III.HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · pembuatan kemalir (Gambar 3b). Kemalir dibuat...
Transcript of III.HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · pembuatan kemalir (Gambar 3b). Kemalir dibuat...
13
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian
Kondisi umum daerah pendederan gurame diwilayah Desa Petir ini
meliputi letak dan keadaan umum, kependudukan, sarana dan prasarana.
3.1.1 Letak dan Keadaan Umum
Kecamatan Dramaga terletak di wilayah Bogor Barat Kabupaten Bogor
dengan luas wilayah 2.437.636 Ha. Kecamatan Dramaga memiliki 10 Desa
diantaranya adalah desa Cikarawang, Babakan, Dramaga, Ciherang, Petir,
Sukawening, Neglasari, Purwasari, Sukadamai dan Sinarsari. Desa Petir (Gambar
1) merupakan desa yang paling dominan dalam budidaya gurame. Desa Petir
memiliki luas 448,25 Ha yang terdiri dari pesawahan 210 Ha, pekarangan 20 Ha,
empang 20 Ha, perumahan 190 Ha, makam 4 Ha dan lainnya 8,25 Ha (Data
Potensi Desa, 2010). Peta Desa Petir dapat dilihat pada Lampiran 1. Tekstur tanah
yang terdapat di daerah Desa Petir yakni berupa tanah liat berpasir hal ini sangat
cocok untuk melakukan budidaya. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2006)
tekstur tanah merupakan bagian yang perlu diperhatikan. Jenis tanah yang baik
untuk kolam pemeliharaan adalah jenis tanah liat berpasir. Jenis tanah tersebut
dapat menahan massa air yang besar dan tidak bocor sehingga dapat dibuat
pematang atau dinding kolam.
Gambar 1. Desa Petir, Kecamatan Dramaga,Kabupaten Bogor
Sumber : www.perikanan-budidaya.kkp.go.id
14
Selain itu Desa Petir memiliki ketinggian sekitar 500 meter di atas
permukaan air laut, sehingga sangat cocok untuk melakukan budidaya gurame
karena menurut Jangkaru (2002) ikan gurame dapat hidup dan tumbuh normal,
sampai ketinggian 800 meter di atas permukaan air laut. Sumber air yang terdapat
di Desa Petir terdiri dari 3 sumber air yakni berasal dari PAM sebanyak 155
saluran, sumur gali dan sumur dangkal sebanyak 1.182 saluran, mata air sebanyak
1.829 saluran, sehingga yang paling dominan air berasal dari mata air. Adapun
suhu berkisar antara 24-28 o
3.1.2 Kependudukan
C dengan pH perairan sekitar 6,5-8 (Data potensi
Desa, 2010).
Berdasarkan data potensi dan kelurahan tahun 2010 wilayah Desa Petir
memiliki 45 unit rukun tetangga dan 9 unit rukun warga dengan jumlah tempat
tinggal sebanyak 2.638 unit. Panjang jalan yang dimiliki oleh Desa yakni 14 km
dengan akses penggunaan alat transportasi berupa motor 700 unit, mobil angkutan
24 unit, truk 2 unit dan sedan 2 unit. Jumlah penduduk di wilayah Petir adalah
12.850 orang yang terdiri dari 6.539 orang laki-laki dan 6.311 orang perempuan.
Jumlah penduduk Desa Petir jika ditinjau dari tingkat pendidikannya adalah
sebagai berikut :
Tabel 2. Jumlah Penduduk Desa Petir Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2010
No Pendidikan Orang % 1 Belum Sekolah 1.510 11,73 2 Tidak Tamat SD/Sederajat 1.055 8,20 3 SD 4.870 37,83 4 SMP 3.100 24,08 5 SMA 2.320 18,02 6 Akademi 6 0,05 7 Universitas / Perguruan Tinggi 12 0,09
Jumlah 12.873 100 Sumber : Data Potensi Desa, 2010
Jenis pekerjaan di wilayah Desa Petir terdiri atas petani, buruh, penggali,
karyawan perusahaan, buruh pabrik, buruh bangunan, pedagang, sopir, ojek, PNS,
guru dan pemangkas rambut. Pekerjaan buruh baik itu buruh tani, buruh bangunan
maupun buruh pabrik adalah pekerjaan yang paling dominan yakni mencapai
46,18% dan 15,43% bekerja sebagai petani/pembudidaya, sisanya untuk pekerjaan
15
yang lain. Secara rinci jenis pekerjaan dari penduduk di wilayah Desa Petir
disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan Tahun 2010
No Jenis Pekerjaan Orang % 1 Petani (Petani Ikan, Palawija, dll) 568 15,43 2 Buruh 1.700 46,18 3 Penggali 12 0,33 4 Karyawan Perusahaan 360 9,78 5 Buruh Pabrik 10 0,27 6 Tukang/Buruh Bangunan 550 14,94 7 Pedagang 240 6,52 8 Sopir 120 3,26 9 Tukang Ojek 58 1,58 10 PNS 41 1,11 11 Guru 20 0,54 12 Pemangkas Rambut/Salon 2 0,05
Jumlah 3.681 100 Sumber : Data Potensi Desa, 2010
3.1.3 Sarana dan Prasarana
Sarana dan Prasarana merupakan faktor pendukung dari keberhasilan suatu
wilayah. Adapun sarana dan prasarana yang terdapat di wilayah Desa Petir adalah
tempat ibadah, pos hansip, pelayanan kesehatan, rumah makan, sarana
perekonomian dan sarana pendidikan. Secara rinci disajikan dalam Tabel 4. Selain
itu sarana seperti transportasi yang terdapat di Desa Petir didominasi sepeda motor
sebanyak 700 unit, angkutan 24 unit, sedan 2 unit dan truk 2 unit dengan panjang
jalan yakni 14 km (Data Potensi Desa, 2010).
Tabel 4. Sarana dan Prasarana Desa Petir Tahun 2010 No Sarana dan Prasarana Jumlah 1 Masjid 22 2 Musolah 17 3 Pos Hansip 30 4 Posyandu 11 5 Pos KB 1 6 Rumah Makan 2 7 Toko 4 8 Sarana Pendidikan
- TK - RA - SD Negeri - SDIT - SMP Swasta - Pesantren
1 1 6 1 1 3
Sumber : Data Potensi Desa, 2010
16
3.2 Karakteristik Pembudidaya
Umumnya warga Desa Petir yang menjadi pembudidaya, mereka memiliki
lahan sendiri untuk melakukan usaha budidaya ikan gurame. Usaha tersebut
dilakukan perorangan dan sebagian besar merupakan usaha utama. Secara
keseluruhan mereka melakukan budidaya ikan gurame dengan menggunakan
kolam tanah. Responden pembudidaya ikan gurame berkisar antara 28-65 tahun
dengan rata-rata usia 50 tahun. Sebanyak 6 orang dari 16 responden para
pembudidaya memiliki pendidikan yang rendah yakni tidak tamat sekolah. Jumlah
yang tidak tamat 6 orang, lulusan SD 4 orang, lulusan SMP 3 orang, lulusan SMA
1 orang, Diploma 1 orang dan Sarjana 1 orang.
Adapun mengenai pengalaman budidaya rata-rata memiliki pengalaman
diatas 2 tahun dan yang paling lama memiliki pengalaman budidaya hingga 30
tahun. Para pembudidaya yang melakukan usaha budidaya ikan gurame ini 50%
atau sebanyak 8 orang menjadikan usaha budidaya gurame secara sampingan
sedangkan 50% atau sebanyak 8 orang menjadikan sebagai usaha utama. Sebagian
besar usaha gurame yang mereka jalankan dilakukan dari hasil memperoleh
keuntungan ataupun upah dari bertani dan usaha gurame ini dijadikan pekerjaan
sampingan karena membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan
penghasilan.
Gambar 2. Grafik Korelasi Antara Luas Lahan dengan Padat Tebar Gurame di Desa Petir, Kecamatan Dramaga
Para pembudidaya gurame di Desa Petir masih tergolong tradisional dan
mereka melakukan budidaya berdasarkan pengalaman. Salah satu yang
17
menggambarkan para pembudidaya tergolong tradisional adalah pada aspek utama
kegiatan budidaya yakni padat tebar. Korelasi antara padat tebar dengan luas
lahan yang dimiliki oleh para pembudidaya di Desa Petir tidak teratur (Gambar 2).
Seharusnya semakin luas lahan yang dimiliki maka semakin banyak jumlah benih
yang ditebar. Sehubungan dengan kurangnya memperhitungkan jumlah benih
yang ditebar, maka output benih yang dihasilkan oleh para pembudidaya di Desa
Petir belum optimal. Sehingga jumlah output benih yang dihasilkan di Desa Petir
hanya mencapai 133.500 ekor per musim tanam.
Pelatihan ataupun penyuluhan yang diadakan oleh dinas terkait baik itu
dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor maupun dari KKP jarang
mereka ikuti. Hal ini terbukti dengan 75% atau sebanyak 12 orang belum pernah
mengikuti pelatihan dan 25% atau sebanyak 4 orang pernah mengikuti pelatihan.
Para pembudidaya gurame di Desa Petir ini memiliki kolam sendiri untuk
melakukan usaha budidaya gurame dan sebagian besar mereka menggarap sendiri
untuk melakukan usaha.
3.3 Teknik Pendederan Ikan Gurame
Pendederan merupakan kegiatan lanjutan setelah proses pembenihan.
