III ISI - Infeksi Dan Tumor Saraf

50
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem saraf manusia merupakan jalinan jaringan saraf yang saling berhubungan, sangat khusus, dan kompleks. Sistem saraf ini mengkoordinasikan, mengatur, dan mengendalikan interaksi antara seorang individu dengan lingkungan sekitarnya. Sistem tubuh yang penting ini juga mengatur aktivitas sebagian besar sistem tubuh lainnya. Tubuh mampu berfungsi sebagai satu kesatuan yang harmonis karena pengaturan hubungan saraf di antara berbagai sistem. Fenomena mengenai kesadaran, daya pikir, daya ingat, bahasa, sensasi, dan gerakan semuanya berasal dari sistem ini. Infeksi sistem saraf merupakan penyakit yang menjadi perhatian dunia dan penyebab yang penting dalam morbiditas dan mortalitas. Tetanus dan meningitis dilaporkan sebagai penyebab kedua tersering pada kasus neuroinfeksi di salah satu rumah sakit di Nigeria (setelah stroke) dengan jumlah sebanyak 97 (12,42%). Pada 1

description

Infeksi dan Tumor Saraf

Transcript of III ISI - Infeksi Dan Tumor Saraf

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem saraf manusia merupakan jalinan jaringan saraf yang saling

berhubungan, sangat khusus, dan kompleks. Sistem saraf ini mengkoordinasikan,

mengatur, dan mengendalikan interaksi antara seorang individu dengan lingkungan

sekitarnya. Sistem tubuh yang penting ini juga mengatur aktivitas sebagian besar

sistem tubuh lainnya. Tubuh mampu berfungsi sebagai satu kesatuan yang harmonis

karena pengaturan hubungan saraf di antara berbagai sistem. Fenomena mengenai

kesadaran, daya pikir, daya ingat, bahasa, sensasi, dan gerakan semuanya berasal dari

sistem ini.

Infeksi sistem saraf merupakan penyakit yang menjadi perhatian dunia dan

penyebab yang penting dalam morbiditas dan mortalitas. Tetanus dan meningitis

dilaporkan sebagai penyebab kedua tersering pada kasus neuroinfeksi di salah satu

rumah sakit di Nigeria (setelah stroke) dengan jumlah sebanyak 97 (12,42%). Pada

anak-anak, kasus meningitis kurang lebih terjadi 890.000 kasus pertahunnya (500.000

di Afrika, 210.000 di negara-negara Pasifik, 100.000 di Eropa dan 80.000 di

Amerika). Dari kasus ini, 160.000 orang berakhir dengan kecacatan, dan 135.000

lainnya berakibat fatal. Menurut data WHO (2014) kasus ensefalitis viral di Asia

mencapai sekitar 68.000 kasus tiap tahunnya, dengan penyebab utama japanese

encephalitis virus. Case fatality rate hampir mencapai 30% dan sequele permanen

dari aspek neurologis atau psikiatrik dapat terjadi pada 30-50% pasien.

Tumor susunan saraf pusat (SSP) ditemukan sebanyak ± 10% dari neoplasma

seluruh tubuh. Amerika Serikat di dapat 35.000 kasus baru dari tumor otak setiap

1

tahun. Tumor ganas primer dari sistem saraf pusat terjadi pada 16.500 individu dan

diperkirakan 13.000 kematian di Amerika Serikat, tingkat mortilitas adalah sebesar 6

per 100.000. Data ini didapati hampir sama di dunia. Tumor primer (SSP) dijumpai

10% dari seluruh penyakit neurologi yang ditemukan di Rumah Sakit Umum. Selain

itu, didapati 80% tumor otak terletak pada intrakranial dan 20% di dalam kanalis

spinalis. Lokasi tumor terbanyak berada di lobus parietalis (18,2%), sedangkan

tumor-tumor lainnya tersebar di beberapa lobus otak, suprasellar, medulla spinalis,

cerebellum, brainstem dan cerebellopontine angle dan multiple. Dari hasil

pemeriksaan Patologi Anatomi (PA), jenis tumor terbanyak yang dijumpai adalah

Meningioma (39,26 persen), sisanya terdiri dari berbagai jenis tumor dan lain-lain

yang tak dapat ditentukan.

1.2 Tujuan Pembahasan

Dalam penyusunan makalah ini tentunya memiliki tujuan yang diharapkan

berguna bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis sendiri. Dimana tujuannya

dibagi menjadi dua macam yang pertama secara umum makalah ini bertujuan

menambah wawasan mahasiswa/I dalam menguraikan suatu persoalan secara holistik

dan tepat, dan melatih pemikiran ilmiah dari seorang mahasiswa/I fakultas

kedokteran, dimana pemikiran ilmiah tersebut sangat dibutuhkan bagi seorang dokter

agar mampu menganalisis suatu persoalan secara cepat dan tepat. Sedangkan secara

khusus tujuan penyusunan makalah ini ialah sebagai berikut :

Melengkapi tugas small group discussion skenario tiga modul dua puluh dua

dengan judul skenario “Kesadaran Menurun”.

Menambah khasanah ilmu pengetahuan para pembaca dan penulis.

Sebagai bahan referensi mahasiswa/I Fakultas Kedokteran UISU dalam

menghadapi ujian akhir modul.

2

Itulah merupakan tujuan dalam penyusunan makalah ini, dan juga sangat

diharapkan dapat berguna setiap orang yang membaca makalah ini. Semoga seluruh

tujuan tersebut dapat tercapai dengan baik.

1.3 Metode dan Teknik

Dalam penyusunan makalah ini kami mengembangkan suatu metode yang

sering digunakan dalam pembahasan-pembahasan makalah sederhana, dimana kami

menggunakan metode dan teknik secara deskriptif dimana tim penyusun mencari

sumber data dan sumber informasi yang akurat lainnya setelah itu dianalisis

sehinggga diperoleh informasi tentang masalah yang akan dibahas setelah itu

berbagai referensi yang didapatkan dari berbagai sumber tersebut disimpulan sesuai

dengan pembahasan yang akan dilakukan dan sesuai dengan judul makalah dan

dengan tujuan pembuatan makalah ini.

3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Skenario

SEMESTER VII MODUL XXII (PERSARAFAN)

SKENARIO 4

KESADARAN MENURUN

Nyonya S umur 45 tahun diantar ke rumah sakit dengan kesadaran menurun

secara perlahan-lahan. Sebelumnya pasien ini demam naik turun, tidak pernah

mencapai normal lebih kurang 6 hari ini, kejang dijumpai, frekuensi 3x, kejang

parsial dan didapati adanya muntah proyektil (+). Sebelumnya pasien mengeluhkan

sakit kepala terus menerus, kalau mengedan atau batuk, kepala makin terasa sakit.

