Identifikasi Aspek dan Elemen Spiritual pada Masyarakat Kota Mataram

34
Laporan Praktikum III 17 September 2013 Wisata Budaya IDENTIFIKASI ASPEK DAN ELEMEN SPIRITUAL PADA MASYARAKAT HINDU KOTA MATARAM Oleh Kelompok 6/P2 : Ansyari Musoman (J3B112021) Aruni Fadhillah Septiani (J3B112026) Na’immah Nur’Aini (J3B112044) Wardana Jaya Jasmitha (J3B212137) Dosen : Dr.Ir.Tutut Sunarminto, M.Si Rini Untari S,Hut, M.Si Helianthi Dewi, S.Hut, M.Si Asisten Dosen : Rima Pratiwi Batubara, S.Hut

description

Aspek dan Elemen Spiritual merupakan hal-hal yang berhubungan dengan semangat yang ada pada masyarakat perkotaan. Spirit tersebut dapat berhubunga dengan tradisi, kebudayaan maupun ritual keagamaan. Kota Mataram merupakan kota yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Tetapi dalam pembahasan ini lebih menitikberatkan Agama Hindu yang merupakan agama kedua yang banyak di anut oleh masyarakat.

Transcript of Identifikasi Aspek dan Elemen Spiritual pada Masyarakat Kota Mataram

Laporan Praktikum III 17 September 2013Wisata Budaya

IDENTIFIKASI ASPEK DAN ELEMEN SPIRITUALPADA MASYARAKAT HINDU KOTA MATARAM

OlehKelompok 6/P2 :

Ansyari Musoman (J3B112021)Aruni Fadhillah Septiani (J3B112026)Na’immah Nur’Aini (J3B112044)Wardana Jaya Jasmitha (J3B212137)

Dosen :Dr.Ir.Tutut Sunarminto, M.Si

Rini Untari S,Hut, M.SiHelianthi Dewi, S.Hut, M.Si

Asisten Dosen :Rima Pratiwi Batubara, S.Hut

PROGRAM KEAHLIAN EKOWISATAPROGRAM DIPLOMA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR2013

2

3

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................2

I. PENDAHULUAN.................................................................................................3

A.Latar Belakang...................................................................................................3

B.Tujuan................................................................................................................4

II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................5

A.Identifikasi.........................................................................................................5

B.Spiritual..............................................................................................................5

C.Masyarakat Kota................................................................................................8

III. KONDISI UMUM.................................................................................................9

A.Geografis............................................................................................................9

B.Pemerintahan.....................................................................................................9

C.Penduduk...........................................................................................................9

D.Perhubungan......................................................................................................9

E.Pariwisata.........................................................................................................10

IV. METODE PRAKTIKUM....................................................................................11

A.Lokasi dan Waktu............................................................................................11

B.Alat dan Objek.................................................................................................11

C.Jenis dan Metode Pengambilan Data...............................................................11

D.Tahapan Pengerjaan.........................................................................................11

V. PEMBAHASAN..................................................................................................12

A.Hasil.................................................................................................................12

B.Pembahasan.....................................................................................................13

1. Aspek Spiritual................................................................................................13

2. Elemen Spiritual..............................................................................................17

VI. KESIMPULAN...................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................22

4

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tischler (2002) mengatakan bahwa spiritualitas mirip atau dengan suatu cara, berhubungan dengan emosi atau perilaku dan sikap tertentu dari seorang individu. Menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi, dan penuh kasih. Manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk individu memiliki berbagai spiritual dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.

Spiritual erat kaitannya dengan sistem kepercayaan dan kespiritualan. Sistem kepercayaan antara manusia dengan Sang Pencipta biasanya menjadi spiritualitas yang utama. Selain itu, bermula dari kebudayaan yang merupakan hasil cipta, rasa, karsa yang di dalamnya terdapat nilai-nilai spiritualitas yang tinggi. Kebudayaan dikatakan memiliki nilai spiritualitas yang tinggi dikarenakan dalam setiap kebudayaan yang berlaku di masyarakat terdapat nilai-nilai maupun filosofi tertentu. Sehingga hal tersebut dapat memberikan motivasi kepada masyarakat untuk memiliki kesadaran spiritual yang tinggi.

Spiritual memiliki aspek dan elemen yang berbeda. Aspek spiritual diantaranya adalah merasa yakin bahwa hidup sangat bermakna, memiliki sebuah komitmen terhadap aktualisasi potensi-potensi positif dalam setiap aspek kehidupan, dan meyakini bahwa berhubungan dengan dimensi transendensi adalah menguntungkan. Sedangkan, elemen spiritual meliputi kapasitas transendensi, kemampuan untuk memasuki kondisi kesadaran spiritual yang lebih tinggi, kemampuan untuk menyadari akan merasakan hal-hal suci, kemampuan untuk memanfaatkan sumber-sumber spiritual untuk memecahkan permasalahan dalam kehidupan, dan kemampuan untuk bertingkah laku baik.

Kota Mataram merupakan kota yang masyarakatnya memiliki kondisi spiritual yang tinggi. Salah satu pemicu spiritual yang ada di masyarakat adalah agama. Kota Mataram merupakan kota yang religius dan berspiritual. Maka dari itu, kerukunan antar umat beragaman sangat jelas terlihat di Kota Mataram. Kerukunan tersebut bahkan terlihat pada saat perayaan hari-hari besar agama. Masyarakat yang memiliki perbedaan keyakinan tetap memiliki spirit yang sama untuk menjalin hubungan baik. Kota Mataram dihuni oleh beberapa agama, diantaranya adalah Hindu. Agama Hindu yang berkembang pada masyarakat Mataram dipengaruhi oleh masyarakat yang berasal dari Bali. Bahkan hingga saat ini, perayaan hari besar Agama Hindu di Kota Mataram tidak terlepas dari kespiritualan Bali.

Masyarakat Kota Mataram memiliki aspek dan elemen spiritual yang tinggi. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya perayaan-perayaan hari besar yang hingga saat ini masih dijaga keasliannya. Berbagai ritual agama yang hingga saat ini masih dilaksanakan memberi pengaruh kepada masyarakat terutama dari segi spiritualitas. Agama Hindu yang merupakan agama mayoritas kedua di Kota Mataram turut membangun jiwa spiritualitas masing-masing masyarakat yang mmeluk agama tersebut maupun masyarakat agama lain untuk memiliki kesadaran spiritual.

5

B. Tujuan

Praktikum dilaksanakan dengan beberapa tujuan. Tujuan berkaitan dengan spiritual masyarakat non perkotaan yang telah ditentukan lokasinya. Adapun secara lengkap mengenai spiritual dari segi aspek dan elemen akan ditampilkan pada bagian hasil dan pembahasan. Tujuan praktikum identifikasi aspek dan elemen spiritual pada masyarakat perkotaan adalah sebagai berikut.1. Mengidenfikasi aspek spiritual di Kota Mataram.2. Mengidentifikasi elemen spiritual di Kota Mataram.

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Identifikasi

J.P Chaplin yang diterjemahkan Kartini Kartono yang dikutip oleh Uttoro 2008 identifikasi adalah penentuan atau penetapan identits seseorang atau benda sedangkan menurut psikoanalis identifikasi adalah suatu proses yang dilakuakan seseorang secara tidak sadar, atas dasar ikatan emosional dengan tokoh tertentu, sehingga ia berprilaku atau membayangkan dirinya seakan-akan ia adalah tokoh tersebut. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa identifikasi adalah penempatan atau penentu identitas seseorang atau benda pada suatu saat tertentu.

B. Spiritual

Spiritualitas adalah kebutuhan bawaan manusia untuk berhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri manusia itu. Istilah ”sesuatu yang lebih besar dari manusia”adalah sesuatu yang diluar diri manusia dan menarik perasaan akan diri orang tersebut. Pengertian spiritualitas oleh Wigglesworth ini memiliki dua komponen, yaitu vertikal dan horizontal: - Komponen vertikal, yaitu sesuatu yang suci, tidak berbatas tempat dan waktu, sebuah kekuatan yang tinggi, sumber, kesadaran yang luar biasa. Keinginan untuk berhubungan dengan dan diberi petunjuk oleh sumber ini. - Komponen horizontal, yaitu melayani teman-teman manusia dan planet secara keseluruhan.

