakan kelas sesuai dengan jumlah skor 10 - <20, kelas kesesuaian IV merupakan kelas sesuai dengan jumlah skor 0 - <10. Skor merupakan jumlah skor dari seluruh pengukur tiap indikator dengan pemberian bobot secara langsung.

Sesuai I, 90.6165

4%

Sesuai II, 8.80%

Sesuai IV,

0.58%

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 43

Persentase distribusi luas lahan berdasarkan kelas kesesuaian dan Kabupaten secara terpisah dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5.

Gambar 4. Persentase distribusi luas lahan pada tiap kabupaten

Beberapa lokasi yang masuk dalam kelas sesuai I (tertinggi) secara administratif

meliputi 219 desa di seluruh Pulau Sumba. Untuk kelas kesesuaian II terdapat 83 desa yang masuk di dalamnya, sedangkan untuk kelas kesesuaian IV meliputi 20 desa. Hasil perhitungan pada tiap kecamatan dan desa secara lengkap disajikan pada Lampiran 3. Pada gambar 5 dapat dilihat secara lebih jelas distribusi luasan lahan potensial untuk pengembangan cendana, berdasarkan kelas kesesuaian lahan pada empat kabupaten.

Gambar 5. Distribusi kelas kesesuaian lahan untuk pengembangan cendana di Pulau Sumba

E. Pengembangan Cendana Berdasarkan Kesesuaian Lahan Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan di atas, diketahui dalam Tabel 2, untuk

kelas kesesuaian I dan II jumlahnya 857.192,9 ha. Dengan asumsi apabila hanya dua kelas kesesuaian ini yang digunakan untuk pengembangan cendana, dengan jarak tanam 4x4 m (625 bibit per hektar) maka jumlah bibit yang dibutuhkan adalah 535,7 juta. Apabila diasumsikan hanya kelas kesesuaian I (paling sesuai) yang digunakan maka jumlah bibit yang dapat ditanam sebagai kegiatan pengembangan cendana adalah 488 juta. Jumlah ini merupakan jumlah optimis yang dapat dihitung berdasarkan kesesuaian lahan.

Apabila akan dibuat skala prioritas, dimana pada kelas kesesuaian lahan I akan dicari tempat yang paling sesuai, maka dapat dilakukan analisis ulang berdasarkan skor yang ada, untuk kemudian diambil lokasi-lokasi paling sesuai saja. Untuk pengembangan cendana

Kab.Sumba Timur,

63.06%

Kab. Sumba Barat, 7.78%

Kab. Sumba Barat Daya,

14.79%

Kab. Sumba Tengah, 14.37%

Sesuai IV, Kab. Sumba Timur Total, 1492.32

Sesuai IV, Kab. Sumba Barat Total, 3080.91

Sesuai IV, Kab. Sumba Barat Daya

Total, 422.18

Sesuai IV, Kab. Sumba Tengah

Total, 0

Sesuai II, Kab. Sumba Timur

Total, 68606.18 Sesuai II, Kab. Sumba Barat Total, 3552.87

Sesuai II, Kab. Sumba Barat Daya

Total, 1699.65

Sesuai II, Kab. Sumba Tengah Total, 2049.01

Sesuai I, Kab. Sumba Timur

Total, 473573.13

Sesuai I, Kab. Sumba Barat

Total, 60454.14

Sesuai I, Kab. Sumba Barat Daya Total, 125386.97

Sesuai I, Kab. Sumba Tengah Total, 121870.99

44 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

dengan konsep atau pola yang berbeda, maka jumlah bibit yang dibutuhkan per hektarnya juga berbeda. Seperti pada pola agroforestry dan tumpang sari, jumlah bibit cendana yang diperlukan per hektarnya tentunya akan lebih sedikit. Demikian pula apabila cendana hanya ditanam sebagai tanaman pagar, atau batas antar tanah garapan, maka jumlah perhektarnya juga akan lebih sedikit.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan a. Tata ruang pengembangan cendana berdasarkan hasil penelitian ini untuk kelas

kesesuaian I adalah 781.285,2 ha, untuk kelas kesesuaian II adalah 75.907,71 ha dan untuk kelas kesesuaian IV adalah 4.995,41 ha.

b. Kabupaten dengan luasan lahan untuk kelas kesesuaian I berturut turut dari yang paling besar adalah Kabupaten Sumba Timur dengan luasan 473.573,1 ha, Kabupaten Sumba Barat Daya 125.387 ha, Kabupaten Sumba Tengah 121.871 ha, dan Kabupaten Sumba Barat 60.454,14 ha.

c. Beberapa lokasi yang masuk dalam kelas sesuai I (tertinggi) secara administratif meliputi 219 desa di seluruh Pulau Sumba. Untuk kelas kesesuaian II terdapat 83 desa yang masuk di dalamnya, sedangkan untuk kelas kesesuaian IV meliputi 20 desa.

B. Saran a. Pendekatan kesesuaian lahan untuk tata ruang pengembangan cendana dapat digunakan

dengan memperhatikan aspek kepentingan lainnya, sesuai dengan perencanaan pengembangan wilayah di suatu daerah.

b. Pada tataran aksi pengembangan cendana, perlu dilakukan perencanaan lebih detail terkait skala peta, agar tingkat kesalahan di lapangan dapat diminimalkan.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2010. Inventarisasi Tegakan Cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Dinas

Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Timor Tengah Selatan. ______. 2010b. Master Plan Pengembangan dan Pelestarian Cendana Provinsi Nusa

Tenggara Timur Tahun 2010-2030. ______. 2009. Sumba Barat dalam Angka. Biro Pusat Statistik Kabupaten Sumba Barat. ______. 2011. Kabupaten Sumba Timur. www.nttprov.go.id. Barrett DR and Fox JED, 1996. Santalum album: Kernel Composition, Morphological and

Nutrient Characteristics of Pre-parasitic Seedlings under Various Nutrient Regimes. Barrett DR, Wijesuriya SR, Fox JED. 1985. Observations on foliar nutrient content of

sandalwood (Santalum spicatum R.Br.D.C.). Mulga Research Centre Journal 8: 81±91. Dinas Kehutanan Provinsi NTT (Forestry Office of East Nusa Tenggara Province), 2009a.

Petunjuk Pelaksana Provinsi Cendana (Guidelines for Sandalwood Province), Dinas Kehutanan Provinsi NTT, Kupang.

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 45

Dinas Kehutanan Propinsi NTT (Forestry Office of East Nusa Tenggara Province), 2009b. Progress Pengembangan Hutan Tanaman Cendana Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam rangka Mewujudkan Tekad Provinsi Cendana: Kondisi Bulan Juni 2009 (Progress on Sandalwood Forest Development in an Effort to Regain Sandalwood Province Status: as of June 2009), Dinas Kehutanan Provinsi NTT, Kupang.

Doran, J.W. and T.B. Parkin. 1999. Quantitative Indicators of Soil Quality: A Minimum Data Set. In: Doran, J.W. and A.J. Jones (Eds.) 1999. Methods for Assessing Soil Quality. Soil Science Society of America, Inc. Wisconsin.

Iyengar AV. 1960. The relation of soil nutrients to the incidence of spike disease in sandalwood (Santalum album Linn.). Indian Forester 86: 220±230.

Kharisma. 1994. Kombinasi Uji Keturunan dan Uji Sumber Benih Cendana Tingkat Semai. Thesis Kehutanan Program S2. Pasca Sarjana UGM Tidak dipublikasikan.

Kurniawan, H. 2010. Laporan Hasil Penelitian: Eksplorasi Habitat, Populasi dan Sebaran Cendana (Santalum album l.) di Pulau Timor (tidak dipublikasikan). Balai Penelitian Kehutanan Kupang. NTT.

McWilliam, A., 2005. Haumeni, not many: renewed plunder and mismanagement in the Timorese Sandalwood industry, Modern Asian Studies, 39 (2): 285–320.

Rahayu, S., Wawo, A. H., van Noordwijk, M. and Hairiah, K., 2002. Cendana: deregulasi dan strategi pengembangannya (Sandalwood: deregulation and strategy of development), World Agroforestry Centre-ICRAF, Bogor.

Ramaiah PK, Parthasarathi K, Rao PS. 1962. Studies on sandal spike: a histological study of sandal root haustoria in relation to mineral nutrition. Indian Academy of Wood Science. 56B: 111±113.

Rangaswamy CR, Jain SH, Parthasarthi K. 1986. Soil properties of some sandalwood bearing areas. Van Vigyan 24 : 61±68.

Struthers R, Lamont BB, Fox JED, Wijesuriya S, Crossland T. 1986. Mineral nutrition of sandalwood (Santalum spicatum). Journal of Experimental Botany 37: 1274±1284.

Rudjiman, 1987. Santalum album Linn. Taksonomi dan Model Arsitekturnya. Prosiding Diskusi Nasional Cendana. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

Suripto, J.1996. Pemulihan potensi cendana di NTT. Makalah disampaikan pada Seminar Hari Bakti Departemen Kehutanan Propinsi NTT, Kupang.

Siregar, M., Agung K., Ni Kadek E.U., Hartutiningsih. 2006. Distribusi Geografis dan Karakteristik Botani Genus Santalum. Makalah Utama pada Gelar

Suseno, O.H. 2001. Prospek Pengembangan Cendana di NTT. Berita Biologi. Vol. 5 No. 5 Pusat Penelitian Biologi LIPI.

46 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Lampiran 1. Peta Kesesuaian Jenis Cendana di Kab. Sumba Barat Daya

Lampiran 2. Peta Kesesuaian Jenis Cendana di Kab. Sumba Barat

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 47

Lampiran 3. Peta Kesesuaian Jenis Cendana di Kab. Sumba Tengah

Lampiran 4. Peta Kesesuaian Jenis Cendana di Kab. Sumba Timur

48 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 49

KAJIAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MODEL MUTIS TIMAU DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Oleh: Rahman Kurniadi*

*Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Email: [email protected]

ABSTRAK

Pemerintah daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) telah memiliki Rencana Tata Ruang yang menempatkan kawasan Mutis sebagai kawasan hutan. Tata ruang tersebut bertujuan untuk membagi fungsi lahan sesuai dengan peruntukanya dan menjamin kehidupan manusia. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi dalam implementasi rencana tata ruang di kawasan Mutis dan strategi yang diperlukan untuk menghadapinya. Data dan informasi diperoleh dari hasil-hasil penelitian ytang telah dilakukan. Hasil kajian menunjukkan bahwa terdapat hambatan-hambatan dalam implementasi rencana tata ruang yaitu adanya overlap tata ruang antara kawasan hutan dan peternakan, adanya permintaan untuk mengubah fungsi kawasan, dan batas-batas tata ruang di lapangan belum jelas. Strategi yang dapat dilakukan di Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Mutis antara lain perbaikan vegetasi batas kawasan hutan dan dalam kawasan hutan, dan meningkatkan dukungan pemerintah daerah dan masyarakat untuk menyediakan ruang bagi kawasan hutan di Mutis. Kata Kunci : tata ruang, Mutis, kawasan hutan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Hutan berfungsi sebagai pengatur tata air, habitat flora dan fauna, penyerap cadangan karbon, sumber pendapatan masyarakat, dan berbagai fungsi lain yang sangat berguna bagi masyarakat sekitar hutan. Tata ruang kawasan hutan diperlukan guna menjaga kelestarian fungsi kawasan hutan.

Laju pertumbuhan penduduk mengakibatkan kebutuhan lahan pertanian, pemukiman dan inftrastruktur semakin besar. Kawasan hutan merupakan lahan alternatif untuk memenuhi kebutuhan penduduk tersebut. Hal ini berdampak pada semakin kecilnya luas kawasan hutan. Pengaturan kawasan hutan diperlukan guna mencegah hilangnya kawasan hutan. Penurunan luas kawasan hutan berdampak pada kelestarian kawasan hutan yang dapat berdampak buruk pada kehidupan manusia.

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki tipe iklim kering dengan musim penghujan yang pendek. Beberapa daerah di Provinsi ini mengalami kekurangan air untuk rumah tangga dan pertanian. Kekurangan air tersebut berdampak pada rendahnya produktivitas petani di daerah ini. Umumnya petani tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan keluarganya sehingga mereka harus membeli pangan dari luar daerah NTT.

50 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Kekurangan air tersebut dapat bertambah buruk apabila luas kawasan hutan dan kualitas hutan di NTT berkurang. Penataan ruang untuk kawasan hutan diperlukan untuk menjamin ketersediaan air di provinsi ini.

Umumnya masyarakat NTT melakukan usaha budidaya ternak dengan cara penggembalaan liar. Meskipun dalam rencana tata ruang telah dipisahkan antara kawasan penggembalaan dan kawasan hutan, namun para peternak masih melakukan penggembalaan di dalam kawasan hutan. Hal ini mengakibatkan sulitnya regenerasi tegakan hutan. Sementara itu terdapat kawasan hutan yang tidak produktif akibat banyaknya padang dan semak belukar di dalam kawasan hutan. Pengaturan ruang antara kawasan hutan dan ternak diperlukan agar kedua fungsi lahan tersebut dapat berjalan.

Rencana tata ruang yang telah dibuat harus diimplementasikan agar setiap lahan berfungsi dengan baik. Pada tingkat implementasi rencana tata ruang bersinggungan dengan berbagai kepentingan masyarakat yang telah ada. Kajian diperlukan untuk mengetahui apakah rencana tata ruang dapat diimplementasikan dengan baik dan faktor-faktor apa yang menghambat pelaksanaan implemenetasi tata ruang pada kawasan hutan Mutis. B. Tujuan Kajian Kajian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penghambat implementasi tata ruang kawasan hutan di Mutis dan upaya untuk mengatasinya. II. METODOLOGI Kajian ini mengunakan metode desk study dan wawancara. Desk study adalah kajian yang menggunakan data dan informasi yang diperoleh dari data sekunder baik berupa laporan referensi maupun peta-peta. Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi tentang permasalahan lahan di kawasan Mutis. Wawancara dilakukan kepada tokoh-tokoh masyarakat di Desa Bitobe dan Fatumonas, Kecamatan Amfoang Tengah, Kabupaten Kupang. Data dan informasi diolah secara deskriptif. Analisis data diarahkan pada strategi untuk mengimplementasikan rencana tata ruang kawasan hutan Mutis Timau. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Mutis Timau Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Mutis Timau terletak di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Utara (TTU), dan Timor Tengah Selatan (TTS). KPHL Model Mutis Timau dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No SK. 41 /Menhut-II/2012. KPHL Mutis Timau terdiri dari hutan lindung dengan luas +97.005 ha dan hutan produksi seluas 18.375 ha. Dengan demikian luas total kawasan KPHL Mutis Timau adalah 115.380 ha. Dengan luas Timor Barat 1.646.418 ha (Pemerintah Provinsi NTT, 2012) maka kawasan ini hanya sebesar 7% dari luas daratan di Timor Barat. Berdasarkan hasil studi Dwiparabowo dkk (2001) luas kawasan hutan tersebut masih perlu ditingkatkan.

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 51

Gambar 1. Peta Kesatuan Pengelolaan Hutan Mutis Timau

Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi NTT Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Organisasi dan Tata Kerja KPHL Model Mutis Timau Unit XIX Provinsi NTT, KPHL berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah Provinsi NTT. KPHL dipimpin oleh seorang kepala KPHL. Susunan organisasi KPHL Model Mutis Timau atas Kepala, Subbagian Tata Usaha, Seksi Rencana Tata Kelola, Pemanfaatan Hutan dan Kawasan Hutan, Seksi Silvikultur, Perlindungan dan Penyuluhan, Kelompok Jabatan Fungsional, Resort KPHL Kupang I, Kupang II, Kupang III, TTS dan TTU.

Secara keseluruhan keadaan topografi kelompok Hutan Mutis adalah berat dengan relief berbukit sampai bergunung dan keadaan lereng miring sampai curam. Sedangkan keadaan lapangan kawasan Hutan Lindung Mutis Timau dan sekitarnya bergelombang sampai bergunung, sebagian besar wilayahnya mempunyai kemiringan 60% ke atas atau termasuk kriteria kelas lereng lapangan 5. Puncak tertinggi adalah Gunung Mutis dengan ketinggian 2.427 meter dpl.

Menurut Peta Geologi Indonesia skala 1: 2.000.000 yang dikeluarkan oleh Direktorat Geologi-Bandung tahun 1965, formasi geologi di Kelompok Hutan Mutis–Timau (Pulau Timor) sebagian tersusun dari Deret Sonebait dan sebagian kecil dari Deret Kekneno. Sekis Hablur, Batuan Basah Menengah, Batuan Basah, Batuan Endapan Meogen dan Paleogen.

Berdasarkan Peta Tanah Indonesia tahun 1968 skala 1 : 2.500.000 dari Lembaga Penelitian Tanah Bogor, jenis tanah yang terdapat di wilayah Mutis Timau terdiri atas tanah-tanah kompleks dengan bentuk pegunungan kompleks dan jenis tanah mediterium dengan bentuk pegunungan lipatan.

Gunung Mutis dan sekitarnya merupakan daerah terbasah di Pulau Timor, hal ini dapat dilihat dari jumlah hari hujannya dalam satu tahun dan hujan turun hampir setiap bulannya dengan frekuensi hujan tertinggi terjadi pada bulan November sampai Juli sedangkan frekuensi hujan terendah terjadi pada bulan Agustus sampai Oktober. Rata-rata

52 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

curah hujannya adalah 1500 sampai 3000 mm/tahun (termasuk dalam golongan iklim type B). Suhu berkisar antara 14º–29ºC, walau demikian suhu dapat turun hingga 9ºC (kondisi ekstrim). Angin selalu bertiup sepanjang tahun dengan kecepatan sedang sampai kencang. Angin kencang berkecepatan tinggi terjadi pada bulan November sampai Maret.

Keadaan hujan yang turun hampir setiap bulan sepanjang tahun, memungkinkan kawasan Cagar Alam (CA) Gunung Mutis ini menjadi sumber air utama bagi tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) besar di Pulau Timor yaitu Noel Mina dan Noel Benain di bagian selatan dan Noel Fail di bagian utara. Drainase aliran sungainya berpola dendritis (Noel Mina dan Noel Benain) sebagai akibat kompleksitas permukaan di bagian selatan dan pola pararel (Noel Fail) akibat kelerengan yang relatif seragam di bagian utara.

Kawasan CA Gunung Mutis dan sekitarnya termasuk tipe hutan hujan yang relatif homogen. Hasil pengumpulan data lapangan menunjukkan ada 29 jenis tumbuhan berkayu yang tumbuh di kawasan CA Mutis, dan didominasi oleh jenis ampupu (Eucalyptus urophylla). Jenis lain yang menonjol setelah ampupu adalah Podocarpus sp, Casuarina junghuhniana Mig dan Celtis wightii planch yang membentuk tajuk lapis kedua di bawah tajuk ampupu dan lapis ketiga adalah belta jenis Natwon (Daphiniphyllum glancescens BI) yang tersebar merata di bagian bawah.

Tabel 1. Anak sungai Noel Benain dan Noel Mina yang berhulu di CA Gunung Mutis dan gunung di sekitarnya

DAS Utama Sub DAS Lokasi Noel Benain Noel Bijeli Membatasi Desa Tune dengan Desa Fatumnasi,

sedangkan cabangnya Noel Besi membatasi Desa Bonleu dengan TTU dan Nole Niti membatasi Desa Bonleu dengan Tune

Noel Sebau Dengan cabangnya Noel Laokfui yang membatasi Desa Tutem dengan Tunua dan Nono Bienseko yang membatasi Desa Tutem dengan Tobu

Noel Mina Noel Besi Dengan cabangnya Noel Pune dan Noel Punuf di wilayah Desa Nenas dan Desa Fatumnasi

Noel Baki Membatasi Desa Leloboko dengan Fatumnasi Noel Nisnoni Membatasi Desa Leloboko dengan Ajaobaki

Sumber: Poy (2012)

Jenis satwa liar yang hidup pada kawasan CA Mutis sangat beragam, mulai dari

kelompok burung (aves), mamalia, reptilia, amfibi, Lepidoptera, Hymenoptera. Untuk kelompok jenis burung terdiri dari 36 famili dan 84 spesies yang didominasi dari famili Columbidae yakni terdiri dari 12 spesies disusul famili Meliphagidae ada 10 spesies, famili Turdidae ada 6 spesies dan famili Sylviidae ada 5 spesies .

Kelompok mamalia sebanyak 12 spesies, yakni jenis kelelawar besar (Rhinolophus hipposideros), kelelawar sedang (Chiroptera sp), kelelawar kecil (Myotis sp), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), kuda liar (Equus caballus przewalskii), kus-kus putih (Phalanger orientalis), kus-kus abu-abu hitam (Phalanger gymnotis), kus-kus cokelat kuning

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 53

(Phalanger vestitus), musang (Viverra sp), babi hutan (Sus scrofa), rusa timor (Cervus timorensis), kucing hutan (Felis prionailurus).

Kelompok Lepidoptera (kupu-kupu) terdiri dari 16 spesies yakni : layang-layang besar (Papilio oresponthes), layang-layang hitam (Papilio polixenes asterius), beruang (Papilio glaucus), kawal raja (Papilio merchaon), hitam (Venesa cardui), kupu-kupu mata merah (Venesa io), kupu-kupu mata majemuk (Strimon melinus), kupu-kupu sayap biru (Lycaena argus), kupu-kupu perunggu orange (Eurymus euritheme), kupu-kupu pinggiran jalan (Eurymus philodica), kupu-kupu daun (Urbanus proteus), kupu-kupu raja mata majemuk (Anteraea polyphemus), kupu-kupu raja (Apatura iris), kupu-kupu kuning keungu-unguan (Eacles imperialis), kupu-kupu cokelat tua/kuning gelap (Anisota sp), kupu-kupu putih kecil (Pieris repae).

Kelompok Hymenoptera (lebah) terdiri dari 3 spesies, yakni lebah batu (Bombus lapidarius), lebah pelubang kayu (Xylocopa virginica), lebah batu (Megachili latimanus)

Kawasan CA Mutis merupakan pusat keanekaragaman hayati, di Pulau Timor sehingga merupakan potensi jasa lingkungan sebagai penyimpan karbon atau menciptakan iklim mikro. Dan potensi jasa lingkungan yang sangat pentimg yang disediakan oleh kawasan CA Mutis untuk masyarakat luas, yakni jasa lingkungan sumberdaya air di mana ada lima kelompok pemanfaatan jasa lingkungan air komersil dari kawasan CA Mutis: a. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Darma Tirta, Kabupaten TTS, ada sembilan

sumber mata air yang dimanfaatkan PDAM Darma Tirta yang berasal dari dalam dan di sekitar kawasan CA Mutis, yakni: sumber mata air Bonleu, Poto, Lipan, Manu Metan Oeleu, Haunuek, Oesiet, Oefatu, Oetunu.

b. Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (PAMDK) Timor Mutisqua. c. Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Desa Nenas d. Irigasi e. Rumah tangga.

Kawasan Mutis juga menyiapkan jasa lebah madu alam yang sering diambil oleh masyarakat yang tinggal disekitarnya. Madu tersebut dikonsumsi sendiri oleh masyarakat dan sisanya dijual. Beberapa kelompok masyarakat membuat jaringan pemasaran madu sehingga mempermudah pemasaran dan menambah nilai madu.

Untuk mencapai kawasan Mutis dapat ditempuh melalui empat jalur yakni dari arah selatan, timur dan utara. Dari arah selatan dan timur melewati Kabupaten TTS, dimana setelah tiba di Kapan (Kota Kecamatan Mollo Utara) jalur menuju lokasi CA Mutis terbagi atas dua arah yaitu, arah selatan menuju Desa Fatumnasi (49 km dari Soe, Kota Kabupaten TTS), dan arah timur melalui Desa Bonleu (30 km dari SoE, Kota Kabupaten TTS). Dari utara dapat ditempuh melalui Kabupaten TTU. Sedangkan dari arah Barat dapat ditempuh melalui Kecamatan Amfoang, Kabupaten Kupang. B. Hambatan Implementasi Tata Ruang Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengamanatkan pentingnya pengaturan tata ruang untuk pengaturan luas kawasan hutan. Dalam undang-undang tersebut disebut kan minimal 30% dari luas daratan merupakan kawasan hutan. Sementara

54 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

itu hasil penelitian Dwiparabowo dkk (2001) menunjukan bahwa minimal 27% dari luas daratan harus berupa hutan. Dengan luas tersebut dapat dipenuhi keperluan air bagi masyarakat dan terdapat kawasan perlindungan bagi tanah, flora, dan fauna yang ada di dalamnya.

Peraturan Daerah Provinsi NTT Nomor 1 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi NTT, Tahun 2010–2030 telah membagi-bagi daratan di NTT untuk fungsi hutan, pemukiman, lahan pertanian, dan infrastruktur.

Gambar 2. Peta Rencana Tata Ruang Provinsi Nusa Tenggara Timur

Tata ruang merupakan sebuah konsep untuk membagi-bagi lahan yang mendukung

kelangsungan fungsinya tanpa mengorbankan fungsi yang lain. Tata ruang membagi-bagi lahan untuk fungsi kawasan hutan, pertanian, pemukiman, infrastruktur dan fungsi-fungsi lainya yang diperlukan bagi kehidupan manusia.

Meskipun telah memiliki rencana tata ruang, luas kawasan hutan di NTT cenderung berkurang. Hal ini disebabkan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi yang perlu diimbangi dengan penyediaan lahan untuk pemukiman, peternakan dan pertanian. Kawasan hutan di Mutis Timau merupakan salah satu kawasan hutan yang yang merasakan dampak dari laju pertumbuhan penduduk tersebut. Penduduk di sekitar kawasan hutan Mutis Timau berupaya untuk menggunakan kawasan hutan Mutis Timau untuk keperluan peternakan, pertanian dan pemukiman.

Untuk mengoptimalkan pengelolaan hutan di kawasan Mutis Timau dibentuk KPHL Model Mutis Timau. Dengan terbentuknya KPHL tersebut diharapkan kawasan hutan memiliki kepastian lahan dan pengelola kawasan.

Berdasarkan rencana tata ruang tahun 2010-2030 Kawasan Mutis telah ditetapkan menjadi kawasan hutan. Berdasarkan hasil wawancara, beberapa hambatan dalam implementasi tata ruang sebagai berikut :

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 55

1. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Desa Bitobe dan Fatumonas Kecamatan Amfoang Tengah (2011) terdapat permintaan masyarakat sekitar hutan untuk mengkonversi kawasan hutan Timau menjadi lahan pertanian dan peternakan. Lahan yang diminta adalah lahan–lahan di perbatsan hutan yang berada di kawasan hutan namun vegetasinya bukan berupa hutan. Permintaan masyarakat tersebut dipicu laju pertumbuhan penduduk sekitar hutan yang tinggi yang memerlukan tambahan lahan pertanian dan peternakan.

2. Terjadi overlap antara fungsi hutan dan fungsi peternakan. Didalam kawasan hutan Mutis Timau terdapat ternak sapi dengan jumlah cukup besar. Hal ini bertentangan dengan rencana tata ruang yang memisahkan kawasan hutan dan kawasan ternak.

3. Rencana tata ruang dibuat pada skala yang kecil. Untuk implementasi di lapangan belum ada batas yang jelas antara penggunaan lahan hutan yang satu dengan yang lainnya.

4. Adanya permintaan dari sektor lain untuk kebutuhan pemukiman, pertanian, peternakan dan infrastruktur yang terus meningkat dan berpotensi mengurangi kawasan hutan.

Menurut Poy (2012) beberapa tantangan dalam pengelolaan kawasan Mutis antara lain: 1. Masih adanya pengklaiman kawasan sebagai tanah adat oleh masyarakarat yang tinggal

di sekitar kawasan CA Mutis, seperti lokasi di Desa Bonleu, dan Desa Tutem 2. Banyaknya pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan CA Gunung

Mutis selama ini, namun fungsi koordinasinya multipihak belum berjalan optimal. 3. Adanya desa enclave dalam kawasan hutan seperti Desa Nenas dan Nuapin,

berkemungkinan akan berdampak terhadap kerusakan hutan apabila pertumbuhan penduduk tidak ditekan sementara luas lahan tidak bertambah maka lahan hutan menjadi sasaran.

4. Penebangan liar untuk pengambilan kayu bangunan, pengambilan kayu bakar. 5. Masih rentan akan kebakaran hutan. 6. Penggembalaan ternak liar (sapi dan kuda) di dalam kawasan. 7. Masih terbatas tenaga pengaman kawasan CA Mutis. 8. Masih terbatasnya sarana prasarana pengelola mutis. C. Strategi Implementasi Tata Ruang Dalam rencana tata ruang, KPHL Mutis Timau telah ditetapkan sebagai kawasan hutan. Untuk mengiplementasikan rencana tata ruang tersebut beberapa strategi harus dilakukan agar rencana tata ruang tersebut dapat diimplementasikan dengan baik. Hal-hal yang perlu dilakukan antara lain : 1. Memperbaiki batas kawasan KPHL Mutis Timau. Dengan terbentuknya KPHL Mutis

Timau diharapkan kawasan hutan yang ada benar-benar berupa hutan. Umumnya batas kawasan KPHL Mutis Timau berupa padang rumput sehingga masyarakat sekitar hutan tidak menyangka bahwa lahan tersebut merupakan kawasan hutan. Untuk mempertahankan fungsi kawasan tersebut batas-batas kawasan diupayakan bervegetasi hutan.

56 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

2. Meningkatkan kualitas kawasan hutan. Kawasan yang telah ditetapkan sebagai hutan diupayakan mempunyai tegakan hutan. Banyaknya kawasan hutan yang bervegetasi semak dan padang rumput menyebabkan rencana tata ruang tidak dapat dilaksanakan. Kawasan hutan yang tidak bervegetasi pohon umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai padang gembala ternak.

3. Meningkatkan dukungan pemerintah daerah dan masyarakat untuk menyediakan tata ruang bagi keberadaan KPHL Mutis. Dukungan berbagai pihak untuk tata ruang kawasan hutan di Mutis sangat diperlukan agar kawasan tersebut tetap lestari sebagai mana yang dituangkan pada rencana tata ruang. Perubahan rencana tata ruang dan fungsi kawasan harus dicegah guna menjaga fungsi hutan yang sangat diperlukan bagi kehidupan manusia.

KPHL Model Mutis Timau merupakan organisasi baru dalam pengelolaan kawasan Mutis yang memiliki areal yang jelas. Perubahan lembaga pengelola kawasan tersebut diharapkan dapat memantapkan fungsi hutan baik untuk kepentingan ekologis maupun untuk keperluan ekonomi. Dalam rencana kerja KPHL Mutis Timau, kawasan hutan di Mutis dibagi-bagi menjadi blok-blok pengelolaan. Dengan demikian lahan yang berada di kawasan hutan Mutis dapat memperoleh input yang dapat meningkatkan kualitas kawasan hutan.

Kawasan hutan dibawah pengelolaan KPHL Mutis memliki kawasan dan pengelola yang jelas. Lahan-lahan yang tidak produktif yang berada di kawasan tersebut dapat diperbaiki sehingga dapat memberikan pendapatan bagi pengelola kawasan. Selain itu pihak pengelola KPHL Mutis bertanggung jawab untuk mempertahankan tata ruang kawasan hutan yang dimilikinya sehingga keberadaan hutan di kawasan tersebut dapat tetap lestari. IV. PENUTUP Pada Peraturan Daerah Provinsi NTT Nomor 1 Tahun 2011 tentang RTRW Provinsi NTT, Tahun 2010–2030, Kawasan hutan Mutis Timau merupakan ruang bagi kawasan hutan. Hambatan dalam impelementasi rencana tata ruang tersebut antara lain adanya permintaan masyarakat sekitar hutan untuk mengalihfungsikan kawasan hutan, adanya overlap antara fungsi hutan dan ternak, dan batas rencana tata ruang di lapangan yang belum jelas. Strategi yang dapat dilakukan antara lain dengan memperbaiki vegetasi pada batas kawasan hutan dan dalam kawasan hutan, dan meningkatkan dukungan pemerintah daerah dan masyarakat untuk memberikan ruang kawasan hutan di Mutis untuk menjamin kehidupan masyarakat.

