Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

82

Click here to load reader

description

meningitis, meningitis kronis, reccurent meningitis, meningitis viral, infeksi sistem saraf, meningitis bakterial, meningitis jamur, meningitis fungal, prion disease, penyakit prion, polio, poliomyelitis, herpes, HSV, herpes simpleks, VZV, varicella, rabies,

Transcript of Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

Page 1: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

Sindrom encephalitis terdiri dari demam akut disertai beberapa gejala

lainnya, seperti kejang, penurunan kesadaran, bingung, stupor maupun koma.

Afasia, hemiparesis dan refleks babinsky, gerakan involunter, ataksia, nistagmus,

ocular palsy, serta kelemahan otot wajah dapat dijumpai. Gejala meningitis dapat

dijumpai dalam keadaan berat, menengah, maupun tidak ada gejala sama sekali.

Cairan spinal dapat menunjukkan reaksi melalui peningkatan kadar protein.

Pencitraan otak seringkali tidak menunjukkan kelainan, namun dapat

menunjukkan tanda edema difus dari cortex, dan dalam beberapa kasus, subcortex

dan nucleus dapat terkena. Dalam beberapa kasus encephalitis HSV, dapat terjadi

kerusakan dari lobus inframedial temporal dan frontal cerebri. Beberapa temuan

ini menunjukkan arah dari infeksi spesifik, tetapi tanda umum diagnosis

encephalitis tetap menunjukkan adanya gangguan dari fungsi cerebrum, pons dan

cerebellum.

Sindrom encephalitis akut dapat dibagi menjadi dua, yaitu infeksi

langsung ke otak dan meninges, dan post infeksi encephalomyelitis yang

diasumsikan berasal dari reaksi autoimun terhadap infeksi sistemik, dimana virus

tidak terdapat di jaringan saraf, yang disebut juga Acute Disseminated

Encephalomyelitis., yang terjadi beberapa hari setelah gejala infeksi berkurang.

Etiologi

Virus, bakteri, dan fungi, serta agen parasit lainnya dikategorikan sebagai

penyebab tersering dari sindrom encephalitis. Namun dalam bab ini hanya infeksi

viral yang akan dibahas, dikarenakan infeksi viral merupakan penyebab tersering

dari encephalitis.

Berdasarkan Center for Disease Control and Prevention, sekitar 20.000 kasus

encephalitis viral dilaporkan di USA. Kematian mencapai 5-20% dari total pasien

dan gejala sisa, seperti kejang maupun hemiparesis didapatkan dalam 20% kasus.

Namun, hal ini tidak dapat menunjukkan gejala residual berupa kelainan

neurologis pasca infeksi oleh virus yang berbeda jenisnya.

Page 2: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

Untuk meningitis aseptik, virus yang dapat menyebabkan encephalitis memiliki

banyak variasi, dan umumnya memiliki gejala klinis yang cukup kompleks.

Namun, encephalitis viral yang memiliki gejala klinis yang cukup jelas jumlahnya

tidak banyak. HSV merupakan penyebab tersering dan tidak memiliki predileksi

geografis maupun waktu musiman. Distribusi umurnya cukup luas dan bersifat

bifasik, dapat mengenai orang dengan usia 5-30 tahun, juga orang dengan usia di

atas 50 tahun.

Virus lainnya memiliki karakteristik geografis dan waktu musiman. Virus

yang paling berpengaruh antara lain ialah golongan Flavivirus, dimana di

dalamnya termasuk jenis West Nile Virus. Dalam outbreak akhir-akhir ini di USA,

kasus yang disebabkan oleh West Nile Virus dilaporkan lebih sering terjadi dari

golongan arbovirus lainnya.

Infeksi yang disebabkan oleh rabies terjadi di seluruh dunia, namun di

USA dilaporkan lebih sering terjadi di Midwest dan sepanjang West Coast.

Japanese B. Encephalitis, Russian spring-summer encephalitis, Murray Valley

Encephalitis, dan beberapa jenis encephalitis lainnya jarang ditemui di USA dan

hanya dilaporkan terjadi baru-baru ini. Hal ini dapat disebabkan adanya

perkembangan transportasi dan menyebabkan peningkatan angka kejadian

penyakit di Amerika Utara dan Eropa.

Mononukleosis infeksius, yang sebabnya merupakan infeksi primer dari

EBV, dapat menjadi akibat komplikasi dari meningitis, ensefalitis, facial palsy,

maupun polyneuritis dari Guillain-Barre dalam beberapa kasus. Berbagai gejala

neurologi dapat terjadi tanpa disertai adanya demam, faringitis, maupun

limfadenopati dari mononucleosis infeksius. Hal ini juga didapatkan pada M.

pneumonia. Dalam hal ini, kedua penyakit tersebut belum dapat dipastikan apakah

merupakan infeksi ensefalitides murni atau merupakan komplikasi post infeksi.

Teknologi dari PCR terkini menunjukkan adanya kemungkinan infeksi langsung

dalam beberapa kasus.

Page 3: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

Frekuensi relative dari berbagai infeksi viral yang mengenai sistem saraf

pusat dapat dilihat dari beberapa studi. Walter Reed Academy Institute

menyebutkan dari1.282 pasien yang didiagnosis postitif dan dibuktikan melalui

laboratorium menunjukkan agen infeksius dari kasus meningitis viral aseptik

maupun encephalitis adalah B. Coxsackievirus, echovirus, mumps virus,

lymphoctic choriomeningitis virus, arbovirus, HSV, dan Leptospira. Dalam studi

yang dilakukan di Mayo Clinic tahun 1974-76, diagnosis dari aseptik meningitis,

meningoencephalitis, mauoun encephalitis didapatkan sebanyak 42 kasus dan

agen infeksius diidentifikasi dari 30 pasien. Dalam outbreak terakhir di USA,

hamper 3.000 kasus dilaporkan per tahunnya. Sedangkan Japanese Encephalitis

Virus dilaporkan lebih banyak prevalensinya di seluruh dunia, mendekati 10.000

kematian di Asia per tahunnya.

Di UK, hampir 2.000 pasien dilaporkan tiap tahunnya, yang diidentifikasi

melalui CSF menggunakan PCR dengan hasil positif hanya mendekati 7%, dan

setengahnya merupakan enterovirus. Sisanya merupakan HSV-1, VZV, EBV dan

herpesvirus.

Arboviral Encephalitis

Arbovirus yang menyebabkan ensefalitis di USA dan geografisnya telah

dibahas sebelumnya. Agen infeksi tersebut umunya dikategorikan dalam golongan

Flavivirus. Terdapat siklus yang berbeda dari nyamuk dan manusia. Nyamuk

terinfeksi melalui host (kuda maupun burung) dan kemudian menginfeksi host

lainnya, termasuk manusia. Insidensi musiman terjadi saat musim panas dan

musim gugur, saat dimana nyamuk paling aktif.

Manifestasi klinis dari arbovirus hamper sulit dibedakan dari infeksi

lainnya. Masa inkubasinya 5-15 hari pasca gigitan nyamuk. Pada periode ini

terdapat athralgia dan kemerahan. Pada anak-anak, bisa didapatkan gejala demam

dan kejang. Sedangkan pada orang dewasa dapat ditemukan nyeri kepala, mual,

Page 4: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

muntah , pusing, maupun demam selama beberapa hari. Asimetri dari refleks

tendon maupun hemiparesis juga dapat ditemukan.

Beberapa gejala khusus seperti febril, flaksid, maupun poliomyelitis

sebagai akibat infeksi dari West Nile Virus juga sudah diketahui. Gejalanya

berubah-ubah dalam beberapa hari dan dalam beberapa kasus dapat ditemui

paralisis otot wajah. Dalam beberapa kasus juga dapat ditemui gejala EPS.

Demam dan gejala neurologis lain dari infeksi arbovirus meredadalam 4-

14 hari, kecuali bila terjadi kematian maupun kerusakan SSP. Tidak ada agen

antiviral yang terbukti efektif, sehingga terapi utama tetap merupakan terapi

suportif.

Diagnosis

Pemeriksaan CSF hampir sama dengan yang ditemui pada aseptik

meningitis, yaitu pleositosis limfatik, peningkatan kadar protein sedang, dan

kadar glukosa normal. Virus tidak bisa beregenerasi dalam darah maupun CSF,

sehingga PCR hanya dilakukan saat terjadi epidemi lokal. Namun, kadar IgM

dapat meningkat dalam beberapa hari ertama setelah serangan dan dapat dideteksi

melalui ELISA.

Patologi

Umumnya ditemui degenerasi luas dari sel saraf, dengan neurofagia dan

nekrosis inflamatorikyang melibatkan substansia grisea dan alba. Batang otak

umumnya tidak terkena. Dalam beberapa kasus, eastern equine encephalitis dapat

menyebabkan kerusakan luas hemisfer dan dapat dideteksi melalui MRI. West

Nile Virus dapat menyebabkan kerusakan terutama pada sel kornu anterior dari

medulla spinalis, seperti poliomyelitis.

Herpes Simplex Encephalitis

Page 5: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

Dari kasus yang sering ditemui, HSV merupakan penyebab tersering dari

ensefalitis. Hampir 2.000 kasus terjadi tiap tahunnya di USA, mencapai 10% dari

semua kasus. 30-70% bersifat fatal dan pasien yang selamat umumnya mengalami

defisit neurologis. Ensefalitis HSV terjadi secara sporadis sepanjang tahun, tidak

memandang usia maupun geografis. Kasus infeksi umumnya disebabkan HSV-1,

dimana umum terjadi pada mukosa oral. HSV-2 jufa dapat menyebabkan

ensefalitis, umumnya pada neonates. Pada orang dewasa HSV-2 terjadi pada

aseptik meningitis dan kadang terjadi pada poliradicultis maupun myelitis.

Klinis

Gejala dapat berubah dalam beberapa hari, berupa demam, sakit kepala,

bangkitan, stupor, maupun koma. Walaupun dalam beberapa bangkitan

merupakan onset umum, status epileptikus jarang didapatkan. Gangguan fungsi

memori bisa didapatkan, tapi umumnya hanya terjadi pasca stupor maupun koma.

Herniasi dapat terjadi dan umumnya memiliki prognosis buruk.

CSF dapat menunjukkan pleiositosis (>500 sel/mm3). Sel tersebut

umumnya berupa limfosit. Dalam beberapa kasus, 3-5% pasien memiliki kadar

CSF normal dalam hari pertama pasca serangan. Kadar protein umumnya dapat

meningkat.

Patologi

Lesi dapat terjadi berupa nekrosis hemoragik dari lobus inferior dan

mediotemporal, dan bagian medioorbital lobusfrontal. Bagian yang mengalami

nekrosis dapat menyebar sepanjang girus singulata dan kadang mencapai insula

atau bagian lateral lobus temporal maupun bagian csudal dari mesencephalon,

namun selalu diikuti nekrosis dari lobus mediotemporal. Distribusi lesi ini sangat

khas, sehingga dapat dideteksi melalui penampakannya di pencitraan. Dalam fase

akut, eosinofil intranuklear sering ditemukan di sel neuron dan glia, mengiringi

gambaran mikroskopis abnormal dari encephalitis akut dan nekrosis hemoragik.

Page 6: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

Karakteristik dari letak lesi dapat dijelaskan melalui rute masuknya ke SSP.

Terdapat dua mekanisme yang memungkinkan, yaitu melalui ganglia trigeminal,

dimana terjadi proses reaktivasi virus yang akhirnya menginfeksi nasal dan traktus

olfaktori, dan melalui leptomeninges anterior serta fossa media.

Diagnosis

Encephalitis akut akibat HSV harus dibedakan dari encephalitis viral

lainnya, yaitu leukoensefalitis hemoragik akut, subdural empiema, abses cerebri,

cerebral venous thrombosis,ndan emboli septik. Ketika terjadi afasia, penyakit ini

dapat disangka sebagai stroke. Gambaran CSF dapat menyerupai

meningoensefalitis lainnya. Cairan spinal mengandung sel darah merah dalam

jumlah besar, yang dapat menyerupai ruptur aneurisme sakular. Gambaran CT

scan dapat menunjukkan lesi hipodens dalam 50-60% kasus, dan pada MRI

menunjukkan perubahan sinyal secara keseluruhan.

Peningkatan titer antibodi dapat ditunjukkan pada tahap konvalesen,

namun tidak dapat dijadikan pembantu diagnosis pada fase akut, serta tidak terlalu

signifikan pada pasien dengan infeksi rekuren HSV pada mukosa oral. Tes deteksi

antigen HSV pada CSF melalui PCR dan efektif terutama pada beberapa hari

pertama sejak onset terjadi. Nested PCR juga sudah dikembangkan dan memiliki

sensitivitas 95% dan tidak menunjukkan adanya positif palsu pada 3 minggu

pertama. Terapi antiviral tidak menunjukkan pengaruh saat tes dilakukan.

Sedangkan negatif palsu terutama terjadi 48 jam pasca infeksi febril.

Terapi

Hingga tahun 1970, terapi spesifik untuk ensefalitis HSV belum ada.

Melalui studi dari National Institute of Health dan studi dari Swedia menunjukkan

acyclovir secara signifikan mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit. Oleh

karena itu, terapi ini dilakukan sebagai terapi awal sembari menunggu hasil

pemeriksaan keluar. Acyclovir diberikan secara IV dalam dosis 30 mg/kg/hari

dan diberikan selama 10-14 hari untuk mencegah relaps. Acyclovir memiliki

resiko yang relatif kecil, sehingga dapat dihentikan ketika hasil pemeriksaan

Page 7: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

menunjukkan diagnosis yang lain. Problem utama dari obat ini antara lain adalah

iritasi vena lokal tempat infus, peningkatan enzim hepar, dan gangguan fungsi

ginjal ringan.

Relaps pasca terapi dilaporkan terjadi pada penggunaan acyclovir,

terutama pada anak-anak. Menurut Tiege dan koleganya, mekanisme yang

memungkinkan meliputi respon inflamasi imun, namun penggunaan dosis yang

terlalu kecil terbukti secara klinis merupakan penyebab utama relaps pada orang

dewasa. Pada anak-anak, penggunaan acyclovir tahap dua seringkali berhasil.

Ketika jaringan otak yang terkena cukup luas, nekrosis hemoragik dan

edema dapat menyebabkan pembesaran massa otak dan memerlukan perhatian

khusus. Koma dan perubahan pupil dapat disebabkan penekanan pada batang

otak, disebabkan virus dapat menyebar ke mesencephalon dan lobus temporal

bagian dalam, dan menyebabkan koma apsebagai akibat kerusakan langsung pada

otak. Penanganannya hampir sama dengan penanganan edema otak, namun

efektivitasnya belum teruji secara luas di klinis.

Prognosis

Prognosis dari penyakit ini tergantung pada usia pasien dan tingkat

kesadarannya saat dilakukan terapi acyclovir. Jika pasien tidak sadar,

prognosisnya cenderung buruk. Namun, jika terapi dilakukan dalam 4 hari

pertama setelah onset, survivabilitas pasien dapat mencapai 90% (Whitley, 1990).

Evaluasi pada pasien 2 tahun setelah serangan menunjukkan 38% hampir

mendekati normal, sedangkan 53% meninggal atau terjadi kecacatan menetap.

