ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia,...

23
ICASEPS WORKING PAPER No. 103 KINERJA DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN USAHATERNAK SAPI POTONG: PROSPEK PENGEMBANGAN MELALUI USAHATERNAK SAPI POTONG RAKYAT Sri Wahyuni Maret 2010 Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian

Transcript of ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia,...

Page 1: ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong tertinggi

ICASEPS WORKING PAPER No. 103

KINERJA DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGANUSAHATERNAK SAPI POTONG:PROSPEK PENGEMBANGAN MELALUIUSAHATERNAK SAPI POTONG RAKYAT

Sri Wahyuni

Maret 2010

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianKementerian Pertanian

Page 2: ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong tertinggi

1

KINERJA DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN USAHATERNAK SAPI POTONG:

PROSPEK PENGEMBANGAN MELALUI USAHATERNAK SAPI POTONG RAKYAT

Sri Wahyuni

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan PertanianJalan A. Yani No.70 Bogor 16161

ABSTRAK

Pengembangan usahaternak sapi potong rakyat (USPR) diharapkan dapat membantuusaha pemerintah dalam mencapai swasembada daging. Untuk memperoleh prospek kebijakanpengembangan yang tepat perlu difahami: kinerja produksi dan kebijakan pengembangan sapipotong. Hasil kajian menunjukkan Kinerja produksi daging nasional (1990 – 2005) berkembangdari 259 ribu ton menjadi 454 ribu ton namun pangsa terhadap total daging menurun (dari 42%menjadi 24%) sehingga Tahun 2010 diproyeksikan terjadi defisit 279 ribu ton. Tahun 2000diluncurkan kebijakan swasembada daging sapi pada tahun 2005, namun belum berhasilsehingga tahun 2006 diimplementasikan Program “Swasembada Daging 2010”. Dari hasil studiUSPR di Jawa Timur diperoleh fakta, kinerja ekonomi peternakan sapi potong perlu terusdiupayakan melalui pendekatan industri berskala kecil 1, sedang dan besar. Programswasembada USPR mengakomodir dan mensosialisasi ”success story” yang dicapai peternakUSPR yaitu 1) memberi modal sapi bakalan kepada peternak yang dihimpun dalam satukelompok dengan bunga pinjaman tidak lebih dari 1,5 persen/th. 2) SPR dapat berfungsi sebagaipenyediaan jaminan (colateral) untuk pengajuan kredit modal kerja dan (3) meninjau kembali UUberkaitan dengan perpajakan serta UU otonomi daerah melalui penetapan retribusi ternak potongpada berbagai tingkatan wilayah/jalur pemasaran karena tidak kondusif dalam pengembanganagribisnis peternakan.

Kata kunci: Usahaternak Sapi potong Rakyat, kinerja

PENDAHULUAN

Konsumsi produk peternakan agregat nasional masih sangat rendah yaitu daging

6,08 kg, telur 4,47 kg, dan susu 7,28 kg/kapita/tahun untuk tahun 2003 (Ditjennak,

2004). Sementara Indonesia memiliki potensi pasar domestik yang sangat besar di

masa yang akan datang. Antisipasi pasar domestik ini perlu dimanfaatkan sebesar-

besarnya melalui pengembangan peternakan di dalam negeri. Potensi pasar saat ini

diintervensi negara produsen peternakan dunia terbukti misalnya peningkatan pangsa

impor, kasus CLQ, daging dan telur impor ilegal. Pengembangan usahaternak sapi

Page 3: ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong tertinggi

2

potong rakyat diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran pemanfaatan

potensi pasar domestik sebesar-besarnya bagi peternakan rakyat dalam negeri.

Untuk memperoleh prospek pengembangan yang tepat terlebih dahulu perlu

dipahami tentang: 1) Kinerja ekonomi dan 2) Kebijakan pengembangan sapi potong.

Mengingat kebijakan difokuskan pada usahaternak rakyat dalam negeri maka disamping

informasi di tingkat nasional perlu dipelajari strategi dan kondisi wilayah yang potensial

dalam pengembangan usahaternak sapi potong untuk dijadikan acuan dan

pertimbangan dalam membuat kebijakan.

Di Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi

potong tertinggi 24% dari populasi ternak di Indonesia yang jumlahnya 10 679 504 ekor

(Direktorat Jenderal Peternakan, 2005). Sedangkan untuk tingkat kabupaten Jawa

Timur, populasi tertinggi Sumenep (226.555 ekor) peringkat ke dua Jember (195.951

ekor) dan ke tiga adalah Tuban dengan populasi 150.070 ekor (Dinas Peternakan

Proipinsi Jawa Timur, 2005). Dari ke tiga Kabupaten tersebut, Tuban memiliki posisi

paling strategis dalam lalu lintas ternak maupun daging karena dekat dengan Ibukota

propinsi maupun jalur perdagangan ke Jawa Tengah sehingga informasi terkait

perkembangan usahaternak sapi potong tersebut relevan untuk disimak dan dijadikan

pelajaran.

Makalah ini mengemukakan 1) Kinerja ekonomi (Dinamika produksi, dinamika

konsumsi dan perdagangan) dan 2) Kebijakan pengembangan sapi potong di tingkat

nasional dan Jawa Timur sebagai wilayah yang potensial untuk dijadikan acuuan dan

pertimbangan dalam membuat kebijakan pengembangan usahaternak sapi potong

rakyat (USPR).

KINERJA SAPI POTONG

Dinamika Produksi

Perkembangan produksi daging sapi di Indonesia belum stabil. Sejak tahun 1990

kenaikan produksi sangat kecil namun tren mulai meningkat hingga tahun 2005 kecuali

saat krisis ekonomi tahun 1997-1999 (Tabel-1)

Page 4: ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong tertinggi

3

Tabel.1. Perkembangan Produksi Daging Sapi, Daging Broiler, dan Telur Ayam Ras diIndonesia, Tahun 1990-2004

TahunProduksi (000 Ton)