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 57

DAFTAR PUSTAKA Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK. 41/Menhut-II/2012 tentang

Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan lindung (KPHL) Model Mutis Timau (Unit XIX) yang terletak di Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan, dan Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Kurniadi, R. Valuasi Potensi dan Nilai Manfaat Hutan Lindung dan KPHL Mutis. 2012. Laporan hasil penelitian. Tidak diterbitkan.

Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 2 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model Mutis Timau Unit XIX Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 1 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2010 – 2030.

Poy, Oktan.2012. Potensi dan Tantangan Cagar Alam Mutis. http://www.rimbawan.or.id /2012/04/ potensi-dan -tantangan-pengelolaan-cagar-alam-mutis.html.Diakses Juni

2013

58 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 59

PEMBANGUNAN HUTAN KOTA SEBAGAI UPAYA MERESTORASI KERUSAKAN LINGKUNGAN DI PERKOTAAN

Oleh:

Mariany M. da Silva* *Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Email: [email protected]

ABSTRAK

Pesatnya pembangunan perkotaan beberapa dekade terakhir menjadi pencetus lahirnya berbagai masalah kerusakan lingkungan perkotaan seperti pencemaran udara oleh debu dan gas-gas beracun, peningkatan efek rumah kaca, perubahan iklim yang tidak tentu, kenaikan suhu udara, kebisingan, bau yang tidak sedap, hilangnya habitat satwa dan tumbuhan dan berbagai masalah lainnya. Kebijakan pemerintah kota menyediakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam Rencana Tata Ruang Kota adalah langkah tepat dalam upaya meminimalisasi atau memperbaiki kerusakan lingkungan tersebut. Hutan kota sebagai salah satu bentuk dari pengelolaan RTH berperan penting dalam merestorasi kerusakan lingkungan dan mampu menciptakan lingkungan kota yang nyaman, sehat dan estetis. Pembangunan hutan kota terhambat oleh kurangnya ketersediaan lahan, pandangan dan pemahaman sempit masyarakat tentang hutan kota, lemahnya penegakan sanksi serta kebijakan peraturan yang kurang mengikat semua elemen yang ada baik masyarakat maupun pemerintah. Demi keberhasilan pembangunan hutan kota diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat. Dukungan masyarakat, penerapan peraturan yang tegas dan perencanaan yang melibatkan semua pihak terkait menjadi faktor penentu keberlanjutan pembangunan hutan kota maupun RTH lainnya.

Kata kunci: kerusakan lingkungan, restorasi, hutan kota

I. PENDAHULUAN Lingkungan sebagai habitat makhluk hidup harus mempunyai kemampuan untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam konsep yang lebih sederhana dalam kaitannya dengan manusia, daya dukung lingkungan merupakan kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan pada tingkat yang memungkinkan terhadap kegiatan manusia dalam mencapai hidup yang wajar dan lestari (Manan 1978, Indriyanto, 2008). Dengan demikian diharapkan agar segala bentuk kegiatan manusia dapat diarahkan demi terjaganya daya dukung lingkungan yang lestari.

Dalam perkembangan dewasa ini, laju pertumbuhan penduduk yang semakin pesat dan tidak terkontrol menjadi faktor penyebab terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Dampak kerusakan lingkungan yang nyata terlihat di daerah perkotaan. Peningkatan pembangunan fisik kota, pertumbuhan penduduk, tingginya kebutuhan akan lahan dan berbagai aktifitas kota menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang signifikan. Berbagai persoalan lingkungan bermunculan seperti polusi (udara, tanah, air), perubahan iklim yang tidak tentu, peningkatan suhu udara (efek pulau panas), kebisingan, sampah, peningkatan kadar debu, penurunan permukaan air tanah, genangan/banjir, intrusi air laut,

60 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

abrasi pantai, berkurangnya tempat rekreasi hingga hilangnya ruang terbuka hijau pada lanskap kota.

Berbagai upaya ditempuh guna mempertahankan kualitas lingkungan hidup di perkotaan. Pengelolaan lingkungan hidup dilakukan melalui pendekatan technoengineering, bioengineering maupun socioengineering (Fandeli, 2008). Namun dalam pelaksaannya pendekatan tecnoengineering dan sosioengineering lebih diprioritaskan sehingga muncul berbagai ketimpangan. Mengingat pentingnya pendekatan bioengineering maka pendekatan ini mulai diprioritaskan dengan meningkatkan penghijauan kota melalui pembangunan hutan kota. Hutan kota mampu menurunkan dampak kerusakan lingkungan yang merugikan dan menjadikan lingkungan sebagai habitat satwa serta melahirkan kondisi lingkungan yang nyaman, sehat, estetis. Keberadaan vegetasi hutan kota disadari mampu mempengaruhi kondisi atmosfer perkotaan, merubah suhu, kelembaban dan mengurangi kecepatan angin (Martopo dkk, 1995, Fandeli, 2008).

Peranan hutan kota dalam mendukung terpeliharanya kestabilan ekologi telah disadari oleh masyarakat umumnya. Meski demikian, dalam implementasinya masih ditemukan berbagai kendala khususnya masalah perambahan lahan yang semestinya diperuntukan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH). Oleh karenanya diperlukan peraturan tegas yang mengatur tentang itu. Berbagai kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah dengan menetapkan kawasan hutan kota sebagai bagian dari rencana pengelolaan tata ruang kota termasuk mengeluarkan berbagai peraturan mengenai pembangunan hutan kota seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota maupun peraturan-peraturan daerah lainnya.

II. KOTA DAN PERMASALAHAN LINGKUNGANNYA Kota sebagai suatu wilayah pemusatan sejumlah penduduk yang mewadahi tumbuh dan berkembangnya berbagai kegiatan sosial, ekonomi dan budaya. Manusia dan berbagai aktifitasnya terkonsentrasi dalam suatu areal perkotaan. Wilayah perkotaan tumbuh pesat mengikuti laju perkembangan IPTEK yang semakin pesat pula. Kota menjadi tempat pemusatan segala aktifitas manusia, pusat pemerintahan, pusat perniagaan, pusat pendidikan dan berbagai kegiatan lainnya. Oleh karena itu perlu ditata dan dikelola dengan baik agar dapat mendukung berbagai kegiatan tersebut. Tata kelola perkotaan yang salah akan menimbulkan berbagai persoalan ekonomi, sosial, budaya maupun lingkungan hidup.

Persoalan lingkungan hidup di perkotaan semakin kompleks seiring pesatnya perkembangan kota. Lingkungan kota semakin terancam. Pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan tempat tinggal. Lahan hutan dirambah dijadikan daerah pemukiman, perkantoran, pusat perniagaan, industri, dan lain-lain. Pembangunan sarana dan prasarana perkotaan seperti jalan raya, jalur perpipaan, sarana transportasi, gedung-gedung pencakar langit menyebabkan semakin sempitnya ruang terbuka hijau di perkotaan. Menurut Fandeli (2008), berkurangnya unsur-unsur alami dalam lanskap pada suatu kawasan menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan hidup antara lain terjadinya perubahan iklim setempat dan ketidaknyamanan akibat kondisi lanskap yang tidak teratur.

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 61

Kondisi lalu lintas yang padat dengan emisi gas buangnya yang melebihi ambang batas mengakibatkan terjadinya peningkatan pencemaran udara yang berbahaya bagi kesehatan. Limbah padat dan cair yang dihasilkan dari aktifitas manusia juga mengakibatkan pencemaran tanah dan air. Masalah lingkungan lainnya yaitu makin terdesaknya RTH, kebisingan terus meningkat, penumpukan sampah, meningkatnya kadar debu, penurunan debit air tanah, berkurangnya tempat rekreasi alam dan rusaknya pemandangan/hilangnya nilai estetika (Irwan, 1997). Dahlan (2004) mengemukakan beberapa ancaman akibat menurunnya kualitas lingkungan di perkotaan seperti pencemaran lingkungan (disebabkan oleh partikel mikro, gas beracun dari kendaraan bermotor dan industri), semakin panasnya udara kota, kebisingan dan penumpukan sampah kota.

Kompleksitas masalah kerusakan lingkungan di perkotaan menuntut adanya pembangunan kota berwawasan lingkungan dimana setiap kegiatan pembangunan harus memperhatikan prinsip-prinsip ekologi. Pembangunan perkotaan harus diarahkan kepada terwujudnya suatu tatanan kota yang dapat mendukung berlangsungnya kestabilan dan keseimbangan ekosistem kota itu sendiri.

III. HUTAN KOTA DAN RESTORASI KERUSAKAN LINGKUNGAN Pembangunan kota yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip ekologi telah mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup yang berpengaruh pada terancamnya perikehidupan dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Upaya mengurangi dan memperbaiki kualitas lingkungan perkotaan yang telah rusak tersebut dapat dilakukan melalui perencanaan Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK). Di berbagai daerah, pemanfaatan RTHK banyak diarahkan kepada pembangunan dan pengelolaan hutan kota karena diyakini bahwa keberadaan hutan kota mampu merestorasi kerusakan lingkungan yang terjadi. Hutan kota termasuk bagian dari RTH yang diintegrasikan dalam kebijakan rencana tata ruang suatu wilayah perkotaan. Pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) atau peraturan lainnya tentang Rencana Tata Ruang Kota.

Hutan kota adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota berbentuk jalur, menyebar atau bergerombol dengan struktur menyerupai hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa dan menimbulkan lingkungan yang sehat, nyaman dan estetis (Irwan, 1997). Pembangunan hutan kota bertujuan untuk menjaga kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya (PP No. 63/2002 tentang Hutan Kota).

Hutan kota mempunyai banyak fungsi tergantung kepada jumlah dan jenis vegetasi penyusun dan kepada tujuan perancangan hutan kota itu sendiri (Irwan, 2007). Dalam PP No. 63/2002, hutan kota berfungsi untuk memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika, meresapkan air, menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota dan mendukung kelestarian keanekaragaman hayati. Sedangkan peranan hutan kota seperti yang dikemukakan oleh Samsoedin dan Subiandono (2007) yaitu:

62 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

1. Identitas kota Koleksi jenis tanaman dan hewan dalam hutan kota dijadikan lambang atau simbol yang menggambarkan identitas kota di mana hutan kota tersebut berada.

2. Pelestarian plasma nutfah Hutan kota dijadikan tempat koleksi keanekaragaman hayati yang tersebar di wilayah tanah air kita. Kawasan hutan kota dipandang sebagai areal pelestarian flora dan fauna secara ex situ.

3. Penahan dan penyaring partikel padat di udara Tajuk pepohonan dalam hutan kota mampu menyerap dan menjerap partikel-partikel padat tersuspensi di udara. Di daun, partikel padat terserap masuk melalui stomata. Selain itu partikel padat akan menempel pada kulit batang, ranting dan cabang. Hal ini menyebabkan adanya penurunan kadar debu di udara sehingga udara menjadi lebih bersih dan sehat.

4. Penyerap dan penjerap partikel Timbal dan debu industri Aktifitas kendaraan bermotor menjadi sumber utama pencemaran udara kota oleh partikel Timbal. Beberapa jenis tanaman dalam hutan kota mampu menyerap dan menjerap partikel Timbal dan debu industri. Jenis tanaman yang mempunyai kemampuan sedang sampai tinggi dalam menurunkan kandungan Timbal di udara antara lain damar (Agathis alba), mahoni (Swietenia macrophylla), jamuju (Podocarpus imbricatus), pala (Mirystica fragrans), asam landi (Pithecelobium dulce), johar (Cassia siamea). Sedangkan jenis yang mampu menyerap dan menjerap partikel debu semen industri yaitu mahoni (Swietenia macrophylla), bisbul (Diospyros discolor), tanjung (Mimusops elengi), kenari (Canarium commune), meranti merah (Shorea leprosula), kere payung (Filicium decipiens), kayu hitam (Diospyros celebica).

5. Peredam kebisingan Berbagai jenis tanaman dengan berbagai strata yang cukup rapat dan tinggi dapat mengurangi kebisingan yang berasal dari bawah. Kemampuan pohon dalam meredam kebisingan terjadi melalui mekanisme absorpsi gelombang suara oleh daun, cabang dan ranting.

6. Mengurangi bahaya hujan asam Pohon dapat membantu dalam mengatasi dampak negatif hujan asam melalui proses fisiologis tanaman yang disebut proses gutasi (Smith, 1985). Proses gutasi akan memberikan beberapa unsur diantaranya ialah : Ca, Na, Mg, K dan bahan organik seperti glumatin dan gula. Hujan yang mengandung H2SO4 atau HNO3 apabila tiba di permukaan daun akan mengalami reaksi. Pada saat permukaan daun mulai dibasahi, asam H2SO4 akan bereaksi dengan Ca yang ada pada daun membentuk garam CaSO4 bersifat netral. Adanya proses intersepsi dan gutasi oleh permukaan daun akan menaikkan pH sehingga air hujan menjadi tidak begitu berbahaya bagi lingkungan.

7. Penyerap Karbonmonoksida. Mikro organisme serta tanah pada lantai hutan mempunyai peranan yang baik dalam menyerap karbon monoksida (Bennet dan Hill, 1975). Inman et al. dalam Smith (1981)

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 63

mengemukakan, tanah dengan mikroorganismenya dapat menyerap gas CO sebesar 120 ppm menjadi hampir mendekati nol dalam waktu 3 jam.

8. Penyerap Karbondioksida dan penghasil Oksigen Hutan (termasuk hutan kota) merupakan penyerap CO2 yang cukup penting. Proses fotosintesis pada tumbuhan sangat bermanfaat bagi manusia, karena dapat menyerap gas CO2 yang bersifat toksik dan menghasilkan Oksigen yang dibutuhkan manusia dan hewan dalam proses respirasi.

9. Penyerap dan penapis bau Tanaman dapat digunakan untuk mengurangi bau tidak sedap melalui penyerapan langsung atau menahan gerakan angin yang berasal dari sumber bau (Grey dan Deneke, 1978). Beberapa jenis tanaman berbau harum juga dapat menetralisir bau busuk seperti cempaka (Michelia champaka) dan tanjung (M. elengi).

10. Mengatasi penggenangan Jenis tanaman berdaun banyak mempunyai kemampuan evapotranspirasi tinggi sehingga mampu mengatasi masalah genangan air. Jenis tanaman tersebut antara lain nangka (Artocarpus integra), albizia (Paraserianthes falcataria), Acacia vilosa, Indigofera galegoides, Dalbergia spp., mahoni (Swietenia spp), jati (Tectona grandis), kihujan (Samanea saman) dan lamtoro (Leucanea glauca).

11. Mengatasi intrusi air laut Intrusi air laut dapat diatasi dengan upaya peningkatan kandungan air tanah melalui pembangunan hutan lindung kota pada daerah resapan air dengan tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi rendah.

12. Produksi terbatas Hutan kota dapat ditanami dengan jenis-jenis tanaman bernilai ekonomi (menghasilkan biji, buah, bunga, daun, kayu) yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pendapatan masyarakat secara terbatas.

13. Ameliorasi Iklim Masalah penting yang dihadapi penduduk kota adalah berkurangnya kenyamanan akibat meningkatnya suhu udara di perkotaan. Vegetasi hutan kota berkerapatan tinggi dapat menurunkan suhu di siang hari dan menahan panas pada malam hari sehingga suhu udara lebih hangat.

14. Pengelolaan sampah Hutan kota dapat diarahkan untuk pengelolaan sampah dalam hal sebagai penyekat bau, penyerap bau, pelindung tanah hasil bentukan dekomposisi sampah, penyerap zat berbahaya yang terkandung dalam sampah seperti logam berat, pestisida serta bahan beracun dan berbahaya lainnya.

15. Pelestarian air tanah Sistem perakaran tanaman dan serasah dapat meningkatkan kadar air tanah karena mempunyai kemampuan untuk memperbesar porositas tanah sehingga memperbesar infiltrasi dan mengurangi limpasan air hujan. Hutan kota yang dibangun pada daerah resapan air di suatu kota dapat membantu mengatasi masalah ketersediaan air dengan kualitas yang baik.

64 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

16. Penapis cahaya silau Hutan kota dengan kerapatan tinggi dan tajuk yang rimbun mampu menapis cahaya silau yang berasal dari pantulan benda-benda seperti kaca, beton, aluminium, baja dan air. Cahaya silau dapat mengurangi daya pandang pengendara sehingga memicu terjadinya kecelakaan.

17. Meningkatkan keindahan Tanaman dengan bentuk, warna dan tekstur tertentu dapat dipadu dengan benda-benda buatan seperti gedung, jalan dan sebagainya untuk mendapatkan komposisi yang menarik sehingga menghasilkan keindahan.

18. Sebagai habitat burung Hutan kota dapat dikembangkan sebagai habitat burung. Beberapa jenis burung membutuhkan pohon sebagai tempat mencari makan maupun sebagai tempat bersarang dan bertelur. Pohon kaliandra diantaranya disenangi burung pengisap madu. Pohon jenis lain yang disukai oleh burung karena buah, nektar, bunga, ijuk dan batangnya yang menarik.

19. Mengurangi stres Hutan kota dapat membantu menurunkan tingkat stres masyarakat perkotaan akibat aktifitas dan mobilitas yang tinggi. Kesejukan dan kesegaran yang diberikan oleh hutan kota dapat menghilangkan kejenuhan dan kepenatan serta menjadikan pikiran lebih santai.

20. Mengamankan pantai terhadap abrasi Hutan kota berupa formasi hutan mangrove dapat meredam gempuran ombak dan membantu proses pengendapan lumpur di pantai. Hutan kota dapat mengurangi bahaya abrasi pantai dan berperan dalam proses pembentukan daratan.

21. Meningkatkan daya tarik wisatawan domestik dan mancanegara Hutan kota yang di dalamnya terdapat tanaman langka dan unik dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.

22. Sebagai hobi dan pengisi waktu luang Monotonitas, rutinitas dan kejenuhan kehidupan di kota besar perlu diimbangi oleh kegiatan lain yang bersifat rekreatif. Hutan kota menjadi salah satu alternatif yang mampu menjawabi tuntutan tersebut.

Penelitian-penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa vegetasi hutan kota berperan penting dalam menciptakan ekosistem yang seimbang. Penelitian yang dilakukan oleh Z. Djamal Irwan tentang peranan bentuk dan struktur hutan kota terhadap kualitas lingkungan kota Jakarta (1997), membuktikan bahwa hutan kota berbentuk menyebar dan memiliki struktur vegetasi strata banyak paling efektif menanggulangi masalah lingkungan perkotaan seperti menurunkan suhu, kebisingan dan debu serta meningkatkan kelembaban. Sedangkan dalam penelitian de Rozari dan Suwari ditemukan beberapa vegetasi hutan kota yang mampu menyerap karbondioksida hasil emisi gas buang kendaraan bermotor di kota Kupang. Tanaman tersebut adalah nangka (Arthocarpus heterophyllus), beringin (Ficus benjamina), mahoni (Swietenia mahagoni Jack), bunga kupu-kupu (Bauhinia acuminata L) dan angsana (Pterocarpus indicus Willd). Jenis-jenis ini dapat dijadikan pilihan dalam

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 65

pengembangan hutan kota demi terwujudnya kota Kupang sebagai salah satu kota hijau di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pembangunan hutan kota sebenarnya tidak terlalu sulit dilakukan. Menurut Fandeli (2008), hutan yang dikembangkan dalam kota pada umumnya tidak membutuhkan cukup banyak lahan, yang terpenting adalah terbentuknya tree lot yang dapat menciptakan iklim mikro tertentu. Luas hutan kota sedikitnya 10% dari luas wilayah perkotaan atau disesuaikan dengan kondisi setempat. Penentuan lokasi dan luas hutan kota didasarkan pada pertimbangan luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat pencemaran dan kondisi fisik kota. Dengan demikian baik bentuk, tipe maupun luas hutan kota dapat disesuaikan dengan lokasi dan fungsi atau tujuan yang hendak dicapai dari hutan kota itu sendiri.

Hutan kota dapat dibangun dalam berbagai tipe, bentuk dan luasan tertentu berpedoman pada rencana tata ruang wilayah kota dan rencana detail tata ruang kota. Tipe hutan kota yang dapat dibangun antara lain tipe pemukiman, tipe industri, tipe rekreasi dan keindahan, tipe pelestarian plasma nutfah, tipe perlindungan, tipe pengamanan. Pada umumnya, hutan kota dapat berbentuk jalur hijau, taman kota, kebun dan halaman, kebun raya, hutan raya dan kebun binatang, hutan lindung, kuburan dan taman makam pahlawan. Sedangkan sesuai peruntukannya dapat berbentuk ruang hijau pertamanan kota, ruang hijau rekreasi kota, ruang hijau stadion olahraga, ruang hijau pemakaman, ruang hijau pertanian, ruang jalur hijau, ruang hijau taman hutan raya, ruang hijau kebun binatang, ruang hijau hutan lindung, ruang hijau areal penggunaan lain, ruang hijau kebun raya, ruang hijau kebun dan halaman (di lingkungan perumahan, perkantoran, pertokoan, pabrik, terminal dan sebagainya).

IV. KENDALA PEMBANGUNAN HUTAN KOTA Pembangunan dan pengelolaan hutan kota di wilayah perkotaan terutama di kota-kota besar tidak semudah yang dipikirkan. Perkembangan kota yang terlalu pesat tidak sebanding dengan perkembangan lingkungan ke arah yang lebih baik. Ketersediaan lahan dan konflik kepentingan menjadi kendala dalam pembangunan hutan kota atau ruang terbuka hijau lainnya di berbagai kota besar. Bahkan sebagian lahan yang telah diperuntukan khusus bagi pembangunan RTH dirambah untuk dijadikan kawasan pemukiman, pasar, pertokoan atau kawasan lainnya. Kasus pembabatan pohon di wilayah jalur hijau untuk pembangunan rumah seperti yang terjadi di kota Kupang adalah salah satu contohnya. Padahal peruntukan lahan tersebut telah diatur dalam Perda Kota Kupang Nomor 12/2011 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota yang diperkuat Perda Nomor 11/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Kupang (Timor Express, Kamis 22 Nov 2012). Kasus lainnya yang menghambat pembangunan hutan kota di kota Kupang adalah pembangunan kota yang tidak sesuai rencana tata ruang dan kurangnya pasokan air selama musim kemarau. Oleh karena itu, untuk mewujudkan kota hijau dan mengantisipasi kekeringan panjang, Pemkot Kupang telah membuat program gerakan menanam 1.000 pohon beringin (F. benjamina). Jenis tanaman ini dinilai cocok bagi Kota Kupang karena tahan panas, rindang dan dapat menyimpan air tanah.

66 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Kendala lainnya adalah lemahnya penegakan hukum baik di pusat maupun daerah. Padahal mengenai penghijauan kota telah diatur dalam peraturan tersendiri. Setiap daerah mempunyai peraturan khusus yang mengatur tentang RTH disertai berbagai sanksi akibat pelanggaran terhadap nilai-nilai yang tertuang dalam peraturan tersebut. RTH sebagai bagian dari rencana tata ruang kota telah tertuang dalam Perda yang mengatur tentang tata ruang kota. Bahkan daerah-daerah tertentu justru mengeluarkan peraturan yang khusus mengatur tentang itu. Namun karena lemahnya penegakan sanksi yang terdapat dalam peraturan tersebut mengakibatkan semakin menurunnya tingkat kesadaran masyarakat mengenai pentingnya hutan kota bagi kelangsungan hidup dan kestabilan ekosistem di wilayah perkotaan.

Konsep pemikiran yang masih sempit mengenai hutan kota juga merupakan hambatan dalam pembangunan dan pengelolaan hutan kota. Masyarakat beranggapan bahwa untuk membangun sebuah hutan kota membutuhkan lahan yang luas padahal hutan kota itu sendiri dapat disesuaikan dengan luasan wilayah setempat. Pola pikir masyarakat yang sempit ini berakibat kepada kurangnya dukungan masyarakat dalam menunjang keberhasilan pengembangan hutan kota. Kurangnya keterlibatan berbagai pihak juga menjadi kendala keberhasilan pembangunan hutan kota padahal pembangunan hutan kota membutuhkan perencanaan, monitoring dan evaluasi yang melibatkan semua pihak terkait.

Untuk mengatasi kendala di atas maka beberapa cara dapat ditempuh seperti melibatkan berbagai pihak dalam rencana pengelolaan hutan kota, meningkatkan sosialisasi tentang hutan kota kepada masyarakat, penegakan sanksi bagi siapa saja yang merusak atau menggunakan lahan hutan kota untuk peruntukan lain, pengukuhan hukum terhadap lahan hutan kota, meningkatkan kerjasama antara stakeholder terkait, meningkatkan evaluasi dan monitoring serta meningkatkan penelitian dan pengembangan ilmu hutan kota. Dengan cara-cara tersebut di atas diharapkan agar kendala dalam pembangunan hutan kota dapat teratasi demi terciptanya kondisi lingkungan yang nyaman, sehat dan estetis serta mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.

V. PENUTUP Keseimbangan ekosistem kota sangatlah penting sehingga perlu menjadi perhatian kita bersama. Ekosistem yang tidak stabil akan menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan perkotaan. Pembangunan hutan kota sebagai salah satu solusi mengurangi dampak negatif perkotaan perlu mendapat sambutan positif dari masyarakat. Mengingat keberhasilan pengembangan hutan kota sangat tergantung kepada dukungan masyarakat dan kekuatan hukum (peraturan) yang berlaku ditunjang dukungan finansial dan ketersediaan tenaga ahli sehingga diperlukan adanya sinergitas di antara unsur-unsur tersebut.

Hutan kota perlu diintegrasikan dalam rencana tata ruang kota agar dalam pelaksanaannya mempunyai kekuatan hukum yang pasti untuk diterapkan dan dikembangkan di seluruh kota. Sosialisasi dan penyuluhan-penyuluhan tentang hutan kota, pengembangan berbagai disiplin ilmu hutan kota, pengembangan penelitian-penelitian, kerjasama antar stakeholder terkait, penerapan sanksi hukum yang tegas, pengukuhan

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 67

hukum terhadap lahan hutan kota, penetapan peraturan daerah, adalah terobosan-terobosan yang dapat ditempuh dalam upaya mensukseskan pembangunan hutan kota disamping dukungan positif dari masyarakat. Demi kelancaran pembangunan hutan kota yang ideal, diperlukan beberapa tahapan yaitu perencanaan, pembentukan kelembagaan dan pemilihan jenis hutan kota. Bila ketiga tahapan ini berjalan dengan baik maka pengembangan hutan kota akan berhasil dengan baik pula. Harapannya pembangunan dan pengembangan hutan kota sebagai upaya menciptakan lingkungan perkotaan yang nyaman, segar, sehat, bersih dan indah dalam mendukung kehidupan manusia dan berbagai aktifitasnya dapat diterapkan di berbagai wilayah perkotaan terutama kota-kota yang telah mengalami penurunan kualitas lingkungan hidup secara signifikan.

DAFTAR PUSTAKA Dahlan, E.N. 2004. Membangun Kota Kebun (Garden City) Bernuansa Hutan Kota. IPB Press.

Bogor. de Rozari, P dan Suwari. 2012. Analisis Kebutuhan Luasan Hutan Kota Berdasarkan

Penyerapan CO2 Antropogenik di Kota Kupang. Jurnal Bumi Lestari Vol 12 No. 2, Agustus 2012, hlm 189-200

Fandeli, C., Muhammad. 2008. Prinsip-Prinsip Dasar Mengkonservasi Lanskap. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Indriyanto. 2008. Pengantar Budidaya Hutan. Bumi Aksara. Jakarta Irwan, Z. D. 1997. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Pustaka CIDESEINDO.

Jakarta Irwan, Z. D. 1992. Prinsip-Prinsip Ekologi. Ekosistem, Lingkungan dan Pelestariannya. Bumi

Aksara. Jakarta Perda Kota Kupang Nomor 7 Tahun 2000 tentang Ruang Terbuka Hijau Kota Kupang Peraturan Pemerintah RI Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota Samsoedin, I dan E. Subiandono. 2007. Pembangunan dan Pengelolan Hutan Kota. Makalah

Utama Pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 september 2006. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian

Timor Express, 2012. Launching Peta Hijau Kota Kupang Buka Ruang Terbuka Hijau. Harian Timor Express terbit Sabtu 10 November 2012. Kupang

Timor Express, 2012. Pembangunan di Jalur hijau Langgar Tata Ruang. Harian Timor Express terbit Kamis 22 November 2012. Kupang

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

68 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 69

PERMASALAHAN KAWASAN HUTAN DI WILAYAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Oleh : Dhany Yuniati, S. Hut*

*Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Email: [email protected]

ABSTRAK

Adanya dualisme kawasan hutan mengakibatkan pengelolaan hutan di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi tidak optimal. Dualisme kawasan hutan tersebut disebabkan adanya perbedaan pemahaman kawasan hutan di lapangan. Secara defacto, masyarakat hanya mengenal kawasan hutan hasil penataan batas jaman Belanda yang dikenal dengan istilah Register Tanah Kehutanan (RTK), sedangkan dejure kawasan hutan sesuai Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 423/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi NTTharus menjadi rujukan operasional pengelolaan kawasan hutan di lapangan. Melalui review kawasan hutan yang dilaksanakan sejalan dengan proses review tata ruang Provinsi Nusa Tenggara Timur, diharapkan permasalahan dualisme kawasan hutan dapat terselesaikan. Kawasan hutan baru sebagai hasil review kawasan hutan bisa diterima oleh semua pihak sehingga pengelolaan hutan dan kawasan hutan di Provinsi NTT bisa dilakukan secara optimal karena tidak ada lagi perbedaan pemahaman kawasan hutan di wilayah Provinsi NTT. Kata kunci : Kawasan hutan, Nusa Tenggara Timur, Register Tanah Kehutanan, SK

Menhutbun No. 423/Kpts-II/1999 I. PENDAHULUAN Undang-Undang (UU) Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan mendefinisikan kawasan hutan sebagai wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Definisi tersebut sudah berubah karena adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Pebruari 2011 terkait gugatan 5 (lima) Bupati di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah dan 1 (satu) orang swasta atas pasal 1 angka 3 UU Nomor 41 tahun 1999 yang sebelumnya menyatakan “Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”.Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pengertian ditunjuk dan atau ditetapkan tidak sejalan dengan asas negara hukum dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pengertian tersebut juga dianggap bertentangan dengan ketentuan lain dalam UU No. 41 tahun 1999 yaitu pasal 15 ayat (1) yang menyebutkan tahapan dalam proses pengukuhan kawasan hutan, bahwa penunjukan hanyalah salah satu tahapan dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Sehingga menyamakan penunjukan dengan penetapan sebagai tahapan akhir dari proses pengukuhan kawasan hutan tidaklah tepat karena mengabaikan kemungkinan adanya hak-hak perseorangan atau ulayat pada kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut. Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengikat sejak dibacakan yaitu tanggal 21 Pebruari 2012, sehingga pasal 1 ayat 3 UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

70 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

menjadi “wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”.Sehubungan dengan keputusan tersebut maka segala perbuatan hukum yang timbul dari berlakunya UU No. 41 tahun 1999 tetap sah dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, sedangkan apabila Menteri Kehutanan menerbitkan keputusan tentang penunjukan kawasan hutan baru setelah keputusan tersebut, maka keputusan tersebut sah namun derajat hukumnya belum mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pengertian kawasan hutan berbeda dengan hutan. Di dalam UU No. 41 tentang Kehutanan, hutan didefinisikan sebagaisuatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sehingga dalam kenyataanya ada hutan yang tidak masuk dalam kawasan hutan dan sebaliknya bahwa kawasan hutan belum tentu memiliki penutupan lahan berupa hutan. Hal ini disebabkan karena pengertian kawasan hutan lebih menekankan pada aspek status lahannya, sedangkan hutan pada aspek biofisik.

Luas kawasan hutan di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 423/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi NTT adalah 1.809.990 ha atau kurang lebih 38,17% dari luas daratan Provinsi NTT. Sebagai provinsi kepulauan yang terletak di wilayah yang cenderung kering sepanjang tahun, karakteristik hutan dan kawasan hutan di wilayah NTT berbeda dengan hutan dan kawasan hutan lainnya di Indonesia. Dengan tipe hutan semi arid, hasil penafsiran citra satelit menunjukkan bahwa penutupan lahan (land cover) yang ada di kawasan hutan didominasi oleh semak, belukar dan savanna.

Adanya terminologi yang membedakan antara hutan dan kawasan hutan, mengakibatkan kondisi penutupan lahan ini menjadi permasalahan di Provinsi NTT. Masyarakat tidak mengenal adanya perbedaan ini. Mereka hanya tahu bahwa kawasan hutan adalah hutan, dan hutan adalah kawasan hutan. Kawasan hutan di benak mereka adalah areal yang ditumbuhi pohon-pohonan. Sepanjang areal tidak ditumbuhi pepohonan maka itu bukan hutan atau kawasan hutan, tetapi suatu areal open access yang bisa digarap dan diduduki untuk kehidupan mereka.

Kondisi ini diperparah dengan adanya kenyataan di lapangan bahwa selama ini masyarakat hanya mengenal kawasan hutan hasil penataan batas jaman Belanda yang lebih dikenal dengan istilah Register Tanah Kehutanan (RTK) yang secara biofisik umumnya memang berhutan.Adanya label hutan larangan terhadap kawasan hutan Belanda ini di beberapa tempat mengakibatkan masyarakat disekitar kawasan hutan menjaga dengan baik kawasan hutan ini dan tidak mengganggunya sehingga tetap terjaga kondisi tutupan lahannya berupa hutan.

Ada dualisme pengertian kawasan di wilayah Provinsi NTT dimana secara defacto kawasan RTK yang diakui oleh masyarakat di lapangan, tetapi secara dejure kawasan hutan berdasarkan penunjukan yang menjadi rujukan operasional pengelolaan kawasan hutan di lapangan. Kenyataan di lapangan juga menunjukkan bahwa kawasan hutan yang didasarkan pada RTK berbeda bentuk, luas, dan posisinya dari kawasan hutan berdasarkan surat

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 71

keputusan menteri tentang penunjukan kawasan hutan wilayah Provinsi NTT. Dualisme pengertian kawasan hutan juga membingungkan stakeholderdi wilayah NTT yang mengakibatkan pengelolaan hutan dan kawasan hutan menjadi tidak optimal.

Beberapa tahun yang lalu pernah terjadi dalam suatu forum yang diselenggarakan di salah satu kota di wilayah NTT dan difasilitasi oleh BPDAS PS (waktu itu masih bernama RLPS), sekelompok masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang selama ini melakukan pendampingan terhadap mereka mengajukan permohonan untuk kegiatan HKm, setelah diketahui bahwa areal yang dimohon berada di Areal Penggunaan Lain (APL) menurut peta penujukan kawasan hutan Provinsi NTT, akhirnya permohonan tersebut ditolak. Padahal masyarakat meyakini bahwa areal yang mereka ajukan berada di dalam kawasan hutan.Penolakan oleh masyarakat ketika kegiatan tata batas yang dilaksanakan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XIV Kupang yang merujuk pada peta penunjukan kawasan hutan Provinsi NTT menjadi bukti lain.

II. SEJARAH KAWASAN HUTAN

Gambar 1. Diagram sejarah kawasan hutan di Indonesia

Secara umum sejarah kawasan hutan di wilayah Provinsi NTT sama dengan sejarah

panjang pengelolaan kawasan hutan di Provinsi lain di Indonesia, sebagaimana yang tergambar pada diagram di atas (gambar 1). Sejarah kawasan hutan di Provinsi NTT sudah dimulai sejak jaman penjajahan Belanda. Dari beberapa sumber yang ada disebutkan bahwa pada tahun 1925 dan 1926 di Pulau Rote ditunjuk kawasan hutan seluas 9.403 ha yang meliputi 23 kelompok hutan. Kawasan hutan ini telah ditata batas pada tahun 1930. Kemudian pada tahun 1928 di Pulau Sabu ditunjuk kawasan hutan seluas 149 ha yang terdiri dari 8 kelompok hutan, selanjutnya di Pulau Semau pada tahun 1932 seluas 1.790 ha sebanyak 5 kelompok hutan. Antara tahun 1927–1933 di Pulau Timor ditunjuk kawasan

Hutan Register dan Penunjukan

Parsial

TGHKPaduserasi

RTRWP-TGHKPenunjukan

Kawasan Hutandan Perairan

Usulan Perubahan KH Melalui Review RTRWP/RTRWK

< 1980 1980-1992 1992-1999 1999-2005

UU No. 5/1967 UU No. 5/ 1990 UU No. 24/ 1992 UU No. 41/ 1999

2005-

UU No. 32/ 2004UU No.26/ 2007

Landasan YuridisLandasan Yuridis

Kawasan Hutan

72 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

hutan seluas 507.732 ha yang tersebar di 52 kelompok hutan, tahun 1936–1965 ditunjuk kawasan hutan seluas 235.971 ha yang tersebar di 28 kelompok hutan di Pulau Sumba, di Pulau Flores dan sekitarnya pada tahun 1930–1969 ditunjuk kawasan hutan seluas 397.070 ha tersebar di 65 kelompok hutan, serta di Pulau Alor dan Pantar seluas 100.396 ha yang tersebar di 7 kelompok hutan pada tahun 1966. Total luas kawasan hutan di Provinsi NTT sebelum tahun 1983 adalah kurang lebih 1.252.511 ha atau 26,40% dari luas daratan.

Melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 89/Kpts-II/1983 tanggal 2 Desember 1983 dilakukan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang merupakan kesepakatan bersama para pemangku kepentingan di tingkat provinsi untuk menentukan alokasi ruang kawasan hutan berikut fungsinya. Dari hasil TGHK ini, luas kawasan hutan di NTT diproyeksikan 1.667.962 ha atau 35,19% dari luas daratan. Menurut fungsinya, kawasan hutan tersebut dapat dirinci sebagai berikut :

1. Hutan Suaka Alam/ Hutan Wisata : 131.890 ha 2. Hutan Lindung : 667.601 ha 3. Hutan Produksi Terbatas : 398.954 ha 4. Hutan Produksi Tetap : 278.147 ha 5. Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi : 181.370 ha

Pada tahun 1996, sebagai tindak lanjut dari Instruksi Mendagri Nomor 474/4263/Sj tanggal 27 Desember 1994 melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Dati I NTT No. 64 Tahun 1996 ditetapkan hasil paduserasi antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan TGHK. Dari hasil paduserasi ini maka luas kawasan hutan Provinsi NTT menjadi 1.808.981,27 ha atau 38,17% luas daratan dan berdasarkan fungsinya dapat dirinci sebagai berikut :

1. Kawasan Lindung seluas 1.081.546,53 ha yang terdiri dari :

a. Hutan Lindung : 731.216,97 ha. b. Cagar Alam : 66.653,25 ha. c. Suaka Marga Satwa : 18.916,81 ha. d. Pantai Hutan Bakau : 40.695,54 ha. e. Taman Nasional : 59.058,53 ha. f. Taman Buru : 5.850,67 ha. g. Taman Wisata : 159.154,76 ha.

2. Kawasan Budidaya seluas 727.434,74 ha yang terdiri dari : h. Hutan Produksi Terbatas : 197.249,73 ha. i. Hutan Produksi Tetap : 428.357,98 ha. j. Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi : 101.827,03 ha. Dari hasil paduserasi antara RTRWP dan TGHK tersebut kemudian ditindaklanjuti

dengan penunjukan kawasan hutan dan perairan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan melalui SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 423/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi NTT seluas 1.809.990 ha sebagai Kawasan Hutan.

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 73

Jika peta kawasan hutan dari masing-masing periode tersebut dibandingkan, terdapat perbedaan yang cukup signifikan dari bentuk, luas dan posisinya. Hal ini yang menjadi sumber terjadinya dualisme (perbedaan pemahaman tentang) kawasan hutan di wilayah Provinsi NTT. Ketidakkonsistenan dalam penentuan kawasan hutan di masing-masing periode menjadi sumber permasalahan utamanya. Ini pula yang membedakan kawasan hutan di Provinsi NTT dengan provinsi lain di Indonesia. Di provinsi lain, kawasan hutan register, TGHK dan penunjukannya kurang lebih bentuk, luas dan posisinya sama.

III. UPAYA PENYELESAIAN Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan yang sudah dirubah dengan PP Nomor 60 tahun 2012 tentang Perubahan Atas PP Nomor 10 tahun 2010 beserta beberapa peraturan dibawahnya memberi peluang dan cara penyelesaian permasalahan kawasan hutan yang ada.Dalam hal ini, perubahan peruntukan kawasan hutan adalah perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan, sedangkan perubahan fungsi adalah perubahan sebagian atau seluruh fungsi hutan dalam satu atau beberapa kelompok hutan menjadi fungsi hutan yang lain.

Pada prinsipnya dengan peraturan tersebut ada dua mekanisme yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan kawasan hutan, baik perubahan peruntukan maupun perubahan fungsi kawasan hutan,yaitu secara parsial atau untuk wilayah provinsi melalui mekanisme review tata ruang. Perubahan peruntukan kawasan hutan secara parsial, dapat dilakukan dengan cara pelepasan kawasan hutan dan tukar menukar kawasan hutan. Pelepasan kawasan hutan hanya dapat dilakukan untuk kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi, sedangkan tukar menukar kawasan hutan hanya dapat dilakukan untuk kawasan hutan produksi dan produksi terbatas dengan rasio areal pengganti minimal 1 : 1. Perubahan peruntukan untuk wilayah provinsidapat dilakukan di seluruh fungsi kawasan hutan yaitu kawasan hutan lindung, hutan produksi (produksi tetap dan produksi terbatas) dan hutan konservasi tergantung dari hasil penilaian tim terpadu bentukan Menteri Kehutanan yang beranggotakan tenaga ahli dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan kepakaran.

Pada tahun 2010 Provinsi NTT telah menyelesaikan proses Review Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), namun melalui surat Gubernur NTT Nomor: BU.522.1/09/BAPPEDA/2010 tanggal 20 Desember 2010 disampaikan bahwa pada Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang RTRWP Provinsi NTT tahun 2010 – 2030 tidak mengusulkan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Surat tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri Kehutanan dengan mengeluarkan surat Nomor : S.5/Menhut-VII/2011 tanggal 3 Januari 2011 tentang Persetujuan Substansi Kehutanan yang berisi : 1. Persetujuan prinsip usulan untuk tidak melakukan perubahan fungsi dan peruntukan

kawasan hutan pada Ranperda Provinsi NTT tentang RTRWP tahun 2010 – 2030. 2. Peta pola ruang agar mengacu pada Peta Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi NTT yang

diperbarui dengan basis Peta Dasar Tematik Kehutanan (PDTK). Dengan keluarnya surat persetujuan substansi tersebut maka kawasan hutan di wilayah Provinsi NTT masih mengacu pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 423/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi NTT.

74 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Dengan tidak mengusulkan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam Ranperda RTRWP tahun 2010 – 2030, permasalahan kawasan hutan yang ada sama sekali tidak terselesaikan sehingga bisa menjadi bom waktu bagi pengelolaan hutan di wilayah Provinsi NTT. Pada tahun 2012, dengan mempertimbangkan potensi permasalahan kawasan hutan yang semakin kompleks, antara lain : keberadaan desa permanen di dalam kawasan hutan, okupasi dan perambahan kawasan hutan untuk pemukiman dan pertanian, klaim tanah adat/ulayat, pemekaran wilayah administrasi desa/kecamatan/kabupaten/kota ke dalam kawasan hutan dan adanya perbedaan letak, luas dan bentuk kawasan hutan antara penunjukan dengan kondisi riil di lapangan, Dinas Kehutanan Provinsi NTT menginisiasi dilakukannya review kawasan hutan. Dari 21 (dua puluh dua) kabupaten/kota yang ada di wilayah Provinsi NTT, sebanyak 16 (enam belas)kabupaten/kota telah menyampaikan usulan perubahan kawasan hutan, sedangkan 5 kabupaten yaitu Kabupaten Rote Ndao, Sikka, Sumba Barat Daya, Sabu Raijua dan Sumba Barat tidak mengusulkan perubahan kawasan hutan.

Adanya kabupaten/ kota yang tidak menyampaikan usulan perubahan kawasan hutan patut disayangkan, karena 5 (lima) kabupaten tersebut bukan tidak mempunyai permasalahan kawasan hutan. Kabupaten Rote Ndao, misalnya, telah ditetapkan sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Model namun kawasan hutannya masih jauh dari mantap karena dualisme kawasan hutan sangat kuat terjadi di sana. Kawasan–kawasan hutan yang selama ini diakui oleh masyarakat (kawasan hutan RTK Belanda) tidak selaras dengan peta penunjukan kawasan hutan, dimana kawasan-kawasan hutan tersebut ukurannya jauh lebih kecil dan posisinya menyebar bila dibanding dengan penunjukannya. Bila hal ini dibiarkan akan berpotensi menimbulkan konflik dengan masyarakat sehingga KPH Model tidak bisa beroperasi secara optimal seperti yang diharapkan.

Perlu dukungan dari instansi terkait untuk mensukseskan review kawasan hutan ini. Dinas kehutanan kabupaten sebagai pengelola kawasan hutan lindung dan hutan produksi untuk tidak hanya menyampaikan data spatial usulan perubahan peruntukan kawasan hutan, tetapi juga menyampaikan data-data kawasan hutan RTK Belanda yang belum termuat dalam peta penunjukan kawasan hutan yang ada di wilayahnya untuk nantinya ditunjuk oleh Menteri Kehutanan sebagai kawasan hutan. Ini perlu dilakukan agar ke depan tidak ada lagi dualisme kawasan hutan di wilayah Provinsi NTT. BPKH Wilayah XIV Kupang sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan untuk mendukung ketersediaan data perkembangan pengukuhan kawasan hutan dalam bentuk peta–peta tata batas kawasan hutan. Serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi NTT untuk mendukung ketersediaan data wilayah administrasi desa, kecamatan, dan kabupaten/kota. Data ini sangat diperlukan karena masih ada beberapa kabupaten yang belum menyelesaikan batas wilayah adminsitrasinya dengan kabupaten di sebelahnya agar batas pengelolaan kawasan hutan nantinya menjadi jelas.

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 75

IV. PENUTUP Melalui proses review kawasan hutan, diharapkan permasalahan kawasan hutan di Provinsi NTT bisa terselesaikan. Kawasan hutan baru sebagai hasil dari proses review tersebut bisa diterima oleh semua pihaksehingga pengelolaan hutan dan kawasan hutan di Provinsi NTT bisa dilakukan secara optimal karena tidak ada lagi perbedaan pemahaman kawasan hutan di wilayah provinsi tersebut.

REFERENSI Keputusan Menteri Pertanian Nomor 89/Kpts-II/1983 tanggal 2 Desember 1983 tentang Tata

Guna Hutan Kesepakatan

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Dati I Nusa Tenggara Timur No. 64 Tahun 1996 tentang Penetapan Hasil Paduserasi Antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan TGHK.

Anonim, UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

Anonim, Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 2010 jo Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2012 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan

SK Menhutbun No. 423/Kpts-II/1999 Tentang Penujukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Nusa Tenggara Timur

76 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 77

HABITAT DAN KORIDOR SATWA LIAR DALAM

PERSPEKTIF TATA RUANG

Oleh: Kayat* dan Grace S. Saragih**

*Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Email: [email protected] **Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Email: [email protected]

ABSTRAK

Kebutuhan dasar habitat satwa liar untuk dapat hidup dan berkembangbiak terdiri dari makanan, air, cover dan ruang. Keempat kebutuhan dasar tersebut harus tersedia dalam jumlah cukup agar satwa liar tersebut dapat beradaptasi dengan habitatnya. Banyak tata ruang yang tidak direncanakan dan dilaksanakan dengan baik, sehingga sebagai akibatnya akan mengancam kelestarian habitat dan satwa liar yang ada di dalamnya. Oleh karena itu sudah saatnya tata ruang baik skala nasional maupun daerah memperhatikan dan mengakomodir keberadaan habitat untuk melestarikan keanekaragaman jenis satwa liar. Penyediaan koridor satwa liar pun dapat membantu dalam pelestarian keanekaragaman jenis satwa liar yang berfungsi sebagai tempat berpindahnya satwa liar dari satu habitat ke habitat lainnya. Kata kunci : satwa liar, habitat, koridor, ruang

I. PENDAHULUAN Beberapa faktor yang menyebabkan turunnya populasi satwa liar adalah perburuan dan perdagangan, konflik dengan penduduk sekitar, serta deforestasi dan fragmentasi habitat satwa liar. Dua alasan terakhir adalah sangat erat kaitannya dengan tata ruang.

Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai. Satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Ruang merupakan salah satu kebutuhan dasar habitat bagi hampir seluruh jenis satwa liar selain pakan, air, dan cover. Hilangnya atau berkurangnya habitat yang digunakan untuk hidup oleh satwa liar menjadi luasan yang lebih kecil dan terisolasi dapat menjadi sebab hilangnya populasi spesies tertentu dalam perspektif regional landscape. Satwa liar akan mengalami keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai akibat luasan habitat yang semakin mengecil. Akibatnya banyak satwa liar begitu juga flora, mikroorganisme, dan proses biologis yang telah punah sebelum sempat diketahui manfaatnya.

Apabila tata ruang suatu wilayah tidak direncanakan dengan baik, bisa saja berakibat pada peningkatan kerusakan habitat satwa liar, mulai dari tingkat fragmentasi hingga hilangnya habitat. Dampak yang lebih penting adalah terjadinya isolasi genetik yang bisa berakibat terjadinya inbreeding dalam populasi yang terperangkap tersebut. Untuk itu keberadaan koridor menjadi suatu bagian yang penting untuk menjembatani terjadinya

78 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

hubungan secara spasial dan genetik antar populasi yang terisolasi tadi. Koridor lingkungan merupakan wilayah pada bentang lahan yang menghubungkan wilayah terisolasi/habitat yang terpecah, yang dahulu pernah terhubung satu sama lain dalam tatanan sejarah. Koridor ini memberikan perlindungan pada lingkungan yang sensitif dengan menciptakan penghubung pada bentang lahan dan potensi sebagai penyangga antara alam dan komunitas manusia. Koridor lingkungan merupakan ekosistem yang komplek yang memberikan jalan bagi pergerakan satwa liar, menjaga sumberdaya alam, dan ruang penyangga hijau bagi manusia.

Tujuan penulisan ini memberikan gambaran tentang (1) habitat dan koridor satwa liar; dan (2) permasalahan yang terjadi pada habitat dan koridor satwa liar serta solusi penyelesaiannya.

Manfaat yang diharapkan dari tulisan ini adalah (1) tersajinya gambaran habitat dan koridor satwa liar secara nasional dan yang ada di Nusa Tenggara Timur (NTT) secara khusus; (2) tersajinya gambaran bagaimana permasalahan yang terjadi pada habitat dan koridor satwa liar sehingga seluruh pihak terkait mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat umum bisa mengambil langkah secara bijaksana demi kelestarian satwa liar. II. URAIAN DAN PEMBAHASAN A. Habitat Satwa Liar Djuwantoko (1986) menyatakan habitat merupakan tempat hidup populasi satwa liar untuk dapat berkembang biak dengan optimal. Habitat yang ideal bagi satwa adalah yang mencakup kebutuhan biologis dan ekologis satwa yang bersangkutan. Artinya habitat satwa dapat memenuhi kebutuhan biologis satwa (makan, minum, berlindung, bermain, berkembang biak) dan dapat memenuhi fungsi ekologis dalam ekosistem.

Satwa liar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Oleh karena itu, habitat suatu jenis satwa liar belum tentu sesuai untuk jenis lain. Habitat suatu jenis satwa liar mengandung suatu sistem yang terbentuk dari interaksi antar komponen fisik dan biotik. Sistem tersebut dapat mengendalikan kehidupan satwa liar yang hidup di dalamnya (Alikodra, 2002).

Dengan keragaman vegetasi yang tinggi dan jenisnya yang sangat beraneka ragam sudah barang tentu menjadi garansi bahwa kawasan habitat satwa liar mampu menyediakan sumber pakan bagi satwa liar yang ada di sana baik burung maupun mamalia. Satwa liar akan mempunyai banyak pilihan atau alternatif jenis-jenis tumbuhan yang bisa dijadikan sebagai sumber pakan.

Dengan penataan dan managemen pengelolaan yang tepat dan proporsional harusnya kawasan habitat mampu untuk menyediakan ruang pergerakan bagi satwa liar. Ini berarti bahwa kawasan hutan yang ada di sana merupakan daerah sebaran atau wilayah jelajah satwa liar tersebut.

Hal ini bisa jadi karena kemampuan satwa liar dalam memanfaatkan habitat yang berbeda. Ada satwa liar yang bisa menyesuaikan dengan segala kondisi habitat yang ada dan ada pula yang hanya mampu hidup pada habitat tertentu.

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 79

Sebaran mamalia biasanya memiliki lokasi-lokasi tertentu yang sangat jarang terjadi overlap (tumpang tindih). Ini berarti bahwa tiap satwa liar tersebut memiliki kesukaan habitat tertentu yang tidak sama antara satu dengan lainnya.

B. Koridor Satwa Liar Koridor satwa liar merupakan penghubung antara wilayah yang terfragmentasi untuk tujuan melestarikan populasi satwa liar yang terisolasi. Dengan adanya koridor satwa liar diharapkan dapat terjadi interaksi antara populasi suatu spesies antara habitat yang satu dengan habitat lainnya. Koridor selain dapat mempertahankan keragaman genetika spesies, juga dapat mempermudah pergerakan dan migrasi satwa liar dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Koridor juga menjadikan satwa liar mudah mendapatkan pasangan untuk berkembang biak, mencukupi kebutuhan pakan dan ruang tempat tinggal. Kelompok wilayah-wilayah yang memiliki potensi sebagai koridor satwa liar selanjutnya akan saling dihubungkan sehingga akan terbentuk jaringan koridor satwa liar.

Desain koridor dititikberatkan pada kawasan sempadan sungai dan memiliki lebar minimal 300 m di kanan dan kiri sungai untuk kebutuhan koridor satwa liar dan mengurangi efek tepi ke tengah koridor.

Ada 4 peran penting yang dimainkan oleh koridor yang memiliki hubungan khusus dengan konservasi biologi :

Mendukung Populasi Jenis-Jenis, Mengatur Pergerakan Organisme, Menyangga Kawasan yang Sensitif dan Kawasan Lindung, dan Menjaga Integritas Ekosistem Akuatik.

C. Beberapa Permasalahan Habitat dan Koridor Satwa Liar 1. Beberapa Permasalahan pada Skala Nasional Kebijakan pemerintah yang pro ekonomi global dengan pengembangan sektor industri, berimbas ke sektor kehutanan dan lahan di kawasan hutan menjadi incaran, perkebunan sawit, hutan tanaman industri ataupun pertambangan yang terus mengekspansi lahan berskala besar. Sehingga degradasi hutan dan deforestasi tidak bisa dihindari lagi (Azhar, 2013). Salah satu akibat degradasi hutan dan deforestasi adalah tersisihnya satwa liar dari habitatnya.

Dewasa ini, sengketa satwa dan manusia telah merambah ke desa–desa di sekitar kawasan hutan, kerugian umum terjadi akibat konflik diantaranya seperti rusaknya tanaman pertanian dan atau perkebunan serta pemangsaan ternak oleh satwa liar, atau bahkan menimbulkan korban jiwa baik manusia maupun satwa liar seperti gajah, harimau, orangutan dan beruang. Manusia dan satwa liar berkompetisi berebut lahan untuk hidup. Faktanya makin banyak jumlah populasi manusia di bumi, kebutuhan lahan dan ruang serta sumber daya kian besar (Azhar, 2013).

Kasus perebutan ruang antara manusia dan satwa liar sudah terjadi di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan, dan kemungkinan pulau lainnya di seluruh nusantara. Kasus

80 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

pertama, di Pulau Jawa masyarakat harus sadar dengan adanya kebutuhan ruang sebagai habitat macan tutul. Di Pulau Sumatera masyarakat sudah menginvasi habitat mamalia besar endemik Pulau Sumatera seperti gajah sumatera, harimau sumatera, badak sumatera dan orang utan. Pembukaan perkebunan sawit, daerah transmigrasi, pertambangan, dan lahan pertanian masyarakat secara tidak langsung telah mengurangi daerah jelajah atau habitat satwa liar. Sehingga terjadi penggunaan ruang yang sama antara masyarakat dan satwa liar. Kalau hal ini dibiarkan berlangsung terus-menerus maka akan terjadi konflik antara satwa liar dan masyarakat. Sebagai contoh adalah terjadinya beberapa kasus “gajah masuk kampung” dan memakan tanaman pertanian masyarakat. Pihak masyarakat pun melakukan perlawanan dengan membunuh gajah yang ada. Sehingga korban pun akan berjatuhan baik dari pihak masyarakat maupun satwa liar. Sedianya pihak pengelola dan masyarakat harus memetakan daerah jelajah gajah, sehingga daerah jelajah tersebut jangan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai aktivitasnya.

Pada musim kemarau gerombolan gajah biasanya bergerak mengikuti jalur jelajah alaminya untuk mencari makan dari hutan-hutan dataran tinggi menuju hutan-hutan dataran rendah. Pergerakan sebaliknya dilakukan pada saat musim hujan. Selain memakan makanan alaminya seperti bambu-bambuan, pisang hutan, alang-alang muda, dan sebagainya, kawanan gajah ini menyukai juga tanaman pertanian seperti kelapa hibrida, kelapa sawit dan tebu (Wiratno dkk, 2001). Eksploitasi hutan secara besar-besaran, pembukaan areal transmigrasi, pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), dan konversi hutan menjadi areal perkebunan tidak lagi memperhatikan daerah jelajah gajah sehingga konflik antar gajah dengan masyarakat tidak bisa dielakkan lagi.

Kasus lainnya adalah konflik antara harimau sumatera dengan masyarakat. Masyarakat banyak membuka lahan perkebunan sawit dan lahan pertanian yang mengundang datangnya mangsa dari harimau seperti rusa, babi hutan dan mamalia lainnya. Otomatis harimau pun sebagai predator akan mendatangi wilayah yang didatangi mangsanya. Akhirnya yang terjadi adalah harimau tidak hanya memangsa satwa mangsa yang biasa ada di hutan, ternak milik masyarakat pun seperti kambing dan sapi menjadi incarannya. Bahkan kadang kala masyarakat pun menjadi korban dari harimau masuk kampung. Sehingga terjadilah konflik antara manusia dan satwa liar. Padahal kalau manusia mau berbuat arif dengan berbagi wilayah dengan satwa liar, mungkin konflik bisa dihindarkan.

Konflik antara manusia dengan orang utan. Akibat perubahan fungsi hutan menjadi fungsi lain menyebabkan berkurangnya ruang sebagai habitat orang utan. Akibatnya terjadi kelompok-kelompok orang utan terisolasi di berbagai HPH, perkebunan, kawasan konservasi dan lahan pertanian masyarakat (Wiratno dkk, 2001).

2. Beberapa Permasalahan di Wilayah NTT Beberapa kasus mengindikasikan terjadinya perebutan ruang antara manusia dan satwa liar tak terkecuali di wilayah Provinsi NTT. Salah satu contoh betapa serakahnya manusia adalah konversi danau-danau habitat kura-kura leher ular rote yang ada di Pulau Rote menjadi areal persawahan dan perkebunan sayuran. Dampak yang cukup signifikan adalah makin

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 81

berkurangnya lahan basah sebagai habitat kura-kura leher ular rote. Hasil penelitian Kayat dkk (2010) menunjukkan sedikitnya ada sekitar 3 danau yang dulunya sebagai habitat kura-kura leher ular rote, saat ini telah berubah menjadi areal persawahan. Belum lagi ada beberapa danau yang tercemari oleh aktivitas penggunaan obat-obatan kimia yang dilakukan masyarakat sekitar danau. Ini salah satu contoh tidak adanya pembagian ruang antara masyarakat dan habitat satwa liar. Nilai penting satwa liar ada yang bisa dinilai saat ini dan ada juga yang memiliki nilai tersembunyi. Misalnya nilai ekonomi kura-kura leher ular rote yang setiap ekor berumur 1-2 tahun dihargai 3-5 juta rupiah. Belum lagi nilai intrinsik yang bisa mengobati penyakit kekurangan pigmen kulit. Menurut testimoni hanya dengan kura-kura leher ular rote saja penyakit tersebut bisa disembuhkan.

Contoh lainnya adalah hilangnya populasi rusa timor dari kawasan Taman Buru (TB) Bena. Penyebab utamanya adalah diduga kuat karena dibangunnya persawahan di sekitar atau bahkan termasuk kawasan TB Bena dan banyaknya penggembalaan liar yang memasuki kawasan TB Bena. Sehingga rusa kalah bersaing dalam perolehan pakan dengan ternak liar yang jumlahnya semakin banyak. Populasi rusa timor di kawasan TB Bena bermigrasi ke kawasan Cagar Alam (CA) Ale Aesio yang berdekatan, yang relatif lebih bik. Namun kawasan CA Ale Aesio pun sudah banyak dimasuki oleh ternak liar. Sehingga pihak pengelola maupun masyarakat di sekitar kedua kawasan konservasi tersebut perlu menyediakan koridor untuk perpindahan satwa dari kawasan yang satu ke kawasan lainnya.

Kasus lainnya adalah perambahan yang dilakukan oleh masyarakat eks pengungsi Timor Timur di dalam kawasan Suaka Margasatwa (SM) Kateri di wilayah Kabupaten Belu. Luas kawasan SM Kateri yang dirambah sekitar 1000 ha (setengah luas kawasan). Kawasan SM Kateri yang dulu merupakan habitat alami dari rusa timor dan kuskus secara otomatis berkurang luas dan kualitasnya sehingga berdampak pula pada berkurangnya jumlah populasi kedua jenis satwa liar tersebut. Seperti hasil wawancara pribadi dengan pengelola dan masyarakat di sekitar kawasan SM Kateri di wilayah Kabupaten Belu, akibat kerusakan kawasan hutan sebagai habitat satwa oleh perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat eks pengungsi Timor Timur. Akibatnya rusa timor yang dulu hidup di kawasan SM Kateri berpindah ke kawasan hutan lain yang berdekatan. Tanpa adanya semacam koridor, maka tidak mungkin rusa timor ini dapat berpindah dengan aman ke kawasan lainnya.

Dari wilayah-wilayah yang memiliki tingkat potensial tinggi sebagai koridor satwa dirancang desain koridornya. Mengingat bahwa wilayah NTT ini memiliki kawasan konservasi maka desain koridornya dibuat dengan mempertimbangkan kawasan konservasi tersebut. Harapannya ada suatu wilayah transit sementara untuk satwa ketika terjadi aktivitas pengelolaan oleh perusahaan, pemerintah dan masyarakat.

Beberapa wilayah NTT pada awalnya merupakan hutan alam yang kompak. Setelah ada berbagai aktivitas manusia, hutan alam tersebut menjadi terfragmentasi akibat adanya proses pembangunan jalan terutama jalan kabupaten dan propinsi oleh pemerintah daerah.

Kondisi tersebut tentunya akan memiliki pengaruh terhadap biota yang tinggal di dalam kawasan ini sebelumnya karena terjadi perubahan kondisi lingkungan akibat fragmentasi.

82 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Beberapa kasus di atas merupakan contoh betapa kurang pedulinya kita terhadap habitat satwa liar. Padahal sebagaimana kita manusia, satwa liar pun memerlukan ruang sebagai salah satu kebutuhan untuk keberlangsungan hidup dan perkembangbiakannya. Tidak hanya kebutuhan akan pakan, air dan cover/pelindung saja, namun satwa liar membutuhkan ruang untuk kelestarian spesies dan komunitasnya.

D. SOLUSI PENYELESAIAN Beberapa solusi yang harus diimplementasikan dalam rangka menyediakan ruang hidup bagi satwa liar adalah dengan melindungi habitat satwa liar baik yang ada di dalam maupun di luar kawasan konservasi dan menyediakan koridor antar berbagai habitat satwa liar.

Di Provinsi NTT terdapat banyak kawasan konservasi, diantaranya adalah 4 kawasan Taman Nasional (TN) dan 29 kawasan konservasi lainnya yang terdiri dari 8 buah CA, 5 buah SM, 14 buah taman wisata alam (TWA) , dan 2 buah TB (Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam NTT, 2008). Kawasan konservasi tersebut selain berfungsi sebagai kawasan sistem penyangga kehidupan, juga berfungsi sebagai tempat untuk pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.