Sensorium : somnolen

TD : 140/90 mmHg

HR : 100 x/menit

Temp : 38 °C

Pemeriksaan neurologis:

Kaku kuduk (+), Brudzinsky sign (+), Kernig sign (+)

Pemeriksaan nervus cranialis:

Nervus II : pupil isokor, RC +/+

Nervus III, IV, VI : Doll`s Eye Phenomenon (+)

Nervus VII : sudut mulut jatuh ke kanan

Pemeriksaan refleks fisiologis: + / +

Pemeriksaan refleks patologis: babinsky (+) kanan, chaddock (+) kanan

Hasil lab:

Darah rutin : Hb 12 g%

Leukosit : 15.000/mm3

4

Trombosit : 188.000/mm3

KGD ad random : 120 mg% Na+ : 135 mEq/L

Ureum : 30 mg/dl K+ : 3,5 mEq/L

Kreatinin : 0,5 mg/dl Cl- : 95 mEq/L

Oleh dokter dianjurkan pemeriksaan Head CT Scan dan Lumbal Punction (LP)

2.2 Learning Objective

Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan tentang penyakit infeksi dan

keganasan pada sistem saraf.

2.3 Infeksi Pada Sistem Saraf

2.3.1 Meningitis

Definisi

Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piameter

(lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan

mengenai jaringan otak dan medula spinalis yang superfisial.

Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi

pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa

ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan serebrospinal

yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah kuman Tuberculosis dan

virus. Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifat

akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri

spesifik maupun virus. Meningitis Meningococcus merupakan meningitis purulenta

yang paling sering terjadi.

5

Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita dan

droplet infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan cairan

tenggorok penderita. Saluran nafas merupakan port d’entree utama pada penularan

penyakit ini. Bakteri-bakteri ini disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara

dari pernafasan dan sekresi-sekresi tenggorokan yang masuk secara hematogen

(melalui aliran darah) ke dalam cairan serebrospinal dan memperbanyak diri

didalamnya sehingga menimbulkan peradangan pada selaput otak dan otak.

Klasifikasi dan Etiologi

Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi

padacairan otak, yaitu:

1. Meningitis serosa

Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan

otakyang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa.

Penyebab lainnya Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.

2. Meningitis purulenta

Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan

medula spinalis. Penyebabnya antara lain: Diplococcus pneumoniae,

Neisseria meningitis, Streptococushaemolyticus, Staphylococcus aureus,

Haemophilus influenzae, Escherichiacoli, Klebsiella pneumoniae,

Peudomonas aeruginosa.

Meningitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia, jamur, cacing dan

protozoa. Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri. Meningitis yang

disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal dibandingkan meningitis penyebab lain

karena mekanisme kerusakan dan gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri

maupun produk bakteri lebih berat.

6

Infectious Agent meningitis purulenta mempunyai kecenderungan pada

golongan umur tertentu, yaitu golongan neonatus paling banyak disebabkan oleh

E.Coli, S.beta hemolitikus dan Listeria monositogenes. Golongan umur dibawah 5

tahun (balita) disebabkan oleh H.influenzae, Meningococcus dan Pneumococcus.

Golongan umur 5-20 tahun disebabkan oleh Haemophilus influenzae, Neisseria

meningitidis dan Streptococcus Pneumococcus, dan pada usia dewasa (>20 tahun)

disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus, Stafilocccus, Streptococcus dan

Listeria.

Penyebab meningitis serosa yang paling banyak ditemukan adalah kuman

Tuberculosis dan virus. Meningitis yang disebabkan oleh virus mempunyai prognosis

yang lebih baik, cenderung jinak dan bisa sembuh sendiri. Penyebab meningitis virus

yang paling sering ditemukan yaitu Mumpsvirus, Echovirus, dan Coxsackie virus ,

sedangkan Herpes simplex, Herpes zooster, dan enterovirus jarang menjadi penyebab

meningitis aseptik (viral).

Patofisiologi

Kuman-kuman masuk ke dalam susunan saraf pusat secara hematogen/langsung

menyebar di nasofaring, paru-paru (pneumonia, bronkopneumonia) dan jantung

(endokarditis), selain itu per kontinuitatum di peradangan organ / jaringan di dekat

selaput otak misalnya abses otak, otitis media, martoiditis dan trombosis, sinus

kavernosus. Invasi kuman (meningokok, pneumokok, hemofilus influenza,

streptokok) ke dalam ruang subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan

araknoid, CSS dan sistem ventrikulus.

Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami

hiperemi, dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit

polimorfonuklear ke dalam ruang subaraknoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam

beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu ke 2 sel-

7

sel plasma. Eksudat terbentuk dan terdiri dari dua lapisan, yaitu bagian luar

mengandung leukosit, polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisan dalam

terdapat makrofag.

Peradangan menyebabkan cairan cerebrospinal meningkat sehingga terjadi

obstruksi, selanjutnya terjadi hydrocephalus dan peningkatan intrakranial. Organisme

masuk melalui sel darah merah, dapat melalui trauma penetrasi, prosedur

pembedahan, atau kelainan sistem saraf pusat. Efek patologis yang terjadi adalah

hiperemia meningens, edema jaringan otak, eksudasi.

Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di korteks dan

dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuron-

neuron. Dengan demikian meningitis dapat dianggap sebagai ensefalitis superfisial.

Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino – purulen menyebabkan

kelainan nervi kraniales (Nn. III, IV, VI, VII, & VIII). Organisasi di ruang

subaraknoid superfisial dapat menghambat aliran dan absorbsi CSS sehingga

mengakibatkan hidrosefalus komunikans.

Mikroorganisme penyebab dapat masuk mencapai membran meningen dengan

berbagai cara antara lain :

Hematogen atau limpatik

Perkontuinitatum

Retograd melalui saraf perifer

Langsung masuk cairan serebrospinal

Efek peradangan tersebut dapat mengenai lapisan meningen dan ruang-ruang

yang berada diantara lapisan. Tidak jarang pula infeksi mengenai jaringan otak.

Kondisi ini disebut meningo-encephalitis. Efek patologis yang terjadi antara lain

hyperemia meningens, edema jaringan otak, dan eksudasi. Perubahan-perubahan

8

tersebut akan memberikan dampak terhadap peningkatan tekanan intra kranial dan

hydrocephalus (pada anak-anak). Hydrocephalus terjadi bila eksudat (lebih sering

terjadi pada infeksi bakteri) menyumbat sirkulasi cairan cerebrospinal juga eksudat

tadi dapat menetap di jaringan otak dan menyebabkan abses otak.

Manifestasi Klinis

Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa nyeri ini dapat menyebar ke

tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku. Kaku kuduk disebabkan oleh

mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu

tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam sikap

hiperekstensi, kesadaran menurun. Tanda Kernig & Brudzinski positif.

