Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

40
INTEGRASI PENGAMALAN SYARI’AH DAN TASAWUF Oleh Alwan Khoiri A. Pendahuluan Aspek-aspek ajaran Islam yaitu aqidah, ibadah, dan moral, tidak jarang melihat kecenderungannya kepada bentuk-bentuk formalisme, terutama ajaran yang mengambil bentuk tingkah laku/ perbuatan lahiriah sepereti terlihat dalam syari’ah. Formalisme dalam pengamalan ajaran Islam dipandang amat merugikan, maka Allah mengingatkan adanya bahaya formalisme ini dalam al-Qur’an 1 : ون ن ل ع ي وما م ه صدور ن ك ت ما م عل ي ل ك ب ر ن و إArtinya: Sungguh Tuhanmu mengetahui apa yang disimpan dalam hati mereka dan apa yang mereka katakan/dzahirkan. Apabila karena formalisme, misalnya syari’at ibadah yang bersifat normatif lebih menekankan syarat, rukun, tata tertib, sah, batal, dan sebagainya dalam pengamalan ajaran Islam, tanpa mementingkan adanya pengahayatan di dalamnya, maka tidak mustahil pengamalan ajaran Islam itu 1 Mahmud Junus, Tarjamah Al-Qur”an al-Karim, PT. Al-Maa’arif, Bandung, 1987, Surat al-Naml, ayat 74. 1

description

tugas kuliah

Transcript of Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

Page 1: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

INTEGRASI PENGAMALAN SYARI’AH DAN TASAWUF

Oleh Alwan Khoiri

A. Pendahuluan

Aspek-aspek ajaran Islam yaitu aqidah, ibadah, dan moral, tidak jarang

melihat kecenderungannya kepada bentuk-bentuk formalisme, terutama ajaran yang

mengambil bentuk tingkah laku/ perbuatan lahiriah sepereti terlihat dalam syari’ah.

Formalisme dalam pengamalan ajaran Islam dipandang amat merugikan, maka Allah

mengingatkan adanya bahaya formalisme ini dalam al-Qur’an1:

يعلنون وما صدورهم تكن ما ليعلم ربك إن و

Artinya: Sungguh Tuhanmu mengetahui apa yang disimpan dalam hati

mereka dan apa yang mereka katakan/dzahirkan.

Apabila karena formalisme, misalnya syari’at ibadah yang bersifat normatif

lebih menekankan syarat, rukun, tata tertib, sah, batal, dan sebagainya dalam

pengamalan ajaran Islam, tanpa mementingkan adanya pengahayatan di dalamnya,

maka tidak mustahil pengamalan ajaran Islam itu tidak dapat memenuhi kebutuhan

spiritual dan menumbuhkan ajaran moral. Mengutamakan formalitas saja, dapat

mengakibatkan jiwa pengamalan ajaran Islam itu tidak dapat dirasakan, sedangkan

yang terasa hanyalah kesibukan perbuatan fisik yang kering, kurang bermakna, dan

kurang dijiwai oleh pelakunya. Padahal pengamalan ajaran Islam senantiasa menuntut

perbuatan yang dilakukan secara sadar. Oleh karena itu, ia menghendaki penghayatan

spiritual yang memerlukan latihan-latihan yang berkesinambungan. Pengamalan

Ibadah Syar’i apabila dihayati dengan Tasawuf, maka akan dirasakan oleh pelakunya

bahwa ia merasa dekat benar dengan Allah SWT dan ia merasa berada di hadirat-

Nya.

1 Mahmud Junus, Tarjamah Al-Qur”an al-Karim, PT. Al-Maa’arif, Bandung, 1987, Surat al-Naml, ayat 74.

1

Page 2: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

Dengan demikian Islam menghendaki terwujudnya integrasi/keterpaduan

aspek-aspek amaliah lahiriah yang diatur dalam syari’ah (fiqh) dengan penghayatan

aspek-aspek amaliah batiniah yang diatur dalam tasawuf.

Islam mengajarkan bahwa manusia yang tersusun dari badan dan roh itu

berasal dari Allah SWT dan akan kembali kepada-Nya. Allah SWT adalah Dzat Yang

Maha Suci dan roh yang datang dari Allah SWT juga suci dan akan dapat kembali ke

tempat asalnya di sisi Allah SWT jika ia tetap suci. Kalau ia menjadi kotor lantaran ia

masuk ke dalam tubuh manusia yang bersifat materi itu, maka ia tidak akan dapat

kembali ke tempat asalnya. Oleh karena itu harus diusahakan agar roh tetap suci dan

manusia menjadi baik2.

Tidak mengherankan, lantaran pembawaan manusia yang dualistis itu

menghendaki adanya kontak yang kuat antara kegiatan lahiriah yang formal dengan

kegiatan batiniah sebagai satu kesatuan perbuatan yang utuh. Dengan demikian

berbagai syari’at ibadah (seperti: shalat, puasa, zakat, dan haji) yang merupakan

tanggapan batin yang tertuju kepada Allah SWT yang bersifat rohaniah, tidak

dilakukan secara batiniah semata, tetapi dilakukan juga dengan gerak jasmaniah.

Prilaku ibadah lahiriah dalam bentuk ucapan, gerak, dan laku di dalamnya

dimaksudkan antara lain untuk mempengaruhi rohani dan menuntun kalbu dalam

upaya menghayati ibadah tersebut. Dengan demikian ibadah itu selain berfungsi

untuk menghayati iman dan untuk berbakti kepada Allah SWT juga merupakan

prilaku pembawa efek kesucian secara lahir dan batin serta menjauhkan dari noda-

noda kejahatan. Dengan penghayatan spiritual ini, sistem nilai yang menyangkut

aspek imani dan akhlaqi dapat berpadu secara utuh dengan sistem norma dalam

Syari’ah.

Syari’ah bersifat eksoterik (lahir), sedangkan tasawuf bersifat esoterik (batin).

Nampaknya antara keduanya terdapat perbedaan yang tajam, sehingga diasumsikan

bahwa antara syari’ah dan tasawuf merupakan bagian ajaran Islam yang berdiri

2 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, UI-Press, Jakarta, 1978, hal. 30

2

Page 3: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

sendiri-sendiri dan tidak ada hubungan antara keduanya, sebagaimana dikatakan oleh

Ahmad Amin3 bahwa ”Fuqaha sebgai ahli syari’ah sangat mengutamakan amal-amal

lahiriah, sedangkan kaum sufi sebagai ahli haqiqah sangat mengutamakan amal-amal

batiniah”.

Di sini muncul pertanyaan: Bagaimana sebenarnya hubungan antara syari’ah

dan tasawuf? dan apakah pengamalan syari’ah dapat diintegrasikan/dipadukan

dengan pengamalan tasawuf?

Teks Pidato pengukuhan Guru Besar ini akan mencoba menjawab pertanyaan

tersebut di atas.

