tinjauan pustaka ima

download tinjauan pustaka ima

of 21

Transcript of tinjauan pustaka ima

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi Infark Miokard Akut (IMA) adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot jantung yang terganggu (Harun, 2002). Infark Miokard Akut merupakan keadaan dimana terjadi iskemia atau bahkan nekrosis otot jantung yang diakibatkan gangguan pembuluh darah atau penurunan aliran darah ke otot jantung. Nekrosis miokard pada infark miokard akut dapat terjadi oleh karena tidak adekuatnya aliran darah akibat sumbatan akut arteri koroner (Purnawan,2008). 1.2 Etiologi 1. Berkurangnya suplai oksigen ke miokard a. Faktor pembuluh darah Hal ini berkaitan dengan kepatenan pembuluh darah sebagai jalan darah mencapai sel-sel jantung. Beberapa hal yang bisa mengganggu kepatenan pembuluh darah diantaranya: atherosclerosis, spasme, dan arteritis. Spasme pembuluh darah bisa juga terjadi pada orang yang tidak memiliki riwayat penyakit jantung sebelumnya, dan biasanya dihubungkan dengan beberapa hal antara lain: (a) mengkonsumsi obat-obatan tertentu; (b) stress emosional atau nyeri; (c) terpapar suhu dingin yang ekstrim, (d) merokok. b. Faktor Sirkulasi Sirkulasi berkaitan dengan kelancaran peredaran darah dari jantung keseluruh tubuh sampai kembali lagi ke jantung. Sehingga hal ini tidak akan lepas dari faktor pemompaan dan volume darah yang dipompakan. Kondisi yang menyebabkan gangguan pada sirkulasi diantaranya kondisi hipotensi. Stenosis maupun isufisiensi yang terjadi pada katup-katup jantung (aorta, mitrlalis, maupun trikuspidalis) menyebabkan menurunnya cardiac out put (COP). Penurunan COP

9

yang diikuti oleh penurunan sirkulasi menyebabkan bebarapa bagian tubuh tidak tersuplai darah dengan adekuat, termasuk dalam hal ini otot jantung. c. Faktor darah Darah merupakan pengangkut oksigen menuju seluruh bagian tubuh. Jika daya angkut darah berkurang, maka sebagus apapun jalan (pembuluh darah) dan pemompaan jantung maka hal tersebut tidak cukup membantu. Hal-hal yang menyebabkan terganggunya daya angkut darah antara lain: anemia, hipoksemia, dan polisitemia. 2. Meningkatnya kebutuhan oksigen tubuh Pada orang normal meningkatnya kebutuhan oksigen mampu dikompensasi diantaranya dengan meningkatkan denyut jantung untuk meningkatkan COP. Akan tetapi jika orang tersebut telah mengidap penyakit jantung, mekanisme kompensasi justru pada akhirnya makin memperberat kondisinya karena kebutuhan oksigen semakin meningkat, sedangkan suplai oksigen tidak bertambah. Oleh karena itu segala aktivitas yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen akan memicu terjadinya infark. Misalnya: aktivtas berlebih, emosi, makan terlalu banyak dan lain-lain. Hipertropi miokard bisa memicu terjadinya infark karea semakin banyak sel yang harus disuplai oksigen, sedangkan asupan oksien menurun akibat dari pemompaan yang tidak efektif (Purnawan, 2008). 1.3 Faktor Resiko Faktor resiko menurut Framingham dalam studi di massachusetts awal tahun 1950-an mengidentifikasi lima faktor resiko pada penyakit jantung sebagai berikut : Hiperkolesterolemia : > 275 mg/dl Merokok sigaret : > 20/hari Kegemukan : > 120 % dari BB ideal Hipertensi : > 160/90 mmHg Gaya hidup monoton ( Framingham dalam Hudak dan Gallo, 1997)

