Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme
Transcript of Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Bab III
Dalam bab ini, saya akan mendiskusikan konstitusionalisme, hak asasi
manusia, dan kewarganegaraan dalam perspektif Islam. Kombinasi
prinsip-prinsip umum tersebut diharapkan mampu mengatur dan
memediasi kerja praksis sekularisme sebagai sebuah proses untuk
menyelesaikan ketegangan antara netralitas negara terhadap agama, di
satu pihak, dengan keterhubungan Islam dan kebijakan publik, di pihak
lain. Konstitusionalisme menyediakan kerangka hukum dan politik untuk
merealisasikan dan melindungi persamaan status, hak asasi manusia, dan
kesejahteraan seluruh warga negara. Standar hak asasi manusia,
sebagaimana yang telah didefinisikan dalam kesepakatan internasional
dan regional serta tercantum dalam hukum adat internasional, hanya bisa
dipraktikkan melalui institusi, sistem hukum dan konstitusi nasional.
Tetapi, efektifitas sistem nasional dan internasional tersebut tergantung
pada partisipasi aktif warga negara dalam melindungi hak-haknya sendiri.
Pada saat yang sama, norma-norma hak asasi dan konstitusi membuat
warga negara bisa bertukar informasi, mengorganisir dan melakukan aksi
secara bersama-sama untuk mempromosikan visi mereka tentang
kemaslahatan sosial dan melindungi hak-hak mereka. Dengan kata lain,
konstitusionalisme dan hak asasi manusia adalah alat yang penting untuk
melindungi status dan hak warga negara, tetapi fungsi tersebut dapat
efektif justru karena peran warga negara sendiri. Karena itulah, proses
klarifikasi terhadap dasar dan implikasi konsep kewarganegaraan menjadi
penting. Konsep-konsep tersebut dan institusi yang menyertainya
tergantung satu sama lain dan harus saling berinteraksi jika ingin
merealisasikan tujuannya masing-masing.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Dengan berusaha mengklarifikasi prinsip-prinsip tersebut dari perspektif
Islam, saya berharap bisa mendapatkan legitimasi dari kalangan muslim
yang harus menerima prinsip-prinsip tersebut jika mereka ingin
menerapkannya secara efektif dalam masyarakatnya. Hubungan antara
Islam dan prinsip-prinsip tersebut tidak terhindarkan, karena Islam
mempengaruhi secara langsung legitimasi dan kekuatan prinsip-prinsip
tersebut dan institusi yang menyertainya dalam masyarakat Islam
kontemporer. Pada saat yang sama, hubungan ini akan memusingkan dan
kontraproduktif ketika Islam disamakan dengan pemahaman sejarah atas
syari’ah. Padahal, pemahaman historis tersebut mengandung beberapa
hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme, hak
asasi manusia, dan kewarganegaraan. Namun saya tegaskan, saya tidak
bermaksud untuk mengatakan bahwa prinsip-prinsip umum hak asasi
manusia tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum syari’ah. Malah, saya
merujuk pada beberapa pemikiran syari’ah tradisional yang masih relevan
untuk kehidupan publik masyarakat muslim saat ini, meskipun bukan pada
hal-hal yang menyangkut akidah, ibadah atau aspek-aspek lain dalam
muamalah.
Untuk menempatkan diskusi tentang konstitusionalisme, hak asasi
manusia dan konsep kewarganegaraan dalam konteks buku ini secara
keseluruhan, saya ingin mengingatkan pembaca bahwa tujuan utama
buku ini adalah untuk meyakinkan bahwa pemisahan institusi negara dan
Islam dengan tetap menjaga keterhubungan antara Islam dan politik
merupakan hal yang perlu dan penting. Dengan kata lain, adalah penting
untuk terus menjaga netralitas negara terhadap agama secara tepat
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
karena manusia cenderung mengikuti pandangan pribadinya, termasuk
agama. Tapi tujuan pemisahan ini tidak bisa dicapai melalui usaha
menempatkan agama dalam ruang privat, karena usaha seperti ini tidak
penting, pun tidak perlu. Malah, upaya pemisahan Islam dan negara harus
dilakukan dengan tetap mengakui fungsi publik Islam dan pengaruhnya
dalam pembuatan kebijakan publik dan undang-undang. Ketegangan
seperti ini harus terus diselesaikan melalui upaya pemunculan “public
reason” dalam kerangka konstitusionalisme, hak asasi manusia dan
kewarganegaraan yang akan didiskusikan dalam bab ini. Saya akan mulai
dengan mengklarifikasi pembedaan antara negara dan politik dan
hubungannya dengan keharusan adanya “public reason”. Prinsip-prinsip
konstitusionalisme, hak asasi manusia dan kewarganegaraan akan
didiskusikan dalam tiga bagian berikutnya. Bab ini akan ditutup dengan
kesimpulan dan sekaligus selayang pandang mengenai cara prinsip-
prinsip tersebut beroperasi sebagai kerangka untuk mengatur berjalannya
“public reason” yang diharapkan dapat mengatur hubungan antara Islam
dan politik di satu sisi dan hubungan antara Islam dan negara di sisi lain.
I. Negara, Politik dan “public reason”
1. Karakter negara modern
Semua muslim saat ini tinggal di sebuah teritori yang disebut sebagai “the
nation” state (negara bangsa), yang berdasarkan model Eropa dan telah
menjadi model yang dimapankan melalui penjajahan, bahkan di negara
yang secara formal tidak pernah dijajah. Menurut sarjana Barat, model
negara seperti ini ditandai dengan adanya “administrasi dan tata hukum
yang terpusat dan terorganisasi secara birokratis dan dijalankan oleh
sekelompok administratur, serta mempunyai otoritas atas apapun yang
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
terjadi di wilayah kekuasaannya, basis teritorial dan monopoli untuk
menggunakan kekuasaan”.1 Karena saya khawatir terhadap karakter
inheren negara yang opresif dan hegemonik, saya lebih suka merujuk
pada karakter teritorial negara daripada klaimnya sebagai representasi
satu bangsa yang koheren dan homogen. Berikut ini adalah ciri-ciri negara
sebagai kawasan teritorial:2
Negara modern adalah organisasi birokratis yang terpusat,
hirarkis, dan dibagi-bagi menjadi institusi dan organ yang berbeda
yang memiliki fungsi masing-masing. Namun, institusi-institusi itu
beroperasi sesuai dengan aturan formal dan struktur akuntabilitas
yang hirarkis dan jelas pada otoritas pusat.
Institusi-institusi negara yang terpisah namun berhubungan
ini, berbeda dengan organisasi sosial lain seperti partai politik,
organisasi sipil, dan asosiasi bisnis. Meskipun pembedaan ini terasa
jelas dalam tataran teoritis, namun dalam praktiknya, institusi-
institusi negara sebetulnya terhubung dengan organisasi-organisasi
non-negara tersebut. Hubungan ini penting agar institusi-institusi
negara mendapatkan legitimasi dan dapat berfungsi efektif. Tapi
tentu saja, cakupan dan fungsi institusi negara berbeda dengan
organisasi non-negara sebab institusi dan aparatur negara harus
mengatur aktor non-negara dan harus menengahi perbedaan di
antara mereka. Hubungan kompleks antara perbedaan teoritis dan
keterhubungan praksis antara lembaga negara dan organisasi non
1 Graeme Gill, The Nature and Development of the Modern State (New York: Palgrave Macmilan, 2003), hlm. 2-32 Gill, The Nature and Development of the Modern State, hlm. 3-7
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
negara ini adalah salah satu aspek penting dalam pembedaan
antara negara dan politik.
Domain organisasi negara modern lebih luas dari organisasi-
organisasi lain karena saat ini domainnya mencakup hampir seluruh
aspek kehidupan manusia baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan,
kesehatan dan lain sebagainya. Fungsi lembaga negara yang
komprehensif dan luas ini juga menandakan keunikan, otonomi, dan
independensi negara dari organisasi-organisasi lain.
Untuk menunaikan fungsi dan perannya yang beragam ini,
negara harus memiliki kedaulatan eksternal maupun internal.
Lembaga negara harus menjadi pemilik otoritas tertinggi dalam
wilayah kekuasaannya. Negara juga harus menjadi representasi
otoritatif dari warga negara dan aktor-aktor yang berada dalam
kawasan kekuasaannya bagi pihak-pihak yang berada di luar
wilayahnya.
Untuk alasan yang sama yang telah disebut diatas, negara
juga harus memiliki monopoli untuk menggunakan kekuatan dan
pemaksaan secara sah. Kemampuan ini sangat esensial bagi negara
agar ia bisa memberdayakan otoritasnya untuk melindungi
kedaulatannya, menjaga keutuhan hukum dan tatanannya, serta
mengatur dan menengahi perselisihan dan lain sebagainya
Namun demikian, kekuasaan negara terbatas pada
wilayahnya. Suatu negara, biasanya, tidak mempunyai otoritas di
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
luar wilayah kekuasaannya. Organisasi non-negara seperti
komunitas keagamaan atau tarikat sufi dapat beroperasi
dimanapun; lepas dari batas-batas politis negara karena mereka
didirikan berdasarkan fungsi dan bukan batasan geografis.
Rakyat suatu negara sering memiliki ikatan dan identifikasi
sentimentil terhadap negaranya, namun itu bukan karakter negara
yang penting. Konsep “negara bangsa” misalnya, memang
mengasumsikan adanya kesamaan identitas semacam etnik atau
bahasa antara warga negara. Tapi asumsi ini bisa keliru, karena
kawasan tidak selalu identik dengan etnik, agama atau ikatan-
ikatan popular lain. Ikatan-ikatan semacam itu mungkin saja beraku
bagi beberapa kelompok dalam satu wilayah negara, dan mungkin
juga bisa sama dan berlaku bagi orang lain yang tinggal di wilayah
lain. Memang, hampir semua negara berusaha untuk
menumbuhkan perasaan kesamaan identitas nasional, namun
kesamaan bukanlah ciri esensial sebuah negara modern.
Negara juga cenderung memiliki tipe pemerintahan yang
berbeda. Bisa jadi pemerintahannya adalah partai demokrat liberal,
satu partai, monarki dan lain sebagainya. Tapi juga harus dicatat,
ciri ini juga bukan sebuah karakter definitif. Tak ada satupun dari
rezim tersebut yang layak disebut negara jika ia tidak memiliki
administrasi yang terpusat dan birokratis, kedaulatan, serta
monopoli untuk menggunakan kekusaan dan pemaksaan.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Beberapa elemen negara modern mungkin dimiliki oleh
organisasi non-negara, tapi tidak ada satu pun dari organisasi itu
memiliki seluruh karakter negara. Secara khusus kedauatan atas
wilayah merupakan ciri pembeda negara dari organisasi non-negara
karena kedaulatan ini tidak dimiliki oleh organisasi non-negara
manapun.
Ciri negara modern tersebut di atas biasanya didiskusikan dalam konteks
pengalaman negeri-negeri Barat, meskipun modelnya juga diterapkan di
beberapa negara Asia dan Afrika yang berpenduduk muslim. Elaborasi
seorang penulis mungkin akan membantu upaya kita untuk
mengklarifikasi ciri-ciri negara yang kita maksud dalam perbincangan ini.3
Organisasi negara terdiri dari seperangkat aturan, peran dan sumber daya
yang ditujukan untuk meraih seperangkat tujuan yang jelas. Meskipun
semua negara dicirikan dengan pembedaan antara negara dan organisasi
non-negara, tingkat pembedaannya tidak selalu sama persis dan setara.
Sebagai aturan utama, negaranya biasanya berwatak sekular dengan
memisahkan dirinya dari ruang-ruang spiritual penganut atau organisasi
agama. Penting pula untuk dicatat, bahwa meskipun negara dan
institusinya berbeda dengan masyarakat sipil dan organisasinya, bahkan
relatif otonom satu sama lain, namun keduanya tetap saling memberikan
dukungan.
Sebagai pemilik kekuasaaan dan otoritas atas wilayah dan hak monopoli
pemaksaan, negara adalah otoritas terakhir. Otoritas terakhir
merupakan konsekuensi dari kepemilikan negara atas kedaulatan dan
3 Gianfranco Poggi, The State: Its Nature, Development and Prospects (Stanford, California: Stanford University Press, 1990), hlm. 19-33.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
integritas wilayah. Namun otoritas ini pun akan melemah, jika kedaulatan
dan integritasnya hilang. Kedaulatan wilayah berarti negara memiliki
kontrol eksklusif atas warga yang tinggal di wilayahnya dan wilayah ini
tidak bisa dibagi dengan pihak lain kecuali atas persetujuan dan
kerjasama negara itu sendiri. Dengan demikian, intervensi negara atau
pihak luar lain dianggap melanggar prinsip kedaulatan wilayah yang
dimiliki negara, kecuali bila intervensi itu dilakukan oleh Dewan Keamanan
PBB. Pengecualian ini sah karena dengan menandatangi Piagam PBB,
semua negara yang menjadi anggota PBB telah menyetujui otoritas yang
dimiliki lembaga ini. Otoritas sentral negara berarti bahwa ia otonom.
Hanya negara yang memiliki otoritas untuk membuat aturan yang
mengatur cara kerjanya dan menjadi sumber bagi seluruh otoritas politik
lain. Meskipun fungsi terakhir ini mungkin diserahkan pada organisasi atau
pihak lain. Sentralitas negara juga berarti bahwa negara harus
mengkoordinasikan fungsi dan aktifitas organ dan institusinya, karena
merekalah yang memapankan kekuasaan negara. 4
Ciri negara yang lain dan relevan dengan pembicaraan kita saat ini adalah
ia mendapatkan legitimasi demokratis atas kekuasaan dan otoritas yang
dimilikinya. Ini berarti bahwa rakyatlah yang memiliki kekuasaan dan
otoritas yang paling mutlak atas negara, yang memang berfungsi untuk
melayani mereka. Namun, meski rakyat memiliki otoritas dan kekuasaan
mutlak, ketaatan mereka terhadap negara juga merupakan hal mutlak
agar negara mampu melaksanakan fungsinya. Dukungan rakyat ternyata
juga penting bagi negara yang dikuasai oleh rezim diktator atau kerajaan
yang cenderung menjustifikasi dan melegitimasi otoritas mereka dengan
4 poggi, hlm. 22
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
“kehendak kolektif” dan “kepentingan rakyat”. Dari basis legitimasi inilah,
konsep kewarganegaraan muncul untuk menjamin kesetaraan dan
kesamaan hak dan kewajiban mereka di hadapan negara.5 Kombinasi
legitimasi demokratis dan kewarganegaraan ini juga harus tercermin
dalam watak dan fungsi hukum dalam sebuah negara. Apapun
pandangan, sumber dan keputusan hukum di masa lalu, saat ini
negara sudah semakin mampu mengambil alih fungsi pembuatan
hukum dan tidak hanya memberlakukannya. Jika dulu otonomi
hukum terletak pada statusnya sebagai seperangkat prinsip dan norma
yang isi dan validitasnya bersumber dari agama, tradisi, dan praktik
spontan masyarakat, maka saat ini hukum telah menjadi produk sekaligus
instrumen kebijakan.6
Dari overview singkat di atas, negara modern bisa difahami sebagai
representasi institusional sebuah kekuasaan politik, yang tidak lagi
didapat dari otoritas personal seorang penguasa atau dari mereka yang
mendapatkan otoritas dari penguasa. Kekuasaan politik negara, yang
terpusat dan terlembaga, direfleksikan melalui struktur birokrasi dan
organisasinya. Negara bahkan bisa memformalisasikan penggunaan
kekuasaannya itu melalui standar dan prosedur hukum serta
mempromosikan integrasi kekuasaan politik melalui legitimasi demokratis
dan peningkatan pentingnya konsep kewarganegaraan sebagai prinsip
yang mengatur hubungan negara dan masyarakat.7
2. Pembedaan Negara dan Politik
5 Poggi, hlm. 286 Poggi, hlm. 297 poggi, hlm. 33 dengan penekanan khusus pada keaslian teks
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Ciri-ciri negara yang telah saya kemukakan diatas jelas mengindikasikan
adanya pembedaan antara domain negara dan politik secara umum,
dimana negaralah yang menentukan isu-isu yang akan diperdebatkan dan
dinegosiasikan di ruang politik dengan beragam formalitas dan proses.
Negara juga diharapkan dapat membuat dan menegakkan aturan
negosiasi bagi pihak-pihak yang berharap idenya terwakili dan
diformulasikan sebagai kebijakan publik. Jangkauan negara modern
sangat luas dan bahkan semakin diperluas hingga mencakup aspek-aspek
eksistensi sosial lain seperti kesejahteraan sosial dan lingkungan.
Meskipun berfungsi sebagai aktor utama yang memiliki jangkauan yang
luas dalam struktur politik masyarakat, cakupan dan wilayah operasional
negara dibatasi oleh dinamika relasi sosial di sekelilingnya. Karena
strukturnya yang formal, tugasnya yang penting, dan karakternya sebagai
entitas yang otonom, negara tidak dapat mengeksplorasi secara penuh
domain politiknya dalam masyarakat secara umum. Namun dengan ciri-
ciri ini, tidak berarti negara menjadi berada “di atas” praktik politik massa
atau terputus sepenuhnya dari masyarakat yang diaturnya. Karena untuk
disebut sah, sebuah negara harus bisa mengakar di masyarakat, seperti
halnya ia bisa menjaga otonomi operasional dan fungsionalnya dari politik
keseharian.
Relasi yang kompleks antara politik dan negara ini dapat difahami dari
logika dan sikap negara yang harus otonom, namun mengakar dan
terhubung dengan masyarakat. Sebagai institusi dan organ yang sangat
kompleks, organisasi negara dapat dibagi secara vertikal berdasarkan
fungsi dan secara horisontal berdasarkan geografi.8 Pembagian vertikal
8 Gill, hlm. 16
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
berhubungan dengan keberadaan “ruang utama” (major sphere) tempat
berbagai aktor sosial bergabung dengan yang lainnya dan dengan negara:
“dalam negara, ruang ini difahami sebagai bidang kebijakan (dan
konstituen), dan ditandai dengan adanya berbagai departemen pelayanan
publik yang dibentuk untuk melaksanakan bidang kebijakan tertentu
seperti kesehatan, transportasi, pendidikan, hukum, tatanan masyarakat
dan urusan konsumen”.9 Sedangkan pembagian horisontal berarti
pengorganisasian tata pemerintahan secara spasial. Negara,
dengan demikian, bisa dibagi berdasarkan negara kesatuan
ataupun negara federal, atau berdasarkan pembagian
pemerintahan lokal atau regional.10 Pembagian vertikal berdasarkan
fungsi juga dapat terbagi lagi secara horisontal melalui pembagian
wilayah atau unit administratif.
Dalam pembagian vertikal, negara akan banyak berhubungan dengan
berbagai aktor sosial dari kelompok-kelompok yang berkepentingan
dengan bidang kebijakan tertentu. Ia juga akan terlibat dalam hubungan-
hubungan yang terus berkembang antara berbagai aktor negara dan
politik dalam ruang sosial dan konstituen kebijakan yang lebih luas.
Otonomi dan stabilitas negara tergantung pada kualitas hubungannya
dengan berbagai segmen dalam masyarakat karena jika kualitas
hubungan ini akan mempersulit kelompok tertentu untuk mengatur dan
menguasai negara. Semakin normal politik negosiasi antar kelompok,
semakin rendah pula kemungkinan kelompok-kelompok tersebut untuk
tergoda dan mampu memaksakan kekuataannya untuk menguasai
negara. Semakin banyak kelompok yang menyatakan klaimnya dan
9 Gill, hlm. 16-1710 Gill, hlm. 17
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
berpartisipasi dalam menekan negara, maka tidak akan ada satu
kelompok pun yang mampu mengambil kontrol penuh atas institusi
negara. Dengan cara seperti ini, otonomi negara akan lebih terjaga.
Sebaliknya, bila sebagian kelompok tersisih dari percaturan politik praktis,
mereka akan lebih termotivasi untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih
besar dan lebih tidak takut untuk mengalami kerugian dengan menantang
premis dan operasi negara. Hubungan dinamis antara negara dan aktor
sosial ini bersifat saling menguntungkan karena negara, pada dasarnya,
berkepentingan untuk mempengaruhi sebanyak mungkin konstituen.
“Untuk melaksanakan tugas, membuat dan mengimplementasikan
kebijakan yang dibuatnya, serta untuk melaksanakan fungsinya sebagai
pembuat aturan bagi masyaraktnya, negara membutuhkan kerjasama
konstituen-konstituen dan organisasi yang relevan tersebut. Sebagai
gantinya, negara harus mengizinkan penetrasi pihak-pihak tersebut pada
institusinya.11
Mekanisme pertukaran kepentingan antar negara dan aktor sosial dan
politik lain dapat berlangsung secara formal dan institusional seperti yang
terjadi dalam proses tawar menawar negara dengan asosiasi dagang atau
organisasi professional, kehadiran perwakilan NGO dalam institusinya,
atau terlibatnya perwakilan NGO dalam merumuskan dan melaksanakan
kebijakannya. Mekanisme yang sama juga dapat ditempuh melalui cara
informal seperti pengaruh atau hubungan perorangan. Apapun cara yang
digunakan, itu tidak menjadikan negara sebagai satu-satunya perwakilan
dari kelompok tertentu, bahkan negara tetap dapat menjaga otonominya
karena ia mampu berinteraksi dengan berbagai kelompok. Dengan kata
11 Gill, hlm. 17
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
lain, kompetisi antar berbagai kelompok untuk mempengaruhi kebijakan
negara, justru merupakan jaring pengaman bagi hadirnya kelompok yang
ingin mengambil alih kekuasaan negara. Bahkan, kompleksitas dan
sentralitas negara justru berarti bahwa tidak ada kelompok atau kumpulan
aktor-aktor sosial yang akan menantang otoritas negara atau
menghilangkan otoritasnya dengan menekan salah satu institusi.12 Karena
institusi negara tergantung pada otoritas sentral dan tunduk pada
ketentuan yang berlaku bagi seluruh aparatur negara, otonomi negara
dicapai melalui pengaruh yang tak proporsional dari institusi non-negara.
Dengan demikian, negara dapat difahami sebagai arena tempat aktor-
aktor politik dan sosial berkompetisi untuk meraih tujuan-tujuannya.
