II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Mineral Dan...
Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Mineral Dan...
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sumberdaya Mineral Dan Pembangunan Ekonomi Wilayah
Fenomena “Penyakit Belanda” atau ”Dutch Desease” yakni fenomena
yang menggambarkan daerah yang kaya dengan sumber daya alam namun
mengalami pertumbuhan ekonomi yang lamban, sebenarnya bukan karena apa
yang disebut sebagai “kutukan sumber daya” (resource curse) namun lebih karena
ketidak-mampuan institusi dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya
alam tersebut sehingga menimbulkan konflik yang pada akhirnya menggerogoti
manfaat yang seharusnya dinikmati tersebut. Hal ini telah dilakukan di Norwegia
dari tahun 1969 sampai 2001 negara ini mampu mengoptimalkan produksi
sumberdaya mineralnya dalam rangka memperkuat sistem tatakelola
pemerintahan, hukum, perekonomian, norma sosial, pertanian dalam arti yang
luas, industri serta usaha jasa sehingga Norwegia dapat terhindar dari kutukan
sumberdaya (Larsen, 2006). Keberadaan sumberdaya alam juga sering
menimbulkan tidak stabilnya struktur ekonomi, bahkan pada daerah dengan
sumberdaya alam sedikit.
Pada sisi lain daerah dengan sumberdaya alam yang kaya, ketidakstabilan
ini semakin rapuh dan memicu konflik tehadap sumber daya alam yang lebih luas.
Bahkan dalam skala tertentu perselisihan yang tidak ada hubungannya dengan
sumber daya alam seperti masalah keluarga, bisa saja kemudian disalahkan pada
keberadaan sumber daya alam dan timpangnya akses terhadap sumber daya alam.
Hal ini sering terjadi pada beberapa daerah di Indonesia dimana sumber daya
mineral yang dikelola oleh kuasa pertambangan menimbulkan gejolak sosial yang
cukup hebat pada masyarakat ( Fauzi, 2006).
Mengacu pada Fauzi (2006) ada beberapa hal yang dapat dilakukan daerah
untuk menghindari dan mencegah terjadi konflik atas akses dan pemanfaatan
sumberdaya alam, khususnya mineral dan kaitannya dengan lingkungan. Pertama
mereka melakukan apa yang disebut sebagai factor movement policy atau
kebijakan pergerakan faktor produksi. Melalui program yang disebut sebagai
solidarity alternative atau alternatif solidaritas, penerimaan dari berbagai sektor
dikoordinasikan sedemikian rupa untuk mempermudah dampak penerimaan dari
18
industri pertambangan terhadap industri lain, khususnya industri primer yakni
pertanian dan perikanan-kelautan. Kedua sektor ini amat rentan terhadap
goncangan yang terjadi yang disebabkan oleh tumbuhnya industri pertambangan
di daerah yang awalnya didominasi oleh sektor pertanian. Tenaga kerja pertanian
kemudian lebih banyak terserap pada sektor pertambangan yang kemudian sektor
ini terabaikan sehingga ketika tambang habis mereka tidak siap untuk kembali ke
sektor pertanian. Semestinya sektor pertambangan menjadi komplemen bagi
sektor pertanian, bukan sebagai substitusi. Artinya keduanya harus dikembangkan
secara simultan melalui alternatif solidaritas ini. Kebijakan faktor “movement
policy” ini kemudian dibarengi juga oleh kebijakan yang disebut sebagai
”spending effect policy”.
Mekanisme penyakit Belanda timbul karena adanya spending effect, yakni
belanja publik yang sangat besar yang dihasilkan dari sektor pertambangan,
akibatnya belanja publik untuk sektor primer menjadi terbengkalai sehingga
menimbulkan keterpurukan pada sektor pertanian dan perikanan. Oleh karenanya
untuk mengatasi dampak tersebut diperlukan kebijakan pengeluaran melalui
disiplin fiskal. Pembayaran utang dilakukan secepat mungkin dan menetapkan
mekanisme pendanaan (fund) di berbagai peluang investasi seperti pasar modal
dan sebagainya (hal yang sama kini dilakukan oleh negara-negara Asia Tengah).
Kebijakan ketiga yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit
Belanda dan kutukan sumber daya adalah melalui spill-over loss policy dengan
cara menganjurkan akumulasi pengetahuan tenaga domestik ketimbang asing dan
dibarengi dengan investasi di bidang riset dan eksplorasi. Kebijakan ini dibarengi
pula kebijakan di bidang pendidikan dan penelitian. Penerimaan dari sumber daya
alam disalurkan untuk pendidikan dan penelitian serta pengembangan sehingga
terjadi akumulasi pengetahuan khususnya dalam hal pengelolaan ekonomi
sumberdaya alam.
Kebijakan berikutnya yang sangat mendukung untuk keluar dari penyakit
Belanda dan kutukan sumber daya adalah kebijakan tenaga kerja (labor policy)
dan kebijakan industri. Norwegia misalnya menetapkan sistim negosiasi upah
yang terpusat (centralized wage negotiation system) untuk menghindari adanya
konflik dan perbedaan upah yang tajam antarsektor pertambangan misalnya.
19
Kebijakan industri di Norwegia melakukan pemeliharaan dan peningkatan (know-
how) di bidang aktifitas industri. Kegiatan lebih ditekankan pada pengetahuan,
technological progress dan human capital.
Kebijakan lain yang tidak kalah penting adalah meniru apa yang telah
dilakukan oleh negara-negara Amerika Latin (Chili, Peru dan Brasil) dalam
mengembangkan ekonomi mereka berbasis mineral belakangan ini. Setelah
mengabaikan sumber daya alam mereka selama kurun waktu yang cukup lama
dan menyadari adanya kebijakan yang keliru (misguided policy), negara-negara
Amerika Latin kemudian memulai titik balik mereka pada tahun 1990an. Bank
Dunia mencatat bahwa titik balik tersebut dipicu oleh berbagai reformasi di
bidang investasi (khususnya di bidang pertambangan) dan peningkatan keamanan
(security) di bidang investasi pertambangan.
Hal yang lebih utama lagi adalah Amerika Latin mengembangan tata
kelola yang kuat dengan mengakomodasi kepedulian lingkungan khususnya yang
menyangkut masalah hutan lindung dan kawasan konservasi. Jika memang nilai
tambang di kawasan konservasi ini lebih rendah dari nilai jasa lingkungan yang
ada di kawasan tersebut maka mereka tidak akan melakukan penambangan dan
pemerintah memanfaatkan hutan lindung tersebut melalui mekanisme Pembayaran
Jasa Lingkungan atau Payment for Environmental Services (PES). Dengan
menggunakan mekanisme PES dan didukung oleh kelembagan yang kuat, bisa
saja tambang tidak dilakukan di hutan lindung namun jasa lingkungan dari hutan
lindung juga bisa mensejahterakan masyarakat sekitar.
Jika ini dilakukan memang ada beberapa keunggulan yang diperoleh yakni
selain keuntungan ekologis berupa terjaganya fungsi-fungsi ekologis kawasan
hutan, juga manfaat ekonomi bisa diperoleh sekaligus. Tambang dan sumber daya
alam dan jasa lingkungan yang kita miliki pada hakekatnya adalah anugerah
Tuhan yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Namun demikian
diperlukan strategi pemanfaatan yang bijak melalui langkah-langkah kebijakan
sehingga konflik atas sumber daya tersebut bisa diraup dan sumber daya alam dan
jasa lingkungan bukan menjadi kutukan namun lebih menjadi berkah bagi
penduduk yang ada di sekitarnya ( Fauzi , 2006).
20
Disisi lain kekuatan kepemimpinan (leadership) pemerintah dalam
mengontrol Gross Domestic Product (GDP), investasi sumberdaya manusia,
kesejahteraan melalui pendapatan per kapita memiliki hubungan yang erat antara
ketergantungan sumberdaya mineral sebagai ukuran terhadap rasio ekspor minyak
dan sumberdaya mineral melalui persentase keseluruhan ekspor. Model ini telah
ditempuh oleh beberapa negara timur tengah seperti Irak, Libya dan Arab Saudi
dalam menyusun strategi distribusi pendapatan negara atas pengelolaan
sumberdaya mineral melalui kekuatan leadership pemerintah (Leonard, 2003).
2.2. Hak dan Rezim Kepemilikan
Salah satu unsur penting dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
kaitannya terhadap kelembagaan adalah masalah hak dan rezim kepemilikan. Hal
ini didasarkan pada kondisi dimana sumberdaya alam ditempatkan sebagai barang
publik, dimana hal kepemilikan tidak terdefinisi dengan jelas. Kondisi tersebut
akan menimbulkan masalah kelembagaan pada unsur hak kepemilikan dan biaya
transaksi.
Definisi akses yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada (Peluso,
1996) yang mengartikan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat
dari sesuatu (the ability to derive benefits from things). Definisi ini lebih luas dari
pengertian klasik tentang properti, yang didefinisikan sebagai – hak untuk
memperoleh manfaat dari sesuatu (the right to benefit from things). Akses dalam
definisi Peluso mengandung makna “sekumpulan kekuasaan” (a bundle of
powers) berbeda dengan properti yang memandang akses sebagai “sekumpulan
hak” (a bundle of rights). Sehingga bila dalam makalah properti ditelaah relasi
properti utamanya yang berkenaan dengan klaim atas hak, maka dalam makalah
tentang akses ditelaah relasi kekuasaan untuk memperoleh manfaat dari sumber
daya termasuk dalam hal ini, namun tidak terbatas pada relasi properti.
Kekuasaan menurut (Peluso, 1996) terdiri atas elemen-elemen material,
budaya dan ekonomi-politik yang berhimpun sedemikian rupa membentuk
“bundel kekuasaan” (bundle of powers) dan “jaring kekuasaan” (web of powers)
yang kemudian menjadi penentu akses ke sumberdaya. Implikasi dari definisi
Peluso ini adalah bahwa kekuasaan yang inheren terkandung di dalam dan
21
dipertukarkan melalui berbagai mekanisme, proses dan relasi sosial akan
mempengaruhi kemampuan seseorang atau institusi untuk memperoleh manfaat
dari sumber daya. Mengingat elemen-elemen material, budaya, ekonomi dan
politik tidak statis, maka kekuasaan dan akses yang terbentuk ke sumber daya juga
berubah-rubah menurut ruang dan waktu.
Individu dan institusi mempunyai posisi yang berbeda-beda dalam
relasinya dengan sumber daya pada ruang dan waktu yang berbeda (Peluso, 1996).
Hak dan rezim kepemilikian (property rights), menurut (Fauzi, 2006), adalah
klaim yang sah (secure claim) terhadap sumberdaya ataupun jasa yang dhasilkan
dari sumberdaya tersebut. Hak kepemilikin dapat diartikan sebagai suatu gugus
karakteristik yang memberikan kekuasaan kepada pemilik hak (Hartwick dan
Olewiler, 1998). Karakteristik tersebut menyangkut ketersediaan manfaat,
kemampuan untuk membagi atau mentransfer hak, derajat ekslusivitas dari hak,
dan durasi penegakan hak (enforceability) (Perman et al., 1996).
Selanjutnya (Fauzi, 2010) mengatakan bahwa perlu juga dicermati bahwa
meski hak kepemilikan menyangkut klaim yang sah, hak tersebut tidak bersifat
mutlak. Hak kepemilikan sering dibatasi oleh dua hal, yakni hak orang lain dan
hak ketidaklengkapan (incompleteness). Bisa saja kita tidak berhak melakukan
penambangan mineral di pekarangan rumah kita, namun pihak lain dapat
melakukannya. Ketidaklengkapan hak kepemilikan disebabkan oleh mahalnya
biaya enforcement. Misalnya untuk kasus kehutanan, jika hutan ditebang ilegal,
hak negara atas hutan dibatasi oleh mahalnya mengawasi hutan tersebut dan
melakukan penegakan hukum atas tindakan ilegal tersebut.
Lebih jauh lagi Barzel (1993) dalam Fauzi (2006) menyatakan bahwa
konsep hak kepemilikan terkait erat dengan biaya transaksi yang dikemukakan
oleh Coase. Biaya transaksi sendiri diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan
untuk memperoleh, mentransfer dan melindungi hak, jika biaya transaksi nol, hak
kepemilikan terlengkapi, namun biaya transaksi tinggi, sangatlah sulit untuk
menetapkan hak pemilikan karena potensi manfaat atas sumberdaya atau aset
tidak akan diketahui. Dengan kata lain hak kepemilikan akan terkukuhkan jika
kedua belah pihak (pemilik dan pihak lain yang tertarik memiliki aset), memiliki
pengetahuan penuh atas nilai dari aset tersebut.
22
Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa didalam sumberdaya alam
sebagaimana dijelaskan oleh (Fauzi, 2006), antar sumberdaya (resource) dan
rezim kepemilikan terhadap sumberdaya tersebut harus dibedakan dengan jelas,
satu sumberdaya bisa saja mempunyai hak kepemilikan. Hak kepemilikan
sumberdaya alam tersebut pada umumnya terdiri dari: state property dimana
klaim kepemilikan berada ditangan pemerintah. Private property dimana klaim
kepemilikan berada pada individu atau kelompok usaha (korporasi). Common
property atau communal property dimana individu atau kelompok memiliki klaim
atas sumberdaya yang dikelola bersama. Lebih lanjut lagi suatu sumberdaya alam
bisa saja tidak memiliki klaim yang sah sehingga tidak bisa dikatakan memiliki
hak kepemilikan, sumberdaya seperti ini dikatakan open access (Grimma dan
Barkers, 1989).
Dengan pemahaman diatas, perbedaan antara hak kepemilikan dan akses
terhadap sumberdaya semakin jelas. Dengan mengambil contoh dua tipe akses
yang berbeda (open access) dan akses terbatas (limited access) maka secara umum
ada beberapa kemungkinan kombinasi. Tipe pertama adalah tipe dimana hak
pemilikan berada pada komunal atau negara dengan akses terbatas. Tipe
kombinasi ini memungkinkan pengelolaan sumberdaya yang lestari. Tipe kedua
adalah dimana sumberdaya dimiliki secara individu dengan akses yang terbatas.
Pada tipe ini karakteristik hak pemilikan terdefinisikan dengan jelas dan
pemanfaatannya yang berlebihan bisa dihindari. Tipe ketiga adalah kombinasi
yang sebenarnya jarang terjadi dimana sumberdaya dimiliki secara individu
namun akses dibiarkan terbuka. Pengelolaan sumberdaya ini tidak akan bertahan
lama karena rentan terhadap intrusi dan pemanfaatan yang tidak sah sehingga
sumberdaya akan cepat terkuras habis.
Pendapat para ahli diatas dapat diformulasi dalam suatu grand teori (state
of the arth) yang diawali oleh Peluso (1996) menyatakan bahwa ada keterbatasan
antara hak kepemilikan dan akses. Keterbatasan ini digambarkan dalam konsep
keterpaduan antara pendapat Long (1996) melalui pendeketan aktor, Peluso
(1996) pendekatan akses analisis dan Fauzi (2006) dengan pendekatan properti
right. Konsep keterpaduan ini akan dilengkapi oleh dua unsur yaitu kebijakan
konservasi yang membingkai ketiga keterpaduan konsep dan unsur
23
pengembangan ekonomi adalah mencerminkan penerapan konsep. Hal ini dapat
dilihat pada Gambar 9 terkait dengan keterpaduan konsep tersebut.
Gambar 9. Skema Keterpaduan Konsep
Sering kali pada sumberdaya yang sama, misalnya tanah, terdapat berbagai
hak yang melekat dan hak-hak ini dapat saja dimiliki oleh tidak pada satu orang
atau kelompok yang sama. Hal ini yang kemudian menyebabkan konsep tenurial
ini sering dijelaskan dengan prinsip bundle of rights (sebundel hak-hak). Ostrom
dan Schlager (1996) mengatakan bahwa hak-hak ini dapat diuraikan menjadi:
1) Hak atas akses (rights of access): adalah hak untuk memasuki suatu
wilayah tertentu;
2) Hak pemanfaatan (rights of withdrawal): adalah hak untuk mengambil
sesuatu atau untuk memanen sesuatu hasil alam seperti untuk memancing
ikan, memanen buah, mengambil air, menebang pohon, dan sebagainya;
3) Hak pengelolaan (rights of management): adalah hak untuk mengatur pola
pemanfaatan internal dan merubah sumberdaya yang ada untuk tujuan
meningkatkan hasil atau produksi;
4) Hak pembatasan (rights of exclusion): adalah hak untuk menentukan siapa
saja yang dapat memperoleh hak atas akses dan membuat aturan
pemindahan hak atas akes ini dari seseorang ke orang lainnya (atau
lembaga/kelompok lain); dan
5) Hak pelepasan (rights of alienation): adalah hak untuk menjual atau
menyewakan atau kedua-duanya. Adapun hubungan antara penguasaan
sumberdaya terhadap posisi aktor disajikan pada tabel berikut.
Actor Approach
(Long, 1996)
Access Analysis
(Peluso, 1996)
Property Right Regimes
( Fauzi, 2006) Kekuasaan
menurut (Peluso, 1996)
terdiri atas elemen-
elemen material,
budaya dan ekonomi-
politik yang berhimpun
sedemikian rupa
membentuk “bundel
kekuasaan” (bundle of
powers) dan “jaring
kekuasaan” (web of
powers) yang
kemudian menjadi
penentu akses ke
sumber daya
Economy Growth
(commodity chains)
Policy of Conservation
24
Tabel 3. Kumpulan Hak dan Posisi Aktor
Owner Proprietor Outorized
Claimant
Outorized
User
Outorized
Entrant
Acces X X X X X
Withdrawal X X X X
Management X X X
Exlusion X X
Alienation X
Selanjutnya Long (2002) menyatakan bahwa dengan menggunakan
pendekatan aktor, interaksi antar aktor kelembagaan, hak kepemilikan, proses dan
kebijakan dapat dijelaskan melalui matriks antar komponen yang saling
mempengaruhi sebagaimana terdapat pada (Gambar 10) berikut ini.
Sumber : Long (2002)
Gambar 10. Pendekatan Aktor
2.3. Konflik Penguasaan Lahan Sebagai bagian Perilaku Kelembagaan
Pandangan post modernism adalah konflik harus diposisikan sebagai
potensi yang harus dikelola secara optimal yang telah bersifat kodrati dalam diri
manusia sebagai mahluk yang sempurna (memiliki akal). Pendekatan
penyelesaian konflik dengan melihat manusia bukan lagi obyek (bukan subyek
penderita) tetapi merupakan bagian dari sistem disetiap lembaga telah menjadi
pedoman bagi lembaga yang telah menempatkan aspek manusia sebagi pemecah
masalah namun juga akan menimbulkan masalah.
25
Konflik dalam perspektif interaksionis merupakan stimulan ketika suatu
kelompok masyarakat bersifat statis bahkan munkin apatis terhadap dinamika
serta fenomena pemanfaatan sumberdaya dengan lebih mementingkan hak akses
maka seyogyanya ada seseorang yang memilki kapasitas untuk mempertahankan
dan memelihara konflik pada tingkat yang optimal dengan tujuan dapat
menciptakan suasana yang dinamis serta inovatis terhadap perubahan-perubahan
yang sedang datang baik dari pesaing maupun dari internal kelembagaan itu
sendiri.
Perbedaan dan pertentangan kepentingan dalam pengalokasian
sumberdaya sering muncul sehingga hirarki pengambilan keputusan tidak jadi
barmakna yang baik karena pertentangan atau konflik tersebut muncul adanya
perbedaan pandangan, idiologi bahkan harapan yang tidak sesuai dengan
kenyataan merupakan tantangan bagi pengelolaan suatau lingkungan kelembagaan
dalam menyerap dan mengolah serta mendistribusikan kembali perbedaan tersebut
dalam suatu informasi yang baik dalam mencapai kesepakatan sebagai satu dari
begitu banyak alternatif yang disepakati (Mitchell dan Dwita, 2007).
Menurut Own (1991:13) dalam Wahyudi (2011), konsep kelembagaan
yang menempatkan organisasi sebagai perhatian utama adalah bagian dari konsep
klasik sedangkan saat ini manusialah yang menjadi perhatian dan penentu maju
mundur sistem kelembagaan adalah pandangan neo-classic. Artinya perilaku
kelembagaan adalah suatu pandangan ilmu pengetahuan yang menerangkan,
mengerti dan memprediksi perilaku manusian dalam lingkungan secara formal.
2.4. Pemetaan Potensi Sumberdaya Ekonomi Wilayah melalui Perubahan
Peruntukan Kawasan
Potensi ekonomi daerah didefinisikan sebagai segala sumberdaya dan
instrumen yang dimiliki daerah yang terukur (datanya tersedia) serta
diperhitungkan mampu mendorong kemajuan perekonomian daerah. Sumberdaya
dan instrumen tersebut meliputi:
1. Sumberdaya alam (natural capital: SDA).
2. Sumberdaya manusia (human capital: SDM).
3. Sumberdaya sosial (social capital: SDS).
26
4. Infrastruktur dan fasilitas public (man-made capital: INF).
5. Penataan ruang (spatial ordering: TTR),
6. Penganggaran belanja (budgeting: BUD).
7. Jejaring keterkaitan daerah (spatial interaction).
Selanjutnya kemajuan instrumen diatas dapat diukur dengan: (1)
pertumbuhan ekonomi daerah (economic growth), (2) produktivitas ekonomi
daerah (productivity), (3) pendapatan asli daerah (fiscal capacity), (4) tingkat
kemiskinan (poverty), dan pengangguran (unemployment), di daerah Hakim,
(2007).
Pemetaan potensi ekonomi daerah didefinisikan sebagai sistem
pentransformasian data menjadi basis pengetahuan yang diharapkan mampu
mendukung kebijakan pengembangan potensi ekonomi daerah bagi pencapaian
kinerja kemajuan sesuai yang diharapkan. Pemetaan Potensi Ekonomi daerah ini
terdiri dari :
1. Inventarisasi data yang tersedia diperhitungkan dapat digunakan sebagai
proksi pengukur berbagai sumberdaya dan instrumen yang dimiliki, serta
kinerja pembangunan ekonomi yang dicapai oleh setiap daerah.
2. Mentransformasikan setiap data pada kegiatan ke dalam beberapa variabel
indikator daerah tentang tipologi sumberdaya dan instrumen yang dimiliki
serta kinerja pembangunan ekonomi yang dicapai;
3. Menyeleksi variabel-variabel indikator daerah, yang memilki variasi
interregional cukup signifikan;
4. Menyarikan variabel-variabel indikator yang terpilih pada kegiatan ke
dalam beberapa indeks komposit indikator daerah;
5. Membangun model kuantitatif yang dapat menjelaskan struktur keterkaitan
serta peran berbagai indeks komposit indikator daerah tentang tipologi
sumberdaya dan instrumen yang dimiliki terhadap indikator daerah tentang
pencapaian kemajuan ekonomi;
6. Mensimulasikan model hasil kegiatan untuk merumuskan rekomendasi
kebijakan pengelolaan sumberdaya dan instrumen yang dimiliki dan
kbijakan strategis bagi optimalisasi pencapaian kinerja kemajuan ekonomi
daerah;
27
7. Menyajikan informasi hasil analisis ke dalam bentuk tampilan peta spasial;
dan mendokumentasikan ringkasan tentang proses, hasil, serta
rekomendasi hasil kebijakan penting, untuk dapat dijadikan basis
pendukung dalam proses perumusan kebijakan, penyusunan rencana dan
program pengembangan.
Perputaran roda perubahan ke arah kemajuan pembangunan terkait dengan
peran parapihak, dapat dikelompokkan ke dalam empat pilar utama, yaitu: (1)
institusi keilmuan, (2) pemerintah, (3) dunia usaha, dan (4) masyarakat luas.
Pembangunan berbasis pada perkembangan ilmu pengetahuan, pemerintah yang
semakin bersih dan adil, dunia usaha yang semakin profesional, dan masyarakat
luas yang semakin aktif partisipatif produktif.
Konsep pembangunan yang terlalu menyederhanakan bahwa semuanya
akan ikut mendapat penguatan dengan hanya mendorong pertumbuhan ekonomi
(trickle down effect) tidak mendapat dukungan empirik yang luas (Sen, 1992).
Negara Brazil sebagai contoh, yang mencapai kapasitas ekonomi (diukur dengan
GNP: Gross National Product, perkapita) yang besarnya 10 kali lipat dari China
(1980), tingkat keberdayaan masyarakatnya jika diukur dengan angka harapan
hidup berada satu poin lebih dari masyarakat China.
Demikian juga Meksiko yang mencapai kapasitas ekonominya hampir 10
kali lipat Srilangka, pencapaian keberdayaan masyarakatnya berada satu poin di
bawah Srilangka. Sejalan dengan kajian Clifford Geerzt yang menyimpulkan
adanya fenomena keterbelakangan akibat keterisolasian, konsep pengembangan
infrastruktur yang memperluas akses secara fisik sampai ketingkat desa, kemudian
diyakini banyak pihak sebagai instrumen yang mampu merubah ke arah
kemajuan. Namun yang terjadi justru percepatan proses pemiskinan dan
penelantaran sumberdaya pedesaan. Fenomena ini yang oleh Myrdal (1979)
dalam Rustiadi et al (2009) disebut sebagai pencucian daerah belakang (backwash
effect).
Kebijakan perubahan peruntukan kawasan konservasi pada umumya
dihadapkan dengan pandangan yang berbeda dan selalu menemui jalan buntu
dalam perdebatan baik formal maupun informal yang melibatkan seluruh pihak
dan lapisan masyarakat yang dipicu oleh perbedaan pengetahuan dan pemahaman,
28
perbedaan nilai, perbedaan alokasi keuntungan dan kerugian, bahkan sampai pada
perbedaan latar belakang personal dan sejarah kelompok-kelompok yang
berkepentingan (Mitchel et al 2007). Oleh karena itu perlu adanya formulasi
pemikiran yang dapat mensinergiskan perbedaan tersebut agar menjadi suatu
potensi yang dapat dikelola melalui pertimbangan yang komprehensif dan
memiliki orientasi yang jelas bagi kepentingan masyarakat. Adapun
pertimbangan-pertimbangan tersebut antara lain:
A. Pertimbangan hukum dan kelembagaan :
- Perubahan kawasan hutan menghargai perijinan atas kawasan yang
telah diterbitkan oleh Pemerintah, seperti : IUPHHK, penggunaan
kawasan hutan.
- Perubahan kawasan hutan menghargai keberadaan proyek-proyek/aset
pemerintah, seperti : realisasi gerhan, reboisasi, dll.
- Perubahan kawasan menghargai keberadaan atas sertifikat atau bukti-
bukti kepemilikan atas tanah.
- Perubahan kawasan hutan merupakan bagian dari upaya resolusi
permasalahan kemantapan kawasan hutan.
B. Pertimbangan Ekonomi dan Sosial-Budaya :
- Perubahan kawasan hutan mempertimbangkan keberadaan
pemukiman dan kebutuhan lahan usahanya dalam luasan yang
rasional, utamanya yang telah eksis sejak lama (10 tahun);
- Perubahan kawasan hutan untuk permukiman juga
mempertimbangkan keberadaan infrastruktur fisik (fasos, fasum) dan
kelembagaan desa (organisasi perangkat desa).
- Perubahan kawasan hutan menghargai keberadaan situs budaya dan
obyek-obyek yang menjadi sumber-sumber penghidupan masyarakat.
- Perubahan kawasan hutan mempertimbangkan upaya daerah untuk
mengoptimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam untuk kesejahteraan
masyarakat secara berkelanjutan.
C. Pertimbangan Ekologi :
- Pertimbangan ekologi bertujuan untuk membangun keseimbangan
jangka panjang interaksi antar komponen sistem lingkungan (abiotik
29
dan biotik), termasuk di dalamnya unsur interaksi sosial manusia
untuk dapat mewujudkan kelestarian dan kelangsungan daya dukung
dan daya tampung lingkungan;
- Perubahan kawasan hutan mempertimbangkan aspek keanekaragaman
hayati dan ekosistemnya, sehingga tetap terjaga keberadaan dan
kelestariannya.
- Perubahan kawasan hutan mempertimbangkan fungsi satu kawasan
sebagai bagian dari suatu ekosistem.
- Mendukung upaya global untuk menurunkan emisi karbon dalam
rangka mitigasi perubahan iklim.
2.5. Valuasi Sumberdaya Mineral Sebagai Pendorong Pembangunan
Wilayah
Sektor usaha pertambangan merupakan sektor primer yang mengolah
(mengambil) sumberdaya alam tak terbarukan. Dalam pelaksanaan kegiatan
operasinya, sektor pertambangan tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan sektor
yang lain mulai dari sektor primer sampai jasa. Contohnya adalah keberadaan
sektor pertanian yang menyediakan bahan makanan kepada para pekerja, sektor
industri pengolahan bahan galian, sampai dengan sektor jasa transportasi,
perbankan dan sektor lainnya.
Sektor pertambangan diharapkan dapat menjadi pusat pertumbuhan
ekonomi daerah (growth centre) yang kemudian menumbuhkan kutub-kutub
pertumbuhan ekonomi (growth pole), dimana kutub-kutub pertumbuhan ekonomi
tersebut dapat mandiri dengan atau tanpa keberadaan sektor pertambangan.
Sehingga ketika usaha pertambangan telah selesai karena habisnya cadangan yang
bisa ditambang, daerah tersebut masih tetap eksis dan terus berkembang. Dalam
kaitannya dengan pembangunan wilayah di derah Kabupaten Bone Bolango dan
Provinsi Gorontalo, kegiatan pertambangan yang dilakukan memiliki peranan
sebagai berikut :
Menumbuhkan keterkaitan (forward dan backward linkage) antara sektor
pertambangan dengan sektor ekonomi yang lain, sehingga membentuk pusat
pertumbuhan yang berbasiskan sektor pertambangan.
30
Menciptakan multiplier efect, seperti pada tenaga kerja, pendapatan, pajak
dan surplus.
Mendatangkan pendapatan bagi daerah melalui pembagian royalti serta
pajak dan iuran lainnya yang ditetapkan oleh peraturan daerah. Sehingga
dapat menjadi tambahan anggaran untuk pembangunan.
Menciptakan sektor usaha lain yang bisa mandiri dengan atau tanpa
dukungan dari sektor pertambangan (pembentukan kutub-kutub
pertumbuhan).
Semua usaha di atas tidak dapat berjalan dan berhasil tanpa adanya
dukungan pemerintah. Utamanya pemerintah daerah sebagai fasilitator dan
regulator untuk menumbuhkan keberlanjutan hasil usaha kegiatan pertambangan.
Walaupun kegiatan pertambangan sudah usai, manfaat ekonominya masih terasa
dan tetap dapat menggerakkan ekonomi daerah (Suparmoko, 2006). Adapun
dampak yang akan ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan ini antara lain:
A. Penyerapan Tenaga Kerja
Kegiatan penambangan merupakan kegiatan yang padat modal dan padat
pekerja. Akibat yang ditimbulkan dari adanya pembukaan tambang adalah
terbukanya lapangan kerja baru. Demikian halnya dengan pembukaan tambang
tembaga dan emas akan menimbulkan terbukanya kesempatan kerja baru bagi
penduduk baik di sekitar wilayah penambangan, ataupun tenaga kerja di dalam
dan luar wilayah Provinsi Gorontalo. Berdasarkan studi kelayakan yang telah
dilaksanakan sebelumnya, kebutuhan tenaga kerja secara umum dapat dibagi
menjadi 3 kelompok, antara lain tenaga kerja operasional penambangan dihitung
berdasarkan penggunaan peralatan penambangan pada tahun tertentu. Asumsi
yang digunakan dalam menentukan kebutuhan tenaga kerja adalah; terdapat 4
kelompok gilir kerja, penambahan 13,5persen untuk menutupi absensi, cuti
tahunan, dan ijin sakit. Diasumsikan juga bahwa pelatihan pada properti tertentu
adalah 5persen dari total tenaga kerja. Staf dan tenaga kerja tidak tetap diperlukan
pada penambangan open pit 3 tahun sebelum produksi dimulai ( Ekawan, 2008).
31
B. Penerimaan Daerah Dari Pengusahaan Mineral.
Penerimaan daerah atas pengusahaan sumberdaya mineral diperoleh dari
pungutan-pungutan negara dalam bidang pertambangan diatur dalam Undang-
Undang No. 11 Tahun 1967 Pasal 28 dengan pelaksanaannya pada Peraturan
Pemerintah No. 32 Tahun 1969 Pasal 52 sampai 63. Peraturan menyebutkan
bahwa pemegang kuasa pertambangan membayar kepada negara berupa iuran
tetap, iuran eksplorasi, dan atau iuran eksploitasi dan atau pembayaran-
pembayaran yang lain yang berhubungan dengan kuasa pertambangan yang
bersangkutan. Iuran tetap dimaksudkan sebagai imbalan atas kesempatan yang
diberikan pemerintah atas kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi maupun
eksploitasi.
Iuran eksplorasi dan atau iuran eksploitasi merupakan iuran atas hasil
produksi yang diperoleh dari wilayah kontak karyanya. Hal ini dapat disimak pada
Undang-Undang Pokok Pertambangan Pasal 28 ayat 3, pungutan-pungutan negara
tersebut akan dibagikan juga kepada Daerah Tingkat I dan II. Besar pembagian
adalah Pemerintah Pusat 30persen dan Pemerintah Daerah 70persen. Peraturan
Pemerintah No. 32 Tahun 1969 Pasal 62 yang memuat masalah pembagian hasil
pungutan negara, kemudian direvisi dengan Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun
1992.
Hasil yang ditunjukkan setelah adanya revisi menyatakan bahwa besar
pembagian hasil pungutan negara adalah Pemerintah Pusat 20 persen dan
Pemerintah Daerah 80 persen. Pembagian dari yang 80 persen adalah 16 persen
untuk Pemerintah Daerah Tingkat I, 32 persen untuk Pemerintah Daerah Tingkat
II tempat lokasi bahan galian, 32 persen lainnya untuk Pemerintah Daerah Tingkat
II yang lain yang ada di provinsi tersebut. Selain dari royalti, penerimaan daerah
juga diperoleh dari pajak-pajak dan iuran lainnya yang ditetapkan sesuai dengan
Perda.
32
C. Kontribusi Perusahaan Terhadap Pengembangan Kelembagaan
Masyarakat
Perusahaan tetap ada untuk kepentingan stakeholders yaitu mencakup
semua yang mempunyai kepentingan dalam kemakmuran perusahaan yang terdiri
dari pemegang saham, karyawan, pemasok, pelanggan dan masyarakat sekitar.
Masyarakat sekitar adalah masyarakat sekitar tambang yang memberikan
kontribusi terhadap keberhasilan perusahaan dan ikut menanggung dampak dari
kegiatan operasional tambang. Untuk itu diperlukan usaha peningkatan
kesejahteraan masyarakat melalui program pemberdayaan dan pengembangan
masyarakat (community development) secara komprehensif dan integral dengan
penduduk setempat. Karakteristik kegiatan pengembangan masyarakat di sekitar
daerah tambang, yaitu :
1. Kegiatan pertambangan yang mempunyai jangka waktu tertentu dalam
beroperasi, dan akan berakhir sesuai jumlah cadangannya serta Kontrak
Karya dengan Pemerintah.
2. Industri pertambangan yang padat modal dan menggunakan teknologi
tinggi.
3. Lokasi kegiatan yang berada di wilayah terpencil dengan infrastruktur yang
sangat minim, sehingga diperlukan pembangunan infrastruktur.
4. Industri pertambangan yang sarat dan erat dengan isu lingkungan.
Implementasi dari tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat
sekitar adalah dengan pengelolaan lingkungan yang baik, Bertanggung
jawab terhadap aspek lingkungan dan sosial yang ditransformasikan ke
dalam aspek ekonomi wilayah yang ditinggalkan baik setelah eksplorasi
maupun setelah penutupan tambang, untuk dapat dimanfaatkan oleh
generasi mendatang, hal ini merupakan konsep pembangunan berkelanjutan
dan memiliki komitmen yang kuat atas pengembangan komunitas dan
wilayah disekitar lokasi kerja tambang.
Cakupan wilayah kegiatan pengembangan kelmbagaan masyarakat
(berdasarkan urutan prioritas), yaitu: Desa dan Kecamatan dalam pengaruh
langsung pertambangan, Kecamatan di luar pengaruh langsung pertambangan.
Program kegiatan pengembangan masyarakat yang akan dikembangkan di daerah
sekitar tambang akan mencakup kegiatan sebagai berikut :
33
1. Pengembangan Agribisnis dan Perikanan.
2. Pengembangan Kesehatan Masyarakat dan lingkungan.
3. Pengembangan dan Pelestarian Alam.
4. Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan.
5. Pembangunan Infrastruktur.
6. Pengembangan UKM dan kemitraan.
7. Penguatan Kapasitas Masyarakat/Pemerintah, Operasional dan Penunjang.
Model peningkatan kemandirian ekonomi lokal terhadap tambang beserta
strateginya dapat dilihat pada (Tabel 4) berikut.
Tabel 4. Model Peningkatan Kemandirian Ekonomi Lokal Terhadap Tambang
Kuartal I Kuartal II Kuartal III Kuartal IV
• Studi
pengembangan
pertanian/perika
nan
• Intensif training
• Identifikasi
lahan
• Studi tata ruang
• Implementasi
studi
pertanian/perika
nan
• Pemanfaatan
lahan
rehabilitasi
• Pengembangan
pertanian &
perikanan
• Pengembangan
pertanian
• Industri
perikanan
• Pelayanan/jasa
• Pengembangan
teknologi
agribisnis
• Pengembangan
industri
pertanian
• Pelayanan/jasa
• Pengembangan
ekspor
agribisnis
Tambang
± 65persen
Tambang
± 50persen
Tambang
± 35persen
Tambang ±
5persen
Non-tambang
± 95persen Non-tambang
± 65persen Non-tambang
± 50persen Non-tambang
± 35persen
Sumber: Kajian DAS Rona Awal Lingkungan di Daerah sekitar Taman Nasionan
Bogani Nani Wartabone. TP LAPI ITB 2009
D. Penggerak Pembangunan Daerah/Wilayah
Sumberdaya mineral jika dikelola dengan baik akan menjadi pemicu
pertumbuhan ekonomi wilayah berupa kontribusi Produk Domestik Bruto
(PDRB0, tenaga kerja sehingga pengangguran di daerah sekitar pemanfaatan akan
berkurang. Sebagai contoh, Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh LPEM –
FEUI pada tahun 2001, Kabupaten Kutai Timur memperoleh 74 persen Produk
34
Domestik Regional Bruto (PDRB) dari sektor pertambangan. Secara khusus, PT
KPC sebagai perusahaan tambang batubara terbesar di daerah tersebut
berkontribusi sebesar 30 persen terhadap total Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kabupaten.
Tercatat sebanyak 71.000 orang anggota masyarakat setempat
menggantungkan kehidupannya dari perusahaan. Dari jumlah tersebut sebanyak
7.000 orang diantaranya secara langsung menggantungkan hidup kepada tambang.
Perlu diperhatikan bahwa semua usaha di atas tidak dapat berjalan dan berhasil
tanpa adanya dukungan dari pemerintah. Utamanya pemerintah daerah sebagai
fasilitator dan regulator untuk menumbuhkan keberlanjutan hasil usaha kegiatan
pertambangan. Walaupun kegiatan pertambangan sudah usai, manfaat
ekonominya masih terasa dan tetap dapat menggerakkan ekonomi daerah.
Manfaat ekonomi yang dimaksud yaitu adanya sumberdaya yang terbarukan telah
mengalami transformasi karena adanya dukungan anggaran serta asistensi yang
tersistem dalam suatu model kelembagaan. Sehingga nati peran sumberdaya tidak
terbarukan uasi maka peran dan penerus pengembangan ekonomi disekitar
kawasan pertambangan akan terus berjalan.
2.6. Konsep Dasar Pengelolaan Sumberdaya Alam
Terdapat beberapa konsep dan prinsip yang dapat dijadikan acuan dalam
pengelolaan sumberdaya alam. Beberapa konsep dasar tersebut antara lain adalah:
2.6.1 Proses dan Pengembangan Wilayah.
Prinsip dasar pengembangan wilayah adalah pemerataan pembangunan
dan hasil hasilnya agar diperoleh suatu konvergensi ekonomi antardaerah.
Pengembangan wilayah merupakan suatu proses transformasi terhadap berbagai
faktor masukan yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan berbagai
sumberdaya buatan/penunjang antara lain kapital, prasarana informasi, teknologi
dan lingtungan, menjadi keluaran fisik (tata ruang, prasaran/sarana dan
lingkungan fisik) dan keluaran nonfisik (sosial, ekonomi dan budaya) secara
terpadu dan seimbang, seperti ditunjukkan pada (Gambar 11) berikut ini.
35
Sumber : Sulistiyo (2008).
Gambar 11. Proses Pengembangan Wilayah
2.6.2 Interaksi Sumberdaya Alam - Ekonomi - Lingkungan
Pengelolaan sumberdaya alam pada dasarnya adalah untuk mengadakan
transformasi atau pengalihan dari sumberdaya alam menjadi modal ekonomi. Pada
proses transformasi ini terdapat suatu interaksi dengan lingkungan hidup dalam
wawasan pembangunan berkelanjutan. Artinya pembangunan berkelanjutan
merupakan satu proses perubahan dan pertumbuhan berdasarkan prinsip-prinsip
efisiensi, berwawasan kewilayahan dan lingkungan hidup serta didukung oleh
transformasi dibidang teknologi yang sesuai dengan kebutuhan dan karakter
potensi sumberdaya lokal denga visi masing individu masyarakat atau kelompok
untuk melihat lingkungan sekitar kawasan pertambangan akan lebih maju dan
mandiri.
Efisiensi dalam arti bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan bagi setiap
marginal produk setiap komoditi adalah sama. Berwawasan kewilayahan dalam
arti bahwa proses transformasi tersebut harus menghasilkan nilai tambah bagi
wilayah terdapatnya sumberdaya alam. Berwawasan lingkungan bahwa segenap
biaya pelestarian fungsi lingkugan oleh akibat eksploitasi sumberdaya alam harus
36
dimasukkan ke dalam biaya eksploitasi. Interaksi sumberdaya alam, ekonomi,
lingkungan seperti pada (Gambar 12) sebagai berikut :
Sumber : Sulistiyo (2008).
Gambar 12. lnteraksi SDA - Ekonomi - Lingkungan Hidup dan Tujuan
Pembangunan
2.6.3 Sistem Pengembangan Sumberdaya Alam.
Dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan potensi energi dan
sumberdaya mineral untuk mendukung dan mendorong peran ESDM dalam
konvergensi ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo, dapat disajikan
melalui kaitan integral subsistem dalam pengembangan sumberdaya mineral
tersebut, yaitu meliputi:
l). Subsistem Pemerintah. Subsistem merupakan subsistem yang menetapkan
kebijakan serta regulasi yang diperlukan agar proses transformasi
sumberdaya alam dapat mencapai tujuan secara optimal. Tujuan dapat
berupa tujuan nasional pada tingkat nasional atau tujuan regional pada
tingkat wilayah (provinsi, kabupaten/kota).
Dalam subsistem ini Pemerintah mengendalikan kebijaksanaan dan
peralatan kebijaksanaan yang meliputi pengaturan standarisasi, perizinan,
pengembangan, pengawasan, pembinaan evaluasi dan pengambilan
keputusan. Sebagai penjabaran dari kebijaksanaan pengembangan usaha
pertambangan sejalan dengan semangat debirokrasi dan deregulasi untuk
37
mendorong peningkatan investasi dalam upaya pemerataan pembangunan.I).
Subsistem produksi - konsumsi (subsistem industri).
2). Subsistem produksi konsumsi merupakan mata rantai dari hulu (produksi)
sampai dengan hilir konsumsi) berikut mata rantai niaga. Subsistem ini
merupakan mata rantai penghasil nilai tambah. Peran serta Pemerintah
Provinsi Gorontalo dalam menunjang peran sektor
pertambangan/penggalian sebagai sektor penyedia bahan baku. Salah
satunya adalah dengan mendirikan “customer plant dan blending plant”
yang dapat digunakan untuk proses pengolahan khususnya berbagai macam
pengolahan bahan galian industri dengan proses yang sama sehingga dapat
digunakan oleh banyak perusahaan untuk efisiensi dan efektivitas.
3.6.4 Subsistem Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Pada pengembangan sumberdaya mineral pada dasarnya subsistem ini
menyangkut penelitian yang berhubungan dengan mata rantai yang ada di dalam
subsistem pemerintah dan subsistem produksi-konsumsi. Tujuannya adalah agar
mampu membantu ke dua subsistem tersebut dalam mengambil keputusan dan
pemecahan masalah baik dari segi inventarisasi, evaluasi sumberdaya dan
pengembangan teknologi. Selanjutnya terjadinya proses transformasi tersebut
mungkin untuk menciptakan adanya loncatan produktivitas dalam sektor
pertambangan. Saat ini hampir dapat dikatakan perusahaan yang bergerak di
bidang pertambangan di Indonesia cenderung memperluas kapasitas produksi
yang pada akhirnya akan mengalami penurunan atau cadangan tertambang akan
habis.
2.6.5 Manajemen Dalam Proses Transfomasi
Manajemen menangani berbagai sumberdaya dan output dari proses
transformasi. Sumberdaya meliputi kapital, tenaga kerja, bahan baku (sumberdaya
alam), informasi, lingkungan, prasarana dan teknologi serta pasar. Termasuk
manajemen terhadap ouput dari proses transformasi yaitu barang dan jasa yang
dihasilkannya. Proses transformasi sumberdaya berguna menciptakan konvergensi
ekonomi antardaerah atau wilayah. Hal ini dapat dijadikan bagian acuan dalam
38
proses manajemen pemanfaatan sumberdaya tambang agar sistem yang dibangun
dapat memberikan dampak pada peningkatan fungsi produksi antara lain
sumberdaya teknologi, sumberdaya lingkungan, sumberdaya infrusturktur,
sumberdaya pasar, sumberdaya informasi, sumberdaya alam, sumberdaya kapital
(investasi) dan sumberdaya manusia. Model ini tertuang pada (Gambar 13).
Sumber : Sulistiyo (2008).
Gambar 13. Kaitan Antara Fungsi Produksi dan Fungsi Manajemen
Selanjutnya Gambar 14 menunjukkan bahwa dalam pemanfaatan
sumberdaya harus melalui proses atau mekanisme pengaturan dan tahapan. Agar
terjadi suatu proses transformasi diperlukan suatu manajemen agar diperoleh hasil
transformasi yang bermanfaat bagi pemenuhan kepentingan umum baik pada
skala nasional, regional maupun masyarakat secara optimal. Hal ini membuktikan
betapa pentingnya proses manajemen sumberdaya agar instrumen dalam
manajemen tersebut dapat berjalan sesuai dengan perencanaan, tujuan, kerangka
dasar informasi, indikator yang digunakan serta output yang diharapkan.
Manajemen meliputi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),
penggerakan (actuating), pengawasan (controlling), dan penilaian (evaluating).
39
Pertanyaan paling utama bagi masyarakat yaitu apakah memiliki niat atau
visi terhadap keterpaduan konsep pemanfaatan. Hal tersebut diperlukan untuk
mencapai optimasi produksi efisiensi untuk mengarahkan tingkat pendapatan
masyarakat agar mencapai surplus pasar dan bahkan surplus ekonomi. Adanya
proses transformasi tersebut akan memunculkan balikan terhadap output dari input
yang telah diproduksi dalam skala ekonomi tertentu.
Sumber : Sulistiyo (2008).
Gambar 14. Matrik Manajemen Kebijakan Versus Sumberdaya
Sesuai dengan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara pemerintah daerah dalam bentuk persentase tertentu dari
pemerintah pusat yang sumbernya berasal dari daerah yang bersangkutan. Bagi
hasil sumberdaya alam di dalamnya termasuk penerimaan dari sektor minyak
40
bumi dan gas alam pertambangan umum, kehutanan dan perikanan disajikan pada
Tabel 5 beriku ini. Meskipun Undang-Undang ini telah diterapkan dengan
peraturan pemerintah yang baru namun filosofis dari masing-masing peraturan
tentang bagi hasil ini relative hampir sama, karena item-item yang dibagi ke
daerah tidak banyak mengalami perubahan bila dibandingkan dengan pertautran
pemerintah sebelumnya. Diharapkan nanti peraturan bagi hasil ini akan semakin
diperbaiki sesuai dengan kebutuhan dan tantangan ekonomi daerah yang semakin
meningkat.
Tabel 5. Undang-Undang No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah
Sumber: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126
No Penerimaan Pusat Provinsi Kab/Kota penghasilan
Kab/Kota lainnya
I Sumberdaya Alam Non-Migas (%)
1 Kehutanan :
- PSDH 20 16 32 32
- IHPH 20 16 64 0
- Dana Reboisasi 60 0 40 0
2 Pertambangan :
- Land rent 20 16 64 0
- Royalti 20 16 32 32
3 Perikanan 20*) 0 0 0 II Sumberdaya Alam Migas (%)
1 Penerimaan negara
setelah dikurang
komponen pajak
yang berasal dari
minyak bumi.
84,5 3 6 6
2 Penerimaan negara
setelah dikurangi
komponen pajak
yang berasal dari
migas
69,5 6 12 12
41
2.7. Kewenangan Bidang Energi dan Sumberdaya Mineral di Era
Otonomi Daerah
Otonomi daerah bidang energi dan sumberdaya mineral bersumber dari
UUD 1945, Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang
Pemberian urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan Keputusan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral No-1451 K/30/MEM/2000 sampai dengan No.l454
K/30/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan dan Kewenangan Bidang
Energi dan Sumber Daya Mineral. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat
digunakan sebagai piranti acuan awal dan dasar untuk penyelenggaran dan
pelaksanaan otonomi daerah di bidang-bidang geologi dan sumberdaya mineral,
pertambangan umum minyak dan gas bumi serta listik dan pengembangan energi.
Otonomi daerah dalam bidang energi dan sumberdaya mineral kewenangan
pemerintah pada kebijakan: meliputi norma, standar, kriteria pengaturan,
persyaratan dan pedoman serta kewenangan kesempatan tingkat pelaksanaan
terbatas yang bertujuan mempertahankan dan memelihara identitas dan integritas
bangsa dan negara, menjamin kualitas dan efisiensi pelayanan umum, supremasi
hukum, dan menciptakan stabilitas ekonomi dalam rangka peningkatan
pemberdayaan dan kemakmuran rakyat.
Skema tersebut telah mampu mensinergikan sebagian kepentingan daerah
terutama dalam pemberian izin-izin pertambangan sehingga Pemerintah pusat
tidak terlalu jauh lagi mengintervensi kewenangan daerah meskipun dalam
konteks pembagian hasil relatif masih dikelolah oleh pemerintah pusat. Selain itu
skema diformulasi bertujuan untuk mengurangi konflik kepentingan para pihak
dan lebih memberikan ruang gerak buat pemerintah daerah untuk mengoptimalkan
sumber penerimaan keuangan melalui pemanfaatan sumberdaya tambang terutama
berkaitan dengan peningkatan daya dukung kelembagaan yang bersifat normatif
untuk mengatur hal-hal yang belum diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang
maupun Peraturan Pemerintah.
42
2.8. Peran Sektor Energi dan Sumberdaya Mineral Pasca Otonomi
Daerah
Secara filosofi otonomi daerah merupakan salah satu faktor/instrumen
dalam pelaksanaan demokrasi suatu sistem desentralisasi. Kewenangan dapat
diletakkan kepada daerah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat, pemerataan
dan keadilan, demokratisasi, penghormatan terhadap budaya lokal dan
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Sebagai penggerak mulai di
daerah sektor ESDM pada dasarnya mempunyai peran ganda yaitu sebagai sektor
produksi dituntut untuk mampu memberikan kontribusi PDRB dan pengembangan
sumberdaya mineral secara regional guna mendukung pengembangan wilayah.
Peran tersebut dapat menciptakan kesempatan kerja maupun menciptakan
keterkaitan ekonomi berupa permintaan kebutuhan akhir. Beberapa kriteria
penilaian aspek sosial ekonomi dalam optimalisasi pemanfaatan energi dan
sumberdaya mineral untuk menunjang keseimbangan kemajuan ekonomi
antardaerah yang satu dengan yang lain adalah sebagai berikut :
a. Mendukung peningkatan keterkaitan antarsektor dan keterkaitan ekonomi
antardaerah.
b. Mendukung pembangunan dan peningkatan pendapatan daerah (daerah
terbelakang), pendapatan perkapita kesempatan kerja, kemampuan
kewiraswastaan (produkivitas) dan memperkecil kesenjangan sosial-
ekonomi antardaerah.
c. Menunjang usaha pelestarian fungsi lingkungan nonfisik seperti pendidikan
dan kesehatan dalam rangka pengembangan masyarakat (community
development) di daerah.
d. Memenuhi penugasan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dengan
misi strategis dalam rangka menunjang antara lain kestabilan politik.