Impetigo Agnes
-
Upload
fierdah-latifah-asy-syaghfu -
Category
Documents
-
view
101 -
download
5
Transcript of Impetigo Agnes
BAB 1. PENDAHULUAN
Impetigo adalah salah satu contoh pioderma, yang menyerang lapisan
epidermis kulit (Djuanda, 2005). Impetigo biasanya juga mengikuti trauma
superfisial dengan robekan kulit dan paling sering merupakan penyakit penyerta
(secondary infection) dari pediculosis, skabies, infeksi jamur, dan pada gigitan
serangga (Beheshti, 2007).
Impetigo adalah infeksi epidermis superfisial yang sangat menular yang
paling sering menyerang anak-anak usia dua sampai lima tahun, meskipun dapat
terjadi pada semua kelompok umur. Di antara anak-anak, impetigo adalah infeksi
kulit oleh karena bakteri yang paling umum dan penyakit kulit paling umum
ketiga secara keseluruhan. Impetigo lebih sering terjadi pada anak-anak yang
menerima dialisis. Infeksi biasanya sembuh tanpa bekas luka, bahkan tanpa
pengobatan. Staphylococcus aureus merupakan organisme penyebab yang paling
penting. Streptococcus pyogenes (yaitu, streptokokus beta-hemolitik grup A)
menyebabkan kasus lebih sedikit, baik sendiri atau dalam kombinasi dengan S.
aureus (Cole and Gazewood, 2007).
Ada dua jenis impetigo: non-bulosa (yaitu, impetigo kontagiosa) dan bulosa.
Impetigo nonbulosa merupakan respon host terhadap infeksi, sedangkan racun
staphylococcal menyebabkan impetigo bulosa dan tidak ada respon host yang
diperlukan untuk penyakit klinis yang nyata. Diagnosis biasanya dilakukan secara
klinis dan dapat dikonfirmasi oleh pewarnaan Gram dan kultur, meskipun hal ini
biasanya tidak diperlukan. Kultur mungkin berguna untuk mengidentifikasi pasien
dengan strain nephritogenic S. pyogenes selama wabah glomerulonefritis
poststreptococcal atau mereka yang diduga S. aureus resistant-methicillin (Cole
and Gazewood, 2007).
Impetigo terjadi di seluruh negara di dunia dan angka kejadiannya selalu
meningkat dari tahun ke tahun. Di Amerika Serikt, impetigo merupakan 10% dari
masalah kulit yang dijumpai pada klinik anak dan terbanyak pada daerah yang
jauh lebih hangat, yaitu pada daerah tenggara Amerika (Provider synergies, 2007).
Di Inggris kejadian impetigo pada anak sampai usia 4 tahun sebanyak 2,8%
1
pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun. Sekitar 70% merupakan impetigo
krustosa (Cole and Gazewood, 2007).
Impetigo dapat mempengaruhi orang-orang dari semua ras. Secara
keseluruhan, kejadian pada laki-laki dan pada wanita adalah sama, tetapi pada
orang dewasa, impetigo lebih sering terjadi pada pria. Impetigo terjadi pada
individu-individu dari segala usia, tetapi paling sering terjadi pada anak 2-5 tahun.
(Lewis, 2011).
Impetigo bulosa paling sering terjadi pada neonatus dan bayi, 90% kasus
terjadi pada anak-anak muda dari 2 tahun. Jika ketuban pecah dini terjadi selama
persalinan, lesi impetigo dapat hadir pada saat lahir (Lewis, 2011).
Pasien dapat lebih jauh menginfeksi dirinya sendiri atau orang lain setelah
menggaruk lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat pada sekolah atau
tempat penitipan anak atau juga pada tempat dengan hygiene buruk atau tempat
tinggal yang padat penduduk (Cole and Gazewood, 2007).
2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Impetigo adalah infeksi akut dari bakteri gram positif yang sangat menular
pada lapisan superfisial epidermis. Impetigo paling sering terjadi pada anak-anak,
terutama mereka yang tinggal di tempat yang panas, iklim lembab. Nama ini
diyakini berasal dari impetere Latin (untuk menyerang) (Lewis, 2011).
2.2 Etiologi
Impetigo disebabkan oleh infeksi bakteri. Keduanya, yaitu Grup-A Beta
Haemolyticus Streptococcus (GABHS) dan Staphylococcus aureus adalah
penyebab impetigo nonbulosa, sedangkan impetigo bulosa disebabkan hampir
secara eksklusif oleh S. aureus (Lewis, 2011).
A. Impetigo Nonbulosa
Impetigo nonbulosa dapat disebabkan oleh GABHS (tipe 49, 52, 53, 55-
57, 59, 61) atau dengan S. aureus kira-kira 20-45% dari kasus, kedua agen
yang hadir. S aureus menghasilkan bakteriotoksin beracun terhadap
Streptococcus. Bakteriotoksin ini mungkin menjadi alasan bahwa hanya S.
aureus yang terisolasi dalam lesi yang disebabkan secara dominan oleh
Streptococcus.
Sementara di masa lalu, GABHS dan S. aureus adalah agen penyebab yang
sama seringnya untuk impetigo nonbulosa, jumlah S aureus sekitar 50-60%
kasus. Dalam negara-negara berkembang dan iklim yang hangat,
bagaimanapun, GABHS masih merupakan penyebab yang lebih umum.
Streptococcus Grup B, C, dan G penyebab langka impetigo nonbulosa.
Streptococcus Grup B berhubungan dengan impetigo pada bayi baru lahir
(Lewis, 2011).
