Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta:...

136

Transcript of Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta:...

Page 1: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat
Page 2: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat
Page 3: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat
Page 4: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat
Page 5: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini

berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi yang terdapat dalam

buku pedoman penulisan karya ilmiah (skipsi, tesis, dan desertasi ) UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.

a. Padanan Aksara

Huruf

Arab

Huruf latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا

B Be ب

Ta Te ت

Ts Te dan s ث

J Je ج

ẖ H dengan garis bawah ح

Kh Ka dan ha خ

D De د

Dz De dan zet ذ

R Er ر

Z Zet ز

S Es س

Sy Es dan ye ش

S Es dengan garis bawah ص

ḏ De dengan garis bawah ض

ṯ Te dengan garis bawah ط

Page 6: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

vi

ẕ Zet dengan garis bawah ظ

Koma terbalik di atas hadap kanan „ ع

Gh Ge dan h غ

F Ef ؼ

Q Ki ؽ

K Ka ؾ

L El ؿ

M Em ـ

N En ف

W We ك

H Ha ق

Apostrof ` ء

Ya Ye م

b. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri

dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk

vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut :

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A Fatẖah

I Kasrah

U Ḏammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah

sebagai berikut:

Page 7: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

vii

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal latin Keterangan

Ai a dan i ام

Au a dan u اك

c. Vokal panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harkat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

Ā a dengan garis di ىا

atas

ȋ a dengan topi di ىي

atas

Ū u dengan garis di ىو

atas

Page 8: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

viii

ABSTRAK

Asep Ridwan Nugraha

Analisis Kata Ḫizb dalam al-Qur’an (Pendekatan Semantik al-Qur’an

Toshihiko Izutsu).

Skripsi ini mengkaji kata ẖizb dalam al-Qur‟an. Pada penelitian ini

penulis meresepon terkait dua permasalahan yang terjadi, yaitu pertama,

pernyataan kontroversi Amien Rais yang melakukan dikotomi terhadap

partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat 19 dan 22

sebagai legitimasinya. Kedua, penggunaan term hizb Allah dan Setan

dalam al-Qur‟an sebagai legitimasi untuk menolak multi-partai. Dua

fenomena pemaknaan dan penggunaan kata hizb ini, penting untuk dikaji

apakah relevan atau tidak dengan makna yang dimaksudkan oleh al-

Qur‟an. Untuk menjawab permasalahan ini, penulis menggunakan metode

deskriptif-analisis, yaitu dengan menggambarkan data-data dari ayat-ayat

terkait ẖizb yang ditemukan secara apa adanya dan merekonstruksinya

melalui kategorisasi sesuai data yang didapat, serta dianalisis dengan

pendekatan semantik al-Qur‟an Toshihiko Izutsu.

Kajian ini menemukan bahwa kata ẖizb dalam konteks al-Qur‟an

memiliki makna dasar kumpulan manusia. Kemudian, dalam al-Qur‟an,

berdasarkan analisis sintagmatik kata ẖizb berelasi dengan kata Allah,

Syaiṯān, Syiya‟ā & Zubarā. Sedangkan melalui analisis paradigmatik, ẖizb

berelasi dengan kata ṯāifah, fauz, zumarā, fi‟ah, farȋq/firqah dan syi‟ah.

Selanjutnya, melalui kajian historis (sinkronik dan diakronik), kata ẖizb

mengalami perkembangan makna. Akan tetapi substansi maknanya tetap

sama, hanya penunjukannya saja yang berbeda.Terakhir, welthanschauung

dari ẖizb menunjukan kelompok atau golongan yang sangat komitmen

terhadap kelompoknya atau sosok yang diikutinya dan memiliki loyalitas

yang tinggi dengan mereka yang satu pandangan dengan kelompoknya.

Selanjutnya, membawa istilah Ḫizb Allah dan Ḫizb al-Syaiṯan ke

dalam ranah politik seperti yang dilakukan oleh Amien Rais adalah tidak

tepat dan keliru. Karena dalam konteks ini, al-Qur‟an sedang

membicarakan ranah keimanan atau akidah yang sifatnya prinsip.

Sedangkan ranah politik (dalam konteks di Indonesia) sifatnya ijtihadi.

Oleh karenanya, beda pilihan partai tidak menjadikan beda akidah atau

keimanan. Demikian juga penggunaan istilah tersebut sebagai legitimasi

untuk menolak multi-partai adalah pemahaman yang keliru.

Kata Kunci: Semantik Izutsu, Ḫizb, Weltanschauung dan Relevansi.

Page 9: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah Subhānahu wa Ta‟āla, yang telah

memberikan petunjuk, taufik, ilmu, dan karunia-Nya, sehingga penulis

dapat menyelesaikan penelitian ini. Salawat teriring salam, semoga

senantiasa terlimpah curahkan kepada kekasih tercinta, teladan termulia,

insan sempurna, Nabi Muhammad Salallah „Alaihi Wa al-Salām, yang

telah menebarkan cahaya iman dan Islam ke Muka Bumi ini, serta menjadi

rahmat bagi seluruh alam semesta. Tak lupa, salawat dan salam semoga

tersampaikan juga kepada keluarga beliau yang suci, sahabat-sahabatnya

yang terpilih, serta para-tabi‟in yang istimewa, dan kepada seluruh

umatnya. Semoga kita dapat mengikuti jejak-jejak hidupnya yang mulia,

dan mendapatkan syafaat yang agung darinya, kelak di hari kiamat. Amin

Ya Allah Ya Rabbal „ālamȋn.

Terselesaikannya skripsi ini, tentu tidak terlepas dari bantuan dan

dukungan berbagai pihak yang ikut andil, baik secara langsung maupun

tidak langsung, baik secara moril maupun materil. Maka sepatutnya

penulis mengucapkan syukur, terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA, selaku rektor

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA, selaku dekan Fakultas Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Eva Nugraha. MAg, selaku ketua program studi Ilmu Al-

Qur‟an dan Tafsir, serta Bapak Fahrizal Mahdi, Lc. MIRKH, selaku

sekretaris program studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.

4. Dosen pembimbing skripsi penulis, yakni Bapak Kusmana MA, Ph.D,

yang senantiasa membimbing, memberi arahan dan masukan kepada

Page 10: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

x

penulis dalam melakukan penelitian, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

5. Dosen penasehat akademik, yakni Bapak Maulana, M.Ag, yang telah

memberikan masukan dan motivasi kepada penulis selama penulis

belajar di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Seluruh dosen di Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir yang telah

memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.

7. Seluruh staf jurusan dan fakultas yang turut membantu mengurusi

terkait adminstrasi penulis.

8. Orang tua penulis, yakni Bapak Mastur Hidayat dan Ibu Een Sukaeni

yang selalu memberikan dukungan, semangat, memberi nasehat, dan

selalu mendoakan penulis, sehingga penulis dapat menempuh

pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

9. Para Ustadz/Abi di pondok pesantren mahasiswa Sulaimaniyah.

Selama kurang lebih dua tahun penulis tinggal dan menimba ilmu di

Sulaimaniyah, ada banyak ilmu, nasehat, didikan, serta doa yang

penulis dapatkan. Demikian juga kepada kawan-kawan mahasantri

yang sama-sama tinggal dan menimba ilmu di Sulaimaniyah.

10. Para jemaah Mushala Al-Fath. Selama kurang lebih dua tahun juga

penulis menjadi takmir di Mushala Al-Fath dan hidup di tengah-

tengah masyarakat jemaah Mushala Al-Fath. Demikian juga kepada

Bapak Ilham Ibrahim, selaku ketua DKM saat itu, yang senantiasa

mensuport penulis dan memintakan doa kepada para jemaah untuk

kelancaran penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Guru dan Murabbi penulis, Buya Dr. Arrazy Hasyim, Lc. MA, selaku

Khādim al-Ribāṯ Nouraniyah, yang tak kenal lelah untuk mengajarkan

ilmu dan membimbing ruhani penulis, sehingga penulis banyak

Page 11: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

xi

memperoleh pengetahuan dan pencerahan dalam memandang makna

hidup yang hakiki. Demikian juga kepada guru-guru penulis lainnya

di Ribāṯ, yaitu Buya Ashfi Lc, M.Si dan Buya Yunal Isra Lc, M.Si

serta kawan-kawan di Ribāṯ, yang juga mensuport penulis dalam

meyelesaikan skripsi ini.

12. Kak Lukita S.Ag, selaku kakak kelas penulis yang senantiasa bersedia

menyempatkan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis terkait

penelitian ini.

13. Seluruh kawan-kawan mahasiswa Tafsir Hadis 2015, dan kawan-

kawan mahasiswa yang terhimpun dalam komunitas mahasiswa

Garut (Dermaga).

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis panjatkan doa

kepada Allah Subhānahu wa Ta‟āla, semoga amal baik semua pihak yang

sudah membimbing, mengarahkan, memotivasi, dan mendoakan penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan pahala yang berlipat ganda

dari sisi Allah Subhānahu wa Ta‟āla. Semoga skripsi ini dapat

memberikan manfaat bagi yang membacanya, terutama bagi penulis

sendiri. Ămȋn.

Ciputat 06 November, 2019

Asep Ridwan Nugraha

Page 12: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

xii

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL SKRIPSI .............................................................. i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................... ii

LEMBAR KEASLIAN SKRIPSI ....................................................... iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................. iv

LEMBAR PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................... v

ABSTRAK ......................................................................................... viii

KATA PENGANTAR ........................................................................ ix

DAFTAR ISI ...................................................................................... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................... 5

C. Pembatasan Masalah............................................................... 6

D. Tujuan Penelitian .................................................................... 6

E. Manfaat Penelitian .................................................................. 6

F. Tinjauan Pustaka .................................................................... 7

G. Metode Penelitian ................................................................... 10

H. Sistematika Penulisan ............................................................. 12

BAB II DESKRIPSI UMUM ILMU SEMANTIK ........................ 15

A. Pengertian Semantik dan Ruang Lingkup Kajiannya ............. 15

B. Sejarah dan Perkembangan Semantik..................................... 19

C. Semantik Sebagai Pendekatan dalam Menafsirkan

Al-Qur‟an ............................................................................. 26

D. Semantik Al-Qur‟an Toshihiko Izutsu ................................... 29

Page 13: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

xiii

BAB III DESKRIPSI DAN TAFSIR AYAT-AYAT

TERKAIT ḪIZB DALAM AL-QUR’AN ....................................... 39

A. Inventarisir Kata Ḫizb dalam al-Qur‟an ................................. 39

B. Klasifikasi Pemaknaan dan Penunjukan Kata Ḫizb, Ḫizbain

dan Aẖzāb .............................................................................. 40

C. Tafsir Ayat-Ayat Terkait Ḫizb dalam Literatur Kitab Tafsir .

................................................................................................ 44

BAB IV MAKNA ḪIZB DALAM AL-QUR’AN:

PENDEKATAN SEMANTIK AL-QUR’AN TOSHIHIKO

IZUTS ....................................................................................... 69

A. Makna Dasar ........................................................................... 69

B. Makna Relasional ................................................................... 70

C. Analisis Sinkronik dan Diakronik .......................................... 85

D. Weltanschauung Makna Ḫizb ................................................. 99

E. Relevansi Pemahaman Semantik Atas Ḫizb dengan

Konteks Sekarang ................................................................... 99

BAB V PENUTUP ............................................................................ 105

A. Kesimpulan ....................................................................... 105

B. Saran ................................................................................. 107

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 109

LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................... 115

Page 14: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

xiv

DAFTAR TEBEL DAN DIAGRAM

A. Daftar Tebel

Tebel 3.1: Inventarisir Kata Ḫizb dalam al-Qur‟an ....................... 39

Tebel 4.1: Perbedaan Orientasi Makna Antara Kata Ḫizb

dengan Kata-Kata Sinonimnya .................................................... 84

Tebel 4.2: Kategorisasi Ayat Terkait Ḫizb Bedasarkan

Tempat Turunnya .......................................................................... 87

Tebel 4.3: Pemaknaan dan Penunjukan Makna Ḫizb Pada

Masa Qur‟anik Berdasarkan Kategorisasi Makki-Madani ........... 93

Tebel 4.4: Pemaknaan dan Penunjukan Makna Ḫizb Pada

Masa Qur‟anik Berdasarkan Hadis Nabi SAW ............................. 96

B. Daftar Diagram

Diagram 2.1: Medan Semantik Kata Kitāb ................................... 33

Diagram 4.1: Medan Semantik Sintagmatik Kata Ḫizb ................ 77

Diagram 4.2: Medan Semantik Paradigmatik Kata Ḫizb .............. 84

Page 15: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

1

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an adalah kitab suci yang memuat informasi dari Allah

sebagai ilmu pengetahuan, pelajaran dan pedoman hidup bagi umat

manusia. Sebagai pedoman hidup, tentunya al-Qur‟an berperan besar

dalam membimbing manusia agar dapat manjalani dan menyikapi

berbagai peristiwa kehidupan di Dunia ini dengan benar dan bijaksana.

Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa ada juga sebagian orang

yang menjadikan al-Qur‟an sebagai legitimasi atas pandangannya yang

sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Hal ini sangat mungkin

terjadi mengingat al-Qur‟an memungkinkan untuk ditafsirkan secara

beragam. Dalam satu riwayat, Ali Ibn Abȋ Ṯālib pernah memerintahkan

Ibn „Abbās untuk tidak menolak faham keagamaan kaum Khawarij

dengan al-Qur‟an, karena menurutnya al-Qur‟an memiliki beberapa

“wajah”(ẖammālah al-wujūh).1 Ungkapan Ali Ibn Abȋ Ṯālib ini

mengindikasikan bahwa al-Qur‟an dapat dipahami secara beragam sesuai

kepentingan penafsirnya. Sehingga tidak jarang sebagian mereka

menjadikan al-Qur‟an sebagai legimitasi atas kepentingan-kepentingan

politiknya, madzhab atau ideologi keilmuan tertentu, dan lain-lain.

Sebelum menafsirkan al-Qur‟an mereka sudah diselimuti jaket ideologi

tertentu. Akibatnya al-Qur‟an cenderung “diperkosa” menjadi objek

kepentingan sesaat untuk membela kepentingan subjek (penafsir dan

kekuasaan).2

1 Al-Suyūṯi, al-Itqān Fȋ Ulūm al-Qur‟ān (Beirut: Risalah Nāsi‟ūn, 2008), 41.

2 Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2008), 59.

Page 16: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

2

Tradisi penafsiran seperti ini mulai banyak terjadi pada abad

pertengahan.3 Pada waktu itu antara politik dan agama sulit dipisahkan.

Tidak berlebihan jika al-Jābiri mengatakan bahwa Islam historis pada

waktu itu adalah agama dan politik (kāna al-Islām al-Tārikhi fi „ānin

wāhidin dȋnan wa dawlatan)4, dan keduanya memang saling

memanfaatkan dalam usaha merebut hati masyarakat. Fenomena tersebut

juga terulang di negeri kita Indonesia, terutama ketika menjelang

pemilihan umum, dimana ada sekelompok ulama atau tokoh politik yang

melakukan politisasi agama untuk mendukung atau menolak calon

tertentu.

Salah satu fenomena pada masa-masa tahun politik yang sempat

ramai diperbincangkan publik adalah pernyataan Amien Rais5 dalam satu

kesempatan yang mendikotomikan partai politik di Indonesia ke dalam

dua kubu, yaitu partai Allah dan partai Syetan.6 Pernyataan Amien Rais

3 Penafsiran seperti ini mulai muncul terutama pada masa akhir Dinasti Bani

Umayyah dan Awal Dinasti Bani Abbas. Pada era ini al-Qur‟an seringkali dijadikan

legitimasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Abdul Mustaqim menyebutnya

sebagai Tafsir Era Afirmatif dengan Nalar Ideologis. Lihat Abdul Mustaqim, Pergeseran

Epistemologi Tafsir, 59. 4 Muhammad „Abid al-Jābiri, Post Tradisionalisme Islam, trj. Ahmad Baso

(Yogyakarta: LkiS, 2000), 73. 5 Amien Rais adalah tokoh politikus yang cukup popular di Indonesia. Ia lahir

di Surakarta, 26 April 1944. Setelah lulus SMA, Amien melanjutkan kuliah di fakultas

Fisipol, jurusan Hubungan Internasional, UGM, kemudian melanjutkan pendidikan pasca

sarjana di Universitas of Notre Dame, Amerika Serikat yang diselesaikan tahun 1974

dengan gelar MA. Setelah itu, ia melanjutkan program doktor di Universitas of Chicago,

AS dengan mengambil bidang studi Timur Tengah., dan berhasil meraih gelar doktor

pada tahun 1981. Setelah pulang ke tanah air, Amien aktif dalam berbagai kegiatan, baik

bidang pendidikan, sosial masyarakat, dan juga politik. Dalam bidang pendidikan, Amien

merupakan dosen pada FISIP UGM (1969-1999), kemudian asisten ketua ICMI (1991-

1995). Dalam sosial kemasyarakatan, Amien Rais masuk dalam kepengurusan Ormas

Muhammadiyah. Bahka pernah menjabat sebagai ketua Muhammadiyah periode 1995-

2000. Kemudian dalam bidang politik, Amien merupakan pendiri sekaligus ketua umum

Partai Amanat Nasional (1999-sekarang), pernah juga menjabat ketuaMPR(1999-2004).

Liha thttps: //www. academia.edu/10009054/ Biografi_amien_rais. Diakses pada 05 April

2019. 6 Pernyatan tersebut disampaikan saat mengisi kuliah subuh di Mesjid

Baiturrahim, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, tepatnya pada hari jum‟at, tanggal 13

Page 17: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

3

yang menuai kontroversi ini, berdasarkan pemahamannya terhadap

penggalan kata ẖizb Allah ( (حزب الشيطاف) dan ẖizb al-Syaiṯân حزب الله)dalam surat al-Mujādilah (58), ayat 19 dan 22. Dalam hal ini, Amien Rais

memaknai kata ẖizb dengan partai.7

Terkait dengan hal ini, Yusuf al-Qarḏāwi juga mengungkapkan

bahwa ada sebagian orang yang menolak multi-partai dalam kehidupan

berpolitik yang berdalil dengan al-Qur‟an. Mereka berpandangan bahwa,

karena al-Qur‟an tidak menyebutkan kata ẖizb (partai, kelompok, atau

golongan) kecuali dua macam: ẖizb Allah dan ẖizb al-Syaiṯān, seperti yang

disebutkan dalam surat al-Mujadilah. Jadi hanya ada satu partai yang

diterima, dan selain itu termasuk golongan setan.8

Kasus seperti ini penting untuk dikaji, karena besar kemungkinan

model pemaknaan dan penggunaan ayat seperti ini akan terus bergulir

setiap musim politik tiba. Oleh karenanya, dalam penelitian ini penulis

akan merespon relevan atau tidaknya fenomena pemaknaan dan

penggunaan term ẖizb Allah dan ẖizb al-Syaiṯan sebagai dikotomi partai

Allah dan parta setan yang dinisbatkan kepada partai-partai yang ada di

Indonesia, selain itu juga dijadikannya term tersebut sebagai legitimasi

penolakan terhadap multi-partai.

April tahun 2018. Lihat https://m.cnnindonesia.com/nasional/20180413144201-32-

290626/amien-rais-dikotomikan-partai-syetan-dan-partai-Allah.

Diakses pada 04 April 2019. 7 Berikut ini pernyataan Amin Ra‟is tersebut, “Sekarang ini, kita harus

menggerakan seluruh kekuatan bangsa ini untuk bergabung dan kekuatan dengan sebuah

partai. Bukan hanya PAN, PKS, Gerindra, tetapi kelompok yang membela Allah, yaitu

hizbullah. Untuk melawan siapa? Untuk melawan hizbusy-syaithan. Orang-orang yang

anti Tuhan, itu otomatis bergabung dalam partai besar, itu partai syaitan. Ketahuilah

partai syetan itu mesti dihuni oleh orang-orang yang rugi, rugi dunia rugi akhiratnya.

Tapi di tempat lain, orang beriman bergabung di sebuah partai besar namanya

hizbullah, partai Allah. Partai yang memenangkan perjuangan dan memetik kejayaan.”

Dikutip dari https://m.cnnindonesia.com/nasional/20180413144201-32-290626/amien-

rais-diktomikan-partai-syetan-dan-partai-allah. Diakses pada 04 April 2019. 8 Yusuf Al-Qardhawi, Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur‟an, trj. Kathur

Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, cet-6, 2018), 368.

Page 18: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

4

Untuk menjawabnya, terlebih dahulu harus diketahui makna dan

penggunaan kata ẖizb dalam al-Qur‟an secara benar dan kemprehensif.

Oleh karenanya, pada penelitian ini, fokus kajian penulis tidak terbatas

pada kata ẖizb dalam surat al-Mujādilah saja, tetapi penulis akan analisis

keseluruhan ayat-ayat terkait ẖizb dalam al-Qur‟an.

Kemudian dalam prosesnya, perlu menggunakan pendekatan khusus

yang dapat mengungkap makna ẖizb dalam al-Qur‟an. Berdasarkan

pengamatan penulis, dalam konteks ini pendekatan yang tepat untuk

mengungkap secara utuh makna ẖizb dalam al-Qur‟an adalah pendekatan

semantik. Adapun tokoh semantik al-Qur‟an yang memiliki kontribusi

cukup besar dalam khazanah kajian al-Qur‟an adalah Toshihiko Izutsu,

seorang orientalis berkebangsaan Jepang yang cukup serius mengkaji

bahasa al-Qur‟an dengan menggunakan pendekatan ilmu semantik.

Menurut Izutsu, semantik adalah kajian analitik terhadap istilah-

istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai

kepada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia

masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai alat bicara

dan berfikir, tetapi yang lebih penting lagi pengkonsepan dan penafsiran

dunia yang melingkupinya.9

Ada banyak peneliti yang menggunakan pendekatan semantik al-

Qur‟an Izutsu dalam mengungkap sebuah makna kata dalam al-Qur‟an. Di

antaranya adalah Wahyu Kurniawan dalam skripsinya yang berjudul,

Makna Khalȋfah dalam Al-Qur‟an: Tinjauan Semantik Al-Qur‟an

Toshihiko Izutsu,10

9 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik

Terhadap Al-Qur‟an (Yogya: Tiara Wacana, 1997), 3. 10

Wahyu Kurniawan, Makna Khalȋfah Dalam Al-Qur‟an: Tinjauan Semantik

Al-Qur‟an Toshihiko Izutsu (Skripsi: Fakultas Ushuluddin Adab Dan Humaniora, IAIN

Salatiga, 2017).

Page 19: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

5

Hampir sama dengan latar belakang masalah penelitian penulis,

Wahyu melihat belakangan ini, kata khalȋfah oleh kelompok tertentu

dipahami sebagai sistem politik dalam pemerintahan yang berideologi

Islam yang harus ditegakan di Dunia. Bahkan kelompok ini mengaklaim

mendapatkan legitimasinya dari al-Qur‟an. Melalui penelitiannya dengan

pendekatan semantik al-Qur‟an Toshihiko Izutsu, singkatnya, Wahyu

berhasil meyimpulkan bahwa kata Khalȋfah dalam al-Qur‟an sama sekali

tidak mempunyai makna sebagai sebuah sistem politik, akan tetapi

maknanya lebih kepada pengganti Allah dalam hal menjaga dan

melestarikan bumi dan sebagai pengganti pemimpin sebelumnya.

Demikianlah salah satu contoh bagaimana pendekatan semantik al-

Qur‟an Toshihiko Izusu dapat mengklarifikasi kekeliruan dalam

pemaknaan suatu kata dalam al-Qur‟an. Oleh karena itulah penulis

memilih pendekatan semantik al-Qur‟an Toshihiko Izutsu sebagai pisau

analisis dalam mengungkap makna kata ẖizb dalam al-Qur‟an, sehingga

dapat diketahui bagaimana pandangan al-Qur‟an secara utuh dalam

memaknai kata ẖizb tersebut

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis uraikan, setidaknya

ada tiga masalah yang teridentifikasi, yaitu :

1. Dalam perkembangannya, kata ẖizb juga dimaknai sebagai

partai politik dan nama sebuah gerakan keislaman. Apa faktor

yang menyebabkan terjadinya perkembangan makna tersebut?

2. Sebagai salah satu kosa kata yang terdapat di dalam al-Qur‟an,

Bagaimana al-Qur‟an memaknai kata ẖizb ?

3. Bagaimana relevansi makna ẖizb dalam al-Qur‟an dengan

konteks sekarang?

Page 20: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

6

C. Pembatasan Masalah

Dari identifikasi masalah di atas, penulis mengambil poin ke dua dan

ketiga, yaitu terkait pemaknaan al-Qur‟an terhadap kata ẖizb dan

relevansinya dalam konteks sekarang. Dalam bahasan ini, analisis makna

kata ẖizb dalam al-Qur‟an akan dikaji dengan menggunakan pendekatan

semantik al-Qur‟an Toshihiko Izutsu. Penelitian ini dilakukan dengan cara

mengumpulkan seluruh ayat yang terdapat kata ẖizb di dalamnya, untuk

kemudian diteliti menurut pendekatan semantik Izutsu.

Adapun masalah yang akan dijawab pada penelitian ini adalah:

Bagaimana kata ẖizb dalam al-Qur‟an jika dikaji menggunakan pisau

analisis semantik al-Qur‟an Toshihiko Izutsu? dan bagaimana relevansi

pemaknaan semantik atas kata ẖizb dalam konteks sekarang?

D. Tujuan Penelitian

1. Menguraikan penyebutan kata ẖizb dan derivasinya dalam al-

Qur‟an

2. Menerangkan penafsiran berkaitan dengan makna dan

penggunaan kata ẖizb

3. Menjelaskan makna kata ẖizb dengan pendekatan semantik

Izutsu dan relevansinya dengan konteks sekarang.

E. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini sebagai sumbangan pemikiran dan

pengetahuan baru dalam wacana ilmu tafsir dan khususnya tentang makna

kata ẖizb dalam al-Qur‟an berdasarkan pendekatan semantik al-Qur‟an

Toshihiko Izutsu

Secara praktis, kesimpulan penelitian ini dapat menjadi bagian

bahan ajar pada mata kuliah Pendekatan Modern, Hermeneutika dan

Semiotika. Penelitian ini juga dapat menjadi pertimbangan dalam

Page 21: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

7

menunjukan pentingnya kajian bahasa dalam penafsiran al-Qur‟an,

sehingga bukan hanya program studi Tarjamah dan Sastra Arab saja yang

memberikan perhatian serius terhadap kajian ini, tetapi pada Fakultas

Ushuluddin pun terutama program studi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir sudah

seharusnya menempatkan kajian semantik/lingustik ini pada tempat yang

semestinya, bahkan dijadikan sebagai mata kuliah tersendiri.

F. Tinjauan Pustaka

Penelitian terdahulu yang dipandang relevan atau memiliki

keterkaitan dengan penelitian penulis, dapat diklasifikasikan ke dalam dua

kategori, yaitu:

Pertama, penelitian yang secara langsung adanya keterkaitan dengan

kata ẖizb itu sendiri, di antaranya: Pertama, artikel Ecep Ismail yang

berjudul Analisis Semantik Pada Kata Ahzāb dan Derivasinya Dalam Al-

Qur‟an.11

Dalam artikel ini, Ecep menguraikan kata Ahzāb dan

derivasinya. Menurutnya, di antara makna Ahzāb dan derivasinya dalam

al-Qur‟an adalah: Ahzab bermakna golongan yang eksklusif, berserikat,

sekutu dan Ahzab dengan makna pengikut agama.

Ecep membahas kata Ahzāb dalam al-Qur‟an dengan analisis

semantik secara umum saja dan sangat ringkas. Sedangkan pada penelitian

ini, penulis akan membahas derivasi lainnya, yaitu kata ẖizb dalam al-

Qur‟an dengan menggunakan pisau analisis semantik Toshihiko Izutsu dan

menerapkan teori-teori khusus dalam semantik Izutsu. Seperti menentukan

makna dasar, makna relasional, sintagmatik dan paradigmatik, makna

diakronik dan sinkronik, dan konseptual weltanchauungnya. Kedua,

Skripsi Akhmad Fajrus Shadiq, yang berjudul Konsep Ummah dalam Al-

11

Ecep Ismail, “Analisis Semantik Pada Kata Ahzāb dan Derivasinya dalam Al-

Qur‟an”. Jurnal Studi Al-Qur‟an dan Tafsir (Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan

Gunung Djati Bandung, 2016).

Page 22: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

8

Qur‟an (Sebuah Analisis Semantik Toshihiko Izutsu).12

Ummah termasuk

kata yang maknanya terlihat sama (sinonimitas) dengan kata ẖizb.

Kesimpulan Akhmad dalam skripsinya itu secara umum adalah dia

menetapkan bahwa makna dasar kata Ummah adalah menuju atau

menumpu. Kemudian untuk makna relasionalnya, menurutnya tidak saja

berupa himpunan manusia tetapi juga berupa himpunan binatang bahkan

waktu. Selain itu, Akhmad berpandangan bahwa pemaknaan kata Ummah

ini bersifat statis. Dalam artian mengalami pergeseran makna dari masa ke

masa, sehingga dalam penelitiannya ini, Akhmad juga juga meneliti dan

menentukan makna kata Ummah periode pra Qur‟anik, Qur‟anik, pasca

Qur‟anik dan sampai kepada Weltanschauung.

Kedua, penelitian mengenai kajian semantik Toshihiko Izutsu

sebagai pendekatan dalam mengkaji sebuah kata dalam al-Qur‟an.

Ada banyak penelitian ilmiah yang menggunakan pendekatan semantik al-

Qur‟an Toshihiko Izutsu dalam menganalisis kosa kata dalam al-Qur‟an.

Para peneliti mengikuti prosedur penelitian sebagaimana yang ditawarkan

oleh Izutsu, hanya saja yang membedakannya adalah kosa kata atau kata

yang mereka pilih.

Penelitian tersebut di antaranya: Saiful Fajar meneliti Konsep

Syaitān dalam Al-Qur‟an,13

Eko Budi santos, meneliti Makna Tawakal

dalam A-Qur‟an,14

Wahyu Kurniawan, meneliti Makna Khalȋfah dalam

Al-Qur‟an,15

Luthviyah Romzianah, meneliti Pandangan Al-Qur‟an

12

Akhmad Fajarus Shadiq, Konsep Ummah dalam Al-Qur‟an: Sebuah Analisis

Semantik Toshihiko Izutsu (Skripsi: Fakultas Ushuluddin, UIN Yogyakarta, 2016) 13

Saiful Fajar, Konsep Syaitān dalam Al-Qur‟an: Kajian Semantik Toshihiko

Izutsu (Skripsi: Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018). 14

Eko Budi Santoso, Makna Tawakal dalam Al-Qur‟an: Aplikasi Semantik

Toshihiko Izutsu (Skripsi: Fakulat Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2015). 15

Wahyu Kurniawan, Makna Khalȋfah dalam Al-Qur‟an: Tinjauan Semantik Al-

Qur‟an Toshihiko Izutsu (Skripsi: Fakultas Ushuluddin Adab Dan Humaniora, IAIN

Salatiga, 2017).

Page 23: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

9

Tentang Makna Jahiliyah,16

Ja‟far Shodiq, meneliti Relasi Jinn dan Al-Ins

dalam Al-Quran,17

Muhammad Nur Asnawi meneliti Tipologi Ulul al-Bāb

dalam Al-Qur‟an,18

Deden Isa Al-Mubarak, meneliti Makna Kata Barakah

dalam Al-Qur‟an,19

Nailur Rahman, meneliti Konsep Salam dalam Al-

Qur‟an,20

Siti Fatimah Fajrin, meneliti Konsep Al-Nār dalam Al-Qur‟an,

21Muflih Hidayatulah, meneliti kata Ikhlas dalam Al-Qur‟an,

22 Robiah

Millatuzzulfa Adawiyah, meneliti Makna Kitab dalam Al-Qur‟an,23

Ismatillah, Ahmad Faqih Hasyim, dan M. Maimun, meneliti makna Wali

dan Auliya dalam Al-Qur‟an,24

Nur Zunaidi, meneliti konsep Al-Jannah

dalam Al-Qur‟an,25

Mufidah Muhaimin dan Muh Asi, meneliti Makna

Kata Tāgūt dalam Al-Qur‟an,26

Unun Nasihah, meneliti kata libās dalam

16

Luthviyah Romzianah, “Pandangan Al-Qur‟an Tentang Makna Jahiliyah

Perspektif Semantik”. Mutawatir,vol. 4, No. 1 (Juni 2014). 17

Ja‟far Shodiq, Relasi Jinn Dan Al-Ins dalam Al-Qur‟an (Tesis: UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta, 2016). 18

Muhammad Nur Asnawi, “Tipologi ūlul al-Bāb: Analisis Semantik Ayat-Ayat

Al-Qur‟an dan Implementasinya dalam Pendidikan Islam”. Hunafa, Vol. 5 No. 5, N0 2,

2008. 19

Deden Isa Al-Mubarak, Makna Kata Barakah dalam Al-Qur‟an: pendekatan

Semantik Toshihiko Izutsu (Skripsi: Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2018). 20

Nailur Rahman, Konsep Salam dalam Al-Qur‟an: Pendekatan Semantik

Toshihiko Izutsu (Skripsi: Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta, 2014). 21

Siti Fatimah Fajrin, Konsep Al-Nār dalam Al-Qur‟an: Analisis Semantik

Toshihiko Izutsu (Skripsi: Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta, 2017). 22

Muflih Hidayatullah, Ikhlas dalam Al-Qur‟an: Perspektik Semantik Toshihiko

Izutsu (Skripsi: Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018). 23

Robiah Millatuzzulfa Adawiyah, Makna Kitab dalam Al-Qur‟an: Analisis

Semantik Toshihiko Izutsu (Skripsi: Fakultas Ushuluddin IAIN Surakarta, 2019). 24

Ismatillah, Ahmad Faqih Hasyim, dan M. Maimun, “Makna Wali dan Auliya

dalam Al-Qur‟an : Suatu Kajian Dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu”. Studi

Al-Qur‟an dan Hadis Diyā al-Afkār, vol 04 (IAIN Syekh Nurjati Cirebon, 2016). 25

Nur Zunaidi, Konsep Al-Jannah dalam Al-Qur‟an: Aplikasi Semantik

Toshihiko Izutsu (Skripsi: Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunin Kajilaga

Yogyakarta, 2015). 26

Mufidah Muhaimin, dan Muh Asif, “Makna Kata Tāgūt dalam Al-Qur‟an:

Analisis Semantik”. Studi Al-Qur‟an Al-Itqan. (Rembang: STAI Al-Anwar 2017).

Page 24: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

10

Al-Qur‟an,27

dan Didin Moh Saefuddin, M Solahuddin, dan Izzah Faizah

Siti Rusydati Khairani, meneliti kata Iman dan Amal saleh dalam Al-

Qur‟an, 28

Dari tinjauan pustaka di atas, dapat disimpulkan bahwa sejauh

pencarian penulis, belum ada penelitian yang membahas atau menganalisis

kata ẖizb dalam al-Qur‟an dengan menggunakan metode semantik

Toshihiko Izutsu. Walaupun ditemukan sebuah artikel yang ditulis Ecep

Ismail yang berjudul Analisis Semantik Pada Kata Ahzāb dan Derivasinya

Dalam Al-Qur‟an, tetapi Ecep tidak menerapkan semantik Toshihiko

Izutsu secara spesifik. Dalam artikel tersebut, Ecep hanya

mendeskripsikan kata ahzāb dan derivasinya dalam al-Qur‟an. Sedangkan

pada penelitian ini penulis akan menggunakan kata yang berbeda, yaitu

kata ẖizb dengan pendekatan semantik Toshihiko Izutsu dan menelitinya

lebih dalam berdasarkan teori-teori dalam semantiknya Izutsu secara

khusus.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, karena data yang

digunakan dalam penelitian ini berupa dokumentasi kepustakaan. Oleh

karena itu, penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian Library research

(Penelitian Kepustakaan). Adapun data-data yang digunakan sebagai

bahan dan materi diperoleh dari buku-buku, artikel, jurnal, skripsi, tesis,

dan sebagainya yang terkait dengan tema yang dimaksud.

27

Unun Nasihah, Kajian Semantik Kata Libās dalam Al-Qur‟an (Skripsi:

Fakultas Ushuluddin dan Pemikran islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013). 28

Didin Moh Saefuddin, M Solahuddin, dan Izzah Faizah Siti Rusydati

Khairani, “Iman dan Amal Saleh dalam Al-Qur‟an : Studi Kajian Semantik”. Studi Al-

Qur‟an dan Tafsir (Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung,

2017).

Page 25: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

11

2. Sumber Data

Adapun sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua

kategori, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer

merupakan rujukan utama yang menjadi landasan data yang akan dicari

dan dianalisis, sedangkan sumber data sekunder adalah sumber data lain

yang berkaitan dengan tema penelitian guna memperoleh kelengkapan

dalam penelitian.

Dalam penelitian ini, sumber data primer yang digunakan adalah Al-

Qur‟an dan terjemahnya. Sedangkan Sumber-sumber data sekundernya

adalah buku semantik yang dalam hal ini penulis menggunakan buku

Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur‟an

karya Toshihiko Izutsu, kemudian kamus-kamus klasik. Di antaranya

yaitu: Mu‟jam Mufahrās li al-Fāz al-Qur‟ān al-Karȋm, Lisānu Al-A‟rab

karya Ibn Manẕur, Furūq al-Lughawiyah karya al-Askary, dan kamus-

kamus lainnya, kitab tafsir, kitab hadis, buku-buku, jurnal, artikel-artikel,

skripsi dan tesis, dengan pokok permasalahan yang sama dengan tema

penelitian ini dan dianggap penting untuk dikutip dan dijadikan informasi

tambahan.

3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini yaitu dengan menggunakan

metode dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan data dari sumber-

sumber bahan atau kepustakaan yang berkaitan dengan tema penelitian ini.

4. Pengolahan Data

Dalam penelitian ini, data-data yang telah didapatkan dan

dikumpulkan akan diolah dan diproses sebagai berikut:

Page 26: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

12

a. Deskripsi

Menguraikan data berupa ayat-ayat al-Qur‟an yang berbicara tentang

ẖizb dan mengelompokannya. kompenen-kompenen dalam

pengelompokan tersebut dapat dijadikan sebagai acuan dan pendukung

dalam proses analisis data secara kompeherensif, kemudian menampilkan

konsep makna ẖizb dalam setiap ayat berdasarkan literatur kitab tafsir.

b. Analisis

Tahapan analisis dalam metode semantik pada penelitian ini

dilakukan dengan beberapa langkah sebagaimana yang ditawarkan oleh

Izutsu, yaitu: langkah awal adalah menentukan kata fokus, yang dalam hal

ini adalah kata ẖizb. Selanjutnya menentukan makna dasar dan makna

relasional melalui analisis sintagmatik paradigmatik, kemudian mencari

aspek diakronik dan sinkronik dari kata fokus, terakhir mendeskripsikan

weltanschauung kata fokus.

H. Sistematika Penulisan

Agar penulisan dapat tersusun dengan rapi dan sistematis, penulis

menyusunnya sebagai berikut :

Bab Pertama, berisikan pendahuluan. Bab ini mencakup latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua, berisi uraian tentang deskripsi umum semantik yang

terdiri dari lima sub bab, yaitu: pengertian semantik serta ruang lingkup

kajiannya, sejarah dan perkembangan semantik, semantik sebagai

pendektan dalam memahami al-Qur‟an, dan semantik al-Qur‟an Toshihiko

Izutsu.

Page 27: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

13

Bab ketiga, berisi uraian tentang deskripsi umum kata ẖizb dalam al-

Qur‟an dan penafsirannya, yang terdiri dari tiga sub bab, yaitu: inventarisir

kata ẖizb dalam al-Qur‟an, kemudian klasifikasi pemaknaan dan

penunjukan kata ẖizb, ẖizbain dan aẖzāb, dan penafsiran ayat-ayat terkait

ẖizb dalam kitab tafsir klasik dan modern.

Bab keempat, analisis semantik kata ẖizb dalam al-Qur‟an yang

terdiri dari lima sub bab, yaitu: penentuan makna dasar, makna relasional,

aspek sinkronik dan diakronik, menemukan weltanschauung kata ẖizb, dan

relevansi pemaknaan semantik atas kata ẖizb dalam konteks sekarang.

Bab kelima, berisikan penutup yang terdiri dari kesimpulan, yaitu

jawaban dari pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah serta

berisi saran-saran mengenai penelitian yang dapat dilakukan kaitannya

dengan tema dalam penelitian ini.

Page 28: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

14

Page 29: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

15

BAB II

DESKRIPSI UMUM SEMANTIK

A. Pengertian Semantik dan Ruang Lingkup Kajiannya

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, semantik diartikan sebagai

ilmu tentang makna kata dan kalimat, pengetahuan mengenai seluk beluk

dan pergeseran makna kata.1 Sedangkan menurut Fatimah Djajasudarma

dan Chaedar Alwasilah, secara etimologis, semantik diambil dari bahasa

inggris semantics (noun/kata benda) atau kata semantic (adjective/kata

sifat). Kata inggris dari semantics dan semantic berasal dari bentuk

nomina dari bahasa Yunani sema yang berarti sign (tanda), dari bentuk

verba Yunani smaino atau semeion yang berarti menandai to signify.2

Untuk memperjelas hubungan kata sema yang berarti tanda dengan

makna, Abdul Chaer menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tanda

atau lambang dalam nomina Yunani seman adalah tanda-tanda lingustik

(sign linguistique: Prancis). Ferdinand de Saussure menyebutkan ciri-ciri

tanda lingusitik, yaitu: (1) komponen yang menggantikan, yang berwujud

bunyi bahasa (sound); (2) komponen yang diartikan atau makna dari

kompenen pertama (image). 3

Semantik merupakan salah satu bagian dari tiga tataran bahasa yang

meliputi fonologi, tata bahasa (morfologi-sintaksis), dan semantik.

Semantik diartikan sebagai ilmu bahasa yang mempelajari makna. Jadi

semantik adalah makna, membicarakan makna, bagaimana asal mula

1 Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia

(Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 850. 2 Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Pengantar Ke Arah Ilmu Makna,

(Bandung: Erasco, 1993), 1. 3 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta,

1995), 2.

Page 30: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

16

makna, bagaimana perkembangannya, dan perubahannya, dan mengapa

terjadi perubahan makna dalam bahasa.4

Dalam bahasa Arab, ilmu semantik diterjemahkan dengan „ilmu al-

dilālah, terdiri dari dua kata: „ilm yang berarti ilmu pengetahuan dan al-

dilālah yang berarti penunjuk atau makna. Jadi „ilmu al-dilālah menurut

bahasa adalah ilmu tentang makna. Sedangkan secara terminologis,

sebagaimana yang didefinisikan oleh Ahmad Mukhtar Umar, semantik/

„ilmu al-dilālah adalah:

لفرع من علم اللغة الذم يتناكؿ دراسة الدعنى اكذلك ىو العلم الذم يدرس الدعنى اك ذلك ا حتى يكوف قادرا على حمل الدعنى الفرع الذم يدرس الشركط الواجب توافرىا فى الرمز

“Kajian tentang makna, atau ilmu yang membahas tentang makna, atau

cabang linguistik yang mengkaji teori makna, atau cabang linguistik

yang mengkaji syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengungkap

lambang-lambang bunyi sehingga mempunyai \makna“.5

Fokus kajian semantik terkait dengan makna bahasa, baik makna

dalam arti tekstual (leksikal dan gramatikal) maupun dalam arti kontekstua

(konteks teks dan konteks sosial). Oleh karena itu, kajian makna menjadi

bagian dari kajian bahasa. Berdasarkan hal ini, semantik pun sering

dianggap sebagai salah satu cabang dari linguistik.6 Menurut Saussure,

sebagaimana dikutip oleh Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, muara

akhir dari semantik adalah semiotik, karena linguistik sebagai induk

semantik pun hanya bagian dari semiotik. Sesuai dengan pendapat

Saussure ini, Charles Morris memberikan gambaran tentang posisi

semantik dalam semiotik. Menurutnya semiotik terbagi ke dalam tiga

macam, yaitu (1) sintaksis, mempelajari relasi antar kata, frase dan

4 Mohammad Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, 3.

5 Mohammad Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer. 4.

6Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Qur‟an:

Strukturalisme, Semantik, Semiotik dan Hermeneutik, 212.

Page 31: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

17

kalimat), (2) semantik (mempelajari makna), dan (3) pragmatik

(mempelajari relasi makna dan pemakaiannya).7 Oleh karena itu, dapat

diketahui bahwa kedudukan semantik adalah bagian atau irisan dari

semiotik.8

Semantik memiliki bidang yang sangat luas, baik dari struktur,

fungsi bahasa maupun multidisipliner bidang ilmu. Oleh karena itu,

semantik dapat dianggap sebagai tataran deskripsi linguistik dan

kompenen linguistik. Akan tetapi, semantik merupakan bidang kajian yang

batas-batasnya tidak begitu jelas, tidak seperti fonetik, fonologi dan

gramatika. Berkaitan dengan batas-batas semantik tersebut, Lehrer

menyatakan bahwa ranah semantik merupakan ranah yang sangat luas,

karena melibatkan unsur-unsur struktur dan fungsi bahasa yang sangat erat

dengan ilmu-ilmu lain, seperti sosiologi, antropologi, filsafat, dan

psikologis.9

Semantik terkait dengan sosiologi, karena kenyataannya penggunaan

kata-kata tertentu untuk mengatakan suatu makna dapat menandai

identitas komunitas tertentu. Terkait dengan antropologi, karena analisis

makna sebuah bahasa dapat menjanjikan klasifikasi praktis tentang

kehidupan budaya pemakainya. Terkait dengan filasafat, karena persoalan

makna berkaitan dengaan proses kreatif (imajinasi) seseoang. Terkait

7 Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Qur‟an:

Strukturalisme, Semantik, Semiotik dan Hermeneutik, 212. 8 Ada tiga istilah yang mirip namun saling berhubungan satu sama lain, yaitu

semiotik, semantika dan semantik. Menurut Piere Guiraund , sebagaimana dikutip Sarwiji

Suwandi, semiotik adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda (bahasa, kode-kode,

seperangkat tanda, dan sebagainya). Dengan demikian dapat diketahui bahwa bahasa

(linguistik) adalah cabang dari semiotik. Kemudian tanda dalam arti bahasa dipelajari

dalam semantik. Sedangkan semantika adalah cabang semiotik yang mempelajari

hubungan antara lambang dan referennya. Baik semantik maupun semantika, keduanya

tercakup dalam semiotik atau cabang dari semiotik. Lihat Sarwiji Suwandi, Semantik:

Pengantar Kajian Makna (Yogyakarta: Media Perkasa, 2011), 19-20. 9 Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Qur‟an:

Strukturalisme, Semantik, Semiotik dan Hermeneutik, 212-213.

Page 32: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

18

dengan psikologi, karena kegiatan pemaknaan berkaitan dengan proses

mental. Oleh karena itu, analisis semantik pada dasarnya berdiri di atas

pendekatan disiplin ilmu lain, sehingga semantik menjadi katalisator dan

sekaligus merambah semua disiplin ilmu yang ada. Hal ini dapat

dimengerti karena sifat makna dalam bahasa dalam arti luas selalu hadir

dalam setiap ruang dan waktu. Eksistensi makna pun bersifat absolut,

dalam arti wājib al-wujȋūd. 10

Terkait ruang lingkup kajian semantik, Fatimah berpendangan

bahwa, ruang lingkup kajian semantik berkisar pada pola hubungan ilmu

makna dalam lingustik. Objek semantik adalah makna yang diperoleh dari

proses analisis terhadap struktur dalam seluruh level bahasa (fonologi,

morfologi, dan sintaksis). Makna juga diteliti melalui fungsi yang

berujung pada pengenalan leksikal, gramatikal, serta pemahaman makna

kata, frase, klausa, kalimat dan wacana. Di sini ruang lingkup semantik

menjangkau semua tataran bahasa, fonologi, morfologi, sintaksis, wacana,

dan teks.11

Kemudian menurut Jos Daniel Parera menyebutkan bahwa

ruang lingkup kajian semantik adalah pencarian hakikat makna dan

hubungannya.12

Sedangkan menurut Tarigan, ruang lingkup semantik

dapat dibagi menjadi dua bagian. Dalam ruang lingkup yang luas,

semantik mengkaji seluruh fenomena bahasa. Adapun dalam arti sempit

ruang lingkup semantik terdiri atas dua bagian, yaitu teori referensi

(denotasi dan eksistensi) dan teori makna (konotasi dan intensi). Semantik

mencakup wilayah jenis makna, relasi makna, perubahan makna, serta

medan dan kompenen makna.13

10

Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Qur‟an:

Strukturalisme, Semantik, Semiotik dan Hermeneutik, 213. 11

T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Pengantar Ke Arah Ilmu Makna, 4. 12

T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Pengantar Ke Arah Ilmu Makna, 214. 13

Tarigan, Pengantar Semantik (Bandung: Angkasa, 1993), 2-6.

Page 33: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

19

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa

semantik adalah ilmu yang mengkaji tentang fenomena makna bahasa

yang lebih luas. Semantik merupakan bagian dari linguistik, dan lingustik

adalah bagian dari semiotik. Oleh karena itu, semantik merupakan

irisan/bagian dari semiotik. Ruang lingkup kajian semantik adalah terkait

dengan makna dalam suatu bahasa, baik makna dalam arti tekstual

(leksikal dan gramatikal) maupun dalam arti kontekstul (konteks teks dan

konteks sosial). Kemudian dalam upaya memahami makna kata dalam

suatu bahasa, dalam prosesnya, kajian semantik akan bersinggungan

dengan disiplin ilmu lain, seperti ilmu sosiologi, antropologi, psikologi,

dan filsafat.

B. Sejarah dan Perkembangan Semantik

Untuk lebih memudahkan pembahasan, dalam menguraikan sejarah

dan perkembangan semantik, penulis akan membaginya ke dalam dua

periode, yaitu : periode klasik dan periode modern.

a. Periode Klasik

Secara historis, kajian makna sudah ada sejak zaman Yunani Kuno.

Aristoteles (384-322 SM) adalah orang pertama yang menggunakan istilah

makna lewat batasan kata yang diungkapkannya. Menurutnya, kata

merupakan satuan terkecil yang mengandung makna. Aristoteles juga

membedakan antara makna yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom

dan makna kata yang hadir akibat hubungan gramtaikal. Selain

Aristoteles, Plato (429-347 SM) juga membicarakan tentang makna dalam

Page 34: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

20

cratylus ia mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit

mengandung makna-makna tertentu.14

Di India, pembahasan tentang semantik tidak kalah dari Yunani.

Pada ahli bahasa India sejak dulu telah membahas kajian tentang

pemahaman karakteristik kosa kata dan kalimat. Paini (400 SM), seorang

ilmuan Hindu telah mencob mengkaji tentang pemahaman karakteristik

kata dan kalimat. Apa yang dibahas pada waktu itu justru menjadi kajian-

kajian dalam linguistik modern termasuk di dalamnya masalah yang

berkaitan dengan ilmu makna. Permasalahan-permasalahan yang menjadi

topik pembacaraan pada waktu itu antara lain (1) perkembangan bahasa

khususnya mengenai hubungan antara proses bunyi dengan makna, (2)

hubungan antara kata dengan makna yaitu bahwa setiap sesuatu

mencerminkan hubungan antara satuan bahasa dengan makna dan antara

keduanya tidak bisa terpisahkan. 15

Adapun di dunia Arab, studi tentang kajian ini sudah banyak

dilakukan oleh para linguis Arab. Adanya perhatian terhadap kajian ini

muncul seiring dengan adanya kesadaran para linguis dalam memahami

ayat-ayat al-Qur‟ān dan menjaga kemurnian bahasa Arab.

Perhatian mereka itu terlihat pada usaha-usaha, diantaranya : a)

pencatatan makna-makna yang asing dalam al-Qur‟ān, b) pembicaraan

mengenai mukjizat al-Qur‟an, c) penyusunan al-wujūh wa al-Nazhā‟ir

dalam al-Qur‟an. d), penyusunan kamus, dan e) pemberian harkat pada

muśaf al-Qur‟ān. Mengenai yang terakhir ini, telah diketahui bersama

14

Sarwiji Suwandi, Semantik: pengantar Kajian makna (Yogyakarta: Media

Perkasa, 2011), 36. 15

Tajuddin Nur, Semantik Bahasa Arab: Pengantar Studi Ilmu Makna (Jakarta:

First Publiśed, 2014), 21.

Page 35: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

21

bahwa dalam bahasa Arab, perubahan harkat menimbulkan perubahan

i‟rab yang pada akhirnya menimbulkan perubahan makna. 16

Jika ditelusuri lebih jauh, penelitian semantik telah terjadi pada

masa sahabat dengan sahabat Ibn „Abbās (w. 68 H) sebagai tokohnya.

Apabila ditemukan kata-kata yang sukar dipahami dalam al-Qur‟ān, maka

para sahabat, termasuk umar bertanya kepada Ibn Abbās, bukan kepada

yang lain. Karena Ibn Abbās dipandang otoritatif di bidang itu seperti

diketahui bahwa beliau didoakan oleh Nabi SAW agar diberikan

kemampuan mentakwil ayat al-Qur‟ān yang mutasyābihāt, misalnya kata

dimaknai Ibn „Abbas denga كابتغوا اليو الوسيلة dalam ayat الوسيلة 17 . الحاجة Dalam perkembangannya, penafsiran dengan menggunakan

semantik juga dilakukan oleh Muqātil Ibn Sulaimān (w.150 H/767 M)

dalam karyanya yang berjudul al-Asybāh wa al-Naẕāir fi al-Qur‟ān al-

Karȋm dan Tafsir Muqātil Ibn Sulaiman. Ia menegaskan bahwa setiap kata

dalam al-Qur‟an selain memiliki makna yang definite juga memiliki

alternatif makna lainnya. Selain Muqātil, yang melakukan hal senada

adalah Harūn Ibn Musa (w. 170 H/786 M) dalam kitabnya al-Wujūh wa

al-Naẕā‟ir fi al-Qur‟ān al-Karȋm, al-Jāhiz (w. 225 H/868 M), dalam al-

Bayān wa al-Tabyȋn dan lain-lain.18

b. Periode Modern

Kajian makna oleh para ilmuan di masa klasik sebenarnya belum

bisa dikatakan sebagai kajian semantik sebagai ilmu yang berdiri sendiri

yaitu cabang dari linguistik, seperti apa yang kita pahami sekarang. Akan

tetapi kajian mereka itu merupakan embrio dari kelahrian semantik.

16

Mohammad Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, 5. 17

Mohammad Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, 6. 18

Faturrahman, Al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu

(Tesis Pasca Sarjana UIN Jakarta, 2010), 102.

Page 36: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

22

Baru di akhir abad ke-19, istilah “semantik” di Barat, sebagai ilmu

yang berdiri sendiri, dimunculkan dan dikembangkan oleh ilmuan Prancis,

Michael Breal (1883) melalui karyanya Le Lois Intellectuellis du Langue

dan Essai de Semantique. Meskipun saat itu Breal menganggap semantik

sebagai ilmu baru, ia masih menyebut semantik sebagai ilmu yang murni-

historis, dalam arti masih berkaitan erat dengan unsur-unsur diluar bahasa,

seperti latar belakang perubahan makna, hubungan perubahan makna

dengan logika, psikologi, budaya, dan sebagainya. Oleh karena itu Breal

dianggap sebagai orang pertama yang mengkaji makna secara ilmiah,

modern dan spesifik. Dalam kajiannya tersebut Breal meneliti makna kata

yang terdapat dalam bahasa-bahasa klasik yang terhimpun dalam rumpun

bahasa India-Eropa seperti Yunani, Latin, dan Sanskerta.19

Kajian semantik menjadi lebih terarah dan sistematis setelah

tampilnya Ferdinand de Saussure dengan karyanya, Course de

Linguistique Generale (1916)20

. Ia dijuluki sebagai bapak linguistik

modern. Pada masa itu diperkenalkan dua pendekatan dalam studi bahasa,

yaitu pendekatan sinkronis yang bersifat deskriptif dan pendekatan

diakronis yang bersifat historis. Menurutnya bahasa merupakan satu

kesatuan dan ia merupakan satu sistem yang terdiri atas unsur-unsur yang

saling berkaitan atau berhubungan. Pandangan inilah yang kemudian

mempengaruhi berbagai bidang penelitian, terutama di Eropa. Kajian de

19

Ahmad Mukhtar Umar, „Ilmu al-Dilālah (Kuwait: Dār al-Arūbah, 1982), 11.

dikutip oleh Mohammad Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, 8. 20

Karya tersebut memuat teori revolusioner tentang teori dan praktek studi

kebahasaan, setidaknya dalam dua hal: Pertama, Saussure meninggalkan wawasan yang

bersifat sejarah seperti halnya linguistik pada abad ke-19 dan mengemukakan jenis

pendekatan pada bahasa yakni pendekatan sinkronis dan pendekatan diakronis. Kedua,

bahasa merupakan suatu totalitas yang didukung oleh berbagai elemen yang satu sama

lain saling bergantungan dalam rangka membangun keseluruhan yang pada sisi lain

menjadi akar linguistik strukutural. Lihat Saiful Fajar, Konsep Syaiṯān dalam Al-Qur‟an

(pendekatan semantik al-Qur‟ān Toshihiko Izutsu), 23.

Page 37: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

23

Saussure itu selain didasarkan pada analisis struktur bahasa juga

berdasarkan analisis sosial, psikologi, dan pemikiran.21

Setelah Ferdinand de Saussure, banyak pemikir-pemikir barat yang

fokus mengaji tentang bahasa. Di antaranya adalah: Edward Saphir

menerbitkan buku yang berjudul Language Introduction On The Study of

Speech (Amerika Serikat, 1921). Kemudian pada tahun 1923, terbit buku

yang berjudul The Meaning of Meaning karya Ogden dan Richards.

Leonard Bloomfield merupakan tokoh setelah Edward Saphir yang

terkemuka di Amerika Serikat dan diterima sebagai peletak dasar

strukturalisme dalam teori-teori kebahasaan dengan bukunya Language

(1933).22

Selain itu, tokoh yang secara sungguh-sungguh berusaha

mengadaptasikan pendapat Saussure itu dalam bidang semantik adalah

Trier‟s. Salah satu profesor berkebangsaan Jerman tersebut adalah Teori

Medan Makna. Dengan diadaptasikannya teori saussure dalam bidang

semantik, maka dalam perkembangan berikutnya kajian semantik

memiliki ciri (1) meskipun semantik masih membahas masalah perubahan

makna, pandangan yang bersifat historis sudah mulai ditinggalkan karena

kajian yang dilakukan bersifat deskriptif, serta (2) struktur dalam kosa

kata mendapat perhatian dalam kajian sehingga dalam kongres para

linguis di Olso (1957) maupun di Cambridge (1962), masalah “semantik

struktural” merupakan salah satu masalah yang hangat dibicarakan.23

Tokoh lain yang berjasa dalam perkembangan ilmu lingusitik

khususnya semantik adalah Noam Chomsky, seorang tokoh aliran tata

bahasa transformasi. Ia menyatakan bahwa makna merupakan unsur

21

Mohammad Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, 8. 22

Saiful Fajar, Konsep Syaitan dalam Al-Qur‟an (pendekatan semantik al-

Qur‟ān Toshihiko Izutsu), 21. 23

Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna, 17.

Page 38: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

24

pokok dalam analisis bahasa.24

menjelang akhir tahun 60-an, sejumlah

linguis pengikut Chomsky, antara lain George Lakoff, John Robert Ross,

Mc Cawley, dan Kiparsky, memisahkan diri dari pandangan linguistik

Chomsky dan mendirikan aliran tersendiri. Aliran tersebut terkenal dengan

sebutan aliran semantik generatif. Pada tahun 1960-an, Katz dan Kawiq

mulai menarik semantik ke dalam teori lingustik. Dalam buku The

Structure of Semantic Teory (1968), mereka mencoba untuk membentuk

sifat dasar dari kompenen semantik model Chomsky. Mereka

membedakan penanda gramatikal dan penanda semantik. Jadi, mereka

tetap mempunayi sedikit perbedaan dengan Chomsky.25

Dari kalangan linguis Arab, muncul nama Ibrahim Anis (w. 1977

M/1397 H), guru besar bidang lingusitik di Universitas Cairo, dengan

kitabnya berjudul Dilālah al-Alfaẕ. Kitab ini mencakup 12 bab. Dalam

kitab tersebut antara lain dibahas tentang sejarah perkembangan bahasa

manusia dan bagaimana hubungan antara lafaz dan maknanya serta jenis

hubungan keduanya. Dibahas juga media makna yaitu lafaz, penjelasan

tentang macam-macam makna (yang dibaginya menjadi empat yaitu,

fonologi, morfologi, sintaksis dan leksiologi). Demikian juga dijelaskan

dalam kitab tersebut bagaimana pendapat para linguis tentang hubungan

antara lafaz dan makna, apakah hubungan itu bersifat alamiah (ṯabi‟iyyah)

ataukah hubungan itu bersifat kebudayaan pemakainya („urfiyyah

iśṯilāhiyyah). Demikian juga masalah-masalah lainnya yang berkaitan

dengan makna. 26

Selain di Barat dan Timur Tengah, di Jepang tahun 1959 muncul

sebuah karya yang berjudul The Structure of Eṯical Katas in The Koran

24

Mohammad Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, 9. 25

Eka Syarifah, Ifkun dan Buhtan dalam al-Qur‟an: Kajian Semantik Menurut

Perspektif Toshihiko Izutsu (Skripsi S1 Fakultas Uśuluddin UIN Jakarta, 2015), 21-24. 26

Mohammad Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, 10.

Page 39: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

25

yang ditulis oleh sarjana Jepang yaitu Toshihiko Izutsu. Dalam bukunya,

Izutsu menganalisa konsep kepercayaan dalam Teologi Islam. Tulisannya

ini menjadi pantauan sekaligus kajian cendekiawan muslim kaitannya

dengan teks agama Islam yaitu al-Qur‟an. Penggunaan semantik sebagai

sudut pandang kajian Izutsu dalam membaca teks dilakukannya secara

konsisten. Hal ini dapat ditemukan dalam berbagai karya yang ditulisnya,

di antaranya: Language and Magic: Studies in The Magical Function of

Speech (1959), The Structure of Etical Katas in The Koran (1959), God

and Man in The Koran (1964), dan The Concep of Belief in Islamic

Teology (1965).27

Izutsu merupakan ahli semantik di era modern ini yang berperan

besar dalam mengembangkan dan merumuskan teori semantik sebagai

pendekatan dalam mengkaji al-Qur‟an. Bahkan Fahmi Salim mengatakan

bahwa pada waktu ilmu linguistik masih dalam tahap pengkristalan,

khususnya ilmu semantik dan ilmu tanda semiotik, Izutsu berusaha

menggaris bawahi keunikan al-Qur‟an dan bahasanya yang menunjukan

bahwa ia bersumber dari Tuhan dan menemukan kecocokan karakter dasar

ilmu linguistik itu. Oleh karena itu dia berusaha menundukan teori-teori

linguistik untuk menganalisis al-Qur‟an, dengan tujuan menemukan teori

al-Qur‟an yang komprehensif tentang alam, kehidupan dan manusia.28

Demikian gambaran umum terkait sejarah dan perkembangan kajian

semantik dari era klasik sampai era modern. Berdasarkan uraian tersebut

dapat diketahui bahwa pada dasarnya kajian tentang fenomena makna

bahasa sudah dilakukan sejak abad ke-3 SM, oleh Aristoteles dan Plato.

Tidak hanya di Yunani, seiring berkembangnya zaman, pembicaran terkait

27

Saiful Fajar, Konsep Syaitan dalam Al-Qur‟an (Pendekatan Semantik Al-

Qur‟an Toshihiko Izutsu), 22. 28

Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi Al-Qur‟an Kaum Liberal (Depok:

Perspektif Kelompok Gema Insani, 2010), 114.

Page 40: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

26

kajian makna suatu bahasa juga dilakukan di negara-negara lainnya,

seperti India, Arab, dan lain-lain. Akan tetapi pada masa itu, masih dalam

tahap fase awal kemunculan sehingga belum menjadi disiplin ilmu yang

memiliki metodologi mapan. Bahkan penggunakan istilah semantik pun

masih belum populer di kalangan mereka pada waktu itu.

Penggunaan istilah semantik, baru dikenalkan dan dipopulerkan

pada akhir abad ke-19 oleh linguis Prancis bernama Michael Breal (1883)

melalui karyanya Le Lois Intellectuellis du Langue dan Essai de

Semantique. Kemudian kajian semantik menjadi lebih terarah dan

sistematis setelah tampilnya Ferdinand de Saussure dengan karyanya,

Course de Linguistique Generale (1916). Ia dijuluki sebagai bapak

linguistik modern. Seiring berjalannya waktu, muncul juga para ahli

semantik yang terus mengembangkan dan melengkapi kajian-kajian

sebelumnya, seperti Trier‟s, Noam Chomsky, George Lakoff, John Robert

Ross, Mc Cawley, dan Kiparsky. Di Timur tengah diantaranya Ibrahim

Anis, guru besar bidang lingusitik di Universitas Cairo. Di jepang yang

populer adalah Toshihiko Izutsu, dan lain-lain. Kehadiran para ahli

semantik di era modern ini, terus melengkapi dan memperkaya kajian

kebahasaan, dalam konteks ini adalah ilmu semantik, sehingga melahirkan

teori-teori yang lebih sistematis dan komprehensif.

C. Semantik Sebagai Pendekatan dalam Menafsirkan Al-Qur’an

Kesadaran semantik dalam penafsiran al-Qur‟an dimulai sejak masa

Muqātil Ibn Sulayman (w.150 H/767 M). Menurutnya setiap kata di dalam

al-Qur‟an memiliki makna definitif (makna dasar) dan beberapa alternatif

makna lainnya. Contohnya adalah kata Yadd. Kata Yadd memiliki makna

dasar “tangan”. Dalam penafsirannya, kata Yadd memiliki tiga alternatif

makna, yaitu tangan fisik yang merupakan anggota tubuh dalam surat al-

Page 41: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

27

A‟raf ayat 108, dermawan dalam surat al-Isra‟ ayat 29. Dan aktivitas atau

perbuatan dalam surat Yasin ayat 35.

Generasi penerus Muqātil terus berkembang dan mulai

menggunakan kesadaran semantiknya dalam penafsiran al-Qur‟an. Ulama-

ulama tersebut antara lain: Harun Ibn Musa (w. 170 H/786), Yahya Ibn

Salam (w. 200 H/815 M), al-Jahiz (w. 225 H/868 M), Ibn Qutaibah (w.

