Ima
-
Upload
ai-niech-inoel -
Category
Documents
-
view
35 -
download
0
Transcript of Ima
Laporan Kasus
INFARK MIOCARD AKUT
Oleh :
AINUL YAKIN
206.12.1.0050
Pembimbing :
Dr. Bondan, M.Kes, Sp.PD
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
LAB ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KANJURUHAN KEPANJEN
MALANG
2011
1
BAB I
PENDAHULUAN
Infark miokard akut (IMA) adalah suatu keadaan nekrosis otot jantung akibat
ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen yang terjadi secara mendadak.
Penyebab paling sering adalah adanya sumbatan koroner, sehingga terjadi gangguan aliran darah
yang diawali dengan hipoksia miokard (Setianto et al., 2003).
IMA merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju. Laju mortalitas
awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien
mencapai rumah sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir,
sekitar 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam
tahun pertama setelah IMA (Alwi, 2006).
Pada tahun 2005 di Amerika, penyakit kardiovaskuler bertanggung jawab untuk 864,500
kematian, atau 35,3% dari seluruh kematian pada tahun itu. Sebesar 151.000 kematian akibat
infark miokard (Eoudi et al., 2010). Adapun data epidemiologis pada tingkat nasional
diantaranya laporan studi mortalitas tahun 2001 oleh Survei Kesehatan Nasional menunjukkan
bahwa penyebab utama kematian di Indonesia adalah penyakit sistem sirkulasi (jantung dan
pembuluh darah) sekitar 26,39% (Jamal, 2004). miokard diawali proses berkurangnya pasokan
oksigen (iskemia) jantung yang disebabkan oleh berbagai hal antara lain aterosklerotik, trombi
arterial, spasme, emboli koroner, anomali kongenital, yang merupakan gangguan pada pembuluh
darah koroner. Penyebab gangguan pada jantung seperti hipertrofi ventrikel, dan penyakit
sistemik seperti anemia akan menyebabkan penurunan kapasitas pembawa oksigen (O2).
Keseluruhan penyebab di atas bisa mengakibatkan iskemik jantung, bila tidak tertolong akan
mengakibatkan kematian jantung yang disebut infark miokard (Braunwald and Pasternak, 2000).
Menurut kriteria WHO (World Health Association), diagnosis IMA dapat ditegakkan
apabila didapatkan dua dari tiga kelainan sebagai berikut yaitu adanya (1) keluhan nyeri dada
yang karakteristik, (2) abnormalitas gambaran elektrokardiografi yang spesifik, (3) adanya
peningkatan kadar serum enzim – enzim kardiak (Rachmi, 2003).
2
BAB II
STATUS PENDERITA
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn.Raharjo
Umur : 69 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Sbr mjg wetan
Status Perkawinan : Menikah
Suku : Jawa
Tanggal MRS : 07 mei 2012
No. Register : 289207
B. ANAMNESIS
√ : sendiri √ : orang lain
1. Keluhan Utama : Nyeri dada
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Kanjuruhan dengan keluhan nyeri dada yang
dirasakan ± 1bulan yang lalu dan memberat sejak 4 jam yang lalu. Nyeri dada
dirasakan terutama jika pasien beraktivitas ataupun berjalan jauh. Pasien juga
mengaku cepat lelah bila beraktifitas sejak 1 bulanan ini. BAB dan BAK pasien
dalam batas normal.
3
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat hipertensi (+) : selama 2 tahun
- Riwayat maag (-)
- Riwayat diabetes melitus (+)
- Riwayat asma (-)
- Riwayat alergi obat/makanan (-)
- Penyakit paru (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
- Hipertensi (-)
- Asma (-)
- Penyakit jantung (-)
- Penyakit paru (-)
- DM (-)
- Alergi obat/makanan (-)
5. Riwayat Kebiasaan
- Riwayat merokok (+) ± 7 batang / hari
- Minum kopi (+)
- Minum alkohol (-)
- Olah raga (-)
6. Anamnesis Sistem
1. Kulit : kulit gatal (-)
2. Kepala : sakit kepala (-), pusing (-), rombut rontok (-), luka (-), benjolan (-)
3. Mata : pandangan mata berkunang-kunang (-),penglihatan kabur (-), ketajaman
penglihatan berkurang (-), penglihatan ganda(-).
4. Hidung: Cairan(-), mimisan (-)
5. Telinga: pendengaran berkurang (-), berdengung (-), cairan (-), nyeri(-)
6. Mulut : sariawan (-), mulut kering (-), lidah terasa pahit (-)
7. Tenggorokan : nyeri menelan (-), suara serak (-)
8. Pernafasan : sesak nafas (+), batuk (-), mengi (-)
9. Kardiovaskuler: nyeri dada (+), berdebar-debar (+).
4
10. Gastrointestinal: mual (-), muntah(-), diare (-), nafsu makan menurun (+) nyeri
perut (-)
11. Genitourinaria : BAK ± 3xsehari, warna kuning jernih jumlah dalam batas
normal.
12. Neurologik : lumpuh (-),kaki kesemutan(-),kejang (-)
13. Psikiatrik : emosi stabil (+), mudah marah (-), gelisah (+)
14. Muskolokeletal : kaku sendi (-), nyeri sendi pinggul (-), nyeri tangan dan kaki (-),
nyeri otot (-)
15. Ekstremitas atas : sakit (-), telapak tangan pucat (-), kebiruan (-), luka (-)
16. Ekstremitas bawah : bengkak (-), sakit (-), telapak kaki pucat (-), kebiruan (-),
luka (-)
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum ( 07 Mei 2012)
Tampak sesak, kesadaran compos mentis (GCS 456), status gizi kesan cukup.
