Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta:...

132
Lafaz Yang Bermakna Keburukan Dalam al-Qur’an; (Analisis Kata Khabīṡ, Syarrun, Żillah, Dan Sayyiah). Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.) Oleh: Saibatul Aslamiah Lubis 11140340000163 PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020 M/1441 H

Transcript of Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta:...

Lafaz Yang Bermakna Keburukan Dalam al-Qur’an;

(Analisis Kata Khabīṡ, Syarrun, Żillah, Dan Sayyiah).

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Agama (S.Ag.)

Oleh:

Saibatul Aslamiah Lubis

11140340000163

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020 M/1441 H

vi

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini

berpedoman pada hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan

Nomor: 0543b/U/1987.

1. Konsonan

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf

Arab

Nama Huruf Latin Nama

Alif Tidak dilambangkan Tidak ا

dilambangkan

Ba B Be ب

Ta T Te ت

Ṡa ṡ Es (dengan ث

titik di atas)

Jim J Je ج

Ḥa ḥ Ha (dengan ح

titik di bawah)

Kha Kh ka dan ha خ

Dal D De د

Żal ż Zet (dengan ذ

titik di atas)

Ra R Er ر

Zai Z Zet ز

Sin S Es س

Syin Sy es dan ye ش

Ṣad ṣ es (dengan ص

titik di bawah)

viii

Ḍad ḍ de (dengan ض

titik di bawah)

Ṭa ṭ te (dengan titik ط

di bawah)

Ẓa ẓ zet dengan ظ

titik di bawah)

ain „ koma terbalik„ ع

(di atas)

Gain G Ge غ

Fa F Ef ؼ

Qaf Q Ki ؽ

Kaf K Ka ؾ

Lam L El ؿ

Mim M Em ـ

Nun N En ف

Wau W We و

ػه Ha H Ha

Hamzah ' Apostrof ء

Ya Y Ye ي

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk

vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

Fathah A A

Kasrah I I

ix

Dhammah U U

Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah

sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

ي Fathah dan

ya

Ai a dan i

و Fathah dan

wau

Au a dan u

Contoh:

kaifa- كيف

haula- هوؿ

3. Vokal Panjang/ Maddah

Ketentuan alih aksara vocal panjang (maddah), yang dalam bahasa

Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Harakat

dan huruf

Nama Huruf dan

tanda

Nama

ا... ي Fathah dan

alif atau ya

Ā a dan garis

di atas

ي ى Kasrah dan

ya

Ī I dan garis

di atas

Dhammah ىػو

dan wau

Ū u dan garis

di atas

x

Contoh:

اؿ ق -qāla

ىم ر -ramā

ل ي ق -qīla

4. Ta’ Marbūṭah

Transliterasi untuk Ta’ Marbūṭah ada dua:

a. Ta’ Marbūṭah hidup

Ta’ Marbūṭah yang hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah, dan

ḍommah, transliterasinya adalah “t”.

b. Ta’ Marbūṭah mati

Ta’ Marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya

adalah “h”.

c. kalau pada kata terkahir dengan Ta’ Marbūṭah diikuti oleh kata yang

menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu terpisah maka

Ta’ Marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h).

No Kata Arab Alih Aksara

rauḍah al-aṭfāl روضة الأطفاؿ 1

دينة الفاضلة 2 al-madīnah al-fāḍilah الم

al-ḥikmah الحكمة 3

xi

5. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan

huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu.

Contoh:

rabbanā- ربػنا

nazzala- نػزؿ

al-birr- البر

al-ḥajj– الحج

Jika huruf ى ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh

huruf kasrah ( ػى ػػػػػػػػػػػػػػػ ), maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah (ī).

Contoh:

Alī (bukan „Aliyy atau „Aly)„ : على

Arabī (bukan „Arabiyy atau „Araby)„ : عرب

xii

6. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan

huruf, yaitu ال. Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang

ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika dia diikuti oleh huruf

syamsiyah maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi

huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata

yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-),

Contohnya:

al-rajulu- الرجل

al-sayyidu- السيد

al-syamsu- الشمش

al-qalamu- القلم

al-badĭ’u- ألبديع

al-jalālu- اللاؿ

7. Hamzah

Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (') hanya berlaku

bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah

terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia

berupa alif. Contohnya:

xiii

ta'murūna : تأمروف

'al-nau : النػوء

syai'un : شيئ

umirtu : أمرت

8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia

Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah

atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah

atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari pembendaharaan

bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa

Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya

kata Al-Qur‟an (dari al-Qur'ān), sunnah, khusus, dan umum. Namun bila

kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka

mereka harus ditransliterasi secara utuh. contoh:

Kata Arab Alih Aksara

Fī Ẓilāl al-Qur'ān ف ظلاؿ القرآف

Al-Sunnah qabl al-tadwīn السنة قػبل التدوين

العبارة بعموـ اللفظ لا بصوص بالسب

Al-‘ibārāt bi ‘umūm al-lafẓ lā bi

khuṣūṣ al-sabab

xiv

9. Lafẓ al-jalālah (الله)

Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf

lainnya atau berkedudukan sebagai mudāf ilaih (frasa nominal),

transliterasi tanpa huruf hamzah. Contoh:

dīnullāh : دين الله

billāh : با الله

Adapun ta marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada lafẓ al-

jalālah, ditransliterasi dengan huruf (t). Contoh :

hum fī rahmatillāh : هم ف رحة الله

10. Huruf Kapital

Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf capital (All Caps),

dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang

penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia

yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk menulis

huruf awal nama dari (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada

permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka

yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,

bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka

huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-).

Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi

yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks

maupun dalam catatan rujukan (CK,DP,CDK, dan DR). Contoh:

xv

Kata Arab Alih aksara

Wa mā Muḥammadun illā rasūl- وما ممد إلا رسوؿ

Inna awwala baitin wuḍi’a linnāsi- إف أوؿ بػيت وضع للناس للذي ببكة مباركا

bi Bakkata mubārakan

Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fīh- شهر رمضاف الذي أنزؿ فيه القرآف

al-Qur'an

ين الطروسي ر الد Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī- نصيػ

Abū Naṣr al-Farābī- أبػو نصر الفراب

Al-Gazālī- الغزال

نقذ من الد لاؿالم -Al-Munqiż min al-Ḍalāl

xvi

xvii

ABSTRAK

SAIBATUL ASLAMIAH LUBIS (11140340000163)

“Lafaz Yang Bermakna Keburukan Dalam al-Qur’an; (Analisis

Terhadap Kata Khabīṡ, Syarrun, Żillah, Dan Sayyiah)”.

Segala bentuk perbuatan manusia selalu mengacu pada sudut pandang

tentang baik dan buruk. Nilai kebaikan dan keburukan akan selalu menjadi

sumber rujukan untuk melakukan berbagai perbuatan di dalam kehidupan.

Karena itu, pembahasan baik dan buruk merupakan persoalan mendasar

dalam kehidupan manusia. Dalam hal baik dan buruk tentu saja sudah ada

dalam al-Qur’an. Al-Qur’an yang diturunkan kepada nabi Muhammad

Saw, merupakan mukjizat terbesar di antara mukjizat lainnya. Keindahan

bahasa al-Qur’an yang terkandung didalamnya memberikan warna dalam

gaya bahasa penyampaiannya. Gaya bahasa al-Qur’an sangatlah beragam

seperti halnya penyampaian istilah keburukan yang berbeda-beda. Istilah

yang digunakan dalam menguraikan makna keburukan dalam al-Qur’an

sangatlah banyak, seperti Khabīṡ, syarrun, Żillah, sayyiah, dan lain-lain.

Lalu, apa perbedaan makna yang terkandung dalam berbagai lafaz

keburukan pada al-Qur’an?

Metode yang digunakan adalah Library Research dengan

pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan untuk analisis data ialah

metode tafsir maudhu’i yaitu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang

memiliki satu tema (keburukan). Lalu menafsirkan beberapa dari ayat

tersebut yang dirasa cukup mewakili pembahasan dari empat lafaz yang

bermakna keburukan. Penafsiran ayat menggunakan kitab-kitab tafsir

kontemporer maupun klasik, seperti Tafsir Thabari, Tafsir al-Qurthubi,

Tafsir Misbah dan Tafsir al-Munir.

Hasil dari penelitian ini, Makna keburukan yang diungkapkan dalam

kata khabīṡ yaitu keburukan yang ditunjukkan kepada sesuatu yang buruk,

kotor, haram, dan najis. Kata khabīṡ merupakan jenis keburukan dalam

akidah. Syarrun yaitu suatu keburukan yang didalamnya mengungkapkan

segala hal yang dibenci atau tertolak, merugikan, dan menyengsarakan

orang lain. Lafaz syarrun merupakan keburukan berdimensi sosial. Żillah

yaitu suatu keburukan yang hina, yang mengarah kepada ketamakan, lafaz

żillah dikategorisasikan kedalam keburukan ekonomi. Dan sayyiah yaitu

keburukan yang mengakibatkan kesusahan, kesempitan sebagai siksaan

atau azab, lafaz sayyiah merupakan keburukan yang universal (umum).

Kata Kunci : Lafaz, Al-Qur’an, Keburukan.

xviii

xix

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Assalamu‘alaikum Warahmatullaah Wabarakaatuh

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah

memberikan kesempatan, nikmat iman, nikmat jasmani, rohani,

kemudahan, kesehatan, rahmat, kesabaran, kasih sayang-Nya Yang Maha

Luas dan Maha Besar, berkat pertolongan-Nya penulis dapat

menyelesaikan tugas akhir ini dengan sebaik mungkin. Shalawat dan

salam tak lupa saya haturkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad

SAW, yang telah mengubah zaman dari zaman jahiliyah menuju zaman

islamiyah, terang benderang menuju Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Beliaulah Nabi akhir zaman yang telah memberikan cahaya di atas cahaya,

manusia paling sempurna, dan petunjuk jalan yang benar dan abadi kepada

umat Islam untuk pedoman hidup, serta do’a untuk para keluarganya,

sahabat-sahabatnya, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Alhamdulillaah, berkat inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan baik. Skripsi merupakan salah satu tugas akhir yang

harus dikerjakan oleh setiap mahasiswa/wi untuk mendapatkan gelar

sarjana (S-1), yang disusun dengan berbagai sumber-sumber dari karya-

karya orang yang sesuai dengan judul skripsi tersebut. Kepada beliau-

beliau semua, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang

setinggi-tingginya.

Penulisan skripsi ini tidak akan bisa selesai tanpa bantuan,

dukungan, motivasi, dorongan, dan support dari berbagai pihak dan orang-

orang terdekat saya. Maka dari itu, pada kesempatan ini saya ucapkan

terima kasih dan peng-apresiasi-an yang terbaik dan setinggi-tingginya

xx

kepada mereka semua yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi

ini.

Saya menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Kepada Yth. Segenap civitas Akademia UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Amany Burhanudin Lubis, Lc.,

MA., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Eva Nugraha, MA selaku ketua Jurusan Ilmu al-

Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan bapak Fahrizal

Mahdi, Lc., MIRKH., selaku sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur’an

dan Tafsir. Serta seluruh dosen dan staff akademik Fakultas

Ushuluddin, khusunya Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir yang

telah meluangkan waktu dan tenaganya, berbagi ilmu dan

pengalaman yang bermanfaat kepada penulis. Semoga amal

kebaikan selalu mengalir kepada mereka semua.

Jazakumullaah khairan jazaa.

4. Bapak Ahmad Rifqi Muchtar, MA, selaku dosen pembimbing

skripsi yang telah memberikan arahan, gambaran, saran dan

penjelasan yang sistematis dan membangun kepada penulis.

Selalu meluangkan waktunya untuk mahasiswa bimbingannya.

Mohon maaf yang sedalam-dalamnya, jika selama proses

bimbingan berlangsung, banyak kesalahan kata maupun sikap

yang kurang berkenan. Semoga Bapak senantiasa diberikan

kesehatan dan kemudahan dalam setiap langkahnya, Amiin.

5. Bapak Dr.M.Suryadinata, MA, selaku dosen penasehat

akademik yang telah meluangkan waktunya kepada penulis

xxi

terkait Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan konsultasi judul skripsi.

Semoga Bapak senantiasa diberikan kesehatan, Amiin.

6. Segenap Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif

Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan

Pusat Studi al-Qur’an (PSQ) Ciputat dan Perpustakaan Iman

Jama’ yang telah memberikan fasilitas serta rujukan-rujukan

sebagai sumber referensi.

7. Kepada Mamah tercinta, Suripah dan Ayah tercinta, Hidayat

Lubis, mereka yang selalu mendo’akan saya. Dengan

ketegasan, kedisiplinan, kasih sayang dan semangat dari

mereka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Banyak

pelajaran hidup yang telah penulis dapati dari mereka, arahan

yang baik, dan contoh yang patut diaplikasikan. Semoga Allah

senantiasa mengampuni dosa-dosanya, selalu mempermudah

urusan dan rezeki mereka, dan selalu dalam lindungan dan

keselamatan-Nya, Aamiin Yaa Robbal ‘Alamiin.

8. Teruntuk adik-adik saya tercinta dan tersayang,

Halimatussakdiyah Lubis, Rizki Pardomuan, Rif’ad Adly

Lubis, Ainun Rizki Dalimunthe, dan Suci Amaliyah Batubara,

yang senantiasa memberikan semangat, dan keceriaan ketika

penulis sudah mulai jenuh. Semoga mereka senantiasa

dimudahkan dalam menuntut ilmu dan berguna untuk dunia

akhirat, Amiin.

9. Kepada Sawaluddin Dalimunthe, yang senantiasa memberikan

nasehat, dan dukungan kepada penulis. Darinya dan karenanya,

penulis mendapat berbagai pengalaman dan arahan selama

penulisan skripsi. Semoga Allah selalu memberikan

xxii

kemudahan dalam setiap urusannya dan kesemangatan dalam

setiap langkahnya, Aamiin.

10. Kepada sahabat-sahabat penulis, Rofi’atul Khoiriah Nasution,

Marhamah Nasution, Fradhita Solikhah, Siti Aisyah Batubara,

Silma Laatansa Haqqi, Mega Nur Fadhilah, Fawaidul

Makkiyah, Mulyani Amaliyah Nasution, Ziana Maulida

Husnia, Faradhika Pertiwi Lubis, Rizka Melinda Nasution,

Wida Sari Pulungan, Nur Rofi’ah Rangkuti, Henni Fadhilah

Nasution, dan Rostika Nasution yang telah memberikan

semangat, masukan dan motivasi kepada penulis selama

penyusunan skripsi ini.

11. Teman-teman seperjuangan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

Angkatan 2014. Mereka sudah penulis anggap seperti keluarga

sendiri. Terimakasih semuanya, semoga tetap dan selalu

terjalin silaturahminya, dan semoga Allah memberikan

petunjuk di setiap urusan mereka.

12. Teman-teman KKN SAHITYA 031 UIN Jakarta, satu bulan

bersama mereka dalam mengabdi kepada masyarakat, meski

dari arah yang berbeda. Terimakasih untuk semuanya. Semoga

selalu terjalin silaturahmi.

13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu,

yang telah memberikan dukungan dan masukannya dalam

skripsi ini.

Ciputat, 30 Desember 2019

Saibatul Aslamiah Lubis

xxiii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN.......................................................................i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................iii

LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................v

PEDOMAN TRANSLITERASI.............................................................vii

ABSTRAK .............................................................................................. xvii

KATA PENGANTAR ............................................................................ xix

DAFTAR ISI ......................................................................................... xxiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1

B. Identifikasi Masalah.............................................................8

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................. 8

D. Metodologi Penelitian ................... .....................................9

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................10

F. Tinjauan Pustaka ............................................................... 11

G. Sistematika Penulisan ........................................................ 12

BAB II KEISTIMEWAAN BAHASA AL-QUR’AN

A. Definisi al-Qur’an ........................................................... 15

B. Al-Qur’an diturunkan dengan Bahasa Arab .................... 17

C. Sisi Kemukjizatan Tata Bahasa al-Qur’an....................... 19

D. Pemaparan Taraduf ........................................................ 26

BAB III PANDANGAN TENTANG KEBURUKAN

A. Defenisi Keburukan ........................................................... 31

B. Sumber Keburukan ........................................................ 32

xxiv

C. Jenis Keburukan ................................................................. 40

D. Akibat dan Solusi dari Keburukan .................................... 43

E. Lafaz-Lafaz yang menunjukkan Makna Keburukan .......... 45

BAB IV ANALISIS KATA-KATA KEBURUKAN PADA AYAT AL-

QUR’AN DALAM TAFSIR

A. Analisa Terhadap Kata Khabīṡ ......................................... 47

B. Analisa Terhadap Kata Syarrun ....................................... 54

C. Analisa Terhadap Kata Żillah .......................................... 58

D. Analisa Terhadap Kata Sayyiah ....................................... 64

E. Analisa Kata-Kata Keburukan dalam al-Qur’an .............. 70

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................... 75

B. Saran-Saran ....................................................................... 76

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 77

LAMPIRAN-LAMPIRAN..................................................................... 81

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam membawa manusia kepada kehidupan yang baik,

keselamatan, sejahtera lahir batin, sehingga memperoleh kedamaian

dan ketentraman hidup di dunia dan akhirat. Agama Islam

berpedoman kepada al-Qur‟an yang merupakan kitab suci terakhir

yang diturunkan Allah Swt untuk menjadi petunjuk bagi seluruh umat

manusia.1

Al-Qur‟an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui

perantaraan malaikat Jibril ke dalam kalbu Rasulullah Saw, dengan

menggunakan bahasa Arab dan disertai dengan kebenaran agar

dijadikan hujjah dalam hal pengakuannya sebagai Rasul, dan agar

dijadikan sebagai dustur (undang-undang) bagi seluruh umat manusia,

di samping merupakan amal ibadah jika membacanya. Al-Qur‟an itu

di-tadwin-kan di antara dua ujung yang dimulai dari Surah Al-

Fātihah, dan ditutup dengan Surah Al-Nās, dan sampai kepada kita

secara tertib dalam bentuk tulisan maupun lisan dalam keadaan utuh

atau terpelihara dari perubahan dan pergantian.2

Al-Qur‟an merupakan sumber rujukan paling pertama dan utama

dalam ajaran Islam. Ia diturunkan oleh Allah kepada Nabi

Muhammad Saw untuk disampaikan kepada umat manusia. Hakikat

diturunkannya Al-Qur‟an adalah menjadi acuan moral secara

universal bagi umat manusia untuk memecahkan problema sosial

1 Abuddin Nata, AL-QUR’AN DAN HADITS (Dirasah Islamiyah 1) Edisi Revisi

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), 28-29. 2 Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Bandung: Penerbit

Risalah), Cetakan Kedua 1985, 21.

2

yang timbul di tengah-tengah masyarakat. Itulah sebabnya, al-Qur‟an

secara kategoris dan tematik, justru dihadirkan untuk menjawab

berbagai problema aktual yang dihadapi masyarakat sesuai dengan

konteks dan dinamika sejarahnya. Karena itu masuk akal jika para

mufassir sepakat bahwa profesi penurunan Al-Qur‟an ke muka bumi,

mustahil dilakukan oleh Allah secara sekaligus, melainkan berangsur-

angsur, disesuaikan dengan kapasitas intelektual dan konteks masalah

yang dihadapi umat manusia. Diturunkan secara berangsur-angsur,

sudah tentu menunjukkan tingkat kearifan dan kebesaran Tuhan,

sekaligus membuktikan bahwa pewahyuan total pada satu waktu

adalah mustahil, karena bertentangan dengan fitrah manusia sebagai

makhluk dha’if. Hikmah terbesar Al-Qur‟an diturunkan dari waktu ke

waktu, tema per tema, bagian per bagian, adalah di samping

mempertimbangkan kemampuan manusia yang terbatas dalam

menelaah dan mencerna kandungan ayat-ayat-Nya, juga dimaksudkan

agar selaras dan sejalan dengan kebutuhan objektif yang dihadapi

umat manusia.3 Al-Qur‟an sendiri menegaskan bahwa kehadiranya

memang secara seksama, memahami secara mendalam, sambil

menggunakannya sebagai “rujukan moral” yang paling autentik untuk

memecahkan problema kehidupan yang dihadapinya.4

Kitab suci al-Qur‟an merupakan mukjizat terbesar yang diturunkan

kepada Nabi Muhammad saw. suatu mukjizat yang dapat disaksikan

oleh seluruh umat manusia sepanjang masa. Karena beliau diutus

oleh Allah untuk keselamatan manusia di mana dan di masa apapun

mereka berada. Oleh sebab itu Allah menjamin keselamatan al-Qur‟an

sepanjang masa.

3 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an, cet.V (Jakarta: Penerbit Permadani,

2008), 22-23 4 QS. Al-Isra Ayat 106

3

Sebagaimana Firman-Nya QS. an-Nahl /16: 9.

“Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara

jalan-jalan ada yang bengkok. dan Jikalau Dia menghendaki,

tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).”

Al-Qur‟an adalah kitab yang agung dan sempurna. Keagungan dan

kesempurnaannya bukan hanya dirasakan oleh orang-orang yang

memahami karakteristik bahasanya yaitu bahasa Arab, tetapi juga

dirasakan oleh mereka yang mempercayai dan mengharapkan

petunjuk-petunjuknya dan semua orang yang mengenalnya sebagai

kitab yang diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Tinggi.

Bila kita mempelajari al-Qur‟an dari aspek bahasanya akan

ditemukan berbagai keindahan bahasa al-Qur‟an dari susunan kata

dan kalimatnya serta ketelitian dan keseimbangan redaksi-redaksinya.

Inilah salah satu bukti kebenaran al-Qur‟an sebagai wahyu Allah dan

mukjizat Nabi Muhammad Saw.

Kemujizatan seorang Nabi datang berkaitan dengan keahlian

masyarakatnya. Hal ini karena suatu keistimewaan baru dapat menjadi

bukti apabila aspek yang dikemukakan dapat dimengerti oleh mereka

yang ditantang, dan bukti tersebut akan semakin membungkamkan

apabila aspek tantangan yang dimaksud menyangkut sesuatu yang

dinilai sebagai keunggulan yang ditantang. Pada masa Nabi

Muhammad Saw. Keahlian masyarakat Arab adalah bahasa dan

sastra Arab.5 Mereka merasa amat mahir dalam bidang tersebut, bisa

dilihat dari banyaknya musabaqoh (perlombaan) dalam menyusun

5 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an (Bandung: Mizan Media Utama,

2014), 116.

4

syair atau khutbah, petuah dan nasihat. Penyair bisa mendapatkan

kedudukan yang sangat istimewa dalam masyarakat Arab.

Al-Qur‟an disebut memiliki mukjizat karena berbeda dari kitab-

kitab sebelumnya, diantara perbedaan itu terletak pada kebahasaanya,

keindahan susunan dan gaya bahasanya yang tidak dapat dibandingi

dari kitab lainnya.6

Tidak dapat disangkal bahwa ayat-ayat al-Qur‟an tersusun dengan

kosakata bahasa Arab, kecuali beberapa kata yang masuk dalam

perbendaharaannya akibat akulturasi7. Al-Qur‟an mengakui hal ini

dalam sekian banyak ayatnya, antara lain ayat yang membantah

tuduhan yang mengatakan bahwa al-Qur‟an diajarkan oleh seorang

„Ajam8 (non arab) kepada nabi,

9 Allah swt berfirman dalam surah an-

Nahl /16: 103.

“Dan Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata:

"Sesungguhnya al-Qur‟an itu diajarkan oleh seorang manusia

kepadanya (Muhammad)". Padahal bahasa orang yang mereka

tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam,

sedang al-Qur‟an adalah dalam bahasa Arab yang terang”.

6 Zainal Abidin, Seluk Beluk al-Qur’an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), 100.

7 Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok

manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan

asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya

sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri.

(https://id.wikipedia.org/wiki/Akulturasi). 8 Bahasa „Ajam adalah bahasa selain bahasa arab, dan diartikan juga dengan

bahasa arab yang tidak baik. (M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an, (Bandung: Mizan

Media Utama, 2014), 94. 9 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an, (Bandung: Mizan Media Utama,

2014), 93.

5

Banyak faktor yang menyebabkan terpilihnya bahasa Arab sebagai

bahasa wahyu Ilahi yang terakhir. Faktor-faktor tersebut antara lain

berkaitan dengan ciri bahasa Arab dan tujuan penyebaran ajarannya.

Bahasa ini mempunyai keunikan lain, yaitu banyaknya kata ambigu,

dan tidak jarang satu kata mempunyai dua atau tiga arti yang

berlawanan. Tapi, pada saat yang sama seseorang dapat menemukan

kata yang mengandung satu makna yang pasti saja. Bahkan, satu

huruf tidak jarang mempunyai lebih dari satu arti.10

Demikian juga

satu kata dalam al-Qur‟an mempunyai timbangan atau maksud

tersendiri, sehingga satu kata yang mempunyai arti sama terkadang

diungkapkan dalam pilihan kata yang sangat beraneka ragam.

Pengungkapan yang beraneka ragam ini dikarenakan adanya kata

dalam bahasa Arab yang mutaradif (memiliki makna yang sama

dalam berbagai lafaz).

Segala bentuk tindakan manusia mengacu pada pandangannya

tentang baik dan buruk. Nilai kebaikan dan keburukan senantiasa akan

menjadi sumber rujukan (frame of reference) dalam melakukan

berbagai tindakan hidupnya. Nilai baik, dan buruk, merupakan fokus

pembahasan berbagai sumber agama, tak terkecuali al-Qur‟an.

Kebaikan dan keburukan dalam ajaran Islam merupakan dua

bahasa yang berbeda akan tetapi memiliki keterkaitan antara

keduanya, yaitu kalau tidak berbuat baik maka berbuat buruk, maka

manusia tinggal memilih pada posisi mana ia harus berbuat karena

kebaikan dan keburukan itu sudah jelas diatur oleh ajaran agama

Islam dalam kitab suci al-Qur‟an.

10

M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an (Bandung: Mizan Media Utama,

2014), 102.

6

Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang mengerjakan

suatu kebaikan atau keburukan. Diantara kebaikan dan keburukan

manusia pada umumnya lebih condong atau lebih banyak yang

mengerjakan keburukan, hal ini disebabkan karena mengerjakan

keburukan sangatlah mudah dan beberapa faktornya adalah lemahnya

iman, kurangnya didikan, dan pergaulan bebas yang buruk, akibat

tontonan, bacaan. Dengan itu, penulis memilih menulis mengenai

makna keburukan dalam al-Qur‟an.

Istilah buruk dikenal dengan syarr, dan diartikan sebagai sesuatu

yang tidak baik, tidak seperti yang seharusnya, tak sempurna dalam

kualitas, di bawah standar, kurang dalam nilai, tak mencukupi, keji,

jahat, tidak bermoral, tidak menyenangkan, tidak dapat disetujui, tidak

dapat diterima, yang tercela dan perbuatan yang bertentangan dengan

norma-norma masyarakat yang berlaku. Dengan demikian yang

dikatakan buruk adalah suatu yang dinilai sebaliknya dari yang baik

dan tidak disukai kehadirannya oleh manusia.11

Di antara sekian banyak kata yang terdapat dalam al-Qur‟an,

makna kata yang mutaradif adalah keburukan. Kata-kata atau istilah

yang diungkapkan al-Qur‟an untuk sesuatu yang bermaksud

keburukan sangat beragam. Masing-masing kata tersebut walaupun

ada persamaan dalam makna atau arti namun memiliki perbedaan

yang dominan.

Berkaitan dengan istilah-istilah yang bermakna keburukan, dalam

situasi tersebut terkadang al-Qur‟an selalu menggunakan kata-kata

atau istilah-istilah yang berbeda dalam penyampaiannya. Hal ini

terbukti ketika al-Qur‟an mengungkapkan keburukan dalam situasi

11

Abuddin Nata, AKHLAK TASAWUF (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

2012), 105.

7

atau konteks menyangkut hal yang diharamkan seperti makanan,

maka al-Qur‟an menggunakan kata “Khabīṡ”. Apabila dalam

konteksnya menggambarkan keadaan, maka al-Qur‟an

mengungkapkannya dengan kata “syarrun”. Apabila konteksnya

menunjukkan sifat atau akibat dari perbuatan tersebut, maka al-

Qur‟an menggunakan kata “Żillah”. Apabila konteksnya nama atas

perbuatan tersebut, maka al-Qur‟an menggunakan kata “sayyiah”.

Perbedaan kata-kata yang digunakan tidak terlepas dari situasi dan

kondisi yang sedang dibicarakan oleh al-Qur‟an, sehingga penerapan

yang berbeda itu akan melahirkan pemaknaan yang berbeda meskipun

masih sama dalam arti keburukan.12

Dengan melihat adanya hal tersebut, yaitu bahwa kecenderungan

penggunaan kata dapat mempengaruhi jenis atau klasifikasi makna

lafaz yang dipakai. Maka inilah yang menjadi alasan peneliti

mengambil judul ini. Penelitian ini akan menjadi sangat menarik

mengingat penggunaan kata-kata keburukan dalam al-Qur‟an akan

menghasilkan beragam proses pemaknaan yang berbeda, sesuai

dengan konteks yang dibicarakan oleh al-Qur‟an dalam ayat-ayat

yang menyangkut tentang keburukan.

Bagi bangsa Indonesia yang umumnya tidak mengetahui dan tidak

mendalami bahasa Arab, amat sulit untuk menemukan di mana

letaknya kemukjizatan al-Qur‟an dalam aspek kebahasaannya. karena

untuk mengetahui ketinggian mutu suatu susunan kata-kata tidak

akan dipahami jika tidak dapat merasakan keindahan bahasa itu

sendiri.13

12

Abd Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran al-Qur’an, cet.II (Jakarta:

Mizan, 1998), hlm.74 13

Zainal Abidin, Seluk Beluk al-Qur’an (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), 101.

8

Untuk menjawab masalah tersebut, maka penulis tertarik untuk

membuat skripsi dengan judul: “Lafaz Yang Bermakna Keburukan

Dalam al-Qur’an; (Analisis Kata Khabīṡ, Syarrun, Żillah, Dan

Sayyiah)”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian di atas, penulis

mengidentifikasi masalah yang ada sebagai berikut:

1. Apa defenisi keburukan ?

2. Apa saja lafaz yang bermakna keburukan dalam al-Qur‟an ?

3. Adakah perbedaan makna keburukan yang terkandung dalam

setiap lafaz ?

4. Mengapa lafaz yang bermakna keburukan dalam al-Qur‟an banyak

?

5. Bagaimana pendapat para ulama‟ mengenai lafaz-lafaz yang

bermakna keburukan dalam al-Qur‟an ?

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, untuk membatasi serta

mempermudah penyusunan skripsi ini penulis membatasi hanya

khusus pada kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan arti

keburukan dalam al-Qur‟an, yaitu: Khabīṡ, Syarrun, Żillah, dan

Sayyiah, walaupun selain kata-kata tersebut masih ada kata-kata lain

yang memiliki arti keburukan seperti Qabih, Fahsya`, Munkar, Fisq,

‘Ishyān, Isrāf, Bāthil, Zhalim, Fujur, dan Fasād. Namun menurut

penulis kata-kata Khabīṡ, Syarrun, Żillah, dan Sayyiah, sudah cukup

merepresentasikan pilihan kata-kata yang menjelaskan arti keburukan

dalam al-Qur‟an.

9

Dalam membahas kata-kata tersebut, penulis menggunakan

beberapa referensi yaitu, al-Mu’jam al-Muhfahras Li al-Fȃdzi al-

Qur’an al-Karim, kitab ini digunakan untuk mengidentifikasi lafaz-

lafaz dalam al-Qur‟an karya Muhammad Fuad Abdul Baqi. Kemudian

kitab al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an kitab ini membahas makna

lafaz-lafaz yang terdapat dalam al-Qur‟an karya al-Raghib al-

Asfahani sebagai rujukan utama dalam penulisan skripsi ini, dan

untuk mendukung atas analisis tentang istilah-istilah keburukan

tersebut, penulis juga menggunakan beberapa tafsir klasik dan

kontemporer sebagai perbandingan antara lain: Tafsir Thabari, Tafsir

al-Qurthubi, Tafsir Misbah dan Tafsir al-Munir.

Dari permasalahan di atas, maka perumusan masalah yang tepat

untuk tulisan ini adalah “apa perbedaan makna yang terkandung

dalam berbagai lafaz keburukan (Khabīṡ, Syarrun, Żillah, dan

Sayyiah) dalam al-Qur’an?”.

D. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian merupakan ilmu yang mempelajari tentang

cara penelitian ilmu, tentang alat-alat dalam suatu penelitian.14

Dalam

penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian

kepustakaan (Library Research) yaitu suatu metode dengan

mengumpulkan dan menggunakan data-data yang diperoleh dari

beberapa referensi dengan cara membaca, menelaah buku-buku,

artikel, jurnal dan literatur-literatur lain yang tentunya berhubungan

dengan pembahasan pada skripsi ini dan dengan pendekatan kualitatif.

14

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Saasin,

2000), 6.

10

Data-data yang diperoleh berkaitan dengan hal-hal yang mencakup

dan penafsiran tentang ayat tersebut.

Metode analisis data dalam penelitian ini, menggunakan metode

maudu’i yaitu metode tafsir yang mengumpulkan ayat-ayat al-Qur‟an

yang mempunyai kesamaan tema yaitu yang terdapat lafaz-lafaz yang

bermakna keburukan. Kemudian dipilih lafaz-lafaz yang belum

banyak dibahas oleh penelitian terdahulu. Setelah itu ditafsirkan

beberapa ayat yang cukup mewakili pengungkapan makna dari lafaz-

lafaz tersebut dan tak lupa mencantumkan asbab al-nuzul bila ada.

Kumpulan ayat-ayat dari empat lafaz tersebut penulis paparkan dalam

lembar lampiran pada skripsi ini.

Dalam hal ini penulis merujuk kepada dua sumber, yakni sumber

utama (primary resource) dan sumber pendukung (secondary

resource). Sumber utama berasal dari kitab Al-Qur‟an dan Kitab-kitab

tafsir. Sedangkan sumber pendukungnya adalah buku-buku yang

berkaitan dengan judul tersebut, skripsi, jurnal, artikel, dan sumber-

sumber informasi lainnya yang sangat mendukung untuk

memudahkan penulis dalam menyusun skripsi dengan mencari bahan-

bahan tersebut di perpustakaan UIN Jakarta, perpustakaan Fakultas

Ushuluddin maupun perpustakaan kampus lain yang sangat

mendukung untuk memperoleh sumber-sumber dari judul tersebut.

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan pada pokok permasalahan di atas, maka tujuan kajian

skripsi secara umum adalah:

1. Untuk mengetahui kedalaman bahasa dalam al-Qur‟an dan

seberapa teliti kebahasaan dalam al-Qur‟an.

11

2. Untuk mengetahui bagaimana pilihan kata-kata pada ayat-ayat al-

Qur‟an yang secara umum menunjukkan makna keburukan yang

mendapatkan penekanan klasifikasi makna yang membedakannya

dengan pilihan lafaz lainnya.

3. Untuk mengetahui penggunaan kata-kata keburukan dalam redaksi

al-Qur‟an yang memiliki spesialisasi tersendiri.

4. Tujuan akademik penelitian ini adalah untuk memenuhi

persyaratan tugas akhir perkuliahan di jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan

Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dengan tercapainya tujuan tersebut diharapkan dari hasil penelitian

ini, diperoleh manfaat sebagai berikut:

1. Secara akademis, dapat memberikan masukan dan kontribusi bagi

pengembangan pengetahuan melalui penelitian.

2. Secara praktis, agar umat Islam dapat memandang secara ilmiah

sehingga tidak terjebak pada satu sudut pandang saja. Selain itu

juga diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi untuk memperbaiki

segala perbuatan dalam kehidupan masyarakat.

F. Tinjauan Pustaka

Pembahasan mengenai lafaz yang bermakna Keburukan dalam al-

Qur‟an, Analisa terhadap kata Khabīṡ, Syarrun, Żillah, Dan Sayyiah,

secara eksplisit penulis tidak menemukan pembahasan tersebut, tetapi

secara implisit penulis menemukan dua jurnal atau artikel yang

sekilas sejalan dan mengarah kepada pembahasan tersebut yaitu,

pertama Konsep Baik (kebaikan) dan Buruk (keburukan) dalam al-

Qur’an jurnal artikel oleh Enoh tahun 2004.

12

Enoh15

membahas keburukan dalam artikelnya hanya sepintas dan

digabungkan dengan membahas tentang kebaikan, itu pun dibahas

secara global. Dalam artikelnya tidak ada penafsiran ayat secara utuh

dan ia menggunakan pendekatan hermeneutika pada artikel tersebut.

Kedua, Keburukan dalam Perspektif al-Qur’an telaah ragam,

dampak, dan solusi terhadap keburukan jurnal oleh Imam

Sudarmoko. Dalam artikel ini juga tidak ada penafsiran ayat-ayat

yang terdapat lafaz keburukan.

Adapun judul yang akan dibahas oleh penulis merujuk referensi

kepada kitab al-Mu’jam al-Muhfahras Li al-Fȃdzi al-Qur’an al-

Karim, karya Muhammad Fuad Abdul Baqi, dan kitab al-Mufradat fi

Gharib al-Qur’an karya al-Raghib al-Asfahani. Kitab-kitab tersebut

membahas tentang lafaz-lafaz dalam al-Qur‟an serta maknanya.

Kitab-kitab tersebutlah yang akan menjadi rujukan utama dalam

penulisan skripsi ini. Selain itu penulis menggunakan kitab Lisan al-

‘Arabi, al-Munjid, dan kamus-kamus yang lain serta beberapa kitab

tafsir sebagai penguat dalam peneitian ini.

Oleh karena itu, penulis hanya akan memfokuskan kepada

pembahasan mengenai lafaz-lafaz Khabīṡ, Syarrun, Żillah, dan

Sayyiah, pada ayat-ayat yang memiliki arti tentang keburukan dalam

al-Qur‟an.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan hal yang penting karena

mempunyai fungsi untuk menyatakan garis-garis besar dari masing-

masing bab yang saling berkaitan dan berurutan. Hal ini dimaksudkan

15

Enoh, Drs., M.Ag. adalah dosen tetap Fakultas Tarbiyah di Universitas Islam

Bandung.

13

agar tidak terjadi kekeliruan dalam penyusunannya. Adapun

sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I merupakan langkah awal dalam penelitian ini, yang mana

penulis memberikan gambaran mengenai penelitian yang akan penulis

lakukan. Bab ini menjelaskan latar belakang penelitian penulis

kemudian identifikasi masalah lalu rumusan masalah bedasarkan latar

belakang dan identifikasi masalah tersebut serta tujuan dan kegunaan

penelitian ini. Penelitian ini didukung oleh beberapa pustaka dengan

beberapa metode penelitian. Adapun sistematika penulisan guna

menjadikan penelitian ini tersusun rapih.

Lanjut ke BAB II, penulis mulai memberikan landasan teori dalam

penelitian ini yang mendeskripsikan tentang pembahasan dari

keistimewaan bahasa dalam al-Qur‟an, yang meliputi pengertian al-

Qur‟an, al-Qur‟an diturunkan dengan bahasa Arab, dan sisi

kemukjizatan tata bahasa al-Qur‟an. Pemaparan tentang tarâduf

dimasukkan ke dalam bab ini di karenakan landasan rumusan masalah

bermula dari tarâduf, yaitu memiliki banyak lafaz namun bermakna

satu. Selengkapnya akan dibahas dalam bab ini.

Lanjut ke BAB III, penulis menguraikan pembahasan tentang

pandangan mengenai keburukan yang meliputi, defenisi term

keburukan, sumber keburukan, dan akibat dari keburukan guna untuk

menghindari kesalahan dalam memaknai kata keburukan itu sendiri.

Lalu diikuti pembahasan lafaz-lafaz yang menunjukkan makna

keburukan seperti: Khabīṡ, Syarrun, Żillah, dan Sayyiah. Empat lafaz

tersebut yang merupakan pembatasan masalah.

Lanjut ke BAB IV, pada bab ini akan dibahas lebih lanjut atau

lebih mendalam mengenai empat lafaz tersebut Khabīṡ, Syarrun,

Żillah, dan Sayyiah melalui analisa dari beberapa kitab tafsir yang

14

berbeda-beda serta analisa penulis terhadap lafaz-lafaz keburukan

dalam al-Qur‟an (Khabīṡ, Syarrun, Żillah, dan Sayyiah).

Terakhir BAB V, merupakan bab penutup yang meliputi

kesimpulan, dalam bab ini akan dipaparkan seluruh kajian atau

penelitian yang merupakan jawaban dari permasalahan yang terdapat

pada latar belakang masalah, dan juga akan dilanjutkan kepada

permohonan saran-saran dan penutup sebagai masukan dari para

pembaca untuk melengkapi hasil penelitian dari hasil karya penulis

yang cukup terbatas dan tentunya masih banyak kekurangan.

Semuanya akan disimpulkan secara narasi dengan baik.

15

BAB II

KEISTIMEWAAN BAHASA AL-QUR’AN

Keistimewaan bahasa yang terkandung dalam al-Qur‟an merupakan

bukti mukjizat al-Qur‟an yang diturunkan sebagai petunjuk bagi orang

yang bertaqwa. Keindahan bahasa serta penyesuaian tatanan kata-kata

dalam al-Qur‟an sesuai mengikuti kondisi dan situasi, begitu pun makna

yang terkandung di dalamnya sejalan dengan konteks yang sedang

dibicarakan.

A. Pengertian Al-Qur’an.

Al-Qur‟an merupakan kitab suci yang memperkenalkan dirinya

sebagai hudan li an-nȃs (petunjuk bagi manusia) agar memperoleh

kebaikan di dunia dan di akhirat. Ia merupakan sumber pertama dan

utama dari segi ajaran syariat, akidah, maupun akhlak yang harus

diimani dan di aplikasikan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu,

kaum muslimin khususnya, wajib berupaya memahami al-Qur‟an

dengan mengerahkan segenap panca indera dan mata hati untuk

menangkap kandungan isinya, sehingga fungsi al-Qur‟an sebagai

petunjuk bagi kehidupan manusia akan benar-benar terasa.

Secara bahasa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

menjelaskan bahwa al-Qur‟an adalah bentuk kata mashdar dari kata

qara‟a ( أقر ) yang bermakna membaca atau mengumpulkan.1 Jika al-

Qur‟an berasal dari kata qara‟a yang bermakna membaca, maka al-

Qur‟an berarti sesuatu yang dibaca, sedangkan jika berasal dari kata

1

Suatu kata dalam bahasa Arab bisa memiliki lebih dari satu makna. Dalam

kasus ini, قرأ (qara`a) memiliki makna جمع (jama'a) mengumpulkan dan تلا (talâ)

membaca. Dari kata قرأ diambil kata lain: القرية (al-qaryah), yang berarti desa karena di

desa terkumpul keluarga-keluarga.

16

qara‟a yang bermakna mengumpulkan, maka al-Qur‟an berarti

sesuatu yang mengumpulkan, karena al-Qur‟an itu berisi kumpulan

kisah-kisah dan hukum.2 Mayoritas ahli tafsir sepakat bahwa wahyu

pertama yang diterima oleh nabi Muhammad adalah surah al-'Alaq

ayat 1-5. Walaupun hal demikian tidak tertulis secara langsung di al-

Qur‟an.

Menurut istilah, al-Qur‟an adalah kalam Allah yang diturunkan

melalui perantaraan malaikat Jibril ke dalam kalbu Rasulullah saw,

dengan menggunakan bahasa Arab dan disertai dengan kebenaran

agar dijadikan hujjah dalam hal pengakuannya sebagai Rasul, dan

agar dijadikan sebagai dustur (undang-undang) bagi seluruh umat

manusia, di samping merupakan amal ibadah jika membacanya. Al-

Qur‟an itu ditadwinkan di antara dua ujung yang dimulai dari Surah

al-Fȃtihah, dan ditutup dengan Surah al-Nȃs, dan sampai kepada kita

secara tertib dalam bentuk tulisan maupun lisan dalam keadaan utuh

atau terpelihara dari perubahan dan pergantian.3

Para ahli tafsir memiliki definisi tersendiri tentang al-Qur‟an,

seperti Dr. Subhi Saleh yang mendefinisikan al-Qur‟an sebagai

berikut: “Kalam Allah yang merupakan mukjizat yang diturunkan

kepada Nabi Muhammad saw dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan

dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”. Adapun

Muhammad Ali Ash-Shabuni mendefinisikan al-Qur‟an sebagai

berikut: “al-Qur‟an adalah firman Allah yang tiada tandingannya,

diturunkan kepada Nabi Muhammad saw penutup para nabi dan rasul,

dengan perantaraan Malaikat Jibril dan ditulis pada mushaf-mushaf

yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta

2 Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Ushûl fî at-Tafsîr (Al-Maktabah al-

Islamiyyah, 2001). 3 Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, cet.II (Bandung:

Penerbit Risalah, 1985), 21.

17

membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai

dengan surah al-Fȃtihah dan ditutup dengan surah an-Nȃs”.

B. Al-Qur’an Diturunkan dengan Bahasa Arab.

Tidak dapat disangkal bahwa ayat-ayat al-Qur‟an tersusun dengan

kosakata bahasa Arab, hal ini dibuktikan dengan banyaknya ayat-ayat

yang sudah menjelaskan, seperti ayat-ayat berikut ini :

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan

berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf [12] : 2).

“Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quran itu sebagai

peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab.4 Dan seandainya kamu

mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan

kepadamu, Maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara

bagimu terhadap (siksa) Allah.” (QS. Ar-Ra`d [13] : 37).

“Dan Demikianlah Kami menurunkan Al Quran dalam bahasa

Arab, dan Kami telah menerangkan dengan berulang kali, di

4 Keistimewaan bahasa Arab itu antara lain Ialah: 1. sejak zaman dahulu kala

hingga sekarang bahasa Arab itu merupakan bahasa yang hidup, 2. bahasa Arab adalah

bahasa yang lengkap dan Luas untuk menjelaskan tentang keTuhanan dan keakhiratan. 3.

bentuk-bentuk kata dalam bahasa Arab mempunyai tasrif (konjugasi) yang Amat Luas

sehingga dapat mencapai 3000 bentuk peubahan, yang demikian tak terdapat dalam

bahasa lain.

18

dalamnya sebahagian dari ancaman, agar mereka bertakwa atau

(agar) Al Quran itu menimbulkan pengajaran bagi mereka.” (QS.

Taahaa [20] : 113).

“Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al Quran dalam bahasa

Arab, supaya kamu memberi peringatan kepada Ummul Qura

(penduduk Mekah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya

serta memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul (kiamat)

yang tidak ada keraguan padanya. segolongan masuk surga, dan

segolongan masuk Jahannam.” (QS. Asy-Shuura [42] : 7)

“Dan sebelum Al Quran itu telah ada kitab Musa sebagai petunjuk

dan rahmat. dan ini (Al Quran) adalah kitab yang membenarkannya

dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang

yang zalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang

berbuat baik.” (QS. Al-'Ahqaaf [46] : 12).

Ayat-ayat di atas jelas seirama menerangkan bahwa al-Qur‟an itu

berbahasa Arab. Maka ini jelas menjadi bantahan terhadap sebahagian

ahli yang mengatakan bahwa bahasa al-Qur‟an adalah bahasa

campuran antara bahasa Arab dan non Arab.

Banyak faktor yang menyebabkan terpilihnya bahasa Arab sebagai

bahasa wahyu Ilahi yang terakhir. Faktor-faktor tersebut antara lain

berkaitan dengan ciri bahasa Arab dan tujuan penyebaran ajarannya.

Bahasa Arab memiliki keistimewaan tersendiri, khususnya dalam hal

kekayaan kosa-kata. Dengan spesifikasi ini, bahasa Arab dapat

mengakomodasi perbedaan-perbedaan kecil mengenai satu hal, seperti

19

menggambarkan rasa cinta dengan kosa kata berbeda-beda sesuai

tingkatannya. Selain itu al-Qur‟an sangat teliti dalam memilih kata

yang digunakannya yang dalam bahasa Indoonesia disebut dengan

diksi.5

Bahasa al-Qur‟an dan bahasa Arab sekarang ini, merupakan bahasa

terpenting di kalangan ras Semit6, lebih dari 100 juta orang

menggunakan bahasa ini. Sistem penulisan bahaa Arab

diperkkenalkan di Mekkah tidak lama sebelum periode wahyu al-

Qur‟an dan setelah periode turun wahyu sistem penulisan tersebut

mengalami sejumlah perbaikan utamanya adalah dengan pemberian

titik pada sebahagian huruf sebagai tanda bunyi huruf hijaiyah.7

C. Sisi Kemukjizatan Bahasa al-Qur’an.

Al-Qur‟an adalah mukjizat yang terbesar yang diturunkan kepada

nabi Muhammad SAW, kemukjizatannya tidak hanya dilihat dari satu

sisi saja. Al-Qur‟an merupakan firman Allah SWT yang memiliki

keindahan dengan kemukjizatan bahasanya.

Dari segi bahasa dan sastra al-Qur‟an mempunyai gaya bahasa

yang khas yang sangat berbeda dengan bahasa masyarakat Arab, baik

dari pemilihan kata dan penyusunannya yang memiliki makna dalam.

Usman bin Jinni (932-1002) seorang pakar bahasa Arab sebagaimana

dituturkan Quraish Shihab mengatakan bahwa pemilihan kosa kata

dalam bahasa Arab bukanlah suatu kebetulan melainkan mempunyai

5 Akimin Mesra, dkk, Ulumul Qur‟an (Ciputat: Pusat Studi Wanita, 2005), 171.

6 Semit (dari bahasa Ibrani Alkitab, "Sem"; Arab: سامي‎, Syam, diterjemahkan

dengan arti "nama") adalah suatu istilah yang mula-mula digunakan dalam linguistik dan

etnologi untuk merujuk kepada sebuah "keluarga atau rumpun bahasa" asal Timur

Tengah, yang sekarang disebut "Rumpun bahasa Semit". 7 Cyril Glase, Ensiklopedia Islam Ringkas (Jakarta: PT Grapindo Persada, 1999),

47.

20

nilai falsafah bahasa yang tinggi.8 Kalimat-kalimat dalam Al-Qur‟an

mampu mengeluarkan sesuatu yang abstrak kepada fenomena yang

konkrit sehingga dapat dirasakan ruh dinamikanya, termasuk

menundukkan seluruh kata dalam suatu bahasa untuk setiap makna

dan imajinasi yang digambarkannya. Kehalusan bahasa dan uslub Al-

Qur‟an yang menakjubkan terlihat dari balagoh dan fashohahnya, baik

yang konkrit maupun abstrak dalam mengekspresikan dan

mengeksplorasi makna yang dituju sehingga dapat komunikatif antara

Autor (Allah) dan penikmat (umat).9

Kajian mengenai gaya Al-Qur‟an, Shihabuddin menjelaskan dalam

bukunya Stilistika Al-Qur‟an, bahwa penggabungan antara huruf

konsonan dan vocal dalam al-Qur‟an memiliki keserasian sehingga

mudah dalam pengucapannya. Lebih lanjut dengan mengutip Az-

Zarqoni keserasian tersebut adalah tata bunyi harakah, sukun, mad

dan ghunnah. Dari paduan ini bacaan al-Qur`an akan menyerupai

suatu alunan musik atau irama lagu yang mengagumkan. Perpindahan

dari satu nada ke nada yang lain sangat bervariasi sehingga warna

musik yang ditimbulkanpun beragam. Keserasian akhir ayat melebihi

keindahan puisi, hal ini dikarenakan al-Qur‟an mempunyai

purwakanthi10

beragam sehingga tidak membosankan. Misalnya

dalam surah Al-Kahfi (18: 9-16) yang diakhiri vocal “a” dan diiringi

konsonan yang berfariasi, sehingga tak aneh kalau mereka

(masyarakat Arab) terenyuh dan mengira Muhammad berpuisi.

Namun Walid Al-mughiroh membantah karena berbeda dengan

8 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1999), 90.

9 Said Aqil Munawar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,

(Ciputat: Press Jakarta, 2002), 33-34 10

Purwakanthi merupakan rima atau alunan bunyi yang sama pada beberapa

kata dalam Sastra Jawa dan Sastra Sunda. Purwakanthi berasal dari kata purwa artinya

awalan, dan kanthi yang berarti menggandeng atau mengulang, sehingga purwakanthi arti

harfiahnya adalah mengulang yang telah disebut di awal.

21

kaidah-kaidah puisi yang ada, lalu ia mengira ucapan Muhammad

adalah sihir karena mirip dengan keindahan bunyi sihir (mantra) yang

prosais dan puitis. Sebagaimana pula dilontarkan oleh Montgomery

Watt dalam bukunya “bell‟s Introduction to the Qoran” bahwa style

Quran adalah Soothsayer Utterance (mantera tukang tenung), karena

gaya itu sangat tipis dengan gayanya tukang tenung, penyair dan

orang gila.11

Terkait dengan nada dan langgam bahasa ini, Quraish Shihab

mengutip pendapat Marmaduke (cendikiawan Inggris) ia mengatakan

bahwa al-Qur`an mempunyai simponi yang tidak ada taranya, setiap

nada-nadanya bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan

bersuka cita. Misalnya dalam surah An-Naazi‟at ayat 1-5. Kemudian

dilanjutkan dengan langgam yang berbeda ayat 6-14, yang ternyata

perpaduan langgam ini dapat mempengaruhi psikologis seseorang.12

Selain efek fonologi13

terhadap irama, juga penempatan huruf-

huruf al-Qur‟an tersebut menimbulkan efek fonologi terhadap makna,

contohnya sebagaimana dikutip Shihabuddin Qulyubi dalam bukunya

Najlah “Lughah Al-Qur`an al-karim fi Juz „amma”, bunyi yang

didominasi oleh jenis konsonan frikatif (huruf س ) memberi kesan

bisikan para pelaku kejahatan dan tipuan, demikian pula pengulangan

dan bacaan cepat huruf ر pada QS. An-Naazi‟at menggambarkan

getaran bumi dan langit. Contoh lain dalam surah al-haqqah dan al-

11

Shihabuddin Qulyubi, Stilistika Al-Qur‟an (Yogyakarta: Titan Ilahi Pers,

1997), 39-41. 12

M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1999), 119. 13

Fonologi adalah ilmu tentang perbendaharaan bunyi-bunyi (fonem) bahasa dan

distribusinya. Fonologi diartikan sebagai kajian bahasa yang mempelajari tentang bunyi-

bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat ucap manusia. Bidang kajian fonologi adalah

bunyi bahasa sebagai satuan terkecil dari ujaran dengan gabungan bunyi yang

membentuk suku kata.

22

Qari‟ah terkesan lambat tapi kuat, karena ayat ini mengandung makna

pelajaran dan peringatan tentang hari kiamat.14

Dari pemilihan kata dan kalimat misalnya, al-Qur‟an mempunyai

sinonim dan homonim15

yang sangat beragam.

Secara umum Said Aqil merangkum keistimewaan al-Qur‟an

sebagai berikut:16

1. Kelembutan al-Qur‟an secara lafziyah yang terdapat dalam

susunan suara dan keindahan bahasa.

2. Keserasian al-Qur‟an baik untuk orang awam maupun

cendekiawan.

3. Sesuai dengan akal dan perasaan, yakni al-Qur‟an memberi doktrin

pada akal dan hati, serta merangkum kebenaran serta keindahan

sekaligus.

4. Keindahan sajian serta susunannya, seolah-olah suatu bingkai yang

dapat memukau akal dan memusatkan tanggapan dan perhatian.

5. Keindahan dalam liku-liku ucapan atau kalimat serta beraneka

ragam dalam bentuknya.

6. Mencakup dan memenuhi persyaratan global (ijmali) dan

terperinci (tafsily).

7. Dapat memahami dengan melihat yang tersurah dan tersirat.

Susunan gaya bahasa al-Qur‟an tidak sama dengan gaya bahasa

karya manusia yang dikenal masyarakat Arab saat itu. Al-Qur‟an

14

Shihabuddin Qulyubi, Stilistika Al-Qur‟an ( Yogyakarta: Titan Ilahi Pers,

1997), 45-46. 15

Homonim ialah bentuk (istilah) yang sama ejaan atau lafalnya, tetapi

mengungkapkan makna yang berbeda karena berasal dari asal yang berlainan. Homonim

terbagi menjadi dua macam: 1. Homograf, yaitu bentuk istilah yang sama ejaannya, tetapi

mungkin lain lafalnya. Contoh: pedologi (paedo) => ilmu tentang hidup dan

perkembangan anak. Pedologi (pedon) => ilmu tentang tanah. 2. Homofon, yaitu bentuk

yang sama lafalnya, tetapi berlainan ejaannya. Contoh: bank =>bang, sanksi => sangsi.

(KBBI h.1045). 16

Said Aqil Munawar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki

(Ciputat: Press Jakarta, 2002), 35.

23

tidaklah berbentuk syair, tidak pula puisi.17

“Bahkan menurut

Noldeke18

, diikuti Schwally19

, mengatakan bahwa bahasa al-Qur‟an

tidak dapat disamakan dengan bentuk bahasa buatan manusia

manapun yang pernah dituturkan”.20

Adapun ciri-ciri gaya bahasa al-

Qur‟an di antaranya:21

a. Susunan kata dan kalimat al-Qur‟an

1) Nada dan langgamnya yang unik

Ayat-ayat al-Qur‟an walaupun telah ditegaskan oleh Allah

bukan syair atau puisi, tetapi terasa dan terdengar mempunyai

keunikan dalam irama dan ritmenya. Hal ini diakui oleh

cendikiawan Inggris, Mermaduke Pickthall22

dalam The

17

Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 20. 18

Theodor Nöldeke (lahir 2 Maret 1836 di Harburg , wafat 25 Desember 1930 di

Karlsruhe ) adalah seorang orientalis dan sarjana Jerman . Minat penelitiannya berkisar

pada studi Perjanjian Lama , bahasa Semitik dan sastra Arab, Persia, dan Syria. Nöldeke

menerjemahkan beberapa karya penting sastra oriental dan selama masa hidupnya

dianggap sebagai orientalis yang penting. Dia menulis banyak penelitian (termasuk

tentang Al-Qur'an) dan menyumbangkan artikel untuk Encyclopædia Britannica. Dia

mempercayakan Schwally dengan kelanjutan dari pekerjaan standarnya "The History of

the Qur'ān ". (https://en.wikipedia.org/wiki/Theodor_Nöldeke ) 19

Schwally lahir pada 10 Agustus 1863, di rumah keluarga di Guldengasse.

Kecintaan Schwally terhadap bahasa Semit membawanya ke Universitas Strasbourg pada

tahun 1892 untuk kembali menjadi mahasiswa orientalis Jerman terkemuka pada

masanya, Profesor Dr. Theodor Nöldeke . Di Universitas-universitas Jerman,

Orientalisme telah berkembang menjadi disiplin akademik yang terpisah dalam dirinya

sendiri, dan berlabuh di dalam Fakultas Filsafat. Itu didasarkan pada pengetahuan bahasa

dan budaya, dan juga bisa merangkul metodologi historis-kritis untuk analisis teks. Bagi

Schwally, ini adalah rumahnya yang alami.

(https://en.wikipedia.org/wiki/Friedrich_Schwally) 20

Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur‟an, Penyempurnaan atas karya

Ricard Bell (Jakarta: Rajawali Pers,1991), 132. 21

M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1999), 118-119. 22

Muhammad Marmaduke William Pickthall (1875-1936) adalah seorang

intelektual Muslim Barat, yang terkenal dengan terjemahan Al Qur'an yang puitis dan

akurat dalam bahasa Inggris. Ia merupakan pemeluk agama Kristen yang kemudian

berpindah agama memeluk Islam. Pickthall adalah juga seorang novelis, yang diakui oleh

D.H Lawrence, H.G Wells dan E.M Forster, juga seorang jurnalis, kepala sekolah serta

pemimpin politik dan agama. Dididik di Harrow, ia terlahir pada keluarga Inggris kelas

menengah, yang akar keluarganya mencapai ksatria terkenal William sang penakluk.

Pickthall berkelana ke banyak negara-negara Timur, mendapat reputasi sebagai ahli

24

Meaning of Gloris Qur‟an. Pickthall berkata, “al-Qur‟an

mempunyai simfoni yang tidak ada taranya sehingga setiap

nada-nadanya dapat menggerakkan manusia untuk menangis

dan bersuka cita”. Hal ini karena huruf dari kata-kata al-Qur‟an

melahirkan keserasian irama. Sebagai contoh surah an-Nazi‟at

/79: 1-4.

“Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan

keras, Dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa)

dengan lemah-lembut, Dan (malaikat-malaikat) yang turun

dari langit dengan cepat, Dan (malaikat-malaikat) yang

mendahului dengan kencang”.

2) Singkat dan padat

Sebagaimana surah al-Baqarah /2: 212.

...

“Dan Allah memberi rezki kepada orang-orang yang

dikehendaki-Nya tanpa batas”.

Ayat di atas dapat berarti Allah memberikan rizki kepada

siapa yang dikehendakinya tanpa ada yang berhak

mempertanyakannya. Dia Maha Kaya memberikan rizki tanpa

batas.

masalah Timur Tengah. Ia menerbitkan terjemahannya atas Al Qur'an (The meaning of

the Holy Qur'an), ketika menjadi pejabat di bawah pemerintahan Nizam dari Hyderabad.

Terjemahannya ini menjadi terjemahan dalam bahasa Inggris pertama yang dilakukan

oleh seorang Muslim dan diakui oleh Universitas Al-Azhar (Mesir).

(https://id.wikipedia.org/wiki/Marmaduke_Pickthall )

25

b. Keseimbangan redaksi

Al-Qur‟an memiliki keseimbangan antara jumlah bilangan kata

dengan antonimnya, seperti; al-hayah (hidup) dan al-maut (mati)

masing-masing 145 kali, ash-sholihat (kebaikan) dan as-sayyiat

(keburukan) masing-masing 167 kali. Selain itu al-Qur‟an

memiliki keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya

atau makna yang dikandungnya, seperti al-Harts dan az-Zira‟ah

(membajak/bertani) masing-masing 14 kali. Keseimbangan antara

jumlah bilangan kata dengan jumlah yang menunjukkan akibatnya,

seperti al-Infaq dengan ar-Ridha masing-masing 73 kali.

c. Ketelitian redaksi

Sebagai contoh, kata as-sama‟ (pendengaran) dan al-abshar

(penglihatan) dalam arti indra manusia, kata di atas ditemukan

dalam al-Qur‟an sebanyak 13 kali. Dari jumlah tersebut kata as-

sama‟ selalu digunakan dalam bentuk tunggal dan selalu

mendahului kata al-abshar yang juga selalu dalam bentuk jamak.

Dapat dilihat dalam surah an-Nahl/16: 78.

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan

tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu

pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.

26

D. Pemaparan Tentang Tarâduf

Dalam bahasa indonesia, tarȃduf diistilahkan dengan sinonim.

Sinonim dalam KBBI ialah dua kata atau lebih yang pada asasnya

mempunyai makna yang sama, tetapi berlainan bentuk luarnya.23

Seperti contoh kata stop sama maknanya dengan berhenti, atau kata

hubung, kait, keduanya memiliki satu pemahaman yang sama. Kata

sinonim sendiri berasal dari bahasa Yunani Kuno onoma yang berarti

nama dan syn yang berarti dengan. Dengan kata lain sinonim adalah

nama lain untuk benda yang sama.24

Sedangkan menurut istilah terminologi, Kridalaksana

menyebutkan, sinonim adalah “Bentuk bahasa yang maknanya mirip

atau sama dengan bentuk lain kesamaan itu berlaku bagi kata,

kelompok kata, atau kalimat, walaupun umumnya yang dianggap

sinonim hanyalah kata-kata saja”. Menurut Soedjito, Sinonim ialah:

dua kata atau lebih yang maknanya sama atau hampir sama (mirip).

Sinonim itu terdapat pada tataran kalimat, frase, kata, dan morfem

(Verhar, 1977:132). Kata al-mutarȃdif berasal dari masdar ف د الر (al-radfu) dalam

bentuk fi‟il ف د ر ي – ف د ر (radifa-yardafu) yang berarti mengikuti

sesuatu, tiap-tiap benda mengikuti benda lain. ي ف د ر ت م (mutaradifain)

dalam (QS. Al-Anfal: 9) diartikan dengan datang bertutut-turut,

apabila saling mengikuti dikatakan ف اد ر الت (al-tarāduf) bentuk isim

fa‟il (lil musyarakah).25

Al-Mutarȃdif (sinonim) ialah داح ن ع م ل د د ع ت م ال ظ ف ل ل ا “ dua kata

atau lebih, mempunyai satu arti” dalam kajian bahasa adalah lafazh

23

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, KAMUS BESAR BAHASA

INDONESIA (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 1045. 24

Rofiq Nurhadi, “Pro Kontra Sinonim Dallam al-Qur‟an”, Surya Bahtera:

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol.2, No.04 (2015), 2 25

Muhammad Ibn Makram Ibn „Ali Ibn Manzur, Lisȃn al-A‟rab (Kairo: Dȃr al-

Ma‟ȃrif, t.th), 1625.

27

yang berbeda-beda tetapi mempunyai makna yang sama, seperti ، د س أ ،ة ام س ، أ ث ي الل yang berarti singa, atau seperti ،ان ، اليم المهند،ف ي الس ام،س الح

yang berarti pedang atau ل، قيء ح الن ق ي ت، التحموت، العسل الشهد، ر ي م ال .yang berarti madu الزنابيلBeberapa pengertian lain mengenai al-tarȃduf ( ف اد ر الت ) adalah:

ة د اح ة ل ل ا د ل ر ث ك أ ف ي ت م ل ك د و ج ن ع ة ار ب ع و : ى ف اد ر الت

“al-Tarȃduf adalah dua kata atau lebih yang maknanya kurang

lebih sama. Dikatakan “kurang lebih” karena memang, tidak akan

ada dua kata berlainan yang maknanya persis sama”.

Sedangkan menurut Ya‟qub, فاد ر الت Ialah:

د اح ل و ل د ي م ل ع ات م ل ك ة د ع ق لا ط إ و ى أ , اه ن ع م ق ف ت إ و ظ ف ل ف ل ت ااخ م

“Berbeda arti pada satu lafaz, Atau Beragam lafaz tapi satu

makna”.

Menurut Umar:

د اح ن ع ي م ل ع ظ ف ل ن م ر ث ك أ ل د ي ن أ و ى ف اد ر الت

“Sinonim adalah banyak lafaz tapi satu arti”.

Pengertian al-mutarȃdif menurut para ahli :

1. Menurut al-Jurjânî, mutarâdif adalah; beberapa kata yang sama

mempunyai kesatuan pengertian dengan ciri-ciri tertentu. Tarȃduf

lawannya musytarak.

2. Menurut Imam Fakhruddin, tarȃduf ialah lafaz yang tunggal yang

memiliki satu pengertian.

28

3. Menurut Muhammad at-Tunjî dan Râjî al-Asmar, mutarâdif adalah

perbedaan kata dengan satu pengertian, seperti kata ث ي الل د س ال ةام س أ ام غ ر ض dan ار الد ل ز ن م ال ن ك س م ال ت ي الب kedua kata tersebut

masing-masing mempunyai satu pengertian.

4. As-Suyûthî mendefinisikan mutarâdif adalah beberapa kata dengan

satu arti, namun beliau lebih berhati-hati terhadap beberapa kata

yang mempunyai batasan tertentu, seperti kata ر ش الب ان س ن ال dan

الصارم ف ي الس kedua kata ini mempunyai batasan dari segi zat dan

sifatnya.

Berdasarkan penelitian para ahli, bahwa bahasa Arab merupakan

bahasa yang paling banyak mengandung lafazh mutarȃdifat. Untuk

makna pedang saja terdapat seribu lebih lafaz, untuk makna singa ada

lima ratus lafaz, untuk makna madu ada delapan puluh kata lebih, dan

untuk makna hujan, unta, air, sungai, cahaya, gelap juga untuk makna

yang menunjukan sifat seperti panjang, pendek, gagah, kikir dan lain-

lain yang dikenal oleh bangsa arab jahiliah masing-masing terdiri dari

sepuluh lafaz. Bahkan seorang orientalis mencoba mengumpulkan

kosa-kata yang berkaitan dengan unta dan berhasil mengumpulkan

lima ribu enam ratus empat puluh empat.

Jumhur ulama menyatakan bahwa mendudukkan dua murȃdif pada

tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh

syara‟. Kaidah para Jumhur ulama sebagai berikut:

ن م ل ك اع ق ي إ ع ر ش ع ال ط و ي ل ع م ق ي ا ل ذ إ ز و ي ر خ الآ ان ك م ي ف اد ر ال

“Mendudukkan dua muradhif itu pada tempat yang sama itu

diperbolehkan jika tidak ditetapkan oleh syara‟”.

29

Berdasarkan banyaknya pengertian di atas bisa disimpulkan bahwa

mutarȃdif adalah kata yang beragam namun memiliki arti atau makna

yang sama.

30

31

BAB III

PANDANGAN TENTANG KEBURUKAN

Segala bentuk tindakan manusia selalu mengacu pada pandangannya

tentang baik dan buruk. Nilai kebaikan dan keburukan senantiasa akan

menjadi sumber rujukan untuk melakukan berbagai tindakan dalam hidup.

Karena itu, pembahasan pandangan baik-buruk merupakan persoalan

mendasar dalam peri kehidupan manusia. Pada hakikatnya, apapun yang

dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya adalah kebaikan meskipun itu

keburukan, sedangkan keburukan yang diperbuat oleh manusia adalah

pelanggaran. Maka Allah Swt selalu memberi petunjuk kepada manusia

agar selalu berbuat baik, karena kebaikan dapat menghapus keburukan.

A. Defenisi Keburukan

Keburukan merupakan sesuatu yang dibenci dan harus

ditinggalkan. Buruk diartikan sebagai sesuatu yang tidak baik, yang

tidak seperti seharusnya, tak sempurna dalam kualitas, di bawah

standar, kurang dalam nilai, tak mencukupi, keji, jahat, tidak

bermoral, tidak menyenangkan, tidak dapat disetujui, tidak dapat

diterima, sesuatu yang tercela, lawan dari baik, dan perbuatan yang

bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku. Oleh

karena itu, kehadirannya tidak disukai oleh manusia.1

Perilaku keburukan adalah hina dan sesuatu yang dilarang oleh

petunjuk agama dan harus ditinggalkan dengan berbagai bentuk dan

jenisnya, namun dalam kehidupan beragama umat Islam di Indonesia

saat ini, kata dan perbuatan buruk sering terdengar. Terkadang pula

muncul ungkapan yang salah dalam mengklaim seseorang atau suatu

1 Abuddin Nata, AKHLAK TASAWUF (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

2012), 105.

32

kelompok dikarenakan pola pikir dan kurangnya pengetahuan

sehingga sesuatu yang baik dianggap buruk dan buruk dianggap baik.

Tentu saja sikap dan istilah buruk yang dilontarkan oleh individu atau

suatu kelompok kepada kelompok lain tersebut menimbulkan

permasalahan tersendiri dalam konteks hubungan sosial.

Istilah buruk juga tidak sangat menyenangkan bagi orang yang

dituduh dengan ungkapan tersebut, bahkan tidak jarang istilah

tersebut bisa menyulut konflik dan mengobarkan permusuhan antara

sesama pemeluk suatu agama dengan kata lain terjadilah keburukan

dalam hal interaksi sosial. Maka perlu adanya solusi dengan

pengkajian yang mendalam sesuai petunjuk al-Qur’an.

B. Sumber keburukan

Sumber orang melakukan keburukan adalah karena dua faktor.

Pertama, faktor internal yaitu adanya keinginan untuk berbuat buruk

karena kelalaian atau kebodohannya dan tidak mampu menguasai

hawa nafsunya.2 Di antara faktor internal yaitu:

1) Kebodohan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan

sifat-sifat bodoh, ketidaktahuan, kekeliruan, dan kesalahan.3

Kebodohan adalah keadaan dan situasi di saat kurangnya

pengetahuan terhadap suatu informasi yang bersifat subjektif atau

lebih singkatnya minim pengetahuan.

Kata “bodoh” adalah kata sifat yang mengambarkan keadaan

di saat seseorang tidak menyadari suatu hal, tetapi memiliki

2 Abd Haris, Etika Hamka Konstruksi Etik Berbasis Rasional-Religius

(Yogyakarta: LKiS, 2010), 117-118. 3 Tim penyusun kamus pusat bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi.3,

cet.4 (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 160.

33

kemampuan untuk memahaminya. Salah satu ayat yang

membicarakan kebodohan ialah Q.S. al-Isra’/17: 36,

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak

mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya

pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta

pertanggungan jawabnya”.

Kebodohan menjadi salah satu sumber internal keburukan

dikarenakan jika seseorang melakukan suatu hal dengan minim

pengetahuan maka perbuatan yang dilakukannya cenderung

memiliki potensi kesalahan.

2) Kesombongan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan sifat dari

kata sombong, keangkuhan, kecongkakan, takabbur.4 Sombong

adalah menghargai diri secara berlebihan, congkak, pongah hal ini

merupakan prilaku buruk. Sebagaimana diungkapkan dalam QS.

al-Isra’/17: 37,

“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan

sombong, karena Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat

menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai

setinggi gunung”.

4 Tim penyusun kamus pusat bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,1083.

34

3) Putus asa

Putus asa sama dengan hilang/habis harapan, menyerah dengan

keadaan, tidak mempunyai jiwa semangat lagi dan cenderung

menjerumuskan ke dalam perbuatan buruk seperti mencuri, bunuh

diri, dll. Telah disebutkan al-Qur’an surah al-Zumar/39:53,

“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas

terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari

rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa

semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi

Maha Penyayang”.

4) Mengikuti hawa nafsu

Hawa nafsu adalah sebuah perasaan atau kekuatan emosional

yang besar dalam diri seorang manusia yang berkaitan secara

langsung dengan pemikiran atau fantasi seseorang. Hawa nafsu

merupakan kekuatan psikologis yang kuat yang menyebabkan

suatu hasrat atau keinginan intens terhadap suatu objek atau situasi

demi pemenuhan emosi tersebut.5 Dengan berbekal nafsu manusia

dapat menjalankan kehidupannya secara wajar sebagai makhluk

hidup yang hidup di alam dunia. Berbagai kebuTuhan penting

manusia, seperti makan, minum, tidur, menikah, dan lain

sebagainya, semua itu melibatkan nafsu di dalamnya.

Secara alamiah nafsu bukanlah hal yang mutlak buruk. Namun

demikian, nafsu memiliki kecederungan-kecenderungan untuk

menyimpang. Oleh karena itu, dalam Islam terkandung anjuran

5 Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Diakses pada 8 Februari, 2019,

https://id.wikipedia.org/wiki/Hawa_nafsu

35

kuat untuk mengendalikan nafsu, agar selamat dari jebakan dan

godaan-godaannya yang menjerumuskan.

Usaha mengendalikan nafsu ini tentu saja bukan perkara yang

mudah. Karakter nafsu yang tak tampak dan kerapkali membawa

efek kenikmatan menjadikannya sebagai musuh paling sulit untuk

diperangi. Rasulullah sendiri mengistilahkan ikhtiar pengendalian

nafsu ini dengan “jihad”, yakni jihâdun nafsi. Nafsu menjadi

musuh paling berat dan berbahaya karena yang dihadapi adalah

diri sendiri. Ia menyelinap ke dalam diri hamba yang lalai, lalu

memunculkan perilaku-perilaku buruk, seperti ‘ujub, pamer, iri,

meremehkan orang lain, dusta, khianat, memakan penghasilan

haram, dan seterusnya. Sebagaimana QS. Yûsuf/12:53,

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena

Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,

kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya

Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”

5) Cinta dunia6.

Cinta dunia merupakan salah satu bentuk penyakit wahn. Secara

bahasa wahn bermakna dha’if (lemah), baik secara materi atau

maknawi, wahn juga bisa diartikan jubn (takut atau pengecut).

Wahn identik dengan cinta dunia dan takut mati, yang keduanya

merupakan bentuk penyakit yang bisa menjangkit umat secara

6 Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Sukses Akhirat Panduan Amal Meraih Surga

terj. Muhammad Isnaini (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2004), 222.

36

individu maupun berkelompok (komunitas) dan penyakit ini

menjerumuskan umat ke dalam kekalahan dan kehinaan.

Hakikat dari cinta dunia berarti sangat tinggi obsesi terhadap

dunia, hatinya bergantung kepada dunia, terlalu jauh mengagumi

keindahan dan kemewahan dunia, berjalan di belakang dunia,

sangat rakus terhadap dunia, angan-angan dan cita-cita terpusat

kepada dunia, puncak harapan ada pada dunia, merasa kekal di

dunia.

Dampak dari cinta dunia sibuk mengumpulkan harta,

menempuh segala cara mendapatkannya yang halal maupun haram,

meninggalkan jihad, kikir dan bakhil, thama’ (rakus), curang

dalam mu’amalat, dll. Semua itu merupakan prilaku buruk yang

diakibatkan oleh cinta dunia. Dalam QS. Al-Insan/76:27 Allah

telah berfirman,

“Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia

dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka, pada hari

yang berat (hari akhirat)”.

6) ‘Ujub

‘Ujub diartikan sebagai perilaku atau sifat mengagumi diri

sendiri dan senantiasa membanggakan dirinya sendiri. Sifat ‘ujub

adalah salah satu sifat buruk atau sifat yang harus dihindari oleh

umat muslim karena sifat ini bisa membuat seseorang menjadi

sombong maupun riya’.

Imam al-Ghozali menyebutkan bahwa perasaan ‘ujub adalah

kecintaan seseorang akan suatu karunia yang ada pada dirinya dan

merasa memilikinya sendiri serta tidak menyadari bahwa karunia

37

tersebut adalah pemberian Allah swt. Seperti diungkap QS. al-

Luqman:18,

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia

(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi

dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-

orang yang sombong lagi membanggakan diri”.

Kedua, faktor eksternal yaitu adanya semua dorongan dari

luar (maksudnya selain dari dalam diri) karena ada pengaruh

unsur lain yang memang sudah buruk.7 Beberapa faktor eksternal

yang menyebabkan munculnya keburukan meliputi:

1) Godaan setan seperti diungkap dalam QS. al-Baqarah/2: 169,

“Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat

jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak

kamu ketahui”.

2) Mengikuti nenek moyang yang berbuat buruk seperti diungkap

dalam QS. al-A’raf/7: 28,

7 Abd Haris, Etika Hamka Konstruksi Etik Berbasis Rasional-Religius

(Yogyakarta: LKiS, 2010), 119-120.

38

“Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka

berkata: "Kami mendapati nenek moyang Kami mengerjakan

yang demikian itu, dan Allah menyuruh Kami

mengerjakannya." Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak

menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." mengapa kamu

mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?”

3) Tertipu dunia seperti diungkap dalam QS. Al-An’am/6: 70,

“Dan tinggalkan lah orang-orang yang menjadikan agama

mereka sebagai main-main dan senda gurau dan mereka telah

ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah (mereka) dengan

Al-Qur’an itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke

dalam neraka, karena perbuatannya sendiri. tidak akan ada

baginya pelindung dan tidak pula pemberi syafa'at selain

daripada Allah. dan jika ia menebus dengan segala macam

tebusanpun, niscaya tidak akan diterima itu daripadanya.

mereka Itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka.

bagi mereka (disediakan) minuman dari air yang sedang

mendidih dan azab yang pedih disebabkan kekafiran mereka

dahulu”.

4) Mengikuti pelaku dosa sebagaimana diungkap dalam QS. Al-

Syu’ara/26 :99,

“Dan Tiadalah yang menyesatkan Kami kecuali orang-orang

yang berdosa”.

39

5) Teman yang buruk seperti ditunjukkan dalam QS. al-Zukhruf/43:

36,

“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan yang Maha

Pemurah (Al-Qur’an), Kami adakan baginya syaitan (yang

menyesatkan) Maka syaitan Itulah yang menjadi teman yang

selalu menyertainya”.

6) Thaghut.

Yang dimaksud thagut ialah apa saja yang disembah selain dari

Allah swt seperti berhala dll. Sebagaimana terungkap dalam QS.

al-Nahl/16:36,

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat

(untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah

Thaghut itu", Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi

petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang

telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka

bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang

mendustakan (rasul-rasul)”.

Menurut Hamka sumber kebaikan ataupun keburukan itu justru

dari akal yang selain dari wahyu, karena akal itulah yang dapat

membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Hamka

menyebutkan meski ada intuisi, sebenarnya yang justru berperan

adalah akalnya. Beliau mengatakan seperti itu karena setengah dari

ahli filsafat berpendapat bahwa intuisilah sumber dari kebaikan

40

maupun keburukan. Dengan demikian, maka Hamka lebih cenderung

rasionalistik dalam melihat nilai baik dan buruk.8

C. Jenis Keburukan

Dari uraian mengenai keburukan, keburukan dalam al-Qur’an

diungkapkan dengan berbagai term yang berbeda-beda, berikut

klasifikasi keburukan,

1. Keburukan dalam akidah

Dalam bahasa Arab akidah berasal dari kata al-'aqdu ( د العق )

yang berarti ikatan, at-tautsiiqu ( الت وثيق) yang berarti kepercayaan

atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu ( الإحكام) yang artinya

mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah ( الربط بق وة) yang berarti mengikat dengan kuat. Sedangkan menurut istilah

akidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan

sedikit pun bagi orang yang meyakininya.

Sebagai seorang muslim harusnya memiliki keyakinan dan

keimanan yang kuat. Banyak ayat al-Qur’an yang mengungkapkan

tentang keburukan yang berkaitan dengan akidah seperti

perbuatan zalim, kufur, munafik, syirik, ma’siat (tidak patuh), dan

sikap mengingkari Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,

rasul-rasul-Nya, dan hari kiamat.

2. Keburukan dalam ibadah

Kata ibadah adalah bentuk isim masdar dari kata ‘ ي عب د –عبد ,

yang secara bahasa artinya merendahkan diri dan tunduk akan

aturan-aturan agama. Sedangkan menurut istilah Ibadah adalah

suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah

dan diridhai-Nya', baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang

8 Abd Haris, Etika Hamka Konstruksi Etik Berbasis Rasional-

Religius (Yogyakarta: LKiS, 2010), 117-118.

41

tersembunyi (batin) maupun yang tampak (lahir). Maka salat,

zakat, puasa, haji, memanjatkan do’a, berdzikir, membaca Al

Qur’an dan lain sebagainya adalah termasuk bagian dari ibadah.

Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, tawakal

kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih sayang)-Nya, merasa

takut dari siksa-Nya dan lain sebagainya.

Keburukan yang berkaitan dengan ibadah seperti sifat riya’.

Orang yang riya’ dalam beribadah sebenernya tidak memiliki

keyakinan yang sempurna terhadap Allah. Riya’ menunjukkan ia

masih mengharapkan penghargaan dan penilaian dari selain Allah

Swt.

3. Keburukan dalam sosial

Pengertian sosial adalah semua hal yang berkenaan dengan

masyarakat atau sifat-sifat kemasyarakatan yang memperhatikan

kepentingan umum. Keburukan yang berkaitan dengan sosial

seperti menuduh atau memfitnah seseorang, sombong, berkata

dengan perkataan yang buruk, menghina dan mencela dengan

panggilan yang buruk.

4. Keburukan dalam logika

Logika berasal dari kata Yunani kuno, logos yang berarti hasil

pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan

dinyatakan dalam bahasa. Akal merupakan potensi yang diberi

Allah hanya kepada manusia. Namun, dalam kehidupan di dunia

ternyata tidak semua manusia dapat menggunakan akalnya secara

baik sehingga menjerumuskan mereka dalam keburukan.

Keburukan yang berkaitan dengan logika atau pemikiran di

antaranya adalah mengikuti sesuatu tanpa ilmu, kebodohan, dan

sombong dengan pengetahuannya.

42

5. Keburukan dalam hukum

Hukum adalah suatu sistem peraturan yang di dalamnya

terdapat norma-norma dan sanksi-sanksi yang bertujuan untuk

mengendalikan perilaku manusia, menjaga ketertiban dan

keadilan, serta mencegah terjadinya kekacauan. Ada juga yang

mengatakan bahwa definisi hukum adalah suatu peraturan atau

ketentuan yang dibuat, baik secara tertulis maupun tidak tertulis,

dimana isinya mengatur kehidupan bermasyarakat dan terdapat

sanksi/ hukuman bagi pihak yang melanggarnya. Keberadaan

hukum bertujuan untuk melindungi setiap individu dari

penyalahgunaan kekuasaan serta untuk menegakkan keadilan.

Hukum merupakan aturan yang diberikan Allah kepada

manusia agar dapat menata kehidupan dengan baik dan benar.

Keburukan yang berkaitan dengan hukum seperti tidak mau

berhukum dengan hukum yang ditetapkan Allah dan berupaya

mengubah aturan-aturan Allah demi memperoleh keuntungan bagi

diri sendiri atau kelompoknya dengan dorongan hawa nafsu.

6. Keburukan dalam ekonomi

Kata ekonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikos yang

artinya keluarga/ rumah tangga, dan nomos yang artinya

peraturan/ hukum. Sehingga arti ekonomi secara harfiah adalah

suatu manajemen rumah tangga atau aturan rumah tangga.

Ekonomi dapat diartikan sebagai kegiatan manusia yang

berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi atau jual

beli dan perdagangan. Keburukan yang berkaitan dengan ekonomi

seperti kecurangan dalam hal timbangan saat berdagang atau jual-

beli, kikit, riya’ dalam bersedekah, suap, korupsi, berjudi, memilih

sesuatu yang jelek untuk diinfakkan, dan tamak.

43

D. Akibat dan Solusi Dari Keburukan

Keburukan dengan berbagai ragamnya mempunyai akibat

tersendiri bagi pelakunya. Akibat tersebut berkaitan dengan

perbuatan mereka sendiri dan berkenaan langsung dengan

pelakunya. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa setiap keburukan

akan berakibatkan keburukan pula, hal ini diungkap dalam beberapa

ayat dengan term sayyiah yaitu di antaranya QS. al-Nisa/4: 78, QS.

al-An’âm/6: 160, QS. Yunus/10: 27, QS. al-Naml/27: 90, QS. al-

Qasas/28: 54, QS.Ghafir/40: 40, QS. al-Syura/42: 40, dan QS. al-

Nisa/4: 110. Akibat dari perbuatan tersebut adalah beragam hal

yang akan mereka alami yaitu: mendapat azab, baik di dunia maupun

di akhirat.9 Berbagai akibat tersebut dibedakan menjadi empat

macam, yaitu sebagai berikut.

Pertama, Akibat Takwini atau Wad’i yaitu akibat perbuatan dosa

yang berkaitan dengan hukum penciptaan dan hukuman yang

dirasakan secara langsung. Kedua, Akibat Praktis yaitu sebagaimana

pada zaman Nabi dahulu, berbagai azab dari langit turun

menimpa sejumlah kaum hingga membinasakan mereka.10

Al-

Qur’an memberikan kesaksian atas peristiwa tersebut dalam surah

al-A’raf/ 7: 4. Ketiga, akibat Batin yaitu akibat perbuatan buruk

atau dosa yang berkaitan dengan efek-efek yang akan merusak

hati, mengotori cermin hati, serta melenyapkan kemampuan

untuk meningkatkan kesempurnaan maknawi, menimbulkan

keresahan hati, tidak tenang, depresi, rasa takut, dan gangguan

jiwa lainnya. Keempat, Akibat akhirat yaitu azab Allah yang akan

ditimpakan kepada orang-orang yang berbuat keburukan di alam

9 M. Quraish Shihab, Tafsiral-Mishbah, jilid 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2000),

607-608. 10

Iqra’ Firdaus, Inilah Akibat Dosa-Dosa Besar di Dunia (Yogyakarta: Diva

Press, 2011), 44.

44

setelah kematian kelak seperti azab neraka. Sebagaimana QS. al-

Sajdah/ 32: 21.

Selain akibat-akibat yang telah disebutkan di atas, akibat lain dari

melakukan keburukan dalam sosial ialah nama baiknya tercoreng atau

telah dicap buruk sehingga dijauhi atau diasingkan bahkan tidak

mendapatkan kepercayaan oleh keluarga, teman, dan masyarakat

sekitar.

Al-Qur’an memberikan solusi terhadap keburukan yaitu kesadaran

untuk beriman, bertakwa kepada Allah seperti QS. al-Anfal/8: 29; al-

Tahrim/66: 8; al-Thalaq/65: 5, mengingat Allah, memohon ampun

(QS. Al-Anfal /8: 33) perlindungan kepada-Nya (QS. Ali Imran/3:

193), bertaubat sebagaimana diungkap QS. Al-Baqarah/2: 106, dan

beramal sholeh QS. Hud/11: 114.

Selain itu ada solusi lain yang dapat diberikan di antaranya adalah

sebagai berikut.11

Pertama, mengingat akibat yang akan diperoleh

jika melakukan perbuatan tersebut. Kedua, berupaya untuk

menghindari tempat-tempat yang dapat membawa kepada perbuatan

maksiat. Ketiga, mengetahui dan memahami kisah-kisah orang yang

mengikuti dan melakukan kemaksiatan, setelah itu berusaha untuk

menjauhi dan meninggalkan. Keempat, mengingatkan diri bahwa

condong dan merasa nyaman kepada dunia dapat membuat seseorang

lalai dan lupa hakikat keberadaannya di dunia yaitu untuk mengabdi

kepada Allah. Kelima, berjuang untuk selalu menjaga diri dari

hal-hal yang dapat membawanya terjerumus dalam kemaksiatan, di

11

Aibdi Rahmat, Kesesatan Dalam al-Qur’an (Yogyakarta: Putaka Pelajar,

2007), 207-208.

Ibn Qayyim al-Jauziyah, Mengetuk Pintu Ampunan Meraih Berjuta Anugerah,

terj. al-Jawâib al-Kâfî Liman Sa’ala ‘An Dawâ’ asy-Syâfî oleh Futuhal Arifin (Jakarta:

Gema Madinah Makkah Pustaka, 2006), 23-25.

45

antaranya dengan berbuat adil, jujur, konsisten dalam menegakkan

hukum positif yang telah diatur, meneladani nilai-nilai spiritualitas.

E. Lafaz-Lafaz Yang Menunjukkan Makna Keburukan

Dalam memaparkan dan menjelaskan keburukan, al-Qur’an

menggunakan banyak istilah (term) dengan gaya dan ragam bahasa

yang berbeda.12

Setiap term memiliki kecenderungan makna yang

berbeda-beda. Berikut penjelasannya:

1. Khabīṡ

Kata Khabīṡ berasal dari kata خ بثا -يب ث –خب ث yang artinya

busuk,keji, buruk, jahat dan kata Khabīṡ ( خبيث) artinya yang

jahat.13

Khabīṡ ( خبيث) merupakan bentuk sifat al-musyabbah. Kata

khabits lebih cenderung berkaitan dengan makanan yang buruk

atau haram dan najis atau yang kotor-kotor.

2. Syarrun

Kata syarrun berasal dari kata شرا وشررا –يشر –شر atau -شر شرا -يش ر yang artinya jahat, tidak baik, buruk atau memburukkan,

menghinakan (orang).14

Syarrun ( شر) merupakan bentuk mashdar.

Dalam kitab al-mausȗ’ah al-Qur’anniyah kata syarr masih ada

makna lain yaitu, peperangan, menolak, menampakkan, iblis, dosa,

kerusakan, naik darah, yang dibenci, merugikan, dan

menyengsarakan.15

12

Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam al-Qur’an, terj.

Agus Fahri Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), 280-290. 13

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Ciputat: PT. MAHMUD YUNUS

WA DZURRIYAH, 2010), 113. 14

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, 193 15

M. Quraish Shihab, ENSIKLOPEDIA AL-QUR’AN: Kajian Kosakata (Jakarta:

Lentera Hati, 2007), 948.

46

Dari makna di atas dapat dipahami bahwa syarr mempunyai

banyak arti, namun makna yang sering dipakai adalah perbuatan

jahat lawan dari perbuatan kebaikan, dan rata-rata makna dari

keseluruhannya menunjukkan makna yang tidak baik dan

merugikan orang lain.

3. Żillah

Kata Żillah berasal dari kata ذلة – يذل – ذل yang artinya hina,

rendah.16

Żillah ( ذلة) merupakan bentuk mashdar. Kata Żillah lebih

cenderung tertuju kepada orang yang memperbuat keburukannya

atau sering disebut ahli Żillah (pelaku perbuatan buruk). Ayat-ayat

yang berkaitan dengan dzilah rata-rata menggambarkan putusnya

hubungan dengan Tuhan dan insan, akibat diperbudak hawa nafsu

sehingga kemudian menjadi kikir, tamak, sombong, ‘ujub.

4. Sayyiah

Kata sayyiah berasal dari kata سواء و سوءا –يس وء –ساء yang

artinya menyusahkan.17

Sayyiah (سيئة) sendiri memiliki arti

kejahatan, kesalahan, keburukan yang berkaitan dengan

kesempitan atau kesusahan. Biasanya sayyiah digunakan untuk

siksaan.

16

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Ciputat: PT. MAHMUD YUNUS

WA DZURRIYAH, 2010), 134. 17

17

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, 183.

47

BAB IV

ANALISIS KATA-KATA KEBURUKAN PADA AYAT AL-QURAN

DALAM TAFSIR

Dalam memaparkan dan menjelaskan keburukan, al-Qur‟an

menggunakan banyak istilah (term) dengan gaya dan ragam bahasa yang

berbeda1 serta menyesuaikan dengan konteks turunnya suatu ayat. Setiap

term memiliki kecenderungan makna yang berbeda-beda begitupun

dengan penafsirannya dalam ayat.

A. Analisa Terhadap Kata Khabīṡ

1. Surah al-Baqarah ayat 267.

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)

sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari

apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah

kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan

daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya

melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan

ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”

Ayat ini menjelaskan tentang kewajiban memilih harta yang

baik bukan yang buruk ketika hendak berinfak dijalan Allah Swt,

1 Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam al-Qur‟an, terj.

Agus Fahri Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), 280-290.

48

baik infak tersebut berupa zakat wajib maupun sedekah sunnah.

Karena tujuannya adalah mendekatkan diri kepada Allah Swt dan

mencari pahala dengan beramal baik.

Para ulama berbeda pendapat tentang maksud infak dalam ayat

ini. Ali bin Abi Thalib, Ubaidah as-Salmani dan Ibn Sirrin

berpendapat bahwa infak dalam ayat ini adalah zakat wajib.

Sedangkkan, al-Barra‟ bin „Azib, Hasan al-Bashri dan Qatadah

berpendapat bahwa infak dalam ayat ini adalah sedekah sunnah.

Namun, secara zhahir ayat ini bersifat umum mencakup zakat

wajib dan sedekah sunnah. Jika zakat wajib maka jumlah zakat

yang dikeluarkan sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan. Jika

sedekah sunnah tidak terikat dengan jumlah yang harus

dikeluarkan.2

Al-Hakim, Tirmidzi, Ibn Majah, dan yang lainnya

meriwayatkan dari al-Barra‟ bin „Azib, ia berkata, “ayat ini turun

berkaitan dengan kami, kaum Anshar. Kami adalah kaum yang

memiliki pohon kurma. Salah satu dari kami menginfakkan buah

kurma sesuai hasil panen yang didapat. Ada sebagian orang yang

membawa setandan buah kurma yang jelek untuk digantungkan

ditempat yang disediakan untuk orang-orang miskin. Banyak di

antara buahnya yang bijinya tidak keras dan ada yang kering

sebelum matang, sehingga daging buahnya tipis. Ada juga yang

membawa setandan kurma yang telah rusak. Ibn Abi Hatim

meriwayatkan dari Ibn Abbas r.a ia berkata, “ada sebagian para

sahabat membeli makanan yang murah lalu mereka sedekahkan,

lalu turunlah ayat ini.”3

2 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.2

(Depok: GEMA INSANI, 2013), 88. 3 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.2

(Depok: GEMA INSANI, 2013), 86.

49

Sebuah riwayat an-Nasa‟i dari Abu Umamah Ibn Sahl Ibn Hanif

tentang tafsir firman Allah Swt kalimat “Dan janganlah kamu

memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya.” Di

antara yang buruk ini adalah ju‟rur dan hubaiq (dua warna yang

menandakan kurma sudah buruk), Rasulullah saw pun melarang

kedua jenis kurma ini untuk dijadikan sebagai infak atau zakat.4

Tidak jauh berbeda dengan perkataan Ath-Thabari, “maksud

firman-Nya (yang buruk-buruk) artinya yang jelek dan

tidak bagus, Dia berfirman, “Janganlah kamu sengaja mengambil

yang jelek untuk disedekahkan dari hartamu, akan tetapi

bersedekahlah dengan yang baik-baik”. Kata mengandung

dua makna, pertama sesuatu yang tidak mengandung manfaat sama

sekali, makna kedua sesuatu yang tidak disukai/dibenci oleh jiwa.

Jiwa yang dimaksud disini ialah jiwa yang baik dan sehat.

Sesungguhnya Allah Swt ialah Dzat Yang Maha Baik dan Dia

tidak berkenan menerima sesuatu yang dibenci oleh jiwa kalian.

Bagaimana kalian bisa memberi infak dengan sesuatu yang jelek,

padahal kalian juga tidak menyukainya dan tidak mau

menerimanya.5

2. Surah âli „Imrân ayat 179.

4 Imam al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkaam al-Qur‟an terj.Dudi Rosyadi, dkk, juz.3

(Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 716. 5 Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari, Jami‟ Al Bayan an Ta‟wil Ayi

al-Qur‟an terj.Akhmad Affandi, juz.4 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 660.

50

“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang

beriman dalam Keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia

menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin).

dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu

hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang

dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu

berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu

beriman dan bertakwa, Maka bagimu pahala yang besar.”

As-Suddi dan lainnya berkata, “Rasulullah bersabda,

“Diperlihatkan kepada umatku dalam bentuknya masing-masing,

seperti halnya diperlihatkan kepada Adam. Aku diberi tahu siapa-

siapa orang yang beriman kepadaku dan siapa-siapa orang yang

kafir.” Lalu hal ini sampai ke telinga kaum munafik, lalu mereka

mengejek dan berkata, “Muhammad mengira bahwa dirinya

mengetahui siapa-siapa orang yang beriman dan siapa-siapa yan

kafir, padahal kami berada bersamanya, namun ia tidak tahu siapa

kami sebenarnya.” Lalu Allah menurunkan ayat ini. 6

Al-Kalbi berkata, “orang Quraisy berkata, “Wahai Muhammad,

kamu mengira bahwa orang yang menentangmu akan masuk

neraka dan Allah murka kepadanya. Sedangkan orang yang

mengikuti agamamu adalah penduduk surga dan Allah ridha

kepadanya. Kalau begitu, coba beritahukan kepada kami siapa-

siapa orang yang beriman kepadamu dan siapa-siapa yang kufur

dan tidak beriman kepadamu.” Lalu Allah menurunkan ayat ini.

Abu al-„Aliyah berkata, “kaum mukminin meminta untuk

diberikan tanda agar dapat membedakan antara kaum mukmin

dengan kaum munafik. Lalu, Allah pun menurunkan firmannya,

Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang

6 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.2

(Depok: GEMA INSANI, 2013), 513.

51

beriman daam keadaan kamu sekarang ini, para sahabat berbeda

pendapat mengenai ditunjukkan kepada siapa ayat tersebut. Ibn

Abbas, Adh-Dhahak, Muqatil, Al Kalbi, dan mayoritas ahli tafsir

mengatakan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada kaum kafir dan

kaum munafik.7

Kata artinya menyisihkan, membedakan, mengeluarkan,

memisahkan. Kata disini maksudnya orang munafik, dari orang mukmin, yang berarti kata disini merupakan pembahasan yang non materi yaitu tertuju pada sifat munafik itu bukan orangnya. Perbedaan antara orang munafik dengan orang

mukmin melalui pembebanan perintah yang berat, seperti perang

uhud. Maka dapat dikatakan bahwa keimanan adalah unsur utama

bagi baik dan buruknya seseorang.8

Ath-Thabari berkata, Allah swt. Berfirman, “Tidaklah Dia

membiarkan orang-orang beriman dalam keadaan seperti kalian ini,

yang mukmin bercampur dalam keadaan samar dengan yang

munafik, dan tidak bisa dibedakan antara keduanya, sehingga

Allah swt. Membedakan mana yang buruk dan mana yang baik.

Orang yang buruk adalah orang munafik yang menyembunyikan

kekufurannya, sedangkan orang yang baik adalah seorang mukmin

yang ikhlas dan benar-benar beriman.” Allah swt membedakan

mereka dengan berbagai macam cobaan, seperti yang terjadi pada

perang Uhud, kemenangan kaum musyrik dan kekalahan kaum

mukminin.9

7 Imam al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkaam al-Qur‟an terj.Dudi Rosyadi, dkk.

(Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 720. 8 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , v.2 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 292

9 Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari, Jami‟ Al Bayan an Ta‟wil Ayi

al-Qur‟an terj.Akhmad Affandi, juz.6 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 230.

52

3. Surah an-Nur ayat 26

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan

laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula),

dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik

dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik

(pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang

dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka

ampunan dan rezki yang mulia (surga).”

Ayat الخبيثات للخبيثين dan الطيبات للطيبين dalam ayat ini bermakna

wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji,

maksudnya adalah mereka yang melakukan perbuatan keji adalah

untuk laki-laki yang keji, dan wanita-wanita yang melakukan

perbuatan baik adalah untuk laki-laki yang baik.10

Mujahid, Ibn Jubair, Atha‟ dan mayoritas para ahli tafsir

mengatakan bahwa makna firman Allah tersebut adalah perkataan

yang buruk untuk orang-orang yang buruk, dan orang-orang yang

buruk untuk perkataan yang buruk. Demikian pula perkataan yang

baik untuk orang-orang yang baik, dan orang-rang yang baik untuk

perkataan yang baik.11

Maksud ayat diturunkan berkenaan

dengan mereka yang memfitnah istri nabi Muhammad saw., yaitu

„Aisyah ra dan Shafwan. Selain itu, ayat ini menunjukkan kesucian

'Aisyah r.a. dan Shafwan ibn al-Mu‟aththal dari segala tuduhan

10

Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari, Jami‟ Al Bayan an Ta‟wil Ayi

al-Qur‟an terj.Akhmad Affandi, juz.19 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 66. 11

Imam al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkaam al-Qur‟an terj.Dudi Rosyadi, dkk,

juz.12 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 538.

53

yang ditujukan kepada mereka. Rasulullah adalah orang yang

paling baik Maka pastilah wanita yang baik pula yang menjadi istri

beliau.12

Diriwayatkan dari Ali ibn Zaid ibn Jud‟an, dari neneknya, dari

„Aisyah, dia berkata, “Aku telah diberikan sembilan perkataan

yang tidak diberikan kepada seorang wanita pun, yaitu:

1) Jibril as pernah turun dengan menyerupai rupaku saat dia

berkunjung, ketika memerintahkan Rasulullah saw untuk

mengaiwini aku.

2) Rasuullah saw., mengawiniku dalam keadaan perawan,

sementara beliau tidak pernah mengawini seorang pun dalam

keadaan perawan selain aku.

3) Rasulullah saw., wafat dan kepalanya berada dalam

pelukanku.

4) Rasulullah dimakamkan dirumahku.

5) Malaikat mengelilingi rumahku.

6) Apabila wahyu diturunkan kepada beliau dan saat itu beliau

sedang bersama keluarganya, maka mereka menyingkir dari

sisinya. Tapi apabila wahyu diturunkan kepada beliau dan saat

itu aku sedang bersama beliau di dalam selimut, maka beliau

tidak menjauhkan aku dari sisinya.

7) Aku adalah anak perempuan dari khalifah sekaligus

sahabatnya.

8) Pembebasanku dalam kasus tuduhan bohong berbuat zina

turun melalui wahyu.

9) Aku diciptakan sebagai wanita baik dan menjadi istri laki-laki

yang baik.

12

Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari, Jami‟ Al Bayan an Ta‟wil Ayi

al-Qur‟an terj.Akhmad Affandi, juz.19 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 74.

54

10) Aku dijanjikan ampunan dan rezeki yang mulia.” Maksud

„Aisyah adalah firman Allah swt., ي ر ك ق ز ر و ة ر ف غ م م له “bagi

mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).”13

B. Analisa Terhadap Kata Syarrun

1. Surah al-Baqarah ayat 216.

“Diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah

sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu,

Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu

menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah

mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Ibnu Abbas berkata: ketika Allah mewajibkan jihad atas kaum

muslimin, mereka merasa keberatan dan tidak suka, sehingga

turunlah ayat ini.

Wahai kaum muslimin, kamu diwajibkan memerangi orang-

orang kafir, dan ini merupakan fardhu kifayah akan tetapi jika

musuh telah memasuki negeri Islam maka hukum memerangi

mereka berubah menjadi fardhu „ain ini pendapat para jumhur

ulama. Atha‟ berkata: barperang diwajibkan atas tiap individu dari

para sahabat nabi Muhammad saw., tapi setelah syariat islam turun

secara sempurna, ia menjadi fardhu kifayah.

Pada dasarnya berperang merupakan salah satu hal terberat

bagi manusia untuk dilaksanakan sebab ia membutuhkan

13

Imam al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkaam al-Qur‟an terj.Dudi Rosyadi, dkk,

juz.12 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 539-540.

55

pengorbanan harta dan membuat nyawa terancam. Padahal dibalik

itu ia mengandung kebaikan dan manfaat untuk masa depan, sebab

peperangan itu menghasilkan salah satu dari dua yaitu menang dan

harta rampasan, atau mati syahid dan pahala serta keridhaan Allah.

Adakalanya kita sebagai manusia menyukai sesuatu, misalnya suka

untuk tidak ikut perang. Padahal sebenarnya itu buruk, sebab tidak

berperang itu akan menyebabkan kehinaan, kemiskinan, tidak

mendapat pahala, musuh mendominasi, dilecehkan oleh musuh.

Dan Allah mengetahui bahwa berperang lebih baik bagimu di

dunia ini, dan Allah hanya memerintahkan perkara yang

mengandung kebaikan dan maslahat bagimu. Kamu tidak

mengetahui apa yang diketahui Allah, sebab keterbatasan

ilmumu.14

Ayat ini mengingatkan manusia agar berserah diri kepada Allah

sekaligus memotivasi agar hidup seimbang, tetap optimis ketika

ditimpa kesedihan, dan tidak larut dalam kesenangan yang

menjadikannya lupa daratan sehingga mengakibatkan

kemudharatan.15

Manusia hanyalah makhluk ciptaan Allah, maka

yang lebih mengetahui tentang manusia adalah penciptanya.

Kembalikan semua kepada Allah.

2. Surah al-Isra‟ ayat 83.

“Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia

niscaya berpalinglah dia; dan membelakang dengan sikap yang

sombong; dan apabila Dia ditimpa kesusahan niscaya Dia

berputus asa.”

14

Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk

(Depok: GEMA INSANI, 2013), 487. 15

M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, v.1 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 558.

56

Allah swt menjelaskan dalam ayat ini bahwa jika Allah

memberi kenikmatan pada manusia berupa kesehatan, dan rezeki,

manusia itu berpaling dari mengingat dan taat kepada Allah, tidak

melaksanakan perintah-Nya.16

Hal ini merupakan kekurangan

manusia sebagai fitrahnya (beribadah kepada Allah) itu sendiri,

kecuali yang dilindungi oleh Allah.

Allah berfirman ان ب ه ن سان أع رض ونأى ب نا على ال ,artinya وإ ذا أن عم

jika kami limpahkan nikmat kepada manusia berupa harta,

kesehatan, rezeki, kemenangan, dan apa yang dia inginkan, dia

berpaling dari ibadah dan ketaatan serta membelakangi karena sifat

sombong. Lafal “membelakangi” merupakan penegasan bagi lafal

“berpaling” karena berpaling biasanya digambarkan dengan wajah,

sedangkan membelakangi mencakup seluruh tubuh. Maksudnya,

sikap sombong dan menjauh adalah kebiasaan orang-orang yang

sombong. وإ ذا مسهه الشر كان ي ئهوسا artinya, dan jika dia ditimpa

keburukan, yaitu musibah dan bencana maka dia berputus asa dari

kebaikan dan rahmat Allah swt.17

Dalam lafal terdapat

penyandaran kebaikan kepada Allah, dan dalam lafal

terdapat penyandaran keburukan kepada selain Allah, maksudnya

ialah bahwa apabila Allah timpakan keburukan berupa kesusahan

kepada manusia itu akibat atau balasan dari perbuatannya (dosa)

sendiri. Hal ini ditujukan untuk mengajarkan adab atau etika

terhadap Allah.18

Thabathaba‟i berpendapat bahwa keburukan tidak dinisbahkan

kepada Allah Swt, karena keburukan hakikatnya bersifat relatif,

16

Syaikh Asy-Syanqithi, Tafsir Adhwa‟ul Bayan terj.Bari,Rivai,dkk, jilid.3

(Jakarta: PUSTAKA AZZAM,2007), 982. 17

Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.8

(Depok: GEMA INSANI, 2013), 156. 18

Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jil.8

(Depok: GEMA INSANI, 2013), 148.

57

bukan hakiki. Keburukan yang terjadi di alam ini seperti kematian,

penyakit, kemiskinan, aneka kekurangan dan lain-lain, adalah

keburukan bagi yang ditimpa. Adapun bagi yang tidak ditimpa,

maka ia belum tentu buruk. Apa yang baik, maka ia adalah sesuatu

yang berkaitan dengan pemeliharaan Allah dan dikehendaki secara

substansial oleh-Nya, sedangkan apa yang buruk walaupun

berkaitan juga dengan pemeliharan Allah dan kehendak-Nya, tetapi

bukan keburukan itu yang dikehendaki-Nya, hal tersebut bagian

dari pemeliharaan yang merupakan kebaikan murni. Thabathaba‟i

lebih lanjut menulis bahwa makna ayat ini adalah bila Allah

menganugerahkan kenikmatan kepada manusia maka manusia itu

menganggap bahwa kenikmatan itu diperoleh karena usahanya

sendiri, sehingga melupakan Allah dan tidak mensyukurinya,

sedangkan bila manusia berada dalam kesusahan, maka dia sangat

berputus asa, karena dia menganggap semua usahanya sia-sia dan

tak berhasil, dia sama sekali lupa adanya campur tangan Allah

dalam hal tersebut. Inilah keadaan manusia yang lalai.19

Dapat disimpulkan ayat ini menceritakan kondisi manusia pada

umumnya yaitu menolak untuk bersyukur, lupa dan kufur terhadap

nikmat-nikmat Allah kecuali orang yang dijaga oleh Allah,

sehingga jika ia mendapatkan kenikmatan dan kaya raya, ia tidak

menunaikan hak-hak Allah. Sedangkan jika ia mendapatkan

kesulitan seperti kefakiran, sakit, dan kesengsaraan, ia pun

berputus asa dan putus harapan karena tidak percaya dengan

anugerah Allah swt. Kesengsaraan, kesusahan, kesempitan, dan

kesulitan yang didapatkan merupakan hasil dari perbuatan manusia

itu sendiri yaitu dosa. Kata syarrun masuk dalam kategori non-

19

M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, v.7 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 543.

58

materi, karena objek pembahasan tertuju pada sifat kekufuran

manusia bukan manusianya.

C. Analisa Terhadap Kata Żillah

Surah al-Baqarah ayat 61.

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, Kami tidak

bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. sebab itu

mohonkanlah untuk Kami kepada Tuhanmu, agar Dia

mengeluarkan bagi Kami dari apa yang ditumbuhkan bumi,

Yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang

adasnya, dan bawang merahnya". Musa berkata: "Maukah kamu

mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik ?

Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang

kamu minta". lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan

kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. hal itu

(terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan

membunuh Para Nabi yang memang tidak dibenarkan. demikian

itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan

melampaui batas.”

Ayat ini merupakan kelanjutan dari peringatan-peringatan Allah

terhadap nikmat dan kedurhakaan Bani Isra‟il. Tetapi, kali ini

penekanannya pada kecaman atas mereka yang meremehkan nikmat-

59

nikmat Alah Swt, sehingga mengakibatkan keadaan mereka berubah

dari nikmat menjadi bencana dan siksa.20

Ketika para leluhur kaum Yahudi dulu berkata: “Wahai Musa,

tidak mungkin kami terus menerus memakan satu macam makanan

saja, yaitu hanya mann dan salwa” –dialog tersebut ditujukan kepada

kaum Yahudi yang sezaman dengan Nabi saw-, “maka mintakan

kepada Tuhanmu agar Dia memberi kami makanan yang ditumbuhkan

di bumi, sayur-mayur yang lezat yang biasa dimakan oleh manusia,

seperti: tanaman mint, seledri, bawang bakung, dan sejenisnya.” –

mereka memintanya berdo‟a karena mereka tahu bahwa do‟a para

Nabi lebih cepat terkabul.

Nabi Musa menjawab dengan rasa heran sambil mencela dan

menegur mereka: “Mengapa kalian meminta jenis-jenis yang rendah

sebagai pengganti makanan yang lebih baik dan nikmat, yaitu mann

dan salwa. Keduanya merupakan makanan yang sempurna, lezat, dan

nikmat, mann mengandung rasa manis dan salwa ialah daging burung

paling enak. Kalau memang kalian meminta makanan yang lebih

rendah manfaat dan kualitasnya, turunlah kepadang Tih21

dan

menetaplah dinegri agraris manapun, akan kalian dapatkan apa yang

kalian minta.”

Meninggalkan makanan yang paling baik (mann dan salwa) dan

meminta makanan yang lebih rendah kualitasnya (bawang merah,

bawang putih, bawang adas) menjadi bukti bahwa nafsu manusia

terkadang ingin menukar barang yang berkualitas tinggi dengan

barang yang berkualitas rendah. Hasan al-Bashri berkata: “Kaum

Yahudi adalah sebusuk-busuknya para penggemar bawang. Disini

20

M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , v.1 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 253. 21

Padang Tih adalah kawasan yang berada di antara Baitul Maqdis sampai

Qinnisrin, luasnya kurang lebih 12x8 farsakh.

60

sangat terlihat jelas sifat asli mereka (kaum Yahudi) dalam perkataan

“kami tidak bisa tahan” menunjukkan bahwa mereka membenci

makanan itu, mereka tidak mensyukuri nikmat.22

Kata artinya diwajibkan, ditetapkan, atau ditimpakan.

Adapun kata yang berarti nista dan hina. Yaitu orang-orang yang

Allah melarang orang-orang mukmin agar tidak memberikan jaminan

keamanan kepada mereka kecuali mereka telah membayar upeti,23

sebagaimana firman-Nya:

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan

tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak

mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya

dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah),

(Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka,

sampai mereka membayar jizyah24

dengan patuh sedang mereka

dalam Keadaan tunduk. (Q.S at-Taubah: 29).

Nista adalah rasa rendah diri karena penindasan akibat jauhnya

jiwa dari kebenaran, dan ketamakan meraih gemerlapnya duniawi.

Nista berkaitan dengan jiwa, sedangkan kehinaan adalah kerendahan

yang berkaitan dengan bentuk dan penampilan. Orang-orang kaya

ketika itu berkewajiban membayar upeti. Ada juga yang memahami

kata adz-Żillah yang diterjemahkan dalam ayat ini dengan nista dalam

arti kehinaan, sedangkan al-maskanah dalam arti kehinaan akibat

22

Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.1

(Depok: GEMA INSANI, 2013), 135. 23

Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari, Jami‟ Al Bayan an Ta‟wil Ayi

al-Qur‟an terj.Akhmad Affandi, juz.2 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 14. 24

Jizyah ialah pajak per kepala yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-

orang yang bukan Islam, sebagai imbalan bagi keamanan diri mereka.

61

keinginan meraih sesuatu yang menyenangkan tetapi tidak dapat

diraih sehingga melahirkan kesedihan.25

Allah menghukum mereka atas pengingkaran nikmat-nikmat itu

serta atas penghinaan terhadap ayat-ayat Allah yang diberikan kepada

Musa, juga atas pembunuhan yang mereka lakukan terhadap para

Nabi secara zalim, Nabi yang telah mereka bunuh antara lain Yesaya,

Zakaria, Yahya tanpa alasan yang benar untuk membunuh para Nabi.

Hal-hal tersebut merupakan tindakan yang melampaui batas dan sikap

kedurhakaan terhadap Allah, Nabi, dan juga agama. Hukuman yang

diperoleh mereka ialah ditimpakannya kehinaan dan kenistaan atas

mereka didunia, kemudian mereka mendapat murka Allah serta adzab

Allah yang pedih diakhirat.26

1. Surah Ali „Imran ayat 112.

“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali

jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali

(perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat

kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. yang

demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan

membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian

itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.”

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa kaum Yahudi adalah

kaum yang mendustakan Nabi Muhammad Saw. Allah menimpakan

kehinaan dimanapun mereka berada, dan mereka tidak akan merasa

25

M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 55. 26

Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.1

(Depok: GEMA INSANI, 2013), 134.

62

aman dan tentram kecuali mereka berpegang pada dua hal, yaitu janji

Allah dan janji manusia.27

Adapun janji Allah adalah yang ditetapkan

syari‟at untuk jaminan keamanan mereka jika mereka melakukan akad

kafir dzimmi, membayar jizyah, mematuhi hukum dan aturan-aturan

syari‟at Islam. Adapun janji manusia adalah berupa keamanan, yaitu

larangan mengganggu mereka dan persamaan hak dan kewajiban.

Allah Swt juga menjadikan mereka selalu berada di dalam murka-

Nya, mereka menjadi orang-orang hina dan menjadi bawahan umat

lain, menjadi komunitas nomer dua. Mereka terpencar dan terpisah-

pisah diberbagai penjuru dunia, meskipun jumlah mereka sebenarnya

hanya sedikit. Mereka akan tetap berada di dalam kondisi seperti itu

meskipun mereka sudah berusaha dan upaya mati-matian untuk

bersatu dan mukim di tanah-tanah jajahan di Palestina, dan meskipun

mereka mampu mengumpulkan harta kekayaan yang melimpah dan

mampu menguasai roda perekonomian dunia.28

Sebab kenapa mereka selalu dilingkupi kehinaan, kerendahan, dan

murka Allah Swt adalah kekufuran mereka terhadap ayat-ayat Allah,

pembunuhan terhadap Nabi tanpa ada alasan yang benar yang

diberikan syari‟at mereka untuk melakukan pembunuhan tersebut,

usaha mereka mencelakai serta ingin membunuh Nabi Muhammad

Saw, dan mereka melakukan kejahatan berupa pembunuhan terhadap

orang-orang yang berkata “Tuhan kami adalah Allah Swt.”

dikarenakan sikap sombong, angkuh, hasud, dan benci, mereka juga

memprovokasi orang-orang musyrik untuk memusuhi dan memerangi

serta membinasakan kaum muslimin sampai ke akar-akarnya untuk

selamanya. Keberanian mereka melakukan semua itu disebabkan

27

Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari, Jami‟ Al Bayan an Ta‟wil Ayi

al-Qur‟an terj.Akhmad Affandi, juz.5 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 734. 28

Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.2

(Depok: GEMA INSANI, 2013), 376-377.

63

gemarnya mereka melakukan kemaksiatan dan pembangkangan

terhadap perintah-perintah Allah Swt sehingga mereka tenggelam

didalamnya.

Dari dua ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kata Żillah

memiliki arti hina. Hina disini merupakan akibat dari sikap ingkar

manusia terhadap ayat-ayat Allah serta perbuatan mereka yang

membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar. Sikap mereka yang

demikian merupakan bentuk kedurhakaan hamba terhadap Tuhannya.

Secara tidak langsung kita telah mengetahui bahwa kata Żillah

mengandung makna yang negatif, tetapi tidak semua kata Żillah

negatif seperti kata Żulla yang merupakan salah satu bentuk kata

(tashrif) dari Żillah dalam syair Imam Syafi‟i berikut:

ل طهو ل حيات ه فمن ل يذهق مهر الت علم ساعة ** ترع ذهل الجه

“Barangsiapa belum pernah merasakan pahitnya menuntut ilmu

walau sesaat ** Ia kan menelan hinanya kebodohan sepanjang

hidupnya.”

Jika dilihat dalam syair sepintas, kata Żulla memiliki arti hina tidak

ada bedanya dengan arti dari kata Żillah. Akan tetapi, jika kita pahami

lebih mendalam syair tersebut, ditemukan perbedaan dalam konteks

penyebutan kata Żulla. Kata Żulla disini disebutkan dalam konteks

menuntut ilmu, yang berarti mengandung makna positif.

64

D. Analisa Terhadap Kata Sayyiah

1. Surah an-Nisȃ‟ ayat 78.

“Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,

kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan

jika mereka memperoleh kebaikan (kemenangan dalam

peperangan atau rezeki), mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi

Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka

mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)".

Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa

orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami

pembicaraan (pelajaran dan nasihat-nasihat yang diberikan)

sedikitpun?”

Pada ayat sebelumnya, menceritakan tentang sikap-sikap manusia

ketika diwajibkan berperang (jihad). Allah Swt memerintahkan kaum

muslimin untuk mempersiapkan kekuatan menghadapi perang dan

untuk selalu waspada. Dalam ayat itulah Allah menerangkan tentang

orang-orang yang asalnya ingin berperang melawan kaum musyrikin

Mekkah, namun setelah diwajibkan berperang, mereka justru enggan

melakukannya. Mereka itu adalah orang-orang munafik dan orang-

orang yang lemah imannya, dan Allah mencela sikap mereka yang

tidak istiqomah itu. Ayat tersebut meluruskan kekeliruan mereka yang

enggan berperang (jihad) karena didorong oleh keinginan menikmati

kehidupan duniawi sebanyak mungkin, dengan menjelaskan nilai

kehidupan dunia dan kesenangannya dibanding dengan kehidupan

setelah kematian yaitu diakhirat kelak.

65

Masih berkaitan dengan ayat sebelumnya, dalam ayat ini Allah

kembali meluruskan kekeliruan mereka yang lain, yaitu yang mereka

kira bahwa mereka dapat terhindar dari kematian atau bisa

memperlambat datangnya ajal dengan menghindari peperangan

(jihad).29

Allah pertegas dalam ayat ini “Dimana saja kamu berada,

kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam

benteng yang Tinggi lagi kokoh”. Kematian adalah sesuatu yang pasti

dan tak bisa dihindari. Kita semua pasti akan mati. Tidak akan ada

yang selamat dari kematian meskipun dia berada di dalam benteng

yang kokoh dan tinggi. Tidak ada yang dapat menjadi penghalang

malaikat maut untuk menjalankan tugasnya.30

Allah Swt berfirman,

“Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. dan

Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan

pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke

dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia

itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Q.S.

Ali Imran: 185).

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa.” (Q.S. ar-Rahman: 26).

29

M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, v.2 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 517. 30

Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

jilid.3 (Depok: GEMA INSANI, 2013), 170.

66

“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun

sebelum kamu (Muhammad); Maka Jikalau kamu mati, Apakah

mereka akan kekal?” (Q.S. al-Anbiya: 34).

Jika semua makhluk pasti akan mati dan waktu kematiannya tidak

dapat ditangguhkan atau dipercepat meski sedetik saja, maka tidaklah

patut apabila berperang (jihad) ditakuti. Manusia melakukan jihad

atau tidak, ajalnya tetap telah ditentukan.

Setelah itu ayat dilanjutkan dengan ucapan orang munafik yang

mengherankan “dan jika mereka memperoleh kebaikan (kemenangan

dalam peperangan atau rezeki), mereka mengatakan: "Ini adalah dari

sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka

mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)".” Ucapan

mereka yang menisbatkan kebaikan kepada Allah dan keburukan

kepada nabi Muhammad Saw, antara lain bertujuan “memisahkan”

antara Allah dan Rasul-Nya, dan ingin menunjukkan bahwa

keburukan bersumber dari nabi Muhammad, maksudnya kami ditimpa

demikian itu karena kesialanmu dan kesialan sahabat-sahabatmu.

Menurut para ahli tafsir dan takwil seperti Ibn Abbas dan lainnya

mengenai arti dan , sebagai berikut:31

1. Menyebutkan artinya keselamatan dan rasa aman, sedangkan

artinya penyakit dan rasa takut.

2. Pendapat lain berkata, artinya kaya dan artinya miskin.

31

Imam al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkaam al-Qur‟an terj.Dudi Rosyadi, dkk,

juz.5 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 672.

67

3. Pendapat lain juga berkata, artinya kenikmatan, kemenangan,

dan ghanimah yang didapat pada perang badar dan artinya

bencana, kesengsaraan, dan terbunuh.

4. Pendapat lain berkata, artinya kelapangan dan artinya

kesempitan.

Allah tidak membenarkan hal itu, maka Allah langsung

menunjukkan kedudukan nabi Muhammad di sisi-Nya dengan

memerintahkan beliau dalam sambungan ayat ini “Katakanlah:

"Semuanya (datang) dari sisi Allah".” Ada orang yang memahami

ayat "Semuanya (datang) dari sisi Allah" dengan pemahaman keliru.

Mereka mengartikan kata “keburukan” dengan المعصية “kemaksiatan” sehingga mereka menganggap bahwa sumber perilaku

maksiat dan perilaku baik yang manusia lakukan adalah dari Allah.

Pemahaman ini keliru sebab yang dimaksud dengan disini adalah

bencana kelaparan, kekeringan, dan semacamnya. Kalau seandainya yang dimaksud dengan adalah tindakan orang-orang buruk dan adalah tindakan orang-orang baik, redaksi ayat di atas

semestinya berbunyi م ن حسنة""ما اصب ت (kebaikan yang kamu

lakukan) dan "ما اصب ت م ن سيئة" (keburukan yang kamu lakukan)

dimana manusia menjadi subjek yang melakukan objek kebaikan dan

keburukan, bukan seperti yang tertera dalam ayat al-Qur‟an dimana

subjek yang menciptakan kejelekan dan kebaikan bukanlah manusia,

bahkan pada ayat manusialah yang menjadi objek yang terkena

kebaikan dan keburukan.32

Asy-Sya‟rawi mengatakan dalam pengertian "Semuanya (datang)

dari sisi Allah" jangan hanya menduga bahwa kebaikan adalah apa

yang anda nilai baik, dan keburukan adalah apa yang anda tidak

32

Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

jilid.3 (Depok: GEMA INSANI, 2013), 173.

68

senangi ! yang mendapat keburukan dalam pandangan agama adalah

yang tidak mendapat ganjaran, karena itu yang baik dan yang buruk,

semua dari Allah. Dapat dikatakan juga bahwa "Semuanya (datang)

dari sisi Allah", dalam arti sesuai dengan ketentuan sunnatullah dan

takdir-Nya. Semua sesuai dengan sunnatullah yang berkaitan dengan

hubungan sebab akibat sehingga kejelekan atau keburukan mucul

disebabkan perilaku dosa manusia atau sebab kelalaian manusia

dalam memahami aturan dan kaidah yang telah ditetapkan Allah.

Semua kejadian adalah berdasarkan ketetapan (al-Qada‟) dan

kekuasaan (al-Qadar) Allah. Orang yang baik dan buruk, mukmin

maupun kafir akan merasakannya.

Persoalan di atas cukup sulit untuk dipahami oleh orang munafik,

Allah mengisyaratkan hal tersebut dengan menegaskan bahwa “Maka

mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak

memahami pembicaraan (pelajaran dan nasihat-nasihat yang

diberikan) sedikitpun?” Gaya redaksi semacam ini dikenal dalam

bahasa Arab dengan tujuan menekankan penafian. Karena memang

persoalan ini tidak dapat dipahami secara baik kecuali oleh mereka

yang benar cerdas, sedang mereka tidak demikian.33

2. Surah al-Rȗm ayat 36.

“Dan apabila Kami rasakan sesuatu rahmat kepada manusia,

niscaya mereka gembira dengan rahmat itu. dan apabila mereka

ditimpa suatu musibah (bahaya) disebabkan kesalahan yang telah

dikerjakan oleh tangan mereka sendiri, tiba-tiba mereka itu

berputus asa.”

33

M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, v.2 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 520.

69

Kata dalam kalimat adalah in syarthiyyah dan jawabnya adalah ,

34 jadi kata

mewakili fi‟il, dengan mengandung makna ت ههم , ت دههم engkau“ وجد

dapati mereka” atau ت راههم , -engkau lihat mereka”. Seakan“ رأي ت ههم

akan Allah berfirman, ت ههم وجد . Sebagian ahli nahwu Bashrah berkata “Jika merupakan

jawab, karena memiliki kaitan dengan kalimat sebelumnya maka

posisinya sama dengan huruf fa‟.”35

Dalam ayat ini manusia yang dimaksud adalah sekelompok orang-

orang kafir. Kata disini merupakan kesenangan hidup,

kemewahan, harta yang berlimpah, nikmat kesehatan, keluasan, dan

kelapangan. Kalimat yaitu mereka yang begitu bersuka ria

hingga menjadi lupa diri, sombong dan congkak. Apabila Allah Swt

memberi suatu nikmat kepada sebagian manusia, dia begitu senang,

bangga, lupa diri, dan sombong terhadap orang lain. Namun, apabila

dia tertimpa suatu kesulitan atau keburukan, dia pesimis dan berputus

asa dari rahmat Allah Swt, benci, kecewa, frustasi dan marah.

Padahal, keburukan dan bala yang menimpanya itu adalah akibat

kemaksiatannya sendiri.

Dalam konteks nikmat pada ayat ini, Allah Swt tidak menyebutkan

sebabnya karena nikmat memang murni kemurahan dan karunia-Nya.

Sedangkan dalam konteks keburukan, bala dan azab, Allah

menyebutkan sebabnya yaitu kemaksiatan-kemaksiatan yang

diperbuat, dengan maksud untuk mengecam manusia yang tabiatnya

34

Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

jilid.11 (Depok: GEMA INSANI, 2013), 109. 35

Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari, Jami‟ Al Bayan an Ta‟wil Ayi

al-Qur‟an terj.Akhmad Affandi, juz.20 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 665.

70

buruk dan menegaskan makna keadilan.36

Adapun orang mukmin,

orang yang dilindungi dan diberikan taufiq oleh Allah, dia senantiasa

bersyukur ketika berkelapangan dan senantiasa bersabar ketika

mengalami bala maupun musibah.

Dari ayat ini bisa disimpulkan bahwa orang-orang kafir adalah

orang-orang yang menganut paham oportunisme yaitu paham yang

semata-mata hendak mengambil keuntungan untuk diri sendiri dari

kesempatan yang ada tanpa berpegang pada prinsip tertentu.37

E. Analisa terhadap kata-kata keburukan dalam al-Qur’an

1. Khabīṡ

Menurut bahasa al-khabits artinya sesuatu yang kotor.

Menurut istilah, al-khabits adalah sesuatu yang dianggap kotor

oleh tabiat yang salimah dan ditinggalkannya, seperti bangkai,

darah yang keluar dan binatang yang diharamkan seperti babi.38

Khabīṡ merupakan kebalikan dari kata thayyib yang

maksudnya adalah sesuatu yang dibenci baik secara indrawi

maupun akal termasuk di dalamnya kesalahan dalam akidah, dusta

dalam perkataan dan buruk dalam perbuatan.39

Dalam Tafsir Jalalain disebutkan bahwa Khabīṡ bermakna

orang munafik.40

Dalam ayat lain Khabīṡ dipakai untuk kebiasaan

yang paling buruk dari kaum Sodom yang mereka itu

36

Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jil.11

(Depok: GEMA INSANI, 2013), 111-112. 37

Tim penyusun kamus pusat bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi.3,

cet.4 (Jakarta: Balai Pustaka, 2007). 38

Ahsin W.al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur‟an (Jakarta: AMZAH, 2012), 150. 39

Al-Raghib Al-Ashfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‟ân (Beirut: Dâr al-

Ma‟rifah, 2002), 141. 40

Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti, Tafsîr al-

Jalalain, Terj. Bahrun Abu Bakar, juz 1 (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2008), 249.

71

dideskripsikan sebagai orang yang sû‟ dan fâsiq. Sebagaimana

tersebut dalam surah al-Anbiyâ‟/21: 74.

Dari term Khabīṡ dan turunannya dapat diketahui bahwa

keburukan dengan istilah ini menunjukkan keburukan yang banyak

berkaitan dengan keburukan yang bersifat umum seperti perbuatan

homoseksual, sesuatu yang mudah diketahui oleh orang banyak

dan terjadi karena adanya godaan setan, bahkan setan pun juga

termasuk dalam kategori pelaku Khabīṡ, selain itu juga berkaitan

dengan keburukan dalam akidah.

Dalam kitab al-Mu‟jam al-Muhfahras Li al-Fȃdzi al-Qur‟an

al-Karim karya Muhammad Fuad Abdul Baqi, terdapat 12 ayat

dari 9 surah dalam al-Qur‟an yang mengunakan kata Khabīṡ dan

turunannya.

2. Syarrun

Syarrun menunjukkan pengertian segala sesuatu yang dibenci

bertolak dengan kebalikannya yaitu al-Khair merupakan segala

sesuatu yang disukai.41

Dalam al-Qur‟an term syarrun disebutkan

sebanyak 25 kali dalam 22 surah dan 25 ayat serta dengan bentuk

jamaknya asyrâr 1 kali dalam 1 surah dan ayat. Term syarrun ini

hanya berbentuk masdar, tidak ada bentuk lain.42

Keburukan berdasarkan istilah ini lebih menggambarkan

keburukan yang tidak mudah diketahui oleh masyarakat banyak,

melainkan hanya oleh orang-orang tertentu wajar bila al-Qur‟an

mengisyaratkan bahwa untuk sampai pada al-khair dan

menghindari keburukan ini mesti diajak bukan diperintahkan.43

41

Al-Raghib Al-Ashfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‟ân (Beirut: Dâr al-

Ma‟rifah, 2002), 257. 42

M. Fuad Abd al-Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân al-Karîm

(Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), 480. 43

Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam al-Qur‟an, terj. Agus

Fahri Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), 280.

72

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa konsep keburukan

dalam term al-syarr, memiliki kecenderungan dalam

menggambarkan keburukan yang berdimensi sosial.

Dalam kitab al-Mu‟jam al-Muhfahras Li al-Fȃdzi al-Qur‟an

al-Karim karya Muhammad Fuad Abdul Baqi, terdapat 30 ayat

dari 22 surah dalam al-Qur‟an yang mengunakan kata Syarrun dan

turunannya.

3. Żillah

Adz-Żillah berarti proses atau upaya pengubahan sesuatu yang

baik menjadi buruk, kemuliaan menjadi kehinaan. Kata Żillah

merupakan istilah lainnya yang mengandung pengertian sepadan

dengan korupsi 44

Ahli Żillah (pelaku amal buruk), komunitas buih, Ungkapan

ahli Żillah ini dapat disimak antara lain dalam QS Ra‟du 13:25,

Ibrahim 14:18, Ali Imran 3:112, Baqarah 2:61. Kesimpulan dari

beberapa ayat tersebut ialah putus hubungan dengan Tuhan dan

insan.45

Pemicu putus hubungan dengan Tuhan dan insan ini adalah

pola hidup tamak, rakus, serakah (pola hidup yang cenderung

memperturutkan hawa nafsu tnpa kendali) pola hidup kikir, pelit,

kedekut (pola hidup yang cenderung mengikuti gejolak, gejala

egoisme tanpa batas, yang monopoli, cenderung makan tebu

dengan akar-akarnya, menguasai dari hulu sampai ke hilir), pola

hidup angkuh, pongah, congkak, pamer (pola hidup ambisius, yang

begitu terpesona dengan kemegahan diri sendiri).

44

Fuad Fachruddin, Intoleransi Agama terhadap Korupsi, Senin, 03 Des 2018,

03:30 WIB, http://mediaindonesia.com/read/detail/201688-intoleransi-agama-terhadap-

korupsi. 45

Fauziah, Ahli „izzah dan ahli Żillah,

khttp://www.geocities.ws/fauziah_sul/asrir296_163.htm l .

73

Dalam kitab al-Mu‟jam al-Muhfahras Li al-Fȃdzi al-Qur‟an

al-Karim karya Muhammad Fuad Abdul Baqi, terdapat 24 ayat

dari 17 surah dalam al-Qur‟an yang mengunakan kata Żillah dan

turunannya.

4. Sayyiah

Secara bahasa sayyiah berarti jelek, buruk, jahat, kerusakan,

kesusahan dan yang tidak menyenangkan.46

Al-Ashfahani

menyebutkan bahwa kata al-sayyiah lawan dari al-hasanah

(kebaikan) biasa digunakan untuk keburukan yang berkaitan

dengan kelaparan, kesempitan, atau kesusahan (QS. 4 : 78; 7: 131;

30: 36).47

Biasanya al-sayyiah digunakan untuk siksaan. Dengan

bentuk kata sayyiah menunjukkan dua hal yang sama sekali

berbeda, satu sisi kata ini berarti suatu peristiwa yang tidak

menyenangkan dan tidak dapat diterima dalam kehidupan manusia,

dan di sisi lain, digunakan untuk perbuatan buruk yang dilakukan

manusia atas kehendak Allah, yaitu maksiat atau tidak patuh

sebagaimana sering kali disebut dalam al-Qur‟an. Kata sayyiah

kadang-kadang digunakan untuk pengertian malapetaka (baliyah),

cobaan, dan kadang-kadang dalam pengertian dosa (dzanb) dan

tidak patuh (ma‟shiyah). Biasanya sayyiah sering diambil

pengertian keburukan yang umum. Dalam suatu kasus, al- Quran

menegaskan bahwa penggunaan kata sayyiah dalam pengertian

nasib buruk dan kadang-kadang dalam pengertian perbuatan

buruk.48

46

Adib Bisri dan Munawwir AF, Kamus Al-Bisri Arab Indonesia-Indonesia

Arab, Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), 350. 47

Al-Raghib Al-Ashfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‟ân (Beirut: Dâr al-

Ma‟rifah, 2002), 248. 48

Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam al-Qur‟an, terj. Agus

Fahri Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), 272.

74

Dari term sayyiah dan turunannya ternyata bentuk sȗ‟ paling

banyak ditemui dalam al-Qur‟an dibandingkan dengan bentuk lain

yang berarti juga keburukan namun dalam penggunaannya dalam

al-Qur‟an kata sû‟ ini menunjukkan keburukan adzab, perbuatan,

perkataan, sesuatu yang disembunyikan, sesuatu yang dijauhi,

sifat, tempat, keadaan, sesuatu yang dibanggakan, zalim, sesuatu

yang dikehendaki Allah. Dari uraian seputar sayyiah dan kata

turunannya, maka jelas bahwa sayyiah adalah keburukan yang

harus dijauhi dan dicegah yang bersifat universal.

Dalam kitab al-Mu‟jam al-Muhfahras Li al-Fȃdzi al-Qur‟an

al-Karim karya Muhammad Fuad Abdul Baqi, terdapat 161 ayat

dari 45 surah dalam al-Qur‟an yang mengunakan kata Sayyiah dan

turunannya.

75

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan yang cukup panjang, penulis menemukan sebuah

jawaban dari permasalahan yang penulis ajukan pada bab awal. Ada

banyak lafaz-lafaz yang berbeda yang digunakan untuk

menggungkapkan makna “keburukan” dalam al-Qur’an. Walaupun

dalam penulisan skripsi ini penulis hanya membatasi empat kata yang

memiliki arti keburukan, dari empat kata tersebut pun memberikan

perbedaan yang sangat mendasar dalam penggunaannya. Makna

keburukan yang diungkapkan dalam kata khabīṡ yaitu keburukan yang

ditunjukkan kepada sesuatu yang buruk, kotor, haram, dan najis. Kata

khabīṡ merupakan jenis keburukan dalam akidah. Syarrun yaitu suatu

keburukan yang didalamnya mengungkapkan segala hal yang dibenci

atau tertolak, merugikan, dan menyengsarakan orang lain. Lafaz

syarrun merupakan keburukan berdimensi sosial. Żillah yaitu suatu

keburukan yang hina, yang mengarah kepada ketamakan, lafaz żillah

dikategorisasikan ke dalam keburukan ekonomi, dan sayyiah yaitu

keburukan yang mengakibatkan kesusahan, kesempitan sebagai

siksaan atau azab, lafaz sayyiah merupakan keburukan yang universal

(umum). Ke empat lafaz itu, dalam penggunaannya disesuaikan

dengan konteks yang sedang dibicarakan. Namun perbedaan lafaz-

lafaz dalam al-Qur’an tersebut tidak menjadikan sesuatu yang rumit

untuk dipahami, tetapi justru memunculkan analisis kebahasaan yang

kompleks tentang adanya perbedaan dalam menggunakan istilah

untuk mengungkapkan makna keburukan di dalam ayat-ayat tersebut.

76

Hal ini, menjadi suatu yang indah dan semakin memperlihatkan akan

kemukjizatan al-Qur’an itu sendiri. Bahkan perbandingan tafsir dalam

skripsi ini menjadi sangat menarik, karena dari beberapa mufassir

yang penulis cantumkan dalam penulisan skripsi ini, menambah indah

dalam kebahasaan dalam penafsiran al-Qur’an.

B. Saran

Melalui tulisan ini, penulis menyarankan beberapa hal:

1. Bagi para pembaca, temuan penelitian ini dapat dijadikan khasanah

keilmuan.

2. Bagi calon peneliti, hasil temuan penelitian dapat dijadikan sumber

inspirasi penemuan dan penggalian pembahasan lain yang

berhubungan dengan pembahasan lafaz yang bermakna keburukan

dalam al-Qur’an.

3. Hendaknya seluruh kaum muslimin khususnya para da’i

memahami tentang pemakaian istilah keburukan yang Allah

uraikan dalam ayat-ayatnya, sehingga ayat yang disampaikan

sesuai dengan konteks yang dibicarakan.

4. Agar kaum muslimin tidak keliru ketika ada kesalahan dalam

menyampaikan arti keburukan, karena apabila tidak secara detail

memahami konteks permasalahannya, maka akan tejebak dalam

kekeliruan pemahaman.

77

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. Seluk Beluk al-Qur’an, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992.

Al-Asyqar, Muhammad Sulaiman. Sukses Akhirat Panduan Amal Meraih

Surga terj. Muhammad Isnaini (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2004.

Al-Ashfahani, Al-Raghib. al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Beirut: Dâr

al-Ma’rifah, 2002.

Anwar, Rosihon. ‘Ulum al-Qur’an. Bandung. CV Pustaka Setia, 2013.

Bahasa, Tim penyusun kamus pusat, 2007. Kamus Besar Bahasa

Indonesia, edisi.3, cet.4 Jakarta: Balai Pustaka.

Bebas, Wikipedia Ensiklopedia, Diakses pada 8 Februari, 2019,

https://id.wikipedia.org/wiki/Hawa_nafsu

Al-Baqi, M. Fuad Abd. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-

Karîm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1981.

Dahlan, Abdul Rahman. Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Qur’an. Bandung.

Penerbit Mizan, 1997.

Fachruddin, Fuad, Intoleransi Agama terhadap Korupsi, Senin, 03 Des

2018, 03:30 WIB, http://mediaindonesia.com/read/detail/201688-

intoleransi-agama-terhadap-korupsi.

Fauziah, Ahli ‘izzah dan ahli dzillah, selasa, 03 Desember 2018,

http://www.geocities.ws/fauziah_sul/asrir296_163.htm l

Firdaus, Iqra’. Inilah Akibat Dosa-Dosa Besar di Dunia Yogyakarta: Diva

Press, 2011.

Glase, Cyril. Ensiklopedia Islam Ringkas, Jakarta: PT Grapindo Persada,

1999.

Al-Hafidz, Ahsin W. Kamus Ilmu al-Qur’an. Jakarta. AMZAH, 2006.

Haris, Abd. Etika Hamka Konstruksi Etik Berbasis Rasional-Religius

Yogyakarta: LKiS, 2010.

78

Izutsu, Toshihiko. Konsep-Konsep Etika Religius dalam al-Qur’an, terj.

Agus Fahri Husein, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 20003.

Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan. KAMUS BESAR BAHASA

INDONESIA Jakarta: Balai Pustaka, 1988.

Khalaf, Abdul Wahhab. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Bandung. Penerbit

Risalah. 1985.

Manzur, Muhammad Ibn Makram Ibn ‘Ali Ibn. Lisȃn al-A’rab, Kairo:

Dȃr al-Ma’ȃrif, t.th.

Mesra, Akimin, dkk. Ulumul Qur’an, Ciputat: Pusat Studi Wanita, 2005.

Munawwar, Said Agil Husin. Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan

Hakiki. Jakarta. Ciputat Pers, 2002.

Munawwir AF, Adib Bisri. Kamus Al-Bisri Arab Indonesia-Indonesia

Arab. Surabaya: Pustaka Progresif, 1999.

Nata, Abuddin. AL-QUR’AN DAN HADITS (Dirasah Islamiyah 1) Edisi

Revisi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

-------, AKHLAK TASAWUF Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012.

Nurhadi, Rofiq. Pro Kontra Sinonim Dalam al-Qur’an, Surya Bahtera:

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol.2, No.04, 2015.

Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad al-Anshari. Jami’ li Ahkam al-

Qur’an. Juz 3. Kairo. Daar el Hadits, 2002.

-------, Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Juz 5. Kairo. Daar el Hadits, 2002.

-------, Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Juz 12. Kairo. Daar el Hadits, 2002.

Qulyubi, Shihabuddin. Stilistika Al-Qur’an Yogyakarta: Titan Ilahi Pers,

1997.

Rahmat, Aibdi. Kesesatan Dalam al-Qur’an, Yogyakarta: Putaka Pelajar,

2007.

Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir al-Mishbah, Vol.1. Jakarta. Lentera

Hati, 2009.

79

-------, Tafsir al-Mishbah, Vol.2. Jakarta. Lentera Hati, 2009.

-------, Tafsir al-Mishbah, Vol.7. Jakarta. Lentera Hati, 2009.

-------, Mukjizat al-Quran. Bandung. Mizan, 1997.

-------, ENSIKLOPEDIA AL-QUR’AN: Kajian Kosakata, Jakarta: Lentera

Hati, 2007.

Shihab, Umar. Kontekstualitas Al-Qur’an. Jakarta. Penerbit Permadani,

2008.

Asy-Syanqithi, Syaikh. Tafsir Adhwa’ul Bayan terj.Bari,Rivai,dkk, jilid.3

Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2007.

As-Suyuti, Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin. Tafsîr al-

Jalalain, Terj. Bahrun Abu Bakar, juz 1 Bandung: Sinar Baru

Algensindo, 2008.

Al-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari. Juz.2.

Jakarta Pustaka Azzam, 2009.

-------, Tafsir Ath-Thabari. Juz.4. Jakarta Pustaka Azzam, 2009.

-------, Tafsir Ath-Thabari. Juz.5. Jakarta Pustaka Azzam, 2009.

-------, Tafsir Ath-Thabari. Juz.6. Jakarta Pustaka Azzam, 2009.

-------, Tafsir Ath-Thabari. Juz.19. Jakarta Pustaka Azzam, 2009.

-------, Tafsir Ath-Thabari. Juz.20. Jakarta Pustaka Azzam, 2009.

Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Ushûl fî at-Tafsîr, Al-Maktabah al-

Islamiyyah, 2001.

Watt, W. Montgomery. Pengantar Studi al-Quran. terj. Taufiq Adnan

Amal. Jakarta. Rajawali Press, 1991.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia Ciputat: PT. MAHMUD

YUNUS WA DZURRIYAH, 2010.

az-Zuhaili, Wahbah. Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

jilid.1 Depok: GEMA INSANI, 2013.

80

-------, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.2 Depok:

GEMA INSANI, 2013.

-------, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.3 Depok:

GEMA INSANI, 2013.

-------, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.8 Depok:

GEMA INSANI, 2013.

-------, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.11 Depok:

GEMA INSANI, 2013.

81

LAMPIRAN

TABEL LAFAZ-LAFAZ ISTILAH KEBURUKAN BERIKUT

SURAH

DAN AYAT-AYAT YANG MEMBAHASNYA

A. Khabîts

اللفظة رقمها السورة الأية

;8الأعراف خبث

:79البقرة

الخبيث

آل عمران 9:<

7النساء

911ادةة الد

:7الأنفال

82

79 النور الخبيثون

79النور للخبيثي

79ابراىيم خبيثة

79النور الخبيثات

:98الأعراف

بادث الخ

7:الأنبياء

83

B. Syaṟun

اللفظة رقمها السورة الأية

799البقرة

الشر

آل عمران 9;1

91الدادةة

77الأنفال

88الأنفال

99يونس

::يوسف

84

99الاسراء

7;الاسراء

8:مريم

78الأنبياء

7: الحج

77الفرقان

88ص

>7فصلت

89فصلت

85

71الدعارج

91الجن

99الإنسان

9البينة

7الفلق

7الفلق

7الفلق

8الفلق

7 الناس

99النور

شرا

الزلزلة;

الإنسان: شره

97ص الأشرار

77الدرسلات بشرر

C. Dziḻah

اللفظة رقمها السورة الأية

86

977طو ل نذ

7:يس ذل لناىا

97الإنسان ذللت

79آل عمران تذل

97ن الإنسا تذليلا

77الإسراء

الذل

999الإسراء

78الشورى

99البقرة

ذل ة

87

آل عمران 997

987الأعراف

79يونس

:7يونس

77القلم

77الدعارج

آل عمران أذل ة 977

88

87الدادةة

77النمل

:7النمل

الأذل ; الدنافقون

71المجادلة الأذلي

9:البقرة ذلول

98الدلك ذلولا

>9النحل ذللا

89

D. Sayyiah

اللفظة رقمها السورة الأية

77النساء

ساء

;7النساء

99الدادةة

79الأنعام

979الأنعام

::9الأعراف

التوبة<

90

78النحل

>8النحل

77الإسراء

919طو

9:7الشعراء

8النمل;

7العنكبوت

9الصافات::

79الجاثية

98المجادلة

7 الدنافقون

:>النساء ساءت

91

998النساء

>7الكهف

99الفرقان

9الفتح

919دةة الدا تسؤكم

آل عمران 971

تسؤىم

81التوبة

92

:الإسراء ليسوءوا

::ود ى

سىء

77العنكبوت

:7 الدلك سيئت

79فصلت

أساء

98الجاثية

:الإسراء أسأت

91الروم أساءوا

93

79النجم

;>التوبة

الس وء

91النحل

;7مريم

7:الأنبياء

::الأنبياء

71الفرقان

9الفتح

97الفتح

94

>7البقرة

السوء

>99البقرة

71آل عمران

آل عمران 9:7

:9النساء

;97النساء

>97النساء

:98الأنعام

95

7:الأعراف

979الأعراف

998الأعراف

:99الأعراف

;;9الأعراف

:7التوبة

96

87ىود

97ىود

77يوسف

89يوسف

87يوسف

;9الرعة

79الرعة

78الرعة

97

9م إبراىي

:7النحل

;7النحل

>8النحل

7>النحل

>99النحل

77طو

98

989الشعراء

8النمل

99النمل

97 النمل

97النمل

77القصص

;فاطر

77الزمر

:7الزمر

99

99الزمر

:7غافر

78غافر

87غافر

97محمة

7الدمتحنة

991النساء

سوءا

977النساء

87الأنعام

100

78يوسف

99الرعة

:9الأحزاب

91 الروم

77فاطر

917توبة ال

7الإسراء;

9;البقرة

الس يئة آل عمران

971

101

;:النساء

>:النساء

8;النساء

991ام الأنع

8>الأعراف

979الأعراف

:7يونس

102

9الرعة

77 الرعة

9>الدؤمنون

79النمل

1>النمل

87القصص

7;القصص

79الروم

71غافر

103

77فصلت

71الشورى

;7الشورى

;9النساء

الس ي ئات

987الأعراف

;99الأعراف

:7يونس

91ىود

104

;:ىود

997ىود

77النحل

78النحل

7;القصص

7العنكبوت

91 فاطر

;7الزمر

89الزمر

105

> غافر

78غافر

78الشورى

79الجاثية

77الجاثية

7:9البقرة

يئاتكمس

79النساء

97الدادةة

106

>7الأنفال

;التحريم

7>9آل عران سيئاتنا

>التغابن

سيئاتو

8الطلاق

آل عمران سيئاتم 8>9

107

98الدادةة

1:الفرقان

:العنكبوت

99الأحقاف

7محمة

8الفتح

79 الدادةة سوءة

108

79الأعراف سوءاتكم

71الأعراف

سوءاتا

77الأعراف

:7الأعراف

979طو

78الزمر

أسواء

7فصلت:

109

;8غافر