B. Definisi Tasawuf

Tasawuf menyangkut masalah rohani dan batin manusia yang tak dapat

dilihat, maka ia amat sulit ditetapkan definisinya untuk menyatakan apa hakekat

tasawuf itu. Ia termasuk masalah kejiwaan, oleh karena itu ia dapat dipahami bukan

mengenai hakekatnya, melainkan gejala-gejala yang tampak dalam ucapan, cara, dan

sikap hidup para sufi. Sekalipun demikian para ahli tasawuf membuat definisi

tasawuf tersebut meski saling berbeda sesuai dengan pengalaman empirik masing-

masing dalam mengamalkan tasawuf.

Menurut Ma’ruf al-Kurkhi4 tasawuf adalah:

الخالئق أيدى فى واليأسعّم ا بالحقائق األخذ Artinya: berpegang pada apa yang hakiki dan menjauhi sifat tama’ terhadap apa

yang ada di tangan manusia.

Ahmad al-Jariri5 ketika ditanya oleh seseorang: apa itu tasawuf? Ia menmjawab:

دنى خلق من والخروج سنّي خلق فى الدخول

3 Ahmad Amin, Dzuhr al-Islam, Jilid II, Cet. IV, al-Nahdhah al-Misriyyah, Mesir, 1966, hal. 61.

4 Abu al-Qasim ‘Abd al-Karim bin Hawazan al-Qusyairi al-Naisaburi, al-Risalah al-Qusyairiyyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, Dar al-Khair, hal. 280.

5 Ibid.

3

Page 4: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

Artinya: keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang

terpuji.

Sahl Abdullah al-Tusturi mengatakan bahwa ”Sufi ialah orang yang

membersihkan dirinya dari kerusakan budi, selalu merenunginya secara mendalam

dan menilai budi mulia itu lebih berharga dari pada tumpukan emas dan permata”.6

Ahmad Rifa’i berpendapat bahwa tasawuf adalah ilmu yang membahas

tentang tingkah laku manusia baik yang berupa amalan terpuji maupun amalan tercela

agar hatinya benar dan lurus dalam menuju Allah SWT, sehingga ia dapat berada

dekat sedekat-dekatnya di hadirat Allah SWT.7

Senada dengan pendapat-pendapat di atas, Abu Ya’qub al-Susi menjelaskan

bahwa sufi ialah orang yang tidak merasa sukar dengan hal-hal yang terjadi pada

dirinya dan tidak mengikuti keinginan hawa nafsunya.8

Definisi-definisi Tasawuf tersebut di atas menunjukkan betapa besarnya

peranan akhlak dalam taswuf. Ajaran tasawuf yang demikian adalah tasawuf yang

sepenuhnya diselaraskan dengan pertimbangan ilmu Syari’ah. Corak Tasawuf seperti

ini banyak diamalkan oleh para sahabat Nabi dan tabi’in pada abad pertama dan

kedua Hijriyyah, seperti Abu Dzar al-Ghiffari (w. 22 H)9, Hasan al-Bashri (w. 110

H)10, Sufyan al-Tsauri (w. 135 H)11, dan lain-lain.

Di samping itu, corak tasawuf ini banyak dikembangkan oleh ulama sunni

yakni ulama yang menganut pola pikir yang menghendaki penafsiran dan pemahaman

ajaran Islam yang dekat dengan bunyi teks al-Qur’an dan al-Sunnah. Yang termasuk

golongan ulama ini antara lain: al-Thusi, al-Qusyairi, al-Ghazali, Ibn ’Athaillah al-

Sukandar12, dan lain-lain

6 Hamka, Tasawuf Modern, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1990, hal. 13.7 Ahmad Rifa’i, Ri’ayat al-Himmah, 1266 H, hal. 68 Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tasawuf, Cet. I,

Maktabah al-Kulliyyah, 1388 H, hal. 109.9 Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terjemahan Ahmad Rofi’

‘Utsmani, Penerbit Pustaka, Bandung, 1406 H/1985 M, hal. 6910 Ibid., hal. 71.11 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Op.Cit., hal. 65.12 Mohammad Ardani, Konsep Sembah dan Budiluhur dalam Pemikiran Mangkunegara IV,

Surakarta, 1988, hal. 384.

4

Page 5: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

Selanjutnya definisi tasawuf tersebut di atas mengalami perkembangan, hal ini

terlihat dari pernyataan Rabi’ah al-’Adawiyyah bahwa tasawuf adalah usaha

mengalahkan segala-galanya untuk memilih Allah, sehingga Allah pun akan memilih

seorang sufi dan mengalahkan segala sesuatu.13

Dari definisi ini, pembahasan tasawuf mulai memasuki wilayah cinta Ilahi

yang dikenal dengan Mahabbah.

Dalam mendekatkan diri kepada Allah, Rabi’ah al-’Adawiyyah ingin cintanya

dibalas oleh Allah bahkan ia memohon agar dibukakan tabir pemisah antara diri

Rabi’ah al-’Adawiyyah dan Allah, sehingga mata hatinya bisa melihat Allah. Hal ini

bisa dipahami dari ungkapan cintanya sebagai berikut14:

لذاك # أهل ألن ك وحّب ا الهوى حّب حّب ين أحّب ك

سواك # عّم ن بذكرك فشغلّي الهوى حّب هو الذى فأم ا

حّت ى # الحجّب لى فكشفك له أهل أنت الذى وأم ا

أراكArtinya:

Aku mencintai Engkau (Allah) dengan dua cinta

Cinta karena hawa nafsuku dan cinta karena Engkau satu-satunya

yang berhak memperoleh cinta

Adapun cinta karena hawa nafsuku, aku senantiasa mengingat-Mu

dan lupa kepada selain Engkau

Sedangkan cinta karena Engkau satu-satunya yang berhak

memperoleh cinta, Engkau membuka tabir pemisah antara diriku

dan diri-Mu, sehingga aku dapat melihat-Mu.

13 Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi, al-Luma’, ditahkik oleh ‘Abd al-Halim Mahmud dan Thaha ‘Abd al-Baqi surur, Dar al-Kutub al-Haditsah, Kairo, 1960, hal. 45-46.

14 Thaha ‘abd al-Baqi Surur, Rabi’ah al-‘Adawiyyah wa al-Hayah al-Ruhiyyah fi al-Islam, Dar al-Fikr, Kairo, 1957, hal. 79.

5

Page 6: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

Setelah Mahabbah muncul lagi istilah Ma’riafah, sehingga definisi tasawuf

mengalami perkembangan sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Ghazali15 bahwa

Ma’rifah adalah:

االلهي ة األمور بّترت ّب والعلم الربوبي ة أسرار على االّط الع

الّموجودات بكل الّمحيطةArtinya: mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Allah

tentang segala yang ada.