Komponen vertikal dari Wigglesworth sejalan dengan pengertian spiritualitas dari Schreurs (2002) yang memberikan pengertian spiritualitas sebagai hubungan personal terhadap sosok transenden. Spiritualitas mencakup inner life individu, idealisme, sikap, pemikiran, perasaaan dan pengharapannya terhadap Yang Mutlak. Spiritualitas juga mencakup bagaimana individu mengekspresikan hubungannya dengan sosok transenden tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu juga sejalan dengan pendapat Elkins et al. (1988) yang mengartikan spiritualitas sebagai suatu cara menjadi dan mengalami sesuatu yang datang melalui kesadaran akan dimensi transenden dan memiliki karakteristik beberapa nilai yang dapat diidentifikasi terhadap diri sendiri, kehidupan, dan apapun yang dipertimbangkan seseorang sebagai Yang Kuasa. Sedangkan komponen horizontal dari Wigglesworth sejalan dengan pengertian spiritualitas dari Fernando (2006) yang mengatakan bahwa spiritualitas juga bisa tentang perasaan akan tujuan, makna, dan perasaan terhubung dengan orang lain. Pendapat ini tidak memasukkan agama dalam mendefinisikan spiritualitas dan spiritualitas.

Spiritualitas dapat diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari termasuk juga di tempat kerja. Ashmos (2000) mendefinisikan spiritualitas di tempat kerja sebagai suatu pengenalan bahwa karyawan memiliki ”kehidupan dalam” yang memelihara dan dipelihara oleh pekerjaan yang bermakna yang mengambil tempat dalam konteks komunitas. Pengertian spiritualitas di tempat kerja dari Ashmos memiliki tiga komponen, yaitu kehidupan dalam (inner life), pekerjaan yang bermakna, dan

7

komunitas. Ashmos ingin menekankan bahwa spiritualitas di tempat kerja bukan tentang agama, walaupun orang terkadang mengekspresikan kepercayaan agama mereka di tempat kerja. Spiritualitas yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada definisi dari Tischler (2002) yaitu spiritualitas sebagai suatu hal yang berhubungan dengan perilaku atau sikap tertentu dari seorang individu, menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi, dan penuh kasih.

Elkins et al. (1988) melakukan penelitian dengan melibatkan beberapa orang yang mereka anggap memiliki spiritualitas yang berkembang (highly spiritual). Partisipan dalam penelitian ini diberikan pertanyaan menyangkut berbagai komponen spiritualitas (yang didapat dari studi teoritis berbagai literatur humanistik, fenomenologis dan eksistensialisme yang telah dilakukan sebelumnya) dan diminta untuk menilai komponen-komponen tersebut berdasarkan pengalaman dan pengertian pribadi mereka mengenai spiritualitas itu sendiri. Hasil dari penelitian ini mengarahkan Elkins et al. untuk sampai pada sembilan komponen dari spiritualitas, yaitu: 1. Dimensi transenden

Individu spiritual percaya akan adanya dimensi transenden dari kehidupan. Inti yang mendasar dari komponen ini bisa berupa kepercayaan terhadap tuhan atau apapun yang dipersepsikan oleh individu sebagai sosok transenden. Individu bisa jadi menggambarkannya dengan menggunakan istilah yang berbeda, model pemahaman tertentu atau bahkan metafora. Pada intinya penggambaran tersebut akan menerangkan kepercayaannya akan adanya sesuatu yang lebih dari sekedar hal-hal yang kasat mata. Kepercayaan ini akan diiringi dengan rasa perlunya menyesuaikan diri dan menjaga hubungan dengan realitas transenden tersebut. Individu yang spiritual memiliki pengalaman bersentuhan dengan dimensi transenden. Komponen ini sama dengan komponen kesatuan dengan yang transenden dari LaPierre dalam Hill (2000). 2. Makna dan tujuan dalam hidup

Individu yang spiritual memahami proses pencarian akan makna dan tujuan hidup. Dari proses pencarian ini, individu mengembangkan pandangan bahwa hidup memiliki makna dan bahwa setiap eksistensi memiliki tujuannya masingmasing. Dasar dan inti dari komponen ini bervariasi namun memiliki kesamaan yaitu bahwa hidup memiliki makna yang dalam dan bahwa eksistensi individu di dunia memiliki tujuan. Komponen ini sama dengan komponen pencarian akan makna hidup dari LaPierre dalam Hill (2000). 3. Misi hidup

Individu merasakan adanya panggilan yang harus dipenuhi, rasa tanggung jawab pada kehidupan secara umum. Pada beberapa orang bahkan mungkin merasa akan adanya takdir yang harus dipenuhi. Pada komponen makna dan tujuan hidup, individu mengembangkan pandangan akan hidup yang didasari akan pemahaman adanya proses pencarian makna dan tujuan. Sementara dalam komponen misi hidup, individu memiliki metamotivasi yang berarti mereka dapat memecah misi hidupnya dalam target-target konkrit dan tergerak untuk memenuhi misi tersebut.4. Kesakralan hidup

Individu yang spiritual mempunyai kemampuan untuk melihat kesakralan dalam semua hal hidup. Pandangan akan hidup mereka tidak lagi dikotomi seperti pemisahan antara yang sakral dan yang sekuler, atau yang suci dan yang duniawi,

8

namun justru percaya bahwa semua aspek kehidupan suci sifatnya dan bahwa yang sakral dapat juga ditemui dalam hal-hal keduniaan. 5. Nilai-nilai material

Individu yang spiritual menyadari akan banyaknya sumber kebahagiaan manusia, termasuk pula kebahagiaan yang bersumber dari kepemilikan material. Oleh karena itu, individu yang spiritual menghargai materi seperti kebendaan atau uang namun tidak mencari kepuasaan sejati dari hal-hal material tersebut. Mereka menyadari bahwa kepuasaan dalam hidup semestinya datang bukan dari seberapa banyak kekayaan atau kebendaan yang dimiliki. 6. Altruisme

Individu yang spiritual menyadari akan adanya tanggung jawab bersama dari masing-masing orang untuk saling menjaga sesamanya (our brother’s keepers). Mereka meyakini bahwa tidak ada manusia yang dapat berdiri sendiri, bahwa umat manusia terikat satu sama lain sehingga bertanggung jawab atas sesamanya. Keyakinan ini sering dipicu oleh kesadaran mereka akan penderitaan orang lain. Nilai humanisme ini diikuti oleh adanya komitmen untuk melakukan tindakan nyata sebagai perwujudan cinta altruistiknya pada sesama.7. Idealisme

Individu yang spiritual memiliki kepercayaan kuat pada potensi baik manusia yang dapat diaktualisasikan dalam berbagai aspek kehidupan. Memiliki keyakinan bukan saja pada apa yang terlihat sekarang namun juga pada hal baik yang dimungkinkan dari hal itu, pada kondisi ideal yang mungkin dicapai. Mereka percaya bahwa kondisi ideal adalah sesuatu yang sebenarnya mungkin untuk diwujudkan. Kepercayaan ini membuat mereka memiliki komitmen untuk menjadikan dunia tempat yang lebih baik, setidaknya dalam kapasitasnya masingmasing.

8. Kesadaran akan peristiwa tragis Individu yang spiritual menyadari akan perlu terjadinya tragedi dalam hidup

seperti rasa sakit, penderitaan atau kematian. Tragedi dirasa perlu terjadi agar mereka dapat lebih menghargai hidup itu sendiri dan juga dalam rangka meninjau kembali arah hidup yang ingin dituju. Peristiwa tragis dalam hidup diyakininya sebagai alat yang akan membuat mereka semakin memiliki kesadaran akan eksistensinya dalam hidup. 9. Buah dari spiritualitas

Komponen terakhir merupakan cerminan atas kedelapan komponen sebelumnya dimana individu mengolah manfaat yang dia peroleh dari pandangan, kepercayaan dan nilai-nilai yang dianutnya. Pada komponen ini individu menilai efek dari spiritualitasnya, dan biasanya dikaitkan dengan hubungannya terhadap diri sendiri, orang lain, alam, kehidupan, dan apapun yang dipersepsikannya sebagai aspek transenden.

Schreurs (2002) menyatakan spiritualitas terdiri dari tiga aspek yaitu aspek eksistensial, aspek kognitif, dan aspek relasional: 1. Aspek eksistensial, seseorang belajar untuk “mematikan” bagian dari dirinya yang

bersifat egosentrik dan defensif. Aktivitas yang dilakukan seseorang pada aspek ini dicirikan oleh proses pencarian jati diri (true self).

2. Aspek kognitif, yaitu saat seseorang mencoba untuk menjadi lebih reseptif terhadap realitas transenden. Biasanya dilakukan dengan cara menelaah literatur atau melakukan refleksi atas suatu bacaan spiritual tertentu, melatih kemampuan

9

untuk konsentrasi, juga dengan melepas pola pemikiran kategorikal yang telah terbentuk sebelumnya agar dapat mempersepsi secara lebih jernih pengalaman yang terjadi serta melakukan refleksi atas pengalaman tersebut, disebut aspek kognitif karena aktivitas yang dilakukan pada aspek ini merupakan kegiatan pencarian pengetahuan spiritual.

3. Aspek relasional, merupakan tahap kesatuan dimana seseorang merasa bersatu dengan Tuhan (dan atau bersatu dengan cintaNya). Pada aspek ini seseorang membangun, mempertahankan, dan memperdalam hubungan personalnya dengan Tuhan.

C. Masyarakat Kota

Masyarakat kota adalah sekumpulan orang yang hidup dan bersosialisasi di daerah yang mungkin bisa dikatakan lebih maju dan lebih modern dan mudah untuk suatu hal yang dicita-citakan. Karena masyarakat kota memiliki gengsi yang tinggi sehingga sulit menemukan rasa solideritas yang tinggi maka dari itu masyarakat kota lebih cederung individualis. Menurut Talcott Persons mengenai beberapa tipe masyarakat kota yang dibagi pada empat macam diantaranya: Netral Afektif, Orietasi diri, Universalisme, Heterogenitas. Netral Efektif adalah masyarakat kota yang lebih mementingkat rasionalitas dan sifat rasional ini erat hubungannya dengan konsep Gesellschaft atau Association. Mereka tidak mau mencampuradukan hal-hal yang bersifat emosional atau yang menyangkut perasaan pada umumnya dengan hal-hal yang bersifat rasional, itulah sebabnya tipe masyarakat itu disebut netral dalam perasaannya. Orientasi diri adalah masyarakat dengan kekuatannya sendiri dan harus dapat memepertahankan dirinya sendiri, pada umumnnya didalam kota tetangga bukanlah orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan. Oleh karena itu setiap orang dikota terbiasa hidup tanpa menggantungkan diri pada oranglain, mereka cenderung untuk individualistik. Universalisme adalah berhubungan dengan semua hal yang berlaku umum oleh karena itu pemikiran rasional merupakan dasar yang sangat penting untuk universalisme. Heterogenitas adalah masyarajat kota yang ebi memikirkan sifat heterogen artinya trdiri dari lebih banyak komponen dalam susunan produksinya. Heterogenitas masyarakat kota yang harus mempertahankan diri sendiri dikarenakan tetangga yang biasanya menjadi kerabat dekat dikota bukanlah sebagai salah satu yang bisa diandalkan sebagai seseorang yang bisa membantu dikala susah, mereka cenderung bersifat sendiri-sendiri untuk bertahan hidup (individualistik).

10

III. KONDISI UMUM

A. Geografis

Kota Mataram memiliki topografi wilayah berada pada ketinggian kurang dari 50 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan rentang ketinggian sejauh 9 km, terletak pada 08° 33’ - 08° 38’ Lintang Selatan dan 116° 04’ - 116° 10’ Bujur Timur. Struktur geologi Kota Mataram sebagian besar adalah jenis tanah liat dan tanah endapan tuff yang merupakan endapan alluvial yang berasal dari kegiatan Gunung Rinjani, secara visual terlihat seperti lempengan batu pecah, sedangkan di bawahnya terdapat lapisan pasir. Suhu udara di Kota Mataram berkisar antara 20.4 °C sampai dengan 32.10 °C. Kelembapan maksimum 92% terjadi pada bulan Januari, April, Oktober dan November, sedangkan kelembapan minimum 67% terjadi pada bulan Oktober. Rata-rata penyinaran matahari maksimum pada bulan Februari. Sementara jumlah hari hujan tertinggi terjadi pada bulan November sebanyak 27 hari, dengan curah hujan rata-rata mencapai 1.256,66 mm per tahun, dan jumlah hari relatif 110 hari per tahun.

B. Pemerintahan

Secara administratif Kota Mataram memiliki luas daratan 61,30 km dan 56,80 km. Perairan laut terbagi atas enam kecamatan, yaitu Kecamatan Ampenan, Cakranegara, Mataram, Pejanggik, Selaparang, dam Sekarbela. Kelurahan sebanyak 50 dan 297 lingkungan. Mataram sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Lombok Barat sebelum terjadi pemekaran wilayah.

C. Penduduk

Suku Sasak merupakan suku bangsa mayoritas penghuni Kota Mataram, selain Suku Bali, Tionghoa, Melayu dan Arab. Keharmonisan kehidupan antar suku di Mataram sempat terganggu oleh peristiwa pecahnya Kerusuhan Lombok 17 Januari 2000 yang menyeret isu agama dan ras sebagai penyebab kerusuhan.

Islam adalah agama mayoritas penduduk Mataram. Agama lain yang dianut adalah Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Walaupun Islam merupakan agama mayoritas di Mataram, namun kerukunan umat beragama dengan saling menghormati, menghargai dan saling menolong untuk sesamanya cukup besar adalah niat masyarakat Mataram dalam menjalankan amal ibadahnya, sesuai dengan visi kota Mataram untuk mewujudkan Kota Mataram maju, religius dan berspiritual. Masyarakat Kota Mataram sebagian menggunakan Bahasa Sasak dalam keseharian, selain Bahasa Indonesia, Bahasa Bali, Bahasa Samawa, serta bahasa Bima. Bahasa Sasak itu sendiri terbagi atas beberapa dialek, bergantung daerah masing-masing pengguna di Pulau Lombok, serta dapat digunakan sebagai acuan perbedaan strata sosial di masyarakatnya.

D. Perhubungan

Keberadaan Bandar Udara Selaparang merupakan pintu masuk melalui udara ke Kota Mataram khususnya serta Pulau Lombok dan Nusa Tenggara Barat umumnya. Dan seiring dengan perkembangan Mataram dan NTB pada

11

umumnya, saat ini Bandar Udara Selaparang sudah ditutup dan digantikan dengan Bandar Udara Internasional Lombok, Bandara tersebut berlokasi di wilayah Lombok Tengah.

Terminal Induk di Kota ini bernama Terminal Mandalika yang terletak di sebelah Timur di kelurahan Bertais Kota Mataram, disamping itu juga ada Terminal Kebon Roek yang berada di sebelah barat di wilayah Ampenan. Terminal Kebon Roek merupakan sarana transportasi darat melayani angkutan kota di Kota Mataram. Untuk sarana transportasi darat lainnya di kota ini dikenal dengan nama Cidomo, kendaraan seperti Bemo serta Ojek.

Sebelum pelabuhan Lembar di Kabupaten Lombok Barat dikembangkan, Ampenan merupakan pelabuhan laut yang ramai, Pelabuhan Ampenan ini berada di sebelah barat Kota Mataram, Namun karena faktor keganasan arus laut Selat Lombok, dipilihlah lokasi yang lebih ideal untuk pelabuhan Laut yaitu sekarang ini di Lembar.

