Imunopatogenesis Fix Drug Eruption
-
Upload
rifqy-wahyu-mochamad-ihsan -
Category
Documents
-
view
21 -
download
5
description
Transcript of Imunopatogenesis Fix Drug Eruption
Imunopatogenesis
Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme non-
imunologik dan imunologik. Erupsi obat alergik adalah erupsi obat dengan
mekanisme imunologik.
Erupsi obat alergik terjadi pada pemberian obat kepada penderita yang
sudah mempunyai hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Biasanya obat pada
awalnya berfungsi sebagai hapten yang menginduksi antibodi humoral karena
berat molekulnya rendah, sedangkan terjadinya reaksi hipersensitivitas karena
obat harus dimetabolisme terlebih dahulu menjadi produk yang secara kimiawi
bersifat reaktif. Umumnya metabolisme obat dianggap sebagai proses
detoksifikasi, obat yang sebelumnya nonpolar dan larut lemak menjadi lebih polar
dan hidrofilik sehingga mudah diekskresi.
Metabolisme obat dibagi menjadi 2 langkah, yaitu :
1. Reaksi fase 1 adalah oksidasi-reduksi atau reaksi hidrolisis, dan
2. Reaksi fase 2 adalah reaksi konjugasi.
Reaksi tipe 1 membutuhkan enzim sitokin P250, prostaglandin sintetase,
dan bermacam-macam peroksidase jaringan. Reaksi tipe 2 diperantarai oleh
berbagai enzin antara lain glutation S-transferance (GST), hidrolase, dan N-asetyl
transferase (NAT). Untuk dapat menimbulkan reaksi imunologik hapten harus
bergabung dengan protein pembawa yang ada dalam sirkulasi. Protein pembawa
diperlukan oleh obat atau metabolitnya untuk merangsang sel limfosit T agar
merangsang sel limfosut B membentuk antibodi terhadap obat atau metabolitnya.
Klasifikasi Reaksi Alergi Obat
Reaksi obat alergik dibagi menjadi 4 tipe reaksi hipersensitivitas oleh
Coombs dan Gell.
1. Tipe I (Reaksi Anafilaktik)
Pajanan pertama terhadap obat tidak akan menimbulkan reaksi yang
merugikan, tetapi pajanan selanjutnya dapat menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi
jika obat atau atau metabolitnya mengikat sekurang-kurangnya 2 molekul IgE
yang terikat pada permukaan sel mast dan basofil serta pelepasan histamin dan
berbagai mediator lain seperti serotonin, bradikinin, heparin, SRSA leukotrien dan
prostaglandin) dari sel. Gambaran klinis khas tipe I adalah urtikaria dengan atau
tanpa angioderma.
2. Tipe II (Reaksi Sitotoksik)
Pada tipe ini terjadi ikatan antara antigen (obat) dengan antibodi IgG dan
IgM di permukaan sel. Hal ini menyebabkan efek sitotoksik atau sitolitik oleh
efektor yang diperantarai komplemen. Gabungan obat dan antibodi komplemen
terfiksasi pada sel sasaran. Sel sasaran ialah eritrosit, leukosit, trombosit yag
mengakibatkan lisis sel. Gambaran klinis khas tipe II adalah purpura.
3. Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Tipe III ditandai dengan pembentukan komplek antigen-antibodi dalam
sirkulasi darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Komplemen yang
teraktivasi kemudian melepaskan mediator diantanya enzim-enzim yang dapat
merusak jaringan. Komplemen juga membentuk C3a dan C5a yang merangsang
sel mast dan basofil melepas granul.
4. Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit, APC, dan sel Langerhans yang
mempresentasikan antigen kepada limfosit T. Limfosit T yang sudah tersensitisasi
mengenali antigen dan 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen menyebabkan
pembebasan serangkaian limfokin, antara lain, macrophage inhibition factor dan
macrophage activation factor. Makrofag yang diaktifkan dapat menimbulkan
kerusakan jaringan. Erupsi eksematosa, eritroderma, dan fotoalergik merupakan
reaksi tipe IV.