Daging Sapi DagingBroiler Total Daging Telur Ayam

Ras Total Telur

1990 259,2 261,4 1027,7 279,8 484

1991 262,2 326,4 1099,1 303,8 510,4

1992 297,0 267,4 1239,2 350,8 572,3

1993 346,3 422,7 1378,3 354,7 572,9

1994 336,5 498,5 1492,9 423,5 688,6

1995 312,0 551,8 1508,2 547 436,1

1996 347,2 605 1632,2 500,6 479,8

1997 353,7 515,3 1555,1 483,1 465

1998 340,7 285 1228,5 266,9 529,8

1999 308,8 294,5 1195,9 357,2 640,4

2000 339,9 515 1445,3 503 783,3

2001 338,7 537 1560,5 537,8 850,3

2002 330,3 751,9 1769,7 614,4 945,7

2003 369,7 771,1 1871,4 611,5 973,5

2004 447,6 846,1 2020,4 762 1107,3

2005 463,8 883,4 2113,2 787,7 1149

Trend (%)

1990-1996 4,66 14,60 7,69 11,06 -0,30

1997-1999 -6,71 -30,25 -13,54 -17,06 16,09

2000-2005 2,30 14,65 8,67 6,85 7,23

1990-2005 1,65 5,57 2,90 4,49 5,00Keterangan : Tahun 2004 = angka sementara

Pada saat krisis ekonomi tren produksi menurun secara drastis hingga minus

6,71%. Salah satu penyebab adalah perusahaan importir sapi bakalan kolaps. Antara

tahun 2000 – 2005 mulai meningkat walau baru mencapai sekitar 50% dari kondisi

sebelum krisis. Secara keseluruhan trend dari tahun 1990 – 2005 sangat menurun

dibanding sebelumnya yaitu 4,66% pada 1990 – 1996 dibanding 1,65%.

Produksi diatas dihasilkan oleh sapi dengan jumlah populasi seperti tercermin

pada Tabel 2, ditambah impor sapi bakalan yang terus meningkat hingga hampir 30%.

Page 5: ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong tertinggi

4

Tabel 2. Perkembangan Populasi Sapi, Ayam Broiler, Ayam Ras di Indonesia, Tahun1990 – 2005

TahunPopulasi (000Ekor)

Sapi Potong Ayam Broiler Ayam Ras

1990 10410 326612 43185

1991 10667 407908 46885

1992 11211 459097 54146

1993 10829 528159 54736

1994 11367 622965 63334

1995 11534 689467 68897

1996 11816 755956 78706

1997 11939 641374 70623

1998 11634 354004 38861

1999 11276 324347 45531

2000 11008 530874 69366

2001 11138 621870 70254

2002 11298 865075 78039

2003 10504 847744 79206

2004 10533 778970 93416

2005 10680 864246 98491

Trend (%)

1990-1996 1,96 13,29 9,75

1997-1999 -2,85 -36,03 -24,28

2000-2005 -1,24 15,87 4,94

1990-2005 0,17 3,97 3,05Keterangan : Tahun 2004 = angka sementara

Sementara itu perkembangan produksi daging di Jawa Timur (Tabel 3)

menunjukkan peningkatan mulai dari tahun 1990 dengan puncak pata tahun 1998.

Fakta ini menunjukkan bahwa Jawa Timur memiliki daya tahan kuat walaupun kondisi

umum di Indonesia menunjukkan penurunan. Namun kondisi tersebut kemudian

menurun lagi hingga tahun 2002 dimana produksi setara dengan tahun 1990. Salah satu

penyebab utama adalah terjadinya penurunan jumlah sapi lokal akibat pemotongan sapi

yang lebih besar pada tahun sebelumnya.

Page 6: ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong tertinggi

5

Tabel 3. Perkembangan produksi daging Sapi , broiler dan ayam Ras di Jawa TimurTahun 1990 – 2005

Tahun

Produksi (Ton) Pangsadaging sapi

(%)Daging

SapiDagingBroiler

TotalDaging

TelurAyam Ras

Total Telur

1990 71,28 24,07 171 74,59 96,57 0,417

1991 78,94 27,05 171,88 84,54 106,26 0,459

1992 81,46 39,51 183,19 98,83 121,73 0,445

1993 85,268 59,05 223,174 94,659 117,756 0,382

1994 94,907 68,24 246,931 104,874 141,41 0,384

1995 89,416 38,597 212,934 110,255 148,559 0,420

1996 95,614 38,627 223,679 120,63 152,785 0,427

1997 96,105 125,354 230,765 127,034 161,038 0,416

1998 98,055 71,896 0 38,828 64,663

1999 72,28 39,827 225,327 44,174 70,358 0,321

2000 76,42 72,664 0 93,044 119,476

2001 78,11 74,008 220,696 94,719 131,442 0,354

2002 71,65 101,52 248,212 96,122 133,146 0,289

2003 77,359 142,336 311657 133,226 176,129 0,000

2004 78,069 162,781 334,106 224,399 267,889 0,234

2005 80,711 165,792 342,561 228,887 272,92 0,236

Trend (%)

1990-1996 4,50 13,47 20,26 7,10 35,18 0,222

1997-1999 -66,20 -1,80 -9,57 -59,18 -45,94 6,915

2000-2005 -7,89 3,53 -2,01 10,86 11,43 3,919

1990-2005 -1,02 9,02 6,98 0,75 8,04 -0,146Keterangan : Tahun 2004 = angka sementara

Pangsa daging sapi di Jawa Timur sebanyak 42% pada 1990 dan menurun

menjadi 24% pada 2005 karena adanya substitusi dari daging asal broiler yang terus

meningkat. Penurunan pangsa daging sapi tersebut seirama dengan populasi ternak di

Jawa Timur (Tabel 4) dimana trennya terus menurun dibanding tahun 1990. Seperti

Page 7: ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong tertinggi

6

telah dikemukakan bahwa penyebab utama adalah terus terkurasnya sapi akibat

pemotongan yang terus meningkat dimana pertambahan permintaaan setiap tahun terus

beningkat sementara untuk menghasilkan sapi agar bisa dipotong minimal memerlukan

waktu 3 tahun.