Sekuele neurologis dapat berupa korsakoff amnesia, demensia, kejang, dan afasia

sebelum terapi acyclovir dikenal. Jika terjadi kejang, pemberian anti konvulsan

dapat dipertimbangkan.

HHV-6 Encephalitis dalam transplantasi sel stem

Umumnya disebabkan oleh roseola (exanthema subitum), dan dapat

mengakibatkan kejang demam pada anak-anak dan usia muda, epilepsi berulang

Page 8: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

lobus temporal, palsy saraf kranial, dan kondisi lainnya. Namun, umumnya

kelainan erupa ensefalitis terjadi di lobus temporomedial, setelah dilakukan

transplantasi stem sel di sumsum tulang belakang. Prognosisnya lebih baik

dibanding encephalitis HSV.

Rabies

Penyakit ini dibedakan dari infeksi viral lainnya dikarenakan periodenya

yang laten dan gejala klinis dan patologis yang khas. Kasus ini jarang ditemui di

USA dan pada tahun 1980-97 hanya 34 kasus yang ditemui, dan sejak 1960,

hanya ada 5 kasus per tahunnya. Setiap tahun 20.000-30.000 orang mendapat

vaksin rabies dan digigit oleh hewan yang dimungkinkan terinfeksi. Walaupun

vaksin rabies menyebabkan komplikasi lebih rendah dari sebelumnya, reaksi

serius tetap dapat terjadi.

Etiologi

Hampir semua kasus rabies merupakan kasus infeksi transdermal akibat

dari gigitan hewan. Di negara berkembang, kasus rabies umumnya disebabkan

oleh gigitan anjing. Sedangkan di Eropa Barat dan USA, penyebabnya antara lain

adalah rakun, sigung, rubah, dan kelelawar untuk hewan liar. Sedangkan kucing

dan anjing merupakan hewan rumahan yang sering menyebabkan infeksi rabies.

Gejala Klinis

Masa inkubasi umumnya sekitar 20-60 hari, namun dapat juga lebih cepat,

sekitar 14 hari, terutama apabila gigitan terjadi di wajah dan leher. Rasa kebas dan

kesemutan dapat dirasakan walaupun luka telah sembuh. Hal ini disebabkan reaksi

inflamasi ketika virus mencapai ganglia basal

Gejala neurologis umum dapat menyertai pada 2-4 hari pada fase

prodromal, seperti demam, nyeri kepala, dan malaise. Juga bisa didapatkan

disartria, overaktivitas psikomotor, disfagia, hydrophobia, kesemutan wajah,

diplopia maupun spasme otot wajah. Kejang, gejala psikosis, dan agitasi dapat

Page 9: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

terjadi. Koma terjadi umumnya setelah terjadi gejala encephalitis, dan kematian

dapat terjadi 4-10 hari setelah terjadinya koma.

Patologi

Penyakit ini dapat dibedakan melalui kadar eosinofil, yaitu Negri bodies.

Umumnya ditemukan di sel piramidal dan sel purkinje, namun bisa juga

didapatkan di seluruh bagian otak dan medulla spinalis. Terdapat juga infiltrasi

meningeal oleh sel limfosit dan sel mononuclear dengan nekrosis jaringan, seperti

yang biasa didapatkan pada infeksi viral. Reaksi inflamasi umumnya paling parah

terjadi di batang otak, dengan kumpulan sel mikroglia yang disebut sebagai Babes

nodules.

Terapi

Gigitan dan cakaran hewan dapat dibersihkanndengan sabun dan air

mengalir, kemudian dibersihkan dengakpn benzyl ammonium chlorida. Luka yang

menyebabkan diskontinuitas jaringan memerlukan suntikan anti tetanus untuk

profilaksis.

Pasca gigitan hewan yang terlihat sehat, pengawasan selama 10 hari perlu

dilakukan. Ketika gejala munculm hewan tersebut perlu dibunuh dan bagian

otaknya di periksa di laboratorium. Sedangkan untuk hewan liar, jika tetangkap,

prosedur untuk pemeriksaan juga dilakukan dengan cara yang sama.

Jika pasien digigit oleh hewan dengan antibodi rabies postitif, atau hewan

liar yang kabur, maka suntikan profilaksis perlu diberikan. Human Rabies

Immunoglobulin disuntikkan dengan dosisi 20 U/kgbb (setengah infiltrasi di

sekitar luka, setengahnya secara IM). Suntikan ini menyediakan imunitas pasif 10-

20 hari, hingga imunitas aktif terbentuk. Duck Embryo Vaccine sebelumnya juga

digunakan dan terbukti efektif secara klinis dan mssih digunakan hingga kini di

seluruh dunia. Vaksin terbaru, yaitu Human Diploid Cell Vaccine juga telah

dikembangkan. Pemberiannya sebanyak 1 ml injeksi pada hari pertama saat

Page 10: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

gigitan, kemudian hari 3, 7, 14, dan 28 pasca pemberian pertama. HDCV juga

mengurangi reaksi alergi akibat protein asing.

Dengan teknik perawatan intensif dan modern, pasien dengan riwayat

encephalitis dapat diselamatkan, terutama setelah menjalani imunisasi pasca

insiden. Beberapa kelainan yang mungkin didapatkan antara lain peningkatan

tekanan TIK, pelepasan hormon ADH dalam jumlah besar, diabetes insipidus, dan

disfunsi autonom, seperti hiper mauoun hipotensi. Willoughby dan kolega

berhasil merawat seorang gadis berusia 15 tahun yang belum pernah mendapat

vaksin melalui pendekatan empiris pada saat koma menggunakan ketamin dan

midazolam beserta ribavirib dan amantadine. Tujuan dari terapi tersebut adalah

menyediakan imunitas pasif hingga terbentuknya antibodi. Dua kasus lainnya

memiliki gejala klinis yang sama, namun tidak dapat diselamatkan.

Cerebellitis Akut (Ataksia akut pada anak)

Sindrom ini awalnya dijelaskan oleh Westphal pada tahun 1872 terjadi

cacar dan demam tifoid pada orang dewasa, tetapi Batten menjelaskan ataksia

secara umum terjadi setelah infeksi masa kanak-kanak seperti campak, pertusis,

dan demam berdarah. Saat ini, ataksia akut dari masa kanak-kanak yang paling

sering dikaitkan dengan Cacar (seperempat dari 73 kasus berturut-turut dilaporkan

oleh Connolly et al). Selain kasus varicella paling umum terjadi pada individu-

individu setelah EBV dan Myconplasma.

Penyakit ini, yang pada dasarnya adalah "meningocerebellitis," tiba-tiba

muncul, lebih dari sehari, terjadi disartria dan nystagrnus. Tanda-tanda lainnya

termasuk peningkatan ekstremitas, Babinski sign dan rasa kebingungan. Demam

dari infeksi kemungkinaan menurun atau bertahan melalui tahap awal penyakit

ataksia. Dapat ditemukan pleositosis ringan; protein CSF meningkat atau normal.

Didapatkan hasil MRI normal dalam sebagian besar kasus tetapi beberapa hasil

MRI ditemukan gadolinium dari pita kortikal cerebellar. Kebanyakan pasien

mengalami keterlambatan penyembuhan. Karena sifat jinak dari penyakit telah

menghalangi penelitian patologis, sehingga terjadi ketidakpastian sifat menular

Page 11: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

setelah sakit ataksia. Ditemukannya fragmen VZV dan Mycoplasma genom dalam

cairan tulang belakang dengan cara teknik amplifikasi DNA pada infeksi

ensefalitis primer, dalam beberapa kasus.

Sindrom Herpes zoster,

Herpes zoster adalah infeksi virus secara umum dari sistem saraf yang

terjadi pada 3-5 kasus per 1.000 orang per tahun, dengan tingkat yang lebih tinggi

pada orang tua. Herpes zoster jelas jarang terjadi di anak. Ini ditandai secara klinis

oleh nyeri radikuler, erupsi kulit vesikular, dan jarang terjadi keterlambatan

motorik. perubahan patologis terdiri dari reaksi akut peradangan di tulang

belakang dan gray metter dari posterior medula spinalis, dan leptomeninges yang

berdekatan. Perubahan inflamasi dalam ganglia yang sesuai dan bagian terkait dari

saraf tulang belakang yang pertama kali dijelaskan oleh von Berensprung pada

tahun 1862. Konsep yang varicella zoster dan disebabkan oleh agen yang sama

diperkenalkan oleh von Bokay pada tahun 1909 dan kemudian dijelaskan oleh

Weller dan rekan-rekannya (1958). Agen secara umum disebut sebagai varicella

atau VZV, adalah virus DNA yang mirip dengan struktur virus herpes simpleks.

Patologi dan Patogenesis

  Perubahan patologis pada infeksi VZV terdiri dari satu atau lebih dari

berikut ini: (1) suatu reaksi peradangan di beberapa unilateral ganglion sensoris

yang berdekatan dari saraf tulang belakang atau kranial, sering menyebabkan

nekrosis seluruh atau sebagian dari ganglion, dengan atau tanpa perdarahan; (2)

reaksi peradangan di akar tulang belakang dan saraf perifer berdekatan dan

ganglion; (3) poliomyelitis pada lokalisasi segmental, dan keterlibatan yang lebih

besar dari dorsal horn, roots, dan ganglion; dan (4) leptomeningitis ringan,

sebagian besar terbatas pada segmen tulang belakang atau tengkorak dan akar

saraf. Perubahan patologis yaitu nyeri neurologik, pleositosis, dan kelumpuhan

lokal pada infeksi VZV serta keterlambatan cerebal vaskulitis.

Herpes zoster merupakan reaktivasi spontan dari infeksi VZV, yang

menjadi laten dalam neuron ganglion sensoris setelah infeksi primer cacar air.

Page 12: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

Perbedaan manifestasi klinis cacar air dan herpes zoster, meskipun virus yang

sama menyebabkan keduanya. Cacar air sangat menular melalui pernapasan,

terjadi wabah secara musiman (musim dingin dan musim semi). Herpes zoster

tidak menular (kecuali kepada orang yang belum menderita cacar air), terjadi

secara sporadis sepanjang tahun, dan tidak menunjukkan peningkatan kejadian

wabah cacar. Penderita herpes zoster, ada riwayat cacar air sebelumnya. Mungkin

jarang terjadi herpes zoster pada bayi, tetapi dalam kasus ini ditemukan, biasanya

terjadi karna kontak ibu prenatal dengan VZV. VZV DNA terlokalisasi terutama

dalam sel ganglion trigeminal dan ganglion thoracic, di mana lesi cacar air yang

paling sering oleh VZV (Mahalingam et at). Infeksi herpes zoster dan varicella

tejadi vesikel kutaneus sepanjang saraf sensorik ke ganglion, bersifat laten

sampai diaktifkan. Perbanyakan virus dalam sel epidermis menyebabkan

pembengkakan, vakuolisasi, dan lisis sel, menyebabkan pembentukan vesikel

disebut Lipschutz inclusion bodies. Reaktivasi virus terjadi jika terjadi kelemahan

imun tubuh, seperti pada limfoma, pemberian obat inimunosuppresive, AIDS, dan

setelah terapi radiasi.

 Gambaran Klinis

Dalam penelitian secara kohort 1.000 orang usia 85 tahun, setengahnya

akan terjadi satu kali serangan herpes zoster dan 10% akan memiliki dua kali

serangan. Anggapan bahwa satu serangan herpes zoster memberikan kekebalan

seumur hidup adalah tidak benar, meskipun dapat terjadi serangan berulang.

Herpes zoster terjadi pada hingga 10% pasien dengan limfoma dan 25% pasien

dengan penyakit Hodgkin-terutama pada mereka yang telah menjalani

splenectomy atau setelah dilakukan radioterapi.

Munculnya vesikel biasanya didahului dengan rasa gatal, kesemutan, atau

sensasi terbakar di dermatom yang terlibat, dan kadang-kadang dengan malaise

dan demam. Ruam terdiri dari kelompok vesikel yang tegang pada basis

eritematosa, yang menjadi menghitam setelah beberapa hari (sebagai akibat dari

akumulasi dalam sel inflamasi), dan kering dan bersisik setelah 5 sampai 10 hari.

Page 13: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

Dalam sejumlah kecil pasien, vesikel yang berdarah penyembuhan tertunda

selama beberapa minggu. Dalam kebanyakan kasus, nyeri dan dysesthesia terakhir

selama 1 sampai 4 minggu; tetapi 7-33% terus berlanjut selama berbulan-bulan.

Terjadi penurunan sensasi superfisial di dermatom yang terkena dan kelemahan

segmental dan atrofi pada sekitar 5 persen pasien.

Setengah dari kasus, CSF menunjukkan sedikit peningkatan limfosit, dan

sedikit peningkatan kadar protein (meskipun pungsi lumbal tidak dilakukan untuk

menegakkan diagnosis). Bekas herpes dapat dikonfirmasi dengan

imunofluoresensi langsung dari lesi kulit dibiopsi, menggunakan antibodi

terhadap VZV, atau dengan mencari giant sell berinti pada kerokan Frome pada

dasar vesikel (Tzanck smear). Cairan tulang belakang juga mengandung antibodi

terhadap virus atau bukti organisme dengan pengujian PCR pada 35 persen kasus.

Gambaran dermatom terlihat pada tulang belakang segmen thoracal

terutama T5 ke T10, lebih dari dua pertiga dari semua kasus, diikuti oleh daerah

craniocervical. Ada dua herpes herpes cranial yaitu herpes syndromes-

ophthalmic dan herpes geniculate. Herpes ophthalmic, terjadi 10 sampai 15 persen

dari semua kasus zoster, ditemukan perubahan patologis yang berpusat di

ganglion gasserian berupa nyeri dan ruam. Bahaya utama dari herpes ophthalmic

melibatkan kornea dan konjungtiva, sehingga terjadi mati rasa kornea dan terdapat

sisa berupa jaringan parut. Kelumpuhan otot ekstraokular, ptosis, dan mydriasis,

menunjukkan bahwa saraf kranial 3,4 dan 6 juga terkenaselain ganglion gasserian.

Karakteristik sindrom saraf kranial terdiri dari palsy wajah dan kadang-kadang

terjadi tinnitus, vertigo, dan tuli.

Herpes zoster dari palatum, faring, leher, dan daerah retroauricular (herpes

accipitocollaris) tergantung pada infeksi herpes dari upper cervical dan ganglion

saraf vagus dan glossopharyngeal. Tanda-tanda keterlibatan sumsum tulang

belakang muncul 5-21 hari setelah ruam dan kemudian berkembang untuk jangka

waktu yang sama. Paraparesis asimetris dan gangguan sensorik, gangguan

sphincteric. Temuan CSF lebih normal dibandingkan zoster (pleositosis dan

Page 14: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

peningkatan protein). Perubahan patologi berupa myolopathy inflamasi nekrosis

dan vasculilis, pada dorsal horn dan white matter yang berdekatan, pada sisi yang

sama dan pada segmen yang sama. Terapi awal dengan asiklovir.

Zoster angiitis

Sebuah angiitis otak yang kadang-kadang mempersulit infeksi VZV adalah

histologis mirip dengan angiitis granulomatosa dan Wegener granulomatosis.