2. Tanda Vital
Tensi : 80/50mmHg
Nadi : 99 x / menit
Pernafasan : 24x /menit
Suhu : 37oC
3. Kulit
Turgor baik, ikterik (-), sianosis (-), venektasi (-), petechie (-), spider nevi (-),
hiperhidrosis (-)
4. Kepala
Bentuk mesocephal, luka (-), rambut tidak mudah dicabut, keriput (-), atrofi m.
temporalis (-), makula (-), papula (-), nodula (-), kelainan mimik wajah / bells palsy
(-)
5. Mata
Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), eksoftalmus (-),Jofroy sign (-), stelwag (-),
darlymple (-), von grafe (-), staring (-)
5
6. Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-).
7. Mulut
Bibir pucat (-), bibir cianosis (-), gusi berdarah (-).
8. Telinga
Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-), pendengaran berkurang (-).
9. Tenggorokan
Tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-).
10. Leher
JVP meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar limfe (-),
Kelenjar tiroid teraba difus, konsistensi kenyal padat, tidak panas, nyeri, bruit (-)
11. Thoraks
Normochest, simetris, pernapasan abdominothoracal, retraksi (-), spider nevi (-),
pulsasi infrasternalis (-), sela iga melebar (-).
Cor :
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis kuat angkat
Perkusi : batas kiri atas : SIC II Linea Para Sternalis Sinistra
batas kanan atas : SIC II Linea Para Sternalis Dextra
batas kiri bawah :SIC VI 1 cm medial Linea midclavicula sinistra
batas kanan bawah: SIC V Linea Para Sternalis Dextra
pinggang jantung : SIC III Linea Para Sternalis Sinistra
(batas jantung terkesan membesar)
Auskultasi: Irama reguler, Heart Rate 36x/mnt
Bunyi jantung I–II intensitas normal, bising (-)
Pulmo :
Statis (depan dan belakang)
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler, suara tambahan (ronkhi +/+)
6
Dinamis (depan dan belakang)
Inspeksi : pergerakan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler, suara tambahan (ronkhi +/+)
12. Abdomen
Inspeksi : perut tampak mendatar, tidak ada pembesar hepar dan lien
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : Supel (+), Hepar teraba 2 jari Bawah Arkus kostarum, perabaan
kenyal,padat, permukaan rata, pinggir tajam, nyeri tekan
(-), bruit (-), Hepatojugular Refluk (-). Ballotement ginjal (-), Nyeri tekan
(+) di epigastrium
Perkusi : timpani, meteorismus (-)
13. Ektremitas
palmar eritema (-/-)
akral dingin Oedem
- -
- -
- -
- -
14. Sistem genetalia: dalam batas normal.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Elektrokardiografi
Irama: sinus dengan total AV blok ventrikel escape 42x/ mnt
Terdapat gelombang ST elevasi di lead 2,3 dan AVF
Terdapat gelombang ST depresi di V2 ,V3 dan V4
2. Foto Thorak
Pemeriksaan foto thorak masih direncanakan
7
3. Laboratorium
(07 Mei 2012)
- Hb : 16,8 (N : L 13,5-18. P 12-16 g/dl)
- Hematokrit : 52,6 (N: L 40-54 . P 35-47 %)
- Eritrosit : 5,65 (N: L 4,5-6,5 . P 3,0-6.0 juta /cmm)
- Lekosit : 16.170 (N: 4000-11.000 sel/cmm)
- Trombosit : 137.000 (N: 150.000-450.000 sel/cmm)
- GDS : 244 (N: < 140 mg/dl)
- SGOT : 186 (N: L <43. P <36 U/L)
- SGPT : 114 (N: L <43. P <36 U/L)
- Ureum : 38 (N: 20-40 mg/dl)
- Kreatinin : 1,29 (N: L 0,6-1,1 . P 0,5-0,9 mg/dl)
- LDH : 705 (N: 230-460 mmol/L)
- CK-MB :300.00m (N: < 68 ng/ml)
Kesimpulan :
E. DIAGNOSIS
Infark miokard akut
G. PENATALAKSANAAN
1. Non Medika mentosa
a. Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakitnya
b. Tirah baring
c. Posisi semifowler
d. Kurangi intake cairan dan garam
2. Medikamentosa
- O2 2 - 4 liter/menit
- IVFD RL 12 tts/mnt
- Inj Farsix(10mg/2ml) 2x1 amp
- Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
- Po : Captopril 3 x 12.5mg
- Po : digoxin 1-0-0
8
H. FOLLOW UP
Nama : Tn.R
Diagnosis : Decompentatio Cordis
Tabel flowsheet penderita
Tanggal S O A P
1 8/08/2011 Sesak (+),
Nyeri perut
(+),
Bengkak kaki
(+),
ngongsrong
(+)
T : 160/110
N :112 x/mnt
S : 37oC
RR: 24x/mnt
Thorax:
Rh : + +
+ +
Abdomen:
NT(+)
epigastrium
Extremitas:
Edema - -
+ +
CHF - O2 2 - 4 liter/menit
- IVFD RL 12 tts/mnt
- Inj Farsix (10mg/2ml)
1x1 amp
- Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
- Po : captopril 3 x
6,25mg
- Po : Digoxin 1 x 1
2 09/8/2011 Sesak (+),
Nyeri perut
(+),
Bengkak kaki
(+),
ngongsrong
(+)
T : 140/100
N :112 x/mnt
S : 36
RR : 22x/m
Thorax:
Rh : + +
+ +
Abdomen:
NT(+)
epigastrium
Extremitas:
CHF Terapi lanjut
9
Edema - -
+ +
3 10/8/2011 Sesak (+) ↓
Nyeri perut (-)
Bengkak kaki
(+)↓,
ngongsrong (-)
T : 110/80
N : 112 x/mnt
S : 37
RR: 22 x/mnt
Thorax:
Rh : - -
- -
Abdomen:
NT(-)
Extremitas:
Edema - -
+ +
CHF Po: captopril 3x12,5
4 11/8/2011 Sesak (+)↓
Bengkak kaki
(-)
T : 110/80
N : 108 x/mnt
S : 36,5
RR: 20x/mnt
Edema - -
- -
CHF Terapi tetap
5 12/8/2011 Keluhan - T: 130/70
N: 112 x/mnt
S: 36,4
RR: 20x/ mnt
CHF BLPL
-Captopril 3x12,5 mg
-Digoxin 1X1
- Furosemid 1x1
10
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi Infark Miokard
Infark adalah area nekrosis koagulasi pada jaringan akibat iskemia lokal, disebabkan oleh
obstruksi sirkulasi ke daerah itu, paling sering karena trombus atau embolus (Dorland, 2002).
Iskemia terjadi oleh karena obstruksi, kompresi, ruptur karena trauma dan vasokonstriksi.
Obstruksi pembuluh darah dapat disebabkan oleh embolus, trombus atau plak aterosklerosis.
Kompresi secara mekanik dapat disebabkan oleh tumor, volvulus atau hernia. Ruptur karena
trauma disebabkan oleh aterosklerosis dan vaskulitis. Vaskokonstriksi pembuluh darah dapat
disebabkan obat-obatan seperti kokain (Wikipedia, 2010).
Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung yang disebabkan
oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen (Fenton, 2009). Klinis sangat
mencemaskan karena sering berupa serangan mendadak umumya pada pria 35-55 tahun, tanpa
gejala pendahuluan (Santoso, 2005).
Otot jantung diperdarahi oleh 2 pembuluh koroner utama, yaitu arteri koroner kanan dan
arterikoroner kiri. Kedua arteri ini keluar dari aorta. Arteri koroner kiri kemudian bercabang
menjadi arteri desendens anterior kiri dan arteri sirkumfleks kiri. Arteri desendens anterior kiri
berjalan pada sulkus interventrikuler hingga ke apeks jantung. Arteri sirkumfleks kiri berjalan
pada sulkus arterio-ventrikuler dan mengelilingi permukaan posterior jantung. Arteri koroner
kanan berjalan di dalam sulkus atrio-ventrikuler ke kanan bawah (Oemar, 1996). Anatomi
pembuluh darah jantung dapat dilihat pada Gambar 2.1.
12
Gambar 2.1. Anatomi arteri koroner jantung
Dikutip dari NewYork-Presbyterian Hospital
3.2 Etiologi dan Faktor Resiko
Menurut Alpert (2010), infark miokard terjadi oleh penyebab yang heterogen, antara lain:
1. Infark miokard tipe 1
Infark miokard secara spontan terjadi karena ruptur plak, fisura, atau diseksi plak
aterosklerosis. Selain itu, peningkatan kebutuhan dan ketersediaan oksigen dan nutrien yang
inadekuat memicu munculnya infark miokard. Hal-hal tersebut merupakan akibat dari
anemia, aritmia dan hiper atau hipotensi.
13
2. Infark miokard tipe 2
Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vaskonstriksi dan spasme arteri menurunkan
aliran darah miokard.
3. Infark miokard tipe 3
Pada keadaan ini, peningkatan pertanda biokimiawi tidak ditemukan. Hal ini disebabkan
sampel darah penderita tidak didapatkan atau penderita meninggal sebelum kadar pertanda
biokimiawi sempat meningkat.
4. a. Infark miokard tipe 4a
Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard (contohnya troponin) 3 kali lebih
besar dari nilai normal akibat pemasangan percutaneous coronary intervention (PCI) yang
memicu terjadinya infark miokard.
b. Infark miokard tipe 4b
Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent trombosis.
5. Infark miokard tipe 5
Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai normal. Kejadian infark miokard
jenis ini berhubungan dengan operasi bypass koroner. Ada empat faktor resiko biologis
infark miokard yang tidak dapat diubah, yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga.
Resiko aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit yang serius
jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga
berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik (Santoso, 2005). Faktor- faktor tersebut
adalah abnormalitas kadar serum lipid, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, faktor
psikososial, konsumsi buah-buahan, diet dan alkohol, dan aktivitas fisik (Ramrakha, 2006).
Menurut Anand (2008), wanita mengalami kejadian infark miokard pertama kali 9 tahun
lebih lama daripada laki-laki. Perbedaan onset infark miokard pertama ini diperkirakan dari
berbagai faktor resiko tinggi yang mulai muncul pada wanita dan laki-laki ketika berusia muda.
Wanita agaknya relatif kebal terhadap penyakit ini sampai menopause, dan kemudian menjadi
sama rentannya seperti pria. Hal diduga karena adanya efek perlindungan estrogen (Santoso,
2005).
14
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko adalah hiperlipidemia.
Hiperlipidemia adalah peningkatan kadar kolesterol atau trigliserida serum di atas batas normal.
The National Cholesterol Education Program (NCEP) menemukan kolesterol LDL sebagai
faktor penyebab penyakit jantung koroner. The Coronary Primary Prevention Trial (CPPT)
memperlihatkan bahwa penurunan kadar kolesterol juga menurunkan mortalitas akibat infark
miokard (Brown, 2006).
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan
diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi
vaskuler terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung bertambah,
sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses
aterosklerosis terjadi, maka penyediaan oksigen untuk miokard berkurang. Tingginya kebutuhan
oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen yang tersedia
(Brown, 2006).
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung kororner sebesar 50%. Seorang
perokok pasif mempunyai resiko terkena infark miokard. Di Inggris, sekitar 300.000 kematian
karena penyakit kardiovaskuler berhubungan dengan rokok (Ramrakha, 2006). Menurut Ismail
(2004), penggunaan tembakau berhubungan dengan kejadian miokard infark akut prematur di
daerah Asia Selatan.
Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar 25-49% penyakit
jantung koroner di negara berkembang berhubungan dengan peningkatan indeks masa tubuh
(IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT > 25-30 kg/m2 dan obesitas dengan IMT > 30
kg/m2. Obesitas sentral adalah obesitas dengan kelebihan lemak berada di abdomen. Biasanya
keadaan ini juga berhubungan dengan kelainan metabolik seperti peninggian kadar trigliserida,
penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi insulin dan diabetes
melitus tipe II (Ramrakha, 2006).
Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja, rendahnya dukungan sosial,
personalitas yang tidak simpatik, ansietas dan depresi secara konsisten meningkatkan resiko
terkena aterosklerosis (Ramrakha, 2006).
Resiko terkena infark miokard meningkat pada pasien yang mengkonsumsi diet yang
rendah serat, kurang vitamin C dan E, dan bahan-bahan polisitemikal. Mengkonsumsi alkohol
satu atau dua sloki kecil per hari ternyata sedikit mengurangi resiko terjadinya infark miokard.
15
Namun bila mengkonsumsi berlebihan, yaitu lebih dari dua sloki kecil per hari, pasien memiliki
peningkatan resiko terkena penyakit (Beers, 2004).
3.3 Patologi
Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis yang kemudian
ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit aterosklerosis ditandai dengan formasi
bertahap fatty plaque di dalam dinding arteri. Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam
lumen, sehingga diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu aliran darah ke
distal dari tempat penyumbatan terjadi (Ramrakha, 2006).
Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus tipe II, hipertensi,
reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan aktivasi endotelial.
Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan injury bagi sel endotel. Akibat disfungsi
endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti nitric oxide,
yang berkerja sebagai vasodilator, anti-trombotik dan anti-proliferasi. Sebaliknya, disfungsi
endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan angiotensin II yang
berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel (Ramrakha, 2006).
Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi. Kemudian leukosit
bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi makrofag. Di sini makrofag berperan sebagai
pembersih dan bekerja mengeliminasi kolesterol LDL. Sel makrofag yang terpajan dengan
kolesterol LDL teroksidasi disebut sel busa (foam cell). Faktor pertumbuhan dan trombosit
menyebabkan migrasi otot polos dari tunika media ke dalam tunika intima dan proliferasi
matriks. Proses ini mengubah bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan fibrosa menutupi
ateroma matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan trombosit ke tepian
ateroma yang kasar menyebabkan terbentuknya trombosis. Ulserasi atau ruptur mendadak
lapisan fibrosa atau perdarahan yang terjadi dalam ateroma menyebabkan oklusi arteri (Price,
2006).
Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh formasi plak. Kejadian
tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan obstruksi, menurunkan aliran darah
koroner, dan menyebabkan manifestasi klinis infark miokard. Lokasi obstruksi berpengaruh
terhadap kuantitas iskemia miokard dan keparahan manifestasi klinis penyakit. Oleh sebab itu,
16
obstruksi kritis pada arteri koroner kiri atau arteri koroner desendens kiri berbahaya (Selwyn,
2005).
Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan miokard menurun dan dapat
menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis, biokimia dan elektrikal miokard. Perfusi yang
buruk ke subendokard jantung menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya. Perkembangan cepat
iskemia yang disebabkan oklusi total atau subtotal arteri koroner berhubungan dengan kegagalan
otot jantung berkontraksi dan berelaksasi (Selwyn, 2005).
Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme, fungsi dan struktur
sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan glukosa menjadi karbon dioksida dan air.
Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa diubah
menjadi asam laktat dan pH intrasel menurun. Keadaaan ini mengganggu stabilitas membran sel.
Gangguan fungsi membran sel menyebabkan kebocoran kanal K+ dan ambilan Na+ oleh
monosit. Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel (<20 menit) atau ireversibel (>20
menit). Iskemia yang ireversibel berakhir pada infark miokard (Selwyn, 2005).
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner, maka
terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis
koroner tidak menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk
pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat
cepat (Antman, 2005).
Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang disebabkan
oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak. Erosi dan ruptur plak ateroma menimbulkan
ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. Pada Non STEMI, trombus yang terbentuk
biasanya tidak menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri koroner (Kalim, 2001).
Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial (nontransmural). Infark
miokard transmural disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang terjadi cepat yaitu dalam
beberapa jam hingga minimal 6-8 jam. Semua otot jantung yang terlibat mengalami nekrosis
dalam waktu yang bersamaan. Infark miokard subendokardial terjadi hanya di sebagian miokard
dan terdiri dari bagian nekrosis yang telah terjadi pada waktu berbeda-beda (Selwyn, 2005).
17
3.4 Gejala Klinis
Nyeri dada penderita infark miokard serupa dengan nyeri angina tetapi lebih intensif dan
berlangsung lama serta tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat ataupun pemberian nitrogliserin
(Irmalita, 1996). Angina pektoris adalah “jeritan” otot jantung yang merupakan rasa sakit pada
dada akibat kekurangan pasokan oksigen miokard. Gejalanya adalah rasa sakit pada dada sentral
atau retrosentral yang dapat menyebar ke salah satu atau kedua tangan, leher dan punggung.
Faktor pencetus yang menyebabkan angina adalah kegiatan fisik, emosi berlebihan dan
terkadang sesudah makan. Hal ini karena kegiatan tersebut mencetuskan peningkatan kebutuhan
oksigen. Namun, sakit dada juga sering timbul ketika pasien sedang beristirahat (Hanafiah,
1996).
Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut, berkeringat dingin dan lemas.
Pasien terus menerus mengubah posisinya di tempat tidur. Hal ini dilakukan untuk menemukan
posisi yang dapat mengurangi rasa sakit, namun tidak berhasil. Kulit terlihat pucat dan
berkeringat, serta ektremitas biasanya terasa dingin (Antman, 2005).
Pada fase awal infark miokard, tekanan vena jugularis normal atau sedikit meningkat
(Irmalita, 1996). Pulsasi arteri karotis melemah karena penurunan stroke volume yang dipompa
jantung (Antman, 2005). Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat
nadi menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah
menurun atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa minggu, tekanan
darah kembali normal (Irmalita, 1996).
Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah. Pulsasinya
juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik abnormal yang
disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4),
penurunan intensitas suara jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda
disfungsi ventrikel jantung. Jika didengar dengan seksama, dapat terdengar suara friction rub
perikard, umumnya pada pasien infark miokard transmural tipe STEMI (Antman, 2005).
18
3.5 Diagnosis
Menurut Irmalita (1996), diagnosis IMA ditegakkan bila didapatkan dua atau lebih dari 3
kriteria, yaitu :
1. Adanya nyeri dada Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan
pemberian nitrat biasa.
2. Perubahan elektrokardiografi (EKG) Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG.
Selama fase awal miokard infark akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri
koroner menunjukkan elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG berupa elevasi
segmen ST akan berkembang menjadi gelombang Q. Sebagian kecil berkembang
menjadi gelombang non-Q. Ketika trombus tidak menyebabkan oklusi total, maka
tidak terjadi elevasi segmen ST. Pasien dengan gambaran EKG tanpa elevasi segmen
ST digolongkan ke dalam unstable angina atau Non STEMI (Cannon, 2005).
3. Peningkatan petanda biokimia. Pada nekrosis miokard, protein intraseluler akan
masuk dalam ruang interstitial dan masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler
lokal dan aliran limfatik (Patel, 1999). Oleh sebab itu, nekrosis miokard dapat
dideteksi dari pemeriksaan protein dalam darah yang disebabkan kerusakan sel.
Protein-protein tersebut antara lain aspartate aminotransferase (AST), lactate
dehydrogenase, creatine kinase isoenzyme MB (CK-MB), mioglobin, carbonic
anhydrase III (CA III), myosin light chain (MLC) dan cardiac troponin I dan T (cTnI
dan cTnT) (Samsu, 2007). Peningkatan kadar serum protein-protein ini
mengkonfirmasi adanya infark miokard (Nigam, 2007).
EKG sebagai Penegakan Diagnosis Infark Miokard
Kompleks QRS normal menunjukkan resultan gaya elektrik miokard ketika ventrikel
berdepolarisasi. Bagian nekrosis tidak berespon secara elektrik. Vektor gaya bergerak menjauhi
bagian nekrosis dan terekam oleh elektroda pada daerah infark sebagai defleksi negatif
abnormal. Infark yang menunjukkan abnormalitas gelombang Q disebut infark gelombang Q.
Pada sebagian kasus infark miokard, hasil rekaman EKG tidak menunjukkan gelombang Q
abnormal. Hal ini dapat terjadi pada infark miokard dengan daerah nekrotik kecil atau tersebar.
Gelombang Q dikatakan abnormal jika durasinya ≥ 0,04 detik. Namun hal ini tidak berlaku untuk
gelombang Q di lead III, aVR, dan V1, karena normalnya gelombang Q di lead ini lebar dan
dalam (Chou, 1996).
19
Pada injury miokard, area yang terlibat tidak berdepolarisasi secara sempurna. Area
tersebut lebih positif dibandingkan daerah yang normal pada akhir proses depolarisasi. Jika
elektroda diletakkan di daerah ini, maka potensial yang positif akan terekam dalam bentuk
elevasi segmen ST. Jika elektroda diletakkan di daerah sehat yang berseberangan dengan area
injury, maka terekam potensial yang negatif dan ditunjukkan dalam bentuk ST depresi. ST
depresi juga terjadi pada injury subendokard, dimana elektroda dipisahkan dari daerah injury
oleh daerah normal. Vektor ST bergerak menjauhi elektroda, yang menyebabkan gambaran ST
depresi (Chou, 1996).
Iskemik miokard memperlambat proses repolarisasi. Area iskemik menjadi lebih negatif
dibandingkan area yang sehat pada masa repolarisasi. Vektor T bergerak menjauhi daerah
iskemik. Elektroda yang terletak di daerah iskemik merekam gerakan ini sebagai gelombang T
negatif. Iskemia subendokard tidak mengubah arah gambaran gelombang T, mengingat proses
repolarisasi secara normal bergerak dari epikard ke arah endokard. Karena potensial elektrik
dihasilkan repolarisasi subendokardium terhambat, maka gelombang T terekam sangat tinggi
(Chou, 1996).
Menurut Ramrakha (2006), pada infark miokard dengan elevasi segmen ST, lokasi infark
dapat ditentukan dari perubahan EKG. Penentuan lokasi infark berdasarkan perubahan gambaran
EKG dapat dilihat di Tabel 2.1.
20
Tabel 2.1. Lokasi infark miokard berdasarkan perubahan gambaran EKG
Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut disertai elevasi segmen ST.
Nilai elevasi segmen ST bervariasi, tergantung kepada usia, jenis kelamin, dan lokasi miokard
yang terkena. Bagi pria us ia≥40 tahun, S TEMI ditegakkan jika diperoleh elevasi segmen ST di
V1-V3 ≥ 2 mm dan ≥ 2,5 mm bagi pasien berusia < 40 tahun (Tedjasukmana, 2010). ST elevasi
terjadi dalam beberapa menit dan dapat berlangsung hingga lebih dari 2 minggu (Antman, 2005).
Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai dengan elevasi
segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI beragam, bisa berupa depresi
segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar atau pseudo-normalization, atau
tanpa perubahan EKG saat presentasi. Untuk menegakkan diagnosis Non STEMI, perlu dijumpai
depresi segmen ST ≥ 0,5 mm di V1-V3 dan ≥ 1 mm di sandapan lainnya. Selain itu dapat juga
21
dijumpai elevasi segmen ST tidak persisten (<20 menit), dengan amplitudo lebih rendah dari
elevasi segmen ST pada STEMI. Inversi gelombang T yang simetris ≥ 2 mm semakin
memperkuat dugaan Non STEMI (Tedjasukmana, 2010).
Terapi Farmakologi
Terdapat 3 obat yang menunjukkan efektifitas klinik dalam mengurangi gejala insufisiensi
jantung tapi tidak mengembalikan kondisi patologik yang asli (Ganiswarna, 1995). Tiga
golongan tersebut adalah :
a. Vasodilator
Vasodilator dapat menurunkan secara selektif beban jantung sebelum kontraksi, sesudah
kontraksi atau keduanya (vasodilator yang seimbang)
Vasodilator Parental hendaknya diberikan kepada pasien dengan kegagalan jantung berat atau
tidak dapat diminum obat-obatan oral misalnya pada pasien setelah operasi.
- Nitrogliserin adalah vasodilator kuat dengan pengaruh pada vena dan pengaruh yang kuat
pada jaringan pembuluh darah arteri. Penumpukan vena paru dan sistemik dipulihkan
melalui efek tersebut. Obat ini juga merupakan vasodilator koroner yang efektif sehingga
merupakan vasodilator yang lebih disukai untuk terapi kegagalan jantung pada keadaan
infark miokard akut atau angina tak stabil.
- Natrium nitropusida adalah vasodilator kuat dengan sifat-sifat venodilator kurang kuat.
Efeknya yang menonjol adalah mengurangi beban jantung setelah kontraksi dan ini
terutama efektif untuk pasien kegagalan jantung yang menderita hipertensi atau reguitasi
katub berat (Kelly dan Fry, 1995).
Vasodilator Oral
- Penghambat ACE
Mengeblok sistem renin angiotensin aldosteron dengan menghambat perubahan
angiotensin I menjadi angiotensin II, memproduksi vasodilator dengan membatasi
angiotensin II, menginduksi vasokonstriksi dan menurunkan retensi sodium dengan
mengurangi sekresi aldosteron (Massie dan Amidon, 2002). Obat yang serba guna tersebut
menurunkan tahanan perifer sehingga menurunkan afterload, menurunkan resistensi air
dan garam (dengan menurunkan sekresi aldosteron) dan dengan jalan menurunkan preload
(Katzung, 1992).
- Angiotensin reseptor bloker (ARB)
22
Merupakan pendekatan lain untuk menghambat system RAA adalah yang akan mengeblok
atau menurunkan sebagian besar efek sistem. Namun demikian agen ini tidak menunjukkan
efek penghambat ACE pada jalur potensial lain yang memproduksi peningkatan bradikinin,
prostaglandin dan nitrit oksida dalam jantung pembuluh darah dan jaringan lain. Karena
itu, ARB dapat dipertimbangkan sebagai alternatif pendapat ACE pada pasien yang tidak
dapat menerima pendapat ACE (Massie dan Amidon, 2002). Contoh obat pada golongan
ARB yang digunakan dalam terapi gagal adalah losartan, valsartan, dan kondensartan.
Ketiga obat tersebut tidak memiliki interaksi yang berarti dengan obat-obat lain (Stokley,
1996).
- Beta-Bloker
Untuk terapi kegagalan jantung bersifat kontroversial namun dapat efek-efek yang
merugikan dari katekolamin pada jantung yang mengalami kegagalan termasuk menekan
reseptor beta pada otot jantung situasi kegagalan jantung (Kelly dan Fry, 1995). Beta
bloker digunakan pada pasien gagal jantung stabil ringan, sedang atuau berat (Massie dan
Amidon, 2002). Obat ini digunakan untuk terapi gagal jantung adalah karvedilol,
bisoprolol dan metoprolol succinate (Hunt et al., 2005).
- Antagonis kanal kalsium
Secara langsung menyebabkan relaksasi otot polos pembuluh darah dan penghambat
pemasukan kalsium kedalam sel otot jantung. Kegunaan pokok obat ini dalam terapi gagal
jantung adalah berasal dari pengurangan iskemia pada pasien dengan penyakit jantung
koroner yang mendasari. Semua antagonis kalsium mempunyai sifat inotropik negatif
sehingga digunakan secara berhati-hati pada pasien dengan difungsi ventrikal kiri (Kelly
dan Fry, 1995). Obat-obat golongan tersebut sebaiknya dihindari kecuali untuk dipakai
dalam terapi hipertensi dan angina dan untuk indikasi tersebut hanya amlodipin yang boleh
digunakan pada pasien gagal jantung (Hunt et al., 2005)
- Nitrat
Terutama berkhasiat venodilator dan oleh karena ini bermanfaat untuk menyembuhkan gejala-
gejala penumpukan vena dan paru-paru. Obat-obat golongan ini mengurangi iskemia otot
dengan menetralkan tekanan pengisian ventrikel dan dengan melebarkan arteri koroner secara
23
langsung (Kelly dan Fry, 1995). Contoh obat golongan ini adalah Isosorbit mono nitrat
(ISMN) dan dinitrat (ISND).
- Hidralazin
Hidralazin adalah obat yang murni mengurangi beban jantung setelah konstraksi yang bekerja
langsung pada otot polos arteri untuk menimbulkan vasodilatasi. Hidralazin terutama berguna
dalam pengobatan reguitasi mitral kronis dan insufisiensi aorta (Kelly dan Fry, 1995).
Hidralazin oral merupakan dilator arterioral poten dan meningkatkan output kardiak pada
pasien gagal jantung kongestif (Massie dan Amidon, 2002).
- Diuretik
Tujuan dari pemberian diuretik adalah mengurangi gejala retensi cairan yaitu meningkatkan
tekanan vena jugularis atau edema ataupun keduanya. Diuretik menghilangkan retensi natrium
pada CHF dengan menghambat reabsorbsi natrium atau klorida pada sisi spesifik di tubulus
ginjal. Bumetamid, furosemid, dan torsemid bekerja pada tubulusdistal ginjal (Hunt et al.,
2005). Pasien dengan gagal jantung yang lebih berat sebaiknya diterapi dengan salah satu
loop diuretik, obat-obat ini memiliki onset cepat dan durasi aksinya yang cukup singkat.
