II (domba tangkas) dan juga untuk menghasilkan daging....

27
7 II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Domba Garut Domba Garut merupakan ruminansia kecil yang dimanfaatkan sebagai ternak fancy (domba tangkas) dan juga untuk menghasilkan daging. Taksonomi domba menurut Heriyadi et al., (2002) yaitu: Kingdom : Animalia Phylum :Chordata Sub Phylum : Vertebrata (bertulang belakang) Class : Mamalia (hewan menyusi) Ordo : Artiodactyla (hewan berkuku genap) Sub Ordo : Ruminansia (hewan yang memiliki rumen) Family : Bovidae (hewan pemamah biak) Genus : Ovis Species : Ovis aries Domba Garut diyakini berasal dari Kabupaten Garut sebagai Sumber Daya Genetik Ternak (SDGT) lokal dari Jawa Barat, yang keberadaannya yaitu di daerah Cibuluh, Cikandang, Cikeris dan di Kecamatan Cikajang serta Kecamatan Wanaraja. Domba Garut telah mengalami perkembangan yang pesat, dikarenakan telah banyak dilakukannya penelitian mengenai rumpun domba ini. Pernyataan tersebut dilandasi berdasarkan teori-teori bahwa seluruh rumpun domba yang berada di seluruh dunia dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, yakni kelompok domba bermuka putih dan kelompok domba bermuka hitam. Heriyadi (2011) menyebutkan bahwa domba bermuka putih secara genetik membawa warna yang lebih dominan dibandingkan warna pada domba muka

Transcript of II (domba tangkas) dan juga untuk menghasilkan daging....

7

II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Domba Garut

Domba Garut merupakan ruminansia kecil yang dimanfaatkan sebagai

ternak fancy (domba tangkas) dan juga untuk menghasilkan daging. Taksonomi

domba menurut Heriyadi et al., (2002) yaitu:

Kingdom : Animalia

Phylum :Chordata

Sub Phylum : Vertebrata (bertulang belakang)

Class : Mamalia (hewan menyusi)

Ordo : Artiodactyla (hewan berkuku genap)

Sub Ordo : Ruminansia (hewan yang memiliki rumen)

Family : Bovidae (hewan pemamah biak)

Genus : Ovis

Species : Ovis aries

Domba Garut diyakini berasal dari Kabupaten Garut sebagai Sumber Daya

Genetik Ternak (SDGT) lokal dari Jawa Barat, yang keberadaannya yaitu di

daerah Cibuluh, Cikandang, Cikeris dan di Kecamatan Cikajang serta Kecamatan

Wanaraja. Domba Garut telah mengalami perkembangan yang pesat, dikarenakan

telah banyak dilakukannya penelitian mengenai rumpun domba ini. Pernyataan

tersebut dilandasi berdasarkan teori-teori bahwa seluruh rumpun domba yang

berada di seluruh dunia dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, yakni

kelompok domba bermuka putih dan kelompok domba bermuka hitam.

Heriyadi (2011) menyebutkan bahwa domba bermuka putih secara genetik

membawa warna yang lebih dominan dibandingkan warna pada domba muka

8

hitam, yang artinya apabila domba muka hitam disilangkan secara terus-menerus

dengan domba muka putih, maka warna hitam pada bagian muka semakin lama

akan semakin memudar, sedangkan dari sisi bentuk ekor, domba berekor tipis

lebih dominan dibandingkan domba ekor segitiga, yang apabila domba ekor tipis

disilangkan dengan domba ekor segitiga (Domba Garut), maka hasil

persilangannya akan berekor tipis.

Gambar 1. Domba Garut di TTP (Sumber Data Primer 2019)

Domba Garut memiliki ciri khas yakni, ekor ngabuntut beurit atau ngabuntut

bagong, dalam kombinasi antara kuping rumpung (lebih kecil dari 4 cm) atau

ngadaun hiris (4-8 cm) (Heriyadi et al., 2001). Domba Garut dan Domba Priangan

memiliki kesamaan ciri khas dari warna bulu ataupun bentuk ekor, tetapi

perbedaan Domba Garut dan Priangan yakni dapat dilihat dari lebar dan panjang

kuping. Domba Priangan memiliki panjang daun kuping yang lebih panjang

dengan ukuran lebih dari 8 cm serta bentuk tanduk yang lebih kecil dari Domba

Garut (Santoso et al., 2012). Disebutkan pula bahwa Domba Garut memiliki profil

muka cembung, dan memiliki bulu pada bagian di seputaran leher yang tumbuh

memanjang. Domba Garut memiliki sifat kuantitatif meliputi berat badan Domba

9

Garut jantan sebesar 57,74 kg dan Domba Garut betina sebesar 36,89 kg, panjang

badan Domba Garut jantan sebesar 63,41 cm dan Domba Garut betina sebesar

56,37 cm, lingkar dada Domba Garut jantan sebesar 88,73 cm dan Domba Garut

betina sebesar 77,41cm, tinggi pundak Domba Garut jantan sebesar 74,34 cm dan

Domba Garut betina 65,61 cm, dan lebar dada Domba Garut jantan sebesar 22,08

cm dan Domba Garut betina sebesar 16,04 cm (Heriyadi, 2011). Berbeda dengan

karakteristik Domba Priangan yang memiliki rata-rata bobot induk sebesar 30,83

kg, panjang badan induk sebesar 60, 82 cm, tinggi pundak sebesar 61,70 cm, dan

lingkar dada sebesar 82,68 cm (Choiria et al., 2016).

2.1.1.1. Bobot Lahir Domba Garut

Bobot lahir atau berat lahir merupakan berat saat anak domba (cempe) baru

dilahirkan oleh induknya, yang bobot lahir tersebut juga merupakan sifat penting

yang mempengaruhi daya tahan hidup dan pertumbuhan domba selama hidupnya

(Ghasemi et al., 2019). Ditambahkan pula bahwa apabila bobot lahir yang tinggi

di atas rataan, umumnya memiliki kemampuan hidup yang lebih tinggi dalam

melewati masa kritis, memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dan berat sapih

yang lebih tinggi. Sebab itu, bobot lahir memiliki korelasi yang positif dengan

berat sapih, dengan arti bahwa kemajuan seleksi pada bobot lahir akan

mengakibatkan meningkatnya kemajuan genetik untuk berat sapih (Istiqomah et

al., 2006).