276 H/898 M), dan Abd al-Qadira al-Jurjaniy (w. 471 H/1079 M). Ulama-

ulama tersebut sangat menekankan pentingnya pemaknaan konteks dalam

memahami ayat-ayat al-Qur‟an. mereka juga membedakan antara makna

dasar dan makna relasional. 29

Bahkan, Mujāhid Ibn Jabbār (w. 102 H) juga memaknai beberapa

kata dalam al-Qur‟am menggnakan pendekatan semantik. Misalnya ketika

memaknai kata ثمر dalam ayat : ( كىكىافى لىوي ثمىىره فػىقىاؿى لصىاحبو كىىيوى ييىاكريهي أىنىا أىكثػىري منكى مىالن كىأىعىز نػىفىرنا )

“Dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada

kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia :

Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku

lebih kuat” (Q.S al-Kahfi : 34).

Kata ثمر (Tsamara) pada ayat di atas memiliki makna dasar buah-

buahan. Akan tetapi oleh Mujahid kata tersebut dimaknai dengan emas

dan perak (harta kekayaan). Perubahan kata tersebut terjadi sebagai arti

pentingnya konteks masyarakat pada saat itu.30

Keniscayaan kata atau ayat dalam al-Qur‟an yang mengandung

multi tafsir, diakui juga oleh Ali Ibn Abȋ Ṯālib. Dalam sebuah riwayat, Ali

Ibn Abȋ Ṯālib pernah memerintahkan Ibn „Abbas untuk menolak

keagamaan kaum khawarij dengan menggunakan sunnah, tidak dengan al-

29

Fauzan Azima, ”Semantik Al-Qur‟an”. Tajdid: Jurnal Pemikiran Keislaman

dan Kemanusiaan” (Bima: lembaga penelitian dan Pengabdian IAI Muhammadiyah,

2017), 54. 30

Zeim El Mubarak, Semantik Al-Qur‟an (Semarang: Fakultas Bahasa Dan Seni

Universitas Negeri Semarang, 2017), 11.

Page 42: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

28

Qur‟an. Hal ini dikarenakan al-Qur‟an memiliki beberapa “wajah” dengan

komentar Ali selengkapnya “janganlah engkau berargumen menghadapi

mereka dengan al-Qur‟an, karena ia memiliki beberapa wajah”.31

Ungkapan dari Ali Ibn Abȋ Ṯalib r.a ini, mengindikasikan adanya

kemungkinan kata-kata atau ayat-ayat dalam al-Qur‟an untuk dipahami

secara beragam. Hal demikian menunjukan salah satu karakerisitik bahasa

al-Qur‟an yang kental dengan aspek semantiknya.

Dalam perkembangannya, Kajian semantik yang mengambil al-

Qur‟an sebagai objek kajian terus ditempuh oleh para ahli dan melahirkan

sejumlah karya mengenai hal tersebut. Amȋn al-Khulli dalam Manāhij al-

Tajdȋd fȋ al-Nahw wa al-Balāghah wa al-Tafsȋr wa al-Adab (1965) dan

Binṯ al-Syāṯi dalam al-Tafsȋr al-Bayāni li al-Qur‟ān (1966) merupakan

dua orang yang disebut oleh J.J.G Jansen sebagai dua tokoh mufasir

muslim terkemuka yang menggunakan semantik sebagai basis tafsir Al-

Qur‟an. Keduanya menerapkan prinsif kajian linguistik dalam melacak

berbagai makna Al-Qur‟an, yang dilansir oleh J.J.G Jansen telah

menempuh prosedur kajian filologi.32

Amȋn al-Khulli adalah sebagai tokoh mufasir yang melengkapi teori

semantik dari tokoh-tokoh sebelumnya, sedangkan Binṯ al-Syāṯi adalah

yang mengaplikasikannya dalam menafsirkan al-Qur‟an. Karena para

mufasir sebelumnya juga sudah menggunakan pendekatan semantik

sebagai salah satu alternatif dalam mengakaji al-Qur‟an. Seperti al-Farra

31

Al-Suyūṯi, al-Itqān Fȋ Ulūm al-Qur‟an (Beirut: Risalah Nasiuun, 2008), 41.

Dikutip oleh Saiful Fajar, Konsep Syaitan dalam Al-Qur‟an (pendekatan semantik al-

Qur‟ān Toshihiko Izutsu), 25.

32

Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Qur‟an:

Strukturalisme, Semantik, Semiotik dan Hermeneutik, 240.

Page 43: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

29

(w. 207 H), dengan karya tafsirnya Ma‟āni al-Qur‟ān, Abū Ubaydah (w.

209 H), al-Sijistāni (w. 255 H), dan al-Zamakhsari (w. 538 H/1144 M).33

Dalam hal ini, Fahmi Salim berpandangan bahwa teori semantik

yang digagas oleh Amȋn al-Khulli selanjutnya disempurnakan lagi oleh

Toshihiko Izutsu. Izutsu merumuskan kembali metode semantik sebagai

pendekatan dalam mengkaji al-Qur‟an. Untuk mengetahui lebih jauh

bagaimana teori semantik al-Qur‟an Toshihiko Izutsu, lebih detailnya

penulis akan uraikan pada sub berikutnya.

D. Semantik Al-Qur’an Toshihiko Izutsu

Toshihiko Izutsu merupakan ilmuan yang secara konsisten

menerapkan analisis semantik dalam kajian al-Qur‟an. Ia merupakan salah

seorang intelektual yang berasal dari Tokyo, Jepang, terlahir pada awal

abad ke dua puluh, tepatnya pada tahun 1914. Ia seorang profesor di

Institut Studi Kebudayaan dan Bahasa di Universitas Keio, Tokyo. Ia juga

merupakan maha guru tamu pada Insitute of Islamic Studies di Universitas

McGill, Montreal-Kanada, pada mata kuliah Teologi dan Filsafat Islam.34

Menurut Izutsu, semantik adalah kajian analitik terhadap istilah-

istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai

pada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia

masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai alat bicara

dan berfikir, tetapi yang lebih penting lagi, pengkonsepan dan penafsiran

dunia yang melingkupinya. Dalam hal ini, dia juga menambahkan bahwa

apa yang disebut semantik sekarang ini adalah susunan rumit yang sangat

membingungkan. Sangat sulit bagi seseorang di luar (disiplin linguistik)

untuk mendapatkan gambaran secara umum seperti apa semantik itu.

33

Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna (Bandung: PT. Sinar

Baru Algesindo 2008), 15. 34

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Vi.

Page 44: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

30

Salah satu alasannya, semantik menurut etimologinya adalah merupakan

ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna dengan pengertian yang

lebih luas dari kata, begitu luas sehingga hampir saja yang mungkin

dianggap memiliki makna merupakan objek semantik.35

Penelitian Izutsu terhadap al-Qur‟an, adalah ingin berusaha

menampilkan maksud al-Qur‟an sebagaimana yang diinginkan oleh al-

Qur‟an, atau dalam kata lain, membiarkan al-Qur‟an menafsirkan

konsepnya sendiri dan berbicara tentang dirinya sendiri.36

Adapun poin penting yang harus dijelaskan terkait teori semantik

Izutsu, yaitu: kosa kata (berkaitan dengan kata kunci, kata fokus dan

medan semantik), makna dasar, makna relasional, semantik historis

(sinkronis dan diakronis), dan weltanschaunung.

1. Kosakata

Kosakata menurut Izutsu adalah kata-kata yang berhubungan satu

sama lain dalam hubungan rangkap, hingga membentuk sejumlah wilayah

tumpang-tindih.

Kosakata tersebut berkaitan dengan kata fokus, kata kunci dan

medan semantik. Adapun maksud dari kata fokus adalah kata kunci yang

secara khusus menunjukan dan membatasi bidang konseptual yang relatif

independen dan berbeda dalam kosa kata yang lebih besar dan ia

merupakan pusat konseptual dari sejumlah kata kunci tersebut. 37

Pada

penerapannya, kata yang dijadikan kata fokus adalah kata yang akan

diteliti.38

35

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 3. 36

Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam Qur‟an, trj. Agus

Fakhri Husen, dkk (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, cet-1, 1993), 3. 37

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 22. 38

Zeim El Mubarak, Semantik al-Qur‟an, 8.

Page 45: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

31

Selanjutnya, kata kunci adalah kata-kata yang memainkan peranan

yang sangat menentukan dalam penyusunan struktur konseptual dasar

pandangan dunia al-Qur‟an.39

selanjutnya Izutsu mengaitkan kata kunci

dengan konsep-konsep etik dalam al-Qur‟an. Menurutnya, ada tiga

kategori yang berkaitan dengan konsep etik dalam al-Qur‟an, yaitu : 1)

kategori yang menunjukan dan menguraikan sifat Tuhan, 2) kategori yang

menjelaskan berbagai macam aspek sikap fundamental manusia terhadap

Tuhan penciptanya, 3) kategori yang menunjukan tentang prinsip-prinsip

dan aturan-aturan tingkah laku yang menjadi milik dan hidup di dalam

masyarakat.40

Dari ketiga kategori konsep etik al-Qur‟an tersebut, kategori

kedua dapat diperkecil menjadi dua konsep dasar yang berbeda, yaitu:

keyakinan mutlak terhadap Tuhan (dinyatakan dalam al-Qur‟an dengan

kata kunci Islam dan Iman) dan ketakutan yang sungguh-sungguh

(dinyatakan dengan kata kunci Taqwa).41

Berikutnya, medan semantik adalah wilayah atau kawasan yang

dibentuk oleh beragam hubungan di antara kata dalam suatu bahasa, 42

atau nama dari kelompok-kelompok kata kunci. 43

2. Makna Dasar

Makna dasar adalah makna yang melekat pada sebuah kata dan terus

akan terbawa di manapun kata itu dipakai. Dalam prakteknya pencarian

makna dasar ini menggunakan kamus-kamus Arab baik klasik ataupun

kontemporer. Sebagai contoh kata al-kitāb, makna dasarnya adalah kitab

atau buku (bahasa Indonesia). Ia tetap menggunakan konsep kitab di

39

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 18. 40

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 20. 41

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 21-27. 42

Zeim El Mubarak, Semantik al-Qur‟an, 9. 43

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 22.

Page 46: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

32

manapun ia diletakan baik di dalam al-Qur‟an maupun di luar al-Qur‟an.

kata ini mempertahankan makna aslinya “kitab”.44

3. Makna Relasional

Makna relasional adalah sesutu yang konotatif yang diberikan dan

ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakan kata itu pada

posisi khusus pada bidang khusus, berada pada relasi yang berbeda dengan

semua kata-kata penting lainnya dalam sistem tersebut.45

Untuk

mendapatkan makna relasional maka dilakukan dengan dua tahap. Yaitu :

pertama, Analisis Sintagmatik, yaitu analisis yang berusaha menentukan

makna suatu kata dengan cara memperhatikan kata-kata yang ada di

depan dan di belakang kata yang sedang dibahas dalam suatu bagian

tertentu.46

Kedua, analisis paradigmatik, yaitu analisis yang

mengkomparasikan kata atau konsep tertentu dengan kata atau konsep lain

yang mirip (sinonim) atau berlawanan (antonim).47

Dalam bukunya, Izutsu mencontohkan kata kitāb dalam al-Qur‟an.

Menurutnya makna dasarnya baik yang ditemukan dalam al-Qur‟an

maupun di luar al-Qur‟an sama, yaitu “buku”. Kemudian dalam konteks

al-Qur‟an, kata kitāb menerima makna yang luar biasa pentingnya sebagai

isyarat konsep religius yang sangat khusus dan dilingkupi oleh cahaya

kesucian. Konteks kata ini berdiri dalam hubungan yang sangat dekat

dengan wahyu ilahi, atau konsep-konsep yang cukup beragam yang

merujuk langsung pada wahyu. Ini berarti kata sederhana kitāb, dengan

makna sederhana “buku”, ketika diperkenalkan ke dalam sistem khusus

44

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 11. 45

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 12. 46

Nailur Rahman, Konsep Salam dalam Al-Qur‟an dengan Pendekatan

Semantik Toshihiko Izutsu, 43. 47

Zunaidi Nur, Konsep al-Jannah dalam al-Qur‟an: Aplikasi Semantik

Toshihiko Izutsu (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Uśuluddin dan Pemikiran Islam UIN

Sunan Kalijaga, 2014), 64.

Page 47: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

33

dan diberikan posisi tertentu yang jelas, memerlukan banyak unsur

semantik baru yang muncul dari situasi khusus ini, dan juga muncul dari

hubungan yang beragam yang dibuat untuk menunjang konsep-konsep

pokok lain dari sistem tersebut. Dengan demikian dalam kasus ini, kata

kitāb begitu dikenalkan dalam konseptual islam, ditempatkan dalam

hubungan erat dengan kata-kata penting al-Qur‟an seperti Allah, wahy

“wahyu”, tanzȋl “menurunkan” (firman Tuhan), naby “nabi”, ahl

“masyarakat” (dalam kombinasi khusus ahl kitāb, berarti masyarakat yang

memiliki kitab wahyu seperti Kristen dan Yahudi). 48

Berikut ini diagram medan semantik dari kata kitāb yang

menggambarkan hubungan antara kata fokus dan kata-kata kunci yang

berperan dalam membentuk konsep makna kitāb dalam al-Qur‟an.

Diagram 2.1: Medan Semantik Kata Kitāb

Oleh karena itu, dalam konteks al-Qur‟an, kata kitāb memiliki relasi

makna khusus yang menunjukan sesuatu yang suci, sakral dan memiliki

dimensi ilahiyah.

48

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 11-12.

Allah

tanzȋl

Kitāb

nabiy wahy ahl

kitāb

Page 48: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

34

4. Semantik Historis (Sinkronik dan Diakronik)

Sejarah kata kunci al-Qur‟an atau semantik historis bisa dilakukan

dengan dua cara, yaitu sinkronik dan diakronik. Kata sinkronik berasal

dari bahasa Yunani yaitu syn yang berarti dengan, dan chronoss yang

berarti waktu. Adapun dalam kamus bahasa Indonesia, sinkronik diartikan

sebagai segala sesuatu yang bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi

pada suatu masa. 49

Jadi sinkronik adalah sudut pandang masa di mana

kata tersebut lahir dan berkembang untuk memperoleh suatu sistem kata

yang statis. Dengan sudut pandang ini, akan terlihat unsur-unsur lama

yang terlepas dalam sebuah bahasa, kemudian muncul unsur-unsur baru

yang menemukan tempatnya sendiri dalam sistem bahasa tersebut. 50

Sedangkan diakronik adalah adalah pandangan terhadap bahasa yang

pada prinsipnya menitik beratkan pada unsur waktu. Dengan demikian

secara diakronik kosa kata adalah sekumpulan kata yang masing-

masingnya tumbuh dana berubah secara bebas dengan caranya sendiri

yang khas. Beberapa kata dalam kelompok itu dapat berhenti tumbuh

dalam pengertian berhenti penggunaannya oleh masyarakat dalam jangka

waktu tertentu, sedangkan kata-kata lainnya dapat terus digunakan dalam

jangka waktu yang lama.51

Secara sederhana, Izutsu menyederhanakan persoalan ini dengan

membagi periode waktu penggunaan kosa kata dalam tiga periode waktu,

yaitu pra-Qur‟anik (Jahiliyah), Qur‟anik, dan pasca-Qur‟anik. Yang

menjadi patokan pencarian kosakata pra-Qur‟anik adalah (1) kosa kata

badwi murni masa nomaden, (2) kosa kata kelompok pedagang, (3) kosa

49

Asep Muhammad Fajruddin, Konsep Munafik dalam Al-Qur‟an (Analisis

Semantik Toshihiko Izutsu) (Jakarta: Skripsi Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir,

Fakultas Uśuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), 24. 50

Saiful Fajar, Konsep Syaiṯān dalam Al-Qur‟an (pendekatan semantik al-

Qur‟ān Toshihiko Izutsu), 31. 51

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 32.

Page 49: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

35

kata Yahudi-Kristen. Ketiga poin tersebut merupakan unsur-unsur penting

kosakata Arab pra-Islam.52

Pada masa Qur‟anik, kosakata al-Qur‟an

sangat luar biasa, bahkan tiada taranya sebagai bahasa wahyu ilahi, maka

wajarlah semua sistem pasca-al-Qur‟an sangat terpengaruh oleh kosa kata

al-Qur‟an tersebut. Pada periode pasca-al-Qur‟an, Islam banyak

menghasilkan banyak sistem pemikiran yang berbeda khususnya pada

masa Abbasiyah, yakni teologi, hukum, teori politik, filsafat, tasawuf.

Masing-masing produk kultural Islam ini mengembangkan sistem

konseptualnya sendiri, kosakatanya sendiri yang mencakup sejumlah

subsistem. Dengan demikian, kita sepenuhnya berhak untuk

membicarakan kosakata teologi Islam, kosakata hukum Islam, kosakata

tasawuf, dan lain-lain menurut teknis yang berbeda-beda.53

Misalnya kata karȋm. Kata ini merupakan istilah kunci yang sangat

penting di masa jahiliyah, yang berarti kemuliaan karena garis keturunan,

yakni seseorang yang mulia semenjak lahir, yang berasal dari nenek

moyang yang kataasyhur karena silsilahnya yang tidak tercela. Dan

karena dalam konsepsi Arab kuno mengenai kebijakan manusia,

kedermawanan yang berlebihan dan tidak mengenal batas merupakan

manifestasi yang paling nyata dan paling kongkrit dari kemuliaan seorang

manusia, maka karȋm juga bermakna seseorang yang memiliki sifat-sifat

dermawan yang luar biasa yang menurut konsep Islam mencapai tingkatan

“orang boros”.54

Jadi kata karȋm dalam konsep masyarakat jahiliyah

adalah sesorang yang dianggap memiliki kemulianan karena garis

keturunannya, dan memaknai manfestasi kemuliaan itu adalah

kedermawanan yang berlebihan yang dilakukan atas dasar kesombongan

52

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 35. 53

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 42. 54

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 40-41.

Page 50: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

36

dan kebanggaan, serta keinginan pamer akan kedermawanannya. Bahkan

para penyair kuno juga tidak henti-hentinya memuji kebajikan seperti ini,

dan dianggapnya satu-satunya cara untuk mempertahankan kehormatan

nenek moyang seseorang. Berikut ini syairnya :

ندافع عن احسابنا بلحومها كالبانها اف الكريم يدافع “Kami berusaha untuk membela kehormatan nenek moyang kami,

bersama-sama dengan daging dan susu mereka (onta kami), karena

sesungguhnya, seorang karȋm adalah seseorang yang dapat

mempertahankan (kehormatan yang telah diturunkan nenek

moyangnya yang masyhur kepadanya)”.

Muatan makna kata karȋm ini mengalami perubahan drastis setelah

digunakan dalam konteks al-Qur‟an. kata ini diletakan dalam hubungan

yang dekat dengan taqwa. al-Qur‟an menyatakan dengan sangat jelas

bahwa “yang paling karȋm (mulia)” di antara semua manusia adalah orang

yang bersikap taqwa kepada Allah.

اف اكرمكم عند الله اتقاكم“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang

paling bertakwa” (Q.S Al-Hujurāt, ayat 13)

Di sini dapat dilihat bahwa karȋm yang awalnya merupakan cita-cita

jahiliyah tertinggi dalam hal kedermawanan tanpa perhitungan sebagai

manifestasi langsung dari kemuliaan, kemudian mengalami proses

transformasi ke dalam sesuatu yang sama sekali baru dan berbeda melalui

pengaruh semantik yang mendalam. Pada saat yang sama, karȋm lalu

diterapkan pada seseorang yang sungguh-sungguh percaya dan taat, yang

bukannya menghabiskan kekayaannya dengan membabi buta, tanpa

berfikir panjang dan semata-mata untuk pamer, namun sama sekali tidak

ragu-ragu untuk menggunakan kekay

Page 51: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

37

aannnya untuk tujuan yang jelas dan benar-benar mulia berdasarkan

konsepsi yang baru yakni membelanjakan kekayaannya di “jalan Allah”.55

Adapun konsep makna karȋm pasca-Qur‟an, tidak berbeda dengan konsep

yang ditampilkan oleh al-Qur‟an yaitu kemuliaan seseorang karena

kebajikannya yang dilakukan atas dasar ketaatan kepada Allah SWT.

5. Weltanchauung

Weltanschauung ini merupakan tahap terakhir dari semantiknya

Izutsu. Pemahaman Izutsu tentang weltanschauung bermula dari

weltanschauung Karl Jaspres. Jaspres berpandangan bahwa hidup kita

berada pada beberapa tingkat, jika kita meninggalkan tingktat normal,

maka akal sehat kita akan menyatakan bahwa benda-benda alam termasuk

manusia hanyalah sekedar benda. 56

Namun jika kita melangkah ke dalam

medan Existenz (jiwa yang ada di dalam pengalaman mistik), maka kita

akan mendapati diri kita berdiri dihadapan Tuhan, lalu Tuhan berbicara

kepada kita, tidak secara langsung melainkan melalui fenomena alam.57

Dengan begitu, kita akan menganggap benda-benda di sekitar kita bukan

sebagai benda alam semesta, melainkan sebagai lambang atau simbol

yang dimana melalui lambang atau simbol tersebut yang Maha Meliputi

(Tuhan) berbicara kepada kita secara langsung. Dengan demikian, seluruh

alam raya ini merupakan tulisan rahasia yang sangat besar atau satu buku

simbol besar yang hanya dapat dibaca oleh orang yang berada pada

tingkatan existenz.58

55

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 41. 56

Ahmad Sahidah, God, Man, and Nature: Perspektif Toshihiko Izutsu tentang

Relasi Tuhan, Manusia dan Alam dalam al-Qur‟an (Yogyakarta: IRCiSoD, cetakan

pertama, 2018), 187. 57

Ahmad Sahidah, God, Man, and Nature: Perspektif Toshihiko Izutsu tentang

Relasi Tuhan, Manusia dan Alam dalam al-Qur‟an, 187-188. 58

Ahmad Sahidah, God, Man, and Nature: Perspektif Toshihiko Izutsu tentang

Relasi Tuhan, Manusia dan Alam dalam al-Qur‟an, 188.

Page 52: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

38

Pendapat Japres di atas, menurut Izutsu sangat sesuai dengan

pemikiran al-Qur‟an yang menyatakan bahwa segala sesuatu merupakan

ayat Allah yang sifat simboliknya hanya bisa dipahami oleh orang yang

memiliki „aql dan orang yang bisa berfikir (tafakkur) dalam arti yang

sebenarnya.59

Selain itu, Izutsu juga menjelaskan bahwa semantik

merupakan sejenis weltanschauung, yakni suatu kajian terhadap hakikat

dan struktur pandangan dunia suatu bangsa saat sekarang atau pada zaman

sangat penting dalam sejarahnya, yang diperoleh melalui analisis

metodologi terhadap konsep kebudayaan utama yang dilahirkan bangsa

tersebut untuk dirinya dan telah menyatu ke dalam bahasa kunci dari

bahasa itu. Jadi semantik yang digagas oleh Izutsu ini sebenarnya tidak

hanya untuk sekedar menjelaskan/ memahami makna secara harfiah saja

melainkan untuk mengungkapkan budaya/pengalaman kebudayaan yang

terkandung di dalamnya. Akhirnya hasil analisis dari semantik Izutsu ini

akan mencapai suatu rekonstruksi tingkat analitis struktur keseluruhan

budaya itu sebagai konsepsi masyarakat yang sungguh-sungguh ada. Hal

tersebutlah yang dimaksud izutsu sebagai weltanschauung semantik

budaya.60

Pendek kata, Izutsu berpandangan bahwa weltanschauung

merupakan suatu pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa,

tidak hanya sebagai alat bicara dan berfikir saja, tetapi juga untuk

pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya, singkatnya visi

al-Qur‟an tentang alam semesta.61

59

Ahmad Sahidah, God, Man, and Nature: Perspektif Toshihiko Izutsu tentang

Relasi Tuhan, Manusia dan Alam dalam al-Qur‟an, 188. 59

Ahmad Sahidah, God, Man, and Nature: Perspektif Toshihiko Izutsu tentang

Relasi Tuhan, Manusia dan Alam dalam al-Qur‟an, 188. 60

Ahmad Sahidah, God, Man, and Nature: Perspektif Toshihiko Izutsu tentang

Relasi Tuhan, Manusia dan Alam dalam al-Qur‟an, 193. 61

Zeim El Mubarak, Semantik al-Qur‟an, 8.

Page 53: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

39

BAB III

DESKRIPSI DAN TAFSIR AYAT-AYAT TERKAIT ḪIZB DALAM

AL-QUR’AN

A. Inventarisir Kata Ḫizb dalam al-Qur’an

Dalam al-Qur‟an, kata ẖizb hanya terdiri dari tiga bentuk dan

terulang sebanyak 20 kali pada berbagai ayat dan surat yang berbeda.

Adapun bentuk tersebut antara lain1.

a. حزب disebutkan sebanyak 8 kali

b. حزبين disebutkan hanya 1 kali

c. احزاب disebutkan sebanyak 11 kali

Perincian ayat-ayat dari pembagian di atas bisa dilihat pada tabel di

bawah ini, sekaligus penulis sebutkan juga tempat turun masing-masing

ayat.

Tebel 3.1: Inventarisir Kata Ḫizb dalam al-Qur’an

No Kata Surat-Ayat Turun

al-Māidah (5): 56 Madaniyah حزب 1

2 al-Mu‟minūn (23): 53 Makiyah

3 al-Rūm (30): 32 Makiyah

4 al-Mujādilah (58): 19 dan 22 Madaniyah

5 Fāṯir (35): 6 Makiyah

Al-Kahfi (18): 22 Makiyah حزبين 6

Hūd (11): 17 Makiyah احزاب 7

8 al-Ra‟d (13): 36 Makiyah

9 Maryam (19):37 Makiyah

10 al-Aẖzāb (33): 20 dan 22 Madaniyah

11 Śād (38): 11 dan 13 Makiyah

12 Fāṯir (40): 5 dan 30 Makiyah

1 Muhammad Fu‟adi Abdul Baqi, Al-Mu‟jam Al-Mufahras Li al-Fāẕ al-Qur‟an

(Kairo: Dar al-Qutub Al-Miśriyah, tt), 199

Page 54: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

40

Melalui tebel di atas, dapat diketahui bahwa dilihat dari tempat

turunnya, ayat-ayat yang menyinggung tentang ẖizb dalam berbagai

bentuknya, lebih dominan pada periode Mekah dari pada periode

Madinah. Terdapat 9 ayat pada periode Makiyah dan 3 ayat pada periode

Madaniyah. Sedangkan ayat yang secara spesifik menyebutkan kata ẖizb

terdapat 5 ayat yang mana 3 ayat periode Makiyah dan 2 ayat periode

Madaniyah.

B. Klasifikasi Pemaknaan dan Penunjukan Kata Ḫizb, Ḫizbain dan

Aẖzāb

Sebagaimana sudah disebutkan di atas, bahwa kata ẖizb di beberapa

ayat dalam al-Qur‟an terdiri dari tiga bentuk, yaitu bentuk tunggal/mufrad

(ẖizb), kemudian dua/mutsanna (ẖizbain), dan plural/jama‟ (al-aẖzāb).

Dalam al-Qur‟an, ketiga bentuk ini memiliki makna yang sama

(kelompok; satu kelompok bagi yang mufrad, dua kelompok bagi yang

mutsanna, dan kelompok-kelompok bagi yang jama‟), hanya orientasi

dan penunjukan maknanya saja yang beragam tergantung konteksnya.

Husein Ibn Muhammad al-Dam‟āni dalam kitabnya Qāmus al-

Qurān au Iślāh al-Wujūh wa al-Naẕāir fi al-Qur‟ān,2 menguraikan

penunjukan makna ẖizb dengan berbagai bentuknya dalam al-Qur‟an ke

dalam enam bentuk3, yaitu:

1). Ahl al-Dȋn (pemeluk agama).

Bentuk makna ini, dijumpai dalam Q.s al-Mu‟minūn /23: 53

يهم فىرحيوفى ) نػىهيم زيبػيرنا كيل حزبو بىا لىدى (فػىتػىقىطعيوا أىمرىىيم بػىيػ

2 Husein Ibn Muhammad al-Dam‟āni, Qāmus al-Qurān au Iślāh al-Wujūh wa

al-Naẕāir fi al-Qur‟ān (Dār al-Ilmi al-Mālayȋn: Beirut, 1983), 126. 3 Al-Dam‟āni tidak menyinggung makna ẖizb dalam bentuk mutsanna. Oleh

karenanya, penulis menghadirkan makna bentuk mutsanna nya agar pemahamannya

utuh. Sehingga jumlahnya menjadi tujuh macam penunjukan makna.

Page 55: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

41

“Kemudian mereka terpecah belah dalam urusan (agamanya) menjadi

beberapa golongan. Setiap pemeluk agama, merasa bangga dengan apa

yang ada pada mereka (masing-masing).” (Q.s: al-Mu‟minūn/25: 53).

2). Jund (pasukan)

Bentuk makna ini, dijumpai dalam Q.s al-Mujādilah/ 58: 19 dan 22.

استىحوىذى عىلىيهمي الشيطىافي فىأىنسىاىيم ذكرى اللو أيكلىئكى حزبي الشيطىاف أىلى إف حزبى الشيطىاف (الخىاسريكفى )ىيمي

“Syetan telah menguasai mereka, lalu menjadikan mereka lupa

mengingat Allah. Maka mereka itulah tentara setan. Ketahuilah, bahwa

tentara setan itulah golongan yang rugi (19)”.

دي قػىومنا يػيؤمنيوفى باللو كىاليػىوـ الخر يػيوىادكفى مىن حىاد اللوى كىرىسيولىوي كىلىو كىانيوا آبىا ءىىيم أىك لى تىىيم بريكحو يمىافى كىأىيدى منوي أىبػنىاءىىيم أىك إخوىانػىهيم أىك عىشيرىتػىهيم أيكلىئكى كىتىبى ف قػيليومي الالدينى فيهىا رىضيى اللوي عىنػهيم كىرىضيوا عىنوي أيكلىئ كى كىييدخليهيم جىناتو تىرم من تىتهىا الىنػهىاري خى

( حزبي اللو أىلى إف حزبى اللو ىيمي الميفلحيوفى ) “Engkau (Muhamad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman

kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang

yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu

bapaknya, anaknya. Saudaranya atau keluarganya. Mereka itulah orang-

orang yang di dalam hatinya telah ditanamkan oleh Allah keimanan dan

Allah telah menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari

Dia. Lalu dimasukannya mereka ke dalam surga yang mengalir di

bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridla terhadap

mereka dan mereka pun merasa puas terhadap limpahan rahmat-Nya.

merekalah tentara Allah. ingatlah sungguhnya tentara Allah itulah yang

beruntung” (Q.s al-Mujādalah/58:22).

3). Dua kubu atau kelompok Aśẖāb al-Kahfi yang berselisih.

Penggunaan bentuk makna ini, dijumpai dalam Q.s al-Kahfi ayat 12

ا ) ا لىبثيوا أىمىدن (ثي بػىعىثػنىاىيم لنػىعلىمى أىم الحزبػىين أىحصىى لمى

“Kemudian kami bangunkan mereka,agar kami mengetahui manakah di

antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa

lamanya mereka tinggal (dalam gua itu).” (Q.s al-Kahfi/18: 12).

Page 56: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

42

4). Kelompok-kelompok dari kalangan orang kafir keturunan Umayyah,

keturunan Mughirah, dan keluarga Abȋ Ṯalẖah. Semuanya dari kabilah

Quraisy.

Penggunaan bentuk makna ini, dijumpai dalam Q.s al-Ra‟d (13): 36

نىاىيمي الكتىابى يػىفرىحيوفى بىا أينزؿى إلىيكى كىمنى الىحزىاب مىن يػينكري بػىعضىوي قيل إنى ا كىالذينى آتػىيػ (أيمرتي أىف أىعبيدى اللوى كىلى أيشرؾى بو إلىيو أىدعيو كىإلىيو مىآب )

“Dan orang yang telah kami berikan kitab kepada mereka, bergembira

dengan apa (kitab) yang diturunkan kepadamu (Muhammad), dan ada di

antara golongan ada yang mengingkari sebagiannya. Katakanlah, “Aku

hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak

mempersekutukannya. Hanya kepada-Nya aku seru manusia dan hanya

kepada-Nya aku kembali.”

Kata ahẕāb pada ayat ini, ditujukan kepada tiga kelompok tersebut

di atas, yaitu orang kafir keturunan Umayyah, keturunan Mughirah, dan

keluarga Abȋ Ṯalẖah. Demikian juga dalam Q.s śād (38): 11.

(ىينىالكى مىهزيكهـ منى الىحزىاب )جينده مىا “(Mereka itu) kelompok besar bala tentara yang ada di sana yang akan

dikalahkan”

5). Kelompok-kelompok yang berselisih dari kalangan Nasrani al-

Nusṯūriyah, al-Ya‟qūbiyah dan al-Malkāniyah.

Penggunaan makna demikian, terdapat dalam Q.s al-Zukhrūf (43):

65

اب يػىووـ أىليمو ) (فىاختػىلىفى الىحزىابي من بػىينهم فػىوىيله للذينى ظىلىميوا من عىذى “Tetapi golongan-golongan (yang ada) saling berselisih di antara mereka;

maka celakalah orang-orang yang zalim karena azab yang pedih

(kiamat)”.

Al-Dam‟āni mengungkapkan bahwa kata aẖzāb dalam ayat ini

adalah perselisihan kelompok-kelompok Nasrani tentang status Isa.

Kelompok al-Nusṯūriyah mengatakan bahwa Isa adalah anak Allah.

Sedangkan al-Ya‟qūbiyah berpendapat bahwa Isa putra Maryam adalah

Allah itu sendiri. Kemudian kelompok al-Malkāniyah meyakini bahwa

Page 57: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

43

Allah itu yang tiga dari tiga. Mereka mengatakan bahwa Allah, Isa dan

Maryam adalah Allah.

6). Kelompok-kelompok dari kafir dari kaum „Ad dan Tsamūd.

Penunjukan makna ini, sebagaimana dalam Q.s Shad (38 ): 13

ة أيكلىئكى الىحزىابي ) (كىثمىيودي كىقػىويـ ليوطو كىأىصحىابي الىيكى “Dan (begitu juga) Tsamud, kaum Luth dan penduduk Aikah. Mereka

itulah golongan-golongan yang bersekutu (menentang rasulnya)”.

Demikian juga dalam Q.s Fāṯir ( 40): 30

( كىقىاؿى الذم آمىنى يىا قػىوـ إن أىخىاؼي عىلىيكيم مثلى يػىوـ الىحزىاب ) “Dan orang-orang yang beriman itu berkata, “Wahai kaumku!

sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa bencana seperti hari

kehancuran golongan-golongan yang bersekutu”.

7). Kelompok-kelompok Abu Sufyan pada Qabilah-Qabilah Arab dan

Yahudi yang bersekutu untuk melawan Rasulullah SAW. Mereka

berperang pada tiga tempat. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Q.s al-

Aẖzāb (33): 10

اذجاؤككم من فوقكم كمن اسفل منكم“(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu, dari atas dan dari bawah.”

Maksud redaksi من فوقكم, yakni pasukan yang datang dari atas

lembah dari arah barat. Mereka yang datang dari arah ini, adalah Mālik ibn

„Auf, „Uyainah ibn Ḫiśn al-Fuzāry. Bersama mereka berdua, ada seribu

pasukan dari Qabilah Ghaṯfān, dan bersama Ṯalhah ibn Khuwailid dari

Bani Asad dan Ḫay ibn Akhṯāb adalah Yahudi dari Bani Quraiḏah.

Sedangkan maksud redaksi كمن اسفل منكم, yakni pasukan yang datang

dari lembah dari arah timur. Dari arah ini, datang Sufyan ibn Harb sebagai

penduduk Mekah bersama Yazid ibn Khalaf dari lembah paling bawah,

kemudian datang al-Aa‟war al-„alami dari arah parit, dan mereka

bersekutu membentuk suatu kelompok untuk menyerang Rasulullah SAW.

Mereka itu adalah kelompok-kelompok yang dimaksud dalam Q.s al-

Aẖzāb (33 ): 20

Page 58: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

44

بيوا كىإف يىأت الىحزىابي يػىوىدكا لىو أىنػهيم بىاديكفى ف الىعرىاب يىسأى ليوفى يىسىبيوفى الىحزىابى لى يىذىى(كىلىو كىانيوا فيكيم مىا قىاتػىليوا إل قىليلن )عىن أىنػبىائكيم

“Mereka mengira bahwa golongan-golongan (yang bersekutu) itu belum

pergi, dan jika golongan-golongan (yang bersekutu) itu datang kembali,

niscaya mereka ingin berada di dusun-dusun bersama-sama orang Arab

Badui, sambil menanyakan berita tentang kamu. Dan sekiranya mereka

berada bersamamu, mereka tidak akan berperang melainkan sebentar

saja.”

Berdasarkan uraian al-Dam‟āni di atas dapat diketahui bahwa kata

hizb dalam al-Qur‟an maknanya tidak terlepas dari salah satu makna

dasarnya yaitu kumpulan manusia/kelompok yang memiliki kekuatan.

Hanya saja, orientasi makna dan penunjukannya yang beragam tergantung

konteksnya. Misal, ketika ẖizb dihubungkan kepada Allah dan Setan (ẖizb

sebagai muḏāf), al-Dam‟āni memaknainya sebagai pasukan/tentara (Jund).

Sedangkan dalam konteks ayat lain, yaitu ẖizb sebagai muḏaf ilaih, al-

Dam‟āni memaknainya sebagai pemeluk agama (Aśẖāb al-Dȋn). Demikian

juga bentuk jama‟ nya, yaitu aẖzāb, pada dasarnya maknanya adalah

kelompok-kelompok, namun dalam al-Qur‟an orientasi maknanya ada

kelompok-kelompok bersektu yang ditujukan kepada umat-umat terdahulu

(„Ad, Tsamud dan Aikah) yang menyerang nabinya dan kelompok-

kelompok pada masa perang Khandak dari kalangan kafir Quraisy,

kabilah-kabilah Arab dan golongan Yahudi Madinah yang bersekutu

menyerang Nabi SAW dan kaum muslimin. Kemudian aẖzāb juga

bermakna kelompok yang berselisih yang ditujukan kepada kelompok-

kelompok pemeluk agama Nasrani yang memperselisihkan status Isa a.s.

C. Tafsir Ayat-Ayat Tentang Ḫizb dalam Literatur Kitab Tafsir

Pada sub bab ini, penulis akan menghadirkan penafsiran para ulama

terhadap ayat-ayat terkait ẖizb dalam kitab-kitab tafsirnya, yang dibagi

dalam dua kategori, yaitu kitab tafsir klasik-pertengahan (Abad III-IX/9-

Page 59: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

45

15)4 dan modern-kontemporer (Abad XII-XIV/18-21 M)

5. Hal ini

bertujuan untuk mengetahui bagaimana penafsiran para ulama terhadap

ayat terkait ẖizb tersebut dan mengetahui kemungkinan ada atau tidaknya

perubahan dalam penafsiran dan penunjukan makna.

Sebelum masuk dalam penafsiran, penulis terlebih dahulu akan

melakukan beberapa analisis, yaitu terkait penentuan kata kunci, aspek

munāsabah ayat, dan aspek asbāb al-Nuzūl ayat jika ada. Setelah itu, baru

menyajikan ulasan penafsiran para ulama dari kitab-kitab tafsir klasik dan

modern.

A. Q.s al-Mā’idah /5: 56

() كىمىن يػىتػىوىؿ اللوى كىرىسيولىوي كىالذينى آمىنيوا فىإف حزبى اللو ىيمي الغىالبيوفى “Dan barang siapa menjadikan Allah, rasul-Nya dan orang-orang

beriman sebagai penolongnya, maka sungguh pengikut (agama) Allah

itulah yang menang”(Q.s al-Mā‟idah /5: 56)

Ayat ini memiliki hubungan yang erat dengan ayat sebelum dan

setelahnya, bahkan masih dalam topik yang sama. Jika pada ayat

sebelumnya yaitu ayat ke-55, Allah menegaskan bahwa tempat berlindung

bagi seorang muslim itu adalah Allah, Rasul, dan orang-orang beriman,

maka pada ayat ke-56 ini menjelaskan tentang konsekuensi atau buah bagi

mereka yang menjadikan Allah, rasul dan orang-orang beriman sebagai

pelindung/penolongnya, yaitu Allah tegaskan bahwa mereka adalah

pengikut Allah yang akan memperoleh kemenangan di sisi-Nya.

Sedangkan pada ayat setelahnya, yaitu ayat ke-57, Allah menjelaskan

tentang larangan menjadikan orang-orang yang mengolok-olok agama,

baik dari kalangan ahl al-kitāb ataupun orang-orang kafir sebagai

pelindung bagi orang-orang beriman.

4 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur‟an (Yogyakarta: Idea Press,

2016), 89. 5 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur‟an, 145.

Page 60: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

46

Terkait kronologis turunnya ayat ini, Ibn Katsȋr mengutip beberapa

pendapat, di antaranya yang diriwayatkan oleh Ibn Mardawaih dari jalan

Muhammad ibn as-Sāib al-Kalby dari Abi Shālih dari Ibn Abbas, dia

berkata (suatu ketika) Rasulullah SAW keluar menuju Masjid, dan sahabat

saat itu sedang melaksanakan salat (sebagian dalam posisi) di antara ruku

dan sujud dan ada juga antara berdiri dan duduk. Ketika itu ada seorang

miskin yang suka meminta-minta. Kemudian Rasulullah SAW masuk dan

berkata “Seseorang telah memberimu sesuatu?”, orang miskin itu

menawab, “Iya”. Siapa yang memberimu? Tanya Nabi. Dia menjawab

“laki-laki yang bediri itu”, Nabi bertanya lagi “dalam keadaan apa dia

memberimu (dalam riwayat lain dikatakan bahwa yang diberikan adalah

cincinya)?”, dia menjawab “Dalam keadaan ruku‟”, Nabi berkata “Itu

adalah Ali Ibn Abu Ṯalib”, saat itu Nabi SAW langsung bertakbir dan

membaca ayat ini.6 Ibn Katsȋr juga mengutip pendapat lain yang

mengatakan bahwa ayat ini berkaitan dengan Ubādah Ibn Shāmit r.a,

ketika dia berlepas diri dari loyalitasnya kepada orang-orang Yahudi,

kemudian ridla‟ terhadap perlindungan Allah, rasul dan orang-orang

beriman. Kemudian turunlah ayat ini.

Berdasarkan dua riwayat terkait asbāb an-nuzul di atas, dapat

dipahami bahwa Intisari dari ayat ini adalah sebuah apresiasi bagi mereka

yang taat kepada Allah SWT dan loyal terhadap kekasih-kekasih-Nya,

yakni rasul-Nya dan orang-orang beriman, yaitu Allah tegaskan bahwa

mereka akan memperoleh kemenangan di sisi-Nya.

A.1. Penafsiran Q.s al-Mā’idah /5: 56 dalam Kitab Tafsir Klasik

Dalam beberapa literatur kitab tafsir klasik, kata ẖizb pada surat al-

Mā‟idah/5 ayat 56 ayat di atas dimaknai secara beragam. Misalnya al-

6 Abi al-Fidā Isma‟il ibn Umar bin Katsȋr al-Qurasyiy al-Dimasyqiy, Tafsir al-

Qur‟an al-„Aẕȋm, jilid 3 (Riyaḏ: Dār Ṯaybah, 1999), 128.

Page 61: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

47

Ṯabary (w.310 H) dalam tafsirnya Jāmi‟ al-Bayān a‟n Ta‟wili āyi al-

Qur‟an berpendapat bahwa maknanya adalah penolong7. Pengertian ini

berdasarkan sebuah sya‟ir yang diungkapkan oleh Ru‟bah Ibn A‟jjaj :

يعىب ...ذىاؾ، كإف عىب لى كىطحطىحى الجد لحىاءى القىشب الد

أىلىقىيتي أىقػوىاؿى الرجىاؿ الكيذب ... فىكىيفى أىضوىل كىبلؿه حزب Kemudian Al-Rāzy (w. 604 H) dalam tafsirnya Mafātih al-Ghaib

mengutip pendapat beberapa ulama dalam memaknai kata ẖizb tersebut.

Menurut Hasan, ẖizb yang dihubungkan dengan Allah disini maknanya

pasukannya Allah (جندالله). Menurut Abu Farūq maknanya kekasih-

kekasih Allah ( اكلياء الله), kemudian menurut Abu al-A‟liyah maknanya

kelompok Allah (شيعة الله), sebagian lagi berpendapat adalah penolong-

penolong Allah (انصار الله), sedangkan menurut al-Akhfasy, makna hizib

Allah adalah mereka yang beragama Islam dan taat kepada-Nya

(mengikuti perintah-Nya), sehingga mendapatkan pertolongan dari-Nya

Dalam konteks ini, penulis lebih 8.(الذين يدينوف بدينو كيطيعونو فينصرىم الله)

cenderung kepada pendapat al-Akhfasy yang memaknai kata ẖizb sebagai

pengikut. Jika dihubungkan dengan Allah maka maknanya adalah orang

Islam yang mengikuti perintah Allah atau taat kepada-Nya dengan cara

loyal terhadap rasul-Nya dan orang-orang beriman.

Sedangkan al-Zamakhsyari (w. 538 H), dalam tafsirnya

mengomentari redaksi penggalan ayat حزبى اللو ىيمي الغىالبيوفى فىإف , menurutnya,

penggalan ayat ini adalah penempatan isim zāhir pada posisi isim zāmir.

Maknanya adalah فانهم ىم الغالبوف (sesungguhnya hanya mereka yang

akan memperoleh kemenangan). Tetapi dengan redaksi tersebut, ada

pemberitahuan bahwa mereka adalah ẖizb Allah. al-Zamakhsyari

7 Abȋ Ja‟far Muhammad Ibn Jarȋr al-Ṯabary, Tafsȋr al-Ṯabary Jāmi‟ al-Bayān

„an Ta‟wȋli āyi al-Qur‟ān (Mesir: Dār al-Hijr, 2001), 532. 8 Muhammad al-Rāzi Fakhr al-Dȋn, Tafsȋr al-Kabȋr Mafātih al-Gaib, jilid 6

(Beirut: Dār al-Fikr, 1981), 24.

Page 62: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

48

melanjutkan bahwa pada dasarnya ẖizb bermakna kaum-kaum yang

berkumpul/bersatu untuk urusan kelompok-kelompoknya. Menurutnya,

ada kemungkinan yang dimaksud ẖizb Allah disini adalah rasul dan orang-

orang beriman. Sehingga maknanya adalah barangsiapa yang loyal

terhadap rasul dan orang beriman berarti dia adalah ẖizb Allah yang

berpeganng teguh dengan sesuatu yang tidak terkalahkan.9

A.2. Penafsiran Q.s al-Mā’idah /5: 56 dalam KitabTafsir Modern Terkait penggalan ayat فىإف حزبى اللو ىيمي الغىالبيوف , berbeda dengan

pandangan al-Zamakhsyari, Ibn A‟syur (w.1390 H/1970 M) berpandangan

bahwa penggalan ayat فىإف حزبى اللو ىيمي الغىالبيوف, menunjukan jawab syarat

dengan menjelaskan illat jawab syaratnya. Seakan-akan maknanya adalah maka mereka meraih kemenangan karena) فهم الغالبوف لنهم حزب الله

mereka adalah ẖizb Allah).10

Kendati ada perbedaan dalam perspektif

kebahasaan, tetapi secara substansi menunjukan maksud yang sama, yaitu

dalam redaksi ayat ini mengandung suatu penekanan (ta‟kid) tentang

kepastian akan datangnya kemenangan bagi mereka yang loyal terhadap

Allah.

Dalam memaknai kata ẖizb pada ayat ini, Abdullah Yusuf Ali

(w.1953 M) memaknainya dengan pengikut.11

Oleh karena itu, setiap

orang yang rida dengan perlindungan Allah, rasul-Nya, dan orang-orang

beriman, maka dialah pengikut Allah yang akan memperoleh kemenangan

dan pertolongan-Nya di Dunia dan Akhirat.12

9 Abȋ al-Qāsim Mahmud Ibn Umar az-Zamakhsyari, al-Kasysyāf (Riyad:

Maktabah al-„Ubaikān, 1998), 258. 10

Muhammad Ṯāhir Ibn „Ăsyūr, Tafsȋr al-Tahrȋr wa al-Tanwȋr (Tunisia: Al-Dār

al-Tunisiyah, 1984), 240. 11

Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali, trj. Ali Audah (Bogor: PT. Pustaka

Litera AntarNusa, 2009), 263. 12

Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir fi al-„Aqȋdah wa al-Syarȋ‟ah wa al-Manhaj,

jilid 9, cet 10 (Damaskus: Dar al-Fikr, 2009), 587.

Page 63: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

49

Sedangkan Mutawali al-Sya‟rawi (w.1998 M) dalam memahami

kata ẖizb pada ayat ini, dia mengutip salah satu hadis Nabi SAW :

13كاف النب صلى الله عليو كسلم إذا حزبو أمر قاـ إلى الصلة

“Bahwasannya Nabi SAW, ketika ditimpa suatu musibah maka dia

mendirikan salat”.

Al-Sya‟rawi berpendapat bahwa makna ẖizb dalam hadis ini adalah

:

أمر أتعبو كأرىقو كفكر فيو كثيران “Suatu kesusahan yang menimpa nabi dan menguras pikirannya”

14

Berdasarkan pendapat al-Sya‟rawi ini dapat diketahui bahwa ẖizb

adalah adalah sesuatu yang menyusahkan seseorang, sehingga ẖizb ketika

dihubungkan dengan Allah, bermakna mereka yang mengadukan semua

keluh kesahnya kepada Allah SWT dengan melakukan taqarrub kepada-

Nya melalui ibadah salat atau berdzikir.

Secara substansi, pemaknaan al-Sya‟rawi ini tidak berbeda dengan

pemaknaan Abdullah Yusuf Ali. Mereka yang menjadikan Allah SWT

sebagai tempat berlabuh dan mengadukan keluh kesahnya, secara otomatis

dikatakan juga sebagai pengikut Allah SWT, yang taat kepada-Nya.

B. Q.s al-Mu’minūn /23: 53

يهم فىرحيوفى ) نػىهيم زيبػيرنا كيل حزبو بىا لىدى (فػىتػىقىطعيوا أىمرىىيم بػىيػ “Kemudian mereka terpecah belah dalam urusan (agamanya) menjadi

beberapa golongan. Setiap golongan (merasa) bangga dengan apa yang

ada pada mereka (masing-masing)” (Q.s: al-Mu‟minūn/25: 53)

Pada ayat sebelumnya yaitu ayat ke-52, ditegaskan bahwa agama

yang dibawa setiap para Nabi yang diutus itu sama. Yaitu mengajak untuk

13

Dalam riwayat al-Tirmidzi, redaksinya adalah :

قاؿ ياحي ياقيوـ برحمتك استغيث كاف النب صلى الله عليو كسلم إذا حزبو أمر Lihat Ahmad Abdu al-Jawwad, al-Du‟ā al-Mustajāb min al-Hadȋs wa al-Kitāb (Kairo:

Dār al-Salām, 2011), 115. 14

Muhammad Mutawali al-Sya‟rawi, Tafsȋr al-Sya‟rawi, jilid 6 (Kairo: al-

Idāroh al-Ămmah, 1991), 3245.

Page 64: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

50

ibadah hanya kepada Allah semata. Ini menunjukan bahwa pada dasarnya

agama-agama yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya itu sama dalam

masalah uśūl, yaitu mengesakan Allah SWT15

, hanya saja yang

membedakan adalah dalam masalah furū, yaitu terkait syariat-syariat

hukum, yang disesuaikan dengan perbedaan zaman dan keadaan.16

Dan

perbedaan ini tidak dikatakan perbedaan dalam agama. Demikian yang

dikatakan Wahbah Zuhaili. Kemudian, lanjutnya, ayat ini berkenaan

dengan pengikut nabi-nabi terdahulu yang telah mencerai-beraikan urusan

agama mereka, memecah belahnya dan menjadikannya terbagi-bagi

sehingga terbentuklah kelompok-kelompok. Setiap kelompok berbangga

15

Hal ini sebagaimana dalam Q.s al-Anbiyā /21: 25 :

(كىمىا أىرسىلنىا من قػىبلكى من رىسيوؿو إل نيوحي إلىيو أىنوي لى إلىوى إل أىنىا فىاعبيديكف ) “Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad) ,

melainkan kami wahyukan kepadanya “bahwa tiada tuhan (yang berhak

disembah) selain Aku, maka sembahklah Aku”.( Q.s al-Anbiyā /21 : 25) 16

Keterangan ini sebagaimana dalam Q.s al-Māidah/5 : 48 :

يو منى ال قنا لمىا بػىينى يىدى نػىهيم بىا أىنػزىؿى اللوي كىلى تػىتبع كىأىنػزىلنىا إلىيكى الكتىابى بالحىق ميصىد يمننا عىلىيو فىاحكيم بػىيػ كتىاب كىميهىا أىىوىاءىىيم عىما جىاءىؾى منى الحىق ةن كىلىكن كىلىو شىاءى اللوي لجىىعىلىكيملكيل جىعىلنىا منكيم شرعىةن كىمنػهىاجن ليىبػليوىكيم أيمةن كىاحدىنتيم فيو تىتىل يعنا فػىيػينىبئيكيم بىا كي (فيوفى )ف مىا آتىاكيم فىاستىبقيوا الخىيػرىات إلىى اللو مىرجعيكيم جى

“Dan kami telah menurunkan kitab (al-Qur‟an) kepada kamu (Muhammad)

dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan

sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa

yang diturunkan Allah dan jangan engkau mengikuti keinginan mereka dan

meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di

antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah

menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat (saja), tetapi Allah hendak

menguji kamu terhadap karunia yang diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-

lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali

lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamun

perselisihkan”. (Q.s al-Māidah/5: 48).

Selain itu, dijelaskan juga dalam sebuah hadis:

النبياء اخوة لعلت امهاتهم شتى كدينهم كاحد"Para Nabi itu ibarat saudara seibu, ibu mereka beda-beda (sedangkan) agama

mereka adalah satu” (H.R Bukhari dan Muslim).

Page 65: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

51

diri dengan kesesatan dalam diri mereka. Mereka mengira berada dalam

kebenaran dan petunjuk.17

B.1. Penafsiran Q.s al-Mu’minūn /23: 53 dalam Kitab Tafsir Klasik

Pada penggalan ayat نػىهيم زيبػيرنا al-Ṯabari mengutip ,فػىتػىقىطعيوا أىمرىىيم بػىيػ

pendapat Mujahid, yang berkata bahwa maksudnya adalah mereka

merubah kitab suci mereka menjadi beberapa bagian.18

Terkait dengan

ayat ini, al-Ṯabari juga mengutip pendapat Ibn Zaid, menurutnya, ayat ini

menjelaskan perselisihan mereka tentang apa yang ada dalam agama-

agama dan kitab-kitabnya. Mereka bangga dengan pandangannya sendiri.

Kemudian, lanjutnya, tidaklah (karakteristik) pengikut hawa nafsu itu

kecuali mereka akan berbangga diri dengan pandangan dan hawa nafsunya

sendiri dan pandangan sahabatnya yang memiliki pandangan yang sama

dengan dirinya, serta tidak melihat kebenaran dari luar dirinya.19

Mengenai kelompok dalam ayat ini, al-Ṯabari masih mengutip

pendapat Mujāhid yang mengatakan bahwa kelompok yang dimaksud

adalah sekelompok ahl-Alkitāb.20

Demikian juga pendapat Ibn Katsȋr

(w.774 H), menurutnya kelompok yang dimaksud adalah umat-umat

terdahulu yang telah diutus kepada mereka para Nabi. Mereka berbangga

diri dengan kesesatannya, karena mereka mengira ada dalam petunjuk

Allah swt.21

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh al-Zamaksyari

dalam tafsirnya, al-Kasy-syāf. Hal yang sama juga disampaikan oleh Al-

Rāzy, bahwa kelompok yang dimaksud adalah umat-umat terdahulu.

17

Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir fi al-„Aqȋdah wa al-Syarȋ‟ah wa al-Manhaj,

jilid ke 9, 384. 18

Ibn Jarȋr al-Ṯabary, Tafsȋr al-Ṯabary Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wȋli āyi al-

Qur‟ān, juz ke 17, 62. 19

Ibn Jarȋr al-Ṯabary, Tafsȋr al-Ṯabary Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wȋli āyi al-

Qur‟ān, juz 17, 63. 20

Ibn Jarȋr al-Ṯabary, Tafsȋr al-Ṯabary Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wȋli āyi al-

Qur‟ān, juz 17, 63. 21

Abi al-Fidā Isma‟il bin Umar bin Katsȋr al-Qurasyiy al-Dimasyqiy, Tafsir al-

Qur‟an al-„Aẕȋm, 479.

Page 66: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

52

Selain itu, beliau juga mengutip pendapat al-Kalby, Muqatil dan aḏ-

ḏahhak yang mengatakan bahwa kelompok yang dimaksud dalam ayat ini

adalah musyrik Makkah, Majusi, Yahudi dan Nasrani. Al-Rāzy juga

menambahkan bahwa penggunaan kata افػىتػىقىطعيو , menunjukan makna

mubālagah, yaitu perselisihan mereka tentang agamanya sangat dahsyat

sehingga melahirkan kelompok-kelompok yang masing-masing

mengklaim kebenaran.

B. 2. Penafsiran Q.s al-Mu’minūn /23: 53 dalam Kitab Tafsir Modern

Ibn „Ăsyūr mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan umat-umat

terdahulu yang telah didatangkan kepada mereka para rasul yang

membawa satu syariat, yaitu hanya mengajak mereka ke jalan tauhid

dengan menjalankan syariat Allah. Akan tetapi dalam perkembangannya,

mereka (umat-umat) memecah belah urusan agama mereka ke dalam

banyak kelompok. Kemudian mereka menjadikan/meyakini banyak

Tuhan, maka jadilah agama-agama mereka terpecah belah menjadi banyak

dan menjadi agama tersendiri yang memiliki berhala/sesembahan sendiri

serta ritual ibadah yang khusus.22

Ibn A‟syur menambahkan bahwa redaksi

dalam ayat ini menunjukan celaan, karena perbuatan mereka telah

menyalahi perintah Allah SWT. Bahkan bentuk celaan Allah ditekankan

lagi dengan redaksi pada penggalan ayat يهم فىرحيوفى Yang .كيل حزبو بىا لىدى

menunjukan bahwa pada dasarnya mereka bukanlah orang yang akan

berbahagia.23

Adapun makna ẖizb dalam ayat ini menurut Ibn A‟syur

adalah :

24مل اك الدتفقوف عليوعاتمعوف على امر من اعتقاد اك الجماعة “Komunitas yang berkumpul atas suatu keyakinan atau perbuatan atau

sesuatu yang disepakati”.

22

Ibn „Ăsyūr, Tafsȋr al-Tahrȋr wa al-Tanwȋr, jilid 18, 72-73. 23

Ibn „Ăsyūr, Tafsȋr al-Tahrȋr wa al-Tanwȋr, jilid 18, 72. 24

Ibn „Ăsyūr, Tafsȋr al-Tahrȋr wa al-Tanwȋr, jilid 18, 73.

Page 67: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

53

Terkait dengan ayat ini, Quraish Shihab mengulas makna penggalan

kata فػىتػىقىطعيوا. Menurutnya, maknanya adalah memotong-motong dan

mencabik-cabik. Dalam hal ini, Quraish Shihab mengilustrasikan dengan

suatu barang yang dirampas oleh sekian banyak orang, lalu mereka saling

tarik menariknya hingga terputus-putus, dan masing-masing bergembira

dengan potongan yang mereka miliki. Shihab menambahkan yang

demikian adalah agama Yahudi dan Nasrani yang tercabik-cabik dalam

dalam sekian banyak sekte yang saling bertentangan, bermusuhan bahkan

berperang.25

Demikian juga Ali al-Shābūni mengatakan bahwa yang

dimaksud dalam ayat ini adalah kelompok Majusi, Yahudi dan Nasrani.26

Al-Sya‟rawi juga menambahkan bahwa dikalangan umat Islam pun

ada golongan/kelompok yang memiliki karakter seperti ini.27

Mereka

berbangga diri berdasarkan pemikirannya sendiri, bukan berdasarkan

hukum yang diridlai Allah SWT. Al-Sya‟rawi mencontohkan perkataan

mereka yang mengatakan bahwa salat di mesjid yang di sekitarnya ada

kuburan itu batil dan itu termasuk syirik dalam beribadah, dan setersusnya.

Jika mereka berpandangan seperti ini, seharusnya mereka hancurkan

kuburan yang ada di Madinah. Al-Sya‟rawi melanjutkan bahwa apabila

sikap mereka yang mengedepankan masalah khilafiyah seperti ini,

memahaminya sebagaimana mestinya, tentu mereka tidak akan masuk ke

dalam kelompok seperti dalam ayat ini. Karena kerusakan agama-agama

25

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-

Qur‟an, Volume 9 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 200. 26

Muhammad Ali Al-Śābuni, Śafwah al-Tafāsir, jilid 2, cet. 4 (Beirut: Dār al-

Qur‟ān al-Karȋm, 1981), 23. 27

Terkait dengan pemaknaan ini, al-Sya‟rawi memiliki rumusan salah satu

kaidah dalam menafsirkan al-Quran, sebagaimana dikutip oleh M Quraish Shihab,

menurutnya “Bila al-Qur‟an menyebut nama tokoh dalam konteks kisahnya, maka itu

menunjukan baha peristiwa serupa tidak akan terulang, tetapi bila tidak menyebutkan

nama tokohnya maka peristiwa serupa atau semakna dapat terulang”. Lihat M Quraish

Shihab, Kaidah Tafsir, cet. IV (Tangerang: Lentera Hati, 2019), 13. Dalam konteks ayat

ini, al-Qur‟an memang tidak menyebutkan secara khusus siapa yang dimaksud kelompok

tersebut, sehingga berdasarkan kaidah tersebut sangat mungkin peristiwa tersebut atau

yang semaknanya terulang kembali.

Page 68: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

54

terdahulu terutama yang dibawa oleh Nabi musa (Musasiyyah) dan yang

dibawa Nabi Isa (Isasiyyah) adalah dikarenakan masalah-masalah

khilafiyah seperti ini.28

Disini terlihat bahwa as-Sya‟rawi memahami ayat

ini secara substantif dan kontekstualis. Sehingga ilustrasi kelompok dalam

ayat ini, bukan hanya ditujukan bagi kaum Yahudi, Nasrani dan Majusi

saja, tetapi mereka yang mengaku umat Islam pun jika memiliki karakter

yang sama dengan mereka, maka masuk juga dalam penjelasan ayat ini.

C. Q.s al-Rūm/30: 32

يهم فىرحيوفى )منى الذينى (فػىرقيوا دينػىهيم كىكىانيوا شيػىعنا كيل حزبو بىا لىدى “Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka

menjadi beberapa golongan. Setiap golongan merasa bangga dengan apa

yang ada pada golongan mereka”. (Q.s: al-Rūm/30 : 32).

Ayat ini masih satu rangkain dengan dua ayat sebelumnnya. Pada

dua ayat sebelumnya, yaitu ayat ke 31 dan 32, menjelaskan tentang

perintah kepada manusia untuk menghadapkan dirinya kepada agama

Allah yang suci dan sesuai dengan fitrah manusia, dengan kembali

kepada-Nya, bertakwa dan mendirikan salat, lalu ditegaskan supaya tidak

menjadi orang yang musyrik. Kemudian pada ayat ke 33 ini, menjelaskan

tentang karakter orang-orang musyrik tersebut, yaitu mereka memecah

belah agama mereka hingga menjadi beberapa golongan dan masing-

masing berbangga diri dengan apa yang ada dalam dirinya.

C.1. Penafsiran Q.s ar-Rūm/ 30: 32 dalam Kitab Tafsir Klasik

Al-Ṯabary mengatakan bahwa ayat ini memerintahkan supaya tidak

menjadi orang-orang musyrik yang merubah agamanya, berselisih dan

melahirkan kelompok-kelompok, seperti Yahudi dan Nasrani. Aṯabari juga

28

Al-Sya‟rawi, Tafsȋr al-Sya‟rawi, 10.058.

Page 69: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

55

mengutip pendapat Qatadah dan Ibn Zaid yang mengatakan bahwa

kelompok yang dimaksud adalah Yahudi dan Nasrani.29

Ibn Katsȋr juga menjelaskan bahwa ayat ini merupakan larangan

untuk tidak menjadi bagian dari orang-orang yang berbuat syirik yang

mengganti dan merubah agama yang haq sesuai hawa nafsunya, dan hanya

beriman kepada sebagian ajaran agama serta mengingkari yang lainnya.

Mereka ini adalah kaum Yahudi, Nasrani, Majusi, para penyembah

berhala, dan agama-agama batil lainnya, selain Islam. Semua pengikut

agama-agama terdahulu berselisih di antara mereka. Masing-masing dari

mereka mengklaim kelompoknya yang benar sedangkan yang lain salah.

Ibn katsȋr melanjutkan bahwa umat Islam sekarang juga berselisih di

antara mereka. Menurutnya, semuanya sesat, kecuali satu yang benar,

yaitu kelompok Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā‟ah, yang berpegang teguh

kepada kitab Allah dan sunnah Rasulullah SAW, dan kepada generasi

awal dari kalangan sahabat, tabi‟in, dan imam-imam umat Islam di masa

dulu dan sekarang. 30

Sedangkan al-Rāzy berpandangan bahwa kelompok dalam konteks

ayat ini, mungkin juga dimaknai sebagai kelompok orang islam yang

dalam beribadah tidak murni untuk Allah SWT. Sebagian ada yang

melakukan ibadah karena urusan dunia, sebagian lagi ada yang karena

menginginkan surga, dan ada juga karena takut neraka. Menurutnya, setiap

kelompok tersebut bahagia dan merasa bangga dengan pandangannya ini.

Beda halnya dengan orang yang ikhlas (mukhlȋsh). Mereka tidak bangga

dan bahagia dengan itu semua, karena dia beribadah hanya karena Allah

29

Ibn Jarȋr al-Ṯabary, Tafsȋr al-Ṯabary Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wȋli āyi al-

Qur‟ān, 498. 30

Ibn Katsȋr, Tafsir al-Qur‟an al-Aẕȋm, jilid 6, 316-317.

Page 70: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

56

SWT, sehingga kebahagiaannya dirasakan hanya ketika mendapatkan

rahmat dan ridla Allah SWT.31

Pandangan al-Rāzy ini berdasarkan korelasi dengan konteks ayat

sebelumnya, ayat ke-31. Yaitu :

ةى كىلى تىكيونيوا منى الميشركينى )مينيبينى إلىيو كىاتػقيوهي كىأىقي (ميوا الصلى “Dan kembali bertobat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta

laksanakanlah salat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang

mepersekutukan Allah”.

Mengenai makna Musyrikȋn dalam konteks ayat ini, Al-Rāzy

mengutip pendapat para mufassir lain yang mengatakan bahwa makna

Musyrikȋn tersebut adalah larangan melakukan syirik setelah beriman.

Yaitu beribadah selain karena Allah. Sehingga konteks ayat ke-32 ini,

menurutnya mungkin juga dimaknai sebagai kelompok umat Islam yang

dalam beribadahnya tidak murni karena Allah SWT, tetapi karena ada

tujuan lain.

C.2. Penafsiran Q.s al-Rūm/ 30: 32 dalam Kitab Tafsir Modern

Menurut Ibn „Ăsyūr, yang dimaksud orang-orang yang memecah

belah agamanya sehingga menjadi beberapa kelompok dalam ayat ini,

adalah orang-orang musyrik, karena mereka menjadikan tuhan-tuhan

mereka banyak. Ibn „Ăsyūr juga menambahkan bahwa agama yang

dipecah belah tersebut adalah agama Islam.32

Kemudian makna kata ẖizb

pada penggalan ayat ini adalah :

الحزب : الجماعة الذين رأيهم كنزعتهم كاحدة“Ḫizb adalah kumpulan orang-orang yang memiliki pandangan dan

kepentingan yang sama.”

Sedangkan maksud farihun/farh dalam penggalan ayat ini adalah al-

Riḏa wa al-Ibtihāj (rida dan berbangga diri).

Ayat ini adalah celaan bagi sikap atau prilaku orang-orang musyrik,

sekaligus juga peringatan bagi umat Islam untuk tidak melakukan prilaku

31

Al-Rāzi, Tafsȋr al-Kabȋr Mafātih al-Ghaib, 121. 32

Ibn „Ăsyūr, Tafsȋr al-Tahrȋr wa al-Tanwȋr, jilid 21, 95.

Page 71: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

57

yang sama dengan mereka. Maka ketika terjadi perbedaan pendapat dalam

masalah agama yang masih dalam ranah ijtihad, atau perbedaan pendapat

dalam pandangan politik, maka jangan sampai perbedaan tersebut seperti

yang tergambar dalam ayat ini, yaitu satu sama lain saling melaknat dan

saling menjatuhkan.33

Hal yang senada juga ditegaskan oleh Quraish Syihab. Menurutnya,

perpecahan dan kelompok-kelompok yang dimaksud oleh ayat ini adalah

perpecahan dalam bidang prinsif-prinsif ajaran agama dan pengelompokan

dalam perbedaan tujuan. Adapun bila tujuannya sama, atau perbedan

hanya dalam rincian ajaran yang melahirkan perbedaan penafsiran serta

didukung oleh kaidah-kaidah kebahasaan dan disiplin ilmu, maka ini dapat

ditoleransi.34

Al-Sya‟rawi menyebut kelompok yang dimaksud dalam ayat

ini dengan istilah al-Sulṯah al-Zamaniyah, yaitu mereka yang banyak

mengklaim bahwa hanya pandangannya yang benar sedangkan yang lain

salah. Penafsiran al-Sya‟rawi pada surat al-Rūm ini tidak jauh berbeda

dengan tafsirnya dalam surat Q.s al-Mu‟minūn/25: 53, sebagaiman yang

sudah penulis bahas.

Makna ẖizb dalam dua ayat terakhir ini (Q.s al-Rūm/30: 32 dan Q.s

al-Mu‟minūn/25: 53), memiliki orientasi makna yang negatif. Yaitu

menunjukan makna kelompok orang beragama yang memiliki

karaktersitik suka berselisih, fanatik, tidak tulus, dan merubah prinsif-

prinsif ajaran agama yang haq. Selain itu, mereka merasa dirinya benar

dan bangga dengan pandangannya atau kelomponya masing-masing,

kemudian menggangap yang lain salah dan sesat. Meskipun Konteks

makna ayat ini dalam banyak literatur kitab tafsir menunjukan kepada

kelompok Yahudi, Nasrani, Majusi, para penyembah berhala, dan agama

33

Ibn „Ăsyūr, Tafsȋr al-Tahrȋr wa al-Tanwȋr, jilid 21, 96. 34

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-

Qur‟an, Volume 11, 63.

Page 72: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

58

batil lainnya, akan tetapi, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn katsȋr, Ibn

„Ăsyūr, dan as-Sya‟rawi, bahwa umat Islam pun jika memiliki

karakteristik seperti kelompok kaum-kaum tersebut, maka akan menjadi

pemicu terjadinya pecah belah antara umat Islam seperti yang sudah

terjadi kepada kaum-kaum sebelumnya.

D. Q.s Fāṯir/35 : 6

ذيكهي عىديكا إنىا يىدعيو حزبىوي ليىكيونيوا من أىصحىاب السعير ) (إف الشيطىافى لىكيم عىديك فىات “Sungguh setan itu musuh bagimu, maka pelakukanlah ia sebagai musuh,

karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongan-golongannya

agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala” (Q.s Fāṯir/35

: 6)”.

Ayat ini sebagai penegas ayat sebelumnya. Jika pada ayat

sebelumnya, Allah SWT menegaskan supaya manusia jangan sampai

terlena oleh kehidupan dunia dan tipu daya setan, maka pada ayat ini

menegaskan tentang kedudukan dan visi setan dalam kehidupan manusia

di dunia ini, kemudian ayat setelahnya mempertegas kedudukan dan

konsekuensi bagi mereka yang mengikuti bujukan-bujukan setan dan

mereka yang menolak bujukanya.

D.1. Penafsiran Q.s Fāṯir/ 35: 6 dalam Kitab Tafsir Klasik

Al-Ṯabari mengatakan bahwa dalam ayat ini Allah SWT

memerintahkan umat islam untuk memposisikan setan sebagai musuhnya,

oleh karena itu harus lebih waspada dengan meningkatkan taat kepada

Allah, jangan sampai tergelincir dan mengikuti langkah-langkah nya,

karena mereka hanya akan mengajak pengikut-pengikutnya (man aṯāa‟hu)

untuk turut dan menerima langkah-langah jeleknya, yaitu agar ingkar

kepada Allah SWT sehingga umat manusia kekal di dalam Neraka.35

Demikian juga yang dikatakan Ibn katsȋr, menurutnya visi setan itu adalah

35

Ibn Jarȋr al-Ṯabary, Tafsȋr al-Ṯabary Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wȋli āyi al-

Qur‟ān, 332.

Page 73: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

59

menyesatkan manusia supaya mereka masuk neraka bersamanya. Oleh

karena itu dia adalah musuh yang sangat nyata bagi manusia. 36

Terkait dengan ayat ini, al-Rāzy menemukan isyarat makna yang

halus. Yaitu, menurutnya, seseorang yang memiliki musuh, ada dua

kemungkinan jalan yang dia tempuh, yaitu: pertama, menentangnya

sebagai balasan atas penentanggan mereka. kedua, menghilangkan

permusuhan dengan ridla kepadanya. Maka firman Allah swt sebagaimana

dalam ayat ini, adalah perintah pada manusia untuk tetap memusuhinya,

dan mengisyaratkan bahwa hanya dengan cara inilah sikap yang

seharusnya. Adapun cara yang lain, yaitu ridla dengannya, maka tidak ada

faidah di dalamnya, karena jika meridlainya dan mengikuti tipu dayanya,

maka dia hanya akan menjerumuskan manusia pada siksa neraka.37

Berdasarkan pemaparan di atas, menurut pandangan penulis, dalam

konteks ayat ini, ẖizb bermakna pengikut setan. Maksudnya tipu daya

setan atau ajakannya itu hanya akan berpengaruh bagi mereka yang mau

mengikutinya. Oleh karena itu Allah menegaskan kepada orang-orang

beriman untuk menjadikannya sebagai musuh dan tidak menjadikannya

sebagai tuan yang harus diikuti, karena mengikuti setan dan ridla

kepadanya berarti telah mengorbankan dirinya masuk ke dalam api neraka

yang menyala-nyala.

D.2. Penafsiran Q.s Fāṯir/ 35: 6 dalam Kitab Tafsir Modern

Senada dengan pandangan al-Rāzy, Ibn „Ăsyūr menjelaskan bahwa

pada dasarnya ayat ini adalah perintah untuk menjadikan setan sebagai

musuh selama-lamanya. Menurutnya, permusuhan manusia dan setan

laksana permusuhan anjing dan kucing (tidak akan pernah berdamai),

karena tabiat setan adalah menjerumuskan manusia kepada kehancuran

36

Ibn Katsȋr, Tafsir al-Qur‟an al-„Aẕȋm, jilid 6, 534. 37

Al-Rāzi, Tafsȋr al-Kabȋr Mafātih al-Ghhaib, juz 26, 5.

Page 74: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

60

dan masa depan yang buruk dengan tipu dayanya yang halus.38

Ibn „Ăsyūr

menambahkan bahwa perintah Allah untuk menjadikan setan sebagai

musuh adalah selama-lamanya, tidak ada toleransi atau kata maaf baginya.

Adapun ayat al-Qur‟an ataupun hadis Nabi saw yang memerintahkan

untuk saling memberi maaf adalah ditujukan ketika adanya konflik antara

umat islam, dengan harapan adanya perubahan dari pihak musuh, karena

adanya permusuhan antara umat islam bersifat temporal yang

memungkinkan untuk berdamai ketika masalah yang menjadi sebab

permusuhannya hilang. Beda halnya dengan setan, tabiatnya memang

sebagai musuh dan selamanya tugas mereka adalah menggoda manusia

untuk mengikuti jejekanya, sehingga tidak ada alasan untuk memaafkan

dan loyal kepadanya.39

Tidak semua manusia dapat dijerumuskan oleh tipu daya setan.

Dalam penggalan ayat إنىا يىدعيو حزبىوي ليىكيونيوا من أىصحىاب السعير, menunjukan

bahwa godaan dan tipu dayanya hanya akan berpengaruh bagi mereka

yang mengikuti jejak-jejaknya.40

Wah bah Zuhaili memakna kata ẖizbahu

: pada ayat ini sebagai berikut (حزبو)

اصحابو كاتباعو الدتحزبين لو كالدطيعين لو الى الدعاصي كالكفر“Kawan-kawan setan, pengikutnya yang bersekongkol dengannya dan

mentaatinya menuju kemaksiatan dan kekafiran”.

Demikian juga penjelasan Ali al-Śabuni dalam tafsirnya, bahwa

setan hanya akan melemparkan atau menjerumuskan pengikut-

pengikutnya ke dalam neraka.41

Oleh karena itu, dalam konteks ayat ini,

makna yang lebih relevan untuk kata ẖizb adalah pengikut. Kemudian

ḏamir hu pada ayat ini kembali kepada setan.

38

Ibn „Ăsyūr, Tafsȋr al-Tahrȋr wa al-Tanwȋr, jilid 22, 260. 39

Ibn „Ăsyūr, Tafsȋr al-Tahrȋr wa al-Tanwȋr, jilid 22, 261. 40

Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munȋr fi al-„Aqȋdah wa al-Syarȋ‟ah wa al-Manhaj,

juz 22, 566. 41

Muhammad Ali al-Śābūni, Śafwah al-Tafāsir, jilid 2, 466-467.

Page 75: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

61

Berdasarkan pengertian dan uraian di atas, tidak ada perbedaan

antara penjelasan dalam tafsir klasik dan modern. Ayat ini mengukuhkan

kedudukan setan sebagai musuh nyata dan abadi bagi manusia. Godaan

dan tipu muslihatnya hanya akan berpengaruh bagi mereka yang

mengikutinya dan loyal kepadanya, hingga akhirnya manusia terjerumus

ke dalam siksa neraka yang apinya menyala-nyala.

E. Q.s Al-Mujādilah/ 58: 19 dan 22

استىحوىذى عىلىيهمي الشيطىافي فىأىنسىاىيم ذكرى اللو أيكلىئكى حزبي الشيطىاف أىلى إف حزبى الشيطىاف (ىيمي الخىاسريكفى )

“Syetan telah menguasai mereka, lalu menjadikan mereka lupa

mengingat Allah. Maka mereka itulah pengikut setan. Ketahuilah, bahwa

pengikut setan itulah golongan yang rugi (19)”. اد اللوى كىرىسيولىوي كىلىو كىانيوا آبىا دي قػىومنا يػيؤمنيوفى باللو كىاليػىوـ الخر يػيوىادكفى مىن حى ىيم أىك ءى لى تى

يمىافى كىأىيدىىي تىبى ف قػيليومي ال م بريكحو منوي أىبػنىاءىىيم أىك إخوىانػىهيم أىك عىشيرىتػىهيم أيكلىئكى كىالدينى فيهىا رىضيى اللوي عىنػهيم كىرىضيوا عىنوي أي كىييدخليهيم كلىئكى جىناتو تىرم من تىتهىا الىنػهىاري خى

( حزبي اللو أىلى إف حزبى اللو ىيمي الميفلحيوفى ) “Engkau (Muhamad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman

kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang

yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu

bapaknya, anaknya. Saudaranya atau keluarganya. Mereka itulah orang-

orang yang di dalam hatinya telah ditanamkan oleh Allah keimanan dan

Allah telah menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari

Dia. Lalu dimasukannya mereka ke dalam surga yang mengalir di

bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridla terhadap

mereka dan mereka pun merasa puas terhadap limpahan rahmat-Nya.

merekalah golongan Allah. ingatlah sungguhnya golongan Allah itulah

yang beruntung” (Q.s al-Mujādalah/58:22).

Ayat ini masih bagian dari rentetan ayat-ayat sebelumnya yang

membicarakan tentang sifat buruk atau karakter orang-orang munafik yang

loyal terhadap orang-orang kafir dari kalangan Yahudi. Karena mereka

selalu berdusta dalam bersumpah, maka Allah mengancam perbuatan

mereka dengan siksaan yang pedih. Bahkan Allah tegaskan bahwa harta-

Page 76: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

62

harta mereka, anak-anaknya tidak akan dapat menyelamatkannya dari

siksa api neraka. Kemudian pada ayat ke-19 ini, Allah jelaskan penyebab

mereka melakukan perbuatan seperti itu, yaitu karena mereka telah

dikuasai oleh setan sehingga melupakan Allah, akibatnya mereka menjadi

pengikut setan dan hidup sengsara. Kemudian pada ayat ke-22, Allah

menjelaskan tentang karakteristik-karakteristik manusia yang tergolong

sebagai pengikut Allah dan berbagai kebaikan yang akan diterimanya.

E.1. Penafsiran Q.s al-Mujādilah/ 58: 19 dan 22 dalam Kitab Tafsir

Klasik

Pada ayat ke-19, Allah SWT menjelaskan bahwa penyebab

kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia adalah karena hati mereka telah

dikuasai oleh setan. al-Ṯābari memaknai penggalan لىيهمي الشيطىافي استىحوىذى عى adalah غلب عليهم الشيطاف, yaitu setan telah menguasai mereka. Kemudian

makna حزبي الشيطىاف adalah كأتباعو جنده , yaitu tentaranya setan, atau

pengikutnya.42

Demikian juga menurut Ibn katsȋr, dia mengatakan bahwa maksud

ayat ini adalah setan telah menguasai hati-hati mereka (orang munafik)

sehingga menjadikannya lupa untuk mengingat Allah SWT.43

Terkait

dengan ayat ini, Ibn katsȋr juga mengutip hadis Nabi SAW yang

diriwayatkan oleh Abȋ ad-Dardā‟ :

ف قرية كل صلى الله عليو كسلم يقوؿ: "ما من ثلثةعن أب الدرداء: سمعت رسوؿ الله بىدك، ل تقاـ فيهم الصلة إل قد استحوذ عليهم الشيطاف، فعليك بالجماعة، فإنا يأكل

الذئب القاصية (:)سنن أب داكد برقم

“Dari Abu Darda‟: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda :

“Tidaklah dari tiga orang dalam suatu kampung yang tidak ditegakan

42

Ibn Jarȋr al-Ṯabary, Tafsȋr al-Ṯabary Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wȋli āyi al-

Qur‟ān, juz 22, 491-492. 43

Ibn Katsȋr, Tafsir al-Qur‟an al-„Aẕȋm, jilid 8, 53.

Page 77: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

63

salat di dalamnya kecuali setan akan menguasai mereka, maka kalian

harus berjamaah, karena serigala hanya akan memangsa domba yang

terpisah dari jamaah” (Sunan Abȋ Dāwud, no: 547).

Ibn Katsȋr juga mengutip pendapat Zāidah dan as-Sāib yang

berpendapat bahwa maksud penggalan hadis فعليك بالجماعة adalah salat

dengan berjamaah. Ini menunjukan bahwa kelalaian seorang muslim

terhadap salat wajib yang seharusunya dilaksanakan secara berjamaah

juga merupakan salah satu faktor yang akan menyebabkan hati-hati

mereka dikuasai dan dikendalikan oleh setan sehingga mereka melupakan

Allah. Jika sudah lalai kepada Allah maka mereka akan menjadi pengikut

setan dan pasti akan menerima kenyataan hidup yang penuh kesengsaraan.

Sedangkan pada ayat ke-22, terdapat sebuah riwayat asbāb al-Nuzūl

yang dikutip oleh al-Rāzy dalam tafsirnya. Al-Rāzy mengatakan bahwa

ayat ini turun kepada Hāṯib ibn Abȋ Balta‟ah yang mengabarkan kepada

penduduk Mekah terkait perjalanan Nabi SAW ketika bermaksud

menaklukan kota Mekkah. al-Rāzy melanjutkan bahwa kisah tentang ini

sudah lumrah diketahui. Secara umum, ayat ini larangan untuk “saling

mencintai” dengan orang-orang kafir dan fasik.

Selain itu, secara spesifik, pada penggalan ayat : كىلىو كىانيوا ءابىاءىيم أىك أىبػنىاءىيم أىك إخوانهم أىك عىشيرىتػىهيم

Al-Rāzy mengutip pendapat Ibn Abbās yang mengatakan bahwa

penggalan ayat ini turun terkait peristiwa Abȋ Ubaidah yang telah

membunuh ayahnya, Abdullah Ibn Jarrah pada perang Uhud. Umar Ibn

Khaṯṯāb telah membunuh pamannya, „Ăśȋ Ibn Hisyām Ibn Mughȋrah pada

saat perang Badr. Kemudian Mush‟ab Ibn Umair telah membunuh

saudaranya, Ubaid Ibn Umair. Ali Ibn Abȋ Ṯālib dan Ubaidah telah

membunuh Uṯbah, Syaibah, dan Walid Ibn Utbah pada saat perang Badr.

(melalui) ayat ini, Allah mengabarkan bahwa mereka semua tidak saling

Page 78: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

64

mencintai dengan kerabat-kerabat dan keluarga-keluarganya karena

mereka membencinya karena Allah dan agama-Nya. 44

Jika pada Q.s al-Mujādilah ayat ke-19 Allah SWT menjelaskan

tentang pengikut-pengikut Setan dan konsekuenisnya, yaitu akan

mendapatkan kerugian, baik di dunia dan di akhirat. Maka pada ayat ke-22

ini, menjelaskan kebalikannya, yaitu pengikut Allah SWT dan

konsekuensi yang akan diterimanya, baik di dunia ataupun di akhirat.

Kedua ayat ini menggambarkan karakter dan kriteria manusia secara

umum. Sebagian ada yang mengikuti Allah dan sebagian lagi mengikuti

setan.

Dalam hal ini, Ibn Katsȋr menjelaskan bahwa pada ayat ke 22 ini,

Allah SWT memerintah Nabi SAW untuk memperingatkan orang yang

mengutamakan atau lebih mencintai keluarganya dan kerabatnya dari pada

Allah, Rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya, bahwa mereka akan menerima

akibat yang buruk. Ibn katsȋr mengutip beberap ayat yang relevan dengan

ini.45

Di antaranya Q.s Ali Imran/3 :28 :

من ديكف الميؤمنينى كىمىن يػىفعىل ذىلكى فػىلىيسى منى اللو ف لى يػىتخذ الميؤمنيوفى الكىافرينى أىكليىاءى (شىيءو إل أىف تػىتػقيوا منػهيم تػيقىاةن كىييىذريكيمي اللوي نػىفسىوي كىإلىى اللو المىصيري )

“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai

pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barangsiapa berbuat

demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apapun dari Allah, kecuali

karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka.

Dan Allah memperingatkan kamu akan dirin-Nya (siksa-Nya), dan

kepada Allah tempat kembali”.

Ayat ini mengingatkan umat islam untuk mentaati perintah Allah

SWT, dengan tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin,

sementara masih banyak orang-orang beriman yang memiliki kapasitas

untuk memimpin. Bahkan Allah mengancam mereka yang loyal terhadap

44

Al-Rāzi, Tafsȋr al-Kabȋr Mafātih al-Ghaib, jilid 29, 277-278. 45

Ibn Katsȋr, Tafsir al-Qur‟an al-Aẕȋm, jilid 8, 54.

Page 79: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

65

orang-orang kafir dengan siksaan yang pedih. Dengan demikian, sikap

loyalitas antara sesama orang beriman sangat ditekankan, sehingga umat

Islam dapat bersatu dan memancarkan rahmat untuk semesta alam.

Terkait dengan ini, Ibn katsȋr juga mengutip beberapa hadis yang

menggambarkan besarnya kecintaan para sahabat kepada Nabi SAW. Di

antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Ibn Hambal.

Hadisnya sebagai berikut :

نا ابن لذيعة، عن زىرة بن معبد، عن جده كقاؿ الماـ أحمد: حدثنا قتيبة بن سعيد، حدث قاؿ: كنا مع رسوؿ الله صلى الله عليو كسلم، كىو آخذ بيد عمر بن الخطاب، فقاؿ: كالله لنت يا رسوؿ الله أحب إل من كل شيء إل من نفسي فقاؿ رسوؿ الله صلى الله عليو

أنت الف كالله كسلم: "ل يؤمن أحدكم حتى أكوف أحب إليو من نفسو". فقاؿ عمر: ف أحب إل من نفسي. فقاؿ رسوؿ الله: "الف يا عمر"

“Berkata al-Imam Ahmad, telah menceritakan kepada kami Qutaybah

ibn Luhai‟ah, dari Zuhrah Ibn Ma‟bad, dari kakeknya, dia berkata :

“Kami bersama Rasulullah SAW dan dia sedang memegang Umar Ibn

Khatab. Kemudian Umar berkata, Demi Allah, sesungguhnya engkau

wahai Rasulullah lebih aku cintai dari apapun kecuali diriku. Kemudian

Rasulullah SAW merespon, Tidak beriman salah satu di antara kalian

semua sampai menjadikan aku sebagai orang yang paling dicintai

melebihi dirinya sendiri. Kemudian umar berkata, “Sekarang, demi

Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri. Kemudian

Rasulullah berkata, “Nah begitu Umar.”

E.2. Penafsiran Q.s al-Mujādilah/ 58: 19 dan 22 dalam Kitab Tafsir

Modern

Terkait dengan Q.s al-Mujādilah/ 58, ayat 19 ini, Abdullah Yusuf

Ali mengatakan bahwa kodrat manusia yang asal seperti diciptakan oleh

Allah adalah baik. Karena manusia jugalah lepas dari peringatan yang

sudah diterimanya, membiarkan setan menguasainya sehingga ia

melupakan Allah dan sifat-sifat luhur yang diberikan Allah kepadanya.

Akibat penyimpangan itu manusia menjadi pengikut setan, dan

selanjutnya ia menjerumuskan diri ke dalam kehancuran rohani.46

46

Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali, trj. Ali Audah, jilid 2, 1441.

Page 80: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

66

Hal yang serupa juga dikatakan oleh Wahbah Zuhaili, menurutnya,

setan telah menguasai mereka dan mengendalikan akal mereka, sehingga

mereka meninggalkan perintah-perintah Allah, dan ketaatan kepada-Nya.

mereka itulah pasukan-pasukannya atau pengikutnya setan. Sesungguhnya

pengikut-pengikut setan itu akan mengalami kesengsaraan dan

kehancuran, karena mereka telah membeli surga dengan neraka, membeli

petunjuk dan kesesatan, kemudian mendustakan Allah dan Nabi-Nya.

Mereka akan mengalami kesengsaraan di dunia dan akhirat.47

Sedangkan, dalam Q.s al-Mujādilah/58 ayat 22, menjelaskan lawan

golongan setan yang disebutkan dalam ayat 19 di atas. Golongan setan itu

akan binasa, tetapi sementara ia masih berlangsung terus dalam pola

dunia yang sekarang. Golongan kanan, golongan kebenaran yang hakikat

secara majaz mungkin golongan Allah meskipun semua ciptaan juga

golongan Allah dalam pengertian lain.48

Terkait dengan hal ini, Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa tidak

mungkin orang yang benar imannya memiliki rasa cinta kepada orang-

orang yang menjadi musuh Allah SWT, karena orang yang mencintai

seseorang, tercegah dari mencintai musuhnya, walaupun musuhnya itu

dari kerabatnya sendiri. Wahbab Zuhaili menambahkan bahwa pada ayat

ini, Allah SWT mensifati orang-orang beriman yang memusuhi mereka

yang memusuhi Allah SWT, bahwa Allah sudah hujamkan kekuatan iman

dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan-Nya.

Kemudian dijelaskan tentang balasan yang lain bagi mereka, yaitu mereka

akan masuk ke dalam surga dan kekal di dalamnya dan memperoleh

keridlaan Allah SWT, mereka bergembira dengan karunia yang Allah

limpahkan kepadanya, baik di dunia dan juga di akhirat. Kemudian Allah

47

Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munȋr fi al-„Aqȋdah wa al-Syarȋ‟ah wa al-Manhaj,

Jilid 14, 427. 48

Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali, trj. Ali Audah, jilid 2, 1442.

Page 81: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

67

mensifati mereka dengan ẖizb Allah yang akan memperoleh kemenangan

dan kebahagiaan.49

49

Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munȋr fi al-„Aqȋdah wa al-Syarȋ‟ah wa al-Manhaj,

Jilid 14, 433- 434.

Page 82: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

68

Page 83: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

69

BAB IV

MAKNA ḪIZB DALAM AL-QUR’AN: PENDEKATAN SEMANTIK

AL-QUR’AN TOSHIHIKO IZUTSU

A. Makna Dasar

Dalam semantik Izutsu, setelah menentukan kata fokus, tahapan

selanjutnya yang harus dikaji oleh peneliti adalah menentukan makna

dasar dari kata fokus tersebut yang dalam hal ini adalah kata ẖizb. Makna

dasar adalah makna yang melekat pada sebuah kata dan terus akan

terbawa dimanapun kata itu dipakai. Dalam prakteknya pencarian makna

dasar ini menggunakan kamus-kamus Arab baik klasik ataupun

kontemporer.1

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa langkah untuk mengetahui

makna dasar suatu kata adalah dengan merujuk kepada kamu-kamus Arab,

baik klasik ataupun kontemporer. Oleh karena itu, dalam hal ini, penulis

juga menggunakan beberapa kamus Arab, baik klasik maupun kontemprer.

Dalam kamus Arab, kata ẖizb yang terdiri dari tiga huruf yaitu ح ز

bermakna suatu keadaan yang berat atau kesusahan yang menimpa ,ب

seseorang ( فلنا اشتد عليو المر).2 Sedangkan dalam bentuk isim nya (ẖizb),

bermakna kumpulan manusia (جاعة الناس), jika dikatakan حزب الرجل, maka maknanya adalah sahabat-sahabat seseorang dan pasukan-

pasukannya yang memiliki pandangan yang sama dengan dirinya ( كجنده Kemudian ẖizb bermakna bacaan al-Qur‟an dan .(اصحابو الذين على رأيو

salawat yang sudah menjadi kebiasaan seseorang/menjadi wirid ( كرد الرجل .(النصيب) Selain itu, ẖizb juga bermakna bagian .(من القراف كالصلة

1 Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 11.

2 Syauqi Ḏaif dkk, al-Mu‟jam al-Wasȋṯ (Mesir: Maktabah al-Syurūq al-Dauliyah,

2014), 169.

Page 84: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

70

Terakhir, ẖizb bermakna pergantian (giliran) dalam mendatangkan air

untuk mengairi ladang.3 Sedangkan dalam kamus kontemporer, ẖizb juga

dimaknai partai politik.4

Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui bahwa kata ẖizb

termasuk kata musytarak, yaitu kata tunggal tetapi memiliki makna dasar

yang beragam. Keragaman makna tersebut disesuaikan dengan konteks

penggunaannya.

B. Makna Relasional

Sebagaimana sudah dikemukakan pada bab sebelumnya, bahwa

dalam upaya mengetahui makna relasional, ada dua cara yang harus

ditempuh, yaitu melalui analisis sintagmatik dan paradigmatik.

1. Analisis sintagmatik

Analisis sintagmatik adalah analisis yang berusaha menentukan

makna suatu kata dengan cara memperhatikan kata-kata yang ada di depan

dan belakang kata yang sedang dibahas dalam satu bagian tertentu. Kata-

kata tersebut memiliki hubungan keterkaitan satu sama lain dalam

membentuk makna sebuah kata.5 Oleh karenanya, analisis ini sangat

penting dan dibutuhkan, sebab sebuah kata pasti tidak terlepas dari

pengaruh kata-kata yang ada di sekelilingnya.

Dalam al-Qur‟an, kata ẖizb hanya digunakan untuk makna kumpulan

manusia (kelompok atau golongan). Makna dasar ini akan terus terbawa di

3 Imām Abȋ al-Faḏli Jamaluddin Muhammad Ibn Mukram Ibn Manzūr Al-

Afriqy Al-Miśry, Lisānu al-A‟rab, 308. Lihat juga Rajab Abdu al-Jawwād, Al-Mu‟jam

Al-Muślahāt Al-Islāmiyah Fȋ Al-Miśbāh Al-Munȋr, 62. 4 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, h. 258.

Lihat juga Hans Wehr, A Dictionary Of Modern Written Arabic, 203. 5 Saiful Fajar, Konsep Syaiṯān dalam al-Qur‟an (Skripsi Ilmu al-Qur‟an dan

Tafsir UIN Jakarta, 2018), 29.

Page 85: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

71

manapun kata itu berada, hanya saja al-Qur‟an memberikan konotasi

makna baru yang dipengaruhi oleh kata-kata yang melingkupi kata ẖizb itu

sendiri. Kata-kata tersebut di antaranya adalah Allāh, Syaiṯān, Syiya‟ā &

Zubaran. Berikut penjelasannya:

a). Allāh

ketika berbicara konsep-konsep tertentu yang terdapat dalam al-

Qur‟an, seseorang tidak bisa meninggalkan dan mengabaikan begitu saja

terhadap kata fokus tertinggi, yakni Allah. Dalam sistem al-Qur‟an, semua

medan semantik secara langsung berkaitan dan diatur oleh konsep sentar

Allah, sebab dunia al-Qur‟an pada hakikatnya adalah teosentris.6

Demikian juga ketika mencoba memahami pandangan dunia al-Qur‟an

tentang makna ẖizb, maka tidak bisa terlepas dari relasi dengan Allah. Hal

ini dijelaskan dalam dua surat, yaitu surat al-Māidah ayat 56 dan surat al-

Mujādilah ayat 22:

(كىمىن يػىتػىوىؿ اللوى كىرىسيولىوي كىالذينى آمىنيوا فىإف حزبى اللو ىيمي الغىالبيوفى )

“Dan barang siapa menjadikan Allah, rasul-Nya dan orang-orang

beriman sebagai penolongnya, maka sungguh pengikut (agama)

Allah itulah yang menang”(Q.s al-Mā‟idah /5: 56)

دي قػىومنا يػيؤمنيوفى باللو كىاليػىوـ الخر يػيوىادكفى مىن حىاد اللوى كىرىسيولىوي كىلىو كىانيوا آبىا ءىىيم أىك لى تىىيم بريكحو منوي يمىافى كىأىيدى أىبػنىاءىىيم أىك إخوىانػىهيم أىك عىشيرىتػىهيم أيكلىئكى كىتىبى ف قػيليومي ال

الدينى فيهىا رىضيى اللوي عىنػهيم كىرىضيوا عىنوي أيكلىئ كى كىييدخليهيم جىناتو تىرم من تىتهىا الىنػهىاري خى (زبي اللو أىلى إف حزبى اللو ىيمي الميفلحيوفى )ح

“Engkau (Muhamad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman

kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang

yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu

bapaknya, anaknya, saudaranya atau keluarganya. Mereka itulah orang-

orang yang di dalam hatinya telah ditanamkan oleh Allah keimanan dan

Allah telah menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari

6 Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 36

Page 86: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

72

Dia. Lalu dimasukannya mereka ke dalam surga yang mengalir di

bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridla terhadap

mereka dan mereka pun merasa puas terhadap limpahan rahmat-Nya.

merekalah golongan Allah. Ingatlah sungguhnya golongan Allah itulah

yang beruntung” (Q.s al-Mujādalah/58:22).

Kata ẖizb ketika dihubungkan kepada Allah, seperti dalam dua ayat

di atas, memiliki relasi makna sebagai kelompok ataupun golongan

manusia yang memiliki komitmen yang kokoh dalam mempertahankan

keimanan dan kesetiaannya kepada Allah SWT, serta loyalitasnya yang

tinggi terhadap rasul-Nya dan orang-orang beriman.

Oleh karena itu, ẖizb Allah adalah gelar kemuliaan dan

keistimewaan bagi hamba-hamba-Nya yang memiliki kualitas keimanan

dan implementasi ketaatan sebagaimana yang dijelaskan dalam dua ayat

tersebut.

Berikut ini kriteria-kriteria dan konsekuensi bagi mereka yang

menjadi golongan Allah (ẖizb Allah):

1). Beriman kepada Allah dan hari akhir

2). Tidak saling mencintai dengan orang-orang yang memusuhi Allah,

meskipun orang tuanya, anak-anaknya, keluarganya dan saudara-

saudaranya sendiri (tidak meninggalkan ketaatan kepada Allah karena

keluarganya)

3). Menjadikan Allah, Rasul dan orang beriman sebagai orang yang paling

dicintainya.

4) Allah tanamkan keimanan yang kuat dalam hatinya.

5) Mendapatkan ridla Allah dan ridla terhadap pemberian Allah.

6) Mendapatkan kemenangan dan kebahagiaan dengan balasan surga yang

akan diterimanya.

Page 87: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

73

b) Syaiṯān

Salah satu nama al-Qur‟an yang juga merupakan karakteristik dari

ajaran al-Qur‟an itu sendiri adalah al-Furqān, artinya pembeda. Oleh

karenanya, selain menjelaskan hal-hal yang benar atau haqq, al-Qur‟an

juga menjelaskan hal-hal yang salah atau bāṯil. Demikian juga dalam

konteks makna ẖizb. Selain berelasi dengan Allah, ẖizb juga berelasi

dengan Syaiṯān. Ini dijumpai dalam dua surat, yaitu surat Fāṯir ayat 6 dan

surat al-Mujādalah ayat 19:

ذيكهي عىديكا إنىا (يىدعيو حزبىوي ليىكيونيوا من أىصحىاب السعير )إف الشيطىافى لىكيم عىديك فىات “Sungguh setan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai

musuh, karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongan-

golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-

nyala” (Q.s Fāṯir/35: 6)”.

استىحوىذى عىلىيهمي الشيطىافي فىأىنسىاىيم ذكرى اللو أيكلىئكى حزبي الشيطىاف أىلى إف حزبى الشيطىاف (ىيمي الخىاسريكفى )

“Syetan telah menguasai mereka, lalu menjadikan mereka lupa

mengingat Allah. Maka mereka itulah pengikut setan. Ketahuilah, bahwa

pengikut setan itulah golongan yang rugi”. (Q.s al-Mujadilah/ :19)”.

Dalam surat Fāṯir, ẖizb bermakna sebuah golongan ataupun

pengikut setan yang menjadi target untuk digelincirkan ke dalam neraka.

Dalam konteks ayat ini, dijelaskan bahwa tidak semua orang dapat terajak

dan terpedaya oleh bujuk rayu setan. Ajakannya itu hanya akan

berpengaruh bagi mereka yang mau mengikutinya. Oleh karena itu Allah

tegaskan kepada orang-orang beriman untuk menjadikannya sebagai

musuh dan tidak menjadikannya sebagai tuan yang harus diikuti, karena

mengikuti setan dan ridla kepadanya berarti telah mengorbankan dirinya

masuk ke dalam api neraka yang menyala. Sehingga relasi ẖizb dengan

setan adalah bermakna sebagai kelompok atau pengikut setan yang mudah

diajak dan digelincirkan oleh setan, karena sikap loyalitasnya yang kuat

kepada setan.

Page 88: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

74

Demikian juga dalam surat al-Mujādilah, ẖizb yang berelasi

dengan setan, bermakna sebuah kelompok atau golongan yang telah

digelincirkan oleh setan. Ḫizb al-Syaiṯān bisa juga menjadi sebuah istilah

atau gelar kehinaan dan kerugian bagi mereka yang hati, ucapan dan

perbuatannya telah dikuasai oleh tipu daya setan.

Adapun karakteristik pengikut ataupun golongan setan dalam

konteks ke dua ayat ini adalah:

1). Golongan yang mudah diajak dan digelincirkan oleh tipu daya setan,

sehingga akan menjadi penghuni neraka.

2). Jiwa dan raganya dikuasai oleh setan, sehingga membuatnya lupa

untuk mengingat Allah SWT. Oleh karenanya mereka akan mendapati

kerugian, baik di dunia dan juga di akhirat.

c) Syiya‟ā & Zubarā

Jika pada dua pembahasan sebelumnya ẖizb berelasi kepada Allah

dan setan menunjukan bahwa dalam realitasnya golongan manusia

memiliki komitmen dan loyalitas yang berlawanan, yaitu sebagian ada

yang loyal kepada Allah dan sebagian lagi ada yang malah loyal kepada

setan, maka ẖizb yang berelasi dengan kata Syiya‟ā, Zubarā,

menggambarkan sebuah kelompok atau golongan manusia yang memiliki

komitmen dan loyalitas yang tinggi terhadap kelompok atau golongannya

sendiri.

Terdapat dua ayat terkait ẖizb yang berelasi dengan kata Syiya‟ā,

Zubarā. Yaitu surat al-Rūm ayat 32 dan al-Mu‟minūn ayat 53. Ayatnya

sebagai berikut:

يهم فىرحيوفى ) (منى الذينى فػىرقيوا دينػىهيم كىكىانيوا شيػىعنا كيل حزبو بىا لىدى “Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka

menjadi beberapa golongan. Setiap golongan merasa bangga dengan apa

yang ada pada golongan mereka”. (Q.s: al-Rūm/30 : 32).

يهم فىرحيوفى ) نػىهيم زيبػيرنا كيل حزبو بىا لىدى (فػىتػىقىطعيوا أىمرىىيم بػىيػ

Page 89: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

75

“Kemudian mereka terpecah belah dalam urusan (agamanya) menjadi

beberapa golongan. Setiap golongan (merasa) bangga dengan apa yang

ada pada mereka (masing-masing)” (Q.s: al-Mu‟minūn/25: 53)

Pengglan kata Syiya‟ā pada surat al-Rūm adalah bentuk plural dari

kata Syȋ‟ah. Makna Syȋ‟āh menurut al-Askary adalah:

7لو الرجل ىم الجماعة الدائلة اليو من محبتهماف شيعة

“Sesungguhnya syi‟ah nya seseorang itu adalah kumpulan orang-orang

yang cenderung kepadanya karena kecintaan mereka kepadanya.”

Jadi Syiya‟ā yang merupakan bentuk plural dari Syȋ‟ah bermakna

kelompok-kelompok yang cenderung atau loyal kepada salah seorang

figur atau pemimpinnya yang didasarkan atas kecintaan kepadanya. Dalam

konteks ayat ini, Syiya‟ā di sini adalah kelompok-kelompok dari kalangan

Yahudi dan Nasrani yang merubah dan memecah belah agamanya

sehingga menjadi banyak kelompok.8 Sedangkan penggalan redaksi كيل

يهم فىرحيوفى adalah sebuah penekanan bahwa setiap kelompok dari ,حزبو بىا لىدى

masing-masing kelompok tersebut (Yahudi dan Nasrani) fanatik dan

merasa bangga dengan kelompoknya sendiri. Menganggap kebenaran ada

pada kelompoknya sedangkan yang lain salah.9

Kemudian pada surat al-Mu‟minūn, penggalan kata زيبػيرنا dalam ayat

tersebut merupakan bentuk plural dari kata زبور, artinya kitab-kitab yang

berbeda, yaitu mereka membuat agama-agamanya menjadi banyak.10

Kata

zubarā di sini menunjukan agama-agama yang beragam. Ayat ini masih

berkaitan dengan prilaku orang-orang yahudi dan nasrani yang terpecah

belah hingga menjadi beberapa bagian atau kelompok. Makna relasi Ḫizb

7 Al-Askary, al-Furūq al-Lughawiyyah, 279.

8 Ibn Jarȋr al-Ṯabary, Tafsȋr al-Ṯabary Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wȋli āyi al-Qur‟ān,

juz 18, 498. 9 Tepatnya teksnya adalah sebagai berikut:

الحق كغيرىا على الباطل كل جاعة تتعصب لرأيها كتفرح بو، ككأنها على Lihat Al-Sya‟rawi, Tafsȋr al-Sya‟rawi, 10.058. 10

Al-Zamakhsyari, al-Kasysyāf, jilid 4, 235.

Page 90: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

76

di sini adalah sebuah kelompok beragama yang karakternya merasa

berbangga diri dengan kelompoknya, kemudian jiwanya mantap dengan

pandangan dalam kelompoknya serta meyakini bahwa kelompoknya yang

benar.11

Bedasarkan uraian tersebut di atas, ẖizb dalam al-Qur‟an memiliki

relasi makna sebagai kelompok orang beragama yang sangat loyal

terhadap sosok yang diikutinya, sangat yakin dengan pandangan

agamanya, serta fanatik dalam mempertahankan komitmen dan

loyalitasnya terhadap kelompok yang diikutinya dan golongan-golongan

yang satu pandangan dengan dirinya.

Meskipun dalam al-Qur‟an penggunaan makna ẖizb kebanyakan

ditujukan kepada golongan-golongan yang sifatnya negatif, seperti

menunjukan golongan atau pengikut setan, kemudian kelompok Yahudi

dan Nasrani yang merubah ajaran-ajaran agamanya, bahkan dalam bentuk

pluralnya, yaitu aẖzāb, juga ditujukan kepada kelompok-kelompok yang

berselisih di kalangan Nasrani, kemudian kelompok-kelompok yang

bersekongkol dari kalangan kaum „Ad, Tsamud dan Aikah untuk

menyerang nabinya, serta kelompok-kelompok yang bersekutu dari

kalangan musyrik Mekah, kabilah-kabilah Arab dan golongan Yahudi

Madinah untuk menyerang Nabi SAW, namun demikian pada dasarnya

makna ẖizb sebagai suatu kelompok atau golongan yang fanatik dan

sangat kuat memegang prinsip kebenaran dalam kelompoknya adalah

suatu hal yang wajar dan positif, karena dalam al-Qur‟an juga ditemukan

dua ayat terkait ẖizb yang ditujukan kepada golongan-golongan yang

memiliki komitmen dan loyalitas yang tinggi terhadap Allah, Rasul, dan

orang-orang beriman, yaitu term ẖizb Allah. Konotasi positif atau

11

Al-Zamakhsyari, al-Kasysyāf, jilid 4, 235.

Page 91: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

77

negatifnya tergantung kepada siapa dan kelompok yang bagaimana

seseorang menempatkan komitmen dan loyalitasnya.

Diagram 4.1: Medan Semantik Sintagmatik Kata Ḫizb

2. Paradigmatik

Sebagaimana yang sudah penulis kemukakan pada bab ke dua,,

bahwa analisis paradigmatik adalah analisis yang mengkomparasikan kata

atau konsep tertentu dengan kata atau konsep lain yang mirip (sinonim)

atau berlawanan (antonim).12

Pada penelitian ini, penulis hanya akan mengkomparasikan kata

ẖizb dengan kata-kata lain yang mirip atau terlihat memiliki makna yang

sama (sinonim). Adapun dalam prosesnya, penulis terlebih dahulu akan

mencari kata-kata bermakna mirip yang akan dikomparasikan dengan kata

ẖizb tersebut dengan merujuk kepada kitab Furūq al-Lughawiyyah karya

Imam al-Adib al-Lughawy Abi Hilal al-Askary, salah seorang ulama

terkemuka yang hidup pada abad ke-4 H. Kitab tersebut memuat hasil

analisa al-Askary terhadap kata-kata yang dianggap mutarādif. Al-Askary

dengan kejelian dan pemahaman kebahasaannya yang mendalam dapat

12

Zunaidi Nur, Konsep al-Jannah dalam al-Qur‟an: Aplikasi Semantik

Toshihiko Izutsu (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Uśuluddin dan Pemikiran Islam UIN

Sunan Kalijaga, 2014), 64.

Ḫizb Allah

Syiya‟ā

Syaiṯān

ẕubarā

Page 92: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

78

menguraikan keragaman orientasi makna dari kata-kata dalam al-Qur‟an

yang secara sepintas terkesan memiliki makna yang sama.

Dalam kitab al-Furūq al-Lughawiyyah, al-Askary menguraikan

beberapa kata dalam al-Qur‟an yang maknanya terlihat mirip dengan kata

ẖizb, di antaranya kata Ṯā‟ifah, firqah/farȋq, Syȋ‟ah, zumrah, fi‟ah, al-fauj.

13

1) Ṯā’ifah (طائفة). Kata Ṯā‟ifah terulang sebanyak dua puluh kali yang tersebar dalam

sembilan surat.14

Yaitu: Q.s Ali Imran/3: 69, 72, 154, 154, Q.s al-Nisā/4:

81, 102, 102, 113, Q.s al-A‟raf/7: 87, 87, Q.s al-Taubah/9: 66, 66, 83, 122.

Q. al-Nur/24: 2, Q.s al-Qaśash/28: 4, Q.s al-Aẖzab/33: 13, Q.s al-Śāf/61:

14, 14, dan Q.s al-Muzammil/73: 20.

Terkait makna Ṯā‟ifah, al-Askary menjelaskan sebagai berikut :

اف الطائفة فى الصل الجماعة من شأنها الطوؼ فى البلد للسفر كيجوز اف يكوف اصلها الجماعة التي تستوم ا حلقة يطاؼ عليها ث كثر ذلك حتى سمي كل جاعة طائفة

“Sesungguhnya, asal makna Ṯā‟ifah adalah suatu kumpulan yang

sebagian keadaannya (karakternya) adalah berkeliling di suatu negara

dalam rangka perjalanan (safar). Bisa juga makna asalnya itu adalah

suatu kumpulan yang terbentuk melingkar secara seimbang, kemudian

membanyak sehingga dinamai bahwa setiap jamaah adalah Ṯā‟ifah “.

Al-Askary menambahkan bahwa kata Ṯā‟ifah dalam syariat

terkadang menjadi nama untuk satu (hukum). Hal ini sebagaimana dalam

Q.s al-Hujurat/49: 9:

وا بينهما كاف طائفتاف من الدؤمنين اقتتلوا فاصلح “Dan apabila dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah

antara keduanya”.

Menurutnya, dalam hal ini tidak ada perbedaan bahwa dua orang

ketika saling membunuh, maka hukum keduanya adalah sebagaimana

13

Imam al-Adib al-Lughawy Abi Hilal al-Askary, al-Furūq al-Lughawiyyah

(Kairo: Dār al-„Ilmi wa al-Tsaqāfah, 1997), 279. 14

Abdul Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-Fāẕ al-Qur‟an, 431.

Page 93: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

79

hukum dalam ayat ini.15

Maksud dari pernyataan al-Askary adalah bahwa

upaya untuk mendamaikan perseteruan itu tidak harus dari dua kelompok

besar saja, tetapi pertikaian atau konflik antara dua orang pun harus

didamaikan, sehingga dikenai hukum seperti dalam ayat ini. al-Askary

menambahkan bahwa bisa juga makna Ṯā‟ifah menerima makna satu

orang. Seperi dilālah dalam firman Allah SWT surat al-Taubah/9: 122

هيم طىائفىةه ليىتػىفىقهيوا ف ين كىمىا كىافى الميؤمنيوفى ليػىنفريكا كىافةن فػىلىولى نػىفىرى من كيل فرقىةو منػ الد (كىليػينذريكا قػىومىهيم إذىا رىجىعيوا إلىيهم لىعىلهيم يىذىريكفى )

“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke

medan perang) mengapa sebagian dari golongan di antara mereka tidak

pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk

memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar

mereka dapat menjaga dirinya”.

Ayat ini mewajibkan pengamalan pada kabar Ṯāifah, dan terkadang

Ṯāifah ini terdiri hanya satu orang.16

Maksudnya adalah bahwa Ṯāifah

yang dianjurkan untuk mendalami ilmu agama dan tidak ikut berperang,

diharapkan ketika pulang kepada kaumnya dapat memberikan peringatan

atau menyampaikan ajaran agama. Terkadang mereka yang

menyampaikan itu hanya satu orang saja, sehingga dalam satu konteks,

makna Ṯaifah mungkin juga bermakna untuk satu orang.

2) Farȋq (فريق) Kata farȋq dalam al-Qur‟an disebutkan sebanyak 28 kali yang

tersebar dalam 14 surat, 17

yaitu: Q.s al-Baqarah/2: 75, 100, 101, 87, 87,

146, 188, Q.s Ali Imran/3: 23, 78, 100, Q.s al-Nisa/4: 77, Q.s al-Taubah/9:

117, Q.s al-Nahl/16: 54, Q.s al-Mu‟minūn/23: 109, Q.s al-Nūr/24: 47, 48,

Q.s al-Rūm/30: 33, Q.s al-Aẖzāb/33: 13, 26, 26, Q.s al-Syūra/42:7, 7, Q.s

15

Al-Askary, al-Furūq al-Lughawiyyah, 278. 16

Al-Askary, al-Furūq al-Lughawiyyah, 278. 17

Abdul Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-Fāẕ al-Qur‟an, 517.

Page 94: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

80

al-Mā‟idah/5: 70, 70, Q.s al-A‟raf/7: 30, 30, Q.s al-Anfāl/8: 5, dan Q.s

Saba/34: 20.

Terkait makna farȋq, al-Askary menjelaskan sebagai berikut :

18اف الفريق الجماعة الثانية من جاعة اكثر منها

“Sesungguhnya farȋq adalah kumpulan yang kedua dari suatu kumpulan

yang lebih besar darinya”.

Jadi, farȋq itu bermakna suatu kelompok yang merupakan bagian

atau sempalan dari kelompok lain yang jumlahnya lebih besar.

Contohnya sebagaimana dalam Q.s al-Baqarah ayat 100 :

ا ا عىاىىديكا عىهدن هي فىريقه منػهيم بىل أىكثػىريىيم لى يػيؤمنيوفى ) أىكىكيلمى (نػىبىذى “Dan mengapa setiap kali mereka mengikat janji, sekelompok mereka

melanggarnya? Sedangkan sebagain besar mereka tidak beriman.”

3) Syȋ’ah (شيعة)

Kata Syȋ‟ah dalam al-Qur‟an terulang sebanyak empat kali yang

tersebar dalam tiga surat, 19

yaitu: Q.s Maryam/19: 69, Q.s al-Qaśaś/28: 15,

15, dan Q.s al- Shāffāt/37: 83.

Terkait makna Syȋ‟ah, al-Askary menjelaskan sebagai berikut:

20لو من محبتهم اف شيعة الرجل ىم الجماعة الدائلة اليو

“ Sesungguhnya syi‟ah nya seseorang itu adalah kumpulan orang-orang

yang cenderung kepadanya karena kecintaan mereka kepadanya.”

Jadi kata syi‟ah ini bermakna suatu kelompok atau golongan orang

yang cenderung atau loyal kepada salah seorang figur atau pemimpinnya

yang didasarkan atas kecintaan kepadanya. Makna ini juga relevan bagi

18

Al-Askary, al-Furūq al-Lughawiyyah, 278 19

Abdul Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-Fāẕ al-Qur‟an, 398. 20

Al-Askary, al-Furūq al-Lughawiyyah, 279.

Page 95: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

81

nama syi‟ah sebagai mazhab besar umat Islam selain sunni. Mereka adalah

kelompok yang cenderung bahkan fanatik kepada sayyidina Ali, r.a.

4) Zumarā (زمرا)

Kata Zumarā terulang dua kali dalam al-Qur‟an dan hanya dalam

satu surat, yaitu Q.s al-Zumar/39 ayat 71 dan 73.21

Ayatnya sebagai

berikut:

نمى زيمىرنا حىتى إذىا جىاءيكىىا فيتحىت أىبػوىابػيهىا كىسيقى الذينى كىفىريكا إلىى خىزىنػىتػيهىا أىلى لذيم كىقىاؿى جىهىا قىاليوا بػىلىى كىلى ليوفى عىلىيكيم آيىات رىبكيم كىيػينذريكنىكيم لقىاءى يػىومكيم ىىذى كن يىأتكيم ريسيله منكيم يػىتػ

لمىةي العىذىاب افرينى ) حىقت كى (عىلىى الكى“Orang-orang yang kafir digiring ke neraka Jahanam secara

berombongan. Sehingga apabila mereka sampai kepadanya (neraka),

pintu-pintunya dibukakan dan penjaga-penjaga berkata kepada mereka

“apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul dari kalanganmu

yang membacakan ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu

akan pertemuan dengan harimu ini? Mereka menjawab “Benar, ada,” tapi

ketetapan azab pasti berlaku terhadap orang-orang kafir”.

ا كىفيتحىت أىبػوىابػيهىا كىقىاؿى لذىيم خىزىنػىتػيهىا كىسيقى الذينى اتػقىوا رىبػهيم إلىى الجىنة زيمىرنا حىتى إذىا جىاءيكىىالدينى ) هـ عىلىيكيم طبتيم فىادخيليوىىا خى (سىلى

“Dan orang-orang bertakwa kepada Tuhannya di antar ke dalam surga

secara berombongan. Sehingga apabila mereka sampai kepadanya (surga)

dan pintu-pintunya telah dibukakan, penjaga-penjagnya berkata kepada

mereka, “kesejahteraan dilimpahkan atasmu, berbahagialah kamu! maka

masuklah, kamu kekal di dalamnya”.

Terkait dengan makna zumarā, ibn Katsȋr menjelaskan bahwa

makna nya adalah kelompok yang beriringan (جاعة بعد جاعة). Sehingga

semua manusia di akhirat akan akan digiring menuju tempat kembalinya.

Mereka yang taat selama hidup di dunianya akan digiring menuju surga,

sedangkan mereka yang tidak taat akan digiring menuju neraka.

Jadi kata zumarā dalam al-Qur‟an digunakan sebagai makna untuk

golongan manusia di akhirat nanti yang akan digiring menuju tempat

21

Abdul Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-Fāẕ al-Qur‟an, 332.

Page 96: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

82

kembalinya. Keadaan mereka berbeda sesuai dengan kualitas amalnya

semenjak hidup di dunia.

5) Fauj (فوج ) Kata fauj terulang sebanyak lima kali dalam al-Qur‟an dan tersebar

dalam lima surat,22

yaitu: Q.s Śad/38: 59, Q.S al-Mulk/67: 8, Q.s al-

Naml/27: 83, Q.s al-Naba/78: 18, dan an-Naśr/110: 2.

Terkait dengan makna fauj, al-Askary menjelaskan sebagai berikut :

اف الفوج الجماعة الكثيرة “Sesungguhnya Fauj adalah kumpulan yang banyak”.

Makna demikian, Sebagaimana dalam Q.s al-Naśr/110: 2:

(كىرىأىيتى الناسى يىدخيليوفى ف دين اللو أىفػوىاجنا ) “Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama

Allah”.

Mereka masuk Islam ketika turun ayat ini secara berbondong-

bondong (dalam jumlah yang banyak).23

Jadi kata fauj adalah kata yang

digunakan untuk pemaknaan suatu kelompok yang berbondong-bondong

untuk tujuan tertentu yang baik.

6) Fi’ah (فئة)

Kata Fi‟ah terulang dalam al-Qur‟an sebanyak delapan kali yang

tersebar dalam lima surat,24

yaitu: Q.s al-Baqarah/2: 249, 249, Q.S Ali

Imran/3: 13, Q.s al-Anfal/8: 16, 95, 45, Q.s al-Kahfi/18: 43, dan Q.s al-

Qaśash/28: 71.

Terkait makna Fi‟ah, al-Askari menjelaskan sebagai berikut

22

Abdul Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-Fāẕ al-Qur‟an, 527. 23

Al-Askary, al-Furūq al-Lughawiyyah, 277. 24

Abdul Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-Fāẕ al-Qur‟an, 510.

Page 97: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

83

25اف الفئة ىي الجماعة الدتفرقة من غيرىا من قولك فأكت رأسو ام فلقتو “Sesungguhnya fi‟ah adalah suatu kumpulan yang terpisah dari yang

lainnya dari ucapanmu, فأكت رأسو ام فلقتو (maka aku kumpulkan

kepalanya, yakni aku pisahkan kepalanya).

Dalam konteks perang, fi‟ah adalah kelompok yang ada di belakang

dan bersiap siaga untuk menolong kelompoknya. Demikian juga yang

dikatakan oleh Abu Ubaidah, bahwa fi‟ah adalah kelompok yang

menolong.26

Dalam al-Qur‟an, kata fiah ini banyak digunakan untuk istilah

golongan atau pasukan dalam suatu peperangan. Seperti dalam Q.s Ali-

imran/3: 13:

بيل اللو كىأيخرىل كىافرىةه يػىرىكنػىهيم مثػلى يهم رىأمى قىد كىافى لىكيم آيىةه ف فئىتػىين التػىقىتىا فئىةه تػيقىاتلي ف سى (العىين كىاللوي يػيؤىيدي بنىصره مىن يىشىاءي إف ف ذىلكى لىعبػرىةن ليكل الىبصىار )

“Sungguh telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang berhadap-

hadapan. Satu golongan berperang di jalan Allah, dan yang lain (golongan)

kafir yang melihat dengan mata kepala, bahwa mereka (golongan muslim)

dua kali lipat mereka. Allah menguatkan denga pertolongan-Nya bagi

siapa yang Dia kehendaki. Sungguh pada demikian itu terdapat pelajaran

bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan (mata hati).”

Demikian beberapa kata yang bermakna mirip dengan kata ẖizb.

Akan tetapi, berdasarkan uraian di atas, dapat ketahui bahwa meskipun

semuanya terhimpun dalam satu makna, yaitu “kumpulan orang-orang

atau kelompok”, tetapi penggunaan dan orientasi maknanya berbeda satu

sama lain.

Berikut ini tebel yang menguraikan perbedaan orientasi makna

antara kata ẖizb dengan kata-kata yang menjadi sinonimnya, serta diagram

medan semantik analisis paradigmatik:

25

Al-Askary, al-Furūq al-Lughawiyyah, 279. 26

Al-Askary, al-Furūq al-Lughawiyyah, 279.

Page 98: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

84

Tebel 4.1: Perbedaan Orientasi Makna Antara Kata Ḫizb dengan

Kata-Kata Sinonimnya

NO Kata Orientasi makna

1 Ḫizb Kelompok yang memiliki kekuatan dan sangat komitmen

dengan pandangan kelompoknya serta loyal terhadap

kelompok dan sosok yang diikutinya.

2 Ṯāifah Kelompok yang sebagian kebiasannya berkelana menjelajahi

berbagai daerah, atau kelompok yang terbentuk melingkar

secara seimbang, setelah semakin membanyak, maka

disebutlah Ṯāifah.

3 Syȋ’ah Kelompok yang cenderung kepada satu figur atas dasar

kecintaan.

4 Zumarā Kelompok yang berjalan secara beriringan

5 Fauj Kelompok yang banyak dan berbondong-bondong untuk satu

tujuan tertentu

6 Fi’ah Kelompok sebagai penolong bagi yang lainnya. Dalam

konteks perang, fi‟ah adalah kelompok yang ada di belakang

dan siap siaga untuk menolong kelompoknya

7 Farȋq/

Firqah

Kelompok yang merupakan sempalan dari kelompok yang

yang lebih besar.

Diagram 4.2: Medan Semantik Paradigmatik Kata Ḫizb

Ḫizb

Ṯāifah

Farȋq

Zumarā Syȋah

Fȋah Fauj

Page 99: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

85

C. Analisis Sinkronik dan Diakronik.

Pembahasan tentang sinkronik diakronik, oleh Izutsu telah

disederhanakan dengan cara membaginya ke dalam tiga periode waktu,

yaitu: pra-Qur‟anik (masa sebelum turunnya al-Qur‟an atau masa

jahiliyah), Qur‟anik (masa diturunkannya al-Qur‟an), dan pasca-Qur‟anik

(masa setelah al-Qur‟an diturunukan).27

1. Pra Qur’anik

Sebagaimana sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa yang

menjadi patokan pencarian kosakata pra-Qur‟anik adalah (1) kosa kata

badwi murni masa nomaden, (2) kosa kata kelompok pedagang, (3) kosa

kata Yahudi-Kristen. Ketiga poin tersebut merupakan unsur-unsur penting

kosakata Arab pra-Islam.28

Oleh karenanya, salah satu media refresentatif

untuk memahami arti kosa kata pada masa pra-Qur‟anik adalah syi‟ir-

syi‟ir jāhili, yaitu syair-syair yang berkembang sebelum Islam. hal

tersebut karena syair merupakan produk budaya terbesar bagi Bangsa

Arab.29

Berkaitan dengan hal di atas, Ṯāha Husain menjelaskan bahwa jika

ingin mengetahui syair-syair jahili yang sahih, sempurna, dan refresentatif,

maka cukuplah membaca syair-syair yang dikemukakan oleh tiga penyair,

yaitu : Zuhair, al-Nābigah dan al-Huṯai‟ah.30

27

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 35. 28

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 35. 29

Lukita Fahriana, Pemaknaan Qalb Salim Dengan Metode Analisis Semantik

(Jakarta: Skripsi Prodi Ilmu al-Qur‟an dan tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, 2019),

86. 30

Tepatnya, berikut ini ungkapan Ṯaha Husein :

فى شعر فما يصح لنا من الشعر الجاىلي كامل الخلق متقن البناء فيو اثر التفكير كالركية كحسبك اف تنظر زىير ك النابغة كالحطئة لتقنع بذلك

Lihat: Ṯaha Husain, al-Ădab al-Jāhili (Kairo: Faruq, 1993), 352.

Page 100: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

86

Namun, selain menyebutkan nama ketiga penyair tersebut, Husain

juga menyebutkan nama-nama penyair lain, seperti : Imri al-Qais, Lubaid

Turfah, „Amr Ibn Kultsum, „Antarah, al-Harts Ibn Hallazah, alqamah, dan

al-A‟sya.31

Dalam upaya mengetahui makna kata ẖizb pada masa pra-Qur‟anik,

penulis mencarinya dari Diwan-Diwan yang menghimpun syair-syair yang

ditulis oleh mereka. Akan tetapi, setelah melacak banyak syair, penulis

tidak menemukan kata ẖizb secara spesifik, namun penggalan kata yang

penulis temukan adalah bentuk derivasi lainnya, yaitu taẖazzub (تحزب).

Berikut ini syairnya :

32 اجم كتزب كتشددتهككررت كالبطاؿ بين تصادـ ك “Dan aku bolak balik, sedangkan para pasukan berada di antara saling

bermusuhan, saling bertikai, saling berkecamuk33

, dan saling berlaku

kasar.”

Jika dilihat dari konteksnya (siyāq al-kalam), makna yang relevan

untuk kata taẖazzub dalam syair tersebut adalah “saling berkecamuk”.

Sya‟ir ini menggambarkan dua kelompok atau pasukan perang yang

sedang berkecamuk dalam peperangan. Masing-masing membela

pasukannya dengan sangat gigihnya.

31

Ṯaha Husain, al-Ădab al-Jāhili, 93. 32

Al-Khatib al-Tabrizi, Diwan „Antarah (Beirut: Dar al-Kitab al-Ghazali. 1992),

64. 33

Penulis memaknai “saling berkecamuk”, karena salah satu makna dasar dari

kata ẖizb adalah اشتد المر فلنا (keadaan yang sangat berat atau hebat yang menimpa

seseorang). Hal ini sebagaimana dalam hadis Nabi SAW:

قاـ إلى الصلةكاف النب صلى الله عليو كسلم إذا حزبو أمر “Bahwasannya Nabi SAW, ketika dihadapkan kepadanya keadaan yang berat

atau menyulitkan, maka ia bergegas mendirikan salat”. Lihat al-Mu‟jam al-Wasȋṯ (Mesir:

Maktabah al-Syurūq al-Dauliyah, 2014), 169.

Terkait dengan hadis tersebut di atas, al-Sya‟rawi memaknai term حزبو di sini

dengan: أمر أتعبو كأرىقو كفكر فيو كثيران, “Suatu kesusahan (keadaan yang berat) yang menimpa

Nabi dan banyak menguras pikirannya”. Lihat al-Sya‟rawi, Tafsȋr al-Sya‟rawi, jilid 6,

3245. Syair ini konteksnya dalam keadaan perang, dan perang merupakan keadaan yang

berat dan dahsyat yang menimpa kedua belah pasukan.

Page 101: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

87

Oleh karenanya, pada masa pra-Qur‟anik, taẖazzub digunakan untuk

makna suatu kelompok atau pasukan yang berperang dengan sangat

dahsyat demi mempertahankan kelompoknya atau pasukannya.

2. Qur’anik

Periode Qur‟anik atau masa al-Qur‟an diturunkan, terbagi ke ke

dalam dua periode, yaitu: periode Makkah (610-622) dan periode Madinah

(622-632). Dengan begitu, memahami makna kata pada periode Qur‟anik,

bisa ditelusuri dengan cara melihat konteks sosio historis masyarakat Arab

Makkah dan Madinah pada saat al-Qur‟an diturunkan.34

Adapun enam

ayat terkait kata ẖizb yang penulis kaji dalam penelitian ini, tersebar dalam

lima surat, dan terbagi ke dalam dua kategori, yaitu kategori Makki dan

Madani. Berikut ini tebel terkait ayat ẖizb berdasarkan kategorisasi

turunnya.

Tebel 4.2: Kategorisasi Ayat Terkait Ḫizb Bedasarkan Tempat

Turunnya

N

o

Lafaz Surat No

Surat

Ayat Kategori

1 ẖizb al-Māidah 5 56 Madaniyah

2 ẖizb al-Mu‟minūn 23 53 Makiyah

3 ẖizb al-Rūm 30 32 Makiyah

4 ẖizb al-Mujādilah 58 19, 22 Madaniyah

5 ẖizb Fāṯir 35 6 Makiyah

Berkaitan dengan hal di atas, perlu diketahui bahwa konteks sosial

masyarakat Makkah pra Islam adalah al-Jāhiliyyah, yaitu masyarakat yang

tidak mempunyai otoritas hukum, nabi, kitab suci, dan terkenal dengan

masyarakat yang cinta terhadap penyembahan berhala.35

Selain itu, dilihat

dari akidahnya pada masa Jāhilyyyah, masyarakat Arab terbagi ke dalam

34

Lukita Fahriana, Pemaknaan Qalb Salim Dengan Metode Analisis Semantik,

91. 35

Lukita Fahriana, Pemaknaan Qalb Salim Dengan Metode Analisis Semantik,

92.

Page 102: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

88

tiga kategori, yaitu: pertama kelompok yang mengingkari adanya sang

pencipta dan hari kebangkitan. Kedua, mengakui adanya sang pencipta,

tapi tidak percaya dengan hari kebangkitan. Ketiga, penyembah berhala.

Kemudian sebagian dari mereka ada yang cenderung kepada agama

Yahudi, ada yang cenderung kepada Nasrani, ada yang cenderung kepada

śābiah, dan ada juga yang cenderung menyembah jin dan malaikat.36

Oleh karenanya, salah satu karakteristik ayat-ayat yang turun di Mekah

adalah berkaitan dengan prinsip-prinsip akidah, seperti Iman kepada

Allah, hari akhir dan peristiwa yang terjadi di dalamnya, seperti hari

kebangkitan, perkumpulan dan balasan, kemudian percaya kepada para

rasul dan para malaikat. Serta penggunaan argumentasi yang bersifat

rasional.37

Sebagaimana sudah dikemukakan di atas, bahwa ayat-ayat terkait

ẖizb itu terdiri dari dua kategori, yaitu kategori Makki dan Madani. Pada

ayat yang berkategori makki, yaitu Q.s al-Mu‟minūn/23: 53, Q.s al-

Rūm/30: 32, dan Q.s Fāṯir/36: 6, mengandung makna atau pemahaman

yang sangat kental dengan nuansa akidah atau keimanan.38

Pada dua ayat

pertama, yaitu, Q.s al-Mu‟minūn/23: 53, Q.s al-Rūm/30: 32, mengandung

substansi makna yang sama, yaitu kritikan terhadap umat-umat terdahulu

yang menyelewengkan atau memecah belah prinsip ajaran-ajaran yang

dibawa oleh nabi-nabinya sehingga mereka berselisih dan terpecah belah

menjadi beberapa kelompok agama yang masing-masing mengklaim

kebenaran, padahal realitanya mereka dalam kesesatan. Yang menjadi

khitāb dalam dua ayat ini adalah penduduk mekkah dan para ahl-Kitab

36

Muhammad Riḏa, Muhammad Rasulullah SAW (Jakarta: Dar al-Kutub Al-

Islamiyah, 2012), 19- 20. 37

Muhmammad Ibn Abu Syahbah, al-Madkhal Li Dirāsat al-Qur‟an al-Karim,

205. 38

Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat di bab ke tiga, tepatnya dalam sub bab

tentang penafsiran ulama terkait ayat ẖizb.

Page 103: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

89

madinah yang sedang berada di mekkah. Dalam tafsirnya, al-Sya‟rawi

mengisyaratkan bahwa masyarakat mekkah yang menyembah berhala

sudah terbiasa berinteraksi dan berhubungan dengan orang-orang yahudi

Madinah. Bahkan ketika ada permasalahan yang membuat orang yahudi

tersebut marah kepada penduduk mekah yang menyembah berhala,

mereka berkata :

39.ماف سنتبعو، كنقتلكم بو قتل عاد كإرـلقد أطل زمن نب يظهر آخر الز

“Sungguh telah dekat masanya kehadiran nabi akhir zaman yang akan

kami ikuti, dan kami akan membunuh kalian bersamanya seperti

pembunuhan pada kaum ad dan tsamud”.

Informasi tentang kehadiran nabi akhir zaman, sudah dijelaskan

dalam kitab mereka (taurat). Tetapi karena alasan tertentu, setelah

diutusnya Nabi Muhammad SAW, sebagian besar mereka

mengingkarinya,40

meskipun demikian, sebagian dari mereka ada juga

yang beriman kepada kitab Taurat, mengimani kenabian dan kerasulan

Nabi Muhammad saw, seperti Abdullah ibn Salam. Dalam hal ini,

sebagaimana yang dikatakan al-Sya‟rawi, bahwa di antara yang

diperselisihkan oleh umat-umat terdahulu (terutama pengikut Nabi Musa

dan Nabi Isa) adalah terkait ayat-ayat dalam kitab mereka yang

menjelaskan tentang kehadiran nabi akhir zaman yang ciri-cirinya ada

pada diri Nabi Muhammad saw. Mereka berselisih tentang ini, hingga

terpecah menjadi beberapa kelompok dan masing-masing merasa paling

benar dan berbangga diri dengan kelompoknya. Sedangkan dalam Q.s

39

Dalam literatur lain, redaksinya sebagai berikut:

انو قد تقارب زماف نب يبعث الف نقتلكم معو قتل عاد كارـLihat Muhammad Riḏa, Muhammad Rasulullah SAW, 64. 40

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur‟an Q.s al-Baqarah/2: 89 :

انيوا من قػىبلي يىستػىفتحيوفى عىلىى الذينى ا مىعىهيم كىكى كىفىريكا فػىلىما جىاءىىيم كىلىما جىاءىىيم كتىابه من عند اللو ميصىدؽه لمىافرينى )مىا عىرىفيوا كىفىريكا بو فػىلى (عنىةي اللو عىلىى الكى

Page 104: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

90

Fāṯir/36: 6, jika dilihat dengan konteks ayat sebelumnya,41

kandungannya

menggambarkan keesaan dan kekuasaan Allah SWT dalam menciptakan

dan mengatur rizki semua makhluknya. Oleh karenanya, makna ẖizb

disini ditujukan kepada golongan yang loyal kepada setan sehingga

mengingkari Allah yang Maha Esa sebagai pencipta dan pengatur.

Sedangkan tiga ayat lainnya yang tersebar dalam dua surat, yaitu Q.s

al-Mā‟idah/5: 56, dan Q.s al-Mujādilah/58, 19 dan 22, termasuk kategori

ayat Madaniyah. Pada saat kaum muslimin berada di Madinah, Islam hadir

sebagai agama yang berdaulat dan mengatur berbagai aspek kehidupan

masyarakat madinah yang multi kultural. Sehingga di antara karakteristik

dalam ayat-ayat madaniyah adalah pembahasan tentang hukum pidana,

masalah waris, ayat-ayat tentang adanya izin untuk berperang, masalah

perjanjian dan perdamaian (komitmen untuk menjaga negara Madinah),

serta ayat-ayat yang membicarakan orang-orang munafik dan

karakteristik-karakteristiknya.42

Sebagai ayat yang turun di Madinah, Q.s al-Mā‟idah/5: 56, dan Q.s

al-Mujādilah/58, 19 dan 22, mengandung makna yang kental dengan

karakteristik ayat-ayat Madinah pada umunya, yaitu membicarakan

tentang pentingnya loyalitas terhadap Islam dalam menjaga kedaulatan

kota Madinah dan membahas tentang orang-orang munafik serta

karaktersitiknya.

Pada Q.s al-Mā‟idah/5: 56, jika dilihat hubungannya dengan ayat-

ayat sebelumnya43

, ayat ini menjelaskan tentang pentingnya loyal terhadap

41

Yaitu ayat 3-5:

القو غىيػري اللو يػىرزيقيكيم منى السمىاء كىا ا الناسي اذكيريكا نعمىتى اللو عىلىيكيم ىىل من خى لىرض لى إلىوى إل ىيوى يىا أىيػهى بىت ريسيله من قػىبلكى كىإلىى اللو تػيرجىعي اليميوري )فىأىن تػيؤفىكيوفى ) بيوؾى فػىقىد كيذ ا الناسي إف ( كىإف ييكىذ ( يىا أىيػهى

نػيىا كىلى يػىغيرنكيم باللو الغىريك (ري )كىعدى اللو حىق فىلى تػىغيرنكيمي الحىيىاةي الد 42

Muhmammad Ibn Abu Syahbah, al-Madkhal Li Dirāsat al-Qur‟ān al-Karȋm,

205. 43

Yaitu ayat 51-55:

Page 105: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

91

Allah, Rasululullah, dan umat Islam dalam menjaga kedaulatan kota

Madinah. Tidak boleh loyal dan mencari perlindungan dari orang-orang

Yahudi yang pada saat itu mulai membelot dan menghianati perjanjian

dalam piagam madinah. Dalam ayat ini dipertegas bahwa mereka yang

loyal terhadap Allah, Rasulullah dan kaum muslimin, dikatakan sebagai

ẖizb Allah (golongan yang sangat komitmen dalam mempertahankan

kebenaran dan memiliki loyalitas yang sangat tinggi terhadap orang-orang

beriman). Mereka itu yang akan memperoleh kemenangan. Demikian juga

pada Q.s al-Mujādilah/58: 22. Sedangkan pada ayat sebelumnya, yaitu Q.s

al-Mujādilah/58: 19, jika dihubungkan dengan ayat sebelumnya lagi,44

ẖizb ini ditujukan kepada golongan-golongan munafik yang komitmen

kepada setan dan meninggalkan sikap loyalitasnya kepada umat Islam.

Selain itu, dalam beberapa ayat madaniyah, dijumpai derivasi ẖizb

lain, yaitu ahzāb yang digunakan untuk nama suatu kelompok atau

komunitas beragama yang bersekutu dan bersekongkol untuk menyerang

umat Islam di Madinah.45

Bahkan nama ini diabadikan menjadi salah satu

ا الذينى آمىنيوا لى تػىتخذيكا اليػىهيودى كىالنصىارىل أىكليىاءى بػىعضيهيم أىكليىاءي بػىعضو كىمىن يػىتػى فىإنوي منػهيم إف وىلذيم منكيم يىا أىيػهى( فػىتػىرىل الذينى ف قػيليوم مىرىضه ييسىارعيوفى فيهم يػىقيوليوفى نىشىى أىف تيصيبػىنىااللوى لى يػىهدم القىوىـ الظالمينى )

( كىيػىقيوؿي بحيوا عىلىى مىا أىسىركا ف أىنػفيسهم نىادمينى )دىائرىةه فػىعىسىى اللوي أىف يىأتى بالفىتح أىك أىمرو من عنده فػىييص ء الذينى أىقسىميوا باللو جىهدى أىيمىانهم إنػهيم لىمىعىكيم حىبطىت أىعمىالذييم اسرينى ) الذينى آمىنيوا أىىىؤيلى (فىأىصبىحيوا خى

ا الذينى آمىنيوا بونىوي أىذلةو عىلىى الميؤمن يىا أىيػهى بػهيم كىيي ينى أىعزةو مىن يػىرتىد منكيم عىن دينو فىسىوؼى يىأت اللوي بقىووـ ييئمو ذىلكى فىضلي اللو يػيؤتي بيل اللو كىلى يىىافيوفى لىومىةى لى افرينى يجيىاىديكفى ف سى و مىن يىشىاءي كىاللوي كىاسعه عىليمه عىلىى الكى

اةى كىىيم ) ةى كىيػيؤتيوفى الزكى (رىاكعيوفى )( إنىا كىليكيمي اللوي كىرىسيوليوي كىالذينى آمىنيوا الذينى ييقيميوفى الصلى 44

Yaitu ayat 15-18:

تػىرى إلىى الذينى تػىوىلوا قػىومنا غىضبى اللوي عىلىيهم مىا ىيم منكيم كىلى منػهيم كىيىلفيوفى عىلىى الكىذب كىىيم يػىعلىميوفى أىلىانيوا يػىعمىليوفى )) ا إنػهيم سىاءى مىا كى ابنا شىديدن بيل ا( أىعىد اللوي لذىيم عىذى للو ( اتىذيكا أىيمىانػىهيم جينةن فىصىدكا عىن سى يئنا أيكلىئكى أىصحىابي النار ىيم فيهىا فػىلىهيم عىذىابه ميهينه ) ديىيم منى اللو شى م أىموىالذييم كىلى أىكلى ( لىن تػيغنى عىنػهي

الديكفى ) يعنا فػىيىحلفيوفى لىوي كىمىا يىلفيوفى لىكيم كى خى يىسىبيوفى أىنػهيم عىلىى شىيءو أىلى إنػهيم ( يػىوىـ يػىبػعىثػيهيمي اللوي جى اذبيوفى ) (ىيمي الكى

45 Kelompok-kelompok yang bersekutu dan bersekongkol untuk menyerang

umat Islam di madinah, adalah kelompok dari Yahudi Bani Naḏir, kaum musyrik Arab,

Page 106: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

92

nama surat dalam al-Qur‟an, yaitu surat al-Aẖzāb. Salah satu ayatnya

sebagai berikut :

نىا اللوي كىرىسيوليوي كىصىدىؽى اللوي كىرىسيوليوي ا مىا كىعىدى كىلىما رىأىل الميؤمنيوفى الىحزىابى قىاليوا ىىذى() كىمىا زىادىىيم إل إيمىاننا كىتىسليمنا

“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang

bersekutu itu, mereka berkata, “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-

Nya kepada kita.” Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. dan yang

demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali Iman dan

ketundukan.” (Q.s al-Aẖzāb/33: 22).

Secara susbtansi, makna ẖizb yang terdapat dalam ayat-ayat makiyah

dan madaniyah tidaklah berbeda, yaitu sama-sama bermakna suatu

kelompok atau golongan yang sangat komitmen terhadap kebenaran yang

ada pada kelompoknya atau sosok yang diikutinya, juga memiliki sikap

loyalitas yang tinggi terhadap orang-orang yang satu pandangan dengan

dirinya atau kelompoknya. Hanya saja yang membedakan adalah

penunjukannya.

Berikut ini tebel pemaknaan dan penunjukan makna ẖizb Pada masa

Qur‟anik berdasarkan kategorisasi makki-madani.

Tebel 4.3: Pemaknaan dan Penunjukan Makna Ḫizb Pada Masa

Qur’anik Berdasarkan Kategorisasi Makki-Madani.

kabilah Gaṯafan, dan kabilah-kabilah mekah lainnya. bahkan Ka‟ab ibn Asad yang

merupakan pimpinan Yahudi bani Quraizah yang sebelumnya berkomitmen dengan

Rasulullah untuk menjaga keutuhan kota Madinah, terhasut oleh Huyay Ibn Akhtab,

salah seorang pembesar Yahudi Bani Naḏir, hingga akhirnya Ka‟ab ibn Asad dan kaum

Yahudi Bani Quraiḏa menghianati janji mereka dengan kaum muslimin, dan memilih

bersekutu dan bersekongkol dengan Yahudi Bani Naḏir, Musyrik Mekkah, Bani Gaṯafan,

dan kabilah-kabilah lainnya untuk sama-sama menyerang kaum muslimin di kota

Madinah. lihat Muhammad Ridla, Muhammad Rasulullah SAW, h. 274-276. Iihat juga

Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Al-Rahȋq al-Makhtūm, trj Faris Khairul Anam (Jakarta:

Qisti Pres, 2018), h. 347.

Page 107: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

93

No kata Kategori Makna Penunjukan

1 ẖizb Makki kelompok atau golongan

yang sangat komitmen

terhadap kebenaran yang

ada pada kelompoknya

atau sosok yang

diikutinya, juga memiliki

sikap loyalitas yang tinggi

terhadap orang-orang

yang satu pandangan

dengan dirinya atau

kelompoknya.

Kelompok-kelompok

Yahudi yang memecah

belah agamanya, tidak

percaya dengan kerasulan

Muhammad SAW, dan

golongan orang kafir

Mekah yang mengingkari

keberadaan Allah yang

Maha Esa sebagai pencipta

dan pengatur rizki (ẖizb al-

Syaiṯān).

2 ẖizb Madani Golongan orang beriman

yang loyal kepada Allah,

Rasul-Nya, dan orang-

orang beriman dalam upaya

mempertahankan akidah,

persaudaraan dan Negara

Madinah (ẖizb Allah).

Kemudian ditujukan

kepada golongan-golongan

orang munafik yang tidak

ada komitmen kepada

Allah, Rasul-Nya dan

orang-orang beriman (ẖizb

al-Syaiṯān).

Selain melalui analisis kategorisasi ayat makki dan madani, upaya

untuk mengetahui makna dan penggunaan atau penunjukan kata ẖizb pada

masa Qur‟anik juga dapat diketahui melalui hadis-hadis Nabi SAW.

Page 108: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

94

Dalam beberapa hadis Nabi SAW, pemaknaan kata ẖizb beragam

tergantung konteksnya penggunaannya. Di antaranya dimaknai sebagai

kelompok orang, kemudian digunakan untuk istilah pengelompokan ayat

al-Qur‟an, selain itu dimaknai sebagai kumpulan zikir-zikir yang sudah

rutin dibaca.

Ḫizb bermakna suatu kelompok, salah satunya terdapat dalam hadis

yang diriwayatkan oleh al-Bukhari. Penggalan hadisnya sebagai berikut :

ا أىف نسىاءى رىسيوؿ اللو صىلى اللوي عىلىيو كىسىلمى كين حزب ين فحزب عىن عىائشىةى رىضيى اللوي عىنػهىأيـ سىلىمىةى كىسىائري نسىاء رىسيوؿ اللو صىلى والحزب الخر فصىةي كىصىفيةي كىسىودىةي عىائشىةي كىحى فيه

46اللوي عىلىيو كىسىلمى “Dari 'Aisyah radliallahu 'anha bahwa isteri-isteri Rasulullah śallallahu

'alaihi wasallam terbagi menjadi dua kubu. Kubu pertama adalah terdiri

'Aisyah, Hafśah, Śafiyyah, Sawdah. Dan kelompok kedua diikutsertai

oleh Ummu Salamah dan isri-isteri Rasulullah śallallahu 'alaihi wasallam

yang lain. (H.R Bukhari).

Dalam hadis tersebut, kata ẖizb dimaknai dengan kelompok atau

kubu yang di dalamnya kental dengan nuansa persaingan, sikap fanatik,

dan adanya unsur kecemburuan.

Kemudian, makna ẖizb yang digunakan untuk istilah dalam

pengelompokan ayat al-Qur‟an, dapat dijumpai dalam hadis yang

diriwayatkan oleh Abȋ Dāwud. Hadisnya sebagai berikut :

ثه قىاؿى أىكسه سىأىلتي أىصحىابى رىسيوؿ اللو صىلى اللوي عىلىيو كىسىلمى كىيفى ييىزبيوفى القيرآفى قىاليوا ثىلى هي ثى عىشرىةى كىحزبي الميفىصل كىحدى كىخىسه كىسىبعه كىتسعه كىإحدىل عىشرىةى كىثىلى

47

46

Abi Abdillah Muhammad Ibn Isma‟il Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah al‟Ja‟fi al-

Bukhari, Śahȋh al-Bukhāri (Riyāḏ: Maktabah al-Rasyd, 2016), 342. 47

Abȋ Dāwud Sulaiman Ibn Asy‟ats al-Sijistani al-Azdi, Sunan Abȋ Dāwud

(Beirut: al-Maktabah al-A‟śriyah, tt), 55.

Page 109: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

95

“Aus berkata, "Aku bertanya kepada para sahabat Rasulullah śallallahu

'alaihi wasallam, bagaimanakah kalian membagi-bagi (memilah atau

mengelompokkan) dan menertibkan Al-Qur'an? Mereka menjawab:

"Tiga, lima, tujuh, sembilan, sebelas, tigabelas dan bagian surat-surat

yang mufashśal (dari surat Qaaf atau al Hujurat sampai an nas)." (H.R

Abȋ Dāwud).

Ḫizb dalam konteks hadis ini, digunakan sebagai istilah dalam

pengelompokan surat-surat al-Qur‟an yang bisa dijadikani acuan atau

target bacaan bagi setiap muslim.

Selanjutnya, ẖizb digunakan sebagai nama kumpulan zikir-zikir

yang sudah rutin dibaca. Penggunaan ini dapat diketahui dalam hadis yang

diriwayatkan oleh Imam Muslim. Hadisnya sebagai berikut:

الظهر كتب لومن ناـ عن حزبو اك عن شيء منو فقرأه ما بين صلة الفجر كصلة كانا قرأه من الليل

“Barangsiapa tertidur (dalam keadaan tidak membaca) kumpulan

zikir (yang sudah rutin dibaca di waktu malam sebelum tidur) atau lupa

membaca sebagiannya, kemudian baru membacanya pada waktu antara

shubuh dan zuhur, maka seakan-akan dia telah membcanya pada waktu

malam hari”.

Berdasarkan uraian di atas, kata ẖizb pada masa Qur‟anik pada

dasarnya maknanya sama, yaitu kumpulan. Hanya saja tidak hanya

digunakan untuk makna kumpulan manusia (kelompok/kubu) saja, tetapi

juga digunakan untuk istilah kumpulan-kumpulan do‟a yang rutin dibaca

dan pengelompokan surat-surat dalam al-Qur‟an.

Berikut ini tebel pemaknaan dan penunjukan makna ẖizb pada masa

Qur‟anik berdasarkan hadis Nabi SAW.

Page 110: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

96

Tebel 4.4: Pemaknaan dan Penunjukan Makna Ḫizb Pada

Masa Qur’anik Berdasarkan Hadis Nabi SAW

No Kata Makna dan penunjukan

1 ẖizb Golongan atau kubu yang ditujukan kepada istri-istri

Nabi SAW.

2 ẖizb Suatu Kumpulan yang ditujukan kepada zikir-zikir dan

doa-doa yang istiqamah dibaca oleh para sahabat Nabi

SAW.

3 ẖizb Kelompok yang ditujukan untuk surat-surat dalam al-

Qur‟an yang dijadikan target bacaan para sahabat Nabi

SAW.

3. Pasca-Qur’anik

Dalam upaya mengetahui makna kata ẖizb pada masa pasca-

Qur‟anik, penulis akan menelusuri pemaknaannya dalam kitab-kitab

Tafsir mu‟tabar, baik tafsir klasik ataupun modern.

Dalam tafsir-tafsir klasik ataupun modern, pemaknaan terhadap kata

ẖizb cukup beragam, terlebih kata ẖizb yang dihubungkan kepada Allah

dan Setan. Misalnya, ẖizb yang dihubungkan kepada Allah (ẖizb Allah)

dimaknai oleh al-Ṯabari (w.310 H) sebagai penolong (anśār), jadi ẖizb

Allah adalah penolong Allah.48

Demikian juga ketika dihubungkan

kepada Setan, al-Ṯabari memaknaninya dengan كأتباعو ,جنده ,yaitu

tentaranya setan, atau pengikutnya.49

Selain itu, al-Rāzy (w. 604 H) dalam

tafsirnya Mafātih al-Ghaib mengutip pendapat beberapa ulama dalam

memaknai kata ẖizb tersebut, di antaranya: menurut Hasan, ẖizb yang

48

Abȋ Ja‟far Muhammad Ibn Jarȋr al-Ṯabary, Tafsȋr al-Ṯabary Jāmi‟ al-Bayān

„an Ta‟wȋli āyi al-Qur‟ān, 532. 49

Ibn Jarȋr al-Ṯabary, Tafsȋr al-Ṯabary Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wȋli āyi al-

Qur‟ān, juz 22, 491-492.

Page 111: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

97

dihubungkan dengan Allah disini maknanya pasukannya Allah (جندالله). Menurut Abu Farūq maknanya kekasih-kekasih Allah ( اكلياء الله), kemudian menurut Abu al-A‟liyah maknanya kelompok Allah (شيعة الله), sebagian lagi berpendapat adalah penolong-penolong Allah (انصار الله), sedangkan menurut al-Akhfasy, makna hizib Allah adalah mereka yang

beragama Islam dan taat kepada-Nya (mengikuti perintah-Nya), sehingga

mendapatkan pertolongan dari-Nya ( الذين يدينوف بدينو كيطيعونو فينصرىم Hal yang sama juga diungkapkan oleh Abdullah Yusuf Ali (w.1953 50.(الله

M). Menurutnya, makna ẖizb disini adalah pengikut.51

Kemudian Ali al-

Shābūni dalam tafsirnya Ŝafwah al-Tafāsȋr memaknai ẖizb Allah dengan

,golongan Allah, yang diistimewakan oleh-Nya) جماعة الله وخاصته و اوليائه

dan kekasih-Nya).52

Demikian juga ẖizb al-Syaiṯān, maknanya adalah اتباع

الشيطان و اعواوه واوصاره53

, yaitu pengikut dan penolongnya setan.

Demikian juga pada penggalan kata ẖizb dalam konteks ayat lain,54

ulama memaknainya secara beragam. Menurut Ibnu katsir, makna ẖizb

dalam konteks ini adalah:

كل فرقة منهم تزعم أنهم على شيء “Setiap kelompok (dalam konteks ini Yahudi dan Nasrani) yang mengira

bahwa dirinya berada di atas kebenaran”

Kemudian menurut Ibn „Ăsyūr, maknanya adalah:

مل اك الدتفقوف عليوعاتمعوف على امر من اعتقاد اك الجماعة“Komunitas yang berkumpul atas suatu keyakinan atau perbuatan atau

sesuatu yang disepakati”55

Selanjutnya, menurut al-Sya‟rawi56

, ẖizb maknanya adalah:

50

Muhammad al-Rāzi Fakhr al-Dȋn, Tafsȋr al-Kabȋr Mafātih al-Gaib, jilid 6,

24. 51

Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali, 263. 52

Muhammad Ali Al-Śābuni, Śafwah al-Tafāsir, jilid 3, 345. 53

Muhammad Ali Al-Śābuni, Śafwah al-Tafāsir, jilid 3, 343. 54

Q.s al-Rūm/30: 32 dan Q.s al-Mu‟minūn/23: 53 55

Ibn „Ăsyūr, Tafsȋr al-Tahrȋr wa al-Tanwȋr, jilid 18, 73 56

Lihat Al-Sya‟rawi, Tafsȋr al-Sya‟rawi, 10.058.

Page 112: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

98

لرأيها كتفرح بو، ككأنها على الحق كغيرىا على الباطلكل جاعة تتعصب “Setiap golongan yang fanatik dan bangga dengan pandangannya atau

pemikirannya, menganggap dirinya benar sedangkan yang lain salah”.

Berdasarkan uraian di atas, sekalipun kata ẖizb dalam beberapa tafsir

baik klasik ataupun modern dimaknai oleh para ulama secara beragam,

namun demikian secara substansi tidak ada perbedaan yang signifikan di

dalamnya, yaitu sama-sama menunjukan makna suatu golongan atau

kelompok yang memiliki sikap fanatik dan komitmen yang kuat terhadap

kelompoknya dan sosok yang diikutinya, serta memiliki loyalitas yang

tinggi terhadap mereka yang satu pandangan dengan dirinya.

Selanjutnya dalam perkembangannya, kata ẖizb dalam kamus-kamus

modern atau kontemporer digunakan untuk nama sebuah partai politik

dalam suatu negara yang bersistem demokrasi.57

Selain itu, kata ẖizb juga

digunakan untuk nama kumpulan zikir-zikir yang disusun oleh para ulama

terdahulu. Kandungan zikir-zikir tersebut secara umum terdiri dari memuji

Allah SWT, istighfar, salawat, munajat, doa dan pembacaan beberapa ayat

al-Qur‟an. Semuanya diambil dari al-Qur‟an dan Hadis baik secara lafaz

maupun makna. Dalam pengamalannya, zikir ẖizb ini dilakukan dengan

cara-cara tertentu dan pada waktu tertenu. Sebelum diamalkan, biasanya

dilakukan proses ijazah terlebih dahulu oleh seorang guru atau syaikh.

Tradisi amalan ẖizb ini biasanya dijumpai dalam pengamal tarekat dan

ilmu hikmah. Beberapa nama zikir ẖizb misalnya: ẖizb bahr, ẖizb al-naśr,

ẖizb sakran, ẖizb al-birr, ẖizb Imam al-Nawawi, dan lain-lain. Terakhir,

dalam tradisi ulūm al-Qur‟an, ulama menggunakan istilah ẖizb untuk

57

Pemknaan ini dapat dijumpai dalam beberapa kamus kontemporer,

diantaranya, Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlar, Kamus kontemporer Arab-Indonesia

(Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesntren Karapiyak, 1996). Hans Wehr, A

Dictionary Of Modern Written Arabic, 203. lihat juga Ahmad Warson Munawwir, Al-

Munawwir Kamus Arab-Indonesia, 258.

Page 113: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

99

pengelompokan al-Qur‟an secara lebih sistematis. Setiap juz mereka bagi

menjadi dua ẖizb, sehingga secara keseluruhan al-Qur‟an terdiri 60 ẖizb.

D. Weltanschauung Makna Ḫizb

Penggunaan kata hizb dalam al-Qur‟an menunjukan makna sebuah

kelompok atau golongan manusia yang memiliki komitmen dan sikap

fanatik yang kuat dalam mempertahankan kebenaran kelompoknya, serta

memiliki loyalitas yang tinggi terhadap sosok yang diikutinya dan

terhadap mereka yang memiliki satu pandangan dengan dirinya dan

kelompoknya.

Al-Qur‟an membagi manusia ke dalam dua golongan, yaitu pertama,

golongan Allah atau pengikut Allah (ẖizb Allah), yaitu mereka yang

memiliki komitmen dan loyalitas yang tinggi dalam mempertahankan

ketauhidan dan ketaatannya kepada Allah SWT. Kedua, golongan setan

atau pengikut setan (ẖizb al-Syaiṯān), yaitu mereka yang memiliki

komitmen dan loyalitas terhadap setan dengan mengikuti jejak

langkahnya.

Kemudian al-Qur‟an juga menggunakan makna ẖizb sebagai suatu

kelompok beragama yang memiliki sikap fanatik yang tinggi terhadap

kelompoknya. Adapun kelompok yang ditunjukan oleh al-Qur‟an adalah

mereka dari kalangan Yahudi dan Nasrani yang merubah dan memecah

belah ajaran agamanya sehingga terpecah menjadi banyak kelompok.

Masing-masing dari mereka saling mengklaim kebenaran serta bangga

dengan kelompoknya.

E. Relevansi Pemahaman Semantik Atas Ḫizb dalam Konteks

Sekarang

Ada sebuah istilah yang sangat populer terkait pandangan dan

keyakinan umat Islam terhadap karakteristik ajaran al-Qur‟an, yaitu

Page 114: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

100

śālihun likulli zamān wa al-makān.58

Diktum ini adalah prinsip

universalitas al-Qur‟an. Asumsi ini membawa implikasi bahwa problem-

problem sosial keagamaan di era kontemporer tetap dapat dijawab oleh al-

Qur‟an dengan cara melakukan kontekstualisasi penafsiran secara terus

menerus, seiring dengan semangat dan tuntutan problem kontemporer.

Karena al-Qur‟an adalah kitab yang diturunkan bukan saja untuk orang-

orang dulu di zaman Nabi SAW, tetapi juga untuk orang-orang sekarang

bahkan sampai hari kiamat. Prinsip-prinsip universal al-Qur‟an dapat

dijadikan pijakan untuk menjawab tuntutan perkembangan zaman yang

bersifat temporal dan partikular.59

Pendek kata dengan asumsi tersebut, al-Qur‟an perlu ditafsirkan

terus menerus, sehingga tidak kehilangan relevansinya dengan

perkembangan zaman. Ini dibuktikan dengan adanya berbagai pemikiran

Islam yang muncul, baik fikih, kalam, politik, filsafat, tasawuf dan

sebagainya, yang hampir semuanya selalu dikaitkan dengan al-Qur‟an.60

Akan tetapi, atas dalih diktum al-Qur‟an sālihun likulli zamān wa al-

makān, tidak sedikit di antara umat Islam yang melewati batas dalam

memahami al-Qur‟an, sehingga cenderung memaksa al-Qur‟an sebagai

pembenaran atas pandangan pribadi dan atau kelompoknya. Yang

demikian itu, tentu akan melahirkan pemahaman yang liar dan mendobrak

kaidah-kaidah penting dalam disiplin ilmu tafsir.

Terkait dengan fenomena pernyataan Amien Rais yang mendikotomi

partai politik di Indonesia ke dalam dua kubu, yaitu partai Allah dan partai

58

Awal kemunculan diktum ini belum terlacak secara jelas. Namun diktum ini

sangat populer di kalangan masyarakat muslim bani Abbasiah. Dan dari zaman ke zaman,

umat muslim selalu meyakini salah satu diktum (proposisi) bahwa Al-Qur‟an Śālih Li

kulli zamān wa makān. Lihat Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir

Al-Qur‟an: Strukturalisme, Semantik, Semiotik dan Hermeneutik, (Bandung: CV Pustaka

Setia, November 2013), 8. 59

Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur‟an, 76. 60

Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur‟an, 77.

Page 115: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

101

Setan yang didasarkan pada penggalan term ẖizb Allah dan ẖizb al-Syaiṯān

dalam surat al-Mujādilah ayat 19 dan 22, adalah pemaknaan dan

penggunaan terhadap ayat yang tidak relevan atau keliru dan sangat tidak

bijaksana. Demikian juga pemaknaan dan penggunaan term ẖizb Allah dan

ẖizb al-Syaiṯān sebagai legitimasi oleh pihak tertentu atas penolakannya

terhadap sistem multi-partai.

Setidaknya ada tiga hal kekeliruan bagi mereka yang memaknai dan

membawa term ẖizb Allah dan ẖizb al-Syaiṯān ini pada ranah partai

politik, yaitu: pertama, menyalahi salah satu kaidah dalam menafsirkan al-

Qur‟an. Kaidah relevan yang didobrak dalam konteks ini adalah:

فاليحذر عن استعماؿ الدصطلحات الحديثة ككقوع النص عليها“Hindarilah penggunaan istilah baru, dan memposisikan nash di

atasnya”.

