Identifikasi budaya blitar

Click here to load reader

Transcript of Identifikasi budaya blitar

1. TUGAS MATA KULIAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL BLITAR DISUSUN OLEH : GRESI DWIRETNO 14030184057 PFB 2014 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA 2015 2. CANDI PENATARAN A. Misteri arsitektur candi Penataran Ketika Eropa masih berada di abad kegelapan, ternyata leluhur Nusantara telah berhasil membangun sebuah mahakarya seperti yang bisa dilihat pada Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Candi Penataran. Sebuah karya agung yang sangat rumit dipandang dari keindahan seninya, maupun tingkat kesulitan pembuatannya. Siapa yang bisa menunjukkan ada bangunan di peradaban lain yang lebih indah dengan detail yang rumit di abad itu? Apalagi Nusantara adalah wilayah tersubur di bumi karena ada banyak gunung berapi. 1. Sejarah candi Penataran Candi Panataran ditemukan pada tahun 1815, tetapi sampai tahun 1850 belum banyak dikenal. Penemunya adalah Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826), Letnan Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Inggris yang berkuasa di Negara Indonesia. Raffles bersama- sama dengan Dr.Horsfield seorang ahli Ilmu Alam mengadakan kunjungan ke Candi Panataran, dan hasil kunjunganya dibukukan dalam buku yang berjudul History of Javayang terbit dalam dua jilid. Jejak Raffles ini di kemudian hari diikuti oleh para peneliti lain yaitu : J.Crawfurd seorang asisten residen di Yogyakarta, selanjutnya Van Meeteren Brouwer (1828), Junghun (1884), Jonathan Rigg (1848) dan N.W. Hoepermans yang pada tahun 1886 mengadakan inventarisasi di komplek percandian Panataran. 2. Lokasi candi Penataran Candi Penataran terletak di desa Penataran, kecamatan Nglegok, kabupaten Blitar, Jawa Timur, Indonesia. Koordinat GPS : 8 0059.06 S 112 1234.90. Lokasinya yang terletak di kaki gunung Kelud, menjadikan area Candi Penataran berhawa sejuk. 3. Keunikan candi Penataran Candi Penataran adalah kompleks percandian terbesar dan paling terawat di provinsi Jawa Timur, Indonesia. Candi ini merupakan candi yang kaya dengan berbagai macam corak relief, arca, dan struktur bangunan yang bergaya Hindu. Adanya pahatan Kala (raksasa menyeringai), arca Ganesha (dewa ilmu pengetahuan dalam mitologi Hindu), arca Dwarapala (patung raksasa penjaga pintu gerbang), dan juga relief Ramayana adalah bukti tidak terbantahkan bahwa Candi Penataran adalah candi Hindu. Prasasti Palah yang terdapat di area Candi Penataran mengabarkan bahwa candi ini mulai dibangun sekitar tahun 1194, pada masa pemerintahan raja Syrenggra yang memerintah kerajaan Kadiri, dan selesai pada masa kerajaan Majapahit. Dengan demikian candi ini melewati masa tiga kerajaan besar Nusantara yaitu Kadiri, Singosari, dan Majapahit. Candi 3. Penataran memegang peranan cukup penting bagi kerajaan-kerajaan tersebut, yaitu sebagai tempat pengangkatan para raja dan tempat untuk upacara pemujaan terhadap Sang Pencipta. Berbagai kajian oleh para sejarawan terhadap teks-teks kuno, kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca, misalnya, dijelaskan bahwa Candi Penataran sangat dihormati oleh para raja dan petinggi kerajaan besar di Jawa Timur. Candi Penataran pernah menyimpan abu dari raja Rajasa (Ken Arok) pendiri kerajaan Singasari, dan juga abu dari raja Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya) pendiri kerajaan Majapahit. Bahkan konon, menurut legenda rakyat setempat, sumpah sakral Mahapatih Gajah Mada untuk menyatukan seluruh Nusantara dalam kekuasaan Majapahit, yang dikenal dengan nama Sumpah Palapa, diucapkan di Candi Penataran. 4. Misteri relief di candi Penataran Keunikan arsitektur bangunan candi yang ada di Nusanatara, khususnya di pulau Jawa adalah bukti akan kehebatan nenek moyang bangsa Nusantara. Sistem pertanian yang canggih telah ada sejak dahulu kala. Belum lagi ditinjau dari kekayaan hasil tambangnya. Karya agung semacam candi lengkap dengan arca dan reliefnya hanya dapat dihasilkan oleh bangsa dengan kebudayaan yang tinggi. Dan bangsa dengan kebudayaan tinggi sangat mungkin memiliki kekuatan militer yang unggul. Mari kita perhatikan relief yang terdapat di Candi Penataran ini. Ada sebuah pertempuran antara pasukan yang bisa dianggap berasal dari bangsa Nusantara, dan yang satu lagi adalah pasukan yang berdandan mirip dengan bangsa Amerika, seperti halnya bangsa-bangsa Aztec dan Maya. Tidak percaya? Baiklah. Sekarang coba kita perbandingkan busana pasukan yang mirip orang Amerika tersebut dengan gaya berbusana orang-orang suku Aztec dan Maya yang berasal dari benua Amerika. Apakah kemiripan itu hanyalah kebetulan? Baiklah. Mari kita tengok detail dari relief ini. Silakan perhatikan baik-baik pahatan yang dilingkar merah. 4. Menyerupai apakah pahatan tersebut? Ya. Menyerupai tanaman kaktus. Bandingkan dengan foto tanaman kaktus di sebelahnya. Mirip bukan? Masalahnya, berasal dari manakah tanaman kaktus? Apakah di wilayah Nusantara pada waktu itu telah ada tanaman kaktus? Jawabannya tidak! Tanaman kaktus hanya ada di benua Amerika! Masih berkilah bahwa itu hanyalah kebetulan yang dimirip-miripkan? Mari kita lihat kembali foto-foto di bawah! Lihat foto relief wajah dengan lidah menjulur yang ada relief Candi Penataran! Bandingkan dengan arca kepala dengan lidah menjulur yang ada di Tlaltechutli, Mexico City! Adakah kemiripan di sana? Bandingkan juga dengan topeng Rangda ala Bali. Masih kurang yakin? Nah, foto-foto di bawah ini bisa membungkam ketidakyakinan orang- orang skeptis. Perhatikan kedua foto di bawah ini. Foto di sebelah kiri adalah arca Dwarapala (raksasa penjaga pintu gerbang) yang berada di Candi Penataran. Akan tetapi terletak di manakah arca Dwarapala pada foto sebelah kanan? Jawabannya terletak di kompleks kuil Chichen Itza peninggalan suku Maya, yang saat ini terletak di semenanjung Yucatan, Amerika Tengah. Bukankah foto ini menunjukkan kemiripan yang luar biasa? 5. Bukti lainnya ada di foto-foto berikut. Foto pertama adalah piramida yang terdapat di Candi Sukuh yang terletak di desa Karanganyar, kabupaten Surakarta, Jawa Tengah. Foto disampingnya adalah piramida suku Aztec yang terdapat di Tenochtitlan, Mexico. Ini menunjukkan adanya koneksi yang luar biasa antar kedua peradaban tersebut. Selain itu masih banyak relief lain di Candi Penataran yang menggambarkan orang-orang yang diduga berasal dari peradaban bangsa lain. 6. Penutup Setelah mengamati penjelasan diatas, apakah benar bahwa leluhur Nusantara pernah terhubung dengan bangsa-bangsa di seantero dunia? Kemudian apakah leluhur Nusantara yang berhasil menapakkan kaki (menaklukkan) di benua Amerika atau bangsa Amerika yang pernah mengunjungi Nusantara? Faktanya adalah tidak pernah ada catatan sejarah yang menjelaskan bahwa bangsa Amerika memiliki tradisi maritim yang hebat. Sebaliknya, leluhur Nusantara adalah pelaut-pelaut ulung. Sebagaimana dapat didengar pada lagu tradisional Nusantara, Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudera ... Begitu pun terhadap bangsa-bangsa di benua Asia (Campa, Pakistan, India, China, Persia, Sumeria, Yahudi) benua Eropa (Romawi, Turki) dan benua Afrika (Mesir). Apakah memang bangsa Nusantara pernah memiliki wilayah kekuasaan sampai kesana, sehingga di candi Penataran ini bisa digambarkan secara gamblang tentang beragamnya karakter dan budaya bangsa-bangsa di seantero dunia itu? Yang jelas ini bukanlah kebetulan, karena tidak ada kebetulan itu. 6. PETA BLITAR Bendera PETA Mau diakui atau tidak, pemberontakan yang telah Soeprijadi dan kawan-kawan lakukan enam bulan menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI, telah membuka mata dunia. Mengapa? Tanggal 11 Januari 1942, Jepang yang memenangkan perang Asia-Pasifik atau Asia Timur Raya mulai menginjakkan kaki di bumi Nusantara. Dalam waktu sekejap, Dai Nippon Guntai (Angkatan Darat Jepang) telah mendarat di pelbagai daerah di pantai utara pulau Jawa. Tak lama kemudian, tanggal 9 Maret 1942, Panglima Angkatan Perang Belanda merangkap Panglima Sekutu di Indonesia, Jenderal Carda van Starkenborgh Stachouwer, menyerah tanpa syarat kepada Jepang, yang bertempat di Kalijati, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Dengan menyerahnya Panglima Angkatan Perang Belanda tersebut, sekaligus menghentikan perlawanan Sekutu di seluruh bekas jajahan Belanda di Indonesia (Hindia Belanda). Peristiwa tersebut sekaligus pula menghapuskan mitos yang selama ini dibiuskan kepada rakyat Indonesia oleh pihak Belanda, yang mengatakan "bangsa kulit putih, bangsa yang luhur, dan tak mungkin terkalahkan oleh bangsa Asia." Mesin perang pun berjalan terus. Hampir setiap hari Jepang mencatat kemenangan di berbagai front di Asia dan Pasifik. Namun, pada pertengahan 1943, kedudukan Jepang mulai terdesak kekalahan. Tentara Amerika dan Inggris (Sekutu) setapak demi setapak maju, satu demi satu pulau di kawasan Pasifik, dapat direbut kembali. Mula-mula kepulauan Marshall; menyusul Gilbert dan Carolina; terus maju ke Filipina dan bagian timur Nusantara. Bahkan, di front Burma (Myanmar) dan India, ternyata Jepang sudah tidak bisa maju lagi. Mereka tampak kewalahan menghadapi gempuran-gempuran Inggris. Menyadari kedudukannya yang semakin terdesak kekalahan, pemerintahan Kerajaan Jepang membuat siasat baru Dengan mempersiapkan segala sesuatunya guna membangkitkan perlawanan yang lebih luas dan lama di Nusantara ini, mereka mengerahkan sebanyak- banyaknya kekuatan rakyat pribumi untuk diajak bersama-sama Dai Nippon memerangi Sekutu. 7. Dengan semboyan "hidup di bawah lindungan saudara tua", ternyata sepanjang masa pendudukannya (1942-1945), Dai Nippon berhasil meraih empati bangsa Indonesia. Padahal, di satu sisi, mereka hanya ingin menguasai dan memeras kekayaan bangsa ini. Terlebih, dengan tidak terdengarnya lagi Wilhelmus van Nassauwe (lagu kebangsaan Belanda) karena digantikan Kimigayo (lagu kebangsaan Jepang) dan tidak berkibarnya lagi "si tiga warna" karena digantikan dengan Hinomaru (bendera Jepang), membuat Jepang semakin jumawa dan menjadikan keadaan negeri ini semakin parah. Penindasan; penghinaan; perlakuan sewenang-wenang; perampasan harta benda dan tenaga paksaan; telah mengakibatkan kemelaratan dan kesulitan hidup sehari-hari, terutama dirasakan rakyat di pedalaman. Di kota-kota sudah tidak aneh lagi melihat orang kurus-kering kelaparan, bahkan sering juga terlihat mati di tengah-tengah keramaian. Penderitaan rakyat Indonesia, kesengsaraan lahir batin rakyat negeri ini, ditambah dengan satu bentuk kewajiban bersujud ke utara menghadap ke Maharaja Kerajaan Jepang (Kaisar Tenno Heika). Selain dari itu, dengan tipu muslihat pula, mereka mengumpulkan gadis-gadis kita dari berbagai golongan lapisan masyarakat, antara lain dengan janji-janji akan disekolahkan dan dipekerjakan. Ternyata, gadis-gadis itu dijadikan jugun ianfu, yang tidak lain sebagai pemuas nafsu serdadu-serdadu Dai Nippon. Romusha, adalah salah satu bentuk kesengsaraan dan sebuah kata yang dikenal menimbulkan rasa takut bagi bangsa Indonesia selama Jepang berkuasa. Artinya, sama dengan kuli di zaman penjajahan, tetapi dengan nasib yang lebih buruk. Berpuluh-puluh ribu romusha dikerahkan dengan paksa untuk dipekerjakan membuat lapangan terbang; jalan kereta api; lubang perlindungan; dan lain-lain, guna keperluan perang Dai Nippon. Mereka diangkut tidak hanya dari wilayah Indonesia, tetapi dari Myanmar; Thailand; dan negara-negara yang pernah ditaklukkan Jepang. Tenaga mereka (para romusha) diperas, tetapi makanan; pakaian; kesehatan; dan perumahan diabaikan, hingga kematian tidak terhitung banyaknya. Mereka hilang untuk selama-lamanya, tidak diketahui letak kuburnya. Sisa-sisa yang dapat meloloskan diri atau melampaui masa perang dan masih hidup, terdapat di lokasi bekas kerjanya (Birma dan Thailand). PETA Kedudukan Jepang dalam Perang Dunia II mulai terdesak, meski sejumlah peralatan dan tenaga keprajuritan telah terpenuhi. Karena itulah, kemudian Jepang menempuh dua kebijakan untuk meraih hati masyarakat Indonesia yang telah remuk-redam melihat perlakuan Jepang kepada saudara-saudara mereka. Kebijakan pertama, di bidang politik, Jepang mengadakan "dewan perwakilan rakyat," di pusat dinamakan Tjuo Sangiin dan di tiap keresidenan disebut Shu-Sangikai. Anggota- anggotanya ditunjuk. Di lapangan, Angkatan Bersenjata Jepang membentuk pasukan tentara sukarela. Dalam bahasa Jepang dinamakan Kyodo Boui Cyu Gun. Barisan sukarela ini kemudian lebih dikenal dengan nama Tentara Pembela Tanah Air (PETA), berdasarkan gagasan Gatot Mangkoepradja. Pada tanggal 7 September 1943, gagasan Gatot Mangkoepradja tersebut tercetus di dalam 8. pengajuan surat permohonan kepada Guseikan dan Saiko Sikikan, Panglima Tentara Pendudukan Kerajaan Jepang di Jakarta, mengenai perlunya segera dibentuk "Barisan Sukarela" untuk membela tanah air. Surat permohonan yang ditulis dengan tinta darahnya sendiri itu, ternyata mendapat banyak dukungan dan sambutan hangat dari berbagai golongan masyarakat, terutama dari anggota Seinendan dan Keibodan. Atas perintah Saiko Sikikan, untuk mencoba apakah pemuda-pemuda Indonesia dapat diberi tugas militer, maka dibukalah Seinendojo (pusat latihan pemuda) di Tangerang, yang dipimpin perwira intel, Lettu. Motosjige Janagawa. Angkatan pertama diikuti 50 pemuda, dan dilatih selama enam bulan. Saiko Sikikan, merasa puas akan hasil latihan itu dan memerintahkan dilanjutkan dengan angkatan berikutnya. Karena itulah, kemudian keluar keputusan Saiko Sikikan dan Letjen. Kumakitji Harada tentang pembentukan pasukan sukarela untuk mempertahankan tanah air dari serangan Sekutu, sesuai dengan undang-undang (Osamu Seirei No. 44), tertanggal 3 Oktober 1943. Di dalam penjelasan Osamu Seirei tersebut, dikatakan bahwa untuk menyambut semangat yang berkobar-kobar dan memenuhi keinginan penduduk asli di Pulau Jawa untuk membela tanah airnya, maka balatentara Dai Nippon membentuk PETA atas dasar membela Asia Timur Raya bersama-sama. Di dalam PETA, ditempatkan beberapa perwira Jepang sebagai pendidik. Calon-calon perwira Indonesia dididik di Bogor, selama tiga bulan, dan tempat pendidikannya dinamakan Bo Ei Gyu Gun Renseitai. Selanjutnya, di tiap karesidenan dibentuk pasukan 1000 prajurit, dan dikepalai perwira- perwira Indonesia yang telah mendapat latihan dasar ilmu kemiliteran; pengetahuan senjata; siasat perang; dan bertempur. Usai pendidikan, mereka ditugaskan menyiapkan barisan di karesidenan masing-masing. Strukturnya, kepala barisan dinamakan Daidancho; pimpinan kompi disebut Shodanco; dan Bundanco untuk pimpinan peleton. Kesemuanya orang Indonesia. PETA Blitar PETA Blitar diresmikan pada tanggal 25 Desember 1943 oleh Katagiri Butaico atas nama Saiko Sikikan, sebagai satu di antara dua Daidan resmi yang ada di Karisidenan Kediri. Nama lain Daidan Blitar adalah Dai Ni Daidan, atau diartikan sebagai batalyon kedua. Susunan organisasi Dai Ni Daidan terdiri atas Daidancho Soerakhmad sebagai Kepala Daidan; Shodanco Soekandar sebagai ajudan Dai Ni Daidan; Shodanco Moelyadi sebagai Honbu Shodan; Ensei Gakari dijabat Cudanco dr. Ismangil; Cudanco Soekandar memimpin Ensyu Gakari; Jinji Gakari dijabat Cudanco Soekeni; Cudanco Soehadi memimpin Heiki Gakari; Keiri Gakari dijabat Shodanco Soenardi; Shodanco Partohardjono memimpin Buppin Gakari; dan Daidanki Gakari dijabat Shodanco Wahono. Sementara itu, Kompi I atau Dai Ici Cudan dipimpin Cudanco Soehoed, dengan peleton-peleton di bawahnya yang dipimpin Shodanco Koesdi; Shodanco Moeljohardjono; Shodanco S. Djono; dan komandan markas (Dai Ici Sigiangco) Bundanco Goenawan. Dai Ni Cudan atau Kompi II dipimpin Cudanco Hasannawi, dengan peleton-peleton di bawahnya yang dipimpin Shodanco Soeparjono; Shodanco Soenjoto; Shodanco Moendjijat; 9. dan komandan markas (Dai Ici Sigiangco) Bundanco Imam Moenandar. Kompi III atau Dai San Cudan yang merupakan kompi bantuan dipimpin Cudanco Ciptoharsono, dengan peleton-peleton di bawahnya yang dipimpin Shodanco Soeprijadi; Shodanco Moeradi; Shodanco Soekeni; dan komandan markas (Dai Ici Sigiangco) Bundanco Soenanto. Terakhir, Dai Yon Cudan atau Kompi IV dipimpin Cudanco Soejatmo, dengan peleton-peleton di bawahnya yang dipimpin Shodanco Akhijat; Shodanco Soekijat; Shodanco Soewarna; dan komandan markas (Dai Ici Sigiangco) Bundanco Soedarmadji. Secara khusus, pasukan PETA Blitar memiliki kedudukan yang istimewa: bertugas membangun perbentengan di berbagai tempat sampai di pantai selatan dan Tuban. Di samping itu, para prajurit PETA itu harus tetap melakukan latihan-latihan yang berat di bawah perlakuan pelatih-pelatih Jepang yang kasar dan menyakitkan hati. Dalam perjalanan ke tempat-tempat lain dalam rangka pembangunan perbentengan tersebut, anggota PETA Blitar dapat melihat segala jenis penderitaan rakyat (di antara mereka terdapat sanak keluarga pasukan PETA sendiri). Di tempat kerja tersebut, mereka melihat nasib para romusha yang diperlakukan tidak sebagai manusia. Timbullah rasa berontak dan mendendam yang tidak dapat disimpan lebih lama lagi. Beberapa perwira PETA telah mencapai kata sepakat dan tekad bulat untuk mengangkat senjata terhadap "saudara tua" yang zalim, melalui "rapat-rapat rahasia" yang dimulai awal tahun 1944. Pembagian tugas pun disusun. Daidan-daidan lain dihubungi. Para anggota Daidan Blitar diberi "pengertian-pengertian". Bahkan, para pimpinan pemberontakan telah direncanakan ketika adanya kegiatan latihan bersama dengan sepuluh Daidan lain pada tanggal 5 Februari 1945 di Tuban. Namun, ternyata latihan bersama itu digagalkan Jepang, setelah Dai Nippon mencium gelagat dari pasukan PETA. Usai gagalnya latihan bersama di Tuban itu, keadaan pasukan PETA Blitar semakin gawat. Semua kegiatan mereka dimata-matai. Puncaknya, mulai tanggal 9 Februari 1945, Shodanco Soeprijadi meninggalkan asrama melalui pintu belakang. Tujuannya, bertemu guru spiritualnya: Kasan Bendo, guna meminta nasehat atau petuah-petuah dari salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro itu. Salah satu nasehat Kasan Bendo kepada Soeprijadi setelah mengutarakan maksudnya untuk memberontak terhadap penjajahan Jepang yang terkenal adalah: "Saat ini sebenarnya belum waktunya untuk melawan tentara Jepang. Tunggu empat bulan lagi. Akan tetapi kalau ananda mau juga melawan tentara Jepang sekarang, saya hanya dapat memberikan restu kepadamu, karena perjuanganmu itu adalah mulia, yakni untuk melenyapkan penderitaan dan penjajahan dari bumi Tanah Air kita". Setelah mendapat restu Kasan Bendo, dan sempat berdiskusi dengan pemimpin PUTERA, Ir. Soekarno, yang tengah berkunjung ke Ndalem Gebang , Shodanco Soeprijadi beserta Shodanco Moeradi; Shodanco Soeparjono; Bundanco Halir Mangkoedidjaja dan Bundanco Soenanto melakukan "rapat rahasia" terakhir mereka di kamar Halir Mangkoedidjaja, 13 Februari 1945. Hasil rapat itu pun putus sudah. Pemberontakan terhadap "saudara tua" yang 10. zalim harus segera dilakukan. Berkibarnya Sang Saka Merah Putih Pemberontakan itu pun direncanakan dilaksanakan pada pukul 03.30 dinihari tanggal 14 Februari 1945. Sebab, berdasarkan pendapat Halir Mangkoedidjaja seusai rapat rahasia, "Karena rencana kita untuk memberontak telah diketahui oleh tentara Jepang, maka sebaiknya pemberontakan itu kita cetuskan secepat mungkin. Kita tidak perlu menunggu-nunggu lagi, karena keadaan dan penderitaan rakyat Indonesia sudah tidak tertahan lagi. Apalagi tadi siang, yakni pada kira-kira pukul 14.00 ada satu gerbong kenpetai yang datang dari Semarang. Sebagian dari mereka pada saat ini bermalam di Hotel Sakura Blitar. Apakah kedatangan para anggota kenpetai itu tidak bermaksud untuk menangkapi kita? Mengingat bahwa rencana pemberontakan kita sudah bocor, mungkin sekali mereka memang sengaja didatangkan ke Blitar untuk menangkap kita semua". Pendapat Halir tadi diperkuat dengan peringatan Soeprijadi: 1) Kita mengadakan pemberontakan sekarang juga untuk mencapai kemerdekaan Tanah Air dengan secepat- cepatnya; 2) Kemerdekaan Indonesia harus kita rebut dengan kekerasan senjata jangan sampai Indonesia "didominionkan"; 3) Sebagai bangsa yang ingin merdeka kita harus berani berjuang dan rela berkorban untuk menghentikan penindasan dan pemerasan yang sewenang- wenang terhadap rakyat yang sudah sangat menderita; dan 4) Konsekuensi dari pemberontakan kita ini ialah paling ringan dihukum dan disiksa serta paling berat dibunuh, tetapi kita harus mencegah sejauh mungkin jangan sampai kita membunuh bangsa sendiri. Pukul tiga malam, 14 Februari 1945, senjata dan peluru dibagikan; barisan-barisan dipersiapkan; serangan dibuka dengan mortir berat (hakugekiho) oleh pasukan Bundanco Soedarmo, diarahkan ke Hotel Sakura, tempat perwira-perwira Jepang. Hajime...! Teriak Shodanco Soeprijadi memberikan komando pemberontakan. Bersamaan dengan komando itu, Bundanco Poedjianto memutuskan hubungan telepon dari segala jurusan. Kantor Kenpetai Jepang di Blitar diserbu dari segala jurusan. Pada saat-saat yang tegang itu, Shodanco Partohardjono membawa sehelai bendera Merah Putih yang telah lama disiapkan, perpaduan kain merah dari gudang Daidan dan kain putih sarung bantal jahitan isterinya, Sukmi, ke tiang bendera yang berada tengah-tengah lapangan besar di seberang Daidan (kini TMP Raden Wijaya dan tiang bendera itu dinamakan Monumen Potlot,red). Sebelum dikibarkan, lipatan bendera itu diciumnya tiga kali, kemudian dikereknya pada tiang bendera di sana, diiringi suara tembakan dari segala penjuru kota. Setelah Sang Saka Merah Putih berkibar di angkasa, dia pun bersikap sempurna dan memberi hormat. 11. Belum puas juga, dia menyembah tiga kali dan mencium tanah sebagai tanda syukur. Usai "ritual" tersebut, dia cepat-cepat berlari ke arah timur mengejar rombongan yang menurut rencana meang menuju ke arah sana. Pasukan PETA bergerak membinasakan semua orang Jepang di Blitar; membebaskan para tahanan; melucuti senjata polisi yang menghalang-halangi perjuangan; dan kemudian, menyebar ke tempat-tempat yang sudah ditentukan. Shodanco Dasrip di sektor selatan melakukan serangan di dalam kota dan bergerak terus hingga ke Brubuh, Lodoyo; pasukan Shodanco S. Djono melakukan pembersihan kota di kawasan barat kota dan bergerak terus hingga ke Srengat; pasukan Shodanco Soenarjo membersihkan sektor utara kota dan bergerak terus hingga ke Talun; dan pasukan Shodanco Moeradi yang melakukan pembersihan di dalam kota bergerak terus hingga ke Ponggok dan bergabung dengan pasukan Shodanco S. Djono. Pasukan Shodanco Soeprijadi sendiri bertugas ke timur untuk menghadang tentara Jepang dari Katagiri Butai Malang. Namun, rencana itu pun tidak berjalan dengan baik. Kendati berhasil membunuh sejumlah penjajah Jepang, tetapi semua pasukan PETA, kecuali pasukan Dasrip, malah melaju ke Hutan Ngancar, Kediri, dan bersembunyi di sana. Hingga akhirnya, pasukan PETA diperdayai Jepang melalui sebuah perjanjian (Perjanjian Ngancar,red), pada tanggal 19 Februari 1945, yang di kemudian hari justru diingkari Jepang. Isi dari Perjanjian Ngancar itu sendiri adalah: janji pemerintah Dai Nippon untuk mempercepat kemerdekaan Indonesia; tidak akan melucuti persenjataan kesatuan tentara PETA Blitar; membebaskan tuntutan hukum bagi gerakan pemberontakan PETA Blitar; dan kendaraan yang mengangkut pasukan pimpinan Shodanco Moeradi untuk kembali ke Blitar dikemudikan tentara PETA Blitar sendiri. Kenyataannya, sekembalinya dari Hutan Ngancar ke Daidan Blitar, para pemberontak itu malah dikenai hukuman yang harus diterima dari pemerintah Dai Nippon. Tingkatan hukuman bagi mereka yang terlibat di dalam pemberontakan itu pun tidak sama. Enam puluh tujuh orang, kecuali Shodanco Soeprijadi yang dianggap "otak" pemberontakan itu dan menghilang ketika dalam perjalanan menuju Hutan Ngancar (hingga kini masih menjadi misteri,red), dibawa ke Jakarta untuk menempuh hukuman. Enam orang, Shodanco Moeradi; Cudanco dr. Ismangil; Shodanco Soeparjono; Bundanco Halir Mangkoedidjaja; Bundanco Soenanto; dan Bundanco Soedarmo, dihukum mati di "Eereveld" Ancol, Jakarta. Sisanya, selain dimasukkan ke dalam penjara di Jakarta dan Bandung, secara kolektif, Daidan Blitar diasingkan di daerah Gambyok, Desa Mojoduwur, Kecamatan Berbek, Kabupaten Nganjuk. Tidak lama kemudian, setelah Republik Indonesia diproklamasikan, hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia pun direhabilitasi dan dibebaskan dari hukuman zaman Jepang. Bagi warga Kota Blitar, Pemberontakan PETA tersebut bukanlah sesuatu yang memalukan. Tetapi, menjadi sebuah kebanggaan tersendiri. Dan, sekaligus menjadi inspirasi untuk mengadopsi semangat dan gelora Soeprijadi dan kawan-kawan di dalam membangun daerah. (dari pelbagai sumber) BK "Terlibat"? Benarkah Bung Karno (BK) "terlibat" di dalam pemberontakan PETA Blitar, yang dipimpin 12. Shodanco Soeprijadi, 14 Februari 1945? Sejauh mana "keterlibatan" BK? Berikut petikan pengakuan BK kepada Cindy Adams di dalam bukunya "Penyambung Lidah Rakyat" halaman 132: ...Bagi orang Jepang maka pemberontakan PETA merupakan peristiwa yang tidak diduga sama sekali. Akan tetapi bagi Soekarno tidak. Aku telah mengetahui sebelumnya. Ingatlah bahwa rumahku di Blitar. Orang tuaku di Blitar. Pada waktu aku berkunjung pada orang tuaku ke Blitar, beberapa orang perwira PETA datang kepadaku. Para perwira ini mempersoalkan maksud mereka hendak mengadakan pemberontakan. "Kami baru mulai merencanakannya," mereka menyampaikan dengan kepercayaan penuh, "akan tetapi kami ingin mengetahui pendapat Bung Karno sendiri." "Pertimbangkanlah masak-masak untung-ruginya," jawabku dengan hati berat. "Saya meminta saudara-saudara memikirkan tindakan yang demikian itu tidak hanya dari satu segi saja." "Kita akan berhasil," Soeprijadi menjamin sebagai pemimpin pemberontakan ini. "Saya berpendapat, bahwa saudara terlalu lemah dalam kekuatan militer untuk melancarkan gerakan semacam itu pada waktu sekarang." "Kita akan berhasil," kata Soeprijadi mengulangi kembali. Aku memandang ke dalam wajah-wajah yang masih muda dan berapi-api. Dan aku menyadari, bahwa tidak satupun yang dapat menghalang-halangi maksud mereka. Aku hanya berkata, "Kalau kiranya saudara-saudara gagal dalam usaha ini, hendaknya sudah siap memikul akibatnya. Jepang akan menembak saudara-saudara semua." "Apakah Bung Karno tidak bisa membela kami?" "Tidak. Saudara anggota tentara, bukan orang kebanyakan, bukan preman. Dalam hukum militer, hukumanmu otomatis. Di samping itu, saya harus menerangkan dengan jelas kepadamu semua. Kalau engkau terus bertahan hendak mengobarkannya, saya sokong. Saya akan membantu dalam pembuatan rencana. Akan tetapi, saya harus hati-hati sekali menutupi jejakku. Jangan sampai timbul persangkaan Jepang, bahwa ini kebetulan terjadi di negeriku. Dalam keadaan apa pun, saya tidak akan membukakan rahasia ini. Saya akan terpaksa memungkiri segala sesuatu yang kuketahui mengenai peristiwa ini, demi berlangsungnya kehidupan PETA untuk masa selanjutnya." "PETA adalah alat vital bagi revolusi kita yang akan datang. Saya tidak dapat mengorbankan seluruh PETA guna kepentingan beberapa orang. Kalau sekiranya saudara semua tertangkap, maka kewajiban sayalah untuk berusaha dengan segala daya menyelamatkan pasukan PETA yang selebihnya." (dari buku Penyambung Lidah Rakyat) *Tulisan ini dimuat pada Bulletin Cakrawala edisi Februari 2008 13. Ritual Gong Kyai Pradah Indonesia memiliki masyarakat yang majemuk. Salah satu akibat dari kemajemukan tersebut adalah terdapat beraneka ragam ritual keagamaan dan kebudayaan yang dilakukan oleh masing-masing daerah. Ritual tersebut mempunyai bentuk atau cara melestarikan serta maksud dan tujuan yang berbeda-beda antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan lingkungan tempat tinggal, adat, serta tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Upacara atau ritual keagamaan dalam kebudayaan suku bangsa biasannya merupakan unsur kebudayaan yang paling nampak sejak lahir. Karena hal ini merupakan modal utama bagi masyarakat, khususnya masyarakat di pedesaan agar dapat hidup damai, seimbang (equilibrium), dan tentram. Juga karena agama itu diyakini berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang tingkah laku manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan dikehidupan setelah mati. Namun dalam agama lokal ajaran- ajaran agama tersebut tidak dilakukan dalam bentuk tertulis tetapi dalam bentuk lisan sebagaimana terwujud dalam tradisi ataupun upacara. Sistem ritual dan upacara dalam suatu religi berwujud aktifitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya kepada Tuhan, roh nenek moyang, atau makhuk halus lain, dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan makhluk ghaib lainnya. Tradisi seperti ini biasanya berlangsung secara berulang-ulang, baik setiap hari ataupun setiap musim. Aktifitas upacara yang berkaitan erat dengan sistem religi merupakan salah satu wujud kebudayaan yang paling sulit dirubah bila dibandingkan dengan unsur kebudayaan yang lainnya. Karena upacara adat dan lembaga kepercayaan adalah perkumpulan manusia yang paling memungkinkan untuk dipertahankan. Keadaan tersebut sangat berkaitan erat dengan kepercayaan manusia dalam berbagai kebudayaan yang berhubungan dengan dunia ghaib, yang dipengaruhi oleh berbagai makhluk dan kekuatan yang tidak dapat dikuasai oleh manusia dengan cara-cara biasa. Kepercayaan itu biasanya termasuk suatu rasa kebutuhan akan suatu bentuk komunikasi dengan tujuan untuk menangkal hal-hal buruk seperti menghindarkan dari musibah, tolak-balak, dan untuk menjamin kesejahteraan hidup bersama. 14. Demikian pula bagi masyarakat di Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, yang melakukan upacara Siraman Gong Kyai Pradah setiap kali memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW dan padatanggal 1 Syawal (Lebaran). Kegitan ini membawa ciri khas tersendiri yang membedakan antara Kecamatan Sutojayan dengan kecamatan-kecamatan lain yang ada di Kabupaten Blitar. Namun begitu, setiap tahunnya pada saat ritual Siraman Gong Kyai Pradah selalu dihadiri oleh hampir seluruh masyarakat Kabupaten dan Kota Blitar.Dalam perspektif modalitas, hal demikian sesuai dengan apa yang disebut kultural capital, atau modal kebudayaan. Secara singkat sejarah Pusaka Gong Kyai Pradah yang dulunya bernama Kyai Becak merupakan benda yang digunakan oleh Ki Amat Tariman untuk tumbal alam membuka (babad alas) hutan Lodoyo (Sutojayan) yang dianggap angker serta banyak dihuni oleh roh roh jahat dan binatang-binantang buas. Ki Amat Tariman itu sendiri merupakan kaki tangan Pangeran Prabu yang menemaninya dalam menjalankan hukuman yang diberikan oleh Raja Sri Susuhunan Paku Buwono I dari kerajaan Surakarta. Hukuman tersebut diberikan kepada Pangeran Prabu karena dia memiliki niat buruk untuk membunuh Raja Sri Susuhan Pakubuono I. Suatu ketika, saat telah sampai di daerah Lodoyo (Sutojayan), Pangeran Prabu pergi bertapa untuk bersemedi disebuah bukit arah barat Lodoyo (Sutojayan). Sementara itu Ki Amat Tariman beserta pusaka gong dititipkan pada Nyi Partasuta dengan pesan dari Pangeran Prabu sebagai berikut: 1. Setiap tanggal 1 Syawal (bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri ) dan setiap tanggal 12 Rabiulawal ( bertepatan dengan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW) Pusaka tersebut harus dimandikan dengan air bunga setaman. 2. Air bekas memandikan Pusaka tersebut dapat digunakan menyembuhkan penyakit serta dapat menentram kan hati bagi siapa yang mau meminumnya. Suatu ketika Ki Amat Tariman berkeinginan untuk mencari Pangeran Prabu dengan cara memukulkan gong sebanyak tujuh kali. Namun yang datang bukan Pangeran Prabu melainkan harimau yang sangat besar. Atas dasar itulah maka gong tersebut dinamakan gong Kyai Macan atau Kyai Pradah. Pesan yang disampaikan oleh Pangeran Prabu tetap dilaksanakan oleh Nyi Partasuta. Sepeninggalan Nyi Partasuta ritual tersebut tetap dilakukan secara turun temurun hingga saat ini. Masyarakat meyakini bahwa jika pesan ini tidak dilaksanakan akan membawa buruk bagi wilayah Sutojayan. Pusaka Gong Kyai Pradah kini dianggap kramat bagi warga Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Pusaka tersebut diyakini oleh para warga sekitar sebagai pengayom warga Kecamatan Sutojayan. Keberadaan Pusaka Gong Kyai Pradah menurut warga sekitar merupakan hal yang bersifat sakral dan mistik yang diturunkan dari nenek moyang mereka. Pusaka Gong Kyai Pradah merupakan suatu benda yang dijadikan tumbal dalam membuka kawasan hutan belantara di Kecamatan Sutojayan yang dikenal angker dan banyak binatang buas, pada zaman dahulu. Tumbal tersebut secara berkelanjutan sesuai dengan perintah nenek moyang agar selalu dirawat, dihormati, dan dipuja agar kehidupan generasi penerus dapat berjalan dengan tentram dan damai. Oleh sebab itu, secara turun- temurun Gong Kyai Pradah selalu disucikan (siraman) yang dilakukan dua kali dalam setahun, sebagai rasa penghormatan dan terima kasih. Penyucian Gong dikemas dalam 15. bentuk upacara adat siraman yang menghadirkan pejabat pemerintah baik dari pemerintah kecamatan maupun kabupaten. Masyarakat sangat antusias dalam kegiatan tersebut, karena menganggap bahwa Siraman Gong Kyai Pradah merupakan bentuk rasa penghormatan dan rasa terimakasih atas pengayoman dan keselamatan kelangsungan hidup.Masyarakat,khususnya sebelum tahun 1990an menganggap bahwa Ritual Gong Kyai Pradah sangat berpengaruh bagi kehidupannya. Masyarakat saling berhubungan berdasarkan ikatan sosial yang sama, bahwa mereka bersama-sama melakukan ritual atas dasar ingin kehidupannya tentram, bahagia, jauh dari balak. Ini sangat mencirikan bahwa kehidupan masyarakat pada zaman dahulu hanya terpusat pada hubungan-hubungan sosial. Namun dengan berjalannya waktu dari zaman primitif ke zaman modern yang kompleks ini, nampaknya pemaknaan masyarakat terhadap Ritual Siraman Gong Kyai Pradah semakin terkikis. Sejak tahun 1990an rangkaian acara Siraman Gong Kyai Pradah mengalami perombakan. Dulunya ritual yang hanya menyajikan hal-hal yang bersifat sakralsangat dihormati oleh warga dengan penuh kehikmatan.1 Namun sejak tahun 1990an dimana acara diadakan dengan rangkaian acara bazar secara besar-besaran dan pentas seni membuat kesakralan ritual menjadi berkurang. Masyarakat lebih tertarik dengan acara bazar besar saja, dan banyak melupakan esensi dari ritual siraman. Secara teori, sejak modernitas itu terjadi kira-kira setelah revolusi indutri terjadi di Eropa, hubungan-hubungan yang terjadi di masyarakat mulai bergerser dari pusat hubungan sosial menuju pusat hubungan ekonomi. Dalam kasus Ritual Gong Kyai Pradah telah membuktikan bahwa teori tersebut terbukti. Masyarakat yang dulunya menyatu, saling berhubungan berdasarkan ikatan sosial yang sama, bahwa mereka bersama-sama melakukan ritual atas dasar ingin kehidupannya tentram bahagia jauh dari balak, kini mulai begeser pada ranah ekonomi. Arena kearifan dan kebudayaan lokaltelah begeser maknanya bagi warga Blitar menuju arena atau ruang-ruang ekonomi. Artinya bahwa suprastruktur sosio-budaya telah terdeterministik oleh infrastruktur ekonomi.2 Ini sesuai dengan perspektif modalitas khususnya mengenai Arena Produksi Kultural yang dikenalkan oleh Pierre Bourdieu, bahwa arena dipahami sebagai industri. Suatu kebudayaantelah diproduksi disebuah arena, yaitu dalam fenomena ini arena kultural yang bergeser pada arena ekonomi. Intinya bahwa Siraman Gong Kyai Pradah yang syarat akan nilai kesakralannya telah dikapitalisasi. Daya tarik warga tidak lagi terpusat pada acara siraman gong, namun lebih tertarik dengan acara bazar besar yang diadakan selama dua minggu sebelum proses Siraman Gong Kyai Pradah. Bazar tersebut layaknya pasar yang hanya beralih tempat. Karena dalam bazar tersebut menjual beraneka ragam produk seperti pakaian, makanan, souvenir, peralatan rumah tangga, mainan anak-anak dan lain sebagainya. Bazar tersebut diadakan di sepanjang jalan depan arena pemandian Gong Kyai Pradah. Yaitu jalan di depan Kawedanan Sutojayan. 16. Panjang dari perhelatan bazar besar itu sendiri kira-kira hampir tiga kilometer, dan memakai seluruh badan jalan. Masyarakat Sutojayan dan para sesepuhnya mungkin mengetahui esensi dari ritual siraman ini, walaupun sudah mengalami pergeseran karena hadirnya budaya-budaya modern. Namun tidak bisa dipungkiri pada akhirnya masyarakat Sutojayan juga akan kehilangan secara kultural esensi dari ritual ini. Terlebih bagi warga Blitar secara umum yang hanya mengetahui pengetahuanGong Kyai Pradah secara dangkal. Warga Blitar secara umum hanya mengetahui bahwa setiap bulan Maulid ada siraman gong. Namun pada umumnya mereka datang karena ada daya tarik berupa bazar besar. Pergeseran-pergeran makna kebudayaan yang dulunya dianggap sakral ini tidak bisa dicegah. Walau bagaimanapun unsur modernisasi sudah merambah ke semua lini kehidupan, pun bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan. Ritual Siraman Gong Kyai Pradah yang dulunya sangat diagungkan kini bergeser makna menjadi sebuah pesta rakyat yang menampilkan suguhan menarik sebagai wajah baru Ritual Siraman Gong Kyai Pradah. Rangkaian ritual tersebut telah merasuki ruang-ruang ekonomi yang mencirikan masyarakat modern. Gaya hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta ideologi merupakan faktor yang dominan dalam merubah esensi kebudayaan lokal. Rasionalitas yang tinggi dan tingkatekonomi yang mapan mengalihkan pandangan-pandangan orang kepada hal-hal yang tidak masuk akal. Tindakan tradisonal yang dilakukan sejak nenek moyang hanya dilaksanakan oleh para sesepuh. Warga secara umum hanya mengikuti dan patuh terhadap rangkaian acara, namun tidak mengetahui esensi yang fundamental terhadap suatu kearifan lokal. Masyarakat kini lebih tertarik dengan persembahan-persembahan produk yang inovatif untuk memperkaya diri yang merupakan bagian dari gaya hidupnya. Masyarakat modern yang telah berpikir ke arah rasionalitas menganggap Gong Kyai Pradah sangat tidak masuk akal. Meskipun dalam hati mereka canggung, maksudnya antara percaya atau tidak dengan fenomena ini, pasti dalam benak masyarakat modern telah terselip pikiran untuk tidak percaya. Apalagi sejak agama seluruh alam (Islam) masuk ke Indonesia, masyarakat mulai menganggap bahwa hal seperti menyiram dan meyelamati benda mati merupakan hal yang telah tersesat sangat jauh dari agama Islam, bahkan dosanya sangat besar. Akhirnya masyarakat sebatas mengetahui bahwa Siraman Gong Kyai Pradah merupakan hal yang memang dilaksankan tanpa mengetahui apa makna yang sebenarnya. Masyarakat hanya sebatas ikut-ikutan dalam ritual terserbut dan lebih antuasias dalam acara bazar besar. Terlihat sekali bawasanya orang yang datang ke acara siraman Gong Kyai Pradah sangat banyak. Tetapi lebih banyak lagi yang hanya datang untuk menyaksikan bazar besarnya. Masyarakat lebih tertarik dengan rayuan dan penawaran-penawaran produk yang menggiyurkan untuk dibeli. Dalam ruang seperti ini, pentingnya uang dan gaya hidup konsumtif sangat terlihat. Masyarakat berlomba-lomba mendapatkan barang yang ia inginkan, dengan harga yang relatif murah. Alasanya untuk oleh-oleh dari ritual Siraman Gong Kyai Pradah. 17. Ruang ekonomi talah mejadi kepentingan warga dalam antusiasme balutan kebudayaan yang katanya sakral. Padahal jika ditelusuri sejarahnya, asal mula Ritual Siraman Gong Kyai Pradah merupakan rasa syukur atas kedamaian hidup karena telah diayomi oleh sang gong. Namun sekarang pada kenyataanya memang masyarakat lebih tertarik kepada pos-pos ekomomi yang memuaskan kebutuhan materiilnya dalam acara bazar besar. Pada akhirnya, Ritual Siraman Gong Kyai Pradah sebagai modal kebudayaan masyarakat Sutojayan telah hilang kekuatan nilai kesakralannya secara signifikan. Dan kebudayaan ini tak mampu lagi bertahan sesuai esensinya melawan kekuatam globalisasi.