10

Secara garis besar terdapat dua jenis faktor resiko bagi setiap orang untuk terkena AMI, yaitu faktor resiko yang bisa dimodifikasi dan faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi. a. Faktor Resiko Yang Dapat Dimodifikasi Merupakan factor resiko yang bisa dikendalikan sehingga dengan intervensi tertentu maka bisa dihilangkan. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya: Merokok, Konsumsi alcohol, Infeksi, Hipertensi sistemik, Obesitas, Kurang olahraga dan Penyakit Diabetes (Julia, 2010). b. Faktor Resiko Yang Tidak Dapat Dimodifikasi Merupakan faktor resiko yang tidak bisa dirubah atau dikendalikan, yaitu diantaranya:

Usia Jenis kelamin, Riwayat keluarga/ Genetik (Julia, 2010).

1.4 Klasifikasi 1. Berdasarkan Morfologi Secara morfologik, Infark Miokard Akut dapat terjadi transmural atau subendokardial. Yang membedakan kedua jenis Infark Miokard Akut ini adalah patogenesis dan perjalanan klinis keduanya ( Harun, 2002 ). a). Infark Miokard Akut Subendokardial Daerah subendokardial merupakan daerah miokard yang sangat peka terhadap iskemia dan infark. Infark Miokard Akut subendokardial terjadi akibat aliran darah subendokardial yang relatif menurun dalam waktu yang lama sebagai akibat perubahan derajat penyempitan arteri koroner atau dicetuskan oleh kondisi-kondisi seperti hipotensi, perdarahan dan hipoksia. Pada Infark Miokard Akut subendokardial, nekrosis hanya terjadi pada bagian dalam dinding ventrikel dan umumnya berupa bercak-bercak. Derajat nekrosis dapat bertambah bila disertai peningkatan kebutuhan oksigen miokard, misalnya akibat takikardia atau hipertropi ventrikel (Noer, Sjaifoellah, 1996).11

b). Infark Miokard Akut Transmural Pada 90 % kasus Infark Miokard Akut transmural berkaitan dengan trombosis koroner. Trombosis sering terjadi didaerah yang mengalami penyempitan arteriosklerotik. Penyebab lain jarang ditemukan. Infark Miokard Akut transmural mengenai seluruh dinding otot jantung dan terjadi pada daerah distribusi suatu arteri koroner dengan gambaran konfluens (Noer, Sjaifoellah, 1996). 2. Berdasarkan Letak Pada dinding Miokard Menurut Sylvia A. Price (1995) infark miokard akut dibagi menjadi: a. Infark Miokard Akut ventrikel inferior Arteri koroner yang terlibat arteri koronaria dekstra dengan perubahan resiprokal ( hantaran EKG ) II, III, aVF. b. Infark Miokard Akut ventrikel lateral Arteri yang terlibat arteri koronaria sirkumfleksa sinistra dengan perubahan resiprokal ( hantaran EKG ) I, aVL. c. Infark Miokard Akut ventrikel anterior Arteri yang terlibat arteri desendens anterior sinistra dengan perubahan resiprokal ( hantaran EKG ) V2 V4 . d. Infark Miokard Akut septal Arteri koroner yang terlibat arteri desendens anterior sinistra dengan perubahan resiprokal ( hantaran EKG ) V1 V2. e. Infark Miokard Akut apikal Arteri koroner yang terlibat arteri desendens anterior sinistra dengan perubahan resiprokal ( hantaran EKG ) V5 V6. f. Infark Miokard Akut posterior Arteri koroner yang terlibat arteri sirkumfleksa sinistra dengan perubahan resiprokal ( hantaran EKG ) V1 V2. 3. Berdasarkan lokasinya. Menurut Sylvia A. Price (1995), Infark luas yang melibatkan bagian besar dari ventrikel dinyatakan sesuai dengan lokasinya yaitu : 1). Infark anteroseptal12

2). Infark anterolateral 3). Infark inferolateral 4). Infark biventrikuler / infark posterior ventrikel kanan 1.4 Patofisiologi Iskemia yang terjadi paling banyak disebabkan oleh penyakit arteri koroner/coronary artery disease (CAD). Pada penyakit ini terdapat materi lemak (plaque) yang telah terbentuk dalam beberapa tahun di dalam lumen arteri koronaria (arteri yang mensuplai darah dan oksigen pada jantung) . Plaque dapat rupture sehingga menyebabkan terbentuknya bekuan darah pada permukaan plaque. Jika bekuan menjadi cukup besar, maka bisa menghambat aliran darah baik total maupun sebagian pada arteri koroner. Terbendungnya aliran darah menghambat darah yang kaya oksigen mencapai bagian otot jantung yang disuplai oleh arteri tersebut. Kurangnya oksigen akan merusak otot jantung. Jika sumbatan itu tidak ditangani dengan cepat, otot jantung ang rusak itu akan mulai mati (Harun, 2002). Selain disebabkan oleh terbentuknya sumbatan oleh plaque ternyata infark juga bisa terjadi pada orang dengan arteri koroner normal (5%). Diasumsikan bahwa spasme arteri koroner berperan dalam beberapa kasus ini. Spasme yang terjadi bisa dipicu oleh beberapa hal antara lain: mengkonsumsi obat-obatan tertentu; stress emosional; merokok; dan paparan suhu dingin yang ekstrim Spasme bisa terjadi pada pembuluh darah yang mengalami aterosklerotik sehingga bisa menimbulkan oklusi kritis sehingga bisa menimbulkan infark jika terlambat dalam penangananya (Harun, 2002). Kebutuhan akan oksigen yang melebihi kapasitas suplai oksigen oleh pembuluh darah yang terserang penyakit menyebabkan iskemia miokardium lokal. Iskemia yang bersifat sementara (< 30 menit) akan menyebabkan perubahan yang sementara pada tingkat sel dam jaringan menekan fungsi miokardium. Iskemia yang berlangsung lebih dari 30-45 menit akan menyebabkan kerusakan selular yang menetap dan kematian otot jantung atau nekrosis. Kerusakan miokard terjadi dari endokardium ke epikardium, menjadi komplit dan irreversible dalam 3-4 jam. Meskipun nekrosis13

miokard sudah komplit, proses remodeling miokard yang mengalami injury terus berlanjut sampai beberapa minggu atau bulan karena daerah infark meluas dan daerah non-infark mengalami dilatasi (Harun, 2002). Bagian yang mengalami infark tak dapat lagi memenuhi fungsi kontraksi untuk selamanya. Jaringan yang mengalami infark dikelilingi oleh suatu daerah iskemik yang kemungkinan besar dapat hidup. Otot jantung yang relatif masih baik akan mengadakan kompensasi, khususnya dengan bantuan rangsang adrenergik, untuk mempertahankan curah jantung, tetapi dengan akibat peningkatan kebutuhan oksigen otot jantung. Kompensasi ini jelas tidak akan memadai bila daerah yang bersangkutan juga mengalami iskemia atau bahkan sudah fibrotik (Utantio,2005). Infark miokardium jelas akan mengurangi fungsi ventrikel karena otot yang nekrosis kehilangan daya kontraksinya sedangkan otot iskemi yang berada disekitarnya juga mengalami gangguan daya kontraksi. Sebagai akibat AMI sering terjadi perubahan bentuk serta ukuran ventrikel kiri yang terkena infark maupun non infark. Perubahan tersebut menyebabkan remodelling ventrikel yang nantinya akan mempengaruhi fungsi ventrikel, timbulnya aritmia dan prognosa. Secara fungsional Infark Miokard akan menyebabkan perubahan-perubahan seperti pada iskemia : a). Daya kontraksi menurun b). Gerakan dinding abnormal c). Perubahan daya kembang dinding ventrikel d). Penurunan curah sekuncup e). Penurunan fraksi ejeksi f). Peningkatan volume akhir sistolik dan akhir diastolik ventrikel, dan g). Peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri. Aritmia merupakan penyulit IMA tersering dan terjadi terutama pada menitmenit atau jam-jam pertama setelah serangan. Hal ini disebabkan oleh perubahanperubahan masa refrakter, daya hantar rangsang dan kepekaan terhadap rangsang. Sistem saraf autonom juga berperan besar terhadap terjadinya aritmia. Pada IMA inferior umumnya mengalami peningkatan tonus parasimpatis dengan akibat kecenderungan bradiaritmia meningkat, sedangkan peningkatan tonus simpatis pada14

IMA inferior akan mempertinggi kecenderungan fibrilasi ventrikel dan perluasan infark (Harun, 2002). 1. IMA dengan elevasi ST IMA dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivitas trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi. Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Harun dan Alwi, 2006). 2. Infark miokard akut tanpa elevasi ST Non ST elevation myocardial infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang15

diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner diawali dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai sel mikrofag dan limfosit T yang menunjukkan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti TNF , dan IL-6. Selanjutnya IL-6 akan merangsang pengeluaran hsCRP di hati (Harun dan Alwi, 2006). 1.5 Gejala Klinis Keluhan yang khas ialah nyeri dada, nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut: 1. Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial 2. Sifat nyeri : seperti diremas-remas, ditekan, ditusuk, panas atau ditindih barang berat. 3. Nyeri dapat menjalar ke lengan (umumnya kiri), bahu, leher, rahang bawah gigi, punggung/interskapula, perut dan dapat juga ke lengan kanan. 4. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat dan responsif terhadap nitrat. 5. Faktor pencetus : latihan fisik, stres emosi, udara dingin dan sesudah makan 6. Gejala yang menyertai dapat berupa mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas. Walau sifatnya dapat ringan ,tapi rasa sakit itu biasanya berlangsung lebih dari setengah jam dan lebih lama dari angina pectoris. Jarang ada hubungannya dengan aktifitas serta tidak hilang dengan istirahat atau pemberian nitrogliserin (Utantio, 2005). Walau IMA dapat merupakan manifestasi pertama penyakit jantung koroner, namun bila anamnesa dilakukan dengan teliti hal ini sering sebenarnya sudah didahului keluhan-keluhan angina, perasaan tidak enak di dada atau epigastrium

16

(Harun, 2002). Biasanya didapatkan adanya faktor pencetus yaitu exercise, emotion, eating and exposure to cold. 1.6 Pemeriksaan Penunjang 1. Elektrokardiografi Pada EKG terdapat elevasi segmen ST diikuti dengan perubahan sampai inversi gelombang T, kemudian muncul peningkatan gelombang Q minimal di 2 sadapan. Perubahan EKG pada Infark Miokard Akut cukup spesifik, tetapi hal tersebut tidak peka untuk diagnosis Infark Miokard Akut pada fase dini ( S. Harun dalam Noer, Sjaifoellah, 1996) Hudak dan Gallo ( 1997 : 387 ) menyatakan : Pada infark, miokard yang mati tidak akan mengkonduksi listrik dan gagal untuk repolarisasi secara normal, mengakibatkan elevasi segmen ST. Saat nekrotik terbentuk, dengan penyembuhan cincin iskemik disekitar area, gelombang Q terbentuk. Zona nekrotik akan menggambarkan perubahan gelombang T saat iskemia terjadi lagi. Pada awal infark, elevasi ST diikuti dengan gelombang T tinggi, selama berjam-jam atau berhari-hari berikutnya , gelombang T membalik. Sesuai dengan umur infark, gelombang Q menetap, dan segmen ST kembali ke normal. 2. Pengukuran Enzim Jantung Peningkatan kadar enzim atau isoenzim merupakan indikator spesifik infark miokard akut yaitu kreatinin fosfoskinase (CPK/CK), SGOT, LDH, alfa hidroksi butirat dehidrogenase, dan isoenzim CK-MB. Pemeriksaan seri enzim-enzim jantung diperoleh dari gambaran contoh darah tiap 8 jam selama 1 sampai 2 hari. Ketika terjadi cedera jaringan maka banyak protein terlepas dari bagian dalam sel otot jantung ke dalam sirkulasi. Enzim-enzim yang harus diobservasi adalah kreatinkinase (CK), laktat dehidrogenase (LDH) dan transaminase oksaloasetat glutamik serum (SGOT) 3. Pemeriksaan radiologi, Berguna bila ditemukan adanya bendungan paru (gagal jantung) atau kardiomegali ( S. Harun dalam Noer, Sjaifoellah, 1996)17

4. Ekokardiografi 2 dimensi. Menentukan daerah luas infark, fungsi pompa jantung dan komplikasi ( S. Harun dalam Noer, Sjaifoellah, 1996). 1.7 Diagnosa Menurut kriteria WHO tahun 1981, yaitu bila ditemukan minimal 2 dari 3 kriteria di bawah ini : 1. Nyeri dada khas lebih dari 20 menit 2. Perubahan EKG yang khas 3. Peningkatan enzim yang menggambarkan kerusakan (Utantyo, 2005). A. Anamnesis Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesa secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesa pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga (Alwi, 2006). Adanya nyeri dada yang lamanya lebih dari 30 menit yang tidak membaik dengan istirahat dan obat nitrat mengacu pada infark miokard (Alwi dan Harun, 2006). B. Pemeriksaan fisik Penderita nampak sakit, gelisah, muka pucat,kulit basah dan dingin.Tekanan darah bisa tinggi,normal atau rendah. Sekitar seperempat pasien infark inferior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi dan atau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis ( bradikardi adan atau hipotensi). Dapat ditemui bunyi jantung kedua yang pecah paradoksal,S3 dan S4 irama gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama. Kadang-kadang ditemukan pulsasi diskinetik yang tampak atau teraba di dinding dada pada IMA inferior (Alwi dan Harun, 2006).

18

C.EKG Pada EKG terdapat gambaran gelombang Q yang patologis serta perubahan segmen ST-T dimana terdapat ST elevasi, ST depresi,dan T terbalik. EKG serial dapat dilakukan dengn interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 lead sandapan secara kontinyu jika pasien simptomatik mengarah pada STEMI. Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosa IMA gelombang Q. Jika obstruksi thrombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut mnegalami angina pectoris tak stabil atau non STEMI. Pada sebagaian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut IMA non Q (Alwi dan Harun, 2006). D. Pemeriksaan laboratorium Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard). CKMB: terdeteksi 2-8 jam post serangan AMI, aktifitas maks 10-24 jam, kembali normal setelah 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik meningkatkan CKMB.

cTn : ada 2 jenis cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat kurang lebih 4-6 jam setelah onset dan maksimum pada 12-24 jam. cTn Tmasih dapat dideteksi 514 hari sedangkan dan cTn I setelah 5-10 hari.

Mioglobin : dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam. Creatini Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal 3-4 hari. Lactate Dehydrogenase (LDH) : 24-48 jam post infark, kadarnya meningkat mencapai puncak antara 48-72 jam dan perlahan turun kembali ke N setelah 5-10 hari (Alwi dan Harun, 2006)

19

1.9 Penatalaksanaan Berikut ini adalah penanganan yang dilakukan pada pasien dengan AMI: 1. Berikan oksigen meskipun kadar oksigen darah normal. Persediaan oksigen yang melimpah untuk jaringan, dapat menurunkan beban kerja jantung. Oksigen yang diberikan 5-6 L /menit melalu binasal kanul. 2. Pasang monitor kontinyu EKG segera, karena aritmia yang mematikan dapat terjadi dalam jam-jam pertama pasca serangan. 3. Darah diambil untuk pemeriksaan hitung darah lengkap, enzim jantung, elektrolit dan pembekuan 4. Pasien dalam kondisi bedrest untuk menurunkan kerja jantung sehingga mencegah kerusakan otot jantung lebih lanjut. Mengistirahatkan jantung berarti memberikan kesempatan kepada sel-selnya untuk memulihkan diri.

20

5. Pemasangan IV line untuk memudahkan pemberan obat-obatan dan nutrisi yang diperlukan. Pada awal-awal serangan pasien tidak diperbolehkan mendapatkan asupa nutrisi lewat mulut karena akan meningkatkan kebutuhan tubuh erhadap oksigen sehingga bisa membebani jantung. 6. Pasien yang dicurigai atau dinyatakan mengalami infark seharusnya mendapatkan aspirin (antiplatelet) untuk mencegah pembekuan darah. Sedangkan bagi pasien yang elergi terhadap aspirin dapat diganti dengan clopidogrel. 7. Golongan Nitrat dapat diberikan untuk menurunkan beban kerja jantung dan memperbaiki aliran darah yang melalui arteri koroner. Nitrogliserin juga dapat membedakan apakah ia Infark atau Angina, pada infark biasanya nyeri tidak hilang dengan pemberian nitrogliserin. Tabel.1 Rekomendasi Dosis Golongan Nitrat

8. Morphin merupakan antinyeri narkotik paling poten, akan tetapi sangat

mendepresi aktivitas pernafasan, sehingga tidak boleh digunakan pada pasien dengan riwayat gangguan pernafasan. Sebagai gantinya maka digunakan petidin atau mungkin memerlukan pemulihan dengan nalokson 0,8 mg dengan bolus IV. Morfin sulfat dapat diberikan per IV dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg (Alwi, 2006).9. Nitrogliserin dan morfin dapat menyebabkan hipotensi sebagai akibat dari

pengurangan after load yang berlebihan (vasodilatasi arteri) atau penurunan preload yang berlebihan (venodilatasi). Terutama pada pasien AMI inferior yang menderita infark ventrikel kanan, penurunan preload menyebabkan hipotensi. Hipotensi yang diinduksi obat ditangani dengan menaikkan tungkai dan jika perlu menaikkan sedikit cairan IV;200 ml dalam 5-10 menit, sambil memerhatikan21

dengan cermat vena leher , basis paru, dan munculnya gallop S3 untuk bukti adanya ancaman gagal jantung (Jay and Goerge, 2006). Berikut adalah obat-obatan yang digunakan pada pasien dengan AMI diantaranya: 1. Obat-obatan trombolitik Obat-obatan ini ditujukan untuk memperbaiki kembali airan darah pembuluh darah koroner, sehingga referfusi dapat mencegah kerusakan miokard lebih lanjut. Obatobatan ini digunakan untuk melarutkan bekuan darah yang menyumbat arteri koroner. Waktu paling efektif pemberiannya adalah 1 jam setelah timbul gejala pertama dan tidak boleh lebih dari 12 jam pasca serangan. Selain itu tidak boleh diberikan pada pasien diatas 75 tahun. Contohnya adalah streptokinase, alteplase (t-PA). Obat obat ini harus dihindari pada pasien yang menderita perdarahan internal aktif; riwayat stroke;bedah atau trauma intracranial atau intraspinal baru; neoplasma intracranial;malfrormasi arteri vena, atau aneurisma.; diathesis perdarahan yang jelas atau hipertensi berat tak terkontrol (Td persisten > 180 mmHg sistolik dan 110 diastolik meskipun sudah diberikan nitrogliserin dll). Regimen berikut dapat digunakan : a. t-PA (Activase), 15 mg bolus IV diikuti dengan 0,75 mg/kg (sampai 50 mg) yang diinfuskan dalam 30 menit, diikuti dengan 0,5 mg/kg (sampai 35 mg)diinfuskan dalam 60 mnt berikutnya atau b. Streptokinase (streptase, Kabikinase), 1,5 juta U/jam IV, sering kali didahului oleh difenhidramin 50 mg IV untuk mencegah alergi c. Anistreplase (Eminase) 30 U iV dalam 2-5 menit yang efektivitasnya setara dengan streptokinased. Reteplase (Retavase) 10 U IV, duilang dalam 30 mnt sekurang-kurangnya

sama efektifnya dengan streptokinase dan mungkin efektivitasnya sama dengan alteplase (Jay and Goerge, 2006). 2. Beta Blocker Obat-obatan ini menrunkan beban kerja jantung. Bisa juga digunakan untuk mengurangi nyeri dada atau ketidaknyamanan dan juga mencegah serangan jantung tambahan. Beta bloker juga bisa digunakan untuk memperbaiki aritmia.22

Terdapat dua jenis yaitu cardioselective (metoprolol, atenolol, dan acebutol) dan non-cardioselective (propanolol, pindolol, dan nadolol). Regimen berikut dapat digunakan : a. b.c.

Metoprolol, 5 mg/kg bolus IV setiap 5 menit sampai total 15 mg atau Esmolol, 0,5 mg/kg bolus IV diikuti dengan infuse dengan kecepatan 0,05 mg/kg/mnt Esmolol bekerja singkat sehingga lebih disukai untuk pasien-pasien yang blockade betanya harus diberikan dengan hati-hati misalnya CHF, blok jantung atau bronkospasme (Jay and Goerge, 2006).

Tabel. 2. Rekomendasi Dosis Beta Bloker

3. Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) Inhibitors Obat-obatan ini menurunkan tekanan darah dan mengurangi cedera pada otot jantung. Obat ini juga dapat digunakan untuk memperlambat kelemahan pada otot jantung. Misalnya captropil4. Antagonis kalsium mengurangi influks kalsium yang melalui membrane sel. Obat

ini menghambat kontraksi miokard dan otot polos pembuluh darah, melambatkan konduksi AV dan depresi nodus SA. Efek vasodilatasi, inotoropik, blok AV dan depresi nodus SA. Efek vasodilatasi, inotoropik, blok AV dan depresiasi nodus SA bervariasi pada antagonis kalsium yang berbeda. Penggunaan dihidropiridin yang lepas cepat dan kerja singkat (seperti nifedipine) berkaitan dengan peningkatan risiko pada pasien tanpa penghambatan beta yang adekuat dan harus dihindari. Indikasi pemberian antagonis kalsium antaral lain pada pasien-pasien dengan agina berulang atau berkelanjutan walaupun telah mendapatkan nitrat & penghambat beta dengan dosis adekuat, atau pasien-pasien yang tidak dapat23

bertoleransi terhadap nitrat dan penghambat beta dengan dosis yang adekuat. Selain itu dugunakan juga untuk angina prinzmetal (angina varian). Tabel 3. Rekomendasi Dosis Antagonis Kalsium

5. Obat-obatan antikoagulan Obat- obatan ini mengencerkan darah dan mencegah pembentukan bekuan darah pada arteri. Misal: heparin dan enoksaparin. Heparin diberikan selama atau segera setelah infuse t-PA. Regimen standar adalah bolus IV 5000 U, diikuti dengan infuse dengan kecepatan 1000U/jam, disesuaikan untuk mempertahankan waktu tromboplastin (PTT) dengan 1,5-2 kali dosis dasar. Regimen berdasarkan berat badan mungkin akan lebih baik untuk mencapai tingkat PTT yang didinginkan: 80 U/kg BBbolus diikuti dengan 18 U/kg/jam, disesuaikan jika perlu. Heparin sering digunakan tetapi tidak selalu diberikan jika streptokinase digunakan (Jay and Goerge, 2006). 6. Obat-obatan Antiplatelet Obat-obatan ini (misal aspirin dan clopidogrel) menghentikan platelet untuk membentuk bekuan yang tidak diinginkan. Aspirin hendaknya diberikan 160-325 mg PO untuk mencegah reoklusi dan mungkin bekerja secara sinergis dengan agen-agen trombolitik untuk memecah bekuan (Jay and Goerge, 2006). Penatalaksanaa STEMI oksigen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen