I. PENDAHULUAN -...
Transcript of I. PENDAHULUAN -...
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan kemajuan jaman, peran media massa telah berkembang
sebagai penyaji informasi teraktual dari berbagai penjuru, serta menembus ruang
dan waktu. Perubahan paradigma tren komunikasi menjadikan media massa
tradisional (surat kabar, televisi, radio, film) tergeser keberadaannya oleh
kehadiran berbagai perangkat lunak yang digunakan oleh media baru (internet)
memudahkan pertukaran informasi terjadi lebih cepat.
Masing-masing institusi media massa mengubah strategi jangkauan
khalayak dengan memanfaatkan internet. Yang paling tampak adalah dengan
konvergensi media seperti halnya koran dan majalah yang terbit dalam dua versi,
yaitu cetak dan online. Selain konvergensi media cetak, fenomena lain yang kini
sedang dinikmati khalayak adalah siaran radio streaming. Seiring dengan
perkembangan teknologi, peneliti beranggapan jika media radio cukup mampu
beradaptasi dengan teknologi baru. Dengan tidak menghilangkan model siaran
lama yang memanfaatkan kanal frekuensi, hampir semua media radio kini dapat
memanfaatkan bandwidth dan melakukan siaran streaming, sehingga khalayak
dari segala penjuru dunia dapat mendengarkan siaran tanpa harus menyediakan
pesawat radio atau telepon seluler, selama khalayaknya terhubung dengan
internet. Keadaan ini dirasakan sangat menolong keterbatasan yang selama ini
dialami media massa, baik media cetak dan media elektronika, dalam melayani
khalayak yang sebarannya semakin tidak terbatas jarak.
2
Jika menengok medio 15 tahun silam, sejak reformasi bergulir tahun
1998, potensi dan daya penetrasi radio dalam konteks demokratisasi semakin kuat.
Wacana politik, pembangunan, dan hak publik berkembang berkat komunikasi
publik melalui radio. Masyarakat yang ada di wilayah kerusuhan, konflik, dan
rawan bencana sangat mengandalkan informasi dari radio berinteraksi untuk
mendapatkan informasi terkini demi keselamatannya. Dari sini tampaklah jika
radio merupakan media ideal dalam kondisi kritis, karena sifat fleksibelnya
mengudara dengan biaya murah, menjaga kekinian, dialogis, dan menjaga
mobilitas khalayak yang tinggi. Maka tidak mengherankan jika karakter sederhana
yang melekat pada media radio yang dipadukan dengan teknologi digital,
menghasilkan komunikasi yang cepat, tersebar tanpa terbatas jarak dan waktu,
serta mampu menjangkau khalayak hingga ke lain belahan dunia.
Tren komunikasi membawa perubahan yang sangat signifikan dalam
perkembangan industri media massa. Idealisme media massa diuji saat mengikuti
keinginan pasar yang senantiasa berubah begitu cepat. Pasca orde baru masyarakat
Indonesia mengalami kemerdekaan bermedia yang didukung dengan terbitnya UU
No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran
yang membuka keran demokrasi bermedia. Sayangnya demokrasi bermedia kini
diartikan sebagai ‘siapa yang memiliki modal maka dia yang dapat menguasai
media massa’, dengan kata lain masyarakat Indonesia mengalami euforia
kebebasan bermedia. Berdasarkan data Komisi Penyiaran Indonesia Daerah
(KPID) Propinsi DIY, hingga akhir tahun 2012 tercatat ada 37 stasiun radio
swasta, 4 radio publik, 1 televisi publik, dan 14 televisi swasta (nasional dan
3
lokal) yang beroperasi di DIY (Suparyanto dan Arifin, 2012). Kondisi ini
berbanding terbalik dengan ketersediaan kanal frekuensi untuk televisi dan radio
yang sangat terbatas dan harus dibagi bersama dengan radio dan televisi
komunitas.
Secara tidak langsung, para pemilik modal mendirikan, membeli, dan /
atau menanam saham di perusahaan media hanya untuk keuntungan finansial.
Sementara gagasan tentang media massa yang mencerahkan menjadi melenceng
dari tujuan utama dalam pendirian perusahaan media massa. Kita dapat melihat
kondisi tersebut saat ini, saat media massa saling berlomba menjadi penyaji yang
tercepat dan memenuhi keinginan khalayak, tanpa menghiraukan etika bermedia.
Keberadaan media massa yang semakin banyak dengan konten yang hampir
seragam, nyatanya tidak diimbangi dengan respon masyarakat yang menjadi
khalayak pasif. Masyarakat cenderung diposisikan sebagai penerima pesan media
massa, bukan pemanfaat media massa untuk sarana berinteraksi dengan pemegang
kebijakan dan memberikan sumbangan dalam pembangunan. Padahal seharusnya
media massa menjadi salah satu pendukung utama keberhasilan pembangunan dan
sarana menjaga kelestarian tradisi.