Tabel 4. Perkembangan Populasi Sapi, Ayam Broiler dan Ayam Ras di Provinsi JawaTimur Provinsi, 1990 – 2005

TahunPopulasi (Ekor)

Sapi Potong Ayam Broiler Ayam Ras

1990 3005059 324174 992280

1991 3062494 364258 112467

1992 3156880 532085 131474

1993 3163096 795080 125931

1994 3328494 826444 136098

1995 3302426 415359 159098

1996 3339260 416107 185400

1997 3382670 156305 240556

1998 3223055 893002 599200

1999 3380547 429041 681893

2000 3312015 880774 143586

2001 3312015 897068 146171

2002 3312015 153818 147027

2003 2516777 185450 143208

2004 2519030 162781 241212

2005 2519534 166037 246036

Trend (%)

1990-1996 1,85 36,06 9,38

1997-1999 -0,03 -58,96 -70,13

2000-2005 -0,08 25,17 -0,02

1990-2005 -0,08 15,07 1,01Keterangan : Tahun 2004 = angka sementara

Page 8: ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong tertinggi

7

Gambaran kondisi populasi dan produksi daging di Kabupaten Tuban disajikan

Tabel 5. Dati Tabel 5 ditunjukkan bahwa perkembangan populasi ternak sapi di Provinsi

Jawa Timur periode pasca krisis ekonomi taun (2001-2005) mengalami kecenderungan

pertumbuhan yang positif, yakni meningkat 0.08 persen per tahun atau naik dari

2.514.341 ekor tahun 2001 menjadi 2.524.476 ekor tahun 2005. Tampak bahwa

pertumbuhannya relatif kecil, yang disebabkan oleh terkurasnya sapi bakalan dari

Provinsi Jawa Timur ke luar wilayah khususnya DKI Jakarta. Demikian pula di Tuban

pertumbuhannya cenderung negatif yaitu -0,07 persen per tahun. Sementara itu,

perkembangan produksi di tingkat provinsi pada periode tahun 2001-2005 mengalami

pertumbuhan yang negatif, yaitu -2,24 persen per tahun. Berbeda dengan di Tuban,

meskipun populasi menunjukkan pertumbuhan yang negatif, namun dalam

perkembangan pertumbuhan produksi daging mengalami peningkatan sebesar 3,55

persen pertahun. Di Kabupaten Tuban penurunan populasi tejadi pada tahun 2003 dan

2004, sedangkan produksi daging terjadi penurunan di tahun 2002 dan 2004.

Tabel 5. Perkembangan Populasi dan Produksi Daging Ternak Sapi di Provinsi JawaTimur dan Kabupaten Tuban, Tahun 2001- 2005.

TahunJawa Timur Tuban

Populasi(ekor)

Produksi(kg)

Populasi(ekor)

Produksi(kg)

Share untukJatim (%)

2001 2514341 78110461 152869 1181850 1,51

2002 2515439 64934152 152888 1012886 1,55

2003 2516777 70603420 151102 1101316 1,56

2004 2519030 71203804 150070 958240 1,34

2005 2524476 71358140 152372 1633884 2,23

Trend (%) 0,08 -2,24 -0,07 3,55

Sumber: Peternakan Dalam Data, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur, 2006

Dinamika Kebutuhan/Konsumsi

Tabel 6 menyajikan perkembangan konsumsi hasil ternak (daging, telur dan

susu) Indonesia, dimana berdasarkan wilayah masyarakat di desa mengkonsumsi lebih

rendah dari pada di kota. Semakin tinggi pendapatan konsumsi semakin meningkat dan

Page 9: ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong tertinggi

8

masyarakat bermata pencaharian pertanian mengkonsumsi daging paling rendah

dibanding industri/perdagangan dan lainnya.

Di tingkat nasional tingkat konsumsi terjadi penurunan pada tahun 1999

kemudian meningkat lagi pada tahun 2002 dan jika dibandingkan dengan tingkat

konsumsi tahun 2002 maka di Jawa Timur sangat tinggi (0,53 : 1,55) yang berarti 5 kali

lipat. Semakin tinggi pendapatan semakin tinggi tingkat konsumsi daging sapi.

Sedangkan berdasarkan sumber matapencaharian tingkat konsumsi tertinggi oleh

masyarakat bermatapencaharian utama selain pertanian dan industri/pedagangan.

Tabel 6. Tingkat Konsumsi Daging Sapi di Indonesia dan Jawa Timur, Tahun 1996,

1999, dan 2002 (kg/kap/th)

No UraianIndonesia Jawa Timur

1996 1999 2002 1996 1999 2002

1 Merurut Wilayah

Desa 0.30 0.28 0.25 0, 42 0,38 0,32

Kota 1.23 0.77 0.88 1,49 1,00 1,18

Desa + Kota 0,67 0,48 0,53 0,80 0,61 0,69

2 Menurut kelompok Pendapatan

Rendah 0.32 0.23 0.09 0,22 0,21 0,10

Sedang 0.64 0.47 1.43 0,76 0,58 0,53

Tinggi 1.43 1.02 1.66 2,02 1,48 2,21

3 Menurut Sumber Matapencaharian

Pertanian 0.20 0.21 0.21 0,27 0,26 0,25

Industri /perdagangan 0.95 0.64 0.68 1,09 0,75 0,95

Lainnya 1.00 0.67 0.81 1,29 0,92 1,11Sumber: BPS (2003)

Adapun tingkat partisipasi masyarakat Indonesia yang mengkonsumsi daging

sapi (Desa + Kota) menunjukkan angka partisipasi yang rendah yaitu hanya sebanyak

12,84 pada tahun 1996 dan menurun menjadi 9,20 dan 8,99 masing-masing pada tahun

1999 dan 2002 (Tabel 7). Berdasarkan kelompok pendapatan, semakin tinggi tingkat

pendapatan semakin tinggi tingkat partisipasi sedangkan berdasarkan sumber

pendapatan masyarakat petani berpartisipasi paling rendah dibanding

industri/perdagangan dan lainnya.

Page 10: ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong tertinggi

9

Tabel 7. Tingkat Partisipasi Konsumsi Daging Sapi di Indonesia, Tahun 1996, 1999,dan 2002 (%)

No UraianIndonesia Jawa Timur

1996 1999 2002 1996 1999 2002

1 Merurut Wilayah

Desa 5,14 4,73 4,05 10,72 8,88 7,18

Kota 20,54 13,67 15,25 34,6 25,45 25,94

Desa + Kota 12,84 9,20 8,99 22,26 17,16 15,55

2 Menurut kelompok Pendapatan

Rendah 5,66 4,21 2,31 5,52 5,26 3,42

Sedang 11,74 8,59 7,76 20,92 15,76 13,44

Tinggi 21,59 16,58 21,62 42,67 33,64 36,86

3 Menurut SumberMatapencaharian

Pertanian 3,46 3,51 3,51 6,86 6,94 5,88

Industri /perdagangan 16,23 11,41 12,02 27,33 19,40 22,69

Lainnya 16,62 11,73 13,22 28,29 21,89 22,57

Sumber: BPS (2003)

Di Provinsi Jawa Timur tahun 2004 – 2005 (Tabel 8) pangan asal ternak yang

tersedia untuk dikonsumsi penduduk cenderung mengalami penurunan, dimana

konsumsi daging adalah 1,55 kg/kapita/tahun. Hal ini dimungkinkan oleh adanya isu flu

burung dan wabah sapi gila dan antrhrax sehingga terjadi penurunan konsumsi,

sementara pada tahun 2004 sebesar 1,79 kg/kapita/tahun atau menurun 13,40 persen.

Demikian pula konsumsi telur menurun 8,95 persen kemudian untuk konsumsi susu

mengalami peningkatan 0,95 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Tabel .8. Perkembangan Konsumsi Daging, Telur dan Susu di Provinsi Jawa Timur,2004-2005

Komoditi Kg/Kap/Tahun2004 2005

1. Daging 1.79 1.55

2. Telur 0.65 0.62

3. Susu 0.19 0.20Sumber: Peternakan Dalam Data, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur, 2006

Page 11: ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong tertinggi

10

Terdapat peraturan pemerintah RI No 12 Tahun 2001 tentang “Impor dan atau

penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis” yang dibebaskan dari

pengenaan pajak pertambahan nilai. Termasuk dalam UU tersebut diantaranya

makanan ternak dan bahan baku pembuatan makanan ternak serta barang hasil

pertanian yaitu yang dihasilkan oleh kegiatan usaha dibidang pertanian (Pasal 1).

Terdapat juga peraturan khusus tentang prosedur pemasukan sapi potong

(Direktorat Budidaya Peternakan, 2004) yang memperjelas tata cara pemasukan ternak

sapi potong bakalan dari luar negeri dan memperlancar pelaksanaan pengawasan lalu

lintas ternak dalam upaya mencegah kemungkinan masuknya dan menyebarnya

penyakit. Prosedur mencakup persyaratan permohonan, pengawasan dan pembinaan

serta ketentuan sangsi. Persyaratan permohonan terdiri dari secara administrasi (11

syarat) dan persyaratan teknis (2 syarat) sedangkan pengawasan dan pembinaan

mengemukakan bahwa: 1) pengawasan peredaran ternak dilakukan oleh Dirjen Bina

Produksi bersama Kadisnak di propinsi dan Kabupaten setempat. 2) Jika ada

Penyimpangan persyaratan teknis maka Karantina hewan harus melapor ke Dirjen Bina

Produksi tembusan ke Kadisnak di propinsi dan Kabupaten setempat. 3) Kadisnak di

propinsi dan Kabupaten melakukan pembinaan terhadap diterapkannya budidaya sapi

potong yang baik. 4) Dirjen Bina Produksi peternakan melakukan monitoring dan

evaluasi secara berkala (Tri wulan) tentang realisasi pemasukan ternak sapi potong

bakalan.

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG

Program Utama

Pemerintah Indonesia memberikan dukungan yang cukup besar terhadap

subsektor peternakan. Berbagai program pengembangan agribisnis sapi potong dengan

program utama diantaranya:

1. Pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Sumatera Barat dan

Sulawesi Selatan bertujuan untuk mengembangkan komoditas unggulan melalui soft

technology (kelembagaan, pemberdayaan masyarakat).

Page 12: ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong tertinggi

11

2. Integrasi sapi potong dan kelapa sawit di Nanggroe Aceh Darussalam dan Bengkulu

bertujuan untuk mengoptimalisasikan pemanfaatan perkebunan untuk

pengembangan ternak.

3. Intensifikasi sapi potong dan jagung di Gorontalo dan Bengkulu bertujuan untuk

mengoptimalisasikan pemanfaatan lahan untuk pengembangan ternak.

4. Sistem integrasi ternak tahun 2002 di 11 propinsi dan tahun 2003 di 14 propinsi yang

bertujuan meningkatkan produksi daging melalui peningkatan populasi sapi produktif

dan pemeliharaan intensif.

5. Swasembada daging 2005 sebetulnya telah diantisipasi dengan program terobosan

“Gaung”, singkatan dari tiga ung yang mengemukakan tiga prinsip upaya kecukupan

daging sapi pada tahun 2005

6. Swasembada daging tahun 2005 yang diimplementasikan di sentra-sentra produksi

dengan tujuan memenuhi daging nasional.

7. Tahun 2006 Direktorat Jenderal Peternakan memaparkan “Implementasi program

menuju swasembada daging 2010

Dari program-program yang diimplementasikan diatas, Yusdja et al. (2002)

melaporkan bahwa program IB belum mampu mengatasi pesatnya permintaan

kebutuhan konsumsi masyarakat. Sedangkan program INSAP dinilai berhasil dalam hal

realisasi kelahiran pedet hasil IB sebanyak 200.586 ekor dalam tahun 1999/2000

dengan sapi jenis Brahman merupakan jumlah terbesar (61,55%), kedua Ongole

(14,96%), ke tiga sapi Madura (2,18%) dan selebihnya 21,31% merupakan hasil

persilangan dari berbagai ras. Namun demikian jumlah tersebut ternyata belum sesuai

dengan yang diharapkan karena pada peiode tahun 2000 jumlah ternak sapi yang

dipotong 431.108 ekor, belum termasuk sapi potong yang dikirim ke DKI Jakarta, Jawa

Barat dan antar pulau.

Strategi kebijakan swasembada daging sapi tahun 2005 yang dirumuskan tahun

2000 dan berakhir 2004 sebagai berikut: 1) Pengembangan wilayah berdasarkan

komoditas ternak unggulan. 2) Pengembangan kelembagaan petani peternak. 3)

Peningkatan usaha dan industri peternakan. 4) Optimalisasi pemanfaatan dan

pengamanan serta perlindungan sumberdaya alam lokal dan 5) Pengembangan

Page 13: ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong tertinggi

12

kemitraan yang lebih luas dan saling menguntungkan dan 6) Mengembangkan teknologi

tepat guna yang ramah lingkungan telah dievaluasi dan dikatakan tidak berhasil Yusdja

et al. (2004) karena populasi tidak meningkat, impor sapi bakalan tidak menurun dan

pemotongan sapi lokal terus meningkat (Tabel 9).

Tabel 9. Populasi, Jumlah Pemotongan dan Impor Sapi di Indonesia Tahun 1994 –2000

Tahun Populasi(juta (ekor)

Pemotongan(juta ekor)

Impor sapi bakalan(ribu)

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

10,829

11,368

11,634

11,816

11,939

11,634

11,276

11,008

11,298

11,396

1,55

1,59

1,77

1,66

1,79

1,64

1,70

1,78

1,69

1,79

118

228

389

428

42

157

297

289

428

375Sumber data : Direktorat Jenderal Peternakan (2005)

Secara rinci dikemukakan 4 penyebab kegagalan kebijakan yaitu: 1) Tidak ada

rencana operasional yang rinci melainkan hanya judul dan sasaran. 2) Bersifat top down

dan skala kecil. 3) Implementasi program di sama ratakan dan 4) implementasi tidak

dilaksanakan dengan metode yang memungkinkan evaluasi dampak.

Kurang berhasilnya program swasembada daging 2005 sebetulnya telah

diantisipasi dengan program terobosan “Gaung”, singkatan dari tiga ung yang

mengemukakan tiga prinsip upaya kecukupan daging sapi pada tahun 2005 (Sudrajad

2003) mencakup : 1 Azas kelestarian sumberdaya ternak nasional, 2 . Azas

keseimbangan supply and demand dan 3. Azas kemandirian (mengurangi import).

Namun demikian tampaknya “gaung” belum membuahkan hasil sesuai harapan

sehingga pada tahun 2006 Direktorat Jenderal Peternakan memaparkan “Implementasi

program menuju swasembada daging 2010” (Riady, 2006).

Program Swasembada daging 2010 tersebut di dasarkan pada proyeksi daging

sapi dan program strategis yang dicanangkan (Tabel 10).

Page 14: ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong tertinggi

13

Tabel 10. Proyeksi Daging Sapi dan Program Strategis yang Dicanangkan

No. Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 2010

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

Populasi sapi riel (000 ek)

Pertumbuhan (%)

Betina produktif (000 ek)

Impor betina produktif (000 ek)

Tunda potong betina (000 ek)

Peningkatan akseptor IB (000 ek)

Kelahiran 65% (000 ek)

Replacement (000 ek)

Pemotongan IB/KA (000 ek)

Produksi daging (000 ek)

Penduduk (juta orang)

Total konsumsi (000 ton)

Neraca kebutuhan (000 ton)

Setara sapi hidup (000 ek)

Populasi ideal (000 ek)

10.679,50

0,30

3.726,81

0

0

0

2.317,33

320,39

1.827,98

263,90

220,33

384,81

(120,83)

(975,16)

12.247,70

10.809,97

1,22

3.772,33

0

0

0

2.345,64

132,06

2.042,56

290,56

223,63

410,94

(120,38)

(971,49)

12.372,30

11.374,47

5,22

4.677,03

400,00

25,00

1.500,00

2.908,17

800,00

1.916,98

327,46

226,99

438,85

(111,39)

(898,94)

12.820,10

12.174,47

7,03

5.024,30

0

25,00

1.500,00

4.039,40

966,53

2.370,70

384,18

230,39

468,65

(84,47)

(681,74)

13.270,80

13.074,47

7,39

5.338,37

0

25,00

1.500,00

4.039,40

966,53

2.850,39

443,12

233,85

500,48

(57,36)

(462,91)

13.818,93

14.041,00

7,39

5.950,82

0

25,00

1.500,00

4.420,22

1.037,98

3.142,24

481,23

237,35

534,47

(53,24)

(429,68)

14.732,02

Untuk memperbaiki implementasi program, dikemukakan langkah-langkah

operasional secara kongkrit yang mencakup: 1) Lokasi pengembangan, 2) Pelaksanaan

Program, 3) Kegiatan pendukung, 4) Infrastruktur Peternakan dan 5) Kebijakan impor.

Lokasi pengembangan tersebar di 18 Propinsi yang dikelompokkan dalam 3 daerah

yaitu prioritas implementasi IB (seluruh Jawa dan Bali),kawin alam (NTT, Sulawesi

Tengah dan tenggara) dan campuran IB dan kawin alam pada propinsi selebihnya.

Pelaksanaan program mencakup kegiatan pokok yaitu: 1) Penambahan

induk/bibit 2) Penyelamatan dan penjaringan ternak sapi betina produktif 3) Penanganan

Gangguan Reproduksi 4) Intensifikasi pelaksanaan inseminasi buatan 5) Intensifikasi

kawin alam (Distribusi pejantan unggul) 6) Pengembangan pakan ternak dan

kelembagaan peternak dan 7) Pengembangan SDM dan Kelembagaan. Adapun

kegiatan penunjang meliputi: 1) Pengembangan kawasan usaha peternakan. 2)

Pelayanan kesehatan hewan. 3) Pelayanan kesehatan masyarakat veteriner. 4)

Penumbuhan kemitraan/swasta dan 5) Fasilitas permodalan usaha yaitu penguatan

modal usaha kelompok (PUMK). 6) program aksi pembibitan. 7) Sarjana membangun

desa dan 8) Pengembangan usaha agribisnis pedesaan (PUAP).

Page 15: ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong tertinggi

14

Pembenahan infrastruktur peternakan mencakup segmen hulu fokus pada

penyediaan bibit unggul, segmen onfarm fokus pada kesehatan hewan dan pakan

sedangkan segmen hilir fokus pada pengembangan RPH .

Kebijakan impor menekankan bahwa sapi yang boleh diimpor hanya jenis sapi

bibit untuk pengembangan industri dan sapi bakalan dengan berat maksimal 350 kg dan

bukan sapi afkir (Permentan no 7/permentan/OT.140/1/2008. Adapun prinsip impor

daging adalah memenuhi syarat aman dan halal dikonsumsi dan tidak berpotensi

membawa agen penyakit.

Analisis Arah Kebijakan Program

Analisis arah dan kebijakan pengembangan agribisnis peternakan nasional yang

dilakukan Simatupang et al. (2004) menunjukkan beberapa antisipasi sebagai berikut:

(1) Perdagangan global produk peternakan bersifat distortif dan tidak adil sehingga

industri peternakan nasional patut mendapatkan perlindungan dari impor produk

peternakan yang relatif murah; (2) Secara struktural industri peternakan domestik

mengalami kendala produksi, sehingga perlu dipertimbangkan kepada sumber

pertumbuhan ternak ruminansia.

Secara lebih spesifik Yusdja et al. (2004) ; Yusdja dan Ilham (2004) memberikan

arah pengembangan agribisnis sapi potong dan peningkatan produksi daging sapi,

sebagai berikut : (1) Reorientasi struktur pengembangan ternak sapi potong dengan

memberikan prioritas pada daerah sentra produksi yang difasilitasi dengan infrastruktur

pasar hewan, RPH, dan informasi pasar yang akurat; (2) Pengembangan agroindustri

sapi potong melalui peningkatan efektivitas RPH dengan orientasi pasar produk

daging/karkas (bukan ternak hidup) dalam rangka peningkatan daya saing terhadap

produk daging impor; (3) Dibutuhkan kerja sama pemerintah dan swasta dalam

memanfaatkan keunggulan komparatif untuk mencapai keunggulan kompetitif dengan

memberikan kesempatan pada investor (PMDN dan PMA) khususnya dalam

pengembangan ternak bibit dan agribisnis sapi potong, untuk memperbaiki struktur

usaha yang selama ini didominasi usahaternak rakyat; (4) Jumlah impor sapi bakalan

harus mempertimbangkan tingkat pengurasan dan tingkat kemampuan produksi dalam

negeri, sehingga harus mengacu pada analisis suplai (di wilayah sentra produksi) dan

permintaan (di wilayah sentra konsumsi) dalam negeri; (5) Memberikan peluang

Page 16: ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong tertinggi

15

investasi yang lebih besar pada perusahaan peternakan (kecil, menengah, dan besar),

dan menjadikan usaha rakyat sebagai bumper, sehingga industri peternakan modern

dapat dilakukan segera tanpa mengganggu pemenuhan kebutuhan konsumsi daging

dalam negeri.

Kebijakan pengembangan budidaya ternak sapi yang dilakukan selama ini (Ilham

et al. 2001) adalah: (1) Program pengembangan ternak pemerintah baik untuk

pembibitan (lokal, kemitraan, impor) dan penggemukan; (2) Program pengembangan

inseminasi buatan; (3) Program pengendalian dan pemberantasan penyakit; (4)

Program perbaikan pemeliharan ternak ke arah intensifikasi dan perbaikan sistem dan

manajemen perbaikan pakan.

Analisis empirik pengembangan sistem dan usaha agribisnis sapi potong secara

parsial (Jamal, 1994; Adnyana, 1998; Adnyana et al. 1999; Ilham et al. 2001; dan

Basuno, 2004) memberikan beberapa informasi menarik, sebagai berikut: (1)

Pengembangan usahaternak di lapangan perlu dilakukan secara partisipatif dengan

dukungan infrastruktur dan kebijakan yang optimal dengan sasaran pengembangan

kemampuan dan kemandirian peternak; (2) Pengaturan volume impor daging sapi dapat

dijadikan stabilisator harga daging sapi di dalam negeri, tanpa harus mengganggu

kelangsungan usaha dalam negeri; (3) Untuk menghindari pengurasan populasi, dalam

jangka pendek kebijakan impor dapat dilakukan dengan impor bibit dan sapi bakalan,

tetapi dalam jangka panjang perlu dilakukan intensifikasi pengusahaan ternak sapi; (4)

Pengusahaan usahaternak rakyat di sentra produksi memiliki efisiensi pemanfaatan

kapital yang relatif baik dengan RCR sebesar 1.40 dan memiliki keunggulan komparatif

yang memadai dengan nilai DRCR daging di Jakarta sebesar 0.75; (5) Kemitraan

pedagang antar pulau dengan peternak sapi perlu diarahkan pada fasilitasi pengadaan

ternak bibit kepada peternak, sebagai bentuk pengalihan insentif yang diterima

pedagang yang relatif tinggi.

Pemerintah daerah Jawa Timur merespon kebijakan diatas melalui instansi

terkaitnya (Dinas Peternakan) dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yang

mengatur keberadaan dan keberlangsungan usaha pada subsektor peternakan.

Beberapa kebijakan tersebut diantaranya adalah: (1) Yang terkait dengan inseminasi

buatan yaitu, SK. Dirjen. Peternakan No. 52/OT.210/Kpts/0896 tentang Tata Cara dan

Syarat-syarat Pelatihan serta Penyelengaraan IB, kemudian ditindaklanjuti dengan

dikeluarkannya SK. Gubernur Provinsi Jawa Timur No. 64 tahun 2003 tentang

Page 17: ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong tertinggi

16

Pelaksaan Program IB Intan Sejati, Selanjutnya diterjemahkan oleh instansi terkati

melalui SK. Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur Nomor.

188.4/865/117.06/2001 tentang Standarisasi Pedoman Pelaksanaan Pelayanan IB

Provinsi Jawa Timur. Selain itu diterbitkan pula SK. Kepala Dinas Peternakan Provinsi

Jawa Timur No. 188.4/376/117.06/2001 tentang Penetapan Organisasi Satuan

Pelayanan IB (SP IB) Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur; (2) Yang terkait dengan

Pelayanan Tata Niaga yaitu, UU No. 6 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok

peternakan dan kesehatan hewan;. UU No. 16 tahun 1992 tentang karantina hewan,

ikan dan tumbuhan; UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen; PP No. 15

tahun 1977 tentang penolakan pencegahan, pemberantasan dan pengobatan penyakit

hewan; SK. Dirjen. Peternakan No. 71/TN.690/Kpts/DJP/Deptan/2000 tentang prosedur

baku Importasi hewan dan bahan asal hewan; Perda Provinsi Jawa Timur No. 9 tahun

2002 tentang distrbusi pemakaian kekayaan daerah; Perda No. 6 tahun 1997 tentang

ketentuan dan tatacara pelaksanaan pemberian ijin pendaftaran usaha di bidang

peternakan, dan sebagainya.

Kebijaksanaan Teknis Sub sektor peternakan di Provinsi Jawa Timur antara lain:

1. Peningkatan pemberdayaan ekonomi peternakan untuk meningkatkan produksi

ternak dalam rangka swasembada daging.

2. Peningkatan program “INTAN SEJATI”, yang meliputi (1) Pembibitan ternak dan

pembinaan pakan; (2) Intensifikasi sapi potong (INSAPP); (3) Grading Up Sapi

Madura.

3. Peningkatan pengamanan ternak dari penyakit hewan menular yang mewabah yang

meliputi (1) Pemberdayaan laboratorium diagnostik dan laboratorium kesmavet; (2)

Pemberantasan dan penanggulangan penyakit hewan menular; (3) Pengawasan

obat hewan dan residu; (4) Pembinaan sertifikat obat hewan; (5) Pemeriksaan lalu

lintas ternak dan BAH antar provinsi.

4. Peningkatan pengendalian pemotongan hewan betina produktif yang meliputi: (1)

Pengendalian pemotongan hewan betina produktif; (2) Penetapan standarisasi

Rumah Potong Hewan (RPH); (3) Penetapan standarisasi Pasar Hewan.

5. Pengembangan standarisasi tataniaga ternak melalui program promosi dan peluang

investasi (tata niaga dan kewirausahaan) yang meliputi: (1) Promosi komoditi

unggulan dan ekspor peternakan; (2) Pembinaan tataniaga dan informasi pasar; (3)

Page 18: ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong tertinggi

17

Peningkatan motivasi kemitraan yang berkesinambungan antar kabupaten/kota; (4)

Informasi harga pasar produk peternakan.

6. Pengembangan usaha perbaikan gizi keluarga (Gerakan Makan Telur dan Susu)

melalui program pendukung gerakan perbaikan gizi keluarga yang meliputi: (1)

Penganekaragaman pangan dan gizi; (2) Gerakan makan telur ayam bagi putra/putri

Indonesia (Gemmarampal); (3) Gerakan memeilihara ayam buras membangun desa

(Gema Alaras Bangsa); (4) Usaha perbaikan giizi keluarga (UPGK); (5) Gerakan

minum susu; (6) Gema proteina (Gerakan Mandiri Protein Hewani).

7. Peningkatan pemberdayaan IPTEK bidang peternakan melalui program

pemberdayaan IPTEK yang ramah lingkungan yang meliputi: (1) Kerjasama

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi peternakan (dalam dan luar negeri);

(2) Pengkajian dan penetapan teknologi alat dan mesin bidang peternakan dan

kesehatan hewan; (3) Standarisasi teknologi distribusi ayam potong (tempat

pengumpulan ayam, tempat pemotongan ayam dan kios daging ayam).

Di Kabupaten Tuban, pelaksanaan IB tahun 2004 hanya tercapai 83,28% dari

yang ditargetkan yaitu dari target 25 000 akseptor hanya terealisir 23 212 (Dinas

Pertanian Kabupaten Tuban, 2004). Disisi lain pemotongan ternak yang sasarannya

hanya 7 561 ekor ternyata realisasinya mencapai 7 614 ekor yang berarti melebihi target

0,7% sementara perkembangan populasi hanya 0,14%. Fakta tersebut menunjukkan

masih sangat diperlukannya program pengembangan ternak sapi potong secara serius

agar ternak sapi lokal tidak semakin terkuras.

Prospek dan Kebijakan Pendukung Pengembangan Perusahaan

Kebijakan yang berkaitan dengan perusahaan ternak sapi potong diantaranya

UU No 5 Th 2000, PP No 12 Th 2001 dan KMK 155 Tahun 2001 dan UU N0 22 Tahun

1999 (Tabel 11 ). Undang undang tentang otonomi daerah berdampak pada maraknya

kebijakan pemerintah daerah dalam membuat peraturan daerah (perda) untuk

memperoleh pendapatan sehingga retribusi ternak potong menjadi mahal dan berkali-

kali sesuai tingkat wilayah.

Berkaitan dengan kesehatan hewan yang sudah dilakukan sedemikian ketat dan

konsekwen hendaknya tidak semakin berlebihan karena akan berdampak merugikan

perusahaan sapi potong. Diakui selama ini impor hanya dari Australia sementara biaya

Page 19: ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong tertinggi

18

kesehatan ternak impor dari Australia paling mahal dibanding negara lain. Untuk itu

perusahaan menghimbau agar persyaratan protokol kesehatan hewan untuk ternak

potong ditinjau kembali , sebaiknya tidak disamakan dengan ternak untuk bibit.

Tabel 11. Deskripsi dan Dampak Kebijakan yang Bersifat Mendukung danMenghambat Perusahaan Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Tuban,Jawa Timur, 2006

Deskripsi Kebijakan Antisipasi Dampak

1. Kebijakan Bersifat Menghambat

UU N0-5 Th 2000

PP No 12 Th 2001

KMK 155 Tahun 2001

UU N0 22 Tahun 1999

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Untuk mendukung perkembangan industri feedlotter agar tumbuh 10%/tahun

dikemukakan oleh APFINDO (2006), diperlukan sebanyak 30 000 – 45 000 ekor sapi

sehingga diperlukan tambahan modal Rp 50 milyar – Rp 75 milyar/tahun. Implementasi

penambahan ternak dilakukan secara bermitra dengan peternak mengadopsi sistem

KKP (Kredit Ketahanan Pangan). Kemudian untuk pemasaran tambahan sapi

tersebut, yaitu membantu pedagang diperlukan dana Rp 19 milyar karena turn over

penjualan diperlukan waktu 4 hari.

Belum terdapat kebijakan khusus berkaitan dengan sapronak untuk usaha ternak

sapi potong, Industri pengolahan maupun konsumen lembaga kecuali berkaitan dengan

kesehatan masyarakat yang ditangani oleh bagian KESMAVET. Kebijakan dari

KESMAVET adalah ASUH dan telah terinternalisasi bagi seluruh konsumen lembaga.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan perbedaan karakteristik antara

usahaternak rakyat dan perusahaan (Tabel 12).

Page 20: ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong tertinggi

19

Tabel 12. Kriteria Peternakan Rakyat dan Peternak Perusahaan Sapi Potong

No. Kriteria Peternakanperusahaan 1)

PeternakanRakyat

1. Kapasitas kandang penggemukan(ekor)

15 000 - 30 000 30 – 600

2. Turn over per tahun (Rp.) 2 triliun -

3. Manajemen dan teknologi

- Waktu penggemukan (bulan)

- Pakan

- Kandang

- Penimbangan secara rutin

Intensif

3-4

Industri

Permanen

ya

Intensif

3 – 6

Buatan sendiri

Permanen

ya

4. Integratif farming system

- Feed meal

- Feedlot

- Meat processing

- Rumah potong hewan (RPH)

Tersedia

Tersedia

Tersedia

Tersedia

Tersedia

Tersedia

Belum

Tersedia

5. Sapi bakalan Impor Lokal

6. Umur Seragam Beragam

7. Berat Seragam Beragam

8. Jenis kelamin ternak Jantan Jantan danbetina

9. Lainnya

- Melakukan transaksi tukar tambahternak

- Melakukan kemitraan

Tidak

Tidak

Ya

Ya

10. Berperan sebagai pedagang ternak dandaging Ya Ya

1) Noor, Yudi Guntoro. 2004. Industri Penggemukan Sapi Potong (Feedlot) di Indonesia.Bahan Seminar di Bank Indonesia. Juli 27.

