IMPLIKASI DIAGENESIS BATUGAMPING TERHADAP...
Transcript of IMPLIKASI DIAGENESIS BATUGAMPING TERHADAP...
1
IMPLIKASI DIAGENESIS BATUGAMPING TERHADAP TOUCHING VUGGY DAN
KUALITAS RESERVOAR FORMASI NGIMBANG CEKUNGAN JAWA TIMUR
Oleh:
Mellinda Arisandy*
Undang Mardiana*
Vijaya Isnaniawardhani*
*Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
SARI
Blok P Lepas Pantai Utara Madura merupakan lapangan Petronas Carigali Jakarta
yang berada di Cekungan Laut Jawa Timur Utara. Lapangan ini mulai berproduksi pada
tahun 2001, terdiri dari 14 sumur dan 6 (enam) sumur pada Blok P merupakan fokus
penelitian. Sumur P-1 sampai P-4 sedang dalam pengembangan dan sumur P-5 sampai P-6
sudah dilakukan pengeboran. Produksi harian sumur-sumur pada Blok P adalah 2500-3100
BOPD. Produksi hidrokarbon yang terus menurun membutuhkan berbagai studi geologi
untuk meningkatkan produksi hidrokarbon salah satunya adalah tentang studi petrofisik pada
batugamping.
Penelitian ini dimulai dengan analisis data sumur untuk menentukan zona produktif
reservoar batugamping dan karakteristik batugamping berdasarkan data log sumur, DST, dan
core. Berdasarkan data tersebut diperoleh nilai SPI (Secondary Porosity Index) sebagai nilai
adanya porositas sekunder (touching vuggy) pada batugamping dan rock type sebagai
karakteristik setiap fasies pada masing-masing sumur sehingga dapat dihitung permeabilitas
batugamping tersebut.
Metode penelitian menggunakan data log sumur sehingga diperoleh porositas,
permeabilitas, saturasi air, SPI untuk menunjukkan kehadiran touching vuggy, dan
interpretasi lingkungan pengendapan. Selain itu, digunakan pula data core untuk menentukan
visible porosity khususnya touching vuggy, nilai m sebagai faktor turtoisi batugamping, dan
crossplot porositas dan permeabilitas core sehingga reservoar dapat dibagi menjadi beberapa
rock type. Perbedaan pada setiap rock type dipengaruhi oleh fasies dan proses diagenesis.
Diagenesis yang terjadi pada sumur P-1 sampai P-6 didominasi oleh proses disolusi oleh air
meteorik karena berada pada lingkungan vadose. Berada pada dua fase diagenesis yaitu keep
up phase dan drowning phase pada Kala Oligosen. Nilai SPI, m dan rock type dapat
menentukan kehadiran touching vuggy pada reservoar batugamping. Touching vuggy sangat
penting kehadirannya pada batugamping agar mudah untuk mengalirkan hidrokarbon
sehingga dilakukan analisis pada sumur P-2 sampai P-4 terhadap kemunculan nilai SPI, nilai
m<2, dan rock type jenis 1 dan 2.
Pada batugamping Formasi Ngimbang, merupakan reservoar dengan kualitas baik
dibuktikan dengan adanya porositas sekunder berdasarkan core dan adanya touching vuggy
berdasarkan perhitungan SPI dan m. Berdasarkan perhitungan tersebut, sumur yang
mempunyai data tes juga memiliki nilai SPI. Sehingga nilai SPI tersebut dapat digunakan
pada sumur lain yang tidak memiliki core. Namun, data touching vuggy harus di tampilkan
secara horizontal untuk mengetahui penyebarannya dan dibutuhkan log modern seperti FMI
dan NMR. Tetapi, nilai SPI dan m dari sumur P-2 sampai P-4 dapat digunakan sebagai
2
metode cepat untuk menentukan kehadiran touching vuggy dan nilai permeabilitas reservoar
karbonat.
Kata kunci : diagenesis, touching vuggy, reservoar batugamping, Formasi Ngimbang
PENDAHULUAN
Cekungan Jawa Timur mencakup daerah seluas kira-kira 50.000 km2 dimulai dari Jawa
Tengah bagian timur, bagian utara Jawa Timur, Laut Jawa Timur, Madura, dan Selat Madura
(Pertamina BPPKA, 1996). Cekungan Jawa Timur menempati posisi sebagai cekungan
belakang-busur (backarc basin) sejak masa Paleogen. Bagian lepas pantai Cekungan Jawa
Timur dicirikan oleh kehadiran serangkaian tinggian batuan dasar berarah timurlaut-
baratdaya yang terdefinisi dengan baik. Terban-terban di antara tinggian-tinggian ini memuat
sedimen Tersier sampai setebal 6000 meter terdiri dari batugamping sebagai salah satu satu
tempat terakumulasinya hidrokarbon.
Batugamping merupakan batuan sedimen yang mempunyai komposisi CaCO3 dapat
berupa batuan klastik maupun hasil endapan organisme yang telah punah. Batugamping pada
daerah penelitian merupakan batuan penghasil hidrokarbon yang dapat bertindak pula sebagai
reservoar. Porositas pada batugamping lebih kompleks dibandingkan dengan batupasir,
karena klasifikasi dan proses diagenesis yang terjadi setelah pengendapan. Porositas pada
batugamping dibagi menjadi dua yaitu porositas primer dan porositas sekunder. Porositas
primer terbentuk pada saat pengendapan dan porositas sekunder terbentuk setelah terjadinya
sedimentasi umumnya berhubungan dengan proses diagenesis. Menurut Lucia (1983),
porositas sekunder pada batugamping dikenal sebagai vuggy. Vuggy dibagi menjadi dua
yaitu separate vug sebagai vuggy yang tidak terhubung (non-connected) dan touching vug
sebagai vuggy yang terhubung (connected). Separate vuggy dapat berupa moldic, shelter, dan
intrafossil sedangkan touching vuggy dapat berupa cavern, fracture, breccia, dan fenestral.
Berdasarkan analisis log, dapat dihasilkan porositas sekunder batuan karbonat menggunakan
perhitungan Secondary Porosity Index (SPI) sebagai selisih antara porositas densitas-neutron
dengan porositas sonik.
Pada penelitian ini, studi difokuskan pada touching vug sebagai parameter
permeabilitas yang baik pada reservoar. Porositas vuggy dipengaruhi oleh faktor sementasi
(m=turtoisy) sebagai kemampuan suatu reservoar untuk mengalirkan fluida. Setiap fasies
batugamping akan mempunyai nilai m yang berbeda. Fasies batugamping yang terdiri atas
separate vug memiliki nilai m>2 dan touching vug memiliki nilai m<2. Oleh karena itu,
untuk menentukan nilai m setiap fasies, setiap sumur dengan fasies yang berbeda dibagi
menjadi beberapa rock type berdasarkan crossplot permeabiliats dan porositas core untuk
menentukan nilai m yang dipengaruhi oleh kehadiran porositas sekunder. Suatu reservoar
batugamping yang terdiri atas touching vug akan memiliki nilai permeabilitas yang baik.
Sehingga rock type dengan nilai permeabilitas yang tinggi memiliki kualitas reservoar yang
baik pula.
Setiap rock type yang terdiri dari beberapa fasies akan memiliki touching vug yang
berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh proses diagenesis yang berlangsung pada batugamping
tersebut. Batugamping yang didominasi oleh disolusi akan meningkatkan porositas batuan
karbonat baik berupa separate vug maupun touching vug termasuk pada Formasi Ngimbang.
Pada formasi ini batugamping mengalami diagenesis pada lingkungan vadose sehingga
disolusi akan dominan oleh air meteorik.
3
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa kualitatif dan kuantitatif
menggunakan data log, data batuan inti, dan data pendukung lainnya. Perangkat lunak yang
digunakan selama pengolahan data adalah Geolog 6.7. Tahap-tahap penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Tahap persiapan: berupa studi pendahuluan meliputi regional daerah penelitian,
pengenalan perangkat lunak, pengumpulan semua data yang dibutuhkan untuk
analisis, dan semua literatur yang dibutuhkan selama penelitian.
b. Tahap penelitian dan pengolahan data: pengolahan data log sumur (.LAS) untuk
menentukan volume shale, porositas, saturasi air, permeabilitas, dan SPI. Selanjutnya
menentukan fasies batugamping pada daerah penelitian untuk menentukan sejarah
diagenesis dan porositas sekunder yang dibentuk selama proses diagenesis
berlangsung. Serta membandingkan nilai porositas dari analisis log dengan data core.
- Perhitungan petrofisika, menggunakan perangkat lunak Geolog 6.7 meliputi
perhitungan di bawah ini :
• Observasi (prediksi, wash out) : sebelum dilakukan pengolahan data,
dilakukan observasi terhadap data log yang tersedia yaitu log GR, log SP, log
resistivitas, log densitas, log neutron, dan log sonik. Sehingga dapat diperoleh
prediksi kehadiran hidrokarbon baik minyak maupun gas berupa cross-over
dari log densitas dan neutron serta kehadiran washout akibat bedhole. Adanya
washout dapat diprediksi dengan log caliper yang menyimpang dari nilai
umumnya. Penyimpangan ini dapat disebabkan oleh bedhole akibat loose
sirkulasi ataupun adanya gerowong pada reservoar batugamping. Toleransi
terhadap log caliper adalah 1,5 inch artinya lebih dari angka toleransi tersebut
sumur pengeboran disebut bedhole.