Kawasan taman nasional dan kawasan konservasi lainnya tersebut merupakan ruang yang berfungsi sebagai habitat berbagai jenis satwa liar. Seperti TN Komodo merupakan habitat dari reptil purba komodo (Varanus komodoensis), terdapat rusa (Rusa timorensis floresiensis), babi hutan (Sus scrofa), ajag (Cuon alpinus javanicus), kuda liar (Equus qaballus), kerbau liar (Bubalus bubalis); 2 jenis penyu, 10 jenis lumba-lumba, 6 jenis paus dan duyung. Satwa komodo juga dapat ditemui pada kawasan konservasi lain yang ada di Pulau Flores yaitu kawasan CA Wae Wuul, CA Riung dan TWA Laut Tujuh Belas Pulau. Hal ini menunjukkan bahwa pada zaman dahulu daerah sebaran satwa komodo merupakan satu kesatuan dari mulai Kepulauan di TN Komodo (Pulau Komodo, Rinca, dan Padar), Pulau Flores Bagian Barat (Kabupaten Flores Barat) sampai Tengah (sekarang Kabupaten Nagekeo). Namun karena perkembangan jumlah manusia dengan berbagai aktivitasnya sehingga satwa komodo saat ini hanya terkonsentrasi pada beberapa kawasan konservasi tersebut. Sehingga semua kalangan baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat harus berkomitmen untuk menjaga habitat yang masih tersisa ini untuk kelestarian satwa komodo yang menjadi kebanggaan nasional ini.

Begitu pun kawasan konservasi lain yang tersebar di seluruh Propinsi NTT hampir semuanya merupakan habitat satwa liar. Seperti TN yang ada di Pulau Sumba yaitu TN Laiwanggi Wanggameti dan TN Manupeu Tanadaru, merupakan ruang yang disediakan untuk habitat berbagai jenis burung terutama burung yang menjadi kabanggan Pulau Sumba yaitu burung kakatua sumba (Cacatua sulphurea citrinocrisata) dan rangkong/julang sumba (Aceros everetti).

Sedangkan dari aspek koridor satwa liar, beberapa kawasan yang potensial dijadikan sebagai koridor satwa liar adalah (1) kawasan hutan di sekitar sungai merupakan kawasan yang paling stabil kondisi vegetasinya. Kawasan tersebut merupakan Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) yang meliputi radius 50 meter di sepanjang kiri dan kanan sungai yang ditetapkan sebagai kawasan lindung berdasarkan UU No. 41 tahun 1999.

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 83

Wiratno dkk. (2001) mengatakan bahwa dalam upaya mempertahankan keberadaan satwa dan kawasan konservasi, dengan memperhatikan kondisi habitat dan hutan, maka salah satu yang mendesak dilakukan adalah membangun koridor satwa, terutama di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Keberadaan koridor ini penting sebagai jalur penghubung atau lintasan migrasi satwa antar kawasan konservasi atau antar habitat satwa dengan kawasan konservasi di sekitarnya.

Salah satu solusi untuk menyelesaikan konflik antara satwa liar dan manusia di Pulau Sumatera adalah dengan memetakan daerah jelajah musiman gajah, sehingga pada daerah jelajah tersebut dibuat koridor untuk perpindahan gajah pada musim tertentu. Hasil pemetaan daerah jelajah disosialisasikan kepada instansi lain, pemerintah daerah dan masyarakat, sehingga mereka tidak melakukan berbagai aktivitas pada daerah jelajah gajah tersebut.

Teori metapopulasi dan pendekatan bioregional bisa dipakai untuk menghubungkan antara beberapa kawasan konservasi dengan pembuatan koridor satwa liar. Diharapkan satwa liar bisa berpindah dengan aman dari kawasan konservasi yang satu ke kawasan konservasi lainnya. Koridor ini nantinya akan berfungsi sebagai penghubung antar habitat yang terfragmentasi dan sebagai jalan interaksi antar spesies yang terpisah-pisah akibat dampak fragmentasi.

Sementara Bakar (2012) mengemukakan pada penataan ruang berbasis ekosistem, koridor rimba merupakan priorias kawasan dalam roadmap ekosistem pada suatu daerah. Koridor rimba merupakan salah satu koridor yang perlu dipastikan kelestariannya. Azhar (2013) mengatakan solusi untuk satwa seperti konsep konservasi dengan membentuk koridor hutan sebagai jalur satwa jarang diapresiasi oleh Pemerintah, harusnya berbagai rekomendasi konservasi seperti konsep koridor ini diterapkan dalam tata ruang wilayah, hal ini juga memberikan peluang bagi satwa untuk melintas di kawasan tertentu dan hal ini pondasi yang kuat dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati, serta kepastian pengembangan konektivitas kawasan sebagai koridor satwa mamalia besar. Walaupun sedikit porsi ruang untuk habitat satwa tapi jika dilaksanakan dalam skema tata ruang maka akan memberi dampak baik bagi satwa liar.

Azhar (2013) mengatakan sudah saatnya merubah paradigma, sudah seharusnya satwa liar dijadikan kebanggaan daerah, mamalia besar seperti harimau, gajah, orangutan dan badak sebagai simbol daerah. Sehingga tidak hanya Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat pun turut serta bertanggung jawab terhadap kelestarian satwa liar tersebut. Peran penting Pemerintah harus memiliki tujuan yang baik yaitu mensejahterakan masyarakat dan melestarikan lingkungan, berbagi ruang bersama di hutan haruslah diimplementasikan, hubungan positif manusia dan satwa liar adalah cita-cita bersama, mari jadikan obsesi tersebut sebagai solusi terbaik bagi pengelolaan satwa liar dan habitatnya.

Koridor ekosistem alami berupa sempadan sungai, koridor harus menghubungkan dari gunung sampai ke pantai, kalau memungkinkan koridor harus berada dalam satu Daerah Aliran Sungai (DAS) (Soedjito, 2012). Selanjutnya beberapa langkah yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut :

Menghentikan konversi hutan alam tersisa yang merupakan habitat satwa liar

84 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Mengembangkan konsep “Management Wildlife Range” di luar habitat/kawasan konservasi seperti di lahan masyarakat. Mengidentifikasi kantong-kantong populasi satwa liar dan pengembangan koridornya. Memasukan agenda konservasi satwa liar dan habitatnya ke dalam Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional/Daerah

Akhirnya dengan terbangunnya komunikasi yang baik antara pihak-pihak yang peduli terhadap tata ruang dengan pihak pengambil keputusan diharapkan dapat menghasilkan kualitas penataan ruang yang optimal mulai dari proses pengawalan implementasi hingga evaluasinya (WWF, 2012). III. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Kawasan konservasi merupakan ruang yang disediakan bagi pelestarian berbagai jenis

satwa liar, baik secara nasional maupun khususnya di Provinsi NTT. 2. Koridor satwa liar tidak bisa dipisahkan dari habitat satwa liar untuk menyediakan

ruang pergerakan bagi satwa liar dari satu kawasan konservasi ke kawasan konservasi yang lainnya.

B. Saran 1. Perlu memasukan habitat dan koridor satwa liar sebagai salah satu unsur yang perlu

dipertimbangkan dalam perencanaan dan pelaksanaan penataan ruang, baik skala nasional maupun daerah.

2. Semua pihak baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat perlu berperan serta dalam pelestarian satwa liar termasuk kawasan konservasi dan koridor satwa liar.

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Azhar. 2013. Satwa Liar Berbasis Ekonomi. Suara Rakyat Merdeka. Koekaradja. Bakar, S. 2012. Pelaksanaan Program Rimba. Makalah bahan Lokakarya Pelaksanaan 5

Koridor Sumatera. Jakarta Djuwantoko. 1986. Pemanfaatan Satwaliar di Hutan Tanaman Industri. Makalah.

Seminar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Kayat, G. Saragih dan R. Kurniadi. 2010. Kajian Habitat dan Sebaran Populasi Kura-Kura

Leher Ular Rote (Chelodina mccordi Rhodin, 1994). Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Kupang

Soedjito, H. 2012. Keanekaragaman Hayati dan Koridor Ekosistem Penting di Sumatera. Bahan Lokakarya Pelaksanaan 5 Koridor Sumatera. Pusat Penelitian Biologi LIPI. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 85

Wiratno, D. Indriyo, A. Syarifudin, dan A. Kartikasari. 2001. Berkaca di Cermin Retak, Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. Publikasi FOReST Press, The Gibbon Foundation Indonesia, PILI-NGO Movement. Jakarta.

WWF. 2012. Lokakarya Pelaksanaan 5 Koridor Sumatera.

86 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 87

PEMBANGUNAN HUTAN MANGROVE DAN PERMASALAHANNYA DI NUSA TENGGARA TIMUR

Oleh: M. Hidayatullah*

*Balai Penelitian Kehutanan Kupang

ABSTRAK

Pemanfaatan mangrove melalaui pengambilan kayu untuk bahan bangunan dan kayu bakar, serta pembuatan tambak masih menjadi andalan bagi masyarakat kawasan pesisir di Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Kegiatan tersebut turut mendorong penurunan kualitas ekosistem mangrove, pada sisi lain karena keterbatasan sumberdaya, kegiatan rehabilitasi yang dilakukan masih terbatas. Tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan informasi tentang pelaksanaan pembangunan hutan mangrove dan permasalahannya di NTT. Kajian ini dilakukan melalui studi pustaka yang terkait dengan kegiatan pembangunan hutan mangrove di NTT. Hasil kajian menunjukkan bahwa pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat berupa pengambilan kayu untuk bahan bangunan, kayu bakar serta sebagai lokasi pembuatan tambak garam dan tambak masih terus dilakukan. Sementara itu pemanfaatan bagian-bagian lain seperti buah, daun serta akar untuk bahan panganan atau bahan pembuatan obat belum dikenal oleh masyarakat akibat masih terbatasnya pengetahuan. Kebijakan pengelolaan hutan mangrove tertuang dalam peraturan daerah Nomor 1 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi NTT tahun 2010 – 2030, belum ada perturan yang secara khusus mengatur tentang mangrove. Tahun 2013 terbentuk kelompok kerja mangrove tingkat provinsi sehingga koordinasi stakeholders dalam pembangunan hutan mangrove diharapkan dapat berjalan dengan baik serta dapat merumuskan arah pembangunan hutan mangrove yang lebih baik melalui pengurangan pemanfataan mangrove yang berdampak pada kerusakan ekosistem.

Kata kunci : pemanfaatan, rehabilitasi, kebijakan, mangrove dan NTT.

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi hutan mangrove yang cukup besar. Luas hutan mangrove NTT mencapai 40.641,11 ha, luasan tersebut berada pada peringkat ke 8 dari 19 provinsi yang masuk dalam wilayah kerja Balai Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) Wilayah I Bali dibawah Provinsi Papua yang berada pada peringkat pertama dengan luas mencapai 1.007.817 ha, Papua Barat 430.616 ha, Jawa Timur 205.733,1 ha, Maluku 128.038, Jawa Tengah 126.533,31 dan Sulawesi Tenggara dengan luas 74.348,82 ha (BPHM Wil I Bali, 2011). Sama halnya dengan kondisi hutan mangrove pada skala nasional, kualitas hutan mangrove NTT juga terus mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir karena beragam aktifitas manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Berdasarkan

88 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

klasifikasi tingkat kerusakan oleh BPHM Wilayah I Bali (2011) diketahui bahwa 60,6% dalam kondisi rusak ringan sampai berat dan hanya 31,4% hutan mangrove NTT yang dalam keadaan baik.

Pembangunan yang terus berjalan menempatkan wilayah pesisir sebagai daerah yang sangat strategis untuk mendukung beragam aktifitas manusia ditengah semakin terbatasnya lahan pada wilayah daratan. Beberapa aktifitas yang umumnya dilakukan pada wilayah pesisir diantaranya pembangunan infrastruktur perikanan tambak, industri, pemukiman dan rekreasi. Dampak dari aktifitas tersebut adalah adanya konversi hutan mangrove atau berupa pencemaran bibir pantai, sehingga pertumbuhan tanaman mangrove ikut terganggu dan pada batas tertentu pencemaran tersebut dapat menyebabkan kematian pada tanaman. Untuk wilayah NTT, beberapa aktifitas yang mendorong terjadinya penurunan kualitas ekosistem mangrove adalah konversi lahan untuk pembuatan tambak ikan atau tambak garam, pengambilan kayu untuk bahan bangunan atau untuk kayu bakar. Pemanfaatan wilayah pesisir yang semakin meningkat ini selain memberi dampak positif melalui peningkatan taraf hidup dan kesempatan kerja bagi masyarakat, juga memberi dampak negatif karena pemanfaatan yang kurang terkendali.

Pemanfaatan ruang dari hutan mangrove yang terus menerus dilakukan ini mendorong terjadinya penurunan kualitas ekosistem mangrove di NTT. Pada sisi lain kegiatan rehabilitasi dan penanaman mangrove yang dilakukan oleh berbagai pihak baik itu instansi pemerintah pusat dan daerah, organisasi non pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun swasta juga terus digalakkan. Kegiatan penanaman yang dilakukan tersebut sangat membantu untuk mengurangi kerusakan hutan mangrove di NTT, walaupun luasan hutan mangrove yang direhabilitasi belum terlalu banyak karena keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Tingkat keberhasilan yang belum maksimal selalu menjadi permasalahan utama pada setiap kegiatan penanaman di lapangan. Kondisi ini memerlukan perhatian yang serius dari semua pihak sehingga kedepannya keberhasihan kegiatan penanaman dapat ditingkatkan serta pemulihan ekosistem mangrove dapat segera dicapai dan manfaatnya dapat diperoleh secara maksimal.

B. Tujuan Tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan informasi tentang pelaksanaan pembangunan hutan mangrove dan permasalahannya di NTT.

II. KEBIJAKAN DAN PERATURAN Menurut Noor, Y. K, dkk, (2006) bahwa pada skala nasional terdapat banyak peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan hutan mangrove secara langsung atau yang tergabung dalam dengan undang-undang terkait. Beberapa peraturan yang terkait diantaranya adalah : 1. Undang-Undang Dasar tahun 1945 Pasal 33 ayat 3 2. Undang-Undang Nomor 11 tahun 1974 tentang Perairan 3. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan

Lingkungan Hidup

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 89

4. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1985 tentang Perikanan 5. Undang-UNDANG NOMOR 28 tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan 6. Undang-UNDANG NOMOR 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan

Ekosistemnya 7. Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang 8. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah 9. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan 10. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah 11. Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara

Pemerintah Pusat dan Daerah.

Sejumlah kebijakan pemerintah tentang pembuatan jalur hijau di sepanjang garis pantai juga telah dirumuskan. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mempertahankan pantai dari ancaman erosi, fungsi mangrove sebagai tempat berkembangbiak berbagai jenis ikan maupun fungsi sosial ekonomi dan ekologisnya. Beberapa di antara kebijakan tersebut juga telah mengalami perubahan yang bertujuan untuk mengatur pemanfaatan mangrove yang arif dengan tetap memperhatikan fungsi dan manfaatnya.

Beberapa kebijakan terkait diantaranya: Surat Keputusan (SK) Dirjen Kehutanan Nomor: 60/KPTS/DJ/I/1978 tentang Panduan Silvikultur Air Payau, ditetapkan 10 meter di sepanjang sungai dan 50 meter di sepanjang pantai pada pasang terendah, atau Surat Keputusan Bersama (SKB) menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan Nomor: KB.550/246/KPTS/1984 dan Nomor: 082/KPTS-II/1984 yang menghimbau pelestarian jalur hijau selebar 200 meter di sepanjang pantai dan pelarangan penebangan mangrove di Jawa. Kebijakan-kebijakan ini mempunyai satu kesamaan yaitu pentingnya menjaga keberadaan hutan disepanjang sungai dan pantai dalam mendukung kelangsungan hidup mahluk termasuk manusia. Perbedaan jumlah (luasan) lahan yang harus dipertahankan dalam keputusan diatas hanyalah perbedaan sudut pandang dalam melihat kemampuan hutan dalam menjaga lingkungan sekitarnya serta perbedaan karakteristik lingkungan.

Pada tahun 1990 dikeluarkan SK Presiden Nomor 32 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, yang menggantikan seluruh peraturan terdahulu mengenai jalur hijau. Dalam SK ini disebutkan bahwa jalur mangrove pantai minimal 130 kali rata-rata pasang yang diukur ke darat dari titik terendah pada saat surut (Noor, Y. R. dkk. 2006). Pada tahun 1997 dikeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor: 26 tahun 1997 yang menginstruksikan semua kepala daerah untuk melakukan penetapan jalur hijau mangrove di daerahnya masing-masing.

Secara garis besar kebijakan pengelolaan hutan mangrove nasional bertujuan dalam pencapaian 4 (empat) poin utama yaitu : 1). Pengelolaan hutan lestari yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keterpaduan, keadilan, keterbukaan dan kebersamaan, 2). Desentralisasi kewenangan pengelolaan, penyelenggaraan kegiatan rehabilitasi dan penanaman pada semua kawasan hutan (termasuk kawasan hutan mangrove) dilakukan oleh pemerintah daerah, kecuali kawasan hutan konservasi yang menjadi tanggung jawab/kewenangan pemerintah pusat, 3). Konservasi dan rehabilitasi secara partisipatif,

90 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

penggunaan dana reboisasi sebanyak 40% diperuntukan buat daerah penghasil dan 60% untuk pemerintah pusat untuk kegiatan penanaman dan rehabilitasi termasuk penanaman hutan mangrove dan 4). Pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan mangrove, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanaan di daerah seperti Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) dan BPHM turut terlibat dalam kegiatan pemberdayaan kelompok. Untuk operasional di lapangan, keberadaan dinas terkait pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota memegang peranan penting dalam mendukung pencapaian tujuan daerah.

Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, sampai dengan saat ini sudah ada beberapa daerah yang mengaturnya secara khusus dalam sebuah Peraturan Daerah (Perda) terkait pengelolaan hutan mangrove dengan kelebihannya masing-masing. Misalnya Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 6 tahun 2011 tentang Pengurusan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai, Perda Kota Bontang Nomor 7 tahun 2003 tentang Pengelolaan Hutan Mangrove atau Perda Kabupaten Nunukan Nomor 8 tahun 2003 tentang Pengelolaan Hutan Mangrove. Dengan adanya perda tersebut, maka pemanfaatan hutan mangrove baik untuk tujuan komersil atau bukan diatur dalam perda tersebut, dan terdapat sanksi terhadap pelanggaran perda tersebut sehingga kelestarian ekosistem mangrove diharapkan akan lebih terjaga. Pada sisi lain, dengan adanya perda tersebut masyarakat mendapat kompensasi berupa pemberdayaan atas pembatasan pemanfaatan hutan, sehingga masyarakat memiliki pemahaman yang baik terhadap fungsi dan manfaat mangrove dan pada akhirnya mereka dapat berpartisipasi dalam pemeliharaan kawasan.

Sementara itu, untuk wilayah Provinsi NTT sejauh ini telah diatur dalam perda yang terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Peraturan tentang mangrove juga digambarkan dalam Perda Nomor 1 tahun 2011 tentang RTRW Provinsi NTT tahun 2010 – 2030, meskipun belum dibahas secara detail tentang mangrove, pada Bab II pasal 6 dijelaskan secara umum point-point tentang strategi penataan ruang kawasan rawan bencana gelombang pasang dan tsunami diantaranya point penetapan ketebalan pohon/hutan pengendali tsunami yang disesuaikan dengan karakter topografi atau penetapan pengaturan tata bangunan yang terkait dengan zona kerentanan tsunami.

Berbagai upaya terus dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki ekosistem mangrove, baik melalui kebijakan-kebijakan maupun aksi-aksi penanaman langsung di lapangan. Sesuai dengan amanat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove (SNPEM), dijelaskan bahwa untuk melaksanakan SNPEM tersebut perlu dibentuk Kelompok Kerja Mangrove tingkat Nasional (KKMN), dan selanjutnya pemerintah daerah nantinya merespon dengan membentuk Kelompok Kerja Mangrove tingkat Daerah (KKMD tingkat I dan II). Kelompok kerja ini berfungsi sebagai wadah koordinasi untuk menyelesaikan permasalahan mangrove serta upaya penyelamatan ekosistem mangrove di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.

Sejauh ini sudah terbentuk sebanyak lebih kurang 22 KKMD tingkat provinsi dan sejumlah KKMD tingkat kab/kota diseluruh Indonesia. Provinsi NTT merupakan salah satu daerah yang telah memilki kelompok kerja ini (baru terbentuk) dan diharapkan dalam waktu

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 91

yang tidak terlalu lama kelompok kerja pada tingkat kabupaten/kota segera dibentuk, sehingga dapat terbangun koordinasi dan kerjasama semua pihak dalam upaya pemulihan dan perbaikan ekositem mangrove.

Koordinasi dan keterlibatan multi pihak dalam upaya perbaikan kualitas mangrove, diperlukan agar pelaksanaan di lapangan tidak terjadi tumpang tindih dan saling melepas tanggung jawab sehingga pada akhirnya fungsi dan manfaat mangrove dapat berjalan dengan baik. Menurut Huda, (2008) bahwa dalam pengelolaan hutan mangrove dikenal konsep enabling environment yaitu suatu konsep yang berdasar pada pelibatan semua pihak dalam pengelolaan hutan mangrove. Point utama dalam konsep ini adalah pengkajian tentang kebijakan yang terkait dengan mangrove, sehingga dapat diketahui pihak-pihak yang terlibat dan dapat merumuskan sebuah konsep yang sesuai untuk pengelolaan hutan mangrove pada suatu daerah.

III. PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE A. Manfaat Mangrove Terdapat banyak fungsi dan manfaat yang dapat diperoleh dari keberadaan hutan mangrove dalam mendukung keperluan hidup manusia. Secara fisik hutan mangrove berfungsi sebagai peredam hempasan ombak, sistem perakarannya dapat berperan sebagai perangkap sedimen dan pemecah gelombang. Fungsi tersebut dapat terjadi apabila kondisi hutan mangrove masih alami, tingkat kerapatan hutan mangrove yang semakin menurun akan berdampak pada semakin menurunnya kemampuan hutan mangrove dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut (Suryawan, 2004).

Menurut Noor, Y. R dkk, (2006) bahwa mangrove memiliki peranan penting dalam melindungi pantai dari gelombang dan badai. Tegakan mangrove dapat melindungi pemukiman, bangunan dan pertanian dari angin kencang atau intrusi air laut. Dusun tongke-tongke dan Pagasa, Sinjai Sulawesi Selatan yang memiliki barisan mangrove yang tebal, terlindung dari gelombang pasang (tsunami) di Pulau Flores pada akhir tahun 1993, sedangkan beberapa dusun lain disekitar dengan hutan mangrove yang tidak cukup tebal mengalami kerusakan yang parah.

Menurut Kusmana, C, dkk (2003) fungsi magrove dapat dikategorikan kedalam 3 (tiga) macam yaitu 1). fungsi fisik : menjaga garis pantai, mempercepat perluasan hutan, mengendalikan intrusi air laut dan mengolah limbah organik, 2). Fungsi ekologis: tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis biota laut, tempat bersarang satwa seperti burung serta sebagai sumber plasma nutfah, dan 3). Fungsi ekonomis: hasil hutan berupa kayu, hasil hutan bukan kayu (HHBK), lahan untuk kegiatan produksi pangan dan tujuan lainya yang semuanya mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi. Sementara itu Anwar, C dan Gunawan, H (2007) menambahkan fungsi sosial dari mangrove yaitu sebagai bahan obat-obat dan tempat wisata atau rekreasi.

Selain fungsi-fungsi tersebut, juga terdapat manfaat secara langsung atau tidak dari hutan mangrove. Beberapa jenis tumbuhan mangrove telah dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat untuk bahan pembuatan obat seperti jenis Acanthus ilicifolius sebagai obat

92 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

menghentikan darah yang keluar dari gigitan ular, jenis Ceriops tagal sebagai bahan pengawet dan pewarna atau dari jenis Bruguiera gymnorrizha dan B. parviflora sebagai bahan kayu bakar karena memiliki kualitas kayu arang yang sangat baik serta dari jenis-jenis lain yang mempunyai manfaat yang berbeda (Noor, Y. K, 2006).

B. Pemanfaatan Mangrove di NTT NTT memiliki potensi hutan mangrove yang cukup tinggi dengan total luasan mencapai 40.641,11 ha yang tersebar disemua kabupaten di NTT. Beberapa kabupaten dengan luasan hutan mangrove cukup besar yaitu Kabupaten Kupang, Belu, Sikka, Ende dan Manggarai Barat. Berdasarkan hasil identifikasi kerjasama Dinas Kehutanan Provinsi NTT, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Nusa Cendana (Undana) diketahui bahwa terdapat 11 spesies mangrove di Pulau Timor, Rote, Sabu dan Semau. Lebih lanjut disebutkan bahwa di NTT terdapat 9 famili mangrove yang terbagi dalam 15 spesies diseluruh NTT. Sementara itu Hidayatullah, M, dkk. (2012), mengatakan bahwa di Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat ditemukan sebanyak 10 jenis dari 5 famili.

Sebaran hutan mangrove di NTT memang kurang merata karena kurangnya muara sungai besar, sehingga pada beberapa lokasi potensinya cukup besar dan pada beberapa lokasi yang lain sangat terbatas. Pada beberapa lokasi mangrove dapat tumbuh dengan baik karena didukung muara sungai besar dengan sedimentasi yang cukup tinggi seperti di muara Sungai Benain di Kabupaten Belu dan muara Sungai Noelmina di Kabupaten Kupang.

Seperti disebutkan diatas, bahwa mangrove mempunyai fungsi dan manfaat yang sangat besar untuk menunjang kelangsungan hidup, terutama masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi baik melalui pemanfaatan langsung atau melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Pemanfaatan mangrove oleh masyarakat NTT sejauh ini hanya berupa pemanfaatan langsung melalui pengambilan kayu untuk keperluan bahan bangunan maupun untuk kayu bakar. Pada masyarakat di Desa Litamali dan Lakekun, Kecamatan Kobalima, Kabupaten Belu, atau di Desa Sepang dan Golo Sepang, Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat misalnya menggunakan kayu mangrove untuk keperluan pembangunan atau perbaikan rumah adat, pengambilan batang dan cabang mangrove untuk keperluan pagar dan kayu bakar. Menurut Inoue et al, 1999 dalam Anwar, C dan Gunawan, H, (2007) bahwa potensi kayu bakar dan bahan bangunan dari kayu mangrove memang sangat menjanjikan karena beberapa jenis seperti Rhizophora mucronata, R. apiculata dan B. gymnorrhiza sangat cocok digunakan untuk tiang rumah karena batangya lurus dan dapat bertahan sampai 50 tahun. Kualitas arang jenis-jenis tersebut sangat baik karena mampu menghasilkan panas yang tinggi dan awet, sementara itu kayu bakar menjadi sesuatu yang sangat penting bagi masyarakat ditengah harga bahan bakar yang terus naik

Sementara itu pemanfaatan bagian-bagian dari mangrove seperti buah dan daun untuk keperluan bahan makanan dan bahan baku obat-obatan, atau sebagai bahan pewana belum dikenal oleh masyarakat NTT, padahal potensi yang ada pada hutan mangrove sangat besar dan dapat menjadi sumber pendapatan masyarakat. Menurut Noor, Y. R, dkk (2006) bahwa semua jenis mangrove mempunyai manfaat untuk mendukung kelangsungan hidup, misalnya buah dari jenis Acanthus ilicifolius yang ditumbuk dapat digunakan sebagai

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 93

pembersih darah serta mengatasi kulit yang terbakar, buah dari Avicennia alba dapat dimakan, dan getahnya dapat digunakan untuk mencegah kehamilan, bagian dalam hipokotil jenis B. gymnorrhiza dapat dimakan (dibuat manisan) dicampur dengan gula, buah dari jenis B. sexangula dilaporkan digunakan untuk mengobati penyakit herpes, akar dan daunnya digunakan untuk mengatasi kulit terbakar, buahnya dapat dimakan setelah direndam dan dididihkan, serta jenis-jenis lainnya dengan mafaatnya masing-masing. Masih rendahnya pengetahuan tentang manfaat mangrove menjadi penyebab masih rendahnya nilai manfaat mangrove yang dapat diterima oleh masyarakat NTT.

C. Dampak pemanfataan mangrove Menurut Saparinto, C, (2007) bahwa terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab pemanfaatan hutan mangrove semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini. Diantaranya : 1). Tekanan penduduk untuk kebutuhan ekonomi yang tinggi sehingga konversi mangrove juga semakin tinggi. Mengutamakan kepentingan ekonomi serta kurang memperhatikan aspek ekologis akan berdampak pada kerusakan ekosistem mangrove. Banyaknya pihak yang tidak bertanggung jawab dengan meminta untuk mengkonversi lahan mangrove untuk keperluan tambak, pembangunan infrastruktur dan peruntukan lain tapi setelah dikonversi lahan tersebut mereka tidak menindaklanjutinya, 2). Perencanaan dan pengelolaan sumber daya pesisir di masa lalu bersifat sangat sektoral. Pengelolaan yang sektoral mengakibatkan terjadinya perusakan hutan mangrove dan berdampak pada masa yang akan datang. Kemudian rendahnya kesadaran masyarakat tentang konversi dan fungsi ekosistem mangrove.

Penyebab ke 3). Hutan rawa dalam lingkungan yang asin dan anaerob di daerah pesisir selalu dianggap daerah yang yang marginal atau sama sekali tidak cocok untuk pertanian dan akuakultur. Namun karena kebutuhan lahan pertanian dan perikanan yang semakin meningkat maka hutan mangrove dianggap sebagai lahan alternative., dan 4). Tambak dalam skala kecil tidak terlalu banyak mempengaruhi ekosistem mangrove, tapi lain halnya dengan skala besar. Konversi mangrove yang luas menjadi tambak dapat mengakibatkan penurunan produksi perikanan di perairan sekitarnya. Pertambakan ini juga diduga dapat mempengaruhi produktivitas perairan estuary dan laut di sekitarnya. Seperti contoh menurunnya produksi udang laut sebagai akibat menciutnya luas hutan mangrove.

Berbagai pemanfaatan kawasan mangrove tersebut, pada satu sisi memang memberikan keuntungan melalui penyediaan lapangan kerja baru dan menjadi sumber pendapatan sehingga mendorong perbaikan ekonomi masyarakat, namun pada sisi yang lain aktifitas pemanfataan hutan mangrove tersebut juga memberi dampak pada penurunan kuantitas dan kualitas ekosistem mangrove. Beberapa dampak potensial yang dapat timbul akibat dari aktifitas pemanfaatan hutan mangrove terlihat pada tabel 1.

94 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Tabel 1. Dampak aktifitas manusia pada ekosistem mangrove

No Aktifitas Dampak Potensial 1. Tebang habis Berubahnya komposisi mangrove

Tidak berfungsinya daerah untuk mencari makan dan daerah pengasuhan bagi ikan

2. Pengalihan aliran air tawar (pembangunan irigasi)

Peningkatan salinitas hutan mangrove Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove

3. Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan, pemukiman dan lain-lain

Mengancam regenerasi stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan mangrove sebagai nursery ground Terjadinya pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar

4. Pembuangan sampah cair dan padat

Penurunan kadar 02 dan timbul gas H2S dan NH 3 Kemungkinan terlapisnya pneumanofora dengan sampah padat mengakibatkan kematian mangrove

5. Pencemaran akibat terjadinya tumpahan minyak dalam jumlah besar

Kematian pohon mangrove Musnahnya daerah nursery ground bagi larva dan juvenile ikan dan udang yang bernilai ekonomis dan mengancam regenerasinya.

6. Penambangan dan ekstraksi mineral, baik dalam hutan maupun di daratan sekitar hutan mangrove

Matinya mangrove akibat terlapisnya pneumanofera Kematian pohon mangrove Kerusakan total ekosistem mangrove, sehingga memusnahkan fungsi ekologi mangrove Pengendapan sedimen yang dapat mematikan pohon mangrove

Sumber : Bernick, 1983 dalam Dahuri, et al. 1996.

