II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · penyusutan. Ini juga digambarkan dalam Gambar 6...
Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · penyusutan. Ini juga digambarkan dalam Gambar 6...
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi
Basis model pertumbuhan ekonomi adalah teori yang dirumuskan oleh
Solow (1956), seorang penerima hadiah Nobel, namun dalam model tersebut belum
memasukkan faktor sumberdaya secara keseluruhan. Model ini kemudian
diperluas dengan memasukkan faktor sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui
dan sumberdaya yang dapat diperbaharui, dan jasa-jasa dalam mendapatkan dan
pengelolannya. Namun demikian, model-model yang diperluas ini hanya
diaplikasikan dalam konteks debat tentang ekonomi berkelanjutan, bukan dalam
bentuk aplikasi makro ekonomi (Stern, 2003).
2.1.1. Model Pertumbuhan Solow
Model-model pertumbuhan ekonomi menguji evolusi dari perekonomian
secara hipotesis selamanya sebagai kuantitas dan/atau kualitas berbagai input
dalam perubahan proses produksi. Disini akan dijabarkan model pertumbuhan
Solow (1956) mengacu pada pendapat yang dikemukakan oleh Stern (2003).
Dalam model ukuran angkatan kerja konstan menyatakan bahwa kapital
merupakan faktor produksi utama untuk menghasilkan output, dalam hal ini
adalah pendapatan nasional. Model Neoklasik mengasumsikan output meningkat
dengan tingkat yang semakin menurun apabila jumlah kapital yang digunakan
meningkat seperti Gambar 6.
Apabila penduduk diasumsikan konstan, maka hasil kali antara angkatan
kerja dan tabungan merupakan proporsi konstan dari pendapatannya. Sehingga
tabungan digunakan untuk menciptakan barang-barang kapital baru merupakan
16
proporsi konstan dari penyusutan stok kapital yang ada (dan menjadi kurang
produktif) dalam setiap periode waktu.
Sumber: Stern, 2003Gambar 6. Model Pertumbuhan Solow
Stok kapital dalam keadaan keseimbangan ketika tabungan sama dengan
penyusutan. Ini juga digambarkan dalam Gambar 6 kurva Solow. Catatan bahwa
kurva tabungan mempunyai bentuk yang sama seperti kurva output, tetapi lebih
rendah untuk setiap nilai K (kapital). Ini disebabkan tabungan merupakan proporsi
konstan, s, dari pendapatan. Dinamika yang digambarkan pada gambar kurva
Solow sangat sederhana. Pada bagian sebelah kiri K, dimana kapital per tenaga
kerja adalah langka, investasi kapital menghasilkan pendapatan yang relatif lebih
besar pada masa mendatang, dan akan menawarkan tingkat pengembalian yang
tinggi. Lebih lanjut dapat dilihat posisi relatif kurva S (stok kapital) dan D
(depresiasi) disebelah kiri K yang menambah stok kapital lebih besar daripada
depresiasi dan juga meningkatkan kapital.
Namun demikian, tingkat pengembalian kapital yang menurun
(digambarkan oleh tingkat penurunan dari peningkatan kurva output)
17
mengimplikasikan bahwa kenaikan berturut-turut dari kapital menghasil tambahan
pendapatan yang menurun pada masa mendatang, sehingga tingkat pengembalian
investasi turun. Oleh karenanya insentif untuk akumulasi kapital melemah. Ketika
stok kapital menyentuh K, akan terjadi keadaan stationer atau keseimbangan.
Penambahan kapital dengan tabungan untuk menutupi kerugian dalam
pengurangan kapital karena depresiasi dan tingkat pengembalian investai akan
jatuh ke titik dimana tidak ada insentif untuk akumulasi kapital yang lebih banyak.
Dalam model ini, perekonomian akan lebih cepat atau lebih lambat
menyentuh keadaan stationer apabila tidak ada (tambahan) investasi bersih, dan
pertumbuhan ekonomi pada akhirnya harus terhenti. Dalam suatu proses transisi,
pada saat suatu negara bergerak melewati keadaan stationer ini, pertumbuhan
dapat dan akan terjadi. Pada perekonomian terkebelakang, dengan stok kapital per
tenaga kerja yang kecil, dapat mencapai pertumbuhan yang cepat dengan
membangun stok kapitalnya. Tetapi seluruh perekonomian pada akhirnya akan
menuju pertumbuhan keseimbangan nol jika tingkat tabungan konstan. Tidak ada
negara dapat tumbuh secara kekal hanya dengan mengakumulasi kapital.
Jika angkatan kerja tumbuh pada tingkat yang tetap sepanjang waktu, total
stok kapital dan total kuantitas output akan meningkat tetapi kapital per tenaga
kerja dan output per tenaga kerja akan tetap konstan apabila suatu perekonomian
telah mencapai keseimbangannya. Hanya perlu penyesuaian pada gambar kurva
Solow bahwa seluruh unit sekarang diukur dalam bentuk per kapita.
Mengacu pada teori pertumbuhan Neoklasik, pertumbuhan ekonomi
hanya akan terjadi dengan adanya kemajuan teknologi. Kuantitas dan kualitas
output yang lebih baik dapat diproduksi dari sejumlah input yang sama. Dalam
18
model Solow yang telah dijelaskan, kemajuan teknologi secara kontinu
menggeser fungsi output ke atas, sehingga meningkatkan keseimbangan stok
kapital per kapita dan level output. Secara intuitif, peningkatan dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi akan meningkatkan tingkat pengembalian kapital,
sehingga dapat dinyatakan bahwa pengembalian kapital yang menurun
sebaliknya akan menghambat pertumbuhan.
2.1.2. Teori Pertumbuhan Endogen
Model Solow yang telah diuraikan tidak menjelaskan bagaimana perbaikan
teknologi terjadi. Model tersebut mengasumsikan perubahan teknologi terjadi
secara eksogen, sehingga disebut juga dengan model perubahan teknologi
eksogen. Model yang lebih terkini memberlakukan perubahan teknologi secara
endogen, yakni menjelaskan kemajuan teknologi yang masuk dalam model
sebagai keluaran dari keputusan yang diambil oleh perusahaan atau individual.
Dalam model pertumbuhan endogen, hubungan antara kapital dan output
dapat ditulis dalam bentuk Y = AK. Kapital, K, didefenisikan lebih luas daripada
model Neoklasik, yaitu gabungan pabrik/mesin dan pengetahuan berbasis kapital.
Teori pertumbuhan endogen ini telah menempatkan asumsi-asumsi yang rasional,
unsur A diekspresikan sebagai konstanta, dan pertumbuhan dapat terjadi tidak
terhingga sebagai akumulasi kapital.
Poin kunci dari model pertumbuhan endogen adalah ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam bentuk kapital yang terakumulasi melalui research and
development (R&D) dan proses penciptaan pengetahuan lainnya. Ilmu
pengetahuan dan teknologi mempunyai dua sifat khusus. Pertama, stok kapital
19
tidak habis karena digunakan, yang mengimplikasikan bahwa stok pengetahuan
dapat dihasilkan sepanjang waktu, walaupun sedang digunakan. Kedua,
menghasilkan eksternalitas positif dalam produksi: perusahaan yang melakukan
R&D memperoleh benefit dari mendapatkan pengetahuan, perusahaan yang lain
juga memperoleh manfaat. Ada beneficial spillovers (limpahan manfaat) bagi
perekonomian dari proses R&D sehingga manfaat sosial dari inovasi melebihi
manfaat swasta kepada innovator awal (Stern, 2003).
Menurut Romer (1994) bahwa ide dasar dari teori pertumbuhan endogen
adalah investasi kapital baik dalam bentuk mesin maupun manusia mampu
menciptakan eksternal positif. Artinya investasi tidak hanya meningkatkan
kapasitas produktif dari perusahaan yang melakukan investasi atau tenaga kerja,
tetapi juga kapasitas produktif dari perusahaan-perusahaan atau tenaga kerja
lainnya yang terkait. Singkatnya, dalam teori pertumbuhan endogen bahwa
inovasi teknologi dan pembentukan modal manusia dilihat sebagai sumber utama
dari pertumbuhan produktivitas, dan pertumbuhan tersebut pada gilirannya
merupakan motor penggerak dari pertumbuhan ekonomi (engine of growth).
Teori pertumbuhan endogen mengasumsikan hanya terdapat satu sektor
produksi atau semua sektor bersifat simetris (Todaro, 2000). Seiring dengan itu,
Sachs dan Larrain (1993) menyatakan bahwa model pertumbuhan endogen
memiliki asumsi increasing return to scale yang menyatakan bahwa ekonomi
skala hasil yang meningkat tidak harus dicapai pada stedy state growth rate yang
sama dengan laju pertumbuhan penduduk ditambah dengan labor autmenting
technical progress. Pertumbuhan pada tingkat yang lebih tinggi harus bisa
berlangsung secara berkesinambungan (self-sustaining). Dan teori pertumbuhan
20
endogen menolak asumsi penyusutan imbalan marginal atas investasi modal
(diminishing marginal returns to capital investments) yang dipegang teguh oleh
teori Neokalsik.
Selanjutnya, Todaro (2000) mengatakan model pertumbuhan endogenus
menekankan bahwa investasi dalam modal fisik dan modal manusia akan dapat
ekonomi eksternal dan perningkatan produktivitas yang melebihi keuntungan
pihak swasta yang melakukan investasi itu, dan kelebihan itu cukup untuk
mengimbangi penurunan skala hasil. Pada saat selanjutnya, hal tersebut
menciptakan peluang-peluang investasi baru yang nantinya juga membuahkan
ekonomi eksternal sehingga αpada persamaan Solow sama dengan 1. Itu berarti
persamaan persamaan pertumbuhan neoklasik 1LAKY , diubah menjadi
sebuah persamaan persamaan pertumbuhan endogen yaitu AKY . Hasil
akhirnya adalah peningkatan skala hasil yang mampu menciptakan proses
pembangunan yang berkesinambungan dalam jangka panjang. Terciptanya hasil
akhir dari teori pertumbuhan Endogenous justru tidak dipercaya oleh para
penganut teori pertumbuhan Neoklasik Tradisonal.
Model pertumbuhan endogen juga menekankan pentingnya tabungan dan
investasi modal manusia dalam rangka mamacu pertumbuhan diberbagai negara
berkembang. Namun teori ini mengemukakan beberapa implikasi tabungan
terhadap pertumbuhan ekonomi yang bertolak belakang dengan teori pertumbuhan
Neoklasik Tradisional. Pertama, teori pertumbuhan endogen menyatakan tidak
ada kekuatan khusus yang menghadirkan suatu proses pemerataan tingkat
pertumbuhan ekonomi antar negara, khususnya bagi negara-negara yang
menganut sistem perekonomian tertutup. Tingkat pertumbuhan ekonomi nasional
21
masing-masing negara akan tetap konstan, dan satu sama lainnya akan tetap
berbeda, karena hal itu sepenuhnya tergantung pada tingkat tabungan dan
kemajuan teknologi yang dimiliki oleh masing-masing negara. Lebih lanjut
dikemukan oleh Todaro (2000), sekalipun memiliki tingkat tabungan yang sama
besarnya, negara-negara miskin tidak tidak akan mampu untuk mengejar
ketinggalannya dalam hal pendapatan per kapita dari negara-negara kaya. Hal ini
menimbulkan konsekuensi yakni terjadinya resesi suatu negara akan
mengakibatkan peningkatan permanen atas kesenjangan pendapatan antar negara
yang bersangkutan dengan negara-negara lain yang lebih kaya.
Kedua, kemampuan untuk menjelaskan perilaku aneh atas arus
permodalan internasional yang cenderung memperlebar ketimpangan
kesejahteraan atar negara-negara Dunia Pertama dan negara-negara Dunia Ketiga.
Bertolak dari model ini dapat diketahui bahwa potensi dari keuntungan investasi
yang tinggi di negara berkembang yang rasio modal-tenaga kerja masih rendah,
ternyata terkikis oleh rendahnya tingkat investasi komplementer (complenetary
investments) dalam modal sumber daya manusia (terutama melalui pengembangan
fasilitas dan pendidikan, sarana infrastruktur, serta aneka kegiatan penelitian dan
pengembangan (R&D). Negara-negara miskin juga tidak banyak mendapatkan
manfaat dari keuntungan-keuntungan sosial yang lebih luas yang muncul dari
penyediaan modal untuk menggarap bidang-bidang tersebut. Karena individu-
individu di negara-negara miskin tidak memperoleh keuntungan personal dari
serangkaian eksternal positif yang diciptakan oleh investasi yang dilakukan oleh
mereka sendiri. Oleh karena itu pemberlakukan mekanisme pasar bebas justru
akan menjauhkan upaya pendayagunaan investasi komplementer dari tingkat yang
22
optimal. Kontras dengan teori neoklasik, model pertumbuhan endogen
menyarankan peran aktif dari kebijakan pemerintah dalam mempromosikan
pembangunan ekonomi melalui investasi langsung dan tidak langsung dalam
formasi mutu modal manusia dan mendorong investasi swasta dalam industri yang
membutuhkan teknologi tinggi.
Dari beberapa keunggulan teori pertumbuhan endogen, muncul beberapa
kritikan terhadap teori tersebut. Pertama, teori pertumbuhan endogen memiliki
asumsi yang tidak cocok untuk diterapkan di negara berkembang. Sebagai contoh,
teori pertumbuhan ini mangsumsikan hanya terdapat satu sektor produksi atau
semua sektor bersifat simetris. Situasi ini tidak menghasilkan pertumbuhan yang
memunculkan realokasi tenaga kerja dan modal diantara sektor-sektor yang
ditransformasikan selama proses perubahan struktural. Kedua, toeri ini tidak
mampu untuk menguraikan sebab-sebab modal yang sangat langka tidak dapat
dimanfaatkan secara optimal. Pertumbuhan di negara berkembang terhambat oleh
serangkaian inefisiensi yang bersumber dari kelemahan infrastruktur, struktur
kelembagaan yang tidak memadai, serta pasar barang dan pasar modal yang jauh
dari sempurna. Faktor-faktor yang sangat berpengaruh ini ternyata kurang
diperhatikan oleh teori pertumbuhan endogen. Itulah sebabnya aplikasi teori
pertumbuhan ini dalam studi pembangunan ekonomi sangat terbatas, apalagi jika
studi tersebut melibatkan perbandingan antar negara. Struktur insentif yang lemah
di negara berkembang merupakan penyebabnya. Struktur insentif yang buruk
tidak memungkinkan terciptanya akumulasi tabungan dan investasi yang tinggi,
sehingga tidak mengherankan apabila pertumbuhan ekonomi di berbagai negara
berkembang senantiasa tersendar-sendat. Inefisiensi alokasi sumberdaya ditemui
23
di berbagai perekonomian yang tengah mengalami transisi dari pasar tradisional
ke pasar komersial. Teori-teori ini terlalu banyak memberikan perhatikan kepada
faktor-faktor penyebab pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Dan Ketiga,
serangkaian studi empiris terhadap nilai atau bobot prediktif teori-teori
pertumbuhan endogen tidak mampu memberikan prediksi yang cukup akurat.
Eksternalitas menciptakan momentum dalam proses pertumbuhan karena
perusahaan-perusahaan memasang kapital baru. Pertumbuhan kapital berarti
pertumbuhan dari gabungan stok kapital dan terpisah dari ilmu pengetahuan dan
teknologi. Oleh karenanya output dapat meningkat dengan proporsi konstan (A)
dari gabungan stok kapital, dan tidak terjadi diminishing returns seperti yang
digambarkan dalam gambar kurva Solow.
Jadi dalam model pertumbuhan endogen tingkat pertumbuhan dapat tetap
tumbuh konstan dalam kondisi tingkat pengembalian kapital yang menurun sebagai
dampak eksternal pertumbuhan teknologi. Tingkat pertumbuhan secara permanen
dipengaruhi oleh tingkat tabungan. Tingkat tabungan yang lebih tinggi
meningkatkan pertumbuhan tidak hanya pada level keseimbangan pendapatan.
2.1.3. Model Pertumbuhan dengan Sumberdaya Alam
Model-model pertumbuhan yang telah dijelaskan di atas tidak memasukkan
variabel sumberdaya alam termasuk energi. Seluruh sumberdaya alam yang ada
pada umumnya dalam jumlah terbatas walaupun beberapa diantaranya seperti sinar
matahari ketersediaannya sangat besar. Beberapa sumberdaya lingkungan bersifat
tidak dapat direproduksi dan banyak sumberdaya yang dapat diperbaharui
berpotensi habis terpakai. Kelangkaan dan habis terpakainya sumberdaya
menimbulkan masalah notasi pertumbuhan ekonomi tidak terhingga.
24
Ketika ada lebih dari satu input kapital dan sumberdaya alam, ada banyak
alternatif bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi. Alternatif yang diambil ditentukan
oleh kesiapan kelembagaan yang menanganinya. Para analis melihat pada model-
model pertumbuhan optimal yang bertujuan untuk memaksimalkan jumlah
kesejahteraan dalam horizon waktu tertentu (selalu dinyatakan horison infinitif)
atau mencapai keberlanjutan (social welfare yang tidak menurun) dan model-
model ditekankan untuk menjelaskan perekonomian riil dengan mengasumsikan
pasar persaingan sempurna atau aturan-aturan lainnya.
Literatur Neoklasik tentang pertumbuhan dan sumberdaya memusatkan
pada kondisi apa saja yang memungkinkan pertumbuhan keberlanjut, atau paling
tidak konsumsi atau utilitas tidak menurun. Kondisi teknis dan kelembagaan
menentukan kemungkinan berlanjut atau tidaknya suatu perekonomian. Kondisi
teknis mengarahkan pada sesuatu seperti campuran antara sumberdaya yang dapat
diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui, kekayaan awal dari kapital dan
sumberdaya alam, dan pengurangan substitusi antara input. Institusi mencakup
sesuatu seperti stuktur pasar (kompetisi versus perencanaan terpusat), sistem hak
kepemilikan (milik swasta versus publik), dan sistem nilai untuk generasi akan
datang.
Solow (1974) menggambarkan keberlanjutan dicapai dalam model dengan
suatu keterbatasan dan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui dengan
tidak menambah biaya dan kapital tidak menyusut. Namun demikian, model
perekonomian dalam kondisi persaingan sempurna akan mengalami kesulitan
sumberdaya dan konsumsi, sehingga kesejahteraan sosial pada akhirnya turun ke
nol (Stiglitz, 1974). Dasgupta and Heal (1979) menggambarkan bahwa dengan
25
tingkat diskonto konstan yang disebut juga dengan jalur pertumbuhan optimal
juga menyebabkan sumberdaya alam pada akhirnya habis dan perekonomian
collapse.
Interpretasi umum dari teori pertumbuhan standar adalah bahwa substitusi
dan perubahan teknis dapat secara efektif meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari
sumberdaya dan lingkungan. Habisnya sumberdaya atau degradasi lingkungan
dapat digantikan dengan faktor lainnya dalam bentuk modal yang dibuat manusia
(orang, mesin-mesin, pabrik, dsb). Tetapi terjadi interpretasi yang salah di sini.
Para ekonom Neoklasik sebagian besar tertarik dengan kesiapan institusi, dan
tidak pada kesiapan teknis, akan mempengaruhi keberlanjutan, sehingga mereka
secara tipikal mengansumsi secara a priori bahwa keberlanjutan adalah kelayakan
teknis dan kemudian menyelidiki apakah kesiapan institusi mempengaruhi
keberlanjutan jika layak secara teknis. Berarti, bagaimanapun, secara relatif
asumsi kelayakan secara teknis belum diuji (Stern, 2003).
Lebih lanjut Stern (2003) menyatakan bahwa elastisitas substitusi antara
apa yang disebut para ekonomi adalah kapital (pabrik, mesin dan lainnya) dan
input dari lingkungan (sumberdaya alam, asimilasi sampah, jasa ekosistem) adalah
unsur teknis kritikal yang mengindikasikan bahwa berapa banyak satu input harus
ditingkatkan untuk menghasilkan tingkat yang sama produksi ketika penggunaan
input lainnya dikurangi. Hal ini mengimplikasikan bahwa dampak biaya dalam
meningkatkan harga suatu input dapat secara mudah dihilangkan dengan
mengalihkan ke suatu teknik produksi yang menggunakan input lainnya,
katakanlah kapital. Gambar 7 menggambarkan perbedaan kombinasi dua input
yang dapat menghasilan tingkat output tertentu untuk nilai yang berbeda.
26
Sumber: Stern, 2003
Gambar 7. Elastisitas Substitusi Antara Faktor Produksi Modal danSumberdaya Alam
Produk marginal adalah tambahan kontribusi terhadap produksi dengan
menggunakan lebih dari satu unit input dengan anggapan bahwa input lainnya
konstan (yaitu turunan parsial dari fungsi produksi terhadap input). Elastisitas
subsitusi unitary, menjelaskan “substitusi sempurna”, berarti rasio dua input
berubah dengan persentase tertentu dengan anggapan output konstan, perubahan
rasio produk marginal dua input tersebut dengan persentase yang sama (dalam
arah yang berlawanan). Hubungan ini digambarkan oleh kurva (dikenal dengan
isoquant) dalam Gambar 7, yang asymptotic pada kedua aksis. Ketika sumberdaya
yang digunakan nol, produksi dapat dihasilkan dengan meningkatkan penggunaan
kapital secara tidak terhingga. Hal ini juga mengimplikasikan bahwa total biaya
produksi konstan disepanjang kurva isoquant. Substitusi sempurna tidak berarti
bahwa sumberdaya dan kapital memiliki manfaat yang sama, dalam kenyatannya
ketersediaan sumberdaya menurunkan produktivitas marginalnya tidak terhingga.
Modal
Sumberdaya Alam
σ= 0
σ= ~σ= 1
27
Gambar tersebut juga mengilustrasikan kasus dimana tidak ada substitusi adalah
tidak mungkin dan dua input bersubstitusi tidak terhingga.
Dalam kasus terdahulu dua input harus digunakan dalam rasio tetap dan
kasus berikutnya produsen tidak berbeda pandangan antara input dan penggunaan
sesuatu yang paling murah. Seperti diskusikan dibawah ini, substitusi sempurna
merupakan asumsi tidak realistik dari perspektif biofisik, paling tidak jika
diasumsikan untuk mengaplikasikan seluruh rasio kapital dan sumberdaya.
Elastisitas permintaan untuk energi, yang didalam teori dihubungkan dengan
elastisitas substitusi mengindikasikan bahwa elastisitas substitusi antara energi
dan input lainnya dan antara bahan bakar yang berbeda bias menjadi antara nol
dan satu. Lebih lanjut, jika elastisitas substitusi lebih besar dari satu, kemudian
isoquant menyilang aksis dan input nonesensil untuk produksi dan sebaliknya.
Ekonom seperti Solow (1974) secara eksplisit menyelesaikan kasus-kasus
dimana untuk sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui dan kapital lebih besar
atau kecil dari satu. Dalam kasus sebelumnya kemungkinan substitusi adalah
besar dan oleh karenanya kemungkinan tidak bersubstitusi bukan suatu isu. Dalam
kasus terakhir, substitusi tidak layak jika suatu perekonomian hanya
menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui.
Ekonomi Neoklasik berargumen bahwa model-model pertumbuhan yang
memasukkan sumberdaya dapat menghitung keseimbangan massa dan
keterbatasan thermodinamika dengan “kondisi esensial”. Jika lebih besar dari satu,
maka sumberdaya adalah “non esensial”. Jika kurang atau sama dengan satu,
maka sumberdaya adalah “esensial”. Esensial dalam kasus ini berarti bahwa
memberikan input non sumberdaya positif, output hanya nol ketika input
28
sumberdaya adalah nol, dan sebaliknya sangat tegas positif (strictly positive).
Fungsi produksi Cobb-Douglas, bentuk paling sering digunakan dalam model-
model pertumbuhan. Para ekonom berargumen bahwa hal ini paling tidak
digunakan untuk menghitung pada kondisi dimana beberapa dari energi dan
material dibutuhkan untuk memproduksi barang dan jasa. Tetapi ketika elastisitas
subsitusi adalah unity, ini “esensial” karena jumlahnya dapat menjadi tidak
terhingga jika kapital pabrik digunakan. Para ekonom juga mencatat bahwa
sumberdaya-sumberdaya dan kapital saling tergantung (dalam model-model
neoklasik) dengan sumberdaya lainnya untuk menghasilkan asset-aset kapital.
Oleh karenanya, stok kapital tidak dapat ditingkatkan tanpa mengurangi stok
kapital. Beberapa ekonom menyatakan bahwa suatu asumsi nilai sama atau lebih
besar dari satu antara energi dan input lainnya melanggar hukum thermodinamika
(Dasgupta dan Heal, 1979).
Substitusi secara teknis mungkin akan terjadi jika tidak ada investasi
masyarakat dalam jumlah yang cukup sepanjang waktu untuk menggantikan
berkurangnya sumberdaya alam dan ekosistem. Berapa banyak investasi yang
diperlukan tergantung pada penetapan institusi dalam perekonomian. Sebagai
contoh, dalam suatu perekonomian dimana keberlanjutan secara teknis layak (dan
hanya ada sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui) tidak akan terjadi
dalam perekonomian kompetitif atau perencanaan terpusat, dimana keputusan
yang ditetapkan adalah maksimisasi aliran utilitas terdiskonto dari gererasi masa
depan menggunakan tingkat diskonto konstan dan positif. Konsumsi per kapita
pada akhirnya akan menurun ke nol setelah periode awal pertumbuhan ekonomi
karena sumberdaya dan ekosistem berkurang lebih cepat daripada akumulasi
29
kapital untuk menggantikannya (Stiglitz, 1974; Dasgupta and Heal, 1979).
Keberlanjutan dicapai dibawah penetapan institusi yang pasti (Solow, 1974). Jika
utilitas individual ditetapkan sama besar tanpa pertimbangan ketika mereka terjadi
untuk hidup dan bertujuan untuk memaksimumkan jumlah utilitas sepanjang
waktu, maka pertumbuhan dalam konsumsi dapat terjadi secara tidak terhingga.
Ini ekivalen untuk memaksimumkan net present value dengan tingkat diskonto
nol. Dengan jelas, level konstan dari konsumsi sepanjang waktu juga layak. Suatu
hasil yang penting dalam konteks ini adalah aturan Hartwick (Hartwick, 1977)
yang menggambarkan bahwa jika keberlanjutan secara teknis layak, level konstan
dari konsumsi dapat dicapai dengan melakukan re-investasi sumberdaya dalam
bentuk kapital, yang dapat mensubstitusi sumberdaya. Dixit et al. (1980)
memperluas aturan untuk mengalikan stok kapital pada saat Hartwick (1995)
memperluas aturan untuk perekonomian terbuka.
Faktor kunci lainnya yang memungkinkan pertumbuhan dalam pandangan
berbasis sumberdaya terbatas adalah perubahan teknologi. Perbaikan teknologi
didefenisikan sebagai keuntungan (gain) dalam total produktivitas faktor yang
mengimplikasikan bahwa output meningkat pada saat jumlah tertimbang input-
input dianggap konstan.
2.2. Energi dan Pertumbuhan Ekonomi
Reproduksi merupakan suatu konsep kunci dalam ilmu ekonomi produksi.
Sementara itu ada sejumlah barang bersifat tidak dapat direproduksi, namun dapat
diolah dengan mengeluarkan sejumlah biaya yang masuk dalam sistem ekonomi
produksi. Dalam satu proses produksi memerlukan input atau faktor produksi.
30
Faktor produksi dapat dibagi menjadi faktor produksi (input) primer dan input
intermediate (antara). Para Ekonom Aliran Utama (mainstream) berpikir bahwa
kapital, tenaga kerja, dan lahan sebagai faktor produksi primer, sedangkan barang-
barang seperti bahan bakar dan bahan baku sebagai input antara. Harga-harga
yang dibayarkan untuk berbagai jenis input akhir dipandang sebagai pembayaran
untuk pemilik input primer sebagai balas jasa secara langsung untuk memproduksi
input antara (Stern, 1999).
Pendekatan ini fokus pada teori pertumbuhan terhadap input primer,
khususnya kapital dan lahan, serta memperlakukan energi berperan tidak langsung
dalam proses pertumbuhan. Input energi primer merupakan stok sumberdaya
seperti cadangan minyak. Namun demikian, hal ini tidak ditetapkan secara
eksplisit dalam teori-teori pertumbuhan standar yang hanya fokus pada tenaga
kerja dan kapital. Oleh karenanya ide-ide tentang peranan energi dalam aliran
utama teori pertumbuhan ekonomi cenderung agak kusut (Stern 2003).
Kapital dan tenaga kerja dalam jangka waktu lebih panjang merupakan
faktor produksi yang dapat direproduksi, sedangkan energi merupakan faktor
produksi yang bersifat tidak dapat direproduksi. Oleh karenanya, para ahli
sumberdaya dan sejumlah ekonom lingkungan memberikan perhatian yang besar
terhadap peranan energi dan ketersediaannya dalam ekonomi produksi dan proses
pertumbuhan (Stern, 1999).
Hukum Termodinamika I (Hukum Konservasi) mengimplikasikan prinsip
keseimbangan massa (Ayres dan Kneese, 1969). Mengacu pada hukum tersebut,
Stern (2003) menyatakan bahwa dalam rangka memperoleh material output
dengan kuantitas yang lebih besar atau paling tidak sama dengan input yang
31
digunakan dalam suatu proses produksi, maka residual sebagai polutan atau sisa
produk hendaknya sekecil mungkin. Oleh karenanya material input yang minimal
dipersyaratkan dalam proses menghasilkan material output. Lebih lanjut Stern
(2003) mengacu pada Hukum Termodinamika II (Hukum Efisiensi) menyatakan
bahwa hukum tersebut mengimplikasikan kuantitas energi minimum dibutuhkan
untuk mengatasi persoalan transformasi. Oleh karenanya harus membatasi
substitusi penggunaan energi dengan faktor produksi lainnya dalam proses
produksi. Seluruh proses ekonomi membutuhkan energi, melalui sejumlah aktivitas
pelayanan yang tidak membutuhkan pengolahan material secara langsung. Namun
demikian, hal ini benar hanya pada level mikro, sedangkan pada level makro
seluruh proses ekonomi membutuhkan penggunaan material tidak langsung,
termasuk didalamnya mengelola tenaga kerja atau memproduksi kapital (Stern
2003).
Energi juga merupakan faktor produksi esensial (Stern, 1997). Seluruh
produksi melibatkan transformasi atau perubahan zat dengan sejumlah cara dan
seluruh transformasi seperti itu memerlukan energi. Berapa aspek sehubungan
dengan pengaturan/pengorganisasian, yaitu informasi, juga perlu dipertimbangkan
menjadi input non-reproduksi. Beberapa analis (seperti Spreng, 1993; Chen, 1994;
Stern, 1994; Ruth, 1995) berargumen bahwa informasi merupakan faktor produksi
yang bersifat non-reproduksi sama halnya dengan energi, dan ilmu ekonomi
lingkungan harus mempertimbangkan informasi dan akumulasinya sebagai
pengetahuan yang dibayarkan untuk energi. Energi memerlukan informasi tentang
lingkungan karena tidak dapat diaktifkan penggunaannya tanpa informasi dan
terakumulasi dalam bentuk pengetahuan. Tidak seperti energi, informasi dan
32
pengetahuan tidak mudah dikuantifikasikan. Tetapi faktor-faktor ini merupakan satu
kesatuan dengan mesin, tenaga kerja dan material-material yang dibuat menjadi
bermanfaat. Justifikasi biofisik ini memperlakukan kapital, tenaga kerja dan faktor-
faktor lainnya hanya sebagai faktor kapital dan tenaga kerja karena lebih mudah
diukur daripada informasi dan teknologi, ukuran-ukuran ini sangat tidak sempurna
dibandingkan energi (Stern, 1999).
Dalam pendekatan mainstream ilmu ekonomi Neoklasik, kuantitas
ketersediaan energi terhadap ekonomi pada berbagai tahun diperlakukan sebagai
endogenous, melalui pembatasan dengan batasan biofisik seperti tekanan pada
penyimpanan minyak dan keterbatasan ekonomi seperti jumlah ekstraksi
terpasang, penyulingan, dan kapasitas pembangkit, serta kemungkinan percepatan
dan efisiensi dalam proses ini dapat diproses. Namun demikian, pendekatan
analisis ini kurang digunakan untuk menganalisis peranan energi sebagai
pengendali pertumbuhan produksi dan ekonomi (Stern, 2003).
Sebagai alternatif, model-model ekonomi biofisik mengusulkan bahwa
energi merupakan faktor produksi primer. Ini dapat dipahami karena ada stok
energi tertentu yang didegradasi dalam proses penyediaan jasa-jasa untuk
perekonomian. Tetapi ini berarti bahwa ketersediaan energi dalam setiap periode
ditentukan secara exogenous (Stern, 1999). Dalam beberapa model biofisik (seperti
Gever et al., 1986) batasan geologi merupakan tingkat yang tetap dari ekstraksi
energi. Kapital dan tenaga kerja diperlakukan sebagai aliran konsumsi kapital dan
jasa tenaga kerja, bukan stok. Aliran ini dihitung dengan cara memasukkan
penggunaan energi besama-sama dengan input lainnya. Seluruh nilai tambah
dalam perekonomian dianggap sebagai nilai sewa dari penggunaan energi dalam
33
perekonomian. Alternatif lainnya adalah teori distribusi produktivitas marginal
Neoklasik seperti yang dikemukan oleh Kaufmann (1987). Kemudian, dalam ilmu
ekonomi Marxist dinyatakan distribusi aktual dari surplus tergantung pada daya
tawar relatif dari perbedaan kelas-kelas sosial (Kaufmann, 1987; Hall et al.,
1986) dan pemasok bahan bakar luar negeri. Surplus energi diambil oleh pemilik
modal, lahan dan tenaga kerja. Dan model input-output menyajikan suatu
perekonomian dimana ada faktor produksi primer tunggal dengan harga yang
tidak ditentukan oleh produktivitas marginal. Produk marginal adalah nol, namun
vektor harga keseimbangan positif. Ada teknik produksi dengan proporsi yang tetap
untuk setiap komoditi dalam bentuk aliran komoditas atau kebutuhan jasa-jasa
(Stern, 1999).
Para ekonom ekologi berargumen bahwa penggunaan energi untuk
menghasilkan input-input antara seperti bahan bakar meningkat ketika kualitas
sumberberdaya seperti penyimpanan minyak menurun. Oleh karenanya biaya
energi meningkat sebagai representasi dari peningkatan kelangkaan dalam nilai
penggunaannya (Cleveland dan Stern, 1999).
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa ada paradoks antara
perlakuan energi hanya sebagai faktor produksi primer dan perhatian terhadap
kualitas sumberdaya-sumberdaya lainnya. Perubahan kualitas sumberdaya
diperlakukan dalam model sebagai perubahan koefisien input-output, yaitu sebuah
bentuk perubahan teknis. Dalam pendekatan Costanza dan pendekatan Energi
(Brown dan Herendeen, 1996), sumberdaya dinyatakan sebagai input energi solar
dan geologi. Oleh karenanya perubahan kualitas sumberdaya dinyatakan dengan
perubahan dalam energi daripada perubahan dalam koefisien input-output. Jika stok
34
sumberdaya dinyatakan secara spesifik, energi tidak akan lebih jauh dari sekedar
faktor produksi primer. Model neo-Ricardian yang dibangun oleh Perrings (1987)
dan O'Connor (1993), seperti halnya model Neo Ricardian lainnya, menyatakan
bahwa proporsi teknologi tetap dalam bentuk stok kapital daripada aliran dalam
model Leontief. Mereka tidak membedakan antara faktor produksi primer dan
intermediate. Namun pendekatan tersebut masih menempatkan batasan biofisik
seperti keseimbangan massa dan konservasi energi dalam neraca (Stern, 1999).
Jika perekonomian dapat direpresentasikan sebagai model input-output
dimana tidak ada substitusi antara faktor produksi, faktor pengetahuan dalam
faktor produksi dapat diabaikan. Ini tidak berarti bahwa penggunaan energi dan
ilmu pengetahuan dalam mendapatkan dan pemanfaatannya harus diabaikan.
Perhitungan akurat untuk seluruh penggunaan energi untuk mendukung produksi
final adalah penting. Tetapi kontribusi pengetahuan terhadap produksi tidak dapat
diasumsikan proporsional terhadap biaya energi. Melalui ilmu Thermodinamika
menempatkan batasan terhadap substitusi, derajat substitusi aktual antara stok
kapital memasukkan pengetahuan dan energi merupakan sebuah pertanyaan
secara empiris (Stern, 2003).
2.3. Kebijakan Energi Nasional
Kebijakan energi nasional merupakan bagian kebijakan publik. Menurut
Suharto (2005) bahwa kebijakan publik segala yang berkaitan dengan keputusan
atau ketetapan pemerintah untuk melakukan tindakan yang dianggap akan
membawa dampak baik bagi kehidupana warganya. Dengan demikian kebijakan
publik menunjukkan suatu konsep untuk menentukan suatu pilihan-pilihan
35
tindakan tertentu yang spesifik, yang meliputi berbagai bidang-bidang seperti
bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, keamanan dan lingkungan. Dalam hal ini
kebijakan energi merupakan kebijakan publik dalam ekonomi yang lebih luas dan
berkaitan dengan berbagai isu seperti lingkungan, sosial, politik, pertahanan dan
keamanan nasional (Gunawan, 2009).
Menurut Undang-Undang Energi Nomor 30 tahun 2007 dinyatakan bahwa
kebijakan energi nasional (KEN) adalah kebijakan pengelolaan energi
berdasarkan prinsip keadilan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan guna
menciptakan kemandirian dan ketahanan nasional. Dalam UU ini kebijakan energi
nasional bertujuan untuk tercapainya kemandirian pengelolaan energi;
terjaminnya ketersediaan energi dan sumber energi dari dalam negeri dan/atau
luar negeri, terjaminnya pengelolaan sumber daya energi secara optimal, terpadu,
dan berkelanjutan;. termanfaatkannya energi secara efisien di semua sektor;
tercapainya peningkatan akses masyarakat yang tidak mampu dan/atau yang
tinggal di daerah terpencil terhadap energi untuk mewujudkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat secara adil dan merata,tercapainya pengembangan
kemampuan industri energi dan jasa energi dalam negeri agar mandiri dan
meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia; dan terjaganya kelestarian
fungsi lingkungan hidup.
Berdasarkan sejarahnya, menurut Yusgiantoro (2001) disebutkan bahwa
kebijakan energi di Indonesia pertama kali muncul pada tahun 1976. Tujuan dari
kebijakan tersebut adalah untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya
energi. Pemerintah kemudian membentuk Badan Koordinasi Energi Nasional
(BAKOREN) yang setingkat dengan departemen dan bertanggung jawab
36
memformulasikan kebijakan energi serta mengkoordinasikan implementasi
kebijakan ini. BAKOREN untuk pertama kalinya mengeluarkan Kebijaksanaan
Umum Bidang Energi (KUBE) pada tahun 1984. Kebijakan ini terus menerus
diperbarui sesuai dengan perkembangan strategis lingkungan yang mempengaruhi
pembangunan energi di Indonesia. KUBE 1984 diperbarui pada tahun 1990 yang
berisikan kebijakan pemerintah untuk melakukan intensifikasi, diversifikasi dan
konservasi energi. Upaya intensifikasi dilakukan melalui peningkatan kegiatan
survei dan eksplorasi sumber daya energi untuk mengetahui potensinya secara
ekonomis. Diversifikasi merupakan upaya untuk penganekaragaman penggunaan
energi non-minyak bumi melalui pengurangan penggunaan minyak dan
menetapkan batubara sebagai bahan bakar utama pembangkit listrik dan industri
semen. Konservasi dilakukan melalui penggunaan peralatan pembangkit maupun
peralatan pengguna energi yang lebih efisien.
Selanjutnya, KUBE tahun 1998 yang dikeluarkan oleh BAKOREN
bertujuan untuk menciptakan iklim yang mendukung terlaksananya strategi
pembangunan bidang energi dan memberikan kepastian kepada pelaku ekonomi
dalam kaitannya dengan pengadaan, penyediaan dan penggunaan energi. Dalam
KUBE ini mulai diindikasikan adanya keterbatasan sumber daya energi, terutama
minyak bumi. Minyak bumi diarahkan secara bertahap untuk digunakan dalam
negeri sebagai bahan bakar dan bahan baku industri yang dapat meningkatkan
nilai tambah yang tinggi.
Dalam KUBE 1998 kebijakan energi yang perlu ditempuh mencakup lima
kebijakan utama dan sembilan kebijakan pendukung (Sugiyono, 2004). Kebijakan
utama tersebut adalah: (1) Diversifikasi yaitu penganekaragaman pemanfaatan
37
energi, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan, (2) Intensifikasi yaitu
pencarian sumber energi melalui kegiatan survei dan eksplorasi agar dapat
meningkatkan cadangan baru terutama energi fosil, (3) Konservasi energi adalah
penggunaan energi secara efisien dan rasional tanpa mengurangi penggunaan
energi yang memang benar-benar diperlukan, (4) Penetapan harga rata-rata energi
yang secara bertahap diarahkan mengikuti mekanisme pasar, dan (5)
Memperhatikan aspek lingkungan dalam pembangunan di sektor energi termasuk
didalamnya memberikan prioritas dalam pemanfaatan energi bersih. Sementara itu,
kebijakan pendukung meliputi: meningkatkan investasi, memberikan insentif dan
disinsentif, standardisasi dan sertifikasi, pengembangan infrastruktur, peningkatan
kualitas SDM, pengelolaan sistem infomasi, penelitian dan pengembangan, serta
pengembangan kelembagaan dan pengaturan.
Pada tahun 2004 pemerintah dalam hal ini Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral (DESDM) sudah menyusun Rancangan Kebijakan Energi Nasional
(DESDM 2004). Rancangan kebijakan ini merupakan pembaruan dari KUBE tahun
1998 yang penyusunannya dilakukan bersama-sama dengan stake holders di
bidang energi. Selain itu, juga diharapkan menjadi acuan utama dalam penyusunan
Rancangan Undang-Undang tentang energi yang sedang dipersiapkan. Kebijakan
yang ditempuh masih serupa dengan KUBE sebelumnya yaitu intensifikasi,
diversifikasi, dan konservasi dengan menambah instrumen legislasi dan
kelembagaan. Hal ini tertuang di dalam blue print energi nasional mengenai
perkembangan kebijakan energi nasional. Perkembangan kebijakan energi nasional
dapat ditunjukan pada Tabel 1.
38
Tabel 1. Perkembangan Kebijakan Energi Nasional, Tahun 1981 – 2003
1981 1987 1991 1998 2003Kebijakan
Umum EnergiKebijakan
Umum EnergiKebijakan
Umum EnergiKebijakan
Umum EnergiKebijakan
Umum Energi1. Intensifikasi2. Divesifikasi3. Konservasi4. Indeksasi
1. Intensifikasi2. Divesifikasi3. Konservasi
1.Intensifikasi2.Divesifikasi3.Konservasi
1. Divesifikasi2. Intensifikasi3. Konservasi4. Harga Energi5. Lingkungan
1. Intensifikasi2. Diversifikasi3. Konservasi
KebijakanPendukung
KebijakanPendukung
KebijakanPendukung
KebijakanPendukung
KebijakanPendukung
1. Penelitian danpengem,bangan.
2. Industri energi3. Iklim Investasi
1. Industri energi2. Iklim Investasi3. Harga Energi
1. Industri energi2. Iklim Investasi3. Harga Energi
KebijakanPemanfaatan
Akhir
KebijakanPemanfaatan
Akhir
KebijakanPemanfaatan
Akhir
1. Industri2.Transportasi3. Rumahtangga
1. Industri2.Transportasi3. Rumahtangga
1. Industri2.Transportasi3. Rumahtangga
1. Investasi2. Insentif &
disinsentif3. Standarisasi &
sertifikasi4. Pengembangan
Infrastruktur5. Peningkatan
Kualitas SDM6. Sistem
Informasi7. Penelitian dan
Pengembangan8. kelembagaan9. Pengaturan
1. Infrastruktur2. Penetapan
mekanismehargakeekonomian
3. Perlindungankaum duafa
4. Lingkungan5. Kemitraan
Pemerintah danswasta
6.Pemberdayaanmasyarakat
7. Litbang dandiklat
8. Koodinasiuntukoptimalisasienergi Mix
Sumber: Kementrian ESDM, 2006.
Perkembangan selanjutnya, kebijakan energi nasional saat ini mengacu pada
Undang-Undang Energi Nomor 30 tahun 2007 tentang energi. Dalam Undang-
Undang tersebut dinyatakan bahwa kebijakan energi nasional (KEN) dirancang dan
dirumuskan oleh Dewan Energi Nasional (DEN). Dewan Energi Nasional (DEN)
adalah suatu lembaga bersifat nasional, mandiri, dan tetap, yang bertanggung
jawab atas kebijakan energi nasional. Dalam hal ini DEN adalah Menteri Energi
Sumber Daya dan Minareal (ESDM).
Dalam Undang-Undang Energi tahun 2007 tentang energi menyatakan bahwa
kebijakan energi nasional meliputi: (1) ketersediaan energi untuk kebutuhan
39
nasional, (2) prioritas pengembangan energi, (3) pemanfaatan sumber daya energi
nasional, dan (4) cadangan penyangga energi nasional. Tujuan yang ingin dicapai
dalam Undang-Undang ini seperti yang tercamtum dalam pasal 3 yang secara
ringkas meliputi tercapainya kemadirian penglolaan energi; terjaminnya
ketersediaan energi dan sumber energi dalam dan luar negeri; terjaminnya
pengelolaan sumberdaya energi secara optimal, terpadu dan berkelanjutan;
termanfaatkannya energi secara efisien di semua sektor; tercapainya peningkatan
akses energi ke seluruh lapisan masyarakat; tercapainya pengembangan
kemampuan industri dan jasa energi; dan terjaganya kelestarian lingkungan hidup.
Berdasarkan hasil rapat antara Dewan Energi Nasional (DEN) dengan komisi
VII DPR RI memaparkan pokok-pokok Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang
meliputi arah kebijakan energi minyak dan gas bumi, batubara, energi terbarukkan,
energi terbarukkan bahan bakar nabati (BBN), panas bumi, energi terbarukan
surya, PLT tenaga laut dan arah kebijakan energi terbarukan nuklir. Secara rinci
pokok-pokok Kebijakan Energi Nasional (KESDM, 2010) yaitu:
I. Arah Kebijakan Energi Minyak dan Gas Bumi
1. Perlu sistem fiskal untuk minyak, gas bumi dan CBM (coal bed methane)
yang lebih menjamin keuntungan atau mengurangi resiko kontraktor
dengan memberikan bagian pemerintah atau GT (government take) yang
kecil untuk R/C (revenue/cost) yang kecil dan GT yang besar untuk R/C
yang besar.
2. Perlu segera membangun infrastruktur gas termasuk LNG (liquefied
natural gas) receiving terminal, pipa transportasi, SPBG (stasiun pengisi
40
bahan bakar gas), infrastruktur gas kota dan lain-lain. Perlu harga gas
dosmetik yang menarik.
3. Perlu peningkatan kualitas informasi untuk wilayah kerja yang ditawarkan
melalui perbaikan ketersediaan data antara lain data geofisika dan geologi.
4. Perlu peningkatan kemampuan nasional migas dengan keberpihakan
pemerintah misalnya untuk kontrak-kontrak migas yang sudah habis maka
pengelolaannya diutamakan untuk perusahaan nasional dengan
mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan keuangan.
5. Perlu mendorong perbankan nasional untuk memberikan pinjaman guna
membiayai kegiatan produksi energi nasional.
6. Dana depletion premium dari energi tak terbarukan sangat diperlukan
guna meningkatkan kualitas informasi untuk penawaran konsesi-konsesi
migas baru, peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan penelitian,
infrastruktur pendukung migas, serta untuk pengembangan energi non-
migas dan energi di pedesaan.
7. Perlu dikaji segera kemungkinan impor gas (LNG), karena lebih
baik/murah mengimpor gas daripada mengimpor minyak dan BBM. Di
sektor rumah tangga, pemakaian LPG lebih murah dari pemakaian minyak
tanah. Di sektor transportasi, penggunaan BBG lebih murah dan lebih
bersih daripada BBM.
8. Perlu diperbaiki sistem birokrasi dan informasi serta kemitraan di
lingkungan ESDM di samping koordinasi antar institusi untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan fiskal, perijinan, tanah, tumpang tindih lahan,
lingkungan, permasalahan desentralisasi dan lain-lain.
41
II. Arah Kebijakan Batubara
1. Mengutamakan kebutuhan dalam negeri dan melakukan pembatasan
ekspor.
2. Melakukan pengaturan harga domestik dan kebutuhan internasional
(ekspor).
3. Mengatur tatalaksana produksi dan pasar mulai dari hulu sampai hilir
termasuk pembentukan badan pengatur yang independen.
4. Mengembangkan infrastruktur, transportasi, stockpiling dan blending.
5. Menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan pada pertambangan
batubara antara lain memasukkan biaya lingkungan, good mining
practices, pembatasan open surface mining, mengutamakan tambang
dalam, prioritas tata ruang, konservasi lingkungan dan pemanfaatan
teknologi bersih.
6. Melakukan regionalisasi batubara termasuk mine mouth power plant.
7. Meningkatkan eksplorasi sumber daya (laju produksi seimbang dengan
laju penambahan sumber daya dan cadangan).
III. Arah Kebijakan Energi Terbarukan
1. Pengembangan energi terbarukan difokuskan pada panas bumi
(geothermal), energi biomass, surya (solar) dan bahan bakar nabati.
2. Penyediaan dana khusus untuk penelitian dan pengembangan energi
terbarukan guna menurunkan biaya produksi.
3. Pengaturan dan pemberlakuan harga khusus untuk energi terbarukan.
42
4. Peningkatan pengembangan industri peralatan produksi energi terbarukan
dalam negeri (peralatan penyulingan BBN, solar cell dan panel harus
menggunakan produksi dalam negeri).
5. Pengalokasian dana dengan skema khusus (smart funding) untuk
pengembangan energi terbarukan diluar BBN, khususnya untuk skala
kecil.
6. Pemerintah melakukan pengaturan dan pengalokasian dana dari program
Clean Development Mechanism (CDM), sehingga insentif karbon kredit
dapat memberi manfaat pada publik.
IV. Arah Kebijakan Energi Terbarukan Bahan Bakar Nabati (BBN)
1. Pengembangan BBN untuk menggantikan sebagian BBM.
2. Pada tahap awal pengembangan BBN dilakukan oleh beberapa perusahaan
besar yang dipilih untuk mencapai nilai keekonomian.
3. Pengaturan quota mandatory BBN bagi perusahaan penyedia listrik.
4. Penyempurnaan penetapan besaran quota mandatory dalam penggunaan
BBN untuk sektor transportasi.
V. Arah Kebijakan Energi Terbarukan Panas Bumi
1. Meningkatkan ekplorasi panas bumi dan membuat perkiraan biaya yang
layak pada lokasi yang berbeda-beda.
2. Memastikan status tataguna lahan di hutan-hutan yang memiliki potensi
panas bumi.
43
3. Mengkaji implementasi peraturan perundang-undangan di sektor panas
bumi untuk mendekatkan sektor hulu dan hilir.
4. Melakukan penyempurnaan di dalam pengelolaan dan persyaratan tender
panas bumi, yang antara lain meliputi : Pendelegasian kepada PLN untuk
melaksanakan tender, pembagian resiko yang menguntungkan antara PLN
dan pengembang, harga jual dan mekanismenya serta pembinaan untuk
skala kecil dan penyehatan BUMN.
5. Meningkatkan kemampuan dalam negeri untuk mendukung kegiatan
eksplorasi dan industri pendukung kelistrikan.
VI. Arah Kebijakan Energi Terbarukan Surya
1. Penerapan mandatory penggunaan solar cell pada pemakai tertentu
(industri besar, gedung komersial dan rumah mewah, PLN).
2. Mensinergikan mandatory dan penerapan feed in tarrif.
3. Penerapan audit teknologi terhadap komponen/peralatan instalasi PLTS.
4. Mengembangkan industri komponen/peralatan instalasi PLTS.
5. Mentargetkan pencapaian keekonomian PLTS ke grid connected tarrif
dalam waktu 10 tahun.
6. Mengembangkan penguasaan teknologi PLTS dalam negeri baik melalui
pembelian license atau meningkatkan penelitian dan pengembangannya.
VII. Arah Kebijakan Energi Terbarukan PLT Tenaga Laut
1. Meningkatkan ekplorasi sumberdaya energi berbasis arus, gelombang dan
perbedaan suhu air laut.
44
2. Meningkatkan kemampuan nasional untuk peningkatan pemanfaatan
energi arus, gelombang dan perbedaan suhu air laut, baik skala industri
maupun domestik di seluruh kawasan laut Indonesia yang potensial.
3. Meningkatkan kemampuan penelitaan dan pengembangan di bidang energi
laut menuju pemanfaatannya secara ekonomis.
VIII. Arah Kebijakan Energi Terbarukan Nuklir
1. Krisis listrik nasional sudah berlangsung cukup lama, yang telah
mengakibatkan terganggunya kehidupan sosial, pertumbuhan industri,
ekonomi, dan sebagainya. Salah satu diantaranya adalah banyak angkatan
kerja yang tidak dapat tertampung. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
(PLTN) di samping ramah lingkungan juga dapat mengatasi krisis listrik
dalam waktu yang relatif cepat untuk kapasitas yang sangat besar. Oleh
sebab itu, PLTN merupakan solusi untuk mengatasi krisis listrik nasional.
2. Pemerintah meningkatkan kegiatan eksplorasi sumberdaya nuklir nasional.
3. Pemerintah harus konsisten dalam menerapkan kebijakan pemanfaatan
energi nuklir sesuai dengan UU No. 17 tahun 2007 tentang RPJP, dimana
pada Bab. IV.2.3. RPJM ke-3 (2015–2019), dinyatakan: “... mulai
dimanfaatkannya tenaga nuklir untuk pembangkit listrik dengan
mempertimbangkan faktor keselamatan secara ketat,...”.
4. Pemerintah perlu segera membentuk lembaga atau BUMN khusus yang
ditugaskan untuk mengimplementasikan program PLTN sesuai dengan UU
No. 17 tahun 2007. Studi kelayakan PLTN yang lebih komprehensif,
45
termasuk penetapan waktu pembangunan PLTN pertama, sebagaimana
amanat Sidang DEN yang ke-4, dikoordinasikan oleh lembaga tersebut.
5. Pengembangan nuklir untuk energy security of supply dan lingkungan.
6. Perlu peningkatan sosialisasi dengan data dan informasi yang obyektif
(teknis, ekonomis, keamanan/kendala dan sebagainya) dengan dana yang
memadai, baik itu untuk generasi muda maupun untuk unsur masyarakat
lainnya. (SF)
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa secara umum kebijakan energi
nasional meliputi kebijakan diversifikasi, intensifikasi dan konservasi energi. Ketiga
dari kebijakan tersebut dapat dijalan secara simultan agar sasaran dari kebijakan
tersebut dapat tercapai. Menurut Sugiyono (2004), secara umum sasaran dari
kebijakan energi, yaitu mengurangi ketergantungan pada minyak bumi sebagai
sumber energi melalui diversifikasi dan intensifikasi sumber daya energi sudah
cukup berhasil. Namun sasaran efisiensi penggunaan melalui konservasi dapat
dikatakan gagal. Hal ini disebabkan adanya kontradiksi antara kebijakan konservasi
dengan kebijakan pemberian subsidi BBM.
2.4. Tinjauan Studi Empiris
2.4.1. Studi Konsep Pertumbuhan Ekonomi dan Energi
Peranan energi dalam pertumbuhan ekonomi secara jelas dipaparkan
dalam artikel yang ditulis oleh Stern (2003), Alam (2006), Momete (2007), dan
Ramos-Martini dan Ortega-Cerdà (2003). Pada prinsipnya keempat penulis ini
memaparkan tentang peranan penting dari energi dalam mendorong pertumbuhan
energi suatu negara. Rumusan dari artikel tersebut dijelaskan berikut ini.
46
Artikel yang ditulis Stern (2003) menjelaskan hubungan antara energi dan
pertumbuhan ekonomi dan menjelaskan peranan energi dalam produksi
perekonomian. Ketika ilmuan bisnis dan keuangan memberikan perhatian yang
signifikan terhadap dampak harga minyak dan harga energi lainnya terhadap
aktivitas perekonomian, teori pertumbuhan eknomi Neoklasik tidak memberikan
perhatian (perhatian yang kecil) terhadap peranan energi atau sumber-sumber
energi natural dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Para ilmuan ekonomi
sumberdaya dan ekologi mengkritik teori tersebut, khusunya sehubungan dengan
implikasi termodinamika untuk produksi ekonomi dan prospek perekonomian
jangka panjang.
Ketika model alternatif menjelaskan bahwa proses pertumbuhan tidak
bekerja dalam ekonomi Neoklasik, hasil studi empiris menunjukkan peranan
energi dalam proses pertumbuhan. Hasil temuan utama menunjukkan bahwa
adalah penggunaan energi per unit output ekonomi menurun, tetapi terjadi
pergeseran energi yang besar dari penggunaan secara langsung bahan bakar fosil
seperti batubara ke penggunaan bahan bakar yang berkualitas lebih tinggi,
khususnya listrik. Ketika pergeseran ini terjadi dalam komposisi penggunaan
energi final ditempatkan dalam penggunaan neraca energi dan level aktivitas
ekonomi ditemukan masalah ganda. Ketika hal ini dan trend lainnya ditempatkan
dalam neraca, prospek pengurangan penggunaan energi dalam aktivitas ekonomi
menjadi terbatas (Stern, 2003).
Berangkat dari teori ekonomi Neoklasik, Alam (2006) membangun
sebuah alternatif konsep ekonomi yang memasukkan energi bersama-sama dengan
kapital, tenaga kerja, dan teknologi sebagai faktor produksi. Dinyatakan bahwa
47
konstruk ekonomi Neoklasik dibangun berdasarkan tiga faktor produksi: kapital,
tenaga kerja dan teknologi. Produksi pada awal setiap periode menggunakan
kapital, tenaga kerja dan teknologi dalam tertentu. Kapital pada priode-periode
awal merupakan proporsi dari output perekonomian ditentukan oleh priode
sebelumnya. Para ilmuan Neoklasik secara umum tidak tegas tentang bagaimana
tenaga kerja diproduksi atau direproduksi; mereka mengasumsikan
pertumbuhannya eksogen. Teknologi digambarkan sebagai cadangan ketersediaan
ilmu pengetahuan untuk suatu perekonomian. Pengetahuan diwujudkan dalam
mesin-mesin, keahlian manusia, atau ditempatkan dalam bentuk kode-kode dan
tatanan sosial.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa kekosongan dari neraca perekonomian
Neoklasik adalah tidak dimasukkannya energi sebagai kekuatan primer yang
mengendalikan seluruh aktivitas ekonomi. Cukup meyakinkan, energi masuk
dalam ekonomi neoklasik sebagai effort dari tenga kerja, tetapi sumberdaya energi
telah mengalami penurunan secara tajam selama dua decade terakhir. Energi dari
sumberdaya non manusia, seperti batubara, minyak, listrik, pangan atau pupuk,
masuk dalam perekonomian hanya sebagai input intermediet, dan masuk dalam
neraca pendapatan nasional suatu negara sebagai nilai tambah dalam sektor
energi. Cukup sederhana, energi bukan merupakan faktor produksi. Dengan kata
lain, ilmu ekonomi Neoklasik membangun ketidakseimbangan antara ekonomi
dan ekologi. Ekonomi neoklasik berada dalam kondisi isolasi yang baik sekali
dari sifat alamiah dan terbebas dari energi.
Diantara sejumlah ilmuan ekonomi, Georgescu-Roegen (1972 dan 1976)
adalah yang pertama kali memberikan komentar terhadap diabaikannya energi
48
dalam teori ekonomi. Dia menyatakan bahwa ilmuan ekonomi Marxists dan
Neoklasik tersamar dari sifat alamiah; mereka menempatkan aliran sumberdaya
dan energi sebagai suatu yang pasti dan terhindar dari pemborosan output
perekonomian. Georgescu-Roegen (1976) berargumen bahwa dalam ilmu
ekonomi standar tidak dikenal apa yang disebut dengan “terrestrial resources of
energy and materials are irrevocably used up and the harmful effects of pollution
on the environment accumulate.” Para ahli ekonomi optimis tentang peluang tiada
akhir dari pertumbuhan yang mengabaikan sifat alamiah dari kalkulusnya.
Mengacu pada pendapatan Georgescu-Roegen dan lainnya, wajah baru dari ilmu
ekonomi ekologi dijabarkan dengan cara yang berbeda dengan memasukkan
sejumlah batasan terhadap pertumbuhan.
Paper yang ditulis Alam (2006) bertujuan untuk menempatkan sifat-sifat
dasar dari suatu perekonomian dengan energi sebagai kekuatan pengendali dibalik
seluruh aktivitas ekonomi. Dengan fokus terhadap energi, perekonomian harus
dipandang sebagai suatu sistem aliran energi, sebuah kesuksesan dalam
mengkonversi energi, yang masuk dalam proses produksi barang dan jasa. Dengan
adanya pemikiran ini diharapkan dapat mengubah pemahaman kita tentang tenaga
kerja dan kapital sebagai sumber pertumbuhan. Gambaran yang difokuskan pada
energi mampu menfasilitasi pemahaman yang lebih baik tentang revolusi industri
dan pencetusan dalam pertumbuhan ekonomi telah dihasilkan sejak abad ke-19.
Sebagai resume utama dari artikel ini, Alam (2006) menyatakan bahwa:
Pertama, sketsa perekonomian sebagai suatu sistem energi akan membantu
memecahkan perbedaannya dengan pendekatan ekonomi Neoklasik dalam fungsi
produksi agregat. Ekonomi berisikan aliran produksi energi dan aktivitas-aktivitas
49
penggunaan energi. Energi adalah sentral untuk perekonomian tersebut karena
mengendalikan seluruh aktivitas ekonomi. Ini menfokuskan pada energi sebagai
sumber yang bersifat mendasar, untuk aktivitas konversi dan mengkonversi
kembali energi tersebut, dan terakhir untuk aktivitas-aktivitas yang menggunakan
energi untuk memproduksi barang dan jasa. Sampai abad ke-19, seluruh
perekonomian menggunakan energi yang bersumber dari sumber-sumber organik.
Setelah dua dekade berlalu, terjadi transisi sumber energi dari sumber-sumber
organik menjadi anorganik, terutama sekali bahan bakar fosil.
Kedua, para ilmuan ekonomi Neoklasik mengabaikan energi dalam
perekonomian, yang memisahkan ekonomi dari ekologi atau sumber-sumber
energi. Ini ditangkap dalam konsep fungsi produksi, sebuah pemetaan dari faktor-
faktor yang hanya memasukkan tenaga kerja dan kapital untuk menghasilkan
output, serta teknologi. Sebagai hasilnya, neraca pertumbuhan ekonomi Neoklasik
disajikan dalam bentuk pertumbuhan kapital, tenaga kerja, dan teknologi. Energi
tidak memainkan peranan dalam pertumbuhan dan sumber-sumber pertumbuhan.
Ketiga, pengabaian energi dalam kerangka pemikiran Neoklasik
membuatnya sulit untuk mendefenisikan tenaga kerja dan kapital. Buku teks-buku
teks ilmu ekonomi yang ada tidak membantu dan tidak konsisten mendefenisikan
ilmu ekonomi. Hal ini tidak mengejutkan ketika tenaga kerja dan kapital
memainkan peranan pendukung dalam perekonomian yang hanya dapat
dipamahami dalam kaitannya dengan energi. Bersama-sama, mereka menguraikan
energi dari sumber-sumber natural, mengkonversi dan mengkonversi kembali
sumber-sumber tersebut untuk digunakan dalam aktivitas perekonomian, dan
kemudian arah dari aliran penggunaan energi ini untuk memproduksi dan
mengkonsumsi barang dan jasa.
50
Keempat, pengabaian energi dalam fungsi produksi Neoklasik
menyimpang dari analisis standar dari pertumbuhan dan sumber-sumber
pertumbuhan. Para ilmuan Neoklasik gagal untuk memperkenalkan hal tersebut
dalam banyak kasus, pertumbuhan merupakan kecepatan dari aktivitas; jika
aktivitas ini menggunakan mesin, jumlahnya dipengaruhi oleh kecepatan mesin.
Ini menentukan sebuah arah keterkaitan antara energi dan pertumbuhan: ketika
kecepatan selalu tergantung pada penggunaan energi. Ini berarti bahwa
pertumbuhan menempatkan penawaran energi sebagai sumber pertumbuhan
ekonomi yang sangat diperlukan.
Kelima, pengabaian energi dari kerangka pemikiran ekonomi Neoklasik,
dan kegagalannya untuk mengubah hubungan antara energi dan pertumbuhan,
berarti mereka tidak menguraikan hubungan dinamik antara penggunaan energi
yang lebih besar dan perubahan teknis yang berhubungan dengan ketersediaan
energi. Pengenalan energi baru seperti kincir air, kincir angin, mesin penyemprot
atau peledak menciptakan suatu kekuatan daya dorong untuk membuat alat bagi
pertumbuhan yang bermanfaat dan penyediaan energi yang lebih murah
menggantikan energi anorganik untuk lahan dan tenaga kerja. Kerangka
pemikiran produksi Neoklasik tidak menjelaskan hubungan ini.
Keenam, analisis standar dari sumber-sumber pertumbuhan bermasalah
karena mengasumsikan tenaga kerja homogen. Tenaga kerja seharusnya
dipandang memiliki dua fungsi, yaitu penyediaan energi dan pengawasan aliran
energi. Apabila proporsi rata-rata tenaga kerja dikombinasikan dengan energi
sebagai fungsi dari pertumbuhan ekonomi, tidak dapat diasumsikan bahwa tenaga
kerja adalah faktor homogen dalam konteks pertumbuhan.
51
Terakhir, para ilmuan ekonomi Neoklasik juga mengalami kekosongan
pemikiran yang signifikan dalam hal pembedaan antara perekonomian organik
dan perkonomian fosil. Tanpa suatu pemahaman tentang regim energi, mereka
gagal untuk membangun sebuah apresiasi yang patut dari sumber-sumber tesebut,
waktu dan kecepatan transpormasi ekonomi yang terjadi sejak awal dekade abad
ke-19. Malahan mereka mencoba untuk menjelaskan revolusi industri dalam
bentuk perubahan teknis yang menstimulasi temuan-temuan ilmiah. Demikian
juga, mereka gagal untuk menguraikan keterbatasan penyediaan energi, yang
dihasilkan dari bahan bakar fosil, dalam menstimulasi keberhasilan inovasi dan
pertumbuhan kapital dan keahlian. Untuk alasan yang sama, para ilmuan ekonomi
Neoklasik tidak menjelaskan ketidakseimbangan pembangunan dari dua
perekonomian dengan keterbatasan energi yang berbeda dalam ekologi mereka.
Senada dengan Stern (2003) dan Alam (2006), artikel yang ditulis oleh
Momete (2007) memberikan perhatian pada pentingnya energi untuk
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia, serta dampaknya terhadap
pembangunan berkelanjutan. Dengan pendekatan Trinomial dan analisis trend,
dapat dinyatakan bahwa konsumsi energi berdampak negatif terhadap lingkungan,
dan pada waktu yang sama berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Sehubungan dengan upaya untuk mengidentifikasi dampak energi secara
keseluruhan, dapat dinyatakan bahwa konsumsi energi berkorelasi dengan
pertumbuhan ekonomi dan emisi CO2. Lebih lanjut dari paper ini dapat
dinyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan harus dirasakan sebagai dimensi
lain dari pertumbuhan ekonomi yang hanya dapat dicapai dengan produksi dan
penggunaan energi berkelanjutan.
52
Ramos-Martini dan Ortega-Cerdà (2003) melakukan studi yang didasarkan
pada pendapat bahwa wujud dari perekonomian thermodinamika membuka sistem
lebih jauh dari keseimbangan, dan ilmu ekonomi lingkungan Neoklasik bukanlah
cara yang terbaik untuk menggambarkan perilaku sistem seperti itu. Analisis
ekonomi standar melakukan pengembangan, pendekatan prediktif dan
deterministik, yang mendorong untuk melakukan kebijakan prediktif untuk
mengatasi masalah-masalah lingkungan. Hal ini secara aktual menjelaskan
hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi pada kondisi hipotesis
dematerialisasi, yang dikenal dengan kurva lingkungan Kuznet atau kurva yang
berbentuk huruf U terbalik. Ini memperlihatkan kepada kita bahwa karakteristik
dari sistem ekonomi mengikuti perilaku yang kompleks, suatu analisis ex-post
dalam kerangka ilmu ekonomi ekologi yang lebih tepat, yang menggambarkan
perekonomian sebagai sistem non-kontinu dan non-prediktif dan yang
memperlihatkan kebijakan sebagai mekanisme pengendalian.
Mengacu pada latar belakang tersebut, Ramos-Martini dan Ortega-Cerdà
(2003) menyajikan sejumlah data empiris tentang evolusi intensitas energi untuk
negara maju dan negara berkembang. Dalam rangka menguji hipotesis tidak
adanya hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan penggunaan energi, disajikan
diagram fase intensitas penggunaan energi dari data deret waktu.
Temuan utama dari hasil kajian Ramos-Martini dan Ortega-Cerdà (2003)
menyebutkan bahwa dalam kenyataannya perekonomian memperlihatkan perilaku
non-linier pada variabel-variabel kunci dan tahapan pembangunan pada level
hirarki yang berbeda membentuk hipotesis ‘punctuated equilibrium’ yang
bermanfaat pada skala yang lebih tinggi, mengindikasikan suatu sistem
53
perekonomian yang lebih terbuka pada masa mendatang. Tahapan perilaku
intensitas energi menegaskan bahwa hanya dengan mempertimbangkan energi
sebagai barang konsumsi dan faktor produksi tidak cukup untuk memahami
evolusi perekonomian. Intensitas energi adalah variabel kunci yang dapat
digunakan sebagai indikator perubahan struktur sosial ekonomi, struktur keuangan
atau hubungan ekonomi-lingkungan. Hal tersebut juga dapat digunakan sebagai
indikator dari struktur yang baru. Ketersediaan data dan dukungan teknik analisis
konsumsi energi dapat dipandang sebagai persyaratan dan kompleksitas hubungan
sistem ekonomi pada masa mendatang.
International Energy Association (IEA) sejak tahun 1993 telah
menyediakan proyeksi energi dalam jangka menengah sampai jangka panjang
dengan menggunakan World Energy Model (WEM). WEM merupakan konstruk
secara matematik skala besar yang dirancang untuk menggambarkan tentang
fungsi pasar energi sebagai alat utama yang digunakan untuk menjabarkan secara
detail proyeksi sektor per sektor dan wilayah per wilayah untuk kedua referensi
skenario dan berbagai skenario kebijakan alternatif. Model yang telah dibangun
selama ini dibuat dalam enam modul utama, yaitu: permintaan energi akhir;
pembangkit listrik; kilang dan transformasi lain; suplai bahan bakar fosil, emisi
CO2, dan investasi seperti pada Gambar 8.
Dari Gambar 8 dapat dinyatakan bahwa asumsi-asumsi eksogen yang
utama menekankan pada pertumbuhan ekonomi, demografi, harga bahan bakar
fosil internasional, dan perkembangan teknologi. Konsumsi listrik dan harga
listrik berhubungan secara dinamis dengan modul permintaan energi final dan
pembangkit listrik. Model kilang minyak menproyeksikan keluaran dan
54
persyaratan kapasitas berdasarkan permintaan minyak global. Permintaan utama
bahan bakar fosil berfungsi sebagai input untuk modul penawaran. Neraca energi
lengkap dikompilasi di tingkat regional dan emisi CO2 masing-masing daerah
kemudian dihitung menggunakan penurunan faktor-faktor karbon.
Sumber: IEA, 2008
Gambar 8. Gambaran Model Energi Dunia
Dari aspek teknis, parameter dari modul-modul persamaan permintaan
diduga dengan menggunakan pendekatan ekonometrika. Untuk memperhitungkan
perubahan yang diharapkan secara struktural, kebijakan atau teknologi,
penyesuaian parameter-parameter dibuat selama periode pengamatan,
menggunakan model dan teknik ekonometrika. Modul permintaan dapat diisolasi
dan simulasi dijalankan secara terpisah. Hal ini sangat berguna dalam proses
penyesuaian dan analisis sensitivitas yang terkait dengan faktor tertentu.
Dalam WEM, sejumlah asumsi makroekonomi dan kependudukan
digunakan sebagai referensi dan skenario kebijakan alternatif. Proyeksi-proyeksi
Modul-Modul
Regional
Asumsi-Asumsi Eksogen
Permintaan EnergiAkhir
Pembangki Listrik,Kilang Minyak
Suplai EnergiFosil
Neraca Energi Regional
Emisi CO2 Investasi
55
dilakukan berdasarkan pada rata-rata harga eceran dari setiap bahan bakar yang
digunakan oleh pengguna akhir, pembangkit listrik dan sektor transformasi
lainnya. Harga-harga pengguna akhir diturunkan dari asumsi tentang harga
internasional bahan bakar fosil. Harga bahan bakar fosil cenderung meningkat dari
tahun ke tahun.
2.4.2. Studi Pertumbuhan Ekonomi dan Energi di Indonesia
Telah terdapat banyak studi yang membahas tentang hubungan antara
pertumbuhan ekonomi dan energi di Indonesia. Berbagai penelitian tersebut
menggunakan metode kuantitatif maupun metode kualitatif dan kombinasi
diantaranya. Berikut ini dipaparkan tentang sejumlah studi tentang pertumbuhan
ekonomi dan energi di Indonesia.
Sugiyono (1999) membangun model energi Indonesia dengan
menggunakan dua paradigma, yaitu paradigma model top-down dan model
bottom-up. Model top-down menyajikan analisis perilaku perekonomian secara
makro berdasarkan harga dan elastisitas. Model bottom-up mempertimbangkan
berbagai pilihan teknologi untuk penyediaan energi dan sektor pengguna energi
dalam terminologi biaya, bahan bakar dan karakteristik emisi. Namun demikian
untuk keperluan proyeksi permintaan dan penyedia energi menggunakan
paradigma gabungan top-down dan bottom-up. Dengan demikian tujuan penelitian
ini adalah untuk membuat proyeksi permintaan dan penyediaan energi di
Indonesia. Proyeksi permintaan dan penyediaan energi ini dilakukan untuk dua
kondisi perekonomian di Indonesia yaitu sebelum dan setelah krisis ekonomi.
56
Model yang digunakan Sugiyono (1999) adalah model direpresentasikan
sebagai persamaan matematik dalam bentuk nonlinear programming dengan
menggunakan software General Algebraic Modeling System(GAMS). Model
dibuat dengan tahun dasar 1995 dan untuk memproyeksikan permintaan dan
penyediaan energi di Indonesia sampai tahun 2030. Periode proyeksi diambil 5
tahun untuk 1 periode, sehingga ada 7 periode dalam model. Data yang berkaitan
dengan kondisi makroekonomi diperoleh dari International Monetary Fund
(IMF) dan Biro Pusat Statistik (BPS) dari tahun 1980 sampai tahun 1996.
Sedangkan data yang berhubungan dengan energi diperoleh dari beberapa
publikasi dari institusi yang berhubungan dengan bidang energi seperti Direktorat
Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi (DJLPE), Komite Nasional Indonesia,
World Energy Council (KNI-WEC), PT PLN Persero, BPPT, dan Pertamina. Data
setelah terjadi krisis ekonomi diperoleh dari berbagai artikel di surat kabar dan
majalah yang terbit selama tahun 1997 sampai dengan awal tahun 1999. Skenario
yang digunakan untuk dianalisis yaitu skenario bila tidak terjadi krisis ekonomi
dan skenario base line yang merupakan kondisi seperti saat ini setelah terjadi
krisis ekonomi. Skenario bila tidak terjadi krisis ekonomi merepresentasikan studi
yang dilakukan sebelum terjadinya krisis ekonomi. Disamping itu juga dilakukan
analisis sensitivitas terhadap discount rate untuk melihat pengaruhnya terhadap
permintaan energi dan pertumbuhan ekonomi.
Hasil penelitian Sugiyono (1999) menunjukkan bahwa permintaan energi
akan tumbuh sebesar 4.3 persen per tahun seandainya tidak terjadi krisis
ekonomi. Dalam kondisi krisis ekonomi, pertumbuhan permintaan energi
diproyeksikan hanya sebesar 2.9 persen per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan
57
energi tersebut batubara menjadi primadona sebagai sumber energi primer bila
tidak terjadi krisis. Dengan adanya krisis ekonomi yang mengakibatkan
permintaan energi tidak mengalami banyak kenaikan maka gas alam dan batubara
yang berperan besar sebagai sumber energi primer. Dengan berperannya bahan
bakar fosil sebagai energi di masa depan maka emisi CO2 dari penggunaan energi
juga akan meningkat. Dalam model ini hanya emisi CO2 yang diperhitungkan.
Untuk pengembangan studi selanjutnya, model dapat dikembangkan untuk
menganalisis emisi seperti SO2, NO2, dan debu.
Disamping itu, Sugiyono (2004) juga menulis artikel tentang Perubahan
Paradigma Kebijakan Energi Menuju Pembangunan yang Berkelanjuta. Artikel
yang ditulis ini dilatarbelakangi oleh sumberdaya energi yang digunakan di
Indonesia adalah energi fosil (minyak bumi, gas bumi, dan batubara) yang tidak
dapat diperbaharui dan energi yang dapat diperbaharui (tenaga air dan tenaga
panas bumi). Kondisi minyak bumi saat ini sudah cukup kritis. Laju penemuan
cadangan energi lebih rendah dari laju konsumsi energi. Bila tidak diketemukan
cadangan baru, Indonesia menjadi negara pengimpor minyak. Berbagai kebijakan
telah diterapkan selama ini dengan penekanan pada intensifikasi, diversifikasi, dan
konservasi. Namun untuk sektor transportasi, penggunaan minyak bumi dan
subsitusi ke penggunaan batubara tidak memungkinkan. Penggunaan tenaga listrik
dan gas untuk sektor transportasi masih relatif mahal apalagi dengan
menggunakan energi terbarukan. Sehingga ketergantungan akan minyak bumi
untuk sektor transportasi tidak dapat dihindari. Kebijakan energi yang ada saat ini
belum tanggap terhadap rentannya pasokan minyak bila Indonesia menjadi negara
pengimpor minyak. Untuk mengatasinya perlu paradigma baru dalam membuat
58
kebijakan. Dengan demikian tulisan ini bertujuan untuk membahas kebijakan
energi yang diperlukan serta proses pembuatannya supaya dapat memenuhi
kriteria yang diharapkan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Menurut Sugiyono (2004), untuk mewujudkan pembangunan energi
berkelanjutan, yakni pembangunan energi yang memenuhi kriteria ekonomis,
bermanfaat secara sosial, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup, diperlukan
kebijakan yang kondusif yang didukung dengan kemandirian finansial, teknologi
dan sumber daya manusia. Kemandirian finansial dapat dicapai bila mampu secara
mandiri membiayai operasional penyediaan dan penggunaan energi nasional.
Kemandirian teknologi harus dilakukan melalui tahapan yang panjang. Tahap
awal adalah meningkatkan kemampuan teknologi nasional dalam penyediaan
barang dan jasa di sektor energi sehingga kandungan lokal teknologi nasional
dalam barang atau jasa tersebut semakin besar. Sedangkan kemandirian
sumberdaya manusia (SDM) dapat dicapai dengan terus meningkatkan
kemampuan SDM dalam negeri di sektor energi yang melibatkan masyarakat
secara aktif.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa secara umum sasaran dari kebijakan energi,
yakni mengurangi ketergantungan pada minyak bumi sebagai sumber energi
melalui diversifikasi dan intensifikasi sumberdaya energi, sudah cukup berhasil.
Namun sasaran efisiensi penggunaan energi melalui konservasi dapat dikatakan
gagal karena adanya kontradiksi antara kebijakan konservasi dengan kebijakan
pemberian subsidi BBM. Strategi pengembangan energi jangka pendek dan
jangka panjang juga belum tersusun dengan jelas. Kebijakan-kebijakan yang ada
masih terkesan sebagai kebijakan parsial yang tidak ada aliran strategis terhadap
59
program jangka panjangnya. Oleh karenanya pada masa mendatang perlu suatu
paradigma baru yang terkait dengan: (a) Proses pembuatan kebijakan harus
transparan dan terbuka bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat berpartisipasi
untuk menyempurnakan kebijakan tersebut; (b) Kebijakan sebaiknya bersifat
kualitatif dan kuantitatif sehingga dampaknya dapat dengan mudah dievaluasi;
dan (3) Perlu dipikirkan adanya kebijakan tentang keamanan energi (energy
security).
Sugiyono (2005) juga menulis artikel tentang Pemanfaatan Biofuel dalam
Penyediaan Energi Nasional Jangka Panjang. Artikel yang tulis oleh Sugiyono
(2005) diawali dengan permasalahan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi
dan populasi dengan segala aktivitasnya akan meningkatkan kebutuhan energi di
semua sektor pengguna energi. Konsumsi energi final meningkat dari 221,33 juta
Setara Barel Minyak (SBM) pada tahun 1990 menjadi 489,01 juta SBM pada
tahun 2003 atau meningkat sebesar 6,3 persen per tahun. Berdasarkan jenis
energinya, konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan konsumsi energi
final terbesar. Pada tahun 2003 konsumsi BBM sebesar 329 juta SBM (67,7
persen), Bahan Bakar Gas (BBG) sebesar 63 juta SBM (13,0 persen), listrik
sebesar 55 juta SBM (11,3 persen), batubara sebesar 31 juta SBM (6,4 persen),
dan LPG sebesar 8 juta SBM (1,6 persen). Sebagian besar konsumsi BBM
digunakan untuk sektor transportasi. Peningkatan kebutuhan energi tersebut tidak
didukung oleh pasokan energi jangka panjang secara berkesinambungan,
terintegrasi, dan ramah lingkungan. Sementara itu, pasokan energi berasal dari
sumber energi dalam negeri dan dari impor dari negara lain. Apabila pasokan
energi dalam negeri tidak mencukupi untuk kebutuhan dalam negeri dan
60
Indonesia harus mengimpor BBM dari Negara lain. Impor yang tinggi tentu akan
membahayakan negeri ini. Kondisi ini juga didukung oleh potensi sumberdaya
minyak bumi dan kemampuan kapasitas kilang di dalam negeri yang terbatas.
Oleh karena itu perlu dicarikan bahan bakar alternatif untuk substitusi BBM.
Dengan demikian tujuan dari penulisan ini membahas peluang pemanfaatan
biodiesel sebagai bahan bakar alternatif untuk mesin diesel dan bioethanol sebagai
bahan bakar alternatif untuk mesin bensin di sektor transportasi. Pengembangan
dalam pemanfaatan biofuel menjadi lebih menarik dengan semakin meningkatnya
harga minyak mentah dunia yang mencapai US$70 per barel pada akhir tahun
2005.
Selanjutnya metodologi yang digunakan oleh Sugiyono (2005) adalah
menggunakan model reference energy system (RES) yang diformulasi dalam
bentuk linear programming. Model akan mengalokasikan penyediaan energi
primer dan sekunder dengan fungsi obyektif meminimumkan total biaya
penyediaan energi dan dengan kendala berbagai pilihan sumber dan teknologi
energi untuk memenuhi kebutuhan energi final maupun energi bermanfaat.
Analisis dilakukan dengan tahun dasar 2003 dan periode analisis sampai dengan
tahun 2025. Proyeksi kebutuhan energi merupakan masukan model MARKAL
dan diproyeksikan dengan mempertimbangkan pertumbuhan sektor ekonomi dan
populasi. Proyeksi kebutuhan energi diperhitungkan dengan menggunakan model
Model for Analysis of Energy Demand (MAED). Skenario yang akan ditinjau ada
dua yaitu kasus dasar dan kasus harga minyak mentah tinggi. Kasus dasar
menganggap bahwa perkembangan perekonomian sesuai dengan kondisi saat ini.
Asumsi yang digunakan pada kasus dasar adalah discount rate sebesar 10 persen,
61
harga minyak bumi tahun 2003 – 2004 sebesar 28 US $/barel dan mulai tahun
2005 sebesar 40 US$/barel. Sedangkan harga bahan baku biofuel adalah untuk
CPO sebesar 60,2 US$/SBM dan untuk ubi kayu sebesar 60,8 US$/SBM. Dengan
mempertimbangkan bahan bakau tersebut maka biaya produksi biodiesel dari
CPO dengan kapasitas 100.000 ton/tahun adalah Rp. 4.240/liter dan biaya
produksi bioethanol dari ubi kayu dengan kapasitas 60 kl/hari adalah sebesar Rp.
4.720/liter. Sedangkan untuk kasus harga minyak mentah yang tinggi digunakan
asumsi harga minyak mentah sebesar 50 US$/barel dan 60 US$/barel mulai tahun
2005. Masing-masing kasus dilakukan optimasi untuk melihat peluang
pemanfaatan biofuel.
Hasil penelitian Sugiono (2005) menunjukkan dengan harga minyak
mentah sebesar 40 US$/barel (kasus dasar), diperoleh biaya total sistem energi
Indonesia (discounted total cost) adalah sebesar 590,7 milyar US$. BBM
merupakan bahan bakar yang paling dominan digunakan di sektor transportasi.
Biofuel baik berupa biodiesel maupun bioethanol belum dapat bersaing dengan
BBM. Pada harga tersebut, teknologi transportasi berbasis minyak solar dan
bensin ternyata masih tetap lebih ekonomis dibanding dengan BBG, apalagi
dibandingkan dengan menggunakan biodiesel atau bioethanol. Biaya pemanfaatan
biodiesel dan bioethanol masih lebih tinggi dibanding bahan bakar konvensional.
Selanjutnya, harga minyak mentah sebesar 50 US$/barel dan 60 US$/barel
akan meningkatkatkan biaya total sistem energi Indonesia masing-masing adalah
sebesar 610,8 milyar US$ dan 627,4 milyar US$. Pada harga minyak mentah
sebesar 50 US$/barel, pola pemakaian energi final di sektor transportasi masih
relatif tetap seperti pada kasus dasar. Hal tersebut disebabkan biaya produksi
62
biodiesel berbahan baku dan biaya produksi bioethanol berbahan baku ubi kayu
masih lebih mahal dari biaya produksi BBM di kilang minyak. Sedangkan dengan
harga minyak 60 US$/barel maka biodiesel dan bioethanol berpotensi untuk
dimanfaatkan di sektor transportasi. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa
pada harga minyak mentah sebesar 55 US$/barel maka biodiesel dan bioethanol
sudah dapat bersaing dengan BBM. Sehingga pada harga minyak mentah di atas
55 US$/barel maka sebagian besar penggunaan minyak solar dan bensin
digantikan dengan biodiesel dan bioethanol. Pemanfaatan biodiesel dan bioethanol
terus meningkat hingga pada tahun 2025 mencapai 47 juta SBM untuk biodiesel
dan 103 juta SBM untuk bioethanol, sehingga kenaikan penggunaan minyak solar
dan bensin di sektor ini dari tahun 2003 hingga tahun 2025 relatif kecil.
Penggunaan minyak solar meningkat dari sebesar 72 juta SBM pada tahun 2003
menjadi 82 juta SBM pada tahun 2025 dan penggunaan bensin meningkat dari 81
juta SBM pada tahun 2003 menjadi 114 juta SBM pada tahun 2025. Pemakaian
avtur yang tidak dapat digantikan oleh bahan bakar lain relatif tetap
pertumbuhannya yaitu sekitar 6.8 persen per tahun. Selain biodiesel dan
bioethanol, diperkirakan BBG juga dapat bersaing dengan minyak solar dan
bensin, sehingga pada tahun 2025 kontribusi BBG di sektor transportasi
meningkat menjadi 20.6 persen terhadap total pemakaian energi di sektor
transportasi.
Berkolaborasi dengan Sugiyono, Jamin (2009) kemudian menulis artikel
tentang Pengembangan Kelistrikan Nasional. Artikel yang ditulis oleh Jamin dan
Sugiyono diawali dengan peningkatan tenaga listrik di Indonesia sejalan dengan
peningkatan pertumbuhan ekonomi, dimana peningkatannya rata-rata sebesar 9.2
63
persen per tahun. Peningkatan penggunaan tenaga listrik perlu
mempertimbangkan ketersediaan sumber daya energi dan penggunaan teknologi
yang tepat. Oleh karena itu makalah ini bertujuan memberikan gambaran tentang
pengembangan kelistrikan nasional dengan mempertimbangkan berbagai faktor,
baik aspek teknis maupun ekonomis. Selain itu juga dipaparkan target-target
pemerintah dalam pengembangan teknologi untuk mendukung pengembangan
kelistrikan nasional.
Jamin dan Sugiyono (2009) memaparkan pembangkit tenaga listrik di
Indonesia dapat dikelompokkan berdasarkan kepentingannya, yaitu untuk
kepentingan umum dan untuk kepentingan sendiri. Pembangkit tenaga listrik
untuk kepentingan umum sebagian besar dipasok oleh PT PLN (Persero) dan
sebagian lagi dipasok oleh perusahaan tenaga listrik swasta, dalam istilah umum
disebut IPP (Independent Power Producer), serta koperasi. Sedangkan
pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan sendiri (captive power) diusahakan
oleh swasta untuk kepentingan operasi perusahaan sendiri dan biasanya tidak
terjangkau oleh jaringan PLN atau karena alasan keandalan sistem.
Kapasitas terpasang pembangkit listrik PLN sampai tahun 2006 sebesar
24.8 GW. Sedangkan kapasitas pembangkit tenaga listrik milik swasta yang sudah
mempunyai ijin sampai dengan tahun 2006 mencapai 3.7 GW. Penyedian tenaga
listrik tahun 2006 sebesar 133.1 TWh yang terdiri atas produksi tenaga listrik PLN
sebesar 104.5 TWh dan pembelian sebesar 28.6 TWh. Penjualan tenaga listrik
PLN tahun 2006 sebesar 112.6 TWh. Penjualan untuk sektor industri sebesar 43.6
TWh, sektor rumah tangga sebesar 43.8 TWh, sektor komersial atau usaha sebesar
18.4 TWh dan sektor publik atau umum sebesar 6.8 TWh.
64
Selanjutnya dalam kerangka restrukturisasi sektor ketenagalistrikan,
Pemerintah telah memberlakukan UU No. 15 Tahun 1985 tentang usaha
penyediaan tenaga listrik untuk umum diselenggarakan oleh PT PLN (Persero)
sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dan Pemegang Ijin
Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum (PIUKU). Peran PIUKU
sangat penting karena keterbatasan finansial pemerintah untuk pendanaan sektor
ketenagalistrikan. Kebijakan pemerintah tentang tarif dasar listrik adalah bahwa
tarif listrik secara bertahap dan terencana diarahkan untuk mencapai nilai
keekonomiannya sehingga tarif listrik rata-rata dapat menutup biaya yang
dikeluarkan. Kebijakan ini diharapkan akan dapat memberikan sinyal positif bagi
investor dalam berinvestasi di sektor ketenagalistrikan.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik tersebut perlu
mempertimbangkan ketersediaan sumber daya energi dan penggunaan teknologi
yang tepat. Pembangkit tenaga listrik skala besar yang mungkin dikembangkan
adalah menggunakan batubara, gas bumi, dan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
(PLTN). Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara menjadi prioritas
pertama dan disusul PLTGU, PLTN dan PLTU Mulut Tambang Provinsi
Sumatera Selatan. Disamping itu untuk energi terbarukan yang dapat
dikembangkan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Kemudian Sugiono dan Suarna (2006) menulis artikel dengan
dilatarbelakangi oleh pengamatan tentang peranan energi dalam pembangunan
sebagai bahan bakar dan bahan baku untuk penggerak perekonomian. Seiring
dengan pertumbuhan ekonomi, diperkirakan permintaan energi akan terus
65
meningkat. Namun disisi lain terjadi keterbatasan sumber daya energi. Oleh
karena itu perlu dilakukan pengoptimalkan penggunaan energi melalui
perencanaan energi terpadu. Untuk menganalisis penggunaan energi secara
terpadu digunakan model MARKAL. Dari hal diatas maka tujuan dari penulisan
ini adalah membahas konsep dan aplikasi dari model MARKAL untuk optimasi
penyediaan energi.
Lebih jauh Sugiyono dan Suarna (2006) memaparkan bahwa model
MARKAL merupakan model untuk optimasi penyediaan energi dengan
menggunakan teknik LP untuk mengalokasikan penyediaan energi dengan fungsi
obyektif meminimumkan total biaya penyediaan energi dan dengan kendala
teknologi serta sumber daya energi untuk memenuhi kebutuhan energi. Dalam
aplikasi, model MARKAL sudah merupakan perangkat lunak terintegrasi dengan
user interface yang disebut ANSWER dan dapat dijalankan dengan menggunakan
PC. Perangkat lunak GAMS merupakan salah satu modul ANSWER yang
digunakan untuk optimasi. Dengan menggunakan PC yang berbasis Windows
maka proses optimasi dan analisis menjadi lebih interaktif dan relatif mudah untuk
dikerjakan. Di Indonesia model MARKAL digunakan sejak tahun 1980 dengan
dibentuknya tim perencanaan energi antar institusi dengan BPPT sebagai
koordinator dan bekerja sama dengan KFA Jerman. Saat ini ada empat institusi
yang mempunyai lisensi untuk menggunakannya, yaitu: Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT), ASEAN Centre for Energy (ACE), Badan
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), serta
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM).
66
Selanjut Sugiyono dan Suarna (2006) membagi wilayah penelitiannya
menjadi empat wilayah, yaitu: Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Pulau-pulau lain.
Studi dimulai dengan tahun dasar 2000 dan dianalisis sampai tahun 2030. Asumsi
yang digunakan adalah discount rate sebesar 10 persen, harga minyak bumi tahun
2000-2004 sebesar 28 US $/barel dan mulai tahun 2005 sebesar 40 US$/barel.
Database untuk Indonesia mempunyai lebih dari 280 teknologi dengan lebih dari
160 energy carrier. Matriks LP mempunyai lebih dari 22.000 variabel dan 22.000
persamaan. Hasil yang ditampilkan di sini hanya untuk pembangkit tenaga listrik
pada kasus dasar yang menganggap bahwa perkembangan perekonomian sesuai
dengan kondisi saat ini. Lebih dari 80 macam teknologi pembangkit tenaga listrik
digunakan dalam model ini, baik yang sudah komersial saat ini maupun teknologi
baru. Untuk lebih mempermudah analisis, teknologi pembangkit tenaga listrik
digabung menjadi 4 macam sesuai dengan bahan bakarnya, yaitu: (1) Batubara,
(2)Bahan bakar minyak (BBM) termasuk di dalamnya minyak bakar dan minyak
diesel, (3) Gas termasuk turbin gas dan turbin kombinasi gas-uap, dan (4) Energi
terbarukan dan energi nuklir termasuk pembangkit listrik tenaga air, tenaga panas
bumi, biomasa dan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyediaan tenaga listrik akan
didominasi oleh pembangkit listrik batubara, diikuti oleh pembangkit listrik gas
dan penggunaan energi terbarukan. Pembangkit tenaga listrik batubara mengalami
pertumbuhan sebesar 9.7 persen per tahun. Pada akhir periode analisis, batubara
merupakan bahan bakar terbanyak dengan pangsa sebesar 58 persen. Energi
terbarukan mempunyai pangsa 20 persen dan pangsa penggunaan gas hanya
sebesar 19 persen.
67
Tambunan (2006) menulis artikel dengan tujuan untuk menjelaskan alasan,
tantangan, dan opsi kebijakan sehubungan dengan siklus harga minyak kedua
tertinggi tahun 2005, dibandingkan dengan siklus tertinggi pertama tahun 1974.
Tidak seperti siklus harga minyak pertama, yang dihadapkan pada masalah utama
dari aspek suplai, siklus kedua terjadi lebih dasyat karena kombinasi antara faktor
suplai dan deman. Faktor suplai meliputi:(1) terbatasnya investasi pada industri
minyak, baik pada sektor hulu (upstream) maupun pada sektor hilir (downstream),
(2) masalah-malasah geopolitik di Timur Tengah, Negeria dan wilayah lainnya,
dan (3) produksi minyak di negara-negara non-OPEC yang menurun, dan OPEC
juga tidak dapat mengontrol jumlah cadangan minyak dunia. Dari sisi deman,
percepatan pertumbuhan ekonomi China dan India, dan pemulihan ekonomi di
Asia telah ikut mendorong siklus harga yang tinggi. Sumber utama dari
ketidakpastian harga minyak dunia adalah (1) perseteruan goopolitik di Timur
Tengah yang tidak kunjung selesai, (2) factor “oil boom” di Rusia, (3) terbatasnya
rekayasa teknologi dalam industri minyak, dan (4) pergeseran permintaan dari
minyak fosil.
Menurut Tambunan (2006) tantangan ke depan adalah harga minyak yang
cenderung meningkat, dengan frekuensi peningkatan harga dalam rentang waktu
yang relatif singkat. Tidak ada bukti empiris yang kuat untuk menyatakan
sebaliknya. Jika prediksi tersebut benar, ini dapat menjadi pendorong merosotnya
pertumbuhan ekonomi, khususnya menyerang ekonomi energi, baik di negara
maju maupun di negara sedang berkembang. Berdasarkan kausus Indonesia
sebagai negara penghasil minyak kecil: kenaikan harga minyak dan pergeseran
dari negara pengekspor menjadi pengimpor menciptakan tekanan fiskal yang kuat,
68
sehingga pada tahun 2005 Pemerintah Indonesia secara mendasar mengurangi
subsidi harga minyak, menyebabkan harga minyak domesik meningkat 125
persen. Dampak siklus kedua ini memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan
ekonomi yang tetap stagnan pada level 5.2 persen, yang diperkirakan bimencapai
6.2 bisa persen pada tahun 2005.
Opsi kebijakan dunia yang terbaik untuk setiap negara, dan untuk
kelompok (kerjasama) dunia, sehubungan dengan siklus kenaikan harga minyak
menurut Tambunan (2006) adalah mengembangkan “green energy plan” yang
berisikan lima pilar dasar: (1) membangun suatu rencana unuk meningkatkan
efisiensi dan produktivitas pemanfaatan energi, (2) konservasi dan mengurangi
polusi, (3) meningkatkan investasi dari aspek produksi, pengolahan, dan distribusi
minyak, (4) mengembangkan akses energi yang sama untuk wilayah pedesaan
(khususnya listrik), dan (5) secara bertahap mengembangkan pasar swasta untuk
energi.
2.4.3. Studi Pertumbuhan Ekonomi dan Energi pada Beberapa Negara
Seperti halnya dengan sejumlah studi tentang pertumbuhan ekonomi dan
energi yang telah dilakukan di Indonesia, telah banyak studi sejenis yang
dilakukan pada berbagai negara dengan menggunakan berbagai model. Model-
model yang digunakan mulai dari yang menggunakan analisis deskriptif, model
kuantitatif sederhana sampai yang kompleks. Berikut ini dipaparkan sejumlah
studi tentang pertumbuhan ekonomi dan energi pada beberapa negara.
Khan (2008) melakukan studi dengan menggunakan pendekatan regional
dan global untuk memecahkan masalah ketahanan energi dan ketidakseimbangan
69
ekologi, dengan tujuan sepesifik terhadap masalah-masalah ketahanan energi
Cina. Pertumbuhan ekonomi Cina yang tergantung pada energi telah menjadi
perhatian utama para pengambil kebijakan di negara tersebut terkait dengan
ekonomi dan ketahanan nasional. Berambisi untuk mencapai tujuan modernisasi
ekonomi yang setara dengan perekonomian negara-negara industri baru lainnya di
Asia telah berhasil diraih Cina dengan sangat baik, namun mengalami kesulitan
untuk melakukan reorientasi prioritas-prioritas ekonomi. Jika diuji secara teliti,
dengan menggunakan asumsi strategis dapat dilihat bahwa tujuan sesungguhnya
adalah untuk menciptakan kemajuan teknologi pada masa mendatang. Tepatnya,
Cina berkeinginan untuk menjadi benar-benar berusaha untuk menciptakan sistem
inovasi bagi kebutuhan sendiri secara besar-besaran sebagai bagian dari
perekonomian berbasiskan ilmu pengetahuan pada masa mendatang. Sistem
inovasi seperti itu dikenal dengan positive feedback loop innovation systems
(POLIS), telah diciptakan oleh negara-negara maju dan negara-negara industri
baru di Asia seperti Korea Selatan dan Taiwan yang telah terlebih dahulu
mewujudkannya dengan baik. Tetapi ini akan menambah beban energinya dan
kemudian tergantung pada Amerika Serikat sebagai kekuatan yang menjadi
kontrol kunci jalur laut. Hanya dengan strategi reorientasi untuk membangun
POLIS bagi memenuhi kebutuhan sendiri dan kerjasama kelembagaan regional
yang tepat menjadi jalan keluar untuk mengatasi dilema yang dihadapi Cina saat
ini. Model POLIS yang sensitif terhadap lingkungan dan distribusinya dapat
dibangun untuk Cina dan diaplikasikan secara strategik untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan.
70
Menurut Khan (2008), bagaimanapun waktu adalah hal yang pokok.
Dalam menentukan jalur ketergantungan pembangunan, apabila tidak dicarikan
strategi alternatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi dalam jangka waktu 5
tahun kedepan, mungkin akan terlambat. Hasil temuan awal mengkonfirmasikan
prediksi-prediksi berdasarkan penggunaan bahan bakar fosil dan menjadi
pertimbangan serius dari sumber-sumber energi alternatif. Pencapaian tujuan
kembar yakni ketahanan energi dan keseimbangan ekologi merupakan tantangan
tetapi sulit diwujudkan untuk Cina. Keseriusan riset kebijakan dapat digunakan
secara efektif jika ada kemauan politik untuk melakukannya. Tujuan kerjasama
regional juga dapat dicapai jika negosiasi untuk membangun kepercayaan dimulai
lebih awal. Tepatnya, kerjasama perekonomian dengan negara-negara Asia,
khususnya Jepang, Indonesia, Vietnam dan India menjadi krusial. Paper ini
memperlihatkan kompleksitas kerjasama dan konflik antara Cina dan Jepang.
Pada masa mendatang Cina juga harus melakukan kerjasama regional dengan
Asia Timur, Selatan, dan Tenggara, demikian juga dengan negara-negara Afrika
dan Amerika Latin.
Ghader et al. (2006) membangunan model dan meramalkan permintaan
listrik di Iran. Studi ini dilatarbelakangi oleh upaya untuk merealisasikan suatu
perekonomian yang stabil, produksi dan eksploitasi energi perlu diprogramkan,
sama pentingnya dengan faktor sumberdaya manusia, bahan baku, sumber-sumber
keuangan dan input lainnya. Mempertimbangkan kondisi energi saat ini banyak
negara lebih fokus pada ketersediaan energi yang terbatas. Untuk mewujudkan
listrik sebagai salah satu sumber energi bersih, maka penyelarasan antara
penawaran dan permintaan menjadi sebuah tantangan bagi para pengambil
71
kebijakan. Produktivitas industri dari sisi permintaan dan mekanisme harga dari
sisi penawaran dapat dipertimbangkan sebagai alat yang tangguh dalam
mengambil keputusan, mengelola dan mengawasi permintaan konsumsi listrik
untuk industri.
Dalam studi ini, sektor yang mengkonsumsi listrik dibagi dalam sektor
pertanian dan sektor industri. Mengacu pada keberagaman industri dari sisi
peralatan, produk, teknologi, proses dan konsumsi energi, maka sektor industri
dalam mengkonsumsi listrik dibagi dalam dua kelompok, yaitu industri dengan
konsumsi energi tinggi dan industri dengan konsumsi energi rendah, dan model
permintaan disajikan untuk setiap sektor secara terpisah. Tiga jenis industri yang
ditempatkan dalam kelompok pertama (industri dengan konsumsi energi tinggi),
yaitu industri kimia, logam dasar, dan mineral bukan logam. Kemudian yang
termasuk dalam kelompok kedua (industri dengan konsumsi energi rendah) adalah
industri pangan, tekstil, kertas, dan industri-industri penghasil mesin.
Metode analisis Ordinary Least Squares (OLS) digunakan untuk menduga
dan meramalkan ketiga persamaan tersebut secara terpisah. Data yang digunakan
adalah data time series pada periode 1979-2003. Temuan utama dari studi ini
menyebutkan: (1) untuk model permintaan listrik pada industri dengan konsumsi
listrik tinggi, intensitas listrik dan harga substitusi berpengaruh positif; (2) pada
industri dengan konsumsi listrik rendah, jumlah pelanggan, berpengaruh positif
dan signifikan; dan (3) pada sektor pertanian, jumlah konsumsi listrik peride yang
lalu berpengaruh positif dan signifikan.
Tubss (2008) membangun model simulasi permintaan dan penawaran
energi di Kanada. Studi yang dilakukan oleh Tubss (2008) dimotivasi oleh
72
keinginannya untuk menggunakan model regresi berganda dan model
perdagangan antarwilayah ketika mengevaluasi kebijakan iklim di Kanada. Suatu
model penawaran dan permintaan energi yang terintegrasi antara Kanada dan
Amerika Serikat secara khusus penting untuk menganalisis kebijakan iklim
Kanada karena perekonomian Kanada terintegrasi secara mendalam dengan
perekonomian Amerika Serikat. Spesialisasi Kanada dalam komoditas membuat
perekonomiannya mudah dipengaruhi oleh perubahan harga komoditas serta
perubahan biaya produksi domestik yang diakibatkan oleh kebijakan iklim. Suatu
model Kanada-Amerika Serikat yang terintegrasi dapat digunakan untuk
menganalisis manfaat dari koordinasi kebijakan antara Kanada dan Amerika
Serikat.
Studi ini bertujuan untuk: (1) membangun model simulasi penggunaan
energi Kanada dan Amerika Serikat, (2) menghubungkan model permintaan
energi dengan model penawaran energi menggunakan model perdagangan energi
internasional, dan (3) menggunakan model terintegrasi untuk melakukan simulasi
terhadap sejumlah skenario terhadap kebijakan iklim Kanada dan Amerika Serikat
pada masa mendatang.
Model CIMS Kanada digunakan sebagai langkah awal untuk membangun
dua model baru sektor perekonomian Kanada dan Amerika Serikta. Data dari
Energy Information Administration (EIA) Amerika Serikat dan National Energy
Modelling System (NEMS) digunakan dalam konstruksi model sektor Amerika
Serikat. Data teknologi dari Model Kanada digunakan dalam model Amerika
Serikat untuk sebuah perluasan yang besar, dengan penyesuaian untuk
mencocokkan penggunaan dan emisi energi Amerika Serikat. Referensi EIA dari
73
Annual Energy Outlook 2006 digunakan untuk merumuskan skenario output
perekonomian dan harga energi.
Dari studi ini dapat disimpulkan bahwa peramalan efektivitas dan dampak
perekonomian dari kebijakan-kebijakan publik untuk mengatasi masalah
perubahan iklim membutuhkan model ekonomi energi yang tepat. Studi ini
merupakan langkah awal integrasi model teknologi bottom-up dan model
makroekonomi top-down. Hasil temuan utama dari studi ini menyebutkan bahwa
output pada masa mendatang menurut sektor energi akan berkurang ketika
ditetapkan harga terhadap emisi di Kanada. Kebijakan iklim Amerika Serikat juga
menentukan pengurangan emisi di Kanada.
Nondo dan Kahsai (2009) mempresentasikan hubungan antara konsumsi
energi dan pertumbuhan energi untuk sejumlah negara di Afrika. Latar belakang
dilakukan studi oleh Nondo dan Kahsai (2009) ini adalah fakta bahwa Sub-
Saharan Africa pada dasarnya diberkahi dengan sejumlah sumberdaya energi
natural seperti angin, batubara, minyak, kayu dan sinar matahari, namun sumber-
sumber dalam jumlah besar ini tidak dieksploitasi untuk beberapa dekade.
Konsekuensinya banyak negara-negara Afrika mengalami defisit energi yang
serius karena miskinnya investasi pada infrastruktur energi. Ketidakseimbangan
persediaan pelayanan energi di Sub-Saharan Africa disebut oleh the United
Nations Economic Commission for Africa (UNECA, 2004) sebagai keterbatasan
faktor untuk pertumbuhan ekonomi dan usaha pengentasan kemiskinan. Terutama
sekali pada penduduk desa dan penduduk miskin perkotaan yang tidak memiliki
akses terhadap pelayanan energi moderen. Dalam rangka untuk memenuhi
konsumsi energi sehari-hari, mayoritas penduduk menggunakan sumber-sumber
74
biomass tradisional seperti kayu, sisa-sisa pertanian, dan sumber-sumber energi
premitif lainnya dan oleh karenanya menyebabkan masalah degradasi lingkungan
dan lahan.
Pasca periode kemerdekaan di benua Afrika mulai akhir 1960-an, banyak
pimpinan negara-negara Afrika membentuk integrasi wilayah sebagai sebagai
elemen sentral dari strategi pembangunan mereka. Pembentukan Regional
Economic Communities (RECs) di Afrika bertujuan untuk mendorong persatuan,
mewujudkan pembangunan berkelanjutan, meningkatkan daya saing dan
mengintegrasikan negara-negara Afrika dalam perekonomian global melalui
kerjasama yang menguntungkan antara negara-negara anggota. Mengacu pada
penyediaan energi, banyak negara-negara Afrika membentuk kerjasama regional
untuk mengatasi masalah defisit energi. Sebagai contoh, Common Market for
Eastern and Southern Africa (COMESA) yang beranggotakan 20 negara, dengan
tujuan mendorong integrasi regional melalui pembangunan perdagangan.
Mayoritas negara-negara anggota COMESA adalah negara sedang berkembang
dan juga sejumlah negara miskin.
Dengan dibentuknya COMESA, belum cukup investasi pada sektor energi
untuk membangun infrastruktur energi sehingga masih tetap terkebelakang.
Namun demikian, kebijakan ini mampu meningkatkan konsumsi energi per kapita
sehingga dapat membantu pencapaian pembangunan sosial dan mendorong
pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa untuk
merumuskan kebijakan energi dengan tepat, maka penting untuk menentukan
hubungan kausalitas antara konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi untuk
COMESA.
75
Mengacu pada latar belakang di atas, studi ini menggunakan data panel
untuk menganalisis hubungan jangka panjang antara konsumsi energi dan Produk
Domestik Bruto (PDB) terhadap 19 negara Afrika berdasarkan data tahunan untuk
periode 1980-2005. Pada tahap awal, dilakukan pengujian derajat integrasi antara
konsumsi energi dan PDB dengan menggunakan tiga panel unit roots tests dan
ditemukan bahwa variabel-variabel terintegrasi satu sama lain. Pada tahap kedua,
dilakukan pengujian hubungan jangka panjang antara konsumsi energi dan PDB.
Hasilnya memperlihatkan bahwa konsumsi energi dan PDB bergerak bersama-
sama dalam jangka panjang. Pada tahap ketiga, dilakukan pendugaan hubungan
jangka panjang dan uji kausalitas menggunakan panel-based error correction
models. Hasilnya mengindikasikan bahwa kausalitas jangka pendek dan jangka
panjang tidak searah, bergerak dari konsumsi energi ke PDB. Ini
mengimplikasikan bahwa berkurangnya konsumsi energi dapat menyebabkan
menurunnya pertumbuhan ekonomi.
Aqeel dan Butt. (2001), juga melakukan studi tentang hubungan antara
konsumsi energi dan pertumbuhan energi, untuk kasus di Pakistan. Tujuan umum
dari artikel yang ditulis Aqeel dan Butt (2001) adalah untuk mengetahui arah
hubungan kausalitas antara konsumsi dan aktivitas perekonomian di Pakistan.
Secara spesifik tujuannya adalah untuk menganalisis hubungan kausal antara
konsumsi energi dan pertumbuhan PDB. Dapat ditambahkan bahwa untuk
menjelaskan berbagai peluang terhadap arah kausalitas sebagai informasi lanjutan,
konsumsi energi didisagregasi kedalam komponen-komponen petroleum,
konsumsi gas dan listrik. Tujuan spesifik selanjutnya adalah untuk mengetahui
arah hubungan kausalitas antara konsumsi energi dan kesempatan kerja. Uji
76
kausalitas Granger dengan menggunakan teknik kointegrasi digunakan untuk
mengetahui ada atau tidaknya kointegrasi antara variable-variabel yang menjadi
perhatian utama. Kemudian untuk menyeleksi panjangnya lag optimum, uji
Granger versi Hsia digunakan untuk mengindentifikasi perbedaan data dan
menggunakan kriteria FPE.
Dari hasil pendugaan dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi
mempengaruhi konsumsi energi total. Hasil investigasi lanjutan mengindikasikan
bahwa pertumbuhan ekonomi menyebabkan konsumsi energi petroleum
meningkat, sedangkan dalam kasus sektor gas, pertumbuhan ekonomi tidak
mempengaruhi konsumsi gas. Namun demikian, untuk sektor pembangkit listrik,
konsumsi energi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Terakhir, konsumsi
energi juga secara langsung mempengaruhi kesempatan kerja.
Berdasarkan hasil temuan utama tersebut dapat dirumuskan sejumlah
implikasi kebijakan. Ketika Pakistan harus mengeluarkan dana yang tinggi untuk
mengimpor minyak, impor petroleum menurun menjadi $1.53 milyar pada tahun
1999/2000 dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar $1.57 milyar. Pada
tahun 2000/2001 impor petroleum mencapai $2.5 milyar atau sekitar 25 persen
dari total impor. Oleh karena itu, dengan penggunaan minyak secara lebih efisien
dan menggantikan minyak dengan gas merupakan kebijakan yang baik. Implikasi
dari studi ini menegaskan bahwa kebijakan konservasi energi sehubungan dengan
konsumsi petroleum tidak akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Pakistan.
Sebaliknya untuk kebijakan pertumbuhan energi dalam kasus gas dan konsumsi
listrik, pertumbuhan dalam sektor ini menstimulasi pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan seperti ini akan memperluas kesempatan kerja di dalam negeri.
77
Kemudian Krichene (2005) membangun model persamaan simultan untuk
pasar dunia minyak mentah dan gas alam. Artikel yang ditulis oleh Krichene
(2005) dilatarbelakangi oleh fenomena pasar minyak mentah dan gas alam
merupakan subjek goncangan dan memiliki konsekuensi perubahan/penguapan
yang sangat tinggi di Amerika Serikat. Goncangan penawaran dan permintaan
menyebabkan pergerakan yang besar pada harga minyak dan gas alam, yang
diikuti respon dinamik penawaran dan permintaan energi, serta dalam eksplorasi
energi dan aktivitas-aktivitas pembangunan. Oleh karenanya pemodelan pasar
minyak mentah dan gas alam sangat penting, tidak hanya karena pengaruhnya
terhadap aktivitas ekonomi makro, tetapi juga karena peranan energi dalam
perencanaan investasi perusahaan dan rumahtangga. Biaya dan efisiensi energi
telah menjadi perhatian utama dalam perencanaan investasi tersebut.
Krichene (2005) membangun model persamaan simultan yang
menghubungkan antara harga minyak, perubahan nilai tukar efektif nominal dollar
Amerika Serikat, dan suku bunga, yang kemudian mengidentifikasi goncangan
kebijakan moneter terhadap peningkatan permintaan minyak mentah. Untuk
tujuan pendugaan jangka pendek, model tersebut diduga dengan metode Two
Stage Least Squares (2SLS). Untuk memperkuat keyakinan terhadap hasil
pendugaan, model tersebut diduga kembali dengan Error Correction Model
(ECM). Kemudian elastisitas jangka panjang diduga dengan bantuan analisis
ECM dan kointegrasi.
Temuan utama dari artikel tersebut menyebutkan bahwa penawaran dan
permintaan minyak mentah dan gas alam terhadap harga sangat inelastis dalam
jangka pendek, berarti terjadi perubahan/penguapan yang sangat tinggi pada pasar
78
minyak mentah dan gas alam. Permintaan minyak mentah mengalami perubahan
struktural yang dalam pada periode 1973-2004. Sebagai catatan, lompatan harga
minyak, ketika pajak energi di negara-negara pengimpor minyak tinggi,
menyebabkan elastisitas permintaan berkurang secara signifikan, melalui
substitusi dan penghematan energi, permintaan minyak jangka panjang tidak
elastis, dengan permintaan terhadap bahan bakar cair meningkat secara terbatas
untuk transportasi. Elastisitas pendapatan tinggi untuk permintaan minyak mentah
dan gas alam. Elastisitas penawaran minyak mentah mengalami penurunan yang
tajam setelah goncangan minyak, merefleksikan perubahan struktur pasar
kompetitif menjadi tidak kompetitif. Demikian pula halnya dengan elastisitas gas
alam dengan menggunakan model VECM, merefleksikan respon penawaran
sebagai pendorong permintaan gas alam.
Hasil analisis dampak kebijakan moneter terhadap harga minyak
menunjukkan bahwa perubahan suku bunga dan nilai tukar nominal Amerika
Serikat memberikan dampak yang signifikan terhadap harga minyak. Penurunan
suku bunga dan depresiasi nilai tukar menyebabkan harga minyak meningkat
tajam, dan sebaliknya. Hal ini mengindikasikan bahwa harga minyak dan gas alam
akan tetap tinggi selama suku bunga menurun dan nilai tukar dollar terdepresiasi.
Sebagai implikasinya, koordinasi kebijakan moneter antara negara-negara industri
harus dilakukan untuk memasukkan perubahan/penguapan pasar minyak secara
terpisah dalam target inflasi.
Studi pertumbuhan ekonomi dan energi yang lebih kompleks dilakukan
oleh Adams et al. (2006). Mencermati kondisi Thailand sebagai negara dengan
pertumbuhan ekonomi yang cepat dan pengimpor energi, Adams et al. (2000)
79
membangun suatu model keseimbangan energi untuk Thailand, melakukan
proyeksi kebutuhan energi pada masa mendatang, dan menguji berbagai strategi
alternatif untuk mengatasi masalah ketergantungan energi. Kunci untuk
memproyeksi keseimbangan energi adalah hubungan antara komponen-komponen
yang terkait dengan pembangunan ekonomi dan struktur keterkaitan internal yang
membentuk keseimbangan. Model persamaan simultan dengan pendekatan
analisis Two Stages Least Squares (2SLS), terhadap data neraca keseimbangan
energi Thailand pada periode 1978-1993, digunakan untuk menduga,
memproyeksi dan mensimulasi model keseimbangan energi yang dibangun.
Model keseimbangan energi yang dibangun terdiri dari 3 (tiga) blok. Blok
1 adalah blok kebutuhan energi total menurut sektor. Kebutuhan energi total
terhadap masing-masing bahan bakar sekunder (secondary fuels) dibangun dalam
persamaan-persamaan secara terpisah. Total permintaan sektoral terhadap bahan
bakar menyatakan kebutuhan energi sekunder menurut bahan bakar. Blok
berikutnya adalah transformasi. Kebutuhan produk dipenuhi dengan transformasi
domestik atau impor. Jumlah listrik yang dihasilkan secara langsung berhubungan
dengan kebutuhan jumlah konsumsi domestik. Diasumsikan bahwa kecukupan
kapasitas pembangkit terpenuhi, yaitu konsumsi tenaga listrik (electrical power)
tidak dibatasi oleh kapasitas, dan tidak ada impor yang signifikan. Kebutuhan
bahan bakar untuk pembangkit listrik thermal merefleksikan kebutuhan tenaga
thermal (setelah diberikan kepada bentuk-bentuk tenaga listrik lainnya) dan
parameter efisiensi eksogen. Input minyak mentah (crude oil input) untuk
penyulingan (refining) ditentukan oleh kesediaan kapasitas kilang minyak
(refinery) dan pemanfaatan kapasitas. Output kilang minyak kemudian ditentukan
oleh input minyak mentah dan parameter kehilangan sebuah kilang minyak.
80
Blok yang terakhir adalah blok penyediaan energi primer yang terdiri dari
produksi domestik, ekspor dan impor. Produksi domestik diproyeksikan
berdasarkan suplai saat ini dan proyeksi dari sumber-sumber domestik. Ekspor
ditetapkan sebagai variabel eksogen karena volumenya relatif kecil kecuali untuk
produk-produk petroleum (industri perminyakan) yang merefleksikan
ketidakseimbangan antara konsumsi dan spektrum penyulingan. Kebutuhan impor
minyak mentah petroleum dan produk-produk petroleum, yang menjadi target
analisis, dihitung sebagai selisih antara kebutuhan domestik (plus ekspor) dan
produksi domestik.
Dengan demikian keseimbangan energi menyajikan suatu kerangka
pemikiran dan menyajikan identitas dasar dari sistem yang dibangun. Persamaan
perilaku menyatakan keterkaitan antara aktivitas dalam perekonomian dan respon
terhadap harga energi relatif dan penggunaan teknologi. Persamaan-persamaan
tersebut juga menggambarkan peranan penting dari stok minyak yang dikonsumsi
peralatan, kendaraan, dan kapasitas penyulingan.
Temuan utama dari studi ini menyebutkan bahwa negara-negara seperti
Thailand yang berada pada kondisi kekurangan energi dan sedang tumbuh dengan
sangat cepat akan terbebani, ceteris paribus, dengan biaya impor energi yang
besar. Pertumbuhan energi relatif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan
produk-produk industri, tidak tumbuh lebih cepat daripada pertumbuhan ekspor.
Oleh karenanya peningkatan produksi energi domestik atau perbaikan efisiensi
dapat membantu mengurangi kecenderungan impor energi yang lebih tinggi dari
pertumbuhan ekonomi, namun memberikan dampak terhadap pajak energi lebih
besar, khusus terhadap bensin dan gasoline relatif kecil.
III. KERANGKA TEORITIS
3.1. Kedudukan Energi dalam Output Perekonomian
Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab 2, ada paradoks antara perlakuan energi
hanya sebagai faktor produksi primer dan perhatian terhadap kualitas sumberdaya-
sumberdaya lainnya. Perubahan kualitas sumberdaya cenderung diperlakukan dalam
model sebagai perubahan koefisien input-output, yaitu sebuah bentuk perubahan teknis.
Menurut Stern (2003), jika perekonomian dapat direpresentasikan sebagai model
input-output dimana tidak ada substitusi antara faktor produksi, faktor pengetahuan
dalam faktor produksi dapat diabaikan. Ini tidak berarti bahwa penggunaan energi dan
ilmu pengetahuan dalam mendapatkan dan pemanfaatannya harus diabaikan.
Perhitungan akurat untuk seluruh penggunaan energi untuk mendukung produksi final
adalah penting. Tetapi kontribusi pengetahuan terhadap produksi tidak dapat
diasumsikan proporsional terhadap biaya energi. Melalui ilmu Thermodinamika
menempatkan batasan terhadap substitusi, derajat substitusi aktual antara stok kapital
memasukkan pengetahuan dan energi merupakan sebuah pertanyaan secara empiris.
Senada dengan pendapat Stern (2003), Reksohadiprodjo dan Pradono (1999)
menyatakan bahwa energi merupakan salah satu sumberdaya alam penting yang
mempengaruhi output/produksi nasional. Sumberdaya yang dapat menjadi kendala
dalam pembangunan ekonomi meliputi sumberdaya lahan, manusia, modal, teknologi,
informasi, dan energi. Sumberdaya ini merupakan faktor produksi atau input dalam
suatu proses produksi. Faktor tenaga keja, modal, dan teknologi berasal dari manusia,
sedangkan sumberdaya alam dan energi lebih bersifat pemberian alam. Fungsi
82
produksi yang menyatakan hubungan antara keluaran (output) dengan jumlah
masukan (input) dapat dinyatakan sebagai berikut:
Y = f(L, K, N, E, T) ................................................................................ (1)
dimana:
Y = Output/produksi nasional
L = Jumlah tenaga kerja
K = Kapital
N = Sumberdaya alam
E = Enterpreneuship
T = Teknologi
Secara empiris, dengan menggunakan prinsip dualitas dalam produksi,
peubah-peubah fisik yang dimasukkan ke dalam model dapat difomulasikan ke
dalam nilai uang. Peubah output/produksi nasional menggunakan data PDB, peubah
tenaga kerja dapat menggunakan proksi upah dan peubah kapital menggunakan
proksi suku bunga. Peubah sumberdaya alam, dalam studi ini adalah energi, tetap
menggunakan kuantitas konsumsi energi. Peubah enterpreneuship (kewirausahaan)
tidak digunakan karena tidak tersedianya data enterpreneuship pada data deret
waktu. Sementara itu peubah teknologi dapat menggunakan proksi trend. Walaupun
dalam suatu studi yang ideal seluruh peubah tersebut perlu dimasukkan, namun
kendala ketersediaan data dan masalah teknis pendugaan memungkinkan sejumlah
peubah tidak dapat dimasukkan ke dalam persamaan. Disamping itu, setiap peubah
dapat didisagregasi sesuai kebutuhan. Dalam studi ini dilakukan disagregasi, yaitu
83
sektor industri, sektor transportasi, sektor pertanian, dan sektor lainnya. Secara
umum, dalam studi ini fungsi output/produksi nasional dirumuskan sebagai berikut;
PDBi = f(Wi, r, Cei, T, PDBit-1) .......................................................... (2)
dimana:
PDBi = Poduk Domestik Bruto sektor ke i
Wi = Upah tenaga kerja sektor ke i
r = Suku bunga
Cei = Konsumsi energi sektor ke i
T = Trend
LPDBit-1 = Lag PDB
3.2. Konsep Permintaan Energi
Permintaan energi berasal dari permintaan terhadap suatu barang dan jasa,
yaitu keinginan untuk menggunakannya bagi memenuhi kepuasan konsumen. Secara
teoritis, permintaan seorang konsumen terhadap suatu barang dapat diturunkan dari
fingsi kegunaan (utility function), dengan pembatasan angaran belanja dari konsumen
tersebut (Varian, 1992; Koutsoyiannis,1982; dan Henderson dan Quandt, 1980). Oleh
sebab itu fungsi permintaan energi untuk konsumsi langsung juga dapat diturunkan
dari fungsi kegunaan konsumen energi (energy user). Secara matematis fungsi
kegunaan konsumen energi dapat dituliskan sebagai berikut:
U = f(Ce,Cne) ........................................................................................ (3)
dimana:
U = Tingkat utilitas konsumen
Ce = Jumlah konsumsi energi
Cne = Jumlah konsumsi barang lain (non energi)
84
Dengan menggunakan fungsi permintaan Marshallian yang mengasumsikan
konsumen bersikap rasional, maka konsumen akan memaksimumkan kegunaannya
dalam mengkonsumsi barang-barang tersebut pada tingkat harga dan pendapatan
tertentu. Pada tingkat harga energi Pe dan harga barang selain energi Pne, serta
pendapatan konsumen Y, maka fungsi anggaran konsumen dapat dinyatakan sebagai
berikut:
Y = Pe * Ce + Pne * Cne ......................................................................... (4)
Fungsi permintaan Marshallian merumuskan bahwa konsumen
memaksimumkan kepuasannya dengan kendala anggaran. Dengan menggunakan
prinsip tersebut, rumus pemecahan maksimisasi kegunaan energi dengan pembatas
pendapatan konsumen menggunakan fungsi lagrange (L) dan lagrange multiplier (λ)
sebagai berikut:
L = f(Ce, Cne) + λ (Y - Pe * Ce - Pne * Cne) ........................................ (5)
Fungsi permintaan energi akan diperoleh jika persamaan (5) memenuhi syarat
First Order Condition (FOC) dan Second Order Condition (SOC), yaitu turunan
pertama sama dengan nol dan determinan matrik Hessian bernilai positif. Selain itu,
dari FOC diperoleh:
PeCeCeL * = 0 atau Ce = λ * Pe .......................................... (6)
PneCneCneL * atau Cne = λ *Pne ..................................... (7)
CnjPnjCjPjYL **
.............................................................. (8)
85
dengan mensubstitusikan persamaan (7) ke persamaan (8) maka akan diperoleh:
'''
PneCne
PjCe ....................................................................................... (9)
atauPnePe
CneCe
'' ........................................................................................... (10)
Ce' adalah marginal utility dari konsumsi energi, sedangkan Cne' adalah tambahan
marginal utility dari konsumsi barang lain atau non-energi. Makna dari persamaan
(10) adalah bahwa kepuasan konsumen dalam mengkonsumsi sejumlah barang akan
maksimum jika rasio tambahan kepuasan yang dihasilkan oleh barang tersebut sama
dengan rasio harganya.
Menurut Hendersond and Quandt (1980) dengan menyelesaikan Ce dan Cne,
yaitu dengan mensubstitusikan persamaan (6) dan (7) ke dalam persamaan (8) akan
menghasilkan fungsi permintaan energi dan barang non energi berikut:
Ce = (Pe, Pne, Y) .................................................................................... (11)
Cne = f(Pe, Pne, Y).................................................................................. (12)
Ini berarti permintaan konsumen terhadap energi dan barang konsumsi lainnya
ditentukan oleh harga energi, harga barang konsumsi lainnya dan pendapatan
konsumen. Persamaan (11) dan (12) digunakan untuk permintaan energi pada sektor
rumahtangga.
Untuk sektor selain rumahtangga, seperti sektor industri, transportasi,
pertanian dan sektor lainnya, permintaan energi merupakan permintaan input antara
yang digunakan untuk menghasil output. Dengan demikian konsep teori permintaan
energi pada sektor tersebut mengunakan konsep teori permintaan input.
86
Secara teoritis, fungsi permintaan input dibangun dari pendekatan penurunan
fungsi keuntungan atau fungsi biaya. Pendekatan pertama dikenal dengan pendekatan
maksimisasi laba, dan pendekatan kedua dikenal dengan minimisasi biaya, sehingga
kedua pendekatan tersebut dikenal dengan pendekatan dualitas dalam produksi.
Kedua pendekatan tersebut menghasil pemecahan sama (Henderson dan Quandt,1980
dan Hartono, 2004) Dengan demikian untuk menurunkan fungsi permintaan input
dapat dilakukan dengan menurunkan fungsi keuntungan.
Fungsi produksi yang menyatakan hubungan antara keluaran (output) dengan
jumlah masukan (input) tenaga kerja (L), modal (K), sumberdaya alam (N) dan input
lainnya (Z). Hubungan antara output dan input tersebut dapat dilihat dalam bentuk
fungsi produksi sebagai berikut:
Y = f(L,K,N,Z) ....................................................................................... (13)
Selanjutnya dari fungsi produksi tersebut dapat ditentukan fungsi keuntungan sebagai
berikut:
Л = Pq*f(L,K,N,Z) – λ(Pl*L + Pk*K + Pn*N +Pz*Z) ...............................(14)
dimana:
Л= keuntungan produsen
Pq= harga output Y
Pl = harga input L (upah)
Pk = harga input K
Pn = harga input N
Pz = harga input lain Z.
87
Fungsi permintaan input diperoleh jika dipenuhi syarat First Order Condition
(FOC) dan Second Order Condition (SOC). Dimana FOC mensyaratkan bahwa
turunan pertama dari fungsi keuntungan tersebut harus sama dengan nol, dan SOC
mensyaratkan nilai determinan matrik Hessian harus positif (Koutsoyiannis, 1979;
Henderson dan Quandt, 1980 dan Hartono, 2004). Bila kedua persyaratan tersebut
dipenuhi maka dari FOC akan diperoleh:
L = Pq * L’- Pl = 0 atau Pa = Pq * L' .................................................... (15)
K = Pq * K’ - Pk = 0 atau Pk = Pq * K’ .................................................... (16)
N = Pq * N' - Pn = 0 atau Pn = Pq * N' ..................................................... (17)
Z = Pq * Z' - Pz = 0 atau Pz = Pq * Z' ...................................................... (18)
Penyelesaian terhadap persamaan( 15) hingga (18) akan menghasilkan fungsi
permintaan input sebagai berikut:
L = f(Pl, Pk, PN, Pz, Pq) ......................................................................... (19)
K = f(Pk, PN, Pl, Pz, Pq) ........................................................................ (20)
N = f(Pn, Pl, Pk, Pz, Pq) .......................................................................... (21)
Z = f(Pz, Pl Pk, Pn, Pq) ........................................................................... (22)
dimana:
L = permintaan tenaga kerja
K = permintaan modal
N = permintaan sumberdaya
Z = permintaan terhadap input Iainnya.
88
Secara empiris, permintaan energi sektoral (sektor industri, transportasi,
pertanian dan sektor lainnya) meliputi permintaan energi BBM, listrik, batubara, gas
dan biomas. Mengacu pada persamaan (19) sampai (22) maka permintaan energi per
jenis energi dipengaruhi oleh harga energi itu sendiri, harga energi lainnya (bersifat
subsitusi atau komplemen), harga output dan peubah bedakalanya. Karena penelitian
ini menggunakan pendekatan makroekonomi, harga output yang digunakan adalah
PDB sektoral. Dengan demikian permintaan energi sektoral per jenis energi dapat
dirumuskan:
Ceij = f(P i, Pz, PDBj, Ceijt-1) ............................................................... (23)
dimana:
Ceij = Konsumsi energi ke i sektor ke j
Pi = Harga energi ke i
Pz = Harga energi lainnya
PDB = PDB sektor ke j
Ceijt-1 = Lag konsumsi energi ke i sektor ke j
Permintaan energi yang oleh konsumen dalam bentuk energi akhir (Final
Energy) yang diklasifikasikan berdasarkan sektoral. Dalam World Energi Model
(WEM) yang dibangun Oleh IEA sejak tahun 1993 bahwa permintaan energi dapat
dibagi menurut sektoral yang terdiri dari permintaan energi final sektor industri,
sektor rumahtangga, sektor jasa dan sektor transportasi (IEA, 2008). Namun dalam
data neraca energi Indonesia yang dikeluarkan oleh Kementrian Energy Sumberdaya
89
Mineral bahwa permintaan energi akhir terdiri dari beberapa sektor yaitu sektor
industri, transportasi, rumahtangga, komersial dan sektor lainya.
Menurut IEA (2008) Wilayah-wilayah yang termasuk dalam Organisation for
Economic Cooperation and Development (OECD) dan non-OECD permintaan energi
akhir dimodelkan dalam cakupan sektoral dan pengguna energi akhir secara rinci,
yakni: (1) Industri dipisahkan ke dalam lima sub-sektor, sehingga memungkinkan
analisis yang lebih rinci mengenai trend dan pengendalian di sektor industri; (2)
Permintaan energi residensial (pemukiman) dipisahkan menjadi lima pengguna akhir
menurut bahan bakar; (3) Permintaan jasa-jasa; dan (4) Permintaan energi sektor
transportasi dimodelkan secara rinci menurut moda angkutan dan bahan bakar.
Permintaan energi akhir dimodelkan pada tingkat sektoral untuk setiap wilayah
WEM, tetapi dilakukan pemisahan pada tingkat pengguna akhir. Dalam penelitian ini
permintaan energi sektor industri tidak dirinci dalam sub-sektor dan permintaan
energi akhir sektor transportasi tidak dirinci berdasarkan moda angkutan secara detail
karena keterbatan data.
Total permintaan energi akhir adalah jumlah konsumsi energi di setiap sektor
pengguna akhir. Pada setiap sub-sektor atau pengguna akhir, setidaknya enam jenis
energi ini akan ditampilkan: batubara, minyak, gas, listrik, energi panas bumi dan
energi-energi terbarukan. Namun, tingkat agregasi ini masih terlalu agregat, sehingga
ada sejumlah aspek yang tidak bisa dimunculkan secara gamblang. Sebagai contoh,
produk-produk minyak yang berbeda dimodelkan secara terpisah sebagai input ke
model kilang minyak. Dalam setiap sub-sektor atau pengguna akhir, permintaan
energi diduga sebagai hasil dari peubah intensitas energi dan peubah aktivitas.
90
Pada persamaan-persamaan penting, permintaan energi adalah fungsi dari
peubah-peubah berikut:
1. Peubah aktivitas. Peubah aktivitas yang biasa digunakan adalah peubah PDB atau
PDB per-kapita. Dalam banyak kasus, peubah aktivitas yang banyak digunakan
adalah PDB total maupun PDB sektoral. PDB total maupun PDB sektoral
kemudian digunakan sebagai peubah penjelas baik secara langsung ataupun
sebagai peubah bedakala.
2. Harga pengguna akhir. Peubah harga yang digunakan dalam bentuk data historis
time-series untuk batubara, minyak, gas dan harga listrik. Untuk setiap sektor
digunakan harga perwakilan (atau harga rata-rata tertimbang) yang diturunkan
dengan memperhatikan bauran produk dalam konsumsi akhir dan perbedaan
antarwilayah (jika studi mendisagregasi wilayah). Harga pengguna akhir ini
kemudian digunakan sebagai peubah penjelas baik secara langsung ataupun
sebagai peubah bedakala.
3. Peubah lain. Peubah lainnya yang dapat dimasukkan ke dalam model adalah
peubah yang digunakan untuk memperhitungkan perubahan struktural dan
teknologi, efek-efek saturasi atau pengendali penting lainnya.
Dari sisi penggunaan akhir, model dapat dikembangkan menurut pengguna
yang dapat dibagi menjadi pengguna industri, transportasi, rumahtangga, jasa, dan
sektor ekonomi lainnya. Masing-masing sektor pengguna dapat didisagregasi sesuai
dengan tujuan penelitian yang diharapkan dan data yang tersedia. Untuk sektor
industri misalnya dapat didisagregasi menjadi agroindustri dan non agroindustri.
Sektor transportasi didisagregasi menurut mode transportasi seperti penggunaan
91
sarana transportasi publik dan transportasi pribadi, disagregasi menurut roda, jenis
bahan bakar dan lainnya. Dan untuk rumahtangga dapat diagregasi menurut jenis
peralatan rumahtangga yang menggunakan energi, rumahtangga desa-kota,
rumahtangga pertanian-non pertanian dan lainnya.
3.3. Konsep Penyediaan dan Transformasi Energi
Dalam WEM yang dibangun oleh IEA (2008) modul penyediaan energi fosil
bertujuan untuk memproyeksikan tingkat produksi energi fosil (khususnya minyak) di
setiap negara. Tingkat energi fosil disetiap negara melalui pendekatan parsial bottom-
up. Pendekatan tersebut disajikan pada Gambar 9.
OnshoreShelf
DeepwaterNon-Conv.
Reserves
Identifiedyet-to -be
Developed fieldsAvailable cast
constraints
Potentialgreenfield project s
Technical anddrilling costs
Price threshold foreconomic analysis
Standartproduction
prifiles
Decline rate(aggregate)
Existing fields(from start of
projection)
Selectedprojects ’
grosscapacities
New fieldsproduction
Existing fieldsNet Output
Totalproduction
Realisedmarket price
Total cash
Industry’s share ofcash-flow (after
government take)
Industry investmentpolicy
(re-investment rate)
Industry cashflow s
Industry totalinvestments
Developmentsinvestments
Producing fieldsinvestments
Explorationinvestments
Number ofexploration
wells
Creaming curves baseon USGS estimates
of ultimatelyrecoverable resources
Newdiscoveries
Sumber: IEA, 2008
Gambar 9. Struktur Modul Penyediaan Energi Fosil
92
Berdasarkan Gambar 9 dapat dijelaskan bahwa struktur modul suplai energi
fosil berdasarkan pada:
1. Review statistik yang lengkap dari rangkaian sejarah panjang semua negara
produsen, mencakup produksi di darat maupun produksi lepas pantai, data-data
penemuan dan pengeboran.
2. Pengembangan daftar penemuan-penemuan masa lalu.
3. Perincian data lapangan berdasarkan pada profil standar produksi dan perkiraan
tingkat penurunan pada level lapangan dan level negara.
4. Perluasan survei dari proyek-proyek hulu yang diduga, direncanakan dan
diumumkan dalam jangka pendek dan jangka menengah oleh negara-negara
OPEC dan Non-OPEC, mencakup cadangan konvensional dan non-konvensional.
5. Metodologi baru dalam WEO-2008 yang bertujuan untuk meniru sedapat
mungkin keputusan modus dari industri dalam mengembangkan cadangan baru
dengan menggunakan kriteria Net Present Value dari arus kas masa depan.
6. Satu set asumsi ekonomi dibahas dan disahkan oleh industri termasuk tingkat
diskonto dan harga ambang batas yang digunakan dalam analisis ekonomi
proyek-proyek potensial, biaya pengeboran, tingkat pengembalian investasi arus
kas industri dan pangsa eksplorasi total investasi.
7. Perluasan survei regim fiskal diterjemahkan ke dalam perkiraan pemerintah
masing-masing dalam bentuk arus kas yang dihasilkan oleh proyek-proyek.
8. Menduga nilai akhir dari pemulihan cadangan.
Setiap negara memproyeksikan profil produksi bahan bakar fosil terdiri dari
enam komponen:
93
1. Proyeksi produksi dari produksi saat ini: tingkat penurunan yang diproyeksikan
dari produksi di darat maupun di lepas pantai berdasarkan hasil analisis lapangan.
2. Produksi dari perkembangan temuan lapangan yang diduga, direncanakan dan
diumumkan.
3. Produksi dari ladang-ladang yang menunggu pengembangan.
4. Produksi dari ladang yang belum diketahui.
5. Perkiraan potensi dari proyek-proyek tambahan.
6. Produksi gas alam cair dan lainnya.
Transformasi energi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan konsep
penyediaan energi dalam rangka menghasilkan energi yang siap dikonsumsi.
Transformasi energi adalah proses perubahan energi dari satu bentuk ke bentuk lain.
Dengan kata lain transformasi energi merupakan perubahan energi primer seperti
batubara, minyak mentah, gas dan lain-lain menjadi energi akhir (Energy Final)
seperti BBM, listrik, LPG (Liquefied Petroleum Gas), LNG (Liquefied Natural Gas)
dan lain-lain. Energi akhir inilah yang dapat dikonsumsi oleh penggunanya, seperti
energi yang dikonsumsi oleh sektor industri, transportasi, rumahtangga, pertanian,
dan sektor lainnya. Dengan demikian transformasi energi merupakan bagian penting
yang tidak dapat dipisahkan dalam proses penyediaan dan konsumsi energi.
WEM membangun model permintaan kilang global di antara daerah utama:
OECD, transisi ekonomi, Cina, India, Timur Tengah, Afrika Utara dan daerah-daerah
berkembang lainnya. Kapasitas kilang dipisahkan menurut produksi, permintaan,
ekspor minyak mentah dan produk olahan, dan biaya. Gambar 10 menunjukkan
struktur dari modul kilang dan transformasi energi.
94
Sumber: IEA, 2008
Gambar 10. Struktur Modul Kilang dan Transformasi Energi
Setelah menentukan output dan kapasitas kilang, kemudian dihitung neraca
produk minyak global. Total permintaan produk minyak (tidak termasuk penggunaan
langsung minyak mentah) disesuaikan dengan total pasokan produk minyak,
termasuk produk dari NGLs dan GTLs. Dengan demikian, pada tingkat global:
Total output kilang = total permintaan produk minyak - (produk NGLs + produk
GTL) + (penggunaan sendiri kilang)
Model neraca penawaran dan permintaan melalui proses pengoptimalan.
Kelebihan permintaan dibagi menurut sebuah matriks pengoptimalan yang
memperhitungkan biaya unit, lingkungan dan kendala politik dan kendala kapasitas.
Ada tiga jenis kapasitas penyulingan tambahan: kilang baru (biaya tertinggi);
menambahkan kapasitas kilang yang ada dan kapasitas secara perlahan-lahan (biaya
terendah). Kapasitas penyulingan mengacu pada kapasitas hari kalender. Persyaratan
investasi dipisahkan antara investasi tambahan dan investasi konversi. Penambahan
95
investasi didasarkan pada biaya saat ini yang bervariasi antar wilayah/negara. Untuk
penambahan investasi, model tersebut memproyeksikan pangsa kapasitas
penyulingan tambahan untuk masing-masing daerah/negara dan mengalokasikan
biaya yang sesuai. Investasi konversi didasarkan pada perkiraan biaya memodifikasi
kapasitas yang ada untuk memenuhi permintaan baru (produk yang lebih ringan) atau
pembatasan lingkungan baru pada produk (mengandung belerang). Permintaan
produk dibagi menjadi tiga: ringan, menengah dan berat. Model menggunakan rincian
sektoral dan spesifikasi wilayah/negara untuk memproyeksikan permintaan produk.
Modul kilang memproyeksikan kebutuhan kapasitas konversi, didasarkan
pada proyeksi permintaan produk-produk ringan, menengah dan berat, dan
mengantisipasi peraturan lingkungan. Proyeksi yang digunakan untuk menghitung
biaya investasi per juta barel per hari dikonversi. Dilakukan penghitungan rata-rata
tertimbang biaya teknologi, dengan memperhitungkan biaya masing-masing
teknologi yang berbeda seperti catalytic crackers and hydro-skimmers, dari sumber-
sumber industri. Investasi kilang tidak termasuk biaya pemeliharaan.
Disamping membangun Modul Kilang, WEM juga membangun modul
pembangkit listrik yang menghitung: (1) Permintaan listrik, (2) Jumlah listrik yang
dihasilkan oleh setiap jenis pembangkit untuk memenuhi permintaan listrik, (3)
Jumlah kapasitas pembangkit baru yang diperlukan, (4) Jenis pembangkit baru yang
akan dibangun, (5) Konsumsi bahan bakar dari sektor pembangkit listrik, dan (6)
Harga listrik.
Untuk setiap wilayah, permintaan listrik dihitung dalam modul permintaan
berdasarkan sektor. Berbagai faktor yang mempengaruhi permintaan layanan listrik,
96
mencakup harga listrik, pendapatan rumahtangga, dan kemungkinan beralih ke
sumber energi lain untuk menyediakan layanan yang sama. PDB per kapita sebagai
proksi pendapatan. Modul struktur pembangkit listrik ini dijelaskan pada Gambar 11.
Sumber: IEA, 2008
Gambar 11. Struktur Modul Pembangkitan Listrik
Untuk setiap wilayah, pembangkit listrik dihitung dengan menambahkan
proyeksi permintaan listrik, listrik yang digunakan oleh pembangkit listrik sendiri dan
kerugian/kehilangan jaringan. Kapasitas yang ada didasarkan pada database dari
seluruh pembangkit listrik dunia. Untuk setiap wilayah, diasumsikan beban terpenuhi.
97
Kapasitas pembangkit baru dihitung sebagai selisih antara total kapasitas listrik yang
dibutuhkan dan realisasi.
Kapasitas untuk pembangkit listrik tenaga nuklir dan pembangkit listrik
energi terbarukan didasarkan pada asumsi-asumsi, yang pada gilirannya didasarkan
pada penilaian terhadap rencana pemerintah dan daya saing relatif teknologi ini
dengan teknologi pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Pada kondisi
keseimbangan pasar, berlaku asumsi bahwa harga yang berlaku adalah harga bahan
bakar fosil internasional. Modul pembangkit listrik energi terbarukan (energi
biomassa, angin, sinar matahari, air, gelombang pasang dan surut dan lainnya) dapat
dilihat pada Gambar 12.
Sumber: IEA, 2008
Gambar 12. Struktur Modul Pembangkit Listrik Energi Terbarukan
98
3.4. Konsep Efisiensi Pemakaian Energi
Hipotesis penelitian ini menunjukkan ada hubungan yang erat antara
konsumsi energi dengan pertumbuhan ekonomi (PDB). Dari hubungan ini dapat
diperkirakan berapa kenaikan konsumsi energi yang diperlukan untuk mendapatkan
tingkat pertumbuhan PDB tertentu. Besarnya kenaikan konsumsi energi yang
dibutuhkan untuk menaikkan PDB dapat diketahui dengan menghitung elastisitas
pemakaian energi. Elastisitas pemakaian energi dirumuskan (Yusgiantoro, 2000; dan
KESDM, 2006):
)/()/(
PDBPBDECEC
................................................................................ (24)
dimana:
ε = Elastisitas pemakaian energi
ΔEC = Incremental konsumsi energi pada tahun tertentu (EC2-EC1)
EC = Konsumsi energi pada tahun tertentu
ΔPDB = Incremental PDB pada tahun tertentu (PDB2-PDB1)
PDB = Produk Domestik Bruto pada tahun tertentu
Selain untuk melihat hubungan antara konsumsi energi dengan PDB,
Beberapa manfaat elastisitas pemakaian energi yang digunakan yaitu sebagai
indikator dalam proses pengambilan keputusan strategi pembangunan dan untuk
mengukur tingkat efisiensi pemakaian energi pada suatu negara. Elastisitas
pemakaian energi yang besar dari satu (ε>1) menunjukkan pemakaian energi suatu
99
negara tersebut tergolong boros. Sebaliknya, elastisitas pemakaian energi yang kecil
dari satu (ε< 1) menunjukkan pemakaian energi pada negara tersebut efisien.
Namun elastisitas bukanlah satu-satunya konsep yang digunakan untuk
pengetahui peranan energi dalam pembangunan. Beberapa negara tertentu
menggunakan konsep perhitungan selain elastisitas pemakaian energi, yiatu konsep
intensitas energi. Konsep intensitas energi dapat dirumuskan:
I = EC/PDB ............................................................................................. (25)
dimana:
I = Intensitas energi
EC = Konsumsi energi pada waktu tertentu
Yusgiantoro (2000) mengatakan bahwa intensitas energi tidak dapat
menggambarkan efisiensi pemakaian energi. Hal ini disebabkan konsep yang
digunakan dalam intensitas energi adalah konsep rata-rata (average), bukan konsep
marjinal (marginal) seperti elastisitas pemakaian energi. Penjelasan intensitas energi
terbatas pada besar pemakaian energi dalam pembangunan suatu negara. Dengan
membandingkan keduanya dapat diketahui keunggulan konsep elastisitas pemakaian
energi. Efisiensi penggunaan energi dapat diketahui dari elastisitas energi, tetapi tidak
dapat diketahui dari intensitas energi.
Oleh karena itu dalam penelitian ini, untuk mengetahui efisiensi pemakaian
energi digunakan konsep elastisitas pemakaian energi. Elastisitas pemakaian energi
yang akan dipaparkan pada Bab VIII dengan menampilkan elastisitas pemakaian
energi berbagai sektor (sektor industri, rumahtangga, transportasi, pertanian dan
sektor lainnya).
100
3.5. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan konsep dan penelitian empiris yang telah diuraikan pada bagian
tinjauan pustaka dan mengacu pada perumusan masalah dan tujuan penelitian, ada
hubungan yang erat antara konsumsi energi dengan perkembangan perekonomian
suatu negara, termasuk di Indonesia (Gambar 13). Merujuk pada hasil ulasan terhadap
sejumlah literatur yang telah dipaparkan pada bagian pendahuluan dan tinjauan
pustaka dapat dinyatakan bahwa permasalahan konsumsi dan penyediaan energi
dalam kaitannya dengan perkembangan perekonomian Indonesia dapat dilihat dari
sisi konsumsi (permintaan) dan dari sisi penyediaan (penawaran).
Dari sisi konsumsi, sektor energi di Indonesia paling tidak dihadapkan pada
tiga permasalahan. Pertama, pemanfaatan energi di Indonesia yang relatif boros,
diperlihatkan oleh tingkat elastisitas dan intensitas pemakaian energi dibandingkan
dengan pertumbuhan ekonomi. Elastisitas konsumsi energi terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa persentase
peningkatan PDB menyebabkan persentase peningkatan konsumsi energi lebih tinggi
dari persentase peningkatan PDB. Selain elastisitas pemanfaatan energi, intesitas
konsumsi energi di Indonesia juga tinggi, yang ditunjukkan oleh jumlah konsumsi
energi per PDB yang tinggi dan jumlah konsumsi energi per kapita yang juga tinggi
dan cenderung meningkat. Kedua, harga energi, khususnya BBM, yang rendah karena
disubsidi oleh pemerintah sehingga belum mencapai harga keekonomiannya.
Dari sisi penyediaan, sektor energi di Indonesia dihadapkan pada tiga
permasalahan utama yang menyebabkan masih terbatasnya penyediaan energi di
Indonesia. Pertama, terbatasnya teknologi eksplorasi yang ditunjukkan oleh sebagian
101
Gambar 13. Kerangka Pemikiran Studi Konsumsi dan Penyediaan Energi DalamPerekonomian Indonesia
Hubungan Antara Konsumsi danPenyediaan Energi dengan Perkembangan
Perekonomian Indonesia
Pemasalahan dari Sisi Konsumsi:Pemanfaatan energi yang relatif
borosHarga BBM yang rendah, belum
mencapai harga keekonomiannya
Pemasalahan dari Sisi Penyediaan:Terbatasnya teknologi eksplorasiInvestasi yang terbatas
StudiAnalisis Konsumsi dan Penyediaan Energi
dalam Perekonomian Indonesia
Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia
BlokKonsumsi
Energi
BlokTransformasi
Energi
BlokPenyediaan
Energi
BlokHargaEnergi
BlokOutput
Perekonomian
Peramalan Konsumsidan Penyediaan Energidalam PerekonomianIndonesia Tahun 2025
Kejutan Eksternal:Harga minyak
duniaNilai tukarSuku bungaSubsidi BBMKombinasi
diantaranya
Metode Pendugaan:Two Stages LeastSquares (2SLS)
Hasil Pendugaan:Koefisien PendugaanNilai Elastisitas
Rumusan Implikasi Kebijakan Konsumsi dan Penyediaan Energi yang Efektif dalamPerekonomian Indonesia
AnalisisEfisiensi Energi
MengunakanRumus
ElastisitasPemakaian
Energi
102
besar aktivitas eksplorasi minyak di Indonesia dilakukan kontraktor perusahaan
minyak asing sehingga tidak sepenuhnya hasil eksplorasi minyak dapat dimanfaatkan
untuk kebutuhan domestik. Dan kedua, investasi dibidang energi masih terbatas dan
cenderung menurun. Hal ini disebabkan oleh masalah ketidakpastian dan
inkonsistensi regulasi, kebijakan penetapan harga yang rendah sehingga tidak
menarik bagi investor, ekonomi biaya tinggi, inkonsistensi di bidang perpajakan, dan
keterbatasan infrastruktur.
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan dan gambar di atas adalah
sangat menarik untuk melakukan studi ”Analisis Konsumsi dan Penyediaan Energi
dalam Perekonomian Indonesia”. Data utama yang digunakan merupakan data neraca
energi Indonesia yang bersumber dari Kementrian Energi Sumberdaya Mineral
Model yang dibangun dalam studi ini mencakup lima blok persamaan, yaitu
blok persamaan konsumsi, blok persamaan transformasi energi, blok persamaan
sumber (penyediaan) energi, blok persamaan harga energi, dan blok persamaan
output perekonomian. Blok-blok persamaan ini berhubungan antara satu dengan yang
lainnya sehingga akan dianalisis dengan metode persamaan simultan, yakni Two
Stage Least Squares (2SLS). Lebih detail hubungan antara blok-blok persamaan ini
dijelaskan pada Bab IV, yakni sub-bab spesifikasi model.
Lebih lanjut dari gambar kerangka pemikiran di atas dapat dinyatakan bahwa
disamping dilakukan pendugaan terhadap koefisien pendugaan dan elastisitas
berdasarkan data historis juga dilakukan pendugaan terhadap data peramalan
(forcasting). Peramalan dilakukan sampai tahun 2025 dengan pertimbangan bahwa
pada tahun tersebut sesuai dengan rancangan kebijakan energi nasional yang berlaku
103
pada tahun 2025. Dari data historis dan data peramalan kemudian dilakukan
perhitungan elastisitas pemakaian energi untuk mengetahui tingkat efisiensi
pemakaian energi berdasarkan data historis dan tingkat efisiensi pemakaian energi
pada masa mendatang.
Disamping itu juga dilakukan simulasi terhadap external shocks (kejutan
eksternal) seperti peningkatan harga minyak dunia, nilai tukar rupiah terhadah US
Dollar, penurunan suku bunga dan subsidi BBM sebagai faktor yang diduga paling
menentukan konsumsi dan penyediaan energi dalam kaitannya dengan dinamika
perkembangan perekonomian di Indonesia.