II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Mineral Dan...

26
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Mineral Dan Pembangunan Ekonomi Wilayah Fenomena “Penyakit Belanda” atau ”Dutch Desease” yakni fenomena yang menggambarkan daerah yang kaya dengan sumber daya alam namun mengalami pertumbuhan ekonomi yang lamban, sebenarnya bukan karena apa yang disebut sebagai “kutukan sumber daya” (resource curse) namun lebih karena ketidak-mampuan institusi dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam tersebut sehingga menimbulkan konflik yang pada akhirnya menggerogoti manfaat yang seharusnya dinikmati tersebut. Hal ini telah dilakukan di Norwegia dari tahun 1969 sampai 2001 negara ini mampu mengoptimalkan produksi sumberdaya mineralnya dalam rangka memperkuat sistem tatakelola pemerintahan, hukum, perekonomian, norma sosial, pertanian dalam arti yang luas, industri serta usaha jasa sehingga Norwegia dapat terhindar dari kutukan sumberdaya (Larsen, 2006). Keberadaan sumberdaya alam juga sering menimbulkan tidak stabilnya struktur ekonomi, bahkan pada daerah dengan sumberdaya alam sedikit. Pada sisi lain daerah dengan sumberdaya alam yang kaya, ketidakstabilan ini semakin rapuh dan memicu konflik tehadap sumber daya alam yang lebih luas. Bahkan dalam skala tertentu perselisihan yang tidak ada hubungannya dengan sumber daya alam seperti masalah keluarga, bisa saja kemudian disalahkan pada keberadaan sumber daya alam dan timpangnya akses terhadap sumber daya alam. Hal ini sering terjadi pada beberapa daerah di Indonesia dimana sumber daya mineral yang dikelola oleh kuasa pertambangan menimbulkan gejolak sosial yang cukup hebat pada masyarakat ( Fauzi, 2006). Mengacu pada Fauzi (2006) ada beberapa hal yang dapat dilakukan daerah untuk menghindari dan mencegah terjadi konflik atas akses dan pemanfaatan sumberdaya alam, khususnya mineral dan kaitannya dengan lingkungan. Pertama mereka melakukan apa yang disebut sebagai factor movement policy atau kebijakan pergerakan faktor produksi. Melalui program yang disebut sebagai solidarity alternative atau alternatif solidaritas, penerimaan dari berbagai sektor dikoordinasikan sedemikian rupa untuk mempermudah dampak penerimaan dari

Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Mineral Dan...

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sumberdaya Mineral Dan Pembangunan Ekonomi Wilayah

Fenomena “Penyakit Belanda” atau ”Dutch Desease” yakni fenomena

yang menggambarkan daerah yang kaya dengan sumber daya alam namun

mengalami pertumbuhan ekonomi yang lamban, sebenarnya bukan karena apa

yang disebut sebagai “kutukan sumber daya” (resource curse) namun lebih karena

ketidak-mampuan institusi dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya

alam tersebut sehingga menimbulkan konflik yang pada akhirnya menggerogoti

manfaat yang seharusnya dinikmati tersebut. Hal ini telah dilakukan di Norwegia

dari tahun 1969 sampai 2001 negara ini mampu mengoptimalkan produksi

sumberdaya mineralnya dalam rangka memperkuat sistem tatakelola

pemerintahan, hukum, perekonomian, norma sosial, pertanian dalam arti yang

luas, industri serta usaha jasa sehingga Norwegia dapat terhindar dari kutukan

sumberdaya (Larsen, 2006). Keberadaan sumberdaya alam juga sering

menimbulkan tidak stabilnya struktur ekonomi, bahkan pada daerah dengan

sumberdaya alam sedikit.

Pada sisi lain daerah dengan sumberdaya alam yang kaya, ketidakstabilan

ini semakin rapuh dan memicu konflik tehadap sumber daya alam yang lebih luas.

Bahkan dalam skala tertentu perselisihan yang tidak ada hubungannya dengan

sumber daya alam seperti masalah keluarga, bisa saja kemudian disalahkan pada

keberadaan sumber daya alam dan timpangnya akses terhadap sumber daya alam.

Hal ini sering terjadi pada beberapa daerah di Indonesia dimana sumber daya

mineral yang dikelola oleh kuasa pertambangan menimbulkan gejolak sosial yang

cukup hebat pada masyarakat ( Fauzi, 2006).

Mengacu pada Fauzi (2006) ada beberapa hal yang dapat dilakukan daerah

untuk menghindari dan mencegah terjadi konflik atas akses dan pemanfaatan

sumberdaya alam, khususnya mineral dan kaitannya dengan lingkungan. Pertama

mereka melakukan apa yang disebut sebagai factor movement policy atau

kebijakan pergerakan faktor produksi. Melalui program yang disebut sebagai

solidarity alternative atau alternatif solidaritas, penerimaan dari berbagai sektor

dikoordinasikan sedemikian rupa untuk mempermudah dampak penerimaan dari

18

industri pertambangan terhadap industri lain, khususnya industri primer yakni

pertanian dan perikanan-kelautan. Kedua sektor ini amat rentan terhadap

goncangan yang terjadi yang disebabkan oleh tumbuhnya industri pertambangan

di daerah yang awalnya didominasi oleh sektor pertanian. Tenaga kerja pertanian

kemudian lebih banyak terserap pada sektor pertambangan yang kemudian sektor

ini terabaikan sehingga ketika tambang habis mereka tidak siap untuk kembali ke

sektor pertanian. Semestinya sektor pertambangan menjadi komplemen bagi

sektor pertanian, bukan sebagai substitusi. Artinya keduanya harus dikembangkan

secara simultan melalui alternatif solidaritas ini. Kebijakan faktor “movement

policy” ini kemudian dibarengi juga oleh kebijakan yang disebut sebagai

”spending effect policy”.

Mekanisme penyakit Belanda timbul karena adanya spending effect, yakni

belanja publik yang sangat besar yang dihasilkan dari sektor pertambangan,

akibatnya belanja publik untuk sektor primer menjadi terbengkalai sehingga

menimbulkan keterpurukan pada sektor pertanian dan perikanan. Oleh karenanya

untuk mengatasi dampak tersebut diperlukan kebijakan pengeluaran melalui

disiplin fiskal. Pembayaran utang dilakukan secepat mungkin dan menetapkan

mekanisme pendanaan (fund) di berbagai peluang investasi seperti pasar modal

dan sebagainya (hal yang sama kini dilakukan oleh negara-negara Asia Tengah).

Kebijakan ketiga yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit

Belanda dan kutukan sumber daya adalah melalui spill-over loss policy dengan

cara menganjurkan akumulasi pengetahuan tenaga domestik ketimbang asing dan

dibarengi dengan investasi di bidang riset dan eksplorasi. Kebijakan ini dibarengi

pula kebijakan di bidang pendidikan dan penelitian. Penerimaan dari sumber daya

alam disalurkan untuk pendidikan dan penelitian serta pengembangan sehingga

terjadi akumulasi pengetahuan khususnya dalam hal pengelolaan ekonomi

sumberdaya alam.

Kebijakan berikutnya yang sangat mendukung untuk keluar dari penyakit

Belanda dan kutukan sumber daya adalah kebijakan tenaga kerja (labor policy)

dan kebijakan industri. Norwegia misalnya menetapkan sistim negosiasi upah

yang terpusat (centralized wage negotiation system) untuk menghindari adanya

konflik dan perbedaan upah yang tajam antarsektor pertambangan misalnya.

19

Kebijakan industri di Norwegia melakukan pemeliharaan dan peningkatan (know-

how) di bidang aktifitas industri. Kegiatan lebih ditekankan pada pengetahuan,

technological progress dan human capital.

Kebijakan lain yang tidak kalah penting adalah meniru apa yang telah

dilakukan oleh negara-negara Amerika Latin (Chili, Peru dan Brasil) dalam

mengembangkan ekonomi mereka berbasis mineral belakangan ini. Setelah

mengabaikan sumber daya alam mereka selama kurun waktu yang cukup lama

dan menyadari adanya kebijakan yang keliru (misguided policy), negara-negara

Amerika Latin kemudian memulai titik balik mereka pada tahun 1990an. Bank

Dunia mencatat bahwa titik balik tersebut dipicu oleh berbagai reformasi di

bidang investasi (khususnya di bidang pertambangan) dan peningkatan keamanan

(security) di bidang investasi pertambangan.

Hal yang lebih utama lagi adalah Amerika Latin mengembangan tata

kelola yang kuat dengan mengakomodasi kepedulian lingkungan khususnya yang

menyangkut masalah hutan lindung dan kawasan konservasi. Jika memang nilai

tambang di kawasan konservasi ini lebih rendah dari nilai jasa lingkungan yang

ada di kawasan tersebut maka mereka tidak akan melakukan penambangan dan

pemerintah memanfaatkan hutan lindung tersebut melalui mekanisme Pembayaran

Jasa Lingkungan atau Payment for Environmental Services (PES). Dengan

menggunakan mekanisme PES dan didukung oleh kelembagan yang kuat, bisa

saja tambang tidak dilakukan di hutan lindung namun jasa lingkungan dari hutan

lindung juga bisa mensejahterakan masyarakat sekitar.

Jika ini dilakukan memang ada beberapa keunggulan yang diperoleh yakni

selain keuntungan ekologis berupa terjaganya fungsi-fungsi ekologis kawasan

hutan, juga manfaat ekonomi bisa diperoleh sekaligus. Tambang dan sumber daya

alam dan jasa lingkungan yang kita miliki pada hakekatnya adalah anugerah

Tuhan yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Namun demikian

diperlukan strategi pemanfaatan yang bijak melalui langkah-langkah kebijakan

sehingga konflik atas sumber daya tersebut bisa diraup dan sumber daya alam dan

jasa lingkungan bukan menjadi kutukan namun lebih menjadi berkah bagi

penduduk yang ada di sekitarnya ( Fauzi , 2006).

20

Disisi lain kekuatan kepemimpinan (leadership) pemerintah dalam

mengontrol Gross Domestic Product (GDP), investasi sumberdaya manusia,

kesejahteraan melalui pendapatan per kapita memiliki hubungan yang erat antara

ketergantungan sumberdaya mineral sebagai ukuran terhadap rasio ekspor minyak

dan sumberdaya mineral melalui persentase keseluruhan ekspor. Model ini telah

ditempuh oleh beberapa negara timur tengah seperti Irak, Libya dan Arab Saudi

dalam menyusun strategi distribusi pendapatan negara atas pengelolaan

sumberdaya mineral melalui kekuatan leadership pemerintah (Leonard, 2003).

2.2. Hak dan Rezim Kepemilikan

Salah satu unsur penting dalam pengelolaan sumberdaya alam dan

kaitannya terhadap kelembagaan adalah masalah hak dan rezim kepemilikan. Hal

ini didasarkan pada kondisi dimana sumberdaya alam ditempatkan sebagai barang

publik, dimana hal kepemilikan tidak terdefinisi dengan jelas. Kondisi tersebut

akan menimbulkan masalah kelembagaan pada unsur hak kepemilikan dan biaya

transaksi.

Definisi akses yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada (Peluso,

1996) yang mengartikan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat

dari sesuatu (the ability to derive benefits from things). Definisi ini lebih luas dari

pengertian klasik tentang properti, yang didefinisikan sebagai – hak untuk

memperoleh manfaat dari sesuatu (the right to benefit from things). Akses dalam

definisi Peluso mengandung makna “sekumpulan kekuasaan” (a bundle of

powers) berbeda dengan properti yang memandang akses sebagai “sekumpulan

hak” (a bundle of rights). Sehingga bila dalam makalah properti ditelaah relasi

properti utamanya yang berkenaan dengan klaim atas hak, maka dalam makalah

tentang akses ditelaah relasi kekuasaan untuk memperoleh manfaat dari sumber

daya termasuk dalam hal ini, namun tidak terbatas pada relasi properti.

Kekuasaan menurut (Peluso, 1996) terdiri atas elemen-elemen material,

budaya dan ekonomi-politik yang berhimpun sedemikian rupa membentuk

“bundel kekuasaan” (bundle of powers) dan “jaring kekuasaan” (web of powers)

yang kemudian menjadi penentu akses ke sumberdaya. Implikasi dari definisi

Peluso ini adalah bahwa kekuasaan yang inheren terkandung di dalam dan

21

dipertukarkan melalui berbagai mekanisme, proses dan relasi sosial akan

mempengaruhi kemampuan seseorang atau institusi untuk memperoleh manfaat

dari sumber daya. Mengingat elemen-elemen material, budaya, ekonomi dan

politik tidak statis, maka kekuasaan dan akses yang terbentuk ke sumber daya juga

berubah-rubah menurut ruang dan waktu.

Individu dan institusi mempunyai posisi yang berbeda-beda dalam

relasinya dengan sumber daya pada ruang dan waktu yang berbeda (Peluso, 1996).

Hak dan rezim kepemilikian (property rights), menurut (Fauzi, 2006), adalah

klaim yang sah (secure claim) terhadap sumberdaya ataupun jasa yang dhasilkan

dari sumberdaya tersebut. Hak kepemilikin dapat diartikan sebagai suatu gugus

karakteristik yang memberikan kekuasaan kepada pemilik hak (Hartwick dan

Olewiler, 1998). Karakteristik tersebut menyangkut ketersediaan manfaat,

kemampuan untuk membagi atau mentransfer hak, derajat ekslusivitas dari hak,

dan durasi penegakan hak (enforceability) (Perman et al., 1996).

Selanjutnya (Fauzi, 2010) mengatakan bahwa perlu juga dicermati bahwa

meski hak kepemilikan menyangkut klaim yang sah, hak tersebut tidak bersifat

mutlak. Hak kepemilikan sering dibatasi oleh dua hal, yakni hak orang lain dan

hak ketidaklengkapan (incompleteness). Bisa saja kita tidak berhak melakukan

penambangan mineral di pekarangan rumah kita, namun pihak lain dapat

melakukannya. Ketidaklengkapan hak kepemilikan disebabkan oleh mahalnya

biaya enforcement. Misalnya untuk kasus kehutanan, jika hutan ditebang ilegal,

hak negara atas hutan dibatasi oleh mahalnya mengawasi hutan tersebut dan

melakukan penegakan hukum atas tindakan ilegal tersebut.

Lebih jauh lagi Barzel (1993) dalam Fauzi (2006) menyatakan bahwa

konsep hak kepemilikan terkait erat dengan biaya transaksi yang dikemukakan

oleh Coase. Biaya transaksi sendiri diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan

untuk memperoleh, mentransfer dan melindungi hak, jika biaya transaksi nol, hak

kepemilikan terlengkapi, namun biaya transaksi tinggi, sangatlah sulit untuk

menetapkan hak pemilikan karena potensi manfaat atas sumberdaya atau aset

tidak akan diketahui. Dengan kata lain hak kepemilikan akan terkukuhkan jika

kedua belah pihak (pemilik dan pihak lain yang tertarik memiliki aset), memiliki

pengetahuan penuh atas nilai dari aset tersebut.

22

Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa didalam sumberdaya alam

sebagaimana dijelaskan oleh (Fauzi, 2006), antar sumberdaya (resource) dan

rezim kepemilikan terhadap sumberdaya tersebut harus dibedakan dengan jelas,

satu sumberdaya bisa saja mempunyai hak kepemilikan. Hak kepemilikan

sumberdaya alam tersebut pada umumnya terdiri dari: state property dimana

klaim kepemilikan berada ditangan pemerintah. Private property dimana klaim

kepemilikan berada pada individu atau kelompok usaha (korporasi). Common

property atau communal property dimana individu atau kelompok memiliki klaim

atas sumberdaya yang dikelola bersama. Lebih lanjut lagi suatu sumberdaya alam

bisa saja tidak memiliki klaim yang sah sehingga tidak bisa dikatakan memiliki

hak kepemilikan, sumberdaya seperti ini dikatakan open access (Grimma dan

Barkers, 1989).

Dengan pemahaman diatas, perbedaan antara hak kepemilikan dan akses

terhadap sumberdaya semakin jelas. Dengan mengambil contoh dua tipe akses

yang berbeda (open access) dan akses terbatas (limited access) maka secara umum

ada beberapa kemungkinan kombinasi. Tipe pertama adalah tipe dimana hak

pemilikan berada pada komunal atau negara dengan akses terbatas. Tipe

kombinasi ini memungkinkan pengelolaan sumberdaya yang lestari. Tipe kedua

adalah dimana sumberdaya dimiliki secara individu dengan akses yang terbatas.

Pada tipe ini karakteristik hak pemilikan terdefinisikan dengan jelas dan

pemanfaatannya yang berlebihan bisa dihindari. Tipe ketiga adalah kombinasi

yang sebenarnya jarang terjadi dimana sumberdaya dimiliki secara individu

namun akses dibiarkan terbuka. Pengelolaan sumberdaya ini tidak akan bertahan

lama karena rentan terhadap intrusi dan pemanfaatan yang tidak sah sehingga

sumberdaya akan cepat terkuras habis.

Pendapat para ahli diatas dapat diformulasi dalam suatu grand teori (state

of the arth) yang diawali oleh Peluso (1996) menyatakan bahwa ada keterbatasan

antara hak kepemilikan dan akses. Keterbatasan ini digambarkan dalam konsep

keterpaduan antara pendapat Long (1996) melalui pendeketan aktor, Peluso

(1996) pendekatan akses analisis dan Fauzi (2006) dengan pendekatan properti

right. Konsep keterpaduan ini akan dilengkapi oleh dua unsur yaitu kebijakan

konservasi yang membingkai ketiga keterpaduan konsep dan unsur

23

pengembangan ekonomi adalah mencerminkan penerapan konsep. Hal ini dapat

dilihat pada Gambar 9 terkait dengan keterpaduan konsep tersebut.

Gambar 9. Skema Keterpaduan Konsep

Sering kali pada sumberdaya yang sama, misalnya tanah, terdapat berbagai

hak yang melekat dan hak-hak ini dapat saja dimiliki oleh tidak pada satu orang

atau kelompok yang sama. Hal ini yang kemudian menyebabkan konsep tenurial

ini sering dijelaskan dengan prinsip bundle of rights (sebundel hak-hak). Ostrom

dan Schlager (1996) mengatakan bahwa hak-hak ini dapat diuraikan menjadi:

1) Hak atas akses (rights of access): adalah hak untuk memasuki suatu

wilayah tertentu;

2) Hak pemanfaatan (rights of withdrawal): adalah hak untuk mengambil

sesuatu atau untuk memanen sesuatu hasil alam seperti untuk memancing

ikan, memanen buah, mengambil air, menebang pohon, dan sebagainya;

3) Hak pengelolaan (rights of management): adalah hak untuk mengatur pola

pemanfaatan internal dan merubah sumberdaya yang ada untuk tujuan

meningkatkan hasil atau produksi;

4) Hak pembatasan (rights of exclusion): adalah hak untuk menentukan siapa

saja yang dapat memperoleh hak atas akses dan membuat aturan

pemindahan hak atas akes ini dari seseorang ke orang lainnya (atau

lembaga/kelompok lain); dan

5) Hak pelepasan (rights of alienation): adalah hak untuk menjual atau

menyewakan atau kedua-duanya. Adapun hubungan antara penguasaan

sumberdaya terhadap posisi aktor disajikan pada tabel berikut.

Actor Approach

(Long, 1996)

Access Analysis

(Peluso, 1996)

Property Right Regimes

( Fauzi, 2006) Kekuasaan

menurut (Peluso, 1996)

terdiri atas elemen-

elemen material,

budaya dan ekonomi-

politik yang berhimpun

sedemikian rupa

membentuk “bundel

kekuasaan” (bundle of

powers) dan “jaring

kekuasaan” (web of

powers) yang

kemudian menjadi

penentu akses ke

sumber daya

Economy Growth

(commodity chains)

Policy of Conservation

24

Tabel 3. Kumpulan Hak dan Posisi Aktor

Owner Proprietor Outorized

Claimant

Outorized

User

Outorized

Entrant

Acces X X X X X

Withdrawal X X X X

Management X X X

Exlusion X X

Alienation X

Selanjutnya Long (2002) menyatakan bahwa dengan menggunakan

pendekatan aktor, interaksi antar aktor kelembagaan, hak kepemilikan, proses dan

kebijakan dapat dijelaskan melalui matriks antar komponen yang saling

mempengaruhi sebagaimana terdapat pada (Gambar 10) berikut ini.

Sumber : Long (2002)

Gambar 10. Pendekatan Aktor

2.3. Konflik Penguasaan Lahan Sebagai bagian Perilaku Kelembagaan

Pandangan post modernism adalah konflik harus diposisikan sebagai

potensi yang harus dikelola secara optimal yang telah bersifat kodrati dalam diri

manusia sebagai mahluk yang sempurna (memiliki akal). Pendekatan

penyelesaian konflik dengan melihat manusia bukan lagi obyek (bukan subyek

penderita) tetapi merupakan bagian dari sistem disetiap lembaga telah menjadi

pedoman bagi lembaga yang telah menempatkan aspek manusia sebagi pemecah

masalah namun juga akan menimbulkan masalah.

25

Konflik dalam perspektif interaksionis merupakan stimulan ketika suatu

kelompok masyarakat bersifat statis bahkan munkin apatis terhadap dinamika

serta fenomena pemanfaatan sumberdaya dengan lebih mementingkan hak akses

maka seyogyanya ada seseorang yang memilki kapasitas untuk mempertahankan

dan memelihara konflik pada tingkat yang optimal dengan tujuan dapat

menciptakan suasana yang dinamis serta inovatis terhadap perubahan-perubahan

yang sedang datang baik dari pesaing maupun dari internal kelembagaan itu

sendiri.

Perbedaan dan pertentangan kepentingan dalam pengalokasian

sumberdaya sering muncul sehingga hirarki pengambilan keputusan tidak jadi

barmakna yang baik karena pertentangan atau konflik tersebut muncul adanya

perbedaan pandangan, idiologi bahkan harapan yang tidak sesuai dengan

kenyataan merupakan tantangan bagi pengelolaan suatau lingkungan kelembagaan

dalam menyerap dan mengolah serta mendistribusikan kembali perbedaan tersebut

dalam suatu informasi yang baik dalam mencapai kesepakatan sebagai satu dari

begitu banyak alternatif yang disepakati (Mitchell dan Dwita, 2007).

Menurut Own (1991:13) dalam Wahyudi (2011), konsep kelembagaan

yang menempatkan organisasi sebagai perhatian utama adalah bagian dari konsep

klasik sedangkan saat ini manusialah yang menjadi perhatian dan penentu maju

mundur sistem kelembagaan adalah pandangan neo-classic. Artinya perilaku

kelembagaan adalah suatu pandangan ilmu pengetahuan yang menerangkan,

mengerti dan memprediksi perilaku manusian dalam lingkungan secara formal.

2.4. Pemetaan Potensi Sumberdaya Ekonomi Wilayah melalui Perubahan

Peruntukan Kawasan

Potensi ekonomi daerah didefinisikan sebagai segala sumberdaya dan

instrumen yang dimiliki daerah yang terukur (datanya tersedia) serta

diperhitungkan mampu mendorong kemajuan perekonomian daerah. Sumberdaya

dan instrumen tersebut meliputi:

1. Sumberdaya alam (natural capital: SDA).

2. Sumberdaya manusia (human capital: SDM).

3. Sumberdaya sosial (social capital: SDS).

26

4. Infrastruktur dan fasilitas public (man-made capital: INF).

5. Penataan ruang (spatial ordering: TTR),

6. Penganggaran belanja (budgeting: BUD).

7. Jejaring keterkaitan daerah (spatial interaction).

Selanjutnya kemajuan instrumen diatas dapat diukur dengan: (1)

pertumbuhan ekonomi daerah (economic growth), (2) produktivitas ekonomi

daerah (productivity), (3) pendapatan asli daerah (fiscal capacity), (4) tingkat

kemiskinan (poverty), dan pengangguran (unemployment), di daerah Hakim,

(2007).

Pemetaan potensi ekonomi daerah didefinisikan sebagai sistem

pentransformasian data menjadi basis pengetahuan yang diharapkan mampu

mendukung kebijakan pengembangan potensi ekonomi daerah bagi pencapaian

kinerja kemajuan sesuai yang diharapkan. Pemetaan Potensi Ekonomi daerah ini

terdiri dari :

1. Inventarisasi data yang tersedia diperhitungkan dapat digunakan sebagai

proksi pengukur berbagai sumberdaya dan instrumen yang dimiliki, serta

kinerja pembangunan ekonomi yang dicapai oleh setiap daerah.

2. Mentransformasikan setiap data pada kegiatan ke dalam beberapa variabel

indikator daerah tentang tipologi sumberdaya dan instrumen yang dimiliki

serta kinerja pembangunan ekonomi yang dicapai;

3. Menyeleksi variabel-variabel indikator daerah, yang memilki variasi

interregional cukup signifikan;

4. Menyarikan variabel-variabel indikator yang terpilih pada kegiatan ke

dalam beberapa indeks komposit indikator daerah;

5. Membangun model kuantitatif yang dapat menjelaskan struktur keterkaitan

serta peran berbagai indeks komposit indikator daerah tentang tipologi

sumberdaya dan instrumen yang dimiliki terhadap indikator daerah tentang

pencapaian kemajuan ekonomi;

6. Mensimulasikan model hasil kegiatan untuk merumuskan rekomendasi

kebijakan pengelolaan sumberdaya dan instrumen yang dimiliki dan

kbijakan strategis bagi optimalisasi pencapaian kinerja kemajuan ekonomi

daerah;

27

7. Menyajikan informasi hasil analisis ke dalam bentuk tampilan peta spasial;

dan mendokumentasikan ringkasan tentang proses, hasil, serta

rekomendasi hasil kebijakan penting, untuk dapat dijadikan basis

pendukung dalam proses perumusan kebijakan, penyusunan rencana dan

program pengembangan.

Perputaran roda perubahan ke arah kemajuan pembangunan terkait dengan

peran parapihak, dapat dikelompokkan ke dalam empat pilar utama, yaitu: (1)

institusi keilmuan, (2) pemerintah, (3) dunia usaha, dan (4) masyarakat luas.

Pembangunan berbasis pada perkembangan ilmu pengetahuan, pemerintah yang

semakin bersih dan adil, dunia usaha yang semakin profesional, dan masyarakat

luas yang semakin aktif partisipatif produktif.

Konsep pembangunan yang terlalu menyederhanakan bahwa semuanya

akan ikut mendapat penguatan dengan hanya mendorong pertumbuhan ekonomi

(trickle down effect) tidak mendapat dukungan empirik yang luas (Sen, 1992).

Negara Brazil sebagai contoh, yang mencapai kapasitas ekonomi (diukur dengan

GNP: Gross National Product, perkapita) yang besarnya 10 kali lipat dari China

(1980), tingkat keberdayaan masyarakatnya jika diukur dengan angka harapan

hidup berada satu poin lebih dari masyarakat China.

Demikian juga Meksiko yang mencapai kapasitas ekonominya hampir 10

kali lipat Srilangka, pencapaian keberdayaan masyarakatnya berada satu poin di

bawah Srilangka. Sejalan dengan kajian Clifford Geerzt yang menyimpulkan

adanya fenomena keterbelakangan akibat keterisolasian, konsep pengembangan

infrastruktur yang memperluas akses secara fisik sampai ketingkat desa, kemudian

diyakini banyak pihak sebagai instrumen yang mampu merubah ke arah

kemajuan. Namun yang terjadi justru percepatan proses pemiskinan dan

penelantaran sumberdaya pedesaan. Fenomena ini yang oleh Myrdal (1979)

dalam Rustiadi et al (2009) disebut sebagai pencucian daerah belakang (backwash

effect).

Kebijakan perubahan peruntukan kawasan konservasi pada umumya

dihadapkan dengan pandangan yang berbeda dan selalu menemui jalan buntu

dalam perdebatan baik formal maupun informal yang melibatkan seluruh pihak

dan lapisan masyarakat yang dipicu oleh perbedaan pengetahuan dan pemahaman,

28

perbedaan nilai, perbedaan alokasi keuntungan dan kerugian, bahkan sampai pada

perbedaan latar belakang personal dan sejarah kelompok-kelompok yang

berkepentingan (Mitchel et al 2007). Oleh karena itu perlu adanya formulasi

pemikiran yang dapat mensinergiskan perbedaan tersebut agar menjadi suatu

potensi yang dapat dikelola melalui pertimbangan yang komprehensif dan

memiliki orientasi yang jelas bagi kepentingan masyarakat. Adapun

pertimbangan-pertimbangan tersebut antara lain:

A. Pertimbangan hukum dan kelembagaan :

- Perubahan kawasan hutan menghargai perijinan atas kawasan yang

telah diterbitkan oleh Pemerintah, seperti : IUPHHK, penggunaan

kawasan hutan.

- Perubahan kawasan hutan menghargai keberadaan proyek-proyek/aset

pemerintah, seperti : realisasi gerhan, reboisasi, dll.

- Perubahan kawasan menghargai keberadaan atas sertifikat atau bukti-

bukti kepemilikan atas tanah.

- Perubahan kawasan hutan merupakan bagian dari upaya resolusi

permasalahan kemantapan kawasan hutan.

B. Pertimbangan Ekonomi dan Sosial-Budaya :

- Perubahan kawasan hutan mempertimbangkan keberadaan

pemukiman dan kebutuhan lahan usahanya dalam luasan yang

rasional, utamanya yang telah eksis sejak lama (10 tahun);

- Perubahan kawasan hutan untuk permukiman juga

mempertimbangkan keberadaan infrastruktur fisik (fasos, fasum) dan

kelembagaan desa (organisasi perangkat desa).

- Perubahan kawasan hutan menghargai keberadaan situs budaya dan

obyek-obyek yang menjadi sumber-sumber penghidupan masyarakat.

- Perubahan kawasan hutan mempertimbangkan upaya daerah untuk

mengoptimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam untuk kesejahteraan

masyarakat secara berkelanjutan.

C. Pertimbangan Ekologi :

- Pertimbangan ekologi bertujuan untuk membangun keseimbangan

jangka panjang interaksi antar komponen sistem lingkungan (abiotik

29

dan biotik), termasuk di dalamnya unsur interaksi sosial manusia

untuk dapat mewujudkan kelestarian dan kelangsungan daya dukung

dan daya tampung lingkungan;

- Perubahan kawasan hutan mempertimbangkan aspek keanekaragaman

hayati dan ekosistemnya, sehingga tetap terjaga keberadaan dan

kelestariannya.

- Perubahan kawasan hutan mempertimbangkan fungsi satu kawasan

sebagai bagian dari suatu ekosistem.

- Mendukung upaya global untuk menurunkan emisi karbon dalam

rangka mitigasi perubahan iklim.

2.5. Valuasi Sumberdaya Mineral Sebagai Pendorong Pembangunan

Wilayah

Sektor usaha pertambangan merupakan sektor primer yang mengolah

(mengambil) sumberdaya alam tak terbarukan. Dalam pelaksanaan kegiatan

operasinya, sektor pertambangan tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan sektor

yang lain mulai dari sektor primer sampai jasa. Contohnya adalah keberadaan

sektor pertanian yang menyediakan bahan makanan kepada para pekerja, sektor

industri pengolahan bahan galian, sampai dengan sektor jasa transportasi,

perbankan dan sektor lainnya.

Sektor pertambangan diharapkan dapat menjadi pusat pertumbuhan

ekonomi daerah (growth centre) yang kemudian menumbuhkan kutub-kutub

pertumbuhan ekonomi (growth pole), dimana kutub-kutub pertumbuhan ekonomi

tersebut dapat mandiri dengan atau tanpa keberadaan sektor pertambangan.

Sehingga ketika usaha pertambangan telah selesai karena habisnya cadangan yang

bisa ditambang, daerah tersebut masih tetap eksis dan terus berkembang. Dalam

kaitannya dengan pembangunan wilayah di derah Kabupaten Bone Bolango dan

Provinsi Gorontalo, kegiatan pertambangan yang dilakukan memiliki peranan

sebagai berikut :

Menumbuhkan keterkaitan (forward dan backward linkage) antara sektor

pertambangan dengan sektor ekonomi yang lain, sehingga membentuk pusat

pertumbuhan yang berbasiskan sektor pertambangan.

30

Menciptakan multiplier efect, seperti pada tenaga kerja, pendapatan, pajak

dan surplus.

Mendatangkan pendapatan bagi daerah melalui pembagian royalti serta

pajak dan iuran lainnya yang ditetapkan oleh peraturan daerah. Sehingga

dapat menjadi tambahan anggaran untuk pembangunan.

Menciptakan sektor usaha lain yang bisa mandiri dengan atau tanpa

dukungan dari sektor pertambangan (pembentukan kutub-kutub

pertumbuhan).

Semua usaha di atas tidak dapat berjalan dan berhasil tanpa adanya

dukungan pemerintah. Utamanya pemerintah daerah sebagai fasilitator dan

regulator untuk menumbuhkan keberlanjutan hasil usaha kegiatan pertambangan.

Walaupun kegiatan pertambangan sudah usai, manfaat ekonominya masih terasa

dan tetap dapat menggerakkan ekonomi daerah (Suparmoko, 2006). Adapun

dampak yang akan ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan ini antara lain:

A. Penyerapan Tenaga Kerja

Kegiatan penambangan merupakan kegiatan yang padat modal dan padat

pekerja. Akibat yang ditimbulkan dari adanya pembukaan tambang adalah

terbukanya lapangan kerja baru. Demikian halnya dengan pembukaan tambang

tembaga dan emas akan menimbulkan terbukanya kesempatan kerja baru bagi

penduduk baik di sekitar wilayah penambangan, ataupun tenaga kerja di dalam

dan luar wilayah Provinsi Gorontalo. Berdasarkan studi kelayakan yang telah

dilaksanakan sebelumnya, kebutuhan tenaga kerja secara umum dapat dibagi

menjadi 3 kelompok, antara lain tenaga kerja operasional penambangan dihitung

berdasarkan penggunaan peralatan penambangan pada tahun tertentu. Asumsi

yang digunakan dalam menentukan kebutuhan tenaga kerja adalah; terdapat 4

kelompok gilir kerja, penambahan 13,5persen untuk menutupi absensi, cuti

tahunan, dan ijin sakit. Diasumsikan juga bahwa pelatihan pada properti tertentu

adalah 5persen dari total tenaga kerja. Staf dan tenaga kerja tidak tetap diperlukan

pada penambangan open pit 3 tahun sebelum produksi dimulai ( Ekawan, 2008).

31

B. Penerimaan Daerah Dari Pengusahaan Mineral.

Penerimaan daerah atas pengusahaan sumberdaya mineral diperoleh dari

pungutan-pungutan negara dalam bidang pertambangan diatur dalam Undang-

Undang No. 11 Tahun 1967 Pasal 28 dengan pelaksanaannya pada Peraturan

Pemerintah No. 32 Tahun 1969 Pasal 52 sampai 63. Peraturan menyebutkan

bahwa pemegang kuasa pertambangan membayar kepada negara berupa iuran

tetap, iuran eksplorasi, dan atau iuran eksploitasi dan atau pembayaran-

pembayaran yang lain yang berhubungan dengan kuasa pertambangan yang

bersangkutan. Iuran tetap dimaksudkan sebagai imbalan atas kesempatan yang

diberikan pemerintah atas kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi maupun

eksploitasi.

Iuran eksplorasi dan atau iuran eksploitasi merupakan iuran atas hasil

produksi yang diperoleh dari wilayah kontak karyanya. Hal ini dapat disimak pada

Undang-Undang Pokok Pertambangan Pasal 28 ayat 3, pungutan-pungutan negara

tersebut akan dibagikan juga kepada Daerah Tingkat I dan II. Besar pembagian

adalah Pemerintah Pusat 30persen dan Pemerintah Daerah 70persen. Peraturan

Pemerintah No. 32 Tahun 1969 Pasal 62 yang memuat masalah pembagian hasil

pungutan negara, kemudian direvisi dengan Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun

1992.

Hasil yang ditunjukkan setelah adanya revisi menyatakan bahwa besar

pembagian hasil pungutan negara adalah Pemerintah Pusat 20 persen dan

Pemerintah Daerah 80 persen. Pembagian dari yang 80 persen adalah 16 persen

untuk Pemerintah Daerah Tingkat I, 32 persen untuk Pemerintah Daerah Tingkat

II tempat lokasi bahan galian, 32 persen lainnya untuk Pemerintah Daerah Tingkat

II yang lain yang ada di provinsi tersebut. Selain dari royalti, penerimaan daerah

juga diperoleh dari pajak-pajak dan iuran lainnya yang ditetapkan sesuai dengan

Perda.

32

C. Kontribusi Perusahaan Terhadap Pengembangan Kelembagaan

Masyarakat

Perusahaan tetap ada untuk kepentingan stakeholders yaitu mencakup

semua yang mempunyai kepentingan dalam kemakmuran perusahaan yang terdiri

dari pemegang saham, karyawan, pemasok, pelanggan dan masyarakat sekitar.

Masyarakat sekitar adalah masyarakat sekitar tambang yang memberikan

kontribusi terhadap keberhasilan perusahaan dan ikut menanggung dampak dari

kegiatan operasional tambang. Untuk itu diperlukan usaha peningkatan

kesejahteraan masyarakat melalui program pemberdayaan dan pengembangan

masyarakat (community development) secara komprehensif dan integral dengan

penduduk setempat. Karakteristik kegiatan pengembangan masyarakat di sekitar

daerah tambang, yaitu :

1. Kegiatan pertambangan yang mempunyai jangka waktu tertentu dalam

beroperasi, dan akan berakhir sesuai jumlah cadangannya serta Kontrak

Karya dengan Pemerintah.

2. Industri pertambangan yang padat modal dan menggunakan teknologi

tinggi.

3. Lokasi kegiatan yang berada di wilayah terpencil dengan infrastruktur yang

sangat minim, sehingga diperlukan pembangunan infrastruktur.

4. Industri pertambangan yang sarat dan erat dengan isu lingkungan.

Implementasi dari tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat

sekitar adalah dengan pengelolaan lingkungan yang baik, Bertanggung

jawab terhadap aspek lingkungan dan sosial yang ditransformasikan ke

dalam aspek ekonomi wilayah yang ditinggalkan baik setelah eksplorasi

maupun setelah penutupan tambang, untuk dapat dimanfaatkan oleh

generasi mendatang, hal ini merupakan konsep pembangunan berkelanjutan

dan memiliki komitmen yang kuat atas pengembangan komunitas dan

wilayah disekitar lokasi kerja tambang.

Cakupan wilayah kegiatan pengembangan kelmbagaan masyarakat

(berdasarkan urutan prioritas), yaitu: Desa dan Kecamatan dalam pengaruh

langsung pertambangan, Kecamatan di luar pengaruh langsung pertambangan.

Program kegiatan pengembangan masyarakat yang akan dikembangkan di daerah

sekitar tambang akan mencakup kegiatan sebagai berikut :

33

1. Pengembangan Agribisnis dan Perikanan.

2. Pengembangan Kesehatan Masyarakat dan lingkungan.

3. Pengembangan dan Pelestarian Alam.

4. Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan.

5. Pembangunan Infrastruktur.

6. Pengembangan UKM dan kemitraan.

7. Penguatan Kapasitas Masyarakat/Pemerintah, Operasional dan Penunjang.

Model peningkatan kemandirian ekonomi lokal terhadap tambang beserta

strateginya dapat dilihat pada (Tabel 4) berikut.

Tabel 4. Model Peningkatan Kemandirian Ekonomi Lokal Terhadap Tambang

Kuartal I Kuartal II Kuartal III Kuartal IV

• Studi

pengembangan

pertanian/perika

nan

• Intensif training

• Identifikasi

lahan

• Studi tata ruang

• Implementasi

studi

pertanian/perika

nan

• Pemanfaatan

lahan

rehabilitasi

• Pengembangan

pertanian &

perikanan

• Pengembangan

pertanian

• Industri

perikanan

• Pelayanan/jasa

• Pengembangan

teknologi

agribisnis

• Pengembangan

industri

pertanian

• Pelayanan/jasa

• Pengembangan

ekspor

agribisnis

Tambang

± 65persen

Tambang

± 50persen

Tambang

± 35persen

Tambang ±

5persen

Non-tambang

± 95persen Non-tambang

± 65persen Non-tambang

± 50persen Non-tambang

± 35persen

Sumber: Kajian DAS Rona Awal Lingkungan di Daerah sekitar Taman Nasionan

Bogani Nani Wartabone. TP LAPI ITB 2009

D. Penggerak Pembangunan Daerah/Wilayah

Sumberdaya mineral jika dikelola dengan baik akan menjadi pemicu

pertumbuhan ekonomi wilayah berupa kontribusi Produk Domestik Bruto

(PDRB0, tenaga kerja sehingga pengangguran di daerah sekitar pemanfaatan akan

berkurang. Sebagai contoh, Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh LPEM –

FEUI pada tahun 2001, Kabupaten Kutai Timur memperoleh 74 persen Produk

34

Domestik Regional Bruto (PDRB) dari sektor pertambangan. Secara khusus, PT

KPC sebagai perusahaan tambang batubara terbesar di daerah tersebut

berkontribusi sebesar 30 persen terhadap total Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Kabupaten.

Tercatat sebanyak 71.000 orang anggota masyarakat setempat

menggantungkan kehidupannya dari perusahaan. Dari jumlah tersebut sebanyak

7.000 orang diantaranya secara langsung menggantungkan hidup kepada tambang.

Perlu diperhatikan bahwa semua usaha di atas tidak dapat berjalan dan berhasil

tanpa adanya dukungan dari pemerintah. Utamanya pemerintah daerah sebagai

fasilitator dan regulator untuk menumbuhkan keberlanjutan hasil usaha kegiatan

pertambangan. Walaupun kegiatan pertambangan sudah usai, manfaat

ekonominya masih terasa dan tetap dapat menggerakkan ekonomi daerah.

Manfaat ekonomi yang dimaksud yaitu adanya sumberdaya yang terbarukan telah

mengalami transformasi karena adanya dukungan anggaran serta asistensi yang

tersistem dalam suatu model kelembagaan. Sehingga nati peran sumberdaya tidak

terbarukan uasi maka peran dan penerus pengembangan ekonomi disekitar

kawasan pertambangan akan terus berjalan.

2.6. Konsep Dasar Pengelolaan Sumberdaya Alam

Terdapat beberapa konsep dan prinsip yang dapat dijadikan acuan dalam

pengelolaan sumberdaya alam. Beberapa konsep dasar tersebut antara lain adalah:

2.6.1 Proses dan Pengembangan Wilayah.

Prinsip dasar pengembangan wilayah adalah pemerataan pembangunan

dan hasil hasilnya agar diperoleh suatu konvergensi ekonomi antardaerah.

Pengembangan wilayah merupakan suatu proses transformasi terhadap berbagai

faktor masukan yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan berbagai

sumberdaya buatan/penunjang antara lain kapital, prasarana informasi, teknologi

dan lingtungan, menjadi keluaran fisik (tata ruang, prasaran/sarana dan

lingkungan fisik) dan keluaran nonfisik (sosial, ekonomi dan budaya) secara

terpadu dan seimbang, seperti ditunjukkan pada (Gambar 11) berikut ini.

35

Sumber : Sulistiyo (2008).

Gambar 11. Proses Pengembangan Wilayah

2.6.2 Interaksi Sumberdaya Alam - Ekonomi - Lingkungan

Pengelolaan sumberdaya alam pada dasarnya adalah untuk mengadakan

transformasi atau pengalihan dari sumberdaya alam menjadi modal ekonomi. Pada

proses transformasi ini terdapat suatu interaksi dengan lingkungan hidup dalam

wawasan pembangunan berkelanjutan. Artinya pembangunan berkelanjutan

merupakan satu proses perubahan dan pertumbuhan berdasarkan prinsip-prinsip

efisiensi, berwawasan kewilayahan dan lingkungan hidup serta didukung oleh

transformasi dibidang teknologi yang sesuai dengan kebutuhan dan karakter

potensi sumberdaya lokal denga visi masing individu masyarakat atau kelompok

untuk melihat lingkungan sekitar kawasan pertambangan akan lebih maju dan

mandiri.

Efisiensi dalam arti bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan bagi setiap

marginal produk setiap komoditi adalah sama. Berwawasan kewilayahan dalam

arti bahwa proses transformasi tersebut harus menghasilkan nilai tambah bagi

wilayah terdapatnya sumberdaya alam. Berwawasan lingkungan bahwa segenap

biaya pelestarian fungsi lingkugan oleh akibat eksploitasi sumberdaya alam harus

36

dimasukkan ke dalam biaya eksploitasi. Interaksi sumberdaya alam, ekonomi,

lingkungan seperti pada (Gambar 12) sebagai berikut :

Sumber : Sulistiyo (2008).

Gambar 12. lnteraksi SDA - Ekonomi - Lingkungan Hidup dan Tujuan

Pembangunan

2.6.3 Sistem Pengembangan Sumberdaya Alam.

Dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan potensi energi dan

sumberdaya mineral untuk mendukung dan mendorong peran ESDM dalam

konvergensi ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo, dapat disajikan

melalui kaitan integral subsistem dalam pengembangan sumberdaya mineral

tersebut, yaitu meliputi:

l). Subsistem Pemerintah. Subsistem merupakan subsistem yang menetapkan

kebijakan serta regulasi yang diperlukan agar proses transformasi

sumberdaya alam dapat mencapai tujuan secara optimal. Tujuan dapat

berupa tujuan nasional pada tingkat nasional atau tujuan regional pada

tingkat wilayah (provinsi, kabupaten/kota).

Dalam subsistem ini Pemerintah mengendalikan kebijaksanaan dan

peralatan kebijaksanaan yang meliputi pengaturan standarisasi, perizinan,

pengembangan, pengawasan, pembinaan evaluasi dan pengambilan

keputusan. Sebagai penjabaran dari kebijaksanaan pengembangan usaha

pertambangan sejalan dengan semangat debirokrasi dan deregulasi untuk

37

mendorong peningkatan investasi dalam upaya pemerataan pembangunan.I).

Subsistem produksi - konsumsi (subsistem industri).

2). Subsistem produksi konsumsi merupakan mata rantai dari hulu (produksi)

sampai dengan hilir konsumsi) berikut mata rantai niaga. Subsistem ini

merupakan mata rantai penghasil nilai tambah. Peran serta Pemerintah

Provinsi Gorontalo dalam menunjang peran sektor

pertambangan/penggalian sebagai sektor penyedia bahan baku. Salah

satunya adalah dengan mendirikan “customer plant dan blending plant”

yang dapat digunakan untuk proses pengolahan khususnya berbagai macam

pengolahan bahan galian industri dengan proses yang sama sehingga dapat

digunakan oleh banyak perusahaan untuk efisiensi dan efektivitas.

3.6.4 Subsistem Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Pada pengembangan sumberdaya mineral pada dasarnya subsistem ini

menyangkut penelitian yang berhubungan dengan mata rantai yang ada di dalam

subsistem pemerintah dan subsistem produksi-konsumsi. Tujuannya adalah agar

mampu membantu ke dua subsistem tersebut dalam mengambil keputusan dan

pemecahan masalah baik dari segi inventarisasi, evaluasi sumberdaya dan

pengembangan teknologi. Selanjutnya terjadinya proses transformasi tersebut

mungkin untuk menciptakan adanya loncatan produktivitas dalam sektor

pertambangan. Saat ini hampir dapat dikatakan perusahaan yang bergerak di

bidang pertambangan di Indonesia cenderung memperluas kapasitas produksi

yang pada akhirnya akan mengalami penurunan atau cadangan tertambang akan

habis.

2.6.5 Manajemen Dalam Proses Transfomasi

Manajemen menangani berbagai sumberdaya dan output dari proses

transformasi. Sumberdaya meliputi kapital, tenaga kerja, bahan baku (sumberdaya

alam), informasi, lingkungan, prasarana dan teknologi serta pasar. Termasuk

manajemen terhadap ouput dari proses transformasi yaitu barang dan jasa yang

dihasilkannya. Proses transformasi sumberdaya berguna menciptakan konvergensi

ekonomi antardaerah atau wilayah. Hal ini dapat dijadikan bagian acuan dalam

38

proses manajemen pemanfaatan sumberdaya tambang agar sistem yang dibangun

dapat memberikan dampak pada peningkatan fungsi produksi antara lain

sumberdaya teknologi, sumberdaya lingkungan, sumberdaya infrusturktur,

sumberdaya pasar, sumberdaya informasi, sumberdaya alam, sumberdaya kapital

(investasi) dan sumberdaya manusia. Model ini tertuang pada (Gambar 13).

Sumber : Sulistiyo (2008).

Gambar 13. Kaitan Antara Fungsi Produksi dan Fungsi Manajemen

Selanjutnya Gambar 14 menunjukkan bahwa dalam pemanfaatan

sumberdaya harus melalui proses atau mekanisme pengaturan dan tahapan. Agar

terjadi suatu proses transformasi diperlukan suatu manajemen agar diperoleh hasil

transformasi yang bermanfaat bagi pemenuhan kepentingan umum baik pada

skala nasional, regional maupun masyarakat secara optimal. Hal ini membuktikan

betapa pentingnya proses manajemen sumberdaya agar instrumen dalam

manajemen tersebut dapat berjalan sesuai dengan perencanaan, tujuan, kerangka

dasar informasi, indikator yang digunakan serta output yang diharapkan.

Manajemen meliputi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),

penggerakan (actuating), pengawasan (controlling), dan penilaian (evaluating).

39

Pertanyaan paling utama bagi masyarakat yaitu apakah memiliki niat atau

visi terhadap keterpaduan konsep pemanfaatan. Hal tersebut diperlukan untuk

mencapai optimasi produksi efisiensi untuk mengarahkan tingkat pendapatan

masyarakat agar mencapai surplus pasar dan bahkan surplus ekonomi. Adanya

proses transformasi tersebut akan memunculkan balikan terhadap output dari input

yang telah diproduksi dalam skala ekonomi tertentu.

Sumber : Sulistiyo (2008).

Gambar 14. Matrik Manajemen Kebijakan Versus Sumberdaya

Sesuai dengan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara pemerintah daerah dalam bentuk persentase tertentu dari

pemerintah pusat yang sumbernya berasal dari daerah yang bersangkutan. Bagi

hasil sumberdaya alam di dalamnya termasuk penerimaan dari sektor minyak

40

bumi dan gas alam pertambangan umum, kehutanan dan perikanan disajikan pada

Tabel 5 beriku ini. Meskipun Undang-Undang ini telah diterapkan dengan

peraturan pemerintah yang baru namun filosofis dari masing-masing peraturan

tentang bagi hasil ini relative hampir sama, karena item-item yang dibagi ke

daerah tidak banyak mengalami perubahan bila dibandingkan dengan pertautran

pemerintah sebelumnya. Diharapkan nanti peraturan bagi hasil ini akan semakin

diperbaiki sesuai dengan kebutuhan dan tantangan ekonomi daerah yang semakin

meningkat.

Tabel 5. Undang-Undang No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan

Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah

Sumber: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126

No Penerimaan Pusat Provinsi Kab/Kota penghasilan

Kab/Kota lainnya

I Sumberdaya Alam Non-Migas (%)

1 Kehutanan :

- PSDH 20 16 32 32

- IHPH 20 16 64 0

- Dana Reboisasi 60 0 40 0

2 Pertambangan :

- Land rent 20 16 64 0

- Royalti 20 16 32 32

3 Perikanan 20*) 0 0 0 II Sumberdaya Alam Migas (%)

1 Penerimaan negara

setelah dikurang

komponen pajak

yang berasal dari

minyak bumi.

84,5 3 6 6

2 Penerimaan negara

setelah dikurangi

komponen pajak

yang berasal dari

migas

69,5 6 12 12

41

2.7. Kewenangan Bidang Energi dan Sumberdaya Mineral di Era

Otonomi Daerah

Otonomi daerah bidang energi dan sumberdaya mineral bersumber dari

UUD 1945, Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

Undang-Undang No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara

Pemerintah Pusat dan Daerah, Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang

Pemberian urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi

dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan Keputusan Menteri Energi dan

Sumber Daya Mineral No-1451 K/30/MEM/2000 sampai dengan No.l454

K/30/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan dan Kewenangan Bidang

Energi dan Sumber Daya Mineral. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat

digunakan sebagai piranti acuan awal dan dasar untuk penyelenggaran dan

pelaksanaan otonomi daerah di bidang-bidang geologi dan sumberdaya mineral,

pertambangan umum minyak dan gas bumi serta listik dan pengembangan energi.

Otonomi daerah dalam bidang energi dan sumberdaya mineral kewenangan

pemerintah pada kebijakan: meliputi norma, standar, kriteria pengaturan,

persyaratan dan pedoman serta kewenangan kesempatan tingkat pelaksanaan

terbatas yang bertujuan mempertahankan dan memelihara identitas dan integritas

bangsa dan negara, menjamin kualitas dan efisiensi pelayanan umum, supremasi

hukum, dan menciptakan stabilitas ekonomi dalam rangka peningkatan

pemberdayaan dan kemakmuran rakyat.

Skema tersebut telah mampu mensinergikan sebagian kepentingan daerah

terutama dalam pemberian izin-izin pertambangan sehingga Pemerintah pusat

tidak terlalu jauh lagi mengintervensi kewenangan daerah meskipun dalam

konteks pembagian hasil relatif masih dikelolah oleh pemerintah pusat. Selain itu

skema diformulasi bertujuan untuk mengurangi konflik kepentingan para pihak

dan lebih memberikan ruang gerak buat pemerintah daerah untuk mengoptimalkan

sumber penerimaan keuangan melalui pemanfaatan sumberdaya tambang terutama

berkaitan dengan peningkatan daya dukung kelembagaan yang bersifat normatif

untuk mengatur hal-hal yang belum diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang

maupun Peraturan Pemerintah.

42

2.8. Peran Sektor Energi dan Sumberdaya Mineral Pasca Otonomi

Daerah

Secara filosofi otonomi daerah merupakan salah satu faktor/instrumen

dalam pelaksanaan demokrasi suatu sistem desentralisasi. Kewenangan dapat

diletakkan kepada daerah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat, pemerataan

dan keadilan, demokratisasi, penghormatan terhadap budaya lokal dan

memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Sebagai penggerak mulai di

daerah sektor ESDM pada dasarnya mempunyai peran ganda yaitu sebagai sektor

produksi dituntut untuk mampu memberikan kontribusi PDRB dan pengembangan

sumberdaya mineral secara regional guna mendukung pengembangan wilayah.

Peran tersebut dapat menciptakan kesempatan kerja maupun menciptakan

keterkaitan ekonomi berupa permintaan kebutuhan akhir. Beberapa kriteria

penilaian aspek sosial ekonomi dalam optimalisasi pemanfaatan energi dan

sumberdaya mineral untuk menunjang keseimbangan kemajuan ekonomi

antardaerah yang satu dengan yang lain adalah sebagai berikut :

a. Mendukung peningkatan keterkaitan antarsektor dan keterkaitan ekonomi

antardaerah.

b. Mendukung pembangunan dan peningkatan pendapatan daerah (daerah

terbelakang), pendapatan perkapita kesempatan kerja, kemampuan

kewiraswastaan (produkivitas) dan memperkecil kesenjangan sosial-

ekonomi antardaerah.

c. Menunjang usaha pelestarian fungsi lingkungan nonfisik seperti pendidikan

dan kesehatan dalam rangka pengembangan masyarakat (community

development) di daerah.

d. Memenuhi penugasan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dengan

misi strategis dalam rangka menunjang antara lain kestabilan politik.