Page 21: ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong tertinggi

20

KESIMPULAN

usahaternak sapi potong rakyat (USPR) dapat membantu usaha pemerintah

dalam mencapai swasembada daging. Dari hasil studi USPR di Jawa Timur diperoleh

pembelajaran bahwa dalam meningkatkan kinerja ekonomi peternakan sapi potong

perlu diupayakan pendekatan industri mulai dari yang berskala kecil 1 500 sampai 3 000

ekor, berskala sedang lebih besar dari 3 000 sampai 6 000 ekor dan industri berskala

besar dengan jumlah lebih besar dari 6 000. Program swasembada USPR hendaknya

mengakomodir fakta di lapangan dan mensosialisasi ”success story” yang dicapai

peternak USPR yaitu 1) memberi modal kredit sapi bakalan terhadap 20 keluarga

dengan jumlah bakalan sebanyak 5 ekor per kepala keluarga yang kemudian dihimpun

dalam satu kelompok peternak dengan bunga pinjaman tidak lebih dari 1,5 persen/th.

2) SPR dapat berfungsi sebagai penyediaan jaminan (colateral) untuk pengajuan kredit

modal kerja dan (3) meninjau kembali UU berkaitan dengan perpajakan serta UU

otonomi daerah melalui penetapan retribusi ternak potong pada berbagai tingkatan

wilayah/jalur pemasaran karena tidak kondusif dalam pengembangan agribisnis

peternakan.

Page 22: ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong tertinggi

21

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, M. O. 1998. Prospek dan Kendala Agribisnis Peternakan dalam Era PasarBebas. Analisis Kebijakan: Pembangunan Agribisnis di Pedesaan dan AnalisisDampak Krisis. Monograph Series No.18 (Ed. A. Suryana et al., 1998). PusatPenelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Adnyana, M. O., K. Kariyasa, N. Ilham, S.K. Dermoredjo, dan I. Sadikin. 1999. Prospekdan Kendala Agribisnis Sapi Potong di Indonesia Memasuki Era GlobalisasiEkonomi. Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian (Ed. IW.Rusastra et al., 1999). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Basuno, E. 2004. Mengembalikan Status Wilayah Nusa Tenggara Sebagai GudangTernak. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol.2 No.4. Desember 2004. PusatPenelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Dinas Pertanian Kabupaten Tuban. 2004. Laporan Tahunan Sub Dinas Peternakan.Tuban.

Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur. 2005. Peternakan Dalam Data.

Direktorat Jenderal Peternakan, 2005. Statistik Peternakan 2005, Dirjen Peternakan,Departemen Pertanian RI.

Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan. 2005. Pola PengembanganPasca Panen Ayam Broiler. Departemen Pertanian.

Direktorat Budidaya Peternakan Ditjen Bina Produksi Peternakan. 2004. ProsedurTetap Pemasukan Sapi Potong Bakalan dan Pengawasannya.

Ditjen Peternakan. 2004. Buku Statistik Peternakan 2003. Direktorat Jenderal BinaProduksi Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta.

Ilham, N., B. Wiryono, I K. Kariyasa, M.N.A. Kirom, dan S.H. Suhartini. 2001. AnalisisPenawaran dan Permintaan Komoditas Peternakan Unggulan. Pusat Penelitiandan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Jamal, E. 1994. Analisis Pemasaran Sapi Potong di Provinsi Bali. Forum Penelitian AgroEkonomi. Vol.12 No.1, Juli 1994. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian,Bogor.

Riady. M. 2006. Implementasi Program Menuju Swasembada Daging 2010. SeminarNasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor. 5–6 September.

Rusastra, I W., Y. Yusdja, dan Sumaryanto. 1990. Analisis Kelembagaan PerusahaanInti Rakyat Perunggasan Nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol.8 No.1dan 2, Desember 1990. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Simatupang, P., N. Syafa’at dan P.U. Hadi. 2004. Arah dan Kebijakan PengembanganAgribisnis Peternakan di Indonesia. Analisis Kebijakan Pembangunan Pertanian:Respon Terhadap Isu Aktual (Ed. P. Simatupang et al., 2004). Pusat PenelitianSosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Sudrajad, S. 2003. Operasionalisasi Program Terobosan Menuju Kecukupan Daging2005. Jurnal Analisis kebijakan (AKP) Vol 1. No. 1. P 23 -45. Pusat PenelitianSosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Page 23: ICASEPS WORKING PAPER No. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_103_2010.pdfDi Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong tertinggi

22

Yusdja, Y. 1997. Profil dan Permasalahan Peternakan Broiler Rakyat Setelah DeregulasiTahun 1990. Kebijakan Pembangunan Pertanian: Analisis Kebijakan Antisipatifdan Responsif. Monograph Series No.17. Pusat Penelitian Sosial EkonomiPertanian, Bogor.

Yusdja, Y. dan Nyak Ilham. 2004. Tinjauan Kebijakan Pengembangan Agribisnis SapiPotong. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol.2, No.2, Juni 2004. Pusat PenelitianSosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Yusdja, Y., E. Basuno, I W. Rusastra, M. Ariani, Suharsono, dan P. Simatupang. 2004.Penelitian Dampak Sosial Ekonomi Krisis Avian Influenza Terhadap SistemProduksi Unggas di Indonesia dengan Fokus Utama Peternak Kecil Mandiri.Kerjasama Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor; Direktorat Kesehatan Hewan,Ditjen Bina Produksi Peternakan, Jakarta; dan FAO-RAPBangkok-TCP/RAS/3010.

Yusdja, Y., R. Sayuti., B. Winarso., I. Sadikin dan C. Muslim. 2004. PemantapanProgram dan Strategi Kebijakan Peningkatan Produksi Daging. Laporan Akhir.Puslitbang Sosek pertanian. Badan Litbang. Deptan.

Yusdja. Y., N. Ilham dan W.K. Sedjati. 2002. Outlook Peternakan 2002. Laporan HasilPenelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor.