II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bakso -...

26
5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bakso Bakso daging merupakan makanan yang sudah popular di kalangan masyarakat. Dewi dan Santosa (2007), memaparkan bakso daging merupakan makanan yang dibuat dari daging giling dengan bahan tambahan utama tepung tapioka dan bumbu, berbentuk bulat, dan setelah dimasak memiliki rasa kenyal sebagai ciri spesifikasinya. Menurut Badan Standarisasi Nasional Indonesia dalam (SNI) 3818-2014, bakso daging adalah produk olahan yang dibuat dari hewan ternak yang dicampur pati dan bumbu bumbu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lainnya, dan atau bahan tambahan pangan yang diizinkan, yang berbentuk bulat atau lainnya dan dimatangkan (Anonim, 2014). Bakso adalah campuran homogen daging, tepung pati dan bumbu yang telah mengalami proses ekstrusi dan pemasakan. Cara pembuatan bakso tidak sulit. daging digiling halus, kemudian dicampur dengan tepung dan bumbu didalam alat pencampur khusus sehingga bahan tercampur menjadi bahan pasta yang sangat rata dan halus. Bakso yang bermutu bagus dapat dibuat tanpa penambahan bahan kimia apapun (Anonim 2007). Berbeda dengan pendapat diatas, Widyaningsih dan Murtini (2006) dalam Sudarwati, (2007) menyatakan bahwa bakso merupakan produk gel dari protein daging, baik daging sapi, ayam, ikan maupun udang. Bakso dibuat dari daging giling dengan bahan tambahan utama garam dapur, tepung tapioka, dan bumbu. Bumbu - bumbu yang digunakan untuk pembuatan bakso adalah : bawang putih, garam, dan es batu. Bawang putih mempunyai jenis yang banyak, tetapi tidak ada

Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bakso -...

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Bakso

Bakso daging merupakan makanan yang sudah popular di kalangan

masyarakat. Dewi dan Santosa (2007), memaparkan bakso daging merupakan

makanan yang dibuat dari daging giling dengan bahan tambahan utama tepung

tapioka dan bumbu, berbentuk bulat, dan setelah dimasak memiliki rasa kenyal

sebagai ciri spesifikasinya. Menurut Badan Standarisasi Nasional Indonesia dalam

(SNI) 3818-2014, bakso daging adalah produk olahan yang dibuat dari hewan

ternak yang dicampur pati dan bumbu – bumbu dengan atau tanpa penambahan

bahan pangan lainnya, dan atau bahan tambahan pangan yang diizinkan, yang

berbentuk bulat atau lainnya dan dimatangkan (Anonim, 2014).

Bakso adalah campuran homogen daging, tepung pati dan bumbu yang

telah mengalami proses ekstrusi dan pemasakan. Cara pembuatan bakso tidak

sulit. daging digiling halus, kemudian dicampur dengan tepung dan bumbu

didalam alat pencampur khusus sehingga bahan tercampur menjadi bahan pasta

yang sangat rata dan halus. Bakso yang bermutu bagus dapat dibuat tanpa

penambahan bahan kimia apapun (Anonim 2007).

Berbeda dengan pendapat diatas, Widyaningsih dan Murtini (2006) dalam

Sudarwati, (2007) menyatakan bahwa bakso merupakan produk gel dari protein

daging, baik daging sapi, ayam, ikan maupun udang. Bakso dibuat dari daging

giling dengan bahan tambahan utama garam dapur, tepung tapioka, dan bumbu.

Bumbu - bumbu yang digunakan untuk pembuatan bakso adalah : bawang putih,

garam, dan es batu. Bawang putih mempunyai jenis yang banyak, tetapi tidak ada

6

perbedaan yang mencolok kecuali pada bentuk umbinya. Senyawa allicin pada

bawang putih menyebabkan bawang putih memiliki bau yang tajam. Bawang

putih mengandung sulfur dan yodium yang berfungsi untuk mencegah penyakit

jantung (Wirakusumah, 2000 dalam Sudarwati, 2007).

Garam berfungsi untuk memperbaiki citarasa dan melarutkan protein

pada bakso. Penggunaan garam biasanya 2,5% dari berat daging, sedangkan

bumbu penyedap 2% dari berat daging. Pada penelitian ini tidak menggunakan

bumbu penyedap karena sejauh ini penggunaan penyedap masih diperdebatkan

dan dicurigai sebagi penyebab timbulnya kelaianan kesehatan, bahkan dicurigai

sebagai timbulnya penyakit kanker (Wibowo, 2006).

Penambahan es batu atau air es sangat penting dalam pembentukan

tekstur bakso. Dengan adanya es ini, suhu dapat dipertahankan tetap rendah

sehingga protein daging tidak terdenaturasi akibat gesekan mesin penggiling dan

ekstraksi protein berjalan dengan baik. Penambahan es berfungsi menambahkan

air ke adonan sehingga adonan tidak kering pada saat proses penggilingan.

Penambahan es juga dapat meningkatkan rendemennya, untuk itu dapat

digunakan es sebanyak 10 - 15% dari berat daging (Wibowo, 2006). Es batu

dicampur pada saat proses penggilingan, hal ini dimaksudkan agar selama proses

penggilingan daya elastisitas bakso tetap terjaga dan bakso yang dihasilkan lebih

kenyal (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

Menurut Setyowati dkk, (2015) untuk menghasilkan bakso yng bermutu

bagus maka digunakan 75 % daging dan 25 % tepung sagu dari total adonan yang

akan dibuat. Menurut Irawati dan Novitasari (2005), adonan yang sudah dibentuk

7

(dicetak) langsung direbus atau dimasukkan ke dalam air mendidih hingga

matang. Fungsi proses ini adalah memanaskan adonan agar terbentuk gel pati

yang lebih padat dan elastis.

Pati merupakan butiran atau granula yang berwarna putih mengkilat, tidak

berbau dan tidak mempunyai rasa. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat

dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut dalam pati disebut amilosa dan fraksi

tidak terlarut disebut amilopektin. Sifat pati adalah tidak larut dalam air, namun

bila suspensi pati dipanaskan akan terjadi gelatinisasi setelah mencapai suhu

tertentu (suhu gelatinisasi). Granula pati dapat membengkak dan pecah sehingga

tidak dapat kembali dalam wujud semula, perubahan sifat inilah yang disebut

gelatinisasi (Winarno, 1997).

Gelatinisasi adalah proses pembentukan gel yang diawali dengan

pembengkakkan granula pati, pada proses ini berkaitan dengan lama perebusan

yang akan menentukan kualitas bakso. Tanda bakso yang sudah matang adalah

bola - bola bakso yang direbus dalam air mendidih mengapung di permukaan air.

Perebusan bakso biasanya berlangsung 10 - 15 menit. Setelah diangkat, lalu

ditiriskan atau didinginkan pada suhu ruang. Penirisan bertujuan untuk

mengurangi kadar air agar adonan menjadi kompak. Proses ini dilakukan dengan

cara mengangin - anginkan pada suhu ruang. Prinsipnya adalah mengeluarkan

sebagian air dari bahan dengan cara menguapkan air dengan memanfaatkan energi

panas sampai batas tertentu (Irawati dan Novitasari, 2005).

Dalam pembuatan bakso tepung sagu yang ditambahkan berfungsi sebagai

pengenyal dan pembentuk tekstur bakso (Haryanto dan Pangloli, 1992 dalam

8

Sudarwati, 2007). Tepung sagu memiliki kandungan protein dan gluten yang

lebih tinggi dibandingkan dengan tepung tapioka, tekstur bakso yang dihasilkan

pun lebih bagus dibanding dengan bakso yang menggunakan tepung tapioka (Lia,

2006 dalam Sudarwati, 2007). Menurut Setyowati dkk, (2015), penambahan

tepung sagu yang baik untuk pembuatan bakso adalah 10% - 25% dari total

adonan.

Bakso yang berkualitas baik harus memperhatikan pengemasan.

Pengemasan atau packaging pada dasarnya adalah membungkus produk dengan

bahan pembungkus tertentu yang memiliki sifat-sifat tertentu sehingga dapat

memberi perlindungan yang baik dari cemaran yang terdapat dalam udara (udara

saat produk berada selama rantai pemasaran) atau dari alat ataupun tangan yang

menangani sehingga terhindar dari kerusakan fisik, dan menahan masuknya

mikrobia yang dapat tumbuh pada produk dan merusak kualitasnya (Wibowo,

2006).

Jenis plastik yang sering digunakan dalam pengemasan produk daging

adalah plastik Polietilen (PE), plastik ini tidak menunjukkan perubahan pada suhu

maksimum 93oC – 121

oC dan suhu minimum -46

oC sampai dengan -5

oC. Menurut

Wheaton dan Lawson, (1985) dalam Yanti dkk, (2008), bahan kemasan plastik

yang sering digunakan adalah Polietilen, karena mempunyai harga relatif murah,

mempunyai komposisi kimia yang baik, resisten terhadap minyak dan lemak,

tidak menimbulkan reaksi kimia pada makanan, mempunyai kekuatan yang baik

dan cukup kuat untuk melindungi produk dari perlakuan kasar selama

penyimpanan, mempunyai daya serap yang rendah terhadap uap air, serta tersedia

9

dalam berbagai bentuk. Kriteria syarat mutu bakso yang baik menurut Standar

Nasional Indonesia (SNI) disajikan pada Tabel 1.

Table 1. SNI 3818 - 2014 Syarat Mutu Bakso Daging

Kriteria Uji Satuan

Persyaratan

Bakso daging Bakso daging

kombinasi

Keadaan

Bau - Normal khas

daging

Normal khas daging

Rasa - Normal khas

bakso

Normal khas bakso

Warna - Normal Normal

Tekstur - Kenyal Kenyal

Kadar air % (b/b) Maks. 70,0 Maks. 70,0

Kadar abu % (b/b) Maks. 3,0 Maks. 3,0

Kadar protein (N x 6,25) % (b/b) Min. 11,0 Min. 8,0

Kadar lemak % (b/b) Maks. 10 Maks. 10

Cemaran logan

Kadmium (Cd) Mg/kg Maks. 0,3 Maks. 0,3

Timbal (Pb) Mg/kg Maks. 1,0 Maks. 1,0

Timah (Sn) Mg/kg Maks. 40,0 Maks. 40,0

Merkuri (Hg) Mg/kg Maks. 0,03 Maks. 0,03

Cemaran arsen (As) Mg/kg Maks. 0,5 Maks. 0,5

Cemaran mikrobiologi

Angka lempeng total Koloni/g Maks. 1 x 105 Maks. 1 x 105

Koliform

Escherichia coli

Salmonella sp

Staphylococcus

Clostridium

APM/g

APM/g

-

Koloni/g

Koloni/g

Maks. 10

<3

Negatif/25g

Max 1 x 102

Max 1 x 102

Maks. 10

<3

Negatif/25g

Max 1 x 102

Max 1 x 102

Sumber : Anonim (2014)

B. Daging

Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

hasil pengolahan jaringan - jaringan tersebut yang layak untuk dimakan serta tidak

10

menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Organ - organ

misalnya hati, ginjal, otak, paru-paru , jantung , limpa, pankreas, dan jaringan otot

termasuk dalam definisi ini (Soeparno, 1992). Protein adalah komponen bahan

kering yang terbesar dari daging. Nilai nutrisi daging yang tinggi disebabkan

karena daging mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap dan

seimbang (Soeparno, 1994).

Astawan (2007), berpendapat bahwa daging merupakan bahan pangan

yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu protein yang tinggi,

pada daging terdapat kandungan asam amino yang lengkap dan seimbang.

Keunggulan lain, protein daging lebih mudah dicerna dari pada protein yang

berasal dari nabati. Bahan pangan ini juga mengandung beberapa jenis mineral

dan vitamin. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh ternak yang akan

dipotong agar diperoleh kualitas danging yang baik yaitu ternak harus dalam

keadaan sehat, bebas dari penyakit, ternak harus cukup istirahat, tidak

diperlakukan kasar, serta tidak mengalami stress agar kandungan glikogen otot

maksimal.

Widyaningsih dan Murtini (2006) juga berpendapat bahwa daging yang

digunakan dalam pembuatan bakso harus daging segar, yaitu dari ternak yang

baru dipotong. Sebaiknya jangan menggunakan daging yang telah dilayukan,

yaitu daging yang telah mengalami aging atau penuaan. Bila menggunakan daging

yang telah layu, tekstur bakso yang dihasilkan kurang kenyal. Hal ini sejalan

dengan yang dikemukakan Angga, (2007), daging yang baik digunakan sebagai

bahan baku bakso adalah daging yang masih dalam fase prerigor. Daging yang

11

berada pada fase prerigor umumnya diperoleh segera setelah pemotongan ternak

tanpa mengalami proses penyimpanan, sehingga daging tersebut masih berupa

daging segar.

Menurut Wibowo (2006), semakin segar daging, maka semakin bagus

mutu bakso yang dihasilkan. Daging segar akan menghasilkan produk yang baik

karena adanya protein aktin dan miosin dalam bentuk bebas dan belum terbentuk

ikatan aktomiosin antara keduanya. Hal ini dapat menyebabkan banyak protein

yang ter ekstrak. Protein aktin dan miosin merupakan jenis protein yang larut

dalam larutan garam dan juga berfungsi penting dalam pembentukan emulsi

daging.

Protein daging juga berperan dalam meningkatkan water holding capacity

yaitu kemampuan daging dalam mempertahankan dan mengikat air selama

pemasakan sehingga akan mengahasilkan produk yang empuk. Selain itu daging

hendaknya tidak banyak berlemak dan tidak banyak berurat. Lemak dan urat yang

terdapat pada daging dipisahkan dulu. Untuk membuat bakso urat justru

digunakan daging yang banyak urat dan seratnya, sedangkan lemak tetap

dipisahkan (Wibowo, 2006).

C. Komposisi Kimia Daging Itik Manila

Itik manila (entog) termasuk dalam ordo Anseriformes, famili Anatidae,

genus Cairina dan spesies Moschata (Suryawijaya, 1984). Muskovi atau entog

adalah jenis yang unik, satu-satunya unggas domestik dari jenis malard. Berasal

dari Amerika Selatan. Entog dapat terbang, hal ini yang menyebabkan otot dada

12

dan kaki entog kuat dan besar. Daging entog tidak berminyak seperti itik yang

lain, mirip daging anak lembu dengan otot yang bagus, tanpa lemak, dan dengan

flavor yang lezat dan unik (Damayanti, 2006). Kandungan gizi yang terdapat pada

daging itik manila dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 . Kandungan Gizi Daging Itik Manila

Komponen Jumlah ( per 100 g daging )

Air 74,6 %

Protein 19,6 %

Lemak 1,8 %

Kolesterol -

Sumber : (Mazanowski dkk, dalam Sugiyanto, 2015)

Nilai energi yang terdapat dalam daging itik manila sebesar 15.900

kkal/kg. Produksi daging ternak unggas lokal secara langsung dapat dilihat dari

bobot, persentase karkas dan banyaknya proporsi bagian karkas yang bernilai

tinggi (Damayanti, 2003) . Tingkat produktivitas itik lokal Indonesia baik telur

maupun daging masih rendah dan masih berpeluang untuk ditingkatkan sehingga

keberadaan ternak itik dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam memenuhi

kebutuhan protein hewani asal ternak.

D. Kitosan

Puspitasari (2012) dalam Fatimah dan Wulandari, (2007), memaparkan

kitosan (2-amino-2-deoksi-D-glukosa) adalah produk yang didapatkan dari

turunan polisakarida kitin dengan memindahkan sejumlah gugus asetil (CH3CO )

13

menjadi molekul yang larut dalam asam, melalui proses deasetilasi dengan

melepaskan gugus NH (amin) dan memberikan sifat kationik pada kitosan.

Kitosan berupa polisakarida linier yang disusun oleh ikatan β (1-4) D-glukosamin

(unit destilasi) dan N-asetil D-glukosamin (unit asetil).

Hal ini sependapat dengan Hardjito (2006), mengemukakan kitosan

merupakan turunan dari kitin yang telah mengalami deasetilasi. Senyawa berkitin

sebagai polimer alami dapat dihasilkan dari hewan laut bercangkang (Crustacea)

seperti udang, kepiting, lobster dan rajungan.

Kitosan merupakan bahan kimia multiguna berbentuk serat dan merupakan

bahan kopolimer berbentuk lembaran tipis, berwarna putih, atau kuning, dan tidak

berbau. Sifat kimia kitosan sama dengan kitin tetapi yang khas antara lain;

merupakan polimer berbentuk linear, mempunyai gugus amino aktif, dan

mempunyai kemampuan mengikat beberapa logam. Selain itu kitosan mempunyai

sifat fisik khas yaitu mudah dibentuk menjadi spon, larutan, gel, pasta, membran,

dan serat yang sangat bermanfaat dalam aplikasinya (Rismana, 2001).

Sumber kitin dan kitosan yang cukup banyak dan terdapat dalam perairan

Indonesia adalah udang. Suptijah (1992), menyatakan bahwa sumber kitin dan

kitosan yang merupakan limbah udang dapat dikategorikan menjadi tiga jenis

berdasarkan jenis pengolahannya yaitu kepala udang (biasanya merupakan hasil

samping dari industri pembekuan udang tanpa kepala), kulit udang (biasanya

merupakan hasil samping dari industri pembekuan udang atau industri

pengalengan udang), dan campuran keduanya (biasanya berasal dari industri

pengalengan udang).

14

Menurut Darmadji dan Izummimoto, (1994) kitosan terbukti tidak

beracun, biodegradable, biofungctional, biocompatible dan memiliki sifat anti

mikrobia. Salah satu mekanisme sifat antimikrobia kitosan adalah terjadinya

kebocoran sel protein dan komponen intraseluler mikrobia yang disebabkan oleh

interaksi muatan positif dari gugus amino kitosan dengan muatan negatif dari

membran sel mikrobia (Rubea and others, 2003).

Mekanisme tersebut diperkuat dengan pernyataan yang dikemukakan oleh

Lay dan Sugyo (1992) dalam Yusman (2006), bakteri gram positif memiliki asam

teikoat, polimer yang bersifat asam yang mengandung ribitol, fosfat, atau gliserol

fosfat. Asam teikoat bersifat asam, mengandung ulangan rantai gliserol fosfat dan

ribotol fosfat pada bakteri gram positif menyebabkan bakteri gram positif

bermuatan negatif. Menurut Helander et al. 2001 dalam Nurainy et al. (2008).

Muatan positif NH3+ glukosamin kitosan akan berinteraksi dengan muatan negatif

(lipopolisakarida protein) membran sel mikroba sehingga menyebabkan

kerusakan membran luar sel dan keluarnya konstituen intraselullar bakteri.

Synoweiecki dan Al-Katheeb (2003), menyebutkan bahwa kitosan

memiliki sifat anti mikroba yang lebih baik dari pada kitin. Mekanisme kitosan

sebagai anti mikrobia dikarenakan oleh memungkinkan terjadinya permeabilisasi

dari sel mikrobia dan pengikat mineral renik, air, serta aktivasi dari beberapa

proses pertahanan dalam jaringan makhluk inang oleh kitosan yang akan

menghambat pertumbuhan mikrobia. Selain itu berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Tsai et al. (2002)., kitosan dapat menghambat pertumbuhan

Escherichia coli.

15

Penghambatan Escherichia coli ini disebabkan oleh adanya sifat

keelektronegatifan dari permukaan sel Escherichia coli. Perubahan dalam

potensial permukaan Escherichia coli selama pertumbuhan, yaitu terjadinya

peningkatan keelektronegatifan seiring dengan peningkatan umur sel, yaitu

pertumbuhan lambat, namun sifat keelektronegatifan akan menurun setelah

bakteri mencapai fase stasioner.

Menurut Hadwiger dan Loschke (1981) dalam Hardjito (2006) kitosan

digunakan sebagai desinfektan / antibakteri dikarenakan beberapa sifat yang

dimiliki yaitu kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan mikrobia perusak

dan kemampuannya dalam memberikan pelapisan terhadap produk sehingga

meminimalkan interaksi antara produk dan lingkungannya. Berbagai hipotesa

yang sampai saat ini masih berkembang mengenai mekanisme kerja kitosan

sebagai pengawet adalah afinitas yang dimiliki oleh kitosan yang sangat kuat

dengan DNA mikroba sehingga dapat berikatan dengan DNA yang kemudian

mengganggu RNA dan sintesa protein.

Mekanisme lain mengenai sifat antibakteri kitosan juga dijelaskan oleh

Widodo et al. dalam Nurainy et al. (2008), kitosan bersifat polikationik yang

dapat mengikat lipid dan logam berat, rusaknya lipid pada dinding sel bakteri

akan mengakibatkan rusaknya pertahanan sel.

Menurut Wardaniati dan Setyaningsih, (2009) konsentrasi kitosan yang paling

optimal untuk menghambat pertumbuhan mikrobia dan digunakan sebagai

pengawet bakso adalah 1,5% dalam pelarut asam asetat 1% dengan lama waktu

perendaman selama 60 menit .

16

E. Pembekuan

Kerusakan makanan pada umumnya disebabkan karena proses kimiawi

atau biokimiawi meskipun kerusakan itu disebabkan oleh mikrobia. Kecepatan

kerusakan tadi dipengaruhi oleh suhu. Penyimpanan suhu rendah tidak hanya

menghambat kecepatan respirasi melainkan juga menghambat pertumbuhan

mikrobia, karena pada hakekatya kecepatan pertumbuhan mikrobia juga

merupakan proses metabolisme (Adnan, 1988).

Penyimpanan beku merupakan suatu cara pengawetan bahan pangan

dengan cara membekukan bahan pada suhu di bawah titik beku pangan tersebut.

Penyimpanan beku atau dengan terbentuknya es (ketersediaan air menurun), maka

kegiatan enzim dan mikroba dapat dihambat atau dihentikan serta mencegah

reaksi - reaksi kimia sehingga dapat mempertahankan mutu (rasa dan nilai gizi)

bahan pangan. Walaupun penyimpanan beku dapat mereduksi jumlah mikrobia

yang sangat nyata tetapi tidak dapat mensterilkan makanan dari mikrobia

(Rohana, 2002 dalam Khairunnisa, 2011).

Penyimpanan beku akan meningkatkan konsentrasi elektrolit di dalam sel

mikrobia karena air bebas membeku membentuk kristal es dan merusak sistem

koloidal dari protoplasma (misalnya sistem koloid protein) serta menyebabkan

denaturasi protein didalam sel mikroba. Penyimpanan beku dapat menyebabkan

kematian atau kerusakan subletal pada sebagian sel. Sel yang mengalami

kerusakan subletal dapat tumbuh secara normal dan dapat berkembang biak jika

ditumbuhkan dalam medium yang kaya akan nutrisi (Yuliatin, 2008 dalam Putri,

dkk., 2015).

17

Ketahanan mikrobia selama penyimpanan beku juga dipengaruhi oleh

jenis mikroba, komposisi medium penyimpanan, status nutrisi, fase pertumbuhan

sebelum mikrobia dibekukan, suhu penyimpanan beku, kecepatan pembekuan,

lama penyimpanan beku, kecepatan thawing, metode yang digunakan untuk

menentukan jumlah sel yang hidup, dan media yang digunakan (Lund dalam

Putri, dkk., 2015 ).

Kebanyakan mikrobia tidak dapat tumbuh pada suhu dibawah 32°F, tetapi

banyak diantara jenis ragi yang dapat tumbuh sampai pada suhu 15°F dalam

substrat yang tidak beku. Pada umumnya ragi dan jamur dapat tumbuh pada suhu

yang jauh lebih rendah daripada bakteri. Bentuk yang paling peka dari mikrobia

adalah sel vegetatif . Adapun spora biasanya tidak rusak karena pembekuan.

(Adnan, 1988).

F. Mikrobia

Mikrobia adalah organisme yang berukuran kecil dan dapat dilihat hanya

dengan bantuan mikroskop berdaya tinggi. Mikrobia terdapat dalam populasi yang

besar,beragam, dan keberadaannya hampir tersebar di semua tempat di alam ini.

Mikrobia ada yang tersusun atas satu sel (uniseluler) dan ada yang tersusun atas

beberapa sel (multiseluler). Walupun mikrobia uniseluler hanya tersusun dari satu

sel, namun mikrobia tersebut menunjukkan semua karakteristik hidup, yaitu

bermetabolsime, bereproduksi, berdiferensisasi, melakukan komunikasi,

melakukan pergerakan, dan berevolusi (Pratiwi, 2008). Mikrobia tersebar luas di

alam baik di tanah, air, udara, maupun dalam makanan.

18

Kandungan mikrobia dalam suatu spesimen pangan dapat memberikan

keterangan yang mencerminkan mutu bahan mentahnya, keadaan sanitasi pada

pengolahan pangan tersebut, serta keefektifan metode pengawetannya. Umumnya

bahan makanan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan berbagai macam

mikrobia. Pada keadaan fisik yang menguntungkan, terutama pada kisaran suhu

7ºC - 60ºC menyebabkan terjadinya perubahan dalam hal penampilan, rasa, bau,

serta sifat – sifat lain dalam bahan makanan ( Irianto, 2007 ) .

Daging unggas termasuk itik manila mempunyai flora bakteri pada

kulitnya yang berasal dari bakteri yang biasanya terdapat pada unggas hidup dan

dari pencemaran yang terjadi pada waktu penyembelihan, pengulitan,

pembersihan isi perutnya, maupun pada saat pengolahan menjadi produk pangan.

Oleh karena itu perlu dilakukan kontrol kualitas untuk mengetahui mutu daging

dan hasil olahannya ( Irianto, 2007 ).

Bakteri adalah mikrobia bersel satu, berkembang biak dengan cara

membelah diri, sel – selnya secara khas berbentuk bola seperti batang atau spiral.

Bakteri yang khas berdiameter sekitar 0,5 sampai 1,0 µm, dan panjangnya 1,5

sampai 2,5 µm. Bakteri dapat tumbuh pada suhu 0ºC, ada yang tumbuh dengan

baik pada sumber air panas yang suhunya 90ºC atau lebih. Kebanyakan tumbuh

pada berbagai suhu diantara suhu ekstrim ini (Pelczar et al., 1986) .

Tebal dinding sel kebanyakan bakteri yang dipelajari sejauh ini berkisar 10

sampai 35 nm, namun beberapa dinding sel amat tebal. Tebal dinding sel

bergantung pada spesies serta kondisi pembiakannya, dinding sel bakteri dapat

mencapai 10 sampai 40 persen dari berat kering organisme yang bersangkutan.

19

Dinding sel bakteri sangat penting bagi pertumbuhan dan pembelahan. Semua

bakteri mempunyai dinding sel yang kaku kecuali mikroplasma.

Penyebab kakunya dinding sel ialah peptidoglikan, yaitu polimer

(molekul besar yang terdiri dari unit - unit yang berlapis). Polimer yang amat

besar ini terdiri dari tiga macam bahan pembangun yaitu : N-asetilglukosamin

(AGA), asam N-asetilmuramat (AAM), dan suatu peptida yang terdiri dari 4 atau 5

asam amino, yaitu L-alanin, D-alanin, asam D-glutamat, dan lisin atau asam

dianopimelat.

Dinding sel yang utuh juga mengandung komponen - komponen kimiawi

lain, seperti asam teikoat, protein, polisakarida, lipoprotein dan lipopolisakarida,

yang terikat pada peptidoglikan (Pelczar et al., 1986). Berdasarkan susunan

dinding selnya bakteri dibagi menjadi 2 jenis yaitu bakteri gram positif dan

bakteri gram negatif. Bakteri gram positif mempunyai dinding sel yang lebih tebal

dibandingka bakteri gram negatif (Pelczar et al., 1986).

Dinding sel bakteri gram positif mengandung banyak lapisan

peptidoglikan (murein) yang membentuk struktur yang tebal dan kaku. Dinding

sel bakteri gram negatif mengandung satu atau beberapa lapis peptidoglikan dan

membran luar (outer membrane), tidak mengandung asam teikoat. Dinding sel

bakteri gram negatif lebih tahan terhadap kerusakan mekanis karena hanya

mengandung sejumlah kecil peptidoglikan (Pratiwi, 2008).

Bakteri gram positif adalah bakteri yang mampu menahan zat warna ungu

(metilviolet, kristalviolet, gentianviolet) dalam tubuhnya meskipun telah

didekolorisasi dengan alkohol atau aseton sehingga tubuhnya tetap berwarna

20

ungu. Contoh dari bakteri gram positif adalah Staphylococcus, Strephtococcus,

Listeria, dan Bacillus. Bakteri gram negatif adalah bakteri yang tidak dapat

menahan zat warna setelah dekolorisasi dengan alkohol akan kembali menjadi

tidak berwarna dan bila diberikan pengecatan dengan zat warna kontras, akan

berwarna sesuai dengan zat warna kontras (Irianto, 2006), contoh dari bakteri

gram negatif adalah Escherichia coli, Salmonella, dan Shigela. Perbedaan susunan

dinding sel antara bakteri gram positif dan bakteri gram negatif disajikan dalam

Tabel 3.

Tabel 3. Perbedaan Susunan Dinding Sel Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif

Ciri Gram positif Gram negatif

Struktur

dinding sel

Tebal (15-80 nm)

Berlapis tunggal (mono)

Tipis (10-15 nm)

Berlapis tiga (multi)

Komposisi

dinding sel

Kandungan lipid rendah

(1 - 4 %)

Peptidoglikan ada sebagai

lapisan tunggal, komponen

utama merupakan lebih dari

50% berat kering pada

beberapa sel bakteri

Ada asam tekoat

Kandungan lipid tinggi

(11 -15%)

Peptidoglikan ada di dalam,

jumlahnya sedikit, merupakan

sekitar 10% berat kering

Tidak ada asam tekoat

Kerentanan Lebih rantan terhadap

penisilin

Kurang rentan terhadap

penisilin

Pertumbuhan

Pertumbuhan dihambat zat-

zat warna dasar dengan

nyata

Pertumbuhan tidak begitu

dihambat zat -zat warna dasar

Persyaratan

nutrisi

Relatif rumit pada banyak

spesies

Relatif sederhana

Resistensi Lebih resisten terhadap

gangguan fisik

Kurang resisten terhadap

gangguan fisik

Sumber : (Irianto, 2007)

21

G. Bakteri Patogen

Bakteri yang membuat kerusakan atau kerugian terhadap tubuh inang

disebut sebagai patogen. Sedangkan kemampuan bakteri untuk menimbulkan

penyakit disebut patogenisitas. Ketika suatu bakteri memasuki jaringan tubuh dan

memperbanyak diri, bakteri dapat menimbulkan infeksi. Jika keadaan inang

rentan terhadap infeksi dan fungsi biologinya rusak, maka hal ini dapat

menimbulkan suatu penyakit (Irianto, 2007).

Kemampuan bakteri patogen untuk menyebabkan penyakit tidak hanya

dipengaruhi oleh komponen yang ada pada bakteri, tapi juga oleh kemampuan

inang untuk melawan infeksi. Saat ini, peningkatan jumlah infeksi meningkat

disebabkan oleh bakteri yang sebelumnya dianggap tidak patogen terutama

anggota flora normal.

Infeksi ini berkembang dalam tubuh manusia yang faktor kekebalan

tubuhnya dirusak oleh penyakit lain atau karena terapi antibiotik yang

berkepanjangan. Mikrobia demikian disebut patogen oportunistik. Bakteri

Patogen tersebut dapat menimbulkan penyakit pada individu yang sehat

(Kusnandi, 2003 dalam Christono, 2015).

Menurut Irianto (2007) penyakit asal makanan yang disebabkan bakteri

dan dipindah sebarkan melalui makanan terjadi melui dua mekanisme, yaitu

sebagai berikut :

a) Bakteri yang terdapat dalam bahan makanan menginfeksi inang sehingga

menyebabkan penyakit asal makanan.

22

b) Bakteri mengeluarkan eksotoksin (produk toksik bakteri yang disintesis

dan disekresikan oleh bakteri hidup) dalam makanan dan menyebabkan

keracunan makannan bagi yang memakannya.

Berikut adalah bakteri patogen yang dapat menyebabkan kerusakan pada

makanan dan menyebabkan penyakit pada manusia :

1. Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif, berbentuk coccus /

bulat berdiameter 0,7 - 1,2 μm, tersusun berpasangan dan bergerombol, tidak

membentuk spora dan tidak bergerak (Irianto, 2007) . Bakteri ini tumbuh pada

suhu optimum 37ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-

25ºC). Koloni pada perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning keemasan,

berbentuk bulat, halus, menonjol, dan berkilau (Jawetzet et al., 1995 dalam

Christono, 2015). Bakteri ini tumbuh secara anaerobik fakultatif dengan

membentuk kumpulan sel-sel seperti buah anggur.

Staphylococcus aureus adalah bakteri yang umumnya terdapat diberbagai

tubuh manusia, termasuk hidung, tenggorokan, kulit, dan karenanya mudah

memasuki makanan. Bakteri ini menghasilkan enterotoksin, enterotoksin ini tahan

panas dan tidak berubah walau dididihkan selama 30 menit. Bakteri ini

menghasilkan enterotoksisn apabila makanan dibiarkan pada suhu kamar selama

8 – 10 jam.

Walaupun makanan ini disimpan didalam lemari es selama berbulan-

bulan, toksinnya tidak akan termusnahkan. Pemasakan kembali pada masakan

tersebut tidak akan mengurangi kandungan toksin yang ada pada bakteri tersebut

23

(Irianto, 2007). Morfologi bakteri Staphylococcus aureus dapat dilihat pada

Gambar 2.

Gambar 2. Staphylococcus aureus

Klasifikasi bakteri Staphylococcus aureus menurut Rosenbach (1842-

1923) dalam Christono (2015) adalah sebagai berikut:

Domain : Bacteria

Kingdom : Eubacteria

Filum : Firmicutes

Kelas : Bacilli

Ordo : Bacillales

Famili : Staphylococcaeae

Genus : Staphylococcus

Species: Staphylococcus aeureus.

Penyakit infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus adalah

bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranya

24

pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan

endokarditis. Staphylococcus aureus juga merupakan penyebab utama infeksi

nosokomial, keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Ryan et al., 1994

dalam Christono, 2015).

2. Coliform

Kelompok Coliform adalah bakteri aerobik dan anerobik fakultatif, gram

negatif, tidak membentuk spora, berbentuk batang, dan dapat memfermentasi

laktosa dengan mengeluarkan gas dan asam setelah 48 jam pada suhu 35°C

(Waluyo, 2010). Bakteri Coliform dapat dibedakan atas dua grup, yaitu Coliform

fekal, misalnya Escherichia coli, dan Coliform non fekal, misalnya Enterobacter

aerogenes. Escherichia coli disebut sebagai Coliform fekal karena hidup secara

normal di dalam saluran pencernaan hewan dan manusia, sedangkan Enterobacter

aerogenes biasanya pada hewan atau tanaman yang telah mati (Fardiaz, 1992

dalam Kurnianingrum 2008 ).

3. Escherichia coli

Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang

pendek yang memiliki panjang sekitar 2 μm, diameter 0,7 μm, lebar 0,4-0,7 μm

dan bersifat anaerob fakultatif. Escherichia coli membentuk koloni yang bundar,

cembung, dan halus dengan tepi yang nyata ( Jawetz et al., 1995 dalam Christono,

2015)

Bakteri ini juga termasuk dalam golongan bakteri Coliform fekal, karena

keberadaanya dalam saluran pencernaan manusia. Identifikasi dari bakteri

Escherichia coli didasarkan pada produksi gas dari fermentasi glukosa dan

25

fermentasi laktosa menjadi asam dan gas selama 48 jam pada suhu inkubasi

45,5°C (Anonim ,1955 ).

Escherichia coli menjadi patogen jika jumlah bakteri ini dalam saluran

pencernaan meningkat atau berada di luar usus. Escherichia coli menghasilkan

enterotoksin yang menyebabkan beberapa kasus diare (Jawetz et al., 1995 dalam

Christono, 2015). Morfologi bakteri Escherichia coli disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Escherichia coli

Klasifikasi bakteri Escherichia coli menurut Rosenbach (1842-1923)

dalam Christono (2015) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Bacteria

Filum : Proteobacteria

Kelas : Gemma Proteobacteria

Ordo : Enterobacteriiales

Famili : Enterobacteriaceae

Genus : Escherichia

Species : Escherichia coli

26

Keracunan makanan yang disebabkan oleh Escherichia coli

enteropatogenik (disebut EPEC) biasanya disebabkan oleh konsumsi air atau

makanan yang terkontaminasi oleh Escherichia coli penyebab enteritis.

Escherichia coli enteropatogenik (EPEC) berbeda dari Escherichia coli yang

secara normal terdapat di dalam usus besar. Escherichia coli (EPEC) mempunyai

antigen spesifik tertentu, dan menyebabkan gastroenteritis akut atau enteritis

seperti disentri pada manusia.

Escherichia coli enteropatogenik termasuk Escherichia coli bersifat invasif,

atau disebut EIEC (Enteroinvasif Escherichia coli), dan Escherichia coli

enterotoksigenik yang disebut juga ETEC. Escherichia coli EIEC dapat

menembus sel-sel saluran pencernaan seperti halnya Shigella, sedangkan ETEC

memproduksi enterotoksin yang sifatnya menyerupai toksin kolera (Irianto, 2013).

Semua jenis bakteri Escherichia coli dalam jumlah tertentu pada dasarnya

berbahaya karena termasuk bakteri patogen yang.

H. Pertumbuhan Mikrobia

Istilah pertumbuhan umum digunakan untuk bakteri dan mikrobia lain dan

biasanya mengacu pada perubahan didalam hasil panen sel (pertambahan massa

sel) dan bukan pertumbuhan individu mikrobia. Inokulum selalu mengandung

ribuan mikrobia, pertumbuhan menyatakan pertambahan jumlah dan atau massa

melebihi yang ada dalam inokulum asalnya ( Pelczar et al., 1986 ).

Cara khas reproduksi bakteri menurut Pelczar et al. (1986), ialah

pembelahan biner melintang, satu sel membelah diri menghasilkan dua sel. Jadi

27

bila dimulai dengan satu bakteri tunggal , maka populasi bertambah secara

geometrik : 1 → 2 → 22 → 2

3 → 2

4 ... 2

n atau dengan perhitungan sederhana 1→

2 →4 →8→ 16 .

Interval waktu yang dibutuhkan bagi sel untuk membelah diri atau untuk

populasi menjadi berjumlah dua kali lipat dikenal dengan waktu generasi. Tidak

semua spesies bakteri memiliki waktu generasi yang sama, seperti Escherichia

coli dapat berlangsung sesingkat 15 sampai 20 menit untuk yang lain dapat ber

jam - jam . Waktu generasi sangat tergantung pada cukup tidaknya nutrisi di

dalam media pertumbuhan serta sesuai tidaknya kondisi fisik yang mendukung

pertumbuhan( Pelczar et al., 1986 ). Fase pertumbuhan mikrobia disajikan dalam

Gambar 4.

Gambar 4. Kurva Pertumbuhan Mikrobia

Empat macam fase pertumbuhan mikroorganisme, yaitu fase lag, fase log

(fase eksponensial), fase stasioner, dan fase kematian. Pada fase pertama l atau lag

fase, yaitu 1 sampai 2 jam setelah pemindahan, mikroorganisme belum

28

mengadakan pembiakan; fase ini disebut fase adaptasi. Kemudian diikuti dengan

pertumbuhan yang sangat cepat (fase eksponensial) (Pelczar et al., 1986).

Fase selanjutnya adalah fase stasioner, pada fase ini pertumbuhan mikrobia

berhenti dan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dengan

jumlah yang mati. Pada fase ini terjadi akumulasi produk buangan yang toksik.

Pada sebagian besar kasus, penggantian sel terjadi dalam fase stasioner ini.

Terdapat kehilangan sel yang lambat karena kematian diimbangi oleh

pembentukan sel-sel baru melalui pertumbuhan dan pembelahan dengan nutrisi

yang dilepaskan oleh sel-sel yang mati karena mengalami lisis. Pada fase terakhir

atau fase kematian, jumlah sel yang mati meningkat. Faktor penyebabnya adalah

ketidaktersediaan nutrisi dan akumulasi produk buangan yang toksik (Pratiwi,

2008).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikrobia menurut

Pelczar et al., (1986) diantaranya adalah :

1. Nutrisi

Semua bentuk kehidupan, dari mikrobia sampai kepada manusia,

mempunyai persamaan dalam hal persyaratan nutrisi tertentu dalam bentuk zat-zat

kimiawi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan fungsinya yang normal. Semua

organisme hidup membutuhkan sedikitnya karbon dioksida, tetapi kebanyakan di

antaranya juga membutuhkan beberapa senyawa karbon organik, seperti gula -

gulaan dan karbohidrat lain.

Semua organisme hidup juga membutuhkan nitrogen. Tumbuhan

menggunakan nitrogen anorganik seperti kalium nitrat (KNO3), sedangkan hewan

29

membutuhkan senyawa nitrogen organik seperti protein dan produk - produk hasil

peruraiannya yaitu peptida dan asam amino tertentu.

Organisme hidup membutuhkan sulfur dan fosfor, sulfur untuk hewan

dipenuhi oleh senyawa sulfur organik sedangkan sulfur bagi tumbuhan dipenuhi

oleh senyawa sulfur anorganik. Fosfor biasanya diberikan sebagai fosfat yaitu

garam - garam fosfat. Semua mikrobia termasuk bakteri juga membutuhkan

beberapa unsur logam natrium, kalium, kalsium, magnesium, mangan, besi, seng,

tembaga dan kobalt untuk pertumbuhan yang normal.

Vitamin juga dibutuhkan mikrobia untuk pertumbuhan, kebanyakan

vitamin berfungsi membentuk substansi yang mengaktivasi enzim yang

menyebabkan perubahan kimiawi pada bakteri . Untuk fungsi metabolik dan

pertumbuhannya bakteri juga membutuhkan air. Semua nutrien harus ada dalam

bentuk larutan sebelum memasuki tubuh / inang dari bakteri tersebut (Pelczar et

al., 1986).

2. Suhu

Semua proses pertumbuhan bergantung pada reaksi kimiawi dan karena

laju reaksi - reaksi ini dipengaruhi oleh suhu, maka pola pertumbuhan bakteri

sangat dipengaruhi oleh suhu. Setiap spesies bakteri tumbuh pada suatu kisaran

suhu tertentu. Atas dasar ini maka bakteri dapat diklasifikasikan sebagai : bakteri

Psikrofil, yaitu bakteri yang tumbuh pada suhu 0°C sampai 30°C. Bakteri

Mesofil, yaitu bakteri yang tumbuh pada suhu 25°C sampai 40°C, dan bakteri

Termofil, yaitu bakteri yang tumbuh pada suhu 50°C atau lebih (Pelczar et al.,

1986).

30

3. Atmosfer gas

Gas - gas yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri adalah oksigen dan

karbon dioksida. Bakteri memperlihatkan keragaman yang luas dalam respon

terhadap oksigen bebas, dan atas dasar ini bakteri digolongkan menjadi empat

kelompok. Aerobik (bakteri yang membutuhkan oksigen), anaerobik (tumbuh

tanpa oksigen molekular) , anaerobik fakultatif (tumbuh pada keadaan aerobik dan

anaerobik), dan mikroaerofilik (tumbuh baik bila ada sedikit oksigen atmosferik)

(Pelczar et al., 1986).

4. Keasaman atau kebasaan ( pH )

Tingkat keasaman atau pH optimun pertumbuhan bagi kebanyakan bakteri

antara 6,5 dan 7,5. Namun, beberapa spesies dapat tumbuh dalam keadaan sangat

asam, atau sangat alkalin. Bagi kebanyakan spesies , nilai pH minimum dan

maksimum ialah antara 4 dan 9.

Bila bakteri dikultivasi di dalam suatu medium yang mula - mula

disesuaikan pH nya , misalnya 7 maka mungkin sekali pH ini akan berubah

sebagai akibat adanya senyawa - senyawa asam atau basa yang dihasilkan selama

pertumbuhannya. Pergeseran pH ini dapat sedemikian besar sehingga

menghambat pertumbuhan seterusnya bakteri itu.

I. Hipotesis Penelitian

Pelapisan kitosan food grade dan medical grade pada bakso itik manila

berpengaruh terhadap pertumbuhan mikrobia selama penyimpanan beku.