B. Impetigo Bulosa
S. aureus koagulase-positif kelompok II, paling sering fase tipe 71, adalah
organisme penyebab dominan. Bakteri strain ini menghasilkan racun
pengelupasan yang menyebabkan pembelahan subkorneal epidermis.
3
MRSA (Methicillin-resistant S. aureus) telah diisolasi sebanyak 20% dari
kasus impetigo bulosa. Resistensi methicillin ditemukan pada gen mecA, yang
memiliki 4 elemen, I-IV. Elemen IV dikaitkan dengan MRSA dapatan
masyarakat, dan elemen I-III berhubungan dengan MRSA dapatan rumah sakit
(Lewis, 2011).
2.3 Klasifikasi
A. Impetigo Bulosa
Impetigo bulosa ditandai dengan bula, besar, berdinding tipis lepuh yang
berisi cairan kuning jernih dan diameternya berukuran sampai 5 cm. Bula
disebabkan oleh infeksi Staphylococcus, bukan oleh Streptococcus. Sebuah
jenis tertentu dari bakteri Staphylococcus menghasilkan racun yang
menyebabkan lepuh yang besar terbentuk. Lepuh ini mudah pecah dan
meninggalkan daerah lembab pada kulit terkikis dan dikelilingi oleh cincin
kulit tipis dari sisa kuli yang melepuh. Lesi ini mengering dan terbentuk krusta
di atasnya, membuat tampakan coklat cerah yang menyerupai "pernis". Lesi
yang berlainan, dengan sedikit kemerahan atau peradangan di sekitarnya.
Lepuhan besar biasanya terjadi pada wajah, tetapi dengan cepat dapat
menyebar ke berbagai daerah kulit. Campuran lesi kulit bulosa dan non-bulosa
dapat terjadi (McSweeney-Ryan and Sandel).
B. Impetigo Nonbulosa
Ini adalah jenis yang lebih umum dari impetigo dan ditandai dengan luka
memerah dengan pengerasan kulit warna kuning-madu. Luka awalnya
mungkin muncul sebagai lepuh kecil yang pecah, cairan, dan mengarah pada
lapisan pengerasan kulit. Infeksi tidak hilang dengan mudah dengan
pembersihan topikal. Lesi yang menyakitkan sering terjadi di sekitar mulut dan
hidung atau pada lengan dan kaki, dan sembuh tanpa bekas luka. Lesi non-
bulosa ini yang disebabkan baik oleh Streptococcus ataupun Staphylococcus,
dan dalam beberapa kasus, kedua jenis bakteri dapat hadir (McSweeney-Ryan
and Sandel).
4
2.4 Patofisiologi
Kulit utuh biasanya tahan terhadap kolonisasi atau infeksi Staphylococcus
aureus ataupun GABHS. Bakteri ini dapat masuk dari lingkungan dan hanya
sementara berkolonisasi pada permukaan kulit. Penelitian eksperimental telah
menunjukkan bahwa inokulasi beberapa strain GABHS ke permukaan subjek
tidak menghasilkan penyakit kulit kecuali gangguan kulit telah terjadi (Lewis,
2011).
Perlekatan asam teikoid GABHS dan S. aureus memerlukan komponen
reseptor sel epitel, fibronektin, untuk kolonisasi. Reseptor fibronektin ini tidak
tersedia pada kulit utuh, namun gangguan kulit dapat melepaskan reseptor
fibronektin dan memungkinkan untuk kolonisasi atau invasi pada permukaan yang
terganggu ini. Faktor-faktor yang dapat mengubah flora kulit biasa dan
memfasilitasi kolonisasi sementara oleh GABHS dan S. aureus antara lain suhu
tinggi atau kelembaban, sudah ada penyakit kulit, usia muda, atau pengobatan
antibiotik baru-baru ini (Lewis, 2011).
Mekanisme umum untuk gangguan kulit yang dapat memfasilitasi
kolonisasi bakteri atau infeksi meliputi:
Goresan
Dermatofitosis
Varicella
Herpes simpleks
Skabies
Pediculosis
Luka bakar
Operasi
Trauma
Terapi radiasi
Gigitan serangga
Imunosupresi oleh obat (misalnya, kortikosteroid sistemik, retinoid oral,
kemoterapi), penyakit sistemik (misalnya, infeksi HIV, diabetes mellitus),
5
penyalahgunaan obat intravena, dan dialisis mendorong pertumbuhan bakteri
(Lewis, 2011).
Setelah infeksi awal, lesi baru dapat dilihat pada daerah yang tidak
menampakkan kerusakan jelas di kulit. Sering, namun setelah pemeriksaan dekat,
lesi ini akan menunjukkan beberapa kerusakan fisik yang mendasari (Lewis,
2011).
A. Kolonisasi GABHS
Jika seorang individu berada dalam kontak dekat dengan orang lain
(misalnya, anggota rumah tangga, teman sekelas, rekan satu tim) yang
memiliki infeksi kulit GABHS atau yang pembawa organisme, kulit normal
individu dapat terkolonisasi. Setelah kulit yang sehat terkolonisasi, trauma
ringan, seperti lecet atau gigitan serangga, dapat mengakibatkan perkembangan
lesi impetigo dalam waktu 1-2 minggu.
GABHS dapat dideteksi dalam hidung dan tenggorokan dari beberapa
individu, 2-3 minggu setelah lesi berkembang meskipun mereka tidak memiliki
gejala faringitis Streptococcus. Hal ini karena impetigo dan faringitis
disebabkan oleh strain yang berbeda dari bakteri. Impetigo biasanya karena
strain pola D, sedangkan faringitis disebabkan strain A, B, dan C (Lewis,
2011).
B. Kolonisasi Staphylococcus aureus
Sekitar 30% dari populasi terkolonisasi di nares anterior oleh S. aureus.
Beberapa individu yang terkolonisasi oleh S. aureus mengalami episode
berulang impetigo pada hidung dan bibir. Bakteri dapat menjalar dari bagian
hidung ke kulit yang sehat dalam waktu 7-14 hari, dengan lesi impetigo
muncul 7-14 hari kemudian (Lewis, 2011).
Sekitar 10% dari orang yang terkolonisasi S. aureus di perineum dan lebih
jarang, dalam aksila, faring, dan tangan. Individu pembawa permanen akan
menjadi reservoir infeksi bagi orang lain. Kebanyakan orang sehat sementara
menjadi tempat tersimpannya S. aureus sebagai bagian dari flora mikroba
mereka. S. aureus sering berpindah dari satu orang ke orang lain melalui
6
kontak tangan langsung, masuk melalui kulit rusak akibat penyakit kulit
(Lewis, 2011).
Pasien dengan dermatitis atopik atau kondisi inflamasi kulit lebih sering
memiliki kulit yang terkolonisasi oleh S. aureus. Penelitian telah menunjukkan
tingkat kolonisasi S. aureus 60-90% pada pasien dengan dermatitis atopik.
Pasien dengan dermatitis atopik, terutama mereka yang memiliki riwayat eksim
herpeticum, berada pada risiko lebih tinggi terkena infeksi yang disebabkan
oleh MRSA.
Sebuah studi menemukan secara signifikan ekspresi yang lebih rendah dari
protein yang berkaitan dengan penghalang kulit dan generasi faktor pelembab
alami di lokasi lesi dibandingkan nonlesi pada pasien dengan dermatitis atopik.
Selain itu, asam lemak epidermis yang mengikat protein diekspresikan pada
tingkat yang lebih tinggi secara signifikan pada pasien dengan koloni MRSA,
dan ini mungkin menggambarkan respon inflamasi melalui sinyal eicosanoid
(Lewis, 2011).
C. Impetigo Bulosa
Impetigo bulosa umumnya karena racun eksfoliatif S. aureus yang disebut
eksfoliatin A dan B. Pada tahun 2006, eksfoliatif toksin D (ETD) telah
diidentifikasi dalam 10% dari isolat S. aureus. Eksotoksin ini menyebabkan
hilangnya adhesi sel dalam dermis superfisial, yang pada gilirannya,
menyebabkan lepuh dan pengelupasan kulit dengan pembelahan lapisan sel
granular dari epidermis (Lewis, 2011).
Salah satu protein target untuk eksotoksin adalah desmoglein I, yang
mempertahankan adhesi sel. Molekul-molekul ini juga superantigen yang
bertindak secara lokal dan mengaktifkan limfosit T. Koagulase dapat
menyebabkan racun ini untuk tetap terlokalisasi dalam epidermis atas dengan
memproduksi fibrin thrombi. Tidak seperti impetigo nonbulosa, lesi impetigo
bulosa terjadi pada kulit utuh (Lewis, 2011).
Sementara jumlah isolat MRSA dapatan masyarakat dan rumah sakit pada
lesi impetigo masih rendah, insiden ini telah meningkat. MRSA dapatan
masyarakat dapat dibedakan dari MRSA dapatan rumah sakit. Sebagian besar
7
strain MRSA dapatan masyarakat mengandung Panton-Valentine leucocidin
(P-VL), sangat virulen, sebuah eksotoksin pembentuk pori yang menyebabkan
nekrosis dermal dan memiliki aktivitas sitolitik terhadap neutrofil dan monosit.
Penghancuran leukosit oleh P-VL merupakan salah satu alasan bahwa MRSA
lebih mungkin untuk menghasilkan infeksi klinis (Lewis, 2011).
Strain S. aureus positif P-VL lebih sering dikaitkan dengan selulitis (38%)
dan abses (75%). Pada pasien imunodefisiensi atau immunocompromised,
racun dapat menyebar secara hematogen dan menyebabkan staphylococcal
scalded skin syndrome (Lewis, 2011).
2.5 Diagnosis
A. Anamnesis
Impetigo nonbulosa dimulai dengan makula eritem tunggal yang cepat
berkembang menjadi vesikel atau pustul dan pecah, isi serosa dilepaskan
kemudian kering, meninggalkan krusta, eksudat berwarna madu di atas erosi.
Cepatnya penyebaran diikuti oleh perluasan yang berdekatan atau ke daerah
distal melalui inokulasi luka lainnya dari goresan.
Kulit pada setiap bagian tubuh dapat terlibat, tetapi wajah dan ekstremitas
yang terkena paling umum. Lesi biasanya tanpa gejala, dengan pruritus
sesekali. Eritema sekitarnya sedikit, tidak ada atau edema. Adenopati regional
umum terjadi.
Pasien dengan impetigo dapat melaporkan riwayat trauma minor, gigitan
serangga, skabies, herpes simpleks, varisela, atau eksim pada tempat infeksi.
Riwayat penyakit kulit yang sudah ada sebelumnya harus meningkatkan indeks
kecurigaan klinisi.
