I. PENDAHULUAN -...

20
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan kemajuan jaman, peran media massa telah berkembang sebagai penyaji informasi teraktual dari berbagai penjuru, serta menembus ruang dan waktu. Perubahan paradigma tren komunikasi menjadikan media massa tradisional (surat kabar, televisi, radio, film) tergeser keberadaannya oleh kehadiran berbagai perangkat lunak yang digunakan oleh media baru (internet) memudahkan pertukaran informasi terjadi lebih cepat. Masing-masing institusi media massa mengubah strategi jangkauan khalayak dengan memanfaatkan internet. Yang paling tampak adalah dengan konvergensi media seperti halnya koran dan majalah yang terbit dalam dua versi, yaitu cetak dan online. Selain konvergensi media cetak, fenomena lain yang kini sedang dinikmati khalayak adalah siaran radio streaming. Seiring dengan perkembangan teknologi, peneliti beranggapan jika media radio cukup mampu beradaptasi dengan teknologi baru. Dengan tidak menghilangkan model siaran lama yang memanfaatkan kanal frekuensi, hampir semua media radio kini dapat memanfaatkan bandwidth dan melakukan siaran streaming, sehingga khalayak dari segala penjuru dunia dapat mendengarkan siaran tanpa harus menyediakan pesawat radio atau telepon seluler, selama khalayaknya terhubung dengan internet. Keadaan ini dirasakan sangat menolong keterbatasan yang selama ini dialami media massa, baik media cetak dan media elektronika, dalam melayani khalayak yang sebarannya semakin tidak terbatas jarak.

Transcript of I. PENDAHULUAN -...

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan kemajuan jaman, peran media massa telah berkembang

sebagai penyaji informasi teraktual dari berbagai penjuru, serta menembus ruang

dan waktu. Perubahan paradigma tren komunikasi menjadikan media massa

tradisional (surat kabar, televisi, radio, film) tergeser keberadaannya oleh

kehadiran berbagai perangkat lunak yang digunakan oleh media baru (internet)

memudahkan pertukaran informasi terjadi lebih cepat.

Masing-masing institusi media massa mengubah strategi jangkauan

khalayak dengan memanfaatkan internet. Yang paling tampak adalah dengan

konvergensi media seperti halnya koran dan majalah yang terbit dalam dua versi,

yaitu cetak dan online. Selain konvergensi media cetak, fenomena lain yang kini

sedang dinikmati khalayak adalah siaran radio streaming. Seiring dengan

perkembangan teknologi, peneliti beranggapan jika media radio cukup mampu

beradaptasi dengan teknologi baru. Dengan tidak menghilangkan model siaran

lama yang memanfaatkan kanal frekuensi, hampir semua media radio kini dapat

memanfaatkan bandwidth dan melakukan siaran streaming, sehingga khalayak

dari segala penjuru dunia dapat mendengarkan siaran tanpa harus menyediakan

pesawat radio atau telepon seluler, selama khalayaknya terhubung dengan

internet. Keadaan ini dirasakan sangat menolong keterbatasan yang selama ini

dialami media massa, baik media cetak dan media elektronika, dalam melayani

khalayak yang sebarannya semakin tidak terbatas jarak.

2

Jika menengok medio 15 tahun silam, sejak reformasi bergulir tahun

1998, potensi dan daya penetrasi radio dalam konteks demokratisasi semakin kuat.

Wacana politik, pembangunan, dan hak publik berkembang berkat komunikasi

publik melalui radio. Masyarakat yang ada di wilayah kerusuhan, konflik, dan

rawan bencana sangat mengandalkan informasi dari radio berinteraksi untuk

mendapatkan informasi terkini demi keselamatannya. Dari sini tampaklah jika

radio merupakan media ideal dalam kondisi kritis, karena sifat fleksibelnya

mengudara dengan biaya murah, menjaga kekinian, dialogis, dan menjaga

mobilitas khalayak yang tinggi. Maka tidak mengherankan jika karakter sederhana

yang melekat pada media radio yang dipadukan dengan teknologi digital,

menghasilkan komunikasi yang cepat, tersebar tanpa terbatas jarak dan waktu,

serta mampu menjangkau khalayak hingga ke lain belahan dunia.

Tren komunikasi membawa perubahan yang sangat signifikan dalam

perkembangan industri media massa. Idealisme media massa diuji saat mengikuti

keinginan pasar yang senantiasa berubah begitu cepat. Pasca orde baru masyarakat

Indonesia mengalami kemerdekaan bermedia yang didukung dengan terbitnya UU

No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran

yang membuka keran demokrasi bermedia. Sayangnya demokrasi bermedia kini

diartikan sebagai ‘siapa yang memiliki modal maka dia yang dapat menguasai

media massa’, dengan kata lain masyarakat Indonesia mengalami euforia

kebebasan bermedia. Berdasarkan data Komisi Penyiaran Indonesia Daerah

(KPID) Propinsi DIY, hingga akhir tahun 2012 tercatat ada 37 stasiun radio

swasta, 4 radio publik, 1 televisi publik, dan 14 televisi swasta (nasional dan

3

lokal) yang beroperasi di DIY (Suparyanto dan Arifin, 2012). Kondisi ini

berbanding terbalik dengan ketersediaan kanal frekuensi untuk televisi dan radio

yang sangat terbatas dan harus dibagi bersama dengan radio dan televisi

komunitas.

Secara tidak langsung, para pemilik modal mendirikan, membeli, dan /

atau menanam saham di perusahaan media hanya untuk keuntungan finansial.

Sementara gagasan tentang media massa yang mencerahkan menjadi melenceng

dari tujuan utama dalam pendirian perusahaan media massa. Kita dapat melihat

kondisi tersebut saat ini, saat media massa saling berlomba menjadi penyaji yang

tercepat dan memenuhi keinginan khalayak, tanpa menghiraukan etika bermedia.

Keberadaan media massa yang semakin banyak dengan konten yang hampir

seragam, nyatanya tidak diimbangi dengan respon masyarakat yang menjadi

khalayak pasif. Masyarakat cenderung diposisikan sebagai penerima pesan media

massa, bukan pemanfaat media massa untuk sarana berinteraksi dengan pemegang

kebijakan dan memberikan sumbangan dalam pembangunan. Padahal seharusnya

media massa menjadi salah satu pendukung utama keberhasilan pembangunan dan

sarana menjaga kelestarian tradisi.

Sejak pemerintahan Orde Baru turun, UU Pers dan UU Penyiaran

merupakan produk hukum yang mengakomodasi demokrasi bermedia. Kedua

regulasi tersebut memberikan ruang yang sangat luas pada lahirnya media

komunitas. Sebagai amanat perundang-undangan, media komunitas di Indonesia

memiliki peran sebagai media pembaharu yang memberikan ruang lebih luas

kepada khalayak untuk terlibat dalam aktivitas bermedia. Sterling (dalam

4

Schechter, 2007) menyatakan masyarakat perlu membangun relasi dengan media

massa sebagai bentuk kontrol masyarakat pada kehidupan media massa.

Masyarakat perlu memastikan dirinya tidak diperalat dan menjadi objek

perkembangan media massa. Kondisi tersebut memicu lahirnya kelompok-

kelompok pemerhati media massa yang gelisah pada bergesernya peran media

massa, khususnya media massa mainstream, dengan mendorongkan hadirnya

media komunitas di Indonesia. Mereka melihat keberhasilan media komunitas di

negara lain, dimana kontennya lebih memberikan nilai informasi dan edukasi bagi

masyarakat.

Di Indonesia, ide dasar perkembangan media komunitas secara khusus

adalah untuk menjangkau masyarakat yang terisolasi dan jauh dari titik-titik

sebaran informasi yang biasanya terpusat di kota-kota besar. Tujuan lainnya agar

kelompok masyarakat yang termarjinalkan memiliki ruang aspirasi serta berperan

dalam penentuan arah kebijakan. Kebebasan dan keterbukaan media massa telah

membuat warga semakin berani dan kritis dalam menghadapi ketidakadilan dari

pihak-pihak yang berkuasa, yang selama ini dianggap mengabaikan masyarakat

(Mulyana dalam Maryani, 2011). Idealnya, masyarakat yang terpapar informasi

dengan konten positif, khususnya ide-ide pembangunan, akan dapat berpartisipasi

lebih banyak pada kegiatan pembangunan di sekitarnya.

Salah satu karakter kelompok masyarakat di negara berkembang adalah

besarnya keterbatasan pelayanan informasi. Maka, kehadiran media komunitas

menjadi salah satu jawaban bagi kebutuhan informasi, khususnya di daerah-

daerah yang tidak terjangkau pelayanan jaringan media massa mainstream. Di sisi

5

lain, ada pihak-pihak yang menganggap keberadaan media komunitas merupakan

suatu bentuk perlawanan rakyat kepada pemerintah. Bahkan tidak jarang para

pemegang kebijakan menganggap media komunitas sebagai media yang

provokatif dan selalu mengkritik kebijakan pemerintah di tingkat lokal dan

nasional. Senyatanya masyarakat bukan ingin melawan negara, melainkan rakyat

hanya menyadarkan pada pemerintah jika mereka pun memiliki hak preogratif

dalam menentukan konten media dan penggunaan frekuensi yang sebenarnya

merupakan ranah publik (public sphere).

Di Indonesia, media komunitas mulai terorganisir pada tahun 2004

dengan lahirnya organisasi bertitel Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI)

yang diikuti terbentuknya Asosiasi Televisi Komunitas Indonesia (ATVKI) pada

tahun 2007. Kedua organisasi tersebut memayungi keberadaan dan aktivitas radio

dan televisi komunitas di nusantara, memastikan radio dan televisi komunitas

mendapatkan hak untuk memanfaatkan kanal frekuensi seperti yang tertuang

dalam UU Penyiaran, serta bertujuan untuk memastikan agar media komunitas

tidak melenceng dari misi utama yaitu sebagai media yang lebih berpihak pada

kebutuhan masyarakat lokal.

Kini ada banyak media komunitas yang berkembang selain radio dan

televisi komunitas, jumlahnya pun sudah tidak terhitung. Media komunitas hadir

untuk menyampaikan informasi dan edukasi kepada masyarakat dalam berbagai

bentuk, seperti majalah/buletin komunitas, video komunitas, dan website

komunitas. Hampir di setiap wilayah, warga memiliki inisiatif mendirikan media

internal sebagai sarana untuk berbagi informasi mengenai isu-isu aktual yang

6

berkembang di wilayah tertentu atau menjadi media alternatif karena ada beberapa

wilayah yang tergolong blank spot area untuk menerima pancaran media

tradisional mainstream. Keberadaan media komunitas mengakomodasi peran

media dalam dinamika kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Rubrikasi

yang dimuat di media komunitas merupakan rancangan dan jabaran kebutuhan

kelompok masyarakat yang sifatnya terbuka dan tidak tertutup pada ide dan isu

yang tiba-tiba muncul dalam kelompok masyarakat setempat.

Perkembangan media komunitas semakin meluas karena menjadi alat

kontrol penyelenggaraan dan kebijakan pemerintahan daerah, termasuk di

dalamnya transparansi anggaran, isu pembangunan kawasan, penanganan bencana

dan pelestarian kebudayaan lokal. Ada banyak hal strategis yang selama ini tidak

diketahui masyarakat awam mengenai penyelenggaraan dan kebijakan

pemerintahan daerah. Terlebih selama ini asistensi dari pemerintah daerah sangat

jarang menyentuh hingga masyarakat di pedesaan. Disinilah peran media

komunitas, yaitu untuk menginvestigasi pelayanan dan kebijakan pemerintah

daerah yang strategis, kemudian disampaikan kepada masyarakat. Di sisi lain,

masyarakat dapat menyampaikan keluhan, kritik, saran kepada pemerintah tingkat

desa hingga daerah (kabupaten/kota) melalui media komunitas setempat. Media

komunitas diharapkan menjadi agen perubahan untuk kepentingan dan kebutuhan

masyarakat, sehingga secara perlahan masyarakat dapat menikmati apa yang

disebut dengan era keterbukaan dan demokrasi yang sesungguhnya.

Jika media komunitas mendapatkan perannya sebagai media belajar bagi

masyarakat, maka bukan tidak mungkin jika media komunitas dapat menjadi mitra

7

sejajar bagi pemerintah. Belum banyak lembaga pemerintah yang menyadari

manfaat dari keberadaan media komunitas untuk menyampaikan hal-hal strategis

kepada masyarakat. Kurang harmonisnya hubungan media komunitas dengan

pemerintah seolah dapat dimaklumi mengingat mayoritas pegiat media komunitas

beranggapan jika pemerintah merupakan lawan yang selalu bertahan dengan status

quo, sehingga kerjasama media komunitas lebih banyak dibangun dengan

lembaga atau organisasi non pemerintah baik di tingkat regional, nasional, dan

internasional. Padahal jika pemerintah daerah dan media komunitas bersinergi

dalam pembangunan, bukan tidak mungkin jika masyarakat yang selama ini sulit

mengakses layanan informasi, akan menunjukkan partisipasinya sebagai warga

negara untuk menyumbangkan aspirasinya dalam pembuatan kebijakan dan

aktivitas pembangunan.

Secara khusus, kajian mengenai media komunitas didominasi oleh

perkembangan radio komunitas yang memang lebih mudah dimanfaatkan baik

oleh pengelolanya maupun oleh khalayaknya. Tabing (dalam Pandjaitan,1999)

dengan tegas menayatakan bahwa radio komunitas mendorong terjadinya interaksi

antar sesama anggota masyarakat secara dinamis dan proaktif sebagai satu

kesatuan komunitas. Kondisi yang seperti ini sangat membantu kemajuan dalam

menunjang sistem komunikasi dua arah, antara pemimpin dan masyarakat.

Keberanian untuk mengekspresikan diri diantara masyarakat menjadi tumbuh

subur. Hal ini menumbuh-kembangkan keterlibatan yang aktif dari warga

masyarakat dalam mencari solusi terbaik memecahkan masalah disekitar mereka.

8

Masyarakat secara aktif dan mandiri berbicara satu dengan yang lainnya, bertukar

berita, dan informasi.

Dalam UU Penyiaran telah dinyatakan bahwa radio komunitas

merupakan bagian dari lembaga penyiaran komunitas yang berbadan hukum

Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak

komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta

untuk melayani kepentingan komunitasnya. Selain itu, radio komunitas

merupakan komunitas nonpartisan yang keberadaan organisasinya bukan

representasi dari organisasi atau komunitas asing dan tidak bertujuan untuk

melakukan propaganda bagi kelompok tertentu. Sudah tidak diragukan lagi jika

warga komunitas-lah yang paling berhak menentukan nasib radio komunitas,

bagaimana pemanfaatannya, isu apa saja yang menjadi fokus siaran, dan sumber-

sumber pendanaan untuk menyokong operasionalisasi radio komunitas.

Banyaknya batasan yang harus dipatuhi oleh lembaga penyiaran

komunitas, ditanggapi dingin oleh para pegiatnya yang mengakibatkan citra buruk

radio dan televisi komunitas sebagai media yang kontra dengan pemerintah

semakin menebal. Jika kita mencermati prosedur pengajuan ijin penyelenggaraan

penyiaran (IPP) yang cukup panjang bagi sebuah media berskala kecil, aturan

tersebut dinilai menyita waktu dan materi. Sesuai dengan aturan yang ditetapkan

KPI, lembaga penyiaran komunitas harus mematuhi beberapa aspek administrasi

antara lain: (a) memiliki akta pendirian perkumpulan komunitas; (b) memiliki

catatan dana kontribusi komunitas; (c) pendirian lembaga penyiaran komunitas

disetujui oleh minimal 51 persen warga setempat atau 250 penduduk dewasa; dan

9

(d) lembaga penyiaran komunitas tidak boleh mencari keuntungan materiil (non-

profit) dalam kegiatan operasionalnya. Aturan selengkapnya terlampir di bagian

akhir penelitian ini.

Oleh pegiat radio dan televisi komunitas, syarat-syarat administrasi

tersebut dinilai terlalu banyak dan menyita waktu hingga bertahun-tahun.

Akibatnya banyak lembaga penyiaran komunitas, dalam hal ini didominasi oleh

radio komunitas, yang bersiaran tanpa mengantongi IPP terlebih dulu. Disinilah

perlawanan lembaga penyiaran komunitas pada pemerintah semakin meruncing,

yang berujung pada hubungan disharmonis antara radio dan televisi komunitas

dengan institusi pemerintah. Padahal radio komunitas memiliki peran sangat

penting sebagai media yang paling dekat dengan masyarakat, dimana masyarakat

Indonesia memiliki kecenderungan berkelompok. Seharusnya pemerintah dapat

melihat peluang media komunitas yang dapat menjadi jembatan komunikasi

antara masyarakat dengan pemerintah lokal dan pendukung pembangunan. Hal ini

sejalan dengan pernyataan Dahlan (1999), radio secara umum berfungsi sebagai

sumber informasi utama dan sarana komunikasi untuk mengamati perubahan

lingkungan yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Merespon regulasi yang mensyaratkan legalitas dan untuk

mengakomodasi keberadaan radio komunitas di Indonesia, beberapa tahun

terakhir, bertambahlah peran jaringan radio komunitas yang harus mendorong

harmonisasi hubungan anggotanya dengan institusi pemerintah. Tujuannya,

menjadikan radio komunitas sebagai media netral dan menampung informasi dari

berbagai sumber. DIY sebagai salah satu propinsi yang menjadi barometer

10

demokrasi, memiliki puluhan radio komunitas yang menempati kanal frekuensi

khusus radio komunitas. Berdasarkan data Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta

(JRKY) hingga akhir Juni 2012 tercatat ada 34 radio komunitas yang aktif dan

tersebar di empat kabupaten dan Kota Yogyakarta, yang berdiri atas keswadayaan

masyarakat maupun yang berdiri di lingkungan kampus (akademis).

Dalam dinamika organisasi, dorongan untuk membentuk jaringan serupa

di tiap kabupaten semakin kuat untuk menjaga kesinambungan isu kewilayahan.

Ide jejaring berdasarkan kewilayahan yang lebih sempit ditangkap oleh pegiat

radio komunitas di Kabupaten Gunungkidul. Pada tahun 2009 para pegiat radio

komunitas di Gunungkidul mendorong terbentuknya jaringan media komunitas

berbasis kewilayahan kabupaten yang memiliki visi membuka keran informasi

dengan melibatkan banyak pihak. Diharapkan keterbukaan tersebut dapat

memecah kebuntuan komunikasi yang dialami media komunitas dengan lembaga-

lembaga pendukung pembangunan, khususnya dengan institusi pemerintah,

khususnya di tingkat Kabupaten, untuk kemudian menjadikan media komunitas

sebagai media milik bersama seluruh elemen masyarakat (Wawancara dengan

Koordinator JMKGK - Hernindya Wisnuadji, 12 Maret 2012).

