INKULTURASI SEBAGAI JALAN BAGI UMAT PAROKI KRISTUS … · INKULTURASI SEBAGAI JALAN BAGI UMAT...
Transcript of INKULTURASI SEBAGAI JALAN BAGI UMAT PAROKI KRISTUS … · INKULTURASI SEBAGAI JALAN BAGI UMAT...
INKULTURASI SEBAGAI JALAN
BAGI UMAT PAROKI KRISTUS RAJA CIGUGUR
DALAM MEMAHAMI MAKNA PERAYAAN EKARISTI
S K R I P S I
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Progam Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
DANIAL DODI
NIM : 051124023
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN
KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009
ii
iii
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk kedua orang tuaku
dan kakakku Kristianus Purnomo,
yang selalu memberikan doa dan dukungannya kepada penulis,
Christina Desy Priandari yang selalu bersedia membantu penulis dan
memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ini,
sahabat-sahabatku di IPPAK angkatan 2005,
dan segenap umat Paroki Kristus Raja Cigugur
v
MOTTO
“Ci karacak ninggang batu, laun-laun jadi legok”
“Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam
perkara-perkara besar”
(Luk 16:10)
vi
vii
viii
ABSTRAK
Skripsi dengan judul INKULTURASI SEBAGAI JALAN BAGI UMAT PAROKI KRISTUS RAJA CIGUGUR DALAM MEMAHAMI MAKNA PERAYAAN EKARISTI ini awalnya berangkat dari ketertarikan penulis terhadap kebudayaan Sunda, khususnya yang diinkulturasikan dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja Cigugur. Namun dalam ketertarikan itu mulai muncul keprihatinan, antara lain kurangnya minat kaum muda untuk mendalami inkulturasi maupun kebudayaan tradisional. Selain itu, pemahaman umat akan makna Perayaan Ekaristi sepertinya masih kurang karena Perayaan Ekaristi masih dianggap sebagai suatu kewajiban atau rutinitas belaka. Inkulturasi, yang pada awalnya ditujukan untuk membantu umat Paroki Kristus Raja Cigugur dalam memahami makna Perayaan Ekaristi, menjadi kurang bisa dipahami bahkan mengaburkan pemahaman akan keseluruhan Perayaan Ekaristi.
Istilah inkulturasi sendiri sebenarnya merupakan proses humanisasi diri dengan kebudayaan setempat. Bagi orang Sunda di Cigugur, proses humanisasi itu adalah menjadi orang Sunda seutuhnya. Sedangkan dalam Perayaan Ekaristi proses tersebut lebih mendalam, yaitu menjadikan Perayaan Ekaristi sebagai bagian dari umat dan mengakar dalam diri umat sehingga umat memiliki kerinduan untuk ikut ambil bagian dalam karya penyelamatan Allah, yang terungkap secara nyata dalam Perayaan Ekaristi. Bahkan diharapkan bahwa Perayaan Ekaristi mampu menyentuh inti hidup umat yang paling dalam.
Untuk mengkaji permasalahan tersebut tentu saja harus didukung oleh fakta yang konkrit. Oleh karena itu, penulis mengadakan penelitian dengan menggunakan metode wawancara, studi dokumen, dan juga observasi partisipatif. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa sebagian responden di Paroki Kristus Raja Cigugur belum memahami makna Perayaan Ekaristi seutuhnya. Namun, antusias mereka akan inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi cukup besar. Hal tersebut didukung oleh gagasan umat yang mengungkapkan bahwa inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi masih sangat sesuai dan perlu dipertahankan karena inkulturasi sudah banyak membantu umat dalam memahami makna Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja Cigugur. Dengan adanya inkulturasi, umat juga dapat terlibat secara aktif dan sadar dalam Perayaan Ekaristi tersebut. Dari hasil penelitian, penulis juga mengusulkan salah satu program katekese dalam rangka meningkatkan pemahaman umat akan makna Perayaan Ekaristi. Adapun model katekese yang penulis usulkan adalah katekese model Shared Christian Praksis (SCP). Model tersebut dipilih dengan alasan bahwa SCP selalu berangkat dari pengalaman umat yang dikonfrontasikan dengan Tradisi dan Visi Kristiani. Selain itu, model ini juga dirasa sejalan dengan inkulturasi yang ada dalam Perayaan Ekaristi di Cigugur dan mampu menjawab kebutuhan umat.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih,
Gusti Pangeran Sikang Sawiji-wiji, karena atas kasih dan penyertaanNya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul INKULTURASI
SEBAGAI JALAN BAGI UMAT PAROKI KRISTUS RAJA CIGUGUR
DALAM MEMAHAMI MAKNA PERAYAAN EKARISTI ini merupakan salah
satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Ilmu Pendidikan
Kekhususan Pendidikan Agama Katolik di Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta. Penulis memilih judul skripsi tersebut dengan harapan dapat
memberi sumbangan pemikiran untuk umat, khususnya kaum muda di Paroki
Kristus Raja Cigugur dalam memahami dan menghayati makna Perayaan Ekaristi.
Selain itu, penulis menganggap perlu untuk mengangkat suatu tema tentang
kebudayaan dan Perayaan Ekaristi karena dianggap sejalan dengan perkembangan
dan kebutuhan umat dewasa ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa adanya
pendampingan, bimbingan, bantuan dan arahan dari segenap pihak. Oleh karena
itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih
kepada:
1. Rm. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, SJ, M.Ed., selaku dosen
pembimbing utama yang telah memberikan perhatian, waktu dan
sumbangan pemikiran dengan penuh kesabaran dan perhatian. Terima
kasih untuk masukan dan kritiknya sehingga penulis merasa dikuatkan dari
awal hingga akhir penulisan skripsi ini.
xi
2. Bapak Y.a.C.H. Mardiraharjo, selaku dosen pembimbing akademik yang
telah memberikan banyak perhatian kepada penulis sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan dengan baik.
3. Bapak Yosep Kristianto, SFK, selaku dosen penguji ketiga yang juga
selalu memberikan dukungan dan motivasi bagi penulis untuk segera
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
4. Segenap Staf Dosen Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sanata Dharma yang telah mendidik dan memberi
dukungan kepada penulis selama belajar hingga penulisan skripsi ini.
5. Segenap Staf Sekretariat, Perpustakaan dan seluruh karyawan IPPAK yang
telah memberikan dukungan, tegur sapa dan perhatiannya.
6. Rm. Martasudjita, Pr, yang ikut memberikan masukan yang sungguh-
sungguh berguna bagi penulis.
7. Rm. Y. Abukasman, OSC, selaku Pastor Paroki Kristus Raja Cigugur,
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengadakan
penelitian.
8. Rm. Antoon Rutten, OSC, yang juga selalu memberikan perhatian kepada
penulis dan membukakan pintunya lebar-lebar, sehingga mempermudah
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas buku-buku
tentang sejarah Paroki Cigugur yang telah dipinjamkan kepada penulis.
9. Bapak, Mamah, Aa, dan seluruh keluargaku tercinta. Terima kasih atas
cinta, doa, dan dukungan yang boleh penulis terima.
10. Keluarga di Ambarawa, yang memberikan masukan dan dukungan bagi
penulis selama menyelesaikan skripsi ini.
xii
11. Saudara-saudaraku yang ada di Yogyakarta; Antonius Yogi dan Christina
Jeanny Ardila, yang selalu mendukung dan memberikan motivasi bagi
penulis.
12. Sahabat-sahabatku angkatan 2005/2006 di IPPAK; Christina Desy
Priandari, Agustina Eri Susanti, Lisnawati Br. Pinem, Henrika Jamlean,
Almatia Nuri, Magdalena Mada Hede, Lusia Windu Andari, Haryanto,
Yohanes Pratamto Henri dll, yang telah banyak membantu dan
memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
13. Sahabat-sahabatku di Cigugur; Fransiskus Yanuar Triwacana, Antonius
Satia, dll, yang juga ikut andil dalam penyelesaian skripsi ini.
14. Segenap responden yang telah memberikan waktunya untuk diwawancarai,
sehingga penulis memperoleh data yang cukup lengkap dan representatif.
15. Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih
atas doa dan dukungannya selama ini.
Penulis menyadari bahwa karya yang tidak sempurna ini masih
menyisakan kekurangan di sana-sini. Oleh sebab itu, kiranya tiada gading yang
tak retak karena kesempurnaan hanya milik Tuhan. Dengan rendah hati, penulis
mengharapkan masukan berupa kritik atau saran yang membangun. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Yogyakarta, 15 September 2009
Penulis
Danial Dodi
xiii
DAFTAR ISI
JUDUL ............................................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................... ii
PENGESAHAN ............................................................................................... iii
PERSEMBAHAN............................................................................................ iv
MOTTO ........................................................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................................... vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
ABSTRACT..................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix
DAFTAR ISI.................................................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xv
BAB I. PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang Penulisan.................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 5
C. Tujuan Penulisan............................................................................... 5
D. Manfaat Penulisan............................................................................. 6
E. Metode Penulisan.............................................................................. 6
F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 7
BAB II. INKULTURASI DALAM PERAYAAN EKARISTI ...................... 9
A. Inkulturasi ......................................................................................... 9
1. Pengertian dan Hakikat Inkulturasi ............................................ 9
2. Dasar Inkulturasi ........................................................................ 17
3. Tujuan Inkulturasi ....................................................................... 18
B. Perayaan Ekaristi .............................................................................. 21
1. Makna Perayaan Ekaristi ............................................................ 21
2. Tata Perayaan Ekaristi................................................................. 24
C. Tahap-tahap Inkulturasi Liturgi dalam Perayaan Ekaristi ................ 28
BAB III.INKULTURASI KEBUDAYAAN SUNDA DALAM PERAYAAN EKARISTI DI PAROKI KRISTUS RAJA CIGUGUR .................... 35
A. Gambaran Umum Paroki Kristus Raja Cigugur ............................... 36
1. Letak Geografis Paroki Kristus Raja Cigugur ............................ 36
xiv
2. Situasi Umat Paroki Kristus Raja Cigugur ................................. 37
a. Sejarah Gereja Paroki Kristus Raja Cigugur.......................... 37
b. Perkembangan Gereja Katolik Cigugur ................................ 42
B. Penelitian tentang Inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja Cigugur......................................................................... 47
1. Latar Belakang ............................................................................ 47
2. Metodologi Penelitian ................................................................. 50
a. Jenis Penelitian....................................................................... 50
b. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................ 51
c. Responden Penelitian............................................................. 51
d. Variabel yang Diteliti............................................................. 52
e. Instrumen Pengumpulan Data ................................................ 52
f. Metode Pembahasan Data Penelitian ..................................... 54
3. Laporan dan Pembahasan hasil Penelitian .................................. 54
a. Responden.............................................................................. 54
b. Pemahaman Umat akan Makna Perayaan Ekaristi................. 55
c. Inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi....................................... 69
4. Kesimpulan Hasil Penelitian ....................................................... 76
BAB IV. KATEKESE INKULTURATIF DALAM RANGKA MENINGKATKAN PEMAHAMAN UMAT AKAN MAKNA PERAYAAN EKARISTI ................................................................. 78
A. Katekese Inkulturatif......................................................................... 78
1. Hakikat dan Tujuan Katekese ..................................................... 78
2. Mengusahakan Katekese Inkulturatif.......................................... 82
B. Shared Christian Praxis (SCP) sebagai Salah Satu Model Katekese Inkulturatif......................................................................... 87
1. Komponen-komponen Pokok SCP ............................................. 88
a. Shared .................................................................................. 88
b. Christian ............................................................................... 89
c. Praxis ................................................................................... 90
2. Langkah-langkah SCP................................................................. 91
a. Langkah I: Pengungkapan praksis faktual ............................ 91
b. Langkah II: Refleksi kritis pengalaman faktual .................... 92
c. Langkah III: Mengusahakan Visi dan Tradisi Kristiani
xv
terjangkau.............................................................................. 93
d. Langkah IV: Interpretasi dialektis antara praksis dan visi peserta dengan Tradisi dan Visi Kristiani ............................. 95
e. Langkah V: Keterlibatan baru demi makin terwujudnya Kerajaan Allah di dunia ........................................................ 96
C. Usulan Program Katekese ................................................................. 97
1. Latar Belakang Penyusunan Program Katekese ......................... 97
2. Alasan Pemilihan Tema .............................................................. 98
3. Penjabaran Program Katekese..................................................... 99
4. Contoh Usulan Katekese............................................................. 102
BAB V. PENUTUP......................................................................................... 116
A. Kesimpulan ....................................................................................... 116
B. Saran.................................................................................................. 119
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 120
LAMPIRAN..................................................................................................... 122
Lampiran 1: Daftar Pertanyaan Panduan Wawancara ............................ (1)
Lampiran 2: Deskripsi Hasil Penelitian .................................................. (2)
Lampiran 3: Peta Keuskupan Bandung .................................................. (18)
Lampiran 4: Peta Paroki Kristus Raja Cigugur ...................................... (19)
xvi
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci
Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan
kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama
Republik Indonesia dalam rangka PELITA III). Ende: Arnoldus, 1981, hal 8.
B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja
CT: Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II
kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang katekese
masa kini, 16 Oktober 1979.
SC: Sacrosanctum Concilium, Konstitusi tentang Liturgi Suci, 4 Desember
1965.
C. Singkatan Lain
ADS: Agama Djawa Sunda
Art: Artikel
bdk: bandingkan
dkk: dan kawan-kawan
dll: dan lain-lain
GKP: Gereja Kristen Pasundan
KWI: Konfrensi Waligereja Indonesia
MAWI: Majelis Agung Waligereja Indonesia
xvii
No: Nomor
OSC: Ordo Sanctae Crucis
P: Pangeran
P dan K: Pendidikan dan Kebudayaan
PACKU: Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang
PAKEM: Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat
PKKI: Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia
PUMR: Pedoman Umum Misale Romawi
PWI: Panitia Waligereja Indonesia
SCP: Shared Christian Praxis
TPE: Tata Perayaan Ekaristi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Perkembangan globalisasi dewasa ini ternyata membawa pengaruh
yang cukup besar bagi peradaban manusia pada umumnya. Dampak dari
perkembangan ini juga begitu terasa di Indonesia. Dalam hal kebudayaan, kita
tidak bisa menyangkal lagi bahwa sedikit banyak kita sudah terpengaruh oleh
kebudayaan barat. Bahkan kebudayaan asli yang telah lama tumbuh dan
berkembang di negeri ini semakin lama semakin menyusut. Kebudayaan asli
ini seringkali dipandang sebagai kebudayaan yang primitif atau tidak relevan
lagi dengan zaman yang sudah maju ini. Hal ini dapat dilihat dengan semakin
sedikitnya orang yang mau belajar atau mempertahankan kebudayaan
daerahnya. Untuk sekarang ini, sepertinya bukan hal yang aneh jika seseorang
tidak menguasai dan memahami bahasa daerahnya sendiri. Fenomena
semacam ini terjadi di berbagai pelosok di Indonesia yang terkenal dengan
kekayaan budayanya. Oleh karena itu, untuk beberapa tahun terakhir ini, di
beberapa daerah di Indonesia sedang digalakkan kembali studi mengenai
kebudayaan daerah. Dengan tujuan untuk menjaga kebudayaan asli Indonesia
dan agar kebudayaan yang telah ada tersebut tidak hilang begitu saja.
Begitu juga dengan Gereja Katolik pasca Konsili Vatikan II yang
semakin membuka diri terhadap dunia, atau dengan kata lain memberikan
peluang besar bagi inkulturasi. Dalam hal ini, Gereja Katolik melakukan
2
pendekatan lewat kebudayaan jemaat setempat dengan tujuan agar Gereja
Katolik semakin diterima oleh dunia. Dengan demikian kebudayaan menjadi
salah satu jalan bagi Gereja untuk menginkulturasikan tradisi dan ajaran-
ajarannya agar semakin diterima dan dipahami oleh umat. Sebagai contoh,
para misionaris yang dahulu datang di Indonesia untuk mewartakan Injil, pada
awalnya mereka mempelajari budaya umat Indonesia, termasuk di dalamnya,
bahasa, tradisi, ataupun unggah-ungguh. Lewat pendekatan tersebut, ternyata
membuat sebagian besar orang di Indonesia memahami dan tertarik pada
ajaran Kristiani, sehingga pada akhirnya memutuskan untuk menjadi Katolik.
Seiring berjalannya waktu, kebudayaan daerah semakin lama semakin
kurang dikenal orang dan dinilai kuno, sehingga inkulturasi kebudayaan dalam
Gereja pun semakin pudar dan makna inkulturasi itu pun semakin kabur. Yang
paling jelas dapat dilihat adalah dalam perayaan Ekaristi. Pada mulanya
inkulturasi kebudayaan dalam perayaan Ekaristi tersebut dimaksudkan agar
umat Kristiani lebih mampu menghayati Ekaristi lewat kebudayaannya
masing-masing. Namun, pada kenyataannya, tidak semua umat Kristiani di
Indonesia sekarang memahami kebudayaan daerahnya secara jelas. Dengan
kata lain, inkulturasi kebudayaan dalam perayaan Ekaristi seolah-olah tidak
begitu penting untuk tetap dipertahankan. Apalagi dalam masa Paus
Benediktus XVI sekarang ini penggunaan bahasa setempat untuk teks-teks
terjemahan harus benar-benar disesuaikan dengan bahasa aslinya. Sebagai
contoh, tidak semua gereja yang ada di Keuskupan Bandung menggunakan
bahasa Sunda dalam perayaan Ekaristi. Hanya beberapa gereja saja yang
3
masih tetap menggunakan bahasa Sunda dalam perayaan Ekaristi, dengan
alasan bahwa tidak semua umat Katolik di Keuskupan Bandung adalah orang
Sunda. Di luar itu, gereja-gereja di Keuskupan Bandung lebih dominan
menggunakan bahasa Indonesia dalam perayaannya. Lalu, bagaimana dengan
umat Katolik di Keuskupan Bandung yang berasal dari Sunda?
Jika kita berbicara mengenai orang Sunda Katolik di Keuskupan
Bandung, maka penulis akan mengawalinya dari Cigugur, tempat di mana
terdapat umat Katolik yang benar-benar berasal dari orang-orang Sunda dan
sekaligus merupakan jantung dari kebudayaan Sunda, di mana tradisi-tradisi
dan kebudayaan yang sudah ada masih dipelihara dan terus diperkembangkan.
Hal ini tidak dapat terlepas dari sejarah munculnya umat Katolik Cigugur ini.
Mereka merupakan peralihan dari penganut ADS (Agama Djawa Sunda),
sehingga sedikit banyak, umat Katolik Cigugur ini, yang hidup dalam
lingkungan kebudayaan Sunda Cigugur, telah dihidupi oleh adat-istiadat dan
kebudayaan tersebut. Nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan Sunda telah
tertanam dalam jiwa mereka. Dengan demikian, keseluruhan hidupnya tidak
bisa dipisahkan dari kebudayaan Sunda, termasuk cara menghayati iman
Kristiani mereka. Hal ini tentu saja membuka peluang yang lebar bagi Gereja
Katolik untuk masuk ke dalam jiwa umat Katolik Cigugur lewat kebudayaan
mereka. Atau dengan kata lain kebudayaan Sunda menjadi pintu gerbang bagi
Gereja Katolik untuk masuk dan memahami umat Katolik Cigugur. Begitu
juga sebaliknya, umat Katolik Cigugur akan mampu menerima dan memahami
iman Kristiani mereka lewat kebudayaan yang mereka miliki.
4
Oleh karena itu, baik untuk disadari bahwa inkulturasi kebudayaan
daerah dalam gereja, khususnya dalam perayaan Ekaristi, sedikit banyak telah
berperan dalam memperkembangkan iman umat dan membantu umat dalam
menghayati perayaan Ekaristi. Lewat inkulturasi kebudayaan dalam perayaan
Ekaristi, sebagian besar umat telah terbantu untuk memahami makna Ekaristi
yang menjadi puncak dalam hidup Kristiani. Hal ini juga membuat sebagian
umat ingin mempertahankan nilai-nilai dari inkulturasi tersebut, walaupun
sebagian lainnya menganggap bahwa inkulturasi tidak begitu relevan lagi
dalam perayaan Ekaristi pada masa sekarang.
Berawal dari keprihatinan tersebut, penulis mencoba menggali lagi
nilai-nilai inkulturasi kebudayaan yang ada dalam perayaan Ekaristi. Karena
penulis menganggap bahwa inkulturasi merupakan bagian dari karya
pelayanan Gereja sekaligus menjadi bagian dari perkembangan Gereja Katolik
di Indonesia. Tanpa adanya inkulturasi dalam proses pewartaan ini, belum
tentu orang mampu memahami ajaran dan tradisi-tradisi Kristiani secara utuh
dan menyeluruh. Proses pewartaan pun tentu saja tidak akan menyentuh hati
jemaat sampai ke bagian yang paling dalam, apalagi sampai umat mampu
mencintai dan mengikuti Yesus Kristus dengan sepenuh hati, jiwa dan tenaga
mereka. Bagaimana umat mampu menghayati Injil secara benar jika umat
sendiri tidak mampu menerima ajaran-ajaran Kristiani yang diberikan?
Melalui inkulturasi, umat diperkenalkan dengan iman Kristiani sesuai dengan
tradisi ataupun nilai-nilai kebudayaan yang mereka miliki, sehingga iman
Kristiani mampu diaktualisasikan dalam kehidupan umat sehari-hari dan
5
menjadi identitas bagi umat-umat Kristiani di manapun juga. Oleh sebab itu,
inkulturasi menjadi hal yang sangat penting bagi perkembangan Gereja
Katolik di Indonesia sampai saat ini, sehingga nilai-nilai yang ada di dalamnya
tentu saja harus tetap dijaga dan dipertahankan terus menerus karena masalah
inkulturasi merupakan masalah umat dalam usaha mengerti dan menjalani Injil
dalam setiap situasi hidupnya. Kiranya dengan adanya tulisan ini, umat akan
lebih mampu memahami Ekaristi lewat kebudayaan masing-masing, sehingga
secara langsung umat juga akan semakin memahami dan menghargai
kebudayaan daerah yang ada.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi?
2. Unsur-unsur kebudayaan Sunda macam apa saja yang dapat
diinkulturasikan dalam perayaan Ekaristi?
3. Bagaimana katekese inkulturatif digunakan sebagai jalan bagi umat
Kristiani di Paroki Kristus Raja Cigugur dalam menghayati makna
perayaan Ekaristi?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang hendak dicapai lewat tulisan ini adalah :
1. Memaparkan gambaran mengenai inkulturasi dalam gereja Katolik,
berikut maksud dan tujuannya
6
2. Memaparkan unsur-unsur kebudayaan Sunda yang dapat diinkulturasikan
dalam perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja Cigugur.
3. Memaparkan peranan katekese inkulturatif dalam membantu umat Paroki
Kristus Raja Cigugur menghayati makna perayaan Ekaristi.
4. Memenuhi syarat kelulusan program pendidikan Strata 1 (S1) di prodi Ilmu
Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan skripsi dengan judul ”Inkulturasi sebagai Jalan
bagi Umat Paroki Kristus Raja Cigugur dalam Memahami Makna Perayaan
Ekaristi” adalah :
1. Supaya penulis memiliki pengalaman, pengetahuan dan wawasan baru
baik dalam hal liturgi yang inkulturatif maupun dalam memahami
kebudayaan Sunda.
2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi umat Katolik di Paroki Kristus
Raja Cigugur pada khususnya, dan umat Katolik lain pada umumnya,
dalam memahami makna Perayaan Ekaristi lewat kebudayaan mereka.
E. Metode Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis akan menggunakan metode
deskriptif analisis yaitu memaparkan dan menganalisis permasalahan yang ada
sehingga ditemukan jalan pemecahan yang tepat. Selain itu juga, penulis akan
7
menggunakan studi pustaka serta mencari sumber-sumber yang relevan dan
mendukung.
F. Sistematika Penulisan
Tulisan ini mengambil judul ”Inkulturasi sebagai Jalan bagi Umat
Paroki Kristus Raja Cigugur dalam Memahami Makna Perayaan Ekaristi” dan
dikembangkan ke dalam lima bab :
Bab I. Pendahuluan
Bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang penulisan,
rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode
penulisan dan sistematika penulisan
Bab II. Inkulturasi Kebudayaan dalam Perayaan Ekaristi
Dalam bab kedua ini penulis menyajikan materi mengenai pengertian dan
hakikat inkulturasi, dasar inkulturasi, tujuan inkulturasi, makna Perayaan
Ekaristi, Tata Perayaan Ekaristi dan Inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi yang
secara khusus membahas tentang tahap-tahap inkulturasi liturgi.
Bab III. Inkulturasi Kebudayaan Sunda dalam Perayaan Ekaristi di Paroki
Kristus Raja Cigugur
Dalam bab ini penulis menyajikan gambaran Paroki Kristus Raja Cigugur
secara umum dan penelitian mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi di
Paroki Kristus Raja Cigugur.
Bab IV. Katekese Inkulturatif dalam Rangka Meningkatkan Pemahaman Umat
akan Makna Perayaan Ekaristi
8
Dalam bab ini penulis menyajikan mengenai katekese inkulturatif, Shared
Christian Praxis (SCP) sebagai salah satu model katekese yang inkulturatif
dan usulan program katekese.
Bab V. Penutup
Bab penutup ini berisi tentang kesimpulan dan saran
BAB II
INKULTURASI DALAM PERAYAAN EKARISTI
Dalam Bab II ini disajikan landasan-landasan teori yang mendukung dan
mendasari gagasan-gagasan penulis yang telah dituangkan dalam Bab I.
Kedudukan Bab II dalam keseluruhan skripsi ini adalah mengkaji teori-teori
mengenai Inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Adapun Bab II ini disusun dari tiga
sub-bab yang berisi tentang Inkulturasi, Perayaan Ekaristi dan Inkulturasi dalam
Perayaan Ekaristi. Sub-bab Inkulturasi menyajikan pengertian dan hakikat
inkulturasi, dasar inkulturasi serta tujuan inkulturasi. Sedangkan dalam sub-bab
mengenai Perayaan Ekaristi akan disajikan perihal makna Perayaan Ekaristi dan
Tata Perayaan Ekaristi. Pada sub-bab ketiga mengenai Inkulturasi dalam Perayaan
Ekaristi, secara khusus akan dibahas mengenai tahap-tahap inkulturasi liturgi.
A. INKULTURASI
1. Pengertian dan Hakikat Inkulturasi
Inkulturasi berasal dari bahasa Latin, in dan cultur-cultura. Kata depan
in mengandung pengertian “(masuk) ke dalam”, sedangkan kata cultur atau
cultura berasal kata kerja colore yang berarti “mengolah tanah”. Pengertian
kultur adalah segala karya yang membantu kehidupan manusia. Sinonimnya
dengan kata lain ialah “kebudayaan”, dari “budi-daya” dan “peradaban” dari
kata Arab adaba yang berarti mendidik (Komisi Liturgi MAWI, 1985: 9).
10
Dengan demikian, istilah inkulturasi, secara umum, dipahami sebagai suatu
usaha Gereja membudaya.
Menurut Martasudjita (wawancara pada tanggal 20 Mei 2009), istilah
inkulturasi dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun
keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena dalam setiap usaha
inkulturasi pasti selalu merangkul budaya setempat. Tetapi tidak semua
penyesuaian budaya dapat disebut inkulturasi. Selain itu, istilah inkulturasi
juga merupakan istilah yang hanya ada dalam tradisi Kristiani yang selalu
menunjuk pada perwujudan Injil Yesus Kristus dalam budaya setempat.
Istilah inkulturasi ini muncul pertama kali dalam literatur misiologis
tahun 1960, yang diperkenalkan oleh seorang dosen di Universitas Gregoriana,
Masson, dalam artikelnya ”L’eglise ouverte sur Le Monde”. Dengan istilah
ini, Masson mau mengungkapkan fakta integrasinya warta keselamatan
Kristen atau Gereja ke dalam kebudayaan kelompok tertentu. Istilah ini untuk
pertama kalinya digunakan dalam dokumen resmi Gereja pada tahun 1977,
yaitu oleh sinode para Uskup di Roma mengenai katekese, yang mengeluarkan
naskah terakhir “Pesan kepada Umat Allah” (Komisi Liturgi MAWI, 1985:
19).
Dokumen De Liturgia Romana et Inculturatione (art. 4) merumuskan
inkulturasi merupakan inkarnasi Injil dalam pelbagai kebudayaan yang
otonom dan sekaligus memasukkan kebudayaan-kebudayaan tersebut ke
dalam kehidupan Gereja. Dengan kata lain inkulturasi merupakan usaha suatu
agama untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat. Dalam
11
penyesuaian tersebut muncul transformasi yang mendalam dari nilai-nilai
budaya asli yang diintegrasikan ke dalam tradisi Kristiani.
Selain itu, beberapa ahli juga telah berusaha merumuskan istilah
inkulturasi ini, salah satunya Giancarlo Collet, yang dikutip oleh Prier (1999:
8) :
Inkulturasi adalah suatu proses yang berlangsung terus dimana Injil diungkapkan di dalam situasi sosio-politik dan religius-budaya sedemikian rupa sehingga ia tidak hanya diwartakan melalui unsur-unsur situasi tersebut, tetapi menjadi suatu daya yang menjiwai dan mengolah budaya tersebut sekaligus budaya tersebut memperkaya Gereja Universal.
Dalam pengertian tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
dalam inkulturasi, Injil Yesus Kristus diwujudnyatakan melalui budaya umat
setempat secara terus menerus, sehingga mengakar di dalam kehidupan umat.
Melalui inkulturasi, unsur-unsur budaya umat setempat dirangkul, dimaknai
dan dijiwai oleh Injil Yesus Kristus. Inkulturasi bukanlah suatu proses yang
singkat karena inkulturasi berlangsung terus-menerus dan senantiasa
mengikuti perkembangan umat sesuai dengan konteks zamannya. Proses yang
terjadi terus-menerus ini akan membuat umat semakin mengimani Injil Yesus
Kristus dalam kebudayaannya bahkan mampu menjadi identitas bagi umat di
suatu wilayah tertentu karena telah menjadi satu dengan hidup umat.
Selain Collet, ada pula Crollius (Muda,1992:23) yang merumuskan
inkulturasi sebagai berikut:
Inkulturasi Gereja adalah integrasi pengalaman Kristen sebuah Gereja Lokal ke dalam kebudayaan bangsa tertentu sedemikian rupa sehingga pengalaman itu tidak hanya mengungkapkan dirinya dalam elemen-elemen kebudayaan bangsa itu, melainkan menjadi kekuatan atau daya yang menjiwai, mengarahkan dan memperbaharui kebudayaan itu, dan
12
dengan itu menciptakan satu persekutuan baru bukan saja dalam kebudayaan tertentu itu melainkan juga sebagai sumbangan untuk Gereja Universal.
Maksudnya adalah bahwa adanya integrasi antara Injil dengan kebudayaan
setempat akan mampu memaknai atau menjiwai kebudayaan setempat
tersebut. Dalam inkulturasi, pengalaman Kristen tidak semata-mata
diekspresikan dalam bentuk kebudayaan setempat saja, tetapi lebih dimaknai
dan dijiwai oleh semangat Injil Yesus Kristus.
Mantan Jenderal Yesuit, Arrupe (Muda,1992:24), merumuskan
inkulturasi sebagai berikut :
Inkulturasi adalah inkarnasi kehidupan dan warta keselamatan Kristen ke dalam kebudayaan tertentu sehingga pengalaman ini tidak hanya menemui ungkapannya atau ekspresinya lewat unsur-unsur kebudayaan tertentu tersebut, melainkan menjadi dasar atau prinsip yang menjiwai, mengarahkan, menyatukan dan mengubahnya kepada satu ciptaan baru.
Dalam misteri inkarnasi, Yesus Kristus turun ke dunia dan mengambil rupa
manusia, sehingga Ia pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan situasi
konkret di sekitarnya. Begitu pula dalam inkulturasi, ketika Injil
diinkulturasikan ke dalam kebudayaan umat setempat, maka keduanya tidak
dapat dipisahkan satu sama lain, keduanya saling merangkul dan memperkaya.
Dalam suatu usaha inkulturasi, biasanya tidak banyak dimunculkan bentuk-
bentuk yang baru dalam pengungkapannya, melainkan bentuk yang sudah ada
sebelumnya semakin dimaknai dengan Injil Yesus Kristus. Atau dengan kata
lain pembaharuan terjadi dalam makna kebudayaan yang terinkulturasi oleh
Injil Yesus Kristus, sehingga suatu kebudayaan akan memiliki makna Injili.
13
Seminar inkulturasi yang diadakan di Yogyakarta, atas kerjasama
dengan Fakultas Misiologi di Gregoriana Roma (Muda,1992:24) merumuskan
inkulturasi sebagai berikut :
Inkulturasi adalah satu proses dimana persekutuan gereja menghidupi iman dan pengalaman Kristennya dalam konteks kebudayaan tertentu, sehingga penghayatan ini tidak hanya dapat diungkapkan lewat elemen-elemen kebudayaan setempat, melainkan menjadi suatu kekuatan yang menjiwai, membentuk, dan secara mendalam membaharui kenyataan itu, sehingga terciptalah pola-pola baru persekutuan, dan komunikasi dalam kebudayaan dan di luar kebudayaan itu sendiri.
Dari pengertian tersebut, dapat dilihat pemaknaan Injil dalam kebudayaan
umat setempat justru mampu menghidupi kebudayaan tersebut. Dengan
adanya pemaknaan tersebut, baik Injil maupun kebudayaan memiliki suatu
kekuatan baru yang semakin membentuk identitas sebuah gereja lokal.
Dari ketiga rumusan inkulturasi tersebut, dapat diambil suatu intisari
bahwa dengan inkulturasi ada pemaknaan baru dalam pengungkapan
kebudayaan setempat. Nilai-nilai dari suatu kebudayaan yang sudah ada
semakin kuat karena dijiwai oleh semangat Injil. Selain itu, usaha Gereja
untuk berinkulturasi dengan kebudayaan setempat juga semakin mengarahkan
dan memperbaharui kebudayaan tersebut sehingga menghasilkan suatu ciptaan
atau kebudayaan baru yang lebih memampukan umat untuk menghayati dan
mewujudkan iman mereka sesuai dengan citarasa umat sendiri. Hal ini sejalan
dengan pendapat Banawiratma, dalam artikelnya ”Menjernihkan Inkulturasi”,
yang dimuat dalam ”Bina Liturgia I: Inkulturasi” (Komisi Liturgi
MAWI,1985:28), bahwa:
14
Inkulturasi bukanlah penerapan kebenaran-kebenaran abstrak dalam situasi konkret. Inkulturasi adalah pergulatan kreatif umat setempat untuk menghayati hidup sebagai ciptaan baru. Ciptaan baru itu bukan hanya pakaian baru, melainkan hubungan kita dengan Yesus Kristus yang hidup Namun, tentu saja perlu diingat bahwa inkulturasi bukanlah satu-
satunya yang paling penting karena menurut Koendjono, inkulturasi ada demi
penghayatan Kerajaan Allah (Komisi Liturgi MAWI, 1985: 11). Jadi Kerajaan
Allah tetap menjadi yang terpenting. Karena inkulturasi hanyalah jalan yang
menjembatani antara nilai-nilai budaya dengan nilai-nilai Injili untuk
mencapai penghayatan Kerajaan Allah. Atau dengan kata lain dapat
diungkapkan bahwa umat akan mampu menghayati Injil dan Kerajaan Allah
melalui dan di dalam kebudayaan mereka masing-masing. Maka, apakah suatu
unsur kebudayaan kita dapat dimasukkan dalam penghayatan agama,
tergantung apakah membantu penghayatan agama kita atau tidak. Suatu unsur
kebudayaan bagaimanapun tinggi nilainya kalau tidak membantu tidak baik
dimasukkan sebagai sarana penghayatan agama.
Sebagai contoh, dalam kebudayaan Sunda, dikenal dengan istilah
tangan saé, artinya ketika orang hendak menerima suatu barang maka harus
disambut dengan tangan kanan di atas. Hal tersebut sebenarnya menunjukkan
penghormatan yang tulus baik kepada orang yang memberikan maupun pada
barang yang diterima, apalagi jika barang tersebut berupa makanan. Di Gereja
Paroki Kristus Raja Cigugur, tradisi ini dianggap baik dan bermakna bagi
penghayatan iman umat. Oleh karena itu, pada saat penerimaan komuni, umat
dianjurkan untuk menerima komuni dengan tangan saé tersebut. Tradisi
15
tangan saé dalam Gereja Katolik di Paroki Kristus Raja Cigugur semakin
dimaknai dengan semangat Injili. Dengan menerima Tubuh Kristus
menggunakan tangan kanan di atas, umat berarti memberikan
penghormatannya kepada Tubuh Kristus. Selain itu, mereka juga dengan
rendah hati menyediakan dirinya untuk bersatu dengan Kristus.
Dari contoh tersebut, dapat dilihat bahwa tradisi umat setempat
ditampung oleh Gereja Katolik, kemudian ditawarkan kepada umat dan umat
pun menerimanya. Dalam hal ini, terjadi dialog antara Gereja dan tradisi umat
setempat sehingga menghasilkan suatu bentuk inkulturasi. Jadi, inkulturasi
merupakan proses dua arah, yakni asimilasi antara warta Kristen dan jalan
hidup Kristen ke dalam kebudayaan kelompok bangsa tertentu. Hal ini juga
bisa dikatakan sebagai penerimaan kebudayaan lokal bersama-sama dengan
kehidupan Kristen lokal ke dalam warta keselamatan. Baik itu warta Kristen
maupun kebudayaan umat setempat, keduanya saling merangkul,
mempengaruhi dan memperkaya. Selain itu, warta Kristen memberikan makna
baru dalam kebudayaan tersebut. Umat pun akan mampu memahami dan
menghayati warta Kristen tersebut melalui kebudayaan mereka. Dengan
demikian terciptalah ciptaan baru atau bentuk baru kesatuan dan persekutuan
dalam gereja lokal dan merupakan sesuatu yang memperkaya gereja universal.
Dalam inkulturasi terjadi suatu interaksi sedemikian hingga budaya lama
maupun budaya baru mengalami suatu transformasi (Prier, 1999: 7). Yang
perlu digarisbawahi di sini adalah dalam suatu interaksi tentu saja hubungan
timbal balik mutlak harus ada.
16
Inkulturasi juga merupakan relasi dinamis antara warta keselamatan
kristen dengan pelbagai kebudayaan, integrasi kehidupan kristen ke dalam
kebudayaan tertentu, satu proses kontinu dari interpretasi kritis dan timbal
balik serta asimilasi antar keduanya (Muda, 1992 : 34). Oleh karena itu, dalam
inkulturasi selalu ada kerjasama atau hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan baik bagi kebudayaan setempat maupun bagi tradisi-tradisi
Kristiani. Keduanya tentu saja tidak dapat dipisahkan ataupun berjalan sendiri-
sendiri. Karena kedua hal tersebut merupakan inti dari inkulturasi dalam
Gereja. Inkulturasi hanya akan terjadi apabila ada dialog timbal balik antara
tradisi-tradisi Kristiani dengan kebudayaan setempat.
Pada hakikatnya inkulturasi merupakan perjumpaan yang bersifat
berkelanjutan antara iman Kristiani dengan kebudayaan, dan Yesus Kristus
sebagai pusatnya. Dengan demikian dalam proses inkulturasi harus nampak
bagaimana jemaat di dalam pergulatan hidupnya sehari-hari mengimani
Kristus dan menemukan kehadiranNya dalam segala aspek kehidupannya.
Pernyataan tersebut juga didukung dengan penegasan dari Lane (Heryatno,
2000: 124) bahwa pada intinya inkulturasi merupakan perjumpaan antara
kebudayaan dan Injil yang saling mengisi, mempengaruhi dan membentuk.
Oleh karena itu, budaya dan Injil tidak bisa dipisahkan, seperti diungkapkan
oleh Paus Paulus VI bahwa pemisahan antara Injil dan kebudayaan merupakan
drama hidup jemaat yang tidak dapat dilupakan. Inilah yang disebut sebagai
hakikat inkulturasi, yaitu membantu jemaat Kristiani agar iman mereka
meresap masuk ke dalam inti hidup sehingga membentuk dan menjiwai
17
seluruh pengalaman pergulatan mereka. Karena iman yang belum menjadi
kebudayaan merupakan iman yang belum sepenuhnya diterima dan dihidupi
secara sungguh-sungguh oleh umat (Heryatno, 2000: 123). Atau dengan kata
lain iman seseorang harus benar-benar tercermin dalam kesehariannya.
Hal ini tentu saja akan menghasilkan dampak yang begitu positif bagi
umat Kristiani. Mereka akan semakin mampu membangun hidup berimannya
maupun komunitasnya. Selain itu, mereka juga semakin memiliki iman
Katolik yang menyatu dan mengakar pada kebudayaan dan nilai-nilai setempat
yang mereka yakini bersifat positif, karena telah terbukti berharga bagi
perjuangan kehidupan mereka. Dengan demikian, dapat ditegaskan kembali
bahwa inkulturasi sungguh berkaitan dengan praksis atau keterlibatan jemaat
di dalam menghayati Injil Yesus Kristus menurut kebudayaan mereka sendiri.
Dalam sebuah artikel mengenai ”Katekese sebagai Salah Satu Momen
Penting dalam Inkulturasi”, Heryatno (2000: 121) menyatakan bahwa
inkulturasi merupakan kenyataan yang bersifat kompleks yang hakikatnya
tidak akan dimengerti dengan baik apabila hanya digali berdasarkan konsep
yang semata-mata bersifat teoritis. Inkulturasi sejati harus berangkat dari
konteks praksis sosio-kultural jemaat atau dengan kata lain inkulturasi harus
bertolak dari budaya setempat (Martasudjita, 1999: 88).
2. Dasar Inkulturasi
Dasar inkulturasi yang pertama kali dipikirkan ialah misteri inkarnasi
sendiri: Putera Allah mengenakan kodrat manusia, sebagaimana nampak
18
dalam permulaan Injil Yohanes (Komisi Liturgi MAWI, 1985: 39). Dalam
misteri inkarnasi ini, Yesus mengenakan kodrat manusia atau dengan kata lain
hidup Allah sendiri menginkulturasi dalam adat kebudayaan manusia. Namun,
hal ini tentu saja belum begitu mencukupi, pendasaran inkulturasi tidak boleh
berhenti pada misteri inkarnasi saja. Pusat pengalaman Kristiani tidak boleh
dilupakan, yakni Dia yang telah disalibkan bangkit kembali. Hal ini juga
diungkapkan oleh Martasudjita (1999:81) bahwa dasar teologi inkarnasi ialah:
Misteri kasih trinitaris yang diwahyukan dalam rangka sejarah dan mengalami puncak dan kepadatannya dalam peristiwa Yesus Kristus, dimana Sang Putera menjadi manusia (inkarnasi) dan menerima konsekuensi terakhirnya sebagai manusia: wafat, namun kemudian dibangkitkan oleh Bapa dalam Roh Kudus (misteri paskah). Dengan dasar tersebut, unsur budaya setempat diangkat dan diterima
oleh Injil sebagai media dialog keselamatan Allah dan manusia. Dan dengan
dasar misteri Paskah (inkarnasi), unsur budaya setempat ditebus dan
diperbaharui oleh Injil Yesus Kristus. Dengan demikian dapat dilihat bahwa
inkulturasi mengungkapkan betapa berharga dan bernilainya budaya dan
tradisi umat setempat dalam iman Kristiani (Martasudjita, 1999: 84).
3. Tujuan Inkulturasi
Adapun yang menjadi tujuan dari inkulturasi adalah agar umat semakin
mengenali, mencintai dan mengikuti Yesus Kristus dengan sepenuh jiwa, hati,
dan tenaga menurut kebudayaan dan nilai-nilai pokok hidup umat sendiri.
Dalam konteks liturgi, inkulturasi merupakan pengungkapan / perayaan liturgi
Gereja dalam tatacara dan suasana yang serba selaras dengan citarasa budaya
19
umat yang beribadat. Dengan demikian ”umat yang mengikuti ibadat
terpesona oleh lagu, doa, lambang / hiasan, upacara, karena semuanya
langsung dapat dimengerti; karena semuanya bagus menurut penilaian yang
dipakai dalam hidup kebudayaan setempat” (Prier, 1999: 13). Hal ini tentunya
akan membuat umat semakin mampu memahami segala sesuatu yang ada di
dalam Gereja dan ikut serta terlibat dalam segala bentuk kegiatan hidup
menggereja demi penghayatan imannya akan Yesus Kristus. Penghayatan
iman akan Yesus Kristus ini kemudian diaktualisasikan dalam kehidupan umat
sehari-hari. Inkulturasi juga secara tidak langsung akan menyelamatkan adat-
kebudayaan yang terdapat dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga
kebudayaan yang diwariskan dari nenek moyang tidak hilang begitu saja,
tetapi semakin dilestarikan.
Di dalam inkulturasi, tidak hanya iman Kristiani yang dipribumikan,
tetapi juga sebaliknya kebudayaan pribumi pun dikristenkan. Dengan artian
bahwa iman Kristiani dapat diterima sebagai milik umat pribumi dan
kebudayaan pribumi pun menjadi bagian dalam Iman Kristiani. Karena
inkulturasi merupakan dialog timbal balik antara iman kristen dan kebudayaan
setempat.
Sebagai contoh, dalam tradisi Sunda Cigugur dikenal ritual khusus
pada malam jumat kliwon. Sebelum agama Katolik masuk ke Cigugur, ritual
ini berlangsung di tempat-tempat khusus yang sudah disucikan. Selain itu,
ritual ini ditujukan kepada leluhur atau arwah-arwah yang sudah meninggal
sebagai bentuk penghormatan. Selain itu, ritual ini juga seringkali
20
dimanfaatkan untuk meminta bantuan / pertolongan kepada yang didoakan,
khususnya yang telah meninggal, dengan anggapan bahwa orang yang sudah
meninggal pasti memiliki kesempurnaan. Hal ini dianggap baik oleh Gereja
Katolik pada waktu itu. Ketika agama Katolik mulai berkembang di Cigugur,
tradisi berdoa di malam Jumat Kliwon ini tidak dihilangkan begitu saja dari
masyarakat Cigugur, namun diterima dan diangkat dalam suatu Perayaan
Ekaristi. Gereja Katolik meluruskan dan memaknai ritual tersebut menurut
semangat Injili. Ritual malam Jumat Kliwon pada masa sekarang ini dijadikan
sebagai suatu perayaan syukur kepada Tuhan dan segala doa serta
permohonan pun hanya ditujukan kepada Tuhan.
Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tanpa adanya
dialog antara tradisi Kristiani dengan tradisi umat setempat, maka tidak
mungkin tercipta suatu bentuk inkulturasi yang selaras dan diterima oleh umat
setempat. Namun perlu diingat juga bahwa pelaku/subyek utama dari
inkulturasi adalah umat sendiri. Oleh karena itu, baik tujuan maupun hakikat
inkulturasi selalu bertitik tolak dari konteks praksis yang dialami umat. Selain
itu, proses meresapnya Injil secara mendalam hanya mungkin bila semua umat
melibatkan diri (Komisi liturgi MAWI, 1985: 36). Hal tersebut juga
ditegaskan kembali oleh Hardawiryana (Komisi Liturgi MAWI, 1985: 37)
bahwa kaum awam bertanggung jawab sepenuhnya atas kehidupan dan misi
Gereja di tengah masyarakat.
21
B. PERAYAAN EKARISTI
Istilah ”Ekaristi” berasal dari bahasa Yunani eucharistia yang berarti
puji syukur. Kata eucharistia adalah sebuah kata benda yang berasal dari kata
kerja bahasa Yunani eucharistein yang berarti memuji, mengucap syukur
(Martasudjita, 2005: 28). Pada intinya, istilah Ekaristi menunjuk dengan bagus
isi dari apa yang dirayakan dalam seluruh Perayaan Ekaristi, yaitu pujian dan
syukur atas karya penyelamatan Allah yang terlaksana melalui Yesus Kristus,
sebagaimana berpuncak dalam peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus.
Dengan pujian syukur itu, Gereja mengenangkan dan menghadirkan misteri
penebusan Kristus pada masa sekarang (Martasudjita, 2005: 29).
1. Makna Perayaan Ekaristi
Gereja adalah paguyuban orang beriman yang percaya kepada Yesus
Kristus. Umat beriman dipersatukan dalam Gereja karena imannya akan Yesus
Kristus. Umat kemudian menanggapinya dengan merayakan dan
mengenangkan misteri kelahiran, kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus
Kristus dalam suatu perayaan liturgis yang disebut Ekaristi.
Martasudjita (2005:105), dalam bukunya yang berjudul ”Ekaristi:
Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral”, menyebutkan bahwa Ekaristi
merupakan sebuah perayaan. Kata perayaan menerjemahkan kata Latin
celebratio yang kata kerjanya celebrare. Kata celebrare ini mempunyai
banyak kemungkinan arti, antara lain: merayakan, mengunjungi atau
menghadiri dalam jumlah banyak, meramaikan, memenuhi, kerap kali
22
melakukan, memasyhurkan, memuji atau memuja. Oleh karena itu, makna
dasar celebratio atau perayaan selalu berunsur plural. Dalam Perayaan
Ekaristi, umat merayakan warta penyelamatan Yesus Kristus yang telah
diterima dan diimani, kemudian dikenangkan lagi dalam ungkapan syukur atas
tindakan penyelamatan Alah melalui Yesus Kristus (Komisi Liturgi MAWI.
1985: 25). Merayakan di sini berarti umat satu sama lain menciptakan
kehadiran Kristus dan membuat hidup misteri yang dirayakan tersebut, dan itu
terasa menyentuh mereka yang merayakannya atau kerapkali disebut dengan
istilah memoria Iesu (Komisi Liturgi MAWI. 1985: 50). Apabila Ekaristi
dipandang sebagai sebuah Perayaan, maka banyak peluang yang dapat
dijadikan sarana berinkulturasi.
Dalam pengertian teologis – liturgis, kata perayaan mengandung tiga
arti pokok, yaitu: segi kebersamaan, segi partisipasi dan segi konteks
(Martasudjita, 2005: 106-108).
1. Segi kebersamaan
Sebuah perayaan selalu merupakan suatu kegiatan bersama atau sekurang-
kurangnya melibatkan lebih dari satu orang. Ekaristi sebagai sebuah
perayaan pertama-tama adalah perayaan seluruh Tubuh Mistik Yesus
Kristus, yakni Kepala dan para anggotanya. Dengan kata lain, subyek
Perayaan Ekaristi adalah Tuhan Yesus Kristus dan Gereja-Nya. Subyek
menunjuk siapa yang merayakan Ekaristi, yaitu Kristus dan bersama
seluruh Gereja. Hal ini berarti seluruh Gereja juga menjadi subyek atau
pelaku Perayaan Ekaristi yang sungguh-sungguh, tetapi selalu karena
23
Kristus, di dalam Kristus dan bersama Kristus. Itulah sebabnya, Konsili
Vatikan II menegaskan makna eklesial Ekaristi dan semua kegiatan liturgis
lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam SC 26 bahwa ”Upacara-upacara
liturgi bukanlah tindakan perorangan melainkan perayaan Gereja sebagai
sakramen kesatuan”. Dan sebagai suatu perayaan seluruh Gereja, Ekaristi
selalu bersifat resmi, umum, eklesial, artinya menghadirkan seluruh
Gereja. Oleh karena itu konsekuensi pastoralnya adalah Ekaristi tidak
pernah boleh dirayakan menurut selera pribadi.
2. Segi partisipasi
Suatu perayaan juga selalu menunjuk makna keterlibatan atau partisipasi
dari seluruh hadirin. Demikian pula Ekaristi sebagai liturgi resmi
menuntut partisipasi sadar dan aktif dari semua yang hadir. Kata sadar
menunjuk segi pemahaman atau dengan kata lain tahu apa yang ia
lakukan. Oleh karena itu, umat beriman perlu memahami seluruh makna
Perayaan Ekaristi, termasuk arti semua simbolnya. Sedangkan kata aktif
menunjuk keterlibatan yang sepenuhnya dan seutuhnya. Itulah sebabnya
para Bapa Konsili Vatikan II mendesak umat beriman agar mereka
merayakan Ekaristi bukan sebagai penonton yang bisu, melainkan bisa
memahami misteri yang dirayakan dengan baik dan ikut serta secara
penuh, khidmat, dan aktif (SC 48). Partisipasi sadar dan aktif ini
mencakup pemahaman akan seluruh misteri yang dirayakan sekaligus
keterlibatan yang penuh, utuh dan aktif sejak persiapan, pelaksanaan,
24
hingga sesudah perayaan, yakni dengan ikut menghasilkan buah-buah
perwujudan iman.
3. Segi konteks
Sebuah perayaan selalu diselenggarakan menurut situasi dan kondisi
setempat. Dalam hal ini, unsur kebutuhan setempat, situasi, tantangan
zaman, dan unsur-unsur budaya lokal ikut mempengaruhi sebuah
perayaan. Demikian halnya dengan Perayaan Ekaristi kita, yang
merupakan perayaan seluruh Gereja, juga dirayakan menurut gaya dan
model penghayatan setempat. Segi konteks ini menunjuk makna Ekaristi
yang dirayakan menurut situasi dan kondisi aktual atau konteks umat
setempat. Untuk itu, para Bapa Konsili Vatikan II sangat mendorong
berbagai penyesuaian liturgi, termasuk di dalamnya inkulturasi liturgi,
tentu saja ”asalkan selaras dengan hakikat dan semangat liturgi yang sejati
dan asli” (SC 37). Demikianlah Perayaan Ekaristi mesti menjawab
kebutuhan dan kerinduan aktual dan kontekstual dari umat beriman
setempat. Itulah sebabnya, doa-doa terutama doa umat, misalnya,
hendaknya disusun menurut situasi dan kondisi aktual Gereja setempat
pada waktu itu.
2. Tata Perayaan Ekaristi
Dalam bukunya mengenai ”Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis dan
Pastoral”, Martasudjita (2005:92-93) mengemukakan bahwa selama kurang
lebih 35 tahun lamanya, yakni sejak buku Missale Romanum Paulus VI
25
dipromulgasikan pada tanggal 26 Maret 1970, umat Katolik di Indonesia
merayakan Ekaristi dengan menggunakan TPE (Tata Perayaan Ekaristi) yang
masih belum bersifat tetap. Dengan turunnya Textus Recognitus Tata Perayaan
Ekaristi 2005 dari Kongregasi Ibadat, Gereja Katolik di Indonesia telah
memiliki TPE dalam bahasa Indonesia, menurut Ritus Romawi, yang definitif.
TPE 2005 ini merupakan teks yang telah disahkan oleh Sidang Para Uskup
KWI pada bulan November 2003, dan selama tahun 2004 diproses ke Roma
untuk memperoleh recognitio, dan akhirnya pada tanggal 7 Oktober 2004
mendapat recognitio dari Takhta Suci, berdasarkan Surat Kongregasi Suci
untuk Ibadat dan Tata Tertib Sakramen: Prot. No. 935/04/L, tanggal 7 Oktober
2004, dan ditandatangani oleh Kardinal Francis Arinze sebagai Prefek dan
Mgr. Dominicus Sorrentino sebagai Sekretaris (Martasudjita, 2005: 93).
Sejarah perjalanan Gereja Katolik di Indonesia untuk memiliki TPE
yang definitif amat sangat lama. TPE 1979, yang semula diberlakukan secara
ad experimentum, ternyata digunakan hampir lebih dari 25 tahun. Kendati
demikian, teologi TPE 2005 tidak berbeda dengan teologi TPE 1979 karena
semuanya mengacu pada teologi Ekaristi konsili Vatikan II. Selain itu, baik
struktur pokok maupun unsur-unsur lain dari bagian-bagian Perayaan Ekaristi
yang ada dalam TPE 2005, juga tidak berbeda dengan TPE 1979. Yang
berbeda adalah istilah dan variasi pilihannya. Misalnya saja, TPE 1979
menyebut bagian pembukaan dengan istilah ”Pembukaan” dan ”Penutup”,
sedangkan dalam TPE 2005 menggunakan istilah yang sama dengan PUMR
26
(Pedoman Umum Misale Romawi), yakni ”Ritus Pembuka” dan ”Ritus
Penutup”.
Perayaan Ekaristi terdiri atas dua bagian pokok, yaitu Liturgi Sabda
dan Liturgi Ekaristi, dan kedua bagian pokok itu diapit oleh Ritus Pembuka
sebagai bagian yang mempersiapkan dan Ritus Penutup sebagai bagian yang
menutup (Martasudjita, 2005:116). Keempat bagian tersebut berhubungan
begitu erat sehingga seluruhnya menjadi satu tindakan ibadat (bdk. SC 56).
Keseluruhan tindakan ibadat ini kemudian disebut sebagai Perayaan Ekaristi.
Berikut ini disajikan struktur dasar yang ada dalam Tata Perayaan
Ekaristi beserta rincian per bagiannya (Martasudjita, 2005:116-118):
Ritus Pembuka memiliki makna dasar kehadiran Tuhan di tengah umat
beriman yang sedang berdoa. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam Ritus
Pembuka ini adalah menyatukan dan mempersiapkan umat melalui tobat dan
doa-doa. Ciri khas bagian ini adalah sebagai pembuka, pengantar dan
persiapan menuju Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Dalam bagian ritus
pembuka, dapat dirinci sebagai berikut; perarakan masuk (dengan lagu
pembuka, Tanda Salib, salam pengantar, tobat, kyrie, gloria, dan doa
pembuka.
Setelah ritus pembuka, dilanjutkan dengan Liturgi Sabda yang
memiliki makna dasar kehadiran Tuhan dan karya penebusan-Nya bagi Gereja
melalui Sabda-Nya. Peranan bagian ini dalam keseluruhan Perayaan Ekaristi
adalah pewartaan Sabda Allah sekaligus sebagai permenungan dan tanggapan
umat beriman atas Sabda Allah itu. Liturgi Sabda terdiri dari beberapa bagian,
27
yaitu Bacaan I, mazmur tanggapan, Bacaan II, bait pengantar Injil / Alleluya,
Bacaan Injil dan Aklamasi sesudah Injil, homili / khotbah, syahadat para rasul
dan doa umat.
Struktur yang mendasari keseluruhan perayaan Ekaristi selanjutnya
adalah Liturgi Ekaristi. Liturgi Ekaristi merupakan bagian yang paling penting
dalam keseluruhan Perayaan Ekaristi. Makna yang dapat dipetik dalam Liturgi
Ekaristi ini adalah kehadiran Tuhan dan karya penebusan-Nya bagi Gereja
secara sakramental, yaitu dalam rupa roti dan anggur. Liturgi Ekaristi dibagi
menjadi tiga bagian pokok yaitu Persiapan Persembahan, Doa Syukur Agung,
dan Komuni yang memiliki peran masing-masing. Peranan Persiapan
Persembahan adalah mempersiapkan bahan-bahan persembahan, terutama roti
dan anggur. Karena bahan-bahan tersebut juga yang digunakan oleh Yesus
Kristus dalam Perjamuan Malam Terakhir hidup-Nya. Dalam persiapan
persembahan biasanya diawali dengan kolekte dan mempersiapkan altar,
perarakan persembahan, mengunjukkan roti, mengunjukkan piala, pendupaan,
pembasuhan tangan, dan doa persiapan persembahan. Setelah itu masuk ke
dalam Doa Syukur Agung yang terbagi ke dalam beberapa bagian kecil, yaitu
prefasi, kudus, postsanctus, epiklese konsekratis, kisah dan kata-kata Institusi,
aklamasis anamnesis, anamnese, persembahan, epiklese komuni, permohonan
dan doxologi. Bagian Doa Syukur Agung ini berperan sebagai ucapan puji
syukur kepada Allah Bapa atas seluruh karya penyelamatan-Nya melalui
Yesus Kristus yang wafat dan bangkit, kepada-Nya dipersembahkan roti dan
anggur yang menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Setelah Doa Syukur Agung
28
dilanjutkan dengan Komuni, yakni kesatuan umat beriman dengan Tuhan dan
sesama. Meskipun banyak, umat disatukan oleh Tubuh Kristus yang satu dan
sama. Adapun rincian dari bagian ini adalah Bapa kami, embolisme, aklamasi,
doa damai, salam damai, Agnus Dei, ajakan menyambut komuni, penerimaan
komuni, hening, madah syukur, dan doa sesudah komuni.
Setelah Liturgi Ekaristi berakhir, maka Perayaan Ekaristi diakhiri
dengan Ritus Penutup. Ritus Penutup dimaknai dengan kehadiran Tuhan yang
mengutus Gereja dan yang menyertainya dengan berkat-Nya. Tujuannya
adalah menyampaikan berkat Tuhan kepada seluruh umat beriman sebagai
kekuatan atau bekal dalam menjalankan perutusan Gereja di tengah dunia.
Ritus penutup terbagi lagi menjadi beberapa rincian kecil, yaitu pengumuman,
berkat Tuhan, pengutusan, kemudian diakhiri dengan perarakan meninggalkan
altar (diiringi lagu penutup).
C. Tahap – Tahap Inkulturasi Liturgi dalam Perayaan Ekaristi
Menurut pandangan P. Schineller, yang dikutip oleh Martasudjita
(1999:85-89) dalam bukunya yang berjudul ”Pengantar Liturgi: Makna,
Sejarah dan Teologi Liturgi”, inkulturasi dalam liturgi dibagi ke dalam 4
tahap, yaitu: pengambilalihan, penerjemahan, penyesuaian, dan yang terkahir
inkulturasi.
1. Tahap pertama : pengambilalihan
Pengambilalihan (imposition) sebenarnya belum termasuk dalam
tahap inkulturasi liturgi. Namun dengan hal tersebut dimaksudkan bahwa
29
teologi dan liturgi asing dipakai dan digunakan begitu saja secara utuh di
daerah lain. Misalnya saja, liturgi Eropa dirayakan persis dan lengkap
menurut tatacara dan bahasa aslinya tanpa disesuaikan dan diubah sama
sekali.
2. Tahap kedua : penerjemahan
Dengan penerjemahan sebuah tahap inkulturasi sudah dimulai
walaupun menurut tahapnya yang paling tipis dan sederhana. Dalam tahap
ini terjadi penerjemahan teks liturgi dari bahasa asli (Latin) ke bahasa
pribumi. Dengan pemakaian bahasa pribumi ini, biasanya liturgi secara
otomatis juga mengalami beberapa penyesuaian, karena bahasa merupakan
bagian dalam kebudayaan manusia sehingga bahasa juga mengungkapkan
aneka aspek pemahaman akan kehidupan bangsa itu. Di Indonesia, ada
beberapa teks liturgi, baik itu doa maupun nyanyian, yang secara praktis
diterjemahkan begitu saja tanpa penyesuaian sedikitpun. Hal ini baik
dilakukan, namun tentu saja belum memadai bagi suatu usaha inkulturasi
yang benar-benar hidup.
3. Tahap ketiga : penyesuaian
Pada umumnya, tahap penyesuaian (adaptatio atau accomodatio)
dipandang sebagai suatu langkah yang jauh lebih maju dibandingkan
dengan tahap penerjemahan. Dalam Konsili Vatikan II, tahap penyesuaian
ini biasanya disebut dengan istilah aptatio, namun kiranya istilah aptatio
tersebut digunakan dalam arti yang sama dengan adaptatio (ad-aptatio)
30
atau accomodatio. Tahap penyesuaian ini diatur dalam Sacrosanctum
Concilium art. 37 – 39.
Pada tahap ini suatu perubahan dan penyesuaian tertentu dengan
kondisi dan budaya setempat diizinkan, namun ada batasannya. Sebagai
contoh dapat dilihat dalam SC 39:
Dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh terbitan autentik buku-buku liturgi, pimpinan Gereja setempat yang berwenang, seperti disebut dalam art. 22 (2), berhak untuk merinci penyesuaian-penyesuaian, terutama mengenai pelayanan Sakramen-sakramen, sakramentali, perarakan, bahasa liturgi, musik Gereja dan kesenian, asal saja sesuai dengan kaidah-kaidah dasar yang terdapat dalam Konstitusi ini.
Dalam tahap ini sudah sangat dimungkinkan masuknya unsur-unsur
budaya setempat ke dalam liturgi, dengan catatan: asal selaras dengan
hakikat semangat liturgi yang sejati dan asli (SC 37). Unsur-unsur budaya
setempat itu bisa digunakan untuk mengganti atau menjelaskan unsur-
unsur upacara atau doa ritus Romawi. Contoh tahap penyesuaian liturgi di
Indonesia adalah tari-tarian pada prosesi awal dan persembahan,
sungkeman dalam liturgi perkawinan dan tahbisan, penggunaan gong
dalam konsekrasi, pengembangan lagu-lagu liturgis yang diwarnai dan
dijiwai budaya setempat, penggunaan alat musik daerah dalam liturgi,
penggunaan pakaian adat dalam liturgi, dan lain-lain.
4. Tahap keempat : inkulturasi
Tahap keempat ini merupakan tahap yang paling puncak. Dalam
tahap ini, penyesuaian liturgi tidak hanya sekedar penyesuaian fisik
terhadap budaya setempat dalam beberapa bagian saja. Inkulturasi sejati
31
justru bertolak dari budaya setempat. Apabila dilihat dari bentuknya,
budaya tersebut tidak berubah, namun menurut isinya, budaya tersebut
kemudian diterangi atau dimaknai oleh iman Kristiani. Oleh karena itu,
liturgi yang baru tersebut memiliki struktur dan budaya yang khas menurut
budaya setempat sekaligus bermakna Kristiani. Kaidah-kaidah inkulturasi
tersebut diatur dalam SC 40. Dalam SC 40, istilah yang digunakan
bukanlah inkulturasi melainkan penyesuaian liturgi secara lebih
mendalam. Ada tiga ketentuan yang dikemukakan dalam SC 40 ini, yaitu:
(1) Hendaknya pemimpin gerejawi setempat yang berwenang, seperti disebut dalam art. 22 (2), dengan tekun dan bijaksana mempertimbangkan, unsur-unsur manakah dari tradisi dan ciri khas masing-masing bangsa yang dalam hal itu sebaiknya ditampung dalam ibadat ilahi. Penyesuaian-penyesuaian, yang dianggap berfaedah atau memang perlu, hendaknya diajukan kepada Takhta Apostolik, supaya atas persetujuannya dimasukkan dalam Liturgi. (2) Tetapi supaya penyesuaian dijalankan dengan kewaspadaan seperlunya, maka Takhta Apostolik akan memberi wewenang kepada pimpinan gerejawi setempat, untuk – bila perlu – dalam beberapa kelompok yang cocok untuk itu dan selama waktu yang terbatas mengizinkan dan memimpin eksperimen-eksperimen pendahuluan yang diperlukan. (3) Ketetapan-ketetapan tentang Liturgi biasanya menimbulkan kesulitan-kesulitan khas mengenai penyesuaian, terutama di daerah-daerah Misi. Maka dalam menyusun ketetapan-ketetapan itu hendaknya tersedia ahli-ahli untuk bidang yang bersangkutan. Dalam hal ini, berbagai bentuk inkulturasi dalam liturgi sama
sekali tidak dilarang, namun tentu saja harus mengikuti kaidah-kaidah
yang telah ditetapkan oleh Takhta Suci dan diawasi oleh para pemimpin
Gereja setempat. Atau jika diperlukan, Gereja setempat dapat
menyediakan ahli-ahli dalam bidang inkulturasi liturgi tersebut.
32
Dari keseluruhan bagian dalam Perayaan Ekaristi, ada beberapa
bagian yang memberikan peluang untuk masuknya kebudayaan umat
setempat dalam Perayaan Ekaristi. Misalnya saja dalam ritus pembuka
maupun ritus penutup. Dalam perarakan dapat menggunakan unsur
kebudayaan daerah berupa tarian, nyanyian maupun iringan musik.
Kendati demikian, ada kaidah-kaidah umum yang memang harus dipenuhi
sehubungan dengan jalannya inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Kaidah-
kaidah umum tersebut diungkapkan secara jelas dalam Sacrosanctum
Concilium. Salah satunya mengenai wewenang untuk mengatur liturgi
yang semata-mata ada pada pimpinan Gereja, yakni Tahta Apostolik, dan
menurut kaidah hukum pada Uskup (SC art.22). Selain itu, diungkapkan
juga mengenai tradisi dan perkembangan yang ada dalam Gereja:
Supaya tradisi yang sehat dipertahankan, namun dibuka jalan juga bagi perkembangan yang wajar, hendaknya selalu diadakan lebih dahulu penyelidikan teologis, historis dan pastoral yang cermat tentang setiap bagian Liturgi yang perlu ditinjau kembali. Kecuali itu hendaklah dipertimbangkan baik patokan-patokan umum tentang susunan dan makna Liturgi, maupun pengalaman yang diperoleh dari pembaharuan Liturgi belakangan ini serta dari izin-izin yang diberikan di sana-sini.... Sedapat mungkin hendaknya dicegah juga, jangan sampai ada perbedaan-perbedaan yang menyolok dalam upacara-upacara di daerah-daerah yang berdekatan.
Dalam suatu bingkai aggiornamento, Konsili Vatikan II memberi
tempat pada kaidah-kaidah perihal penyesuaian dengan tabiat perangai dan
tradisi bangsa-bangsa (bdk. SC 37-40). SC 37 memberi penegasan prinsip
Gereja berhadapan dengan pluralitas, termasuk dalam liturgi. Dengan kata
33
lain, Gereja mengambil sikap hormat dan menyokong kekayaan kultural
dari segenap masyarakat.
”Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan
segenap jemaat, Gereja dalam Liturgi pun tidak mengharuskan suatu
keseragaman yang kaku. Sebaliknya, Gereja memelihara dan memajukan
kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam
adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhyul
atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan
bila mungkin dipeliharanya dalam keadaan baik dan utuh. Bahkan ada
kalanya Gereja menampungnya dalam Liturgi sendiri, asal saja selaras
dengan hakikat semangat Liturgi yang sejati dan asli.” (SC 37). Kutipan
tersebut dilengkapi dalam SC 40 yang mengafirmasi kriteria penting dan
mendesaknya pembaruan Liturgi secara mendalam. Dengan demikian,
terkait dengan kaidah kultural, Gereja menempatkan aspek kesadaran dan
partisipasi aktif umat beriman sebagai kriteria awal dalam usaha memberi
penghargaan pada budaya masing-masing jemaat.
Dalam SC 38-39, seraya mempertahankan prinsip kesatuan hakiki
dengan ritus Romawi, Konsili memberi tempat kepada kemajemukan
bentuk dan penyesuaian yang wajar dengan pelbagai kelompok, daerah,
dan bangsa, terutama di daerah-daerah Misi. Terkait dengan kebijakan ini,
Konsili pun memberi tempat pada dimungkinkannya penyesuaian-
penyesuaian, terutama mengenai pelayanan Sakramen-Sakramen,
34
sakramentali, perarakan, bahasa Liturgi, musik Gereja dan kesenian, asal
saja sesuai dengan kaidah-kaidah dasar yang terdapat dalam SC.
Pada kenyataannya, contoh-contoh inkulturasi liturgi yang terjadi
menurut tahap ini tidak banyak, misalnya saja: liturgi Ekaristi ritus Zaire
dan ritus India. Selain itu, contoh inkulturasi liturgi yang sangat jelas dapat
dilihat pada zaman Gereja Perdana, menggunakan unsur dan struktur
upacara agama Yahudi (misalnya: pembaptisan, liturgi sabda, Ekaristi,
pengurapan orang sakit penumpangan tangan dan pesta-pesta Yahudi),
namun unsur dan struktur upacara liturgi Yahudi tersebut mendapat arti
dan nilai baru, karena dipandang menurut terang misteri Kristus.
BAB III
INKULTURASI KEBUDAYAAN SUNDA DALAM PERAYAAN
EKARISTI DI PAROKI KRISTUS RAJA CIGUGUR
Pada Bab III ini penulis akan memberikan uraian berdasarkan kenyataan
yang terjadi di Paroki Kristus Raja Cigugur, setelah sebelumnya diuraikan
mengenai inkulturasi dan Perayaan Ekaristi. Adapun garis besar yang dibicarakan
dalam Bab III ini adalah gambaran umum Paroki Kristus Raja Cigugur dan
penelitian tentang inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja
Cigugur.
Dalam sub-bab mengenai gambaran umum Paroki Kristus Raja Cigugur,
akan dipaparkan letak geografis, situasi umat Paroki Kristus Raja Cigugur dan
kekhasan yang ada dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja Cigugur. Hal
ini penting sekali untuk diuraikan karena mengungkapkan kondisi Paroki Kristus
Raja Cigugur secara nyata dan jelas. Sedangkan dalam sub-bab kedua, mengenai
penelitian tentang inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja
Cigugur, penulis akan memaparkan mengenai latar belakang dan metodologi
penelitian. Menurut penulis, penelitian ini penting sekali untuk diadakan karena
dalam penelitian akan dapat ditemukan masalah-masalah yang membuat
kurangnya pemahaman umat akan makna Perayaan Ekaristi yang inkulturatif.
Dengan demikian, akan diusulkan pula suatu upaya yang dapat membantu umat
lebih memahami makna Perayaan Ekaristi. Berikut ini adalah pembahasannya:
36
A. GAMBARAN UMUM PAROKI KRISTUS RAJA CIGUGUR
Paroki Kristus Raja Cigugur merupakan bagian dari wilayah pastoral
Keuskupan Bandung yang menyimpan dua alur sejarah yang sangat penting.
Pertama, Cigugur menjadi basis hidup dan perkembangan bagi sebuah
kehidupan religius lokal, yaitu Agama Djawa Sunda (ADS). Kedua,
religiusitas lokal ini akan menjadi basis bagi sebuah religiusitas universal,
yaitu Katolik. Dua hal inilah yang membuat Cigugur menjadi khas dan
penting dalam peziarahan iman Keuskupan Bandung.
1. Letak Geografis Paroki Kristus Raja Cigugur
Gereja Paroki Kristus Raja Cigugur merupakan sebuah paroki yang
terdapat di Desa Cigugur, tepatnya di Jl. RS. Sekar Kamulyan no.7
Cigugur, sekitar 3 km dari kota Kuningan ke arah barat. Cigugur juga
merupakan sebuah Kecamatan yang terletak di kaki Gunung Ciremai dan
termasuk dalam daerah tingkat II Kabupaten Kuningan, Jawa Barat,
dengan ketinggian rata-rata 700 – 850 meter di atas permukaan laut. Desa
Cigugur dibatasi oleh Kabupaten Cirebon dari arah utara, Kabupaten
Ciamis dari arah selatan, Kabupaten Majalengka dari arah barat, dan
Kabupaten Ciledug dari arah timur. Gereja Kristus Raja Cigugur sendiri
dalam bilangan Gereja Katolik Indonesia merupakan sebuah paroki dalam
lingkup Keuskupan Bandung.
Paroki Kristus Raja Cigugur memiliki wilayah yang sangat luas.
Wilayah Paroki Cigugur berbatasan dengan beberapa paroki, yaitu Paroki
37
Cirebon, Paroki Tasikmalaya, dan Paroki Garut. Wilayah Paroki Cigugur
sendiri pada awalnya terdiri dari 15 stasi, yaitu Cigugur – Cipari,
Cisantana – Pasir, Cibunut – Tagog, Sukamulya, Talahab, Kuningan,
Susuru, Subang – Kancana, Wedang Temu, Pugag, Winduhaji,
Kramatmulya, Cikondang – Cibapang, Luragung, dan Cidadap.
2. Situasi Umat Paroki Kristus Raja Cigugur
a. Sejarah Gereja Paroki Kristus Raja Cigugur
Sejarah Gereja Paroki Kristus Raja Cigugur merupakan salah satu
sejarah kehadiran Gereja yang unik di Tatar Sunda. Tentang sejarah paroki
ini dapat saja dihubungkan dengan peristiwa misi yang berlangsung
ratusan tahun di nusantara. Artinya, kehadiran Gereja Paroki Kristus Raja
Cigugur dapat merupakan buah misi yang telah berlangsung lama. Namun
di sisi lain, rupanya kehadiran Gereja Paroki Kristus Raja Cigugur dapat
dilihat dari perspektif pergulatan masyarakat setempat. Inilah yang
membuatnya unik dalam perjalanan sejarah Gereja di sana. Yang
dimaksud di sini adalah terjadinya Peristiwa Cigugur, tahun 1964, yakni
peristiwa pembubaran Agama Djawa Sunda (ADS) oleh pemimpinnya,
Pangeran Tedja Buana. Peristiwa ini mengejutkan tidak hanya masyarakat
lokal sekitar Kuningan dengan Cigugur sebagai pusat ADS, melainkan
Jakarta (sebagai simbol pusat pemerintahan nasional) dan Roma (sebagai
simbol pusat Kekatolikan). Pasalnya pasca membubarkan organisasi ADS,
Pangeran Tedja Buana memutuskan untuk menjadi Katolik dan bersedia
38
dibaptis, sebagaimana termuat dalam surat pernyataannya, tertanggal 21
September 1964. Dan, pasca keputusan itu, serentak ribuan umat eks-
ADS, yang tersebar di berbagai wilayah di Tatar Sunda, mendaftarkan diri
sebagai katekumen, yang jumlahnya sekitar 5.000-an, di daerah Cigugur
dan sekitarnya tercatat sekitar 1.770 kepala keluarga.
Masuknya umat eks-ADS ke dalam Gereja Katolik, selain karena
bentuk kesetiaan kepada pemimpinnya yang disebut sebagai panutan, juga
karena adanya ajaran-ajaran dalam ADS yang paralel dengan tradisi dalam
Gereja Katolik: perkawinan monogami, tidak disunat, ajaran welas asih,
dll. Selain itu, adanya penafsiran atas wahyu Camara Bodas yang telah
diungkapkan oleh pemimpin terdahulu, Kyai Madrais atau Pangeran
Sadewa Alibasa Kusuma Wijayaningrat, sebagai Kristus menurut
Pangeran Tedja Buana. Hal semacam ini dapat dimaknai sebagai salah satu
keberhasilan Gereja dalam inkulturasi, kendati agama Katolik terbilang
sebagai agama yang baru di Cigugur pada saat itu. Oleh karena itu, ajaran-
ajaran ADS yang sudah ada tersebut semakin dimaknai dan dijiwai
semangat Kristiani.
Sebagai komunitas religius lokal, yang berpengikut ribuan, ADS
berhadapan dengan komunitas religius lain yang diakui oleh pemerintah
secara resmi, khususnya Islam. Hubungan dengan Islam ini tidak
selamanya berjalan baik; hal ini telah berlangsung sejak ADS didirikan,
1848 (27 Jumadilakhir). Berbagai tekanan dialami oleh komunitas ADS
dan pemimpinnya, baik dari pemerintah Belanda ketika itu, hingga Kyai
39
Madrais harus mengalami pembuangan dan penjara, maupun dari kalangan
pribumi yang anti-ADS. Dan puncak dari berbagai tekanan yang
berlangsung selama itu adalah terjadinya Peristiwa Cigugur pada tahun
1964.
Peristiwa Cigugur berawal dari kesalahpahaman yang terjadi antara
anggota ADS dengan kalangan Muslim tertentu, dalam hal pernikahan.
Dan kemudian peristiwa lain menyusul, yakni Peristiwa Kamid (seorang
ADS) yang dianggap menghina Al-Quran, karena bersumpah dengan
Kitab tersebut tetapi salah menempatkannya. Akhirnya, tekanan-tekanan
berlangsung, misalnya Kamid yang dituntut dan diadili di pengadilan,
diantaranya oleh PAKEM daerah Kuningan, No.01/ SKPTS/ BK.PAKEM/
K.p./ VI/64 (Iman Sukmana, 2006: 53).
Dampak selanjutnya adalah seluruh anggota komunitas ADS
dihadapkan pada kenyataan ADS yang dicap agama terlarang oleh
masyarakat Muslim ortodoks dan tekanan pemerintah setempat.
Menyikapi peristiwa ini, sebagai pemimpin ADS, P. Tedja Buana, yang
sedang sakit-sakitan dan di antaranya sempat menyepi di pastoran Paroki
St. Yosep Cirebon, mengambil keputusan untuk membubarkan organisasi
ADS. Keputusan itu diambil setelah ia menerima wahyu yang merupakan
jawaban atas wahyu Camara Bodas, tanggal 21 September 1964.
Wahyu Camara Bodas itu berbunyi: “Isuk jaganing geto anjeun
bakal baris nyalindung handapeun camara bodas anu bakal ngabeberes
alam dunya”. Yang artinya: “Esok di kemudian hari, engkau akan
40
berlindung di bawah Camara Bodas yang akan menata alam dunia. Wahyu
Camara Bodas itu dimaknai sebagai Kristus oleh P. Tedja Buana, sehingga
berbunyi: “Isuk jaganing geto anjeun bakal nyalindung handapeun
Kristus anu bakal ngabeberes alam dunya”. Menurut Nursananingrat
(1977: 24), alasan-alasan yang mendorong pimpinan ADS masuk Gereja
Katolik diantaranya ialah: karena ajaran atau hukum Kristiani lebih dekat
persamaannya dengan ajaran ADS, misalnya ajaran cintakasih,
perkawinan, tidak disunat dll. Oleh karena itu, Camara Bodas lebih
dimaknai sebagai Hukum Perjanjian Baru atau Hukum Kristus. Sedangkan
menurut pandangan penulis, pemaknaan wahyu Camara Bodas sebagai
Kristus tidak terlepas dari berbagai tekanan yang dihadapi oleh pengikut
ADS pada waktu itu. Perlu ditekankan kembali bahwa awal dari peristiwa
pembubaran ADS adalah karena adanya kesalahpahaman dengan para
pengikut Islam yang berbuntut panjang. Pada saat itu, P. Tedja Buana
sebagai pemimpin ADS, yang kebetulan sedang sakit, mengamankan
dirinya di pastoran Santo Yosep Cirebon. Hal ini sedikit banyak
memberikan pengaruh kepada P. Tedja Buana. Atau dengan kata lain, P.
Tedja Buana terkesan dengan kebaikan para Pastor di Paroki Santo Yosep
Cirebon sehingga muncul ketertarikan terhadap ajaran-ajaran Katolik.
Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa pemaknaan wahyu Camara
Bodas sebagai Kristus dikaitkan dengan simbol pohon cemara putih yang
biasa digunakan di gereja-gereja Katolik pada waktu merayakan Natal.
41
Selanjutnya tanggal tersebut dijadikan tanggal pada Surat
Pernyataan pembubaran ADS. Dan pasca pembubaran organisasi ADS,
serentak sekitar 5000 umat eks-ADS berbondong-bondong mendaftarkan
diri ke gereja Katolik di berbagai wilayah: di Cirebon, Bandung,
Tasikmalaya, Garut, dan di berbagai tempat lainya dimana umat eks-ADS
berada. Sebagian besar mendaftarkan diri di Cirebon, Jl. Kalibaru Utara
II/2, serta tempatnya lebih dekat dengan Cigugur, sekitar 35 km. Itulah
peristiwa yang dapat dikatakan sebagai titik awal kehadiran Gereja di
Cigugur, khususnya Gereja Paroki Kristus Raja Cigugur. Peristiwa ini juga
merupakan momen penting bagi pertumbuhan Gereja di Tatar Sunda,
sebab sebelumnya orang Sunda yang Katolik di Keuskupan Bandung
dapat dikatakan minoritas di antara umat Katolik yang lain, yang
umumnya pendatang (Jawa, Batak,dll), maupun orang asing dan kalangan
Tionghoa. Maka, ada yang mengatakan bahwa Keuskupan Bandung patut
bersyukur dengan adanya ADS, sebab wajah Keuskupan Bandung yang
berdomisili di Tatar Sunda ternyata tidak mencerminkan kesundaannya.
Peristiwa ini mengejutkan, tidak hanya bagi pihak yang memusuhi
ADS, melainkan pemerintah dan Gereja Katolik pun terkejut. Di pihak
lawan ADS, masuknya anggota eks-ADS ini mengejutkan karena sejumlah
pengakuan menyatakan bahwa dengan pembubaran ADS diharapkan
supaya umat eks-ADS dapat masuk Islam, karena sebelumnya anggota
ADS juga pernah masuk Islam, yakni di Jaman Jepang ketika dipaksa oleh
Jepang yang diperalat oleh kalangan tertentu. Sedangkan bagi pihak
42
Gereja Katolik, peristiwa ini tidak hanya mengejutkan Gereja di dalam
negeri saja. Di luar negeri pun, khususnya Roma dan Belanda, turut
memperhatikan peristiwa ini, terutama karena sejumlah misionaris OSC
(Ordo Sanctae Crucis) dari Belanda terlibat di sana dan peristiwa ini
melibatkan ribuan umat yang hendak menjadi Katolik. Maka, sejumlah
misionaris OSC Belanda yang bertugas di Cirebon terlibat dalam
peristiwa ini, terutama untuk melayani eksodus umat eks-ADS ke dalam
Gereja Katolik. Di samping itu, peristiwa ini juga melibatkan sejumlah
pengurus Partai Katolik cabang Cirebon yang turut membantu menyiapkan
surat-surat pendaftaran menjadi anggota Gereja Katolik dan
keterlibatannya dalam soal hukum dan politik yang turut berkembang
kemudian.
b. Perkembangan Gereja Katolik Cigugur
Peristiwa September 1964 merupakan peristiwa besar dalam
tonggak sejarah Gereja di Keuskupan Bandung, sekaligus menjadi momen
keberhasilan inkulturasi di Cigugur. Ribuan orang pengikut ADS beserta
dengan pemimpinnya secara resmi masuk ke dalam Gereja. Hal ini tentu
menuntut kebijakan dari pihak Gereja, khususnya paroki St. Yosef
Cirebon karena secara administratif Kuningan termasuk di dalamnya.
Kegiatan umat Katolik di daerah Kuningan baik yang mantan
penganut ADS maupun bukan hampir seluruhnya dilakukan di Gedung
Paseban Tri Panca Tunggal di Cigugur. Gedung Paseban Tri Panca
43
Tunggal secara praktis menjadi gedung Gereja. Penggunaan Gedung
Paseban pusat ADS untuk kegiatan keagamaan ini diperkuat dengan surat
yang dikeluarkan oleh P. Tedja Buana dan ditujukan kepada Uskup
Bandung, Mgr. PM. Arntz, OSC. Surat berisi ijin penggunaan Gedung
Paseban yang di dalam surat itu disebut dengan ”Bangunan Jinem” untuk
kegiatan Gereja Katolik dengan persyaratan yaitu; bahwa karena bangunan
itu milik bersama seluruh mantan penganut ADS, maka tidak
diperkenankan diperjualbelikan atau diwariskan kepada pihak ketiga, serta
tidak boleh diubah bentuknya. Bangunan Jinem merupakan bangunan
yang dipergunakan oleh para pengikut ADS untuk melaksanakan
peribadatan maupun upacara-upacara khas ADS. Bangunan ini terletak di
dalam Gedung Pusat ADS (Keraton Cigugur). Dengan penggunaan
bangunan tersebut, mampu memberikan keamanan dan kenyamanan
tersendiri bagi para mantan penganut ADS yang masuk Katolik, sehingga
membuat mereka tidak begitu asing dengan agama Katolik. Hal ini
kemungkinan besar menjadi salah satu alasan bagi para mantan penganut
ADS untuk memilih agama Katolik.
Penggunaan Gedung Paseban sebagai gedung Gereja ini
berlangsung sampai dengan tahun 1976 – 1977. Yang menjadi penyebab
Gereja Katolik tidak lagi menggunakan Gedung Paseban sebagai gedung
gereja adalah karena P. Tedja Buana menguasakan pengurusan gedung
kepada Yayasan Tri Mulia. Yayasan Tri Mulia akhirnya mendapat dana
dari Direktorat Sejarah dan Purbakala untuk biaya merenovasi Gedung
44
Paseban Tri Panca Tunggal. Direktorat Sejarah dan Purbakala secara resmi
mnengeluarkan surat tertanggal 14 Desember 1976 dengan Nomor
3632/C.1/DSP/1976 (Dedy Pradipto, 2008: 84) yang menetapkan Gedung
Paseban Tri Panca Tunggal sebagai Cagar Budaya yang dilindungi. Maka,
semua bentuk kegiatan Agama Katolik untuk sementara waktu diadakan di
gedung milik Koperasi Yayasan Sulanjana sambil menunggu selesainya
pembangunan gedung gereja yang baru di Mayasih, Cigugur.
Pada tahun 1980-an terjadi peristiwa penting di dalam sejarah
kekatolikan di Cigugur. Tercatat dua peristiwa besar yang dirasakan
sebagai goncangan bagi Gereja Cigugur. Peristiwa pertama adalah kurang
lebih 340 umat katolik mantan penganut ADS meninggalkan Gereja
Katolik dan berpindah ke Gereja Kristen Pasundan (GKP). Hal ini
merupakan bentuk keberhasilan GKP dalam menjaring orang Cigugur
untuk masuk ke GKP. Cara yang digunakan oleh GKP untuk menarik para
mantan penganut ADS adalah dengan menawarkan pekerjaan bagi kaum
muda, memberikan pekerjaan kepada para guru yang masih menganggur,
memberikan sumbangan materi, dan mempropagandakan kata Pasundan
yang dikaitkan atau dianggap identik dengan istilah Djawa Sunda.
Peristiwa kedua adalah konflik internal di dalam Gereja Katolik,
antara Gereja dengan P. Djati Kusumah. Konflik ini terus berlarut-larut
dan tidak terselesaikan. Puncaknya, P. Djati Kusumah dan keluarganya
mengirim surat kepada Uskup Bandung dan menyatakan keluar dari
Gereja Katolik. Tindakan P. Djati Kusumah ini diikuti oleh sekitar 1.600
45
mantan pengikut ADS (1981). Mereka yang sudah meninggalkan Agama
Katolik ini kemudian berkelompok dan mendirikan sebuah organisasi
kepercayaan yang bernama Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang
(PACKU). PACKU ini kemudian bergabung dan diakui keberadaannya
oleh Departemen P dan K di bawah Proyek Inventarisasi Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan sertifikat bernomor
1.192/F.3/II.1/1981 tertanggal 31 Maret 1981 (Dedy Pradipto, 2008: 85).
Sampai saat ini jumlah umat Katolik di Paroki Kristus Raja
Cigugur terus mengalami pasang surut. Di bawah ini dapat dilihat data
umat Paroki Kristus Raja Cigugur pada tahun 2004 (Dedy Pradipto,
2008:87):
Tabel 1. Data statistik umat Paroki Kristus Raja Cigugur tahun 2004
No Stasi Jml. KK Jml. Umat Jml. Lingkungan 1 Cigugur-Cipari 601 2419 15 2 Cisantana-Pasir 320 1227 13 3 Cibunut-Tagog 178 654 7 4 Sukamulya 150 506 4 5 Talahab 46 202 - 6 Kuningan 96 278 3 7 Susuru 47 159 4 8 Kancana-Subang 15 47 - 9 Wedang Temu 19 68 - 10 Pugag 11 36 - 11 Winduhaji 18 63 - 12 Kramatmulya 7 12 - 13 Cikondang 11 34 - 14 Luragung 4 16 - 15 Cidadap 2 3 -
Jumlah 1.525 5.724 46
46
Menurut statistik, jumlah stasi serta umat katolik di Paroki Kristus
Raja Cigugur hingga akhir 2004 tercatat sebagai berikut: 15 stasi meliputi
Cigugur-Cipari, Cisantana-Pasir, Cibunut-Tagog, Sukamulya, Talahab,
Kuningan, Susuru, Kancana-Subang, Wedang Temu, Pugag, Winduhaji,
Kramatmulya, Cikondang-Cobapang, Luragung, dan Cidadap. Sedangkan
jumlah umat tercatat 5.724 jiwa dengan 1.525 KK.
Dalam menangani umat di berbagai tempat serta jumlah yang
cukup besar, terdapat kebijakan pastoral yang ditempuh, salah satunya
dalam bidang liturgi. Dalam usia yang relatif muda, Paroki Kristus Raja
Cigugur telah berusaha membuat tatanan baru kehidupan masyarakat
Cigugur, khususnya umat katolik eks ADS. Kehidupan religius, bahkan
pola hidup, yang diperkenalkan ADS rupanya tidak mudah untuk
ditinggalkan oleh mantan pengikutnya. Dalam Perayaan Ekaristi,
kebijakan gereja untuk menerapkan bahasa serta lagu-lagu sunda dirasakan
sangat mendukung suasana batin umat. Bahasa Sunda serta lagunya
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan umat Sunda
Katolik. Kendati demikian, bahasa Indonesia serta lagu-lagu berbahasa
Indonesia pun digunakan untuk melayani umat yang memiliki latar
belakang berbeda. Tetapi ciri khas Sunda tetap mendapat porsi lebih besar
dalam liturgi.
47
B. PENELITIAN TENTANG INKULTURASI DALAM PERAYAAN
EKARISTI DI PAROKI KRISTUS RAJA CIGUGUR
1. Latar Belakang
Gereja Kristus Raja Cigugur merupakan salah satu paroki di
Keuskupan Bandung yang sebagian besar umatnya berasal dari suku Sunda.
Dalam kesehariannya mereka dihidupi oleh tradisi dan kebudayaan Sunda
yang masih sangat kental. Hal ini tentu saja tercermin dalam cara peribadatan
mereka. Bagi orang Katolik, bentuk peribadatan tersebut diungkapkan secara
nyata dalam suatu Perayaan Ekaristi. Perayaan Ekaristi yang dilaksanakan di
Paroki Kristus Raja Cigugur banyak merangkul unsur-unsur budaya setempat,
misalnya saja pada saat kolekte, umat satu per satu maju ke depan Altar untuk
memberikan persembahannya. Selain itu, ketika menerima komuni, umat
biasanya menggunakan tangan kanan di atas. Dalam tradisi Sunda, menerima
barang dengan tangan kanan atau sering disebut dengan istilah tangan saé,
merupakan ungkapan penghormatan kepada barang yang diterima maupun
kepada orang yang memberikan. Dengan demikian, nilai-nilai yang ada dalam
budaya Sunda, baik itu bahasa, sikap, simbol-simbol, maupun tata-gerak
diinkulturasikan dalam Perayaan Ekaristi. Dalam Perayaan Ekaristi hari
Minggu, paling sedikit ada satu kali misa menggunakan bahasa Sunda dengan
iringan musik degung dan lagu-lagu Sunda. Bagi orang Sunda, musik degung
dapat menciptakan suasana beribadat yang lebih khusyuk. Dari segi dekorasi,
nampak pula simbol-simbol khas Sunda, misalnya dengan adanya Payung
Agung yang memayungi tabernakel, memiliki makna simbolis bahwa Tubuh
48
dan Darah Kristus yang disemayamkan dalam tabernakel merupakan suatu
keagungan yang perlu dihormati, selain itu menjadi simbol Kristus sebagai
Payung Agung yang senantiasa melindungi umatNya.
Namun, sejauh pengamatan penulis selama berada di paroki Kristus
Raja Cigugur ini, sebagian umat sepertinya kurang memahami pentingnya
inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini,
penulis mengangkat suatu pokok permasalahan tentang kurangnya
pemahaman umat akan makna Perayaan Ekaristi yang inkulturatif.
Penulis menganggap nilai-nilai kebudayaan Sunda yang pernah
diinkulturasikan dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja Cigugur
semakin lama seolah-olah semakin menyusut. Karena kaum muda pada
umumnya, kurang tertarik dengan hal-hal yang berbau kebudayaan tradisional,
begitu juga dalam Perayaan Ekaristi. Padahal, maksud awal dibuat inkulturasi
ini adalah agar umat semakin mampu memahami dan menghayati makna
Perayaan Ekaristi lewat budaya mereka sendiri. Hal tersebut kemudian
membuat seluruh proses inkulturasi seperti menjadi tidak penting lagi. Selain
itu, umat paroki Kristus Raja Cigugur yang masih kental dengan kebudayaan
Sunda seharusnya merasa dibantu dengan adanya inkulturasi ini. Namun,
kesempatan yang begitu besar ini masih kurang dipahami dan dimanfaatkan
untuk lebih memahami makna Perayaan Ekaristi. Gereja sendiri sebenarnya
sudah memberikan peluang yang besar untuk inkulturasi. Hal ini diungkapkan
dalam SC 37:
Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan segenap jemaat, Gereja dalam Liturgi pun tidak ingin mengharuskan
49
suatu keseragaman yang kaku. Sebaliknya Gereja memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhyul atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya dalam keadaan baik dan utuh. Bahkan ada kalanya Gereja menampungnya dalam Liturgi sendiri, asal saja selaras dengan hakekat semangat Liturgi yang sejati dan asli.
Dari artikel tersebut dapat dilihat bahwa Gereja cukup menjunjung tinggi adat
kebiasaan yang dimiliki oleh umat dalam suatu daerah. Bahkan Gereja sama
sekali tidak melarang diadakannya penyesuaian dalam Liturgi, asalkan
membantu umat dalam memahami Perayaan Ekaristi dan selaras dengan
hakekat semangat Liturgi yang sejati dan asli.
Menurut penulis, umat sekarang ini kurang memahami makna
Perayaan Ekaristi secara menyeluruh. Masih ada saja umat yang menjalankan
ritual-ritual dalam Perayaan Ekaristi tanpa mengetahui maksudnya, sebagai
contoh, dalam cara menerima komuni, belum tentu semua umat mampu
memahami dan menghayati makna maupun tujuannya. Apabila umat mampu
memahami makna dan tujuannya maka umat juga akan semakin mampu
mengalami dan merasakan kehadiran Kristus dalam Perayaan Ekaristi
sehingga tercermin pula dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan demikian,
penting sekali diadakan penelitian tentang pemahaman umat akan makna
Perayaan Ekaristi yang inkulturatif di Paroki Kristus Raja Cigugur ini.
Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah:
a. Mengetahui pemahaman umat akan makna Perayaan Ekaristi di Paroki
Kristus Raja Cigugur.
50
b. Mengetahui pemahaman umat akan pentingnya inkulturasi dalam Perayaan
Ekaristi.
2. Metodologi Penelitian
Dalam sub-bahasan mengenai metodologi penelitian ini akan diuraikan
mengenai jenis penelitian, tempat dan waktu penelitian, responden penelitian,
variabel yang diteliti, instrumen pengumpulan data dan metode pembahasan
data penelitian.
a. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan jenis penelitian kualitatif atau
biasa dikenal dengan jenis penelitian naturalistic. Istilah naturalistic
menunjukkan bahwa pelaksanaan penelitian ini memang terjadi secara
alamiah, apa adanya, dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi
keadaan dan kondisinya serta menekankan pada deskripsi secara alami
(Arikunto, 2000: 12). Selain itu, penelitian kualitatif merupakan suatu
penelitian yang mengkaji perspektif partisipan dengan multi strategi:
observasi, wawancara, studi dokumentasi dll. Dalam penelitian kualitatif,
kebenaran sesuatu dapat diperoleh dengan cara menangkap fenomena atau
gejala yang memancar dari objek yang diteliti (Arikunto, 2000: 14).
Penelitian kualitatif mempunyai sifat induktif, yaitu pengembangan
konsep yang didasarkan atas data yang ada serta mengikuti desain
penelitian yang fleksibel sesuai dengan konteksnya. Selain itu, penelitian
kualitatif juga lebih menekankan pada setting alami atau pada perolehan
51
data asli. Peneliti diharuskan menjaga keaslian kondisi, jangan sampai
merusak atau mengubahnya (Arikunto, 2000: 16).
b. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian diadakan di Paroki Kristus Raja Cigugur pada bulan Juni
2009.
c. Responden Penelitian
Dari data statistik Paroki Kristus Raja Cigugur, jumlah umat
sampai dengan tahun 2004 adalah 5.724 jiwa. Namun dalam penelitian ini,
penulis hanya mengambil sampel dari 3 stasi terbesar yang ada di Paroki
Kriatus Raja Cigugur dan di wilayah paroki sendiri dengan jumlah
responden 20 orang. Jumlah tersebut diperoleh berdasarkan kedudukan
responden dalam lingkungan Paroki Kristus Raja Cigugur, yaitu Ketua
Stasi, Ketua Lingkungan, Prodiakon, umat dan Mudika. Responden yang
diwawancarai dipilih secara langsung oleh Pastor Paroki dengan melihat
kualitas dan kapasitas responden, sehingga dapat mewakili umat Paroki
secara keseluruhan. Selain itu, penulis merasa bahwa Pastor Paroki lebih
mengenal dan memahami keadaan umat yang sebenarnya. Sasaran atau
obyek penelitian dibatasi agar data yang diambil dapat digali sebanyak
mungkin, sehingga tidak terjadi pelebaran obyek penelitian.
Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sample yaitu,
teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2008:
85). Teknik purposive sample ini dilakukan dengan cara mengambil
subyek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi didasarkan
52
atas adanya tujuan tertentu (Arikunto, 2000: 141). Pengambilan sampel
dengan teknik ini cukup baik untuk dilakukan karena dapat disesuaikan
dengan pertimbangan peneliti sehingga dapat mewakili populasi
(Arikunto, 2000: 142).
d. Variabel yang Diteliti
Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah pemahaman umat
akan makna Perayaan Ekaristi dan inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi di
Paroki Kristus Raja Cigugur.
Tabel 2. Variabel Penelitian
No Variabel Nomor item Jumlah 1 Pemahaman Umat akan Perayaan
Ekaristi 1,2,3,4 4
2 Inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi 5,6,7,8 4
e. Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah wawancara, studi dokumen dan observasi partisipatif, sesuai
dengan jenis penelitian yang digunakan. Metode wawancara digunakan
karena dalam wawancara responden akan memberikan jawaban yang lebih
lengkap dan mendalam (Arikunto, 2000: 227). Secara garis besar ada dua
macam cara dalam berwawancara yaitu wawancara terstruktur dan
wawancara tidak terstruktur. Wawancara terstruktur disusun secara
terperinci sehingga menyerupai check-list.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode wawancara
terstruktur, dengan dibantu pertanyaan panduan wawancara. Adapun
53
alasan penulis memilih menggunakan metode ini adalah agar proses
wawancara lebih terarah dan pembicaraan tidak melebar kemana-mana.
Selain metode wawancara, penulis menggunakan studi dokumen,
yaitu mencari data yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar,
majalah, agenda, dan sebagainya (Arikunto, 2000:231). Dalam studi
dokumen, penulis mengunjungi perpustakaan Paroki Kristus Raja Cigugur.
Di sana terdapat beberapa arsip paroki sejak awal mula berdirinya Paroki
Kristus Raja Cigugur, misalnya surat pernyataan salah satu mantan
pengikut ADS untuk memeluk agama Katolik, kumpulan sejarah dan
dinamika kehidupan menggereja di Paroki Kristus Raja Cigugur yang
disusun oleh Dewan Paroki Kristus Raja Cigugur, buku kenangan Catur
Dasa Warsa Imamat Rama Rutten OSC, dll. Selain itu, penulis juga
menggunakan skripsi dan tesis milik teman-teman dari Paroki Kristus Raja
Cigugur yang berkaitan secara langsung baik dengan sejarah maupun
inkulturasi yang ada di Paroki Kristus Raja Cigugur.
Untuk mendukung kedua teknik pengumpulan data tersebut,
penulis juga ikut terlibat dalam kegiatan sehari-hari orang yang sedang
diamati atau disebut dengan observasi partisipatif. Adapun kegiatan yang
penulis ikuti bersama umat selama penelitian adalah mengikuti doa
lingkungan, musyawarah pastoral yang diadakan di lingkungan dan stasi,
kegiatan mudika, menghadiri Perayaan Ekaristi, dll. Dengan observasi
partisipatif ini diharapkan data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam
54
dan sampai mengetahui tingkat makna dari setiap perilaku yang nampak
(Sugiyono, 2008: 27).
f. Metode Pembahasan Data Penelitian
Analisis data adalah proses yang memerlukan usaha untuk secara
formal mengidentifikasi tema-tema dan menyusun hipotesa-hipotesa atau
gagasan-gagasan yang ditampilkan oleh data, serta upaya untuk
menunjukkan bahwa tema dan hipotesa tersebut didukung oleh data
(Moleong, 1992: 137). Data-data yang sudah diperoleh dari penelitian
dideskripsikan terlebih dahulu, kemudian dikategorikan berdasar tema,
lalu dibuat reduksinya setelah itu tinggal diinterpretasikan dan diambil
suatu kesimpulan.
3. Laporan dan Pembahasan Hasil Penelitian
Pada bagian ini akan dilaporkan hasil penelitian berikut
pembahasannya yang akan disajikan menurut variabel yang diungkap.
a. Responden
Jumlah responden yang penulis wawancarai berjumlah 20 orang dengan
perincian sebagai berikut:
Tabel 3. Identitas Responden (N=20)
Jenis Kelamin Jumlah % Status Jumlah % Laki-laki 19 95 Ketua Stasi 2 10 Perempuan 1 5 Ketua Lingkungan 2 10 Prodiakon 4 20 Umat 5 25 Mudika 7 35 Jumlah 20 100 20 100
55
Pada tabel identitas responden tersebut dapat dilihat bahwa
responden terbanyak adalah laki-laki yaitu 19 orang (95%). Dari 20
responden yang diwawancarai, 2 responden (10 %) sebagai ketua stasi dari
Stasi Cisantana dan dari Stasi Cibunut, 2 ketua lingkungan (10%), 4
prodiakon (20%), 5 umat (25%) dan paling banyak adalah mudika yaitu 7
orang (35%).
Dalam proses wawancara, penulis awalnya mempersiapkan
sejumlah 15 reponden yang akan diwawancarai. Kelima belas responden
tersebut diambil dari 15 stasi yang ada di Paroki Kristus Raja Cigugur.
Sedangkan pada kenyataannya, ada 20 responden yang penulis
wawancarai. Jumlah tersebut ditentukan secara langsung oleh Pastor
Paroki dengan melihat kualitas dari responden.
b. Pemahaman umat akan makna Perayaan Ekaristi
Pada bagian ini, penulis akan menggali pemahaman umat akan makna
Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja Cigugur. Berikut ini adalah hasil
penelitian dan pembahasannya:
56
Tabel 4. Pemahaman umat akan makna Perayaan Ekaristi (N=20)
No Pertanyaan Jawaban Responden Jumlah %
1 Bagaimana
pengalaman anda
mengikuti Perayaan
Ekaristi di Paroki
Kristus Raja Cigugur
selama ini?
Orang tua:
Perayaan Ekaristi di
Cigugur secara
keseluruhan baik dan
bisa dipahami.
Pengalaman saya
selalu berubah-ubah
selama mengikuti
misa di Cigugur,
tergantung situasi dan
kondisi pribadi
maupun Gereja
Perayaan Ekaristi di
Cigugur merangkul
unsur-unsur budaya
Sunda yang dapat
menciptakan
pertumbuhan iman
umat. Misalnya
bahasa Sunda,
nyanyian Sunda, atau
iringan musik degung
Dalam Perayaan
Ekaristi di Cigugur
saya bisa merasakan
kehadiran Tuhan
Perayaan Ekaristi di
Cigugur Menarik
4
1
4
2
2
20
5
20
10
10
57
Kaum Muda
Perayaan Ekaristi di
Paroki Cigugur
memperlihatkan
suasana keakraban
dan saling mengenal
satu sama lain.
Perayaan Ekaristi di
Cigugur menarik dan
bisa dipahami karena
adanya faktor bahasa
setempat.
Misa di Cigugur sama
saja dengan Misa di
tempat lain.
Perayaan Ekaristi di
Cigugur memiliki
kekhasan yang tidak
ada di tempat lain dan
lebih berkesan, yaitu
dengan adanya unsur-
unsur budaya Sunda
di dalamnya.
Misa biasanya
diwarnai dengan
keramaian anak-anak
1
1
1
3
1
5
5
5
15
5
2 Apa pentingnya
mengikuti Perayaan
Ekaristi bagi anda?
Orang Tua :
Ekaristi merupakan
kebutuhan rohani bagi
saya karena saya bisa
7
35
58
menerima Tubuh
Kristus dalam hidup
saya.
Ekaristi sebagai
ungkapan syukur
Ekaristi dapat
semakin
menumbuhkan iman
Kristiani saya
Ekaristi sebagai suatu
kewajiban bagi umat
Katolik
Ekaristi adalah
sumber kekuatan
iman saya
2
1
2
1
10
5
10
5
Kaum Muda:
Menyadari
kekurangan diri
Saya mengikuti
Ekaristi karena
melihat orang lain
juga demikian. Kalau
tidak mengikuti
Ekaristi maka saya
akan menjadi bahan
perbincangan orang
lain. Jadi saya
melakukan hal yang
sama dengan apa
yang dilakukan orang
1
1
5
5
59
lain
Awalnya karena
disuruh
Untuk perkembangan
diri
Bertemu dengan
Tuhan dalam Ekaristi
Ekaristi sebagai suatu
kewajiban bagi umat
Katolik
Memiliki kerinduan
untuk menyapa Allah
dalam Ekaristi
1
1
1
1
1
5
5
5
5
5
Orang Tua :
Bahasa dan kebiasaan
umat setempat
Alunan musik degung
Pemaknaan atas
simbol-simbol yang
digunakan dalam
Perayaan Ekaristi
11
1
1
55
5
5
3 Unsur-unsur budaya
apa saja yang
digunakan dalam
Perayaan Ekaristi,
yang benar-benar
membantu anda
memahami makna
Perayaan Ekaristi?
Kaum Muda:
Bahasa dan kebiasaan
umat setempat
Pemaknaan atas
simbol-simbol yang
digunakan dalam
Perayaan Ekaristi
5
2
25
10
4 Usaha apa saja yang
telah dilakukan oleh
Orang Tua :
Gereja
2
10
60
Gereja dan umat dalam
mengembangkan
pemahaman umat akan
makna Perayaan
Ekaristi?
mengembangkan
pemahaman umat
akan makna Perayaan
Ekaristi lewat
wejangan atau
khotbah dalam
Perayaan Ekaristi
Gereja sudah
mengadakan penataan
yang baik dalam
Perayaan Ekaristi
Dari kaum muda
sudah cukup jeli
memandang Perayaan
Ekaristi sebagai suatu
kewajiban atau
kebutuhan
Usaha dari Gereja
adalah dengan
mengajak umat untuk
terlibat dalam
Perayaan Ekaristi
Gereja
mengakomodasi
unsur-unsur budaya
setempat dalam
Perayaan Ekaristi
Gereja tetap
mempertahankan seni
budaya tradisional
dalam Perayaan
1
1
1
1
1
5
5
5
5
5
61
Ekaristi.
Gereja menganjurkan
umat untuk
mengadakan doa di
lingkungan setiap
minggu agar dapat
semakin mengasah
iman umat dan
semakin menghayati
Ekaristi
Tidak tahu
Gereja kurang
memberikan
pembinaan dalam
mengembangkan
pemahaman umat
akan makna Perayaan
Ekaristi di Cigugur
2
2
2
10
10
10
Kaum Muda:
Gereja mengajak umat
untuk mengikuti doa
lingkungan setiap
minggu
Gereja mengajak
kaum muda untuk
terlibat dalam
kegiatan menggereja
dan aktif di
lingkungan
1
1
5
5
62
Gereja maupun umat
kurang mengusahakan
perkembangan
pemahaman umat
akan makna Perayaan
Ekaristi
Usaha Gereja adalah
dengan memberikan
nasehat dan ajaran
kepada umat lewat
khotbah Rama dalam
Perayaan Ekaristi
4
1
20
5
Dari tabel tersebut dapat dilihat gambaran pemahaman umat Paroki
Kristus Raja Cigugur akan makna Perayaan Ekaristi. Jawaban yang
diperoleh dari responden dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok
orang tua dan kaum muda. Hal ini dilakukan agar dapat dilakukan suatu
perbandingan antara kedua kelompok tersebut.
Pada item no. 1, hampir semua responden memiliki jawaban
masing-masing karena menyangkut pengalaman pribadi mereka. Namun
beberapa orang juga ada yang memberikan jawaban yang sama. Dari
jawaban kelompok orang tua, sebanyak 4 responden (20%)
mengungkapkan pengalaman mereka selama mengikuti Perayaan Ekaristi
di Cigugur secara keseluruhan baik dan bisa dipahami. 4 reponden (20%)
yang lain mengungkapkan bahwa selama ini Perayaan Ekaristi di Cigugur
dapat merangkul unsur-unsur budaya Sunda yang dapat menciptakan
63
pertumbuhan iman mereka, misalnya saja dengan adanya Misa bahasa
Sunda, nyanyian Sunda atau iringan musik degung. Selain itu ada juga 2
reponden (10%) lain menyatakan bahwa dalam Perayaan Ekaristi di
Cigugur, mereka sungguh-sungguh bisa menemukan kehadiran Tuhan di
tengah mereka. Adanya unsur kebudayaan yang dimasukkan dalam
Perayaan Ekaristi di Cigugur, ternyata membuat 2 responden (10%) yang
lain mengungkapkan ketertarikannya. Namun ada juga 1 responden (5%)
yang mengungkapkan bahwa pengalamnnya selama mengikuti Perayaan
Ekaristi di Cigugur selalu berubah-ubah. Hal itu dipengaruhi oleh kondisi
pribadi maupun Gereja pada saat itu.
Sedangkan dari kelompok orang muda, 3 reponden (15%)
terbanyak mengungkapkan bahwa sejauh pengalaman mereka mengikuti
Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja Cigugur merasakan ada kekhasan
yang tidak ada di gereja lain. Kekhasan yang dirasakan oleh umat tersebut
antara lain penggunaan bahasa Sunda dalam Perayaan Ekaristi secara
rutin, penggunaan gamelan Sunda untuk mengiringi lagu-lagu Sunda
dalam Perayaan Ekaristi, dll. Selain itu, salah satu responden (5%) lain
mengungkapkan bahwa Perayaan Ekaristi di Cigugur memperlihatkan
suasana keakraban serta saling mengenal satu sama lain. Hal tersebut dapat
terjadi karena sebagian besar umat Paroki Kristus Raja Cigugur merasa
bahwa mereka berasal dari nenek moyang yang sama sehingga
menganggap semua orang adalah saudara. Kendati demikian, ada juga
responden lain yang mengungkapkan bahwa Perayaan Ekaristi di Cigugur
64
sama saja dengan di tempat lain (5%). Hal tersebut tidak diungkapkan
secara jelas, tetapi mungkin saja karena adanya kesamaan dalam ritus
Perayaan Ekaristi. Kesamaan tersebut terjadi karena Gereja Katolik
memiliki suatu Tata Perayaan Ekaristi yang baku dan dipakai di semua
Gereja Katolik di Indonesia. Suatu ritus yang sudah baku tentu saja tidak
dapat dirubah seenaknya, sehingga dari gereja yang satu ke gereja yang
lainnya terkesan sama saja.
Pada item no.2, hampir semua reponden juga memiliki pendapat
yang berbeda mengenai pentingnya Ekaristi bagi mereka. Dari kelompok
orang tua, sebanyak 7 reponden (35%) terbanyak menganggap bahwa
Ekaristi merupakan suatu kebutuhan rohani bagi mereka karena mereka
bisa menerima Tubuh Kristus dalam hidup mereka. Kebanyakan
menganggap bahwa jika tidak mengikuti Ekaristi, seolah-olah ada sesuatu
yang kurang dalam hidup mereka. Selain itu, mereka juga memiliki
kerinduan akan Allah dengan mendengarkan bacaan-bacaan Kitab Suci
dan menerima Tubuh Kristus. Bagi kebanyakan orang di Cigugur, dengan
menerima Tubuh Kristus maka secara langsung mereka juga menerima
Kristus yang hadir secara nyata dalam hidup mereka. Sebanyak 4 reponden
(20%) yang lainnya memiliki jawaban-jawaban yang juga baik dan
bermakna bagi hidup mereka. Namun ada juga yang memiliki pandangan
yang sama sekali berbeda dari jawaban-jawaban sebelumnya. Sebanyak 2
responden (10%) menganggap Perayaan Ekaristi hanya sebagai kewajiban
belaka. Hal ini menjadi suatu keprihatinan karena ternyata keinginan
65
mereka untuk mengikuti Perayaan Ekaristi tidak didasari oleh suatu
kerinduan akan Allah, hanya menjalankan suatu rutinitas yang seolah-olah
kurang bermakna.
Sedangkan dari kaum muda, beberapa responden memberikan
jawaban yang positif dan yang lainnya memberikan jawaban yang negatif.
Dari tujuh kaum muda yang menjadi responden, 1 responden (5%)
mengungkapkan bahwa karena kekurangannya lah ia mengikuti Perayaan
Ekaristi. Selain itu, 1 responden (5%) juga ada yang mengungkapkan
bahwa Ekaristi penting untuk perkembangan dirinya. 1 reponden (5%)
yang lain mengungkapkan bahwa ia dapat menemukan kehadiran Tuhan
melalui Perayaan Ekaristi. Karena itu, 1 reponden (5%) menyatakan
bahwa ia memiliki kerinduan untuk menyapa Allah dalam Ekaristi. Hal
tersebut sungguh baik dimiliki oleh kaum muda sekarang ini, karena masih
memiliki kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Namun
ternyata tidak semua responden kaum muda memiliki pandangan yang
sama mengenai pentingnya Ekaristi bagi hidupnya. Ada juga beberapa
responden yang memberikan jawaban yang kurang diharapkan dan cukup
memprihatinkan. 1 responden (5%) menyatakan bahwa dirinya mengikuti
Perayaan Ekaristi semata-mata karena tidak ingin menjadi bahan
perbincangan orang-orang di sekitarnya. Maka dari itu, ia pun melakukan
hal yang sama dengan apa yang dilakukan orang lain dengan mengikuti
Perayaan Ekaristi. 1 responden (5%) yang lain menyatakan bahwa ia
mengikuti Ekaristi karena disuruh oleh orang tuanya, artinya tidak ada
66
kesadaran secara aktif untuk hadir dalam misa. Selain itu, masih ada juga 1
responden (5%) lain yang menyatakan dengan lantang bahwa mengikuti
Perayaan Ekaristi merupakan kewajiban bagi seorang Katolik. Ketiga
responden tersebut bisa dikatakan sebagai representatif dari kaum muda di
Paroki Kristus Raja Cigugur saat ini. Mereka sama sekali belum memiliki
kesadaran dan kerinduan akan Perayaan Ekaristi.
Pada item no.3, kebanyakan dari mereka memiliki pandangan yang
sama mengenai unsur-unsur budaya Sunda yang dapat membantunya
memahami makna Perayaan Ekaristi. Sebanyak 16 (80%) responden, baik
dari orang tua maupun dari kaum muda menganggap bahwa pemahaman
tersebut yang terutama diawali dengan bahasa dan kebiasaan umat
setempat. Bahasa merupakan sarana komunikasi antar manusia, jadi
mampu menghantar orang akan pemahaman yang benar. Dalam hal ini,
baik Paroki maupun umat memiliki peranan yang penting agar pemahaman
tersebut sampai pada kebenaran dan mengakar dalam kehidupan mereka.
Pada item no 4, dari kelompok orang tua, sebanyak 9 responden
(45%) menunjukkan usaha-usaha yang telah dilakukan Gereja dan umat
untuk meningkatkan pemahaman mereka akan makna Perayaan Ekaristi.
Kendati demikian, ada juga 2 responden (40%) yang sedikit menutup mata
terhadap perkembangan Paroki Kristus Raja Cigugur sampai saat ini. Hal
tersebut dapat dilihat dengan jawaban yang mereka berikan bahwa mereka
sama sekali tidak mengetahui apa yang sudah dilakukan Gereja maupun
umat di sekitarnya dalam rangka mengembangkan pemahaman umat akan
67
makna Perayaan Ekaristi. Sedangkan 2 responden (40%) lainnya
menganggap bahwa Gereja kurang memberikan pembinaan bagi umatnya
dalam mengembangkan pemahaman umat tersebut. Bahkan beberapa dari
mereka membandingkan kinerja kepemimpinan Paroki yang sekarang
dengan yang sebelumnya.
Dari tabel hasil wawancara di atas dapat dilihat bahwa umat di
Paroki Kristus Raja Cigugur cukup mampu memahami makna Perayaan
Ekaristi dengan baik lewat unsur-unsur kebudayaan Sunda yang
dimasukkan di dalamnya. Namun, ternyata masih ada responden yang
kurang memaknai Perayaan Ekaristi dengan baik. Dengan mengungkapkan
bahwa Ekaristi hanya sebagai kewajiban atau pun rutinitas belaka,
menunjukkan bahwa kesadaran mereka belum sampai pada puncaknya.
Dengan kata lain, Perayaan Ekaristi belum benar-benar dimaknai dalam
kehidupan mereka dan belum menyentuh inti hidup mereka yang paling
dalam. Bahkan kebudayaan yang biasa mereka hidupi belum mampu
membawa Perayaan Ekaristi menjadi bermakna dalam hidupnya. Selain
itu, keprihatinan ini ternyata lebih banyak diungkapkan oleh kaum muda,
yang seharusnya menjadi jantung hati bagi Gereja. Dengan perkembangan
yang banyak terjadi sekarang ini, kemungkinan besar kaum muda kurang
bisa peka terhadap kehadiran Allah dalam hidup mereka.
Kendati demikian, jawaban-jawaban yang diberikan oleh
kebanyakan responden sudah cukup sesuai dengan harapan penulis.
Mereka mampu memunculkan ketiga arti pokok yang terkandung dalam
68
Perayaan Ekaristi, yaitu segi kebersamaan, segi partispasi, dan segi
konteks. Dalam segi kebersamaan, umat memahami bahwa Perayaan
Ekaristi bukan hanya perayaan perseorangan saja melainkan suatu
perayaan Gereja sebagai kesatuan. Umat juga menganggap bahwa dalam
Perayaan Ekaristi Kristus sungguh-sungguh hadir. Lewat kehadiran
Kristus tersebut, Gereja secara universal ikut dihadirkan di dalamnya. Dari
segi partisipasi, umat juga memahami secara jelas bahwa dalam Perayaan
Ekaristi selalu dituntut keterlibatan secara sadar dan aktif. Kata sadar
menunjuk segi pemahaman atau dengan kata lain tahu apa yang ia
lakukan. Partisipasi sadar dan aktif ini mencakup pemahaman akan seluruh
misteri yang dirayakan sekaligus keterlibatan yang penuh, utuh dan aktif
sejak persiapan, pelaksanaan, hingga sesudah perayaan, yakni dengan ikut
menghasilkan buah-buah perwujudan iman. Sedangkan dari segi konteks
menunjuk makna Ekaristi yang dirayakan menurut situasi dan kondisi
aktual atau konteks umat setempat. Dalam hal ini, unsur kebutuhan
setempat, situasi, tantangan zaman, dan unsur-unsur budaya lokal ikut
mempengaruhi sebuah perayaan. Dengan adanya Perayaan Ekaristi
inkulturatif di Paroki Kristus Raja Cigugur, maka kebutuhan umat maupun
unsur-unsur budaya setempat dapat terangkul di dalamnya.
Selain itu, pemahaman akan makna Perayaan Ekaristi juga
ditunjukkan lewat sikap-sikap yang mereka lakukan selama mengikuti
Perayaan Ekaristi. Misalnya saja, ketika masuk ke dalam gedung gereja;
umat menunjukkan sikap hormat dengan menundukkan kepala atau
69
berlutut sebelum duduk di bangku mereka dan sebaliknya ketika hendak
meninggalkan gedung gereja. Pada saat kolekte; umat satu persatu maju ke
depan. Hal tersebut merupakan bentuk keterlibatan umat secara total dan
aktif serta menjadi bukti kesungguhan mereka pada Kristus dan Gereja.
c. Inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi
Melalui bagian ini, penulis ingin memberikan gambaran akan
pentingnya inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi dalam pandangan umat
Paroki Kristus Raja Cigugur.
Tabel 5. Inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi (N=20)
No Pertanyaan Jawaban Responden Jumlah %
1 Mengenai inkulturasi
dalam Perayaan
Ekaristi, apa yang anda
pahami dari
inkulturasi?
Orang Tua :
Inkulturasi menyangkut
penggunaan bahasa
daerah, simbol, dan
kebiasaan umat
setempat yang
dimasukkan di dalam
Perayaan Ekaristi, agar
lebih menyentuh umat,
seperti di Cigugur Misa
menggunakan bahasa
Sunda dsb.
Inkulturasi menyangkut
tata cara dalam
Perayaan Ekaristi
Inkulturasi adalah
penyesuaian Injil
6
1
1
30
5
5
70
dengan kebudayaan
setempat
Inkulturasi lebih
memantapkan umat
dalam mengikuti
Perayaan Ekaristi
Inkulturasi merupakan
proses humanisasi dan
partisipasi aktif dari
umat sehingga Ekaristi
menjadi lebih meriah
Inkulturasi membantu
umat dalam memahami
Perayaan Ekaristi
Tidak tahu maksud dari
inkulturasi
1
1
1
2
5
5
5
10
Kaum Muda :
Tidak tahu mengenai
arti dari inkulturasi
tetapi pasti tujuannya
untuk membantu umat
Inkulturasi merupakan
percampuran antara
budaya asing dengan
budaya lokal tanpa
merubah bentuknya
masing-masing
Inkulturasi biasanya
terkait dengan
kebudayaan umat
1
5
1
5
25
5
71
setempat dalam
Perayaan Ekaristi
Orang Tua :
Ya. Dengan adanya
unsur-unsur
kebudayaan Sunda
dalam Perayaan
Ekaristi, lebih terbantu
dalam memahami
makna Perayaan
Ekaristi, Paling tidak
pada saat Perayaan
Ekaristi berlangsung,
kami dapat memahami
apa yang disampaikan
oleh Rama baik itu
dalam doa-doa maupun
khotbah.
13
65
2 Apakah dengan adanya
unsur-unsur budaya
Sunda dalam Perayaan
Ekaristi (inkulturasi)
membantu anda
memahami makna
Perayaan Ekaristi?
Kaum Muda :
Inkulturasi dalam
Perayaan Ekaristi di
Cigugur cukup
membantu karena
disesuaikan dengan
kebudayaan Sunda,
seperti saya, sebagai
orang Cigugur lebih
bisa memahami Ekaristi
lewat budaya Sunda.
Inkulturasi dalam Misa
4
3
20
15
72
di Cigugur cukup
membantu, namun
adanya penggunaan
bahasa Sunda yang
sangat halus kadang-
kadang membuat
bingung dan justru
mengaburkan
pemahaman akan
Ekaristi.
Orang Tua :
Perayaan Ekaristi
inkulturatif masih
cukup sesuai dengan
zaman sekarang karena
mampu menjawab
kebutuhan umat untuk
lebih memahami makna
Perayaan Ekaristi
13
65
3 Apakah Perayaan
Ekaristi yang
inkulturatif masih
sesuai dengan zaman
sekarang?
Kaum Muda :
Perayaan Ekaristi
inkulturatif masih cukup
sesuai dengan zaman
sekarang karena mampu
menjawab kebutuhan
umat untuk lebih
memahami makna
Perayaan Ekaristi
7
35
4 Apakah unsur-unsur
budaya yang ada dalam
Orang Tua :
Unsur-unsur budaya
9
45
73
yang ada dalam
Perayaan Ekaristi harus
dipertahankan karena
menunjukkan identitas
kita sebagai umat
Katolik Cigugur dan
sudah banyak
membantu kita
memahami Perayaan
Ekaristi, sekaligus
menjaga tradisi dan
kebudayaan kita
Harus dibiasakan agar
tidak menjadi asing
Disesuaikan dengan
perkembangan dan
kemajuan jaman,
tergantung yang mana
yang lebih bisa
dipahami oleh umat
2
2
10
10
Perayaan Ekaristi
(inkulturasi) masih
perlu dipertahankan?
Kaum Muda :
Inkulturasi harus tetap
dipertahankan dan
dikembangkan, karena
sudah membantu kita
memahami Perayaan
Ekaristi dan sudah
menjadi identitas untuk
umat Katolik di Cigugur
7
35
74
Berdasarkan tabel 5 tersebut dapat dilihat pandangan umat Paroki
Kristus Raja Cigugur akan pentingnya inkulturasi dalam Perayaan
Ekaristi. Pada item no. 1, sebagian besar umat cukup memahami maksud
inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Dari kelompok orang tua, sebanyak 6
(30%) responden mengungkapkan bahwa inkulturasi menyangkut
penggunaan bahasa daerah, simbol, dan kebiasaan umat setempat yang
dimasukkan di dalam Perayaan Ekaristi, agar lebih menyentuh umat,
seperti di Cigugur Misa menggunakan bahasa Sunda, alunan musik
degung, simbol-simbol khas Sunda, dsb. Inkulturasi merupakan relasi
dinamis antara warta keselamatan kristen dengan pelbagai kebudayaan,
integrasi kehidupan kristen ke dalam kebudayaan tertentu, satu proses
kontinu dari interpretasi kritis dan timbal balik serta asimilasi antar
keduanya (Muda. 1992 : 34). Dari jawaban-jawaban responden tersebut
dapat dilihat bagaimana Injil Yesus Kristus, yang secara nyata nampak
dalam Perayaan Ekaristi, dapat dipahami dan diterima oleh umat di
Cigugur melalui kebudayaan Sunda.
Dengan adanya inkulturasi di Paroki Kristus Raja Cigugur ini,
umat sungguh-sungguh terbantu dalam memahami makna Perayaan
Ekaristi. Pada item no.2, semua responden dari kelompok orang tua
menyatakan bahwa dengan adanya unsur-unsur kebudayaan Sunda dalam
Perayaan Ekaristi, mereka lebih terbantu dalam memahami makna
Perayaan Ekaristi, paling tidak pada saat Perayaan Ekaristi berlangsung.
Hal yang paling sederhana, mereka dapat memahami apa yang
75
disampaikan oleh Rama dalam Perayaan Ekaristi, baik itu doa-doa maupun
khotbah. Hal ini tentu saja akan menghasilkan dampak yang begitu positif
bagi umat Kristiani. Mereka akan semakin mampu membangun hidup
berimannya maupun komunitasnya. Selain itu, mereka juga semakin
memiliki iman Katolik yang menyatu dan mengakar pada kebudayaan dan
nilai-nilai setempat yang mereka yakini bersifat positif, karena telah
terbukti berharga bagi perjuangan kehidupan mereka.
Namun tidak demikian yang dialami oleh kaum muda. Hanya 4
responden (20%) saja yang merasa terbantu dengan adanya inkulturasi
dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja Cigugur. 3 responden
(15%) yang lainnya menganggap bahwa inkulturasi tidak selalu membantu
mereka. Misalnya saja dengan adanya penggunaan bahasa Sunda yang
sangat halus kadang-kadang membuat bingung dan justru mengaburkan
pemahaman mereka akan Ekaristi.
Kendati inkulturasi kadang-kadang menjadi hal yang sulit bagi
mereka, namun pada item no.3, semua responden setuju bahwa inkulturasi
dalam Perayaan Ekaristi masih sangat sesuai dengan zaman sekarang ini.
Hal tersebut terlihat secara jelas oleh penulis, dalam Perayaan Ekaristi
inkulturatif kehadiran umat lebih banyak bila dibandingkan dengan misa
biasa. Selain itu, mereka juga terlihat cukup antusias dengan adanya
inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi ini. Hal ini dapat dilihat dari item
no.4, sebagian besar responden, yaitu sebanyak 16 responden (80 %)
menyatakan bahwa inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus
76
Raja Cigugur tetap harus dipertahankan. Selain itu, sebanyak 2 responden
(10 %) mengungkapkan bahwa hal tersebut perlu dibiasakan sejak dini,
agar tidak menjadi asing, khususnya bagi kaum muda. 2 reponden (10 %)
lainnya menyatakan bahwa inkulturasi perlu disesuaikan dengan
perkembangan dan kemajuan jaman. Inkulturasi tidak dipandang sebagai
sesuatu yang monoton. Inkulturasi harus berkembang sejalan dengan
berkembangnya umat dan kebudayaannya.
4. Kesimpulan Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
umat Paroki Kristus Raja Cigugur sudah cukup memahami makna Perayaan
Ekaristi dengan baik. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya inkulturasi dalam
unsur-unsur kebudayaan setempat yang diangkat dalam suatu Perayaan
Ekaristi. Umat yang mengikuti Perayaan Ekaristi terpesona oleh lagu, doa,
lambang / hiasan, upacara, karena semuanya langsung dapat dimengerti;
karena semuanya bagus menurut penilaian yang dipakai dalam hidup
kebudayaan setempat (Prier, 1999: 13). Inkulturasi menjadi jalan bagi umat
Paroki Kristus Raja Cigugur dalam memahami makna Perayaan Ekaristi.
Selama wawancara berlangsung, sebagian besar umat mengungkapkan
kecintaannya terhadap Ekaristi maupun terhadap kebudayaan yang mereka
miliki. Hal tersebut tentu saja harus didukung secara penuh oleh Paroki.
Paroki harus benar-benar memperhatikan dan mengusahakan perkembangan
umat dalam memahami makna Perayaan Ekaristi.
77
Pemahaman umat tersebut harus lebih diasah lagi agar umat dapat
semakin memantapkan dirinya dalam mengikuti Perayaan Ekaristi. Selain itu,
agar umat juga semakin mampu mengaktualisasikan pemahaman mereka
tersebut dalam segala aspek kehidupannya di tengah masyarakat. Namun perlu
ditegaskan pula bahwa mengembangkan pemahaman umat akan makna
Perayaan Ekaristi bukan hanya menjadi tanggung jawab Paroki belaka tetapi
juga umat secara keseluruhan.
BAB IV
KATEKESE INKULTURATIF DALAM RANGKA MENINGKATKAN
PEMAHAMAN UMAT AKAN MAKNA PERAYAAN EKARISTI
Dalam Bab ini penulis akan menguraikan katekese inkulturatif dalam
rangka meningkatkan penghayatan umat akan makna Perayaan Ekaristi. Ada 3
(tiga) bagian pokok yang akan dibahas, yaitu katekese inkulturatif, Shared
Chirstian Praksis (SCP) sebagai salah satu model katekese inkulturatif, dan
usulan program katekese. Adapun usulan program yang disampaikan dalam Bab
ini didasarkan pada hasil penelitian yang telah diuraikan dalam Bab sebelumnya,
sehingga diharapkan dapat relevan dengan situasi umat yang terjadi di Paroki
Kristus Raja Cigugur. Berikut adalah pembahasannya:
A. KATEKESE INKULTURATIF
1. Hakikat dan Tujuan Katekese
Katekese berasal dari kata Yunani “katechein” sebagai hasil bentukan
dari kata “kat” yang artinya pergi atau meluas dan “echo” yang memiliki
arti menggemakan atau menyuarakan keluar (Telaumbanua, 1999: 4).
Katechein sebagai bentukan kata berarti menggemakan atau menyuarakan
keluar. Katekese juga dipahami sebagai ilmu karena disejajarkan dengan
ilmu pastoral dan ilmu teologi.
Menurut anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II, yakni
Catechesi Tradendae, mengartikan katekese sebagai berikut:
79
Pembinaan iman anak-anak, kaum muda, dan orang tua dewasa dalam iman, yang khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, yang pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen (CT art 18).
Kutipan ini hendak menegaskan bahwa katekese merupakan pembinaan iman
bagi semua orang beriman tanpa memandang usia. Penyampaian ajaran
Kristiani ini perlu dilaksanakan terus menerus sesuai dengan program yang
direncanakan, yakni mengantar peserta untuk hidup seturut imannya akan
Kristus. Iman merupakan jawaban dan keputusan bebas dari pribadi atas
tawaran Allah. Oleh karena itu, iman juga menuntut keterlibatan pribadi yang
nyata dan diwujudkan dalam sikap dan tindakan hidup sehari-hari.
Dalam suatu naskah kerja katekese “Mencari Arah Katekese” tulisan
Setyakarjana (1976: 38) dengan bantuan dewan harian PWI – katekese
dirumuskan sebagai berikut:
Katekese adalah usaha saling menolong terus menerus dari setiap orang untuk mengartikan dan mendalami hidup pribadi maupun bersama menurut pola Kritus menuju pada hidup Kristus yang dewasa penuh.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam katekese setiap peserta
memiliki peranan yang penting untuk saling menumbuhkembangkan iman
Kristiani mereka. Mereka yang telah mengimani dan percaya kepada Kristus
diharapkan mampu mewartakan kabar gembira dalam situasi konkret yang
mereka alami. Hal ini mengandaikan adanya dialog multiarah antara umat
dengan pendamping maupun antar umat sendiri. Kedewasaan iman yang
akan diperoleh tentu tidak terjadi dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu,
katekese harus dilaksanakan secara berkesinambungan dan terus menerus.
80
Arah katekese di Indonesia adalah Katekese Umat atau biasa disebut
juga katekese dari umat, oleh umat dan untuk umat. Secara singkat, Katekese
Umat ini juga disebut komunikasi iman umat. Oleh karena itu, umat memiliki
peranan yang penting dan paling utama. Adapun tujuan komunikasi iman itu
ialah (Yosef Lalu, 2005: 5-6) :
a. Supaya dalam terang Injil kita semakin meresapi arti pengalaman-pengalaman kita sehari-hari;
b. dan kita bertobat (metanoia) kepada Allah dan semakin menyadari kehadiran-Nya dalam kenyataan hidup sehari-hari;
c. dengan demikian kita semakin sempurna beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih, dan makin dikukuhkan hidup kristiani kita;
d. pula kita masih bersatu dalam Kristus, untuk menjemaat, makin tegas mewujudkan tugas Gereja setempat dan mengokohkan Gereja semesta;
e. sehingga kita sanggup memberi kesaksian tentang Kristus dalam hidup kita di tengah masyarakat.
Agar komunikasi iman dapat berjalan dengan baik dan agar Tradisi Kristiani
yang nampak dalam Injil itu dapat benar-benar dipahami oleh umat, maka
fasilitator memiliki peran yang tidak kalah penting dari peran umat sebagai
pemeran utama dalam Katekese Umat. Umat akan mampu memahami dan
mengkomunikasikan iman mereka dalam Katekese jika fasilitator mampu
memberikan rangsangan yang baik bagi umat. Selain itu, Katekese Umat juga
harus berangkat dari konteks sosial praksis umat setempat. Tujuan katekese
umat terutama diperuntukkan bagi pembangunan hidup beriman baik secara
personal maupun secara komuniter (Heryatno, 2009: 1). Selain itu, katekese
umat juga diharapkan membantu jemaat di dalam menanggapi keprihatinan
hidup beriman mereka yaitu, bagaimana menghayati Injil Yesus Kristus di
dalam hidup sehari-hari.
81
Tujuan katekese secara umum adalah membantu peserta untuk
semakin dekat dengan Yesus Kristus, sehingga peserta dapat sampai kepada
kedewasaan iman. Dalam Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang
katekese merumuskan tujuan katekese sebagai berikut:
Bukan saja menghubungkan umat dengan Yesus Kristus melainkan mengundangnya untuk memasuki persekutuan hidup yang mesra denganNya. Hanya Dia lah yang dapat membimbing kita kepada cinta kasih Bpa dalam Roh dan mengajak kita ikut serta menghayati hidup Tritunggal Kudus (CT art 5).
Catechesi Tradendae art 5 di atas menegaskan bahwa katekese bertujuan
membantu menghantar umat beriman untuk membina hubungan personal
dengan pribadi Yesus dan mengikuti Yesus Kristus secara total. Dengan kata
lain, katekese bertujuan agar umat semakin memasuki persekutuan hidup
dengan Yesus Kristus. Persekutuan hidup dengan Yesus Kristus menjadi
tujuan utama katekese, karena hanya dengan Yesus Kristus lah manusia
menemukan dan mengalami kepenuhan hidup sebagai seorang Kristiani
sejati. Yesus Kristus menjadi pusat, pedoman, arah dan tujuan hidup umat
beriman Kristiani. Selanjutnya Yohanes Paulus II mengatakan maksud
katekese adalah:
Mengembangkan pengertian tentang misteri Kristus dalam cahaya firman Allah, sehingga seluruh pribadi manusia diresapi oleh firman itu. Begitulah orang yang berkat karya rahmat diubah menjadi ciptaan baru, memutuskan untuk mengikuti Kristus, dan dalam Gereja makin banyak berfikir seperti Dia, bertindak seturut dengan perintah-perintahnya, dan berharap sesuai dengan ajakannya (CT art 20). Pernyataan tersebut semakin menegaskan bahwa katekese bertujuan
membantu mengembangkan iman, memelihara, merawat dan menumbuhkan
82
iman dalam pengetahuan dan pemahaman tentang Misteri Kristus yang kita
imani dan kita ketahui dalam cahaya firman dan terang Sabda Allah melalui
Kitab Suci yang merupakan kekayaan iman Gereja. Berkat karya rahmat yang
dianugerahkan Allah, orang Kristen diubah menjadi ciptaan baru yang hidup
dalam Kristus serta mengikuti Kristus melalui sikap dan tindakan sehari-hari.
Dengan adanya katekese, maka umat akan dihantarkan kepada pemahaman
yang benar akan Iman Kristiani yang disampaikan dalam Injil Yesus Kristus.
Pemahaman tersebut diharapkan dapat sampai kepada suatu bentuk
penghayatan yang konkret dalam kehidupan umat sehari-hari.
2. Mengusahakan Katekese Inkulturatif
Dengan mengetahui katekese secara umum, maka dapat dilihat
adanya hubungan yang erat antara katekese dengan inkulturasi. Secara garis
besar, dapat dinyatakan bahwa baik itu katekese maupun inkulturasi sama-
sama berangkat dari pengalaman umat setempat. Selain itu, katekese dapat
dipahami juga sebagai momen pokok dari inkulturasi, karena katekese
membantu supaya di tengah hidup umat benar-benar terwujud inkulturasi
iman Kristiani (Heryatno, 2000: 120). Artinya, iman kristiani sungguh-
sungguh mengakar dalam kehidupan umat dan menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari perjalanan hidup umat. Dengan demikian, iman bukan hanya
membentuk kebudayaan tetapi juga menjadi bagian inti dari kebudayaan.
Katekese inkulturatif secara sederhana merupakan pewartaan Injil
Yesus Kristus bagi umat Kristiani melalui kebudayaan umat setempat.
83
Dengan katekese inkulturatif, Injil diharapkan bisa diterima oleh umat
bahkan mengakar dalam kehidupan umat sehari-hari. Selain itu, kebudayaan
umat setempat dapat menjadi suatu identitas dari jemaat Kristiani lokal.
Seperti halnya di Paroki Kristus Raja Cigugur, umat diperkenalkan dengan
Injil melalui bahasa Sunda, kesenian-kesenian Sunda,dll. Bahkan simbol
keagungan Kristus pun diangkat dari salah satu simbol yang ada dalam
masyarakat Cigugur. Misalnya saja penggunaan Payung Agung yang
dipasang di dekat tabernakel. Payung Agung memiliki makna simbolis
bahwa Tubuh dan Darah Kristus yang disemayamkan dalam tabernakel
merupakan suatu keagungan yang perlu dihormati, selain itu menjadi simbol
Kristus sebagai Payung Agung yang senantiasa melindungi umatNya.
Menurut Phan (Heryatno, 2009:1) ada 4 elemen di dalam
inkulturasi, yang keempatnya dibagi ke dalam 2 kelompok: pertama, Injil dan
wartanya, kedua, kebudayaan dan perubahannya. Menekankan unsur
kelompok pertama berarti menekankan kesetiaan pada Injil. Sebaliknya
menekankan unsur-unsur kelompok kedua berarti mengusahakan
penyesuaian terhadap kebudayaan setempat. Oleh karena itu ada beberapa
model inkulturasi yang dapat ditawarkan:
a. Model Penerjemahan
Model ini dinilai paling konservatif. Model penerjemahan
menekankan kesetiaan pada Injil dan wartanya. Sebagai wahyu ilahi, Injil
bersifat supra kultural dan menyampaikan kebenaran ilahi yang harus
diterima oleh orang-orang yang memeluk agama Kristen. Nilai-nilai injili
84
yang mengatasi kebudayaan tertentu harus diterjemahkan di dalam
kebudayaan setempat. Kebudayaan meskipun berbeda tetapi pada
prinsipnya memiliki struktur yang sama.
b. Model Antropologis
Kebalikan dengan model pertama, model ini amat menekankan
kebudayaan setempat. Karena itu fokusnya adalah menggali nilai-nilai
setempat supaya orang-orang setempat mengenali rahmat Allah yang
telah dilimpahkan kepada kebudayaan mereka dan kemudian
memberinya dengan nama-nama Kristen. Injil dipahami bukan sebagai
kebenaran yang bersifat supra kultural tetapi sebagai komunikasi ilahi
yang terjadi di dalam kebudayaan tertentu, di wilayah dan waktu tertentu
serta kepada orang-orang pada zaman tertentu. Penganut model ini
berpendapat Allah mewahyukan diriNya tidak hanya pada kebudayaan
tertentu. Karena itu, kebudayaan menjadi titik berangkat inkulturasi.
Mereka memahami kebudayaan sebagai tempat pewahyuan Allah dan
sekaligus sebagai konteks berkatekese. Pelaku inkulturasi bukan hanya
para katekis atau teolog tetapi seluruh warga jemaat. Di dalam proses
inkulturasi digunakan pula sumbangan ilmu-ilmu sosial dan dialog antar
agama untuk membuka dan menemukan benih-benih sabda yang telah
ditaburkan oleh Allah.
c. Model Praksis
Fokus model praksis bukan penerjemahan juga bukan
menekankan segi-segi kebudayaan setempat tetapi bagaimana proses
85
inkulturasi warta Injil dapat mempermudah transformasi sosial, politik
dan kebudayaan setempat. Karena itu, titik berangkatnya adalah praksis
dan refleksinya terhadap tindakan membaca ulang Injil dan wartanya.
Model ini memiliki dinamika aksi – refleksi – aksi baru. Katekese dan
teologi yang inkulturatif mengikuti proses yang bergerak secara spiral:
bertolak dari praksis perjuangan penegakan keadilan, refleksi kritis demi
transformasi sehingga nilai-nilai kerajaan Allah sungguh semakin
terwujud.
d. Model Sintesis
Model ini berusaha memadukan segi-segi positif dari model 1-3.
Seperti model kedua dan ketiga, model sintesis menggarisbawahi
pentingnya mengangkat kebudayaan setempat dalam rangka
mengusahakan transformasi sosial dan penemuan nilai-nilai kristiani di
dalamnya. Kebudayaan setempat dikaji dan dianalisis supaya ditemukan
sistem nilai yang bersifat dasariah beserta simbolnya. Kecuali itu, model
ini juga menekankan pentingnya tradisi Kristen. Untuk itu, pengikutnya
memelopori pentingnya dialog kebudayaan agar terjadi sikap belajar dan
saling memperkaya. Model ini menegaskan keunikan masing-masing
kebudayaan. Melalui dialog kebudayaan, orang dapat saling memperkaya
dan memperkembangkan. Dialog kebudayaan dan nilai-nilainya itulah
yang dipahami sebagai katekese atau teologi kontekstual.
e. Model Transendental
86
Yang menjadi titik berangkat model ini bukan kebudayaan tetapi
subyek yang berkatekese. Merekalah yang harus berkembang dan
bertobat secara integral (menurut keyakinan teolog besar Lonergan). Pada
dasarnya dengan semakin mengasihi Allah dan sesamanya manusia
mewujudkan sifatnya yang transenden. Yang ditekankan bukan
perkembangan individual tetapi pribadi di dalam komunitasnya. Perlu
diakui setiap pribadi menghendaki dirinya berkembang menurut
kebudayaan dan cara hidupnya. Kecuali transenden, manusia juga
bersifat trans-kultural. Untuk bangsa Indonesia yang memiliki pluralitas
budaya, suku-suku dan agama model transendental rupanya paling efektif
untuk menciptakan dasar dan misi yang sama demi pembentukan orang
Indonesia yang beriman, berbudaya dan saling menghormati. Menurut
Phan model sintesis yang menekankan dialog kebudayaan cocok untuk
semua kebudayaan.
Pada masa sekarang ini, Phan lebih menekankan suatu bentuk
katekese yang bersifat kontekstual. Dengan katekese kontekstual tujuan
inkulturasi untuk mengakarkan iman Kristen di dalam budaya setempat akan
dapat semakin terwujud. Proses inkulturasi berhasil, kalau iman Kristen
sungguh telah menjadi satu dan sekaligus dari dalam memperkembangakan
kebudayaan setempat. Kecuali itu, kebudayaan setempat juga memperkaya
dan memperkembangkan bentuk-bentuk perwujudan penghayatan agama
Kristen. Dengan begitu, dapat ditegaskan inkulturasi bersifat dua arah yang
saling memperkembangkan.
87
Menurut Heryatno (2000: 120), katekese mengandaikan inkulturasi.
Hal ini berarti bahwa katekese perlu membantu jemaat Kristiani agar iman
mereka dapat meresap masuk ke dalam inti hidupnya sehingga dapat
membentuk dan menjiwai seluruh pengalaman hidup mereka. Perlu diketahui
bahwa iman tidak pernah bisa dilepaskan dari kebudayaan. Shorter,
sebagaimana dikutip oleh Heryatno (2000: 121), mengungkapkan bahwa
inkulturasi bukan lebih-lebih merupakan persoalan intelektual melainkan
lebih berkaitan dengan cara dan model kehidupan jemaat. Oleh karena itu,
katekese inkulturatif harus benar-benar berangkat dari konteks pengalaman
hidup umat terwujud secara konkrit.
B. SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP) SEBAGAI SALAH SATU
MODEL KATEKESE INKULTURATIF
Shared Christian Praxis (SCP) merupakan salah satu model katekese
yang menekankan pada sharing pengalaman peserta. Atau dengan kata lain
SCP berangkat dari permasalahan hidup yang dialami oleh peserta. Selain itu,
dalam SCP juga ditegaskan mengenai proses berkatekese yang bersifat
dialogal dan partisipatif yang bermaksud mendorong peserta berdasarkan
konfrontasi antara tradisi dan visi hidup mereka dengan Tradisi dan Visi
Kristiani. Hal ini bertujuan agar peserta, baik secara pribadi maupun bersama,
mampu mengadakan penegasan dan mengambil keputusan demi terwujudnya
nilai-nilai Kerajaan Allah di dalam kehidupan manusia yang terlibat dalam
dunia.
88
1. Komponen-Komponen Pokok SCP
Dalam SCP terdapat tiga komponen pokok yang perlu diketahui.
Ketiga komponen pokok tesebut adalah Shared, Christian, dan Praxis
(Heryatno, 1997: 2).
a. Shared
Istilah shared mengandung pengertian komunikasi yang timbal
balik, sikap partisipasi aktif dan kritis dari umat, sikap egalitarian, terbuka
baik untuk kedalaman diri pribadi, kehadiran sesama, maupun untuk
rahmat Tuhan (Heryatno, 1997: 4). Istilah ini juga menekankan aspek
dialog, kebersamaan, keterlibatan, dan solidaritas antar peserta. Selain itu,
dalam istilah ini juga terkandung hubungan dialektis antara pengalaman
hidup faktual peserta dengan tradisi dan visi Kristiani. Hal ini juga
sekaligus menjadi kekhasan yang ada dalam katekese model SCP.
Dalam sharing, terdapat unsur kebersamaan yang
menggarisbawahi hubungan antar subyek, yaitu antara pendamping
dengan peserta dan antar peserta sendiri. Dalam hubungan ini ditunjukkan
bahwa tidak ada salah satu pihak yang hanya sebagai penerima ataupun
sebagai pemberi. Keduanya memiliki kesempatan untuk ikut ambil bagian
dalam sharing karena masing-masing diakui eksistensinya sebagai subyek
yang unik, otonom dan bertanggungjawab. Sedangkan unsur keterlibatan
dan solidaritas muncul dalam pengungkapan pengalaman peserta, di mana
antara masing-masing peserta memiliki keunikan pengalaman masing-
masing. Hal ini akan menumbuhkan suatu rasa solidaritas dalam mengolah
89
pengalaman tersebut secara kritis, reflektif dalam suasana dialogis yang
mendorong para peserta membuat peneguhan dan pengambilan keputusan.
Untuk membangun suasana dialogis dapat diawali dengan refleksi
dan pengolahan pengalaman pribadi yang selanjutnya akan menjadi pokok
peneguhan bersama. Dalam proses ini tentu saja diperlukan sikap yang
jujur, terbuka, peka, saling menghormati dan saling mendengarkan dengan
hati. Selain itu, dialog juga terjadi antara visi dan tradisi peserta dengan
Visi dan Tradisi Kristiani. Keduanya membutuhkan suatu interpretasi yang
kritis yang didasarkan pada hasil refleksi peserta. Hasil interpretasi ini lah
yang kemudian menjadi pokok peneguhan dalam permenungan peserta.
b. Christian
Katekese dengan model SCP ini mencoba mengusahakan agar
iman Kristiani makin relevan dengan kehidupan umat pada zaman
sekarang. Kekayaan iman yang ditekankan dalam model ini meliputi dua
unsur pokok yaitu tradisi Kristiani dan visi Kristiani.
Tradisi Kristiani mengungkapkan adanya kenyataan iman umat
Kristiani yang sungguh hidup dan dihidupi, di mana kenyataan ini
merupakan tanggapan manusia atas pewahyuan Allah di tengah-tengah
hidup manusia. Tradisi Kristiani dapat dipahami sebagai perjumpaan
antara rahmat Allah dalam Kristus dan tanggapan manusia. Oleh karena
itu, tradisi tidak terbatas pada tradisi pengajaran Gereja saja tetapi juga
meliputi Kitab Suci, spiritualitas, refleksi teologis, sakramen, liturgi, seni
dan nyanyian rohani, kepemimpinan, kehidupan jemaat, dan lain-lain.
90
Sebagai realitas iman yang dihidupi dalam konteks historisnya, tradisi
Kristiani senantiasa mengundang keterlibatan praksis dan proses
pembribadian (Heryatno, 1997: 3).
Sedangkan visi Kristiani lebih menekankan tuntutan dan janji
yang terkandung di dalam tradisi, tanggungjawab dan pengutusan umat
Kristiani sebagai jalan untuk menghidupi semangat dan sikap kemuridan
mereka. Visi Kristiani menunjuk pada proses sejarah kehidupan umat
Kristiani yang berkesinambungan dan bersifat dinamis, serta mengundang
penilaian, penegasan, pilihan dan keputusan (Heryatno, 1997: 3).
Kedua unsur pokok tersebut menyingkapkan nilai-nilai Kerajaan
Allah yang betul-betul dihidupi dan terus diusahakan, sehingga perlu
dijadikan sarana untuk berdialog. Dalam dialog iman, pengalaman hidup
faktual dan visinya diintegrasikan ke dalam tradisi dan visi Kristiani
tersebut.
c. Praksis
Istilah praksis mengacu pada tindakan manusia yang mempunyai
tujuan untuk tercapainya suatu transformasi kehidupan yang di dalamnya
terkandung proses kesatuan dialektis antara praktek dan teori yaitu
kreatifitas, antara kesadaran historis dan refleksi kritis yaitu keterlibatan
baru (Heryatno, 1997: 2). Dalam praksis ada tiga komponen pokok yang
saling berkaitan, yaitu aktifitas, refleksi, dan kreatifitas. Ketiganya
berfungsi untuk membangkitkan berkembangnya imajinasi, meneguhkan
91
kehendak, dan mendorong praksis baru yang dapat dipertanggung-
jawabkan secara etis dan moral.
Aktifitas secara umum meliputi kegiatan mental dan fisik,
kesadaran, tindakan personal dan sosial, hidup pribadi dan kegiatan publik
yang semuanya merupakan medan untuk perwujudan diri manusia sebagai
subyek. Dalam refleksi sangat ditekankan suatu bentuk refleksi yang kritis
terhadap tindakan historis personal dan sosial, terhadap praksis pribadi dan
kehidupan masyarakat, serta terhadap tradisi dan visi iman Kristiani
sepanjang sejarah. Dengan refleksi kritis, tentunya memungkinkan peserta
untuk menganalisis dan memahami permasalahan yang berada dalam
ruang lingkup hidup mereka. Sedangkan kreatifitas merupakan perpaduan
antara aktifitas dan refleksi yang menekankan sifat transenden manusia.
Kratifitas juga menekankan dinamika praksis di masa depan yang terus
berkembang hingga menghasilkan praksis baru.
2. Langkah-Langkah SCP
Sebagai salah satu model dalam katekese, SCP terdiri dari lima
langkah yang saling berurutan (Heryatno, 1997: 5-7). Adapun langkah-
langkahnya sebagai berikut:
a. Langkah I : Pengungkapan praksis faktual
Langkah ini mengajak para peserta untuk mengungkapkan
pengalaman konkret yang dialaminya setiap hari secara terbuka.
Pengalaman tersebut dapat diungkapkan dalam bentuk sharing, nyanyian,
92
puisi, cerita, atau sarana-sarana lain, dengan catatan asal tidak keluar dari
tema dan tujuan pertemuan. Dalam sharing pengalaman ini, peserta
maupun pendamping tidak boleh menanggapi apapun yang diungkapkan di
dalamnya, dan diharapkan bisa dengan tenang mendengarkan salah
seorang peserta yang sedang sharing. Maksud utama langkah pertama ini
adalah membantu dan mendorong peserta supaya menyadari pengalaman
mereka sendiri, menginterpretasikannya, membahasakannya serta
mengkomunikasikannya pada peserta lain.
Pada langkah ini, pendamping berperan sebagai fasilitator yang
menciptakan suasana pertemuan menjadi hangat dan mendukung peserta
untuk mengungkapkan pengalaman faktual berdasarkan tema. Tugas
pendamping adalah merumuskan pertanyaan-pertanyan dengan jelas,
terarah, tidak menyinggung harga diri seseorang, latar belakang peserta
dan bersifat terbuka serta obyektif (Sumarno, 2009: 19). Dengan kata lain,
pendamping hanya membantu menciptakan suasana yang kondusif untuk
dialog antar peserta.
b. Langkah II : Refleksi kritis pengalaman faktual
Kekhasan pada langkah ini yakni mendorong peserta untuk lebih
aktif, kritis dan kreatif dalam mengolah keterlibatan hidup mereka secara
pribadi maupun masyarakatnya. Berdasarkan dari pengalaman yang
diceritakan oleh peserta, peserta berusaha untuk merefleksikan sehingga
mampu menemukan makna dan nilai dari pengalaman konkret hidup
mereka (Heryatno, 1997: 5).
93
Langkah kedua ini bertujuan untuk memperdalam saat refleksi
dan mengantar peserta pada kesadaran kritis akan pengalaman hidup dan
tindakannya, yang meliputi pemahaman kritis dan analisis sosial,
kenangan analitis dan sosial, serta imajinasi kreatif dan sosial. Pemahaman
kritis dan sosial merupakan pemahaman pribadi terhadap tindakan dan
pertimbangannya sendiri, serta analisa sosial yang menganalisa
pengalaman konkret sosial dalam masyarakat. Dalam bentuk katekese
inkulturatif, dapat diadakan suatu analisis budaya. Peserta dapat diajak
untuk menunjukkan kebudayaan-kebudayaan yang mereka anggap baik
dan buruk. Kebudayaan-kebudayaan yang baik dapat diangkat dan
dijadikan sebagai sarana inkulturasi, sehingga dapat dimaknai dengan
terang Injil dalam langkah selanjutnya.
Kenangan analitis dan sosial, mempunyai dua tekanan yang
berbeda yakni sejarah hidup peserta dan strukutur sosial yang saling
membentuk dan mempengaruhi cara hidup peserta dalam masyarakat.
Imajinasi kreatif dan sosial, bersifat pribadi yaitu dengan membayangkan
konsekuensi atau akibat yang telah dilakukan, kemudia membuka
kesadaran baru untuk terlibat di dalamnya (Sumarno, 2009: 20).
c. Langkah III : Mengusahakan Visi dan Tradisi Kristiani terjangkau
Pokok dari langkah ini adalah mengusahakan supaya Tradisi dan
Visi Kristiani menjadi lebih terjangkau, lebih dekat dan relevan bagi
peserta pada zaman sekarang (Heryatno, 1997: 6). Atau dengan kata lain,
langkah ketiga ini bertujuan untuk mengkomunikasikan nilai-nilai Tradisi
94
dan Visi Kristiani agar lebih terjangkau dan lebih mengena untuk
kehidupan peserta yang kontekstual serta relevan. Dengan demikian dapat
mendorong dan meneguhkan iman jemaat dalam keterlibatannya untuk
mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah (Sumarno, 2009: 20). Seperti telah
dijelaskan sebelumnya bahwa tradisi tidak terbatas pada tradisi pengajaran
Gereja saja tetapi juga meliputi Kitab Suci, spiritualitas, refleksi teologis,
sakramen, liturgi, seni dan nyanyian rohani, kepemimpinan, kehidupan
jemaat, dan lain-lain.
Pada langkah ini, setelah peserta merefleksikan pengalamannya
secara kritis, peserta berusaha menghubungkannya dengan pengalaman
iman melalui Tradisi Gereja atau dari pengalaman panggilan para tokoh
iman dalam Kitab Suci. Para peserta baik secara personal maupun
bersama-sama aktif membaca Kitab Suci yang disediakan oleh
pendamping.
Peran pendamping pada langkah ini memperoleh tempatnya,
yakni memberikan tafsiran mengenai Tradisi dan Visi kristiani, untuk
membantu peserta agar menemukan nilai-nilai dari Tradisi dan Visi
kristiani. Dalam menafsirkan dan mengkomunikasikan nilai-nilai Tradisi
dan Visi kristiani, pendamping perlu memiliki pengetahuan yang cukup
dalam penafsiran tersebut. Tafsiran dari pendamping hendaknya
mengikutsertakan kesaksian iman, harapan, dan hidupnya sendiri secara
konkret (Sumarno, 2009: 21).
95
d. Langkah IV : Interpretasi dialektis antara praksis dan visi peserta dengan
Tradisi dan Visi Kristiani
Langkah ini mengajak peserta supaya dapat meneguhkan,
mempertanyakan, memperkembangkan, dan menyempurnakan pokok-
pokok penting yang telah ditemukan pada langkah pertama dan kedua.
Untuk selanjutnya pokok-pokok penting tersebut dikonfrontasikan dengan
hasil interpretasi Tradisi dan Visi Kristiani dari langkah ketiga. Dari
proses konfrontasi itu diharapkan dapat secara aktif menemukan kesadaran
atau sikap-sikap baru yang hendak diwujudkan (Heryatno, 1997: 7).
Langkah keempat ini juga menggarisbawahi suatu keyakinan bahwa
peserta memiliki potensi yang alamiah untuk memahami interaksi yang
dinamis antara nilai pengalaman hidup dan visi mereka dengan nilai
Tradisi dan Visi Kristiani. Oleh karena itu peserta harus menegaskan
kesediaan sikapnya untuk menilai maupun dinilai.
Peranan pendamping dalam langkah keempat ini adalah
membesarkan hati peserta, mengundang refleksi kritis mereka, dan
mendorong mereka supaya mengkomunikasikan hasilnya dengan peserta
lain dengan maksud untuk mempertajam dan menyempurnakannya
(Heryatno, 1997: 48). Pendamping meyakinkan peserta agar mampu
mempertemukan nilai pengalaman hidup dan visi mereka dengan nilai
Tradisi dan Visi kristiani. Pendamping juga berperan mendorong peserta
agar mampu merubah sikap pendengar yang pasif menjadi pihak yang
aktif (Sumarno, 2009: 22).
96
e. Langkah V : Keterlibatan baru demi makin terwujudnya Kerajaan Allah di
dunia
Tujuan yang hendak dicapai pada langkah ini adalah mendorong
peserta supaya sampai pada keputusan konkret bagaimana menghidupi
iman Kristiani pada konteks hidup yang telah dianalisa dan dipahami,
direfleksi secara kritis, serta dinilai secara kreatif dan bertanggungjawab.
Dengan kata lain, langkah ini secara eksplisit mengajak peserta agar
sampai pada keputusan praktis, bagaimana menghidupi iman Kristiani
secara baru (Heryatno, 1997: 49). Keputusan praktis merupakan puncak
dan hasil pertemuan yang akan diwujudkan dalam tindakan nyata
(Sumarno, 2009: 22). Berdasarkan makna baru yang telah ditemukan oleh
para peserta, maka pada langkah ini peserta berusaha menentukan dan
melakukan usaha tindakan nyata sebagai ekspresi dari nilai yang sudah
ditemukannya (Sumarno, 2009: 22).
Dalam langkah ini pendamping perlu menunjukkan sikap yang
penuh empati, antusias mendengarkan dan mendukung setiap keputusan
yang muncul (Heryatno, 1997: 37). Selain itu, diperlukan juga suasana
yang kondusif yang mampu membawa umat pada suatu pertobatan atau
suatu keputusan pribadi maupun bersama demi terwujudnya nilai-nilai
Kerajaan Allah di tengah peserta.
97
C. USULAN PROGRAM KATEKESE
1. Latar Belakang Penyusunan Program Katekese
Perayaan Ekaristi merupakan perayaan iman di mana misteri
penyelamatan Allah dihadirkan kembali. Dalam Perayaan Ekaristi orang
beriman dapat menimba kekuatan iman mereka. Berdasarkan hasil penelitian,
penulis menemukan bahwa sebagian besar umat cukup memahami makna
Perayaan Ekaristi. Kendati demikian masih ada juga umat yang kurang
memahami makna Perayaan Ekaristi, bahkan beberapa umat menganggap
bahwa mengikuti Perayaan Ekaristi semata-mata hanya sebuah kewajiban
saja. Padahal Perayaan Ekaristi seharusnya bisa menjadi sumber dan puncak
kehidupan Gereja pada umumnya. Adanya keterkaitan yang erat antara
katekese dengan inkulturasi juga menjadi latar belakang penulis dalam
menyusun program katekese ini. Baik dalam katekese maupun inkulturasi,
sama-sama mengupayakan agar iman Kristiani dapat mengakar dalam
kehidupan umat setempat. Jadi, untuk sampai pada pemahaman akan makna
Perayaan Ekaristi yang inkulturatif tentu saja diperlukan suatu bentuk
katekese yang inkulturatif pula, sehingga Iman Kristiani yang hendak
disampaikan dapat lebih diterima oleh umat.
Usulan program katekese ini dimaksudkan untuk membantu umat
semakin memahami makna Perayaan Ekaristi, yang pada akhirnya akan
sampai kepada suatu penghayatan yang konkrit akan makna Perayaan
Ekaristi. Perayaan Ekaristi diharapkan bukan hanya menjadi kewajiban atau
rutinitas belaka tetapi sungguh-sungguh menjadi kerinduan umat akan Allah
98
dalam hidup mereka. Program ini direncanakan terlaksana sebanyak empat
kali dalam waktu dua bulan di Paroki Kristus Raja Cigugur.
2. Alasan Pemilihan Tema
Bertitik tolak dari hasil penelitian tentang inkulturasi dalam
Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja Cigugur, penulis dapat mengambil
suatu kesimpulan bahwa masih ada umat yang kurang memahami Perayaan
Ekaristi secara benar. Bagi mereka Perayaan Ekaristi hanyalah kewajiban
belaka atau hanya agar dilihat baik oleh orang lain. Adanya inkulturasi
ternyata tidak selalu membantu umat dalam memahami makna Perayaan
Ekaristi. Dalam Perayaan Ekaristi yang inkulturatif terkadang makna yang
ingin disampaikan kurang jelas atau menjadi kabur karena penggunaan
bahasa daerah yang teramat halus, sehingga kurang bisa dipahami sebagian
umat khususnya kaum muda.
Berangkat dari keprihatinan tersebut, maka penulis memilih tema
umum: inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Adapun tujuan dari tema tersebut
agar bersama-sama pendamping, kaum muda Paroki Kristus Raja Cigugur
semakin memahami makna inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi sehingga
mau terlibat secara aktif dalam Perayaan Ekaristi. Melalui tema ini penulis
memiliki harapan, agar umat mau terlibat secara aktif dan sadar, sehingga
pada akhirnya Perayaan Ekaristi dapat menjadi sumber dan puncak kehidupan
jemaat Kristiani Paroki Kristus Raja Cigugur.
99
100
101
102
4. Contoh Usulan Katekese
a. Judul Pertemuan : Ekaristi dalam Hidup Kita
b. Tujuan : Bersama-sama pendamping, peserta semakin
menyadari pentingnya Perayaan Ekaristi dalam
kehidupan beriman Kristiani sehingga peserta
menemukan kekuatan hidup dalam Perayaan
Ekaristi
c. Peserta : Kaum Muda
d. Model : Shared Christian Praxis (SCP)
e. Tempat : Gedung Serbaguna Paroki Kristus Raja Cigugur
f. Waktu : Pk. 18.00 – 19.00 WIB
g. Metode : - Informasi
- Sharing
- Diskusi
- Dialog
- Menonton
h. Sarana : - Kitab Suci
- Teks Lagu
- Laptop
- LCD Proyektor
- Slide Show “Ekaristi dalam hidup kita”
i. Sumber bahan : - Yoh. 6: 48-59
103
- Lembaga Biblika Indonesia. (1981). Injil dan
Surat-Surat Yohanes. Yogyakarta: Kanisius
- Bergant, Diane. (2002). Tafsir Alkitab
Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius.
- Wibowo Ardhi, FX. (1993). Sakramen Ekaristi.
Yogyakarta: Kanisius.
j. Pemikiran Dasar
Sejak awal Gereja Perdana tidak pernah lalai berkumpul untuk
merayakan misteri paska (lih. Kis 2:42). Gereja merayakan Ekaristi yang
menghadirkan kemenangan dan keunggulan-Nya atas maut, dan serentak
bersyukur kepada Allah karena anugerahNya yang tak terkatakan dalam
Yesus Kristus (lih. 2 Kor 9:15). Di dalam Perayaan Ekaristi terkandung
seluruh harta rohani Gereja, yaitu Kristus sendiri, Paska kita, Roti Hidup;
yang memberikan kehidupan kepada manusia melalui Tubuh dan darah-Nya,
yang berkat Roh Kudus dihidupkan dan menghidupkan. Dalam konstitusi
dogmatis tentang Gereja yang termuat dalam Dokumen Konsili Vatikan II,
Perayaan Ekaristi dipahami sebagai sumber dan puncak seluruh hidup
Kristiani (LG 11). Selain itu, iman Gereja terungkap secara paling tampak
dalam Perayaan Ekaristi. Oleh karena itu, Perayaan Ekaristi dapat juga
dipahami sebagai puncak dan pusat seluruh hidup umat Kristiani.
Kendati demikian, tidak semua umat mampu memahami makna
Perayaan Ekaristi tersebut secara benar. Ada juga yang memahami Ekaristi
104
semata-mata sekedar kewajiban yang harus dijalankan sebagai seorang
Kristiani. Selain itu, Ekaristi juga tidak jarang hanya menjadi tempat pelarian
dari segala bentuk permasalahan yang dihadapi umat dewasa ini. Jika tidak
ada permasalahan yang dihadapi, belum tentu seseorang secara tulus dan
sadar mau mengikuti Perayaan Ekaristi.
Hal semacam ini tidak jarang dialami oleh kaum muda Kristiani
pada masa sekarang ini. Perayaan Ekaristi tidak selalu menjadi yang utama
dalam hidup mereka, bahkan bisa jadi tidak terpikirkan sama sekali dalam
hidup mereka. Mungkin saja, selalu ada hal yang lebih penting daripada
mengikuti Perayaan Ekaristi, entah itu internet, handphone, pacar, atau
kesenangan-kesenangan lainnya. Dengan mengabaikan Perayaan Ekaristi,
berarti kita juga mengabaikan pengorbanan Kristus yang telah menebus dosa-
dosa kita lewat wafat dan kebangkitanNya.
Dari pertemuan ini diharapkan kaum muda semakin menyadari
pentingnya Perayaan Ekaristi dalam hidup mereka. Dengan demikian,
Perayaan Ekaristi bukan lagi menjadi suatu kewajiban yang harus ditaati saja
tetapi menjadi suatu kerinduan untuk bersatu dengan Kristus dan Gereja,
bahkan menjadi sumber dan puncak kehidupan Gereja. Kaum muda sebagai
jantung hati Gereja sudah seharusnya menyadari dan memahami hal tersebut
sehingga pada akhirnya benar-benar mampu menemukan kekuatan hidup
dalam suatu Perayaan Ekaristi.
105
k. Pembukaan
Pengantar
Rekan-rekan kaum muda yang terkasih dalam Kristus, kita patut
bersyukur karena kasih Allah dalam diri PuteraNya Yesus Kristus, kita boleh
berkumpul di sini. Pada kesempatan ini, kita bersama-sama akan menggali
pengalaman kita selama mengikuti Perayaan Ekaristi. Sebagaimana kita
ketahui, istilah Perayaan Ekaristi bukan sesuatu yang asing bagi kita, namun
justru seringkali menjadi sesuatu asing dalam hidup kita manakala kita tidak
menghayatinya dengan sungguh-sungguh. Diharapkan bahwa permenungan
dan pendalaman kita atas materi-materi yang disajikan mampu mengantar kita
pada pemahaman yang benar akan Perayaan Ekaristi, sehingga Perayaan
Ekaristi mampu menjadi kekuatan hidup bagi kita semua.
l. Lagu Pembuka : Puji Syukur, no, 519 (Yesus, Tuhanku)
m. Doa Pembuka
Allah Bapa Mahakasih, hari ini kami sungguh bersyukur kepadaMu
karena kami telah Kau persatukan dalam pertemuan ini sebagai anak-
anakMu. Bukalah hati dan pikiran kami agar kami mampu memahami
kehendakMu lewat sabda-sabda yang akan kami resapi dan dalami di sini.
Utuslah RohMu untuk senantiasa mendampingi kami dan memimpin kami
semua dari awal hingga akhir. Semoga kami dan kaum muda Kristiani
lainnya makin mampu memahami dan menghayati Ekaristi yang telah Kau
wariskan kepada kami sehingga menjadi suatu kekuatan baru dalam hidup
106
kami. Doa yang kurang sempurna ini kami panjatkan lewat Yesus Kristus,
Tuhan dan Pengantara kami, yang hidup dan berkuasa bersama Dikau dalam
persekutuan dengan Roh Kudus, kini dan sepanjang segala masa. Amin.
n. Langkah I : Pengungkapan praksis faktual
1) Memutarkan slide “Ekaristi dalam hidup kita”. Peserta diberi kesempatan
untuk menyimak slide dengan cermat (slide terlampir).
2) Penceritaan kembali isi slide:
Pendamping meminta salah satu peserta untuk mencoba menceritakan
kembali denga singkat tentang isi pokok slide “Ekaristi dalam hidup kita”
3) Intisari slide berjudul “Ekaristi dalam hidup kita”adalah :
Perayaan Ekaristi yang kita laksanakan hingga saat ini bersumber dari
Perjamuan malam terakhir Yesus dengan para muridNya. Puncaknya
adalah penyerahan diri Yesus secara total di kayu salib. Pada hari ketiga
Yesus bangkit mengalahkan kematian, yang menjadi sumber kekuatan
bagi para pengikutNya. Saat ini, rangkaian peristiwa tersebut nampak
secara jelas dalam Perayaan Ekaristi. Melalui perayaan Ekaristi, seluruh
umat berkumpul dan menghadirkan misteri penyelamatan Kristus.
Setelah mengalami kehadiran Kristus dalam Perayaan Ekaristi, umat
diteguhkan sehingga memiliki daya kekuatan untuk melaksanakan
aktifitas sehari-hari dengan dijiwai semangat Kristus.
107
4) Pengungkapan pengalaman :
Peserta diajak untuk mendalami isi slide tersebut dengan pertanyaan
sebagai berikut:
a) Apa yang diperoleh orang-orang tersebut setelah mengikuti Perayan
Ekaristi?
b) Kesulitan apa saja yang anda alami untuk mengikuti Perayaan
Ekaristi dengan penuh kesungguhan hati?
5) Contoh arah rangkuman:
Orang-orang yang mengikuti Perayaan Ekaristi dengan kesungguhan hati
dan didukung oleh suasana yang tenang mendapat suatu semangat hidup
yang baru untuk menjalankan aktifitas sehari-hari dengan lebih baik. Hal
itu dapat dilihat dalam gambar petani yang bekerja keras di sawahnya
dan seorang pelajar yang dengan tekun menjalankan aktifitasnya.
Seringkali kita merasa bahwa mengikuti Perayaan Ekaristi semata-mata
adalah kewajiban seorang Kristiani. Tidak jarang kita juga mengikuti
Perayaan Ekaristi hanya karena ingin dilihat baik oleh orang lain.
Perayaan Ekaristi yang dilaksanakan setiap minggu dirasa menjadi suatu
rutinitas belaka sehingga kita menjalaninya dengan perasaan yang biasa
saja.
o. Langkah II : Refleksi kritis pengalaman faktual
1) Peserta diajak untuk merefleksikan sharing pengalaman atau slide di atas
dengan dibantu pertanyaan sebagai berikut:
108
a) Bagaimana umat Kristiani dapat memperoleh daya kekuatan dalam
hidupnya sehari-hari?
b) Apakah pentingnya mengikuti Perayaan Ekaristi bagi anda?
2) Dari jawaban yang telah diungkapkan oleh peserta, pendamping
memberikan rangkuman singkat.
3) Contoh arah rangkuman:
Dalam suatu Perayaan Ekaristi, baik Kristus maupun Gereja secara
universal dihadirkan di dalamnya. Dengan mengenangkan misteri
penyelamatan Kristus, maka seluruh umat beriman Kristiani menjadi satu
dengan dan di dalam Dia. Oleh karena itu, Perayaan Ekaristi menjadi
sumber dan puncak kehidupan Kristiani, sehingga mampu memerikan
daya kekuatan yang luar biasa bagi umat Kristiani dalam menjalankan
aktifitasnya sehari-hari.
Mengikuti Perayaan Ekaristi tentu saja harus didasari oleh kerinduan
akan Allah dan untuk ambil bagian dalam karya penyelamatanNya,
bukan didasarkan atas kewajiban ataupun sekedar rutinitas saja. Dengan
memiliki kesadaran dan kerinduan tersebut, umat akan semakin
dikuatkan dan dipersatukan dengan Kristus.
p. Langkah III : Mengusahakan Visi dan Tradisi Kristiani terjangkau
1) Salah seorang peserta dimohon bantuannya untuk membacakan perikope
langsung dari Kitab Suci, Injil Yohanes 6: 48 – 59:
109
48 Akulah roti hidup. 49 Nenek moyangmu telah makan manna di padang gurun dan mereka telah mati. 50 Inilah roti yang turun dari sorga: Barangsiapa makan dari padanya, ia tidak akan mati. 51 Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia." 52 Orang-orang Yahudi bertengkar antara sesama mereka dan berkata: "Bagaimana Ia ini dapat memberikan daging-Nya kepada kita untuk dimakan." 53 Maka kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. 54
Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman. 55
Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. 56 Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia. 57 Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku. 58 Inilah roti yang telah turun dari sorga, bukan roti seperti yang dimakan nenek moyangmu dan mereka telah mati. Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya." 59 Semuanya ini dikatakan Yesus di Kapernaum ketika Ia mengajar di rumah ibadat.
2) Peserta diberi waktu sebentar untuk hening sejenak sambil secara pribadi
merenungkan dan menanggapi pembacaan Kitab Suci dengan dibantu
beberapa pertanyaan sebagai berikut:
a) Bagaimana Yesus mengungkapkan diriNya dalam perikope tersebut?
b) Apa yang diperdebatkan oleh orang-orang Yahudi tersebut? Apa
maknanya bagi kita?
c) Sikap-sikap mana yang ingin ditanamkan oleh Yesus kepada para
pengikutNya?
110
3) Peserta diajak untuk sendiri mencari dan menemukan pesan inti perikope
sehubungan dengan jawaban dari tiga pertanyaan di atas.
4) Pendamping memberikan interpretasi atau tafsir dari bacaan Kitab Suci
dari Injil Yohanes 6: 48 – 59 dan menghubungkannya dengan tanggapan
peserta dalam hubungan dengan tema dan tujuan, misalnya sebagai
berikut:
Dalam arti yang lebih dalam roti yang memberikan hidup, dan roti hidup
itu adalah dagingnya sendiri. Dalam perikope ini Yohanes menyajikan
apa yang nampaknya ungkapan lain dari kata-kata penetapan Ekaristi:
“Roti yang akan Kuberikan adalah dagingKu untuk kehidupan dunia”.
Istilah memberikan berarti juga menyerahkan kepada kematian. Jika bagi
Paulus Ekaristi memaklumkan kematian Tuhan sampai Ia atang kembali
pada akhir dunia, maka bagi Yohanes tekannnya ialah bahwa Firman
telah menjadi daging dan telah menyerahkan Daging dan DarahNya
sebagai sumber hidup. Dengan demikian, makna Ekaristi sungguh
mendalam bagi kita, yakni Ekaristi membuat kita mengambil bagian
dalam kehidupan yang dimiliki Bapa bersama PuteraNya.
Pada ayat 52, orang-orang Yahudi bertengkar sesama mereka,
memperdebatkan tentang perkataan Yesus sebelumnya. Hal ini
merupakan suatu bentuk keragu-raguan mereka atas karya penyelamatan
Yesus. Akhirnya hal tersebut tidak dapat dipahami sebagai karya Allah
111
bahkan dianggap sebagai penghujatan. Mereka samasekali tidak mampu
menyadari Allah yang telah menjelma dalam diri Yesus Kristus.
Sikap-sikap Yesus yang nampak dalam perikop ini menggambarkan
sikap Yesus yang antusias dan terbuka untuk menyelamatkan manusia
secara total. Ia ingin mengungkapkan kasih Allah Bapa yang sungguh
besar bagi manusia, bahkan dengan rela menyerahkan nyawaNya untuk
menebus dosa-dosa manusia. Dengan demikian, kita juga harus mampu
menanggapi hal tersebut secara positif dan dengan sadar membutuhkan
Yesus sebagai kekuatan dalam hidup kita. Untuk itu, kita dapat
mengungkapkannya secara nyata dan jelas lewat keterlibatan kita dalam
Perayaan Ekaristi.
q. Langkah IV : Interpretasi dialektis antara praksis dan visi peserta dengan
Tradisi dan Visi Kristiani
1) Pengantar
Dalam pembicaraan-pembicaraan tadi kita sudah menemukan sikap-sikap
mana yang dikehendaki Yesus bagi para pengikutNya. Selain itu, kita
juga sudah sampai sedikit demi sedikit mulai memahami makna Perayaan
Ekaristi. Sebagai kaum muda Kristiani, kita juga pasti ingin hidup kita
senantiasa dikuatkan dan dijiwai oleh semangat Kristus. Meskipun dalam
perjalanan hidup, kita seringkali tak mampu berbuat apa-apa karena
banyaknya pekerjaan, kesibukan, atau kesenangan lain yang membuat
112
kita lalai terhadap Perayaan Ekaristi. Namun dalam pertemuan kali ini
yang merupakan saat yang penuh rahmat, Allah menyadarkan kembali
hati kita untuk memperoleh kerinduan akan Yesus Kristus, Sang Roti
Hidup, yang mampu memberikan daya kekuatan dalam hidup kita.
2) Sebagai bahan refleksi agar kita dapat semakin menyadari dan merasakan
kerinduan yang sungguh dalam pada karya penyelamatan Yesus Kristus,
maka kita akan melihat situasi konkrit yang ada di sekitar kita, dengan
mencoba merenungkan pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
a) Apakah arti Yesus sebagai Roti Hidup bagi perjalanan hidup kita
sehari-hari?
b) Sikap-sikap mana yang dapat kita perjuangkan agar dalam kehidupan
sehari-hari kita dapat semakin dijiwai oleh daya kekuatan Yesus
Kristus?
c) Apakah rekan-rekan merasa semakin disadarkan, atau ditegur atau
diteguhkan dalam menghayati makna Perayaan Ekaristi?
Saat hening diiringi dengan lagu “Give Thanks” dari Don Meon untuk
mengiringi renungan secara pribadi akan pesan Injil dengan situasi
konkrit peserta dengan panduan tiga pertanyaan di atas. Kemudian
diberi kesempatan untuk mengungkapkan hasil renungan pribadinya itu.
3) Suatu contoh arah rangkuman penerapan pada situasi peserta:
Yesus menunjukkan kepada kita bahwa Dia lah Roti Hidup yang
sesungguhnya. Dengan kata lain, Yesus berusaha menyampaikan kepada
113
kita bahwa Dia lah yang seharusnya menjadi sumber dan puncak
kehidupan kita. Lewat Yesus, kita diberikan daya kekuatan yang
sungguh-sungguh menghidupi aktifitas kita sehari-hari. Secara nyata kita
dapat menjadi satu denganNya dalam Perayaan Ekaristi.
Untuk dapat menjadi satu dengan Yesus dalam Perayaan Ekaristi,
marilah kita mulai menyadari pentingnya Ekaristi dalam hidup kita.
Selain itu, kita juga harus memiliki kerinduan yang sungguh untuk dapat
ikut ambil bagian dalam perjamuanNya. Karena Yesus adalah bagian
yang tak terpisahkan dari hidup kita, khusunya sebagai kaum muda
Kristiani.
r. Langkah V : Keterlibatan baru demi makin terwujudnya Kerajaan Allah di
dunia
1) Pengantar
Rekan-rekan kaum muda yang terkasih dalam Yesus Kristus, setelah kita
bersama-sama menggali pengalaman kita dalam menghayati Perayaan
Ekaristi lewat slide “Ekaristi dalam hidup kita” dan lewat sharing
pengalaman dari rekan-rekan tadi, kita memperoleh banyak sekali
wawasan baru, cara pandang baru atau bahkan semangat baru untuk
hidup kita. Dalam injil Yohanes telah diuraikan bagaimana Yesus dalam
Perayaan Ekaristi hadir dan menjadi satu dengan hidup kita, sehingga kita
memiliki daya kekuatan dalam menjalani kegiatan kita sehari-hari. Dalam
seluruh rangkaian perjalanan kehidupan kita, kita senantiasa perlu
114
merindukan kehadiran Yesus tersebut dan menyadari dengan sungguh
bahwa Yesus merupakan sumber dan puncak kehidupan kita sebagai
kaum muda Kristiani, sehingga pada akhirnya kita dapat memperoleh
kekuatan baru dalam hidup kita.
2) Memikirkan niat-niat dan bentuk keterlibatan kita yang baru (pribadi,
kelompok, atau bersama) untuk dapat semakin menemukan kekuatan
hidup dalam Perayaan Ekaristi, khususnya sebagai kaum muda Kristiani,
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Yesus Kristus. Berikut ini
adalah pertanyaan penuntun untuk membantu peserta membuat niat-niat:
a) Niat apa yang hendak kita lakukan untuk semakin menemukan
kekuatan hidup dalam Perayaan Ekaristi?
b) Hal-hal apa saja yang perlu kita perhatikan dalam mewujudkan niat-
niat tersebut?
s. Penutup
1) Setelah selesai merumuskan niat pribadi dan bersama, pendamping
mengajak peserta untuk membawa segala permohonan mereka ke dalam
doa umat dan ditutup dengan doa Bapa Kami.
2) Doa Penutup
Tuhan Yesus Kristus, Sang Juruselamat dan Roti Hidup kami, kami
mengucap syukur atas kehadiranMu di sini, bersama kami, sampai saat
ini. Engkau telah menunjukkan betapa besarNya kasihMu yang Kau
berikan kepada kami, sampai-sampai Engkau rela mengurbankan
hidupMu bagi kami dan menjadi satu dengan kami dalam Perayaan
115
Ekaristi. Tanpa kebesaranMu, kami tidak akan mampu menemukan
kekuatan hidup yang sempurna. Hanya Engkau lah yang menjadi sumber
dan puncak kehidupan kami saat ini. Oleh karena itu, buatlah kami untuk
semakin peka dan menyadari kehendakMu serta kehadiranMu di tengah-
tengah kami, khususnya dalam tugas kami sebagai kaum muda Kristiani
yang diharapakn menjadi tulang punggung bagi Gereja. Akhirnya,
semoga kami dapat semakin menghayati dan menyadari Perayaan
Ekaristi sebagai suatu kerinduan dan kebutuhan bagi kami, kini dan
sepanjang segala masa. Amin.
3) Sesudah Doa Penutup, pertemuan diakhiri dengan lagu penutup:
TERBESAR DALAM HIDUPKU
1 = E 3/4 -- --- -- --
. 5 1 1/1 . 2 3 3/3 . 3 / 3.4 / 2 Terindah dalam hidupku mengenalMu -- -- -- --- . 5 2 2 /2 . 3 4 4/4 . 4 /4 . 5/3 Terindah dalam hidupku mengenalMu -- -- - --- . 1 4 5 / 6.6/5 .1 2 3/4 . 4 / 3 Kuingin selalu lebih mengenalMu -- -- -- --- . 5 1 1/ 1 . 2 3 3/3 . 3/2 . 2/ 1 // Terindah dalam hidupku mengenalMu Terindah dalam hidupku mencintaiMu............. dst Terindah dalam hidupku mengabdiMu.............. dst
BAB V
PENUTUP
Pada akhir skripsi ini, penulis mengemukakan beberapa hal yang perlu
ditegaskan kembali dan dipikirkan untuk diperkembangkan lebih lanjut
sehubungan dengan inkulturasi sebagai jalan bagi umat dalam memahami makna
Perayaan Ekaristi. Dalam bagian penutup ini akan disampaikan kesimpulan dan
saran dari penulis.
A. KESIMPULAN
Perayaan Ekaristi merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dari
Gereja kita. Bahkan lebih dari itu, Perayaan Ekaristi dipahami sebagai sumber
dan puncak seluruh hidup Kristiani. Selain itu, iman Gereja terungkap secara
paling tampak dalam Perayaan Ekaristi. Dengan demikian dapat ditegaskan
bahwa Gereja memandang Perayaan Ekaristi sebagai sesuatu yang penting dan
harus sungguh-sungguh dapat diterima dan dipahami, untuk kemudian
dihayati oleh umat. Oleh karena itu, Gereja telah mengusahakan suatu cara
agar Perayaan Ekaristi mampu menyentuh inti hidup umat yang paling dalam,
yaitu dengan adanya inkulturasi.
Setiap usaha inkulturasi selalu merangkul unsur budaya setempat.
Selain itu, Injil Yesus Kristus diwujudnyatakan melalui budaya umat setempat
secara terus menerus, sehingga mengakar di dalam kehidupan umat. Melalui
inkulturasi, unsur-unsur budaya umat setempat dirangkul, dimaknai dan
117
dijiwai oleh Injil Yesus Kristus. Inkulturasi bukanlah suatu proses yang
singkat karena inkulturasi berlangsung terus-menerus dan senantiasa
mengikuti perkembangan umat sesuai dengan konteks zamannya. Proses yang
terjadi terus menerus ini akan membuat umat semakin mengimani Injil Yesus
Kristus dalam kebudayaannya bahkan mampu menjadi identitas bagi umat di
suatu wilayah tertentu karena telah menjadi satu dengan hidup umat. Dengan
demikian, Perayaan Ekaristi yang inkulturatif akan semakin memampukan
umat untuk memahami dan menghayati makna Perayaan Ekaristi dalam aspek
kehidupannya.
Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan di Paroki Kristus Raja
Cigugur, penulis menemukan beberapa hal yang kiranya dapat dijadikan
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam perumusan masalah
dalam skripsi ini.
Umat Paroki Kristus Raja Cigugur sebagian besar telah memahami
bahwa Perayaan Ekaristi merupakan suatu kebutuhan rohani bagi mereka.
Mereka menyadari kerinduan untuk bersatu dengan Kristus dan sesamanya
lewat Perayaan Ekaristi. Kendati demikian ada juga yang menganggap
Perayaan Ekaristi hanyalah kewajiban seorang Kristiani atau hanya rutinitas
belaka.
Dalam kaitannya dengan inkulturasi, sebagian besar umat
menganggap inkulturasi sudah begitu banyak membantu mereka dalam
memahami Perayaan Ekaristi, paling tidak pada saat berlangsungnya suatu
Perayaan Ekaristi. Oleh karena itu, mereka menganggap bahwa inkulturasi
118
dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja Cigugur tetap perlu
dipertahankan. Walaupun demikian, ada juga umat yang memandang bahwa
inkulturasi justru malah mengaburkan pemahaman mereka akan keseluruhan
Perayaan Ekaristi. Salah satunya dengan penggunaan bahasa Sunda yang
teramat halus yang tidak bisa dipahami dengan benar, khususnya oleh kaum
muda. Karena, untuk sampai pada pemahaman yang benar akan makna
Perayaan Ekaristi, umat tentu saja harus bisa memahami terlebih dahulu apa
yang disampaikan di dalamnya.
Melihat kenyataan ini, penulis mencoba memberikan usulan program
katekese dengan model SCP dalam rangka meningkatkan pemahaman umat
akan makna Perayaan Ekaristi. Sasarannya terutama untuk kaum muda Paroki
Kristus Raja Cigugur, karena kaum muda, sebagai jantung hati Gereja,
memiliki peranan sebagai generasi penerus Gereja di masa yang akan datang.
Adapun alasan penulis memilih model SCP ini karena model ini
bertitik tolak dari pengalaman praxis yang didialogkan dengan Visi dan
Tradisi Kristiani, yang pada akhirnya peserta berorientasi pada praxis baru
dalam terang iman Yesus Kristus. Dengan demikian peserta dapat lebih
memaknai dan menyadari pentingnya Perayaan Ekaristi lewat inkulturasi,
lewat kebudayaan mereka. Sehingga pada akhirnya mereka mampu terlibat
secara aktif dalam Perayaan Ekaristi.
119
B. SARAN
Bertitik tolak dari seluruh pembahasan yang telah disampaikan
penulis dalam skripsi ini, akhirnya penulis mencoba menyampaikan beberapa
saran yang mungkin dapat digunakan demi semakin berkembangnya
pemahaman umat Paroki Kristus Raja Cigugur akan makna Perayaan Ekaristi
lewat kebudayaan yang mereka miliki. Adapun saran-saran penulis ini
ditujukan bagi umat Paroki Kristus Raja Cigugur.
1. Umat diharapkan semakin mampu melestarikan penggunaan unsur-unsur
budaya Sunda dengan turut terlibat aktif dalam perayaan Ekaristi di gereja
Paroki Kristus Raja Cigugur.
2. Kaum muda diharapkan untuk semakin memiliki kesadaran yang tinggi akan
pelestarian kebudayaan yang dimiliki sehingga mau datang terlibat dalam
Perayaan Ekaristi dengan menggunakan bahasa Sunda yang diselenggarakan
di gereja Paroki Kristus Raja Cigugur tiap minggunya.
3. Bagi dewan Paroki Kristus Raja Cigugur, inkulturasi merupakan suatu proses
yang berlangsung secara terus menerus seiring dengan perkembangan jaman.
Oleh karena itu diharapkan dewan paroki berkerjasama dengan pihak-pihak
yang mampu untuk membuat suatu variasi dalam Perayaan Ekaristi dengan
menggunakan bahasa Sunda sehingga dapat dinikmati oleh kaum muda. Selain
itu, untuk semakin menambah pengetahuan umat maka ada baiknya diadakan
kegiatan-kegiatan seperti lokakarya atau seminar mengenai inkulturasi dan
Perayaan Ekaristi.
120
4. Bagi Romo Paroki, diharapkan untuk terus memberi dukungan bagi setiap
usaha pengembangan inkulturasi budaya Sunda dalam perayaan Ekaristi yang
sesuai dengan iman Kristiani di Paroki Kristus Raja Cigugur.
121
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. (2000). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta. Dedy Pradipto, Yosef. (2008). Paroki Kristus Raja Cigugur: dalam Bingkai
Konteks. Bandung: Eidos. Dokpen KWI. (1993). Dokumen Konsili Vatikan II. (R. Hardawiryana,
penerjemah). Jakarta: Obor. ________. (2008). De Liturgia Romana et Inculturatione: Instruksi IV tentang
Pelaksanaan Konstitusi Liturgi Vatikan II No. 37-40 secara Benar. (Seri Dokumen Gerejawi No. 40). Jakarta.
Heryatno Wono Wulung, F.X. (1997). Shared Christian Praxis; Suatu Model Berkatekese. (Seri Puskat 356). Yogyakarta: Puskat.
________. (2000). Katekese sebagai Momen Penting Inkulturasi dalam Katekese pada Milenium III: Quo Vadis? (FX. Adisusanto, F.X. Heryatno Wono Wulung, F.X. Dapiyanta: Editor). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
________. (2009). PAK III. Diktat Mata Kuliah untuk mahasiswa semester VII, FKIP-IPPAK-USD. Yogyakarta.
Iman Sukmana, Cornelius. (2006). ”Menuju Gereja yang Semakin Pribumi: Analisa Konflik Internal dalam Gereja Eks-ADS”, Tesis S2 Program Magister Theologi, USD, Yogyakarta.
Komisi Liturgi MAWI. (1985). Bina Liturgia I: Inkulturasi. Jakarta: Obor. Komisi Liturgi KWI. (2002). Pedoman Umum Missale Romanum. Ende: nusa
Indah Martasudjita. E. (1998). Makna Liturgi Bagi Kehidupan Sehari-hari. Yogyakarta:
Kanisius ________. (1999). Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi liturgi.
Yogyakarta: Kanisius. ________. (2005). Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral.
Yogyakarta: Kanisius. Moleong, M.A. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: PT Remaja
Rosdakarya. Muda, Hubertus. (1992). Inkulturasi. Ende - Flores: Pustaka Misionalia
Candraditya. Nursananingrat, A.M. Basuki (1977). Umat Katolik Cigugur. Yogyakarta:
Kanisius. Prier, Karl-Edmund. (1999). Inkulturasi Musik Liturgi. Yogyakarta: Pusat Musik
Liturgi. Setyakarjana, J. (1976). Mencari Arah Katekese Gereja yang Berkembang di
Indonesia. Yogyakarta: Puskat. Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta. Sumarno Ds., M. (2009). PPL PAK Paroki. Diktat Mata Kuliah untuk mahasiswa
semester VI, FKIP-IPPAK-USD. Yogyakarta.
122
Telaumbanua, Marinus. (1997). Ilmu Kateketik, Identitas, Metode, dan Peserta Gerejawi. Pematangsiantar: Fakultas Filsafat UNIKA St. Thomas.
Wibowo Ardhi, F.X. (1993). Sakramen Ekaristi. Yogyakarta: Kanisius. Yohanes Paulus II. (1992). Catechesi Tradendae. (R. Hardawiryana, penerjemah).
Jakarta: Dokpen KWI. Yosef Lalu. (2005). Katekese Umat. Jakarta: Komisi Kateketik KWI.
LAMPIRAN
(1)
Lampiran 1:
Daftar Pertanyaan Panduan Wawancara 1. Bagaimana Pengalaman anda mengikuti PE di Cigugur selama ini?
2. Apa pentingnya mengikuti PE bagi anda?
3. Unsur-unsur budaya apa saja yang digunakan dalam PE, yang dapat
membantu anda memahami makna PE?
4. Usaha apa saja yang telah dilakukan oleh Gereja dan umat dalam
mengembangkan pemahaman umat akan makna PE?
5. Mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Apa yang anda pahami dari
inkulturtasi?
6. Apakah inkulturasi cukup membantu anda dalam memahami PE?
7. Apakah PE yang inkulturatif masih sesuai dengan zaman sekarang?
8. Apakah unsur-unsur budaya yang ada dalam Perayaan Ekaristi masih perlu
dipertahankan?
(2)
Lampiran 2:
DESKRIPSI HASIL WAWANCARA DENGAN UMAT DI PAROKI KRISTUS RAJA CIGUGUR
Wawancara dengan Pak Pardiman (Prodiakon) di rumahnya, Stasi Cisantana,
tgl 8 Juni 2009 9. Bagaimana Pengalaman anda mengikuti PE di Cigugur selama ini?
Menurut saya, Perayaan Ekaristi di Cigugur baik dan mudah dipahami karena menggunakan bahasa Sunda yang bisa dimengerti. Itu juga yang membuat Misa di Cigugur menjadi lebih menarik
10. Apa pentingnya mengikuti PE bagi anda? Perayaan Ekaristi buat saya adalah untuk memenuhi Kebutuhan rohani saya, yaitu untuk bersatu dengan Kristus.
11. Unsur-unsur budaya apa saja yang digunakan dalam PE, yang dapat membantu anda memahami makna PE? Bahasa dan kebiasaan setempat yang ada dalam Perayaan Ekaristi di Cigugur bisa membantu saya memahami makna Perayaan Ekaristi, misalnya dalam kolekte umat maju ke depan; berbakti dengan segala yang dimiliki, bukan hanya materi tetapi juga diri.
12. Usaha apa saja yang telah dilakukan oleh Gereja dan umat dalam mengembangkan pemahaman umat akan makna PE? Sejauh yang saya lihat, Gereja mengembangkan pemahaman umat baik itu tentang Perayaan Ekaristi maupun tentang iman Kristiani yaitu lewat wejangan yang diberikan kepada umat dalam Ekaristi.
13. Mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Apa yang anda pahami dari inkulturtasi? Kalau tidak salah, Inkulturasi itu menyangkut bahasa daerah dalam Perayaan Ekaristi. Seperti di Cigugur ini, dalam misa kan ada bahasa Sundanya.
14. Apakah inkulturasi cukup membantu anda dalam memahami PE? Ya, tentu saja. Kalo untuk orang tua seperti saya ini akan lebih terbantu memahami misa dengan budaya Sunda daripada tidak. Paling tidak saya bisa mengerti apa yang disampaikan Rama.
15. Apakah PE yang inkulturatif masih sesuai dengan zaman sekarang? Tentu saja. Perayaan Ekaristi dengan memasukan unsur kebudayaan Sunda akan selalu sesuai untuk orang Cigugur.
16. Apakah unsur-unsur budaya yang ada dalam Perayaan Ekaristi masih perlu dipertahankan? Menurut saya unsur budaya dalam Perayaan Ekaristi itu harus tetap dipertahankan karena menunjukan identitas kita sebagai umat katolik Cigugur.
(3)
Wawancara dengan Pak Wahid (Ketua Stasi Cisantana) di rumahnya, Tgl 08 Juni 2009
1. Bagaimana Pengalaman anda mengikuti PE di Cigugur selama ini? Tergantung dari situasi dan kondisi pribadi dan Gereja. Ada kalanya ketika pulang dari mengikuti Ekaristi tidak merasakan apa-apa (kosong), namun kadang juga sehabis mengikuti Ekaristi merasakan ada hal yang mengena dalam hati. Sejauh pengamatan dan pengalaman saya, beberapa umat mengikuti Ekaristi karena mengganggap sebagai suatu kewajiban. Dari khotbahnya imam, ada yang singkat, padat dan berisi tapi ada juga yang panjang tapi tidak berisi. Petugas Misa awalnya ditunjuk sendiri oleh Rama, tapi sekarang umat mulai aktif sendiri tanpa harus ditunjuk.
2. Apa pentingnya mengikuti PE bagi anda? Dengan mengikuti Perayaan Ekaristi maka saya ikut ambil bagian dalam menerima Tubuh dan Darah Kristus. Jadi Perayaan Ekaristi menjadi suatu kebutuhan rohani bagi saya.
3. Unsur-unsur budaya apa saja yang digunakan dalam PE, yang dapat membantu anda memahami makna PE? Saya lebih terbantu memahami Perayaan Ekaristi lewat bahasa Sunda dan kebiasaan masyarakat kita yang diangkat dalam Ekaristi, seperti menerima komuni dengan tangan sae dsb.
4. Usaha apa saja yang telah dilakukan oleh Gereja dan umat dalam mengembangkan pemahaman umat akan makna PE? Sejauh yang saya lihat, Gereja sudah memberikan penataan yang lebih baik dalam Ekaristi. Mulai dari mempersiapkan petugas misa dan koor.
5. Mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Apa yang anda pahami dari inkulturtasi? Inkulturasi kaitannya dengan bahasa, variasi dalam Perayaan Ekaristi, prosesi (dalam perayaan-perayaan besar), bentuk misa ala Sunda; misal dalam misa syukur 22 Rayagung
6. Apakah inkulturasi cukup membantu anda dalam memahami PE? Dengan adanya inkulturasi dalam Ekaristi tentu saja sangat membantu saya memahami makna Perayaan Ekaristi. Paling tidak mengerti doa-doa yang disampaikan, jadi bisa ikut terlibat juga.
7. Apakah PE yang inkulturatif masih sesuai dengan zaman sekarang? Perayaan Ekaristi inkulturatif tentu masih sesuai dengan zaman sekarang ini. Buktinya masih banyak orang hadir dalam misa Sunda.
8. Apakah unsur-unsur budaya yang ada dalam Perayaan Ekaristi masih perlu dipertahankan? Unsur-unsur budaya tradisonal yang ada dalam Ekaristi di Cigugur harus tetap dipelihara dan dipertahankan, sekaligus menjaga tradisi dan kebudayaan kita juga.
(4)
Wawancara dengan Pak Rukanda (Ketua lingkungan) di rumahnya, Stasi Cisantana
Pada tgl 09 Juni 2009 1. Bagaimana Pengalaman anda mengikuti PE di Cigugur selama ini?
Dalam Perayaan Ekaristi di Gereja Paroki Kristus Raja Cigugur banyak unsur budaya yang dapat dimasukan, sehingga tidak salah kalau kita disebut sebagai Paroki Sunda.
2. Apa pentingnya mengikuti PE bagi anda? Saya merasa membutuhkan Ekaristi, kalau tidak ikut merasakan sesuatu yang kurang
3. Unsur-unsur budaya apa saja yang digunakan dalam PE, yang dapat membantu anda memahami makna PE? Perayaan Ekaristi yang bisa saya pahami adalahPerayaan Ekaristi Sunda. Tanpa ada unsur budaya Sunda, Perayaan Ekaristi terasa hambar, ada yang kurang. Yang paling membantu sih bahasa, saya bisa mengerti apa yang disampaikan Rama.
4. Usaha apa saja yang telah dilakukan oleh Gereja dan umat dalam mengembangkan pemahaman umat akan makna PE? Usaha gereja yang saya lihat adalah dalam wejangan yang diberikan pada waktu Misa. Itu sangat membantu sekali soalnya.
5. Mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Apa yang anda pahami dari inkulturtasi? Inkulturasi sepertinya menyangkut tata cara dalam Perayaan Ekaristi. Tapi ga tahu juga sih.
6. Apakah inkulturasi cukup membantu anda dalam memahami PE? Iya tentu saja. Perayaan Ekaristi sungguh bisa dipahami jika menggunakan misa Sunda.
7. Apakah PE yang inkulturatif masih sesuai dengan zaman sekarang? Tentu saja masih sesuai. Kalau tidak sesuai mungkin tidak ada lagi misa Sunda di Cigugur.
8. Apakah unsur-unsur budaya yang ada dalam Perayaan Ekaristi masih perlu dipertahankan? Paroki Kristus Raja Cigugur yang merupakan identitas dari keuskupan Bandung tentu saja harus mempertahankan budaya Sunda dalam Perayaan Ekaristi, toh itu bisa membantu umat.
Wawancara dengan Pak Kurna (Prodiakon di Stasi Cisantana) di Gereja Stasi Cisantana, tgl 09 Juni 2009
1. Bagaimana Pengalaman anda mengikuti PE di Cigugur selama ini? Menurut Saya Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja Cigugur sungguh menarik karena diwarnai dengan budaya-budaya Sunda.
2. Apa pentingnya mengikuti PE bagi anda? Bagi saya pribadi, Ekaristi merupakan ungkapan syukur, memenuhi kebutuhan rohani saya dan bukan hanya sekedar rutinitas.
3. Unsur-unsur budaya apa saja yang digunakan dalam PE, yang dapat membantu anda memahami makna PE?
(5)
Kebiasaan umat dalam Perayaan Ekaristi yang disesuaikan dengan kondisi atau situasi umat juga. Unsur budaya yang dipahami antara lain; Kolekte – umat maju kedepan : sebagai bentuk totalitas / kesungguhan umat Komuni – menggunakan tangan kanan di atas : sebenarnya aturan dari yang di atas (Rama Paroki) tapi bagi orang Sunda, hal tersebut dapat diterima dan dipahami.
4. Usaha apa saja yang telah dilakukan oleh Gereja dan umat dalam mengembangkan pemahaman umat akan makna PE? Yang saya lihat dari Kaum Muda berusaha dengan jeli memandang Perayaan Ekaristi, apakah sebagai kebutuhan atau hanya sekedar kewajiban saja.
9. Mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Apa yang anda pahami dari inkulturtasi? Inkulturasi adalah penyesuaian dengan kebudayaan setempat Seperti halnya. Ekaristi bukan kebudayaan asli dari Indonesia, namun karena adanya kebutuhan umat akan Ekaristi maka diadakan penyesuaian.
5. Apakah inkulturasi cukup membantu anda dalam memahami PE? Inkulturasi sangat membantu karena sesuai dengan kondisi dan situasi umat di Cigugur.
6. Apakah PE yang inkulturatif masih sesuai dengan zaman sekarang? Inkulturasi tadi kan penyesuaian, jadi misa inkulturatif pasti akan selalu sesuai dengan kondisi dan situasi umat, khususnya di Cigugur ini.
7. Apakah unsur-unsur budaya yang ada dalam Perayaan Ekaristi masih perlu dipertahankan? Budaya Sunda tidak boleh dimusnahkan sampai kapanpun juga, sedikit banyak, kaum muda sekarang juga ada yang pro terhadap kebudayaan tradisional, jadi tetap harus dipelihara dan dipertahankan, apalagi dalam Perayaan Ekaristi.
Wawancara dengan Pak Kanja (Prodiakon di Stasi Cibunut) di rumahnya, tgl 15 Juni 2009
1. Bagaimana Pengalaman anda mengikuti PE di Cigugur selama ini? Bagi saya, Ekaristi sungguh sangat berarti karena Tuhan hadir di situ.
2. Apa pentingnya mengikuti PE bagi anda? Ekaristi sebagai kebutuhan dan kewajiban sebagai seorang Katolik. Selain itu, dengan mengikuti Ekaristi saya bisa menyambut Tubuh Kristus dalam hidup saya.
3. Unsur-unsur budaya apa saja yang digunakan dalam PE, yang dapat membantu anda memahami makna PE? Semua unsur budaya Sunda dalam PE masing-masing memiliki peranan yang penting dalam PE. Tetapi yang terutama adalah bahasa karena mengantar saya untuk mengerti apa yang diucapkan dalam doa-doa.
4. Usaha apa saja yang telah dilakukan oleh Gereja dan umat dalam mengembangkan pemahaman umat akan makna PE? Sejauh ini Gereja sudah mengajak umat terlibat secara penuh dalam Perayaan Ekaristi dan mempertahankan budaya sendiri. Tetapi semuanya kan tergantung dari orangnya juga, apakah mau menerima atau tidak.
(6)
5. Mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Apa yang anda pahami dari inkulturtasi? Inkulturasi lebih memantapkan umat dalam mengikuti Perayaan Ekaristi.
6. Apakah inkulturasi cukup membantu anda dalam memahami PE? Tentu saja sangat membantu. Ekaristi di Cigugur lebih terasa meresap karena di dalamnya dimasukan unsur budaya Sunda. Karena sudah senang dengan kebudayaan Sunda maka misa Sunda menjadi lebih menarik dan bisa dipahami.
7. Apakah PE yang inkulturatif masih sesuai dengan zaman sekarang? PE yang inkulturatif menurut saya masih sesuai dengfan zaman sekarang ini. Walaupun pada kenyataannya Kaum Muda sekarang agak jauh dengan kebudayaan tradisional tapi kalau diberi masukan tentang kebudayaan masih bisa mereka terima.
8. Apakah unsur-unsur budaya yang ada dalam Perayaan Ekaristi masih perlu dipertahankan? Unsur-unsur kebudayaan Sunda dalam Perayaan Ekaristi tentu saja tetap perlu digunakan bahkan dibiasakan, agar umat tidak merasa asing. Kalau begitu kan kaum muda juga tidak akan terlalu jauh dengan kebudayaannya. Yang penting dibiasakan saja.
Wawancara dengan Pak Bachrum (Prodiakon di wilayah Paroki Cigugur) di
rumahnya, tgl 18 Juni 2009 1. Bagaimana Pengalaman anda mengikuti PE di Cigugur selama ini?
Sejauh pengalaman saya, dalam PE di Paroki Cigugur ada suasana yang menciptakan pertumbuhan Iman umat, unsur-unsur budaya Sunda yang ada menghantar menuju pada penghayatan Ekaristi, paling tidak selama PE berlangsung.
2. Apa pentingnya mengikuti PE bagi anda? Mengikuti Perayaan Ekaristi bagi saya adalah untuk semakin menumbuhkan Iman Kristiani.
3. Unsur-unsur budaya apa saja yang digunakan dalam PE, yang dapat membantu anda memahami makna PE? Kalau buat saya melalui pemaknaan dari simbol-simbol umat setempat dalam misa di Cigugur.
4. Usaha apa saja yang telah dilakukan oleh Gereja dan umat dalam mengembangkan pemahaman umat akan makna PE? Usaha Gereja yang saya lihat adalah dengan mengakomodasi unsur-unsur budaya setempat dalam Perayaan Ekaristidi Cigugur sampai dengan saat ini.
5. Mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Apa yang anda pahami dari inkulturtasi? Inkulturtasi bukan hanya tempelan saja dalam Perayaan Ekaristi tapi lebih pada proses humanisasi (di Cigugur: menjadi orang Sunda). Inkulturasi juga merupakan partisipasi aktif dari umat sehingga Ekaristi menjadi semakin meriah.
6. Apakah inkulturasi cukup membantu anda dalam memahami PE?
(7)
Adanya inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi tentu saja membantu dan memudahkan saya memahami Perayaan Ekaristi di Cigugur, terlebih untuk pertumbuhan iman di Cigugur.
7. Apakah PE yang inkulturatif masih sesuai dengan zaman sekarang? Ya kalau melihat keadaan umat di Cigugur ini, saya rasa Perayaan Ekaristi semacam itu akan selalu sesuai.
8. Apakah unsur-unsur budaya yang ada dalam Perayaan Ekaristi masih perlu dipertahankan? Budaya merupakan sesuatu yang berkembang, tidak monoton. Budaya adalah pola pikir manusia tapi tetap disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan jaman. Jika Gereja bisa jeli melihat hal itu, maka Gereja tetap bisa melayani umatnya baik yang muda maupun yang sudah tua.
Wawancara dengan Pak Darta (Ketua Stasi Cibunut) di rumahnya, tgl 15 Juni 2009
1. Bagaimana Pengalaman anda mengikuti PE di Cigugur selama ini? Perayaan Ekaristi cukiup bisa diterima oleh umat di Cigugur karena mengangkat unsur budaya Sunda (bahasa, kesenian daerah,dll) yang mengantarkan kesakralan dalam Ekaristi.
2. Apa pentingnya mengikuti PE bagi anda? Bagi saya Ekaristi merupakan kebutuhan rohani. Jadi penting sekali bagi saya untuk hadir dalam perayaan Ekaristi.
3. Unsur-unsur budaya apa saja yang digunakan dalam PE, yang dapat membantu anda memahami makna PE? Bahasa dan tradisi setempat misalnya kolekte umat maju ke depan (persembahan diri dan keterlibatan aktif) dan komuni dengan tangan kanan di atas (penghormatan terhadap yang Mahakudus)
4. Usaha apa saja yang telah dilakukan oleh Gereja dan umat dalam mengembangkan pemahaman umat akan makna PE? Menurut saya, dengan mempertahankan seni budaya tradisional dalam Perayaan Ekaristi, merupakan usaha yang nyata dari Gereja dari dulu sampai sekarang.
5. Mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Apa yang anda pahami dari inkulturtasi? Sejauh yang saya pahami, Inkulturasi menyangkut bahasa, simbol dan kebiasaan umat setempat yang dimasukan dalam Perayaan Ekaristi
6. Apakah inkulturasi cukup membantu anda dalam memahami PE? Kalau untuk saya, awalnya kurang membantu tetapi lama-lama ketika saya sudah mulai memahami kebudayaan umat di sini, hal itu jadi ikut membantu saya memahami Perayaan Ekaristi.
7. Apakah PE yang inkulturatif masih sesuai dengan zaman sekarang? Untuk umat di Paroki Cigugur ini, saya rasa Ekaristi inkulturatif selalu sesuai karena sesuai juga dengan apa yang dijalani oleh umat disini.
8. Apakah unsur-unsur budaya yang ada dalam Perayaan Ekaristi (inkulturasi) masih perlu dipertahankan?
(8)
Inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi perlu dipertahankan, karena hal itu juga sekaligus memelihara kebudayaan tradisional.
Wawancara dengan Pak Usman (Ketua Lingkungan di Stasi Cibunut) di rumahnya, tgl 09 Juni 2009
1. Bagaimana Pengalaman anda mengikuti PE di Cigugur selama ini? Perayaan Ekaristi di Cigugur bisa diterima dengan baik, Cuma masalah waktu saja, di Gereja stasi Cibunut ini tidak sama dengan di Gereja lain.
2. Apa pentingnya mengikuti Perayaan Ekaristi bagi anda? Dengan mengikuti Perayaan Ekaristi, kebutuhan rohani saya terpenuhi, kesempatan untuk menyambut Tubuh Kristus.
3. Unsur-unsur budaya apa saja yang digunakan dalam Perayaan Ekaristi, yang dapat membantu anda memahami makna Perayaan Ekaristi? Unsur budaya yang paling utama yang sangat membantu saya adalah bahasa Sunda, saya lebih bisa memahami apa yang disampaikan dalam Ekaristi.
4. Usaha apa saja yang telah dilakukan oleh Gereja dan umat dalam mengembangkan pemahaman umat akan makna Perayaan Ekaristi? Gereja selalu menganjurkan umat untuk mengikuti doa lingkungan setiap minggunya, tapi tergantung umatnya juga sih.
5. Mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Apa yang anda pahami dari inkulturtasi? Inkulturasi membantu umat agar lebih memahami Perayaan Ekaristi
6. Apakah inkulturasi cukup membantu anda dalam memahami PE? Ia tentu saja. Secara, Jawa Barat sebagai wilayah Sunda, masyarakatnya juga hidup dalam tradisi dan kebudayaan Sunda, jadi Misa Sunda sungguh bisa diterima dan dipahami dengan baik, langkung anteb.
7. Apakah PE yang inkulturatif masih sesuai dengan zaman sekarang? Masih sesuai dong, soalnya kalau ada anak-anak saya datang dari luar kota pengennya tuh ikut misa Sunda saja.
8. Apakah unsur-unsur budaya yang ada dalam Perayaan Ekaristi masih perlu dipertahankan? Unsur-unsur budaya Sunda yang ada dalam Perayaan Ekaristi seharusnya tidak boleh dihilangkan, harus dibiasakan karena menjadi identitas juga bagi paroki kita.
Wawancara dengan Pak Endang Ss. (Umat di wilayah Paroki Cigugur) di rumahnya, tgl 19 Juni 2009
1. Bagaimana Pengalaman anda mengikuti PE di Cigugur selama ini? Ekaristi di Cigugur secara keseluruhan baik, namun semuanya tergantung pada masing-masing pribadi yang menerimanya, khotbah Rama memberikan jalan bagaimana menjadi Katolik yang baik.
2. Apa pentingnya mengikuti PE bagi anda? Ekaristi sebagai suatu kewajiban bagi umat Katolik karena Ekaristi juga mengingatkan umat agar tidak melenceng dari apa yang diyakini.
(9)
3. Unsur-unsur budaya apa saja yang digunakan dalam PE, yang dapat membantu anda memahami makna PE? Sebagai orang Sunda, bahasa menjadi sangat penting, begitu juga dalam Perayaan Ekaristi, bahasa maupun budaya Sunda dapat dijadikan jalan dalam memahami Ekaristi.
4. Usaha apa saja yang telah dilakukan oleh Gereja dan umat dalam mengembangkan pemahaman umat akan makna PE? Saya kurang tahu tetapi mungkin sebaiknya Gereja mengajak umat lebih aktif dalam Perayaan Ekaristi lewat Dewan Pengurus Paroki.
5. Mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Apa yang anda pahami dari inkulturtasi? Inkulturasi biasanya berkaitan erat dengan budaya dalam Perayaan Ekaristi.
6. Apakah inkulturasi cukup membantu anda dalam memahami PE? Ya, Misa dengan gaya Sunda bagi saya sangat membantu dan bisa dipahami.
7. Apakah PE yang inkulturatif masih sesuai dengan zaman sekarang? Perayaan Ekaristi yang inkulturatif masih cukup sesuai dengan zaman sekarang. Dan kalu bisa selalu disesuaikan dengan keadaan umat.
8. Apakah unsur-unsur budaya yang ada dalam Perayaan Ekaristi masih perlu dipertahankan? Harusnya tetap dipertahankan, namun karena berkembangnya jaman maka sedikit demi sedikit umat mulai renggang dengan kebudayaan tradisional, begitu juga dalam Perayaan Ekaristi, umat menjadi kurang paham jika dalam Perayaan Ekaristi dimasukan unsur-unsur budaya Sunda
Wawancara dengan Pak Aseli (Umat di wilayah Paroki Cigugur) di rumahnya, tgl 19 Juni 2009
1. Bagaimana Pengalaman anda mengikuti PE di Cigugur selama ini? Menurut saya Perayaan Ekaristi di Paroki Cigugur secara keseluruhan sudah baik, semuanya tergantung dari orang yang menerimanya, karena setiap orang pasti memiliki kepentingan masing-masing.
2. Apa pentingnya mengikuti PE bagi anda? Kalau saya ikut Ekaristi adalah untuk bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikan keselamatan, dengan menerima Tubuh Kristus maka bisa memberikan ketenangan dalam jiwa.
3. Unsur-unsur budaya apa saja yang digunakan dalam PE, yang dapat membantu anda memahami makna PE? Alunan musik Degung bagi saya mampu menciptakan suasana yang tenang dalam Perayaan Ekaristi.
4. Usaha apa saja yang telah dilakukan oleh Gereja dan umat dalam mengembangkan pemahaman umat akan makna PE? Sepertinya kurang ada bimbingan oleh Gereja agar umat lebih aktif dan lebih mampu menghayati Perayaan Ekaristi.
5. Mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Apa yang anda pahami dari inkulturtasi? Saya tidak tahu artinya apa.
6. Apakah inkulturasi cukup membantu anda dalam memahami PE?
(10)
Tentu saja membantu sekali. Misa Sunda terasa lebih mantap dan lebih meresap dalam hati karena ada unsur budaya Sundanya.
7. Apakah PE yang inkulturatif masih sesuai dengan zaman sekarang? Saya rasa masih sesuai, karena sejalan dengan apa yang diharapkan umat di sini.+
8. Apakah unsur-unsur budaya yang ada dalam Perayaan Ekaristi masih perlu dipertahankan? Perayaan Ekaristi Sunda tetap perlu dipertahankan, kaum muda juga masih bisa menerima budaya tradisional
Wawancara dengan Pak Muhar (Umat di Stasi Sukamulya) di rumahnya,
tgl 19 Juni 2009 1. Bagaimana Pengalaman anda mengikuti PE di Cigugur selama ini?
(Menceritakan pengalaman masa lalu) Pada intinya, Tuhan hadir di dalam Perayaan Ekaristi di Cigugur.
2. Apa pentingnya mengikuti PE bagi anda? Dengan mengikuti Perayaan Ekaristi, maka saya bisa menerima Tubuh Kristus sebagai kekuatan Iman Kristiani.
3. Unsur-unsur budaya apa saja yang digunakan dalam PE, yang dapat membantu anda memahami makna PE? Bahasa Sunda yang paling penting yang bisa membantu saya memahami Perayaan Ekaristi. Dengan bahasa doa-doa bisa dimengerti dengan baik.
4. Usaha apa saja yang telah dilakukan oleh Gereja dan umat dalam mengembangkan pemahaman umat akan makna PE? Usaha Gereja yang saya lihat masih berjalan sampai saat ini adalah dengan mengadakan doa-doa lingkungan setiap minggu, tujuannya untuk semakin mengasah iman umat dan penghayatannya akan makna Perayaan Ekaristi.
5. Mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Apa yang anda pahami dari inkulturtasi? Inkulturasi mungkin Misa dengan menggunakan bahasa Sunda
6. Apakah inkulturasi cukup membantu anda dalam memahami PE? PE terasa lebih mantap dan cukup membantu dalam memahami Perayaan Ekaristi, khususnya dalam wejangan-wejangan Rama untuk umat.
7. Apakah PE yang inkulturatif masih sesuai dengan zaman sekarang? Ya, masih sesuai. Di stasi Sukamulya sendiri, kaum muda cukup tertarik dengan kebudayaan tradisional, bahkan mereka bisa lebih kreatif.
8. Apakah unsur-unsur budaya yang ada dalam Perayaan Ekaristi masih perlu dipertahankan? Unsur budaya Sunda yang ada dalam Perayaan Ekaristi tetap harus dipertahankan dan dikembangkan karena sudah cukup membantu umat dalam memahami makna Perayaan Ekaristi.
(11)
Wawancara dengan Pak Akrim (Umat di wilayah Paroki Cigugur) di rumahnya, tgl 09 Juni 2009
1. Bagaimana Pengalaman anda mengikuti PE di Cigugur selama ini? Misa di Cigugur menarik sekali karena ada gamelan dan tembang-tembang Sunda.
2. Apa pentingnya mengikuti PE bagi anda? Dalam Misa, saya bisa benar-benar bersyukur atas hidup yang masih boleh saya peroleh sampai saat ini.
3. Unsur-unsur budaya apa saja yang digunakan dalam PE, yang dapat membantu anda memahami makna PE? Yang paling utama adalah bahasa Sunda. Melalui bahasa Sunda dalam Perayaan Ekaristi, saya bisa lebih memahami dan juga ikut terlibat.
4. Usaha apa saja yang telah dilakukan oleh Gereja dan umat dalam mengembangkan pemahaman umat akan makna PE? Sepertinya sekarang Gereja kurang menggiatkan umat untuk mengembangkan pemahaman akan Ekaristi, tidak seperti yang dulu-dulu. Kalau dulu, Pastor Paroki sering mengunjungi umatnya sehingga tahu apa yang dibutuhkan oleh umat sehingga umat selalu memiliki kerinduan untuk mengikuti Perayaan Ekaristi.
5. Mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Apa yang anda pahami dari inkulturtasi? Saya pernah mendengar istilah itu dari Rama dulu, tetapi tidak tahu maksudnya.
6. Apakah inkulturasi cukup membantu anda dalam memahami PE? Misa gaya Sunda sangat membantu sekali bagai saya dalam memahami Perayaan Ekaristi. Selain bisa ikut terlibat secara aktif, saya juga merasa bahwa Ekaristi lebih meresap dalam hati saya.
7. Apakah PE yang inkulturatif masih sesuai dengan zaman sekarang? Kalau melihat keadaan umat di Cigugur ini, menurut saya inkulturasi tetap sesuai. Umat di Cigugur masih cukup terbuka dengan kebudayaan Sunda.
8. Apakah unsur-unsur budaya yang ada dalam Perayaan Ekaristi masih perlu dipertahankan? Unsur-unsur budaya Sunda yang ada dalam Perayaan Ekaristi seharusnya tidak boleh dihilangkan, harus dibiasakan. Jadi, kalau ada misa-misa besar harusnya tetap digunakan misa Sunda. Wawancara dengan Pak Anton (Umat di Wilayah Paroki Cigugur) di
rumahnya, tgl 20 Juni 2009 1. Bagaimana Pengalaman anda mengikuti PE di Cigugur selama ini?
Misa di Cigugur berbeda dengan di tempat lain karena menggunakan misa gaya Sunda.
2. Apa pentingnya mengikuti Perayaan Ekaristi bagi anda? Bagi saya, Ekaristi menjadi sumber kekuatan iman yang memberikan semangat hidup. Jadi kalau saya tidak ikut Ekaristi pasti tidak memiliki kekuatan, seolah-olah ada yang hilang dari hidup saya.
3. Unsur-unsur budaya apa saja yang digunakan dalam PE, yang dapat membantu anda memahami makna PE?
(12)
Menurut saya bahasa menjadi unsur yang paling utama sebagai sarana berkomunikasi. Pada saat mengikuti Ekaristi, saya bisa mengerti apa yang diucapkan Rama.
4. Usaha apa saja yang telah dilakukan oleh Gereja dan umat dalam mengembangkan pemahaman umat akan makna PE? Saya tidak tahu kalau saat ini. Saya kira dengan Rama mengunjungi umat saja sudah cukup memberikan pengharapan bagi umat, seperti dulu.
5. Mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Apa yang anda pahami dari inkulturtasi? Menurut saya, inkulturasi merupakan suatu Perayaan Liturgi yang diwarnai dengan kebudayaan setempat agar lebih menyentuh umat.
6. Apakah inkulturasi cukup membantu anda dalam memahami PE? Membantu sekali; umat merasa lebih dekat dengan Ekaristi. Saya sendiri lebih bisa memahami makna Ekaristi dalam hidup saya sehari-hari.
7. Apakah PE yang inkulturatif masih sesuai dengan zaman sekarang? Perayaan Ekaristi inkulturatif tentu masih sesuai dengan zaman sekarang ini. Walaupun kebanyakan orang sekarang cenderung jauh dengan kebudayaan tradisional, tetapi masih ada juga orang yang tetap mempertahankannya, dan Gereja kita memberikan peluang untuk itu.
8. Apakah unsur-unsur budaya yang ada dalam Perayaan Ekaristi masih perlu dipertahankan? Tergantung yang mana yang lebih dipahami umat, karena tujuan utamanya adalah untuk membantu umat lebih memahami Perayaan Ekaristi.
Wawancara dengan Sdr. Tono (Mudika Stasi Cisantana) di Gereja Stasi Cisantana, tgl 09 Juni 2009
1. Bagaimana Pengalaman anda mengikuti PE di Cigugur selama ini? Dalam Ekaristi di Cigugur dapat menjalin & mempererat keakraban serta saling mengenal satu sama lain.
2. Apa pentingnya mengikuti PE bagi anda? Dengan mengikuti Perayaan Ekaristi saya lebih bisa menyadari kekurangan saya dan saya membutuhkan Tuhan dalam hidup saya.
3. Unsur-unsur budaya apa saja yang digunakan dalam PE, yang dapat membantu anda memahami makna PE? Bahasa Sunda lebih bisa membantu saya memahami Perayaan Ekaristi, namun kaum muda pada umumnya lebih senang misa dengan menggunakan bahasa Indonesia.
4. Usaha apa saja yang telah dilakukan oleh Gereja dan umat dalam mengembangkan pemahaman umat akan makna PE? Kalau yang terlihat jelas yaitu dengan diadakannya doa di lingkungan setiap minggu. Saya kira itu juga ikut mengembangkan umat agar lebih mampu memahami makna Perayaan Ekaristi.
5. Mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi, apa yang anda pahami dari inkulturtasi? Saya sebenarnya tidak tahu artinya apa. Tapi yang pasti tujuannya untuk membantu umat.
(13)
6. Apakah inkulturasi cukup membantu anda dalam memahami PE? Inkulturasi cukup membantu saya memahami Perayaan Ekaristi. Karena saya berasal dari orang Sunda maka saya juga lebih senang mengkuti misa Sunda.
7. Apakah PE yang inkulturatif masih sesuai dengan zaman sekarang? Perayaan Ekaristi yang inkulturatif masih cukup sesuai dengan zaman sekarang. Karena masih bisa menjawab kebutuhan umat saat ini.
8. Apakah unsur-unsur budaya yang ada dalam Perayaan Ekaristi masih perlu dipertahankan? Tentu saja harus dipertahankan. Selain sudah membantu umat, inkulturasi juga menjadi identitas bagi paroki kita.
Wawancara dengan Sdr. Budi (Mudika Paroki Cigugur) di Gedung Pertemuan Paroki Cigugur, tgl 21 Juni 2009
1. Bagaimana Pengalaman anda mengikuti PE di Cigugur selama ini? Sejauh yang saya alami, Ekaristi di Cigugur menarik dan bisa dipahami karena adanya faktor bahasa setempat
2. Apa pentingnya mengikuti PE bagi anda? Saya mengikuti Perayaan Ekaristi karena orang lain juga melakukan hal yang sama. Kalau saya tidak sama seperti orang lain maka saya akan menjadi bahan pembicaraan orang lain di sekitar saya.
3. Unsur-unsur budaya apa saja yang digunakan dalam PE, yang dapat membantu anda memahami makna PE? Sebagai orang Sunda, tentu sja saya dapat memahami Perayaan Ekaristi yang pertama kali adalah lewat bahasa dan kesenian Sunda.
4. Usaha apa saja yang telah dilakukan oleh Gereja dan umat dalam mengembangkan pemahaman umat akan makna PE? Sejauh pengamatan saya, Gereja telah mengajak kaum muda terlibat dalam kegiatan menggereja dan aktif di lingkungan.
5. Mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi, apa yang anda pahami dari inkulturtasi? Kalau tidak salah inkulturasi merupakan percampuran antara budaya asing dengan budaya lokal tanpa merubah bentuknya masing-masing. Cuma itu saja yang saya pahami.
6. Apakah inkulturasi cukup membantu anda dalam memahami PE? Menurut saya secara keseluruhan Perayaan Ekaristi dengan inkulturasi cukup membantu saya lebih memahami maknanya, namun ada juga beberapa kata dalam bahasa Sunda ada juga yang tidak bisa dipahami. Kalau dalam misa biasanya bahasanya terlalu halus.
7. Apakah PE yang inkulturatif masih sesuai dengan zaman sekarang? Menurut saya Perayaan Ekaristi inkulturatif masih sesuai sesuai aja dengan zaman sekarang. Buktinya, saya sebagai salah satu kaum muda Cigugur masih cukup tertarik.
8. Apakah unsur-unsur budaya yang ada dalam Perayaan Ekaristi masih perlu dipertahankan? Budaya Sunda yang sudah ada dalam Perayaan Ekaristi tidak bisa ditinggalkan seenaknya saja, karena kita lahir di lingkungan Sunda jadi tetap harus dipertahankan.
(14)
Wawancara dengan Sdr. Fransiskus (Mudika Paroki Cigugur) di rumahnya, tgl 21 Juni 2009
1. Bagaimana Pengalaman anda mengikuti PE di Cigugur selama ini? Misa di Cigugur menurut saya sama saja dengan misa di tempat lain, kecuali misa Sundanya, ada kesan lain yang muncul, suasananya lebih khusyuk.
2. Apa pentingnya mengikuti PE bagi anda? Saya mengikuti Ekaristi awalnya menjalankan perintah orangtua dan guru tapi lama kelamaan mulai merasakan bahwa Ekaristi ternyata mampu memenuhi kebutuhan rohani saya.
3. Unsur-unsur budaya apa saja yang digunakan dalam PE, yang dapat membantu anda memahami makna PE? Kalau untuk saya pemaknaan atas simbol-simbol yang digunakan dalam Perayaan Ekaristi sangat membantu saya memahami apa itu Ekaristi. Soalnya kalau simbol-simbol bagi orang Sunda memiliki makna yang lebih kuat. Seperti Payung Agung di sebelah tabernakel dimaknai sebagai Kristus Sang Pelindung yang Agung yang sedang bersemayam disitu.
4. Usaha apa saja yang telah dilakukan oleh Gereja dan umat dalam mengembangkan pemahaman umat akan makna PE? Menurut saya kurang ada usaha dari Gereja dalam rangka mengembangkan pemahaman umat akan makna Perayaan Ekaristi.
5. Mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Apa yang anda pahami dari inkulturtasi? Inkulturasi merupakan proses bercampurnya dua kebudayaan yang berbeda.
6. Apakah inkulturasi cukup membantu anda dalam memahami PE? Kadang-kadang inkulturasi tidak selalu membantu saya dalam memahami Ekaristi. Misalnya saja, penggunaan bahasa Sunda yang halus sulit untuk dipahami dan justru sedikit mengaburkan pemahaman saya akan keseluruhan PE.
7. Apakah PE yang inkulturatif masih sesuai dengan zaman sekarang? Misa inkulturatif masih tetap sesuai dengan zaman sekarang. Soalnya tidak ada misa di gereja lain yang sama seperti misa di Cigugur.
8. Apakah unsur-unsur budaya yang ada dalam Perayaan Ekaristi masih perlu dipertahankan? Kalau untuk di Cigugur saya kira inkulturasi masih bisa dipertahankan, bahkan lebih dikembangkan lagi. Wawancara dengan Sdr. Karl (Mudika Stasi Cisantana) di Goa Maria
Cisantana, tgl 22 Juni 2009 1. Bagaimana Pengalaman anda mengikuti PE di Cigugur selama ini?
Sejauh pengalaman saya, Perayaan Ekaristi di Cigugur memiliki kekhasan yang tidak ada di gereja lain, yaitu dengan adanya unsur-unsur budaya Sunda di dalamnya.
2. Apa pentingnya mengikuti PE bagi anda? Kalau saya mengikuti Ekaristi karena kesadaran saya sendiri untuk perkembangan diri sendiri. Saya merasa bahwa di dalam Perayaan Ekaristi ada kekuatan yang menyemangati saya.
(15)
3. Unsur-unsur budaya apa saja yang digunakan dalam PE, yang dapat membantu anda memahami makna PE? Sebagai Orang Sunda tentu saja pemahaman diperoleh terutama adalah lewat bahasa Sunda. Kalau sudah mengerti apa yang disampaikan dalam Ekaristi maka bisa diolah sendiri untuk menemukan maknanya.
4. Usaha apa saja yang telah dilakukan oleh Gereja dan umat dalam mengembangkan pemahaman umat akan makna PE? Usaha Gereja yang saya lihat adalah dalam Misa, Rama biasanya memberikan nasehat dan ajaran agar umat semakin memahami Perayaan Ekaristi.
5. Mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi, apa yang anda pahami dari inkulturtasi? Inkulturasi menurut saya selalu mengandaikan ada budaya lain yang masuk ke dalam kebudayaan kita.
6. Apakah inkulturasi cukup membantu anda dalam memahami PE? Orang Sunda tentu saja lebih bisa memahami PE lewat kebudayaan mereka. Tapi kadang-kadang tidak bisa memahami bahasa yang terlalu halus tingkatannya
7. Apakah PE yang inkulturatif masih sesuai dengan zaman sekarang? Menurut saya sich Perayaan Ekaristi yang inkulturatif sesuai-sesuai aja dengan situasi zaman sekarang, apalagi di Cigugur ini, yang masih memegang teguh warisan budaya tradisional.
8. Apakah unsur-unsur budaya yang ada dalam Perayaan Ekaristi masih perlu dipertahankan? Kebudayaan tradisional tetap harus dipertahankan karena menjadi identitas bagi umat lokal.
Wawancara dengan Sdr. Nurjamin (Mudika Stasi Sukamulya) di rumahnya, tgl 21 Juni 2009
1. Bagaimana Pengalaman anda mengikuti PE di Cigugur selama ini? Misa di Cigugur terasa beda jika dibandingkan dengan di tempat lain, merasa seperti sedang berada di rumah sendiri.
2. Apa pentingnya mengikuti PE bagi anda? Bagi saya, dengan mengikuti Perayaan Ekaristi berarti saya bertemu dengan Tuhan.
3. Unsur-unsur budaya apa saja yang digunakan dalam PE, yang dapat membantu anda memahami makna PE? Kalau untuk saya unsur budaya Sunda yang paling bisa membantu saya memahami Ekaristi adalah bahasa Sunda, karena setiap harinya kita berbicara dengan bahasa Sunda, jadi tidak asing lagi.
4. Usaha apa saja yang telah dilakukan oleh Gereja dan umat dalam mengembangkan pemahaman umat akan makna PE? Baik Gereja maupun umat sepertinya kurang berupaya untuk mengembangkan pemahaman akan Ekaristi.
(16)
5. Mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi, apa yang anda pahami dari inkulturtasi? Dalam inkulturasi selalu ada unsur budaya lain yang masuk ke dalam suatu budaya tertentu.
6. Apakah inkulturasi cukup membantu anda dalam memahami PE? Dengan adanya unsur budaya Sunda dalam Perayaan Ekaristi, saya rasa saya cukup bisa memahami makna Perayaan Ekaristi.
7. Apakah PE yang inkulturatif masih sesuai dengan zaman sekarang? Perayaan Ekaristi yang inkulturatif di Cigugur saya kira masih sangat sesuai, karena sesuai juga dengan kehidupan umat di sini.
8. Apakah unsur-unsur budaya yang ada dalam Perayaan Ekaristi masih perlu dipertahankan? Inkulturasi tetap perlu dipertahankan meskipun dengan keadaan manusia seperti pada jaman sekarang ini. Jangan sampai kita menjadi umat yang tidak memiliki identitas jika unsur-unsur budaya Sunda yang ada dalam Ekaristi kita dihilangkan.
Wawancara dengan Sdr. Ria (Mudika Stasi Cibunut) di Gereja Stasi Cibunut, tgl 15 Juni 2009
1. Bagaimana Pengalaman anda mengikuti PE di Cigugur selama ini? Misa di Cigugur biasanya diwarnai dengan keramaian anak-anak maupun umat yang ngobrol, kurang khusyuk.
2. Apa pentingnya mengikuti PE bagi anda? Saya merasa bahwa mengikuti Perayaan Ekaristi sudah menjadi kewajiban saya sebagai seorang Kristiani.
3. Unsur-unsur budaya apa saja yang digunakan dalam PE, yang dapat membantu anda memahami makna PE? Unsur-unsur budaya yang dapat membantu saya memahami makna PE yang paling utama adalah lewat Bahasa Sunda.
4. Usaha apa saja yang telah dilakukan oleh Gereja dan umat dalam mengembangkan pemahaman umat akan makna PE? Menurut saya, sekarang ini tidak nampak ada usaha dari Gereja untuk mengembangkan pemahaman umat akan makna PE
5. Mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi, apa yang anda pahami dari inkulturtasi? Inkulturasi biasanya terkait dengan kebudayaan umat setempat dalam Perayaan Ekaristi. Jadi kebiasaan umat setempat dimasukkan ke dalam keseluruhan Perayaan Ekaristi tanpa mengubah bentuk dari keduanya.
6. Apakah inkulturasi cukup membantu anda dalam memahami PE? Inkulturasi cukup membantu dan membuat saya lebih bisa memahami Ekaristi karena disesuaikan dengan kultur umat di sini.
7. Apakah PE yang inkulturatif masih sesuai dengan zaman sekarang? Misa inkulturatif sesuai aja dengan zaman sekarang, apalagi untuk umat di Cigugur.
(17)
8. Apakah unsur-unsur budaya yang ada dalam Perayaan Ekaristi masih perlu dipertahankan? Saya kira tetap perlu dipertahankan untuk menjaga pemahaman umat uang sudah terbangun lewat unsur-unsur budaya tersebut sekaligus melestarikan budaya agar tidak hilang begitu saja.
Wawancara dengan Sdr. Mardian (Mudika Stasi Cibunut) di Gereja Stasi Cibunut, tgl 15 Juni 2009
1. Bagaimana Pengalaman anda mengikuti PE di Cigugur selama ini? Misa di Cigugur berbeda, lebih berkesan dan lebih meresap kedalam hati karena di dalamnya dimasukan unsur-unsur budaya Sunda.
2. Apa pentingnya mengikuti PE bagi anda? Saya mengikuti Ekaristi karena merasa memiliki kerinduan untuk menyapa Allah dan menyambut Tubuh Kristus.
3. Unsur-unsur budaya apa saja yang digunakan dalam PE, yang dapat membantu anda memahami makna PE? Kalau bagi saya kebiasaan umat setempat dan pemaknaan atas simbol-simbol dalam Ekaristi membantu saya untuk lebih memahami makna Perayaan Ekaristi dan menciptakan suasana yang khusyuk.
4. Usaha apa saja yang telah dilakukan oleh Gereja dan umat dalam mengembangkan pemahaman umat akan makna PE? Menurut saya, saya belum melihat usaha dari Gereja untuk mengembangkan pemahaman umat akan makna Perayaan Ekaristi. Kalau umat sih biasanya menurut saja apa yang dikehendaki Rama.
5. Mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi, apa yang anda pahami dari inkulturtasi? Inkulturasi kaitannya dengan kebudayaan setempat dimasukkan dalam Perayaan Ekaristi.
6. Apakah inkulturasi cukup membantu anda dalam memahami PE? Ya tentu saja. Selain merasa lebih terbantu, saya rasa Perayaan Ekaristi juga menjadi lebih menarik, punya kesan dan kekhasan tersendiri.
7. Apakah PE yang inkulturatif masih sesuai dengan zaman sekarang? Perayaan Ekaristi yang inkulturatif masih cukup sesuai dengan zaman sekarang.
8. Apakah unsur-unsur budaya yang ada dalam Perayaan Ekaristi masih perlu dipertahankan? Unsur-unsur budaya Sunda yang sudah ada dalam Perayaan Ekaristi sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari umat Cigugur. Jadi biar bagaimana pun tetap perlu dipertahankan.
(18)
Lampiran 3: Peta Keuskupan Bandung
(19)
Lampiran 4: Peta Paroki Kristus Raja Cigugur