Konversi hutan mangrove menjadi tambak atau pembangunan infrastruktur dan yang lainnya, berdampak pada rusaknya ekositem mangrove dan mengubah struktur kimia fisika dan fungsi ekologisnya. Keuntungan dalam waktu dekat dari hasil konversi tersebut, tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan dari konversi. Persepsi yang menganggap mangrove merupakan sumber daya yang kurang berguna yang hanya cocok untuk pembuangan sampah atau dikonversi untuk keperluan lain harus diluruskan. Agar masyarakat tetap mampu menjadikan hutan mangrove sebagai sumber mata pencahariannya, maka perlu pengelolaan secara berkelanjutan. Dasar yang dapat dijadikan pijakan adalah karena pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) hutan mangrove mempunyai tujuan utama untuk menciptakan ekosistem yang produktif dan berkelanjutan untuk menopang berbagai kebutuhan pengelolaannya.

Peran aktif stakeholders dan dukungan masyarakat sangat dibutuhkan dalam pengelolaan hutan mangrove agar ekosistem mangrove ini tidak beralih fungsi dan dapat bermanfaat sebagaimana mestinya. Sudah seharusnya pemerintah dan masyarakat bersama-sama segera mendorong dan memfasilitasi tersusunnya tata ruang wilayah

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 95

pesisir, melakukan pembenahan dari segala aspek dan dari hal yang kecil agar tidak ada lagi penyimpangan-penyimpangan serta dapat merencanakan, mengurus, mengelola dan merehabilitasi serta menjaga kelestarian alam ini. Agar menjadikan kawasan hutan mangrove itu menjadi kawasan yang mampu melindungi dan mensejahterakan masyarakatnya. IV. KEGIATAN PENANAMAN MANGROVE DI NTT

Dalam beberapa tahun terakhir tidak banyak kegiatan penanaman atau pemberdayaan kelompok tani mangrove yang dilakukan di wilayah NTT. Berdasarkan data pada BPHM Wilayah I Bali, selama periode 2007–2011 tidak ada kegiatan penanaman/rehabilitasi hutan mangrove atau hutan pantai pada wilayah NTT. Kegiatan BPHM ini, banyak terkonsentrasi pada wilayah Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Tercatat pada wilayah Bali ditanam sebanyak 500.000 batang mangrove, sedangkan wilayah Jawa Timur dan NTB berturut-turut 265.000 dan 115.000 batang (anakan mangrove). Untuk wilayah NTT dilakukan pembuatan area model sebanyak 20.000 batang pada tahun 2011, sedangkan pada tahun 2010 sedianya direncanakan pembuatan area model dengan menanam sebanyak 100.000 tetapi tidak direalisasikan.

Kegiatan lain dari BPHM Wilayah I Bali terkait dengan mangrove di wilayah NTT adalah pembentukan Forum Kelompok Kerja Mangrove sebanyak 75 orang (tidak disebutkan lokasinya) serta pelatihan pengelolaan mangrove bagi masyarakat sebanyak 30 orang di Kabupaten Alor dan pelatihan pengelolaan mangrove bagi masyarakat dan petugas dinas sebanyak 60 orang di Rote.

Sementara itu, kegiatan penanaman dan rehabilitasi yang dikoordinir oleh BPDAS Benain Noelmina periode tahun 2004 -2005 dilakukan rehabilitasi mangrove tahun 2004 seluas 1.075 ha, 2005 sebanyak 2.250 ha. Sedangkan antara tahun 2006–2009 jumlah lahan yang direhabilitasi semakin menurun yaitu berturut-turut 2006 seluas 405 ha, tahun 2007 seluas 574 ha, tahun 2008 seluas 318 ha dan tahun 2009 hanya seluas 20 ha (BPDAS Benain Noelmina, 2011).

Dinas Kehutanan Provinsi juga terus melakukan penanaman mangrove untuk mengimbangi tingkat kerusakan yang terus meningkat. Sejak tahun 2002-2009 setidaknya telah dilakukan penanaman mangrove sebanyak 1.870 ha melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) NTT, dinas terkait pada tingkat kabupaten/kota juga melakukan penanaman dan rehabilitasi hutan mangrove sesuai dengan sumberdaya yang tersedia. Selain instansi tersebut, tentunya banyak juga pihak lain yang melakukan kegiatan penanaman untuk perbaikan ekosistem mangrove, termasuk UPT-UPT pusat yang berada di wilayah NTT, organisasi non pemerintah atau pihak swasta dan LSM serta kelompok-kelompok lainnya juga turut mengambil bagian.

96 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

V. KESIMPULAN DAN SARAN Pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat NTT dilakukan melalui konversi lahan untuk budidaya perikanan tambak atau pembuatan tambak garam, pengambilan kayu untuk bahan bangunan, pagar dan kayu bakar. Walau dalam beberapa tahun terakhir volumenya semakin menurun, namun aktifitas tersebut turut berperan dalam kerusakan hutan mangrove di NTT. Pemanfaatan mangrove berupa pengolahan buah atau daun untuk bahan makanan, bahan pembuatan obat atau bahan pewarna belum dikenal oleh masyarakat NTT. Dengan keragaman jenis dan potensi hutan mangrove yang tinggi, sangat memungkinkan pemanfaatan seperti itu memberi nilai tambah bagi masyarakat. Keterbatasan pengetahuan menjadi kendala utama bagi masyarakat, sehingga pemanfaatannya belum memberikan nilai yang maksimal bagi mereka.

Seiring dengan terbentuknya Kelompok Kerja Mangrove Daerah pada tingkat provinsi diharapkan terjadi koordinasi yang baik bagi semua stakeholder, dalam upaya perbaikan lingkungan mangrove melalui kegiatan rehabilitasi dan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan mangrove dan pada akhirnya dapat dirumuskan sebuah model yang tepat untuk pengelolaan hutan magrove yang memperhatikan aspek keberlanjutan dan memberdayakan masyarakat sekitar kawasan hutan mangrove.

DAFTAR PUSTAKA Anwar, C dan Gunawan, H, 2007. Peranan Ekologis dan Sosial Ekonomis Hutan Mangrove

dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir. Prosiding Seminar Hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Hutan. Padang, 20 September 2007. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

BPHM Wilayah I, 2011. Statistik Pembangunan. Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah I, Denpasar – Bali.

BPDAS Benain Noelmina, 2011. Statistik Pembangunan. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina. 2012.

Dahuri, et al. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Terpadu. PT. Pramadya Paranata. Jakarta

Hidayatullah, M, dkk, 2012. Kajian Model Kemitraan Pemanfaatan Hutan dan Jenis-Jenis Tumbuhan Mangrove di Manggarai Barat. Laporan Hasil Penelitian. Tidak dipublikasikan.

Huda, N. 2008 Strategi Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Tesis. Program pasca sarjana Universitas Diponegoro Semarang.

Kusmana, C, dkk. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Noor, Y. R, Khazali, M dan Suryadiputra, I. N. N, 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetlands International.

Perda Nomor 1 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2010-2030.

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 97

Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 6 tahun 2011 tentang Pengurusan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai,

Perda Kota Bontang Nomor 7 tahun 2003 tentang Pengelolaan Hutan Mangrove Perda Kabupaten Nunukan Nomor 8 tahun 2003 tentang Pengelolaan Hutan Mangrove. Perpres RI. Nomor 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem

Mangrove Saparinto, C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Dahara Prize, Semarang. SK Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Suryawan, F. 2004. Keanekaragaman Vegetasi Mangrove Pasca Tsunami di Kawasan Pesisir

Pantai Timur Nangroe Aceh Darussalam. Jurnal Biodefersitas, Jurusan Biologi FMIPA - Universitas Syiah Kuala. Volume 8 Nomor 4.

98 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 99

PERAN KAWASAN PESISIR OESAPA SEBAGAI HABITAT BURUNG AIR MIGRAN

DI KOTA KUPANG DAN KONSEP PENATAANNYA

Oleh: Oki Hidayat*

*Balai Penelitian Kehutanan Kupang

ABSTRAK

Sebagai plasma nutfah yang memiliki keunikan dan nilai manfaat yang tinggi keberadaan burung terkadang masih luput dari perhatian publik baik pemerintah maupun masyarakat.Keberadaan burung air migran di Pesisir Oesapa hingga saat ini masih sedikit diketahui, sehingga tidak banyak yang mengetahui nilai penting kawasan tersebut dari sisi ekologi. Beberapa jenis burung air migran yang ditemukan merupakan jenis-jenis yang dilindungi oleh undang-undang. Melihat perannya yang krusial dari sisi ekologi maka kawasan Pesisir Oesapa membutuhkan penataan lingkungan yang menjamin kelestariannya di masa yang akan datang. Kata Kunci : burung air migran, ekologi, Pesisir, Oesapa

I. PENDAHULUAN Burung merupakan plasma nutfah yang memiliki keunikan dan nilai yang tinggi baik nilai ekologi, ilmu pengetahuan, wisata dan budaya (Bibby, 2004). Keberadaan burung dapat dijadikan indikator suatu lingkungan apakah dalam keadaan baik atau rusak, karena burung memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kualitas lingkungan. Selain hal tersebut kehadiran burung di suatu lokasi juga dapat dijadikan pengukur nilai keanekaragaman hayati secara keseluruhan.

Keberadaan burung air migran di Kawasan Pesisir Oesapa telah menunjukkan bahwa kawasan tersebut merupakan habitat bagi satwa liar khususnya burung. Beberapa jenis tercatat ditemukan beraktifitas di berbagai tipe ekosistem yang terdapat disana.Sebagian besar jenis burung air migran tersebut menjadikan lokasi Oesapa sebagai tempat mencari makan. Mereka beristirahat dan tinggal di sepanjang kawasan Teluk Kupang untuk menghabiskan masa migrasinya sebelum melanjutkan perjalanan ke Australia.

Keanekaragaman jenis burung yang relatif tinggi tersebut, tidak diikuti dengan perkembangan daerah dimana burung tersebut berada, termasuk di kawasan perkotaan khususnya di daerah lahan basah (Augusta, 2006). Kawasan Pesisir Oesapa sebagai salah satu lahan basah luput dari perhatian pemerintah dan masyarakat, sehingga belum terkelola dengan optimal.Masih banyaknya ancaman berupa deposit sampah membuat habitat pesisir Oesapa menjadi rusak. Jika hal ini tidak diambil tindakan maka kemungkinan besar pada masa yang akan datang kawasan ini tidak cocok lagi menjadi habitat burung air migran. Hilangnya habitat akan berdampak bagi kelestarian burung tersebut. Oleh karena itu melalui tulisan ini diharapkan mampu memberikan gambaran akan urgensinya Pesisir Oesapa

100 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

sebagai habitat burung air migran dan upaya penataannya sehingga dapat menjamin kelestarian di masa yang akan datang. II. EKOLOGI BURUNG AIR MIGRAN DAN HABITATNYA Burung air merupakan jenis burung yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di air dan bergantung kepada air dalam hal mencari makan. Secara garis besar jenis burung air dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok antara lain Seabirds (dara laut), Wadingbirds (kuntul-kuntulan), Shorebird/Wader (burung pantai) dan Waterfowl (bebek-bebekan). Di Indonesia tercatat 184 jenis burung air dari 20 Famili. Famili burung air yang terdapat di Indonesia antara lain: Podicipedidae (titihan), Phalacrocoracidae (pecuk), Pelecanidae (pelican), Ardeidae (kuntul, cangak, kowak), Ciconiidae (bangau), Threskiornithidae (pelatuk besi), Anatidae (bebek), Gruidae (burung jenjang), Rallidae (ayam-ayaman,mandar, kareo), Heliornithidae (Finfoot), Jacanidae (ucing-ucingan), Rostratulidae, Haematopodidae, Charadriidae (cerek), Scolopacidae (trinil, gajahan), Recurvirostridae, Phalaropodidae, Burhinidae, Glareolidae dan Laridae. Namun beberapa kelompok burung masih tumpang tindih, dikelompokkan sebagai burung air maupun burung laut, Gaviidae, Podicipedidae, Pelecanidae, dan Laridae.

Beberapa jenis burung air merupakan burung migran yang melakukan migrasi setiap tahunnya secara periodik.Dalam pengertian yang lebih spesifik di Indonesia Howes et al. (2003) menyebutkan burung air migran adalah kelompok burung air yang menghabiskan sebagian hidupnya di Indonesia pada waktu tertentu saja, yaitu pada musim tidak berbiak dimana biasanya individu tersebut menghindari perubahan kondisi alam yang ekstrim di lokasi berbiak mereka. Menurut Alikodra (1993) sebagian besar burung air ialah jenis burung air migran. Burung air migran merupakan jenis burung air yang melakukan migrasi setiap musim atau tahunan secara rutin pada musim dingin dari belahan bumi utara ke belahan bumi selatan seperti Asia Tenggara, Australia, Afrika Selatan dan Amerika Selatan. Beberapa rute migrasi yang dilalui oleh beberapa jenis burung air tersebut adalah Kepulauan Indonesia tujuannya ialah untuk mencari habitat (tempat tinggal) sementara yang sesuai.

Banyak burung air melakukan migrasi tahunan dari daerah pembiakan ke daerah non-pembiakan mereka yang jaraknya mencapai ribuan kilometer, dan melintasi berbagai perbatasan negara dan bahkan benua. Jalur migrasi ini dikenal sebagai "flyway" (atau jalur terbang). Konservasi dan manajemen berkelanjutan burung air memerlukan aksi yang terkoordinasi di sepanjang jalur terbang ini. Indonesia merupakan bagian dari East Asian – Australasian Flyway (Wetland International-Program Indonesia, 2012).

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 101

Gambar 1. Jalur terbang burung migran di dunia

Burung air mengantungkan hidupnya kepada keberadaan lahan basah seperti

mangrove, laut, pantai, hamparan lumpur (mudflat), rawa rumput (grass swamp), savana dan rawa herba (herbaceous swamp), danau, waduk, sawah dan tambak. Sebagian penggunaan kawasan lahan tersebut adalah sebagai lokasi mencari makan. Makanan burung air berupa berbagai macam organisme air seperti ikan, moluska, gastropoda, krustasea, cacing dan berbagai jenis serangga. Burung air memiliki morfologi tubuh yang sesuai dengan kondisi lingkungan tempat hidupnya. Umumnya memiliki bentuk kaki yang jenjang dan berjari panjang seperti jenis Wadingbirds, beberapa memiliki kaki yang pendek namun berselaput untuk membantu berenang di permukaan air seperti jenis Waterfowl. Bentuk paruh burung air juga khas ada yang berbentuk panjang, meruncing, berselaput dan pipih. Morfologi tersebut disesuaikan dengan jenis makanannya. III. PERAN KAWASAN PANTAI DAN MANGROVE OESAPA BAGI BURUNG AIR Kawasan Mangrove dan Pantai Oesapa merupakan kawasan konservasi yang masuk ke dalam kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Teluk Kupang. Ditetapkan sebagai Taman Wisata Laut berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No. 18/Kpts-II/1993 tanggal 28 Januari 1993 dengan luas sebesar 50.000 ha. Silvius et al. (1986) menyebutkan kawasan ini sebagai salah satu lokasi penting bagi berkumpulnya burung pantai, sebanyak 32 spesies telah tercatat di kawasan ini. Burung yang paling melimpah antara lain: Terik Australia (Stiltia isabella) 5.000–10.000 individu, Pluvialis squatarola, Charadrius ruficapillus (lebih dari 400 individu pada bulan Maret dan September 1985), C. leschenaultii, C. veredus, Numenius phaeopus, N. madagascariensis (lebih dari 250 pada bulan Maret dan Oktober 1985), Calidris ruficollis, C. acuminata, C. ferruginea dan Limicola falcinellus. Beberapa catatan spesies lainnya di tahun 1985 yaitu trinil lumpur asia Limnodromus semipalmatus (sebagai catatan pertama di Kawasan Wallacea) serta lebih dari 150 individu undan kacamata (Pelecanus conspicillatus) telah tercatat.

Di dalam UU No.5/1990 dan PP No 7/1999, terdapat 8 jenis yang dilindungi dari 57 jenis burung air migran yang terdapat di Indonesia, antara lain gajahan sebanyak 5 spesies (Numenius spp.), trinil-lumpur asia (Limnodromus semipalmatus), trinil nordmann (Tringa guttifer), dan trulek jawa (Vanellus macropterus). Diantara kedelapan jenis tersebut 2 jenis

102 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

dapat ditemukan di Oesapa yaitu gajahan pengala (Numenius phaeopus) dan gajahan timur (Numenius madagascariensis).

Gambar 2. Lokasi habitat burung air migran di Pesisir Oesapa, Kota Kupang

Meskipun kawasan pesisir Oesapa hanya bagian kecil dari kawasan TWA Teluk Kupang

secara keseluruhan, keberadaannya mewakili beberapa tipe ekosistem yang sangat dibutuhkan oleh burung air migran. Beberapa tipe ekosistem tersebut, yaitu : 1. Ekosistem Eustaria

Kawasan ini merupakan kawasan perairan yang berbatasan langsung dengan laut. Menurut Amelia (2013) Estuaria didominasi oleh substrat lumpur yang berasal dari endapan yang dibawa oleh air tawar sehingga bersatu dengan air laut. Partikel yang mengendap kebanyakan bersifat organik, substrat dasar estuaria kaya akan bahan organik. Bahan organik tersebut sebagai cadangan makanan utama, bagi pertumbuhan mangrove dan organisme lainnya. Komponen fauna estuaria dihuni oleh biota air laut dan air tawar. Di Pesisir Oesapa kawasan ini terdapat di muara sungai, dicirikan dengan endapan lumpur. Spesies yang pernah teramati dikawasan ini antara lain: kuntul kecil, kuntul karang, trinil pantai dan gajahan pengala.

2. Ekosistem Mangrove Mangrove merupakan habitat penting bagi sebagian besar kelompok burung air serta beberapa jenis burung daratan. Mereka menjadikan mangrove sebagai habitat untuk mencari makan, berbiak atau sekedar beristirahat. Jenis-jenis kuntul menjadikan mangrove sebagai tempat tenggeran dan lokasi mencari makan karena tersedia sumber pakan yang berlimpah (Holmes et al. 2003). Di kawasan mangrove Oesapa, jenis kuntul-kuntulan merupakan jenis yang paling sering terlihat bertengger atau mencari makan.

3. Ekosistem Mudflat Hamparan lumpur atau yang biasa disebut mudflat. Kelompok shorebird seperti famili Charadriidae dan Scolopacidae sangat senang mencari makan di lokasi ini karena tersedia berbagai jenis pakan yang melimpah.

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 103

4. Ekosistem Pantai Berpasir Lokasi gundukan pasir pada saat surut menjadi lokasi berkumpulnya berbagai jenis burung dara laut seperti dara laut tiram, dara laut kecil maupun dara laut jambul. Mereka menjadikan lokasi ini sebagai tempat beristirahat.

5. Perairan Laut Terbuka Perairan laut terbuka di Oesapa menyediakan pakan berupa ikan yang berlimpah. Setiap harinya nelayan memanfaatkan lokasi ini sebagai tempat mencari ikan. Jenis yang terlihat secara rutin mencari makan dilokasi ini adalah jenis dara laut.

Beragamnya tipe ekosistem tersebut merupakan suatu keunikan melihat letaknya yang berada di Kota Kupang serta berada cukup dekat dengan pusat aktifitas masyarakat seperti pemukiman dan pasar.Sebagian kawanan burung yang biasa dijumpai dilokasi ini merupakan kawanan yang mencari makan atau sekedar beristirahat. Hamparan lumpur (mudflat) sering dijadikan lokasi mencari makan bagi jenis-jenis cerek (Charadiriidrae) seperti cerek pasir-besar, dan cerek kernyut. Jenis lain datang secara berkelompok seperti gajahan pengala, kuntul kecil dan kedidi leher-merah. IV. KONSEP PENATAAN LINGKUNGAN KAWASAN OESAPA KE DEPAN Pengelolaan lingkungan perkotaan seperti Kota Kupang harus memperhatikan unsur ekologis sebagai landasan dalam konsep penataannya. Salah satu unsur ekologis tersebut adalah upaya mempertahankan keberadaan kawasan mangrove, mudflat dan pantai di Kawasan Oesapa, karena kawasan tersebut merupakan habitat bagi burung air.Keberadaan burung perlu dilestarikan karena manfaatnya, baik manfaat yang dapat langsung dirasakan oleh masyarakat maupun manfaat tidak langsung.

Baun (2008) menyebutkan bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting tetapi rentan (vulnerable) terhadap gangguan. Karena rentan terhadap gangguan, wilayah ini mudah berubah baik dalam skala temporal maupun spasial. Perubahan di wilayah pesisir dipicu karena adanya berbagai kegiatan seperti industri, perumahan, transportasi, pelabuhan, budidaya tambak, pertanian, pariwisata. Aktivitas manusia dalam menciptakan ruang-ruang terbangun akhirnya sering mengakibatkan masalah di dalam ekosistem pesisir. Batasan kawasan terbangun seperti kota pesisir harus dilakukan. Perkembangan pemukiman, atau fasilitas lain harus dibatasi melalui sistem penataan ruang agar perkembangan ruang terbangun dapat terkendali dan arah pengembangan ke arah sepanjang pantai harus dicegah. Dengan potensi yang unik dan bernilai ekonomi tinggi namun dihadapkan pada ancaman yang tinggi pula, maka hendaknya wilayah pesisir ditangani secara khusus agar wilayah ini dapat berkelanjutan.

Kondisi alami habitat burung di Pesisir Oesapa harus dipertahankan, hingga saat ini ancaman terbesarnya berupa timbunan sampah baik yang berasal dari darat maupun laut. Sampah dari darat terbawa melalui sungai yang bermuara di laut. Sebagaian sampah merupakan sampah plastik yang sulit terurai, sehingga keberadaannya sangat merusak baik dari sisi ekologi maupun dalam sudut pandang estetika. Timbunan sampah dari laut terdeposit di hutan mangrove dan kawasan pantai berbatu di Oesapa, hal ini membuat

104 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

kondisi habitat burung menjadi rusak karena sampah yang tersangkut di perakaran sulit untuk terlepas.

Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menata Kawasan Pesisir Oesapa menjadi lebih baik lagi antara lain: 1. Melakukan pengangkutan deposit sampah

Berbagai jenis sampah terutama sampah plastik terdapat di seluruh kawasan. Jika dibiarkan maka sampah tersebut akan terdeposit dan menyebabkan kerusakan lingkungan oleh karena itu perlu dilakukan pengangkutan sampah. Kegiatan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah namun juga menjadi tanggung jawab masyarakat. Salah satu cara efektif adalah dengan melakukan aksi bersih secara rutin. Aksi sosial lingkungan ini dapat dilakukan siapa saja baik secara berkelompok maupun perseorangan.

2. Membuat saringan sampah permanen di Sungai Oesapa Saringan sampah sebaiknya dibuat selebar sungai dan ditempatkan pada titik yang strategis yaitu di sekitar Jembatan Oesapa. Saringan dapat dibuat dari besi dan ditempatkan secara permanen dengan kontruksi beton.Saringan ini berfungsi menyaring sampah yang berasal dari daratan. Secara rutin saringan ini harus dibersihkan dan sampah yang tertimbun diangkat untuk mencegah tersumbatnya aliran air.

3. Membuat papan himbauan Langkah persuasif ini dapat dilakukan meskipun kesadaran masyarakat masih rendah.Dengan harapan timbul rasa keingintahuan masyarakat dan terbersit untuk melakukan upaya perbaikan terhadap lingkungannya. Papan himbauan berisi ajakan untuk melestarian habitat burung serta memberikan informasi mengenai pentingnya kawasan tersebut dan pentingnya keberadaan burung air migran.

4. Menyediakan bak sampah di pesisir Pantai Oesapa Hingga saat ini belum tersedia bak sampah yang memadai disekitar lokasi tersebut, oleh karena itu pembangunan bak sampah diharapkan dapat menjadi solusi untuk menghindari masyarakat membuang sampah ke sungai.

Gambar 3. Konsep penataan kawasan pesisir Oesapa

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 105

V. PENUTUP Keberadaan burung air migran di Kawasan Pesisir Oesapa memegang peranan penting bagi keberlangsungan sistem kehidupan. Oleh karena itu upaya melestarikannya harus senantiasa dilakukan agar keberadaannya tetap terjaga. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga dan menata kawasan tersebut. Diperlukan perhatian publik baik dari pemerintah maupun masyarakat untuk melakukan langkah di atas. Dengan terjaganya kelestarian Kawasan Pesisir Oesapa maka akan membawa dampak positif dari sisi ekologis dan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H.S. 1993. Pengelolaan Satwaliar. Bogor: Pusat Antar Universitas Institut

Pertanian Bogor dan Lembaga Sumberdaya Informasi IPB. Amelia. 2013. Konservasi Wilayah Pesisir. Makalah Tidak Diterbitkan. Augusta, M. 2006. Penataan Ruang Berbasis Ekologi: Konsep Urban Farming dan Roof

Garden dalam Memperbaiki Kualitas Udara di Surabaya. Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota.FTSP-ITS, Surabaya.

Baun, P. I. 2008. Kajian Pengembangan Pemanfaatan Ruang Terbangun di Kawasan Pesisir Kota Kupang. Program Pascasarjana Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota. Universitas Diponegoro, Semarang. Thesis: Tidak Diterbitkan.

Bibby, C., Neil D. B., dan David, H. 2004. Bird Census Techniques. The Cambridge University Press, UK.

Howes, J., David, B. dan Noor, Y.R. 2003. Panduan Studi Burung Pantai. Wetland International – Indonesia Programme, Bogor.

Silvius, M.J., Djuharsa, E., Taufik, A.W., Steeman, A.P.J.M. dan Berczy, E.T. 1986. The Indonesian Wetland Inventory: A Premiliminary Compilation on Wetlands of Indonesia. PHPA-AWB/Interweder dan Edwin, Indonesia.

Wetland International-Program Indonesia. 2012. Burung Air. Diakses tanggal

106 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Lampiran

Lampiran 1. Beberapa jenis burung air yang ditemukan di Kawasan Pesisir Oesapa

Kuntul Kecil

Trinil Pembalik-batu

Kuntul Karang

Dara-laut Tiram

Gajahan Timur

Gajahan Pengala

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK BUDIDAYA CENDANA (Santalum album Linn.) DI KABUPATEN BELU

Oleh :

Sumardi1), M. Hidayatullah2), Dhany Yuniati3) dan Bayu Adrian Victorino4)

1,2 &3)Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Jl. Untungsurapati No. 7(Belakang), Kupang-NTT 4)Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Benain-Noelmina, Kupang-NTT

Email : [email protected]

ABSTRAK Cendana (Santalum album Linn.) merupakan jenis tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi, karena kandungan minyak atsiri pada kayu terasnya. Tingginya nilai ekonomi kayu cendana menjadikan jenis pohon ini sebagai salah satu jenis pohon yang diburu oleh masyarakat untuk mendapatkan keuntungan besar. Eksploitasi tanpa diimbangi dengan keberhasilan pelestarian merupakan ancaman serius terhadap penurunan populasi dan keberadaan sumber daya genetik cendana. Dalam upaya pelestarian dan pengembangan cendana pada lahan yang sesuai untuk pengembangan cendana, dilakukan penelitian penyediaan lahan potensial pengembangan cendana. Hasil dari penelitian ini adalah peta digital lahan potensial untuk pengembangan cendana di Kabupaten Belu. Luasan lahan potensial untuk budidaya dan pengembangan cendana di Kab. Belu adalah seluas 137.305,13 ha atau sebesar 56,14 % dari total keseluruhan luas daratan Kab. Belu. Peta lahan potensial untuk pengembangan cendana tersebut dibuat untuk mendukung program pengembangan cendana dan diharapkan dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam penentuan lokasi pengembangan cendana di Kabupaten Belu. Kata kunci : cendana, eksploitasi, pengembangan, lahan potensial, peta digital. I. PENDAHULUAN

Cendana (Santalum album Linn.) merupakan jenis tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi, karena kandungan minyak atsiri dengan aroma khas yang wangi dan banyak dimanfaatkan untuk bahan baku obat-obatan, parfum, dan untuk upacara adat/keagamaan. Jenis ini pernah memberikan kontribusi besar bagi pembangunan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) selama kurun waktu 1989/1990 – 1999/2000, dengan memberikan kontribusi sebesar 40 % Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Darmokusumo et al., 2000). Seperti halnya daerah-daerah lain yang melakukan pembangunan, maka di masa awal orde baru kegiatan pemanfaatan SDA melalui eksploitasi cendana menjadi pilihan untuk modal pembangunan. Eksploitasi tanpa diikuti upaya rehabilitasi mengakibatkan penurunan populasi pada daerah sebaran alami termasuk di Pulau Timor. Penurunan populasi cendana menurut data hasil inventarisasi Dinas Kehutanan NTT tahun 1987-1988 dan 1997-1998 mencapai 85% dalam kurun waktu 10 tahun (William, 2001). International Union for Conservation of Natural Resource (IUCN) saat ini sudah memasukkan cendana kedalam kategori jenis yang hampir punah (vulnerable) (IUCN, 2001).

Rehabilitasi cendana yang dilaksanakan selama ini memiliki tingkat keberhasilan dibawah 30 % (Darmokusumo, et al., 2000). Untuk dapat mengembalikan populasi cendana di Pulau Timor, diperlukan strategi pengembangan cendana yang tepat sesuai dengan

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 107

kondisi setempat. Kondisi tapak calon lokasi penanaman disesuaikan dengan persyaratan tempat tumbuh cendana. Dengan demikian diperlukan informasi kondisi tapak menyangkut kondisi biofisik dan distribusi lahan yang potensial untuk pengembangan cendana.

Untuk mendukung perencanaan pengembangan cendana di Pulau Timor khususnya di Kab. Belu, perlu dilakukan identifikasi dan penyediaan lahan potensial untuk mengurangi resiko kegagalan. Data dan informasi distribusi luasan dan lahan potensial dituangkan dalam bentuk peta digital. Pemetaan lahan potensial akan memberikan arah lebih jelas bagi perencanaan budidaya dan pengembangan cendana. Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan data dan informasi peta digital lahan potensial untuk kegiatan budidaya dan pengembangan cendana di Kab. Belu.

Cendana merupakan satu-satunya diantara 22 jenis dari genus Santalum di dunia yang tumbuh secara alami di Indonesia. Kayu cendana termasuk kayu mewah dengan nilai ekonomi sangat tinggi. Nilai ekonomi cendana terletak pada kayu terasnya yang wangi dan banyak dimanfaatkan untuk obat-obatan, kerajinan, parfum, dan dipakai dalam upacara-upacara adat/keagamaan. Negara-negara lain memiliki spesies yang berbeda, dan umumnya memiliki kualitas keharuman kayu dan kandungan minyak yang lebih rendah dibandingkan dengan S. album L. (Harisetijono, 2002). Sederet multiguna dari cendana ini menempatkan cendana sebagai komoditi yang sangat mahal sehingga dalam perdagangan satuan yang dipakai adalah kilogram (kg). Dalam kurun waktu yang panjang cendana merupakan komoditi yang potensial bagi perekonomian khususnya bagi Propinsi NTT. Komoditi cendana pada tahun 1989/1990 – 1999/2000 memberikan kontribusi sebesar rata-rata per tahun sebesar 40% bagi Pendapatan Asli Daerah Pemda NTT (Darmokusumo et al., 2000). Minyak cendana banyak diekspor ke Eropa, Amerika, China, Hongkong, Korea, Taiwan sampai Jepang. Kayu cendana banyak digunakan untuk bahan baku industri kerajinan patung, kipas, tasbih. Populasi cendana saat ini dalam kondisi kemerosotan sangat serius akibat ekploitasi berlebihan, pencurian, kebakaran dan gangguan ternak, sementara upaya penanaman cendana yang sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Rehabilitasi yang dilaksanakan selama ini tingkat keberhasilan masih dibawah 30 % (Darmokusumo, et al., 2000).

Menurut Riswan 2000 yang mengutip Bentley dan Trimen (1880) cendana pada mulanya diperkirakan berasal dari India, karena dijumpai tegakan alami cendana di daerah Mysore dan sekitarnya di bagian selatan India. Akan tetapi kebanyakan pakar botani, umumnya lebih meyakini bahwa cendana berasal dari Indonesia (Fischer, 1938), yaitu di Kepulauan Busur Luar Banda yang terletak di sebelah Tenggara Indonesia, terutama di Pulau Timor dan Sumba. Sejarah perdagangan kayu cendana masa lampau ikut menunjang bahwa pohon cendana merupakan tanaman asli NTT. Cendana dijumpai di kepulauan Flores, Solor, Alor, Lomlen, Sumba, Pantar, Roti, Timor dan Wetar (Kharisma, 1994).