E. Pariwisata

Sebagai Kota Pariwisata, kota ini menyediakan beragam kelas hotel sesuai dengan budget anda, mulai dari hotel kelas Melati sampai Hotel Berbintang. Beberapa diantaranya adalah Hotel Lombok Raya, Hotel Grand Legi, Hotel Lombok Garden, Hotel Lombok Plaza, Hotel Santika Mataram, Hotel Nitour, Hotel Chandra, dan Hotel Handayani.

Pulau Lombok dengan pusat di Kota Mataram, merupakan tempat yang sangat terkenal dengan eksotisme alamnya. Dari kota ini anda bisa menuju tempat wisata alam yang sangat terkenal diantaranya Pantai Senggigi, Gili Trawangan, Pantai Kuta, Pesona Gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia yaitu Rinjani.

Untuk wisata spiritual, perpaduan antara spiritual Lombok dan Bali dan sentuhan dari etnis lainnya, melahirkan suatu kolaborasi spiritual yang sangat menarik, dan ada beberapa tempat menarik yang layak untuk dikunjungi terkait dengan hal tersebut antara lain, Kuburan Tionghoa Bintaro, Taman Mayura, Pura Meru, Pura Segara, Museum Nusa Tenggara Barat, Loang Baloq, Kota Lama Ampenan

Kota ini juga memiliki berbagai pusat perbelanjaan, misalnya Mataram Mall, Pusat Kerajinan Mutiara Pagesangan dan Ampenan Cerah Ceria. Disamping itu untuk anda yang suka belanja oleh-oleh Senggigi Square, Sukarara, Pusat Mutiara Pagesangan, bisa menjadi pilihan anda.

12

IV. METODE PRAKTIKUM

Metode yang digunakan dalam praktikum ini meliputi tempat dan waktu penelitian, alat dan obyek, serta jenis dan teknik pengambilan. Metode-metode tersebut ditempuh guna memperlancar kegiatan praktikum. Adapun metode praktikum adalah sebagai berikut.

A. Lokasi dan Waktu

Kegiatan praktikum dilaksanakan di Kampus Cilibende Gedung A Kelas CA K08. Praktikum ini dilaksanakan pada Hari Selasa, 17 September 2013. Praktikum dilaksanakan pada pukul 07.00-10.20 WIB. Praktikum dilaksanakan dengan studi literatur dengan studi kasus adalah Kota Mataram. Fokus literatur pencarian meliputi aspek dan elemen spiritual pada mayarakat Hindu di Kota Mataram.

B. Alat dan Objek

Alat yang digunakan dalam kegiatan praktikum adalah buku tulis untuk mencatat segala informasi yang didapat. Lembar panduan praktikum yang dipergunakan untuk acuan dalam pengerjaan laporan. Sedangkan, objek dalam kegiatan praktikum adalah Kota Mataram sebagai fokus utama.

C. Jenis dan Metode Pengambilan Data

Jenis data dalam kegiatan praktikum adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi aspek spiritual yang terdapat di Kota Mataram. Selanjutnya adalah elemen-elemen spiritual yang terdapat di Kota Mataram. Sedangkan, data sekunder dalam kegiatan praktikum adalah teori-teori kepustakaan mengenai spiritual, aspek spiritual, elemen spiritual, dan masyarakat kota yang didapatkan dari studi literatur.

Metode pengambilan data dalam kegiatan praktikum adalah menggunakan studi literatur. Studi literatur meliputi pengambilan data dengan berbagai sumber yang berkaitan dengan judul praktikum. Sumber literatur tersebut diantaranya adalah melalui arikel di internet, buku elektronik, dan lember panduan praktikum.

D. Tahapan Pengerjaan

Kegiatan praktikum ini dilakukan dengan beberapa tahapan pengerjaan. Tahapan pengerjaan dilakukan dengan urutan sesuai panduan pengerjaan. Adapun tahapan dalam kegiatan praktikum adalah sebagai berikut.1. Pencarian pengertian mengenai tinjauan pustaka sesuai dengan judul praktikum.2. Pengumpulan berbagai informasi mengenai aspek-aspek spiritual yang berada di

Kota Mataram.3. Pengumpulan berbagai informasi mengenai elemen-elemen spiritual yang berada

di Kota Mataram.4. Penulisan hasil informasi di tallysheet sesuai dengan poin-poin yang dimaksud. 5. Pembahasan mengenai hasil yang ditampilkan dalam tallysheet.

13

V. PEMBAHASAN

Kegiatan praktikum mengenai spiritual di Kota Mataram disajikan dalam bentuk hasil dan pembahasan. Hasil merupakan tallysheet mengenai aspek dan elemen spiritual di Kota Mataram. Sedangkan, pembahasan adalah ulasan mengenai hasil yang dibandingkan dengan teori mengenai spiritual dan kespiritualan, khususnya masyarakat kota. Berikut adalah hasil dan pembahasan menganai aspek dan elemen spiritual pada Masyarakat Kota Mataram.

A. Hasil

Hasil disajikan dalam bentuk tallysheet berupa tabel inventarisasi sesuai dengan aspek maupun elemen spiritual (Tabel 1). Dalam tabel hasil juga disajikan mengenai jenis Hasil juga menyajikan secara ringkas mengenai deskripsi dari masing-masing poin.

Tabel 1. Tallysheet Inventarisasi Aspek dan Elemen Spiritual di Masyarakat Perkotaan

NoAspek dan Elemen

SpiritualJenis Spiritual Deskripsi

Ada Tidak Ada1. Aspek Spiritual

a. Merasa yakin bahwa hidup sangat bermakna

Tirtayatra atau sembahyang ke Pura-pura

b. Memiliki sebuah komitmen terhadap aktualisasi potensi-potensi positif dalam setiap aspek kehidupan

Tujuan Tirtayatra yaitu meningkatkan kesucian pribadi dan memperkuat keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan memperluas cakrawala memandang keagungan-Nya sehingga manusia makin teguh mengamalkan ajaran Dharma, Menghayati nilai-nilai sejarah dari objek suci yang dikunjungi. Mengimbangi dosa dengan perbuatan-perbuatan dharma.

c. Menyadari akan keterkaitan dalam kehidupan

Jalan menuju Tuhan atau Catur Marga Yoga

d. Meyakini bahwa berhubungan dengan dimensi tansendensi adalah menguntungkan

Penerapan Pancayadna dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai kesempurnaan hidup.

2. Elemen Spirituala. Kapasitas

Transendensi Semangat dalam

penyambutan Hari Raya

14

Nyepi dalam pawai Ogoh-Ogoh.

b. Kemampuan untuk memasuki kondisi kesadaran spiritual yang lebih tinggi

Ritual Keagamaan dalam pawai Ogoh-Ogoh untuk mempersiapkan diri menghadapi Nyepi.

c. Kemampuan untuk menyadari akan kemampuan merasakan hal-hal suci

Upacara Tawur Kesanga pada akhir prosesi pawai Ogoh-Ogoh dengan tujuan pengusiran roh jahat.

d. Kemampuan untuk memanfaatkan sumber-sumber spiritual untuk memecahkan permsalahan dalam kehidupan

Ajaran Widhi Tattwa

e. Kemampuan untuk bertingkah laku yang baik

Ajaran Karmaphala Tattwa

B. Pembahasan

Pembahasan merupakan ulasan dari hasil secara lebih terperinci dan dibandingkan dengan teori yang ada. Pembahasan pada kegiatan praktikum ini dibagi menjadi dua garis besar. Pembahasan mengenai aspek spiritual dan elemen spiritual. Aspek spiritual diantaranya adalah merasa yakin bahwa hidup sangat bermakna, memiliki sebuah komitmen terhadap aktualisasi potensi-potensi positif dalam setiap aspek kehidupan, dan meyakini bahwa berhubungan dengan dimensi transendensi adalah menguntungkan. Sedangkan, elemen spiritual meliputi kapasitas transendensi, kemampuan untuk memasuki kondisi kesadaran spiritual yang lebih tinggi, kemampuan untuk menyadari akan merasakan hal-hal suci, kemampuan untuk memanfaatkan sumber-sumber spiritual untuk memecahkan permasalahan dalam kehidupan, dan kemampuan untuk bertingkah laku baik. 1. Aspek Spiritual

Aspek spiritual yang mancakup kehidupan dan kegiatan yang berhubungan dengan spiritual. Aspek spiritual yang ada di Kota Mataram berhubungan ajaran-ajaran Agama Hindu dalam kehidupan masyarakat. Agama Hindu yang memiliki berbagai ajaran yang berhubungan dengan pencipta maupun dengan sesama makhluk hidup dapat menjadi aspek spiritual yang dapat menjadikan pemeluknya memiliki spiritual yang lebih. Berikut adalah aspek spiritual yang berhubungan dengan ajaran Agama Hindu di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

a. Merasa Yakin Bahwa Hidup Sangat Bermakna (Ansyari Musoman – J3B112021)Kota Mataram memiliki tradisi dalam pelaksanaan ritual beragama, salah satu

contohnya adalah pelaksanaan tirtayatra. Dalam aspek spiritual berkaitan dengan

15

hidup sangat bermakna, Agama Hindu memiliki pandangan yang mengatasnamakan kebermaknaan itu. Tirta yatra dipahami dengan tangkil atau sembahyang ke pura-pura, dalam Kitab Sarasamuscaya 279 yaitu keutamaan tirtayatra itu amat suci. Tirtayatra tidak memandang orang dalam status apapun baik kaya atau miskin asal didasarkan pelaksanaan bhakti yang tulus ikhlas, tekun, sungguh-sungguh. Tirtayatra berhubungan dengan kebermaknaan hidup dapat berupa implementasi dari semua sifat mulia seperti tulus, ikhlas kepada Sang Pencipta maupun kepada sesama manusia. Keyakinan dalam berkomitman bahwa hidup sanga bermakna dapat difinalisasikan dengan pendapatan kesucian, yang merupakan inti dari kegiatan Tirtayatra.

Tirtayatra berasal dari bahasa Sansekerta, Tirta dan Yatra. Tirta berari pemandian, sungai, kesucian, toya, sungai yang suci. Secara kenyataan pengertian tirta mengarah ke wujud air. Sedangkan yatra berarti perjalanan suci. Jadi tirtayatra adalah perjalanan suci untuk mendapatkan atau memperoleh air suci.

Perjalana suci atau tirtayatra bukanlah perjalanan biasa untuk sembahyang, namun didalamnya termuat pengendalian diri dan pengekangan diri. Dalam kegiatan tirtayatra terjadi suatu interaksi yang positif antara para pelaku tirtayatra. Tirtayatra mendekatkan antar umat dengan umat lainnya karena dalam perjalanan akan terjadi suatu komunikasi sosial, suka duka, canda ria dan interaksi lainnya. Tirtayatra juga mendekatkan antara umat dengan tempat suci atau pura dalam pengertian pelaku tirtayatra akan mengetahui lebih dekat dan lebih dalam negenai situasi, lokasi, sejarah, serta nilai kesucian dan kebenaran yang terkandung pada tempat suci yang dikunjungi. Tirtayatra juga mendekatkan antara manusia dengan Sang Pencipta melalui pemujaan yang dilakukan di tempat suci yang dikunjungi atau pura. Degan adanya kedekatan-kedekatan tersebut akan semakin menambah kekaguman akan kemahakuasaan Tuhan dan meningkatkan rasa bhakti kehadapan-Nya.

Tirtayatra masuk kedalam aspek spiritual dalam poin meyakini bahwa hidup sangat bermakna adalah karena semua nilai yang terkandung dalam tirtayatra tersebut berhubungan dengan kehidupan manusia. Kehidupan untuk mendapatkan kesucian sebagai bentuk pemenuhan penggilan terhadap Tuhan. Selain itu, tirtayatra juga memiliki berbagai menfaat untuk kebahagiaan hidup di dunia. Beberapa pencapaian manfaat tersebut diantaranya adalah meningkatkan keyakinan atau srada terhadap Sang Hyang Widi Wasa, menjaga ketiga aspek Tri Hita Karana yakni aspek pawongan, palemahan, parahyangan. Selanjutnya adalah mengarahkan badan dan jiwa kepada kesehatan, ketentraman, kedisiplinan, kebijaksanaan, keharmonisan, kehormatan, kesucian, kebenaran, dan kemanunggalan kepada Hyang Pencipta. Pencapaian tertinggi menjadi manusia yang suci merupakan tujuan hidup yang sangat bermakna dan patut untuk diperjuangkan.

b. Memiliki Sebuah Komitmen Terhadap Aktualisasi Potensi-Potensi Positif dalam Setiap Aspek Kehidupan (Ansyari Musoman – J3B112021)

Sama halnya dengan keyakinan bahwa hidup sangat bermakna, tirtayatra juga berperan dalam aspek spiritual yaitu komitmen terhadap aktualisasi potensi-potensi positif dalam setiap aspek kehidupan. Berbagai manfaat dari tirtayatra yang telah dibahas adalah bentuk aktualisasi potensi positif dari kegiatan tersebut. Berbagai manfaat yang terkandung dalam kegiatan tirtayatra merupakan hal yang positif dalam setiap aspek kehidupan. Aspek kehidupan dalam tirtayatra dimulai dari hubungan dengan diri sendiri, yaitu berhubungan dengan kesehatan jiwa sehingga berpengaruh

16

dalam sikap dan sifat. Selain itu, hubungan harmonis dengan makhluk lain karena adanya pancaran kesucian pikiran, perkataan dan erbuatan (Tri Kaya Parisudha). Pancaran kesucian tersebut akan berpengaruh pada orang-orang yang ada di dekatnya, atau pada lingkungan tempat tinggal.

Potensi positif yang ada pada kegiatan tirtayatra menjangkau setiap aspek kehidupan. Aspek utama yang dalam tirtayatra yang akan diraih adalah kedekatan kepada Sang Hyang Widi Wasa sehingga menjadi manusia yang suci. Tirtayatra menumbuhkan kepekaan sosial, meningkatan gairah seni dan keselarasan jiwa. Dengan cara sederhana ini, umat Hindu memuja dan memohon restu dan anugerah kesucian. Semakin sering dan tekun dilakukan, maka semakin terbuka jalan menuju penyatuan dengan Sang Hyang Sangkan Paraning Dumadi. c. Menyadari akan keterkaitan dalam kehidupan (Aruni Fadhilah Septiani

– J3B112026)Kehidupan beragama merupakan kecondongan untuk bentuk kegiatan vertikal

atau yang berhubungan dengan Sang Pencipta. Dalam agama Hindu dikenal dengan adanya Catur Marga Yoga atau Jalan Menuju Tuhan (Hyang Widi). Kota Mataram yang memiliki motto yaitu berbudaya dan religius, maka kehidupan beragama masyarakatnya sangat religius. Agama Hindu yang memiliki berbagai kegiatan sebagai upacaya pendekatan, memiliki muara yaitu dengan adanya Catur Marga Yoga. Catur Marga Yoga ini selalu di pegang teguh dan selalu diupayakan masyarakat Kota Mataram untuk di capai. Keterkaitan Catur Marga Yoga untuk kehidupan adalah dengan pencapaian yang dilakukan, maka umat tersebut sudah mencapai kesempurnaan (moksa). Catur Marga Yoga tersebut adalah Yoga Marga / Raja Yoga, Jhana Marga/Jhana Yoga, Bhakti Marga/Bhakti Yoga, Karma Marga/Karma Yoga.

Yoga Marga / Raja Yoga adalah menuju pada kebenaran dengan jalan disiplin tertentu dengan metode-metode Yoga. Raja Yoga Marga ialah suatu jalan dan usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa melalui pengabdian diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa yaitu mulai berlangsung dan berakhir pada konsentrasi. Dalam arti yang lebih luas yoga ini mengandung pengertian tentang pengekangan diri. Dengan pengendalian diri yang ketat, tekun dalam yoga, maka persatuan Atman dengan Brahman akan tercapai.

Jnana Marga / Jnana Yoga menuju persatuan dengan Tuhan dengan cara terus menerus mempelajarinya. Jnana Marga ialah suatu jalan dan usaha untuk mencapai jagadhita dan Moksa dengan mempergunakan kebijaksanaan filsafat (Jnana). Di dalam usaha untuk mencapai kesempurnaan dengan kebijaksanaan itu, para arif bijaksana (Jnanin) melaksanakan dengan keinsyafan bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta yang bersumber pada suatu sumber alam, yang di dalam kitab suci Weda disebut Brahman atau Purusa.

Bhakti Marga / Bhakti Yoga menyerahkan diri dengan tulus kepada Tuhan sebagai seorang poenyembah yang penuh kecintaan. Bhakti Marga adalah usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa dengan jalan sujud bakti kepada Tuhan. Dengan sujud dan cinta kepada Tuhan Pelindung dan Pemelihara semua makhluk, maka Tuhan akan menuntun seorang Bhakta, yakni orang yang cinta, bakti dan sujud kepada- Nya untuk mencapai kesempurnaan. Dengan menambah dan berdoa mohon perlindungan dan ampun atas dosa- dosanya yang pernah dilaksanakan serta

17

mengucap syukur atas perlindungannya, kian hari cinta baktinya kepada Tuhan makin mendalam hingga Tuhan menampakkan diri (manifest) di hadapan Bhakta.

Karma Marga / Karma Yoga menuju pembebasan dengan jalan bekerja tanpa mengharapkan hasil. Karma Marga berarti jalan atau usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa dengan melakukan kebajikan, tiada terikat oleh nafsu hendak mendapat hasilnya berupa kemasyhuran, kewibawaan, keuntungan, dan sebagainya, melainkan melakukan kewajiban demi untuk mengabdi, berbuat amal kebajikan untuk kesejahteraan umat manusia dan sesama makhluk. Selain itu Karma Marga berhampiran inti ajarannya dengan Bhakti Marga, yaitu mengarahkan segala usaha, pengabdian kebijaksanaan, amal dan pengorbanan itu bukan dari dirinya sendiri melainkan dari Tuhan.d. Meyakini Bahwa Berhubungan dengan Dimensi Tansendensi adalah

Menguntungkan (Aruni Fadhilah Septiani – J3B112026)Hubungan dimensi transendensi adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan

metafora oleh seseorang dan tidak hanya terbatas pada sesuatu yang kasat mata. Dimensi transendensi di pengaruhi oleh tiga hal, yaitu alam, ilmu pengetahuan, dan makhluk gaib. Hubungan dimensi transendensi dapat berupa pengetahuan untuk mencapai sesuatu dengan metafora karena motivasi yang berlebih dalam diri seseorang. Kota Mataram yang masyarakatnya beragama Hindu menerapkan Panca Yadnya. Panca Yadnya adalah lima jenis karya suci yang diselenggarakan oleh umat Hindu di dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup. Adapun Panca Yadnya atau Panca Maha Yadnya tersebut terdiri dari Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, Resi Yadnya, dan Butha Yadnya.

Dewa Yadnya ialah suatu korban suci/ persembahan suci kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan seluruh manifestasi- Nya yang terdiri dari Dewa Brahma selaku Maha Pencipta, Dewa Wisnu selaku Maha Pemelihara dan Dewa Siwa selaku Maha Pralina (pengembali kepada asalnya) dengan mengadakan serta melaksanakan persembahyangan Tri Sandhya (bersembahyang tiga kali dalam sehari) serta Muspa (kebaktian dan pemujaan di tempat- tempat suci). Korban suci tersebut dilaksanakan pada hari- hari suci, hari peringatan (Rerahinan), hari ulang tahun (Pawedalan) ataupun hari- hari raya lainnya seperti: Hari Raya Galungan dan Kuningan, Hari Raya Saraswati, Hari Raya Nyepi dan lain- lain.

Pitra Yadnya ialah suatu korban suci/ persembahan suci yang ditujukan kepada Roh- roh suci dan Leluhur (pitra) dengan menghormati dan mengenang jasanya dengan menyelenggarakan upacara Jenasah (Sawa Wedana) sejak tahap permulaan sampai tahap terakhir yang disebut AtmaWedana. Adapun tujuan dari pelaksanaan Pitra Yadnya ini adalah demi pengabdian dan bakti yang tulus ikhlas, mengangkat serta menyempurnakan kedudukan arwah leluhur di alam surga. Memperhatikan kepentingan orang tua dengan jalan mewujudkan rasa bakti, memberikan sesuatu yang baik dan layak, menghormati serta merawat hidup di harituanya juga termasuk pelaksanaan Yadnya. Hal tersebut dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia telah berhutang kepada orangtuanya (leluhur) seperti berhutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit, berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha, berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha.

Manusa Yadnya Adalah suatu korban suci/ pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup manusia. Di dalam pelaksanaannya dapat berupa Upacara

18

Yadnya ataupun selamatan, di antaranya ialah Upacara selamatan (Jatasamskara/ Nyambutin) guna menyambut bayi yang baru lahir. Upacara selamatan (nelubulanin) untuk bayi (anak) yang baru berumur 3 bulan (105 hari). Upacara selamatan setelah anak berumur 6 bulan (oton/ weton/ 210 hari). Upacara perkawinan (Wiwaha) yang disebut dengan istilah Abyakala/ Citra Wiwaha/ Widhi-Widhana.

Di dalam menyelenggarakan segala usaha serta kegiatan- kegiatan spiritual tersebut masih ada lagi kegiatan dalam bentuk yang lebih nyata demi kemajuan dan kebahagiaan hidup si anak di dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan lain- lain guna persiapan menempuh kehidupan bermasyarakat. Juga usaha di dalam memberikan pertolongan dan menghormati sesama manusia mulai dari tata cara menerima tamu (athiti krama), memberikan pertolongan kepada sesama yang sedang menderita (Maitri) yang diselenggarakan dengan tulus ikhlas adalah termasuk Manusa Yadnya.

Resi Yadnya Adalah suatu Upacara Yadnya berupa karya suci keagamaan yang ditujukan kepada para Maha Resi, orang- orang suci, Resi, Pinandita, Guru yang di dalam pelaksanaannya dapat diwujudkan dalam bentuk penobatan calon sulinggih menjadi sulinggih yang disebut Upacara Diksa. Membangun tempat- tempat pemujaan untuk Sulinggih. Menghaturkan/ memberikan punia pada saat- saat tertentu kepada Sulinggih. Mentaati, menghayati, dan mengamalkan ajaran- ajaran para Sulinggih. Membantu pendidikan agama di dalam menggiatkan pendidikan budi pekerti luhur, membina, dan mengembangkan ajaran agama.

Bhuta Yadnya adalah suatu korban suci/ pengorbanan suci kepada sarwa bhuta yaitu makhluk- makhluk rendahan, baik yang terlihat (sekala) ataupun yang tak terlihat (niskala), hewan (binatang), tumbuh- tumbuhan, dan berbagai jenis makhluk lain yang merupakan ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa. Adapun pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya ini dapat berupa: Upacara Yadnya (korban suci) yang ditujukan kepada makhluk yang kelihatan/ alam semesta, yang disebut dengan istilah Mecaru atau Tawur Agung, dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan, kelestarian antara jagat raya ini dengan diri kita yaitu keseimbangan antara makrokosmos dengan mikrokosmos.

Berbagai bentuk tingkatan yang berisi kegiatan suci tersebut masing-masing berhubungan dengan dimensi transendensi berupa pengetahuan yang sudah menjadi bagian dari ritual agama, alam semesta, dan makhluk gaib. Kesemua dimensi transendensi dalam pencapaian kesucian dalam ritual Agama Hindu tersebut memberikan motivasi dan metafora dalam menjalankan kehidupan beragama dengan lebih baik. 2. Elemen Spiritual

Elemen spiritual secara teori hampir sama dengan aspek spiritual. Elemen spiritual berkaitan dengan kapasitas transendensi, kemampuan untuk memasuki kondisi kesadaran spiritual yang lebih tinggi, kemampuan untuk menyadari akan kemampuan merasakan hal-hal suci, kemampuan untuk memanfaatkan sumber-sumber spiritual untuk memecahkan permasalahan dalam kehidupan, kemampuan untuk bertingkah laku yang baik. Pemeluk Agama Hindu di Kota Mataram selain melakukan ritual agama yang sakral, juga dilakukan festival dalam rangka penyambutan hari besar. Berbagai festival dan perayaan tersebut masing-masing memiliki nilai-nilai yang terkadung dan bermanfaat bagi masyarakat sehingga berpotensi untuk membawa masyarakat pada kesadaran spiritual yang lebih tinggi. Berikut adalah elemen spiritual penganut Agama Hindu di Kota Mataram.

19

a. Kapasitas Transendensi (Na’immah Nur’Aini – J3B112044)Kapasitas transendensi adalah kemampuan untuk melampauai dari sesuatu

yang tampak sebagai fenomena. Agama Hindu yang di anut di Kota Mataram memiliki berbagai spirit dalam setiap individu masyarakatnya. Adat Bali merupakan adat masyarakat Hindu Kota Mataram yang selalu di pegang teguh. Sebagai kota yang memiliki motto “Indah, Bersih, Aman, Damai dan Harmonis" ( IBADAH ) yang Maju dan Religius menjadikan Kota Mataram memiliki masyarakat pemeluk agama yang taat.

Kapasitas transendensi yang ada di Kota Mataram dapat dilihat pada saat penyambutan perayaan Hari Raya Nyepi. Penyambutan perayaan Hari Raya Nyepi dilakukan dengan diadakan kegiatan berupa pawai dengan pertunjukan Ogoh-Ogoh atau boneka besar yang melambangkan keburukan dan biasa di sebut Batha Kala. Pawai Ogoh-Ogoh merupakan kegiatan wajib tahunan yang selalu dilakukan menjelang Hari Raya Nyepi. Kegiatan pawai Ogoh-Ogoh dimaksudkan untuk memurnikan kekuatan-kekuatan negatif yang merusak. Kapasitas transendensi yang dapat diidentifikasi dari kegiatan ini adalah semangat yang mendorong para masyarakat untuk mengikuti kegiatan ini. Sebuah event tahunan yang selalu menggerakkan masyarakat dan memotivasi masyarakt untuk turut meramaikan kegiatan pawai Ogoh-Ogoh.

Setiap tahunnya, tak kurang dari 150 Ogoh-Ogoh dari berbagai kelompok masyarakat selalu meramaikan acara pawai. Bahkan, pembuatan Ogoh-Ogoh yang memakan biaya ratusan ribu hingga jutaan tidak menyurutkan semangat para peserta untuk menyambut Hari Raya Nyepi. Semangat dan kemampuan melebihi rutinitas sehari-hari tersebut merupakan salah satu Kapasitas Transendensi. Disebut sebagai Kapasitas Transendensi karena adanya kemampuan lebih dari berbagai peserta maupun masyarakat yang mengikuti kegiatan tersebut. Fenomena yang jarang terjadi tersebut memberi motivasi lebih untuk melakukan sesuatu diluar kebiasaan masyarakat dalam keseharian, terutama pada saat menjalankan ritual ibadah. Kapasitas Transendensi menjadikan para peserta menjalankan kegiatan keagamaan yang melebur dalam spirit yang berlebih. Spirit tersebut juga dibuktikan dengan adanya pemakaian baju adat Lombok, permainan gamelan dan permainan alat musik tradisional Gendang Beleq. Semua bentuk implementasi budaya tersebut merupakan perpaduan budaya Bali dan budaya Lombok.

Kapasitas transedensi yang dirasakan oleh penonton atau mayarakat dapat terlihat pada saat acara berlangsung. Semua akses jalan yang ditutup menjadikan jalan raya riuh oleh masyarakat yang ingin menyaksikan kegiatan pawai tersebut. Pawai Ogoh-Ogoh tersebut dilaksanakan dengan melintasi Kediri Lombok Barat, Gunungsari dan Kota Mataram. Spirit yang ada pada masing-masing masyarakat menjadikan mereka rela berjalan kaki berkilometer jauhnya untuk menikmati pawai ini. Spirit yang ditanamkan dalam pawai ini adalah menyeimbangkan bhuwana alit dan bhuwana agung (alam mikrokosmos dan makrokosmos). Budaya arak-arakan Ogoh-Ogoh itu tetap mengutamakan etika, estetika serta tetap mengedepankan nilai-nilai moral, sehingga layak untuk ditampilkan di Kota Mataram, yang memiliki motto maju, religius dan berbudaya.b. Kemampuan untuk Memasuki Kondisi Kesadaran Spiritual yang Lebih

Tinggi (Na’immah Nur’Aini – J3B112044)Pawai Ogoh-Ogoh bukan hanya sekedar pertunjukan budaya. Tetapi lebih

pada ritual keagamaan untuk mencapai suatu kondisi spiritual yang lebih tinggi. Hal

20

tersebut dibuktikan dengan waktu perayaan adalah pada saat sehari menjelang Hari Raya Nyepi dengan harapan pada saat Nyepi dilaksanakan, masing-masing akan menjadi individu yang lebih baik. Latar belakang perayaan pawai tersebut juga didasarkan pada kondisi masyarakat Kota Mataram yang selalu berupaya hidup rukun dan damai, sehingga perayaan ini diharapkan mampu memberi spirit lebih untuk meningkatkan kebersamaan yang berlandaskan persatuan dan kesatuan.

Pawai Ogoh-Ogoh dilaksanakan dengan tujuan untuk mengusir roh-roh jahat agar tidak mengganggu kehidupan manusia, sehingga manusia bisa memiliki spiritual yang lebih untuk menjalankan ritual Agama Hindu. Pawai yang dilaksanakan sebagai bagian dari ritual agama ini diharapkan juga mampu memberikan kesadaran kepada massyarakat, terutama bagi yang memeluk Agama Hindu untuk bersikap sopan, tertib dan selalu menjaga kedamaian sebagai ciri umat Hindu yang mencintai kedamaian. Selain itu, dalam kepercayaan Hindu Dharma, Ogoh-Ogoh adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian "bhutakala" yang merepresentasikan kekuatan (bhu) alam semesta dan waktu (kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan. Sehingga kekuatan dalam filosofi Ogoh-Ogoh tersebut diharapkan mampu menyadarkan masyarakat untuk memasuki kesadaran spiritual yang lebih tinggi. c. Kemampuan untuk Menyadari Akan Kemampuan Merasakan Hal-Hal

Suci (Na’immah Nur’Aini – J3B112044)Pawai Ogoh-Ogor merupakan ritual agama yang suci. Pada dasarnya

perayaan Ogoh-Ogoh diselenggarakan berdasarkan swadaya dari masyarakat sehingga tidak ada unsur politik. Hal tersebut dikarenakan perayaan penyambutan Hari Raya Nyepi dengan pawai Ogoh-Ogoh ini dianggap suci. Masyarakat yang terlibat dalam semarak perayaan Ogoh-Ogoh dapat menyadari hal tersebut. Hal-hal suci yang dapat dirasakan adalah pada saat pengusiran roh jahat dari simbol Buta Kala yang dijelma dalam boneka Ogoh-Ogoh. Pengusiran roh jahat tersebut dilakukan agar umat manusia dapat hidup tentram. Pengusiran roh jahat yang dilakukan oleh pemuka agama di sambut oleh sorak-sorai umat Hindu. Prosesi upacara pengusiran tersebut dilakukan setelah pawai Ogoh-Ogoh selesai. Prosesi pengusiran roh jahat tersebut merupakan hal suci yang dapat dirasakan nyata oleh masyarakat yang melihat ritual yang diiringi tetabuhan gong tersebut. Ritual pengusiran roh jahat tersebut di sebut dengan Upacara Tawur Kesanga.

Selain penyelenggaraan Upacara Tawur Kesanga, berbagai prosesi penyambutan Hari Raya Nyepi tersebut sudah dipastikan mengantarkan para umat Hindu untuk memasuki pintu gerbang untuk merasakan hal-hal suci atau sakral dalam Hari Raya Nyepi. Suasana suci dalam perayaan Hari Raya Nyepi dirasakan setelah upacara Tawur Kesanga. Upacara tersebut melambangkan bahwa roh jahat sudah tidak ada, sehingga dapat merasakan kekuatan alam dan waktu yang tidak terukur dan terbantahkan sesuai dengan representasi Buta Kala. Prosesi Hari Raya Nyepi yang sakral dan suci dalam menerapkan empat pantangan. Pantangan tersebut meliputi Tapa brata penyepian itu meliputi amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak melakukan kegiatan), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mengumbar hawa nafsu, tidak mengadakan hiburan/bersenang-senang). Prosesi sakral tersebut dimulai aura kesuciannya setelah Upacara Tawur Kesanga yang menjadi penutupan pawai Ogoh-Ogoh dilaksanakan.

21

d. Kemampuan untuk Memanfaatkan Sumber-Sumber Spiritual Untuk Memecahkan Permasalahan dalam Kehidupan (Wardhana Jaya Jasmitha – J3B212137)

Masalah-masalah dalam kehidupan dapat diselesaikan dengan kembali kepada tempat beradu. Sumber-sumber spiritual masing-masing dapat dipilih untuk menyelesaikan masalah. Agama Hindu merupakan salah satu agama yang memahami konsep permasalah kehidupan dan penyelesaiannya. Dalam ajaran Agama Hindhu dikenal berbagai tingkatan kepercayaan, salah satunya adalah Widhi Tattwa. Widhi Tattwa merupakan konsep kepercayaan terdapat Tuhan yang Maha Esa dalam pandangan Hinduisme. Agama Hindu yang berlandaskan Dharma menekankan ajarannya kepada umatnya agar meyakini dan mengakui keberadaan Tuhan yang Maha Esa. Dalam filsafat Adwaita Wedantadan dalam kitab Weda, Tuhan diyakini hanya satu namun orang bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama. Dalam agama Hindu, Tuhan disebut Brahman. Filsafat tersebut tidak mengakui bahwa dewa-dewi merupakan Tuhan tersendiri atau makhluk yang menyaingi derajat Tuhan.

Konsep Ketuhanan yang dikenal oleh Masyarakat Hindu dapat dijadikan sebagai sumber spiritual dalam penyelesaian masalah. Keyakinan yang ditanamkan harus diamalkan dengan baik untuk menghadapi segala permasalahan. Konsep Ketuhanan yang diyakini menghadirkan spirit baru dalam diri masing-masing individu untuk dapat menyelesaikan segala permasalahan dalam kehidupan. Keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan menjadikan peleburan alam semesta dengan segala isinya. Tuhan yang memberikan masalah, maka dengan kembali kepada Tuhan maka segala masalah dalam kehidupan akan diselesaikan.

e. Kemampuan untuk Bertingkah Laku yang Baik (Wardhana Jaya Jasmitha – J3B212137)

Spirit yang ada pada ajaran Agama Hindu bukan hanya mengenai teori Ketuhanan. Tetapi segala sesuatu yang menjadi bagian dari kehidupan manusia menjadi ajaran Agama Hindu. Teori kesucian yang banyak diajarkan oleh Agama Hindu juga berhubungan dengan tingkah laku manusia. Segala yang menjadi tingkah laku manusia di ajarkan dalam Agama Hindu Karmaphala. Keyakinan ini mengenal hukum sebab-akibat yang disebut Karmaphala (karma = perbuatan; phala = buah/hasil) yang menjadi salah satu keyakinan dasar. Dalam ajaran Karmaphala, setiap perbuatan manusia pasti membuahkan hasil, baik atau buruk. Ajaran Karmaphala sangat erat kaitannya dengan keyakinan tentang reinkarnasi, karena dalam ajaran Karmaphala, keadaan manusia (baik suka maupun duka) disebabkan karena hasil perbuatan manusia itu sendiri, baik yang ia lakukan pada saat ia menjalani hidup maupun apa yang ia lakukan pada saat ia menjalani kehidupan sebelumnya. Dalam ajaran tersebut, bisa dikatakan manusia menentukan nasib yang akan ia jalani sementara Tuhan yang menentukan kapan hasilnya diberikan (baik semasa hidup maupun setelah reinkarnasi).

Dengan keyakinan yang diajarkan dalam Karmaphala, maka masyarakat Kota Mataram yang menganut Agama Hindu akan termotivasi untuk selalu berbuat baik. Segala sesuatu perbuatan akan mendapatkan balasan tersebut masih sangat diyakini oleh mayarakat Kota Mataram. Sehingga kesehariannya, masyarakat Kota Mataram penganut Agama Hindu akan bertingkah baik kepada manusia maupun kepada alam.

22

VI. KESIMPULAN

Kesimpulan dari kegiatan praktikum Identifikasi Aspek dan Elemen Spiritual pada Masyarakat Pekotaan adalah sebagai berikut.1. Aspek spiritual merasa yakin bahwa hidup sangat bermakna dapat dilihat dari

kegiatan Tirtayatra atau sembahyang ke Pura-Pura. Memiliki sebuah komitmen teradap aktualisasi potensi-potensi positif dalam setiap aspek kehidupan dapat dilihat pada tujuan tirtayatra. Menyadari akan keterkaitan dalam kehidupan berupa ajaran Jalan menuju Tuhan atau Catur Marga Yoga. Meyakini bahwa berhubungan dengan dimensi tansendensi adalah menguntungkan berupa Penerapan Pancayadna dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai kesempurnaan hidup.

2. Elemen spiritual mengenai Kapasitas Transendensi adalah Semangat dalam penyambutan Hari Raya Nyepi dalam pawai Ogoh-Ogoh, Kemampuan untuk memasuki kondisi kesadaran spiritual yang lebih tinggi berupa Ritual Keagamaan dalam pawai Ogoh-Ogoh untuk mempersiapkan diri menghadapi Nyepi, Kemampuan untuk menyadari akan kemampuan merasakan hal-hal suci berupa Upacara Tawur Kesanga pada akhir prosesi pawai Ogoh-Ogoh dengan tujuan pengusiran roh jahat. Kemampuan untuk memanfaatkan sumber-sumber spiritual untuk memecahkan permsalahan dalam kehidupan berupa Ajaran Widhi Tattwa, Kemampuan untuk bertingkah laku yang baik berupa Ajaran Karmaphala Tattwa.

23

DAFTAR PUSTAKA

__________. 2013. Agama Hindu. Diakses di http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu [23 September 2013]

__________. 2013. Gambaran Umum Mengenai Spiritualitas. Diakses di http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1-2006-muhammadmu-1388-bab2_410-3.pdf [23 September 2013].

__________. 2013. Pengertian Spiritualitas. Diakses di http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23328/3/Chapter%20II.pdf [23 September 2013].

ISI Denpassar. 2011. Kehidupan Kesenian di Kota Mataram. Diakses di http://www.isi-dps.ac.id/berita/kehidupan-berkesenian-di-kota-mataram [23 September 2013]

Kantor Kementrian Agama Provinsi Bali. 2013. Kantor Kementrian Agama Kabupaten Klungkung Tirta Yatra ke Lombok. Diakses di http://bali.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=150646 [23 September 2013]

Spiritual Kundalini. 2009. Tirta Yatra. Diakses di http://spiritualkundalinibali.wordpress.com/2009/05/15/tirta-yatra/ [23 September 2013]

Wijaya N. 2003. Sekolah Hindu, Mungkinkah Terwujud?. Diakses di http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/8/6/bd4.htm [23 September 2013]