• Prekalkulasi, dilakukan untuk melakukan pre-perhitungan petrofisika agar
seluruh besaran log disamakan nilainya.
• Koreksi lingkungan : GR, densitas, neutron, laterolog, MSFL. Semua log harus
dikoreksi keadaan lingkungannya karena ada beberapa hal yang dapat
menyebabkan pengukuran lo yang tidak sesuai dengan hasil yang sebenarnya.
Log GR dikoreksi terhadap lingkungan karena dalam pengukurannya log ini
harus berada di tengah lubang bor karena sifatnya memancarkan sinar Gamma.
Log densitas yang terdiri dari pad saat melakukan pengukuran harus berada
menempel pada dinding sumur karena log densitas berhubungan dengan
elektron formasi. Begitu pula dengan log neutron, laterolog, dan log induksi.
• Menghitung volume shale : untuk mengetahui volume shale yang terdapat di
dalam formasi, dapat menggunakan log GR atau gabungan log densitas-
neutron.
• Menghitung porositas : untuk memperoleh porositas total dan porositas efektif
menggunakan log densitas-neutron dan atau log sonik.
• Menghitung saturasi air : untuk mengetahui kejenuhan air yang terdapat dalam
formasi. Dapat menggunakan metode Archie (untuk formasi bersih atau clean
sand), Simandoux (modifikasi metode Indonesia untuk formasi shaly sand),
4
Indonesia (untuk formasi shaly sand), Dual Water (dengan menghitung CEC
formasi), Waxman-Smith (dengan memperhatikan nilai Swirr formasi).
• Menentukan jenis litologi : untuk menentukan jenis litologi formasi dengan
menentukan jenis mineral yang terdapat pada formasi tersebut menggunakan
log GR.
- Menghitung SPI (log D-N and log sonik) : nilai SPI dihitung dengan menghitung
selisish nilai log densitas-neutron dan log sonik. Nilai SPI merupakan nilai
porositas sekunder pada reservoar karbonat.
- Crossplot porositas-permeabilitas core dan permeabilitas log (Coates): untuk
menentukan permeabilitas dari log dan beberapa formula untuk menghitung
permeabilitas log dengan membagi beberapa rock type.
- Membandingkan SPI dan crossplot dengan data SCAL (m) : untuk kalibrasi
adanya porositas sekunder dengan angka faktor turtoisy dari data SCAL.
Touching vuggy memiliki nilai m<2 dan separate vuggy memiliki nilai m>2.
- Kalibrasi log, crossplot, dan SPI dengan fasies core : untuk menentukan jenis
fasies yang memiliki nilai SPI, touching vuggy dan nilai m<2.
- Membandingkan tipe log, SPI, crossplot, dan fasies core dengan sumur lainnya
yang tidak memiliki core : nilai SPI, m dan kehadiran touching vuggy akan
memiliki tipe dan nilai log tertentu setelah dikalibrasi dengan core dapat
digunakan untuk menentukan nilai SPI pada sumur lainnya yang tidak memiliki
core (uncore well).
c. Studi lanjutan dan pembuatan laporan akhir: berupa tahapan terakhir penelitian, hasil
pengolahan data akan dijelaskan dalam laporan akhir.
GEOLOGI REGIONAL
Cekungan Jawa Timur mencakup daerah seluas kira-kira 50.000 km2 dimulai dari Jawa
Tengah bagian timur, bagian utara Jawa Timur, Laut Jawa Timur, Madura, dan Selat Madura
(Pertamina BPPKA, 1996). Tinggian Karimunjawa memisahkan Cekungan Jawa Timur dari
Cekungan Jawa Barat dan busur volkanik Jawa membatasi cekungan ini di sebelah selatan.
Cekungan Jawa Timur membuka ke sebelah timur memasuki cekungan dalam yaitu
Cekungan Lombok dan mendangkal ke arah utara menuju Tinggian Paternosfer yang
memisahkannya dengan Cekungan Makassar. Cekungan Jawa Timur menempati posisi
sebagai cekungan belakang-busur (backarc basin) sejak masa Paleogen.
Pola struktur Cekungan Jawa Timur dapat dibedakan menjadi dua asal, yaitu sesar
ekstensional berarah timurlaut-baratdaya dan sesar mendatar berarah timur-barat (Bransden
dan Matthews, 1992; Manur dan Barraclough, 1994; Satyana dan Darwis, 2001). Pola tegasan
(stress regime) yang berbeda mengontrol kedua asal struktur ini, yaitu fase rifting pada saat
Paloegen dan fase inversi pada saat Neogen.