Namun pada saat yang sama, keragaman aktor-aktor yang berpartisipasi
dalam proses kompetisi ini juga menjamin otonomi negara.13
Negara dapat menempuh jalur ekonomi, sosial maupun budaya untuk
mengikatkan dirinya dengan kelompok-kelompok dalam masyarakat,
misalnya dengan mengangkat pegawai dari kelas sosial atau daerah
tertentu dan menyediakan ruang bagi wakil rakyat terpilih untuk
berpartisipasi atas nama konstituennya dalam proses pembuatan
kebijakan negara. Perbedaan antara pegawai negara yang mewakili kelas
sosial atau etniknya dengan wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan
adalah kebebasan kedua kelompok tersebut untuk mempertahankan
ikatan identitasnya ketika mereka telah terpilih. Pegawai negara tidak
boleh mempertahankan ikatan etnis dan sosialnya, tetapi wakil rakyat
12 Gill, hlm. 1813 Gill, hlm. 18-19
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
harus tetap mempertahankan ikatan tersebut karena ia terikat dengan
konstituen yang memilihnya.14
Sebagai kesimpulan, legitimasi dan kekuatan negara tergantung pada
keterhubungannya dengan aktor sosial dan politik lain dan juga pada
otonominya dari pengaruh mereka. Semakin terhubung sebuah negara
dengan masyarakatnya, akan semakin rendah resikonya untuk kehilangan
otonomi. Banyaknya kelompok-kelompok kepentingan yang bersaing
untuk mempengaruhi kebijakan negara malah akan menjaga
keseimbangan pengaruh yang mereka miliki terhadap negara. Otonomi
negara juga akan relatif tidak terancam oleh satu kelompok atau beberapa
kelompok, bila struktur negara tetap terpusat, kompleks, dan institusi-
institusinya diatur dengan seperangkat aturan yang jelas. Karena
penjelasan lebih lanjut tentang teori politik dan negara sudah tidak
memungkinkan lagi, saya berharap bisa memanfaatkan ulasan mengenai
ciri-ciri dan dinamika hubungan politik dan negara ini untuk menjelaskan
pertanyaan utama kita yaitu: bagaimana hubungan negara dan
masyarakat atau hubungan negara dan politik bisa dijembatani melalui
“public reason”?
3. “ Public reason ” untuk Memediasi Konflik Kebijakan
Diskusi kita yang telah lalu mengindikasikan bahwa legitimasi negara
dapat diukur dari seberapa dalam dan organiknya hubungan antara
negara dengan berbagai aktor non-negara dalam wilayah politik. Otonomi
negara akan hilang atau berkurang bila negara hanya mengizinkan satu
kelompok untuk mempengaruhi dan memaksakan kepentingan pada salah
14 Gill, hlm. 20
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
satu institusinya atau bahkan negara secara keseluruhan. Dengan kata
lain, pelaksanaan kombinasi legitimasi dan otonomi ini sangat tergantung
pada dua persyaratan. Pertama, aktor non negara membutuhkan ruang
yang aman untuk bersaing secara bebas dan sehat untuk mempengaruhi
proses pengambilan kebijakan melalui peran negara. Kedua, ruang yang
tersedia tersebut harus dapat menjamin terbukanya kesempatan bagi
sebanyak-banyaknya kelompok untuk berkompetisi. Semakin banyak dan
beragam kelompok yang dapat bersaing secara bebas dan sehat untuk
mengamankan kepentingan dan urusannya dalam sebuah kebijakan,
semakin kecil pula kemungkinan mereka untuk mengontrol negara atau
institusinya. Dua hal tersebut mengindikasikan apa yang saya istilahkan
sebagai “public reason” dimana para aktor sosial dapat mempengaruhi
negara dengan tetap tidak membahayakan otonomi negara. Konsep ini
berisi beberapa elemen seperti prosedur efektif untuk menjamin
partisipasi bebas dan sehat, pedoman mengenai isi dan etika debat publik,
bahkan perangkat pendidikan dan perangkat lain yang digunakan untuk
meningkatkan legitimasi dan efektifitas persyaratan tersebut.
Dengan berpegang pada penjelasan mengenai ciri-ciri negara modern
yang telah saya kemukakan diatas dan bagaimana ia harus dibedakan
dengan politik, saya akan memberi penekananan pada beberapa point
yang berkaitan dengan “public reason” sebagai berikut:
1. Ruang bagi public reason harus tetap aman sehingga proses
argumentasi terbangun dalam suasana yang mudah untuk
dikendalikan oleh pemerintahan atau rezim tertentu atau dikontrol
oleh satu kelompok sosial tertentu. Agar dapat diterima oleh
seluruh elemen masyarakat, ruang bagi public reason harus
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
didentifikasi sebagai negara, bukan sebagai satu rezim atau masa
pemerintahan tertentu.
2. Selain itu, ruang bagi “public reason” harus diamankan
melalui prinsip-prinsip konstitusionalisme, sekularisme yang
menjamin netralitas negara terhadap agama, hak asasi manusia
dan kewarganegaraan. Prinsip-prinsip tersebut merupakan elemen
organisasi politik dan tata hukum sebuah negara, yang tidak akan
mudah dibatalkan oleh pemerintahan apapun. Namun, meski
berfungsi sebagai jaring pengaman, prinsip-prinsip tersebut
bukanlah sesuatu yang absolut. Ia dapat berubah seperti Undang-
Undang yang bisa diamandemen. Kadar netralitas negara terhadap
agama bisa terus dinegosiasikan (hal ini akan secara khusus
dijelaskan nanti dalam bab 4), pun prinsip hak asasi manusia terus
bisa tumbuh dan berkembang. Sistem politik dan hukum sebuah
negara harus memungkinkan adanya ketentuan-ketentuan khusus
yang berlaku pada saat gawat darurat, tetapi tetap harus tunduk
pada jaring pengaman ini agar tidak ada pihak yang
menyalahgunakan pengecualian ini. Tujuan prinsip-prinsip ini
adalah agar aturan yang menjamin public reason itu tidak mudah
diubah hanya untuk memenuhi keinginan sekelompok kecil
masyarakat tertentu.
3. Selain menyediakan jaring pengaman, negara tidak boleh
mempengaruhi wacana public reason dengan membatasi jumlah
pihak yang boleh terlibat dalam ruang public reason dengan
mendiskriminasi kelompok agama, komunitas atau kelompok
minoritas tertentu. Sebaliknya, negara harus dapat menyediakan
ruang bagi sebanyak mungkin warga negara, baik sebagai individu
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
atau bagian dari kelompok tertentu, untuk mewakili dan berdebat
mengenai kebijakan publik. Ini tentu saja bukan perkara mudah,
karena banyak pemerintahan yang bertindak atas nama negara
tergoda untuk memanipulasi public reason untuk kepentingannya
sendiri.
4. Meskipun negara harus mempersiapkan aturan dan pedoman
dasar public reason, namun domain public reason tetap harus
berada di wilayah civil society. Dengan kata lain, meskipun negara
mengatur public reason, bukan berarti public reason adalah institusi
negara. Posisi ini justru memperkokoh status otonom negara karena
negara dapat mendorong adanya keragaman di kalangan aktor
sosial politik sekaligus menyediakan ruang bagi terciptanya debat,
konsensus, dan aliansi di kalangan mereka.
Karena istilah “public reason” telah banyak digunakan oleh kalangan
sarjana Barat, nampaknya disini saya perlu mengklarifikasi pengertian
“public reason” yang saya gunakan dalam tulisan ini. Saya akan terlebih
dahulu mengulas secara singkat istilah “public reason” seperti yang
digunakan oleh Jhon Rawls dan beberapa komentar mengenainya.
Kemudian, saya akan menjelaskan bagaimana debat tentang istilah ini
berkaitan dengan makna “public reason” yang saya gunakan dalam
perbincangan Islam, Negara dan Politik.
Rawls berpendapat bahwa public reason adalah ciri utama relasi negara
dan rakyat dalam tatanan negara yang demokratis dan konstitusional.15
Menurutnya, “ide tentang public reason menetapkan bagian terdalam
15John Rawls, Political Liberalism, (expanded edition, New York: Columbia University Press, 2003), hlm. 212-254, hlm. 435-490.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
landasan moral dan nilai-nilai politik yang menentukan relasi antara
pemerintahan yang demokratis dan konstitusional dengan rakyatnya”.16 Ia
mendefinisikan public reason sebagai:
“reason ini disebut public karena tiga hal. Pertama, jika reason itu muncul
dari warga negara yang bebas dan setara. Kedua, jika reason ini berisi
tentang kemaslahatan publik yang berkaitan dengan masalah keadilan
politik yang fundamental yang mempermasalahkan esensi undang-undang
dasar dan soal keadilan dasar. Ketiga, watak dan isinya yang memang
publik, diungkapkan dengan penalaran publik melalui sekumpulan konsep
keadilan politik rasional yang telah difikirkan secara rasional pula, untuk
memenuhi kriteria resiprositas.17
Dengan demikian, bagi Rawls ruang public reason menyinggung masalah
“esensi undang-undang dasar dan masalah keadilan dasar yaitu hak-hak
dan kebebasan fundamental yang mungkin termasuk dalam undang-
undang dasar dan masalah keadilan dasar yang berkaitan dengan
keadilan sosial dan ekonomi serta hal lainnya yang tidak terbahas dalam
undang-undang dasar. Fokus spesifik ini memperlihatkan bahwa Rawls
memandang public reason “tidak berlaku untuk semua diskusi politik
tentang pertanyaan-pertanyaan fundamental”.18 Ia membedakan antara
cakupan public reason dengan apa yang dia sebut sebagai “latar belakang
kultural” (background culture) masyarakat sipil yang mewujud dalam
bentuk asosiasi seperti gereja, universitas, dan lain sebagainya.19
Menurutnya, reason yang muncul dalam ruang-ruang tersebut, meskipun
16 Rawls, hlm. 441-44217 Rawls, hlm.44218 Rawls, hlm. 44219 Rawls, hlm. 443
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
tidak sepenuhnya “privat” dan diungkapkan dalam ruang “sosial”, namun
tetap saja bersifat “non-public” jika dibandingkan dengan masyarakat
secara keseluruhan.20 Bahkan, reason yang diungkapkan dalam media pun
tidak dianggap “public reason” oleh Rawls.21
Ruang yang tepat bagi public reason menurut Rawls adalah “forum politik
publik” (public political forum) yang mungkin terjadi dalam tiga keadaan.
“Pertama, perdebatan pada hakim untuk menentukan keputusan,
terutama hakim-hakim di Mahkamah agung. Kedua, perdebatan pegawai
pemerintahan, terutama mereka yang duduk di kursi eksekutif dan para
pembuat undang-undang. Ketiga, perdebatan calon pejabat negara dan
manajer kampanyenya, terutama, dalam orasi publik, platform partai dan
ungkapan-ungkapan politiknya.”22 Dalam keadaan-keadaan itulah,
penerapan public reason mengambil bentuk yang khusus dan tertentu.
Meskipun, “justifikasi publik yang diperlukan untuk reason yang muncul
dalam tiga keadaan itu sama dengan reason yang muncul dalam keadaan
lain”, namun, mungkin akan berlaku lebih ketat bagi para hakim, terutama
yang berada di mahkamah agung.23
Pandangan Rawls mengenai “public reason” menyaratkan adanya
demokrasi konstitusional yang sudah mapan dan didukung oleh adanya
tertib hukum. Warga negara memiliki hak untuk mendasarkan
pandangannya pada apa yang dia sebut sebagai “doktrin-doktrin yang
komprehensif” atau pandangan dunia yang luas seperti agama, moralitas
atau filsafat. Namun, doktrin-doktrin tersebut tidak boleh dikemukakan
20 Rawls, hlm. 22021 Rawls, hlm. 44422 Rawls, hlm. 442-44323 Rawls, hlm. 231-240
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
sebagai public reason.24 “public reason” juga tidak boleh “mengkritisi atau
menyerang” doktrin-doktrin komprehensif manapun, baik doktrin itu
doktrin keagamaan atau bukan. “Public reason” harus diartikulasikan
dalam konsep dan nilai politik fundamental. “Syarat utama doktrin yang
dimunculkan dalam domain public reason adalah doktrin tersebut dapat
difahami dan menerima rezim demokratis konstitusional serta gagasan
mengenai hukum yang sah.”25
Meskipun demikian, Rawls nampaknya masih menerima kemungkinan
pengungkapan doktrin-doktrin komprehensif dalam public reason pada
situasi tertentu, tergantung pada tingkat ekslusivitas dan inklusivitas
pandangan terhadap doktrin yang digunakan. Jika sifatnya ekslusif, doktrin
komprehensif tersebut tidak boleh diungkapkan kepada publik meskipun
ia mendukung “public reason”. Tetapi bila pandangannya inklusif,
siapapun bisa menjadikan doktrin tersebut sebagai sumber nilai-nilai
dasar politik yang mereka anut dan mengungkapkannya untuk
memperkuat “public reason”.26 Pandangan yang ekslusif bisa digunakan
dalam “masyarakat yang sudah lebih teratur” (more or less well ordered
society), dimana keadilan dan hak-hak dasar warga negara terjaga dengan
baik sehingga ekspresi “public reason” cukup menggunakan nilai-nilai
politik yang tumbuh di masyarakat sendiri dan tidak perlu merujuk pada
doktrin komprehensif apapun. Rawls membedakan kondisi ini dengan
kondisi dimana terjadi “perselisihan serius antara berbagai kelompok
dalam masyarakat yang hampir teratur (nearly well ordered society)”
mengenai penerapan salah satu prinsip keadilan”. Misalnya perselisihan
24 Rawls, hlm. 44125 Rawls, hlm. 44126 Rawls, hlm. 247
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
berbagai kelompok mengenai masalah dukungan pemerintah terhadap
pendidikan agama. Dalam situasi seperti itu, penjelasan di sebuah forum
publik tentang “bagaimana doktrin komprehensif yang diyakini oleh
seseorang sesuai dengan nilai-nilai politik” mungkin dapat mengokohkan
dan melegitimasi public reason itu sendiri.27 Rawls mengambil contoh
orang-orang yang berjuang menghapus perbudakan berdasarkan nilai-nilai
agama pada abad 19 di Amerika Serikat. Saat itu non-public reason dari
gereja-gereja tertentu mendukung kesimpulan akhir public reason.28
Contoh lainnya adalah gerakan perjuangan hak-hak sipil, Meskipun Martin
Luther King Jr. memperoleh rujukan perjuangannya dari nilai-nilai politik
dalam konstitusi, ia tetap menggunakan non-public reason untuk
melegitimasi perjuangannya. Dalam dua kasus di atas, para pemimpin
gerakan penghapusan perbudakan dan perjuangan hak-hak sipil memang
menyetujui cita ideal public reason, tetapi konteks sejarah perjuangan
mereka mengharuskan penggunaan doktrin komprehensif untuk
memperkuat nilai-nilai politik yang sedang mereka perjuangkan. Gerakan
mereka, pada intinya, justru memperkuat cita ideal “public reason” karena
mereka menggunakan pandangan inklusif doktrin komprehensif tersebut.
Dengan demikian, batasan yang tepat untuk “public reason” akan sangat
tergantung pada konteks historis dan sosialnya.29
Saya tidak mungkin mereview semua debat yang berlangsung di kalangan
sarjana barat tentang ide Rawls ini, tapi saya akan menjelaskan secara
singkat 2 kritik yang akan sangat berguna untuk menjelaskan istilah
“public reason” yang saya gunakan dalam buku ini. Pertama, kritik
27 Rawls, hlm. 248-24928 Rawls, hlm. 249-25029 Rawls, hlm. 251
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Habermas terhadap ide Rawls terutama mengenai pembedaan antara
istilah “doktrin komprehensif” dengan “nilai-nilai politik” (political
values).30 Habermas juga mempertanyakan pengertian Rawls mengenai
istilah “political” dalam istilah “nilai-nilai politik” dan pembedaan domain
privat dan domain publik dalam kehidupan sosial. Menurut Habermas,
“Rawls memperlakukan ruang nilai-nilai politik (political value sphere),
yang dalam masyarakat modern ruang ini dibedakan dari ruang nilai-nilai
kultural (cultural value sphere), sebagai sesuatu yang sudah begitu
adanya”. Rawls juga telah membagi identitas seseorang menjadi identitas
politik publik dan identitas pra politik yang non publik di luar pencapaian
swa legislasi yang demokratis”.31 Bagi Habermas, ide Rawls ini
bertentangan dengan fakta sejarah mengenai pergeseran batas-batas
ruang publik dan privat. Kedua, penekanan Habermas terhadap ruang-
ruang independen dan ruang-ruang non-pemerintah yang merupakan
arena penting bagi tumbuh dan berkembangnya “public reason”.
McCarthy menyimpulkan pandangan Habermas ini sebagai berikut:
“bagi Habermas, forum publik independen yang terpisah dari sistem
ekonomi dan administrasi kenegaraan dan lebih memiliki tempat di dalam
asosiasi-asosiasi sukarela, gerakan-gerakan sosial termasuk media massa
merupakan sumber utama kedaulatan rakyat. Idealnya, public reason
yang diungkapkan dalam ruang non-pemerintah bisa diterjemahkan
menjadi kekuasaan administratif negara yang sah, melalui prosedur
pembuatan keputusan yang sah dan terlembagakan seperti prosedur
pemilihan dan legislatif. Dalam bahasa Habermas, “kekuasaan yang
tersedia bagi administrasi ini muncul dari public reason… Opini publik
30 Jurgen Habermas, “Reconciliation Through the Public Use of Reason: Remarks on Jhon Rawls’ Political Liberalism”, in The Journal of Philosophy, 92: 3 (March 1995): 109-131, pada hlm.118-11931 Habermas, hlm.129
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
yang bekerja melalui prosedur-prosedur demokratis memang tidak bisa
memerintah secara langsung, tetapi bisa mengarahkan kekuatan
administratif tersebut pada tujuan-tujuan tertentu.32
Untuk menyimpulkan bagian ini, saya akan mengungkapkan pengertian
“public reason” yang saya gunakan dalam buku ini dan bagaimana
pengertian ini berkaitan dengan ide-ide yang telah dikemukakan oleh
sarjana-sarjana Barat. Saya mendefinisikan “public reason” dalam bab 1
sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh alasan dan tujuan sebuah
kebijakan publik atau undang-undang dalam bentuk penalaran yang
menyediakan kemungkinan bagi seluruh warga negara untuk menerima,
menolak bahkan membuat ajuan tandingan melalui mekanisme debat
publik tanpa berresiko dikenakan tuduhan makar, membangkang atau
murtad. Ide saya ini mungkin didukung oleh pendapat Rawls dan
Habermas, namun pengalaman masyarakat Barat yang menjadi konteks
pemikiran mereka, mungkin tidak akan terlalu relevan untuk pengalaman
masyarakat yang saya sebutkan dalam buku ini. Ide Rawls mengenai
pembedaan antara konsep politik dan doktrin komprehensif, misalnya,
akan berguna bagi saya untuk menentukan kerangka bagi ekspresi public
reason. Namun pembedaan ini mengasumsikan adanya sebuah tatanan
undang-undang dan masyarakat yang stabil yang memiliki kondisi
kondusif bagi tumbuhnya debat mengenai isu-isu public reason. Sebuah
keadaan yang sulit ditemui di dunia Islam. Karena itu, saya lebih suka
mengambil pendapat-pendapat tersebut untuk memperkuat argumen
yang saya buat tanpa mengidentifikasi diri secara khusus pada salah
seorang di antara mereka atau berpartisipasi dalam debat kalangan Barat.
32 Thomas McCarthy, “Kantian Constructivism and Reconstructivism: Rawls and Habermas in Dialogue. Dalam Ethics 105: 1 (Oktober 1994): 44-63 pada hlm. 49
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Saya mengajukan sebuah pandangan mengenai public reason yang
berakar pada tradisi civil society dan ditandai dengan adanya persaingan
sehat antara berbagai aktor sosial untuk mempengaruhi kebijakan publik
melalui peran negara. Dengan merujuk pada ciri-ciri negara yang telah
disebutkan diatas, pelaksanaan public reason di ruang non-negara justru
akan semakin melebarkan legitimasi dan otonomi negara. Ruang public
reason menyediakan tempat bagi warga negara sebuah forum dan
mekanisme untuk menuntut hak-hak mereka atas negara. Keberadaan
sebuah forum yang egaliter dan inklusif, tempat dimana warga negara
memiliki hak untuk berpastisipasi, menguatkan fakta bahwa negara bukan
merupakan bagian dari satu kelompok atau beberapa kelompok tertentu.
Meskipun ruang public reason harus dilindungi dan diatur berdasarkan
prinsip-prinsip konstitusionalisme, hak asasi manusia dan
kewarganegaraan, ketiga prinsip itu pun harus mendapatkan legitimasi
dari proses public reason. Saya akan mengulang tema ini dalam bagian
kesimpulan, setelah mendiskusikan masing-masing prinsip tersebut dalam
kaitannya dengan pikiran saya dalam buku ini secara keseluruhan.
II. Konstitusionalisme dalam Perspektif Islam
Tata pemerintahan yang konstitusional merujuk pada adanya seperangkat
prinsip yang membatasi dan mengontrol kekuasaan pemerintah sesuai
dengan hak-hak fundamental warga negara dan komunitas, serta sesuai
dengan tata hukum yang menjamin hubungan antara individu dan negara
diatur oleh prinsip-prinsip hukum yang jelas, bukan oleh kehendak elit
penguasa yang despotik.33 Saya menggunakan istilah konstitusionalisme
33 J.T McHugh, Comparative Constitutional Traditions (New York: Peter Lang, 2002, hlm. 2-3
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
untuk memayungi jaringan sejumlah lembaga, proses dan budaya yang
lebih luas, yang diperlukan untuk menjalankan tata pemerintahan yang
konstitusional secara efektif dan berkelanjutan.34 Saya sendiri lebih
tertarik pada seperangkat nilai, lembaga serta proses politik dan sosial
yang dinamis dan komprehensif, daripada penerapan formal prinsip-
prinsip umum yang abstrak atau aturan-aturan hukum yang spesifik.
Prinsip-prinsip hukum dan undang-undang memang relevan dan penting,
tetapi implementasi prinsip-prinsip tersebut secara efektif dan
berkelanjutan hanya dapat dicapai melalui konsep konstitusionalisme
yang lebih luas dan dinamis.
Pemahaman dasar tentang konstitusionalisme yang saya sebutkan disini
berdasarkan pada dua hal. Pertama, konsepsi yang beragam mengenai
prinsip-prinsip dan lembaga-lembaga konstitusionalisme harus dilihat
sebagai pendekatan komplementer terhadap model pemerintahan yang
akuntabel dan bertanggung jawab yang bisa beradaptasi pada perubahan
waktu dan tempat, daripada sebagai representasi dikotomi yang tajam
atau pilihan-pilihan yang kategoris. Karena definisi konsep ini merupakan
produk pengalaman masyarakat yang hidup dalam keadaan tertentu,
maka menetapkan hanya satu pendekatan terhadap definisi atau cara
implementasi konsep ini dan mengenyampingkan pendekatan lain,
menjadi tidak masuk akal dan tidak penting. Baik berdasarkan dokumen
tertulis atau tidak, konsep ini bertujuan untuk menegakkan tatanan
hukum, menjalankan pembatasan yang efektif terhadap kekuasaan
34 Alan S. Rosenbaum, Introduction to Constitutionalism the Philosophical Dimension, ed. Alan S. Rosenbaum (Westport, Connecticut: Greenwood Press, 1988), hlm. 4-5; Louis Henkin, “A New Birth of Constitutionalism: Genetic Influences and Genetic Defects” dalam Constitutionalism, Identity, Differences and Legitimacy, ed. Michel Rosenfeld (Durham, North Carolina: Duke University Press, 1994), hlm. 39-53; dan Constitutionalism, eds. J. Roland Pennock and John W. Chapman (New York: New York University Press, 1979).
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
pemerintah, dan melindungi hak asasi manusia. Pemahaman yang lebih
universal terhadap konstitusionalisme mungkin akan berkembang dari
waktu ke waktu, tapi pemahaman ini harus merupakan hasil analisis
komparatif terhadap pengalaman praksis, bukan hasil usaha pemaksaan
satu definisi ekslusif yang berdasarkan satu ideologi atau tradisi filsafat
tertentu.
Kedua, saya sangat percaya bahwa prinsip-prinsip tersebut hanya bisa
direalisasikan dan dikembangkan melalui praktik dan pengalaman.
Karenanya, kedaulatan rakyat dan keadilan sosial, misalnya, hanya bisa
dicapai melalui praktik aktual yang kondusif bagi adanya koreksi teori dan
modifikasi praktik, bukan dengan menunda sampai sebuah kondisi ideal
bagi pelaksanaan konsep itu dicapai oleh penguasa. Usaha-usaha untuk
mencapai kedaulatan rakyat dan keadilan sosial itulah yang justru
menyediakan kesempatan bagi munculnya keadaan yang lebih kondusif
bagi pelaksanaan konstitusionalisme yang sukses dan berkelanjutan.
Dengan demikian, akhir sebuah tata pemerintahan yang konstitusional
justru direalisasikan melalui pengalaman mempraktikkan prinsip-prinsip
konstitusional dalam konteks masing-masing masyarakat. Pengalaman
praksis tersebut, pada akhirnya, akan mempengaruhi refleksi teoritis
terhadap prinsip-prinsip tersebut dan meningkatkan cara praktiknya di
masa yang akan datang.
Praktik Lokal dan Prinsip-Prinsip Universal
Secara umum, konstitusionalisme merupakan respon tertentu terhadap
paradoks dasar pengalaman praksis sebuah masyarakat. Di satu sisi,
sudah jelas bahwa seluruh anggota masyarakat tidak mungkin dapat
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
berpartisipasi secara sejajar dalam pelaksanaan urusan-urusan publiknya.
Namun di sisi lain, jelas pula bahwa orang cenderung untuk memiliki
pandangan dan kepentingan yang berbeda berkaitan dengan hal-hal
seperti kekuasaan politik, alokasi dan pengembangan sumber daya
ekonomi, serta pelayanan dan kebijakan sosial. Disinilah negara menjadi
pihak yang berperan untuk menyelesaikan perbedaan pendapat dan
konflik kepentingan itu. Namun dalam praktiknya, fungsi tersebut juga
dijalankan oleh aparatur negara (manusia), dan bukan oleh badan resmi
yang abstrak dan lembaga yang netral. Konstitusionalisme, dengan
demikian, berfungsi memberikan ruang bagi pihak-pihak yang memiliki
kontrol langsung terhadap aparatur negara untuk memastikan bahwa
pandangan dan kepentingan mereka dipenuhi oleh mereka yang bertugas
untuk mengatur negara itu. Realitas inilah yang menjadi dasar bagi semua
aspek konstitusionalisme, baik yang berkaitan dengan struktur dan
lembaga negara maupun aktivitasnya dalam membuat dan menjalankan
kebijakan publik dan administrasi keadilan.
Dengan demikian, tata pemerintahan konstitusional mengharuskan
adanya penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak indidividu dan
masyarakat karena makna dan implementasi kedua hak ini berkaitan satu
sama lain. Contohnya, menghormati kebebasan individu untuk
mengutarakan pendapat, keyakinan dan berorganisasi adalah satu-
satunya cara untuk melindungi hak kebebasan kelompok etnik dan agama
tertentu. Tapi, kebebasan individual itu akan bermakna dan bisa
dijalankan secara efektif dalam konteks kelompok yang relevan. Selain itu,
karena hak merupakan alat untuk merealisasikan tujuan keadilan sosial,
stabilitas politik dan perkembangan ekonomi untuk seluruh lapisan
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
masyarakat, hak harus difahami sebagai sebuah proses dinamis daripada
aturan-aturan hukum yang abstrak.
Namun, hak-hak seperti kebebasan untuk berekspresi dan berorganisasi
tidak akan berguna tanpa adanya lembaga-lembaga untuk
menjalankannya termasuk adanya kemampuan untuk mengajukan dan
menindak perbuatan pegawai pemerintahan dan menjaga mereka agar
tetap akuntabel. Karena itu, pegawai pemerintahan seharusnya tidak
boleh menyembunyikan kegiatannya, menutup-nutupi praktik
penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukannya. Yang secara umum
berarti transparansi kegiatan pegawai negara adalah sebuah kebutuhan.
Transparansi ini dapat dicapai melalui perundang-undangan, aturan
administratif dan juga kebebasan pers, serta kemungkinan adanya
tuntutan atas pegawai negara yang menyalahgunakan kekuasaannya atau
menghindari tanggung jawabnya. Transparansi administratif dan finansial
tidak mungkin menghasilkan akuntabilitas politik dan hukum, bila tidak
disertai adanya lembaga yang independen dan kompeten yang bisa
menginvestigasi kemungkinan pelanggaran dan bisa menyelesaikan
pertikaian. Namun sayangnya, proses-proses yang berkaitan dengan
masalah-masalah teknis tentang adminitrasi peradilan dan hukum sampai
persiapan praktis untuk mengamankan independensi kehakiman atau
akuntabilitas politik pejabat terpilih, tidak bisa didiskusikan secara detail
sekarang.
Aspek konstitusionalisme yang terpenting berkaitan dengan motivasi
psikologis dan kemampuan sosiologis warga negara untuk berpartisipasi
dalam kegiatan kolektif mempromosikan dan melindungi hak dan
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
kebebasan. Penegakan semua prinsip, lembaga dan proses
konstitusionalisme tergantung pada kerelaan dan kemampuan warga
negara untuk berbuat demi kemaslahatan bersama, bukan hanya untuk
kepentingan sekelompok golongan dan lapisan masyarakat tertentu.
Tentu saja aspek-apek motivasi dan kemampuan itu sulit untuk dihitung
dan diverifikasi, tetapi semuanya melibatkan motivasi warga negara untuk
selalu mengetahui urusan-urusan kemasyarakatan dan selalu bertindak
secara kolektif. Agen dan lembaga publik yang dioperasikan oleh warga
negara tidak saja harus mendapatkan kepercayaan dari masyarakat lokal,
tetapi juga harus ramah, responsif dan dapat diakses oleh seluruh lapisan
masyarakat. Inilah makna yang paling mendasar dan praksis dari
kedaulatan rakyat, dimana rakyat dapat mengatur dirinya sendiri melalui
pegawai publik dan wakilnya yang sudah terpilih. Jadi, konstitusionalisme
pada intinya adalah bagaimana merealisasikan dan mengelola ide ideal ini
dengan cara yang dinamis dan berkelanjutan, dengan menyeimbangkan
stabilitas yang diperlukan sekarang dengan kebutuhan akan adaptasi dan
pengembangan di masa yang akan datang.
Prinsip konstitusionalisme kadang-kadang diekspresikan dalam istilah hak
untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) dimana rakyat
berhak menentukan secara bebas status politik mereka dan meraih
kemajuan ekonomi, sosial dan kultural mereka. Hak ini kadang-kadang
disalahfahami sebagai hak untuk memisahkan diri dari negara yang sudah
ada. Adalah lebih baik untuk melihat pemenuhan hak untuk menentukan
nasib sendiri sebagai sebuah proses yang berkelanjutan, daripada
melihatnya sebagai sesuatu yang harus dipenuhi sekaligus setelah meraih
kemerdekaan politik dari kekuasaan kolonial luar. Benar bahwa
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
kedaulatan negara merupakan kondisi awal untuk pemenuhan hak untuk
menentukan nasib diri. Tapi kedaulatan negara saja tidak selalu penting
dan cukup dalam segala situasi. Negara terpisah tidak selalu penting bagi
mereka yang ingin merealisasikan hak menentukan nasib sendiri, karena
hak itu bisa dicapai dalam kerangka negara yang sudah ada, asal
pemerintahannya akuntabel dan representatif. Negara terpisah mungkin
juga tidak akan cukup, karena rakyat juga bisa ditindas lagi oleh hegemoni
internal kelompok penguasa dan ideologi eksklusif atau kekuatan kolonial
luar.35 Karena kekuasaan kolonial biasanya lebih mudah dihadapi daripada
hegemoni internal, saya akan secara khusus membahas bahayanya
melegitimasi hegemoni dan penindasan semacam itu dalam masyarakat
Islam saat ini, dengan mengungkapkan pentingnya agama dalam upaya
menekan kekuatan oposisi politik dan akuntabilitas pemerintah.
Konstitusionalisme selalu berkaitan dengan kemampuan rakyat untuk
mempengaruhi kejadian-kejadian yang membentuk kehidupan mereka
baik pada tingkat personal, keluarga maupun masyarakat.
Konstitusionalisme berkaitan dengan upaya penataan dan pengamanan
ruang publik untuk rakyat agar mereka dapat mencari, bertukar, berdebat
dan menilai sebuah informasi secara bebas serta dapat bergabung dengan
yang lain agar dapat melakukan sesuatu untuk mencapai tujuannnya.
Konsep dasar ini juga mengindikasikan bahwa kesamaan akses itu harus
disediakan bagi seluruh anggota masyarakat karena hidup mereka
ditentukan oleh kebijakan-kebijakan yang sedang terbentuk. Dalam
praktiknya, prinsip seperti ini menimbulkan persoalan lain yang terkait
dengan pembedaan antara status warga negara (citizen) yang memiliki
35 Lihat misalnya Abdullahi A. An-Na’im dan Francis M. Deng, “Self-Determination and Unity: The Case of Sudan, dalam “Law and Policy, Vol. 18 (1996), hlm.199-223
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
keanggotaan penuh serta seperangkat hak dan kewajiban, dengan
permanen residen (permanent resident) yang hanya memiliki separuh
keanggotaan, serta dengan orang asing (aliens) yang jelas-jelas tidak
memiliki hak untuk terlibat dalam proses-proses demokrasi konstitusional.
Prinsip konstitusionalisme berisi beberapa prinsip umum seperti
pemerintahan yang representatif, transparansi, akuntabilitas, pemisahan
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta independensi lembaga
kehakiman. Tapi, ini bukan berarti bahwa semua prinsip-prinsip ini harus
ada agar konstitusionalisme dapat diimplementasikan dengan sukses di
sebuah negara. Kenyataannya, prinsip-prinsip dan kondisi itu hanya bisa
muncul dan berkembang dalam berbagai model melalui proses trial and
error yang terus menerus.36 Pemerintahan yang representatif,
transparansi, akuntabilitas bisa direalisasikan dalam berbagai model
seperti sistem parlementer Inggris atau Sistem presidensial Perancis dan
Amerika. Model-model tersebut bukan merupakan satu-satunya sistem
sebuah negara, sistem itu dapat berubah dan disesuaikan dengan
perubahan yang terjadi di sana.37 Meski berhadapan dengan masalah dan
kesulitan, setiap model negara konstitusional yang sukses pasti bekerja
dengan totalitas dan ia terus bertransformasi dan menyesuaikan diri
dengan caranya sendiri dalam situasi krisis. Ini dapat dilihat dengan jelas
dalam kasus Perancis dan Jerman pada Abad ke -20.38
36 D. Franklin dan M. Baun (ed.), Political Culture and Constitusionalism: A Comparative Approach (New York: M. E. Sharpe), hlm. 184-21737 McHugh, Comparative Constitutional Traditions, hlm. 50-54, 57-58, 147, 149-150.38 William Safran, “The Influence of American Constitutionalism in Postwar Europe: the Bonn Republic Basic Law and the Constitution of the Fifth French Republic,” dalam American Constitutionalism Abroad, ed. George Athan Billias (Westport, Connecticut: Greenwood Press, 1990), hlm. 91-109.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Pemisahan kekuasaan dan independensi lembaga kehakiman, misalnya,
bisa diamankan baik melalui penataan struktural dan institusional seperti
yang terjadi di Amerika,39 atau dengan cara politik konvensi dan praktik
tradisi dalam kultur politik negara seperti Inggris.40 Pembedaan yang ketat
antara cara konvensi dan tradisi, di satu pihak, dengan cara struktural dan
institusional, di pihak lain, bisa jadi salah, karena masing-masing model
mungkin membutuhkan atau mengandaikan adanya model lain agar dapat
berfungsi dengan baik. Perbedaan seperti ini lebih merupakan produk
pengalaman sejarah dan konteks masing-masing negara, daripada hasil
pilihan yang sengaja dibuat pada titik waktu tertentu.41 Yang paling
penting dari semua itu adalah kemampuan sistem tersebut untuk
mencapai tujuan-tujuan konstitusionalnya meskipun praktiknya berbeda-
beda.
39 McHugh, Comparative Constitutional Traditions, hlm. 35-3640 McHugh, Comparative Constitutional Traditions, hlm. 47-6341 lihat secara umum, McHugh, Comparative Constitutional Traditions; Michel Rosenfeld, “Modern Constitutionalism as Interplay Between Identity and Diversity,” in Constitutionalism, Identity, Differences, and Legitimacy, ed. Michel Rosenfeld (Durham, North Carolina, Duke University Press, 1994), hlm. 3-38.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Dengan mengatakan bahwa kita harus bertahan pada model tertentu
yang sukses mengimplementasikan konstitusionalisme, bukan berarti
bahwa sistem-sistem yang sudah ada itu juga kondusif untuk menjaga
keberlanjutan implementasi beberapa prinsip konstitusionalisme seperti
pemisahan kekuasaan lembaga-lembaga negara dan independensi
lembaga kehakiman. Meskipun ini hanya persoalan tingkat kecocokan,
namun beberapa metode terbukti tidak cukup kuat karena mereka
memang tidak menerapkan prinsip pokoknya. Contohnya, meskipun
kekuasaan eksekutif untuk menunjuk dan mempekerjakan hakim
merupakan satu hal yang tak terhindarkan, namun dengan memberikan
kepercayaan sepenuhnya pada mereka untuk melakukan penunjukkan
tanpa melakukan cek atau pengawasan merupakan satu bentuk
penyimpangan dari prinsip independensi lembaga kehakiman. Sebuah
sistem yang menolak hak-hak dasar masyarakat tertentu seperti
kesetaraan di hadapan hukum atau kesamaan akses terhadap fasilitas
publik karena sentimen gender atau agama berarti menolak prinsip
konstitusionalisme itu sendiri.
Meskipun demikian, ini juga tidak berarti bahwa sistem yang tidak dapat
diterima, bisa dengan mudah dan cepat digantikan oleh model lain yang
lebih baik. Pengalaman paska kemerdekaan negara-negara Asia Afrika42
menunjukkan bahwa transplantasi struktur, lembaga dan proses yang
dapat dengan mudah dilakukan di beberapa negara, ternyata
membutuhkan adaptasi dan pengembangan yang cukup hati-hati di
beberapa negara lain. Munculnya konsensus mengenai ciri-ciri
42 Lihat sebagai contoh, Okon Akiba, “Constitutional Government and the Future of Constitutionalism in Africa,” Constitutionalism and Society in Africa, ed. Okon Akiba (Burlington, Vermont: Ashgate Publishing Company, 2004), hlm. 7-16.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
konstitusionalisme, dan bagaimana mereka diturunkan dan diaplikasikan
di masing-masing negara, merefleksikan pengalaman lokal dan global
negara tersebut. Dengan kata lain, makna dan implikasi
konstitusionalisme untuk sebuah negara adalah hasil interaksi prinsip-
prinsip universal yang luas dengan proses dan faktor lokal yang spesifik.
Namun perlu di catat, prinsip-prinsip universal sendiripun sebetulnya
merupakan perluasan dari pengalaman-pengalaman berbagai negara
yang dihasilkan dari pengalaman interaksi antara nilai-nilai universal dan
lokal negaranya.
Islam, Syari’ah dan Konstitusionalisme
Saya tertarik dengan hubungan antara Islam, Syariah dan
Konstitusionalisme karena interaksi antara ketiga hal tersebut ada dalam
hati dan pikiran ummat Islam.43 Ini bukan berarti bahwa Islam benar-benar
secara ekslusif menentukan perilaku konstitusional penganutnya, karena
perilaku konstitusional dan bahkan pemahaman dan praktik berIslam-nya
ummat Islam juga dipengaruhi oleh faktor politik, ekonomi dan faktor
lainnya. Ketertarikan saya lebih karena muslim tidak mungkin untuk
mempertimbangkan konstitusionalisme secara serius jika mereka menilai
konsep atau beberapa prinsipnya secara negatif; sebagai sesuatu yang
tidak sesuai dengan kewajiban agama mereka untuk melaksanakan
syari’ah. Tapi sebagaimana yang sudah saya tekankan sebelumnya,
pengetahuan dan praktik syariah apapun adalah selalu merupakan produk
pemahaman dan pengalaman muslim, yang tidak mungkin mencakup
seluruh aspek tentang Islam. 43 Lihat sebagai contoh, Ausaf Ali, “Contrast Between Western and Islamic Political Theory” in Modern Muslim Thought, Vol. 1, Modern Muslim Thought, Vol. 1 (Karachi, Pakistan: Royal Book Company), hlm. 181; Muhammad Asad, Principles of State and Government in Islam (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1985), hlm. 1-17, 22-23; Saba Habacy, Introduction to J.N.D. Anderson, Islamic Law in the Modern World (Westport, Connecticut: Greenwood Press, 1975), hlm. ix.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Sumber atau kerangka undang-undang tradisional Islam biasanya diambil
dari pengalaman komunitas awal muslim yang dibangun Nabi di Madinah
setelah hijrah dari Mekah di tahun 622 H dan kemudian diteruskan oleh
generasi pertama pengikutnya.44 Pola perilaku individu dan masyarakat,
serta model hubungan dan lembaga sosial politik, umumnya selalu
disandarkan dan dikaitkan dengan periode yang selalu dianggap sebagai
model ideal bagi Muslim sunni itu. 45 Namun karena sifatnya yang ideal itu
pulalah, model tersebut tidak pernah bisa direplikasi secara utuh setelah
Nabi dan sahabat-sahabatnya meninggal.
Terlebih lagi, tidak ada kesepakatan di antara ummat Islam mengenai apa
yang dimaksud dengan model Madinah itu dan bagaimana model itu
diaplikasikan dalam konteks hari ini. Bagi mayoritas muslim sunni, masa
Nabi dan Khulafa al-Rasyidun (sampai terbunuhnya Ali pada tahun 660 M),
merepresentasikan model ideal teori undang-undang dasar Islam yang
paling otoritatif.46 Sementara itu, kalangan Islam syi’ah memiliki model
ideal mereka sendiri yaitu imam-Imam Maksum sejak masa pemerintahan
Ali. Jumlah imam-imam maksum ini tergantung pada sekte-sekte tertentu
dalam syi’ah (apakah Ja’fari, Isma’ili, Zaydi dan lain sebagainya).47 Dengan
demikian, baik sunni maupun syi’ah menganggap model yang tumbuh
pada masa tersebut sebagai model yang paling ideal dan mencela
44 Lihat secara umum Kemal Faruki, The Evolution of Islamic Constitutional Theory and Practice from 610 to 1926 (Karachi, Pakistan: National Publication House, 1971).45 Lihat Asad, State and Government in Islam, hlm. 24-29; Maimul Ahsan Khan, Human Rights in the Muslim World (Durham, North Carolina: Carolina Academic Press, 2003), hlm. 143-240.46 Lihat al-Nabhani, the Islamic State; lihat juga Asad, State and Government in Islam, hlm. 24-29; A. Rahman I. Doi, Non-Muslims Under the Shri’ah (Islamic Law), (Lahore, Pakistan: Kazi Publication, 1981), hlm. 12247 Lihat sebagai contoh Said Amir Arjomand, The Shadow of God and the Hidden Imam (Chicago: University of Chicago Press, 1984; and Farhad Daftary, The Isma’ilis: Their History and Doctrines (Cambridge: Cambridge University Press, 1990).
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
generasi sesudahnya. Bahkan seringkali model ini mendapatkan justifikasi
untuk dipaksakan karena terjadinya situasi-situasi tertentu seperti
kekacauan internal atau invasi luar. Seperti yang sudah diungkapkan
Anderson, “nampaknya lip-service lebih suka digunakan untuk mendukung
syari’ah sebagai otoritas hukum yang paling fundamental dan untuk
menggunakan konsep “darurah” guna menerapkannya dalam praktik,
daripada membuat usaha real untuk mengadaptasikan hukum Islam
tersebut pada situasi dan kebutuhan kebutuhan saat ini”. 48
Karena itulah, saya mencoba untuk mempromosikan pemahaman syari’ah
sebagai sesuatu yang dapat terus dipraktikkan oleh Muslim, daripada
terus menerus memelihara harapan-harapan yang tidak realistis yang
menghargai syariah hanya sebatas teori, bukan praktik. Dengan demikian,
masalahnya adalah bagaimana menerjemahkan esensi keadilan dan
implikasi praksis model historis tersebut, bukan berusaha mengulangnya
dalam keadaan yang sangat berbeda ini. Contohnya, ajaran tentang syura.
Ajaran ini tidak mengikat dan tidak pernah pula dipraktikkan dengan cara
yang sistematik dan inklusif.49 Qs. 3: 159 menginstruksikan nabi untuk
bermusyawarah (syawirhum) dengan pengikutnya, tapi jika ia telah
menemukan jawabannya sendiri, ayat tersebut mengatakan bahwa ia
harus melaksanakan keputusannya itu. Ayat lain yang sering dikutip
berkaitan dengan syura adalah Qs 42: 38 yang menggambarkan orang-
orang mu’min sebagai sebuah komunitas yang memutuskan masalah
dengan musyawarah. Tapi ayat ini tidak menjelaskan bagaimana
musyawarah itu dipraktikkan dan apa yang harus dilakukan bila terjadi
48 Norman Anderson, Law Reform in the Muslim World (London: Athlone Press 1976), hlm. 36.49 Tapi lihat Asad, State and Governmnet in Islam, hlm. 54-55
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
ketidaksepakatan.50 Istilah syura dalam konteks ini, lebih banyak
mengindikasikan keharusan untuk mendengarkan pendapat tanpa harus
terikat olehnya. Seperti yang saya tunjukkan pada bab II, praktik Nabi dan
para sahabat nampaknya membuktikan pemahaman ini. Praktik syura
yang seperti ini kemudian menjadi norma yang berlaku dalam
pemerintahan dinasti Umayah, Abbasiyah dan negara-negara yang
tumbuh dalam masyarakat Islam pra modern.
Namun demikian, dengan pemahaman syura yang seperti ini tidak berarti
bahwa konsep tersebut tidak bisa dipakai sebagai dasar prinsip-prinsip
undang-undang dasar yang terlembagakan dan melibatkan seluruh
penduduk. Justru inilah bentuk evolusi dan pengembangan prinsip-prinsip
Islam yang saya ajukan. Namun segalanya harus kita mulai dengan
pemahaman yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan syura dan
bagaimana ia pernah dipraktikkan. Menganggap syura sebagai sebuah
prinsip yang sudah difahami dan dipraktikkan sebagai “pemerintahan
yang berdasarkan undang-undang” dalam konteks modern, justru akan
menjadi kontra-produktif, karena syura hanya akan digunakan untuk
membenarkan praktik-praktik inkonstitusional. Lagipula, klaim tersebut
masih dipertanyakan karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa
syura pernah diimplementasikan dalam bentuk lembaga politik yang bisa
mengelola pertikaian politik dan peralihan kekuasaan secara damai dan
baik sepanjang sejarah Islam. Ini tentu saja berlaku dimanapun, karena
konsep dan lembaga-lembaga tersebut berkembang secara gradual dan
tak pasti selama kurang lebih 2 abad. Namun ini tidak dimaksudkan untuk
menjustifikasi pemahaman sejarah yang keliru bahwa muslim sudah
50 Noel J. Coulson, “The State and the Individual in Islamic Law”, International and Comparative Law Quarterly 1957, hlm. 49-60, pada hlm. 55-56.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
mengetahui dan mempraktikkan prinsip-prinsip pemerintahan
konstitusional seperti itu.
Pendekatan yang sama juga harus diterapkan untuk mengembangkan
interpretasi syari’ah tradisional mengenai kesetaraan perempuan dan
non-muslim serta kebebasan beragama. Fakta bahwa pembatasan itu
memang terjadi pada beberapa masyarakat di masa lalu, tidak bisa
menjustifikasi penerapannya secara terus menerus oleh masyarakat
muslim sekarang. Malah, kita harus mengerti terlebih dahulu alasan
justifikasi praktik-praktik tersebut itu dalam berbagai budaya lokal
masyarakat Islam masa lalu, dan bagaimana praktik-praktik itu
dilegitimasi sebagai interpretasi otoritatif syari’ah. Baru kemudian, kita
mencari interpretasi alternatif yang lebih konsisten dengan budaya yang
berkembang dan konteks masyarakat Islam sekarang.
Perlu saya tekankan disini bahwa aturan umum syari’ah menjamin
kebebasan ummat Islam untuk melakukan dan meninggalkan syari’ah
kecuali bila bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Secara teoritis,
tidak ada pembatasan hak-hak konstitusional dalam syari’ah, kecuali
dalam keadaan tertentu. Tapi dalam praktiknya, aturan ini menjadi
sangat kompleks karena syari’ah difahami berbeda oleh beragam mazhab
dan para fuqaha berbeda pendapat hampir dalam semua masalah.51
Akibatnya, ummat Islam seringkali merasa tidak yakin, apakah, menurut
syari’ah, mereka memiliki hak untuk melakukan dan meninggalkan
kewajiban atau tidak. Buruknya, ketidakjelasan ini sering membuka
kemungkinan bagi terjadinya manipulasi oleh para pemimpin atau elite 51 Lihat secara umum, Wael B. Hallaq, “Can Shari’ah Be Restored,” Islamic Law and the Challenges of Modernity, eds. Yvonne Yazbeck Haddad and Barbara Freyer Stowasser (Walnut Creek, California: AltaMira Press, 2004), hlm. 26-36.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
keagamaan. Selain itu, ketidakjelasan ini juga memiliki konsekuensi serius
terhadap hak-hak konstitusional ummat Islam seperti aturan mengenai
pakaian perempuan (jilbab) dan aturan pemisahan laki-laki dan
perempuan yang bisa mengganggu kebebasan personal dan kemampuan
partisipasi mereka dalam kehidupan publik.
Apapun pandangan orang tentang masalah ini, ternyata aturan mengenai
hak-hak konstitusional perempuan dan non-muslim yang harus tunduk
pada batasan-batasan tertentu, tidak pernah diperdebatkan. Misalnya, Qs.
4: 34 yang sering digunakan untuk menekankan prinsip otoritas laki-laki
sebagai qawwam atas perempuan dan dengan demikian, menolak hak
perempuan untuk memegang jabatan pubik apapun.52 Meskipun para
fuqaha berbeda pendapat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
prinsip ini, tapi tidak ada seorang pun dari mereka yang memberikan
posisi setara kepada perempuan. Bahkan, prinsip ini kemudian diterapkan
untuk menginterpretasi ayat lain dan bahkan diperkuat oleh berbagai ayat
yang jelas-jelas memberikan hak yang tidak sama kepada perempuan
dalam pernikahan, perceraian, warisan, dan lain-lain.53 Prinsip ini juga
diterapkan pada ayat-ayat seperti QS. 24: 31, Qs. 33: 33, 53, 59 untuk
membatasi hak perempuan berbicara dalam ruang publik atau untuk
berkumpul dengan laki-laki. Akhirnya, kemampuan perempuan untuk
berpartisipasi dalam pemerintahan negaranya pun dibatasi.54 Dengan
demikian, meskipun perempuan muslim memiliki kebebasan yang sama 52 Ausaf Ali, “Role of Muslim Women Today,” Modern Muslim Thought, Vol. 1, hlm. 226-227; “The Development and Integration of Muslim Women as a Human Resource in the Islamic Economy in the Modern World,” Modern Muslim Thought, Vol. 1, hlm. 256-263.53 Lihat sebagai contoh Abul A’la al-Maududi, Purdah and the Status of Women in Islam, diterjemahkan dan diedit oleh al-‘Ash’ari (Lahore, Pakistan: Islamic Publication Ltd., 1979), hlm. 141-15854 Fatima Mernissi, Women in Islam: an Historical and Theological Enquiry, Mary Jo Lackland (pen.), (Oxford, England: Basil Blackwell Ltd., 1991), hlm. 49-81; Maududi, Purdah and the Status of Woman, hlm. 152-153.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
dengan laki-laki dalam beragama dan mengungkapkan pendapat,
kesempatan mereka untuk mendapatkan hak ini sangat dibatasi oleh
larangan untuk mengakses ruang publik.
Kombinasi ayat-ayat umum dan khusus semacam tadi juga digunakan
untuk membatasi hak-hak non-muslim baik ahlul kitab maupun orang-
orang kafir.55 Saya akan menjelaskan hal ini secara lebih luas dalam
bagian mengenai “kewarganegaraan”. Sekarang saya hanya ingin
menekankan bahwa meskipun terdapat banyak perbedaan teoritis di
kalangan sarjana muslim dan terdapat pula beragam variasi antara teori
dan praktik, namun dalam khazanah interperetasi syariah tradisional,
prinsip bahwa non-muslim tidak setara dengan muslim tidak pernah
menjadi bagian dalam perdebatan tersebut. Interpretasi alternatif sangat
mungkin dimunculkan, namun bukan dengan mengklaim bahwa
pembatasan semacam itu bukan bagian dari syari’ah yang pernah
diinterpretasikan oleh muslim di masa lalu.
Justifikasi sosiologis maupun poilitik apapun yang diajukan untuk
menguatkan aspek-aspek syariah tersebut, aspek-aspek tersebut tidak
lagi valid untuk konteks masyarakat islam modern. Larangan diskriminasi
berdasarkan jenis kelamin atau agama telah ada dalam undang-undang
dasar negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Negara-negara tersebut juga mengakui kovenan hak asasi manusia
internasional yang menyaratkan adanya kesetaraan dan ketiadaan
diskriminasi. Benar bahwa pemerintahan negara-negara tersebut jarang
yang sudah melaksanakan semua aturan yang tertera dalam undang-
55 Sebagai contoh lihat artikel “Dhimma” dalam Shorther Encyclopedia of Islam, (Leiden: EJ Brill, 1991), hlm. 76
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
undang dasar mereka, tetapi problem ini dimiliki oleh hampir semua
negara. Sambil menekankan perlunya memahami dan meniadakan sebab-
sebab masalah ini, menurut saya penting bagi seluruh muslim untuk
mengungkapkan komitmen mereka pada nilai-nilai konstitusionalisme, hak
asasi manusia dan kewarganegaraan.56 Namun itu saja tidak cukup, kita
harus maju satu langkah lagi menuju apa yang saya sebut sebagai
reformasi Islami. Gerakan ini bertujuan untuk mendorong dan mendukung
usaha-usaha untuk memberikan hak yang sama bagi perempuan dan non-
muslim dari sudut pandang syari’ah dan bukan sekedar untuk
kepentingan-kepentingan politik sesaat. Gerakan ini juga akan
memberikan kontribusi bagi proses legitimasi nilai-nilai partisipasi politik,
akuntabilitas dan kesetaraan di hadapan hukum. Pada akhirnya gerakan
ini diharapkan dapat meningkatkan prospek konstitusionalisme dalam
masyarakat Islam.
Dalam menerapkan konsep undang-undang dasar dan kelembagaan yang
telah berkembang selama 2 abad untuk menganalisa pengalaman
masyarakat islam di masa lalu, saya akan menekankan bahwa
perkembangan konsep-konsep dan lembaga-lembaga tersebut tidak
membuat mereka menjadi tidak islami. Sebaliknya harus disadari bahwa
perubahan drastis yang terjadi pada masyarakat Islam dalam konteks
lokal dan global, menyebabkan model-model yang pernah berlaku di masa
lalu tidak akan mampu untuk diterapkan secara langsung begitu saja.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana menerjemahkan konsep-
konsep ideal syari’ah menjadi model pemerintahan yang bisa berfungsi
56 Lihat Brems, Human Rights, hlm. 194-206; contoh diskursus muslim mengenai hal tersebut lihat juga, Khan, Human Rights in the Muslim World; Ausaf Ali, Modern Muslim Thought; Islamic Law and the Challenges of Modernity, eds. Yvonne Yazbeck Haddad and Barbara Freyer Stowassesr; Asad, State and Government in Islam.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
dengan baik saat ini, daripada sekedar menekankan bahwa ini adalah
aplikasi modern yang diinspirasi oleh formulasi lama. Untuk menghindari
kebingungan, saya ingin menekankan bahwa meskipun norma sosial dan
moral masyarakat Madinah masih merupakan model ideal yang harus
dicapai oleh seluruh muslim, struktur dan cara kerja model negara yang
terjadi di masa itu tidak mungkin diterapkan dalam konteks masyarakat
muslim saat ini. Daripada terus menerus berapologi dengan argumen
negara Madinah tanpa tahu cara menerapkannya, adalah lebih baik baik
muslim untuk menerapkan kembali nilai-nilai ideal dan semangat
lembaga-lembaga sosial dan politik negara madinah dalam sistem
pemerintahan, adminsitrasi peradilan dan relasi internasional yang lebih
bisa berfungsi untuk konteks sekarang ini. Prinsip-prinsip
konstitusionalisme, hak asasi manusia dan kewarganegaraan menurut
saya justru menjadi alat yang lebih cocok untuk menjembatani
ketegangan hubungan antara islam, negara dan masyarakat dalam
masyarakat muslim saat ini, daripada terus secara tidak realistis
menganut model dulu yang sudah tidak lagi berfungsi.
Konsep baiah57 contohnya. Saat ini konsep itu harus dilihat sebagai dasar
yang otoritatif bagi perjanjian yang saling menguntungkan antara
pemerintah dan rakyat secara keseluruhan, dimana pemerintah harus
bertanggung jawab untuk melindungi hak-hak warga negara sebagai
imbalan atas penerimaan pihak kedua atas kekuasaan pihak pertama dan
kepatuhan pihak kedua terhadap aturan dan kebijakan yang dibuat oleh
pihak pertama. Tapi sebetulnya, teori undang-undang dasar modern
manapun, baik yang berdasarkan prinsip-prinsip islam atau tidak, harus 57 Bay’a berarti proses ratifikasi Imam atau khalifah pada periode awal masyarakat muslim. Ann K.S. Lambton, State and Government in Medieval Islam (Oxford, England: Oxford University Press, 1985), hlm. 18; Asad, State and Government in Islam, hlm. 69-70; al-Nabhani, The Islamic State, hlm. 278.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
mengembangkan sebuah mekanisme dan lembaga yang layak bagi
terselenggaranya pemilihan, akuntabilitas pemerintahan, dan
perlindungan hak-hak dasar warga negara seperti kebebasan untuk
berekspresi dan berorganisasi, seperti yang tertera dalam konsep baiah
yang kita fahami sekarang. Konsep ini bisa dilaksanakan melalui
pengembangan konsep sura menjadi prinsip yang mengikat pemerintah
daripada sekedar konsultasi sukarela. Hak asasi manusia dan konsep
“kewarganegaraan yang setara” sangat dibutuhkan bukan hanya untuk
mengembangkan konsep sura modern ini, tapi juga untuk
mengimplementasikan teori undang-undang dasar yang tepat dan inklusif
bagi laki-laki dan perempuan, muslim dan non-muslim sebagai warga
negara yang memiliki hak yang sama di hadapan negara.
Untuk menyimpulkan diskusi kita tentang konstitusionalisme dari
perspektif Islam, saya akan mengulang kembali apa yang saya tekankan
mengenai pentingnya peran umat muslim dalam melakukan proses
mendamaikan ketegangan yang timbul dari konsep netralitas negara
terhadap agama di satu pihak sambil menyadari peran positif Islam dalam
mempengaruhi kebijakan publik dan undang-undang di pihak lain. Proses-
proses tersebut haruslah dilakukan secara kontekstual dan hanya bisa
difahami dalam konteks pengalaman masing-masing masyarakat. Saya
sebetulnya menghargai kebutuhan sederhana akan (dan mungkin agak
menyederhanakan) solusi kategoris, apakah dalam bentuk sebuh negara
Islam yang berusaha menerapkan syariah atau dalam bentuk pemisahan
ketat antara negara dan Islam, dengan asumsi bahwa pemisahan ini akan
menetralisasi penagruh problematis islam atas negara. Tetapi, saya
percaya bahwa masalah ini harus dilihat dari kerangka upaya negosiasi
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
dan mediasi, daripada fusi atau separasi. Lagipula, sekali kita menyatakan
bahwa hubungan antara Islam, masyarakat dan negara tergantung pada
konteks politik dan sosial sebuah masyarakat, maka kita menyadari
bahwa hubungan tersebut pasti dinamis, berkembang dan bisa dirubah
serta ditransformasikan, bukan terus dipelihara secara rigid dan
permanen dalam satu bentuk.
III. Islam dan Hak Asasi Manusia
Sebagaimana yang sudah saya tekankan di beberapa bagian dalam buku
ini, berbicara mengenai Islam adalah betul-betul mengenai bagaimana
muslim memahami dan mempraktikkan agama mereka, bukan sebagai
agama dalam arti yang sangat abstrak. Lagipula, diskusi mengenai
hubungan antara agama dan hak asasi manusia bukan berarti bahwa
Islam, atau agama lain, bagi pemeluknya hanya satu-satunya hal yang
bisa menjelaskan sikap dan perilaku mereka. Muslim bisa menerima atau
menolak ide mengenai hak asasi manusia atau salah satu norma yang
terdapat di dalamnya tidak karena pemahaman ortodoks mereka terhadap
agama. bahkan, beragamnya tingkat penerimaan atau kepatuhan mereka
terhadap norma-norma hak asasi manusia lebih mungkin terkait dengan
kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Islam saat ini,
daripada dengan Islam itu sendiri. Dengan demikian, apapun peran Islam,
ia tidak dapat difahami secara terpisah dari faktor-faktor lain yang
mempengaruhi bagaimana muslim menginterpretasi dan berusaha untuk
mematuhi tradisi mereka sendiri. Karenanya menjadi salah, bila kita
berusaha memprediksi atau menjelaskan tingkat kepatuhan ummat Islam
terhadap nilai-nilai hak asasi manusia sebagai sebuah konsekuensi teoritis
hubungan antara Islam dan hak asasi manusia. Tetapi, menghubungkan
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Islam dan Hak Asasi Manusia tetap merupakan hal penting bagi mayoritas
ummat Islam agar motivasi mereka untuk berpegang pada norma-norma
hak asasi manusia tidak hilang begitu saja hanya karena mereka
memahami norma-norma tersebut sebagai sesuatu yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai Islam. Karena jika mereka percaya bahwa hak-hak
tersebut sesuai dengan sistem kepercayaan mereka, komitmen dan
motivasi mereka untuk melindungi hak-hak tersebut akan bertambah.
Hal kedua yang penting saya tekankan disini adalah bahwa prinsip-prinsip
syari’ah pada dasarnya sesuai dengan hampir seluruh norma-norma hak
asasi manusia, kecuali pada beberapa point yang berkaitan dengan hak-
hak perempuan dan non-muslim seperti yang akan saya diskusikan nanti.
Point lain yang juga cukup serius dan akan kita diskusikan juga adalah
yang berkaitan dengan kebebasan beragama. Meskipun saya
menganggap masalah-masalah tersebut sangat serius dan berusaha untuk
menyelesaikannya melalui reformasi islami, saya lebih suka mengajukan
sebuah proses mediasi daripada konfrontasi. Jika saya, sebagai muslim,
diminta untuk memilih salah satu antara Islam dan hak asasi manusia,
saya pasti akan memilih Islam. Daripada harus menghadapkan pilihan
sulit ini kepada ummat Islam, saya kira lebih baik kita sebagai muslim
mulai mempertimbangkan untuk mentransformasikan pemahaman kita
terhadap syari’ah dalam konteks masyarakat muslim saat ini. Saya
percaya bahwa pendekatan ini bisa digunakan sebagai prinsip, sekaligus
solusi pragmatis.
Dengan demikian, menurut saya, masalah ini lebih baik difahami dengan
menggunakan dua kerangka yaitu inherennya keterlibatan manusia dalam
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
pemahaman dan praktik Islam, di satu pihak, dan universalitas hak asasi
manusia di pihak lain. Pendekatan ini lebih realistis dan konstruktif,
daripada sekedar mengungkapkan kecocokan atau ketidakcocokkan Islam
dan hak asasi manusia dan mengambil keduanya dalam pemahaman yang
absolut dan statis. Ketika kita menguji dinamika dan perkembangan
hubungan Islam dan hak asasi manusia, kita akan menemukan bahwa
Islam sebenarnya sangat mendukung hak asasi manusia.58
Universalitas Hak Asasi Manusia
Ide revolusioner hak asasi manusia tetap merupakan tantangan ummat
manusia hari ini, seperti pertama kali diproklamirkan pada tahun 1948. Ide
ini sangat penting bagi ummat manusia, dan dengan demikian harus
diakui, agar kita bisa mengklaim hak kita atas hak-hak tersebut. Untuk
merealisasikan tujuan-tujuan saya dalam buku ini, Muslim tidak harus
mengabaikan agamanya hanya untuk mengakui hak-hak manusia tetapi
mereka juga tidak boleh mendiskriminasi orang lain berdasarkan jenis
kelamin, ras, kebangsaan, maupun agama. Karena untuk bisa
menjustifikasi secara moral dan menyadari klaim hak asasi manusia kita
tanpa melakukan diskriminasi kepada orang lain, ummat Islam harus
menyadari bahwa yang lain pun memiliki hak sama dengan kita. Hal yang
sama berlaku bagi seluruh ummat manusia, dan bukan hanya bagi
muslim. Namun dalam kesempatan saya akan memposisikan diri sebagai
muslim yang berusaha mempromosikan pentingnya hak asasi manusia di
kalangan muslim sendiri.
58 Ini premis yang saya bangun dalam buku saya, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law (Syracuse University Press, 1990); dan didiskusikan secara lebih luas dalam berbagai buku saya edit seperti Human Rights in Cross-Cultural Perspectives: Quest for Consensus (University of Pennsylvania Press, 1992); The Cultural Dimensions of Human Rights in the Arab World (Arabic) (Cairo, Egypt: Ibn Khaldoun Center, 1993); and Human Rights Under African Constitutions: Realizing the Promise for Ourselves (University of Pennsylvania Press, 2003).
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Deklarasi hak asasi manusia telah berusaha tidak menggunakan agama
apapun untuk menjustifikasi ide-ide dasarnya agar ia bisa menemukan
dasar yang sama bagi mereka yang beragama maupun tidak. Tapi ini
tidak berarti bahwa hak asasi manusa hanya bisa didasarkan pada
justifikasi sekuler, karena cara seperti itu tidak bisa menjawab persoalan
bagaimana melegitimasi dan mengesahkan hak asasi manusia
berdasarkan perspektif yang sangat beragam di dunia ini. Logika yang
dibangun dalam deklarasi itu justru memberikan kesempatan kepada para
penganut agama atau kepercayaan tertentu untuk membangun komitmen
mereka pada deklarasi itu, dengan menggunakan norma yang terdapat
dalam kepercayaan atau agama yang mereka yakini. Begitupula dengan
mereka yang membangun komitmennya atas dasar filfasat sekuler yang
mereka pelajari. Semua orang berhak mendapatkan pengakuan hak asasi
yang sama dari orang lain, tapi tidak dapat menentukan alasan yang
digunakan orang lain untuk memberikan pengakuan tersebut.
Ide hak asasi manusia muncul setelah Perang Dunia II sebagai sebuah
usaha untuk mendapatkan perlindungan hak-hak dasar di tengah berbagai
kemungkinan dalam pentas politik nasional. Pandangan tersebut dibangun
diatas kesadaran bahwa hak-hak tersebut amat fundamental hingga harus
dilindungi dengan konsensus dan kerjasama internasional agar
keberadaannya diakui oleh undang-undang dasar dan sistem hukum
nasional.59 Dengan kata lain, tujuan membuat kewajiban hukum
internasional untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia baik
melalui prinsip-prinsip hukum adat atau perjanjian adalah untuk
59 Eva Brems, Human rights: Universality and Diversity (the Hague, The Netherlands: Kluwer Law International, 2001), hlm. 5-7
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
melengkapi pemenuhan hak-hak tersebut dalam konteks sistem domestik
dan untuk mempromosikan implementasi praksisnya.
Tujuan utama hak asasi manusia adalah untuk meyakinkan perlindungan
yang efektif terhadap beberapa hal penting yang merupakan hak semua
manusia dimanapun mereka berada, termasuk di negara yang tidak
menjamin keberadaan hak itu dalam undang-undang dasar mereka. Ini
tidak berarti bahwa deklarasi hak asasi manusia berbeda atau lebih tinggi
kedudukannya daripada hak-hak yang terdapat dalam undang-undang
dasar. Malah, perhormatan dan perlindungan hak asasi manusia yang
terdapat dalam DUHAM dilakukan melalui pencantumannya dalam
undang-undang dasar, anggaran dasar dan rumah tangga lembaga
Negara. Tujuan Gagasan DUHAM, sebagaimana tujuan Undang-Undang
Dasar, adalah untuk melindungi hak-hak tersebut dari ketidakjelasan
proses-proses politik dan administratif. Dengan kata lain, hak asasi
manusia dalam DUHAM, seperti halnya hak yang terdapat dalam undang-
undang dasar, harus tunduk pada kehendak mayoritas, meskipun bukan
sekedar pilihan mayoritas. Namun bukan berarti hak-hak tersebut absolut,
karena banyak di antaranya yang layak dipilih karena berbagai alasan dan
beberapa lainnya bisa ditunda karena alasan darurat. Gagasan DUHAM
dengan demikian adalah agar hak asasi manusia, sebagaimana hak-hak
yang tercantum dalam undang-undang dasar, tidak mudah dilanggar
kecuali dalam kondisi dan keadaan tertentu.60
Dengan mempertimbangkan ketegangan yang terjadi antara gagasan dan
prinsip HAM dengan kedaulatan nasional, mengakui HAM sebagai produk
60 Brems, Human Rights, hlm. 305
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
kesepakatan internasional adalah merupakan hal yang sangat penting.
Tantangan yang dihadapi HAM dari prinsip kedaulatan nasional tidak akan
dapat bisa diselesaikan tanpa adanya kerjasama internasional untuk
melindungi HAM.61 Klaim komunitas internasional untuk berfungsi sebagai
arbitrer, yang dapat melakukan tindakan untuk melindungi standar
minimum HAM, tidak akan dianggap layak tanpa komitmen anggotanya
untuk mendorong dan memberikan dukungan kepada yang lain dalam
melakukan proses ini. Peran sebagai arbitrer tersebut lebih mungkin
diterima oleh sebuah negara, jika dilakukan sebagai usaha bersama
seluruh negara-negara lain, daripada jika hanya lahir dari kebijakan luar
negeri satu atau sekelompok negara tertentu. Perlindungan HAM yang
berkesinambungan tidak akan terrealisasikan melalui intervensi militer
atau pemaksaan dari pihak luar, karena cara-cara seperti itu hanya dapat
berlaku efektif dalam waktu yang temporer dan tidak menentu. Dengan
kata lain, praktik perlindungan HAM hanya dapat dilakukan melalui peran
negara, yang sebetulnya menjadi aktor yang sangat potensial untuk
melanggar hak-hak tersebut.
Hemat saya, DUHAM bisa menjadi instrumen yang kuat untuk melindungi
kemuliaan manusia dan untuk meningkatkan kesejahteraan setiap orang
dimanapun mereka berada berkat universalitas kekuatan moral dan politik
yang dimilikinya. Bahwa DUHAM menyediakan standar yang sama yang
harus dicapai oleh seluruh manusia dan negara seperti yang tercantum
dalam pembukaan DUHAM, berarti bahwa setiap kekuasaan hukum dan
undang-undang di sebuah negara harus berusaha keras melindungi hak-
hak tersebut. Prinsip hukum adat dan perjanjian internasional juga
61 Brems, Human Rights, hlm. 5-6, 309
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
mencantumkan hak-hak dasar seperti kebebasan untuk berekspresi dan
prosedur perlindungannya seperti penyelengaraan peradilan yang adil.
Implementasi dan perlindungan HAM dengan demikian juga menyaratkan
adanya standar kelembagaan dan struktural bagi aparatur negara62.
Bagaimana standar-standar tersebut beroperasi seperti melalui
pemisahan kekuasaan dan independesi kehakiman sudah diungkapkan
dalam bagian yang lalu sebagai bagian dari konsep konstitusionalisme.
Namun, pengakuan DUHAM sebagai norma hak asasi manusia universal
lebih merupakan hasil proses konsensus global daripada sekedar sebuah
hasil pemaksaan. Karena setiap masyarakat berpegang pada sistem
normatif yang membentuk konteks dan pengalamannya, maka sebuah
konsep universal tidak bisa begitu saja diproklamirkan dan diterapkan
sama rata. Dengan kata lain, manusia baik laki-laki atau perempuan, kaya
atau miskin, Afrika atau eropa, beragama maupun tidak, sama-sama
mengetahui dan menjalani kehidupan di dunia sebagai dirinya sendiri.
Dimanapun kita berada, kesadaran, nilai dan perilaku kita sebagai
manusia dibentuk oleh tradisi agama dan kultural kita. Pertanyaannya
dengan demikian adalah bagaimana mendapatkan, meningkatkan dan
menjaga keberlangsungan konsensus terhadap norma HAM universal
dalam konteks seperti ini? Apa karakter dan implikasi perbedaan relasi
kuasa antara sejumlah partisipan dan budayanya dalam proses
pembentukan konsensus itu?
Ide mengenai universalitas hak asasi manusia sebagai produk
pembentukan konsensus tidak boleh menjadi alat untuk mempertahankan
62 Asbjørn Eide, “Economic and Social Rights,” in Human Rights: Concepts and Standards, ed. Janusz Symonides (Burlington, Vermont: Ashgate Publishing Company, 2000), hlm. 124-128.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
atau menjustifikasi klaim sejumlah pemerintahan atau pemimpin negara
bahwa rakyatnya dibebaskan atau dimaklumi untuk tidak melaksanakan
standar-standar tersebut. Nyatanya, klaim-klaim tersebut memang
dilontarkan oleh sejumlah elit penguasa, karena mereka mempersepsi hak
asasi manusia sebagai “produk barat” dan, dengan demikian, merupakan
hal yang asing bagi masyarakat Asia dan Afrika secara umum.63 Dalam
kesempatan ini, saya ingin menolak klaim seperti itu dengan menekankan
bahwa semua masyarakat sedang berusaha untuk mencapai dan
mempertahankan komitmen yang genuine terhadap universalitas HAM
dan prinsip penegakan keteraturan hukum dalam hubungan internasional.
Secara khusus, saya menolak gagasan bahwa satu-satunya model yang
valid untuk universalitas has asasi manusia harus dirumuskan oleh
masyarakat Barat atau oleh kelompok masyarakat manapun dan untuk
diikuti jika ingin dianggap sebagai manusia beradab. Jika memang hak
asasi manusia adalah universal sebagai hak yang harus dimiliki oleh setiap
manusia di manapun mereka berada, maka hak asasi manusia harus
integral dengan budaya dan pengalaman semua masyarakat dan bukan
hanya integral dengan masyarakat Barat yang mencangkokkan nilai-nilai
tersebut pada kelompok masyarakat lain. Untuk mendukung preposisi ini,
saya akan menekankan dua hal.
Pertama, jelas bahwa formulasi standar HAM internasional sangat
merefleksikan pengalaman dan filsafat politik barat. Bahkan banyak
artikel dalam DUHAM yang jelas-jelas menyalin bahasa The Bill of Rights-
nya Amerika.64 Namun bukan berarti bahwa norma-norma hak asasi
63 Sebagai contoh lihat, Joanne Bauer and Daniel Bell (eds.), Human Rights in East Asia, (New York: Cambridge University Press, 1999).64 Lihat Brems, Human Rights, hlm. 17
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
manusia dalam DUHAM merupakan hal yang asing dan tidak sesuai
dengan masyarakat Afrika atau Asia yang juga membutuhkan
perlindungan Hak asasi manusia dalam konteks masyarakatnya.
Sebagaimana yang sudah saya ungkapkan di muka, formulasi standar
HAM yang didasarkan pada model wilayah negara dan hubungan
internasional Barat itu, sekarang merupakan bagian dari realitas yang
dihadapi oleh masyarakat muslim dimanapun. Karena sekarang muslim
harus bersentuhan dengan lembaga-lembaga Barat tersebut, mereka
harus bisa mengambil manfaat dari jaring perlindungan yang sudah
dikembangkan oleh masyarakat Barat untuk melindungi hak-hak individu
dan masyarakatnya sendiri.65 Sebaliknya, jika ada masyarakat muslim
yang menolak Hak Asasi Manusia karena ia lahir dari Barat, maka mereka
juga harus menolak negara yang berdasarkan wilayah dan perdagangan,
ekonomi dan hubungan internasional lainnya, karena negara dan
hubungan-hubungan internasional itu juga dibangun dan didasarkan pada
konsep dan istilah Barat. Jika mereka tidak bisa menolak, maka mau tidak
mau mereka harus menerima HAM sebagai cara yang efektif dan penting
untuk meminimalisir pelanggaran HAM dan memperbaiki kerugian yang
mungkin terjadi dalam konsep yang didasarkan pada model barat
tersebut.
Point kedua yang ingin saya tekankan disini juga bahwa aktivis has asasi
manusia dan hukum internasional juga harus mendesakkan DUHAM
sebagai dasar esensial bagi masyarakat yang beradab, bukan malah
meninggalkannya hanya karena kegagalan beberapa pemerintah untuk
menegakkan prinsip-prinsip tersebut. Jika tidak, umat Islam dengan 65 Peter Baehr, Cees Flintermand and Mignon Sender, Pengantar untuk “Innovation and Inspiration: Fifty Years of The Unievrsal Declaration of Human Rights, eds. Baehr, Flintermadn and Senders (Amsterdam. The Netherlands: Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences, 1999), hlm. 2
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
demikian harus mengakui bahwa masyarakat dan pemerintahan Baratlah,
satunya-satunya, pembuat prinsip-prinsip tersebut. Padahal penegakan
prinsip-prinsip tersebut juga tergantung pada kesediaan dan kemampuan
masyarakat muslim sendiri. Prinsip-prinsip hukum internasional dan hak
asasi manusia harus siap ditegakkan dan dipromosikan untuk menghadapi
tantangan apapun yang datang dari sumber manapun karena prinsip-
prinsip tersebut merupakan usaha bersama seluruh ummat manusia
dimanapun mereka berada. Penting juga untuk dicatat bahwa seperti
halnya hasil inisiatif manusia manapun, perlindungan hak asasi manusia
hanya bisa dicapai melalui proses percobaan, proses terhenti dan
memulai, dan juga proses kemunduran dan kemajuan. Seluruh individu
dan masyarakat harus bahu membahu dan bekerja sama agar proses
implementasi dan perlindungan hak-hak ini dapat menjadi usaha yang
benar-benar universal. Ummat Islam, khususnya, justru harus menjadi
partisipan aktif dalam proses ini, bukan sekedar mengeluh karena menjadi
korban kesewenang-wenangan pemerintahannya atau obyek hegemoni
Barat dalam hubungan internasional.
Namun kesulitan menjalankan proses ini sudah muncul sejak akhir era
Perang Dingin karena Negara-Negara yang tergabung dalam Blok Barat
dan Blok Timur bekerjasama untuk mencapai kepentingan sesaat
kebijakan luar negerinya tanpa menghiraukan norma-norma hak asasi
manusia. Contoh sementara bisa ditemukan sepanjang tahun 90an, sejak
dari Somalia hingga Rwanda, Bosnia hingga Chechnya, bahkan Irak di
tahun 2003. tentu saja beberapa kebijakan luar negeri hak asasi manusia
yang lama masih berlaku, karena perubahan fundamental dalam
kebijakan luar negeri tidak mungikn terjadi secara menyeluruh dan terjadi
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
pada satu waktu. Tapi juga jelas bagi saya, bahwa ada penurunan kualitas
yang terus menerus terjadi pada kebijakan lama tersebut, karena
pemerintah yang bersalah menyaksikan dengan seksama seberapa besar
kemungkinan mereka untuk lari dari pertanggung jawaban dan mereka
yang termotivasi untuk memasukkan DUHAM ke dalam kebijaan luar
negerinya juga mempertimbangkan seberapa besar kerugian yang
mereka dapatkan jika mereka melindungi hak asasi manusia rakyatnya.66
Karena gerakan hak asasi manusia berhenti mendesakkan
kepentingannya akibat lemahnya posisi tawar yang mereka miliki dalam
politik nasional dan regional, pemerintah menjadi semakin berani untuk
mencapai kepentingan nasionalnya yang sesaat tanpa
mempertimbangkan norma-norma hak asasi manusia. Penurunan tingkat
urgensi HAM dalam kebijakan luar negeri sebuah negara, juga dilegitimasi
melalui proses-proses demokratis seperti fenomena terpilihnya kembali
George W. Bush dalam Pemilu Amerika kemarin. Padahal, Bush jelas-jelas
tidak begitu konsen dengan HAM dan hukum internasional.
Dengan mengatakan seperti ini, saya tidak bermaksud untuk
mendiskreditkan ide HAM itu sendiri, atau memprediksikan
ketidakberdayaannya dalam menghadapi kondisi domestik dan hubungan
internasional. Saya hanya ingin mengalihkan fokus advokasi HAM kepada
masyarakat agar HAM tidak lagi tergantung pada ketidakjelasan hubungan
antar pemerintahan. Namun juga tidak berarti bahwa peralihan fokus ini
akan menghentikan strategi advokasi HAM internasional, karena strategi
itu juga masih penting untuk melindungi HAM pada saat ini.67 Yang saya 66 Sebagai contoh lihat, David P. Forsythe, “Comparative Foreign Policy and Human Rights: the United States and Other Democracies”, dalam “Innovation and Inspiration: Fifty Years of The Universal Declaration of Human Rights, eds. Baehr, Flinterman and Senders, hlm. 161-16767 Sebagai contoh lihat, Robert F. Drinan, The Mobilization of Shame: a World View of Human Rights, (New Haven, Connecticut: Yale University Press, 2001); dan Claude E. Welch, Jr, (ed.), NGOs and
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
ingin ajukan adalah bagaimana kita mulai mengurangi ketergantungan
pada advokasi internasional untuk melindungi hak asasi manusia, dengan
mulai mengembangkan kapasitas komunitas lokal untuk melindungi hak
mereka sendiri dengan cara yang efektif dan berkelanjutan.68 Peralihan
fokus dari advokasi internasional ke upaya lokal ini tentu tidak bisa
dilakukan dengan mudah dan menyelesaikan kemunduran yang sedang
terjadi, namun ini hanya satu upaya untuk melangkah maju. Dalam
konteks masyarakat muslim, penguatan komunitas lokal ini bisa dilakukan
dengan cara meyakinkan dan memotivasi ummat Islam untuk menerima
dan mengimplementasikan hak asasi manusia. Saya menyadari bahwa
hak sasi manusia bukanlah obat yang manjur dan universal bagi semua
masalah yang muncul dalam masyarakat. Tapi norma dan lembaga-
lembaga hak asasi manusia bisa memberdayakan orang untuk ikut serta
dalam upaya politik dan hukum untuk menegakkan kemanusiaan dan
keadilan sosial.
Islam, Syari’ah dan Kebebasan Beragama
Diskusi mengenai konflik antara syari’ah dan konstitusionalisme dan
kemungkinan memediasi konflik tersebut dengan merujuk pada Islam
secara lebih luas dapat diterapkan juga dalam kasus Hak Asasi Manusia.
Dengan demikian, kita akan mulai dengan mengklarifikasi ketegangan
yang mungkin timbul antara Syariah dan Hak Asasi Manusia kemudian
mengeksplorasi cara-cara untuk menyelesaikan ketegangan tersebut
melalui reformasi Islami. Mengakui adanya konflik dan memahami sifatnya
Human Rights: Promise and Performance, (Philadelphia, Pennsylvania: University of Pennsylvania Press), 2001.68 Penjelasan mengenai usulan saya ini lihat “Introduction: Expanding Legal Protection of Human Rights in African Context”, dalam Abdullahi Ahmed An-Naim, ed., Human Rights under African Constitutions: Realizing the Promise for Ourselves, Philadelphia, PA: University of Pennsylvania Press, hlm. 1-28; dan Abdullahi Ahmed an-Naim, “Human Rights in the Arab World: A Regional Perspective” Human Rights Quarterly, vol 23: 3, 2001 hlm. 701-32
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
sangat penting untuk melakukan proses mediasi dan penyelesaian konflik.
Nah, konflik yang terjadi antara Syari’ah dan Hak Asasi Manusia biasanya
berkisar seputar isu hak perempuan dan non-muslim. Dalam kesempatan
ini saya akan mengungkapkan area konflik yang lain yaitu kebebasan
memeluk agama dan kepercayaan. Pertama-tama saya akan menjelaskan
isu-isu hak asasi manusia dan kemudian mengeksplorasi kemungkinan-
kemungkinan penyelesaian konflik antara syariah dan prinsip kebebasan
beragama dalam hak asasi manusia melalui reformasi Islami. Untuk
menghindari kebingungan, saya nyatakan bahwa saya percaya terhadap
adanya kemungkinan, bahkan keharusan, untuk menginterpretasi ulang
sumber-sumber Islam untuk menegaskan dan melindungi kebebasan
beragama dan memeluk kepercayaan. Disini saya berbicara sebagai
seorang muslim yang menggunakan perspektif Islam, dan bukan sekedar
berbicara sebagai orang yang mengakui kebebasan beragama hanya
karena kebebasan beragama itu merupakan prinsip yang terdapat dalam
DUHAM dan mengikat muslim menurut prinsip hukum internasional.
Ada dua asalan mengapa diskusi mengenai hal ini menjadi penting.
Pertama, konflik antara aturan agama dengan hak kebebasan beragama
tidak hanya terjadi pada Islam tapi juga terjadi dalam tradisi agama dan
ideologi lain. Contohnya, pemahaman tradisional terhadap teks Yahudi
dan Kristen mengharuskan hukuman mati dan konsekuensi-konsekuensi
lain bagi orang-orang yang murtad.69 Pelaksanaan ketentuan agama
dengan menggunakan tindakan-tindakan seperti itu hampir sama dengan
konsep pemberontakan (treason) yang tetap menjadi kejahatan besar
dalam sistem hukum Negara modern saat ini. Larangan murtad dalam 69 Argumen kitab suci untuk hukuman mati bagi pelaku murtad dan penghinaan ada dalam Deuteronomy 13: 6-9 dan Letivicus 24: 16; lihat juga Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 35
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
tradisi syari’ah Islam bukan hanya sekedar bagian dari tradisi keagamaan,
tapi juga terjadi dalam tradisi ideologi sekuler. Ketidaktundukkan
seseorang pada doktrin Marxisme pada masa pemerintahan Uni Soviet
mungkin dihukum lebih berat daripada fenomena murtad dan kejahatan
dalam syari’ah.
Satu hal penting yang juga perlu dicatat adalah bahwa prinsip-prinsip
syari’ah jarang diaplikasikan secara sitematis dan ketat di masa lalu,
bahkan lebih jarang pada masa sekarang. Meskipun demikian, keberadaan
prinsip-prinsip tersebut menimbulkan konflik yang fundamental dengan
ide dasar hak asasi manusia universal dan menjadi sumber pelanggaran
terhadap praktik kebebasan beragama. Dengan demikian, sebagai
seorang muslim, saya merasa perlu untuk menghadapi isu ini untuk
menegakkan integritas moral terhadap kepercayaan yang saya anut
sekaligus menolak praktik pelanggaran hak asasi manusia ini meskipun
hal ini mungkin jarang terjadi pada saat sekarang ini.
Saya akan mendiskusikan konsep murtad dan konsep-konsep yang
berkaitan dengannya dalam syari’ah untuk menjelaskan ketidakcocokkan
prinsip–prinsip tersebut dengan kebebasan beragama dari perspektif
Islam, bahkan tanpa harus merujuk pada norma hak asasi manusia
modern. Penerapan prinsip netralitas Negara terhadap agama secara
tepat akan mampu mengelimininasi kemungkinan konsekuensi negatif
hukum murtad dan konsep lainnya. Namun tidak akan mungkin mampu
untuk mengeliminasi implikasi sosial negatif dari prinsip-prinsip syariah
tradisional tersebut. Aspek tersebut harus diselesaikan melalui langkah-
langkah pendidikan secara terus menerus untuk mempromosikan
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
pluralisme yang genuine dan berkelanjutan. Diskusi berikut ini berlaku
untuk aspek sosial dan hukum dengan memperlihatkan bahwa prinsip-
prinsip syari’ah tersebut tidak dapat dipertahankan lagi secara moral
maupun politis sehingga mereka tidak boleh dilaksanakan oleh negara
maupun diterima oleh masyarakat Islam.
Istilah arab “riddah” biasa diterjemahkan sebagai kemurtadan. Namun
secara bahasa berarti “kembali” dan murtad berarti “orang yang
kembali”.70 Dalam pemahaman syari’ah tradisional, riddah berarti
berpalingnya kembalinya seseorang yang sudah menganut Islam menjadi
kufur karena sengaja atau implikasi tertentu.71 Dengan kata lainm sekali
seseorang memilih menjadi muslim, tak ada alasan baginya untuk
mengubah agamanya. Menurut para fuqaha, riddah dapat terjadi dalam
berbagai bentuk seperti menolak keberadaan tuhan atau sifat-sifat tuhan,
menolak salah satu rasul Tuhan atau menolak status kenabian salah satu
Nabi, menolak salah satu prinsip keagmaan seperti sholat lima waktu atau
berpuasa di bulan ramadlan, menghalakan yang haram atau
mengharamkan yang halal. Status murtad secara tradisional diberikan
kepada muslim yang dianggap sudah beralih dari Islam, baik secara
sengaja atau hanya sekedar ucapan, baik itu diungkapkan sebagai
guyonan, out of stubborness, or out of conviction.72
Keberatan terhadap pendapat bahwa kemurtadan adalah sebuah
kejahatan atau dianggap salah menurut aturan hukum syari’ah sehingga
70 The following review of classical Islamic jurisprudence of apostasy is based on Ibn Rushd, Bidayat al-Mugjtahid, vol. 2, (Cairo: Dar al-Fikr al-Arabic, not dated); and Nu`man Abd al-Razid al-Samar`i, Ahkam al-Murtad fi al-Shari`a al-Islamyia (Beirut: al-Dar al-Arabiya, 1968). In English see Shaikh Abdur Rahman, Punishment of Apostasy in Islam (Lahore, Pakistan: Institute of Islamic Culture, 1972).71 Saeed and Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 36, 4272 Saeed and Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 36-37
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
orang murtad harus mendapatkan hukuman atau konsekuensi-
konsekuensi hukum lain adalah, karena pendapat ini sebetulnya
bertentangan dengan sikap al-Qur’an sendiri. Dalam Qs. 2:217, 4:90, 5:54,
59, Qs.16:108, dan Qs.47:25, al-Qur’an memang mengutuk kemurtadan
namun tidak menyebutkan dengan spesifik konsekuensi-konsekuensi legal
perbuatan ini.73 Malah, al-Qur’an dengan jelas menyebutkan beberapa
situasi yang menyiratkan bahwa orang murtad dapat terus hidup di
tengah-tengah komunitas muslim. Contohnya Qs. 4: 137 yang bisa
diterjemahkan sebagai berikut: “mereka yang beriman, kemudian kufur,
kemudian beriman kembali, dan kemudian kufur kembali, dan terus
berbuat demikian, Allah tidak akan mengampuni dan menunjukkan pada
mereka jalan yang benar.” Jika memang benar al-Qur’an menetapkan
hukuman mati bagi orang yang murtad, orang tersebut tidak akan terus
hidup di tengah komunitas muslim untuk mengulangi kejahatan yang
sama. Namun demikian, para fuqaha mempergunakan hadits untuk
menetapkan hukuman mati bagi orang yang murtad dan konsekuensi-
konsekuensi hukum lainnya seperti terhapusnya hak waris dari dan untuk
orang yang murtad.74
Selain ketidakcocokkan dengan prinsip kebebasan beragama yang
berulang kali ditekankan dalam al-Qur’an, ada dua aspek problematis
yang terdapat dalam konsep murtad dalam tradisi hukum Islam tradisional
yaitu ketidakjelasan dan kelemahan konsepnya dan ketidakjelasan dasar
hukum untuk konsekuensi-konsekuensi hukum yang harus diterima
seorang yang murtad karena ia dianggap melakukan kejahatan besar.
Sumber ketidakjelasan dan kelemahan konsep murtad sebetulnya terkait
73 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 5774 Artikel “Murtad” dalam Shorter Encyclopedia of Islam, hlm. 413-414
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
dengan definisi dan hukumannya serta kedekatan konsepnya dengan
konsep kufr, sabb ar-rasul, zindiq, dan munafiq (nifaq).
Fuqoha empat mazhab sunni mengklasifikasi kemurtadan pada tiga
kategori: keyakinan, perbuatan dan ucapan. 3 kategori ini kemudian
terbagi-bagi lagi kedalam beberapa bagian. Namun masing-masing
kategori tersebut sebetulnya kontroversial. Contohnya kategori pertama
dapat berbentuk keraguan terhadap eksistensi atau keabadian tuhan,
keraguan terhadap pesan-pesan kenabian Muhammad atau Nabi lain, ragu
terhadap qur’an, hari pembalasan, keberadaan surga dan neraka, atau
ragu terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan yang sudah
menjadi konsensus (ijma) di kalangan muslim seperti sifat-sifat tuhan.