Biasanya, 2 sampai 10 minggu setelah onset secara spesifik dari zoster

ophthalmic, pasien mengalami hemiparesis akut, hemianesthesia, afasia, atau

neurologis fokal atau defisit retina, pleositosis mononuklear dalam cairan tulang

belakang dan indeks IgG meningkat pada CSF. Antibodi spesifik dalam CSF virus

yang lebih sensitif untuk diagnosis dikarenakan dapat mendeteksi DNA virus.

Angiogram menunjukkan penyempitan atau sumbatan pada arteri karotis interna

berdekatan dengan ganglia; tetapi dalam beberapa kasus, vaskulitis lebih

menyebar, bahkan melibatkan belahan kontralateral.

Tipe yang sama sekali berbeda yaitu vaskulitis pada pembuluh kecil,

dilaporkan pada pasien dengan AIDS dan bentuk lain dari imunosupresi.

Beberapa kasus tampaknya muncul tanpa ruam, tapi DNA virus dan antibodi VZV

ditemukan dalam CSF. MRl menunjukkan beberapa lesi di cortical dan white

matter. Ada pleocytosist ringan.

 Seperti yang disebutkan sebelumnya, kelumpuhan wajah atau nyeri

trigeminal atau saraf segmental (biasanya lumbar atau interkostalis) sebagai akibat

dari ganglionitis herpes, mungkin jarang terjadi tanpa keterlibatan kulit (zoster

sine herpete); herniasi lumbal dapat diduga. Dalam kasus-kasus seperti beberapa,

respon antibodi terhadap VZV telah ditemukan (Mayo dan Booss), dan Dueland

dan rekan telah menjelaskan baha pada pasien immunocompromised yang terjadi

infeksi zoster terbukti dengan tidak adanya lesi kulit. Demikian pula, Gilden dan

rekan (2002) sembuh VZV DNA dari dua orang imunokompeten sehat yang

mengalami nyeri radikuler kronis tanpa ruam zoster.

Pengobatan

Page 15: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

Vaksin dapat diberikan kepada orang dewasa. Vaksin terbukti mengurangi

munculnya herpes zoster dan menurunkan kejadian komplikasi.

Selama tahap akut herpes zoster, analgesia dan lotion, seperti calamine,

membantu mengurangi nyeri. Setelah lesi kering, dapat diberikan capsaicin salep

(berasal dari cabai) dapat mengurangi rasa sakit dalam beberapa kasus. Acyclovir

(800 mg oral 5 kali sehari selama 7 hari) dapat mempercepat penyembuhan

vesikel, asalkan pengobatan dimulai dalam waktu kurang lebih 48 jam (beberapa

mengatakan 72 jam) dari munculnya ruam (McKendnck et al, 1986). Famsiklovir

(500 mg tid selama 7 hari) atau valacyclovir (2 g secara oral 7 hari)

Semua pasien dengan zoster ophthalmic harus menerima asiklovir atau

valasiklovir oral; di samping itu, asiklovir dioleskan ke mata, baik dalam larutan

0,1 persen setiap jam atau salep 0,5 persen 4 atau 5 kali sehari, dianjurkan oleh

beberapa dokter mata. Pasien yang immunocompromised atau telah

disebarluaskan zoster (lesi di lebih dari 3 dermatom) umumnya harus menerima

asiklovir intravena selama 10 hari.

PENYAKIT SARAF INDUKSI OLEH RETROVIRUS DAN SEKUNDER

INFEKSI OPORTUNISTIK

Retrovirus adalah kelompok besar virus RNA, disebut demikian karena

mereka mengandung enzim reverse transcriptase, yang memungkinkan arus balik

dari informasi genetik dari RNA ke DNA. Dua keluarga retrovirus yang dikenal

menginfeksi manusia: (1) Ientiviruses, yang paling penting adalah HIV, penyebab

AIDS, dan (2) oncornaviruses, yang meliputi human T-cell lymphotropic viruses

(HTLVs), agen yang menginduksi T-cell secara kronis. leukemia dan limfoma

(HTLV-ll) dan paraparesis spastik tropis (HTLV I).

Sindrom Imunodefisiensi

Hampir semua sistem organ yang rentan, termasuk semua bagian dari SSP,

saraf perifer dan akar, dan otot. Selain itu, sistem saraf rentan terhadap sejumlah

sindrom yang tidak biasa yang langsung hasil dari infeksi virus AIDS.

Page 16: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

Epidemiologi

AlDS HIV telah menyebar ke seluruh dunia, mencapai proporsi pandemi.

Pada saat penulisan ini diperkirakan oleh Organisasi Kesehatan dunia (WHO)

bahwa sekitar 34 juta orang terinfeksi di seluruh dunia dan sekitar 1 juta orang

dewasa di Amerika Serikat positiv terinfeksi virus. Didapatkan data yang

mengejutkan yaitu statistik dari Afrika sub-Sahara dan Asia Tenggara, di mana

WHO memperkirakan bahwa sekitar 25.000.000 orang dewasa-atau hampir 9

persen dari populasi orang dewasa-terinfeksi. Di beberapa daerah Afrika Timur,

30 persen orang dewasa yang terinfeksi virus.

Di Amerika Serikat, AIDS terjadi terutama pada homoseksual dan

biseksual laki-laki (setengah dari semua kasus) dan pengguna narkoba pria dan

wanita (sepertiga dari semua kasus). Kurang dari 3 persen pasien yang berisiko

adalah penderita hemofilia dan lain-lain yang menerima darah atau produk darah

yang terinfeksi, dan penyakit ini telah terjadi pada bayi yang lahir dari ibu dengan

AIDS. Selain itu, virus dapat ditularkan oleh ibu asimtomatik. Penyebaran

penyakit dengan hubungan heteroseksual lebih 5 persen kasus, namun jumlah ini

secara bertahap meningkat, sebagian melalui kegiatan pengguna narkoba suntikan.

Sebaliknya, sekitar 80 persen pasien AIDS Afrika memperoleh penyakit mereka

melalui kontak heterosexual.

Gambaran Klinis

Klinis infeksi HIV terjadi limfadenopati dan manifestasi lainnya seperti

diare, malaise, dan penurunan berat badan , Setengah dari pasien meninggal

dengan 1 tahun dan paling oleh 3 tahun. Kelainan neurologis telah dicatat pada

sekitar sepertiga pasien dengan AIDS

Telah disebutkan bahwa infeksi HlV dapat terjadi sebagai meningitis

asymtomatic akut dengan pleositosis limfositik ringan dan elevasi sederhana

protein CSF. Penyakit akut ini juga dapat berupa meningoencephalitis atau

bahkan myelopathy atau neuropati. Kebanyakan pasien dapat sembuh dari

penyakit neurologis akut awal. Setelah terjadi seroconvetsion, pasien menjadi

Page 17: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

rentan terhadap semua komplikasi akhir infeksi HIV. Pada orang dewasa, interval

antara infeksi dan berkembang AIDS berkisar dari beberapa bulan sampai 15

tahun atau bahkan lebih lama, latency rata-rata adalah 8 sampai 10 tahun dan 1

tahun. Hal ini diyakini bahwa hampir semua individu seropositif cepat atau lambat

akan berkembang menjadi AIDS, meskipun obat baru terus memperpanjang

periode laten.

 Komplek AIDS Demensia

 Pada stadium akhir infeksi HIV, komplikasi neurologis yang paling

umum adalah ensefalitis HIV kronis; sebelumnya disebut ensefalopati AIDS atau

ensefalitis, tetapi sekarang umumnya disebut sebagai demensia kompleks AIDS

(ADC). Diperkirakan bahwa hanya 3 persen dari kasus AIDS. Pada anak-anak

dengan AIDS, demensia lebih umum daripada semua infeksi oportunistik, lebih

dari 60 persen pada anak-anak.

Gangguan pada orang berupa demensia progresif (kehilangan memori

kuat, tidak perhatian, gangguan bahasa, dan apatis) disertai kelainan fungsi

motorik. Pasien mengeluh tidak mampu mengikuti percakapan, waktu lebih lama

untuk menyelesaikan tugas-tugas sehari-hari, dan menjadi pelupa. Inkoordinasi

tungkai, ataksia, dan gerakan mata saccadic menyertai awal demensia. Dalam

kasus yang tidak diobati, demensia berkembang, selama beberapa minggu atau

bulan; kelangsungan hidup setelah timbulnya demensia umumnya 3 sampai 6

bulan tetapi mungkin jauh lebih lama jika dilakukan pengobatan. Tes kecepatan

psikomotorik tampaknya paling sensitif pada tahap awal demensia (misalnya,

pengujian simbol-angka). Gangguan yang sama pada anak-anak, yang

berkembang menjadi ensefalopati progresif sebagai manifestasi utama AIDS.

Penyakit pada anak ditandai dengan penurunan fungsi kognitif dan kejang yang

lemah dan gangguan perkembangan otak.

CSF pada pasien dengan demensia AIDS mungkin normal atau hanya

menampilkan peningkatan sedikit kandungan protein dan, lebih jarang terjadi

Page 18: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

limfositosis ringan. Dalam CT diadapatkan adanya pelebaran sulci dan

pembesaran ventrikel.

AIDS Myelopathy, Peripheral Neuropati, dan Miopati

Myelopathy merupakan bentuk degenerasi vacuolar yang memiliki

kemiripan dengan degenerasi karena defisiensi vitamin B12, kadang-kadang

dihubungkan dengan demensia kompleks AIDS. Myelopathy dapat terjadi sebagai

manifestasi utama penyakit (Petito et al).

Komplikasi serius AIDS yaitu Diffuse Infiltrative Iymphocylosr's

Syndrome (DILS). Polineuropati pada pasien AIDS mungkin disebabkan oleh

berkurangnya gizi saat stadium lanjut dari penyakit dan efek dari agen terapi.

Beberapa kasus, miopati telah meningkat dengan terapi kortikosteroid. Obat anti-

AIDS, zidovudine (AZT), menyebabkan miopati, mungkin karena efeknya pada

mitokondria, tetapi beberapa peneliti yang berkaitan hampir semua kasus tersebut

terjadi disebabkan oleh virus AIDS itu sendiri.

Infeksi Oportunistik dan Neoplasma CNS pada AIDS

Efek langsung di bidang neurologis di bidang HIV berbagai jenis

gangguan oportunistik baik vokal maupun general muncul di sejumlah pasien

seperri yang tergambar di tabel 33-2. Menariknya muncul predileksi untuk infeksi

tertentu cito megalo virus, limfoma B cell primer, criptococus, toksoplasma dan

leukoencephalopathy multifokal progresif, dalam hal ini frekuensi (Johnson).

Fokus ensefalitis dan vaskolitis infeksi VZV, dianggap awal bab ini, dan jenis

yang tidak biasa pada tuberculosis dan sifilis adalah infeksi oportunistik umum

lain dari AIDS. Biasanya infekai P. Carinii dan sarkoma tidak menyebar ke sistem

saraf.

Toksoplasma

Dari fokus infeksi yang rumit, toksoplasmosis serebral adalah yang paling

sering (dan diobati: lihat bab 32). Dalam serial otopsi AIDS yang dilaporkan oleh

Navio, Petito, Gold dkk area nekrosis inflamasi yang diasebabkan oleh

toksoplasma ditemukan sekitar 13% (lihat gambar 32-7). Pungsi lumbal, CT scan

Page 19: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

kontras dan MRI berguna dalam diagnosis. Cairan tulang belakang biasanya

menunjukkan kadar protein berkisar 50-200mg/dL, dan sepertiga dari pasien

memiliki pleositosis limfositi, karena penyakit ini merupakan reaktivasi infeksi

toksoplasma sebelumnya adalah penting untuk mengidentifikasi pasien

toksoplasma seropositif awal perjalanan dengan oral pyrimethamine (inisial 100

mg dan untuk harian 25 mg) dan sulfonamide (4-6g sehari terbagi dalam 4 dosis).

Anehnya, toksoplasma begitu umum pada otak pasien AIDS, sering menyebabkan

infestasi tipikal, yaitu miositis. Masalah klinis utama untuk toksoplasmosis dalam

AIDS apakah diferensiasi dari limfoma otak seperti di bahas pada bab 31.

Dalam serial Johns Hopkins (johnson, 1998), kira-kira 11% dari pasien

AIDS mrnderita primer CNS lymphoma, yang mungkin di beberapa kasus sulit di

bedakan dengan klinis dan radiologi dari toksoplasma. Jika sitologi CSF negatif

dan belum ada respon terhadap antibiotik (lihat dibawah) biopsi otak stereotaxic

mungkin diperlukan untuk diagnosis. Prognosis jauh kurang menguntungkan dari

pada selain pasien AIDS: respon pada radioterapi, methotrexate dan kortikosteroid

jangka pendek dan kelangsungan hidup biasa diukur dalam beberapa bulan.

Dalam menghadapi peningkatan lesi otak fokal pada AIDS, pendekatan

saat ini adalah pada toksoplasma yang diobati. Test antibodi untuk toksoplasma

harus diperoleh ; ketidak adaan antibodi igG menandakan bahwa pengobatan

diubah untuk mengatasi masalah limfoma otak. Juga jika terapi anti toksoplasma

dengan pyrimethamine dan sulfadiazine gagal untuk mwngurangi ukuran lesi

dalam beberapa minggu, penyebab lain harua di cari lagi, terutama limfoma. Pada

pasien yang tidak dapat mentoleransi efek samping pyrimethamine atau

sulfadiazine (ruam atau trombositopenia), clindamycin mungkin dapat digunakan.

Sekarang ini, telah menyarankan bahwa thaliumisotope single photon emision

computed tomography (SPECT) dan positron emission tomography (PET) dapat

diansalkan untuk mengecilkan lymphoma sebagai penyebab masa leai pada pasien

AIDS. Lesi kemungkunan sering dari tuberkulosis atau abses bakteri harus diingat

jika tidak ada jalan lain untuk diagnosis.

Cytomegalovirus

Page 20: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

Diantara komplikasi non fokal neurologi adalah AIDS, yang paling umum

adalah CMV dan cryptococcal infeksi. Pada otopsi, sekitar sepertiga dari pasien

AIDS ditemukan terinfeksi dengan CMN. Namun kontribusi infeksi ini terhadap

total gambaran klinis sering kali tidak pasti. Meskipun ini tidak pasti, gejala khas

tertentu telah muncul sebagai CMV encephalitis pada pasien AIDS. Menurut

Holland dkk, diakhir perjalanan AIDS dan biasanya dengan CMV retinitis,

encelhalopathy berkembang lebih dari 3-4 minggu. Gambaran klinis meliputi

gejala akut atau delirium kombinasi dalam kasus jarang yang disertai dengan

tanda saraf kranial termasuk optalmoparesis, niatagmus, ptosis, kelainan nervus

wajah, atau tuli. Salah satu dari pasien ada kelumpuhan oculomotor progresif

yang di mulai dengan ukuran pupil yang tidak berubah dengan adanya cahaya.

Spesimen patologis dan MRI memperlihatkan proses terkonsentrasi di

perbatasan ventrikel, terutama jelas sebagai sinyal T2 hiperintensif di bagian ini.

Lesi dapat memperpanjang lebih lebar melalui materi putih yang berdekatan dan

disertai dengan peningkatan meningeal oleh godolunium dalam beberapa kasus.

Lesi destruktif luas trlah dilaporkan ; dalam kasus terdapat 2 kasus. Lesi tersebut

mungkin terkait dengan perubahan hemoragik di CSF biasanya negatif dan titer

antibodi igG tinggi tidak spesifik, metode baru PCR mungkin berguna. Dimana

diagnosis diduga kuat, pengobatan dengan agen antiviral ganciclovir dan foscamet

sangat disarankan, tetapi seperti yang ditunjukkan oleh Kalayjian, penyakit CMN

dpat tumbuh dan berkembang, sementara pasien mengambil obat ini sebagai

perawatan terapi.

Infeksi Kriptokokus

Meningitis dengan jamur dan jarang dijumpai, cryptococcoma soliter

adalah komplikasi jamur yang paling sering pada infeksi HIV. Gejala mencolok

meningitis/meningoensefalitis mungkin kurang terlihat dan CSF mungkin

menunjukkan sedikit kelainan sehubungan dengan sel, protein dan glukosa. Untuk

respon ini, bukti infeksi cryptococal atau tulang belakang, bukti infeksi

kriptokokus dari cairan tulang belakang harus secara aktif mencari dengan

persiapan tinta india, pengujian antigen, kultur jamur. Penatalaksanaan diuraikan

dalam bab 32.

Page 21: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

Varicella Zoster

Infeksi cerebral dengan virus ini apakah komplikasi kurang umum dari

AIDS, tetapi ketika menjadi, cenderung berat. Mereka mengambil bentuk lesi

multifokal dari materi putih otak (substansia alba), sepeti multifokal progresif

leukoencephalopathy, cerebral vasculitis dengan hemiplegia (biasanya berkaitan

dengan ophtalmic zoster) atau jarang sekali myelitis. Encephalitis karena HSV-I

dan HSV-II juga telah diidentifikasi dalam otak pasien dengan AIDS, tetapi

korelasi klinis tidak jelas. Tidak ada bukti bahwa acyclovir atau agen antiviral lain

efektif dalam infeksi virus ini. Herpes zoster yang melibatkan beberapa dermatom

berdekatan diketahui terjadi pada AIDS, seperti dalam kondisi imunosupreai

lainnya.

Tuberculosis

Dua jenis tertentu infeksi mikrobakteri cenderung mempersulit AIDS yaitu

Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium avium-intercellulare.

Tuberculosis medominasi di antara penyalah gunaan obat dan pasien AIDS di

negara terbelakang dan biasanya lebih tinggi proporsi orang-orang imunosupresi

mengembangkan tuberculous meningitis. Diagnosis dan terapi penunjang yang

sama seperti pada pasien AIDS. Infekai microbacterial atypical biasanya

berhubungan dengan lesi otak yang merusak lainnya dan merespon buruk

terhadap terapi.

Neurosyphilis

Meningitis sifilis dan sifilis meningovaskuler tampaknya memiliki

peningkatan insiden dari pasien AIDS, jumlah sel di CSF tidak dapat diandalkan

sebagai tanda-tanda aktivitas luetic, diagnosis tergantung sepenuhnya pada tes

serologi. Tampaknya tidak mungkin bahwa AIDS karena tes positif palsu untuk

sifilis, tetapi masih harus diselesaikan.

Organisme lainnya, seperti Rochalimaea henselae (untuk Merly

Bartonella), penyebab demam catscratch, ditemukan tiba-tiba dengan frekuensi

tinggi di pasien AIDS dan telah terlibat dalam encephalitis. Progresif multifokal

leukoencephalopathy, sebuah penyakit virus yang terkait erat dengan negara

Page 22: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

imunosupresi dari AIDS dan terlihat dalam jumlah yang tinggi, dibahas lebih

lanjut dalam bab ini.

Terapi

Terapi untuk infeksi HIV/AIDS, seperti berlaku untuk setiap penyakit

kronis, penyakit yang mengancam kehisupan. Pasien dan keluarga membiruhkan

konseling dan edukasi, dan frekuensi dorongab psikologi selain obat yang

kompleks. Rekomendasi tentang terapi obat untuk infeksi HIV berubah dengan

cepat (Rubin dan Young). Kombinasi dari tiga dan kadang empat obat, termasuk

transkriptase inhibitor (AZT dan 3TC(lamivudine) yang bertindak secara sinergis

dan melewati sawar darah otak) dan yang lebih baru protease inhibitor (seperti

indinavir) membuat 90% pasien bebas deteksi virus lebih dari 1 tahun. Hal ini

diyakini bahwa pendekatan ini akan memperpanjang kelangsungan hidup tapi

mungkin diharapkan juga untuk meningkatkan prwvalensi neurologi dari AIDS,

masing-masing yang harus diterapi seperti yang telah diketahui. Rujukan ke

spesialis/ pusat yang ditunjuk untuk pengelolaan penyakit ini mungkin diperlukan.

Tropical Spastic Paraparesis, Infeksi HTLV-I

Ini adalah gangguan endemik di banyak negara tropis dan subtropis.

Penyebabnya diabaikan sampai 1985, pada saat Gessain dan Coworkers

menemukan antibodi IgG untuk HTLV-I dalam serum dari 68% Tropical spastic

paraparesis (TSP) pasien di Martinique. Antibodi yang sama diidentifikasi di CSF

dari jamaika dan kolombia pasien dengan TSP, dan pada pasien dengan gangguan

neurologi yang sama didaerah beriklim seperti jepang selatan. Gangguan yang

terakhir awalnya disebut HTLV-I-associated myelopathy (HAM), tetapi sekarang

dianggap identik untuk HTLV-I positif TSP (Roman dan Osame). Ini adalah ciri

pejasaran gangguan ini hanya sebagian kecil dari HTLV-I orang yang terinfeksi

(perkiraan 2%) mengalami myelopathy. Contoh penyebaran yang luas kinibtelah

dilaporkan dari berbagai bagian belahan dunia bagian barat. Virus ini

ditransmisikan dalam salah satu dari beberapa cara dari ibu ke anak, baik melalui

plasenta atau dalam ASI; dengan penggunaan obat suntik atau transfusi darah;

atau melalui kontak seksual. Onset biasanya pada usia dewasa, an sering terjadi

pada wanita dibanding dengan pria, dengan perbandingan 3:1.

Page 23: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

Gambaran klinis dan patologi penyakit dijelaskan dalam bab 44 dan dalam

beberapa ulasan yang direkomendasikan (Rodgers-Johnson dkk). Perbedaan dari

bentuk tulang belakang yang progresif multipel sclerosis dan dengan degenerasi

kombinasi subakit, dengan yang paling mungkin akan dibajas lebih lanjut di

bawah "Diferensial Diagnosis". Ada juga perbedaan klinis dan patologis dari

myelopati yang disebabkan langsung oleh infeksi HIV. Tidak ada bentuk terapi

yang terbukti efektif dalam mengembalikan bentuk gangguan ini, meskipun ada

laporan Anecdotal bahwa pemberian intravena immunoglobuline dapat

menghentikan perkembangannya.

Retrovirus HTLV-II kurang umum dari HTLV-I namun kedua virologi

sangat mirip. Ada ringkat tinggi infeksi dengan HTLV-II diantara pengguna obat

yang koinfeksi dengan HIV. Beberapa kasus myelopati telah dilaporkan di

HTLV-II bahwa pasien telah terinfeksi, mirip dengan semua respin untuk HTLV-I

yang menghubungkan myelopathy (Lehky dkk).

Infeksi virus dari perkembangan sistem saraf (lihat bab 38)

Infeksi virus dari janin, terutama rubella, CMV, HIV, herpes zoster, epstein-barr,

dan infeksi HSV pada bayi baru lagir adalah penyebab penting dari kelainan CNF.

Pokok masalah ini dibahas secara rinci dalam "intrauterine dan infeksi neonatal"

di bab 38.

Akut Anterior Poliomyelitis

Dimasa lalu, sindrom ini adalah hampir selalu merupakan hasil dari infeksi

oleh salah satu dari 3 jenis poliovirus. Namub, penyakit ini yang secara klinis

menyerupai infeksi virus polio dapat disebabkan oleh enterovirus lain seperti

coxsackie kelompok A dan B dan japanes ensefalitis, serta oleh west nile virus.

Epidemi hemoragik konjungtivitis (disebabkan oleh enterovirus 70 dan

sebelumnya umum di asia dan afrika) bisa juga berhubungan dengan neuron

motorik rendahkelumpuhan menyerupai poliomyelitis (Wadia dkk). Di negaa-

negara dengan program vaksinasi polio yang sukses, virus lainnya kini penyebab

paling umum dari sindrom poliomyelitis anterior, seperti yang dibahas lebih lanjut

pada beberapa kasus, penyakit yang disebabkan oleh virus ini bersifat jinak dan

kelumpuhan terkait tidak signifikan. Virus west nile adalah pengecualian dalam

Page 24: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

kasus ensefalitis telah dikaitkan dengan asymmetrical flaccid poliomyelitis yang

berat dan menetap.

Yang penting (lumpuh) penyakit dalam katagori ini tetap poliomyelitis.

Meskipun tidak lagi menjadi bahaya didaerah dimana vaksin eutin efek

mematikan dan melumpuhkan masih segar dalam ingatan dokter yang berpraktik

ditahun 1950an. Pada musim panas 1955, ketika inggris baru mengalami epidemi

yang terakhir, 3,950 kasus poliomyelitis akut dilaporkan di Massachusetts saja

dan 2,771 lumpuh rincian epidemi ini dijelaskan oleh Pope dkk. Sekarang, kira-

kira 15 kasus Pertahun poliomyelitis lumpuh dilaporkan di Amerika serikat.

Secara seimbang dibagi menjadi anak-anak yang tidak divaksin dengan orang

dewasa, orang yang telah terkena vaksinasi sejak bayi. Lebih lanjut, sisa

Kelumpuh dari epidemu sebelumnya masih dapat dilihat dimana-mana. Dalam

kasus ini, perkembangan yang terlambat dari kelemahan otot kadang tampaknya

muncul bertahun-tahun setelah penyakit lumpuh akut, kondisi disebut post polio

syndrome (lihat diskusi Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) di bab 39). Tentu

saja, poliomyelitis akut masih sering terjadi di beberapa bagian dunia dimana

vaksinasi skala besar tidak dilakukan. Untuk alasan ini dan juga karena ia berdiri

sebagai protopipe dari infeksi virus neurotropik, ciri utama dari penyakit ini harus

diketahui oleh ahli saraf.

Etiologi dan Epidemiologi

Agen poliomyelitis adalah virus kecil RNA yang merupakan kelompok

dari grup enterovirus dari family piconarvirus. Tiga tipe antigen telah ditemukan

dan infeksi dari salah satunya tidak memberikan perlindungan melawan yang lain.

Penyakit ini menyebar di seluruh dunia.; puncak insiden infeksi terjadi di belahan

dunia utara pada bulan juli sampai September.

Poliomyelitis adalah infeksi yang sangat menular. Reservoir utama dari

infeksi ini adalah di dalam saluran pencernaan manusia (manusia adalah satu-

satunya host alami yang diketahui), dan jalur utama infeksi adalah fecal-oral,

tangan ke mulut, seperti pathogen enteric lainnya. Virus tersebut memperbanyak

diri di pharynx dan saluran pencernaan. Selama masa inkubasi, dari 1 sampai 3

minggu, virus dapat memulihkan diri di kedua tempat tersebut. Hanya sebagian

Page 25: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

kecil pasien yang terinfeksi mengalami invasi hingga system saraf. Sekitar 95

sampai 99 persen pasien yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala atau hanya

mengalami perasaan seperti demam yang tidak spesifik. Tipe terakhir dari pasien-

karier dengan infeksi tanpa gejala - yang paling berperan penting dalam

penyebaran virus dari satu orang ke yang lainnya.

Manifestasi Klinis

Sebagian besar infeksi tidak menunjukkan gejala, atau hanya berupa gejala

sistemik ringan dengan faringitis atau gastroenteritis. Kadangkala disebut abortive

poliomyelitis. Gejala ringan berhubungan dengan periode viremia dan penyebaran

virus.; yang pada banyak kaasus menimbulkan respon imun efektif- gejala sebagai

akibat dari kegagalan untuk menyebabkan meningitis atau poliomyelitis. Pada

jumlah pasien yang relative sedikit system saraf ikut terkena, penyakit tersebut

masih dapat berkembang menjadi parah dari serangan ringan aseptic meningitis

(non paralisis atau preparalisis poliomyelitis) hingga bentuk berat dari

poliomyelitis paralisis.

Nonparalytic atau Preparalytic Poliomyelitis gejala prodromal seperti

kelesuan, nyeri kepala, demam 38 sampai 40°C (100,4 sampai 104°F), kekakuan

dan nyeri otot, tenggorokan serak karena adanya infeksi pernapasan atas,

anorexia, mual dan muntah. Gejala dapat mereda pada batas tertentu, diikuti

setelah 3 sampai 4 hari oleh timbulnya lagi nyeri kepaladan demam dan timbulnya

gejala yang melibatkan system saraf; seringnya fase kedua bercampur dengan fase

pertama. Kekakuan dan nyeri otot, tertariknya otot (spasme) dan nyeri leher dan

punggung meningkat menjadi utama. Manifestasi awal lain yang melibatkan

system saraf meliputi iritabilitas, mudah lelah dan emosi yang tidak stabil; sering

kali ini menuju paralisis. Gejala tambahan adalah kaku kuduk dan temuan khas

pada CSF seperti pada meningitis aseptic. Gejala-gejala tersebut seluruhnya

membentuk suatu penyakit; paralisis mungkin mengikuti gejala preparalytic.

Paralytic Poliomyelitis kelemahan menjadi manifestasi sementara demam

pada puncaknya atau hanya sesekali suhu turun dan gambaran klinis umum

tampaknya akan membaik. Kelemahan otot dapat muncul dengan cepat, mencapai

keparahan maksimal pada 48 jam atau kurang; atau dapat muncul lebih lambat

Page 26: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

atau pada bicara gagap selama seminggu, jarang lebih lama. Sebagai aturan

umum, tidak ada kelemahan progresif setelah suhu normal selama 48 jam.

Penyebaran kelumpuhan spinal sangat bervariasi; jarang menjadi kelumpuhan

simetris akut dari otot – otot tulang belakang dan ekstremitas seperti yang muncul

pada Guillain Barre syndrome. Aktivitas fisik yang terlalu banyak dan injeksi

local selama periode infeksi asimptomatik dianggap mendukung perkembangan

kelumpuhan dari ekstremitas yang dilatih atau dng melemah; disuntik tersebut.

Fasikulasi kasar dipandang sebagai otot yang melemah; bersifat sementara

sesuai aturan, tetapi kadang – kadang mereka menetap. Reflek tendon berkurang

dan menghilang sebagai perkembangan kelemahan dan otot yang lumpuh menjadi

lemah. Pasien seringkali mengeluh paraesthesia pada ekstremitas yang terkena,

tetapi kehilangan sensoris objek jarang ditemukan. Retensi urin biasanya muncul

selama fase awal pada pasien dewasa, tetapi tidak menetap. Atrofi otot dapat

diketahui dalam waktu 3 minggu dari onset kelumpuhan, maksimal 12 sampai 15

minggu dan ini bersifat permanen.

Paralisis otot bulbar lebih sering pada dewasa muda, tetapi biasanya pasien

tersebut memiliki keterlibatan tulang belakang juga. Yang paling sering terlibat

adalah otot cranial seperti system menelan, menunjukkan keterlibatan dari nucleus

ambiguous. Bahaya besar lain dari penyakit medullary adalah gangguan respirasi

dan pengendalian vasomotor- cegukan, sulit menelan, dan melambatnya

pernafasan secara progresif, sianosis, gaduh dan gelisah gelisah (kekurangan

udara), hipertensi, dan akhirnya, hipotensi dan kegagalan system sirkulasi. Saat

gangguan ditambah dengan paralisis otot diafraghma dan intercosta, tingkat

kehidupan pasien terancam dan pendampingan institusi bagian pernafasan serta

intensive care dibutuhkan dengan sangat segera.

Perubahan Patologik dan Hubungan Patologiklinik

Pada infeksi yang fatal, lesi ditemukan pada precentral (motorik) gyrus

otak (biasanya tidak cukup berat untuk menyebabkan gejala), batang otak, dan

sumsum tulang belakang. Beban penyakit ditanggung oleh hypothalamus,

thalamus, nucleus motorik dari batang otak dan disekeliling formasi reticular,

nucleus vestibular dan roof nucleus dari cerebellum, dan terutama neuron pada

Page 27: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

bagian anterior dan antara materi abu-abu dari sumsum tulang belakang yang

memberikan suatu penyakit sesuai dengan namanya. Pada area tersebut, sel saraf

dihancurkan dan difagosit oleh microglia (neuronophagia). Reaksi local lekosit

muncul hanya dalam beberapa hari, tetapi sel mononuclear bertahan sebagai

akumulasi perivaskular selama beberapa bulan. Perubahan histopatologi paling

awal pada sel tanduk anterior corda adalah terjadi kromatolisis pada inti sel saraf,

bersamaan dengan reaksi inflamasi. Perubahan ini berhubungan dengan

multiplikasi virus pada CNS dan, pada monyet yang terinfeksi, onset paralisis

berawal satu atau beberapa hari.

Pada materi penelitian Bodian, saraf motorik yang terinfeksi tetap

berfungsi sampai tingkat kromatolisis berat tercapai. Lagi pula, bila kerusakan sel

hanya mencapai tingkat kromatolisis sel, kesembuhan secara morfologi dapat

diharapkan- suatu proses yang membutuhkan waktu satu bulan atau lebih. Setelah

itu, derajat kelumpuhan dan atrofi berhubungan erat dengan jumlah sel saraf

motorik yang telah mengalami kerusakan; dimana ekstremitas tetap atrofi dan

lumpuh, kurang dari 10 persen sel saraf selamat pada segmen corda yang

berhubungan.

Lesi pada saraf motorik batang otak dihubungkan dengan paralisis di otot

yang berhubungan. Gangguan menelan, pernafasan, dan control vasomotor

dihubungkan pada lesi pada formasi reticular medulla, berpusat pada bagian inti

sel ambiguous seperti yang sudah disebutkan.

Atrofi, berhubungan dengan paralisis flexi dari otot pada tulang belakang

dan ekstremitas, tentu saja, karena kerusakan saraf pada bagian anterior dan

intermediate tanduk pada segmen yang berhubungan dengan materi abu – abu

sumsum tulang belakang. Kekakuan dan nyeri pada leher dan punggung, dianggap

berasal dari “iritasi meningeal”, kemungkinan berkaitan dengan eksudat inflamasi

ringan pada bagian meningen dan pada lesi ringan pada dorsal root ganglia dan

dorsal tanduk. lesi tersebut juga bertanggung jawab pada nyeri otot dan

paraestesia pada bagian yang akhirnya menjadi lumpuh. Abnormalitas fungsi

autonom berasal dari lesi pada jalur autonom pada substansi reticular batang otak

dan pada sisi lateral sel tanduk pada sumsum tulang belakang.

Page 28: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

Yang menjadi perhatian bahwa polivirus telah dengan mudah diisolasi

dari jaringan CNS pada kasus-kasus fatal tetapi jarang dapat disembuhkan dari

CSF (cerebro spinal fluid) selama klinis penyakit. berbanding terbalik dengan

coxsackie dan echo picornavirus, yang telah dapat diisolasi dari CSF selama

keadaan sakit saraf.

Terapi

Pasien pada akut poliomyelitis memerlukan pengawasan cermat mengenai

fungsi menelan, kapasitas vital, nadi dan tekanan darah untuk antisipasi

komplikasi pernafasan dan sirkulasi. Dengan paralisis otot ekstremitas, footboard,

bebat tangan dan lengan, dan lutut serta trochanter roll mencegah foot-drop dan

deformitas lainnya. Gerakan pasif yang rutin mencegah kontraktur dan ankylosis.

Gagal nafas, sebagai akibat dari paralisis otot intercosta dan diafragma

atau karena depresi pusat pernafasan pada batang otak, memerlukan penggunaan

respirator tekanan positif dan, pada kebanyakan pasien, dilakukan tracheostomy.

Selama masa eidemic sekitar pertengahan abad ke 20 penggunaan Dinker’s “iron

lung” mencapai ketenaran luas. Penatalaksanaan komplikasi system pernafasan

dan sirkulasi tidak terlalu berbeda dengan penatalaksanaannya pada penyakit

seperti myasthenia gravis dan Guillain-Barre syndrome dan terbawa pada unit

special respiratory atau intensive neurologic.

Penulis tidak mengetahui penelitian sistematik mengenai potensi dari agen

antiviral pada penyakit ini.

Pencegahan

Pencegahan, tentu saja, telah terbukti merupakan salah satu penyelesaian

yang luar biasa pada pengobatan modern. Penanaman polivirus pada kultur

jaringan embrionik manusia dan sel ginjal monyet- hasil dari Enders dkk-

memungkinkan pengembangandari vaksin yang efektif. Yang pertama adalah

vaksin suntik Salk, berisi formalin-inaktif virulent strain dari tiga serotype virus.

Kemudian diikuti oleh vaksin Sabin, yang terdiri dari virus hidup yang

dilemahkan, dengan petunjuk penggunaan secara oral dalam 2 dosis 8 minggu

terpisah; booster dibutuhkan pada usia 1 tahun dan kemudian diulang sebelum

mulai sekolah. Sejak tahun 1965, laporan tahunan mengenai incidence rate

Page 29: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

poliomyelitis di Amerika telah kurang dari 0,01 per 100.000 ( dibandingkan pada

rata-rata 24 kasus per 100.000 selama tahun 1951 sampai 1955). Sangat jarang,

poliomyelitis dapat mengikuti vaksinasi dengan virus hidup yang dilemahkan

(0,02 sampai 0,04 kasus per 1 juta dosis). Satu-satunya halangan untuk

melengkapi pencegahan dari penyakit adalah vaksin tidak mencukupi untuk

populasi besar. Dapat dibayangkan, dengan kurangnya peningkatan kekebalan

pada Negara berkembang (yg disebut kekebalan kumpulan), wabah besar

poliomyelitis dapat muncul sekali lagi.

Prognosis

Kematian dari acute paralytic poliomyelitis adalah antara 5 dan 10 persen-

lebih tinggi pada orang tua dan orang sangat muda. Jika pasien selamat pada

stadium akut, paralisis system pernafasan dan menelan biasanya sembuh

sempurna; pada hanya sebagian kecil pasien yang memerlukan alat bantu napas.

Beberapa pasien juga sembuh sama sekali dari kelemahan otot awal, dan bahkan

kelumpuhan paling berat membaik hingga beberapa tahap. Kembalinya kekuatan

otot dapat mucul terutama pada 3 sampai 4 bulan pertama dan mungkin

menghasilkan pemulihan secara morfologi dari kerusakan sel saraf yang terkena.

Cabang dari axon pada sel motorik yang utuh dengan reinervasi kolateral dari

serabut otot unit motorik yang di inervasi juga mungkin ambil bagian.

Penyembuhan yang lambat pada derajat ringan kemungkinan dapat berlanjut

hingga satu tahun atau lebih, akibat dari hipertrofi dari otot yang tidak rusak.

Sindrom postpolio dibahas pada “differential diagnosis of ALS” pada chap.39 dan

di chap.55.

Nonpoliovirus Poliomyelitis

Sebagaimana ditunjukkan sebelumnya, jumlah dari virus RNA yang

biasanya menyebabkan infeksi saluran pernapasan atas biasa atau infeksi enteric

sekarang menjadi penyebab utama penyebaran sindrom poliomyelitis. 52 kasus

tercatat oleh Pusat Pencegahan dan Pengawasan Penyakit selama periode 4 tahun.

Kebanyakan dari kasus tersebut disebabkan olehsalah satu echovirus dan sejumlah

kecil Coxsackie enterovirus khususnya strain 70 dan 71. Bekas penyakit

meninggalkan sedikit sisa paralisis, tapi Coxsackievirus, yang telah dipelajari

Page 30: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

pada beberapa wabah di Amerika, Bulgaria, dan Hungaria, mempunyai lebih

banyak variable yang mempengaruhi. Enterovirus 70 menyebabkan akut

hemorrhagic conjunctivitis pada epidemic terbatas dan diikuti oleh poliomyelitis

pada 1 disetiap 10.000 kasus. Wabah Enterovirus 71 di Eropa, dikenal di Amerika

sebagai sebab dari hand-foot-and-mouth disease dan meningitis aseptic,

menghasilkan paralisis tipe poliovirus, termasuk sedikit kasus bulbar fatal

(Chumacov, et.al). pada wabah di Taiwan, Huang dkk menguraikan encephalitis

batang otak dengan keterlibatan myoclonus dan saraf cranial dalam perbandingan

yang tinggi pada pasien. Kecenderungan virus West Nile dalam menyebabkan

poliomyelitis sudah dijelaskan sebelumnya.

Penelitian kami sendiri denagn bentuk poliomyelitis ini terdiri dari 4

pasien yang telah dirujuk bertahun-tahun untuk penyakit kelumpuhan yang

awalnya disangka sebagai Guillain-Barre syndrome (Gorson dan Ropper). Pada

tiap kasus, diawali dengan demam dan meningitis aseptic (50 sampai 150

lymphosite /mm3 pada CSF), diikuti oleh nyeri punggung dan meluas,

kelumpuhan yang relative simetris, termasuk otot oropharingeal pada 2 kasus dan

kelemahan asimetris terbatas pada tangan di 2 pasien. Tidak ada perubahan

sensoris. Satu pasien mempunyai penyakit ensefalitis ringan yang terjadi

bersamaan dan meninggal 1 bulan kemudian. Perubahan electromyografi

menunjukkan bahwa paralisis disebabkan oleh hilangnya sel tanduk anterior dari

pada neuropati motorik atau murni radiculopati motorik, tapi perbedaannya tidak

selalu pasti. MRI luar biasa dalam menunjukkan perbedaan perubahan pada materi

abu- abu corda, terlebih di ventral (Fig. 33-3). Tidak ada virus dapat diisolasi dari

CSF dan test serologi pada 2 pasien gagal disangkutkan dengan virus RNA

ensefalitis biasa, termasuk poliovirus. Pasien telah diimunisasi terhadap virus

poliomyelitis.

Infeksi Virus Subakut Dan Kronik

Konsep bahwa infeksi virus mungkin berperan penting pada penyakit

kronik, khususnya pada system saraf, telah diperkenalkan sejak tahun 1920-an,

tetapi hanya beberapa decade kemudian ditetapkan. Bukti tidak langsung dan

langsung mendukung pandangan ini : (1) percobaan degenerasi progresif

Page 31: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

noninflamasi pada saraf nigral jauh setelah serangan letargia ensefalitis; (2)

penemuan badan inklusi pada kasus subakut dan kronik sklerosisng ensefalitis; (3)

penemuan penyakit saraf kronis pada domba disebabkan oleh virus RNA biasa

(Visna)- terdapat hubungan antara penyakit pada domba yang Sirgurdsson

pertama gunakan jangka waktu infeksi virus lambat (slow virus infection) untuk

menggambarkan periode inkubasi lama dimana hewan terlihat sehat; dan (4)

percobaan oleh mikroskop electron terhadap partikel virus pada lesi dari progresif

multifokal leukoencepalopati dan, kemudian, mengisolaso virus dari lesi tersebut.

Saran bahwa onset akhir dari kelemahan progresif setelah poliomyelitis (“post

polio syndrome”) mungkin mewakili infeksi lambat telah di buktikan. Tuntutan

juga telah beberapa kali padalm setahun untuk virus penyebab multiple sklerosis,

amytrophic lateral sklerosis dan penyakit degenerative lainnya, namun sejauh ini

buktinya masih dipertanyakan.

Infeksi lambat system saraf disebabkan oleh virus biasa meliputi subakut

sklerosis panencefalitis (measles virus), progresif panencefalitis rubella, progresif

multifocal leukoencefalitis (JC virus), dan visna pada domba. Penyakit tersebut

kecuali untuk PML, adalah jarang. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus biasa

dan tidak keliru dengan grup dari penyakit saraf kronik yang juga kadang –

kadang berubah menjadi “slow infection”, tetapi bukan hasil dari prions,

sepenuhnya berbeda dengan agen menular konvensional. Ini diberikan bagian

terpisah kemudian pada chapter ini.

Subakut sklerosing panencefalitis

Penyakit ini pertama dijelaskan oleh Dawson pada tahun 1934 dengan

nama “encephalitis badan inklusi” dan dipelajari secara meluas oleh Van Bogaert,

yang mengganti nama penyakit tersebut dengan subakut sklerosing panencefalitis.

Sekarang dikenal sebagai akibat dari infeksi kronisk virus measles.tidak pernah

menjadi penyakit yang umum, kondisi ini muncul sampai akhir-akhir ini rata-

ratanya mencapai 1 kasus per 1 juta anak per tahun. Dengan pengenalan dan

penyebarluasan vaksin measles. Praktis penyakit ini menghilang di Amerika.

Seiiring dengan pemberantasan polio, ini telah menjadi kemajuan yang penting

dalam pencegahan neuropedriatic.

Page 32: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

Anak – anak dan remaja adalah sebagian besar yangh terpengaruh,

penyakit ini jarang muncul melebihi usia 10 tahun. Biasanya ada riwayat infeksi

primer measles pada usia sangat dini, sering sebelum 2 tahun, diikuti oleh 6

sampai 8 tahun periode asimptomatik. Penyakit ini berkembang dalam beberapa

stadium. Awalnya terdapat penurunan kemampuan sekolah, ledakan kemarahan

dan berbagai perubahan kepribadian, kesulitan bahasa, dan kehilangan minat pada

aktivitas biasanya. Kemudian segera terjadi kemerosotan intelektual yang berat

dan progresif pada asosiasi dengan kejang fokal atau umum, myoklunus yang

luas, ataxia, dan kadang – kadang gangguan penglihatan disebabkan oleh

progresif chorioretinitis. Pada penyakit lanjutan, rigiditas, hiperaktif reflek,

babinski sign, kehilangan kesadaran progresif, dan tanda dari disfungsi autonom

muncul. Pada stadium akhir, anak tampak mati raasa, sebenarnya “dekortikasi”.

Program ini biasanya berlanjut progresif, menimbulkan kematian dalam waktu 1

sampai 3 tahun. Kurang lebih 10 persen dari kasus perjalanan penyakit ini lebih

lama dengan satu atau lebih remisi. Pada sejumlah kecil perjalannya menjadi

fulminant, kearah kematian dalam onset bulan. Kecuali bila penyakit muncul pada

usia dewasa muda. Serangkaian 39 kasus dewasa tersebut dari India dengan rata –

rata usia 21 tahun telah dilaporkan oleh Prashanth dkk, pasien tertua berusia 43

tahun. Gejala utama hampir sama dengan kasus anak-anak, kecuali beberapa

mengalami gangguan penglihatan dan 2 orang mengalami gejala ekstrapiramidal,

meningkatkan kemungkinan penyakit prion. Myoclonus muncul pada permulaan

penyakit pada 26 orang dan muncul kemudian di semua kasus; gerakan

digambarkan “lambat”, karakteritas disinggung pada seri yang lain. Pada 2 kasus

yang muncul pada wanita hamil, pandangan kabur dan kelemahan ekstremitas

diikuti oleh akinetik mutism, tanpa bekas myoclunus atau ataxia cerebral.

Meskipun demikian, progresif ataxic-myoclonic demensia kronik pada anak-anak

sangat khas sehingga biasanya dapat dilakukan bedside diagnostic.

EEG menunjukkan kelainan karakteristik terdiri dari ledakan periodik

(setiap 5 atau 8 detik)dari 2 sampai 3 detik gelombang tegangan tinggi, diikuti

oleh pola datar relatif. CSF berisi sedikit atau tanpa sel, tetapi jumlah protein

meningkat, khususnya jenis gamma globulin, dan elektroforesis gel agarosa

Page 33: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

mengungkapkan ikatan oligoclonal igG. Protein ini telah meunjukkan gambaran

antibody spesifik virus measles (Mehta dkk). Baik serum maupun CSF berisi

konsentrasi tinggi antibody penetralisir virus measles (rubeola), tetapi virus telah

pulih dari jaringan otak hanya dengan kesulitan. Perubahan MRI dimulai pada

materi putih subcortikal dan menyebar ke region periventricular (Anlar et al).

Secara histology, lesi meliputi kortek cerebral dan materi putih dari semua

hemisfer dan batang otak. Cerebellum biasanya bebas. Kerusakan sel saraf,

neuronofagia dan pengikatan perivenous oleh limfosit dan sel mononuclear

menunjukkan sifat infeksi virus. Pada materi putih terdapat degenerasi dari

serabut medulla ( baik myelin dan axon), disertai dengan pengikatan perivaskular

oleh sel mononuclear dan gliosis serabut (maka istilah sclerosing encephalitis).

Inklusi eosinofilik, tanda histopatologis dari penyakit, ditemukan di sitoplasma

dan inti neuron dan sel glia. Virion, berfikir bahwa nukleocapsid measles, telah

diamati pada pemeriksaan sel inklusi-bearing dengan mikroskop electron.

Bagaimana infeksi virus ada dimana-mana dan transient pada anak – anak

yang tampaknya normal memungkinkan pengembangan, beberapa tahun yang

lalu, dari encephalitis langka adalah masalah spekulasi. Sever percaya bahwa

terdapat keterlambatan dari respon imun selama infeksi awal dan kemudian

respon imun menjadi tidak adekuat dalam menekan infeksi. Hipotesis lainnya

mengatakan bahwa sel otk gagal mensintesa protein yang disebut protein M, yang

penting dalam penyusunan membrane virus, dan keterbatasan kemampuan sel host

dikaitkan dengan menyebarluasnya bibit virus dalam otak selama infeksi awal

(Hall dkk).

Diagnosis banding SSPE meliputi penyakit demensia pada anak-anak dan

remaja seperti penyakit penyimpanan lipid (Chap. 37), prion disease (Creutz-

Jakob), dan Schilder-type demyelinative disease (Chap.36).

Pada kasus klilis presumtif SSPE, penemuan kompleks periodic di EEF,

peningkatan gamma globulin dan ikatan oligoclonal pada CSF, dan peningkatan

titer antibody measles di dalam serum dan CSF adalah cukup untuk menegakkan

diagnosis.

Page 34: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

Tidak ada terapi yang efektif. Pemberian amantandine dan inosine

pranobex (dalam bentuk inosiplex) ditemukan oleh beberapa peneliti mengarah

pada perbaikan dan kelangsungan hidup yang lebih lama, tetapi efeknya belum

dibenarkan. Manfaat terapi pemberian intrathecal dari alpha interferonmasih di

teliti.

Subakut Measles Encephalitis dengan Imunosupresi

Mengingat SSPE muncul pada anak-anak yang sebelumnya normal, tipe

langka measles encephalitis lainnya telah digambarkan bahwa baik anak-anak atau

dewasa dengan respon imun yang dimediasi sel yang rusak (Wolinsky dkk). Pada

tipe ini measles atau paparan measles yang mendahului encephalitis dengan 1

sampai 6 bulan. Kejang (seringnya epileptic sebagian yang terus-menerus), tanda

neurologis fokal, stupor dan koma adalah gejala utama dari gangguan neurologis

dan menuju kematian dalam waktu kurang dari satu hari atau kurang dari 1

minggu. CSF dapat normal, dan level antibody measles tidak meningkat. Aicardi

dkk telah mengisolasi virus measles dari otak beberapa pasien. Lesi mirip dengan

gambaran SSPE (sumbatan eosinofil di neuron dan glia, dengan derajat nekrosis

yang berbeda-beda) kecuali perubahan inflamasi yang kurangartinya, subakut

measles encephalitis ini adalah infeksi oportunistik dalam otak pada pasien

imunosupresi interval yang relative pendek antara paparan dan onset dari

gangguan neurologic, perkembangan penyakit yang cepat, dan gangguan

kekurangan antibody adalah bentuk dari subakut measles encephalitis baik SSPE

maupun postmeasles (post infeksi) encephalomyelitis (Chap.36).

Panensefalitis Rubela Progresif

Umumnya, defisit yang berhubungan dengan infeksi rubela kongenital di

otak sifatnya nonprogresif setidaknya selama dua hingga tiga tahun pertama

kehidupan. Namun, ada kasus anak dengan sindrom rubela kongenital yang

mengalami deteriorasi neurologis yang progresif setelah menjalani periode stabil 8

hingga 19 tahun. Pada tahun 1978, Wolinsky menemui 10 kasus, sebagian kecil

merupakan rubela yang didapat bukannya kongenital. Sejak saat itu, sindrom

progresif yang muncul lambat ini tampaknya telah hilang, tidak ada kasus baru

yang dilaporkan selama 30 tahun terakhir.

Page 35: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

Sindrom klinisnya lumayan seragam. Berdasarkan stigma lawas rubela

kongenital, akan terjadi deteriorasi perilaku dan kemampuan belajar di sekolah,

sering berhubungan dengan kejang dan kemudian diikuti gangguan fungsi mental

yang progresif (demensia). Cara berjalan yang janggal merupakan gejala awal,

diikuti frank ataxia gait kemudian tungkai. Timbul juga spastisitas tanda traktur

kortikospinal lainnya, disartria dan disfagia. Mutisme palor menandakan fase

akhir penyakit ini. CSS tampak ada peningkatan ringan limfosit dan protein, serta

peningkatan nyata proporsi gamma globulin (35 hingga 52 persen dari protein

total), yang menunjukkan pola oligoklonal pada elektroforesis gel agarose. CSS

dan titer antibodi rubela serum juga sangat meningkat.

Pemeriksaan patologi otak tampak meluas, panensefalitis subakut yang

progresif utamanya menyerang white matter. Tidak terlihat iclusion-bearing cell.

Sehingga, tampaknya infeksi virus rubela didapat dalam rahim atau waktu

postnatal, bisa menetap dalam sistem saraf selama bertahun-tahun yang

menimbulkan infeksi aktif kronis.

Leukoensefalopati Multifokal Progresif

Kelainan ini, pertama kali ditemukan secara klinis oleh Adam dan rekan

pada tahun 1952, dideskripsikan secara morfologi oleh Astrom dan rekan pada

tahun 1958, kemudian diperluas oleh Richardson pada tahun 1961. Ditandai

dengan lesi demyelinasi yang luas, terutama di hemisfer otak tapi kadang bisa di

batang otak dan serebelum, walapun jarang bisa juga di medula spinalis. Lesi ini

ukuran dan derajat keparahannya bervariasi, mulai dari fokus demyelinasi

mikroskopis hingga zona kerusakan multifokal baik pada myelin maupun silinfer

aksis yang melibatkan sebagian besar hemisfer serebral atau serebelar. Kelainan

sel glia juga tampak nyata. Banyak astrosit reaktif dalam lesi ini ukurannya besar

dan mengandung nukleus dan bentukan mitotik yang berubah bentuk dan

berbentuk aneh, ini merupakan perubaha yang hanya terlihat pada tumor glia

maligna. selain itu, pada perifer lesi, nukleus aligodendrosit juga sangat membesar

dan mengandung inklusi abnormal. Banyak dari sel ini hancur, mengakibatkan

demyelinasi. Perubahan vaskuler tidak seberapa banyak dan perubahan inflamasi

biasanya ada meski tidak signifikan kecual dalam sejumlah kecil kasus menarik

Page 36: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

dimana rekonstitusi imun dengan obat retroviral AIDS akan menimbulkan

inflamasi hebat.

Tampilan Klinis

Ini merupakan penyakit dewasa akhir yang jarang terjadi, PML biasanya

timbul pada pasien dengan denoplasma atau dalam kondisi imunodefisiensi

kronis. Sebagian besar kasus ada pada pasien AIDS dimana insidensi PML

mendekati 5%. Jika dilihat dari sudut pandang lain, lebih dari 75% kasus PML

pada zaman ini ada hubungannya dengan AIDS. Memang, insidensinya jauh lebih

tinggi daripada bentuk imunosupresi lain selain hubungan antara HIV dan virus

kausatif PML yang telah disebutkan sebelumnya. Hubungan lain yang penting

adalah dengan penyakit neoplastik kronis (utamanya leukimia limfositik kronis,

penyakit Hodgkin, limfosarkoma, dan penyakit myeloproliferatif) dan meski

jarang, adalah dengan granulomatosis nonneoplastik seperti tuberkulosis atau

sarkoidosis. Sejumlah kasus terjadi pada pasien yang mendapatkan obat-obatan

imunosupresif untuk transplantasi ginjal atau untuk tujuan lainnya.

Perubahan kepribadian dan gangguan intelektual juga akbat sindrom

neurologis, yang kemudian berkembang dalam beberapa hari hingga minggu.

Manifestasinya seperti satu kombinasi hemiparesis atau lebih yang berkembang

jadi quadriparesis, defek lapang pandang, buta kortikal, afasia, ataksia, disartria,

demensia, confusional state, dan koma. Beberapa kasus dalam pengamatan kami

didominasi sindrom serebelar. Kejang jarang terjadi, hanya ada pada sekitar 10%

kasus. Pada sebagian besar kasus, kematian terjadi pada 3 hingga 6 bulan sejak

onset gejala neurologi dan semakin cepat pada pasien dengan AIDS kecuali

diberikan terapi antriretroviral agresif. CSS biasanya normal. CT dan MRI akan

jelas menampakkan lokasi lesinya tapi variabilitas dalam ukuran ukuran, lokasi

dan multiplisitas membuat diagnosis lebih dependen pada konteks imunosupresi.

Patogenesis

Usulan awal Waksman terbukti benar bahwa PML dapat disebabkan oleh

infeksi virus dalam CSS pada pasien dengan gangguan respon imunologi.

ZuRhein dan Chou melakukan studi lesi serebral menggunakan mikroskop

elektron pada pasien dengan PML, ternyata didapatkan jajaran partikel kristal

Page 37: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

yang menyerupai papovavirus dalam oligodendrosit. Sejak saat itu, human

polyomavirus, dikenal “JC virus” atau JCV, diketahui sebagai agen kausatif. JCV

ada dimana-mana, berdasarkan keberadaan antibodi virus pada 70% populasi

orang dewasa normal. Virus ini diketahui dorman hingga kondisi imunosupresif

memungkinkan virus ini bereplikasi. Virus ini telah diisolasi dari urin, limfosit

darah, sumsum tulang, dan ginjal, tapi tidak ada bukti klinis kerusakan pada

struktur ekstraneural.

Terapi

Penyakit ini umumnya dipercaya tak dapat teratasi pada pasien dengan

AIDS. Laporan anekdot mengenai efikasi berbagai medikasi seperti cystosine

arabinoside, cidofovir, mirtazapine, interferon dan topotecan, semuanya antara

belum teruji atau gagal pada trial yang lebih besar. Pada pasien AIDS, teerapi

agresif menggunakan kombinasi obat antiretroviral, termasuk inhivitor protease,

akan sangat memperlambat progresi PML dan berujung pada remisi pada hampir

setengah kasus tiap tahunnya, sebagaimana dilaporkan oleh Antinori dan kolega

pada penelitiannya dalam serangkaian kasus besar. Beberapa serial retrospektif

menemukan bahwa hitung CD4 dibawah 100 sel/μL merupakan tanda prognostik

yang buruk untuk PML. Sebuah review mengenai masalah ini, khususnya

berkaitan dengan AIDS dan PML, sedang dilakukan oleh Mangi dan Miller.

Perhatian khusus harus diberikan pada perburukan klinis PML meski

sesaat tapi kadang juga bisa berat. Perburukan ini bisa terjadi selama terapi awal

infeksi HIV dengan obat antiretroviral. Sindromin ini berhubungan dengan

munculnya inflamasi akut yang mengelilingi lesi demyelinasi sebagai hasil dari

rekonstitusi sistem imun. Sejalan dengan mekanisme ini, pada MRI akan tampak

pemekaran lesi paralel jika menggunakan gadolinium. Terapi dengan

kortikosteroid telah diusulkan dan katanya dapat meningkatkan survival dan

remisi PML sementara, meski kami hanya mendapati satu pengecualian dramatis.

Harus waspada jika menggunakan kortikosteroid jika timbul reaksi-reaksi lain.

Ensefalitis Letargika (penyakit von Economo, Sleeping Sickness)

Meski contoh ensefalitis somnolen-optalmoplegi telah ada pada literatur

medis awal, namun ketika pandemi influenza pada Perang Dunia I virus ini mulai

Page 38: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

prominen dan mulai muncul terus menerus hingga 10 tahun. Agen viralnya masih

belum dapat diidentifikasi, tapi tampilan klinis dan patologisnya menyerupai

infeksi virus. Meski demikian, pemeriksaan material otak terkini gagal

memperlihatkan RNAnya, sehingga ensefalitis letargika masih “dianggap/diduga”

sebagai penyakit virus. Pandangan alternatif mengenai patogenesis imun ada di

bawah ini.

