Implikasi Pemberlakuan Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Secara Sosial - Hadza Min...
Click here to load reader
-
Upload
hadza-min-fadhli-r -
Category
Documents
-
view
990 -
download
0
Transcript of Implikasi Pemberlakuan Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Secara Sosial - Hadza Min...
MAKALAH
IMPLIKASI PEMBERLAKUAN SYARIAT ISLAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH
DARUSSALAM SECARA SOSIAL
Disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester
Disusun oleh
HADZA MIN FADHLI ROBBY
10/298963/SP/24025
JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nanggroe Aceh Darussalam dikenal sebagai sebuah provinsi yang memiliki status
istimewa dalam rangkaian provinsi yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Status istimewa tersebut diraih karena beberapa hal, yakni: kondisi sosial budaya
masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam yang khas, potensi kekayaan alam di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, serta kiprah masyarakat Aceh yang besar serta berharga dalam
sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pemberian status istimewa kepada Aceh diatur
dalam UUD 1945, lalu diperkuat dengan adanya Lembaran Negara RI 172/1999 dan UU No
11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Dengan tersematnya status istimewa tersebut, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
tentunya memiliki sebuah perbedaan dalam mekanisme pemerintahan serta peraturan
daerahnya. Sebagai sebuah provinsi yang terdiri dari mayoritas penduduk beragama Islam
dan didukung pula oleh adat istiadat masyarakat Aceh yang memegang teguh prinsip Islam
secara mengakar dalam kehidupan bermasyarakatnya, maka syariat Islam menjadi sebuah
pertimbangan utama dalam perumusan peraturan daerah di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Namun, pemberlakuan syariat Islam di Aceh menimbulkan kontroversi di kalangan
masyarakat. Dari mata para penentang pemberlakuan syariat Islam, penyelenggaraan
peraturan qanun dianggap sebagai sebuah langkah yang gegabah. Peraturan-peraturan dalam
qanun jinayat seperti hukuman rajam dan cambuk dianggap melanggar hak asasi manusia.
Padahal sejatinya, didalam Memorandum of Understanding yang ditandangani oleh GAM-RI
di Helsinki, dituliskan bahwa peraturan-peraturan dalam qanun seharusnya selaras dengan
konvensi-konvensi HAM yang telah diakui dan diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.
Dengan segala kontroversi yang muncul, pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam
tetap menjalankan peraturan qanun tersebut sesuai dengan poin 116 dalam Memorandum of
Understanding Helsinki, yakni qanun dijalankan dalam kerangka pemerintahan Aceh untuk
menghormati serta melestarikan budaya Aceh. Jalannya peraturan qanun juga disertai dengan
3
adanya pengawasan dari pemerintah pusat supaya tidak menyalahi perundang-undangan
nasional yang telah berlaku.
B. Landasan Konseptual
Berpedoman pada teori sistem politik yang dikemukakan oleh David Easton untuk
menganalisa korelasi antara masyarakat dan pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan
publik, dalam kasus ini penulis mencoba untuk menelaah lebih lanjut bagaimana proses
perumusan syariat Islam menjadi kebijakan publik di provinsi Nanggore Aceh Darussalam .
Penulis juga hendak membahas bagaimana syariat Islam berdampak dalam kehidupan
masyarakat Aceh secara sosial. Selain itu, penulis juga menggunakan konsep-konsep seputar
hukum Islam serta hukum nasional dalam menelaah lebih lanjut seputar kasus ini.
C. Rumusan Masalah
Bagaimana dampak sosial dari pemberlakuan peraturan syariat Islam di Nanggroe
Aceh Darussalam?
D. Hipotesis
Pemberlakuan syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah membawa
dampak sosial yang signifikan dalam masyarakat Aceh
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses Perumusan Kebijakan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam
Perumusan kebijakan syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam dimulai pada
sejak berdirinya Negara Islam Indonesia di Aceh yang dipimpin oleh Tengku Daud
Beureueh pada tahun 1953. Berdirinya Negara Islam Indonesia ini disebabkan oleh
kekecewaan yang dirasakan oleh pemimpin, pemuka agama, serta masyarakat Aceh
pada umumnya terhadap sikap pemerintah pusat Indonesia yang membubarkan
keberadaan provinsi Aceh sehingga diganti menjadi provinsi Sumatera Timur.
