Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta:...
Transcript of Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta:...
Lafaz Yang Bermakna Keburukan Dalam al-Qur’an;
(Analisis Kata Khabīṡ, Syarrun, Żillah, Dan Sayyiah).
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Agama (S.Ag.)
Oleh:
Saibatul Aslamiah Lubis
11140340000163
PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M/1441 H
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini
berpedoman pada hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan
Nomor: 0543b/U/1987.
1. Konsonan
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf
Arab
Nama Huruf Latin Nama
Alif Tidak dilambangkan Tidak ا
dilambangkan
Ba B Be ب
Ta T Te ت
Ṡa ṡ Es (dengan ث
titik di atas)
Jim J Je ج
Ḥa ḥ Ha (dengan ح
titik di bawah)
Kha Kh ka dan ha خ
Dal D De د
Żal ż Zet (dengan ذ
titik di atas)
Ra R Er ر
Zai Z Zet ز
Sin S Es س
Syin Sy es dan ye ش
Ṣad ṣ es (dengan ص
titik di bawah)
viii
Ḍad ḍ de (dengan ض
titik di bawah)
Ṭa ṭ te (dengan titik ط
di bawah)
Ẓa ẓ zet dengan ظ
titik di bawah)
ain „ koma terbalik„ ع
(di atas)
Gain G Ge غ
Fa F Ef ؼ
Qaf Q Ki ؽ
Kaf K Ka ؾ
Lam L El ؿ
Mim M Em ـ
Nun N En ف
Wau W We و
ػه Ha H Ha
Hamzah ' Apostrof ء
Ya Y Ye ي
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fathah A A
Kasrah I I
ix
Dhammah U U
Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
ي Fathah dan
ya
Ai a dan i
و Fathah dan
wau
Au a dan u
Contoh:
kaifa- كيف
haula- هوؿ
3. Vokal Panjang/ Maddah
Ketentuan alih aksara vocal panjang (maddah), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Harakat
dan huruf
Nama Huruf dan
tanda
Nama
ا... ي Fathah dan
alif atau ya
Ā a dan garis
di atas
ي ى Kasrah dan
ya
Ī I dan garis
di atas
Dhammah ىػو
dan wau
Ū u dan garis
di atas
x
Contoh:
اؿ ق -qāla
ىم ر -ramā
ل ي ق -qīla
4. Ta’ Marbūṭah
Transliterasi untuk Ta’ Marbūṭah ada dua:
a. Ta’ Marbūṭah hidup
Ta’ Marbūṭah yang hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah, dan
ḍommah, transliterasinya adalah “t”.
b. Ta’ Marbūṭah mati
Ta’ Marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya
adalah “h”.
c. kalau pada kata terkahir dengan Ta’ Marbūṭah diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu terpisah maka
Ta’ Marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h).
No Kata Arab Alih Aksara
rauḍah al-aṭfāl روضة الأطفاؿ 1
دينة الفاضلة 2 al-madīnah al-fāḍilah الم
al-ḥikmah الحكمة 3
xi
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu.
Contoh:
rabbanā- ربػنا
nazzala- نػزؿ
al-birr- البر
al-ḥajj– الحج
Jika huruf ى ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh
huruf kasrah ( ػى ػػػػػػػػػػػػػػػ ), maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah (ī).
Contoh:
Alī (bukan „Aliyy atau „Aly)„ : على
Arabī (bukan „Arabiyy atau „Araby)„ : عرب
xii
6. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ال. Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang
ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika dia diikuti oleh huruf
syamsiyah maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi
huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata
yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-),
Contohnya:
al-rajulu- الرجل
al-sayyidu- السيد
al-syamsu- الشمش
al-qalamu- القلم
al-badĭ’u- ألبديع
al-jalālu- اللاؿ
7. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (') hanya berlaku
bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah
terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia
berupa alif. Contohnya:
xiii
ta'murūna : تأمروف
'al-nau : النػوء
syai'un : شيئ
umirtu : أمرت
8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia
Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah
atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah
atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari pembendaharaan
bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa
Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya
kata Al-Qur‟an (dari al-Qur'ān), sunnah, khusus, dan umum. Namun bila
kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka
mereka harus ditransliterasi secara utuh. contoh:
Kata Arab Alih Aksara
Fī Ẓilāl al-Qur'ān ف ظلاؿ القرآف
Al-Sunnah qabl al-tadwīn السنة قػبل التدوين
العبارة بعموـ اللفظ لا بصوص بالسب
Al-‘ibārāt bi ‘umūm al-lafẓ lā bi
khuṣūṣ al-sabab
xiv
9. Lafẓ al-jalālah (الله)
Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf
lainnya atau berkedudukan sebagai mudāf ilaih (frasa nominal),
transliterasi tanpa huruf hamzah. Contoh:
dīnullāh : دين الله
billāh : با الله
Adapun ta marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada lafẓ al-
jalālah, ditransliterasi dengan huruf (t). Contoh :
hum fī rahmatillāh : هم ف رحة الله
10. Huruf Kapital
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf capital (All Caps),
dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang
penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia
yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk menulis
huruf awal nama dari (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada
permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka
yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,
bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka
huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-).
Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi
yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks
maupun dalam catatan rujukan (CK,DP,CDK, dan DR). Contoh:
xv
Kata Arab Alih aksara
Wa mā Muḥammadun illā rasūl- وما ممد إلا رسوؿ
Inna awwala baitin wuḍi’a linnāsi- إف أوؿ بػيت وضع للناس للذي ببكة مباركا
bi Bakkata mubārakan
Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fīh- شهر رمضاف الذي أنزؿ فيه القرآف
al-Qur'an
ين الطروسي ر الد Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī- نصيػ
Abū Naṣr al-Farābī- أبػو نصر الفراب
Al-Gazālī- الغزال
نقذ من الد لاؿالم -Al-Munqiż min al-Ḍalāl
xvii
ABSTRAK
SAIBATUL ASLAMIAH LUBIS (11140340000163)
“Lafaz Yang Bermakna Keburukan Dalam al-Qur’an; (Analisis
Terhadap Kata Khabīṡ, Syarrun, Żillah, Dan Sayyiah)”.
Segala bentuk perbuatan manusia selalu mengacu pada sudut pandang
tentang baik dan buruk. Nilai kebaikan dan keburukan akan selalu menjadi
sumber rujukan untuk melakukan berbagai perbuatan di dalam kehidupan.
Karena itu, pembahasan baik dan buruk merupakan persoalan mendasar
dalam kehidupan manusia. Dalam hal baik dan buruk tentu saja sudah ada
dalam al-Qur’an. Al-Qur’an yang diturunkan kepada nabi Muhammad
Saw, merupakan mukjizat terbesar di antara mukjizat lainnya. Keindahan
bahasa al-Qur’an yang terkandung didalamnya memberikan warna dalam
gaya bahasa penyampaiannya. Gaya bahasa al-Qur’an sangatlah beragam
seperti halnya penyampaian istilah keburukan yang berbeda-beda. Istilah
yang digunakan dalam menguraikan makna keburukan dalam al-Qur’an
sangatlah banyak, seperti Khabīṡ, syarrun, Żillah, sayyiah, dan lain-lain.
Lalu, apa perbedaan makna yang terkandung dalam berbagai lafaz
keburukan pada al-Qur’an?
Metode yang digunakan adalah Library Research dengan
pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan untuk analisis data ialah
metode tafsir maudhu’i yaitu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang
memiliki satu tema (keburukan). Lalu menafsirkan beberapa dari ayat
tersebut yang dirasa cukup mewakili pembahasan dari empat lafaz yang
bermakna keburukan. Penafsiran ayat menggunakan kitab-kitab tafsir
kontemporer maupun klasik, seperti Tafsir Thabari, Tafsir al-Qurthubi,
Tafsir Misbah dan Tafsir al-Munir.
Hasil dari penelitian ini, Makna keburukan yang diungkapkan dalam
kata khabīṡ yaitu keburukan yang ditunjukkan kepada sesuatu yang buruk,
kotor, haram, dan najis. Kata khabīṡ merupakan jenis keburukan dalam
akidah. Syarrun yaitu suatu keburukan yang didalamnya mengungkapkan
segala hal yang dibenci atau tertolak, merugikan, dan menyengsarakan
orang lain. Lafaz syarrun merupakan keburukan berdimensi sosial. Żillah
yaitu suatu keburukan yang hina, yang mengarah kepada ketamakan, lafaz
żillah dikategorisasikan kedalam keburukan ekonomi. Dan sayyiah yaitu
keburukan yang mengakibatkan kesusahan, kesempitan sebagai siksaan
atau azab, lafaz sayyiah merupakan keburukan yang universal (umum).
Kata Kunci : Lafaz, Al-Qur’an, Keburukan.
xix
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamu‘alaikum Warahmatullaah Wabarakaatuh
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah
memberikan kesempatan, nikmat iman, nikmat jasmani, rohani,
kemudahan, kesehatan, rahmat, kesabaran, kasih sayang-Nya Yang Maha
Luas dan Maha Besar, berkat pertolongan-Nya penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir ini dengan sebaik mungkin. Shalawat dan
salam tak lupa saya haturkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad
SAW, yang telah mengubah zaman dari zaman jahiliyah menuju zaman
islamiyah, terang benderang menuju Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Beliaulah Nabi akhir zaman yang telah memberikan cahaya di atas cahaya,
manusia paling sempurna, dan petunjuk jalan yang benar dan abadi kepada
umat Islam untuk pedoman hidup, serta do’a untuk para keluarganya,
sahabat-sahabatnya, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Alhamdulillaah, berkat inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik. Skripsi merupakan salah satu tugas akhir yang
harus dikerjakan oleh setiap mahasiswa/wi untuk mendapatkan gelar
sarjana (S-1), yang disusun dengan berbagai sumber-sumber dari karya-
karya orang yang sesuai dengan judul skripsi tersebut. Kepada beliau-
beliau semua, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya.
Penulisan skripsi ini tidak akan bisa selesai tanpa bantuan,
dukungan, motivasi, dorongan, dan support dari berbagai pihak dan orang-
orang terdekat saya. Maka dari itu, pada kesempatan ini saya ucapkan
terima kasih dan peng-apresiasi-an yang terbaik dan setinggi-tingginya
xx
kepada mereka semua yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi
ini.
Saya menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Kepada Yth. Segenap civitas Akademia UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Amany Burhanudin Lubis, Lc.,
MA., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Eva Nugraha, MA selaku ketua Jurusan Ilmu al-
Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan bapak Fahrizal
Mahdi, Lc., MIRKH., selaku sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur’an
dan Tafsir. Serta seluruh dosen dan staff akademik Fakultas
Ushuluddin, khusunya Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir yang
telah meluangkan waktu dan tenaganya, berbagi ilmu dan
pengalaman yang bermanfaat kepada penulis. Semoga amal
kebaikan selalu mengalir kepada mereka semua.
Jazakumullaah khairan jazaa.
4. Bapak Ahmad Rifqi Muchtar, MA, selaku dosen pembimbing
skripsi yang telah memberikan arahan, gambaran, saran dan
penjelasan yang sistematis dan membangun kepada penulis.
Selalu meluangkan waktunya untuk mahasiswa bimbingannya.
Mohon maaf yang sedalam-dalamnya, jika selama proses
bimbingan berlangsung, banyak kesalahan kata maupun sikap
yang kurang berkenan. Semoga Bapak senantiasa diberikan
kesehatan dan kemudahan dalam setiap langkahnya, Amiin.
5. Bapak Dr.M.Suryadinata, MA, selaku dosen penasehat
akademik yang telah meluangkan waktunya kepada penulis
xxi
terkait Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan konsultasi judul skripsi.
Semoga Bapak senantiasa diberikan kesehatan, Amiin.
6. Segenap Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan
Pusat Studi al-Qur’an (PSQ) Ciputat dan Perpustakaan Iman
Jama’ yang telah memberikan fasilitas serta rujukan-rujukan
sebagai sumber referensi.
7. Kepada Mamah tercinta, Suripah dan Ayah tercinta, Hidayat
Lubis, mereka yang selalu mendo’akan saya. Dengan
ketegasan, kedisiplinan, kasih sayang dan semangat dari
mereka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Banyak
pelajaran hidup yang telah penulis dapati dari mereka, arahan
yang baik, dan contoh yang patut diaplikasikan. Semoga Allah
senantiasa mengampuni dosa-dosanya, selalu mempermudah
urusan dan rezeki mereka, dan selalu dalam lindungan dan
keselamatan-Nya, Aamiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
8. Teruntuk adik-adik saya tercinta dan tersayang,
Halimatussakdiyah Lubis, Rizki Pardomuan, Rif’ad Adly
Lubis, Ainun Rizki Dalimunthe, dan Suci Amaliyah Batubara,
yang senantiasa memberikan semangat, dan keceriaan ketika
penulis sudah mulai jenuh. Semoga mereka senantiasa
dimudahkan dalam menuntut ilmu dan berguna untuk dunia
akhirat, Amiin.
9. Kepada Sawaluddin Dalimunthe, yang senantiasa memberikan
nasehat, dan dukungan kepada penulis. Darinya dan karenanya,
penulis mendapat berbagai pengalaman dan arahan selama
penulisan skripsi. Semoga Allah selalu memberikan
xxii
kemudahan dalam setiap urusannya dan kesemangatan dalam
setiap langkahnya, Aamiin.
10. Kepada sahabat-sahabat penulis, Rofi’atul Khoiriah Nasution,
Marhamah Nasution, Fradhita Solikhah, Siti Aisyah Batubara,
Silma Laatansa Haqqi, Mega Nur Fadhilah, Fawaidul
Makkiyah, Mulyani Amaliyah Nasution, Ziana Maulida
Husnia, Faradhika Pertiwi Lubis, Rizka Melinda Nasution,
Wida Sari Pulungan, Nur Rofi’ah Rangkuti, Henni Fadhilah
Nasution, dan Rostika Nasution yang telah memberikan
semangat, masukan dan motivasi kepada penulis selama
penyusunan skripsi ini.
11. Teman-teman seperjuangan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
Angkatan 2014. Mereka sudah penulis anggap seperti keluarga
sendiri. Terimakasih semuanya, semoga tetap dan selalu
terjalin silaturahminya, dan semoga Allah memberikan
petunjuk di setiap urusan mereka.
12. Teman-teman KKN SAHITYA 031 UIN Jakarta, satu bulan
bersama mereka dalam mengabdi kepada masyarakat, meski
dari arah yang berbeda. Terimakasih untuk semuanya. Semoga
selalu terjalin silaturahmi.
13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu,
yang telah memberikan dukungan dan masukannya dalam
skripsi ini.
Ciputat, 30 Desember 2019
Saibatul Aslamiah Lubis
xxiii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN.......................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................iii
LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................v
PEDOMAN TRANSLITERASI.............................................................vii
ABSTRAK .............................................................................................. xvii
KATA PENGANTAR ............................................................................ xix
DAFTAR ISI ......................................................................................... xxiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Identifikasi Masalah.............................................................8
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................. 8
D. Metodologi Penelitian ................... .....................................9
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................10
F. Tinjauan Pustaka ............................................................... 11
G. Sistematika Penulisan ........................................................ 12
BAB II KEISTIMEWAAN BAHASA AL-QUR’AN
A. Definisi al-Qur’an ........................................................... 15
B. Al-Qur’an diturunkan dengan Bahasa Arab .................... 17
C. Sisi Kemukjizatan Tata Bahasa al-Qur’an....................... 19
D. Pemaparan Taraduf ........................................................ 26
BAB III PANDANGAN TENTANG KEBURUKAN
A. Defenisi Keburukan ........................................................... 31
B. Sumber Keburukan ........................................................ 32
xxiv
C. Jenis Keburukan ................................................................. 40
D. Akibat dan Solusi dari Keburukan .................................... 43
E. Lafaz-Lafaz yang menunjukkan Makna Keburukan .......... 45
BAB IV ANALISIS KATA-KATA KEBURUKAN PADA AYAT AL-
QUR’AN DALAM TAFSIR
A. Analisa Terhadap Kata Khabīṡ ......................................... 47
B. Analisa Terhadap Kata Syarrun ....................................... 54
C. Analisa Terhadap Kata Żillah .......................................... 58
D. Analisa Terhadap Kata Sayyiah ....................................... 64
E. Analisa Kata-Kata Keburukan dalam al-Qur’an .............. 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................... 75
B. Saran-Saran ....................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 77
LAMPIRAN-LAMPIRAN..................................................................... 81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam membawa manusia kepada kehidupan yang baik,
keselamatan, sejahtera lahir batin, sehingga memperoleh kedamaian
dan ketentraman hidup di dunia dan akhirat. Agama Islam
berpedoman kepada al-Qur‟an yang merupakan kitab suci terakhir
yang diturunkan Allah Swt untuk menjadi petunjuk bagi seluruh umat
manusia.1
Al-Qur‟an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui
perantaraan malaikat Jibril ke dalam kalbu Rasulullah Saw, dengan
menggunakan bahasa Arab dan disertai dengan kebenaran agar
dijadikan hujjah dalam hal pengakuannya sebagai Rasul, dan agar
dijadikan sebagai dustur (undang-undang) bagi seluruh umat manusia,
di samping merupakan amal ibadah jika membacanya. Al-Qur‟an itu
di-tadwin-kan di antara dua ujung yang dimulai dari Surah Al-
Fātihah, dan ditutup dengan Surah Al-Nās, dan sampai kepada kita
secara tertib dalam bentuk tulisan maupun lisan dalam keadaan utuh
atau terpelihara dari perubahan dan pergantian.2
Al-Qur‟an merupakan sumber rujukan paling pertama dan utama
dalam ajaran Islam. Ia diturunkan oleh Allah kepada Nabi
Muhammad Saw untuk disampaikan kepada umat manusia. Hakikat
diturunkannya Al-Qur‟an adalah menjadi acuan moral secara
universal bagi umat manusia untuk memecahkan problema sosial
1 Abuddin Nata, AL-QUR’AN DAN HADITS (Dirasah Islamiyah 1) Edisi Revisi
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), 28-29. 2 Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Bandung: Penerbit
Risalah), Cetakan Kedua 1985, 21.
2
yang timbul di tengah-tengah masyarakat. Itulah sebabnya, al-Qur‟an
secara kategoris dan tematik, justru dihadirkan untuk menjawab
berbagai problema aktual yang dihadapi masyarakat sesuai dengan
konteks dan dinamika sejarahnya. Karena itu masuk akal jika para
mufassir sepakat bahwa profesi penurunan Al-Qur‟an ke muka bumi,
mustahil dilakukan oleh Allah secara sekaligus, melainkan berangsur-
angsur, disesuaikan dengan kapasitas intelektual dan konteks masalah
yang dihadapi umat manusia. Diturunkan secara berangsur-angsur,
sudah tentu menunjukkan tingkat kearifan dan kebesaran Tuhan,
sekaligus membuktikan bahwa pewahyuan total pada satu waktu
adalah mustahil, karena bertentangan dengan fitrah manusia sebagai
makhluk dha’if. Hikmah terbesar Al-Qur‟an diturunkan dari waktu ke
waktu, tema per tema, bagian per bagian, adalah di samping
mempertimbangkan kemampuan manusia yang terbatas dalam
menelaah dan mencerna kandungan ayat-ayat-Nya, juga dimaksudkan
agar selaras dan sejalan dengan kebutuhan objektif yang dihadapi
umat manusia.3 Al-Qur‟an sendiri menegaskan bahwa kehadiranya
memang secara seksama, memahami secara mendalam, sambil
menggunakannya sebagai “rujukan moral” yang paling autentik untuk
memecahkan problema kehidupan yang dihadapinya.4
Kitab suci al-Qur‟an merupakan mukjizat terbesar yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw. suatu mukjizat yang dapat disaksikan
oleh seluruh umat manusia sepanjang masa. Karena beliau diutus
oleh Allah untuk keselamatan manusia di mana dan di masa apapun
mereka berada. Oleh sebab itu Allah menjamin keselamatan al-Qur‟an
sepanjang masa.
3 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an, cet.V (Jakarta: Penerbit Permadani,
2008), 22-23 4 QS. Al-Isra Ayat 106
3
Sebagaimana Firman-Nya QS. an-Nahl /16: 9.
“Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara
jalan-jalan ada yang bengkok. dan Jikalau Dia menghendaki,
tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).”
Al-Qur‟an adalah kitab yang agung dan sempurna. Keagungan dan
kesempurnaannya bukan hanya dirasakan oleh orang-orang yang
memahami karakteristik bahasanya yaitu bahasa Arab, tetapi juga
dirasakan oleh mereka yang mempercayai dan mengharapkan
petunjuk-petunjuknya dan semua orang yang mengenalnya sebagai
kitab yang diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Tinggi.
Bila kita mempelajari al-Qur‟an dari aspek bahasanya akan
ditemukan berbagai keindahan bahasa al-Qur‟an dari susunan kata
dan kalimatnya serta ketelitian dan keseimbangan redaksi-redaksinya.
Inilah salah satu bukti kebenaran al-Qur‟an sebagai wahyu Allah dan
mukjizat Nabi Muhammad Saw.
Kemujizatan seorang Nabi datang berkaitan dengan keahlian
masyarakatnya. Hal ini karena suatu keistimewaan baru dapat menjadi
bukti apabila aspek yang dikemukakan dapat dimengerti oleh mereka
yang ditantang, dan bukti tersebut akan semakin membungkamkan
apabila aspek tantangan yang dimaksud menyangkut sesuatu yang
dinilai sebagai keunggulan yang ditantang. Pada masa Nabi
Muhammad Saw. Keahlian masyarakat Arab adalah bahasa dan
sastra Arab.5 Mereka merasa amat mahir dalam bidang tersebut, bisa
dilihat dari banyaknya musabaqoh (perlombaan) dalam menyusun
5 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an (Bandung: Mizan Media Utama,
2014), 116.
4
syair atau khutbah, petuah dan nasihat. Penyair bisa mendapatkan
kedudukan yang sangat istimewa dalam masyarakat Arab.
Al-Qur‟an disebut memiliki mukjizat karena berbeda dari kitab-
kitab sebelumnya, diantara perbedaan itu terletak pada kebahasaanya,
keindahan susunan dan gaya bahasanya yang tidak dapat dibandingi
dari kitab lainnya.6
Tidak dapat disangkal bahwa ayat-ayat al-Qur‟an tersusun dengan
kosakata bahasa Arab, kecuali beberapa kata yang masuk dalam
perbendaharaannya akibat akulturasi7. Al-Qur‟an mengakui hal ini
dalam sekian banyak ayatnya, antara lain ayat yang membantah
tuduhan yang mengatakan bahwa al-Qur‟an diajarkan oleh seorang
„Ajam8 (non arab) kepada nabi,
9 Allah swt berfirman dalam surah an-
Nahl /16: 103.
“Dan Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata:
"Sesungguhnya al-Qur‟an itu diajarkan oleh seorang manusia
kepadanya (Muhammad)". Padahal bahasa orang yang mereka
tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam,
sedang al-Qur‟an adalah dalam bahasa Arab yang terang”.
6 Zainal Abidin, Seluk Beluk al-Qur’an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), 100.
7 Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok
manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan
asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya
sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Akulturasi). 8 Bahasa „Ajam adalah bahasa selain bahasa arab, dan diartikan juga dengan
bahasa arab yang tidak baik. (M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an, (Bandung: Mizan
Media Utama, 2014), 94. 9 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an, (Bandung: Mizan Media Utama,
2014), 93.
5
Banyak faktor yang menyebabkan terpilihnya bahasa Arab sebagai
bahasa wahyu Ilahi yang terakhir. Faktor-faktor tersebut antara lain
berkaitan dengan ciri bahasa Arab dan tujuan penyebaran ajarannya.
Bahasa ini mempunyai keunikan lain, yaitu banyaknya kata ambigu,
dan tidak jarang satu kata mempunyai dua atau tiga arti yang
berlawanan. Tapi, pada saat yang sama seseorang dapat menemukan
kata yang mengandung satu makna yang pasti saja. Bahkan, satu
huruf tidak jarang mempunyai lebih dari satu arti.10
Demikian juga
satu kata dalam al-Qur‟an mempunyai timbangan atau maksud
tersendiri, sehingga satu kata yang mempunyai arti sama terkadang
diungkapkan dalam pilihan kata yang sangat beraneka ragam.
Pengungkapan yang beraneka ragam ini dikarenakan adanya kata
dalam bahasa Arab yang mutaradif (memiliki makna yang sama
dalam berbagai lafaz).
Segala bentuk tindakan manusia mengacu pada pandangannya
tentang baik dan buruk. Nilai kebaikan dan keburukan senantiasa akan
menjadi sumber rujukan (frame of reference) dalam melakukan
berbagai tindakan hidupnya. Nilai baik, dan buruk, merupakan fokus
pembahasan berbagai sumber agama, tak terkecuali al-Qur‟an.
Kebaikan dan keburukan dalam ajaran Islam merupakan dua
bahasa yang berbeda akan tetapi memiliki keterkaitan antara
keduanya, yaitu kalau tidak berbuat baik maka berbuat buruk, maka
manusia tinggal memilih pada posisi mana ia harus berbuat karena
kebaikan dan keburukan itu sudah jelas diatur oleh ajaran agama
Islam dalam kitab suci al-Qur‟an.
10
M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an (Bandung: Mizan Media Utama,
2014), 102.
6
Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang mengerjakan
suatu kebaikan atau keburukan. Diantara kebaikan dan keburukan
manusia pada umumnya lebih condong atau lebih banyak yang
mengerjakan keburukan, hal ini disebabkan karena mengerjakan
keburukan sangatlah mudah dan beberapa faktornya adalah lemahnya
iman, kurangnya didikan, dan pergaulan bebas yang buruk, akibat
tontonan, bacaan. Dengan itu, penulis memilih menulis mengenai
makna keburukan dalam al-Qur‟an.
Istilah buruk dikenal dengan syarr, dan diartikan sebagai sesuatu
yang tidak baik, tidak seperti yang seharusnya, tak sempurna dalam
kualitas, di bawah standar, kurang dalam nilai, tak mencukupi, keji,
jahat, tidak bermoral, tidak menyenangkan, tidak dapat disetujui, tidak
dapat diterima, yang tercela dan perbuatan yang bertentangan dengan
norma-norma masyarakat yang berlaku. Dengan demikian yang
dikatakan buruk adalah suatu yang dinilai sebaliknya dari yang baik
dan tidak disukai kehadirannya oleh manusia.11
Di antara sekian banyak kata yang terdapat dalam al-Qur‟an,
makna kata yang mutaradif adalah keburukan. Kata-kata atau istilah
yang diungkapkan al-Qur‟an untuk sesuatu yang bermaksud
keburukan sangat beragam. Masing-masing kata tersebut walaupun
ada persamaan dalam makna atau arti namun memiliki perbedaan
yang dominan.
Berkaitan dengan istilah-istilah yang bermakna keburukan, dalam
situasi tersebut terkadang al-Qur‟an selalu menggunakan kata-kata
atau istilah-istilah yang berbeda dalam penyampaiannya. Hal ini
terbukti ketika al-Qur‟an mengungkapkan keburukan dalam situasi
11
Abuddin Nata, AKHLAK TASAWUF (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2012), 105.
7
atau konteks menyangkut hal yang diharamkan seperti makanan,
maka al-Qur‟an menggunakan kata “Khabīṡ”. Apabila dalam
konteksnya menggambarkan keadaan, maka al-Qur‟an
mengungkapkannya dengan kata “syarrun”. Apabila konteksnya
menunjukkan sifat atau akibat dari perbuatan tersebut, maka al-
Qur‟an menggunakan kata “Żillah”. Apabila konteksnya nama atas
perbuatan tersebut, maka al-Qur‟an menggunakan kata “sayyiah”.
Perbedaan kata-kata yang digunakan tidak terlepas dari situasi dan
kondisi yang sedang dibicarakan oleh al-Qur‟an, sehingga penerapan
yang berbeda itu akan melahirkan pemaknaan yang berbeda meskipun
masih sama dalam arti keburukan.12
Dengan melihat adanya hal tersebut, yaitu bahwa kecenderungan
penggunaan kata dapat mempengaruhi jenis atau klasifikasi makna
lafaz yang dipakai. Maka inilah yang menjadi alasan peneliti
mengambil judul ini. Penelitian ini akan menjadi sangat menarik
mengingat penggunaan kata-kata keburukan dalam al-Qur‟an akan
menghasilkan beragam proses pemaknaan yang berbeda, sesuai
dengan konteks yang dibicarakan oleh al-Qur‟an dalam ayat-ayat
yang menyangkut tentang keburukan.
Bagi bangsa Indonesia yang umumnya tidak mengetahui dan tidak
mendalami bahasa Arab, amat sulit untuk menemukan di mana
letaknya kemukjizatan al-Qur‟an dalam aspek kebahasaannya. karena
untuk mengetahui ketinggian mutu suatu susunan kata-kata tidak
akan dipahami jika tidak dapat merasakan keindahan bahasa itu
sendiri.13
12
Abd Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran al-Qur’an, cet.II (Jakarta:
Mizan, 1998), hlm.74 13
Zainal Abidin, Seluk Beluk al-Qur’an (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), 101.
8
Untuk menjawab masalah tersebut, maka penulis tertarik untuk
membuat skripsi dengan judul: “Lafaz Yang Bermakna Keburukan
Dalam al-Qur’an; (Analisis Kata Khabīṡ, Syarrun, Żillah, Dan
Sayyiah)”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah penelitian di atas, penulis
mengidentifikasi masalah yang ada sebagai berikut:
1. Apa defenisi keburukan ?
2. Apa saja lafaz yang bermakna keburukan dalam al-Qur‟an ?
3. Adakah perbedaan makna keburukan yang terkandung dalam
setiap lafaz ?
4. Mengapa lafaz yang bermakna keburukan dalam al-Qur‟an banyak
?
5. Bagaimana pendapat para ulama‟ mengenai lafaz-lafaz yang
bermakna keburukan dalam al-Qur‟an ?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, untuk membatasi serta
mempermudah penyusunan skripsi ini penulis membatasi hanya
khusus pada kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan arti
keburukan dalam al-Qur‟an, yaitu: Khabīṡ, Syarrun, Żillah, dan
Sayyiah, walaupun selain kata-kata tersebut masih ada kata-kata lain
yang memiliki arti keburukan seperti Qabih, Fahsya`, Munkar, Fisq,
‘Ishyān, Isrāf, Bāthil, Zhalim, Fujur, dan Fasād. Namun menurut
penulis kata-kata Khabīṡ, Syarrun, Żillah, dan Sayyiah, sudah cukup
merepresentasikan pilihan kata-kata yang menjelaskan arti keburukan
dalam al-Qur‟an.
9
Dalam membahas kata-kata tersebut, penulis menggunakan
beberapa referensi yaitu, al-Mu’jam al-Muhfahras Li al-Fȃdzi al-
Qur’an al-Karim, kitab ini digunakan untuk mengidentifikasi lafaz-
lafaz dalam al-Qur‟an karya Muhammad Fuad Abdul Baqi. Kemudian
kitab al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an kitab ini membahas makna
lafaz-lafaz yang terdapat dalam al-Qur‟an karya al-Raghib al-
Asfahani sebagai rujukan utama dalam penulisan skripsi ini, dan
untuk mendukung atas analisis tentang istilah-istilah keburukan
tersebut, penulis juga menggunakan beberapa tafsir klasik dan
kontemporer sebagai perbandingan antara lain: Tafsir Thabari, Tafsir
al-Qurthubi, Tafsir Misbah dan Tafsir al-Munir.
Dari permasalahan di atas, maka perumusan masalah yang tepat
untuk tulisan ini adalah “apa perbedaan makna yang terkandung
dalam berbagai lafaz keburukan (Khabīṡ, Syarrun, Żillah, dan
Sayyiah) dalam al-Qur’an?”.
D. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian merupakan ilmu yang mempelajari tentang
cara penelitian ilmu, tentang alat-alat dalam suatu penelitian.14
Dalam
penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian
kepustakaan (Library Research) yaitu suatu metode dengan
mengumpulkan dan menggunakan data-data yang diperoleh dari
beberapa referensi dengan cara membaca, menelaah buku-buku,
artikel, jurnal dan literatur-literatur lain yang tentunya berhubungan
dengan pembahasan pada skripsi ini dan dengan pendekatan kualitatif.
14
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Saasin,
2000), 6.
10
Data-data yang diperoleh berkaitan dengan hal-hal yang mencakup
dan penafsiran tentang ayat tersebut.
Metode analisis data dalam penelitian ini, menggunakan metode
maudu’i yaitu metode tafsir yang mengumpulkan ayat-ayat al-Qur‟an
yang mempunyai kesamaan tema yaitu yang terdapat lafaz-lafaz yang
bermakna keburukan. Kemudian dipilih lafaz-lafaz yang belum
banyak dibahas oleh penelitian terdahulu. Setelah itu ditafsirkan
beberapa ayat yang cukup mewakili pengungkapan makna dari lafaz-
lafaz tersebut dan tak lupa mencantumkan asbab al-nuzul bila ada.
Kumpulan ayat-ayat dari empat lafaz tersebut penulis paparkan dalam
lembar lampiran pada skripsi ini.
Dalam hal ini penulis merujuk kepada dua sumber, yakni sumber
utama (primary resource) dan sumber pendukung (secondary
resource). Sumber utama berasal dari kitab Al-Qur‟an dan Kitab-kitab
tafsir. Sedangkan sumber pendukungnya adalah buku-buku yang
berkaitan dengan judul tersebut, skripsi, jurnal, artikel, dan sumber-
sumber informasi lainnya yang sangat mendukung untuk
memudahkan penulis dalam menyusun skripsi dengan mencari bahan-
bahan tersebut di perpustakaan UIN Jakarta, perpustakaan Fakultas
Ushuluddin maupun perpustakaan kampus lain yang sangat
mendukung untuk memperoleh sumber-sumber dari judul tersebut.
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan pada pokok permasalahan di atas, maka tujuan kajian
skripsi secara umum adalah:
1. Untuk mengetahui kedalaman bahasa dalam al-Qur‟an dan
seberapa teliti kebahasaan dalam al-Qur‟an.
11
2. Untuk mengetahui bagaimana pilihan kata-kata pada ayat-ayat al-
Qur‟an yang secara umum menunjukkan makna keburukan yang
mendapatkan penekanan klasifikasi makna yang membedakannya
dengan pilihan lafaz lainnya.
3. Untuk mengetahui penggunaan kata-kata keburukan dalam redaksi
al-Qur‟an yang memiliki spesialisasi tersendiri.
4. Tujuan akademik penelitian ini adalah untuk memenuhi
persyaratan tugas akhir perkuliahan di jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan
Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dengan tercapainya tujuan tersebut diharapkan dari hasil penelitian
ini, diperoleh manfaat sebagai berikut:
1. Secara akademis, dapat memberikan masukan dan kontribusi bagi
pengembangan pengetahuan melalui penelitian.
2. Secara praktis, agar umat Islam dapat memandang secara ilmiah
sehingga tidak terjebak pada satu sudut pandang saja. Selain itu
juga diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi untuk memperbaiki
segala perbuatan dalam kehidupan masyarakat.
F. Tinjauan Pustaka
Pembahasan mengenai lafaz yang bermakna Keburukan dalam al-
Qur‟an, Analisa terhadap kata Khabīṡ, Syarrun, Żillah, Dan Sayyiah,
secara eksplisit penulis tidak menemukan pembahasan tersebut, tetapi
secara implisit penulis menemukan dua jurnal atau artikel yang
sekilas sejalan dan mengarah kepada pembahasan tersebut yaitu,
pertama Konsep Baik (kebaikan) dan Buruk (keburukan) dalam al-
Qur’an jurnal artikel oleh Enoh tahun 2004.
12
Enoh15
membahas keburukan dalam artikelnya hanya sepintas dan
digabungkan dengan membahas tentang kebaikan, itu pun dibahas
secara global. Dalam artikelnya tidak ada penafsiran ayat secara utuh
dan ia menggunakan pendekatan hermeneutika pada artikel tersebut.
Kedua, Keburukan dalam Perspektif al-Qur’an telaah ragam,
dampak, dan solusi terhadap keburukan jurnal oleh Imam
Sudarmoko. Dalam artikel ini juga tidak ada penafsiran ayat-ayat
yang terdapat lafaz keburukan.
Adapun judul yang akan dibahas oleh penulis merujuk referensi
kepada kitab al-Mu’jam al-Muhfahras Li al-Fȃdzi al-Qur’an al-
Karim, karya Muhammad Fuad Abdul Baqi, dan kitab al-Mufradat fi
Gharib al-Qur’an karya al-Raghib al-Asfahani. Kitab-kitab tersebut
membahas tentang lafaz-lafaz dalam al-Qur‟an serta maknanya.
Kitab-kitab tersebutlah yang akan menjadi rujukan utama dalam
penulisan skripsi ini. Selain itu penulis menggunakan kitab Lisan al-
‘Arabi, al-Munjid, dan kamus-kamus yang lain serta beberapa kitab
tafsir sebagai penguat dalam peneitian ini.
Oleh karena itu, penulis hanya akan memfokuskan kepada
pembahasan mengenai lafaz-lafaz Khabīṡ, Syarrun, Żillah, dan
Sayyiah, pada ayat-ayat yang memiliki arti tentang keburukan dalam
al-Qur‟an.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan hal yang penting karena
mempunyai fungsi untuk menyatakan garis-garis besar dari masing-
masing bab yang saling berkaitan dan berurutan. Hal ini dimaksudkan
15
Enoh, Drs., M.Ag. adalah dosen tetap Fakultas Tarbiyah di Universitas Islam
Bandung.
13
agar tidak terjadi kekeliruan dalam penyusunannya. Adapun
sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I merupakan langkah awal dalam penelitian ini, yang mana
penulis memberikan gambaran mengenai penelitian yang akan penulis
lakukan. Bab ini menjelaskan latar belakang penelitian penulis
kemudian identifikasi masalah lalu rumusan masalah bedasarkan latar
belakang dan identifikasi masalah tersebut serta tujuan dan kegunaan
penelitian ini. Penelitian ini didukung oleh beberapa pustaka dengan
beberapa metode penelitian. Adapun sistematika penulisan guna
menjadikan penelitian ini tersusun rapih.
Lanjut ke BAB II, penulis mulai memberikan landasan teori dalam
penelitian ini yang mendeskripsikan tentang pembahasan dari
keistimewaan bahasa dalam al-Qur‟an, yang meliputi pengertian al-
Qur‟an, al-Qur‟an diturunkan dengan bahasa Arab, dan sisi
kemukjizatan tata bahasa al-Qur‟an. Pemaparan tentang tarâduf
dimasukkan ke dalam bab ini di karenakan landasan rumusan masalah
bermula dari tarâduf, yaitu memiliki banyak lafaz namun bermakna
satu. Selengkapnya akan dibahas dalam bab ini.
Lanjut ke BAB III, penulis menguraikan pembahasan tentang
pandangan mengenai keburukan yang meliputi, defenisi term
keburukan, sumber keburukan, dan akibat dari keburukan guna untuk
menghindari kesalahan dalam memaknai kata keburukan itu sendiri.
Lalu diikuti pembahasan lafaz-lafaz yang menunjukkan makna
keburukan seperti: Khabīṡ, Syarrun, Żillah, dan Sayyiah. Empat lafaz
tersebut yang merupakan pembatasan masalah.
Lanjut ke BAB IV, pada bab ini akan dibahas lebih lanjut atau
lebih mendalam mengenai empat lafaz tersebut Khabīṡ, Syarrun,
Żillah, dan Sayyiah melalui analisa dari beberapa kitab tafsir yang
14
berbeda-beda serta analisa penulis terhadap lafaz-lafaz keburukan
dalam al-Qur‟an (Khabīṡ, Syarrun, Żillah, dan Sayyiah).
Terakhir BAB V, merupakan bab penutup yang meliputi
kesimpulan, dalam bab ini akan dipaparkan seluruh kajian atau
penelitian yang merupakan jawaban dari permasalahan yang terdapat
pada latar belakang masalah, dan juga akan dilanjutkan kepada
permohonan saran-saran dan penutup sebagai masukan dari para
pembaca untuk melengkapi hasil penelitian dari hasil karya penulis
yang cukup terbatas dan tentunya masih banyak kekurangan.
Semuanya akan disimpulkan secara narasi dengan baik.
15
BAB II
KEISTIMEWAAN BAHASA AL-QUR’AN
Keistimewaan bahasa yang terkandung dalam al-Qur‟an merupakan
bukti mukjizat al-Qur‟an yang diturunkan sebagai petunjuk bagi orang
yang bertaqwa. Keindahan bahasa serta penyesuaian tatanan kata-kata
dalam al-Qur‟an sesuai mengikuti kondisi dan situasi, begitu pun makna
yang terkandung di dalamnya sejalan dengan konteks yang sedang
dibicarakan.
A. Pengertian Al-Qur’an.
Al-Qur‟an merupakan kitab suci yang memperkenalkan dirinya
sebagai hudan li an-nȃs (petunjuk bagi manusia) agar memperoleh
kebaikan di dunia dan di akhirat. Ia merupakan sumber pertama dan
utama dari segi ajaran syariat, akidah, maupun akhlak yang harus
diimani dan di aplikasikan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu,
kaum muslimin khususnya, wajib berupaya memahami al-Qur‟an
dengan mengerahkan segenap panca indera dan mata hati untuk
menangkap kandungan isinya, sehingga fungsi al-Qur‟an sebagai
petunjuk bagi kehidupan manusia akan benar-benar terasa.
Secara bahasa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
menjelaskan bahwa al-Qur‟an adalah bentuk kata mashdar dari kata
qara‟a ( أقر ) yang bermakna membaca atau mengumpulkan.1 Jika al-
Qur‟an berasal dari kata qara‟a yang bermakna membaca, maka al-
Qur‟an berarti sesuatu yang dibaca, sedangkan jika berasal dari kata
1
Suatu kata dalam bahasa Arab bisa memiliki lebih dari satu makna. Dalam
kasus ini, قرأ (qara`a) memiliki makna جمع (jama'a) mengumpulkan dan تلا (talâ)
membaca. Dari kata قرأ diambil kata lain: القرية (al-qaryah), yang berarti desa karena di
desa terkumpul keluarga-keluarga.
16
qara‟a yang bermakna mengumpulkan, maka al-Qur‟an berarti
sesuatu yang mengumpulkan, karena al-Qur‟an itu berisi kumpulan
kisah-kisah dan hukum.2 Mayoritas ahli tafsir sepakat bahwa wahyu
pertama yang diterima oleh nabi Muhammad adalah surah al-'Alaq
ayat 1-5. Walaupun hal demikian tidak tertulis secara langsung di al-
Qur‟an.
Menurut istilah, al-Qur‟an adalah kalam Allah yang diturunkan
melalui perantaraan malaikat Jibril ke dalam kalbu Rasulullah saw,
dengan menggunakan bahasa Arab dan disertai dengan kebenaran
agar dijadikan hujjah dalam hal pengakuannya sebagai Rasul, dan
agar dijadikan sebagai dustur (undang-undang) bagi seluruh umat
manusia, di samping merupakan amal ibadah jika membacanya. Al-
Qur‟an itu ditadwinkan di antara dua ujung yang dimulai dari Surah
al-Fȃtihah, dan ditutup dengan Surah al-Nȃs, dan sampai kepada kita
secara tertib dalam bentuk tulisan maupun lisan dalam keadaan utuh
atau terpelihara dari perubahan dan pergantian.3
Para ahli tafsir memiliki definisi tersendiri tentang al-Qur‟an,
seperti Dr. Subhi Saleh yang mendefinisikan al-Qur‟an sebagai
berikut: “Kalam Allah yang merupakan mukjizat yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan
dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”. Adapun
Muhammad Ali Ash-Shabuni mendefinisikan al-Qur‟an sebagai
berikut: “al-Qur‟an adalah firman Allah yang tiada tandingannya,
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw penutup para nabi dan rasul,
dengan perantaraan Malaikat Jibril dan ditulis pada mushaf-mushaf
yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta
2 Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Ushûl fî at-Tafsîr (Al-Maktabah al-
Islamiyyah, 2001). 3 Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, cet.II (Bandung:
Penerbit Risalah, 1985), 21.
17
membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai
dengan surah al-Fȃtihah dan ditutup dengan surah an-Nȃs”.
B. Al-Qur’an Diturunkan dengan Bahasa Arab.
Tidak dapat disangkal bahwa ayat-ayat al-Qur‟an tersusun dengan
kosakata bahasa Arab, hal ini dibuktikan dengan banyaknya ayat-ayat
yang sudah menjelaskan, seperti ayat-ayat berikut ini :
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan
berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf [12] : 2).
“Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quran itu sebagai
peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab.4 Dan seandainya kamu
mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan
kepadamu, Maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara
bagimu terhadap (siksa) Allah.” (QS. Ar-Ra`d [13] : 37).
“Dan Demikianlah Kami menurunkan Al Quran dalam bahasa
Arab, dan Kami telah menerangkan dengan berulang kali, di
4 Keistimewaan bahasa Arab itu antara lain Ialah: 1. sejak zaman dahulu kala
hingga sekarang bahasa Arab itu merupakan bahasa yang hidup, 2. bahasa Arab adalah
bahasa yang lengkap dan Luas untuk menjelaskan tentang keTuhanan dan keakhiratan. 3.
bentuk-bentuk kata dalam bahasa Arab mempunyai tasrif (konjugasi) yang Amat Luas
sehingga dapat mencapai 3000 bentuk peubahan, yang demikian tak terdapat dalam
bahasa lain.
18
dalamnya sebahagian dari ancaman, agar mereka bertakwa atau
(agar) Al Quran itu menimbulkan pengajaran bagi mereka.” (QS.
Taahaa [20] : 113).
“Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al Quran dalam bahasa
Arab, supaya kamu memberi peringatan kepada Ummul Qura
(penduduk Mekah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya
serta memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul (kiamat)
yang tidak ada keraguan padanya. segolongan masuk surga, dan
segolongan masuk Jahannam.” (QS. Asy-Shuura [42] : 7)
“Dan sebelum Al Quran itu telah ada kitab Musa sebagai petunjuk
dan rahmat. dan ini (Al Quran) adalah kitab yang membenarkannya
dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang
yang zalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang
berbuat baik.” (QS. Al-'Ahqaaf [46] : 12).
Ayat-ayat di atas jelas seirama menerangkan bahwa al-Qur‟an itu
berbahasa Arab. Maka ini jelas menjadi bantahan terhadap sebahagian
ahli yang mengatakan bahwa bahasa al-Qur‟an adalah bahasa
campuran antara bahasa Arab dan non Arab.
Banyak faktor yang menyebabkan terpilihnya bahasa Arab sebagai
bahasa wahyu Ilahi yang terakhir. Faktor-faktor tersebut antara lain
berkaitan dengan ciri bahasa Arab dan tujuan penyebaran ajarannya.
Bahasa Arab memiliki keistimewaan tersendiri, khususnya dalam hal
kekayaan kosa-kata. Dengan spesifikasi ini, bahasa Arab dapat
mengakomodasi perbedaan-perbedaan kecil mengenai satu hal, seperti
19
menggambarkan rasa cinta dengan kosa kata berbeda-beda sesuai
tingkatannya. Selain itu al-Qur‟an sangat teliti dalam memilih kata
yang digunakannya yang dalam bahasa Indoonesia disebut dengan
diksi.5
Bahasa al-Qur‟an dan bahasa Arab sekarang ini, merupakan bahasa
terpenting di kalangan ras Semit6, lebih dari 100 juta orang
menggunakan bahasa ini. Sistem penulisan bahaa Arab
diperkkenalkan di Mekkah tidak lama sebelum periode wahyu al-
Qur‟an dan setelah periode turun wahyu sistem penulisan tersebut
mengalami sejumlah perbaikan utamanya adalah dengan pemberian
titik pada sebahagian huruf sebagai tanda bunyi huruf hijaiyah.7
C. Sisi Kemukjizatan Bahasa al-Qur’an.
Al-Qur‟an adalah mukjizat yang terbesar yang diturunkan kepada
nabi Muhammad SAW, kemukjizatannya tidak hanya dilihat dari satu
sisi saja. Al-Qur‟an merupakan firman Allah SWT yang memiliki
keindahan dengan kemukjizatan bahasanya.
Dari segi bahasa dan sastra al-Qur‟an mempunyai gaya bahasa
yang khas yang sangat berbeda dengan bahasa masyarakat Arab, baik
dari pemilihan kata dan penyusunannya yang memiliki makna dalam.
Usman bin Jinni (932-1002) seorang pakar bahasa Arab sebagaimana
dituturkan Quraish Shihab mengatakan bahwa pemilihan kosa kata
dalam bahasa Arab bukanlah suatu kebetulan melainkan mempunyai
5 Akimin Mesra, dkk, Ulumul Qur‟an (Ciputat: Pusat Studi Wanita, 2005), 171.
6 Semit (dari bahasa Ibrani Alkitab, "Sem"; Arab: سامي, Syam, diterjemahkan
dengan arti "nama") adalah suatu istilah yang mula-mula digunakan dalam linguistik dan
etnologi untuk merujuk kepada sebuah "keluarga atau rumpun bahasa" asal Timur
Tengah, yang sekarang disebut "Rumpun bahasa Semit". 7 Cyril Glase, Ensiklopedia Islam Ringkas (Jakarta: PT Grapindo Persada, 1999),
47.
20
nilai falsafah bahasa yang tinggi.8 Kalimat-kalimat dalam Al-Qur‟an
mampu mengeluarkan sesuatu yang abstrak kepada fenomena yang
konkrit sehingga dapat dirasakan ruh dinamikanya, termasuk
menundukkan seluruh kata dalam suatu bahasa untuk setiap makna
dan imajinasi yang digambarkannya. Kehalusan bahasa dan uslub Al-
Qur‟an yang menakjubkan terlihat dari balagoh dan fashohahnya, baik
yang konkrit maupun abstrak dalam mengekspresikan dan
mengeksplorasi makna yang dituju sehingga dapat komunikatif antara
Autor (Allah) dan penikmat (umat).9
Kajian mengenai gaya Al-Qur‟an, Shihabuddin menjelaskan dalam
bukunya Stilistika Al-Qur‟an, bahwa penggabungan antara huruf
konsonan dan vocal dalam al-Qur‟an memiliki keserasian sehingga
mudah dalam pengucapannya. Lebih lanjut dengan mengutip Az-
Zarqoni keserasian tersebut adalah tata bunyi harakah, sukun, mad
dan ghunnah. Dari paduan ini bacaan al-Qur`an akan menyerupai
suatu alunan musik atau irama lagu yang mengagumkan. Perpindahan
dari satu nada ke nada yang lain sangat bervariasi sehingga warna
musik yang ditimbulkanpun beragam. Keserasian akhir ayat melebihi
keindahan puisi, hal ini dikarenakan al-Qur‟an mempunyai
purwakanthi10
beragam sehingga tidak membosankan. Misalnya
dalam surah Al-Kahfi (18: 9-16) yang diakhiri vocal “a” dan diiringi
konsonan yang berfariasi, sehingga tak aneh kalau mereka
(masyarakat Arab) terenyuh dan mengira Muhammad berpuisi.
Namun Walid Al-mughiroh membantah karena berbeda dengan
8 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1999), 90.
9 Said Aqil Munawar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
(Ciputat: Press Jakarta, 2002), 33-34 10
Purwakanthi merupakan rima atau alunan bunyi yang sama pada beberapa
kata dalam Sastra Jawa dan Sastra Sunda. Purwakanthi berasal dari kata purwa artinya
awalan, dan kanthi yang berarti menggandeng atau mengulang, sehingga purwakanthi arti
harfiahnya adalah mengulang yang telah disebut di awal.
21
kaidah-kaidah puisi yang ada, lalu ia mengira ucapan Muhammad
adalah sihir karena mirip dengan keindahan bunyi sihir (mantra) yang
prosais dan puitis. Sebagaimana pula dilontarkan oleh Montgomery
Watt dalam bukunya “bell‟s Introduction to the Qoran” bahwa style
Quran adalah Soothsayer Utterance (mantera tukang tenung), karena
gaya itu sangat tipis dengan gayanya tukang tenung, penyair dan
orang gila.11
Terkait dengan nada dan langgam bahasa ini, Quraish Shihab
mengutip pendapat Marmaduke (cendikiawan Inggris) ia mengatakan
bahwa al-Qur`an mempunyai simponi yang tidak ada taranya, setiap
nada-nadanya bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan
bersuka cita. Misalnya dalam surah An-Naazi‟at ayat 1-5. Kemudian
dilanjutkan dengan langgam yang berbeda ayat 6-14, yang ternyata
perpaduan langgam ini dapat mempengaruhi psikologis seseorang.12
Selain efek fonologi13
terhadap irama, juga penempatan huruf-
huruf al-Qur‟an tersebut menimbulkan efek fonologi terhadap makna,
contohnya sebagaimana dikutip Shihabuddin Qulyubi dalam bukunya
Najlah “Lughah Al-Qur`an al-karim fi Juz „amma”, bunyi yang
didominasi oleh jenis konsonan frikatif (huruf س ) memberi kesan
bisikan para pelaku kejahatan dan tipuan, demikian pula pengulangan
dan bacaan cepat huruf ر pada QS. An-Naazi‟at menggambarkan
getaran bumi dan langit. Contoh lain dalam surah al-haqqah dan al-
11
Shihabuddin Qulyubi, Stilistika Al-Qur‟an (Yogyakarta: Titan Ilahi Pers,
1997), 39-41. 12
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1999), 119. 13
Fonologi adalah ilmu tentang perbendaharaan bunyi-bunyi (fonem) bahasa dan
distribusinya. Fonologi diartikan sebagai kajian bahasa yang mempelajari tentang bunyi-
bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat ucap manusia. Bidang kajian fonologi adalah
bunyi bahasa sebagai satuan terkecil dari ujaran dengan gabungan bunyi yang
membentuk suku kata.
22
Qari‟ah terkesan lambat tapi kuat, karena ayat ini mengandung makna
pelajaran dan peringatan tentang hari kiamat.14
Dari pemilihan kata dan kalimat misalnya, al-Qur‟an mempunyai
sinonim dan homonim15
yang sangat beragam.
Secara umum Said Aqil merangkum keistimewaan al-Qur‟an
sebagai berikut:16
1. Kelembutan al-Qur‟an secara lafziyah yang terdapat dalam
susunan suara dan keindahan bahasa.
2. Keserasian al-Qur‟an baik untuk orang awam maupun
cendekiawan.
3. Sesuai dengan akal dan perasaan, yakni al-Qur‟an memberi doktrin
pada akal dan hati, serta merangkum kebenaran serta keindahan
sekaligus.
4. Keindahan sajian serta susunannya, seolah-olah suatu bingkai yang
dapat memukau akal dan memusatkan tanggapan dan perhatian.
5. Keindahan dalam liku-liku ucapan atau kalimat serta beraneka
ragam dalam bentuknya.
6. Mencakup dan memenuhi persyaratan global (ijmali) dan
terperinci (tafsily).
7. Dapat memahami dengan melihat yang tersurah dan tersirat.
Susunan gaya bahasa al-Qur‟an tidak sama dengan gaya bahasa
karya manusia yang dikenal masyarakat Arab saat itu. Al-Qur‟an
14
Shihabuddin Qulyubi, Stilistika Al-Qur‟an ( Yogyakarta: Titan Ilahi Pers,
1997), 45-46. 15
Homonim ialah bentuk (istilah) yang sama ejaan atau lafalnya, tetapi
mengungkapkan makna yang berbeda karena berasal dari asal yang berlainan. Homonim
terbagi menjadi dua macam: 1. Homograf, yaitu bentuk istilah yang sama ejaannya, tetapi
mungkin lain lafalnya. Contoh: pedologi (paedo) => ilmu tentang hidup dan
perkembangan anak. Pedologi (pedon) => ilmu tentang tanah. 2. Homofon, yaitu bentuk
yang sama lafalnya, tetapi berlainan ejaannya. Contoh: bank =>bang, sanksi => sangsi.
(KBBI h.1045). 16
Said Aqil Munawar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki
(Ciputat: Press Jakarta, 2002), 35.
23
tidaklah berbentuk syair, tidak pula puisi.17
“Bahkan menurut
Noldeke18
, diikuti Schwally19
, mengatakan bahwa bahasa al-Qur‟an
tidak dapat disamakan dengan bentuk bahasa buatan manusia
manapun yang pernah dituturkan”.20
Adapun ciri-ciri gaya bahasa al-
Qur‟an di antaranya:21
a. Susunan kata dan kalimat al-Qur‟an
1) Nada dan langgamnya yang unik
Ayat-ayat al-Qur‟an walaupun telah ditegaskan oleh Allah
bukan syair atau puisi, tetapi terasa dan terdengar mempunyai
keunikan dalam irama dan ritmenya. Hal ini diakui oleh
cendikiawan Inggris, Mermaduke Pickthall22
dalam The
17
Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 20. 18
Theodor Nöldeke (lahir 2 Maret 1836 di Harburg , wafat 25 Desember 1930 di
Karlsruhe ) adalah seorang orientalis dan sarjana Jerman . Minat penelitiannya berkisar
pada studi Perjanjian Lama , bahasa Semitik dan sastra Arab, Persia, dan Syria. Nöldeke
menerjemahkan beberapa karya penting sastra oriental dan selama masa hidupnya
dianggap sebagai orientalis yang penting. Dia menulis banyak penelitian (termasuk
tentang Al-Qur'an) dan menyumbangkan artikel untuk Encyclopædia Britannica. Dia
mempercayakan Schwally dengan kelanjutan dari pekerjaan standarnya "The History of
the Qur'ān ". (https://en.wikipedia.org/wiki/Theodor_Nöldeke ) 19
Schwally lahir pada 10 Agustus 1863, di rumah keluarga di Guldengasse.
Kecintaan Schwally terhadap bahasa Semit membawanya ke Universitas Strasbourg pada
tahun 1892 untuk kembali menjadi mahasiswa orientalis Jerman terkemuka pada
masanya, Profesor Dr. Theodor Nöldeke . Di Universitas-universitas Jerman,
Orientalisme telah berkembang menjadi disiplin akademik yang terpisah dalam dirinya
sendiri, dan berlabuh di dalam Fakultas Filsafat. Itu didasarkan pada pengetahuan bahasa
dan budaya, dan juga bisa merangkul metodologi historis-kritis untuk analisis teks. Bagi
Schwally, ini adalah rumahnya yang alami.
(https://en.wikipedia.org/wiki/Friedrich_Schwally) 20
Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur‟an, Penyempurnaan atas karya
Ricard Bell (Jakarta: Rajawali Pers,1991), 132. 21
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1999), 118-119. 22
Muhammad Marmaduke William Pickthall (1875-1936) adalah seorang
intelektual Muslim Barat, yang terkenal dengan terjemahan Al Qur'an yang puitis dan
akurat dalam bahasa Inggris. Ia merupakan pemeluk agama Kristen yang kemudian
berpindah agama memeluk Islam. Pickthall adalah juga seorang novelis, yang diakui oleh
D.H Lawrence, H.G Wells dan E.M Forster, juga seorang jurnalis, kepala sekolah serta
pemimpin politik dan agama. Dididik di Harrow, ia terlahir pada keluarga Inggris kelas
menengah, yang akar keluarganya mencapai ksatria terkenal William sang penakluk.
Pickthall berkelana ke banyak negara-negara Timur, mendapat reputasi sebagai ahli
24
Meaning of Gloris Qur‟an. Pickthall berkata, “al-Qur‟an
mempunyai simfoni yang tidak ada taranya sehingga setiap
nada-nadanya dapat menggerakkan manusia untuk menangis
dan bersuka cita”. Hal ini karena huruf dari kata-kata al-Qur‟an
melahirkan keserasian irama. Sebagai contoh surah an-Nazi‟at
/79: 1-4.
“Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan
keras, Dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa)
dengan lemah-lembut, Dan (malaikat-malaikat) yang turun
dari langit dengan cepat, Dan (malaikat-malaikat) yang
mendahului dengan kencang”.
2) Singkat dan padat
Sebagaimana surah al-Baqarah /2: 212.
...
“Dan Allah memberi rezki kepada orang-orang yang
dikehendaki-Nya tanpa batas”.
Ayat di atas dapat berarti Allah memberikan rizki kepada
siapa yang dikehendakinya tanpa ada yang berhak
mempertanyakannya. Dia Maha Kaya memberikan rizki tanpa
batas.
masalah Timur Tengah. Ia menerbitkan terjemahannya atas Al Qur'an (The meaning of
the Holy Qur'an), ketika menjadi pejabat di bawah pemerintahan Nizam dari Hyderabad.
Terjemahannya ini menjadi terjemahan dalam bahasa Inggris pertama yang dilakukan
oleh seorang Muslim dan diakui oleh Universitas Al-Azhar (Mesir).
(https://id.wikipedia.org/wiki/Marmaduke_Pickthall )
25
b. Keseimbangan redaksi
Al-Qur‟an memiliki keseimbangan antara jumlah bilangan kata
dengan antonimnya, seperti; al-hayah (hidup) dan al-maut (mati)
masing-masing 145 kali, ash-sholihat (kebaikan) dan as-sayyiat
(keburukan) masing-masing 167 kali. Selain itu al-Qur‟an
memiliki keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya
atau makna yang dikandungnya, seperti al-Harts dan az-Zira‟ah
(membajak/bertani) masing-masing 14 kali. Keseimbangan antara
jumlah bilangan kata dengan jumlah yang menunjukkan akibatnya,
seperti al-Infaq dengan ar-Ridha masing-masing 73 kali.
c. Ketelitian redaksi
Sebagai contoh, kata as-sama‟ (pendengaran) dan al-abshar
(penglihatan) dalam arti indra manusia, kata di atas ditemukan
dalam al-Qur‟an sebanyak 13 kali. Dari jumlah tersebut kata as-
sama‟ selalu digunakan dalam bentuk tunggal dan selalu
mendahului kata al-abshar yang juga selalu dalam bentuk jamak.
Dapat dilihat dalam surah an-Nahl/16: 78.
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.
26
D. Pemaparan Tentang Tarâduf
Dalam bahasa indonesia, tarȃduf diistilahkan dengan sinonim.
Sinonim dalam KBBI ialah dua kata atau lebih yang pada asasnya
mempunyai makna yang sama, tetapi berlainan bentuk luarnya.23
Seperti contoh kata stop sama maknanya dengan berhenti, atau kata
hubung, kait, keduanya memiliki satu pemahaman yang sama. Kata
sinonim sendiri berasal dari bahasa Yunani Kuno onoma yang berarti
nama dan syn yang berarti dengan. Dengan kata lain sinonim adalah
nama lain untuk benda yang sama.24
Sedangkan menurut istilah terminologi, Kridalaksana
menyebutkan, sinonim adalah “Bentuk bahasa yang maknanya mirip
atau sama dengan bentuk lain kesamaan itu berlaku bagi kata,
kelompok kata, atau kalimat, walaupun umumnya yang dianggap
sinonim hanyalah kata-kata saja”. Menurut Soedjito, Sinonim ialah:
dua kata atau lebih yang maknanya sama atau hampir sama (mirip).
Sinonim itu terdapat pada tataran kalimat, frase, kata, dan morfem
(Verhar, 1977:132). Kata al-mutarȃdif berasal dari masdar ف د الر (al-radfu) dalam
bentuk fi‟il ف د ر ي – ف د ر (radifa-yardafu) yang berarti mengikuti
sesuatu, tiap-tiap benda mengikuti benda lain. ي ف د ر ت م (mutaradifain)
dalam (QS. Al-Anfal: 9) diartikan dengan datang bertutut-turut,
apabila saling mengikuti dikatakan ف اد ر الت (al-tarāduf) bentuk isim
fa‟il (lil musyarakah).25
Al-Mutarȃdif (sinonim) ialah داح ن ع م ل د د ع ت م ال ظ ف ل ل ا “ dua kata
atau lebih, mempunyai satu arti” dalam kajian bahasa adalah lafazh
23
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, KAMUS BESAR BAHASA
INDONESIA (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 1045. 24
Rofiq Nurhadi, “Pro Kontra Sinonim Dallam al-Qur‟an”, Surya Bahtera:
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol.2, No.04 (2015), 2 25
Muhammad Ibn Makram Ibn „Ali Ibn Manzur, Lisȃn al-A‟rab (Kairo: Dȃr al-
Ma‟ȃrif, t.th), 1625.
27
yang berbeda-beda tetapi mempunyai makna yang sama, seperti ، د س أ ،ة ام س ، أ ث ي الل yang berarti singa, atau seperti ،ان ، اليم المهند،ف ي الس ام،س الح
yang berarti pedang atau ل، قيء ح الن ق ي ت، التحموت، العسل الشهد، ر ي م ال .yang berarti madu الزنابيلBeberapa pengertian lain mengenai al-tarȃduf ( ف اد ر الت ) adalah:
ة د اح ة ل ل ا د ل ر ث ك أ ف ي ت م ل ك د و ج ن ع ة ار ب ع و : ى ف اد ر الت
“al-Tarȃduf adalah dua kata atau lebih yang maknanya kurang
lebih sama. Dikatakan “kurang lebih” karena memang, tidak akan
ada dua kata berlainan yang maknanya persis sama”.
Sedangkan menurut Ya‟qub, فاد ر الت Ialah:
د اح ل و ل د ي م ل ع ات م ل ك ة د ع ق لا ط إ و ى أ , اه ن ع م ق ف ت إ و ظ ف ل ف ل ت ااخ م
“Berbeda arti pada satu lafaz, Atau Beragam lafaz tapi satu
makna”.
Menurut Umar:
د اح ن ع ي م ل ع ظ ف ل ن م ر ث ك أ ل د ي ن أ و ى ف اد ر الت
“Sinonim adalah banyak lafaz tapi satu arti”.
Pengertian al-mutarȃdif menurut para ahli :
1. Menurut al-Jurjânî, mutarâdif adalah; beberapa kata yang sama
mempunyai kesatuan pengertian dengan ciri-ciri tertentu. Tarȃduf
lawannya musytarak.
2. Menurut Imam Fakhruddin, tarȃduf ialah lafaz yang tunggal yang
memiliki satu pengertian.
28
3. Menurut Muhammad at-Tunjî dan Râjî al-Asmar, mutarâdif adalah
perbedaan kata dengan satu pengertian, seperti kata ث ي الل د س ال ةام س أ ام غ ر ض dan ار الد ل ز ن م ال ن ك س م ال ت ي الب kedua kata tersebut
masing-masing mempunyai satu pengertian.
4. As-Suyûthî mendefinisikan mutarâdif adalah beberapa kata dengan
satu arti, namun beliau lebih berhati-hati terhadap beberapa kata
yang mempunyai batasan tertentu, seperti kata ر ش الب ان س ن ال dan
الصارم ف ي الس kedua kata ini mempunyai batasan dari segi zat dan
sifatnya.
Berdasarkan penelitian para ahli, bahwa bahasa Arab merupakan
bahasa yang paling banyak mengandung lafazh mutarȃdifat. Untuk
makna pedang saja terdapat seribu lebih lafaz, untuk makna singa ada
lima ratus lafaz, untuk makna madu ada delapan puluh kata lebih, dan
untuk makna hujan, unta, air, sungai, cahaya, gelap juga untuk makna
yang menunjukan sifat seperti panjang, pendek, gagah, kikir dan lain-
lain yang dikenal oleh bangsa arab jahiliah masing-masing terdiri dari
sepuluh lafaz. Bahkan seorang orientalis mencoba mengumpulkan
kosa-kata yang berkaitan dengan unta dan berhasil mengumpulkan
lima ribu enam ratus empat puluh empat.
Jumhur ulama menyatakan bahwa mendudukkan dua murȃdif pada
tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh
syara‟. Kaidah para Jumhur ulama sebagai berikut:
ن م ل ك اع ق ي إ ع ر ش ع ال ط و ي ل ع م ق ي ا ل ذ إ ز و ي ر خ الآ ان ك م ي ف اد ر ال
“Mendudukkan dua muradhif itu pada tempat yang sama itu
diperbolehkan jika tidak ditetapkan oleh syara‟”.
29
Berdasarkan banyaknya pengertian di atas bisa disimpulkan bahwa
mutarȃdif adalah kata yang beragam namun memiliki arti atau makna
yang sama.
31
BAB III
PANDANGAN TENTANG KEBURUKAN
Segala bentuk tindakan manusia selalu mengacu pada pandangannya
tentang baik dan buruk. Nilai kebaikan dan keburukan senantiasa akan
menjadi sumber rujukan untuk melakukan berbagai tindakan dalam hidup.
Karena itu, pembahasan pandangan baik-buruk merupakan persoalan
mendasar dalam peri kehidupan manusia. Pada hakikatnya, apapun yang
dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya adalah kebaikan meskipun itu
keburukan, sedangkan keburukan yang diperbuat oleh manusia adalah
pelanggaran. Maka Allah Swt selalu memberi petunjuk kepada manusia
agar selalu berbuat baik, karena kebaikan dapat menghapus keburukan.
A. Defenisi Keburukan
Keburukan merupakan sesuatu yang dibenci dan harus
ditinggalkan. Buruk diartikan sebagai sesuatu yang tidak baik, yang
tidak seperti seharusnya, tak sempurna dalam kualitas, di bawah
standar, kurang dalam nilai, tak mencukupi, keji, jahat, tidak
bermoral, tidak menyenangkan, tidak dapat disetujui, tidak dapat
diterima, sesuatu yang tercela, lawan dari baik, dan perbuatan yang
bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku. Oleh
karena itu, kehadirannya tidak disukai oleh manusia.1
Perilaku keburukan adalah hina dan sesuatu yang dilarang oleh
petunjuk agama dan harus ditinggalkan dengan berbagai bentuk dan
jenisnya, namun dalam kehidupan beragama umat Islam di Indonesia
saat ini, kata dan perbuatan buruk sering terdengar. Terkadang pula
muncul ungkapan yang salah dalam mengklaim seseorang atau suatu
1 Abuddin Nata, AKHLAK TASAWUF (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2012), 105.
32
kelompok dikarenakan pola pikir dan kurangnya pengetahuan
sehingga sesuatu yang baik dianggap buruk dan buruk dianggap baik.
Tentu saja sikap dan istilah buruk yang dilontarkan oleh individu atau
suatu kelompok kepada kelompok lain tersebut menimbulkan
permasalahan tersendiri dalam konteks hubungan sosial.
Istilah buruk juga tidak sangat menyenangkan bagi orang yang
dituduh dengan ungkapan tersebut, bahkan tidak jarang istilah
tersebut bisa menyulut konflik dan mengobarkan permusuhan antara
sesama pemeluk suatu agama dengan kata lain terjadilah keburukan
dalam hal interaksi sosial. Maka perlu adanya solusi dengan
pengkajian yang mendalam sesuai petunjuk al-Qur’an.
B. Sumber keburukan
Sumber orang melakukan keburukan adalah karena dua faktor.
Pertama, faktor internal yaitu adanya keinginan untuk berbuat buruk
karena kelalaian atau kebodohannya dan tidak mampu menguasai
hawa nafsunya.2 Di antara faktor internal yaitu:
1) Kebodohan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan
sifat-sifat bodoh, ketidaktahuan, kekeliruan, dan kesalahan.3
Kebodohan adalah keadaan dan situasi di saat kurangnya
pengetahuan terhadap suatu informasi yang bersifat subjektif atau
lebih singkatnya minim pengetahuan.
Kata “bodoh” adalah kata sifat yang mengambarkan keadaan
di saat seseorang tidak menyadari suatu hal, tetapi memiliki
2 Abd Haris, Etika Hamka Konstruksi Etik Berbasis Rasional-Religius
(Yogyakarta: LKiS, 2010), 117-118. 3 Tim penyusun kamus pusat bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi.3,
cet.4 (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 160.
33
kemampuan untuk memahaminya. Salah satu ayat yang
membicarakan kebodohan ialah Q.S. al-Isra’/17: 36,
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya”.
Kebodohan menjadi salah satu sumber internal keburukan
dikarenakan jika seseorang melakukan suatu hal dengan minim
pengetahuan maka perbuatan yang dilakukannya cenderung
memiliki potensi kesalahan.
2) Kesombongan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan sifat dari
kata sombong, keangkuhan, kecongkakan, takabbur.4 Sombong
adalah menghargai diri secara berlebihan, congkak, pongah hal ini
merupakan prilaku buruk. Sebagaimana diungkapkan dalam QS.
al-Isra’/17: 37,
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan
sombong, karena Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat
menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai
setinggi gunung”.
4 Tim penyusun kamus pusat bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,1083.
34
3) Putus asa
Putus asa sama dengan hilang/habis harapan, menyerah dengan
keadaan, tidak mempunyai jiwa semangat lagi dan cenderung
menjerumuskan ke dalam perbuatan buruk seperti mencuri, bunuh
diri, dll. Telah disebutkan al-Qur’an surah al-Zumar/39:53,
“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas
terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari
rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”.
4) Mengikuti hawa nafsu
Hawa nafsu adalah sebuah perasaan atau kekuatan emosional
yang besar dalam diri seorang manusia yang berkaitan secara
langsung dengan pemikiran atau fantasi seseorang. Hawa nafsu
merupakan kekuatan psikologis yang kuat yang menyebabkan
suatu hasrat atau keinginan intens terhadap suatu objek atau situasi
demi pemenuhan emosi tersebut.5 Dengan berbekal nafsu manusia
dapat menjalankan kehidupannya secara wajar sebagai makhluk
hidup yang hidup di alam dunia. Berbagai kebuTuhan penting
manusia, seperti makan, minum, tidur, menikah, dan lain
sebagainya, semua itu melibatkan nafsu di dalamnya.
Secara alamiah nafsu bukanlah hal yang mutlak buruk. Namun
demikian, nafsu memiliki kecederungan-kecenderungan untuk
menyimpang. Oleh karena itu, dalam Islam terkandung anjuran
5 Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Diakses pada 8 Februari, 2019,
https://id.wikipedia.org/wiki/Hawa_nafsu
35
kuat untuk mengendalikan nafsu, agar selamat dari jebakan dan
godaan-godaannya yang menjerumuskan.
Usaha mengendalikan nafsu ini tentu saja bukan perkara yang
mudah. Karakter nafsu yang tak tampak dan kerapkali membawa
efek kenikmatan menjadikannya sebagai musuh paling sulit untuk
diperangi. Rasulullah sendiri mengistilahkan ikhtiar pengendalian
nafsu ini dengan “jihad”, yakni jihâdun nafsi. Nafsu menjadi
musuh paling berat dan berbahaya karena yang dihadapi adalah
diri sendiri. Ia menyelinap ke dalam diri hamba yang lalai, lalu
memunculkan perilaku-perilaku buruk, seperti ‘ujub, pamer, iri,
meremehkan orang lain, dusta, khianat, memakan penghasilan
haram, dan seterusnya. Sebagaimana QS. Yûsuf/12:53,
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena
Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya
Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”
5) Cinta dunia6.
Cinta dunia merupakan salah satu bentuk penyakit wahn. Secara
bahasa wahn bermakna dha’if (lemah), baik secara materi atau
maknawi, wahn juga bisa diartikan jubn (takut atau pengecut).
Wahn identik dengan cinta dunia dan takut mati, yang keduanya
merupakan bentuk penyakit yang bisa menjangkit umat secara
6 Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Sukses Akhirat Panduan Amal Meraih Surga
terj. Muhammad Isnaini (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2004), 222.
36
individu maupun berkelompok (komunitas) dan penyakit ini
menjerumuskan umat ke dalam kekalahan dan kehinaan.
Hakikat dari cinta dunia berarti sangat tinggi obsesi terhadap
dunia, hatinya bergantung kepada dunia, terlalu jauh mengagumi
keindahan dan kemewahan dunia, berjalan di belakang dunia,
sangat rakus terhadap dunia, angan-angan dan cita-cita terpusat
kepada dunia, puncak harapan ada pada dunia, merasa kekal di
dunia.
Dampak dari cinta dunia sibuk mengumpulkan harta,
menempuh segala cara mendapatkannya yang halal maupun haram,
meninggalkan jihad, kikir dan bakhil, thama’ (rakus), curang
dalam mu’amalat, dll. Semua itu merupakan prilaku buruk yang
diakibatkan oleh cinta dunia. Dalam QS. Al-Insan/76:27 Allah
telah berfirman,
“Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia
dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka, pada hari
yang berat (hari akhirat)”.
6) ‘Ujub
‘Ujub diartikan sebagai perilaku atau sifat mengagumi diri
sendiri dan senantiasa membanggakan dirinya sendiri. Sifat ‘ujub
adalah salah satu sifat buruk atau sifat yang harus dihindari oleh
umat muslim karena sifat ini bisa membuat seseorang menjadi
sombong maupun riya’.
Imam al-Ghozali menyebutkan bahwa perasaan ‘ujub adalah
kecintaan seseorang akan suatu karunia yang ada pada dirinya dan
merasa memilikinya sendiri serta tidak menyadari bahwa karunia
37
tersebut adalah pemberian Allah swt. Seperti diungkap QS. al-
Luqman:18,
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi
dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang sombong lagi membanggakan diri”.
Kedua, faktor eksternal yaitu adanya semua dorongan dari
luar (maksudnya selain dari dalam diri) karena ada pengaruh
unsur lain yang memang sudah buruk.7 Beberapa faktor eksternal
yang menyebabkan munculnya keburukan meliputi:
1) Godaan setan seperti diungkap dalam QS. al-Baqarah/2: 169,
“Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat
jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak
kamu ketahui”.
2) Mengikuti nenek moyang yang berbuat buruk seperti diungkap
dalam QS. al-A’raf/7: 28,
7 Abd Haris, Etika Hamka Konstruksi Etik Berbasis Rasional-Religius
(Yogyakarta: LKiS, 2010), 119-120.
38
“Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka
berkata: "Kami mendapati nenek moyang Kami mengerjakan
yang demikian itu, dan Allah menyuruh Kami
mengerjakannya." Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak
menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." mengapa kamu
mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?”
3) Tertipu dunia seperti diungkap dalam QS. Al-An’am/6: 70,
“Dan tinggalkan lah orang-orang yang menjadikan agama
mereka sebagai main-main dan senda gurau dan mereka telah
ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah (mereka) dengan
Al-Qur’an itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke
dalam neraka, karena perbuatannya sendiri. tidak akan ada
baginya pelindung dan tidak pula pemberi syafa'at selain
daripada Allah. dan jika ia menebus dengan segala macam
tebusanpun, niscaya tidak akan diterima itu daripadanya.
mereka Itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka.
bagi mereka (disediakan) minuman dari air yang sedang
mendidih dan azab yang pedih disebabkan kekafiran mereka
dahulu”.
4) Mengikuti pelaku dosa sebagaimana diungkap dalam QS. Al-
Syu’ara/26 :99,
“Dan Tiadalah yang menyesatkan Kami kecuali orang-orang
yang berdosa”.
39
5) Teman yang buruk seperti ditunjukkan dalam QS. al-Zukhruf/43:
36,
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan yang Maha
Pemurah (Al-Qur’an), Kami adakan baginya syaitan (yang
menyesatkan) Maka syaitan Itulah yang menjadi teman yang
selalu menyertainya”.
6) Thaghut.
Yang dimaksud thagut ialah apa saja yang disembah selain dari
Allah swt seperti berhala dll. Sebagaimana terungkap dalam QS.
al-Nahl/16:36,
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah
Thaghut itu", Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi
petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang
telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka
bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang
mendustakan (rasul-rasul)”.
Menurut Hamka sumber kebaikan ataupun keburukan itu justru
dari akal yang selain dari wahyu, karena akal itulah yang dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Hamka
menyebutkan meski ada intuisi, sebenarnya yang justru berperan
adalah akalnya. Beliau mengatakan seperti itu karena setengah dari
ahli filsafat berpendapat bahwa intuisilah sumber dari kebaikan
40
maupun keburukan. Dengan demikian, maka Hamka lebih cenderung
rasionalistik dalam melihat nilai baik dan buruk.8
C. Jenis Keburukan
Dari uraian mengenai keburukan, keburukan dalam al-Qur’an
diungkapkan dengan berbagai term yang berbeda-beda, berikut
klasifikasi keburukan,
1. Keburukan dalam akidah
Dalam bahasa Arab akidah berasal dari kata al-'aqdu ( د العق )
yang berarti ikatan, at-tautsiiqu ( الت وثيق) yang berarti kepercayaan
atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu ( الإحكام) yang artinya
mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah ( الربط بق وة) yang berarti mengikat dengan kuat. Sedangkan menurut istilah
akidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan
sedikit pun bagi orang yang meyakininya.
Sebagai seorang muslim harusnya memiliki keyakinan dan
keimanan yang kuat. Banyak ayat al-Qur’an yang mengungkapkan
tentang keburukan yang berkaitan dengan akidah seperti
perbuatan zalim, kufur, munafik, syirik, ma’siat (tidak patuh), dan
sikap mengingkari Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, dan hari kiamat.
2. Keburukan dalam ibadah
Kata ibadah adalah bentuk isim masdar dari kata ‘ ي عب د –عبد ,
yang secara bahasa artinya merendahkan diri dan tunduk akan
aturan-aturan agama. Sedangkan menurut istilah Ibadah adalah
suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah
dan diridhai-Nya', baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang
8 Abd Haris, Etika Hamka Konstruksi Etik Berbasis Rasional-
Religius (Yogyakarta: LKiS, 2010), 117-118.
41
tersembunyi (batin) maupun yang tampak (lahir). Maka salat,
zakat, puasa, haji, memanjatkan do’a, berdzikir, membaca Al
Qur’an dan lain sebagainya adalah termasuk bagian dari ibadah.
Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, tawakal
kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih sayang)-Nya, merasa
takut dari siksa-Nya dan lain sebagainya.
Keburukan yang berkaitan dengan ibadah seperti sifat riya’.
Orang yang riya’ dalam beribadah sebenernya tidak memiliki
keyakinan yang sempurna terhadap Allah. Riya’ menunjukkan ia
masih mengharapkan penghargaan dan penilaian dari selain Allah
Swt.
3. Keburukan dalam sosial
Pengertian sosial adalah semua hal yang berkenaan dengan
masyarakat atau sifat-sifat kemasyarakatan yang memperhatikan
kepentingan umum. Keburukan yang berkaitan dengan sosial
seperti menuduh atau memfitnah seseorang, sombong, berkata
dengan perkataan yang buruk, menghina dan mencela dengan
panggilan yang buruk.
4. Keburukan dalam logika
Logika berasal dari kata Yunani kuno, logos yang berarti hasil
pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan
dinyatakan dalam bahasa. Akal merupakan potensi yang diberi
Allah hanya kepada manusia. Namun, dalam kehidupan di dunia
ternyata tidak semua manusia dapat menggunakan akalnya secara
baik sehingga menjerumuskan mereka dalam keburukan.
Keburukan yang berkaitan dengan logika atau pemikiran di
antaranya adalah mengikuti sesuatu tanpa ilmu, kebodohan, dan
sombong dengan pengetahuannya.
42
5. Keburukan dalam hukum
Hukum adalah suatu sistem peraturan yang di dalamnya
terdapat norma-norma dan sanksi-sanksi yang bertujuan untuk
mengendalikan perilaku manusia, menjaga ketertiban dan
keadilan, serta mencegah terjadinya kekacauan. Ada juga yang
mengatakan bahwa definisi hukum adalah suatu peraturan atau
ketentuan yang dibuat, baik secara tertulis maupun tidak tertulis,
dimana isinya mengatur kehidupan bermasyarakat dan terdapat
sanksi/ hukuman bagi pihak yang melanggarnya. Keberadaan
hukum bertujuan untuk melindungi setiap individu dari
penyalahgunaan kekuasaan serta untuk menegakkan keadilan.
Hukum merupakan aturan yang diberikan Allah kepada
manusia agar dapat menata kehidupan dengan baik dan benar.
Keburukan yang berkaitan dengan hukum seperti tidak mau
berhukum dengan hukum yang ditetapkan Allah dan berupaya
mengubah aturan-aturan Allah demi memperoleh keuntungan bagi
diri sendiri atau kelompoknya dengan dorongan hawa nafsu.
6. Keburukan dalam ekonomi
Kata ekonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikos yang
artinya keluarga/ rumah tangga, dan nomos yang artinya
peraturan/ hukum. Sehingga arti ekonomi secara harfiah adalah
suatu manajemen rumah tangga atau aturan rumah tangga.
Ekonomi dapat diartikan sebagai kegiatan manusia yang
berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi atau jual
beli dan perdagangan. Keburukan yang berkaitan dengan ekonomi
seperti kecurangan dalam hal timbangan saat berdagang atau jual-
beli, kikit, riya’ dalam bersedekah, suap, korupsi, berjudi, memilih
sesuatu yang jelek untuk diinfakkan, dan tamak.
43
D. Akibat dan Solusi Dari Keburukan
Keburukan dengan berbagai ragamnya mempunyai akibat
tersendiri bagi pelakunya. Akibat tersebut berkaitan dengan
perbuatan mereka sendiri dan berkenaan langsung dengan
pelakunya. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa setiap keburukan
akan berakibatkan keburukan pula, hal ini diungkap dalam beberapa
ayat dengan term sayyiah yaitu di antaranya QS. al-Nisa/4: 78, QS.
al-An’âm/6: 160, QS. Yunus/10: 27, QS. al-Naml/27: 90, QS. al-
Qasas/28: 54, QS.Ghafir/40: 40, QS. al-Syura/42: 40, dan QS. al-
Nisa/4: 110. Akibat dari perbuatan tersebut adalah beragam hal
yang akan mereka alami yaitu: mendapat azab, baik di dunia maupun
di akhirat.9 Berbagai akibat tersebut dibedakan menjadi empat
macam, yaitu sebagai berikut.
Pertama, Akibat Takwini atau Wad’i yaitu akibat perbuatan dosa
yang berkaitan dengan hukum penciptaan dan hukuman yang
dirasakan secara langsung. Kedua, Akibat Praktis yaitu sebagaimana
pada zaman Nabi dahulu, berbagai azab dari langit turun
menimpa sejumlah kaum hingga membinasakan mereka.10
Al-
Qur’an memberikan kesaksian atas peristiwa tersebut dalam surah
al-A’raf/ 7: 4. Ketiga, akibat Batin yaitu akibat perbuatan buruk
atau dosa yang berkaitan dengan efek-efek yang akan merusak
hati, mengotori cermin hati, serta melenyapkan kemampuan
untuk meningkatkan kesempurnaan maknawi, menimbulkan
keresahan hati, tidak tenang, depresi, rasa takut, dan gangguan
jiwa lainnya. Keempat, Akibat akhirat yaitu azab Allah yang akan
ditimpakan kepada orang-orang yang berbuat keburukan di alam
9 M. Quraish Shihab, Tafsiral-Mishbah, jilid 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2000),
607-608. 10
Iqra’ Firdaus, Inilah Akibat Dosa-Dosa Besar di Dunia (Yogyakarta: Diva
Press, 2011), 44.
44
setelah kematian kelak seperti azab neraka. Sebagaimana QS. al-
Sajdah/ 32: 21.
Selain akibat-akibat yang telah disebutkan di atas, akibat lain dari
melakukan keburukan dalam sosial ialah nama baiknya tercoreng atau
telah dicap buruk sehingga dijauhi atau diasingkan bahkan tidak
mendapatkan kepercayaan oleh keluarga, teman, dan masyarakat
sekitar.
Al-Qur’an memberikan solusi terhadap keburukan yaitu kesadaran
untuk beriman, bertakwa kepada Allah seperti QS. al-Anfal/8: 29; al-
Tahrim/66: 8; al-Thalaq/65: 5, mengingat Allah, memohon ampun
(QS. Al-Anfal /8: 33) perlindungan kepada-Nya (QS. Ali Imran/3:
193), bertaubat sebagaimana diungkap QS. Al-Baqarah/2: 106, dan
beramal sholeh QS. Hud/11: 114.
Selain itu ada solusi lain yang dapat diberikan di antaranya adalah
sebagai berikut.11
Pertama, mengingat akibat yang akan diperoleh
jika melakukan perbuatan tersebut. Kedua, berupaya untuk
menghindari tempat-tempat yang dapat membawa kepada perbuatan
maksiat. Ketiga, mengetahui dan memahami kisah-kisah orang yang
mengikuti dan melakukan kemaksiatan, setelah itu berusaha untuk
menjauhi dan meninggalkan. Keempat, mengingatkan diri bahwa
condong dan merasa nyaman kepada dunia dapat membuat seseorang
lalai dan lupa hakikat keberadaannya di dunia yaitu untuk mengabdi
kepada Allah. Kelima, berjuang untuk selalu menjaga diri dari
hal-hal yang dapat membawanya terjerumus dalam kemaksiatan, di
11
Aibdi Rahmat, Kesesatan Dalam al-Qur’an (Yogyakarta: Putaka Pelajar,
2007), 207-208.
Ibn Qayyim al-Jauziyah, Mengetuk Pintu Ampunan Meraih Berjuta Anugerah,
terj. al-Jawâib al-Kâfî Liman Sa’ala ‘An Dawâ’ asy-Syâfî oleh Futuhal Arifin (Jakarta:
Gema Madinah Makkah Pustaka, 2006), 23-25.
45
antaranya dengan berbuat adil, jujur, konsisten dalam menegakkan
hukum positif yang telah diatur, meneladani nilai-nilai spiritualitas.
E. Lafaz-Lafaz Yang Menunjukkan Makna Keburukan
Dalam memaparkan dan menjelaskan keburukan, al-Qur’an
menggunakan banyak istilah (term) dengan gaya dan ragam bahasa
yang berbeda.12
Setiap term memiliki kecenderungan makna yang
berbeda-beda. Berikut penjelasannya:
1. Khabīṡ
Kata Khabīṡ berasal dari kata خ بثا -يب ث –خب ث yang artinya
busuk,keji, buruk, jahat dan kata Khabīṡ ( خبيث) artinya yang
jahat.13
Khabīṡ ( خبيث) merupakan bentuk sifat al-musyabbah. Kata
khabits lebih cenderung berkaitan dengan makanan yang buruk
atau haram dan najis atau yang kotor-kotor.
2. Syarrun
Kata syarrun berasal dari kata شرا وشررا –يشر –شر atau -شر شرا -يش ر yang artinya jahat, tidak baik, buruk atau memburukkan,
menghinakan (orang).14
Syarrun ( شر) merupakan bentuk mashdar.
Dalam kitab al-mausȗ’ah al-Qur’anniyah kata syarr masih ada
makna lain yaitu, peperangan, menolak, menampakkan, iblis, dosa,
kerusakan, naik darah, yang dibenci, merugikan, dan
menyengsarakan.15
12
Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam al-Qur’an, terj.
Agus Fahri Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), 280-290. 13
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Ciputat: PT. MAHMUD YUNUS
WA DZURRIYAH, 2010), 113. 14
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, 193 15
M. Quraish Shihab, ENSIKLOPEDIA AL-QUR’AN: Kajian Kosakata (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), 948.
46
Dari makna di atas dapat dipahami bahwa syarr mempunyai
banyak arti, namun makna yang sering dipakai adalah perbuatan
jahat lawan dari perbuatan kebaikan, dan rata-rata makna dari
keseluruhannya menunjukkan makna yang tidak baik dan
merugikan orang lain.
3. Żillah
Kata Żillah berasal dari kata ذلة – يذل – ذل yang artinya hina,
rendah.16
Żillah ( ذلة) merupakan bentuk mashdar. Kata Żillah lebih
cenderung tertuju kepada orang yang memperbuat keburukannya
atau sering disebut ahli Żillah (pelaku perbuatan buruk). Ayat-ayat
yang berkaitan dengan dzilah rata-rata menggambarkan putusnya
hubungan dengan Tuhan dan insan, akibat diperbudak hawa nafsu
sehingga kemudian menjadi kikir, tamak, sombong, ‘ujub.
4. Sayyiah
Kata sayyiah berasal dari kata سواء و سوءا –يس وء –ساء yang
artinya menyusahkan.17
Sayyiah (سيئة) sendiri memiliki arti
kejahatan, kesalahan, keburukan yang berkaitan dengan
kesempitan atau kesusahan. Biasanya sayyiah digunakan untuk
siksaan.
16
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Ciputat: PT. MAHMUD YUNUS
WA DZURRIYAH, 2010), 134. 17
17
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, 183.
47
BAB IV
ANALISIS KATA-KATA KEBURUKAN PADA AYAT AL-QURAN
DALAM TAFSIR
Dalam memaparkan dan menjelaskan keburukan, al-Qur‟an
menggunakan banyak istilah (term) dengan gaya dan ragam bahasa yang
berbeda1 serta menyesuaikan dengan konteks turunnya suatu ayat. Setiap
term memiliki kecenderungan makna yang berbeda-beda begitupun
dengan penafsirannya dalam ayat.
A. Analisa Terhadap Kata Khabīṡ
1. Surah al-Baqarah ayat 267.
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari
apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah
kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan
ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
Ayat ini menjelaskan tentang kewajiban memilih harta yang
baik bukan yang buruk ketika hendak berinfak dijalan Allah Swt,
1 Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam al-Qur‟an, terj.
Agus Fahri Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), 280-290.
48
baik infak tersebut berupa zakat wajib maupun sedekah sunnah.
Karena tujuannya adalah mendekatkan diri kepada Allah Swt dan
mencari pahala dengan beramal baik.
Para ulama berbeda pendapat tentang maksud infak dalam ayat
ini. Ali bin Abi Thalib, Ubaidah as-Salmani dan Ibn Sirrin
berpendapat bahwa infak dalam ayat ini adalah zakat wajib.
Sedangkkan, al-Barra‟ bin „Azib, Hasan al-Bashri dan Qatadah
berpendapat bahwa infak dalam ayat ini adalah sedekah sunnah.
Namun, secara zhahir ayat ini bersifat umum mencakup zakat
wajib dan sedekah sunnah. Jika zakat wajib maka jumlah zakat
yang dikeluarkan sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan. Jika
sedekah sunnah tidak terikat dengan jumlah yang harus
dikeluarkan.2
Al-Hakim, Tirmidzi, Ibn Majah, dan yang lainnya
meriwayatkan dari al-Barra‟ bin „Azib, ia berkata, “ayat ini turun
berkaitan dengan kami, kaum Anshar. Kami adalah kaum yang
memiliki pohon kurma. Salah satu dari kami menginfakkan buah
kurma sesuai hasil panen yang didapat. Ada sebagian orang yang
membawa setandan buah kurma yang jelek untuk digantungkan
ditempat yang disediakan untuk orang-orang miskin. Banyak di
antara buahnya yang bijinya tidak keras dan ada yang kering
sebelum matang, sehingga daging buahnya tipis. Ada juga yang
membawa setandan kurma yang telah rusak. Ibn Abi Hatim
meriwayatkan dari Ibn Abbas r.a ia berkata, “ada sebagian para
sahabat membeli makanan yang murah lalu mereka sedekahkan,
lalu turunlah ayat ini.”3
2 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.2
(Depok: GEMA INSANI, 2013), 88. 3 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.2
(Depok: GEMA INSANI, 2013), 86.
49
Sebuah riwayat an-Nasa‟i dari Abu Umamah Ibn Sahl Ibn Hanif
tentang tafsir firman Allah Swt kalimat “Dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya.” Di
antara yang buruk ini adalah ju‟rur dan hubaiq (dua warna yang
menandakan kurma sudah buruk), Rasulullah saw pun melarang
kedua jenis kurma ini untuk dijadikan sebagai infak atau zakat.4
Tidak jauh berbeda dengan perkataan Ath-Thabari, “maksud
firman-Nya (yang buruk-buruk) artinya yang jelek dan
tidak bagus, Dia berfirman, “Janganlah kamu sengaja mengambil
yang jelek untuk disedekahkan dari hartamu, akan tetapi
bersedekahlah dengan yang baik-baik”. Kata mengandung
dua makna, pertama sesuatu yang tidak mengandung manfaat sama
sekali, makna kedua sesuatu yang tidak disukai/dibenci oleh jiwa.
Jiwa yang dimaksud disini ialah jiwa yang baik dan sehat.
Sesungguhnya Allah Swt ialah Dzat Yang Maha Baik dan Dia
tidak berkenan menerima sesuatu yang dibenci oleh jiwa kalian.
Bagaimana kalian bisa memberi infak dengan sesuatu yang jelek,
padahal kalian juga tidak menyukainya dan tidak mau
menerimanya.5
2. Surah âli „Imrân ayat 179.
4 Imam al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkaam al-Qur‟an terj.Dudi Rosyadi, dkk, juz.3
(Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 716. 5 Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari, Jami‟ Al Bayan an Ta‟wil Ayi
al-Qur‟an terj.Akhmad Affandi, juz.4 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 660.
50
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang
beriman dalam Keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia
menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin).
dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu
hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang
dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu
berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu
beriman dan bertakwa, Maka bagimu pahala yang besar.”
As-Suddi dan lainnya berkata, “Rasulullah bersabda,
“Diperlihatkan kepada umatku dalam bentuknya masing-masing,
seperti halnya diperlihatkan kepada Adam. Aku diberi tahu siapa-
siapa orang yang beriman kepadaku dan siapa-siapa orang yang
kafir.” Lalu hal ini sampai ke telinga kaum munafik, lalu mereka
mengejek dan berkata, “Muhammad mengira bahwa dirinya
mengetahui siapa-siapa orang yang beriman dan siapa-siapa yan
kafir, padahal kami berada bersamanya, namun ia tidak tahu siapa
kami sebenarnya.” Lalu Allah menurunkan ayat ini. 6
Al-Kalbi berkata, “orang Quraisy berkata, “Wahai Muhammad,
kamu mengira bahwa orang yang menentangmu akan masuk
neraka dan Allah murka kepadanya. Sedangkan orang yang
mengikuti agamamu adalah penduduk surga dan Allah ridha
kepadanya. Kalau begitu, coba beritahukan kepada kami siapa-
siapa orang yang beriman kepadamu dan siapa-siapa yang kufur
dan tidak beriman kepadamu.” Lalu Allah menurunkan ayat ini.
Abu al-„Aliyah berkata, “kaum mukminin meminta untuk
diberikan tanda agar dapat membedakan antara kaum mukmin
dengan kaum munafik. Lalu, Allah pun menurunkan firmannya,
Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang
6 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.2
(Depok: GEMA INSANI, 2013), 513.
51
beriman daam keadaan kamu sekarang ini, para sahabat berbeda
pendapat mengenai ditunjukkan kepada siapa ayat tersebut. Ibn
Abbas, Adh-Dhahak, Muqatil, Al Kalbi, dan mayoritas ahli tafsir
mengatakan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada kaum kafir dan
kaum munafik.7
Kata artinya menyisihkan, membedakan, mengeluarkan,
memisahkan. Kata disini maksudnya orang munafik, dari orang mukmin, yang berarti kata disini merupakan pembahasan yang non materi yaitu tertuju pada sifat munafik itu bukan orangnya. Perbedaan antara orang munafik dengan orang
mukmin melalui pembebanan perintah yang berat, seperti perang
uhud. Maka dapat dikatakan bahwa keimanan adalah unsur utama
bagi baik dan buruknya seseorang.8
Ath-Thabari berkata, Allah swt. Berfirman, “Tidaklah Dia
membiarkan orang-orang beriman dalam keadaan seperti kalian ini,
yang mukmin bercampur dalam keadaan samar dengan yang
munafik, dan tidak bisa dibedakan antara keduanya, sehingga
Allah swt. Membedakan mana yang buruk dan mana yang baik.
Orang yang buruk adalah orang munafik yang menyembunyikan
kekufurannya, sedangkan orang yang baik adalah seorang mukmin
yang ikhlas dan benar-benar beriman.” Allah swt membedakan
mereka dengan berbagai macam cobaan, seperti yang terjadi pada
perang Uhud, kemenangan kaum musyrik dan kekalahan kaum
mukminin.9
7 Imam al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkaam al-Qur‟an terj.Dudi Rosyadi, dkk.
(Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 720. 8 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , v.2 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 292
9 Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari, Jami‟ Al Bayan an Ta‟wil Ayi
al-Qur‟an terj.Akhmad Affandi, juz.6 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 230.
52
3. Surah an-Nur ayat 26
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan
laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula),
dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik
dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik
(pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang
dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka
ampunan dan rezki yang mulia (surga).”
Ayat الخبيثات للخبيثين dan الطيبات للطيبين dalam ayat ini bermakna
wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji,
maksudnya adalah mereka yang melakukan perbuatan keji adalah
untuk laki-laki yang keji, dan wanita-wanita yang melakukan
perbuatan baik adalah untuk laki-laki yang baik.10
Mujahid, Ibn Jubair, Atha‟ dan mayoritas para ahli tafsir
mengatakan bahwa makna firman Allah tersebut adalah perkataan
yang buruk untuk orang-orang yang buruk, dan orang-orang yang
buruk untuk perkataan yang buruk. Demikian pula perkataan yang
baik untuk orang-orang yang baik, dan orang-rang yang baik untuk
perkataan yang baik.11
Maksud ayat diturunkan berkenaan
dengan mereka yang memfitnah istri nabi Muhammad saw., yaitu
„Aisyah ra dan Shafwan. Selain itu, ayat ini menunjukkan kesucian
'Aisyah r.a. dan Shafwan ibn al-Mu‟aththal dari segala tuduhan
10
Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari, Jami‟ Al Bayan an Ta‟wil Ayi
al-Qur‟an terj.Akhmad Affandi, juz.19 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 66. 11
Imam al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkaam al-Qur‟an terj.Dudi Rosyadi, dkk,
juz.12 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 538.
53
yang ditujukan kepada mereka. Rasulullah adalah orang yang
paling baik Maka pastilah wanita yang baik pula yang menjadi istri
beliau.12
Diriwayatkan dari Ali ibn Zaid ibn Jud‟an, dari neneknya, dari
„Aisyah, dia berkata, “Aku telah diberikan sembilan perkataan
yang tidak diberikan kepada seorang wanita pun, yaitu:
1) Jibril as pernah turun dengan menyerupai rupaku saat dia
berkunjung, ketika memerintahkan Rasulullah saw untuk
mengaiwini aku.
2) Rasuullah saw., mengawiniku dalam keadaan perawan,
sementara beliau tidak pernah mengawini seorang pun dalam
keadaan perawan selain aku.
3) Rasulullah saw., wafat dan kepalanya berada dalam
pelukanku.
4) Rasulullah dimakamkan dirumahku.
5) Malaikat mengelilingi rumahku.
6) Apabila wahyu diturunkan kepada beliau dan saat itu beliau
sedang bersama keluarganya, maka mereka menyingkir dari
sisinya. Tapi apabila wahyu diturunkan kepada beliau dan saat
itu aku sedang bersama beliau di dalam selimut, maka beliau
tidak menjauhkan aku dari sisinya.
7) Aku adalah anak perempuan dari khalifah sekaligus
sahabatnya.
8) Pembebasanku dalam kasus tuduhan bohong berbuat zina
turun melalui wahyu.
9) Aku diciptakan sebagai wanita baik dan menjadi istri laki-laki
yang baik.
12
Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari, Jami‟ Al Bayan an Ta‟wil Ayi
al-Qur‟an terj.Akhmad Affandi, juz.19 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 74.
54
10) Aku dijanjikan ampunan dan rezeki yang mulia.” Maksud
„Aisyah adalah firman Allah swt., ي ر ك ق ز ر و ة ر ف غ م م له “bagi
mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).”13
B. Analisa Terhadap Kata Syarrun
1. Surah al-Baqarah ayat 216.
“Diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah
sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu,
Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Ibnu Abbas berkata: ketika Allah mewajibkan jihad atas kaum
muslimin, mereka merasa keberatan dan tidak suka, sehingga
turunlah ayat ini.
Wahai kaum muslimin, kamu diwajibkan memerangi orang-
orang kafir, dan ini merupakan fardhu kifayah akan tetapi jika
musuh telah memasuki negeri Islam maka hukum memerangi
mereka berubah menjadi fardhu „ain ini pendapat para jumhur
ulama. Atha‟ berkata: barperang diwajibkan atas tiap individu dari
para sahabat nabi Muhammad saw., tapi setelah syariat islam turun
secara sempurna, ia menjadi fardhu kifayah.
Pada dasarnya berperang merupakan salah satu hal terberat
bagi manusia untuk dilaksanakan sebab ia membutuhkan
13
Imam al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkaam al-Qur‟an terj.Dudi Rosyadi, dkk,
juz.12 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 539-540.
55
pengorbanan harta dan membuat nyawa terancam. Padahal dibalik
itu ia mengandung kebaikan dan manfaat untuk masa depan, sebab
peperangan itu menghasilkan salah satu dari dua yaitu menang dan
harta rampasan, atau mati syahid dan pahala serta keridhaan Allah.
Adakalanya kita sebagai manusia menyukai sesuatu, misalnya suka
untuk tidak ikut perang. Padahal sebenarnya itu buruk, sebab tidak
berperang itu akan menyebabkan kehinaan, kemiskinan, tidak
mendapat pahala, musuh mendominasi, dilecehkan oleh musuh.
Dan Allah mengetahui bahwa berperang lebih baik bagimu di
dunia ini, dan Allah hanya memerintahkan perkara yang
mengandung kebaikan dan maslahat bagimu. Kamu tidak
mengetahui apa yang diketahui Allah, sebab keterbatasan
ilmumu.14
Ayat ini mengingatkan manusia agar berserah diri kepada Allah
sekaligus memotivasi agar hidup seimbang, tetap optimis ketika
ditimpa kesedihan, dan tidak larut dalam kesenangan yang
menjadikannya lupa daratan sehingga mengakibatkan
kemudharatan.15
Manusia hanyalah makhluk ciptaan Allah, maka
yang lebih mengetahui tentang manusia adalah penciptanya.
Kembalikan semua kepada Allah.
2. Surah al-Isra‟ ayat 83.
“Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia
niscaya berpalinglah dia; dan membelakang dengan sikap yang
sombong; dan apabila Dia ditimpa kesusahan niscaya Dia
berputus asa.”
14
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk
(Depok: GEMA INSANI, 2013), 487. 15
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, v.1 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 558.
56
Allah swt menjelaskan dalam ayat ini bahwa jika Allah
memberi kenikmatan pada manusia berupa kesehatan, dan rezeki,
manusia itu berpaling dari mengingat dan taat kepada Allah, tidak
melaksanakan perintah-Nya.16
Hal ini merupakan kekurangan
manusia sebagai fitrahnya (beribadah kepada Allah) itu sendiri,
kecuali yang dilindungi oleh Allah.
Allah berfirman ان ب ه ن سان أع رض ونأى ب نا على ال ,artinya وإ ذا أن عم
jika kami limpahkan nikmat kepada manusia berupa harta,
kesehatan, rezeki, kemenangan, dan apa yang dia inginkan, dia
berpaling dari ibadah dan ketaatan serta membelakangi karena sifat
sombong. Lafal “membelakangi” merupakan penegasan bagi lafal
“berpaling” karena berpaling biasanya digambarkan dengan wajah,
sedangkan membelakangi mencakup seluruh tubuh. Maksudnya,
sikap sombong dan menjauh adalah kebiasaan orang-orang yang
sombong. وإ ذا مسهه الشر كان ي ئهوسا artinya, dan jika dia ditimpa
keburukan, yaitu musibah dan bencana maka dia berputus asa dari
kebaikan dan rahmat Allah swt.17
Dalam lafal terdapat
penyandaran kebaikan kepada Allah, dan dalam lafal
terdapat penyandaran keburukan kepada selain Allah, maksudnya
ialah bahwa apabila Allah timpakan keburukan berupa kesusahan
kepada manusia itu akibat atau balasan dari perbuatannya (dosa)
sendiri. Hal ini ditujukan untuk mengajarkan adab atau etika
terhadap Allah.18
Thabathaba‟i berpendapat bahwa keburukan tidak dinisbahkan
kepada Allah Swt, karena keburukan hakikatnya bersifat relatif,
16
Syaikh Asy-Syanqithi, Tafsir Adhwa‟ul Bayan terj.Bari,Rivai,dkk, jilid.3
(Jakarta: PUSTAKA AZZAM,2007), 982. 17
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.8
(Depok: GEMA INSANI, 2013), 156. 18
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jil.8
(Depok: GEMA INSANI, 2013), 148.
57
bukan hakiki. Keburukan yang terjadi di alam ini seperti kematian,
penyakit, kemiskinan, aneka kekurangan dan lain-lain, adalah
keburukan bagi yang ditimpa. Adapun bagi yang tidak ditimpa,
maka ia belum tentu buruk. Apa yang baik, maka ia adalah sesuatu
yang berkaitan dengan pemeliharaan Allah dan dikehendaki secara
substansial oleh-Nya, sedangkan apa yang buruk walaupun
berkaitan juga dengan pemeliharan Allah dan kehendak-Nya, tetapi
bukan keburukan itu yang dikehendaki-Nya, hal tersebut bagian
dari pemeliharaan yang merupakan kebaikan murni. Thabathaba‟i
lebih lanjut menulis bahwa makna ayat ini adalah bila Allah
menganugerahkan kenikmatan kepada manusia maka manusia itu
menganggap bahwa kenikmatan itu diperoleh karena usahanya
sendiri, sehingga melupakan Allah dan tidak mensyukurinya,
sedangkan bila manusia berada dalam kesusahan, maka dia sangat
berputus asa, karena dia menganggap semua usahanya sia-sia dan
tak berhasil, dia sama sekali lupa adanya campur tangan Allah
dalam hal tersebut. Inilah keadaan manusia yang lalai.19
Dapat disimpulkan ayat ini menceritakan kondisi manusia pada
umumnya yaitu menolak untuk bersyukur, lupa dan kufur terhadap
nikmat-nikmat Allah kecuali orang yang dijaga oleh Allah,
sehingga jika ia mendapatkan kenikmatan dan kaya raya, ia tidak
menunaikan hak-hak Allah. Sedangkan jika ia mendapatkan
kesulitan seperti kefakiran, sakit, dan kesengsaraan, ia pun
berputus asa dan putus harapan karena tidak percaya dengan
anugerah Allah swt. Kesengsaraan, kesusahan, kesempitan, dan
kesulitan yang didapatkan merupakan hasil dari perbuatan manusia
itu sendiri yaitu dosa. Kata syarrun masuk dalam kategori non-
19
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, v.7 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 543.
58
materi, karena objek pembahasan tertuju pada sifat kekufuran
manusia bukan manusianya.
C. Analisa Terhadap Kata Żillah
Surah al-Baqarah ayat 61.
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, Kami tidak
bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. sebab itu
mohonkanlah untuk Kami kepada Tuhanmu, agar Dia
mengeluarkan bagi Kami dari apa yang ditumbuhkan bumi,
Yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang
adasnya, dan bawang merahnya". Musa berkata: "Maukah kamu
mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik ?
Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang
kamu minta". lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan
kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. hal itu
(terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan
membunuh Para Nabi yang memang tidak dibenarkan. demikian
itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan
melampaui batas.”
Ayat ini merupakan kelanjutan dari peringatan-peringatan Allah
terhadap nikmat dan kedurhakaan Bani Isra‟il. Tetapi, kali ini
penekanannya pada kecaman atas mereka yang meremehkan nikmat-
59
nikmat Alah Swt, sehingga mengakibatkan keadaan mereka berubah
dari nikmat menjadi bencana dan siksa.20
Ketika para leluhur kaum Yahudi dulu berkata: “Wahai Musa,
tidak mungkin kami terus menerus memakan satu macam makanan
saja, yaitu hanya mann dan salwa” –dialog tersebut ditujukan kepada
kaum Yahudi yang sezaman dengan Nabi saw-, “maka mintakan
kepada Tuhanmu agar Dia memberi kami makanan yang ditumbuhkan
di bumi, sayur-mayur yang lezat yang biasa dimakan oleh manusia,
seperti: tanaman mint, seledri, bawang bakung, dan sejenisnya.” –
mereka memintanya berdo‟a karena mereka tahu bahwa do‟a para
Nabi lebih cepat terkabul.
Nabi Musa menjawab dengan rasa heran sambil mencela dan
menegur mereka: “Mengapa kalian meminta jenis-jenis yang rendah
sebagai pengganti makanan yang lebih baik dan nikmat, yaitu mann
dan salwa. Keduanya merupakan makanan yang sempurna, lezat, dan
nikmat, mann mengandung rasa manis dan salwa ialah daging burung
paling enak. Kalau memang kalian meminta makanan yang lebih
rendah manfaat dan kualitasnya, turunlah kepadang Tih21
dan
menetaplah dinegri agraris manapun, akan kalian dapatkan apa yang
kalian minta.”
Meninggalkan makanan yang paling baik (mann dan salwa) dan
meminta makanan yang lebih rendah kualitasnya (bawang merah,
bawang putih, bawang adas) menjadi bukti bahwa nafsu manusia
terkadang ingin menukar barang yang berkualitas tinggi dengan
barang yang berkualitas rendah. Hasan al-Bashri berkata: “Kaum
Yahudi adalah sebusuk-busuknya para penggemar bawang. Disini
20
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , v.1 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 253. 21
Padang Tih adalah kawasan yang berada di antara Baitul Maqdis sampai
Qinnisrin, luasnya kurang lebih 12x8 farsakh.
60
sangat terlihat jelas sifat asli mereka (kaum Yahudi) dalam perkataan
“kami tidak bisa tahan” menunjukkan bahwa mereka membenci
makanan itu, mereka tidak mensyukuri nikmat.22
Kata artinya diwajibkan, ditetapkan, atau ditimpakan.
Adapun kata yang berarti nista dan hina. Yaitu orang-orang yang
Allah melarang orang-orang mukmin agar tidak memberikan jaminan
keamanan kepada mereka kecuali mereka telah membayar upeti,23
sebagaimana firman-Nya:
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak
mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya
dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah),
(Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka,
sampai mereka membayar jizyah24
dengan patuh sedang mereka
dalam Keadaan tunduk. (Q.S at-Taubah: 29).
Nista adalah rasa rendah diri karena penindasan akibat jauhnya
jiwa dari kebenaran, dan ketamakan meraih gemerlapnya duniawi.
Nista berkaitan dengan jiwa, sedangkan kehinaan adalah kerendahan
yang berkaitan dengan bentuk dan penampilan. Orang-orang kaya
ketika itu berkewajiban membayar upeti. Ada juga yang memahami
kata adz-Żillah yang diterjemahkan dalam ayat ini dengan nista dalam
arti kehinaan, sedangkan al-maskanah dalam arti kehinaan akibat
22
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.1
(Depok: GEMA INSANI, 2013), 135. 23
Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari, Jami‟ Al Bayan an Ta‟wil Ayi
al-Qur‟an terj.Akhmad Affandi, juz.2 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 14. 24
Jizyah ialah pajak per kepala yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-
orang yang bukan Islam, sebagai imbalan bagi keamanan diri mereka.
61
keinginan meraih sesuatu yang menyenangkan tetapi tidak dapat
diraih sehingga melahirkan kesedihan.25
Allah menghukum mereka atas pengingkaran nikmat-nikmat itu
serta atas penghinaan terhadap ayat-ayat Allah yang diberikan kepada
Musa, juga atas pembunuhan yang mereka lakukan terhadap para
Nabi secara zalim, Nabi yang telah mereka bunuh antara lain Yesaya,
Zakaria, Yahya tanpa alasan yang benar untuk membunuh para Nabi.
Hal-hal tersebut merupakan tindakan yang melampaui batas dan sikap
kedurhakaan terhadap Allah, Nabi, dan juga agama. Hukuman yang
diperoleh mereka ialah ditimpakannya kehinaan dan kenistaan atas
mereka didunia, kemudian mereka mendapat murka Allah serta adzab
Allah yang pedih diakhirat.26
1. Surah Ali „Imran ayat 112.
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali
jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali
(perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat
kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. yang
demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan
membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian
itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.”
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa kaum Yahudi adalah
kaum yang mendustakan Nabi Muhammad Saw. Allah menimpakan
kehinaan dimanapun mereka berada, dan mereka tidak akan merasa
25
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 55. 26
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.1
(Depok: GEMA INSANI, 2013), 134.
62
aman dan tentram kecuali mereka berpegang pada dua hal, yaitu janji
Allah dan janji manusia.27
Adapun janji Allah adalah yang ditetapkan
syari‟at untuk jaminan keamanan mereka jika mereka melakukan akad
kafir dzimmi, membayar jizyah, mematuhi hukum dan aturan-aturan
syari‟at Islam. Adapun janji manusia adalah berupa keamanan, yaitu
larangan mengganggu mereka dan persamaan hak dan kewajiban.
Allah Swt juga menjadikan mereka selalu berada di dalam murka-
Nya, mereka menjadi orang-orang hina dan menjadi bawahan umat
lain, menjadi komunitas nomer dua. Mereka terpencar dan terpisah-
pisah diberbagai penjuru dunia, meskipun jumlah mereka sebenarnya
hanya sedikit. Mereka akan tetap berada di dalam kondisi seperti itu
meskipun mereka sudah berusaha dan upaya mati-matian untuk
bersatu dan mukim di tanah-tanah jajahan di Palestina, dan meskipun
mereka mampu mengumpulkan harta kekayaan yang melimpah dan
mampu menguasai roda perekonomian dunia.28
Sebab kenapa mereka selalu dilingkupi kehinaan, kerendahan, dan
murka Allah Swt adalah kekufuran mereka terhadap ayat-ayat Allah,
pembunuhan terhadap Nabi tanpa ada alasan yang benar yang
diberikan syari‟at mereka untuk melakukan pembunuhan tersebut,
usaha mereka mencelakai serta ingin membunuh Nabi Muhammad
Saw, dan mereka melakukan kejahatan berupa pembunuhan terhadap
orang-orang yang berkata “Tuhan kami adalah Allah Swt.”
dikarenakan sikap sombong, angkuh, hasud, dan benci, mereka juga
memprovokasi orang-orang musyrik untuk memusuhi dan memerangi
serta membinasakan kaum muslimin sampai ke akar-akarnya untuk
selamanya. Keberanian mereka melakukan semua itu disebabkan
27
Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari, Jami‟ Al Bayan an Ta‟wil Ayi
al-Qur‟an terj.Akhmad Affandi, juz.5 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 734. 28
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.2
(Depok: GEMA INSANI, 2013), 376-377.
63
gemarnya mereka melakukan kemaksiatan dan pembangkangan
terhadap perintah-perintah Allah Swt sehingga mereka tenggelam
didalamnya.
Dari dua ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kata Żillah
memiliki arti hina. Hina disini merupakan akibat dari sikap ingkar
manusia terhadap ayat-ayat Allah serta perbuatan mereka yang
membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar. Sikap mereka yang
demikian merupakan bentuk kedurhakaan hamba terhadap Tuhannya.
Secara tidak langsung kita telah mengetahui bahwa kata Żillah
mengandung makna yang negatif, tetapi tidak semua kata Żillah
negatif seperti kata Żulla yang merupakan salah satu bentuk kata
(tashrif) dari Żillah dalam syair Imam Syafi‟i berikut:
ل طهو ل حيات ه فمن ل يذهق مهر الت علم ساعة ** ترع ذهل الجه
“Barangsiapa belum pernah merasakan pahitnya menuntut ilmu
walau sesaat ** Ia kan menelan hinanya kebodohan sepanjang
hidupnya.”
Jika dilihat dalam syair sepintas, kata Żulla memiliki arti hina tidak
ada bedanya dengan arti dari kata Żillah. Akan tetapi, jika kita pahami
lebih mendalam syair tersebut, ditemukan perbedaan dalam konteks
penyebutan kata Żulla. Kata Żulla disini disebutkan dalam konteks
menuntut ilmu, yang berarti mengandung makna positif.
64
D. Analisa Terhadap Kata Sayyiah
1. Surah an-Nisȃ‟ ayat 78.
“Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,
kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan
jika mereka memperoleh kebaikan (kemenangan dalam
peperangan atau rezeki), mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi
Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka
mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)".
Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa
orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami
pembicaraan (pelajaran dan nasihat-nasihat yang diberikan)
sedikitpun?”
Pada ayat sebelumnya, menceritakan tentang sikap-sikap manusia
ketika diwajibkan berperang (jihad). Allah Swt memerintahkan kaum
muslimin untuk mempersiapkan kekuatan menghadapi perang dan
untuk selalu waspada. Dalam ayat itulah Allah menerangkan tentang
orang-orang yang asalnya ingin berperang melawan kaum musyrikin
Mekkah, namun setelah diwajibkan berperang, mereka justru enggan
melakukannya. Mereka itu adalah orang-orang munafik dan orang-
orang yang lemah imannya, dan Allah mencela sikap mereka yang
tidak istiqomah itu. Ayat tersebut meluruskan kekeliruan mereka yang
enggan berperang (jihad) karena didorong oleh keinginan menikmati
kehidupan duniawi sebanyak mungkin, dengan menjelaskan nilai
kehidupan dunia dan kesenangannya dibanding dengan kehidupan
setelah kematian yaitu diakhirat kelak.
65
Masih berkaitan dengan ayat sebelumnya, dalam ayat ini Allah
kembali meluruskan kekeliruan mereka yang lain, yaitu yang mereka
kira bahwa mereka dapat terhindar dari kematian atau bisa
memperlambat datangnya ajal dengan menghindari peperangan
(jihad).29
Allah pertegas dalam ayat ini “Dimana saja kamu berada,
kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam
benteng yang Tinggi lagi kokoh”. Kematian adalah sesuatu yang pasti
dan tak bisa dihindari. Kita semua pasti akan mati. Tidak akan ada
yang selamat dari kematian meskipun dia berada di dalam benteng
yang kokoh dan tinggi. Tidak ada yang dapat menjadi penghalang
malaikat maut untuk menjalankan tugasnya.30
Allah Swt berfirman,
“Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. dan
Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan
pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke
dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia
itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Q.S.
Ali Imran: 185).
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa.” (Q.S. ar-Rahman: 26).
29
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, v.2 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 517. 30
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
jilid.3 (Depok: GEMA INSANI, 2013), 170.
66
“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun
sebelum kamu (Muhammad); Maka Jikalau kamu mati, Apakah
mereka akan kekal?” (Q.S. al-Anbiya: 34).
Jika semua makhluk pasti akan mati dan waktu kematiannya tidak
dapat ditangguhkan atau dipercepat meski sedetik saja, maka tidaklah
patut apabila berperang (jihad) ditakuti. Manusia melakukan jihad
atau tidak, ajalnya tetap telah ditentukan.
Setelah itu ayat dilanjutkan dengan ucapan orang munafik yang
mengherankan “dan jika mereka memperoleh kebaikan (kemenangan
dalam peperangan atau rezeki), mereka mengatakan: "Ini adalah dari
sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka
mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)".” Ucapan
mereka yang menisbatkan kebaikan kepada Allah dan keburukan
kepada nabi Muhammad Saw, antara lain bertujuan “memisahkan”
antara Allah dan Rasul-Nya, dan ingin menunjukkan bahwa
keburukan bersumber dari nabi Muhammad, maksudnya kami ditimpa
demikian itu karena kesialanmu dan kesialan sahabat-sahabatmu.
Menurut para ahli tafsir dan takwil seperti Ibn Abbas dan lainnya
mengenai arti dan , sebagai berikut:31
1. Menyebutkan artinya keselamatan dan rasa aman, sedangkan
artinya penyakit dan rasa takut.
2. Pendapat lain berkata, artinya kaya dan artinya miskin.
31
Imam al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkaam al-Qur‟an terj.Dudi Rosyadi, dkk,
juz.5 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 672.
67
3. Pendapat lain juga berkata, artinya kenikmatan, kemenangan,
dan ghanimah yang didapat pada perang badar dan artinya
bencana, kesengsaraan, dan terbunuh.
4. Pendapat lain berkata, artinya kelapangan dan artinya
kesempitan.
Allah tidak membenarkan hal itu, maka Allah langsung
menunjukkan kedudukan nabi Muhammad di sisi-Nya dengan
memerintahkan beliau dalam sambungan ayat ini “Katakanlah:
"Semuanya (datang) dari sisi Allah".” Ada orang yang memahami
ayat "Semuanya (datang) dari sisi Allah" dengan pemahaman keliru.
Mereka mengartikan kata “keburukan” dengan المعصية “kemaksiatan” sehingga mereka menganggap bahwa sumber perilaku
maksiat dan perilaku baik yang manusia lakukan adalah dari Allah.
Pemahaman ini keliru sebab yang dimaksud dengan disini adalah
bencana kelaparan, kekeringan, dan semacamnya. Kalau seandainya yang dimaksud dengan adalah tindakan orang-orang buruk dan adalah tindakan orang-orang baik, redaksi ayat di atas
semestinya berbunyi م ن حسنة""ما اصب ت (kebaikan yang kamu
lakukan) dan "ما اصب ت م ن سيئة" (keburukan yang kamu lakukan)
dimana manusia menjadi subjek yang melakukan objek kebaikan dan
keburukan, bukan seperti yang tertera dalam ayat al-Qur‟an dimana
subjek yang menciptakan kejelekan dan kebaikan bukanlah manusia,
bahkan pada ayat manusialah yang menjadi objek yang terkena
kebaikan dan keburukan.32
Asy-Sya‟rawi mengatakan dalam pengertian "Semuanya (datang)
dari sisi Allah" jangan hanya menduga bahwa kebaikan adalah apa
yang anda nilai baik, dan keburukan adalah apa yang anda tidak
32
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
jilid.3 (Depok: GEMA INSANI, 2013), 173.
68
senangi ! yang mendapat keburukan dalam pandangan agama adalah
yang tidak mendapat ganjaran, karena itu yang baik dan yang buruk,
semua dari Allah. Dapat dikatakan juga bahwa "Semuanya (datang)
dari sisi Allah", dalam arti sesuai dengan ketentuan sunnatullah dan
takdir-Nya. Semua sesuai dengan sunnatullah yang berkaitan dengan
hubungan sebab akibat sehingga kejelekan atau keburukan mucul
disebabkan perilaku dosa manusia atau sebab kelalaian manusia
dalam memahami aturan dan kaidah yang telah ditetapkan Allah.
Semua kejadian adalah berdasarkan ketetapan (al-Qada‟) dan
kekuasaan (al-Qadar) Allah. Orang yang baik dan buruk, mukmin
maupun kafir akan merasakannya.
Persoalan di atas cukup sulit untuk dipahami oleh orang munafik,
Allah mengisyaratkan hal tersebut dengan menegaskan bahwa “Maka
mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak
memahami pembicaraan (pelajaran dan nasihat-nasihat yang
diberikan) sedikitpun?” Gaya redaksi semacam ini dikenal dalam
bahasa Arab dengan tujuan menekankan penafian. Karena memang
persoalan ini tidak dapat dipahami secara baik kecuali oleh mereka
yang benar cerdas, sedang mereka tidak demikian.33
2. Surah al-Rȗm ayat 36.
“Dan apabila Kami rasakan sesuatu rahmat kepada manusia,
niscaya mereka gembira dengan rahmat itu. dan apabila mereka
ditimpa suatu musibah (bahaya) disebabkan kesalahan yang telah
dikerjakan oleh tangan mereka sendiri, tiba-tiba mereka itu
berputus asa.”
33
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, v.2 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 520.
69
Kata dalam kalimat adalah in syarthiyyah dan jawabnya adalah ,
34 jadi kata
mewakili fi‟il, dengan mengandung makna ت ههم , ت دههم engkau“ وجد
dapati mereka” atau ت راههم , -engkau lihat mereka”. Seakan“ رأي ت ههم
akan Allah berfirman, ت ههم وجد . Sebagian ahli nahwu Bashrah berkata “Jika merupakan
jawab, karena memiliki kaitan dengan kalimat sebelumnya maka
posisinya sama dengan huruf fa‟.”35
Dalam ayat ini manusia yang dimaksud adalah sekelompok orang-
orang kafir. Kata disini merupakan kesenangan hidup,
kemewahan, harta yang berlimpah, nikmat kesehatan, keluasan, dan
kelapangan. Kalimat yaitu mereka yang begitu bersuka ria
hingga menjadi lupa diri, sombong dan congkak. Apabila Allah Swt
memberi suatu nikmat kepada sebagian manusia, dia begitu senang,
bangga, lupa diri, dan sombong terhadap orang lain. Namun, apabila
dia tertimpa suatu kesulitan atau keburukan, dia pesimis dan berputus
asa dari rahmat Allah Swt, benci, kecewa, frustasi dan marah.
Padahal, keburukan dan bala yang menimpanya itu adalah akibat
kemaksiatannya sendiri.
Dalam konteks nikmat pada ayat ini, Allah Swt tidak menyebutkan
sebabnya karena nikmat memang murni kemurahan dan karunia-Nya.
Sedangkan dalam konteks keburukan, bala dan azab, Allah
menyebutkan sebabnya yaitu kemaksiatan-kemaksiatan yang
diperbuat, dengan maksud untuk mengecam manusia yang tabiatnya
34
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
jilid.11 (Depok: GEMA INSANI, 2013), 109. 35
Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari, Jami‟ Al Bayan an Ta‟wil Ayi
al-Qur‟an terj.Akhmad Affandi, juz.20 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 665.
70
buruk dan menegaskan makna keadilan.36
Adapun orang mukmin,
orang yang dilindungi dan diberikan taufiq oleh Allah, dia senantiasa
bersyukur ketika berkelapangan dan senantiasa bersabar ketika
mengalami bala maupun musibah.
Dari ayat ini bisa disimpulkan bahwa orang-orang kafir adalah
orang-orang yang menganut paham oportunisme yaitu paham yang
semata-mata hendak mengambil keuntungan untuk diri sendiri dari
kesempatan yang ada tanpa berpegang pada prinsip tertentu.37
E. Analisa terhadap kata-kata keburukan dalam al-Qur’an
1. Khabīṡ
Menurut bahasa al-khabits artinya sesuatu yang kotor.
Menurut istilah, al-khabits adalah sesuatu yang dianggap kotor
oleh tabiat yang salimah dan ditinggalkannya, seperti bangkai,
darah yang keluar dan binatang yang diharamkan seperti babi.38
Khabīṡ merupakan kebalikan dari kata thayyib yang
maksudnya adalah sesuatu yang dibenci baik secara indrawi
maupun akal termasuk di dalamnya kesalahan dalam akidah, dusta
dalam perkataan dan buruk dalam perbuatan.39
Dalam Tafsir Jalalain disebutkan bahwa Khabīṡ bermakna
orang munafik.40
Dalam ayat lain Khabīṡ dipakai untuk kebiasaan
yang paling buruk dari kaum Sodom yang mereka itu
36
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jil.11
(Depok: GEMA INSANI, 2013), 111-112. 37
Tim penyusun kamus pusat bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi.3,
cet.4 (Jakarta: Balai Pustaka, 2007). 38
Ahsin W.al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur‟an (Jakarta: AMZAH, 2012), 150. 39
Al-Raghib Al-Ashfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‟ân (Beirut: Dâr al-
Ma‟rifah, 2002), 141. 40
Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti, Tafsîr al-
Jalalain, Terj. Bahrun Abu Bakar, juz 1 (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2008), 249.
71
dideskripsikan sebagai orang yang sû‟ dan fâsiq. Sebagaimana
tersebut dalam surah al-Anbiyâ‟/21: 74.
Dari term Khabīṡ dan turunannya dapat diketahui bahwa
keburukan dengan istilah ini menunjukkan keburukan yang banyak
berkaitan dengan keburukan yang bersifat umum seperti perbuatan
homoseksual, sesuatu yang mudah diketahui oleh orang banyak
dan terjadi karena adanya godaan setan, bahkan setan pun juga
termasuk dalam kategori pelaku Khabīṡ, selain itu juga berkaitan
dengan keburukan dalam akidah.
Dalam kitab al-Mu‟jam al-Muhfahras Li al-Fȃdzi al-Qur‟an
al-Karim karya Muhammad Fuad Abdul Baqi, terdapat 12 ayat
dari 9 surah dalam al-Qur‟an yang mengunakan kata Khabīṡ dan
turunannya.
2. Syarrun
Syarrun menunjukkan pengertian segala sesuatu yang dibenci
bertolak dengan kebalikannya yaitu al-Khair merupakan segala
sesuatu yang disukai.41
Dalam al-Qur‟an term syarrun disebutkan
sebanyak 25 kali dalam 22 surah dan 25 ayat serta dengan bentuk
jamaknya asyrâr 1 kali dalam 1 surah dan ayat. Term syarrun ini
hanya berbentuk masdar, tidak ada bentuk lain.42
Keburukan berdasarkan istilah ini lebih menggambarkan
keburukan yang tidak mudah diketahui oleh masyarakat banyak,
melainkan hanya oleh orang-orang tertentu wajar bila al-Qur‟an
mengisyaratkan bahwa untuk sampai pada al-khair dan
menghindari keburukan ini mesti diajak bukan diperintahkan.43
41
Al-Raghib Al-Ashfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‟ân (Beirut: Dâr al-
Ma‟rifah, 2002), 257. 42
M. Fuad Abd al-Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân al-Karîm
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), 480. 43
Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam al-Qur‟an, terj. Agus
Fahri Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), 280.
72
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa konsep keburukan
dalam term al-syarr, memiliki kecenderungan dalam
menggambarkan keburukan yang berdimensi sosial.
Dalam kitab al-Mu‟jam al-Muhfahras Li al-Fȃdzi al-Qur‟an
al-Karim karya Muhammad Fuad Abdul Baqi, terdapat 30 ayat
dari 22 surah dalam al-Qur‟an yang mengunakan kata Syarrun dan
turunannya.
3. Żillah
Adz-Żillah berarti proses atau upaya pengubahan sesuatu yang
baik menjadi buruk, kemuliaan menjadi kehinaan. Kata Żillah
merupakan istilah lainnya yang mengandung pengertian sepadan
dengan korupsi 44
Ahli Żillah (pelaku amal buruk), komunitas buih, Ungkapan
ahli Żillah ini dapat disimak antara lain dalam QS Ra‟du 13:25,
Ibrahim 14:18, Ali Imran 3:112, Baqarah 2:61. Kesimpulan dari
beberapa ayat tersebut ialah putus hubungan dengan Tuhan dan
insan.45
Pemicu putus hubungan dengan Tuhan dan insan ini adalah
pola hidup tamak, rakus, serakah (pola hidup yang cenderung
memperturutkan hawa nafsu tnpa kendali) pola hidup kikir, pelit,
kedekut (pola hidup yang cenderung mengikuti gejolak, gejala
egoisme tanpa batas, yang monopoli, cenderung makan tebu
dengan akar-akarnya, menguasai dari hulu sampai ke hilir), pola
hidup angkuh, pongah, congkak, pamer (pola hidup ambisius, yang
begitu terpesona dengan kemegahan diri sendiri).
44
Fuad Fachruddin, Intoleransi Agama terhadap Korupsi, Senin, 03 Des 2018,
03:30 WIB, http://mediaindonesia.com/read/detail/201688-intoleransi-agama-terhadap-
korupsi. 45
Fauziah, Ahli „izzah dan ahli Żillah,
khttp://www.geocities.ws/fauziah_sul/asrir296_163.htm l .
73
Dalam kitab al-Mu‟jam al-Muhfahras Li al-Fȃdzi al-Qur‟an
al-Karim karya Muhammad Fuad Abdul Baqi, terdapat 24 ayat
dari 17 surah dalam al-Qur‟an yang mengunakan kata Żillah dan
turunannya.
4. Sayyiah
Secara bahasa sayyiah berarti jelek, buruk, jahat, kerusakan,
kesusahan dan yang tidak menyenangkan.46
Al-Ashfahani
menyebutkan bahwa kata al-sayyiah lawan dari al-hasanah
(kebaikan) biasa digunakan untuk keburukan yang berkaitan
dengan kelaparan, kesempitan, atau kesusahan (QS. 4 : 78; 7: 131;
30: 36).47
Biasanya al-sayyiah digunakan untuk siksaan. Dengan
bentuk kata sayyiah menunjukkan dua hal yang sama sekali
berbeda, satu sisi kata ini berarti suatu peristiwa yang tidak
menyenangkan dan tidak dapat diterima dalam kehidupan manusia,
dan di sisi lain, digunakan untuk perbuatan buruk yang dilakukan
manusia atas kehendak Allah, yaitu maksiat atau tidak patuh
sebagaimana sering kali disebut dalam al-Qur‟an. Kata sayyiah
kadang-kadang digunakan untuk pengertian malapetaka (baliyah),
cobaan, dan kadang-kadang dalam pengertian dosa (dzanb) dan
tidak patuh (ma‟shiyah). Biasanya sayyiah sering diambil
pengertian keburukan yang umum. Dalam suatu kasus, al- Quran
menegaskan bahwa penggunaan kata sayyiah dalam pengertian
nasib buruk dan kadang-kadang dalam pengertian perbuatan
buruk.48
46
Adib Bisri dan Munawwir AF, Kamus Al-Bisri Arab Indonesia-Indonesia
Arab, Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), 350. 47
Al-Raghib Al-Ashfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‟ân (Beirut: Dâr al-
Ma‟rifah, 2002), 248. 48
Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam al-Qur‟an, terj. Agus
Fahri Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), 272.
74
Dari term sayyiah dan turunannya ternyata bentuk sȗ‟ paling
banyak ditemui dalam al-Qur‟an dibandingkan dengan bentuk lain
yang berarti juga keburukan namun dalam penggunaannya dalam
al-Qur‟an kata sû‟ ini menunjukkan keburukan adzab, perbuatan,
perkataan, sesuatu yang disembunyikan, sesuatu yang dijauhi,
sifat, tempat, keadaan, sesuatu yang dibanggakan, zalim, sesuatu
yang dikehendaki Allah. Dari uraian seputar sayyiah dan kata
turunannya, maka jelas bahwa sayyiah adalah keburukan yang
harus dijauhi dan dicegah yang bersifat universal.
Dalam kitab al-Mu‟jam al-Muhfahras Li al-Fȃdzi al-Qur‟an
al-Karim karya Muhammad Fuad Abdul Baqi, terdapat 161 ayat
dari 45 surah dalam al-Qur‟an yang mengunakan kata Sayyiah dan
turunannya.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang cukup panjang, penulis menemukan sebuah
jawaban dari permasalahan yang penulis ajukan pada bab awal. Ada
banyak lafaz-lafaz yang berbeda yang digunakan untuk
menggungkapkan makna “keburukan” dalam al-Qur’an. Walaupun
dalam penulisan skripsi ini penulis hanya membatasi empat kata yang
memiliki arti keburukan, dari empat kata tersebut pun memberikan
perbedaan yang sangat mendasar dalam penggunaannya. Makna
keburukan yang diungkapkan dalam kata khabīṡ yaitu keburukan yang
ditunjukkan kepada sesuatu yang buruk, kotor, haram, dan najis. Kata
khabīṡ merupakan jenis keburukan dalam akidah. Syarrun yaitu suatu
keburukan yang didalamnya mengungkapkan segala hal yang dibenci
atau tertolak, merugikan, dan menyengsarakan orang lain. Lafaz
syarrun merupakan keburukan berdimensi sosial. Żillah yaitu suatu
keburukan yang hina, yang mengarah kepada ketamakan, lafaz żillah
dikategorisasikan ke dalam keburukan ekonomi, dan sayyiah yaitu
keburukan yang mengakibatkan kesusahan, kesempitan sebagai
siksaan atau azab, lafaz sayyiah merupakan keburukan yang universal
(umum). Ke empat lafaz itu, dalam penggunaannya disesuaikan
dengan konteks yang sedang dibicarakan. Namun perbedaan lafaz-
lafaz dalam al-Qur’an tersebut tidak menjadikan sesuatu yang rumit
untuk dipahami, tetapi justru memunculkan analisis kebahasaan yang
kompleks tentang adanya perbedaan dalam menggunakan istilah
untuk mengungkapkan makna keburukan di dalam ayat-ayat tersebut.
76
Hal ini, menjadi suatu yang indah dan semakin memperlihatkan akan
kemukjizatan al-Qur’an itu sendiri. Bahkan perbandingan tafsir dalam
skripsi ini menjadi sangat menarik, karena dari beberapa mufassir
yang penulis cantumkan dalam penulisan skripsi ini, menambah indah
dalam kebahasaan dalam penafsiran al-Qur’an.
B. Saran
Melalui tulisan ini, penulis menyarankan beberapa hal:
1. Bagi para pembaca, temuan penelitian ini dapat dijadikan khasanah
keilmuan.
2. Bagi calon peneliti, hasil temuan penelitian dapat dijadikan sumber
inspirasi penemuan dan penggalian pembahasan lain yang
berhubungan dengan pembahasan lafaz yang bermakna keburukan
dalam al-Qur’an.
3. Hendaknya seluruh kaum muslimin khususnya para da’i
memahami tentang pemakaian istilah keburukan yang Allah
uraikan dalam ayat-ayatnya, sehingga ayat yang disampaikan
sesuai dengan konteks yang dibicarakan.
4. Agar kaum muslimin tidak keliru ketika ada kesalahan dalam
menyampaikan arti keburukan, karena apabila tidak secara detail
memahami konteks permasalahannya, maka akan tejebak dalam
kekeliruan pemahaman.
77
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. Seluk Beluk al-Qur’an, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992.
Al-Asyqar, Muhammad Sulaiman. Sukses Akhirat Panduan Amal Meraih
Surga terj. Muhammad Isnaini (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2004.
Al-Ashfahani, Al-Raghib. al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Beirut: Dâr
al-Ma’rifah, 2002.
Anwar, Rosihon. ‘Ulum al-Qur’an. Bandung. CV Pustaka Setia, 2013.
Bahasa, Tim penyusun kamus pusat, 2007. Kamus Besar Bahasa
Indonesia, edisi.3, cet.4 Jakarta: Balai Pustaka.
Bebas, Wikipedia Ensiklopedia, Diakses pada 8 Februari, 2019,
https://id.wikipedia.org/wiki/Hawa_nafsu
Al-Baqi, M. Fuad Abd. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-
Karîm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1981.
Dahlan, Abdul Rahman. Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Qur’an. Bandung.
Penerbit Mizan, 1997.
Fachruddin, Fuad, Intoleransi Agama terhadap Korupsi, Senin, 03 Des
2018, 03:30 WIB, http://mediaindonesia.com/read/detail/201688-
intoleransi-agama-terhadap-korupsi.
Fauziah, Ahli ‘izzah dan ahli dzillah, selasa, 03 Desember 2018,
http://www.geocities.ws/fauziah_sul/asrir296_163.htm l
Firdaus, Iqra’. Inilah Akibat Dosa-Dosa Besar di Dunia Yogyakarta: Diva
Press, 2011.
Glase, Cyril. Ensiklopedia Islam Ringkas, Jakarta: PT Grapindo Persada,
1999.
Al-Hafidz, Ahsin W. Kamus Ilmu al-Qur’an. Jakarta. AMZAH, 2006.
Haris, Abd. Etika Hamka Konstruksi Etik Berbasis Rasional-Religius
Yogyakarta: LKiS, 2010.
78
Izutsu, Toshihiko. Konsep-Konsep Etika Religius dalam al-Qur’an, terj.
Agus Fahri Husein, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 20003.
Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan. KAMUS BESAR BAHASA
INDONESIA Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Khalaf, Abdul Wahhab. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Bandung. Penerbit
Risalah. 1985.
Manzur, Muhammad Ibn Makram Ibn ‘Ali Ibn. Lisȃn al-A’rab, Kairo:
Dȃr al-Ma’ȃrif, t.th.
Mesra, Akimin, dkk. Ulumul Qur’an, Ciputat: Pusat Studi Wanita, 2005.
Munawwar, Said Agil Husin. Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki. Jakarta. Ciputat Pers, 2002.
Munawwir AF, Adib Bisri. Kamus Al-Bisri Arab Indonesia-Indonesia
Arab. Surabaya: Pustaka Progresif, 1999.
Nata, Abuddin. AL-QUR’AN DAN HADITS (Dirasah Islamiyah 1) Edisi
Revisi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
-------, AKHLAK TASAWUF Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012.
Nurhadi, Rofiq. Pro Kontra Sinonim Dalam al-Qur’an, Surya Bahtera:
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol.2, No.04, 2015.
Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad al-Anshari. Jami’ li Ahkam al-
Qur’an. Juz 3. Kairo. Daar el Hadits, 2002.
-------, Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Juz 5. Kairo. Daar el Hadits, 2002.
-------, Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Juz 12. Kairo. Daar el Hadits, 2002.
Qulyubi, Shihabuddin. Stilistika Al-Qur’an Yogyakarta: Titan Ilahi Pers,
1997.
Rahmat, Aibdi. Kesesatan Dalam al-Qur’an, Yogyakarta: Putaka Pelajar,
2007.
Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir al-Mishbah, Vol.1. Jakarta. Lentera
Hati, 2009.
79
-------, Tafsir al-Mishbah, Vol.2. Jakarta. Lentera Hati, 2009.
-------, Tafsir al-Mishbah, Vol.7. Jakarta. Lentera Hati, 2009.
-------, Mukjizat al-Quran. Bandung. Mizan, 1997.
-------, ENSIKLOPEDIA AL-QUR’AN: Kajian Kosakata, Jakarta: Lentera
Hati, 2007.
Shihab, Umar. Kontekstualitas Al-Qur’an. Jakarta. Penerbit Permadani,
2008.
Asy-Syanqithi, Syaikh. Tafsir Adhwa’ul Bayan terj.Bari,Rivai,dkk, jilid.3
Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2007.
As-Suyuti, Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin. Tafsîr al-
Jalalain, Terj. Bahrun Abu Bakar, juz 1 Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2008.
Al-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari. Juz.2.
Jakarta Pustaka Azzam, 2009.
-------, Tafsir Ath-Thabari. Juz.4. Jakarta Pustaka Azzam, 2009.
-------, Tafsir Ath-Thabari. Juz.5. Jakarta Pustaka Azzam, 2009.
-------, Tafsir Ath-Thabari. Juz.6. Jakarta Pustaka Azzam, 2009.
-------, Tafsir Ath-Thabari. Juz.19. Jakarta Pustaka Azzam, 2009.
-------, Tafsir Ath-Thabari. Juz.20. Jakarta Pustaka Azzam, 2009.
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Ushûl fî at-Tafsîr, Al-Maktabah al-
Islamiyyah, 2001.
Watt, W. Montgomery. Pengantar Studi al-Quran. terj. Taufiq Adnan
Amal. Jakarta. Rajawali Press, 1991.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia Ciputat: PT. MAHMUD
YUNUS WA DZURRIYAH, 2010.
az-Zuhaili, Wahbah. Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
jilid.1 Depok: GEMA INSANI, 2013.
80
-------, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.2 Depok:
GEMA INSANI, 2013.
-------, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.3 Depok:
GEMA INSANI, 2013.
-------, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.8 Depok:
GEMA INSANI, 2013.
-------, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.11 Depok:
GEMA INSANI, 2013.
81
LAMPIRAN
TABEL LAFAZ-LAFAZ ISTILAH KEBURUKAN BERIKUT
SURAH
DAN AYAT-AYAT YANG MEMBAHASNYA
A. Khabîts
اللفظة رقمها السورة الأية
;8الأعراف خبث
:79البقرة
الخبيث
آل عمران 9:<
7النساء
911ادةة الد
:7الأنفال
82
79 النور الخبيثون
79النور للخبيثي
79ابراىيم خبيثة
79النور الخبيثات
:98الأعراف
بادث الخ
7:الأنبياء
83
B. Syaṟun
اللفظة رقمها السورة الأية
799البقرة
الشر
آل عمران 9;1
91الدادةة
77الأنفال
88الأنفال
99يونس
::يوسف
85
71الدعارج
91الجن
99الإنسان
9البينة
7الفلق
7الفلق
7الفلق
8الفلق
7 الناس
99النور
شرا
الزلزلة;
الإنسان: شره
97ص الأشرار
77الدرسلات بشرر
C. Dziḻah
اللفظة رقمها السورة الأية
86
977طو ل نذ
7:يس ذل لناىا
97الإنسان ذللت
79آل عمران تذل
97ن الإنسا تذليلا
77الإسراء
الذل
999الإسراء
78الشورى
99البقرة
ذل ة
88
87الدادةة
77النمل
:7النمل
الأذل ; الدنافقون
71المجادلة الأذلي
9:البقرة ذلول
98الدلك ذلولا
>9النحل ذللا
89
D. Sayyiah
اللفظة رقمها السورة الأية
77النساء
ساء
;7النساء
99الدادةة
79الأنعام
979الأنعام
::9الأعراف
التوبة<
90
78النحل
>8النحل
77الإسراء
919طو
9:7الشعراء
8النمل;
7العنكبوت
9الصافات::
79الجاثية
98المجادلة
7 الدنافقون
:>النساء ساءت
92
:الإسراء ليسوءوا
::ود ى
سىء
77العنكبوت
:7 الدلك سيئت
79فصلت
أساء
98الجاثية
:الإسراء أسأت
91الروم أساءوا