Impetigo bulosa biasanya terdiri dari bula kecil atau besar, dangkal, dan
rapuh. Seringkali ini dengan cepat muncul, spontan pecah, dan kering sehingga
hanya tertinggal sisa-sisanya, atau collarettes, terlihat pada saat muncul. Lesi
biasanya menyebar secara lokal di tubuh, wajah, kaki, pantat, atau daerah
perineum dan dapat menjangkau daerah-daerah distal melalui autoinokulasi
langsung. Lesi biasanya muncul pada kulit utuh tetapi mungkin saja secara
8
sekunder dapat menyerang lesi yang sudah ada sebelumnya (misalnya, eksim)
menyebabkan lesi umum. Eritema di sekitarnya minimal, ada dan tidak ada
limfadenopati regional.
Individu dengan impetigo sering menggambarkam paparan seseorang yang
dikenal sebagai pembawa S. aureus atau organisme Streptococcus, memiliki
pioderma, atau memiliki kondisi kulit (misalnya, dermatitis atopik) yang
menjadi predisposisi individu tersebut menjadi pembawa S. aureus atau
Streptococcus.
Cuaca panas yang lembab, aktif dalam olahraga kontak, kondisi hidup
yang penuh sesak, kebersihan pribadi yang buruk, atau lingkungan kerja tidak
sehat mendorong kontaminasi kulit oleh bakteri patogen yang dapat
menyebabkan impetigo. Kondisi seperti infeksi HIV, pasca transplantasi,
diabetes mellitus, hemodialisis, kemoterapi, terapi radiasi, atau pengobatan
kortikosteroid sistemik meningkatkan kerentanan.
Kekurangan imunoglobulin M (IgM) selektif primer telah dikaitkan
dengan impetigo berulang pada pasien dengan status pembawa S aureus negatif
dan tidak ada faktor predisposisi, seperti dermatosis yang sudah ada
sebelumnya. Keterkaitan yang sering dari kekurangan imunoglobulin A (IgA),
IgM, dan imunoglobulin G (IgG) juga telah dilaporkan.
Gejala-gejala berikut biasanya absen di impetigo contagiosa tetapi
mungkin hadir dalam impetigo bulosa:
Demam
Diare
Malaise
B. Pemeriksaan Fisik
Munculnya lesi bervariasi antara impetigo nonbulosa dan bulosa. Beberapa
penulis menyatakan suatu kontinum penyakit yaitu impetigo nonbulosa,
impetigo bulosa, dan pembentukan abses disebabkan oleh Staphylococcus
aureus dengan karakteristik eksotoksin yang berbeda.
9
1. Impetigo nonbulosa
Impetigo nonbulosa dimulai sebagai makula atau papula merah
tunggal yang cepat menjadi vesikel. Vesikel pecah dengan mudah untuk
membentuk erosi, dan isinya mengering untuk membentuk krusta
berwarna madu yang mungkin gatal (Gambar 1) (Cole and Gazewood,
2007). Biasanya berukuran kurang dari 2 cm (Lewis, 2011). Impetigo
sering menyebar ke daerah sekitarnya melalui autoinokulasi (Cole and
Gazewood, 2007). Pruritus daerah yang terinfeksi dapat mengakibatkan
ekskoriasi akibat garukan (Lewis, 2011).
Infeksi ini cenderung mempengaruhi subyek area trauma lingkungan,
seperti ekstremitas atau wajah. Resolusi spontan tanpa jaringan parut
biasanya terjadi dalam beberapa minggu jika infeksi dibiarkan tanpa
diobati (Cole and Gazewood, 2007).
Lesi biasanya terletak pada wajah (sekitar mulut dan hidung) dan
terkena bagian tubuh (misalnya, lengan, kaki) atau di daerah dengan
kerusakan penghalang pertahanan alami kulit. Telapak tangan dan telapak
kaki terhindar. Eritema sedikit di sekitarnya, dengan atau tanpa edema.
Limfadenopati regional muncul dalam 90% dari pasien. Pasien tidak
memiliki sakit tenggorokan (Lewis, 2011).
Gambar 1. Impetigo nonbulosa pada wajah
Suatu subtipe impetigo nonbulosa (atau impetiginous) adalah impetigo
umum, juga disebut impetigo sekunder. Hal ini bisa merupakan komplikasi
penyakit sistemik, termasuk diabetes mellitus dan sindrom
immunodefisiensi dapatan. Gigitan serangga, varisela, virus herpes 10
simpleks, dan kondisi lain yang melibatkan kerusakan kulit mempengaruhi
pasien untuk pembentukan impetigo umum. Penampakan mirip dengan
impetigo nonbulosa primer (Cole and Gazewood, 2007).
2. Impetigo bulosa
Impetigo bulosa paling sering mempengaruhi neonatus tetapi juga bisa
terjadi pada anak yang lebih tua dan orang dewasa. Hal ini disebabkan
oleh toksin yang diproduksi S. aureus dan merupakan bentuk lokal dari
staphylococcal scalded skin syndrome. Vesikel superficial secara progres
cepat memperbesar, bula lembek dengan batas yang tajam dan tidak ada
eritema sekitarnya (Gambar 2) (Cole and Gazewood, 2007). Bula awalnya
berisi cairan, berwarna kuning terang yang kemudian berubah menjadi
kuning keruh dan gelap (Lewis, 2011). Ketika bula pecah, dalam waktu 1-
3 hari, krusta kuning dengan cairan mengalir (Cole and Gazewood, 2007).
Gambar 2. Impetigo bulosa
Sebuah temuan patognomonik berupa "collarette" yang mengelilingi
atap lepuhan di pinggiran lesi pecah. Impetigo bulosa menyukai daerah
lembab, yaitu area intertriginosa, seperti daerah popok, aksila, dan lipatan
leher. Gejala sistemik yang tidak umum tetapi mungkin terjadi, antara lain
kelemahan, demam, dan diare. Kebanyakan kasus adalah self-limited dan
sembuh tanpa jaringan parut dalam beberapa minggu. Bulosa impetigo
tampaknya kurang menular dibandingkan impetigo nonbulosa, dan
kasusnya sporadis. Impetigo bulosa mungkin melibatkan selaput lendir
bukal dan adenopati regional jarang terjadi pada impetigo bulosa (Lewis,
2011). Impetigo bulosa bisa dikelirukan dengan untuk luka bakar rokok
11
yang terlokalisir, atau cedera yang melepuh ketika infeksi lebih luas (Cole
and Gazewood, 2007).
Pada bayi, lesi yang luas dapat dikaitkan dengan gejala sistemik
seperti demam, malaise, kelemahan umum, dan diare. Jarang, bayi
mungkin hadir dengan tanda-tanda pneumonia, septic arthritis, atau
osteomyelitis (Lewis, 2011).
2.6 Diagnosis Banding
1. Dermatitis atopi: keluhan gatal yang berulang atau berlangsung lama
(kronik) dan kulit kering; penebalan pada lipatan kulit terutama pada
dewasa (likenifikasi); pada anak seringkali melibatkan daerah wajah
atau tangan bagian dalam.
2. Candidiasis (infeksi jamur candida): papul merah, basah; umumnya di
daerah selaput lender atau daerah lipatan.
3. Dermatitis kontak: gatal pada daerah sensitive yang kontak dengan zat-
zat yang mengiritasi.
4. Diskoid lupus eritematus: lesi datar(plak), batas tegas yang mengenai
sampai folikel rambut.
5. Ektima: lesi berkrusta yang menutupi daerah ulkus (luka dengan dasar
dan dinding) dapat menetap selama beberapa minggu dan sembuh
dengan jaringan parut bila infeksi sampai jaringan kulit dalam (dermis).
6. Herpes simpleks: vesikel berkelompok dengan dasar kemerahan yang
pecah menjadi lecet tertutupi oleh krusta, biasanya pada bibir dan kulit.
7. Gigitan serangga: Terdapat papul pada daerah gigitan, dapat nyeri.
8. Skabies: Papula yang kecil dan menyebar, terdapat terowongan pada
sela-sela jari, gatal pada malam hari.
12
9. Varisela: Vesikel pada dasar kemerahan bermula di badan dan
menyebar ke tangan, kaki, dan wajah; vesikel pecah dan membentuk
krusta; lesi terdapat pada beberapa tahap (vesikel, krusta) pada saat
yang sama (Cole and Gazewood, 2007).
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan antara lain menghilangkan ketidaknyamanan dan
memperbaiki penampilan kosmetik dari lesi, mencegah penularan lebih lanjut dari
infeksi pada pasien dan orang lain, dan mencegah kekambuhan. Perawatan
idealnya harus efektif, murah, dan memiliki efek samping yang terbatas.
Antibiotik topikal memiliki keunggulan yang diterapkan hanya bila diperlukan,
yang dapat meminimalkan efek samping sistemik. Namun, beberapa antibiotik
topikal dapat menyebabkan sensitisasi kulit pada orang yang rentan.
Sebuah tinjauan Cochrane intervensi untuk impetigo diidentifikasi hanya 12
yang penelitian berkualitas bagus dari pengobatan impetigo. Dalam meta analisis
2003 yang mencakup 16 studi, 12 menerima skor yang berkualitas baik. Sebagian
besar penelitian ditujukan impetigo nonbulosa, meskipun data terbatas untuk
impetigo bulosa dan impetigo umum menunjukkan bahwa kesimpulan yang sama
dapat ditarik mengenai pengobatan (Cole and Gazewood, 2007).
Pengobatan impetigo biasanya melibatkan perawatan luka lokal bersama
dengan terapi antibiotik. Terapi antibiotik untuk impetigo mungkin dengan agen
topikal saja atau kombinasi dari agen sistemik dan topikal.
Pembersihan lembut, penghapusan krusta berwarna madu impetigo
nonbulosa menggunakan sabun antibakteri dan kain lap, dan penggunaan balutan
basah untuk daerah yang terkena oleh lesi dianjurkan. Kebersihan yang baik
dengan pencucian antibakteri, seperti klorheksidin, dapat mencegah penularan
impetigo dan mencegah kambuh, namun keampuhan ini belum terbukti.
Untuk terapi antibiotik, agen yang dipilih harus menyediakan cakupan
terhadap kedua Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes. Infeksi
MRSA dapatan masyarakat paling sering bermanifestasi sebagai folikulitis atau
13
abses, bukan impetigo, dengan demikian, obat beta-laktam tetap menjadi pilihan
awal yang tepat secara empiris.
Mupirocin topikal adalah pengobatan yang memadai untuk lesi tunggal
impetigo nonbulosa atau keterlibatan daerah kecil. Hal ini diterapkan pada daerah
yang terkena 2 sampai 3 kali sehari. Antibiotik sistemik diindikasikan untuk
keterlibatan yang luas atau pada impetigo bulosa.
Pada pasien dengan impetigo bulosa yang datang ke gawat darurat dengan
keterlibatan kulit yang luas menyebabkan kulit menjadi gundul dari bula yang
pecah, manajemen juga mencakup resusitasi cairan intravena. Cairan diberikan
pada volume dan tingkat yang sama dengan penggantian volume standar untuk
luka bakar.
Rawat inap diperlukan untuk pasien dengan impetigo yang memiliki
penyakit luas atau untuk bayi berisiko sepsis dan / atau dehidrasi karena hilangnya
kulit. Jika rawat inap diperlukan pada anak dengan impetigo yang tidak diobati,
kontak isolasi dianjurkan (Lewis, 2011).
A. Terapi antibiotik topikal
Terapi antibiotik topikal dianggap sebagai pengobatan pilihan bagi
individu dengan impetigo lokal yang tidak berkomplikasi. Terapi topikal
memberantas penyakit yang terisolasi dan membatasi penyebaran individu ke
individu. Agen topikal digunakan setelah membersihkan krusta dan debris yang
terinfeksi dengan sabun dan air. Kekurangan pengobatan topikal adalah bahwa
ia tidak bisa membasmi organisme dari saluran pernapasan dan sulit untuk
menerapkan obat topikal untuk lesi yang luas (Lewis, 2011).
Mupirocin
Mupirocin salep (Bactroban) telah digunakan untuk kedua lesi dan
untuk menghapus carrier nasal kronis. Meskipun mahal, telah terbukti
keunggulan topikal B polimiksin dan neomycin (Scheinfeld, 2008)
dan sama-sama efektif sebagai sefaleksin oral. Keduanya, mupirocin
dan sefaleksin oral lebih unggul terhadap bacitracin (Bass, et al.
1997). Sayangnya, S.aureus dan resistensi MRSA terhadap mupirocin
14
telah muncul dengan hngka diperkirakan berkisar antara 5-10%
(Silverberg, 2008).
Retapamulin
Salep Retapamulin (Altabax) berada dalam kelas baru antimikroba
topikal. Hal ini disetujui oleh US Food and Drug Administration
(FDA) untuk pengobatan impetigo lokal yang disebabkan oleh S.
pyogenes dan S. aureus rentan methicillin pada anak-anak yang lebih
tua dari 9 bulan (Koning, et al. 2008; Jacobs, 2007). Hal ini diterapkan
dua kali sehari selama 5 hari. Obat ini bukan untuk penggunaan
mukosa, epistaksis telah dilaporkan dengan dengan penggunaan pada
mukosa hidung.
Retapamulin memiliki spektrum yang sangat baik dari kerjanya,
melebihi spektrum bakteri dari mupirocin (Scheinfeld, 2008). Telah
terbukti menjaga kerjanya terhadap bakteri yang resisten terhadap obat
antibiotik ganda, seperti methicillin, eritromisin, fusidic asam,
mupirocin, azitromisin, dan levofloksasin (Woodford, Afzal-Shah,
Warner, Livermore, 2008). Spektrum Retapamulin juga mencakup S.
pyogenes tahan-eritromisin, S. aureus resisten mupirocin dan fusidic
acida, dan MRSA (termasuk strain positif P-VLA) (Geria and
Schuartz, 2010).
Pada lebih dari 1900 pasien yang dievaluasi dalam beberapa studi
banding, retapamulin telah terbukti sama efektifnya dengan asam
fusidic topikal dan sefaleksin oral, dengan rendahnya tingkat efek
samping Scheinfeld, 2008). Dalam studi lain, salep retapamulin 1%
menunjukkan efikasi lebih dari fusidic salep asam 2% untuk
pengobatan impetigo (Oranje, et. al. 2007).
Fusidic Acid
Natrium fusidate (asam fusidic ) Topikal, saat ini telah diakui sebagai
terapi lini pertama di Eropa dan bagian lain dari dunia. Angka
resistensi tinggi telah dilaporkan dalam penggunaan asam fusidic,
15
mulai 32,5-50% (Oranje, et. al. 2007; Denton, O'Connell, Bernard,
Jarlier, Williams, Henriksen, 2008).
Sebuah studi Swedia terhadap 38 pasien dengan impetigo
menunjukkan resistensi S aureus terhadap asam fusidic pada 75%
kasus bulosa dan 32% dari yang nonbulosa. Para penulis
merekomendasikan pembatasan penggunaan asam fusidic untuk
membatasi kenaikan tingkat resistensi (Alsterholm, Flytstra,
Bergbrant, Faergemann, 2010).
Antibiotik topikal lainnya
Antibiotik topikal lainnya telah dilaporkan memiliki beberapa manfaat
untuk pengobatan impetigo. Klindamisin (krim, lotion, dan busa) yang
berguna dalam beberapa infeksi MRSA. Gentamisin salep atau krim
telah digunakan di banyak negara untuk infeksi beberapa
staphylococcus gram positif, termasuk impetigo dan pioderma.
Penggunaannya dihindari dengan pengembangan potensi toksisitas
telinga dan ginjal (Gelmetti, 2008).
Krim Hidrogen peroksida 1%, tersedia di banyak negara, telah
menunjukkan aktivitas bakterisida sebanding dan durasi yang lebih
lama daripada tindakan solusi hidrogen peroksida 1% berair in vitro.
Hal ini diterapkan 2-3 kali sehari pada daerah yang terkena untuk
maksimal 3 minggu. Meskipun potensi sensitisasi rendah, reaksi
hipersensitivitas telah dilaporkan terhadap bahan-bahan lain dalam
produk yang tersedia secara komersial (Capizzi, Landi, Milani,
Amerio, 2004).
Tetracycline telah digunakan untuk impetigo lokal. Hal ini tidak
banyak diresepkan karena potensi risiko dari reaksi fotosensitifitas
kulit dan karena itu merupakan kontraindikasi pada anak-anak muda
dari 8 tahun.
Obat-obatan seperti sulfanilamide, nitrofurazone, dan sulfadiazine
perak, yang banyak digunakan untuk pengobatan luka bakar, saat ini
tidak digunakan untuk pengobatan impetigo. Karena spektrum
16
antibakteri nya dan terbukti manfaat dan tolerabilitasnya, obat ini
mungkin perlu dipertimbangkan di masa depan untuk pengobatan
impetigo (Gelmetti, 2008).
B. Terapi Antibiotik Sistemik
Infeksi yang luas, berkomplikasi, atau berhubungan dengan manifestasi
sistemik biasanya diobati dengan antibiotik yang memiliki cakupan bakteri
gram positif. Terapi sistemik juga dianjurkan jika insiden beberapa pioderma
terjadi dalam penitipan anak, keluarga, atau pengaturan tim atletik.
Antibiotik resisten Beta-laktamase (misalnya, sefalosporin, amoksisilin-
klavulanat, kloksasilin, dicloxacillin) direkomendasikan. Sefaleksin tampaknya
menjadi obat pilihan untuk terapi antimikroba oral pada anak-anak. MRSA-
komunitas telah menyebar luas. Jika MRSA adalah tersangka, antibiotik
alternatifnya termasuk clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan
vankomisin. Pengobatan empiris tergantung pada prevalensi dan kepekaan dari
MRSA di daerah geografis tertentu (Bernard, 2008).
Eritromisin dan klindamisin merupakan alternatif pada pasien dengan
hipersensitivitas penisilin. Resistensi macrolide telah meningkat di Amerika
Serikat. Jadi, hindari pengobatan impetigo dengan eritromisin dalam wilayah
geografis yang dikenal memiliki tingkat resistensi yang tinggi. GABHS dan S.
aureus resistensi terhadap klindamisin juga telah dilaporkan (Lewis, 2011).
2.8 Komplikasi
Jarang, edema dan hipertensi pedal dapat dicatat pada pasien dengan
impetigo nonbulosa. Ini adalah tanda-tanda disfungsi ginjal yang sebagian besar
akibat glomerulonefritis poststreptococcal. Paling sering anak-anak berusia 2-4
tahun. Onset biasanya 10 hari setelah lesi impetigo pertama muncul, tetapi dapat
terjadi dari 1-5 minggu kemudian.
Terjadinya glomerulonefritis poststreptococcal biasanya 10 hari setelah lesi
impetigo pertama muncul, tetapi dapat terjadi dari 1-5 minggu kemudian.
Proteinuria dan hematuria sementara mungkin terjadi selama impetigo dan
sembuh sebelum keterlibatan ginjal berkembang. Pengobatan antibiotik tidak
17
mencegah perkembangan glomerulonefritis, tetapi membatasi penyebaran
penyakit ke orang lain (Lewis, 2011).
Komplikasi lain mungkin termasuk yang berikut:
psoriasis gutata
selulitis
eritema multiforme
urtikaria
2.9 Prognosis
Bahkan tanpa pengobatan, impetigo biasanya sembuh dalam waktu 2-3
minggu (Patrizi, Raone, Savoia, Ricci, Neri, 2008). Namun, pengobatan
menghasilkan angka kesembuhan yang lebih tinggi dan mengurangi penyebaran
infeksi ke bagian lain dari tubuh (melalui inokulasi) atau kepada orang lain
(George and Rubin, 2003). Jaringan parut tidak umum, tetapi hiperpigmentasi
atau hipopigmentasi pasca inflamasi mungkin terjadi. Lesi impetigo nonbullous
yang tidak diobati jarang dapat berkembang menjadi ecthyma, infeksi kulit dalam,
setelah itu selanjutnya jaringan parut dapat terjadi (Lewis, 2011).
Dengan perawatan yang tepat, lesi ini biasanya hilang setelah 7-10 hari. Jika
lesi bertahan melampaui titik itu, kultur harus dilakukan untuk mencari organisme
resisten (Lewis, 2011).
18
BAB 2. REFLEKSI KASUS
1. Identitas
Nama : An. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 7 tahun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : Kelas 1 SD
Alamat : Jember
2. Autoanamnesis
Keluhan utama :
Pasien mengeluh lepuh-lepuh seperti disundut rokok dan terasa sangat
gatal di wajah, leher, dan dada bagian atas
RPS
- Tujuh hari yang lalu, pada kulit hidung timbul lepuh-lepuh seperti
disundut rokok dengan bula kemerahan berisi cairan sebesar ujung
jarum pentul. Pasien sering menggaruk-garuk kulitnya karena gatal.
Bula-bula kemerahan berisi cairan tersebut sebagian ada yang pecah
dan membentuk keropeng. Esok harinya lepuh-lepuh dan bula
kemerahan semakin bertambah banyak di sekitar mulut serta meluas
19
ke dahi, pelipis dan dagu. Pasien tidak mengeluh demam, tetapi terasa
malas untuk makan dan susah tidur. Kemudian, pasien berobat ke
Puskesmas dan diberikan obat minum dan salep, tetapi keluhan pasien
tidak berkurang. Sekitar 5 hari kemudian lepuh-lepuh dan bula
kemerahan meluas ke daerah leher, jumlahnya semakin banyak.
RPD (-)
RPK (-)
RPO
Salep dan obat minum, tetapi pasien lupa nama obatnya.
3. Pemeriksaan fisik
Status Generalis
Keadaan Umum : Cukup
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign :
• Nadi : 105 x/menit
• Suhu : 37 0C
• Pernapasan : 24 x/menit
Berat badan : 22 kg
Tinggi Badan : 85 cm
Status Gizi : Cukup
K/L : dbN
Thorax : dbN
Abdomen : dbN
Status Lokalis
Distribusi : Regional
Regio : dahi, hidung, sekitar mulut, dagu, leher, dan
dada bagian atas
20
Efloresensi : Pustula, vesikel-bula dinding tipis, isi pus, eritema,
tampak krusta tebal berwarna kuning kecoklatan, menyebar ke perifer
dan bagian tengah sembuh. Ekskoriasi (+), lesi multipel, bentuk bulat,
tidak teratur, diameter bervariasi antara 1 – 2 cm, batas tegas,
menimbul dari permukaan kulit. Tidak tampak tepi yang aktif,
sebagian kering dan sebagian basah.
4. Diagnosa banding :
Varisela
Dermatofitosis
Dermatitis seboroik dengan infeksi sekunder
Dermatitis atopi
Pemfigus vulgaris
Ektima
5. Diagnosa Kerja :
Impetigo krustosa
6. Penatalaksanaan
Non-medikamentosa
21
Mandi 20-30 menit dan mengelupaskan krusta dengan handuk
basah
Mencegah anak untuk menggaruk daerah lecet.
Menutup daerah yang lecet dengan verban tahan air
Memotong kuku anak
Lanjutkan pengobatan sampai semua luka lecet sembuh
Lakukan drainase pada bula dan pustul secara aseptik dengan jarum
suntik untuk mencegah penyebaran lokal
Kompres dengan menggunakan larutan NaCl 0,9%
Medikamentosa
Sistemik : Amoxicillin 7,5-25 mg/Kg/dosis 3x sehari a.c
Topikal : Salep Mupirosin
7. Prognosis : Dubia ad bonam
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Alsterholm M, Flytström I, Bergbrant IM, Faergemann J. Fusidic acid-
resistant Staphylococcus aureus in impetigo contagiosa and secondarily
infected atopic dermatitis. Acta Derm Venereol. 2010;90(1):52-70
2. Bass JW, Chan DS, Creamer KM, et al. Comparison of oral cephalexin,
topical mupirocin and topical bacitracin for treatment of impetigo. Pediatr
Infect Dis J. Jul 1997;16(7):708-10.
3. Beheshti, 2007, Impetigo, a brief review, Fasa-Iran: Fasa Medical School.
4. Bernard P. Management of common bacterial infections of the skin. Curr
Opin Infect Dis. Apr 2008;21(2):122-8.
5. Capizzi R, Landi F, Milani M, Amerio P. Skin tolerability and efficacy of
combination therapy with hydrogen peroxide stabilized cream and
adapalene gel in comparison with benzoyl peroxide cream and adapalene gel
in common acne. A randomized, investigator-masked, controlled trial. Br J
Dermatol. Aug 2004;151(2):481-4.
6. Cole, C and Gazewood, J. 2007, Diagnosis and Treatment of Impetigo,
Virginia:University of Virginia School of Medicine.
7. Denton M, O'Connell B, Bernard P, Jarlier V, Williams Z, Henriksen AS.
The EPISA study: antimicrobial susceptibility of Staphylococcus aureus
causing primary or secondary skin and soft tissue infections in the
23
community in France, the UK and Ireland. J Antimicrob Chemother. Mar
2008;61(3):586-8.
8. Djuanda, 2005, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
9. Gelmetti C. Local antibiotics in dermatology. Dermatol Ther. May-Jun
2008;21(3): 187-95.
10. George A, Rubin G. A systematic review and meta-analysis of treatments
for impetigo. Br J Gen Pract. Jun 2003;53(491):480-7.
11. Geria AN, Schuartz RA. Impetigo Update: New Challenges in the Era of
Methicillin Resistance. Cutis. 2010;85(2):65-70.
12. Jacobs MR. Retapamulin: a semisynthetic pleuromutilin compound for
topical treatment of skin infections in adults and children. Future Microbiol.
Dec 2007;2(6):591-600.
13. Koning S, van der Wouden JC, Chosidow O, et al. Efficacy and safety of
retapamulin ointment as treatment of impetigo: randomized double-blind
multicentre placebo-controlled trial. Br J Dermatol. May 2008;158(5):1077-
82.
14. Lewis, L. 2011. Impetigo. http://emedicine.medscape.com/article/965254
15. Mc Sweeney-Ryan, S. and Sandel, M. Impetigo. The Health Care of
Homeless Persons - Part I – Impetigo
16. Oranje AP, Chosidow O, Sacchidanand S, et al. Topical retapamulin
ointment, 1%, versus sodium fusidate ointment, 2%, for impetigo: a
randomized, observer-blinded, noninferiority study. Dermatology.
2007;215(4):331-40.
17. Patrizi A, Raone B, Savoia F, Ricci G, Neri I. Recurrent toxin-mediated
perineal erythema: eleven pediatric cases. Arch Dermatol. Feb
2008;144(2):239-43.
18. Provider synergies, 2007, Impetigo Agents, Topical Review, Ohio:
Intellectual Property Department Provider Synergies LLC
19. Scheinfeld N. A Primer In Topical Antibiotics For The Skin And Eyes. J
Drugs Dermatol. 2008;7(4):409-415.
24
20. Silverberg N, Block S. Uncomplicated skin and skin structure infections in
children: diagnosis and current treatment options in the United States. Clin
Pediatr (Phila). Apr 2008;47(3):211-9.
21. Woodford N, Afzal-Shah M, Warner M, Livermore DM. In vitro activity of
retapamulin against Staphylococcus aureus isolates resistant to fusidic acid
and mupirocin. J Antimicrob Chemother. Oct 2008;62(4):766-8.
25