Terjadi secara akut dengan panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernapasan,

kejang, nafsu makan berkurang, minum sangat berkurang, konstipasi diare, biasanya

disertai septicemia dan pneumonitis. Kejang terjadi pada lebih kurang 44% anak

dengan penyebab hemofilus influenza, 25% streptokok pneumonia, 78% oleh

streptokok dan 10% oleh infeksi meningokok. Gangguan kesadaran berupa apati,

letargi, renjatan, koma. Selain itu dapat terjadi koagulasi intravaskularis diseminata.

9

Tanda-tanda iritasi meningeal seperti kaku kuduk, tanda kernig brudzinski dan

fontanela menonjol untuk sementara waktu belum timbul. Pada anak yang lebih besar

dan orang dewasa, permulaan penyakit juga terjadi akut dengan panas, nyeri kepala

yang bisa hebat sekali, malaise umum, kelemahan, nyeri otot dan nyeri punggung.

Biasa dimulai dengan gangguan saluran pernapasan bagian atas. Selanjutnya terjadi

kaku kuduk, opistotonus, dapat terjadi renjatan, hipotensi dan taki kardi karena

septicemia. Gangguan kesadaran berupa letargi sampai koma yang dalam dapat

dijumpai pada penderita. Nyeri kepala dapat hebat sekali, rasanya seperti mau pecah

dan bertambah hebat bila kepala digerakkan. Nyeri kepala dapat disebabkan oleh

proses radang pembuluh darah. Meningeal, tetapi juga dapat disebabkan oleh

peningkatan tekanan intracranial yang disertai fotofobi dan hiperestesi, suhu badan

makin meningkat, tetapi jarang disertai gemetar (chills).

Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau stadium

prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi

biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam,

muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan turun, mudah

tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan kesadaran berupa

apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala,

konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat

gelisah. Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 – 3 minggu dengan

gejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan

kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan

meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda

peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat. Stadium III

atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai

koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu

bila tidak mendapat pengobatan sebagaimana mestinya.

10

Pemeriksaan Diagnostik

1. Analisis CSS dari fungsi lumbal :

a) Meningitis bakterial: tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, jumlah

sel darah putih dan protein meningkat glukosa meningkat, kultur positip

terhadap beberapa jenis bakteri.

b) Meningitis virus: tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel

darah putih meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur

biasanya negatif, kultur virus biasanya dengan prosedur khusus. ‘

2. Glukosa serum: meningkat

3. LDH serum: meningkat (meningitis bakteri)

4. Sel darah putih: sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil (infeksi

bakteri)

5. Elektrolit darah: Abnormal

6. ESR/LED : meningkat pada meningitis

7. Kultur darah/hidung/tenggorokan/urine: dapat mengindikasikan daerah

pusat infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi

8. MRI/CT scan: dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat

ukuran/letak ventrikel; hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor

9. Ronsen dada/kepala/ sinus ; mungkin ada indikasi sumber infeksi intra

kranial

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan medis lebih bersifat mengatasi etiologi dan perlu

menyesuaikan dengan standar pengobatan. Secara ringkas penatalaksanaan

pengobatan meningitis meliputi pemberian antibiotik yang mampu melewati barier

darah otak ke ruang subarachnoid dalam konsentrasi yang cukup untuk menghentikan

perkembangbiakan bakteri. Baisanya menggunakan sefaloposforin generasi keempat

atau sesuai dengan hasil uji resistensi antibiotik agar pemberian antimikroba lebih

efektif digunakan. Obat anti-infeksi (meningitis tuberkulosa):

11

a. Isoniazid 10-20 mg/kgBB/24 jam, oral, 2x sehari maksimal 500 mg selama 1

setengah tahun.

b. Rifampisin 10-15 mg/kgBB/24 jam, oral, 1 x sehari selama 1 tahun.

c. Streptomisin sulfat 20-40 mg/kgBB/24 jam, IM, 1-2 x sehari selama 3 bulan.

Obat anti-infeksi (meningitis bakterial):

a. Sefalosporin generasi ketiga

b. Amfisilin 150-200 mg/kgBB/24 jam IV, 4-6 x sehari

c. Kloramfenikol 50 mg/kgBB/24 jam IV 4 x sehari.

Pengobatan simtomatis:

1. Antikonvulsi, Diazepam IV; 0,2-0,5 mgkgBB/dosis, atau rectal: 0,4-0,6

mg/kgBB, atau fenitoin 5 mg/kgBB/24 jam, 3 x sehari atau Fenobarbital 5-7

mg/kgBB/24 jam, 3 x sehari.

2. Antipiretik: parasetamol/asam salisilat 10 mg/kgBB/dosis.

3. Antiedema serebri: Diuretikosmotik (seperti manitol) dapat digunakan

untuk mengobati edema serebri.

4. Pemenuhan oksigenasi dengan O2.

5. Pemenuhan hidrasi atau pencegahan syok hipovolemik: pemberian

tambahan volume cairan intravena.

Prognosis

Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik yang

menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis meningitis

dan lama penyakit sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-anak

dan dewasa tua mempunyai prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan

cacat berat dan kematian. Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan

mortalitas meningitis purulenta, tetapi 50% dari penderita yang selamat akan

mengalami sequelle (akibat sisa). Lima puluh persen meningitis purulenta

12

mengakibatkan kecacatan seperti ketulian, keterlambatan berbicara dan gangguan

perkembangan mental, dan 5 – 10% penderita mengalami kematian.

Pada meningitis tuberkulosa, angka kecacatan dan kematian pada umumnya

tinggi. Prognosa jelek pada bayi dan orang tua. Angka kematian meningitis TBC

dipengaruhi oleh umur dan pada stadium berapa penderita mencari pengobatan.

Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu. Penderita meningitis karena

virus biasanya menunjukkan gejala klinis yang lebih ringan,penurunan kesadaran

jarang ditemukan. Meningitis viral memiliki prognosis yang jauh lebih baik. Sebagian

penderita sembuh dalam 1 – 2 minggu dan dengan pengobatan yang tepat

penyembuhan total bisa terjadi.

2.3.2 Ensefalitis

Definisi

Ensefalitis adalah suatu peradangan akut dari jaringan parenkim otak yang

disebabkan oleh infeksi dari berbagai macam mikroorganisme dan ditandai dengan

gejala-gejala umum dan manifestasi neurologis. Penyakit ini dapat ditegakkan secara

pasti dengan pemeriksaan mikroskopik dari biopsi otak, tetapi dalam prakteknya di

klinik, diagnosis ini sering dibuat berdasarkan manifestasi neurologi, dan temuan

epidemiologi, tanpa pemeriksaan histopatologi.

Apabila hanya manifestasi neurologisnya saja yang memberikan kesan adanya

ensefalitis, tetapi tidak ditemukan adanya peradangan otak dari pemeriksaan patologi

anatomi, maka keadaan ini disebut sebagai ensefalopati. Jika terjadi ensefalitis,

biasanya tidak hanya pada daerah otak saja yang terkena, tapi daerah susunan saraf

lainnya juga dapat terkena. Hal ini terbukti dari istilah diagnostik yang mencerminkan

keadaan tersebut, seperti meningoensefalitis.

13

Mengingat bahwa ensefalitis lebih melibatkan susunan saraf pusat

dibandingkan meningitis yang hanya menimbulkan rangsangan meningeal, seperti

kaku kuduk, maka penanganan penyakit ini harus diketahui secara benar.Karena

gejala sisanya pada 20-40% penderita yang hidup adalah kelainan atau gangguan

pada kecerdasan, motoris, penglihatan, pendengaran secara menetap.

Tentunya keadaan seperti diatas tidak terjadi dengan begitu saja,tetapi hal

tersebut dapat terjadi apabila infeksi pada jaringan otak tersebut mengenai pusat-

pusat fungsi otak. Karena ensefalitis secara difus mengenai anatomi jaringan otak,

maka sukar untuk menentukan secara spesifik dari gejala klinik kira-kira bagian otak

mana saja yang terlibat proses peradangan itu. Angka kematian untuk ensefalitis

masih relatif tinggi berkisar 35-50% dari seluruh penderita. Sedangkan yang sembuh

tanpa kelainan neurologis yang nyata dalam perkembangan selanjutnya masih

mungkin menderita retardasi mental dan masalah tingkah laku.

Etiologi

Berbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan ensefalitis, misalnya

bakteria, protozoa, cacing, jamur, spirokaeta dan virus. Penyebab yang terpenting dan

tersering ialah virus. Infeksi dapat terjadi karena virus langsung menyerang otak atau

reaksi radang akut karena infeksi sistemik atau vaksinasi terdahulu.

Berbagai jenis virus dapat menimbulkan ensefalitis, meskipun gejala klinisnya

sama. Sesuai dengan jenis virus, serta epidemiologinya, diketahui berbagai macam

ensefalitis virus. Klasifikasi yang diajukan oleh Robin ialah:

1. Infeksi virus yang bersifat epidemik

a. Golongan enterovirus : Poliomyelitis, virus Coxsackie, virus ECHO.

b. Golongan virus ARBO : Western equine encephalitis, St. Louis

encephalitis, Eastern equine encephalitis, Japanese B encephalitis,

Russian spring summer encephalitis, Murray valley encephalitis.

14

2. Infeksi virus yang bersifat sporadik : Rabies, Herpes simplex, Herpes

zoster, Limfogranuloma, Mumps, Lymphocytic choriomeningitis dan jenis

lain yang dianggap disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.

3. Ensefalitis pasca infeksi : pasca morbili, pasca varisela, pasca rubela, pasca

vaksinia, pasca mononukleosis infeksious dan jenis-jenis yang mengikuti

infeksi traktus respiratorius yang tidak spesifik.

Meskipun di Indonesia secara klinis dikenal banyak kasus ensefalitis, tetapi

baru Japanese B encephalitis yang ditemukan.

Patogenesis

Virus dapat masuk tubuh pasien melalui kulit, saluran nafas dan saluran cerna.

Setelah masuk ke dalam tubuh, virus akan menyebar ke seluruh tubuh dengan

beberapa cara:

- Setempat

Virus hanya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau organ

tertentu.

- Penyebaran hematogen primer

Virus masuk ke dalam darah kemudian menyebar ke organ dan berkembang

biak di organ tersebut.

- Penyebaran hematogen sekunder

Virus berkembang biak di daerah pertama kali masuk (permukaan selaput

lendir) kemudian menyebar ke organ lain.

- Penyebaran melalui saraf

Virus berkembang biak di permukaan selaput lendir dan menyebar melalui

sistem saraf.

15

Pada keadaan permulaan timbul demam, tetapi belum ada kelainan neurologis.

Virus akan terus berkembang biak, kemudian menyerang susunan saraf pusat dan

akhirnya diikuti kelainan neurologis.

Kelainan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh:

- Invasi dan perusakan langsung pada jaringan otak oleh virus yang sedang

berkembang biak.

- Reaksi jaringan saraf pasien terhadap antigen virus yang akan berakibat

demielinisasi, kerusakan vaskular, dan paravaskular. Sedangkan virusnya

sendiri sudah tidak ada dalam jaringan otak.

- Reaksi aktivasi virus neurotropik yang bersifat laten.

Seberapa berat kerusakan yang terjadi pada SSP tergantung dari virulensi virus,

kekuatan teraupetik dari system imun dan agen-agen tubuh yang dapat menghambat

multiplikasi virus. Banyak virus yang penyebarannya melalui manusia. Nyamuk atau

kutu menginokulasi virus Arbo, sedang virus rabies ditularkan melalui gigitan

binatang. Pada beberapa virus seperti varisella-zoster dan citomegalo virus, pejamu

dengan sistem imun yang lemah, merupakan faktor risiko utama.

Pada umumnya, virus bereplikasi diluar SSP dan menyebar baik melalui

peredaran darah atau melalui sistem neural (virus herpes simpleks, virus varisella

zoster). Patofisiologi infeksi virus lambat seperti subakut skelosing panensefalitis

(SSPE) sanpai sekarang ini masih belum jelas. Setelah melewati sawar darah otak,

virus memasuki sel-sel neural yang mengakibatkan fungsi-fungsi sel menjadi rusak,

kongesti perivaskular, dan respons inflamasi yang secara difus menyebabkan

ketidakseimbangan substansia abu-abu (nigra) dengan substansia putih (alba).

Adanya patologi fokal disebabkan karena terdapat reseptor-reseptor membran

sel saraf yang hanya ditemukan pada bagian-bagian khusus otak. Sebagai contoh,

16

virus herpes simpleks mempunyai predileksi pada lobus temporal medial dan inferior.

Patogenesis dari ensefalitis herpes simpleks sampai sekarang masih belum jelas

dimengerti. Infeksi otak diperkirakan terjadi karena adanya transmisi neural secara

langsung dari perifer ke otak melaui saraf trigeminus atau olfaktorius.

Virus herpes simpleks tipe I ditransfer melalui jalan nafas dan ludah.Infeksi

primer biasanya terjadi pada anak-anak dan remaja. Biasanya subklinis atau berupa

somatitis, faringitis atau penyakit saluran nafas. Kelainan neurologis merupakan

komplikasi dari reaktivasi virus. Pada infeksi primer, virus menjadi laten dalam

ganglia trigeminal. Beberapa tahun kemudian,rangsangan non spesifik menyebabkan

reaktivasi yang biasanya bermanifestasi sebagai herpes labialis.