Kegiatan pendederan yang dilakukan di Desa Petir dimulai dari pendederan tahap
ke 3 hingga tahap ke 5. Berdasarkan Badan Standarisasi Nasional (2000)
pendederan tahap 3 dimulai dari ukuran kuaci/kuku kelingking (2-4 cm) sampai
jempol (4-6 cm), pendederan tahap 4 dimulai dari jempol (4-6 cm) sampai silet (6-
8 cm) dan tahap 5 dimulai dari silet (6-8 cm) sampai korek/jinggo (8-11 cm).
Adapun tahapan kegiatan pendederan ikan berdasarkan petunjuk teknis budidaya
Direktorat Jendral Perikanan Budidaya (2010) dan disesuaikan dengan kegiatan
yang dilakukan di Desa Petir kegiatan pendederan terdiri atas persiapan kolam,
penebaran benih, pemeliharaan ikan, pemberian pakan, pencegahan hama
penyakit, pemanenan dan pemasaran.
3.3.1 Persiapan Kolam
Persiapan kolam dilakukan untuk menyiapkan proses budidaya. Kolam
yang digunakan oleh para pembudidaya gurame di Desa Petir yakni berupa kolam
tanah dengan ukuran per kolam seluas 80-400 m2. Pada tahapan persiapan kolam
18
ini yang pertama kali dilakukan adalah pengeringan wadah dengan cara membuka
saluran outlet (Gambar 3a) dan menutup saluran inlet. Untuk saluran inlet dan
outlet digunakan pipa PVC dengan ukuran 3-4 inch karena pipa PVC bersifat
tahan lama dan tidak mudah lapuk. Kolam yang sudah kering dibiarkan selama 5
hari. Setelah itu tanah dicangkul lalu diratakan kembali dengan tujuan ketika nanti
diairi, tanah menjadi lembut dan lubang-lubang tanah akan tertutup sehingga air
tidak akan keluar akibat bocor dari pori-pori tersebut.
Selanjutnya tahapan kedua adalah pemeriksaan pematang. Pematang
merupakan hal yang sangat penting. Ukuran pematang disesuaikan dengan luas
kolam. Semakin luas kolam maka pematang yang dibuat lebih lebar. Pematang
yang dibuat dari tanah biasanya ditumbuhi rumput, oleh karena itu rumput yang
tumbuh disekitar pematang dibersihkan terlebih dahulu. Berikutnya adalah
pembuatan kemalir (Gambar 3b). Kemalir dibuat dengan tujuan untuk
mempermudah pengeringan kolam dan ketika panen benih ikan akan mudah di
ambil.
Setelah proses pengeringan dan perbaikan pematang dilakukan kemudian
kolam diberi kapur dengan tujuan untuk meningkatkan pH air, meningkatkan
ketersediaan unsur hara dalam tanah, menetralisir senyawa-senyawa beracun baik
organik maupun non anorganik, merangsang populasi dan aktivitas
mikroorganisme tanah. Proses pengapuran dilakukan dengan cara menebarkannya
pada sisi kolam. Dosis kapur yang digunakan oleh para pembudidaya secara
keseluruhan belum memenuhi standar nasional karena masih ada yang
menggunakan kapur melebihi standar yang ditetapkan.
(a) (b)
Gambar 3. Saluran Outlet (a) dan Kemalir dalam Kolam Pendederan Gurame di Desa Petir (b)
19
Dosis penggunaan kapur yang digunakan oleh para pembudidaya beragam.
Dosis terkecil adalah 0,05 kg/m2 dan terbesar adalah 0,15 kg/m2. Jumlah kapur
yang diberikan dihitung berdasarkan luas lahan. Adapun penggunaan kapur jika
dihubungkan dengan luas lahan terlihat bahwa semakin luas lahan maka jumlah
kapur yang diberikan semakin banyak, namun pada Gambar 4 terlihat adanya
korelasi yang tidak teratur, karena pembudidaya di Desa Petir menentukan dosis
kapur berdasarkan pengalaman. Sehingga jika dibandingkan dengan Badan
Standarisasi Nasional (2000) dosis kapur untuk proses pendederan ikan gurame
yang digunakan sebaiknya tidak boleh melebihi ataupun kurang dari 50 gr/m2 atau
0,05 kg/m2
Gambar 4. Grafik Korelasi Antara Luas Lahan dengan Penggunaan Kapur di Desa Petir, Kecamatan Dramaga
.
Proses selanjutnya adalah pemupukan, yakni dengan mencampurkan urea
1 kg, TSP 1,5 kg dan postal secukupnya. Dosis pemberian pupuk anorganik yang
dilakukan oleh para pembudidaya Desa Petir rata-rata hampir sama. Tujuan dari
pemupukan ini adalah untuk menumbuhkan pakan alami didalam wadah. Secara
aktual penggunaan urea di Desa Petir didasarkan pada jumlah kolam yang dimiliki
dan tidak memperhitungkan luasan kolam. Untuk satu kolam diberikan urea
sebanyak 1,5 kg. Banyaknya penggunaan urea yang diberikan seharusnya
berhubungan dengan luas lahan yang dimiliki. Semakin luas lahan maka
penggunaan urea semakin banyak, akan tetapi korelasi antara urea dan luas lahan
memiliki hubungan yang berbeda-beda (Gambar 5a). Selanjutnya adalah
pemberian TSP. Pemberian TSP secara keseluruhan untuk masing-masing
20
pemudidaya yakni sama yakni 1 kg. Sehingga apabila dilihat pada Gambar 5b
korelasi antara luas lahan dengan pemberian TSP tidak berpengaruh.
(a) (b)
Gambar 5. Grafik Korelasi Antara Luas Lahan dengan Penggunaan Urea (a) dan Korelasi Antara Luas Lahan dengan Penggunaan TSP (b)
Setelah proses pemupukan selesai maka dilakukan pengisian air. Sumber
air yang digunakan di Desa Petir untuk budidaya ikan berasal dari air permukaan.
Air permukaan merupakan air yang mengalir masuk ke kolam mengikuti arah
gravitasi dari saluran irigasi yang dialirkan dari mata air ataupun dari sungai. Air
yang baik yaitu tidak tercemar oleh cemaran fisik, kimia dan biologi dari alam,
industri, pemukiman dan pertanian (Badan Standardisasi Nasional, 2006).
Pengisian air pada tahapan awal dilakukan hingga mencapai tinggi 60 cm dan
berikutnya setelah ukuran gurame bertambah pengisian air hingga mencapai 80
cm.
3.3.2 Penebaran Benih
Penebaran benih dilakukan setelah kolam banyak ditumbuhi plankton.
Benih yang ditebar berasal dari pembudidaya diwilayah Desa Petir, Situ Daun dan
Ciseeng dengan ukuran kuaci sekitar 2-2,5 cm (Gambar 6a). Pada proses
penebaran benih sebelum melakukan penebaran terlebih dahulu dilakukan proses
aklimatisasi selama 45 menit dengan tujuan untuk menghindari stress pada ikan
(Gambar 6b). Hal tersebut dilakukan karena menurut Agus (2001) bila penebaran
benih yang dibawa menggunakan kantong plastik, maka benih yang akan
dimasukkan ke dalam air, secara perlahan-lahan dibiarkan beberapa saat agar suhu
21
yang ada dalam kantong plastik sama dengan suhu air kolam. Kemudian kantong
plastik dibuka dan benih gurame dibiarkan keluar dengan sendirinya.
(a) (b)
Gambar 6. Benih gurame (a) dan Proses Aklimatisasi (b)
Harga benih gurame ukuran 2-2,5 cm adalah Rp. 200 dengan bobot 2,5-3,5
gram. Penebaran benih dilakukan pada sore hari karena air didalam kolam
memiliki suhu yang hangat yakni 27-28oC. Penentuan padat tebar tidak
diperhitungkan berdasarkan luas lahan yang dimiliki oleh para pembudidaya.
Sehingga padat tebar benih ditentukan sendiri oleh pembudidaya gurame Desa
Petir berdasarkan modal usaha yang dimiliki dan berdasarkan pengalaman. Secara
aktual padat tebar minimal 7 ekor/m2 dan maksimal 25 ekor/m2. Adapun
banyaknya benih yang ditebar rata-rata secara keseluruhan padat tebar
pembudidaya gurame di Desa Petir adalah 17 ekor/m2
No
. Pembudidaya di Desa Petir
jika digolongkan berdasarkan padat tebar memelihara gurame tergolong kepada
tradisional. Perbandingan padat tebar disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Perbandingan Padat Tebar Ikan Gurame Keterangan Padat Tebar
1 Tradisional (Aktual) 17 ekor/m2
2 Semi Intensif (Hatimah,et al 1992 dalam Jangkaru, 2002) 25 ekor/m
3
2
Intensif (SNI : 01- 6485.3 – 2000) 60 ekor/m2 Sumber : Data Primer (2011), Jangkaru (2002) dan BSN (2000)
Berdasarkan Tabel 5 maka untuk lebih optimal dalam penggunaan input
produksi, maka perlu adanya peningkatan padat tebar. Kepadatan ikan dalam
kolam dapat mempengaruhi pertumbuhan, karena ketika kepadatan ikan relatif
rendah dan populasi pakan alami mencakupi maka pertumbuhan ikan berada
dalam keadaan maksimal (Hepher and Pruginin, 1981).