Kata ẖizb dalam beberapa kamus kontemporer memang menunjukan

makna partai politik. Akan tetapi, memaknai penggalan ayat ẖizb Allah

dan ẖizb al-Syaiṯān dalam surat al-Mujadilah ayat 19 dan 22 dengan

sebuah partai, dalam hal ini dimaknai partai Allah dan partai setan yang

ditujukan terhadap parta-partai yang ada di Indonesia, tentu ini adalah

pemahaman yang salah dan keliru, karena telah menyalahi kaidah tafsir.

Demikian juga tidak tepat dijadikan legitimasi untuk menolak sistem

multi-partai. Kedua, partai-partai di Indonesia didirikan atas dasar ideologi

pancasila yang sudah disepakati oleh seluruh kompenen bangsa, sehingga

setiap partai pada dasarnya memiliki visi yang sama, yaitu membangun

bangsa dan menciptakan kemaslahatan bersama. Oleh karenanya, sangat

wajar jika pernyataan Amien Rais ini dianggap keliru bahkan mencederai

keharmonisan berbangsa dan bernegara. Ketiga, al-Qarḏāwi menegaskan

bahwa apa yang disebutkan oleh al-Qur‟an semacam itu tidak

mengundang kontroversi, karena ia sedang membicarakan dua golongan,

Page 116: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

102

iman dan kufur, petunjuk dan kesesatan.61

Maksud al- Qarḏāwi, bahwa

dalam konteks ayat tersebut, al-Qur‟an berbicara tentang golongan iman

dan kufur, petunjuk dan sesat, dan tidak ada hubungannya dengan partai

politik.

Al-Qur‟an menggunakan istilah ẖizb Allah dan ẖizb al-Syaiṯān

dalam konteks prinsip akidah. Hal ini sebagaimana pada tempat lain ketika

Allah membicarakan konsep iman, kafir dan munafik. Oleh karenanya,

membawa term ẖizb Allah dan ẖizb al-Syaiṯān kepada ranah kepentingan

politik adalah tindakan yang sangat tidak tepat, bahkan berbahaya. Karena

secara tidak langsung akan melahirkan justifikasi terhadap mereka yang

berbeda pandangan politik dengannya sebagai pengikut setan yang sesat,

padahal mereka sama-sama beragama Islam. Perbedaan politik di

Indonesia tidak berkaitan dengan akidah, tetapi bersifat ijtihadi dan

sesuatu yang niscaya. Oleh karena itu, keragaman pandangan memang

sesuatu yang tidak bisa dihindarkan karena sudah menjadi ketetapan

Allah. Sehingga perbedaan ini seharusnya disikapi dengan bijaksana dan

saling toleransi satu sama lain dengan tetap mengedepankan nilai

kejujuran serta persatuan sesama umat islam dan bangsa Indonesia. Sikap

seperti ini juga harus diterapkan dalam menyikapi perbedaan yang sifatnya

furu‟ dalam ajaran Islam. Karena perbedaan yang ada bukan hal yang

sifatnya prinsip yang melahirkan hukum hitam putih, atau benar salah.

Berbeda halnya dalam ranah akidah yang kemudian melahirkan istilah

ẖizb Allah dan ẖizl al-Syaiṯān, umat Islam memang diharuskan memegang

secara kuat prinsip keimanan kepada Allah SWT dan menjaga loyalitas

kepada rasul-Nya dan orang-orang beriman. Meyakini bahwa kebenaran

hanya ada pada agama Islam dan keselamatan hanya dapat ditempuh

melalui ajaran Islam, tidak melalui jalan lain. Meskipun demikian tetap

61

Yusuf al-Qarḏāwi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Al-Qur‟an, 368-369.

Page 117: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

103

harus bersikap toleransi dan menjaga hubungan yang baik dengan mereka

yang beragama non muslim.

Page 118: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

104

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam konteks al-Qur‟an, ẖizb bermakna dasar kumpulan manusia

(golongan atau kelompok). Makna ini terus terbawa dimanapun kata itu

ditempatkan dalam konseptual al-Qur‟an. Kemudian, kata ẖizb dalam al-

Qur‟an, melalui analisis sintagmatik berelasi dengan Allāh, Syaiṯan dan

Syiyaā & zubarā. Ḫizb yang berelasi dengan Allāh, menunjukan makna

kelompok yang memiliki komitmen yang kokoh terhadap Allah dan

loyalitas yang tinggi terhadap rasul-Nya dan orang-orang beriman.

Sebaliknya ẖizb yang berelasi dengan Syaiṯan, menunjukan makna

golongan yang terpedaya oleh setan dan loyal kepadanya. Selanjutnya ẖizb

yang berelasi dengan Syiyaā & zubarā, menunjukan makna kelompok

orang beregama yang kekeh atau fanatik dengan pandangan kelompoknya,

menganggap dirinya yang benar sedangkan yang lain salah.

Kemudian melalui analisis paradigmatik, kata-kata yang memiliki

kemiripan makna dengan kata ẖizb di antaranya: kata ṯāifah, fauz, zumarā,

fi‟ah, farȋq/firqah dan syi‟ah. Meskipun kata ẖizb dan kata-kata tersebut

terhimpun dalam makna yang sama, yaitu suatu kumpulan

manusia/kelompok, akan tetapi dalam penggunaannya masing-masing

menunjukan orientasi makna yang berbeda satu sama lain.

Selanjutnya, berdasarkan kajian historis terkait makna kata ẖizb,

baik melalui analisis sinkronik ataupun diakronik, kata ẖizb atau dalam

bentuk lainnya, seperti taẖazzub dan aẖzāb, secara substansi tidak

mengalami pergeseran makna. Dalam hal ini, ditinjau dari tiga periode,

yaitu periode pra-Qur‟anik, Qur‟anik, dan pasca-Qur‟anik. Pada periode

pra-Qur‟anik, ditemukan derivasi lain dari kata ẖizb, yaitu tahazzub dalam

Page 119: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

105

sebuah sy‟air jahili yang ditulis oleh „Antarah. Kata ini digunakan untuk

menunjukan makna suatu pasukan perang yang saling berkecamuk demi

mempertahankan kelompoknya. Sedangkan pada periode Qur‟anik, kata

ẖizb ini digunakan untuk beberapa makna atau istilah. Di antaranya,

makna suatu kelompok atau kubu yang di dalamnya kental dengan nuansa

persaingan dan adanya unsur kecemburuan. Kemudian digunakan untuk

istilah dalam pengelompokan ayat al-Qur‟an, selanjutnya menunjukan

makna suatu kumpulan zikir yang biasa dibaca para sahabat. Selain itu,

terdapat juga derivasi lain, yaitu kata aẖzāb yang digunakan untuk makna

kelompok-kelompok yang besekutu atau bersekongkol untuk menyerang

umat Islam. Sedangkan pada periode pasca-Qur‟anik, kata ẖizb dimakna

secara beragam namun secara substansi tidak berbeda juga, hanya saja

penunjukannya yang berbeda. Dalam tafsir-tasfir klasik, kelompok yang

dimaksud adalah kelompok Yahudi, Nasrani, kafir Quraisy, Majusi, dan

agama lainnya selain Islam. Sedangkan dalam tafsir modern, tidak terbatas

dengan kelompok-kelompok tersebut. Bahkan jika dalam diri umat Islam

sendiri terdapat suatu kelompok yang memiliki karaktersitik buruk seperti

yang dijelaskan oleh al-Qur‟an, maka masuk juga ke dalam kelompok

yang dicela al-Qur‟an. Selain itu, dalam perkembangannya, ẖizb

digunakan untuk makna suatu kumpulan zikir dari al-Qur‟an dan hadis

yang disusun oleh seorang ulama. Beberapa nama zikir ẖizb, misalnya ẖizb

al-Bahr, ẖizb al-Naśr, ẖizb Sakrān, ẖizb al-Nawawi, dan lain-lain.

Terakhir dalam „ulūm al-Qur‟an digunakan sebagai istilah

pengelompokan al-Qur‟an.

Weltanschauung ẖizb adalah bermakna suatu kelompok atau

pengikut yang sangat komitmen terhadap kelompoknya atau sosok yang

diikutinya, kemudian fanatik dengan kelompoknya, meyakini hanya

Page 120: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

106

kelompoknya yang benar, serta memiliki loyalitas yang tinggi terhadap

mereka yang satu pandangan dengan dirinya dan kelompoknya.

Selanjutnya, membawa istilah ẖizb Allah dan ẖizb al-Syaiṯān ke

dalam ranah politik atau untuk kepentingan politik, sebagaimana yang

dilakukan Amien Rais adalah tindakan yang keliru dan berbahaya, karena

istilah ẖizb Allah dan ẖizb al-Syaiṯān dalam al-Qur‟an berkaitan dengan

hal-hal yang sifatnya prinsip atau akidah. Berbeda dengan politik yang

sifatnya ijihadi. Demikian juga penggunaan istilah ini sebagai legitimasi

untuk menolak adanya multi-partai adalah pemahaman yang keliru.

Al-Qur‟an memang relevan untuk setiap zaman dan tempat. Akan

tetapi, kedudukan al-Qur‟an sebagai kitab Allah yang sālihun likulli

zamān wa al-makān, tidak boleh dijadikan dalih untuk menafsirkannya

secara serampangan hanya karena untuk memenuhi kepentingan pribadi

atau kelompoknya.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih minim dan jauh

dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis berharap ke depannya ada

peneliti lain yang dapat membahas terkait konsep makna ẖizb lebih

komprehensif lagi, baik dengan pendekatan yang sama, ataupun

pendekatan lain, seperti hermeneutika, sosial-linguistik, dan lain-lain.

Selain itu, penulis juga mengalami kesulitan untuk menemukan

penggunaan makna kata ẖizb secara spesifik pada masa pra-Qur‟anik.

Karena kata yang penulis temukan adalah dalam bentuk derivasi lain,

yaitu taẖazzub. Meskipun pada dasarnya kata taẖazzub tersebut memiliki

relevansi makna dengan kata ẖizb itu sendiri, tetapi diharapkan pada

penelitian selanjutnya kesulitan ini dapat teratasi, sehingga dapat diketahui

penggunaan makna kata ẖizb secara spesifik pada masa pra-Qur‟anik.

Page 121: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

107

Page 122: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

108

DAFTAR PUSTAKA

„Abid al-Jābiri, Muhammad Post Tradisionalisme Islam, trj. Ahmad

Baso.Yogyakarta: LkiS, 2000.

Abdu al-Jawwād, Ahmad. al-Du‟ā al-Mustajāb min al-Hadȋts wa al-

Kitāb. Kairo: Dār al-Salām. 2011.

Abdu al-Jawwād, Rajab, al-Mu‟jam al-Muślahāt al-Islāmiyah fȋ al-

Miṣbāh al-Munȋr. Kairo: Dār al-Afāk al-A‟rabiyah, 2002.

Abdul Baqi, Muhammad Fu‟adi, al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fādaẕ al-

Qur‟ān. Kairo: Dar al-Qutub Al-Mishriyah, tt.

Abi Hilal al-Askary, Imam al-Adib al-Lughawy, al-Furūq al-Lugawiyyah.

Kairo: Dār al-Ilmi wa al-Tsaqāfah, 1997.

Ali Al-Śābuni, Muhammad, Śafwah al-Tafāsir. Beirut: Dār al-Qur‟ān al-

Karȋm. 1981.

Ali, Atabik dan Zuhdi Muhḏar, Ahmad, Kamus kontemporer Arab-

Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesntren

Karapiyak. 1996.

Al-Mubarakfuri, Śafiyurrahman, Al-Rahȋq al-Makhtūm, trj Faris Khairul

Anam. Jakarta: Qisṯi Pres. 2018.

Al-Qardhawi, Yusuf, Bagaimana Berinteraksi Dengan Al-Qur‟an, trj.

Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2018. Al-Rāzi Fakhr al-Dȋn, Muhammad, Tafsȋr al-Kabȋr Mafātih al-Gaib.

Beirut: Dār al-Fikr. 1981.

Al-Suyūṯi, al-Itqān fȋ „Ulūm al-Qur‟ān. Beirut: Risalah Nasiuun. 2008.

Al-Tabrizi, al-Khatib, Diwan „Antarah. Beirut: Dar al-Kitab al-Gazali.

1992.

Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna . Bandung: PT.

Sinar Baru Algesindo. 2008. Azima, Fauzan, “Semantik Al-Qur‟an”, Tajdid: Jurnal Pemikiran

Keislaman dan Kemanusiaan. Bima: lembaga penelitian dan

Pengabdian IAI Muhammadiyah. 2017.

Budi Santoso, Eko. Makna Tawakal Dalam Al-Qur‟an: Aplikasi Semantik

Toshihiko Izutsu. Skripsi: Fakulat Ushuluddin dan Pemikiran Islam,

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2015.

Burhanuddin al-Zarkasyi, Muhammad, al-Burhān fȋ ulūm al-Qur‟ān.

Mesir: Dar Ihya al-Kutūb al-„Arabiyah. 1957.

Chaer, Abdul, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka

Cipta. 1995.

Page 123: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

109

Djajasudarma, Fatimah, Semantik 1: Pengantar Ke Arah Ilmu Makna.

Bandung: Erasco. 1993. El Mubarak, Zein, Semantik al-Qur‟an. Semarang: Fakultas Bahasa dan

Seni Universitas Negeri Semarang. 2017. Fahriana, Lukita, Pemaknaan Qalb Salim Dengan Metode Analisis

Semantik. Jakarta: Skripsi Prodi Ilmu al-Qur‟an dan tafsir Fakultas

Ushuluddin UIN Jakarta. 2019.

Fajar, Saiful. Konsep Syaitān dalam Al-Qur‟an: Kajian Semantik

Toshihiko Izutsu, Skripsi: Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. 2018.

Fajarus Shadiq, Akhmad, Konsep Ummah dalam Al-Qur‟an: Sebuah

Analisis Semantik Toshihiko Izutsu. Skripsi: Fakultas Ushuluddin,

UIN Yogyakarta. 2016.

Fajrin, Siti Fatimah, Konsep Al-Nār dalam Al-Qur‟an: Analisis Semantik

Toshihiko Izutsu. Skripsi: Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam,

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2017.

Fajruddin, Asep Muhammad, Konsep Munafik Dalam Al-Qur‟an :Analisis

Semantik Toshihiko Izutsu. Jakarta: Skripsi Program Studi Ilmu Al-

Qur‟an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta. 2018.

Faturrahman, Al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu.

Tesis Pasca Sarjana UIN Jakarta. 2010.

Hidayatullah, Muflih, Ikhlas Dalam Al-Qur‟an: Perspektik Semantik

Toshihiko Izutsu. Skripsi: Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. 2018.

Husain, Ṯaha, al-ādab al-Jāhili. Kairo: Faruq, 1993. Ibn „Ă‟syūr, Muhammad Ṯāhir, Tafsȋr at-Tahrȋr wa at-Tanwȋr . Tunisia:

al-Dār al-Tunisiyah. 1984.

Ibn Abu Syahbah, Muhmammad. al-Madkhāl Li Dirāsat al-Qur‟ān al-

Karȋm. Beirut: Dār al-Jȋl, 1992.

Ibn Asy‟ats al-Sijistani al-Azdi, Abȋ Dāwud Sulaiman, Sunan Abȋ Dāwud.

Beirut: al-Maktabah al-A‟shriyah, tt.

Ibn Isma‟il Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah al‟Ja‟fi al-Bukhari, Abi Abdillah

Muhammad, Śāhih al-Bukhāri. Riyāḏ: Maktabah al-Rasyd. 2016.

Ibn Jarȋr al-Ṯabary, Abȋ Ja‟far Muhammad Tafsȋr at-ṯabary Jāmi‟ al-

Bayān a‟n Ta‟wȋli āyi al-Qur‟ān. Mesir: Dār al-Hijr. 2001.

Page 124: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

110

Ibn Manẕūr Al-Afriqy Al-Mishry, Imām Abȋ al-Faḏli Jamaluddin

Muhammad ibn Mukram, Lisānu al-A‟rab. Beirut: Dār Al-Shādir.

1994.

Ibn Umar az-Zamakhsyari, Abȋ al-Qāsim Mahmud, al-Kasysyāf. Riyad:

Maktabah al-U‟baikān. 1998.

Ibn Umar ibn Katsȋr al-Qurasyiy ad-Dimasyqiy, Abi al-Fidā Isma‟il,

Tafsir al-Qur‟an al-Aẕȋm . Riyaḏ: Dār Ṯaybah. 1999.

Isa Al-Mubarak, Deden, Makna Kata Barakah dalam Al-Qur‟an:

pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu. Skripsi: Fakultas Ushuluddin

dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2018.

Ismail, Ecep. “Analisis Semantik Pada Kata Ahzāb dan Derivasinya

Dalam Al-Qur‟an”, Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur‟an dan Tafsir.

Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

2016

Ismatillah, Ahmad Faqih Hasyim, dan M. Maimun, “Makna Wali dan

Auliya Dalam Al-Qur‟an: Suatu Kajian Dengan Pendekatan

Semantik Toshihiko Izutsu”, Jurnal Studi Al-Qur‟an dan Hadis Diyā

al-Afkār. IAIN Syekh Nurjati Cirebon. 2016.

Izutsu, Toshihiko, Konsep-Konsep Etika Religius dalam Qur‟an, trj. Agus

Fakhri Husen, dkk. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1993.

Izutsu, Toshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik

Terhadap Al-Qur‟an. Yogya: Tiara Wacana. 1997.

Kurniawan, Wahyu, Makna Khalȋfah Dalam Al-Qur‟an: Tinjauan

Semantik Al-Qur‟an Toshihiko Izutsu. Skripsi: Fakultas Ushuluddin

Adab Dan Humaniora, IAIN Salatiga. 2017.

Kurniawan, Wahyu. Makna Khalȋfah dalam Al-Qur‟an: Tinjauan

Semantik Al-Qur‟an Toshihiko Izutsu. Skripsi: Fakultas Ushuluddin

Adab Dan Humaniora, IAIN Salatiga. 2017.

Matsna, Mohammad, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer.

Jakarta: Prenamedia Grup. 2016.

Millatuzzulfa Adawiyah, Robiah, Makna Kitab dalam Al-Qur‟an: Analisis

Semantik Toshihiko Izutsu. Skripsi: Fakultas Ushuluddin IAIN

Surakarta. 2019.

Moh Saefuddin, Didin, Solahuddin, M dan Siti Rusydati Khairani, Izzah

Faizah “Iman dan Amal Saleh Dalam Al-Qur‟an: Studi Kajian

Semantik”, Jurnal Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur‟an dan Tafsir.

Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

2017.

Muhaimin, Mufidah dan Asif, Muh., “Makna Kata Tāgūt Dalam Al-

Qur‟an: Analisis Semantik”, Jurnal Studi Al-Qur‟an Al-Itqan STAI

Al-Anwar. Rembang. 2017.

Page 125: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

111

Mustaqim, Abdul, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur‟an. Yogyakarta: Idea

Press. 2016.

Mutawali al-Sya‟rawi, Muhammad, Tafsȋr al-Sya‟rawi. Kairo: al-Idāroh

al-Ămmah. 1991.

Nasihah, Unun, Kajian Semantik Kata Libās dalam Al-Qur‟an. Skripsi:

Fakultas Ushuluddin dan Pemikran islam UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta. 2013.

Nur Asnawi, Muhammad Tipologiūlul al-Bāb: Analisis Semantik Ayat-

Ayat Al-Qur‟an dan Implementasinya dalam Pendidikan Islam,

Hunafa. 2008. Nur, Tajudin, Semantik Bahasa Arab: Pengantar Studi Ilmu Makna.

Jakarta: First Published. 2014. Nur, Zunaidi, Konsep al-Jannah dalam al-Qur‟an: Aplikasi Semantik

Toshihiko Izutsu. Yogyakarta: Skripsi Fakultas Ushuluddin dan

Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, 2014.

Pendidikan, Depertemen dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa

Indonesia . Jakarta: Rineka Cipta. 2009.

Rahman, Nailur, Konsep Salam Dalam Al-Qur‟an: Pendekatan Semantik

Toshihiko Izutsu. Skripsi: Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam,

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2014.

Rahtikawati, Yayan dan Rusmana, Dadan, Metodologi Tafsir Al-Qur‟an:

Strukturalisme, Semantik, Semiotik dan Hermeneutik .Bandung: CV

Pustaka Setia. 2013.

Ridla, Muhammad, Muhammad Rasulullah SAW. Jakarta: Dar al-Kutub

Al-Islamiyah. 2012

Romzianah, Luthviyah, Pandangan Al-Qur‟an Tentang Makna Jahiliyah

Perspektif Semantik, Mutawātir. Juni 2014.

Sahidah, Ahmad, God, Man, and Nature: Perspektif Toshihiko Izutsu

Tentang Relasi Tuhan, Manusia dan Alam dalam al-Qur‟an.

Yogyakarta: IRCiSoD. 2018.

Salim, Fahmi, Kritik Terhadap Studi Al-Qur‟an Kaum Liberal. Depok:

Perspektif Kelompok Gema Insani. 2010.

Shihab, M Quraish, Kaidah Tafsir . Tangerang: Lentera Hati. 2019.

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-

Qur‟an. Jakarta: Lentera Hati. 2002.

Shihab, Quraish, Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati. 2019.

Shodiq, Ja‟far, Relasi Jinn Dan Al-Ins dalam Al-Qur‟an. Tesis: UIN

Sunan Kajijaga Yogyakarta. 2016.

Sugono, Dendy, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama. 2012. .

Page 126: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

112

Suwandi, Sarwiji, Semantik: Pengantar Kajian Makna. Yogyakarta:

Media Perkasa. 2011.

Syarifah, Eka, Ifkun dan Buhtan dalam al-Qur‟an : Kajian Semantik

Menurut Perspektif Toshihiko Izutsu . Skripsi S1 Fakultas

Ushuluddin UIN Jakarta. 2015.

Tarigan, Pengantar Semantik. Bandung: Angkasa. 1993.

Warson Munawwir, Ahmad, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia.

Surabaya: Pustaka Progressif.1997.

Wehr, Hans A Dictionary Of Modern Written Arabic. Germany: Otto

Harrassowitz, 1979.

Yusuf Ali, Abdullah, Tafsir Yusuf Ali, trj. Ali Audah. Bogor: PT. Pustaka

Litera Antar Nusa. 2009. Zuhaili, Wahbah, Tafsir Al-Munir fi al-Aqidah wa as-Syari‟ah wa al-

Manhaj, Damaskus: Dar al-Fikr. 2009. Zunaidi, Nur, Konsep Al-Jannah Dalam Al-Qur‟an: Aplikasi Semantik

Toshihiko Izutsu. Skripsi: Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam

UIN Sunin Kajilaga Yogyakarta. 2015.

Page 127: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

113

Lampiran 1

Ayat-Ayat Terkait Ḫizb, Ḫizbain dan Aẖzāb

No Surat Kata Makna Ayat

1 Al-

Mā‟idah :

56

حزب

Golongan atau

pengikut yang

loyal kepada

Allah

كىمىن يػىتػىوىؿ اللوى كىرىسيولىوي كىالذينى آمىنيوا فىإف (حزبى اللو ىيمي الغىالبيوفى )

2 Al-

Mu‟minūn

: 53

Kelompok (ahl

al-kitab) yang

fanatik

نػىهيم زيبػيرنا كيل حزبو بىا فػىتػىقىطعيوا أىمرىىيم بػىيػيهم فىرحيوفى ) (لىدى

3 Al-Rūm:

32

Kelompok

berselisih yang

fanatik

منى الذينى فػىرقيوا دينػىهيم كىكىانيوا شيػىعنا كيل يهم فىرحيوفى ) (حزبو بىا لىدى

4 Al-

Mujādalah

:19

Golongan atau

pengikut yang

loyal kepada

syetan.

استىحوىذى عىلىيهمي الشيطىافي فىأىنسىاىيم ذكرى اللو أيكلىئكى حزبي الشيطىاف أىلى إف حزبى الشيطىاف

(ىيمي الخىاسريكفى )

5 Al-

Mujādalah

: 22

Golongan atau

pengikut yang

loyal kepada

Allah swt.

دي قػىومنا يػيؤمنيوفى باللو كىاليػىوـ الخر لى تىيػيوىادكفى مىن حىاد اللوى كىرىسيولىوي كىلىو كىانيوا آبىاءىىيم أىك أىبػنىاءىىيم أىك إخوىانػىهيم أىك عىشيرىتػىهيم أيكلىئكى كىتىبى ف

يمىافى كىأىيدىىيم بريكحو من وي كىييدخليهيم جىناتو قػيليومي التىرم من تىتهىا الىنػهىاري خىالدينى فيهىا رىضيى اللوي

عىنػهيم كىرىضيوا عىنوي أيكلىئكى حزبي اللو أىلى إف حزبى (اللو ىيمي الميفلحيوفى )

6 Fathir : 6 Golongan atau

pengikut yang

loyal kepada

Syaitan

ذيكهي عىديكا إنىا إف الشيطىافى لىكيم عىديك فىات(يىدعيو حزبىوي ليىكيونيوا من أىصحىاب السعير )

7 Al-Kahfi :

12

Dua kelompok حزبيه

yang berselisih

ثي بػىعىثػنىاىيم لنػىعلىمى أىم الحزبػىين أىحصىى ا ا )لمى (لىبثيوا أىمىدن

8 Hūd : 17 احزاب Kelompok

kafir Quraish

أىفىمىن كىافى عىلىى بػىيػنىةو من رىبو كىيػىتػليوهي

Page 128: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

114

yang bersekutu شىاىده منوي كىمن قػىبلو كتىابي ميوسىى إمىامنا كىرىحمىةنالىحزىاب أيكلىئكى يػيؤمنيوفى بو كىمىن يىكفير بو منى

فىالناري مىوعديهي فىلى تىكي ف مريىةو منوي إنوي الحىق من (رىبكى كىلىكن أىكثػىرى الناس لى يػيؤمنيوفى )

9 Al-Ra‟d :

36

Golongan

bersekutu

كىالذينى آتػىيػنىاىيمي الكتىابى يػىفرىحيوفى بىا أينزؿى كىمنى الىحزىاب مىن يػينكري بػىعضىوي قيل إنىا أيمرتي إلىيكى

إلىيو مىآب أىف أىعبيدى اللوى كىلى أيشرؾى بو إلىيو أىدعيو كى()

10 Maryam :

37

Golongsn-

golongan

فىاختػىلىفى الىحزىابي من بػىينهم فػىوىيله (من مىشهىد يػىووـ عىظيمو )للذينى كىفىريكا

11 Al-Ahzab

: 20

Golongan

bersekutu

يىسىبيوفى الىحزىابى لى يىذىىبيوا كىإف يىأت الىحزىابي يػىوىدكا لىو أىنػهيم بىاديكفى ف الىعرىاب يىسأىليوفى

وا إل قىليلن عىن أىنػبىائكيم كىلىو كىانيوا فيكيم مىا قىاتػىلي ()

12 Al-Ahzab

: 22

نىا اللوي كىرىسيوليوي كىصىدىؽى اللوي كىرىسيوليوي كىعىدى

ا ) (كىمىا زىادىىيم إل إيمىاننا كىتىسليمن

13 Ŝād : 11 Golongan

berserikat

جينده مىا ىينىالكى مىهزيكهـ منى الىحزىاب ()

14 Shad : 13 Golongan yang

bersekutu

لىهيم قػىويـ نيوحو كىعىاده كىفرعىوفي بىت قػىبػ كىذ( كىثمىيودي كىقػىويـ ليوطو كىأىصحىابي ذيك الىكتىاد )

( ة أيكلىئكى الىحزىابي (الىيكى15 Fāṯir : 5 Golongan

bersekutu

لىهيم قػىويـ نيوحو كىالىحزىابي من بىت قػىبػ كىذبػىعدىم كىهىت كيل أيمةو برىسيولذم ليىأخيذيكهي كىجىادىليوا

Page 129: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

115

ذتػيهيم فىكىيفى كىافى بالبىاطل لييدحضيوا بو الحىق فىأىخى(عقىاب )

16 Fāṯir : 30 Glongan yang

bersekutu

الذم آمىنى يىا قػىوـ إن أىخىاؼي كىقىاؿى ( مثلى دىأب قػىوـ عىلىيكيم مثلى يػىوـ الىحزىاب )

نيوحو كىعىادو كىثمىيودى كىالذينى من بػىعدىم كىمىا اللوي ييريدي ا للعبىاد ) (ظيلمن

17 Al-

Zukhrūf :

65

Golongan yang

berselisih

فىاختػىلىفى الىحزىابي من بػىينهم فػىوىيله (للذينى ظىلىميوا من عىذىاب يػىووـ أىليمو )

Lampiran 2

Diagram 2.1: Medan Semantik Kata Kitāb

Allah

tanzȋl

Kitāb

nabiy wahy ahl

kitāb

Page 130: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

116

Lampiran 3

Tebel 3.1: Inventarisir Kata Ḫizb dalam al-Qur’an

No Kata Surat-Ayat Turun

al-Māidah (5): 56 Madaniyah حزب 1

2 al-Mu‟minūn (23): 53 Makiyah

3 al-Rūm (30): 32 Makiyah

4 al-Mujādilah (58): 19 dan 22 Madaniyah

5 Fāṯir (35): 6 Makiyah

Al-Kahfi (18): 22 Makiyah حزبين 6

Hūd (11): 17 Makiyah احزاب 7

8 al-Ra‟d (13): 36 Makiyah

9 Maryam (19):37 Makiyah

10 al-Aẖzāb (33): 20 dan 22 Madaniyah

11 Śād (38): 11 dan 13 Makiyah

12 Fāṯir (40): 5 dan 30 Makiyah

Lampiran 4

Diagram 4.1: Medan Semantik Sintagmatik Kata Ḫizb

Lampiran 5

Ḫizb Allah

Syiya‟ā

Syaiṯān

ẕubarā

Page 131: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

117

Tebel 4.1: Perbedaan Orientasi Makna Antara Kata Ḫizb dengan

Kata-Kata Sinonimnya

NO Kata Orientasi makna

1 Ḫizb Kelompok yang memiliki kekuatan dan sangat komitmen

dengan pandangan kelompoknya serta loyal terhadap

kelompok dan sosok yang diikutinya.

2 Ṯāifah Kelompok yang sebagian kebiasannya berkelana menjelajahi

berbagai daerah, atau kelompok yang terbentuk melingkar

secara seimbang, setelah semakin membanyak, maka

disebutlah Ṯāifah.

3 Syȋ’ah Kelompok yang cenderung kepada satu figur atas dasar

kecintaan.

4 Zumarā Kelompok yang berjalan secara beriringan

5 Fauj Kelompok yang banyak dan berbondong-bondong untuk satu

tujuan tertentu

6 Fi’ah Kelompok sebagai penolong bagi yang lainnya. Dalam

konteks perang, fi‟ah adalah kelompok yang ada di belakang

dan siap siaga untuk menolong kelompoknya

7 Farȋq/

Firqah

Kelompok yang merupakan sempalan dari kelompok yang

yang lebih besar.

Page 132: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

118

Lampiran 6

Diagram 4.2: Medan Semantik Paradigmatik Kata Ḫizb

Lampiran 7

Tebel 4.2: Kategorisasi Ayat Terkait Ḫizb Bedasarkan Tempat

Turunnya

No Lafaz Surat No Surat Ayat Kategori

1 ẖizb al-Māidah 5 56 Madaniyah

2 ẖizb al-Mu‟minūn 23 53 Makiyah

3 ẖizb al-Rūm 30 32 Makiyah

4 ẖizb al-Mujādilah 58 19,

22

Madaniyah

5 ẖizb Fāṯir 35 6 Makiyah

Lampiran 8

Tebel 4.3: Pemaknaan dan Penunjukan Makna Ḫizb Pada Masa

Qur’anik Berdasarkan Kategorisasi Makki-Madani.

No Kata Kategori Makna Penunjukan

Ḫizb

Ṯāifah

Farȋq

Zumarā Syȋah

Fȋah Fauj

Page 133: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

119

1 ẖizb Makki kelompok atau golongan

yang sangat komitmen

terhadap kebenaran yang

ada pada kelompoknya

atau sosok yang

diikutinya, juga memiliki

sikap loyalitas yang tinggi

terhadap orang-orang

yang satu pandangan

dengan dirinya atau

kelompoknya.

Kelompok-kelompok

Yahudi yang memecah

belah agamanya, tidak

percaya dengan kerasulan

Muhammad SAW, dan

golongan orang kafir

Mekah yang mengingkari

keberadaan Allah yang

Maha Esa sebagai pencipta

dan pengatur rizki (ẖizb al-

Syaiṯān).

2 ẖizb Madani Golongan orang beriman

yang loyal kepada Allah,

Rasul-Nya, dan orang-

orang beriman dalam upaya

mempertahankan akidah,

persaudaraan dan Negara

Madinah (ẖizb Allah).

Kemudian ditujukan

kepada golongan-golongan

orang munafik yang tidak

ada komitmen kepada

Allah, Rasul-Nya dan

orang-orang beriman (ẖizb

al-Syaiṯān).

Page 134: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

120

Lampiran 9

Tebel 4.4: Pemaknaan dan Penunjukan Makna Ḫizb Pada

Masa Qur’anik Berdasarkan Hadis Nabi SAW

No Kata Makna dan penunjukan

1 ẖizb Golongan atau kubu yang ditujukan kepada istri-istri

Nabi SAW.

2 ẖizb Suatu Kumpulan yang ditujukan kepada zikir-zikir dan

doa-doa yang istiqamah dibaca oleh para sahabat Nabi

SAW.

3 ẖizb Kelompok yang ditujukan untuk surat-surat dalam al-

Qur‟an yang dijadikan target bacaan para sahabat Nabi

SAW.

Page 135: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

121

Page 136: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Homerepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49065...partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat

122