Gejala Klinis

Trias ensefalitis yang khas ialah demam, kejang, kesadaran menurun.

Manifestasi klinis tergantung kepada:

1. Berat dan lokasi anatomi susunan saraf yang terlibat, misalnya :

- Virus Herpes simpleks yang kerapkali menyerang korteks serebri,

terutama lobus temporalis

- Virus ARBO cenderung menyerang seluruh otak.

2. Patogenesis agen yang menyerang.

3. Kekebalan dan mekanisme reaktif lain penderita.

Umumnya diawali dengan suhu yang mendadak naik, seringkali ditemukan

hiperpireksia. Kesadaran dengan cepat menurun,. Anak besar, sebelum kesadaran

menurun, sering mengeluh nyeri kepala. Muntah sering ditemukan. Pada bayi,

terdapat jeritan dan perasaan tak enak pada perut. Kejang-kejang dapat bersifat umum

atau fokal atau hanya twitching saja. Kejang dapat berlangsung berjam-jam.

17

Gejala serebrum yang beraneka ragam dapat timbul sendiri-sendiri atau

bersama-sama, misalnya paresis atau paralisis, afasia dan sebagainya. Gejala batang

otak meliputi perubahan refleks pupil, defisit saraf kranial dan perubahan pola

pernafasan. Tanda rangsang meningeal dapat terjadi bila peradangan mencapai

meningen. Pada kelompok pasca infeksi, gejala penyakit primer sendiri dapat

membantu diagnosis.

Pada japanese B ensefalitis, semua bagian susunan saraf pusat dapat

meradang.gejalanya yaitu nyeri kepala, kacau mental, tremor lidah bibir dan tangan,

rigiditas pada lengan atau pada seluruh badan, kelumpuhan dan nistagmus. Rabies

memberi gejala pertama yaitu depresi dan gangguan tidur, suhu meningkat, spastis,

koma pada stadium paralisis.

Ensefalitis herpes simpleks dapat bermanifestasi sebagai bentuk akut atau

subakut. Pada fase awal, pasien mengalami malaise dan demam yang berlangsung 1-7

hari. Manifestasi ensefalitis dimulai dengan sakit kepala, muntah, perubahan

kepribadian dan gangguan daya ingat. Kemudian pasien mengalami kejang dan

penurunan kesadaran. Kejang dapat berupa fokal atau umum. Kesadaran menurun

sampai koma dan letargi. Koma adalah faktor prognosis yang sangat buruk, pasien

yang mengalami koma sering kali meninggal atau sembuh dengan gejala sisa yang

berat. Pemeriksaan neurologis sering kali menunjukan hemiparesis. Beberapa kasus

dapat menunjukan afasia, ataksia, paresis saraf cranial, kaku kuduk dan papil edema.

Plasmodium falsiparum menyebabkan eritrosit yang terifeksi menjadi

lengket.Sel-sel darah yang lengket satu sama lainnya dapast menyumbat kapiler-

kapiler dalam otak. Akibatnya timbul daerah-daerah mikro infark. Gejala-gejala

neurologist timbul karena kerusakan jaringan otak yang terjadi. Pada malaria serebral

ini, dapat timbul konvulsi dan koma.

18

Pada toxoplasmosis kongenital, radang terjadi pada pia-arakhnoid dan tersebar

dalam jaringan otak terutama dalam jaringan korteks. Sangatlah sukar untuk

menentukan etiologi dari ensefalitis, bahkan pada postmortem. Kecuali pada kasus-

kasus non viral seperti malaria falsifarum dan ensefalitis fungal, dimana dapat

ditemukan indentifikasi morfologik. Pada kasus viral, gambaran khas dapat dijumpai

pada rabies (badan negri) atau virus herpes (badan inklusi intranuklear).

Pemeriksaan Penunjang

Gambaran cairan serebrospinal dapat dipertimbangkan meskipun tidak begitu

membantu. Biasanya berwarna jernih, jumlah sel 50-200 dengan dominasi limfosit.

Kadar protein meningkat, sedangkan glukosamasih dalam batas normal. Pada fase

awal penyakit ensefalitis viral, sel- sel di LCS sering kali polimorfonuklear, baru

kemudian menjadi sel- sel. LCS sebaiknya dikultur untuk mengetahui adanya infeksi

virus, bakteri & jamur.

Pada ensefalitis herpes simpleks, pada pemeriksaan LCS dapat ditemukan

peningkatan dari sel darah merah, mengingat adanya proses perdarahan di parenkim

otak. Disamping itu dapat pula dijumpai peningkatan konsentrasi protein yang

menandakan adanya kerusakan pada jaringan otak. Pada feses ditemukan hasil yang

positif untuk entero virus.

Dengan pemeriksaan pencitraan neorologis (neuroimaging), infeksi virus dapat

diketahui lebih awal dan biasanya pemeriksaan ini secara rutin dilakukan pada pasien

dengan gejala klinis neurologis.

a. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

MRI merupakan pemeriksaan penunjang yang paling dianjurkan pada

kasus ensefalitis. Bila dibandingkan dengan CT-scan, MRI lebih sensitif

dan mampu untuk menampilkan detil yang lebih bila terdapat adanya

19

kelainan-kelainan. Pada kasus ensefalitis herpes simpleks, MRI

menunjukan adanya perubahan patologis, yang biasanya bilateral pada

lobus temporalis medial dan frontal inferior.

b. Computed Tomography

Pada kasus ensefalitis herpes simpleks, CT-scan kepala biasanya

menunjukan adanya perubahan pada lobus temporalis atau frontalis, tapi

kurang sensitif dibandingkan MRI. Kira-kira sepertiga pasien ensefalitis

herpes simpleks mempunyai gambaran CT-scan kepala yang normal.

c. Elektroensefalografi (EEG)

Pada ensefalitis herpes simpleks, EEG menunjukan adanya kelainan fokal

seperti spike dan gelombang lambat atau (slow wave) atau gambaran

gelombang tajam (sharp wave) sepanjang daerah lobus temporalis. EEG

cukup sensitif untuk mendeteksi pola gambaran abnormal ensefalitis herpes

simpleks, tapi kurang dalam hal spesifisitas. Sensitifitas EEG kira kira 84

% tetapi spesifisitasnya hanya 32.5%. Gambaran elektroensefalografi

(EEG) sering menunjukkan aktifitas listrik yang merendah yang sesuai

dengan kesadaran yang menurun.

Penatalaksanaan

Terapi suportif:

Tujuannya untuk mempertahankan fungsi organ, dengan mengusahakan jalan

nafas tetap terbuka (pembersihan jalan nafas, pemberian oksigen, pemasangan

respirator bila henti nafas, intubasi, trakeostomi) , pemberian makanan enteral atau

parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi gangguan asam basa

darah. Untuk pasien dengan gangguan menelan, akumulasi lendir pada tenggorok,

dilakukan drainase postural dan aspirasi mekanis yang periodik.