Pola tegasan ekstensi aktif dari Eosen Tengah sampai dengan Miosen Awal. Tahap
awal fase ekstensi ini ditandai dengan terjadinya rifting pada saat Eosen yang secara langsung
diikuti oleh tahap kedua yaotu subsidence seluruh cekungan pada saat Oligosen. Terban-
5
terban hasil rifting ini pada awalnya diisi oleh sedimen klastik nonmarine yang cukup tebal
termasuk sedimen danau (lacustrine). Sedimentasi ini kemudian berubah menjadi marin yang
dicirikan oleh endapan serpih berumur Eosen Akhir sampai Oligosen Awal dengan disertai
perkembangan karbonat di beberapa tempat (daerah tinggian). Daerah ini kemudian terangkat
dan tererosi pada saar Oligosen Tengah (30Ma). Peristiwa ini diikuti oleh perioda tektonik
yang relatif tenang dan berlanjut sepanjang Oligosen Akhir sampai memasuki Miosen Awal.
Pada awal Miosen Tengah, pengangkatan Daratan Sunda terjadi sebagai akibat collision
antara Lempeng Australia dengan zona penunjaman bagian timur atau berhubungan dengan
berakhirnya rifting Laut Cina Selatan yang menyebabkan pengankatan Tinggian Kuching di
Kalimantan Tengah (Hutchison, 1989; van de Weerd dan Armin, 1992). Bukti terjadinya
pengangkatan regional ini adalah masuknya aliran sedimen pasir kuarsaan Formasi Ngrayong
yang cukup tebal ke dalam Cekungan Jawa Timur. Struktur kompresi kemudian terbentuk
selama periode-periode tektonik selanjutnya.
Tektonik Neogen dicirikan oleh perubahan mendasar pada pola tegasan yang
mengakibatkan terjadinya struktur inversi pada saat Miosen Tengah dengan aktifnya
pergerakan translasi dan rotasi blok-blok sesar berasosiasi dengan terjadinya diapirisme
serpih yang tersebar luas. Pembalikan cekungan dan diapirisme serpih asosiasinya merupakan
struktur-struktur utama yang mengontrol daerah di sebelah selatan tepi paparan yang
didominasi oleh pola tektonik berarah timur-barat Zona Rembang-Madura-Kangean (Zona
RMK) atau Zona Sesar Sakala yang memperlihatkan pola penyesaran mendatar mengiri.
Pergerakan sesar mendatar mengiri ini memanjang dari barat ke timur melintasi Jawa Timur,
Madura, pantai timur Madura, dan Kangean.
Periode tektonik terakhir dan paling kuat dimulai pada Miosen Akhir dan menerus
secara terputus-putus sampai Plistosen. Periode tektonik ini dihasilkan oleh kombinasi antara
penunjaman Lempeng Samudera Hindia di bawah Jawa, collision antara Lempeng Benua
Australia dengan Timor, dan pergerakan beberapa fragmen bernua dari bagian utara Lempeng
Autralia ke arah barat.
Stratigrafi Cekungan Jawa Timur terdiri atas serangkaian daur atau sekuen pengendpan
(Gulf Resources. 2000; Satya dan Darwis, 2001). Setiap daur dimulai dengan regresi dan
diakhiri dengan transgresi. Suatu peristiwa tektonik memulai setiap daur dengan jalan
peremajaan daerah sumber sedimen yang menghasilkan aliran sedimen klastik. Fase ini
menghasilkan suatu keadaan regresi setelah cekungan secara cepat terisi dan menjadi
dangkal. Periode erosi dan subsidence berikutnya atas daerah sumber sedimen secara
isostratik kemudian mengakibatkan terjadinya transgresi. Di daerah tropis, sedimentasi ini
terutama didominasi oleh pengendapan karbonat,
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Daerah penelitian merupakan Blok P di Cekungan Jawa Timur Utara yang merupakan
blok operasi dari Tim Eksplorasi P, Petronas Carigali. Hingga saat ini terdapat 14 sumur di
lapangan ini. 6 (enam) data log sumur dari 14 sumur ini merupakan data utama dalam
penelitian. Formasi Ngimbang dalam wilayah ini berperan sebagai reservoar untuk Blok P
dan menjadi objek penelitian.
Studi pada Formasi Ngimbang Blok P dilakukan dengan mengolah data petrofisik dari
data log sumur dari kegiatan pemboran 6 sumur yang telah dilakukan sebelumnya.
Ketersediaan data log ditunjukkan dalam tabel di bawah:
6
Tabel 4.1. Ketersediaan log sumur Blok P N
o
Nam
a
Su
mu
r
Tipe Log
GR
SP
CA
L
LL
D
LL
S
ILD
MS
FL
RH
OB
DR
HO
NP
HI
DT
PE
F
1 P_1 √ √ √ √ √ √ √ √ x √ √ √
2 P_2 √ √ √ √ √ √ x √ x √ √ √
3 P_3 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
4 P_4 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ x √
5 P_5 √ √ √ √ √ √ x √ √ √ x x
6 P_6 √ √ √ √ √ √ x √ √ √ √ x
Tabel 4.2. Data core, SCAL, petrography, FMI, dan DST sumur Blok P
No Nama
Sumur
Well
Report
Petrography
Report SCAL
Routine
Core FMI DST
Well
Type
1 P_1 √ √ √ x x √ V
2 P_2 √ √ √ √ x √ V
3 P_3 √ √ √ √ x √ V
4 P_4 √ √ √ √ x √ V
5 P_5 x √ √ √ √ √ V
6 P_6 x √ √ √ √ √ V
Sumur P_1 sampai P_6 diendapkan pada platform yang sama yaitu isolated platform
sebagai platform air dangkal dengan kemiringan landai, lebar sepuluh sampai ratusan
kilometer, terletak pada lepas pantai paparan kontinental dangkal, yang dikelilingi oleh air
dalam yang berkisar dari beberapa ratus sampai beberapa kilometer kedalamannya. Hal ini
sesuai dengan keberadaan sumur yang terletak pada lepas pantai Madura Utara dan rekaman
Google Earth cekungan Jawa Timur. Menurut zona marginal reef yang dibagi oleh James,
N.P, fasies batuan karbonat pada sumur P_1 sampai P_6 adalah :
Gambar Zona reef sumur P_1 sampai P_4 (James N.P,1983).
7
Gambar 4.4. Line seismik yang menunjukkan basement high sebagai lingkungan
pengendapan isolated platform pada Blok P.
Gambar 4.5 Sayatan tipis core sumur P-2: A. large foraminifera wackestone to packstone, B.
coral floatstone, C. echinoderm packstone.
Berdasarkan klasifikasi Dunham dimodifikasi oleh Embry&Klovan (1971), litofasies
batugamping pada sumur P-2 sampai P-4 terdiri dari batugamping yang didominasi oleh mud
(mud-supported >10%). Menunjukkan batugamping yang diendapkan pada lingkungan
berenergi rendah dan arus yang tenang (backreef). Berdasarkan analisis elektrofasies, sumur
P_2 sampai P_4 bersifat membentuk pola regular beds with sharp tops and bases dengan
I’
I
A B C
8
bentuk cylindrical. Batuan mengalami agradasi yang terdiri dari fasies yang heterogen dan
terakumulasi pada shallow water (keep-up carbonate shelf).
Berikut adalah hasil rata-rata perhitungan petrofisika setiap sumur :
Sumur P-2 Sumur P-3 Sumur P-4
Volume shale (%) 24 36 22
Porositas (%) 24 21 21
Permeablitas (mD) 500 540 760
Saturasi Air (%) 26 22 22
Data porositas dan permeabilitas core diperoleh dari routine core analyses (RCA) dan di plot
dalam sebuah crossplot porositas-permeabilitas untuk menentukan rock type resevoar
karbonat. Rock type dibagi berdasarkan penyebaran nilai porositas dan permeabilitas core
yang memiliki persebaran data baik dengan regresi mendekati 1. Dengan adanya touching
vug akan menghasilkan nilai permeabilitas yang baik pada reservoar. Setiap rock type akan
terdiri dari beberapa fasies karbonat dengan porositas sekunder yang berbeda. Setiap fasies
pada setiap rock type akan di kalibrasi dengan data core sehingga dapat ditentukan jenis
porositas sekunder dan nilai m dari data RCA. Rock type 1-4 secara berurutan memiliki nilai
permeabilitas dari yang terbesar sampai terkecil.
Rock Type Sumur P-2
Tabel 4.3. Tabel porositas-permeabilitas core sumur P-2 berserta fasies dan jenis porositas
sekunder berdasarkan klasifikasi Lucia (1983).
Depth
(ft)
K
(md)
Por
(%)
Fasies
Porositas
Sekunder
Lucia's
Classification
6301,50 0,014 6,3
LF wackestone to
packstone interparticle SV
6314,33 0,002 4,9
mollusc wackestone
to packstone intraparticle SV
6323,58 0,085 9,4
LF wackestone to
packstone moldic, vug, fracture TV
6338,58 0,001 4,8 LF floatstone
6341,92 0,0007 4,1 LF wackestone
intraparticle, moldic,
fracture TV
6351,42 0,007 4,8
LF wackestone to
packstone moldic SV
6358,33 0,0007 2,8
LF wackestone to
packstone
6361,08 0,0002 2,5 coral floatstone intraparticle SV
6377,50 0,020 7,2 rotaliids wackestone intraparticle SV
6378,83 0,003 4,0 coral floatstone moldic, vug SV
6385,83 0,006 5,5 coral floatstone
moldic, fracture,
intraparticle, intercryst TV
6336,92 0,016 5,9 coral floatstone intraparticle SV
6349,08 0,225 9,4
LF wackestone to
packstone
intraparticle, vug,
fracture TV
6388,92 0,049 5,9 coral floatstone
moldic, vug, fracture,
intraparticle TV
6326,00 0,052 5,9 echinoderm moldic, fracture TV
9
wackestone to
packstone
6317,42 0,275 8,7
echinoderm
packstone moldic, fracture TV
6331,33 0,470 9,3
LF wackestone to
packstone fracture TV
6329,75 0,376 4,1 coral floatstone moldic, fracture TV
6381,50 0,728 6,1
mollusc wackestone
to packstone fracture TV
6352,17 0,798 6,4 LF floatstone intraparticle, fracture SV
6367,42 7,16 22,3 coral floatstone moldic, fracture TV
6368,17 6,88 24,7 coralgal floatstone
6344,25 0,003 6,2
LF wackestone to
packstone intraparticle SV
6305,50 0,010 7,3
LF wackestone to
packstone
6311,67 0,028 10,3 echinoderm packtone
moldic, vug,
intraparticle, fracture TV
6320,50 0,134 16,5
echinoderm
wackestone to
packstone
intraparticle, intercryst,
moldic SV
6362,75 0,046 11,6 coral floatstone intercryst, moldic SV
6364,83 0,069 11,8 coral floatstone moldic, vug, intercryst SV
6383,33 0,050 12,1
echinoderm
wackestone to
packstone
6390,25 0,029 10,2 coral floatstone vug SV
6308,33 0,003 7,0 coral floatstone intraparticle SV
Keterangan :
Biru : rock type 3
Ungu : rock type 1
Merah : rock type 4
Hijau : rock type 2
TV : touching vug
SV : separate vug
Gambar 4.26. Persebaran data porositas-permeabilitas core sumur P-2 dan rock type.
10
Berdasarkan crossplot di atas, diperoleh persamaan linear untuk menghitung
permeabilitas. Sehingga selain menggunakan permeabilitas hasil perhitungan Coates pada
program Geolog, dapat pula digunakan persamaan tersebut untuk menghitung nilai
permeabilitas. Misalkan persamaan Y = 0,0356 X 1,6736
, Y adalah permeabilitas dan X adalah
nilai porositas core. Data porositas dan permeabilitas core yang diinput sebagai titik (point)
bewarna hitam sebagai permeabilitas core dan warna merah tua sebagai porositas core. Log
rock type 1 (warna ungu) dan 2 (warna hijau) memiliki nilai yang hampir sama dengan nilai
permeabilitas core dan nilai porositas efektif densitas-neutron memiliki nilai yang sama
dengan porositas core. Sedangkan nilai permeabilitas dari perhitungan petrofisik (Coates)
mendekati nilai permeabilitas dari rock type 1 (hijau) dengan nilai permeabilitas paling
tinggi.
Rock Type sumur uncore (sumur P-6)
Berdasarkan penentuan rock type pada sumur P-2 sampai P-4, dapat diasumsikan
bahwa sumur P-1, P-5, dan P-6 memiliki nilai SPI, m, dan rock type yang sama. Dengan
demikian, ketiga sumur uncore tersebut memiliki nilai permeabilitas yang baik pada rock
type 1 dan 2 dengan kehadiran touching vuggy dan nilai m kecil dari 2. Sumur P-6 tidak
memiliki data core tetapi memiliki data FMI (Formation Micro Imager) merupakan advance
log yang dapat menunjukkan kehadiran touching vuggy pada batugamping berupa sinusoidal.
Formula untuk menghitung permeabilitas pada sumur uncore diperoleh berdasarkan posisi
sumur yang berdekatan, sumur P-1, P-5 dan P-6 dapat menggunakan formula permeabilitas
sumur P-4. Nilai SPI dan m kecil dari 2 umumnya muncul pada zona A, C, dan E pada
batugamping sumur P-2 sampai P-4 begitu pula pada sumur P-1, P-5, dan P-6. Hal tersebut
terlihat pada gambar 4.36 yang menunjukkan munculnya SPI pada zona A,C, dan E pada
sumur P-6 dan kalibrasi dengan log FMI.
Diagenesis batugamping pada Blok P
Berdasarkan keterangan di atas, diagenesis yang berlangsung pada batugamping di
setiap sumur yang terdapat pada Blok P hampir sama, karena berdasarkan data sekunder
berupa seismik, secara stratigrafi batugamping pada Blok P diendapkan pada waktu yang
sama yaitu pada Kala Oligosen. Batugampig pada Blok P berada pada zona vadose karena
menunjukkan dominasi disolusi oleh air meteorik.
Gambar 4.36. Lingkungan diagenesis vadose pada Blok P (Huan Chui, 2011).
11
Terdiri dari dua fase diagenesis, dimulai dengan agradasi (keep up phase) yang
dibuktikan dengan adanya exposure ke permukaan beberapa kali dan mengalami disolusi oleh
air meteorik. Hal ini berlangsung selama Oligosen Awal-Oligosen Tengah. Dilanjutkan
dengan transgresi (drowning phase) pada Oligosen Akhir. Pada fase ini batugamping akan
mengalami kompaksi dan burial karena air laut yang terus naik sedangkan batugamping tidak
dapat mengikuti naiknya air laut tersebut.
Gambar 4.37. Diagenesis Blok P pada Kala Oligosen
Gambar 4.38. Kronostratigrafi sedimen karbonat pada Formasi Ngimbang.
Ngimbang
Oligosen Bawah
Oligosen Atas
K
K
12
Gambar 4.39. Fase pertama (keep up phase) diagenesis batugamping pada Blok P.
Gambar 4.40. Contoh sayatan yang mengalami fase drowning pada kedalaman A: 6283,17
kaki dan B: 6285,29 kaki.
Gambar 4.41. Fase kedua (drowning phase) diagenesis batugamping pada Blok P (modifikasi
Paterson, et al., 2008).
Ke
ep
13
Berdasarkan sayatan di atas, pada fase drowning sedimen karbonat pada Blok P tidak
mengalami keep-up dengan muka air laut. Sehingga pada lingkungan isolated platform,
bagian pinggir reef akan didominasi oleh sementasi dan menghasilkan porositas yang
rendah, dan pada bagian lagoon didominasi oleh proses disolusi dan menghasilkan porositas
yang tinggi. Ilustrasi fase drowning ditunjukkan oleh gambar 4.41.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian reservoar karbonat pada Formasi Ngimbang sumur P-2
sampai P-4, dapat disimpulkan bahwa :
1. Litofasies pada Formasi Ngimbang dibagi menjadi 11 fasies berdasarkan tekstur
dan jenis butir, yaitu skeletal packstone, coral floatstone, LF wackestone to
packstone, echinoderm wackestone to packstone, echinoderm packstone,
echinoderm wackestone, LF wackestone, LF packstone, rudstone, milliolids
wackestone to packstone, coralgal floatstone.
2. Berdasarkan analisis elektrofasies, sumur P_2 sampai P_4 bersifat membentuk pola
regular beds with sharp tops and bases dengan bentuk cylindrical. Batuan
mengalami agradasi yang terdiri dari fasies yang heterogen dan terakumulasi pada
shallow water (keep-up carbonate shelf).
3. Dalam menentukan zona reservoar produktif pada sumur P-1 sampai P-4
dibutuhkan perhitungan petrofisik serta dikalibrasi dengan data core dan DST. Pada
keempat sumur, semua perhitungan menunjukkan hasil yang sama dengan data
kalibrasi. Zona reservoar terdapat pada zona A,C,D, dan E. Reservoar karbonat
pada Formasi Ngimbang berada pada daerah tinggian (high) dengan lingkungan
pengendapan isolated platform.
4. Pada zona reservoar produktif sumur P-2 sampai P-4 menunjukkan adanya touching
vug sebagai porositas sekunder. Touching vug menunjukkan permeabilitas yang
baik untuk reservoar. Diperoleh berdasarkan perhitungan SPI yang dikalibrasi
dengan SCAL (m) dan data core. Touching vug memiliki nilai m<2 sesuai dengan
data SCAL. Terdiri dari fracture yang disebabkan oleh proses karstifikasi. Tipe log
pada sumur P-2 sampai P-4 dapat digunakan untuk uncore well sebagai parameter
menentukan reservoar produktif dengan mempertimbangkan nilai SPI dan m.
5. Adanya touching vuggy pada reservoar karbonat dipengaruhi oleh diagenesis dan
tektonik. Pada sumur P-2 sampai P-4 didominasi oleh proses disolusi sehingga
meningkatkan porositas. Terdapat dua fase diagenesis yang terjadi yaitu keep up
phase dan drowning phase. Periode tektonik pada Cekungan Jawa Timur juga dapat
mengakibatkan adanya touching vuggy seperti pengangkatan dan tektonik lainnya.
14
ACUAN
AHR., Wayne M. 2008. Geology of Carbonate Resevoirs : The Identification, Description,
and Characterization of Hydrocarbon Reservoirs in Carbonate Rocks. A&M
University. Texas : Wiley.
Archie., G. E. 1952. Classfication of Carbonate Reservoir Rocks and Petrophysical
Considerations. Texas : Bulletin of AAPG vol. 36 No 2 PP 278-298, 5 FIG.
Asquith, George. B. 1985. Handbook of Log Evaluation Techniques For Carbonate
Reservoirs. Tulsa, Oklahoma : AAPG.
Asquith, G.B., with C.R. Gibson. 1982. Basic Well Log Anlysis for Geologist : AAPG
Methods in Exploration No. 3, 216 p.
Bateman, R.M., 1985, Open-hole Log Analysis & Formation Evaluation, International
Human Resources Development Corporation, Boston.
Bathurst, Robin. G.C. Carbonate Sediments and their Diagenesis. Elsevier: University of
Liverpool.
Darling, T, 2005, Well Logging and Formation Evaluation, Gulf Freeway, Texas.
Dewan, J.T. 1983. Essentials of Modern Open-hole Log Interpretation: Tulsa, Oklahoma,
Penn Well Publishing Company, 361 p.
Dewar, Jan dan Pickford, Scott. 2001. Rock Physic for The Rest of Us-an Informal
Discussion. Calgary : CSEG.
Doveton, John. H. 2009. Reservoir Petrophysical Log Analysis Course and Workshop. Bali:
PT. Geoservices (Ltd.).
Dunham, Robert J. Classification of Carbonate Rocks According to Depositional Textures.
Ellis, D. V. & Singer, J. M., 2008, Well Logging for Earth Scientist 2nd Edition, Springer,
Netherlands.
E.R Crain. P. Eng. Petrophysical Handbook. www.spec2000.net.
Flugel, Erik. 2004. Microfacies of Carbonate Rocks Analysis, Interpretation, and
Application. Springer.
Harsono, A, 1997, Evaluasi Formasi dan Aplikasi Log, Schlumberger Oilfield Services,
Jakarta.
Kendall, Chris. 2005. An Overview of Carbonates. University of South Carolina: SEPM.
Kendall, Chris. 2005. Carbonate Depositional Systems. University of South Carolina: SEPM.
Koesomadinata, R.P. 1980. Geologi Minyak dan Gas Bumi. Bandung: ITB.
15
Klovan, J Edward dan Embry, Ashton F. 1971. A Late Devonian Reef Tract on Northeastern
Bank Island N.W.T. Bulletin of Canadian Petroleum geology Vol. 19 No. 4 P 730-781.
Lucia, F. Jerry. 2007. Carbonate Reservoir Characterization An Integrated Approach 2nd
Edition. Texas : Springer.
Moore, Clyde. M. 2001. Carbonate Reservoirs Porosity Evolution and Diagenesis in a
Sequence Stratigraphic Framework. Oxford : Elsevier.
Moore., C. H. 1997. Carbonate Diagenesis and Porosity. Netherlands : Elsevier.
Rider, M, 1996, The Geological Interpretation of Well Logs 2nd Edition, Interprint Ltd,
Malta.
Schlumberger, 1989, Log Interpretation Principles/Aplication, Schlumberger Educational
Services, Texas.
Sekti, Rizky. P. Dan Gantyno, Allaudin. A. 2012. Sedimentology and Stratigraphy of
Carbonate. Bandung : UNPAD.
Serra, O. 1980. Sedimentary Environments From Wireline Logs. Schlumberger.
SEPM Stratigraphy Web. 2013. Society for Sedimentary Geology.
---. Basic Types of Carbonate Platform. 1995. SEPM.
Steinen, Randolph P dan Matthews, R.K. 1973. Phreatic vs Vadose Diagenesis : Stratigraphy
and Mineralogy of A Cored Borehole on Barbados. Journal of Sedimentary Petrology
Vol 43 No 4 P 1012-1020.
Stratigraphic Relation of Carbonate Reservoirs. 1978. Principles of Carbonate
Sedimentation. OCGS.
Tucker, E. Maurice. 1990. Carbonate Flatforms Facies, Sequences and Evolution.
International Association of Sedimentologist. Melbourne.
Zarza, A.M Alonso dan Tanner, L.H. 2010. Carbonates in Continental Settings:
geochemistry, Diagenesis and Applications. New York : Elsevier.