Menanggapi kekecewaan ini, pemerintah kemudian melakukan berbagai upaya
untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat Aceh serta menjaga supaya Aceh
tetap menjadi wilayah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui serangkaian
pertemuan serta negosiasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pihak NII yang
dipimpin oleh Tgk. Daud Beureueh, akhirnya pada bulan April 1957,
ditandatanganilah sebuah piagam yang dinamakan sebagai Ikrar Lam Teh. Ikrar Lam
Teh berisi bahwa pemerintah Republik Indonesia akan menghormati serta menjunjung
tinggi kehormatan rakyat dan budaya Aceh serta agama Islam di Aceh.1
Pada Mei 1959, Pemerintah RI mengeluarkan sebuah surat keputusan bernomor
SK No. 1/Missi/1959 yang berisi tentang perintah pendirian provinsi berstatus
istimewa yakni Daerah Istimewa Aceh. 2 Status istimewa untuk provinsi Daerah
Istimewa Aceh ini diberikan dalam hal otonomi atas bidang pendidikan, budaya, adat-
istiadat, serta peraturan masyarakat. Dengan lahirnya keputusan ini, maka Aceh telah
mendapatkan sebuah hak khusus untuk menjalankan peraturan syariat Islam di
wilayahnya secara penuh dengan pengawasan pemerintah pusat.
Namun, peraturan syariat Islam pada masa itu belum berlaku secara formal dan
masih cenderung dijalankan secara informal, sesuai dengan norma kebiasaan serta
adat-istiadat masyarakat sehari-hari. Belum ada peraturan qanun yang diresmikan
1 Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan
Informasi Aceh, 1999, hal. 244 2 Ibid
5
secara langsung oleh pemerintah provinsi Daerah Istimewa Aceh. Kondisi politik
domestik pada saat itu, yakni adanya Nasakom pada masa Demokrasi Terpimpin oleh
Soekarno serta kuatnya dominansi ideologi Pancasila pada masa Orde Baru zaman
Soeharto menghambat formalisasi qanun syariat Islam di provinsi Daerah Istimewa
Aceh.
Pada zaman reformasi, aspirasi masyarakat Aceh untuk mengimplementasikan
syariat Islam secara menyeluruh mulai menggema kembali. Masyarakat Aceh yang
semasa Orde Baru menghadapi marjinalisasi serta ketidakadilan mulai
memperjuangkan hak-hak mereka atas keistimewaan dan kekayaan yang seharusnya
mereka miliki. Melalui sebuah forum yang dinamakan SIRA (Sentra Informasi
Referendum Aceh), masyarakat Aceh mencoba untuk memperjuangkan Aceh sebagai
sebuah bagian yang terpisah dari Indonesia. Selain SIRA, kekecewaan masyarakat
Aceh melahirkan pula Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai organisasi induk
perlawanan terhadap Indonesia yang sudah muncul sejak 1980-an.
Referendum Aceh bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat
Aceh untuk mengaspirasikan suaranya dalam memperjuangkan Aceh yang berdaulat
dengan segala keistimewaannya. Perjuangan untuk referendum Aceh dimulai saat
SIRA melakukan SU MPR (Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum) pada
tanggal 8 November 1999.3 Namun, perjuangan SIRA ditanggapi secara represif oleh
pihak pemerintahan pusat dengan menahan dan menculik pegiat organisasi tersebut.
Selain melalui SIRA, masyarakat Aceh juga melakukan advokasi melalui DPRD
Aceh supaya keistimewaan Aceh benar-benar diupayakan secara maksimal oleh
Pemda Aceh. Perjuangan-perjuangan ini pada akhirnya menemukan sebuah titik balik
setelah Aceh mengalami peristiwa tsunami pada 26 Desember 2004. Penderitaan
masyarakat Aceh yang mencapai klimaksnya saat peristiwa tsunami pada tahun 2004
mengundang simpati dari beragam kalangan baik dari domestik maupun internaisonal.
Upaya untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat Aceh kemudian berlanjut
dengan cukup lancar setelah terjadinya kejadian Tsunami. Dengan bantuan pihak
penengah yakni Marti Ahtisaari dari Finlandia, akhirnya pihak pemerintahan
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berhasil mencapai sebuah kata sepakat
3 David Brown, Why Independence? The Instrumental and Ideological Dimensions of Acehnese
Nationalism – Working Paper No. 105, Perth: Murdoch University, 2004, hal. 16
6
dalam MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005. MoU Helsinki
merupakan sebuah perangkat hukum yang memberikan jalan mulus bagi Aceh untuk
melaksanakan keistimewaannya secara bebas. MoU Helsinki kemudian disusun
menjadi sebuah produk legal di Indonesia dengan disahkannya UU Pemerintah Aceh
pada tahun 2006.4
B. Pemberlakuan Kebijakan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam
Dengan disahkannya UU Pemerintah Aceh pada tahun 2006, maka secara legal-
formal pemberlakuan syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat
dikatakan sah. Dalam pelaksanaannya, Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam memiliki beberapa instrumen untuk mengkodifikasi peraturan syariat
Islam secara formal. Instrumen hukum tersebut terdiri dari qanun yang membahas
masalah-masalah spesifik semacam qanun seputar masalah penegakan syari’at
(syar’iyah) atau qanun seputar masalah perkebunan.
Dalam proses pembuatan qanun, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)
memiliki peran besar sebagai lembaga legislatif. Sebuah qanun berperan selayaknya
sebuah perda, hanya saja dalam proses pembuatannya, sebuah lembaga yakni Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) yang terdiri dari ulama-ulama dari seluruh provinsi
berperan sebagai mitra bagi DPRA dan penimbang kebijakan supaya qanun yang
dirumuskan tetap sesuai dengan nilai-nilai syariat Islam yang berlaku di Nanggroe
Aceh Darussalam.5 Qanun yang dibuat harus tetap sesuai dengan hukum yang berlaku
di Indonesia, jika tidak maka dapat di uji materilkan di Mahkamah Agung.6
Untuk menjalankan qanun-qanun tersebut, Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam membuat beberapa institusi untuk dapat mengoptimalkan pemberlakuan
syariat Islam. Menurut UU Pemerintah Aceh tahun 2006, law enforcement terhadap
qanun dilaksanakan oleh Polisi Wilayatul Hisbah. Polisi Wilayatul Hisbah merupakan
penegak serta pengawas pelaksanaan syariat Islam dan menjadi bagian inte gral dari
Polisi Pamong Praja. Dalam melaksanakan tugasnya, Polisi Wilayatul Hisbah dapat
4 http://www.aceh-mm.org/download/english/Helsinki%20MoU.pdf <MoU Helsinki – Aceh
Monitoring Mission>, diakses pada tanggal 15-06-2011, pukul 22:37 5 UU No. 11/2006, Bab XIX (Majelis Permusyawaratan Ulama)
6 UU No. 11/2006, Bab XXXV (Qanun, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota), Pasal 235,
Ayat 3
7
menangkap serta memberlakukan sanksi ketika menemukan pelanggaran qanun yang
dilakukan oleh masyarakat.7
Dalam melaksanakan tugasnya, Polisi Wilayatul Hisbah didukung oleh institusi
peradilan yakni Mahkamah Syar’iyah. Mahkamah Syar’iyah berposisi untuk
mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara berupa kasus jinayah (pidana), ahwal
asy-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata) yang didasarkan oleh
syariat Islam. Mahkamah Syar’iyah hanya berhak mengadili masyarakat Aceh yang
beragama Islam, sedang bila masyarakat Aceh yang non-Islam tersangkut masalah
hukum, maka akan dikenakan sanksi sesuai KUHP dan tidak mengikut qanun.
C. Implikasi Sosial Pemberlakuan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam
Pemberlakuan syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam membawa
dampak sosial yang cukup besar di antara masyarakat Aceh. Memang, secara kultur,
nilai serta budaya Islam memang sangat melekat di masyarakat Aceh sebagai hasil
perkembangan sejarah di masa lampau, dimana Aceh pernah berjaya pada masa
Kesultanan Aceh yang memberlakukan syari’at Islam di penjuru wilayahnya. Namun,
syari’at Islam tersebut perlahan-lahan pudar karena tergantikan oleh hukum kolonial
Belanda dan kemudian berlanjut dengan pemberlakuan KUHP oleh pemerinta h
Indonesia, sehingga kekuatan dari syari’at Islam tersebut memudar.
Selama masa pra-pemberlakuan syari’at Islam, masyarakat Aceh menjalankan
peraturan KUHP yang bersifat sekuler tanpa ada sangkut-pautnya dengan peraturan
keagamaan yakni qanun. Karena telah terbiasa dengan peraturan-peraturan sekuler
tersebut, maka saat pemerintah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memberlakukan
peraturan syari’at, banyak masyarakat yang masih belum bisa beradaptasi dengan
peraturan-peraturan tersebut. Beberapa qanun yang dibuat oleh DPRA dan seringkali
digunakan oleh Mahkamah Syar’iyah adalah qanun yang lebih mengatur persoalan
hukum jinayat (pidana) yang bersifat hal-hal individu, semisal qanun soal khalwat
(perbuatan mesum) dan maisir (judi).
7 UU No. 11/2006, Bab XXXV (Qanun, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota), Pasal 244,
Ayat 2
8
Dalam menanggapi pemberlakuan syari’at Islam, masyarakat Aceh terbagi
menjadi dua bagian yakni pihak pro dan pihak kontra. Pihak pro merupakan pihak
mayoritas yang berasal dari kalangan masyarakat awam dan didukung oleh lembaga-
lembaga keagamaan semisal Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) dan Majelis
Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) serta kalangan akademisi yang berasal dari Institut
Agama Islam Negeri Nuruddin Ar-Raniri, semisal Muslim Ibrahim dan Rusydi Ali
yang banyak berkiprah dalam proses pembuatan qanun di provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.8
Pihak yang kontra terhadap pemberlakuan syariat Islam secara formal di provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam terdiri dari lembaga swadaya masyarakat serta para
pemikir Islam progresif dan liberal. LSM-LSM ini menilai bahwa qanun serta hudud
(konsekuensi) semacam hukuman rajam dan cambuk yang dilaksanakan di Nanggroe
Aceh Darussalam telah menyalahi prinsip hak asasi manusia secara universal. Bahkan,
pidana rajam dan cambuk yang dilakukan di Aceh telah dilaporkan oleh LSM-LSM
tersebut ke pihak Amnesty International yang kemudian menilai bahwa pemberlakuan
hukum rajam serta cambuk melanggar Konvensi PBB Melawan Penyiksaan (UN
Convention Against Torture).9
Sebuah LSM yang berbasis di Lhokseumawe yakni Yayasan Keumala melakukan
survei terkait pemberlakuan syari’at Islam di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Survei tersebut yang dilakukan di tiga kota yang telah mengimplementasikan
kebijakan syari’at Islam dan pernah memberlakukan hudud (hukuman pidana) yakni
Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Bireun, dan Kotamadya Lhokseumawe. Hasil
survei menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Aceh mendukung diberlakukannya
syari’at Islam di Aceh, hanya saja dengan syarat bahwa pemberlakuan tersebut tidak
diskriminatif dan juga harus menyentuh kalangan elit. Selain itu, masyarakat juga
meminta supaya sosialisasi syari’at dilakukan secara profesional dan persuasif,
dengan tidak menggunakan cara pemaksaan.10
8 Arskal Salim, Challenging the Secular State: The Islamizations of Law in Modern Indonesia ,
Honolulu: University of Hawai’i Press, 2008, hal. 143 9 http://www.hidayatullah.com/read/17334/02/06/2011/syariat-islam-di-aceh-dan-kredibilitas-
amnesty-.html <Syariat Islam di Aceh dan Kredibilitas Amnesty – Majalah Hidayatullah Online>, diakses pada 15-06-2011, pukul 23:29 10
http://keumala.org/index.php?option=com_content&task=view&id=34&Itemid=40 <Hasil Polling Syari’at Islam di Aceh – Yayasan Keumala Lhokseumawe>, diakses pada 15-06-2011, 23:43
9
Meskipun pemberlakuan syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam berjalan
cukup ketat, namun kaum non-muslim yang tinggal dan menetap di Aceh tidak
mendapatkan pemberlakuan yang diskriminatif serta tidak dikenakan sanksi sesuai
qanun. Masyarakat non-muslim mendapatkan pemberlakuan yang istimewa dari
pemerintah provinsi sehingga dapat melaksanakan kegiatan ibadahnya secara bebas
dengan menghormati nilai-nilai syari’at Islam yang berlaku di Aceh. Secara prinsip,
menurut Ketua Majelis Permusyawaratan Gereja Aceh, Pdt. Sandino, S.Th.,
kehidupan antarberagama di Nanggroe Aceh Darussalam berlangsung dengan baik
dan damai di bawah syari’at Islam.11
Umumnya, masyarakat Aceh menerima serta tidak terlalu kaget ketika syari’at
Islam di provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam. Tapi, suatu hal yakni pemberlakuan
hudud berupa rajam dan qanun serta adanya patroli syari’at oleh Polisi Wilayatul
Hisbah telah membawa dampak sosial yang cukup signifikan di Aceh. Dampak sosial
tersebut terlihat dari mengurangnya tingkat kejahatan asusila di Aceh 12 serta
banyaknya masyarakat Aceh yang mulai meminati serta antusias dengan kajian-kajian
keislaman di masjid-masjid seiring dengan pemberlakuan syari’at Islam, setelah
sebelumnya belum terdapat pemberlakuan yang formal di provinsi yang dijuluki
sebagai Serambi Mekkah ini.
D. Analisa Pemberlakuan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam
1. Teori David Easton
11
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/11/06/14/lms15o-tokoh-kristen-aceh-pemberlakuan-syariat-islam-tak-ganggu-nonmuslim <Tokoh Kristen Aceh: Pemberlakuan Syariat Islam Tak Ganggu Nonmuslim – Republika Online>, diakses pada tanggal 15-06-2011, pukul 23:54 12
http://www.hidayatullah.com/read/17217/26/05/2011/ketika-syariat-islam-di-aceh-mulai-digugat!.html <Ketika Syari’at Islam di Aceh Mulai Digugat – Majalah Hidayatullah Online>, diakses pada 16-06-2011, 24:42
DEMANDS
SUPPORTS
POLITICAL
SYSTEMS DECISIONS
OU
TP
UT
INP
UT
FEEDBACK
10
Bagan 1.1 – Model Sistem Politik menurut David Easton
David Easton, seorang pakar politik asal Kanada dalam bukunya yang
berjudul “A System Analysis of Political Life” memberikan teori seputar bagaimana
sebuah kebijakan publik dapat terbentuk dalam suatu sistem politik. 13 Teori ini
biasanya digunakan untuk menganalisa serta membedah kebijakan publik di suatu
negara atau daerah. Jika dikaitkan dengan proses perumusan serta pemberlakuan
kebijakan syari’at Islam di Aceh, maka proses yang terjadi dimulai dari adanya input
yakni keinginan dari masyarakat Aceh serta dukungan dari pemerintah pusat untuk
mengimplementasikan syari’at Islam sehingga kemudian sistem politik baik di
Indonesia maupun di pemerintah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kemudian
merumuskan kebijakan tersebut.
Setelah perumusan yang didasari oleh banyak sekali pertimbangan, kemudian
terciptalah kebijakan syari’at Islam yang kemudian dibakukan secara legal- formal
dalam UU Pemerintahan Aceh No. 11/2006. Pemberlakuan syari’at Islam ini
kemudian ditanggapi oleh masyarakat Aceh dalam terbentuknya faksi- faksi yang
mendukung serta faksi yang menolak pemberlakuan syari’at Islam tersebut. Faksi-
faksi inilah yang kemudian akan memberikan feedback berupa evaluasi, kritik dan
saran kepada pemerintah apakah kebijakan syari’at Islam di provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam patut terus dilaksanakan atau ditinjau kembali untuk dihentikan.
2. Teori Hukum Syari’at Islam dan Pandangan Ulama
Pemberlakuan syari’at Islam di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga
dapat dianalisa dengan perspektif agama dan pandangan kalangan ulama. Dalam
perspektif agama Islam, dikatakan bahwa pemberlakuan syari’at Islam merupakan hal
yang harus dilaksanakan dalam wilayah dengan penduduk mayoritas beragama
Islam.14 Namun, jika dihubungkan dalam konteks kekinian, beberapa pemuka agama
Islam memiliki pendapat yang lain.
Menurut Ketua MUI, KH. Amidhan, pemberlakuan hudud (hukuman pidana)
berupa rajam dan cambuk hendaknya dipertimbangkan karena hukuman tersebut
13
David Easton, A System Analysis of Political Life, New York: Wiley, 1965. 14
Imam Abu Zahrah, Ushul Fiqih, hal. 320
11
cenderung kejam dan membawa mudharat (efek yang lebih buruk) bagi masyarakat.
KH. Amidhan berpendapat bahwa pembinaan oleh pemuka agama kepada para
pelanggar qanun jinayah lebih baik dilaksanakan karena membawa manfaat yang
lebih banyak.15
15
http://www.detiknews.com/read/2009/09/17/185149/1206090/159/zaman-nabi-saja-susah-dilaksanakan-apalagi-sekarang <Zaman Nabi Saja Susah Dilaksanakan Apalagi Sekarang – Detikcom>, diakses pada 16-06-2011, pukul 24:48
12
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah penulis sampaikan dalam makalah ini, maka dapat
disimpulkan beberapa hal penting, yakni:
1. Pemberlakuan syari’at Islam di Aceh merupakan kesepakatan dari MoU Helsinki
dan didasari oleh aspirasi masyarakat Aceh yang menginginkan berlakunya
peraturan istimewa di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, didasari oleh latar
belakang masyarakat Aceh yang memegang teguh prinsip serta tradisi Islam yang
kuat
2. Dampak sosial yang ditimbulkan oleh pemberlakuan syari’at Islam memberikan
dampak yang cukup signifikan dalam masyarakat Aceh, dibuktikan dengan
turunnya tingkat kriminalitas asusila
3. Terjadi dinamika dalam masyarakat Aceh berupa munculnya faksi yang menerima
serta faksi yang menolak formalisasi kebijakan syari’at Islam.
13
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Banda Aceh: Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999
David Brown, Why Independence? The Instrumental and Ideological Dimensions of
Acehnese Nationalism – Working Paper No. 105, Perth: Murdoch University, 2004
Arskal Salim, Challenging the Secular State: The Islamizations of Law in Modern Indonesia,
Honolulu: University of Hawai’i Press, 2008
David Easton, A System Analysis of Political Life, New York: Wiley, 1965
Imam Abu Zahrah, Ushul Fiqih
Sumber Online
http://www.aceh-mm.org/download/english/Helsinki%20MoU.pdf
http://www.detiknews.com/read/2009/09/17/185149/1206090/159/zaman-nabi-saja-susah-
dilaksanakan-apalagi-sekarang
http://www.hidayatullah.com/read/17217/26/05/2011/ketika-syariat- islam-di-aceh-mulai-
digugat!.html
http://www.republika.co.id/berita/dunia- islam/islam-nusantara/11/06/14/lms15o-tokoh-
kristen-aceh-pemberlakuan-syariat- islam-tak-ganggu-nonmuslim
http://keumala.org/index.php?option=com_content&task=view&id=34&Itemid=40
http://www.hidayatullah.com/read/17334/02/06/2011/syariat-islam-di-aceh-dan-kredibilitas-
amnesty-.html
14