Pada tingkat ma’rifah ini seorang Sufi dengan mata hatinya dapat mengenal

Tuhannya, berdialog dengan Tuhan, dan kadang-kadang melihat rahasia-rahasia

Tuhan.16

Kemudian definisi tasawuf berkembang lagi dengan datangnya Abu Yazid al-

Busthami17 yang mendefinisikan tasawuf dengan

الخلق يلّبسها الحق صفةArtinya: Sifat Allah yang digunakan oleh hamba-Nya.

Hal ini menunjukkan adanya perkembangan definisi dari Abu Yazid18 yang

terkenal dengan Sythahat-nya, yaitu:

اإلشارة من بدال بالعّبرة الّباّطن إظهارArtinya: mengungkapkan kondisi batin secara lisan atau mengungkapkan

pengalaman spiritual yang sebenarnya cukup diisyaratkan.

Lebih jauh, Imam al-Junaid19 mendefinisikan tasawuf adalah:

عالقة بال الله مع تكون أن

15 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid IV, Cetakan ke XIII, Dar al-Fikr, Beirut, Lubnan, t.th, hal. 89.

16 Muhammad Ardani, Op.Cit., hal. 60.17 ‘Abd al-Rahman Badawi, Syathahat al-Shufiyyah, Wukalat al-Mathba’ah, Kuwait, t.th., hal.

110. Lihat juga Al-Thusi, al-Luma’, Op.Cit., 45.18 Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Markaz Dirasat ‘Arabiyyah, t.t., t.th.,

hal. 2819 Al-Qusyairi, Op. Cit., hal. 54.

6

Page 7: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

Artinya: Engkau bersama Allah tanpa hubungan.

Definisi tersebut dapat dipahami bahwa seorang sufi bersama Allah bukan

dalam hubungan antara makhluq dan khaliq, bukan hubungan antara ‘abid dan

ma’bud. Menurut al-Junaid, selagi masih ada hubungan seperti itu berarti masih

mempertahankan eksistensi diri, dan masih mengakui keberadaan diri makhluq.

Ajaran tasawuf al-Junaid dikembangkan lagi oleh Husain ibn Manshur al-

Hallaj yang mati dihukum gantung oleh ulama syari’ah tahun 309 H /922 M20, karena

ia mengaku dirinya telah menyatu dengan Tuhan, sebagaimana terlihat dari

ucapannya:

الحق ... ... أنا الحق أنا الحق أناArtinya: aku adalah Yang Maha Benar (Allah)... aku adalah Yang Maha

Benar (Allah)... aku adalah Yang Maha Benar (Allah).

Di sini timbul pertanyaan: Kenapa al-Hallaj demikian keras mempertahankan

ucapannya yang melanggar ketentuan syari’ah, sehingga ia menerima hukuman

gantung? Padahal, al-Junaid sebagai gurunya telah memperingatkannya. Alasan al-

Hallaj: Apapun yang akan terjadi, saya tetap mempertahankan ucapan: Ana al-

Haqq...Ana al-Haqq...Ana al-Haqq, karena saya ingin segera menyatu dengan Allah.

Gara-gara jasmani saya, saya menjadi tidak bisa menyatu dengan Allah.21

Nampaknya, hukuman gantung bukan hanya tidak ditakuti oleh al-Hallaj melainkan

justru dirindukannya, karena jasad dirinya dianggap sebagai penghalang untuk segera

menyatu dengan Allah.

Ajaran al-Hallaj22 ini dikenal dengan nama al-hulul, sebagaimana

pendapatnya:

20 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Op. Cit., hal. 87.21 At-Thusi, al-Luma’, Op. Cit., hal. 76. Lihat juga Alwan Khoiri, Tasawuf dan Diskursus

Pemikiran Islam, Adab Press, Yogyakarta, 2007, hal. 34.22 At-Thusi, al-Luma’, Op. Cit., hal. 50. Lihat juga Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme

dalam Islam, Op.Cit., hal. 88.

7

Page 8: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

الربوبية بّمعانى فيها حل أجساما اصطفى الله إن

الّبشرية معانى عنها وأزالArtinya: Allah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil

tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam

tubuh itu dilenyapkan.

Memperhatikan definisi-definisi tasawuf yang dikemukakan oleh Dzu al-Nun

al-Mishri, Abu Yazid al-Busthami, al-Junaid, dan al-Hallaj, maka dapat dipahami

bahwa tasawuf ini tidak lagi menekankan masalah akhlak, melainkan sudah

membahas masalah hubungan langsung antara sufi dan Tuhan, bahkan berlanjut

kepada kemanunggalan antara sufi dan Tuhan.

Berdasarkan seluruh definisi yang telah dikemukanan di atas, dapat

disimpulkan bahwa tasawuf di samping sebagai sarana untuk memperbaiki akhlak

manusia agar jiwanya menjadi suci, sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri

kepada Allah sedekat-dekatnya.

C. Corak Tasawuf

Untuk mengetahui corak ajaran tasawuf apakah termasuk tasawuf suni atau

tasawuf falsafi, maka perlu dikemukakan terlebih dahulu kriterianya. Adapun kriteria

yang digunakan adalah sistem “takwil” dalam memahami teks al-Qur’an dan Al-

Sunnah, yakni tingkat jauh dekatnya dengan kedua sumber itu. Jika takwil dalam

memahami dan menafsirkan teks itu dekat dengan bunyi teksnya maka disebut sunni,

jika takwil dalam memahami dan menafsirkan teks itu jauh dari bunyi teksnya maka

disebut “non-sunni”.

Sebagai contoh, ma’rifah dalam kaitan dengan fana’ dan baqa’ dapat diterima

oleh penulis-penulis sufi sunni klasik seperti Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi (w.378 H),

Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi (w.380 H), Abu al-Asim ‘Abd al-Karim al-

Qusyairi (w.465 H), Al-Ghozali (1059-1111 M), dan para sufi lain seperti terlihat

dalam pembahasan mereka tentang masalah tersebut. Ma’rifah, fana’ dan baqa’

8

Page 9: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

merupakan puncak pengalaman batin seorang sufi yang tidak bertentangan dengan

semangat petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Pengalaman batin para sufi sesudah

ma’rifah, fana’, dan baqa’ tidak terlihat dalam tulisan tokoh-tokoh sufi tersebut.