20

Terapi kausal:

Pengobatan anti virus diberikan pada ensefalitis yang disebabkan virus, yaitu

dengan memberikan asiklovir 10 mg/kgBB/hari IV setiap 8 jam selama 10-14 hari.

Pemberian antibiotik polifragmasi untuk kemungkinan infeksi sekunder. Terapi

Ganciklovir merupakan pilihan utama untuk infeksi citomegali virus. Dosis

Ganciklovir 5 mg/kgBB dua kali sehari.kemudian dosis diturunkan menjadi satu kali,

lalu dengan terapi maintenance. Preparat sulfa (sulfadiasin) untuk ensefalitis karena

toxoplasmosis. Vaksin anti rabies. Semua penyakit yang disebabkan arbovirus sampai

saat ini tidak ada terapi yang spesifik,sehingga terapi yang digunakan hanyalah terapi

suportif dan simtomatis.

Terapi Simptomatik:

Obat antikonvulsif diberikan segera untuk memberantas kejang. Tergantung

dari kebutuhan obat diberikan IM atau IV. Obat yang diberikan ialah valium dan

luminal. Untuk mengatasi hiperpireksia, diberikan surface cooling dengan

menempatkan es pada permukaan tubuh yang mempunyai pembuluh besar, misalnya

pada kiri dan kanan leher, ketiak, selangkangan, daerah proksimal betis dan diatas

kepala. Sebagai hibernasi dapat diberikan largaktil 2 mg/kgBB/hari dan phenergan 4

mg/kgBB/hari IV atau IM dibagi dalam 3 kali pemberian. Diberikan antipiretikum

seperti parasetamol, bila keadaan telah memungkinkan pemberian obat peroral.

Untuk mengurangi edema serebri dengan deksametason 0,2 mg/kgBB/hari IM dibagi

3 dosis dengan cairan rendah natrium. Bila terdapat tanda peningkatan tekanan

intrakranial, dapat diberikan manitol 0,5-2 g/kgBB IV dalam periode 8-12 jam.

Prognosis dan Komplikasi

Angka kematian untuk ensefalitis masih tinggi, dan mempunyai komplikasi

atau gejala sisa berupa paresis/paralisis, gangguan penglihatan atau gejala neurologis

lain. Penderita yang sembuh tanpa kelainan neurologis yang nyata dalam

perkembangan selanjutnya masih mungkin retardasi mental, masalah tingkah laku.

21

2.4 Keganasan Pada Sistem Saraf

2.4.1 Tumor Otak

Definisi

Tumor intrakranial (termasuk lesi desak ruang) bersifat jinak maupun ganas,

dan timbul dalam otak, meningen, dan tengkorak. Tumor otak berasal dari jaringan

neuronal, jaringan otak penyokong, sistem retikuloendotelial, lapisan otak, dan

jaringan perkembangan residual, atau dapat bermetastasis dari karsinoma sistemik.

Metastasis otak disebabkan oleh keganasan sistemik dari kanker paru, payudara,

melanoma, limfoma, dan kolon. Tumor otak dapat terjadi pada setiap usia; dapat

terjadi pada anak usia kurang dari 10 tahun, tetapi paling sering terjadi pada dewasa

usia dekade kelima dan enam. Pasien yang bertahan dari tumor otak ganas jumlahnya

tidak berubah banyak selama 20 tahun terakhir.

Klasifikasi

Tumor otak memiliki banyak klasifikasi. Klasifikasi yang paling mungkin

paling mudah dipahami adalah klasifikasi Kernahan dan Sayre karena tumor diberi

nama sesuai nama sel yang terserang, baik sel pada susunan saraf orang dewasa, pada

pembuluh darah, maupun pada gangguan perkembangan (kongenital). Stadium

keganasannya diberi derajat I sampai IV (IV adalah yang paling ganas).

a. Glioma

Jumlah glioma adalah sekitar 40 sampai 50% dari tumor otak. Glioma

dikelompokkan berdasarkan asal embriologis. Pada orang dewasa, sel neuroglia

sistem saraf pusat berfungsi untuk memperbaiki, menyokong, dan melindungi

sel-sel saraf yang lunak. Glioma terdiri dari jaringan penyambung dan sel-sel

penyokong. Neuroglia mempunyai kemampuan untuk terus membelah selama

hidup. Sel-sel glia berkumpul membentuk parut sikatriks padat di bagian otak

di mana neuron menghilang oleh karena cedera atau penyakit.

22

Terdapat tiga jenis sel glia: mikroglia, oligodendroglia, dan astrosit.

Astrositoma menginfiltrasi otak dan sering berkaitan dengan ksita dalam

berbagai ukuran. Walaupun menginfiltrasi jaringan otak, efeknya pada fungsi

otak hanya sedikit sekali pada permulaan penyakit. Astrositoma umumnya tidak

ganas. Oligodendroglioma merupakan lesi yang tumbuh lambat menyerupai

astrositoma tetapi terdiri dari sel-sel oligodendroglia. Tumor relatif avaskular

dan cenderung mengalami kalsifikasi. Glioblastoma multiforme adalah jenis

glioma yang paling ganas. Tumor ini mempunyai kecepatan pertumbuhan yang

sangat tinggi, dan eksisi bedah yang lengkap tidak mungkin dilakukan. Harapan

hidup umumnya sekitar 12 bulan. Tumor ini sering timbul di hemisfer otak dan

menyebar ke sisi kotnralateral melalui korpus kalosum. Ependimoma adalah

tumor ganas yang jarang terjadi dan berasal dari hubungan erat pada ependim

yang menutupi ventrikel, paling sering terjadi di dalam fosa posterior.

b. Tumor Meningeal

Meningioma merupakan tumor terpenting yang berasal dari meningen, sel-

sel mesotel, dan sel-sel jaringan penyambung araknoid dan dura. Sebagian

besar tumor bersifat jinak, berkapsul, dan tidak menginfiltrasi jaringan

sekitarnya, tetapi agak menekan struktur yang berada di bawahnya. Pasien usia

tua sering terkena, dan perempuan lebih sering terkena.

c. Tumor Hipofisis

Tumor hipofisis berasal dari sel-sel kromofob, eosinofil, atau basofil dari

hipofisis anterior. Tumor-tumor ini menimbulkan nyeri kepala, hemianopsia

bitemporalis (akibat penekanan pada kiasma optikum), dan tanda-tanda

gangguan sekresi hormon hipofisis anterior.

