I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangrepository.utu.ac.id › 1393 › 1 › BAB I-V.pdf · tawar...
Transcript of I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangrepository.utu.ac.id › 1393 › 1 › BAB I-V.pdf · tawar...
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lele sangkuriang merupakan hasil silang balik induk betina lele dumbo
generasi kedua (F2) dengan induk jantan lele dumbo generasi keenam (F6).
Kehadiran lele sangkuriang sangat menguntungkan karena memiliki fekunditas
dan laju pertumbuhan yang tinggi.
Secara alami rasio sex betina lebih tinggi berbanding jantan, dilain pihak
ketersediaan induk jantan sangat diperlukan dalam pemijahan buatan ikan lele,
karena diperlukan induk jantan harus dikorbankan untuk mendapatkan sperma, hal
ini disebabkan karena golongan lele-lele (Catfish) pengeluaran spermamya tidak
dapat dilakukan secara pengerutan perut (Stripping). Oleh karena itu, diperlukan
suatu metode untuk menghasilkan ikan lele jantan yang lebih banyak sebagai
donor dalam pemijahan buatan.
Sex reversal merupakan cara pembalikan arah perkembangan kelamin ikan
yang seharusnya berkelamin betina diarahkan perkembangan gonadnya menjadi
jantan atau sebaliknya. Teknik ini dilakukan pada saat belum terdiferensiasinya
gonad ikan secara jelas antara jantan dan betina pada waktu menetas. Sex reversal
merubah fenotip ikan tetapi tidak merubah genotipnya.
Sex reversal dapat dilakukan melalui terapi hormon (cara langsung) dan
melalui rekayasa kromosom (cara tidak langsung). Pada terapi langsung hormon
androgen dan estrogen mempengaruhi fenotif tetapi tidak mempengaruhi genotif.
Metode langsung dapat diterapkan pada semua jenis ikan apapun sex
kromosomnya. Cara langsung dapat meminimalkan jumlah kematian ikan.
2
Kelemahan dari cara ini adalah hasilnya tidak bisa seragam dikarenakan
perbandingan alamiah kelamin yang tidak selalu sama.
Hormon metiltestosteron (MT) adalah satu hormon yang dapat
diaplikasikan untuk menghasilkan benih ikan berkelamin jantan. Steroid seks
yang berfungsi mengubah jenis kelamin adalah androgen (testosterone dan
metiltestosteron) yang memberikan efek maskulinitas, estrogen (estron dan
estrodiol) yang memberikan pengaruh feminitas. Androgen dihasilkan oleh testis,
korteks adrenal dan ovari. Hormon androgen sintesis memiliki efektifitas lebih
tinggi berbandingkan hormon androgen yang alami kecuali hormon testosteron
propionate. Hal ini terjadi karena hormon 17α-metiltestosteron dapat bereaksi
lebih lama pada target sel dibanding dengan androgen alami dan metiltestosteron
dieliminasi lebih lambat daripada testoteron (Piferrer dan Donaldson, 1992).
Dalam teknik sex reversal, hormon dapat diberikan melalui dua cara yaitu
perendaman dan melalui pakan buatan (oral). Pemberian melalui oral memiliki
kelemahan yaitu keterbatasan benih ikan yang dapat menerima pakan buatan dan
pemberian hormon melalui oral maka pakan akan melewati saluran pencernaan
sehingga ada kemungkinan terjadi degradasi hormon oleh enzim pencernaan
sehingga hormon menjadi rusak sebelum bekerja (Zairin, 2002).
Benih yang baru menetas umumnya berukuran kecil dan kurang menyukai
pakan buatan. Metode perendaman adalah metode alternatif untuk mengatasi
kelemahan yang terdapat pada pemberian hormon melalui oral. Dengan metode
perendaman, diharapkan hormon akan masuk kedalam tubuh ikan melalui proses
difusi (Zairin, 2002). Metode ini sudah digunakan pada beberapa spesies ikan air
3
tawar seperti ikan nila, ikan mas, ikan gurami (Zairin et al, 2002). Ikan tetra
kongo (Arfah et al, 2002), ikan pelangi Irian (Haryani dan Sulawesty, 2003).
Namun peredaran beberapa jenis hormon mulai dibatasi karena bersifat
karsinogenik dan limbahnya berpotensi menimbulkan polusi pada lingkungan.
Penelitian ini belum pernah dilakukan pada lele sangkuriang, tetapi mengingat
pada proses pemijahan buatan membutuhkan stok induk jantan yang banyak maka
penelitian ini penting untuk dilakukan.
1.2 Perumusan Masalah
Secara alami sex reversal betina lebih tinggi berbanding jantan, dilain
pihak induk jantan sangat diperlukan dalam pemijahan buatan ikan lele
sangkuriang. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode untuk menghasilkan ikan
lele jantan, teknik yang akan dikembangkan adalah dengan menggunakan larutan
hormon 17α-metiltestosteron.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi larutan 17 α-
metiltestosteron yang optimal terhadap perubahan kelamin jantan, laju
pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan lele sangkuriang (Clarias sp).
1.4 Manfaat Penelitian
a. Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat dijadikan acuan dalam usaha
pembenihan ikan lele sangkuriang untuk menghasilkan benih lele sangkuriang
jantan.
4
b. Penelitian sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan media informasi yang
bermanfaat tentang konsentrasi (dosis) hormon metiltestosteron yang berfungsi
merubah jenis kelamin ikan.
1.5 Hipotesis Penelitian
Konsentrasi hormon 17α-metiltestosteron yang optimal dapat
memaksimalkan perubahan jenis kelamin ikan lele sangkuriang (Clarias sp)
menjadi jantan.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lele sangkuriang (Clarias sp)
Berdasarkan bentuk tubuh dan sifat-sifatnya ikan lele dapat
diklasifikasikan dalam suatu tata nama sehingga memudahkan dalam
indentifikasi.
Menurut Lukito (2002), sistematika ikan lele sangkuriang adalah sebagai
berikut: Philum Chordata, Kelas Pisces, Sub Kelas Teleostei, Ordo Ostariophysi,
Sub Ordo Silaroidae, Famili Clariidae, Genus Clarias, Spesies Clarias sp.
Ikan lele sangkuriang memiliki tubuh yang licin berlendir dan tidak
bersisik. Jika terkena matahari, warna tubuh lele berubah menjadi pucat dan
terkejut warna tubuhnya otomatis berubah menjadi loreng seperti mozaik hitam
putih. Mulut ikan lele berukuran besar yaitu seperempat dari panjang tubuhnya.
Tanda lainnya adalah adanya kumis sekitar mulut sebanyak delapan buah yang
berfungsi sebagai alat peraba saat bergerak atau ketika mencari makan (Wijaya,
2011).
Lele sangkuriang memiliki tiga buah sirip tunggal, yakni sirip punggung
sirip ekor, dan sirip dubur sebagai alat bantu untuk berenang. Lele sangkuriang
juga memiliki sirip dada dan sirip perut yang berpasangan. Sirip dada dilengkapi
dengan sirip yang keras dan runcing yang disebut dengan patil. Patil ini berfungsi
sebagai senjata dan alat bantu untuk bergerak (Khairuman dan Amri, 2008).
2.1.1 Ekologi
Menurut Zadi (2010), ikan lele Sangkuriang tidak pernah ditemukan di air
payau atau air asin, kecuali ikan lele laut yang tergolong ke dalam marga dan suku
6
yang berbeda. Habitatnya di sungai dengan arus air yang perlahan, rawa, telaga,
waduk, sawah yang tergenang air, bahkan ikan lele sangkuriang bisa juga hidup
pada air yang tercemar, misalkan di got-got dan selokan pembuangan (Wijaya,
2011). Ikan lele bersifat nokturnal, yaitu aktif bergerak mencari makanan pada
malam hari. Pada siang hari, ikan lele berdiam diri dan berlindung di tempat-
tempat gelap.
2.1.2 Kebiasaan Makan
Saluran pencernaan lele sangkuriang terdiri dari mulut, rongga mulut,
eksofagus, lambung, usus dan dubur, usus yang dimiliki ikan lele lebih pendek
dari pada panjang badannya. Perencanaan bahan makanan secara fisik atau
mekanik dimulai dari bagian rongga mulut, yaitu dengan berperannya gigi dalam
proses pemotongan dan penggerusan makanan. Selanjutnya bahan makanan
dicerna lambung dan usus dengan adanya gerakan atau kontraksi otot. Pencernaan
secara fisik pada segmen ini terjadi secara efektif karena adanya aktifitas cairan
disgetif. Proses pencernaan makanan dipercepat oleh kelenjar pencernaan
(Wijaya, 2011).
Lele sangkuriang mempunyai kebiasaan makan didasar perairan kolam.
Berdasarkan jenis pakannya, lele digolongkan ikan karnivora (pemakan daging).
Pakan ikan lele sangkuriang banyak mengandung protein. Pemberian pakan pada
ikan ikan lele sangkuriang sehari 3 kali (Sutrisno, 2006).
7
2.1.3 Reproduksi Lele Sangkuriang
Menurut Hardinata (2010), beberapa literatur menyatakan bahwa lele
sangkuriang merupakan hasil persilangan lele lokal yang berasal dari Afrika
dengan lele lokal dari Taiwan. Lele sangkuriang pertama kali di datangkan ke
Indonesia oleh sebuah perusaan swasta pada tahun 1986. selanjutnya ikan jenis ini
berkembang dan menyebar ke hampir seluruh wilayah Indonesia, sehingga sampai
tahun 2002 ini disetiap daerah di Indonesia sudah dapat dijumpai ikan lele
sangkuriang, secara morfologi ikan lele sangkuriang jantan dan betina dapat
dibedakan dari urogenital papilla yang terletak dibelakang anus. Ikan lele
sangkuriang jantan memiliki alat urogenital lebih panjang dan menonjol, induk
jantan tidak dapat diambil spermanya dengan cara pengurutan (stripping),
sehingga induk jantan harus dibunuh terlebih dahulu kemudian testisnya diambil
(Wijaya, 2011).
2.1.4 Siklus Hidup dan Perkembangbiakan
Menurut Basahudin (2009), dari kecil hingga dewasa, lele sangkuriang
mengalami lima fase kehidupan, yaitu telur benih, post benih, benih, dewasa dan
induk. Masa setiap fase kehidupan dilalui berbeda-beda, tergantung dari kondisi
lingkungan. Selama itu akan terjadi perubahan bentuk, pembentukan organ tubuh,
penyempurnaan fungsi organ tubuh dan juga perkembangan. Perkembangan ini
akan merubah ukuran tubuh hingga semakin panjang dan merubah bobot tubuh
hingga semakin berat.
Telur lele sangkuriang yang normal berbentuk bulat, berdiameter 1,1-1,4
mm dan berwarna kuning tua atau agak kecoklatan. Pada suhu 23-24 oC, fase telur
dilalui selama 30-36 jam dan menetas menjadi benih atau ikan yang anggota
8
tubuhnya baru terbentuk. Fase benih hingga post benih dilalui selama 48-72 jam
atau kurang lebih selama lima hari. Fase benih merupakan fase kritis karena organ
tubuhnya baru terbentuk, tetapi belum sempurna termasuk fungsinya. Pada fase
ini, benih membawa kantung telur sebagai cadangan makanan (yolk egg).
Memasuki fase burayak, masa kritis sudah dilewati. Selain organ tubuhnya sudah
terbentuk dengan sempurna, organ tubuhnya juga sudah dapat berfungsi dengan
sempurna, terutama kebiasaan makannya (Basahudin, 2009).
Fase post benih hingga benih atau ikan berukuran 10-12 cm dapat
berlangsung selama 8-10 minggu. Perkembangan pada fase ini sangat bergantung
pada lingkungan terutama kualitas air dan ketersediaan pakan. Pada kualitas air
yang baik dan pakan yang cukup, kehidupan burayak akan normal dan dapat
tumbuh dengan cepat sehingga dapat mencapai benih pada waktunya. Sebaliknya,
pada kualitas air yang buruk dan pakan kurang, kehidupan burayak tidak normal
dan tidak mencapai benih pada waktunya, Oleh karena itu, kualitas air dan
ketersediaan pakan menjadi sangat penting (Basahudin, 2009).
2.2 Hormon 17α-Metiltestosteron
Sex reversal merupakan cara pembalikan arah perkembangan kelamin ikan
yang seharusnya berkelamin jantan diarahkan perkembangan gonadnya menjadi
betina atau sebaliknya. Teknik ini dilakukan pada saat belum terdiferensiasinya
gonad ikan secara jelas antara jantan dan betina pada waktu menetas. Sex reversal
merubah fenotif ikan tetapi tidak merubah genotifnya. Teknik sex reversal mulai
dikenal pada tahun 1937 ketika estradiol 17 disintesis untuk pertama kalinya di
Amerika Serikat. Pada mulanya teknik ini diterapkan pada ikan guppy
(Poeciliareticulata). Kemudian dikembangkan oleh Yamamato di Jepang pada
9
ikan medaka (Oryzias latipes). Ikan medaka betina yang diberi metiltestosteron
akan berubah menjadi jantan. Setelah melalui berbagai penelitian teknik ini
menyebar keberbagai negara lain dan diterapkan pada berbagai jenis ikan.
Awalnya dinyakini bahwa saat yang baik untuk melakukan sex reversal adalah
beberapa hari sebelum menetas (gonad belum didiferensiasikan). Teori ini pun
berkembang karena adanya fakta yang menunjukkan bahwa sex reversal dapat
diterapkan melalui embrio dan induk yang sedang bunting (Masduki, 2010).
Menurut Adria (2011), benih direndam 18-24 jam dan di ganti air
rendaman dalam akuarium selanjutnya pindahkan ikan ke kolam tampung setelah
berusia dua minggu menggalami pertumbuhan yanga sangat cepat. Panen hanya
butuh 2-3 bulan, serbuk yang digunakan adalah hormon metiltestosteron buatan
Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), yang berfungsi mengubah kelamin (sex
reversal) ikan menjadi jantan dan persentase alih kelamin mencapai 94 persen.
Penerapan sex reversal dapat menghasilkan populasi monosex (kelamin
tunggal). Kegiatan budidaya secara monosex (monoculture) akan bermanfaat
dalam mempercepat pertumbuhan ikan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan
tingkat pertumbuhan antara ikan berjenis jantan dengan betina. Beberapa ikan
yang berjenis jantan dapat tumbuh lebih cepat dari pada jenis betina misalkan ikan
nila dan ikan lele Amerika (Zairin, 2002). Untuk mencegah pemijahan liar dapat
dilakukan melalui teknik ini. Pemijahan liar yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan kolam cepat penuh dengan berbagai ukuran ikan. Total biomass
ikan tinggi namun kualitasnya rendah. Pemeliharaan ikan monoseks akan
mencegah perkawinan dan pemijahan liar sehingga kolam tidak cepat dipenuhi
10
ikan. Selain itu ikan yang dihasilkan akan berukuran besar dan seragam. Contoh
ikan yang cepat berkembangbiak yaitu ikan nila dan mujair (Zairin et al, 2002).
Pada beberapa jenis ikan hias seperti cupang, guppy, kongo dan rainbow
akan memiliki penampilan tubuh yang lebih baik pada jantan daripada ikan betina.
Dengan demikian nilai jual ikan jantan lebih tinggi ketimbang ikan betina (Zairin
et al 1998).
Sex reversal juga dapat dimanfaatkan untuk teknik pemurnian ras ikan.
Telah lama diketahui ikan dapat dimurnikan dengan teknik ginogenesis yang
produknya adalah semua betina. Menjelang diferensiasi gonad sebagian dari
populasi betina tersebut diambil dan diberi hormon androgen berupa
metiltestosteron sehingga menjadi ikan jantan. Selanjutnya ikan ini dikawinkan
dengan saudaranya dan diulangi beberapa kali sampai diperoleh ikan dengan ras
murni (Masduki, 2010).
Jenis kelamin pada ikan ditentukan oleh dua faktor utama yaitu genetik
dan lingkungan. Secara genetik jenis kelamin ditentukan oleh pasangan
kromosom yang diturunkan oleh induknya. Namun secara fungsional jenis
kelamin ikan ditentukan oleh lingkungan selama perkembangan gonad ikan
berlangsung. Faktor lingkungan yang mempengaruhib perkembangan gonad
diantaranya adalah temperatur, pH dan eksogenus steroid (Devlin dan Nagahama,
2002 dalam Safrizal, 2011).
Ikan lele sangkuriang sangat mudah untuk memijah terutama inbreeding,
karena ikan ini cepat matang gonad dengan mensuplai makanan yang bergizi dan
dapat melakukan pemijahan secara buatan dan semi buatan. Akibatnya induk
jantan susah untuk didapatkan karena sering ditumbangkan pada saat melakukan
11
pemijahan buatan dengan cara dibedah induk dan dimatikan jantan dan
selanjutnya penggambilan sperma Hardinata, (2010). Untuk mengatasi
permasalahan tersebut, perlu dikembangkan alternatif budidaya dengan
pemeliharaan ikan secara tunggal kelamin (monosex culture), yakni hanya
memelihara benih ikan jantan, terdapat beberapa cara untuk mengubah kelamin
atau maskulinisasi ikan lele sangkuriang dan meningkatkan persentase individu
jantan dalam populasi ikan tersebut dengan memisahkan jantan dan betina cara
seleksi manual, namun cara ini kurang efisien karena boros waktu dan tenaga
(Zairin, 2002).
Maskulinisasi dengan rangsangan hormon perlu memperhatikan umur
ikan. Shapiro (1987) menyatakan bahwa semakin muda umur ikan, peluang
terbentuknya kelamin jantan semakin besar, dan semakin tua umur ikan peluang
perubahan kelamin betina ke jantan makin berkurang. Maskulinisasi pada ikan
berumur 2 bulan (50 g) tidak akan berhasil karena pada saat itu organ kelamin
sudah terbentuk sempurna. Oleh karena itu, maskulininasi sebaiknya dilakukan
pada umur 7–10 hari setelah telur menetas dan maksimal pada umur 17−19 hari
(Suyanto 1994; Irfan1996).
Menurut Masduki (2010), Sex reversal dapat dilakukan melalui terapi
hormon (cara langsung) dan melalui rekayasa kromosom (cara tidak langsung).
Pada terapi langsung hormon androgen dan estrogen mempengaruhi fenotif tetapi
tidak mempengaruhi genotif. Metode langsung dapat diterapkan pada semua jenis
ikan apapun seks kromosomnya. Cara langsung dapat meminimalkan jumlah
kematian ikan. Kelemahan dari cara ini adalah hasilnya tidak bisa seragam
dikarenakan perbandingan alamiah kelamin yang tidak selalu sama. Misalkan
12
pada ikan hias, nisbah kelamin anakan tidak selalu 1:1 tetapi 50% jantan:50%
betina pada pemijahan pertama, dan 30% jantan:50% betina pada pemijahan
berikutnya.
Menurut Murni (2011), Proses penjantanan ikan penting untuk
meningkatkan kesejahteraan peternak dan produksi ikan nasional. Selain ongkos
produksi yang murah, “Jantanisasi” ikan memiliki nilai ekonomi tinggi, karena
masa tumbuhnya cepat dan panen pun lebih sering. Karena seluruh energi ikan
pejantan digunakan untuk tumbuh, tidak seperti betina yang sebagian energinya
digunakan untuk pematangan telur. Bentuk, ukuran, dan warna ikan jantan pun
jauh lebih unggul dibanding si betina.
2.3 Kualitas Air
Sumber air yang baik dalam pembenihan ikan harus memenuhi kriteria
kualitas air. Hal tersebut meliputi sifat-sifat kimia dan fisika air seperti suspensi
bahan padat, suhu, gas terlarut, pH, kadar mineral, dan bahan beracun. Untuk
kegiatan pembenihan ikan lele, air yang digunakan sebaiknya berasal dari sumur
walaupun dalam pemeliharaan di kolam, ikan lele lokal tidak memerlukan air
yang jernih seperti ikan-ikan lainnya (Darseno, 2010).
Ikan lele dapat hidup di lingkungan yang kualitas airnya kurang baik.
Kualitas air yang baik untuk pertumbuhan lele yaitu kandungan oksigen terlarut
(DO) >3 ppm, CO2 kurang dari 15 ppm, suhu 25-30 oC, pH (6-7) dan kecerahan
air 15-30 cm (Lukito, 2002).
13
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga Agustus 2013
bertempat di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Teuku Umar Meulaboh.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Tabel 1. Alat-alat yang digunakan
No Nama Alat Kegunaan
1 Stoples Wadah
2 Serok Alat pembersih
3 Aerasi Penyuplai oksigen
4 Gelas ukur Pengukur volume
5 Timbangan digital Pengukur berat
6 Penggaris Pengukur panjang
7 Lakmus/pH meter Pengukur pH
8 DO meter Pengukur DO
9 Thermometer Pengukur suhu
10 Heater pengatur suhu
Tabel 2. Bahan-bahan yang digunakan
No Nama Bahan Kegunaan
1 Benih lele sangkuriang Sampel
2 Hormon 17-metiltestosteron Bahan uji
3 Pakan Makanan
4 Air tawar Media
14
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Populasi, sampel, besar sampel dan teknik pengambilan sampel
Hewan yang diuji adalah benih ikan lele sangkuriang, selanjutnya diambil
secara acak dalam bak pemeliharaan dan jumlah masing-masing-masing media
perendaman adalah 30 ekor.
Ikan sampel adalah benih ikan lele sangkuriang yang berumur 23 hari,
jumlah sampel per media perendaman sebanyak 30 ekor ikan lele sangkuriang dan
total keseluruhannya adalah 360 ekor untuk semua wadah penelitian.
Proses pengambilan sampel hewan uji adalah dengan cara penggambilan
dalam bak secara acak dan diberok terlebih dahulu. Selanjutnya hewan uji
diaklimatisasi ditempat penelitian sebelum digunakan untuk proses perendaman
dengan hormon.
3.3.2 Persiapan wadah media
Wadah perendaman digunakan adalah stoples plastik volume 15 liter
sebanyak 12 buah, dan digunakan wadah pemeliharaan adalah stoples dengan
ukuran volume 15 liter sebanyak 12 buah. Semua wadah penelitian sebelum
digunakan telebih dahulu disuci hamakan dengan cara dicuci dan dijemur dibawah
sinar matahari selama 24 jam.
Wadah untuk perendaman diisi air sebanyak masing-masing 1 liter,
sedangkan wadah pemeliharaan diisi air sebanyak 10 liter. Semua wadah yang
telah berisi air dilengkapi dengan aerasi untuk mensuplai oksigen di dalam air dan
heater untuk menjaga agar suhu tetap stabil.
15
Air yang digunakan untuk perendaman hormon dan pemeliharaan benih
adalah air tawar yang telah diendapkan selama 48 jam, kemudian dimasukkan
kedalam media percobaan tersebut.
3.3.3 Persiapan Larutan Hormon
Serbuk hormon 17-metiltestosteron ditimbang dengan masing-masing 4,
6 dan 8 mg dengan menggunakan timbangan analitik, lalu dilarutkan kedalam 0,5
ml alkohol 70%. Kemudian dimasukkan kedalam media perendaman yang telah
diisi air bersih 1 liter sehingga dihasilkan konsentrasi masing-masing sebagai
berikut:
P0 = 0 ppm (kontrol)
P1 = 4 ppm
P2 = 6 ppm
P3 = 8 ppm
3.3.4 Proses Perendaman
Setelah diaklimatisasi, masing-masing sebanyak 30 ekor benih diambil
secara acak dan ditimbang beratnya. Selanjutnya dimasukkan dalam larutan
hormon sesuai dengan perlakuan, benih dibiarkan selama 8 jam.
3.3.5 Proses Pemeliharaan
Setelah direndam sesuai dengan perlakuan, benih dikeluarkan dari larutan
dan selanjutnya dimasukkan dalam wadah pemeliharaan dan dipelihara selama 3
minggu atau sampai kelaminnya bisa dilihat. Selama pemeliharaan diberi makan
pakan merk CP 901. Pakan diberi secara adlibitum dengan frekuensi pemberian 2
x sehari pada pukul 08.00 WIB dan 17.00 WIIB.
16
3.3.6 Alur Penelitian
Untuk dapat lebih mengarahkan alur penelitian dan dapat menghasilkan
hasil penelitian yang cermat dan teliti, maka yang dibutuhkan adalah adanya
bagan alur penelitian sebagai pedoman dalam pelaksanaannya. Bagan alur
meliputi langkah dan hal yang perlu dipersiapkan dan dilengkapi sebagai dasar
dalam pelaksanaan. Alur penelitian dapat dilihat pada lampiran 1.
3.4 Parameter Uji
Parameter yang diukur adalah persentase kelamin jantan, kelangsungan
hidup, dan laju pertumbuhan bobot harian. Identifikasi jenis kelamin dilakukan
dengan pengamatan morfologi yaitu dindentifikasi langsung jenis kelamin pada
ikan lele sangkuriang. Ikan lele sangkuriang pada jantan dapat dibedakan dari alat
kelamin yang menonjol dan panjang yang terletak dibagian anus. Jika papilla
genital belum terlihat jelas maka dilakukan pembedahan untuk melihat
keberadaan gonad, ovari (betina) atau testis (jantan).
Untuk mendapatkan data kelangsungan hidup ikan, maka dihitung ikan
saat awal penelitian dan ikan yang masih hidup pada akhir penelitian. Untuk
pertumbuhan dihitung berat ikan masing-masing perlakuan dengan cara
menimbang setiap ikan pada media pemeliharaan.
Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah persentase ikan kelamin
jantan, dengan menggunakan rumus:
Persentase jumlah ikan jantan, Fauzan (2006).
100%xsampeljumlah
jantanikanjumlah(%)J
17
Tingkat kelangsungan hidup
Menurut Zairin (2002), bahwa tingkat kelangsungan hidup (Survival rate)
dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
100%xpenelitianawalikanjumlah
penelitianakhirhidupyangikanjumlah(%)SR
Laju Pertumbuhan Bobot Harian
Berdasarkan data bobot ikan dilakukan penghitungan laju pertumbuhan
bobot harian menggunakan rumus Busacker et al. (1990):
α = [ (lnWt - lnWo)/t) ] x 100%
Keterangan:
α = Laju pertumbuhan harian (%)
W0 = Bobot rata-rata ikan pada saat awal (gram)
Wt = Bobot rata-rata ikan pada saat akhir (gram)
t = Lama pemeliharaan (hari)
3.5 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan Rancangan Acak Lengkap (RAL),
masing-masing dengan empat taraf perlakuan, yaitu Perlakuan (Faktor perbedaan
konsenterasi hormon): 0, 4, 6 dan 8 mg/l. Setiap perlakuan dilakukan tiga kali
ulangan, sehingga dihasilkan 12 unit percobaan.
18
Untuk analisis data yang dilakukan dari setiap percobaan, dapat dilihat
pada tabel dibawah ini :
Tabel 3. Penerapan perlakuan
Ulangan Perlakuan
Total P0 P1 P2 P3
1 P0.1 P1.1 P2.1 P3.1
2 P0.2 P1.2 P2.2 P3.2
3 P0.3 P1.3 P2.3 P3.3
Total P0.. P1.. P2.. P3.. P...
Rata-rata P0/n P1/n P2/n P3/n P.../(i.j)
Model rancangan acak lengkap yang digunakan adalah model tetap dengan
merujuk pada Kemas (2000) yaitu:
Yij= µ + π + ε
Dimana:
i = 1, 2, 3 …. (perlakuan)
j = 1, 2, 3 …. (ulangan)
Yij = Variable yang akan di analisis dari perlakuan ke 1 dan ulangan ke –j
µ = Nilai rata-rata umum
π = Efek perlakuan
ε = Kesalahan percobaan dari perlakuan ke-1 dan ulangan ke-j
Data yang diperoleh dalam penelitiaan ini akan di tabulasikan dalam
bentuk tabel dan dianalisis dengan uji statistik F (anova), jika uji statistik
menunjukkan perbedaan nyata dimana F>0,05 maka akan dilanjutkan dengan uji
rentang BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk melihat perlakuan mana yang terbaik.
19
3.6 Metode Analisa Data
Data yang diperoleh adalah data persentase jumlah ikan jantan, tingkat
kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian ikan dan data pengukuran
kualitas air. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis ragam dengan
menggunakan Analysis Of Varience (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh
perlakuan yang diberikan terhadap persentase jumlah ikan jantan, tingkat
kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian. Data-data tersebut disajikan
dalam bentuk grafik dan tabel. Jika dari analisis ragam diketahui bahwa perlakuan
menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata atau berbeda sangat nyata maka untuk
menentukan perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata
Terkecil (BNT) (Rochiman, 1989). Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai
berikut :
BNT5% = t(0,05.dbG)
Ulangan
GalatKT2
BNT1% = t(0,01.dbG)
Ulangan
GalatKT2
Sumber : Rochiman, (1989)
20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Persentase Kelamin Jantan
Hasil perhitungan ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan
konsentrasi hormon berpengaruh nyata terhadap persentase jantan benih ikan lele
sangkuriang, sehingga harus dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (lamipran 3). Data
rata-rata persentase ikan jantan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4. Persentase jantan (%) benih ikan lele sangkuriang (Clarias sp)
Ulangan Dosis Hormon
Total P0 P1 P2 P3
1 33,33 46,67 70 83,33 233,33
2 50 46,67 53,33 63,33 213,33
3 36,67 60 63,33 66,67 226,67
Total 120 153,34 186,66 213,33 673,33
Rata-rata 40,00 51,11 62,22 71,11 56,11
Keterangan:
P0 : Kontrol
P1 : Konsenterasi 4 ppm
P2 : Konsenterasi 6 ppm
P3 : Konsenterasi 8 ppm
Perendaman dengan hormon 17α-metiltestosteron berpengaruh nyata
terhadap persentase jumlah ikan jantan yang dihasilkan. Hal ini dilihat dari hasil
uji statistik yang menunjukkan bahwa pada taraf kepercayaan 95% (Ftabel 0,05)
lebih kecil daripada Fhitung, sehingga harus dilanjutkan dengan uji Beda Nyata
Terkecil dengan hasil P3 berbeda sangat nyata dengan P2, P1 dan P0 (lampiran 3).
21
Gambar 1. Persentase rata-rata jenis kelamin benih lele sangkuriang (Clarias sp)
dengan perendaman hormon 17α-metiltestosteron pada konsenterasi yang
berbeda.
Dengan demikian, perlakuan terbaik untuk menghasilkan tingkat
persentase jantan yang tinggi yaitu P3 dengan dosis 8 mg mendapatkan rata-rata
71,11%, diikuti P2 dengan dosis 6 mg yang mendapatkan rata-rata 62,22%
selanjutnya P1 dengan dosis 4 mg yaitu 51,11% dan tanpa perlakuan (kontrol)
sebesar 40%.
Uji BNT menunjukkan bahwa antar perlakuan terdapat perbedaan nyata
dan perbedaan yang sangat nyata. P0 (kontrol) berbeda nyata terhadap P2 dengan
selisih 22,22, P0 berbeda sangat nyata terhadap P3 dengan selisih 31,11 dan P1
yang berbeda nyara terhadap P3 dengan selisih 20.
Tingkat keberhasilan teknik alih kelamin akan sangat ditentukan oleh
jumlah hormon yang diberikan, lama waktu perlakuan, dan frekuensi perlakuan
baik melalui pemberian hormon melalui pakan maupun dengan teknik
perendaman (Piferrer, 2001; Devlin dan Nagahama, 2002).
22
Secara genetik dalam keadaan normal ikan akan menghasilkan keturunan
dengan rasio seks jantan dan betina 50% : 50% (Tave, 1993; Pandian 1999). Rasio
seks tersebut dapat diarahkan menjadi mayoritas jantan maupun betina sesuai
kepentingan dengan teknik alih kelamin (Tave, 1993; Bearmore et al.,
2000; Preferrer, 2001; Zairin, 2003; Desprez et al., 2003). Persentase ikan jantan
yang lebih tinggi merupakan indikator keberhasilan dari teknik maskulinisasi pada
ikan nila (Zairin, 2003).
Berdasarkan hasil penelitian Rubianti (2006) persentase jantan tertinggi
ikan Nila diperoleh pada dosis 6 mg yaitu sebesar 90,35%. Arafah (2005)
mengatakan pada ikan Guppy perangsangan diferensiasi kelamin embrio dari
betina menjadi jantan paling efektif dilakukan dengan perendaman hormon 17a-
Metiltestosteron sebanyak 1 mg/L pada temperatur 27ºC. Maskulinisasi ikan
tidak harus menggunakan hormon 17α-metiltestosteron, beberapa bahan lainnya
juga bisa digunakan. Ekstrak tepung testis sapi juga bisa digunakan dalam
maskulinisasi ikan. Irmasari (2012) mengatakan bahwa perendaman dengan
menggunakan tepung testis sapi menghasilkan ikan nila merah berkelamin jantan
sebesar 69,07%. Bahan selanjutnya adalah madu yang juga dapat berperan dalam
proses maskulinisasi ikan. Syarifuddin (2004) telah berhasil menghasilkan benih
ikan nila GIFT (Oreochromis niloticus) monosex jantan sebesar 93,33 % dengan
memberikan dosis madu 200 ml/kg pakan. Sedangkan Soelistiyowati, et, al.
(2007) telah mengarahkan kelamin jantan pada anak ikan gapi yang dihasilkan
sampai 59,5% dengan peningkatan dosis madu sampai 60 ml/l yang diberikan
melalui perendaman induk selama 10 jam. Selanjutnya Safrizal (2011)
mengatakan bahwa jantanisasi ikan juga bisa menggunakan ekstrak Purwoceng
23
(Pimpinella alpina), persentase jantan ikan nila yang dihasilkan adalah sebesar
73,3% dengan dosis 20 ml/l dan lama perendaman 8 jam.
4.2 Tingkat Kelangsungan Hidup
Hasil perhitungan ANOVA menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi
hormon berpengaruh sangat nyata terhadap kelangsungan hidup benih lele
sangkuriang, sehingga harus dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (lampiran 4).
Tabel 5. Kelangsungan hidup (%) benih lele sangkuriang (Clarias sp)
Ulangan Perlakuan
Total P0 P1 P2 P3
1 83,33 73,33 60 56,67 273,33
2 76,67 66,67 50 43,33 236,67
3 86,67 53,33 50 46,67 236,67
Total 246,67 193,33 160 146,67 746,67
Rata-rata 82,22 64,44 53,33 48,89 62,22
Perendaman dengan hormon 17α-metiltestosteron berpengaruh sangat
nyata terhadap kelangsungan hidup benih lele sangkuriang, hal ini dilihat dari
hasil uji statistik yang menunjukkan bahwa pada taraf kepercayaan 99% (Ftabel
0,01) lebih kecil daripada Fhitung.
24
Gambar 2. Persentase rata-rata kelangsungan hidup benih lele sangkuriang
(Clarias sp) dengan perendaman hormon 17α-metiltestosteron pada konsenterasi
yang berbeda.
Berdasarkan grafik diatas dapat kita lihat bahwa kelangsungan hidup
tertinggi terdapat pada P0 (kontrol) yaitu 86,67%, selanjutnya berturut-turut P1
53,33%, P2 50% dan P3 46,67%. Rubianti (2006) mengatakan bahwa daya tahan
hidup tertinggi benih ikan gurame terdapat pada perlakuan kontrol yaitu sebesar
41%.
Uji BNT menunjukkan bahwa antar perlakuan terdapat perbedaan nyata
dan perbedaan yang sangat nyata. P3 berbeda sangat nyata terhadap P0 dengan
selisih 33,33, P2 berbeda sangat nyata dengan P0 dengan selisih 28,89 dan P1
yang berbeda nyara dengan P0 dengan selisih 17,78.
Kematian benih ikan sebagian besar terjadi pada saat perendaman, benih
ikan lele sangkuriang diduga tidak dapat menyesuaikan diri dengan larutan
hormon, sehingga banyak benih yang tidak dapat bertahan dan mati. Semakin
besar dosis hormon yang diberikan maka tingkat kematiannya semakin tinggi, hal
ini dapat kita lihat pada P1 (4 mg) dengan angka bertahan hidup sebesar 53,33%,
25
P2 (6 mg) memproleh angka sebesar 50% dan P3 (8 mg) yang bertahan hidup
hanya 46,67%.
4.3 Laju Pertumbuhan Bobot Harian
Hasil perhitungan ANOVA menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi
hormon 17α-metiltestosteron berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan benih
lele sangkuriang, hal ini dilihat dari hasil uji statistik yang menunjukkan bahwa
pada taraf kepercayaan 95% (Ftabel 0,05) lebih kecil daripada Fhitung. sehingga perlu
dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (lampiran 5).
Tabel 6. Laju pertumbuahan (%) benih lele sangkuriang (Clarias sp)
Ulangan Perlakuan
Total P0 P1 P2 P3
1 1,94 1,08 1,078 1,073 5,171
2 1,562 0,726 0,872 1,763 4,923
3 2,281 0,793 0,637 0,831 4,542
Total 5,783 2,599 2,587 3,667 14,636
Rata-Rata 1,928 0,866 0,862 1,222 4,879
Berdasarkan tabel diatas, dapat kita lihat bahwa laju pertumbuhan tertinggi
yaitu pada perlakuan P0 (kontrol) sebesar 1,928 % dan yang terendah diperoleh
pada perlakuan P2 (6 mg/L) sebesar 0,862%.
Bobot ikan bertambah pada semua perlakuan jika dibandingkan dengan
berat awal. Tingginya pertumbuhan pada P0 (kontrol) daripada P1, P2 dan P3
diduga karena ikan mengalami stres pada saat perendaman dan mengkibatkan ikan
kurang nafsu makan. Selain itu, media penelitian stoples yang sempit juga
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan.
26
Gambar 3. Grafik Laju Pertumbuhan Ikan Lele Sangkuriang (Clarias sp) dengan
perendaman hormon 17α-metiltestosteron pada konsenterasi yang berbeda.
Uji BNT menunjukkan bahwa antar perlakuan terdapat perbedaan nyata
dan perbedaan yang sangat nyata. P3 berbeda nyata terhadap P0 dengan selisih
0,706, P2 berbeda sangat nyata dengan P0 dengan selisih 1,062 dan begitu juga
dengan P2 yang berbeda sangat nyara dengan P0 dengan selisih 1,064.
4.4 Parameter Kualitas Air
Parameter yang dilihat pada penelitian ini meliputi suhu, oksigen terlarut
(DO), dan pH. Hasil pengukuran kualitas air masing-masing parameter kualitas air
tersaji pada tabel dibawah ini:
Tabel 7. Data kualitas air selama penelitian
Parameter Awal Penelitian Akhir Penelitian
Suhu
pH
DO
27 ᴼC
6,9
4,7 mg/l
27 ᴼC
6,6
4,9 mg/l
27
Air sebagai media tempat hidup organisme perairan merupakan faktor
yang paling utama harus diperhatikan dalam usaha budidaya baik dilapangan
terbuka maupun pada wadah terkontrol. Dari tabel 7 diatas dapat kita lihat kondisi
kualitas air pada saat pemeliharaan benih lele sangkuriang yaitu suhu stabil 27ᴼC,
pH 6,6-6,9 dan DO 4,7-4,9. Suhu tetap stabil karena menggunakan alat bantu
heater yang dipasang pada setiap wadah dari awal hingga akhir penelitian, hal ini
dilakukan mengingat fluktuasi suhu yang tinggi dikhawatirkan ikan akan mudah
stres bahkan mati. Hal ini didukung oleh pernyataan Lovell dalam Syahputra
(2013) yang menyatakan bahwa kualitas air yang baik untuk pertumbuhan ikan
catfish berkisar antara 26-32 ᴼC, pH kisaran 6,5-9,0 dan oksigen terlarut (DO) > 3
mg/l.
Salah satu parameter kualitas air yang sangat mempengaruhi rasio seks
ikan adalah temperatur (Zairin, 2003; Devlin dan Nagahama, 2002; Goto-
Kazeto, 2006). Pada temperatur yang tinggi akan menyebabkan arah kelamin
menjadi jantan sedangkan pada temperatur rendah umumnya akan mengarah
menjadi betina (Goto-Kazeto, 2006). Sejak stadia embrio temperatur telah
mempengaruhi seks rasio maupun perkembangan ikan (Devlin dan Nagahama,
2002). Pada suhu 15oC populasi ikan mas (Carassius auratus) betina dapat
mencapai 94,6%, pada suhu 23oC populasi betina berada pada kisaran normal,
berjumlah 46,6% dan pada suhu dan pada temperatur 30oC populasi jantan dapat
mencapai 92,3% (Goto- Kazeto, 2006). Menurut Pillay (1981), peningkatan
temperatur dapat meningkatkan jumlah ikan jantan dan pada fase dewasa
dapat meningkatkan hormon testesteron dan 11-ketotestesteron.
28
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Pengarahan kelamin benih ikan lele sangkuriang (Clarias sp) dengan
perendaman menggunakan hormon 17α-metiltestosteron memberikan pengaruh
yang nyata terhadap perubahan kelamin jantan benih ikan lele sangkuriang. Hasil
terbaik diperoleh pada P3 (8 mg/liter) dengan persentase jantan sebesar 71,11%.
5.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang pengaruh hormon 17α-
metiltestosteron dengan umur dan lama waktu rendam yang berbeda pada ikan
lele sangkuriang (Clarias sp) dan ikan lainnya.
29
DAFTAR PUSTAKA
Andre, H. (2006). Upaya Maskulinisasi Induk Ikan Lele Dumbo Yang Telah
Divarietomi Paarsial Dengan Metode Implamantasi Hormone 17 α-
Metiltestosteron. Program Studi Dan Teknologi Manajemen Akuakultur.
Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institute Pertanian Bogor.
Arafah. H. (2005). Efek Manipulasi Hormon 17a-Metiltestosteron pada Berbagai
Variasi Temperatur Air terhadap Rasio Kelamin Ikan Gapi (Poecilia
reticulata Peters). Jurnal Akuakultur Indonesia, 4(1) 37-40. Bogor
Arfah, H et al. (2002). Seks Reversal Pada Ikan Tetra Kongo Stadia Benih. Jurnal
Akuakultur Indonesia. 69-79
Darwisito, S. (2002). Stretegi Reproduksi Pada Ikan Kerapu. http://www. iptek.
net.id/ind/warintek/Budidaya_perikanan_idx.php?doc=3a2. diakses pada
tanggal 15 April 2005.
De Silva, S.S., and Anderson, A. (1995). Fish Nutrition in Aquaculture, (The First
Series) Chapman and Hall. London. 319 pp.
Hardinata, F. (2012). Pembenihan Dan Perbaikan Genetika Iken Lele Dumbo
(Clarias garipinus) Dengan Metode Silang Balik (back cross) Menjadi
Lele Sangkuriang (Clarias sp). Dibalai Besar pengembangan Budidaya Air
Tawar (BBPBAT) Sukabumi provinsi Jawa Barat.
Irmasari. (2012). Pengaruh Ekstrak Tepung Testis Sapi dengan Konsentrasi yang
Berbeda Terhadap Keberhasilan Maskulinisasi Ikan Nila Merah
(Orechromis niloticus). Jurnal Perikanan dan Kelautan. Unpad
Khairuman, dan Amri K., (2008). Pembenihan dan Pembesaran Gurami Secara
Intensif. PT. AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Lukito. (2002). Budidaya Ikan Lele Sangkuriang (Clarias, sp). Jakarta
Piferrer F. and Donaldson, EM. (1990). Dosage-dependent differensces in the
effect of aromatizable and nonaromatizable andogens on resulting
phenotype of coho salmon (Oncorhynchus kisuthch. Fish physiology and
biochemistry`
Prihartono, P.E., (2004). Permasalahan Gurami dan Solusinya. Penebar Swadaya.
Jakarta
30
Rindhira,H. (2011). Pengaruh Perendaman Dengan Hormon Metiltestosteron
Pada Ikan Nila Dengan Umur Yang Berbeda. Prosiding Seminar hasil
Penelitian Budidaya Perairan. Universitas Almuslim Bireun
Rubianti. (2006). Pengaruh Pemberian Hormon Metiltestosteron terhadap
Deferensiasi Kelamin Benih Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Pasca
Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang
Santoso, E., (2004). Pengaruh Hormon Metiltestosteron Pada Perendaman Benih
Lau Han (Cichlasoma sp.) Dengan Dosis Yang Berbeda Terhadap
Keberhasilan Pembentukan Jenis Kelamin Jantan. Perikanan Fakultas
Peternakan-Perikanan Universitas Muhammadiyah Malang.
Safrizal, P. (2011). Maskulinisasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Melalui
Perendaman Dalam Ekstrak Purwoceng (Pimpinella alpine). Sekolah
Pascasarjana Intitute Pertanian Bogor, Bogor
Zairin, M.Jr. (2002). Sex Reversal. Penebar Swadaya. Jakarta
Zairin, M Jr, A.Yuniati, r.R.S.P.S. Sumantadinata. K. (2002). Pengaruh Lama
Waktu Perendaman Induk Didalam Larutan Hormone 17 α -
Metiltestosteron Terhadap Nisbah Kelamin Anak Ikan Gapi. Jurnal
Akuakultur Indonesia, 1 : 31-35.
Zairin, M. Jr dan Summantadinata. K. (1998). Pengaruh Dosis Larutan Hormon
17 α -Metiltestosteron Padada Perendaman Telur fase bintik Mata
Terhadap Nisbah Kelamin Ikan Cupang (Betta Splendens regan).
Prosiding Simposium dan Kongres 111 Perhimpunan Ilmu Pemuliaan
Indonesia (PERIPI), Bandung. P:281-285.
31
LAMPIRAN
Lampiran 1. Bagan Alur Penelitian
Pengamatan
Kelamin Jantan Laju Pertumbuhan
Larva
Perendaman Hormon Metiltestoteron
Konsentrasi
6 mg 8 mg
Pemeliharaan selama 1-3 minggu
0 mg 4 mg
Waktu 8 Jam
Kelangsungan hidup Kualitas Air
32
Lampiran 2. Skema pembuatan larutan hormon untuk perendaman benih ikan lele
sangkuriang
Timbang 4 mg, 6 mg dan 8 mg serbuk hormon 17-metiltestosteron
Masukkan ketabung polietilen 5 ml
Tambahkan 0,5 ml alkohol 70%, tutup
Kocok hingga larut
Tuangkan kedalam wadah berisi 1 liter
Aerasi dan siap untuk perendaman
Lampiran 3. Analisis Statistik pada Persentase Ikan Jantan
Tabel 8. Tabulasi Data
Ulangan Perlakuan
Total P0 P1 P2 P3
1 P0.1 P1.1 P2.1 P3.1
2 P0.2 P1.2 P2.2 P3.2
3 P0.3 P1.3 P2.3 P3.3
Total P0.. P1.. P2.. P3.. P...
Rata-rata P0/n P1/n P2/n P3/n P.../(i.j)
Keterangan:
P0 : Kontrol
P1 : Dosis 4 mg/L
P2 : Dosis 6 mg/L
P3 : Dosis 8 mg/L
33
Tabel 9. Data Mentah Jumlah Ikan Jantan
Ulangan Perlakuan
P0 P1 P2 P3
1 10 14 21 25
2 15 14 16 19
3 11 18 19 20
Tabel 10. Data yang Sudah Dirumuskan
Ulangan Perlakuan
P0 P1 P2 P3
1 33,33 46,67 70 83,33
2 50 46,67 53,33 63,33
3 36,67 60 63,33 66,67
Rumus:
100%xsampeljumlah
jantanikanjumlah(%)J
Tabel 11. Data Statistik
Ulangan Perlakuan
Total P0 P1 P2 P3
1 33,33 46,67 70 83,33 233,33
2 50 46,67 53,33 63,33 213,33
3 36,67 60 63,33 66,67 226,67
Total 120 153,34 186,66 213,33 673,33
Rata-rata 40,00 51,11 62,22 71,11 56,11
JKT = (P0.1)² + (P1.2)² +…….+ (P3.3)² – FK
34
JKT = 40066,67 – 37781,11
JKT = 2286
JKG = JKT – JKP
JKG = 2286 – 1640,56
JKG = 645,44
Tabel 12. Sidik Ragam Persentase Jantan
Sumber Keragaman Db JK KT F Hitung F Tabel
0,05 0,01
Perlakuan 3 1640,56 546,85 6,78* 4,07 7,59
Galat 8 645,44 80,68
Total 11 2286
Keterangan:
*) Beda nyata
**) Beda sangat nyata
BNT5% = t(0,05.dbG)
Ulangan
GalatKT2
35
BNT5% = t(0,05.8)
3
68,802x
BNT5% = 2,305 x 7,33 = 16,9
BNT1% = t(0,01.dbG)
Ulangan
GalatKT2
BNT1% = t(0,01.8)
3
68,802x
BNT1% = 3,355 x 7,33 = 24,59
Tabel 13. Uji BNT Persentase Jantan
Perlakuan Rata-
rata Perlakuan
Rata-
rata Perbedaan
BNT
(0,05)
BNT
(1,01)
P0 40 P1 51,11 11,11 16,9 24,59
P0 40 P2 62,22 22,22* 16,9 24,59
P0 40 P3 71,11 31,11** 16,9 24,59
P1 51,11 P2 62,22 11,11 16,9 24,59
P1 51,11 P3 71,11 20* 16,9 24,59
P2 62,22 P3 71,11 8,89 16,9 24,59
Keterangan:
*) Beda nyata
**) Beda sangat nyata
36
Lampiran 4. Analisis Statistik pada Kelangsungan Hidup (SR)
Tabel 14. Data Mentah SR
Ulangan Perlakuan
P0 P1 P2 P3
1 25 22 18 17
2 23 20 15 13
3 26 16 15 14
Tabel 15. Data SR setelah dirumuskan
Ulangan Perlakuan
P0 P1 P2 P3
1 83,33 73,33 60,00 56,67
2 76,67 66,67 50,00 43,33
3 86,67 53,33 50,00 46,67
100%xpenelitianawalikanjumlah
penelitianakhirhidupyangikanjumlah(%)SR
Tabel 16. Analisis Data Statistik SR
Ulangan Perlakuan
Total P0 P1 P2 P3
1 83,33 73,33 60 56,67 273,33
2 76,67 66,67 50 43,33 236,67
3 86,67 53,33 50 46,67 236,67
Total 246,67 193,33 160 146,67 746,67
Rata-rata 82,22 64,44 53,33 48,89 62,22
37
JKT = (P0.1)² + (P1.2)² +…….+ (P3.3)² – FK
JKT = 48867,2 –
JKT = 2407,53
JKG = JKT – JKP
JKG = 2407,53 – 1985,22
JKG = 422,31
Tabel 17. Analisis Sidik Ragam
Sumber Keragaman Db JK KT F Hitung F Tabel
0,05 0,01
Perlakuan 3 1985,22 661,74 12,54** 4,07 7,59
Galat 8 422,31 52,79
Total 11 2407,53
Keterangan:
*) Beda nyata
**) Beda sangat nyata
38
BNT5% = t(0,05.dbG)
Ulangan
GalatKT2
BNT5% = t(0,05.8)
3
79,522x
BNT5% = 2,305 x 5,93 = 13,67
BNT1% = t(0,01.dbG)
Ulangan
GalatKT2
BNT1% = t(0,01.8)
3
79,522x
BNT1% = 3,355 x 5,93 = 19,9
Tabel 18. Uji BNT pada Kelangsungan Hidup
Perlakuan Rata-rata Perlakuan Rata-rata Perbedaan BNT
(0,05)
BNT
(0,01)
P3 48,89 P2 53,33 4,44 16,9 24,59
P3 48,89 P1 64,44 15,55 16,9 24,59
P3 48,89 P0 82,22 33,33** 16,9 24,59
P2 53,33 P1 64,44 11,11 16,9 24,59
P2 53,33 P0 82,22 28,89** 16,9 24,59
P1 64,44 P0 82,22 17,78* 16,9 24,59
Keterangan:
*) Beda nyata
**) Beda sangat nyata
39
Lampiran 5. Analisis Statistik pada Laju Pertumbuhan
Tabel 19. Data Berat Awal
Ulangan Perlakuan
P0 P1 P2 P3
1 0,32 0,39 0,32 0,25
2 0,37 0,33 0,36 0,26
3 0,29 0,35 0,38 0,38
Tabel 20. Data Berat Akhir
Ulangan Perlakuan
P0 P1 P2 P3
1 0,5 0,5 0,41 0,32
2 0,53 0,39 0,44 0,39
3 0,49 0,42 0,44 0,46
Tabel 21. Data Laju Pertumbuhan Bobot Harian
Ulangan Perlakuan
P0 P1 P2 P3
1 1,94 1,08 1,078 1,073
2 1,562 0,726 0,872 1,763
3 2,281 0,793 0,637 0,831
Rumus:
α = [ (lnWt - lnWo)/t) ] x 100%
40
Tabel 22. Uji Statistik Laju Pertumbuhan
Ulangan Perlakuan
Total P0 P1 P2 P3
1 1,94 1,08 1,078 1,073 5,171
2 1,562 0,726 0,872 1,763 4,923
3 2,281 0,793 0,637 0,831 4,542
Total 5,783 2,599 2,587 3,667 14,636
Rata-Rata 1,928 0,866 0,862 1,222 4,879
JKT = (P0.1)² + (P1.2)² +…….+ (P3.3)² – FK
JKT = 21,007 – 17,851
JKT = 3,156
JKG = JKT – JKP
JKG = 3,156 – 2,261
JKG = 0,895
41
Tabel 23. Sidik Ragam Laju Pertumbuhan
Sumber
Keragaman Db JK KT F Hitung
F Tabel
0,05 0,01
Perlakuan 3 2,261 0,754 6,74* 4,07 7,59
Galat 8 0,895 0,112
Total 11 3,156
BNT5% = t(0,05.dbG)
Ulangan
GalatKT2
BNT5% = t(0,05.8)
3
112,02x
BNT5% = 2,305 x 0,274 = 0,631
BNT1% = t(0,01.dbG)
Ulangan
GalatKT2
BNT1% = t(0,01.8)
3
112,02x
BNT1% = 3,355 x 0,274 = 0,919
Tabel 24. Uji BNT pada Laju Pertumbuhan
Perlakuan Rata-
rata Perlakuan
Rata-
rata Perbedaan
BNT
(0,05)
BNT
(1,01)
P2 0,862 P3 1,222 0,36 0,631 0,919
P2 0,862 P0 1,928 1,066** 0,631 0,919
P2 0,862 P1 0,866 0,004 0,631 0,919
P1 0,866 P0 1,928 1,062** 0,631 0,919
P1 0,866 P3 1,222 0,356 0,631 0,919
P3 1,222 P0 1,928 0,706* 0,631 0,919
Keterangan:
*) Beda nyata
**) Beda sangat nyata
42
Lampiran 6. Dokumentasi
(1) Pemasangan arus listrik, (2) Pemasangan aerasi, (3) Wadah sudah siap
(4) Hormon 17α-MT, Alkohol 70% dan Timbangan Digital. (5) pH meter,
DO meter, Hether, Alat Bedah, dan Jangkar Sorong
1 2 3
4 5