Maka, dengan demikian, konsep murtad tidak berlaku pada persoalan
yang tidak menjadi konsensus ummat. Padahal sebetulnya, tidak banyak
konsensus yang terjadi di antara muslim termasuk mereka yang terdapat
dalam daftar para fuqoha atau mazhab mengenai banyak hal. Misalnya
karena ada kesamaan pendapat yang signifikan di kalangan muslim
mengenai sifat-sifat Tuhan75, maka orang yang menolak atau menerima
salah satu sifat tuhan yang ditetapkan atau ditolak oleh seorang ulama,
dapat disebut murtad. Padahal, para ulama tidak membedakan konsep-
konsep tersebut dan cenderung menggunakan kategori yang luas
mengenai konsep murtad sehingga bisa mencakup seluruh aspeknya.76
Cara seperti ini justru membuat istilah murtad menjadi sangat luas dan
samar, serta mengacaukan dasar hukum kejahatan dan hukumannya.
Saya akan memberikan ilustrasi singkat mengenai hal ini.
75 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 37 (catatan kaki no. 13), hlm. 189 76 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 37
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Karena murtad berarti kembali tidak mempercayai Islam setelah secara
rela pernah memeluknya, berari murtad berkaitan erat dengan konsep
kufur (kufr) yang berati penolakan terbuka terhadap pesan-pesan Islam.77
Meskipun berkali-kali menyebutkan istilah kufr dan iman, al-Qur’an tidak
memberikan arahan yang jelas mengenai makna kedua istilah tersebut
kecuali berkaitan dengan pengakuan keimanan dengan bersaksi tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai utusan Allah. Al-Qur’an
misalnya berulang kali menghubungkan konsep iman dengan mendirikan
shalat, mengerjakan puasa atau beramal saleh, tapi tidak pernah
mengungkapkan apa yang harus dilakukan pada mereka yang gagal
mematuhi kewajiban tersebut kecuali hukuman pada hari kemudian.
Al-Qur’an juga tidak dengan jelas menyatakan konsekuensi-konsekuensi
yang akan didapatkan jika ummatnya mempertanyakan pengakuan iman
itu sendiri. Contohnya, apakah makna menyatakan “tiada Tuhan selain
Allah”? apa yang orang beriman ketahui dan harus mereka ketahui
tentang Tuhan? Apa konsekuensi langsung dari beriman kepada Allah
pada kehidupan personal dan perilaku muslim baik dalam level individual
maupun dalam hubungannya dengan lembaga dan proses social, ekonomi
dan politik di sekellingnya? Siapa yang memiliki otoritas untuk
menghakimi perbedaan pendapat mengenai hal tersebut atau mengenai
hal-hal lainnya setelah wafatnya Nabi Muhammad dan bagaimana
caranya?
Al-Qur’an membiarkan ummat Islam dengan sendirinya bergulat dengan
persoalan-persoalan tersebut. Benar bahwa ummat Islam memiliki
77 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 42
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
sunnah, teladan kehidupan Nabi sebagai sumber pedoman lain, namun
sunnah juga memiliki ketidakjelasan yang sama. Dengan demikian,
tidaklah heran jika perbedaan pendapat mengenai peran “perbuatan”
(amal) dalam konsep iman terjadi. Beberapa ulama bisa menerima
pengakuan lisan keimanan sebagai ciri status muslim seseorang, tapi
beberapa ulama lain mengharuskan pengakuan lisan ini dibuktikan
dengan melakukan perbuatan dan praktik tertentu. Bagi mereka yang
mengharuskan adanya “perbuatan” sebagai bukti keimanan,
pertanyaannya kemudian adalah bagaimana status orang yang sudah
mengaku muslim namun tidak melaksanakan kewajibannya sebagai
muslim. Persoalan lain timbul, siapa yang menilai bahwa seseorang sudah
melaksanakan kewajiban agama atau belum dan konsekuensi apa yang
harus diterima karena penilaian tersebut? Debat mengenai hal tersebut
muncul dalam beragam bentuk; sejak dari pendapat dan perilaku
kalangan Khawarij selama perang sipil pada abad ke-7, status Ahmadiyah
di Pakistan sejak tahun 1950, bahkan hingga keberadaan sejumlah sekte-
sekte pembunuhan dan terorisme.78 Ketidakjelasan ini kemudian
diperparah dengan kesamaran dan ketidaksepakatan mengenai konsep-
konsep lain.
Kesamaran dan ketidakjelasan seperti ini juga terjadi pada larangan sabb
al-naby. Sabb al-naby adalah penggunaan kata-kata hinaan yang
ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, Tuhan, atau para Malaikat. Orang
yang melakukan pelanggaran ini menurut tradisi ulama fiqih tradisional
harus dihukum mati.79 Pada tahap selanjutnya, bentuk pelanggaran ini
78 Sebagai contoh lihat, Khaled Abou el-Fadl, Rebellion and Violence in Islamic Law (New York: Cambridge University Press, 2001)79 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 37-38
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
kemudian diperluas mencakup segala bentuk pelarangan dan
mengungkapkan kata-kata hinaan kepada para Sahabat nabi. Sebagian
Ulama tetap menganggap orang yang melakukan tindakan ini sebagai
muslim, tapi ia harus menerima hukuman tertentu. Tetapi ada pula yang
berpendapat bahwa tindakan seperti ini menyebabkan seseorang tidak
layak lagi dianggap sebagai seorang muslim. Jika tindakan ini dilakukan
oleh non-muslim, ia tidak dianggapp murtad, tetapi tetap harus dihukum
mati. Seperti halnya ketentuan mengenai murtad, hukuman tindakan
penghinaan ini juga berdasarkan beberapa peristiwa yang terjadi pada
masa Nabi, sementara dalam al-Qur’an sendiri tidak ada petunjuk jelas
mengenai hal tersebut. Bahkan meskipun al-Qur’an menggunakan istilah
sabb seperti dalam Qs. 6: 108, ia hanya menginstruksikan ummat Islam
untuk berhenti mencaci dewa-dewa non-muslim, karena mereka juga
sebetulnya menghina Tuhan. Namun al-Qur’an tidak menyebutkan
hukuman apapun berkaitan dengan hal ini. Sementara para ulama
merujuk pada beberapa peristiwa pada masa awal Islam untuk
menetapkan hukuman mati bagi pelaku penghinaan, namun jelas sekali
bahwa baik Qur’an maupun Sunnah tidak mengungkapkan keberadaan
pelanggaran yang bernama “sabb al-naby” ataupun hukuman khusus
terhadap pelakunya.80
Terdapat masalah yang sama menyangkut status hukum zindiq. Istilah
zindiq digunakan dalam sumber-sumber syari’ah untuk menyebut orang
zindiq yang ajarannya berbahaya bagi komunitas muslim dan menurut
aturan syari’ah mereka layak untuk dihukum mati. Namun istilah zindiq
dan kata turunannya tidak pernah muncul dalam al-Qur’an sama sekali,
80 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 38-39
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
bahkan nampaknya merupakan istilah yang diserap Bahasa Arab dari
Bahasa Persia. Istilah ini nampaknya pertama kali digunakan dalam
kaitannya dengan eksekusi Ja’d bin dirham pada tahun 742 M—setelah
lebih dari satu abad wafatnya nabi. “pada praktiknya apa yang difahami
oleh kalangan konservatif sebagai zindiq adalah orang yang pengakuan
Islamnya, menurut mereka, tidak cukup meyakinkan”.81 Namun, tidak
tampak adanya kesamaan pendapat tentang definisi istilah yang mereka
maksud. Bahkan terdapat perbedaan pendapat mengenai tipe-tipe
perilaku yang dianggap sebagai perilaku zindiq atau membuat seseorang
dihukumi zindiq. Misalnya orang yang mengaku muslim, tapi masih
mengikuti ajaran agama lamanya. Namun bagaimana definisi ini dapat
diketahui dan digunakan dalam kasus-kasus spesifik? Karena tiadanya
definisi istilah yang jelas dan spesifik, tak heran bila beberapa ulama
menganggap seseorang zindiq jika ia melakukan hal-hal terlarang dalam
Islam seperti zina atau meminum arak.82 Pentingnya definisi yang jelas ini
juga berkaitan dengan sikap sebagian ulama khususnya dari mazhab
Hanafi dan Maliki menolak kemungkinan pelaku zindiq untuk
mendapatkan pengampunan jika mereka menyesal, padahal orang murtad
bisa mendapatkan kesempatan itu.83
Review singkat ini bisa dengan jelas memperlihatkan bahwa selalu ada
kebingungan dan kesamaran dalam konsep-konsep tersebut dan
bagaimana konsep tersebut didefinisikan. Bahkan ada juga ketidakjelasan
mengenai dasar hukum bagi jenis hukuman yang ditetapkan bagi pelaku
pelanggaran tersebut. Karena al-Qur’an tidak mendefinisikan konsep-
81 Article “Zindiq” Shorter Encyclopedia of Islam, hlm. 65982 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 4083 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 41, 54-55
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
konsep tersebut dengan jelas dan juga tidak menentukan hukuman
tertentu yang harus ditimpakan pada pelaku pelanggaran tersebut saat
mereka hidup, masyarakat Islam saat ini nampaknya bisa dan bahkan
mungkin mempertimbangkan kembali aspek-aspek syariah tersebut dalam
kerangka kebebasan beragama. Bahkan, nampaknya jumlah ayat-ayat al-
Qur’an yang mendukung pandangan terakhir ini lebih banyak daripada
ayat yang mendukung keharusan adanya ketentuan hukum bagi para
pelaku pelanggaran tersebut.84 Dengan kata lain, seharusnya tidak ada
hukuman atau konsekuensi legal apapun terhadap perbuatan murtad atau
perbuatan sejenis lainnya, karena konsep iman dalam Islam
mengandaikan dan mengharuskan adanya kebebasan untuk memilih dan
tidak dapat dianggap sah jika dilakukan di bawah tekanan. Kemungkinan
untuk mempercayai sesuatu secara logis mengharuskan adanya
kebebasan untuk memilih. Dengan demikian seseorang tidak akan bisa
mempercayai sesuatu tanpa ada kebebasan dan kemampuan untuk
mempercayainya.
Ketidakjelasan dan kemenduaan prinsip-prinsip syari’ah tersebut memicu
lahirnya manipulasi dan pelanggaran terhadapnya demi tujuan-tujuan
politik atau polemik. Banyak ulama besar yang dihormati dan diakui
otoritasnya seperti Abu Hanifah, Ibn Hanbal, al-Ghazaly, Ibnu Hazm,dan
Ibnu Taimiyyah pernah didakwa murtad semasa mereka hidup.85 Resiko
semacam ini cenderung meniadakan kemungkinan terjadinya proses
refleksi hukum dan teologi serta proses perkembangan dalam masyarakat
muslim sendiri atau ummat secara umum. Mengemukakan alasan-alasan
meyakinkan mengenai pentingnya penghapusan doktrin murtad dan
84 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 69-8785 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 30-31
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
konsep-konsep lainnya untuk kepentingan Islam (sebagai suatu agama)
dan masyarakat muslim secara keseluruhan, tanpa mengambil rujukan
kepada norma-norma Hak asasi manusia, adalah untuk menunjukkan
bahwa dalam Islam sendiri terdapat argumen dan pendekatan untuk
melindungi kebebasan beragama. Cara ini sangat tepat untuk
menunjukkan mempromosikan validitas dan efektivitas prinsip-prinsip hak
asasi manusia itu sendiri.86 Bagaimana hasil yang memuaskan ini bisa
dicapai dalam praktik kehidupan sekarang?
Dilema yang dirasakan oleh mereka yang mendukung reformasi semacam
itu dalam masyarakat kita adalah apakah mereka harus mencapai tujuan
mereka dengan mempergunakan korpus dan metodologi syariah yang
sudah ada atau berusaha menghindari keterbatasan pendekatan tersebut
dengan menerapkan pemisahan yang ketat antara agama dan negara.
Menurut pendapat saya, kedua pendekatan tersebut memiliki
keterbatasan. Di satu sisi, reformasi terhadap kerangka syariah tradisional
tidak mungkin bisa menghapus semua gagasan mengenai murtad dan
konsep lainnya, karena hal semacam itu tentu saja tidak mungkin
dibenarkan oleh metodologi ushul fiqih yang sudah diformulasikan oleh
para ulama seperti al-Syafi’i 1200 tahun yang lalu. Ushul fiqih tradisional
pasti mendukung penetapan hukuman mati atau ketentuan hukum
lainnya pada orang murtad karena hukuman tersebut didasarkan pada
aturan yang terdapat dalam sunnah, meskipun bukan al-Qur’an. Pada saat
yang sama, konsep murtad dan konsep lainnya tidak bisa begitu saja
dihapus dari ketentuan syari’ah tanpa justifikasi yang cukup, karena
86 Argumentasi Islam dan Hak Asasi Manusia mengenai pentingnya memerangi kejahatan-kejahatan ini lihat tulisan saya “Islamic Foundation of Religious Human Rihts, dalam John Witte, Jr., dan Johan D. Van der Vyver, (ed.), Religious Human Rights in Global Perspectives: Religious Perspective. (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996), hlm. 337-359.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
otoritas moral dan sosial syari’ah di tengah-tengah ummat muslim. Upaya
penghapusan yang efektif dan berkelanjutan terhadap konsep-konsep
tersebut sebagai upaya untuk menginterpretasi ulang syari’ah harus
menggunakan logika Islam tradisional daripada sekedar menggantungkan
diri pada otoritas negara sekular untuk menolak menerapkan aturan-
aturan hukum yang berkaitan dengannya.
Reformasi Islam juga mengharuskan adanya reformasi ushul fiqih karena
baik interpretasi tradisional maupun alternatif terhadap al-Qur’an dan
sunnah adalah produk sebuah konteks historis tempat masyarakat muslim
tinggal dan hidup. Dengan demikian untuk menghadapi transformasi
politik, sosial dan ekonomi yang terjadi dalam masyarakat muslim saat ini,
sebagaimana yang ternah terjadi di masa perkembangan pemahaman
syariah tradisional, metodologi interpretasi harus merefleksikan kondisi
tersebut agar bisa menghasilkan formulasi syari’ah yang tepat. Ini bisa
dilakukan dengan cara misalnya dengan menguji ulang logika penerapan
sejumlah ayat Qur’an dan sunnah ke dalam prinsip-prinsip syariah dan
menekankan ketidak cocokkan rujukan keagamaan lain untuk konteks
masyarakat Islam saat ini. Dengan memahami pilihan-pilihan tersebut
dibuat oleh manusia dan bukan merupakan perintah tuhan secara
langsung, maka mempertimbangkan kembali relevansi teks tersebut
untuk diterapkan dalam konteks sekarang dan perlunya menekankan
ulang konsep-konsep tersebut menjadi hal yang mungkin. Meskipun saya
mengikuti model pendekatan yang sudah dikembangkan oleh ulama
Sudan, Mahmoud Muhammad Toha,87 bukan berarti pendekatan lain tidak
berlaku.
87 Mahmoud Muhammad Toha, The Second Message of Islam, (Syracuse University press, 1987).
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Penting untuk dicatat, debat teologis ini mungkin memiliki dimensi politik
dan kontekstual. Kemampuan seorang reformer untuk mendapatkan
kepercayaan dari komunitas dan otoritas di kalangan anggotanya
tergantung pada pemahamannya terhadap kompleksitas sejarah
komunitasnya serta konteks, kepentingan dan aspirasi mereka. Kita bisa
melihat contoh Mahmud Muhammad Toha yang mengadvokasikan
pikirannya di Sudan selama 40 tahun dan ia tetap dihukum mati karena
dakwaan murtad pada Januari 1985.88 karena itu, di samping harus
memiliki metodologi refomasi yang koheren dan efektif, seorang reformer
juga harus mempertimbangkan faktor politik, ekonomi, sosial dan budaya
dalam mengadvokasikan ide-idenya. Ini juga berarti mempertimbangkan
faktor atau kekuatan pendukung sekaligus kekuatan yang menentang
proses reformasi yang diajukan.
Negara, sebetulnya, berperan besar dalam prose-proses tersebut bukan
saja dengan menghentikan usaha-usaha menerapkan syari’ah sebagai
hukum positif, tapi juga melalui sistem pendidikan, upaya
mempromosikan pemikiran kritis dalam media dan mengamankan ruang
politik sosial dan politik agar debat publik dapat terlaksana dengan baik
dan bebas. Namun negara dan komunitas international secara luas,
sebetulnya juga bisa menjadi bagian dari masalah. Proses liberalisasi
politik dan sosial yang diinginkan bisa mengancam posisi elite yang
mengontrol negara, bahkan sekalipun mereka mengklaim sebagai elit
yang memiliki orientasi politik sekular. Selain itu, negara-negara lain juga
mungkin saja mendukung rezim opresif yang ada di negara-negara Islam
88 Abdullahi Ahmed an-Na’im, “The Islamic Law of Apostasy and its Modern Applicability: A Case from the Sudan”, Religion, vol. 16, 1986, hlm. 197-223.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
atau menerapkan politik luar negeri yang keras dan malah menimbulkan
konservatisme dan pembelaan membabi buta dalam masyarakat Islam,
bukannya melahirkan kepercayaan dan tingkat keamanan yang justru
lebih diperlukan untuk mendorong proses liberalisasi politik dan sosial
internal. Meskipun tanggung jawab untuk mengamankan kebebasan
beragama dalam masyarakat islam tergantung pada diri mereka sendiri,
komunitas interrnasional juga mempunyai peran penting dalam
menumbuhkan kondisi yang kondusif untuk kesuksesan usaha yang
dilakukan masyarakat muslim tersebut. Proses ini membawa kita pada isu
terakhir yaitu relevansi ide kewarganegaraan dalam proses ini, lagi-lagi
dari perspektif Islam.
IV. Kewarganegaraan
Apapun argumennya, adalah sebuah fakta bahwa kolonialisme Eropalah
yang mentransformasikan secara drastis dasar dan asal-ususl organizasi
politik dan sosial dalam negara tempat muslim tinggal.89 Transformasi ini
begitu mendasar dan sangat mendalam; menyebar pada seluruh aspek
aktivitas ekonomi, proses politik, kehidupan sosial dan relasi komunal,
pemenuhan pendidikan, kesehatan dan pelayanan lainnya sehingga
membuat ide untuk mengembalikan semuanya pada sistem dan ide
prakolonial menjadi tidak mungkin. Perubahan dan adaptasi apapun yang
dilakukan pada sistem yang sekarang berlaku, hanya bisa dilakukan
melalui konsep dan institusi post kolonial domestik dan global saat ini.
Namun banyak muslim, bahkan mungkin mayoritas dari mereka di
berbagai negara, belum bisa menerima beberapa aspek dalam proses
transformasi ini termasuk berbagai konsekuensinya. Untuk mengklarifikasi
89 Lihat James Piscatori, Islam in a Wold of Nation States (Cambridge: Cambridge University Press, 1986).
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
dan memahami ketimpangan ini, saya akan memfokuskan bahasan ini
pada persoalan kewarganegaraan yang ternyata mempunyai implikasi
jangka panjang terhadap stabilitas politik, pemerintahan dan
pengembangan yang konstitusional di dalam negeri serta hubungan
internasional. Secara khusus, saya akan mengajukan hak asasi manusia
sebagai kerangka untuk menggaris bawahi dan menyelesaikan
ketegangan yang ada dalam ketimpangan pemahaman masyarakat Islam
saat ini terhadap konsep kewarganegaraan.
Manusia cenderung mencari dan mengalami tipe dan bentuk keanggotaan
yang beragam dan saling bersinggungan dalam kelompok yang berbeda
yang berdasarkan etnik, agama atau identitas kultural, afiliasi politik,
sosial atau profesional atau kepentingan ekonomi. Motivasi untuk menjadi
anggota sebuah kelompok cenderung terkait dengan alasan dan tujuan
kelompok tersebut, tanpa membatasi atau mengurangi pentingnya bentuk
keanggotaan yang lain. Nah, bentuk keanggotaan yang beragam dan
bersinggungan ini tidak selalu ekslusif, karena keragaman tersebut justru
bisa memenuhi tujuan masing-masing individu dan komunitas yang
berbeda. Ini mungkin hanya sekedar sebuah model yang terlalu
sederhana, karena dasar keanggotaan dalam sebuah kelompok tidak
mungkin bisa didefinisikan dengan jelas. Interaksi yang terjadi mungkin
akan menjadi kompleks dan tergantung pada faktor-faktor lain dan orang
juga tidak selalu sadar dengan dasar-dasar tersebut atau secara konsisten
berbuat dan berlaku sesuai dengannya. Namun hal penting yang ingin
saya tekankan di sini adalah bahwa orang cenderung secara sadar atau
setengah sadar untuk menjadi atau mengidentifikasi diri sebagai bagian
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
dari sebuah kelompok karena tujuan-tujuan yang berbeda. Dan harus pula
dicatat bahwa keanggotaan itu bukan hanya pada satu kelompok.
Istilah kewarganegaraan yang saya gunakan disini berarti sebagai sebuah
bentuk keanggotaan dalam komunitas politik sebuah wilayah negara
dalam konteks globalnya dan dengan demikian terkait dengan alasan dan
tujuan tertentu, namun dengan tanpa membatasi kemungkinan bentuk
keanggotaan lain. Ini bukan berarti bahwa setiap orang akan sadar
sepenuhnya dengan bentuk atau tipe keanggotaan ini atau mereka akan
menganggap bentuk keanggotaan ini sebagai sesuatu yang inklusif
terhadap bentuk keanggotaan lain atau menyadari bahwa masing-masing
bentuk keanggotaan memiliki tujuan dan alasan tertentu. Bahkan, di sini
saya akan mengungkapkan bahwa ada kebingungan di kalangan muslim
mengenai makna dan implikasi kewarganegaraan dalam sebuah wilayah
negara, yang dibedakan meskipun tidak ekslusif, dengan bentuk dan tipe
keanggotaan lain.
Penting untuk dicatat bahwa kebingungan seperti ini tidak hanya terjadi
pada masyarakat muslim atau terjadi karena mereka memeluk Islam.
Contohnya ada kecenderungan umum di kalangan masyarakat utuk
menghilangkan beberapa bentuk keanggotaan seperti keanggotaan
berdasarkan etnis atau agama yang luntur karena afiliasi politik atau
sosial. Dengan demikian, perkembangan negara bangsa model Eropa
yang berbasis wilayah sejak abad 18 tidak hanya cenderung menyamakan
konsep kewarganegaraan dengan kebangsaan, tapi juga terus
menekankan pentingnya praktik konsep warga negara yang setara.90
90 Derek Heater, A Brief History of Citizenship (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004).
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Menyamakan konsep kewarganeganegaraan dengan kebangsaan adalah
keliru karena keanggotaan seseorang dalam sebuah komunitas politik
sebuah negara tidak selalu bersamaan dengan adanya perasaan memiliki.
Pun tidak pula memperlihatkan hubungan apapun dengan cara orang
merasa menjadi bagian dari sebuah negara atau lainnya. Lagipula, dalam
teorinya hak-hak warga negara tunduk pada berbagai pembatasan hukum
dan dalam praktiknya pada pembatasan tertentu, sebagaimana yang akan
kita lihat dalam kasus kerudung yang terjadi di Perancis dalam bab 4
nanti.
Seperti halnya nasionalisme, konsepsi dan praktik kewarganegaraan
menjadi norma yang sudah diterima dalam hubungan politik domestik dan
intenasional di seluruh dunia termasuk di kalangan masyarakat Islam.
Bahkan konsep-konsep identitas dan kedaulatan yang memiliki nilai
“menentukan nasib sendiri” (self-determination) sekarang dibangun di
atas dasar yang sama dengan model Eropa. Dan bagusnya, konsepsi-
konsepsi tersebut terus berkembang dan merefleksikan pengalaman-
pengalaman masyarakat lain terutama melalui proses dekolonisasi dan
perkembangan norma-norma hak asasi manusia universal sejak
pertengahan abad 20.
Konsepsi-konsepsi kewarganegaraan, kedaulatan dan hak untuk
menentukan diri sendiri yang sedang berkembang ini adalah konsep-
konsep yang saya tawarkan kepada masyarakat muslim untuk diterima
dan dipergunakan sebagai prinsip, dan bukan hanya sebagai konsesi
pragmatis untuk menghadapi realitas pasca kolonial. Benar bahwa umat
Islam di manapun sudah menerima konsep dasar kewarganegaraan
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
sebagai dasar sistem politik dan undang-undang domestik mereka bahkan
juga menjadi dasar bagi hubungan internasional mereka dengan negara-
negara lain. Kewarganegaraan memang sudah menjadi dasar hubungan
antar muslim, maka saya kemudian membutuhkan visa yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Saudi Arabia agar saya bisa melaksanakan ibadah haji
atau umrah disana dan tidak bisa berharap akan diterima bagitu saja di
sana hanya karena saya seorang muslim yang akan melaksanakan
kewajiban agama saya. Meskipun dasar konsep kewarganegaraan sudah
diterima, namun kita perlu melangkah satu tindak ke depan. Yaitu
mengembangkan dan mempromosikan prinsip-prinsip kewarganegaraan
di kalangan muslim agar mereka dapat memegang prinsip tersebut dan
berusaha untuk merealisasikan pemahaman positif dan proaktif terhadap
konsep kesetaraan warga negara untuk semua orang tanpa membedakan
agama, jenis kelamin, etnis, bahasa atau opini politik apapun. Konsep
kewarganegaraan harus menandakan adanya pemahaman bersama
tentang kesetaraan posisi semua manusia dan partisipasi politik yang
inklusif dan efektif untuk menjamin akuntabilitas pemerintah dalam
menghargai dan melindungi hak asasi manusia semua pihak.
Keinginan untuk menyebarkan pemahaman mengenai konsep
kewarganegaraan ini ke seluruh dunia tentu saja bisa didasarkan pada
berbagai macam pertimbangan, termasuk realitas pragmatis hubungan
kekuasaan dalam sebuah masyarakat sebagaimana yang sudah saya
sebutkan tadi. Namun, keinginan itu juga membutuhkan asas keagamaan,
filosofis dan moral agar pengertian kewarganegaraan konsisten dengan
norma-norma hak asasi manusia universal. Kombinasi dasar moral dan
pragmatis ini bisa dilihat dalam apa yang disebut sebagai the golden rule
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
prinsip resiprokal (mu’awada) dalam diskursus keislaman. Memperlakukan
orang lain dengan penuh rasa hormat dan empati adalah hal yang
diperlukan dalam membangun sensibilitas moral di antara tradisi agama
dan filasafat tertentu. Dan tentu saja menjadi syarat bagi adanya
perlakuan yang sama dari orang lain. Dengan demikian, baik individu
maupun komunitas dimanapun berada harus mengakui adanya kesamaan
status warga negara, jika mereka ingin diperlakukan sama di negeri
sendiri maupun di negeri lain. Karena itulah, memahami konsep
kewarganegaraan berdasarkan hak asasi manusia universal adalah
merupakan dasar politik, hukum dan moral untuk menikmatinya.
Ummat Islam sebetulnya sudah menerapkan ide-ide tersebut melalui
hukum negaranya maupun hukum internasional, termasuk melalui
kerjasama dengan orang lain untuk mendefinisikan dan
mengimplementasikan hak-hak asasi manusia universal dalam proses
yang lebih luas. Standar dan proses internasional itu memang
memberikan kontribusi untuk memahami dan melindungi hak-hak warga
negara dalam level domestik. Dengan demikian, hubungan antara hak
asasi manusia dan kewarganegaraan merupakan sesuatu yang inheren
dan saling mendukung dalam hubungan antar keduanya. Jika
kewarganegaraan difahami dari sudut pandang hak asasi manusia, maka
sebagai seorang warga negara, muslim bisa berpartisipasi secara lebih
efektif dalam mendefinisikan dan mengimplementasikan hak asasi
manusia. Dan ia bisa menikmati status kewarganegaraannya.
Keterhubungan antara dua konsep tersebut mengasumsikan bahwa
negara yang terikat oleh hukum internasional dan piagam-piagam hak
asasi manusia lain adalah representasi warga negaranya. Namun
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
realitasnya, ini tidak selalu sama di semua negara apalagi di negara-
negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti di Asia dan
Afrika.
Dengan demikian tantangannya adalah bagaimana menerapkan
pendekatan hak asasi manusia ini dalam konsep kewarganegaraan
sehingga proses ini pada akhirnya bisa memberikan kontribusi dalam
merealisasikan prinsip akuntabilitas dan pemerintah yang demokratis.
Masalahnya adalah bagaimana mempergunakan sumber daya yang ada,
termasuk konsep kewarganegaraan dan hak asasi manusia yang sudah
diterima, untuk mempromosikan sumber daya yang sama. Proses
pengembangan konsep kewarganegaraan dan hak asasi manusia ini akan
dipengaruhi oleh jaringan faktor dan aktor yang kompleks dan luas baik di
tingkat lokal, nasional maupun internasional. Termasuk di dalamnya relasi
sosial dan ekonomi, pengaruh sistem pendidikan dan aktifitas media dan
juga seluruh konteks sejarah dan sosial politik aktual. Persepsi negatif dan
hegemoni relasi kekuasaan yang mungkin mengurangi efektifitas dan
relevansi konstitusionalisme dan hak asasi manusia, sebagaimana sudah
disebutkan di muka, juga mungkin terjadi dalam konteks hubungan
konsep kewarganegaraan dengan hak asasi manusia.
Dengan pemahaman yang jelas terhadap kompleksitas proses dan hasil
yang sulit diperkirakan, saya akan memfokuskan diskusi tentang konsep
dzimmihood dalam syariah tradisional sesuai dengan tujuan buku ini.
Sebagaimana yang akan dijelaskan nanti, konsep dzimmi menandakan
adanya perlindungan negara terhadap hak-hak dasar dan otonomi
komunal yang terbatas masyarakat non-muslim (ahl-dzimmah) sebagai
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
konsesi atas pengakuan mereka atas kedaulatan muslim.91 Meskipun
konsep ini lemah untuk digunakan sebagai dasar bagi konsep
kewarganegaraan dalam konteks negara muslim saat ini, namun ia terus
memiliki pengaruh pada perilaku dan sikap ummat Islam.
Konsep Dzimmi dalam Perspektif Sejarah
Untuk membahas konsep dzimmi dalam syariah tradisional, perlu kiranya
untuk mengklarifikasi dua elemen kebingungan metodologis yang
mendasari beberapa diskursus keislaman yang keliru menginterpretasikan
syari’ah atau memberlakukan prinsip-prinsipnya secara langsung.92
Pertama, fokus kita di sini adalah bagaimana para pendiri mazhab syari’ah
memahami text yang relevan dalam al-Qur’an dengan cara yang
sistematis. Jadi pertama-tama kita harus memahami terlebih dahulu
prinsip-prinsip syari’ah tentang dzimmi yang sudah ada, sebelum menguji
kemungkinan untuk mereformasinya. Kedua, reformasi apapun yang
diajukan harus mengikuti metodologi yang jelas dan sistematik, daripada
sekedar pemilihan arbitrer berbagai sumber atau hanya sekedar merujuk
sumber yang bertentangan, karena cara seperti itu pasti akan ditolak. Pun
tidak ada gunanya mengutip ayat-ayat al-Qur’an atau sabda Nabi yang
mendukung kesetaraan non-muslim tanpa menyebutkan ayat-ayat yang
dapat dirujuk untuk mendukung pandangan yang menentangnya.
Sistem dzimmi tradisional sebetulnya dikembangkan oleh para ulama
sebagai bagian dari sebuah pandangan yang menentukan afiliasi politik 91 Lihat artikel “Dhimma” dalam Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden: EJ.Brill, 1991, hlm. 75-76; Mahmoud Ayoub, “Dhimmah in the Qur’an and Hadits”, Muslims and Others in Early Muslim Society, ed. Robert Hoyland (Trowbridge,Wiltshire, England: Ashgate Publishing Ltd., 2004), hlm. 25-26. 92 Kebingungan metodologis terlihat pada misalnya A. Rahman I. Doi, Non-Muslims under Shari’ah (Islamic Law), (Lahore: Kazi publications, 1981); dan Maimul Ahsan Khan, Human Rights in the Muslim World: Fundamentalism, Constitutionalism, and International Politics, (Durham: Caroline Academic Press, 2003).
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
berdasarkan afiliasi keagamaan dan bukan berdasarkan wilayah negara
seperti yang terjadi pada saat ini.93 Dengan cara seperti itu, ide ini
bertujuan untuk menggeser loyalitas politik dari ikatan kesukuan ke Islam
sehingga keanggotaan dalam komunitas politik dapat diakses oleh
siapapun yang menerima kepercayaan ini. Karena generasi awal ummat
Islam percaya bahwa mereka adalah penerima agama wahyu terakhir,
mereka berasumsi bahwa mereka mempunyai kewaiban untuk
menyebarkan Islam melalu jihad yang bisa dilakukan, namun bukan satu-
satunya, melalui penaklukan militer.94
Senada dengan keyakinan tersebut, para ulama menyarankan ummat
Islam untuk mendakwahkan Islam dengan cara damai terlebih dahulu.
Namun jika seruan tersebut ditolak, mereka boleh memaksa orang-orang
kafir untuk menyerah dan memberlakukan ketentuan yang dipercayai oleh
umat Islam sebagai wajib.95 Sistem ini, dengan demikian, mengandaikan
adanya pembedaan tegas antara wilayah Islam (dar al-Islam) tempat
muslim berkuasa dan syariah berlaku, dengan wilayah yang penduduknya
memerangi Muslim (dar al-harb).96 Visi yang dibangun oleh sistem ini
adalah bahwa kewajiban untuk menyebarkan islam dengan cara damai
maupun perang tetap berlaku sampai seluruh dunia menjadi dar al-Islam.
Pandangan ini, tak salah lagi, didukung oleh kesuksesan ummat Islam
menaklukkan berbagai daerah sejak dari Afrika Selatan sampai Spanyol
bagian selatan di Barat, Persia, Asia Tengah, dan Indian bagian utara di
93 Michael G. Morony, “Religious Communities in Late Sassanian and Early Muslim Iraq”, Muslims and Others in Early Islamic Societies, ed. Robert Hoyland (Trowbridge, Wiltshire, England: Ashgate Publishing Ltd.,2004), hlm. 1-2394 al-Nabhani, The Islamic State, hlm. 14795 lihat Lambton, State and Government itun Medieval Islam, hlm. 201; al-Nabhani, The Islamic State, hlm. 147-15096 Ali, “Role of Muslim Women Today,” dalam Modern Muslim Thought, Vol. 1, hlm. 236; Doi, Non-Muslim under shari’ah, hlm. 22-23; Lambton, State and Government in Medieval Islam, hlm. 201.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Timur setelah Rasulullah meninggal. Namun keterbatasan praktik karena
ketidakpastian ekspansi yang dilakukan semakin jelas dari waktu ke
waktu. Penguasa muslim kemudian harus menanda tangani kesepakatan
damai (sulh) dengan orang-orang kafir yang sah sehingga wilayah tempat
mereka tinggal dianggap wilayah yang mempunyai kesepakatan damai
dengan ummat Islam (dar al-sulh).97
Berdasarkan model relasi non-muslim yang dikembangkan selama abad
ke-7 dan 8 ini, syari’ah mengklasifikasikan manusia pada tiga kategori
yaitu muslim, ahl al-kitab (mereka yang dianggap ummat Islam sebagai
ummat yang juga menerima pewahyuan kitab suci seperti Kristen dan
Yahudi), dan kafir. Status ahl al-kitab kemudian diperluas oleh para ulama
hingga mencakup penganut agama Magi berdasarkan asumsi bahwa
mereka juga menerima pewahyuan kitab suci.98 Namun skema dasar yang
menyatakan bahwa hanya muslimlah yang berhak menjadi anggota penuh
komunitas muslim sedangkan ahl al-kitab hanya anggota parsial tetap
tidak bisa dirubah atau dimodifikasi menurut pandangan syari’ah. Orang
kafir malah tidak memiliki kualifikasi untuk mendapatkan pengakuan
hukum atau perlindungan seperti itu, kecuali mereka mendapatkan
jaminan perlindungan temporer (aman) karena alasan-alasan praktis
seperti perniagaan atau diplomat.99
97 Muhammad Hamidullah, Muslim conduct of state, revised 5th edition (Lahore: Sh. M. Ashraf, 1968); Majid Khadduri, Islamic Law of Nations: Shaybani’s Siyar (Baltimore: Johns Hopkins Press, 1966), hlm. 158-79; Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam (Baltimore: The Johns Hopkins Press, 1955), hlm. 162-69, 245-46, 243-44; dan H.A. Gibb dan J. H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden: E. J. Brill, 1953), s.v. ‘Ahl al-Kitab’, hlm.16-17, ‘Dhimma’, hlm. 75-76, ‘Dizya’, hlm. 91-92, ‘Kafir’, hlm. 205-06, and ‘Shirk’, hlm. 542-44.98 Muhammad Abu Yusuf, Kitab al-kharaj (Cairo: al-Matba`a al-Salafiyya, 1963), hlm.128-30; Saeed and Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 13.99 Shorter Encyclopaedia of Islam, ‘Kafir,’ hlm. 206.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Istilah dhimma merujuk pada perjanjian yang dibuat antara negara yang
dipimpin oleh muslim dan komunitas ahl a-kitab agar mereka
mendapatkan jaminan keamanan atas diri dan hartanya, kebebasan untuk
melakukan kewajiban agamanya dengan otonomi komunal dan privat
untuk mengelola urusan-urusan internalnya. Sebagai balasan, komunitas
ahl al-kitab harus membayar pajak yang disebut jizyah dan mematuhi
perjanjian yang mereka buat dengan negara.100 Mereka yang mendapat
status dzimma didorong untuk memeluk Islam, tapi tidak diperbolehkan
untuk menyebarkan keyakinannya. Ciri umum perjanjian dhimma
biasanya berisi klausul yang melarang ahl-dzimmah untuk berpartisipasi
dalam urusan-urusan publik atau memegang jabatan yang akan
memberinya kesempatan untuk memiliki otoritas atas ummat Islam.101
Namun, isi perjanjian itu bervariasi sesuai dengan waktu dan aplikasinya,
pun tidak selalu konsisten dengan teorinya, karena beberapa alasan
pragmatis seperti yang akan saya jelaskan berikut ini. Namun karena
komunitas yang berstatus dzimmah tidak dianggap sama dengan ummat
Islam, dalam istilah modern mereka tidak mempunyai status
kewarganegaraan penuh. Sementara itu, orang kafir selalu dianggap
dalam keadaan perang dengan ummat Islam, kecuali jika mereka
mendapatkan perlindungan sementara untuk melakukan perjalanan
melewati atau tinggal sementara di daerah yang dikuasai oleh ummat
Islam.102 Sedangkan status dan hak mereka yang tinggal di daerah yang
100 Article, “Djizya,” Shorter Encyclopaedia of Islam, p. 91; Ali, “Contrast Between Western and Islamic Political Theories,” Modern Muslim Thought, Vol. 1, hlm. 192; Doi, Non-Muslims Under Shari’ah, hlm. 22-23.101 Doi, Non-Muslims Under the Shari’ah, hlm. 115-116.102 Ausaf Ali, “Role of Muslim Women Today,” Modern Muslim Thought, Vol. 1 (Karachi, Pakistan: Royal Book Co., 2000), hlm. 236.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
memiliki perjanjian damai dengan ummat Islam (dar al-sulh) ditentukan
sesuai dengan perjanjian yang dibuat.103
Sistem dzimmi jelas sudah tidak bisa dipertahankan lagi sekarang.
Kegagalan Sudan untuk memahami keterbatasan konsep ini, misalnya,
berujung pada meledaknya perang sipil di bagian selatan negeri ini.104 jika
saja kita menilik lebih hati-hati konteks sejarah konsep ini, jelaslah bahwa
ia merefleskikan standar yang berlaku dalam pemerintah dan hubungan
antar komunitas saat itu. Konsep ini juga cukup disukai jika dibandingkan
sistem lain pada saat itu.
Namun, tidak ada sistem hukum internasional lain yang lebih efektif untuk
melawan negara-negara Barat yang suka mendominasi negara lain atau
menuntut sejumlah pemerintahan yang suka menindas rakyatnya kecuali
tata hukum internasional dan perlindungan HAM yang berlaku sekarang.
Hukum ini hanya bisa ditegakkan ketika masyarakat memegang teguh
nilai-nilai kesetaraan dan tertib hukum dalam kebijakan dalam dan luar
negerinya. Dengan cara inilah, mereka bisa memiliki landasan moral dan
politik untuk menuntut hak yang sama dari masyarakat lain. Untuk
merealisasikan hal ini, ummat Islam tidak saja harus menghapus sistem
dzimmi dalam syari’ah secara formal, namun juga menolak nilai-nilai
diskriminasi yang terdapat di dalamnya hingga mereka bisa
menginternalisasi dan mengimplementasikan konsep kewarganegaraan
modern yang sudah dijelaskan tadi. Trend ini sudah dimulai pada
103 Gordon D. Newby, A Concise Encyclopaedia of Islam (Oxford, England: Oneworld Publications, 2002), hlm. 51.104 Abdullahi Ahmed An-Na`im and Francis Deng, ‘Self -determination and Unity: the Case of Sudan,’ Law and Society, vol. 18 (1997), hlm. 199-223; Francis M. Deng, War of visions (Washington, DC: The Brookings Institution, 1995).
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
beberapa komunitas muslim, tugas kita sekarang adalah bagaimana
mengembangkan dan mengamankan trend ini dari kemunduran.
Dari Konsep Dzimmi menuju Kewarganegaraan Berbasis Hak Asasi
Manusia
Konsep warga negara berbasis hak asasi manusia berarti bahwa norma
substantif, prosedur dan proses status ini, harus lahir dari, atau paling
tidak sesuai dengan, standar HAM yang berlaku universal saat ini.
Sebagaimana yang sudah kita diskusikan, tujuan utama HAM adalah untuk
menjamin adanya perlindungan yang efektif terhadap sejumlah hak-hak
dasar manusia dimanapun mereka berada, baik melalui sistem
perundangan-undangan negara atau tidak.
Piagam HAM internasional tidak mendefinisikan konsep warga negara
secara rigid, namun ia berisi beberapa prinsip yang mungkin relevan atau
bisa diaplikasikan di sebuah negara. Piagam HAM berisi beberapa prinsip
fundamental seperti hak untuk menentukan nasib sendiri (self-
determination), persamaan, anti diskriminasi yang disebutkan dalam pasal
1, 2 dan 3 Piagam PBB 1945, yang dianggap sebagai perjanjian yang
mengikat semua negara, termasuk negara-negara tempat komunitas
muslim tinggal. Prinsip-prinsip tersebut juga terdapat dalam perjanjian
HAM lain seperti pasal 1 dan 2 Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya dan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang disepakati tahun
1966. Dua kovenan tersebut dan juga perjanjian lainnya menyebutkan
Hak Asasi Manusia tertentu, seperti hak untuk diperlakukan setara di
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
hadapan hukum dan kebebasan beragama, berlaku baik bagi negara Islam
maupun non-Muslim.105
Realisasi konsep warga negara berbasis HAM di kalangan muslim ini
hanya bisa dicapai melalui kombinasi tiga elemen. Pertama, transisi aktual
dari konsep dzimmi menuju konsep warga negara dalam era post-kolonial.
Kedua, bagaimana menjaga dan mengembangkan transisi ini melalui
reformasi Islam yang kuat secara metodologis dan berkelanjutan secara
politik agar nilai-nilai HAM berakar kuat dalam doktrin Islam. Ketiga,
konsolidasi dua elemen pertama agar konsep ini menjadi diskursus lokal
yang mampu menyelesaikan persoalan keterbatasan dan kelemahan
konsep ini sekarang dan praktiknya dalam masyarakat Islam. Kombinasi
elemen-elemen tadi bisa dilihat dalam pengalaman transisi India dan Turki
sebagai Kerajaan Islam terakhir menjadi Negara Modern bermodel Eropa
di awal abad 20. Namun sampai hari ini, seperti yang akan saya jelaskan
dalam bab 5 dan 6, transformasi konsep warga negara yang terjadi di dua
negara tersebut masih ambivalen, bermasalah dan tetap rawan terhadap
kemungkinan terjadinya kemunduran.
Mari kita lihat proses pengembangan konsep warga negara di India
terlebih dahulu. Islam disebarkan di daerah India beberapa dekade setelah
Rasulullah meninggal, namun umat Islam membutuhkan waktu berabad-
abad untuk menjadi kelompok minoritas yang berkuasa di beberapa
bagian negeri ini.106 Meskipun berasal dari etnis dan kelompok budaya
105 United Nations, Human rights: a Compilation of International Instruments (New York: United Nations, 1994) volume 1; and Antonio Cassese, Self-determination of Peoples: a Legal Reappraisal (Cambridge: Cambridge University Press, 1995).106 I. H. Qureshi, “Muslim India Before the Mughals,” in The Cambridge History of Islam, P.M. Holt, Ann K.S. Lambton, and Bernard Lewis (eds.) (New York: Cambridge University Press, 1996), hlm. 3-34.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
yang berbeda (sebagian dari berasal Turki, Afganistan, Persia, Arab dan
juga pribumi yang pindah agama), ummat Islam di India pelan-pelan
mengembangkan tradisi toleransi dan koeksistensi yang membuat mereka
bisa berinteraksi dan berasimilasi dengan komunitas agama lain yang
tinggal di sana. Namun tradisi ini baru dalam kerangka menjaga
mutualisme simbiosis dengan tuan-tuan tanah beragama Hindu dan
kelompok-kelompok elite lainnya, daripada sebuah tradisi yang mengakui
konsep warga negara yang secara luas berlaku bagi seluruh
masyarakat.107 Saya mengatakan ini bukan sebagai kritik, saya memahami
bahwa konsep warga negara berbasis HAM memang belum diketahui
komunitas manapun di dunia saat itu.
Sistem kepegawaian dan administrasi negara yang dikembangkan oleh
Akbar (1542-1605) telah memadukan semua kepentingan dan kelompok
ke dalam hirarki yang sama. Namun stagnasi teknologi dan administrasi,
perang sipil, dan invasi regional, lambat laun menyebabkan terjadinya
perpecahan dalam tubuh kerajaan Mughal selama abad 18.108 Bahkan
usaha-usaha untuk menghentikan penjajahan Inggris seperti yang
dilakukan Shah Wali Allah (1703-72) dengan memperbaharui konsep-
konsep syari’ah atau Gerakan jihadnya Sayyid Ahmad Barelwi (1786-
1831), Hajji Shari’at Allah (1781-1840) dan Haji Muhsin (1819-62) pun
gagal.109 Dislokasi ekonomi yang disebabkan oleh ekspansi pengaruh
perusahaan East India sekaligus perubahan administrasi pendapatan dan
107 S.A.A. Rizvi, “The Breakdown of Traditional Society,” in The Cambridge History of Islam, hlm. 67.108 I.H. Qureshi, “India Under the Mughals,” in The Cambridge History of Islam, hlm. 52-57.109 Rizvi, “The Breakdown of Traditional Society,” in The Cambridge History of Islam, hlm. 71-74.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
peradilan yang diperkenalkan Inggris pada akhir abad 18, menyebabkan
menurunnya kekuasaan dan otoritas ummat Islam di India.110
Melalui strategi politik, militer dan ekonomi yang direncanakan untuk
meluaskan pengaruhnya di India, kerajaan Inggris akhirnya bisa
mengambil alih kontrol pemerintahan di seluruh India pada pertengahan
abad 19. Beberapa pemimpin muslim seperti Sayyid Ahmad Khan (1817-
98) mempunyai sikap positif terhadap Inggris dan pengaruh Barat secara
umum, tapi ia juga masih ambivalen dengan konsep warga negara dan
jangkauan penerapannya di India. Ia nampaknya mengkombinasikan
komitmen untuk melakukan modernisasi India sebagai negara kesatuan
dengan tetap memelihara kecurigaan pada institusi-institusi populer yang
demokratis. Usahanya memobilisasi ummat Islam India untuk beroposisi
pada Indian National Congress merupakan tanda ambivalensinya terhadap
usaha-usaha kemerdekaan, yang berakhir dengan pemisahan India dan
Pakistan pada 1947.111 Nampaknya kita tidak mungkin membahas
perkembangan peristiwa-peristiwa tersebut saat ini, tapi saya ingin
mencatat bahwa peristiwa-peristiwa tersebut merefleksikan baik
kemarahan Hindu terhadap hegemoni ummat Islam termasuk di dalamnya
pada konsep dzimmi, maupun ketakutan Muslim terhadap dominasi Hindu.
Ironisnya, meskipun banyak ummat Islam yang masih menjadi warga
negera India, pemisahan tersebut tidak memberikan keuntungan apa-apa
bagi konsep warga negara bagi Ummat Islam di Pakistan. Di dua negara
tersebut, konsep warga negara harus dikembangkan dan dilindungi dari
bahaya pemisahan kategori Muslim dan non-muslim.112
110 Rizvi, “The Breakdown of Traditional Society,” in The Cambridge History of Islam, hlm. 77.111 Rizvi, “The Breakdown of Traditional Society,” in The Cambridge History of Islam, hlm. 67-96.112 Aziz Ahmad, “India and Pakistan”, in P.M. Holt, Ann K.S. Lambton and Bernard Lewis (eds.), The Cambridge History of Islam, (Cambridge: Cambridge University Press1970), volume 2A, hlm. 97-119.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Pemahaman konsep warga negara berkembang dengan cara yang
berbeda pada zaman Dinasti Ottoman dan Republik Turki. Fleksibilitas dan
elastisitas sistem Millet dinasti Ottoman di Asia Barat dan Afrika Utara
sudah merepresentasikan ketidaktergantungan dinasti ini pada konsep
dzimmi sebagai bentuk respon mereka terhadap realitas ekonomis sosial
dan militer yang mereka hadapi. Realitas-realitas tersebut mungkin
difasilitasi dan terus didukung oleh proses penetrasi Barat dan
keterbukaan Ottoman, yang akhirnya mentransformasi kerajaan ini dan
membukakan jalan untuk proses transisi menuju terbentuknya Negara
Turki sekuler pada tahun 1920. Selain faktor tersebut, ada pula faktor
yang tak kalah pentingnya dalam pembentukan negara modern berbasis
prinsip kewarganegaraan modern Turki, yaitu kemunculan gerakan-
gerakan nasionalis di kalangan ummat muslim, yang berasal dari Arab dan
Albania misalnya, dan juga kehadiran minoritas Kristen.
Meskipun dilakukan perlahan dan bertahap, perubahan kebijakan dan
praktik dinasti Ottoman dimulai pada saat dideklarasikannya Keputusan
Tanzimat tahun 1839, yang menandai dimulainya proses formal
pengakuan kesamaan status antara muslim dan non-muslim di hadapan
sultan.113 Sementara keputusan Tanzimat pertama menegaskan syari’ah
sebagai hukum negara, keputusan Tanzimat tahun 1856 justru
menetapkan kesamaan status non-muslim, penghapusan jizyah,
pelarangan sikap diskriminatif terhadap komunitas ahl al-dzimmah tanpa
merujuk sedikitpun pada prinsip-prinsip Islam. Malah, aspek-aspek modern
prinsip kesetaraan di hadapan hukum dan anti-diskriminasi ditetapkan
113 Cevdet Küçük, “Ottoman Millet System and Tanzimat”, in Tanzimat’tan Cumhuriyet’e Türkiye Ansiklopedisi, vol. 4, (Istanbul: İletişim, 1986), hlm. 1007-24.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
dalam pasal 8 - 22 konstitusi Ottoman tahun 1876. Prinsip-prinsip tersebut
terus dijaga melalui pengembangan konstitusi selama akhir masa dinasti
Ottoman dan kemudian diperluas selama masa Republik sejak 1926.
Proses yang terjadi di India dan Turki, juga terjadi di negara muslim lain
selama abad ke-20 dan secara formal terus berkembang selama proses
dekolonisasi pasca perang dunia II. Dengan demikian, konsep dzimmi
tidak lagi dipraktikkan dan dianjurkan di negara muslim manapun yang
telah mengintegrasikan diri dengan sistem negara yang berlaku
sekarang.114 Walaupun transformasi tersebut secara formal dilaksanakan
oleh kolonial Eropa, namun semua masyarakat Islam telah secara sukarela
meneruskan sistem tersebut setelah mereka merdeka. Ummat Islam
bahkan tidak menolak atau berusaha untuk memodifikasi sistem tersebut
baik di tingkat lokal maupun internasional, malah penguasa di negara-
negara Muslim justru aktif berpartisipasi untuk mengoperasikan sistem ini
di dalam maupun luar negaranya.115 Namun ketegangan yang ditimbulkan
oleh konsep dzimmi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya masih
tetap saja ada, seperti yang terjadi dalam kasus kontroversi mengenai
kebolehan mengucapkan selamat Natal kepada ummat kristiani atau
nikah antar agama di Indonesia116, perang sipil di Sudan117, kerusuhan
bernuansa kekerasaan akibat penerapan syari’ah di negara-negara bagian
Nigeria sejak tahun 2001.118 Ketegangan inilah yang menjadikan
114 Saeed and Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 13-14.115 James Piscatori, Islam in a World of Nation-states.116 Darul Aqsha, Islam in Indonesia: a survey of events and developments from 1998 to March 1993 (Jakarta: INIS, 1995), hlm. 470-73; Greg Barton, Gagasan Islam Liberal (Jakarta: Paramadina,1999); and Mun’im A. Sirry, Fiqh Lintas Agama: membangun masyarakat inklusif-pluralis (Jakarta: Paramadina, 2004).117 Jok Madut Jok, War and Slavery in Sudan (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2001).118 Simeon O. Ilesanmi, “Constitutional Treatment of Religion and the Politics of Human Rights in Nigeria”, African Affairs (2001), hlm. 529-54.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
pentingnya peralihan ke konsep warga negara melalui reformasi Islami
yang kuat secara metodologis dan berkelanjutan secara politis.
Sekedar mengulang diskusi yang telah lalu, premis utama pentingnya
proses reformasi Islami adalah meskipun Qur’an dan Sunnah adalah
sumber ketuhanan dalam Islam, tidak berarti bahwa makna dan
implementasi keduanya dalam kehidupan sehari-hari lepas dari
interpretasi dan perilaku manusia dalam konteks sejarahnya yang spesifik.
Bahkan, rasanya tidak mungkin kita mengetahui dan menerapkan syari’ah
dalam kehidupan ini tanpa adanya faktor manusia, karena Qur’an sendiri
diungkapkan dalam Bahasa Arab (bahasa manusia) dan terkait dengan
pengalaman sejarah masyarakat tertentu saat itu. Pendapat apapun yang
diterima muslim sebagai bagian dari syari’ah sekarang atau kapanpun,
bahkan jikapun disepakati secara anonim, pasti muncul sebagai pendapat
manusia mengenai makna al-Qur’an dan sunnah atau merupakan praktik
komunitas Islam. Pendapat dan praktik tersebut menjadi bagian dari
Syari’ah melalui konsensus ummat Islam berabad-abad lamanya, dan
bukan hasil dari keputusan spontan seorang penguasa atau kehendak
sekelompok ulama. Dengan demikian, di samping pendapat yang telah
disepakati, tentu ada alternatif formulasi syari’ah lain yang sama validnya
dan bisa diterima oleh ummat Islam. Selain itu, reformasi yang berbasis
metodologi yang kuat juga harus memperhatikan dua hal penting yang
sudah disebutkan pada permulaan bab ini. Pertama, usaha reformasi
harus bisa membedakan dua hal penting yaitu prinsip-prinsip syari’ah
yang sudah ada dan telah ditetapkan oleh para ulama dengan
kemungkinan reinterpretasi. Kedua, seseorang yang ingin melakukan
reformasi harus menghindari memilih teks Qur’an dan sunnah yang
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
nampaknya saling bertentangan secara arbitrer, tanpa memperhatikan
teks-teks yang mempunyai kemungkinan dirujuk untuk menguatkan
pendapat oposisi.
Metodologi reformasi yang berdasarkan premis diatas dan memenuhi
persyaratan yang sudah disebutkan nampaknya adalah metodologi yang
diajukan Ustadz Mahmud Muhammed Toha. Metodologinya mendukung
adanya peralihan dari penggunaan ayat-ayat Madaniyah ke ayat-ayat
Makiyah sebagai dasar bagi aspek sosial dan politik syari’ah. Alasan
pentingnya peralihan ini adalah karena ayat-ayat yang diturunkan pada
masa awal pewahyuan lebih merepresentasikan pesan-pesan universal
Islam, sedangkan ayat-ayat sesudahnya lebih merupakan respon spesifik
terhadap konteks historis ummat manusia saat itu. Melalui metodologi ini,
Ustaz Mahmud juga menunjukkan bahwa alasan yang digunakan dalam
sistem dzimmi untuk melegitimasi konsep jihad yang agresif dan
diskriminasi terhadap non-muslim berupa ayat-ayat madinah itu, sifatnya
temporer. Point utama dalam perbincangannya adalah Islam disebarkan
pertama kali melalui cara-cara damai dengan menggunakan pesan-pesan
universal yang diturunkan dalam periode Mekkah. Namun, setelah pesan-
pesan tersebut tampak tidak realistis bagi konteks negeri Arab abad ke-7,
maka pesan-pesan yang lebih cocok secara historis pun diturunkan di
Madinah termasuk konsep jihad yang agresif dan diskriminasi terhadap
non-muslim itu. Dengan demikian, pesan Madinah yang turun belakangan
justru lebih dulu diterapkan sebagai Syari’ah sejak abad ke-7. Dengan
memahami bahwa kondisi saat ini sudah mungkin untuk
mengimplementasikan pesan-pesan dakwah damai dan non diskriminatif
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
yang datang lebih dulu, Ustadz Mahmoud menyerukan pentingnya
peralihan ini melalui konsep dan metodologi ijtihad yang baru.
Dengan cara seperti ini, Metodologi Taha ini mampu secara eksplisit
mengenyampingkan ayat-ayat yang mendasari konsep dzimmi sebagai
bagian dari syari’ah, walaupun mereka tetap menjadi bagian dari al-
Qur’an. Karena proses pemilihan ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai atau
tidak, selalu menjadi tugas para fuqaha, maka jika pilihan-pilihan dulu
diganti dengan yang baru maka hendaknya itu difahami sebagai sebuah
revisi terhadap apa yang pernah dilakukan ummat Islam di masa lalu,
bukan revisi terhadap al-Qur’an atau sunnah itu sendiri. Kerangka yang
ditawarkan Taha mampu menyediakan metodologi interpretasi Qur’an dan
Sunnah yang sistematis dan koheren, daripada sekedar sebuah proses
pemilihan serampangan terhadap sejumlah ayat al-Qur’an seperti yang
dilakukan oleh ulama modern lain yang ternyata gagal untuk menjelaskan
apa yang terjadi pada ayat-ayat yang tidak mereka pilih. Dengan
metodologi Taha, beberapa ayat relevan yang turun pada periode Makkah
dapat mendukung pengembangan konsep warga negara modern dari
sudut pandang Islam.119 Meskipun saya menganggap pendekatan Taha ini
sangat meyakinkan, saya tetap membuka diri pada metodologi lain yang
bisa mencapai tingkat reformasi yang sama dengan metodologi Taha.
Tapi bagaimana caranya kita menetapkan bahwa metodologi ini atau itu
kuat dan bisa diaplikasikan dalam perspektif Islam, layak dipilih untuk
digunakan menghapus sistem dzimmi tradisional? Pertama, alasan yang
sudah saya tekankah sejak semula, Aturan Emas (Golden Rule) atau
119 Taha, the Second message of Islam; and An-Na`im, Toward an Islamic Reformation
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
doktrin Islam tentang resiprositas bahwa seorang muslim harus mengakui
kesetaraan derajat orang lain jika mereka ingin diberi pengakuan yang
sama. Kedua, adalah sebuah kemunafikan jika kita tetap memegang
sistem dzimmi secara teoritis, padahal kita menyadari bahwa konsep itu
tidak pernah diterapkan di masa lalu dan juga tidak relevan untuk
diterapkan di masa yang akan datang. Dengan tetap mempertahankan
interpretasi yang tidak realistis terhadap syariah yang seperti itu dalam
tingkat teoritis, sambil mengabaikannya dalam tingkat praktis, justru akan
merusak kredibilitas dan koherensi Islam sebagai agama. jika ada orang
yang khawatir bahwa konsep ini sulit diterima oleh kalangan muslim, saya
hanya akan meminta kesempatan untuk mempresentasikan ini secara
bebas dan terbuka kepada mereka, agar mereka bisa menentukan sendiri
keputusannya. Agar debat publik yang bebas dan terbuka tentang
masalah-masalah seperti ini bisa terjadi, maka penting bagi masyarakat
muslim untuk menjaga penuh kebebasan mereka untuk berpendapat,
berekspresi dan memiliki keyakinan tertentu. Manusia tidak bertanggung
jawab atas keputusan atau perbuatan yang dilakukannya, jika ia tidak
memiliki kebebasan untuk memilih, dan kebebasan memilih itu tidak bisa
didapatkan jika ia tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan dan
mengevaluasi semua informasi yang relevan, agar ia bisa mendebat dan
menilai argumen yang berbeda.
Karena itulah, mengapa saya selalu menekankan pentingnya peran
konstitusionalisme dan hak asasi manusia sebagai kerangka fikir dan
jaring pengaman yang berguna untuk menegosisasikan hubungan antara
Islam, negara, dan masyarakat dalam konteks masyarakat Islam saat ini.
Kesemuanya itu menuntut adanya otoritas publik yang bisa menjaga
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
tatanan dan hukum, mengatur debat dan refleksi, dan memutus pertikaian
sesuai dengan prinsip-prinsip yang adil dan masuk akal. Keberadaan
otoritas itu diimplementasikan dengan kehadiran institusi-institusi yang
transparan dan akuntabel. Dengan demikian, mengamankan
pemerintahan yang konstitusional dan perlindungan HAM tidak saja
penting bagi kebebasan beragama ummat Islam dan non-muslim yang
hidup di sebuah negara, tetapi juga untuk ketahanan dan pengembangan
Islam itu sendiri. Kebebasan untuk memiliki pendapat yang berbeda dan
berdebat selalu esensial untuk pengembangan syari’ah, karena itu
memungkinkan munculnya ide-ide baru, yang bila diterima, akan menjadi
sebagai konsensus yang berkembang di sekeliling mereka, sampai ide-ide
itu matang dan menjadi prinsip-prinsip yang mapan melalui penerimaan
dan praktik beberapa generasi ummat Islam di berbagai tempat dan
waktu. Daripada melakukan sensor terhadap pemikiran-pemikiran baru
yang justru sebetulnya kontra-poduktif untuk pengembangan doktrin-
doktrin Islam, adalah lebih penting untuk menjaga berlangsungnya
kemungkinan munculnya inovasi dan perbedaan pendapat karena itulah
cara agama merespon kebutuhan penganutnya.
Kesimpulan
Sepanjang buku ini saya sudah menekankan pentingnya perspektif Islam
untuk menjaga netralitas negara terhadap agama di samping pentingnya
menjaga keterhubungan antara Islam dan politik di sisi lain. Namun masih
ada ketegangan yang belum terselesaikan menyangkut konsep-konsep
seperti konstitusionalisme, HAM, dan warga negara dalam perspektif
Islam, statusnya yang diformulasikan di tengah masyarakat Barat dan
aplikasinya di tengah masyarakat Islam Asia dan Afrika. Bisakah konsep-
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
konsep yang berkembang melalui pengalaman masyarakat Barat
diaplikasikan di tempat lain? Jawabannya ya. Saya percaya penerapan itu
bukan saja mungkin, tetapi juga penting dengan menyediakan ide-ide,
asumsi-asumsi, dan institusi-institusi yang berkaitan dengan prinsip-
prinsip tersebut agar bisa diadaptasikan secara lebih baik dengan konteks
lokal dan masyarakat yang berbeda.
Penerapan prinsip-prinsip tersebut di tengah masyarakat muslim menjadi
penting karena mereka terus hidup dalam model negara Eropa setelah
merdeka dari penjajahan. Model Negara Eropa ini nampaknya akan terus
berlanjut sebagai kerangka dominan politik domestik dan hubungan
internasional di masa yang akan datang. Bahkan trend globalisasi dan
integrasi regional seperti Uni-Eropa, Uni-Afrika yang beroperasi melalui
peran negara sering menghadapi resistensi yang kuat dari pendukung
konsep tradisional kedaulatan nasional atau teritorial. Realitas-realitas
tersebut menuntut implementasi prinsip-prinsip konstitusionalisme, hak
asasi manusia, dan kewarganegaraan yang ternyata penting untuk
mengatur kekuasaan negara dan mengorganisasi relasi antara individu
dan komunitas di bawah model negara Eropa ini. Dengan demikian,
pentinglah kiranya untuk mengembangkan prinsip-prinsip tersebut dalam
masyarakat muslim sebagai parameter yang mengatur politik domestik
dan hubungan mereka dengan masyarakat lain.
Walaupun jelas dalam level teoritis, konsep seperti konstitusionalisme,
HAM, dan kewarganegaraan masih perlu dispesifikasi dan diadaptasikan
bila ingin diaplikasikan dalam konteks lokal. Agar relevan dan berguna,
prinsip-prinsip teoritis tersebut harus bisa menjawab pertanyaan dan
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
masalah yang muncul dari konteks sosio-ekonomi, politik dan tradisi
budaya masing-masing masyarakat. Logis jika kemudian proses adaptasi
prinsip universal dalam konteks lokal ini mungkin saja tidak bekerja di
tempat atau waktu tertentu. Kegagalan proses ini mungkin terjadi dalam
berbagai bentuk, baik pada level minor menyangkut susunan praktis
seperti pemisahan kekuasaan atau judicial review, sampai pada
ketidakcocokkan mengenai aspek-aspek fundamental atau substansiaal
dalam konsep konstitusionalisme. Kegagalan ini bisa memiliki tingkat
kesulitan yang beragam.
Dengan demikian, saya merekomendasikan agar kita lebih memfokuskan
diri pada dinamika dan proses internal untuk membangun dan
mengkonsolidasikan konstitusionalisme, HAM dan kewarganegaraan di
tengah masyarakat muslim dengan menggunakan istilah mereka sendiri
dan bukan menyebutnya sebagai pemaksaan Barat. Kegagalan atau
kemunduran yang kita lihat dalam masyarakat Islam saat ini, merupakan
sebuah kepastian dari proses evolusi dan pemapanan konsep-konsep
tersebut, sekaligus dasar bagi kesuksesan di masa yang akan datang.
Saya mengajukan pendekatan berbasis proses dan praktik yang
memungkinkan kita untuk sampai pada analisis yang lebih dalam dan
kaya. Pendekatan ini mengharuskan seseorang untuk mempertimbangkan
dinamika sosial, budaya dan politik yang komplek dimana aktor-aktor
negara dan non-negara, individu dan komunitas, kelompok-kelompok
etnis, sosial dan agama memahami dan menghubungkan diri mereka
dengan konsep-konsep dan implementasi konsep-konsep tersebut.
Daripada melihat kegagalan yang tampak sebagai indikasi adanya cacat
inheren dalam masyarakat, seseorang seharusnya mempertimbangkan
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
adanya kemungkinan kelemahan dalam konsep itu sendiri atau
kelemahan pada tingkat adaptasinya di masyarakat tertentu. Alangkah
sombong dan picik, jika kita mengasumsikan bahwa kegagalan
menerapkan konsep atau kerangka yang sudah definitif itu, terjadi karena
ada hal yang salah dengan faktanya.
Sebagaimana sudah saya tekankan di bagian awal bab ini, relevansi
penerapan prinsip ini dalam masyarakat Islam adalah karena peran
penting yang diembannya sebagai kerangka untuk menegosiasikan
hubungan antara Islam dan negara, di satu pihak, dengan Islam dan politik
di sisi lain. Review terhadap ciri-ciri negara modern di bagian awal bab ini
menjadi relevan karena model negara tersebut masih terus dipraktikkan di
negara-negara yang berpenduduk mayoritas atau minoritas muslim.
Kemudian saya memperjelas pembedaan antara politik dan negara untuk
mendukung ide saya untuk memisahkan Islam dari negara sambil tetap
memelihara hubungan antara Islam dan politik. Sebagaimana sudah
dijelaskan pada bab I, pemisahan antara negara dan Islam tidak berarti
bahwa Islam menurunkan Islam ke level privat karena prinsip-prinsip Islam
sebetulnya masih bisa diajukan untuk diadopsi oleh negara menjadi
kebijakan atau undang-undang negara. Namun pengajuan ini harus
didukung oleh “public reason” yang berarti bahwa berbagai argumen bisa
diperdebatkan oleh semua warga negara tanpa harus merujuk pada
keyakinan agama. Namun praktik “public reason” ini membutuhkan jaring
pengaman berupa prinsip-prinsip konstitusionalisme, HAM, dan
kewarganegaraan yang sudah didiskusikan dalam bab ini. Bab berikutnya
akan membahas pengalaman sekularisme negara-negara Barat, dan ini
diharapkan akan memperjelas beberapa elemen dalam proposal saya.