22
3.3.3 Pemeliharaan Ikan
Ikan dipelihara selama 125 hari atau sekitar 4 bulan terhitung dari ukuran
kuaci (2-2,5 cm) hingga korek (10-11 cm). Pada proses pemeliharaan berlangsung
tentunya pengelolaan kualitas air pun dilakukan. Pergantian air selama melakukan
pemeliharaan umumnya tidak dilakukan. Pergantian air hanya dilakukan pada saat
panen saja. Akan tetapi, untuk pembudidaya yang mendapatkan hasil panen
dengan nilai SR yang besar yang dilakukan adalah dengan mengganti air selama
pemeliharaan paling sedikit satu kali.
Pada musim hujan terdapat penanganan khusus ketika memelihara ikan.
Hujan yang turun dengan lebat dapat mengganggu keberadaan benih karena hujan
bersifat asam. Adapun yang dilakukan ketika musim hujan yakni dengan
memberikan kararas (daun pisang kering) dengan cara disebarkan diatas kolam
dan ini merupakan cara tradisional. Menurut Saparinto (2008) keasaman pH dapat
dinaikkan 1 digit dengan memberikan H3PO4
Menurut Khairuman (2003) gurame paling menyukai perairan yang jernih,
tenang dan tidak banyak mengandung lumpur. Selain itu gurame tergolong ikan
yang peka terhadap suhu rendah sehingga jika suhu perairan lebih rendah daripada
kisaran suhu optimal, gurame tidak akan produktif. Ikan mempunyai batas suhu
tinggi dan rendah serta suhu optimal untuk pertumbuhan, inkubasi telur, konversi
makanan dan resistensi/ketahanan terhadap penyakit tertentu. Batas optimim suhu
(asam fostat) sebanyak 0,5 gr untuk
100 liter air dan untuk menaikkan pH 1 digit dengan memberikan sodium
bikarbonat sebanyak 0,5 gr untuk 100 liter air.
Kondisi pH di Desa Petir berdasarkan Data Potensi Desa (2010) yakni
sekitar 6,5-8. Perairan yang produktif adalah perairan yang mempunyai pH antara
6,5-9 (Boyd, 1982). Menurut Anonimous (1995), pH yang baik untuk
pertumbuhan ikan gurame adalah 6,2-7,8. Sembilan puluh persen perairan alami
memiliki kisaran pH sebesar 6,7-8,2 dan ikan sebaiknya tidak dipelihara pada
perairan dengan pH di luar kisaran 6,5-9,0 (Schmittou dan Emeritus, 1993). pH air
memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan ikan. Nilai pH yang mematikan
bagi ikan yaitu kurang dari 4 dan lebih dari 11. Pada pH yang kurang dari 6,5 atau
lebih dari 9 dalam waktu yang lama, akan mempengaruhi pertumbuhan dan
reproduksi ikan (Boyd, 1982).
23
sangat bergantung pH, kandungan oksigen dan faktor lain seperti ketinggian
tempat, kedalaman air dan cuaca. Suhu optimal untuk pertumbuhan adalah 25-
30o
3.3.4 Pemberian Pakan
C (Badan Standardisasi Nasional, 2006).
Para pembudidaya gurame Desa Petir memberikan pakan untuk
pemeliharaan gurame dari ukuran kuaci (2-2,5 cm) hingga ukuran korek (10-11
cm) yakni berupa postal dan tepung pelet. Postal (Gambar 7) merupakan
campuran dari bahan sekam padi, kotoran ayam dan dedak. Postal dapat berfungsi
sebagai pupuk tambahan. Pemberian postal dilakukan pada pagi hari yakni sekitar
pukul 09.00 WIB setiap hari.
Gambar 7. Postal
Dosis penggunaan postal ditentukan berdasarkan perhitungan 1 kg postal untuk
500 ekor ikan gurame. Sehingga korelasi antara penggunaan postal dengan jumlah
benih berpengaruh secara nyata (Gambar 8). Semakin banyak jumlah benih yang
akan ditebar maka kebutuhan postal akan semakin banyak.
Gambar 8. Grafik Korelasi Antara Jumlah Benih Gurame dengan Postal di Desa
Petir, Kecamatan Dramaga
24
Cara pemberian postal ini yakni dengan menebarkannya ke kolam. Setelah
masa pemeliharaan mencapai 85 hari, maka yang diberikan bukan hanya postal
akan tetapi diberikan pula tepung pelet. Tepung pelet merk PS-P merupakan
pakan benih yang memiliki kandungan protein 40%, lemak 10%, serat kasar 8%
dan kadar air 12%. Sebelum tepung pelet diberikan maka tepung dibuat seperti
adonan pasta yakni dengan mencampurkan air 250-300 ml kedalam1 kg tepung
pelet. Selain itu terkadang para pembudidaya memberikan pakan berupa daun
sente yang sudah ditumbuk secara halus. Semakin banyak jumlah benih yang
ditebar maka kebutuhan tepung pelet semakin banyak pula. Akan tetapi
penggunaan tepung pelet pada masing-masing pembudidaya beragam, sehingga
korelasi antara jumlah benih dengan tepung pelet tidak teratur (Gambar 9). Hal ini
disebabkan karena para pembudidaya memperhitungkan biaya produksi. Sehingga
pemberian tepung pelet disesuaikan dengan kondisi biaya yang dimiliki.
Gambar 9. Grafik Korelasi Antara Jumlah Benih Gurame dengan Tepung Pelet di Desa Petir, Kecamatan Dramaga
Pemberian pakan untuk gurame menurut Badan Standarisasi Nasional
(2009) untuk gurame ukuran 3-5 cm pakan yang diberikan seharusnya berupa
pelet berdiameter 1-2 mm dengan kandungan protein yang disesuaikan dengan
ukuran ikan, yakni dengan kadar protein 38%. Sedangkan ukuran ikan 5-15 cm
dengan diameter pelet 2-3 mm kadar proteinnya 32%. Para pembudidaya Desa
Petir lebih memilih postal karena harga postal sangat terjangkau sedangkan pelet
memiliki harga yang cukup tinggi. Sehingga postal dan tepung pelet dipilih
sebagai pakan untuk pendederan gurame.
25
3.3.5 Pencegahan Hama dan Penyakit
Gurame termasuk jenis ikan yang relatif tahan terhadap serangan hama
dan penyakit. Pemeliharaan gurame secara intensif lebih mudah dalam mengatasi
hama dan penyakit. Serangan hama dan penyakit terutama mengancam
kelangsungan hidup gurame dari stadium telur, benih, mulai menetas hingga
pendederan. Gurame yang dipelihara dalam kolam atau sawah lebih mudah
diserang hama (Khairuman, 2003). Umumnya, hama dikenal juga sebagai
predator atau pemangsa. Hama terdiri dari hewan atau binatang, baik yang hidup
di dalam air maupun yang hidup di darat.
Untuk hama yang sering datang pada kolam pendederan gurame di Desa
Petir yakni berupa burung pemakan ikan (blekok) yang datang pada saat tengah
malam menuju pagi hari. Selain itu ular dan sero juga sekali-kali muncul dikolam
dan memakan ikan. Tindakan pencegahan dilakukan secara mekanis yakni dengan
membunuh langsung hama tersebut apabila ditemukan. Selain itu, dapat juga
dilakukan dengan memasang berbagai jenis perangkap. Menurut Khairuman
(2003) pencegahan yang paling efektif adalah menjaga kebersihan kolam dan
membatasi seluruh area kolam dengan membuat pagar sehingga hama tidak dapat
leluasa masuk ke areal perkolaman.
Selain hama tentunya ada pula penyakit yang menyerang ikan gurame.
Menurut Khairuman (2003) ada dua kelompok yang dapat menyebabkan ikan
sakit. Pertama, penyakit akibat gangguan jasad hidup atau biasa disebut dengan
penyakit parasiter. Kedua penyakit yang disebabkan bukan oleh jasad hidup
melainkan faktor fisika dan kimia perairan atau disebut dengan penyakit
nonparasiter. Beberapa jenis jasad renik yang menyebabkan penyakit parasiter
adalah virus, jamur, bakteri, protozoa, nematoda (cacing) dan udang renik.
Sementara itu penyakit nonparasiter selain disebabkan oleh sifat fisika dan kimia
juga disebabkan oleh kualitas pakan yang kurang baik.
Untuk penyakit yang cukup terkenal di Desa Petir yakni disebut penyakit
asang akibat bakteri Flavobacterium columnare dengan gejala klinis yang terjadi
adalah ikan lemas, nafsu makan kurang, sirip/insang rontok. Penanganan yang
dilakukan yakni dengan memberikan garam dapur yang sudah dilarutkan dalam
air sebanyak 10 kg untuk kolam ikan yang terkena penyakit.
26
3.3.6 Pemanenan
Pemanenan dilakukan setelah pemeliharaan ikan selama 125 hari yakni
sampai ukuran korek (10-11 cm) (Gambar 10). Pemanenan dapat dilakukan pada
saat pagi hari ataupun sore hari. Sebelum dipanen ikan terlebih dahulu dipuasakan
(tidak diberi pakan) dengan tujuan untuk mengeluarkan kotoran dari perut ikan
dan mengurangi stres saat penanganan ikan. Proses pemanenan dilakukan dengan
menyurutkan air sedikit demi sedikit sementara saluran air yang masuk diperkecil.