23

d. Tumor metastasis

Lesi-lesi metastasis menyebabkan sekitar 5-10% dari seluruh tumor otak dan

dapat berasal dari setiap tempat primer. Tumor primer paling sering berasal dari

paru-paru dan payudara. Lesi metastasis dapat tunggal atau multipel, dan dapat

merupakan stadium lanjut dari proses metastasis atau sebagai tanda pertama

tumor primer yang tidak diketahui sebelumnya.

Patofisiologi

Tumor otak menyebabkan timbulnya gangguan neurologik progresif. Gejala-

gejalanya timbul dalam rangkaian kesatuan sehingga menekankan pentingnya

anamnesis dalam pemeriksaan penderita. Gejala-gejala sebaiknya dibicarakan dalam

suatu perspektif waktu. Kapan gejala mulai timbul? Apakah ada hubungannya dengan

sesuatu hal lain? Berapa lama gejala-gejala ini sudah dialami?

Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya dianggap disebabkan oleh dua

faktor: gangguan fokal akibat tumor dan kenaikan tekanan intrakranial. Gangguan

fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak, dan infiltrasi atau invasi

langsung pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan neural. Tentu saja disfungsi

terbesar terjadi pada tumor infiltratif yang tumbuh paling cepat (yaitu glioblastoma

multiforme).

Perubahan suplai darah akibat tekanan tumor yang bertumbuh menyebabkan

nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi

sebagai hilangnya fungsi secara akut dan mungkin dapat dikacaukan dengan

gangguan serebrovaskuler primer. Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan

kepekaan neuron dihubungkan dengan kompresi, invasi, dan perubahan suplai darah

ke jaringan otak. Beberapa tumor membentuk kista yang juga menekan parenkim

otak sekitarnya sehingga memperberat gangguan neurologis fokal.

24

Manifestasi Klinis

Trias klasik tumor otak adalah nyeri kepala, muntah, dan papiledema. Namun,

gejala sangat bervariasi bergantung pada tempat lesi dan kecepatan pertumbuhannya.

a. Nyeri kepala

Nyeri dapat digambarkan bersifat dalam, terus menerus, tumpul, dan

kadang-kadang hebat sekali. Nyeri ini paling hebat saat pagi hari dan menjadi

lebih hebat pada saat beraktivitas yag biasanya meningkatkan tekanan

intrakranial, seperti membungkuk, batuk, atau mengejan sewaktu buang air

besar. Nyeri kepala sedikit berkurang jika diberi aspirin dan kompres dingin di

tempat yang sakit.

b. Mual dan muntah

Mual dan muntah terjadi akibat rangsangan pusat muntah di medula

oblongata. Muntah paling sering terjadi pada anak dan berhubungan dengan

peningkatan ICP disertai pergeseran batang otak. Muntah dapat terjadi tanpa

didahului mual dan dapat bersifat proyektil.

c. Papiledema

Papiledema disebabkan oleh stasis vena yang menimbulkan pembengkakan

dan pembesaran diskus optikus. Bila terlihat pada pemeriksaan funduskopi,

tanda ini mengisyaratkan peningkatan ICP. Dapat terjadi gangguan penglihatan

yang berkaitan dengan papiledema yaitu pembesaran bintik dan amaurosis

fugaks (ketika penglihatan berkurang).

Penatalaksanaan

Pengobatan bedah pada tumor otak terutama berkisar di sekitar reseksi bedah,

kemoterapi, dan terapi radiasi. Semakin berkembanganya teknik pembedahan,

penemuan laser, dan alat-alat yang dibantu komputer memungkinkan reseksi tepat

pada pasien tumor otak yang dapat dicapai. Reseksi bedah tetap merupakan terapi

25

utama karena dapat membunuh dan membuang sel tumor. Selain itu, reseksi bedah

memungkinkan evaluasi histologis dan penentuan derajat tumor secara akurat

sementara memungkinkan pasien kembali berfungsi aktif selama menjalani terapi

tambahan. Kemoterapi dilakukan dalam berbagai cara, termasuk cara sistemik, intra-

arterial, atau dengan memasukkan polimer yang membawa agen kemoterapi secara

langsung ke jaringan tumor.

2.4.2 Tumor Medula Spinalis

Definisi

Tumor medula spinalis adalah tumor yang berkembang dalam tulang belakang

atau isinya dan biasanya menimbulkan gejala akibat terlibatnya medula spinalis atau

radiks saraf. Tumor medula spinalis primer merupakan seperenam dari semua tumor

otak dan mempunyai prognosis yang lebih baik, karena sekitar 60%nya bersifat jinak.

Klasifikasi

Tumor medula spinalis diklasifikasikan sesuai lokasi tumor terhadap dura dan

medula spinalis. Klasifikasi utama membedakan tumor ekstradural dan intradural.

Tumor intradural kemudian dibagi lagi menjadi ekstramedular dan intramedular.

a. Tumor ekstradural

Pada umumnya berasal dari kolumna vertebralis atau dari dalam ruang

ekstradural. Sembilan puluh persen tumor ekstradural bersifat ganas. Tumor

kolumna vertebralis yang paling umum adalah karsinoma metastasis.

Neoplasma ekstradural dalam ruangan ekstradural adalah karsinoma dan

limfoma yang biasanya bermetastasis.

Gejala pertama umumnya berupa nyeri yang menetap dan terbatas pada

daerah tumor, diikuti oleh nyeri yang menjalar menurut pola dermatom. Nyeri

setempat ini paling hebat terjadi pada malam hari dan menjadi lebih hebat oleh

26

gerakan tulang belakang dan istirahat baring. Nyeri radikular diperberat saat

batuk dan mengedan. Nyeri dapat berlangsung selama beberapa minggu atau

beberapa bulan sebelum keterlibatan medula spinalis.

Perjalanan klinis yang lazim dari tumor ekstradural adalah kompresi cepat

akibat invasi tumor pada medula spinalis, kolaps kolumna vertebralis, atau

perdarahan dari dalam metastasis. Begitu timbul gejala kompresi medula

spinalis, maka dengan cepat fungsi medula spinalis akan hilang sama sekali.

Kelemahan spastik dan hilangnya sensasi getar dan posisi sendi di bawah

tingkat lesi merupakan tanda awal kompresi medula spinalis. Tanpa dekompresi

bedah yang cepat, parestesia dan defisit sensorik akan cepat berkembang

menjadi paraplegia yang ireversibel.

Diagnosis tumor medula spinalis ekstradural dapat ditegakkan dengan

radiogram tulang belakang. Sebagian besar penderita tumor akan

memperlihatkan osteoporosis atau kerusakan nyata pada pedinkulus dan korpus

vertebra. Mielogram memastikan letak tumor, meskipun CT scan resolusi tinggi

terbukti sama seperti mielogram dalam akurasi diagnostik. CSF

memperlihatkan kadar protein yang meningkat dan kadar glukosa yang normal.

