Implikasi Pemberlakuan Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Secara Sosial - Hadza Min...

14

Click here to load reader

Transcript of Implikasi Pemberlakuan Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Secara Sosial - Hadza Min...

Page 1: Implikasi Pemberlakuan Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Secara Sosial - Hadza Min Fadhli Robby

MAKALAH

IMPLIKASI PEMBERLAKUAN SYARIAT ISLAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH

DARUSSALAM SECARA SOSIAL

Disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester

Disusun oleh

HADZA MIN FADHLI ROBBY

10/298963/SP/24025

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2011

Page 2: Implikasi Pemberlakuan Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Secara Sosial - Hadza Min Fadhli Robby

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nanggroe Aceh Darussalam dikenal sebagai sebuah provinsi yang memiliki status

istimewa dalam rangkaian provinsi yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Status istimewa tersebut diraih karena beberapa hal, yakni: kondisi sosial budaya

masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam yang khas, potensi kekayaan alam di Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam, serta kiprah masyarakat Aceh yang besar serta berharga dalam

sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pemberian status istimewa kepada Aceh diatur

dalam UUD 1945, lalu diperkuat dengan adanya Lembaran Negara RI 172/1999 dan UU No

11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Dengan tersematnya status istimewa tersebut, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

tentunya memiliki sebuah perbedaan dalam mekanisme pemerintahan serta peraturan

daerahnya. Sebagai sebuah provinsi yang terdiri dari mayoritas penduduk beragama Islam

dan didukung pula oleh adat istiadat masyarakat Aceh yang memegang teguh prinsip Islam

secara mengakar dalam kehidupan bermasyarakatnya, maka syariat Islam menjadi sebuah

pertimbangan utama dalam perumusan peraturan daerah di Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam.

Namun, pemberlakuan syariat Islam di Aceh menimbulkan kontroversi di kalangan

masyarakat. Dari mata para penentang pemberlakuan syariat Islam, penyelenggaraan

peraturan qanun dianggap sebagai sebuah langkah yang gegabah. Peraturan-peraturan dalam

qanun jinayat seperti hukuman rajam dan cambuk dianggap melanggar hak asasi manusia.

Padahal sejatinya, didalam Memorandum of Understanding yang ditandangani oleh GAM-RI

di Helsinki, dituliskan bahwa peraturan-peraturan dalam qanun seharusnya selaras dengan

konvensi-konvensi HAM yang telah diakui dan diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.

Dengan segala kontroversi yang muncul, pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam

tetap menjalankan peraturan qanun tersebut sesuai dengan poin 116 dalam Memorandum of

Understanding Helsinki, yakni qanun dijalankan dalam kerangka pemerintahan Aceh untuk

menghormati serta melestarikan budaya Aceh. Jalannya peraturan qanun juga disertai dengan

Page 3: Implikasi Pemberlakuan Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Secara Sosial - Hadza Min Fadhli Robby

3

adanya pengawasan dari pemerintah pusat supaya tidak menyalahi perundang-undangan

nasional yang telah berlaku.

B. Landasan Konseptual

Berpedoman pada teori sistem politik yang dikemukakan oleh David Easton untuk

menganalisa korelasi antara masyarakat dan pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan

publik, dalam kasus ini penulis mencoba untuk menelaah lebih lanjut bagaimana proses

perumusan syariat Islam menjadi kebijakan publik di provinsi Nanggore Aceh Darussalam .

Penulis juga hendak membahas bagaimana syariat Islam berdampak dalam kehidupan

masyarakat Aceh secara sosial. Selain itu, penulis juga menggunakan konsep-konsep seputar

hukum Islam serta hukum nasional dalam menelaah lebih lanjut seputar kasus ini.

C. Rumusan Masalah

Bagaimana dampak sosial dari pemberlakuan peraturan syariat Islam di Nanggroe

Aceh Darussalam?

D. Hipotesis

Pemberlakuan syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah membawa

dampak sosial yang signifikan dalam masyarakat Aceh

Page 4: Implikasi Pemberlakuan Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Secara Sosial - Hadza Min Fadhli Robby

4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Proses Perumusan Kebijakan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam

Perumusan kebijakan syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam dimulai pada

sejak berdirinya Negara Islam Indonesia di Aceh yang dipimpin oleh Tengku Daud

Beureueh pada tahun 1953. Berdirinya Negara Islam Indonesia ini disebabkan oleh

kekecewaan yang dirasakan oleh pemimpin, pemuka agama, serta masyarakat Aceh

pada umumnya terhadap sikap pemerintah pusat Indonesia yang membubarkan

keberadaan provinsi Aceh sehingga diganti menjadi provinsi Sumatera Timur.

Menanggapi kekecewaan ini, pemerintah kemudian melakukan berbagai upaya

untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat Aceh serta menjaga supaya Aceh

tetap menjadi wilayah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui serangkaian

pertemuan serta negosiasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pihak NII yang

dipimpin oleh Tgk. Daud Beureueh, akhirnya pada bulan April 1957,

ditandatanganilah sebuah piagam yang dinamakan sebagai Ikrar Lam Teh. Ikrar Lam

Teh berisi bahwa pemerintah Republik Indonesia akan menghormati serta menjunjung

tinggi kehormatan rakyat dan budaya Aceh serta agama Islam di Aceh.1

Pada Mei 1959, Pemerintah RI mengeluarkan sebuah surat keputusan bernomor

SK No. 1/Missi/1959 yang berisi tentang perintah pendirian provinsi berstatus

istimewa yakni Daerah Istimewa Aceh. 2 Status istimewa untuk provinsi Daerah

Istimewa Aceh ini diberikan dalam hal otonomi atas bidang pendidikan, budaya, adat-

istiadat, serta peraturan masyarakat. Dengan lahirnya keputusan ini, maka Aceh telah

mendapatkan sebuah hak khusus untuk menjalankan peraturan syariat Islam di

wilayahnya secara penuh dengan pengawasan pemerintah pusat.

Namun, peraturan syariat Islam pada masa itu belum berlaku secara formal dan

masih cenderung dijalankan secara informal, sesuai dengan norma kebiasaan serta

adat-istiadat masyarakat sehari-hari. Belum ada peraturan qanun yang diresmikan

1 Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan

Informasi Aceh, 1999, hal. 244 2 Ibid

Page 5: Implikasi Pemberlakuan Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Secara Sosial - Hadza Min Fadhli Robby

5

secara langsung oleh pemerintah provinsi Daerah Istimewa Aceh. Kondisi politik

domestik pada saat itu, yakni adanya Nasakom pada masa Demokrasi Terpimpin oleh

Soekarno serta kuatnya dominansi ideologi Pancasila pada masa Orde Baru zaman

Soeharto menghambat formalisasi qanun syariat Islam di provinsi Daerah Istimewa

Aceh.

Pada zaman reformasi, aspirasi masyarakat Aceh untuk mengimplementasikan

syariat Islam secara menyeluruh mulai menggema kembali. Masyarakat Aceh yang

semasa Orde Baru menghadapi marjinalisasi serta ketidakadilan mulai

memperjuangkan hak-hak mereka atas keistimewaan dan kekayaan yang seharusnya

mereka miliki. Melalui sebuah forum yang dinamakan SIRA (Sentra Informasi

Referendum Aceh), masyarakat Aceh mencoba untuk memperjuangkan Aceh sebagai

sebuah bagian yang terpisah dari Indonesia. Selain SIRA, kekecewaan masyarakat

Aceh melahirkan pula Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai organisasi induk

perlawanan terhadap Indonesia yang sudah muncul sejak 1980-an.

Referendum Aceh bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat

Aceh untuk mengaspirasikan suaranya dalam memperjuangkan Aceh yang berdaulat

dengan segala keistimewaannya. Perjuangan untuk referendum Aceh dimulai saat

SIRA melakukan SU MPR (Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum) pada

tanggal 8 November 1999.3 Namun, perjuangan SIRA ditanggapi secara represif oleh

pihak pemerintahan pusat dengan menahan dan menculik pegiat organisasi tersebut.

Selain melalui SIRA, masyarakat Aceh juga melakukan advokasi melalui DPRD

Aceh supaya keistimewaan Aceh benar-benar diupayakan secara maksimal oleh

Pemda Aceh. Perjuangan-perjuangan ini pada akhirnya menemukan sebuah titik balik

setelah Aceh mengalami peristiwa tsunami pada 26 Desember 2004. Penderitaan

masyarakat Aceh yang mencapai klimaksnya saat peristiwa tsunami pada tahun 2004

mengundang simpati dari beragam kalangan baik dari domestik maupun internaisonal.

Upaya untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat Aceh kemudian berlanjut

dengan cukup lancar setelah terjadinya kejadian Tsunami. Dengan bantuan pihak

penengah yakni Marti Ahtisaari dari Finlandia, akhirnya pihak pemerintahan

Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berhasil mencapai sebuah kata sepakat

3 David Brown, Why Independence? The Instrumental and Ideological Dimensions of Acehnese

Nationalism – Working Paper No. 105, Perth: Murdoch University, 2004, hal. 16

Page 6: Implikasi Pemberlakuan Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Secara Sosial - Hadza Min Fadhli Robby

6

dalam MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005. MoU Helsinki

merupakan sebuah perangkat hukum yang memberikan jalan mulus bagi Aceh untuk

melaksanakan keistimewaannya secara bebas. MoU Helsinki kemudian disusun

menjadi sebuah produk legal di Indonesia dengan disahkannya UU Pemerintah Aceh

pada tahun 2006.4

B. Pemberlakuan Kebijakan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam

Dengan disahkannya UU Pemerintah Aceh pada tahun 2006, maka secara legal-

formal pemberlakuan syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat

dikatakan sah. Dalam pelaksanaannya, Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam memiliki beberapa instrumen untuk mengkodifikasi peraturan syariat

Islam secara formal. Instrumen hukum tersebut terdiri dari qanun yang membahas

masalah-masalah spesifik semacam qanun seputar masalah penegakan syari’at

(syar’iyah) atau qanun seputar masalah perkebunan.

Dalam proses pembuatan qanun, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)

memiliki peran besar sebagai lembaga legislatif. Sebuah qanun berperan selayaknya

sebuah perda, hanya saja dalam proses pembuatannya, sebuah lembaga yakni Majelis

Permusyawaratan Ulama (MPU) yang terdiri dari ulama-ulama dari seluruh provinsi

berperan sebagai mitra bagi DPRA dan penimbang kebijakan supaya qanun yang

dirumuskan tetap sesuai dengan nilai-nilai syariat Islam yang berlaku di Nanggroe

Aceh Darussalam.5 Qanun yang dibuat harus tetap sesuai dengan hukum yang berlaku

di Indonesia, jika tidak maka dapat di uji materilkan di Mahkamah Agung.6

Untuk menjalankan qanun-qanun tersebut, Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam membuat beberapa institusi untuk dapat mengoptimalkan pemberlakuan

syariat Islam. Menurut UU Pemerintah Aceh tahun 2006, law enforcement terhadap

qanun dilaksanakan oleh Polisi Wilayatul Hisbah. Polisi Wilayatul Hisbah merupakan

penegak serta pengawas pelaksanaan syariat Islam dan menjadi bagian inte gral dari

Polisi Pamong Praja. Dalam melaksanakan tugasnya, Polisi Wilayatul Hisbah dapat

4 http://www.aceh-mm.org/download/english/Helsinki%20MoU.pdf <MoU Helsinki – Aceh

Monitoring Mission>, diakses pada tanggal 15-06-2011, pukul 22:37 5 UU No. 11/2006, Bab XIX (Majelis Permusyawaratan Ulama)

6 UU No. 11/2006, Bab XXXV (Qanun, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota), Pasal 235,

Ayat 3

Page 7: Implikasi Pemberlakuan Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Secara Sosial - Hadza Min Fadhli Robby

7

menangkap serta memberlakukan sanksi ketika menemukan pelanggaran qanun yang

dilakukan oleh masyarakat.7

Dalam melaksanakan tugasnya, Polisi Wilayatul Hisbah didukung oleh institusi

peradilan yakni Mahkamah Syar’iyah. Mahkamah Syar’iyah berposisi untuk

mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara berupa kasus jinayah (pidana), ahwal

asy-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata) yang didasarkan oleh

syariat Islam. Mahkamah Syar’iyah hanya berhak mengadili masyarakat Aceh yang

beragama Islam, sedang bila masyarakat Aceh yang non-Islam tersangkut masalah

hukum, maka akan dikenakan sanksi sesuai KUHP dan tidak mengikut qanun.

C. Implikasi Sosial Pemberlakuan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam

Pemberlakuan syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam membawa

dampak sosial yang cukup besar di antara masyarakat Aceh. Memang, secara kultur,

nilai serta budaya Islam memang sangat melekat di masyarakat Aceh sebagai hasil

perkembangan sejarah di masa lampau, dimana Aceh pernah berjaya pada masa

Kesultanan Aceh yang memberlakukan syari’at Islam di penjuru wilayahnya. Namun,

syari’at Islam tersebut perlahan-lahan pudar karena tergantikan oleh hukum kolonial

Belanda dan kemudian berlanjut dengan pemberlakuan KUHP oleh pemerinta h

Indonesia, sehingga kekuatan dari syari’at Islam tersebut memudar.

Selama masa pra-pemberlakuan syari’at Islam, masyarakat Aceh menjalankan

peraturan KUHP yang bersifat sekuler tanpa ada sangkut-pautnya dengan peraturan

keagamaan yakni qanun. Karena telah terbiasa dengan peraturan-peraturan sekuler

tersebut, maka saat pemerintah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memberlakukan

peraturan syari’at, banyak masyarakat yang masih belum bisa beradaptasi dengan

peraturan-peraturan tersebut. Beberapa qanun yang dibuat oleh DPRA dan seringkali

digunakan oleh Mahkamah Syar’iyah adalah qanun yang lebih mengatur persoalan

hukum jinayat (pidana) yang bersifat hal-hal individu, semisal qanun soal khalwat

(perbuatan mesum) dan maisir (judi).

7 UU No. 11/2006, Bab XXXV (Qanun, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota), Pasal 244,

Ayat 2

Page 8: Implikasi Pemberlakuan Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Secara Sosial - Hadza Min Fadhli Robby

8

Dalam menanggapi pemberlakuan syari’at Islam, masyarakat Aceh terbagi

menjadi dua bagian yakni pihak pro dan pihak kontra. Pihak pro merupakan pihak

mayoritas yang berasal dari kalangan masyarakat awam dan didukung oleh lembaga-

lembaga keagamaan semisal Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) dan Majelis

Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) serta kalangan akademisi yang berasal dari Institut

Agama Islam Negeri Nuruddin Ar-Raniri, semisal Muslim Ibrahim dan Rusydi Ali

yang banyak berkiprah dalam proses pembuatan qanun di provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam.8

Pihak yang kontra terhadap pemberlakuan syariat Islam secara formal di provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam terdiri dari lembaga swadaya masyarakat serta para

pemikir Islam progresif dan liberal. LSM-LSM ini menilai bahwa qanun serta hudud

(konsekuensi) semacam hukuman rajam dan cambuk yang dilaksanakan di Nanggroe

Aceh Darussalam telah menyalahi prinsip hak asasi manusia secara universal. Bahkan,

pidana rajam dan cambuk yang dilakukan di Aceh telah dilaporkan oleh LSM-LSM

tersebut ke pihak Amnesty International yang kemudian menilai bahwa pemberlakuan

hukum rajam serta cambuk melanggar Konvensi PBB Melawan Penyiksaan (UN

Convention Against Torture).9

Sebuah LSM yang berbasis di Lhokseumawe yakni Yayasan Keumala melakukan

survei terkait pemberlakuan syari’at Islam di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Survei tersebut yang dilakukan di tiga kota yang telah mengimplementasikan

kebijakan syari’at Islam dan pernah memberlakukan hudud (hukuman pidana) yakni

Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Bireun, dan Kotamadya Lhokseumawe. Hasil

survei menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Aceh mendukung diberlakukannya

syari’at Islam di Aceh, hanya saja dengan syarat bahwa pemberlakuan tersebut tidak

diskriminatif dan juga harus menyentuh kalangan elit. Selain itu, masyarakat juga

meminta supaya sosialisasi syari’at dilakukan secara profesional dan persuasif,

dengan tidak menggunakan cara pemaksaan.10

8 Arskal Salim, Challenging the Secular State: The Islamizations of Law in Modern Indonesia ,

Honolulu: University of Hawai’i Press, 2008, hal. 143 9 http://www.hidayatullah.com/read/17334/02/06/2011/syariat-islam-di-aceh-dan-kredibilitas-

amnesty-.html <Syariat Islam di Aceh dan Kredibilitas Amnesty – Majalah Hidayatullah Online>, diakses pada 15-06-2011, pukul 23:29 10

http://keumala.org/index.php?option=com_content&task=view&id=34&Itemid=40 <Hasil Polling Syari’at Islam di Aceh – Yayasan Keumala Lhokseumawe>, diakses pada 15-06-2011, 23:43

Page 9: Implikasi Pemberlakuan Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Secara Sosial - Hadza Min Fadhli Robby

9

Meskipun pemberlakuan syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam berjalan

cukup ketat, namun kaum non-muslim yang tinggal dan menetap di Aceh tidak

mendapatkan pemberlakuan yang diskriminatif serta tidak dikenakan sanksi sesuai

qanun. Masyarakat non-muslim mendapatkan pemberlakuan yang istimewa dari

pemerintah provinsi sehingga dapat melaksanakan kegiatan ibadahnya secara bebas

dengan menghormati nilai-nilai syari’at Islam yang berlaku di Aceh. Secara prinsip,

menurut Ketua Majelis Permusyawaratan Gereja Aceh, Pdt. Sandino, S.Th.,

kehidupan antarberagama di Nanggroe Aceh Darussalam berlangsung dengan baik

dan damai di bawah syari’at Islam.11

Umumnya, masyarakat Aceh menerima serta tidak terlalu kaget ketika syari’at

Islam di provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam. Tapi, suatu hal yakni pemberlakuan

hudud berupa rajam dan qanun serta adanya patroli syari’at oleh Polisi Wilayatul

Hisbah telah membawa dampak sosial yang cukup signifikan di Aceh. Dampak sosial

tersebut terlihat dari mengurangnya tingkat kejahatan asusila di Aceh 12 serta

banyaknya masyarakat Aceh yang mulai meminati serta antusias dengan kajian-kajian

keislaman di masjid-masjid seiring dengan pemberlakuan syari’at Islam, setelah

sebelumnya belum terdapat pemberlakuan yang formal di provinsi yang dijuluki

sebagai Serambi Mekkah ini.

D. Analisa Pemberlakuan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam

1. Teori David Easton

11

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/11/06/14/lms15o-tokoh-kristen-aceh-pemberlakuan-syariat-islam-tak-ganggu-nonmuslim <Tokoh Kristen Aceh: Pemberlakuan Syariat Islam Tak Ganggu Nonmuslim – Republika Online>, diakses pada tanggal 15-06-2011, pukul 23:54 12

http://www.hidayatullah.com/read/17217/26/05/2011/ketika-syariat-islam-di-aceh-mulai-digugat!.html <Ketika Syari’at Islam di Aceh Mulai Digugat – Majalah Hidayatullah Online>, diakses pada 16-06-2011, 24:42

DEMANDS

SUPPORTS

POLITICAL

SYSTEMS DECISIONS

OU

TP

UT

INP

UT

FEEDBACK

Page 10: Implikasi Pemberlakuan Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Secara Sosial - Hadza Min Fadhli Robby

10

Bagan 1.1 – Model Sistem Politik menurut David Easton

David Easton, seorang pakar politik asal Kanada dalam bukunya yang

berjudul “A System Analysis of Political Life” memberikan teori seputar bagaimana

sebuah kebijakan publik dapat terbentuk dalam suatu sistem politik. 13 Teori ini

biasanya digunakan untuk menganalisa serta membedah kebijakan publik di suatu

negara atau daerah. Jika dikaitkan dengan proses perumusan serta pemberlakuan

kebijakan syari’at Islam di Aceh, maka proses yang terjadi dimulai dari adanya input

yakni keinginan dari masyarakat Aceh serta dukungan dari pemerintah pusat untuk

mengimplementasikan syari’at Islam sehingga kemudian sistem politik baik di

Indonesia maupun di pemerintah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kemudian

merumuskan kebijakan tersebut.

Setelah perumusan yang didasari oleh banyak sekali pertimbangan, kemudian

terciptalah kebijakan syari’at Islam yang kemudian dibakukan secara legal- formal

dalam UU Pemerintahan Aceh No. 11/2006. Pemberlakuan syari’at Islam ini

kemudian ditanggapi oleh masyarakat Aceh dalam terbentuknya faksi- faksi yang

mendukung serta faksi yang menolak pemberlakuan syari’at Islam tersebut. Faksi-

faksi inilah yang kemudian akan memberikan feedback berupa evaluasi, kritik dan

saran kepada pemerintah apakah kebijakan syari’at Islam di provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam patut terus dilaksanakan atau ditinjau kembali untuk dihentikan.

2. Teori Hukum Syari’at Islam dan Pandangan Ulama

Pemberlakuan syari’at Islam di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga

dapat dianalisa dengan perspektif agama dan pandangan kalangan ulama. Dalam

perspektif agama Islam, dikatakan bahwa pemberlakuan syari’at Islam merupakan hal

yang harus dilaksanakan dalam wilayah dengan penduduk mayoritas beragama

Islam.14 Namun, jika dihubungkan dalam konteks kekinian, beberapa pemuka agama

Islam memiliki pendapat yang lain.

Menurut Ketua MUI, KH. Amidhan, pemberlakuan hudud (hukuman pidana)

berupa rajam dan cambuk hendaknya dipertimbangkan karena hukuman tersebut

13

David Easton, A System Analysis of Political Life, New York: Wiley, 1965. 14

Imam Abu Zahrah, Ushul Fiqih, hal. 320

Page 11: Implikasi Pemberlakuan Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Secara Sosial - Hadza Min Fadhli Robby

11

cenderung kejam dan membawa mudharat (efek yang lebih buruk) bagi masyarakat.

KH. Amidhan berpendapat bahwa pembinaan oleh pemuka agama kepada para

pelanggar qanun jinayah lebih baik dilaksanakan karena membawa manfaat yang

lebih banyak.15

15

http://www.detiknews.com/read/2009/09/17/185149/1206090/159/zaman-nabi-saja-susah-dilaksanakan-apalagi-sekarang <Zaman Nabi Saja Susah Dilaksanakan Apalagi Sekarang – Detikcom>, diakses pada 16-06-2011, pukul 24:48

Page 12: Implikasi Pemberlakuan Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Secara Sosial - Hadza Min Fadhli Robby

12

BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan yang telah penulis sampaikan dalam makalah ini, maka dapat

disimpulkan beberapa hal penting, yakni:

1. Pemberlakuan syari’at Islam di Aceh merupakan kesepakatan dari MoU Helsinki

dan didasari oleh aspirasi masyarakat Aceh yang menginginkan berlakunya

peraturan istimewa di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, didasari oleh latar

belakang masyarakat Aceh yang memegang teguh prinsip serta tradisi Islam yang

kuat

2. Dampak sosial yang ditimbulkan oleh pemberlakuan syari’at Islam memberikan

dampak yang cukup signifikan dalam masyarakat Aceh, dibuktikan dengan

turunnya tingkat kriminalitas asusila

3. Terjadi dinamika dalam masyarakat Aceh berupa munculnya faksi yang menerima

serta faksi yang menolak formalisasi kebijakan syari’at Islam.

Page 13: Implikasi Pemberlakuan Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Secara Sosial - Hadza Min Fadhli Robby

13

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Banda Aceh: Pusat

Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999

David Brown, Why Independence? The Instrumental and Ideological Dimensions of

Acehnese Nationalism – Working Paper No. 105, Perth: Murdoch University, 2004

Arskal Salim, Challenging the Secular State: The Islamizations of Law in Modern Indonesia,

Honolulu: University of Hawai’i Press, 2008

David Easton, A System Analysis of Political Life, New York: Wiley, 1965

Imam Abu Zahrah, Ushul Fiqih

Sumber Online

http://www.aceh-mm.org/download/english/Helsinki%20MoU.pdf

http://www.detiknews.com/read/2009/09/17/185149/1206090/159/zaman-nabi-saja-susah-

dilaksanakan-apalagi-sekarang

http://www.hidayatullah.com/read/17217/26/05/2011/ketika-syariat- islam-di-aceh-mulai-

digugat!.html

http://www.republika.co.id/berita/dunia- islam/islam-nusantara/11/06/14/lms15o-tokoh-

kristen-aceh-pemberlakuan-syariat- islam-tak-ganggu-nonmuslim

http://keumala.org/index.php?option=com_content&task=view&id=34&Itemid=40

http://www.hidayatullah.com/read/17334/02/06/2011/syariat-islam-di-aceh-dan-kredibilitas-

amnesty-.html

Page 14: Implikasi Pemberlakuan Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Secara Sosial - Hadza Min Fadhli Robby

14