Kemudian jaring lembut dipasang pada outlet (lubang pengeluaran) untuk
menampung benih atau bisa juga dengan membuat parit ditengah kolam menuju
ke lubang pengeluaran. Setelah air kolam surut, benih digiring masuk ke petak
kecil.
Gambar 10. Hasil Panen Gurame
Untuk pengiriman benih jarak dekat, maka ikan dimasukkan ke dalam
jirigen (Gambar 11). Sedangkan untuk pengiriman jarak jauh bisa dilakukan
dengan 2 cara yakni pengemasan secara terbuka dan secara tertutup.
Gambar 11. Jirigen (Keranjang Panen)
Untuk pengemasan tertutup yakni dengan menggunakan plastik panen dan diberi
oksigen. Hal yang perlu diperhatikan untuk pengemasan dengan plastik panen
untuk jarak jauh adalah padat tebar dalam satu plastik dan plastik kemasan itu
27
sendiri. Plastik kemasan yang digunakan adalah plastik ukuran 10 kg yang tebal,
tidak kaku dan tidak mudah sobek serta berwarna putih jernih dengan kepadatan
200-300 ekor/kantong. Akan tetapi untuk pemanenan di Desa Petir biasanya
pembeli datang sendiri ke tempat budidaya dan semua alat panen disiapkan oleh
pembeli tersebut.
3.3.7 Pemasaran
Proses pemasaran yang dilakukan oleh tiap pembudidaya berbeda-beda.
Sebagian pembudidaya ada yang memasarkan hasil panen ke pengumpul,
memasarkan ke pembudidaya pembesaran sekitar kecamatan dramaga dan
memasarkan ke daerah lain seperti Ciseeng, Parung ataupun ke luar daerah. Benih
hasil panen ukuran 10-11 cm atau biasa disebut korek ini dijual dengan harga Rp.
1.200,00. Untuk pemasaran ikan yang dijual ke pengumpul, para pembudidaya
tidak perlu menyiapkan alat panen, semua alat panen dan pekerja disiapkan
langsung oleh pengumpul.
3.4 Penggunaan Faktor Produksi
Budidaya merupakan serangkaian kegiatan untuk memproduksi suatu
produk. Proses keberhasilan produksi yang dilakukan untuk usaha pendederan
gurame ini didukung oleh faktor internal maupun eksternal. Berdasarkan hasil
pengamatan faktor internal yang berpengaruh untuk input produksi terdiri dari
benih, urea, kapur, postal, tepung pelet dan tenaga kerja. Sedangkan faktor
eksternal terdiri dari cuaca, suhu, iklim dan lain-lain. Berikut ini data rata-rata
penggunaan input usaha pendederan gurame yang disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Rata-rata Input dan Output Produksi Usaha Pendederan Gurame di Desa Petir, Kecamatan Dramaga
No Keterangan Penggunaan Input Rata-rata input per m2 Min Max Rata-Rata
1 Luas Kolam (m2 200 ) 2.250 883 1,0000 2 Benih Gurame (ekor) 4.000 30.000 13.094 14,827 3 Urea (kg) 3 14 7 0,008 4 TSP (kg) 2 9 4 0,005 5 Kapur (kg) 10 180 66 0,075 6 Postal (kg) 1.000 7.500 3.289 3,724 7 Tepung Pelet (kg) 30 180 76 0,086 8 Tenaga Kerja (jam kerja) 188 294 234 0,265 9 Output (ekor) 2.500 18.000 8.344 9,448
Sumber : Data Primer, 2011
28
Kolam yang digunakan oleh para pembudidaya yakni berupa kolam tanah
dengan rata-rata luas kolam secara keseluruhan adalah 883 m2 dengan kisaran luas
kolam yang digunakan 200-2.250 m2. Jumlah kolam yang dimiliki oleh tiap
pembudidaya yakni berkisar 2-9 kolam dengan ukuran per kolam masing-masing
berkisar 80-400 m2. Berdasarkan perhitungan rata-rata input dan output produksi
per m2 yakni benih gurame yang ditebar berkisar 4.000-30.000 ekor per luas
kolam dengan padat tebar 15 ekor/m2 (Tabel 6). Usaha budidaya pendederan
gurame di Desa Petir termasuk tradisional dan masih perlu dikembangkan menjadi
semi intensif. Menurut Hatimah, et al (1992) dalam Jangkaru (2002) padat tebar
untuk pendederan gurame adalah 25 ekor/m2. Secara intensif menurut Badan
Standarisasi Nasional (2000) bahwa padat tebar ikan gurame yakni 60 ekor/ m2.
Urea dan TSP merupakan pupuk non organik yang digunakan saat
persiapan wadah. Urea yang digunakan oleh para pembudidaya untuk seluruh
kolam yang dimiliki berkisar 3-14 kg dengan rata-rata 7 kg atau menghabiskan
0,008 kg/m2, sedangkan TSP yang digunakan berkisar 2-9 kg dengan rata-rata 4
kg atau menghabiskan 0,005 kg/m2 (Tabel 6). Adapun pakan yang diberikan
untuk ikan gurame pada proses pendederan yakni berupa postal. Kisaran pakan
postal dari masing-masing pembudidaya per hari yakni 3-11 kg. Besaran tersebut
didasarkan dengan jumlah benih yang ditebar pada kolam. Secara keseluruhan
dari mulai tebar sampai panen postal yang terpakai yakni berkisar 1000-7.500 kg
dengan rata-rata menghabiskan 3,724 kg/m2 atau 3289 kg per panen.
Selain postal sebagai tambahan untuk kebutuhan nutrisi dari ikan gurame
pakan yang diberikan yakni berupa tepung pelet dengan kisaran 30-180 kg.
Tepung pelet yang diberikan rata-rata sebanyak 0,086 kg/m2. Untuk tenaga kerja
seluruhnya dikelola oleh seorang pekerja yakni mulai dari persiapan,
pemeliharaan dan pemanenan. Adapun biasanya hanya pada tahapan persiapan
saja yang menggunakan tenaga kerja dari buruh setempat yakni sebanyak 2-3
orang. Rata-rata pekerja menghabiskan waktu 0,265 jam/m2
3.5 Analisis Penggunaan Faktor Produksi
dengan nilai upah Rp.
5.000/jam.
Fungsi produksi menjelaskan adanya hubungan antara vaiabel dependent
(Y) dengan variabel independent (X). Berdasarkan hasil pengamatan pada usaha
29
pendederan gurame di Desa Petir ada beberapa variabel dari input produksi yang
diduga mempengaruhi output yang dihasilkan. Variabel tersebut diantaranya
adalah benih gurame (X1), urea (X2), TSP (X3), kapur (X4), postal (X5), tepung
pelet (X6) dan tenaga kerja (X7
No
). Model yang digunakan dalam analisis fungsi
produksi usaha pendederan gurame ini adalah model fungsi produksi Cobb-
Douglas. Hasil analisis dengan meggunakan metode kuadrat terkecil (Ordinary
Least Square) diperoleh hasil koefisien regresi yang menggambarkan elastisitas
produksi. Data hasil pendugaan tersebut disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Pendugaan Koefisien Regresi dengan Metode Kuadrat Terkecil pada Usaha Pendederan Gurame di Desa Petir
Peubah Koefisien Regresi thitung 1 Intercept 0,625 0,399 2 X1 0,752 (Benih Gurame) 1,120 3 X2 0,093 (Urea) 0,836 4 X3 -0,065 (TSP) -0,412 5 X4 0,005 (Kapur) 0,040 6 X5 0,081 (Postal) 0,134 7 X6 0,172 (Tepung Pelet) 1,021 8 X7 -0,029 (Tenaga Kerja) -0,323
Sumber : Data Primer, 2011
Keterangan : Multiple R Square = 0,976 R square = 0,952 Adjusted R Square = 0,911 Standard Error = 0,099 Fhitung = 22,832 Ftabel = 14,067
Berdasarkan analisis Ordinary Least Square pada Tabel 7, dapat dibuat
persamaan linear sebagai berikut :
Y = 0,625. (X1)0,752. (X2)0,093. (X3)-0,065. (X4)0,005. (X5)0, 081.(X6)0,174.(X7)-0,029 ................................................................................................................ (12)
Atau
Ln Y = 0,625 + 0,752 Ln X1 + 0,093 Ln X2 – 0,065 Ln X3 + 0,005 Ln X4 +
0,081 Ln X5 + 0,174 Ln X6 – 0,029 Ln X7
Berdasarkan hasil analisis pendugaan fungsi produksi dengan model
kuadrat terkecil melalui analisis kriteria statistik diperoleh nilai Multiple R Square
…………………….. (13)
3.5.1 Analisis Kriteria Statistik
30
0,976 yang menunjukkan bahwa nilai tersebut mendekati satu, sehingga dapat
dikatakan bahwa nilai tersebut berkorelasi positif. Nilai korelasi positif
menjelaskan bahwa apabila nilai input dinaikkan maka akan mempengaruhi
kenaikkan nilai output. Nilai R Square 0,952 menunjukkan bahwa dari variabel
input (benih gurame, urea, TSP, kapur, postal, tepung pelet dan tenaga kerja)
menjelaskan produksi output sebesar 95,2 %. Sedangkan sisanya yaitu 4,8 %
dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukkan kedalam model fungsi
produksi.