Dalam hal ini tidak ada kejelasan. Oleh karena itu munculnya paham al-ittihad dan al-

hulul yang selanjutnya berkembang menjadi paham wahdah al-wujud adalah di luar

pembahasan yang mereka tulis. Nampaknya mereka tidak menyetujui paham-paham

ini karena kaburnya pemisahan antara esensi tuhan dan esensi manusia.23

Oleh karena itu tidak mengherankan jika Harun Nasution menyatakan bahwa

dalam bahasa ketiga paham tersebut yaitu ittihad, hulul, dan wahdatul wujud kita

berada dalam lapangan yang kurang jelas, ketiga paham tersebut oleh ulama syari’ah

dipandang sebagai hal-hal yang bertentangan dengan Islam.24

Adapun ittihad yang sering dialami oleh Abu Yazid al-Busthomi yang lebih

dahulu ia alami adalah fana’ dan baqa’ yang menurut al-Sarraj hal ini terjadi di luar

kesadaran. Ketika itu sufi mengeluarkan ucapan ganjil yang lahir dari perasaan yang

sedang meluap yang disebut syathahat25. Ini tidak dinilai secara lahir karena sufi yang

sedang mengalami seperti ini tidak dalam kehidupan sehari-hari, al-Busthomi ketika

tidak dalam keadaan syathahat tetap mengamalkan dan mengindahkan hukum syara’

sebagaimana ungkapan Abu Yazid yang dikutip al-Qusyairi26:

يرتقى حّت ى الكرامات من أعطى رجل إلى نظرتم لو

عند تجدونه كيف تنظروا حّت ى به وا تفّتر فال الهواء فى

. ريعة الش واداء الحدود وحفظ والن هى األمرArtinya:

23 Muhammad Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV, Studi Serat-serat Piwulang, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995, hal.108-109.

24 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Op. Cit.,hal.8225 Muhammad Ardani, Loc. Cit. 26 Al-Qusyairi, Al-Risalah Al-Qusyairiyyah, Op.Cit., 397 lihat juga Muhammad Ardani,

Op.Cit., hal.109

9

Page 10: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

Jika kamu melihat seseorang mendapat keramat sehingga ia dapat

terbang di udara, maka janganlah kamu terpesona kepadanya, sehingga

kamu melihat sendiri bagaimana ia mematuhi Allah dan meninggalkan

larangan-Nya, tidak melanggar ketentuan-ketentuan hukum-Nya dan

menunaikan syari’at-Nya.

Begitu mendalamnya tasawuf al-Busthami dalam menghayati fana’ dan baqa’

meski menurut kriteria al-Sarraj dan al-Qusyairi, hal ini dipandang tidak bertentangan

dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah, namun pada hakikatnya fana’ dan baqa’ al-

Busthami yang berujung pada ittihad itu menggunakan takwil yang jauh dari nash Al-

Qur’an dan Al-Sunnah, serta menyalahi teologi Asy’ariyyah.

Dengan demikian konsep tasawuf yang berdasarkan karya al-Sarraj, al-

Qusyairi, al-Kalabadzi, al-Ghazali dan lain-lain yang didasari teologi asy’ariyyah

lantaran orientasinya yang sangat erat dengan semangat ajaran Al-Qur’an dan Al-

Sunnah maka disebut tasawuf sunni, Adapun ciri-cirinya sebagai berikut :

1. Dalam tasawuf sunni, amal hati, lidah dan fisik ketika melaksanakan syari’ah

harus didasarkan pada nash Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

2. Dalam tasawuf sunni tidak terdapat unsur-unsur syirik baik dalam akidah

maupun dalam ibadah.

3. Tasawuf sunni tidak memperkenankan tharekat suluk, ‘uzlah, qona’ah, zuhud

dan lain-lain tanpa ikhtiar sama sekali.

4. Ilmu laduni yang duraih melalui “dzauq” tidak diakui sah apabila

bertentangan dengan nash Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

5. Tasawuf sunni ini menekankan akhlak dan sopan santun dalam hubungan

manusia dengan Allah SWT dan dalam hubungan dengan sesama manusia

serta dalam hubungannya dengan sesama makhluk.

Apabila konsep tasawuf sunni yang hanya sebatas ma’rifat atau musyahadat

(melihat allah dengan mata hati) tanpa ittihad (kemanunggalan), lain halnya tasawuf

non-sunni ingin melaju lebih jauh lagi. Tasawuf non-sunni mempunyai konsep dasar

10

Page 11: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

yang dikenal dengan al-hulul yang dicetuskan oleh Hussain bin Mashur al-Hallaj

(858-922).27

Al-Hulul mengandung pengertian bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh

manusia tertentu untuk ia tempati setelah sifat-sifat kemanusiaan dalam tubuh itu

dilenyapkan, demikian keterangan al-Sirraj meski ia menolak paham hulul ini.28

Menurut al-Hallaj, Allah mempunyai dua sifat dasar, yaitu Lahut (ketuhanan)

dan Nasut (kemanusiaan). Sebelum Tuhan menciptakan makhluk, ia bertajalli kepada

diri-Nya (melihat diri sendiri),berdialog dengan diri-Nya, yang terlihat oleh-Nya,

hanya kemuliaan dan keagungan dzat-Nya, lalu Dia pun cinta kepada dzat-Nya.

Lantaran sifat cinta itulah yang menyebabkan adanya makhluk, sebab terwujudnya

makhluk, dan sebab adanya banyak yang beraneka ragam.

Dalam paham al-Hallaj, dirinya tak hancur, sebagaimanadalam ungkapannya

di atas. Paham hulul ini didasarkan pada Surat al-Baqarah ayat 34.29

أبى ابليس اال فسجدوا الدم اسجدوا للّملئكة قلنا واذ

الكافرين من وكان واسّتكّبرArtinya: Dan (Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: sujudlah

kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan

sombomg, dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.

Ayat tersebut ditafsirkan al-Hallaj bahwa Allah memerintahkan kepada

malaikat untuk bersujud kepada adam karena ketika itu Allah menampakkan diri-Nya

dalam diri Isa a.s. 30 Hal ini menunjukan bahwa al-Hallaj dalam memberikan

pengertian ayat tersebut menggunakan ta’wil yang jauh.31

27 Lihat ibid. Lihat juga Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Op. Cit.,hal.8728 Lihat ibid. Lihat juga Al-Saraj, Al-Luma, Op.Cit.,hal.541.29 Lihat Al-Qur’an dan terjemahannya, Op.Cit., hal.14. “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman

kepada para malaikat:”sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan takabur, dan ia termasuk golongan orang-orang kafir.”

30 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, op.cit., hal. 89.31 Moh. Ardani, Al-Quran dan Sufisme Mangkunegara IV, op.cit., hal. 113.

