I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangrepository.utu.ac.id › 1393 › 1 › BAB I-V.pdf · tawar...

43
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lele sangkuriang merupakan hasil silang balik induk betina lele dumbo generasi kedua (F2) dengan induk jantan lele dumbo generasi keenam (F6). Kehadiran lele sangkuriang sangat menguntungkan karena memiliki fekunditas dan laju pertumbuhan yang tinggi. Secara alami rasio sex betina lebih tinggi berbanding jantan, dilain pihak ketersediaan induk jantan sangat diperlukan dalam pemijahan buatan ikan lele, karena diperlukan induk jantan harus dikorbankan untuk mendapatkan sperma, hal ini disebabkan karena golongan lele-lele (Catfish) pengeluaran spermamya tidak dapat dilakukan secara pengerutan perut (Stripping). Oleh karena itu, diperlukan suatu metode untuk menghasilkan ikan lele jantan yang lebih banyak sebagai donor dalam pemijahan buatan. Sex reversal merupakan cara pembalikan arah perkembangan kelamin ikan yang seharusnya berkelamin betina diarahkan perkembangan gonadnya menjadi jantan atau sebaliknya. Teknik ini dilakukan pada saat belum terdiferensiasinya gonad ikan secara jelas antara jantan dan betina pada waktu menetas. Sex reversal merubah fenotip ikan tetapi tidak merubah genotipnya. Sex reversal dapat dilakukan melalui terapi hormon (cara langsung) dan melalui rekayasa kromosom (cara tidak langsung). Pada terapi langsung hormon androgen dan estrogen mempengaruhi fenotif tetapi tidak mempengaruhi genotif. Metode langsung dapat diterapkan pada semua jenis ikan apapun sex kromosomnya. Cara langsung dapat meminimalkan jumlah kematian ikan.

Transcript of I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangrepository.utu.ac.id › 1393 › 1 › BAB I-V.pdf · tawar...

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lele sangkuriang merupakan hasil silang balik induk betina lele dumbo

generasi kedua (F2) dengan induk jantan lele dumbo generasi keenam (F6).

Kehadiran lele sangkuriang sangat menguntungkan karena memiliki fekunditas

dan laju pertumbuhan yang tinggi.

Secara alami rasio sex betina lebih tinggi berbanding jantan, dilain pihak

ketersediaan induk jantan sangat diperlukan dalam pemijahan buatan ikan lele,

karena diperlukan induk jantan harus dikorbankan untuk mendapatkan sperma, hal

ini disebabkan karena golongan lele-lele (Catfish) pengeluaran spermamya tidak

dapat dilakukan secara pengerutan perut (Stripping). Oleh karena itu, diperlukan

suatu metode untuk menghasilkan ikan lele jantan yang lebih banyak sebagai

donor dalam pemijahan buatan.

Sex reversal merupakan cara pembalikan arah perkembangan kelamin ikan

yang seharusnya berkelamin betina diarahkan perkembangan gonadnya menjadi

jantan atau sebaliknya. Teknik ini dilakukan pada saat belum terdiferensiasinya

gonad ikan secara jelas antara jantan dan betina pada waktu menetas. Sex reversal

merubah fenotip ikan tetapi tidak merubah genotipnya.

Sex reversal dapat dilakukan melalui terapi hormon (cara langsung) dan

melalui rekayasa kromosom (cara tidak langsung). Pada terapi langsung hormon

androgen dan estrogen mempengaruhi fenotif tetapi tidak mempengaruhi genotif.

Metode langsung dapat diterapkan pada semua jenis ikan apapun sex

kromosomnya. Cara langsung dapat meminimalkan jumlah kematian ikan.

2

Kelemahan dari cara ini adalah hasilnya tidak bisa seragam dikarenakan

perbandingan alamiah kelamin yang tidak selalu sama.

Hormon metiltestosteron (MT) adalah satu hormon yang dapat

diaplikasikan untuk menghasilkan benih ikan berkelamin jantan. Steroid seks

yang berfungsi mengubah jenis kelamin adalah androgen (testosterone dan

metiltestosteron) yang memberikan efek maskulinitas, estrogen (estron dan

estrodiol) yang memberikan pengaruh feminitas. Androgen dihasilkan oleh testis,

korteks adrenal dan ovari. Hormon androgen sintesis memiliki efektifitas lebih

tinggi berbandingkan hormon androgen yang alami kecuali hormon testosteron

propionate. Hal ini terjadi karena hormon 17α-metiltestosteron dapat bereaksi

lebih lama pada target sel dibanding dengan androgen alami dan metiltestosteron

dieliminasi lebih lambat daripada testoteron (Piferrer dan Donaldson, 1992).

Dalam teknik sex reversal, hormon dapat diberikan melalui dua cara yaitu

perendaman dan melalui pakan buatan (oral). Pemberian melalui oral memiliki

kelemahan yaitu keterbatasan benih ikan yang dapat menerima pakan buatan dan

pemberian hormon melalui oral maka pakan akan melewati saluran pencernaan

sehingga ada kemungkinan terjadi degradasi hormon oleh enzim pencernaan

sehingga hormon menjadi rusak sebelum bekerja (Zairin, 2002).

Benih yang baru menetas umumnya berukuran kecil dan kurang menyukai

pakan buatan. Metode perendaman adalah metode alternatif untuk mengatasi

kelemahan yang terdapat pada pemberian hormon melalui oral. Dengan metode

perendaman, diharapkan hormon akan masuk kedalam tubuh ikan melalui proses

difusi (Zairin, 2002). Metode ini sudah digunakan pada beberapa spesies ikan air

3

tawar seperti ikan nila, ikan mas, ikan gurami (Zairin et al, 2002). Ikan tetra

kongo (Arfah et al, 2002), ikan pelangi Irian (Haryani dan Sulawesty, 2003).

Namun peredaran beberapa jenis hormon mulai dibatasi karena bersifat

karsinogenik dan limbahnya berpotensi menimbulkan polusi pada lingkungan.

Penelitian ini belum pernah dilakukan pada lele sangkuriang, tetapi mengingat

pada proses pemijahan buatan membutuhkan stok induk jantan yang banyak maka

penelitian ini penting untuk dilakukan.

1.2 Perumusan Masalah

Secara alami sex reversal betina lebih tinggi berbanding jantan, dilain

pihak induk jantan sangat diperlukan dalam pemijahan buatan ikan lele

sangkuriang. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode untuk menghasilkan ikan

lele jantan, teknik yang akan dikembangkan adalah dengan menggunakan larutan

hormon 17α-metiltestosteron.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi larutan 17 α-

metiltestosteron yang optimal terhadap perubahan kelamin jantan, laju

pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan lele sangkuriang (Clarias sp).

1.4 Manfaat Penelitian

a. Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat dijadikan acuan dalam usaha

pembenihan ikan lele sangkuriang untuk menghasilkan benih lele sangkuriang

jantan.

4

b. Penelitian sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan media informasi yang

bermanfaat tentang konsentrasi (dosis) hormon metiltestosteron yang berfungsi

merubah jenis kelamin ikan.

1.5 Hipotesis Penelitian

Konsentrasi hormon 17α-metiltestosteron yang optimal dapat

memaksimalkan perubahan jenis kelamin ikan lele sangkuriang (Clarias sp)

menjadi jantan.

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lele sangkuriang (Clarias sp)

Berdasarkan bentuk tubuh dan sifat-sifatnya ikan lele dapat

diklasifikasikan dalam suatu tata nama sehingga memudahkan dalam

indentifikasi.

Menurut Lukito (2002), sistematika ikan lele sangkuriang adalah sebagai

berikut: Philum Chordata, Kelas Pisces, Sub Kelas Teleostei, Ordo Ostariophysi,

Sub Ordo Silaroidae, Famili Clariidae, Genus Clarias, Spesies Clarias sp.

Ikan lele sangkuriang memiliki tubuh yang licin berlendir dan tidak

bersisik. Jika terkena matahari, warna tubuh lele berubah menjadi pucat dan

terkejut warna tubuhnya otomatis berubah menjadi loreng seperti mozaik hitam

putih. Mulut ikan lele berukuran besar yaitu seperempat dari panjang tubuhnya.

Tanda lainnya adalah adanya kumis sekitar mulut sebanyak delapan buah yang

berfungsi sebagai alat peraba saat bergerak atau ketika mencari makan (Wijaya,

2011).

Lele sangkuriang memiliki tiga buah sirip tunggal, yakni sirip punggung

sirip ekor, dan sirip dubur sebagai alat bantu untuk berenang. Lele sangkuriang

juga memiliki sirip dada dan sirip perut yang berpasangan. Sirip dada dilengkapi

dengan sirip yang keras dan runcing yang disebut dengan patil. Patil ini berfungsi

sebagai senjata dan alat bantu untuk bergerak (Khairuman dan Amri, 2008).

2.1.1 Ekologi

Menurut Zadi (2010), ikan lele Sangkuriang tidak pernah ditemukan di air

payau atau air asin, kecuali ikan lele laut yang tergolong ke dalam marga dan suku

6

yang berbeda. Habitatnya di sungai dengan arus air yang perlahan, rawa, telaga,

waduk, sawah yang tergenang air, bahkan ikan lele sangkuriang bisa juga hidup

pada air yang tercemar, misalkan di got-got dan selokan pembuangan (Wijaya,

2011). Ikan lele bersifat nokturnal, yaitu aktif bergerak mencari makanan pada

malam hari. Pada siang hari, ikan lele berdiam diri dan berlindung di tempat-

tempat gelap.

2.1.2 Kebiasaan Makan

Saluran pencernaan lele sangkuriang terdiri dari mulut, rongga mulut,

eksofagus, lambung, usus dan dubur, usus yang dimiliki ikan lele lebih pendek

dari pada panjang badannya. Perencanaan bahan makanan secara fisik atau

mekanik dimulai dari bagian rongga mulut, yaitu dengan berperannya gigi dalam

proses pemotongan dan penggerusan makanan. Selanjutnya bahan makanan

dicerna lambung dan usus dengan adanya gerakan atau kontraksi otot. Pencernaan

secara fisik pada segmen ini terjadi secara efektif karena adanya aktifitas cairan

disgetif. Proses pencernaan makanan dipercepat oleh kelenjar pencernaan

(Wijaya, 2011).

Lele sangkuriang mempunyai kebiasaan makan didasar perairan kolam.

Berdasarkan jenis pakannya, lele digolongkan ikan karnivora (pemakan daging).

Pakan ikan lele sangkuriang banyak mengandung protein. Pemberian pakan pada

ikan ikan lele sangkuriang sehari 3 kali (Sutrisno, 2006).

7

2.1.3 Reproduksi Lele Sangkuriang

Menurut Hardinata (2010), beberapa literatur menyatakan bahwa lele

sangkuriang merupakan hasil persilangan lele lokal yang berasal dari Afrika

dengan lele lokal dari Taiwan. Lele sangkuriang pertama kali di datangkan ke

Indonesia oleh sebuah perusaan swasta pada tahun 1986. selanjutnya ikan jenis ini

berkembang dan menyebar ke hampir seluruh wilayah Indonesia, sehingga sampai

tahun 2002 ini disetiap daerah di Indonesia sudah dapat dijumpai ikan lele

sangkuriang, secara morfologi ikan lele sangkuriang jantan dan betina dapat

dibedakan dari urogenital papilla yang terletak dibelakang anus. Ikan lele

sangkuriang jantan memiliki alat urogenital lebih panjang dan menonjol, induk

jantan tidak dapat diambil spermanya dengan cara pengurutan (stripping),

sehingga induk jantan harus dibunuh terlebih dahulu kemudian testisnya diambil

(Wijaya, 2011).

2.1.4 Siklus Hidup dan Perkembangbiakan

Menurut Basahudin (2009), dari kecil hingga dewasa, lele sangkuriang

mengalami lima fase kehidupan, yaitu telur benih, post benih, benih, dewasa dan

induk. Masa setiap fase kehidupan dilalui berbeda-beda, tergantung dari kondisi

lingkungan. Selama itu akan terjadi perubahan bentuk, pembentukan organ tubuh,

penyempurnaan fungsi organ tubuh dan juga perkembangan. Perkembangan ini

akan merubah ukuran tubuh hingga semakin panjang dan merubah bobot tubuh

hingga semakin berat.

Telur lele sangkuriang yang normal berbentuk bulat, berdiameter 1,1-1,4

mm dan berwarna kuning tua atau agak kecoklatan. Pada suhu 23-24 oC, fase telur

dilalui selama 30-36 jam dan menetas menjadi benih atau ikan yang anggota

8

tubuhnya baru terbentuk. Fase benih hingga post benih dilalui selama 48-72 jam

atau kurang lebih selama lima hari. Fase benih merupakan fase kritis karena organ

tubuhnya baru terbentuk, tetapi belum sempurna termasuk fungsinya. Pada fase

ini, benih membawa kantung telur sebagai cadangan makanan (yolk egg).

Memasuki fase burayak, masa kritis sudah dilewati. Selain organ tubuhnya sudah

terbentuk dengan sempurna, organ tubuhnya juga sudah dapat berfungsi dengan

sempurna, terutama kebiasaan makannya (Basahudin, 2009).

Fase post benih hingga benih atau ikan berukuran 10-12 cm dapat

berlangsung selama 8-10 minggu. Perkembangan pada fase ini sangat bergantung

pada lingkungan terutama kualitas air dan ketersediaan pakan. Pada kualitas air

yang baik dan pakan yang cukup, kehidupan burayak akan normal dan dapat

tumbuh dengan cepat sehingga dapat mencapai benih pada waktunya. Sebaliknya,

pada kualitas air yang buruk dan pakan kurang, kehidupan burayak tidak normal

dan tidak mencapai benih pada waktunya, Oleh karena itu, kualitas air dan

ketersediaan pakan menjadi sangat penting (Basahudin, 2009).

2.2 Hormon 17α-Metiltestosteron

Sex reversal merupakan cara pembalikan arah perkembangan kelamin ikan

yang seharusnya berkelamin jantan diarahkan perkembangan gonadnya menjadi

betina atau sebaliknya. Teknik ini dilakukan pada saat belum terdiferensiasinya

gonad ikan secara jelas antara jantan dan betina pada waktu menetas. Sex reversal

merubah fenotif ikan tetapi tidak merubah genotifnya. Teknik sex reversal mulai

dikenal pada tahun 1937 ketika estradiol 17 disintesis untuk pertama kalinya di

Amerika Serikat. Pada mulanya teknik ini diterapkan pada ikan guppy

(Poeciliareticulata). Kemudian dikembangkan oleh Yamamato di Jepang pada

9

ikan medaka (Oryzias latipes). Ikan medaka betina yang diberi metiltestosteron

akan berubah menjadi jantan. Setelah melalui berbagai penelitian teknik ini

menyebar keberbagai negara lain dan diterapkan pada berbagai jenis ikan.

Awalnya dinyakini bahwa saat yang baik untuk melakukan sex reversal adalah

beberapa hari sebelum menetas (gonad belum didiferensiasikan). Teori ini pun

berkembang karena adanya fakta yang menunjukkan bahwa sex reversal dapat

diterapkan melalui embrio dan induk yang sedang bunting (Masduki, 2010).

Menurut Adria (2011), benih direndam 18-24 jam dan di ganti air

rendaman dalam akuarium selanjutnya pindahkan ikan ke kolam tampung setelah

berusia dua minggu menggalami pertumbuhan yanga sangat cepat. Panen hanya

butuh 2-3 bulan, serbuk yang digunakan adalah hormon metiltestosteron buatan

Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), yang berfungsi mengubah kelamin (sex

reversal) ikan menjadi jantan dan persentase alih kelamin mencapai 94 persen.

Penerapan sex reversal dapat menghasilkan populasi monosex (kelamin

tunggal). Kegiatan budidaya secara monosex (monoculture) akan bermanfaat

dalam mempercepat pertumbuhan ikan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan

tingkat pertumbuhan antara ikan berjenis jantan dengan betina. Beberapa ikan

yang berjenis jantan dapat tumbuh lebih cepat dari pada jenis betina misalkan ikan

nila dan ikan lele Amerika (Zairin, 2002). Untuk mencegah pemijahan liar dapat

dilakukan melalui teknik ini. Pemijahan liar yang tidak terkontrol dapat

menyebabkan kolam cepat penuh dengan berbagai ukuran ikan. Total biomass

ikan tinggi namun kualitasnya rendah. Pemeliharaan ikan monoseks akan

mencegah perkawinan dan pemijahan liar sehingga kolam tidak cepat dipenuhi

10

ikan. Selain itu ikan yang dihasilkan akan berukuran besar dan seragam. Contoh

ikan yang cepat berkembangbiak yaitu ikan nila dan mujair (Zairin et al, 2002).

Pada beberapa jenis ikan hias seperti cupang, guppy, kongo dan rainbow

akan memiliki penampilan tubuh yang lebih baik pada jantan daripada ikan betina.

Dengan demikian nilai jual ikan jantan lebih tinggi ketimbang ikan betina (Zairin

et al 1998).

Sex reversal juga dapat dimanfaatkan untuk teknik pemurnian ras ikan.

Telah lama diketahui ikan dapat dimurnikan dengan teknik ginogenesis yang

produknya adalah semua betina. Menjelang diferensiasi gonad sebagian dari

populasi betina tersebut diambil dan diberi hormon androgen berupa

metiltestosteron sehingga menjadi ikan jantan. Selanjutnya ikan ini dikawinkan

dengan saudaranya dan diulangi beberapa kali sampai diperoleh ikan dengan ras

murni (Masduki, 2010).

Jenis kelamin pada ikan ditentukan oleh dua faktor utama yaitu genetik

dan lingkungan. Secara genetik jenis kelamin ditentukan oleh pasangan

kromosom yang diturunkan oleh induknya. Namun secara fungsional jenis

kelamin ikan ditentukan oleh lingkungan selama perkembangan gonad ikan

berlangsung. Faktor lingkungan yang mempengaruhib perkembangan gonad

diantaranya adalah temperatur, pH dan eksogenus steroid (Devlin dan Nagahama,

2002 dalam Safrizal, 2011).

Ikan lele sangkuriang sangat mudah untuk memijah terutama inbreeding,

karena ikan ini cepat matang gonad dengan mensuplai makanan yang bergizi dan

dapat melakukan pemijahan secara buatan dan semi buatan. Akibatnya induk

jantan susah untuk didapatkan karena sering ditumbangkan pada saat melakukan

11

pemijahan buatan dengan cara dibedah induk dan dimatikan jantan dan

selanjutnya penggambilan sperma Hardinata, (2010). Untuk mengatasi

permasalahan tersebut, perlu dikembangkan alternatif budidaya dengan

pemeliharaan ikan secara tunggal kelamin (monosex culture), yakni hanya

memelihara benih ikan jantan, terdapat beberapa cara untuk mengubah kelamin

atau maskulinisasi ikan lele sangkuriang dan meningkatkan persentase individu

jantan dalam populasi ikan tersebut dengan memisahkan jantan dan betina cara

seleksi manual, namun cara ini kurang efisien karena boros waktu dan tenaga

(Zairin, 2002).

Maskulinisasi dengan rangsangan hormon perlu memperhatikan umur

ikan. Shapiro (1987) menyatakan bahwa semakin muda umur ikan, peluang

terbentuknya kelamin jantan semakin besar, dan semakin tua umur ikan peluang

perubahan kelamin betina ke jantan makin berkurang. Maskulinisasi pada ikan

berumur 2 bulan (50 g) tidak akan berhasil karena pada saat itu organ kelamin

sudah terbentuk sempurna. Oleh karena itu, maskulininasi sebaiknya dilakukan

pada umur 7–10 hari setelah telur menetas dan maksimal pada umur 17−19 hari

(Suyanto 1994; Irfan1996).

Menurut Masduki (2010), Sex reversal dapat dilakukan melalui terapi

hormon (cara langsung) dan melalui rekayasa kromosom (cara tidak langsung).

Pada terapi langsung hormon androgen dan estrogen mempengaruhi fenotif tetapi

tidak mempengaruhi genotif. Metode langsung dapat diterapkan pada semua jenis

ikan apapun seks kromosomnya. Cara langsung dapat meminimalkan jumlah

kematian ikan. Kelemahan dari cara ini adalah hasilnya tidak bisa seragam

dikarenakan perbandingan alamiah kelamin yang tidak selalu sama. Misalkan

12

pada ikan hias, nisbah kelamin anakan tidak selalu 1:1 tetapi 50% jantan:50%

betina pada pemijahan pertama, dan 30% jantan:50% betina pada pemijahan

berikutnya.

Menurut Murni (2011), Proses penjantanan ikan penting untuk

meningkatkan kesejahteraan peternak dan produksi ikan nasional. Selain ongkos

produksi yang murah, “Jantanisasi” ikan memiliki nilai ekonomi tinggi, karena

masa tumbuhnya cepat dan panen pun lebih sering. Karena seluruh energi ikan

pejantan digunakan untuk tumbuh, tidak seperti betina yang sebagian energinya

digunakan untuk pematangan telur. Bentuk, ukuran, dan warna ikan jantan pun

jauh lebih unggul dibanding si betina.

2.3 Kualitas Air

Sumber air yang baik dalam pembenihan ikan harus memenuhi kriteria

kualitas air. Hal tersebut meliputi sifat-sifat kimia dan fisika air seperti suspensi

bahan padat, suhu, gas terlarut, pH, kadar mineral, dan bahan beracun. Untuk

kegiatan pembenihan ikan lele, air yang digunakan sebaiknya berasal dari sumur

walaupun dalam pemeliharaan di kolam, ikan lele lokal tidak memerlukan air

yang jernih seperti ikan-ikan lainnya (Darseno, 2010).

Ikan lele dapat hidup di lingkungan yang kualitas airnya kurang baik.

Kualitas air yang baik untuk pertumbuhan lele yaitu kandungan oksigen terlarut

(DO) >3 ppm, CO2 kurang dari 15 ppm, suhu 25-30 oC, pH (6-7) dan kecerahan

air 15-30 cm (Lukito, 2002).

13

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga Agustus 2013

bertempat di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Teuku Umar Meulaboh.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Tabel 1. Alat-alat yang digunakan

No Nama Alat Kegunaan

1 Stoples Wadah

2 Serok Alat pembersih

3 Aerasi Penyuplai oksigen

4 Gelas ukur Pengukur volume

5 Timbangan digital Pengukur berat

6 Penggaris Pengukur panjang

7 Lakmus/pH meter Pengukur pH

8 DO meter Pengukur DO

9 Thermometer Pengukur suhu

10 Heater pengatur suhu

Tabel 2. Bahan-bahan yang digunakan

No Nama Bahan Kegunaan

1 Benih lele sangkuriang Sampel

2 Hormon 17-metiltestosteron Bahan uji

3 Pakan Makanan

4 Air tawar Media

14

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Populasi, sampel, besar sampel dan teknik pengambilan sampel

Hewan yang diuji adalah benih ikan lele sangkuriang, selanjutnya diambil

secara acak dalam bak pemeliharaan dan jumlah masing-masing-masing media

perendaman adalah 30 ekor.

Ikan sampel adalah benih ikan lele sangkuriang yang berumur 23 hari,

jumlah sampel per media perendaman sebanyak 30 ekor ikan lele sangkuriang dan

total keseluruhannya adalah 360 ekor untuk semua wadah penelitian.

Proses pengambilan sampel hewan uji adalah dengan cara penggambilan

dalam bak secara acak dan diberok terlebih dahulu. Selanjutnya hewan uji

diaklimatisasi ditempat penelitian sebelum digunakan untuk proses perendaman

dengan hormon.

3.3.2 Persiapan wadah media

Wadah perendaman digunakan adalah stoples plastik volume 15 liter

sebanyak 12 buah, dan digunakan wadah pemeliharaan adalah stoples dengan

ukuran volume 15 liter sebanyak 12 buah. Semua wadah penelitian sebelum

digunakan telebih dahulu disuci hamakan dengan cara dicuci dan dijemur dibawah

sinar matahari selama 24 jam.

Wadah untuk perendaman diisi air sebanyak masing-masing 1 liter,

sedangkan wadah pemeliharaan diisi air sebanyak 10 liter. Semua wadah yang

telah berisi air dilengkapi dengan aerasi untuk mensuplai oksigen di dalam air dan

heater untuk menjaga agar suhu tetap stabil.

15

Air yang digunakan untuk perendaman hormon dan pemeliharaan benih

adalah air tawar yang telah diendapkan selama 48 jam, kemudian dimasukkan

kedalam media percobaan tersebut.

3.3.3 Persiapan Larutan Hormon

Serbuk hormon 17-metiltestosteron ditimbang dengan masing-masing 4,

6 dan 8 mg dengan menggunakan timbangan analitik, lalu dilarutkan kedalam 0,5

ml alkohol 70%. Kemudian dimasukkan kedalam media perendaman yang telah

diisi air bersih 1 liter sehingga dihasilkan konsentrasi masing-masing sebagai

berikut:

P0 = 0 ppm (kontrol)

P1 = 4 ppm

P2 = 6 ppm

P3 = 8 ppm

3.3.4 Proses Perendaman

Setelah diaklimatisasi, masing-masing sebanyak 30 ekor benih diambil

secara acak dan ditimbang beratnya. Selanjutnya dimasukkan dalam larutan

hormon sesuai dengan perlakuan, benih dibiarkan selama 8 jam.

3.3.5 Proses Pemeliharaan

Setelah direndam sesuai dengan perlakuan, benih dikeluarkan dari larutan

dan selanjutnya dimasukkan dalam wadah pemeliharaan dan dipelihara selama 3

minggu atau sampai kelaminnya bisa dilihat. Selama pemeliharaan diberi makan

pakan merk CP 901. Pakan diberi secara adlibitum dengan frekuensi pemberian 2

x sehari pada pukul 08.00 WIB dan 17.00 WIIB.

16

3.3.6 Alur Penelitian

Untuk dapat lebih mengarahkan alur penelitian dan dapat menghasilkan

hasil penelitian yang cermat dan teliti, maka yang dibutuhkan adalah adanya

bagan alur penelitian sebagai pedoman dalam pelaksanaannya. Bagan alur

meliputi langkah dan hal yang perlu dipersiapkan dan dilengkapi sebagai dasar

dalam pelaksanaan. Alur penelitian dapat dilihat pada lampiran 1.

3.4 Parameter Uji

Parameter yang diukur adalah persentase kelamin jantan, kelangsungan

hidup, dan laju pertumbuhan bobot harian. Identifikasi jenis kelamin dilakukan

dengan pengamatan morfologi yaitu dindentifikasi langsung jenis kelamin pada

ikan lele sangkuriang. Ikan lele sangkuriang pada jantan dapat dibedakan dari alat

kelamin yang menonjol dan panjang yang terletak dibagian anus. Jika papilla

genital belum terlihat jelas maka dilakukan pembedahan untuk melihat

keberadaan gonad, ovari (betina) atau testis (jantan).

Untuk mendapatkan data kelangsungan hidup ikan, maka dihitung ikan

saat awal penelitian dan ikan yang masih hidup pada akhir penelitian. Untuk

pertumbuhan dihitung berat ikan masing-masing perlakuan dengan cara

menimbang setiap ikan pada media pemeliharaan.

Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah persentase ikan kelamin

jantan, dengan menggunakan rumus:

Persentase jumlah ikan jantan, Fauzan (2006).

100%xsampeljumlah

jantanikanjumlah(%)J

17

Tingkat kelangsungan hidup

Menurut Zairin (2002), bahwa tingkat kelangsungan hidup (Survival rate)

dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

100%xpenelitianawalikanjumlah

penelitianakhirhidupyangikanjumlah(%)SR

Laju Pertumbuhan Bobot Harian

Berdasarkan data bobot ikan dilakukan penghitungan laju pertumbuhan

bobot harian menggunakan rumus Busacker et al. (1990):

α = [ (lnWt - lnWo)/t) ] x 100%

Keterangan:

α = Laju pertumbuhan harian (%)

W0 = Bobot rata-rata ikan pada saat awal (gram)

Wt = Bobot rata-rata ikan pada saat akhir (gram)

t = Lama pemeliharaan (hari)

3.5 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan Rancangan Acak Lengkap (RAL),

masing-masing dengan empat taraf perlakuan, yaitu Perlakuan (Faktor perbedaan

konsenterasi hormon): 0, 4, 6 dan 8 mg/l. Setiap perlakuan dilakukan tiga kali

ulangan, sehingga dihasilkan 12 unit percobaan.

18

Untuk analisis data yang dilakukan dari setiap percobaan, dapat dilihat

pada tabel dibawah ini :

Tabel 3. Penerapan perlakuan

Ulangan Perlakuan

Total P0 P1 P2 P3

1 P0.1 P1.1 P2.1 P3.1

2 P0.2 P1.2 P2.2 P3.2

3 P0.3 P1.3 P2.3 P3.3

Total P0.. P1.. P2.. P3.. P...

Rata-rata P0/n P1/n P2/n P3/n P.../(i.j)

Model rancangan acak lengkap yang digunakan adalah model tetap dengan

merujuk pada Kemas (2000) yaitu:

Yij= µ + π + ε

Dimana:

i = 1, 2, 3 …. (perlakuan)

j = 1, 2, 3 …. (ulangan)

Yij = Variable yang akan di analisis dari perlakuan ke 1 dan ulangan ke –j

µ = Nilai rata-rata umum

π = Efek perlakuan

ε = Kesalahan percobaan dari perlakuan ke-1 dan ulangan ke-j

Data yang diperoleh dalam penelitiaan ini akan di tabulasikan dalam

bentuk tabel dan dianalisis dengan uji statistik F (anova), jika uji statistik

menunjukkan perbedaan nyata dimana F>0,05 maka akan dilanjutkan dengan uji

rentang BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk melihat perlakuan mana yang terbaik.

19

3.6 Metode Analisa Data

Data yang diperoleh adalah data persentase jumlah ikan jantan, tingkat

kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian ikan dan data pengukuran

kualitas air. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis ragam dengan

menggunakan Analysis Of Varience (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh

perlakuan yang diberikan terhadap persentase jumlah ikan jantan, tingkat

kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian. Data-data tersebut disajikan

dalam bentuk grafik dan tabel. Jika dari analisis ragam diketahui bahwa perlakuan

menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata atau berbeda sangat nyata maka untuk

menentukan perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata

Terkecil (BNT) (Rochiman, 1989). Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai

berikut :

BNT5% = t(0,05.dbG)

Ulangan

GalatKT2

BNT1% = t(0,01.dbG)

Ulangan

GalatKT2

Sumber : Rochiman, (1989)

20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Persentase Kelamin Jantan

Hasil perhitungan ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan

konsentrasi hormon berpengaruh nyata terhadap persentase jantan benih ikan lele

sangkuriang, sehingga harus dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (lamipran 3). Data

rata-rata persentase ikan jantan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 4. Persentase jantan (%) benih ikan lele sangkuriang (Clarias sp)

Ulangan Dosis Hormon

Total P0 P1 P2 P3

1 33,33 46,67 70 83,33 233,33

2 50 46,67 53,33 63,33 213,33

3 36,67 60 63,33 66,67 226,67

Total 120 153,34 186,66 213,33 673,33

Rata-rata 40,00 51,11 62,22 71,11 56,11

Keterangan:

P0 : Kontrol

P1 : Konsenterasi 4 ppm

P2 : Konsenterasi 6 ppm

P3 : Konsenterasi 8 ppm

Perendaman dengan hormon 17α-metiltestosteron berpengaruh nyata

terhadap persentase jumlah ikan jantan yang dihasilkan. Hal ini dilihat dari hasil

uji statistik yang menunjukkan bahwa pada taraf kepercayaan 95% (Ftabel 0,05)

lebih kecil daripada Fhitung, sehingga harus dilanjutkan dengan uji Beda Nyata

Terkecil dengan hasil P3 berbeda sangat nyata dengan P2, P1 dan P0 (lampiran 3).

21

Gambar 1. Persentase rata-rata jenis kelamin benih lele sangkuriang (Clarias sp)

dengan perendaman hormon 17α-metiltestosteron pada konsenterasi yang

berbeda.

Dengan demikian, perlakuan terbaik untuk menghasilkan tingkat

persentase jantan yang tinggi yaitu P3 dengan dosis 8 mg mendapatkan rata-rata

71,11%, diikuti P2 dengan dosis 6 mg yang mendapatkan rata-rata 62,22%

selanjutnya P1 dengan dosis 4 mg yaitu 51,11% dan tanpa perlakuan (kontrol)

sebesar 40%.

Uji BNT menunjukkan bahwa antar perlakuan terdapat perbedaan nyata

dan perbedaan yang sangat nyata. P0 (kontrol) berbeda nyata terhadap P2 dengan

selisih 22,22, P0 berbeda sangat nyata terhadap P3 dengan selisih 31,11 dan P1

yang berbeda nyara terhadap P3 dengan selisih 20.

Tingkat keberhasilan teknik alih kelamin akan sangat ditentukan oleh

jumlah hormon yang diberikan, lama waktu perlakuan, dan frekuensi perlakuan

baik melalui pemberian hormon melalui pakan maupun dengan teknik

perendaman (Piferrer, 2001; Devlin dan Nagahama, 2002).

22

Secara genetik dalam keadaan normal ikan akan menghasilkan keturunan

dengan rasio seks jantan dan betina 50% : 50% (Tave, 1993; Pandian 1999). Rasio

seks tersebut dapat diarahkan menjadi mayoritas jantan maupun betina sesuai

kepentingan dengan teknik alih kelamin (Tave, 1993; Bearmore et al.,

2000; Preferrer, 2001; Zairin, 2003; Desprez et al., 2003). Persentase ikan jantan

yang lebih tinggi merupakan indikator keberhasilan dari teknik maskulinisasi pada

ikan nila (Zairin, 2003).

Berdasarkan hasil penelitian Rubianti (2006) persentase jantan tertinggi

ikan Nila diperoleh pada dosis 6 mg yaitu sebesar 90,35%. Arafah (2005)

mengatakan pada ikan Guppy perangsangan diferensiasi kelamin embrio dari

betina menjadi jantan paling efektif dilakukan dengan perendaman hormon 17a-

Metiltestosteron sebanyak 1 mg/L pada temperatur 27ºC. Maskulinisasi ikan

tidak harus menggunakan hormon 17α-metiltestosteron, beberapa bahan lainnya

juga bisa digunakan. Ekstrak tepung testis sapi juga bisa digunakan dalam

maskulinisasi ikan. Irmasari (2012) mengatakan bahwa perendaman dengan

menggunakan tepung testis sapi menghasilkan ikan nila merah berkelamin jantan

sebesar 69,07%. Bahan selanjutnya adalah madu yang juga dapat berperan dalam

proses maskulinisasi ikan. Syarifuddin (2004) telah berhasil menghasilkan benih

ikan nila GIFT (Oreochromis niloticus) monosex jantan sebesar 93,33 % dengan

memberikan dosis madu 200 ml/kg pakan. Sedangkan Soelistiyowati, et, al.

(2007) telah mengarahkan kelamin jantan pada anak ikan gapi yang dihasilkan

sampai 59,5% dengan peningkatan dosis madu sampai 60 ml/l yang diberikan

melalui perendaman induk selama 10 jam. Selanjutnya Safrizal (2011)

mengatakan bahwa jantanisasi ikan juga bisa menggunakan ekstrak Purwoceng

23

(Pimpinella alpina), persentase jantan ikan nila yang dihasilkan adalah sebesar

73,3% dengan dosis 20 ml/l dan lama perendaman 8 jam.

4.2 Tingkat Kelangsungan Hidup

Hasil perhitungan ANOVA menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi

hormon berpengaruh sangat nyata terhadap kelangsungan hidup benih lele

sangkuriang, sehingga harus dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (lampiran 4).

Tabel 5. Kelangsungan hidup (%) benih lele sangkuriang (Clarias sp)

Ulangan Perlakuan

Total P0 P1 P2 P3

1 83,33 73,33 60 56,67 273,33

2 76,67 66,67 50 43,33 236,67

3 86,67 53,33 50 46,67 236,67

Total 246,67 193,33 160 146,67 746,67

Rata-rata 82,22 64,44 53,33 48,89 62,22

Perendaman dengan hormon 17α-metiltestosteron berpengaruh sangat

nyata terhadap kelangsungan hidup benih lele sangkuriang, hal ini dilihat dari

hasil uji statistik yang menunjukkan bahwa pada taraf kepercayaan 99% (Ftabel

0,01) lebih kecil daripada Fhitung.

24

Gambar 2. Persentase rata-rata kelangsungan hidup benih lele sangkuriang

(Clarias sp) dengan perendaman hormon 17α-metiltestosteron pada konsenterasi

yang berbeda.

Berdasarkan grafik diatas dapat kita lihat bahwa kelangsungan hidup

tertinggi terdapat pada P0 (kontrol) yaitu 86,67%, selanjutnya berturut-turut P1

53,33%, P2 50% dan P3 46,67%. Rubianti (2006) mengatakan bahwa daya tahan

hidup tertinggi benih ikan gurame terdapat pada perlakuan kontrol yaitu sebesar

41%.

Uji BNT menunjukkan bahwa antar perlakuan terdapat perbedaan nyata

dan perbedaan yang sangat nyata. P3 berbeda sangat nyata terhadap P0 dengan

selisih 33,33, P2 berbeda sangat nyata dengan P0 dengan selisih 28,89 dan P1

yang berbeda nyara dengan P0 dengan selisih 17,78.

Kematian benih ikan sebagian besar terjadi pada saat perendaman, benih

ikan lele sangkuriang diduga tidak dapat menyesuaikan diri dengan larutan

hormon, sehingga banyak benih yang tidak dapat bertahan dan mati. Semakin

besar dosis hormon yang diberikan maka tingkat kematiannya semakin tinggi, hal

ini dapat kita lihat pada P1 (4 mg) dengan angka bertahan hidup sebesar 53,33%,

25

P2 (6 mg) memproleh angka sebesar 50% dan P3 (8 mg) yang bertahan hidup

hanya 46,67%.

4.3 Laju Pertumbuhan Bobot Harian

Hasil perhitungan ANOVA menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi

hormon 17α-metiltestosteron berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan benih

lele sangkuriang, hal ini dilihat dari hasil uji statistik yang menunjukkan bahwa

pada taraf kepercayaan 95% (Ftabel 0,05) lebih kecil daripada Fhitung. sehingga perlu

dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (lampiran 5).

Tabel 6. Laju pertumbuahan (%) benih lele sangkuriang (Clarias sp)

Ulangan Perlakuan

Total P0 P1 P2 P3

1 1,94 1,08 1,078 1,073 5,171

2 1,562 0,726 0,872 1,763 4,923

3 2,281 0,793 0,637 0,831 4,542

Total 5,783 2,599 2,587 3,667 14,636

Rata-Rata 1,928 0,866 0,862 1,222 4,879

Berdasarkan tabel diatas, dapat kita lihat bahwa laju pertumbuhan tertinggi

yaitu pada perlakuan P0 (kontrol) sebesar 1,928 % dan yang terendah diperoleh

pada perlakuan P2 (6 mg/L) sebesar 0,862%.

Bobot ikan bertambah pada semua perlakuan jika dibandingkan dengan

berat awal. Tingginya pertumbuhan pada P0 (kontrol) daripada P1, P2 dan P3

diduga karena ikan mengalami stres pada saat perendaman dan mengkibatkan ikan

kurang nafsu makan. Selain itu, media penelitian stoples yang sempit juga

menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan.

26

Gambar 3. Grafik Laju Pertumbuhan Ikan Lele Sangkuriang (Clarias sp) dengan

perendaman hormon 17α-metiltestosteron pada konsenterasi yang berbeda.

Uji BNT menunjukkan bahwa antar perlakuan terdapat perbedaan nyata

dan perbedaan yang sangat nyata. P3 berbeda nyata terhadap P0 dengan selisih

0,706, P2 berbeda sangat nyata dengan P0 dengan selisih 1,062 dan begitu juga

dengan P2 yang berbeda sangat nyara dengan P0 dengan selisih 1,064.

4.4 Parameter Kualitas Air

Parameter yang dilihat pada penelitian ini meliputi suhu, oksigen terlarut

(DO), dan pH. Hasil pengukuran kualitas air masing-masing parameter kualitas air

tersaji pada tabel dibawah ini:

Tabel 7. Data kualitas air selama penelitian

Parameter Awal Penelitian Akhir Penelitian

Suhu

pH

DO

27 ᴼC

6,9

4,7 mg/l

27 ᴼC

6,6

4,9 mg/l

27

Air sebagai media tempat hidup organisme perairan merupakan faktor

yang paling utama harus diperhatikan dalam usaha budidaya baik dilapangan

terbuka maupun pada wadah terkontrol. Dari tabel 7 diatas dapat kita lihat kondisi

kualitas air pada saat pemeliharaan benih lele sangkuriang yaitu suhu stabil 27ᴼC,

pH 6,6-6,9 dan DO 4,7-4,9. Suhu tetap stabil karena menggunakan alat bantu

heater yang dipasang pada setiap wadah dari awal hingga akhir penelitian, hal ini

dilakukan mengingat fluktuasi suhu yang tinggi dikhawatirkan ikan akan mudah

stres bahkan mati. Hal ini didukung oleh pernyataan Lovell dalam Syahputra

(2013) yang menyatakan bahwa kualitas air yang baik untuk pertumbuhan ikan

catfish berkisar antara 26-32 ᴼC, pH kisaran 6,5-9,0 dan oksigen terlarut (DO) > 3

mg/l.

Salah satu parameter kualitas air yang sangat mempengaruhi rasio seks

ikan adalah temperatur (Zairin, 2003; Devlin dan Nagahama, 2002; Goto-

Kazeto, 2006). Pada temperatur yang tinggi akan menyebabkan arah kelamin

menjadi jantan sedangkan pada temperatur rendah umumnya akan mengarah

menjadi betina (Goto-Kazeto, 2006). Sejak stadia embrio temperatur telah

mempengaruhi seks rasio maupun perkembangan ikan (Devlin dan Nagahama,

2002). Pada suhu 15oC populasi ikan mas (Carassius auratus) betina dapat

mencapai 94,6%, pada suhu 23oC populasi betina berada pada kisaran normal,

berjumlah 46,6% dan pada suhu dan pada temperatur 30oC populasi jantan dapat

mencapai 92,3% (Goto- Kazeto, 2006). Menurut Pillay (1981), peningkatan

temperatur dapat meningkatkan jumlah ikan jantan dan pada fase dewasa

dapat meningkatkan hormon testesteron dan 11-ketotestesteron.

28

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Pengarahan kelamin benih ikan lele sangkuriang (Clarias sp) dengan

perendaman menggunakan hormon 17α-metiltestosteron memberikan pengaruh

yang nyata terhadap perubahan kelamin jantan benih ikan lele sangkuriang. Hasil

terbaik diperoleh pada P3 (8 mg/liter) dengan persentase jantan sebesar 71,11%.

5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang pengaruh hormon 17α-

metiltestosteron dengan umur dan lama waktu rendam yang berbeda pada ikan

lele sangkuriang (Clarias sp) dan ikan lainnya.

29

DAFTAR PUSTAKA

Andre, H. (2006). Upaya Maskulinisasi Induk Ikan Lele Dumbo Yang Telah

Divarietomi Paarsial Dengan Metode Implamantasi Hormone 17 α-

Metiltestosteron. Program Studi Dan Teknologi Manajemen Akuakultur.

Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institute Pertanian Bogor.

Arafah. H. (2005). Efek Manipulasi Hormon 17a-Metiltestosteron pada Berbagai

Variasi Temperatur Air terhadap Rasio Kelamin Ikan Gapi (Poecilia

reticulata Peters). Jurnal Akuakultur Indonesia, 4(1) 37-40. Bogor

Arfah, H et al. (2002). Seks Reversal Pada Ikan Tetra Kongo Stadia Benih. Jurnal

Akuakultur Indonesia. 69-79

Darwisito, S. (2002). Stretegi Reproduksi Pada Ikan Kerapu. http://www. iptek.

net.id/ind/warintek/Budidaya_perikanan_idx.php?doc=3a2. diakses pada

tanggal 15 April 2005.

De Silva, S.S., and Anderson, A. (1995). Fish Nutrition in Aquaculture, (The First

Series) Chapman and Hall. London. 319 pp.

Hardinata, F. (2012). Pembenihan Dan Perbaikan Genetika Iken Lele Dumbo

(Clarias garipinus) Dengan Metode Silang Balik (back cross) Menjadi

Lele Sangkuriang (Clarias sp). Dibalai Besar pengembangan Budidaya Air

Tawar (BBPBAT) Sukabumi provinsi Jawa Barat.

Irmasari. (2012). Pengaruh Ekstrak Tepung Testis Sapi dengan Konsentrasi yang

Berbeda Terhadap Keberhasilan Maskulinisasi Ikan Nila Merah

(Orechromis niloticus). Jurnal Perikanan dan Kelautan. Unpad

Khairuman, dan Amri K., (2008). Pembenihan dan Pembesaran Gurami Secara

Intensif. PT. AgroMedia Pustaka. Jakarta.

Lukito. (2002). Budidaya Ikan Lele Sangkuriang (Clarias, sp). Jakarta

Piferrer F. and Donaldson, EM. (1990). Dosage-dependent differensces in the

effect of aromatizable and nonaromatizable andogens on resulting

phenotype of coho salmon (Oncorhynchus kisuthch. Fish physiology and

biochemistry`

Prihartono, P.E., (2004). Permasalahan Gurami dan Solusinya. Penebar Swadaya.

Jakarta

30

Rindhira,H. (2011). Pengaruh Perendaman Dengan Hormon Metiltestosteron

Pada Ikan Nila Dengan Umur Yang Berbeda. Prosiding Seminar hasil

Penelitian Budidaya Perairan. Universitas Almuslim Bireun

Rubianti. (2006). Pengaruh Pemberian Hormon Metiltestosteron terhadap

Deferensiasi Kelamin Benih Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Pasca

Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang

Santoso, E., (2004). Pengaruh Hormon Metiltestosteron Pada Perendaman Benih

Lau Han (Cichlasoma sp.) Dengan Dosis Yang Berbeda Terhadap

Keberhasilan Pembentukan Jenis Kelamin Jantan. Perikanan Fakultas

Peternakan-Perikanan Universitas Muhammadiyah Malang.

Safrizal, P. (2011). Maskulinisasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Melalui

Perendaman Dalam Ekstrak Purwoceng (Pimpinella alpine). Sekolah

Pascasarjana Intitute Pertanian Bogor, Bogor

Zairin, M.Jr. (2002). Sex Reversal. Penebar Swadaya. Jakarta

Zairin, M Jr, A.Yuniati, r.R.S.P.S. Sumantadinata. K. (2002). Pengaruh Lama

Waktu Perendaman Induk Didalam Larutan Hormone 17 α -

Metiltestosteron Terhadap Nisbah Kelamin Anak Ikan Gapi. Jurnal

Akuakultur Indonesia, 1 : 31-35.

Zairin, M. Jr dan Summantadinata. K. (1998). Pengaruh Dosis Larutan Hormon

17 α -Metiltestosteron Padada Perendaman Telur fase bintik Mata

Terhadap Nisbah Kelamin Ikan Cupang (Betta Splendens regan).

Prosiding Simposium dan Kongres 111 Perhimpunan Ilmu Pemuliaan

Indonesia (PERIPI), Bandung. P:281-285.

31

LAMPIRAN

Lampiran 1. Bagan Alur Penelitian

Pengamatan

Kelamin Jantan Laju Pertumbuhan

Larva

Perendaman Hormon Metiltestoteron

Konsentrasi

6 mg 8 mg

Pemeliharaan selama 1-3 minggu

0 mg 4 mg

Waktu 8 Jam

Kelangsungan hidup Kualitas Air

32

Lampiran 2. Skema pembuatan larutan hormon untuk perendaman benih ikan lele

sangkuriang

Timbang 4 mg, 6 mg dan 8 mg serbuk hormon 17-metiltestosteron

Masukkan ketabung polietilen 5 ml

Tambahkan 0,5 ml alkohol 70%, tutup

Kocok hingga larut

Tuangkan kedalam wadah berisi 1 liter

Aerasi dan siap untuk perendaman

Lampiran 3. Analisis Statistik pada Persentase Ikan Jantan

Tabel 8. Tabulasi Data

Ulangan Perlakuan

Total P0 P1 P2 P3

1 P0.1 P1.1 P2.1 P3.1

2 P0.2 P1.2 P2.2 P3.2

3 P0.3 P1.3 P2.3 P3.3

Total P0.. P1.. P2.. P3.. P...

Rata-rata P0/n P1/n P2/n P3/n P.../(i.j)

Keterangan:

P0 : Kontrol

P1 : Dosis 4 mg/L

P2 : Dosis 6 mg/L

P3 : Dosis 8 mg/L

33

Tabel 9. Data Mentah Jumlah Ikan Jantan

Ulangan Perlakuan

P0 P1 P2 P3

1 10 14 21 25

2 15 14 16 19

3 11 18 19 20

Tabel 10. Data yang Sudah Dirumuskan

Ulangan Perlakuan

P0 P1 P2 P3

1 33,33 46,67 70 83,33

2 50 46,67 53,33 63,33

3 36,67 60 63,33 66,67

Rumus:

100%xsampeljumlah

jantanikanjumlah(%)J

Tabel 11. Data Statistik

Ulangan Perlakuan

Total P0 P1 P2 P3

1 33,33 46,67 70 83,33 233,33

2 50 46,67 53,33 63,33 213,33

3 36,67 60 63,33 66,67 226,67

Total 120 153,34 186,66 213,33 673,33

Rata-rata 40,00 51,11 62,22 71,11 56,11

JKT = (P0.1)² + (P1.2)² +…….+ (P3.3)² – FK

34

JKT = 40066,67 – 37781,11

JKT = 2286

JKG = JKT – JKP

JKG = 2286 – 1640,56

JKG = 645,44

Tabel 12. Sidik Ragam Persentase Jantan

Sumber Keragaman Db JK KT F Hitung F Tabel

0,05 0,01

Perlakuan 3 1640,56 546,85 6,78* 4,07 7,59

Galat 8 645,44 80,68

Total 11 2286

Keterangan:

*) Beda nyata

**) Beda sangat nyata

BNT5% = t(0,05.dbG)

Ulangan

GalatKT2

35

BNT5% = t(0,05.8)

3

68,802x

BNT5% = 2,305 x 7,33 = 16,9

BNT1% = t(0,01.dbG)

Ulangan

GalatKT2

BNT1% = t(0,01.8)

3

68,802x

BNT1% = 3,355 x 7,33 = 24,59

Tabel 13. Uji BNT Persentase Jantan

Perlakuan Rata-

rata Perlakuan

Rata-

rata Perbedaan

BNT

(0,05)

BNT

(1,01)

P0 40 P1 51,11 11,11 16,9 24,59

P0 40 P2 62,22 22,22* 16,9 24,59

P0 40 P3 71,11 31,11** 16,9 24,59

P1 51,11 P2 62,22 11,11 16,9 24,59

P1 51,11 P3 71,11 20* 16,9 24,59

P2 62,22 P3 71,11 8,89 16,9 24,59

Keterangan:

*) Beda nyata

**) Beda sangat nyata

36

Lampiran 4. Analisis Statistik pada Kelangsungan Hidup (SR)

Tabel 14. Data Mentah SR

Ulangan Perlakuan

P0 P1 P2 P3

1 25 22 18 17

2 23 20 15 13

3 26 16 15 14

Tabel 15. Data SR setelah dirumuskan

Ulangan Perlakuan

P0 P1 P2 P3

1 83,33 73,33 60,00 56,67

2 76,67 66,67 50,00 43,33

3 86,67 53,33 50,00 46,67

100%xpenelitianawalikanjumlah

penelitianakhirhidupyangikanjumlah(%)SR

Tabel 16. Analisis Data Statistik SR

Ulangan Perlakuan

Total P0 P1 P2 P3

1 83,33 73,33 60 56,67 273,33

2 76,67 66,67 50 43,33 236,67

3 86,67 53,33 50 46,67 236,67

Total 246,67 193,33 160 146,67 746,67

Rata-rata 82,22 64,44 53,33 48,89 62,22

37

JKT = (P0.1)² + (P1.2)² +…….+ (P3.3)² – FK

JKT = 48867,2 –

JKT = 2407,53

JKG = JKT – JKP

JKG = 2407,53 – 1985,22

JKG = 422,31

Tabel 17. Analisis Sidik Ragam

Sumber Keragaman Db JK KT F Hitung F Tabel

0,05 0,01

Perlakuan 3 1985,22 661,74 12,54** 4,07 7,59

Galat 8 422,31 52,79

Total 11 2407,53

Keterangan:

*) Beda nyata

**) Beda sangat nyata

38

BNT5% = t(0,05.dbG)

Ulangan

GalatKT2

BNT5% = t(0,05.8)

3

79,522x

BNT5% = 2,305 x 5,93 = 13,67

BNT1% = t(0,01.dbG)

Ulangan

GalatKT2

BNT1% = t(0,01.8)

3

79,522x

BNT1% = 3,355 x 5,93 = 19,9

Tabel 18. Uji BNT pada Kelangsungan Hidup

Perlakuan Rata-rata Perlakuan Rata-rata Perbedaan BNT

(0,05)

BNT

(0,01)

P3 48,89 P2 53,33 4,44 16,9 24,59

P3 48,89 P1 64,44 15,55 16,9 24,59

P3 48,89 P0 82,22 33,33** 16,9 24,59

P2 53,33 P1 64,44 11,11 16,9 24,59

P2 53,33 P0 82,22 28,89** 16,9 24,59

P1 64,44 P0 82,22 17,78* 16,9 24,59

Keterangan:

*) Beda nyata

**) Beda sangat nyata

39

Lampiran 5. Analisis Statistik pada Laju Pertumbuhan

Tabel 19. Data Berat Awal

Ulangan Perlakuan

P0 P1 P2 P3

1 0,32 0,39 0,32 0,25

2 0,37 0,33 0,36 0,26

3 0,29 0,35 0,38 0,38

Tabel 20. Data Berat Akhir

Ulangan Perlakuan

P0 P1 P2 P3

1 0,5 0,5 0,41 0,32

2 0,53 0,39 0,44 0,39

3 0,49 0,42 0,44 0,46

Tabel 21. Data Laju Pertumbuhan Bobot Harian

Ulangan Perlakuan

P0 P1 P2 P3

1 1,94 1,08 1,078 1,073

2 1,562 0,726 0,872 1,763

3 2,281 0,793 0,637 0,831

Rumus:

α = [ (lnWt - lnWo)/t) ] x 100%

40

Tabel 22. Uji Statistik Laju Pertumbuhan

Ulangan Perlakuan

Total P0 P1 P2 P3

1 1,94 1,08 1,078 1,073 5,171

2 1,562 0,726 0,872 1,763 4,923

3 2,281 0,793 0,637 0,831 4,542

Total 5,783 2,599 2,587 3,667 14,636

Rata-Rata 1,928 0,866 0,862 1,222 4,879

JKT = (P0.1)² + (P1.2)² +…….+ (P3.3)² – FK

JKT = 21,007 – 17,851

JKT = 3,156

JKG = JKT – JKP

JKG = 3,156 – 2,261

JKG = 0,895

41

Tabel 23. Sidik Ragam Laju Pertumbuhan

Sumber

Keragaman Db JK KT F Hitung

F Tabel

0,05 0,01

Perlakuan 3 2,261 0,754 6,74* 4,07 7,59

Galat 8 0,895 0,112

Total 11 3,156

BNT5% = t(0,05.dbG)

Ulangan

GalatKT2

BNT5% = t(0,05.8)

3

112,02x

BNT5% = 2,305 x 0,274 = 0,631

BNT1% = t(0,01.dbG)

Ulangan

GalatKT2

BNT1% = t(0,01.8)

3

112,02x

BNT1% = 3,355 x 0,274 = 0,919

Tabel 24. Uji BNT pada Laju Pertumbuhan

Perlakuan Rata-

rata Perlakuan

Rata-

rata Perbedaan

BNT

(0,05)

BNT

(1,01)

P2 0,862 P3 1,222 0,36 0,631 0,919

P2 0,862 P0 1,928 1,066** 0,631 0,919

P2 0,862 P1 0,866 0,004 0,631 0,919

P1 0,866 P0 1,928 1,062** 0,631 0,919

P1 0,866 P3 1,222 0,356 0,631 0,919

P3 1,222 P0 1,928 0,706* 0,631 0,919

Keterangan:

*) Beda nyata

**) Beda sangat nyata

42

Lampiran 6. Dokumentasi

(1) Pemasangan arus listrik, (2) Pemasangan aerasi, (3) Wadah sudah siap

(4) Hormon 17α-MT, Alkohol 70% dan Timbangan Digital. (5) pH meter,

DO meter, Hether, Alat Bedah, dan Jangkar Sorong

1 2 3

4 5

43

(6) Penghitungan benih ikan. (7) Penimbangan hormon 17α-MT

(8) dan (9). Wadah penelitian dilengkapi dengan heather dan aerasi

(10) Pengamatan jenis kelamin menggunakan kaca pembesar

(11) Perbandingan jenis kelamin jantan dan betina

6 7

8 9

10 11