BAB II. TINJAUAN PUSTAKA -...

26
6 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengantar Kerangka Teoritis Kajian pengelolaan situ dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan kelembagaan. Pendekatan ini akan menekankan pada “fakta” mengenai apa yang terjadi dalam pengelolaan situ, yaitu terkait dengan faktor- faktor yang mempengaruhi sehingga kondisi aktual terjadi. Kegiatan yang akan diamati merupakan interaksi yang beroperasi pada dua level, yaitu pengembangan dan spesifikasi kelembagaan atau aturan main (rule of the game) dan kegiatan yang mencakup interaksi manusia di dalam kelembagaan yang tersedia (the game). Aoki (2001) dalam Rachbini (2006) melengkapi konstelasi tersebut dengan perlunya pengamatan terhadap unsur penting yang ketiga yaitu pelaku (players of the game). Selain itu berdasarkan kajian Ostrom (1990) maka faktor karakteristik fisik sumber daya dan faktor luar (teknologi dan politik) juga mempengaruhi kondisi aktual yang ada. Selain itu karena subyek penelitian tidak terlepas dari aturan hukum mengenai substansi penelitian maka akan dikaji juga peraturan perundangan yang terkait. Meskipun dalam pendekatan kelembagaan ada berbagai teori namun yang akan dibahas lebih lanjut selain konsep dan teori kelembagaan adalah teori yang mempunyai relevansi erat dengan subyek penelitian ini, yaitu konsep sumberdaya bersama. 2.2. Konsep Rezim Sumberdaya dan Hak Kepemilikan Pengelolaan sumberdaya (resource) merupakan landasan penting dalam pembangunan suatu negara karena efektivitas pengelolaan sumberdaya sangat menentukan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Di berbagai belahan dunia banyak terjadi kecenderungan pemanfaatan sumberdaya yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya buatan, terutama pada sumberdaya-sumberdaya yang karena karakterisitiknya

Transcript of BAB II. TINJAUAN PUSTAKA -...

Page 1: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengantar Kerangka Teoritis

Kajian pengelolaan situ dilaksanakan dengan menggunakan

pendekatan kelembagaan. Pendekatan ini akan menekankan pada “fakta”

mengenai apa yang terjadi dalam pengelolaan situ, yaitu terkait dengan faktor-

faktor yang mempengaruhi sehingga kondisi aktual terjadi. Kegiatan yang akan

diamati merupakan interaksi yang beroperasi pada dua level, yaitu pengembangan

dan spesifikasi kelembagaan atau aturan main (rule of the game) dan kegiatan

yang mencakup interaksi manusia di dalam kelembagaan yang tersedia (the

game). Aoki (2001) dalam Rachbini (2006) melengkapi konstelasi tersebut

dengan perlunya pengamatan terhadap unsur penting yang ketiga yaitu pelaku

(players of the game). Selain itu berdasarkan kajian Ostrom (1990) maka faktor

karakteristik fisik sumber daya dan faktor luar (teknologi dan politik) juga

mempengaruhi kondisi aktual yang ada. Selain itu karena subyek penelitian tidak

terlepas dari aturan hukum mengenai substansi penelitian maka akan dikaji juga

peraturan perundangan yang terkait. Meskipun dalam pendekatan kelembagaan

ada berbagai teori namun yang akan dibahas lebih lanjut selain konsep dan teori

kelembagaan adalah teori yang mempunyai relevansi erat dengan subyek

penelitian ini, yaitu konsep sumberdaya bersama.

2.2. Konsep Rezim Sumberdaya dan Hak Kepemilikan

Pengelolaan sumberdaya (resource) merupakan landasan penting

dalam pembangunan suatu negara karena efektivitas pengelolaan sumberdaya

sangat menentukan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Di

berbagai belahan dunia banyak terjadi kecenderungan pemanfaatan sumberdaya

yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

buatan, terutama pada sumberdaya-sumberdaya yang karena karakterisitiknya

Page 2: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

7

tidak dapat dimiliki secara individual. Kurang tertatanya aturan mengenai

pemanfaatan berbagai bentuk “sumberdaya bersama” mengakibatkan terjadinya

degradasi pada sumberdaya yang dimanfaatkan. Terjadinya degradasi terhadap

sumberdaya ini sangat dipengaruhi oleh sistem manajemen yang dipergunakan

dalam memanfaatkannya.

Dibawah ini Rustiadi, et.al., (2009) memberikan contoh bagaimana

mendefinisikan barang menurut tingkat persaingan dan eksklusivitasnya. Barang

privat adalah barang yang memperlihatkan kepemilikan pribadi serta memiliki ciri

(1) excludable, artinya tidak bisa dikonsumsi semua orang, karena bila sudah

dikonsumsi oleh seseorang akan mengurangi pihak lain untuk mengkonsumsinya,

dan (2) terbatas (karena adanaya persaingan). Contoh barang privat adalah barang

yang dimiliki sehari-hari, seperti roti, beras yang dikonsumsi seseorang.

Sedangkan barang publik seperti common goods mencakup sumberdaya milik

bersama (common property resources/ CPR’s), barang klub (clubs group), dan

barang publik (public groups).

Tabel 2. Klasifikasi Barang/ Benda Berdasarkan Sifat Persaingan dan Sifat

Eksklusivitasnya

Excludability/ Kemampuan Melarang Akses Pihak Luar)

Pembagian Cara Klasik Barang Ekonomi

Ya Tidak Ya Barang milik pribadi

(Private good) Sumber daya bersama

(common poll resource) Rivalness

(Persaingan) Tidak Barang Klub

(Club good) Barang publik (Public good)

Sumber: Ostrom (2000) dalam Ernan Rustiadi et.al,. (2009)

Ciri yang paling bisa dikenali dari sumberdaya milik bersama adalah

sebagai berikut:

1. Terlampau besarnya biaya untuk menghambat secara fisik maupun dengan

menggunakan instrumen hukum positif dan menggunakan sumberdaya

(excludabilities).

2. Manfaat yang dipetik oleh seseorang diperoleh berdampak mengurangi

manfaat yang tersedia untuk orang lain (rivallness).

Page 3: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

8

Gambar 1. Perkembangan Hak-hak kepemilikan (Sumber : Lynch & Harwell 2002)

Sedangkan jika dilihat perkembangan mengenai hak-hak kepemilikan

(Feeny et al., 1990; Lynch & Harwell 2002) dapat dilihat sebagai berikut :

1. Akses terbuka (open access): Tidak ada hak kepemilikan terhadap sumber

daya. Sumber daya bebas dan terbuka diakses oleh siapapun. Tidak ada

regulasi yang mengatur. Hak-hak pemilikan (property right) tidak

didefinisikan dengan jelas.

2. Milik privat (private property): Sumber daya dimiliki oleh organisasi

swasta. Sumber daya ini bukan milik negara. Ada aturan yang mengatur

hak-hak pemilik dalam memanfaatkan sumber daya alam. Manfaat dan

biaya ditanggung sendiri oleh pemilik. Hak kepemilikan dapat

dipindahtangankan.

3. Dikuasai masyarakat (common property). Sumber daya dikuasai oleh

sekelompok masyarakat dimana para anggota memiliki kepentingan untuk

kelestarian pemanfaatan. Pihak luar bukan anggota tidak boleh

memanfaatkan. Hak pemilikan tidak bersifat ekslusif, dapat dipindah-

tangankan sepanjang sesuai aturan yang disepakati bersama. Aturan

pemanfaatan mengikat anggota kelompok.

4. Dikuasai negara (state property): Hak pemanfaatan sumber daya alam

secara eksklusif dimiliki oleh pemerintah. Pemerintah berkewenangan

memutuskan tentang akses, tingkat dan sifat eksploitasi sumber daya alam.

Public Property Rights(Milik Negara)

Private Property Rights(Bukan Milik Negara)

Group Rights(Hak-hak Komunitas)

Individual Rights(Hak-hak Individu)

Private Community-BasedProperty Rights

Komunitas-Privat

Individu-Privat

Individu-Publik

Kelompok-Publik

Page 4: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

9

Dari rezimentasi sumberdaya di atas maka Ostrom (2000)

menggambarkan bahwa terjadi perubahan dalam atribut pengelolaan terkait

dengan penggunaan (flow) dalam kerangka penyediaan terbatas namun terus

terjadi dalam waktu tertentu dan pencadangan (stock) digunakan untuk

pembatasan atau perlindungan dari eksploitasi. Jika dilihat maka rezimentasi

sumberdaya jika dilihat dari konsep titik kritis pemanfaatan (eksploitasi) adalah

sebagai berikut.

Tabel 3. Atribut Stock dan Flow dalam Rezimentasi Sumberdaya

Kepemilikan Privat

Kepemikan Bersama (CPRs)

Kepemilikan Negara (Publik)

Flow Parsel Parsel Tetap

Stock Parsel Tetap Tetap Sumber: Ostrom (2000) Keterangan: Parsel dapat dibagi-bagi dan didistribusikan pemanfaatannya, tetap tidak dapat dibagi atau diditribusikan

Dari keterangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa rezim

sumberdaya milik bersama jika dimaksudkan sebagai pencadangan (stock dalam

pemanfaatan) maka harus dijaga dari eksploitasi. Sebaliknya, dalam kepemilikan

negara, jika dimaksudkan sebagai sumberdaya yang dapat dibagi dan

didistribusikan maka kepemilikan oleh negara hanya dapat dimanfaatkan oleh

negara, tidak dapat didistribusikan. Hal ini kontras dengan fakta pemanfaatan

hutan lindung (milik negara) berdampingan (di tempat dan waktu yang sama)

dengan pertambangan (milik negara atau privat).

2.2.1. Permasalahan Universal Pengelolaan Sumberdaya Bersama

Dua masalah utama dalam pengelolaan sumberdaya-sumberdaya

bersama adalah free rider problem (masalah penunggang gelap), karena sifatnya

barang publik cenderung mengarah pada kegagalan pasar yang instan. Dalam

mekanisme pasar dimana individu-individunya semua hanya mencari keuntungan

pribadi, maka pengelolaan barang publik tidak dapat dikelola secara efisien.

Masalah yang timbul akibat adanya pemanfaat-pemanfaat barang publik yang

mendapat manfaat mengkonsumsi barang tetapi tidak berkontribusi dalam proses

Page 5: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

10

produksinya disebut free rider problem. Oleh karenanya, fenomena public goods

selalu memunculkan free rider. Ketika suatu barang menjadi sumber daya

bersama, maka setiap orang cenderung menggunakannya secara berlebihan (over

used). Apabila hal ini terjadi secara terus menerus maka terjadilah “the tragedy of

the commons”.

2.2.2. Dari ”Tragedy of The Commons” ke “The Drama of The Commons”

Penduduk dunia semakin bertambah sehingga kebutuhannya juga

bertambah. Hal ini menimbulkan beberapa masalah karena lahan tidak

bertambah. Kondisi ini menyebabkan wilayah-wilayah dan sumberdaya-

sumberdaya yang tadinya dianggap tidak terbatas dan tidak terpikir untuk diatur,

maka sekarang harus mulai dicarikan solusinya. Tragedy of the commons

merupakan fenomena penting yang mendasari konsep-konsep dalam ekologi

manusia dan studi lingkungan. Mayoritas isu lingkungan memiliki aspek-aspek

the commons di dalamnya. Inti dari semua teori sosial adalah perbedaan antara

manusia yang dimotivasi oleh kepentingannya yang sempit dan manusia yang

dimotivasi oleh pandangan terhadap orang lain atau untuk masyarakat secara

keseluruhan. Sebenarnya tragedy of the commons dapat dihindari melalui suatu

mekanisme yang dapat menyebabkan individu memandang barang-barang atau

sumberdaya sebagai milik bersama serta adanya kelembagaan yang mengaturnya.

Salah satu masalah utama yang terkait dengan penggunaan

sumberdaya common-pool recources (CPRs) adalah biaya untuk

membatasi/mencegah akses pengguna potensial. Penunggang gelap (free rider)

dapat menyebabkan munculnya biaya tinggi dari sumberdaya common-pool dan

barang-publik. Masalah penunggang gelap dapat terselesaikan apabila aturan-

aturan diadopsi dan diterima dalam mengatur kegiatan-kegiatan individu dan

biaya transaksi pengendalian (social cost) masih bisa lebih rendah dari manfaat

(social benefit).

Kelembagaan adalah aturan-aturan yang dibangun masyarakat untuk

menentukan “yang dilakukan dan yang tidak dilakukan” berkaitan dengan situasi

tertentu. Banyak tipe pengaturan kelembagaan telah dikembangkan untuk

mencoba mengurangi permasalahan penggunaan yang berlebihan dan penunggang

Page 6: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

11

gelap, misalnya distribusi konflik. Karakteristik khusus bagi common-pool

resources dan penggunanya mempengaruhi institusi dalam mengatur penggunaan

sumberdaya tersebut. Semakin seragam, sederhana dan semakin kecil skala

sumberdaya maka akan semakin mudah untuk merancang institusi dan untuk

mencegahnya dari over-use serta perusakan. Begitu pula sumberdaya yang rumit

dengan penggunaan interaktif dan externalitas negatif akan sulit untuk

dikendalikan. Karakteristik individu pengguna, seperti preferensi, aset, dan

karakteristik kelompok (keeratan, tingkat kepercayaan, homogenitas dan ukuran)

akan mempengaruhi institusi. Penggunaan common-pool resources dipengaruhi

juga oleh institusi yang mengatur dan keberadaan teknologi.

2.2.3. Jenis (Rejim) Penguasaan Sumberdaya Bersama

Rejim penguasaan/pemilikan (ownership) sumberdaya dapat

digolongkan atas empat kelompok rejim, yakni: kepemilikan privat, kepemilikan

oleh negara (state ownership), kepemilikan bersama/umum (common property)

dan kepemilikan tanpa aturan (open access). Bukti-bukti empirik menunjukkan

bahwa tidak ada fakta konsisten yang menunjukkan bahwa satu rejim merupakan

pilihan yang terbaik untuk pengelolaan semua tipe sumberdaya bersama. Ostrom

(1990) mengamati sejumlah sumberdaya bersama, common-pool recources

(CPRs) yang dikelola oleh masyarakat lokal dengan self management tertentu

justru menjadi lebih baik dan bertentangan dengan ramalan tragedy of the

commons menurut Garret Hardin, yang menyatakan pengelolaan oleh masyarakat

akan mendorong ke arah over used dari suatu sumberdaya bersama.

Permasalahan pengelolaan CPRs terus berkembang dan menghasilkan

tantangan-tantangan baru. Pemilihan bentuk/sistem kelembagaan rejim

pengelolaan CPRs yang terbaik sangat tergantung dari berbagai hal yang bersifat

kompleks, yaitu:

Page 7: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

12

(1) Faktor Karakteristik Sumberdaya

a) Skala sumberdaya berukuran kecil/lokal, memudahkan dimonitor dengan

tingkat akurasi yang cukup baik. Stock dan flow CPRs berskala besar

(skala regional dan global) membutuhkan teknik-teknik pengukuran yang

canggih (sophisticated)

b) Sumberdaya bersifat stabil dan mudah didelineasi

c) Eksternalitas negatif dari pemanfaatan sumberdaya relatif kecil

d) Tingkat pemanfaatan sumberdaya yang moderat

e) Dinamika sumberdaya relatif sudah dipahami dan teridentifikasi

(2) Faktor karakteristik pengguna (CPRs appropriators)

a) Pengguna-pengguna yang memiliki tingkat kepercayaan (trust) yang tinggi

akan cenderung memiliki kesepakatan-kesepakatan bersama tentang

pembatasan-pembatasan penggunaan sumberdaya.

b) Pengguna-pengguna yang memiliki keterkaitan dan resiprositas dalam

rentang waktu yang lama akan mendorong kerjasama dan membangun

social capital.

c) Heterogenitas pengguna terhadap realitas ekologis yang berlangsung

menyusun ulang kesepakatan-kesepakatan yang ada

(3) Disain Kelembagaan (Institutional design)

Elemen-elemen esensial untuk suksesnya kelembagaan pengelola CPRs

ditentukan oleh kemampuan dari CPRs appropriators untuk:

a) Berkomunikasi

b) Membuat peraturan-peraturan pengelolaan sumberdaya dengan baik

c) Menerapkan penalti bagi perilaku pelanggaran aturan

(4) Faktor luar

a) Politik

b) Teknologi

Dalam karakteristik pengguna hubungan antar individu, struktur, dan

lingkungan memberikan ruang tafsir sendiri, yaitu mengapa beberapa aktor dalam

ruang (dan struktur) yang sama, memiliki siasat-siasat yang berbeda dalam

beraktivitas di ruang tersebut. Mc Cay (2002) memandang CPRs sebagai suatu

Page 8: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

13

narasi besar, sehingga tidak memungkinkan menjelaskan perbedaan-perbedaan

yang sifatnya subjektif terkait dengan peristiwa (event), situasi dan konteks ketika

peristiwa tersebut terjadi. Untuk menghindari penjelasan yang sifatnya deduktif,

melalui narasi besar maka dibutuhkan penjelasan mengenai perubahan kebiasaan

terkait dengan peristiwa, situasi dan konteks tersebut. Penjelasan inilah yang

disebut sebagai penjelasan alternatif atas pertanyaan ‘jika peristiwa x tidak terjadi

apakah y terjadi’. Jika dikaitkan dengan kelembagaan CPRs, maka jawaban

tersebut akan memberikan ruang perbedaan dari teori CPRs yang dipandangnya

telah mapan.

Rezim CPRs merakit institutional design yang berpihak kepada

keberlanjutan fungsi sumberdaya karena pengaturan sumberdaya atau commons

pool resources oleh pemerintah sering mengalami kegagalan, disebabkan oleh : 1)

Pemerintah sering membuat kebijakan yang mengabaikan indegenous institution

seperti hak ulayat atau hak pribadi yang sering diambil alih oleh pemerintah dan

2) Sumberdaya yang dimiliki pemerintah tidak diimbangi oleh kemampuan serta

kapasitas pemerintah sebagai pengelola dan pemanfaat sumberdaya.

Performa yang baik bagi suatu institutional design dalam menangani

commons pool resources adalah : 1) Mengikutsertakan partisipasi resource users

dalam pembuatan kebijakan oleh pemerintah/ institusi, 2) Pemerintah membuat

aturan-aturan yang mudah untuk dimonitor/diawasi dalam pelaksanaannya, 3)

Membuat aturan-aturan yang enforceable, 4) Mengatur dan melaksanakan

mekanisme sanksi oleh pelanggar, 5) Ajudifikasi tersedia secara low cost, 6)

Institusi monitoring dengan aparat yang akuntable, 7) Institusi yang mengatur

commons pool resources dibuat dalam level-level berhierarki sesuai fungsinya dan

8) Adanya prosedur yang memungkinkan adanya revisi peraturan (Agrawal,

2002).

Ostrom (1990) menganalisa desain institusi dengn mengidentifikasi

delapan prinsip desain yang menjadi syarat untuk pengelolaan sumberdaya

bersama, yaitu:

1. Kejelasan batasan/definisi sumberdayanya

2. Kecocokan antara aturan dan keadaan lokasi lokal/setempat

Page 9: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

14

3. Pengaturan kolektif yang mengikutsertakan lebih banyak pengguna dalam

penyediaan sumberdaya dan proses pengambilan keputusan

4. Monitoring yang efektif

5. Penerapan sanksi terhadap pengguna yang tidak menghargai aturan

masyarakat

6. Mekanisme penyelesaian konflik yang murah dan memudahkan akses

7. Minimal mengenal hak untuk mengatur

8. Dalam kasus CPRs berskala besar/luas, pengaturan berlapis-lapis terbagi

atas kelompok-kelompok kecil/lokal

2.3. Komponen Pengelolaan

Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan

sumberdaya alam, yang berupa tanah, air, udara dan sumberdaya alam yang lain

yang termasuk ke dalam sumberdaya alam yang terbarukan maupun yang tidak

terbarukan. Namun demikian harus disadari bahwa sumberdaya alam yang

diperlukan memiliki keterbatasan dalam banyak hal, yaitu keterbatasan tentang

ketersediaan menurut kuantitas dan kualitasnya. Sumberdaya alam tertentu juga

memiliki keterbatasan menurut ruang dan waktu. Oleh sebab itu diperlukan

pengelolaan sumberdaya alam yang baik dan bijaksana.

Keberadaan sumberdaya alam sangat menentukan aktivitas manusia

sehari-hari. Kita tidak dapat hidup tanpa udara dan air. Namun sebaliknya ada

pula aktivitas manusia yang sangat mempengaruhi keberadaan sumberdaya dan

lingkungan di sekitarnya. Kerusakan sumberdaya alam banyak ditentukan oleh

aktivitas manusia. Banyak contoh kasus-kasus pencemaran dan kerusakan

lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti pencemaran udara,

pencemaran air, pencemaran tanah serta kerusakan hutan.

Pembangunan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat tidak dapat terhindarkan dari penggunaan sumberdaya

alam, namun eksploitasi sumberdaya alam yang tidak mengindahkan kemampuan

serta daya dukung lingkungan mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan.

Banyak faktor yang menyebabkan turunnya kualitas lingkungan dan kerusakan

Page 10: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

15

lingkungan yang dapat diidentifikasi dari pengamatan di lapangan, oleh sebab itu

dalam makalah ini dicoba diungkap secara umum sebagai gambaran potret

lingkungan hidup, khususnya dalam hubungannya dengan pengelolaan lingkungan

hidup di era otonomi daerah.

Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang

berprinsip memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan pemenuhan

kebutuhan generasi masa depan. Pembangunan berkelanjutan mengandung

makna jaminan mutu kehidupan manusia dan tidak melampaui kemampuan

ekosistem untuk mendukungnya. Dengan demikian, pengertian pembangunan

berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pada

saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam

memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.

Bagi Indonesia, mengingat bahwa kontribusi yang dapat diandalkan

dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi dan sumber devisa serta modal

pembangunan adalah dari sumberdaya alam, maka sumberdaya alam memiliki

peranan penting dalam perekonomian. Namun demikian, dilain pihak,

keberlanjutan atas ketersediaannya sering diabaikan. Demikian juga aturan

sebagai landasan pengelolaan suatu usaha dan atau kegiatan mendukung

pembangunan dari sektor ekonomi kurang diperhatikan. Hal ini berakibat pada

penurunan daya dukung lingkungan dan menipisnya ketersediaan sumberdaya

alam yang ada serta penurunan kualitas lingkungan hidup.

Kompleksitas dan ketidakpastian memberikan tantangan bagi para

pengambil keputusan dan penganalisa sumber daya. Untuk menghadapinya

diperlukan pendekatan pengelolaan yang adaptif. Pengelolaan adaptif merupakan

suatu pendekatan kebijakan sumber daya alam yang mengandung pemaksaaan

sederhana. Dengan mengaitkan tujuan kemanusiaan dan ilmu pengetahuan,

pengelolaan adaptif merupakan suatu jalan untuk mencapai keberlanjutan di masa

mendatang Lee (1993) dalam Mitchell (2000). Mengingat kompleksnya

pengelolaan lingkungan hidup serta permasalahan yang bersifat lintas sektor dan

wilayah, maka dalam pelaksanaan pembangunan diperlukan perencanaan dan

pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang sejalan dengan prinsip

pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan pendekatan manajemen, maka pada

Page 11: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

16

tataran operasional implementasi kelembagaan, khususnya untuk pengelolaan situ

dapat dipilah menjadi empat aspek yaitu: perencanaan, pemanfaatan,

pengendalian pemanfaatan dan pelestarian. Aspek perencanaan meliputi

penyusunan rencana induk pengembangan secara terintegrasi dan peraturan

penyelenggaraan yang berupa perencanaan teknis. Aspek pemanfaatan meliputi

implementasi perencanaan dengan mempertimbangkan kondisi teknis, kondisi

ekologi dan kondisi sosial ekonomi serta sumberdaya hayati yang terdapat di

dalam situ. Aspek pengamanan atau pengendalian pemanfaatan dilaksanakan

dengan tidak mengubah bentuk/fungsi kawasan dan tetap menjaga estetika serta

keasliannya. Aspek pelestarian dilakukan untuk menjamin keberlanjutan fungsi

dan manfaat situ.

2.4. Kelembagaan

Kelembagaan diartikan sebagai lembaga atau organisasi, yaitu bentuk

persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja bersama serta secara formal

terikat dalam rangka mencapai suatu tujuan yang ditentukan, dalam ikatan mana

terdapat seseorang/beberapa orang yang disebut atasan dan seseorang/

sekelompok orang disebut bawahan (Siagian, 1995). Menurut Pakpahan, A.

(1986) ada tiga unsur yang menetukan faktor kelembagaan yaitu (1) Batas

yurisdiksi, (2) Property right dan (3) Aturan representasi. Suatua kebijakan

berhasil atau idak tergantung kepada apakah kebijakan yang dimaksud

menghasilkan keragaan yang dinyatakan atau tidak dinyatakan.

Batas yurisdiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam

sumberdaya. Konsep batas yurisdiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaan atas

batas otortas yang dimiliki oleh suatu institusi, atau mengandung makna kedua-

duanya. Dalam istilah Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah misalnya

terkandung makna bagaimana batas yurisdiksi berperan dalam mengatur alokasi

sumberdaya. Konsep hak kepemilikan adalah mengatur hubungan antar anggota

masyarakat dalam menyatakan kepunyaannya terhadap sumber daya yang

merupakan kekuatan akses dari kontrol terdapat sumber daya. Dalam hal situ,

keterlibatan masyarakat setempat dalam perencanaan dan akomodasi kepentingan

Page 12: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

17

akan mengakibatkan peningkatan kesejahteraan sekaligus kelestarian sumber daya

dan lingkungan tetap terjaga.

Han van Dijk (1994) membedakan batas yurisdiksi ini dengan sistem

tenurial dan sistem teritorial. Kedua konsep tersebut mengandung pengertian

yang sama, yaitu berkenaan dengan adanya klaim hak penguasaan atas suatu

sumber daya. Tenure dapat dipahami sebagai penegasan mengenai suatu hak

khusus yang dimiliki oleh individu atau kelompok terhadap suatu objek yang jelas

batas-batasnya, misalnya terhadap sebidang tanah atau suatu jenis pohon tertentu.

Suatu klaim tenure mensyaratkan adanya faktor investasi dari manusia

kedalamnya, misalnya investasi tenaga, modal, dan kontrol terhadap proses-proses

alamiah melalui perubahan jenis tutupan vegetasi (misalnya dengan adanya

praktek budidaya tanaman tertentu di atas sebidang tanah).

Sementara itu batas-batas klaim dalam sistem penguasaan teritorial

biasanya lebih fleksibel secara sosial maupun geografis. Teritorial mencakup

klaim hak atau penguasaan terhadap suatu kawasan (teritori) tertentu, dimana

pengukuhan terhadap klaim tersebut didasarkan pada aspek-aspek ideologis,

moral, legal atau alasan-alasan politik; bukan mengacu pada aspek- aspek

ekologis tetapi lebih didasarkan kepada persepsi orang terhadap kondisi-kondisi

ekologis dan sosio-politik mereka. Klaim penguasaan berupa territoriality tidak

mensyaratkan faktor investasi manusia seperti halnya dalam tenure. Dengan kata

lain, suatu klaim penguasaan territoriality bisa sama dan sebangun dengan tenure,

tetapi bisa juga melampaui batas-batas tenure.

Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam

proses pengambilan keputusan. Aturan representasi adalah mengatur

permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses

pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap

performance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam

proses pengambilan keputusan. Partisipasi lebih banyak ditentukan oleh

keputusan politik organisasi. Aturan representasi menurut Mc Kean adalah suatu

cara agar orang dapat memanfaatkan sumberdaya secara berkelanjutan, tidak

sekadar ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, namun juga dapat

memilikinya atau menguasainya secara perdata. Masih dalam Mc Kean, dengan

Page 13: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

18

mengambil contoh desa-desa di Jepang, maka aturan representasi yang

menyangkut pengambilan keputusan atau otoritas juga terkait dengan organisasi

(dalam konteks ini organisasi tradisional) yang mengatur pemanfaatan

sumberdaya bersama, yang di dalamnya termasuk lumbung padi, pengairan,

dimana jika terdapat ancaman terhadap sumberdaya tersebut maka otoritas ini

yang kemudian mengubah aturan.

Ketiga unsur kelembagaan di atas harus dibuat secara sosial, artinya

masyarakat mengetahui fungsi kelembagaan agar tidak terjadi pemakluman atas

pelanggaran batas, kepemilikan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut.

Sedangkan menurut Soekanto, S. (1997), kelembagaan dapat diartikan dalam dua

makna, yaitu lembaga sebagai institusi (institution) dan pelembagaan

(institutionalization). Lembaga dalam pengertian institut merupakan organ-organ

yang berisikan konsep dan struktur dalam menjalankan fungsi masyarakat.

Sedangkan pelembagaan dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilewati oleh

suatu norma atau aturan untuk dikenal, diakui, dihargai dan kemudian ditaati oleh

masyarakat.

Lembaga tumbuh dari kebiasaan yang menjadi adat-istiadat, kemudian

berkembang menjadi tata kelakuan dan bertambah matang apabila telah diadakan

penjabaran terhadap aturan dan perbuatan. Untuk menjalankan aturan dan

perbuatan tersebut terbentuklah struktur yakni sarana atau struktur prasarana.

Dengan demikian lembaga merupakan konstelasi dari perangkat kaidah-kaidah

yang mengacu pada organisasi, baik abstrak maupun konkrit (Soekanto, 1997).

Lembaga yang mengacu pada organisasi abstrak adalah lembaga yang diakui dan

diterima oleh masyarakat namun tidak memiliki justifikasi hukum. Contohnya

adalah lembaga-lembaga adat. Sedangkan lembaga yang mengacu pada

organisasi yang kongkrit adalah lembaga yang diakui secara formal dan

mempunyai justifikasi hukum, contohnya lembaga-lembaga pemerintah.

Kelembagaan merupakan social form atau kelompok sosial yang

berfungsi ibarat organ-organ dalam tubuh masyarakat. Bertrand, sebagaimana

dikutip oleh Nasdian dan Utomo (2005) mengemukakan bahwa kelembagaan

sosial adalah tata abstraksi yang lebih tinggi dari group, organisasi dan sistem

lainnya. Menurut Sugiyanto (2002), kelembagaan dalam pendekatan bahasa

Page 14: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

19

merupakan terjemahan dari dua istilah, yaitu institute yang merupakan wujud

kongkrit dari lembaga yang juga berarti organisasi dan institution yang merupakan

wujud abstrak dari lembaga yang berarti pranata dan merupakan sekumpulan

norma-norma yang diwujudkan dalam hubungan antar manusia.

Koentjaraningrat (1981), menggunakan istilah pranata sosial untuk

menjelaskan kelembagaan sosial, yang merupakan suatu sistem tata kelakuan dan

hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-

kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan Soekanto

(1990), mendefinisikan kelembagaan sebagai himpunan norma-norma yang

diwujudkan dalam hubungan antar manusia. Sesungguhnya masih banyak lagi

pendapat ahli tentang kelembagaan, namun apa yang dimaksud pada umumnya

adalah sama. Kelembagaan merupakan sekumpulan norma yang stabil, mantap,

dan berpola serta berfungsi untuk tujuan tertentu di masyarakat. Kelembagaan

dapat ditemukan dalam sistem sosial tradisional dan modern atau dapat berbentuk

tradisional sekaligus modern dan berfungsi untuk mengefisienkan kehidupan

sosial.

Pada penelaahan lebih jauh, Syahyuti (2003) menunjukkan bahwa jika

masuk kedalamnya, maka terlihat ada dua aspek dalam kelembagaan, yaitu: 1)

Aspek kelembagaan nilai dan 2) Aspek keorganisasian struktur. Keduanya

merupakan komponen pokok dalam setiap kelompok sosial. Perhatian pokok

aspek kelembagaan adalah perilaku dengan kompleks faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya perilaku tersebut. Sekumpulan faktor-faktor tersebut

adalah berupa ide-ide, gagasan, nilai, norma dan peraturan. Sedangkan pokok

utama aspek keorganisasian adalah struktur, yaitu: menjelaskan tentang bagian-

bagian pekerjaan dalam aktivitas kelembagaan, bagaimana kaitan antar fungsi-

fungsi yang berbeda, penjenjangan antar bagian, konfigurasi otoritas,

kesalinghubungan antar otoritas serta berhubungan dengan lingkungan.

Masih dalam tulisan Syahyuti, dengan mempelajari kinerja suatu

kelembagaan berarti dapat dipahami seluruh aspek kelembagaan. Kinerja

kelembagaan dalam hal ini didefinisikan sebagai kemampuan suatu kelembagaan

untuk menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara efisien dan

menghasilkan keluaran yang sesuai dengan tujuannya serta relevan dengan

Page 15: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

20

kebutuhan pengguna. Sitorus (1998), mengemukakan ada dua hal untuk menilai

kinerja kelembagaan, yaitu produknya sendiri berupa jasa atau material pelayanan

dan faktor manajemen yang membuat produk tersebut dapat dihasilkan. Kedua

hal tersebut, pelayanan dan pengelolaan dalam kajian ini, terkait dengan tinjauan

penguatan kelembagaan, digunakan sebagai aspek dalam kategorisasi keragaan

kinerja kelembagaan. Djatiman (1997) menggolongkan institusi atau

kelembagaan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut:

1. Bureaucratic institution; adalah institusi yang datangnya dari pemerintah

dan tetap akan menjadi milik birokrasi, contohnya pemerintah desa;

2. Community Based Institution; adalah institusi yang dibentuk pemerintah

berdasarkan atas sumber daya masyarakat yang diharapkan menjadi milik

masyarakat, seperti koperasi;

3. Grass Root Institution; adalah institusi yang murni tumbuh dari

masyarakat dan merupakan milik masyarakat, contohnya arisan.

Kata kelembagaan memiliki dua jenis pengertian, yaitu kelembagaan

sebagai aturan main dan kelembagaan sebagai organisasi. Sebagai aturan main,

Schmid (1972) dalam Pakpahan (1990) mengartikan kelembagaan sebagai

perangkat yang terdiri dari hubungan-hubungan yang teratur antara orang-orang

yang mendefinisikan hak-hak, keterbukaan terhadap hak orang lain, hak-hak

khusus, serta tanggungjawab. Oleh karena itu kelembagaan merupakan sistem

organisasi dan kontrol masyarakat terhadap sumber daya yang memiliki kontribusi

sangat besar dalam memecahkan masalah aktual yang dihadapi masyarakat,

seperti pengaturan penggunaan/alokasi sumberdaya yang efisien, merata dan

berkelanjutan.

Sebagai organisasi, kelembagaan diartikan sebagai wujud kongkrit

yang membungkus aturan main tersebut, seperti pemerintah, bank, koperasi, dan

sebagainya. Institusi, menurut Douglas North dalam Rachbini (2006) merupakan

aturan main di dalam masyarakat atau lebih formal, dimana manusia membagi

keterbatasan untuk membentuk interaksi antar manusia. Institusi bisa berwujud

formal dan bisa berwujud informal. Institusi formal biasanya ada dalam

masyarakat yang lebih modern dan aturan main di dalamnya dituliskan dalam

kesepakatan formal, baik dalam bentuk undang-undang, hukum, aturan organisasi,

Page 16: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

21

dan sebagainya. Sedangkan aturan yang informal tidak tertulis, tetapi hidup dan

dipraktikkan oleh masyarakat karena telah menjadi kesepakatan kolektif dalam

perjalanan hidup serta sejarah masyarakat itu sendiri.

Institusi juga bisa dengan sengaja diciptakan dan bisa juga tidak

sengaja hadir karena secara spontan masyarakat memerlukannya. Institusi yang

sengaja diciptakan hadir atau ada karena adanya institusi-institusi formal yang

sengaja dibangun untuk menciptakan aturan main agar kehidupan masyarakat

menjadi lebih berharga dan lebih baik. Sedangkan institusi yang muncul spontan

terjadi karena adanya kebutuhan mendesak sehingga masyarakat tanpa rekayasa

bersama menghadirkannya untuk kebutuhan bersama pula.

Menurut Aoki (2001) dalam Rachbini (2006), institusi memiliki tiga

unsur penting, yang saling terkait satu sama lain.

1. Aturan main (rules of the game)

2. Pelaku (players of the game)

3. Strategi keseimbangan dalam permainan (equilibrium strategies of the

game)

Aturan main merupakan unsur paling penting dalam institusi karena

semua ada dalam kerangka kesepakatan bersama, dimana tindakan dan perilaku

harus sesuai dengan aturan main tersebut. Unsur kedua adalah pelaku yang

terlibat dan berpartisipasi dalam kerangka institusi tersebut, baik dalam

masyarakat maupun organisasi. Yang tidak kalah pentingnya adalah strategi

keseimbangan dalam permainan karena institusi datang untuk mengatur

kebersamaan dalam keseimbangan yang teratur.

Saat ini dari aspek pengelolaan situ maka kelembagaan yang ada

antara lain dapat dilihat pada Tabel berikut ini

Tabel 4. Kelembagaan dalam Aspek Pengelolaan Situ

Tingkat Nama Lembaga Pusat • Kementrian Lingkungan Hidup

• Kementrian Dalam Negeri, Ditjen Bangda

• Bappenas

Page 17: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

22

Daerah • BPLHD

• Bappeda

• Dinas PU

• Dinas Pariwisata dan Kebudayaan

• Dinas Kelautan dan Pertanian

• Walikota

2.5. Peraturan Pengelolaan Situ

Hukum lingkungan Indonesia telah mulai berkembang sejak zaman

penjajahan Pemerintahan Hindia Belanda. Hukum pada masa itu lebih berorientasi

pada pemakaian (used-oritented law). Sedangkan hukum Indonesia berubah

menjadi tidak hanya mengenai pemakaian tetapi juga perlindungan (environment-

oriented law). Perubahan ini tidak terlepas dari lahirnya hukum internasional

yang ditandai dengan Deklarasi Stockholm 1972. Perkembangan hukum

lingkungan Indonesia sangat dipengaruhi oleh hukum lingkungan internasional.

Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan

kerusakan dan pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut

dikembangkannya berbagai perangkat kebijaksanaan dan program serta kegiatan

yang didukung oleh sistem pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem

tersebut mencakup kemantapan kelembagaan, sumberdaya manusia dan kemitraan

lingkungan, disamping juga perangkat hukum dan perundangan, informasi serta

pendanaan. Sifat keterkaitan (interdependensi) dan keseluruhan (holistik) dari

esensi lingkungan telah membawa konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan

termasuk sistem pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, tetapi terintegrasikan

dan menjadi roh dan bersenyawa dengan seluruh pelaksanaan pembangunan

sektor dan daerah.

Dalam pelaksanaan pembangunan di era otonomi daerah, pengelolaan

situ mengacu pada beberapa perundangan dan peraturan yang ada yang secara

rinci dapat dilihat pada Tabel berikut ini

Page 18: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

23

Tabel 5. Peraturan Pengelolaan Situ

Tingkat Nama perundangan dan peraturan Undang-Undang • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

• Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah

• Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang

Pengelolaan Sumber Daya Air

• Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang

Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota

Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan RI

Peraturan Pemerintah • Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007

tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara

Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Propinsi

dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,

• Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008

tentang Pengelolaan Sumber Daya Air

Peraturan Menteri • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

06/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penggunaan

Sumber Daya Air

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup, lebih banyak menekankan pada pemeliharaan

lingkungan hidup dan pencegahan pencemaran pada sumber daya alam termasuk

air. Yang dimaksud dengan “pemeliharaan lingkungan hidup” adalah upaya yang

dilakukan untuk menjaga pelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah

terjadinya penurunan atau kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh

perbuatan manusia. Konservasi sumber daya alam meliputi, antara lain,

konservasi sumber daya air, ekosistem hutan, ekosistem pesisir dan laut, energi,

ekosistem lahan gambut, dan ekosistem karst. Penegakan hukum pidana dalam

Undang-Undang ini memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping

Page 19: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

24

maksimum, Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas

ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hokum pidana

sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap

tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak

pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air

limbah, emisi, dan gangguan.

Sejalan dengan lajunya pembangunan nasional yang dilaksanakan,

permasalahan situ yang saat ini sering dihadapi adalah kerusakan lingkungan.

Beberapa situ di perkotaan tercemar oleh limbah industri dan rumah tangga.

Masalah pencemaran ini disebabkan oleh masih rendahnya kesadaran para pelaku

dunia usaha ataupun kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat dengan

kualitas lingkungan yang baik. Dengan kata lain, permasalahan lingkungan tidak

semakin ringan namun justru akan semakin berat, apalagi mengingat sumberdaya

alam dimanfaatkan untuk melaksanakan pembangunan yang bertujuan memenuhi

dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan UU Lingkungan Hidup

maka kualitas situ menjadi tanggung jawab BPLHD.

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah

Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dikatakan pada Pasal 2 ayat (4)

dan (5) bahwa:

• Ayat (4): Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan

pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah dan dengan

pemerintahan daerah lainnya.

• Ayat (5): Hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi

hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber

daya alam, dan sumber daya lainnya.

Kemudian dalam Pasal 17 ayat (1) dikatakan bahwa hubungan dalam

bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antara pemerintah

dan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat

(5) meliputi:

Page 20: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

25

a. Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian

dampak, budidaya, dan pelestarian;

b. Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya;

dan

c. Penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.

Sedangkan dalam Pasal 17 ayat (2) dikatakan bahwa hubungan dalam

bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antar

pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5)

meliputi:

a. Pelaksanaan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya yang

menjadi kewenangan daerah;

b. Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumberdaya alam dan

sumberdaya lainnya antar pemerintahan daerah; dan

c. Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan

sumberdaya lainnya.

Konsekuensi pelaksanaan UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 mengenai pengelolaan lingkungan

hidup titik beratnya ada di daerah, walaupun pengelolaan sumberdaya air yang

mencakup lintas sektoral dan lintas wilayah memerlukan keterpaduan untuk

menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air dan sumber air. Pengelolaan

sumberdaya air perlu dilakukan melalui koordinasi dengan mengintegrasikan

kepentingan berbagai sektor, wilayah dan para pemilik kepentingan dalam bidang

sumberdaya air.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah maka seharusnya sebagian besar kewenangan pengelolaaan

lingkungan termasuk situ dan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan menjadi

kewenangan Pemerintah Daerah. Kementrian PU membentuk Balai Besar

Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) untuk melakukan pengelolaan

sungai Ciliwung Cisadane yang sebagian besar meliputi wilayah Propinsi DKI

Jakarta. BBWSCC mempunyai tugas pokok dan program pengelolaan

Page 21: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

26

sumberdaya air di sepanjang aliran Sungai Ciliwung Cisadane yang mencakup

wilayah Jabodetabek. Namun faktanya terjadi tumpang tindih kewenangan

regulasi beberapa situ di Wilayah DKI Jakarta yang bersinggungan dengan

wilayah aliran Sungai Ciliwung Cisadane, sehingga menyebabkan pengelolaan

situ tidak maksimal.

Jakarta sebagai ibukota negara secara khusus diatur melalui Undang-

Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dimana

Provinsi DKI Jakarta diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang pemerintahan daerah dan pemilihan kepala daerah, kecuali hal-

hal yang diatur tersendiri dalam Undang-Undang ini. Dalam Pasal 26 dikatakan

salah satu kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai daerah otonom

mencakup seluruh urusan pemerintahan penetapan dan pelaksanaan kebijakan

dalam bidang tata ruang, sumber daya alam, dan lingkungan hidup.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang

Pengelolaan Sumber Daya Air dan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air dan

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 06/PRT/M/2011 tentang Pedoman

Penggunaan Sumber Daya Air maka pengelolaan sumberdaya air mencakup

kepentingan lintas sektoral dan wilayah yang memerlukan keterpaduan tindak

untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air dan sumber air. Pengelolaan

sumberdaya air dilakukan melalui koordinasi dengan mengintegrasikan

kepentingan berbagai sektor, wilayah dan para pemilik kepentingan dalam bidang

sumberdaya air. Koordinasi dilakukan oleh wadah yang bernama Dewan Sumber

Daya Air atau dengan nama lain, misalnya Panitia Tata Pengaturan Air Provinsi.

Wadah tersebut memiliki tugas pokok menyusun dan merumuskan kebijakan serta

strategi pengelolaan sumber daya air yang beranggotakan unsur pemerintah dan

non pemerintah dalam jumlah seimbang atas dasar prinsip keterwakilan.

Dewan Sumber Daya Air merupakan suatu wadah koordinasi dengan

mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah dan para pemilik

kepentingan dalam bidang sumber daya air dalam Pengelolaan SDA yang

mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas wilayah yang memerlukan

Page 22: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

27

keterpaduan tindak untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air serta

sumber air, baik di tingkat nasional, propinsi maupun kabupaten/kota. Fungsi

Dewan Sumber Daya Air Nasional adalah memberikan pertimbangan kepada

presiden dalam menetapkan wilayah sungai dan cekungan air tanah atas dasar

masukan dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Kebijakan pengelolaan

sistem informasi hidrologi, hidrometerologi dan hidrogeologi ditetapkan oleh

pemerintah berdasarkan usul Dewan Sumber Daya Air Nasional.

Dewan Sumber Daya Air Nasional untuk tingkat pusat, wilayah sungai

lintas propinsi dan wilayah sungai strategis nasional dibentuk oleh pemerintah

pusat. Dewan Sumber Daya Air tingkat Propinsi dan atau pada wilayah sungai

lintas Kabupaten/Kota dibentuk oleh pemerintah propinsi. Dewan Sumber Daya

Air tingkat Kabupaten/Kota dan atau pada wilayah sungai dalam satu

kabupaten/kota dibentuk oleh pemerintah kabupaten/kota. Hubungan kerja antar

tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota dan wilayah sungai bersifat konsultatif

dan koordinatif. Sebagai tindak lanjut dari UU Sumber Daya Air maka telah

dibentuk Dewan Sumber Daya Air di Wilayah Provinsi DKI Jakarta pada tahun

2011.

Dengan kondisi tersebut maka pengelolaan situ perlu ditingkatkan

kualitasnya melalui dukungan penegakan hukum lingkungan yang adil dan tegas,

sumberdaya manusia yang berkualitas, perluasan penerapan etika lingkungan serta

asimilasi sosial budaya yang semakin mantap. Perlu segera didorong terjadinya

perubahan cara pandang terhadap lingkungan hidup yang berwawasan etika

lingkungan melalui internalisasi kedalam kegiatan/proses produksi dan konsumsi

dan menanamkan nilai serta etika lingkungan dalam kehidupan sehari-hari

termasuk proses pembelajaran sosial serta pendidikan formal pada semua

tingkatan.

Sisi lemah dalam pelaksanaan peraturan perundangan lingkungan

hidup yang menonjol adalah penegakan hukum. Dengan semakin pesatnya

pembangunan nasional yang dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat, ada beberapa kelemahan yang perlu mendapat perhatian, antara lain

adalah tidak diimbangi ketaatan aturan oleh pelaku pembangunan atau sering

mengabaikan landasan aturan yang seharusnya sebagai pegangan untuk menjadi

Page 23: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

28

pedoman dalam melaksanakan serta mengelola usaha dan atau kegiatannya,

khususnya menyangkut bidang sosial dan lingkungan hidup, sehingga

menimbulkan permasalahan lingkungan. Peraturan perundangan yang berkaitan

dengan situ cukup banyak tetapi lemah dalam implementasinya. Ada beberapa

pihak yang justru tidak melaksanakan peraturan perundangan dengan baik, bahkan

mencari kelemahan dari peraturan perundangan tersebut untuk dimanfaatkan guna

mencapai tujuannya sendiri. Hal ini disebabkan lemahnya penegakan hukum

lingkungan khususnya dalam hal pengawasan.

2.5. Hasil Penelitian Yang Berkaitan

Rosnila (2004) melakukan penelitian mengenai perubahan penggunaan

lahan dan pengaruhnya terhadap keberadaan situ di Depok. Pergeseran fungsi

kota ke daerah pinggiran telah mempercepat terjadinya perubahan penggunaan

lahan yang mengarah pada perkotaan. Kondisi ini berdampak pada penurunan

luas dan kualitas situ. Luas pada tujuh situ yang diteliti, selama kurun waktu

1991–2001 memiliki kecenderungan menurun. Kondisi umum pada ketujuh situ

telah mengalami pendangkalan akibat sedimentasi, banyaknya gulma yang

tumbuh, pengurugan dan alih fungsi lahan di areal situ. Perubahan penggunaan

lahan di DTA situ menunjukkan terjadinya penurunan luas vegetasi campuran

yang diikuti tegalan dan lahan sawah. Sebaliknya permukiman dan lahan terlantar

justru mengalami penambahan luas. Faktor yang berpengaruh terhadap perubahan

luas situ adalah jarak desa, dimana situ berlokasi ke ibukota kabupaten/kota yang

membawahi, laju perubahan luas permukiman, laju perubahan luas lahan sawah,

laju perubahan luas lahan terlantar dan jarak desa dimana situ berlokasi ke ibukota

kabupaten/kota yang terdekat. Hasil analisis menunjukkan pendapat masyarakat

terhadap pembuangan limbah industri dan limbah domestik ke dalam situ,

kegiatan perikanan dan kegiatan rekreasi memiliki perbedaan yang nyata antara

situ yang relatif alami dengan situ yang terpengaruh oleh aktivitas manusia.

Dewasa ini, disadari bahwa faktor lain yang turut menentukan

kelestarian sumberdaya alam adalah faktor kelembagaan. Kelembagaan dalam

pengelolaan sumberdaya alam harus dapat berfungsi dengan baik. Menurut

Page 24: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

29

Sinurat (2002), besarnya potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah, akan

mengakibatkan banyak lembaga ataupun instansi yang merasa berkepentingan

memanfaatkan sumberdaya di wilayah tersebut. Hal ini dapat mengakibatkan

terjadinya permasalahan yang menimbulkan konflik dalam pengelolaan

sumberdaya dikawasan tersebut.

Konflik tersebut terjadi akibat tumpang tindih pemanfaatan ruang antar

stakeholder dan tumpang tindih fungsi serta kewenangan antar lembaga/instansi

pemerintah, baik secara vertikal maupun horisontal. Akibatnya pengelolaan

sumberdaya tidak optimal dan berkelanjutan (unsustainable development). Upaya

dan strategi yang perlu diterapkan dalam pengelolaan wilayah yaitu: (a) mampu

mengakomodasi mekanisme koordinasi kegiatan antar sektor dalam pengelolaan,

pengembangan dan konservasi kekayaan alam di wilayah pesisir; (b) mampu

mengkoordinasikan kegiatan penelitian dan memanfaatkan hasil-hasilnya

termasuk pengelolaan data dan informasi mengenai wilayah pesisir serta

mekanisme diseminasinya dan (c) mampu mengembangkan peraturan-peraturan

dalam upaya pelaksanaan dan penegakan hukum secara efektif dan efisien.

Pendekatan pengelolaan pesisir secara terpadu dengan melibatkan semua

stakeholder merupakan implementasi dari kebijakan dalam mengatasi konflik

yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya wilayah.

Perlunya perbaikan dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya

disebabkan oleh banyaknya sumberdaya alam yang mengalami degradasi atau

kerusakan. Hal ini disebabkan oleh kegagalan pengelola dalam menerapkan

kebijakan di lapangan (Rustamaji, 2002). Kajiannya tentang faktor pendorong

dan penghambat proses pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan dalam rangka

implementasi otonomi daerah Kabupaten Kutai Barat Propinsi Kalimantan Timur.

Menurutnya pembaharuan kebijakan dan kinerja pengelolaan hutan dapat tercapai

apabila faktor pendorong lebih besar dari pada faktor penghambatnya dan

kebijakan dapat dilaksanakan apabila rumusan operasionalnya sesuai dengan

harapan rasional para pihak terkait atas kinerja institusi pengelolaan hutan.

Berdasarkan pemahaman konsep institusi serta peran institusi, maka faktor-faktor

pembaharuan tersebut ditetapkan sebagai unit analisis dengan tujuan memahami

peran membangun kapasitas yang diperlukan bagi lembaga pemerintah, swasta

Page 25: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

30

maupun masyarakat dalam kondisi tertentu untuk mencapai kinerja yang

diharapkan.

Masduki (2005) melakukan penelitian tentang analisis konflik

penggunaan lahan dalam pengembangan wilayah Perkampungan Budaya Betawi

Situ Babakan. Perencanaan pengembangan wilayah perkampungan Situ Babakan

melibatkan banyak pihak (stakeholders) termasuk instansi lingkup Pemerintah

DKI Jakarta. Potensi konfllik yang terjadi disebabkan oleh benturan kepentingan

dalam penggunaan lahan sebagai areal permukiman, ruang terbuka hijau dan lahan

usaha. Dalam penelitian ini dikaji potensi konflik kepentingan antara pengguna

lahan dan faktor-faktor pendorongnya serta memformulasi strategi resolusi yang

dapat disepakati oleh semua pihak. Perubahan penggunaan lahan dianalisis

dengan menggunakan studi peta dan analisis deskriptif. Aksesibilitas kepada jalan

utama yaitu Jalan Mohamad Kahfi II merupakan faktor pendorong utama terhadap

perubahan ruang terbuka hijau menjadi lahan terbangun. Sebagian besar pelaku

usaha yang berada di dalam areal wisata Situ Babakan tidak keberatan untuk

ditertibkan, sepanjang diatur dalam peraturan yang disepakati dan disediakan

lahan untuk melakukan kegiatan usaha secara resmi. Diberlakukannya sistem

struktur insentif dan disinsentif sebagai langkah untuk mengendalikan laju

perubahan lahan dinilai dapat menjaga fungsi perkampungan ini sebagai wilayah

konservasi budaya. Penerapan sistem ini juga dapat mendorong partisipasi

masyarakat pelaku usaha untuk meningkatkan kegiatan ekonomi di dalam wilayah

perkampungan.

Perbedaan tesis ini dengan hasil penelitian yang lain adalah cakupan

situ yang menjadi pembahasan pada awalnya bersifat umum sehingga diharapkan

dapat memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai keragaman

permasalahan yang dihadapi terutama berkaitan dengan situ-situ yang ada di

wilayah perkotaan. Kemudian juga dibahas aspek common property, aspek

kelembagan dan aspek kebijakan. Penelitian ini juga diharapkan dapat

memberikan informasi dan masukan bagi pemerintah untuk meninjau kembali

kebijakan pengelolaan situ yang meliputi penataan dan pelestarian situ sehingga

keragaan situ dapat optimal. Selama ini berbagai penelitian sebagian besar

khususnya yang berkaitan dengan situ dilakukan berdasarkan pendekatan non

Page 26: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56873/BAB II... · yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya

31

kelembagaan sehingga perlu dilengkapi dengan kajian dengan pendekatan

kelelembagaan. Secara ringkas hasil penelitian sebelumnya disajikan pada tabel di

bawah ini.

Tabel 6. Hasil Penelitian Sebelumnya

Peneliti Judul Tesis Topik Penelitian Rosnila (2004)

Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya terhadap Keberadaan Situ

Pengaruh aktivitas manusia dan kondisi lokasi situ terhadap kondisi situ

Sinurat (2002)

Analisis Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Timur Rawa Sragi Kabupaten Lampung Selatan

Analisis konflik kelembagaan bagi SDA potensial dan merumuskan alternatif kebijakan

Rustamadji (2002)

Kajian Proses Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Hutan dalam Rangka Otonomi Daerah

Faktor pendorong dan penghambat proses pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan dalam rangka implementasi otonomi daerah

Masduki (2005)

Analisis Konflik Penggunaan Lahan dalam Pengembangan Wilayah Perkampungan Budaya Betawi Situ Babakan

Potensi konflik kepentingan antara pengguna lahan dan faktor-faktor pendorongnya serta memformulasi strategi resolusi yang dapat disepakati oleh para pihak

Mustafa Dinamika dan Model Institusi Pengelolaan Kawasan yang Berkelanjutan: Studi Kasus pada Pengelolaan Kawasan Konservasi Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur

Konflik pengelolaan aset alami untuk menuju pada pengelolaan berkelanjutan