Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta:...
Transcript of Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta:...
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini
berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi yang terdapat dalam
buku pedoman penulisan karya ilmiah (skipsi, tesis, dan desertasi ) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.
a. Padanan Aksara
Huruf
Arab
Huruf latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
Ta Te ت
Ts Te dan s ث
J Je ج
ẖ H dengan garis bawah ح
Kh Ka dan ha خ
D De د
Dz De dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy Es dan ye ش
S Es dengan garis bawah ص
ḏ De dengan garis bawah ض
ṯ Te dengan garis bawah ط
vi
ẕ Zet dengan garis bawah ظ
Koma terbalik di atas hadap kanan „ ع
Gh Ge dan h غ
F Ef ؼ
Q Ki ؽ
K Ka ؾ
L El ؿ
M Em ـ
N En ف
W We ك
H Ha ق
Apostrof ` ء
Ya Ye م
b. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri
dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut :
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fatẖah
I Kasrah
U Ḏammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
vii
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal latin Keterangan
Ai a dan i ام
Au a dan u اك
c. Vokal panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harkat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ā a dengan garis di ىا
atas
ȋ a dengan topi di ىي
atas
Ū u dengan garis di ىو
atas
viii
ABSTRAK
Asep Ridwan Nugraha
Analisis Kata Ḫizb dalam al-Qur’an (Pendekatan Semantik al-Qur’an
Toshihiko Izutsu).
Skripsi ini mengkaji kata ẖizb dalam al-Qur‟an. Pada penelitian ini
penulis meresepon terkait dua permasalahan yang terjadi, yaitu pertama,
pernyataan kontroversi Amien Rais yang melakukan dikotomi terhadap
partai politik, dan menjadikan Q.s. al-Mujādilah (58), ayat 19 dan 22
sebagai legitimasinya. Kedua, penggunaan term hizb Allah dan Setan
dalam al-Qur‟an sebagai legitimasi untuk menolak multi-partai. Dua
fenomena pemaknaan dan penggunaan kata hizb ini, penting untuk dikaji
apakah relevan atau tidak dengan makna yang dimaksudkan oleh al-
Qur‟an. Untuk menjawab permasalahan ini, penulis menggunakan metode
deskriptif-analisis, yaitu dengan menggambarkan data-data dari ayat-ayat
terkait ẖizb yang ditemukan secara apa adanya dan merekonstruksinya
melalui kategorisasi sesuai data yang didapat, serta dianalisis dengan
pendekatan semantik al-Qur‟an Toshihiko Izutsu.
Kajian ini menemukan bahwa kata ẖizb dalam konteks al-Qur‟an
memiliki makna dasar kumpulan manusia. Kemudian, dalam al-Qur‟an,
berdasarkan analisis sintagmatik kata ẖizb berelasi dengan kata Allah,
Syaiṯān, Syiya‟ā & Zubarā. Sedangkan melalui analisis paradigmatik, ẖizb
berelasi dengan kata ṯāifah, fauz, zumarā, fi‟ah, farȋq/firqah dan syi‟ah.
Selanjutnya, melalui kajian historis (sinkronik dan diakronik), kata ẖizb
mengalami perkembangan makna. Akan tetapi substansi maknanya tetap
sama, hanya penunjukannya saja yang berbeda.Terakhir, welthanschauung
dari ẖizb menunjukan kelompok atau golongan yang sangat komitmen
terhadap kelompoknya atau sosok yang diikutinya dan memiliki loyalitas
yang tinggi dengan mereka yang satu pandangan dengan kelompoknya.
Selanjutnya, membawa istilah Ḫizb Allah dan Ḫizb al-Syaiṯan ke
dalam ranah politik seperti yang dilakukan oleh Amien Rais adalah tidak
tepat dan keliru. Karena dalam konteks ini, al-Qur‟an sedang
membicarakan ranah keimanan atau akidah yang sifatnya prinsip.
Sedangkan ranah politik (dalam konteks di Indonesia) sifatnya ijtihadi.
Oleh karenanya, beda pilihan partai tidak menjadikan beda akidah atau
keimanan. Demikian juga penggunaan istilah tersebut sebagai legitimasi
untuk menolak multi-partai adalah pemahaman yang keliru.
Kata Kunci: Semantik Izutsu, Ḫizb, Weltanschauung dan Relevansi.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah Subhānahu wa Ta‟āla, yang telah
memberikan petunjuk, taufik, ilmu, dan karunia-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian ini. Salawat teriring salam, semoga
senantiasa terlimpah curahkan kepada kekasih tercinta, teladan termulia,
insan sempurna, Nabi Muhammad Salallah „Alaihi Wa al-Salām, yang
telah menebarkan cahaya iman dan Islam ke Muka Bumi ini, serta menjadi
rahmat bagi seluruh alam semesta. Tak lupa, salawat dan salam semoga
tersampaikan juga kepada keluarga beliau yang suci, sahabat-sahabatnya
yang terpilih, serta para-tabi‟in yang istimewa, dan kepada seluruh
umatnya. Semoga kita dapat mengikuti jejak-jejak hidupnya yang mulia,
dan mendapatkan syafaat yang agung darinya, kelak di hari kiamat. Amin
Ya Allah Ya Rabbal „ālamȋn.
Terselesaikannya skripsi ini, tentu tidak terlepas dari bantuan dan
dukungan berbagai pihak yang ikut andil, baik secara langsung maupun
tidak langsung, baik secara moril maupun materil. Maka sepatutnya
penulis mengucapkan syukur, terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA, selaku rektor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA, selaku dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Eva Nugraha. MAg, selaku ketua program studi Ilmu Al-
Qur‟an dan Tafsir, serta Bapak Fahrizal Mahdi, Lc. MIRKH, selaku
sekretaris program studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.
4. Dosen pembimbing skripsi penulis, yakni Bapak Kusmana MA, Ph.D,
yang senantiasa membimbing, memberi arahan dan masukan kepada
x
penulis dalam melakukan penelitian, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
5. Dosen penasehat akademik, yakni Bapak Maulana, M.Ag, yang telah
memberikan masukan dan motivasi kepada penulis selama penulis
belajar di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Seluruh dosen di Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir yang telah
memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.
7. Seluruh staf jurusan dan fakultas yang turut membantu mengurusi
terkait adminstrasi penulis.
8. Orang tua penulis, yakni Bapak Mastur Hidayat dan Ibu Een Sukaeni
yang selalu memberikan dukungan, semangat, memberi nasehat, dan
selalu mendoakan penulis, sehingga penulis dapat menempuh
pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
9. Para Ustadz/Abi di pondok pesantren mahasiswa Sulaimaniyah.
Selama kurang lebih dua tahun penulis tinggal dan menimba ilmu di
Sulaimaniyah, ada banyak ilmu, nasehat, didikan, serta doa yang
penulis dapatkan. Demikian juga kepada kawan-kawan mahasantri
yang sama-sama tinggal dan menimba ilmu di Sulaimaniyah.
10. Para jemaah Mushala Al-Fath. Selama kurang lebih dua tahun juga
penulis menjadi takmir di Mushala Al-Fath dan hidup di tengah-
tengah masyarakat jemaah Mushala Al-Fath. Demikian juga kepada
Bapak Ilham Ibrahim, selaku ketua DKM saat itu, yang senantiasa
mensuport penulis dan memintakan doa kepada para jemaah untuk
kelancaran penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Guru dan Murabbi penulis, Buya Dr. Arrazy Hasyim, Lc. MA, selaku
Khādim al-Ribāṯ Nouraniyah, yang tak kenal lelah untuk mengajarkan
ilmu dan membimbing ruhani penulis, sehingga penulis banyak
xi
memperoleh pengetahuan dan pencerahan dalam memandang makna
hidup yang hakiki. Demikian juga kepada guru-guru penulis lainnya
di Ribāṯ, yaitu Buya Ashfi Lc, M.Si dan Buya Yunal Isra Lc, M.Si
serta kawan-kawan di Ribāṯ, yang juga mensuport penulis dalam
meyelesaikan skripsi ini.
12. Kak Lukita S.Ag, selaku kakak kelas penulis yang senantiasa bersedia
menyempatkan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis terkait
penelitian ini.
13. Seluruh kawan-kawan mahasiswa Tafsir Hadis 2015, dan kawan-
kawan mahasiswa yang terhimpun dalam komunitas mahasiswa
Garut (Dermaga).
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis panjatkan doa
kepada Allah Subhānahu wa Ta‟āla, semoga amal baik semua pihak yang
sudah membimbing, mengarahkan, memotivasi, dan mendoakan penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan pahala yang berlipat ganda
dari sisi Allah Subhānahu wa Ta‟āla. Semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi yang membacanya, terutama bagi penulis
sendiri. Ămȋn.
Ciputat 06 November, 2019
Asep Ridwan Nugraha
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL SKRIPSI .............................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................... ii
LEMBAR KEASLIAN SKRIPSI ....................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................. iv
LEMBAR PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................... v
ABSTRAK ......................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ........................................................................ ix
DAFTAR ISI ...................................................................................... xii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................... 5
C. Pembatasan Masalah............................................................... 6
D. Tujuan Penelitian .................................................................... 6
E. Manfaat Penelitian .................................................................. 6
F. Tinjauan Pustaka .................................................................... 7
G. Metode Penelitian ................................................................... 10
H. Sistematika Penulisan ............................................................. 12
BAB II DESKRIPSI UMUM ILMU SEMANTIK ........................ 15
A. Pengertian Semantik dan Ruang Lingkup Kajiannya ............. 15
B. Sejarah dan Perkembangan Semantik..................................... 19
C. Semantik Sebagai Pendekatan dalam Menafsirkan
Al-Qur‟an ............................................................................. 26
D. Semantik Al-Qur‟an Toshihiko Izutsu ................................... 29
xiii
BAB III DESKRIPSI DAN TAFSIR AYAT-AYAT
TERKAIT ḪIZB DALAM AL-QUR’AN ....................................... 39
A. Inventarisir Kata Ḫizb dalam al-Qur‟an ................................. 39
B. Klasifikasi Pemaknaan dan Penunjukan Kata Ḫizb, Ḫizbain
dan Aẖzāb .............................................................................. 40
C. Tafsir Ayat-Ayat Terkait Ḫizb dalam Literatur Kitab Tafsir .
................................................................................................ 44
BAB IV MAKNA ḪIZB DALAM AL-QUR’AN:
PENDEKATAN SEMANTIK AL-QUR’AN TOSHIHIKO
IZUTS ....................................................................................... 69
A. Makna Dasar ........................................................................... 69
B. Makna Relasional ................................................................... 70
C. Analisis Sinkronik dan Diakronik .......................................... 85
D. Weltanschauung Makna Ḫizb ................................................. 99
E. Relevansi Pemahaman Semantik Atas Ḫizb dengan
Konteks Sekarang ................................................................... 99
BAB V PENUTUP ............................................................................ 105
A. Kesimpulan ....................................................................... 105
B. Saran ................................................................................. 107
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 109
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................... 115
xiv
DAFTAR TEBEL DAN DIAGRAM
A. Daftar Tebel
Tebel 3.1: Inventarisir Kata Ḫizb dalam al-Qur‟an ....................... 39
Tebel 4.1: Perbedaan Orientasi Makna Antara Kata Ḫizb
dengan Kata-Kata Sinonimnya .................................................... 84
Tebel 4.2: Kategorisasi Ayat Terkait Ḫizb Bedasarkan
Tempat Turunnya .......................................................................... 87
Tebel 4.3: Pemaknaan dan Penunjukan Makna Ḫizb Pada
Masa Qur‟anik Berdasarkan Kategorisasi Makki-Madani ........... 93
Tebel 4.4: Pemaknaan dan Penunjukan Makna Ḫizb Pada
Masa Qur‟anik Berdasarkan Hadis Nabi SAW ............................. 96
B. Daftar Diagram
Diagram 2.1: Medan Semantik Kata Kitāb ................................... 33
Diagram 4.1: Medan Semantik Sintagmatik Kata Ḫizb ................ 77
Diagram 4.2: Medan Semantik Paradigmatik Kata Ḫizb .............. 84
1
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟an adalah kitab suci yang memuat informasi dari Allah
sebagai ilmu pengetahuan, pelajaran dan pedoman hidup bagi umat
manusia. Sebagai pedoman hidup, tentunya al-Qur‟an berperan besar
dalam membimbing manusia agar dapat manjalani dan menyikapi
berbagai peristiwa kehidupan di Dunia ini dengan benar dan bijaksana.
Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa ada juga sebagian orang
yang menjadikan al-Qur‟an sebagai legitimasi atas pandangannya yang
sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Hal ini sangat mungkin
terjadi mengingat al-Qur‟an memungkinkan untuk ditafsirkan secara
beragam. Dalam satu riwayat, Ali Ibn Abȋ Ṯālib pernah memerintahkan
Ibn „Abbās untuk tidak menolak faham keagamaan kaum Khawarij
dengan al-Qur‟an, karena menurutnya al-Qur‟an memiliki beberapa
“wajah”(ẖammālah al-wujūh).1 Ungkapan Ali Ibn Abȋ Ṯālib ini
mengindikasikan bahwa al-Qur‟an dapat dipahami secara beragam sesuai
kepentingan penafsirnya. Sehingga tidak jarang sebagian mereka
menjadikan al-Qur‟an sebagai legimitasi atas kepentingan-kepentingan
politiknya, madzhab atau ideologi keilmuan tertentu, dan lain-lain.
Sebelum menafsirkan al-Qur‟an mereka sudah diselimuti jaket ideologi
tertentu. Akibatnya al-Qur‟an cenderung “diperkosa” menjadi objek
kepentingan sesaat untuk membela kepentingan subjek (penafsir dan
kekuasaan).2
1 Al-Suyūṯi, al-Itqān Fȋ Ulūm al-Qur‟ān (Beirut: Risalah Nāsi‟ūn, 2008), 41.
2 Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), 59.
2
Tradisi penafsiran seperti ini mulai banyak terjadi pada abad
pertengahan.3 Pada waktu itu antara politik dan agama sulit dipisahkan.
Tidak berlebihan jika al-Jābiri mengatakan bahwa Islam historis pada
waktu itu adalah agama dan politik (kāna al-Islām al-Tārikhi fi „ānin
wāhidin dȋnan wa dawlatan)4, dan keduanya memang saling
memanfaatkan dalam usaha merebut hati masyarakat. Fenomena tersebut
juga terulang di negeri kita Indonesia, terutama ketika menjelang
pemilihan umum, dimana ada sekelompok ulama atau tokoh politik yang
melakukan politisasi agama untuk mendukung atau menolak calon
tertentu.
Salah satu fenomena pada masa-masa tahun politik yang sempat
ramai diperbincangkan publik adalah pernyataan Amien Rais5 dalam satu
kesempatan yang mendikotomikan partai politik di Indonesia ke dalam
dua kubu, yaitu partai Allah dan partai Syetan.6 Pernyataan Amien Rais
3 Penafsiran seperti ini mulai muncul terutama pada masa akhir Dinasti Bani
Umayyah dan Awal Dinasti Bani Abbas. Pada era ini al-Qur‟an seringkali dijadikan
legitimasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Abdul Mustaqim menyebutnya
sebagai Tafsir Era Afirmatif dengan Nalar Ideologis. Lihat Abdul Mustaqim, Pergeseran
Epistemologi Tafsir, 59. 4 Muhammad „Abid al-Jābiri, Post Tradisionalisme Islam, trj. Ahmad Baso
(Yogyakarta: LkiS, 2000), 73. 5 Amien Rais adalah tokoh politikus yang cukup popular di Indonesia. Ia lahir
di Surakarta, 26 April 1944. Setelah lulus SMA, Amien melanjutkan kuliah di fakultas
Fisipol, jurusan Hubungan Internasional, UGM, kemudian melanjutkan pendidikan pasca
sarjana di Universitas of Notre Dame, Amerika Serikat yang diselesaikan tahun 1974
dengan gelar MA. Setelah itu, ia melanjutkan program doktor di Universitas of Chicago,
AS dengan mengambil bidang studi Timur Tengah., dan berhasil meraih gelar doktor
pada tahun 1981. Setelah pulang ke tanah air, Amien aktif dalam berbagai kegiatan, baik
bidang pendidikan, sosial masyarakat, dan juga politik. Dalam bidang pendidikan, Amien
merupakan dosen pada FISIP UGM (1969-1999), kemudian asisten ketua ICMI (1991-
1995). Dalam sosial kemasyarakatan, Amien Rais masuk dalam kepengurusan Ormas
Muhammadiyah. Bahka pernah menjabat sebagai ketua Muhammadiyah periode 1995-
2000. Kemudian dalam bidang politik, Amien merupakan pendiri sekaligus ketua umum
Partai Amanat Nasional (1999-sekarang), pernah juga menjabat ketuaMPR(1999-2004).
Liha thttps: //www. academia.edu/10009054/ Biografi_amien_rais. Diakses pada 05 April
2019. 6 Pernyatan tersebut disampaikan saat mengisi kuliah subuh di Mesjid
Baiturrahim, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, tepatnya pada hari jum‟at, tanggal 13
3
yang menuai kontroversi ini, berdasarkan pemahamannya terhadap
penggalan kata ẖizb Allah ( (حزب الشيطاف) dan ẖizb al-Syaiṯân حزب الله)dalam surat al-Mujādilah (58), ayat 19 dan 22. Dalam hal ini, Amien Rais
memaknai kata ẖizb dengan partai.7
Terkait dengan hal ini, Yusuf al-Qarḏāwi juga mengungkapkan
bahwa ada sebagian orang yang menolak multi-partai dalam kehidupan
berpolitik yang berdalil dengan al-Qur‟an. Mereka berpandangan bahwa,
karena al-Qur‟an tidak menyebutkan kata ẖizb (partai, kelompok, atau
golongan) kecuali dua macam: ẖizb Allah dan ẖizb al-Syaiṯān, seperti yang
disebutkan dalam surat al-Mujadilah. Jadi hanya ada satu partai yang
diterima, dan selain itu termasuk golongan setan.8
Kasus seperti ini penting untuk dikaji, karena besar kemungkinan
model pemaknaan dan penggunaan ayat seperti ini akan terus bergulir
setiap musim politik tiba. Oleh karenanya, dalam penelitian ini penulis
akan merespon relevan atau tidaknya fenomena pemaknaan dan
penggunaan term ẖizb Allah dan ẖizb al-Syaiṯan sebagai dikotomi partai
Allah dan parta setan yang dinisbatkan kepada partai-partai yang ada di
Indonesia, selain itu juga dijadikannya term tersebut sebagai legitimasi
penolakan terhadap multi-partai.
April tahun 2018. Lihat https://m.cnnindonesia.com/nasional/20180413144201-32-
290626/amien-rais-dikotomikan-partai-syetan-dan-partai-Allah.
Diakses pada 04 April 2019. 7 Berikut ini pernyataan Amin Ra‟is tersebut, “Sekarang ini, kita harus
menggerakan seluruh kekuatan bangsa ini untuk bergabung dan kekuatan dengan sebuah
partai. Bukan hanya PAN, PKS, Gerindra, tetapi kelompok yang membela Allah, yaitu
hizbullah. Untuk melawan siapa? Untuk melawan hizbusy-syaithan. Orang-orang yang
anti Tuhan, itu otomatis bergabung dalam partai besar, itu partai syaitan. Ketahuilah
partai syetan itu mesti dihuni oleh orang-orang yang rugi, rugi dunia rugi akhiratnya.
Tapi di tempat lain, orang beriman bergabung di sebuah partai besar namanya
hizbullah, partai Allah. Partai yang memenangkan perjuangan dan memetik kejayaan.”
Dikutip dari https://m.cnnindonesia.com/nasional/20180413144201-32-290626/amien-
rais-diktomikan-partai-syetan-dan-partai-allah. Diakses pada 04 April 2019. 8 Yusuf Al-Qardhawi, Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur‟an, trj. Kathur
Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, cet-6, 2018), 368.
4
Untuk menjawabnya, terlebih dahulu harus diketahui makna dan
penggunaan kata ẖizb dalam al-Qur‟an secara benar dan kemprehensif.
Oleh karenanya, pada penelitian ini, fokus kajian penulis tidak terbatas
pada kata ẖizb dalam surat al-Mujādilah saja, tetapi penulis akan analisis
keseluruhan ayat-ayat terkait ẖizb dalam al-Qur‟an.
Kemudian dalam prosesnya, perlu menggunakan pendekatan khusus
yang dapat mengungkap makna ẖizb dalam al-Qur‟an. Berdasarkan
pengamatan penulis, dalam konteks ini pendekatan yang tepat untuk
mengungkap secara utuh makna ẖizb dalam al-Qur‟an adalah pendekatan
semantik. Adapun tokoh semantik al-Qur‟an yang memiliki kontribusi
cukup besar dalam khazanah kajian al-Qur‟an adalah Toshihiko Izutsu,
seorang orientalis berkebangsaan Jepang yang cukup serius mengkaji
bahasa al-Qur‟an dengan menggunakan pendekatan ilmu semantik.
Menurut Izutsu, semantik adalah kajian analitik terhadap istilah-
istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai
kepada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia
masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai alat bicara
dan berfikir, tetapi yang lebih penting lagi pengkonsepan dan penafsiran
dunia yang melingkupinya.9
Ada banyak peneliti yang menggunakan pendekatan semantik al-
Qur‟an Izutsu dalam mengungkap sebuah makna kata dalam al-Qur‟an. Di
antaranya adalah Wahyu Kurniawan dalam skripsinya yang berjudul,
Makna Khalȋfah dalam Al-Qur‟an: Tinjauan Semantik Al-Qur‟an
Toshihiko Izutsu,10
9 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik
Terhadap Al-Qur‟an (Yogya: Tiara Wacana, 1997), 3. 10
Wahyu Kurniawan, Makna Khalȋfah Dalam Al-Qur‟an: Tinjauan Semantik
Al-Qur‟an Toshihiko Izutsu (Skripsi: Fakultas Ushuluddin Adab Dan Humaniora, IAIN
Salatiga, 2017).
5
Hampir sama dengan latar belakang masalah penelitian penulis,
Wahyu melihat belakangan ini, kata khalȋfah oleh kelompok tertentu
dipahami sebagai sistem politik dalam pemerintahan yang berideologi
Islam yang harus ditegakan di Dunia. Bahkan kelompok ini mengaklaim
mendapatkan legitimasinya dari al-Qur‟an. Melalui penelitiannya dengan
pendekatan semantik al-Qur‟an Toshihiko Izutsu, singkatnya, Wahyu
berhasil meyimpulkan bahwa kata Khalȋfah dalam al-Qur‟an sama sekali
tidak mempunyai makna sebagai sebuah sistem politik, akan tetapi
maknanya lebih kepada pengganti Allah dalam hal menjaga dan
melestarikan bumi dan sebagai pengganti pemimpin sebelumnya.
Demikianlah salah satu contoh bagaimana pendekatan semantik al-
Qur‟an Toshihiko Izusu dapat mengklarifikasi kekeliruan dalam
pemaknaan suatu kata dalam al-Qur‟an. Oleh karena itulah penulis
memilih pendekatan semantik al-Qur‟an Toshihiko Izutsu sebagai pisau
analisis dalam mengungkap makna kata ẖizb dalam al-Qur‟an, sehingga
dapat diketahui bagaimana pandangan al-Qur‟an secara utuh dalam
memaknai kata ẖizb tersebut
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis uraikan, setidaknya
ada tiga masalah yang teridentifikasi, yaitu :
1. Dalam perkembangannya, kata ẖizb juga dimaknai sebagai
partai politik dan nama sebuah gerakan keislaman. Apa faktor
yang menyebabkan terjadinya perkembangan makna tersebut?
2. Sebagai salah satu kosa kata yang terdapat di dalam al-Qur‟an,
Bagaimana al-Qur‟an memaknai kata ẖizb ?
3. Bagaimana relevansi makna ẖizb dalam al-Qur‟an dengan
konteks sekarang?
6
C. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas, penulis mengambil poin ke dua dan
ketiga, yaitu terkait pemaknaan al-Qur‟an terhadap kata ẖizb dan
relevansinya dalam konteks sekarang. Dalam bahasan ini, analisis makna
kata ẖizb dalam al-Qur‟an akan dikaji dengan menggunakan pendekatan
semantik al-Qur‟an Toshihiko Izutsu. Penelitian ini dilakukan dengan cara
mengumpulkan seluruh ayat yang terdapat kata ẖizb di dalamnya, untuk
kemudian diteliti menurut pendekatan semantik Izutsu.
Adapun masalah yang akan dijawab pada penelitian ini adalah:
Bagaimana kata ẖizb dalam al-Qur‟an jika dikaji menggunakan pisau
analisis semantik al-Qur‟an Toshihiko Izutsu? dan bagaimana relevansi
pemaknaan semantik atas kata ẖizb dalam konteks sekarang?
D. Tujuan Penelitian
1. Menguraikan penyebutan kata ẖizb dan derivasinya dalam al-
Qur‟an
2. Menerangkan penafsiran berkaitan dengan makna dan
penggunaan kata ẖizb
3. Menjelaskan makna kata ẖizb dengan pendekatan semantik
Izutsu dan relevansinya dengan konteks sekarang.
E. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini sebagai sumbangan pemikiran dan
pengetahuan baru dalam wacana ilmu tafsir dan khususnya tentang makna
kata ẖizb dalam al-Qur‟an berdasarkan pendekatan semantik al-Qur‟an
Toshihiko Izutsu
Secara praktis, kesimpulan penelitian ini dapat menjadi bagian
bahan ajar pada mata kuliah Pendekatan Modern, Hermeneutika dan
Semiotika. Penelitian ini juga dapat menjadi pertimbangan dalam
7
menunjukan pentingnya kajian bahasa dalam penafsiran al-Qur‟an,
sehingga bukan hanya program studi Tarjamah dan Sastra Arab saja yang
memberikan perhatian serius terhadap kajian ini, tetapi pada Fakultas
Ushuluddin pun terutama program studi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir sudah
seharusnya menempatkan kajian semantik/lingustik ini pada tempat yang
semestinya, bahkan dijadikan sebagai mata kuliah tersendiri.
F. Tinjauan Pustaka
Penelitian terdahulu yang dipandang relevan atau memiliki
keterkaitan dengan penelitian penulis, dapat diklasifikasikan ke dalam dua
kategori, yaitu:
Pertama, penelitian yang secara langsung adanya keterkaitan dengan
kata ẖizb itu sendiri, di antaranya: Pertama, artikel Ecep Ismail yang
berjudul Analisis Semantik Pada Kata Ahzāb dan Derivasinya Dalam Al-
Qur‟an.11
Dalam artikel ini, Ecep menguraikan kata Ahzāb dan
derivasinya. Menurutnya, di antara makna Ahzāb dan derivasinya dalam
al-Qur‟an adalah: Ahzab bermakna golongan yang eksklusif, berserikat,
sekutu dan Ahzab dengan makna pengikut agama.
Ecep membahas kata Ahzāb dalam al-Qur‟an dengan analisis
semantik secara umum saja dan sangat ringkas. Sedangkan pada penelitian
ini, penulis akan membahas derivasi lainnya, yaitu kata ẖizb dalam al-
Qur‟an dengan menggunakan pisau analisis semantik Toshihiko Izutsu dan
menerapkan teori-teori khusus dalam semantik Izutsu. Seperti menentukan
makna dasar, makna relasional, sintagmatik dan paradigmatik, makna
diakronik dan sinkronik, dan konseptual weltanchauungnya. Kedua,
Skripsi Akhmad Fajrus Shadiq, yang berjudul Konsep Ummah dalam Al-
11
Ecep Ismail, “Analisis Semantik Pada Kata Ahzāb dan Derivasinya dalam Al-
Qur‟an”. Jurnal Studi Al-Qur‟an dan Tafsir (Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Gunung Djati Bandung, 2016).
8
Qur‟an (Sebuah Analisis Semantik Toshihiko Izutsu).12
Ummah termasuk
kata yang maknanya terlihat sama (sinonimitas) dengan kata ẖizb.
Kesimpulan Akhmad dalam skripsinya itu secara umum adalah dia
menetapkan bahwa makna dasar kata Ummah adalah menuju atau
menumpu. Kemudian untuk makna relasionalnya, menurutnya tidak saja
berupa himpunan manusia tetapi juga berupa himpunan binatang bahkan
waktu. Selain itu, Akhmad berpandangan bahwa pemaknaan kata Ummah
ini bersifat statis. Dalam artian mengalami pergeseran makna dari masa ke
masa, sehingga dalam penelitiannya ini, Akhmad juga juga meneliti dan
menentukan makna kata Ummah periode pra Qur‟anik, Qur‟anik, pasca
Qur‟anik dan sampai kepada Weltanschauung.
Kedua, penelitian mengenai kajian semantik Toshihiko Izutsu
sebagai pendekatan dalam mengkaji sebuah kata dalam al-Qur‟an.
Ada banyak penelitian ilmiah yang menggunakan pendekatan semantik al-
Qur‟an Toshihiko Izutsu dalam menganalisis kosa kata dalam al-Qur‟an.
Para peneliti mengikuti prosedur penelitian sebagaimana yang ditawarkan
oleh Izutsu, hanya saja yang membedakannya adalah kosa kata atau kata
yang mereka pilih.
Penelitian tersebut di antaranya: Saiful Fajar meneliti Konsep
Syaitān dalam Al-Qur‟an,13
Eko Budi santos, meneliti Makna Tawakal
dalam A-Qur‟an,14
Wahyu Kurniawan, meneliti Makna Khalȋfah dalam
Al-Qur‟an,15
Luthviyah Romzianah, meneliti Pandangan Al-Qur‟an
12
Akhmad Fajarus Shadiq, Konsep Ummah dalam Al-Qur‟an: Sebuah Analisis
Semantik Toshihiko Izutsu (Skripsi: Fakultas Ushuluddin, UIN Yogyakarta, 2016) 13
Saiful Fajar, Konsep Syaitān dalam Al-Qur‟an: Kajian Semantik Toshihiko
Izutsu (Skripsi: Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018). 14
Eko Budi Santoso, Makna Tawakal dalam Al-Qur‟an: Aplikasi Semantik
Toshihiko Izutsu (Skripsi: Fakulat Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2015). 15
Wahyu Kurniawan, Makna Khalȋfah dalam Al-Qur‟an: Tinjauan Semantik Al-
Qur‟an Toshihiko Izutsu (Skripsi: Fakultas Ushuluddin Adab Dan Humaniora, IAIN
Salatiga, 2017).
9
Tentang Makna Jahiliyah,16
Ja‟far Shodiq, meneliti Relasi Jinn dan Al-Ins
dalam Al-Quran,17
Muhammad Nur Asnawi meneliti Tipologi Ulul al-Bāb
dalam Al-Qur‟an,18
Deden Isa Al-Mubarak, meneliti Makna Kata Barakah
dalam Al-Qur‟an,19
Nailur Rahman, meneliti Konsep Salam dalam Al-
Qur‟an,20
Siti Fatimah Fajrin, meneliti Konsep Al-Nār dalam Al-Qur‟an,
21Muflih Hidayatulah, meneliti kata Ikhlas dalam Al-Qur‟an,
22 Robiah
Millatuzzulfa Adawiyah, meneliti Makna Kitab dalam Al-Qur‟an,23
Ismatillah, Ahmad Faqih Hasyim, dan M. Maimun, meneliti makna Wali
dan Auliya dalam Al-Qur‟an,24
Nur Zunaidi, meneliti konsep Al-Jannah
dalam Al-Qur‟an,25
Mufidah Muhaimin dan Muh Asi, meneliti Makna
Kata Tāgūt dalam Al-Qur‟an,26
Unun Nasihah, meneliti kata libās dalam
16
Luthviyah Romzianah, “Pandangan Al-Qur‟an Tentang Makna Jahiliyah
Perspektif Semantik”. Mutawatir,vol. 4, No. 1 (Juni 2014). 17
Ja‟far Shodiq, Relasi Jinn Dan Al-Ins dalam Al-Qur‟an (Tesis: UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2016). 18
Muhammad Nur Asnawi, “Tipologi ūlul al-Bāb: Analisis Semantik Ayat-Ayat
Al-Qur‟an dan Implementasinya dalam Pendidikan Islam”. Hunafa, Vol. 5 No. 5, N0 2,
2008. 19
Deden Isa Al-Mubarak, Makna Kata Barakah dalam Al-Qur‟an: pendekatan
Semantik Toshihiko Izutsu (Skripsi: Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2018). 20
Nailur Rahman, Konsep Salam dalam Al-Qur‟an: Pendekatan Semantik
Toshihiko Izutsu (Skripsi: Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2014). 21
Siti Fatimah Fajrin, Konsep Al-Nār dalam Al-Qur‟an: Analisis Semantik
Toshihiko Izutsu (Skripsi: Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2017). 22
Muflih Hidayatullah, Ikhlas dalam Al-Qur‟an: Perspektik Semantik Toshihiko
Izutsu (Skripsi: Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018). 23
Robiah Millatuzzulfa Adawiyah, Makna Kitab dalam Al-Qur‟an: Analisis
Semantik Toshihiko Izutsu (Skripsi: Fakultas Ushuluddin IAIN Surakarta, 2019). 24
Ismatillah, Ahmad Faqih Hasyim, dan M. Maimun, “Makna Wali dan Auliya
dalam Al-Qur‟an : Suatu Kajian Dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu”. Studi
Al-Qur‟an dan Hadis Diyā al-Afkār, vol 04 (IAIN Syekh Nurjati Cirebon, 2016). 25
Nur Zunaidi, Konsep Al-Jannah dalam Al-Qur‟an: Aplikasi Semantik
Toshihiko Izutsu (Skripsi: Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunin Kajilaga
Yogyakarta, 2015). 26
Mufidah Muhaimin, dan Muh Asif, “Makna Kata Tāgūt dalam Al-Qur‟an:
Analisis Semantik”. Studi Al-Qur‟an Al-Itqan. (Rembang: STAI Al-Anwar 2017).