Pengobatan bergantung pada sifat alami lesi; metastasis ekstradural

membutuhkan penanganan segera. Terapi yang diperlukan adalah analgesik,

kortikosteroid, terapi radiasi, kemoterapi, dan terapi hormonal.

b. Tumor intradural

1) Tumor ekstramedular intradural

Terletak di antara dura mater dan medula spinalis. Sebagian besar tumor

di daerah ini merupakan neurofibroma atau meningioma jinak. Tumor-tumor

ini dapat menekan medula spinalis dan dapat diangkat dengan pembedahan.

27

Neurofibroma berasal dari radiks saraf dorsal. Kadang-kadang neurofibroma

tumbuh menyerupai halter atau jam pasir yang meluas ke dalam ruangan

ekstradural. Sebagian kecil neurofibroma mengalami perubahan sarkomatosa

dan menjadi invasif atau bermetastasis. Meningioma pada umumnya melekat

tidak begitu erat pada dura, kemungkinan berasal dari membran araknoid,

dan sekitar 90 persen dijumpai di regio toraksika. Lebih sering terjadi pada

wanita usia separuh baya.

Pasien mengeluh nyeri, mula-mula di punggung dan kemudian di

sepanjang radiks spinal. Seperti pada tumor ekstradural, nyeri diperberat

oleh gerakan, batuk, bersin, atau mengedan, dan paling berat terjadi pada

malam hari. Nyeri yang menghebat pada malam hari disebabkan oleh traksi

pada radiks saraf yang sakit, yaitu sewaktu tulang belakang memanjang

setelah hilangnya efek pemendekan dari gravitasi. Mielogram, CT scan, dan

MRI sangat penting untuk menentukan letak yang tepat. Pengangkatan

dengan pembedahan dini penting sekali untuk kesembuhan sempurna.

2) Tumor intramedular intradural

Berasal dari dalam medula spinalis itu sendiri. Tumor yang sama yang

menyerang otak juga menyerang medula spinalis. Tumor yang paling sering

ditemukan adalah ependimoma, disusul oleh astrositoma, glioblastoma, dan

oligodendroglioma.

Tumor-tumor intramedular ini tumbuh ke bagian tengan dari medula

spinalis dan merusak serabut-serabut yang menyilang serta neuron-neuron

substansia grisea. Kerusakan serabut-serabut yang menyilang ini

mengakibatkan hilangnya sensasi nyeri dan suhu bilateral yang meluas di

seluruh segmen yang terkena, yang pada gilirannya menyebabkan kerusakan

pada kulit perifer. Preubahan fungsi refleks regangan otot terjadi akibat

28

kerusakan pada sel-sel kornu anterior. Gejala dan tanda lainnya adalah nyeri

tumpul sesuai dengan tinggi lesi, impotensi pada pria, dan gangguan sfingter

pada kedua jenis kelamin.

Radiogram akan memperlihatkan pelebaran kanalis vertebralis dan erosi

pedikulus. Pada mielogram, CT scan, atau MRI tampak pembesaran medula

spinalis. Terkadang dapat dilakukan pengangkatan tumor intramedular,

terutama pada ependimoma dan hemangioblastoma, namun sering terjadi

kekambuhan.

29

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Infeksi adalah invasi dan multiplikasi kuman (mikro-organisme) di dalam

jaringan tubuh. Yang dimaksud dengan kuman ialah bakteri, spiroketa riketsia,

protozoa, metazoa, dan virus. Penyakit infeksi pada sistem saraf yang kami bahas

pada makalah ini adalah meningitis dan ensefalitis. Meningitis adalah infeksi cairan

otak disertai radang yang mengenai piameter (lapisan dalam selaput otak) dan

arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula

spinalis yang superfisial. Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan

perubahan yang terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis

purulenta. Ensefalitis adalah suatu peradangan akut dari jaringan parenkim otak yang

disebabkan oleh infeksi dari berbagai macam mikroorganisme dan ditandai dengan

gejala-gejala umum dan manifestasi neurologis. Berbagai macam mikroorganisme

dapat menimbulkan ensefalitis, misalnya bakteria, protozoa, cacing, jamur, spirokaeta

dan virus. Penyebab yang terpenting dan tersering ialah virus. Infeksi dapat terjadi

karena virus langsung menyerang otak atau reaksi radang akut karena infeksi sistemik

atau vaksinasi terdahulu.

Proses neoplasmatik atau proses malignitas di susunan saraf mencakup

neoplasma saraf primer dan non-saraf atau metastatik. Kira-kira 10% dari semua

proses neoplasmatik di seluruh tubuh ditemukan pada susunan saraf dan selaputnya,

8% berlokasi di ruang intrakranial dan 2% di ruang kanalis spinalis. Pada makalah ini

kami membahas mengenai tumor otak dan medula spinalis. Tumor intrakranial

(termasuk lesi desak ruang) bersifat jinak maupun ganas, dan timbul dalam otak,

meningen, dan tengkorak. Tumor otak berasal dari jaringan neuronal, jaringan otak

30

penyokong, sistem retikuloendotelial, lapisan otak, dan jaringan perkembangan

residual, atau dapat bermetastasis dari karsinoma sistemik. Tumor medula spinalis

adalah tumor yang berkembang dalam tulang belakang atau isinya dan biasanya

menimbulkan gejala akibat terlibatnya medula spinalis atau radiks saraf. Tumor

medula spinalis primer merupakan seperenam dari semua tumor otak dan mempunyai

prognosis yang lebih baik, karena sekitar 60%nya bersifat jinak.

3.2 Saran

Dalam penyelesaian makalah ini kami juga memberikan saran bagi para

pembaca dan mahasiswa yang akan melakukan pembuatan makalah berikutnya :

Kombinasikan metode pembuatan makalah berikut

Pembahasan yang lebih mendalam

Pembahasan secara tepat dan benar

Beberapa poin di atas merupakan saran kami berikan, apabila ada yang ingin

melanjutkan penelitian terhadap makalah ini .

Demikianlah makalah ini disusun serta besar harapan nanti makalah ini dapat

berguna bagi pembaca khususnya bagi mahasisiwa fakultas kedokteran UISU dalam

menambah wawasan dan ilmu pengetahuan. Kami terima kritik dan saran demi

kesempurnaan makalah kami.

DAFTAR PUSTAKA

31

- Ganong, William F. 2003. Fisiologi Saraf & Sel Otot. Dalam H. M. Djauhari

Widjajakusumah: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta: EGC.

- Lumbantobing, S. M. 2012. Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

- Mardjono, Mahar. 2013. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat

- Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi

6. Jakarta: EGC

- R.D, Adams., M, Victor. 1997. Principles of Neurology. 6th ed vol 2. New York:

McGraw Hill Co

32