Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

83
©Abdullahi Ahmed An-Na`im Bab III Dalam bab ini, saya akan mendiskusikan konstitusionalisme, hak asasi manusia, dan kewarganegaraan dalam perspektif Islam. Kombinasi prinsip- prinsip umum tersebut diharapkan mampu mengatur dan memediasi kerja praksis sekularisme sebagai sebuah proses untuk menyelesaikan ketegangan antara netralitas negara terhadap agama, di satu pihak, dengan keterhubungan Islam dan kebijakan publik, di pihak lain. Konstitusionalisme menyediakan kerangka hukum dan politik untuk merealisasikan dan melindungi persamaan status, hak asasi manusia, dan kesejahteraan seluruh warga negara. Standar hak asasi manusia, sebagaimana yang telah didefinisikan dalam kesepakatan internasional dan regional serta tercantum dalam hukum adat internasional, hanya bisa dipraktikkan melalui institusi, sistem hukum dan konstitusi nasional. Tetapi, efektifitas sistem nasional dan internasional tersebut tergantung pada partisipasi aktif warga negara dalam melindungi hak-haknya sendiri. Pada saat yang sama, norma-norma hak asasi dan konstitusi membuat warga negara bisa bertukar informasi, mengorganisir dan melakukan aksi secara bersama-sama untuk mempromosikan visi mereka tentang kemaslahatan sosial dan melindungi hak-hak mereka. Dengan kata lain, konstitusionalisme dan hak asasi manusia adalah alat yang penting untuk melindungi status dan hak warga negara, tetapi fungsi tersebut dapat efektif justru karena peran warga negara sendiri. Karena itulah, proses klarifikasi terhadap dasar dan implikasi konsep kewarganegaraan menjadi penting. Konsep-konsep tersebut dan institusi yang menyertainya tergantung satu sama lain dan harus saling berinteraksi jika ingin merealisasikan tujuannya masing-masing. Dengan berusaha mengklarifikasi prinsip-prinsip tersebut dari perspektif Islam, saya berharap bisa mendapatkan legitimasi dari kalangan muslim yang harus menerima prinsip-prinsip tersebut jika mereka ingin menerapkannya secara efektif dalam masyarakatnya. Hubungan antara

Transcript of Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

Page 1: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Bab III

Dalam bab ini, saya akan mendiskusikan konstitusionalisme, hak asasi

manusia, dan kewarganegaraan dalam perspektif Islam. Kombinasi

prinsip-prinsip umum tersebut diharapkan mampu mengatur dan

memediasi kerja praksis sekularisme sebagai sebuah proses untuk

menyelesaikan ketegangan antara netralitas negara terhadap agama, di

satu pihak, dengan keterhubungan Islam dan kebijakan publik, di pihak

lain. Konstitusionalisme menyediakan kerangka hukum dan politik untuk

merealisasikan dan melindungi persamaan status, hak asasi manusia, dan

kesejahteraan seluruh warga negara. Standar hak asasi manusia,

sebagaimana yang telah didefinisikan dalam kesepakatan internasional

dan regional serta tercantum dalam hukum adat internasional, hanya bisa

dipraktikkan melalui institusi, sistem hukum dan konstitusi nasional.

Tetapi, efektifitas sistem nasional dan internasional tersebut tergantung

pada partisipasi aktif warga negara dalam melindungi hak-haknya sendiri.

Pada saat yang sama, norma-norma hak asasi dan konstitusi membuat

warga negara bisa bertukar informasi, mengorganisir dan melakukan aksi

secara bersama-sama untuk mempromosikan visi mereka tentang

kemaslahatan sosial dan melindungi hak-hak mereka. Dengan kata lain,

konstitusionalisme dan hak asasi manusia adalah alat yang penting untuk

melindungi status dan hak warga negara, tetapi fungsi tersebut dapat

efektif justru karena peran warga negara sendiri. Karena itulah, proses

klarifikasi terhadap dasar dan implikasi konsep kewarganegaraan menjadi

penting. Konsep-konsep tersebut dan institusi yang menyertainya

tergantung satu sama lain dan harus saling berinteraksi jika ingin

merealisasikan tujuannya masing-masing.

Page 2: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Dengan berusaha mengklarifikasi prinsip-prinsip tersebut dari perspektif

Islam, saya berharap bisa mendapatkan legitimasi dari kalangan muslim

yang harus menerima prinsip-prinsip tersebut jika mereka ingin

menerapkannya secara efektif dalam masyarakatnya. Hubungan antara

Islam dan prinsip-prinsip tersebut tidak terhindarkan, karena Islam

mempengaruhi secara langsung legitimasi dan kekuatan prinsip-prinsip

tersebut dan institusi yang menyertainya dalam masyarakat Islam

kontemporer. Pada saat yang sama, hubungan ini akan memusingkan dan

kontraproduktif ketika Islam disamakan dengan pemahaman sejarah atas

syari’ah. Padahal, pemahaman historis tersebut mengandung beberapa

hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme, hak

asasi manusia, dan kewarganegaraan. Namun saya tegaskan, saya tidak

bermaksud untuk mengatakan bahwa prinsip-prinsip umum hak asasi

manusia tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum syari’ah. Malah, saya

merujuk pada beberapa pemikiran syari’ah tradisional yang masih relevan

untuk kehidupan publik masyarakat muslim saat ini, meskipun bukan pada

hal-hal yang menyangkut akidah, ibadah atau aspek-aspek lain dalam

muamalah.

Untuk menempatkan diskusi tentang konstitusionalisme, hak asasi

manusia dan konsep kewarganegaraan dalam konteks buku ini secara

keseluruhan, saya ingin mengingatkan pembaca bahwa tujuan utama

buku ini adalah untuk meyakinkan bahwa pemisahan institusi negara dan

Islam dengan tetap menjaga keterhubungan antara Islam dan politik

merupakan hal yang perlu dan penting. Dengan kata lain, adalah penting

untuk terus menjaga netralitas negara terhadap agama secara tepat

Page 3: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

karena manusia cenderung mengikuti pandangan pribadinya, termasuk

agama. Tapi tujuan pemisahan ini tidak bisa dicapai melalui usaha

menempatkan agama dalam ruang privat, karena usaha seperti ini tidak

penting, pun tidak perlu. Malah, upaya pemisahan Islam dan negara harus

dilakukan dengan tetap mengakui fungsi publik Islam dan pengaruhnya

dalam pembuatan kebijakan publik dan undang-undang. Ketegangan

seperti ini harus terus diselesaikan melalui upaya pemunculan “public

reason” dalam kerangka konstitusionalisme, hak asasi manusia dan

kewarganegaraan yang akan didiskusikan dalam bab ini. Saya akan mulai

dengan mengklarifikasi pembedaan antara negara dan politik dan

hubungannya dengan keharusan adanya “public reason”. Prinsip-prinsip

konstitusionalisme, hak asasi manusia dan kewarganegaraan akan

didiskusikan dalam tiga bagian berikutnya. Bab ini akan ditutup dengan

kesimpulan dan sekaligus selayang pandang mengenai cara prinsip-

prinsip tersebut beroperasi sebagai kerangka untuk mengatur berjalannya

“public reason” yang diharapkan dapat mengatur hubungan antara Islam

dan politik di satu sisi dan hubungan antara Islam dan negara di sisi lain.

I. Negara, Politik dan “public reason”

1. Karakter negara modern

Semua muslim saat ini tinggal di sebuah teritori yang disebut sebagai “the

nation” state (negara bangsa), yang berdasarkan model Eropa dan telah

menjadi model yang dimapankan melalui penjajahan, bahkan di negara

yang secara formal tidak pernah dijajah. Menurut sarjana Barat, model

negara seperti ini ditandai dengan adanya “administrasi dan tata hukum

yang terpusat dan terorganisasi secara birokratis dan dijalankan oleh

sekelompok administratur, serta mempunyai otoritas atas apapun yang

Page 4: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

terjadi di wilayah kekuasaannya, basis teritorial dan monopoli untuk

menggunakan kekuasaan”.1 Karena saya khawatir terhadap karakter

inheren negara yang opresif dan hegemonik, saya lebih suka merujuk

pada karakter teritorial negara daripada klaimnya sebagai representasi

satu bangsa yang koheren dan homogen. Berikut ini adalah ciri-ciri negara

sebagai kawasan teritorial:2

Negara modern adalah organisasi birokratis yang terpusat,

hirarkis, dan dibagi-bagi menjadi institusi dan organ yang berbeda

yang memiliki fungsi masing-masing. Namun, institusi-institusi itu

beroperasi sesuai dengan aturan formal dan struktur akuntabilitas

yang hirarkis dan jelas pada otoritas pusat.

Institusi-institusi negara yang terpisah namun berhubungan

ini, berbeda dengan organisasi sosial lain seperti partai politik,

organisasi sipil, dan asosiasi bisnis. Meskipun pembedaan ini terasa

jelas dalam tataran teoritis, namun dalam praktiknya, institusi-

institusi negara sebetulnya terhubung dengan organisasi-organisasi

non-negara tersebut. Hubungan ini penting agar institusi-institusi

negara mendapatkan legitimasi dan dapat berfungsi efektif. Tapi

tentu saja, cakupan dan fungsi institusi negara berbeda dengan

organisasi non-negara sebab institusi dan aparatur negara harus

mengatur aktor non-negara dan harus menengahi perbedaan di

antara mereka. Hubungan kompleks antara perbedaan teoritis dan

keterhubungan praksis antara lembaga negara dan organisasi non

1 Graeme Gill, The Nature and Development of the Modern State (New York: Palgrave Macmilan, 2003), hlm. 2-32 Gill, The Nature and Development of the Modern State, hlm. 3-7

Page 5: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

negara ini adalah salah satu aspek penting dalam pembedaan

antara negara dan politik.

Domain organisasi negara modern lebih luas dari organisasi-

organisasi lain karena saat ini domainnya mencakup hampir seluruh

aspek kehidupan manusia baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan,

kesehatan dan lain sebagainya. Fungsi lembaga negara yang

komprehensif dan luas ini juga menandakan keunikan, otonomi, dan

independensi negara dari organisasi-organisasi lain.

Untuk menunaikan fungsi dan perannya yang beragam ini,

negara harus memiliki kedaulatan eksternal maupun internal.

Lembaga negara harus menjadi pemilik otoritas tertinggi dalam

wilayah kekuasaannya. Negara juga harus menjadi representasi

otoritatif dari warga negara dan aktor-aktor yang berada dalam

kawasan kekuasaannya bagi pihak-pihak yang berada di luar

wilayahnya.

Untuk alasan yang sama yang telah disebut diatas, negara

juga harus memiliki monopoli untuk menggunakan kekuatan dan

pemaksaan secara sah. Kemampuan ini sangat esensial bagi negara

agar ia bisa memberdayakan otoritasnya untuk melindungi

kedaulatannya, menjaga keutuhan hukum dan tatanannya, serta

mengatur dan menengahi perselisihan dan lain sebagainya

Namun demikian, kekuasaan negara terbatas pada

wilayahnya. Suatu negara, biasanya, tidak mempunyai otoritas di

Page 6: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

luar wilayah kekuasaannya. Organisasi non-negara seperti

komunitas keagamaan atau tarikat sufi dapat beroperasi

dimanapun; lepas dari batas-batas politis negara karena mereka

didirikan berdasarkan fungsi dan bukan batasan geografis.

Rakyat suatu negara sering memiliki ikatan dan identifikasi

sentimentil terhadap negaranya, namun itu bukan karakter negara

yang penting. Konsep “negara bangsa” misalnya, memang

mengasumsikan adanya kesamaan identitas semacam etnik atau

bahasa antara warga negara. Tapi asumsi ini bisa keliru, karena

kawasan tidak selalu identik dengan etnik, agama atau ikatan-

ikatan popular lain. Ikatan-ikatan semacam itu mungkin saja beraku

bagi beberapa kelompok dalam satu wilayah negara, dan mungkin

juga bisa sama dan berlaku bagi orang lain yang tinggal di wilayah

lain. Memang, hampir semua negara berusaha untuk

menumbuhkan perasaan kesamaan identitas nasional, namun

kesamaan bukanlah ciri esensial sebuah negara modern.

Negara juga cenderung memiliki tipe pemerintahan yang

berbeda. Bisa jadi pemerintahannya adalah partai demokrat liberal,

satu partai, monarki dan lain sebagainya. Tapi juga harus dicatat,

ciri ini juga bukan sebuah karakter definitif. Tak ada satupun dari

rezim tersebut yang layak disebut negara jika ia tidak memiliki

administrasi yang terpusat dan birokratis, kedaulatan, serta

monopoli untuk menggunakan kekusaan dan pemaksaan.

Page 7: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Beberapa elemen negara modern mungkin dimiliki oleh

organisasi non-negara, tapi tidak ada satu pun dari organisasi itu

memiliki seluruh karakter negara. Secara khusus kedauatan atas

wilayah merupakan ciri pembeda negara dari organisasi non-negara

karena kedaulatan ini tidak dimiliki oleh organisasi non-negara

manapun.

Ciri negara modern tersebut di atas biasanya didiskusikan dalam konteks

pengalaman negeri-negeri Barat, meskipun modelnya juga diterapkan di

beberapa negara Asia dan Afrika yang berpenduduk muslim. Elaborasi

seorang penulis mungkin akan membantu upaya kita untuk

mengklarifikasi ciri-ciri negara yang kita maksud dalam perbincangan ini.3

Organisasi negara terdiri dari seperangkat aturan, peran dan sumber daya

yang ditujukan untuk meraih seperangkat tujuan yang jelas. Meskipun

semua negara dicirikan dengan pembedaan antara negara dan organisasi

non-negara, tingkat pembedaannya tidak selalu sama persis dan setara.

Sebagai aturan utama, negaranya biasanya berwatak sekular dengan

memisahkan dirinya dari ruang-ruang spiritual penganut atau organisasi

agama. Penting pula untuk dicatat, bahwa meskipun negara dan

institusinya berbeda dengan masyarakat sipil dan organisasinya, bahkan

relatif otonom satu sama lain, namun keduanya tetap saling memberikan

dukungan.

Sebagai pemilik kekuasaaan dan otoritas atas wilayah dan hak monopoli

pemaksaan, negara adalah otoritas terakhir. Otoritas terakhir

merupakan konsekuensi dari kepemilikan negara atas kedaulatan dan

3 Gianfranco Poggi, The State: Its Nature, Development and Prospects (Stanford, California: Stanford University Press, 1990), hlm. 19-33.

Page 8: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

integritas wilayah. Namun otoritas ini pun akan melemah, jika kedaulatan

dan integritasnya hilang. Kedaulatan wilayah berarti negara memiliki

kontrol eksklusif atas warga yang tinggal di wilayahnya dan wilayah ini

tidak bisa dibagi dengan pihak lain kecuali atas persetujuan dan

kerjasama negara itu sendiri. Dengan demikian, intervensi negara atau

pihak luar lain dianggap melanggar prinsip kedaulatan wilayah yang

dimiliki negara, kecuali bila intervensi itu dilakukan oleh Dewan Keamanan

PBB. Pengecualian ini sah karena dengan menandatangi Piagam PBB,

semua negara yang menjadi anggota PBB telah menyetujui otoritas yang

dimiliki lembaga ini. Otoritas sentral negara berarti bahwa ia otonom.

Hanya negara yang memiliki otoritas untuk membuat aturan yang

mengatur cara kerjanya dan menjadi sumber bagi seluruh otoritas politik

lain. Meskipun fungsi terakhir ini mungkin diserahkan pada organisasi atau

pihak lain. Sentralitas negara juga berarti bahwa negara harus

mengkoordinasikan fungsi dan aktifitas organ dan institusinya, karena

merekalah yang memapankan kekuasaan negara. 4

Ciri negara yang lain dan relevan dengan pembicaraan kita saat ini adalah

ia mendapatkan legitimasi demokratis atas kekuasaan dan otoritas yang

dimilikinya. Ini berarti bahwa rakyatlah yang memiliki kekuasaan dan

otoritas yang paling mutlak atas negara, yang memang berfungsi untuk

melayani mereka. Namun, meski rakyat memiliki otoritas dan kekuasaan

mutlak, ketaatan mereka terhadap negara juga merupakan hal mutlak

agar negara mampu melaksanakan fungsinya. Dukungan rakyat ternyata

juga penting bagi negara yang dikuasai oleh rezim diktator atau kerajaan

yang cenderung menjustifikasi dan melegitimasi otoritas mereka dengan

4 poggi, hlm. 22

Page 9: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

“kehendak kolektif” dan “kepentingan rakyat”. Dari basis legitimasi inilah,

konsep kewarganegaraan muncul untuk menjamin kesetaraan dan

kesamaan hak dan kewajiban mereka di hadapan negara.5 Kombinasi

legitimasi demokratis dan kewarganegaraan ini juga harus tercermin

dalam watak dan fungsi hukum dalam sebuah negara. Apapun

pandangan, sumber dan keputusan hukum di masa lalu, saat ini

negara sudah semakin mampu mengambil alih fungsi pembuatan

hukum dan tidak hanya memberlakukannya. Jika dulu otonomi

hukum terletak pada statusnya sebagai seperangkat prinsip dan norma

yang isi dan validitasnya bersumber dari agama, tradisi, dan praktik

spontan masyarakat, maka saat ini hukum telah menjadi produk sekaligus

instrumen kebijakan.6

Dari overview singkat di atas, negara modern bisa difahami sebagai

representasi institusional sebuah kekuasaan politik, yang tidak lagi

didapat dari otoritas personal seorang penguasa atau dari mereka yang

mendapatkan otoritas dari penguasa. Kekuasaan politik negara, yang

terpusat dan terlembaga, direfleksikan melalui struktur birokrasi dan

organisasinya. Negara bahkan bisa memformalisasikan penggunaan

kekuasaannya itu melalui standar dan prosedur hukum serta

mempromosikan integrasi kekuasaan politik melalui legitimasi demokratis

dan peningkatan pentingnya konsep kewarganegaraan sebagai prinsip

yang mengatur hubungan negara dan masyarakat.7

2. Pembedaan Negara dan Politik

5 Poggi, hlm. 286 Poggi, hlm. 297 poggi, hlm. 33 dengan penekanan khusus pada keaslian teks

Page 10: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Ciri-ciri negara yang telah saya kemukakan diatas jelas mengindikasikan

adanya pembedaan antara domain negara dan politik secara umum,

dimana negaralah yang menentukan isu-isu yang akan diperdebatkan dan

dinegosiasikan di ruang politik dengan beragam formalitas dan proses.

Negara juga diharapkan dapat membuat dan menegakkan aturan

negosiasi bagi pihak-pihak yang berharap idenya terwakili dan

diformulasikan sebagai kebijakan publik. Jangkauan negara modern

sangat luas dan bahkan semakin diperluas hingga mencakup aspek-aspek

eksistensi sosial lain seperti kesejahteraan sosial dan lingkungan.

Meskipun berfungsi sebagai aktor utama yang memiliki jangkauan yang

luas dalam struktur politik masyarakat, cakupan dan wilayah operasional

negara dibatasi oleh dinamika relasi sosial di sekelilingnya. Karena

strukturnya yang formal, tugasnya yang penting, dan karakternya sebagai

entitas yang otonom, negara tidak dapat mengeksplorasi secara penuh

domain politiknya dalam masyarakat secara umum. Namun dengan ciri-

ciri ini, tidak berarti negara menjadi berada “di atas” praktik politik massa

atau terputus sepenuhnya dari masyarakat yang diaturnya. Karena untuk

disebut sah, sebuah negara harus bisa mengakar di masyarakat, seperti

halnya ia bisa menjaga otonomi operasional dan fungsionalnya dari politik

keseharian.

Relasi yang kompleks antara politik dan negara ini dapat difahami dari

logika dan sikap negara yang harus otonom, namun mengakar dan

terhubung dengan masyarakat. Sebagai institusi dan organ yang sangat

kompleks, organisasi negara dapat dibagi secara vertikal berdasarkan

fungsi dan secara horisontal berdasarkan geografi.8 Pembagian vertikal

8 Gill, hlm. 16

Page 11: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

berhubungan dengan keberadaan “ruang utama” (major sphere) tempat

berbagai aktor sosial bergabung dengan yang lainnya dan dengan negara:

“dalam negara, ruang ini difahami sebagai bidang kebijakan (dan

konstituen), dan ditandai dengan adanya berbagai departemen pelayanan

publik yang dibentuk untuk melaksanakan bidang kebijakan tertentu

seperti kesehatan, transportasi, pendidikan, hukum, tatanan masyarakat

dan urusan konsumen”.9 Sedangkan pembagian horisontal berarti

pengorganisasian tata pemerintahan secara spasial. Negara,

dengan demikian, bisa dibagi berdasarkan negara kesatuan

ataupun negara federal, atau berdasarkan pembagian

pemerintahan lokal atau regional.10 Pembagian vertikal berdasarkan

fungsi juga dapat terbagi lagi secara horisontal melalui pembagian

wilayah atau unit administratif.

Dalam pembagian vertikal, negara akan banyak berhubungan dengan

berbagai aktor sosial dari kelompok-kelompok yang berkepentingan

dengan bidang kebijakan tertentu. Ia juga akan terlibat dalam hubungan-

hubungan yang terus berkembang antara berbagai aktor negara dan

politik dalam ruang sosial dan konstituen kebijakan yang lebih luas.

Otonomi dan stabilitas negara tergantung pada kualitas hubungannya

dengan berbagai segmen dalam masyarakat karena jika kualitas

hubungan ini akan mempersulit kelompok tertentu untuk mengatur dan

menguasai negara. Semakin normal politik negosiasi antar kelompok,

semakin rendah pula kemungkinan kelompok-kelompok tersebut untuk

tergoda dan mampu memaksakan kekuataannya untuk menguasai

negara. Semakin banyak kelompok yang menyatakan klaimnya dan

9 Gill, hlm. 16-1710 Gill, hlm. 17

Page 12: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

berpartisipasi dalam menekan negara, maka tidak akan ada satu

kelompok pun yang mampu mengambil kontrol penuh atas institusi

negara. Dengan cara seperti ini, otonomi negara akan lebih terjaga.

Sebaliknya, bila sebagian kelompok tersisih dari percaturan politik praktis,

mereka akan lebih termotivasi untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih

besar dan lebih tidak takut untuk mengalami kerugian dengan menantang

premis dan operasi negara. Hubungan dinamis antara negara dan aktor

sosial ini bersifat saling menguntungkan karena negara, pada dasarnya,

berkepentingan untuk mempengaruhi sebanyak mungkin konstituen.

“Untuk melaksanakan tugas, membuat dan mengimplementasikan

kebijakan yang dibuatnya, serta untuk melaksanakan fungsinya sebagai

pembuat aturan bagi masyaraktnya, negara membutuhkan kerjasama

konstituen-konstituen dan organisasi yang relevan tersebut. Sebagai

gantinya, negara harus mengizinkan penetrasi pihak-pihak tersebut pada

institusinya.11

Mekanisme pertukaran kepentingan antar negara dan aktor sosial dan

politik lain dapat berlangsung secara formal dan institusional seperti yang

terjadi dalam proses tawar menawar negara dengan asosiasi dagang atau

organisasi professional, kehadiran perwakilan NGO dalam institusinya,

atau terlibatnya perwakilan NGO dalam merumuskan dan melaksanakan

kebijakannya. Mekanisme yang sama juga dapat ditempuh melalui cara

informal seperti pengaruh atau hubungan perorangan. Apapun cara yang

digunakan, itu tidak menjadikan negara sebagai satu-satunya perwakilan

dari kelompok tertentu, bahkan negara tetap dapat menjaga otonominya

karena ia mampu berinteraksi dengan berbagai kelompok. Dengan kata

11 Gill, hlm. 17

Page 13: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

lain, kompetisi antar berbagai kelompok untuk mempengaruhi kebijakan

negara, justru merupakan jaring pengaman bagi hadirnya kelompok yang

ingin mengambil alih kekuasaan negara. Bahkan, kompleksitas dan

sentralitas negara justru berarti bahwa tidak ada kelompok atau kumpulan

aktor-aktor sosial yang akan menantang otoritas negara atau

menghilangkan otoritasnya dengan menekan salah satu institusi.12 Karena

institusi negara tergantung pada otoritas sentral dan tunduk pada

ketentuan yang berlaku bagi seluruh aparatur negara, otonomi negara

dicapai melalui pengaruh yang tak proporsional dari institusi non-negara.

Dengan demikian, negara dapat difahami sebagai arena tempat aktor-

aktor politik dan sosial berkompetisi untuk meraih tujuan-tujuannya.

Namun pada saat yang sama, keragaman aktor-aktor yang berpartisipasi

dalam proses kompetisi ini juga menjamin otonomi negara.13

Negara dapat menempuh jalur ekonomi, sosial maupun budaya untuk

mengikatkan dirinya dengan kelompok-kelompok dalam masyarakat,

misalnya dengan mengangkat pegawai dari kelas sosial atau daerah

tertentu dan menyediakan ruang bagi wakil rakyat terpilih untuk

berpartisipasi atas nama konstituennya dalam proses pembuatan

kebijakan negara. Perbedaan antara pegawai negara yang mewakili kelas

sosial atau etniknya dengan wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan

adalah kebebasan kedua kelompok tersebut untuk mempertahankan

ikatan identitasnya ketika mereka telah terpilih. Pegawai negara tidak

boleh mempertahankan ikatan etnis dan sosialnya, tetapi wakil rakyat

12 Gill, hlm. 1813 Gill, hlm. 18-19

Page 14: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

harus tetap mempertahankan ikatan tersebut karena ia terikat dengan

konstituen yang memilihnya.14

Sebagai kesimpulan, legitimasi dan kekuatan negara tergantung pada

keterhubungannya dengan aktor sosial dan politik lain dan juga pada

otonominya dari pengaruh mereka. Semakin terhubung sebuah negara

dengan masyarakatnya, akan semakin rendah resikonya untuk kehilangan

otonomi. Banyaknya kelompok-kelompok kepentingan yang bersaing

untuk mempengaruhi kebijakan negara malah akan menjaga

keseimbangan pengaruh yang mereka miliki terhadap negara. Otonomi

negara juga akan relatif tidak terancam oleh satu kelompok atau beberapa

kelompok, bila struktur negara tetap terpusat, kompleks, dan institusi-

institusinya diatur dengan seperangkat aturan yang jelas. Karena

penjelasan lebih lanjut tentang teori politik dan negara sudah tidak

memungkinkan lagi, saya berharap bisa memanfaatkan ulasan mengenai

ciri-ciri dan dinamika hubungan politik dan negara ini untuk menjelaskan

pertanyaan utama kita yaitu: bagaimana hubungan negara dan

masyarakat atau hubungan negara dan politik bisa dijembatani melalui

“public reason”?

3. “ Public reason ” untuk Memediasi Konflik Kebijakan

Diskusi kita yang telah lalu mengindikasikan bahwa legitimasi negara

dapat diukur dari seberapa dalam dan organiknya hubungan antara

negara dengan berbagai aktor non-negara dalam wilayah politik. Otonomi

negara akan hilang atau berkurang bila negara hanya mengizinkan satu

kelompok untuk mempengaruhi dan memaksakan kepentingan pada salah

14 Gill, hlm. 20

Page 15: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

satu institusinya atau bahkan negara secara keseluruhan. Dengan kata

lain, pelaksanaan kombinasi legitimasi dan otonomi ini sangat tergantung

pada dua persyaratan. Pertama, aktor non negara membutuhkan ruang

yang aman untuk bersaing secara bebas dan sehat untuk mempengaruhi

proses pengambilan kebijakan melalui peran negara. Kedua, ruang yang

tersedia tersebut harus dapat menjamin terbukanya kesempatan bagi

sebanyak-banyaknya kelompok untuk berkompetisi. Semakin banyak dan

beragam kelompok yang dapat bersaing secara bebas dan sehat untuk

mengamankan kepentingan dan urusannya dalam sebuah kebijakan,

semakin kecil pula kemungkinan mereka untuk mengontrol negara atau

institusinya. Dua hal tersebut mengindikasikan apa yang saya istilahkan

sebagai “public reason” dimana para aktor sosial dapat mempengaruhi

negara dengan tetap tidak membahayakan otonomi negara. Konsep ini

berisi beberapa elemen seperti prosedur efektif untuk menjamin

partisipasi bebas dan sehat, pedoman mengenai isi dan etika debat publik,

bahkan perangkat pendidikan dan perangkat lain yang digunakan untuk

meningkatkan legitimasi dan efektifitas persyaratan tersebut.

Dengan berpegang pada penjelasan mengenai ciri-ciri negara modern

yang telah saya kemukakan diatas dan bagaimana ia harus dibedakan

dengan politik, saya akan memberi penekananan pada beberapa point

yang berkaitan dengan “public reason” sebagai berikut:

1. Ruang bagi public reason harus tetap aman sehingga proses

argumentasi terbangun dalam suasana yang mudah untuk

dikendalikan oleh pemerintahan atau rezim tertentu atau dikontrol

oleh satu kelompok sosial tertentu. Agar dapat diterima oleh

seluruh elemen masyarakat, ruang bagi public reason harus

Page 16: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

didentifikasi sebagai negara, bukan sebagai satu rezim atau masa

pemerintahan tertentu.

2. Selain itu, ruang bagi “public reason” harus diamankan

melalui prinsip-prinsip konstitusionalisme, sekularisme yang

menjamin netralitas negara terhadap agama, hak asasi manusia

dan kewarganegaraan. Prinsip-prinsip tersebut merupakan elemen

organisasi politik dan tata hukum sebuah negara, yang tidak akan

mudah dibatalkan oleh pemerintahan apapun. Namun, meski

berfungsi sebagai jaring pengaman, prinsip-prinsip tersebut

bukanlah sesuatu yang absolut. Ia dapat berubah seperti Undang-

Undang yang bisa diamandemen. Kadar netralitas negara terhadap

agama bisa terus dinegosiasikan (hal ini akan secara khusus

dijelaskan nanti dalam bab 4), pun prinsip hak asasi manusia terus

bisa tumbuh dan berkembang. Sistem politik dan hukum sebuah

negara harus memungkinkan adanya ketentuan-ketentuan khusus

yang berlaku pada saat gawat darurat, tetapi tetap harus tunduk

pada jaring pengaman ini agar tidak ada pihak yang

menyalahgunakan pengecualian ini. Tujuan prinsip-prinsip ini

adalah agar aturan yang menjamin public reason itu tidak mudah

diubah hanya untuk memenuhi keinginan sekelompok kecil

masyarakat tertentu.

3. Selain menyediakan jaring pengaman, negara tidak boleh

mempengaruhi wacana public reason dengan membatasi jumlah

pihak yang boleh terlibat dalam ruang public reason dengan

mendiskriminasi kelompok agama, komunitas atau kelompok

minoritas tertentu. Sebaliknya, negara harus dapat menyediakan

ruang bagi sebanyak mungkin warga negara, baik sebagai individu

Page 17: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

atau bagian dari kelompok tertentu, untuk mewakili dan berdebat

mengenai kebijakan publik. Ini tentu saja bukan perkara mudah,

karena banyak pemerintahan yang bertindak atas nama negara

tergoda untuk memanipulasi public reason untuk kepentingannya

sendiri.

4. Meskipun negara harus mempersiapkan aturan dan pedoman

dasar public reason, namun domain public reason tetap harus

berada di wilayah civil society. Dengan kata lain, meskipun negara

mengatur public reason, bukan berarti public reason adalah institusi

negara. Posisi ini justru memperkokoh status otonom negara karena

negara dapat mendorong adanya keragaman di kalangan aktor

sosial politik sekaligus menyediakan ruang bagi terciptanya debat,

konsensus, dan aliansi di kalangan mereka.

Karena istilah “public reason” telah banyak digunakan oleh kalangan

sarjana Barat, nampaknya disini saya perlu mengklarifikasi pengertian

“public reason” yang saya gunakan dalam tulisan ini. Saya akan terlebih

dahulu mengulas secara singkat istilah “public reason” seperti yang

digunakan oleh Jhon Rawls dan beberapa komentar mengenainya.

Kemudian, saya akan menjelaskan bagaimana debat tentang istilah ini

berkaitan dengan makna “public reason” yang saya gunakan dalam

perbincangan Islam, Negara dan Politik.

Rawls berpendapat bahwa public reason adalah ciri utama relasi negara

dan rakyat dalam tatanan negara yang demokratis dan konstitusional.15

Menurutnya, “ide tentang public reason menetapkan bagian terdalam

15John Rawls, Political Liberalism, (expanded edition, New York: Columbia University Press, 2003), hlm. 212-254, hlm. 435-490.

Page 18: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

landasan moral dan nilai-nilai politik yang menentukan relasi antara

pemerintahan yang demokratis dan konstitusional dengan rakyatnya”.16 Ia

mendefinisikan public reason sebagai:

“reason ini disebut public karena tiga hal. Pertama, jika reason itu muncul

dari warga negara yang bebas dan setara. Kedua, jika reason ini berisi

tentang kemaslahatan publik yang berkaitan dengan masalah keadilan

politik yang fundamental yang mempermasalahkan esensi undang-undang

dasar dan soal keadilan dasar. Ketiga, watak dan isinya yang memang

publik, diungkapkan dengan penalaran publik melalui sekumpulan konsep

keadilan politik rasional yang telah difikirkan secara rasional pula, untuk

memenuhi kriteria resiprositas.17

Dengan demikian, bagi Rawls ruang public reason menyinggung masalah

“esensi undang-undang dasar dan masalah keadilan dasar yaitu hak-hak

dan kebebasan fundamental yang mungkin termasuk dalam undang-

undang dasar dan masalah keadilan dasar yang berkaitan dengan

keadilan sosial dan ekonomi serta hal lainnya yang tidak terbahas dalam

undang-undang dasar. Fokus spesifik ini memperlihatkan bahwa Rawls

memandang public reason “tidak berlaku untuk semua diskusi politik

tentang pertanyaan-pertanyaan fundamental”.18 Ia membedakan antara

cakupan public reason dengan apa yang dia sebut sebagai “latar belakang

kultural” (background culture) masyarakat sipil yang mewujud dalam

bentuk asosiasi seperti gereja, universitas, dan lain sebagainya.19

Menurutnya, reason yang muncul dalam ruang-ruang tersebut, meskipun

16 Rawls, hlm. 441-44217 Rawls, hlm.44218 Rawls, hlm. 44219 Rawls, hlm. 443

Page 19: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

tidak sepenuhnya “privat” dan diungkapkan dalam ruang “sosial”, namun

tetap saja bersifat “non-public” jika dibandingkan dengan masyarakat

secara keseluruhan.20 Bahkan, reason yang diungkapkan dalam media pun

tidak dianggap “public reason” oleh Rawls.21

Ruang yang tepat bagi public reason menurut Rawls adalah “forum politik

publik” (public political forum) yang mungkin terjadi dalam tiga keadaan.

“Pertama, perdebatan pada hakim untuk menentukan keputusan,

terutama hakim-hakim di Mahkamah agung. Kedua, perdebatan pegawai

pemerintahan, terutama mereka yang duduk di kursi eksekutif dan para

pembuat undang-undang. Ketiga, perdebatan calon pejabat negara dan

manajer kampanyenya, terutama, dalam orasi publik, platform partai dan

ungkapan-ungkapan politiknya.”22 Dalam keadaan-keadaan itulah,

penerapan public reason mengambil bentuk yang khusus dan tertentu.

Meskipun, “justifikasi publik yang diperlukan untuk reason yang muncul

dalam tiga keadaan itu sama dengan reason yang muncul dalam keadaan

lain”, namun, mungkin akan berlaku lebih ketat bagi para hakim, terutama

yang berada di mahkamah agung.23

Pandangan Rawls mengenai “public reason” menyaratkan adanya

demokrasi konstitusional yang sudah mapan dan didukung oleh adanya

tertib hukum. Warga negara memiliki hak untuk mendasarkan

pandangannya pada apa yang dia sebut sebagai “doktrin-doktrin yang

komprehensif” atau pandangan dunia yang luas seperti agama, moralitas

atau filsafat. Namun, doktrin-doktrin tersebut tidak boleh dikemukakan

20 Rawls, hlm. 22021 Rawls, hlm. 44422 Rawls, hlm. 442-44323 Rawls, hlm. 231-240

Page 20: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

sebagai public reason.24 “public reason” juga tidak boleh “mengkritisi atau

menyerang” doktrin-doktrin komprehensif manapun, baik doktrin itu

doktrin keagamaan atau bukan. “Public reason” harus diartikulasikan

dalam konsep dan nilai politik fundamental. “Syarat utama doktrin yang

dimunculkan dalam domain public reason adalah doktrin tersebut dapat

difahami dan menerima rezim demokratis konstitusional serta gagasan

mengenai hukum yang sah.”25

Meskipun demikian, Rawls nampaknya masih menerima kemungkinan

pengungkapan doktrin-doktrin komprehensif dalam public reason pada

situasi tertentu, tergantung pada tingkat ekslusivitas dan inklusivitas

pandangan terhadap doktrin yang digunakan. Jika sifatnya ekslusif, doktrin

komprehensif tersebut tidak boleh diungkapkan kepada publik meskipun

ia mendukung “public reason”. Tetapi bila pandangannya inklusif,

siapapun bisa menjadikan doktrin tersebut sebagai sumber nilai-nilai

dasar politik yang mereka anut dan mengungkapkannya untuk

memperkuat “public reason”.26 Pandangan yang ekslusif bisa digunakan

dalam “masyarakat yang sudah lebih teratur” (more or less well ordered

society), dimana keadilan dan hak-hak dasar warga negara terjaga dengan

baik sehingga ekspresi “public reason” cukup menggunakan nilai-nilai

politik yang tumbuh di masyarakat sendiri dan tidak perlu merujuk pada

doktrin komprehensif apapun. Rawls membedakan kondisi ini dengan

kondisi dimana terjadi “perselisihan serius antara berbagai kelompok

dalam masyarakat yang hampir teratur (nearly well ordered society)”

mengenai penerapan salah satu prinsip keadilan”. Misalnya perselisihan

24 Rawls, hlm. 44125 Rawls, hlm. 44126 Rawls, hlm. 247

Page 21: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

berbagai kelompok mengenai masalah dukungan pemerintah terhadap

pendidikan agama. Dalam situasi seperti itu, penjelasan di sebuah forum

publik tentang “bagaimana doktrin komprehensif yang diyakini oleh

seseorang sesuai dengan nilai-nilai politik” mungkin dapat mengokohkan

dan melegitimasi public reason itu sendiri.27 Rawls mengambil contoh

orang-orang yang berjuang menghapus perbudakan berdasarkan nilai-nilai

agama pada abad 19 di Amerika Serikat. Saat itu non-public reason dari

gereja-gereja tertentu mendukung kesimpulan akhir public reason.28

Contoh lainnya adalah gerakan perjuangan hak-hak sipil, Meskipun Martin

Luther King Jr. memperoleh rujukan perjuangannya dari nilai-nilai politik

dalam konstitusi, ia tetap menggunakan non-public reason untuk

melegitimasi perjuangannya. Dalam dua kasus di atas, para pemimpin

gerakan penghapusan perbudakan dan perjuangan hak-hak sipil memang

menyetujui cita ideal public reason, tetapi konteks sejarah perjuangan

mereka mengharuskan penggunaan doktrin komprehensif untuk

memperkuat nilai-nilai politik yang sedang mereka perjuangkan. Gerakan

mereka, pada intinya, justru memperkuat cita ideal “public reason” karena

mereka menggunakan pandangan inklusif doktrin komprehensif tersebut.

Dengan demikian, batasan yang tepat untuk “public reason” akan sangat

tergantung pada konteks historis dan sosialnya.29

Saya tidak mungkin mereview semua debat yang berlangsung di kalangan

sarjana barat tentang ide Rawls ini, tapi saya akan menjelaskan secara

singkat 2 kritik yang akan sangat berguna untuk menjelaskan istilah

“public reason” yang saya gunakan dalam buku ini. Pertama, kritik

27 Rawls, hlm. 248-24928 Rawls, hlm. 249-25029 Rawls, hlm. 251

Page 22: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Habermas terhadap ide Rawls terutama mengenai pembedaan antara

istilah “doktrin komprehensif” dengan “nilai-nilai politik” (political

values).30 Habermas juga mempertanyakan pengertian Rawls mengenai

istilah “political” dalam istilah “nilai-nilai politik” dan pembedaan domain

privat dan domain publik dalam kehidupan sosial. Menurut Habermas,

“Rawls memperlakukan ruang nilai-nilai politik (political value sphere),

yang dalam masyarakat modern ruang ini dibedakan dari ruang nilai-nilai

kultural (cultural value sphere), sebagai sesuatu yang sudah begitu

adanya”. Rawls juga telah membagi identitas seseorang menjadi identitas

politik publik dan identitas pra politik yang non publik di luar pencapaian

swa legislasi yang demokratis”.31 Bagi Habermas, ide Rawls ini

bertentangan dengan fakta sejarah mengenai pergeseran batas-batas

ruang publik dan privat. Kedua, penekanan Habermas terhadap ruang-

ruang independen dan ruang-ruang non-pemerintah yang merupakan

arena penting bagi tumbuh dan berkembangnya “public reason”.

McCarthy menyimpulkan pandangan Habermas ini sebagai berikut:

“bagi Habermas, forum publik independen yang terpisah dari sistem

ekonomi dan administrasi kenegaraan dan lebih memiliki tempat di dalam

asosiasi-asosiasi sukarela, gerakan-gerakan sosial termasuk media massa

merupakan sumber utama kedaulatan rakyat. Idealnya, public reason

yang diungkapkan dalam ruang non-pemerintah bisa diterjemahkan

menjadi kekuasaan administratif negara yang sah, melalui prosedur

pembuatan keputusan yang sah dan terlembagakan seperti prosedur

pemilihan dan legislatif. Dalam bahasa Habermas, “kekuasaan yang

tersedia bagi administrasi ini muncul dari public reason… Opini publik

30 Jurgen Habermas, “Reconciliation Through the Public Use of Reason: Remarks on Jhon Rawls’ Political Liberalism”, in The Journal of Philosophy, 92: 3 (March 1995): 109-131, pada hlm.118-11931 Habermas, hlm.129

Page 23: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

yang bekerja melalui prosedur-prosedur demokratis memang tidak bisa

memerintah secara langsung, tetapi bisa mengarahkan kekuatan

administratif tersebut pada tujuan-tujuan tertentu.32

Untuk menyimpulkan bagian ini, saya akan mengungkapkan pengertian

“public reason” yang saya gunakan dalam buku ini dan bagaimana

pengertian ini berkaitan dengan ide-ide yang telah dikemukakan oleh

sarjana-sarjana Barat. Saya mendefinisikan “public reason” dalam bab 1

sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh alasan dan tujuan sebuah

kebijakan publik atau undang-undang dalam bentuk penalaran yang

menyediakan kemungkinan bagi seluruh warga negara untuk menerima,

menolak bahkan membuat ajuan tandingan melalui mekanisme debat

publik tanpa berresiko dikenakan tuduhan makar, membangkang atau

murtad. Ide saya ini mungkin didukung oleh pendapat Rawls dan

Habermas, namun pengalaman masyarakat Barat yang menjadi konteks

pemikiran mereka, mungkin tidak akan terlalu relevan untuk pengalaman

masyarakat yang saya sebutkan dalam buku ini. Ide Rawls mengenai

pembedaan antara konsep politik dan doktrin komprehensif, misalnya,

akan berguna bagi saya untuk menentukan kerangka bagi ekspresi public

reason. Namun pembedaan ini mengasumsikan adanya sebuah tatanan

undang-undang dan masyarakat yang stabil yang memiliki kondisi

kondusif bagi tumbuhnya debat mengenai isu-isu public reason. Sebuah

keadaan yang sulit ditemui di dunia Islam. Karena itu, saya lebih suka

mengambil pendapat-pendapat tersebut untuk memperkuat argumen

yang saya buat tanpa mengidentifikasi diri secara khusus pada salah

seorang di antara mereka atau berpartisipasi dalam debat kalangan Barat.

32 Thomas McCarthy, “Kantian Constructivism and Reconstructivism: Rawls and Habermas in Dialogue. Dalam Ethics 105: 1 (Oktober 1994): 44-63 pada hlm. 49

Page 24: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Saya mengajukan sebuah pandangan mengenai public reason yang

berakar pada tradisi civil society dan ditandai dengan adanya persaingan

sehat antara berbagai aktor sosial untuk mempengaruhi kebijakan publik

melalui peran negara. Dengan merujuk pada ciri-ciri negara yang telah

disebutkan diatas, pelaksanaan public reason di ruang non-negara justru

akan semakin melebarkan legitimasi dan otonomi negara. Ruang public

reason menyediakan tempat bagi warga negara sebuah forum dan

mekanisme untuk menuntut hak-hak mereka atas negara. Keberadaan

sebuah forum yang egaliter dan inklusif, tempat dimana warga negara

memiliki hak untuk berpastisipasi, menguatkan fakta bahwa negara bukan

merupakan bagian dari satu kelompok atau beberapa kelompok tertentu.

Meskipun ruang public reason harus dilindungi dan diatur berdasarkan

prinsip-prinsip konstitusionalisme, hak asasi manusia dan

kewarganegaraan, ketiga prinsip itu pun harus mendapatkan legitimasi

dari proses public reason. Saya akan mengulang tema ini dalam bagian

kesimpulan, setelah mendiskusikan masing-masing prinsip tersebut dalam

kaitannya dengan pikiran saya dalam buku ini secara keseluruhan.

II. Konstitusionalisme dalam Perspektif Islam

Tata pemerintahan yang konstitusional merujuk pada adanya seperangkat

prinsip yang membatasi dan mengontrol kekuasaan pemerintah sesuai

dengan hak-hak fundamental warga negara dan komunitas, serta sesuai

dengan tata hukum yang menjamin hubungan antara individu dan negara

diatur oleh prinsip-prinsip hukum yang jelas, bukan oleh kehendak elit

penguasa yang despotik.33 Saya menggunakan istilah konstitusionalisme

33 J.T McHugh, Comparative Constitutional Traditions (New York: Peter Lang, 2002, hlm. 2-3

Page 25: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

untuk memayungi jaringan sejumlah lembaga, proses dan budaya yang

lebih luas, yang diperlukan untuk menjalankan tata pemerintahan yang

konstitusional secara efektif dan berkelanjutan.34 Saya sendiri lebih

tertarik pada seperangkat nilai, lembaga serta proses politik dan sosial

yang dinamis dan komprehensif, daripada penerapan formal prinsip-

prinsip umum yang abstrak atau aturan-aturan hukum yang spesifik.

Prinsip-prinsip hukum dan undang-undang memang relevan dan penting,

tetapi implementasi prinsip-prinsip tersebut secara efektif dan

berkelanjutan hanya dapat dicapai melalui konsep konstitusionalisme

yang lebih luas dan dinamis.

Pemahaman dasar tentang konstitusionalisme yang saya sebutkan disini

berdasarkan pada dua hal. Pertama, konsepsi yang beragam mengenai

prinsip-prinsip dan lembaga-lembaga konstitusionalisme harus dilihat

sebagai pendekatan komplementer terhadap model pemerintahan yang

akuntabel dan bertanggung jawab yang bisa beradaptasi pada perubahan

waktu dan tempat, daripada sebagai representasi dikotomi yang tajam

atau pilihan-pilihan yang kategoris. Karena definisi konsep ini merupakan

produk pengalaman masyarakat yang hidup dalam keadaan tertentu,

maka menetapkan hanya satu pendekatan terhadap definisi atau cara

implementasi konsep ini dan mengenyampingkan pendekatan lain,

menjadi tidak masuk akal dan tidak penting. Baik berdasarkan dokumen

tertulis atau tidak, konsep ini bertujuan untuk menegakkan tatanan

hukum, menjalankan pembatasan yang efektif terhadap kekuasaan

34 Alan S. Rosenbaum, Introduction to Constitutionalism the Philosophical Dimension, ed. Alan S. Rosenbaum (Westport, Connecticut: Greenwood Press, 1988), hlm. 4-5; Louis Henkin, “A New Birth of Constitutionalism: Genetic Influences and Genetic Defects” dalam Constitutionalism, Identity, Differences and Legitimacy, ed. Michel Rosenfeld (Durham, North Carolina: Duke University Press, 1994), hlm. 39-53; dan Constitutionalism, eds. J. Roland Pennock and John W. Chapman (New York: New York University Press, 1979).

Page 26: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

pemerintah, dan melindungi hak asasi manusia. Pemahaman yang lebih

universal terhadap konstitusionalisme mungkin akan berkembang dari

waktu ke waktu, tapi pemahaman ini harus merupakan hasil analisis

komparatif terhadap pengalaman praksis, bukan hasil usaha pemaksaan

satu definisi ekslusif yang berdasarkan satu ideologi atau tradisi filsafat

tertentu.

Kedua, saya sangat percaya bahwa prinsip-prinsip tersebut hanya bisa

direalisasikan dan dikembangkan melalui praktik dan pengalaman.

Karenanya, kedaulatan rakyat dan keadilan sosial, misalnya, hanya bisa

dicapai melalui praktik aktual yang kondusif bagi adanya koreksi teori dan

modifikasi praktik, bukan dengan menunda sampai sebuah kondisi ideal

bagi pelaksanaan konsep itu dicapai oleh penguasa. Usaha-usaha untuk

mencapai kedaulatan rakyat dan keadilan sosial itulah yang justru

menyediakan kesempatan bagi munculnya keadaan yang lebih kondusif

bagi pelaksanaan konstitusionalisme yang sukses dan berkelanjutan.

Dengan demikian, akhir sebuah tata pemerintahan yang konstitusional

justru direalisasikan melalui pengalaman mempraktikkan prinsip-prinsip

konstitusional dalam konteks masing-masing masyarakat. Pengalaman

praksis tersebut, pada akhirnya, akan mempengaruhi refleksi teoritis

terhadap prinsip-prinsip tersebut dan meningkatkan cara praktiknya di

masa yang akan datang.

Praktik Lokal dan Prinsip-Prinsip Universal

Secara umum, konstitusionalisme merupakan respon tertentu terhadap

paradoks dasar pengalaman praksis sebuah masyarakat. Di satu sisi,

sudah jelas bahwa seluruh anggota masyarakat tidak mungkin dapat

Page 27: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

berpartisipasi secara sejajar dalam pelaksanaan urusan-urusan publiknya.

Namun di sisi lain, jelas pula bahwa orang cenderung untuk memiliki

pandangan dan kepentingan yang berbeda berkaitan dengan hal-hal

seperti kekuasaan politik, alokasi dan pengembangan sumber daya

ekonomi, serta pelayanan dan kebijakan sosial. Disinilah negara menjadi

pihak yang berperan untuk menyelesaikan perbedaan pendapat dan

konflik kepentingan itu. Namun dalam praktiknya, fungsi tersebut juga

dijalankan oleh aparatur negara (manusia), dan bukan oleh badan resmi

yang abstrak dan lembaga yang netral. Konstitusionalisme, dengan

demikian, berfungsi memberikan ruang bagi pihak-pihak yang memiliki

kontrol langsung terhadap aparatur negara untuk memastikan bahwa

pandangan dan kepentingan mereka dipenuhi oleh mereka yang bertugas

untuk mengatur negara itu. Realitas inilah yang menjadi dasar bagi semua

aspek konstitusionalisme, baik yang berkaitan dengan struktur dan

lembaga negara maupun aktivitasnya dalam membuat dan menjalankan

kebijakan publik dan administrasi keadilan.

Dengan demikian, tata pemerintahan konstitusional mengharuskan

adanya penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak indidividu dan

masyarakat karena makna dan implementasi kedua hak ini berkaitan satu

sama lain. Contohnya, menghormati kebebasan individu untuk

mengutarakan pendapat, keyakinan dan berorganisasi adalah satu-

satunya cara untuk melindungi hak kebebasan kelompok etnik dan agama

tertentu. Tapi, kebebasan individual itu akan bermakna dan bisa

dijalankan secara efektif dalam konteks kelompok yang relevan. Selain itu,

karena hak merupakan alat untuk merealisasikan tujuan keadilan sosial,

stabilitas politik dan perkembangan ekonomi untuk seluruh lapisan

Page 28: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

masyarakat, hak harus difahami sebagai sebuah proses dinamis daripada

aturan-aturan hukum yang abstrak.

Namun, hak-hak seperti kebebasan untuk berekspresi dan berorganisasi

tidak akan berguna tanpa adanya lembaga-lembaga untuk

menjalankannya termasuk adanya kemampuan untuk mengajukan dan

menindak perbuatan pegawai pemerintahan dan menjaga mereka agar

tetap akuntabel. Karena itu, pegawai pemerintahan seharusnya tidak

boleh menyembunyikan kegiatannya, menutup-nutupi praktik

penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukannya. Yang secara umum

berarti transparansi kegiatan pegawai negara adalah sebuah kebutuhan.

Transparansi ini dapat dicapai melalui perundang-undangan, aturan

administratif dan juga kebebasan pers, serta kemungkinan adanya

tuntutan atas pegawai negara yang menyalahgunakan kekuasaannya atau

menghindari tanggung jawabnya. Transparansi administratif dan finansial

tidak mungkin menghasilkan akuntabilitas politik dan hukum, bila tidak

disertai adanya lembaga yang independen dan kompeten yang bisa

menginvestigasi kemungkinan pelanggaran dan bisa menyelesaikan

pertikaian. Namun sayangnya, proses-proses yang berkaitan dengan

masalah-masalah teknis tentang adminitrasi peradilan dan hukum sampai

persiapan praktis untuk mengamankan independensi kehakiman atau

akuntabilitas politik pejabat terpilih, tidak bisa didiskusikan secara detail

sekarang.

Aspek konstitusionalisme yang terpenting berkaitan dengan motivasi

psikologis dan kemampuan sosiologis warga negara untuk berpartisipasi

dalam kegiatan kolektif mempromosikan dan melindungi hak dan

Page 29: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

kebebasan. Penegakan semua prinsip, lembaga dan proses

konstitusionalisme tergantung pada kerelaan dan kemampuan warga

negara untuk berbuat demi kemaslahatan bersama, bukan hanya untuk

kepentingan sekelompok golongan dan lapisan masyarakat tertentu.

Tentu saja aspek-apek motivasi dan kemampuan itu sulit untuk dihitung

dan diverifikasi, tetapi semuanya melibatkan motivasi warga negara untuk

selalu mengetahui urusan-urusan kemasyarakatan dan selalu bertindak

secara kolektif. Agen dan lembaga publik yang dioperasikan oleh warga

negara tidak saja harus mendapatkan kepercayaan dari masyarakat lokal,

tetapi juga harus ramah, responsif dan dapat diakses oleh seluruh lapisan

masyarakat. Inilah makna yang paling mendasar dan praksis dari

kedaulatan rakyat, dimana rakyat dapat mengatur dirinya sendiri melalui

pegawai publik dan wakilnya yang sudah terpilih. Jadi, konstitusionalisme

pada intinya adalah bagaimana merealisasikan dan mengelola ide ideal ini

dengan cara yang dinamis dan berkelanjutan, dengan menyeimbangkan

stabilitas yang diperlukan sekarang dengan kebutuhan akan adaptasi dan

pengembangan di masa yang akan datang.

Prinsip konstitusionalisme kadang-kadang diekspresikan dalam istilah hak

untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) dimana rakyat

berhak menentukan secara bebas status politik mereka dan meraih

kemajuan ekonomi, sosial dan kultural mereka. Hak ini kadang-kadang

disalahfahami sebagai hak untuk memisahkan diri dari negara yang sudah

ada. Adalah lebih baik untuk melihat pemenuhan hak untuk menentukan

nasib sendiri sebagai sebuah proses yang berkelanjutan, daripada

melihatnya sebagai sesuatu yang harus dipenuhi sekaligus setelah meraih

kemerdekaan politik dari kekuasaan kolonial luar. Benar bahwa

Page 30: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

kedaulatan negara merupakan kondisi awal untuk pemenuhan hak untuk

menentukan nasib diri. Tapi kedaulatan negara saja tidak selalu penting

dan cukup dalam segala situasi. Negara terpisah tidak selalu penting bagi

mereka yang ingin merealisasikan hak menentukan nasib sendiri, karena

hak itu bisa dicapai dalam kerangka negara yang sudah ada, asal

pemerintahannya akuntabel dan representatif. Negara terpisah mungkin

juga tidak akan cukup, karena rakyat juga bisa ditindas lagi oleh hegemoni

internal kelompok penguasa dan ideologi eksklusif atau kekuatan kolonial

luar.35 Karena kekuasaan kolonial biasanya lebih mudah dihadapi daripada

hegemoni internal, saya akan secara khusus membahas bahayanya

melegitimasi hegemoni dan penindasan semacam itu dalam masyarakat

Islam saat ini, dengan mengungkapkan pentingnya agama dalam upaya

menekan kekuatan oposisi politik dan akuntabilitas pemerintah.

Konstitusionalisme selalu berkaitan dengan kemampuan rakyat untuk

mempengaruhi kejadian-kejadian yang membentuk kehidupan mereka

baik pada tingkat personal, keluarga maupun masyarakat.

Konstitusionalisme berkaitan dengan upaya penataan dan pengamanan

ruang publik untuk rakyat agar mereka dapat mencari, bertukar, berdebat

dan menilai sebuah informasi secara bebas serta dapat bergabung dengan

yang lain agar dapat melakukan sesuatu untuk mencapai tujuannnya.

Konsep dasar ini juga mengindikasikan bahwa kesamaan akses itu harus

disediakan bagi seluruh anggota masyarakat karena hidup mereka

ditentukan oleh kebijakan-kebijakan yang sedang terbentuk. Dalam

praktiknya, prinsip seperti ini menimbulkan persoalan lain yang terkait

dengan pembedaan antara status warga negara (citizen) yang memiliki

35 Lihat misalnya Abdullahi A. An-Na’im dan Francis M. Deng, “Self-Determination and Unity: The Case of Sudan, dalam “Law and Policy, Vol. 18 (1996), hlm.199-223

Page 31: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

keanggotaan penuh serta seperangkat hak dan kewajiban, dengan

permanen residen (permanent resident) yang hanya memiliki separuh

keanggotaan, serta dengan orang asing (aliens) yang jelas-jelas tidak

memiliki hak untuk terlibat dalam proses-proses demokrasi konstitusional.

Prinsip konstitusionalisme berisi beberapa prinsip umum seperti

pemerintahan yang representatif, transparansi, akuntabilitas, pemisahan

kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta independensi lembaga

kehakiman. Tapi, ini bukan berarti bahwa semua prinsip-prinsip ini harus

ada agar konstitusionalisme dapat diimplementasikan dengan sukses di

sebuah negara. Kenyataannya, prinsip-prinsip dan kondisi itu hanya bisa

muncul dan berkembang dalam berbagai model melalui proses trial and

error yang terus menerus.36 Pemerintahan yang representatif,

transparansi, akuntabilitas bisa direalisasikan dalam berbagai model

seperti sistem parlementer Inggris atau Sistem presidensial Perancis dan

Amerika. Model-model tersebut bukan merupakan satu-satunya sistem

sebuah negara, sistem itu dapat berubah dan disesuaikan dengan

perubahan yang terjadi di sana.37 Meski berhadapan dengan masalah dan

kesulitan, setiap model negara konstitusional yang sukses pasti bekerja

dengan totalitas dan ia terus bertransformasi dan menyesuaikan diri

dengan caranya sendiri dalam situasi krisis. Ini dapat dilihat dengan jelas

dalam kasus Perancis dan Jerman pada Abad ke -20.38

36 D. Franklin dan M. Baun (ed.), Political Culture and Constitusionalism: A Comparative Approach (New York: M. E. Sharpe), hlm. 184-21737 McHugh, Comparative Constitutional Traditions, hlm. 50-54, 57-58, 147, 149-150.38 William Safran, “The Influence of American Constitutionalism in Postwar Europe: the Bonn Republic Basic Law and the Constitution of the Fifth French Republic,” dalam American Constitutionalism Abroad, ed. George Athan Billias (Westport, Connecticut: Greenwood Press, 1990), hlm. 91-109.

Page 32: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Pemisahan kekuasaan dan independensi lembaga kehakiman, misalnya,

bisa diamankan baik melalui penataan struktural dan institusional seperti

yang terjadi di Amerika,39 atau dengan cara politik konvensi dan praktik

tradisi dalam kultur politik negara seperti Inggris.40 Pembedaan yang ketat

antara cara konvensi dan tradisi, di satu pihak, dengan cara struktural dan

institusional, di pihak lain, bisa jadi salah, karena masing-masing model

mungkin membutuhkan atau mengandaikan adanya model lain agar dapat

berfungsi dengan baik. Perbedaan seperti ini lebih merupakan produk

pengalaman sejarah dan konteks masing-masing negara, daripada hasil

pilihan yang sengaja dibuat pada titik waktu tertentu.41 Yang paling

penting dari semua itu adalah kemampuan sistem tersebut untuk

mencapai tujuan-tujuan konstitusionalnya meskipun praktiknya berbeda-

beda.

39 McHugh, Comparative Constitutional Traditions, hlm. 35-3640 McHugh, Comparative Constitutional Traditions, hlm. 47-6341 lihat secara umum, McHugh, Comparative Constitutional Traditions; Michel Rosenfeld, “Modern Constitutionalism as Interplay Between Identity and Diversity,” in Constitutionalism, Identity, Differences, and Legitimacy, ed. Michel Rosenfeld (Durham, North Carolina, Duke University Press, 1994), hlm. 3-38.

Page 33: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Dengan mengatakan bahwa kita harus bertahan pada model tertentu

yang sukses mengimplementasikan konstitusionalisme, bukan berarti

bahwa sistem-sistem yang sudah ada itu juga kondusif untuk menjaga

keberlanjutan implementasi beberapa prinsip konstitusionalisme seperti

pemisahan kekuasaan lembaga-lembaga negara dan independensi

lembaga kehakiman. Meskipun ini hanya persoalan tingkat kecocokan,

namun beberapa metode terbukti tidak cukup kuat karena mereka

memang tidak menerapkan prinsip pokoknya. Contohnya, meskipun

kekuasaan eksekutif untuk menunjuk dan mempekerjakan hakim

merupakan satu hal yang tak terhindarkan, namun dengan memberikan

kepercayaan sepenuhnya pada mereka untuk melakukan penunjukkan

tanpa melakukan cek atau pengawasan merupakan satu bentuk

penyimpangan dari prinsip independensi lembaga kehakiman. Sebuah

sistem yang menolak hak-hak dasar masyarakat tertentu seperti

kesetaraan di hadapan hukum atau kesamaan akses terhadap fasilitas

publik karena sentimen gender atau agama berarti menolak prinsip

konstitusionalisme itu sendiri.

Meskipun demikian, ini juga tidak berarti bahwa sistem yang tidak dapat

diterima, bisa dengan mudah dan cepat digantikan oleh model lain yang

lebih baik. Pengalaman paska kemerdekaan negara-negara Asia Afrika42

menunjukkan bahwa transplantasi struktur, lembaga dan proses yang

dapat dengan mudah dilakukan di beberapa negara, ternyata

membutuhkan adaptasi dan pengembangan yang cukup hati-hati di

beberapa negara lain. Munculnya konsensus mengenai ciri-ciri

42 Lihat sebagai contoh, Okon Akiba, “Constitutional Government and the Future of Constitutionalism in Africa,” Constitutionalism and Society in Africa, ed. Okon Akiba (Burlington, Vermont: Ashgate Publishing Company, 2004), hlm. 7-16.

Page 34: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

konstitusionalisme, dan bagaimana mereka diturunkan dan diaplikasikan

di masing-masing negara, merefleksikan pengalaman lokal dan global

negara tersebut. Dengan kata lain, makna dan implikasi

konstitusionalisme untuk sebuah negara adalah hasil interaksi prinsip-

prinsip universal yang luas dengan proses dan faktor lokal yang spesifik.

Namun perlu di catat, prinsip-prinsip universal sendiripun sebetulnya

merupakan perluasan dari pengalaman-pengalaman berbagai negara

yang dihasilkan dari pengalaman interaksi antara nilai-nilai universal dan

lokal negaranya.

Islam, Syari’ah dan Konstitusionalisme

Saya tertarik dengan hubungan antara Islam, Syariah dan

Konstitusionalisme karena interaksi antara ketiga hal tersebut ada dalam

hati dan pikiran ummat Islam.43 Ini bukan berarti bahwa Islam benar-benar

secara ekslusif menentukan perilaku konstitusional penganutnya, karena

perilaku konstitusional dan bahkan pemahaman dan praktik berIslam-nya

ummat Islam juga dipengaruhi oleh faktor politik, ekonomi dan faktor

lainnya. Ketertarikan saya lebih karena muslim tidak mungkin untuk

mempertimbangkan konstitusionalisme secara serius jika mereka menilai

konsep atau beberapa prinsipnya secara negatif; sebagai sesuatu yang

tidak sesuai dengan kewajiban agama mereka untuk melaksanakan

syari’ah. Tapi sebagaimana yang sudah saya tekankan sebelumnya,

pengetahuan dan praktik syariah apapun adalah selalu merupakan produk

pemahaman dan pengalaman muslim, yang tidak mungkin mencakup

seluruh aspek tentang Islam. 43 Lihat sebagai contoh, Ausaf Ali, “Contrast Between Western and Islamic Political Theory” in Modern Muslim Thought, Vol. 1, Modern Muslim Thought, Vol. 1 (Karachi, Pakistan: Royal Book Company), hlm. 181; Muhammad Asad, Principles of State and Government in Islam (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1985), hlm. 1-17, 22-23; Saba Habacy, Introduction to J.N.D. Anderson, Islamic Law in the Modern World (Westport, Connecticut: Greenwood Press, 1975), hlm. ix.

Page 35: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Sumber atau kerangka undang-undang tradisional Islam biasanya diambil

dari pengalaman komunitas awal muslim yang dibangun Nabi di Madinah

setelah hijrah dari Mekah di tahun 622 H dan kemudian diteruskan oleh

generasi pertama pengikutnya.44 Pola perilaku individu dan masyarakat,

serta model hubungan dan lembaga sosial politik, umumnya selalu

disandarkan dan dikaitkan dengan periode yang selalu dianggap sebagai

model ideal bagi Muslim sunni itu. 45 Namun karena sifatnya yang ideal itu

pulalah, model tersebut tidak pernah bisa direplikasi secara utuh setelah

Nabi dan sahabat-sahabatnya meninggal.

Terlebih lagi, tidak ada kesepakatan di antara ummat Islam mengenai apa

yang dimaksud dengan model Madinah itu dan bagaimana model itu

diaplikasikan dalam konteks hari ini. Bagi mayoritas muslim sunni, masa

Nabi dan Khulafa al-Rasyidun (sampai terbunuhnya Ali pada tahun 660 M),

merepresentasikan model ideal teori undang-undang dasar Islam yang

paling otoritatif.46 Sementara itu, kalangan Islam syi’ah memiliki model

ideal mereka sendiri yaitu imam-Imam Maksum sejak masa pemerintahan

Ali. Jumlah imam-imam maksum ini tergantung pada sekte-sekte tertentu

dalam syi’ah (apakah Ja’fari, Isma’ili, Zaydi dan lain sebagainya).47 Dengan

demikian, baik sunni maupun syi’ah menganggap model yang tumbuh

pada masa tersebut sebagai model yang paling ideal dan mencela

44 Lihat secara umum Kemal Faruki, The Evolution of Islamic Constitutional Theory and Practice from 610 to 1926 (Karachi, Pakistan: National Publication House, 1971).45 Lihat Asad, State and Government in Islam, hlm. 24-29; Maimul Ahsan Khan, Human Rights in the Muslim World (Durham, North Carolina: Carolina Academic Press, 2003), hlm. 143-240.46 Lihat al-Nabhani, the Islamic State; lihat juga Asad, State and Government in Islam, hlm. 24-29; A. Rahman I. Doi, Non-Muslims Under the Shri’ah (Islamic Law), (Lahore, Pakistan: Kazi Publication, 1981), hlm. 12247 Lihat sebagai contoh Said Amir Arjomand, The Shadow of God and the Hidden Imam (Chicago: University of Chicago Press, 1984; and Farhad Daftary, The Isma’ilis: Their History and Doctrines (Cambridge: Cambridge University Press, 1990).

Page 36: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

generasi sesudahnya. Bahkan seringkali model ini mendapatkan justifikasi

untuk dipaksakan karena terjadinya situasi-situasi tertentu seperti

kekacauan internal atau invasi luar. Seperti yang sudah diungkapkan

Anderson, “nampaknya lip-service lebih suka digunakan untuk mendukung

syari’ah sebagai otoritas hukum yang paling fundamental dan untuk

menggunakan konsep “darurah” guna menerapkannya dalam praktik,

daripada membuat usaha real untuk mengadaptasikan hukum Islam

tersebut pada situasi dan kebutuhan kebutuhan saat ini”. 48

Karena itulah, saya mencoba untuk mempromosikan pemahaman syari’ah

sebagai sesuatu yang dapat terus dipraktikkan oleh Muslim, daripada

terus menerus memelihara harapan-harapan yang tidak realistis yang

menghargai syariah hanya sebatas teori, bukan praktik. Dengan demikian,

masalahnya adalah bagaimana menerjemahkan esensi keadilan dan

implikasi praksis model historis tersebut, bukan berusaha mengulangnya

dalam keadaan yang sangat berbeda ini. Contohnya, ajaran tentang syura.

Ajaran ini tidak mengikat dan tidak pernah pula dipraktikkan dengan cara

yang sistematik dan inklusif.49 Qs. 3: 159 menginstruksikan nabi untuk

bermusyawarah (syawirhum) dengan pengikutnya, tapi jika ia telah

menemukan jawabannya sendiri, ayat tersebut mengatakan bahwa ia

harus melaksanakan keputusannya itu. Ayat lain yang sering dikutip

berkaitan dengan syura adalah Qs 42: 38 yang menggambarkan orang-

orang mu’min sebagai sebuah komunitas yang memutuskan masalah

dengan musyawarah. Tapi ayat ini tidak menjelaskan bagaimana

musyawarah itu dipraktikkan dan apa yang harus dilakukan bila terjadi

48 Norman Anderson, Law Reform in the Muslim World (London: Athlone Press 1976), hlm. 36.49 Tapi lihat Asad, State and Governmnet in Islam, hlm. 54-55

Page 37: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

ketidaksepakatan.50 Istilah syura dalam konteks ini, lebih banyak

mengindikasikan keharusan untuk mendengarkan pendapat tanpa harus

terikat olehnya. Seperti yang saya tunjukkan pada bab II, praktik Nabi dan

para sahabat nampaknya membuktikan pemahaman ini. Praktik syura

yang seperti ini kemudian menjadi norma yang berlaku dalam

pemerintahan dinasti Umayah, Abbasiyah dan negara-negara yang

tumbuh dalam masyarakat Islam pra modern.

Namun demikian, dengan pemahaman syura yang seperti ini tidak berarti

bahwa konsep tersebut tidak bisa dipakai sebagai dasar prinsip-prinsip

undang-undang dasar yang terlembagakan dan melibatkan seluruh

penduduk. Justru inilah bentuk evolusi dan pengembangan prinsip-prinsip

Islam yang saya ajukan. Namun segalanya harus kita mulai dengan

pemahaman yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan syura dan

bagaimana ia pernah dipraktikkan. Menganggap syura sebagai sebuah

prinsip yang sudah difahami dan dipraktikkan sebagai “pemerintahan

yang berdasarkan undang-undang” dalam konteks modern, justru akan

menjadi kontra-produktif, karena syura hanya akan digunakan untuk

membenarkan praktik-praktik inkonstitusional. Lagipula, klaim tersebut

masih dipertanyakan karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa

syura pernah diimplementasikan dalam bentuk lembaga politik yang bisa

mengelola pertikaian politik dan peralihan kekuasaan secara damai dan

baik sepanjang sejarah Islam. Ini tentu saja berlaku dimanapun, karena

konsep dan lembaga-lembaga tersebut berkembang secara gradual dan

tak pasti selama kurang lebih 2 abad. Namun ini tidak dimaksudkan untuk

menjustifikasi pemahaman sejarah yang keliru bahwa muslim sudah

50 Noel J. Coulson, “The State and the Individual in Islamic Law”, International and Comparative Law Quarterly 1957, hlm. 49-60, pada hlm. 55-56.

Page 38: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

mengetahui dan mempraktikkan prinsip-prinsip pemerintahan

konstitusional seperti itu.

Pendekatan yang sama juga harus diterapkan untuk mengembangkan

interpretasi syari’ah tradisional mengenai kesetaraan perempuan dan

non-muslim serta kebebasan beragama. Fakta bahwa pembatasan itu

memang terjadi pada beberapa masyarakat di masa lalu, tidak bisa

menjustifikasi penerapannya secara terus menerus oleh masyarakat

muslim sekarang. Malah, kita harus mengerti terlebih dahulu alasan

justifikasi praktik-praktik tersebut itu dalam berbagai budaya lokal

masyarakat Islam masa lalu, dan bagaimana praktik-praktik itu

dilegitimasi sebagai interpretasi otoritatif syari’ah. Baru kemudian, kita

mencari interpretasi alternatif yang lebih konsisten dengan budaya yang

berkembang dan konteks masyarakat Islam sekarang.

Perlu saya tekankan disini bahwa aturan umum syari’ah menjamin

kebebasan ummat Islam untuk melakukan dan meninggalkan syari’ah

kecuali bila bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Secara teoritis,

tidak ada pembatasan hak-hak konstitusional dalam syari’ah, kecuali

dalam keadaan tertentu. Tapi dalam praktiknya, aturan ini menjadi

sangat kompleks karena syari’ah difahami berbeda oleh beragam mazhab

dan para fuqaha berbeda pendapat hampir dalam semua masalah.51

Akibatnya, ummat Islam seringkali merasa tidak yakin, apakah, menurut

syari’ah, mereka memiliki hak untuk melakukan dan meninggalkan

kewajiban atau tidak. Buruknya, ketidakjelasan ini sering membuka

kemungkinan bagi terjadinya manipulasi oleh para pemimpin atau elite 51 Lihat secara umum, Wael B. Hallaq, “Can Shari’ah Be Restored,” Islamic Law and the Challenges of Modernity, eds. Yvonne Yazbeck Haddad and Barbara Freyer Stowasser (Walnut Creek, California: AltaMira Press, 2004), hlm. 26-36.

Page 39: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

keagamaan. Selain itu, ketidakjelasan ini juga memiliki konsekuensi serius

terhadap hak-hak konstitusional ummat Islam seperti aturan mengenai

pakaian perempuan (jilbab) dan aturan pemisahan laki-laki dan

perempuan yang bisa mengganggu kebebasan personal dan kemampuan

partisipasi mereka dalam kehidupan publik.

Apapun pandangan orang tentang masalah ini, ternyata aturan mengenai

hak-hak konstitusional perempuan dan non-muslim yang harus tunduk

pada batasan-batasan tertentu, tidak pernah diperdebatkan. Misalnya, Qs.

4: 34 yang sering digunakan untuk menekankan prinsip otoritas laki-laki

sebagai qawwam atas perempuan dan dengan demikian, menolak hak

perempuan untuk memegang jabatan pubik apapun.52 Meskipun para

fuqaha berbeda pendapat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

prinsip ini, tapi tidak ada seorang pun dari mereka yang memberikan

posisi setara kepada perempuan. Bahkan, prinsip ini kemudian diterapkan

untuk menginterpretasi ayat lain dan bahkan diperkuat oleh berbagai ayat

yang jelas-jelas memberikan hak yang tidak sama kepada perempuan

dalam pernikahan, perceraian, warisan, dan lain-lain.53 Prinsip ini juga

diterapkan pada ayat-ayat seperti QS. 24: 31, Qs. 33: 33, 53, 59 untuk

membatasi hak perempuan berbicara dalam ruang publik atau untuk

berkumpul dengan laki-laki. Akhirnya, kemampuan perempuan untuk

berpartisipasi dalam pemerintahan negaranya pun dibatasi.54 Dengan

demikian, meskipun perempuan muslim memiliki kebebasan yang sama 52 Ausaf Ali, “Role of Muslim Women Today,” Modern Muslim Thought, Vol. 1, hlm. 226-227; “The Development and Integration of Muslim Women as a Human Resource in the Islamic Economy in the Modern World,” Modern Muslim Thought, Vol. 1, hlm. 256-263.53 Lihat sebagai contoh Abul A’la al-Maududi, Purdah and the Status of Women in Islam, diterjemahkan dan diedit oleh al-‘Ash’ari (Lahore, Pakistan: Islamic Publication Ltd., 1979), hlm. 141-15854 Fatima Mernissi, Women in Islam: an Historical and Theological Enquiry, Mary Jo Lackland (pen.), (Oxford, England: Basil Blackwell Ltd., 1991), hlm. 49-81; Maududi, Purdah and the Status of Woman, hlm. 152-153.

Page 40: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

dengan laki-laki dalam beragama dan mengungkapkan pendapat,

kesempatan mereka untuk mendapatkan hak ini sangat dibatasi oleh

larangan untuk mengakses ruang publik.

Kombinasi ayat-ayat umum dan khusus semacam tadi juga digunakan

untuk membatasi hak-hak non-muslim baik ahlul kitab maupun orang-

orang kafir.55 Saya akan menjelaskan hal ini secara lebih luas dalam

bagian mengenai “kewarganegaraan”. Sekarang saya hanya ingin

menekankan bahwa meskipun terdapat banyak perbedaan teoritis di

kalangan sarjana muslim dan terdapat pula beragam variasi antara teori

dan praktik, namun dalam khazanah interperetasi syariah tradisional,

prinsip bahwa non-muslim tidak setara dengan muslim tidak pernah

menjadi bagian dalam perdebatan tersebut. Interpretasi alternatif sangat

mungkin dimunculkan, namun bukan dengan mengklaim bahwa

pembatasan semacam itu bukan bagian dari syari’ah yang pernah

diinterpretasikan oleh muslim di masa lalu.

Justifikasi sosiologis maupun poilitik apapun yang diajukan untuk

menguatkan aspek-aspek syariah tersebut, aspek-aspek tersebut tidak

lagi valid untuk konteks masyarakat islam modern. Larangan diskriminasi

berdasarkan jenis kelamin atau agama telah ada dalam undang-undang

dasar negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Negara-negara tersebut juga mengakui kovenan hak asasi manusia

internasional yang menyaratkan adanya kesetaraan dan ketiadaan

diskriminasi. Benar bahwa pemerintahan negara-negara tersebut jarang

yang sudah melaksanakan semua aturan yang tertera dalam undang-

55 Sebagai contoh lihat artikel “Dhimma” dalam Shorther Encyclopedia of Islam, (Leiden: EJ Brill, 1991), hlm. 76

Page 41: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

undang dasar mereka, tetapi problem ini dimiliki oleh hampir semua

negara. Sambil menekankan perlunya memahami dan meniadakan sebab-

sebab masalah ini, menurut saya penting bagi seluruh muslim untuk

mengungkapkan komitmen mereka pada nilai-nilai konstitusionalisme, hak

asasi manusia dan kewarganegaraan.56 Namun itu saja tidak cukup, kita

harus maju satu langkah lagi menuju apa yang saya sebut sebagai

reformasi Islami. Gerakan ini bertujuan untuk mendorong dan mendukung

usaha-usaha untuk memberikan hak yang sama bagi perempuan dan non-

muslim dari sudut pandang syari’ah dan bukan sekedar untuk

kepentingan-kepentingan politik sesaat. Gerakan ini juga akan

memberikan kontribusi bagi proses legitimasi nilai-nilai partisipasi politik,

akuntabilitas dan kesetaraan di hadapan hukum. Pada akhirnya gerakan

ini diharapkan dapat meningkatkan prospek konstitusionalisme dalam

masyarakat Islam.

Dalam menerapkan konsep undang-undang dasar dan kelembagaan yang

telah berkembang selama 2 abad untuk menganalisa pengalaman

masyarakat islam di masa lalu, saya akan menekankan bahwa

perkembangan konsep-konsep dan lembaga-lembaga tersebut tidak

membuat mereka menjadi tidak islami. Sebaliknya harus disadari bahwa

perubahan drastis yang terjadi pada masyarakat Islam dalam konteks

lokal dan global, menyebabkan model-model yang pernah berlaku di masa

lalu tidak akan mampu untuk diterapkan secara langsung begitu saja.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana menerjemahkan konsep-

konsep ideal syari’ah menjadi model pemerintahan yang bisa berfungsi

56 Lihat Brems, Human Rights, hlm. 194-206; contoh diskursus muslim mengenai hal tersebut lihat juga, Khan, Human Rights in the Muslim World; Ausaf Ali, Modern Muslim Thought; Islamic Law and the Challenges of Modernity, eds. Yvonne Yazbeck Haddad and Barbara Freyer Stowassesr; Asad, State and Government in Islam.

Page 42: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

dengan baik saat ini, daripada sekedar menekankan bahwa ini adalah

aplikasi modern yang diinspirasi oleh formulasi lama. Untuk menghindari

kebingungan, saya ingin menekankan bahwa meskipun norma sosial dan

moral masyarakat Madinah masih merupakan model ideal yang harus

dicapai oleh seluruh muslim, struktur dan cara kerja model negara yang

terjadi di masa itu tidak mungkin diterapkan dalam konteks masyarakat

muslim saat ini. Daripada terus menerus berapologi dengan argumen

negara Madinah tanpa tahu cara menerapkannya, adalah lebih baik baik

muslim untuk menerapkan kembali nilai-nilai ideal dan semangat

lembaga-lembaga sosial dan politik negara madinah dalam sistem

pemerintahan, adminsitrasi peradilan dan relasi internasional yang lebih

bisa berfungsi untuk konteks sekarang ini. Prinsip-prinsip

konstitusionalisme, hak asasi manusia dan kewarganegaraan menurut

saya justru menjadi alat yang lebih cocok untuk menjembatani

ketegangan hubungan antara islam, negara dan masyarakat dalam

masyarakat muslim saat ini, daripada terus secara tidak realistis

menganut model dulu yang sudah tidak lagi berfungsi.

Konsep baiah57 contohnya. Saat ini konsep itu harus dilihat sebagai dasar

yang otoritatif bagi perjanjian yang saling menguntungkan antara

pemerintah dan rakyat secara keseluruhan, dimana pemerintah harus

bertanggung jawab untuk melindungi hak-hak warga negara sebagai

imbalan atas penerimaan pihak kedua atas kekuasaan pihak pertama dan

kepatuhan pihak kedua terhadap aturan dan kebijakan yang dibuat oleh

pihak pertama. Tapi sebetulnya, teori undang-undang dasar modern

manapun, baik yang berdasarkan prinsip-prinsip islam atau tidak, harus 57 Bay’a berarti proses ratifikasi Imam atau khalifah pada periode awal masyarakat muslim. Ann K.S. Lambton, State and Government in Medieval Islam (Oxford, England: Oxford University Press, 1985), hlm. 18; Asad, State and Government in Islam, hlm. 69-70; al-Nabhani, The Islamic State, hlm. 278.

Page 43: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

mengembangkan sebuah mekanisme dan lembaga yang layak bagi

terselenggaranya pemilihan, akuntabilitas pemerintahan, dan

perlindungan hak-hak dasar warga negara seperti kebebasan untuk

berekspresi dan berorganisasi, seperti yang tertera dalam konsep baiah

yang kita fahami sekarang. Konsep ini bisa dilaksanakan melalui

pengembangan konsep sura menjadi prinsip yang mengikat pemerintah

daripada sekedar konsultasi sukarela. Hak asasi manusia dan konsep

“kewarganegaraan yang setara” sangat dibutuhkan bukan hanya untuk

mengembangkan konsep sura modern ini, tapi juga untuk

mengimplementasikan teori undang-undang dasar yang tepat dan inklusif

bagi laki-laki dan perempuan, muslim dan non-muslim sebagai warga

negara yang memiliki hak yang sama di hadapan negara.

Untuk menyimpulkan diskusi kita tentang konstitusionalisme dari

perspektif Islam, saya akan mengulang kembali apa yang saya tekankan

mengenai pentingnya peran umat muslim dalam melakukan proses

mendamaikan ketegangan yang timbul dari konsep netralitas negara

terhadap agama di satu pihak sambil menyadari peran positif Islam dalam

mempengaruhi kebijakan publik dan undang-undang di pihak lain. Proses-

proses tersebut haruslah dilakukan secara kontekstual dan hanya bisa

difahami dalam konteks pengalaman masing-masing masyarakat. Saya

sebetulnya menghargai kebutuhan sederhana akan (dan mungkin agak

menyederhanakan) solusi kategoris, apakah dalam bentuk sebuh negara

Islam yang berusaha menerapkan syariah atau dalam bentuk pemisahan

ketat antara negara dan Islam, dengan asumsi bahwa pemisahan ini akan

menetralisasi penagruh problematis islam atas negara. Tetapi, saya

percaya bahwa masalah ini harus dilihat dari kerangka upaya negosiasi

Page 44: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

dan mediasi, daripada fusi atau separasi. Lagipula, sekali kita menyatakan

bahwa hubungan antara Islam, masyarakat dan negara tergantung pada

konteks politik dan sosial sebuah masyarakat, maka kita menyadari

bahwa hubungan tersebut pasti dinamis, berkembang dan bisa dirubah

serta ditransformasikan, bukan terus dipelihara secara rigid dan

permanen dalam satu bentuk.

III. Islam dan Hak Asasi Manusia

Sebagaimana yang sudah saya tekankan di beberapa bagian dalam buku

ini, berbicara mengenai Islam adalah betul-betul mengenai bagaimana

muslim memahami dan mempraktikkan agama mereka, bukan sebagai

agama dalam arti yang sangat abstrak. Lagipula, diskusi mengenai

hubungan antara agama dan hak asasi manusia bukan berarti bahwa

Islam, atau agama lain, bagi pemeluknya hanya satu-satunya hal yang

bisa menjelaskan sikap dan perilaku mereka. Muslim bisa menerima atau

menolak ide mengenai hak asasi manusia atau salah satu norma yang

terdapat di dalamnya tidak karena pemahaman ortodoks mereka terhadap

agama. bahkan, beragamnya tingkat penerimaan atau kepatuhan mereka

terhadap norma-norma hak asasi manusia lebih mungkin terkait dengan

kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Islam saat ini,

daripada dengan Islam itu sendiri. Dengan demikian, apapun peran Islam,

ia tidak dapat difahami secara terpisah dari faktor-faktor lain yang

mempengaruhi bagaimana muslim menginterpretasi dan berusaha untuk

mematuhi tradisi mereka sendiri. Karenanya menjadi salah, bila kita

berusaha memprediksi atau menjelaskan tingkat kepatuhan ummat Islam

terhadap nilai-nilai hak asasi manusia sebagai sebuah konsekuensi teoritis

hubungan antara Islam dan hak asasi manusia. Tetapi, menghubungkan

Page 45: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Islam dan Hak Asasi Manusia tetap merupakan hal penting bagi mayoritas

ummat Islam agar motivasi mereka untuk berpegang pada norma-norma

hak asasi manusia tidak hilang begitu saja hanya karena mereka

memahami norma-norma tersebut sebagai sesuatu yang tidak sesuai

dengan nilai-nilai Islam. Karena jika mereka percaya bahwa hak-hak

tersebut sesuai dengan sistem kepercayaan mereka, komitmen dan

motivasi mereka untuk melindungi hak-hak tersebut akan bertambah.

Hal kedua yang penting saya tekankan disini adalah bahwa prinsip-prinsip

syari’ah pada dasarnya sesuai dengan hampir seluruh norma-norma hak

asasi manusia, kecuali pada beberapa point yang berkaitan dengan hak-

hak perempuan dan non-muslim seperti yang akan saya diskusikan nanti.

Point lain yang juga cukup serius dan akan kita diskusikan juga adalah

yang berkaitan dengan kebebasan beragama. Meskipun saya

menganggap masalah-masalah tersebut sangat serius dan berusaha untuk

menyelesaikannya melalui reformasi islami, saya lebih suka mengajukan

sebuah proses mediasi daripada konfrontasi. Jika saya, sebagai muslim,

diminta untuk memilih salah satu antara Islam dan hak asasi manusia,

saya pasti akan memilih Islam. Daripada harus menghadapkan pilihan

sulit ini kepada ummat Islam, saya kira lebih baik kita sebagai muslim

mulai mempertimbangkan untuk mentransformasikan pemahaman kita

terhadap syari’ah dalam konteks masyarakat muslim saat ini. Saya

percaya bahwa pendekatan ini bisa digunakan sebagai prinsip, sekaligus

solusi pragmatis.

Dengan demikian, menurut saya, masalah ini lebih baik difahami dengan

menggunakan dua kerangka yaitu inherennya keterlibatan manusia dalam

Page 46: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

pemahaman dan praktik Islam, di satu pihak, dan universalitas hak asasi

manusia di pihak lain. Pendekatan ini lebih realistis dan konstruktif,

daripada sekedar mengungkapkan kecocokan atau ketidakcocokkan Islam

dan hak asasi manusia dan mengambil keduanya dalam pemahaman yang

absolut dan statis. Ketika kita menguji dinamika dan perkembangan

hubungan Islam dan hak asasi manusia, kita akan menemukan bahwa

Islam sebenarnya sangat mendukung hak asasi manusia.58

Universalitas Hak Asasi Manusia

Ide revolusioner hak asasi manusia tetap merupakan tantangan ummat

manusia hari ini, seperti pertama kali diproklamirkan pada tahun 1948. Ide

ini sangat penting bagi ummat manusia, dan dengan demikian harus

diakui, agar kita bisa mengklaim hak kita atas hak-hak tersebut. Untuk

merealisasikan tujuan-tujuan saya dalam buku ini, Muslim tidak harus

mengabaikan agamanya hanya untuk mengakui hak-hak manusia tetapi

mereka juga tidak boleh mendiskriminasi orang lain berdasarkan jenis

kelamin, ras, kebangsaan, maupun agama. Karena untuk bisa

menjustifikasi secara moral dan menyadari klaim hak asasi manusia kita

tanpa melakukan diskriminasi kepada orang lain, ummat Islam harus

menyadari bahwa yang lain pun memiliki hak sama dengan kita. Hal yang

sama berlaku bagi seluruh ummat manusia, dan bukan hanya bagi

muslim. Namun dalam kesempatan saya akan memposisikan diri sebagai

muslim yang berusaha mempromosikan pentingnya hak asasi manusia di

kalangan muslim sendiri.

58 Ini premis yang saya bangun dalam buku saya, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law (Syracuse University Press, 1990); dan didiskusikan secara lebih luas dalam berbagai buku saya edit seperti Human Rights in Cross-Cultural Perspectives: Quest for Consensus (University of Pennsylvania Press, 1992); The Cultural Dimensions of Human Rights in the Arab World (Arabic) (Cairo, Egypt: Ibn Khaldoun Center, 1993); and Human Rights Under African Constitutions: Realizing the Promise for Ourselves (University of Pennsylvania Press, 2003).

Page 47: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Deklarasi hak asasi manusia telah berusaha tidak menggunakan agama

apapun untuk menjustifikasi ide-ide dasarnya agar ia bisa menemukan

dasar yang sama bagi mereka yang beragama maupun tidak. Tapi ini

tidak berarti bahwa hak asasi manusa hanya bisa didasarkan pada

justifikasi sekuler, karena cara seperti itu tidak bisa menjawab persoalan

bagaimana melegitimasi dan mengesahkan hak asasi manusia

berdasarkan perspektif yang sangat beragam di dunia ini. Logika yang

dibangun dalam deklarasi itu justru memberikan kesempatan kepada para

penganut agama atau kepercayaan tertentu untuk membangun komitmen

mereka pada deklarasi itu, dengan menggunakan norma yang terdapat

dalam kepercayaan atau agama yang mereka yakini. Begitupula dengan

mereka yang membangun komitmennya atas dasar filfasat sekuler yang

mereka pelajari. Semua orang berhak mendapatkan pengakuan hak asasi

yang sama dari orang lain, tapi tidak dapat menentukan alasan yang

digunakan orang lain untuk memberikan pengakuan tersebut.

Ide hak asasi manusia muncul setelah Perang Dunia II sebagai sebuah

usaha untuk mendapatkan perlindungan hak-hak dasar di tengah berbagai

kemungkinan dalam pentas politik nasional. Pandangan tersebut dibangun

diatas kesadaran bahwa hak-hak tersebut amat fundamental hingga harus

dilindungi dengan konsensus dan kerjasama internasional agar

keberadaannya diakui oleh undang-undang dasar dan sistem hukum

nasional.59 Dengan kata lain, tujuan membuat kewajiban hukum

internasional untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia baik

melalui prinsip-prinsip hukum adat atau perjanjian adalah untuk

59 Eva Brems, Human rights: Universality and Diversity (the Hague, The Netherlands: Kluwer Law International, 2001), hlm. 5-7

Page 48: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

melengkapi pemenuhan hak-hak tersebut dalam konteks sistem domestik

dan untuk mempromosikan implementasi praksisnya.

Tujuan utama hak asasi manusia adalah untuk meyakinkan perlindungan

yang efektif terhadap beberapa hal penting yang merupakan hak semua

manusia dimanapun mereka berada, termasuk di negara yang tidak

menjamin keberadaan hak itu dalam undang-undang dasar mereka. Ini

tidak berarti bahwa deklarasi hak asasi manusia berbeda atau lebih tinggi

kedudukannya daripada hak-hak yang terdapat dalam undang-undang

dasar. Malah, perhormatan dan perlindungan hak asasi manusia yang

terdapat dalam DUHAM dilakukan melalui pencantumannya dalam

undang-undang dasar, anggaran dasar dan rumah tangga lembaga

Negara. Tujuan Gagasan DUHAM, sebagaimana tujuan Undang-Undang

Dasar, adalah untuk melindungi hak-hak tersebut dari ketidakjelasan

proses-proses politik dan administratif. Dengan kata lain, hak asasi

manusia dalam DUHAM, seperti halnya hak yang terdapat dalam undang-

undang dasar, harus tunduk pada kehendak mayoritas, meskipun bukan

sekedar pilihan mayoritas. Namun bukan berarti hak-hak tersebut absolut,

karena banyak di antaranya yang layak dipilih karena berbagai alasan dan

beberapa lainnya bisa ditunda karena alasan darurat. Gagasan DUHAM

dengan demikian adalah agar hak asasi manusia, sebagaimana hak-hak

yang tercantum dalam undang-undang dasar, tidak mudah dilanggar

kecuali dalam kondisi dan keadaan tertentu.60

Dengan mempertimbangkan ketegangan yang terjadi antara gagasan dan

prinsip HAM dengan kedaulatan nasional, mengakui HAM sebagai produk

60 Brems, Human Rights, hlm. 305

Page 49: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

kesepakatan internasional adalah merupakan hal yang sangat penting.

Tantangan yang dihadapi HAM dari prinsip kedaulatan nasional tidak akan

dapat bisa diselesaikan tanpa adanya kerjasama internasional untuk

melindungi HAM.61 Klaim komunitas internasional untuk berfungsi sebagai

arbitrer, yang dapat melakukan tindakan untuk melindungi standar

minimum HAM, tidak akan dianggap layak tanpa komitmen anggotanya

untuk mendorong dan memberikan dukungan kepada yang lain dalam

melakukan proses ini. Peran sebagai arbitrer tersebut lebih mungkin

diterima oleh sebuah negara, jika dilakukan sebagai usaha bersama

seluruh negara-negara lain, daripada jika hanya lahir dari kebijakan luar

negeri satu atau sekelompok negara tertentu. Perlindungan HAM yang

berkesinambungan tidak akan terrealisasikan melalui intervensi militer

atau pemaksaan dari pihak luar, karena cara-cara seperti itu hanya dapat

berlaku efektif dalam waktu yang temporer dan tidak menentu. Dengan

kata lain, praktik perlindungan HAM hanya dapat dilakukan melalui peran

negara, yang sebetulnya menjadi aktor yang sangat potensial untuk

melanggar hak-hak tersebut.

Hemat saya, DUHAM bisa menjadi instrumen yang kuat untuk melindungi

kemuliaan manusia dan untuk meningkatkan kesejahteraan setiap orang

dimanapun mereka berada berkat universalitas kekuatan moral dan politik

yang dimilikinya. Bahwa DUHAM menyediakan standar yang sama yang

harus dicapai oleh seluruh manusia dan negara seperti yang tercantum

dalam pembukaan DUHAM, berarti bahwa setiap kekuasaan hukum dan

undang-undang di sebuah negara harus berusaha keras melindungi hak-

hak tersebut. Prinsip hukum adat dan perjanjian internasional juga

61 Brems, Human Rights, hlm. 5-6, 309

Page 50: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

mencantumkan hak-hak dasar seperti kebebasan untuk berekspresi dan

prosedur perlindungannya seperti penyelengaraan peradilan yang adil.

Implementasi dan perlindungan HAM dengan demikian juga menyaratkan

adanya standar kelembagaan dan struktural bagi aparatur negara62.

Bagaimana standar-standar tersebut beroperasi seperti melalui

pemisahan kekuasaan dan independesi kehakiman sudah diungkapkan

dalam bagian yang lalu sebagai bagian dari konsep konstitusionalisme.

Namun, pengakuan DUHAM sebagai norma hak asasi manusia universal

lebih merupakan hasil proses konsensus global daripada sekedar sebuah

hasil pemaksaan. Karena setiap masyarakat berpegang pada sistem

normatif yang membentuk konteks dan pengalamannya, maka sebuah

konsep universal tidak bisa begitu saja diproklamirkan dan diterapkan

sama rata. Dengan kata lain, manusia baik laki-laki atau perempuan, kaya

atau miskin, Afrika atau eropa, beragama maupun tidak, sama-sama

mengetahui dan menjalani kehidupan di dunia sebagai dirinya sendiri.

Dimanapun kita berada, kesadaran, nilai dan perilaku kita sebagai

manusia dibentuk oleh tradisi agama dan kultural kita. Pertanyaannya

dengan demikian adalah bagaimana mendapatkan, meningkatkan dan

menjaga keberlangsungan konsensus terhadap norma HAM universal

dalam konteks seperti ini? Apa karakter dan implikasi perbedaan relasi

kuasa antara sejumlah partisipan dan budayanya dalam proses

pembentukan konsensus itu?

Ide mengenai universalitas hak asasi manusia sebagai produk

pembentukan konsensus tidak boleh menjadi alat untuk mempertahankan

62 Asbjørn Eide, “Economic and Social Rights,” in Human Rights: Concepts and Standards, ed. Janusz Symonides (Burlington, Vermont: Ashgate Publishing Company, 2000), hlm. 124-128.

Page 51: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

atau menjustifikasi klaim sejumlah pemerintahan atau pemimpin negara

bahwa rakyatnya dibebaskan atau dimaklumi untuk tidak melaksanakan

standar-standar tersebut. Nyatanya, klaim-klaim tersebut memang

dilontarkan oleh sejumlah elit penguasa, karena mereka mempersepsi hak

asasi manusia sebagai “produk barat” dan, dengan demikian, merupakan

hal yang asing bagi masyarakat Asia dan Afrika secara umum.63 Dalam

kesempatan ini, saya ingin menolak klaim seperti itu dengan menekankan

bahwa semua masyarakat sedang berusaha untuk mencapai dan

mempertahankan komitmen yang genuine terhadap universalitas HAM

dan prinsip penegakan keteraturan hukum dalam hubungan internasional.

Secara khusus, saya menolak gagasan bahwa satu-satunya model yang

valid untuk universalitas has asasi manusia harus dirumuskan oleh

masyarakat Barat atau oleh kelompok masyarakat manapun dan untuk

diikuti jika ingin dianggap sebagai manusia beradab. Jika memang hak

asasi manusia adalah universal sebagai hak yang harus dimiliki oleh setiap

manusia di manapun mereka berada, maka hak asasi manusia harus

integral dengan budaya dan pengalaman semua masyarakat dan bukan

hanya integral dengan masyarakat Barat yang mencangkokkan nilai-nilai

tersebut pada kelompok masyarakat lain. Untuk mendukung preposisi ini,

saya akan menekankan dua hal.

Pertama, jelas bahwa formulasi standar HAM internasional sangat

merefleksikan pengalaman dan filsafat politik barat. Bahkan banyak

artikel dalam DUHAM yang jelas-jelas menyalin bahasa The Bill of Rights-

nya Amerika.64 Namun bukan berarti bahwa norma-norma hak asasi

63 Sebagai contoh lihat, Joanne Bauer and Daniel Bell (eds.), Human Rights in East Asia, (New York: Cambridge University Press, 1999).64 Lihat Brems, Human Rights, hlm. 17

Page 52: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

manusia dalam DUHAM merupakan hal yang asing dan tidak sesuai

dengan masyarakat Afrika atau Asia yang juga membutuhkan

perlindungan Hak asasi manusia dalam konteks masyarakatnya.

Sebagaimana yang sudah saya ungkapkan di muka, formulasi standar

HAM yang didasarkan pada model wilayah negara dan hubungan

internasional Barat itu, sekarang merupakan bagian dari realitas yang

dihadapi oleh masyarakat muslim dimanapun. Karena sekarang muslim

harus bersentuhan dengan lembaga-lembaga Barat tersebut, mereka

harus bisa mengambil manfaat dari jaring perlindungan yang sudah

dikembangkan oleh masyarakat Barat untuk melindungi hak-hak individu

dan masyarakatnya sendiri.65 Sebaliknya, jika ada masyarakat muslim

yang menolak Hak Asasi Manusia karena ia lahir dari Barat, maka mereka

juga harus menolak negara yang berdasarkan wilayah dan perdagangan,

ekonomi dan hubungan internasional lainnya, karena negara dan

hubungan-hubungan internasional itu juga dibangun dan didasarkan pada

konsep dan istilah Barat. Jika mereka tidak bisa menolak, maka mau tidak

mau mereka harus menerima HAM sebagai cara yang efektif dan penting

untuk meminimalisir pelanggaran HAM dan memperbaiki kerugian yang

mungkin terjadi dalam konsep yang didasarkan pada model barat

tersebut.

Point kedua yang ingin saya tekankan disini juga bahwa aktivis has asasi

manusia dan hukum internasional juga harus mendesakkan DUHAM

sebagai dasar esensial bagi masyarakat yang beradab, bukan malah

meninggalkannya hanya karena kegagalan beberapa pemerintah untuk

menegakkan prinsip-prinsip tersebut. Jika tidak, umat Islam dengan 65 Peter Baehr, Cees Flintermand and Mignon Sender, Pengantar untuk “Innovation and Inspiration: Fifty Years of The Unievrsal Declaration of Human Rights, eds. Baehr, Flintermadn and Senders (Amsterdam. The Netherlands: Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences, 1999), hlm. 2

Page 53: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

demikian harus mengakui bahwa masyarakat dan pemerintahan Baratlah,

satunya-satunya, pembuat prinsip-prinsip tersebut. Padahal penegakan

prinsip-prinsip tersebut juga tergantung pada kesediaan dan kemampuan

masyarakat muslim sendiri. Prinsip-prinsip hukum internasional dan hak

asasi manusia harus siap ditegakkan dan dipromosikan untuk menghadapi

tantangan apapun yang datang dari sumber manapun karena prinsip-

prinsip tersebut merupakan usaha bersama seluruh ummat manusia

dimanapun mereka berada. Penting juga untuk dicatat bahwa seperti

halnya hasil inisiatif manusia manapun, perlindungan hak asasi manusia

hanya bisa dicapai melalui proses percobaan, proses terhenti dan

memulai, dan juga proses kemunduran dan kemajuan. Seluruh individu

dan masyarakat harus bahu membahu dan bekerja sama agar proses

implementasi dan perlindungan hak-hak ini dapat menjadi usaha yang

benar-benar universal. Ummat Islam, khususnya, justru harus menjadi

partisipan aktif dalam proses ini, bukan sekedar mengeluh karena menjadi

korban kesewenang-wenangan pemerintahannya atau obyek hegemoni

Barat dalam hubungan internasional.

Namun kesulitan menjalankan proses ini sudah muncul sejak akhir era

Perang Dingin karena Negara-Negara yang tergabung dalam Blok Barat

dan Blok Timur bekerjasama untuk mencapai kepentingan sesaat

kebijakan luar negerinya tanpa menghiraukan norma-norma hak asasi

manusia. Contoh sementara bisa ditemukan sepanjang tahun 90an, sejak

dari Somalia hingga Rwanda, Bosnia hingga Chechnya, bahkan Irak di

tahun 2003. tentu saja beberapa kebijakan luar negeri hak asasi manusia

yang lama masih berlaku, karena perubahan fundamental dalam

kebijakan luar negeri tidak mungikn terjadi secara menyeluruh dan terjadi

Page 54: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

pada satu waktu. Tapi juga jelas bagi saya, bahwa ada penurunan kualitas

yang terus menerus terjadi pada kebijakan lama tersebut, karena

pemerintah yang bersalah menyaksikan dengan seksama seberapa besar

kemungkinan mereka untuk lari dari pertanggung jawaban dan mereka

yang termotivasi untuk memasukkan DUHAM ke dalam kebijaan luar

negerinya juga mempertimbangkan seberapa besar kerugian yang

mereka dapatkan jika mereka melindungi hak asasi manusia rakyatnya.66

Karena gerakan hak asasi manusia berhenti mendesakkan

kepentingannya akibat lemahnya posisi tawar yang mereka miliki dalam

politik nasional dan regional, pemerintah menjadi semakin berani untuk

mencapai kepentingan nasionalnya yang sesaat tanpa

mempertimbangkan norma-norma hak asasi manusia. Penurunan tingkat

urgensi HAM dalam kebijakan luar negeri sebuah negara, juga dilegitimasi

melalui proses-proses demokratis seperti fenomena terpilihnya kembali

George W. Bush dalam Pemilu Amerika kemarin. Padahal, Bush jelas-jelas

tidak begitu konsen dengan HAM dan hukum internasional.

Dengan mengatakan seperti ini, saya tidak bermaksud untuk

mendiskreditkan ide HAM itu sendiri, atau memprediksikan

ketidakberdayaannya dalam menghadapi kondisi domestik dan hubungan

internasional. Saya hanya ingin mengalihkan fokus advokasi HAM kepada

masyarakat agar HAM tidak lagi tergantung pada ketidakjelasan hubungan

antar pemerintahan. Namun juga tidak berarti bahwa peralihan fokus ini

akan menghentikan strategi advokasi HAM internasional, karena strategi

itu juga masih penting untuk melindungi HAM pada saat ini.67 Yang saya 66 Sebagai contoh lihat, David P. Forsythe, “Comparative Foreign Policy and Human Rights: the United States and Other Democracies”, dalam “Innovation and Inspiration: Fifty Years of The Universal Declaration of Human Rights, eds. Baehr, Flinterman and Senders, hlm. 161-16767 Sebagai contoh lihat, Robert F. Drinan, The Mobilization of Shame: a World View of Human Rights, (New Haven, Connecticut: Yale University Press, 2001); dan Claude E. Welch, Jr, (ed.), NGOs and

Page 55: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

ingin ajukan adalah bagaimana kita mulai mengurangi ketergantungan

pada advokasi internasional untuk melindungi hak asasi manusia, dengan

mulai mengembangkan kapasitas komunitas lokal untuk melindungi hak

mereka sendiri dengan cara yang efektif dan berkelanjutan.68 Peralihan

fokus dari advokasi internasional ke upaya lokal ini tentu tidak bisa

dilakukan dengan mudah dan menyelesaikan kemunduran yang sedang

terjadi, namun ini hanya satu upaya untuk melangkah maju. Dalam

konteks masyarakat muslim, penguatan komunitas lokal ini bisa dilakukan

dengan cara meyakinkan dan memotivasi ummat Islam untuk menerima

dan mengimplementasikan hak asasi manusia. Saya menyadari bahwa

hak sasi manusia bukanlah obat yang manjur dan universal bagi semua

masalah yang muncul dalam masyarakat. Tapi norma dan lembaga-

lembaga hak asasi manusia bisa memberdayakan orang untuk ikut serta

dalam upaya politik dan hukum untuk menegakkan kemanusiaan dan

keadilan sosial.

Islam, Syari’ah dan Kebebasan Beragama

Diskusi mengenai konflik antara syari’ah dan konstitusionalisme dan

kemungkinan memediasi konflik tersebut dengan merujuk pada Islam

secara lebih luas dapat diterapkan juga dalam kasus Hak Asasi Manusia.

Dengan demikian, kita akan mulai dengan mengklarifikasi ketegangan

yang mungkin timbul antara Syariah dan Hak Asasi Manusia kemudian

mengeksplorasi cara-cara untuk menyelesaikan ketegangan tersebut

melalui reformasi Islami. Mengakui adanya konflik dan memahami sifatnya

Human Rights: Promise and Performance, (Philadelphia, Pennsylvania: University of Pennsylvania Press), 2001.68 Penjelasan mengenai usulan saya ini lihat “Introduction: Expanding Legal Protection of Human Rights in African Context”, dalam Abdullahi Ahmed An-Naim, ed., Human Rights under African Constitutions: Realizing the Promise for Ourselves, Philadelphia, PA: University of Pennsylvania Press, hlm. 1-28; dan Abdullahi Ahmed an-Naim, “Human Rights in the Arab World: A Regional Perspective” Human Rights Quarterly, vol 23: 3, 2001 hlm. 701-32

Page 56: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

sangat penting untuk melakukan proses mediasi dan penyelesaian konflik.

Nah, konflik yang terjadi antara Syari’ah dan Hak Asasi Manusia biasanya

berkisar seputar isu hak perempuan dan non-muslim. Dalam kesempatan

ini saya akan mengungkapkan area konflik yang lain yaitu kebebasan

memeluk agama dan kepercayaan. Pertama-tama saya akan menjelaskan

isu-isu hak asasi manusia dan kemudian mengeksplorasi kemungkinan-

kemungkinan penyelesaian konflik antara syariah dan prinsip kebebasan

beragama dalam hak asasi manusia melalui reformasi Islami. Untuk

menghindari kebingungan, saya nyatakan bahwa saya percaya terhadap

adanya kemungkinan, bahkan keharusan, untuk menginterpretasi ulang

sumber-sumber Islam untuk menegaskan dan melindungi kebebasan

beragama dan memeluk kepercayaan. Disini saya berbicara sebagai

seorang muslim yang menggunakan perspektif Islam, dan bukan sekedar

berbicara sebagai orang yang mengakui kebebasan beragama hanya

karena kebebasan beragama itu merupakan prinsip yang terdapat dalam

DUHAM dan mengikat muslim menurut prinsip hukum internasional.

Ada dua asalan mengapa diskusi mengenai hal ini menjadi penting.

Pertama, konflik antara aturan agama dengan hak kebebasan beragama

tidak hanya terjadi pada Islam tapi juga terjadi dalam tradisi agama dan

ideologi lain. Contohnya, pemahaman tradisional terhadap teks Yahudi

dan Kristen mengharuskan hukuman mati dan konsekuensi-konsekuensi

lain bagi orang-orang yang murtad.69 Pelaksanaan ketentuan agama

dengan menggunakan tindakan-tindakan seperti itu hampir sama dengan

konsep pemberontakan (treason) yang tetap menjadi kejahatan besar

dalam sistem hukum Negara modern saat ini. Larangan murtad dalam 69 Argumen kitab suci untuk hukuman mati bagi pelaku murtad dan penghinaan ada dalam Deuteronomy 13: 6-9 dan Letivicus 24: 16; lihat juga Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 35

Page 57: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

tradisi syari’ah Islam bukan hanya sekedar bagian dari tradisi keagamaan,

tapi juga terjadi dalam tradisi ideologi sekuler. Ketidaktundukkan

seseorang pada doktrin Marxisme pada masa pemerintahan Uni Soviet

mungkin dihukum lebih berat daripada fenomena murtad dan kejahatan

dalam syari’ah.

Satu hal penting yang juga perlu dicatat adalah bahwa prinsip-prinsip

syari’ah jarang diaplikasikan secara sitematis dan ketat di masa lalu,

bahkan lebih jarang pada masa sekarang. Meskipun demikian, keberadaan

prinsip-prinsip tersebut menimbulkan konflik yang fundamental dengan

ide dasar hak asasi manusia universal dan menjadi sumber pelanggaran

terhadap praktik kebebasan beragama. Dengan demikian, sebagai

seorang muslim, saya merasa perlu untuk menghadapi isu ini untuk

menegakkan integritas moral terhadap kepercayaan yang saya anut

sekaligus menolak praktik pelanggaran hak asasi manusia ini meskipun

hal ini mungkin jarang terjadi pada saat sekarang ini.

Saya akan mendiskusikan konsep murtad dan konsep-konsep yang

berkaitan dengannya dalam syari’ah untuk menjelaskan ketidakcocokkan

prinsip–prinsip tersebut dengan kebebasan beragama dari perspektif

Islam, bahkan tanpa harus merujuk pada norma hak asasi manusia

modern. Penerapan prinsip netralitas Negara terhadap agama secara

tepat akan mampu mengelimininasi kemungkinan konsekuensi negatif

hukum murtad dan konsep lainnya. Namun tidak akan mungkin mampu

untuk mengeliminasi implikasi sosial negatif dari prinsip-prinsip syariah

tradisional tersebut. Aspek tersebut harus diselesaikan melalui langkah-

langkah pendidikan secara terus menerus untuk mempromosikan

Page 58: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

pluralisme yang genuine dan berkelanjutan. Diskusi berikut ini berlaku

untuk aspek sosial dan hukum dengan memperlihatkan bahwa prinsip-

prinsip syari’ah tersebut tidak dapat dipertahankan lagi secara moral

maupun politis sehingga mereka tidak boleh dilaksanakan oleh negara

maupun diterima oleh masyarakat Islam.

Istilah arab “riddah” biasa diterjemahkan sebagai kemurtadan. Namun

secara bahasa berarti “kembali” dan murtad berarti “orang yang

kembali”.70 Dalam pemahaman syari’ah tradisional, riddah berarti

berpalingnya kembalinya seseorang yang sudah menganut Islam menjadi

kufur karena sengaja atau implikasi tertentu.71 Dengan kata lainm sekali

seseorang memilih menjadi muslim, tak ada alasan baginya untuk

mengubah agamanya. Menurut para fuqaha, riddah dapat terjadi dalam

berbagai bentuk seperti menolak keberadaan tuhan atau sifat-sifat tuhan,

menolak salah satu rasul Tuhan atau menolak status kenabian salah satu

Nabi, menolak salah satu prinsip keagmaan seperti sholat lima waktu atau

berpuasa di bulan ramadlan, menghalakan yang haram atau

mengharamkan yang halal. Status murtad secara tradisional diberikan

kepada muslim yang dianggap sudah beralih dari Islam, baik secara

sengaja atau hanya sekedar ucapan, baik itu diungkapkan sebagai

guyonan, out of stubborness, or out of conviction.72

Keberatan terhadap pendapat bahwa kemurtadan adalah sebuah

kejahatan atau dianggap salah menurut aturan hukum syari’ah sehingga

70 The following review of classical Islamic jurisprudence of apostasy is based on Ibn Rushd, Bidayat al-Mugjtahid, vol. 2, (Cairo: Dar al-Fikr al-Arabic, not dated); and Nu`man Abd al-Razid al-Samar`i, Ahkam al-Murtad fi al-Shari`a al-Islamyia (Beirut: al-Dar al-Arabiya, 1968). In English see Shaikh Abdur Rahman, Punishment of Apostasy in Islam (Lahore, Pakistan: Institute of Islamic Culture, 1972).71 Saeed and Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 36, 4272 Saeed and Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 36-37

Page 59: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

orang murtad harus mendapatkan hukuman atau konsekuensi-

konsekuensi hukum lain adalah, karena pendapat ini sebetulnya

bertentangan dengan sikap al-Qur’an sendiri. Dalam Qs. 2:217, 4:90, 5:54,

59, Qs.16:108, dan Qs.47:25, al-Qur’an memang mengutuk kemurtadan

namun tidak menyebutkan dengan spesifik konsekuensi-konsekuensi legal

perbuatan ini.73 Malah, al-Qur’an dengan jelas menyebutkan beberapa

situasi yang menyiratkan bahwa orang murtad dapat terus hidup di

tengah-tengah komunitas muslim. Contohnya Qs. 4: 137 yang bisa

diterjemahkan sebagai berikut: “mereka yang beriman, kemudian kufur,

kemudian beriman kembali, dan kemudian kufur kembali, dan terus

berbuat demikian, Allah tidak akan mengampuni dan menunjukkan pada

mereka jalan yang benar.” Jika memang benar al-Qur’an menetapkan

hukuman mati bagi orang yang murtad, orang tersebut tidak akan terus

hidup di tengah komunitas muslim untuk mengulangi kejahatan yang

sama. Namun demikian, para fuqaha mempergunakan hadits untuk

menetapkan hukuman mati bagi orang yang murtad dan konsekuensi-

konsekuensi hukum lainnya seperti terhapusnya hak waris dari dan untuk

orang yang murtad.74

Selain ketidakcocokkan dengan prinsip kebebasan beragama yang

berulang kali ditekankan dalam al-Qur’an, ada dua aspek problematis

yang terdapat dalam konsep murtad dalam tradisi hukum Islam tradisional

yaitu ketidakjelasan dan kelemahan konsepnya dan ketidakjelasan dasar

hukum untuk konsekuensi-konsekuensi hukum yang harus diterima

seorang yang murtad karena ia dianggap melakukan kejahatan besar.

Sumber ketidakjelasan dan kelemahan konsep murtad sebetulnya terkait

73 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 5774 Artikel “Murtad” dalam Shorter Encyclopedia of Islam, hlm. 413-414

Page 60: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

dengan definisi dan hukumannya serta kedekatan konsepnya dengan

konsep kufr, sabb ar-rasul, zindiq, dan munafiq (nifaq).

Fuqoha empat mazhab sunni mengklasifikasi kemurtadan pada tiga

kategori: keyakinan, perbuatan dan ucapan. 3 kategori ini kemudian

terbagi-bagi lagi kedalam beberapa bagian. Namun masing-masing

kategori tersebut sebetulnya kontroversial. Contohnya kategori pertama

dapat berbentuk keraguan terhadap eksistensi atau keabadian tuhan,

keraguan terhadap pesan-pesan kenabian Muhammad atau Nabi lain, ragu

terhadap qur’an, hari pembalasan, keberadaan surga dan neraka, atau

ragu terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan yang sudah

menjadi konsensus (ijma) di kalangan muslim seperti sifat-sifat tuhan.

Maka, dengan demikian, konsep murtad tidak berlaku pada persoalan

yang tidak menjadi konsensus ummat. Padahal sebetulnya, tidak banyak

konsensus yang terjadi di antara muslim termasuk mereka yang terdapat

dalam daftar para fuqoha atau mazhab mengenai banyak hal. Misalnya

karena ada kesamaan pendapat yang signifikan di kalangan muslim

mengenai sifat-sifat Tuhan75, maka orang yang menolak atau menerima

salah satu sifat tuhan yang ditetapkan atau ditolak oleh seorang ulama,

dapat disebut murtad. Padahal, para ulama tidak membedakan konsep-

konsep tersebut dan cenderung menggunakan kategori yang luas

mengenai konsep murtad sehingga bisa mencakup seluruh aspeknya.76

Cara seperti ini justru membuat istilah murtad menjadi sangat luas dan

samar, serta mengacaukan dasar hukum kejahatan dan hukumannya.

Saya akan memberikan ilustrasi singkat mengenai hal ini.

75 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 37 (catatan kaki no. 13), hlm. 189 76 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 37

Page 61: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Karena murtad berarti kembali tidak mempercayai Islam setelah secara

rela pernah memeluknya, berari murtad berkaitan erat dengan konsep

kufur (kufr) yang berati penolakan terbuka terhadap pesan-pesan Islam.77

Meskipun berkali-kali menyebutkan istilah kufr dan iman, al-Qur’an tidak

memberikan arahan yang jelas mengenai makna kedua istilah tersebut

kecuali berkaitan dengan pengakuan keimanan dengan bersaksi tiada

Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai utusan Allah. Al-Qur’an

misalnya berulang kali menghubungkan konsep iman dengan mendirikan

shalat, mengerjakan puasa atau beramal saleh, tapi tidak pernah

mengungkapkan apa yang harus dilakukan pada mereka yang gagal

mematuhi kewajiban tersebut kecuali hukuman pada hari kemudian.

Al-Qur’an juga tidak dengan jelas menyatakan konsekuensi-konsekuensi

yang akan didapatkan jika ummatnya mempertanyakan pengakuan iman

itu sendiri. Contohnya, apakah makna menyatakan “tiada Tuhan selain

Allah”? apa yang orang beriman ketahui dan harus mereka ketahui

tentang Tuhan? Apa konsekuensi langsung dari beriman kepada Allah

pada kehidupan personal dan perilaku muslim baik dalam level individual

maupun dalam hubungannya dengan lembaga dan proses social, ekonomi

dan politik di sekellingnya? Siapa yang memiliki otoritas untuk

menghakimi perbedaan pendapat mengenai hal tersebut atau mengenai

hal-hal lainnya setelah wafatnya Nabi Muhammad dan bagaimana

caranya?

Al-Qur’an membiarkan ummat Islam dengan sendirinya bergulat dengan

persoalan-persoalan tersebut. Benar bahwa ummat Islam memiliki

77 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 42

Page 62: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

sunnah, teladan kehidupan Nabi sebagai sumber pedoman lain, namun

sunnah juga memiliki ketidakjelasan yang sama. Dengan demikian,

tidaklah heran jika perbedaan pendapat mengenai peran “perbuatan”

(amal) dalam konsep iman terjadi. Beberapa ulama bisa menerima

pengakuan lisan keimanan sebagai ciri status muslim seseorang, tapi

beberapa ulama lain mengharuskan pengakuan lisan ini dibuktikan

dengan melakukan perbuatan dan praktik tertentu. Bagi mereka yang

mengharuskan adanya “perbuatan” sebagai bukti keimanan,

pertanyaannya kemudian adalah bagaimana status orang yang sudah

mengaku muslim namun tidak melaksanakan kewajibannya sebagai

muslim. Persoalan lain timbul, siapa yang menilai bahwa seseorang sudah

melaksanakan kewajiban agama atau belum dan konsekuensi apa yang

harus diterima karena penilaian tersebut? Debat mengenai hal tersebut

muncul dalam beragam bentuk; sejak dari pendapat dan perilaku

kalangan Khawarij selama perang sipil pada abad ke-7, status Ahmadiyah

di Pakistan sejak tahun 1950, bahkan hingga keberadaan sejumlah sekte-

sekte pembunuhan dan terorisme.78 Ketidakjelasan ini kemudian

diperparah dengan kesamaran dan ketidaksepakatan mengenai konsep-

konsep lain.

Kesamaran dan ketidakjelasan seperti ini juga terjadi pada larangan sabb

al-naby. Sabb al-naby adalah penggunaan kata-kata hinaan yang

ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, Tuhan, atau para Malaikat. Orang

yang melakukan pelanggaran ini menurut tradisi ulama fiqih tradisional

harus dihukum mati.79 Pada tahap selanjutnya, bentuk pelanggaran ini

78 Sebagai contoh lihat, Khaled Abou el-Fadl, Rebellion and Violence in Islamic Law (New York: Cambridge University Press, 2001)79 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 37-38

Page 63: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

kemudian diperluas mencakup segala bentuk pelarangan dan

mengungkapkan kata-kata hinaan kepada para Sahabat nabi. Sebagian

Ulama tetap menganggap orang yang melakukan tindakan ini sebagai

muslim, tapi ia harus menerima hukuman tertentu. Tetapi ada pula yang

berpendapat bahwa tindakan seperti ini menyebabkan seseorang tidak

layak lagi dianggap sebagai seorang muslim. Jika tindakan ini dilakukan

oleh non-muslim, ia tidak dianggapp murtad, tetapi tetap harus dihukum

mati. Seperti halnya ketentuan mengenai murtad, hukuman tindakan

penghinaan ini juga berdasarkan beberapa peristiwa yang terjadi pada

masa Nabi, sementara dalam al-Qur’an sendiri tidak ada petunjuk jelas

mengenai hal tersebut. Bahkan meskipun al-Qur’an menggunakan istilah

sabb seperti dalam Qs. 6: 108, ia hanya menginstruksikan ummat Islam

untuk berhenti mencaci dewa-dewa non-muslim, karena mereka juga

sebetulnya menghina Tuhan. Namun al-Qur’an tidak menyebutkan

hukuman apapun berkaitan dengan hal ini. Sementara para ulama

merujuk pada beberapa peristiwa pada masa awal Islam untuk

menetapkan hukuman mati bagi pelaku penghinaan, namun jelas sekali

bahwa baik Qur’an maupun Sunnah tidak mengungkapkan keberadaan

pelanggaran yang bernama “sabb al-naby” ataupun hukuman khusus

terhadap pelakunya.80

Terdapat masalah yang sama menyangkut status hukum zindiq. Istilah

zindiq digunakan dalam sumber-sumber syari’ah untuk menyebut orang

zindiq yang ajarannya berbahaya bagi komunitas muslim dan menurut

aturan syari’ah mereka layak untuk dihukum mati. Namun istilah zindiq

dan kata turunannya tidak pernah muncul dalam al-Qur’an sama sekali,

80 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 38-39

Page 64: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

bahkan nampaknya merupakan istilah yang diserap Bahasa Arab dari

Bahasa Persia. Istilah ini nampaknya pertama kali digunakan dalam

kaitannya dengan eksekusi Ja’d bin dirham pada tahun 742 M—setelah

lebih dari satu abad wafatnya nabi. “pada praktiknya apa yang difahami

oleh kalangan konservatif sebagai zindiq adalah orang yang pengakuan

Islamnya, menurut mereka, tidak cukup meyakinkan”.81 Namun, tidak

tampak adanya kesamaan pendapat tentang definisi istilah yang mereka

maksud. Bahkan terdapat perbedaan pendapat mengenai tipe-tipe

perilaku yang dianggap sebagai perilaku zindiq atau membuat seseorang

dihukumi zindiq. Misalnya orang yang mengaku muslim, tapi masih

mengikuti ajaran agama lamanya. Namun bagaimana definisi ini dapat

diketahui dan digunakan dalam kasus-kasus spesifik? Karena tiadanya

definisi istilah yang jelas dan spesifik, tak heran bila beberapa ulama

menganggap seseorang zindiq jika ia melakukan hal-hal terlarang dalam

Islam seperti zina atau meminum arak.82 Pentingnya definisi yang jelas ini

juga berkaitan dengan sikap sebagian ulama khususnya dari mazhab

Hanafi dan Maliki menolak kemungkinan pelaku zindiq untuk

mendapatkan pengampunan jika mereka menyesal, padahal orang murtad

bisa mendapatkan kesempatan itu.83

Review singkat ini bisa dengan jelas memperlihatkan bahwa selalu ada

kebingungan dan kesamaran dalam konsep-konsep tersebut dan

bagaimana konsep tersebut didefinisikan. Bahkan ada juga ketidakjelasan

mengenai dasar hukum bagi jenis hukuman yang ditetapkan bagi pelaku

pelanggaran tersebut. Karena al-Qur’an tidak mendefinisikan konsep-

81 Article “Zindiq” Shorter Encyclopedia of Islam, hlm. 65982 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 4083 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 41, 54-55

Page 65: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

konsep tersebut dengan jelas dan juga tidak menentukan hukuman

tertentu yang harus ditimpakan pada pelaku pelanggaran tersebut saat

mereka hidup, masyarakat Islam saat ini nampaknya bisa dan bahkan

mungkin mempertimbangkan kembali aspek-aspek syariah tersebut dalam

kerangka kebebasan beragama. Bahkan, nampaknya jumlah ayat-ayat al-

Qur’an yang mendukung pandangan terakhir ini lebih banyak daripada

ayat yang mendukung keharusan adanya ketentuan hukum bagi para

pelaku pelanggaran tersebut.84 Dengan kata lain, seharusnya tidak ada

hukuman atau konsekuensi legal apapun terhadap perbuatan murtad atau

perbuatan sejenis lainnya, karena konsep iman dalam Islam

mengandaikan dan mengharuskan adanya kebebasan untuk memilih dan

tidak dapat dianggap sah jika dilakukan di bawah tekanan. Kemungkinan

untuk mempercayai sesuatu secara logis mengharuskan adanya

kebebasan untuk memilih. Dengan demikian seseorang tidak akan bisa

mempercayai sesuatu tanpa ada kebebasan dan kemampuan untuk

mempercayainya.

Ketidakjelasan dan kemenduaan prinsip-prinsip syari’ah tersebut memicu

lahirnya manipulasi dan pelanggaran terhadapnya demi tujuan-tujuan

politik atau polemik. Banyak ulama besar yang dihormati dan diakui

otoritasnya seperti Abu Hanifah, Ibn Hanbal, al-Ghazaly, Ibnu Hazm,dan

Ibnu Taimiyyah pernah didakwa murtad semasa mereka hidup.85 Resiko

semacam ini cenderung meniadakan kemungkinan terjadinya proses

refleksi hukum dan teologi serta proses perkembangan dalam masyarakat

muslim sendiri atau ummat secara umum. Mengemukakan alasan-alasan

meyakinkan mengenai pentingnya penghapusan doktrin murtad dan

84 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 69-8785 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 30-31

Page 66: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

konsep-konsep lainnya untuk kepentingan Islam (sebagai suatu agama)

dan masyarakat muslim secara keseluruhan, tanpa mengambil rujukan

kepada norma-norma Hak asasi manusia, adalah untuk menunjukkan

bahwa dalam Islam sendiri terdapat argumen dan pendekatan untuk

melindungi kebebasan beragama. Cara ini sangat tepat untuk

menunjukkan mempromosikan validitas dan efektivitas prinsip-prinsip hak

asasi manusia itu sendiri.86 Bagaimana hasil yang memuaskan ini bisa

dicapai dalam praktik kehidupan sekarang?

Dilema yang dirasakan oleh mereka yang mendukung reformasi semacam

itu dalam masyarakat kita adalah apakah mereka harus mencapai tujuan

mereka dengan mempergunakan korpus dan metodologi syariah yang

sudah ada atau berusaha menghindari keterbatasan pendekatan tersebut

dengan menerapkan pemisahan yang ketat antara agama dan negara.

Menurut pendapat saya, kedua pendekatan tersebut memiliki

keterbatasan. Di satu sisi, reformasi terhadap kerangka syariah tradisional

tidak mungkin bisa menghapus semua gagasan mengenai murtad dan

konsep lainnya, karena hal semacam itu tentu saja tidak mungkin

dibenarkan oleh metodologi ushul fiqih yang sudah diformulasikan oleh

para ulama seperti al-Syafi’i 1200 tahun yang lalu. Ushul fiqih tradisional

pasti mendukung penetapan hukuman mati atau ketentuan hukum

lainnya pada orang murtad karena hukuman tersebut didasarkan pada

aturan yang terdapat dalam sunnah, meskipun bukan al-Qur’an. Pada saat

yang sama, konsep murtad dan konsep lainnya tidak bisa begitu saja

dihapus dari ketentuan syari’ah tanpa justifikasi yang cukup, karena

86 Argumentasi Islam dan Hak Asasi Manusia mengenai pentingnya memerangi kejahatan-kejahatan ini lihat tulisan saya “Islamic Foundation of Religious Human Rihts, dalam John Witte, Jr., dan Johan D. Van der Vyver, (ed.), Religious Human Rights in Global Perspectives: Religious Perspective. (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996), hlm. 337-359.

Page 67: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

otoritas moral dan sosial syari’ah di tengah-tengah ummat muslim. Upaya

penghapusan yang efektif dan berkelanjutan terhadap konsep-konsep

tersebut sebagai upaya untuk menginterpretasi ulang syari’ah harus

menggunakan logika Islam tradisional daripada sekedar menggantungkan

diri pada otoritas negara sekular untuk menolak menerapkan aturan-

aturan hukum yang berkaitan dengannya.

Reformasi Islam juga mengharuskan adanya reformasi ushul fiqih karena

baik interpretasi tradisional maupun alternatif terhadap al-Qur’an dan

sunnah adalah produk sebuah konteks historis tempat masyarakat muslim

tinggal dan hidup. Dengan demikian untuk menghadapi transformasi

politik, sosial dan ekonomi yang terjadi dalam masyarakat muslim saat ini,

sebagaimana yang ternah terjadi di masa perkembangan pemahaman

syariah tradisional, metodologi interpretasi harus merefleksikan kondisi

tersebut agar bisa menghasilkan formulasi syari’ah yang tepat. Ini bisa

dilakukan dengan cara misalnya dengan menguji ulang logika penerapan

sejumlah ayat Qur’an dan sunnah ke dalam prinsip-prinsip syariah dan

menekankan ketidak cocokkan rujukan keagamaan lain untuk konteks

masyarakat Islam saat ini. Dengan memahami pilihan-pilihan tersebut

dibuat oleh manusia dan bukan merupakan perintah tuhan secara

langsung, maka mempertimbangkan kembali relevansi teks tersebut

untuk diterapkan dalam konteks sekarang dan perlunya menekankan

ulang konsep-konsep tersebut menjadi hal yang mungkin. Meskipun saya

mengikuti model pendekatan yang sudah dikembangkan oleh ulama

Sudan, Mahmoud Muhammad Toha,87 bukan berarti pendekatan lain tidak

berlaku.

87 Mahmoud Muhammad Toha, The Second Message of Islam, (Syracuse University press, 1987).

Page 68: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Penting untuk dicatat, debat teologis ini mungkin memiliki dimensi politik

dan kontekstual. Kemampuan seorang reformer untuk mendapatkan

kepercayaan dari komunitas dan otoritas di kalangan anggotanya

tergantung pada pemahamannya terhadap kompleksitas sejarah

komunitasnya serta konteks, kepentingan dan aspirasi mereka. Kita bisa

melihat contoh Mahmud Muhammad Toha yang mengadvokasikan

pikirannya di Sudan selama 40 tahun dan ia tetap dihukum mati karena

dakwaan murtad pada Januari 1985.88 karena itu, di samping harus

memiliki metodologi refomasi yang koheren dan efektif, seorang reformer

juga harus mempertimbangkan faktor politik, ekonomi, sosial dan budaya

dalam mengadvokasikan ide-idenya. Ini juga berarti mempertimbangkan

faktor atau kekuatan pendukung sekaligus kekuatan yang menentang

proses reformasi yang diajukan.

Negara, sebetulnya, berperan besar dalam prose-proses tersebut bukan

saja dengan menghentikan usaha-usaha menerapkan syari’ah sebagai

hukum positif, tapi juga melalui sistem pendidikan, upaya

mempromosikan pemikiran kritis dalam media dan mengamankan ruang

politik sosial dan politik agar debat publik dapat terlaksana dengan baik

dan bebas. Namun negara dan komunitas international secara luas,

sebetulnya juga bisa menjadi bagian dari masalah. Proses liberalisasi

politik dan sosial yang diinginkan bisa mengancam posisi elite yang

mengontrol negara, bahkan sekalipun mereka mengklaim sebagai elit

yang memiliki orientasi politik sekular. Selain itu, negara-negara lain juga

mungkin saja mendukung rezim opresif yang ada di negara-negara Islam

88 Abdullahi Ahmed an-Na’im, “The Islamic Law of Apostasy and its Modern Applicability: A Case from the Sudan”, Religion, vol. 16, 1986, hlm. 197-223.

Page 69: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

atau menerapkan politik luar negeri yang keras dan malah menimbulkan

konservatisme dan pembelaan membabi buta dalam masyarakat Islam,

bukannya melahirkan kepercayaan dan tingkat keamanan yang justru

lebih diperlukan untuk mendorong proses liberalisasi politik dan sosial

internal. Meskipun tanggung jawab untuk mengamankan kebebasan

beragama dalam masyarakat islam tergantung pada diri mereka sendiri,

komunitas interrnasional juga mempunyai peran penting dalam

menumbuhkan kondisi yang kondusif untuk kesuksesan usaha yang

dilakukan masyarakat muslim tersebut. Proses ini membawa kita pada isu

terakhir yaitu relevansi ide kewarganegaraan dalam proses ini, lagi-lagi

dari perspektif Islam.

IV. Kewarganegaraan

Apapun argumennya, adalah sebuah fakta bahwa kolonialisme Eropalah

yang mentransformasikan secara drastis dasar dan asal-ususl organizasi

politik dan sosial dalam negara tempat muslim tinggal.89 Transformasi ini

begitu mendasar dan sangat mendalam; menyebar pada seluruh aspek

aktivitas ekonomi, proses politik, kehidupan sosial dan relasi komunal,

pemenuhan pendidikan, kesehatan dan pelayanan lainnya sehingga

membuat ide untuk mengembalikan semuanya pada sistem dan ide

prakolonial menjadi tidak mungkin. Perubahan dan adaptasi apapun yang

dilakukan pada sistem yang sekarang berlaku, hanya bisa dilakukan

melalui konsep dan institusi post kolonial domestik dan global saat ini.

Namun banyak muslim, bahkan mungkin mayoritas dari mereka di

berbagai negara, belum bisa menerima beberapa aspek dalam proses

transformasi ini termasuk berbagai konsekuensinya. Untuk mengklarifikasi

89 Lihat James Piscatori, Islam in a Wold of Nation States (Cambridge: Cambridge University Press, 1986).

Page 70: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

dan memahami ketimpangan ini, saya akan memfokuskan bahasan ini

pada persoalan kewarganegaraan yang ternyata mempunyai implikasi

jangka panjang terhadap stabilitas politik, pemerintahan dan

pengembangan yang konstitusional di dalam negeri serta hubungan

internasional. Secara khusus, saya akan mengajukan hak asasi manusia

sebagai kerangka untuk menggaris bawahi dan menyelesaikan

ketegangan yang ada dalam ketimpangan pemahaman masyarakat Islam

saat ini terhadap konsep kewarganegaraan.

Manusia cenderung mencari dan mengalami tipe dan bentuk keanggotaan

yang beragam dan saling bersinggungan dalam kelompok yang berbeda

yang berdasarkan etnik, agama atau identitas kultural, afiliasi politik,

sosial atau profesional atau kepentingan ekonomi. Motivasi untuk menjadi

anggota sebuah kelompok cenderung terkait dengan alasan dan tujuan

kelompok tersebut, tanpa membatasi atau mengurangi pentingnya bentuk

keanggotaan yang lain. Nah, bentuk keanggotaan yang beragam dan

bersinggungan ini tidak selalu ekslusif, karena keragaman tersebut justru

bisa memenuhi tujuan masing-masing individu dan komunitas yang

berbeda. Ini mungkin hanya sekedar sebuah model yang terlalu

sederhana, karena dasar keanggotaan dalam sebuah kelompok tidak

mungkin bisa didefinisikan dengan jelas. Interaksi yang terjadi mungkin

akan menjadi kompleks dan tergantung pada faktor-faktor lain dan orang

juga tidak selalu sadar dengan dasar-dasar tersebut atau secara konsisten

berbuat dan berlaku sesuai dengannya. Namun hal penting yang ingin

saya tekankan di sini adalah bahwa orang cenderung secara sadar atau

setengah sadar untuk menjadi atau mengidentifikasi diri sebagai bagian

Page 71: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

dari sebuah kelompok karena tujuan-tujuan yang berbeda. Dan harus pula

dicatat bahwa keanggotaan itu bukan hanya pada satu kelompok.

Istilah kewarganegaraan yang saya gunakan disini berarti sebagai sebuah

bentuk keanggotaan dalam komunitas politik sebuah wilayah negara

dalam konteks globalnya dan dengan demikian terkait dengan alasan dan

tujuan tertentu, namun dengan tanpa membatasi kemungkinan bentuk

keanggotaan lain. Ini bukan berarti bahwa setiap orang akan sadar

sepenuhnya dengan bentuk atau tipe keanggotaan ini atau mereka akan

menganggap bentuk keanggotaan ini sebagai sesuatu yang inklusif

terhadap bentuk keanggotaan lain atau menyadari bahwa masing-masing

bentuk keanggotaan memiliki tujuan dan alasan tertentu. Bahkan, di sini

saya akan mengungkapkan bahwa ada kebingungan di kalangan muslim

mengenai makna dan implikasi kewarganegaraan dalam sebuah wilayah

negara, yang dibedakan meskipun tidak ekslusif, dengan bentuk dan tipe

keanggotaan lain.

Penting untuk dicatat bahwa kebingungan seperti ini tidak hanya terjadi

pada masyarakat muslim atau terjadi karena mereka memeluk Islam.

Contohnya ada kecenderungan umum di kalangan masyarakat utuk

menghilangkan beberapa bentuk keanggotaan seperti keanggotaan

berdasarkan etnis atau agama yang luntur karena afiliasi politik atau

sosial. Dengan demikian, perkembangan negara bangsa model Eropa

yang berbasis wilayah sejak abad 18 tidak hanya cenderung menyamakan

konsep kewarganegaraan dengan kebangsaan, tapi juga terus

menekankan pentingnya praktik konsep warga negara yang setara.90

90 Derek Heater, A Brief History of Citizenship (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004).

Page 72: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Menyamakan konsep kewarganeganegaraan dengan kebangsaan adalah

keliru karena keanggotaan seseorang dalam sebuah komunitas politik

sebuah negara tidak selalu bersamaan dengan adanya perasaan memiliki.

Pun tidak pula memperlihatkan hubungan apapun dengan cara orang

merasa menjadi bagian dari sebuah negara atau lainnya. Lagipula, dalam

teorinya hak-hak warga negara tunduk pada berbagai pembatasan hukum

dan dalam praktiknya pada pembatasan tertentu, sebagaimana yang akan

kita lihat dalam kasus kerudung yang terjadi di Perancis dalam bab 4

nanti.

Seperti halnya nasionalisme, konsepsi dan praktik kewarganegaraan

menjadi norma yang sudah diterima dalam hubungan politik domestik dan

intenasional di seluruh dunia termasuk di kalangan masyarakat Islam.

Bahkan konsep-konsep identitas dan kedaulatan yang memiliki nilai

“menentukan nasib sendiri” (self-determination) sekarang dibangun di

atas dasar yang sama dengan model Eropa. Dan bagusnya, konsepsi-

konsepsi tersebut terus berkembang dan merefleksikan pengalaman-

pengalaman masyarakat lain terutama melalui proses dekolonisasi dan

perkembangan norma-norma hak asasi manusia universal sejak

pertengahan abad 20.

Konsepsi-konsepsi kewarganegaraan, kedaulatan dan hak untuk

menentukan diri sendiri yang sedang berkembang ini adalah konsep-

konsep yang saya tawarkan kepada masyarakat muslim untuk diterima

dan dipergunakan sebagai prinsip, dan bukan hanya sebagai konsesi

pragmatis untuk menghadapi realitas pasca kolonial. Benar bahwa umat

Islam di manapun sudah menerima konsep dasar kewarganegaraan

Page 73: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

sebagai dasar sistem politik dan undang-undang domestik mereka bahkan

juga menjadi dasar bagi hubungan internasional mereka dengan negara-

negara lain. Kewarganegaraan memang sudah menjadi dasar hubungan

antar muslim, maka saya kemudian membutuhkan visa yang dikeluarkan

oleh Pemerintah Saudi Arabia agar saya bisa melaksanakan ibadah haji

atau umrah disana dan tidak bisa berharap akan diterima bagitu saja di

sana hanya karena saya seorang muslim yang akan melaksanakan

kewajiban agama saya. Meskipun dasar konsep kewarganegaraan sudah

diterima, namun kita perlu melangkah satu tindak ke depan. Yaitu

mengembangkan dan mempromosikan prinsip-prinsip kewarganegaraan

di kalangan muslim agar mereka dapat memegang prinsip tersebut dan

berusaha untuk merealisasikan pemahaman positif dan proaktif terhadap

konsep kesetaraan warga negara untuk semua orang tanpa membedakan

agama, jenis kelamin, etnis, bahasa atau opini politik apapun. Konsep

kewarganegaraan harus menandakan adanya pemahaman bersama

tentang kesetaraan posisi semua manusia dan partisipasi politik yang

inklusif dan efektif untuk menjamin akuntabilitas pemerintah dalam

menghargai dan melindungi hak asasi manusia semua pihak.

Keinginan untuk menyebarkan pemahaman mengenai konsep

kewarganegaraan ini ke seluruh dunia tentu saja bisa didasarkan pada

berbagai macam pertimbangan, termasuk realitas pragmatis hubungan

kekuasaan dalam sebuah masyarakat sebagaimana yang sudah saya

sebutkan tadi. Namun, keinginan itu juga membutuhkan asas keagamaan,

filosofis dan moral agar pengertian kewarganegaraan konsisten dengan

norma-norma hak asasi manusia universal. Kombinasi dasar moral dan

pragmatis ini bisa dilihat dalam apa yang disebut sebagai the golden rule

Page 74: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

prinsip resiprokal (mu’awada) dalam diskursus keislaman. Memperlakukan

orang lain dengan penuh rasa hormat dan empati adalah hal yang

diperlukan dalam membangun sensibilitas moral di antara tradisi agama

dan filasafat tertentu. Dan tentu saja menjadi syarat bagi adanya

perlakuan yang sama dari orang lain. Dengan demikian, baik individu

maupun komunitas dimanapun berada harus mengakui adanya kesamaan

status warga negara, jika mereka ingin diperlakukan sama di negeri

sendiri maupun di negeri lain. Karena itulah, memahami konsep

kewarganegaraan berdasarkan hak asasi manusia universal adalah

merupakan dasar politik, hukum dan moral untuk menikmatinya.

Ummat Islam sebetulnya sudah menerapkan ide-ide tersebut melalui

hukum negaranya maupun hukum internasional, termasuk melalui

kerjasama dengan orang lain untuk mendefinisikan dan

mengimplementasikan hak-hak asasi manusia universal dalam proses

yang lebih luas. Standar dan proses internasional itu memang

memberikan kontribusi untuk memahami dan melindungi hak-hak warga

negara dalam level domestik. Dengan demikian, hubungan antara hak

asasi manusia dan kewarganegaraan merupakan sesuatu yang inheren

dan saling mendukung dalam hubungan antar keduanya. Jika

kewarganegaraan difahami dari sudut pandang hak asasi manusia, maka

sebagai seorang warga negara, muslim bisa berpartisipasi secara lebih

efektif dalam mendefinisikan dan mengimplementasikan hak asasi

manusia. Dan ia bisa menikmati status kewarganegaraannya.

Keterhubungan antara dua konsep tersebut mengasumsikan bahwa

negara yang terikat oleh hukum internasional dan piagam-piagam hak

asasi manusia lain adalah representasi warga negaranya. Namun

Page 75: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

realitasnya, ini tidak selalu sama di semua negara apalagi di negara-

negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti di Asia dan

Afrika.

Dengan demikian tantangannya adalah bagaimana menerapkan

pendekatan hak asasi manusia ini dalam konsep kewarganegaraan

sehingga proses ini pada akhirnya bisa memberikan kontribusi dalam

merealisasikan prinsip akuntabilitas dan pemerintah yang demokratis.

Masalahnya adalah bagaimana mempergunakan sumber daya yang ada,

termasuk konsep kewarganegaraan dan hak asasi manusia yang sudah

diterima, untuk mempromosikan sumber daya yang sama. Proses

pengembangan konsep kewarganegaraan dan hak asasi manusia ini akan

dipengaruhi oleh jaringan faktor dan aktor yang kompleks dan luas baik di

tingkat lokal, nasional maupun internasional. Termasuk di dalamnya relasi

sosial dan ekonomi, pengaruh sistem pendidikan dan aktifitas media dan

juga seluruh konteks sejarah dan sosial politik aktual. Persepsi negatif dan

hegemoni relasi kekuasaan yang mungkin mengurangi efektifitas dan

relevansi konstitusionalisme dan hak asasi manusia, sebagaimana sudah

disebutkan di muka, juga mungkin terjadi dalam konteks hubungan

konsep kewarganegaraan dengan hak asasi manusia.

Dengan pemahaman yang jelas terhadap kompleksitas proses dan hasil

yang sulit diperkirakan, saya akan memfokuskan diskusi tentang konsep

dzimmihood dalam syariah tradisional sesuai dengan tujuan buku ini.

Sebagaimana yang akan dijelaskan nanti, konsep dzimmi menandakan

adanya perlindungan negara terhadap hak-hak dasar dan otonomi

komunal yang terbatas masyarakat non-muslim (ahl-dzimmah) sebagai

Page 76: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

konsesi atas pengakuan mereka atas kedaulatan muslim.91 Meskipun

konsep ini lemah untuk digunakan sebagai dasar bagi konsep

kewarganegaraan dalam konteks negara muslim saat ini, namun ia terus

memiliki pengaruh pada perilaku dan sikap ummat Islam.

Konsep Dzimmi dalam Perspektif Sejarah

Untuk membahas konsep dzimmi dalam syariah tradisional, perlu kiranya

untuk mengklarifikasi dua elemen kebingungan metodologis yang

mendasari beberapa diskursus keislaman yang keliru menginterpretasikan

syari’ah atau memberlakukan prinsip-prinsipnya secara langsung.92

Pertama, fokus kita di sini adalah bagaimana para pendiri mazhab syari’ah

memahami text yang relevan dalam al-Qur’an dengan cara yang

sistematis. Jadi pertama-tama kita harus memahami terlebih dahulu

prinsip-prinsip syari’ah tentang dzimmi yang sudah ada, sebelum menguji

kemungkinan untuk mereformasinya. Kedua, reformasi apapun yang

diajukan harus mengikuti metodologi yang jelas dan sistematik, daripada

sekedar pemilihan arbitrer berbagai sumber atau hanya sekedar merujuk

sumber yang bertentangan, karena cara seperti itu pasti akan ditolak. Pun

tidak ada gunanya mengutip ayat-ayat al-Qur’an atau sabda Nabi yang

mendukung kesetaraan non-muslim tanpa menyebutkan ayat-ayat yang

dapat dirujuk untuk mendukung pandangan yang menentangnya.

Sistem dzimmi tradisional sebetulnya dikembangkan oleh para ulama

sebagai bagian dari sebuah pandangan yang menentukan afiliasi politik 91 Lihat artikel “Dhimma” dalam Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden: EJ.Brill, 1991, hlm. 75-76; Mahmoud Ayoub, “Dhimmah in the Qur’an and Hadits”, Muslims and Others in Early Muslim Society, ed. Robert Hoyland (Trowbridge,Wiltshire, England: Ashgate Publishing Ltd., 2004), hlm. 25-26. 92 Kebingungan metodologis terlihat pada misalnya A. Rahman I. Doi, Non-Muslims under Shari’ah (Islamic Law), (Lahore: Kazi publications, 1981); dan Maimul Ahsan Khan, Human Rights in the Muslim World: Fundamentalism, Constitutionalism, and International Politics, (Durham: Caroline Academic Press, 2003).

Page 77: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

berdasarkan afiliasi keagamaan dan bukan berdasarkan wilayah negara

seperti yang terjadi pada saat ini.93 Dengan cara seperti itu, ide ini

bertujuan untuk menggeser loyalitas politik dari ikatan kesukuan ke Islam

sehingga keanggotaan dalam komunitas politik dapat diakses oleh

siapapun yang menerima kepercayaan ini. Karena generasi awal ummat

Islam percaya bahwa mereka adalah penerima agama wahyu terakhir,

mereka berasumsi bahwa mereka mempunyai kewaiban untuk

menyebarkan Islam melalu jihad yang bisa dilakukan, namun bukan satu-

satunya, melalui penaklukan militer.94

Senada dengan keyakinan tersebut, para ulama menyarankan ummat

Islam untuk mendakwahkan Islam dengan cara damai terlebih dahulu.

Namun jika seruan tersebut ditolak, mereka boleh memaksa orang-orang

kafir untuk menyerah dan memberlakukan ketentuan yang dipercayai oleh

umat Islam sebagai wajib.95 Sistem ini, dengan demikian, mengandaikan

adanya pembedaan tegas antara wilayah Islam (dar al-Islam) tempat

muslim berkuasa dan syariah berlaku, dengan wilayah yang penduduknya

memerangi Muslim (dar al-harb).96 Visi yang dibangun oleh sistem ini

adalah bahwa kewajiban untuk menyebarkan islam dengan cara damai

maupun perang tetap berlaku sampai seluruh dunia menjadi dar al-Islam.

Pandangan ini, tak salah lagi, didukung oleh kesuksesan ummat Islam

menaklukkan berbagai daerah sejak dari Afrika Selatan sampai Spanyol

bagian selatan di Barat, Persia, Asia Tengah, dan Indian bagian utara di

93 Michael G. Morony, “Religious Communities in Late Sassanian and Early Muslim Iraq”, Muslims and Others in Early Islamic Societies, ed. Robert Hoyland (Trowbridge, Wiltshire, England: Ashgate Publishing Ltd.,2004), hlm. 1-2394 al-Nabhani, The Islamic State, hlm. 14795 lihat Lambton, State and Government itun Medieval Islam, hlm. 201; al-Nabhani, The Islamic State, hlm. 147-15096 Ali, “Role of Muslim Women Today,” dalam Modern Muslim Thought, Vol. 1, hlm. 236; Doi, Non-Muslim under shari’ah, hlm. 22-23; Lambton, State and Government in Medieval Islam, hlm. 201.

Page 78: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Timur setelah Rasulullah meninggal. Namun keterbatasan praktik karena

ketidakpastian ekspansi yang dilakukan semakin jelas dari waktu ke

waktu. Penguasa muslim kemudian harus menanda tangani kesepakatan

damai (sulh) dengan orang-orang kafir yang sah sehingga wilayah tempat

mereka tinggal dianggap wilayah yang mempunyai kesepakatan damai

dengan ummat Islam (dar al-sulh).97

Berdasarkan model relasi non-muslim yang dikembangkan selama abad

ke-7 dan 8 ini, syari’ah mengklasifikasikan manusia pada tiga kategori

yaitu muslim, ahl al-kitab (mereka yang dianggap ummat Islam sebagai

ummat yang juga menerima pewahyuan kitab suci seperti Kristen dan

Yahudi), dan kafir. Status ahl al-kitab kemudian diperluas oleh para ulama

hingga mencakup penganut agama Magi berdasarkan asumsi bahwa

mereka juga menerima pewahyuan kitab suci.98 Namun skema dasar yang

menyatakan bahwa hanya muslimlah yang berhak menjadi anggota penuh

komunitas muslim sedangkan ahl al-kitab hanya anggota parsial tetap

tidak bisa dirubah atau dimodifikasi menurut pandangan syari’ah. Orang

kafir malah tidak memiliki kualifikasi untuk mendapatkan pengakuan

hukum atau perlindungan seperti itu, kecuali mereka mendapatkan

jaminan perlindungan temporer (aman) karena alasan-alasan praktis

seperti perniagaan atau diplomat.99

97 Muhammad Hamidullah, Muslim conduct of state, revised 5th edition (Lahore: Sh. M. Ashraf, 1968); Majid Khadduri, Islamic Law of Nations: Shaybani’s Siyar (Baltimore: Johns Hopkins Press, 1966), hlm. 158-79; Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam (Baltimore: The Johns Hopkins Press, 1955), hlm. 162-69, 245-46, 243-44; dan H.A. Gibb dan J. H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden: E. J. Brill, 1953), s.v. ‘Ahl al-Kitab’, hlm.16-17, ‘Dhimma’, hlm. 75-76, ‘Dizya’, hlm. 91-92, ‘Kafir’, hlm. 205-06, and ‘Shirk’, hlm. 542-44.98 Muhammad Abu Yusuf, Kitab al-kharaj (Cairo: al-Matba`a al-Salafiyya, 1963), hlm.128-30; Saeed and Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 13.99 Shorter Encyclopaedia of Islam, ‘Kafir,’ hlm. 206.

Page 79: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Istilah dhimma merujuk pada perjanjian yang dibuat antara negara yang

dipimpin oleh muslim dan komunitas ahl a-kitab agar mereka

mendapatkan jaminan keamanan atas diri dan hartanya, kebebasan untuk

melakukan kewajiban agamanya dengan otonomi komunal dan privat

untuk mengelola urusan-urusan internalnya. Sebagai balasan, komunitas

ahl al-kitab harus membayar pajak yang disebut jizyah dan mematuhi

perjanjian yang mereka buat dengan negara.100 Mereka yang mendapat

status dzimma didorong untuk memeluk Islam, tapi tidak diperbolehkan

untuk menyebarkan keyakinannya. Ciri umum perjanjian dhimma

biasanya berisi klausul yang melarang ahl-dzimmah untuk berpartisipasi

dalam urusan-urusan publik atau memegang jabatan yang akan

memberinya kesempatan untuk memiliki otoritas atas ummat Islam.101

Namun, isi perjanjian itu bervariasi sesuai dengan waktu dan aplikasinya,

pun tidak selalu konsisten dengan teorinya, karena beberapa alasan

pragmatis seperti yang akan saya jelaskan berikut ini. Namun karena

komunitas yang berstatus dzimmah tidak dianggap sama dengan ummat

Islam, dalam istilah modern mereka tidak mempunyai status

kewarganegaraan penuh. Sementara itu, orang kafir selalu dianggap

dalam keadaan perang dengan ummat Islam, kecuali jika mereka

mendapatkan perlindungan sementara untuk melakukan perjalanan

melewati atau tinggal sementara di daerah yang dikuasai oleh ummat

Islam.102 Sedangkan status dan hak mereka yang tinggal di daerah yang

100 Article, “Djizya,” Shorter Encyclopaedia of Islam, p. 91; Ali, “Contrast Between Western and Islamic Political Theories,” Modern Muslim Thought, Vol. 1, hlm. 192; Doi, Non-Muslims Under Shari’ah, hlm. 22-23.101 Doi, Non-Muslims Under the Shari’ah, hlm. 115-116.102 Ausaf Ali, “Role of Muslim Women Today,” Modern Muslim Thought, Vol. 1 (Karachi, Pakistan: Royal Book Co., 2000), hlm. 236.

Page 80: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

memiliki perjanjian damai dengan ummat Islam (dar al-sulh) ditentukan

sesuai dengan perjanjian yang dibuat.103

Sistem dzimmi jelas sudah tidak bisa dipertahankan lagi sekarang.

Kegagalan Sudan untuk memahami keterbatasan konsep ini, misalnya,

berujung pada meledaknya perang sipil di bagian selatan negeri ini.104 jika

saja kita menilik lebih hati-hati konteks sejarah konsep ini, jelaslah bahwa

ia merefleskikan standar yang berlaku dalam pemerintah dan hubungan

antar komunitas saat itu. Konsep ini juga cukup disukai jika dibandingkan

sistem lain pada saat itu.

Namun, tidak ada sistem hukum internasional lain yang lebih efektif untuk

melawan negara-negara Barat yang suka mendominasi negara lain atau

menuntut sejumlah pemerintahan yang suka menindas rakyatnya kecuali

tata hukum internasional dan perlindungan HAM yang berlaku sekarang.

Hukum ini hanya bisa ditegakkan ketika masyarakat memegang teguh

nilai-nilai kesetaraan dan tertib hukum dalam kebijakan dalam dan luar

negerinya. Dengan cara inilah, mereka bisa memiliki landasan moral dan

politik untuk menuntut hak yang sama dari masyarakat lain. Untuk

merealisasikan hal ini, ummat Islam tidak saja harus menghapus sistem

dzimmi dalam syari’ah secara formal, namun juga menolak nilai-nilai

diskriminasi yang terdapat di dalamnya hingga mereka bisa

menginternalisasi dan mengimplementasikan konsep kewarganegaraan

modern yang sudah dijelaskan tadi. Trend ini sudah dimulai pada

103 Gordon D. Newby, A Concise Encyclopaedia of Islam (Oxford, England: Oneworld Publications, 2002), hlm. 51.104 Abdullahi Ahmed An-Na`im and Francis Deng, ‘Self -determination and Unity: the Case of Sudan,’ Law and Society, vol. 18 (1997), hlm. 199-223; Francis M. Deng, War of visions (Washington, DC: The Brookings Institution, 1995).

Page 81: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

beberapa komunitas muslim, tugas kita sekarang adalah bagaimana

mengembangkan dan mengamankan trend ini dari kemunduran.

Dari Konsep Dzimmi menuju Kewarganegaraan Berbasis Hak Asasi

Manusia

Konsep warga negara berbasis hak asasi manusia berarti bahwa norma

substantif, prosedur dan proses status ini, harus lahir dari, atau paling

tidak sesuai dengan, standar HAM yang berlaku universal saat ini.

Sebagaimana yang sudah kita diskusikan, tujuan utama HAM adalah untuk

menjamin adanya perlindungan yang efektif terhadap sejumlah hak-hak

dasar manusia dimanapun mereka berada, baik melalui sistem

perundangan-undangan negara atau tidak.

Piagam HAM internasional tidak mendefinisikan konsep warga negara

secara rigid, namun ia berisi beberapa prinsip yang mungkin relevan atau

bisa diaplikasikan di sebuah negara. Piagam HAM berisi beberapa prinsip

fundamental seperti hak untuk menentukan nasib sendiri (self-

determination), persamaan, anti diskriminasi yang disebutkan dalam pasal

1, 2 dan 3 Piagam PBB 1945, yang dianggap sebagai perjanjian yang

mengikat semua negara, termasuk negara-negara tempat komunitas

muslim tinggal. Prinsip-prinsip tersebut juga terdapat dalam perjanjian

HAM lain seperti pasal 1 dan 2 Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya dan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang disepakati tahun

1966. Dua kovenan tersebut dan juga perjanjian lainnya menyebutkan

Hak Asasi Manusia tertentu, seperti hak untuk diperlakukan setara di

Page 82: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

hadapan hukum dan kebebasan beragama, berlaku baik bagi negara Islam

maupun non-Muslim.105

Realisasi konsep warga negara berbasis HAM di kalangan muslim ini

hanya bisa dicapai melalui kombinasi tiga elemen. Pertama, transisi aktual

dari konsep dzimmi menuju konsep warga negara dalam era post-kolonial.

Kedua, bagaimana menjaga dan mengembangkan transisi ini melalui

reformasi Islam yang kuat secara metodologis dan berkelanjutan secara

politik agar nilai-nilai HAM berakar kuat dalam doktrin Islam. Ketiga,

konsolidasi dua elemen pertama agar konsep ini menjadi diskursus lokal

yang mampu menyelesaikan persoalan keterbatasan dan kelemahan

konsep ini sekarang dan praktiknya dalam masyarakat Islam. Kombinasi

elemen-elemen tadi bisa dilihat dalam pengalaman transisi India dan Turki

sebagai Kerajaan Islam terakhir menjadi Negara Modern bermodel Eropa

di awal abad 20. Namun sampai hari ini, seperti yang akan saya jelaskan

dalam bab 5 dan 6, transformasi konsep warga negara yang terjadi di dua

negara tersebut masih ambivalen, bermasalah dan tetap rawan terhadap

kemungkinan terjadinya kemunduran.

Mari kita lihat proses pengembangan konsep warga negara di India

terlebih dahulu. Islam disebarkan di daerah India beberapa dekade setelah

Rasulullah meninggal, namun umat Islam membutuhkan waktu berabad-

abad untuk menjadi kelompok minoritas yang berkuasa di beberapa

bagian negeri ini.106 Meskipun berasal dari etnis dan kelompok budaya

105 United Nations, Human rights: a Compilation of International Instruments (New York: United Nations, 1994) volume 1; and Antonio Cassese, Self-determination of Peoples: a Legal Reappraisal (Cambridge: Cambridge University Press, 1995).106 I. H. Qureshi, “Muslim India Before the Mughals,” in The Cambridge History of Islam, P.M. Holt, Ann K.S. Lambton, and Bernard Lewis (eds.) (New York: Cambridge University Press, 1996), hlm. 3-34.

Page 83: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

yang berbeda (sebagian dari berasal Turki, Afganistan, Persia, Arab dan

juga pribumi yang pindah agama), ummat Islam di India pelan-pelan

mengembangkan tradisi toleransi dan koeksistensi yang membuat mereka

bisa berinteraksi dan berasimilasi dengan komunitas agama lain yang

tinggal di sana. Namun tradisi ini baru dalam kerangka menjaga

mutualisme simbiosis dengan tuan-tuan tanah beragama Hindu dan

kelompok-kelompok elite lainnya, daripada sebuah tradisi yang mengakui

konsep warga negara yang secara luas berlaku bagi seluruh

masyarakat.107 Saya mengatakan ini bukan sebagai kritik, saya memahami

bahwa konsep warga negara berbasis HAM memang belum diketahui

komunitas manapun di dunia saat itu.

Sistem kepegawaian dan administrasi negara yang dikembangkan oleh

Akbar (1542-1605) telah memadukan semua kepentingan dan kelompok

ke dalam hirarki yang sama. Namun stagnasi teknologi dan administrasi,

perang sipil, dan invasi regional, lambat laun menyebabkan terjadinya

perpecahan dalam tubuh kerajaan Mughal selama abad 18.108 Bahkan

usaha-usaha untuk menghentikan penjajahan Inggris seperti yang

dilakukan Shah Wali Allah (1703-72) dengan memperbaharui konsep-

konsep syari’ah atau Gerakan jihadnya Sayyid Ahmad Barelwi (1786-

1831), Hajji Shari’at Allah (1781-1840) dan Haji Muhsin (1819-62) pun

gagal.109 Dislokasi ekonomi yang disebabkan oleh ekspansi pengaruh

perusahaan East India sekaligus perubahan administrasi pendapatan dan

107 S.A.A. Rizvi, “The Breakdown of Traditional Society,” in The Cambridge History of Islam, hlm. 67.108 I.H. Qureshi, “India Under the Mughals,” in The Cambridge History of Islam, hlm. 52-57.109 Rizvi, “The Breakdown of Traditional Society,” in The Cambridge History of Islam, hlm. 71-74.

Page 84: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

peradilan yang diperkenalkan Inggris pada akhir abad 18, menyebabkan

menurunnya kekuasaan dan otoritas ummat Islam di India.110

Melalui strategi politik, militer dan ekonomi yang direncanakan untuk

meluaskan pengaruhnya di India, kerajaan Inggris akhirnya bisa

mengambil alih kontrol pemerintahan di seluruh India pada pertengahan

abad 19. Beberapa pemimpin muslim seperti Sayyid Ahmad Khan (1817-

98) mempunyai sikap positif terhadap Inggris dan pengaruh Barat secara

umum, tapi ia juga masih ambivalen dengan konsep warga negara dan

jangkauan penerapannya di India. Ia nampaknya mengkombinasikan

komitmen untuk melakukan modernisasi India sebagai negara kesatuan

dengan tetap memelihara kecurigaan pada institusi-institusi populer yang

demokratis. Usahanya memobilisasi ummat Islam India untuk beroposisi

pada Indian National Congress merupakan tanda ambivalensinya terhadap

usaha-usaha kemerdekaan, yang berakhir dengan pemisahan India dan

Pakistan pada 1947.111 Nampaknya kita tidak mungkin membahas

perkembangan peristiwa-peristiwa tersebut saat ini, tapi saya ingin

mencatat bahwa peristiwa-peristiwa tersebut merefleksikan baik

kemarahan Hindu terhadap hegemoni ummat Islam termasuk di dalamnya

pada konsep dzimmi, maupun ketakutan Muslim terhadap dominasi Hindu.

Ironisnya, meskipun banyak ummat Islam yang masih menjadi warga

negera India, pemisahan tersebut tidak memberikan keuntungan apa-apa

bagi konsep warga negara bagi Ummat Islam di Pakistan. Di dua negara

tersebut, konsep warga negara harus dikembangkan dan dilindungi dari

bahaya pemisahan kategori Muslim dan non-muslim.112

110 Rizvi, “The Breakdown of Traditional Society,” in The Cambridge History of Islam, hlm. 77.111 Rizvi, “The Breakdown of Traditional Society,” in The Cambridge History of Islam, hlm. 67-96.112 Aziz Ahmad, “India and Pakistan”, in P.M. Holt, Ann K.S. Lambton and Bernard Lewis (eds.), The Cambridge History of Islam, (Cambridge: Cambridge University Press1970), volume 2A, hlm. 97-119.

Page 85: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Pemahaman konsep warga negara berkembang dengan cara yang

berbeda pada zaman Dinasti Ottoman dan Republik Turki. Fleksibilitas dan

elastisitas sistem Millet dinasti Ottoman di Asia Barat dan Afrika Utara

sudah merepresentasikan ketidaktergantungan dinasti ini pada konsep

dzimmi sebagai bentuk respon mereka terhadap realitas ekonomis sosial

dan militer yang mereka hadapi. Realitas-realitas tersebut mungkin

difasilitasi dan terus didukung oleh proses penetrasi Barat dan

keterbukaan Ottoman, yang akhirnya mentransformasi kerajaan ini dan

membukakan jalan untuk proses transisi menuju terbentuknya Negara

Turki sekuler pada tahun 1920. Selain faktor tersebut, ada pula faktor

yang tak kalah pentingnya dalam pembentukan negara modern berbasis

prinsip kewarganegaraan modern Turki, yaitu kemunculan gerakan-

gerakan nasionalis di kalangan ummat muslim, yang berasal dari Arab dan

Albania misalnya, dan juga kehadiran minoritas Kristen.

Meskipun dilakukan perlahan dan bertahap, perubahan kebijakan dan

praktik dinasti Ottoman dimulai pada saat dideklarasikannya Keputusan

Tanzimat tahun 1839, yang menandai dimulainya proses formal

pengakuan kesamaan status antara muslim dan non-muslim di hadapan

sultan.113 Sementara keputusan Tanzimat pertama menegaskan syari’ah

sebagai hukum negara, keputusan Tanzimat tahun 1856 justru

menetapkan kesamaan status non-muslim, penghapusan jizyah,

pelarangan sikap diskriminatif terhadap komunitas ahl al-dzimmah tanpa

merujuk sedikitpun pada prinsip-prinsip Islam. Malah, aspek-aspek modern

prinsip kesetaraan di hadapan hukum dan anti-diskriminasi ditetapkan

113 Cevdet Küçük, “Ottoman Millet System and Tanzimat”, in Tanzimat’tan Cumhuriyet’e Türkiye Ansiklopedisi, vol. 4, (Istanbul: İletişim, 1986), hlm. 1007-24.

Page 86: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

dalam pasal 8 - 22 konstitusi Ottoman tahun 1876. Prinsip-prinsip tersebut

terus dijaga melalui pengembangan konstitusi selama akhir masa dinasti

Ottoman dan kemudian diperluas selama masa Republik sejak 1926.

Proses yang terjadi di India dan Turki, juga terjadi di negara muslim lain

selama abad ke-20 dan secara formal terus berkembang selama proses

dekolonisasi pasca perang dunia II. Dengan demikian, konsep dzimmi

tidak lagi dipraktikkan dan dianjurkan di negara muslim manapun yang

telah mengintegrasikan diri dengan sistem negara yang berlaku

sekarang.114 Walaupun transformasi tersebut secara formal dilaksanakan

oleh kolonial Eropa, namun semua masyarakat Islam telah secara sukarela

meneruskan sistem tersebut setelah mereka merdeka. Ummat Islam

bahkan tidak menolak atau berusaha untuk memodifikasi sistem tersebut

baik di tingkat lokal maupun internasional, malah penguasa di negara-

negara Muslim justru aktif berpartisipasi untuk mengoperasikan sistem ini

di dalam maupun luar negaranya.115 Namun ketegangan yang ditimbulkan

oleh konsep dzimmi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya masih

tetap saja ada, seperti yang terjadi dalam kasus kontroversi mengenai

kebolehan mengucapkan selamat Natal kepada ummat kristiani atau

nikah antar agama di Indonesia116, perang sipil di Sudan117, kerusuhan

bernuansa kekerasaan akibat penerapan syari’ah di negara-negara bagian

Nigeria sejak tahun 2001.118 Ketegangan inilah yang menjadikan

114 Saeed and Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 13-14.115 James Piscatori, Islam in a World of Nation-states.116 Darul Aqsha, Islam in Indonesia: a survey of events and developments from 1998 to March 1993 (Jakarta: INIS, 1995), hlm. 470-73; Greg Barton, Gagasan Islam Liberal (Jakarta: Paramadina,1999); and Mun’im A. Sirry, Fiqh Lintas Agama: membangun masyarakat inklusif-pluralis (Jakarta: Paramadina, 2004).117 Jok Madut Jok, War and Slavery in Sudan (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2001).118 Simeon O. Ilesanmi, “Constitutional Treatment of Religion and the Politics of Human Rights in Nigeria”, African Affairs (2001), hlm. 529-54.

Page 87: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

pentingnya peralihan ke konsep warga negara melalui reformasi Islami

yang kuat secara metodologis dan berkelanjutan secara politis.

Sekedar mengulang diskusi yang telah lalu, premis utama pentingnya

proses reformasi Islami adalah meskipun Qur’an dan Sunnah adalah

sumber ketuhanan dalam Islam, tidak berarti bahwa makna dan

implementasi keduanya dalam kehidupan sehari-hari lepas dari

interpretasi dan perilaku manusia dalam konteks sejarahnya yang spesifik.

Bahkan, rasanya tidak mungkin kita mengetahui dan menerapkan syari’ah

dalam kehidupan ini tanpa adanya faktor manusia, karena Qur’an sendiri

diungkapkan dalam Bahasa Arab (bahasa manusia) dan terkait dengan

pengalaman sejarah masyarakat tertentu saat itu. Pendapat apapun yang

diterima muslim sebagai bagian dari syari’ah sekarang atau kapanpun,

bahkan jikapun disepakati secara anonim, pasti muncul sebagai pendapat

manusia mengenai makna al-Qur’an dan sunnah atau merupakan praktik

komunitas Islam. Pendapat dan praktik tersebut menjadi bagian dari

Syari’ah melalui konsensus ummat Islam berabad-abad lamanya, dan

bukan hasil dari keputusan spontan seorang penguasa atau kehendak

sekelompok ulama. Dengan demikian, di samping pendapat yang telah

disepakati, tentu ada alternatif formulasi syari’ah lain yang sama validnya

dan bisa diterima oleh ummat Islam. Selain itu, reformasi yang berbasis

metodologi yang kuat juga harus memperhatikan dua hal penting yang

sudah disebutkan pada permulaan bab ini. Pertama, usaha reformasi

harus bisa membedakan dua hal penting yaitu prinsip-prinsip syari’ah

yang sudah ada dan telah ditetapkan oleh para ulama dengan

kemungkinan reinterpretasi. Kedua, seseorang yang ingin melakukan

reformasi harus menghindari memilih teks Qur’an dan sunnah yang

Page 88: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

nampaknya saling bertentangan secara arbitrer, tanpa memperhatikan

teks-teks yang mempunyai kemungkinan dirujuk untuk menguatkan

pendapat oposisi.

Metodologi reformasi yang berdasarkan premis diatas dan memenuhi

persyaratan yang sudah disebutkan nampaknya adalah metodologi yang

diajukan Ustadz Mahmud Muhammed Toha. Metodologinya mendukung

adanya peralihan dari penggunaan ayat-ayat Madaniyah ke ayat-ayat

Makiyah sebagai dasar bagi aspek sosial dan politik syari’ah. Alasan

pentingnya peralihan ini adalah karena ayat-ayat yang diturunkan pada

masa awal pewahyuan lebih merepresentasikan pesan-pesan universal

Islam, sedangkan ayat-ayat sesudahnya lebih merupakan respon spesifik

terhadap konteks historis ummat manusia saat itu. Melalui metodologi ini,

Ustaz Mahmud juga menunjukkan bahwa alasan yang digunakan dalam

sistem dzimmi untuk melegitimasi konsep jihad yang agresif dan

diskriminasi terhadap non-muslim berupa ayat-ayat madinah itu, sifatnya

temporer. Point utama dalam perbincangannya adalah Islam disebarkan

pertama kali melalui cara-cara damai dengan menggunakan pesan-pesan

universal yang diturunkan dalam periode Mekkah. Namun, setelah pesan-

pesan tersebut tampak tidak realistis bagi konteks negeri Arab abad ke-7,

maka pesan-pesan yang lebih cocok secara historis pun diturunkan di

Madinah termasuk konsep jihad yang agresif dan diskriminasi terhadap

non-muslim itu. Dengan demikian, pesan Madinah yang turun belakangan

justru lebih dulu diterapkan sebagai Syari’ah sejak abad ke-7. Dengan

memahami bahwa kondisi saat ini sudah mungkin untuk

mengimplementasikan pesan-pesan dakwah damai dan non diskriminatif

Page 89: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

yang datang lebih dulu, Ustadz Mahmoud menyerukan pentingnya

peralihan ini melalui konsep dan metodologi ijtihad yang baru.

Dengan cara seperti ini, Metodologi Taha ini mampu secara eksplisit

mengenyampingkan ayat-ayat yang mendasari konsep dzimmi sebagai

bagian dari syari’ah, walaupun mereka tetap menjadi bagian dari al-

Qur’an. Karena proses pemilihan ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai atau

tidak, selalu menjadi tugas para fuqaha, maka jika pilihan-pilihan dulu

diganti dengan yang baru maka hendaknya itu difahami sebagai sebuah

revisi terhadap apa yang pernah dilakukan ummat Islam di masa lalu,

bukan revisi terhadap al-Qur’an atau sunnah itu sendiri. Kerangka yang

ditawarkan Taha mampu menyediakan metodologi interpretasi Qur’an dan

Sunnah yang sistematis dan koheren, daripada sekedar sebuah proses

pemilihan serampangan terhadap sejumlah ayat al-Qur’an seperti yang

dilakukan oleh ulama modern lain yang ternyata gagal untuk menjelaskan

apa yang terjadi pada ayat-ayat yang tidak mereka pilih. Dengan

metodologi Taha, beberapa ayat relevan yang turun pada periode Makkah

dapat mendukung pengembangan konsep warga negara modern dari

sudut pandang Islam.119 Meskipun saya menganggap pendekatan Taha ini

sangat meyakinkan, saya tetap membuka diri pada metodologi lain yang

bisa mencapai tingkat reformasi yang sama dengan metodologi Taha.

Tapi bagaimana caranya kita menetapkan bahwa metodologi ini atau itu

kuat dan bisa diaplikasikan dalam perspektif Islam, layak dipilih untuk

digunakan menghapus sistem dzimmi tradisional? Pertama, alasan yang

sudah saya tekankah sejak semula, Aturan Emas (Golden Rule) atau

119 Taha, the Second message of Islam; and An-Na`im, Toward an Islamic Reformation

Page 90: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

doktrin Islam tentang resiprositas bahwa seorang muslim harus mengakui

kesetaraan derajat orang lain jika mereka ingin diberi pengakuan yang

sama. Kedua, adalah sebuah kemunafikan jika kita tetap memegang

sistem dzimmi secara teoritis, padahal kita menyadari bahwa konsep itu

tidak pernah diterapkan di masa lalu dan juga tidak relevan untuk

diterapkan di masa yang akan datang. Dengan tetap mempertahankan

interpretasi yang tidak realistis terhadap syariah yang seperti itu dalam

tingkat teoritis, sambil mengabaikannya dalam tingkat praktis, justru akan

merusak kredibilitas dan koherensi Islam sebagai agama. jika ada orang

yang khawatir bahwa konsep ini sulit diterima oleh kalangan muslim, saya

hanya akan meminta kesempatan untuk mempresentasikan ini secara

bebas dan terbuka kepada mereka, agar mereka bisa menentukan sendiri

keputusannya. Agar debat publik yang bebas dan terbuka tentang

masalah-masalah seperti ini bisa terjadi, maka penting bagi masyarakat

muslim untuk menjaga penuh kebebasan mereka untuk berpendapat,

berekspresi dan memiliki keyakinan tertentu. Manusia tidak bertanggung

jawab atas keputusan atau perbuatan yang dilakukannya, jika ia tidak

memiliki kebebasan untuk memilih, dan kebebasan memilih itu tidak bisa

didapatkan jika ia tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan dan

mengevaluasi semua informasi yang relevan, agar ia bisa mendebat dan

menilai argumen yang berbeda.

Karena itulah, mengapa saya selalu menekankan pentingnya peran

konstitusionalisme dan hak asasi manusia sebagai kerangka fikir dan

jaring pengaman yang berguna untuk menegosisasikan hubungan antara

Islam, negara, dan masyarakat dalam konteks masyarakat Islam saat ini.

Kesemuanya itu menuntut adanya otoritas publik yang bisa menjaga

Page 91: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

tatanan dan hukum, mengatur debat dan refleksi, dan memutus pertikaian

sesuai dengan prinsip-prinsip yang adil dan masuk akal. Keberadaan

otoritas itu diimplementasikan dengan kehadiran institusi-institusi yang

transparan dan akuntabel. Dengan demikian, mengamankan

pemerintahan yang konstitusional dan perlindungan HAM tidak saja

penting bagi kebebasan beragama ummat Islam dan non-muslim yang

hidup di sebuah negara, tetapi juga untuk ketahanan dan pengembangan

Islam itu sendiri. Kebebasan untuk memiliki pendapat yang berbeda dan

berdebat selalu esensial untuk pengembangan syari’ah, karena itu

memungkinkan munculnya ide-ide baru, yang bila diterima, akan menjadi

sebagai konsensus yang berkembang di sekeliling mereka, sampai ide-ide

itu matang dan menjadi prinsip-prinsip yang mapan melalui penerimaan

dan praktik beberapa generasi ummat Islam di berbagai tempat dan

waktu. Daripada melakukan sensor terhadap pemikiran-pemikiran baru

yang justru sebetulnya kontra-poduktif untuk pengembangan doktrin-

doktrin Islam, adalah lebih penting untuk menjaga berlangsungnya

kemungkinan munculnya inovasi dan perbedaan pendapat karena itulah

cara agama merespon kebutuhan penganutnya.

Kesimpulan

Sepanjang buku ini saya sudah menekankan pentingnya perspektif Islam

untuk menjaga netralitas negara terhadap agama di samping pentingnya

menjaga keterhubungan antara Islam dan politik di sisi lain. Namun masih

ada ketegangan yang belum terselesaikan menyangkut konsep-konsep

seperti konstitusionalisme, HAM, dan warga negara dalam perspektif

Islam, statusnya yang diformulasikan di tengah masyarakat Barat dan

aplikasinya di tengah masyarakat Islam Asia dan Afrika. Bisakah konsep-

Page 92: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

konsep yang berkembang melalui pengalaman masyarakat Barat

diaplikasikan di tempat lain? Jawabannya ya. Saya percaya penerapan itu

bukan saja mungkin, tetapi juga penting dengan menyediakan ide-ide,

asumsi-asumsi, dan institusi-institusi yang berkaitan dengan prinsip-

prinsip tersebut agar bisa diadaptasikan secara lebih baik dengan konteks

lokal dan masyarakat yang berbeda.

Penerapan prinsip-prinsip tersebut di tengah masyarakat muslim menjadi

penting karena mereka terus hidup dalam model negara Eropa setelah

merdeka dari penjajahan. Model Negara Eropa ini nampaknya akan terus

berlanjut sebagai kerangka dominan politik domestik dan hubungan

internasional di masa yang akan datang. Bahkan trend globalisasi dan

integrasi regional seperti Uni-Eropa, Uni-Afrika yang beroperasi melalui

peran negara sering menghadapi resistensi yang kuat dari pendukung

konsep tradisional kedaulatan nasional atau teritorial. Realitas-realitas

tersebut menuntut implementasi prinsip-prinsip konstitusionalisme, hak

asasi manusia, dan kewarganegaraan yang ternyata penting untuk

mengatur kekuasaan negara dan mengorganisasi relasi antara individu

dan komunitas di bawah model negara Eropa ini. Dengan demikian,

pentinglah kiranya untuk mengembangkan prinsip-prinsip tersebut dalam

masyarakat muslim sebagai parameter yang mengatur politik domestik

dan hubungan mereka dengan masyarakat lain.

Walaupun jelas dalam level teoritis, konsep seperti konstitusionalisme,

HAM, dan kewarganegaraan masih perlu dispesifikasi dan diadaptasikan

bila ingin diaplikasikan dalam konteks lokal. Agar relevan dan berguna,

prinsip-prinsip teoritis tersebut harus bisa menjawab pertanyaan dan

Page 93: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

masalah yang muncul dari konteks sosio-ekonomi, politik dan tradisi

budaya masing-masing masyarakat. Logis jika kemudian proses adaptasi

prinsip universal dalam konteks lokal ini mungkin saja tidak bekerja di

tempat atau waktu tertentu. Kegagalan proses ini mungkin terjadi dalam

berbagai bentuk, baik pada level minor menyangkut susunan praktis

seperti pemisahan kekuasaan atau judicial review, sampai pada

ketidakcocokkan mengenai aspek-aspek fundamental atau substansiaal

dalam konsep konstitusionalisme. Kegagalan ini bisa memiliki tingkat

kesulitan yang beragam.

Dengan demikian, saya merekomendasikan agar kita lebih memfokuskan

diri pada dinamika dan proses internal untuk membangun dan

mengkonsolidasikan konstitusionalisme, HAM dan kewarganegaraan di

tengah masyarakat muslim dengan menggunakan istilah mereka sendiri

dan bukan menyebutnya sebagai pemaksaan Barat. Kegagalan atau

kemunduran yang kita lihat dalam masyarakat Islam saat ini, merupakan

sebuah kepastian dari proses evolusi dan pemapanan konsep-konsep

tersebut, sekaligus dasar bagi kesuksesan di masa yang akan datang.

Saya mengajukan pendekatan berbasis proses dan praktik yang

memungkinkan kita untuk sampai pada analisis yang lebih dalam dan

kaya. Pendekatan ini mengharuskan seseorang untuk mempertimbangkan

dinamika sosial, budaya dan politik yang komplek dimana aktor-aktor

negara dan non-negara, individu dan komunitas, kelompok-kelompok

etnis, sosial dan agama memahami dan menghubungkan diri mereka

dengan konsep-konsep dan implementasi konsep-konsep tersebut.

Daripada melihat kegagalan yang tampak sebagai indikasi adanya cacat

inheren dalam masyarakat, seseorang seharusnya mempertimbangkan

Page 94: Islam, Syari'ah dan Konstitusionalisme

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

adanya kemungkinan kelemahan dalam konsep itu sendiri atau

kelemahan pada tingkat adaptasinya di masyarakat tertentu. Alangkah

sombong dan picik, jika kita mengasumsikan bahwa kegagalan

menerapkan konsep atau kerangka yang sudah definitif itu, terjadi karena

ada hal yang salah dengan faktanya.

Sebagaimana sudah saya tekankan di bagian awal bab ini, relevansi

penerapan prinsip ini dalam masyarakat Islam adalah karena peran

penting yang diembannya sebagai kerangka untuk menegosiasikan

hubungan antara Islam dan negara, di satu pihak, dengan Islam dan politik

di sisi lain. Review terhadap ciri-ciri negara modern di bagian awal bab ini

menjadi relevan karena model negara tersebut masih terus dipraktikkan di

negara-negara yang berpenduduk mayoritas atau minoritas muslim.

Kemudian saya memperjelas pembedaan antara politik dan negara untuk

mendukung ide saya untuk memisahkan Islam dari negara sambil tetap

memelihara hubungan antara Islam dan politik. Sebagaimana sudah

dijelaskan pada bab I, pemisahan antara negara dan Islam tidak berarti

bahwa Islam menurunkan Islam ke level privat karena prinsip-prinsip Islam

sebetulnya masih bisa diajukan untuk diadopsi oleh negara menjadi

kebijakan atau undang-undang negara. Namun pengajuan ini harus

didukung oleh “public reason” yang berarti bahwa berbagai argumen bisa

diperdebatkan oleh semua warga negara tanpa harus merujuk pada

keyakinan agama. Namun praktik “public reason” ini membutuhkan jaring

pengaman berupa prinsip-prinsip konstitusionalisme, HAM, dan

kewarganegaraan yang sudah didiskusikan dalam bab ini. Bab berikutnya

akan membahas pengalaman sekularisme negara-negara Barat, dan ini

diharapkan akan memperjelas beberapa elemen dalam proposal saya.