Nilai Adjusted R Square sebesar 0,911 menunjukkan bahwa dengan
semakin banyak variabel dimasukkan untuk variabel penjelas maka dalam regresi
akan mengurangi derajat kebebasan. Adapun nilai standard error yang diperoleh
dari hasil analisis model kuadrat terkecil sebesar 0,099 adalah merupakan nilai
galat baku dari regresi secara keseluruhan. Nilai Fhitung yang diperoleh dari hasil
analisis fungsi produksi adalah sebesar 22,832 dan Ftabel sebesar 14,067 hal ini
menunjukkan bahwa Apabila nilai Fhitung lebih besar daripada Ftabel maka tolak
H0
3.5.2 Analisis Ekonometrik
, artinya faktor produksi secara serentak berpengaruh nyata terhadap output
yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan pula bahwa model produksi pada
persamaan 12 dan 13 dapat digunakan dalam analisis selanjutnya.
Analisis ekonometrik merupakan kelanjutan dari analisa statistik. Adapun
fungsi dari analisis ekonometrik adalah untuk mengetahui apakah model regresi
memenuhi asumsi normalitas, multikolinearitas, homoskedastisitas, dan
autokorelasi (Santoso, 2000). Untuk analisa kriteria ekonometrik dalam penelitian
ini digunakan software SPSS 16.0 (Statistical Product and Service Solution versi
16.0). Hasil analisis diperoleh bahwa pada model regresi terpenuhi asumsi
normalitas. Asumsi normalitas ditunjukkan pada grafik Normal P-P Plot of
Regression. Terlihat bahwa nilai Y (variabel dependent) didistribusikan secara
normal terhadap nilai X (variabel independent), dimana data menyebar disekitar
garis diagonal dengan mengikuti arah garis tersebut (Lampiran 6)
Multikolinearitas dapat diuji dengan melihat nilai toleransi dan nilai VIF
(Variance Inflation Factor). Suatu model regresi dikatakan bebas dari
multikolinearitas apabila memiliki nilai toleransi mendekati angka satu dan nilai
31
VIF disekitar angka satu. Hasil pengujian diperoleh data bahwa untuk nilai
toleransi tidak ada satupun variabel yang mendekati angka satu dan pada nilai VIF
tidak ada satu variabel yang berada disekitar angka satu (Tabel 8). Artinya bahwa
variabel seperti benih gurame, urea, TSP, kapur, postal, tepung pelet dan tenaga
kerja pada data mengalami multikolinearitas. Multikolinearitas dapat dihindari
dengan menambah sampel dan mengeluarkan variabel yang memiliki korelasi
tinggi. Namun hal tersebut tidak dapat dilakukan karena sampel penelitian yang
diperoleh hanya 16 sampel.
Tabel 8. Nilai Toleransi dan VIF untuk Setiap Variabel Input No Keterangan Nilai Toleransi VIF 1 Benih Gurame (X1 0,014 ) 73,667 2 Urea (X2 0,147 ) 6,787 3 TSP (X3 0,088 ) 11,310 4 Kapur (X4 0,345 ) 2,903 5 Postal (X5 0,016 ) 63,934 6 Tepung Pelet (X6 0,150 ) 6,684 7 Tenaga Kerja (X7 0,191 ) 5,242
Sumber : Data Primer, 2011
Walaupun demikian pada hasil analisis fungsi produksi dengan
menggunakan Cobb-Douglas ini, multikolinearitas merupakan masalah yang sulit
dihindari. Masalah multikolinearitas dalam suatu analisis dapat diabaikan bila
terjadi pada variabel-variabel dengan nilai koefisien regresi yang tidak tinggi.
Multikolinearitas yang terjadi pada variabel dengan nilai koefisien regresi yang
tidak tinggi ini disebut multikolinearitas yang tidak sempurna.
Hasil analisis ekonometrik selanjutnya adalah asumsi model regresi
homoskedastisitas yang merupakan variasi dari garis regresi yang konstan untuk
nilai variabel X. Apabila tidak terjadi, diduga mengalami heteroskedastisitas yang
merupakan adanya ketidaksamaan varians dari residual dari satu pengamatan ke
pengamatan yang lain. Untuk melihat terjadinya heteroskedastisitas dapat dilihat
pada grafik scatterplot apakah terdapat pola tertentu pada hasil scatterplot atau
tidak ada pola (Lampiran 7). Pada grafik scatterplot terlihat jelas bahwa titik- titik
menyebar secara acak dan tidak membentuk pola tertentu. Hal ini membuktikan
bahwa model regresi pada usaha pendederan gurame di Desa Petir tidak
32
mengalami heteroskedastisitas dan layak digunakan untuk analisis pendugaan
fungsi produksi.
Pada analisis ekonometrik diperoleh pula nilai Durbin-Watson sebesar
1,880 hal ini membuktikan bahwa tidak terjadi autokorelasi. Suatu model regresi
yang bebas dari autokorelasi dapat terjadi apabila nilai Durbin-Watson diantara -2
sampai dengan +2. Problem autokorelasi positif terjadi jika pada suatu model
regresi nilai Durbin-Watson dibawah -2 sedangkan problem autokorelasi negatif
terjadi apabila diatas +2. Sehingga autokorelasi terjadi akibat tidak
dimasukkannya variabel penting dalam model atau karena data tidak linear.
Apabila suatu model regresi memiliki masalah autokorelasi, maka model regresi
yang seharusnya signifikan menjadi tidak layak untuk dipakai.
3.5.3 Kriteria Ekonomi
Fungsi produksi dapat dikatakan layak ataupun tidak diketahui dengan
melakukan analisis kriteria ekonomi. Tanda positif pada penggunaan input
menunjukkan bahwa output dapat ditingkatkan dengan menambah jumlah input.
Berdasarkan analisis kuadrat terkecil pada Tabel 7 dan persamaan 12 atau 13
menunjukkan bahwa koefisien yang bertanda positif adalah variabel X1 (benih
gurame), X2 (urea), X4 (kapur), X5 (postal) dan X6 (tepung pelet). Hal tersebut
menunjukkan bahwa apabila dilakukan peningkatan pada variabel tersebut maka
akan mempengaruhi peningkatan output sesuai dengan besarnya koefisien yang
dimiliki. Untuk yang memiliki tanda negatif adalah variabel X3 (TSP) dan X7
Nilai elastisitas produksi menunjukkan presentase perubahan, dalam hal
ini perubahan input akan mengakibatkan perubahan output. Nilai elastisitas pada
variabel X
(Tenaga Kerja) hal ini menunjukkan bahwa jika dilakukan penambahan pada
variabel tersebut maka akan mengurangi output yang dihasilkan berdasar koefisen
yang dimiliki.
1 (benih gurame) sebesar 0,752 dapat diartikan bahwa apabila ada
penambahan benih gurame sebanyak 1 satuan dengan asumsi input yang lain tetap
(cateris paribus) maka output akan meningkat sebanyak 0,752 satuan. Nilai
elastisitas X2 (Urea), X4 (Kapur), X5 (postal) dan X6 (tepung pelet) masing–
masing sebesar 0,093 ; 0,005 ; 0,081 dan 0,174 dapat diartikan bahwa apabila ada
penambahan pada masing–masing input produksi tersebut sebanyak 1 satuan
33
dengan asumsi input yang lain tetap (cateris paribus) maka masing–masing output
akan meningkat sebanyak 0,093 ; 0,005 ; 0,081 dan 0,174.
Analisa Return to Scale (RTS) merupakan analisis yang dilakukan untuk
mengetahui apakah usaha pendederan gurame ini berada dalam kondisi
increasing, constant, atau decreasing return to scale. Kondisi skala usaha
tersebut dapat diketahui dengan cara menjumlahkan besaran elastisitas pada
fungsi produksi. Hasil penghitungan penjumlahan besaran elastisitas atas variabel
X1 (benih gurame), X2 (urea), X4 (kapur), X5 (postal) dan X6
3.6 Analisis Optimalisasi Penggunaan Input
(tepung pelet)
adalah sebesar 1,103. Hasil tersebut menunjukkan bahwa usaha pendederan
gurame di Desa Petir dalam kondisi increasing to scale yang artinya penambahan
proporsi input produksi akan meningkatkan proporsi penambahan output. Dengan
demikian usaha pendederan gurame di Desa Petir ini masih berpeluang
ditingkatkan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum.
Prinsip optimalisasi penggunaan input adalah upaya yang dilakukan agar
menggunakan input seoptimal mungkin agar menghasilkan output yang maksimal
(Soekartawi, 1994). Hasil perhitungan untuk Nilai Produksi Marginal (NPM),
input dan output yang optimal serta rasio NPM dengan harga input pada usaha
pendederan gurame Desa Petir disajikan dalam Tabel 9.
Tabel 9. Nilai NPM, Input dan Output yang Optimal, serta Nilai Rasio NPM dan Pxi
No
pada Usaha Pendederan Gurame di Desa Petir Keterangan b Pi NPM xi NPM/Pxi Aktual
per mOptimal per m2 2
1 Output (ekor)
1200
9,448 34,283 2 Benih Gurame (ekor) 0,752 200 574,657 2,873 14,827 42,601 3 Urea (Kg) 0,093 2000 135436,293 67,718 0,008 0,525 4 Kapur (Kg) 0,005 2500 687,097 0,275 0,075 0,021 5 Postal (Kg) 0,081 1000 245,780 0,246 3,724 0,915 6 Tepung Pelet (Kg) 0,174 6000 22825,881 3,804 0,086 0,329
Sumber : Data Primer, 2011 Keterangan :
bi : Elastisitas Produksi Pxi : Harga Produksi NPM : Nilai Produksi Marginal
34
Berdasarkan Tabel 9 menunjukkan bahwa harga rata-rata untuk output
sebesar Rp. 1.200, benih gurame sebesar Rp. 200, Urea Rp. 2.000, Kapur Rp.
2.500, Postal Rp. 1.000, Tepung Pelet Rp. 6.000 dan Tenaga Kerja Rp. 5.000.
Berdasarkan rasio NPM dengan Pxi, jika nilai yang dihasilkan kurang dari satu
maka penggunaan input produksi belum optimal dan harus dikurangi sedangkan
apabila lebih dari satu maka penggunaan input belum optimal dan masih perlu
ditambahkan (Soekartawi, 1994).
Umumnya pada kondisi aktual penebaran benih tidak memperhitungkan
antara jumlah benih yang akan ditebar dengan luasan kolam. Sehingga padat tebar
pada masing-masing pembudidaya berbeda. Kolam yang dimiliki pembudidaya
dengan ukuran 80 m2 padat tebar mencapai 19-25 ekor/m2 sedangkan kolam
dengan ukuran 375-400 m2 padat tebar hanya mencapai 7-15 ekor/m2. Oleh karena
itu padat tebar untuk gurame di Desa Petir perlu dilakukan optimalisasi. Sehingga
capaian output gurame yang dihasilkan dapat lebih maksimal. Berdasarkan Tabel
9 padat tebar optimal untuk benih gurame yakni sebesar 42 ekor/m2 atau
peningkatan jumlah benih pada masing-masing pembudidaya yakni sebanyak
2,873 kali. Peningkatan padat tebar dalam wadah pemeliharaan tentunya perlu
mempertimbangkan batas tertentu, apabila melewati batas maka akan mengganggu
proses fisiologis dan tingkah laku ikan yang akhirnya dapat menurunkan kondisi
kesehatan, pemanfaatan makanan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup
(Wedemeyer, 1996).
Selain benih yang perlu dilakukan optimalisasi yakni urea. Hasil analisis
menunjukkan bahwa urea dapat ditingkatkan hingga mencapai 67,718 kali.
Penggunaan urea secara optimal sebesar 0,525 kg/m2 dari kondisi aktual 0,008
kg/m2. Penggunaan tepung pelet dapat dinaikkan hingga 3,804 kali dari kondisi
aktual 0,086 kg/m2 menjadi 0,329 kg/m2
Penggunaan kapur untuk mencapai optimal sebesar 0,021 kg/m
. Perhitungan rasio NPM dan Pxi yang
kurang dari satu adalah kapur dan pakan postal dengan masing-masing nilai
sebesar 0,275 dan 0,246. Penggunaan input tersebut masih belum optimal
sehingga perlu dilakukan pengurangan input untuk menambahkan output yang
dihasilkan. 2 dari
kondisi aktual 0,075 kg/m2 perlu dikurangi sebanyak 0,275 kali. Menurut
35
Saparinto (2008) penggunaan dosis kapur yang diberikan untuk budidaya gurame
yang baik yakni 0,015-0,025 kg/m2. Penggunaan postal untuk mencapai optimal
sebesar 0,915 kg/m2 dari kondisi aktual 3,724 kg/m2 perlu dikurangi sebanyak
0,246 kali. Jika penggunaan input produksi yang optimal ini diterapkan, dimulai
dari padat tebar secara aktual 15 ekor/m2 menjadi optimal sebanyak 25 ekor/m2
ataupun 42 ekor/m2 maka output yang dihasilkan pun akan mengalami
peningkatan. Dengan asumsi tingkat kelangsungan hidup (SR) sebesar 65% maka
output yang dihasilkan akan mengalami peningkatan dari 10 ekor/m2 masing–
masing menjadi 16 ekor/m2 dan 28 ekor/m2 setiap musim tanam per tahun. Oleh
karena itu optimalisasi input produksi dapat menghasilkan output optimal sebesar
42,601 ekor/m2 dari kondisi aktual 14,827 ekor/m2.
Berdasarkan analisis Cobb Douglas padat tebar optimal 42 ekor/m2 dan
menurut Hatimah, et al (1992) dalam Jangkaru (2002) padat tebar untuk
pendederan gurame yakni sebanyak 25 ekor/m2
3.7 Analisis Finansial
. Berkaitan dengan hal tersebut
untuk melakukan peningkatan harus disesuaikan dengan penerapan teknologi
budidaya yang cocok. Penerapan teknologi yang dapat digunakan yakni dapat
berupa pemeliharaan gurame dengan menggunakan hapa pada kolam, sehingga
dengan seperti itu pemberian postal dapat lebih efektif dan dapat dikurangi.
Pemberian pakan lebih terpusat pada satu tempat, sehingga gurame dapat terbiasa
pada tempat tersebut dan mudah mengetahui letak pakan yang diberikan.
Teknologi pemeliharaan gurame dengan hapa ini dapat meningkatkan
pertumbuhan benih (Agromedia, 2007). Pengelolaan kualitas air perlu dilakukan
juga ketika adanya peningkatan padat tebar. Penggantian air dapat dilakukan
secara berkala sebanyak minimal 2 kali selama pemeliharaan gurame. Menurut
Saparinto (2008) pergantian air dapat membantu penggelontoran sisa kotoran dan
pakan. Untuk pergantian air sebaiknya tidak menimbulkan arus.
Analisis finansial merupakan analisis yang dilakukan pada suatu proyek
yang dapat ditinjau dari sudut badan atau orang yang menanamkan uangnya dalam
proyek tersebut. Analisis finansial pada usaha pendederan ikan gurame di Desa
Petir ini meliputi analisis usaha, analisis kriteria investasi dan analisis kriteria
sensitivitas.
36
3.7.1 Analisis Usaha
Untuk melakukan peningkatan hasil budidaya tentunya membutuhkan
biaya. Berdasarkan tabel 10 adanya peningkatan dari biaya investasi, biaya tetap
dan biaya variabel pada masing–masing kondisi yakni untuk biaya investasi dan
biaya tetap pada kondisi aktual Rp. 32.214/m2 (investasi) dan Rp. 3.139/m2 (biaya
tetap) menjadi optimal Rp. 38.873/m2 (investasi) dan Rp. 11.496/m2 (biaya tetap)
per tahun, yakni dengan musim tanam sebanyak 2 kali dan pola tanam sebanyak 8
siklus per tahun pada 4 buah kolam maka keuntungan yang diperoleh jika pada
kondisi aktual Rp. 5.143/m2 meningkat pada kondisi optimal menjadi Rp.
29.129/m2.
Tabel 10 Kenaikan Biaya Investasi, Biaya Tetap, Biaya Variabel, Penerimaan dan Keuntungan Usaha Pendederan Ikan Gurame di Desa Petir per m2
Uraian
Kondisi Aktual dan Optimal
Kondisi Aktual (m2 Optimal (m) 2 Kenaikan (%) )
Investasi (Rp) 32.214 38.873 121% Biaya Tetap (Rp) 3.139 11.496 366% Biaya Variabel (Rp) 14.847 25.833 174% Total Penerimaan (Rp) 23.126 66.458 287% Keuntungan (Rp) 5.143 29.129 566% Tambahan Modal (Rp) 19.342
Sumber : Data Primer, 2011 Peningkatan biaya tersebut secara keseluruhan terjadi karena adanya
peningkatan pada tebar. Sehingga apabila padat tebar ditingkatkan maka akan
mempengaruhi biaya produksi. Secara ekonomis peningkatan produksi didapatkan
berdasarkan biaya. Sehingga hasil analisis yang diperoleh untuk kenaikan biaya
yang paling besar dari aktual ke optimal adalah biaya tetap dengan kenaikan
366%. Analisis usaha pada usaha pendederan ikan gurame di Desa Petir meliputi
analisis pendapatan usaha, analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C), analisis
Payback Period (PP) dan analisis Break Even Point (BEP).
1. Analisis Pendapatan Usaha
Berdasarkan Tabel 11 untuk usaha pendederan gurame Desa Petir secara
aktual memiliki perbedaan biaya baik pengeluaran maupun keuntungan yang
diperoleh. Penambahan modal untuk kondisi optimal sebesar Rp 17.079.251/tahun
dari kondisi aktual sebesar Rp. 15.881.606/tahun menjadi Rp. 32.960.857/tahun
37
maka keuntungan per tahun jika pada kondisi aktual adalah sebesar Rp.
4.541.753/tahun sedangkan pada kondisi optimal sebesar Rp. 25.721.278/tahun.
Pada kondisi aktual keuntungan sebesar Rp. 4.541.753/tahun dirasakan masih
kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu sebagian
besar para pembudidaya memiliki pekerjaan sampingan dan merasa bahwa usaha
gurame yang dijalankan kurang menguntungkan.