Menurut Faid et al., (2016) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan

bahwa korelasi genetik pada sifat-sifat domba yaitu bobot lahir dan bobot sapih

positif, artinya jika seleksi dilakukan pada suatu sifat, maka seharusnya

menghasilkan perbaikian genetik pada sifat lainnya. Disebutkan pula oleh

Kurnianto (2009) dan Ilham (2015) bahwa bobot lahir yang rendah dapat terulang

kembali pada kelahiran berikutnya pada induk yang sama apabila kondisi

10

lingkungannya relatif sama dari sebelumnya, dikarenakan ripitabilitas bobot lahir

domba yang tergolong tinggi yakni sebesar 0,35.

Diketahui umumnya bobot lahir Domba Garut jantan dan betina yaitu

sebesar 2,8 kg dan 2,4 kg (SNI, 2009). Berdasarkan beberapa penelitian, hasil

penelitian Istiqomah et al., (2006) menemukan bobot lahir Domba Garut jantan

dan betina sebesar 2,37 kg dan 2,29 kg, sedangkan hasil penelitian Anang et al.,

(2013) menemukan bobot lahir Domba Garut jantan dan betina di

UPTD-BPPTDK Margawati Garut yaitu sebesar 2,36 kg dan 2,27 kg.

Disebutkan bahwa bobot lahir berat lahir dipengaruhi oleh rumpun domba,

paritas induk, jenis kelamin, tipe kelahiran, kondisi intra-uterin (lingkungan fetus),

genotip induk dan anak, lingkungan induk, nutrisi induk pada masa kebuntingan,

Body Condition Score (BCS) induk, lama kebuntingan, dan umur induk

(Istiqomah et al., 2006; Ilham, 2015; Thomas et al., 2015).

2.1.1.2. Bobot Prasapih Domba Garut

Bobot prasapih adalah bobot domba setelah dilahirkan dan sebelum disapih.

Bobot lahir mempengaruhi laju pertumbuhan prasapih, sehingga laju pertumbuhan

domba dengan bobot lahir rendah terlihat lebih lambat dibandingkan anak domba

yang bobot lahirnya tinggi, selain dipengaruhi oleh bobot lahir, bobot prasapih

juga dipengaruhi oleh jenis kelamin. Bobot prasapih pada ternak jantan akan lebih

tinggi dibandingkan betina (Sumadi et al., 2014). Berdasarkan hasil penelitian

Anang et al., (2013) bahwa bobot domba pada umur 30, 60, dan 90 hari pada

Domba Garut jantan dan betina di UPTD-BPPTDK Margawati yakni sebesar 6,44

kg, 8,46 kg, 10,29 kg dan 6,15 kg, 8 kg, 9,58 kg.

11

2.1.1.3. Bobot Sapih Domba Garut

Bobot sapih merupakan berat saat anak domba dipisahkan dari induknya

dari segi pemeliharaan dan kandangnya. Diketahui bahwa bobot sapih juga

merupakan suatu indikator dalam kemampuan induk menghasilkan susu dan

kemampuan anak domba untuk mendapatkan susu dan tumbuh. Bobot sapih

biasanya disesuaikan dengan bobot domba pada umur 100 hari, atau terhadap

rerata umur pada saat disapih, yang seleksi terhadap bobot sapih sangat penting

dan harus digunakan di Indonesia (Hardjosoebroto, 1994).

Bobot sapih Domba Garut jantan dan betina yaitu sebesar 11,5 kg dan 9,1 kg

(SNI, 2009). Berdasarkan hasil penelitian Anang et al., (2013) ditemukan bobot

sapih pada Domba Garut jantan dan betina di UPTD-BPPTDK Margawati Garut

yaitu sebesar 11,5 kg dan 10,64 kg, sedangkan hasil penelitian Sumadi et al.,

(2014) menemukan bobot sapih Domba Garut jantan dan betina di balai yang

sama yaitu sebesar 14,63 kg dan 10,60 kg. Menurut Ilham (2015) dan Thomas et

al., (2015) bahwa bobot sapih dipengaruhi oleh rumpun domba, kondisi pakan,

paritas induk, BCS induk, nutrisi induk pada masa kebuntingan, jenis kelamin,

tipe kelahiran..

2.1.1.4. Seleksi

Seleksi diartikan sebagai suatu tindakan untuk membiarkan ternak-ternak

tertentu bereproduksi, sedangkan ternak lainnya tidak diberi kesempatan untuk

bereproduksi. Menurut Warwick et al., (1990) bahwa salah satu fungsi seleksi

yaitu mengubah frekuensi gen yang mengatur sifat kuantitatif maupun kualitatif.

Dijelaskan oleh Kurnianto (2009) bahwa proses seleksi dalam ilmu pemuliaan

yaitu dapat diartikan sebagai upaya memilih dan mempertahankan ternak-ternak

yang dianggap baik untuk terus dipelihara sebagai tetua bagi generasi yang akan

datang dan mengeluarkan ternak-ternak (culling) yang dianggap kurang baik.

12

Seleksi merupakan salah satu cara untuk melakukan perbaikan mutu

genetik terak, yang kelebihan dalam proses seleksi yaitu dapat mempertahankan

kemurnian ternak (Rahmat et al., 2007). Diketahui pula bahwa proses seleksi

sering tidak ditujukan terhadap satu sifat saja melainkan terhadap beberapa

macam sifat, dengan proses seleksi yang ditujukan kepada sifat-sifat yang

benar-benar penting bila ditinjau dari segi ekonomi (Hardjoesoebroto, 1994). Jika

pada seleksi domba, sifat-sifat yang ditujukan dalam kegiatan seleksi yaitu dapat

dari berat lahir, berat prasapih, dan berat sapih.

Hasil penelitian Maria et al., (1993) menyatakan seleksi pada domba

sangat efektif jika dilakukan pada berat sapih, sedangkan seleksi kurang efektif

jika dilakukan pada sifat berat lahir dan berat sebelum anak domba disapih,

dikarenakan nilai heritabilitas berat sapih lebih tinggi dari berat lahir, sehingga

respon seleksinya akan lebih cepat jika seleksi dilakukan pada berat sapih.

2.1.2 Taman Teknologi Pertanian

Pemerintah Pusat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(RPJMN) Tahun 2015-2019 menetapkan salah satu sasarannya adalah

pembangunan Taman Teknologi Pertanian (TTP) di daerah Kabupaten/Kota

dengan fungsi yaitu: 1) Pusat penerapan teknologi di bidang pertanian,

peternakan, perikanan dan pengolahan hasil, industri manufaktur, ekonomi kreatif,

dan jasa-jasa lainnya yang telah dikaji oleh lembaga penelitian, swasta, perguruan

tinggi untuk diterapkan dalam skala ekonomi; 2) Tempat pelatihan, pemagangan,

pusat diseminasi teknologi, dan pusat advokasi bisnis ke masyarakat luas.

Menurut Juliana et al., (2018) Taman Agro Inovasi merupakan salah satu

program Balitbangtan yang diharapkan dapat menarik minat dunia usaha untuk

berkerjasama dengan Balitbangtan dalam permasyarakatan inovasi Balitbangtan.

Ditambahkan pula oleh Khoirunnas dan Niswah (2017) bahwa secara konseptual

13

Taman Teknologi Pertanian (TTP) ialah salah satu pilihan model yang

dikembangkan Kementan, dalam upaya menumbuhkan klaster-klaster bisnis baru

sebagai dampak dari difusi teknologi dan pengembangan kawasan yang dikelola

bersama instansi terkait dan masyarakat atau kelompok tani setempat.

Taman Teknologi Pertanian (TTP) atau Agro Techno Park (ATP) berada di

tingkat Kabupaten/Kota dan dikembangkan di lahan Pemerintah Daerah dengan

pembangunan pada lahan masyarakat. Syakir (2015) menyebutkan bahwa TTP

merupakan: (a) Tempat untuk penerapan teknologi pertanian hulu-hilir

berwawasan agrobisnis yang bersifat spesifik lokasi, (b) Tempat untuk

percontohan dan penerapan inovasi yang telah dikembangkan di TSP, dan (c)

Tempat pelatihan, pemagangan, inkubasi kemitraan usaha, diseminasi teknologi,

dan pusat advokasi bisnis ke masyarakat luas.

Hansson et al., (2005) menyatakan taman sains sebagai instrumen kebijakan

yang meningkatkan promosi atau mendukung pengembangan dan inovasi spesifik

lokasi dalam pendirian perusahaan baru melalui jaringan antar akademik institusi

dan industri, serta peran khusus taman sains menyediakan kedekatan antar peneliti

yang dipekerjakan di berbagai lembaga dan perusahaan untuk meningkatkan

interaksi dan transfer pengetahuan ilmiah ke dalam konteks komersial.

2.1.3 Pemberdayaan

Menurut Sulistiyani (2004) bahwa pemberdayaan dapat dimaknai sebagai

suatu proses menuju berdaya atau suatu proses dalam memperoleh daya, kekuatan,

kemampuan maupun suatu proses pemberian daya, kekuatan, kemampuan dari

pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya.

Pengertian “proses” menunjuk pada serangkaian tindakan atau merupakan

langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sistematis yang mencerminkan

pentahapan upaya mengubah masyarakat yang kurang berdaya menuju

14

keberdayaan. Proses akan merujuk pada suatu tindakan nyata yang dilakukan

secara bertahap untuk mengubah kondisi masyarakat lemah baik, knowledge,

attitude, maupun practice (KAP) menuju pada penguasaan pengetahuan,

sikap-perilaku sadar dan kecakapan-keterampilan yang baik.

Penjelasan lainnya, yaitu menurut Mardikanto dan Soebianto (2013) bahwa

pemberdayaan merupakan upaya untuk membangun daya itu sendiri dengan

mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang

dimilikinya, serta berupaya untuk mengembangkannya. Proses pemberdayaan

dapat berupa serangkaian kegiatan atau tindakan yang dilakukan untuk

memperkuat dan mengoptimalkan masyarakat yang belum berdaya menuju

keberdayaan. Menurut Sulisyowati (2003) dalam Sulistyati (2009) bahwa upaya

dalam memberdayakan masyarakat harus dilaksanakan melalui 3 (tiga) strategi

yakni: 1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi

masyarakat berkembang; 2) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki; dan 3)

3) Pemberdayaan masyarakat mengandung arti melindungi.

Sulistyati et al., (2016) mendefinisikan pemberdayaan ialah upaya

membangun daya masyarakat penerima bantuan ternak domba secara terencana

dan sistematis melalui pembinaan dan bimbingan berdasarkan dimensi yakni

kemampuan (enabling), kekuatan (empowering) dan kemandirian (self help).

Ditambahkan pula oleh Sulistyati et al., (2011) bahwa pendekatan pemberdayaan

menempatkan masyarakat bukan sebagai objek, tetapi sebagai subjek atau pelaku

pembangunan yang menentukan hidup dan merupakan pembangunan yang

berpusat pada rakyat. Pemberdayaan akan mengantar masyarakat dalam proses

untuk menganalisis masalah dan peluang yang ada, serta mencari jalan keluar

sesuai sumber daya yang dimiliki.

15

Berkenaan dengan pemaknaan konsep pemberdayaan masyarakat, menurut

Sulistiyani (2004) bahwa inti dari pemberdayaan yakni meliputi tiga hal,

pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering),

terciptanya kemandirian (self help), sehingga berdasarkan hal tersebut bahwa

pemberdayaan tidak saja terjadi pada masyarakat yang tidak memiliki

kemampuan, akan tetapi pada masyarakat yang memiliki daya yang masih

terbatas, dapat dikembangkan hingga mencapai kemandirian.

Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan ialah untuk membentuk

individu dan masyarakat menjadi mandiri. Sulistiyani (2004) menyebutkan

kemandirian meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa

yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang

dialami oleh masyarakat, ditandai oleh kemampuan untuk memikirkan,

memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai

pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya

kemampuan yang terdiri atas kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik, afektif,

dengan pengerahan sumber daya yang dimiliki oleh lingkungan internal

masyarakat tersebut.

Sary (2015) menambahkan bahwa pemberdayaan sumber daya manusia

pertanian perlu dikembangkan terus menerus agar semakin maju dan efisien serta

diarahkan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi melalui usaha

diversifikasi, intensifikasi dan ekstensifikasi sehingga taraf hidup kesejahteraan

petani dapat diperbaiki.

2.1.4 Keberdayaan Peternak

Keberdayaan adalah kekuatan (power), yaitu kekuatan untuk berubah atau

gerak dinamis untuk mencapai tujuan (Page dan Czuba, 1999). Keberdayaan yaitu

sebagai pencapaian dari suatu pemberdayaan yang memiliki makna sebagai

16

kemampuan dalam bersenyawa dengan masyarakat sekitar sehingga dapat

mengembangkan diri serta dapat mencapai kemajuan (Kartasamita, 1996).

Disebutkan pula bahwa keberdayaan masyarakat adalah unsur-unsur yang

memungkinkan suatu masyarakat bertahan dan dalam pengertian yang dinamis

mampu mengembangkan diri dan berhasil mencapai tujuan (Arintadisastra, 2001).

Menurut Yunasaf (2011) bahwa peternak yang berdaya dipersonifikasi

sebagai seorang individu yang memiliki keterampilan memelihara ternak yang

baik, pengelolaan usaha yang baik, serta sebagai individu otonom. Peternak

sebagai manajer diharapkan dapat mengambil keputusan yang tepat agar usahanya

mencapai keberhasilan dan peternak sebagai pemelihara ternak dapat menguasai

dan melaksanakan aspek teknis beternak dengan baik, sedangkan peternak sebagai

individu otonom diharapkan dapat bersikap kritis di dalam memperjuangkan

hak-haknya. Ditambahkan Aminah et al., (2015) bahwa peternak yang berdaya

memiliki pengetahuan dan keterampilan, berperan dalam mengambil keputusan

dan mampu mengelola dan mengatasi masalah usahatani.

Keberdayaan dalam konteks masyarakat menurut Wrihatnolo dan

Dwidjowijoto (2007) ialah kemampuan individu yang bersenyawa dalam

masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat bersangkutan. Masyarakat

yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat serta

inovatif, tentu memiliki keberdayaan yang tinggi. Keberdayaan masyarakat adalah

unsur-unsur yang memungkinkan masyarakat untuk bertahan (survive).

Sebab-sebab peternak belum berdaya secara makro berhubungan dengan

arus pembangunan yang lebih menempatkan peternak sebagai objek, karena

penerapan pendekatan pembangunan yang tidak memberdayakan, sehingga

potensi kreatif peternak menjadi kurang berkembang (Yunasaf, et al., 2007).

17

1) Keberdayaan Sebagai Pemelihara Ternak

Mauludin et al., (2012) menyebutkan bahwa keberdayaan peternak sebagai

pemelihara ternak yaitu tingkat berkembangnya kemampuan peternak dalam

menguasai dan melaksanakan aspek teknis dalam beternak dan kemampuan yang

memadai dalam mengambil keputusan dalam rangka mencapai keberhasilan.

Menurut Arintadisastra (2001) bahwa upaya dalam memberdayakan

masyarakat harus dilaksanakan melalui tiga cara, yaitu: 1) Menciptakan suasana

atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang, dengan

pengenalan nilai bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi yang

dapat dikembangkan, sehingga dengan kata lain pemberdayaan merupakan upaya

untuk membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya, serta berupaya

untuk mengembangkannya; 2) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki

masyarakat, dalam hal ini diperlakukan langkah nyata seperti pembukaan akses

kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya

dalam memanfaatkan peluang; 3) Melindungi atau mencegah masyarakat lemah

menjadi bertambah lemah atau tidak berdaya.

2) Keberdayaan Peternak Sebagai Manajer

Pengertian manajer ialah seseorang yang memimpin, mengawasi atau

mengarahkan suatu usaha dalam upayanya menghasilkan keuntungan (Ensminger,

1993). Peternak harus bisa berperan sebagai manajer di peternakannya sendiri dan

menguasai manajerial dalam usaha ternaknya, dikarenakan manajerial merupakan

faktor penting dalam keberhasilan usaha tani ternak Untuk meraih sukses dalam

kegiatan usaha ternaknya seorang manajer usaha ternak memerlukan kemampuan

yang baik dan perlu meluangkan manajemen. Menurut Prawirokusumo (1990) jika

seorang manajer menguasai keahlian manajemen, maka seorang manajer akan

18

mampu bertahan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam

dunia bisnisnya.

Langkah awal bagi manajemen yang efektif menurut Mahekam (1991) ialah

kemampuan menetapkan sasaran atau tujuan yang diharapkan dan direncanakan

untuk dicapai suatu bisnis. Para peternak dalam arti ekonomi adalah para manajer

sumber daya yang memanipulasi tenaga kerja, lahan, modal dan sumber daya

lainnya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Ditambahkan pula oleh Thoha

(2009) bahwa seorang manajer yang efektif mampu berperan dalam memproduksi,

melaksanakan, melakukan informasi dan memadukan (intergrating).

Seorang manajer baik dalam perusahaan besar maupun kecil harus memiliki

kemampuan dalam mengambil keputusan dan menanggapi berbagai tantangan,

serta selain itu, seorang manajer harus memiliki tanggung jawab terhadap kinerja

dan kefektifan perusahaan. Langkah awal bagi manajemen yang efektif adalah

kemampuan menetapkan sasaran atau tujuan yang diharapkan dan direncanakan

untuk dicapai suatu bisnis. Disebutkan bahwa seorang manajer yang efektif

mampu menyusun dan merinci tujuan dari usahanya, selain itu manajer juga harus

mampu membuat keputusan mengenai tindakan-tindakan yang akan dan tidak

akan mencapai sasaran perusahaan (Griffin dan Ebert, 2007).

Prawirokusumo (1990) menyebutkan bahwa peternak dikatakan berdaya

apabila telah mampu memelihara ternak dengan baik, yakni peternak telah mampu

menguasai seluruh aspek teknis dalam beternak dengan baik dan benar. Peternak

yang berdaya ialah peternak yang telah memiliki kemandirian dan keterampilan

yang baik dalam beternak, hal ini dimaksudkan agar mendapatkan hasil produksi

yang optimal dan menguntungkan.

Ditambahkan oleh Djaelani et al., (2009) bahwa usaha gaduhan sapi potong

yang dilakukan dapat memberdayakan peternak rakyat, yang hal ini dapat dilihat

19

pada peningkatan pendapatan, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan populasi

sapi potong berdasarkan usaha gaduhan sapi potong yang telah dilakukan.

2.1.5 Kemitraan

Dasar hukum kemitraan diwujudkan dengan lahirnya Undang-Undang No.9

Tahun 1995 tentang usaha kecil, serta Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997

tentang kemitraan. Kemitraan usaha (partnership) sendiri didefinisikan sebagai

kerja sama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang

disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah

atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling

memperkuat, dan saling menguntungkan.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.940/ktsp/OT.210/10/97

tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, menyebutkan bahwa tujuan

kemitraan Usaha Pertanian ialah untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan

usaha, meningkatkan sumber daya kelompok mitra, dan skala usaha, dalam rangka

menumbuhkan dan meningkatkan skala usaha, dalam rangka menumbuhkan dan

meningkatkan kemampuan kelompok mitra yang mandiri. Berdasarkan SK

Menteri Pertanian tersebut, bahwa pola kemitraan terbagi menjadi lima pola

kemitraan yaitu; (1) Pola inti plasma, (2) Pola Sub Kontrak, (3) Pola Dagang

Umum, pola keagenan, (4) Pola Keagenan, dan (5) Pola Kerja sama Operasional

Agribisnis (KOA).

Spencer (1977) dalam Saptana (2013) mendefinisikan kemitraan usaha

(partnership) ialah merupakan suatu asosiasi yang terdiri dari dua orang atau

lebih, sebagai pemilik bersama yang menjalankan suatu bisnis mencari

keuntungan. Kemitraan bisnis atau ekonomi dapat didefinisikan sebagai suatu

proses melalui mana pihak-pihak yang terlibat membangun keunggulan kompetitif

20

lebih melalui penyatuan dalam suasana saling percaya yang berfokus pada

improvisasi bersama.

Sulistyati et al., (2004) menambahkan bahwa kemitraan mempertemukan

antara pihak peternak dan pihak penguasa modal sebagai penyedia modal sehingga

nampak pola kemitraan yang merupakan suatu sistem agribisnis peternakan yang

perlu diberdayakan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pihak yang bermitra menurut

(Djokopranoto dan Indrajit, 2002) yaitu: 1) Para pihak yang bermitra harus

bersedia melepaskan sebagian dari kebebasannya dalam posisi kekuasaanya demi

kesempatan memperoleh keuntungan yang lebih besar; (2) Para pihak yang

bermitra harus saling berkontribusi secara sebanding baik dalam investasi maupun

keuntungan yang didapat; 3) Pemasok perlu mengubah sikapnya dari sekedar

mengusahakan kepuasan pembeli, menjadi lebih proaktif dalam memikirkan dan

mengusahakan agar pembelinya lebih memiliki kemampuan bersaing melalui

proyeksi bersama; 4) Pembeli juga perlu mengubah sikapnya dari sekedar

berusaha membeli dalam jumlah yang besar sehingga menekan biaya, menjadi

lebih berpartisipasi dengan pemasok dalam usaha yang dapat menguntungkan

kedua belah pihak; 5) Tidak hanya investasi dan keuntungan yang dipikul

bersama, tetapi juga biaya ekstra yang mungkin timbul, dan jangan pula

membebankan biaya tersebut kepada salah satu pihak saja; dan 6) kedua belah

pihak yang bermitra harus berkerja sama dengan anggota rantai pasok lain untuk

meningkatkan kemampuan jaringan rantai pasok secara keseluruhan.

Menurut Suryana (2009) kemitraan merupakan suatu kegiatan kerja sama

antar pelaku agribisnis dimulai dari ingkar pra-produksi, produksi, hingga

pemasaran yang dilandasi asas saling membutuhkan dan menguntungkan antara

pihak-pihak yang berkerja sama, dalam hal ini perusahaan dan petani peternak

untuk saling berbagi biaya, resik dan manfaat.

21

Mat Sukur (1996) dalam Sulistyati et al., (2004), yang menyatakan bahwa

azas kemitraan usaha agribisnis mengacu pada terciptanya suasana seimbang,

keselarasan dan keterpaduan antar pelaku kemitraan dengan azas operasional

sebagai berikut: (1) Dari segi hukum kedudukan antar sesama mitra usaha adalah

sama; (2) Saling menguntungkan; (3) Saling mempercayai; (4) Saling memerlukan

antara pengusaha sebagai pemasok bahan baku dan peternak memerlukan

penampungan hasil dan bimbingan; (5) Saling melaksanakan etika bisnis.

Menurut Saptana (2013) bahwa pengembangan ekonomi petani dan usaha

kecil melalui kemitraan usaha harus didasarkan pada semangat kemitraan usaha

yaitu; 1) Mempunyai tujuan yang sama; 2) Saling menguntungkan; 3) Saling

mempercayai; 4) Bersifat saling terbuka; 5) Menjalin kerja sama jangka panjang;

dan 6) Secara terus menerus mengusahakan perbaikan dalam mutu dan biaya.

Disebutkan oleh Sulistiyani (2004) bahwa esensi kemitraan usaha dalam bisnis

terletak pada kontribusi bersama, baik berupa tenaga (labor), modal (capital),

lahan (land) maupun kepemilikan lainnya, atau kombinasi antar faktor tersebut

untuk tujuan ekonomi, yang pengendalian kegiatannya dilakukan bersama dan

pembagian keuntungan atau kerugian didistribusikan di antara mitra

kontributornya.

Tujuan terjadinya suatu kemitraan menurut Sulistiyani (2004) ialah untuk

mencapai hasil yang lebih baik, dengan saling memberikan manfaat antar pihak

yang bermitra, sehingga dengan demikian, kemitraan hendaknya memberikan

keuntungan kepada pihak-pihak yang bermitra dan bukan sebaliknya ada suatu

pihak yang dirugikan atau merugikan. Upaya dalam terjadinya sebuah kemitraan

yang kuat dan saling menguntungkan serta memperbesar manfaat memerlukan

komitmen yang seimbang antara satu sama lain. Manfaat yang dapat dicapai dari

22

usaha kemitraan menurut Hafsah (2000) meliputi produktivitas, efisiensi, jaminan

kualitas, kuantitas, dan kontinuitas, resiko serta sosial.

Ditambahkan pula oleh Syahyuti (2006) bahwa telah dirumuskan tujuh

model kemitraan usaha yang dijalankan oleh direktorat teknis yaitu; 1) Model inti

plasma; 2) Model sistem pertanian kontrak; 3) Model sub kontrak; 4) Model

dagang umum; 5) Model vendor; 6) Model keagenan; dan 7) Model kerja sama

operasional agribisnis (KOA).

1) Model Inti Plasma

Model ini merupakan hubungan kemitraan antara Usaha Kecil (UK) atau

petani dengan usaha besar (perusahaan pertanian), yang Usaha Menengah

(UM) atau Usaha Besar (UB) tersebut bertindak sebagai inti dan Usaha

Kecil selaku plasma.

2) Model Sistem Pertanian Kontrak (Contract Farming)

Model ini yaitu apabila terjadinya hubungan kerja sama antara kelompok

Usaha Kecil (UK) dengan perusahaan pengolah skala Usaha Menengah

(UM) dan Usaha Besar (UB) yang dituangkan dalam suatu perjanjian

kontrak jual beli secara tertulis untuk jangka waktu tertentu, sehingga

sistem ini sering disebut sebagai kontrak pembelian.

3) Model Sub Kontrak

Dalam model ini, disebutkan bahwa Usaha Kecil (UK) memproduksi

komponen atau jasa yang merupakan bagian dari produksi Usaha

Menengah (UM) atau Usaha Besar (UB).

4) Model Dagang Umum

23

Pola kemitraan dagang umum yaitu suatu hubungan kemitraan usaha antar

kelompok mitra dengan perusahaan mitra, yang kelompok mitra tersebut

memasok kebutuhan perusahaan mitra sesuai dengan persyaratan yang

ditentukan.

5) Model Vendor

Model Vendor yaitu Usaha Menengah (UM) dan Usaha Besar (UB)

menggunakan hasil produksi yang merupakan spesialisasi kerja Usaha

Kecil (UK) untuk melengkapi produk yang dihasilkan Usaha Menengah

dan Usaha Besar.

6) Model Keagenan

Pada model ini kelompok mitra (usaha kecil) diberi hak khusus untuk

memasarkan barang dan jasa usaha perusahaan mitra (usaha menengah dan

usaha besar).

7) Model Kerja sama Operasional Agribisnis (KOA)

Model KOA, yaitu kelompok mitra menyediakan lahan, sarana produksi

dan tenaga kerja, sedangkan perusahaan mitra menyediakan modal dan

sarana untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditas

pertanian.

Sulistiyani (2004) bahwa kemitraan usaha agribisnis merupakan suatu

rangkaian proses meliputi tahapan-tahapan yaitu: 1) Membangun hubungan

dengan calon mitra; 2) Mengerti kondisi bisnis pihak-pihak yang bermitra; 3)

Menentukan target atau tujuan yang akan dicapai; (4) Mengembangkan strategi;

(5) Mengembangkan program; (6) Memulai pelaksanaan kemitraan agribisnis; (7)

Memonitor dan mengevaluasi perkembangan kemitraan usaha agribisnis.

Ditambahkan oleh Saptana (2013) bahwa strategi kemitraan usaha agribisnis dapat

berhasil jika dilakukan secara bertahap meliputi: (1) Pemberdayaan; (2)

24

Pengembangan; (3) Peningkatan daya saing; (4) Pendalaman industri; dan (5)

Dukungan pemerintah.

2.1.6 Teori Pertukaran

Teori Pertukaran sosial berangkat dari asumsi “saya memberi supaya engkau

memberi”. Skema memberi dan mendapatkan kembali jumlah yang sama ini

menimbulkan begitu banyak pertukaran atau tingkah laku yang dipertukarkan di

dalam kehidupan sosial (Raho, 2007). Disebutkan pula bahwa teori Homans

memandang perilaku sosial sebagai pertukaran aktivitas, yang ternilai ataupun

tidak dan kurang lebih menguntungkan bagi dua orang yang saling berinteraksi

(Ritzer dan Goodman, 2017).

Raho (2007) menjelaskan bahwa dalam mengembangkan teori pertukaran,

Homans mengemukakan terdapat beberapa proposisi untuk menjelaskan tingkah

laku sosial yang paling dasar. Adapun proposisi-proposisi dari Homans yaitu,

proposisi sukses, proposisi rangsangan atau stimulus, proposisi nilai, proposisi

kejenuhan dan proposisi persetujuan dan agresi.

Disebutkan pula oleh Ritzer dan Goodman (2007) bahwa proposisi yang

merupakan inti dari teori pertukaran sosial Homans meliputi; proposisi sukses,

proposisi stimulus, proposisi nilai, proposisi kelebihan dan kekurangan, proposisi

agresi-pujian, dan proposisi rasional.

1) Proposisi Sukses

Apabila jika seseorang sering melakukan suatu tindakan dan orang tersebut

mendapatkan imbalan dari apa yang dilakukan, maka semakin besar

kecenderungan orang tersebut akan melakukan kembali pada waktu yang

akan datang.

2) Proposisi Stimulus

25

Apabila jika pada masa lalu terjadi stimulus tertentu, atau serangkaian

stimulus ialah situasi ketika tindakan seseorang diberikan imbalan, maka

semakin mirip stimulus saat ini dengan stimulus masa lalu, semakin besar

kecenderungan orang tersebut mengulangi tindakan yang sama atau serupa.

3) Proposisi Nilai

Apabila jika semakin bernilai tindakan bagi seseorang, maka semakin

cenderung orang tersebut melakukan tindakan serupa.

4) Proposisi Kelebihan dan Kekurangan

Apabila jika pada saat tertentu, seseorang semakin sering menerima

imbalan tertentu, maka semakin kurang bernilai imbalan yang selanjutnya

diberikan kepadanya.

5) Proposisi Agresi – Pujian

Proposisi A : Apabila ketika tindakan seseorang tidak mendapatkan

imbalan yang diharapkan atau menerima hukuman yang tidak diharapkan,

maka orang tersebut akan marah, cenderung berperilaku agresif dan akibat

perilaku tersebut menjadi lebih bernilai untuknya.

Proposisi B : Apabila ketika tindakan seseorang menerima imbalan yang

diharapkannya, khususnya imbalan yang lebih besar dari yang

diharapkannya, atau tidak mendapatkan hukuman yang diharapkan maka

seseorang tersebut akan senang. Seseorang tersebut cenderung berperilaku

menyenangkan dan hasil tindakan ini lebih bernilai baginya.

6) Proposisi Rasional

Apabila ketika seseorang memilih tindakan alternatif, seseorang tersebut

akan memilih tindakan sebagaimana yang dipersepsikannya kala itu, jika

nilai hasilnya dikalikan dengan probabilitas keberhasilan, maka hasilnya

lebih besar.

26

2.1.7 Kelompok

Ditemukan beberapa pengertian mengenai kelompok. Soekanto (1990)

kelompok merupakan kesatuan manusia yang hidup bersama karena adanya

hubungan yang sama di antara mereka, yang hubungan tersebut antara lain

menyangkut hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu

kesadaran untuk saling membantu. Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa

kelompok ialah himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama sehingga

terdapat hubungan timbal-balik dan saling pengaruh-mempengaruhi serta

memiliki kesadaran untuk saling tolong-menolong. Menurut Mulyana (2001)

menjelaskan bahwa kelompok merupakan sekumpulan orang yang mempunyai

tujuan bersama, yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama,

mengenal satu sama lainnya dan memandang mereka sebagai bagian dari

kelompok tersebut.

Salah satu ciri terpenting dari suatu kelompok menurut Bowo et al., (2011)

ialah adanya suatu tujuan bersama yang ingin dicapai oleh anggota-anggota

kelompok yang bersangkutan. Andarwati (2012) menambahkan bahwa ciri-ciri

kelompok yaitu memiliki ikatan yang nyata, interaksi dan interelasi sesama

anggotanya, struktur dan pembagian tugas yang jelas, kaidah-kaidah atau

norma-norma terntentu yang disepakati bersama dan keinginan tujuan bersama.

Terbentuknya suatu kelompok didasari pada alasan individu untuk

melibatkan diri bergabung. Kelompok akan terbentuk dan bisa berjalan jika

adanya kesepakatan dan persatuan antar individu. Hal tersebut menujukan bahwa

hendaknya memahami dengan baik mengenai maksud dan tujuan mereka berada

di dalam kelompok. Jika tidak ada keterlibatan secara bersama, maka kelompok

akan sangat rentan dekat dengan pembiaran yang berujung pada konflik

kepentingan (Duha, 2016).

27

Kelompok memiliki peran penting dalam menunjang kesejahteraan peternak

karena dengan adanya kelompok, peternak dapat saling bertukar pikiran dan

menjalin kerja sama. Selain itu, dengan adanya kelompok, peternak mampu

mengembangkan usaha sehingga lebih efisien dalam pengelolaan usahanya.

(Maryanti dan Suryawati, 2001). Kelompok juga dapat berperan sebagai suatu

kelas belajar, unit produksi usahatani, dan sebagai wahana kerja sama antara

anggota kelompok dengan pihak lain (Departemen Pertanian, 2007).

Bowo et al.,(2011) menyatakan kelompok merupakan aspek penting yang

sangat diperhatikan dalam program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat

yang dibuat oleh pemerintah, oleh karena itu biasanya dalam suatu program

pemerintah dibentuk kelompok untuk menjadi pengelola dalam setiap dana

bantuan dan pelatihan pemberdayaan pada suatu program pembangunan. Ruhimat,

(2017) menambahkan bahwa kapasitas kelembagaan kelompok tani merupakan

salah satu faktor penting dalam program pengembangan usahatani, tingkat

kapasitas kelompok dipengaruhi secara langsung oleh tingkat kedinamisan dan

tingkat partisipasi, serta secara tidak langsung dipengaruhi oleh kapasitas anggota,

peran penyuluh, pihak luar dan karakteristik individu anggota.

2.1.8 Usaha Domba Garut

Domba di Indonesia umumnya mampu berkembang dan bertahan di semua

zona agroekologi, oleh karena itu domba tersebar hampir di seluruh wilayah

Indonesia. Ternak domba telah dipelihara oleh masyarakat pedesaan sebagai

komoditas tabungan yang apabila sewaktu-waktu dapat diuangkan untuk menutupi

kebutuhan rumah tangga termasuk biaya-biaya lain seperti biaya pendidikan,

kesehatan, pesta perkawinan atau acara khitanan. Selain pemeliharaan domba

sebagai tabungan, terdapat juga beberapa peternak yang memelihara domba

28

sebagai kesenangan, seperti memelihara Domba Garut untuk seni ketangkasan

(Herlina et al., 2015).

Diketahui bahwa daerah Jawa Barat merupakan salah satu provinsi sentra

peternakan domba di Indonesia, dengan jumlah populasi mencapai 10.038.828

ekor atau 55,58% dari total populasi domba yang ada di Indonesia (Badan Pusat

Statistik Provinsi Jawa Barat, 2017).

Salah satu jenis domba yang berada di daerah Jawa Barat yaitu Domba

Garut. Domba Garut merupakan salah satu sumber daya genetik di Jawa Barat

yang perlu dijaga dan dilestarikan. Heriyadi (2011) menyatakan bahwa asal-usul

perkembangan Domba Garut diyakini berasal dari domba lokal asli Garut, yaitu

dari daerah Cibuluh dan Cikeris di Kecamatan Cikajang serta Kecamatan

Wanaraja, dengan ciri-ciri yaitu kuping rumpung atau ngadaun hiris yang

berkombinasi dengan ekor segi tiga (ngabuntut beurit/ngabuntut bagong), yang

ciri ini sangat khas dan tidak terdapat pada domba manapun di seluruh muka

bumi.

Karakter Domba Garut secara kualitatif digambarkan dengan; warna bulu

hitam, putih, cokelat atau kombinasi; bentuk daun telinga terdiri atas dua bentuk

yaitu bentuk daun telinga rumpun yang kurang dari 4 cm dan bentuk daun telinga

ngedaun hiris dengan panjang 4-8 cm; bentuk ekor terdiri atas dua bentuk yaitu

ekor ngabuntut bagong dan ekor ngabuntut burit; dan bentuk tanduk terdiri atas

beberapa bentuk yaitu tanduk leang, tanduk gayor, tanduk ngabendo, dan tanduk

ngagolong tambang, (Badan Standardisasi Nasional, 2015).

Disebutkan oleh Nurachma et al., (2015) bahwa Domba Garut diketahui

memiliki keistimewaan dibandingkan domba lokal lainnya yang ada di Jawa

Barat, karena selain sebagai penghasil daging, Domba Garut sangat terkenal

terkait dengan budaya ketangkasan domba. Disebutkan pula oleh Heriyadi (2011)

29

bahwa seni tangkas pada Domba Garut sudah menjadi kebudayaan masyarakat

Jawa Barat terutama terutama masyarakat Priangan sejak zaman dahulu sampai

sekarang.

Domba merupakan salah satu komoditas unggulan yang perlu

dikembangkan, karena memiliki prospek yang baik (Heriyadi dan Mayasari,

2006). Berdasarkan hasil penelitian Purwano (1983) di Kecamatan Cikajang

Kabupaten Garut mengungkapkan bahwa pendapatan usaha domba lebih rendah

dibanding pendapatan yang diperoleh dari usaha tani, namun usaha domba dapat

meningkatkan pendapatan petani skala kecil, sedang dan besar masing-masing

sebesar 61,87%; 27,0%; 18,89% dari pendapatan awal yang hanya berasal dari

usaha tani.

Salah satu aspek keberhasilan beternak dapat melalui penerapan

pedoman-pedoman pembibitan kambing dan domba yang baik (Good Breeding

Practice), dengan memperhatikan aspek-aspek yang ada, seperti pemilihan lokasi

(lahan dan sumber air), sarana dan prasarana (kandang, bibit, seleksi induk dan

seleksi pejantan), pemeliharaan (pakan hijauan, pemberian konsentrat),

reproduksi, dan kesehatan ternak (Permentan, 2006).

2.2 Kerangka Pemikiran

Taman Teknologi Pertanian (TTP) merupakan suatu program Kementerian

Pertanian dalam mewujudkan visi pembangunan Indonesia periode pemerintahan

2014-2019 (“Terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian

berlandaskan gotong-royong”), dengan agenda prioritas meningkatkan

produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional.

Disebutkan bahwa TTP merupakan wadah untuk menerapkan teknologi

pertanian hulu-hilir, berwawasan agrobisnis dan bersifat spesifik lokasi dengan

kegiatan meliputi; penerapan teknologi pra-produksi, produksi, panen,

30

pascapanen, pengolahan hasil, pemasaran, wahana untuk pelatihan dan

pembelajaran bagi masyarakat, serta pengembangan kemitraan agrobisnis dengan

swasta. Diketahui fungsi-fungsi TTP meliputi : 1) Pengembangan inovasi bidang

pertanian dan peternakan yang telah dikaji, untuk diterapkan dalam skala

ekonomi; 2) Sebagai tempat pelatihan, pemagangan, pusat diseminasi teknologi,

dan pusat advokasi bisnis ke masyarakat luas.

Salah satu TTP yang dibangun pada tahun 2015 adalah TTP Cikajang yang

berlokasi di Desa Cikandang, Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut Jawa Barat.

TTP Cikajang mempunyai visi (“Menjadi kawasan agrobisnis hortikultura dataran

tinggi unggulan nasional berbasis inovasi teknologi ramah lingkungan”) dan misi

(“menyediakan pelayanan teknis dalam upaya menciptakan wirausaha berbasis

inovasi; mendiseminasikan inovasi teknologi hortikultura”).

Pemberdayaan dimaknai sebagai suatu proses untuk berdaya atau suatu

proses untuk memperoleh (daya, kekuatan, kemampuan) dan atau pemberian

(daya, kekuatan, kemampuan) dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang

kurang atau belum berdaya. Diketahui bahwa keberdayaan peternak yakni tingkat

berkembangnya peternak dalam menguasai dan melaksanakan aspek teknis dalam

beternak yang baik, sehingga dapat meningkatkan keberdayaan peternak dari

peternak tradisional menjadi peternak mandiri. Adanya keberdayaan dapat

meningkatkan harkat dan martabat melepaskan perangkap diri dari kemiskinan

dan keterbelakangan.

Proses pemberdayaan (empowering) yang dilakukan TTP kepada peternak di

kawasan TTP Cikajang merupakan kondisi yang dapat menumbuhkan atau upaya

untuk meningkatkan pengetahuan (knowledge), sikap-perilaku (attitude), dan

kecakapan-keterampilan (practise). Selain itu TTP Cikajang juga melakukan kerja

sama pola kemitraan dengan peternak di sekitar TTP. Berdasarkan uraian, pola

31

kemitraan model inti plasma yang diterapkan di TTP Cikajang dengan

aturan-aturan yang disepakati bersama antara TTP (sebagai inti) dan peternak

(sebagai plasma). Pada kemitraan terjadi sistem pertukaran antara inti (TTP)

dengan plasma (peternak), untuk menganalisa keberdayaan di analisis dengan

pendekatan teori pertukaran (exchange theory).

Berdasarkan teori pertukaran sosial Homans yang membagi atas beberapa

proposisi, kemungkinan proposisi yang sesuai permasalahan tentang kerja sama

pola model inti plasma menurut peneliti yaitu, proposisi sukses, proposisi stimulus

dan proposisi nilai.

Tujuan pemberdayaan yaitu: (1) Terciptanya enabling (menciptakan suasana

yang mendukung potensi peternak); (2) Empowering (mengembangkan potensi

dari peternak); (3) Terciptanya self help (kemandirian). Harapan dampak proses

pemberdayaan yang dilakukan TTP kepada peternak adalah terciptanya

keberdayaan. Keberdayaan adalah kemampuan mengembangkan potensi yang

dimiliki, kemampuan memperkuat potensi yang ada seperti peningkatan

pengetahuan, keterampilan, dalam teknis pemeliharaan ternak, mampu mengelola

dan berperan dalam mengambil keputusan untuk mengatasi usahanya, serta

terbukanya kesempatan memanfaatkan peluang ekonomi, sehingga apa yang di

programkan pemerintahan periode 2014-2019 meningkatkan produktivitas rakyat

dapat terwujud. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan kecenderungan

keterkaitan variabel sebagai berikut:

1) TTP berperan dalam pemberdayaan peternak domba di Desa Cikandang

dilihat dari pengembangan kapasitas peternak, memperkuat sumber daya

yang ada dan kemandirian peternak.

Program Kementan RI PeriodePemerintahan 2014-2019

Kebijakan

TTP CIKAJANG

Kelompok

- Kelompok ternak- Kelompok tani

Pemberdayaan

Pengembangan Memperkuat potensi/daya

Pola Kemitraan

Model Inti plasma Teori pertukaran

Keberdayaan / dampak

Pemeliharaan ternak Individu yang otonom

32

2) Kerja sama pola kemitraan model inti plasma berlaku sistem pertukaran

proposisi sukses, proposisi stimulus, dan proposisi nilai sebagai salah satu

cara pemberdayaan peternak domba.

3) Kerja sama pola kemitraan dan pemberdayaan memberikan dampak

terhadap kinerja peternak (kemampuan/enabling, kekuatan/empowering,

dan kemandirian/self help) .

Kerangka pikir penelitian digambarkan pada bagan berikut:

33

Gambar 2. Kerangka Pikir Penelitian

2.3. Batasan Konsep Penelitian

Batasan konsep dalam penelitian ini adalah :

1) Pengertian peternak domba dalam penelitian ini adalah peternak domba

yang tergabung dalam TTP yang menerima bantuan domba.

2) TTP dalam penelitian ini adalah TTP Cikajang yang berlokasi di desa

Cikandang, Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat.

3) Memberdayakan peternakan domba dalam penelitian ini meliputi

pemberdayaan yang dilakukan TTP dan kerja sama pola kemitraan dengan

peternak domba.

4) Kinerja peternak dalam penelitian ini meliputi peternak sebagai pemelihara

ternak atau kemampuan peternak yang memiliki keterampilan memelihara

ternak (enabling), individu otonom atau kekuatan untuk berubah dalam

mencapai tujuan (empowering), dan kemampuan mengambil keputusan

yang tepat dalam mencapai keberhasilan (self help).