Berdasarkan capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Propinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2011, Kabupaten Gunungkidul tercatat

sebagai daerah yang menduduki peringkat terbawah dalam perkembangan sosial

ekonomi dengan rata-rata IPM 70,45 (BPS DIY, 2012). Selain itu, secara riil

kondisi penduduk jumlah usia produktif yang tinggal di Gunungkidul semakin

menurun karena kelompok masyarakat usia produktif memilih merantau (bekerja)

11

ke kota besar. Sayangnya berbagai program pembangunan yang dicanangkan oleh

pemerintah daerah selama ini kurang dapat tersosialisasikan dan terlaksana

dengan baik. Media massa tampak kurang banyak mengeksplorasi potensi lokal

ditambah aksesibilitas masyarakat pada media massa sangat terbatas (daya baca

rendah, sebaran informasi yang tidak merata, dan ketersediaan sarana alat

komunikasi) memperparah kondisi interaksi masyarakat dengan pemerintah

daerah (Rangkuman Catatan Pembentukan JMKGK, 2009). Di sisi lain, sebagai

daerah yang dianggap memiliki tingkat kemajuan rendah, Gunungkidul banyak

mendapat perhatian dari lembaga non pemerintah, baik nasional dan internasional

untuk mendorong keberdayaan masyarakat dan keterlibatan aktif dalam

pembangunan, termasuk menginisiasi pemanfaatan media komunitas.

Perkembangan media komunitas di Gunungkidul berawal dari berdirinya

beberapa radio komunitas di Kecamatan Karangmojo, Ngawen, Semanu, Playen,

Wonosari, Rongkop, dan Patuk pada rentang tahun 2002 hingga 2009. Akhir

tahun 2009, lima radio komunitas mengikatkan diri dalam Jaringan Media

Komunitas Gunungkidul (JMKGK). Dalam perjalananannya, jaringan media

komunitas tersebut tidak hanya beranggotakan radio komunitas, tetapi website

komunitas pun menjadi bagian dari JMKGK. Tujuan utama terbentuknya JMKGK

adalah sebagai sarana komunikasi untuk memastikan kebijakan di Gunungkidul

benar-benar sampai di tangan masyarakat. Berbagai sosialisasi kebijakan

Pemerintah Kabupaten Gunungkidul terasa lebih cepat tersebar melalui JMKGK

dan posisi masyarakat sudah berubah subjek yang terlibat aktif untuk mengawal

pembangunan di Gunungkidul. Dalam masa tiga tahun, JMKGK dapat berelasi

12

dengan lembaga pemerintah dan non pemerintah, serta menjadi bagian dari

perencanaan hingga evaluasi pembangunan. Bagi JMKGK, media komunitas

menjadi sarana alternatif terciptanya komunikasi antar warga dan antara warga

dengan pemerintah.

Kesungguhan para anggota JMKGK memainkan peran strategis dalam

pembangunan daerah harus dihadapkan pada kenyataan tentang keswadayaan

dalam segala aspek. Keanggotaan dalam JMKGK bersifat terbuka bagi seluruh

media komunitas (apapun jenisnya) di Gunungkidul. Artinya, anggota yang

berstatus tidak aktif dapat bergabung dan aktif kembali dalam kegiatan jaringan.

Dalam Tabel 1.1 terinci status keanggotaan JMKGK pada saat tahap pra-survey.

Tabel 1.1 Anggota Jaringan Media Komunitas Gunungkidul

Nama Media Isu Utama Bentuk Media Lokasi Status Keaktifan

Waktu Bergabung

Radio Komunitas Desa Kawasan Konservasi (Radekka)

Lingkungan hidup, pertanian

Radio komunitas Kecamatan Patuk

Aktif 2009

Radio Komunitas Suara Manunggal (RKSM)

Pertanian, budaya

Radio komunitas Kecamatan Semanu

Aktif 2009

Radio Komunitas Intan

Pertanian Radio komunitas Kecamatan Playen

Aktif 2009

Radio Komunitas Agriculture Group (RAG)

Pertanian Radio komunitas Kecamatan Ngawen

Aktif 2009

Radio Komunitas Mahardika

Lingkungan, budaya

Radio komunitas Kecamatan Karangmojo

Tidak Aktif 2009

Radio Komunitas Argosari Radioline

Kesehatan, ekonomi produktif

Radio komunitas Pasar Argosari, Kecamatan Wonosari

Aktif 2011

Mata Warga Sosial, politik, ekonomi, budaya

Website komunitas

Kecamatan Wonosari

Tidak Aktif 2010

(Sumber: Data JMKGK, Oktober 2012).

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil fokus pada aktivitas radio

komunitas anggota JMKGK. Jaringan media komunitas ini diinisiasi oleh para

pegiat radio komunitas, sehingga mereka dianggap yang paling tahu mengenai

latar belakang terbentuknya

diemban untuk mentransmisikan informasi dari berbagai

komunitasnya. Radio komunitas di Kabupaten Gunungkidul tersebar di enam

kecamatan dengan jangkauan siaran meliputi 70% wilayah administratif (Gambar

1.1).

Gambar 1.1

Komunikasi pembangunan merupakan hal praktis dan implementif

sangat penting bagi pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, dan lembaga non

Keterangan:

: Lokasi radio komunitas

pegiat radio komunitas, sehingga mereka dianggap yang paling tahu mengenai

latar belakang terbentuknya jaringan media komunitas dan misi

diemban untuk mentransmisikan informasi dari berbagai sumber kepada warga

Radio komunitas di Kabupaten Gunungkidul tersebar di enam

kecamatan dengan jangkauan siaran meliputi 70% wilayah administratif (Gambar

.1 Peta Sebaran Radio Komunitas Anggota JMKGK

1.2 Rumusan Masalah

Komunikasi pembangunan merupakan hal praktis dan implementif

sangat penting bagi pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, dan lembaga non

Lokasi radio komunitas

13

pegiat radio komunitas, sehingga mereka dianggap yang paling tahu mengenai

dan misi-misi yang

sumber kepada warga

Radio komunitas di Kabupaten Gunungkidul tersebar di enam

kecamatan dengan jangkauan siaran meliputi 70% wilayah administratif (Gambar

Peta Sebaran Radio Komunitas Anggota JMKGK.

Komunikasi pembangunan merupakan hal praktis dan implementif yang

sangat penting bagi pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, dan lembaga non

14

pemerintah lainnya. Agar pesan-pesan pembangunan sampai ke masyarakat, perlu

ada dorongan kepada lembaga-lembaga tersebut agar memanfaatkan keberadaan

media komunitas sebagai jembatan komunikasi yang dapat mengelola pesan

pembangunan dan menyalurkannya melalui ranah frekuensi. Selain itu, media

komunitas pun perlu ditarik dari resistensinya pada birokrasi agar menjadi mitra

strategis bagi siapapun dalam komunikasi pembangunan yang obyektif.

Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti mengambil rumusan masalah

dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana peran jaringan media komunitas dalam berhubungan dengan

lembaga pemerintah dan non pemerintah untuk penyebaran ide-ide

pembangunan?

2. Bagaimana strategi komunikasi jaringan media komunitas dalam

komunikasi pembangunan?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan peran jaringan media komunitas dalam berelasi dengan

lembaga pemerintah dan non pemerintah untuk penyebaran ide-ide

pembangunan.

2. Mendeskripsikan strategi komunikasi jaringan media komunitas dalam

komunikasi pembangunan.

15

1.4 Keaslian Penelitian

Sepanjang penelusuran peneliti, penelitian mengenai peran dan strategi

komunikasi dalam komunikasi pembangunan belum pernah dilakukan. Penelitian

dengan obyek media komunitas lebih banyak menggali aspek pemberdayaan radio

komunitas, serta iklim demokrasi yang mengantarkan radio komunitas menjadi

bagian dari kehidupan bermedia massa. Beberapa penelitian tentang radio

komunitas yang menjadi acuan peneliti antara lain: (1) Negotiating Public and

Community Media in Post-Soeharto Indonesia (Gazali, 2003); (2) Community

Radio and Grassroots Democracy (Birowo, 2010); (3) Keberadaan Radio

Komunitas Sebagai Eskalasi Demokratisasi Komunikasi (Rachmatie, 2005); (4)

Media dan Perubahan Sosial, Suara Perlawanan Melalui Radio Komunitas

(Maryani, 2007); 5) Sosiologi Media: Studi Kasus Terhadap Eksistensi Sebuah

Radio Komunitas di Yogyakarta (Eddyono, 2008). Secara rinci penelitian

terdahulu yang menjadi acuan peneliti tercantum dalam Tabel 1.2.

16

Tabel 1.2 Penelitian Terdahulu Tentang Radio Komunitas Peneliti dan Judul Penelitian Obyek Penelitian Tujuan Penelitian Hasil Penelitian

Gazali, E., 2003, Negotiating Public and Community Media in Post-Suharto Indonesia (dalam The Public Journal)

Kepemilikan media massa dan keberpihakan pemerintah pada aksesibilitas dan kontrol publik pada konten media.

1. Mengidentifikasi mitra strategis potensial dalam situasi kepenyiaranan Indonesia pasca Orde Baru.

2. Menggali solusi untuk membuka aksesibilitas publik pada media penyiaran.

1. Terjadi pergeseran sistem media di Indonesia pasca reformasi yang merujuk pada perubahan posisi TVRI dan RRI sebagai media penyiaran publik dan mengatasi aksesibilitas informasi.

2. UU Penyiaran harus menjamin otonomi masyarakat mengakses informasi lokal dan tersedianya ruang bagi masyarakat dalam pengawasan dan evaluasi lembaga penyiaran publik, komersial, komunitas, dan berlangganan.

Birowo, M.A., 2010, Community Radio and Grassroots Democracy: A Case Study of Three Villages in Yogyakarta Region, Indonesia (Disertasi)

Peran radio komunitas dalam membangun partisipasi masyarakat, diharapkan ada relevansinya terhadap pengembangan demokrasi di desa Timbulharjo, Minomartani dan Wiladeg, selama masa transisi demokrasi di Indonesia.

1. Menjelaskan sejarah dan posisi radio komunitas dalam sistem media massa di Indonesia.

2. Menguraikan teori kritis atas radio komunitas berdasar konsep ruang publik dan komunikasi partisipatif.

3. Pemanfaatan radio komunitas sebagai tolok ukur demokratisasi bermedia di tingkat desa.

4. Pemanfaatan radio komunitas sebagai model media aksi kebencanaan.

1. Radio komunitas telah memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam pengembangan demokrasi dari bawah (democracy from grass root), sehingga masyarakat dapat mengekspresikan dan menyampaikan kebutuhannya yang selama ini tidak terakomodasi media mainstream.

2. Sejalan dengan teori Paulo Freire, dikemukakan jika masyarakat menggunakan radio komunitas sebagai alat untuk memecahkan masalah dengan pendekatan sesuai dengan karakteristik masyarakat setempat.

3. Radio komunitas harus dapat memainkan peran penting dalam upaya pencegahan dan penanganan bencana alam, mengingat sebagian besar kawasan Indonesia merupakan wilayah yang potensial bencana alam.

17

Tabel 1.2 (Lanjutan) Peneliti dan Judul Penelitian Obyek Penelitian Tujuan Penelitian Hasil Penelitian

Rachmatie, A., 2005, Keberadaan Radio Komunitas Sebagai Eskalasi Demokratisasi Komunikasi (Disertasi yang diterbitkan oleh Simbiosa Rekatama Media)

Keberadaan radio komunitas di pedesaan dikaitkan dengan eskalasi demokratisasi komunikasi di dua wilayah dengan karakteristik yang sangat berbeda. Peneliti memilih Kecamatan Cisewu (Kabupaten Garut) yang secara geografis tertutup dan berada di blank spot information area, dan Kecamatan Wanayasa (Kabupaten Purwakarta) yang lokasi dan struktur sosial masyarakatnya relatif terbuka.

1. Mencari gambaran atau profil keberadaan radio komunitas yang sudah diselenggarakan di masing-masing wilayah serta mencari alasan mengapa warga mendirikan radio komunitas.

2. Memetakan peran dan fungsi yang dijalankan lembaga radio komunitas dalam komunitas di pedesaan.

3. Mencari faktor penghambat dan pendukung demokratisasi komunikasi pada komunitas pedesaan.

4. Besaran eskalasi (peningkatan) pemahaman, kesadaran, dan keterampilan para pegiat radio komunitas dalam menghimpun, mengolah, mengemas, dan menyampaikan informasi pada warga komunitas pedesaan.

1. Radio komunitas muncul secara signifikan karena dorongan perubahan politik saat era reformasi. Berbagai forum dan saluran komunikasi memberi semangat dan kesadaran warga di pedesaan pada hak berpendapat. Namun kondisi tersebut tidak disertai pembelajaran agar lebih warga profesional dalam berkomunikasi.

2. Peran dan fungsi radio komunitas belum optimal dalam percepatan dan perluasan informasi antar warga. Hal ini dipengaruhi oleh tradisi komunikasi yang lebih bersifat top-down, khususnya di wilayah tertutup. Struktur komunikasi masyarakat pedesaan yang masih hierarkis tidak perlu dihilangkan, melainkan dikondisikan dalam bentuk diskusi publik di antara masyarakat dengan tetap beretika dan mengacu pada norma budaya.

3. Demokratisasi komunikasi dapat tercapai jika tersedia berbagai ruang publik yang terbuka, baik secara tatap muka maupun melalui media, ada pemahaman dan kesadaran warga tentang hak-hak komunikasi, kepemilikan media yang tersebar, serta dukungan regulasi dan infrastruktur komunikasi.

4. Otonomi daerah memberi semangat peningkatan partisipasi masyarakat marginal (warga desa) melalui keterbukaan akses informasi, sehingga pada tahap selanjutnya terjadi peningkatan kualitas sumber daya manusia.

18

Tabel 1.2 (Lanjutan)

Peneliti dan Judul Penelitian Obyek Penelitian Tujuan Penelitian Hasil Penelitian Maryani, E., 2007, Media dan Perubahan Sosial, Suara Perlawanan Melalui Radio Komunitas (Disertasi yang diterbitkan oleh Rosda)

Obyek penelitian ini adalah dinamika hubungan media dengan masyarakat dan perubahan sosial yang menyertainya. Media yang pada awalnya dikembangkan untuk memperluas kesadaran manusia akan kepentingannya, dalam perkembangannya menjadi alat yang dikuasai oleh kelompok dominan. Kebutuhan masyarakat akan media di tiap komunitas perlu diperhatikan, mengingat media komunitas dapat menjadi alternatif terciptanya komunikasi yang melibatkan masyarakat, memenuhi kepentingan masyarakat, dan tidak memarjinalkan keberadaan masyarakat tertentu, serta dapat mengatasi hambatan budaya. Penelitian ini dilakukan di Radio Komunitas Angkringan, Timbulharjo, Kabupaten Bantul.

1. Pendekatan mikro, melihat permasalahan resistensi komunitas berkaitan dengan isu tentang kesadaran dan pemikiran-pemikiran dari komunitas terhadap budaya dan struktur dominan.

2. Pendekatan makro, memberi pemahaman tentang aneka keterkaitan baik dari konteks sosial, ekonomi, maupun politik dalam berbagai kehidupan masyarakat sehari-hari melingkupi kesadaran, pemikiran, maupun aktivitasnya.

3. Pendekatan meso, media alternatif sebagai sebuah institusi berpijak pada dukungan kesadaran, pemikiran, dan kepentingan individu-individu pendukungnya serta permasalahan dalam pengelolaan media itu sendiri, termasuk harmonisasi dalam relasi kehidupan masyarakat Jawa yang dinilai ada distorsi komunikasi dalam komunitas.

1. Media komunitas sebagai media alternatif bertujuan memperkuat, mempertahankan, serta mengembangkan keberadaan dan kepentingan komunitas melalui media.

2. Resistensi komunitas ditujukan kepada birokrasi dan media mainstream. Dalam perkembangannya menghasilkan resistensi terhadap kebijakan negara yang memarjinalkan komunitas, resistensi pada budaya kritik Jawa dan budaya patriarki yang memarjinalkan kelompok perempuan. Resistensi menjadikan tindakan komunikatif sebagai basis kekuatan dan rasionalitas komunikasi sebagai perspektifnya.

3. Keberlangsungan media komunitas bukan tanpa ancaman, Banyak upaya melemahkan kesadaran internal dan ada upaya sistematis pihak eksternal. Ketika legalitas media komunitas masih dipertanyakan dan hukum secara prosedural justru menghambat proses tersebut, maka ketidak-legal-an media komunitas seolah-olah menjadi alasan negara melanggar hak komunitas untuk memiliki akses terhadap media dan berbagai informasi.

19

Tabel 1.2 (Lanjutan)

Peneliti dan Judul Penelitian Obyek Penelitian Tujuan Penelitian Hasil Penelitian Eddyono, A.S., 2008, Sosiologi Media: Studi Kasus Terhadap Eksistensi Sebuah Radio Komunitas di Yogyakarta (dalam Jurnal-jurnal Ilmu Sosial)

Makna keberadaan radio komunitas bagi warga komunitas di sekitarnya. Ada banyak kepentingan yang hidup dalam komunitas, maka pegiat radio komunitas perlu memetakan keterwakilan dan mengarahkan keberpihakannya pada kelompok masyarakat minoritas.

1. Mengidentifikasi besaran partisipasi komunitas (masyarakat) di sekitar radio komunitas.

2. Memetakan relasi antara radio komunitas dengan lembaga jaringan pelindung eksistensi radio komunitas.

1. Radio komunitas berdiri atas inisiatif pihak ketiga yang bukan merupakan warga komunitas, sehingga perlu ada penyadaran peran warga komunitas sejak dari pendirian, pendanaan, hingga pelaksanaan operasionalnya. Hal ini termasuk kesukarelaan warga komunitas agar keterwakilan kebutuhan terakomodir.

2. Lembaga jaringan yang mayoritas merupakan lembaga non pemerintah sangat mempengaruhi hidup matinya radio komunitas, dari segi program dan pembiayaan. Yang paling dikhawatirkan adalah radio komunitas bukan menjadi media yang dimanfaatkan oleh warga komunitas melainkan menjadi alat kepentingan bagi lembaga-lembaga jaringan tersebut.

3. UU Penyiaran dan KM 15, dirasakan tidak realistis bagi radio komunitas. Kedua regulasi tersebut secara teknis tidak mendukung keberadaan radio komunitas. Maka perlu aturan hukum yang secara teknis dan non-teknis berpihak pada radio komunitas.

20

Penelitian-penelitian tersebut menitikberatkan pada keberadaan radio

komunitas sebagai perwujudan demokrasi bermedia dan tentangan pada regulasi yang

mengatur tentang lembaga penyiaran komunitas, serta upaya untuk memberdayakan

radio komunitas sebagai media komunikasi di tingkat akar rumput. Sementara penelitian

ini menggali lebih jauh informasi peran dan strategi komunikasi yang digunakan oleh

jaringan media komunitas dalam harmonisasi relasi dengan pemerintah untuk

menyebarluaskan informasi pembangunan serta menjadi alat yang memungkinkan

terjadinya peningkatan partisipasi masyarakat. Dalam penelitian ini masyarakat (warga

komunitas) dianggap telah menyadari fungsi media komunitas, sehingga peneliti

berfokus tentang bagaimana jaringan media komunitas berperan dalam mendorong

radio komunitas sebagai alat penyebaran informasi dan menyusun rencana strategis

dalam berkomunikasi dengan para stakeholder pembangunan.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat di bidang:

1. Manfaat Akademis

Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat menambah rujukan akademis dalam

bidang komunikasi pembangunan, terutama dalam hal pengembangan dan

pemberdayaan media massa untuk pembangunan.

2. Manfaat Praktis

Peneliti menginginkan agar hasil penelitian ini memberikan tawaran konsep

strategi berkomunikasi jaringan media komunitas, dalam berelasi dengan

berbagai stakeholder pembangunan yang pada akhirnya masyarakat dapat

merespons kebijakan pemerintah.