Cendana umumnya dijumpai pada daerah-daerah dengan kisaran curah hujan tahunan antara 600 – 2000mm. Cendana dapat tumbuh optimal pada kisaran curah hujan 850 – 1350 mm per tahun. Habitat asli cendana biasanya mempunyai musim kering yang lama dan hujan yang pendek, 2-3 bulan per tahun (Hamzah, 1976). Cendana tidak menyukai daerah tergenang air, khususnya sewaktu masih muda. Daerah yang selalu basah kurang baik

108 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

untuk pertumbuhan cendana. Tanah-tanah di P. Timor dan P. Sumba umumnya didominasi tanah lempung (clay) yang berat dan berasal dari endapan di laut. Kenyataan menunjukkan banyak cendana tumbuh baik di atas tanah dangkal yang berbatu. Hasil kayu terbaik diperoleh dari pohon cendana yang tumbuh di hutan terbuka pada tanah kurang subur dan berbatu. Cendana termasuk tumbuhan semi parasit dimana selama hidupnya memerlukan inang untuk membantu menyerap hara melalui haustoria. Menurut Sarma (1977), hanya unsur N, P dan asam amino yang diambil dari inang, sedangkan unsur Ca dan K diambil dari akar cendana. Inang primer diperlukan saat di persemaian seperti Althernanthera sp, Desmatus virgatus dan Crotalaria juncea (Surata, 1993). Sedangkan inang di lapangan (inang sekunder) antara lain Casuarina junghunniana, Cassia siamea, Dalbergia latifolia, Accacia villosa, Leucaena leucocephala dan Sesbania grandiflora (Surata et al. 1994).

Cendana termasuk pohon yang lambat tumbuhnya. Susila et al. (1993) melaporkan bahwa rata-rata pertumbuhan riap keliling setinggi dada pohon cendana adalah 1-2 cm per tahun. Lebih lanjut disebutkan pohon cendana yang baik akan menghasilkan 1 kg kayu teras dalam setahun. Pembentukan kayu teras yang paling prima terjadi pada umur 30-60 tahun dengan keliling batang 40-60 cm. Menurut menyebutkan, minyak atsiri cendana adalah bagian yang paling berharga dari cendana (Sarma, 1977). Lebih lanjut disebutkan bagian kayu dari akar cendana adalah yang paling potensial sebagai sumber minyak atsiri dengan kandungan 10 %. Bagian kayu dari batangnya mengandung 4-8% minyak atsiri, sedangkan ranting utamanya mengandung 2-4% minyak atsiri. Minyak cendana memiliki kandungan seskiterpena di atas 90% dengan santalol ( - dan -santalol) sebagai komponen utama. Alpha dan -santalol merupakan komponen karakteristik yang dijadikan sebagai tolok ukur kualitas minyak cendana. Dalam perdagangan global minyak atsiri menetapkan bahwa minyak cendana kualitas tertinggi harus mengandung senyawa santalol minimal 90% dengan kandungan - dan -santalol minimal 67% dengan rasio - dan -santalol 45-55% dan 20-27%. Faktor umur mempengaruhi kandungan minyak. Cendana muda dengan umur 10 tahun mengandung minyak atsiri 0.2-2.0%, sedangkan umur 30-50 tahun mengandung 2.8-5.6 %. Kandungan santalol yang diperoleh dari cendana muda berkisar 72-83% dan pada cendana tua berkisar 86-91% (Shankaranarayana dan Parthasarathi, 1984 dalam Agusta dan Jamal, 2000).

II. METODOLOGI A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupeten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2011. B. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah area budidaya dan pengembangan cendana di Kab. Belu. Sedangkan alat yang digunakan adalah sekop, cangkul, parang, ring sampel, besi gali, isolasi bening alat tulis, serta peralatan laboratorium analisis tanah.

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 109

C. Metode Penelitian Penelitian dimulai dengan pengumpulan data dan informasi jenis tanah, kelerengan,

ketinggian tempat, tutupan dan penggunaan lahan, serta curah hujan. Data dan informasi terebut berupa peta jenis tanah (skala 1.000.000, Puslitan Bogor 1993), kelerengan (skala 1 : 100.000), ketinggian tempat, tutupan dan penggunaan lahan (skala 1 : 250.000, Data citra tahun 2003), serta curah hujan (BMG, 2011). Peta-peta tersebut di overlay sehingga menjadi peta satuan lahan. Peta satuan lahan di overlay dengan persyaratan tempat tumbuh cendana, sehingga didapatkan peta lahan potensial untuk budidaya cendana.

Tahapan berikutnya adalah penentuan titik sampel pengambilan contoh tanah. Penentuan titik sampel dilakukan pada jenis tanah, tutupan dan penggunaan lahan berbeda. Pengambilan sampel dilakukan dengan memperhatikan distribusi jenis tanah, tutupan dan penggunaan lahan secara proporsional. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada lapisan solum dengan ketebalan 30 cm.

Analisis kimia dan fisika tanah dilakukan terhadap kondisi pH tanah, kandungan N (Nitrogen) total, C-organik dalam tanah, kandungan P2O5 dalam tanah, dan tekstur tanah. Hasil analisis tanah disesuaikan dengan persyaratan tempat tumbuh cendana, untuk selanjutnya di overlay dengan peta satuan lahan sehingga didapatkan peta lahan potensial dengan kelas kesesuaian yang berbeda untuk pengembangan cendana.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Peta Satuan Lahan

Peta satuan lahan diperoleh dengan melakukan overlay terhadap peta jenis tanah, kelerengan, ketinggian tempat, tutupan dan penggunaan lahan, serta curah hujan. Berdasarkan hasil analisis peta satuan lahan penentuan titik sampel dilakukan pada jenis tanah, tutupan dan penggunaan lahan berbeda. Sampel tanah diambil pada semua jenis tanah yang ada di Kab. Belu yang dikombinasikan dengan tutupan lahan. Berdasarkan hasil identifikasi sebaran, cendana di jumpai pada jenis tanah Renzina, Kambisol, grumusol, Mediteran, dan Latosol, sehingga pengembilan sampel tanah dilakukan pada jenis-jenis tanah tersebut.

Berdasarkan hasil analisis peta tutupan lahan, tidak semua jenis tutupan lahan dilakukan pengambilan sampel tanah. Tutupan lahan yang dimasukkan dalam penentuan titik pengambilan sampel tanah adalah jenis tutupan hutan lahan kering primer (HLKP), hutan lahan kering sekunder (HLKS), pertanian lahan kering (PLK), pertanian lahan kering campur/sekunder dan perkebunan (PLKS), savana (Sv), semak belukar (SB), dan tanah terbuka (TT). Hutan mangrove, tambak, tubuh air, rawa belukar, pemukiman, dan sawah tidak dimasukkan dalam penentuan titik pengambilan sampel tanah. Hal ini dengan mempertimbangkan peruntukkan dan fungsi tutupan lahan tersebut yang akan menimbulkan permasalahan lain jika nantinya akan digunakan sebagai lokasi pengembangan cendana. Berdasarkan hasil groundcheck ke lokasi didapatkan data bahwa tutupan lahan jenis tanah terbuka (TT) pada umumnya merupakan bentangan sungai. Dengan demikian, pada saat dilakukan proses digitasi dan pembuatan peta, tutupan lahan jenis TT dikeluarkan dari klasifikasi jenis tutupan lahan yang sesuai untuk budidaya cendana.

110 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

B. Sifat Kimia dan Fisika Tanah Analisis kimia dan fisika tanah dilakukan terhadap kondisi pH tanah, kandungan N

(Nitrogen) total, C-organik dalam tanah, kandungan P2O5 dalam tanah, dan tekstur tanah. Analisis tanah dilakukan terhadap sampel tanah yang telah diambil dari lokasi target sebelumnya di Kabupaten/Kota di Pulau Timor. Hasil analisis kimia dan fisika tanah disajikan pada Tabel 1 dan hasil analisis fisika tanah disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1. Hasil analisis sifat kimia tanah di Pulau Timor

Nama Sampel/Sample

name

Bahan Organik/Organic matter. (%)

C-Org (%)

N (%)

P205 (ppm

)

P (ppm)

K2O (me/1

00)

pH

Grumusol 0,80 0,46 0,33 63,60 27,77 0,65 9,32 Kambisol Distrik 3,51 2,04 0,31 84,40 36,85 0,71 7,44 Kambisol Eutrik 0,37 0,21 0,26 49,22 21,63 0,58 7,66 Kambisol Ustik 2,46 1,43 0,27 68,36 29,85 0,75 7,70 Latosol - - 0,19 26,35 11,50 0,50 7,28 Mediteran Haplik 3,51 2,04 0,22 60,40 26,37 0,61 7,62 Renzina 5,80 3,36 0,38 88,14 38,48 1,22 7,00

Tabel 2. Hasil analisis sifat fisika tanah di Pulau Timor

Nama Sampel/sample

name

Kelembaban /Humidity (%)

Kl g/cm3

(%)

Pasir/sand Debu/ dust Liat/ clay Grumusol 12,31 1,46 70,33 21,00 8,67 Kambisol Distrik 19,07 1,19 57,75 18,33 23,83 Kambisol Eutrik 16,40 1,21 54,27 17,33 26,40 Kambisol Ustik 14,62 1,06 74,33 13,50 12,17 Latosol 21,65 0,94 65,33 19,33 15,33 Mediteran Haplik 16,31 1,08 64,67 16,00 19,34 Renzina 27,94 31,96 63,56 20,44 16,00

Hasil analisis tanah digunakan sebagai dasar untuk menentukan tingkat kelas

kesesuaian lahan pada peta lahan potensial untuk pengembangan cendana. Kelas kesesuaian pada penelitian ini didasarkan pada ketersediaan bahan organik, C-organik, N, P2O5, K2O dan pH tanah dari yang paling besar hingga paling sedikit. Ketersediaan paling besar diasumsikan sebagai lokasi dengan kelas kesesuaian lahan untuk tanaman cendana paling tinggi (sesuai kelas I). Secara umum ketersediaan hara yang dibutuhkan tanaman cendana, termasuk dalam kelas kesesuaian lahan dari ketersediaan hara paling banyak hingga paling sedikit. Parameter kesuburan tanah standar (pH tanah, kadar bahan organik, N, P dan K tersedia) merupakan faktor yang sangat penting dalam hubungannya dengan pertumbuhan tanaman, produksi tanaman, serta fungsi dan keragaman mikroorganisme tanah. Parameter-parameter tanah tersebut umumnya sangat sensitif terhadap pengelolaan

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 111

tanah. Untuk tanah-tanah terpolusi dan terdegradasi, indikator-indikator tersebut merupakan bagian dari set data minimum dari indikator kimia tanah (Winarso, 2005). Sedangkan untuk pengaruh unsur-unsur hara pada tanah tempat tumbuh cendana, meskipun tidak terlalu tegas namun terdapat kecenderungan bahwa tanah yang memiliki unsur N relatif tinggi, maka pertumbuhan cendananya relatif baik pula. Demikian juga untuk kandungan Bahan Organik (BO), pada lokasi-lokasi yang memiliki pertumbuhan cendana yang baik, pada umumnya memiliki kandungan BO yang tinggi pula. Besarnya kandungan BO menandakan tingginya tingkat pelapukan. Tingkat pelapukan yang tinggi akan menghasilkan hara yang tersedia bagi tumbuhan atau tanaman cendana.

Penentuan tingkat kelas kesesuaian lahan pada penelitian ini masih didasarkan pada ketersediaan unsur hara tanah yang mayoritas dibutuhkan oleh tanaman cendana. Perubahan kelas kesesuaian dapat dilakukan dikemudian hari dengan didasarkan pada hasil evaluasi pertumbuhan cendana pada masing-masing lokasi target tingkat kelas kesesuaian. Pengembangan cendana pada lokasi dengan tingkat kelas kesesuaian rendah (kelas VII), dapat dilakukan dan akan memberikan pertumbuhan optimal jika diberikan input teknologi berupa pemberian suplai atau tambahan hara tanah pada lokasi tersebut.

C. Peta Lahan Potensial Pengembangan Cendana Berdasarkan hasil overlay terhadap peta jenis tanah, kelerengan, ketinggian tempat,

tutupan dan penggunaan lahan, serta curah hujan, didapatkan peta satuan lahan. Peta satuan lahan yang telah dihasilkan di overlay dengan persyaratan tempat tumbuh cendana. Dari hasil overlay peta satuan lahan dengan persyaratan tumbuh cendana didapatkan luasan lahan potensial untuk pengembangan cendana pada masing-masing kecamatan di Kab. Belu (Tabel 3). Peta lahan potensial untuk pengembangan cendana tersebut ditambahkan overlay hasil analisis tanah untuk menentukan tingkat kelas kesesuaian lahan (Gambar 1). Pada penelitian ini, kesesuaian lahan untuk pengembangan cendana menggunakan beberapa indikator dan pengukur. Indikator Sifat kimia menggunakan pengukur kandungan N, P2O5

dan K2O. Sedangkan indikator sifat fisik diwakili oleh kandunagan Bahan Organik (B)) dan tekstur tanah. Penentuan indikator dan pengukur yang digunakan menggunakan pendekaan teori umum tentang kesuburan lahan serta berdasarkan hasil penelitian sebelumnya. Indikator dan pengukur yang digunakan terdiri dari dua Indikator, dengan indikator I menggunakan tiga pengukur (kandungan N, P2O5 dan K2O) dan indikator II menggunakan dua pengukur (Kandungan bahan organik dan tekstur tanah). Dengan masih sedikitnya jumlah indikator dan pengukur, maka perbandingan terhadap indikator dan kriteria dalam rangka pembobotan dapat ditetapkan secara langsung, tanpa melalui suatu proses analisis hierarkis. Selanjutnya dilakukan pada masing-masing indikator dan pengukur terpilih, untuk mendapatkan skor akhir guna penetapan kelas kesesuaian lahan. Pembobotan didasarkan pada perbandingan berpasangan.

112 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Tabel 3. Distribusi luasan lahan potensial untuk cendana pada masing-masing kecamatan di Kab. Belu

Wilayah Kecamatan/ Sub-District

Luasan Potensial Untuk Cendana/Potential land area

for sandalwood (ha)

Persentase dari Luasan Total Kab. Belu/

Percentage of total land size in Belu District (%)

Kec. Atambua Barat 596,90 0,24 Kec. Atambua Selatan 327,43 0,13 Kec. Botin Leo Bele 3426,60 1,40 Kec. Io Kufeu 6660,01 2,72 Kec. Kakuluk Mesak 3849,61 1,57 Kec. Kobalima 10581,11 4,33 Kec. Kobalima Timur 8301,09 3,39 Kec. Kota Atambua 957,10 0,39 Kec. Laenmanen 10453,11 4,27 Kec. Lamaknen 7117,75 2,91 Kec. Lamaknen Selatan 7508,26 3,07 Kec. Lasiolat 4986,49 2,04 Kec. Malaka Tengah 4872,40 1,99 Kec. Malaka Timur 5493,95 2,25 Kec. Nanaet Duabesi 1888,75 0,77 Kec. Raihat 7200,10 2,94 Kec. Raimanuk 4721,42 1,93 Kec. Rinhat 9945,94 4,07 Kec. Sasitamean 6149,59 2,51 Kec. Tasifeto Barat 14068,36 5,75 Kec. Tasifeto Timur 14695,59 6,01 Kec. Weliman 2811,32 1,15 Kec. Wewiku 594,63 0,24

Berdasarkan Tabel 3, wilayah kecamatan yang memiliki luasan lahan potensial untuk

pengembangan cendana paling banyak adalah Kecamatan Tasifeto Timur yaitu seluas 14695,59 ha atau 6,01 % luas total daratan Kab. Belu. Persentase luasan lahan potensial untuk pengembangan dan budidaya cendana secara keseluruhan di Kab. Belu adalah seluas 137.305,13 ha atau sebesar 56,14 % dari total keseluruhan luas daratan Kab. Belu. Luasnya lahan potensial tersebut disebabkan oleh kondisi lahan di Kab. Belu yang merupakan habitat alami cendana, didukung dengan cendana memiliki toleransi tinggi terhadap kondisi bervariasi (Sarma, 1977).

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 113

Gambar 1. Peta Lahan Potensial Pengembangan Cendana di Kab. Belu (The map of potential land

for sandalwood in Belu District)

114 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Dari analisis peta satuan lahan distribusi luasan lahan potensial pengembangan cendana di Kab. Belu berdasarkan tutupan lahan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Distribusi luasan lahan potensial untuk cendana berdasarkan jenis tutupan lahan di Kab. Belu

Jenis Tutupan lahan/Land cover types Tutupan lahan sesuai (ha)

Hutan Lahan Kering Primer 697,09 Hutan Lahan Kering Sekunder 34.400,61 Pertanian Lahan Kering 29.872,74 Pertanian Lahan Kering Sekunder 12.894,34 Savana 8.874,16 Semak Belukar 38.477,75

Luasan terbesar untuk budidaya cendana di Kab. Belu lebih banyak berupa tutupan lahan semak belukar yakni seluas 38,477,75 ha.

Keberhasilan budidaya cendana bukan hanya ditentukan oleh adanya lahan potensial yang memiliki kondisi biofisik yang memenuhi persyaratan tumbuh jenis cendana, akan tetapi juga sangat ditentukan oleh keberadaan tanaman inang yang membantu mensuplai beberapa unsur hara esensial bagi pertumbuhan cendana. Beberapa unsur hara yang diambil cendana dari tanaman inang antara lain adalah Ca dan Fe (Sreenivasan Rao, 1933), N dan P (Iyengar, 1960), K, P dan Mg (Rangaswamy et al., 1986), K, Ca, Mg, Fe, Cu dan Zn (Ramaiah et al., 1962). IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Luasan lahan potensial untuk budidaya dan pengembangan cendana di Kab. Belu adalah seluas 137.305,13 ha atau sebesar 56,14 % dari total keseluruhan luas daratan Kab. Belu. B. Saran

Dengan adanya peta lahan potensial untuk budidaya dan pengembangan cendana di Kab. Belu ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan perencanaan pengembangan cendana untuk mendukung arah kebijakan pemerintah dalam mengembangkan cendana di Kab. Belu. Evaluasi pertumbuhan cendana pada masing-masing tingkat kelas kesesuaian diharapkan dapat dilakukan untuk memberikan koreksi terhadap tingkatan kelas kesesuaian yang telah ada.

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 115

DAFTAR PUSTAKA Agusta, A dan Jamal, Y. 2000. Fitokimia dan Farmakologi Cendana (Santalum album L.)

Kumpulan makalah Seminar Nasional Kajian Terhadap Tanaman Cendana (Santalum album L) sebagai Komoditi Utama Perekonomian Prop. NTT Menuju Otonomisasi. Pemda Tk. I NTT bekerjasama dengan LIPI di Jakarta 26 Juni 2000.

Darmokusumo, S. Nurgoho. A.A., Botu, E.U., Jehamat, A., Benggu, M. 2000. Upaya Memperluas Kawasan Ekonomis Cendana di NTT. Kumpulan makalah Seminar Nasional Kajian Terhadap Tanaman Cendana (Santalum album L) sebagai Komoditi Utama Perekonomian Prop. NTT Menuju Otonomisasi. Pemda Tk. I NTT bekerjasama dengan LIPI di Jakarta 26 Juni 2000.

Fischer, C.E.C (1938). Where did the Sandalwood tree (Santalum album L) evolve? J. Bombay Nat. Hist. Soci. 40: 458-460.

Hamzah, Z. 1976. Sifat Silvika dan Silvikultur Cendana (Santalum album L) di Pulau Timor. Laporan No.227. Lembaga Penelitian Hutan, Bogor.

Harisetijono. 2002. Analisis Kebijakan Pengelolaan Cendana di NTT. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Makalah disampaikan dalam Ekspose Hasil-hasil Penelitian BP2KBNT tanggal 23 Nopember 2002 di Kupang.

Iyengar AV. 1960. The relation of soil nutrients to the incidence of spike disease in sandalwood (Santalum album Linn.). Indian Forester 86: 220±230.

IUCN. 2001. The IUCN Red List of Threatened Species. http://www.redlist.org/info/categories criteria2001.html

Kharisma. 1994. Kombinasi Uji Keturunan dan Uji Sumber Benih Cendana (Santalum album L.) Tingkat Semai. Tesis Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Ramaiah PK, Parthasarathi K, Rao PS. 1962. Studies on sandal spike : a histological study of sandal root haustoria in relation to mineral nutrition. Indian Academy of Wood Science. 56B: 111±113.

Rangaswamy CR, Jain SH, Parthasarthi K. 1986. Soil properties of some sandalwood bearing areas. Van Vigyan 24 : 61±68.

Riswan, Soedarsono.2000. Kajian Botani, Ekologi dan Penyebaran Pohon Cendana (Santalum album L). Kumpulan makalah Seminar Nasional Kajian Terhadap Tanaman cendana (Santalum album L) sebagai Komoditi Utama Perekonomian Prop. NTT Menuju Otonomisasi. Pemda Tk. I NTT bekerjasama dengan LIPI di Jakarta 26 Juni 2000.

Sarma-Sen PK. 1977. Sandalwood-its cultivation and utilisation. In : Attal CK, Kapoor BM, eds. Cultivation of medicinal and aromatic plants. RRL Jamu. 287-297.

Sreenivasan Rao YV. 1933. Contributions to the physiology of sandal (Santalum album L). In¯uence of the host plants on the nitrogen metabolism of sandal. Journal of the Indian Institute of Science 16A: 164±184.

Surata, I.K. 1993. Pengaruh jenis inang terhadap pertumbuhan semai cendana (Santalum album L). Santalum 9.

116 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Surata, I.K. 1994. Pengaruh tinggi bibit terhadap terhadap keberhasilan tumbuh cendana (Santalum album L.). Santalum 13: 1-10.

Susila, I Wayan Widiana, A.J. Luanlaka dan M.L. Nalle. 1993. Perkembangan Potensi kayu Cendana. Proceeding seminar Pemantapan Upaya Pelestarian Cendana di Prop. NTT. Dishut Prop. Dati I NTT.

William, A.M. 2001. Haumeni, Not Many: Renewed Plunder and Mismanagement in the Timorese Sandalwood Industry. Resource Management in Asia-Pacific Working Paper No.29. Resource Management in Asia-Pacific Program. Australia National University.

Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah, Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Gava Media. Yogyakarta.

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 117

118 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

NILAI HARAPAN LAHAN BUDIDAYA CENDANA (SANTALUM ALBUM LINN.) BERDASARKAN KELAS

KESESUAIAN LAHAN DI PULAU TIMOR (Land Ecpectation Value of Cendana (Santalum album Linn.) Cultivation Based on Land Suitability Class in Timor island)

Oleh/by :

Hery Kurniawan dan Sumardi Balai Penelitian Kehutanan Kupang/Forestry Research Institute of Kupang

Jln. Alfons Nisnoni No. 7 (Belakang) P.O BOX 69 Kupang 85115 NTT Tlp. (0380) 823357,Fax. (0380) 831068, Email : [email protected]

Abstrak

Cendana (Santalum album Linn.) dikenal secara luas sebagai salah satu dari spesies pohon yang paling bernilai. Upaya pengembangan budidaya dan pemulihan cendana di NTT mulai dilakukan secara sistematis dan terencana dengan telah disusunnya “Master Plan dan Rencana Aksi Pengembangan dan Pelestarian Cendana di Propinsi NTT“. Salah satu faktor yang berperan dalam menunjang keberhasilan pengembangan budidaya cendana di lapangan adalah target lokasi pengembangan yang tepat, yaitu lokasi yang memiliki lahan potensial untuk pengembangan dan budidaya cendana. Perlu adanya dukungan analisis finansial terkait pengusahaan tanaman cendana pada setiap kelas kesesuaian lahan dengan jarak tanam tertentu. Salah satunya adalah berdasarkan metode land expectation value (LEV) atau soil expectation value (SEV). Seluruh LEV pada setiap kelas kesesuaian lahan dan tingkat suku bunga dalam penelitian ini menunjukkan nilai positif. Hal ini berarti usaha budidaya cendana adalah layak untuk dijalankan.

Kata kunci : Lahan, kesesuaian, financial, analisis, cendana

I. PENDAHULUAN Cendana dikenal secara luas sebagai salah satu dari spesies pohon yang paling bernilai dengan estimasi volume pasarnya mencapai lebih dari US$ 1 milyar (Viswanath et al., 2008). Pada masa dahulu, Cendana yang tumbuh di lahan milik telah menjadi suatu kombinasi dari beberapa hak dengan adanya klaim negara atas nilai sumber daya alam yang terletak pada lahan milik. Konsekuensi dari sebuah rejim kepemilikan yang saling terkait telah banyak dibahas dalam konteks pulau Timor Indonesia (Dhanya, et al, 2010). International Union for Conservation of Natural Forest (IUCN), sejak tahun 1997 sudah memasukkan cendana (Santalum album Linn.) ke dalam jenis yang hampir punah (vulnerable). Bahkan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) telah memasukkan cendana dalam jenis Appendix II (World Wide Fund for Nature (WWF) - Indonesia dalam Anonim 2010). Upaya pengembangan budidaya dan pemulihan populasi cendana di NTT mulai dilakukan secara sistematis dan terencana dengan telah disusunnya “Master Plan dan Rencana Aksi Pengembangan dan Pelestarian Cendana di Propinsi NTT“. Dengan adanya master plan tersebut diharapkan

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 119

pengembangan dan pemulihan populasi cendana di NTT segera dapat terwujud (Kurniawan, 2014).

Untuk mendukung perencanaan pengembangan budidaya cendana di NTT tersebut, perlu dilakukan langkah dan upaya untuk meminimalkan kemungkinan kegagalan penanaman di lapangan. Salah satu faktor yang berperan dalam menunjang keberhasilan pengembangan budidaya cendana di lapangan adalah target lokasi pengembangan yang tepat, yaitu lokasi yang memiliki lahan potensial untuk pengembangan dan budidaya cendana. Data dan informasi mengenai distribusi luasan dan lokasi yang memiliki lahan potensial untuk pengembangan budidaya cendana yang dituangkan dalam bentuk peta digital akan menunjang keberhasilan pengembangan budidaya cendana di NTT. Dengan demikian target lokasi perencanaan pengembangan budidaya cendana akan lebih terarah dan terencana. Balai Penelitian Kehutanan Kupang telah melakukan penelitian kajian spasial lahan secara digital untuk pengembangan cendana di NTT, salah satunya adalah di Pulau Timor.

Lebih jauh lagi, Pemerintah Provinsi NTT juga merencanakan untuk membangun sejumlah hutan cendana dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan di atas lahan negara, milik dan komunal. Pada tahun 2010, pemerintah merencanakan untuk membangun hutan cendana seluas 500 ha dan ini akan dilanjutkan melalui pengembangan 750 ha hutan cendana lainnya (Dinas Kehutanan Propinsi NTT, 2009). Dengan adanya rencana pembangunan hutan cendana dan tersedianya data distribusi lokasi lahan potensial untuk pengembangan cendana dalam bentuk peta digital, selanjutnya perlu adanya dukungan analisis finansial terkait pengusahaan tanaman cendana pada setiap kelas kesesuaian lahan dengan jarak tanam tertentu. Hal ini perlu dilakukan untuk memberikan gambaran logis dan ilmiah mengenai tingkat keuntungan yang sesungguhnya berdasarkan metode perhitungan analisis finansial tertentu. Salah satunya adalah berdasarkan metode land expectation value (LEV) atau soil expectation value (SEV). Sebagai contoh di India, berdasarkan pertimbangan tuntutan terhadap materi tanaman yang berkualitas dalam jumlah besar untuk kepentingan budidaya, bank-bank plasma nutfah, kebun benih klon dan persemaian cendana, secara berangsur-angsur menarik perhatian pemerintah dan pemodal pribadi (Viswanath et al., 2009). Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai tingkat kelayakan pengusahaan tanaman cendana di Pulau Timor pada masing-masing kelas kesesuaian lahan dengan jarak tanam 4m x 4m berdasarkan metode Land/Soil Expectation Value (LEV/SEV).

II. METODE PENELITIAN A. Data Data yang digunakan sebagai bahan analisis adalah data sekunder mengenai biaya yang dikeluarkan selama daur, arus pemasukan selama daur dan data sekunder lain yang mendukung seperti gambaran umum lokasi penelitian.

120 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

B. Analisis Data Penelitan ini dilaksanakan dengan metode analisis finansial present value berdasarkan perpetual value. Penggalian data dilakukan secara selektif dengan penggunaan data sekunder atas perhitungan net present value cash flow sistem pengusahaan tanaman cendana secara murni. Harga yang digunakan adalah harga konstan pada tahun dasar 2013 Sedangkan suku bunga yang digunakan adalah suku bunga riil untuk 5 tahun terakhir berdasarkan suku bunga pasar dan rata-rata inflasinya. Suku bunga riil didapatkan menggunakan formula Heers dan Lefers, = 1 +

dimana : i = suku bunga riil (dalam %) f = angka inflasi rata-rata per tahun (dalam %) m = suku bunga pasar (dalam %) Sedangkan untuk penghitungan nilai harapan lahan digunakan formula Faustman (1849) dengan memanfaatkan data pada cash flow dan kemudian di-compound pada akhir daur.

C. Asumsi-asumsi Asumsi-asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Analisis ini menggunakan empat kelas kesesuaian, yakni kelas sesuai 1, kelas sesuai 2,

kelas sesuai 3 dan kelas sesuai 4. 2. Jarak tanam yang digunakan adalah 4m x 4m, sehingga diantara tanaman cendana dapat

dilakukan budidaya tanaman pertanian semusim. Namun dalam analisis, tanaman semusim ini tidak dimasukkan.

3. Estimasi produksi hasil penjarangan tidak dihitung (dianggap tidak ada) dan tebangan akhir diasumsikan tiap pohon menghasilkan : a. Kelas sesuai 1 = 20 kg kayu cendana, terbagi dalam tiga kualitas yakni kualitas A

(Rp.300.000,-/kg) sebanyak 5 kg; kualitas B (Rp. 200.000,-) sebanyak 10 kg; kualitas C (Rp. 75.000,-) sebanyak 5 kg.

b. Kelas sesuai 2 = 18 kg kayu cendana, terbagi dalam tiga kualitas yakni kualitas A (Rp.300.000,-/kg) sebanyak 5 kg; kualitas B (Rp. 200.000,-) sebanyak 9 kg; kualitas C (Rp. 75.000,-) sebanyak 4 kg.

c. Kelas sesuai 3 = 16 kg kayu cendana, terbagi dalam tiga kualitas yakni kualitas A (Rp.300.000,-/kg) sebanyak 4 kg; kualitas B (Rp. 200.000,-) sebanyak 8 kg; kualitas C (Rp. 75.000,-) sebanyak 4 kg.

d. Kelas sesuai 4 = 14 kg kayu cendana, terbagi dalam tiga kualitas yakni kualitas A (Rp.300.000,-/kg) sebanyak 4 kg; kualitas B (Rp. 200.000,-) sebanyak 7 kg; kualitas C (Rp. 75.000,-) sebanyak 3 kg.

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 121

Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa tiap-tiap pohon dapat menghasilkan tiga kualitas kayu cendana yang berbeda.

4. Harga jual diperoleh dari Harga Jual Dasar (HJD) kayu cendana di tingkat petani tahun 2013.

5. Harga Jual Dasar dan volume kayu yang dihasilkan pada akhir daur didasarkan pada perkiraan minimal yang dapat dihasilkan.

6. Daur yang dipakai sebagai dasar perhitungan adalah 20 tahun. 7. Perhitungan biaya persemaian didasarkan pada analisis finansial pembuatan persemaian

tahun 2013. 8. Biaya investasi tetap seperti biaya pengadaan jalan, pengadaan bangunan, pengadaan

peralatan kantor diasumsikan tidak ada, biaya pembuatan bangunan persemaian tidak permanen dimasukkan dalam tahun 0 .

9. Biaya sewa lahan (Pajak Bumi dan Bangunan) diasumsikan berdasarkan NJOP berupa kebun, dengan asumsi harga jual Rp. 100.000,-/m2 untuk kelas sesuai 1, Rp. 85.000,-/m2 untuk kelas sesuai 2, Rp. 70.000,-/m2 untuk kelas sesuai 3, dan RP. 50.000,-/m2 untuk kelas sesuai 4. Dengan rumus perhitungan PBB = 0,5% x 40% x (NJOP – NJOPTKP) = Rp. 1.976.000,-/ha/tahun untuk kelas sesuai1; Rp. 1.676.000,- untuk kelas sesuai 2; Rp. 1.376.000,- untuk kelas sesuai 3; Rp. 976.000,- untuk kelas sesuai 4.

10. Biaya pemupukan untuk kelas sesuai 1 adalah sampai dengan tahun ke-2; kelas sesuai 2 sampai tahun ke-3 (tahun 1 dan 2 dilakukan 2 kali pemupukan, tahun 3 sekali pemupukan). Biaya pemupukan untuk kelas sesuai 3 adalah sampai dengan tahun ke-5 (tahun 1 s/d 4 dilakukan dua kali dalam setahun, tahun ke-5 dilakukan sekali); kelas sesuai 4 sampai tahun ke-6 (tahun 1 s/d 5 dilakukan 2 kali pemeliharaan, tahun ke-6 dilakukan sekali pemeliharaan).

11. Persen keberhasilan tanaman di lapangan untuk kelas sesuai 1 adalah 80%, kelas sesuai 2 adalah 70%, kelas sesuai 3 adalah 60% dan kelas sesuai 4 adalah 50%.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Status Cendana Cendana (Santalum album Linn.) merupakan jenis tanaman primadona terutama di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) karena mempunyai nilai ekonomi tinggi dan merupakan spesies endemik yang terbaik di dunia. Hasil dari perdagangan kayu cendana merupakan sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang sejak tahun 1986/1987-1990/1991 memberikan kontribusi sebesar 28,20 – 47,60 % (Suripto,1996). Dengan demikian kayu cendana merupakan suatu modal dasar yang memegang peranan yang sangat penting untuk menunjang kegiatan pembangunan di Propinsi NTT.

Eksploitasi cendana di Pulau Timor dan sekitarnya sudah dilakukan sejak berabad-abad lamanya. Ormeling (1955) mencatat dari Van Leur (1934) bahwa pedagang India mencapai Pulau Timor pada permulaan tahun Masehi. Ormeling (1955) juga mencatat dari Groeneveld (1880) bahwa dalam catatan pedagang China, Pulau Timor adalah pulau yang ditutupi oleh cendana dan tidak ada produk lain selain cendana. Sampai dengan tahun 1990

122 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

cendana masih tetap ada, namun karena sistem pengelolaan yang tidak baik maka dewasa ini terjadi penurunan populasi cendana (Anonim, 2010).

B. Karakteristik Cendana

Tanaman inang disarankan karena perannya sebagai sumber Ca dan Fe (Sreenivasan Rao, 1933); N dan P (Iyengar, 1960); K, P dan Mg (Rangaswamy, Jain dan Parthasarathi, 1986); K, Ca, Mg, Fe, Cu dan Zn (Ramaiah, Parthasarathi dan Rao, 1962). Variasi dalam distribusi nutrisi pada tunas dan daun Santalum spicatum diduga merupakan cerminan dari kontribusi inang yang berbeda (Barret, Wijesuriya dan Fox, 1985).

Daun secara umum memiliki konsentrasi mineral yang paling tinggi, kemudian diikuti oleh akar dan batang. Dibandingkan dengan tanaman yang dipupuk dengan baik, perlakuan tanpa N menghasilkan konsentrasi Ca lebih rendah, khususnya pada batang; konsentrasi Mg lebih rendah khususnya pada akar; konsentrasi P dan Cl lebih tinggi terutama pada daun, dan konsentrasi S yang lebih besar pada daun namun lebih kecil pada akar. Pada perlakuan tanpa K, konsentrasi Ca dan Na meningkat; Ca khususnya pada akar dan Na pada selain akar. Pada perlakuan tanpa P, konsentrasi K dan Ca menjadi lebih rendah khususnya pada daun; NO3

- lebih rendah pada daun namun lebih tinggi pada akar dan batang. Pada perlakuan tanpa S, konsentrasi N lebih tinggi terutama pada akar dan batnag, dan konsentrasi Cl lebih tinggi pada seluruh bagian. Pada tanaman dengan perlakuan tanpa Ca, P dan K lebih tinggi daripada tanaman dengan perlakuan pemupukan menggunakan seluruh nutrisi (Barret and Fox,1996).

Rasio K/Ca untuk daun semai S. Album dan daun S. spicatum yang telah dewasa adalah sama. Tingginya rasio ini pada S. spicatum menandakan kecenderungan serapan nutrisi K daripada Ca yang berasal dari tanaman inang, hal ini adalah umum untuk tanaman angiosperm yang bersifat parasit (Struthers et al., 1986). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio ini sudah ada sebelum terjadinya penempelan dengan inang dan mungkin merupakan sifat cendana apakah menempel atau tidak pada inang (Barret and Fox,1996).

Kekurangan nutrisi N, K dan P, pertumbuhan dapat bertahan hingga sekitar tiga bulan, namun semai yang kekurangan Ca atau S dapat melangsungkan pertumbuhannya secara mandiri lebih lama lagi. Hal sebaliknya, S. spicatum pada eksperimen dengan metode nutrisi hidroponik tanpa Ca mengalami kematian dalam jangka tiga minggu (Struthers et al., 1986).

Hasil penelitian oleh Barret dan Fox (1996), mengindikasikan bahwa konsentrasi yang tinggi dari K dan K/Ca rasio terjadi pada tahap pre-parasit semai Santalum album. Sementara pada tahap berikutnya, Santalum album akan mengambil N, P dan K dari inangnya, setidaknya selama 3 bulan mineral-mineral dapat dipenuhi dari perakarannya. Kekurangan suplai nutrisi berpengaruh secara nyata terhadap morfologi, kandungan dan konsentrasi mineral. Beberapa diantaranya diduga membatasi secara langsung bagi terbentuknya hubungan dengan tanaman inang dan menghalangi proses parasitisme dan kemampuan hidupnya (Barret and Fox, 1996).

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 123

C. Konsep Nilai Harapan Lahan (Land Expectation Value/Soil Expectation Value) Menurut Davis (1987), Soil expectation value (SEV) adalah suatu istilah yang biasa digunakan untuk menerangkan nilai bersih saat ini dari suatu lahan kosong yang digunakan untuk menghasilkan kayu dihitung selama jangka tak hingga (perpetual series) atas tanaman kayu yang ditumbuhkan di atas lahan tersebut. SEV dihitung dengan menjumlahkan nilai saat ini dari seluruh biaya dan pendapatan yang akan muncul, termasuk biaya pembangunan, mid-rotation cash flows (misal : biaya dan pendapatan penjarangan), hasil panen akhir, biaya rutin tahunan, selama jangka waktu rotasi tak terhingga (perpetual), dimulai dari lahan yang kosong. Fungsi nyata dari alat analisis financial seperti SEV ini adalah SEV menyediakan ukuran kinerja ekonomi untuk analisis perbandingan dari alternatif-alternatif manajemen yang ada (Zobrist, 2005). Asumsi yang digunakan dalam analisisnya adalah sebagai berikut : 1. Seluruh biaya untuk menumbuhkan tanaman atau pohonnya dimasukkan dalam analisis,

termasuk biaya-biaya manajemen yang relevan, biaya administratif dan pajak-pajak. 2. Suku bunga yang digunakan dengan benar mencerminkan hubungan dan sudut pandang

pemiliknya. 3. Tindakan manajemen untuk masa yang akan datang atas lahan tersebut telah ditetapkan

dan tindakan yang sama akan digunakan untuk setiap siklus produksi kayu atau hutan di masa yang akan datang.

Nilai ekonomi dari lahan kosong disebut soil expectation value (SEV) atau land expectation value (LEV). SEV adalah NPV, berdasarkan aliran dana (cash flow) masa yang akan datang yang diharapkan, dari tanaman kayu yang tumbuh dalam jangka tak hingga yang berawal dari lahan kosong. SEV juga mencerminkan nilai tambahan maksimum yang dapat dihasilkan pada permulaan rotasi untuk pembelian aktual lahan dan masih mampu manghasilkan pengembalian atas total investasinya sebesar discount rate yang digunakan. Sehingga SEV juga merupakan kesanggupan maksimum untuk membayar lahan untuk penggunaan kehutanan berdasarkan harapan-harapan manajemen (Klemperer, 1996).

Formula dasar nilai harapan lahan (LEV/SEV) adalah, LEV = a(1 + i) 1

a = pendapatan bersih (NPV) pada umur/daur tertentu (Rp/luas/daur) i = suku bunga riil (%) per satuan waktu n = jangka waktu dalam perioda investasi

Rumus di atas, oleh Faustman (1846) dikembangkan menjadi formula yang penjabarannya sebagai berikut : (disebut dengan formula Faustmann)

= + (1 + ) + (1 + ) + (1 + ) 1 (1 + ) + (1 + ) (1 + ) 1(1 + ) 1

124 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

dimana : Le = nilai harapan tanah (LEV, Rp./satuan luas/daur) Yr = pendapatan pada umur daur tertentu (r tahun) Ta,Tb = pendapatan hasil penjarangan pada umur a dan b (luas) I = pendapatan tahunan selama umur r tahun C = biaya pembuatan tanaman pada umur a Sa,Sb = biaya-biaya penjarangan pada umur a dan b e = biaya-biaya rutin (biaya operasional yang dikeluarkan secara periodik) i = tingkat bunga (dalam persen) r = jangka waktu (dalam tahun) antara investasi awal s/d investasi akhir D. Peta Kesesuaian Lahan Cendana di Pulau Timor Peta satuan lahan diperoleh dengan melakukan overlay terhadap peta jenis tanah, kelerengan, ketinggian tempat, tutupan dan penggunaan lahan, serta curah hujan. Berdasarkan peta tanah yang dikeluarkan oleh Puslitan Bogor (1993), jenis tanah di Pulau Timor adalah jenis tanah Aluvial, Andosol, Grumusol, Kambisol, Latosol, Mediteran, dan Renzina. Berdasarkan pengukuran pada Peta Topografi skala 1 : 100.000, Pulau Timor dapat dibedakan menjadi 7 kelas kelerengan, yaitu datar (0 – 2 %), Sangat Landai (3 % - 8 %), Landai (9 – 15%), Agak Curam (16 % - 25, Curam (26 % - 40 %) dan sangat curam (41 - 60 %), sangat curam sekali ( > 60 %).

Gambar 1. Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Cendana di P. Timor

(Sumber : Sumardi et al., 2011) Figure 1. The map of land suitability for sandalwood cultivation in Timor Island

(Source : Sumardi et al., 2011)

Berdasarkan Data citra tahun 2003 skala 1 : 250.000, penggunaan lahan wilayah Pulau Timor terdiri atas hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove, semak belukar, padang rumput (savana), perkebunan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, pemukiman, sawah, tanah terbuka, tambak, tubuh air, tertutup awan, dan rawa belukar. Dengan penggunaan lahan sebagai kawasan lindung dan budidaya yang terdiri atas Hutan Lindung, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Buru, Taman Wisata,

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 125

Hutan Mangrove, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas, dan Hutan Produksi Konversi (Sumardi et al.,2011).

E. Suku Bunga Riil Perhitungan suku bunga riil untuk 5 (lima) tahun terakhir disajikan dalam Tabel 1 sebagai berikut, Tabel 1. Perhitungan suku bunga riil (5 tahun terakhir) Table 1. Calculation of real rate of interest (last 5 years)

No. Tahun Suku Bunga

Pasar Uang (%) Laju Inflasi

(%) Suku Bunga

Riil (%) 1 2010 6,5 5,13 22 2 2011 6,58 5,38 19 3 2012 5,77 4,28 28 4 2013 6,48 6,97 -6 5 2014 6,92 6,42 7

Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 1 di atas, diperoleh nilai suku bunga riil sebesar 13,9%. Nilai ini digunakan dalam penghitungan compound factor selama daur, dan sebagai suku bunga riil dalam penghitungan LEV. Sebagai pembanding dalam kelayakan usaha, digunakan pula dua tingkat suku bunga lain yakni 12,9% dan 14,9%.

F. Nilai Harapan Lahan Perubahan pola tanam berimplikasi pada tingkat keuntungan masyarakat petani cendana. Perbedaan kelas kesesuaian lahan juga akan memberikan tingkat keuntungan yang berbeda pula. Sehingga, perlu dilakukan suatu perhitungan yang mendasarkan pada analisis perpetual untuk mengetahui perubahan ekonomi petani cendana dan untuk menentukan tindakan-tindakan yang mungkin dilakukan dalam rangka efisiensi. Land Expectation Value merupakan suatu metode yang mampu memberikan analisis komprehensif dalam mengukur kemampuan petani cendana. Perbedaan pola tanam dan kelas kesesuaian lahan perlu kiranya untuk diketahui seberapa besar memberikan perubahan pada tingkat ekonomi petani cendana. Sehingga hasilnya juga dapat menggambarkan kemampuan maksimum masyarakat petani dalam menerapkan sistem atau pola tanam tertentu. Nilai harapan lahan (LEV) untuk empat kelas kesesuaian lahan di Pulau Timor dihitung berdasarkan cash flow yang ada. Hasil perhitungan disajikan dalam Tabel 2 dan Gambar 2 yang menyatakan perubahan LEV pada tiga tingkat suku bunga riil yang dicoba. Tabel 2. LEV pada empat kelas kesesuaian lahan cendana dengan 3 tingkat bunga yang digunakan Table 2. LEV on four land suitability classes of cendana with 3 level of interest rate

126 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Suku Bunga Riil Kelas Sesuai Lahan

1 2 3 4

12,9% 164.930.262,21 130.498.535,66 91.280.717,39 65.669.300,13

13,9% 133.354.247,81 105.091.825,30 72.730.732,72 51.731.131,69

14,9% 107.887.436,48 84.614.906,76 57.795.036,09 40.517.302,57

Perbedaan tingkat suku bunga ternyata memberikan pengaruh yang cukup signifikan,

dengan nilai seluruhnya positif. Pada tingkat suku bunga 12,9%, pada kelas sesuai lahan 1, 2, 3 dan 4 memberikan nilai LEV yang positif, berturut-turut adalah Rp. 164.930.262,21; Rp. 130.498.535,66; Rp. 91.280.717,39; Rp. 65.669.300,13. Demikian juga untuk tingkat suku bunga 13,9% dan 14,9%, semuanya memberikan nilai LEV yang positif, sebagaimana disajikan dalam Tabel 2. Nilai LEV terbesar diperoleh pada kelas sesuai lahan 1 dengan tingkat suku bunga 12,9%, yakni Rp. 164.930.262,21. Sementara nilai LEV terkecil didapat pada kelas sesuai lahan 4 dengan tingkat suku bunga 14,9%, yakni Rp. 40.517.302,57. Perbedaan ini disebabkan oleh tingkat kesuburan lahan yang berbeda dan tingkat suku bunga riil yang berbeda pula.

Gambar 2. Perubahan nilai LEV oleh tiga tingkat suku bunga yang dicoba pada keempat kelas

kesesuaian lahan cendana Figure 2. The changing of LEV by three rate of interest level and four cendana land suitability classes.

Pergerakan perubahan nilai LEV untuk setiap kelas kesesuaian lahan relatif sama,

dengan perbedaan nilai yang cukup besar oleh perubahan tingkat suku bunga riil. Pergerakan perubahan nilai LEV ini dapat dilihat pada Gambar 2. Nilai LEV pada setiap kelas sesuai lahan ternyata cukup peka atau sensitif terhadap perubahan suku bunga, sehingga usaha efisiensi terhadap kinerja pengusahaan tanaman sangat dibutuhkan untuk masa yang akan datang. Pada kelas kesesuaian lahan 1, rata-rata perbedaan nilai LEV untuk setiap perubahan suku bunga riil adalah Rp. 28.521.412,87 atau sekitar 21,39% dari LEV pada tingkat suku bunga 13,9%. Pada kelas kesesuaian lahan 2, rata-rata perbedaan nilai LEV adalah Rp. 22.941.814,45 atau sekitar 21,83%. Pada kelas kesesuaian lahan 3, rata-rata

12,9% 13,9% 14,9%1 164,930,262.21 133,354,247.81 107,887,436.482 130,498,535.66 105,091,825.30 84,614,906.763 91,280,717.39 72,730,732.72 57,795,036.094 65,669,300.13 51,731,131.69 40,517,302.57

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 127

perbedaan nilai LEV adalah Rp. 16.742.840,65 atau sekitar 23,02%. Sedangkan Pada kelas kesesuaian lahan 4, rata-rata perbedaan nilai LEV adalah Rp. 12.575.998,78 atau sekitar 24,31%. Terlihat perbedaan terbesar perubahan nilainya oleh perubahan tingkat suku bunga riil berturut-turut adalah kelas kesesuaian lahan 1, diikuti oleh kelas kesesuaian lahan 2, 3 dan 4. Namun secara persentase menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Ini berarti secara relatif, budidaya cendana pada kelas kesesuaian lahan 4 lebih rentan terpengaruh perubahan suku bunga. Gambar 3 menunjukkan nominal perubahan nilai LEV pada setiap kelas kesesuaian lahan, pada perubahan tingkat suku bunga dari 12,9% ke 13,9% dan dari 13,9% ke 14,9%.

Gambar 3. Perbedaan nilai LEV oleh perubahan tingkat suku bunga riil pada setiap kelas kesesuaian

lahan cendana. Figure 3. The difference of LEV by real rate of interest changing on each cendana land suitability class.

Kepekaan nilai LEV terhadap perubahan tingkat suku bunga kemungkinan besar disebabkan oleh adanya pos-pos biaya yang besar muncul pada tahun-tahun awal rotasi, sedangkan pos-pos pendapatan yang besar muncul pada tahun-tahun akhir rotasi. Akibatnya, biaya pada awal rotasi akan ter-compound pada akhir rotasi dengan tingkat akumulasi yang tinggi. Sedangkan pendapatan yang muncul pada akhir rotasi akan terakumulasi dengan tingkat compound factor yang jauh lebih rendah. Faktor pajak dan biaya sewa lahan juga sangat berkontribusi terhadap kepekaan nilai LEV. Semakin besar pajak atau biaya sewa lahan tiap tahunnya, maka semakin besar pula tingkat perubahan nilai LEV.

Alasan yang dihubungkan dengan dampak pajak atas lahan hutan atau pertanian adalah adanya peningkatan fragmentasi lahan hutan, dengan meningkatnya pembangunan di sekitarnya. Nilai pajak menjadi tinggi, sehingga menjadi tidak menguntungkan apabila tetap mempertahankan pengusahaan lahan hutan. Pemilik lahan akan lebih cenderung menjual tanahnya dan kondisi ini akan semakin mempercepat terjadinya fragmentasi lahan. Struktur dari pajak properti dapat mempercepat konversi lahan hutan pada saat keuntungan unit usaha berkurang atau hilang (Wear and Newman, 2004). Hasil penelitian Cushing (2006) menunjukkan bahwa pada beberapa kasus pajak dapat mengurangi nilai dari lahan atas

1, 12,9%-13,9%, 31,576,014.41

1, 13,9%-14,9%, 25,466,811.33

2, 12,9%-13,9%, 25,406,710.36

2, 13,9%-14,9%, 20,476,918.54 3, 12,9%-13,9%,

18,549,984.67 3, 13,9%-14,9%, 14,935,696.63 4, 12,9%-13,9%,

13,938,168.43 4, 13,9%-14,9%, 11,213,829.12

1 2 3 4

128 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

tanaman (pohon) yang diusahakan, hingga mencapai 50%. Total pengurangan relatif atas nilai LEV untuk pemilik lahan individu setelah seluruh pajak adalah berkisar 19 – 51%. Untuk perusahaan adalah 41 – 80%. Discount rate dan biaya penanaman kembali memiliki dampak terbesar atas LEV (Cushing, 2006).

Faktor lainnya adalah perubahan iklim. Perubahan iklim memiliki efek pengurangan atas harga produk-produk kehutanan pada pasar global dikarenakan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dan meningkatnya penawaran, khususnya di negara-negara berkembang (Sohngen and Sedjo, 2005). Umur daur ekonomi optimal pada kondisi iklim masa yang akan datang adalah lebih rendah dibandingkan yang sekarang. Perubahan iklim akan berpengaruh baik pada hasil maupun frekuensi gangguan atas lahan hutan. Keduanya ini akan berpengaruh secara tetap pada nilai lahan pada saat lahan tersebut digunakan untuk menghasilkan produk-produk kehutanan (Johnston and Williamson, 2005). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pengusahaan tanaman cendana layak untuk dijalankan pada setiap kelas kesesuaian lahan dan tingkat suku bunga riil yang dicoba. Namun, hasil perhitungan ini sangatlah conditional, artinya pada keadaan perekonomian yang berbeda serta tingkat harga input dan output yang berbeda, akan memberikan hasil yang berbeda pula. Efisiensi kinerja perusahaan dalam penggunaan input dan output serta dalam pemasaran akan pula meningkatkan kemampuan unit usaha pertanian cendana dalam menghadapi perubahan kondisi perekonomian yang terjadi. Nilai LEV ini dapat dijadikan acuan bagi unit usaha pertanian cendana dalam melaksanakan sistem kelola usahanya, mengingat asumsi-asumsi yang digunakan dalam penghitungan LEV ini juga mengambil data dari praktek usaha pertanian cendana yang ada di lapangan. Perlu pula diperhitungkan keuntungan yang diperoleh unit usaha yang ada apabila sistem bagi hasil diterapkan. Kemungkinannya adalah lebih kecil dari nilai yang ada sekarang. Pada keadaan dimana keuntungan unit usaha akan lebih kecil apabila system bagi hasil tidak diterapkan, yang disebabkan oleh tekanan masyarakat yang sangat kuat, maka terdapat nilai opportunity cost atau tingkat keuntungan yang hilang apabila sistem bagi hasil tidak diterapkan. Perbedaan besar biaya untuk masing-masing pos biaya dan pendapatan juga akan sangat berpengaruh terhadap nilai LEV-nya. Pada penelitian ini seluruh nilai LEV yang dihasilkan adalah positif untuk setiap nilai suku bunga yang dicobakan. Pada tingkat suku bunga yang jauh lebih besar, nilai LEV dapat menjadi negatif. Ini berarti bahwa pada kondisi perekonomian tersebut dimana tingkat suku bunga riil sangat tinggi, maka pengusahaan tanaman cendana menjadi kurang ekonomis, dilihat dari munculnya nilai opportunity cost yang melebihi nilai LEV nya. Apabila sistem bagi hasil diterapkan, nilai negatif ini akan tercapai lebih cepat pula oleh perubahan tingkat suku bunga. Pada akhirnya, bagaimanapun analisis finansial berdasarkan LEV dapat digunakan dengan adjustment tertentu yang mempertimbangkan keadaan sosial, ekonomi dan sistem pengelolaan hutan makro atau paradigma yang memayunginya.

IV. PENUTUP

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 129

A. Kesimpulan 1. Budidaya cendana dengan kelas kesesuaian l, 2, 3 dan 4 berturut-turut menghasilkan

nilai LEV sebesar : Rp. 133.354.247,81; Rp. 105.091.825,30; Rp. 72.730.732,72; dan Rp. 51.731.131,69 untuk tingkat suku bunga 13,9%. Hal ini menunjukkan bahwa budidaya cendana pada keempat kelas kesesuaian lahan di Pulau Timor masih layak untuk dilakukan.

2. Pergerakan perubahan nilai LEV untuk setiap kelas kesesuaian lahan relatif sama, dengan perbedaan nilai yang cukup besar oleh perubahan tingkat suku bunga riil. Perbedaan terbesar perubahan nilainya oleh perubahan tingkat suku bunga riil berturut-turut adalah kelas kesesuaian lahan 1 (Rp. 28.521.412,87) diikuti oleh kelas kesesuaian lahan 2 (Rp. 22.941.814,45),3 (Rp. 16.742.840,65) dan 4 (Rp. 12.575.998,78). Namun demikian, secara persentase menunjukkan hal sebaliknya, kelas sesuai lahan 4 adalah paling rentan dipengaruhi oleh suku bunga diikuti oleh kelas sesuai 3, 2 dan 1.

3. B. Saran 1. Perlu adanya penyesuaian tertentu dalam setiap penerapan analisis finansial beserta

interpretasinya, dengan mempertimbangkan keadaan lokal sistem sosial ekonomi dan paradigma pengelolaan yang berkembang.

2. Kemampuan sebenarnya petani cendana dalam melakukan usaha budidaya cendana dapat diketahui apabila penggunaan input dan pencapaian serta pemasaran output telah dilaksanakan dengan cara yang efisien. Sehingga, sangat terbuka kemungkinannya untuk meneliti dan mengetahui tingkat kemampuan petani cendana dalam melaksanakan kelola usahanya.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2010. Master Plan Pengembangan dan Pelestarian Cendana Provinsi Nusa Tenggara Timur

Tahun 2010-2030. Barrett DR and Fox JED, 1996. Santalum album: Kernel Composition, Morphological and

Nutrient Characteristics of Pre-parasitic Seedlings under Various Nutrient Regimes. Barrett DR, Wijesuriya SR, Fox JED. 1985. Observations on foliar nutrient content of

sandalwood (Santalum spicatum R.Br. D.C.). Mulga Research Centre Journal 8: 81±91. Cushing, T.L. 2006. A Comparison of The Relative Reduction in Land Expectation Value Due

to Taxation of Private Forest Land in The United States. A Dissertation Submitted to the Graduate Faculty of The University of Georgia in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree. Athens, Georgia.

Davis, L.S., dan K.N. Johnson. 1987. Forest Management. McGraw-Hill, Inc. New York. Dhanya, B., S. Viswanath, and S. Purushothman. 2010. Sandal (Santalum album L.)

Conservation in Southern India: A review of policies and their impacts. Journal of Tropical Agriculture 48 (1–2) : 1–10, 2010.

Dinas Kehutanan Propinsi NTT (Forestry Office of East Nusa Tenggara Province), 2009. Progress Pengembangan Hutan Tanaman Cendana Provinsi Nusa Tenggara Timur

130 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Dalam Rangka Mewujudkan Tekad Propinsi Cendana: Kondisi Bulan Juni 2009 (Progress on Sandalwood Forest Development in an Effort to Regain Sandalwood Province Status: as of June 2009), Dinas Kehutanan Propinsi NTT, Kupang.

Faustmann, M. 1849. Calculation of the value which forest land and immature stands possess for forestry. Allgemeine Forst- und Jagd-Zeitung 25:441-455. Translated in W. Linnard and M. Gane. 1968. Martin Faustmann and the evolution of discounted cash flow. Commonwealth Forestry Institute Paper 42, University of Oxford. Reprinted in 1995. Journal of Forest Economics 1(1):7-44.

Iyengar AV. 1960. The relation of soil nutrients to the incidence of spike disease in sandalwood (Santalum album Linn.). Indian Forester 86: 220±230.

Johnston, M and T. Williamson. 2005. Climate Change Implications for Stand Yields and Soil Expectation Values : A northern Saskatchewan Case Study. The Forestry Chronicle, 85, (1) : 683-690.

Kengen, S.. 1997. Forest Valuation for Decision Making (Lessons of experience and proposals for improvement). Food and Agriculture Organization of The United Nations. Roma.

Kurniawan, H. 2014. Kesesuaian Lahan Sebagai Bagian Dari Solusi Pengembangan Cendana (Santalum album Linn.) di Nusa Tenggara Timur. Warta Cendana, Edisi VII No.3, November 2014. Balai Penelitian Kehutanan Kupang.

Klemperer, W.D.. 1996. Forest Resource Economics and Finance. McGraw-Hill, Inc. Singapore.

Ormeling, F.J. 1955. The Timor Problem : A geographical interpretation of an under developed island. PhD. Thesis, University of Indonesia. J.B. Wolters, Djakarta and Groningen.

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1993. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan. Puslittanak, Bogor.

Ramaiah PK, Parthasarathi K, Rao PS. 1962. Studies on sandal spike: a histological study of sandal root haustoria in relation to mineral nutrition. Indian Academy of Wood Science. 56B: 111±113.

Rangaswamy CR, Jain SH, Parthasarthi K. 1986. Soil properties of some sandalwood bearing areas. Van Vigyan 24 : 61±68.

Suripto, J. 1996. Pemulihan potensi cendana di NTT. Makalah disampaikan pada Seminar Hari Bakti Departemen Kehutanan Propinsi NTT, Kupang.

Sohngen, B. and R. Sedjo. 2005. Impacts of climate change on forest product markets : Implications for North-American producers. The Forestry Chronicle 81(5): 669–674.

Sreenivasan Rao YV. 1933. Contributions to the physiology of sandal (Santalum album L). In¯uence of the host plants on the nitrogen metabolism of sandal. Journal of the Indian Institute of Science 16A: 164±184.

Struthers R, Lamont BB, Fox JED, Wijesuriya S, Crossland T. 1986. Mineral nutrition of sandalwood (Santalum spicatum). Journal of Experimental Botany 37: 1274±1284.

Sumardi, M. Hidayatullah dan D. Yuniati. 2011. Pembuatan Peta Digital dalam Perencanaan Pengembangan Budidaya Cendana (Santalum album Linn.) Laporan Hasil Penelitian

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 131

Insentif Riset Percepatan Difusi dan Pemanfaatan IPTEK. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. NTT.

Viswanath, S., B. Dhanya, and T.S. Rathore. 2008. Financial viability of sandal (Santalum album L.) cultivation practices. In: Proc. National Seminar on Conservation, Improvement, Cultivation and Management of Sandal. Gairola, S., Rathore, T.S., Joshi, G., Arun Kumar A. N. and Aggarwal, P. K. (eds), Institute of Wood Science and Technology, Bangalore, pp 158–164.

Viswanath, S., B. Dhanya, and T.S. Rathore. 2009. Domestication of sandal (Santalum album L.) in India: Constraints and prospects. Asia Pacific Agrofor. Newsl., 34: 9–12.

Wear, D. N. and D. H. Newman. 2004. The speculative shadow over timberland values in the U. S. south. Journal of Forestry. 102(8):25-31.

www.bi.go.id. Data inflasi Tahun 2010 – 2014. Diakses tanggal 21 Januari 2015. www.bi.go.id. Data SBI Tahun 2010 – 2014. Diakses tanggal 21 Januari 2015. Zobrist, K.W. 2005. Economically Sustainable Working Forests : Financial Analysis Principles

and Applications. Northwest Environtmental Forum, College of Forest Resources, University of Washington. Seattle, Washington.

132 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

SUSUNAN ACARA SEMINAR REGIONAL “Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan dalam Perspektif Tata Ruang”

Kupang, 2 Juli 2013

Jam Acara Keterangan 07.30 – 08.30 Pendaftaran peserta Panitia 08.30 – 09.00 Pembukaan MC Laporan Panitia Pelaksana

Sambutan Kepala Dinas Provinsi NTT Sambutan Dekan Fakultas Kehutanan UGM Sambutan dan Pembukaan Seminar oleh Kepala Badan Litbang Kehutanan Doa

09.00 – 09.15 Rehat Panitia Sesi I 09.15 – 09.35 Kebijakan Nasional Tata Ruang

Oleh : Dir.Penataan Ruang Wilayah Nasional Kementerian PU Moderator : Dekan Fak.Hutan UGM Notulen : S. Agung Sri Raharjo, S.Hut., M.T.

09.35 – 09.55 Kebijakan Kementerian Kehutanan dalam Penataan Kawasan Hutan Oleh : Dirjen Planologi - Kementerian Kehutanan RI

09.55 – 10.15 Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi NTT Oleh : Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTT

10.15 – 10.35 Materi: Lanskap Hutan Wilayah NTT Oleh : Tropenbos International (TBI) Indonesia.