10
Al-Qur‟an,27
dan Didin Moh Saefuddin, M Solahuddin, dan Izzah Faizah
Siti Rusydati Khairani, meneliti kata Iman dan Amal saleh dalam Al-
Qur‟an, 28
Dari tinjauan pustaka di atas, dapat disimpulkan bahwa sejauh
pencarian penulis, belum ada penelitian yang membahas atau menganalisis
kata ẖizb dalam al-Qur‟an dengan menggunakan metode semantik
Toshihiko Izutsu. Walaupun ditemukan sebuah artikel yang ditulis Ecep
Ismail yang berjudul Analisis Semantik Pada Kata Ahzāb dan Derivasinya
Dalam Al-Qur‟an, tetapi Ecep tidak menerapkan semantik Toshihiko
Izutsu secara spesifik. Dalam artikel tersebut, Ecep hanya
mendeskripsikan kata ahzāb dan derivasinya dalam al-Qur‟an. Sedangkan
pada penelitian ini penulis akan menggunakan kata yang berbeda, yaitu
kata ẖizb dengan pendekatan semantik Toshihiko Izutsu dan menelitinya
lebih dalam berdasarkan teori-teori dalam semantiknya Izutsu secara
khusus.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, karena data yang
digunakan dalam penelitian ini berupa dokumentasi kepustakaan. Oleh
karena itu, penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian Library research
(Penelitian Kepustakaan). Adapun data-data yang digunakan sebagai
bahan dan materi diperoleh dari buku-buku, artikel, jurnal, skripsi, tesis,
dan sebagainya yang terkait dengan tema yang dimaksud.
27
Unun Nasihah, Kajian Semantik Kata Libās dalam Al-Qur‟an (Skripsi:
Fakultas Ushuluddin dan Pemikran islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013). 28
Didin Moh Saefuddin, M Solahuddin, dan Izzah Faizah Siti Rusydati
Khairani, “Iman dan Amal Saleh dalam Al-Qur‟an : Studi Kajian Semantik”. Studi Al-
Qur‟an dan Tafsir (Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung,
2017).
11
2. Sumber Data
Adapun sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua
kategori, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer
merupakan rujukan utama yang menjadi landasan data yang akan dicari
dan dianalisis, sedangkan sumber data sekunder adalah sumber data lain
yang berkaitan dengan tema penelitian guna memperoleh kelengkapan
dalam penelitian.
Dalam penelitian ini, sumber data primer yang digunakan adalah Al-
Qur‟an dan terjemahnya. Sedangkan Sumber-sumber data sekundernya
adalah buku semantik yang dalam hal ini penulis menggunakan buku
Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur‟an
karya Toshihiko Izutsu, kemudian kamus-kamus klasik. Di antaranya
yaitu: Mu‟jam Mufahrās li al-Fāz al-Qur‟ān al-Karȋm, Lisānu Al-A‟rab
karya Ibn Manẕur, Furūq al-Lughawiyah karya al-Askary, dan kamus-
kamus lainnya, kitab tafsir, kitab hadis, buku-buku, jurnal, artikel-artikel,
skripsi dan tesis, dengan pokok permasalahan yang sama dengan tema
penelitian ini dan dianggap penting untuk dikutip dan dijadikan informasi
tambahan.
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini yaitu dengan menggunakan
metode dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan data dari sumber-
sumber bahan atau kepustakaan yang berkaitan dengan tema penelitian ini.
4. Pengolahan Data
Dalam penelitian ini, data-data yang telah didapatkan dan
dikumpulkan akan diolah dan diproses sebagai berikut:
12
a. Deskripsi
Menguraikan data berupa ayat-ayat al-Qur‟an yang berbicara tentang
ẖizb dan mengelompokannya. kompenen-kompenen dalam
pengelompokan tersebut dapat dijadikan sebagai acuan dan pendukung
dalam proses analisis data secara kompeherensif, kemudian menampilkan
konsep makna ẖizb dalam setiap ayat berdasarkan literatur kitab tafsir.
b. Analisis
Tahapan analisis dalam metode semantik pada penelitian ini
dilakukan dengan beberapa langkah sebagaimana yang ditawarkan oleh
Izutsu, yaitu: langkah awal adalah menentukan kata fokus, yang dalam hal
ini adalah kata ẖizb. Selanjutnya menentukan makna dasar dan makna
relasional melalui analisis sintagmatik paradigmatik, kemudian mencari
aspek diakronik dan sinkronik dari kata fokus, terakhir mendeskripsikan
weltanschauung kata fokus.
H. Sistematika Penulisan
Agar penulisan dapat tersusun dengan rapi dan sistematis, penulis
menyusunnya sebagai berikut :
Bab Pertama, berisikan pendahuluan. Bab ini mencakup latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, berisi uraian tentang deskripsi umum semantik yang
terdiri dari lima sub bab, yaitu: pengertian semantik serta ruang lingkup
kajiannya, sejarah dan perkembangan semantik, semantik sebagai
pendektan dalam memahami al-Qur‟an, dan semantik al-Qur‟an Toshihiko
Izutsu.
13
Bab ketiga, berisi uraian tentang deskripsi umum kata ẖizb dalam al-
Qur‟an dan penafsirannya, yang terdiri dari tiga sub bab, yaitu: inventarisir
kata ẖizb dalam al-Qur‟an, kemudian klasifikasi pemaknaan dan
penunjukan kata ẖizb, ẖizbain dan aẖzāb, dan penafsiran ayat-ayat terkait
ẖizb dalam kitab tafsir klasik dan modern.
Bab keempat, analisis semantik kata ẖizb dalam al-Qur‟an yang
terdiri dari lima sub bab, yaitu: penentuan makna dasar, makna relasional,
aspek sinkronik dan diakronik, menemukan weltanschauung kata ẖizb, dan
relevansi pemaknaan semantik atas kata ẖizb dalam konteks sekarang.
Bab kelima, berisikan penutup yang terdiri dari kesimpulan, yaitu
jawaban dari pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah serta
berisi saran-saran mengenai penelitian yang dapat dilakukan kaitannya
dengan tema dalam penelitian ini.
14
15
BAB II
DESKRIPSI UMUM SEMANTIK
A. Pengertian Semantik dan Ruang Lingkup Kajiannya
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, semantik diartikan sebagai
ilmu tentang makna kata dan kalimat, pengetahuan mengenai seluk beluk
dan pergeseran makna kata.1 Sedangkan menurut Fatimah Djajasudarma
dan Chaedar Alwasilah, secara etimologis, semantik diambil dari bahasa
inggris semantics (noun/kata benda) atau kata semantic (adjective/kata
sifat). Kata inggris dari semantics dan semantic berasal dari bentuk
nomina dari bahasa Yunani sema yang berarti sign (tanda), dari bentuk
verba Yunani smaino atau semeion yang berarti menandai to signify.2
Untuk memperjelas hubungan kata sema yang berarti tanda dengan
makna, Abdul Chaer menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tanda
atau lambang dalam nomina Yunani seman adalah tanda-tanda lingustik
(sign linguistique: Prancis). Ferdinand de Saussure menyebutkan ciri-ciri
tanda lingusitik, yaitu: (1) komponen yang menggantikan, yang berwujud
bunyi bahasa (sound); (2) komponen yang diartikan atau makna dari
kompenen pertama (image). 3
Semantik merupakan salah satu bagian dari tiga tataran bahasa yang
meliputi fonologi, tata bahasa (morfologi-sintaksis), dan semantik.
Semantik diartikan sebagai ilmu bahasa yang mempelajari makna. Jadi
semantik adalah makna, membicarakan makna, bagaimana asal mula
1 Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 850. 2 Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Pengantar Ke Arah Ilmu Makna,
(Bandung: Erasco, 1993), 1. 3 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta,
1995), 2.
16
makna, bagaimana perkembangannya, dan perubahannya, dan mengapa
terjadi perubahan makna dalam bahasa.4
Dalam bahasa Arab, ilmu semantik diterjemahkan dengan „ilmu al-
dilālah, terdiri dari dua kata: „ilm yang berarti ilmu pengetahuan dan al-
dilālah yang berarti penunjuk atau makna. Jadi „ilmu al-dilālah menurut
bahasa adalah ilmu tentang makna. Sedangkan secara terminologis,
sebagaimana yang didefinisikan oleh Ahmad Mukhtar Umar, semantik/
„ilmu al-dilālah adalah:
لفرع من علم اللغة الذم يتناكؿ دراسة الدعنى اكذلك ىو العلم الذم يدرس الدعنى اك ذلك ا حتى يكوف قادرا على حمل الدعنى الفرع الذم يدرس الشركط الواجب توافرىا فى الرمز
“Kajian tentang makna, atau ilmu yang membahas tentang makna, atau
cabang linguistik yang mengkaji teori makna, atau cabang linguistik
yang mengkaji syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengungkap
lambang-lambang bunyi sehingga mempunyai \makna“.5
Fokus kajian semantik terkait dengan makna bahasa, baik makna
dalam arti tekstual (leksikal dan gramatikal) maupun dalam arti kontekstua
(konteks teks dan konteks sosial). Oleh karena itu, kajian makna menjadi
bagian dari kajian bahasa. Berdasarkan hal ini, semantik pun sering
dianggap sebagai salah satu cabang dari linguistik.6 Menurut Saussure,
sebagaimana dikutip oleh Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, muara
akhir dari semantik adalah semiotik, karena linguistik sebagai induk
semantik pun hanya bagian dari semiotik. Sesuai dengan pendapat
Saussure ini, Charles Morris memberikan gambaran tentang posisi
semantik dalam semiotik. Menurutnya semiotik terbagi ke dalam tiga
macam, yaitu (1) sintaksis, mempelajari relasi antar kata, frase dan
4 Mohammad Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, 3.
5 Mohammad Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer. 4.
6Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Qur‟an:
Strukturalisme, Semantik, Semiotik dan Hermeneutik, 212.
17
kalimat), (2) semantik (mempelajari makna), dan (3) pragmatik
(mempelajari relasi makna dan pemakaiannya).7 Oleh karena itu, dapat
diketahui bahwa kedudukan semantik adalah bagian atau irisan dari
semiotik.8
Semantik memiliki bidang yang sangat luas, baik dari struktur,
fungsi bahasa maupun multidisipliner bidang ilmu. Oleh karena itu,
semantik dapat dianggap sebagai tataran deskripsi linguistik dan
kompenen linguistik. Akan tetapi, semantik merupakan bidang kajian yang
batas-batasnya tidak begitu jelas, tidak seperti fonetik, fonologi dan
gramatika. Berkaitan dengan batas-batas semantik tersebut, Lehrer
menyatakan bahwa ranah semantik merupakan ranah yang sangat luas,
karena melibatkan unsur-unsur struktur dan fungsi bahasa yang sangat erat
dengan ilmu-ilmu lain, seperti sosiologi, antropologi, filsafat, dan
psikologis.9
Semantik terkait dengan sosiologi, karena kenyataannya penggunaan
kata-kata tertentu untuk mengatakan suatu makna dapat menandai
identitas komunitas tertentu. Terkait dengan antropologi, karena analisis
makna sebuah bahasa dapat menjanjikan klasifikasi praktis tentang
kehidupan budaya pemakainya. Terkait dengan filasafat, karena persoalan
makna berkaitan dengaan proses kreatif (imajinasi) seseoang. Terkait
7 Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Qur‟an:
Strukturalisme, Semantik, Semiotik dan Hermeneutik, 212. 8 Ada tiga istilah yang mirip namun saling berhubungan satu sama lain, yaitu
semiotik, semantika dan semantik. Menurut Piere Guiraund , sebagaimana dikutip Sarwiji
Suwandi, semiotik adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda (bahasa, kode-kode,
seperangkat tanda, dan sebagainya). Dengan demikian dapat diketahui bahwa bahasa
(linguistik) adalah cabang dari semiotik. Kemudian tanda dalam arti bahasa dipelajari
dalam semantik. Sedangkan semantika adalah cabang semiotik yang mempelajari
hubungan antara lambang dan referennya. Baik semantik maupun semantika, keduanya
tercakup dalam semiotik atau cabang dari semiotik. Lihat Sarwiji Suwandi, Semantik:
Pengantar Kajian Makna (Yogyakarta: Media Perkasa, 2011), 19-20. 9 Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Qur‟an:
Strukturalisme, Semantik, Semiotik dan Hermeneutik, 212-213.
18
dengan psikologi, karena kegiatan pemaknaan berkaitan dengan proses
mental. Oleh karena itu, analisis semantik pada dasarnya berdiri di atas
pendekatan disiplin ilmu lain, sehingga semantik menjadi katalisator dan
sekaligus merambah semua disiplin ilmu yang ada. Hal ini dapat
dimengerti karena sifat makna dalam bahasa dalam arti luas selalu hadir
dalam setiap ruang dan waktu. Eksistensi makna pun bersifat absolut,
dalam arti wājib al-wujȋūd. 10
Terkait ruang lingkup kajian semantik, Fatimah berpendangan
bahwa, ruang lingkup kajian semantik berkisar pada pola hubungan ilmu
makna dalam lingustik. Objek semantik adalah makna yang diperoleh dari
proses analisis terhadap struktur dalam seluruh level bahasa (fonologi,
morfologi, dan sintaksis). Makna juga diteliti melalui fungsi yang
berujung pada pengenalan leksikal, gramatikal, serta pemahaman makna
kata, frase, klausa, kalimat dan wacana. Di sini ruang lingkup semantik
menjangkau semua tataran bahasa, fonologi, morfologi, sintaksis, wacana,
dan teks.11
Kemudian menurut Jos Daniel Parera menyebutkan bahwa
ruang lingkup kajian semantik adalah pencarian hakikat makna dan
hubungannya.12
Sedangkan menurut Tarigan, ruang lingkup semantik
dapat dibagi menjadi dua bagian. Dalam ruang lingkup yang luas,
semantik mengkaji seluruh fenomena bahasa. Adapun dalam arti sempit
ruang lingkup semantik terdiri atas dua bagian, yaitu teori referensi
(denotasi dan eksistensi) dan teori makna (konotasi dan intensi). Semantik
mencakup wilayah jenis makna, relasi makna, perubahan makna, serta
medan dan kompenen makna.13
10
Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Qur‟an:
Strukturalisme, Semantik, Semiotik dan Hermeneutik, 213. 11
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Pengantar Ke Arah Ilmu Makna, 4. 12
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Pengantar Ke Arah Ilmu Makna, 214. 13
Tarigan, Pengantar Semantik (Bandung: Angkasa, 1993), 2-6.
19
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa
semantik adalah ilmu yang mengkaji tentang fenomena makna bahasa
yang lebih luas. Semantik merupakan bagian dari linguistik, dan lingustik
adalah bagian dari semiotik. Oleh karena itu, semantik merupakan
irisan/bagian dari semiotik. Ruang lingkup kajian semantik adalah terkait
dengan makna dalam suatu bahasa, baik makna dalam arti tekstual
(leksikal dan gramatikal) maupun dalam arti kontekstul (konteks teks dan
konteks sosial). Kemudian dalam upaya memahami makna kata dalam
suatu bahasa, dalam prosesnya, kajian semantik akan bersinggungan
dengan disiplin ilmu lain, seperti ilmu sosiologi, antropologi, psikologi,
dan filsafat.
B. Sejarah dan Perkembangan Semantik
Untuk lebih memudahkan pembahasan, dalam menguraikan sejarah
dan perkembangan semantik, penulis akan membaginya ke dalam dua
periode, yaitu : periode klasik dan periode modern.
a. Periode Klasik
Secara historis, kajian makna sudah ada sejak zaman Yunani Kuno.
Aristoteles (384-322 SM) adalah orang pertama yang menggunakan istilah
makna lewat batasan kata yang diungkapkannya. Menurutnya, kata
merupakan satuan terkecil yang mengandung makna. Aristoteles juga
membedakan antara makna yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom
dan makna kata yang hadir akibat hubungan gramtaikal. Selain
Aristoteles, Plato (429-347 SM) juga membicarakan tentang makna dalam
20
cratylus ia mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit
mengandung makna-makna tertentu.14
Di India, pembahasan tentang semantik tidak kalah dari Yunani.
Pada ahli bahasa India sejak dulu telah membahas kajian tentang
pemahaman karakteristik kosa kata dan kalimat. Paini (400 SM), seorang
ilmuan Hindu telah mencob mengkaji tentang pemahaman karakteristik
kata dan kalimat. Apa yang dibahas pada waktu itu justru menjadi kajian-
kajian dalam linguistik modern termasuk di dalamnya masalah yang
berkaitan dengan ilmu makna. Permasalahan-permasalahan yang menjadi
topik pembacaraan pada waktu itu antara lain (1) perkembangan bahasa
khususnya mengenai hubungan antara proses bunyi dengan makna, (2)
hubungan antara kata dengan makna yaitu bahwa setiap sesuatu
mencerminkan hubungan antara satuan bahasa dengan makna dan antara
keduanya tidak bisa terpisahkan. 15
Adapun di dunia Arab, studi tentang kajian ini sudah banyak
dilakukan oleh para linguis Arab. Adanya perhatian terhadap kajian ini
muncul seiring dengan adanya kesadaran para linguis dalam memahami
ayat-ayat al-Qur‟ān dan menjaga kemurnian bahasa Arab.
Perhatian mereka itu terlihat pada usaha-usaha, diantaranya : a)
pencatatan makna-makna yang asing dalam al-Qur‟ān, b) pembicaraan
mengenai mukjizat al-Qur‟an, c) penyusunan al-wujūh wa al-Nazhā‟ir
dalam al-Qur‟an. d), penyusunan kamus, dan e) pemberian harkat pada
muśaf al-Qur‟ān. Mengenai yang terakhir ini, telah diketahui bersama
14
Sarwiji Suwandi, Semantik: pengantar Kajian makna (Yogyakarta: Media
Perkasa, 2011), 36. 15
Tajuddin Nur, Semantik Bahasa Arab: Pengantar Studi Ilmu Makna (Jakarta:
First Publiśed, 2014), 21.
21
bahwa dalam bahasa Arab, perubahan harkat menimbulkan perubahan
i‟rab yang pada akhirnya menimbulkan perubahan makna. 16
Jika ditelusuri lebih jauh, penelitian semantik telah terjadi pada
masa sahabat dengan sahabat Ibn „Abbās (w. 68 H) sebagai tokohnya.
Apabila ditemukan kata-kata yang sukar dipahami dalam al-Qur‟ān, maka
para sahabat, termasuk umar bertanya kepada Ibn Abbās, bukan kepada
yang lain. Karena Ibn Abbās dipandang otoritatif di bidang itu seperti
diketahui bahwa beliau didoakan oleh Nabi SAW agar diberikan
kemampuan mentakwil ayat al-Qur‟ān yang mutasyābihāt, misalnya kata
dimaknai Ibn „Abbas denga كابتغوا اليو الوسيلة dalam ayat الوسيلة 17 . الحاجة Dalam perkembangannya, penafsiran dengan menggunakan
semantik juga dilakukan oleh Muqātil Ibn Sulaimān (w.150 H/767 M)
dalam karyanya yang berjudul al-Asybāh wa al-Naẕāir fi al-Qur‟ān al-
Karȋm dan Tafsir Muqātil Ibn Sulaiman. Ia menegaskan bahwa setiap kata
dalam al-Qur‟an selain memiliki makna yang definite juga memiliki
alternatif makna lainnya. Selain Muqātil, yang melakukan hal senada
adalah Harūn Ibn Musa (w. 170 H/786 M) dalam kitabnya al-Wujūh wa
al-Naẕā‟ir fi al-Qur‟ān al-Karȋm, al-Jāhiz (w. 225 H/868 M), dalam al-
Bayān wa al-Tabyȋn dan lain-lain.18
b. Periode Modern
Kajian makna oleh para ilmuan di masa klasik sebenarnya belum
bisa dikatakan sebagai kajian semantik sebagai ilmu yang berdiri sendiri
yaitu cabang dari linguistik, seperti apa yang kita pahami sekarang. Akan
tetapi kajian mereka itu merupakan embrio dari kelahrian semantik.
16
Mohammad Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, 5. 17
Mohammad Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, 6. 18
Faturrahman, Al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu
(Tesis Pasca Sarjana UIN Jakarta, 2010), 102.
22
Baru di akhir abad ke-19, istilah “semantik” di Barat, sebagai ilmu
yang berdiri sendiri, dimunculkan dan dikembangkan oleh ilmuan Prancis,
Michael Breal (1883) melalui karyanya Le Lois Intellectuellis du Langue
dan Essai de Semantique. Meskipun saat itu Breal menganggap semantik
sebagai ilmu baru, ia masih menyebut semantik sebagai ilmu yang murni-
historis, dalam arti masih berkaitan erat dengan unsur-unsur diluar bahasa,
seperti latar belakang perubahan makna, hubungan perubahan makna
dengan logika, psikologi, budaya, dan sebagainya. Oleh karena itu Breal
dianggap sebagai orang pertama yang mengkaji makna secara ilmiah,
modern dan spesifik. Dalam kajiannya tersebut Breal meneliti makna kata
yang terdapat dalam bahasa-bahasa klasik yang terhimpun dalam rumpun
bahasa India-Eropa seperti Yunani, Latin, dan Sanskerta.19
Kajian semantik menjadi lebih terarah dan sistematis setelah
tampilnya Ferdinand de Saussure dengan karyanya, Course de
Linguistique Generale (1916)20
. Ia dijuluki sebagai bapak linguistik
modern. Pada masa itu diperkenalkan dua pendekatan dalam studi bahasa,
yaitu pendekatan sinkronis yang bersifat deskriptif dan pendekatan
diakronis yang bersifat historis. Menurutnya bahasa merupakan satu
kesatuan dan ia merupakan satu sistem yang terdiri atas unsur-unsur yang
saling berkaitan atau berhubungan. Pandangan inilah yang kemudian
mempengaruhi berbagai bidang penelitian, terutama di Eropa. Kajian de
19
Ahmad Mukhtar Umar, „Ilmu al-Dilālah (Kuwait: Dār al-Arūbah, 1982), 11.
dikutip oleh Mohammad Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, 8. 20
Karya tersebut memuat teori revolusioner tentang teori dan praktek studi
kebahasaan, setidaknya dalam dua hal: Pertama, Saussure meninggalkan wawasan yang
bersifat sejarah seperti halnya linguistik pada abad ke-19 dan mengemukakan jenis
pendekatan pada bahasa yakni pendekatan sinkronis dan pendekatan diakronis. Kedua,
bahasa merupakan suatu totalitas yang didukung oleh berbagai elemen yang satu sama
lain saling bergantungan dalam rangka membangun keseluruhan yang pada sisi lain
menjadi akar linguistik strukutural. Lihat Saiful Fajar, Konsep Syaiṯān dalam Al-Qur‟an
(pendekatan semantik al-Qur‟ān Toshihiko Izutsu), 23.
23
Saussure itu selain didasarkan pada analisis struktur bahasa juga
berdasarkan analisis sosial, psikologi, dan pemikiran.21
Setelah Ferdinand de Saussure, banyak pemikir-pemikir barat yang
fokus mengaji tentang bahasa. Di antaranya adalah: Edward Saphir
menerbitkan buku yang berjudul Language Introduction On The Study of
Speech (Amerika Serikat, 1921). Kemudian pada tahun 1923, terbit buku
yang berjudul The Meaning of Meaning karya Ogden dan Richards.
Leonard Bloomfield merupakan tokoh setelah Edward Saphir yang
terkemuka di Amerika Serikat dan diterima sebagai peletak dasar
strukturalisme dalam teori-teori kebahasaan dengan bukunya Language
(1933).22
Selain itu, tokoh yang secara sungguh-sungguh berusaha
mengadaptasikan pendapat Saussure itu dalam bidang semantik adalah
Trier‟s. Salah satu profesor berkebangsaan Jerman tersebut adalah Teori
Medan Makna. Dengan diadaptasikannya teori saussure dalam bidang
semantik, maka dalam perkembangan berikutnya kajian semantik
memiliki ciri (1) meskipun semantik masih membahas masalah perubahan
makna, pandangan yang bersifat historis sudah mulai ditinggalkan karena
kajian yang dilakukan bersifat deskriptif, serta (2) struktur dalam kosa
kata mendapat perhatian dalam kajian sehingga dalam kongres para
linguis di Olso (1957) maupun di Cambridge (1962), masalah “semantik
struktural” merupakan salah satu masalah yang hangat dibicarakan.23
Tokoh lain yang berjasa dalam perkembangan ilmu lingusitik
khususnya semantik adalah Noam Chomsky, seorang tokoh aliran tata
bahasa transformasi. Ia menyatakan bahwa makna merupakan unsur
21
Mohammad Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, 8. 22
Saiful Fajar, Konsep Syaitan dalam Al-Qur‟an (pendekatan semantik al-
Qur‟ān Toshihiko Izutsu), 21. 23
Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna, 17.
24
pokok dalam analisis bahasa.24
menjelang akhir tahun 60-an, sejumlah
linguis pengikut Chomsky, antara lain George Lakoff, John Robert Ross,
Mc Cawley, dan Kiparsky, memisahkan diri dari pandangan linguistik
Chomsky dan mendirikan aliran tersendiri. Aliran tersebut terkenal dengan
sebutan aliran semantik generatif. Pada tahun 1960-an, Katz dan Kawiq
mulai menarik semantik ke dalam teori lingustik. Dalam buku The
Structure of Semantic Teory (1968), mereka mencoba untuk membentuk
sifat dasar dari kompenen semantik model Chomsky. Mereka
membedakan penanda gramatikal dan penanda semantik. Jadi, mereka
tetap mempunayi sedikit perbedaan dengan Chomsky.25
Dari kalangan linguis Arab, muncul nama Ibrahim Anis (w. 1977
M/1397 H), guru besar bidang lingusitik di Universitas Cairo, dengan
kitabnya berjudul Dilālah al-Alfaẕ. Kitab ini mencakup 12 bab. Dalam
kitab tersebut antara lain dibahas tentang sejarah perkembangan bahasa
manusia dan bagaimana hubungan antara lafaz dan maknanya serta jenis
hubungan keduanya. Dibahas juga media makna yaitu lafaz, penjelasan
tentang macam-macam makna (yang dibaginya menjadi empat yaitu,
fonologi, morfologi, sintaksis dan leksiologi). Demikian juga dijelaskan
dalam kitab tersebut bagaimana pendapat para linguis tentang hubungan
antara lafaz dan makna, apakah hubungan itu bersifat alamiah (ṯabi‟iyyah)
ataukah hubungan itu bersifat kebudayaan pemakainya („urfiyyah
iśṯilāhiyyah). Demikian juga masalah-masalah lainnya yang berkaitan
dengan makna. 26
Selain di Barat dan Timur Tengah, di Jepang tahun 1959 muncul
sebuah karya yang berjudul The Structure of Eṯical Katas in The Koran
24
Mohammad Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, 9. 25
Eka Syarifah, Ifkun dan Buhtan dalam al-Qur‟an: Kajian Semantik Menurut
Perspektif Toshihiko Izutsu (Skripsi S1 Fakultas Uśuluddin UIN Jakarta, 2015), 21-24. 26
Mohammad Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, 10.
25
yang ditulis oleh sarjana Jepang yaitu Toshihiko Izutsu. Dalam bukunya,
Izutsu menganalisa konsep kepercayaan dalam Teologi Islam. Tulisannya
ini menjadi pantauan sekaligus kajian cendekiawan muslim kaitannya
dengan teks agama Islam yaitu al-Qur‟an. Penggunaan semantik sebagai
sudut pandang kajian Izutsu dalam membaca teks dilakukannya secara
konsisten. Hal ini dapat ditemukan dalam berbagai karya yang ditulisnya,
di antaranya: Language and Magic: Studies in The Magical Function of
Speech (1959), The Structure of Etical Katas in The Koran (1959), God
and Man in The Koran (1964), dan The Concep of Belief in Islamic
Teology (1965).27
Izutsu merupakan ahli semantik di era modern ini yang berperan
besar dalam mengembangkan dan merumuskan teori semantik sebagai
pendekatan dalam mengkaji al-Qur‟an. Bahkan Fahmi Salim mengatakan
bahwa pada waktu ilmu linguistik masih dalam tahap pengkristalan,
khususnya ilmu semantik dan ilmu tanda semiotik, Izutsu berusaha
menggaris bawahi keunikan al-Qur‟an dan bahasanya yang menunjukan
bahwa ia bersumber dari Tuhan dan menemukan kecocokan karakter dasar
ilmu linguistik itu. Oleh karena itu dia berusaha menundukan teori-teori
linguistik untuk menganalisis al-Qur‟an, dengan tujuan menemukan teori
al-Qur‟an yang komprehensif tentang alam, kehidupan dan manusia.28
Demikian gambaran umum terkait sejarah dan perkembangan kajian
semantik dari era klasik sampai era modern. Berdasarkan uraian tersebut
dapat diketahui bahwa pada dasarnya kajian tentang fenomena makna
bahasa sudah dilakukan sejak abad ke-3 SM, oleh Aristoteles dan Plato.
Tidak hanya di Yunani, seiring berkembangnya zaman, pembicaran terkait
27
Saiful Fajar, Konsep Syaitan dalam Al-Qur‟an (Pendekatan Semantik Al-
Qur‟an Toshihiko Izutsu), 22. 28
Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi Al-Qur‟an Kaum Liberal (Depok:
Perspektif Kelompok Gema Insani, 2010), 114.
26
kajian makna suatu bahasa juga dilakukan di negara-negara lainnya,
seperti India, Arab, dan lain-lain. Akan tetapi pada masa itu, masih dalam
tahap fase awal kemunculan sehingga belum menjadi disiplin ilmu yang
memiliki metodologi mapan. Bahkan penggunakan istilah semantik pun
masih belum populer di kalangan mereka pada waktu itu.
Penggunaan istilah semantik, baru dikenalkan dan dipopulerkan
pada akhir abad ke-19 oleh linguis Prancis bernama Michael Breal (1883)
melalui karyanya Le Lois Intellectuellis du Langue dan Essai de
Semantique. Kemudian kajian semantik menjadi lebih terarah dan
sistematis setelah tampilnya Ferdinand de Saussure dengan karyanya,
Course de Linguistique Generale (1916). Ia dijuluki sebagai bapak
linguistik modern. Seiring berjalannya waktu, muncul juga para ahli
semantik yang terus mengembangkan dan melengkapi kajian-kajian
sebelumnya, seperti Trier‟s, Noam Chomsky, George Lakoff, John Robert
Ross, Mc Cawley, dan Kiparsky. Di Timur tengah diantaranya Ibrahim
Anis, guru besar bidang lingusitik di Universitas Cairo. Di jepang yang
populer adalah Toshihiko Izutsu, dan lain-lain. Kehadiran para ahli
semantik di era modern ini, terus melengkapi dan memperkaya kajian
kebahasaan, dalam konteks ini adalah ilmu semantik, sehingga melahirkan
teori-teori yang lebih sistematis dan komprehensif.
C. Semantik Sebagai Pendekatan dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Kesadaran semantik dalam penafsiran al-Qur‟an dimulai sejak masa
Muqātil Ibn Sulayman (w.150 H/767 M). Menurutnya setiap kata di dalam
al-Qur‟an memiliki makna definitif (makna dasar) dan beberapa alternatif
makna lainnya. Contohnya adalah kata Yadd. Kata Yadd memiliki makna
dasar “tangan”. Dalam penafsirannya, kata Yadd memiliki tiga alternatif
makna, yaitu tangan fisik yang merupakan anggota tubuh dalam surat al-
27
A‟raf ayat 108, dermawan dalam surat al-Isra‟ ayat 29. Dan aktivitas atau
perbuatan dalam surat Yasin ayat 35.
Generasi penerus Muqātil terus berkembang dan mulai
menggunakan kesadaran semantiknya dalam penafsiran al-Qur‟an. Ulama-
ulama tersebut antara lain: Harun Ibn Musa (w. 170 H/786), Yahya Ibn
Salam (w. 200 H/815 M), al-Jahiz (w. 225 H/868 M), Ibn Qutaibah (w.
276 H/898 M), dan Abd al-Qadira al-Jurjaniy (w. 471 H/1079 M). Ulama-
ulama tersebut sangat menekankan pentingnya pemaknaan konteks dalam
memahami ayat-ayat al-Qur‟an. mereka juga membedakan antara makna
dasar dan makna relasional. 29
Bahkan, Mujāhid Ibn Jabbār (w. 102 H) juga memaknai beberapa
kata dalam al-Qur‟am menggnakan pendekatan semantik. Misalnya ketika
memaknai kata ثمر dalam ayat : ( كىكىافى لىوي ثمىىره فػىقىاؿى لصىاحبو كىىيوى ييىاكريهي أىنىا أىكثػىري منكى مىالن كىأىعىز نػىفىرنا )
“Dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada
kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia :
Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku
lebih kuat” (Q.S al-Kahfi : 34).
Kata ثمر (Tsamara) pada ayat di atas memiliki makna dasar buah-
buahan. Akan tetapi oleh Mujahid kata tersebut dimaknai dengan emas
dan perak (harta kekayaan). Perubahan kata tersebut terjadi sebagai arti
pentingnya konteks masyarakat pada saat itu.30
Keniscayaan kata atau ayat dalam al-Qur‟an yang mengandung
multi tafsir, diakui juga oleh Ali Ibn Abȋ Ṯālib. Dalam sebuah riwayat, Ali
Ibn Abȋ Ṯālib pernah memerintahkan Ibn „Abbas untuk menolak
keagamaan kaum khawarij dengan menggunakan sunnah, tidak dengan al-
29
Fauzan Azima, ”Semantik Al-Qur‟an”. Tajdid: Jurnal Pemikiran Keislaman
dan Kemanusiaan” (Bima: lembaga penelitian dan Pengabdian IAI Muhammadiyah,
2017), 54. 30
Zeim El Mubarak, Semantik Al-Qur‟an (Semarang: Fakultas Bahasa Dan Seni
Universitas Negeri Semarang, 2017), 11.
28
Qur‟an. Hal ini dikarenakan al-Qur‟an memiliki beberapa “wajah” dengan
komentar Ali selengkapnya “janganlah engkau berargumen menghadapi
mereka dengan al-Qur‟an, karena ia memiliki beberapa wajah”.31
Ungkapan dari Ali Ibn Abȋ Ṯalib r.a ini, mengindikasikan adanya
kemungkinan kata-kata atau ayat-ayat dalam al-Qur‟an untuk dipahami
secara beragam. Hal demikian menunjukan salah satu karakerisitik bahasa
al-Qur‟an yang kental dengan aspek semantiknya.
Dalam perkembangannya, Kajian semantik yang mengambil al-
Qur‟an sebagai objek kajian terus ditempuh oleh para ahli dan melahirkan
sejumlah karya mengenai hal tersebut. Amȋn al-Khulli dalam Manāhij al-
Tajdȋd fȋ al-Nahw wa al-Balāghah wa al-Tafsȋr wa al-Adab (1965) dan
Binṯ al-Syāṯi dalam al-Tafsȋr al-Bayāni li al-Qur‟ān (1966) merupakan
dua orang yang disebut oleh J.J.G Jansen sebagai dua tokoh mufasir
muslim terkemuka yang menggunakan semantik sebagai basis tafsir Al-
Qur‟an. Keduanya menerapkan prinsif kajian linguistik dalam melacak
berbagai makna Al-Qur‟an, yang dilansir oleh J.J.G Jansen telah
menempuh prosedur kajian filologi.32
Amȋn al-Khulli adalah sebagai tokoh mufasir yang melengkapi teori
semantik dari tokoh-tokoh sebelumnya, sedangkan Binṯ al-Syāṯi adalah
yang mengaplikasikannya dalam menafsirkan al-Qur‟an. Karena para
mufasir sebelumnya juga sudah menggunakan pendekatan semantik
sebagai salah satu alternatif dalam mengakaji al-Qur‟an. Seperti al-Farra
31
Al-Suyūṯi, al-Itqān Fȋ Ulūm al-Qur‟an (Beirut: Risalah Nasiuun, 2008), 41.
Dikutip oleh Saiful Fajar, Konsep Syaitan dalam Al-Qur‟an (pendekatan semantik al-
Qur‟ān Toshihiko Izutsu), 25.
32
Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Qur‟an:
Strukturalisme, Semantik, Semiotik dan Hermeneutik, 240.
29
(w. 207 H), dengan karya tafsirnya Ma‟āni al-Qur‟ān, Abū Ubaydah (w.
209 H), al-Sijistāni (w. 255 H), dan al-Zamakhsari (w. 538 H/1144 M).33
Dalam hal ini, Fahmi Salim berpandangan bahwa teori semantik
yang digagas oleh Amȋn al-Khulli selanjutnya disempurnakan lagi oleh
Toshihiko Izutsu. Izutsu merumuskan kembali metode semantik sebagai
pendekatan dalam mengkaji al-Qur‟an. Untuk mengetahui lebih jauh
bagaimana teori semantik al-Qur‟an Toshihiko Izutsu, lebih detailnya
penulis akan uraikan pada sub berikutnya.
D. Semantik Al-Qur’an Toshihiko Izutsu
Toshihiko Izutsu merupakan ilmuan yang secara konsisten
menerapkan analisis semantik dalam kajian al-Qur‟an. Ia merupakan salah
seorang intelektual yang berasal dari Tokyo, Jepang, terlahir pada awal
abad ke dua puluh, tepatnya pada tahun 1914. Ia seorang profesor di
Institut Studi Kebudayaan dan Bahasa di Universitas Keio, Tokyo. Ia juga
merupakan maha guru tamu pada Insitute of Islamic Studies di Universitas
McGill, Montreal-Kanada, pada mata kuliah Teologi dan Filsafat Islam.34
Menurut Izutsu, semantik adalah kajian analitik terhadap istilah-
istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai
pada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia
masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai alat bicara
dan berfikir, tetapi yang lebih penting lagi, pengkonsepan dan penafsiran
dunia yang melingkupinya. Dalam hal ini, dia juga menambahkan bahwa
apa yang disebut semantik sekarang ini adalah susunan rumit yang sangat
membingungkan. Sangat sulit bagi seseorang di luar (disiplin linguistik)
untuk mendapatkan gambaran secara umum seperti apa semantik itu.
33
Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna (Bandung: PT. Sinar
Baru Algesindo 2008), 15. 34
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Vi.
30
Salah satu alasannya, semantik menurut etimologinya adalah merupakan
ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna dengan pengertian yang
lebih luas dari kata, begitu luas sehingga hampir saja yang mungkin
dianggap memiliki makna merupakan objek semantik.35
Penelitian Izutsu terhadap al-Qur‟an, adalah ingin berusaha
menampilkan maksud al-Qur‟an sebagaimana yang diinginkan oleh al-
Qur‟an, atau dalam kata lain, membiarkan al-Qur‟an menafsirkan
konsepnya sendiri dan berbicara tentang dirinya sendiri.36
Adapun poin penting yang harus dijelaskan terkait teori semantik
Izutsu, yaitu: kosa kata (berkaitan dengan kata kunci, kata fokus dan
medan semantik), makna dasar, makna relasional, semantik historis
(sinkronis dan diakronis), dan weltanschaunung.
1. Kosakata
Kosakata menurut Izutsu adalah kata-kata yang berhubungan satu
sama lain dalam hubungan rangkap, hingga membentuk sejumlah wilayah
tumpang-tindih.
Kosakata tersebut berkaitan dengan kata fokus, kata kunci dan
medan semantik. Adapun maksud dari kata fokus adalah kata kunci yang
secara khusus menunjukan dan membatasi bidang konseptual yang relatif
independen dan berbeda dalam kosa kata yang lebih besar dan ia
merupakan pusat konseptual dari sejumlah kata kunci tersebut. 37
Pada
penerapannya, kata yang dijadikan kata fokus adalah kata yang akan
diteliti.38
35
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 3. 36
Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam Qur‟an, trj. Agus
Fakhri Husen, dkk (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, cet-1, 1993), 3. 37
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 22. 38
Zeim El Mubarak, Semantik al-Qur‟an, 8.
31
Selanjutnya, kata kunci adalah kata-kata yang memainkan peranan
yang sangat menentukan dalam penyusunan struktur konseptual dasar
pandangan dunia al-Qur‟an.39
selanjutnya Izutsu mengaitkan kata kunci
dengan konsep-konsep etik dalam al-Qur‟an. Menurutnya, ada tiga
kategori yang berkaitan dengan konsep etik dalam al-Qur‟an, yaitu : 1)
kategori yang menunjukan dan menguraikan sifat Tuhan, 2) kategori yang
menjelaskan berbagai macam aspek sikap fundamental manusia terhadap
Tuhan penciptanya, 3) kategori yang menunjukan tentang prinsip-prinsip
dan aturan-aturan tingkah laku yang menjadi milik dan hidup di dalam
masyarakat.40
Dari ketiga kategori konsep etik al-Qur‟an tersebut, kategori
kedua dapat diperkecil menjadi dua konsep dasar yang berbeda, yaitu:
keyakinan mutlak terhadap Tuhan (dinyatakan dalam al-Qur‟an dengan
kata kunci Islam dan Iman) dan ketakutan yang sungguh-sungguh
(dinyatakan dengan kata kunci Taqwa).41
Berikutnya, medan semantik adalah wilayah atau kawasan yang
dibentuk oleh beragam hubungan di antara kata dalam suatu bahasa, 42
atau nama dari kelompok-kelompok kata kunci. 43
2. Makna Dasar
Makna dasar adalah makna yang melekat pada sebuah kata dan terus
akan terbawa di manapun kata itu dipakai. Dalam prakteknya pencarian
makna dasar ini menggunakan kamus-kamus Arab baik klasik ataupun
kontemporer. Sebagai contoh kata al-kitāb, makna dasarnya adalah kitab
atau buku (bahasa Indonesia). Ia tetap menggunakan konsep kitab di
39
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 18. 40
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 20. 41
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 21-27. 42
Zeim El Mubarak, Semantik al-Qur‟an, 9. 43
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 22.
32
manapun ia diletakan baik di dalam al-Qur‟an maupun di luar al-Qur‟an.
kata ini mempertahankan makna aslinya “kitab”.44
3. Makna Relasional
Makna relasional adalah sesutu yang konotatif yang diberikan dan
ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakan kata itu pada
posisi khusus pada bidang khusus, berada pada relasi yang berbeda dengan
semua kata-kata penting lainnya dalam sistem tersebut.45
Untuk
mendapatkan makna relasional maka dilakukan dengan dua tahap. Yaitu :
pertama, Analisis Sintagmatik, yaitu analisis yang berusaha menentukan
makna suatu kata dengan cara memperhatikan kata-kata yang ada di
depan dan di belakang kata yang sedang dibahas dalam suatu bagian
tertentu.46
Kedua, analisis paradigmatik, yaitu analisis yang
mengkomparasikan kata atau konsep tertentu dengan kata atau konsep lain
yang mirip (sinonim) atau berlawanan (antonim).47
Dalam bukunya, Izutsu mencontohkan kata kitāb dalam al-Qur‟an.
Menurutnya makna dasarnya baik yang ditemukan dalam al-Qur‟an
maupun di luar al-Qur‟an sama, yaitu “buku”. Kemudian dalam konteks
al-Qur‟an, kata kitāb menerima makna yang luar biasa pentingnya sebagai
isyarat konsep religius yang sangat khusus dan dilingkupi oleh cahaya
kesucian. Konteks kata ini berdiri dalam hubungan yang sangat dekat
dengan wahyu ilahi, atau konsep-konsep yang cukup beragam yang
merujuk langsung pada wahyu. Ini berarti kata sederhana kitāb, dengan
makna sederhana “buku”, ketika diperkenalkan ke dalam sistem khusus
44
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 11. 45
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 12. 46
Nailur Rahman, Konsep Salam dalam Al-Qur‟an dengan Pendekatan
Semantik Toshihiko Izutsu, 43. 47
Zunaidi Nur, Konsep al-Jannah dalam al-Qur‟an: Aplikasi Semantik
Toshihiko Izutsu (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Uśuluddin dan Pemikiran Islam UIN
Sunan Kalijaga, 2014), 64.
33
dan diberikan posisi tertentu yang jelas, memerlukan banyak unsur
semantik baru yang muncul dari situasi khusus ini, dan juga muncul dari
hubungan yang beragam yang dibuat untuk menunjang konsep-konsep
pokok lain dari sistem tersebut. Dengan demikian dalam kasus ini, kata
kitāb begitu dikenalkan dalam konseptual islam, ditempatkan dalam
hubungan erat dengan kata-kata penting al-Qur‟an seperti Allah, wahy
“wahyu”, tanzȋl “menurunkan” (firman Tuhan), naby “nabi”, ahl
“masyarakat” (dalam kombinasi khusus ahl kitāb, berarti masyarakat yang
memiliki kitab wahyu seperti Kristen dan Yahudi). 48
Berikut ini diagram medan semantik dari kata kitāb yang
menggambarkan hubungan antara kata fokus dan kata-kata kunci yang
berperan dalam membentuk konsep makna kitāb dalam al-Qur‟an.
Diagram 2.1: Medan Semantik Kata Kitāb
Oleh karena itu, dalam konteks al-Qur‟an, kata kitāb memiliki relasi
makna khusus yang menunjukan sesuatu yang suci, sakral dan memiliki
dimensi ilahiyah.
48
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 11-12.
Allah
tanzȋl
Kitāb
nabiy wahy ahl
kitāb
34
4. Semantik Historis (Sinkronik dan Diakronik)
Sejarah kata kunci al-Qur‟an atau semantik historis bisa dilakukan
dengan dua cara, yaitu sinkronik dan diakronik. Kata sinkronik berasal
dari bahasa Yunani yaitu syn yang berarti dengan, dan chronoss yang
berarti waktu. Adapun dalam kamus bahasa Indonesia, sinkronik diartikan
sebagai segala sesuatu yang bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi
pada suatu masa. 49
Jadi sinkronik adalah sudut pandang masa di mana
kata tersebut lahir dan berkembang untuk memperoleh suatu sistem kata
yang statis. Dengan sudut pandang ini, akan terlihat unsur-unsur lama
yang terlepas dalam sebuah bahasa, kemudian muncul unsur-unsur baru
yang menemukan tempatnya sendiri dalam sistem bahasa tersebut. 50
Sedangkan diakronik adalah adalah pandangan terhadap bahasa yang
pada prinsipnya menitik beratkan pada unsur waktu. Dengan demikian
secara diakronik kosa kata adalah sekumpulan kata yang masing-
masingnya tumbuh dana berubah secara bebas dengan caranya sendiri
yang khas. Beberapa kata dalam kelompok itu dapat berhenti tumbuh
dalam pengertian berhenti penggunaannya oleh masyarakat dalam jangka
waktu tertentu, sedangkan kata-kata lainnya dapat terus digunakan dalam
jangka waktu yang lama.51
Secara sederhana, Izutsu menyederhanakan persoalan ini dengan
membagi periode waktu penggunaan kosa kata dalam tiga periode waktu,
yaitu pra-Qur‟anik (Jahiliyah), Qur‟anik, dan pasca-Qur‟anik. Yang
menjadi patokan pencarian kosakata pra-Qur‟anik adalah (1) kosa kata
badwi murni masa nomaden, (2) kosa kata kelompok pedagang, (3) kosa
49
Asep Muhammad Fajruddin, Konsep Munafik dalam Al-Qur‟an (Analisis
Semantik Toshihiko Izutsu) (Jakarta: Skripsi Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir,
Fakultas Uśuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), 24. 50
Saiful Fajar, Konsep Syaiṯān dalam Al-Qur‟an (pendekatan semantik al-
Qur‟ān Toshihiko Izutsu), 31. 51
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 32.
35
kata Yahudi-Kristen. Ketiga poin tersebut merupakan unsur-unsur penting
kosakata Arab pra-Islam.52
Pada masa Qur‟anik, kosakata al-Qur‟an
sangat luar biasa, bahkan tiada taranya sebagai bahasa wahyu ilahi, maka
wajarlah semua sistem pasca-al-Qur‟an sangat terpengaruh oleh kosa kata
al-Qur‟an tersebut. Pada periode pasca-al-Qur‟an, Islam banyak
menghasilkan banyak sistem pemikiran yang berbeda khususnya pada
masa Abbasiyah, yakni teologi, hukum, teori politik, filsafat, tasawuf.
Masing-masing produk kultural Islam ini mengembangkan sistem
konseptualnya sendiri, kosakatanya sendiri yang mencakup sejumlah
subsistem. Dengan demikian, kita sepenuhnya berhak untuk
membicarakan kosakata teologi Islam, kosakata hukum Islam, kosakata
tasawuf, dan lain-lain menurut teknis yang berbeda-beda.53
Misalnya kata karȋm. Kata ini merupakan istilah kunci yang sangat
penting di masa jahiliyah, yang berarti kemuliaan karena garis keturunan,
yakni seseorang yang mulia semenjak lahir, yang berasal dari nenek
moyang yang kataasyhur karena silsilahnya yang tidak tercela. Dan
karena dalam konsepsi Arab kuno mengenai kebijakan manusia,
kedermawanan yang berlebihan dan tidak mengenal batas merupakan
manifestasi yang paling nyata dan paling kongkrit dari kemuliaan seorang
manusia, maka karȋm juga bermakna seseorang yang memiliki sifat-sifat
dermawan yang luar biasa yang menurut konsep Islam mencapai tingkatan
“orang boros”.54
Jadi kata karȋm dalam konsep masyarakat jahiliyah
adalah sesorang yang dianggap memiliki kemulianan karena garis
keturunannya, dan memaknai manfestasi kemuliaan itu adalah
kedermawanan yang berlebihan yang dilakukan atas dasar kesombongan
52
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 35. 53
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 42. 54
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 40-41.
36
dan kebanggaan, serta keinginan pamer akan kedermawanannya. Bahkan
para penyair kuno juga tidak henti-hentinya memuji kebajikan seperti ini,
dan dianggapnya satu-satunya cara untuk mempertahankan kehormatan
nenek moyang seseorang. Berikut ini syairnya :
ندافع عن احسابنا بلحومها كالبانها اف الكريم يدافع “Kami berusaha untuk membela kehormatan nenek moyang kami,
bersama-sama dengan daging dan susu mereka (onta kami), karena
sesungguhnya, seorang karȋm adalah seseorang yang dapat
mempertahankan (kehormatan yang telah diturunkan nenek
moyangnya yang masyhur kepadanya)”.
Muatan makna kata karȋm ini mengalami perubahan drastis setelah
digunakan dalam konteks al-Qur‟an. kata ini diletakan dalam hubungan
yang dekat dengan taqwa. al-Qur‟an menyatakan dengan sangat jelas
bahwa “yang paling karȋm (mulia)” di antara semua manusia adalah orang
yang bersikap taqwa kepada Allah.
اف اكرمكم عند الله اتقاكم“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang
paling bertakwa” (Q.S Al-Hujurāt, ayat 13)
Di sini dapat dilihat bahwa karȋm yang awalnya merupakan cita-cita
jahiliyah tertinggi dalam hal kedermawanan tanpa perhitungan sebagai
manifestasi langsung dari kemuliaan, kemudian mengalami proses
transformasi ke dalam sesuatu yang sama sekali baru dan berbeda melalui
pengaruh semantik yang mendalam. Pada saat yang sama, karȋm lalu
diterapkan pada seseorang yang sungguh-sungguh percaya dan taat, yang
bukannya menghabiskan kekayaannya dengan membabi buta, tanpa
berfikir panjang dan semata-mata untuk pamer, namun sama sekali tidak
ragu-ragu untuk menggunakan kekay
37
aannnya untuk tujuan yang jelas dan benar-benar mulia berdasarkan
konsepsi yang baru yakni membelanjakan kekayaannya di “jalan Allah”.55
Adapun konsep makna karȋm pasca-Qur‟an, tidak berbeda dengan konsep
yang ditampilkan oleh al-Qur‟an yaitu kemuliaan seseorang karena
kebajikannya yang dilakukan atas dasar ketaatan kepada Allah SWT.
5. Weltanchauung
Weltanschauung ini merupakan tahap terakhir dari semantiknya
Izutsu. Pemahaman Izutsu tentang weltanschauung bermula dari
weltanschauung Karl Jaspres. Jaspres berpandangan bahwa hidup kita
berada pada beberapa tingkat, jika kita meninggalkan tingktat normal,
maka akal sehat kita akan menyatakan bahwa benda-benda alam termasuk
manusia hanyalah sekedar benda. 56
Namun jika kita melangkah ke dalam
medan Existenz (jiwa yang ada di dalam pengalaman mistik), maka kita
akan mendapati diri kita berdiri dihadapan Tuhan, lalu Tuhan berbicara
kepada kita, tidak secara langsung melainkan melalui fenomena alam.57
Dengan begitu, kita akan menganggap benda-benda di sekitar kita bukan
sebagai benda alam semesta, melainkan sebagai lambang atau simbol
yang dimana melalui lambang atau simbol tersebut yang Maha Meliputi
(Tuhan) berbicara kepada kita secara langsung. Dengan demikian, seluruh
alam raya ini merupakan tulisan rahasia yang sangat besar atau satu buku
simbol besar yang hanya dapat dibaca oleh orang yang berada pada
tingkatan existenz.58
55
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 41. 56
Ahmad Sahidah, God, Man, and Nature: Perspektif Toshihiko Izutsu tentang
Relasi Tuhan, Manusia dan Alam dalam al-Qur‟an (Yogyakarta: IRCiSoD, cetakan
pertama, 2018), 187. 57
Ahmad Sahidah, God, Man, and Nature: Perspektif Toshihiko Izutsu tentang
Relasi Tuhan, Manusia dan Alam dalam al-Qur‟an, 187-188. 58
Ahmad Sahidah, God, Man, and Nature: Perspektif Toshihiko Izutsu tentang
Relasi Tuhan, Manusia dan Alam dalam al-Qur‟an, 188.
38
Pendapat Japres di atas, menurut Izutsu sangat sesuai dengan
pemikiran al-Qur‟an yang menyatakan bahwa segala sesuatu merupakan
ayat Allah yang sifat simboliknya hanya bisa dipahami oleh orang yang
memiliki „aql dan orang yang bisa berfikir (tafakkur) dalam arti yang
sebenarnya.59
Selain itu, Izutsu juga menjelaskan bahwa semantik
merupakan sejenis weltanschauung, yakni suatu kajian terhadap hakikat
dan struktur pandangan dunia suatu bangsa saat sekarang atau pada zaman
sangat penting dalam sejarahnya, yang diperoleh melalui analisis
metodologi terhadap konsep kebudayaan utama yang dilahirkan bangsa
tersebut untuk dirinya dan telah menyatu ke dalam bahasa kunci dari
bahasa itu. Jadi semantik yang digagas oleh Izutsu ini sebenarnya tidak
hanya untuk sekedar menjelaskan/ memahami makna secara harfiah saja
melainkan untuk mengungkapkan budaya/pengalaman kebudayaan yang
terkandung di dalamnya. Akhirnya hasil analisis dari semantik Izutsu ini
akan mencapai suatu rekonstruksi tingkat analitis struktur keseluruhan
budaya itu sebagai konsepsi masyarakat yang sungguh-sungguh ada. Hal
tersebutlah yang dimaksud izutsu sebagai weltanschauung semantik
budaya.60
Pendek kata, Izutsu berpandangan bahwa weltanschauung
merupakan suatu pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa,
tidak hanya sebagai alat bicara dan berfikir saja, tetapi juga untuk
pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya, singkatnya visi
al-Qur‟an tentang alam semesta.61
59
Ahmad Sahidah, God, Man, and Nature: Perspektif Toshihiko Izutsu tentang
Relasi Tuhan, Manusia dan Alam dalam al-Qur‟an, 188. 59
Ahmad Sahidah, God, Man, and Nature: Perspektif Toshihiko Izutsu tentang
Relasi Tuhan, Manusia dan Alam dalam al-Qur‟an, 188. 60
Ahmad Sahidah, God, Man, and Nature: Perspektif Toshihiko Izutsu tentang
Relasi Tuhan, Manusia dan Alam dalam al-Qur‟an, 193. 61
Zeim El Mubarak, Semantik al-Qur‟an, 8.
39
BAB III
DESKRIPSI DAN TAFSIR AYAT-AYAT TERKAIT ḪIZB DALAM
AL-QUR’AN
A. Inventarisir Kata Ḫizb dalam al-Qur’an
Dalam al-Qur‟an, kata ẖizb hanya terdiri dari tiga bentuk dan
terulang sebanyak 20 kali pada berbagai ayat dan surat yang berbeda.
Adapun bentuk tersebut antara lain1.
a. حزب disebutkan sebanyak 8 kali
b. حزبين disebutkan hanya 1 kali
c. احزاب disebutkan sebanyak 11 kali
Perincian ayat-ayat dari pembagian di atas bisa dilihat pada tabel di
bawah ini, sekaligus penulis sebutkan juga tempat turun masing-masing
ayat.
Tebel 3.1: Inventarisir Kata Ḫizb dalam al-Qur’an
No Kata Surat-Ayat Turun
al-Māidah (5): 56 Madaniyah حزب 1
2 al-Mu‟minūn (23): 53 Makiyah
3 al-Rūm (30): 32 Makiyah
4 al-Mujādilah (58): 19 dan 22 Madaniyah
5 Fāṯir (35): 6 Makiyah
Al-Kahfi (18): 22 Makiyah حزبين 6
Hūd (11): 17 Makiyah احزاب 7
8 al-Ra‟d (13): 36 Makiyah
9 Maryam (19):37 Makiyah
10 al-Aẖzāb (33): 20 dan 22 Madaniyah
11 Śād (38): 11 dan 13 Makiyah
12 Fāṯir (40): 5 dan 30 Makiyah
1 Muhammad Fu‟adi Abdul Baqi, Al-Mu‟jam Al-Mufahras Li al-Fāẕ al-Qur‟an
(Kairo: Dar al-Qutub Al-Miśriyah, tt), 199
40
Melalui tebel di atas, dapat diketahui bahwa dilihat dari tempat
turunnya, ayat-ayat yang menyinggung tentang ẖizb dalam berbagai
bentuknya, lebih dominan pada periode Mekah dari pada periode
Madinah. Terdapat 9 ayat pada periode Makiyah dan 3 ayat pada periode
Madaniyah. Sedangkan ayat yang secara spesifik menyebutkan kata ẖizb
terdapat 5 ayat yang mana 3 ayat periode Makiyah dan 2 ayat periode
Madaniyah.
B. Klasifikasi Pemaknaan dan Penunjukan Kata Ḫizb, Ḫizbain dan
Aẖzāb
Sebagaimana sudah disebutkan di atas, bahwa kata ẖizb di beberapa
ayat dalam al-Qur‟an terdiri dari tiga bentuk, yaitu bentuk tunggal/mufrad
(ẖizb), kemudian dua/mutsanna (ẖizbain), dan plural/jama‟ (al-aẖzāb).
Dalam al-Qur‟an, ketiga bentuk ini memiliki makna yang sama
(kelompok; satu kelompok bagi yang mufrad, dua kelompok bagi yang
mutsanna, dan kelompok-kelompok bagi yang jama‟), hanya orientasi
dan penunjukan maknanya saja yang beragam tergantung konteksnya.
Husein Ibn Muhammad al-Dam‟āni dalam kitabnya Qāmus al-
Qurān au Iślāh al-Wujūh wa al-Naẕāir fi al-Qur‟ān,2 menguraikan
penunjukan makna ẖizb dengan berbagai bentuknya dalam al-Qur‟an ke
dalam enam bentuk3, yaitu:
1). Ahl al-Dȋn (pemeluk agama).
Bentuk makna ini, dijumpai dalam Q.s al-Mu‟minūn /23: 53
يهم فىرحيوفى ) نػىهيم زيبػيرنا كيل حزبو بىا لىدى (فػىتػىقىطعيوا أىمرىىيم بػىيػ
2 Husein Ibn Muhammad al-Dam‟āni, Qāmus al-Qurān au Iślāh al-Wujūh wa
al-Naẕāir fi al-Qur‟ān (Dār al-Ilmi al-Mālayȋn: Beirut, 1983), 126. 3 Al-Dam‟āni tidak menyinggung makna ẖizb dalam bentuk mutsanna. Oleh
karenanya, penulis menghadirkan makna bentuk mutsanna nya agar pemahamannya
utuh. Sehingga jumlahnya menjadi tujuh macam penunjukan makna.
41
“Kemudian mereka terpecah belah dalam urusan (agamanya) menjadi
beberapa golongan. Setiap pemeluk agama, merasa bangga dengan apa
yang ada pada mereka (masing-masing).” (Q.s: al-Mu‟minūn/25: 53).
2). Jund (pasukan)
Bentuk makna ini, dijumpai dalam Q.s al-Mujādilah/ 58: 19 dan 22.
استىحوىذى عىلىيهمي الشيطىافي فىأىنسىاىيم ذكرى اللو أيكلىئكى حزبي الشيطىاف أىلى إف حزبى الشيطىاف (الخىاسريكفى )ىيمي
“Syetan telah menguasai mereka, lalu menjadikan mereka lupa
mengingat Allah. Maka mereka itulah tentara setan. Ketahuilah, bahwa
tentara setan itulah golongan yang rugi (19)”.
دي قػىومنا يػيؤمنيوفى باللو كىاليػىوـ الخر يػيوىادكفى مىن حىاد اللوى كىرىسيولىوي كىلىو كىانيوا آبىا ءىىيم أىك لى تىىيم بريكحو يمىافى كىأىيدى منوي أىبػنىاءىىيم أىك إخوىانػىهيم أىك عىشيرىتػىهيم أيكلىئكى كىتىبى ف قػيليومي الالدينى فيهىا رىضيى اللوي عىنػهيم كىرىضيوا عىنوي أيكلىئ كى كىييدخليهيم جىناتو تىرم من تىتهىا الىنػهىاري خى
( حزبي اللو أىلى إف حزبى اللو ىيمي الميفلحيوفى ) “Engkau (Muhamad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang
yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu
bapaknya, anaknya. Saudaranya atau keluarganya. Mereka itulah orang-
orang yang di dalam hatinya telah ditanamkan oleh Allah keimanan dan
Allah telah menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari
Dia. Lalu dimasukannya mereka ke dalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridla terhadap
mereka dan mereka pun merasa puas terhadap limpahan rahmat-Nya.
merekalah tentara Allah. ingatlah sungguhnya tentara Allah itulah yang
beruntung” (Q.s al-Mujādalah/58:22).
3). Dua kubu atau kelompok Aśẖāb al-Kahfi yang berselisih.
Penggunaan bentuk makna ini, dijumpai dalam Q.s al-Kahfi ayat 12
ا ) ا لىبثيوا أىمىدن (ثي بػىعىثػنىاىيم لنػىعلىمى أىم الحزبػىين أىحصىى لمى
“Kemudian kami bangunkan mereka,agar kami mengetahui manakah di
antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa
lamanya mereka tinggal (dalam gua itu).” (Q.s al-Kahfi/18: 12).
42
4). Kelompok-kelompok dari kalangan orang kafir keturunan Umayyah,
keturunan Mughirah, dan keluarga Abȋ Ṯalẖah. Semuanya dari kabilah
Quraisy.
Penggunaan bentuk makna ini, dijumpai dalam Q.s al-Ra‟d (13): 36
نىاىيمي الكتىابى يػىفرىحيوفى بىا أينزؿى إلىيكى كىمنى الىحزىاب مىن يػينكري بػىعضىوي قيل إنى ا كىالذينى آتػىيػ (أيمرتي أىف أىعبيدى اللوى كىلى أيشرؾى بو إلىيو أىدعيو كىإلىيو مىآب )
“Dan orang yang telah kami berikan kitab kepada mereka, bergembira
dengan apa (kitab) yang diturunkan kepadamu (Muhammad), dan ada di
antara golongan ada yang mengingkari sebagiannya. Katakanlah, “Aku
hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak
mempersekutukannya. Hanya kepada-Nya aku seru manusia dan hanya
kepada-Nya aku kembali.”
Kata ahẕāb pada ayat ini, ditujukan kepada tiga kelompok tersebut
di atas, yaitu orang kafir keturunan Umayyah, keturunan Mughirah, dan
keluarga Abȋ Ṯalẖah. Demikian juga dalam Q.s śād (38): 11.
(ىينىالكى مىهزيكهـ منى الىحزىاب )جينده مىا “(Mereka itu) kelompok besar bala tentara yang ada di sana yang akan
dikalahkan”
5). Kelompok-kelompok yang berselisih dari kalangan Nasrani al-
Nusṯūriyah, al-Ya‟qūbiyah dan al-Malkāniyah.
Penggunaan makna demikian, terdapat dalam Q.s al-Zukhrūf (43):
65
اب يػىووـ أىليمو ) (فىاختػىلىفى الىحزىابي من بػىينهم فػىوىيله للذينى ظىلىميوا من عىذى “Tetapi golongan-golongan (yang ada) saling berselisih di antara mereka;
maka celakalah orang-orang yang zalim karena azab yang pedih
(kiamat)”.
Al-Dam‟āni mengungkapkan bahwa kata aẖzāb dalam ayat ini
adalah perselisihan kelompok-kelompok Nasrani tentang status Isa.
Kelompok al-Nusṯūriyah mengatakan bahwa Isa adalah anak Allah.
Sedangkan al-Ya‟qūbiyah berpendapat bahwa Isa putra Maryam adalah
Allah itu sendiri. Kemudian kelompok al-Malkāniyah meyakini bahwa
43
Allah itu yang tiga dari tiga. Mereka mengatakan bahwa Allah, Isa dan
Maryam adalah Allah.
6). Kelompok-kelompok dari kafir dari kaum „Ad dan Tsamūd.
Penunjukan makna ini, sebagaimana dalam Q.s Shad (38 ): 13
ة أيكلىئكى الىحزىابي ) (كىثمىيودي كىقػىويـ ليوطو كىأىصحىابي الىيكى “Dan (begitu juga) Tsamud, kaum Luth dan penduduk Aikah. Mereka
itulah golongan-golongan yang bersekutu (menentang rasulnya)”.
Demikian juga dalam Q.s Fāṯir ( 40): 30
( كىقىاؿى الذم آمىنى يىا قػىوـ إن أىخىاؼي عىلىيكيم مثلى يػىوـ الىحزىاب ) “Dan orang-orang yang beriman itu berkata, “Wahai kaumku!
sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa bencana seperti hari
kehancuran golongan-golongan yang bersekutu”.
7). Kelompok-kelompok Abu Sufyan pada Qabilah-Qabilah Arab dan
Yahudi yang bersekutu untuk melawan Rasulullah SAW. Mereka
berperang pada tiga tempat. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Q.s al-
Aẖzāb (33): 10
اذجاؤككم من فوقكم كمن اسفل منكم“(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu, dari atas dan dari bawah.”
Maksud redaksi من فوقكم, yakni pasukan yang datang dari atas
lembah dari arah barat. Mereka yang datang dari arah ini, adalah Mālik ibn
„Auf, „Uyainah ibn Ḫiśn al-Fuzāry. Bersama mereka berdua, ada seribu
pasukan dari Qabilah Ghaṯfān, dan bersama Ṯalhah ibn Khuwailid dari
Bani Asad dan Ḫay ibn Akhṯāb adalah Yahudi dari Bani Quraiḏah.
Sedangkan maksud redaksi كمن اسفل منكم, yakni pasukan yang datang
dari lembah dari arah timur. Dari arah ini, datang Sufyan ibn Harb sebagai
penduduk Mekah bersama Yazid ibn Khalaf dari lembah paling bawah,
kemudian datang al-Aa‟war al-„alami dari arah parit, dan mereka
bersekutu membentuk suatu kelompok untuk menyerang Rasulullah SAW.
Mereka itu adalah kelompok-kelompok yang dimaksud dalam Q.s al-
Aẖzāb (33 ): 20
44
بيوا كىإف يىأت الىحزىابي يػىوىدكا لىو أىنػهيم بىاديكفى ف الىعرىاب يىسأى ليوفى يىسىبيوفى الىحزىابى لى يىذىى(كىلىو كىانيوا فيكيم مىا قىاتػىليوا إل قىليلن )عىن أىنػبىائكيم
“Mereka mengira bahwa golongan-golongan (yang bersekutu) itu belum
pergi, dan jika golongan-golongan (yang bersekutu) itu datang kembali,
niscaya mereka ingin berada di dusun-dusun bersama-sama orang Arab
Badui, sambil menanyakan berita tentang kamu. Dan sekiranya mereka
berada bersamamu, mereka tidak akan berperang melainkan sebentar
saja.”
Berdasarkan uraian al-Dam‟āni di atas dapat diketahui bahwa kata
hizb dalam al-Qur‟an maknanya tidak terlepas dari salah satu makna
dasarnya yaitu kumpulan manusia/kelompok yang memiliki kekuatan.
Hanya saja, orientasi makna dan penunjukannya yang beragam tergantung
konteksnya. Misal, ketika ẖizb dihubungkan kepada Allah dan Setan (ẖizb
sebagai muḏāf), al-Dam‟āni memaknainya sebagai pasukan/tentara (Jund).
Sedangkan dalam konteks ayat lain, yaitu ẖizb sebagai muḏaf ilaih, al-
Dam‟āni memaknainya sebagai pemeluk agama (Aśẖāb al-Dȋn). Demikian
juga bentuk jama‟ nya, yaitu aẖzāb, pada dasarnya maknanya adalah
kelompok-kelompok, namun dalam al-Qur‟an orientasi maknanya ada
kelompok-kelompok bersektu yang ditujukan kepada umat-umat terdahulu
(„Ad, Tsamud dan Aikah) yang menyerang nabinya dan kelompok-
kelompok pada masa perang Khandak dari kalangan kafir Quraisy,
kabilah-kabilah Arab dan golongan Yahudi Madinah yang bersekutu
menyerang Nabi SAW dan kaum muslimin. Kemudian aẖzāb juga
bermakna kelompok yang berselisih yang ditujukan kepada kelompok-
kelompok pemeluk agama Nasrani yang memperselisihkan status Isa a.s.
C. Tafsir Ayat-Ayat Tentang Ḫizb dalam Literatur Kitab Tafsir
Pada sub bab ini, penulis akan menghadirkan penafsiran para ulama
terhadap ayat-ayat terkait ẖizb dalam kitab-kitab tafsirnya, yang dibagi
dalam dua kategori, yaitu kitab tafsir klasik-pertengahan (Abad III-IX/9-
45
15)4 dan modern-kontemporer (Abad XII-XIV/18-21 M)
5. Hal ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana penafsiran para ulama terhadap
ayat terkait ẖizb tersebut dan mengetahui kemungkinan ada atau tidaknya
perubahan dalam penafsiran dan penunjukan makna.
Sebelum masuk dalam penafsiran, penulis terlebih dahulu akan
melakukan beberapa analisis, yaitu terkait penentuan kata kunci, aspek
munāsabah ayat, dan aspek asbāb al-Nuzūl ayat jika ada. Setelah itu, baru
menyajikan ulasan penafsiran para ulama dari kitab-kitab tafsir klasik dan
modern.
A. Q.s al-Mā’idah /5: 56
() كىمىن يػىتػىوىؿ اللوى كىرىسيولىوي كىالذينى آمىنيوا فىإف حزبى اللو ىيمي الغىالبيوفى “Dan barang siapa menjadikan Allah, rasul-Nya dan orang-orang
beriman sebagai penolongnya, maka sungguh pengikut (agama) Allah
itulah yang menang”(Q.s al-Mā‟idah /5: 56)
Ayat ini memiliki hubungan yang erat dengan ayat sebelum dan
setelahnya, bahkan masih dalam topik yang sama. Jika pada ayat
sebelumnya yaitu ayat ke-55, Allah menegaskan bahwa tempat berlindung
bagi seorang muslim itu adalah Allah, Rasul, dan orang-orang beriman,
maka pada ayat ke-56 ini menjelaskan tentang konsekuensi atau buah bagi
mereka yang menjadikan Allah, rasul dan orang-orang beriman sebagai
pelindung/penolongnya, yaitu Allah tegaskan bahwa mereka adalah
pengikut Allah yang akan memperoleh kemenangan di sisi-Nya.
Sedangkan pada ayat setelahnya, yaitu ayat ke-57, Allah menjelaskan
tentang larangan menjadikan orang-orang yang mengolok-olok agama,
baik dari kalangan ahl al-kitāb ataupun orang-orang kafir sebagai
pelindung bagi orang-orang beriman.
4 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur‟an (Yogyakarta: Idea Press,
2016), 89. 5 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur‟an, 145.
46
Terkait kronologis turunnya ayat ini, Ibn Katsȋr mengutip beberapa
pendapat, di antaranya yang diriwayatkan oleh Ibn Mardawaih dari jalan
Muhammad ibn as-Sāib al-Kalby dari Abi Shālih dari Ibn Abbas, dia
berkata (suatu ketika) Rasulullah SAW keluar menuju Masjid, dan sahabat
saat itu sedang melaksanakan salat (sebagian dalam posisi) di antara ruku
dan sujud dan ada juga antara berdiri dan duduk. Ketika itu ada seorang
miskin yang suka meminta-minta. Kemudian Rasulullah SAW masuk dan
berkata “Seseorang telah memberimu sesuatu?”, orang miskin itu
menawab, “Iya”. Siapa yang memberimu? Tanya Nabi. Dia menjawab
“laki-laki yang bediri itu”, Nabi bertanya lagi “dalam keadaan apa dia
memberimu (dalam riwayat lain dikatakan bahwa yang diberikan adalah
cincinya)?”, dia menjawab “Dalam keadaan ruku‟”, Nabi berkata “Itu
adalah Ali Ibn Abu Ṯalib”, saat itu Nabi SAW langsung bertakbir dan
membaca ayat ini.6 Ibn Katsȋr juga mengutip pendapat lain yang
mengatakan bahwa ayat ini berkaitan dengan Ubādah Ibn Shāmit r.a,
ketika dia berlepas diri dari loyalitasnya kepada orang-orang Yahudi,
kemudian ridla‟ terhadap perlindungan Allah, rasul dan orang-orang
beriman. Kemudian turunlah ayat ini.
Berdasarkan dua riwayat terkait asbāb an-nuzul di atas, dapat
dipahami bahwa Intisari dari ayat ini adalah sebuah apresiasi bagi mereka
yang taat kepada Allah SWT dan loyal terhadap kekasih-kekasih-Nya,
yakni rasul-Nya dan orang-orang beriman, yaitu Allah tegaskan bahwa
mereka akan memperoleh kemenangan di sisi-Nya.
A.1. Penafsiran Q.s al-Mā’idah /5: 56 dalam Kitab Tafsir Klasik
Dalam beberapa literatur kitab tafsir klasik, kata ẖizb pada surat al-
Mā‟idah/5 ayat 56 ayat di atas dimaknai secara beragam. Misalnya al-
6 Abi al-Fidā Isma‟il ibn Umar bin Katsȋr al-Qurasyiy al-Dimasyqiy, Tafsir al-
Qur‟an al-„Aẕȋm, jilid 3 (Riyaḏ: Dār Ṯaybah, 1999), 128.
47
Ṯabary (w.310 H) dalam tafsirnya Jāmi‟ al-Bayān a‟n Ta‟wili āyi al-
Qur‟an berpendapat bahwa maknanya adalah penolong7. Pengertian ini
berdasarkan sebuah sya‟ir yang diungkapkan oleh Ru‟bah Ibn A‟jjaj :
يعىب ...ذىاؾ، كإف عىب لى كىطحطىحى الجد لحىاءى القىشب الد
أىلىقىيتي أىقػوىاؿى الرجىاؿ الكيذب ... فىكىيفى أىضوىل كىبلؿه حزب Kemudian Al-Rāzy (w. 604 H) dalam tafsirnya Mafātih al-Ghaib
mengutip pendapat beberapa ulama dalam memaknai kata ẖizb tersebut.
Menurut Hasan, ẖizb yang dihubungkan dengan Allah disini maknanya
pasukannya Allah (جندالله). Menurut Abu Farūq maknanya kekasih-
kekasih Allah ( اكلياء الله), kemudian menurut Abu al-A‟liyah maknanya
kelompok Allah (شيعة الله), sebagian lagi berpendapat adalah penolong-
penolong Allah (انصار الله), sedangkan menurut al-Akhfasy, makna hizib
Allah adalah mereka yang beragama Islam dan taat kepada-Nya
(mengikuti perintah-Nya), sehingga mendapatkan pertolongan dari-Nya
Dalam konteks ini, penulis lebih 8.(الذين يدينوف بدينو كيطيعونو فينصرىم الله)
cenderung kepada pendapat al-Akhfasy yang memaknai kata ẖizb sebagai
pengikut. Jika dihubungkan dengan Allah maka maknanya adalah orang
Islam yang mengikuti perintah Allah atau taat kepada-Nya dengan cara
loyal terhadap rasul-Nya dan orang-orang beriman.
Sedangkan al-Zamakhsyari (w. 538 H), dalam tafsirnya
mengomentari redaksi penggalan ayat حزبى اللو ىيمي الغىالبيوفى فىإف , menurutnya,
penggalan ayat ini adalah penempatan isim zāhir pada posisi isim zāmir.
Maknanya adalah فانهم ىم الغالبوف (sesungguhnya hanya mereka yang
akan memperoleh kemenangan). Tetapi dengan redaksi tersebut, ada
pemberitahuan bahwa mereka adalah ẖizb Allah. al-Zamakhsyari
7 Abȋ Ja‟far Muhammad Ibn Jarȋr al-Ṯabary, Tafsȋr al-Ṯabary Jāmi‟ al-Bayān
„an Ta‟wȋli āyi al-Qur‟ān (Mesir: Dār al-Hijr, 2001), 532. 8 Muhammad al-Rāzi Fakhr al-Dȋn, Tafsȋr al-Kabȋr Mafātih al-Gaib, jilid 6
(Beirut: Dār al-Fikr, 1981), 24.
48
melanjutkan bahwa pada dasarnya ẖizb bermakna kaum-kaum yang
berkumpul/bersatu untuk urusan kelompok-kelompoknya. Menurutnya,
ada kemungkinan yang dimaksud ẖizb Allah disini adalah rasul dan orang-
orang beriman. Sehingga maknanya adalah barangsiapa yang loyal
terhadap rasul dan orang beriman berarti dia adalah ẖizb Allah yang
berpeganng teguh dengan sesuatu yang tidak terkalahkan.9
A.2. Penafsiran Q.s al-Mā’idah /5: 56 dalam KitabTafsir Modern Terkait penggalan ayat فىإف حزبى اللو ىيمي الغىالبيوف , berbeda dengan
pandangan al-Zamakhsyari, Ibn A‟syur (w.1390 H/1970 M) berpandangan
bahwa penggalan ayat فىإف حزبى اللو ىيمي الغىالبيوف, menunjukan jawab syarat
dengan menjelaskan illat jawab syaratnya. Seakan-akan maknanya adalah maka mereka meraih kemenangan karena) فهم الغالبوف لنهم حزب الله
mereka adalah ẖizb Allah).10
Kendati ada perbedaan dalam perspektif
kebahasaan, tetapi secara substansi menunjukan maksud yang sama, yaitu
dalam redaksi ayat ini mengandung suatu penekanan (ta‟kid) tentang
kepastian akan datangnya kemenangan bagi mereka yang loyal terhadap
Allah.
Dalam memaknai kata ẖizb pada ayat ini, Abdullah Yusuf Ali
(w.1953 M) memaknainya dengan pengikut.11
Oleh karena itu, setiap
orang yang rida dengan perlindungan Allah, rasul-Nya, dan orang-orang
beriman, maka dialah pengikut Allah yang akan memperoleh kemenangan
dan pertolongan-Nya di Dunia dan Akhirat.12
9 Abȋ al-Qāsim Mahmud Ibn Umar az-Zamakhsyari, al-Kasysyāf (Riyad:
Maktabah al-„Ubaikān, 1998), 258. 10
Muhammad Ṯāhir Ibn „Ăsyūr, Tafsȋr al-Tahrȋr wa al-Tanwȋr (Tunisia: Al-Dār
al-Tunisiyah, 1984), 240. 11
Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali, trj. Ali Audah (Bogor: PT. Pustaka
Litera AntarNusa, 2009), 263. 12
Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir fi al-„Aqȋdah wa al-Syarȋ‟ah wa al-Manhaj,
jilid 9, cet 10 (Damaskus: Dar al-Fikr, 2009), 587.
49
Sedangkan Mutawali al-Sya‟rawi (w.1998 M) dalam memahami
kata ẖizb pada ayat ini, dia mengutip salah satu hadis Nabi SAW :
13كاف النب صلى الله عليو كسلم إذا حزبو أمر قاـ إلى الصلة
“Bahwasannya Nabi SAW, ketika ditimpa suatu musibah maka dia
mendirikan salat”.
Al-Sya‟rawi berpendapat bahwa makna ẖizb dalam hadis ini adalah
:
أمر أتعبو كأرىقو كفكر فيو كثيران “Suatu kesusahan yang menimpa nabi dan menguras pikirannya”
14
Berdasarkan pendapat al-Sya‟rawi ini dapat diketahui bahwa ẖizb
adalah adalah sesuatu yang menyusahkan seseorang, sehingga ẖizb ketika
dihubungkan dengan Allah, bermakna mereka yang mengadukan semua
keluh kesahnya kepada Allah SWT dengan melakukan taqarrub kepada-
Nya melalui ibadah salat atau berdzikir.
Secara substansi, pemaknaan al-Sya‟rawi ini tidak berbeda dengan
pemaknaan Abdullah Yusuf Ali. Mereka yang menjadikan Allah SWT
sebagai tempat berlabuh dan mengadukan keluh kesahnya, secara otomatis
dikatakan juga sebagai pengikut Allah SWT, yang taat kepada-Nya.
B. Q.s al-Mu’minūn /23: 53
يهم فىرحيوفى ) نػىهيم زيبػيرنا كيل حزبو بىا لىدى (فػىتػىقىطعيوا أىمرىىيم بػىيػ “Kemudian mereka terpecah belah dalam urusan (agamanya) menjadi
beberapa golongan. Setiap golongan (merasa) bangga dengan apa yang
ada pada mereka (masing-masing)” (Q.s: al-Mu‟minūn/25: 53)
Pada ayat sebelumnya yaitu ayat ke-52, ditegaskan bahwa agama
yang dibawa setiap para Nabi yang diutus itu sama. Yaitu mengajak untuk
13
Dalam riwayat al-Tirmidzi, redaksinya adalah :
قاؿ ياحي ياقيوـ برحمتك استغيث كاف النب صلى الله عليو كسلم إذا حزبو أمر Lihat Ahmad Abdu al-Jawwad, al-Du‟ā al-Mustajāb min al-Hadȋs wa al-Kitāb (Kairo:
Dār al-Salām, 2011), 115. 14
Muhammad Mutawali al-Sya‟rawi, Tafsȋr al-Sya‟rawi, jilid 6 (Kairo: al-
Idāroh al-Ămmah, 1991), 3245.
50
ibadah hanya kepada Allah semata. Ini menunjukan bahwa pada dasarnya
agama-agama yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya itu sama dalam
masalah uśūl, yaitu mengesakan Allah SWT15
, hanya saja yang
membedakan adalah dalam masalah furū, yaitu terkait syariat-syariat
hukum, yang disesuaikan dengan perbedaan zaman dan keadaan.16
Dan
perbedaan ini tidak dikatakan perbedaan dalam agama. Demikian yang
dikatakan Wahbah Zuhaili. Kemudian, lanjutnya, ayat ini berkenaan
dengan pengikut nabi-nabi terdahulu yang telah mencerai-beraikan urusan
agama mereka, memecah belahnya dan menjadikannya terbagi-bagi
sehingga terbentuklah kelompok-kelompok. Setiap kelompok berbangga
15
Hal ini sebagaimana dalam Q.s al-Anbiyā /21: 25 :
(كىمىا أىرسىلنىا من قػىبلكى من رىسيوؿو إل نيوحي إلىيو أىنوي لى إلىوى إل أىنىا فىاعبيديكف ) “Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad) ,
melainkan kami wahyukan kepadanya “bahwa tiada tuhan (yang berhak
disembah) selain Aku, maka sembahklah Aku”.( Q.s al-Anbiyā /21 : 25) 16
Keterangan ini sebagaimana dalam Q.s al-Māidah/5 : 48 :
يو منى ال قنا لمىا بػىينى يىدى نػىهيم بىا أىنػزىؿى اللوي كىلى تػىتبع كىأىنػزىلنىا إلىيكى الكتىابى بالحىق ميصىد يمننا عىلىيو فىاحكيم بػىيػ كتىاب كىميهىا أىىوىاءىىيم عىما جىاءىؾى منى الحىق ةن كىلىكن كىلىو شىاءى اللوي لجىىعىلىكيملكيل جىعىلنىا منكيم شرعىةن كىمنػهىاجن ليىبػليوىكيم أيمةن كىاحدىنتيم فيو تىتىل يعنا فػىيػينىبئيكيم بىا كي (فيوفى )ف مىا آتىاكيم فىاستىبقيوا الخىيػرىات إلىى اللو مىرجعيكيم جى
“Dan kami telah menurunkan kitab (al-Qur‟an) kepada kamu (Muhammad)
dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan
sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah dan jangan engkau mengikuti keinginan mereka dan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di
antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap karunia yang diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-
lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali
lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamun
perselisihkan”. (Q.s al-Māidah/5: 48).
Selain itu, dijelaskan juga dalam sebuah hadis:
النبياء اخوة لعلت امهاتهم شتى كدينهم كاحد"Para Nabi itu ibarat saudara seibu, ibu mereka beda-beda (sedangkan) agama
mereka adalah satu” (H.R Bukhari dan Muslim).
51
diri dengan kesesatan dalam diri mereka. Mereka mengira berada dalam
kebenaran dan petunjuk.17
B.1. Penafsiran Q.s al-Mu’minūn /23: 53 dalam Kitab Tafsir Klasik
Pada penggalan ayat نػىهيم زيبػيرنا al-Ṯabari mengutip ,فػىتػىقىطعيوا أىمرىىيم بػىيػ
pendapat Mujahid, yang berkata bahwa maksudnya adalah mereka
merubah kitab suci mereka menjadi beberapa bagian.18
Terkait dengan
ayat ini, al-Ṯabari juga mengutip pendapat Ibn Zaid, menurutnya, ayat ini
menjelaskan perselisihan mereka tentang apa yang ada dalam agama-
agama dan kitab-kitabnya. Mereka bangga dengan pandangannya sendiri.
Kemudian, lanjutnya, tidaklah (karakteristik) pengikut hawa nafsu itu
kecuali mereka akan berbangga diri dengan pandangan dan hawa nafsunya
sendiri dan pandangan sahabatnya yang memiliki pandangan yang sama
dengan dirinya, serta tidak melihat kebenaran dari luar dirinya.19
Mengenai kelompok dalam ayat ini, al-Ṯabari masih mengutip
pendapat Mujāhid yang mengatakan bahwa kelompok yang dimaksud
adalah sekelompok ahl-Alkitāb.20
Demikian juga pendapat Ibn Katsȋr
(w.774 H), menurutnya kelompok yang dimaksud adalah umat-umat
terdahulu yang telah diutus kepada mereka para Nabi. Mereka berbangga
diri dengan kesesatannya, karena mereka mengira ada dalam petunjuk
Allah swt.21
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh al-Zamaksyari
dalam tafsirnya, al-Kasy-syāf. Hal yang sama juga disampaikan oleh Al-
Rāzy, bahwa kelompok yang dimaksud adalah umat-umat terdahulu.
17
Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir fi al-„Aqȋdah wa al-Syarȋ‟ah wa al-Manhaj,
jilid ke 9, 384. 18
Ibn Jarȋr al-Ṯabary, Tafsȋr al-Ṯabary Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wȋli āyi al-
Qur‟ān, juz ke 17, 62. 19
Ibn Jarȋr al-Ṯabary, Tafsȋr al-Ṯabary Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wȋli āyi al-
Qur‟ān, juz 17, 63. 20
Ibn Jarȋr al-Ṯabary, Tafsȋr al-Ṯabary Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wȋli āyi al-
Qur‟ān, juz 17, 63. 21
Abi al-Fidā Isma‟il bin Umar bin Katsȋr al-Qurasyiy al-Dimasyqiy, Tafsir al-
Qur‟an al-„Aẕȋm, 479.
52
Selain itu, beliau juga mengutip pendapat al-Kalby, Muqatil dan aḏ-
ḏahhak yang mengatakan bahwa kelompok yang dimaksud dalam ayat ini
adalah musyrik Makkah, Majusi, Yahudi dan Nasrani. Al-Rāzy juga
menambahkan bahwa penggunaan kata افػىتػىقىطعيو , menunjukan makna
mubālagah, yaitu perselisihan mereka tentang agamanya sangat dahsyat
sehingga melahirkan kelompok-kelompok yang masing-masing
mengklaim kebenaran.
B. 2. Penafsiran Q.s al-Mu’minūn /23: 53 dalam Kitab Tafsir Modern
Ibn „Ăsyūr mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan umat-umat
terdahulu yang telah didatangkan kepada mereka para rasul yang
membawa satu syariat, yaitu hanya mengajak mereka ke jalan tauhid
dengan menjalankan syariat Allah. Akan tetapi dalam perkembangannya,
mereka (umat-umat) memecah belah urusan agama mereka ke dalam
banyak kelompok. Kemudian mereka menjadikan/meyakini banyak
Tuhan, maka jadilah agama-agama mereka terpecah belah menjadi banyak
dan menjadi agama tersendiri yang memiliki berhala/sesembahan sendiri
serta ritual ibadah yang khusus.22
Ibn A‟syur menambahkan bahwa redaksi
dalam ayat ini menunjukan celaan, karena perbuatan mereka telah
menyalahi perintah Allah SWT. Bahkan bentuk celaan Allah ditekankan
lagi dengan redaksi pada penggalan ayat يهم فىرحيوفى Yang .كيل حزبو بىا لىدى
menunjukan bahwa pada dasarnya mereka bukanlah orang yang akan
berbahagia.23
Adapun makna ẖizb dalam ayat ini menurut Ibn A‟syur
adalah :
24مل اك الدتفقوف عليوعاتمعوف على امر من اعتقاد اك الجماعة “Komunitas yang berkumpul atas suatu keyakinan atau perbuatan atau
sesuatu yang disepakati”.
22
Ibn „Ăsyūr, Tafsȋr al-Tahrȋr wa al-Tanwȋr, jilid 18, 72-73. 23
Ibn „Ăsyūr, Tafsȋr al-Tahrȋr wa al-Tanwȋr, jilid 18, 72. 24
Ibn „Ăsyūr, Tafsȋr al-Tahrȋr wa al-Tanwȋr, jilid 18, 73.
53
Terkait dengan ayat ini, Quraish Shihab mengulas makna penggalan
kata فػىتػىقىطعيوا. Menurutnya, maknanya adalah memotong-motong dan
mencabik-cabik. Dalam hal ini, Quraish Shihab mengilustrasikan dengan
suatu barang yang dirampas oleh sekian banyak orang, lalu mereka saling
tarik menariknya hingga terputus-putus, dan masing-masing bergembira
dengan potongan yang mereka miliki. Shihab menambahkan yang
demikian adalah agama Yahudi dan Nasrani yang tercabik-cabik dalam
dalam sekian banyak sekte yang saling bertentangan, bermusuhan bahkan
berperang.25
Demikian juga Ali al-Shābūni mengatakan bahwa yang
dimaksud dalam ayat ini adalah kelompok Majusi, Yahudi dan Nasrani.26
Al-Sya‟rawi juga menambahkan bahwa dikalangan umat Islam pun
ada golongan/kelompok yang memiliki karakter seperti ini.27
Mereka
berbangga diri berdasarkan pemikirannya sendiri, bukan berdasarkan
hukum yang diridlai Allah SWT. Al-Sya‟rawi mencontohkan perkataan
mereka yang mengatakan bahwa salat di mesjid yang di sekitarnya ada
kuburan itu batil dan itu termasuk syirik dalam beribadah, dan setersusnya.
Jika mereka berpandangan seperti ini, seharusnya mereka hancurkan
kuburan yang ada di Madinah. Al-Sya‟rawi melanjutkan bahwa apabila
sikap mereka yang mengedepankan masalah khilafiyah seperti ini,
memahaminya sebagaimana mestinya, tentu mereka tidak akan masuk ke
dalam kelompok seperti dalam ayat ini. Karena kerusakan agama-agama
25
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur‟an, Volume 9 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 200. 26
Muhammad Ali Al-Śābuni, Śafwah al-Tafāsir, jilid 2, cet. 4 (Beirut: Dār al-
Qur‟ān al-Karȋm, 1981), 23. 27
Terkait dengan pemaknaan ini, al-Sya‟rawi memiliki rumusan salah satu
kaidah dalam menafsirkan al-Quran, sebagaimana dikutip oleh M Quraish Shihab,
menurutnya “Bila al-Qur‟an menyebut nama tokoh dalam konteks kisahnya, maka itu
menunjukan baha peristiwa serupa tidak akan terulang, tetapi bila tidak menyebutkan
nama tokohnya maka peristiwa serupa atau semakna dapat terulang”. Lihat M Quraish
Shihab, Kaidah Tafsir, cet. IV (Tangerang: Lentera Hati, 2019), 13. Dalam konteks ayat
ini, al-Qur‟an memang tidak menyebutkan secara khusus siapa yang dimaksud kelompok
tersebut, sehingga berdasarkan kaidah tersebut sangat mungkin peristiwa tersebut atau
yang semaknanya terulang kembali.
54
terdahulu terutama yang dibawa oleh Nabi musa (Musasiyyah) dan yang
dibawa Nabi Isa (Isasiyyah) adalah dikarenakan masalah-masalah
khilafiyah seperti ini.28
Disini terlihat bahwa as-Sya‟rawi memahami ayat
ini secara substantif dan kontekstualis. Sehingga ilustrasi kelompok dalam
ayat ini, bukan hanya ditujukan bagi kaum Yahudi, Nasrani dan Majusi
saja, tetapi mereka yang mengaku umat Islam pun jika memiliki karakter
yang sama dengan mereka, maka masuk juga dalam penjelasan ayat ini.
C. Q.s al-Rūm/30: 32
يهم فىرحيوفى )منى الذينى (فػىرقيوا دينػىهيم كىكىانيوا شيػىعنا كيل حزبو بىا لىدى “Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka
menjadi beberapa golongan. Setiap golongan merasa bangga dengan apa
yang ada pada golongan mereka”. (Q.s: al-Rūm/30 : 32).
Ayat ini masih satu rangkain dengan dua ayat sebelumnnya. Pada
dua ayat sebelumnya, yaitu ayat ke 31 dan 32, menjelaskan tentang
perintah kepada manusia untuk menghadapkan dirinya kepada agama
Allah yang suci dan sesuai dengan fitrah manusia, dengan kembali
kepada-Nya, bertakwa dan mendirikan salat, lalu ditegaskan supaya tidak
menjadi orang yang musyrik. Kemudian pada ayat ke 33 ini, menjelaskan
tentang karakter orang-orang musyrik tersebut, yaitu mereka memecah
belah agama mereka hingga menjadi beberapa golongan dan masing-
masing berbangga diri dengan apa yang ada dalam dirinya.
C.1. Penafsiran Q.s ar-Rūm/ 30: 32 dalam Kitab Tafsir Klasik
Al-Ṯabary mengatakan bahwa ayat ini memerintahkan supaya tidak
menjadi orang-orang musyrik yang merubah agamanya, berselisih dan
melahirkan kelompok-kelompok, seperti Yahudi dan Nasrani. Aṯabari juga
28
Al-Sya‟rawi, Tafsȋr al-Sya‟rawi, 10.058.
55
mengutip pendapat Qatadah dan Ibn Zaid yang mengatakan bahwa
kelompok yang dimaksud adalah Yahudi dan Nasrani.29
Ibn Katsȋr juga menjelaskan bahwa ayat ini merupakan larangan
untuk tidak menjadi bagian dari orang-orang yang berbuat syirik yang
mengganti dan merubah agama yang haq sesuai hawa nafsunya, dan hanya
beriman kepada sebagian ajaran agama serta mengingkari yang lainnya.
Mereka ini adalah kaum Yahudi, Nasrani, Majusi, para penyembah
berhala, dan agama-agama batil lainnya, selain Islam. Semua pengikut
agama-agama terdahulu berselisih di antara mereka. Masing-masing dari
mereka mengklaim kelompoknya yang benar sedangkan yang lain salah.
Ibn katsȋr melanjutkan bahwa umat Islam sekarang juga berselisih di
antara mereka. Menurutnya, semuanya sesat, kecuali satu yang benar,
yaitu kelompok Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā‟ah, yang berpegang teguh
kepada kitab Allah dan sunnah Rasulullah SAW, dan kepada generasi
awal dari kalangan sahabat, tabi‟in, dan imam-imam umat Islam di masa
dulu dan sekarang. 30
Sedangkan al-Rāzy berpandangan bahwa kelompok dalam konteks
ayat ini, mungkin juga dimaknai sebagai kelompok orang islam yang
dalam beribadah tidak murni untuk Allah SWT. Sebagian ada yang
melakukan ibadah karena urusan dunia, sebagian lagi ada yang karena
menginginkan surga, dan ada juga karena takut neraka. Menurutnya, setiap
kelompok tersebut bahagia dan merasa bangga dengan pandangannya ini.
Beda halnya dengan orang yang ikhlas (mukhlȋsh). Mereka tidak bangga
dan bahagia dengan itu semua, karena dia beribadah hanya karena Allah
29
Ibn Jarȋr al-Ṯabary, Tafsȋr al-Ṯabary Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wȋli āyi al-
Qur‟ān, 498. 30
Ibn Katsȋr, Tafsir al-Qur‟an al-Aẕȋm, jilid 6, 316-317.
56
SWT, sehingga kebahagiaannya dirasakan hanya ketika mendapatkan
rahmat dan ridla Allah SWT.31
Pandangan al-Rāzy ini berdasarkan korelasi dengan konteks ayat
sebelumnya, ayat ke-31. Yaitu :
ةى كىلى تىكيونيوا منى الميشركينى )مينيبينى إلىيو كىاتػقيوهي كىأىقي (ميوا الصلى “Dan kembali bertobat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta
laksanakanlah salat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
mepersekutukan Allah”.
Mengenai makna Musyrikȋn dalam konteks ayat ini, Al-Rāzy
mengutip pendapat para mufassir lain yang mengatakan bahwa makna
Musyrikȋn tersebut adalah larangan melakukan syirik setelah beriman.
Yaitu beribadah selain karena Allah. Sehingga konteks ayat ke-32 ini,
menurutnya mungkin juga dimaknai sebagai kelompok umat Islam yang
dalam beribadahnya tidak murni karena Allah SWT, tetapi karena ada
tujuan lain.
C.2. Penafsiran Q.s al-Rūm/ 30: 32 dalam Kitab Tafsir Modern
Menurut Ibn „Ăsyūr, yang dimaksud orang-orang yang memecah
belah agamanya sehingga menjadi beberapa kelompok dalam ayat ini,
adalah orang-orang musyrik, karena mereka menjadikan tuhan-tuhan
mereka banyak. Ibn „Ăsyūr juga menambahkan bahwa agama yang
dipecah belah tersebut adalah agama Islam.32
Kemudian makna kata ẖizb
pada penggalan ayat ini adalah :
الحزب : الجماعة الذين رأيهم كنزعتهم كاحدة“Ḫizb adalah kumpulan orang-orang yang memiliki pandangan dan
kepentingan yang sama.”
Sedangkan maksud farihun/farh dalam penggalan ayat ini adalah al-
Riḏa wa al-Ibtihāj (rida dan berbangga diri).
Ayat ini adalah celaan bagi sikap atau prilaku orang-orang musyrik,
sekaligus juga peringatan bagi umat Islam untuk tidak melakukan prilaku
31
Al-Rāzi, Tafsȋr al-Kabȋr Mafātih al-Ghaib, 121. 32
Ibn „Ăsyūr, Tafsȋr al-Tahrȋr wa al-Tanwȋr, jilid 21, 95.
57
yang sama dengan mereka. Maka ketika terjadi perbedaan pendapat dalam
masalah agama yang masih dalam ranah ijtihad, atau perbedaan pendapat
dalam pandangan politik, maka jangan sampai perbedaan tersebut seperti
yang tergambar dalam ayat ini, yaitu satu sama lain saling melaknat dan
saling menjatuhkan.33
Hal yang senada juga ditegaskan oleh Quraish Syihab. Menurutnya,
perpecahan dan kelompok-kelompok yang dimaksud oleh ayat ini adalah
perpecahan dalam bidang prinsif-prinsif ajaran agama dan pengelompokan
dalam perbedaan tujuan. Adapun bila tujuannya sama, atau perbedan
hanya dalam rincian ajaran yang melahirkan perbedaan penafsiran serta
didukung oleh kaidah-kaidah kebahasaan dan disiplin ilmu, maka ini dapat
ditoleransi.34
Al-Sya‟rawi menyebut kelompok yang dimaksud dalam ayat
ini dengan istilah al-Sulṯah al-Zamaniyah, yaitu mereka yang banyak
mengklaim bahwa hanya pandangannya yang benar sedangkan yang lain
salah. Penafsiran al-Sya‟rawi pada surat al-Rūm ini tidak jauh berbeda
dengan tafsirnya dalam surat Q.s al-Mu‟minūn/25: 53, sebagaiman yang
sudah penulis bahas.
Makna ẖizb dalam dua ayat terakhir ini (Q.s al-Rūm/30: 32 dan Q.s
al-Mu‟minūn/25: 53), memiliki orientasi makna yang negatif. Yaitu
menunjukan makna kelompok orang beragama yang memiliki
karaktersitik suka berselisih, fanatik, tidak tulus, dan merubah prinsif-
prinsif ajaran agama yang haq. Selain itu, mereka merasa dirinya benar
dan bangga dengan pandangannya atau kelomponya masing-masing,
kemudian menggangap yang lain salah dan sesat. Meskipun Konteks
makna ayat ini dalam banyak literatur kitab tafsir menunjukan kepada
kelompok Yahudi, Nasrani, Majusi, para penyembah berhala, dan agama
33
Ibn „Ăsyūr, Tafsȋr al-Tahrȋr wa al-Tanwȋr, jilid 21, 96. 34
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur‟an, Volume 11, 63.
58
batil lainnya, akan tetapi, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn katsȋr, Ibn
„Ăsyūr, dan as-Sya‟rawi, bahwa umat Islam pun jika memiliki
karakteristik seperti kelompok kaum-kaum tersebut, maka akan menjadi
pemicu terjadinya pecah belah antara umat Islam seperti yang sudah
terjadi kepada kaum-kaum sebelumnya.
D. Q.s Fāṯir/35 : 6
ذيكهي عىديكا إنىا يىدعيو حزبىوي ليىكيونيوا من أىصحىاب السعير ) (إف الشيطىافى لىكيم عىديك فىات “Sungguh setan itu musuh bagimu, maka pelakukanlah ia sebagai musuh,
karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongan-golongannya
agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala” (Q.s Fāṯir/35
: 6)”.
Ayat ini sebagai penegas ayat sebelumnya. Jika pada ayat
sebelumnya, Allah SWT menegaskan supaya manusia jangan sampai
terlena oleh kehidupan dunia dan tipu daya setan, maka pada ayat ini
menegaskan tentang kedudukan dan visi setan dalam kehidupan manusia
di dunia ini, kemudian ayat setelahnya mempertegas kedudukan dan
konsekuensi bagi mereka yang mengikuti bujukan-bujukan setan dan
mereka yang menolak bujukanya.
D.1. Penafsiran Q.s Fāṯir/ 35: 6 dalam Kitab Tafsir Klasik
Al-Ṯabari mengatakan bahwa dalam ayat ini Allah SWT
memerintahkan umat islam untuk memposisikan setan sebagai musuhnya,
oleh karena itu harus lebih waspada dengan meningkatkan taat kepada
Allah, jangan sampai tergelincir dan mengikuti langkah-langkah nya,
karena mereka hanya akan mengajak pengikut-pengikutnya (man aṯāa‟hu)
untuk turut dan menerima langkah-langah jeleknya, yaitu agar ingkar
kepada Allah SWT sehingga umat manusia kekal di dalam Neraka.35
Demikian juga yang dikatakan Ibn katsȋr, menurutnya visi setan itu adalah
35
Ibn Jarȋr al-Ṯabary, Tafsȋr al-Ṯabary Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wȋli āyi al-
Qur‟ān, 332.
59
menyesatkan manusia supaya mereka masuk neraka bersamanya. Oleh
karena itu dia adalah musuh yang sangat nyata bagi manusia. 36
Terkait dengan ayat ini, al-Rāzy menemukan isyarat makna yang
halus. Yaitu, menurutnya, seseorang yang memiliki musuh, ada dua
kemungkinan jalan yang dia tempuh, yaitu: pertama, menentangnya
sebagai balasan atas penentanggan mereka. kedua, menghilangkan
permusuhan dengan ridla kepadanya. Maka firman Allah swt sebagaimana
dalam ayat ini, adalah perintah pada manusia untuk tetap memusuhinya,
dan mengisyaratkan bahwa hanya dengan cara inilah sikap yang
seharusnya. Adapun cara yang lain, yaitu ridla dengannya, maka tidak ada
faidah di dalamnya, karena jika meridlainya dan mengikuti tipu dayanya,
maka dia hanya akan menjerumuskan manusia pada siksa neraka.37
Berdasarkan pemaparan di atas, menurut pandangan penulis, dalam
konteks ayat ini, ẖizb bermakna pengikut setan. Maksudnya tipu daya
setan atau ajakannya itu hanya akan berpengaruh bagi mereka yang mau
mengikutinya. Oleh karena itu Allah menegaskan kepada orang-orang
beriman untuk menjadikannya sebagai musuh dan tidak menjadikannya
sebagai tuan yang harus diikuti, karena mengikuti setan dan ridla
kepadanya berarti telah mengorbankan dirinya masuk ke dalam api neraka
yang menyala-nyala.
D.2. Penafsiran Q.s Fāṯir/ 35: 6 dalam Kitab Tafsir Modern
Senada dengan pandangan al-Rāzy, Ibn „Ăsyūr menjelaskan bahwa
pada dasarnya ayat ini adalah perintah untuk menjadikan setan sebagai
musuh selama-lamanya. Menurutnya, permusuhan manusia dan setan
laksana permusuhan anjing dan kucing (tidak akan pernah berdamai),
karena tabiat setan adalah menjerumuskan manusia kepada kehancuran
36
Ibn Katsȋr, Tafsir al-Qur‟an al-„Aẕȋm, jilid 6, 534. 37
Al-Rāzi, Tafsȋr al-Kabȋr Mafātih al-Ghhaib, juz 26, 5.
60
dan masa depan yang buruk dengan tipu dayanya yang halus.38
Ibn „Ăsyūr
menambahkan bahwa perintah Allah untuk menjadikan setan sebagai
musuh adalah selama-lamanya, tidak ada toleransi atau kata maaf baginya.
Adapun ayat al-Qur‟an ataupun hadis Nabi saw yang memerintahkan
untuk saling memberi maaf adalah ditujukan ketika adanya konflik antara
umat islam, dengan harapan adanya perubahan dari pihak musuh, karena
adanya permusuhan antara umat islam bersifat temporal yang
memungkinkan untuk berdamai ketika masalah yang menjadi sebab
permusuhannya hilang. Beda halnya dengan setan, tabiatnya memang
sebagai musuh dan selamanya tugas mereka adalah menggoda manusia
untuk mengikuti jejekanya, sehingga tidak ada alasan untuk memaafkan
dan loyal kepadanya.39
Tidak semua manusia dapat dijerumuskan oleh tipu daya setan.
Dalam penggalan ayat إنىا يىدعيو حزبىوي ليىكيونيوا من أىصحىاب السعير, menunjukan
bahwa godaan dan tipu dayanya hanya akan berpengaruh bagi mereka
yang mengikuti jejak-jejaknya.40
Wah bah Zuhaili memakna kata ẖizbahu
: pada ayat ini sebagai berikut (حزبو)
اصحابو كاتباعو الدتحزبين لو كالدطيعين لو الى الدعاصي كالكفر“Kawan-kawan setan, pengikutnya yang bersekongkol dengannya dan
mentaatinya menuju kemaksiatan dan kekafiran”.
Demikian juga penjelasan Ali al-Śabuni dalam tafsirnya, bahwa
setan hanya akan melemparkan atau menjerumuskan pengikut-
pengikutnya ke dalam neraka.41
Oleh karena itu, dalam konteks ayat ini,
makna yang lebih relevan untuk kata ẖizb adalah pengikut. Kemudian
ḏamir hu pada ayat ini kembali kepada setan.
38
Ibn „Ăsyūr, Tafsȋr al-Tahrȋr wa al-Tanwȋr, jilid 22, 260. 39
Ibn „Ăsyūr, Tafsȋr al-Tahrȋr wa al-Tanwȋr, jilid 22, 261. 40
Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munȋr fi al-„Aqȋdah wa al-Syarȋ‟ah wa al-Manhaj,
juz 22, 566. 41
Muhammad Ali al-Śābūni, Śafwah al-Tafāsir, jilid 2, 466-467.
61
Berdasarkan pengertian dan uraian di atas, tidak ada perbedaan
antara penjelasan dalam tafsir klasik dan modern. Ayat ini mengukuhkan
kedudukan setan sebagai musuh nyata dan abadi bagi manusia. Godaan
dan tipu muslihatnya hanya akan berpengaruh bagi mereka yang
mengikutinya dan loyal kepadanya, hingga akhirnya manusia terjerumus
ke dalam siksa neraka yang apinya menyala-nyala.
E. Q.s Al-Mujādilah/ 58: 19 dan 22
استىحوىذى عىلىيهمي الشيطىافي فىأىنسىاىيم ذكرى اللو أيكلىئكى حزبي الشيطىاف أىلى إف حزبى الشيطىاف (ىيمي الخىاسريكفى )
“Syetan telah menguasai mereka, lalu menjadikan mereka lupa
mengingat Allah. Maka mereka itulah pengikut setan. Ketahuilah, bahwa
pengikut setan itulah golongan yang rugi (19)”. اد اللوى كىرىسيولىوي كىلىو كىانيوا آبىا دي قػىومنا يػيؤمنيوفى باللو كىاليػىوـ الخر يػيوىادكفى مىن حى ىيم أىك ءى لى تى
يمىافى كىأىيدىىي تىبى ف قػيليومي ال م بريكحو منوي أىبػنىاءىىيم أىك إخوىانػىهيم أىك عىشيرىتػىهيم أيكلىئكى كىالدينى فيهىا رىضيى اللوي عىنػهيم كىرىضيوا عىنوي أي كىييدخليهيم كلىئكى جىناتو تىرم من تىتهىا الىنػهىاري خى
( حزبي اللو أىلى إف حزبى اللو ىيمي الميفلحيوفى ) “Engkau (Muhamad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang
yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu
bapaknya, anaknya. Saudaranya atau keluarganya. Mereka itulah orang-
orang yang di dalam hatinya telah ditanamkan oleh Allah keimanan dan
Allah telah menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari
Dia. Lalu dimasukannya mereka ke dalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridla terhadap
mereka dan mereka pun merasa puas terhadap limpahan rahmat-Nya.
merekalah golongan Allah. ingatlah sungguhnya golongan Allah itulah
yang beruntung” (Q.s al-Mujādalah/58:22).
Ayat ini masih bagian dari rentetan ayat-ayat sebelumnya yang
membicarakan tentang sifat buruk atau karakter orang-orang munafik yang
loyal terhadap orang-orang kafir dari kalangan Yahudi. Karena mereka
selalu berdusta dalam bersumpah, maka Allah mengancam perbuatan
mereka dengan siksaan yang pedih. Bahkan Allah tegaskan bahwa harta-
62
harta mereka, anak-anaknya tidak akan dapat menyelamatkannya dari
siksa api neraka. Kemudian pada ayat ke-19 ini, Allah jelaskan penyebab
mereka melakukan perbuatan seperti itu, yaitu karena mereka telah
dikuasai oleh setan sehingga melupakan Allah, akibatnya mereka menjadi
pengikut setan dan hidup sengsara. Kemudian pada ayat ke-22, Allah
menjelaskan tentang karakteristik-karakteristik manusia yang tergolong
sebagai pengikut Allah dan berbagai kebaikan yang akan diterimanya.
E.1. Penafsiran Q.s al-Mujādilah/ 58: 19 dan 22 dalam Kitab Tafsir
Klasik
Pada ayat ke-19, Allah SWT menjelaskan bahwa penyebab
kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia adalah karena hati mereka telah
dikuasai oleh setan. al-Ṯābari memaknai penggalan لىيهمي الشيطىافي استىحوىذى عى adalah غلب عليهم الشيطاف, yaitu setan telah menguasai mereka. Kemudian
makna حزبي الشيطىاف adalah كأتباعو جنده , yaitu tentaranya setan, atau
pengikutnya.42
Demikian juga menurut Ibn katsȋr, dia mengatakan bahwa maksud
ayat ini adalah setan telah menguasai hati-hati mereka (orang munafik)
sehingga menjadikannya lupa untuk mengingat Allah SWT.43
Terkait
dengan ayat ini, Ibn katsȋr juga mengutip hadis Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh Abȋ ad-Dardā‟ :
ف قرية كل صلى الله عليو كسلم يقوؿ: "ما من ثلثةعن أب الدرداء: سمعت رسوؿ الله بىدك، ل تقاـ فيهم الصلة إل قد استحوذ عليهم الشيطاف، فعليك بالجماعة، فإنا يأكل
الذئب القاصية (:)سنن أب داكد برقم
“Dari Abu Darda‟: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda :
“Tidaklah dari tiga orang dalam suatu kampung yang tidak ditegakan
42
Ibn Jarȋr al-Ṯabary, Tafsȋr al-Ṯabary Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wȋli āyi al-
Qur‟ān, juz 22, 491-492. 43
Ibn Katsȋr, Tafsir al-Qur‟an al-„Aẕȋm, jilid 8, 53.
63
salat di dalamnya kecuali setan akan menguasai mereka, maka kalian
harus berjamaah, karena serigala hanya akan memangsa domba yang
terpisah dari jamaah” (Sunan Abȋ Dāwud, no: 547).
Ibn Katsȋr juga mengutip pendapat Zāidah dan as-Sāib yang
berpendapat bahwa maksud penggalan hadis فعليك بالجماعة adalah salat
dengan berjamaah. Ini menunjukan bahwa kelalaian seorang muslim
terhadap salat wajib yang seharusunya dilaksanakan secara berjamaah
juga merupakan salah satu faktor yang akan menyebabkan hati-hati
mereka dikuasai dan dikendalikan oleh setan sehingga mereka melupakan
Allah. Jika sudah lalai kepada Allah maka mereka akan menjadi pengikut
setan dan pasti akan menerima kenyataan hidup yang penuh kesengsaraan.
Sedangkan pada ayat ke-22, terdapat sebuah riwayat asbāb al-Nuzūl
yang dikutip oleh al-Rāzy dalam tafsirnya. Al-Rāzy mengatakan bahwa
ayat ini turun kepada Hāṯib ibn Abȋ Balta‟ah yang mengabarkan kepada
penduduk Mekah terkait perjalanan Nabi SAW ketika bermaksud
menaklukan kota Mekkah. al-Rāzy melanjutkan bahwa kisah tentang ini
sudah lumrah diketahui. Secara umum, ayat ini larangan untuk “saling
mencintai” dengan orang-orang kafir dan fasik.
Selain itu, secara spesifik, pada penggalan ayat : كىلىو كىانيوا ءابىاءىيم أىك أىبػنىاءىيم أىك إخوانهم أىك عىشيرىتػىهيم
Al-Rāzy mengutip pendapat Ibn Abbās yang mengatakan bahwa
penggalan ayat ini turun terkait peristiwa Abȋ Ubaidah yang telah
membunuh ayahnya, Abdullah Ibn Jarrah pada perang Uhud. Umar Ibn
Khaṯṯāb telah membunuh pamannya, „Ăśȋ Ibn Hisyām Ibn Mughȋrah pada
saat perang Badr. Kemudian Mush‟ab Ibn Umair telah membunuh
saudaranya, Ubaid Ibn Umair. Ali Ibn Abȋ Ṯālib dan Ubaidah telah
membunuh Uṯbah, Syaibah, dan Walid Ibn Utbah pada saat perang Badr.
(melalui) ayat ini, Allah mengabarkan bahwa mereka semua tidak saling
64
mencintai dengan kerabat-kerabat dan keluarga-keluarganya karena
mereka membencinya karena Allah dan agama-Nya. 44
Jika pada Q.s al-Mujādilah ayat ke-19 Allah SWT menjelaskan
tentang pengikut-pengikut Setan dan konsekuenisnya, yaitu akan
mendapatkan kerugian, baik di dunia dan di akhirat. Maka pada ayat ke-22
ini, menjelaskan kebalikannya, yaitu pengikut Allah SWT dan
konsekuensi yang akan diterimanya, baik di dunia ataupun di akhirat.
Kedua ayat ini menggambarkan karakter dan kriteria manusia secara
umum. Sebagian ada yang mengikuti Allah dan sebagian lagi mengikuti
setan.
Dalam hal ini, Ibn Katsȋr menjelaskan bahwa pada ayat ke 22 ini,
Allah SWT memerintah Nabi SAW untuk memperingatkan orang yang
mengutamakan atau lebih mencintai keluarganya dan kerabatnya dari pada
Allah, Rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya, bahwa mereka akan menerima
akibat yang buruk. Ibn katsȋr mengutip beberap ayat yang relevan dengan
ini.45
Di antaranya Q.s Ali Imran/3 :28 :
من ديكف الميؤمنينى كىمىن يػىفعىل ذىلكى فػىلىيسى منى اللو ف لى يػىتخذ الميؤمنيوفى الكىافرينى أىكليىاءى (شىيءو إل أىف تػىتػقيوا منػهيم تػيقىاةن كىييىذريكيمي اللوي نػىفسىوي كىإلىى اللو المىصيري )
“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai
pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barangsiapa berbuat
demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apapun dari Allah, kecuali
karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka.
Dan Allah memperingatkan kamu akan dirin-Nya (siksa-Nya), dan
kepada Allah tempat kembali”.
Ayat ini mengingatkan umat islam untuk mentaati perintah Allah
SWT, dengan tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin,
sementara masih banyak orang-orang beriman yang memiliki kapasitas
untuk memimpin. Bahkan Allah mengancam mereka yang loyal terhadap
44
Al-Rāzi, Tafsȋr al-Kabȋr Mafātih al-Ghaib, jilid 29, 277-278. 45
Ibn Katsȋr, Tafsir al-Qur‟an al-Aẕȋm, jilid 8, 54.
65
orang-orang kafir dengan siksaan yang pedih. Dengan demikian, sikap
loyalitas antara sesama orang beriman sangat ditekankan, sehingga umat
Islam dapat bersatu dan memancarkan rahmat untuk semesta alam.
Terkait dengan ini, Ibn katsȋr juga mengutip beberapa hadis yang
menggambarkan besarnya kecintaan para sahabat kepada Nabi SAW. Di
antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Ibn Hambal.
Hadisnya sebagai berikut :
نا ابن لذيعة، عن زىرة بن معبد، عن جده كقاؿ الماـ أحمد: حدثنا قتيبة بن سعيد، حدث قاؿ: كنا مع رسوؿ الله صلى الله عليو كسلم، كىو آخذ بيد عمر بن الخطاب، فقاؿ: كالله لنت يا رسوؿ الله أحب إل من كل شيء إل من نفسي فقاؿ رسوؿ الله صلى الله عليو
أنت الف كالله كسلم: "ل يؤمن أحدكم حتى أكوف أحب إليو من نفسو". فقاؿ عمر: ف أحب إل من نفسي. فقاؿ رسوؿ الله: "الف يا عمر"
“Berkata al-Imam Ahmad, telah menceritakan kepada kami Qutaybah
ibn Luhai‟ah, dari Zuhrah Ibn Ma‟bad, dari kakeknya, dia berkata :
“Kami bersama Rasulullah SAW dan dia sedang memegang Umar Ibn
Khatab. Kemudian Umar berkata, Demi Allah, sesungguhnya engkau
wahai Rasulullah lebih aku cintai dari apapun kecuali diriku. Kemudian
Rasulullah SAW merespon, Tidak beriman salah satu di antara kalian
semua sampai menjadikan aku sebagai orang yang paling dicintai
melebihi dirinya sendiri. Kemudian umar berkata, “Sekarang, demi
Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri. Kemudian
Rasulullah berkata, “Nah begitu Umar.”
E.2. Penafsiran Q.s al-Mujādilah/ 58: 19 dan 22 dalam Kitab Tafsir
Modern
Terkait dengan Q.s al-Mujādilah/ 58, ayat 19 ini, Abdullah Yusuf
Ali mengatakan bahwa kodrat manusia yang asal seperti diciptakan oleh
Allah adalah baik. Karena manusia jugalah lepas dari peringatan yang
sudah diterimanya, membiarkan setan menguasainya sehingga ia
melupakan Allah dan sifat-sifat luhur yang diberikan Allah kepadanya.
Akibat penyimpangan itu manusia menjadi pengikut setan, dan
selanjutnya ia menjerumuskan diri ke dalam kehancuran rohani.46
46
Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali, trj. Ali Audah, jilid 2, 1441.
66
Hal yang serupa juga dikatakan oleh Wahbah Zuhaili, menurutnya,
setan telah menguasai mereka dan mengendalikan akal mereka, sehingga
mereka meninggalkan perintah-perintah Allah, dan ketaatan kepada-Nya.
mereka itulah pasukan-pasukannya atau pengikutnya setan. Sesungguhnya
pengikut-pengikut setan itu akan mengalami kesengsaraan dan
kehancuran, karena mereka telah membeli surga dengan neraka, membeli
petunjuk dan kesesatan, kemudian mendustakan Allah dan Nabi-Nya.
Mereka akan mengalami kesengsaraan di dunia dan akhirat.47
Sedangkan, dalam Q.s al-Mujādilah/58 ayat 22, menjelaskan lawan
golongan setan yang disebutkan dalam ayat 19 di atas. Golongan setan itu
akan binasa, tetapi sementara ia masih berlangsung terus dalam pola
dunia yang sekarang. Golongan kanan, golongan kebenaran yang hakikat
secara majaz mungkin golongan Allah meskipun semua ciptaan juga
golongan Allah dalam pengertian lain.48
Terkait dengan hal ini, Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa tidak
mungkin orang yang benar imannya memiliki rasa cinta kepada orang-
orang yang menjadi musuh Allah SWT, karena orang yang mencintai
seseorang, tercegah dari mencintai musuhnya, walaupun musuhnya itu
dari kerabatnya sendiri. Wahbab Zuhaili menambahkan bahwa pada ayat
ini, Allah SWT mensifati orang-orang beriman yang memusuhi mereka
yang memusuhi Allah SWT, bahwa Allah sudah hujamkan kekuatan iman
dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan-Nya.
Kemudian dijelaskan tentang balasan yang lain bagi mereka, yaitu mereka
akan masuk ke dalam surga dan kekal di dalamnya dan memperoleh
keridlaan Allah SWT, mereka bergembira dengan karunia yang Allah
limpahkan kepadanya, baik di dunia dan juga di akhirat. Kemudian Allah
47
Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munȋr fi al-„Aqȋdah wa al-Syarȋ‟ah wa al-Manhaj,
Jilid 14, 427. 48
Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali, trj. Ali Audah, jilid 2, 1442.
67
mensifati mereka dengan ẖizb Allah yang akan memperoleh kemenangan
dan kebahagiaan.49
49
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munȋr fi al-„Aqȋdah wa al-Syarȋ‟ah wa al-Manhaj,
Jilid 14, 433- 434.
68
69
BAB IV
MAKNA ḪIZB DALAM AL-QUR’AN: PENDEKATAN SEMANTIK
AL-QUR’AN TOSHIHIKO IZUTSU
A. Makna Dasar
Dalam semantik Izutsu, setelah menentukan kata fokus, tahapan
selanjutnya yang harus dikaji oleh peneliti adalah menentukan makna
dasar dari kata fokus tersebut yang dalam hal ini adalah kata ẖizb. Makna
dasar adalah makna yang melekat pada sebuah kata dan terus akan
terbawa dimanapun kata itu dipakai. Dalam prakteknya pencarian makna
dasar ini menggunakan kamus-kamus Arab baik klasik ataupun
kontemporer.1
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa langkah untuk mengetahui
makna dasar suatu kata adalah dengan merujuk kepada kamu-kamus Arab,
baik klasik ataupun kontemporer. Oleh karena itu, dalam hal ini, penulis
juga menggunakan beberapa kamus Arab, baik klasik maupun kontemprer.
Dalam kamus Arab, kata ẖizb yang terdiri dari tiga huruf yaitu ح ز
bermakna suatu keadaan yang berat atau kesusahan yang menimpa ,ب
seseorang ( فلنا اشتد عليو المر).2 Sedangkan dalam bentuk isim nya (ẖizb),
bermakna kumpulan manusia (جاعة الناس), jika dikatakan حزب الرجل, maka maknanya adalah sahabat-sahabat seseorang dan pasukan-
pasukannya yang memiliki pandangan yang sama dengan dirinya ( كجنده Kemudian ẖizb bermakna bacaan al-Qur‟an dan .(اصحابو الذين على رأيو
salawat yang sudah menjadi kebiasaan seseorang/menjadi wirid ( كرد الرجل .(النصيب) Selain itu, ẖizb juga bermakna bagian .(من القراف كالصلة
1 Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 11.
2 Syauqi Ḏaif dkk, al-Mu‟jam al-Wasȋṯ (Mesir: Maktabah al-Syurūq al-Dauliyah,
2014), 169.
70
Terakhir, ẖizb bermakna pergantian (giliran) dalam mendatangkan air
untuk mengairi ladang.3 Sedangkan dalam kamus kontemporer, ẖizb juga
dimaknai partai politik.4
Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui bahwa kata ẖizb
termasuk kata musytarak, yaitu kata tunggal tetapi memiliki makna dasar
yang beragam. Keragaman makna tersebut disesuaikan dengan konteks
penggunaannya.
B. Makna Relasional
Sebagaimana sudah dikemukakan pada bab sebelumnya, bahwa
dalam upaya mengetahui makna relasional, ada dua cara yang harus
ditempuh, yaitu melalui analisis sintagmatik dan paradigmatik.
1. Analisis sintagmatik
Analisis sintagmatik adalah analisis yang berusaha menentukan
makna suatu kata dengan cara memperhatikan kata-kata yang ada di depan
dan belakang kata yang sedang dibahas dalam satu bagian tertentu. Kata-
kata tersebut memiliki hubungan keterkaitan satu sama lain dalam
membentuk makna sebuah kata.5 Oleh karenanya, analisis ini sangat
penting dan dibutuhkan, sebab sebuah kata pasti tidak terlepas dari
pengaruh kata-kata yang ada di sekelilingnya.
Dalam al-Qur‟an, kata ẖizb hanya digunakan untuk makna kumpulan
manusia (kelompok atau golongan). Makna dasar ini akan terus terbawa di
3 Imām Abȋ al-Faḏli Jamaluddin Muhammad Ibn Mukram Ibn Manzūr Al-
Afriqy Al-Miśry, Lisānu al-A‟rab, 308. Lihat juga Rajab Abdu al-Jawwād, Al-Mu‟jam
Al-Muślahāt Al-Islāmiyah Fȋ Al-Miśbāh Al-Munȋr, 62. 4 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, h. 258.
Lihat juga Hans Wehr, A Dictionary Of Modern Written Arabic, 203. 5 Saiful Fajar, Konsep Syaiṯān dalam al-Qur‟an (Skripsi Ilmu al-Qur‟an dan
Tafsir UIN Jakarta, 2018), 29.
71
manapun kata itu berada, hanya saja al-Qur‟an memberikan konotasi
makna baru yang dipengaruhi oleh kata-kata yang melingkupi kata ẖizb itu
sendiri. Kata-kata tersebut di antaranya adalah Allāh, Syaiṯān, Syiya‟ā &
Zubaran. Berikut penjelasannya:
a). Allāh
ketika berbicara konsep-konsep tertentu yang terdapat dalam al-
Qur‟an, seseorang tidak bisa meninggalkan dan mengabaikan begitu saja
terhadap kata fokus tertinggi, yakni Allah. Dalam sistem al-Qur‟an, semua
medan semantik secara langsung berkaitan dan diatur oleh konsep sentar
Allah, sebab dunia al-Qur‟an pada hakikatnya adalah teosentris.6
Demikian juga ketika mencoba memahami pandangan dunia al-Qur‟an
tentang makna ẖizb, maka tidak bisa terlepas dari relasi dengan Allah. Hal
ini dijelaskan dalam dua surat, yaitu surat al-Māidah ayat 56 dan surat al-
Mujādilah ayat 22:
(كىمىن يػىتػىوىؿ اللوى كىرىسيولىوي كىالذينى آمىنيوا فىإف حزبى اللو ىيمي الغىالبيوفى )
“Dan barang siapa menjadikan Allah, rasul-Nya dan orang-orang
beriman sebagai penolongnya, maka sungguh pengikut (agama)
Allah itulah yang menang”(Q.s al-Mā‟idah /5: 56)
دي قػىومنا يػيؤمنيوفى باللو كىاليػىوـ الخر يػيوىادكفى مىن حىاد اللوى كىرىسيولىوي كىلىو كىانيوا آبىا ءىىيم أىك لى تىىيم بريكحو منوي يمىافى كىأىيدى أىبػنىاءىىيم أىك إخوىانػىهيم أىك عىشيرىتػىهيم أيكلىئكى كىتىبى ف قػيليومي ال
الدينى فيهىا رىضيى اللوي عىنػهيم كىرىضيوا عىنوي أيكلىئ كى كىييدخليهيم جىناتو تىرم من تىتهىا الىنػهىاري خى (زبي اللو أىلى إف حزبى اللو ىيمي الميفلحيوفى )ح
“Engkau (Muhamad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang
yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu
bapaknya, anaknya, saudaranya atau keluarganya. Mereka itulah orang-
orang yang di dalam hatinya telah ditanamkan oleh Allah keimanan dan
Allah telah menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari
6 Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 36
72
Dia. Lalu dimasukannya mereka ke dalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridla terhadap
mereka dan mereka pun merasa puas terhadap limpahan rahmat-Nya.
merekalah golongan Allah. Ingatlah sungguhnya golongan Allah itulah
yang beruntung” (Q.s al-Mujādalah/58:22).
Kata ẖizb ketika dihubungkan kepada Allah, seperti dalam dua ayat
di atas, memiliki relasi makna sebagai kelompok ataupun golongan
manusia yang memiliki komitmen yang kokoh dalam mempertahankan
keimanan dan kesetiaannya kepada Allah SWT, serta loyalitasnya yang
tinggi terhadap rasul-Nya dan orang-orang beriman.
Oleh karena itu, ẖizb Allah adalah gelar kemuliaan dan
keistimewaan bagi hamba-hamba-Nya yang memiliki kualitas keimanan
dan implementasi ketaatan sebagaimana yang dijelaskan dalam dua ayat
tersebut.
Berikut ini kriteria-kriteria dan konsekuensi bagi mereka yang
menjadi golongan Allah (ẖizb Allah):
1). Beriman kepada Allah dan hari akhir
2). Tidak saling mencintai dengan orang-orang yang memusuhi Allah,
meskipun orang tuanya, anak-anaknya, keluarganya dan saudara-
saudaranya sendiri (tidak meninggalkan ketaatan kepada Allah karena
keluarganya)
3). Menjadikan Allah, Rasul dan orang beriman sebagai orang yang paling
dicintainya.
4) Allah tanamkan keimanan yang kuat dalam hatinya.
5) Mendapatkan ridla Allah dan ridla terhadap pemberian Allah.
6) Mendapatkan kemenangan dan kebahagiaan dengan balasan surga yang
akan diterimanya.
73
b) Syaiṯān
Salah satu nama al-Qur‟an yang juga merupakan karakteristik dari
ajaran al-Qur‟an itu sendiri adalah al-Furqān, artinya pembeda. Oleh
karenanya, selain menjelaskan hal-hal yang benar atau haqq, al-Qur‟an
juga menjelaskan hal-hal yang salah atau bāṯil. Demikian juga dalam
konteks makna ẖizb. Selain berelasi dengan Allah, ẖizb juga berelasi
dengan Syaiṯān. Ini dijumpai dalam dua surat, yaitu surat Fāṯir ayat 6 dan
surat al-Mujādalah ayat 19:
ذيكهي عىديكا إنىا (يىدعيو حزبىوي ليىكيونيوا من أىصحىاب السعير )إف الشيطىافى لىكيم عىديك فىات “Sungguh setan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai
musuh, karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongan-
golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-
nyala” (Q.s Fāṯir/35: 6)”.
استىحوىذى عىلىيهمي الشيطىافي فىأىنسىاىيم ذكرى اللو أيكلىئكى حزبي الشيطىاف أىلى إف حزبى الشيطىاف (ىيمي الخىاسريكفى )
“Syetan telah menguasai mereka, lalu menjadikan mereka lupa
mengingat Allah. Maka mereka itulah pengikut setan. Ketahuilah, bahwa
pengikut setan itulah golongan yang rugi”. (Q.s al-Mujadilah/ :19)”.
Dalam surat Fāṯir, ẖizb bermakna sebuah golongan ataupun
pengikut setan yang menjadi target untuk digelincirkan ke dalam neraka.
Dalam konteks ayat ini, dijelaskan bahwa tidak semua orang dapat terajak
dan terpedaya oleh bujuk rayu setan. Ajakannya itu hanya akan
berpengaruh bagi mereka yang mau mengikutinya. Oleh karena itu Allah
tegaskan kepada orang-orang beriman untuk menjadikannya sebagai
musuh dan tidak menjadikannya sebagai tuan yang harus diikuti, karena
mengikuti setan dan ridla kepadanya berarti telah mengorbankan dirinya
masuk ke dalam api neraka yang menyala. Sehingga relasi ẖizb dengan
setan adalah bermakna sebagai kelompok atau pengikut setan yang mudah
diajak dan digelincirkan oleh setan, karena sikap loyalitasnya yang kuat
kepada setan.
74
Demikian juga dalam surat al-Mujādilah, ẖizb yang berelasi
dengan setan, bermakna sebuah kelompok atau golongan yang telah
digelincirkan oleh setan. Ḫizb al-Syaiṯān bisa juga menjadi sebuah istilah
atau gelar kehinaan dan kerugian bagi mereka yang hati, ucapan dan
perbuatannya telah dikuasai oleh tipu daya setan.
Adapun karakteristik pengikut ataupun golongan setan dalam
konteks ke dua ayat ini adalah:
1). Golongan yang mudah diajak dan digelincirkan oleh tipu daya setan,
sehingga akan menjadi penghuni neraka.
2). Jiwa dan raganya dikuasai oleh setan, sehingga membuatnya lupa
untuk mengingat Allah SWT. Oleh karenanya mereka akan mendapati
kerugian, baik di dunia dan juga di akhirat.
c) Syiya‟ā & Zubarā
Jika pada dua pembahasan sebelumnya ẖizb berelasi kepada Allah
dan setan menunjukan bahwa dalam realitasnya golongan manusia
memiliki komitmen dan loyalitas yang berlawanan, yaitu sebagian ada
yang loyal kepada Allah dan sebagian lagi ada yang malah loyal kepada
setan, maka ẖizb yang berelasi dengan kata Syiya‟ā, Zubarā,
menggambarkan sebuah kelompok atau golongan manusia yang memiliki
komitmen dan loyalitas yang tinggi terhadap kelompok atau golongannya
sendiri.
Terdapat dua ayat terkait ẖizb yang berelasi dengan kata Syiya‟ā,
Zubarā. Yaitu surat al-Rūm ayat 32 dan al-Mu‟minūn ayat 53. Ayatnya
sebagai berikut:
يهم فىرحيوفى ) (منى الذينى فػىرقيوا دينػىهيم كىكىانيوا شيػىعنا كيل حزبو بىا لىدى “Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka
menjadi beberapa golongan. Setiap golongan merasa bangga dengan apa
yang ada pada golongan mereka”. (Q.s: al-Rūm/30 : 32).
يهم فىرحيوفى ) نػىهيم زيبػيرنا كيل حزبو بىا لىدى (فػىتػىقىطعيوا أىمرىىيم بػىيػ
75
“Kemudian mereka terpecah belah dalam urusan (agamanya) menjadi
beberapa golongan. Setiap golongan (merasa) bangga dengan apa yang
ada pada mereka (masing-masing)” (Q.s: al-Mu‟minūn/25: 53)
Pengglan kata Syiya‟ā pada surat al-Rūm adalah bentuk plural dari
kata Syȋ‟ah. Makna Syȋ‟āh menurut al-Askary adalah:
7لو الرجل ىم الجماعة الدائلة اليو من محبتهماف شيعة
“Sesungguhnya syi‟ah nya seseorang itu adalah kumpulan orang-orang
yang cenderung kepadanya karena kecintaan mereka kepadanya.”
Jadi Syiya‟ā yang merupakan bentuk plural dari Syȋ‟ah bermakna
kelompok-kelompok yang cenderung atau loyal kepada salah seorang
figur atau pemimpinnya yang didasarkan atas kecintaan kepadanya. Dalam
konteks ayat ini, Syiya‟ā di sini adalah kelompok-kelompok dari kalangan
Yahudi dan Nasrani yang merubah dan memecah belah agamanya
sehingga menjadi banyak kelompok.8 Sedangkan penggalan redaksi كيل
يهم فىرحيوفى adalah sebuah penekanan bahwa setiap kelompok dari ,حزبو بىا لىدى
masing-masing kelompok tersebut (Yahudi dan Nasrani) fanatik dan
merasa bangga dengan kelompoknya sendiri. Menganggap kebenaran ada
pada kelompoknya sedangkan yang lain salah.9
Kemudian pada surat al-Mu‟minūn, penggalan kata زيبػيرنا dalam ayat
tersebut merupakan bentuk plural dari kata زبور, artinya kitab-kitab yang
berbeda, yaitu mereka membuat agama-agamanya menjadi banyak.10
Kata
zubarā di sini menunjukan agama-agama yang beragam. Ayat ini masih
berkaitan dengan prilaku orang-orang yahudi dan nasrani yang terpecah
belah hingga menjadi beberapa bagian atau kelompok. Makna relasi Ḫizb
7 Al-Askary, al-Furūq al-Lughawiyyah, 279.
8 Ibn Jarȋr al-Ṯabary, Tafsȋr al-Ṯabary Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wȋli āyi al-Qur‟ān,
juz 18, 498. 9 Tepatnya teksnya adalah sebagai berikut:
الحق كغيرىا على الباطل كل جاعة تتعصب لرأيها كتفرح بو، ككأنها على Lihat Al-Sya‟rawi, Tafsȋr al-Sya‟rawi, 10.058. 10
Al-Zamakhsyari, al-Kasysyāf, jilid 4, 235.
76
di sini adalah sebuah kelompok beragama yang karakternya merasa
berbangga diri dengan kelompoknya, kemudian jiwanya mantap dengan
pandangan dalam kelompoknya serta meyakini bahwa kelompoknya yang
benar.11
Bedasarkan uraian tersebut di atas, ẖizb dalam al-Qur‟an memiliki
relasi makna sebagai kelompok orang beragama yang sangat loyal
terhadap sosok yang diikutinya, sangat yakin dengan pandangan
agamanya, serta fanatik dalam mempertahankan komitmen dan
loyalitasnya terhadap kelompok yang diikutinya dan golongan-golongan
yang satu pandangan dengan dirinya.
Meskipun dalam al-Qur‟an penggunaan makna ẖizb kebanyakan
ditujukan kepada golongan-golongan yang sifatnya negatif, seperti
menunjukan golongan atau pengikut setan, kemudian kelompok Yahudi
dan Nasrani yang merubah ajaran-ajaran agamanya, bahkan dalam bentuk
pluralnya, yaitu aẖzāb, juga ditujukan kepada kelompok-kelompok yang
berselisih di kalangan Nasrani, kemudian kelompok-kelompok yang
bersekongkol dari kalangan kaum „Ad, Tsamud dan Aikah untuk
menyerang nabinya, serta kelompok-kelompok yang bersekutu dari
kalangan musyrik Mekah, kabilah-kabilah Arab dan golongan Yahudi
Madinah untuk menyerang Nabi SAW, namun demikian pada dasarnya
makna ẖizb sebagai suatu kelompok atau golongan yang fanatik dan
sangat kuat memegang prinsip kebenaran dalam kelompoknya adalah
suatu hal yang wajar dan positif, karena dalam al-Qur‟an juga ditemukan
dua ayat terkait ẖizb yang ditujukan kepada golongan-golongan yang
memiliki komitmen dan loyalitas yang tinggi terhadap Allah, Rasul, dan
orang-orang beriman, yaitu term ẖizb Allah. Konotasi positif atau
11
Al-Zamakhsyari, al-Kasysyāf, jilid 4, 235.
77
negatifnya tergantung kepada siapa dan kelompok yang bagaimana
seseorang menempatkan komitmen dan loyalitasnya.
Diagram 4.1: Medan Semantik Sintagmatik Kata Ḫizb
2. Paradigmatik
Sebagaimana yang sudah penulis kemukakan pada bab ke dua,,
bahwa analisis paradigmatik adalah analisis yang mengkomparasikan kata
atau konsep tertentu dengan kata atau konsep lain yang mirip (sinonim)
atau berlawanan (antonim).12
Pada penelitian ini, penulis hanya akan mengkomparasikan kata
ẖizb dengan kata-kata lain yang mirip atau terlihat memiliki makna yang
sama (sinonim). Adapun dalam prosesnya, penulis terlebih dahulu akan
mencari kata-kata bermakna mirip yang akan dikomparasikan dengan kata
ẖizb tersebut dengan merujuk kepada kitab Furūq al-Lughawiyyah karya
Imam al-Adib al-Lughawy Abi Hilal al-Askary, salah seorang ulama
terkemuka yang hidup pada abad ke-4 H. Kitab tersebut memuat hasil
analisa al-Askary terhadap kata-kata yang dianggap mutarādif. Al-Askary
dengan kejelian dan pemahaman kebahasaannya yang mendalam dapat
12
Zunaidi Nur, Konsep al-Jannah dalam al-Qur‟an: Aplikasi Semantik
Toshihiko Izutsu (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Uśuluddin dan Pemikiran Islam UIN
Sunan Kalijaga, 2014), 64.
Ḫizb Allah
Syiya‟ā
Syaiṯān
ẕubarā
78
menguraikan keragaman orientasi makna dari kata-kata dalam al-Qur‟an
yang secara sepintas terkesan memiliki makna yang sama.
Dalam kitab al-Furūq al-Lughawiyyah, al-Askary menguraikan
beberapa kata dalam al-Qur‟an yang maknanya terlihat mirip dengan kata
ẖizb, di antaranya kata Ṯā‟ifah, firqah/farȋq, Syȋ‟ah, zumrah, fi‟ah, al-fauj.
13
1) Ṯā’ifah (طائفة). Kata Ṯā‟ifah terulang sebanyak dua puluh kali yang tersebar dalam
sembilan surat.14
Yaitu: Q.s Ali Imran/3: 69, 72, 154, 154, Q.s al-Nisā/4:
81, 102, 102, 113, Q.s al-A‟raf/7: 87, 87, Q.s al-Taubah/9: 66, 66, 83, 122.
Q. al-Nur/24: 2, Q.s al-Qaśash/28: 4, Q.s al-Aẖzab/33: 13, Q.s al-Śāf/61:
14, 14, dan Q.s al-Muzammil/73: 20.
Terkait makna Ṯā‟ifah, al-Askary menjelaskan sebagai berikut :
اف الطائفة فى الصل الجماعة من شأنها الطوؼ فى البلد للسفر كيجوز اف يكوف اصلها الجماعة التي تستوم ا حلقة يطاؼ عليها ث كثر ذلك حتى سمي كل جاعة طائفة
“Sesungguhnya, asal makna Ṯā‟ifah adalah suatu kumpulan yang
sebagian keadaannya (karakternya) adalah berkeliling di suatu negara
dalam rangka perjalanan (safar). Bisa juga makna asalnya itu adalah
suatu kumpulan yang terbentuk melingkar secara seimbang, kemudian
membanyak sehingga dinamai bahwa setiap jamaah adalah Ṯā‟ifah “.
Al-Askary menambahkan bahwa kata Ṯā‟ifah dalam syariat
terkadang menjadi nama untuk satu (hukum). Hal ini sebagaimana dalam
Q.s al-Hujurat/49: 9:
وا بينهما كاف طائفتاف من الدؤمنين اقتتلوا فاصلح “Dan apabila dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah
antara keduanya”.
Menurutnya, dalam hal ini tidak ada perbedaan bahwa dua orang
ketika saling membunuh, maka hukum keduanya adalah sebagaimana
13
Imam al-Adib al-Lughawy Abi Hilal al-Askary, al-Furūq al-Lughawiyyah
(Kairo: Dār al-„Ilmi wa al-Tsaqāfah, 1997), 279. 14
Abdul Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-Fāẕ al-Qur‟an, 431.
79
hukum dalam ayat ini.15
Maksud dari pernyataan al-Askary adalah bahwa
upaya untuk mendamaikan perseteruan itu tidak harus dari dua kelompok
besar saja, tetapi pertikaian atau konflik antara dua orang pun harus
didamaikan, sehingga dikenai hukum seperti dalam ayat ini. al-Askary
menambahkan bahwa bisa juga makna Ṯā‟ifah menerima makna satu
orang. Seperi dilālah dalam firman Allah SWT surat al-Taubah/9: 122
هيم طىائفىةه ليىتػىفىقهيوا ف ين كىمىا كىافى الميؤمنيوفى ليػىنفريكا كىافةن فػىلىولى نػىفىرى من كيل فرقىةو منػ الد (كىليػينذريكا قػىومىهيم إذىا رىجىعيوا إلىيهم لىعىلهيم يىذىريكفى )
“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke
medan perang) mengapa sebagian dari golongan di antara mereka tidak
pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar
mereka dapat menjaga dirinya”.
Ayat ini mewajibkan pengamalan pada kabar Ṯāifah, dan terkadang
Ṯāifah ini terdiri hanya satu orang.16
Maksudnya adalah bahwa Ṯāifah
yang dianjurkan untuk mendalami ilmu agama dan tidak ikut berperang,
diharapkan ketika pulang kepada kaumnya dapat memberikan peringatan
atau menyampaikan ajaran agama. Terkadang mereka yang
menyampaikan itu hanya satu orang saja, sehingga dalam satu konteks,
makna Ṯaifah mungkin juga bermakna untuk satu orang.
2) Farȋq (فريق) Kata farȋq dalam al-Qur‟an disebutkan sebanyak 28 kali yang
tersebar dalam 14 surat, 17
yaitu: Q.s al-Baqarah/2: 75, 100, 101, 87, 87,
146, 188, Q.s Ali Imran/3: 23, 78, 100, Q.s al-Nisa/4: 77, Q.s al-Taubah/9:
117, Q.s al-Nahl/16: 54, Q.s al-Mu‟minūn/23: 109, Q.s al-Nūr/24: 47, 48,
Q.s al-Rūm/30: 33, Q.s al-Aẖzāb/33: 13, 26, 26, Q.s al-Syūra/42:7, 7, Q.s
15
Al-Askary, al-Furūq al-Lughawiyyah, 278. 16
Al-Askary, al-Furūq al-Lughawiyyah, 278. 17
Abdul Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-Fāẕ al-Qur‟an, 517.
80
al-Mā‟idah/5: 70, 70, Q.s al-A‟raf/7: 30, 30, Q.s al-Anfāl/8: 5, dan Q.s
Saba/34: 20.
Terkait makna farȋq, al-Askary menjelaskan sebagai berikut :
18اف الفريق الجماعة الثانية من جاعة اكثر منها
“Sesungguhnya farȋq adalah kumpulan yang kedua dari suatu kumpulan
yang lebih besar darinya”.
Jadi, farȋq itu bermakna suatu kelompok yang merupakan bagian
atau sempalan dari kelompok lain yang jumlahnya lebih besar.
Contohnya sebagaimana dalam Q.s al-Baqarah ayat 100 :
ا ا عىاىىديكا عىهدن هي فىريقه منػهيم بىل أىكثػىريىيم لى يػيؤمنيوفى ) أىكىكيلمى (نػىبىذى “Dan mengapa setiap kali mereka mengikat janji, sekelompok mereka
melanggarnya? Sedangkan sebagain besar mereka tidak beriman.”
3) Syȋ’ah (شيعة)
Kata Syȋ‟ah dalam al-Qur‟an terulang sebanyak empat kali yang
tersebar dalam tiga surat, 19
yaitu: Q.s Maryam/19: 69, Q.s al-Qaśaś/28: 15,
15, dan Q.s al- Shāffāt/37: 83.
Terkait makna Syȋ‟ah, al-Askary menjelaskan sebagai berikut:
20لو من محبتهم اف شيعة الرجل ىم الجماعة الدائلة اليو
“ Sesungguhnya syi‟ah nya seseorang itu adalah kumpulan orang-orang
yang cenderung kepadanya karena kecintaan mereka kepadanya.”
Jadi kata syi‟ah ini bermakna suatu kelompok atau golongan orang
yang cenderung atau loyal kepada salah seorang figur atau pemimpinnya
yang didasarkan atas kecintaan kepadanya. Makna ini juga relevan bagi
18
Al-Askary, al-Furūq al-Lughawiyyah, 278 19
Abdul Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-Fāẕ al-Qur‟an, 398. 20
Al-Askary, al-Furūq al-Lughawiyyah, 279.
81
nama syi‟ah sebagai mazhab besar umat Islam selain sunni. Mereka adalah
kelompok yang cenderung bahkan fanatik kepada sayyidina Ali, r.a.
4) Zumarā (زمرا)
Kata Zumarā terulang dua kali dalam al-Qur‟an dan hanya dalam
satu surat, yaitu Q.s al-Zumar/39 ayat 71 dan 73.21
Ayatnya sebagai
berikut:
نمى زيمىرنا حىتى إذىا جىاءيكىىا فيتحىت أىبػوىابػيهىا كىسيقى الذينى كىفىريكا إلىى خىزىنػىتػيهىا أىلى لذيم كىقىاؿى جىهىا قىاليوا بػىلىى كىلى ليوفى عىلىيكيم آيىات رىبكيم كىيػينذريكنىكيم لقىاءى يػىومكيم ىىذى كن يىأتكيم ريسيله منكيم يػىتػ
لمىةي العىذىاب افرينى ) حىقت كى (عىلىى الكى“Orang-orang yang kafir digiring ke neraka Jahanam secara
berombongan. Sehingga apabila mereka sampai kepadanya (neraka),
pintu-pintunya dibukakan dan penjaga-penjaga berkata kepada mereka
“apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul dari kalanganmu
yang membacakan ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu
akan pertemuan dengan harimu ini? Mereka menjawab “Benar, ada,” tapi
ketetapan azab pasti berlaku terhadap orang-orang kafir”.
ا كىفيتحىت أىبػوىابػيهىا كىقىاؿى لذىيم خىزىنػىتػيهىا كىسيقى الذينى اتػقىوا رىبػهيم إلىى الجىنة زيمىرنا حىتى إذىا جىاءيكىىالدينى ) هـ عىلىيكيم طبتيم فىادخيليوىىا خى (سىلى
“Dan orang-orang bertakwa kepada Tuhannya di antar ke dalam surga
secara berombongan. Sehingga apabila mereka sampai kepadanya (surga)
dan pintu-pintunya telah dibukakan, penjaga-penjagnya berkata kepada
mereka, “kesejahteraan dilimpahkan atasmu, berbahagialah kamu! maka
masuklah, kamu kekal di dalamnya”.
Terkait dengan makna zumarā, ibn Katsȋr menjelaskan bahwa
makna nya adalah kelompok yang beriringan (جاعة بعد جاعة). Sehingga
semua manusia di akhirat akan akan digiring menuju tempat kembalinya.
Mereka yang taat selama hidup di dunianya akan digiring menuju surga,
sedangkan mereka yang tidak taat akan digiring menuju neraka.
Jadi kata zumarā dalam al-Qur‟an digunakan sebagai makna untuk
golongan manusia di akhirat nanti yang akan digiring menuju tempat
21
Abdul Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-Fāẕ al-Qur‟an, 332.
82
kembalinya. Keadaan mereka berbeda sesuai dengan kualitas amalnya
semenjak hidup di dunia.
5) Fauj (فوج ) Kata fauj terulang sebanyak lima kali dalam al-Qur‟an dan tersebar
dalam lima surat,22
yaitu: Q.s Śad/38: 59, Q.S al-Mulk/67: 8, Q.s al-
Naml/27: 83, Q.s al-Naba/78: 18, dan an-Naśr/110: 2.
Terkait dengan makna fauj, al-Askary menjelaskan sebagai berikut :
اف الفوج الجماعة الكثيرة “Sesungguhnya Fauj adalah kumpulan yang banyak”.
Makna demikian, Sebagaimana dalam Q.s al-Naśr/110: 2:
(كىرىأىيتى الناسى يىدخيليوفى ف دين اللو أىفػوىاجنا ) “Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama
Allah”.
Mereka masuk Islam ketika turun ayat ini secara berbondong-
bondong (dalam jumlah yang banyak).23
Jadi kata fauj adalah kata yang
digunakan untuk pemaknaan suatu kelompok yang berbondong-bondong
untuk tujuan tertentu yang baik.
6) Fi’ah (فئة)
Kata Fi‟ah terulang dalam al-Qur‟an sebanyak delapan kali yang
tersebar dalam lima surat,24
yaitu: Q.s al-Baqarah/2: 249, 249, Q.S Ali
Imran/3: 13, Q.s al-Anfal/8: 16, 95, 45, Q.s al-Kahfi/18: 43, dan Q.s al-
Qaśash/28: 71.
Terkait makna Fi‟ah, al-Askari menjelaskan sebagai berikut
22
Abdul Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-Fāẕ al-Qur‟an, 527. 23
Al-Askary, al-Furūq al-Lughawiyyah, 277. 24
Abdul Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-Fāẕ al-Qur‟an, 510.
83
25اف الفئة ىي الجماعة الدتفرقة من غيرىا من قولك فأكت رأسو ام فلقتو “Sesungguhnya fi‟ah adalah suatu kumpulan yang terpisah dari yang
lainnya dari ucapanmu, فأكت رأسو ام فلقتو (maka aku kumpulkan
kepalanya, yakni aku pisahkan kepalanya).
Dalam konteks perang, fi‟ah adalah kelompok yang ada di belakang
dan bersiap siaga untuk menolong kelompoknya. Demikian juga yang
dikatakan oleh Abu Ubaidah, bahwa fi‟ah adalah kelompok yang
menolong.26
Dalam al-Qur‟an, kata fiah ini banyak digunakan untuk istilah
golongan atau pasukan dalam suatu peperangan. Seperti dalam Q.s Ali-
imran/3: 13:
بيل اللو كىأيخرىل كىافرىةه يػىرىكنػىهيم مثػلى يهم رىأمى قىد كىافى لىكيم آيىةه ف فئىتػىين التػىقىتىا فئىةه تػيقىاتلي ف سى (العىين كىاللوي يػيؤىيدي بنىصره مىن يىشىاءي إف ف ذىلكى لىعبػرىةن ليكل الىبصىار )
“Sungguh telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang berhadap-
hadapan. Satu golongan berperang di jalan Allah, dan yang lain (golongan)
kafir yang melihat dengan mata kepala, bahwa mereka (golongan muslim)
dua kali lipat mereka. Allah menguatkan denga pertolongan-Nya bagi
siapa yang Dia kehendaki. Sungguh pada demikian itu terdapat pelajaran
bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan (mata hati).”
Demikian beberapa kata yang bermakna mirip dengan kata ẖizb.
Akan tetapi, berdasarkan uraian di atas, dapat ketahui bahwa meskipun
semuanya terhimpun dalam satu makna, yaitu “kumpulan orang-orang
atau kelompok”, tetapi penggunaan dan orientasi maknanya berbeda satu
sama lain.
Berikut ini tebel yang menguraikan perbedaan orientasi makna
antara kata ẖizb dengan kata-kata yang menjadi sinonimnya, serta diagram
medan semantik analisis paradigmatik:
25
Al-Askary, al-Furūq al-Lughawiyyah, 279. 26
Al-Askary, al-Furūq al-Lughawiyyah, 279.
84
Tebel 4.1: Perbedaan Orientasi Makna Antara Kata Ḫizb dengan
Kata-Kata Sinonimnya
NO Kata Orientasi makna
1 Ḫizb Kelompok yang memiliki kekuatan dan sangat komitmen
dengan pandangan kelompoknya serta loyal terhadap
kelompok dan sosok yang diikutinya.
2 Ṯāifah Kelompok yang sebagian kebiasannya berkelana menjelajahi
berbagai daerah, atau kelompok yang terbentuk melingkar
secara seimbang, setelah semakin membanyak, maka
disebutlah Ṯāifah.
3 Syȋ’ah Kelompok yang cenderung kepada satu figur atas dasar
kecintaan.
4 Zumarā Kelompok yang berjalan secara beriringan
5 Fauj Kelompok yang banyak dan berbondong-bondong untuk satu
tujuan tertentu
6 Fi’ah Kelompok sebagai penolong bagi yang lainnya. Dalam
konteks perang, fi‟ah adalah kelompok yang ada di belakang
dan siap siaga untuk menolong kelompoknya
7 Farȋq/
Firqah
Kelompok yang merupakan sempalan dari kelompok yang
yang lebih besar.
Diagram 4.2: Medan Semantik Paradigmatik Kata Ḫizb
Ḫizb
Ṯāifah
Farȋq
Zumarā Syȋah
Fȋah Fauj
85
C. Analisis Sinkronik dan Diakronik.
Pembahasan tentang sinkronik diakronik, oleh Izutsu telah
disederhanakan dengan cara membaginya ke dalam tiga periode waktu,
yaitu: pra-Qur‟anik (masa sebelum turunnya al-Qur‟an atau masa
jahiliyah), Qur‟anik (masa diturunkannya al-Qur‟an), dan pasca-Qur‟anik
(masa setelah al-Qur‟an diturunukan).27
1. Pra Qur’anik
Sebagaimana sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa yang
menjadi patokan pencarian kosakata pra-Qur‟anik adalah (1) kosa kata
badwi murni masa nomaden, (2) kosa kata kelompok pedagang, (3) kosa
kata Yahudi-Kristen. Ketiga poin tersebut merupakan unsur-unsur penting
kosakata Arab pra-Islam.28
Oleh karenanya, salah satu media refresentatif
untuk memahami arti kosa kata pada masa pra-Qur‟anik adalah syi‟ir-
syi‟ir jāhili, yaitu syair-syair yang berkembang sebelum Islam. hal
tersebut karena syair merupakan produk budaya terbesar bagi Bangsa
Arab.29
Berkaitan dengan hal di atas, Ṯāha Husain menjelaskan bahwa jika
ingin mengetahui syair-syair jahili yang sahih, sempurna, dan refresentatif,
maka cukuplah membaca syair-syair yang dikemukakan oleh tiga penyair,
yaitu : Zuhair, al-Nābigah dan al-Huṯai‟ah.30
27
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 35. 28
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 35. 29
Lukita Fahriana, Pemaknaan Qalb Salim Dengan Metode Analisis Semantik
(Jakarta: Skripsi Prodi Ilmu al-Qur‟an dan tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, 2019),
86. 30
Tepatnya, berikut ini ungkapan Ṯaha Husein :
فى شعر فما يصح لنا من الشعر الجاىلي كامل الخلق متقن البناء فيو اثر التفكير كالركية كحسبك اف تنظر زىير ك النابغة كالحطئة لتقنع بذلك
Lihat: Ṯaha Husain, al-Ădab al-Jāhili (Kairo: Faruq, 1993), 352.
86
Namun, selain menyebutkan nama ketiga penyair tersebut, Husain
juga menyebutkan nama-nama penyair lain, seperti : Imri al-Qais, Lubaid
Turfah, „Amr Ibn Kultsum, „Antarah, al-Harts Ibn Hallazah, alqamah, dan
al-A‟sya.31
Dalam upaya mengetahui makna kata ẖizb pada masa pra-Qur‟anik,
penulis mencarinya dari Diwan-Diwan yang menghimpun syair-syair yang
ditulis oleh mereka. Akan tetapi, setelah melacak banyak syair, penulis
tidak menemukan kata ẖizb secara spesifik, namun penggalan kata yang
penulis temukan adalah bentuk derivasi lainnya, yaitu taẖazzub (تحزب).
Berikut ini syairnya :
32 اجم كتزب كتشددتهككررت كالبطاؿ بين تصادـ ك “Dan aku bolak balik, sedangkan para pasukan berada di antara saling
bermusuhan, saling bertikai, saling berkecamuk33
, dan saling berlaku
kasar.”
Jika dilihat dari konteksnya (siyāq al-kalam), makna yang relevan
untuk kata taẖazzub dalam syair tersebut adalah “saling berkecamuk”.
Sya‟ir ini menggambarkan dua kelompok atau pasukan perang yang
sedang berkecamuk dalam peperangan. Masing-masing membela
pasukannya dengan sangat gigihnya.
31
Ṯaha Husain, al-Ădab al-Jāhili, 93. 32
Al-Khatib al-Tabrizi, Diwan „Antarah (Beirut: Dar al-Kitab al-Ghazali. 1992),
64. 33
Penulis memaknai “saling berkecamuk”, karena salah satu makna dasar dari
kata ẖizb adalah اشتد المر فلنا (keadaan yang sangat berat atau hebat yang menimpa
seseorang). Hal ini sebagaimana dalam hadis Nabi SAW:
قاـ إلى الصلةكاف النب صلى الله عليو كسلم إذا حزبو أمر “Bahwasannya Nabi SAW, ketika dihadapkan kepadanya keadaan yang berat
atau menyulitkan, maka ia bergegas mendirikan salat”. Lihat al-Mu‟jam al-Wasȋṯ (Mesir:
Maktabah al-Syurūq al-Dauliyah, 2014), 169.
Terkait dengan hadis tersebut di atas, al-Sya‟rawi memaknai term حزبو di sini
dengan: أمر أتعبو كأرىقو كفكر فيو كثيران, “Suatu kesusahan (keadaan yang berat) yang menimpa
Nabi dan banyak menguras pikirannya”. Lihat al-Sya‟rawi, Tafsȋr al-Sya‟rawi, jilid 6,
3245. Syair ini konteksnya dalam keadaan perang, dan perang merupakan keadaan yang
berat dan dahsyat yang menimpa kedua belah pasukan.
87
Oleh karenanya, pada masa pra-Qur‟anik, taẖazzub digunakan untuk
makna suatu kelompok atau pasukan yang berperang dengan sangat
dahsyat demi mempertahankan kelompoknya atau pasukannya.
2. Qur’anik
Periode Qur‟anik atau masa al-Qur‟an diturunkan, terbagi ke ke
dalam dua periode, yaitu: periode Makkah (610-622) dan periode Madinah
(622-632). Dengan begitu, memahami makna kata pada periode Qur‟anik,
bisa ditelusuri dengan cara melihat konteks sosio historis masyarakat Arab
Makkah dan Madinah pada saat al-Qur‟an diturunkan.34
Adapun enam
ayat terkait kata ẖizb yang penulis kaji dalam penelitian ini, tersebar dalam
lima surat, dan terbagi ke dalam dua kategori, yaitu kategori Makki dan
Madani. Berikut ini tebel terkait ayat ẖizb berdasarkan kategorisasi
turunnya.
Tebel 4.2: Kategorisasi Ayat Terkait Ḫizb Bedasarkan Tempat
Turunnya
N
o
Lafaz Surat No
Surat
Ayat Kategori
1 ẖizb al-Māidah 5 56 Madaniyah
2 ẖizb al-Mu‟minūn 23 53 Makiyah
3 ẖizb al-Rūm 30 32 Makiyah
4 ẖizb al-Mujādilah 58 19, 22 Madaniyah
5 ẖizb Fāṯir 35 6 Makiyah
Berkaitan dengan hal di atas, perlu diketahui bahwa konteks sosial
masyarakat Makkah pra Islam adalah al-Jāhiliyyah, yaitu masyarakat yang
tidak mempunyai otoritas hukum, nabi, kitab suci, dan terkenal dengan
masyarakat yang cinta terhadap penyembahan berhala.35
Selain itu, dilihat
dari akidahnya pada masa Jāhilyyyah, masyarakat Arab terbagi ke dalam
34
Lukita Fahriana, Pemaknaan Qalb Salim Dengan Metode Analisis Semantik,
91. 35
Lukita Fahriana, Pemaknaan Qalb Salim Dengan Metode Analisis Semantik,
92.
88
tiga kategori, yaitu: pertama kelompok yang mengingkari adanya sang
pencipta dan hari kebangkitan. Kedua, mengakui adanya sang pencipta,
tapi tidak percaya dengan hari kebangkitan. Ketiga, penyembah berhala.
Kemudian sebagian dari mereka ada yang cenderung kepada agama
Yahudi, ada yang cenderung kepada Nasrani, ada yang cenderung kepada
śābiah, dan ada juga yang cenderung menyembah jin dan malaikat.36
Oleh karenanya, salah satu karakteristik ayat-ayat yang turun di Mekah
adalah berkaitan dengan prinsip-prinsip akidah, seperti Iman kepada
Allah, hari akhir dan peristiwa yang terjadi di dalamnya, seperti hari
kebangkitan, perkumpulan dan balasan, kemudian percaya kepada para
rasul dan para malaikat. Serta penggunaan argumentasi yang bersifat
rasional.37
Sebagaimana sudah dikemukakan di atas, bahwa ayat-ayat terkait
ẖizb itu terdiri dari dua kategori, yaitu kategori Makki dan Madani. Pada
ayat yang berkategori makki, yaitu Q.s al-Mu‟minūn/23: 53, Q.s al-
Rūm/30: 32, dan Q.s Fāṯir/36: 6, mengandung makna atau pemahaman
yang sangat kental dengan nuansa akidah atau keimanan.38
Pada dua ayat
pertama, yaitu, Q.s al-Mu‟minūn/23: 53, Q.s al-Rūm/30: 32, mengandung
substansi makna yang sama, yaitu kritikan terhadap umat-umat terdahulu
yang menyelewengkan atau memecah belah prinsip ajaran-ajaran yang
dibawa oleh nabi-nabinya sehingga mereka berselisih dan terpecah belah
menjadi beberapa kelompok agama yang masing-masing mengklaim
kebenaran, padahal realitanya mereka dalam kesesatan. Yang menjadi
khitāb dalam dua ayat ini adalah penduduk mekkah dan para ahl-Kitab
36
Muhammad Riḏa, Muhammad Rasulullah SAW (Jakarta: Dar al-Kutub Al-
Islamiyah, 2012), 19- 20. 37
Muhmammad Ibn Abu Syahbah, al-Madkhal Li Dirāsat al-Qur‟an al-Karim,
205. 38
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat di bab ke tiga, tepatnya dalam sub bab
tentang penafsiran ulama terkait ayat ẖizb.
89
madinah yang sedang berada di mekkah. Dalam tafsirnya, al-Sya‟rawi
mengisyaratkan bahwa masyarakat mekkah yang menyembah berhala
sudah terbiasa berinteraksi dan berhubungan dengan orang-orang yahudi
Madinah. Bahkan ketika ada permasalahan yang membuat orang yahudi
tersebut marah kepada penduduk mekah yang menyembah berhala,
mereka berkata :
39.ماف سنتبعو، كنقتلكم بو قتل عاد كإرـلقد أطل زمن نب يظهر آخر الز
“Sungguh telah dekat masanya kehadiran nabi akhir zaman yang akan
kami ikuti, dan kami akan membunuh kalian bersamanya seperti
pembunuhan pada kaum ad dan tsamud”.
Informasi tentang kehadiran nabi akhir zaman, sudah dijelaskan
dalam kitab mereka (taurat). Tetapi karena alasan tertentu, setelah
diutusnya Nabi Muhammad SAW, sebagian besar mereka
mengingkarinya,40
meskipun demikian, sebagian dari mereka ada juga
yang beriman kepada kitab Taurat, mengimani kenabian dan kerasulan
Nabi Muhammad saw, seperti Abdullah ibn Salam. Dalam hal ini,
sebagaimana yang dikatakan al-Sya‟rawi, bahwa di antara yang
diperselisihkan oleh umat-umat terdahulu (terutama pengikut Nabi Musa
dan Nabi Isa) adalah terkait ayat-ayat dalam kitab mereka yang
menjelaskan tentang kehadiran nabi akhir zaman yang ciri-cirinya ada
pada diri Nabi Muhammad saw. Mereka berselisih tentang ini, hingga
terpecah menjadi beberapa kelompok dan masing-masing merasa paling
benar dan berbangga diri dengan kelompoknya. Sedangkan dalam Q.s
39
Dalam literatur lain, redaksinya sebagai berikut:
انو قد تقارب زماف نب يبعث الف نقتلكم معو قتل عاد كارـLihat Muhammad Riḏa, Muhammad Rasulullah SAW, 64. 40
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur‟an Q.s al-Baqarah/2: 89 :
انيوا من قػىبلي يىستػىفتحيوفى عىلىى الذينى ا مىعىهيم كىكى كىفىريكا فػىلىما جىاءىىيم كىلىما جىاءىىيم كتىابه من عند اللو ميصىدؽه لمىافرينى )مىا عىرىفيوا كىفىريكا بو فػىلى (عنىةي اللو عىلىى الكى
90
Fāṯir/36: 6, jika dilihat dengan konteks ayat sebelumnya,41
kandungannya
menggambarkan keesaan dan kekuasaan Allah SWT dalam menciptakan
dan mengatur rizki semua makhluknya. Oleh karenanya, makna ẖizb
disini ditujukan kepada golongan yang loyal kepada setan sehingga
mengingkari Allah yang Maha Esa sebagai pencipta dan pengatur.
Sedangkan tiga ayat lainnya yang tersebar dalam dua surat, yaitu Q.s
al-Mā‟idah/5: 56, dan Q.s al-Mujādilah/58, 19 dan 22, termasuk kategori
ayat Madaniyah. Pada saat kaum muslimin berada di Madinah, Islam hadir
sebagai agama yang berdaulat dan mengatur berbagai aspek kehidupan
masyarakat madinah yang multi kultural. Sehingga di antara karakteristik
dalam ayat-ayat madaniyah adalah pembahasan tentang hukum pidana,
masalah waris, ayat-ayat tentang adanya izin untuk berperang, masalah
perjanjian dan perdamaian (komitmen untuk menjaga negara Madinah),
serta ayat-ayat yang membicarakan orang-orang munafik dan
karakteristik-karakteristiknya.42
Sebagai ayat yang turun di Madinah, Q.s al-Mā‟idah/5: 56, dan Q.s
al-Mujādilah/58, 19 dan 22, mengandung makna yang kental dengan
karakteristik ayat-ayat Madinah pada umunya, yaitu membicarakan
tentang pentingnya loyalitas terhadap Islam dalam menjaga kedaulatan
kota Madinah dan membahas tentang orang-orang munafik serta
karaktersitiknya.
Pada Q.s al-Mā‟idah/5: 56, jika dilihat hubungannya dengan ayat-
ayat sebelumnya43
, ayat ini menjelaskan tentang pentingnya loyal terhadap
41
Yaitu ayat 3-5:
القو غىيػري اللو يػىرزيقيكيم منى السمىاء كىا ا الناسي اذكيريكا نعمىتى اللو عىلىيكيم ىىل من خى لىرض لى إلىوى إل ىيوى يىا أىيػهى بىت ريسيله من قػىبلكى كىإلىى اللو تػيرجىعي اليميوري )فىأىن تػيؤفىكيوفى ) بيوؾى فػىقىد كيذ ا الناسي إف ( كىإف ييكىذ ( يىا أىيػهى
نػيىا كىلى يػىغيرنكيم باللو الغىريك (ري )كىعدى اللو حىق فىلى تػىغيرنكيمي الحىيىاةي الد 42
Muhmammad Ibn Abu Syahbah, al-Madkhal Li Dirāsat al-Qur‟ān al-Karȋm,
205. 43
Yaitu ayat 51-55:
91
Allah, Rasululullah, dan umat Islam dalam menjaga kedaulatan kota
Madinah. Tidak boleh loyal dan mencari perlindungan dari orang-orang
Yahudi yang pada saat itu mulai membelot dan menghianati perjanjian
dalam piagam madinah. Dalam ayat ini dipertegas bahwa mereka yang
loyal terhadap Allah, Rasulullah dan kaum muslimin, dikatakan sebagai
ẖizb Allah (golongan yang sangat komitmen dalam mempertahankan
kebenaran dan memiliki loyalitas yang sangat tinggi terhadap orang-orang
beriman). Mereka itu yang akan memperoleh kemenangan. Demikian juga
pada Q.s al-Mujādilah/58: 22. Sedangkan pada ayat sebelumnya, yaitu Q.s
al-Mujādilah/58: 19, jika dihubungkan dengan ayat sebelumnya lagi,44
ẖizb ini ditujukan kepada golongan-golongan munafik yang komitmen
kepada setan dan meninggalkan sikap loyalitasnya kepada umat Islam.
Selain itu, dalam beberapa ayat madaniyah, dijumpai derivasi ẖizb
lain, yaitu ahzāb yang digunakan untuk nama suatu kelompok atau
komunitas beragama yang bersekutu dan bersekongkol untuk menyerang
umat Islam di Madinah.45
Bahkan nama ini diabadikan menjadi salah satu
ا الذينى آمىنيوا لى تػىتخذيكا اليػىهيودى كىالنصىارىل أىكليىاءى بػىعضيهيم أىكليىاءي بػىعضو كىمىن يػىتػى فىإنوي منػهيم إف وىلذيم منكيم يىا أىيػهى( فػىتػىرىل الذينى ف قػيليوم مىرىضه ييسىارعيوفى فيهم يػىقيوليوفى نىشىى أىف تيصيبػىنىااللوى لى يػىهدم القىوىـ الظالمينى )
( كىيػىقيوؿي بحيوا عىلىى مىا أىسىركا ف أىنػفيسهم نىادمينى )دىائرىةه فػىعىسىى اللوي أىف يىأتى بالفىتح أىك أىمرو من عنده فػىييص ء الذينى أىقسىميوا باللو جىهدى أىيمىانهم إنػهيم لىمىعىكيم حىبطىت أىعمىالذييم اسرينى ) الذينى آمىنيوا أىىىؤيلى (فىأىصبىحيوا خى
ا الذينى آمىنيوا بونىوي أىذلةو عىلىى الميؤمن يىا أىيػهى بػهيم كىيي ينى أىعزةو مىن يػىرتىد منكيم عىن دينو فىسىوؼى يىأت اللوي بقىووـ ييئمو ذىلكى فىضلي اللو يػيؤتي بيل اللو كىلى يىىافيوفى لىومىةى لى افرينى يجيىاىديكفى ف سى و مىن يىشىاءي كىاللوي كىاسعه عىليمه عىلىى الكى
اةى كىىيم ) ةى كىيػيؤتيوفى الزكى (رىاكعيوفى )( إنىا كىليكيمي اللوي كىرىسيوليوي كىالذينى آمىنيوا الذينى ييقيميوفى الصلى 44
Yaitu ayat 15-18:
تػىرى إلىى الذينى تػىوىلوا قػىومنا غىضبى اللوي عىلىيهم مىا ىيم منكيم كىلى منػهيم كىيىلفيوفى عىلىى الكىذب كىىيم يػىعلىميوفى أىلىانيوا يػىعمىليوفى )) ا إنػهيم سىاءى مىا كى ابنا شىديدن بيل ا( أىعىد اللوي لذىيم عىذى للو ( اتىذيكا أىيمىانػىهيم جينةن فىصىدكا عىن سى يئنا أيكلىئكى أىصحىابي النار ىيم فيهىا فػىلىهيم عىذىابه ميهينه ) ديىيم منى اللو شى م أىموىالذييم كىلى أىكلى ( لىن تػيغنى عىنػهي
الديكفى ) يعنا فػىيىحلفيوفى لىوي كىمىا يىلفيوفى لىكيم كى خى يىسىبيوفى أىنػهيم عىلىى شىيءو أىلى إنػهيم ( يػىوىـ يػىبػعىثػيهيمي اللوي جى اذبيوفى ) (ىيمي الكى
45 Kelompok-kelompok yang bersekutu dan bersekongkol untuk menyerang
umat Islam di madinah, adalah kelompok dari Yahudi Bani Naḏir, kaum musyrik Arab,
92
nama surat dalam al-Qur‟an, yaitu surat al-Aẖzāb. Salah satu ayatnya
sebagai berikut :
نىا اللوي كىرىسيوليوي كىصىدىؽى اللوي كىرىسيوليوي ا مىا كىعىدى كىلىما رىأىل الميؤمنيوفى الىحزىابى قىاليوا ىىذى() كىمىا زىادىىيم إل إيمىاننا كىتىسليمنا
“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang
bersekutu itu, mereka berkata, “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-
Nya kepada kita.” Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. dan yang
demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali Iman dan
ketundukan.” (Q.s al-Aẖzāb/33: 22).
Secara susbtansi, makna ẖizb yang terdapat dalam ayat-ayat makiyah
dan madaniyah tidaklah berbeda, yaitu sama-sama bermakna suatu
kelompok atau golongan yang sangat komitmen terhadap kebenaran yang
ada pada kelompoknya atau sosok yang diikutinya, juga memiliki sikap
loyalitas yang tinggi terhadap orang-orang yang satu pandangan dengan
dirinya atau kelompoknya. Hanya saja yang membedakan adalah
penunjukannya.
Berikut ini tebel pemaknaan dan penunjukan makna ẖizb Pada masa
Qur‟anik berdasarkan kategorisasi makki-madani.
Tebel 4.3: Pemaknaan dan Penunjukan Makna Ḫizb Pada Masa
Qur’anik Berdasarkan Kategorisasi Makki-Madani.
kabilah Gaṯafan, dan kabilah-kabilah mekah lainnya. bahkan Ka‟ab ibn Asad yang
merupakan pimpinan Yahudi bani Quraizah yang sebelumnya berkomitmen dengan
Rasulullah untuk menjaga keutuhan kota Madinah, terhasut oleh Huyay Ibn Akhtab,
salah seorang pembesar Yahudi Bani Naḏir, hingga akhirnya Ka‟ab ibn Asad dan kaum
Yahudi Bani Quraiḏa menghianati janji mereka dengan kaum muslimin, dan memilih
bersekutu dan bersekongkol dengan Yahudi Bani Naḏir, Musyrik Mekkah, Bani Gaṯafan,
dan kabilah-kabilah lainnya untuk sama-sama menyerang kaum muslimin di kota
Madinah. lihat Muhammad Ridla, Muhammad Rasulullah SAW, h. 274-276. Iihat juga
Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Al-Rahȋq al-Makhtūm, trj Faris Khairul Anam (Jakarta:
Qisti Pres, 2018), h. 347.
93
No kata Kategori Makna Penunjukan
1 ẖizb Makki kelompok atau golongan
yang sangat komitmen
terhadap kebenaran yang
ada pada kelompoknya
atau sosok yang
diikutinya, juga memiliki
sikap loyalitas yang tinggi
terhadap orang-orang
yang satu pandangan
dengan dirinya atau
kelompoknya.
Kelompok-kelompok
Yahudi yang memecah
belah agamanya, tidak
percaya dengan kerasulan
Muhammad SAW, dan
golongan orang kafir
Mekah yang mengingkari
keberadaan Allah yang
Maha Esa sebagai pencipta
dan pengatur rizki (ẖizb al-
Syaiṯān).
2 ẖizb Madani Golongan orang beriman
yang loyal kepada Allah,
Rasul-Nya, dan orang-
orang beriman dalam upaya
mempertahankan akidah,
persaudaraan dan Negara
Madinah (ẖizb Allah).
Kemudian ditujukan
kepada golongan-golongan
orang munafik yang tidak
ada komitmen kepada
Allah, Rasul-Nya dan
orang-orang beriman (ẖizb
al-Syaiṯān).
Selain melalui analisis kategorisasi ayat makki dan madani, upaya
untuk mengetahui makna dan penggunaan atau penunjukan kata ẖizb pada
masa Qur‟anik juga dapat diketahui melalui hadis-hadis Nabi SAW.
94
Dalam beberapa hadis Nabi SAW, pemaknaan kata ẖizb beragam
tergantung konteksnya penggunaannya. Di antaranya dimaknai sebagai
kelompok orang, kemudian digunakan untuk istilah pengelompokan ayat
al-Qur‟an, selain itu dimaknai sebagai kumpulan zikir-zikir yang sudah
rutin dibaca.
Ḫizb bermakna suatu kelompok, salah satunya terdapat dalam hadis
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari. Penggalan hadisnya sebagai berikut :
ا أىف نسىاءى رىسيوؿ اللو صىلى اللوي عىلىيو كىسىلمى كين حزب ين فحزب عىن عىائشىةى رىضيى اللوي عىنػهىأيـ سىلىمىةى كىسىائري نسىاء رىسيوؿ اللو صىلى والحزب الخر فصىةي كىصىفيةي كىسىودىةي عىائشىةي كىحى فيه
46اللوي عىلىيو كىسىلمى “Dari 'Aisyah radliallahu 'anha bahwa isteri-isteri Rasulullah śallallahu
'alaihi wasallam terbagi menjadi dua kubu. Kubu pertama adalah terdiri
'Aisyah, Hafśah, Śafiyyah, Sawdah. Dan kelompok kedua diikutsertai
oleh Ummu Salamah dan isri-isteri Rasulullah śallallahu 'alaihi wasallam
yang lain. (H.R Bukhari).
Dalam hadis tersebut, kata ẖizb dimaknai dengan kelompok atau
kubu yang di dalamnya kental dengan nuansa persaingan, sikap fanatik,
dan adanya unsur kecemburuan.
Kemudian, makna ẖizb yang digunakan untuk istilah dalam
pengelompokan ayat al-Qur‟an, dapat dijumpai dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Abȋ Dāwud. Hadisnya sebagai berikut :
ثه قىاؿى أىكسه سىأىلتي أىصحىابى رىسيوؿ اللو صىلى اللوي عىلىيو كىسىلمى كىيفى ييىزبيوفى القيرآفى قىاليوا ثىلى هي ثى عىشرىةى كىحزبي الميفىصل كىحدى كىخىسه كىسىبعه كىتسعه كىإحدىل عىشرىةى كىثىلى
47
46
Abi Abdillah Muhammad Ibn Isma‟il Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah al‟Ja‟fi al-
Bukhari, Śahȋh al-Bukhāri (Riyāḏ: Maktabah al-Rasyd, 2016), 342. 47
Abȋ Dāwud Sulaiman Ibn Asy‟ats al-Sijistani al-Azdi, Sunan Abȋ Dāwud
(Beirut: al-Maktabah al-A‟śriyah, tt), 55.
95
“Aus berkata, "Aku bertanya kepada para sahabat Rasulullah śallallahu
'alaihi wasallam, bagaimanakah kalian membagi-bagi (memilah atau
mengelompokkan) dan menertibkan Al-Qur'an? Mereka menjawab:
"Tiga, lima, tujuh, sembilan, sebelas, tigabelas dan bagian surat-surat
yang mufashśal (dari surat Qaaf atau al Hujurat sampai an nas)." (H.R
Abȋ Dāwud).
Ḫizb dalam konteks hadis ini, digunakan sebagai istilah dalam
pengelompokan surat-surat al-Qur‟an yang bisa dijadikani acuan atau
target bacaan bagi setiap muslim.
Selanjutnya, ẖizb digunakan sebagai nama kumpulan zikir-zikir
yang sudah rutin dibaca. Penggunaan ini dapat diketahui dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim. Hadisnya sebagai berikut:
الظهر كتب لومن ناـ عن حزبو اك عن شيء منو فقرأه ما بين صلة الفجر كصلة كانا قرأه من الليل
“Barangsiapa tertidur (dalam keadaan tidak membaca) kumpulan
zikir (yang sudah rutin dibaca di waktu malam sebelum tidur) atau lupa
membaca sebagiannya, kemudian baru membacanya pada waktu antara
shubuh dan zuhur, maka seakan-akan dia telah membcanya pada waktu
malam hari”.
Berdasarkan uraian di atas, kata ẖizb pada masa Qur‟anik pada
dasarnya maknanya sama, yaitu kumpulan. Hanya saja tidak hanya
digunakan untuk makna kumpulan manusia (kelompok/kubu) saja, tetapi
juga digunakan untuk istilah kumpulan-kumpulan do‟a yang rutin dibaca
dan pengelompokan surat-surat dalam al-Qur‟an.
Berikut ini tebel pemaknaan dan penunjukan makna ẖizb pada masa
Qur‟anik berdasarkan hadis Nabi SAW.
96
Tebel 4.4: Pemaknaan dan Penunjukan Makna Ḫizb Pada
Masa Qur’anik Berdasarkan Hadis Nabi SAW
No Kata Makna dan penunjukan
1 ẖizb Golongan atau kubu yang ditujukan kepada istri-istri
Nabi SAW.
2 ẖizb Suatu Kumpulan yang ditujukan kepada zikir-zikir dan
doa-doa yang istiqamah dibaca oleh para sahabat Nabi
SAW.
3 ẖizb Kelompok yang ditujukan untuk surat-surat dalam al-
Qur‟an yang dijadikan target bacaan para sahabat Nabi
SAW.
3. Pasca-Qur’anik
Dalam upaya mengetahui makna kata ẖizb pada masa pasca-
Qur‟anik, penulis akan menelusuri pemaknaannya dalam kitab-kitab
Tafsir mu‟tabar, baik tafsir klasik ataupun modern.
Dalam tafsir-tafsir klasik ataupun modern, pemaknaan terhadap kata
ẖizb cukup beragam, terlebih kata ẖizb yang dihubungkan kepada Allah
dan Setan. Misalnya, ẖizb yang dihubungkan kepada Allah (ẖizb Allah)
dimaknai oleh al-Ṯabari (w.310 H) sebagai penolong (anśār), jadi ẖizb
Allah adalah penolong Allah.48
Demikian juga ketika dihubungkan
kepada Setan, al-Ṯabari memaknaninya dengan كأتباعو ,جنده ,yaitu
tentaranya setan, atau pengikutnya.49
Selain itu, al-Rāzy (w. 604 H) dalam
tafsirnya Mafātih al-Ghaib mengutip pendapat beberapa ulama dalam
memaknai kata ẖizb tersebut, di antaranya: menurut Hasan, ẖizb yang
48
Abȋ Ja‟far Muhammad Ibn Jarȋr al-Ṯabary, Tafsȋr al-Ṯabary Jāmi‟ al-Bayān
„an Ta‟wȋli āyi al-Qur‟ān, 532. 49
Ibn Jarȋr al-Ṯabary, Tafsȋr al-Ṯabary Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wȋli āyi al-
Qur‟ān, juz 22, 491-492.
97
dihubungkan dengan Allah disini maknanya pasukannya Allah (جندالله). Menurut Abu Farūq maknanya kekasih-kekasih Allah ( اكلياء الله), kemudian menurut Abu al-A‟liyah maknanya kelompok Allah (شيعة الله), sebagian lagi berpendapat adalah penolong-penolong Allah (انصار الله), sedangkan menurut al-Akhfasy, makna hizib Allah adalah mereka yang
beragama Islam dan taat kepada-Nya (mengikuti perintah-Nya), sehingga
mendapatkan pertolongan dari-Nya ( الذين يدينوف بدينو كيطيعونو فينصرىم Hal yang sama juga diungkapkan oleh Abdullah Yusuf Ali (w.1953 50.(الله
M). Menurutnya, makna ẖizb disini adalah pengikut.51
Kemudian Ali al-
Shābūni dalam tafsirnya Ŝafwah al-Tafāsȋr memaknai ẖizb Allah dengan
,golongan Allah, yang diistimewakan oleh-Nya) جماعة الله وخاصته و اوليائه
dan kekasih-Nya).52
Demikian juga ẖizb al-Syaiṯān, maknanya adalah اتباع
الشيطان و اعواوه واوصاره53
, yaitu pengikut dan penolongnya setan.
Demikian juga pada penggalan kata ẖizb dalam konteks ayat lain,54
ulama memaknainya secara beragam. Menurut Ibnu katsir, makna ẖizb
dalam konteks ini adalah:
كل فرقة منهم تزعم أنهم على شيء “Setiap kelompok (dalam konteks ini Yahudi dan Nasrani) yang mengira
bahwa dirinya berada di atas kebenaran”
Kemudian menurut Ibn „Ăsyūr, maknanya adalah:
مل اك الدتفقوف عليوعاتمعوف على امر من اعتقاد اك الجماعة“Komunitas yang berkumpul atas suatu keyakinan atau perbuatan atau
sesuatu yang disepakati”55
Selanjutnya, menurut al-Sya‟rawi56
, ẖizb maknanya adalah:
50
Muhammad al-Rāzi Fakhr al-Dȋn, Tafsȋr al-Kabȋr Mafātih al-Gaib, jilid 6,
24. 51
Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali, 263. 52
Muhammad Ali Al-Śābuni, Śafwah al-Tafāsir, jilid 3, 345. 53
Muhammad Ali Al-Śābuni, Śafwah al-Tafāsir, jilid 3, 343. 54
Q.s al-Rūm/30: 32 dan Q.s al-Mu‟minūn/23: 53 55
Ibn „Ăsyūr, Tafsȋr al-Tahrȋr wa al-Tanwȋr, jilid 18, 73 56
Lihat Al-Sya‟rawi, Tafsȋr al-Sya‟rawi, 10.058.
98
لرأيها كتفرح بو، ككأنها على الحق كغيرىا على الباطلكل جاعة تتعصب “Setiap golongan yang fanatik dan bangga dengan pandangannya atau
pemikirannya, menganggap dirinya benar sedangkan yang lain salah”.
Berdasarkan uraian di atas, sekalipun kata ẖizb dalam beberapa tafsir
baik klasik ataupun modern dimaknai oleh para ulama secara beragam,
namun demikian secara substansi tidak ada perbedaan yang signifikan di
dalamnya, yaitu sama-sama menunjukan makna suatu golongan atau
kelompok yang memiliki sikap fanatik dan komitmen yang kuat terhadap
kelompoknya dan sosok yang diikutinya, serta memiliki loyalitas yang
tinggi terhadap mereka yang satu pandangan dengan dirinya.
Selanjutnya dalam perkembangannya, kata ẖizb dalam kamus-kamus
modern atau kontemporer digunakan untuk nama sebuah partai politik
dalam suatu negara yang bersistem demokrasi.57
Selain itu, kata ẖizb juga
digunakan untuk nama kumpulan zikir-zikir yang disusun oleh para ulama
terdahulu. Kandungan zikir-zikir tersebut secara umum terdiri dari memuji
Allah SWT, istighfar, salawat, munajat, doa dan pembacaan beberapa ayat
al-Qur‟an. Semuanya diambil dari al-Qur‟an dan Hadis baik secara lafaz
maupun makna. Dalam pengamalannya, zikir ẖizb ini dilakukan dengan
cara-cara tertentu dan pada waktu tertenu. Sebelum diamalkan, biasanya
dilakukan proses ijazah terlebih dahulu oleh seorang guru atau syaikh.
Tradisi amalan ẖizb ini biasanya dijumpai dalam pengamal tarekat dan
ilmu hikmah. Beberapa nama zikir ẖizb misalnya: ẖizb bahr, ẖizb al-naśr,
ẖizb sakran, ẖizb al-birr, ẖizb Imam al-Nawawi, dan lain-lain. Terakhir,
dalam tradisi ulūm al-Qur‟an, ulama menggunakan istilah ẖizb untuk
57
Pemknaan ini dapat dijumpai dalam beberapa kamus kontemporer,
diantaranya, Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlar, Kamus kontemporer Arab-Indonesia
(Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesntren Karapiyak, 1996). Hans Wehr, A
Dictionary Of Modern Written Arabic, 203. lihat juga Ahmad Warson Munawwir, Al-
Munawwir Kamus Arab-Indonesia, 258.
99
pengelompokan al-Qur‟an secara lebih sistematis. Setiap juz mereka bagi
menjadi dua ẖizb, sehingga secara keseluruhan al-Qur‟an terdiri 60 ẖizb.
D. Weltanschauung Makna Ḫizb
Penggunaan kata hizb dalam al-Qur‟an menunjukan makna sebuah
kelompok atau golongan manusia yang memiliki komitmen dan sikap
fanatik yang kuat dalam mempertahankan kebenaran kelompoknya, serta
memiliki loyalitas yang tinggi terhadap sosok yang diikutinya dan
terhadap mereka yang memiliki satu pandangan dengan dirinya dan
kelompoknya.
Al-Qur‟an membagi manusia ke dalam dua golongan, yaitu pertama,
golongan Allah atau pengikut Allah (ẖizb Allah), yaitu mereka yang
memiliki komitmen dan loyalitas yang tinggi dalam mempertahankan
ketauhidan dan ketaatannya kepada Allah SWT. Kedua, golongan setan
atau pengikut setan (ẖizb al-Syaiṯān), yaitu mereka yang memiliki
komitmen dan loyalitas terhadap setan dengan mengikuti jejak
langkahnya.
Kemudian al-Qur‟an juga menggunakan makna ẖizb sebagai suatu
kelompok beragama yang memiliki sikap fanatik yang tinggi terhadap
kelompoknya. Adapun kelompok yang ditunjukan oleh al-Qur‟an adalah
mereka dari kalangan Yahudi dan Nasrani yang merubah dan memecah
belah ajaran agamanya sehingga terpecah menjadi banyak kelompok.
Masing-masing dari mereka saling mengklaim kebenaran serta bangga
dengan kelompoknya.
E. Relevansi Pemahaman Semantik Atas Ḫizb dalam Konteks
Sekarang
Ada sebuah istilah yang sangat populer terkait pandangan dan
keyakinan umat Islam terhadap karakteristik ajaran al-Qur‟an, yaitu
100
śālihun likulli zamān wa al-makān.58
Diktum ini adalah prinsip
universalitas al-Qur‟an. Asumsi ini membawa implikasi bahwa problem-
problem sosial keagamaan di era kontemporer tetap dapat dijawab oleh al-
Qur‟an dengan cara melakukan kontekstualisasi penafsiran secara terus
menerus, seiring dengan semangat dan tuntutan problem kontemporer.
Karena al-Qur‟an adalah kitab yang diturunkan bukan saja untuk orang-
orang dulu di zaman Nabi SAW, tetapi juga untuk orang-orang sekarang
bahkan sampai hari kiamat. Prinsip-prinsip universal al-Qur‟an dapat
dijadikan pijakan untuk menjawab tuntutan perkembangan zaman yang
bersifat temporal dan partikular.59
Pendek kata dengan asumsi tersebut, al-Qur‟an perlu ditafsirkan
terus menerus, sehingga tidak kehilangan relevansinya dengan
perkembangan zaman. Ini dibuktikan dengan adanya berbagai pemikiran
Islam yang muncul, baik fikih, kalam, politik, filsafat, tasawuf dan
sebagainya, yang hampir semuanya selalu dikaitkan dengan al-Qur‟an.60
Akan tetapi, atas dalih diktum al-Qur‟an sālihun likulli zamān wa al-
makān, tidak sedikit di antara umat Islam yang melewati batas dalam
memahami al-Qur‟an, sehingga cenderung memaksa al-Qur‟an sebagai
pembenaran atas pandangan pribadi dan atau kelompoknya. Yang
demikian itu, tentu akan melahirkan pemahaman yang liar dan mendobrak
kaidah-kaidah penting dalam disiplin ilmu tafsir.
Terkait dengan fenomena pernyataan Amien Rais yang mendikotomi
partai politik di Indonesia ke dalam dua kubu, yaitu partai Allah dan partai
58
Awal kemunculan diktum ini belum terlacak secara jelas. Namun diktum ini
sangat populer di kalangan masyarakat muslim bani Abbasiah. Dan dari zaman ke zaman,
umat muslim selalu meyakini salah satu diktum (proposisi) bahwa Al-Qur‟an Śālih Li
kulli zamān wa makān. Lihat Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir
Al-Qur‟an: Strukturalisme, Semantik, Semiotik dan Hermeneutik, (Bandung: CV Pustaka
Setia, November 2013), 8. 59
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur‟an, 76. 60
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur‟an, 77.
101
Setan yang didasarkan pada penggalan term ẖizb Allah dan ẖizb al-Syaiṯān
dalam surat al-Mujādilah ayat 19 dan 22, adalah pemaknaan dan
penggunaan terhadap ayat yang tidak relevan atau keliru dan sangat tidak
bijaksana. Demikian juga pemaknaan dan penggunaan term ẖizb Allah dan
ẖizb al-Syaiṯān sebagai legitimasi oleh pihak tertentu atas penolakannya
terhadap sistem multi-partai.
Setidaknya ada tiga hal kekeliruan bagi mereka yang memaknai dan
membawa term ẖizb Allah dan ẖizb al-Syaiṯān ini pada ranah partai
politik, yaitu: pertama, menyalahi salah satu kaidah dalam menafsirkan al-
Qur‟an. Kaidah relevan yang didobrak dalam konteks ini adalah:
فاليحذر عن استعماؿ الدصطلحات الحديثة ككقوع النص عليها“Hindarilah penggunaan istilah baru, dan memposisikan nash di
atasnya”.
Kata ẖizb dalam beberapa kamus kontemporer memang menunjukan
makna partai politik. Akan tetapi, memaknai penggalan ayat ẖizb Allah
dan ẖizb al-Syaiṯān dalam surat al-Mujadilah ayat 19 dan 22 dengan
sebuah partai, dalam hal ini dimaknai partai Allah dan partai setan yang
ditujukan terhadap parta-partai yang ada di Indonesia, tentu ini adalah
pemahaman yang salah dan keliru, karena telah menyalahi kaidah tafsir.
Demikian juga tidak tepat dijadikan legitimasi untuk menolak sistem
multi-partai. Kedua, partai-partai di Indonesia didirikan atas dasar ideologi
pancasila yang sudah disepakati oleh seluruh kompenen bangsa, sehingga
setiap partai pada dasarnya memiliki visi yang sama, yaitu membangun
bangsa dan menciptakan kemaslahatan bersama. Oleh karenanya, sangat
wajar jika pernyataan Amien Rais ini dianggap keliru bahkan mencederai
keharmonisan berbangsa dan bernegara. Ketiga, al-Qarḏāwi menegaskan
bahwa apa yang disebutkan oleh al-Qur‟an semacam itu tidak
mengundang kontroversi, karena ia sedang membicarakan dua golongan,
102
iman dan kufur, petunjuk dan kesesatan.61
Maksud al- Qarḏāwi, bahwa
dalam konteks ayat tersebut, al-Qur‟an berbicara tentang golongan iman
dan kufur, petunjuk dan sesat, dan tidak ada hubungannya dengan partai
politik.
Al-Qur‟an menggunakan istilah ẖizb Allah dan ẖizb al-Syaiṯān
dalam konteks prinsip akidah. Hal ini sebagaimana pada tempat lain ketika
Allah membicarakan konsep iman, kafir dan munafik. Oleh karenanya,
membawa term ẖizb Allah dan ẖizb al-Syaiṯān kepada ranah kepentingan
politik adalah tindakan yang sangat tidak tepat, bahkan berbahaya. Karena
secara tidak langsung akan melahirkan justifikasi terhadap mereka yang
berbeda pandangan politik dengannya sebagai pengikut setan yang sesat,
padahal mereka sama-sama beragama Islam. Perbedaan politik di
Indonesia tidak berkaitan dengan akidah, tetapi bersifat ijtihadi dan
sesuatu yang niscaya. Oleh karena itu, keragaman pandangan memang
sesuatu yang tidak bisa dihindarkan karena sudah menjadi ketetapan
Allah. Sehingga perbedaan ini seharusnya disikapi dengan bijaksana dan
saling toleransi satu sama lain dengan tetap mengedepankan nilai
kejujuran serta persatuan sesama umat islam dan bangsa Indonesia. Sikap
seperti ini juga harus diterapkan dalam menyikapi perbedaan yang sifatnya
furu‟ dalam ajaran Islam. Karena perbedaan yang ada bukan hal yang
sifatnya prinsip yang melahirkan hukum hitam putih, atau benar salah.
Berbeda halnya dalam ranah akidah yang kemudian melahirkan istilah
ẖizb Allah dan ẖizl al-Syaiṯān, umat Islam memang diharuskan memegang
secara kuat prinsip keimanan kepada Allah SWT dan menjaga loyalitas
kepada rasul-Nya dan orang-orang beriman. Meyakini bahwa kebenaran
hanya ada pada agama Islam dan keselamatan hanya dapat ditempuh
melalui ajaran Islam, tidak melalui jalan lain. Meskipun demikian tetap
61
Yusuf al-Qarḏāwi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Al-Qur‟an, 368-369.
103
harus bersikap toleransi dan menjaga hubungan yang baik dengan mereka
yang beragama non muslim.
104
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam konteks al-Qur‟an, ẖizb bermakna dasar kumpulan manusia
(golongan atau kelompok). Makna ini terus terbawa dimanapun kata itu
ditempatkan dalam konseptual al-Qur‟an. Kemudian, kata ẖizb dalam al-
Qur‟an, melalui analisis sintagmatik berelasi dengan Allāh, Syaiṯan dan
Syiyaā & zubarā. Ḫizb yang berelasi dengan Allāh, menunjukan makna
kelompok yang memiliki komitmen yang kokoh terhadap Allah dan
loyalitas yang tinggi terhadap rasul-Nya dan orang-orang beriman.
Sebaliknya ẖizb yang berelasi dengan Syaiṯan, menunjukan makna
golongan yang terpedaya oleh setan dan loyal kepadanya. Selanjutnya ẖizb
yang berelasi dengan Syiyaā & zubarā, menunjukan makna kelompok
orang beregama yang kekeh atau fanatik dengan pandangan kelompoknya,
menganggap dirinya yang benar sedangkan yang lain salah.
Kemudian melalui analisis paradigmatik, kata-kata yang memiliki
kemiripan makna dengan kata ẖizb di antaranya: kata ṯāifah, fauz, zumarā,
fi‟ah, farȋq/firqah dan syi‟ah. Meskipun kata ẖizb dan kata-kata tersebut
terhimpun dalam makna yang sama, yaitu suatu kumpulan
manusia/kelompok, akan tetapi dalam penggunaannya masing-masing
menunjukan orientasi makna yang berbeda satu sama lain.
Selanjutnya, berdasarkan kajian historis terkait makna kata ẖizb,
baik melalui analisis sinkronik ataupun diakronik, kata ẖizb atau dalam
bentuk lainnya, seperti taẖazzub dan aẖzāb, secara substansi tidak
mengalami pergeseran makna. Dalam hal ini, ditinjau dari tiga periode,
yaitu periode pra-Qur‟anik, Qur‟anik, dan pasca-Qur‟anik. Pada periode
pra-Qur‟anik, ditemukan derivasi lain dari kata ẖizb, yaitu tahazzub dalam
105
sebuah sy‟air jahili yang ditulis oleh „Antarah. Kata ini digunakan untuk
menunjukan makna suatu pasukan perang yang saling berkecamuk demi
mempertahankan kelompoknya. Sedangkan pada periode Qur‟anik, kata
ẖizb ini digunakan untuk beberapa makna atau istilah. Di antaranya,
makna suatu kelompok atau kubu yang di dalamnya kental dengan nuansa
persaingan dan adanya unsur kecemburuan. Kemudian digunakan untuk
istilah dalam pengelompokan ayat al-Qur‟an, selanjutnya menunjukan
makna suatu kumpulan zikir yang biasa dibaca para sahabat. Selain itu,
terdapat juga derivasi lain, yaitu kata aẖzāb yang digunakan untuk makna
kelompok-kelompok yang besekutu atau bersekongkol untuk menyerang
umat Islam. Sedangkan pada periode pasca-Qur‟anik, kata ẖizb dimakna
secara beragam namun secara substansi tidak berbeda juga, hanya saja
penunjukannya yang berbeda. Dalam tafsir-tasfir klasik, kelompok yang
dimaksud adalah kelompok Yahudi, Nasrani, kafir Quraisy, Majusi, dan
agama lainnya selain Islam. Sedangkan dalam tafsir modern, tidak terbatas
dengan kelompok-kelompok tersebut. Bahkan jika dalam diri umat Islam
sendiri terdapat suatu kelompok yang memiliki karaktersitik buruk seperti
yang dijelaskan oleh al-Qur‟an, maka masuk juga ke dalam kelompok
yang dicela al-Qur‟an. Selain itu, dalam perkembangannya, ẖizb
digunakan untuk makna suatu kumpulan zikir dari al-Qur‟an dan hadis
yang disusun oleh seorang ulama. Beberapa nama zikir ẖizb, misalnya ẖizb
al-Bahr, ẖizb al-Naśr, ẖizb Sakrān, ẖizb al-Nawawi, dan lain-lain.
Terakhir dalam „ulūm al-Qur‟an digunakan sebagai istilah
pengelompokan al-Qur‟an.
Weltanschauung ẖizb adalah bermakna suatu kelompok atau
pengikut yang sangat komitmen terhadap kelompoknya atau sosok yang
diikutinya, kemudian fanatik dengan kelompoknya, meyakini hanya
106
kelompoknya yang benar, serta memiliki loyalitas yang tinggi terhadap
mereka yang satu pandangan dengan dirinya dan kelompoknya.
Selanjutnya, membawa istilah ẖizb Allah dan ẖizb al-Syaiṯān ke
dalam ranah politik atau untuk kepentingan politik, sebagaimana yang
dilakukan Amien Rais adalah tindakan yang keliru dan berbahaya, karena
istilah ẖizb Allah dan ẖizb al-Syaiṯān dalam al-Qur‟an berkaitan dengan
hal-hal yang sifatnya prinsip atau akidah. Berbeda dengan politik yang
sifatnya ijihadi. Demikian juga penggunaan istilah ini sebagai legitimasi
untuk menolak adanya multi-partai adalah pemahaman yang keliru.
Al-Qur‟an memang relevan untuk setiap zaman dan tempat. Akan
tetapi, kedudukan al-Qur‟an sebagai kitab Allah yang sālihun likulli
zamān wa al-makān, tidak boleh dijadikan dalih untuk menafsirkannya
secara serampangan hanya karena untuk memenuhi kepentingan pribadi
atau kelompoknya.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih minim dan jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis berharap ke depannya ada
peneliti lain yang dapat membahas terkait konsep makna ẖizb lebih
komprehensif lagi, baik dengan pendekatan yang sama, ataupun
pendekatan lain, seperti hermeneutika, sosial-linguistik, dan lain-lain.
Selain itu, penulis juga mengalami kesulitan untuk menemukan
penggunaan makna kata ẖizb secara spesifik pada masa pra-Qur‟anik.
Karena kata yang penulis temukan adalah dalam bentuk derivasi lain,
yaitu taẖazzub. Meskipun pada dasarnya kata taẖazzub tersebut memiliki
relevansi makna dengan kata ẖizb itu sendiri, tetapi diharapkan pada
penelitian selanjutnya kesulitan ini dapat teratasi, sehingga dapat diketahui
penggunaan makna kata ẖizb secara spesifik pada masa pra-Qur‟anik.
107
108
DAFTAR PUSTAKA
„Abid al-Jābiri, Muhammad Post Tradisionalisme Islam, trj. Ahmad
Baso.Yogyakarta: LkiS, 2000.
Abdu al-Jawwād, Ahmad. al-Du‟ā al-Mustajāb min al-Hadȋts wa al-
Kitāb. Kairo: Dār al-Salām. 2011.
Abdu al-Jawwād, Rajab, al-Mu‟jam al-Muślahāt al-Islāmiyah fȋ al-
Miṣbāh al-Munȋr. Kairo: Dār al-Afāk al-A‟rabiyah, 2002.
Abdul Baqi, Muhammad Fu‟adi, al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fādaẕ al-
Qur‟ān. Kairo: Dar al-Qutub Al-Mishriyah, tt.
Abi Hilal al-Askary, Imam al-Adib al-Lughawy, al-Furūq al-Lugawiyyah.
Kairo: Dār al-Ilmi wa al-Tsaqāfah, 1997.
Ali Al-Śābuni, Muhammad, Śafwah al-Tafāsir. Beirut: Dār al-Qur‟ān al-
Karȋm. 1981.
Ali, Atabik dan Zuhdi Muhḏar, Ahmad, Kamus kontemporer Arab-
Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesntren
Karapiyak. 1996.
Al-Mubarakfuri, Śafiyurrahman, Al-Rahȋq al-Makhtūm, trj Faris Khairul
Anam. Jakarta: Qisṯi Pres. 2018.
Al-Qardhawi, Yusuf, Bagaimana Berinteraksi Dengan Al-Qur‟an, trj.
Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2018. Al-Rāzi Fakhr al-Dȋn, Muhammad, Tafsȋr al-Kabȋr Mafātih al-Gaib.
Beirut: Dār al-Fikr. 1981.
Al-Suyūṯi, al-Itqān fȋ „Ulūm al-Qur‟ān. Beirut: Risalah Nasiuun. 2008.
Al-Tabrizi, al-Khatib, Diwan „Antarah. Beirut: Dar al-Kitab al-Gazali.
1992.
Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna . Bandung: PT.
Sinar Baru Algesindo. 2008. Azima, Fauzan, “Semantik Al-Qur‟an”, Tajdid: Jurnal Pemikiran
Keislaman dan Kemanusiaan. Bima: lembaga penelitian dan
Pengabdian IAI Muhammadiyah. 2017.
Budi Santoso, Eko. Makna Tawakal Dalam Al-Qur‟an: Aplikasi Semantik
Toshihiko Izutsu. Skripsi: Fakulat Ushuluddin dan Pemikiran Islam,
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2015.
Burhanuddin al-Zarkasyi, Muhammad, al-Burhān fȋ ulūm al-Qur‟ān.
Mesir: Dar Ihya al-Kutūb al-„Arabiyah. 1957.
Chaer, Abdul, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta. 1995.
109
Djajasudarma, Fatimah, Semantik 1: Pengantar Ke Arah Ilmu Makna.
Bandung: Erasco. 1993. El Mubarak, Zein, Semantik al-Qur‟an. Semarang: Fakultas Bahasa dan
Seni Universitas Negeri Semarang. 2017. Fahriana, Lukita, Pemaknaan Qalb Salim Dengan Metode Analisis
Semantik. Jakarta: Skripsi Prodi Ilmu al-Qur‟an dan tafsir Fakultas
Ushuluddin UIN Jakarta. 2019.
Fajar, Saiful. Konsep Syaitān dalam Al-Qur‟an: Kajian Semantik
Toshihiko Izutsu, Skripsi: Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2018.
Fajarus Shadiq, Akhmad, Konsep Ummah dalam Al-Qur‟an: Sebuah
Analisis Semantik Toshihiko Izutsu. Skripsi: Fakultas Ushuluddin,
UIN Yogyakarta. 2016.
Fajrin, Siti Fatimah, Konsep Al-Nār dalam Al-Qur‟an: Analisis Semantik
Toshihiko Izutsu. Skripsi: Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam,
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2017.
Fajruddin, Asep Muhammad, Konsep Munafik Dalam Al-Qur‟an :Analisis
Semantik Toshihiko Izutsu. Jakarta: Skripsi Program Studi Ilmu Al-
Qur‟an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. 2018.
Faturrahman, Al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu.
Tesis Pasca Sarjana UIN Jakarta. 2010.
Hidayatullah, Muflih, Ikhlas Dalam Al-Qur‟an: Perspektik Semantik
Toshihiko Izutsu. Skripsi: Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2018.
Husain, Ṯaha, al-ādab al-Jāhili. Kairo: Faruq, 1993. Ibn „Ă‟syūr, Muhammad Ṯāhir, Tafsȋr at-Tahrȋr wa at-Tanwȋr . Tunisia:
al-Dār al-Tunisiyah. 1984.
Ibn Abu Syahbah, Muhmammad. al-Madkhāl Li Dirāsat al-Qur‟ān al-
Karȋm. Beirut: Dār al-Jȋl, 1992.
Ibn Asy‟ats al-Sijistani al-Azdi, Abȋ Dāwud Sulaiman, Sunan Abȋ Dāwud.
Beirut: al-Maktabah al-A‟shriyah, tt.
Ibn Isma‟il Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah al‟Ja‟fi al-Bukhari, Abi Abdillah
Muhammad, Śāhih al-Bukhāri. Riyāḏ: Maktabah al-Rasyd. 2016.
Ibn Jarȋr al-Ṯabary, Abȋ Ja‟far Muhammad Tafsȋr at-ṯabary Jāmi‟ al-
Bayān a‟n Ta‟wȋli āyi al-Qur‟ān. Mesir: Dār al-Hijr. 2001.
110
Ibn Manẕūr Al-Afriqy Al-Mishry, Imām Abȋ al-Faḏli Jamaluddin
Muhammad ibn Mukram, Lisānu al-A‟rab. Beirut: Dār Al-Shādir.
1994.
Ibn Umar az-Zamakhsyari, Abȋ al-Qāsim Mahmud, al-Kasysyāf. Riyad:
Maktabah al-U‟baikān. 1998.
Ibn Umar ibn Katsȋr al-Qurasyiy ad-Dimasyqiy, Abi al-Fidā Isma‟il,
Tafsir al-Qur‟an al-Aẕȋm . Riyaḏ: Dār Ṯaybah. 1999.
Isa Al-Mubarak, Deden, Makna Kata Barakah dalam Al-Qur‟an:
pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu. Skripsi: Fakultas Ushuluddin
dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2018.
Ismail, Ecep. “Analisis Semantik Pada Kata Ahzāb dan Derivasinya
Dalam Al-Qur‟an”, Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur‟an dan Tafsir.
Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
2016
Ismatillah, Ahmad Faqih Hasyim, dan M. Maimun, “Makna Wali dan
Auliya Dalam Al-Qur‟an: Suatu Kajian Dengan Pendekatan
Semantik Toshihiko Izutsu”, Jurnal Studi Al-Qur‟an dan Hadis Diyā
al-Afkār. IAIN Syekh Nurjati Cirebon. 2016.
Izutsu, Toshihiko, Konsep-Konsep Etika Religius dalam Qur‟an, trj. Agus
Fakhri Husen, dkk. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1993.
Izutsu, Toshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik
Terhadap Al-Qur‟an. Yogya: Tiara Wacana. 1997.
Kurniawan, Wahyu, Makna Khalȋfah Dalam Al-Qur‟an: Tinjauan
Semantik Al-Qur‟an Toshihiko Izutsu. Skripsi: Fakultas Ushuluddin
Adab Dan Humaniora, IAIN Salatiga. 2017.
Kurniawan, Wahyu. Makna Khalȋfah dalam Al-Qur‟an: Tinjauan
Semantik Al-Qur‟an Toshihiko Izutsu. Skripsi: Fakultas Ushuluddin
Adab Dan Humaniora, IAIN Salatiga. 2017.
Matsna, Mohammad, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer.
Jakarta: Prenamedia Grup. 2016.
Millatuzzulfa Adawiyah, Robiah, Makna Kitab dalam Al-Qur‟an: Analisis
Semantik Toshihiko Izutsu. Skripsi: Fakultas Ushuluddin IAIN
Surakarta. 2019.
Moh Saefuddin, Didin, Solahuddin, M dan Siti Rusydati Khairani, Izzah
Faizah “Iman dan Amal Saleh Dalam Al-Qur‟an: Studi Kajian
Semantik”, Jurnal Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur‟an dan Tafsir.
Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
2017.
Muhaimin, Mufidah dan Asif, Muh., “Makna Kata Tāgūt Dalam Al-
Qur‟an: Analisis Semantik”, Jurnal Studi Al-Qur‟an Al-Itqan STAI
Al-Anwar. Rembang. 2017.
111
Mustaqim, Abdul, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur‟an. Yogyakarta: Idea
Press. 2016.
Mutawali al-Sya‟rawi, Muhammad, Tafsȋr al-Sya‟rawi. Kairo: al-Idāroh
al-Ămmah. 1991.
Nasihah, Unun, Kajian Semantik Kata Libās dalam Al-Qur‟an. Skripsi:
Fakultas Ushuluddin dan Pemikran islam UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. 2013.
Nur Asnawi, Muhammad Tipologiūlul al-Bāb: Analisis Semantik Ayat-
Ayat Al-Qur‟an dan Implementasinya dalam Pendidikan Islam,
Hunafa. 2008. Nur, Tajudin, Semantik Bahasa Arab: Pengantar Studi Ilmu Makna.
Jakarta: First Published. 2014. Nur, Zunaidi, Konsep al-Jannah dalam al-Qur‟an: Aplikasi Semantik
Toshihiko Izutsu. Yogyakarta: Skripsi Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, 2014.
Pendidikan, Depertemen dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia . Jakarta: Rineka Cipta. 2009.
Rahman, Nailur, Konsep Salam Dalam Al-Qur‟an: Pendekatan Semantik
Toshihiko Izutsu. Skripsi: Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam,
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2014.
Rahtikawati, Yayan dan Rusmana, Dadan, Metodologi Tafsir Al-Qur‟an:
Strukturalisme, Semantik, Semiotik dan Hermeneutik .Bandung: CV
Pustaka Setia. 2013.
Ridla, Muhammad, Muhammad Rasulullah SAW. Jakarta: Dar al-Kutub
Al-Islamiyah. 2012
Romzianah, Luthviyah, Pandangan Al-Qur‟an Tentang Makna Jahiliyah
Perspektif Semantik, Mutawātir. Juni 2014.
Sahidah, Ahmad, God, Man, and Nature: Perspektif Toshihiko Izutsu
Tentang Relasi Tuhan, Manusia dan Alam dalam al-Qur‟an.
Yogyakarta: IRCiSoD. 2018.
Salim, Fahmi, Kritik Terhadap Studi Al-Qur‟an Kaum Liberal. Depok:
Perspektif Kelompok Gema Insani. 2010.
Shihab, M Quraish, Kaidah Tafsir . Tangerang: Lentera Hati. 2019.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur‟an. Jakarta: Lentera Hati. 2002.
Shihab, Quraish, Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati. 2019.
Shodiq, Ja‟far, Relasi Jinn Dan Al-Ins dalam Al-Qur‟an. Tesis: UIN
Sunan Kajijaga Yogyakarta. 2016.
Sugono, Dendy, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. 2012. .
112
Suwandi, Sarwiji, Semantik: Pengantar Kajian Makna. Yogyakarta:
Media Perkasa. 2011.
Syarifah, Eka, Ifkun dan Buhtan dalam al-Qur‟an : Kajian Semantik
Menurut Perspektif Toshihiko Izutsu . Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin UIN Jakarta. 2015.
Tarigan, Pengantar Semantik. Bandung: Angkasa. 1993.
Warson Munawwir, Ahmad, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia.
Surabaya: Pustaka Progressif.1997.
Wehr, Hans A Dictionary Of Modern Written Arabic. Germany: Otto
Harrassowitz, 1979.
Yusuf Ali, Abdullah, Tafsir Yusuf Ali, trj. Ali Audah. Bogor: PT. Pustaka
Litera Antar Nusa. 2009. Zuhaili, Wahbah, Tafsir Al-Munir fi al-Aqidah wa as-Syari‟ah wa al-
Manhaj, Damaskus: Dar al-Fikr. 2009. Zunaidi, Nur, Konsep Al-Jannah Dalam Al-Qur‟an: Aplikasi Semantik
Toshihiko Izutsu. Skripsi: Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
UIN Sunin Kajilaga Yogyakarta. 2015.
113
Lampiran 1
Ayat-Ayat Terkait Ḫizb, Ḫizbain dan Aẖzāb
No Surat Kata Makna Ayat
1 Al-
Mā‟idah :
56
حزب
Golongan atau
pengikut yang
loyal kepada
Allah
كىمىن يػىتػىوىؿ اللوى كىرىسيولىوي كىالذينى آمىنيوا فىإف (حزبى اللو ىيمي الغىالبيوفى )
2 Al-
Mu‟minūn
: 53
Kelompok (ahl
al-kitab) yang
fanatik
نػىهيم زيبػيرنا كيل حزبو بىا فػىتػىقىطعيوا أىمرىىيم بػىيػيهم فىرحيوفى ) (لىدى
3 Al-Rūm:
32
Kelompok
berselisih yang
fanatik
منى الذينى فػىرقيوا دينػىهيم كىكىانيوا شيػىعنا كيل يهم فىرحيوفى ) (حزبو بىا لىدى
4 Al-
Mujādalah
:19
Golongan atau
pengikut yang
loyal kepada
syetan.
استىحوىذى عىلىيهمي الشيطىافي فىأىنسىاىيم ذكرى اللو أيكلىئكى حزبي الشيطىاف أىلى إف حزبى الشيطىاف
(ىيمي الخىاسريكفى )
5 Al-
Mujādalah
: 22
Golongan atau
pengikut yang
loyal kepada
Allah swt.
دي قػىومنا يػيؤمنيوفى باللو كىاليػىوـ الخر لى تىيػيوىادكفى مىن حىاد اللوى كىرىسيولىوي كىلىو كىانيوا آبىاءىىيم أىك أىبػنىاءىىيم أىك إخوىانػىهيم أىك عىشيرىتػىهيم أيكلىئكى كىتىبى ف
يمىافى كىأىيدىىيم بريكحو من وي كىييدخليهيم جىناتو قػيليومي التىرم من تىتهىا الىنػهىاري خىالدينى فيهىا رىضيى اللوي
عىنػهيم كىرىضيوا عىنوي أيكلىئكى حزبي اللو أىلى إف حزبى (اللو ىيمي الميفلحيوفى )
6 Fathir : 6 Golongan atau
pengikut yang
loyal kepada
Syaitan
ذيكهي عىديكا إنىا إف الشيطىافى لىكيم عىديك فىات(يىدعيو حزبىوي ليىكيونيوا من أىصحىاب السعير )
7 Al-Kahfi :
12
Dua kelompok حزبيه
yang berselisih
ثي بػىعىثػنىاىيم لنػىعلىمى أىم الحزبػىين أىحصىى ا ا )لمى (لىبثيوا أىمىدن
8 Hūd : 17 احزاب Kelompok
kafir Quraish
أىفىمىن كىافى عىلىى بػىيػنىةو من رىبو كىيػىتػليوهي
114
yang bersekutu شىاىده منوي كىمن قػىبلو كتىابي ميوسىى إمىامنا كىرىحمىةنالىحزىاب أيكلىئكى يػيؤمنيوفى بو كىمىن يىكفير بو منى
فىالناري مىوعديهي فىلى تىكي ف مريىةو منوي إنوي الحىق من (رىبكى كىلىكن أىكثػىرى الناس لى يػيؤمنيوفى )
9 Al-Ra‟d :
36
Golongan
bersekutu
كىالذينى آتػىيػنىاىيمي الكتىابى يػىفرىحيوفى بىا أينزؿى كىمنى الىحزىاب مىن يػينكري بػىعضىوي قيل إنىا أيمرتي إلىيكى
إلىيو مىآب أىف أىعبيدى اللوى كىلى أيشرؾى بو إلىيو أىدعيو كى()
10 Maryam :
37
Golongsn-
golongan
فىاختػىلىفى الىحزىابي من بػىينهم فػىوىيله (من مىشهىد يػىووـ عىظيمو )للذينى كىفىريكا
11 Al-Ahzab
: 20
Golongan
bersekutu
يىسىبيوفى الىحزىابى لى يىذىىبيوا كىإف يىأت الىحزىابي يػىوىدكا لىو أىنػهيم بىاديكفى ف الىعرىاب يىسأىليوفى
وا إل قىليلن عىن أىنػبىائكيم كىلىو كىانيوا فيكيم مىا قىاتػىلي ()
12 Al-Ahzab
: 22
نىا اللوي كىرىسيوليوي كىصىدىؽى اللوي كىرىسيوليوي كىعىدى
ا ) (كىمىا زىادىىيم إل إيمىاننا كىتىسليمن
13 Ŝād : 11 Golongan
berserikat
جينده مىا ىينىالكى مىهزيكهـ منى الىحزىاب ()
14 Shad : 13 Golongan yang
bersekutu
لىهيم قػىويـ نيوحو كىعىاده كىفرعىوفي بىت قػىبػ كىذ( كىثمىيودي كىقػىويـ ليوطو كىأىصحىابي ذيك الىكتىاد )
( ة أيكلىئكى الىحزىابي (الىيكى15 Fāṯir : 5 Golongan
bersekutu
لىهيم قػىويـ نيوحو كىالىحزىابي من بىت قػىبػ كىذبػىعدىم كىهىت كيل أيمةو برىسيولذم ليىأخيذيكهي كىجىادىليوا
115
ذتػيهيم فىكىيفى كىافى بالبىاطل لييدحضيوا بو الحىق فىأىخى(عقىاب )
16 Fāṯir : 30 Glongan yang
bersekutu
الذم آمىنى يىا قػىوـ إن أىخىاؼي كىقىاؿى ( مثلى دىأب قػىوـ عىلىيكيم مثلى يػىوـ الىحزىاب )
نيوحو كىعىادو كىثمىيودى كىالذينى من بػىعدىم كىمىا اللوي ييريدي ا للعبىاد ) (ظيلمن
17 Al-
Zukhrūf :
65
Golongan yang
berselisih
فىاختػىلىفى الىحزىابي من بػىينهم فػىوىيله (للذينى ظىلىميوا من عىذىاب يػىووـ أىليمو )
Lampiran 2
Diagram 2.1: Medan Semantik Kata Kitāb
Allah
tanzȋl
Kitāb
nabiy wahy ahl
kitāb
116
Lampiran 3
Tebel 3.1: Inventarisir Kata Ḫizb dalam al-Qur’an
No Kata Surat-Ayat Turun
al-Māidah (5): 56 Madaniyah حزب 1
2 al-Mu‟minūn (23): 53 Makiyah
3 al-Rūm (30): 32 Makiyah
4 al-Mujādilah (58): 19 dan 22 Madaniyah
5 Fāṯir (35): 6 Makiyah
Al-Kahfi (18): 22 Makiyah حزبين 6
Hūd (11): 17 Makiyah احزاب 7
8 al-Ra‟d (13): 36 Makiyah
9 Maryam (19):37 Makiyah
10 al-Aẖzāb (33): 20 dan 22 Madaniyah
11 Śād (38): 11 dan 13 Makiyah
12 Fāṯir (40): 5 dan 30 Makiyah
Lampiran 4
Diagram 4.1: Medan Semantik Sintagmatik Kata Ḫizb
Lampiran 5
Ḫizb Allah
Syiya‟ā
Syaiṯān
ẕubarā
117
Tebel 4.1: Perbedaan Orientasi Makna Antara Kata Ḫizb dengan
Kata-Kata Sinonimnya
NO Kata Orientasi makna
1 Ḫizb Kelompok yang memiliki kekuatan dan sangat komitmen
dengan pandangan kelompoknya serta loyal terhadap
kelompok dan sosok yang diikutinya.
2 Ṯāifah Kelompok yang sebagian kebiasannya berkelana menjelajahi
berbagai daerah, atau kelompok yang terbentuk melingkar
secara seimbang, setelah semakin membanyak, maka
disebutlah Ṯāifah.
3 Syȋ’ah Kelompok yang cenderung kepada satu figur atas dasar
kecintaan.
4 Zumarā Kelompok yang berjalan secara beriringan
5 Fauj Kelompok yang banyak dan berbondong-bondong untuk satu
tujuan tertentu
6 Fi’ah Kelompok sebagai penolong bagi yang lainnya. Dalam
konteks perang, fi‟ah adalah kelompok yang ada di belakang
dan siap siaga untuk menolong kelompoknya
7 Farȋq/
Firqah
Kelompok yang merupakan sempalan dari kelompok yang
yang lebih besar.
118
Lampiran 6
Diagram 4.2: Medan Semantik Paradigmatik Kata Ḫizb
Lampiran 7
Tebel 4.2: Kategorisasi Ayat Terkait Ḫizb Bedasarkan Tempat
Turunnya
No Lafaz Surat No Surat Ayat Kategori
1 ẖizb al-Māidah 5 56 Madaniyah
2 ẖizb al-Mu‟minūn 23 53 Makiyah
3 ẖizb al-Rūm 30 32 Makiyah
4 ẖizb al-Mujādilah 58 19,
22
Madaniyah
5 ẖizb Fāṯir 35 6 Makiyah
Lampiran 8
Tebel 4.3: Pemaknaan dan Penunjukan Makna Ḫizb Pada Masa
Qur’anik Berdasarkan Kategorisasi Makki-Madani.
No Kata Kategori Makna Penunjukan
Ḫizb
Ṯāifah
Farȋq
Zumarā Syȋah
Fȋah Fauj
119
1 ẖizb Makki kelompok atau golongan
yang sangat komitmen
terhadap kebenaran yang
ada pada kelompoknya
atau sosok yang
diikutinya, juga memiliki
sikap loyalitas yang tinggi
terhadap orang-orang
yang satu pandangan
dengan dirinya atau
kelompoknya.
Kelompok-kelompok
Yahudi yang memecah
belah agamanya, tidak
percaya dengan kerasulan
Muhammad SAW, dan
golongan orang kafir
Mekah yang mengingkari
keberadaan Allah yang
Maha Esa sebagai pencipta
dan pengatur rizki (ẖizb al-
Syaiṯān).
2 ẖizb Madani Golongan orang beriman
yang loyal kepada Allah,
Rasul-Nya, dan orang-
orang beriman dalam upaya
mempertahankan akidah,
persaudaraan dan Negara
Madinah (ẖizb Allah).
Kemudian ditujukan
kepada golongan-golongan
orang munafik yang tidak
ada komitmen kepada
Allah, Rasul-Nya dan
orang-orang beriman (ẖizb
al-Syaiṯān).
120
Lampiran 9
Tebel 4.4: Pemaknaan dan Penunjukan Makna Ḫizb Pada
Masa Qur’anik Berdasarkan Hadis Nabi SAW
No Kata Makna dan penunjukan
1 ẖizb Golongan atau kubu yang ditujukan kepada istri-istri
Nabi SAW.
2 ẖizb Suatu Kumpulan yang ditujukan kepada zikir-zikir dan
doa-doa yang istiqamah dibaca oleh para sahabat Nabi
SAW.
3 ẖizb Kelompok yang ditujukan untuk surat-surat dalam al-
Qur‟an yang dijadikan target bacaan para sahabat Nabi
SAW.
121
122