ICASEPS WORKING PAPER No. 93 -...

34
ICASEPS WORKING PAPER No. 93 OPTIMALISASI KELEMBAGAAN LOKAL DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN PETANI DI WILAYAH MISKIN PFI3P KABUPATEN LOMBOK TIMUR: Suatu Tinjauan Dasar Pada Analisis Usahatani Komoditas Potensial Iwan Setiajie Anugrah Juni 2008 Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

Transcript of ICASEPS WORKING PAPER No. 93 -...

Page 1: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

ICASEPS WORKING PAPER No. 93

OPTIMALISASI KELEMBAGAAN LOKAL DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN PETANI DI WILAYAH MISKIN PFI3P KABUPATEN LOMBOK TIMUR: Suatu Tinjauan Dasar Pada Analisis Usahatani Komoditas Potensial

Iwan Setiajie Anugrah

Juni 2008

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian

Page 2: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

1

OPTIMALISASI KELEMBAGAAN LOKAL DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN PETANI DI WILAYAH MISKIN PFI3P

KABUPATEN LOMBOK TIMUR:Suatu Tinjauan Dasar Pada Analisis Usahatani Komoditas Potensial 1

Iwan Setiajie Anugrah 2

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan PertanianJalan Ahmad Yani No, 70, Bogor 16161

Abstrak

Berbagai program yang terkait dengan penanggulangan kemiskinan terus digulirkan oleh berbagai Departemen dan lembaga pemerintahan lainnya, sehingga banyak dana kemiskinan yang telah digulirkan pada berbagai lokasi dimana kemiskinan tersebut berada. Namun demikian kemiskinan tetap ada bahkan cenderung meningkat. Fenomena yang berkembang, banyaknya ketidakberhasilan program maupun proyek penanggulangan kemiskinan yang telah dijalankan, salahsatunya disebabkan karena program maupun proyek yang dilaksanakan kurang atau bahkan tidak samasekali memberdayakan kelembagaan-kelembagaan lokal yang telah ada sebelumnya di masyarakat, dimana kemiskinan tersebut terjadi. Sehingga dengan demikian tidak menjadikan sebagai suatu landasan yang kuat bagi masyarakat untuk berusaha mengatasi dan keluar dari situasi kemiskinan yang dialami dengan potensi yang dimiliki selama ini. Penelitian di beberapa desa di wilayah miskin Kabupaten Lombok Timur, menunjukkan bahwa potensi untuk pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan kelembagaan lokal, masih bisa ditingkatkan, terutama dengan dukungan potensi usahatani yang dilakukan oleh para petani pada beberapa komoditas potensial. Melalui pendekatan Badan Litbang Pertanian dalam Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Miskin melalui Inovasi (P4MI), diharapkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan para petani selama ini, dapat dijadikan suatu upaya pemberdayaan wilayah miskin, sekaligus dapat mengoptimalisasikan kelembagaan lokal yang sudah ada di tingkat petani maupun wilayah sebelumnya, sehingga secara bertahap dapat mendorong tercapainya peningkatan pendapatan petani di wilayah miskin melalui peningkatan usahatani dan pembangunan sarana prasarana pendukung yang dilakukan dengan Investasi Desa dan partisipatif.

Kata kunci : kemiskinan. Kelembagaan lokal, pemberdayaan

PENDAHULUAN

Berbagai pemikiran terkait dengan percepatan pembangunan pertanian telah

banyak dikemukakan. Dari aspek sosial banyak didengungkan pentingnya

memanfaatkan social capital dan memberdayakan social energy yang pada hakekatnya

tiada lain dari upaya pemberdayaan elemen-elemen sosial kemasyarakatan yang terdiri

atas kelembagaan sosial, norma, etika dan tata peraturan yang berkaitan dengan

kegiatan produktif sektor setempat (Suradisastra dan Lubis, 2000).

Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, terdapat tiga pilar yang menopang

kehidupan masyarakat termasuk didalamnya komunitas masyarakat miskin, yaitu

1 Makalah disampaikan pada”Workshop Sintesis Pengembangan Pertanian Lahan Marjinal”, Kamis-Jumat,14-15 Desember 2006 di Hotel Safari Garden, Cisarua-Bogor

2 Staf Peneliti pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor

Page 3: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

2

kelembagaan yang hidup dan telah diterima oleh komunitas lokal dan tradisional

(voluntary sector), kelembagaan pasar (private sector) sejalan dengan keterbukaan

ekonomi dan kelembagaan sistem politik atau sistem pengambilan keputusan di tingkat

publik (public sector).

Dengan demikian, maka keberhasilan pemberdayaan masyarakat miskin melalui

pengembangan ekonomi baik di tingkat daerah maupun di tingkat lokal akan bergantung

kepada tiga bentuk utama kelembagaan tersebut (Saptana, dkk, 2004). Keterkaitan

dengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986) dalam

Saptana (2004), mengklasifikasikan kelembagaan lokal ke dalam enam kategori, yaitu :

administrasi lokal, pemerintahan lokal, organisasi-organisasi yang beranggotakan

komunitas masyarakat, organisasi kerjasama usaha, pelayanan dan bisnis swasta.

Penguatan kelembagaan ekonomi di tingkat daerah dan di tingkat lokal, dengan

sasaran kelompok masyarakat miskin, harus mampu mendorong berkembangnya

sistem jaringan ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada sumberdaya lokal dalam

memasuki pasar, baik lokal, regional, maupun global. Diharapkan pemberdayaan

ekonomi rakyat pada kelompok masyarakat miskin secara bertahap dapat diintegrasikan

ke dalam pasar baik lokal, regional maupun global.

Kegagalan beberapa program maupun proyek dalam kaitannya dengan

penanggulangan dan pengentasan kemiskinan yang sudah dilaksanakan, tidak terlepas

dari relatif terbatasnya peran kelembagaan yang sudah ada di masyarakat sebelumnya

serta keefektifan sistem koordinasi kelembagaan penanggulangan kemiskinan, dimana

keterlibatan dan partisipasi kaum miskin di pedesaan dalam proses pembangunan serta

upaya perubahan sosial bagi komunitasnya juga relatif sangat terbatas, sekaligus masih

merupakan objek dari program maupun proyek yang digulirkan.

Bercermin dari berbagai pengalaman sebelumnya, Badan Litbang Pertanian

melalui pendekatan kegiatan Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Miskin melalui

Inovasi (P4MI) yang dilakukan, dapat dijadikan suatu upaya pemberdayaan wilayah

miskin, sekaligus dapat mengoptimalisasikan kelembagaan lokal yang sudah ada di

tingkat petani maupun di wilayah miskin sebelumnya, sehingga secara bertahap dapat

mendorong tercapainya peningkatan pendapatan petani di wilayah miskin, melalui

peningkatan usahatani berbasis komoditas potensial, serta pembangunan sarana

prasarana pendukung aksessibilitas yang dilakukan dalam kaitan dengan Investasi Desa

serta partisipatif.

Page 4: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

3

METODOLOGI

Kerangka Pemikiran

Sejauh ini pembangunan pertanian seolah-olah hanya merupakan fungsi dari

investasi, penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, orientasi pasar, skala ekonomi

dan sumberdaya. Akan tetapi, apabila kemiskinan, pengangguran, keruksakan

lingkungan dan ketidak adilan meningkat sejalan dengan pertumbuhan sebagai akibat

dari pembangunan, maka barulah disadari bahwa pendekatan tersebut adalah keliru.

Pembangunan pertanian perlu dirancang, sekaligus untuk meningkatkan produksi

barang dan jasa dan agar mencapai tujuan lainnya, seperti mengurangi kemiskinan

relatif dan menghilangkan kemiskinan absolut.

Dalam konteks analisis kebijakan, diperlukan suatu kerangka analitik yang bukan

hanya memperhatikan sistem komoditas tetapi juga memandang ekonomi berdasarkan

sudut pandang kelembagaan, yaitu ekonomi organisasi pelaku ekonomi. Hal tersebut

menuntut digunakannya suatu kerangka analisis kebijaksanaan yang komprehensif,

dibanding dengan yang selama ini digunakan oleh para ekonom pertanian. Kerangka

analitik yang diperlukan, adalah bahwa formulasi kebijakan pembangunan pertanian

perlu melihat sistem ekonomi sebagai (1) sistem komoditas, (2) sistem

organisasi/kelembagaan dan (3) sistem manusia. Istilah sistem disini, menunjuk pada

adanya interdependensi dalam dan antara sistem tersebut (Pakpahan, 1991 dalam

Badrun dkk 1994).

Konsep kelembagaan menurut Schmid (1972) dalam Pakpahan (1990):

“Institutions are set of ordered relationships among people which define their right,

exposure to the right of others, privileges and responsibilities”. Karena itu, kelembagaan

adalah sistem organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya. Kelembagaan dipandang

penting, mengingat kelembagaan mendasari keputusan untuk produksi, investasi dan

kegiatan ekonomi lainnya yang dibuat oleh individu maupun organisasi, dalam konteks

sosial atau saling hubungan dengan fihak lain. Perubahan dalam kelembagaan akan

merubah gugus oportunis yang dihadapi oleh para pelaku ekonomi, sehingga keragaan

ekonomi, seperti output, kesempatan kerja, kemiskinan, keruksakan lingkungan,

distribusi pendapatan dan lainya akan berubah. Perubahan dalam teknologi, preferensi,

pendapatan dan lain-lain, menuntut adanya perubahan dalam kelembagaan.

Upaya introduksi kelembagaan tidak harus merubah tatanan masyarakat yang

sudah ada, tetapi justru seharusnya berakar dari tatanan masyarakat yang sudah ada,

Page 5: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

4

bahkan justru seharusnya berakar dari tatanan masyarakat tersebut (Hendayana, 2005).

Menurut Kasryno (1984) dalam Hendayana (2005), kelembagaan adalah suatu

perangkat aturan yang mengatur atau mengikat dan dipatuhi oleh masyarakat.

Kelembagaan diperlukan untuk mengorganisir perilaku anggota masyarakat dalam

mencapai tujuan tertentu (Gunawan, 1989 dalam Hendayana 2005).

Keterkaitan dengan pokok bahasan dan materi dalam tulisan ini, menunjukkan

bahwa peranan kelembagaan dalam kaitan dengan upaya pemberdayaan potensi

wilayah dalam lingkungan kemiskinan sangat memegang peran strategis, sehingga

menuntut untuk lebih memberikan peran pada kelembagaan yang ada, terutama di

daerah-daerah dimana kemiskinan berada. Manfaat yang akan diperoleh dengan

meningkatkan kapasitas institusi lokal ini, adalah (1) tingkat kemampuan institusi lokal

sebagai penanggungjawab terdepan dalam upaya mengeliminir kemiskinan di daerah

menjadi meningkat, (2) wawasan dan kepekaannnya terhadap kemiskinan meningkat,

sehingga termotivasi untuk melakukan program aksi, (3) program yang akan dilakukan

lebih terarah dan terukur. Sedangkan dampak langsung yang diperoleh, adalah (1)

produktivitas usahatani, tenaga kerja penduduk miskin meningkat, (2) optimalisasi

pemanfaatan sumberdaya pertanian meningkat, (3) kualitas dan nilai tambah produk

yang dihasilkan meningkat dan (4) pada akhirnya diharapkan pendapatan total petani

miskin meningkat, sehingga bisa keluar dari perangkap kemiskinan (Sudana, 2005).

Dalam konteks makro, yang dimaksud dengan kelembagaan lokal dalam

bahasan ini, tidak hanya terbatas pada kelembagaan yang hanya terdapat disekitar

komunitas petani, tetapi lebih dari itu merupakan satu rangkaian sistem yang terkait,

dalam hal ini dengan kegiatan usahatani komoditas potensial yang diusahakan

masyarakat miskin di lima desa di wilayah kemiskinan Kabupaten Temanggung tahun

2004. Dengan demikian, kelembagaan lokal memberikan pengertian bahwa

kelembagaan formal, seperti jajaran Pemerintahan Desa, Kecamatan, Dinas Pertanian,

BPTP maupun kelembagaan informal seperti swasta dan LSM di daerah, merupakan

bagian di dalamnya, termasuk beberapa kelembagaan introduksi di lokasi proyek P4MI

yang dibentuk dalam kaitan kegiatan serta struktur organisasi keproyekan, seperti

Komisi Investasi Desa (KID), Forum Antar Desa (FAD), Komisi Koordinasi Kabupaten

(KKK) serta lainnya yang terkait dengan peningkatan kegiatan usahatani yang berbasis

pada komoditas potensial.

Page 6: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

5

Data dan Sumber Data

Penulisan makalah ini berdasarkan data dan informasi dari laporan hasil

kegiatan baseline survey yang dilakukan oleh Tim Pusat Penelitian Sosial Ekonomi

Pertanian, di beberapa desa di Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara

Barat (Desa Korleko, Suangi, Selebung Ketangga, Sambelia serta Sembalun Lawang)

tahun 2004. Pokok bahasan diarahkan pada kondisi eksisting kelembagaan lokal,

berdasarkan komoditas pertanian potensial (dominan) yang akan dianalisis sebelumnya.

Komoditas potensial (dominan) dimaksud, meliputi : Padi, Jagung, Cabai, Tembakau

dan Bawang Putih.

Penyampaian materi dilakukan secara deskriptif serta melalui analisis tabulasi

sederhana, untuk memudahkan pembahasan materi yang disampaikan. Selain

menyampaikan data primer hasil kegiatan baseline survey serta evaluasi, materi dalam

tulisan ini juga dilengkapi dengan bahan dan informasi lain yang diperoleh dari berbagai

sumber yang relevan dengan topik yang akan menjadi pokok bahasan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Usahatani

Sesuai dengan karakteristik agro-ekosistem wilayahnya, areal usahatani di

kabupaten Lombok Timur didominasi oleh lahan sawah dan lahan kering. Gambaran di

desa contoh menunjukkan bahwa lahan sawah dapat ditanami padi 1-2 kali musim

tanam dalam setahun, tergantung ketersediaan air yang berasal dari irigasi sederhana

atau irigasi pedesaan serta tadah hujan. Disamping padi, jenis tanaman lainnya yang

diusahakan petani di lahan sawah adalah palawija, hortikultura, dan tembakau (Tabel 1).

Sementara itu untuk lahan kering lebih banyak diusahakan palawija seperti jagung,

kacang-kacangan, dan umbi-umbian, serta hortikultura dengan pola umum tumpangsari

atau tumpanggilir secara tidak beraturan.

Tabel 1. Keragaan pola tanam dominan lahan sawah di desa contoh, kabupaten Lombok Timur, NTB, tahun 2004 (%)

Desa ContohPola Tanam

Dominan Sambelia Suangi KorlekoSelebung Ketangga

Sembalun Lawang

Rataan

Padi-Padi-Bera 40,00 10,00 6,67 - - 11,33 Padi-Bera-Bera 36,67 30,00 - 30,00 53,33 30,00 Padi-Jagung-Jagung 23,33 - 43,33 - - 13,33 Padi-Jagung-Bera - 43,33 33,33 - - 15,33 Padi-Tembakau - - - 70,00 - 14,00 Padi-Cabai - 16,67 16,67 - 16,67 10,00 Padi-Bawang Putih-Jagung - - - - 10,00 2,00 Padi-Bawang Putih-Bera - - - - 20,00 4,00

Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber : Data primer (diolah)

Page 7: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

6

Secara umum jadwal musim tanam di desa contoh, dimulai pada bulan

Nopember/Desember sampai dengan bulan Februari/Maret untuk musim hujan (MH),

April/Mei hingga Juni/Juli untuk musim kemarau pertama (MK I), dan Agustus sampai

Oktober untuk musim kemarau kedua (MK II). Optimalisasi penanaman padi hanya bisa

dilakukan 2 kali dalam setahun pada MH dan MK I, terutama di desa Sambelia, serta

sebagian kecil di desa Suangi dan Korleko. Untuk lahan yang hanya dapat ditanami padi

1 kali dalam setahun (padi MH), jenis tanaman yang umum diusahakan pada MK I

adalah jagung, sebagian lagi cabai di desa Suangi, Korleko dan Sembalun Lawang,

serta tembakau di desa Selebung Ketangga, dan bawang putih di desa Sembalun

Lawang. Sementara itu pada MK II, sebagian besar lahan tidak ditanami (bera) dan

sisanya ditanami jagung, seperti dijumpai di desa Korleko dan Sembalun Lawang.

Usahatani Tanaman Musiman

Mengacu pada pola tanam yang telah diuraikan sebelumnya, usahatani tanaman

musiman di desa contoh, dapat dikelompokkan atas tiga kategori kelompok komoditas

utama, yaitu : (1) tanaman pangan (padi dan jagung); (2) hortikultura (cabai dan bawang

putih); dan (3) tanaman serat/perkebunan (tembakau). Secara umum masing-masing

jenis tanaman tersebut memiliki spesifikasi dan karakteristik tersendiri, baik dari segi

teknis budidaya maupun ketatalaksanaan pengelolaannya (agribisnis). Uraian berikut,

membahas garis besar keragaan masing-masing tanaman berdasarkan pengelompokan

komoditas terkait, sementara pembahasan analisis usahatani akan diuraikan pada

bagian lain.

(1) Tanaman Pangan

Padi dan jagung merupakan dua jenis tanaman pangan utama yang memiliki arti

penting, yaitu sebagai bahan makanan pokok utama dan penyangga bagi masyarakat

desa contoh. Oleh karena itu kedua jenis tanaman ini selalu dibudidayakan petani pada

musim tanam tertentu setiap tahun.

Umumnya padi yang diusahakan petani di desa contoh adalah varietas unggul,

terutama IR-64, kecuali di desa Sembalun Lawang yang tetap konsisten mengusahakan

padi lokal (padi merah). Boleh dikatakan, bahwa sebagian besar petani menanam

varietas padi yang diusahakan secara turun temurun dalam batas periode tertentu

(maksimum 3-4 kali musim tanam). Oleh karena itu pembelian bibit baru (berlabel) relatif

Page 8: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

7

hanya sesekali dilakukan. Teknis budidaya pemeliharaan yang sifatnya mendasar sudah

banyak dilakukan, kendati untuk beberapa hal masih ada kendala teknis dari segi

kebutuhan dan ketepatan pelaksanaan. Sementara itu tujuan pengusahaan lebih

bersifat subsisten, atau untuk pemenuhan kebutuhan keluarga.

Sejalan dengan itu, keragaan usahatani tanaman jagung, hampir tidak jauh

berbeda dengan tanaman padi. Dengan kata lain, beberapa petani sudah menggunakan

bibit unggul seperti halnya usahatani padi dan sebagian lagi memakai bibit lokal.

Demikian juga dengan sistem pemeliharaan mendasar sudah dilaksanakan. Orientasi

produksi sebagian ditujukan untuk pemasaran dan sebagian lagi dikonsumsi sendiri buat

penyangga makanan pokok keluarga, disamping untuk benih pada musim tanam

berikutnya.

(2) Hortikultura

Umumnya cabai (terutama cabai besar) dan bawang putih, diusahakan petani

pada musim kemarau (MK) setelah tanaman padi musim hujan (MH). Khusus untuk

cabai, jenis tanaman ini memiliki rentang waktu budidaya yang relatif lebih panjang

(mulai dari MK I hingga ke MK II) karena dapat dipanen berulangkali secara periodik.

Kendati usahatani cabai dapat dijumpai pada setiap desa contoh, namun pengusahaan

yang dominan terdapat di desa Suangi, Korleko, dan Sembalun Lawang. Sementara itu

bawang putih hanya terdapat di Sembalun Lawang dan sekaligus merupakan komoditas

unggulan desa ini.

Dibandingkan usahatani padi dan jagung, pelaksanaan teknis usahatani cabai

dan bawang putih boleh dikatakan lebih intensif, terutama dari segi penggunaan

masukan baik pupuk dan pestisida maupun tenaga kerja. Mengingat usahatani ini lebih

berorientasi pasar, sekalipun kendala yang sering dihadapi petani adalah tidak

menentunya (fluktuatif) harga produksi.

(3) Tanaman Serat/Perkebunan

Secara teknis, tembakau termasuk kedalam jenis tanaman serat atau tanaman

perkebunan semusim. Jenis tanaman ini sudah dikenal umum di NTB, mengingat

provinsi ini merupakan salah satu wilayah produsen di Indonesia. Seperti halnya cabai,

tembakau juga memiliki rentang waktu budidaya yang relatif lebih panjang, yaitu mulai

dari MK I hingga ke MK II dengan sistem panen periodik dan bertahap. Disamping itu

Page 9: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

8

kendati jenis tanaman ini dapat dijumpai di beberapa desa contoh, namun paling

dominan terdapat di desa Selebung Ketangga.

Kesturi atau sejenis tembakau lokal, merupakan varietas tembakau yang umum

diusahakan petani di desa contoh. Mengingat usahatani tembakau sudah dilaksanakan

secara turun temurun. Penerapan teknis budidaya spesifik untuk jenis tanaman ini relatif

sudah dilakukan para petani secara baik. Seperti lazim terjadi, kendala yang masih

sering dialami adalah ketidakpastian harga produksi. Sebagaimana diketahui, tembakau

merupakan komoditas yang murni berorientasi pasar dengan bentuk produksi daun

segar (basah) dan olahan (krosok dan rajangan).

Usahatani Tanaman Tahunan

Usahatani tanaman tahunan, termasuk didalamnya hortikultura (buah-buahan) dan

tanaman perkebunan, relatif hanya dibudidayakan secara sambilan oleh petani di desa

contoh. Hal ini disebabkan karena secara agro-eksistem lahan usahatani di desa-desa

contoh, didominasi oleh lahan sawah dan lahan kering yang ditanami tanaman pangan

dan tanaman musiman lainnya. Dengan kata lain, keberadaan usahatani tanaman

tahunan hanya diperuntukkan sebagai sumber tambahan pendapatan rumah tangga.

Beberapa jenis tanaman tahunan yang dominan diusahakan petani di desa contoh,

antara lain kelapa, mangga, pisang, kopi, kakao, dan mete (Tabel 2). Pengusahaan

jenis-jenis tanaman ini menyebar, mulai dari pekarangan, pinggiran atau disela-sela

tanaman musiman di lahan kering, sampai lahan khusus untuk tanaman tahunan. Pola

penanaman umumnya bersifat campuran dengan pemeliharaan sederhana. Dapat

dikatakan bahwa sentuhan teknologi budidaya seperti introduksi bibit unggul,

pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, panen dan pasca panen masih rendah.

Upaya pemeliharaan yang lazim dilaksanakan adalah penyiangan secara berkala.

Page 10: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

9

Tabel 2. Keragaan usahatani tanaman tahunan dominan di desa contoh, kabupaten

Lombok Timur, NTB, tahun 2004

Desa Contoh

UraianSambelia Suangi Korleko

Selebung Ketangga

Sembalun Lawang

Rataan

1. Kelapa : - Populasi (pohon) 118 153 234 18 15 108 - Produksi (butir) 1.167 1.750 3.380 250 200 1.349 - Nilai Produksi (Rp. 000) 920 1.470 2.880 250 200 1.144

2. Kopi : - Populasi (pohon) 176 55 132 24 190 115 - Produksi (kg) - - - - 387 387 - Nilai Produksi (Rp. 000) - - - - 707 707

3. Kakao : - Populasi (pohon) 110 34 82 15 120 72 - Produksi (kg) - - - - - - - Nilai Produksi (Rp. 000) - - - - - -

4. Mete : - Populasi (pohon) 48 15 36 16 52 33 - Produksi (kg) - - - - - - - Nilai Produksi (Rp. 000) - - - - - -

5. Pisang : - Populasi (rumpun) 110 - 80 - 60 83 - Produksi (tandan) 75 - 65 - 50 63 - Nilai Produksi (Rp. 000) 675 - 580 - 500 585

6. Mangga : - Populasi (pohon) 8 - - 12 - 10 - Produksi (buah) 280 - - 400 - 340 - Nilai Produksi (Rp. 000) 200 - - 250 - 2257. Nangka : - Populasi (pohon) - - 18 - 45 32 - Produksi (buah) - - 200 - 500 350 - Nilai Produksi (Rp. 000) - - 300 - 650 475

Sumber : Data primer (diolah)

Kelapa disamping merupakan jenis tanaman yang paling dominan ditemui di semua desa contoh, juga sekaligus mendatangkan pendapatan yang cukup berarti bagi keluarga petani (rata-rata sekitar Rp. 1.144.000 per tahun). Jenis tanaman lain yang cukup berperan dalam menopang ekonomi rumah tangga tani, adalah kopi di desa Sembalun Lawang (Rp. 707.000 per tahun) dan pisang di desa Sambelia, Korleko, dan Sembalun Lawang (rata-rata sekitar Rp. 585.000 per tahun). Sementara itu jenis tanaman lainnya seperti kakao dan mete dipandang cukup potensial untuk dikembangkan, namun pada saat survai ini dilakukan, tanaman-tanaman tersebut belum ada yang dipanen.

Page 11: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

10

Usaha Peternakan

Sebagaimana halnya kondisi pedesaan secara umum, keragaan usaha peternakan di desa contoh dapat dikategorikan sebagai kegiatan sampingan penopang ekonomi rumah tangga. Jenis ternak yang diusahakan, terdiri dari ruminansia besar (sapi dan kerbau), ruminansia kecil (kambing/domba), dan unggas (ayam buras dan itik).

Data pada Tabel 3. menunjukkan bahwa distribusi pemilikan ternak yang relatif lengkap dijumpai di desa Sambelia. Sapi dapat dijumpai di semua desa contoh, mengingat jenis ternak ini memiliki nilai fungsi ganda sebagai tenaga kerja dan tabungan ekonomi rumah tangga. Persentase pemilikan tertinggi terdapat di desa Suangi dan Sembalun Lawang. Desa Suangi merupakan desa berbasis lahan kering yang petaninya lebih banyak mengusahakan ternak, sementara desa Sembalun Lawang memiliki areal penggembalaan yang relatif luas dekat kawasan hutan. Jenis ternak lain yang pemilikannya ditemui di semua desa contoh adalah ayam buras, karena jenis ternak ini boleh dikatakan dipelihara secara sambilan.

Tabel 3. Persentase pemilikan ternak pada rumah tangga contoh di kabupaten Lombok Timur, NTB, tahun 2004

Desa Contoh

Jenis TernakSambelia Suangi Korleko

Selebung Ketangga

Sembalun Lawang

Sapi 20,00 66,67 26,67 13,33 60,00Kerbau 6,67 - - - -Kambing/Domba 16,67 - 10,00 33,33 3,33Ayam buras 36,67 56,67 6,67 46,67 23,33Itik 6,67 - - - -

Sumber : Data primer (diolah)

Selanjutnya orientasi pemeliharaan ternak di desa contoh, ditujukan sesuai dengan jenis

ternak yang dipelihara/diusahakan (Tabel 4). Secara agregat usaha peternakan sapi dan kerbau sebagian besar (86,86 dan 96,67%) difungsikan sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat dijual untuk memenuhi keperluan ekonomi rumah tangga atau modal usahatani. Hal yang sama

juga terjadi pada ternak kambing/domba, ayam buras, dan itik dengan persentase masing-masing 97,70 persen, 82,93 persen, dan 96,67 persen untuk tujuan penjualan. Orientasi pemeliharaan untuk konsumsi dan lainnya seperti sumbangan acara adat dan keagamaan relatif sedikit

dilakukan, yaitu secara agregat masing-masing hanya 6,10 dan 6,74 persen.

Umumnya sistem pemeliharaan dilakukan secara tradisional (diatas 90,00%), sementara sistem pemeliharaan secara intensif atau semi-intensif relatif sedikit ditemui. Demikian juga

halnya dengan perkandangan, dimana kualifikasinya masih tergolong sederhana. Bahkan di desa Sembalun ternak sapinya hanya dibiarkan atau dilepas di areal penggembalaan dekat kawasan

hutan.

Penerapan sanitasi, vaksinasi, dan inseminasi buatan relatif masih rendah. Kecuali untuk penanggulangan penyakit hewan, beberapa peternak melakukan upaya pencegahan dan

Page 12: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

11

pengobatan ternak melalui jasa petugas kehewanan setempat. Terakhir, cara penjualan ternak di

desa contoh sebagian besar dilakukan di rumah lewat transaksi jual beli dengan pedagang ternak.

Penjualan ke pasar dan rumah potong (RPH/RPA) terbatas dilakukan, yaitu hanya sekitar 10,70 dan 3,33 persen saja.Tabel 4. Karakteristik sistem pemeliharaan dan pemasaran ternak di desa contoh, kabupaten Lombok Timur, NTB, tahun 2004

Jenis Ternak

Uraian

Sapi KerbauKambing/Domba

Ayam Buras Itik

1. Tujuan Pemeliharaan (%) : - Dijual 86,86 96,67 97,70 82,93 96,67 - Dikonsumsi - - 3,57 8,62 - - Lainnya 13,14 3,33 3,33 10,57 3,33 2. Sistem Pemeliharaan (%) : - Tradisional 90,86 100,00 96,66 96,04 96,67 - Semi-intensif 10,54 - 5,01 6,67 3,33 - Intensif 3,57 - - - -3. Status Kandang (%) : - Milik 74,70 96,67 97,78 99,33 100,00 - Sewa - - - 3,33 - - Kontrak - - - - - - Numpang 6,25 - - - - - Lainnya 40,08 3,33 6,67 - -4. Kualifikasi Kandang (%) : - Permanen - - 4,89 4,30 - - Semi-permanen 11,06 3,33 10,02 6,46 - - Lainnya 88,94 96,67 90,06 93,54 100,00 5. Jenis Pakan (%) : - Hijauan Makanan Ternak (HMT) 98,00 100,00 98,92 56,00 - - Konsentrat - - 5,42 - - Kombinasi HMT dan konsentrat 5,00 - 3,23 9,38 - - Lainnya 83,63 100,00 6. Penerapan Sanitasi (%) : - Ya 13,90 3,33 9,94 5,48 3,33 - Tidak 86,10 96,67 90,06 95,89 96,67 7. Vaksinasi (%) : - Ya 10,59 3,33 5,53 6,45 - - Tidak 89,41 96,67 94,47 98,71 100,00 8. Sistem Perkawinan (%) : - Alami 96,53 3,33 100,00 100,00 100,00 - Insminasi Buatan (IB) 5,24 96,67 - - - - Kombinasi 3,45 - - - -9. Tempat Pemasaran (%) : - Rumah 93,41 96,67 93,55 81,27 96,67 - Pasar 4,96 3,33 19,35 22,52 3,33 - Rumah Potong (RPH/RPA) 3,33 - - - - - Lainnya 4,91 - - 3,57 -

Sumber : Data primer (diolah)

Page 13: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

12

Penggunaan Masukan dan Produktivitas Pertanian

Penggunaan masukan dan produktivitas merupakan salah satu tolak ukur untuk

melihat keragaan suatu usahatani. Kondisi di desa contoh menunjukkan bahwa secara

umum penggunaan masukan sarana produksi khususnya bibit, pupuk, dan pestisida

masih belum sesuai dengan standar ideal paket teknologi. Uraian berikut ini membahas

keragaan yang berkaitan dengan masukan sarana produksi, berikut tenaga kerja dan

produktivitas usahatani dominan di desa contoh.

Sarana Produksi

Secara umum penggunaan sarana produksi (khususnya pupuk dan pestisida)

pada usahatani yang berorientasi pasar seperti cabai, tembakau, dan bawang putih

relatif lebih lengkap, dibandingkan usahatani yang sebagian bersifat subsisten (padi dan

jagung). Lebih jelasnya keragaan penggunaan sarana produksi tersebut dapat dilihat

pada Tabel 5 (usahatani padi dan jagung) dan Table 6. (usahatani cabai, tembakau, dan

bawang putih).

Untuk usahatani padi dan jagung, penggunaan masukan sarana produksi

usahatani padi lebih banyak dibandingkan penggunaan masukan sarana produksi

usahatani jagung, baik dilihat dari segi jenis maupun kuantitasnya. Khusus untuk bibit,

ada kesan bahwa kuantitas penggunaannya cenderung melebihi rekomendasi paket

teknologi. Namun kebanyakan petani memiliki alasan untuk itu, yaitu dalam rangka

antisipasi penanggulangan resiko terhadap kemungkinan kurang baik atau rendahnya

daya tumbuh bibit.

Rata-rata usahatani padi dan jagung di desa contoh dipupuk dengan pupuk

anorganik (pupuk kimia), disamping beberapa diantaranya dengan pupuk organik

(pupuk kandang) serta pupuk alternatif sebagai pupuk tambahan. Kecuali di desa

Sembalun Lawang, kedua jenis usahatani tanaman ini tidak dipupuk sama sekali,

karena di desa setempat boleh dikatakan tanaman padi (padi lokal) dan jagung (yang

umumnya ditanam pada MK II) lazim tidak pernah dipupuk.

Secara umum penggunaan pupuk Nitrogen (Urea dan ZA) pada usahatani padi

di empat desa contoh relatif sudah memenuhi persyaratan teknis, yaitu berkisar antara

225-267 kilogam per hektar. Demikian juga halnya dengan pupuk Phosphat (TSP dan

SP-36) dan pupuk Kalium (KCl), kendati aplikasi dan takarannya belum merata dan tidak

seimbang. Pupuk alternatif seperti pupuk pelengkap cair (PPC) dan pupuk mikro yang

Page 14: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

13

lebih difungsikan sebagai pupuk tambahan juga sudah dimanfaatkan sebagian petani,

khususnya di desa Sambelia, Suangi, dan Selebung Ketangga. Hal yang sama untuk

pupuk organik (pupuk kandang) di desa Suangi, Korleko, dan Selebung Ketangga.

Sementara itu penggunaan pestisida baik padat maupun cair seperti insektisida,

herbisida dan rodentisida, rata-rata digunakan petani dengan takaran yang relatif hampir

berimbang.

Untuk usahatani jagung, pupuk yang digunakan di tiga desa contoh hanya pupuk

anorganik dan organik. Penggunaan pupuk anorganik terlengkap dijumpai di desa

Sambelia. Di desa contoh lainnya yaitu Suangi dan Korleko, pupuk anorganik yang

digunakan hanya terbatas pada pupuk Nitrogen dan Phosphat, namun diberi tambahan

pupuk organik (pupuk kandang) berkisar antara 1-2,7 ton per hektar. Aplikasi takaran

pestisida di desa Sambelia dan Suangi relatif tidak begitu berbeda, namun di desa

Korleko sedikit lebih tinggi karena tingkat serangan OPT (organisme pengganggu

tanaman) juga relatif tinggi.

Tabel 5. Keragaan penggunaan masukan sarana produksi usahatani padi dan jagung di desa

contoh, kabupaten Lombok Timur, NTB, tahun 2004 (ha)

Desa Contoh

UraianSambelia Suangi Korleko

Selebung Ketangga

Sembalun Lawang

1. Padi : - Bibit (kg) 38,95 39,27 43,83 39,25 48,61 - Urea/ZA (kg) 267,22 224,79 263,05 236,79 - - TSP/SP-36 (kg) 144,00 81,00 129,38 145,45 - - KCl (kg) 76,92 - 80,59 88,14 - - NPK (kg) - - - - - - Pupuk alternatif (kg/liter) 5,33 6,76 - 2,86 - - Pupuk kandang (kg) - 3.781,34 669,48 3.571,43 - - Pestisida padat (kg) - 1,28 1,65 1,93 - - Pestisida cair (liter) 2,93 1,69 1,70 1,70 -

2. Jagung : - Bibit (kg) 29,16 33,30 30,34 - 32,33 - Urea/ZA (kg) 122,02 133,33 75,00 - - - TSP/SP-36 (kg) 100,00 33,33 37,35 - - - KCl (kg) 62,50 - - - - - NPK (kg) 62,50 - - - - - Pupuk alternatif (kg/liter) - - - - - - Pupuk kandang (kg) - 1.000,00 2.708,00 - - - Pestisida padat (kg) - - 1,67 - - - Pestisida cair (liter) 1,77 1,67 2,90 - -

Sumber : Data primer (diolah)

Page 15: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

14

Selanjutnya untuk usahatani cabai, rataan masukan sarana produksi bibit yang digunakan di tiga desa contoh hampir seimbang, yaitu antara 14.000-15.000 batang bibit per hektar. Sementara itu penggunaan masukan sarana produksi pupuk, terlengkap dijumpai di desa Sembalun Lawang. Sekaligus di desa contoh ini secara agregat takaran penggunaan pupuk baik anorganik (kecuali Nitrogen), organik, maupun pupuk alternatif lebih tinggi dibandingkan dua desa contoh lainnya (Suangi dan Korleko). Perbedaan ini dimungkinkan terjadi karena disamping faktor teknis seperti ketidaksamaan jenis dan tingkat kesuburan lahan, juga dipengaruhi oleh variasi faktor kebiasaan dan orientasi petani pada masing-masing desa contoh. Sementara itu penggunaan pestisida seperti insektisida, fungisida, dan herbisida hampir tidak jauh berbeda diantara ketiga desa contoh. Namun jika dibandingkan dengan usahatani padi dan jagung, takaran penggunaan pesitisida pada usahatani cabai jauh lebih tinggi. Kondisi ini disebabkan karena OPT pada tanaman cabai juga lebih banyak dan beragam daripada OPT tanaman padi dan jagung.

Tabel .6. Keragaan penggunaan masukan sarana produksi usahatani cabai, tembakau, dan bawang putih di desa contoh, kabupaten Lombok Timur, NTB, tahun 2004 (ha)

Desa Contoh

Uraian

Sambelia Suangi KorlekoSelebung Ketangga

Sembalun Lawang

1. Cabai : - Bibit (batang) - 14.153,43 15.028,82 - 15.257,13 - Urea/ZA (kg) - 195,08 220,56 - 125,94 - TSP/SP-36 (kg) - 132,15 125,00 - 242,99 - KCl (kg) - - - - 125,00 - NPK (kg) - - 40,00 - 127,50 - Pupuk alternatif (kg/liter) - 2,86 12,00 - 16,00 - Pupuk kandang (kg) - 2.625,00 250,00 - 3.000,00 - Pestisida padat (kg) - 3,99 2,50 - 3,47 - Pestisida cair (liter) - - 2,50 - 5,97

2. Tembakau : - Bibit (batang) - - - 15.108,45 - - Urea (kg) - - - 266,41 - - TSP/SP-36 (kg) - - - 141,50 - - KCl (kg) - - - 81,25 - - NPK (kg) - - - 93,48 - - Pupuk alternatif (kg/liter) - - - 210,40 - - Pupuk kandang (kg) - - - 3.125,00 - - Pestisida padat (kg) - - - 2,81 - - Pestisida cair (liter) - - - 4,01 -

3. Bawang Putih : - Bibit (kg) - - - - 1.885,85 - Urea (kg) - - - - 38,81 - TSP (kg) - - - - 66,48 - KCl (kg) - - - - 30,95 - NPK (kg) - - - - 20,50 - Pupuk alternatif (kg/liter) - - - - 18,34 - Pupuk kandang (kg) - - - - 1.083,33 - Pestisida padat (kg) - - - - 3,13 - Pestisida cair (liter) - - - - 3,86

Sumber : Data primer (diolah)

Page 16: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

15

Untuk usahatani tembakau dan bawang putih yang masing-masing hanya

dijumpai di desa Selebung Ketangga dan Sembalun Lawang, masukan sarana produksi

bibit yang digunakan adalah sekitar 15.000 batang bibit per hektar untuk tanaman

tembakau dan hampir mendekati 1.900 kilogram per hektar buat tanaman bawang putih.

Sementara itu untuk masukan sarana produksi pupuk, secara agregat menunjukkan

bahwa penggunaan pupuk baik anorganik, organik, maupun pupuk alternatif pada kedua

usahatani ini cukup lengkap. Namun dalam hal takaran/tingkat penggunaannya,

usahatani tembakau lebih tinggi dari pada usahatani bawang putih. Untuk pestisida,

dilihat dari jumlah penggunaannya relatif hampir sama, akan tetapi pemakaian pesitisida

cair pada usahatani tembakau sedikit diatas usahatani bawang putih.

Tenaga Kerja

Terkait salah satunya dengan penggunaan masukan sarana produksi bibit,

pupuk, dan pestisida, alokasi tenaga kerja baik dari dalam keluarga (TKDK) maupun luar

keluarga (TKLK) pada usahatani cabai, tembakau, dan bawang putih relatif lebih tinggi

dibandingkan usahatani padi dan jagung (Tabel 7). Rincian total pengalokasian tenaga

kerja untuk masing-masing usahatani dominan di desa contoh adalah 131-156 hari

orang kerja (HOK) per hektar untuk usahatani padi, 36-121 HOK per hektar untuk

usahatani jagung, 198-218 HOK per hektar untuk usahatani cabai, 206 HOK per hektar

dan 222 HOK per hektar untuk usahatani tembakau dan bawang putih. Secara agregat,

sekitar 60 persen dari total pengalokasian tenaga kerja tersebut berasal dari tenaga luar

keluarga (tenaga upahan).

Hampir pada semua usahatani ditemui (terutama padi, cabai dan tembakau)

bahwa penggunaan tenaga kerja terbesar adalah untuk pekerjaan panen dan pasca

panen. Besarnya alokasi tenaga kerja untuk panen dan pasca panen pada usahatani

padi disebabkan karena sebagian pekerjaannya dilakukan secara sistem bawon, dimana

biasanya unit kegiatan ini cenderung dikerjakan oleh banyak orang. Sementara itu untuk

cabai dan tembakau lebih disebabkan karena proses kegiatan panennya berlangsung

secara periodik dan berkala. Khusus untuk tembakau, selain karena proses kegiatan

panen juga dipengaruhi pekerjaan pasca panen berupa kegiatan perajangan dan

penanganan tembakau krosok (oven).

Untuk pekerjaan lainnya seperti pengolahan tanah, terlihat adanya keragaman

pengalokasian tenaga kerja antar usahatani. Usahatani padi memerlukan total

pengalokasian sekitar 15-20 HOK per hektar, yaitu untuk tenaga kerja traktor dan

Page 17: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

16

tenaga cangkul penataan pematang. Keragaman yang menyolok ditemui pada

usahatani jagung di desa Suangi dan Sembalun Lawang. Di desa Suangi pengolahan

tanahnya dilakukan secara sederhana, sementara di desa Sembalun Lawang secara

TOT (tanpa olah tanah). Akan tetapi pengolahan tanah untuk usahatani cabai,

tembakau, dan bawang putih memerlukan alokasi tenaga kerja yang cukup besar (diatas

30 HOK/ha), karena pada usahatani ini disamping sebagian dikerjakan dengan tenaga

traktor juga memerlukan tenaga cangkul untuk pekerjaan penataan areal tanam seperti

pembuatan bedengan, larikan, dan sebagainya.

Keragaman pengalokasian tenaga kerja untuk penanaman antar usahatani lebih

disebabkan karena adanya perbedaan perlakuan tanam pada masing-masing usahatani

yang bersangkutan. Padi, cabai, dan tembakau ditanam secara transplanting

(pemindahan bibit dari tempat pembenihan ke areal tanam), jagung dengan cara tugal,

dan bawang putih ditanam langsung. Sementara itu untuk kegiatan pemeliharaan

seperti pemupukan, aplikasi pestisida, dan pengaturan air, terlihat bahwa pengalokasian

tenaga kerja untuk usahatani cabai, tembakau dan bawang putih lebih besar dari pada

pengalokasian tenaga kerja buat usahatani padi dan jagung. Hal tersebut disebabkan

karena usahatani cabai, tembakau, dan bawang putih sendiri lebih intensif

pengelolaannya dibandingkan usahatani padi dan jagung. Sebagai perbandingan, total

alokasi tenaga kerja untuk kegiatan pemeliharaan usahatani cabai, tembakau, dan

bawang putih berkisar antara 63-71 HOK per hektar, sementara usahatani padi dan

jagung hanya memelukan 20-37 HOK per hektar.

Page 18: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

17

Tabel 7. Keragaan penggunaan masukan tenaga kerja pada beberapa jenis tanaman dominan di desa contoh, kabupaten Lombok Timur, NTB, tahun 2004 (HOK/ha)

Sambelia Suangi Korleko Selebung Ketangga Sembalun LawangUraian

TKDK TKLK Total TKDK TKLK Total TKDK TKLK Total TKDK TKLK Total TKDK TKLK Total

1. Padi : - Pengolahan tanah 4,46 16,10 20,56 8,77 6,64 15,41 9,94 9,92 19,86 10,44 3,92 14,36 8,80 7,21 16,01 - Tanam 13,68 17,73 31,41 19,59 19,02 38,61 13,20 23,64 36,84 7,68 25,42 33,10 17,30 12,90 30,20 - Pemeliharaan 15,97 25,00 40,97 10,68 22,42 33,10 6,28 16,67 22,95 14,72 25,40 40,12 21,64 9,26 30,90 - Panen dan pasca panen 21,28 32,18 53,46 47,94 20,57 68,51 31,03 34,85 65,88 36,72 32,22 68,94 44,22 10,06 54,28 Total 55,39 81,01 146,40 86,98 68,65 155,63 60,45 85,08 145,53 69,56 86,96 156,52 91,96 39,43 131,39

2. Jagung : - Pengolahan tanah 8,42 10,14 18,56 - 7,50 7,50 9,33 10,67 20,00 - - - - - - - Tanam 13,08 8,71 21,79 18,33 15,00 33,33 8,27 12,25 20,52 - - - 14,00 14,00 28,00 - Pemeliharaan 22,33 14,95 37,28 20,00 20,00 40,00 9,28 27,80 37,08 - - - - - - - Panen dan pasca panen 23,62 24,99 48,61 15,84 25,00 40,84 9,25 32,10 41,35 - - - - 8,00 8,00 Total 67,45 58,79 126,24 54,17 67,50 121,67 36,13 82,82 128,95 - - - 14,00 22,00 36,00

3. Cabai : - Pengolahan tanah - - - 20,83 25,71 46,54 17,56 25,24 42,80 - - - 19,43 23,80 43,23 - Tanam - - - 16,85 16,42 33,27 11,74 16,42 28,16 - - - 16,57 10,48 27,05 - Pemeliharaan - - - 30,28 33,06 63,34 35,14 33,06 68,20 - - - 31,57 32,56 64,13 - Panen dan pasca panen - - - 21,11 47,50 68,61 32,22 47,50 79,72 - - - 21,14 42,60 63,74 Total - - - 89,07 122,69 211,76 96,66 122,22 218,88 - - - 88,71 109,44 198,15

4. Tembakau : - Pengolahan tanah - - - - - - - - - 8,87 26,02 34,89 - - - - Tanam - - - - - - - - - 8,97 22,11 31,08 - - - - Pemeliharaan - - - - - - - - - 24,08 46,59 70,67 - - - - Panen dan pasca panen - - - - - - - - - 18,94 50,60 69,54 - - - Total - - - - - - - - - 60,86 145,32 206,18 - - -

5. Bawang Putih : - Pengolahan tanah - - - - - - - - - - - - 14,63 15,47 30,10 - Tanam - - - - - - - - - - - - 14,16 38,08 52,24 - Pemeliharaan - - - - - - - - - - - - 24,16 42,63 66,79 - Panen dan pasca panen - - - - - - - - - - - - 21,10 52,63 73,73 Total - - - - - - - - - - - - 74,05 148,81 222,86

Sumber : Data primer (diolah)Keterangan : TKDK (tenaga kerja dalam keluarga) dan TKLK (tenaga kerja luar keluarga)

Page 19: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

18

Produktivitas

Keragaan produktivitas usahatani dominan di desa contoh disajikan pada

Tabel 8. Terlihat bahwa produktivitas padi boleh dikatakan cukup baik di desa

Sambelia, Suangi, Korleko, dan Selebung Ketangga, yaitu lebih kurang 4-5 ton per

hektar Kecuali di desa Sembalun Lawang, produktivitas padi hanya mencapai sekitar

1,8 ton per hektar. Hal ini disebabkan karena jenis padi yang umumnya ditanam petani

di desa yang bersangkutan adalah varietas lokal yang biasanya berproduksi rendah

dibandingkan produksi padi varietas unggul.

Selanjutnya produktivitas jagung paling tinggi ditemui di desa Sambelia,

Suangi, dan Korleko, yaitu berkisar antara 4,7-4,8 ton per hektar. Produktivitas paling

rendah ditemui di desa Sembalun Lawang (sekitar 1 ton/ha). Rendahnya

produkstivitas jagung di Sembalun Lawang disebabkan karena kebanyakan petani

desa setempat menanam jenis tanaman ini pada MK II yang relatif kekurangan air.

Sementara itu produktivitas tembakau yang dominan ditanam di desa Selebung

Ketangga mencapai sekitar 4,8 ton tembakau rajangan per hektar.

Kendati produktivitas beberapa tanaman relatif rendah di desa Sembalun

Lawang, namun desa ini memiliki komoditas unggulan yang tidak ditemui di desa

contoh lainnya. Komoditas tersebut adalah bawang putih yang sudah dibudidayakan

petani sejak lama karena sesuai dengan agro-ekosistem setempat. Rataan

produktivitas bawang putih di desa Sembalun Lawang mencapai 11,9 ton per hektar.

Tabel 8.Keragaan produktivitas usahatani dominan pada desa contoh di kabupaten Lombok Timur, NTB, tahun 2004 (ha)

Desa Contoh

UraianBentuk

ProduksiUnit

Sambelia Suangi KorlekoSelebung Ketangga

Sembalun Lawang

Rataan

Padi GKP kg 4.362,79 4.730,14 4.866,54 5.196,36 1.875,26 4.206,22Jagung Pipilan kg 4.709,50 4.800,00 4.817,10 - 1.050,00 3.844,15Cabai Cabai segar kg - 5.984,50 5.437,50 - 4.878,00 5.433,33Tembakau Rajangan kg - - - 4.834,23 - 4.834,23Bawang Putih Umbi kg - - - - 11.922,06 11.922,06

Sumber : Data primer (diolah)

Selanjutnya berdasarkan keragaan masukan sarana produksi, tenaga kerja,

dan produktivitas usahatani dominan di desa contoh sebagaimana telah diuraikan

diatas, berikut disajikan analisis finansial untuk masing-masing usahatani terkait.

Usahatani yang memiliki tingkat penerimaan tertinggi adalah bawang putih, cabai dan

Page 20: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

19

tembakau dengan rataan diatas Rp. 10 juta per hektar. Sementara itu usahatani padi

dan jagung hanya memiliki tingkat penerimaan masing-masing Rp. 4,2 juta dan Rp.

2,8 juta per hektar.

Ditinjau dari segi tingkat pendapatan, posisinya sedikit berbeda antar tiga

usahatani yang memiliki tingkat penerimaan tertinggi diatas. Tingkat pendapatan

paling tinggi berasal dari usahatani cabai dan bawang putih, masing-masing sekitar

Rp. 6,7 juta per hektar, berikut usahatani tembakau (lebih kurang Rp. 3,4 juta/ha).

Sementara itu tingkat pendapatan usahatani padi dan jagung masing-masing hanya

mencapai sekitar Rp. 1,3 juta dan mendekati Rp. 1 juta per hektar.

Keragaan penerimaan merupakan refleksi dari kuantitas dan nilai produksi,

dimana untuk usahatani seperti cabai tingkat penerimaannya cenderung tidak stabil

karena pengaruh naik turunnya (fluktuatif) harga produksi. Untuk komoditas lainnya

pada waktu-waktu tertentu juga tidak luput dari permasalahan ini, khususnya

tembakau dan bawang putih. Sementara itu untuk pendapatan, keragaannya

dipengaruhi oleh selisih perhitungan antara penerimaan dengan biaya untuk keperluan

masukan sarana produksi bibit, pupuk, pestisida, tenaga kerja, dan biaya lainnya

seperti sewa alat, pajak, dan iuran irigasi.

Tabel 9 menunjukkan bahwa total biaya usahatani padi (Rp. 2,8 juta/ha) lebih

besar dari pada biaya usahatani jagung (Rp. 1,8 juta/ha). Proporsi tertinggi adalah

untuk biaya tenaga kerja, yaitu masing-masing 54,48 persen untuk usahatani padi dan

68,08 persen untuk usahatani jagung. Kendati demikian, secara nominal biaya tenaga

kerja usahatani padi (Rp. 1,5 juta/ha) lebih tinggi dibandingkan biaya tenaga kerja

usahatani jagung (Rp. 1,2 juta/ha). Perhitungan lain menunjukkan bahwa angka

imbangan (rasio) antara penerimaan dan biaya (R/C) usahatani jagung (1,50) sedikit

berada diatas R/C usahatani padi (1,47).

Tabel .9. Analisis usahatani padi dan jagung di desa contoh, kabupaten Lombok

Timur, NTB, tahun 2004 (Rp. 000/ha)

Padi JagungUraian

Nominal % Nominal %

1. Biaya : - Bibit 143,12 4,96 79,98 4,30 - Pupuk 872,79 30,26 365,11 19,61 - Pestisida 160,45 5,56 126,69 6,80 - Tenaga kerja 1.571,41 54,48 1.267,72 68,08 - Lainnya 136,61 4,74 22,59 1,21 2. Jumlah Biaya 2.884,38 100,00 1.862,10 100,00 3. Penerimaan 4.243,18 - 2.828,32 -4. Pendapatan 1.358,80 - 966,22 -5. R/C 1,47 - 1,50 -

Sumber : Data primer (diolah)

Page 21: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

20

Selanjutnya untuk usahatani cabai dan tembakau (Tabel 10), terlihat bahwa biaya usahatani tembakau (Rp. 7,1 juta/ha) lebih tinggi dari pada biaya usahatani cabai (Rp. 5,1 juta/ha). Identik dengan usahatani padi dan jagung, proporsi biaya tertinggi untuk usahatani cabai dan tembakau adalah untuk tenaga kerja, yaitu masing-masing 61,11 persen (cabai) dan 52,64 persen (tembakau). Kendati secara agregat biaya usahatani tembakau lebih tinggi dari pada biaya usahatani cabai, namun karena adanya perbedaan tingkat penerimaan, R/C usahatani cabai (2,32) jauh diatas R/C usahatani tembakau (1,43).

Tabel 10. Analisis usahatani cabai dan tembakau di desa contoh, kabupaten Lombok Timur, NTB, tahun 2004 (Rp. 000/ha)

Cabai TembakauUraian

Nilai % Nilai %

1. Biaya : - Bibit 557,55 10,92 836,73 11,71 - Pupuk 1.152,60 22,58 2.218,38 31,05 - Pestisida 234,16 4,59 328,52 4,60 - Tenaga kerja 3.119,25 61,11 3.760,79 52,64 - Lainnya 41,11 0,81 - -2. Jumlah Biaya 5.104,68 100,00 7.144,41 100,00 3. Penerimaan 11.829,94 - 10.575,81 -4. Pendapatan 6.725,24 - 3.431,40 -5. R/C 2,32 - 1,43 -

Sumber : Data primer (diolah)

Pada usahatani bawang putih (Tabel 11), proporsi biaya terbesar adalah untuk bibit (52,68%), karena relatif mahalnya harga yang harus dikeluarkan petani buat

pembelian masukan sarana produksi ini. Sementara itu R/C usahatani bawang putih (1,76) cukup tinggi dibandingkan R/C tembakau, namun lebih rendah dari pada R/C usahatani cabai.

Tabel 11. Analisis usahatani bawang putih di desa contoh, kabupaten Lombok Timur, NTB, tahun 2004 (Rp. 000/ha)

Uraian Nilai %

1. Biaya : - Bibit 4.708,94 52,68 - Pupuk 548,42 6,14 - Pestisida 367,04 4,11 - Tenaga kerja 3.269,25 36,58 - Lainnya 44,79 0,50 2. Jumlah Biaya 8.938,44 100,00 3. Penerimaan 15.730,95 -4. Pendapatan 6.792,51 -5. R/C 1,76 -

Sumber : Data primer (diolah)

Page 22: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

21

Pengolahan Hasil Pertanian

Secara garis besar dapat dikemukakan bahwa hasil komoditas pertanian dalam

arti luas dan khususnya komoditas dominan di desa contoh, sebagian diolah

menggunakan alat/mesin atau tradisional-manual, dan sebagian lagi tanpa diolah

sebelum dikonsumsi atau dijual ke pasar. Dengan kata lain, komoditas-komoditas

pertanian tersebut relatif belum banyak tersentuh teknologi pengolahan (agroindustri)

maju.

Dari lima komoditas dominan yang ada, hanya dua komoditas yang diolah yaitu

padi dan tembakau, sedangkan jagung, cabai, dan bawang putih tanpa melalui proses

pengolahan. Padi diolah menggunakan gilingan RMU (rice milling unit) atau huller,

sedangkan tembakau sebagian memanfaatkan fasilitas tungku pengeringan (oven)

untuk produk tembakau krosok dan sebagian lagi dirajang secara manual untuk

produk tembakau rajangan.

Struktur Kelembagaan Lokal

Kelembagaan Permodalan

Keberadaan kelembagaan yang secara langsung dapat mendukung

berlangsungnya suatu proses kegiatan usahatani nampaknya masih sangat

diperlukan. Namun demikian, sumber permodalan yang diharapkan dari lembaga-

lembaga permodalan yang ada, khususnya dari sektor perbankan sampai saat ini

persentasenya masih minim, terutama bagi keperluan para petani dengan skala

usahatani yang relatif kecil di pedesaan. Kondisi seperti ini juga hampir menjadi

polemik umum pada penyaluran permodalan dari pihak lembaga modal, bagi kegiatan

pertanian secara nasional. Sementara itu lembaga permodalan lain yang diharapkan

sebagai substitusi lembaga perbankan juga masih terbatas.

Karena sifat dan kondisi usahatani yang penuh risiko ketidakpastian (musim,

harga, dan lainnya), nampaknya akses langsung para petani (kecil) terhadap lembaga-

lembaga keuangan yang ada boleh dikatakan sangat terbatas. Di sisi lain, program-

program yang terkait dengan upaya peningkatan kegiatan usaha di sektor pertanian

relatif belum dapat membangkitkan kekuatan petani secara optimal untuk

memecahkan permasalahan peningkatan kesejahteraan mereka.

Tidak semua petani dapat memenuhi modal usahatani dari modal sendiri. Di

desa Sambelia masih terdapat 63,30 persen responden yang tidak bisa melakukan hal

tersebut. Begitu pula halnya di desa Selebung Ketangga dan Korleko, sebagian

Page 23: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

22

responden belum dapat memenuhi modal usahatani sendiri. Persentase responden

yang tidak dapat memenuhi modal sendiri di desa-desa tersebut, masing-masing

mencapai 58,06 persen dan 50 persen. Sementara itu di desa Suangi dan Sembalun,

masing-masing 43,75 persen dan 30 persen.

Beberapa upaya yang dilakukan responden dalam memenuhi modal kegiatan

usahatani adalah dengan cara meminjam kepada keluarganya sendiri. Persentase

responden yang mencari pinjaman kepada keluarga pada setiap desa contoh relatif

cukup besar, yaitu antara 53,33 persen hingga 83,33 persen. Hanya 3,23 hingga 3,57

persen responden yang melakukan pinjaman ke lembaga keuangan bank, yaitu di

desa Selebung Ketangga, Sambelia, dan Korleko. Upaya lain yang dilakukan

responden untuk memenuhi modal usahatani adalah meminjam dari pelepas uang,

tengkulak, serta kios saprodi disekitarnya (Tabel 12)

Tabel 12. Keragaan kelembagaan permodalan di desa contoh (%)

Desa Uraian

Sambelia Suangi Korleko Selebung Ketangga

Sembalun Lawang

1. Pemenuhan modal usahatani : - Ya - Tidak2. Sumber pemenuhan modal usahatani : - Pinjaman ke bank - Pinjaman ke koperasi - Pinjaman ke keluarga - Pinjaman ke pelepas uang - Hutang saprodi di kios - Pinjaman ke tengkulak - Lainnya3. Sistem pembayaran pinjaman : - Yarnen dengan uang - Yarnen dengan natura - Mengangsur - Lainnya4. Pengalaman kekurangan modal : - Ya - Tidak5. Saat-saat kekurangan modal : - Saat persiapan tanam - Saat pemeliharaan tanaman - Lainya

36,6763,33

3,3310,0053,3323,333,33

-6,67

80,003,33

16,67-

96,673,33

53,3343,333,33

56,2543,75

-3,13

62,503,13

-3,13

28,13

93,75-

6,25-

78,1321,87

59,3831,259,38

50,0050,00

3,573,57

71,43-

10,713,577,14

85,71-

14,29-

89,2910,71

57,1435,717,14

41,9458,06

3,236,45

64,5216,13

-3,236,45

67,749,68

22,58-

90,329,68

80,6512,906,45

70,0030,00

--

83,333,33

-3,33

10,00

100,00---

93,336,67

46,6746,676,66

Sumber : data primer (diolah)

Pada tabel yang sama juga diperlihatkan sistem pembayaran atas pinjaman

yang dilakukan. Sistem pembayaran pinjaman yang paling banyak dilakukan

responden pada lima desa contoh adalah dengan sistem yarnen (dibayar setelah

Page 24: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

23

panen) dalam bentuk uang, disamping ada juga yang melakukan pembayaran dencan

cara mengangsur.

Secara umum seluruh responden pernah mengalami kekurangan modal dalam

melakukan kegiatan usahatani. Gambaran di lapangan menunjukkan bahwa modal

yang diperlukan dalam kegiatan usahatani sebagian besar dialokasikan untuk kegiatan

pengolahan lahan dan saat-saat persiapan tanam. Kebutuhan modal yang cukup

besar lainnya adalah pada saat pemeliharaan tanaman, terutama untuk pupuk dan

pestisida. Akibatnya, sebagian responden tidak melakukan pemupukan maupun

pengendalian hama dan penyakit tanaman secara maksimal sesuai dosis yang

dianjurkan.

Kelembagaan Sarana Produksi

Pemenuhan kebutuhan petani akan sarana produksi pada beberapa lokasi

contoh dapat dipenuhi dari beberapa kios saprodi yang ada disekitar tempat tinggal

atau di pasar kecamatan. Dalam proses pemenuhan kebutuhan saprodi, biasanya

para petani membeli pada saat atau setelah melakukan penjualan hasil pertanian. Hal

serupa juga mereka lakukan pada proses pembelian saprodi lainnya seperti bibit dan

pestisida (Tabel 13)

Secara umum sarana produksi seperti pupuk dan pestisida relatif cukup

tersedia di desa contoh. Kendati demikian, khusus di Suangi ditemui sedikit

permasalahan dimana sebagian petani desa ini sulit memperoleh sarana produksi

karena kendala transportasi.

Page 25: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

24

Tabel 13. Keragaan kelembagaan sarana produksi di desa contoh, kabupaten Lombok Timur (%)

Desa Uraian

Sambelia Suangi Korleko Selebung Ketangga

Sembalun Lawang

1. Sumber perolehan pupuk : - Hasil sendiri - Beli dari koperasi - Beli dari pasar - Lainnya2. Sumber perolehan pestisida : - Hasil sendiri - Beli dari koperasi - Beli dari pasar - Lainnya3. Ketersediaan pupuk : - Ya - Tidak4. Ketersediaan pestisida : - Ya - Tidak5. Alasan ketidaktersediaan pupuk : - Tidak tersedia di pasar - Transportasi sulit - Lainnya6. Alasan ketidaktersediaan pestisida : - Tidak tersedia di pasar - Transportasi sulit - Lainnya7. Kesesuaian kualitas pupuk : - Ya - Tidak8. Kesesuaian kualitas pestisida : - Ya - Tidak9. Ketidaksesuaian kualitas pupuk : - Tidak tahu macam-macam kualitas - Banyak yang palsu - Pedagang tidak sesuai label - Mudah berubah bentuk - Lainnya10.Ketidaksesuaian kualitas pestisida : - Tidak tahu macam-macam kualitas - Banyak yang palsu - Pedagang tidak sesuai label - Mudah berubah bentuk - Lainnya11.Pertimbangan dalam pembelian/ penggunaan pupuk : - Disesuaikan dgn kemampuan/daya beli - Agar produktivitas tinggi - Tanaman lebih tahan hama penyakit - Lainnya12.Pertimbangan dalam pembelian pestisida : - Sesuai dengan kemampuan/daya beli - Agar produktivitas tinggi - Tanaman lebih tahan hama penyakit - Lainnya

10,006,67

80,003,33

10,006,67

83,33-

90,0010,00

90,0010,00

96,67-

3,33

96,67-

3,33

93,336,67

93,336,7

93,333,333,33

--

93,333,333,33

--

50,0050,00

--

50,0020,0030,00

-

9,389,38

78,133,13

3,139,38

84,383,13

84,3815,62

84,3815,62

93,756,25

-

90,636,253,12

96,873,13

100,00-

100,00----

100,00----

31,2568,75

--

37,5018,7537,506,25

14,29-

75,0010,71

10,71-

78,5710,71

92,867,14

92,867,14

96,43-

5,57

96,43-

5,57

96,433,57

100,00-

96,43-

3,57--

100,00----

39,2960,71

--

50,0014,2935,71

-

-6,45

93,55-

-6,45

93,55-

96,773,23

100,00-

100,00--

100,00--

96,773,23

100,00-

96,77---

3,23

100,00----

32,2661,29

-6,45

35,4819,3641,943,23

3,33-

96,67-

3,33-

96,67-

100,00-

100,00-

---

---

100,00-

100,00-

-----

-----

13,3386,67

--

10,0036,6753,33

-

Sumber : Data primer (diolah)

Page 26: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

25

Selain topografi wilayahnya yang berbukit, fasilitas jalan di beberapa lokasi desa ini

juga masih terbatas yaitu berupa jalan setapak dan belum dapat dilalui kendaraan

roda empat.

Sebagian besar responden menyatakan bahwa kualitas pupuk dan pestisida

sesuai dengan harapan mereka. Namun sebaliknya pada kasus-kasus tertentu,

pemakaian pupuk dan pestisida dianggap tidak memberikan hasil yang signifikan,

sesuai dengan harapan para petani. Hal tersebut mungkin diakibatkan oleh

ketidaktahuan petani akan kualitas masing-masing pupuk dan pestisida yang

digunakan, palsu, atau tidak sesuai dengan labelnya.

Pertimbangan utama petani menggunakan pupuk dan pestisida adalah

berdasarkan tingkat kemampuan atau daya beli mereka terhadap sarana produksi ini.

Pertimbangan lainnya yaitu dalam rangka meningkatkan produktivitas (pupuk), dan

mengupayakan agar tanaman tahan dari serangan hama dan penyakit (pestisida).

Sementara itu upaya pemenuhan kebutuhan sarana produksi bagi sebagian petani

yang kemampuan dananya terbatas, adalah meminjam dari kios dengan sistem

yarnen (bayar setelah panen) atau dengan cara mengangsur. Lengkapnya respon

petani dalam pemenuhan sarana produksi ini disajikan pada Tabel 13.

Kelembagaan Pemasaran

Kelembagaan pemasaran pada kegiatan usahatani, merupakan bagian yang

cukup penting. Hal ini mengingat kelembagaan pemasaran, selain dapat menentukan

pasar komoditas juga sekaligus diharapkan dapat membantu terbentuknya harga

komoditas pertanian yang lebih baik bagi petani.

Walaupun secara dominan kegiatan usahatani yang dijalankan lebih bersifat

subsisten, namun pada beberapa jenis komoditas tertentu, petani juga menjual hasil

usahataninya. Oleh karena itu keberadaan pasar hasil pertanian sangat besar

peranannya bagi para petani untuk menjual langsung hasil pertaniannya ke

konsumen. Begitu pula peran pedagang pengumpul yang datang ke lokasi usahatani

untuk membantu pemasaran hasil secara cepat.

Pemasaran komoditas pertanian sebagian besar dilakukan di lokasi lahan

pertanian, dimana kebanyakan pembelinya adalah pedagang pengumpul setempat.

Sistem pembayaran, secara tunai ataupun dengan pembayaran tempo waktu. Namun

demikian para petani biasanya tidak terikat kontrak perjanjian dengan para pedagang

Page 27: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

26

manapun. Artinya, petani bisa secara bebas menjual hasil pertaniannya kepada

siapapun yang memberi penawaran harga tinggi.

Secara umum, kelembagaan pemasaran yang terdapat di beberapa lokasi

contoh adalah pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan, pasar

desa, atau pasar kecamatan serta tengkulak. Dengan demikian rantai pemasaran

relatif sederhana, khususnya untuk beberapa macam komoditas tanaman pangan,

palawija, sayuran maupun buah-buahan (Gambar 1).

Gambar.1. Rantai pemasaran hasil pertanian komoditas tanaman pangan, palawija, sayuran, serta buah-buahan di desa contoh

Dilihat dari sisi pemasaran di tingkat produsen, peran pedagang pengumpul

desa mempunyai andil yang cukup besar dalam membantu pemasaran hasil-hasil

pertanian para petani. Selain mereka aktif mendatangi produsen hingga ke pelosok,

pemasaran melalui pedagang tersebut juga dianggap lebih praktis dibandingkan

dengan harus memasarkan langsung ke pasar. Selain tidak efisien, kapasitas produksi

yang dijual juga relatif sedikit, sehingga para petani lebih percaya memasarkan hasil

pertanian mereka kepada para pedagang pengumpul.

Kelembagaan Penyuluhan

Beberapa hasil penelitian menunjukkan, bahwa secara umum sistem informasi

sangat memegang peranan penting dalam mendorong perubahan suatu komunitas,

ataupun dalam penentuan berbagai kegiatan pembangunan pada suatu daerah.

Khusus dalam rangka pembangunan pertanian, dewasa ini sistem informasi tidak saja

dapat digunakan sebagai sarana transfer teknologi, tetapi sekaligus merupakan

sarana untuk mendorong percepatan pembangunan. Hal ini bisa ditempuh melalui

sarana prasarana informasi maupun informasi yang secara langsung disampaikan

oleh petugas yang berkaitan dengan informasi terkait.

PetaniPedagang Pengumpul Desa

Pedagang Pengumpul Kecamatan

Pasar desa/ Kecamatan

Konsumen

Page 28: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

27

Sampai saat ini program-program pembangunan, khususnya dalam sektor

pertanian telah lama dilakukan melalui berbagai kegiatan, baik secara individu

maupun dengan institusi yang berkompeten didalamnya, dengan tujuan akhirnya

adalah agar sektor pertanian terus berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman.

Lembaga penyuluhan hingga sekarang masih tetap berperan dalam

mendorong penyampaian informasi baru, terutama aspek teknologi dan inovasi yang

senantiasa terus berkembang hingga sampai ke petani. Fungsi lembaga tersebut tetap

akan selalu dibutuhkan oleh para petani di setiap daerah, mengingat sampai saat ini

sektor pertanian masih merupakan sumber mata pencaharian bagi sebagian besar

masyarakat di Indonesia, terutama bagi para petani di pedesaan.

Hingga saat ini, hampir di setiap wilayah pertanian, inovasi baru di bidang

pertanian masih bersumber pada petugas penyuluh yang ada di lapangan. Terlepas

dari segala perubahan struktural dan institusi di dalamnya, peran penyuluh pertanian

akan tetap menjadi mitra terdepan di dalam membantu petani menuju perubahan

kearah sistem usaha yang lebih baik, walaupun tidak menutup kemungkinan di

beberapa wilayah pertanian, sistem maupun frekuensi serta mutu kegiatan

penyuluhan itu sendiri belum menunjukkan tanggungjawab yang optimal, sehingga

kebutuhan petani yang berkaitan dengan kegiatan usahataninya tetap tidak tersentuh

oleh perubahan inovasi maupun teknologi yang ada.

Sebagai indikator dari gambaran kondisi tersebut, informasi di bidang pertanian

di lokasi penelitian relatif bervariasi. Di desa Sambelia, sebagian besar (86,21%)

responden menyatakan bahwa informasi teknologi pertanian, sampai saat ini masih

bersumber dari PPL ataupun Dinas Pertanian. Hal serupa juga terjadi di desa

Sembalun dengan persentase 60 persen.

Selanjutnya di tiga desa contoh lainnya, ternyata sumber informasi dari

sesama petani lebih besar persentasenya dibandingkan sumber lainnya yaitu masing-

masing 53,13 persen di desa Suangi, 51,82 persen di desa Korleko, dan 58,62 persen

di desa Selebung Ketangga. Sementara itu, informasi yang disampaikan petugas

maupun institusi formal masing-masing secara rata-rata hanya mencapai 44,22 persen

(PPL/Dinas) dan 1,36 persen (staf BPTP). Sementara, peran BPTP boleh dikatakan

sangat kecil dan hanya terbatas di desa Suangi dan Sembalun Lawang saja. Langkah

kedepan, sebagai lembaga baru nampaknya peran serta BPTP dalam kaitannya

sebagai sumber informasi masih sangat terbuka, terutama bagi beberapa daerah yang

selama ini relatif kurang mendapatkan informasi formal.

Page 29: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

28

Peran kontak tani ataupun kelompok tani sebagai sumber informasi di desa

Korleko mencapai 7,41 persen, kemudian di desa Selebung Ketangga dan Sembalun

Lawang masing-masing 3,45 persen dan 3,33 persen. Sumber informasi lain yang

selama ini juga berperan dalam kegiatan pertanian di lima desa contoh adalah orang

tua serta pedagang, ataupun sumber informasi lainnya yang secara langsung maupun

tidak langsung diterima oleh para petani di lokasi penelitian.

Orang tua sebagai sumber informasi, pada dasarnya terkait dengan kegiatan

usahatani yang bersifat turun temurun dari keluarga petani itu sendiri. Sementara itu,

pedagang merupakan sumber informasi yang lebih terkait dengan masalah-masalah

pemasaran hasil pertanian, karena peran mereka khususnya pedagang pengumpul

cukup besar dalam kegiatan pemasaran hasil di tingkat desa/petani dengan mobilitas

yang tinggi, serta akses yang lebih tinggi ke pasar. Secara rinci di tiap desa pada

Tabel 14.

Tabel 14. Persentase sumber informasi teknologi yang diperoleh petani dari berbagai sumber di desa contoh, kabupaten Lombok Timur

Desa

Uraian

Sambelia Suangi KorlekoSelebung Ketangga

Sembalun Lawang

Rataan

1. PPL/Dinas2. Staf BPTP3. Kontak Tani4. Orang tua5. Sesama petani6. Pedagang7. Lainya

86,21--

3,456,90

-3,45

25,003,13

-12,5053,13

3,133,13

29,63-

7,417,41

51,85-

3,70

20,69-

3,453,45

58,623,45

10,35

60,003,333,33

10,0023,33

--

44,221,362,727,48

38,781,364,08

Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber : data primer (diolah)

Dari lembaga formal, proses penyampaian informasi terbagi dalam berbagai

komponen teknologi ataupun dilakukan secara bersamaan, sesuai dengan metode

yang disampaikan. Kegiatan introduksi teknologi yang disampaikan kepada para

petani di lima desa contoh, terlihat cukup beragam untuk setiap wilayah. Namun

demikian secara keseluruhan nampaknya komponen teknologi yang berkaitan dengan

varietas baru persentasenya cukup besar, yaitu rata-rata 81,5 persen. Persentase

paling tinggi terdapat di desa Sembalun Lawang (93,3%), karena desa ini merupakan

wilayah komoditas hortikultura (sayuran) yang sudah biasa menggunakan varietas

Page 30: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

29

unggul. Kondisi yang sama juga terjadi di desa Sambelia dengan persentase sekitar

80 persen.

Komponen teknologi yang secara umum masih belum begitu banyak

diintroduksikan adalah yang berkaitan dengan formulasi pakan ternak, panen, dan

pasca panen. Relatif kecilnya kegiatan introduksi komponen teknologi formulasi pakan

ternak kemungkinan disebabkan oleh sebagian besar petani masih menggunakan

pakan alami yang ada disekitarnya, disamping rata-rata kepemilikan ternak di

beberapa desa contoh yang relatif kecil. Komponen teknologi lain seperti panen dan

pasca panen masih dihadapkan pada kondisi yang sama, dimana sebagian petani

masih melakukannya dengan sederhana karena adanya keterbatasan sarana dan

prasarana. Data mengenai komponen teknologi yang diintroduksikan, dapat dilihat

pada Tabel 15.

Tabel 15. Persentase komponen teknologi yang diintroduksikan di desa contoh, kabupaten Lombok Timur

Diintroduksikan

Komponen TeknologiSambelia Suangi Korleko Selebung

KetanggaSembalunLa

wang

Rataan

1. Varietas mutu/varietas baru2. Teknologi pemupukan berimbang3. Teknologi pengolahan tanah4. Teknologi penanaman5. Teknologi pengendalian HPT6. Teknologi formulasi pakan tanah7. Teknologi panen8. Teknologi pasca panen9. Lainya

80,086,773,376,786,710,040,033,3

-

71,953,137,537,556,3

3,125,034,4

-

85,782,167,957,175,00,0028,621,4

-

77,477,454,854,864,53,2

32,332,3

-

93,396,780,086,793,33,3

36,736,7

-

81,578,862,362,374,8

4,032,531,8

-

Sumber : data primer (diolah)

Berdasarkan komponen teknologi yang diintroduksikan, terdapat beberapa

komponen yang sudah pernah diterapkan oleh para petani di lima desa contoh secara

beragam. Di desa Suangi walaupun tidak secara eksplisit menunjukkan persentase

penerapan yang cukup besar, namun beberapa komponen teknologi yang dianggap

penting oleh petani setempat, relatif sudah pernah diterapkan. Begitu pula halnya di

desa Korleko dimana agroeksositem, komoditas, serta tingkat kemampuan finansial

petani cenderung sama, prioritas penerapan komponen teknologi pernah dilakukan

walaupun persentasenya relatif beragam. Di dua lokasi dimaksud, penerapan

komponen teknologi pemupukan berimbang pada tanaman padi relatif masih kecil,

Page 31: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

30

karena mahalnya harga pupuk. Faktor lain, nilai tukar petani khususnya dari komoditas

tanaman pangan (padi dan palawija) relatif tidak sebanding dengan input biaya untuk

pembelian pupuk buatan, walaupun harapan untuk meningkatkan produksi cukup

tinggi.

Upaya penerapan komponen teknologi tanaman sayuran yang diintroduksikan

di daerah dataran tinggi, rata-rata persentasenya cukup besar, seperti di desa

Sambelia dan Sembalun Lawang. Secara umum terlihat pula bahwa terbatasnya

introduksi teknologi formulasi pakan ternak, panen dan pasca panen telah mendorong

tingkat penerapan yang relatif kecil atau bahkan tidak diterapkan, terutama seperti

desa Suangi, Korleko serta Selebung Ketangga.

Namun demikian, dari seluruh komponen yang telah diintroduksikan, rata-rata

komponen teknologi benih sudah diterapkan oleh sebagian besar petani pada masing-

masing desa penelitian. Demikian juga dalam komponen teknologi pengendalian hama

dan penyakit tanaman (Tabel 16).

Tabel 16. Persentase komponen teknologi yang diterapkan di desa contoh, kabupaten Lombok Timur

Diintroduksikan

Komponen teknologiSambelia Suangi Korleko

Selebung Ketangga

Sembalun Lawang

Rataan

1. Varietas mutu/varietas baru2. Teknologi pemupukan berimbang3. Teknologi pengolahan tanah4. Teknologi penanaman5. Teknologi pengendalian HPT6. Teknologi formulasi pakan ternak7. Teknologi panen8. Teknologi pasca panen9. Lainya

76,740,070,073,360,03,3

33,320,03,3

56,321,931,328,143,8

-18,818,8

-

67,928,646,446,446,4

-25,014,3

-

64,541,941,935,551,8

-32,319,4

-

80,083,370,073,383,33,3

26,716,7

-

77,652,864,576,269,4

2,341,827,6

9,1

Sumber : data primer (diolah)

Secara keseluruhan, komponen yang selama ini telah diintroduksikan

berdasarkan besaran nilai persentasenya adalah pengolahan lahan, varietas

unggul baru, penanaman, pemupukan berimbang, pengendalian HPT, panen,

dan pasca panen. Sementara, komponen teknologi formulasi pakan ternak

lebih kecil persentasenya.

Page 32: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

31

PENUTUP

Pemberdayaan kelembagaan lokal yang berkaitan dengan upaya peningkatan

usahatani komoditas dominan/potensial di beberapa desa P4MI kabupaten Lombok

Timur sebagai upaya untuk mendorong pada peningkatan pendapatan petani tetap

harus diupayakan ke depan

Koordinasi di tingkat daerah dimana pelaksanaan proyek P4MI dengan kelembagaan

lokal terkait sebagai upaya kesinambungan dari proyek yang dilaksanakan, terutama

dengan Dinas Pertanian setempat lebih ditingkatkan, terutama dalam kaitan dengan

aksessibilitas yang diperlukan oleh petani/wilayah miskin.

Peran kelembagaan yang ada saat ini masih terbuka peluang untuk ditingkatkan

dalam menukung kegiatan yang sudah dirintis melalui proyek P4MI.

Page 33: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

32

Daftar Pustaka

Badrun dan MA Ngongu. 1994. Menanggulangi Kemiskinan Melalui Pengembangan

Kelembagaan Pertanian di Daerah Nusa Tenggara Barat. Prosiding Seminar

Pembangunan Pertanian Dalam Menanggulangi Kemiskinan. PERHEPI,

Jakarta.

Bappeda Kabupaten Lombok Timur. 2003. Panduan Teknis dan Aplikasi Metode PRA

Program PFI3P Kabupaten Lombok Timur.

BPS dan Bappeda Propinsi NTB. 2003. Perkembangan Nilai Tukar Petani Triwulan I

tahun 2003

BPS Kabupaten Lombok Timur. 2002. Pendapatan Regional. Lombok Timur Dalam

Angka 2002.

Hendayana, R dan K Puspadi. 2004. Mobilisasi Petani Miskin di Wilayah

Agroekosistem Marjinal Melalui Wahana Kelompok Usaha Bersama Menuju

Kemandirian. Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Petani Miskin di

Lahan Marginal Melalui Inovasi Teknologi Tepat Guna di Mataram, tanggal

31 Agustus – 1 September 2004. PSE Bogor.

Hendayana, Rahmat. 2005. Penguatan Kelembagaan Sebagai Alternatif

Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal. Prosiding Seminar Nasional

Inovasi Teknologi Pertanian Untuk Pemberdayaan Petani Miskin. Badan

Litbang Pertanian. Jakarta.

Iqbal, M, Iwan S.A, DKS Swastika. 2004. Socio-Economic Baseline Survey For Poor

Farmers’ Income Improvement Through Innovation Project (PFI3P) In East

Lombok, West Nusa Tenggara. Kerjasama Proyek Peningkatan Pendapatan

Petani Miskin Melalui Inovasi dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan

Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Bogor.

Kasryno, F. Erwidodo, E Pasandaran, IW Rusastra, AM Fagi dan T Pranadji. 2003.

Pemikiran Mengenai Visi Pembangunan Pertanian Indonesia 2020 dan

Implikasinya Bagi Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Prosiding Arah

dan Kebijaksanaan Program dan Strategi Operasional Litbang Pertanian: Visi

Penelitian dan Pengembangan Pertanian Menuju 2020. Badan Litbang

Pertanian, Jakarta.

Page 34: ICASEPS WORKING PAPER No. 93 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_93_2008.pdfdengan kelembagaan lokal, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1986)

33

Komite Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Lombok Timur 2004. Strategi

Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Lombok Timur

Pakpahan, Agus. 1990. Rekayasa Sosial Dalam Perspektif Ekonomi Institusi. Majalah

Masyarakat Indonesia, Tahun XVII No. 1, 1990. Pusat Penelitian Sosial

Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Bogor.

Puspadi, dkk. 2005. Laporan Evaluasi Partisipatif Dengan Teknik PRA Perbaikan

Pendapatan Petani Miskin Melalui Inovasi di Lombok Timur. BPTP NTB

Rajab, Budi. 2004. Akar Kemiskinan dan Penanggulangannya. Harian Pikiran Rakyat,

edisi Sabtu 30 Oktober 2004. Bandung

Rusastra, I.W, dkk. 2006. Tingkat Kesejahteraan dan Penanggulangan Kemiskinan

Petani di Pedesaan. Bahan Seminar Internal Kinerja Pembangunan

Pertanian 2006 dan Prospek 2007, 3-4 Oktober 2006. Pusat Analisis Sosial

Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

Saptana dan V Darwis. 2004. Keefektifan Koordinasi Kelembagaan dan Strategi

Penanggulangan Kemiskinan di Daerah. Monograph Series No. 25 Aspek

Kelembagaan dan Aplikasinya Dalam Pembangunan Pertanian. PSE, Bogor.

Simatupang P, DKS Swastika, M Iqbal dan Iwan SA. 2005. Pemberdayaan Petani

Miskin Melalui Inovasi Teknologi Pertanian di Nusa Tenggara Barat.

Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marginal

Melalui Inovasi Teknologi Tepat Guna di Mataram, tanggal 31 Agustus – 1

September 2004. PSE Bogor.

Sudana, Wayan dan RS Rivai 2005. Peningkatan Kapasitas Institusi Lokal Melalui

Pertukaran Informasi Dalam Pemberdayaan Petani Miskin. Prosiding

Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Untuk Pemberdayaan Petani

Miskin. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Suradisastra, Kedi. 2006. Revitalisasi Kelembagaan Untuk Percepatan Pembangunan

Sektor Pertanian Dalam Otonomi Daerah. Orasi Pengukuhan Peneliti Utama

Sebagai Profesor Riset Bidang Sosiologi Pertanian. Badan Litbang

Pertanian. Jakarta.