ICASEPS WORKING PAPER No. 79 -...

22
ICASEPS WORKING PAPER No. 79 KERAGAAN USAHA PELAYANAN JASA ALSINTAN (UPJA) DI JAWA BARAT: STUDI KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan April 2005 Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

Transcript of ICASEPS WORKING PAPER No. 79 -...

Page 1: ICASEPS WORKING PAPER No. 79 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_79_2005.pdf · KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan

ICASEPS WORKING PAPER No. 79

KERAGAAN USAHA PELAYANAN JASA ALSINTAN (UPJA) DI JAWA BARAT: STUDI KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU

Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan April 2005

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

Page 2: ICASEPS WORKING PAPER No. 79 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_79_2005.pdf · KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan

1

KERAGAAN USAHA PELAYANAN JASA ALSINTAN (UPJA) DI JAWA BARAT: STUDI KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU

Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi PertanianJl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai keragaan UPJA di Provinsi Jawa Barat, khususnya di Kabupaten Indramayu, dampak pemanfaatan alsintan UPJA dalam pelaksanaan, serta faktor yang menghambat maupun mendukung pencapaian sasaran. Data dan informasi yang terkait dengan UPJA dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara mendalam, sementara dampak pemanfaataaan alsintan UPJA pada petani diperoleh dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Secara umum dapat disimpulkan bahwa: (1) Pelaksanaan program UPJA tidak didasari dengan persiapan matang, baik dalam hal sumberdaya manusia pengelolanya, kesesuaian antara jenis alat dan kondisi lapangan, jumlah serta kualitas alsintan yang dibutuhkan untuk masing-masing wilayah, maupun sarana dan prasarana pendukungnya, (2) Dampak pemanfaatan alsintan UPJA sulit diukur secara kuantitatif. Dampak yang cukup signifikan adalah percepatan waktu pengolahan lahan karena tambahan hand tractorbantuan UPJA, yang mendorong peningkatan produktivitas padi. Saran bagi keberlanjutan UPJA diantaranya adalah: (1) Perlu sosialisasi yang memadai untuk mengimplementasikan UPJA pada suatu wilayah, (2) Optimalisasi alsintan UPJA dalam hal realokasi alsintan, perencanaan penggunaan alsintan dan kerjasama dengan pihak lain, (3) Koordinasi yang baik antar instansi terkait, dan (4) Pengembangan menjadi UPJA profesional, yang didukung oleh subsistem pengguna jasa alsintan, subsistem penyedia alsintan (dealer/bengkel), subsistem pemodalan (bank, non bank) dan subsistem pembinaan.

Kata kunci: UPJA, Indramayu

PENDAHULUAN

Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) merupakan rekayasa sosial yang

dimaksudkan untuk lebih mendorong pemanfaatan alsintan oleh petani. Menurut

Todaro (1983), penggunaan teknologi termasuk alsintan merupakan salah satu

faktor pertumbuhan ekonomi disamping akumulasi modal dan pertumbuhan

populasi. Selain itu, UPJA merupakan terobosan untuk mengatasi masalah

usahatani pada kondisi di mana kepemilikan lahan pertanian relatif sempit

sehingga kepemilikan alsintan secara individu tidak menguntungkan.

Pemecahannya dapat dilakukan dengan memanfaatkan alsintan secara bersama

(sewa) sehingga lebih menguntungkan. Secara garis besar, UPJA diperkirakan

dapat meningkatkan pendayagunaan alsintan secara optimal, sehingga

mendukung peningkatan produksi di tingkat petani, meningkatkan efisiensi

Page 3: ICASEPS WORKING PAPER No. 79 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_79_2005.pdf · KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan

2

tenaga kerja, meningkatkan produktivitas tenaga kerja, serta dapat mengatasi

masalah kelangkaan tenaga kerja pertanian di pedesaan (Friyatno et al., 2003)

Berdasarkan pemikiran di atas, Ditjen Produksi Tanaman Pangan telah

meluncurkan Program P3TP (Program Peningkatan Produksi Tanaman Pangan)

melalui bagian proyek Pengembangan Sarana dan Prasarana Kelembagaan

Pertanian (SPL-JBIC INP-22) untuk Ketahanan Pangan (Ditjen Produksi

Tanaman Pangan, 1999). Program dimulai pada TA 1999/2000. Salah satu

komponen pokok program adalah pemberian bantuan alat dan mesin pertanian

berupa hand tractor, power thresher, pompa air, dryer, dan rice milling unit.

Pendayagunaan alsintan di lapangan diserahkan kepada Usaha

Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA). Program yang tersebar di 25 provinsi ini,

bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan produksi

pangan melalui perluasan areal tanam, peningkatan indeks pertanaman,

pengurangan kemungkinan kehilangan hasil, dan mengatasi kelangkaan alat

mesin pertanian di masyarakat petani. Dengan demikian, orientasi program ini

sepenuhnya adalah orientasi produksi.

Setelah diimplementasikan selama 2,5 tahun, ditemukan beberapa

hambatan yang dinamikanya di lapangan dapat mempengaruhi kelancaran

pelaksanaan maupun pencapaian sasaran. Oleh karena itu, diperlukan peta

ulang dan identifikasi dampak pemanfaatan alsintan. Penelitian ini bertujuan

untuk mendapatkan informasi mengenai keragaan UPJA di Jawa Barat, dampak

pemanfaatan alsintan UPJA dalam pelaksanaan, serta pengaruhnya terhadap

pencapaian sasaran .

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada bulan November 2002 di Kabupaten

Indramayu, Propinsi Jawa Barat. Lokasi ini di pilih karena menerima bantuan

alsintan SPL-JBIC INP-22 terbanyak dan terlengkap (hand tractor, power

thresher, pompa air, dryer, dan rice milling unit) di antara kabupaten-kabupaten

lain di Jawa Barat. Berdasarkan pertimbangan agroekosistem lokasi UPJA serta

keragaan (jumlah dan distribusi) alsintan yang diterima masing-masing UPJA,

maka dipilih tiga UPJA di Kecamatan Sliyeg mewakili agroekosistem sawah

irigasi, dan tiga UPJA di Kecamatan Kroya mewakili agroekosistem sawah tadah

hujan untuk penelitian secara mendalam. Contoh UPJA yang diteliti di

Kecamatan Sliyeg adalah UPJA Sri Mulya (Desa Sleman Lor), UPJA Eka Wisata

Page 4: ICASEPS WORKING PAPER No. 79 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_79_2005.pdf · KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan

3

(Desa Tugu Kidul), dan UPJA Mekar Tani (Desa Sudimampir Lor), sedangkan di

Kecamatan Kroya adalah UPJA Sri Ayu (Desa Tanjungkerta), UPJA Tani Mulya

(Desa Sukaslamet), dan UPJA Sri Jaya (Desa Sukamelang).

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Keragaan

UPJA tingkat provinsi dan kabupaten diperoleh berdasarkan data sekunder di

Dinas Pertanian Tanaman Pangan pada masing-masing tingkatan, diperkaya

oleh informasi dari hasil wawancara intensif dengan berbagai pihak yang secara

langsung maupun tidak langsung terlibat dalam program ini. Sementara

keragaan di tingkat UPJA diperoleh berdasarkan data sekunder di tingkat UPJA,

diperkaya dengan informasi hasil wawancara mendalam (indept interview)

dengan pengurus UPJA, tokoh tani maupun pengusaha penyewaan alsintan

swasta yang ada di lokasi. Sementara data primer petani diambil dengan

menggunakan kuesioner terstruktur.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum UPJA di Jawa Barat

1. Prosedur Penyerahan Alsintan UPJA

Menurut Bagian Proyek Peningkatan Produksi Tanaman Pangan melalui

Pengembangan Sarana dan Prasarana Kelembagaan Pertanian (SPL-JBIC INP-

22), pada TA 1999/2000 di Jawa Barat telah terealisir pengadaan alat dan mesin

pertanian sebanyak 2.391 unit, terdiri dari 657 unit traktor tangan (hand tractor/

HT), 657 unit perontok bermotor (power thresher /PT), 487 unit pompa air (PA),

295 unit rice milling unit (RMU), dan 295 unit dryer. Alat dialokasikan di 20

kabupaten yang terdapat di Provinsi Jawa Barat. Setelah pemecahan wilayah

menjadi Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten, maka 4 kabupaten (Serang,

Pandeglang, Lebak, dan Tangerang) menjadi wilayah Provinsi Banten,

sedangkan 16 kabupaten lainnya tetap menjadi wilayah Provinsi Jawa Barat.

Distribusi UPJA dan alsintan-alsintan di tiap-tiap kabupaten disajikan secara rinci

pada Tabel 1.

Implementasi UPJA dilaksanakan sepenuhnya oleh pusat melalui pimpro

pelaksana yang memberi wewenang penuh kepada Dinas Pertanian Tanaman

Pangan Provinsi sebagai penanggung jawab program sekaligus pembina dan

pelaksana monitoring UPJA di wilayahnya kerjanya.

Page 5: ICASEPS WORKING PAPER No. 79 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_79_2005.pdf · KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan

4

Tabel 1. Distribusi UPJA dan Alsintan SPL-JBIC INP-22 Provinsi Jawa Barat T.A. 1999/2000

Jumlah Alsintan (Unit)No. Kabupaten Jumlah Kecamatan

JumlahUPJA

Jumlah Operator (Orang)

Jumlah Mekanik (Orang) HT PT PA RMU Dryer Jumlah

Keterangan

1 Serang 4 9 27 9 19 19 10 9 9 66 HT : Hand Tractor2 Pandeglang 10 19 57 19 70 70 41 36 36 253 PT : Power Thresher3 Lebak 4 4 12 4 9 9 8 4 4 34 PA : Pompa Air4 Tangerang 5 6 18 6 10 10 6 4 4 34 RMU : Rice Milling Unit5 Bekasi 1 6 18 6 28 28 45 14 14 1296 Karawang 4 4 12 4 12 12 12 4 4 447 Purwakarta 4 4 12 4 13 13 10 5 5 468 Subang 14 22 66 22 80 80 9 36 36 2419 Bogor 6 7 21 7 23 23 37 11 11 105

10 Sukabumi 17 1 51 17 31 31 38 9 9 11811 Cianjur 5 8 24 8 23 23 10 11 11 7812 Bandung 2 6 18 6 25 25 33 12 12 10713 Sumedang 5 11 33 11 40 40 36 20 20 15614 Garut 10 10 30 10 18 18 20 5 5 6615 Tasikmalaya 4 6 18 6 20 20 30 7 7 8416 Ciamis 7 7 21 7 15 15 27 6 6 6917 Cirebon 7 7 21 7 15 15 9 7 7 5318 Kuningan 9 12 36 12 31 31 30 14 14 12019 Majalengka 8 12 36 12 35 35 39 16 16 14120 Indramayu 12 32 96 32 140 140 37 65 65 447

Jumlah 138 209 627 209 657 657 487 295 295 2.391

Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat (1999)

Page 6: ICASEPS WORKING PAPER No. 79 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_79_2005.pdf · KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan

5

Secara operasional, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi

mengawali program dengan melakukan sosialisasi misi program ke instansi

dibawahnya. Disperta Kabupaten akan memilih lokasi yang diusulkan untuk

menerima UPJA berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada

dasarnya kelompok tani terpilih ikut menentukan jumlah dan jenis alsintan yang

dibutuhkan di wilayahnya, namun seringkali terjadi perubahan dengan alasan

ketersediaan jenis alat dan anggaran yang terbatas. Hal ini mendasari jauhnya

realita dari konsep pembentukan UPJA profesional seperti tercantum dalam

Pedoman Umum Pengembangan UPJA (Ditjen Bina Sarana Pertanian, 2002).

Paket alsintan diserahkan langsung kepada kelompok tani (Manajer UPJA)

disaksikan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten sebagai pihak

yang diharapkan bisa mendampingi teknologi sekaligus membina kelompok tani

penerima UPJA. Secara hukum penerima alsintan adalah pengelola barang

milik negara c.q. Departemen Pertanian yang dalam Kerja Sama Operasional

(KSO) diwakili oleh Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi dengan

para manajer UPJA.

Program UPJA bukan merupakan bantuan penuh kepada petani,

melainkan stimulir usaha dari pemerintah. Dalam KSO, 50 persen dari

keuntungan bersih/SHU (Sisa Hasil Usaha) harus disetorkan kepada kas negara

melalui Dinas Pertanian Kabupaten, sedangkan 50 persen lagi untuk kelompok

pengelola.

2. Distribusi Alsintan UPJA di Kabupaten Indramayu

UPJA dimasukkan sebagai salah satu program Dinas Pertanian Tanaman

Pangan Kabupaten Indramayu untuk mendukung Peningkatan Areal Tanam

(PAT) yang sudah dilaksanakan setahun sebelumnya. Program PAT berbentuk

Rehabilitasi Jaringan Irigasi (RJI) dan Jalan Usaha Tani (JUT). Pada tahun

berikutnya diperluas dengan UPJA. Sasaran PAT sekitar 13 ribu hektar lahan

sawah dari 118.513 total lahan sawah di kabupaten tersebut. Pada tahun

pertama, 32 Kelompok Tani dari lebih 1.000 kelompok yang ada diberi bantuan

UPJA (Tabel 2).

Ada beberapa pertimbangan yang dipakai dalam menentukan kelompok

tani penerima program UPJA. Pertama, lokasi yang lahannya berpotensi untuk

ditingkatkan indeks pertanamannya, baik dari IP 100 menjadi IP 200, maupun

Page 7: ICASEPS WORKING PAPER No. 79 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_79_2005.pdf · KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan

6

dari IP 200 menjadi IP 300. Kedua, kelompok yang secara finansial (kelompok

atau pribadi ketua) mampu menyediakan sarana bangunan dan gudang untuk

operasional RMU dan penyimpanan alat yang secara aman. Ketiga, memiliki

modal untuk melengkapi keperluan-keperluan UPJA lainnya. Keempat,

kekompakan dan dinamika kelompok yang dinilai layak dan potensial memajukan

UPJA. Kelima, kelompok harus diajukan oleh KCD setempat. Bermodalkan

kelima hal di atas maka pada tahun-tahun berikutnya pembinaan UPJA menjadi

tanggung jawab daerah. Harapannya, daerah dapat mengalokasikan sebagian

dananya (APBD) untuk kepentingan program ini.

Jumlah alsintan SPL-JBIC INP-22 yang diberikan untuk masing-masing

UPJA menggunakan pertimbangan setiap 100 ha areal PAT di wilayah UPJA

bersangkutan. Luasan ini ditentukan dengan penitikberatan kemampuan alat

hand tractor. Pemberian pompa air mempertimbangkan kondisi ketersediaan

sumber air. Oleh karena itu, daerah yang memiliki pengairan bagus (golongan I

dan II) tidak memperoleh pompa. Pompa air hanya diberikan pada UPJA yang

memiliki lahan irigasi sederhana dan tadah hujan dengan syrat terdapat sumber

air yang memungkinkan dipompa. Distribusi UPJA dan alsintan di Kabupaten

Indramayu dapat disimak pada Tabel 2.

3. Manajemen Pengelolaan UPJA

Struktur Organisasi UPJA

Di Kabupaten Indramayu terdapat dua versi struktur organisasi UPJA.

Versi yang pertama sesuai petunjuk pelaksanaan (Juklak) dari pusat. UPJA

merupakan unit usaha alsintan yang mandiri, independen dari kelompok tani.

Versi kedua, UPJA merupakan bagian dari kelompok tani. Artinya, UPJA

merupakan kegiatan salah satu seksi dalam Kelompok Tani, yaitu seksi alsintan.

Masing-masing versi mempunyai system operasional tersendiri yang terlepas

dari kelompok tani. Manajer UPJA adalah ketua kelompok tani di mana UPJA

itu berada. Anggota kelompok tani secara otomatis juga menjadi anggota UPJA.

Perbedaan yang nyata terlihat pada menejemen pembagian hasil. Pada

versi pertama, UPJA tidak memberikan fee apa pun kepada kelompok.

Sedangkan pada versi kedua, UPJA sebagai salah satu unit usaha dari kelompok

tani berkewajiban memberikan fee kepada kelompok tani induknya. Besaran fee

ditentukan oleh manajer UPJA yang biasaya merangkap ketua kelompok tani.

Page 8: ICASEPS WORKING PAPER No. 79 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_79_2005.pdf · KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan

7

Struktur organisasi UPJA pada kedua versi relatif sama mencakup manajer,

sekretaris, bendahara dan mekanik atau operator.

Secara umum struktur organisasi UPJA, baik yang mandiri maupun

menginduk pada Kelompok Tani, dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2. Struktur

organisasi UPJA yang independen dari kelompok diadopsi oleh UPJA-UPJA

yang ada di Kecamatan Kroya, sedangkan struktur organisasi UPJA yang

merupakan salah satu unit dari kelompok diadopsi oleh UPJA-UPJA di

Kecamatan Sliyeg. Jumlah anggota UPJA berkisar 90 hingga 112 anggota,

dengan luas garapan berkisar antara 73 hingga 137 ha.

Dilihat dari fungsinya, struktur organisasi UPJA yang terdiri dari manajer,

sekretaris dan bendahara sangat tidak efektif. Peran sekretaris dan bendahara

hanya sebagai pelengkap struktur yang ada. Hampir seluruh operasional dan

pengembangan UPJA ditangani oleh manajer. Artinya, ini berpeluang besar

mengarahkan UPJA seakan usaha perseorangan. Keuntungan pun diambil

perseorangan karena keputusan sepenuhnya ada pada manajer. Kinerja ini

selain tidak memiliki sikap pembelajaran atau pengkaderan kepemimpinan juga

meniadakan fungsi kontrol. Akibatnya, kelompok dimanfaatkan sebagai alat

untuk memperoleh keuntungan bagi sebagian orang atau seseorang.

Dilihat dari segi keorganisasian, UPJA rata-rata tidak memenuhi kriteria

manajerial yang baik sebagai sebuah bentuk usaha/bisnis. Pengelola tidak

mampu menerapkan sistem administrasi yang profesional karena umumnya

hanya berpendidikan SD. Kondisi SDM demikian membuat pelatihan ketrampilan

manajerial singkat yang dilakukan pada awal program tidak memadai sebagai

modal mengelola UPJA. Setidaknya ini menyulitkan pemerintah untuk

melakukan monitor maupun pengembangan.

Page 9: ICASEPS WORKING PAPER No. 79 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_79_2005.pdf · KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan

8

Tabel 2. Distribusi UPJA dan Alsintan SPL-JBIC INP-22 di Kabupaten Indramayu T.A. 1999/2000

Jenis Alsntan (Unit)Kecamatan Desa

Agro-ekosistem Nama UPJA Nama Manajer

Jumlah Operator HT PT PA Dryer RMU Keterangan

1 Haurgeulis 1 Cipancuh TDH Tani Harum Dapin 10 4 3 - 1 2 IRG : sawah irigasi2 Wanakaya TDH Tani Harapan Supardi 8 3 3 - 1 1 TDH : sawah tadah hujan3 Sumber Mulya TDH Sukatani Robani 10 3 3 - 2 24 Baleraja TDH Dutatani Suhaya 14 2 3 6 2 1 HT : Hand Tractor5 Sidodadi TDH Tani Mukti Supeno 12 4 4 - 2 2 PT : Power Thresher

2 Anjatan 6 Bugistua IRG Bugistua Empad 18 5 5 4 2 2 PA : Pompa Air7 Salamdarma IRG Karanganyar Carman 12 3 3 2 2 2 RMU : Rice Milling Unit

3 Gabus Wetan 8 Gabus Kulon IRG Sutajaya Karya 12 4 4 - 2 29 Sekar Mulya IRG Mulya Bakti Rasiwan 15 5 5 1 2 2

4 Kroya 10 Sukaslamet TDH Tani Mulya Mancas 14 4 4 2 2 211 Tanjungkerta TDH Sri Ayu Kastari 17 5 5 1 3 312 Sukamelang TDH Sri Jaya Rasidi 19 6 6 1 3 3

5 Losarang 13 Pangkalan IRG Lestari Catu 10 3 3 2 1 114 Jangga IRG Sumber Tani Durahman 14 4 4 2 2 2

6 Cikedung 15 Jatisura IRG Rezeki Tani Sulaeman 15 5 5 1 2 216 Loyang TDH Bina Makmur A. Robani 13 4 4 1 2 217 Amis TDH Bina Karya Daskiman 15 5 5 1 2 218 Manggungan IRG Daun Ijo H. Dewon 16 5 5 2 2 2

7 Sindang 19 Rambatan Wetan IRG Tirta Sari Casdiyah 19 6 6 1 3 320 Terusan IRG Sri Haci Warma 13 4 4 1 2 221 Panyindangan Kulon IRG Glatik Saidi 13 4 4 1 2 2

8 Lohbener 22 Kiajaran Wetan IRG Simung Jaya Wasdirah 18 6 6 2 2 223 Kiajaran Kulon IRG Serabut Jaya Lilik Sugianto 19 6 6 1 3 324 Langut IRG Jaidin Jaya Khaeri 13 4 4 1 2 225 Arahan Kdul IRG Citra Jaya Madrana 17 6 6 1 2 2

9 Kertasemaya 26 Tersana TDH Mulya Asri Ali Baba 5 1 1 1 1 110 Sliyeg 27 Tambi Lor IRG Sri Rejeki Muh. Juhdi 12 4 4 - 2 2

28 Tugu Kidul IRG Eka Wisata Radiah 14 5 5 - 2 229 Sleman Lor IRG Sri Mulya R. Sumardjo 12 4 4 - 2 230 Sudimampir Lor IRG Mekar Tani Samuri 14 5 5 - 2 2

11 Jatibarang 31 Krasak IRG Sri Makmur Mujibaturochman 25 8 8 1 4 432 Plumbon IRG Suropati Tarsim 9 3 3 1 1 1

Jumlah 447 140 140 37 65 65Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Indramayu (1999)

Page 10: ICASEPS WORKING PAPER No. 79 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_79_2005.pdf · KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan

9

Gambar 1. Struktur Organisasi UPJA

Gambar 2. Struktur Organisasi Kelompok Tani Dengan Unit Usaha UPJA

Manajer

Sekretaris Bendahara

Operator/Mekanik

Ketua Kelompok Tani

Sekretaris

Bendahara

Manajer

Sie P3AMC

Sie Pengo-lahan Tanah

Sie Saprodi

Sie Peralatan

Sie Pasca Panen

Sie Pemasaran

Unit UsahaUPJA

Page 11: ICASEPS WORKING PAPER No. 79 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_79_2005.pdf · KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan

10

Insentif Pengelola UPJA

Selayaknya, optimalisasi kinerja sebuah usaha sangat ditentukan oleh

insentif yang bisa diperoleh pengelola atau pekerja. Insentif merupakan

dorongan yang kuat untuk bekerja secara maksimal. Hal ini menjadi salah satu

kelemahan dalam pengembangan UPJA. Tidak terdapat aturan yang baku

mengenai pemberian insentif untuk pengelola UPJA, oleh karena itu insentif yang

diberikan masing-masing UPJA sangat bervariasi. Sebagai contoh, gaji/insentif

pengelola UPJA Sri Jaya sebesar Rp 500.000 untuk keseluruhan pengelola

UPJA (manajer, sekretaris, dan bendahara), yang diberikan per musim tanam.

Insentif tidak langsung diberikan berupa keringanan dalam biaya sewa hand

tractor, sebesar 30 persen dari sewa normal. UPJA Tani Mulya memberikan

insentif kepada manajer, sekretaris, dan bendahara tergantung besarnya SHU

yang diperoleh. Ketidakjelasan jumlah insentif ini memaksa sekretaris atau

bendahara merangkap sebagai operator alat untuk menambah penghasilan.

Pengembangan UPJA

Seperti telah diungkap sebelumnya, program UPJA bukan bantuan

pemerintah sepenuhnya, maka secara hukum UPJA penerima alsintan adalah

pengelola barang milik negara c.q. Departemen Pertanian. Penetapan 50 persen

keuntungan bersih (Sisa Hasil Usaha) disetorkan ke kas Negara dan 50 persen

untuk pengelola, mempunyai tujuan agar pengembangan UPJA bisa berlangsung

secara baik.

Operasionalisasi UPJA sebenarnya terkait erat dengan pemberdayaan

sekaligus empowering. Pengembangan UPJA berazas pada upaya memotivasi

masyarakat untuk membangkitkan kesadaran mengenai potensi yang dimiliki dan

memperkuat pengembangan potensi tersebut dengan stimulus input (Batubara,

2003). Ini merupakan kesempatan bagi masyarakat petani maupun aparat yang

terlibat untuk membangun perekonomiannya menjadi lebih baik. Pelaksanaannya

di kabupaten ini terlihat dalam bentuk rekayasa kebijakan yang disesuaikan

dengan sumberdaya yang ada, maka UPJA-UPJA di Kabupaten Indramayu

dibebaskan setoran selama dua musim tanam awal. SHU yang diperoleh pada

musim itu digunakan untuk membangun RMU dan gudang alsintan lainnya.

Meski masih sekitar 2,5 tahun, secara umum UPJA-UPJA di lokasi

pengamatan telah melakukan pengembangan diri. Hasil pengembangan antar

UPJA sangat bervariasi, tergantung kebutuhan dan kemampuan pengelola

Page 12: ICASEPS WORKING PAPER No. 79 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_79_2005.pdf · KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan

11

UPJA. Pengembangan yang umum dilakukan adalah pembuatan bangunan

RMU (Rice Milling Unit) beserta lantai jemur, pembelian gandengan/gerobak

traktor, rangka traktor, pompa air, dan polisher. Pada beberapa kasus

pengembangan UPJA yang dilakukan, khususnya dalam pembuatan bangunan

RMU, masih menggunakan dana hasil pinjaman dari pribadi manajer maupun

pihak lain. Pada kasus penggunaan uang pribadi manajer menyebabkan status

kepemilikan bangunan tersebut mengambang.

Tertib Administrasi dan Penyetoran SHU

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten melakukan pembinaan

terhadap UPJA mencakup penyetoran sisa hasil usaha (SHU) ke kas negara,

pembinaan/pelatihan pengelolaan UPJA serta merapikan system pelaporan.

Pelaporan UPJA dilakukan secara triwulan. Setiap dua bulan sekali dilakukan

pertemuan manajer UPJA se-Kabupaten Indramayu untuk melakukan evaluasi,

tukar pengalaman, serta diskusi mengenai hambatan-hambatan yang dialami

UPJA.

Masalah utama yang dihadapi pembina UPJA adalah kesulitan untuk

menertibkan administrasi maupun setoran SHU UPJA. Seringkali

ketidakmengertian ataupun ketidakjujuran pengelola melahirkan laporan dan

penyetoran SHU jadi semrawut. Dinas berusaha bersikap tegas dengan

memberlakukan ganjaran terhadap UPJA yang bermasalah berupa pergantian

kepengurusan atau realokasi alsintan. Namun realokasi alsintan seringkali

terlambat atau gagal dilakukan karena prosesnya tidak mudah dan butuh biaya

besar. Akibatnya penyetoran SHU selanjutnya menjadi tidak jelas. Sebagai

contoh, salah satu UPJA di Kabupaten Indramayu yang memperoleh tiga buah

hand tractor (dalam kondisi baru) hanya menyetorkan SHU sebesar Rp

129.000/MT, yang seharusnya sekitar tiga juta rupiah per musim tanam.

Kegagalan sistem di atas memunculkan kesepakatan baru. Wajib setor

diambil dari jumlah keuntungan bersih. Penghitungan dilakukan dengan

memberi kewajiban-kewajiban tertentu terhadap setiap unit alsintan yang dikelola

oleh UPJA, seperti hand tractor wajib setor Rp 500.000 per unit per musim,

pompa air Rp 200.000 per unit per musim untuk ukuran 4 inci dan Rp 100.000

untuk ukuran 2 inci, RMU Rp 300.000 per unit per musim. Beberapa hasil

penelitian menunjukkan bahwa pemakaian HT dan RMU sejak tahun 1975

Page 13: ICASEPS WORKING PAPER No. 79 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_79_2005.pdf · KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan

12

sangat berkembang di Indonesia, termasuk di lokasi penelitian (Bagyo, 1983;

Simatupang et al., 1995; Soentoro, 1998). Sementara itu, untuk power thresher

dan dryer belum disepakati tingkat pembayarannya karena penggunaannya

belum optimal.

Pada prakteknya, kesepakatan tersebut membuat sistem administrasi

UPJA semakin kurang tertib. Sebagian besar UPJA tidak memiliki catatan sama

sekali. UPJA akhirnya berorientasi pada besaran kewajiban setor yang

ditentukan dinas. Hal ini menyulitkan dinas dalam melakukan pengontrolan dan

pengawasan.

Di tingkat kabupaten, pemberlakuan Otonomi Daerah sempat membuat

kesimpangsiuran/kemandegan penyetoran ke kas negara. Hasil konsultasi Dinas

Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Indramayu dengan Kepala Dinas

Pendapatan Daerah Kabupaten Indaramayu, dana setoran SHU atas KSO

Alsintan yang telah diterima pada tahun 2001 sempat dibekukan, dengan

maksud disetorkan ke kas daerah. Turunnya SK Kepala Dinas Tanaman Pangan

Propinsi Jawa Barat No. 521.31/99/PH tanggal 9 Januari 2002 perihal setoran

SHU atas KSO Alsintan, yang menyatakan keharusan penyetoran ke kas Negara

membuat rencana tersebut batal. Hingga penelitian dilakukan, belum ada

keputusan tegas sampai kapan UPJA harus menyetor ke kas negara. Ini sangat

menentukan kegairahan para manajer dalam berusaha.

Kesesuaian Jenis dan Kualitas Alsintan Dengan Kebutuhan

Jenis dan jumlah alsintan yang diterima oleh masing-masing UPJA sesuai

yang dijanjikan sebelumnya. Alsintan diterima di tempat tanpa dipungut biaya

transportasi, namun dalam kualitas yang kurang baik. RMU banyak yang rusak

mgakibatkan rendemen maupun kualitas beras yang dihasilkan kurang baik

akibat hasil penyosohan yang kurang optimal. Dampaknya mengganggu kinerja

alat dan meningkatkan biaya produksi beras maupun biaya perbaikan alat.

Sebagian besar alsintan kurang sesuai untuk kondisi agroekosistem

petani. Di antara kelima jenis alsintan, hanya hand tractor, pompa air dan RMU

yang berfungsi cukup optimal. Traktor banyak mengalami permasalahan pada

singkal/mata bajak dan gelebeg yang harus dimodifikasi. Modifikasi memerlukan

biaya antara Rp 150.000 hingga Rp 200.000 per unit. Kondisi ini mengharuskan

Page 14: ICASEPS WORKING PAPER No. 79 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_79_2005.pdf · KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan

13

UPJA menyediakan modal awal untuk operasional traktor maupun dan dana

taktis untuk perbaikan alat.

UPJA beragroekosistem sawah tadah hujan mengalami kesulitan dengan

pompa air yang berukuran kecil (2 inci) karena debit air yang dialirkan sangat

kecil dan mesin diesel yang berat. Debit air yang dialirkan sangat kecil

sementara mesin yang besar dan berat menyebabkan pompa air kurang fleksibel

untuk dipindahkan dari lahan satu ke lahan lainnya. Akibatnya, lahan yang jauh

dari sumber air atau jauh dari jalan usahatani sulit mendapat pengairan.

Petani menilai penggunaan power thresher mampu mengurangi

kehilangan hasil dibanding dengan dikebot. Namun demikian penggunaannya

kurang diterima, karena khawatir menggeser peluang kerja tenaga pemanen

masih cukup banyak. Sebagian besar sistem pembayaran panen masih

menganut sistem bawon (6:1 atau lima bagian untuk pemilik dan satu bagian

untuk penderep). Berdasarkan perhitungan tersebut, pemakaian power thresher

dinilai dapat mengurangi gabah bagian penderep. Ini menjadi faktor pendorong

yang kuat bagi penolakan alat power thresher. Realita ini menunjukkan

hubungan antara pekerja dengan majikan tidak semata-mata hubungan ekonomi

tetapi memiliki nilai sosial yang tidak bisa disetarakan dengan ukuran-ukuran

ekonomi (Nurmanaf et al., 2003).

Di sisi lain, penggunaan power thresher juga memakan waktu lebih lama

karena penderep harus menunggu antrian untuk merontokkan hasil sabitannya.

Sistem tanam serentak yang berlaku umum mengakibatkan musim panen yang

serentak pula. Oleh karena itu, alat ini dinilai kurang efektif serta mengurangi

peluang bagi penderep untuk memanen di lahan petani yang lain. Sementara

dengan cara dikebot, masing-masing penderep bisa melakukan dengan

serempak, sehingga proses perontokan gabah bisa berlangsung cepat. Selain

mengejar peluang memanen sebanyak-banyaknya, bagi petani kecepatan proses

pemanenan sangat penting, terutama pada musim hujan. Proses panen dan

penjemuran yang cepat sangat membantu menjaga kualitas gabah.

Kasus pada UPJA Tani Mulya yang beragroekosistem sawah tadah

hujan, pemakaian power thresher oleh penderep cukup tinggi, terutama pada

saat MK. Pada saat MH, alat ini relatif tidak digunakan karena padi basah

(alum) sehingga susah dirontokkan. Efektifnya penggunaan alat ini pada saat

MK bertujuan mengejar waktu untuk tanam selanjutnya, sehingga proses

Page 15: ICASEPS WORKING PAPER No. 79 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_79_2005.pdf · KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan

14

perontokan bisa selesai sebelum turun hujan. Selain itu, cuaca panas membuat

penderep merasa terbantu untuk menggunakan alat ini. Mekanisme kerja ini

dipandang bisa mengurangi kehilangan hasil. Sewa power thresher

diperhitungkan dari catu yang diperoleh penderep. Setiap lima bagian yang

diperoleh penderep, satu bagian diantaranya merupakan bagian alat (5:1).

Seperti halnya HT, power thresher juga merupakan alat berat sehingga

sulit di pindah-pindahkan. Akibatnya, ada kesulitan mengerjakan lahan-lahan

yang terletak agak jauh dari jalan raya/usahatani. Akhirnya, hanya lahan sawah

yang jaraknya dekat dengan jalan raya/jalan usahatani yang bisa dilayani.

Dryer juga merupakan alat yang yang belum banyak diadopsi oleh petani.

Peran alat untuk mengeringkan gabah ini dipandang kurang ekonomis. Selain

waktunya lama, kerjanya rumit dan hasilnya dianggap kurang baik. Gabah yang

dikeringkan dengan dryer menyebabkan beras yang dihasilkan lebih kusam dan

hancur setelah digiling. Alat ini juga dinilai punya kelemahan yang sama yaitu

bentuknya yang tidak knock down sehingga kurang fleksibel dipindah-

pindahkan. Oleh karena itu, praktis alat ini tidak digunakan oleh petani, kecuali

pada saat musim hujan karena petani kesulitan untuk menjemur.

Penolakan power thresher dan kurang optimalnya penggunaan dryer

menyebabkan pengelola mengalihfungsikan kedua mesin ini menjadi mesin

pompa air atau mesin traktor yang lebih banyak dibutuhkan oleh petani.

Akibatnya, secara kasat mata ada perbedaan jumlah dan jenis alat dengan yang

tercatat secara administrasi UPJA. Namun demikian, manajer UPJA sengaja

tidak menggunakan seluruh mesih power thresher atau dryer untuk kepentingan

hand tractor ataupun pompa air dengan alasan sewaktu-waktu ada yang

membutuhkan atau ada pengontrolan dari dinas, alat tersebut tersedia.

Dampak Pemanfaatan Alsintan UPJA

1. Dampak kehadiran UPJA sulit dilihat dari sisi luas garapan karena luas

garapan petani umumnya lebih terkait erat pada lahan yang dimiliki atau

yang dikuasai. Dengan kata lain, pada penguasaan lahan yang relatif sempit

selalu diusahakan digarap total, baik sebelum maupun sesudah ada UPJA.

Dampak lebih nyata pada petani yang memiliki lahan luas. Fakta bahwa

petani pedesaan memiliki luas lahan yang umumnya berbanding lurus

Page 16: ICASEPS WORKING PAPER No. 79 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_79_2005.pdf · KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan

15

dengan penguasaan modal dan aset ekonomi lainnya membuat lapisan ini

bisa mengakses alsintan jauh hari sebelum UPJA hadir.

2. Dampak yang lebih signifikan terdapat pada produktivitas persatuan luas

lahan. Hal ini diakibatkan proses pengolahan lahan yang cepat dan

memungkinkan untuk melakukan penanaman tepat waktu dengan mengejar

ketersediaan air.

3. Khusus pada lahan yang pengairannya terbatas, musim tanam kedua yang

biasanya ditanami palawija dengan sistem alakadarnya, kehadiran pompa

sangat membantu ketersediaan air sehingga memungkinkan perubahan

komoditas yang ditanam menjadi padi. Lahan yang pada musim kedua

biasanya ditanami padi secara untung-untungan (ditentukan curah hujan),

adanya pompanisasi memberikan jaminan akan keberhasilan panen.

4. Ada kesulitan dalam melihat dampak UPJA pada pemakaian tenaga kerja

dalam keluarga (TKDK) maupun luar keluarga (TKLK), karena sebelum ada

UPJA, sudah terdapat banyak alsintan yang disewakan di masyarakat.

Kekurangan hand traktor misalnya bukan menyebabkan petani mengerjakan

sendiri pengolahan tanahnya dengan tenaga ternak atau manusia,

melainkan menunggu giliran meskipun akhirnya waktu tanam terlambat.

5. Pemberian alsintan UPJA kepada kelompok tani tertentu menimbulkan

kecemburuan kelompok tani lainnya yang tidak mendapat bantuan tersebut.

Demikian pula mereka berharap untuk mendapatkan bantuan alsintan

seperti itu.

Faktor Pendorong dan Penghambat Berkembangnya UPJA

Faktor Pendorong:

1. Karakter manajer UPJA yang rata-rata berjiwa dinamis, mempunyai sifat

kepemimpinan yang kuat, serta berkeinginan kuat untuk maju merupakan

faktor yang sangat potensial sebagao pendorong berkembangnya UPJA.

2. Kehadiran UPJA sedikitnya membuka peluang kerja bagi tenaga operator

maupun tenaga teknik/bengkel alsintan.

3. Kehadiran alsintan UPJA sangat berperan membantu petani menggarap

usahataninya dalam waktu singkat dan tepat..

Page 17: ICASEPS WORKING PAPER No. 79 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_79_2005.pdf · KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan

16

4. Ada upaya pengembangan usaha oleh pengelola dalam mensiasati alsintan

yang kurang dinamis pada agroekosistem setempat, misalnya merekayasa

alat yang ada agar alat itu menjadi produktif. Hal Ini terjadi karena alat

lebih berupa dropping dan petani tidak mendapat gambaran spesifikasi alat

sebelumnya.

Faktor Penghambat:

1. Tujuan pembentukan UPJA kurang disosialisasikan dengan baik sehingga

belum terjadi pemahaman yang benar pada pengelola, pengguna alsintan,

maupun para pembina di lapangan.

2. Banyak alat yang kurang sesuai dengan kebutuhan petani maupun kondisi

lingkungan petani. Ketidaksesuaian jenis alat yang disediakan dengan

kebutuhan petani maupun model/type alat yang kurang fleksibel. Sebagian

pnggunaan alat kurang baik untuk ikatan sosial yang berkembang di

masyarakat, seperti pemakaian power thresher yang mengancam

pendapatan penderep dll.

3. Kualitas alat yang diberikan sangat rendah sehingga biaya perawatan dan

perbaikan menjadi sangat tinggi. Ini setidaknya menghambat kelancaran

setoran yang diwajibkan kepada UPJA.

4. Dari segi perbengkelan yang menjadi permasalahan adalah sulitnya mencari

suku cadang. Agar mesin-mesin UPJA bisa terpelihara dengan baik,

manajer berharap ada perlengkapan UPJA dengan peralatan perbengkelan

yang memadai i\untuk jenis mesin yang digunakan.

5. Tidak adanya insentif khusus bagi pengurus UPJA sehingga penanganan

alat menjadi tidak optimal. Tiadanya insentif bagi pengelola UPJA juga

menyebabkan pengelola UPJA lainnya (sekretaris dan bendahara) tidak mau

terus bekerja sebagai pengelola UPJA. Ini menyebabkan manajer harus

bekerja sendiri. Kondisi ini akhirnya membuat para pengurus kelompok diberi

peluang lebih dulu sebagai operator alat UPJA.

6. Salah satu faktor penghambat pengembangan UPJA, adalah biaya sewa

hand tractor yang dirasakan masih jauh lebih rendah dibandingkan biaya

sewa yang layak. Saat ini biaya sewa hand tractor yang berlaku (baik untuk

hand tractor UPJA maupun perseorangan/swasta) adalah Rp 180.000 per

bau atau Rp 250.000 per ha. Dengan biaya sewa sebesar itu, sulit untuk

mengumpulkan hasil bersih untuk pengembangan hand tractor selanjutnya.

Page 18: ICASEPS WORKING PAPER No. 79 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_79_2005.pdf · KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan

17

Sebagai gambaran, hasil perhitungan analisis kelayakan usaha hand tractor

yang dilakukan Disperta Propinsi Jawa Barat dengan biaya sewa Rp

350.000 per ha dan umur ekonomis 5 tahun, maka keuntungan tiap ha lahan

yang diolah adalah sebesar Rp 33.320, atau biaya pokok per ha adalah

sebesar Rp 316.618. Dibandingkan perhitungan tersebut, biaya sewa yang

berlaku sangat rendah, namun untuk menaikkan sangat sulit karena harga

jual gabah yang berlaku saat ini, petani tak akan sanggup membayarnya.

7. Di beberapa kasus UPJA terjadi persaingan pengoperasian alsintan UPJA

dengan alsintan sejenis milik perseorangan/swasta yang sudah beroperasi

sebelum adanya UPJA. Sebagai contoh, persaingan dengan hand tractor

milik perseorangan (swasta) membuat hand tractor UPJA Sri Ayu dalam

posisi mengalah. Hal ini menyebabkan kerja hand tractor milik UPJA tidak

bekerja secara optimal. Hal yang sama terjadi pada kasus RMU di UPJA

Tani Mulya.

8. Selain kelemahan-kelemahan yang terdapat pada alat, ada pula kelemahan

yang terdapat pada sumberdaya manusia pengelola/manajer, seperti

kemampuan manajerial yang sangat terbatas, sehingga UPJA yang

semestinya berorientasi bisnis tidak mempunyai pembukuan (administrasi

dan keuangan) yang tertib, termasuk setoran ke kas negara masih kurang

disiplin, sementara sistem perjanjian Kerja Sama Operasional (KSO)

memerlukan disiplin dan kejujuran.

9. Sulitnya membuat pembukuan yang sistematis dalam nuansa penargetan

yang dilakukan oleh pihak Disperta. Akhirnya UPJA “malas” membuat

pembukuan yang riil karena yang dipentingkan adalah pemenuhan target

setoran. Kesulitan ini dipengaruhi juga oleh kemampuan pengelola yang

sangat terbatas baik dari segi ketersediaan waktu maupun pendidikan.

10. Banyaknya kutipan-kutipan dari berbagai pihak luar (KNPI, wartawan, desa,

kecamatan, dll.) yang mengatasnamakan ijin pemerintah daerah. Hal ini

tidak saja membuat pengelola merasa dibebani dari segi

keuangan/operasional, tetapi kasus ini menyulitkan mereka membuat

pertanggungjawaban pembukuan/keuangan dengan baik dan jujur.

Page 19: ICASEPS WORKING PAPER No. 79 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_79_2005.pdf · KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan

18

KESIMPULAN DAN SARAN

Secara umum dapat disimpulkan bahwa :

1. Pelaksanaan program UPJA tidak didasari dengan persiapan matang, baik

dalam hal sumberdaya manusia pengelolanya, kesesuaian jenis, jumlah dan

kualitas alsintan yang dibutuhkan untuk masing-masing wilayah, maupun

sarana dan prasarana pendukungnya.

2. Dampak pemanfaatan alsintan UPJA sulit diukur secara kuantitatif. Dampak

yang cukup signifikan adalah percepatan waktu pengolahan lahan karena

tambahan hand tractor bantuan UPJA, yang mendorong peningkatan

produktivitas padi.

Dalam rangka keberlanjutan UPJA, maka beberapa saran yang dapat

diajukan adalah sebagai berikut:

1. Perlu sosialisasi yang bersifat terus menerus pada seluruh tingkatan institusi

maupun oknum yang terlibat langsung dalam perencanaan, pelaksanaan dan

monitoring program UPJA, sehingga muncul persepsi yang sama yang

membangkitkan motivasi pengembangan usaha.

2. Alsintan UPJA yang masih belum optimal penggunaannya perlu dioptimalkan

dengan cara: (i) kerja sama dengan kelompok tani lain di luar UPJA, (ii)

alsintan yang tidak digunakan pada UPJA yang bersangkutan dapat

dipindahkan ke UPJA lain yang membutuhkan atau dibentuk UPJA baru, (iii)

perencanaan penggunaan alsintan, agar berdampak positif/dapat

meningkatkan indeks pertanaman (IP) dan meningkatkan produksi dan

pendapatan petani.

3. Perlu diintensifkan pembinaan terhadap seluruh SDM yang terlibat agar

barang negara tersebut dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya: (i)

anggaran untuk pembinaan monitoring dan pelaporan perlu disediakan, baik

APBN, APBD I maupun APBD II, (ii) perlu adanya koordinasi yang baik

antara Dinas Pertanian Propinsi, Kabupaten, dan pengelola/manajer UPJA.

4. Pembukuan SHU dan setoran ke kas negara perlu ditertibkan: (i) Sisa Hasil

Usaha (SHU) dan setoran ke kas negara perlu dibukukan dengan baik,

disiplin, dan yang paling penting adalah kejujuran pengelola UPJA (Manajer,

Operator dan pengurus lainnya) serta para pembina memegang amanah

dalam melaksanakan tugasnya, (ii) kalau bisa, sistem KSO diubah jadi sistem

Page 20: ICASEPS WORKING PAPER No. 79 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_79_2005.pdf · KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan

19

leasing, agar dalam jangka waktu tertentu (umur ekonomis) alsintan tersebut

sudah dimiliki kelompok (UPJA) dan target setoran per tahun dapat

ditentukan.

5. Sistem dan struktur organisasi UPJA perlu dikembangkan: (i) disarankan

UPJA di bawah naungan GAPOKTAN/Koperasi Tani, (ii) UPJA perlu

dikembangkan menjadi UPJA profesional, yang didukung oleh subsistem

pengguna jasa alsintan, subsistem penyedia alsintan (dealer/bengkel), sub

sistem permodalan (Bank, non Bank) dan sub sistem pembinaan.

DAFTAR PUSTAKA

Bagyo, A.S. 1983. Pengaruh Mekanisasi Terhadap Produksi dan Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Sawah di Jawa Barat. Dalam F. Kasryno et al. (Eds.). Konsekuensi Mekanisasi Pertanian di Indonesia. hlm. 47-60. Pusat Penelitian Agro-Ekonomi. Bogor.

Batubara, M.T. 2003. Pentingnya Pengembangan Usaha Pengelolaan Alsintan. Harian Ekonomi Medan Bisnis. Medan.

Ditjen Bina Sarana Pertanian. 2002. Pedoman Umum Pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) di Lahan Sawah. Jakarta.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Indramayu. 1999. Distribusi UPJA dan Alsintan SPL-OECF INP-22 Kabupaten Indramayu TA 1999/2000. Looseleaf. Indramayu.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat. 1999. Data UPJA Penerima Alsintan SPL-OECF INP-22. Bandung.

Ditjen Produksi Tanaman Pangan. 1999. Petunjuk Pelaksanaan Pendayagunaan dan Pengembangan Alat dan Mesin Pertanian. Jakarta.

Friyatno, S., H.P.S. Rachman, dan Supriyati. Kelembagaan Jasa Alat dan Mesin Pertanian (Alsintan). Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dengan Bappenas/Usaid/DAI. Bogor.

Nurmanaf, A.R., E.L. Hastuti, H. Tarigan, dan Supadi. 2003. Pemberdayaan Kelembagaan Tradisional Ketenagakerjaan Pertanian di Pedesaan Dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Simatupang, P., A. Purwoto, B. Santoso, Hendiarto, Supriyati, S.H. Susilawati, V. Siagian, E. Ariningsih, E. Ananto, dan J. Situmorang. 1995. Pola Pengembangan Mekanisasi Pertanian di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Soentoro. 1998. Pengembangan Mekanisasi Pertanian Tinjauan Aspek Ekonomi dan Kelembagaan. Dalam Erwidodo et al. (Eds.). Perspektif Pemanfaatan Mekanisasi Pertanian dalam Peningkatan Daya Saing Komoditas. hlm. 26-36. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Page 21: ICASEPS WORKING PAPER No. 79 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_79_2005.pdf · KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan

20

Todaro, M.P. 1983. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Alih Bahasa: Aminuddin dan Mursid. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Page 22: ICASEPS WORKING PAPER No. 79 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_79_2005.pdf · KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan

21