Sejak pemerintahan Orde Baru turun, UU Pers dan UU Penyiaran
merupakan produk hukum yang mengakomodasi demokrasi bermedia. Kedua
regulasi tersebut memberikan ruang yang sangat luas pada lahirnya media
komunitas. Sebagai amanat perundang-undangan, media komunitas di Indonesia
memiliki peran sebagai media pembaharu yang memberikan ruang lebih luas
kepada khalayak untuk terlibat dalam aktivitas bermedia. Sterling (dalam
4
Schechter, 2007) menyatakan masyarakat perlu membangun relasi dengan media
massa sebagai bentuk kontrol masyarakat pada kehidupan media massa.
Masyarakat perlu memastikan dirinya tidak diperalat dan menjadi objek
perkembangan media massa. Kondisi tersebut memicu lahirnya kelompok-
kelompok pemerhati media massa yang gelisah pada bergesernya peran media
massa, khususnya media massa mainstream, dengan mendorongkan hadirnya
media komunitas di Indonesia. Mereka melihat keberhasilan media komunitas di
negara lain, dimana kontennya lebih memberikan nilai informasi dan edukasi bagi
masyarakat.
Di Indonesia, ide dasar perkembangan media komunitas secara khusus
adalah untuk menjangkau masyarakat yang terisolasi dan jauh dari titik-titik
sebaran informasi yang biasanya terpusat di kota-kota besar. Tujuan lainnya agar
kelompok masyarakat yang termarjinalkan memiliki ruang aspirasi serta berperan
dalam penentuan arah kebijakan. Kebebasan dan keterbukaan media massa telah
membuat warga semakin berani dan kritis dalam menghadapi ketidakadilan dari
pihak-pihak yang berkuasa, yang selama ini dianggap mengabaikan masyarakat
(Mulyana dalam Maryani, 2011). Idealnya, masyarakat yang terpapar informasi
dengan konten positif, khususnya ide-ide pembangunan, akan dapat berpartisipasi
lebih banyak pada kegiatan pembangunan di sekitarnya.
Salah satu karakter kelompok masyarakat di negara berkembang adalah
besarnya keterbatasan pelayanan informasi. Maka, kehadiran media komunitas
menjadi salah satu jawaban bagi kebutuhan informasi, khususnya di daerah-
daerah yang tidak terjangkau pelayanan jaringan media massa mainstream. Di sisi
5
lain, ada pihak-pihak yang menganggap keberadaan media komunitas merupakan
suatu bentuk perlawanan rakyat kepada pemerintah. Bahkan tidak jarang para
pemegang kebijakan menganggap media komunitas sebagai media yang
provokatif dan selalu mengkritik kebijakan pemerintah di tingkat lokal dan
nasional. Senyatanya masyarakat bukan ingin melawan negara, melainkan rakyat
hanya menyadarkan pada pemerintah jika mereka pun memiliki hak preogratif
dalam menentukan konten media dan penggunaan frekuensi yang sebenarnya
merupakan ranah publik (public sphere).
Di Indonesia, media komunitas mulai terorganisir pada tahun 2004
dengan lahirnya organisasi bertitel Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI)
yang diikuti terbentuknya Asosiasi Televisi Komunitas Indonesia (ATVKI) pada
tahun 2007. Kedua organisasi tersebut memayungi keberadaan dan aktivitas radio
dan televisi komunitas di nusantara, memastikan radio dan televisi komunitas
mendapatkan hak untuk memanfaatkan kanal frekuensi seperti yang tertuang
dalam UU Penyiaran, serta bertujuan untuk memastikan agar media komunitas
tidak melenceng dari misi utama yaitu sebagai media yang lebih berpihak pada
kebutuhan masyarakat lokal.
Kini ada banyak media komunitas yang berkembang selain radio dan
televisi komunitas, jumlahnya pun sudah tidak terhitung. Media komunitas hadir
untuk menyampaikan informasi dan edukasi kepada masyarakat dalam berbagai
bentuk, seperti majalah/buletin komunitas, video komunitas, dan website
komunitas. Hampir di setiap wilayah, warga memiliki inisiatif mendirikan media
internal sebagai sarana untuk berbagi informasi mengenai isu-isu aktual yang
6
berkembang di wilayah tertentu atau menjadi media alternatif karena ada beberapa
wilayah yang tergolong blank spot area untuk menerima pancaran media
tradisional mainstream. Keberadaan media komunitas mengakomodasi peran
media dalam dinamika kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Rubrikasi
yang dimuat di media komunitas merupakan rancangan dan jabaran kebutuhan
kelompok masyarakat yang sifatnya terbuka dan tidak tertutup pada ide dan isu
yang tiba-tiba muncul dalam kelompok masyarakat setempat.
Perkembangan media komunitas semakin meluas karena menjadi alat
kontrol penyelenggaraan dan kebijakan pemerintahan daerah, termasuk di
dalamnya transparansi anggaran, isu pembangunan kawasan, penanganan bencana
dan pelestarian kebudayaan lokal. Ada banyak hal strategis yang selama ini tidak
diketahui masyarakat awam mengenai penyelenggaraan dan kebijakan
pemerintahan daerah. Terlebih selama ini asistensi dari pemerintah daerah sangat
jarang menyentuh hingga masyarakat di pedesaan. Disinilah peran media
komunitas, yaitu untuk menginvestigasi pelayanan dan kebijakan pemerintah
daerah yang strategis, kemudian disampaikan kepada masyarakat. Di sisi lain,
masyarakat dapat menyampaikan keluhan, kritik, saran kepada pemerintah tingkat
desa hingga daerah (kabupaten/kota) melalui media komunitas setempat. Media
komunitas diharapkan menjadi agen perubahan untuk kepentingan dan kebutuhan
masyarakat, sehingga secara perlahan masyarakat dapat menikmati apa yang
disebut dengan era keterbukaan dan demokrasi yang sesungguhnya.
Jika media komunitas mendapatkan perannya sebagai media belajar bagi
masyarakat, maka bukan tidak mungkin jika media komunitas dapat menjadi mitra
7
sejajar bagi pemerintah. Belum banyak lembaga pemerintah yang menyadari
manfaat dari keberadaan media komunitas untuk menyampaikan hal-hal strategis
kepada masyarakat. Kurang harmonisnya hubungan media komunitas dengan
pemerintah seolah dapat dimaklumi mengingat mayoritas pegiat media komunitas
beranggapan jika pemerintah merupakan lawan yang selalu bertahan dengan status
quo, sehingga kerjasama media komunitas lebih banyak dibangun dengan
lembaga atau organisasi non pemerintah baik di tingkat regional, nasional, dan
internasional. Padahal jika pemerintah daerah dan media komunitas bersinergi
dalam pembangunan, bukan tidak mungkin jika masyarakat yang selama ini sulit
mengakses layanan informasi, akan menunjukkan partisipasinya sebagai warga
negara untuk menyumbangkan aspirasinya dalam pembuatan kebijakan dan
aktivitas pembangunan.
Secara khusus, kajian mengenai media komunitas didominasi oleh
perkembangan radio komunitas yang memang lebih mudah dimanfaatkan baik
oleh pengelolanya maupun oleh khalayaknya. Tabing (dalam Pandjaitan,1999)
dengan tegas menayatakan bahwa radio komunitas mendorong terjadinya interaksi
antar sesama anggota masyarakat secara dinamis dan proaktif sebagai satu
kesatuan komunitas. Kondisi yang seperti ini sangat membantu kemajuan dalam
menunjang sistem komunikasi dua arah, antara pemimpin dan masyarakat.
Keberanian untuk mengekspresikan diri diantara masyarakat menjadi tumbuh
subur. Hal ini menumbuh-kembangkan keterlibatan yang aktif dari warga
masyarakat dalam mencari solusi terbaik memecahkan masalah disekitar mereka.
8
Masyarakat secara aktif dan mandiri berbicara satu dengan yang lainnya, bertukar
berita, dan informasi.
Dalam UU Penyiaran telah dinyatakan bahwa radio komunitas
merupakan bagian dari lembaga penyiaran komunitas yang berbadan hukum
Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak
komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta
untuk melayani kepentingan komunitasnya. Selain itu, radio komunitas
merupakan komunitas nonpartisan yang keberadaan organisasinya bukan
representasi dari organisasi atau komunitas asing dan tidak bertujuan untuk
melakukan propaganda bagi kelompok tertentu. Sudah tidak diragukan lagi jika
warga komunitas-lah yang paling berhak menentukan nasib radio komunitas,
bagaimana pemanfaatannya, isu apa saja yang menjadi fokus siaran, dan sumber-
sumber pendanaan untuk menyokong operasionalisasi radio komunitas.
Banyaknya batasan yang harus dipatuhi oleh lembaga penyiaran
komunitas, ditanggapi dingin oleh para pegiatnya yang mengakibatkan citra buruk
radio dan televisi komunitas sebagai media yang kontra dengan pemerintah
semakin menebal. Jika kita mencermati prosedur pengajuan ijin penyelenggaraan
penyiaran (IPP) yang cukup panjang bagi sebuah media berskala kecil, aturan
tersebut dinilai menyita waktu dan materi. Sesuai dengan aturan yang ditetapkan
KPI, lembaga penyiaran komunitas harus mematuhi beberapa aspek administrasi
antara lain: (a) memiliki akta pendirian perkumpulan komunitas; (b) memiliki
catatan dana kontribusi komunitas; (c) pendirian lembaga penyiaran komunitas
disetujui oleh minimal 51 persen warga setempat atau 250 penduduk dewasa; dan
9
(d) lembaga penyiaran komunitas tidak boleh mencari keuntungan materiil (non-
profit) dalam kegiatan operasionalnya. Aturan selengkapnya terlampir di bagian
akhir penelitian ini.
Oleh pegiat radio dan televisi komunitas, syarat-syarat administrasi
tersebut dinilai terlalu banyak dan menyita waktu hingga bertahun-tahun.
Akibatnya banyak lembaga penyiaran komunitas, dalam hal ini didominasi oleh
radio komunitas, yang bersiaran tanpa mengantongi IPP terlebih dulu. Disinilah
perlawanan lembaga penyiaran komunitas pada pemerintah semakin meruncing,
yang berujung pada hubungan disharmonis antara radio dan televisi komunitas
dengan institusi pemerintah. Padahal radio komunitas memiliki peran sangat
penting sebagai media yang paling dekat dengan masyarakat, dimana masyarakat
Indonesia memiliki kecenderungan berkelompok. Seharusnya pemerintah dapat
melihat peluang media komunitas yang dapat menjadi jembatan komunikasi
antara masyarakat dengan pemerintah lokal dan pendukung pembangunan. Hal ini
sejalan dengan pernyataan Dahlan (1999), radio secara umum berfungsi sebagai
sumber informasi utama dan sarana komunikasi untuk mengamati perubahan
lingkungan yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Merespon regulasi yang mensyaratkan legalitas dan untuk
mengakomodasi keberadaan radio komunitas di Indonesia, beberapa tahun
terakhir, bertambahlah peran jaringan radio komunitas yang harus mendorong
harmonisasi hubungan anggotanya dengan institusi pemerintah. Tujuannya,
menjadikan radio komunitas sebagai media netral dan menampung informasi dari
berbagai sumber. DIY sebagai salah satu propinsi yang menjadi barometer
10
demokrasi, memiliki puluhan radio komunitas yang menempati kanal frekuensi
khusus radio komunitas. Berdasarkan data Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta
(JRKY) hingga akhir Juni 2012 tercatat ada 34 radio komunitas yang aktif dan
tersebar di empat kabupaten dan Kota Yogyakarta, yang berdiri atas keswadayaan
masyarakat maupun yang berdiri di lingkungan kampus (akademis).
Dalam dinamika organisasi, dorongan untuk membentuk jaringan serupa
di tiap kabupaten semakin kuat untuk menjaga kesinambungan isu kewilayahan.
Ide jejaring berdasarkan kewilayahan yang lebih sempit ditangkap oleh pegiat
radio komunitas di Kabupaten Gunungkidul. Pada tahun 2009 para pegiat radio
komunitas di Gunungkidul mendorong terbentuknya jaringan media komunitas
berbasis kewilayahan kabupaten yang memiliki visi membuka keran informasi
dengan melibatkan banyak pihak. Diharapkan keterbukaan tersebut dapat
memecah kebuntuan komunikasi yang dialami media komunitas dengan lembaga-
lembaga pendukung pembangunan, khususnya dengan institusi pemerintah,
khususnya di tingkat Kabupaten, untuk kemudian menjadikan media komunitas
sebagai media milik bersama seluruh elemen masyarakat (Wawancara dengan
Koordinator JMKGK - Hernindya Wisnuadji, 12 Maret 2012).
Berdasarkan capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2011, Kabupaten Gunungkidul tercatat
sebagai daerah yang menduduki peringkat terbawah dalam perkembangan sosial
ekonomi dengan rata-rata IPM 70,45 (BPS DIY, 2012). Selain itu, secara riil
kondisi penduduk jumlah usia produktif yang tinggal di Gunungkidul semakin
menurun karena kelompok masyarakat usia produktif memilih merantau (bekerja)
11
ke kota besar. Sayangnya berbagai program pembangunan yang dicanangkan oleh
pemerintah daerah selama ini kurang dapat tersosialisasikan dan terlaksana
dengan baik. Media massa tampak kurang banyak mengeksplorasi potensi lokal
ditambah aksesibilitas masyarakat pada media massa sangat terbatas (daya baca
rendah, sebaran informasi yang tidak merata, dan ketersediaan sarana alat
komunikasi) memperparah kondisi interaksi masyarakat dengan pemerintah
daerah (Rangkuman Catatan Pembentukan JMKGK, 2009). Di sisi lain, sebagai
daerah yang dianggap memiliki tingkat kemajuan rendah, Gunungkidul banyak
mendapat perhatian dari lembaga non pemerintah, baik nasional dan internasional
untuk mendorong keberdayaan masyarakat dan keterlibatan aktif dalam
pembangunan, termasuk menginisiasi pemanfaatan media komunitas.
Perkembangan media komunitas di Gunungkidul berawal dari berdirinya
beberapa radio komunitas di Kecamatan Karangmojo, Ngawen, Semanu, Playen,
Wonosari, Rongkop, dan Patuk pada rentang tahun 2002 hingga 2009. Akhir
tahun 2009, lima radio komunitas mengikatkan diri dalam Jaringan Media
Komunitas Gunungkidul (JMKGK). Dalam perjalananannya, jaringan media
komunitas tersebut tidak hanya beranggotakan radio komunitas, tetapi website
komunitas pun menjadi bagian dari JMKGK. Tujuan utama terbentuknya JMKGK
adalah sebagai sarana komunikasi untuk memastikan kebijakan di Gunungkidul
benar-benar sampai di tangan masyarakat. Berbagai sosialisasi kebijakan
Pemerintah Kabupaten Gunungkidul terasa lebih cepat tersebar melalui JMKGK
dan posisi masyarakat sudah berubah subjek yang terlibat aktif untuk mengawal
pembangunan di Gunungkidul. Dalam masa tiga tahun, JMKGK dapat berelasi
12
dengan lembaga pemerintah dan non pemerintah, serta menjadi bagian dari
perencanaan hingga evaluasi pembangunan. Bagi JMKGK, media komunitas
menjadi sarana alternatif terciptanya komunikasi antar warga dan antara warga
dengan pemerintah.
Kesungguhan para anggota JMKGK memainkan peran strategis dalam
pembangunan daerah harus dihadapkan pada kenyataan tentang keswadayaan
dalam segala aspek. Keanggotaan dalam JMKGK bersifat terbuka bagi seluruh
media komunitas (apapun jenisnya) di Gunungkidul. Artinya, anggota yang
berstatus tidak aktif dapat bergabung dan aktif kembali dalam kegiatan jaringan.
Dalam Tabel 1.1 terinci status keanggotaan JMKGK pada saat tahap pra-survey.
Tabel 1.1 Anggota Jaringan Media Komunitas Gunungkidul
Nama Media Isu Utama Bentuk Media Lokasi Status Keaktifan
Waktu Bergabung
Radio Komunitas Desa Kawasan Konservasi (Radekka)
Lingkungan hidup, pertanian
Radio komunitas Kecamatan Patuk
Aktif 2009
Radio Komunitas Suara Manunggal (RKSM)
Pertanian, budaya
Radio komunitas Kecamatan Semanu
Aktif 2009
Radio Komunitas Intan
Pertanian Radio komunitas Kecamatan Playen
Aktif 2009
Radio Komunitas Agriculture Group (RAG)
Pertanian Radio komunitas Kecamatan Ngawen
Aktif 2009
Radio Komunitas Mahardika
Lingkungan, budaya
Radio komunitas Kecamatan Karangmojo
Tidak Aktif 2009
Radio Komunitas Argosari Radioline
Kesehatan, ekonomi produktif
Radio komunitas Pasar Argosari, Kecamatan Wonosari
Aktif 2011
Mata Warga Sosial, politik, ekonomi, budaya
Website komunitas
Kecamatan Wonosari
Tidak Aktif 2010
(Sumber: Data JMKGK, Oktober 2012).
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil fokus pada aktivitas radio
komunitas anggota JMKGK. Jaringan media komunitas ini diinisiasi oleh para
pegiat radio komunitas, sehingga mereka dianggap yang paling tahu mengenai
latar belakang terbentuknya
diemban untuk mentransmisikan informasi dari berbagai
komunitasnya. Radio komunitas di Kabupaten Gunungkidul tersebar di enam
kecamatan dengan jangkauan siaran meliputi 70% wilayah administratif (Gambar
1.1).
Gambar 1.1
Komunikasi pembangunan merupakan hal praktis dan implementif
sangat penting bagi pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, dan lembaga non
Keterangan:
: Lokasi radio komunitas
pegiat radio komunitas, sehingga mereka dianggap yang paling tahu mengenai
latar belakang terbentuknya jaringan media komunitas dan misi
diemban untuk mentransmisikan informasi dari berbagai sumber kepada warga
Radio komunitas di Kabupaten Gunungkidul tersebar di enam
kecamatan dengan jangkauan siaran meliputi 70% wilayah administratif (Gambar
.1 Peta Sebaran Radio Komunitas Anggota JMKGK
1.2 Rumusan Masalah
Komunikasi pembangunan merupakan hal praktis dan implementif
sangat penting bagi pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, dan lembaga non
Lokasi radio komunitas
13
pegiat radio komunitas, sehingga mereka dianggap yang paling tahu mengenai
dan misi-misi yang
sumber kepada warga
Radio komunitas di Kabupaten Gunungkidul tersebar di enam
kecamatan dengan jangkauan siaran meliputi 70% wilayah administratif (Gambar
Peta Sebaran Radio Komunitas Anggota JMKGK.
Komunikasi pembangunan merupakan hal praktis dan implementif yang
sangat penting bagi pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, dan lembaga non
14
pemerintah lainnya. Agar pesan-pesan pembangunan sampai ke masyarakat, perlu
ada dorongan kepada lembaga-lembaga tersebut agar memanfaatkan keberadaan
media komunitas sebagai jembatan komunikasi yang dapat mengelola pesan
pembangunan dan menyalurkannya melalui ranah frekuensi. Selain itu, media
komunitas pun perlu ditarik dari resistensinya pada birokrasi agar menjadi mitra
strategis bagi siapapun dalam komunikasi pembangunan yang obyektif.
Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti mengambil rumusan masalah
dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peran jaringan media komunitas dalam berhubungan dengan
lembaga pemerintah dan non pemerintah untuk penyebaran ide-ide
pembangunan?
2. Bagaimana strategi komunikasi jaringan media komunitas dalam
komunikasi pembangunan?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan peran jaringan media komunitas dalam berelasi dengan
lembaga pemerintah dan non pemerintah untuk penyebaran ide-ide
pembangunan.
2. Mendeskripsikan strategi komunikasi jaringan media komunitas dalam
komunikasi pembangunan.
15
1.4 Keaslian Penelitian
Sepanjang penelusuran peneliti, penelitian mengenai peran dan strategi
komunikasi dalam komunikasi pembangunan belum pernah dilakukan. Penelitian
dengan obyek media komunitas lebih banyak menggali aspek pemberdayaan radio
komunitas, serta iklim demokrasi yang mengantarkan radio komunitas menjadi
bagian dari kehidupan bermedia massa. Beberapa penelitian tentang radio
komunitas yang menjadi acuan peneliti antara lain: (1) Negotiating Public and
Community Media in Post-Soeharto Indonesia (Gazali, 2003); (2) Community
Radio and Grassroots Democracy (Birowo, 2010); (3) Keberadaan Radio
Komunitas Sebagai Eskalasi Demokratisasi Komunikasi (Rachmatie, 2005); (4)
Media dan Perubahan Sosial, Suara Perlawanan Melalui Radio Komunitas
(Maryani, 2007); 5) Sosiologi Media: Studi Kasus Terhadap Eksistensi Sebuah
Radio Komunitas di Yogyakarta (Eddyono, 2008). Secara rinci penelitian
terdahulu yang menjadi acuan peneliti tercantum dalam Tabel 1.2.
16
Tabel 1.2 Penelitian Terdahulu Tentang Radio Komunitas Peneliti dan Judul Penelitian Obyek Penelitian Tujuan Penelitian Hasil Penelitian
Gazali, E., 2003, Negotiating Public and Community Media in Post-Suharto Indonesia (dalam The Public Journal)
Kepemilikan media massa dan keberpihakan pemerintah pada aksesibilitas dan kontrol publik pada konten media.
1. Mengidentifikasi mitra strategis potensial dalam situasi kepenyiaranan Indonesia pasca Orde Baru.
2. Menggali solusi untuk membuka aksesibilitas publik pada media penyiaran.
1. Terjadi pergeseran sistem media di Indonesia pasca reformasi yang merujuk pada perubahan posisi TVRI dan RRI sebagai media penyiaran publik dan mengatasi aksesibilitas informasi.
2. UU Penyiaran harus menjamin otonomi masyarakat mengakses informasi lokal dan tersedianya ruang bagi masyarakat dalam pengawasan dan evaluasi lembaga penyiaran publik, komersial, komunitas, dan berlangganan.
Birowo, M.A., 2010, Community Radio and Grassroots Democracy: A Case Study of Three Villages in Yogyakarta Region, Indonesia (Disertasi)
Peran radio komunitas dalam membangun partisipasi masyarakat, diharapkan ada relevansinya terhadap pengembangan demokrasi di desa Timbulharjo, Minomartani dan Wiladeg, selama masa transisi demokrasi di Indonesia.
1. Menjelaskan sejarah dan posisi radio komunitas dalam sistem media massa di Indonesia.
2. Menguraikan teori kritis atas radio komunitas berdasar konsep ruang publik dan komunikasi partisipatif.
3. Pemanfaatan radio komunitas sebagai tolok ukur demokratisasi bermedia di tingkat desa.
4. Pemanfaatan radio komunitas sebagai model media aksi kebencanaan.
1. Radio komunitas telah memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam pengembangan demokrasi dari bawah (democracy from grass root), sehingga masyarakat dapat mengekspresikan dan menyampaikan kebutuhannya yang selama ini tidak terakomodasi media mainstream.
2. Sejalan dengan teori Paulo Freire, dikemukakan jika masyarakat menggunakan radio komunitas sebagai alat untuk memecahkan masalah dengan pendekatan sesuai dengan karakteristik masyarakat setempat.
3. Radio komunitas harus dapat memainkan peran penting dalam upaya pencegahan dan penanganan bencana alam, mengingat sebagian besar kawasan Indonesia merupakan wilayah yang potensial bencana alam.
17
Tabel 1.2 (Lanjutan) Peneliti dan Judul Penelitian Obyek Penelitian Tujuan Penelitian Hasil Penelitian
Rachmatie, A., 2005, Keberadaan Radio Komunitas Sebagai Eskalasi Demokratisasi Komunikasi (Disertasi yang diterbitkan oleh Simbiosa Rekatama Media)
Keberadaan radio komunitas di pedesaan dikaitkan dengan eskalasi demokratisasi komunikasi di dua wilayah dengan karakteristik yang sangat berbeda. Peneliti memilih Kecamatan Cisewu (Kabupaten Garut) yang secara geografis tertutup dan berada di blank spot information area, dan Kecamatan Wanayasa (Kabupaten Purwakarta) yang lokasi dan struktur sosial masyarakatnya relatif terbuka.
1. Mencari gambaran atau profil keberadaan radio komunitas yang sudah diselenggarakan di masing-masing wilayah serta mencari alasan mengapa warga mendirikan radio komunitas.
2. Memetakan peran dan fungsi yang dijalankan lembaga radio komunitas dalam komunitas di pedesaan.
3. Mencari faktor penghambat dan pendukung demokratisasi komunikasi pada komunitas pedesaan.
4. Besaran eskalasi (peningkatan) pemahaman, kesadaran, dan keterampilan para pegiat radio komunitas dalam menghimpun, mengolah, mengemas, dan menyampaikan informasi pada warga komunitas pedesaan.
1. Radio komunitas muncul secara signifikan karena dorongan perubahan politik saat era reformasi. Berbagai forum dan saluran komunikasi memberi semangat dan kesadaran warga di pedesaan pada hak berpendapat. Namun kondisi tersebut tidak disertai pembelajaran agar lebih warga profesional dalam berkomunikasi.
2. Peran dan fungsi radio komunitas belum optimal dalam percepatan dan perluasan informasi antar warga. Hal ini dipengaruhi oleh tradisi komunikasi yang lebih bersifat top-down, khususnya di wilayah tertutup. Struktur komunikasi masyarakat pedesaan yang masih hierarkis tidak perlu dihilangkan, melainkan dikondisikan dalam bentuk diskusi publik di antara masyarakat dengan tetap beretika dan mengacu pada norma budaya.
3. Demokratisasi komunikasi dapat tercapai jika tersedia berbagai ruang publik yang terbuka, baik secara tatap muka maupun melalui media, ada pemahaman dan kesadaran warga tentang hak-hak komunikasi, kepemilikan media yang tersebar, serta dukungan regulasi dan infrastruktur komunikasi.
4. Otonomi daerah memberi semangat peningkatan partisipasi masyarakat marginal (warga desa) melalui keterbukaan akses informasi, sehingga pada tahap selanjutnya terjadi peningkatan kualitas sumber daya manusia.
18
Tabel 1.2 (Lanjutan)
Peneliti dan Judul Penelitian Obyek Penelitian Tujuan Penelitian Hasil Penelitian Maryani, E., 2007, Media dan Perubahan Sosial, Suara Perlawanan Melalui Radio Komunitas (Disertasi yang diterbitkan oleh Rosda)
Obyek penelitian ini adalah dinamika hubungan media dengan masyarakat dan perubahan sosial yang menyertainya. Media yang pada awalnya dikembangkan untuk memperluas kesadaran manusia akan kepentingannya, dalam perkembangannya menjadi alat yang dikuasai oleh kelompok dominan. Kebutuhan masyarakat akan media di tiap komunitas perlu diperhatikan, mengingat media komunitas dapat menjadi alternatif terciptanya komunikasi yang melibatkan masyarakat, memenuhi kepentingan masyarakat, dan tidak memarjinalkan keberadaan masyarakat tertentu, serta dapat mengatasi hambatan budaya. Penelitian ini dilakukan di Radio Komunitas Angkringan, Timbulharjo, Kabupaten Bantul.
1. Pendekatan mikro, melihat permasalahan resistensi komunitas berkaitan dengan isu tentang kesadaran dan pemikiran-pemikiran dari komunitas terhadap budaya dan struktur dominan.
2. Pendekatan makro, memberi pemahaman tentang aneka keterkaitan baik dari konteks sosial, ekonomi, maupun politik dalam berbagai kehidupan masyarakat sehari-hari melingkupi kesadaran, pemikiran, maupun aktivitasnya.
3. Pendekatan meso, media alternatif sebagai sebuah institusi berpijak pada dukungan kesadaran, pemikiran, dan kepentingan individu-individu pendukungnya serta permasalahan dalam pengelolaan media itu sendiri, termasuk harmonisasi dalam relasi kehidupan masyarakat Jawa yang dinilai ada distorsi komunikasi dalam komunitas.
1. Media komunitas sebagai media alternatif bertujuan memperkuat, mempertahankan, serta mengembangkan keberadaan dan kepentingan komunitas melalui media.
2. Resistensi komunitas ditujukan kepada birokrasi dan media mainstream. Dalam perkembangannya menghasilkan resistensi terhadap kebijakan negara yang memarjinalkan komunitas, resistensi pada budaya kritik Jawa dan budaya patriarki yang memarjinalkan kelompok perempuan. Resistensi menjadikan tindakan komunikatif sebagai basis kekuatan dan rasionalitas komunikasi sebagai perspektifnya.
3. Keberlangsungan media komunitas bukan tanpa ancaman, Banyak upaya melemahkan kesadaran internal dan ada upaya sistematis pihak eksternal. Ketika legalitas media komunitas masih dipertanyakan dan hukum secara prosedural justru menghambat proses tersebut, maka ketidak-legal-an media komunitas seolah-olah menjadi alasan negara melanggar hak komunitas untuk memiliki akses terhadap media dan berbagai informasi.
19
Tabel 1.2 (Lanjutan)
Peneliti dan Judul Penelitian Obyek Penelitian Tujuan Penelitian Hasil Penelitian Eddyono, A.S., 2008, Sosiologi Media: Studi Kasus Terhadap Eksistensi Sebuah Radio Komunitas di Yogyakarta (dalam Jurnal-jurnal Ilmu Sosial)
Makna keberadaan radio komunitas bagi warga komunitas di sekitarnya. Ada banyak kepentingan yang hidup dalam komunitas, maka pegiat radio komunitas perlu memetakan keterwakilan dan mengarahkan keberpihakannya pada kelompok masyarakat minoritas.
1. Mengidentifikasi besaran partisipasi komunitas (masyarakat) di sekitar radio komunitas.
2. Memetakan relasi antara radio komunitas dengan lembaga jaringan pelindung eksistensi radio komunitas.
1. Radio komunitas berdiri atas inisiatif pihak ketiga yang bukan merupakan warga komunitas, sehingga perlu ada penyadaran peran warga komunitas sejak dari pendirian, pendanaan, hingga pelaksanaan operasionalnya. Hal ini termasuk kesukarelaan warga komunitas agar keterwakilan kebutuhan terakomodir.
2. Lembaga jaringan yang mayoritas merupakan lembaga non pemerintah sangat mempengaruhi hidup matinya radio komunitas, dari segi program dan pembiayaan. Yang paling dikhawatirkan adalah radio komunitas bukan menjadi media yang dimanfaatkan oleh warga komunitas melainkan menjadi alat kepentingan bagi lembaga-lembaga jaringan tersebut.
3. UU Penyiaran dan KM 15, dirasakan tidak realistis bagi radio komunitas. Kedua regulasi tersebut secara teknis tidak mendukung keberadaan radio komunitas. Maka perlu aturan hukum yang secara teknis dan non-teknis berpihak pada radio komunitas.
20
Penelitian-penelitian tersebut menitikberatkan pada keberadaan radio
komunitas sebagai perwujudan demokrasi bermedia dan tentangan pada regulasi yang
mengatur tentang lembaga penyiaran komunitas, serta upaya untuk memberdayakan
radio komunitas sebagai media komunikasi di tingkat akar rumput. Sementara penelitian
ini menggali lebih jauh informasi peran dan strategi komunikasi yang digunakan oleh
jaringan media komunitas dalam harmonisasi relasi dengan pemerintah untuk
menyebarluaskan informasi pembangunan serta menjadi alat yang memungkinkan
terjadinya peningkatan partisipasi masyarakat. Dalam penelitian ini masyarakat (warga
komunitas) dianggap telah menyadari fungsi media komunitas, sehingga peneliti
berfokus tentang bagaimana jaringan media komunitas berperan dalam mendorong
radio komunitas sebagai alat penyebaran informasi dan menyusun rencana strategis
dalam berkomunikasi dengan para stakeholder pembangunan.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat di bidang:
1. Manfaat Akademis
Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat menambah rujukan akademis dalam
bidang komunikasi pembangunan, terutama dalam hal pengembangan dan
pemberdayaan media massa untuk pembangunan.
2. Manfaat Praktis
Peneliti menginginkan agar hasil penelitian ini memberikan tawaran konsep
strategi berkomunikasi jaringan media komunitas, dalam berelasi dengan
berbagai stakeholder pembangunan yang pada akhirnya masyarakat dapat
merespons kebijakan pemerintah.