10.35 – 11.00 Diskusi 11.00 – 12.15 ISHOMA Panitia Sesi II 12.15 – 12.35 Konsep Tata Ruang Kehutanan (studi kasus)

Oleh : Dr. Wahyu Wardana, S.Hut., M.Sc. (Akademisi dari Universitas Gadjah Mada)

Moderator : Kapuskonser Notulen : Sumardi, S.Hut., M.Sc.

12.35 – 12.55 Eksistensi hutan adat dalam pembangunan kehutanan Oleh : Dr. Ir. Suer Surjadi, M.Sc.

12.55 – 13.15 Lanskap hutan berbasis DAS Oleh : Ir. Retno Maryani, M.Sc. (Puspijak - Badan Litbang Kehutanan)

13.15 – 13.50 Diskusi 13.50 – 14.10 Rehat Sesi III 14.10 – 14.25 Pengelolaan DAS dalam rangka mitigasi dan adaptasi perubahan

iklim Oleh : Eko Pujiono, S.Hut., M.Sc. (Balai Penelitian Kehutanan Kupang)

Moderator : Ir. Sigit B Prabawa, M.Sc Notulen : Muhamad Hidayatullah, S.Hut., M.Si.

14.25 – 14.40 Tata ruang pengembangan cendana di NTT cendana di NTT Oleh : Hery Kurniawan, S.Hut., M.Sc. (Balai Penelitian Kehutanan Kupang)

14.40 – 14.55 KPHL Mutis dalam konteks tata ruang daerah Oleh : Rahman Kurniadi, S.Hut., M.Sc. (Balai Penelitian Kehutanan Kupang)

14.55 – 15.30 Diskusi 15.30 – 16.00 Perumusan & Penutupan Tim Perumus

Kapuskonser

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 133

DAFTAR PESERTA SEMINAR

No Nama Asal Instansi 1 Elvianus Pindi Jawa Politani Kupang 2 Sumardi BPK Kupang 3 Frida Pramukawati BPK Kupang 4 Nus Ngawi Dishut Kab. Kupang 5 Nurpana S BTN Kalimutu 6 Mariany DS BPK Kupang 7 Grace BPK Kupang 8 Nurhuda AP BPK Kupang 9 Yudi Mulik BTN Laiwangi Wanggameti

10 Agus Kusuma BTN Laiwangi Wanggameti 11 Rahman Kurniadi BPK Kupang 12 Molo Gabriel Dinas Belu 13 M. Hidayatullah BPK Kupang 14 Oki Hidayat BPK Kupang 15 Yulian VF Dishut Kupang 16 Kayat BPK Kupang 17 Suharyanto BPPTH Bogor 18 Rina Yuana BPK Kupang 19 Filmon Fictor Radja Politani Kupang 20 Zandy Sayd Undana 21 Meifis Umbu Ghola Politani Kupang 22 Abner Umbu Hamba Politani Kupang 23 Oskar Oematan BPK Kupang 27 Anhar BDK Kupang 28 Satyawan UGM 29 Niken S Pusbijak Bogor 30 Teguh Yuwono UGM 31 M. Sobar Puskonser Bogor 32 M. Hapson Saleh BPKH Kupang 33 Sinta Maryana BPKH Kupang 34 Megan Fadiagnesa BPKH Kupang 35 Danang Pujo Sentiko BPKH Kupang 36 Yosi Resiana Pustekolah Bogor 37 Anderias Naikulas BPK Kupang 38 Misto BPK Kupang 39 Yaved Maubenu Undana 40 Abraham Salmous Dishut Kab. Kupang 41 Anakletus Test BKPP. Prov. NTT 42 Agustinus Laos Dishut Kab. Kupang 44 Agatha S Pustekolah Bogor 45 Winarsih Pustekolah Bogor

134 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

No Nama Asal Instansi 46 Frinoldy Lur BTN Komodo 47 Felipus Banani BPK Kupang 48 J. Basthian Modena BPK Kupang 49 Henry Monoe Dishut Prov. NTT 50 Maya Kuslulat Dishut Prov. NTT 51 Hasnia BBKSDA NTT 52 Fatmawaty BDK Kupang 54 Arly M. Ketty Dishut Kab. Alor 55 Rahim Sogo Dishut Kab. Alor 56 Gunawan N BDK Kupang 57 Terianus SR Penyuluh Kupang 58 Marianus EEN BPK Kupang 59 Mansyur Wahyudi Undana 60 Happy P.O Benu Undana 61 Rince Masu Dinas Kupang 62 Cece Hediana Pustekolah Bogor 63 Isai Yusidarta BBKSDA NTT 64 Maman Surachman BBKSDA NTT 65 Sigit B. Prabawa BPK Kupang 66 Blasius Pagu Politani Kupang 67 Kristianus H. Berek Dishut Kab. Kupang 68 Mery Dethan BPK Kupang 69 Upik P BPK Kupang 70 Yakob Mody BBKSDA NTT 71 Martina X Barbosa Mahasiswa Unika 72 Erlinda Mahasiswa Unika 73 Slamet Tryono Undana 74 Lidya Wuri Puskonser Bogor 75 Utari S.M Puskonser Bogor 76 Victor L Dishut Prov. NTT 77 Andreas T BPTPTH Bogor 78 Ida R BPK Kupang 79 Heny R BPK Kupang 80 Haryati H Dirjen BPS Jakarta 81 Amir Wardana Babes UPTH Yogyakarta 82 Raindras Dwiarsa BPKH Kupang 83 Yosep Rangga Wea Politani Kupang 84 C. Nugroho SP Set. Badan Litbang Jakarta 85 S. Agung Sri BPK Kupang 86 Suer Suryadi SWP Jakarta 87 Marcus E. Lino BP.4 K. Kupang 88 Anni Ida Sitohang BP.4 K. Kupang 89 Maria Y. Bupu BP.4 K. Kupang

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 135

No Nama Asal Instansi 90 M. Abd. Rahman BP.4 K. Kupang 91 Benodiktus Jehamin Undana 92 Denggu Pii TVRI 93 Karolus Mance Dishut Kab. TTU 94 M.R. Pabisangan Dishut Prov. NTT 95 Sarlince Blegur BP.4 K. Kupang 96 Kristina Siba BPPK Kab. Flotim 97 Melbisedek Sir Mahasiswa Unika 98 Mery Bell BPK Kupang 99 Anastasia Herni Mahasiswa Unika

100 Yefrid E. Bia Mahasiswa Unika 101 Yermi D.S Maber Mahasiswa Unika 102 Yandri Lasi Dishut Kab. Kupang 103 N. Supriyatno UGM 104 Petrus B. Hurint Undana 105 Yoakim Warsa Undana 106 Pieter J. Dethan Dishut Prov. NTT 107 M. Azis Rakhman BPK Kupang 108 Angela M.D.S BPK Kupang 109 Aziz Umroni BPK Kupang 110 Tomi U.T Dapamudang Politani Kupang 111 Roby Selan Dishut Kab. TTS 112 SamsudinBesijo BPUK Kupang 113 Hendrik Piring BPK Kupang 114 Marthen Selan BPK Kupang 115 Macdalena Anggut Mahasiswa Unwira 116 Boby Oan Mahasiswa Unwira 117 Lumban NLT Undana 118 Nik Ade AD Politani Kupang 119 Cecylia Mia SD Dishut Prov. NTT 120 F. Xafer Doko Politani Kupang 121 Yakobus Inisi BP.4 K. Kupang 122 Edyson Fargidy Dishut Kab TTS 123 Wili Mataus BP.4 K. Kupang 124 Alfonsius M. Kua BP.4 K. Kupang 125 Felipus Sanam BP.4 K. Kupang 126 Fabianus Ronta Politani Kupang 127 Benediktus Polo Maing Dishut Prov. NTT 128 Lien R. Oedju Undana 129 Silfiana N BBKSDA NTT 130 Kartika K. Thedens Dishut Prov. NTT 131 Semuel Y. Lada Dis hut Prov. NTT 132 Ayevy Mous DPRD Kab. Kupang

136 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

No Nama Asal Instansi 133 Marhen Moa BP.4 K. Kupang 134 Dani Pamungkas BPK Kupang 135 Siti Aisyah BPKH Kupang 136 Hermina Politani Kupang 137 Siswadi BPK Kupang 138 Feri A.W BPK Kupang 139 Gerson BPK Kupang 141 Leonard Benu BPK Kupang 142 Hery Kurniawan BPK Kupang 143 Nithanael Liu BPK Kupang 144 Dhany Yuniati BPK Kupang 145 Marni Banepa BP.4 K. Kupang 146 Ahmad Al Mulqu Politani Kupang 147 Syarifuddin BPK Kupang 148 K. Yudhistira ANR Ora Politani Kupang 149 Flora E. Ina Klonk Politani Kupang 150 Yos Bria BPK Kupang 151 Beny Ndolu BPK Kupang

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 137

NOTULENSI SEMINAR REGIONAL Sesi Pembukaan dan Sesi I Jam 09.00. acara pembukaan oleh sekertaris badan litbang, dekan fakultas kehutanan UGM, kepala dinas kehutanan prop NTT. Sambutan kepala dinas. ruang bagi kawasan hutan di ntt masih tetap sama dengan dasar penunjukan kawasan 1,888 juta ha, 38, 2% wilayah. Telah terjadi perubahan yang signifikan berdasarkan sk penunjukkan. Review tata ruang menjadi sebuah peluang bagi penyelesaian masalah ini. Untuk kepentingan yang lebih besar perda tata ruang ditetapkan terlebih dahulu sambil berproses melakukan review tata ruang. Berbagai kebutuhan pembangunan memicu perubahan pemanfaatan ruang, dilapangan telah ada pemukiman, kampung, kebun yang bahkan sudah ada sebelum penunjukkan. Disisi lain ada kawasan hutan secara de facto hutan namun berdasarkan sk penunjukan bukan kawasan hutan, pemda bersikap itu tetap merupakan kawasan hutan karena sejak belanda sudah merupakan kawasan hutan dan secara sosial diakui oleh masyarakat. Sebelum putusan mk 35 klaim masyarakat sudah banyak terjadi. Jika membahas kawasan hutan dalamn perspektif kepemilikan maka akan sangat sulit untuk dicari titik temunya, terlebih lagi masyarakat adat. Mari kita berbicara hutan dalam perspektif fungsi hutan, sehingga didapatkan titik temu. Sebuah ruang memiliki fungsi spesifik, uu menyatakan 30 % ruang hutan. Apakah luasan yang kurang atau lebih dapat memberikan fungsi yang optimal. Kondisi kawasan hutan di NTT, di tingkat provinsi berproses dalam pengajuan review tata ruang, konsolidasi data, dan selanjutnya diajukan kepada menteri kehutanan. Seminar ini dalam kaca mata pemda merupakan momen yang bernilai dalam mendukung proses yang dilakukan oleh pemda. Saya atas nama pemerintah daerah mengucapkan terimakasih atas penyelenggaraan seminar ini. Proviciat kepada badan litbang atas ulang tahun yang ke 100 dan fakultas kehutanan ugm yang ke 50. Sambutan Dekan. Perencanaan diskusi kali ini merupakan hasil kesepakan badan litbang dengan fakultas kehutanan. Kapal Titanic, disusun dalam rencana yang sempurna pada saat itu. Tapi toh akhirnya tenggelam . lesson learn – terlalu percaya diri, maka seminar ini adalah dalam rangka penyempurnaan tata ruang. Rute pelayaran- ada perubahan lingkungan yang tidak diperhitungkan, - fak tor perubahan lingkungan memiliki pengaruh yang sangat besar bagi sektor kehutanan di indonesia (keputusan mk, otonomi daerah, perubahan iklim dll)

138 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Jika hal ini tidak diperhitungkan bisa jadi sektor kehutanan akan terancam karam. Manusia hidup tanpa kayu bisa, hidup tanpa hutan tidak bisa. Ketika pemahaman hutan direduksi hanya pada kayu maka akan mengabaikan keberadaan fungsi hutan lainnya yang sangat penting. Sambutan Kepala Badan oleh Sek Badan Menciptakan ruang yang produktif dan berkelanjutan sangat penting, banyak sikap masyarakat yang kurang puas dengan penataan ruang. Ketidak seimbangna pemanfaat lahan. Selamat berdiskusi, semoga diskusi kita ini dapat menjadi contoh penataan hutan di Indonesia. Sesi pertama. Teguh Yuwono (moderator) Pemaparan. Penerapan azaz kehati hatian dan menghindarkan pemborosan. Sejarah perundang-undangan penataan ruang. Perubahan fungsi ini harus dihasilkan oleh tim terpadu. Dinas kehutanan provinsi sebagai garda terkhir tetapi malah sebagai pendorong perubahan. Dalam pengusulan hendaknya dilakukan secara terpadu, sehingga pengusulan review tata ruang tidak memakan waktu lama. Sifatnya rencana pembangunan didukung oleh data yang komplit. Sebelum diusulkan ke pusa didiskusikan di tingkat bawah bersama upt yang ada. Bagaiman revisi tata ruang kita secara teknis, masyarakat dan hukum aman. Ben Polo Maing Mengenai perda tata ruang NTT. Porsentase luasan masih aman, tetapi apakah tutupan lahannya berupa hutan? Wahyu Wardhana Kualitas data yang digunakan sebagai input dalam proses penataan ruang memiliki peran yang penting. Data inventarisasi selalu menjadi dasar namun tidak ada lembaga yang melakukan inventarisai tidak ada. Data trayek tata batas sulit didapat. Proses perijinan yang ternyata dilapangan sudah ada pemukiman. Kita tidak pernah memberikan informasi yang benar dan jelas sehingga terjadi rawan konflik pada lokasi yang di keluarkan ijinnya. Sudah ada proses SNI dan one map Indonesia. Suer Suryadi Landasan yuridis.

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 139

Pergeseran pemahaman bahwa penguasaan negar menjadi kepemilikan negara. Masyarakat hukum adat atau masyarakat adat? Diskusi Pertanyaan dan Saran Yanri dari Dinas Kehutanan Kupang Kepada bapak yang terakhir menyangkut hutan adat. Pengelolaan hutan memiliki nilai konsepsi negara dan konsepsi hutan adat. Bisakah kita mengkaji nilai itu apakah ada kesamaan? Jika ada mungkinkan hutan dikelola oleh umat manusia. Konflik terjadi karena ada dikotomi konsepsi umat manusia. Filmon Vikto Raja dari Politehnik Kupang. Pemateri pertama. Langkah apa yang diambil oleh kementerian kehutanan untuk penataan struktur ruang yang ada didalamnya sistem kota, jalan dll. Dimana daerah atau kota memiliki aturan mainnya sendiri. Pemateri ke tiga. Kepastian hukum kawasan hutan di ntt. sudah berapa kali dilaksanakan rekonstruksi tata batas sehingga kepastian uhukun itu ada. Setahu saya pal batas di taman buru itu semuanya tidak ada. Marten Pabisangan dari Dinas Kehutanan Provinsi. Memang di ntt saat ini sedang berproses untuk perubahan kawasan hutan. Ditempuh dengan tukar menukar, secara wilayah melalui review tat ruang. Bahwa nanti pekerjaan ini akan sangat tergantung pada tim terpadu. Kita kesulitan untuk memprediksi anggara bagi tim terpadu. Rapat2 tim terpadu yang tidak diketahui. Kalau waktunya tidak terbatas maka akan berpengaruh terhadap tata waktu pembangunan didaerah. Kalau bisa tim terpaduu memberikan perkiraan anggaran untuk tim terpadu. Tentang hukum adat. Tata cara untuk mengesahkan masyarakat hukum adat. Fadi dari Politani Kupang.

1. Pengusulan perubahan kawasan hutan. Sejauh mana kekuatan hasil / rekomendasi seminar terhadap rencana perubahan

2. Kebijakan pengelolaan kehutanan di ntt. namun ada satu saran untuk kepala dinas dan pak direktur. Saya melihat hal positif dari kerjasama perhutani dan masyarakat. kami sedang mengusulkan satu kph di NTT. sudah sejauhmana hal tersebut di lakukan di tingkat pusat.

Jawaban/tanggapan Masud:

1. Seminar, workshop dan pertemuan-pertemuan yang dilaksanakan berkaitan dengan perubahan fungsi dan peruntukan kawasan ditujukan untuk mendapatkan masukan-masukan dari masyarakat. Logikanya adalah semakin banyak masukan maka

140 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

semakin baik. Pada prinsipnya usulan dari siapapun kalau bagus pasti digunakan untuk pembuat kebijakan, oleh karena itu hadirilah pertemuan-pertemuan tersebut dan berikan ide yang bagus sehingga dapat memberikan sumbangan perbaikan.

2. Terkait dengan perum perhutani. Kita sebenarnya prihatin dengan kondisi kita saat ini dimana kita mengalami kerawanan pangan padahal sejak jaman belanda kita telah memiliki peta kesesuaian lahan. Kita sudah mengetahui daerah-daerah mana yang potensial bagi pengembangan produksi pangan. namun pada kenyataannya banyak kawasan yang idle / tidak dimanfaatkan. Sebagai contoh jawa tengah, kawasan hutan di jawa tengah mampu menyumbang 1,6 juta ton beras. Sehingga bisa dibayangkan jika disetiap provinsi bisa dilakukan hal ini.

3. Kegiatan tim terpadu telah memiliki standart biaya tersendiri. Kegiatan tim terpadu di daerah lain dapat juga dijadikan acuan. Seharusnya kegiatan parsial dan terpadu digabung sehingga bisa lebih ekonomis. Tim terpadu terdiri dari berbagai disiplin ilmu dan elemen sehingga sulit untuk mengumpulkannya. Data dan informasi yang akurat data yang dimiliki semakin mempercepatan proses kajian tim terpadu. Hindarilah data yang tercerai berai dan sediakan data awal sehingga proses tim terpadu cepat selesai.

4. Berkaitan struktur dan pola ruang, maka kehutanan berada dalam konteks pola ruang. Pola ruang tersebut terdiri dari kawasan lindung dan kawasan budidaya.

Suer Suryadi:

1. Kawasan hutan diatur oleh umat manusia bisa terjadi disaat umat manusia dalam kondisi ideal sekali.

2. Pengakuan masyarakat hukum adat. Didalam konstitusi kita diharuskan membuat uu hukum adat sementara itu UU kehutanan mengamanatkan PP mengenai hutan adat namun saat ini kedua peraturan tersebut belum ada. Dasar hukum mengenai masyarakat adat yang dapat digunakan saat ini adalah peraturan menteri agraria. Pemerintah daerah berdasarkan peraturan meneteri agraria ini diwajibkan proaktif dalam proses pengakuan masyarakat adat. Mekanisme lain yang dapat dilakukan adalah masyarakat hukum adat mengajukan usulan kepada pemerintah daerahnya. Pemerintah daerah selanjutnya melakukan verifikasi sesuai dengan ciri-ciri masyarakat adat sesuai teori maupun keputusan mk. Jika persyarakata-persyaratan tersebut terpenuhi maka pemerintah daerah dapat mengeluarkan peraturan daerah untuk mengakui keberadaan masyarakat adat tersebut. mekanisme ini sedikit berbeda dengan mekanisme yang diinginkan oleh AMAN. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara menginginkan self identification. Jika masyarakat adat menginginkan untuk menguasai hutan adat masih diperlukan satu langkah lagi.

Wahyu Wardhana:

1. Pertanyaannya mengenai data sebaiknya ditanyakan kepada dirjen planologi. Pada waktu lalu TGHK hampir selesai tapi penetapannya belum. Target tata batas sampai dengan tahun 2014 mencapai 65.000 km. Target tersebut dibagi pada tahun 2011

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 141

sebanyak 5.000 km, tahun 2012 sebanyak 16.300 km, tahun 2013 sebanyak 19.000 km dan tahun 2014 sebanyak 20.000 km. Sampai dengna tahun ini penetapan baru sampai 16 %. Tata batas itu dinamis.

2. Guna mempercepat proses penataan tata batas beberapa terobosan dilakukan penyederhanaan proses tata batas, sebagai contoh jika tatabatas tersebut berhimpit dengan batas wilayah administratif maka tidak perlu di tata batas. Demikian juga jika terdapat batas alam. Hal ini berbeda dengan mekanisme lama dimana setiap seratus meter harus dipasangi pathok (pal). Pada saat ini kita tidak lagi mengandalkan batas fisik tetapi juga menggunakan azimutnya. Selanjutnya yang perlu menjadi perhatian adalah dukungan dari beberapa pihak, seperti bupati ketua tim sampai dengan kepala desa dalam proses tata batas.

3. Masyarakat adat tidak perlu dipertentangkan yang penting adalah ekssitensi mereka dalam kerangka NKRI. Sebelum putusan MK kementerian kehutanan sudah mengakui keberadaan masyarakat adat.

Ben Polo Maing.

1. Menjawab pertanyaan pak fabi: kementerian kehutanan mendorong terbentukanya kesatuan pengelolaan hutan (KPH). KPH di NTT pada saat ini ada 22 unit kph, 21 unit kph kabupaten kota dan 1unit kph lintas kabupaten. nantinya unit-unit ini hanya akan mengurus hutan saja. Pembangunan KPH ini diharapkanmampu mengoptimalkan pemanfaatan kawasan hutan.

2. Pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan hutan juga dilakukan oleh kementerian kehutanan dengna mekanisme HKM, HD, HTR. Mekanisme ini pada intinya memberi akses masyarakat sekitar hutan terhadap kawasan hutan. Program-program ini terus difasilitasi dan didorong oleh pemerintah daerah NTT.

Penutup Teguh Yuwono

1. Untuk kaitan dengan sinergi dilevel lokal 2. Terkait dengan data perlu akurasi data 3. Butuh peran serta pemerintah daerah dan masyarakat agar proses verivikasi lancar. 4. Jika kemudian temen2 kagamahut kupang dapat memulai dengan 10 ha.

142 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Sesi II 1. Vilmon V Raja, (Poltek Kupang). (ditujukan ke Pak Petrus) Bagaimana potensi

savana di daerah sumba timur dapat dikembangkan menjadi kawasan hutan 2. Kristian S (Dinas Kehutanan Kab. Kupang). Beberapa desa (3 desa) yang

sepenuhnya berada dalam kawasan KPH Mutis, bagaimana dukungan politik yang dapat diberikan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Salah satu usaha masyarakat yang berpotensi mengganggu keberadaan KPH mutis adalah usaha peternakan yang berkembang pesat di 3 desa tersebut, bagaimana upayang dilakukan agar peternakan tidak mengganggu hutan mutis..

3. Peter Urin (Universitas Nusa Cendana). (Ditujukan ke Pak Rahman dan Bu Niken) Faktor sosial ekonomi budaya apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan hutan dan bagaimana strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah agar hutan itu juga dapat dikembangkan pada daerah hilir bukan hanay di daerah hulu.

4. Karolus (Dsihut TTU) (ditujukan ke pak Petrus). Luas kawasan hutan tidak berbanding lurus dengan luas kawasan, hanya berkisar 5 – 10%, masyarakat punya semangat untuk memanfaatn kawasan padahal hal tersebut harus ada ijin dari kementeria kehutanan. Apakah memungkinkan proses perijinan untuk pemanfatan kawasan yang tidak memiliki tutupan lagi (sudah menjadi kawasan pertanian misalnya) hanya melalui bupati atau kepala dinas saja.

5. Marten P. Dishut NTT. (ditujukan ke pak Petrus) Tutupan lahan yang tersisa hanya 2% bisa bertahan berapa tahun jika tidak dilakukan upaya penanaman dan rehabilitasi secara serius. Data Perkembangan tutupan lahan di NTT secara berkala untuk merumuskan sebuah kebijakan dalam pengelolaan dan pembangunan kehutanan. (Ditujukan ke Ibu Niken) contoh kondisi hutan yang berada dalam wilayah kerja NTT seperti Benain Noelmina atau Kambaniru. Misalnya kondisi di daerah malaka tiap tahun langgan banjir. Terdapat DAS lintas negara yang perlu penanganan secara seirus sehingga tidak terjadi konflik. (ditujukan ke pak Rahman) perlu kajian tentang peluang usaha yang dilakukan untuk mendorong terbentuknya KPH mutis sehingga dapat dikelola secara mandiri.

Jawaban Presenter Petrus Gunarso 1. Vilmon V Raja

Menjadi tantangan buat kita untuk menghutankan kembali kawasan sumba timur dengan kondisi alam yang sangat berat. Informasi bahwa pada masa lalu kawasan sumba memiliki kawasan hutan lebih dari 50%, sehingga memberi semangat buat kita untuk mengembangkan kawasan di sumba terutama adanya perubahan iklim yang menyebabkan curah hujan lebih tinggi dari pada tahun-tahun sebelumnya. Sehingga kita melakukan adaptasi akibat perubahan iklim tersebut, dan perlu dukungan penelitian yang lebih mendalam yang didukung oleh data-data yang akurat.

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 143

Kalorus Untuk mendapatkan data tersebut dapat dicari di google, tetapi data yang diperoleh merupakan data yang sudah dibeli oleh orang lain. Kerja kolaboratif dari kementerian kehutanan dan lembaga terkait termasuk dari pak Petrus dapat diperoleh minimal 1980 – 2013. Pak Haryadi (Direktur RLPS), perlu penetapan area kerja oleh Menhut, untuk menghindari adanya konflik kepentingan sehingga membutuhkan waktu yang relatif lama serta membutuhkan kebijakan pada level kementerian, provinsi dan kabupaten. Masih membutuhkan waktu untuk merubah mainstream pengelolaa hutan oleh masyarakat tanpa ada status kepemilikan oleh masyarakat atau negara.

2. Niken Sakuntaladewi Peter Urin Perlu skema reward untuk memberi pengahargaan bagi meraka yang berada di hulu (pada beberapa daerah hal tersebut sudah berjalan seperti di lombok, jambi, lampung). Biaya yang dibutuhkan untk memberishakan air dari pltd dialihkan kedaerah hulu melalui mekanisme yang telah disepakati. Besarnya reward berdasarkan tingkat kejernihan air yang diperolhe di daearh hilir. Semakain jernih air di hilir, maka nilai reward yang dieproleh di hulu juga semakain tinggi. Selain berupa uang, reward tersebut dapat berupa bantuan pemberdayaan masyarakat. Bayaka metode yang dpat dilakukan ntuk mengkonservasi wilayah di hulu. Marten P Kegiatan di NTT masih belum dilakukan. DAS Lintas negara belum dilakukan, memerlukan perencanaan penelitian kedepan.

3. Rahman K Kristian S Beberapa hal yang dapat dilakukan terhadap desa enclave : seperti batas desa diperjelas sehingga luasan desa tidak semakin besar. Koordinasi dengan pihak kependudukan, sehingga jumlah penduduk tidak melonjak (3 desa lebih kurang 2000 jiwa). Perlu koordinasi dengan multi pihak agar keberadaan desa enclave tersebut tidak menjadi beban dalam pengelolaan KPH mutis, dan penekanannya adalah keberadaan desa tersebut tidak semakin berkembang dan berdampak terhadap penurunan luasan kawasan KPH mutis. Dukungan politik, melalui penetapan desa agar tidak semakin besar jumlah.

Model peternakan yang diarahkan adalah melalui model peternakan yang diikat atau dikandangkan. Marten P Usaha yang dapat dilakukan agar khp mutis dapat mandiri, dapat dilakukan salah satunya melalui pengembangan dalam pengusahaan seperti madu dan bambu.

144 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG

Sesi III 1. Yudi Murik (TN Laiwanggi Wanggameti). (Ditujukan Heri K) apakah kegiatan

analisis juga dilakukan pada hutan prosuksi atau di lahan masyarakat, (ditujukan ke Eko P). Sumba Barat berada pada daerah ketinggian dan rutin melakukan penanaman sedangkan Sumba Timur merupakan dataran rendah, tetapi distribusi air lebih banyak dietmukan di sumba Timur. Apakah hal tersebut disebabkan karena adanya sungai-sungai kecil di Sumba Timur. Setiap tahun terjadi kebakaran dan terdapat penggembalaan ternak oleh sebagian besar masyaakat apakah hal tersebut juga mendorong terjadi perubahan iklim dan kerentanan.

2. Yerinaben Unika. (ditujukan ke Hery K). Bagaimana meningkatkan potensi cendana di daerah-daerah yang saat ini masih terbatas jumlahnya. (ditujukan ke Eko P). Apa penyebab terjadinya perubahan iklim

3. Nurpana Sulaksono, (ditujukan ke Hery K). Apakah memungkinkan indikator non spasial dalam pengembangan cendana seperti karakteristik masyarakat yang berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan cendana dimasukan dalam analisis spasial kesesuaian lahan, bukan hanya aspek fisik dan biofisik saja.

4. Samuel (Dinas Kehutan Propinsi). (ditujukan ke Hery K). Apakah ada perbedaan yang signifikan terhadap pertumbuhan cendana bila dikaitkan dengan kelas kesesuaian lahan terumata kesesuaian 1, 2 dan seterusnya.

5. Edy J Hamin (Universitas Nusa Cendana). (ditujukan ke Eko P). Kenapa indikiator sifat kimia tanah hanya faktor N aja, padahal pertumbuhan cendana juga membutuhkan faktor lain seperti P dan K, termasuk pH nya. Faktor curah hujan juga dapat dijadikan sebagai indikator pertumbuhan cendana. Jenis-jenis tanah untuk pengembangan cendana.

Jawaban

Eko Pujiono Yudi Murik Sumba Barat banyak yang menanam pohon, tetapi Sumba Timur yang panen air. Hal tersebut sangat berkaitan dengan berperan hutan dalam siklus hidrologi, sehingga diperlukan kerjasama dari berbagai pihak untuk mendukung perbaikan ekosistem hutan. Harapannya masyarakat di Sumba Barat yang banyak melakukan penanaman juga dapat memperoleh manfaat dari keberadaan hutan tersebut. Terkait dengan adanya kasus kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun merupakan kombinasi anatara suhu yang tinggi dan bahan bakar yang menumpuk. Manusia dalam kasus kebakaran memegang peran yang sangat besar, kebiasaan atau budaya masyarakat yang melakukan pembersihan lahan dengan cara membakar lahan turut berperan dalam

PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG | 145

kasus tersebut. Jadi kasus kebakaran merupakan kolaborasi antara faktor iklim dan manusia. Yerinaben Salah satu penyebab terjadi perubahan iklim adalah adanya alih fungsi lahan, dimana berdasarkan hasil beberapa penelitian alih fungsi lahan menyumbang sekitar 18% dari perubahan iklim. Penggunaan bahan bakar fosil dan minyak juga berakibat pada meningkatnya suhu secara global. Semua pihak dapat berperan dalam mengurangi potensi terjadinya perubahan iklim yaitu melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara bijak Hery Kurniawan Kegiatan analisis spasial kesesuaian lahan untuk pengembangan cendana ini mengeluarkan kawasan hutan lindung sedangkan hutan produksi dan lahan masyarakat dimasukkan dalam analisis peta. Pemikiran untuk memasukan masyarakat sebagai salah satu indikator dalam analisis kesesuaian lahan untuk pengembangan cendana merupakan pemikiran yang baru dan sejauh ini belum menjadi diakomodir dalam beberapa penelitian yang kami lakukan. Kedepannya faktor sosial budaya masyarakat diharapkan dapat diakomodir karena semakin banyak kriteria yang digunakan, maka hasil yang diperoleh diharapkan akan semakin bagus. Namun demikian dalam penentuan indikator anaisis perlu dipilih kriteria-kriteria prioritas sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan. Yerinaben, Kegiatan belum melihat bagaimana potensi real cendana di lapangan, tetapi baru mengakaji tentang potensi lahan untuk pengembangan cendana. Perlu dilakukan input terhadap kelas kesesuaian lahan yang kurang sesuai, tetapi seberapa besar nilai ekonomi yang diberikan tetap menjadi pertimbangan. Sehingga input yang diberikan secara ekonomi juga menguntungkan Edy J Hamin, banyak kriteria yang digunakan dalam analisis sifat fisik dan kimia tanah seperti kandungan seperti kandungan k/Ca, N, P dan K bukan hanya kandungan N seperti yang telah dijelaskan dalam makalah. Riap pertumbuhan cendana, belum ada data dan informasi yang memadai tentang perbedaan riap terkait adanya kelas-kelas kesesuain lahan. Ini menjadi masukan buak tim peneliti sehingga hasil yang diperoleh lebih rinci.

146 | PROSIDING Seminar Regional PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG