Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

32
- 1 - IDENTIFIKASI INSTRUMEN PELAKSANAAN AKUNTABILITAS NASIONAL DI LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA * Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara Deputi Bidang Kajian Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia Abstrak Akuntabilitas merupakan salah satu prinsip utama tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang mengisyaratkan adanya perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban secara periodik. Disamping sebagai sebuah prinsip, akuntabilitas juga telah dijadikan oleh Pemerintah sebagai suatu kebijakan nasional yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan dari tingkat pusat maupun daerah. Diharapkan Pedoman Akuntabilitas Nasional ini dapat memberikan kejelasan bagi para pengambil kebijakan dalam upaya meningkatkan akuntabilitas para penyelenggara negara dalam rangka kesadaran hukum dan penegakan hukum di Indonesia. Kata Kunci : Akuntabilitas Nasional, Pemerintahan Yang baik, Penyelenggaraan Negara/Pemerintahan. * Disarikan dari hasil kajian Pengembangan Instrumen Akuntabilitas Nasional, Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara, Tahun 2011.

description

Abstrak Akuntabilitas merupakan salah satu prinsip utama tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang mengisyaratkan adanya perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban secara periodik. Disamping sebagai sebuah prinsip, akuntabilitas juga telah dijadikan oleh Pemerintah sebagai suatu kebijakan nasional yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan dari tingkat pusat maupun daerah. Diharapkan Pedoman Akuntabilitas Nasional ini dapat memberikan kejelasan bagi para pengambil kebijakan dalam upaya meningkatkan akuntabilitas para penyelenggara negara dalam rangka kesadaran hukum dan penegakan hukum di Indonesia. Kata Kunci : Akuntabilitas Nasional, Pemerintahan Yang baik, Penyelenggaraan Negara/Pemerintahan

Transcript of Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

Page 1: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

- 1 -

IDENTIFIKASI INSTRUMEN PELAKSANAAN AKUNTABILITAS NASIONAL DI LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA*

Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara

Deputi Bidang Kajian Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara

Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia

Abstrak Akuntabilitas merupakan salah satu prinsip utama tata kelola pemerintahan yang

baik (good governance) yang mengisyaratkan adanya perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban secara periodik. Disamping sebagai sebuah prinsip, akuntabilitas juga telah dijadikan oleh Pemerintah sebagai suatu kebijakan nasional yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan dari tingkat pusat maupun daerah. Diharapkan Pedoman Akuntabilitas Nasional ini dapat memberikan kejelasan bagi para pengambil kebijakan dalam upaya meningkatkan akuntabilitas para penyelenggara negara dalam rangka kesadaran hukum dan penegakan hukum di Indonesia. Kata Kunci : Akuntabilitas Nasional, Pemerintahan Yang baik, Penyelenggaraan Negara/Pemerintahan.

* Disarikan dari hasil kajian Pengembangan Instrumen Akuntabilitas Nasional, Pusat Kajian Hukum Administrasi

Negara, Tahun 2011.

Page 2: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

PENDAHULUAN

Reformasi di Indonesia telah

berjalan satu dekade lebih, namun hasil

yang ditorehkan melalui semboyan

reformasi tersebut belum menunjukkan

adanya perubahan yang berarti

khususnya dalam tubuh birokrasi di

negara ini. Semangat reformasi yang

menginginkan tercapainya

penyelenggaraan pemerintahan yang

terbebas dari unsur-unsur Korupsi, Kolusi

dan Nepotisme (KKN) sama sekali belum

dapat terwujudkan karena lemahnya

pengawasan dan minimnya peraturan

yang mengatur tentang akuntabilitas

lembaga negara. Fenomena seputar

pemerintahan yang mencerminkan betapa

buruknya negeri ini tentunya menjadi

agenda besar dan fokus dari reformasi

selanjutnya.

Penyelenggaraan negara yang

bebas dari praktek-praktek KKN belum

dapat terlaksana dengan baik yang dapat

kita saksikan setiap hari di televisi

maupun di koran yang memberitakan

kasus korupsi pejabat di negara ini

setidaknya dapat membuka mata hati kita

bahwa ternyata negara kita ini belum

sepenuhnya bebas dari jeratan KKN.

Permasalahan ini sebenarnya sudah ada

sejak lama dan sudah mendarah daging

ditubuh birokrasi negeri ini. Banyak

pejabat di instansi pemerintah maupun

BUMN yang dengan bangga dan dengan

santainya melakukan KKN. Hal ini salah

satunya disebabkan karena belum adanya

aturan/pedoman pertanggungjawaban

yang mendorong setiap pejabat instansi

pemerintah maupun lembaganya dalam

melaporkan setiap kegiatan maupun

dalam penggunaan anggaran negara.

Kondisi ini merupakan salah satu faktor

yang utama dari buruknya birokrasi di

Indonesia. Oleh karena itu, fokus

mengenai akuntabilitas penyelenggaraan

negara atau yang nantinya disebut sebagai

akuntabilitas nasional menjadi kajian yang

wajib diperdalam sehingga akan tercipta

penyelenggaran negara yang bebas dari

unsur-unsur KKN.

Di Indonesia, prinsip akuntabilitas

nasional ini secara eksplisit sudah

dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor

28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Bahkan dalam Undang-Undang tersebut

juga dinyatakan bahwa sebagai asas

umum penyelenggaraan negara,

akuntabilitas nasional adalah merupakan

asas yang menentukan bahwa setiap

kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan

penyelenggara negara harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada

masyarakat atau rakyat sebagai pemegang

kedaulatan tinggi negara.

Page 3: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

Penyelenggara negara yang

dimaksud di atas, meliputi pejabat negara

yang menjalankan fungsi eksekutif,

legislatif, yudisial, serta Direksi dan

Komisaris pada BUMN dan BUMD, Bank

Indonesia, Perguruan Tinggi Negeri, TNI

dan POLRI, lembaga auditif, lembaga

moneter, serta lembaga negara non

struktural.

Dari uraian tersebut di atas,

terdapat 2 (dua) hal yang positif dan

penting untuk dipahami, yakni:

(1) akuntabilitas nasional dapat

ditetapkan secara formal, sebagai asas

penyelenggara negara dan dimaknai

sebagai upaya mempertanggung

jawabkan hasil pelaksanaan dari

program dan kegiatan yang telah

ditetapkan oleh setiap

instansi/lembaga pemerintah kepada

masyarakat/rakyat sebagai pemegang

kedaulatan tertinggi, dan

(2) akuntabilitas nasional sedikitnya

harus menyebutkan pelaku atau siapa

dari setiap lnstansi/lembaga yang

harus ber-

akuntabel/mempertanggungjawabkan

atau menjalankan fungsi

pemerintahan, baik eksekutif, legislatif,

dan yudisial, serta Direksi, dan

komisaris pada BUMN dan BUMD,

Bank Indonesia, Perguruan Tinggi

Negeri, TNI dan POLRI, dan pimpinan

dari instansi/lembaga: auditif,

moneter, lembaga negara non

struktural.

Dengan demikian akuntabilitas

nasional ini nantinya dapat dijadikan

sebagai instrumen untuk mewujudkan

good governance. Undang-undang Nomor

28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Undang-undang ini, ditunjang dengan

peraturan yang mengatur tentang

akuntabilitas nasional, dapat dijadikan

sebagai instrumen yang mengatur lebih

detail tentang bentuk akuntabilitas

penyelenggara lembaga/instasi negara

yang lain baik secara eksplisit dalam

konteks yang lebih luas (tidak hanya

dalam konteks penyelenggaraan

pemerintahan negara yang bersih dan

bebas dari KKN) dan mengatur tentang

mekanisme akuntabilitas publik oleh

semua lembaga/instansi tersebut.

Selama ini, implementasi

akuntabilitas di Indonesia diatur dalam

Inpres Nomor 7 Tahun 1999 tentang

Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

(AKIP) yang secara detail dalam

opersionalnya diatur dalam keputusan

kepala LAN Nomor 589/IX/6/Y/1999

tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan

AKIP sebagaimana telah dicabut dengan

Keputusan Kepala LAN Nomor

Page 4: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

239/IX/6/Y/ 2003 tentang Pedoman

Penyusunan Pelaporan AKIP.

Ditinjau dari aspek kelembagaan

sistem akuntabilitas ini, memang sudah

ditetapkan dalam Inpres Nomor 7 Tahun

1999, yang selanjutnya didukung oleh

Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang

memiliki tugas dalam pengembangan

sistem AKIP, sedangkan Badan Pengawas

Keuangan Pengembangan (BPKP)

memiliki tugas untuk mengevaluasi

Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi

Pemerintah (LAKIP) tersebut.

Dalam perkembangannya, Inpres

Nomor 7 Tahun 1999 tersebut pada tahun

2004 ditindaklanjuti oleh Menteri Negara

Pendayagunaan Aparatur Negara

(MenPAN) dengan membentuk Deputi

Bidang Akuntabilitas sehingga LAKIP ini

selanjutnya disampaikan dan

dievaluasikan oleh Menteri Negara

Pendayagunaan Aparatur Negara

(MenPAN) tersebut.

Dari uraian tersebut di atas,

tampak bahwa adanya perbedaan yang

mencolok dengan apa yang diatur oleh PP

Nomor 8 Tahun 2006 tentang Laporan

Keuangan Kinerja Instansi Pemerintah,

yang lebih menekankan pada kinerja

pada kerangka keuangan† dengan unit

† Kinerja dalam kerangka penggunaan dan

pertanggungjawaban anggaran sebagaimana diamanahkan dalam UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 55. Tinjauan lebih detail

analisis pada kegiatan dan atau program,

akuntabilitas kinerja yang diatur dalam

Keputusan Kepala LAN Nomor

239/IX/6/8/2003 tentang pedoman

penyusunan pelaporan AKIP merupakan

pedoman yang diarahkan kedalam

perspektif pada kerangka/ perspektif

manajemen dan dengan menggunakan

unit analisis yang pada tingkat organisasi

secara utuh atau menyeluruh.

Sedangkan ditinjau dari sudut

pandang yang lain, sistem AKIP

sebagaimana diatur dalam Keputusan

Kepala LAN Nomor 239/IX/6/8/2003

masih relatif belum menekankan pada

akuntabilitas publik, melainkan lebih lebih

merupakan akuntabilitas administratif

atau vertikal. Sehingga aturan yang telah

ada tersebut hanya mengatur tentang

akuntabilitas administrative atau vertical

saja, hal ini dapat diketahui melalui aturan

yang diatur dalam inpres Nomor 7 Tahun

1999. Namun sayangnya terkait dengan

akuntabilitas publik mengenai pada

aspek: siapa yang harus menyajikan

akuntabilitas tersebut, meliputi instansi

pemerintah mencakup Kementrian, LPDN,

Propinsi, Kabupaten/ Kota, Markas Besar

TNI, POLRI, dan sekretariat lembaga

tertinggi negara (DPR/MPR, MA, BPK, dan

mengenai hal ini disajikan pada Bab II khususnya dalam Tinjauan Kebijakan.

Page 5: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

lain-lain), masih belum disampaikan

secara jelas.

Sehubungan dengan adanya

komitmen terhadap akuntabilitas publik

yang diberikan oleh instansi pemerintah,

dalam perkembangan kebijakan yang

ditetapkan oleh pemerintah ada salah satu

kebijakan yang cukup mengembirakan,

yakni dengan berlakunya PP Nomor 3

Tahun 2007 tentang Laporan

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

(LPPD) kepada DPRD, dan Informasi

Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah (LPPD) Kepada Masyarakat,

sebagai pengganti PP Nomor 56 Tahun

2001 tentang Pelaporan Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah.

Walaupun demikian kebijakan

tersebut, merupakan kebijakan yang

hanya mengatur tentang

pertanggungjawaban dalam konteks

pemerintahan daerah, namun jika dilihat

dari aspek substansinya, maka

penyampaian informasi kepada

masyarakat masih jauh dari harapan

terkait dengan laporan penyelenggaraan

pemerintahan daerah tersebut. Oleh

karena itu, Laporan Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah (LPPD) secara

implisit harus menekankan pada

keharusan melaporkan kinerjanya

tersebut, walaupun demikian dalam

konteks Laporan Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah (LPPD) kinerja yang

dimaksud disini adalah hanya lebih

ditekankan pada tingkat pencapaian

Standar Pelayanan Minimal (SPM), bukan

tingkat kinerja yang sesungguhnya.

Dewasa ini, adanya tuntutan dan

harapan dari semua pihak terus

berkembang menginginkan agar

akuntabilitas nasional dapat segera

diwujudkan, supaya semua instansi

pemerintah yang meliputi: Kementrian,

LPDN, Propinsi, Kabupaten /Kota, Markas

Besar TNI, POLRI, dan sekretariat lembaga

tertinggi negara (DPR/MPR, MA, BPK, dan

lain-lain), dan Kementrian, LPDN,

Propinsi, Kabupaten /Kota, Markas Besar

TNI, POLRI, dan sekretariat lembaga

tertinggi negara (DPR/MPR, MA, BPK, dan

lain-lain), dapat memberikan

kewajibannya untuk

mempertanggungjawabkan keuangan dan

kinerjanya, selain kepada atasan (yang

memiliki hak untuk meminta

pertanggungjawaban), juga kepada rakyat

(yang memiliki manadat). Dengan

demikian akuntabilitas nasional ini

nantinya dapat memberikan kewajiban

mempertanggung-jawabkan keuangannya

dan kinerjanya, pada semua instansi

pemerintah yang lainnya seperti: -

eksekutif, (- legislatif (DPR dan DPD); -

yudisial (MK dan MA); - auditif (BPK); -

moneter (BI); - lembaga negara non

Page 6: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

struktural (KY, KPK, KPPU, Komnas Ham,

Ombusdman, KPI), dan Kementrian, LPDN,

Propinsi, Kabupaten /Kota, Markas Besar

TNI, POLRI, dan sekretariat lembaga

tertinggi negara (DPR/MPR, MA, BPK, dan

lain-lain) serta kewajiban

mempertanggung-jawabkan kepada

publik terkait dengan program kegiatan

yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Dari berbagai uraian di atas, yang

menjelaskan mengenai konsep, kebijakan,

dan implementasi praktek yang

menyangkut akuntabilitas di Indonesia

mulai dari tingkat pusat, sampai daerah

serta lembaga/ instansi pemerintah yang

lainnya, ditinjau dari aspek pihak pelaku

(individu), kelompok/organisasi,

instansi/lembaga pemerintah yang

bertindak sebagai penerima akuntabilitas

tersebut, baik dari substansi, mekanisme,

maupun kelembagaan maka perlu

dikembangkan suatu sistem akuntabilitas

yang lebih komprehensif, yang berupa

akuntabilitas nasional.

Hasil kajian yang disusun ini

dimaksudkan untuk memberikan

gambaran mengenai apa, mengapa,

bagaimana, dan kepada siapa

akuntabilitas itu dilaksanakan baik oleh

setiap lembaga negara, individu (pejabat

negara), lembaga Non Departemen,

Komisi, maupun BUMN yang memiliki

mandat untuk melaksanakan tugas dan

fungsi penyelenggaraan negara.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Secara umum akuntabilitas sangat

erat kaitannya dengan instansi/lembaga

pemerintah, dan kaintannya dengan

mempertanggungjawabkan kinerjanya.

Namun demikian belum ada satu definisi

tentang akuntabilitas yang bisa diterima

oleh semua pakar/ahli.

Di Indonesia, klarifikasi konseptual

mengenai definisi makna akuntabilitas

adalah penting dan mendesak karena

penyelenggaraan pemerintahan

khususnya di masa lalu yang sangat

membatasi berkembangnya akuntabilitas

publik. Pandangan lama tentang makna

akuntabilitas dan penerapannya yang

telah mengakar tentunya tidak begitu

mudah untuk dihilangkan. Oleh karena itu

definisi baru tentang akuntabilitas perlu

ditetapkan, disebarluaskan serta

dilakukan berbagai upaya untuk

penerapannya.

Selain itu, mendesaknya klarifikasi

konseptual untuk dilakukan adalah fakta

adanya berbagai pendapat mengenai

definisi akuntabilitas dalam sistem

pemerintahan demokratis. Masalah

klarifikasi konseptual harus dipandang

Page 7: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

sebagai suatu masalah akademik dan

merupakan dasar dari langkah-langkah

penyusunan dan implementasi

mekanisme akuntabilitas (Turner, 2000).

Akuntabilitas (accountability)

merupakan istilah yang diterapkan untuk

mengukur apakah dana publik telah

digunakan secara tepat untuk tujuan di

mana dana publik tadi ditetapkan dan

tidak digunakan secara ilegal (Hatry,

1980). Selanjutnya dalam

perkembangannya, akuntabilitas

digunakan oleh pemerintah untuk melihat

akuntabilitas efisisensi ekonomi program

melalui usaha untuk mencari dan

menemukan apakah ada penyimpangan

staf atau inefisiensi penggunaan atau ada

prosedur yang tidak diperlukan.

Akuntabilitas dan responsibilitas

hakekatnya merupakan standar

profesional yang harus dilaksanakan oleh

aparat pemerintah dalam memberikan

pelayananan kepada masyarakat.

Akuntabilitas dan responsibilitas publik

dapat juga dipergunakan sebagai

alat/sarana untuk menilai kualitas kinerja

aparat pemerintah sehingga mereka dapat

mengenali dengan benar kekuatan dan

kelemahannya (Islamy, 1998). Dengan

demikian, Akuntabilitas publik

merupakan landasan bagi proses

penyelenggaraan pemerintahan dan

keberadaannya diperlukan karena

aparatur pemerintah harus

mempertanggungjawabkan tindakannya.

Selanjutnya, Finner dalam Darwin

(1993) menjelaskan akuntabilitas

merupakan konsep yang berkenaan

dengan standar eksternal yang

menentukan kebenaran suatu tindakan

oleh administrasi negara (birokrasi

publik). Akuntabilitas ini yang menilai

adalah orang atau institusi yang berada di

luar birokrasi publik.

Akuntabilitas sering disebut

sebagai tanggungjawab yang bersifat

obyektif (objective responsibility).

Responsibilitas obyektif bersumber

kepada adanya pengendalian dari luar

(external control) yang mendorong atau

memotivasi aparat pemerintah untuk

bekerja keras sehingga tujuan three E’s

(economy, efficiency and effectiveness) dari

organisasi dapat tercapai (Denhardt,

1991).

Membahas konsep tanggungjawab

birokrasi pemerintah terhadap publik,

tidak dapat dilepaskan dari konsep

responsibilitas (responsibility),

sebagaimana dikemukakan oleh Carl J.

Friedrich (dalam darwin, 1993). Konsep

tersebut berkenaan dengan standar

profesional dan kompetensi teknis yang

harus dimiliki oleh aparat birokrasi

pemerintah dalam menjalankan tugas-

tugasnya. Aparat birokrasi pemerintah

Page 8: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

dikatakan responsibel jika pelakunya

memiliki standar profesional atau

kompetensi teknis yang tinggi, dan

karenanya diperlukan standar penilaian

tersendiri yang sifatnya administratif atau

teknis, bukan politis.

Konsep pertanggungjawaban

aparat birokrasi pemerintah tersebut,

karena tuntutan ini disebut juga

administrative responsibility atau menurut

istilah Denhardt (1991) disebut subjective

responsibility yaitu pertanggungjawaban

yang bersumber pada sifat subyektif

individu aparat (internal control), yang

lebih mengedepankan nilai-nilai etis dan

kemanusiaan yang terangkum dalam EEF

(equity, equality and fairness) dalam

memberikan pelayanan kepada

masyarakat dan tugas-tugas administratif

lainnya.

Selanjutnya, Etzioni (1975)

menyatakan perlunya melihat

administrative accountability sebagai

sarana untuk menarik perhatian terhadap

adanya real politics of administrative life

dan ia menekankan perlunya dua macam

pendekatan terhadap akuntabilitas, yakni

pertama: pendekatan moral yang melihat

akuntabilitas sebagai seruan dan

pendidikan bagi orang-orang yang

memiliki kesadaran akan tanggungjawab

moralnya; dan kedua: pendekatan hukum

yang lebih memfokuskan perhatiannya

pada mekanisme checks and balances dan

persyaratan-persyaratan pelaporan

formal, baik di dalam maupun di luar

organisasi administrasi.

Sementara itu, J.B Ghartey dalam

Salleh dan Iqbal (1995) menyebutkan

bahwa akuntabilitas ditujukan untuk

mencari jawaban atas pertanyaan yang

berhubungan dengan pelayanan apa, oleh

siapa, kepada siapa, milik siapa, yang

mana dan bagaimana. Pertanyaan

tersebut membutuhkan jawaban meliputi

apa yang harus dipertanggungjawabkan,

mengapa pertanggungjawaban tersebut

harus diberikan, siapa yang harus

bertanggungjawab atas berbagai kegiatan

tersebut, apakah pertanggungjawaban

tersebut berjalan sesuai dengan

kewenangan yang dimiliki. Sehingga

akuntabilitas dapat dipergunakan sebagai

instrumen untuk mengontrol berbagai

kegiatan dalam mencapai hasil yang

ditentukan dalam bidang pelayanan

publik.

Dari berbagai uraian di atas yang

menyebutkan definisi akuntabilitas

publik, maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa rakyat sebagai pemegang

kedaulatan tertinggi sekaligus sebagai

pemilik dari seluruh sumber-sumber

kekayaan, kewenangan, dan kekuasaan.

Oleh karena itu, sangat wajar apabila

pemegang kekuasaan yang telah

Page 9: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

menggunakan sumber-sumber kekayaan

yang berasal dari rakyat tersebut harus

mempertanggung-jawabkan kepada

rakyat.

Dengan perkataan lain, setiap

aparatur pemerintah harus dapat

mempertanggungjawabkan segala sikap,

perilaku, dan kebijakan yang telah diambil

kepada publik selama mereka

menjalankan tugas, wewenang, dan

tanggungjawab, yang telah diberikan

kepadannya. Konsep pertanggungjawaban

demikian, dalam studi administrasi negara

disebut dengan akuntabilitas publik.

Hal ini senada, dengan yang

disampaikan oleh Hughes (1992) bahwa:

“government organization are created by the public, for the public and need to be accountable to it”. (Organisasi pemerintah dibuat oleh publik dan untuk publik, karenannya perlu mempertanggungjawabkannya kepada publik.)

Berdasarkan uraian tersebut di

atas, tentang berbagai definisi atau

pengertian akuntabilitas publik maka

dapat ditarik suatu kesimpulan, ada empat

dimensi dari akuntabilitas, yaitu: (1) siapa

yang harus melaksanakan akuntabilitas

(ada pihak yang melaksanakan

akuntabilitas); (2) kepada siapa mereka

harus berakuntabilitas (akuntabilitas

dilaksanakan kepada siapa); (3) apa

standar atau ukuran yang harus

digunakan untuk penilaian akuntabilitas

(ada mekanisme akuntabilitas) ini; dan

(4) ada nilai yang terkandung dalam

akuntabilitas itu sendiri.

Dalam perkembangannya,

pengertian akuntabilitas ini sering

dikaitkan dengan good governance, dalam

kaitannya dengan mencapai efisiensi,

dalam penyelenggaraan

pemerintahan/negara oleh stakeholder

yang terlibat. Ide dasar dari akuntabilitas

ini, adalah kemampuan seseorang atau

organisasi atau penerima amanat untuk

memberikan jawaban kepada pihak yang

memberikan amanat atau mandat

tersebut. Semua unit organisasi, apakah

dipilih atau ditunjuk, dapat dikatakan

akuntabel ketika organisasi atau penerima

amanat untuk memberikan jawaban

kepada pihak yang memberikan amanat

atau mandat tersebut mampu

menjelaskan dan mempertanggung-

jawabkannya atas semua

tindakan/kegiatan yang telah mereka

lakukan, dan sanggup menerima sanksi

atas tindakan yang tidak layak atau

dianggap tidak dapat

dipertanggungjawabkannya.

Terkait dengan konsep dan aplikasi

akuntabilitas ini, sebenarnya sudah ada

selama ini, namun seiring dengan adanya

perubahan dari lingkungan terkait dengan

tuntutan akuntabilitas nasional ini

Page 10: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

semakin hari semakin menjadi

besar/kuat. Tuntutan akuntabilitas

nasional ini, juga semakin besar seiring

dengan semakin sedikitnya/lemahnya

fungsi kontrol yang dilakukan oleh local

democratic control (kelompok-kelompok

yang dipilih oleh masyarakat) baik yang

berupa Lembaga Sosial Masyarakat (LSM)

atau lembaga swadaya masyarakat yang

lainnya.

Tujuan yang mendasari munculnya

local democratic control yakni untuk

mengarahkan instansi/lembaga

penyelenggaraan pemerintahan/Negara

menggunakan bentuk akuntabilitas

langsung kepada publik. Namun

sayangnya, organisasi baru ini belum

memiliki publik, organisasi baru ini juga

masih belum memiliki bentuk

akuntabilitas yang sesuai dengan

keberadaannya.

Dengan demikian organisasi baru

yang masuk dalam kelompok local

democratic control ini direkrut biasanya

berdasarkan profesionalisme oleh

eksekutif yang memberikan dana dalam

operasionalnya. Jelas bahwa organisasi

baru ini membutuhkan mekanisme

akuntabilitas yang berbeda mengingat

perbedaan rekrutmen antara keduanya.

Secara tradisional, konsep

akuntabilitas ini diberlakukan sebagai

subordinate dari sebuah konsep

pertanggungjawaban. Kata accountability

dalam konsep ini pada dasarnya

mengandung arti, penerima tanggung

jawab yang harus selalu siap untuk ‘calling

to account’ atau menjelaskan

pertanggung-jawaban (explanation of

responsibility).

…dalam suatu sistem organisasi, pegawai bertanggung jawab pada organisasi atau pada orang lain (kelompok orang, atasan) untuk melaksanakan tanggung jawab yang diserahkan padanya. Hal ini berarti orang ini harus bertindak dalam konteks hubungan dengan organisasi/orang lain/kelompok/ atasan yang dapat memaksa mereka untuk meminta penjelasan dari pegawai ini tentang apa yang sudah dilakukan dan mana yang belum dilakukan. Sehingga dalam kontek pertanggungjawaban orang ini harus bertanggung jawab akan kinerjanya, dan juga merupakan subyek atau penilaian, pengarahan, permintaan, informasi atas tindakan mereka (Thynne and Goldring, 1987, 8)

Akuntabilitas dapat juga diartikan

sebagai “suatu cara melalui mana individu

dan organisasi melaporkan kepada pihak

yang dianggap memiliki wewenang dan

dituntut bertanggung jawab atas segala

tindakannya (Edward and Hulme 1996,8).

Pada dasarnya, definisi

akuntabilitas ini selalu dikaitkan dengan

tuntutan agar seseorang atau

lembaga/instansi akuntabel. Seperti yang

Page 11: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

dikatakan oleh Leat sebagaimana dikutip

oleh McDonald (1997, 53).

“Accountabilityis defined as ’the right to require an account’ and also ‘the right to impose sanctions if the account or the actions accounted for are inadequate”.

Pengertian akuntabilitas ini akan

cenderung memiliki arti yang lebih

kompleks dalam suatu organisasi sektor

publik daripada dalam organisasi sektor

swasta. Perbedaan ini nampak bahwa,

dalam sektor swasta, manajer dan pekerja

dituntut untuk akuntabel terhadap

stakeholder yang mudah diidentifikasi,

misalnya pelanggan atau pemilik saham,

terkait dengan: keuntungan, kerugian dan

perhatian terhadap pengurangan biaya

produksi mendominasi, dan secara rutin

dapat disampaikan dalam setiap laporan

yang dibuatnya. Sementara seorang

pimpinan yang mempunyai kewenangan

penuh dalam menentukan nasib

karyawannya merupakan sumber utama

terhadap mekanisme penguatan

akuntabilitas tersebut.

Sebagai gambaran awal tentang

karakteristik proses akuntabilitas di

sektor swasta yang dapat dikatakan

lebih/sangat sederhana ini, dapat

dandingkan dengan keadaan disektor

publik. Pada sektor publik, akuntabilitas

harus berhadapan dengan stakeholder

yang beragam dengan kepentingan yang

berbeda, dan masing-masing sangat sulit

di identifikasi, dan bisa-jadi terdapat

beberapa kepentingan, bahkan

bertentangan satu sama lain.

Akuntabilitas dalam sektor publik

dapat digambarkan sebagai sistem

elektoral, yang jarang sekali memberikan

mandat yang jelas untuk isu-isu yang

spesifik. Selain itu, seringkali sistem check

and balances diantara cabang-cabang

kekuasaan negara yang berperan

memperkuat mekanisme akuntabilitas

justru malah menciptakan konflik

kewenangan, dengan adanya kebijakan

yang justru melemahkan akuntabilitas

pemerintah itu sendiri.

Permasalahan lain yang timbul

terkait dengan akuntabilitas ini adalah

kenyataan bahwa organisasi publik yang

ada saat ini ada, justru banyak yang

mengadopsi konsep dari organisasi

swasta. Sehingga berbagai konsep swasta

yang diadopsi tersebut, pada dasarnya

malah mementingkan hasil sebagai

indikator utama dari keberhasilan

organisasi, Dengan demikian dapat

menyebabkan munculnya isu

akuntabilitas pada sektor publik yang

mengedepankan hasil (improved

performance matters) dari pada proses

yang harus dijalani. Keadaan yang

demikian ini akan menimbulkan

tantangan baru bagi sektor untuk

Page 12: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

melakukan akuntabilitas terhadap hasil

(performance) yang dicapai oleh suatu

organisasi.

Dari berbagai uraian tersebut di

atas, nampak bahwa organisasi publik

yang memiliki mandat ini sangat berbeda

dengan sektor swasta kaitannya dengan

persoalan akuntabilitas tersebut. Dari sisi

pendanaan, berbagai tugas yang

dilaksanakan oleh suatu organisasi yang

masuk dalam kategori organisasi publik

ini, sebagian besar dibiayai dari sektor

pajak, dimana penentuan biayanya sering

kali lebih banyak meng-cover aspek sosial,

serta melaksanakan fungsi memberikan

pelayanan pada masyarakat yang tidak

mampu, untuk mendapatkan akses

terhadap barang dan jasa. Dari

pertanggungjawaban mandat yang

diberikan ini akan memberikan kontribusi

terhadap kompleksitas dari cakupan

akuntabilitas dalam sektor publik

tersebut, contohnya: mempertimbangkan

kriteria efisiensi, efektivitas dan keadilan.

Beberapa uraian di atas,

mengambarkan kompleksitas masalah

yang terjadi, dan dapat dipergunakan

untuk melakukan pengkajian lebih

mendalam mengenai karakteristik,

sekaligus cara kerja dari akuntabilitas

yang ada di sektor publik. Dengan

demikian akuntabilitas sebagai konsep

dalam administrasi publik tersebut

dianggap sebagai sarana yang mutlak

diperlukan untuk mencegah praktek KKN,

dan pada gilirannya dapat dipergunakan

untuk menegakkan pemerintahan yang

demokratis di Indonesia.

Selain pengertian akuntabilitas di

atas, menurut The Public Administration

Dictionary: ”accountability” diartikan

sebagai kondisi dimana suatu individu

yang menjalankan kewenangan dibatasi

oleh sarana eksternal dan norma internal

(“a condition in which individuals who

exercise power are constrained by

eksternal mean and by internal norms”)

(Chandler and Plano 1988). Namun dari

definisi akuntabilitas tersebut juga

memberikan pengertian secara eksternal,

yang dapt diartikan sebagai masyarakat

warganegara, anggota Parlemen, pejabat

politik dan pejabat pemerintah, peradilan

dan sebagainya. Hukum, peraturan dan

prinsip moral yang diatur dalam

masyarakat bisa menjadi rambu

pembatas. Sedangkan pengertian ”public”

dalam public accountability mengandung

makna, yaitu berkaitan dengan

keterbukaan (openness) dan dalam

konteks publik domain.

Penjelasan yang lebih detail

mengenai kedua makna antara

akuntabilitas (accountability) dan publik

(public), tersebut dapat diketahui sebagai

berikut (Bovens, 2005):

Page 13: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

In the first place, used in this context, ‘public’ should be understood to mean ‘openness’. Account is not rendered discretely, behind closed doors, but is in principle open to the general public. The information provided about the actor’s conduct is widely accessible, hearings and debates are open to the public and forum broadcasts its judgement to the general public. In the second place, ‘public’ refers to the object of the account to be rendered. Public accountability mainly regards matters in public domain, such as the spending of public funds, the exercise of public authorities, or the conduct of public institutions. It is not necessarily limited to public organisations, but can extend to private bodies that exercise public privileges or receive public funding.

Secara umum terkait dengan jenis

akuntabilitas ini, ada beberapa pakar/ahli

yang memberikan pemisahan/

pengelompokan secara tegas tentang jenis

akuntabilitas tersebut, yang salah

satunnya disampaikan oleh Day Klien

(dalam Ferlie et als, 1996) yang

membedakan akuntabilitas dalam 2 (dua)

kategori yaitu political accountability dan

Managerial accountability.

Pertama, political accountability

ini diartikan sebagai proses dimana

delegated authority atau sebagai

penerima/pemegang mandat dari publik,

harus bertanggungjawab atau menjawab

pertanyaan atas tindakan yang mereka

lakukan kepada publik, secara langsung

dalam kelompok masyarakat yang lebih

kecil atau sederhana, maupun dalam

kelompok masyarakat yang lebih luas atau

kompleks.

Salah satu bentuk akuntabilitas

yang dianggap sangat ideal untuk

menggambarkan political accountability

ini, adalah ministerial accountability,

dimana pucuk pimpinan organisasi publik

memberikan akuntabilitas kepada

lembaga perwakilan. Namun seiring

dengan kompleksitas pekerjaan dan

besarnya jumlah departemen atau

organisasi pemerintah

pemerintahan/negara, proses ini menjadi

semakin tidak efektif walaupun

mekanisme akuntabilitas ini dilakukan

melalui komisi. Apalagi konsep ini juga

sering sekali mendapatkan banyak

pertanyaan tentang makna direct public

accountability atau lebih dikenal dengan

akuntabilitas langsung kepada publik atau

rakyat.

Kedua, managerial accountability

sebagai salah satu dari kategori

akuntabilitas publik yang diartikan

sebagai proses dimana delegated authority

atau penerima/ pemegang mandat dari

publik tersebut, harus mempertanggung

jawabkan atau dengan menjawab

pertanyaan atas pelaksanaan dari tugas

yang sudah disepakati sebelumnya sesuai

dengan/ berdasarkan kriteria dan standar

yang sudah disepakati atau ditetapkan

Page 14: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

dari awal. Sebagai contoh cara untuk

melakukan akuntabilitas manajerial ini

adalah: (-) fiscal audit; (-) managemen by

objectives techniques, dan (-) individual

appraisal system.

Dalam konteks Managerial

Accountability ini, pengembangan format

akuntabilitas sangat memungkinkan

untuk dilakukan, hal ini disebabkan oleh

karena pada dasarnya dalam akuntabilitas

ini hanya terdapat 3 (tiga) komponen

penting yakni: (a) adanya

indikator/standar yang disepakati; (b)

prinsip bukti yang akurat, relevan dan

cukup; serta (c) proses penilaian yang

akurat dan baik. Dari beberapa penjelasan

diatas, nampak bahwa managerial

accountability memiliki batasan atau

cakupan yang lebih sempit dan secara

alamiah memang sudah ada, dan dibangun

dalam organisasi (bounded in nature)

tersebut.

Dari proses sampai dengan

mekanisme dari akuntabilitas ini memang

relatif lebih sederhana untuk dibangun

serta kontrol, namun akuntabilitas itu

sendiri, ada kecendeungan lebih bersifat

manajerial atau administratif jika

dikaitkan dalam struktur organisasi yang

riil, dan penerapan kontrol sosial ini

dirasakan masih rendah. Hal ini sangat

berbeda dengan political accountability

yang hampir sama memiliki kesamaan

standar untuk menilai akuntabilitasnya

dengan memiliki kontrol manajerial atau

administratif yang rendah, namun juga

memiliki kontrol sosial yang lebih tinggi

dibandingkan dengan Managerial

Accountability.

Dengan melihat perbedaan dari

derajat kontrol sosial dan manajerial ini,

yang selanjutnya digunakan oleh Moiz

(dalam Ferlie et als, 1996) untuk

pengembangan suatu model akuntabilitas

yang disesuaikan dengan pembagian

kekuasaan dan keberadaan suatu

organisasi tertentu. Penggunaan suatu

model ini sangat penting untuk dilakukan,

dengan tujuan untuk menjelaskan

pertanyaan-pertanyaan mengenai: siapa

yang harus melakukan akuntabilitas dan

kepada siapa akuntabilitas tersebut harus

diberikan.

Cakupan atau batasan mengenai

siapa saja yang harus melakukan

akuntabilitas ini, menjadi sangat penting

untuk dipergunakan dalam

mengidentifikasikan aktor (pihak) yang

harus berakuntabilitas atau memberikan

akuntabilitas tersebut. Apabila aktor yang

harus memberikan akuntabilitas ini

dikaitkan dengan publik, maka aktor

(pihak) yang wajib berakuntabilitas atau

memberikan akuntabilitas tersebut yaitu

organisasi publik dan atau mereka yang

Page 15: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

menerima anggaran dari negara yang

bersumber pada APBN maupun APBD.

Konsekuensi yang melekat dari

pembiayaan atau anggaran dari negara

yang bersumber pada APBN maupun

APBD yang diberikan kepada organisasi

penerima untuk menyelenggarakan

pemerintahan/Negara tersebut, harus

memberikan pertanggung jawaban dan

transparansi terkait dengan penggunaan

anggaran tersebut.

Sebagai ilustrasi yang sederhana

untuk memberikan gambaran tentang

bentuk

pertanggungjawaban/akuntabilitas ini

adalah ketika seseorang atau organisasi

(instansi/lembaga) menerima anggaran

yang bersumber dari APBN/APBD, maka

seseorang atau organisasi (instansi/

lembaga) tersebut memiliki tanggung

jawab untuk melaksanakan fungsi-fungsi

publik sesuai dengan tugas pokok, dan

fungsinya secara efisien, ekonomis, efektif,

beretika, dan adil. Kondisi yang demikian

ini dapat diartikan sebagai upaya untuk

mencapai tujuan atau sasaran dari

program kegiatan yang telah

direncanakan atau ditetapkan

sebelumnya. Gambaran tersebut

merupakan gambaran awal tentang

konsep utama dari akuntabilitas untuk

menjawab siapa yang harus akuntabel

atau siapa yang harus memberikan

pertanggungjawaban tersebut.

Dalam proses penyelenggaraan

pemerintahan di negara kesatuan

Indonesia, pihak yang menerima anggaran

dari negara baik berupa APBN/APBD ini

adalah Penyelenggara Negara baik

berupa:

- eksekutif (pemerintah pusat dan

pemerintah daerah);

- legislatif (DPR dan DPD);

- yudisial (MK dan MA);

- auditif (BPK, BPKP);

- moneter (BI);

- lembaga negara non struktural (KY,

KPK, KPPU, Komnas Ham,

Ombusdman, KPI dan seluruh

Komisi yang ada);

- Kementrian, LPDN, Propinsi,

Kabupaten /Kota;

- Markas Besar TNI;

- POLRI; dan

- Sekretariat lembaga tertinggi

negara (DPR/MPR, MA, BPK, dll).

Pihak-pihak tersebut selama ini,

menerima anggaran dari APBN dan APBD,

serta direkrut secara berbeda-beda untuk

melaksanakan tugas pokok dan fungsinya

dalam penyelenggaraan pemerintahan/

negara.

Adanya perbedaan dalam tatacara

rekrutmen/penerimaan ini, menyebabkan

Page 16: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

pola hubungan yang berbeda antara

instansi/lembaga pemerintah yang satu

dengan yang lainnya. Apabila rekrutmen/

penerimaan ini, dikaitkan dengan sisi atau

aspek manajerial dan politik, akan

nampak adanya perbedaan yang

menonjol. Contohnya: bagi penyelenggara

negara yang dipilih langsung oleh publik,

maka jelas akan memiliki hubungan

politik yang tinggi dengan konstituennya,

dan sebaliknya dari aspek manajerial

menjadi lebih rendah dalam memberikan

akuntabilitasnya, sedangkan untuk

institusi/lembaga yang di pilih oleh

pimpinan eksekutif, maka akan memiliki

hubungan manajerial yang tinggi dengan

yang memilih, dan sebaliknya dari aspek

politik kepada publik akan lebih rendah

dalam memberikan akuntabilitasnya.

Dari uraian tersebut, nampak

bahwa ada perbedaan yang sangat penting

untuk menentukan kepada siapa mereka

berakuntabilitas dan seberapa luas

cakupan dari akuntabilitasnya tersebut.

Selain adanya pembagian yang jelas

antara 2 (dua) kategori yakni:

akuntabilitas dalam managerial and

political accountability tersebut,

selanjutnya kita harus juga mengenal

model akuntabilitas yang dikembangkan

mulai dari classical public administration

doctrine dan perkembangan dari model

itu sendiri.

Ditinjau dari awal mula

pengembangan dari model akuntabilitas

yang berupa, clasissical public

accountability doctrine ini, akuntabilitas

yang dikembangkan cenderung lebih

bersifat political accountability dengan

berbentuk upward accountability atau

ministerial accountability. Adapun minister

atau eksekutif ini, bertanggung jawab

pada lembaga perwakilan atau parlemen,

terkait dengan tugas-tugas publik, dan

harus mengundurkan diri jika terjadi

kesalahan. Dengan diketahuinya

gambaran dan perkembangan classical

public accountability tersebut, maka

selanjutnya dapat diketahui tahapan

perkembangan dari model tersebut,

sebagai berikut:

a. Model tradisional Westminster/

accountability upward

Dalam model ini disebutkan,

bahwa adanya garis

pertanggungjawaban/ akuntabilitas

dari bawah ke atas atau hierakhi,

dan garis kewenagan atau komando

yang menunjukkan otoritas dari atas

kebawah, atau lebih dikenal dengan

model akuntabilitas

ministerial/simply upward. Pada

model akuntabilitas ini, sangat

sesuai dengan konsep birokrasi yang

digagas oleh Weber, sehingga

Page 17: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

lazimnya disebut dengan

administrative accountability. Dalam

model ini setiap individu wajib

memberikan pertanggungjawaban

terhadap suatu tugas spesifik yang

diberikan kepadanya/kepada

atasannya secara hierakhis. Kondisi

yang demikian ini dilakukan sebagai

bentuk kontrol atasan terhadap

kinerja yang dilakukan oleh

bawahannya.

b. Model tradisional yang

dikembangkan upward, inward dan

outward

Selanjutnya dalam model ini,

kelihatan jelas merupakan

pengembangan dari Model

Tradisional Westminster yang juga

dianggap memiliki banyak

kelemahan meliputi:

1) Ide pertanggungjawaban yang

menekankan pada penjelasan

dan pembenaran atas suatu

tindakan dianggap tidak cukup

digunakan untuk melihat kinerja

suatu tindakan.

2) Hubungan dalam pertanggung

jawaban yang bersifat

interpersonal.

3) Kontrol yang bersifat Top-Down.

Selanjutnya dari beberapa

kelemahan tersebut, dan ditambah

dengan adanya tuntutan global yang

menuntut adanya trasparasi dan

kejujuran dari suatu organisasi

pemerintah, maka model tersebut

dikembangkan menjadi konsep

pertanggungjawaban/akuntabilitas

yang tidak hanya dari bawah ke atas

(akuntabilitas internal), yang juga

ditambahkan dengan memberikan

pertanggungjawaban/ akuntabilitas

yang bersifat lebih kedalam lagi, yakni

ditujukan pada perorangan.

Sedangkan untuk akuntabilitas yang

bersifat keluar ini, ditujukan pada

memberikan pertanggungjawaban/

akuntabilitas kepada masyarakat

(akuntabilitas eksternal). Adapun

untuk mendukung akuntabilitas

internal dan eksternal tersebut,

pendukung konsep/teori akuntabilitas

ini menyarankan diciptakannya

beberapa mekanisme dan sistem

akuntabilitas misalnya: (-) adanya

pengembangan jaminan kebebasan

mendapat infornmasi dan

pembentukan berbagai lembaga

independen yang bertujuan untuk

mengontrol kinerja dari sektor publik,

sebagai contoh: ombudsman dan

peradilan yang kuat.

Page 18: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

c. Model Stone

Dalam model stone ini,

pertanggungjawban/ akuntabilitas

dibagi dalam 5 (lima) kategori,

yakni:

1) Kontrol dari Parlemen (DPR);

2) Managerialism;

3) Peradilan/Lembaga semi

peradilan;

4) Perwakilan Masyarakat;

5) Pasar (konsumen-pengusaha).

Untuk memudahkan dalam

memahami hubungan dalam sistem

akuntabilitas model ini dapat ditampilkan

dalam bentuk tabel 1, sebagai berikut:

Tabel 1 Hubungan dalam Sistem Akuntabilitas

Model Stone

Kategori Dasar

hubungan Bentuk

Hubungan

Parlemen (DPR)

Supervisi/ komando

Atasan-bawahan

Managerial Kontrak Principal-

agent

Pengadilan/ Lembaga Semi Peradilan

Hak individu/ kewajiban secara procedural

Komplain dari responden

Perwakilan Masyarakat

Perwakilan/responsif

Pemilih – perwakilan

Pasar

Kompetisi/pemenuhan kebutuhan konsumen

Konsumen – sektor swasta

Sumber: Romzek and Dupnik dalam Stone, 1995.

d. Model jaringan kerja /jaringan yang

kompleks,

Perlu adanya jaringan yang

dibentuk oleh para pihak, yakni

kesepakan antara pihak yang satu

dengan yang lain untuk membentuk

suatu jaringan kerja yang komplek

dan saling memberikan kontribusi

dan informasi. Dengan demikian

model ini, nantinya akan dapat

menekankan pada pola hubungan

yang terjalin secara baik pada suatu

kerjasama yang terstruktur.

Selanjutnya dalam suatu system

tersebut terbina suatu kerjasama,

oleh semua pihak yang terkait untuk

saling berkomunikasi, dalam

kaitanya dengan saling memberikan

inforrmasi serta menjalin hubungan

kerja yang saling melengkapi untuk

mencapai tujuan yang ditetapkan

oleh para pihak dalam jaringan kerja

tersebut.

Secara singkat jenis-jenis akuntabilitas

dapat dikemukakan dalam matriks

berikut:

Tabel 2 Matriks Tipe Akuntabilitas

No Sumber Tipe-Tipe

Akuntabilitas

Page 19: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

No Sumber Tipe-Tipe

Akuntabilitas 1. Jabra dan

Dwivedi (1989)

(1) Administrative / Organization Accountability;

(2) Legal Accountability;

(3) Political Accountability;

(4) Professional Accountability; dan

(5) Moral Accountability.

2. Paul (1991)

dalam Salleh dan Iqbal (1995)

(1) Democratic accountability;

(2) Professional accountability; dan

(3) Legal accountability.

3. Yango (1991) dalam Salleh dan Iqbal (1995)

(1) Traditional or regularity accountability; (2).Managerial accountability;

(3) Program accountability dan

(4) Process accountability.

4. Greenwood dan Wilson (1989) dalam Fernanda (2002)

(1) Akuntabilitas hukum dan Perundang-undangan; (2) Akuntabilitas politik dan kelembagaan.

5. J.D Stewart

(1984) dalam Fernanda (2002)

(1) Akuntabilitas kebijakan;

(2) Akuntabilitas program;

(3) Akuntabilitas kinerja;

(4) Akuntabilitas proses;

(5) Akuntabilitas hukum dan

No Sumber Tipe-Tipe

Akuntabilitas Perundang-undangan.

6. Mc Kenney dan Howard (1979) dalam Fernanda (2002)

(1) Akuntabilitas fiskal; (2) Akuntabilitas legal; (3) Akuntabilitas program;

(4) Akuntabilitas proses;

(5) Akuntabilitas hasil.

7. Schacter (2000)

(1) Informasi (information);

(2) tindakan (action); (3) tanggapan (response).

Dari beberapa konsep/teori

akuntabilitas tersebut pada Tabel 2, dapat

disimpulkan bahwa konsep/teori

akuntabilitas oleh Jabra dan Dwivedi,

mendapat dukungan oleh konsep yang

disampaikan Paul, Yanggo, Greenwood

dan Wilson, J.D Stewart serta Mc Kenney

dan Howard. Sedangkan Schacter tidak

menentang konsep/teori akuntabilitas

Jabra dan Dwivedi akan tetapi justru

memberi warna tersendiri dalam

konsep/teori akuntabilitas publik

tersebut.

A. Akuntabilitas Lembaga Legislatif

Akuntabilitas lembaga legislatif

diperlukan dengan adanya kekuasaan

yang berupa amanah yang diberikan oleh

rakyat kepada anggota legislatif terpilih

Page 20: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

agar mereka mampu menjalankan

tugasnya dalam rangka mencapai tujuan

yang telah ditetapkan dengan

memanfaatkan sumber daya yang ada.

Setelah amanah tersebut dijalankan, maka

harus ada laporan atas pelaksanaan tugas-

tugas yang telah dipercayakan tadi.

Tujuan penyusunan dan

penyampaian laporan akuntabilitas

lembaga legislatif adalah untuk

mewujudkan akuntabiltas lembaga

tersebut terutama kepada rakyat/publik

selaku pemberi amanah. Bagi lembaga

legislatif sendiri, pelaporan akuntabilitas

kinerjanya merupakan sarana untuk

mengkomunikasikan dan menjawab

tentang apa yang sudah dicapai dan

bagaimana proses pencapaiannya,

tentunya terkait dengan mandat yang

diberikan oleh rakyat kepadanya.

Adapun maksud dan tujuan

penyusunan dan penyampaian laporan

akuntabilitas lembaga legislatif ini adalah:

1. Pertanggungjawaban dari lembaga

representasi rakyat kepada rakyat

selaku pemberi mandat demokratisasi

yang lebih baik.

2. Pengambilan keputusan dan

pelaksanaan perubahan-perubahan ke

arah perbaikan, dalam mencapai

kehematan, efisiensi dan efektivitas

pelaksanaan tugas pokok dan fungsi,

serta ketaatan terhadap peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

3. Perbaikan penyelenggaraan

demokrasi negara Indonesia menuju

proses demokratisasi yang

bertanggung jawab, responsif, efektif

dan efisien.

Laporan pertanggung jawaban

lembaga Legislatif (DPR dan DPD) pada

prinsipnya harus memuat laporan yang

berisikan mengenai laporan kegiatan dan

laporan keuangan. Ringkasan eksekutif

merupakan salah satu bentuk

akuntabilitas bagi lembaga yang

mengambarkan secara umum untuk

kinerja lembaga dilihat dari dimensi

kegiatan dan alokasi anggaran. Laporan

kegiatan disusun berdasarkan

perencanaan strategis yang di susun oleh

lembaga legislative. Sementara laporan

keuangan disusun berdasarkan mata

anggaran yang telah dialokasikan ke

dalam program-program yang terangkum

dalam perencanaan strategis.

Substansi akuntabilitas Lembaga

Legislatif dikelompokkan dalam 2 (dua)

kategori, yaitu: Akuntabilitas Organisasi

dan Akuntabilitas Individual.

Akuntabilitas organisasi terdiri dari 3

(tiga) substansi akuntabilitas, yaitu:

politik, legal, dan professional, sedangkan

akuntabilitas individu terdiri dari 2 (dua)

Page 21: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

substansi akuntabilitas, yaitu: politik dan

moral.

Seluruh indikator yang ada di

masing-masing substansi akuntabilitas di

atas selanjutnya harus disusun dalam

format yang sistematis dan melalui

mekanisme penyampaian laporan

akuntabilitas berikut ini.

1. Disclosure of statement

Laporan akuntabilitas yang tersaji

dalam disclosure of statement

disajikan dalam bentuk documentary

accountability, yakni pelaporan

akuntabilitas yang terstandarisasi

secara bentuk, format, dan isinya.

Untuk selanjutnya laporan tersebut

dipublikasikan atau dikirimkan

kepada pihak-pihak yang

berkepentingan atas laporan

akuntabilitas lembaga legislatif

(stakeholders).

2. Social Auditing

Mekanisme social auditing lembaga

legislatif dapat dijalankan dalam

bentuk:

- Public hearings,

- Publikasi,

- Kunjungan kerja, dan

- Konsultasi publik.

B. Akuntabilitas Lembaga Yudikatif

Undang-Undang Nomor 28 Tahun

1999 tentang Penyelenggara Negara yang

Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme, pasal 3 dinyatakan bahwa

Asas-asas umum Penyelenggaraan

Negara meliputi Asas Kepastian

Hukum, Asas Keterbukaan, Asas

Proporsionalitas, Asas Profesionalitas dan

Asas Akuntabilitas. Sesuai dengan asas-

asas tersebut lembaga yudisial wajib

leaporkan setiap kegiatannya sesuai

dengan undang-undang yang

mengaturnya.

Dalam melaksanakan asas

akuntabilitas lembaga yudisial yang dalam

hal ini diwakili oleh Mahkamah Agung

memiliki kewajiban untuk menyusun dan

menyampaikan laporan pertanggung

jawaban kinerjanya kepada pihak yang

memerlukan terutama pada seluruh

masyarakat Indonesia.

Sedangkan untuk menciptakan good

governance diperlukan prinsip-prinsip

partisipasi, penegakan hukum,

transparansi, kesetaraan, daya tanggap,

wawasan ke depan, akuntabilitas,

pengawasan, efisensi dan efektivitas, serta

profesionalisme. Kemudian prinsip

akuntabilitas ditegaskan lagi dalam visi,

misi dan program membangun Indonesia

yang aman, adil dan sejahtera melalui

program meningkatkan pengawasan

untuk menjamin akuntabilitas,

Page 22: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

transparansi, dan perbaikan kinerja

aparatur Negara/pemerintah.

Tujuan dari pelaksanaan

akuntabilitas lembaga yudisial dalam hal

ini diwakili oleh Mahkamah Agung adalah

sebagai berikut:

1. Mewujudkan lembaga peradilan yang

bersih dan akuntabel yang dapat

memberikan keadilan bagi

masyarakat;

2. Meningkatkan efektifitas lembaga

peradilan melalui koreksi terhadap

pelaksanaan program/kegiatan yang

telah direncanakan oleh lembaga;

3. Memberikan keterbukaan informasi

bagi seluruh masyarakat indonesia

mengenai lembaga peradilan serta

kinerja yang telah dilaksanakannya;

4. Mengevaluasi pelaksanaan tugas dan

fungsi yang dimiliki oleh lembaga

yudisial, sehingga kedepannya dapat

menjadi dasar untuk perbaikan dalam

kinerjanya sebagai lembaga peradilan.

Laporan pertanggung jawaban

lembaga Yudisial pada prinsipnya harus

memuat laporan yang berisikan mengenai

laporan kegiatan dan laporan keuangan.

Ringkasan eksekutif merupakan salah satu

bentuk akuntabilitas bagi lembaga yang

mengambarkan secara umum untuk

kinerja lembaga dilihat dari dimensi

kegiatan dan alokasi anggaran. Laporan

kegiatan disusun berdasarkan

perencanaan strategis yang di susun oleh

lembaga yudisial. Sementara laporan

keuangan disusun berdasarkan mata

anggaran yang telah dialokasikan ke

dalam program-program yang terangkum

dalam perencanaan strategis.

Substansi akuntabilitas Lembaga

Legislatif dikelompokkan dalam 2 (dua)

kategori, yaitu: Akuntabilitas Organisasi

dan Akuntabilitas Individual.

Laporan pertanggungjawaban

lembaga yudisial (dalam hal ini adalah

MA) dilakukan melalui mekanisme

Reporting. Yaitu dalam melaporkan setiap

program/kegiatan harus disusun kedalam

bentuk laporan baik tertulis maupun tidak

tertulis. Dalam pelaporan akuntabilitas

secara individu bagi hakim dapat

dilakukan melalui mekanisme reporting

yaitu dengan membuat laporan dalam

bentuk tertulis yang disampaikan kepada

Komisi Yudisial, Presiden, dan DPR serta

masyarakat umum.

C. Akuntabilitas Lembaga Keuangan

Pada dasarnya, akuntabilitas

adalah pemberian informasi dan

pengungkapan (disclosure) atas aktivitas

dan kinerja finansial kepada pihak-pihak

yang berkepentingan (Schiavo-Campo and

Tomasi, 1999). Governmental Accounting

Standards Board (GASB, 1999) dalam

Page 23: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

Concepts Statement No. 1 tentang

Objectives of Financial Reporting

menyatakan bahwa akuntabilitas

merupakan dasar pelaporan keuangan di

pemerintahan yang didasari oleh adanya

hak masyarakat untuk mengetahui dan

menerima penjelasan atas pengumpulan

sumber daya dan penggunaannya. Sebuah

kewajiban bagi instansi pemerintah untuk

melakukan akuntabilitas, agar instansi

tersebut dapat dinyatakan kredibel. Bank

Indonesia sebagai bagian dari instansi

pemerintah wajib untuk melakukan

akuntabilitas.

Tujuan akhir dari proses

akuntabilitas adalah prinsip akuntabilitas

itu sendiri yakni pertanggungjawaban

yang mensyaratkan hal utama yang

dilaporkan berkenaan dengan sukses atau

gagalnya suatu rencana. Baik buruknya

pencapaian suatu instansi turut

mempengaruhi kepercayaan publik

terhadap instansi tersebut, diaharapkan

dengan akuntabilitas yang baik maka akan

terbangun suatu kepercayaan publik yang

tinggi.

Laporan pertanggung jawaban

Lembaga Keuangan pada prinsipnya harus

memuat laporan yang berisikan mengenai

laporan kegiatan dan laporan keuangan.

Ringkasan eksekutif merupakan salah satu

bentuk akuntabilitas bagi lembaga yang

mengambarkan secara umum untuk

kinerja lembaga dilihat dari dimensi

kegiatan dan alokasi anggaran. Laporan

kegiatan disusun berdasarkan

perencanaan strategis yang di susun oleh

BI. Sementara laporan keuangan disusun

berdasarkan mata anggaran yang telah

dialokasikan ke dalam program-program

yang terangkum dalam perencanaan

strategis.

Untuk dapat melaksanakan tujuan

dari Bank Indonesia, maka Bank Indonesia

menyusun Sistem Perencanaan, Anggaran

dan Manajemen Kinerja atau disingkat

SPAMK. Sistem ini disusun untuk dapat

menrencanakan anggaran serta

bagaimana kinerja dari Bank Indonesia,

satuan kerja serta individu dapat

diapantau, diawasi, serta diukur. Bank

Indonesia telah menerapkan Indikator

Kinerja Individu (IKI). IKI merupakan

salah satu instrument yang digunakan

oleh Bank Indonesia untuk

mempertahankan, meningkatkan dan

mengevaluasi kinerja dari para

pegawainya, IKI sendiri diterapkan pada

semua level tingkatan pegawai.

Mekanisme akuntabilitas oleh Bank

Indonesia dominan berupa pelaporan

(reporting), dimana Bank Indonesia secara

berkala mempublikasikan perkembanga

moneter kepada masyarakat melalui

berbagai media, baik cetak maupun

elektronik. Bank Indonesia telah

Page 24: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

membuka informasi melalui website yang

dimiliki oleh Bank Indonesia. Dari website

tersebut dapat dilihat perkembangan dari

inflasi, informasi pembayaran samapi

informasi mengenai produk peraturan

yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

D. Akuntabilitas Lembaga Pemeriksa

Laporan pertanggung jawaban

lembaga pemeriksa keuangan pada

prinsipnya harus memuat laporan yang

berisikan mengenai laporan kegiatan dan

laporan keuangan. Ringkasan eksekutif

merupakan salah satu bentuk

akuntabilitas bagi lembaga yang

mengambarkan secara umum untuk

kinerja lembaga dilihat dari dimensi

kegiatan dan alokasi anggaran. Laporan

kegiatan disusun berdasarkan

perencanaan strategis yang di susun oleh

lembaga Pemeriksa. Sementara laporan

keuangan disusun berdasarkan mata

anggaran yang telah dialokasikan ke

dalam program-program yang terangkum

dalam perencanaan strategis.

Dengan melakukan

operasionalisasi dari visi, misi, nilai dasar

serta tujuan strategis di atas, maka dalam

membuat suatu format laporan

pertanggungjawaban kinerja, BPK dapat

menggunakan beberapa indikator untuk

menggambarkan sampai sejauh mana

kinerja yang telah BPK capai. Adapun

indikator-indikator tersebut dapat

didasarkan pada beberapa bidang, yaitu

kepegawaian, publik, hasil, kualitas,

ketepatan waktu, dan biaya sebagaimana

yang telah ditetapkan dalam “Indikator

Sukses BPK”.

Instrumen yang dipakai oleh BPK

dalam melaporkan hasil pemeriksaannya

antara lain:

a. Pidato Makalah

b. Siaran Pers

c. The Audit Forum

d. Warta BPK

e. Naskah Memorandum (Dalam dan

Luar Negeri)

f. Hasil Pemeriksaan KAP

g. Hasil Peer Review

h. Publikasi Lain (situs

http/www.bpk.go.id)

Media yang selama ini dipakai oleh

BPK dalam proses akuntabilitasnya cukup

baik artinya informasi yang dibagi atau

dilaporkan oleh BPK dapat dilihat oleh

siapapun yang ingin mendapatkannya.

BPK sekiranya perlu juga membagi

hasil laporannya kepada pihak akademis,

selain sebagai bahan pembelajaran bagi

masyarakat akademis hal ini juga dapat

dimanfaatkan oleh BPK untuk

mendapatkan masukan, ide serta saran-

saran yang sekiranya berkaitan dengan

laporan BPK. Tentu saja masukan yang

Page 25: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

diharapkan adalah masukan yang bersifat

membangun.

E. Akuntabilitas Lembaga Pertahanan

dan Keamanan

Melalui Inpres Nomor 5 Tahun

2004 tentang Percepatan Pemberantasan

Korupsi, Presiden Republik Indonesia

menginstruksikan tentang penyusunan

penetapan kinerja kepada menteri, jaksa

agung, panglima TNI, kepala Polri, kepala

LPND, gubernur, bupati, dan walikota,

sebagaimana tercantum pada butir ketiga

Inpres tersebut, yaitu sebagai berikut :

”Membuat penetapan kinerja dengan

Pejabat dibawahnya secara berjenjang,

yang bertujuan untuk mewujudkan suatu

capaian kinerja tertentu dengan sumber

daya tertentu, melalui penetapan target

kinerja serta indikator kinerja yang

menggambarkan keberhasilan

pencapaiannya baik berupa hasil maupun

manfaat.” Melalui inpres tersebut maka

TNI/Polri wajib melakukan perencanaan

kinerja yang tujuannya adalah untuk

mengukur sejauh mana keberhasilan

dalam pencapaian kinerja yang telah

ditetapkan.

Akuntabilitas sangat penting bagi

lembaga pertahanan dan keamanan

mengingat lembaga ini sangat penting

peranannya dalam menjaga persatuan dan

kesatuan NKRI. Pada prinsipnya kondisi

lembaga ini sangat rawan dan retan

terhadap adanya praktek-praktek KKN

yang sudah membudaya di negara kita.

Maka dari itu menjadi sangat urgen bagi

TNI/Polri untuk melakukan akuntabilitas

yang terstruktur dan terstandar sehingga

kinerja lembaga ini menjadi transparan

dan akuntabel. Agar pelaksanaan sistem

akuntabilitas kinerja instansi Hankam

lebih efektif, sangat diperlukan komitmen

yang kuat dari organisasi yang

mempunyai wewenang dan bertanggung

jawab di bidang pengawasan dan

penilaian terhadap akuntabilitas kinerja

instansi pemerintah. Maka dari itu seluruh

jajaran aparat maupun pejabat wajib

melaporkan semua kegiatannya sekaligus

sebagai bentuk tanggung jawab yang

diembannya.

Laporan pertanggung jawaban

lembaga Pertahanan pada prinsipnya

harus memuat laporan yang berisikan

mengenai laporan kegiatan dan laporan

keuangan. Ringkasan eksekutif

merupakan salah satu bentuk

akuntabilitas bagi lembaga yang

mengambarkan secara umum untuk

kinerja lembaga dilihat dari dimensi

kegiatan dan alokasi anggaran. Laporan

kegiatan disusun berdasarkan

perencanaan strategis yang di susun oleh

lembaga pertahanan dan keamanan

Sementara laporan keuangan disusun

Page 26: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

berdasarkan mata anggaran yang telah

dialokasikan ke dalam program-program

yang terangkum dalam perencanaan

strategis.

Sebagai lembaga negara yang

diberi mandat untuk melaksanakan

kegitan dalam pertahanan dan keamanan

TNI wajib membuat laporan

pertanggungjawaban sesuai dengan apa

yang diamanahkan oleh undang-undang.

Dalam hal ini akuntabilitas/

pertanggungjawaban TNI didasarkan pada

perencanaan strategis TNI yang

merupakan penjabaran dari visi dan misi.

Perencanaan stratejik merupakan proses

sistematis yang berkelanjutan dari

pembuatan keputusan yang berisiko,

dengan memanfaatkan sebanyak-

banyaknya pengetahuan antisipatif,

mengorganisasi secara sistematis usaha-

usaha melaksanakan keputusan tersebut,

dan mengukur hasilnya melalui umpan

balik yang terorganisasi dan sistematis.

Mekanisme akuntabilitas lembaga

pertahanan dilakukan melaui reporting

(pelaporan) dalam hal ini yang digunakan

sebagai dasar pelaporan adalah Rencana

strategis (renstra) dan tugas pokok dan

fungsi. Uraian yang dijelaskan dalam

mekanisme pelaporan secara secara rinci

harus mengungkapkan tentang kinerja

dan capaian kinerja yang sudah

ditetapkan melalui perencanaan strategis.

Hasil dari laporan ini kemudian menjadi

tolak ukur keberhasilan dari pelaksanaan

kinerja TNI dalam menjalankan tugas dan

kewajibannya. Selanjutnya laporan yang

sudah dibuat harus disampaikan secara

utuh kepada Kementerian Pertahanan

selaku lembaga induk yang membawahi

TNI.

F. Akuntabilitas Lembaga Komisional

Maksud disusunnya pedoman ini

adalah untuk memberikan arah dan

pedoman bagi setiap satuan kerja dan unit

lembaga komisional dalam menyusun dan

menyiapkan laporan akuntabilitasnya.

Tujuan disusunnya pedoman ini

adalah agar segala bentuk pelaksanaan

program kerja komisi dapat

dipertanggungjawabkan kepada

stakeholder yang terkait dan penyajian

laporannya dapat tersusun dengan

sistematis agar mudah dipahami guna

perbaikan dan peningkatan kinerja komisi

di kemudian hari.

Laporan pertanggung jawaban

komisional pada prinsipnya harus

memuat laporan yang berisikan mengenai

laporan kegiatan dan laporan keuangan.

Ringkasan eksekutif merupakan salah satu

bentuk akuntabilitas bagi lembaga yang

mengambarkan secara umum untuk

kinerja lembaga dilihat dari dimensi

kegiatan dan alokasi anggaran. Laporan

Page 27: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

kegiatan disusun berdasarkan

perencanaan strategis yang di susun oleh

komisional. Sementara laporan keuangan

disusun berdasarkan mata anggaran yang

telah dialokasikan ke dalam program-

program yang terangkum dalam

perencanaan strategis.

Komisi berdiri atas tanggung

jawabnya melindungi kenyamanan publik

dalam mendapatkan informasi. Sebagai

basis dalam penyusunan laporan

akuntabilitas, Komisi dapat menggunakan

Program Kerja komisi yang telah

ditetapkan.

Mekanisme dan bentuk

akuntabilitas komisional yaitu:

1. Laporan

2. Konferensi Pers

3. Konsultasi/Dialog Publik baik di Pusat

Maupun Daerah

4. Publikasi

G. Akuntabilitas Lembaga Eksekutif

Penyelenggaraan Negara Negara

yang bersih dan bebas dari unsur KKN

merupakan kewajiban setiap lembaga

Negara dalam hal pelayanan kepada

masyarakat maupun sebagai bentuk

pertanggung jawaban dalam

menggunakan anggaran. Laporan

akuntabilitas memiliki peran dalam

mewujudkan hal tersebut serta dapan

menjadi pedoman dalam mengukur

kinerja organisasi dalam mencapai tujuan

dan sasaran. Adapun maksud dan tujuan

dari penyusunan Laporan Akuntabilitas

Kinerja Instansi Pemerintah adalah:

1. Dapat diketahuinya kegiatan yang

telah dilaksanakan;

2. Dapat diketahuinya perkembangan

kegiatan yang telah dilaksanakan

berikut hasil pengolahan dan evaluasi;

3. Sebagai dasar untuk pelaksanaan

kegiatan tahun berikutnya;

4. Tertibnya pengadministrasian hasil

kegiatan;

5. Sebagai bukti laporan program dan

hasil kegiatan kepada publik.

Akuntabilitas lembaga eksekutif

yang saat ini telah dilaksanakan secara

periodik dan berlangsung lama serta telah

mengalami beberapa kali penyempurnaan

dan penyeragaman format laporan. Pada

prinsipnya laporan akuntabilitas lembaga

eksekutif yang saat ini telah di jadikan

sebagai salah satu dasar untuk

mengevaluasi kinerja lembaga eksekutif.

Laporan akuntabilitas disamping memuat

laporan tentang kinerja organisasi yang

didasarkan pada pencapaian tujuan dan

sasaran kegiatan organisasi, disertakan

juga akuntabilitas keuangan organisasi.

Uraian mengenai akuntabilitas keuangan

yaitu dengan menyajikan laporan

penggunaan anggaran secara detail untuk

Page 28: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

masing-masing kegiatan organisasi yang

diharapkan dapat menjadi pedoman

untuk penetapan anggaran tahun

berikutnya

Mekanisme akuntabilitas lembaga

eksekutif yang paling tepat adalah melalui

mekanisme reporting (pelaporan).

Mekanisme reporting pada prinsipnya

lembaga harus membuat/menyusun

laporan yang memuat laporan mengenai

pelaksanaan kegiatan serta laporan

mengenai alokasi anggaran sesuai dengan

perencanaan. Lembaga eksekutif secara

umum sudah melaksankan laporan

akuntabilitas yang dilaksanakan setiap

tahun yang dikenal dengan LAKIP. Lakip

merupakan salah satu bentuk

akuntabilitas yang dilaksankan setiap

lembaga/institusi pemerintah termasuk

lembaga eksekutif. Laporan yang

berisikan informasi mengenai kondisi dan

keadaan serta realisasi dari seluruh

kegiatan serta gambaran singkat

mengenai jalannya organisasi merupakan

mekanisme yang sudah dilaksanakan

sejak lama. Mekanisme ini dikategorikan

sebagai laporan yang memberikan

informasi kepada pihak-pihak yang

membutuhkan informasi terutama

masyarakat secara keseluruhan.

PENUTUP

Laporan Akuntabilitas

merupakan wujud transparansi dan

akuntabilitas setiap lembaga dalam

melaksanakan berbagai kewajiban

pembangunannya. Sangat disadari

bahwa laporan akuntabilitas saat ini

disadari jauh dari sempurna dalam

memberikan informasi. Laporan ini

setidaknya dapat melaksanakan prinsip

transparansi dan akuntabilitas seperti

yang diharapkan, namun setidaknya

masyarakat dan berbagai pihak yang

berkepentingan dapat memperoleh

gambaran tentang hasil pembangunan

yang telah dilakukan oleh jajaran

pemerintah.

Berbagai upaya telah dilakukan

dalam rangka mewujudkan reformasi

birokrasi di negara kita. Lembaga

eksekutif sebagai salah satu penyangga

utama birokrasi telah berusaha dengan

berbagai upaya agar terwujud birokrasi

yang efektif, efisien, bersih serta

berorientasi kepada kebutuhan rakyat.

Belum seluruh upaya tersebut mencapai

hasil sesuai dengan harapan, namun

setidaknya berbagai upaya tersebut

telah berjalan pada jalur yang benar.

Upaya berkelanjutan tetap akan

dilakukan oleh seluruh jajaran unit-unit

dalam mewujudkan reformasi birokrasi

ini melalui penyusunan kelembagaan

yang efektif, ketatalaksanaan yang

efisien, ketersediaan SDM aparatur yang

Page 29: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

profesional, peningkatan akuntabilitas,

penerapan sistem pengawasan yang

integral, penerapan budaya kerja dan

pada akhirnya mampu mewujudkan

pelayanan publik yang sesuai dengan

harapan masyarakat.

REFERENSI

Buku Agus Dwiyanto, 2005. Mewujudkan Good

Governance Melalui Pelayanan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Barker, R.S. 2000.”Government

Accountability and Its Limits”, Electronic Journals of Departement of State, Volume 5 Number 2.

Carino, L.V. 1991. “Accountability,

Corruption and Democracy :A Clarification of Concept” The Asian Review Of Public Administration, Volume 3 Number 2.

------, 1993. Administrative Accountability :

A Review Of The Evolution, Meaning and Operationalization Of Key Concept In Public Administration, dalam Brautista (editor), Introduction To Public Administration In The Philippines : Reader, University Of The Philipines Press and The College Of Public Administration University Of The Philipines, Quezon City.

Denhardt, R.B. 1991. Public

Administration, Pasific Grove : Brooks/Cole Publishing Company.

De Vrye, C. 1998. Good Service is Good Business : 7 Simple Strategies for Success, Prentice Hall, New York.

Dror. Y. 1971. Strategies for Administrative

Reform, Development and Change, The Hauge, Netherlands.

Esman, J.M. 1995. Management of

Development : Perspective and Strategies, Kumairan Press, Inc.

Etzioni, S. 1975. “Administrative

Accountability” dalam Public Administration Review (PAR), Number 35, May/June.

Fernada, D. 2002. “Sistem Perencanaan

dan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Daerah” Journal Desentralisasi Volume 1 Nomor 1, Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, LAN, Jakarta.

Heady, F. 1995. Public Administration : A

Comparative Perspective, 5 th, ed. New York : Marcel Decker Inc.

Jabbra, J. G. dan Dwidevi, O. P. 1989. Public

Service Accountability, Connecticut : Kumairan Press, Inc.

Lembaga Administrasi Negara RI. 2000.

Akuntabilitas dan Good Governance, Modul Sosialisasi Sistem AKIP, Jakarta.

------------------------------------------, 2003.

Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta.

------------------------------------------, 2003.

Penyusunan Standar Pelayanan Publik, Deputi Kajian Manajemen Kebijakan dan Pelayanan LAN, Jakarta.

Mardiasmo, 2002. Otonomi dan

Page 30: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

Manajemen Keuangan Daerah, Andi, Yogyakarta.

Mertins, Jr., H. (ed.). 1979. Professional

Standars and Ethics. Washington, D.C. : ASPA Publisher.

Mustopadidjaja, A.R. 2003. Sistem

Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, LAN RI, Jakarta.

Nico Andrianto, 2007. Good e-Government:

Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui e-Government, Bayumedia Publishing, Malang.

Rose, W. dan Menfield, C.E. 1997,

“Governmental Reform : What Are The Alternatives”, Policy Studies Journal, Volume 25, number 4.

Saleh, S.H. dan Iqbal, A. 1995.

Accountability : The Endless Prophecy, The Asian and Pacific Development Centre, Kuala Lumpur, Malaysia.

Salusu, J. 1996. Pengambilan Keputusan

Stratejik Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non Profit, PT. Gasindo, Jakarta.

Suwandi, M. 2001. LPJ Kepala Daerah

Dalam Perspektif Administrasi dan Akuntabilitas Publik, Depdagri, Jakarta.

--------------, 2001. Akuntabilitas dan

Transparansi Pelayanan Pemerintah Daerah, Makalah Seminar Akuntabilitas Publik, Depdagri, Jakarta.

Suhadak dan Trilaksono Nugroho, 2007.

Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Daerah Dalam Penyusunan APBD di Era Otonomi Daerah, Bayumedia Publishing, Malang.

Taylor, L.K. 1993. Quality : Total Costumer

Service, Century Business, London. Thoha, M.1999. Menyoal Birokrasi Publik,

Balai Pustaka, Jakarta. -------------, 2002. Reformasi Birokrasi

Pemerintah, Makalah Dalam Seminar Good Governance di Bappenas, Jakarta.

-------------, 2003. Birokrasi dan Politik di

indonesia. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Turner, M. 2000. Menerapkan

Akuntabilitas di Daerah Otonom, Makalah Diskusi Nomor 18, CB-SDAS.

UNDP. 1997. Reconceptualising

Governance, Discussion Paper 2, New York.

Whittaker, J.B. 1995.The Government

Performance and Result Act of 1993, : A Mandate For Strategic Planning And Performance Measurement, Educational service institute, Arlington, Virginia.

Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003,

Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

-----------------, Nomor 10 Tahun 2009,

Tentang Majelis Permusyaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

------------------, Nomor 4 Tahun 2004 jo

Page 31: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Tentang Kekuasaan Kehakiman.

------------------, Nomor 5 Tahun 2004 jo

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Tentang Mahkamah Agung.

------------------, Nomor 24 Tahun 2003:

Mengatur Secara Khusus Mengenai Kelembagaan Mahkamah Konstitusi.

------------------, Nomor 23 Tahun 2004

Tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

------------------, Nomor 19 Tahun 2003

Tentang Badan Usaha Milik Negara. ------------------, Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Penyelenggara Negara yang bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

------------------, Nomor 22 Tahun 1999,

Tentang Pemerintahan Daerah ------------------, Nomor 32 Tahun 2004,

Tentang Pemerintahan Daerah. ------------------, Nomor 12 Tahun 2008,

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

------------------, Nomor 1 Tahun 2004

Tentang Perbendaraan Negara. ------------------, Nomor 15 Tahun 2004

Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Perrtanggungjawaban Keuangan Negara.

------------------, Nomor 17 Tahun 2003

Tentang Keuangan Negara. ------------------, Nomor 15 Tahun 2006

Tentang Badan Pemeriksa Keuangan Negara.

------------------, Nomor 15 Tahun 2004

Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.

------------------, Nomor 28 Tahun 1999

Tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun

2000, Tentang Tata Cara Pertanggungjawaban dan Pengelolaan Keuangan Daerah.

-----------------------------, Nomor 108 Tahun

2000, Tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah.

-----------------------------, Nomor 3 Tahun

2007, Tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi LPPD kepada Masyarakat.

-----------------------------, Nomor 8 Tahun

2004, Tentang Laporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.

-----------------------------, Nomor 56 Tahun

2005, Tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah.

-----------------------------, Nomor 58 Tahun

2005, Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

-----------------------------, Nomor 73 Tahun

2005, Tentang Kelurahan. -----------------------------, Nomor 52 Tahun

2001 Tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan.

-----------------------------, Nomor 30 Tahun

Page 32: Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)

2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

-----------------------------, Nomor 34 Tahun

2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia.

Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999

Tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP).

-----------------------------, Nomor 5 Tahun

2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Keputusan Menteri Pendayagunaan

Aparatur Negara Nomor 26 Tahun 2004 Tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

Keputusan Kepala LAN No.

239/IX/6/Y/2003 Tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan AKIP.

Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat

Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bebas Dari Korupsi.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor

19 Tahun 2008 Tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Komisi Penyiaran Indonesia.