Tabel 11. Analisis Pendapatan Usaha (Laba Rugi)
No Uraian Kondisi
Kenaikan Aktual Optimal
A Penerimaan (Per Tahun)
Total Penerimaan 20.423.359 58.682.135 287 % B Pengeluaran (Per Tahun)
Biaya Tetap 2.771.990 10.150.640 366%
Biaya Variabel 13.109.616 22.810.217 174 %
Total Pengeluaran 15.881.606 32.960.857 208% C Keuntungan 4.541.753 25.721.278 566% D Analisis Usaha R/C 1,29 1,78 138% Pay Back Period (Tahun) 1,39 0,58 42 % Break Even Point (Rp) 7.740.681 16.605.224 215 % Break Even Point (ekor) 3.964 11.319 286%
Sumber : Data Primer, 2011 2. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya
Analisis ini berguna untuk mengetahui seberapa besar manfaat yang
diperoleh untuk kegiatan usaha selama periode tertentu apakah usaha yang
dijalankan menguntungkan ataupun tidak. Hasil analisis diperoleh pada kondisi
aktual nilai R/C adalah 1,29 nilai ini menunjukkan bahwa setiap Rp. 1 yang
dikeluarkan akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 1,29. Sedangkan pada
kondisi optimal nilai R/C adalah 1,78 ini menunjukkan bahwa setiap Rp. 1 yang
dikeluarkan akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 1,78. Nilai R/C pada
kondisi aktual dan optimal menunjukkan bahwa nilai tersebut lebih dari 1
sehingga usaha pendederan ini menguntungkan dan masih dapat dilakukan
peningkatan.
3. Analisis Payback Period (PP)
Analisis Payback Period (PP) ini berguna untuk mengetahui waktu yang
dibutuhkan untuk mengembalikan investasi yang ditanamkan. Pada kondisi aktual
38
diketahui nilai PP sebesar 1,39 tahun atau sekitar 16,68 bulan. Sedangkan pada
kondisi optimal nilai PP dari hasil perhitungan sebesar 0,58 tahun atau setara
dengan 6,96 bulan (Tabel 11).
4. Analisis Break Even Point (BEP)
Break even point (BEP) menjelaskan tentang nilai suatu penjualan dengan
biaya produksi yang menentukan batas impas suatu usaha agar tidak mengalami
kerugian. Hasil analisis diperoleh nilai bahwa untuk usaha pendederan gurame
Desa Petir secara aktual nilai impas usaha tersebut berdasarkan jumlah volume
dalam bentuk rupiah agar tidak mengalami kerugian nilai penerimaan dan biaya
yang harus dikeluarkan sebesar Rp. 7.740.681 pada kondisi tersebut pembudidaya
tidak akan mengalami keuntungan ataupun kerugian. Untuk kondisi optimal yakni
sebesar Rp. 16.605.224. Untuk nilai BEP berdasarkan volume dalam bentuk ekor
secara aktual diperoleh nilai 3.964 ekor, artinya nilai tersebut menunjukkan
apabila penjualan benih hanya memperoleh 3.964 maka usaha tidak mengalami
keuntungan ataupun kerugian. Untuk kondisi optimal adalah sebesar 11.319 ekor
dan nilai ini menunjukkan batas impas penjualan (Tabel 11).
3.7.2 Analisis Kriteria Investasi dan Analisis Sensitivitas
Analisis kriteria investasi dan analisis sensitivitas merupakan analisis yang
dilakukan untuk mengetahui seberapa layak usaha pendederan gurame di Desa
Petir. Beberapa nilai yang penting untuk analisis kriteria investasi yakni Net
Present Value (NPV), Net Benefit/Cost (Net B/C), dan Internal Rate of Return
(IRR). Pada penelitian ini analisis kriteria invesatasi dihitung berdasarkan kondisi
aktual dan kondisi optimal. Perhitungan kondisi aktual dianalisis tanpa proyek,
sedangkan optimal dengan menggunakan proyek. Berikut ini adalah beberapa
asumsi dari penelitian optimalisasi penggunaan input produksi budidaya
pendederan gurame di desa Petir :
1. Skenario yang dibuat terdiri atas 4 skenario yang terdiri atas :
a. Skenario 1 kondisi optimal dengan lahan milik sendiri dengan
padat tebar 42 ekor/m2
b. Skenario 2 kondisi optimal teknis dengan lahan milik sendiri
dengan padat tebar 25 ekor/m
(Data Primer, 2011)
2 (Hatimah et, al 1992 dalam
Jangkaru 2002)
39
c. Skenario 3 kondisi optimal dengan lahan sewa dengan padat tebar
42 ekor/m2
d. Skenario 4 kondisi optimal teknis dengan lahan sewa dengan padat
tebar 25 ekor/m
(Data Primer, 2011)
2
2. Harga sewa kolam yakni Rp. 600.000/tahun
(Hatimah et, al 1992 dalam Jangkaru 2002)
3. Survival Rate (SR) atau tingkat kelangsungan hidup sebesar 65%
4. Jumlah kolam sebanyak 4 buah, 2 kali panen dengan pola tanam sebanyak
8 siklus dari ukuran kuaci (2-2,5 cm) hingga korek (10-11 cm).
5. Pada kondisi optimal teknis pakan yang diberikan berupa postal hingga 85
hari dan diberikan pelet hingga 40 hari (penghitungan jumlah pakan =
bobot rata-rata ikan x jumlah populasi ikan yang ditanam x % tingkat
pemberian pakan (gr atau kg)).
6. Tingkat suku bunga berdasarkan deposito akhir bulan Mei 2011 dari bank
BRI sebesar 6%.
7. Umur proyek selama 5 tahun dengan pertimbangan sesuai dengan umur
investasi kolam.
Penyusunan skenario ini berdasarkan kondisi di Desa Petir yakni rata-rata
lahan yang digunakan adalah lahan milik sendiri dan tidak pernah melakukan
pinjaman ke pihak bank untuk melakukan usaha budidaya gurame. Skenario
kriteria investasi dibuat karena kondisi yang ada pada sebagian besar
pembudidaya memiliki lahan sendiri dan untuk modal usaha didapatkan dari hasil
usaha yang lain. Selain itu dilakukan pula analisis sensitivitas dengan tujuan untuk
mengetahui apakah secara matematis akan terjadi suatu perubahan yang cukup
signifikan terhadap penerimaan pendapatan apabila terjadi perubahan dari biaya
input produksi. Pada analisis sensitivitas ini asumsi dengan meningkatkan harga
benih sebesar 20% hal ini didasarkan dengan adanya kenaikan harga benih dari
beberapa tahun sebelumnya (Lampiran 13). Hal ini dilakukan karena benih
merupakan faktor produksi yang cukup penting untuk usaha pendederan gurame.
1. Skenario 1 (Kondisi Optimal Lahan Milik Sendiri)
Analisis kriteria investasi pada usaha pendederan gurame di Desa Petir jika
menggunakan skenario pertama, yakni menggunakan lahan milik sendiri. Pada
kondisi optimal 42 ekor/m2 diperoleh nilai NPV dengan umur proyek selama 5
40
tahun sebesar Rp. 157.121.952. Nilai NPV ini menunjukkan manfaat bersih
selama umur proyek. Net B/C merupakan manfaat bersih tambahan yang diterima
proyek dari setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan. Nilai Net B/C pada
skenario pertama adalah sebesar 3,70 artinya usaha tersebut akan memberikan
manfaat bersih sebesar 3,70 pada setiap biaya Rp 1,00 selama 5 tahun. IRR
merupakan tingkat pengembalian internal yaitu kemampuan suatu proyek
menghasilkan return (satuannya %). Pada skenario pertama nilai IRR diperoleh
sebesar 71% per tahun dari investasi yang ditanamkan selama 5 tahun umur
proyek (Lampiran 14). Untuk analisis sensitivitas pada skenario pertama pada
kondisi optimal kenaikan harga benih 20% menyebabkan nilai NPV, Net B/C dan
IRR untuk proyek selama 5 tahun mengalami perubahan data.
Tabel 12. Kriteria Investasi Pada Skenario 1 No Kriteria Investasi Skenario 1 Sensitivitas 1 NPV 157.121.952 141.040.782 2 Net B/C 3,70 3,42 3 IRR (%) 72% 66%
Sumber : Data Primer, 2011
Berdasarkan Tabel 12 nilai NPV mengalami perubahan yakni dari Rp.
157.121.952 menjadi Rp. 141.040.782. Nilai Net B/C setelah dilakukan analisis
sensitivitas menjadi 3,42 yakni berkurang sebanyak 0,28 dan nilai IRR menurun
dari 72% menjadi 66%. Hal ini menunjukkan bahwa usaha yang dijalankan
apabila terdapat kenaikan harga benih tidak sensitiv dan nilai NPV masih dalam
kondisi positif dan menguntungkan sehingga masih layak untuk dijalankan.
2. Skenario 2 (Kondisi Optimal Teknis Lahan Milik Sendiri)
Hasil kriteria investasi pada skenario kedua ini menunjukkan bahwa nilai
NPV dengan umur proyek selama 5 tahun diperoleh sebesar Rp. 103.929.685.
Nilai Net B/C pada skenario kedua adalah sebesar 2,78 artinya usaha tersebut akan
memberikan manfaat bersih sebesar 2,78 kali pada setiap biaya Rp 1,00 selama 5
tahun. IRR merupakan tingkat pengembalian internal yaitu kemampuan suatu
proyek menghasilkan return (satuannya %). Pada skenario kedua ini nilai IRR
diperoleh sebesar 50% per tahun dari investasi yang ditanamkan selama lima
tahun umur proyek (Lampiran 15).
41
Untuk analisis sensitivitas pada skenario kedua pada kondisi optimal
kenaikan harga benih sebesar 20% menyebabkan nilai NPV untuk proyek selama
5 tahun yakni sebesar Rp.96.490.651. Nilai Net B/C setelah dilakukan analisis
sensitivitas menjadi 2,66 yakni berkurang sebanyak 0,12 dan untuk nilai IRR
menurun dari 50% menjadi 47% (Tabel 13). Hal ini menunjukkan bahwa usaha
yang dijalankan apabila terdapat kenaikan harga benih tidak sensitiv dan nilai
NPV masih dalam kondisi positif dan menguntungkan sehingga masih layak
untuk dijalankan.
Tabel 13. Kriteria Investasi Pada Skenario 2
No Kriteria Investasi Skenario 2 Sensitivitas 1 NPV 103.929.685 96.490.651 2 Net B/C 2,78 2,66 3 IRR (%) 50% 47%
Sumber : Data Primer, 2011
3. Skenario 3 (Kondisi Optimal Lahan Sewa)
Pada skenario ketiga diasumsikan bahwa lahan yang digunakan
merupakan lahan sewa berbentuk kolam. Nilai sewa kolam untuk pertahun yakni
sebesar Rp. 600.000. Pada kondisi optimal diperoleh nilai NPV sebesar Rp.
175.102.279, Net B/C 6,81 dan IRR 144% (Lampiran 16). Untuk analisis
sensitivitas pada skenario ketiga pada kondisi optimal kenaikan harga benih
sebesar 20% menyebabkan nilai NPV untuk proyek selama 5 tahun yakni sebesar
Rp. 162.425.843. Nilai Net B/C menjadi 6,39 yakni berkurang sebanyak 0,42 dan
untuk nilai IRR menurun dari 144% menjadi 134% (Tabel 14). Hal ini
menunjukkan bahwa usaha yang dijalankan apabila terdapat kenaikan harga benih
tidak sensitiv dan nilai NPV masih dalam kondisi positif dan menguntungkan
sehingga masih layak untuk dijalankan.
Tabel 14. Kriteria Investasi Pada Skenario 3
No Kriteria Investasi Cashflow Sensitivitas 1 NPV 175.102.279 162.425.843 2 Net B/C 6,81 6,39 3 IRR (%) 144% 134%
Sumber : Data Primer, 2011
42
4. Skenario 4 (Kondisi Optimal Teknis Lahan Sewa)
Pada skenario keempat diasumsikan bahwa lahan yang digunakan
merupakan lahan sewa dan pakan yang diberikan sama dengan pada skenario
kedua yakni berupa postal dan pelet. Untuk pemeliharaan selama 85 hari diberi
postal dan selanjutnya 40 hari diberikan pelet dengan kandungan protein 26% dan
tingkat pemberian pakan 3%. Selain itu teknik budidaya yang diterapkan berupa
pemeliharaan ikan dengan menggunakan hapa. Pada kondisi optimal teknis
diperoleh nilai NPV sebesar Rp. 121.910.012, Net B/C 5,05 dan IRR 103%.
Untuk analisis sensitivitas pada skenario keempat pada kondisi optimal
kenaikan harga benih sebesar 20% menyebabkan nilai NPV untuk proyek selama
5 tahun yakni sebesar Rp. 114.339.909. Nilai Net B/C setelah dilakukan analisis
sensitivitas menjadi 4,79 yakni berkurang sebanyak 0,26 dan untuk nilai IRR
menurun dari 103% menjadi 98% (Tabel 15). Hal ini menunjukkan bahwa usaha
yang dijalankan apabila terdapat kenaikan harga benih tidak sensitiv dan nilai
NPV masih dalam kondisi positif dan menguntungkan sehingga masih layak
untuk dijalankan.
Tabel 15. Kriteria Investasi Pada Skenario 4 No Kriteria Investasi Cashflow Sensitivitas 1 NPV 121.910.012 114.339.909 2 Net B/C 5,05 4,79 3 IRR (%) 103% 98%
Sumber : Data Primer, 2011
Secara ekonomis berdasarkan hasil analisis kriteria investasi dengan
keempat skenario yang telah dihitung pada usaha pendederan gurame di Desa
Petir diperoleh bahwa yang paling besar memberikan manfaat yakni pada kondisi
optimal dengan padat tebar 42 ekor/m2 dan menggunakan lahan sewa. Analisis
kriteria investasi pada skenario kondisi optimal 42 ekor/m2
Penerapan skenario padat tebar 42 ekor/m
dan menggunakan
lahan sewa ini memiliki kelayakan yang paling cocok untuk menjalankan usaha.
Sehingga dianggap paling layak karena jika dibandingkan dengan skenario
pertama, kedua dan keempat nilai Internal Rate of Return (IRR) memberikan
manfaat bersih yang paling tinggi. 2 dengan lahan sewa tentunya
tidak terlepas dari aspek teknis budidaya. Sehingga untuk melakukan optimalisasi
43
dari padat tebar 17 ekor/m2 (aktual) menuju ke 42 ekor/m2 perlu diperhitungkan
terutama untuk daya dukung perairan. Peningkatan padat tebar dapat
mempengaruhi kualiatas perairan. Batas padat tebar menurut Badan Standarisasi
Nasional adalah 60 ekor/m2 dengan teknis budidaya secara intensif. Akan tetapi
dengan mempertimbangkan aspek lingkungan serta keadaan di sekitar Desa Petir
maka sebagai awalan untuk menjalankan usaha sebaiknya menggunakan skenario
dengan padat tebar 25 ekor/m2 dengan lahan sewa. Namun jika ingin
mendapatkan keuntungan lebih maksimal lagi maka yang paling cocok adalah
dengan menerapkan kondisi optimal padat tebar 42 ekor/m2 dengan lahan sewa.
Wedemeyer (1996) menyatakan bahwa jika peningkatan padat tebar
melewati batas tertentu maka akan mengganggu proses fisiologis dan tingkah laku
ikan yang pada akhirnya dapat menurunkan kondisi kesehatan, pemanfaatan
makanan, menurunkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Sehubungan
dengan adanya peningkatan padat tebar maka akan mempengaruhi kondisi
lingkungan perairan serta kondisi ikan yang dipelihara seperti pertumbuhan ikan.
Menurut Hepher dan Pruginin (1981) pertumbuhan ikan bergantung pada dan
beberapa faktor yaitu jenis ikan, sifat genetis dan kemampuan memanfaatkan
pakan, ketahanan terhadap penyakit serta lingkungan seperti kualitas air, pakan
dan ruang gerak atau padat penebaran.
Peningkatan padat tebar dikolam perairan dapat menyebabkan ruang gerak
ikan berkurang, kompetisi dalam mengambil pakan serta akan menyebabkan
terjadinya keberagaman ukuran ikan saat dipanen. Sehingga yang diharus diatasi
adalah dengan mengoptimalkan penggunaan faktor produksi. Berdasarkan hasil
analisis Cobb Douglas maka penggunaan faktor produksi yang sudah optimal
adalah TSP dan tenaga kerja. Pemberian pakan yakni berupa postal dapat
diberikan secara optimal dengan mempertimbangkan banyaknya postal yang
diberikan terhadap jumlah benih yang dipelihara. Pada kondisi optimal padat tebar
42 ekor/m2
Pemberian postal dilakukan selama 85 hari dan 40 hari diberikan tepung
pelet selama pemeliharaan. Untuk mengatasi terjadinya keberagaman ukuran
maka sebaiknya luasan kolam dipersempit yakni dengan cara memasang hapa.
Sehingga pemberian pakan akan terpusat pada satu titik dan ikan tidak
pakan yang ditingkatkan yakni tepung pelet dan postal dikurangi.
44
mengeluarkan banyak energi untuk mengambil pakan. Keberagaman ukuran ikan
di dalam kolam akan mengakibatkan kompetisi yang semakin besar untuk
memperoleh makanan. Sehingga ikan yang berukuran kecil akan dikalahkan oleh
ikan ukuran besar, akibatnya ikan menjadi stres yang berdampak pada
menurunnya derajat kelangsungan hidup, pertumbuhan, nafsu makan, dan
memperbesar peluang terserangnya penyakit (Stickney, 1979).
Air sebagai media ikan memiliki peranan yang sangat penting baik
kualitas maupun kuantitasnya. Sifat fisika, kimia dan biologi air mencakup
mineral, gas terlarut, partikel tersuspensi serta jasad renik dalam air (Meade,
1989). Untuk menjaga kualitas air agar tidak terjadi kematian pada ikan yang
perlu dilakukan pada daya dukung perairan adalah berupa meninggikan air,
pergantian air minimal satu kali selama pemeliharaan dan memperluas saluran
inlet. Agar sifat fisika, kimia dan biologi didalam perairan tidak mengalami
perubahan yang begitu signifikan.
Berdasarkan analisis ekonomis pada skenario padat tebar 42 ekor/m2
dengan sewa lahan (lampiran 15) nilai NPV lebih besar dari nol dan Net B/C lebih
dari satu dan IRR lebih besar dari nilai tingkat suku bunga menunjukkan bahwa
usaha pendederan dengan skenario tersebut dapat memberikan keuntungan yang
besar serta layak untuk dijalankan. Berdasarkan analisis sensitivitas pada keempat
skenario adanya peningkatan harga benih 20% tidak sensitiv terhadap usaha yang
dijalankan.