Manfaat dari terapi diuretik yaitu dapat mengurang edema pulmo dan perifer dalam beberapa
hari bahkan jam. (Hunt et al., 2005).
- Obat-obat Inotropik
Obat-obat inotropik positif meningkatkan kontraksi otot jantung dan meningkatkan curah
jantung. Meskipun obat-obat ini bekerja melalui mekanisme yang berbeda, dalam tiap kasus
kerja inotropik adalah akibat penigkatan konsentrasi kalsium sitoplasma yang memicu
kontraksi otot jantung (Mycek et al., 2001).
Digitalis
Obat golongan digitalis ini memiliki berbagi mekanisme kerja sebagi berikut
(a)Pengaturan konsentrasi kalsium sitosol
Terjadi hambatan pada aktivitas pompa proton. Hal ini menimbulkan peningkatan
konsentrasi natrium intra sel, yang menyebabkan kadar kalsium intra sel yang meningkat
menyebabkan peningkatan kekuatan kontraksi sistolik.
(b)Peningkatan kontraktilitas otot jantung
Pemberian glikosida digitalis meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung menyebabkan
penurunan volume distribusi aksi, jadi meningkatkan efisiensi kontraksi. Efek-efek ini
24
menyebabkan reduksi kecepatan jantung dan kebutuhan oksigen otot jantung berhenti
(berkurang) (Mycek et al., 2001).
Terapi digoksin merupakan indikasi pada pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri
yang hebat setelah terapi diuretic dan vasodilator. Digoksin tidak diindikasikan pad pasien
dengan gagal jantung sebelah kanan atau diastolik. Obat yang termasuk dengan golongan
ini adalah digoksin dan digitoksin. Glikosida jantung mempengaruhi semua jaringan yang
dapat dirangsang, termasuk otot polos dan susunan saraf pusat. Mekanisme efek ini belum
diselidiki secara menyeluruh tetapi mungkin melibatkan hambatan Na+ K+ -ATPase di
dalam jaringan ini (Katzung, 1992).
Agonis β- adrenergic
Stimuli β- adrenergic memperbaiki kemampuan jantung dengan efek inotropik spesifik dalam
fase dilatasi. Hal ini menyebabkan masuknya ion kalsium ke dalam sel miokard meningkat,
sehingga dapat meningkatkan kontraksi. Contoh obat ini adalah dopamine dan dobutamin
(Mycek et al., 2001).
Inhibitor fosfodiesterase
Inhibitor fosfodiesterase memacu konsentrasi intrasel siklik –AMP. Ini menyebabkan
peningkatan kalsium intrasel dan kontraktilitas jantung. Obat yang termasuk dalam golongan
inhibitor fosfodiesterase adalah amrinon dan mirinon (Mycek et al., 2001).
Antagonis aldosteron
Antagonis aldosteron termasuk spironolakton dan inhibitor konduktan natrium diktus
kolektifus (triamteren dan amilorid). Obat-obat ini sangat kurang efektif bila digunakan
sendiri tanpa kombinasi dengan obat lain untuk penatalaksanaan pada gagal jantung.
Meskipun demikian, bila digunakan kombinasi dengan Tiazid atau diuretika Ansa Henle,
obat-obat golongan ini efektif dalam mempertahankan kadar kalium yang normal dalam
serum (Kelly dan Fry, 1995). Spironolakton merupakan inhibitor spesifik aldosteron yang
sering meningkat pada gagal jantung kongestif dan mempunyai efek penting pada retensi
potassium. Triamteren dan Amilorid bereaksi pada tubulus distal dalam mengurangi sekresi
potassium (Massie dan Amidon, 2000).
25
3.6.2 Algoritma Terapi
Algoritma penatalaksanaan gagal jatung menurut ACC/AHA pratice Guidelines 2005
berdasarkan stage dapat dilihat pada gambar 1. Pasien stage A belum mengalami gagal jantung
dan tidak memiliki penyakit jantung struktural, namun beresiko tinggi mengalami gagal jantung.
Pasien stage B memiliki penyakit jantung struktural yang mendasari namun belum mengalami
gagal jantung serta belum ada tanda dan gejala gagal jantung. Pasien stage C sudah mengalami
gagal jantung dilihat dari adanya penyakit jantung struktural serta tanda dan gejala gagal jantung.
Pasien stage D merupakan perkembangan dari stage C yang bertambah parah karena pasien
mengalami refraktosi gagal jantung pada saat istirahat. Dilihat dari kategori pasien berdasarkan
stage tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pasien didiagnosa gagal jantung jika telah
mengalami stage C dan D. Algoritme penatalaksanaan gagal jantung menurut ACC/AHA practice
Guidelines, 2005 terdiri dari 4 stage yaitu stage A, B, C, dan D (Gb.1) (Hunt, et al., 2005).
Sedangkan menurut NYHA (New York Heart Assosiation), gagal jantung dibagi dalam 4 kelas
yaitu 1, 2, 3, dan 4 (Walker and Edwards, 2003)
(Susilo F, 2010).
26
3.7 Hipertensi Menyebabkan Gagal Jantung
Pada penderita hipertensi, tahanan perifer sistemik menjadi lebih tinggi dari orang normal
akibat adanya vasokontriksi pembuluh darah. Itu berarti ventrikel kiri harus bekerja lebih keras
untuk melawan tahanan tersebut agar ejeksi darah maksimal sehingga suplai darah ke semua
jaringan tercapai sesuai kebutuhannya. Ventrikel kiri kemudian mengompensasi keadaan tersebut
dengan hipertrofi sel-sel otot jantung. Hipertrofi ventrikel kiri (left ventricle hyperthropy, LVH)
memungkinkan jantung berkontraksi lebih kuat dan mempertahankan volume sekuncup
walaupun terjadi tahanan terhadap ejeksi. Namun, lama kelamaan mekanisme kompensasi
tersebut tidak lagi mampu mengimbangi tekanan perifer yang tetap tinggi. Kegagalan mekanisme
kompensasi menyebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri. Penurunan kontraktilitas
ventrikel kiri akan diikuti oleh penurunan curah jantung yang selanjutnya menyebabkan
penurunan tekanan darah. Semua hal tersebut akan merangsang mekanisme kompensasi
neurohormonal seperti pengaktifan sistem saraf simpatis dan sistem RAA (renin-angiotensin-
aldosteron).
Pengaktifan sistem saraf simpatis akan meningkatkan kontraktilitas jantung hingga mendekati
normal. Hal itu terjadi karena saraf simpatis mengeluarkan neurotransmiter (norepinefrin-NE)
yang meningkatkan permeabilitas Ca2+ membran. Hal tersebut meningkatkan influks Ca2+ dan
memperkuat partisipasi Ca2+ dalam proses kontraksi sel. Selain itu, stimulasi simpatis juga
menyebabkan vasokontriksi perifer yang bertujuan mencegah penurunan tekanan darah lebih
lanjut. Di sisi lain, penurunan curah jantung menyebabkan penurunan perfusi jaringan organ
tubuh lainnya. Salah satunya adalah ginjal. Penurunan perfusi darah ke ginjal merangsang ginjal
27
untuk menurunkan filtrasi dan meningkatkan reabsorbsi. Kedua hal di atas menunjukkan adanya
penurunan fungsi ginjal. Penurunan perfusi ginjal juga merangsang sel-sel juxtaglomerulus untuk
mensekresi renin. Kemudian renin menghidrolisis angiotensinogen menjadi angiotensin I yang
selanjutnya oleh angiotensin converting enzyme (ACE) akan diubah menjadi angiotensin II.
Angiotensin II kemudian ditangkap oleh reseptornya di pembuluh darah (vascular ATR1) dan
terjadi vasokontriksi. Bila angiotensin II diterima oleh reseptor sel korteks adrenal (adrenal
ATR1) maka korteks adrenal akan mensekresi aldosteron. Aldosteron kemudian diikat oleh
reseptornya di ginjal. Proses tersebut membuka ENaC (epithelial Na Channel) yang
menyebabkan peningkatan retensi Na+. Karena Na+ bersifat retensi osmotik, peningkatan Na+
akan diikuti peningkatan H2O. Hasil akhir semua proses tersebut adalah peningkatan aliran
darah balik ke jantung akibat adanya peningkatan volume intravaskuler.
Pada stadium awal gagal jantung, semua mekanisme kompensasi neurohormonal tersebut
memang bermanfaat. Akan tetapi, pada stadium lanjut, mekanisme tersebut justru semakin
memperparah gagal jantung yang terjadi dan dapat menyebabkan gagal jantung tak
terkompensasi.
BAB IV
PENUTUP
28
Telah dilaporkan seorang penderita laki- laki (60 th) dengan diagnosis Decompentatio Cordis,
yang dirawat di ruang Penyakit Dalam kelas III RSUD Kanjuruhan mulai tanggal 08 Agustus
2011 . Pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan ± 1 bulan yang lalu. Selain itu
pasien juga mengeluh batuk pada malam hari. Pasien mengaku kakinya juga bengkak dan sakit
± 3 hari ini. BAB dan BAK pasien dalam batas normal.
Gagal jantung kongestif adalah keadaan dimana jantung tidak mampu memompa darah
dalam jumlah memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Gejala dari gagal jantung
kongestif gejala yang timbul dapat berupa dispnea, akibat penimbuan cairan dalam alveoli yang
mengganggu pertukaran gas, dapat terjadi saat istirahat atau dicetuskan oleh gerakan yang
minimal atau sedang.
Prinsip penatalaksanaan gagal jantung kongestif adalah meningkatkan oksigenasi dengan
pemberian oksigen dan menurunkan konsumsi O2 melalui istirahat/pembatasan aktivitas,
mengurangi beban awal dengan pembatasan cairan, pemberian diuretik dan vasodilator,
mengurangi beban akhir dengan pemberian ACE antagonis dan prasosin, serta memperbaiki
kontraktilitas dengan pemberian inotropik.
DAFTAR PUSTAKA
Davies MK, Gibbs CR, Lip GYH. 2000. ABC of heart failure: investigation. BMJ;320:297-
300
29
Davis RC, Hobbs FDR, Lip GYH. 2000. ABC of heart failure: History and epidemiology.
BMJ;320:39-42.
Jhunz. 2009. Mengapa Diabetes Melitus Meningkatkan Resiko Terjadinya Penyakit
Kardiovaskular. http://chibijhunz.blogspot.com/2009/01/mengapa-diabetes-melitus-
meningkatkan.html. Diakses tanggal 25 januari 2011.
Maggioni AP. 2005. Review of the new ESC guidelines for the pharmacological
management of chronic heart failure. European Heart Journal Supplements;7
(Supplement J):J15-J20.
Nieminen MS. 2005. Guideline on the diagnosis and treatment of acute heart failure. Full
text the task force on acute heart failure of the european society of cardiology. Eur Heart J.
Prasetyanto H, dkk. 2010. Gagal Jantung Kiri Dengan Gejala Awal Hipertensi. Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S. 2007. Diagnosis dan
tatalaksana praktis gagal jantung akut.
Setiawati A dan Nafrialdi. 2007. Obat gagal Jantung. Farmakologi Dan Terapi Fakultas
KedokteranUniversitas Indonesia. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. pp: 299-300.
Susilo F. 2010. Kajian Interaksi Obat Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif di Instalasi
Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta Periode Tahun 2008. Skripsi. Fakultas
Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
30