Pentingnya ensefalitis letargika ini berhubungan dengan sindrom klinis

dan sekuelnya yang unik dan karena penyakit ini yang paling pertama dikenali

sebagai “infeksi virus lambat” (ironisnya tanpa diketahui agen kausanya) pada

sistem saraf manusia. Gejala uniknya meliputi optalmoplegi dan somnolen yang

nyata, sesuai nama penyakitnya. Manifestasi kelainan lainnya berupa bradikinesia,

katalepsi, mutisme, korea atau mioklonus. Pleositosis limfositik ditemukan dalam

cairan spinal pada setengah pasien. Begitu jgua dengan peningkatan kandungan

protein dalam CSS. Lebih dari 20% pasien meninggal dalam beberapa minggu,

dan banyak yang selamat mengalami gangguan mental dengan berbagai derajat

tertentu. Namun, tampilan paling luar baisa adalah munculnya sindrom

menyerupai parkinson, setelah interval beberapa minggu atau bulan (sesekali

beberapa tahun) pada sebagian besar pasien. Contoh sekuel lain antara lain seperti

mioklonus, distonia, krisis okulogirus dan spasme otot lainnya, bulimia, obesitas,

pola tidur terbalik, dan pada anak-anak berupa perubahan perilaku kompulsif. Ini

bukan satu-satunya bentuk ensefalitis yang diketahui menyebabkan sindrom

ekstrapiramidal tertunda pada tipe ini (sindrom yang serupa meski tidak identik

dengan latensi yang jauh lebih pendek bisa timbul setelah Japanese B encephalitis

dan ensefalitis arboviral lainnya).

Patologinya menyerupai infeksi virus lain, lokasi utamanya di otak tengah,

subtalamus dan hipotalamus. Pada pasien yang meninggal beberapa tahun

kemudian dengan sindrom Parkinson, temuan utamanya berupa depigmentasi

substansia nigra dan lokus ceruleus akibat destruksi sel saraf. Perubahan

neurofibil pada sel saraf substansia nigra yang tersisa dan okulomotor dan nukleus

di sebelahnya juga ditemukan, susah dibedakan dari palsi supranuklear progresif.

Tidak tampak badan Lewy, berbeda dengan penyakit Parkinson idiopatik yang

Page 39: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

sering terlihat. Hanya sedikit kasis tipe pastensefalik baru yang ditemukan di

Amerika Serikat dan Eropa sejak 1930. Kasus-kasus sporadis seperti 4 kasus yang

dilaporkan Howard dan Less bisa merupakan contoh penyakit ini, tapi masih

belum bisa membuktikan identitasnya.

Saat ini, sindrom ekstrapiramidal postinfeksi diduga hasil dari antibodi

yang bersirkulasi. Meski asalnya bukan viral, ini merupakan tempat yang tepat

untuk menyimpulkan temuan Dale dan kolega, yang meneliti masalah ini dengan

hati-hati dan mempresentasikan 20 kasus yang sangat mirip dengan yang

dideskripsikan oleh von Economo. Setengah dari pasiennya telah menderita

faringitis yang diikuti somnolens atau insomnia patologis, parkinsonisme,

diskinesiadan gejala psikiatri. Banyak yang memiliki ikatan oligoklonal dalam

CSS dan pada MRI beberapa pasien mengalami perubahan ganglia basalis.

Temuan tunggal mereka adalah bahwa 95% pasien memiliki antibodi serum

terhadap antigen neural ganglia basalis (dua pertiga lainnya memiliki antibodi

terhadap anti-streptolisin O). Pemeriksaan patologi pada 1 kasus menunjukkan

adanya inflamasi perivaskuler. Dengan demikian, pernyataan selama ini bahwa

bentuk ensefalitis ini disebabkan oleh virus masih dipertanyakan. Dale dan rekan

meragukan hubungannya dengan influenza pada temuan von Economo.

Bentuk Lain Ensefalitis Subakut

Sejumlah kelainan yang jarang terjadi dan tidak disebutkan di atas ditandai

dengan inflamasi regional di otak. Diantara semua ini, Rasmussen encephalitis,

yang menyebabkan kejang fokal yang kaku dan hemiparesis progresif, diketahui

berhubungan dengan infeksi CMV dan HSV-1 pada berbagai studi yang

menggunakan teknik CPR. Namun, sebuah reaksi imun spesifik yang terdiri atas

antibodi reseptor glutamat memiliki implikasi yang lebih konsisten dan terapi

imunosupresif mungkin efektif. Masih belum jelas apakah proses ini dapat

digolongkan dengan ensefalitis infeksius; hal ini dibahas dengan penyakit

epileptik lain pada Bab 16. Serupa dengan hal ini, kelainan inflamasi terbatas

yang disebut limbic encephalitis dan “ensefalitis batang otak” – seringnya

merupakan efek jauh kanker paru – memiliki beberapa karakteristik dari

ensefalitis virus subakut, tapi tidak ada agen yang berhasil diisolasi secara

Page 40: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

konsisten dan mereka juga sering dianggap sebagai reaksi imunologis. Penyakit

ini masuk ke bahasan penyakit paraneoplastik pada bab 31.

TRANSMISSIBLE SPONGIFORM ENCEPHALOPATHIES (PENYAKIT

PRION)

Kategori infeksi ini meliputi 4 penyakit manusia – penyakit Creutzfeldt-

Jakob (dan satu varian yang menginfeksi sapi dan sangat jarang ditransmisikan ke

manusia), sindrom Gerstmann-Straussler-Scheinker, kuru, dan mungkin, fatal

familial insomnia.

Meski kelompok penyakit ini telah dibahas dalam bab virus yang

menyerang sistem saraf, telah terbukti selama beberapa waktu bahwa penyebab

penyakit-penyakit ini bukanlah virus atau viroid (hanya asam nukleat saja, tanpa

struktur kapsidnya). Prusiner dihadiahi nobel karena membahas masalah ini.

Prusiner telah menyajikan bukti kuat bahwa patogen yang dapat ditransmisikan

merupakan sebuah partikel infeksius proteinaceous yang tidak memiliki asam

nukleat, tahan terhadap enzim yang merusak DNA atau RNA, tidak menimbulkan

respon imun, dan jika diperiksa menggunakan mikroskop elektron tidak memiliki

struktur sebuah virus. Untuk membedakan patogen ini dari virus dan viroid,

Prusiner menyebutkan istilah prion. Terlebih lagi, protein prion yang sama (PrP)

disandi oleh sebuah gen pada lengan pendek kromosom 20 manusia. penemuan

mutasi dalam gen PrP pasien dengan riwayat penyakit keluarga menderita

penyakit Creutzfeldt-Jakob dan sindrom Gertsmann-Straussler-Scheinker

menunjukkan fakta bahwa penyakit prion bisa bersifat genetik dan infeksius. Ini

merupakan keunikan lain dari prion diantara semua patogen infeksius lainnya.

Sekarang sudah mungkin untuk mendeteksi tipe penyakit prion yang diwariskan

menggunakan DNA yang diekstraksi dari leukosit. Bagaimana prion muncul

dalam bentuk sporadis pada spongiform encephalopathy masih belum dipahami

sepenuhnya. Konversi protein seluler normal pada bentuk infeksius melibatkan

perubahan struktur protein sebagaiman dijelaskan oleh Prusiner pada tahun 2001.

Luarbiasanya, sebagaimana dijelaskan di bawah ini, teori terkini menyebutkan

Page 41: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

bahwa protein prion yang terlipat secara abnormal dapat bertindak sebagai

template untuk konversi PrP normal menjadi PrPsc (scarpe prion).

Deskripsi penyakit prion pada manusia telah disebutkan disini., yang

paling penting sejauh ini adalah penyakit Creutzfeldt-Jakob.

Ensefalopati Spongiform Subakut (Penyakit Creutzfeldt-Jakob)

Istilah ini merujuk pada penyakit serebral dimana demensia luas dengan

progresifitas yang cepat berhubungan dengan renjatan mioklonik difus dan

sejumlah kelainan neurologi lain, utamanya visual atau serebral. Perubahan

neuropatologi yang utama ditemukan pada koteks serebral dan serebelar, tampilan

klinisnya berupa hilangnya neuron dalam jumlah besar dan gliosis yang diikuti

vakuolasi yang nyata atau spongy state pada regio yang tekena – itu kenapa

dinamakan subacute spongiform encephalopathy (SSE). Perubahan yang tidak

seberapa parah pada patchy distribution ditemukan pada kasus dengan perjalanan

klinis yang lebih pendek.

Istilah penyakit Creutzfeldt-Jakob yang digunakan secara luas (CJD)

mungkin bukan merupakan eponim yang cocok karena tidak semua pasien

pertama kali ditemukan oleh Creutzfeldt dan setidaknya 3 dari 5 pasien yang

dideskripsikan oleh Jakob memiliki penyakit serupa yang sekarang kita kenali

sebagai subacute spongiform encephalopathy. Namun, penggunaan selama

bertahun-tahun jadi makin susah untuk dilupakan. Presisi dalam definisi kondisi

ini menjadi lebih penting dari sebelumnya sebagaiman ditunjukkan oleh Gibbs

dan Gajdusek bahwa jaringan otak dari pasien dengan SSE, yang diinjeksikan

pada simpanse, dapat mentransmisikan penyakit ini setelah periode inkubasi 1

tahun atau lebih.

Epidemiologi dan Patogenesis

Penyakit ini muncul pada semua bagian di dunia dan pada setiap musism,

dengan insidensi tahunan 1 hingga 2 kasus per satu juta populasi. Insidensi ini

lebih tinggi pada orang Israel keturunan Lybia, pada imigran ke Prancis dari

Afrika Utara dan mungkin di Slovakia. Insidensi SSE tampak lebih tinggi di kota

daripada di desa, tapi belum ada bukti pasti mengenai hal ini, setidaknya di

Amerika Serikat. Sebagian kecil dari kasus-kasus ini bersifat familial – bervariasi

Page 42: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

dari 5% seperti yang dilaporkan Cathala dan rekan hingga 15% dari 1435 kasus

yang dianalisis oleh Masters dan rekan (1979). Munculnya kasus familial yang

tidak serumah, menandakan kerentanan genetik terhadap infeksi, meski tidak

dapat disingkirkan kemungkinan paparan dini terhadap agen. Satu-satunya

mekanisme yang menjelaskan penyebaran CJD adalam secara iatrogenik,

sebagaimana terjadi pada beberapa kasus setelah transplantasi kornea atau dural

graft pada individu yang terinfeksi, setelah implantasi elektroda EEG dalam yang

terinfeksi, dan setelah injeksi human growth hormone atau gonadotropin yang

didapat dari kadaver. Setidaknya seorang dokter bedah saraf telah mengidap

penyakit ini. Namun individu yang terpapar domba yang terinfeksi scarpie atau

terpapar pasien SSE malah tidak terpengaruh. Yang menarik adalah temuan oleh

Zanusso dan rekan mengenai protein prion infeksius pada mukosa nasal 9 pasien

yang diteliti mengidap penyakit sporadis. Hal ini menunjukkan route masuk

kedalam sistem saraf dan juga bisa berpotensi untuk pemeriksaan diagnostik.

Tonsil pasien yang menderita varian CJD juga bisa tampak prion pada pengecatan

imunologi.

Perhatian telah tertuju pada epidemi penyakit prion yang menyerang sapi

di Inggris (penyakit sapi gila). Epidemi ini mulai pada tahun 1985, diduga terjadi

transmisi penyakit pada 24 orang. Pasien ini lebih muda (rata-rata 27 tahun)

daripada pasien CJD pada umumnya (65 tahun) dan timbul gejala psikiatri dan

sensoris sebagai tanda pertama penyakit; tapi tidak muncul temuan yang biasa

ditemukan dengan EEG bahkan ketika penyakit ini telah berkembang ke tahap

selanjutnya. Penyakit ini dinamakan “varian baru penyakit Creutzfeldt-Jakob”.

Telah diketahui bahwa rantai prion pada pasien ini mirip dengan yang menyerang

sapi dan berbeda dengan agen sebelumnya yang menyebabkan CJD. Modus

transmisis, diduga akibat ingesti daging yang terinfeksi, serupa dengan munculnya

kuru pada New Guinea ketika upaca adat tak sengaja memakan jaringan otak

orang yang terinfeksi sehingga hal ini merupakan era baru pemahaman penyakit

prion.

SSE erat hubungannya dengan konversi protein seluler, PrPc, menjadi

PrPsc. Transformasi ini melibatkan perubahan bentuk fisik protein dimana bagian

Page 43: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

heliksnya mneghilang dan bagian β-pleated sheet meningkat. Pemahaman terkini

adalah bahwa infektivitas prion dan propagasi mereka dalam jaringan otak berasal

dari kerentanan PrP asal dalam merubah bentuknya sebagai respon paparan fisik

terhadap protein abnormal. Perubahan bentuk prion ini memiliki kecenderungan

untuk semakin meningkat, dan ini mungkin merupakan mode destruksi seluler

yang berjung pada penyakit neuronal. Sebaliknya, kasus penyakit prion familial

diduga merupakan hasil dari salah satu aberasi gen pada regio yang menyandi

PrPc.

Seiring telah dilakukan klasifikasi isoform prion yang menimbulkan

penyakit, pola klinis telah bermunculan dalam bentuk konfigurasi protein tertentu

yang lebih atau lebih tidak tipikal, dan juga genotip yang mendasarinya. Beberapa

sistem klasifikasi telah dibuat berdasarkan keberadaan methionine (M) atau valin

(V) pada kodon 129 protein prion dan sifat psikokimia mana yang ditampilkan

(tipe 1 atau tipe 2). Varian tersering pada studi ini adalah MM dan yang paling

jarang adalah VV, dan tipe 1 lebih sering daripada tipe 2 (itu sebabnya MMI

merupakan tipe yang paling sering, ada pada dua ertiga kasus sporadis). Namun,

klasifikasi ini dipersulit oleh fakta bahwa beberapa sampel otak menunjukkan

lebih dari satu tipe protein. Meski beberapa studi mempermasalahkan poin ini,

pola EEG yang khas paling sering diamati pada tipe satu dengan setidaknya satu

metionin, sementara kasus MV2 lebih tampak perubahannya dengan MRI.

Beberapa studi menunjukkan bahwa subtipe MV2 cenderung menimbulkan

ataxia, perubahan psikiatri, lebih sedikit gelombang positif pada EEG dan

perpanjangan durasi penyakit, tapi hal ini masih belum pasti. Juga telah ada

kontroversi mengenai hubungan genotip ini terhadap sensitivitas uji diagnostik di

bawah ini. Detail dugaan hubungan ini dapat ditemukan pada studi internasional

dari 2541 kasus CJD positif yang dilakukan oleh Collins dan kolega.

Tampilan Klinis

SSE seringnya merupakan penyakit pada usia pertengahan, meski bisa

terjadi pada dewasa muda. Distribusi jenis kelaminnya sama. Pada kasus yang

diteliti oleh Brown dan rekan, gejala prodromal – seperti kelelahan, depresi,

Page 44: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

penurunan berat badan, gangguan tidur dan nafsu makan yang berlangsung

beberapa minggu – dapat ditemukan pada seperti pasien.

Tahap awal penyakit neurologi ini ditandai dengan bermacam-maca

manifestasi klinis, tapi yang paling sering adalah perubahan perilaku, respon

emosi dan fungsi intelektual, sering juga diikuti ataxia dan gangguan pandangan,

seperti distorsi bentuk dan kesejajaran obyek atau gangguan pandangan yang

sebenarnya. Khususnya, fase awal penyakit ini didominasi oleh gejala seperti

kebingungan, dengan halusinasi, delusi dan agitasi. Pada kasus lain, cerebellar

ataxia telah sebelum timbul perubahan mental dan bisa menjadi tampilan klinis

paling menonjol selama beberapa bulan. Pasien sering mengeluhkan nyeri kepala,

vertigo dan gejala sensoris tapi akan dengan cepat dikaburkan oleh demensia dan

mutisme.

Sebagai aturannya, penyakit ini berkembang cepat, sehingga deteriorasi

yang jelas akan terlihat dari minggu ke minggu bahkan dari hari ke hari. Cepat

atau lambat, pada hampir semua kasus, kontraksi mioklonik pada berbagai bagian

otot akan mulai muncul, mungkin unilateral pada awalnya tapi lama-lama akan

menyeluruh. Atau meski jarang, mioklonus tidak akan muncul sampai beberapa

minggu atau bahkan beberapa bulan setelah perubahan mental pertama.

Mioklonus ini berhubungan dengan respon kejut yang nyata, terutama pada suara

keras. Pada sebagian kecil pasien, renjatan mioklonis ini dapat dipicu oleh

stimulus sensoris mendadak (suara, cahaya terang, sentuhan). Denyutan jari

individu memang sering tapi harus dipastikan bahwa kejang yang nyata bukan

merupakan komponen penyakit. Perubahan ini akan berubah ke kondisi mutisme,

stupor dan koma, tapi kontraksi mioklonus bisa berlangsung sampai akhir. Tanda

degenerasi traktus piramidalis atau anterior horn cells, kelemahan konvergensi

dan meliri ke atas, serta tanda ekstrapiramidal juga bisa terjadi pada sebagian kecil

pasien seiring berkembangnya penyakit.

Diagnosis klinis selama kehidupan hanya bersandar terutama pada

identifikasi salah satu cluster tampilan klinis yang tipikal ini, khususnya sindrom

demensia yang unik – yang berkembang lebih cepat daripada penyakit dgeneratif

Page 45: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

pada umumnya – digabungkan dengan mioklonus yang sensitif terhadap stimulus

dan perubahan EEG yang khas terjadi pada pasien.

Penyakit ini bisa fatal, biasanya kurang dari setahun sejak onset. Pada 10%

pasien, penyakit ini penyakit ini muncul seperti serangan stroke yang berkembang

dengan sangat cepat, dalam hitungan minggu. Pada sebagian kecil pasien,

dilaporkan ada yang bertahan dari 2 sampai 10 tahun, tapi laporan ini harus

ditelaah lagi, karena sebagian dari mereka, SSE tampaknya telah superimpose

pada Alzheimier atau Parkinson atau penyakit kronis lainnya yang menekan

penyakit prion ini.

Diagnosis Laboratorium

Pemeriksaan CSS rutin dan pemeriksaan laboratorium lainnya normal.

Pada sebagian besar pasien, pola EEGnya tampak jelas, perubahan perjalanan

penyakit dari perlambatan difus dan nonspesifik menjadi gelombang tajam dan

pelan (1 hingga 2 Hz) bertegangan tinggi nantinya tampak pada latar belakang

gelombang yang meningkat perlahan dan bertegangan rendah. Gelombang tajam

bertegangan tinggi, yang memperlihatkan periodisitas, merupakan tanda

mioklonus. Studi pencitraan otak hingga saat ini masih belum berkontribusi

banyak, tapi hingga 80% kasus tampak memperlihatkan sedikit hiperintensitas

lenticular nuclei. Yang lebih terlihat lagi adalah perubahan dalam sekuens

diffusion-weighted imaging (DWI). Segmen korteks kontinyu yang panjang,

begitu juga sebagian ganglia basalis, memperlihatkan beberapa perubahan yang

khas untuk cerebral anorexia. Menurut Shiga dan rekan, perubahan ini terjadi

pada 90 persen kasus (korteks lebih sering dibanding caudate atau lenticular

nuclei dan kadang-kadang keduanya), ini membuat tes ini jadi paling sensitif

untuk penyakit ini tapi proporsinya menurun pada pasien kami. Kerumitan

interpretasi temuan MRI pada penyakit ini telah dilaporkan dari Jepang ketika

meneliti lesi white matter pada beberapa kasus autopsi.

Sekarang ada beberapa pemeriksaan diagnostik yang dapat membantu, tapi

mereka seringnya tidak diperlukan. Hsich dan rekan menyebutkan pemeriksaan

sensitif untuk CSS – temuan menggunakan imunoasai fragmen peptida protein

otak normal, yang disebut “14-3-3”. Pemeriksaan ini berguna untuk membedakan

Page 46: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

CJD dari penyakit demensia noninflamasi kronis lainnnya. Tapi kadang hasilnya

masih mengecewakan karena masih didapat hasil positif dan negati palsu.

Beberapa studi telah menyebutkan informasi yang berbeda mengenai tes 14-3-3

sehubungan dengan berbagai bentuk prion dan presentasi klinis yang berbeda, tapi

semuanya tampak berujung pada kesimpulan yang sama, bahwa dengan

pengulangan 3 kali nanti akan memberikan hasil positif. Selain itu, konsentrasi

enolase dan neopterin dalam CSS akan meningkat pada sebagian besar kasus, tapi

pelepasan zat ini juga ditemukan pada lesi otak lainnya, khususnya infark. Selain

itu, sejumlah tes lain juga bermunculan dari laboratorium khusus yang juga

mampu mendeteksi isoform PrPsc abnormal spesifik pada protein prion tapi masih

belum jelas aplikabilitas klinisnya.

Material tonsiler dari pasien dengan varian baru penyakit Creutzfeldt-

Jakob (penyakit sapi gila) tampak antibodi pada pengecatan terhadap protein prior

abnormal, tapi teknik ini tampaknya kurang dapat diaplikasikan untuk diagnosis

dini penyakit sporadis. Maish perlu ditentukan apakah temuan yang disebutkan

sebelumnya mengenai material prion infeksius di mukosa nasal dalam bentuk

sporadis nantinya akan terbukti memiliki nilai dalam diagnosis.

National Prion Disease Pathology Surveillance Center, yang didirikan di

Universitas Case Western Reserve, tersedia untuk membantu klinisi dengan

menyediakan pemeriksaan diagnostik spesifik gratis.

Patologi

Penyakit ini utamanya menyerang korteks serebral dan serebelar, biasanya

difus, meski pada beberapa kasus regio occipitoparietal hampir terlibat seperti

pada penelitian oleh Heidenhain. Pada penelitian oleh Brownell dan

Oppenheimer, serebelum hampir terkena seluruhnya, dengan ataxia dini dan

prominen. Degenerasi dan hilangnya sel saraf ini berhubungna dengan proliferasi

astroglial yang meningkat; studi ultrastruktural menunjukkan bahwa vakuola

mikroskopik, yang memberikan gambaran spongy pada jaringan, berlokasi dalam

proses sitoplasmik sel glia dan dendrit sel saraf. Hilangnya neuron inhibitor

tertentu pada thalamic reticular nuclei berhubungan dengan adanya mioklonus

dan gelombang tajam positif pada perekaman EEG menurut Tschampa dan rekan.

Page 47: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

Terlepas dari fakta bahwa penyakit ini disebabkan oleh agen yang dapat

ditransmisikan, lesi ini tidak menunjukkan bukti reaksi inflamasi dan tidak ada

partikel virus yang terlihat.

Diagnosis Banding

Diagnosis sebagian besar kasus SSE tidaklah sulit jika telah didapati

mioklonus dan progresivitas penyakit telah terdeteksi. Namun, seringnya kita

dikejutkan oleh kasus tipikal yang ternyata merupakan penyakit lain. Intoksikasi

litium, ensefalopati Hashimoto, penyakit Whipple, limfoma intravaskuler, dan

meningitis karsinomatus – semuanya ditandai dengan mioklonus dan demensia –

dapat menyerupai CJD pada minggu-minggu pertama penyakit. Sebaliknya,

perubahan mental dini pada SSE dapat disalahartikan sebagai reaksi emosional

atipikal atau yang tidak biasanya intens, sebagai salah satu psikosis mayor,

sebagai bentuk penyakit Alsheimer yang tidak biasa, dengan mioklonus atau

penyakit badan Lewy. Terlepas dari penetapan CJD sebagai demensia progresif,

kemiripan dengan Alzheimer yang berkembang cepat juga tidak jauh beda. Selai

itu, diagnosis akan sulit pada pasien yang menderita pusing, gangguan gait,

diplopia, atau gangguan visual hingga gambaran klinis yang berubah dengan cepat

mengklarifikasi masalah ini. Subacute sclerosing panencephalitis, pada bentuknya

yang biasa, dapat menyerupai CJD, tapi SSP merupakan penyakit yang sering

pada anak atau dewasa muda, dan pada CSS akan tampak peningkatan gamm

globulin (IgG), sementara CJD seringnya di usia pertangahan dan pralansia,

sementara pada CSS normal-normal saja. Limbic-brainstem-cerebellar

encephalitis pada pasien dengan tumor dan demensia AIDS juga bisa jadi

diagnosis banding. Lipidosis serebral pada anak-anak dan dewasa muda juga

dapat meninmbulkan kombinasi mioklonus dan demensia, tapi perjalanan

klinisnya sangatlah kronis dan ada perubahan retina yang tidak tampak pada SSE.

Konvulsi yang nyata sebaiknya langsung diarahkan ke diagnosis lain.

Manajemen

Tidak ada terapi spesifik yang diketahui. Agen antiviral tidaklah efektif.

Dalam sudut pandang kemampuan transmisi dari manusia ke primata dan secara

iatrogenik dari orang ke orang dengan material terinfeksi, beberapa langkah harus

Page 48: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

ditempuh secara medis untuk menangani hal ini. Ruang isolasi khusus juga

diperlukan dan kaluarga pasien yang terkena dan staf perawat harus diyakinkan

bahwa kontak ringan tidak akan berisiko, tapi masih ada ketidakpastian dalam hal

ini. Agen yang dapat ditransmisikan ini tahan terhadap pemanasan, terapi dengan

formalin dan alkohol, dan radiasi ultraviolet dapat menginaktivasi tapi melalui

autoklaf pada suhu 132OC pada 15 lb/in2 selama 1 jam atau dengan imersi selama

1 jam dalam 5% sodium hipoklorite (pemutih rumah tangga). Pekerja yang

terpapar material infeksi (tukang daging, petugas kesehatan) harus mencuci

tangan dengan baik menggunakan sabun biasa. Jarum, benda pecah belah,

eketroda jarum, dan peralatan lain harus ditangani dengan hati-hati dan

dibersihkan dengan disinfektan dan diautoklaf atau diinsinerasi. Tindakan biposi

otak atau otopsi memerlukan sejumlah persiapan yang harus dipatuhi,

sebagaimana dijelaskan oleh Brown. Yang jelas, pasien yang diketahui mengidap

demensia tidak boleh jadi donor organ untuk transplantasi atau transfusi darah.

Sindrom Gerstmann-Straussler-Scheinker

Ini merupakan penyakit familial kuat yang langka yang diturunkan sebagai

sifat dominan autosom. Penyakit ini timbul mendadak pada pertengahan

kehidupan dan berkembang secara kronis (durasi rata-rata 5 tahun). Ciri utamanya

adalah ataxia serebelar progresif, tanda traktus kortikospinalis, disartria dan

nistagmus. Demensia sering terjadi tapi biasanya relatif ringan.

Disestesi dan kelemahan tungkai proksimal merupakan tanda awal

penyakit ini sebagaimana dijelaskan oleh Arata dan rekan. MRInya biasanya

normal, seiring progresi penyakit, bisa ditemukan atrofi generalisata.

Ada perubahan spongiform yang khas pada jaringan otak seperti pada

CJD. Jairngan otak pasien dengan penyakit ini, ketika diinokulasikan ke

simpanse, akan menimbulkan SSE. Studi genetik molekuler pada anggota

keluarga yang terkena menunjukkan adanya mutasi gen protein prion. Sindrom ini

merupakan subset familial SSE yang kecil, dan dari tipe dengan progresivitas

lambat.

Fatal Familial Insomnia

Page 49: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

Ini merupakan penyakit familial lain yang langka dalam kelompok SSE.

Ditandai dengan insomnia berat, overaktivitas simpatetik, dan demensia, yang

berujung pada kematian dalam 7 hingga 15 bulan. Perubahan patologinya, yang

meliputi hilangnya neuron dan gliosis, seringnya ditemukan di medial thalamic

nuclei. Studi pada sebagian keluarga menunjukkan adanya mutasi gen protein

prion dan material otak ditemukan mengandung bentuk gen yang resisten terhadap

protease. Transmisi penyakit melalui inokulasi material otak yang terinfeksi maish

belum tercapai.

Kuru

Penyakit ini eksklusif terjadi diantara penduduk Fore Papua Nugini. Ini

merupakan infeksi lambat pertama yang ditemukan pada manusia dan disebabkan

oleh agen yang ditransmisikan secara tidak konvensional. Secara klnis, penyakit

ini menimbulkan ataxia serebelar progresif dan afebris, dengan abrnormalitas

pergerakan ekstraokuler, kelemahan yang berujung ke imobilisasi, inkontinensia

pada tahap akhir, dan kematian dalam 3 hingga 6 bulan semenjak onset. Pada

beberapa kasus, kadang menyerupai varian ataxia CJD (Brownell-Oppenheimer).

Kemiripan epidemiologi dan patologi yang menonjol antara kuru dan scrapie

dijelaskan oleh Hadlow pada thaun 1959. Dia menyebutkan bahwa mungkin

untuk mentransmisikan kuru pada primata. Hal ini tercapai pada tahun 1966 oleh

Gajdusek dan rekan, inokulasi pada simpanse dengan material otak manusia yang

terkena penyakit ini menimbulkan gejala mirip kuru pada ismpanse setelah latensi

18 hingga 36 bulan. Sejak saat itu, penyakit ini ditransmisikan dari satu simpanse

ke simpanse lainnya menggunakan jaringan neural atau nonneural. Berdasarkan

penelitian Prusiner, secara histologi didapatkan hilangnya neuron tanpa disertai

proses inflamasi dan juga ada perubahan spongiform diseluruh otak, tapi

utamanya di korteks serebelar, dengan proliferasi astroglia dan plak stelat periodik

pada materail yang menyerupai amilodi dan positif pada pemeriksaan asam Schiff

(plak kuru). Namun agen yang dapat ditransmisikan ini masih belum dapat

divisualisasikan.

Kuru perlahan-lahan mulai menghilang, mungkin karena dihentikannya

kanibalisma ritual yang merupakan metode transmisi penyakti ini. Pad aritual ini,

Page 50: Chapter 33. Infeksi virus pada sistem saraf manusia

jaringan otak yang terinfeksi diingesti dan digosok-gosokkan pada tubuh kerabat

korban (wanita atau anak yang masih muda), sehingga agen akan terabsorbsi

melalui konjungtiva, membran muosa dan abrasi kulit.