II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Gracilaria verrucosa · Gracilaria sp. Di Indonesia jenis...

12
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Gracilaria verrucosa Rumput laut Gracilaria verrucosa adalah rumput laut yang termasuk pada kelas alga merah (Rhodophyta) dengan nama daerah yang bermacam-macam, seperti: sango-sango, rambu kasang, janggut dayung, dongi-dongi, bulung embulung, agar-agar karang, agar-agar jahe, bulung sangu dan lain-lain. Rumput laut marga Gracilaria banyak jenisnya, masing-masing memiliki sifat-sifat morfologi dan anatomi yang berbeda serta dengan nama ilmiah yang berbeda pula, seperti: Gracilaria confervoides, Gracilaria gigas, Gracilaria verucosa, Gracilaria lichenoides, Gracilaria crasa, Gracilaria blodgettii, Gracilaria arcuata, Gracilaria taenioides, Gracilaria eucheumoides, dan lain sebagainya (Anggadiredja 2006). Rumput laut Gracilaria umumnya mengandung agar, atau disebut juga agarofit sebagai hasil metabolisme primernya. Agar-agar diperoleh dengan melakukan ekstraksi rumput laut pada suasana asam atau basa serta diproduksi dan dipasarkan dalam berbagai bentuk, misalnya, agar-agar tepung, agar-agar kertas dan agar-agar batangan dan diolah menjadi berbagai bentuk penganan (kue), puding, jelly, dan dijadikan bahan tambahan dalam industri farmasi. Kandungan serat agar-agar relatif tinggi, sehingga agar-agar dikonsumsi pula sebagai makanan diet. Melalui proses tertentu agar-agar diproduksi juga untuk kegunaan di laboratorium sebagai media kultur bakteri atau kultur jaringan (Angkasa et al. 2011). Menurut Dawson (1946), yang dikutip oleh Soegiarto et al. (1978), rumput laut jenis gracilaria memiliki sistematika klasifikasi sebagai berikut : Divisi : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales Famili : Gracilariaceae Genus : Gracilaria Spesies : Gracilaria sp. Di Indonesia jenis rumput laut penghasil agr-agar yang telah dimanfaatkan dan memiliki prospek cukup baik adalah Gracilaria sp, Gelidiella sp, dan Gelidium sp (Sedijoprapto 1997). Genus Gracilaria paling banyak digunakan karena selain jenis tersebut murah harganya dan mudah diperoleh. Keunggulan Gracilaria lainnya adalah warnanya yang putih sedangkan Gelidium berwarna cokelat kusam. Menurut Ahda et al. (2005), keistimewaan rumput laut Gracilaria adalah dapat dibudidayakan di tambak. Pemanenan dilakukan jika rumput laut tersebut sudah cukup umur yaitu setelah 90 hari dan panen berikutnya setelah rumput laut berumur 60 hari. Gambar 1 memperlihatkkan bentuk rumput laut jenis Gracilaria verrucosa yang baru dipanen di Desa Langensari, Kabupaten Subang.

Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Gracilaria verrucosa · Gracilaria sp. Di Indonesia jenis...

Page 1: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Gracilaria verrucosa · Gracilaria sp. Di Indonesia jenis rumput laut penghasil agr-agar yang telah dimanfaatkan dan memiliki prospek cukup baik

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rumput Laut Gracilaria verrucosa

Rumput laut Gracilaria verrucosa adalah rumput laut yang termasuk pada kelas alga merah (Rhodophyta) dengan nama daerah yang bermacam-macam, seperti: sango-sango, rambu kasang, janggut dayung, dongi-dongi, bulung embulung, agar-agar karang, agar-agar jahe, bulung sangu dan lain-lain. Rumput laut marga Gracilaria banyak jenisnya, masing-masing memiliki sifat-sifat morfologi dan anatomi yang berbeda serta dengan nama ilmiah yang berbeda pula, seperti: Gracilaria confervoides, Gracilaria gigas, Gracilaria verucosa, Gracilaria lichenoides, Gracilaria crasa, Gracilaria blodgettii, Gracilaria arcuata, Gracilaria taenioides, Gracilaria eucheumoides, dan lain sebagainya (Anggadiredja 2006).

Rumput laut Gracilaria umumnya mengandung agar, atau disebut juga agarofit sebagai hasil metabolisme primernya. Agar-agar diperoleh dengan melakukan ekstraksi rumput laut pada suasana asam atau basa serta diproduksi dan dipasarkan dalam berbagai bentuk, misalnya, agar-agar tepung, agar-agar kertas dan agar-agar batangan dan diolah menjadi berbagai bentuk penganan (kue), puding, jelly, dan dijadikan bahan tambahan dalam industri farmasi. Kandungan serat agar-agar relatif tinggi, sehingga agar-agar dikonsumsi pula sebagai makanan diet. Melalui proses tertentu agar-agar diproduksi juga untuk kegunaan di laboratorium sebagai media kultur bakteri atau kultur jaringan (Angkasa et al. 2011).

Menurut Dawson (1946), yang dikutip oleh Soegiarto et al. (1978), rumput laut jenis gracilaria memiliki sistematika klasifikasi sebagai berikut :

Divisi : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales Famili : Gracilariaceae Genus : Gracilaria Spesies : Gracilaria sp.

Di Indonesia jenis rumput laut penghasil agr-agar yang telah dimanfaatkan dan memiliki prospek cukup baik adalah Gracilaria sp, Gelidiella sp, dan Gelidium sp (Sedijoprapto 1997). Genus Gracilaria paling banyak digunakan karena selain jenis tersebut murah harganya dan mudah diperoleh. Keunggulan Gracilaria lainnya adalah warnanya yang putih sedangkan Gelidium berwarna cokelat kusam. Menurut Ahda et al. (2005), keistimewaan rumput laut Gracilaria adalah dapat dibudidayakan di tambak. Pemanenan dilakukan jika rumput laut tersebut sudah cukup umur yaitu setelah 90 hari dan panen berikutnya setelah rumput laut berumur 60 hari. Gambar 1 memperlihatkkan bentuk rumput laut jenis Gracilaria verrucosa yang baru dipanen di Desa Langensari, Kabupaten Subang.

4

Page 2: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Gracilaria verrucosa · Gracilaria sp. Di Indonesia jenis rumput laut penghasil agr-agar yang telah dimanfaatkan dan memiliki prospek cukup baik

Gambar 1. Rumput Laut jenis Gracilaria verrucosa (Al-Bahri 2012)

Ciri-ciri umum rumput laut marga Gracilaria adalah bentuk thallus yang memipih atau silindris, membentuk rumpun dengan tipe percabangan yang tidak teratur, thallus menyempit pada pangkal percabangan. Sifat substansi thallus Gracilaria seperti tulang rawan (cartilagenous). Ujung-ujung thallus pada umumnya meruncing, permukaannya halus atau berbintil-bintil. Garis tengah thallus berkisar antara 0,5-4,0 mm. Panjang dari Gracilaria dapat mencapai 30 cm atau lebih. Ciri khusus secara morfologis memiliki duri yang tumbuh berderet melingkari thallus dengan interval yang bervariasi sehingga membentuk ruas-ruas thallus di antara lingkaran duri (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 1990).

Goodwin (1974) mengungkapkan bahwa warna merah pada rumput laut kelas Rhodophyceae disebabkan oleh adanya senyawa biliprotein dalam bentuk fikosianin dan fikoeritrin. Selanjutnya kadi dan Atmadja (1988) mengemukakan bahwa G. verrucosa mempunyai warna hijau kemerahan. Warna pada rumput laut ini disebabkan oleh klorofil, karoten, dan biliprotein.

Seperti pada alga kelas lainnya, morfologi rumput laut Gracilaria tidak memiliki perbedaan antara akar, batang dan daun. Tanaman ini berbentuk batang yang disebut dengan thallus dengan berbagai bentuk percabangannya. Secara alami Gracilaria hidup dengan melekatkan thallusnya pada substrat yang berbentuk pasir, lumpur, karang, kulit kerang, karang mati, batu maupun kayu, pada kedalaman sampai sekitar 10 sampai 15 meter di bawah permukaan air yang mengandung garam laut pada konsentrasi sekitar 12-30 ppt. Sifat-sifat oseanografi, seperti sifat kimia-fisika air dan substrat, macamnya substrat serta dinamika atau pergerakan air, merupakan faktor-faktor yang sangat menentukan pertumbuhan Gracilaria (Angkasa et al. 2011).

Gracilaria membutuhkan substrat sebagai tempat menempel agar tetap pada tempatnya dan membutuhkan sinar matahari untuk proses fotosintesisis. Gracilaria umumnya tumbuh lebih baik di tempat yang dangkal daripada di tempat dalam. Substrat tempat melekat dapat berupa batu, pasir, lumpur, dan lain-lain. Kebanyakan lebih menyukai intensitas cahaya matahari yang tinggi. Suhu merupakan faktor penting untuk pembiakan dan pertumbuhan. Suhu optimum untuk pertumbuhan adalah antara 20-28oC dan tumbuh pada kisaran kadar garam yang tinggi. Dalam keadaan basah, dapat bertahan hidup di atas permukaan air (exposed) selama satu hari (Aslan 1991).

Persentase kandungan agar-agar pada Gracilaria berbeda-beda menurut jenis dan lokasi pertumbuhannya, serta tergantung pada umur, bibit, lingkungan, metode budidaya, panen dan cara penanganan primer, sehingga mempunyai tingkat mutu dan harga yang berbeda-beda pula. Umumnya kandungan agar-agar Gracilaria berkisar antara 16-45% (Kadi dan Atmadja 1988).

Komposisi kimia rumput laut bervariasi tergantung pada jenis spesies, tempat tumbuh dan musim (Winarno 1990). Beberapa komponen-komponen utama yang terdapat dalam makroalga laut adalah karbohidrat (gula atau vegetable gum), protein, lemak, dan abu yang sebagian besar merupakan senyawa-senyawa garam natrium dan kalium. Rumput laut juga mengandung vitamin, seperti vitamin

5

Page 3: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Gracilaria verrucosa · Gracilaria sp. Di Indonesia jenis rumput laut penghasil agr-agar yang telah dimanfaatkan dan memiliki prospek cukup baik

6

A (β-karoten), B1, B2, B6, B12, dan vitamin C serta mengandung mineral seperti kalium, kalsium, fosfor, natrium, zat besi, dan iodium (Anggadiredja et al. 2006). Komposisi kimia dari rumput laut kering dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan komposisi kimia Gracilaria dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Kandungan kimia rumput laut kering Parameter Kandungan (per 100 g bahan)

Karbohidrat (g) 83,5 Protein (g) 1,3 Lemak (g) 1,2 Serat (g) 2,7 Abu (g) 4,0 Kalsium (mg) 756,0 Besi (mg) 7,8 Fosfor (mg) 18,0 Natrium (mg) 115,0 Kalium (mg) 107,0 Thiamin (mg) 0,01 Riboflavin (mg) 0,22 Niasin (mg) 0,20

Sumber : FAO (1972) dalam Fitri (1992)

Tabel 2. Komposisi kimia Gracilaria sp. Parameter Kandungan (%)

Gracilaria spa Gracilaria spb

Kadar air 19,01 14,55-24,09 Protein 4,17c 3,05-4,05 Karbohidrat 42,49 - Lemak 9,54 0,11-0,37 Serat kasar 10,51 - Abu 14,18 7,64-13,75 Agar-agar - 74,36-97,55 Sumber : aSoegiarto et al. (1978), bSusanto et al. (1978), c6,25 x total N

2.2 Agar-Agar

Agar-agar adalah produk ekstraksi rumput laut merah (agarophyte) (Winarno, 1990). Agar-agar disebut sebagai gelosa atau gelosa bersulfat dengan rumus molekul C6H10O5 atau (C6H10O5)n H2SO4. Selain mengandung polisakarida sebagai senyawa utama, agar-agar juga mengandung kalsium dan mineral lainnya (Angka dan Suhartono 2000). Menurut Chapman dan Chapman (1980), agarophyte yang paling penting adalah jenis Gelidium sp, Gracilaria sp, Pterocladia sp, Acanthopeltis japonica dan Ahnfeltis plicata. Agar-agar merupakan kompleks polisakarida linier yang mempunyai berat molekul 120.000, tersusun dari beberapa jenis polisakarida, antara lain: 3,6-anhidro Lgalaktosa, D-galaktopiranosa dan sejumlah kecil metil D-galaktosa.

Page 4: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Gracilaria verrucosa · Gracilaria sp. Di Indonesia jenis rumput laut penghasil agr-agar yang telah dimanfaatkan dan memiliki prospek cukup baik

7

Agar-agar adalah produk kering tidak berbentuk (amorphous), mempunyai sifat seperti gelatin. Alga laut makro kelompok agarophyte molekul agar-agar terdiri dari rantai linier galaktan. Galaktan adalah polimer dari galaktosa. Dalam menyusun senyawa agar-agar, galaktan dapat berupa rantai linier yang netral maupun sudah berasosiasi dengan metil atau asam sulfat. Galaktan yang sebagian monomer galaktosanya membentuk ester dengan metil disebut agarosa sedangkan galaktan yang tersesterkan dengan asam sulfat disebut agaropektin.

Agar-agar yang diperdagangkan di pasaran umumnya dijual dalam bentuk kering dengan deskripsi sebagai berikut : warnanya putih sampai kuning pucat, berbau khas agar-agar, serta dikemas dalam bentuk tepung, batangan, serpihan, butiran atau lembaran seperti kertas. Agar-agar yang diperdagangkan terdapat dalam berbagai bentuk, seperti dalam bentuk granula, bubuk, batang kuning pucat dan tidak berbau. Di Indonesia standar mutu agar-agar sudah dicantumkan dalam Standar Industri Indonesia (SII) pada Tabel 3. Spesifikasi fisik agar-agar juga dideskripsikan dalam ”Food Chemical Codex” (1981) yang meliputi kandungan arsen, kadar abu tidak larut asam, kadar abu total, gelatin, logam berat, bahan asing tidak larut, timah, susut pengeringan, pati dan penyerapan air. Persyaratan spesifikasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Standar Mutu Agar-Agar

Spesifikasi Persyaratan

SII(a) FCC(b) Kadar air maks. (%) 15 – 21 - Kadar abu maks. (%) 4 6.5 Abu tak larut asam maks. (%) - 0.3 Gelatin - Negatif Pati - Negatif Karbohidrat (galaktosa) (%) 30 - Logam berat maks. (ppm) Negatif 10 Arsen maks. (ppm) Negatif 3 Bahan asing tidak larut maks. (%) - 1 Timah maks. (ppm) - 10 Susut pengeringan maks. (%) - 20 Penyerapan air - Negatif Zat warna tambahan Yang diizinkan untuk

makanan dan minuman -

Sumber : (a) Departemen Perindustrian (1978) (b) Food Chemical Codex III (1981)

Agar-agar yang diekspor dari Jepang juga memasukkan parameter lain selain yang dideskripsikan oleh SII dan FCC sebagai penentu mutunya. Parameter tersebut adalah warna, keseragaman, dan kekuatan gel. Tabel 4 menunjukkan standar mutu salah satu tingkat mutu agar-agar ekspor Jepang.

Page 5: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Gracilaria verrucosa · Gracilaria sp. Di Indonesia jenis rumput laut penghasil agr-agar yang telah dimanfaatkan dan memiliki prospek cukup baik

8

Tabel 4. Standar Mutu Salah Satu Jenis Agar-Agar di Jepang

Spesifikasi Tingkat mutu

Superior No.1 No.2 No.3 Warna Putih Putih kekuningan Putih kekuningan Kuning cokelat Keseragaman Seragam mutu

dan ukuran Seragam mutu

dan ukuran Kurang seragam Tidak seragam

Kekuatan gel (g/cm2)

>600 >350 >250 >150

Kadar air (%) < 22 < 22 < 22 < 22 Protein (%) < 0.5 < 1.5 < 2.0 < 3.0 Abu (%) < 4.0 < 4.0 < 4.0 < 4.0 Bahan tidak meleleh pada air mendidih

< 0.5 < 2.0 < 3.0 < 4.0

Sumber : Okazaki (1971) 2.2.1 Struktur Kimia Agar-Agar

Agar-agar merupakan salah satu dari gum polisakarida yang telah lama dikenal dan merupakan koloid hidrofilik yang diekstrak dari alga laut tertentu dari kelas Rhodophyceae (Peterson dan Johnson 1978). Struktur agar-agar terdiri atas dua komponen utama, yaitu agarosa dan agaropektin dalam jumlah yang bervariasi (Glicksman 1983). Unit gula dasar penyusun agar-agar dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Unit Gula Penyusun Agar-Agar

Agar Unit Gula Penyusun

Agarosa D-galaktosa L-galaktosa 3,6-anhidrogalaktosa D-xilosa

Agaropektin D-galaktosa L-galaktosa 3,6-anhidrogalaktosa D-xilosa Galaktosa sulfat Asam piruvat

Sumber : Glicksman (1983)

Agarosa merupakan komponen pembentuk gel yang netral dan tidak mengandung sulfat (Furia 1975). Agarosa bersifat netral yang merupakan pengulangan dari unit-unit agarobiosa. Agarobiosa sebagai gel esensial, merupakan fraksi dari agar yang mempunyai bobot molekul lebih dari 10.000 Dalton bahkan lebih dari 150.000 Dalton dengan kandungan sulfat yang rendah ≤ 0.5% (Armisen et al. 2000). Agarosa merupakan suatu komponen agar yang responsif terhadap pembentukan gel. Agarosa bersifat netral yang terdiri dari susunan unit dasar berulang dari agarobiosa disakarida yang disusun oleh rantai 1,4 dan 3,6 –amhidro-L-galaktosa dan 1,3-D-galaktosa. Agarosa juga mengandung metil-D-galaktosa dalam bentuk 6-O-metil-D-galaktosa yang jumlahnya berkisar antara 1-20% atau 4-

Page 6: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Gracilaria verrucosa · Gracilaria sp. Di Indonesia jenis rumput laut penghasil agr-agar yang telah dimanfaatkan dan memiliki prospek cukup baik

o-metil-galaktosa, semuanya tergantung pada spesies alga merah itu sendiri (Glicksman 1983). Adapun

Agaropektin merupakan suatu polisakarida sulfat yang tersusun dari agarosa dengan variasi ester asam sulfat; asam D-glukoronat dan sejumlah kecil asam piruvat. Kandungan sulfat bervariasi pada setiap jenis rumput laut dan biasanya sekitar 5-10% (Peterson dan Johnson 1978). Agaropektin sisa dari agarobiosa mempunyai bobot molekul < 20.000 Dalton (14.000 Dalton) dengan komponen sulfat yang lebih besar 5-8% (Armisen et al. 2000). Struktur molekul agar-agar dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur Molekul Agar (Phillip 2000) 2.2.2 Pembentukan Gel Agar-Agar

Sifat gel agar-agar dipengaruhi oleh suhu, konsentrasi, pH, kandungan gula, dan ester sulfat (Selby dan Wynne 1973). Penurunan pH akan menyebabkan kekuatan gel semakin berkurang (Glicksman 1983). Semakin tinggi kandungan gula akan menyebabkan gel menjadi keras dengan kohesifitas tekstur yang yang lebih rendah (Glicksman 1983). Peningkatan kandungan sulfat dalam agar-agar akan mengurangi kekuatan gelnya (Chapman dan Chapman 1980).

Menurut Glicksman (1983), peningkatan kekuatan gel dapat dihubungkan dengan peningkatan kadar agarosa atau penurunan kadar sulfat serta peningkatan kadar 3.6-anhydro-L-galaktosa. Karakteristik pembentukan gel agar-agar disebabkan oleh tiga buah atom H pada residu 3.6-anhydro-L-galaktosa yang memaksa molekul-molekul untuk membentuk struktur ”heliks”. Interaksi antar struktur heliks menyebabkan terbentuknya gel. Penggantian senyawa 3.6-anhydro-L-galaktosa oleh L-galaktosa sulfat menyebabkan kekacauan dalam struktur heliks dan dalam keadaan seperti ini kekuatan gel yang terendah terbentuk. Kekuatan gel yang lebih tinggi akan diperoleh bila grup sulfat dikonversi menjadi senyawa 3.6-anhydro-L-galaktosa, perlakuan alkali dapat mempercepat konversi senyawa tersebut diatas.

Gel agar-agar bersifat reversibel terhadap suhu, dimana pada suhu di atas titik leleh fase gel akan berubah menjadi fasa sol dan sebaliknya. Tetapi fasa transisi dari gel ke sol atau dari sol ke gel tidak berada pada suhu yang sama. Suhu pembentukan gel (gelling point) berada jauh di bawah suhu saat gel meleleh (melting point). Perbedaan yang jauh anatara suhu leleh dan suhu pembentukan gel disebut dengan gejala histeresis (Glicksman 1983). Daya gelasi agar-agar juga tergantung pada cara produksi, jenis algae, kandungan sulfat dan perbandingan agarosa terhadap agaropektin. Agar-agar yang berasal dari rumput laut Gracilaria mempunyai kekuatan gel yang lebih rendah dari Gelidium (Chapman 1970).

Agar-agar tidak larut dalam air dingin, tetapi larut dalam air panas. Pada suhu 32-39°C terbentuk gel dan tidak meleleh dibawah suhu 35°C (Soegiarto et al. 1978). Agar-agar dengan kemurnian tinggi tidak larut pada suhu 25°C, larut dalam air panas, etanol amida dan formalin. Gel agar-agar dapat dibentuk dalam larutan yang sangat encer yang mengandung fraksi 1% agar-agar. Karakteristik gel agar-agar bersifat rigid, rapuh, mudah dibentuk dan memiliki titik leleh tertentu.

9

Page 7: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Gracilaria verrucosa · Gracilaria sp. Di Indonesia jenis rumput laut penghasil agr-agar yang telah dimanfaatkan dan memiliki prospek cukup baik

10

Kekuatan gel agar-agar sangat tergantung pada perbandingan kandungan agarosa terhadap agaropektin, gel yang terbentuk akan semakin kuat (Winarno 1990).

Gel agar-agar bersifat thermoreversible, yaitu pada suhu diatas titik leleh fase gel akan berubah menjadi fase sol dan sebaliknya, tetapi fase transisi tidak terjadi pada suhu yang sama. Gel agar-agar bersifat cukup stabil. Gel yang dibuat dari agar-agar dengan kekuatan gel yang tinggi dapat memiliki kestabilan yang sama dengan agar-agar kering jika disterilisasi dan disimpan secara hermatis. Gel agar-agar lebih stabil dibandingkan gel dari koloid alami lain karena hanya ada sedikit mikroorganisme dan enzim yang dapat mendegradasinya (Selby dan Wynne 1973).

2.3 Bakto Agar

Bakto agar merupakan agar yang telah dimurnikan dengan mereduksi kandungan pigmen-pigmen pengotor dan kandungan bahan-bahan asing (organik dan inorganik) serendah mungkin sehingga dapat mendukung pertumbuhan mikroba secara umum (Abdullah 2004). Pemanfaatan sebagai media kultur mikroorganisme tersebut belum berubah sejak Dr. Robert Koch memakai pertama kalinya tahun 1982 untuk kultur media bakteri tuberkulosa. Dengan kemajuan teknik rekombinasi DNA dan fusi sel, maka kegiatan seleksi, kloning dan propagasi mikroorganisme yang direkayasa juga dilakukan dalam media agar (Rasyid et al. 1998). Bakto agar biasa digunakan untuk media kultur bakteri patogen maupun bakteri non-patogen. Sebanyak 1/6 dari total produksi agar-agar yang ada di Amerika Serikat digunakan untuk keperluan mikrobiologi sebagai media kultur bakteri (FAO 1990). Permintaan pasar internasional untuk agar-agar yang digunakan sebagai media kultur bakteri terus meningkat. Pemanfaatan bakto agar untuk bidang mikrobiologi di dalam negeri juga semakin meningkat. Namun produksi bakto agar belum mencukupi kebutuhan di dalam negeri. Salah satu solusi adalah dengan membuat bakto agar produksi dalam negeri dengan karakteristik mutu yang diharapkan sama dengan bakto agar impor (Winarno 1990).

Beberapa syarat nutrisi yang harus dipenuhi dalam media pertumbuhan bakteri sehingga dapat mendukung penguraian autotrof anorganik oleh bakteri pengurai anorganik, seperti vitamin dalam konsentrasi tinggi dan faktor–faktor tumbuhnya oleh bakteri patogen dan bakteri asam laktat. Oleh sebab itu, perlu diformulasikan suatu media yang mendukung pertumbuhan mikroorganisme secara umum, contohnya adalah penambahan nutrient broth dan nutrient agar yang dapat digunakan sebagai media pertumbuhan dasar (Abdullah 2004)

Bakto agar yang digunakan sebagai kultur media memiliki beberapa karakteristik yaitu memiliki kekuatan gel, tingkat elastisitas, kejernihan dan stabilitas yang baik. Tabel 6 menunjukkan satandar mutu dari agar bakto Serva menurut ISO 9001.

Tabel 6. Standar Mutu Agar Bakto Serva Menurut ISO 9001

Analisis Nilai Standar Mutu

Kekuatan gel (g/cm2, 1.5%gel) 400-900

Kadar air (%) <15

Kadar abu (%) <6,5

Nilai pH 5,5-7 Sumber : Gelrite (2003) dalam Abdullah (2004)

Page 8: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Gracilaria verrucosa · Gracilaria sp. Di Indonesia jenis rumput laut penghasil agr-agar yang telah dimanfaatkan dan memiliki prospek cukup baik

11

2.4 Proses Pembuatan Agar-Agar

Pengolahan rumput laut menjadi agar-agar umumnya melalui beberapa tahapan yaitu pembersihan dan pencucian, perendaman dan pemucatan, pra-perlakuan asam, perebusan atau ekstraksi, penyaringan, penjedalan, dan pendinginan (Indriany 2000). Berikut ini adalah penjelasan singkat rincian proses diatas.

2.4.1 Pembersihan dan Pencucian

Rumput laut dibersihkan dan dicuci untuk menghilangkan batu-batuan, kerikil, lumpur, kerang dan benda-benda asing lainnya. Setelah dicuci, rumput laut harus segera dikeringkan sehingga kandungan airnya mencapai 20%. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya proses fermentasi yang dapat menurunkan mutu dan kandungan agar-agar. Pengeringan dapat dilakukan dengan sinar matahari. Penjemuran juga dimaksudkanuntuk menghilangkan warna dari rumput laut (Putro 1991).

2.4.2 Perendaman dan Pemucatan

Perendaman dimaksudkan untuk melanjutkan pembersihan rumput laut dari kotoran-kotoran yang mungkin masih melekat. Perlakuan ini juga bertujuan untuk melunakkan jaringan rumput laut agar memudahkan ekstraksinya. Perendaman ini dapat dilakukan sekaligus dengan proses pemucatan (Indriany 2000).

Pada proses pemucatan, rumput laut direndam dalam larutan pemucat selama beberapa waktu disertai proses pengadukan (Indriany 2000). Larutan pemucat yang umum digunakan adalah larutan kalsium hipoklorit (CaOCl3) 1% dengan lama perendaman 30 menit (Amnidar 1989), larutan kapur tohor (CaO) 0,5% selama 5-10 menit (Nasran 1993), dan NaOCl 1% selama 30 menit ( Kosasih dan Suprijatna 1967). Larutan pemucat yang digunakan pada penelitian ini adalah larutan kapur tohor (CaO) 0,5% selama 5-10 menit. Berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh Nasran et al. (1991), Asmarita (2000), dan Indriany (2000), larutan tersebut memberikan hasil pemucatan yang baik terhadap bahan baku. Untuk menghilangkan bau bahan pemucat yang digunakan, rumput laut dicuci sambil diremas-remas dan dibilas dengan air bersih.

2.4.3 Praperlakuan Ekstraksi

Praperlakuan sebelum ekstraksi adalah proses perendaman rumput laut yang dilakukan sebelum ekstraksi untuk mempermudah proses ekstraksi, serta untuk meningkatkan mutu rendemen produk agar-agar yang dihasilkan. Praperlakuan dapat dilaksanakan dengan menggunakan larutan alkali atau asam (Irawati 1994).

Proses perendaman dengan asam bertujuan untuk memecah dinding sel, sehingga agar-agar mudah diekstrak. Selain itu larutan asam tersebut diharapkan dapat menghancurkan dan melarutkan kotoran sehingga rumput laut lebih bersih. Larutan asam yang dapat digunakan pada perlakuan asam selain asam sulfat dapat juga digunakan asam asetat, asam sitrat, buah asam, dan daun asam (Winarno, 1990). Pada penelitian yang telah dilakukan Ameidy (1992) dengan menggunakan CH3COOH 1% pada ekstraksi agar-agar rumput laut jenis Gracilaria verrucosa sebagai perlakuan asam telah terbukti dapat meningkatkan rendemen dan kekuatan gel agar-agar yang dihasilkan. Demikian pula percobaan yang dilakukan Priatama (1989), mendapatkan nilai kekuatan gel yang tertinggi pada Gracilaria sp dengan menggunakan larutan CH3COOH 3% pada praperlakuan asam. Secara umum praperlakuan asam dapat memperpendek waktu ekstraksi serta meningkatkan rendemen dan kekuatan gel agar-agar yang dihasilkan (Matsuhashi 1977).

Page 9: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Gracilaria verrucosa · Gracilaria sp. Di Indonesia jenis rumput laut penghasil agr-agar yang telah dimanfaatkan dan memiliki prospek cukup baik

12

Praperlakuan dengan alkali tidak selalu diikuti dengan peningkatan kekuatan gel. Praperlakuan dengan alkali dapat menurunkan kekuatan gel agar-agar dari 138 gr/cm2 (tanpa perlakuan alkali) menjadi 110 gr/cm2 (Whyte dan Englar, 1980 dalam Amnidar 1989) sedangkan menurut Cho et al. (1975), praperlakuan dengan asam terhadap Gracilaria sp ternyata dapat menurunkan kandungan abu, total sulfur dan nitrogen serta dapat meningkatkan kekuatan gel agar-agar.

2.4.4 Ekstraksi

Ekstraksi agar-agar dari rumput laut dilakukan dengan air panas pada suhu didih. Hal ini didasarkan pada sifat kelarutan agar-agar, yaitu larut hanya dalam air panas dan tidak larut dalam air dingin (Furia 1975). Semua proses ekstraksi agar-agar dalam dunia perdagangan (secara komersial) umumnya menggunakan air panas dengan suhu (90-150) oC, yang kemudian diikuti dengan proses filtrasi dan pembekuan (Wheaton dan Lawson 1985).

Dalam proses ekstraksi diperlukan suasana sedikit asam, yang bertujuan untuk mengontrol pH karena pH dapat mempengaruhi kualitas agar-agar yang dihasilkan. Keasaman (pH) larutan ekstraksi harus diatur kurang lebih 6.5 dengan penambahan sedikit asam (Chapman 1970).

Proses ekstraksi dapat pula dilakukan pada pH netral atau tanpa penambahan asam, karena diduga pada pH netral ini proses ekstraksi akan lebih mudah dan dapat dilakukan pada pH kurang lebih 7, suhu 100oC, selama 1-4 jam. Tetapi ekstraksi pada pH netral ini dilakukan hanya untuk rumput laut yang telah mengalami proses praperlakuan asam (Matsuhashi 1977).

Produksi agar-agar dari rumput laut selain dipengaruhi oleh musim, juga dipengaruhi oleh lama waktu perebusan (waktu ekstraksi) (Chapman 1970). Waktu pendidihan yang terlalu lama dapat mengakibatkan degradasi hidrolitik yang berlebihan, meskipun pada proses normal degradasi hidrolitik tidak dapat dihindari seluruhnya (Matsuhashi 1977).

Pemasakan rumput laut dilakukan dalam suatu bejana dengan meggunakan air bersih (Winarno 1990). Banyaknya air yang digunakan sebagai pengekstrak dalam proses pemasakan agar-agar bervariasi menurut beberapa versi, tergantung jumlah dan jenis bahan baku rumput laut yang digunakan. Rumput laut jenis keras, seperi Gelidium sp membutuhkan air pengekstraksi yang relatif banyak dibandingkan rumput laut lunak seperti Gracilaria sp, sebab untuk memecah diding sel rumput laut yang keras dibutuhkan luas permukaaan kontak antara dinding sel dengan air pengekstrak yang besar (Sukamulyo 1989). Kisaran jumlah air untuk ekstraksi dapat bervariasi antara tujuh kali berat rumput laut sampai dengan 15 atau 20 kali berat rumput laut kering (Matsuhashi 1977). Lama ekstraksi umunya berlangsung selama 45 menit (Winarno 1990), kadang-kadang sampai 2-4 jam tergantung teknik pengadukannya.

Setelah proses ekstraksi selesai, larutan agar-agar langsung disaring (filtrasi) dalam keadaan panas. Untuk memperoleh hasil ekstraksi yang tinggi maka pada waktu penyaringan dapat dilakukan pemerasan atau pengepresan (Chapman 1970). Filtrat agar hasil penyaringan kemudian ditampung di tempat penampungan, sedangkan ampasnya masih dapat diekstraksi kembali satu atau dua kali. Gel yang terbentuk kemudian dibekukan, dan dicairkan (thawing). Air yang mencair akan membawa serta kotoran yang menyebabkan kekeruhan (Kosasih dan Suprijatna 1967).

Page 10: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Gracilaria verrucosa · Gracilaria sp. Di Indonesia jenis rumput laut penghasil agr-agar yang telah dimanfaatkan dan memiliki prospek cukup baik

13

2.4.5 Pemurnian Filtrat Agar

Permasalahan yang ada selama ini adalah metode produksi agar yang menghasilkan kadar sulfat yang masih tinggi. Kadar sulfat pada agar merupakan komponen yang dapat mengganggu, baik dalam penggunaan maupun dalam penyimpanan. Salah satu alternatif proses produksi yaitu melalui metode absorbsi impuriti dalam ekstraksi olek kitosan sebagai absorben sehingga dapat menghasilkan agar-agar bermutu tinggi untuk keperluan media kultur (Suptijah 2010).

Absorbsi merupakan suatu proses dimana suatu partikel terperangkap ke dalam suatu media dan seolah-olah menjadi bagian dari keseluruhan media tersebut. Absorbsi terdiri dari dua jenis yaitu absorbsi fisika dan absorbsi kimia. Absorbsi fisika dicirikan dengan tarik menarik antara absorbat dan absorben sangat lemah dengan energi kurang dari 40 Kj/mol dan antar keduanya tidak membentuk senyawa kimia. Absorbsi fisika umumnya reversible dan irreversible. Sifat ini ditemukan dalam batas antar muka kimia dengan medium gas, dimana ikatan yang terjadi diakibatkan dari gaya Van Der Walls dan gaya London (Prutton 1982).

Absorbsi kimia (chemosorbtion) ditandai dengan pertukaran elektron/electron exchange antara absorbat dengan absorben. Interaksi yang terjadi sangat kuat sehingga terbentuk senyawa kimia dengan energi ikatnya sekitar 300 Kj/mol (Nieuwenhuizen dan Barendez 1987). Akibat dari berbagai perlakuan, ikatan dalam absorbsi fisik dan kimia dapat lepas, proses ini disebut desorbsi. Absorben adalah padatan berpori dengan berbagai ukuran. Contoh absorben yang sudah banyak digunakan diantanya: kitosan, bentonit, zeolit, tanah diatomea dan arang aktif. Suatu absorben dapat memisahkan molekul berdasarkan ukurannya (Suptijah 2012)

Kitosan adalah produk alami turunan dari kitin, polisakarida yang ditemukan dalam eksoskeleton krustasea seperti udang, rajungan dan kepiting. Kitosan diperoleh melalui proses dasitilasi kitindengan perlakuan alkali. Kitin merupakan polisakarida panjang yang tidak bercabang, bernama 2-asetil-2-amino dioksi-D-glukosa, yang monomernya berikatan satu sama lain melalui ikatan 1-4. Kitin diproduksi dari kulit udang melalui proses isolasi dan purifikasi yang didahului proses demineralisasi dan dilanjutkan dengan proses deproteinasi (Muzzarelli 1977).

Kerangka utama penyusun kitin dan kitosan adalah grup heksosa (glukosa) sama dengan selulosa, oleh karena itu kitin kitosan dikelompokan pada selulosa alam tetapi mempunyai muatan berlawanan dengan selulosa lainnya. Polimer kitin atau kitosan terdiri dari 2000-3000 monomer, sehingga menpunyai banyak muatan yang akan mempengaruhi sifat biologi dan sifat fungsionalnya melalui kemampuan berikatan dengan molekul lain (Ornum 1992).

Proses penyerapan berhubungan dengan adanya gugus hidrofilik (OH) dalam molekul kitosan, sehingga kitosan mempunyai kemampuan untuk mengikat air dan bahan-bahan yang tersuspensi dalam air. Berdasarkan tinjauan pustaka, Olin et al. (1996) dan Bailey et al. (1997) telah mengidentifikasi penyerap yang murah untuk penanganan kontaminasi logam berat pada air dan limbah cair. Mereka mengidentifikasi dua belas penyerap yang potensial untuk Pb, Cd, Cu, Zn, dan Hg, diantaranya kitosan mempunyai kapasitas serapan yang tinggi untuk ion-ion metal (Masri et al. 1974). Kitosan mengikat atau mengkelat sejumlah logam lima kali lebih besar dari kitin. Hal ini ditandai oleh adanya grup amino bebas (NH3+) dalam kitosan (Muzarelli 1977).

Kitosan bersifat sebagai pembentuk kelat (zat pengikat) yang dapat mengikat logam dalam bentuk ikatan kompleks sehingga dapat mengalahkan sifat dan pengaruh negatif dari logam berat yang terdapat dalam suatu bahan. Molekul atau ion dengan pasangan elektron bebas dapat membentuk kompleks dengan ion logam, karena itulah senyawa-senyawa yang mempuyai dua atau lebih gugus fungsional seperti –OH, -SH, -COOH, -PO3H2, -C=O, -NR2, -S- dan –O- dapat mengkelat logam

Page 11: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Gracilaria verrucosa · Gracilaria sp. Di Indonesia jenis rumput laut penghasil agr-agar yang telah dimanfaatkan dan memiliki prospek cukup baik

14

dalam lingkungan yang sesuai. Proses pengikatan logam diatas merupakan proses keseimbangan pembentukan kompleks ion logam dengan sekuestran (Winarno 1993). Melalui reaksi pengikatan (chelating), kitosan mampu menyerap logam berat, hal ini dimungkinkan dengan adanya gugus CH2OH dan NHCOCH3, yang merupakan gugus reaktif dari kitosan yang dapat mengikat ion logam,

Abdullah (2004) menggunakan kitosan sebagai bahan pemurni pada bakto agar. Pada penelitiannya diperoleh bahwa penggunaan kitosan dengan perlakuan 1% dengan waktu absorbsi 45 menit, menghasilkan bakto agar yang paling optimum (mendekati standar Difo bacto agar) yaitu kadar abu 3,45%, kadar air 16,89%, kekuatan gel 341,01 gram/cm2, dan nilai pH sebesar 5,88.

2.4.6 Pengeringan

Proses pengeringan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: metode pembekuan yang diikuti dengan thawing dan dilanjutkan dengan pengeringan atau dengan cara dikeringkan dengan menggunakan tekanan (Matsuhashi 1977). Pengeringan lebih baik dilakukan dengan menggunakan oven sehingga mempercepat proses pengeringan dan menurunkan kadar air yang terkandung didalamnya (Kosasih dna Suprijatna 1967).

Tujuan dari pengeringan adalah mengurangi kadar air bahan sampai batas tertentu sehingga perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan terhambat atau terhenti. Hal tersebut menyebabkan bahan yang dikeringkan dapat mempunyai waktu simpan yang lama (Aschtanasia 2010).

Indriany (2000) menggunakan pengering semprot dan pengering drum dalam modifikasi proses pembuatan tepung agar-agar. Pengering semprot yang terbaik dilakukan pada suhu inlet dan outlet sebesar 180oC dan 85oC dengan tekanan semprot 3 bar dimana pada perlakuan ini dihasilkan kekuatan gel dan derajat putih yang lebih baik, sedangkan pada pengering drum, perlakuan terbaik dihasilkan pada kecepatan putaran drum 8,6 rpm dan tekanan uap 3 bar.

1. Pengering Semprot (SprayDrier)

Pengering semprot merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang merubah bentuk suatu produk dari bentuk cairan, bubur menjadi bentuk kering berupa tepung, butiran, atau gumpalan (Master 1979). Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan pengering semprot yang uatama adalah tidak hanya dapat mengeringkan bahan dengan sangat cepat (waktu total padatan di dalam pengering dapat kurang dari 30 detik) tetapi juga menghasilkan produk yang kondisinya seragam. Selain itu, produk juga akan menjadi kering tanpa bersentuhan dengan permukaan logam panas. (Badger dan Banchero 1988).

Terdapat tiga elemen penting dalam pengering semprot, yaitu atomizer, ruang pengering, dan sistem pengumpul partikel-partikel kering yang dihasilkan. Masing-masing elemen tersebut memerlukan kondisi tertentu yang sangat tergantung pada sifat bahan tersebut. Pengering semprot terdiri dari empat tahap proses yaitu : (1) penyemprotan bahan melalui alat penyemprot atau atomisasi, (2) kontak antara partikel hasil atomisasi dengan udara pengering, (3) penguapan air dari bahan, dan (4) pemisahan bubuk kering dengan aliran udara yang membawanya (Master 1979). Larutan dengan viskositas tinggi yang akan dikeringkan, dilewatkan melalui lubang kecil (nozzle) dan disemprotkan ke dalam ruang pengering. Penyemprotan bahan dapat dilakukan melalui cairan yang berputar dengan kecepatan tinggi, dimana zat cair akan menguap dengan cepat karena permukaan kontak yang luas dan udara kering yang bersuhu tinggi (Taib et al. 1988).

Page 12: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Gracilaria verrucosa · Gracilaria sp. Di Indonesia jenis rumput laut penghasil agr-agar yang telah dimanfaatkan dan memiliki prospek cukup baik

15

Proses pengeringan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain suhu, kecepatan volumetrik aliran udara pengering, kelembaban udara, kadar air awal, dan tekanan. Untuk produk yang berbeda, kondisi pengering semprot yang digunakan berbeda pula. Untuk produk susu, suhu pengering semprot yang digunakan berkisar antara 170oC sampai 200oC, sedangkan untuk produk kopi dan teh, suhu yang umum digunakan adalah 250oC. Untuk produk buah-buahan, suhu yang umum digunakan berkisar antara 135oC sampai dengan 180oC (Master 1979). 2. Pengering Drum (Drum Drier)

Alat pengering drum digunakan untuk mengeringkan bahan dalam bentuk bubur atau larutan. Drum berputar pada sumbu horizontal dan dipanaskan secara internal dengan uap air atau medium pemanas lain. Kelebihan yang dimiliki alat pengering drum yaitu laju pemanasan yang tinggi serta penggunaan panas yang cukup ekonomis. Sedangkan kekurangan yang utama adalah produk yang dikeringkan hanya dapat berupa cairan atau bubur dan memiliki ketahanan terhadap suhu tinggi dalam waktu singkat. Faktor- faktor yang mempengaruhi kecepatan pengeringan dan kandungan uap air akhir dari partikel-partikel produk pada pengeringan drum adalah kecepatan putaran drum, tekanan uap air atau temperatur media pemanas, dan ketebalan lapisan produk (Brennan et al. 1974).

Produk yang akan dikeringkan dimasukkan melalui bagian atas drum sehingga terbentuk lapisan yang tipis. Pengeringan dapat dilakukan di dalam udara terbuka atau dalam keadaan hampa udara. Produk yang kering dilepaskan dari permukaan drum dengan menggunakan pisau pengikis. Selanjutnya, lapisan yang kering tersebut digiling menjadi bubuk yang halus (Desrosier 1988).

Prinsip pengeringan dengan menggunakan alat pengering drum adalah logam drum kosong yang berputar perlahan, dan dipanaskan secara internal oleh tekanan uap hingga suhunya menjadi 120-170oC. Bahan akan dikeringkan pada tiap permukaan drum dalam bentuk lapisan tipis. Pada drum tunggal, pembentukan lapisan tipis dilakukan dengan mencelupkan drum pada bubur atau larutan yang akan dikeringkan, sedangkan pada drum ganda, larutan dimasukkan dari bagian atas pada daerah antara dua drum. Pengeringan berlangsung pada saat drum berputar. Drum berputar dengan arah yang berlawanan. Ketebalan lapisan dapat diatur dengan cara mengatur jarak antara kedua permukaan drum (Heldman et al. 1981). Produk kering akan dipindahkan dari permukaan drum dengan menggunakan pisau pada saat perputaran drum mencapai titik 2/3-3/4 sejak bahan pertama kali dimasukkan ke dalam pertemuan dua permukaan drum (Brennan et al. 1974).