11

Page 12: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

Faham al-hullul ini, demikian Harun Nasution, yang selanjutnya

dikembangkan oleh Muhy al-Din ibn Arabi (1165-1240 M) menjadi paham wahdat

al-wujud.32 Paham ini yang disebut juga dengan paham wujudiyyat mengandung arti

kesatuan wujud. Menurut paham wahdat al-wujud, konsep nasut yang ada dalam

hulul diubah menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haqq (Tuhan). Khalq dan

haqq adalah dua aspek bagi tiap sesuatu, yang pertama sebagai aspek sebelah luar,

sedangkan yang kedua adalah sebagai aspek sebelah dalam. Kata khalq dan haqq

adalah sinonim dari ardh dan jauhar, juga sinonim dari zhahir dan bathin.33 Wujud

makhluk adalah wujud bayangan, sedang wujud yang sebenaranya hanya satu, yaitu

wujud Allah.34

Insan kamil (manusia sempurna) bukanlah manusia biasa, tetapi manusia di

manna yang mutlak menyadari diri-Nya dalam berbagai aspeknya. Dia mewajibkan

diri-Nya agar tidak melihat selain dari insane kamil. Al-Jilli mendasarkan insan kamil

itu pada arti amanat yang terkandung makna ayat tersebut.35

Menurut konsep ini,nsan kamil adalah pengaliran terakhir diri penciptaan,

yakni ia adalah alat Allah untuk melihat diri-Nya sendiri. Ia adalah nuskha (kopi)

Allah. Ia mempersatukan aspek yang kreatif dengan yang makhluki diri Dzat yang

mutlak, serta mewujudkan kesatuan Yang Mutlak dengan segala sesuatu. Seluruh

manusia secara potensial berdasarkan daya yang terpendam dalam diri-Nya adalah

manusia sempurna (Insan Kamil). Namun kenyataanya hanya beberapa orang saja,

yaitu para nabi dan para wali. Nabi Muhammad SAW adalah puncaknya, karna ia

adalah sesempurna-sempurna manusia yang pertama diciptakan Allah, seperti model

pertama dari segala makhluk yang diciptakan Allah. Ungkapan insan kamil itu tidak

layak dan, tidak boleh disandarkan selain untuk Nabi Muhammad Saw., karna dialah

yang telah disepakati sebagai Insan Kamil. Tak seorang pun manusia memiliki

32 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, op.cit., hal.92. 33 Lihat ibid. lihat juga moh. Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV, op.cit., 114.34 Harun Nasution, ibid., hal.94-95.35 Moh. Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV,loc.cit.

12

Page 13: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

kesempurnaaan kejadian dan akhlak yang lebih sempurna dari pada Nabi Muhammad

Saw.36 Demikianlah konsep insan kamil menurut al-Jilli.

Sejalan dengan konsep wujudiyyat Ibn al-Arabi dan al-Jilli diatas,

Muhammad bin fadhl Allah al-Burhanpuri mencetuskan konsep wujudiyyat yang

dikenal dengan ”Martabat Tujuh”. Menurutnya, wujud Allah itu untuk dapat dikenal

melalui tujuh martabat (tingkatan).37

Martabat pertama adalah martabat al-lata’yun yang disebut Ahadiyat, yaitu

esensi Tuhan yang mutlak tanpa nama dan sifat, sehingga tak nampak dan tak

terkenal siapapun. Martabat kedua adalah martabat ta’ayyun al-awwal (penampakkan

yang pertama) yang disebut wahdat. Penampakkan esensi Tuhan pada tingkat ini

berupa Hakikat Muhammad (al-haqiqat al-Muhammadiyyah)yang diartikan sebagai

ilmu Tuhan mengenai diri-Nya, sifat-Nya, dan alam semesta secara global tanpa

pembedaan yang satu dari yang lain. Martabat ketiga adalah al-ta’ayyun al-tsani

(penampakan kedua) yang disebut wahidiyyah dalam rupa Hakikat Insan (al-haqiqt

al-insaniyyah) yakni ilmu Tuhan mengenai diri-Nya, sifat-Nya, adan alam semesta ini

secara terionci dan pembedaan yang satu dari yang lain, atas jalan perceraian.

Tiga martabat tersebut, menurut al-Burhanpuri semuanya bersifat qadim dan

azali, karna martabat yang tiga ini ketika itu tidak ada yang maujud, melarikan Dzat

Allah Swt dan sifat-sifat-Nya, sedangkan sekalian makhluk ketika itu adalaha maujud

di adalam ilmu Allah, belum lahir dalam wujud kharij (luar).

Selanjutnya, martabat keempat dinamakan ’alam arwah dan disebut juga Nur

Muhammad Saw, yaitu ibarat dari keadaan sesuatu yang halus semata. Roh Tunggal

yang merupakan asal roh semua makhluk. Martabat kelima disebut ’alam mitsal,

yaitu ibarat dari keadaan sesuatu yang halus, yakni differensiasi dari Nur Muhammad

tersebut dalam rupa roh perorangan, yang dapat ditamsilkan ”laut”selaku alam roh

melahirkan dirinya dalam bentuk ”ombak” sebagai ’alam mitsal. Martabat ke enam

disebut ’alam ajzam, yaitu alam benda-benda yang kasar yang tersusun serta berbeda-

36 Ibid., hal.117.37 Ibid.

13

Page 14: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

beda antara yang satu dengan yang lainnya. Martabat ke tujuh adalah martabat insan

atau alam paripurna, yang padaya terhimpun segenap martabat yang sebelumnya,

sehingga martabat ini disebut tajalli (penampakan)yang kemudian sekali.

Itulah tujuh martabat wujud Allah menurut al-Burhanpuri, yang pertama dari

tujuh martabat itu adalah sumber martabat bagi penampakan Allah, yang enam

martabat lainnya adalah martabat-martabat penampakkan Allah yang kulli(global).

Adapun martabat yang terakhir, yakni martabat insan dinamakan Insan Kamil,

jika naik meningakat segenap martabat yang lain tampak serta terpancar di dalamnya.

Puncak insan kamil yang paling sempurna terdapat padadiri Nabi Muhammad Saw,

penutup segala Nabi-nabi. Demikianlah konsep martabat tujuh menurut Muhammad

Bin Fadh Allah al-Buhanpuri.

Sebagaimana yang telah disebutkan sbelumnya, bahwa konsep tasawuf dalam

berbagai literatur yang di tulisal-Sarraj, al-Qusyairi, al-Gazhali, al-Kalabadzi dan

lain-lain yang didasri dalam paham teologi Asy’ari,lantaran kesesuainnyadengan

semangat ajaran al-qur’an dan alSunnah denga ”takwil dekat” dengan teksnya, maka

disebut tasawuf sunni. Sebaliknya konsep tasawuf dalam berbagai karya Shufi al-

Busthami. Al-Hallaj, Ibn Arabi, al-Jilli, al-Bunharupi dan lain-lain yang berpaham al-

ittihad, al-hulul, wahdat al-wujud dan martabat tujuh, meskipun didasarkan pada al-

Qur’an dan al-Sunnah, namun lantaran menngunakan takwil yang sangat jauh dari

nash al-Qur’an dan al-Sunnah sertya tidak didasari paham teologi sunni Asy’ari,

maka disebut tasawuf falsafi.

D. Hubungan antara Syari’ah dan Tasawuf

Sebagaimana telah disebutkan pada pendahuluan muncul pertanyaan:

Bagaimana sebenarnya hubungan antara syari’ah dan tasawuf? dan apakah

pengamalan syari’ah dapat dipadukan atau diintegrasikan dengan pengamalan

tasawuf? karena syari’ah bersifat eksoterik (lahir), sedangkan tasawuf bersifat

esoterik (batin). Nampaknya antara keduanya terdapat perbedaan yang tajam,

sehingga diasumsikan bahwa antara syari’ah dan tasawuf merupakan bagian ajaran

14

Page 15: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

Islam yang berdiri sendiri-sendiri dan tidak ada hubungan antara keduanya,

sebagaimana dikatakan oleh Ahmad Amin38 bahwa ”Fuqaha sebgai ahli syari’ah

sangat mengutamakan amal-amal lahiriah, sedangkan kaum sufi sebagai ahli haqiqah

sangat mengutamakan amal-amal batiniah”.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut akan dikemukakan beberapa pendapat

ulama sebagai berikut:

1. Ahmad Rifa’i39 berpendapat bahhwa syari’ah dan tasawuf merupakan dua

ilmu yang saling berhubungan sangat erat. Pengamalan keduanya merupakan

perwujudan kesadaran iman yang mendalam, yakni Syari’ah mencerminkan

perwujudan pengamalan iman pada aspek lahiriah sedangkan tasawuf

mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek batiniah. Dengan

demikian seseorang baru dapat dipandang sebagai Muslim sejati, jika ia telah

mampu mengamalkan tuntunan ilmu syari’ah dan ilmu tasawuf secara

serempak. Oleh karena itu, merupakan suatu kewajiban setiap Muslim

Mukallaf untuk mengamalkan tuntunan kedua ilmu tersebut, yakni ilmu

syari’ah dan ilmu tasawuf.

2. Al-Qusyairi40 menjelaskan:

مقّبول غير فأمرها بالحقيقة مؤي دة غير شريعة كل

. محصول غير فأمرها ريعة بالش مؤي دة غير حقيقة وكل

Artinya: Setiap pengamalan Syari’ah yang tidak didukung dengan

pengamalan Haqiqah (Tasawuf), maka amal ibadahnya tidak

diterima, dan setiap pengamalan hakekat yang tidak didukung

38 Ahmad Amin, Dzuhr al-Islam, Jilid II, Cet. IV, al-Nahdhah al-Misriyyah, Mesir, 1966, hal. 61.

39 Ahmad Rifa’i, Husn al-Mithalab, Bab. Tasawuf, 1242 H, hal. 35. Lihat juga, Ibn ‘Ujaibah al-Hasani, Iqadh al-Himam fi Syarh al-Hikam, hal: 6-7. Lihat juga Alwan Khoiri, K.H. Ahmad Rifa’i Sang Kiayi yang Nyufi, Adab Press, Yogyakarta, 2004, hal. 75.

40 Al-Qusyairi, Op.Cit. hal. 82

15

Page 16: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

dengan pengamalan Syari’ah, maka amal ibadahnya tidak dapat

mencapai tujuan yang dikehendaki.

3. Ibn ’Ujaibah al-Hasani41 mengatakan:

تعالى الله احكام تعرف ال اذ بفقه اال تصو ف ال

اال عّمل ال اذ بّتص وف اال فقه وال منه اال الظ اهرة

. بإيّمان اال هّما وال توج ه بصدقArtinya: Tiada tasawuf kecuali dengan fiqh, karena hukum-hukum Allah

tidak dapat diketahui kecuali dengan ilmu fiqh dan tiada fiqh kecuali

dengan tasawuf, karena tiada amal yang diterima melainkan disertai

dengan tawajjuh yang benar dan keduanya (baik tasawuf maupun

fiqh) tidak sah kecuali disertai dengan iman.

4. Imam Malik42 menegsakan bahwa:

ولم تفق ه ومن تزندق فقد يّتفق ه لم و تصو ف من

. تحق ق فقد بينهّما جّمع ومن تفس ق فقد يّتصو فArtinya: Siapa saja yang mengamalkan tasawuf tanpa mengamalkan fiqh berarti

ia telah berbuat zindik, siapa saja yang mengamalkan fiqh tanpa

mengamalkan tasawuf berarti ia telah berbuat fasik dan siapa saja yang

mengamalkan keduanya, itulah orang yang ahli haqiqah”.

5. Al-Ghazali43 mengatakan:

. بدايّتها إحكام بعد إال نهايّتها إلى وصول والMaksudnya: Tidak akan sampai ke tingkat terakhir (menghadap Allah dengan

benar, yaitu Haqiqah) kecuali setelah menyempurnakan tingkat

41 Ibn ‘Ujaibah, Op.Cit., hal. 542

43 Al-Ghazali, Op.Cit., hal. 52. Lihat juga Muhammad Nawawi al-Jawi, Maraqi al-‘Ubudiyyat Syarh ‘ala Matan Bidayah al-Hidayah li Hujjah al-Islam Abi Hamid al-Ghazali, Pustaka al-‘Alawiyyat, Semarang, t.th., hal. 5

16

Page 17: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

pertamanya (memperkokoh awal perjalanan ibadah, yaitu

Syari’ah)

6. Al-Ghazali44juga mengatakan:

. ظاهرها على الوقوف بعد إال باّطنها إلى عّبور والMaksudnya: Tidak bisa menembus ke dalam batinnya (tujuan ibadah) kecuali

setelah menyempurnakan lahirnya (syarat dan rukun ibadah)

7. Muhammad Ibn ’Allan45menjelaskan:

بّمياه باّطنه ويغسل الشريعة بحل ى ظاهره تحل ى من

. بالحقيقة حصل فقد الطريقةMaksudnya: Siapa saja yang menghiasi lahiriahnya dengan Syari’ah dan

mencuci kotoran batiniahnya dengan air thariqah, maka ia dapat

mencapai haqiqah.

8. Ahmad Rifa’i46 menggambarkan hubungan antara Syari’ah dengan dua

konsepsi dasar di bidang ilmu Tasawuf, yaitu Thariqah dan Haqiqah seperti

buah kelapa. Syari’ah sebagai kulit kelapa secara utuh, Thariqah sebagai isi

yang terdapat di dalam kelapa, dan Haqiqah sebagai minyak atau sarinya.

Berdasarkan pendapat-pendapat ulama tersebut di atas, maka terlihat secara

jelas bahwa syari’ah dan tasawuf merupakan dua ilmu yang saling berhubungan

sangat erat. Pengamalan kedua ilmu tersebut merupakan perwujudan kesadaran iman

yang mendalam, yakni syari’ah mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada

aspek lahiriah sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada

aspek batiniah. Dengan demikian antara Syari’ah dan Tasawuf merupakan satu

kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Seseorang baru dapat dipandang sebagai

44 Ibid.45 Muhammad Ibn ‘Allan al-Shiddiqi al-Syafi’i, Dalil al-Falihin, Juz. I, Syirkah Maktabah wa

Mathba’ah Musthofa al-Bab al-Halabi wa Auladih, Mesir, 1391 H, hal. 33.46 Ahmad Rifa’i, Bayan, 1252 H., hal. 31. Lihat juga Alwan Khoiri, K.H. Ahmad Rifa’i Sang

Kiayi yang Nyufi, Op. Cit., hal. 68.

17

Page 18: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

Muslim sejati, jika ia telah mampu mengintegrasikan tuntunan ilmu syari’ah dan ilmu

tasawuf dalam mengamalkan ajaran Islam.

Pada dasarnya al-Qur’an dan al-Hadits mengandung ilmu lahir dan ilmu batin.

Oleh karena itu, syari’ah pada mulanya juga mengandung ilmu lahir dan ilmu batin.

Namun dalam perkembangan selanjutnya syari’ah yang mengandung kedua unsur,

baik ilmu lahir maupun ilmu batin itu, kemudian mengadakan semacam spesialisasi

sehingga syari’ah lebih menekankan pada ilmu lahir, sedangkan ilmu batin

dikembangkan oleh ilmu tasawuf. Terjadinya pengembangan spesialisasi kedua ilmu

ini disebabkan oleh adanya perbedaan kecenderungan antara keduanya, yakni

syari’ah yang mengambil bentuk fiqh cenderung menggunakan ratio dan logika akal

dalam membahas dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadits untuk membuat ketetapan

hukum, sedangkan tasawuf cenderung menggunakan rasa (dzauq) dalam

mengamalkan al-Qur’an dan al-Hadits.

Berkaitan dengan pengembangan dan spesialisasi ilmu-ilmu agama Islam ini,

al-Taftazani47 memberi komentar bahwa: ilmu kalam, ilmu fiqh, dan ilmu tasawuf

masing-masing berdiri sendiri, akibatnya ada upaya spesialisasi ilmiah yang lebih

rinci sejak abad ke 3 H. Setiap disiplin ilmu kemudian menempuh jalan masing-

masing dengan prinsip dan metode sendiri-sendiri, yang berakibat satu disiplin ilmu

dengan lainnya pun menjadi berbeda objek, metode, dan sasarannya. Yang berkaitan

dengan akidah disebut dengan ilmu kalam, yang berkaitan dengan ibadah lahiriah

disebut dengan ilmu fiqh, dan yang berkaitan dengan ibadah batiniah (kejiwaan)

disebut dengan ilmu tasawuf.

Jika dilihat dari segi pengembangan ilmu, maka spesialisasi ilmu-ilmu agama

Islam sebagaimana tersebut di atas sangat menguntungkan, akan tetapi jika dilihat

dari segi masyarakat Islam sebagai suatu umat, maka spesialisasi tersebut sangat

meresahkan dan merisaukan umat Islam, karena hal tersebut dapat menyebabkan

polarisasi umat. Sehingga sering terjadi perselisihan, perdebatan, dan saling tuduh

menuduh kafir (kafir mengkafirkan) atau saling tuduh menuduh zindiq (zindiq meng-

47 Al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Op.Cit., hal. 16

18

Page 19: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

zindiq-kan) di kalangan umat Islam. Mereka memperselisihkan tentang mana yang

benar, apakah ibadah lahiriah atau ibadah batiniah, dan mana yang lebih utama,

apakah ibadah lahiriah atau ibadah batiniah.

Sebagian ulama tidak menghendaki adanya polarisasi umat Islam dan tidak

menghendaki terjadinya keresahan di kalangan umat Islam dalam mewujudkan

ibadahnya kepada Allah SWT dengan jalan mengintegrasikan/memadukan

pengamalan syari’ah (ilmu lahir) dengan pengamalan tasawuf (ilmu batin) karena

kedua ilmu tersebut merupakan petunjuk yang wajib diikuti bagi setiap Muslim. Hal

ini terlihat dari ajarannya, bahwa baik ilmu lahir maupun ilmu batin keduanya sama-

sama berfungsi sebagai petunjuk bagi umat Islam dalam melaksanakan ibadahnya

kepada Allah SWT semata.

E. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di muka, dapat disimpulkan bahwa syari’ah mempunyai

hubungan yang sangat erat dengan tasawuf sunni, yakni tasawuf yang ajarannya

hanya sampai tingkat ma’rifah. Syari’ah dan tasawuf sunni merupakan satu kesatuan

yang tidak dapat dipisahkan karena corak tasawuf ini mempunyai ciri-ciri sebagai

berikut:

1. Ajarannya menekankan aspek pembinaan akhlak yang terpuji dalam

hubungan antara manusia dan Tuhan maupun dalam hubungan antar sesama

manusia dan lingkungannya.

2. Ajarannya diselaraskan sepenuhnya dengan pertimbangan ilmu syari’ah.

19

Page 20: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

3. Ajarannya tidak mengandung syathahat yang dipandang telah menyimpang

dari ajaran Islam menurut ulama syari’ah.

4. Ajarannya berdasarkan penafsiran dan pemahaman ajaran Islam yang dekat

dengan bunyi teks al-Qur’an dan al-Sunnah.

5. Dalam ajaran tasawuf sunni ini masih terlihat secara jelas perbedaan antara

‘abid dan Ma’bud, serta antara khaliq dan makhluq, sehingga tidak terdapat

unsur-unsur syirik baik dalam akidah maupun dalam ibadah.

Oleh karena itu, dalam pengamalan ajaran Islam, ilmu syari’ah harus

diintegrasikan dengan ilmu tasawuf sunni karena kedua ilmu tersebut merupakan

petunjuk yang wajib diikuti bagi setiap Muslim demi tercapainya kemantapan akidah

serta kesempurnaan amal ibadah dan moral.

Di sisi lain terlihat bahwa ulama syari’ah menolak ajaran tasawuf falsafi yang

bertujuan untuk mencapai kemanunggalan antara manusia dan Allah SWT baik

berupa ittihad, hulul, wahdah al-wujud, maupun yang sejenisnya. Kemanunggalan

antara manusia dan Allah SWT mustahil dapat terjadi karena Allah SWT adalah Dzat

yang wajib adanya (wajib al-wujud), Maha Sempurna (Kamalat), Maha Suci

(Subbuhun Quddusun), sejak dulu adanya (Qadim), Pencipta (Khaliq), dan tidak

berupa materi. Sedangkan manusia mungkin adanya (mumkin al-wujud), tidak

sempurna (ghairu kamalat), tidak suci, bersifat baru (hadits), dan berupa materi.

Dengan perbedaan yang sangat tajam ini, maka tidak mungkin terjadi kemanunggalan

antara manusia dan Allah SWT.

Inilah landasan ulama syari’ah untuk menolak ajaran tasawuf falsafi karena

ajarannya membawa kepada kemusyrikan dan kesesatan.

Wa Allahu A’lam Bi al-Shawab.

Ucapan Terima Kasih

Sebagai penutup pidato ini, perkenankan saya ingin menyampaikan ucapan terima

kasih yang setulus-tulusnya kepada:

20

Page 21: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

1. Kedua orang tua saya, yaitu ibunda Hj. Muniroch (al-marhumah) dan

ayahanda H. Ali Abdullah Umar yang telah mendidik saya sejak kecil dan

senantiasa mendoakan saya agar berhasil dalam meraih cita-cita, semoga

Allah SWT mengampuni dosa-dosanya dan menerima seluruh amal

sholehnya.

2. Istri tercinta Salamah, ananda Fuady Aziz (al-Marhum), Ahmad Ulin Nuha,

dan Daffiq Afkari yang dengan penuh kesetiaan, ketabahan dan kesabaran

telah mendampingi saya dalam suka dan duka. Semoga Allah SWT berkenan

memberikan pahala yang berlipat ganda kepada mereka

3. Kepada seluruh guru-guru saya di SDN Banjarnegara, di Madrasah

Ibtidaiyyah, di Pondok Pesantren Gontor Ponorogo, seluruh Dosen saya di

Fakaultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan seluruh dosen saya di

IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah dengan tulus ikhlas memberikan

ilmunya kepada saya dan membimbing saya dalam belajar. Semoga Allah

SWT memberikan pahala yang berlipat ganda seluruh guru dan dosen saya.

4. Teman sejawat di Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada saya.

Semoga Allah SWT memberikan pahala yang berlipat ganda kepada mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi, al-Luma’, ditahkik oleh ‘Abd al-Halim Mahmud dan Thaha ‘Abd al-Baqi surur, Dar al-Kutub al-Haditsah, Kairo, 1960.

Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid IV, Cetakan ke XIII, Dar al-Fikr, Beirut, Lubnan, t.th.

Al-Jabiri, Muhammad ‘Abid, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Markaz Dirasat ‘Arabiyyah, t.t., t.th.

Al-Kalabadzi, Abu Bakr Muhammad, al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tasawuf, Cet. I, Maktabah al-Kulliyyah, 1388 H.

21

Page 22: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

Al-Qusyairi, Abu al-Qasim ‘Abd al-Karim bin Hawazan al-Naisaburi, al-Risalah al-Qusyairiyyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, Dar al-Khair.

Al-Syafi’i, Muhammad Ibn ‘Allan al-Shiddiqi, Dalil al-Falihin, Juz. I, Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthofa al-Bab al-Halabi wa Auladih, Mesir, 1391 H.

Al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, terjemahan Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, Penerbit Pustaka, Bandung, 1406 H/1985 M.

Amin, Ahmad. Dzuhr al-Islam, Jilid II, Cet. IV, al-Nahdhah al-Misriyyah, Mesir, 1966.

Amin, Dzuhr al-Islam, Jilid II, Cet. IV, al-Nahdhah al-Misriyyah, Mesir, 1966.

Ardani, Mohammad, Konsep Sembah dan Budiluhur dalam Pemikiran Mangkunegara IV, Surakarta, 1988.

Badawi, Abd al-Rahman, Syathahat al-Shufiyyah, Wukalat al-Mathba’ah, Kuwait, t.th.

Hamka, Tasawuf Modern, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1990.

Junus, Mahmud, Tarjamah Al-Qur”an al-Karim, PT. Al-Maa’arif, Bandung, 1987.

Khoiri, Alwan, K.H. Ahmad Rifa’i Sang Kyai yang Nyufi, Adab Press, Yogyakarta, 2004.

____________, Tasawuf dan Diskursus Pemikiran Islam, Adab Press, Yogyakarta, 2007.

Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.

_____________, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, UI-Press, Jakarta, 1978.

Nawawi, Muhammad al-Jawi, Maraqi al-‘Ubudiyyat Syarh ‘ala Matan Bidayah al-Hidayah li Hujjah al-Islam Abi Hamid al-Ghazali, Pustaka al-‘Alawiyyat, Semarang, t.th.

Surur, Thaha ‘abd al-Baqi. Rabi’ah al-‘Adawiyyah wa al-Hayah al-Ruhiyyah fi al-Islam, Dar al-Fikr, Kairo, 1957.

22

Page 23: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

CURRICULUM VITAE

A. Identitas Diri

1. Nama Lengkap Prof. Dr. Alwan Khoiri, M.A.

2. Tempat, Tanggal Lahir Banjarnegara, 24 Pebruari 19603. Alamat Rumah Jl. Turi 5 No. 6 Tegalturi Karangasem Gempol

Condongcatur Depok Sleman Yogyakarta 4. Alamat Kantor Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan

Kalijaga Jl. Marsda Adisutjipto Yogyakarta Tlp. 0274-513949

23

Page 24: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

5. Pangkat/Golongan Pembina Utama Muda/Guru Besar/IV/c6. Jabatan Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas

Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

7. Keahlian Guru Besar Ilmu Tasawuf Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

5. E-Mail [email protected]. Telepon (0274) 44622917. H.P. 08562858491

B. Riwayat Pendidikan

NO NAMA LEMBAGA TEMPAT TH LULUS

1. SD Negeri Banjarnegara 19722. KMI Darussalam Pondok Modern

GontorPonorogo 1977

3. MAAIN Yogyakarta 19794. Program S1 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 19865. Program S2 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 19926. Program S3 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 19967. Arab Academy (pendidikan informal) Mesir 2007

C. Riwayat Pekerjaan

NO PEKERJAAN TAHUN

1. Guru SMA Muhammadiyah Imogiri Yogyakarta 1983-19862. Guru SPG Muhammadiyah Imogiri Yogyakarta 1983-19863. Guru SMP Muhammadiyyah Imogiri Yogyakarta 1983-19863. Dosen STKIP Muhammadiyyah Bengkulu 1986-19884. Dosen IAIN Raden Fatah Cabang Bengkulu 1988-19975. Dosen STAIN Bengkulu 1997-20036. Dosen Universitas Muhammadiyyah Bengkulu 1997-20037. Dosen STIKES Bengkulu 1997-20038 Dosen AKPER Bengkulu 1997-20039. Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2003-Sekarang

D. Daftar Riwayat Jabatan

24

Page 25: Integrasi Syari'Ah Dan Tasawuf Terbaru

NO NAMA JABATAN TEMPAT TAHUN1. Staf. Pegawai Perpustakaan IAIN Raden Fatah Cabang

Bengkulu1988-1989

2. Staf. Akademik IAIN Raden Fatah Cabang Bengkulu

1989-1990

3. Pjs. Pembantu Ketua Bidang Akademik

STAIN Bengkulu 1997-1998

4 Pembantu Ketua Bidang Akademik

STAIN Bengkulu 1998-2003

5. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Arab

Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

2003-2008

6. Pembantu Dekan Bidang Akademik

Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

2008-sekarang

Demikian curriculum vitae ini dibuat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, 21 Desember 2010Penyusun,

Prof. Dr. Alwan Khoiri, M.A.NIP. 196002241988031001

25