I PENCEGAHAN DAN PE~ BERANTASAN

83
NASKAH AKAOEMIK I RANCANGAN TEINTANG I PENCEGAHAN DAN ' KOMISI IV; i DEWAN PERWAKILAN RAKYAT INDO:NESIA I SEPliEMBER 2008 I I Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemoerantasan Pembal'C!kan Liar-2008

Transcript of I PENCEGAHAN DAN PE~ BERANTASAN

NASKAH AKAOEMIK I

RANCANGAN iUNDA~1G-UNDANG

TEINTANG I

PENCEGAHAN DAN PE~1BERANTASAN '

KOMISI IV; i

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ~EPUBLIK INDO:NESIA I

SEPliEMBER 2008 I

I

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemoerantasan Pembal'C!kan Liar-2008

BAB I.

BAB II.

BAB Ill.

BABIV ..

BABV.

DAFTARISI

PENDAHULUAN Halaman

A

B.

c. D.

Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1

ldentifikasi Masalah .................................................... 9

Tujuan dan Kegunaan

Metode Pendekatan

LANDASAN PEMIKIRAN

........................................... 9

. .......................................... 10

A Landasan Filosofis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12

B. Landasan Sosiologis .. . .. .. . .. .. .. .. . .. .. .. . .. .. .. .. .. . .. .. . .. 13

C. Landasan Yuridis .. . . .. .. . .. . . .. .. . .. . . .. .. . .. . .. . . . . . . . .. . .. . . .. . .. 15

KERANGKA KONSEPTUAL

A Teori Pembentukan Hukum .. .. .. .. .. .. .. . .. .. . .. .. .. .. . .. . .. .. . .. .. . 29

B. Pengertian Pembalakan Liar (Illegal Logging) ··············· 30

C. Pembalakan Liar Sebagai Tindak Pidana .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . 38

D. Upaya Mengatasi Pembalakan Liar .. .. .. .. .. . .. .. . .. .. .. .. . .. .. .. .. . 50

RUANG LINGKUP NASKAH AKADEMIK

A Materi Muatan Rancangan Undang-Undang . . . . . . . . . . . . . . . 55

B. Usulan Sistematika RUU .. .. .. .. .. .. .. . .. .. .. .. .. . . .. .. .. .. .. .. . .. 72

PENUTUP

A Kesimpulan ............................................................ 74

B. Saran ..................................................................... 75

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan liar-2008

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN (KONSEP AWAL DRAFT RUU)

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

A. Latar Belakang

BABI

PENDAHULUAIN

Tujuan pembangunan adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan

makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang­

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Pasal 33 ayat (3)

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa bumi dan air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Hutan merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan salah satu kekayaan

alam Indonesia yang dengan berbagai fungsinya sangat panting bagi kehidupan

manusia. Oleh karenanya dalam pemanfaatannya harus dilakukan secara

terencana, rasional, optimal, dan bertanggung jawab sesuai dengan kemampuan

daya dukungnya, serta dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan

keseimbangan lingkungan hidup guna mendukung pengelolaan hutan dan

pembangunan kehutanan yang berkelanjutan, yang diarahkan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat di masa kini dan di masa mendatang sebagaimana ketentuan

dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hutan Indonesia merupakan contoh hutan tropis yang paling lengkap,

beragam, dan bernilai di dunia 1• Hutan-hutan ini tidak hanya berfungsi sebagai

habitat untuk berbagai flora dan fauna, namun juga memainkan peranan panting

dalam mendukung perkembangan ekonomi kehidupan masyarakat terutama di

wilayah pedesaan dan pelayanan jasa lingkungan. Namun hutan Indonesia telah

dieksploitasi tanpa mempertahankan aspek pelestariannya.

1 Statistik mengenai tutupan hutan Indonesia saat ini sangat bervariasi tetapi berkisar antara 100 juta sampai 124 juta hektar. Data Departemen Kehutanan menunjukkan bahwa Indonesia mempuny;ai sekitar 104 juta hektar hutan pada tahun 2000, sedangkan Kelompok Kerja Masa Depan Hutan NRM­Bappenas memperkirakan bahwa hutan, termasuk perkebunan meliputi kira-kira 123 juta hektar. Sektor kehutanan secara kumulatif menghasilkan US$6,5 milyar pendapatan bagi Pemerintah Indonesia antara tahun 1985 dan 2002 (Bank Dunia 2006).

1

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

Pemanfaatan dan pengelolaan sektor kehutanan dalam perkembangannya

menjadi salah satu bagian terpenting dalam pengelolaan lingkungan hidup qan

menjadi sorotan bukan hanya secara nasional akan tetapi menjadi wacana global.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi yang diadakan oleh Perserikatan Bangsa I

Bangsa di Rio de Jeneiro tahun 1992 yang menghasilkan suatu konferensi tenta:ng

beberapa bidang penting diantaranya tentang prinsip-prinsip kehutanan (for~st

principle) yang dituangkan dalam dokumen perjanjian: "Non-Legally Binding

Authorative Statement of Principles for a Global Consensus on the Management,

Conservation and Suistainable Development of all types of Foresf'. Prinsip tentang

kehutaan ini kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang Kehutanan Indonesia,

yaitu UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan2•

Salah satu masalah yang sangat krusial dalam bidang lingkungan hidup pada

sektor kehutanan ini adalah masalah pembalakan liar (illegal logging). Steven

Devenish, Ketua Misi Forest Law Enforcement and Trade (FLEGT) dari Uni Eropa

menyatakan bahwa pembalakan liar adalah penyebab utama kerusakan hutan di

Indonesia dan menjadi masalah serius di dunia. Hal ini menjadi perhatian Uni Eropa

dalam sepuluh tahun terakhir dan akhirnya memberikan bantuan dalam rangka

pencegahan pembalakan liar tersebut3.

World Bank sejak awal tahun 1980-an sudah memberi peringatan bahwa

hutan dunia yang hanya tinggal di tiga negara yaitu Indonesia, Brazil dan Zaire

supaya dijaga ketat kelestariannya. World Bank pada Juni 2004 lalu menyatakan

bahwa setiap detik pohon-pohon hutan Indonesia ditebangi secara liar. Per

menitnya mencapai 6 kali luas lapangan bola dan kerugian per tahun mencapai 31

(tiga puluh satu) triliun rupiah. World Bank mencatat, sebelum era reformasi

kerusakan hutan tidak mencapai jutaan hektar per tahun, sedangkan di era

reformasi justru rata-rata kerusakan hutan mencapai 3,8 juta hektar per tahun.

Tahun 2004, kerusakan hutan Indonesia sudah hampir 45 juta hektar dari luas hutan

2 Koesnadi Hardjasumantri, Hukum Tata Lingkungan,Cet. Ke-17, edisi ke-7,Gadjah Mada University Press-Yogyakarta, 1999, hal. 19. 3 Harian Kompas, 19 Agustus 2003, hal.1.

2

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

yang hanya tinggal 120,35 juta hektar. Dengan demikian lebih dari sepertiga hutan

tropis Indonesia telah hancur4.

Salah satu penyebab degradasi sumber daya hutan Indonesia adalah adanya

praktek pembalakan liar. Pembalakan liar mencakup pelanggaran hukum yang

berakibat pada eksploitasi sumber daya hutan yang berlebihan dan mengarah

kepada penggundulan dan perusakan hutan. Pelanggaran-pelanggaran ini bisa

terjadi pada setiap tahapan produksi kayu, seperti pada penebangan kayu,

pengangkutan bahan mentah, pengolahan dan perdagangan, bahkan melibatkan

cara-cara yang tidak sah untuk mendapatkan akses ke dalam hutan, melanggar

aturan kepabeanan, melanggar administratif keuangan seperti menghindari

pembayaran pajak dan pencucian uang. Pelanggaran dapat juga terjadi karena

kebanyakan wilayah-wilayah administratif dari lahan hutan negara dan kebanyakan

dari unit-unit produksi resmi yang beroperasi di dalamnya tidak dipisah dari

keterlibatan dengan masyarakat lokal yang sesungguhnya sangat diperlukan.

Jika dilkelompokkan paling tidak ada 3 jenis pembalakan liar yang telah

merusak hutan Indonesia. Pertama, pembalakan yang dilakukan oleh operator yang

legal secara teknis administratif sebagai contoh oleh pemilik Hak Pengusahaan

Hutan atau Hutan Tanaman lndustri atau perkebunan namun dalam prakteknya

telah melanggar persyaratan ketentuan dalam HPH karena kelebihan menebang di

hutan industri atau mengambil kayu pada areal konseNasi yang dilindungi.

Operator-operator ini diberikan ijin untuk menebang pohon secara selektif. 5 Hal ini

4 Anton Tabah, "Mengurai Anatomi Illegal Logging Dan Deforestasi Di Indonesia", Makalah pada Seminar Nasional di Manggala Wana Bhakti, Jakarta, 16 Mei 2005, hal 1.

5 Analisis manajemen kehutanan (baca Sist, Plinio, Timothy Nolan, Jean-Guy Bertault, and Dennis Dykstra. 1998. "Harvesting Intensity versus Sustainability in Indonesia." In Forest Ecology and Management 108 (3): 251-60 dan Sist, Plinio, Robert Fimbel, Douglas Sheil, Robert Nasi, and Marie­Helene Chevallier. 2003. "Towards Sustainable Management of Mixed Dipterocarp Forests of South­east Asia: Moving beyond Minimum Diameter Cutting Limits." Environmental Conservation 30 (4): 364-74) telah memberikan catatan bahwa Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia secara efektif telah mengurangi pengelolaan hutan lestari karena mengijinkan pohon-pohon dengan diameter 50 - 60 meter untuk ditebang dalam jangka waktu penebangan 35 tahun dan mensyaratkan pembersihan tumbuhan labisan bawah, Penelitian ilmiah baru, mengindikasikan bahwa jangka waktu penebangan seharusnya minimal 40-60 tahun dan tidak lebih dari 8 pohon per hektar boleh ditebang dari areal hutan untuk memungkinkan regenerasi hutan lestari.

3

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan don Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

berakibat pada meluasnya kerusakan hutan, pada kasus tertentu dapat terjadi

penggundulan hutan. Beberapa dari praktek-praktek serupa masih terus berlanjut

sampai sekarang.

Kedua, pembalakan liar yang dilakukan berdasarkan ijin HPH yang diperoleh

secara tidak sah yang diterbitkan oleh pejabat pemerintahan daerah dan biasanya

berlaku selama 1 (satu) tahun. Praktek ini teiah disahkan pada tahun 1999, namun

dicabut kembali melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002.6 (sebagai

peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang

Kehutanan). Pembalakan jenis ini mengakibatkan hutan menjadi gundul dan

kerusakan hutan karena ijin menebang yang diterbitkan oleh pejabat pemerintahan

daerah sering berlokasi di dalam hutan sekunder yang telah ditebang, contohnya di

dalam konsesi HPH aktif dan non aktif. Lebih jauh lagi, operasi pembalakan

semacam ini jarang diatur dan tidak mengikuti tata cara penebangan yang selektif.

Kebanyakan hanya ingin mengeksploitasi sumber daya tersebut.

Ketiga, pencurian kayu atau sering disebut sebagai penebangan liar. Jenis

pembalakan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang-orang setempat yang

dikoordinir oleh cukong kayu dan pedagang perantara untuk secara selektif

menebang pohon-pohon yang memiliki nilai ekonomis tinggi di hutan produksi, hutan

lindung, maupun di kawasan yang dilindungi. Orang-orang ini tidak memiliki hak ijin

yang sah dari pemerintah untuk menebang pohon.

Dalam beberapa tahun terakhir pembalakan liar sudah semakin meluas dan

kompleks. Pembalakan liar tidak hanya terjadi di hutan produksi, tetapi juga telah

merambah ke hutan konversi, hutan lindung, dan hutan konservasi sehingga

menyebabkan menurunnya kepercayaan dan martabat Indonesia di mata dunia

internasional. Pembalakan liar juga telah berkembang menjadi suatu tindak pidana

di bidang kehutanan yang berkembang secara meluas, lebih terorganisir, melibatkan

banyak pihak, baik dalam skala nasional maupun internasional. Hal ini terbukti dari

6 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 pada tahun 2007 dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 yang juga melarang pejabat pemerintah kabupaten mengeluarkan IUPHHK dari hutan produksi walau tetap mengijinkan bupati atau walikota mengeluarkan IUPK kepada perseorangan dan koperasi yang ingin memanfaatkan kayu bagi keperluan pribadi. Kayu yang diambil dengan izin itu tidak boleh diperdagangkan secara komersial.

4

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan don Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

ketidakmampuan hukum menjerat aktor ilegall loging. Pembalakan liar tidak lagi

mumi berdiri sendiri namun telah terbangun kerjasama yang merambah ke praktek

perdagangan kayu illegal (illegal timber trade) yang melibatkan komunitas negara

luar. Struktur organisasi dan modus operandi yang umum terjadi dalam pembalakan

liar adalah terorganisasinya dengan rapi dan profesional seluruh pelaksanaan di

lapangan sehingga sering kali sulit bagi perangkat hukum untuk dapat menangkap

para "cukong" sebagai akibat dari sistem serta pranata hukum positif yang ada.

Data statistik tingkat pembalakan liar yang sesungguhnya terjadi di Indonesia

tidak diketahui secara jelas. Namun ada beberapa penulis yang mencoba

menganalisa tingkat pembalakan liar di Indonesia dengan menggunakan analisis

statistik yang dikombinasikan dengan analisa kehilangan tutupan hutan (lihat tabel

1).

Tabel 1. Perkiraan mengenai besarnya ting1kat pembalakan liar

Analis Ta- Konsumsi Perkiraan Penebang Penebanga hun lndustri Penebanga an ilegal n llegal

m3 n legal m3 m3 % (Konsumsi

-Penebang an legal)

Tacconi, 2001 56 10 46 82 Obidzinski and Agung (2004)

Brown (2002a) 2000 73 17 56 76

NRM-MFP- 2004 53 17 38 68 Bappenas Forest Futures Working Group (2004)

Palmer (2000) 1997 108 43 65 60

Scotland (1999) 1998 84 52 32 38

BRIK (2003)* 2003 42 42 0 0

MoF (2004)* 2003 42 42 0 0

* hanya ekspor

5

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

Masing-masing penulis memberikan perkiraan yang berbeda-beda, namun

secara kasar, kurang lebih 50 juta meter kubik kayu telah diambil, diolah,

diperdagangkan dan dikonsumsi secara ilegal dari tahun 2002 sampai tahun 2003.

Sebagian besar dari kayu itu berasal dari hutan produksi (27 juta meter kubik), dari

hutan konversi (12 juta meter kubik), dari hutan lindung (7 juta meter kubik), dan dari

hutan konservasi (4 juta meter kubik). Kira-kira 80 % (40 juta meter kubik) diproses

di Indonesia guna memproduksi kurang lebih 17 juta meter kubik bubur kayu, 13 juta

meter kubik kayu lapis dan papan balok, dan 10 juta meter kkubik kayu gergajian.

Sisanya (10 juta meter kubik) diperdagangkan dan diekspor secara ilegal dalam

bentuk kayu bulat. Kayu bulat ini diperkirakan diekspor ke Malaysia dan Cina,

sementara produk kayu olahan diperkirakan dikonsumsi di Indonesia (17 juta meter

kubik), Cina (6 juta kubik), Singapura, Korea, dan Taiwan (6 juta meter kubik),

Jepang (5 juta meter kubik), AS dan Kanada (3 juta meter kubik), Uni Eropa (2 juta

meter kubik). Kayu-kayu yang diekspor ke Cina, Singapura, Korea, Taiwan dan

Jepang diperkirakan diolah ulang dan ekspor ulang ke AS dan UE.

Dalam perspektif pengusaha legal, kegiatan pembalakan liar dan

perdagangan kayu illegal (illegal timber trade) sangatlah merugikan, karena

berdampak pada langka dan mahalnya memperoleh bahan baku kayu, sementara

negara luar sebagai kompetitor seperti Malaysia dan China dengan mudahnya

memperoleh bahan baku kayu sehingga dengan leluasa merebut pasar yang dahulu

dipegang oleh pengusaha Indonesia. Melalui kegiatan pembalakan liar di Indonesia,

mereka telah merebut sekaligus menguasai pasar dunia.

Dengan mempelajari kekurangan peraturan perundang-undangan yang ada

dan lemahnya penegakan hukum dalam kegiatan pembalakan liar, beberapa negara

lain pada waktu yang sama memanfaatkan momentum tersebut dengan menikmati

pertumbuhan pusat industri perkayuan maupun kegiatan trading di negaranya,

negara-negara tersebut antara lain Malaysia, Singapura dan Amerika Serikat.

Sementara itu, bagi masyarakat yang hidup di sekitar hutan, mereka yang

pertama akan terkena dampaknya akibat pembalakan liar. Meskipun terkadang

6

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan liar-2008

mereka ikut terlibat dalam pembalakan liar, karena faktor ekonomi.7 Dari

pembalakan liar, mereka hanya menikmati keuntungan kecil yang sifatnya

sementara, dan pada akhirnya ketika hutan habis dan lingkungannya semakin

rusak, mereka pun akan terancam kehidupan sosial ekonominya. Mereka adal1ah

kelompok yang paling rentan terhadap dampak buruk yang ditimbulkan oleh proses

penggundulan hutan.

Praktek pembalakan liar yang telah merongrong kelestarian hutan dan

keseimbangan ekologi dunia merupakan bentuk kejahatan pidana yang harus

dituntaskan. Dampaknya sangat dahsyat terhadap kelangsungan fungsi hutan

penyangga ekosistem bumi secara lintas teritori dan lintas generasi. Dengan

demikian kegiatan pembalakan liar juga dapat dikategorikan sebagai kejahatan

terorisme, karena adanya beberapa kesamaan ciri, yaitu :

a. termasuk kejahatan pidana;

b. berlangsung lintas negara;

c. terorganisir secara sistematis;

d. memiliki jaringan (network) yang luas;

e. mengancam keselamatan hidup umat manusia di seluruh dunia secara

lintas generasi.

Melihat perkembangan modus operandi dan locus pembalakan liar yang

semakin berkembang dan berlangsung di seluruh fungsi kawasan, maka

penanganannya harus melibatkan seluruh pihak. Untuk itu perlu adanya persamaan

persepsi dan pemahaman yang sama dari seluruh aparat penegak hukum, mulai

dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang Pengadilan.

Pembalakan liar merupakan perbuatan melanggar hukum yang jika dilihat

dari aspek lingkungan mengakibatkan rusaknya kelestarian hutan yang selanjutnya

7 Berdasarkan beberapa penelitian, keterlibatan masyarakat pedesaan yang bergantung pada hutan dengan pembalakan liar terjadi karena antara lain, hukum yang ada hanya mengakomodasi sebagic:m dari penghidupan mereka dan hak-hak mereka, adanya kerancuan dan ketidakpastian hukum, hukurn yang lebih mementingkan kepentingan pengusaha berskala besar atau badan pemerintah yang diberikan prioritas dibandingkan dengan hukum yang menjamin kepentingan masyarakat, dan kondisi kemiskinan serta tidak adanya pilihan lain untuk mencari penghidupan. Baca Colchester, M. et.al, 2006, Justice in the Forest: Rural Livelihoods and Forest Law Enforcement, Bogar, Indonesia: Center for lnternasional Forestry Research.

7

f'laskah Akademik RUU tentang Pencegahan don Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

akan menimbulkan bencana alam yang lebih dahsyat seperti tanah longsor dan

banjir di musim hujan atau kekeringan dan kebakaran hutan di musim kemarau.

Selain itu, rusaknya hutan Indonesia juga menyumbang pemanasan gloQal.

Sedangkan jika dilihat dari aspek ekonomi, pembalakan liar mengakibatkan kerugian

negara karena hilangnya potensi hasil hutan dan tidak terpungutnya Provisi Sumber

Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR).

Kerugian dari aspek ekonomi tersebut berpengaruh negatif terhadap usaha

pengelolaan hutan alam resmi dan industri kayu pertukangan (non pulp dan kertas),

karena sebagian besar kegiatan pembalakan liar dan penyelundupan kayu adalah

berasal dari hutan alam. Perlu diperhatikan bahwa kelebihan industri kehutanan

Indonesia adalah dari sisi bahan baku, sedangkan dari sisi lainnya (SOM,

infrastruktur, teknologi, fiskal/pungutan, dan birokrasi) Indonesia masih tertinggal jika

dibandingkan dengan negara-negara pesaing8.

Selama ini terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

pembalakan liar, namun dalam implementasinya belum efektif dilaksanakan.

Lemahnya koordinasi antara aparat penegak hukum, semakin memperburuk

kegiatan pembalakan liar. Koordinasi antara penegak hukum (polisi dan PPNS

sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut dan hakim sebagai eksekutor vonis)

dalam realitanya belum berjalan optimal, bahkan seringkali terjadi kesalahan

interpretasi antara jaksa penuntut umum dan penyidik terhadap pasal-pasal yang

tercantum dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Selain

itu penjatuhan vonis terhadap pelaku pembalakan liar sering tidak proporsional atau

terlalu ringan dan tidak sepadan dengan bobot kejahatannya. Hal tersebut sering

dijadikan dasar acuan para pelaku kegiatan pembalakan liar untuk lebih berani lagi

dalam melakukan perbuatan kejahatan pembalakan liar.

Rancangan Undang-Undang ini juga ditujukan untuk memberikan kepastian

hukum bagi upaya pencegahan pembalakan liar, karena pembalakan liar tidak

hanya bisa diatasi dengan upaya penegakan hukum saja tetapi juga harus

8 Nana Suparna, "Illegal Logging Dari Sisi Sistem Pengelolaan Hutan': Makalah yang disampaik~n dalam Seminar Nasional mengenai Illegal Logging, Permasalahan dan Upaya Penanggulangannya di Indonesia Didekati dari Aspek Hukum, Ekonomi, dan Manajemen, Jakarta, 16 Mei 2005, hal. 2.

8

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

dengan upaya-upaya pencegahannya. Berdasarkan uraian tersebut maka perlu

disusun Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan

liar.

B. ldentifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, ada beberapa permasalahan yang akan

menjadi pembahasan dalam naskah akademik ini yaitu:

1. Bagaimana upaya yang komprehensif dalam rangka melakukan pencegahan dan

pemberantasan pembalakan liar di Indonesia?

2. Bagaimana bentuk kelembagaan yang tepat sebagai penanggungjawab

pelaksanaan upaya pencegahan dan pembalakan liar secara nasional?

3. Bagaimana bentuk pengaturan sanksi yang efektif guna memberikan daya paksa

terhadap penegakan hukum dalam pemberantasan pembalakan liar?

C. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari naskah akademik ini adalah:

1. memberikan arahan perumusan materi muatan mengenai upaya pencegahan

dan pemberantasan pembalakan liar secara komprehensif dalam penyusunan

dan pembentukan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Pembalakan liar.

2. mengformulasikan bentuk kelembagaan yang tepat dengan kewenangan yang

jelas dan tegas sebagai penanggungjawab pelaksanaan pencegahan dan

pemberantasan pembalakan liar secara nacional

3. mengformulasikan bentuk sanksi yang efektif guna memberikan daya paksa dan

efek jera dalam penegakan hukum pemberantasan pembalakan liar.

9

.Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan don Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

Kegunaan praktis dari naskah akademis ini adalah sebagai dasar acuan yang

bersifat ilmiah dalam rangka penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar.

D. Metode Pendekatan

Metode Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan naskah akademik ini

adalah melalui kajian literatur dan penelitian empiris. studi kepustakaan dilakukan

dengan mengkaji bahan-bahan serta data-data yang berkaitan dengan pembalakan

liar, jenis-jenis data yang digunakan adalah data sekunder dan primer. Data

sekunder terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier. Bahan hukum

primer berupa peraturan perundang-undangan. Sedangkan bahan hukum sekunder

berupa buku-buku, artikel, laporan penelitian, dan berbagai karya tulis ilmiah

lainnya. Bahan hukum tersier seperti: kamus, buku pegangan, almanak dan

sebagainya, yang semuanya dapat disebut bahan referensi atau bahan acuan atau

rujukan.

Selain itu juga dilakukan inventarisasi serta harmonisasi peraturan

perundang-undangan yang berkaitan atau berhubungan dengan pembalakan liar.

Selain lebih menekankan metode kepustakaan atau normatif, juga dilakukan metode

empiris, yaitu melalui penelitian lapangan ke daerah yang terdapat praktek

pembalakan liar yang marak yaitu Provinsi Kalimantan Barat (Pontianak), Provinsi

Riau (Kabupaten Kampar). Hal tersebut dilakukan untuk mendukung data yang di

peroleh dari data sekunder atau kepustakaan dan mendapatkan informasi dari pakar

atau ahli yang berkompeten dalam kaitannya dengan pembalakan liar.

Penelitian empiris dilakukan dengan meneliti bagaimana penerapan aturan­

aturan yang berkaitan dengan penanggulangan pembalakan liar diterapkan di

masyarakat. Penelitian dilakukan dengan meneliti ketentuan-ketentuan yang ada di

dalam peraturan perundangan serta peraturan pelaksanaannya untuk mengetahui

10

.. Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan don Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

latar belakang dan tujuan berbagai pengaturan yang berlaku mengenai pembalakan

liar. Hasil penelitian tersebut .adalah berupa hasil wawancara dengan beberapa

informan, yaitu pejabat pemerintah, aparat kepolisian, aparat kejaksaan, dan

anggota masyarakat yang terkait dengan praktek pembalakan liar.

Selanjutnya data-data yang diperoleh baik melalui penelusuran kepustakaan

maupun penelitian lapangan tersebut dianalisa secara yuridis normatif. Sebagai

suatu penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini berbasis pada analisis terhadap

norma hukum yakni hukum dalam arti law as it is written in the books (dalam

peraturan perundang-undangan)9. Dengan demikian obyek yang dianalisis adalah

norma hukum dalam peraturan perundang-undangan.

Hasil penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Artinya data kepustakaan dan

hasil wawancara dianalisis secara mendalam, holistik dan komprehensif.

Penggunaan metode analisis secara kualitatif didasarkan pada pertimbangan, yaitu

pertama data yang dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda

antara satu dengan yang lainnya, serta tidak mudah untuk dikuantitatifkan. Kedua,

sifat dasar data yang dianalisis adalah menyeluruh (comprehensif) dan merupakan

satu kesatuan yang bulat (holistic). Hal ini ditandai dengan keanekaraaman datanya

serta memerlukan informasi yang mendalam (indepth information) 10.

9 Ronald Dworkin, Legal Research, (Daedalus: Spring, 1973),h.250 1° Chai Padhista, "Theorical,Terminological, and Philosophical Issue in Qualitative Research", dalam Attig.et.al, A Field Manusal an Selected Qualitative Research Methods, (Thailand: Institute for Population and Social Research, Mah idol University, 1991) hal. 7.

11

, Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan don Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

BAB II

LANDASAN PEMIKIRAN

A. Landasan Filosofis

Hutan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang tak ternilai harganya

yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia. Selama

tiga dekade terakhir, hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi

nasional, yang memberi dampak positif antara lain terhadap peningkatan devisa,

penyerapan tenaga kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan

pertumbuhan ekonomi. Bagi pemerintah, hutan memberikan manfaat berupa

penerimaan pemerintah dari pungutan Dana Reboisasi (DR), Bunga Jasa Giro

DR, Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), luran Hak Pengusahaan Hutan

Tanaman lndustri, luran Hak Pengusahaan Hutan, Ekspor Satwa Liar, Denda

Pelanggaran Eksploitasi Hutan dan Pungutan Usaha Pariwisata Alam dan luran

Usaha Pariwisata Alam. Bagi pihak swasta, hutan merupakan sumber daya yang

memberi keuntungan ekonomi yang tinggi bagi usaha mereka. Dan bagi

masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar hutan, hutan adalah mata

pencaharian untuk kehidupan mereka.

Selain manfaat ekonomi, hutan juga memberikan manfaat ekologi bagi

kehidupan manusia. Keberadaan hutan seba,gai bagian dari sebuah ekosistetn

yang besar memiliki arti dan peran penting dalam menyangga sistem kehidupan.

Berbagai manfaat dapat diperoleh dari keberadaan hutan melalui fungsinya, baik

sebagai penyedia sumber daya air bagi manusia dan lingkungan, kemampu~n

penyerapan karbon, pemasok oksigen di udara, penyedia jasa wisata, dan

mengatur iklim global.

Hutan juga memberikan manfaat sosial budaya bagi kehidupan manusia.

Bagi masyarakat desa hutan, hutan adalah kehidupan mereka, yaitu tempat

dimana mereka tinggal, hidup, dan berinteraksi dengan anggota masyarakat 12

.f:Jaskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

lainnya. Mereka mempunyai hubungan religi dan hubungan kemasyarakatan

dengan hutannya.

Begitu banyak manfaat yang kita peroleh dari hutan. Pasal 33 ayat (3)

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa bumi dan

air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karenanya,

hutan dengan berbagai fungsinya harus dimanfaatkan secara terencana, rasional,

optimal, dan bertanggung jawab sesuai dengan kemampuan daya dukungnya,

serta dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan

hidup guna mendukung pengelolaan hutan dan pembangunan kehutanan yang

berkelanjutan. Pembalakan liar adalah bentuk penyimpangan dari pemanfaatan

hutan yang seharusnya. Akibat pembalakan liar, hutan tidak lagi dapat

memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

B. Landasan Sosiologis

Hutan sebagai bagian ekosistem memiliki peran sebagai penyangga

keseimbangan ekologi dan kehidupan manusia. Pembalakan liar menjadi

ancaman kepunahan fungsi ekologi hutan tropis Indonesia. Menurut perhitungan

terakhir, kerusakan hutan Indonesia pada tahun 2000 -2005 adalah 1,8 - 2 juta

hektar per tahun. lni adalah angka tertinggi di dunia. Berdasarkan data itu,

potensi gas rumah kaca yang dilepaskan Indonesia setiap tahun mencapai 93,6

- 280,7 juta ton karbon. Sementara itu, reboisasi dan penghijauan kembali yang

berlangsung selama ini melalui Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan

(GERHAN) dapat dikatakan gagal. Berdasarkan data yang ada, realisasi

keberhasilan GERHAN 2003-2007 rata-rata hanya mencapai 250.000 hektare

per tahun. Tingginya potensi gas rumah kaca yang dilepaskan Indonesia

tersebut memberi sumbangan meningkatnya pemanasan global. Pemanasan

global dapat menyebabkan terjadinya perubahan iklim, yang nantinya akan

13

,Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

memberikan konsekuensi berat bagi ketersediaan air dan munculnya banjir di

daerah-daerah tropis seperti di Indonesia. Hal tersebut tentunya melanggar hak

asasi manusia, yaitu hak untuk hidup.

Pembalakan liar yang terjadi di Indonesia menimbulkan dampak yang

sangat luas terhadap kondisi lingkungan sekaligus kelangsungan fungsinya bagi

kehidupan berbagai komunitas secara lintas generasi. Ancaman kekeringan,

bahaya banjir, tanah longsor, kebakaran, menipisnya lapisan ozon, pemanasan

global dan perubahan iklim menjadi ancaman bagi keberlangsungan dan

keberlanjutan kehidupan umat manusia. Lebih jauh, sewaktu-waktu akan terjadi

bencana alam yang dapat mengancam keselamatan jiwa dan hilangnya harta

benda. Masyarakat selalu dihantui oleh kecemasan sebagai akibat rusaknya

lingkungan yang akan mengakibatkan timbulnya berbagai bencana alam.

Dengan demikian pembalakan liar merupakan salah satu bentuk pelanggaran

terhadap hak asasi manusia.

Selain itu dari sisi ekonomi, pembalakan liar yang terjadi telah

menyebabkan kerugian dalam keuangan negara, yaitu mengurangi penerimaan

devisa negara dan pendapatan negara. Selain itu pembalakan liar juga

mengakibatkan timbulnya berbagai dampak buruk yaitu ancaman proses

deindustrialisasi sektor kehutanan.

Pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar merupakan hak dan

kewajiban setiap warga negara. Pemerintah Indonesia memerlukan keterlibatan

semua pihak untuk menuntaskan seluruh aspek yang terkait dengan

permasalahan pembalakan liar, baik masyarakat, maupun pengusaha. Beban

pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar bukan hanya menjadi

permasalahan Pemerintah saja tetapi seluruh warga mempunyai kewajiban

untuk menjaga kelestarian hutan, selain itu juga warga negara mempunyai hak

untuk memiliki hutan yang lestari dan terjaganya keseimbangan ekosistem.

14

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

Pada saat ini, pembalakan liar tidak lagi hanya menjadi isu nasional.

Karena dalam perkembangannya, pembalaikan liar sudah berkembang menjadi

suatu tindak kejahatan yang terorganisir, melibatkan banyak pihak baik dalam

skala nasional maupun internasional, dan telah mencapai tingkat yang sangat

mengkhawatirkan. Bahkan berdasarkan hasil penelitian, dinyatakan bahwa

pembalakan liar berpotensi memberikan sumbangan yang besar bagi

pemanasan global. Oleh karenanya, dalam beberapa forum pertemuan the

Globe International on Climate Change and Global Warming di Berlin (3-4 Juni

2007), Brasilia (19-21 Februari 2008), dan di Tokyo (27-29 Juni 2008), \

pembalakan liar masuk dalam pembahasan. Disadari oleh banyak negara bahwa

untuk mengatasi masalah pembalakan liar ini diperlukan juga kerjasama antar

negara, baik dalam rangka pencegahannya maupun pemberantasannya.

C. Landasan Yuridis

Sebagai suatu tinjauan yuridis, sebagaimana disampaikan pada bagian

sebelumnya bahwa pengaturan dan dasar hukum dari pencegahan dan

pemberantasan pembalakan liar belum cukup komperehensif dan dapat menjawab

persoalan. Pada bagian ini, akan dikaji beberapa peraturan perundang-undangan

terkait dengan menganalisa kekurangan dan kelebihan dari amsing-masing

peraturan tersebut dalam rangka menunjang upaya pencegahan dan

pemberantasan pembalakan liar. Saat ini terdapat beberapa peraturan perundang­

undangan yang dijadikan acuan oleh aparat penegak hukum dalam melakukan

pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar. Namun dalam pelaksanaannya

peraturan perundang-undangan tersebut belum efektif karena terdapat beberapa

kelemahan. Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain meliputi:

1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada intinya

mengatur asas dan tujuan,, penguasaan hutan, status dan fungsi hutan,

15

, Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

pengurusan hutan, perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, Litbangdiklatluh

kehutanan, pengawasan, penyerahan kewenangan, masyarakat hukum adat,

peran serta masyarakat, gugatan perwakilan, penyelesaian sengketa kehutanan,

penyidikan, ketentuan pidana ganti rugi dan sanksi administratif, ketentuan

peralihan dan penutup. Undang-Undang Kehutanan ini tidak menyebut secara

langsung (secara eksplisit) tentang pembalakan liar. Undang-Undang Kehutanan

hanya mengatur norma yang bersifat perintah atau larangan dan disertai sanksi

baik sanksi administratif ataupun sanksi pidana. Sanksi administratif diancamkan

kepada pemegang izin di bidang kehutanan dan sanksi pidana diancamkan

kepada setiap orang yang melanggar norma lainnya, yang kesemuanya sangat

berkaitan erat dengan ketentuan-ketentuan teknis kehutanan. Walaupun

kejahatan di bidang kehutanan diawali dengan kegiatan penebangan hutan

tanpa izin, namun perkembangan lebih lanjut kasus tersebut telah berkembang

menjadi suatu tindak kejahatan yang terorganisir, melibatkan pihak-pihak tidak

saja dari dalam negeri tetapi juga mereka yang ada di luar negeri, dan bahkan

ada yang sudah berkembang ke arah timber money laundry yang melibatkan

beberapa negara. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

tidak mengatur tentang hal itu. Akibatnya banyak kasus pembalakan liar yang

bebas dari jerat hukum.

Kelemahan lain dari Undang-Undang tersebut antara lain, mengeriai

koordinasi antara aparat yang berwenang untuk melakukan penyidikan tindak

pidana di bidang kehutanan. Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahlin

1999 tentang Kehutanan mengatur, bahwa "selain Pejabat Penyidik Kepolisian

Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingktJp

tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang

khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana". Dalam kasus pembalakan liar, kewenangan untuk

melakukan penyidikan terhadap pembalakan liar ini secara yuridis juga terdapat

pada institusi lain seperti Kejaksaan Negeri, Perwira TNI AL, dan aparat Bea

Cukai.

16

f:Jqskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pemba/akan liar-2008

Adanya beberapa institusi yang mempunyai kewenangan penyidikan dalam

kasus pembalakan liar ini menuntut koordinasi antar instansi. Dalam

perkembangannya, koordinasi antar institusi inilah sering menjadi permasalahan

dalam penyidikan kasus pembalakan liar. Yang terjadi penyidikan berjala11

sendiri-sendiri. Seringkali terjadi kesalahan interpretasi antara jaksa penul'!)tut '

umum dan penyidik terhadap pasal-pasal yang tercantum dalam Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam menghadapi kasus

pembalakan liar tertentu, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan yang merupakan lex specialis tidak digunakan oleh

jaksa dan hakim.

Kelemahan lain yang terdapat dalam undang-undang ini adalah tid.ak

diaturnya mengenai sanksi terhadap pejabat yang turut serta membantu dalam

kegiatan pembalakan liar seperti dalam penerbitan perijinan dari produk

administrasi lain yang tidak sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang

mengatur. Selain itu pula dalam Undang-Undang ini tidak diatur mengenai tindak

pidana yang dilakukan oleh perusahaan atau corporate crime sehingga sang,at

memberi peluang terhadap elit politik dan para pengusaha (korporasi) ya~g

bergerak di bidang pengelolaan hutan untuk memanfaatkannya guna

kepentingan dan keuntungan kelompoknya saja.

Hal lain yang berkaitan dengan pembalakan liar dan juga diatur dalam

Undang-Undang Kehutanan adalah masalah yang berkaitan dengan masyarakat

adat. Ketergantungan masyarakat adat akan hutan sangat besar, sehingga

karena desakan ekonomi dan maraknya pembalakan liar yang terjaai

memungkinkan mereka terlibat dalam kegiatan pembalakan liar. Di sisi lain,

mereka tidak mempunyai ketrampilan dan pengetahuan di luar kehidupan

mereka di hutan, karena selama ini mereka hidup, besar dan tinggal di dalam

dan di sekitar hutan. Akibatnya ketika hutan rusak, mereka yang pertama terkena

dampaknya. Undang-Undang Kehutanan, Pasal 67, mengakui keberadaan

masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dan

didasarkan pada penelitian para pakar. Apabila memang masih ada, Menteri

17

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008 '··1··.,

Kehutanan akan menetapkannya sebagai hutan adat. Namun apabila

kenyataannya masyarakat hukum adat sudah tidak ada lagi, maka tidak dapat

dihidupkan kembali. Dalam prakteknya pengakuan yang efektif tentang hak adat

sangat terbatas. Hanya sedikit mekanisme yang mengijinkan masyarakat adat

untuk memperoleh pengakuan sah atas tanah adat dan proses penamaan tanah

sangat rumit dan birokratis. Hingga saat ini peraturan pelaksana atas ketentuan

masyarakat adat berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan belum ada.

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Lingkungan hidup sebagai suatu ekosistem terdiri atas sub sistem, yang

mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi dan geografi dengan corak ragam

yang berbeda yang mengakibatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan

hidup yang berlainan. Ketersediaan sumber daya alam terbatas dan tidak merata,

baik dalam jumlah maupun dalam kualitas, sedangkan permintaan akan sumber

daya alam tersebut makin meningkat sebagai akibat meningkatnya kegiatan

pembangunan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat dan

beragam. Di pihak lain, daya dukung lingkungan hidup dapat terganggu dan daya

tampung lingkungan hidup dapat menurun.

Dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak disebut secara

tegas mengenai pembalakan liar, yang disebutkan hanya mengenai kerusakan

lingkungan hidup (Pasal 14). Pembalakan liar secara tidak langsung

mengakibatkan kerusakan lingkungan. Pembalakan liar mengakibatkan hutan

gundul, tanah longsor, banjir, dan berkurangnya persediaan air bagi masyarakat

sekitar hutan. Dengan demikian, pembalakan liar dapat dikategorikan sebagai

tindak kejahatan yang menimbulkan kerusakan lingkungan (ecocida). Namun

selama ini, jarang kasus pembalakan liar yang karena perbuatannya dikenakan

sanksi pidana perusakan lingkungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

18

,Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria.

Berdasarkan Undang-Undang Agraria ditentukan bahwa Hak Atas Tanah

meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak

membuka tanah, hak memungut hasil hutan. Hak milik berdasarkan Undang­

Undang Agraria adalah hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat

dipunyai orang atas tanah dan dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain.

Ketentuan tersebut memberikan pengertian bahwa pengaturan hak atas tanah

menurut Undang-Undang Agraria berbeda dengan pengaturan kawasan hutan

menurut Undang-Undang Kehutanan. Artinya Undang-Undang Kehutanan

mempunyai domain kawasan hutan, sedang Undang-Undang Agraria mempunyai

domain di luar kawasan hutan.

Undang Undang Agraria mengatur bahwa tanah dibagi ke dalam hak atas

tanah yang diberikan kepada perorangan atau badan hukum bahkan dapat

dialihkan kepada pihak lain. Sedangkan Undang-Undang Kehutanan mengatur

bahwa kawasan hutan tidak dibagi kedalam hak-hak atas tanah melainkan dibagi

kedalam fungsi hutan yang langsung dikuasai oleh Pemerintah dalam hal ini

Departemen Kehutanan. Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan

pemilikan tetapi negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur

dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan

hasil hutan. Menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan

hutan, mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan,

kawasan hutan dan hasil hutan serta mengatur perbuatan hukum mengenai

kehutanan.

Untuk menjembatani berlakunya Undang Undang Agraria dengan Undang

Undang Kehutanan telah ditetapkan Keputusan Bersama Menteri Kehutanan,

Menteri Pertanian dan Kepala BPN Nomor 364/Kpts-11/1990, Nomor

519/Kpts/HK.050n/1990, Nomor 23-Vlll-1990 tentang Ketentuan-ketentuan

Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian HGU untuk Pengembangan Usaha

19

.Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan don Pemberantasan Pembalakan liar-2008

Pertanian. Berdasarkan keputusan bersama tersebut, mengenai kawasan hutan

dengan fungsi hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), dapat dilepaskan

untuk budidaya pertanian, perkebunan termasuk pertambakan dan perikanan.

4. Undang-Undang No.11 Tahun 1967 tentang Pertambangan Umum.

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38 Undang Undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan bahwa pada dasarnya Undang Undang Kehutanan

menampung kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dengan cara

pemberian ijin pinjam pakai kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan dengan

ketentuan bahwa penggunaan kawasan hutan dilakukan tanpa mengubah fungsi

pokok kawasan hutan baik dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan

kawasan hutan lindung. Sedangkan pada kawasan hutan lindung dilarang

melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Adapun

pembangunan diluar kegiatan kehutanan tersebut antara lain pertambangan,

pembangunan jaringan listrik, telepon, instalasi air, kepentingan religi, serta

kepentingan pertahanan keamanan. Sedangkan pada sisi lain berdasarkan

Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 telah diatur ketentuan tentang

pertambangan umum, yang tentunya deposit tambang akan tersebar dimana saja

yang keberadaannya dapat d~ luar kawasan hutan maupun di dalam kawasan

hutan. Sepanjang deposit tambang tersebut berada di dalam kawasan hutan,

maka sesuai dengan ketentuan perundang-undang dibidang kehutanan dan yang

selama ini telah berjalan harus mendapat ijin pinjam pakai kawasan hutan dari

Menteri Kehutanan.

Pada prakteknya, kegiatan penambangan telah menimbulkan terjadinya

kerusakan hutan. Pembalakan liar juga terjadi di area pertambangan, namun

dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tersebut tidak ada ketentuan yang

mengatur kewajiban penambang menjaga kawasan hutan areal tambangnya agar

tetap lesta ri.

20

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan don Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

5. Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Ada perbedaan ketentuan yang mengatur tentang pengelolaan hutan ketika

hutan merupakan sumber daya air bagi wilayah sekitarnya berdasarkan Undang­

Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan berdasarkan Undang­

Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Berdasarkan Undang Undang

Kehutanan, hutan dikuasai oleh Negara, dan Negara memberi wewenang kepada

pemerintah untuk mengatur, mengurus, menetapkan baik dalam kaitannya dengan

hutan, kawasan hutan, hasil hutan maupun hubungan hukum antara orang dengan

hutan. Pengertian pemerintah sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang

Undang Kehutanan adalah menteri yang diserahi tugas dan tanggung jawab

dibidang kehutanan. Tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam hal ini menteri

meliputi pengaturan baik pengurusan hutan, pengelolaan hutan, pemanfaatan

hutan, pembinaan dan pengawasan dibidang kehutanan.

Disisi lain Undang Undang Sumber Daya Air memberikan pengertian air

adalah semua air yang terdapat pada, diatas ataupun dibawah permukaan tanah

termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan dan air laut yarig

berada di darat. Dengan pengertian air yang sangat luas berarti ketentuan­

ketentuan Undang Undang Sumber Daya Air akan berlaku dan diberlakukan di

dalam kawasan hutan. Dengan demikian di dalam kawasan hutan akan ada dua

perundang-undangan yang mengaturnya, yaitu Undang Undang Kehutanan yang

akan mengatur perencanaan, pengelolaan, pembinaan, pengawasan dan sanksi

dibidang kehutanan, sedangkan disisi lain Undang Undang Sumber Daya Air akan

mengatur pengelolaan sumber daya air, rencana pengelolaan sumber daya air,

hak guna usaha air, konservasi sumber daya air yang berada di dalam kawasan

hutan.

6. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah

mendesentralisasikan sejumlah kekuasaan hukum kepada pemerintah daerah.

21

.. .. Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pemba/akan liar-2008

Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah diberi kuasa untuk mengelola sumber

daya alam dalam yurisdiksi mereka dan bertanggung jawab untuk

mempertahankan kelestarian lingkungannya. Hal ini secara efektif berarti

pemerintah daerah memiliki sejumlah kekuasaan untuk mengelola sumber daya

alam dalam yurisdiksi mereka, selama mereka mengikuti peraturan perundang­

undangan nasional yang ada. Pemerintah daerah juga diijinkan untuk memi!iki

bagian yang cukup substansial (80 %) dari pendapatan hasil hutan. Di sisi la1

in,

pemerintah pusat tetap mempunyai kekuasaan untuk mengembangkan kebijakfin

atas sejumlah masalah termasuk penggunaan dan konservasi hutan.

Dalam perkembangannya, ketentuan tersebut telah mengakibatkan

munculnya banyak peraturan daerah ataupun kebijakan daerah yang lebih

bertujuan untuk mengeksploitasi sumber daya alam dalam wilayahnya termasuk

hutan, demi meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Kondisi ini diperparah

dengan adanya kewenangan bagi para bupati untuk menerbitkan ijin selama 1

tahun (Hak Pemungutan Hasil Hutan atau HPHH) untuk konsesi penebang~n

hutan berskala kecil (100 hektare) kepada masyarakat adat atau koperasi.

Kewenangan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999

tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan ProduksL

Ketentuan tersebut memuncullkan bentuk-bentuk pembalakan liar model baru.

Pada dasarnya tujuan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999

adalah tujuan untuk memberikan hak bagi masyarakat setempat atas sumber daya

hutan yang ada. Namun dalam perkembangannya, kebijakan tersebut banyak

dimanipulasi. Kondisi ini mendorong dilakukannya revisi Undang-Undang Nomor

22 Tahun 1999 tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah. Dalam revisi tersebut tidak dinyatakan secara eksplisit

bahwa pemerintah daerah memiliki kuasa untuk mengelola hutan dan sumber

daya alam lainnya, kecuali sumber daya maritim.

Ketentuan baru ini menimbulkan perbedaan pandangan antara pemerintah

pusat dengan pemerintah daerah mengenai kewenangan pengelolaan hutan yang

22

.. .Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan liar-2008

ada di daerah. Kemudian diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007

tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan

Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, masalah kehutanan

merupakan urusan bersama antar tingkatan pemerintahan (antara pemerintah

pusat, provinsi, dan kabupaten/kota). Bagi daerah sendiri, masalah kehutanan

merupakan urusan pilihan.

Pemerintah daerah memHiki kewenangan dalam pemberian izin pemanfaatan

kawasan hutan pada hutan lindung (pemungutan hasil hutan bukan kayu yang

tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam lampiran CITES dan pemanfaatan jasa

lingkungan), pemberian izin pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan

pada hutan produksi, dan pemberian izin pemungutan hasil hutan pada hutan

produksi.

Meski demikian, Pasal 136 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

menyatakan bahwa peraturan daerah tidak boleh bertentang dengan Undang­

Undang dan peraturan yang lebih tinggi. Gubernur diberi kuasa untuk menganulir

peraturan regional bila dianggap mengkontradiksi Undang-Undang dan peraturan

yang lebih tinggi. Sementara itu, daerah boleh mengajukan keberatan kepada

Mahkamah Agung bila mereka tidak setuju dengan keputusan Gubernur

membantu pemerintah pusat untuk menganulir peraturan daerah.

7. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang. Penataan Ruang

Masalah pembalakan liar terkait juga dengan Undang Undang Nomor 26

Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam Undang-Undang tersebut

dinyatakan bahwa ruang dapat dibedakan menjadi fungsi lindung dan fungsi

budidaya. Sedangkan fungsi lindung dapat berupa hutan lindung, kawasan suaka

alam, atau kawasan pelestarian alam dan fungsi budidaya antara lain dapat

berupa hutan produksi. Pengaturan tata ruang ini sangat terkait dengan

pengaturan fungsi hutan sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan. Paling tidak dalam penyusunan rencana tata

ruang dan tata wilayah, terkait dengan penetapan hutan, perlu diperhitungkan

23

.. Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan don Pemberantasan Pemba/akan Liar-2008

sebagai bagian upaya pencegahan pembalakan liar. Karena pembalakan liar

selama ini tidak hanya terjadi di kawasan budidaya (seperti di hutan produksi)

tetapi juga terjadi di kawasan lindung (seperti di hutan suaka alam, hutan lindung,

dan lain-lain).

8. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP).

Dalam putusan pengadilan, hakim lebih menggunakan ketentuan dalam

KUHP yang sanksi pidana maupun dendanya relatif lebih ringan karena menurut

pendapat hakim tindakan pelaku pembalakan liar sesuai dengan kategori dalam

KUHP. Pemberian sanksi yang ringan tersebut tidak membuat jera para pelaku

pembalakan liar, terutama para cukong pemilik modal yang jarang tersentuh oleh

hukum. Penjatuhan vonis hukum terhadap pelaku pembalakan liar terlalu ringan

dan tidak sepadan dengan bobot kejahatannya. Hal ini sering dijadikan dasar

acuan para pelaku kejahatan pembalakan liar untuk lebih berani lagi dalam

melakukan perbuatan pembalakan liar.

Penerapan Pasal 55 ayat (1) KUHP yang mengkualifikasikan pelaku tidak

pidana sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut

serta melakukan perbuatan pidana dapat diterapkan dalam kejahatan pembalakan

liar yang melibatkan banyak pihak. Namun demikian beban pidana yang harus

ditanggung secara bersama dalam hal terjadinya pembalakan liar juga dapat

mengurangi rasa keadilan masyarakat, karena dengan kualitas dan akibat yang

tidak sama terhadap pelaku turut serta, dapat dipidana maksimum sama dengan si

pembuat menurut ketentuan Pasal 55 ayat (1) KUHP, sedangkan ternyata peranan

pelaku utamanya sulit untuk ditentukan.

9. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.

Sumber daya alam yang antara lain berupa hutan produksi, hutan lindung,

kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru, hasil hutan dan

24

, Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan don Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

satwa yang harus dilestarikan dan didayagunakan dengan penuh rasa tanggung

jawab, karena mempunyai fungsi produksi, fungsi lindung antara lain pengaturan

tata air, pencegahan banjir dan erosi, memelihara kesuburan tanah, kelestarian

lingkungan hidup, dan fungsi konservasi keanekaragaman hayati yang merupakan

penyangga kehidupan.

Kelemahan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tersebut tidak

menyebutkan secara spesifik mengenai pembalakan liar namun hanya

menyebutkan mengenai kerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan

manusia, dan tidak menyebutkan secara jelas tindakan-tindakan yang terma~uk

pembalakan liar serta belum menjamin terselenggaranya perlindungan hutan

secara menyeluruh.

1 O.Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusun1an '

Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawas:an

Hutan

Kelemahan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 adalah belum

implementatif. Kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah yang tidak

berorientasi pada kelestarian hutan mengakibatkan banyak terjadinya pengalihan

fungsi hutan alam baik untuk perkebunan, pemukiman, maupun kegiatan

pembangunan yang lainnya. Pada akhirnya status kayu hutan sebagai milik

negara berpengaruh pada sikap dan tindakan masyarakat. Karena sistem

pengelolaan tidak menjamin kejelasan hak (property right) atas kayu sebagai milik I

negara maka hilangnya kayu dari hutan tidak menyebabkan kerugian finansial bagi

siapapun. Pada akhirnya masyarakat baik secara individu maupun korpor~si

(pengusaha) banyak melakukan penebangan kayu tanpa ijin untuk diperjualbelikan

maupun untuk keperluan industrinya.

Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2002 ini sudah direvisi menj<adi

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan

Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemantaatan Hutan. Namun Peraturan

25

... N~skah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

Pemerintah ini juga belum implementatif. Meskipun dalam PP ini terdapat hal baru

yang diatur, yang sangat bermanfaat guna mencegah terjadinya pembalakan liar,

yaitu mengenai pemberdayaan masyarakat setempat. Masyarakat setempat disini

adalah masyarakat yang tinggal di dalam dan I atau sekitar hutan yang merupakan

kesatuan komunitas sosial berdasarkan mata pencaharian yang bergantung pada

hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib

kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan. Masyarakat adat juga termasuk

dalam masyarakat setempat, yang ikut diberdayakan dalam rangka pencegahan

pembalakan liar.

11. lnstruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan

Kayu secara ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di seluruh Wilayah

Republik Indonesia.

lnpres ini menginstruksikan kepada instansi terkait untuk melakukan

percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan

peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Menindak tegas dan

memberikan sanksi terhadap oknum petugas di lingkungan instansinya yang

terlibat dengan kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan

dan peredarannya. Menginstruksikan untuk melakukan kerjasama dan saling

berkoordinasi untuk melaksanakan penebangan kayu secara ilegal di dalam

kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Selanjutnya dengan memanfaatkan informasi dari masyarakat yang berkaitan

dengan adanya kegiatan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya.

lnpres ini mengarahkan pemimpin dari 18 badan pemerintah untuk

bekerjasama dan berkoordinasi untuk menghapuskan pembalakan liar di

Indonesia; dan menyediakan instruksi spesifik untuk 10 dari para pemimpin ini

dalam sekumpulan cara yang harus mereka lakukan untuk mencapai tujuan ini,

antara lain:

26

, , Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

a. Mengarahkan Menteri Koordinasi Politik, Hukum, dan Keamanan untuk

mengkoordinasi dan mempercepat penghapusan pembalakan liar; dan untuk

melaporkan pada Presiden kemajuan inisiatif ini setiap 3 bulan;

· b: Menghimbau Menteri Kehutanan untuk mengajukan usaha - usaha

pencehajan yang dapat diambil untuk mengatasi pembalakan liar pada kantor

Jaksa Agung;

c. Menghimbau Jaksa Agung untuk menuntut para pelaku kejahatan kehutanan

dengan menggunakan Undang-Undang secara maksimal;

d. Menghimbau Jaksa Agung untuk mempercepat penyelidikan dan proses -

proses yudisial untuk menuntut para pelaku kejahatan kehutanan;

e. Menghimbau Menteri Dalam Negeri, Gubernur dan Bupati untuk mencabut

dan merevisi peraturan - peraturan regional yang berkontradiksi dengan

Undang-Undang nasional;

f. Menghimbau Gubernur dan Bupati untuk mencabut ijin - ijin usaha untuk

industri pengolah kayu yang menggunakan kayu ilegal; dan

g. Memanggil para Gubernur dan Bupati untuk mencabut ijin usaha industri

pengolah kayu yang beroperasi dengan mengkontradiksi Undang-Undang

nasional.

Untuk melakukan penanganan sesegera mungkin terhadap barang bukti

hasil operasi pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan

dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia dan atau alat-alat bukti

lain yang digunakan dalam kejahatan dan atau alat angkutnya untuk penyelamatan

nilai ekonomisnya. Menginstruksikan kepada menteri keuangan untuk

mengalokasikan biaya memberantas pembalakan liar melalui APBN pada masing­

masing instansi untuk kegiatan operasional maupun insentif bagi pihak yang

berjasa. Kepada Gubernur dan Bupati/Walikota diinstruksikan untuk

mengalokasikan biaya memberantas pembalakan liar melalui APBD masing­

masing. Menginstrusikan kepada Gubernur, Bupati, Walikota untuk mencabut izin

usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu yang telah

27

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

dikeluarkan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

lnpres tersebut belum dapat dilaksanakan secara efektif, salah satu

kendalanya adalah masalah pendanaan yang belum terealisir. Selain itu pula

kelemahan lainnya adalah sulitnya melakukan koordinasi antar instansi terkait

dalam memberantas pembalakan liar, menjaga konsistensi sesuai dengan tugas

dan fungsi masing-masing, bukan koordinasi dalam upaya pemberantasan

pembalakan liar. Hal lain adalah sinergisitas antara upaya-upaya yang dilakukan

oleh masyarakat, kepolisian, kejaksaan dengan putusan pengadilan.

Dari sudut ilmu perundang-perundangan, lnpres sebagai salah bentuk

instrumen hukum juga memiliki kelemahan, dimana lnpres tidak termasuk dalam

hirarkhi peraturan perundang-undangan dan tidak dapat memuat sanksi baik

pidana maupun administratif sehingga lnpres ini tidak mempunyai daya paksa dan

daya guna yang lebih kuat. lnpres ini lebih bersifat arahan dan instruksi dari

pimpinan kepada bawahan.

28

., .Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan liar-2008

BAB Ill

KERANGKA KONSEPTUAL

A. Teori Pembentukan Hukum

Dalam pembentukan dan penyusunan Undang-Undang tentang Pencegahan

dan Pemberantasan Pembalakan Liar, ada beberapa persyaratan untuk

melahirkan suatu undang-undang yang efektif sebagaimana dikemukakan oleh

William M. Evans. Evans berpendapat ada 7 (tujuh) syarat agar hukum atau

undang-undang yang dihasilka bisa berlaku efektif11.

Pertama, hukum harus dirumuskan dalam suatu bentuk peraturan

perundang-undangan yang memiliki derajat yang lebih tinggi, misalnya dalam

bentuk undang-undang. Kedua, hukum yang dirumuskan betul-betul didasarkan

sumber yang kuat, termasuk argumentasi yang berkaitan dengan dukungan dan

legitimacy secara sosial di masyarakat. Ketiga, peraturan yang dirumuskan itu,

jelas tujuan da rumusannya. Jadi masyarakat mengerti apa tujuan dari undang­

undang tersebut dan aturan yang dirumuskan dengan jelas.

Keempat, memberikan waktu dan kesempatan untuk menyesuaikan keiatan

melalui sosialisasi peraturan perundang-undangan yang akan diterapkan, artinya

masyarakat diberi waktu untuk memahami maksud dari isi peraturan perundang­

undangan tersebut. Kelima, komitmen dari aparat penegak hukum untuk

memberikan contoh dan teladan sesuai dengan ketentuan peraturan yang baru

dan komitmen melaksanakan tugas penegakan hukum secara konsisten.

Keenam, sanksi dan insentif. Artinya tingkat ketaatan terhadap hukum

secara negatif dapat disebabkan oleh sanksi yang dirumuskan dalam peraturan

tersebut, dan sebaliknya secara positif, tingkat ketaatan ini muncul karena

adanya insentif yang diperoieh dari pelaksanaan suatu peraturan peundang-

11 William Evans dalam Lawrence M Friedman, Law and Society (Prentile-Hall,lnc, Engleewood,Cliffs, New Jersey,07632,tanpa tahun} hal 64-65

29

, Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

undangan. Ketujuh, perlindungan maksimal bagi korban atas pelanggaran

terhadap peraturan yang dirumuskan tersebut. Dengan demikian mengacu pada

pendapat evans tersebut, dalam penyusunan Undang-Undang tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar harus memperhatikan 7

(tujuh) syarat agar undang-undang ini yang dihasilkan bisa berlaku efektif.

Selanjutnya dalam mengembangkan sistem hukum dalam upaya

penanganan pembalakan liar tersebut mengacu pada pendapat Friedman

terdapat 3 (tiga) elemen sistem hukum yakni : substansi (substance), struktur

(Structure), dan budaya hukum (legal cu/ture)12. Terkait dengan supstansi, dalam

pembentukan hukum tentang illegal logging harus memperhatikan berbagai

aspek pendekatan hukum yang mencakup berbagai bidang hukum, baik pidana,

perdata, korporasi dan perkembangan hukum internasional yang terkait dengan

masalah pembalakan liar. Terkait dengan struktur, dalam penanganan

pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar harus dibangun suatu otoritas

atau lembaga yang kuat yang bertanggung jawab dalam menangani masalah ini,

dimana lembaga tersebut harus bebas dari pengaruh dan intervensi kekuatan

mana pun, termasuk kekuatan politik. Terkait dengan budaya hukum, yang

mencakup kesadaran dan komitmen bersama, terutama para penegak hukum,

penyelenggara pemerintahan (pejabat negara) dan Negara, yakni mengenai

penting dan strategisnya upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan

liar.

B. Pengertian Pembalakan Liar (Illegal Logging)

Konstruksi baku mengenai pengertian dan definisi illegal Jogging sampai

saat ini belum terjadi kesepakatan. Beberapa kalangan mendefinisikan illegal

Jogging berdasarkan sudut pandang masing-masing. Secara etimologi, illegal

logging berasal dari kata "il/egaf' yang berarti praktek tidak sah dan "logging"

yang berarti pembalakan atau pemanenan kayu. Dengan demikian illegal Jogging

dapat diterjemahkan sebaga~ praktek pemanenan kayu secara tidak sah. Dari

12 Lawrence M. Friedman, American Law, (New York & London: W.W. Norton & Company, 1984), hal.5. 30

. N<;1skah Akademik RUU tentang Pencegahan don Pemberantasan Pemba/akan Liar-2008

aspek simplikasi semantik diartikan sebag.ai praktek penebangan liar, sedangkan

dari aspek integratif diartikan sebagai praktek pemanenan kayu beserta proses­

prosesnya secara tidak sah atau tidak mengikuti prosedur dan tata cara yang

telah ditetapkan. 13

Dengan mengacu pada terminologi bahasanya, Riza Suarga 14

mendefinisikan illegal logging sebagai suatu praktik eksploitasi hasil hutan

berupa kayu dari kawasan hutan Negara melalui aktifitas penebangan pohon

atau pemanfaatan dan peredaran kayu atau olahannya yang berasal dari hasil

tebangan secara tidak sah. Kegiatan illegal logging ini meliputi kegiatan illegal

processing dan illegal trade.

Illegal processing merupakan semua kegiatan proses lanjutan terhadap

kayu hasil tebangan secara illegal. Ruang lingkup illegal processing adalah: 1)

hak kepemilikan, menguasai atau memiliki atau meyimpan kayu hasil tebangan

secara ilegal; 2) pergerakan kayu, meliputi mengangku atau mengeluarkan kayu

darikawasan hutan negara hasil tebangan secara ilegal, dan 3) pengolahan

kayu, merupakan kegiatan pengolahan kayu dari bahan baku logs hasil tebangan

secara illegal. Sedangkan illegal trade merupakan proses lebih lanjut yang dapat

memicu atau menjadi alasan kegiatan eksploitasi secara illegal tetap berjalan.

Ruang lingkup illegal trade meliputi: 1) perdagangan; 2) penyelundupan; 3)

perizinan; dan 4) pelanggaran.

Praktek illegal logging, dengan mengacu pada pendapat Prasetyo15

memiliki 7 dimensi, yaitu (1) perizinan (apabila kegiatan tersebut tidak ada

izinnya, atau belum ada izinnya, atau izinnya yang telah kadaluarsa); (2) praktek

(apabila pada prakteknya tidak menerapkan praktek logging yang sesuai

peraturan); (3) lokasi (apabila dilakukan di lokasi di luar izin, menebang di

kawasan konservasi atau hutan lindung, atau asal usu I lokasi tidak dapat

13 Riza Suarga, Pemberantasan Illegal Logging, Optimisme di Tengah Praktek Premanisme Global, Banten: Wana Aksara, 2005, hal.9

14 Riza Suarga, Ibid, hal 6-7 15 Prasetyo, D. 2003. Illegal Logging, Suatu Malpraktek Bidang Kehutanan, makalah pada Semiloka lnisiatif Daerah dalam Penanggulangan Illegal Logging, 9 Januari 2003, APHI, Samarinda, halaman 1.

31

.,Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pemba/akan Liar-2008

ditunjukkan); (4) produksi kayu (apabila kayunya sembarang jenis atau

dilindungi, tidak adaa batas diameter, tidak ada identitas asal kayu, tidak ada

tanda pengenal perusahaan); (5) dokuman (apabila tidak ada dokumen sahnya

kayu); (6) pelaku (apabila orang perorangan atau badan usaha tidak memegang

izin . usaha logging atau melakukan kegiatan pelanggaran hukum di bidang

kehutanan), dan (7) penjualan (apabila pada saat penjualan tidak ada dokumen

maupun ciri fisik atau kayu diselundupkan).

Setiap dimensi muncul akibat berbagai macam sebab yang saling terkait

satu sama lain. Masih menurut Prasetyo16, praktek illegal logging disebabkan

oleh 6 faktor, yaitu (1) krisis ekonomi; (2) perubahan tatanan politik; (3) lemahnya

koordinasi antara aparat penegakan hukum; (4) adanya kolusi, korupsi, dan

nepotisme; (5) lemahnya sistem pengamanan hutan dan pengamanan hasil

hutan, serta (6) harga kayu hasil tebangan liar yang lebih murah.

Sedangkan menu rut Nana Suparna 17 illegal logging timbul karena: (1)

sistem pengelolaan hutan yang salah; (2) tingkat kesejahteraan pejabat, petugas

dan masyarakat sekitar hutan yang rendah; (3) mentalitas yang tidak baik; dan

(4) kontrol yang lemah, baik kontrol instansional maupun kontrol sosial. Lain

halnya dengan pendapat Laode M Kamaluddin18. Menurut Kamaludin, praktek

illegal logging disebabkan oleh 5 hal yaitu (1) over demand kayu di dalam negeri;

(2) selisih harga ekspor kayu di luar negeri; (3) pertumbuhan penduduk; (4)

dorongan meningkatkan pendapatan riil sebanyak-banyaknya; dan (5) desakan

16 Ibid. Halaman 1 O 17 Nana Suparna, 2005, Illegal Logging Dari Sisi Sistem Pengelolaan Hutan, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional mengenai Illegal Logging, Permasalahan dan Upaya Penanggulangannya di Indonesia Didekati dari aspek Hukum, Ekonomi, dan Manajemen, diselenggarakan oleh Universitas Bhayangkara Jakarta, 16 mei 2005 di Gedung Wanabakti-Jakarta, halaman 1.

18 Kamaludin, Laode M., 2005. Kerugian Negara yang Ditimbulkan Akibat Illegal Logging dan Antisipasi Ditinjau dari Aspek Ekonomi dan Ekologi, Makalah disampaikan pada acara Seminar Nasional "Illegal Logging, Permasalahan dan Penanggulangannya di Indonesia, Tinjauan Hukum, Ekonomi, dan Manajemen, diselenggarakan oleh Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, 16 Mei 2005 di Gedung Manggala Wanabakti- Jakarta, halaman 1.

32

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

ketersediaan pangan (termasuk peladang berpindah-pindah).Kelima variabel ini

harus dikelola untuk mengatasi masalah illegal logging di Indonesia.

Namun yang pasti, praktek illegal logging menimbulkan kerugian negara

secara ekonomis, ekologis, dan politis. Secara ekonomis, karena pungutan

provisi sumber daya hutan, dana reboisasi, dan pajak ekspor yang tidak dibayar.

Secara ekologis, karena illegal logging mengakibatkan punahnya flora fauna

yang ada di dalam hutan, ekosistem rusak, hutan menjadi gundul

(deforestation), kawasan resapan berkurang, erosi tanah (soil erotion),

pemanasan bumi, bencana banjir dan tanah longsor. Dan secara politis, karena

Indonesia terikat dengan beberapa komitment global untuk menjaga kelestarian

hutan, praktek illegal logging yang masih berlangsung hingga saat ini menjadikan

posisi lndonesi kurang menguntungkan di mata dunia.

Hasil Temu Karya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mendefinisikan

illegal logging sebagai penebangan liar sekaligus merusak hutan. Dari pengertian

ini timbul istilah baru yaitu penebangan liar yang artinya penebangan tanpa izin

dan/atau dengan izin tetapi melanggar ketentuan dalam perizinan, contoh

menebang melewati batas yang ditentukan19•

Definisi lain menyebut bahwa illegal logging sebagai rangkaian kegiatan

yang mencakup penebangan, pengangkutan, penjualan, proses produksi,

penjualan hasil produksi baik di dalam maupun ke luar negeri (penyelundupan)

dan semua kegiatan tersebut tidak sah atau tanpa izin, bertentangan dengan

peraturan yang berlaku. Dari pengertian tersebut, unsur-unsur perbuatan illegal

logging adalah penebangan, pengangkutan, penjualan, proses produksi,

penyelundupan yang mengakibatkan kerusakan hutan dan kerugian negara

secara melawan hukum20•

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tidak

memberikan definisi secara tegas apa yang dimaksud dengan praktek

19 Ngurah Gede, "Apakah Perlu RUU Khusus untuk Memberantas Illegal logging: Suatu Kajian," hal. 2. 20 Sukardi, Illegal logging dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua}, Yogyakarta: Universitas

Atma Jaya Yogyakarta, 2005, hal. 73. 33

. ,.f':/a~kah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

pembalakan liar atau penebangan kayu secara liar/ tidak sah/tanpa hak, namun

undang-undang tersebut melarang perbuatan sebagai berikut:

1. menebang di luar blok yang sudah ditentukan;

2. menebang pohon dengan menyalahi Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan

(SKSHH); dan/atau

3. menebang dengan meiebihi volume dan luas lahan tebangan melebihi

toleransi yang sudah ditentukan, yaitu sebesar 5% (lima persen).

Terkait dengan penggunaan istilah illegal logging, hasil temuan lapangan

menunjukan penggunaan istilah illegal logging hanya dikenal oleh kalangan

pengusaha yang bergerak di sektor kehutanan dan masyarakat golongan

tertentu yang memiliki tingkat pendidikan atau wawasan yang luas, sedangkan

untuk masyarakat awam, istilah tersebut kurang dipahami. Masyarakat awam di

sekitar hutan lebih mengenal istilah penebangan hutan atau pembalakan secara

liar, lebih khusus lagi istilah yang lebih mudah dipahami dan dimengerti oleh

masyarakat luas adalah pencurian kayu di dalam hutan.

Prinsip pemberlakuan suatu undang-undang adalah berlaku umum,

dengan demikian penerapan suatu undang-undang ditujukan untuk seluruh

lapisan masyarakat, tidak dikhususkan untuk golongan tertentu. Oleh karena itu

penggunaan istilah dalam undang-undang sudah seharusnya menggunakan

istilah yang dapat dimengerti oleh seluruh golongan masyarakat.

Dari beberapa pengertian illegal logging yang telah disebutkan, maka

pengertian pembalakan liar yang digunakan dalam naskah akademis ini adalah

kegiatan penebangan pohon di dalam hutan yang dilakukan dengan tidak

memenuhi ketentuan yang berlaku yang antara lain meliputi keabsahan tempat

asal kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan

dokumen angkutan, mutasi, transaksi, penjualan, atau pemindahtanganannya21•

21 Lihat pengertian kayu legal dalam MOU between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of Great Britain and Nothem Irland on Coorperation to Improve Forest Law Enforcement

34

,,Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

Praktek pembalakan liar yang selama ini terjadi menggunakan modus

operandi yang berbeda-beda. Secara umum modus operandi yang sering

digunakan oleh pelaku illegal logging dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

berdasarkan pelaku kegiatan (subyek) dan kegiatan yang dilakukan (obyek).

a) Berdasarkan subyeknya

Modus operandi yang sering digunakan oleh pelaku illegal logging yaitu

sebagai berikut:

(1) perorangan

a. menebang tanpa hak;

b. membakar hutan;

c. memiliki, mengangkut, membeli, menjual kayu tanpa dilengkapi

dokumen.

(2) korporasi

a. menebang tanpa hak;

b. merambah, mengangkut, dan/atau menadah kayu secara ilegal;

c. menyalahgunakan izin.

(3) perusahaan berbadan hukum/swasta

a. menebang tidak sesuai prosedur;

b. merambah, bakar hutan;

c. memanipulasi dokumen/SKSHH;

d. menyalahgunakan izin;

e. membeli, menerima, menyimpan, menadah kayu hasil curian;

f. menjual kayu hasil curian.

and Governance and to Combat Illegal Logging and the International Trade in 11/egaly, tanggal 18 April 2002, dalam Rahmi Hidayati et. al., Pemberantasan Illegal Logging dan Penyelundupan Kayu: Menuju Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan, Banten: Wana Aksara, 2006.

35

.. Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan don Pemberantasan Pembalakan liar-2008

(4) BUMN/BUMD

a. menguasai lahan yang bukan haknya;

b. menyalahgunakan dokumen;

c. memanipulasi data (dokumen);

d. tidak membayar IHH dan PSDH;

e. membeli menampung kayu hasil curian;

f. menyeludupkan kayu ilegal ke luar negeri.

b) Berdasarkan obyeknya

Modus operandi yang digunakan oleh pelaku pada umumnya berupa

kegiatan sebagai berikut:

(1) di kawasan hulu (asal) kayu

a. kayu berkedok untuk keperluan sosial seperti pembangunan Aceh pasca

tsunami, dan lain-lain penebangan dilakukan tanpa izin dari pejabat yang

berwenang (liar);

b. penebangan dengan dilengkapi izin tetapi dilakukannya di luar blok areal

Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman lndustri (HTI), atau lzin

Pemanfaatan Kayu (IPK) yang dimilikinya, atau di luar area RKT;

c. pemerintah daerah masih memberikan izin yang sebenarnya sudah di luar

batas kewenangannya;

d. penebangan liar dengan melibatkan masyarakat setempat tetapi

digerakkan atau didanai oleh cukong;

e. melibatkan oknum pejabat pemerintah/aparat sebagai backing atau sebagai

koordinator kegiatan penebangan liar;

f. memanipulasi kelompok masyarakat untuk turut serta melakukan

pembalakan liar;

36

•. Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan liar-2008

g. pelaku bekerja sama dengan pengusaha lokal untuk membuka lahan

perkebunan, dimana setelah mendapat IPK fisik kayu yang berada diatas

areal sesuai dengan izin tersebut diambil kayunya/tebang sementara

kegiatan perkebunan tidak dilakukan;

h. pembukaan wilayah-wilayah yang terisolir dengan alasan pembangunan

melalui pembangunan fasilitas umum seperti jalan, rumah ibadat dan lain­

lain;

(2) di kawasan hilir (tujuan kayu/pelabuhan)

a. kayu tidak dilengkapi dengan dokuman SKSHH;

b. kayu dilengkapi dengan dokumen palsu: blanko dan isinya palsu; atau

blanko asli isinya palsu; atau SKSHH diterbitkan dari daerah lain bukan

dari daerah asal kayu.

c. muatan kayu secara fisik di kapal/truk tidak sesuai dengan yang tertera

dalam dokumen SKSHH;

d. SKSHH digunakan berulang-ulang (dicabut dari pos kehutanan atau

lembar ke-1 dan ke-2 dokumen SKSHH tidak diisi masa berlakunya dan

identitas alat angkutnya);

e. memanfaatkan risalah lelang;

f. kayu diseludupkan dengan dokumen palsu atau tanpa dokumen.

Pada dasarnya setiap kegiatan pemanfaatan hutan dan hasil hutan harus

dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan

pelaksanan yang berlaku. Dalam hal ini untuk dapat disebut sebagai kayu legal

maka kayu tersebut harus memiliki keabsahan tempat asal kayu, izin

penebangan, sistem dan prosedur penebangan yang sesuai dengan ketentuan

yang berlaku, kelengkapan administrasi dan dokumen angkutan, mutasi,

transaksi, penjualan, atau pemindahtanganannya.

37

. _Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

C. Pembalakan Liar sebagai Tindak Pidana

Praktek pembuatan peraturan perundang-undangan pidana menunjukkan

adanya suatu gejala baru, ·yaitu penggunaan hukum pidana sebagai instrumen

kebijakan pemerintah22• Dalam bidang ekonomi, kesehatan, perlindungan

lingkungan dan lalu lintas, sulit kita mengkualifikasikan hukum pidana secara lain

daripada sebagai suatu hukum yang mengatur dan mengendalikan mekanisme

politik pemerintah.

Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi (hukum)

pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri.

Sampai saat ini pun, hukum pidana masih digunakan dan "diandalkan" sebagai

salah satu sarana politik kriminal. Bahkan akhir-akhir ini, pada bagian akhir

kebanyakan produk perundang-undangan hampir selalu dicantumkan sub-sub

tentang "ketentuan pidana"23.

Ketentuan pidana itu sendiri merupakan bagian dari perundang-undangan

yang pembentukannya merupakan kekuasaan/kewenangan lembaga legislatif

termasuk didalamnya menetapkan apa yang dilarang dan sanksi apa yang

dirumuskan/ditetapkan apabila perbuatan tersebut dilanggar.

Kebijakan legislasi hampir selalu menggunakan hukum pidana untuk

menakut-nakuti pelaku tindak kejahatan yang mungkin timbul di berbagai bidang.

Fenomena semacam ini memberi kesan seolah-olah dirasakan kurang sempurna

atau hambar bila suatu produk perundang-undangan tidak ada ketentuan

pidananya24.

Penetapan sanksi dalam suatu perundang-undangan pidana bukanlah yang

sekedar masalah teknis perundang-undangan semata, melainkan bagian tidak

terpisahkan dari substansi atau materi perundang-undangan itu sendiri. Artinya,

22 Roeslan Saleh, Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Makalah Seminar Kriminalisasi dan Dekriminalisasi Dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia, Fakultas Hukum Ull, 15 Juli 1993, hal. 5.

23 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1998, hal. 39.

24 Ibid., him. 40. 38

; · Nf1skah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pemba/akan Liar-2008

masalah penalisasi, depenalisasi, kriminalisasi dan dekriminalisasi dipahami

secara komprehensif dengan segala aspek persoalan substansi atau materi

perundang-undangan pada tahap kebijakan legislasi 25.

lmplikasi dari perkembangan pembalakan liar dalam bentuk modus

operandi maupun pelaku, bukan hanya penegakan hukum dalam upaya preventif

saja yang tidak dapat berjalan dengan baik, akan tetapi upaya represif dalam

bentuk penegakan hukum pidana juga tidak lagi efektif. Ketentuan pidana

kehutanan sebagai lex specialis (kekhususan/pengecualian) dari peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan penebangan pohon di dalam hutan

secara tidak sah yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1990 dan PP Nomor 28 tahun 1985, maupun peraturan

perundang-undangan sebagai lex genera/is (umum) yaitu Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, Undang­

Undang Nomor 20 Tahun 2001, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) maupun ketentuan pidana lainnya yang terkait, tidak dapat

mengakomodasi perkembangan kejahatan pembalakan liar (illegal logging),

sehingga diperlukan politik hukum pidana untuk memenuhi kebutuhan

perkembangan kejahatan tersebut 26.

Dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka kebijakan hukum pidana

(politik hukum pidana) merupakan bagian dari kebijakan kriminal/politik kriminal

(criminal policy), disamping kebijakan yang tidak menggunakan hukum pidana

(nonpenal policy).

Ditinjau dari sudut politik hukum, kebijakan penal berarti mengadakan

pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik

dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna27. Di samping itu, kebijakan

penal dapat pula berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan

25 M. Shofehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana - Ide Dasar Double Track System Dan lmplementasinya, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 5.

26 Sukardi, Op. Cit haf. 27 27 M. Sholehuddin, Op. Cit., hal. 161.

39

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk

masa yang akan datang28.

Menurut Prof. Sudarto, pidana adalah salah satu dari sekian sanksi yang

bertujuan untuk menegakkan berlakunya norma. Pelanggaran norma yang

berlaku dalam masyarakat menimbulkan perasaan tidak senang yang dinyatakan

dalam pemberian sanksi tersebut29.

Dilihat sebagai bagian dari mekanisme penegakan hukum (pidana), maka

"pemidanaan" yang biasa juga diartikan "pemberian pidana" tidak lain merupakan

suatu proses kebijakan yang sengaja direncanakan. Artinya pemberian pidana itu

untuk benar-benar dapat terwujud, direncanakan melalui beberapa tahap yaitu :

tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang; tahap pemberian pidana

oleh badan yang berwenang, dan tahap pelaksanaan pidana oleh instansi

pelaksana yang berwenang 30.

Sedangkan unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian tindak pidana

yaitu : (1) ada suatu perbuatan, (2) perbuatan itu dapat dikenakan hukuman, dan

(3) perbuatan itu melanggar Undang-Undang tindak pidana. Pengertian ini

konsisten dengan asas legalitas (nul/um de/ictum) seperti yang ditegaskan dalam

Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang1 Hukum Pidana bahwa "tiada suatu

perbuatan boleh dihukum melainkan atas kekuatan pidana dalam undang­

undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu".

Sampai saat ini proses hukum terhadap kasus-kasus Pembalakan liar

masih mengacu pada ketentuan pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal

50 jo Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1990, dan PP Nomor 28 Tahun 1985 sebagai lex specialis. Selain itu,

terdapat beberapa peraturan perundangan-undangan lainnya yang terkait yang

merupakan lex genera/is dari kejahatan di bidang kehutanan yaitu KUHP dan

28 M. Sholehuddin, Ibid., hal. 93 dan hal. 109. 29 Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni, 1992, hal. 89. 30 Ibid, hal. 91.

40

. .Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002. Dari peraturan perundang-undangan

tersebut, baik yang bersifat lex specialis maupun yang bersifat lex genera/is

belum mengatur secara rinci mengenai Pembalakan liar sebagai salah satu

kejahatan di bidang kehutanan.

Pada kenyataannya, pembalakan liar semakin berkembang dan semakin

rumit untuk diberantas sehingga perlu dikaji dari aspek hukum pidana sebagai

lex specialis dari kejahatan di bidang kehutanan. Dari kajian beberapa penulis

mengenai Pembalakan Hardan hasil penelitian di lapangan terdapat fakta bahwa:

1. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kehutanan

atau pembalakan liar mengakibatkan terjadinya perbedaan dasar hukum

yang digunakan aparat untuk penanganan pembalakan liar berdasarkan

kepentingan tertentu.

Selain itu, faktor ketidakjelasan arti kata dalam peraturan perundang­

undangan menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda antara pihak yang

berwenang, antara lain terdapat perbedaan persepsi atau batasan yang

mencakup pengertian pembalakan liar antar instansi yang terkait dengan

penanganan pembalakan liar.

2. Pembalakan liar telah meluas tidak hanya terjadi di hutan produksi tetapi

sudah merambah ke kawasan hutan lindung (kawasan konservasi). Kondisi

tersebut telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan bagi

kelangsungan hidup bangsa dan negara karena rusaknya sumber daya alam

yang menjadi penyangga kehidupan manusia.

3. Pembalakan liar semakin meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya.

Peran masyarakat, pemodal dan pedagang yang bekerjasama dengan

oknum pejabat/aparat pemerintah dan aparat penegak hukum telah

menghancurkan tatanan pengelolaan hutan dan peredaran atau perdagangan

kayu dan produk kayu.

4. Pembalakan liar sudah semakin meluas dan kompleks serta sudah

merupakan kejahatan yang terorganisasi (organized crime) yang didanai atau

41

,Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pemba/akan Liar-2008 ..

dibiayai oleh orang tertentu atau orang-orang yang berpengaruh sehingga

sulit diberantas.

Masalah kebijakan menetapkan jenis sanksi dalam hukum pidana

tidak terlepas dari masalah penetapan tujuan yang ingin dicapai dalam

pemidanaan. Dengan kata lain, perumusan tujuan pernidanaan diarahkan

untuk dapat rnernbedakan sekaligus rnengukur sejauh rnana jenis sanksi,

baik yang berupa "pidana" rnaupun "tindakan" yang telah ditetapkan pada

tahap kebijakan legislasi itu dapat rnencapai tujuan secara efektif.

Meskipun jenis sanksi untuk setiap bentuk kejahatan berbeda-beda,

narnun yang jelas, sernua penetapan sanksi dalam hukurn pidana harus tetap

berorientasi pada tujuan pernidanaan itu sendiri. Tujuan dari kebijakan

rnenetapkan suatu sanksi pidana tidak dapat dilepaskan dari tujuan politik

krirninil dalarn arti keseluruhannya yaitu "perlindungan rnasyarakat untuk

rnencapai kesejahteraan". 31

Berkaitan dengan tujuan politik krirninil, Rancangan KUHP

rnerurnuskan tujuan pernidanaan yang bertolak dari pernikiran bahwa sistern

hukurn pidana rnerupakan satu kesatuan sistern yang bertujuan (purposive

system atau teleological system) dan pidana hanya rnerupakan alat/sarana

untuk rnencapai tujuan, rnaka Rancangan Undang-Undang tentang KUHP

rnerurnuskan tujuan pernidanaan yang bertolak pada keseirnbangan dua

sasaran pokok, yaitu "perlindungan rnasyarakat" (general prevention) dan

"perlindungan/pernbinaan individu" (special prevention). 32

Sedangkan pidana rnengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai

berikut: 33

31 Ibid., hal. 91. 32 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia,

Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor .. .. Tahun ... tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Tahun 2004, hal. 8.

33 Ibid, hal. 4. 42

,. Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan don Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

1) pidana itu pad a hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan

atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

2) pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang

mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);

3) pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak

pidana menurut undang-undang.

Kebijakan menetapkan jenis sanksi pidana apa yang dianggap paling

baik untuk mencapai tujuan, setidak-tidaknya mendekati tujuan, tidak dapat

dilepaskan dari persoalan pemilihan berbagai alternatif. Masalah pemilihan

berbagai alternatif untuk memperoleh pidana mana yang dianggap paling

baik, paling tepat, paling patut, paling berhasil atau efektif, jelas merupakan

masalah yang tidak mudah. Dalam hal ini Fitzgerald berpendapat bahwa "the

problem of selecting the appropriate sentence is not one which can be solved

by normal legal techniques. In fact, it is not the typical sort of legal problem" 34

Berkaitan dengan penetapan sanksi pidana untuk mencapai tujuan

tersebut, menurut H.L. Packer, pembenaran atas "punishmenf' didasarkan

pada satu atau dua tujuan sebagai berikut 35:

1) untuk mencegah terjadinya. kejahatan atau perbuatan yang tidak

dikehendaki atau perbuatan yang salah (the prevention of crime or

undesired conduct or offending conduct);

2) untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si

pelanggar (the deserved infliction of suffering on evildoers/retribution for

perceived wrong doing).

Penentuan jenis dan ukuran sanksi pidana untuk suatu tindak pidana atau

kejahatan biasanya menggunakan asas kesetimpaian (proporsional).

Keharusan adanya asas kesetimpalan dalam menetapkan sanksi pidana

terhadap suatu tindak pidana atau kejahatan tercermin dalam filsafat

34 Fitzgerald, Criminal Law and Punishment, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 98. 35 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal. 6.

43

, Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

Beccaria yaitu let the punishment fit the crime (sanksi pidana harus sesuai

dengan kejahatan). Skala keadilan tidak ditergantungkan pada prasangka­

prasangka perseorangan (personal prejudices), yang bersifat buta36.

Adanya kesetimpalan antara kejahatan dan pidana menimbulkan adanya

differensiasi pidana antara delik yang satu dengan delik yang lain. Penetapan

sanksi pidana dengan asas kesetimpalan ini dipandang sebagai cara yang

efektif untuk menanggulangi gejala kejahatan37.

Asas kesetimpalan ini mempunyai hubungan yang erat dengan klasifikasi

kejahatan. Artinya, klasifikasi keseriusan kejahatan menentukan berat

ringannya sanksi pidana. Klasifikasi kejahatan yang sangat berat diancam

dengan pidana yang sangat berat, kejahatan berat diancam dengan sanksi

pidana berat, kejahatan ringan diancam dengan sanksi pidana ringan, dan

kejahatan yang sangat ringan diancam dengan sanksi pidana sangat ringan.

Karena arti penting klasifikasi kejahatan, ada yang berpandangan bahwa

langkah pertama dalam program pengkajian dan pengevaluasian hukum

pidana adalah memilih seperangkat kategori untuk mengklasifikasikan

kejahatan38.

Mengenai klasifikasi kejahatan dapat ditinjau dari berbagai sudut

pandang, antara lain kejahatan sebagai masalah sosial legal (legal-social

problem) yang diklasifikasikan berdasarkan39:

1. Berat ringannya;

2. Mereka yang dirugikan, dapat dibagi dalam :

kejahatan yang merugikan individu, misalnya pembunuhan, perkosaan,

pencurian, perampokan dan lain-lain;

36 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 29. 37 Roeslan Saleh, Beberapa Catatan Sekitar Perbuatan dan Kesalahan Dalam Hukum Pidana, Jakarta,

Aksara Baru, 1985, hal. 66. 38 Sanford H. Kadish (Ed), Encyclopaedia of Crime and Justice, Volume 1, London, Collier Macmillan

Publication Co, 1990, hal. 515. 39 Purnianti dan Moh. Kemal Darmawan, Mazhab dan Penggolongan Teori Dalam Kriminologi, Bandung,

Citra Aditya Bakti, 1994, hal. 9. 44

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan don Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

a. kejahatan yang merugikan negara, antara lain terdiri dari kejahatan

terhadap keagungan (dignity) dan keamanan negara (security);

b. kejahatan yang merugikan (terhadap) kesejahteraan sosial (social

welfare) 1 misalnya tidak membayar pajak pendapatan, melarikan mobil

dengan kecepatan maksimum, tindak pidana ekonomi; mengenai

perkembangan kejahatan ini asumsinya adalah makin maju

masyarakatnya maka makin banyak aturan-aturan yang menjaga

kesejahteraan sosial masyarakat tersebut;

3. Kejahatan yang tradisional atau kejahatan kontemporer (konsep baru).

Kejahatan-kejahatan yang tradisional adalah yang memang sejak dulu

sudah dirasakan sebagai perbuatan-perbuatan yang merugikan, tidak

patut dan menjengkelkan (seperti pencurian, pembunuhan, penganiayaan

dan sebagainya).

Hukum pidana Indonesia juga mengklasifikasikan tindak pidana dalam

kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Misalnya, Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) membagi klasifikasi tindak pidana

menjadi kejahatan dan pelanggaran. KUHP terdiri dari 3 (tiga) Buku yaitu :

Buku Kesatu tentang Aturan Umum, Buku Kedua tentang Kejahatan dan

Buku Ketiga tentang Pelanggaran.

Sedangkan Rancangan KUHP Tahun 2004 tidak lagi mengklasifikasikan

tindak pidana ke dalam kejahatan . (misdrijjeven1 crimes) dan pelanggaran

(overtredingen1 infractions). Hal ini didasarkan bahwa mengingat dalam

sejarah perkembangan hukum pidana tidak ada definisi dan kriteria yang

jelas serta konsisten yang bersifat kualitatif, untuk membedakan antara

keduanya, sebagaimana terdapat di dalam sistem Anglo Saxon yang

merumuskannya sebagai ma/a in se (acts wrong in themselves) dan mala

prohibita (acts wrong because they are prohibited). Semua perbuatan

melawan hukum yang dirumuskan dalam Rancangan KUHP dicakup dengan

istilah merupakan "Tindak Pidana". Dengan demikian Rancangan KUHP

45

., Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

hanya mengatur 2 (dua) buku yaitu Buku I tentang Ketentuan Umum dan

Buku II tentang Tindak Pidana40.

Penggolongan kejahatan dapat pula berdasarkan tingkat kerugian yang

ditimbulkannya. Kejahatan dapat mendatangkan berbagai jenis kerugian bagi

kehidupan manusia (korban) yang meliputi : kerugian materi (uang),

penderitaan fisik (Iuka atau cacat), kehilangan nama baik, dan kehilangan

nyawa.

Pada prakteknya dalam pembentukan perundang-undangan, gradasi

keseriusan kejahatan berdasarkan kerugian yang ditimbulkannya ternyata

tidak ada kesatuan pendapat di kalangan para ahli. Kongres PBB ke-6 Tahun

1980 di Caracas mengenai Prevention of Crime and Treatment of Offender,

menegaskan bahwa kejahatan-kejahatan yang sangat membahayakan dan

merugikan tidaklah hanya kejahatan-kejahatan terhadap nyawa, orang dan

harta benda, tetapi juga penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)41•

Menurut Peter, kejahatan memang merugikan masyarakat, tetapi tidaklah

benar bahwa besarnya kerugian yang disebabkannya berhubungan secara

teratur dengan intensitas penekanan yang ditimbulkannya. Mengenai

kejahatan serius Peter mengemukakan sebagai berikut42:

Di dalam hukum pidana kebanyakan bangsa beradab, pembunuhan

dimanapun dianggap sebagai kejahatan terbesar. Tetapi, krisis ekonomi,

ambruknya pasaran efek-efek, bahkan suatu kegagalan, dapat membuat

suatu organisasi sosial menjadi berantakan demikian seriusnya sehingga

melebihi suatu pembunuhan itu sendiri. Tidak perlu disangsikan bahwa

pembunuhan selamanya merupakan kejahatan, tetapi tidak ada bukti bahwa

pembunuhan merupakan kejahatan terbesar. Apa artinya kurang satu

40 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Rancangan Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Tahun 2004, hal. 2-3.

41 Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal. 16. 42 A.AG. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial - Buku teks Sosiologi

Hukum Buku Ill, Jakarta, Sinar Harapan, 1990, hal. 42. 46

, Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

nyawa bagi masyarakat? Apa artinya satu sel yang hilang bagi organisme?

Kita mengatakan bahwa keselamatan umum dimasa depan akan terancam

jika tindakan itu tidak dihukum; tetapi jikalau kita membandingkan arti bahaya

itu, walaupun memang nyata, dan arti hukumannya, tiadanya keseimbangan

tampak menyolok. Selain itu, contoh-contoh yang baru kita sebut

menunjukkan bahwa suatu tindakan bisa mengakibatkan malapetaka bagi

masyarakat tanpa mendatangkan tindakan penumpasan apa pun. Maka

definisi kejahatan ini sama sekali tidak memadai.

Kerugian materiil akibat kejahatan dapat dibedakan menjadi biaya

langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Mengenai hal

ini ekonom Thomas C. Schelling menyarankan bahwa kita harus melihat

biaya langsung dan biaya tidak langsung kejahatan supaya mendapatkan

suatu ide yang jelas mengenai apakah yang harus dilakukan untuk

mengurangi kejahatan dan siapa akan diuntungkan dari pengurangan

tersebut. Dia mengemukakan bahwa jika kita harus mengurangi semua

kejahatan melalui ukuran keamanan dan praktik penegakan hukum, biaya

langsung kejahatan akan menjadi nol, tapi biaya hidup dalam suatu

lingkungan potensial kejahatan akan menjadi besar. Karena jalan akan

kosong, tidak akan ada kejahatan jalanan, tetapi biaya kesempatan bagi

mereka yang tinggal di rumah akan besar43•

Kejahatan terorganisasi menimbulkan kerugian yang sangat besar

terhadap masyarakat. Hasil yang diperoleh kejahatan terorganisasi melalui

barang-barang ilegal dan jasa hampir mencapai dua kali lipat keuntungan

uang dari gabungan aktivitas kriminal lainnya. Meskipun mendatangkan

banyak kerugian, fakta ini tidak menimbulkan kesadaran untuk menempatkan

kejahatan terorganisasi sebagai kejahatan serius44.

Asas kesetimpalan mempunyai pengaruh yang besar dalam pemikiran

hukum pidana, khususnya dalam penetapan sanksi pidana terhadap tindak

43 John E. Concklin, The Impact of Crime, New York, Macmillan Publishing Co. Inc., 1975, hal. 4-5. 44 Ibid.

47

.. ,Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pemba/akan liar-2008

pitj~'!C!~_Q!eh karena itu, asas ini kemudian menjadi asas yang fundame~tal

dalam menetapkan sanksi pidana. Selain itu, asas kesetimpalan memainkan

peranan penting dalam penetapan sanksi pidana yang diancamkan terhadap

tindak pidana dalam praktek perundang-undangan. Penerapan a$as

kesetimpalan dalam praktek perundang-undangan melahirkan hubungan

simbiotis antara tindak pidana dengan sanksi pidana. Artinya, gradasi

keseriusan kejahatan mempengaruhi berat ringannya sanksi pidana a~au

berat ringannya sanksi pidana mencerminkan gradasi keseriusan kejahatan.

Meskipun asas kesetimpalan ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam

pemikiran hukum pidana, namun menurut Abdullah Ahmed An Nairn, dal~m

prakteknya sulit untuk mengukur berat ringannya sanksi pidana yang ak.an

diancamkan terhadap suatu tindak pidana. Menurut Ahmed, sangat sulit

untuk menentukan batas-batas kekejaman atau ketidakmanusiawian

hukuman dan perlakuan terhadap orang-orang yang telah melakukan tindak

pidana 45.

Selain karena kesulitan mengukur berat ringannya sanksi pidana yang

akan diancamkan terhadap suatu tindak pidana, kesulitan lain yang muncul

dalam penerapan asas kesetimpalan adalah kesulitan mengukur gradej)Si

seriusitas kejahatan. Bahkan menurut Middendorf, tidak ada hubungan logis I

antara kejahatan dengan jumlah lamanya pidana karena penggunaan sanksi

pidana, pada kenyataannya kurang efektif untuk menanggulangi kejahatan

dan untuk memperbaiki perilaku terpidana. Sebaliknya, sanksi pidana yang

berat dan kejam sering membawa dampak negatif terhadap perilaku dan

sikap mental terpidana46.

Pertanggungjawaban seseorang berdasar kesalahan harus diganti I

dengan sifat berbahayanya si pembuat. Bentuk pertanggungjawaban kepada I

si pembuat lebih bersifat tindakan untuk perlindungan masyarakat. Dalam Hal I

I

45 Abdullah Ahmed An Nairn, Dekonstruksi Syari'ah, Yogyakarta, LKIS dan Pustaka Pelajar, 1990, hal. 198.

46 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang, CV Ananta, 1994, hal. 115.

48

.. .. ,Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan don Pemberantasan Pemba/akan Liar-2008

ini, jika menggunakan istilah pidana maka harus tetap diorientasikan pada

sifat-sifat si pembuat sehingga terdapat individualisasi pidana yang bertujuan

mengadakan resosialisasi si pembuat47.

Penentuan berat ringannya sanksi pidana yang diancamkan terhadap

tindak pidana bukan hanya didasarkan pada pertimbangan ketercelaan nilai

moral perbuatan, tetapi juga didasarkan pada penilaian besarnya kerugian

yang menimpa kepentingan individu dan masyarakat48.

Tingkat keseriusan kejahatan dipengaruhi pula oleh sikap batin pelaku.

Menurut Wezel yang terkenal dengan ajaran Finale Handlungslehre, sikap

batin pelaku merupakan unsur tindak pidana. Menurut ajaran Finale

Handlungslehre, perbuatan merupakan satu-satunya objek hukum pidana.

Perbuatan mempunyai struktur yang bersifat final atau intensionil, berbeda

dari proses yang berjalan secara kausal. Perbuatan adalah kelakuan yang

dikendalikan secara sadar oleh kehendak yang diarahkan kepada akibat­

akibat tertentu49.

Selanjutnya mengenai jenis-jenis pidana sendiri, berdasarkan hukum

pidana positif (KUHP dan di luar KUHP) terdapat adanya pidana pokok dan

pidana tambahan. Pasal 10 KUHP menentukan bahwa pidana terdiri atas:

1) pidana pokok: pidana mati; pidana penjara; pidana kurungan; pidana

denda; pidana tutupan.

2) pidana tambahan: pencabutan hak-hak tertentu; perampasan barang­

barang tertentu; pengumuman putusan hakim.

Mengingat pembalakan liar sudah menimbulkan kerugian dan bahaya

bagi terpeliharanya ekosistem yang menimbulkan bahaya pula bagi manusia

berupa kerawanan bencana alam serta menimbulkan kerugian terhadap

kekayaan negara dalam jumlah yang sangat besar, termasuk biaya untuk

melakukan rehabilitasi hutan/reboisasi. Maka berdasarkan uraian mengenai

47 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 32. 48 Abdullah Ahmed An Nairn, Op. Cit., hal. 113-114. 49 Roeslan Saleh, Op. Cit, hal. 18.

49

. NQskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan liar-2008

tujuan politik kriminil serta penentuan jenis dan ukuran sanksi pidana untuk

suatu tindak pidana, dalam penegakan hukum terhadap kasus-kasus

pembalakan liar, perlu dirumuskan adanya :

1) Sanksi pidana pokok berupa: sanksi pidana mati, penjara dan/atau denda.

Baik sanksi pidana penjara maupun sanksi pidana denda perlu

dirumus~an sanksi minimal dan sanksi maksimal.

2) Sanksi pidana tambahan berupa: pencabutan hak tertentu; perampasan

hasil tindak pidana; pengumuman putusan hakim; dan/atau pembayaran

ganti kerugian.

Dalam hal kegiatan pembalakan liar dilakukan oleh badan hukum atau

korporasi, selain dikenai sanksi pidana, juga dikenai sanksi administratif

berupa:

b. paksaan pemerintah;

c. uang paksa; dan/atau

d. pencabutan izin

D. UPAYA MENGATASI PEMBALAKAN LIAR

Menyadari bahwa pembalakan liar adalah permasalahan yang kompleks,

tidak hanya sebatas pada permasalahan penegakan hukum, maka upaya untuk

mengatasi pembalakan liar dilakukan secara komprehensif. Secara garis besar

upaya pendekatan yang dilakukan untuk melindungi kelestarian sumber daya

hutan dari praktek pembalakan liar dilakukan melalui pendekatan kesejahteraan

dan pendekatan keamanan. so

Pendekatan kesejahteraan dilakukan dengan cara menggalang kekuatan

dari masyarakat sekitar hutan untuk menolak pembalakan liar. Masyarakat

sekitar hutan merupakan gerbang utama dan lokomotif dari praktek pembalakan

50 Rahmi Hidayati D, dkk, 2006, Pemberantasan Illegal Logging dan Penyelundupan Kayu: Menuju Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan, Wana Aksara, Banten, hal.16

50

, Nqskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pemba/akan Liar-2008

liar. Adapun permasalahan utama masyarakat mau terlibat dalam pembalakan

l,iar adalah karena kemiskinan. Fakta menyebutkan bahwa dari 48,8 juta

masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, lebih dari 10,2 juta

diantaranya tergolong dalam kategori miskin. Bahkan mengacu data terakhir

dengan mengambil sampel di 7 propinsi diperkir~kan 38,5 juta orang yang

berkategori miskin tinggal di sekitar dan di dalam hutan. 51 Data ini mencerminkan

sebuah anomali. Bagaimanapun sumber daya hutan beserta segala kekayaan

alamnya merupakan sumber daya alam yang sangat kaya dengan berbagai

potensi ekonomi bagi peningkatan kualitas kehidupan dan kesejahteraan

masyarakat. Utamanya masyarakat yang hidup dan tinggal di dalam dan di

sekitar hutan. Di sisi lain, kebijakan kehutanan pemerintah yang lebih ke arah

industrialisasi kehutanan, telah meminggirkan masyarakat desa hutan. Akibatnya

akses mereka akan hutan melemah, dan ini berarti hilangnya penguasaan

"asset" atas sumber daya hutan, dan berarti juga hilangnya mata pencaharian

mereka. Kondisi ini menyeret mereka dalam salah satu mata rantai praktek

pembalakan liar.

Sebenarnya praktek pembalakan liar bertentangan dengan sistem dan

tata nilai yang selama ini diterapkan dalam kehidupan masyarakat desa hutan.

Secara historis kultural masyarakat desa hutan adalah bagian integral dari

ekosistem hutan. Oleh karena tingkat kesejahteraan masyarakat desa hutan

yang tercermin dari tingginya kualitas hidup masyarakat merupakan salah satu

benteng utama bagi terwujudnya kelestarian hutan. Sebaliknya rendahnya

tingkat kesejahteraan masyarakat desa hutan yang tercermin dari kemiskinan

masyarakat merupakan ancaman paling utama dari kelestarian hutan. Karena

kondisi mereka ini akan dimanfaatkan para pemilik modal yang hanya ingin

mengeruk keuntungan dalam jangka pendek dari sumber daya hutan dengan

mengeksploitasi kemiskinan mereka.

51 Lihat dokumen Revitalisasi Kehutanan, Kadin Indonesia, 2005, Jakarta 51

.Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pemba/akan Liar-2008

D~r:igan demikian, kunci keberhasilan mengatasi pembalakan liar adalah

bagaimana para pihak membangun benteng pertahanan yang kuat sehingga

praktek pembalakan liar tersebut tidak bisa masuk apalagi merambah kawasan

hutan yang sudah memiliki pengaman yang tangguh.52 Benteng tersebut adalah

masyarakat desa hutan.53 Kokohnya benteng tersebut tercermin pada tingkat

kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat. Untuk mempertinggi tingkat

kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa hutan dilakukan melalui

upaya pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat desa hutan ini paling tidak

menurut Robert Dahl (1963) "would have be having or being given power to

influence or controf', sehingga setiap individu mempunyai pilihan dan kontrol

pada semua aspek kehidupan sehari-harinya seperti pekerjaan mereka, akses

terhadap sumber daya, partisipasi dalam proses pembuatan keputusan, dan lain

sebagainya. 54

Pemberdayaan masyarakat juga paling tidak harus mampu meningkatkan

kemampuan individu untuk mengembangkan kemampuan diri dalam meniti

kehidupan bermasyarakat. Ada tiga strategi yang harus dilakukan dalam rangka

pemberdayaan masyarakat. Pertama, menciptakan iklim yang memungkinkan

potensi masyarakat berkembang. Kedua,memperkuat potensi atau daya yang

dimiliki masyarakat. Ketiga, memberdayakan dalam arti melindungi, yaitu

dihindari sejauh mungkin proses membuat pihak yang lemah semakin lemah.55

Pendekatan lain yang digunakan untuk mengatasi pembalakan liar adalah

pendekatan keamanan. Pendekatan keamanan bersifat kuratif diperlukan untuk

52 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, setiap pemegang izin pemanfaatan hutan mempunyai kewajiban membangun batas hutan dan melakukan perlindungan hutan di areal kerjanya.

53 Ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk masyarakat desa hutan, seperti masyarakat sekitar hutan, masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar hutan, masyarakat pedalaman, masyarakat hutan adat. Namun kesemuanya memiliki kesamaan yaitu memiliki keterikatan yang tinggi dengan hutan, baik dalam kehidupan perekonomian maupun kehidupan sosial budaya mereka. 54 Lihat Priyono dan Pranarka (penyunting), Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan /mplementasi, Jakarta:CSIS, 1996, ha163 55 Lihat Agung Nugraha, Murtijo., 2005, Antropologi Kehutanan, Wana Aksara, Banten, Indonesia, hal. 149

52

·. ,Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

memberikan kepastian hukum dan penegakan hukum. Pendekatan keamanan

dilakukan terkait dengan penyimpangan peraturan perundang-undangan

(khususnya peraturan di bidang kehutanan), baik menyangkut perizinan,

keberadaan dokumen hasil hutan, proses pengangkutan, hingga

pemanfaatannya. Praktek pembalakan liar menunjukkan perkembangan yang

mengarah pada terbangunnya suatu bentuk jaringan yang relatif luas, kuat, dan

mapan baik yang melibatkan para pihak di dalam dan di luar negeri. Mengingat

kayu merupakan komoditas yang paling mudah menghasilkan uang dan paling

mudah untuk mendapatkan keuntungan besar secara cepat dengan biaya relatif

murah. Keuntungan tersebut meskipun dengan tingkat distribusi tidak merata

namun dapat menyebar ke semua pihak yang terlibat, mulai buruh, pemodal,

pengusaha sampai oknum pejabat pemerintah terlibat dalam praktek

pengusahaan hasil hutan kayu.

Menyadari kompleksnya permasalahan pembalakan liar di Indonesia,

upaya penanganan melalui dua pendekatan di atas perlu ditambahkan dengan

melakukan upaya yang sifatnya mendesak (dilakukan untuk jangka pendek).

Pertama, Mengembangkan rencana rasionalisasi industri pengolahan kayu yang

menyeluruh dan komprehensif di mana rencana ini akan mengidentifikasi dan

memberikan mandat terhadap upaya pengurangan konsumsi kayu bulat secara

bertahap guna menyeimbangkan permintaan dengan pasokan kayu legal.

Rencana ini juga menggambarkan upaya-upaya untuk memberikan kompensasi,

memberi pelatihan lagi atau menyediakan sarana pekerjaan baru bagi orang­

orang yang kehilangan pekerjaannya akibat rencana restrukturisasi tersebut,

serta mengidentifikasi alternatif baru pasokan kayu.

Kedua, Menurunkan permintaan akan kayu ilegal dan merancang

permintaan akan produksi dan perdagangan kayu legal dengan cara:

membangun kesepakatan bilateral dan multilateral agar pembelian dan import

kayu ilegal menjadi 'legal' di negara konsumen, menetapkan suatu definisi kayu

legal yang jelas dan bersifat komprehensif, mengembangkan sistem verifikasi

53

, Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan don Pemberantasan Pemba/akan Liar-2008

dengan biaya rendah, membuat kerjasama dengan mitra perdagangan

internasional agar mereka hanya mengimpor kayu legal dan mendorong produksi

kayu legal yang berkesinambungan.

Ketiga, Memperbaiki tata kelola, transparansi dan akuntabilitas melalui

serangkaian upaya-upaya yang bertujuan untuk memberantas korupsi. Upaya

awal yang baik untuk diterapkan adalah dengan: memperbaiki sistem distribusi

SKSHH untuk memberantas distribusinya di pasar gelap; menurunkan jumlah

persyaratan administratif dan teknis yang membuka kesempatan bagi aparat

pemerintah dan aparat keamanan untuk mendapatkan pungutan liar ,

menghapuskan pungutan liar, menghapuskan korupsi di kalangan elit dengan

cara membatasi kepemilikan HPH dan HTI bagi aparat pemerintahan pada level

atas. Usaha ini juga dijalankan dengan memperbaiki mekanisme akuntabilitas

pada tingkat kabupaten dan mendukung organisasi pengawas yang dibentuk

oleh masyarakat madani.

Keempat, Menyelaraskan perbedaan diantara institusi/lembaga

pemerintah untuk mengklarifikasi peranan dan kewenangan berbagai tingkatan

pemerintahan di bidang pengelolaan hutan dengan cara memperbaiki

komunikasi, merevisi legislasi yang tidak jelas dan kontradiktif yang

memungkinkan interpretasi hukum yang bebas dan tidak jelas serta

meningkatkan pemahaman mengenai keuntungan ekonomis dan jasa sosial

yang bisa didapatkan dari pengelolaan hutan yang lestari. Kelima, Meningkatkan

jaminan kepemilikan tanah bagi masyarakat lokal dan mendorong partisipasi aktif

di bidang pengelolaan hutan melalui skema perhutanan sosial agar masyarakat

lokal memiliki kepentingan dalam pengamanan hutan.

Upaya mengatasi pembalakan liar adalah tanggung jawab bersama. Yaitu

tanggung jawab dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, maupun

masyarakat sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing. Agar upaya

mengatasi pembalakan liar ini dapat berjalan optimal, koordinasi dan kerjasama

tiiap pihak sangat diperlukan.

54

· ·. ·. Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

BABIV

RUANG LINGKUP NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG PENCEGAHAN DAN

PEMBERANTASAN PEMBALAKAN LIAR

A. Materi Muatan Rancangan Undang-Undang

Materi muatan yang akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang

tentang Pencegahan dan Pembalakan Liar ini secara umum menjawab

permasalahan seputar upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar,

kelembagaan dan koordinasi antar pelaksana dan penanggungjawab program

pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar serta bagaimana sistem

pemberian sanksi yang efektif dan memberikan efek jera bagi pelaku

pembalakan liar. Dalam upaya pencegahan, diatur mengenai kebijakan yang

bersifat sementara (temperer) dan mendesak untuk dilaksanakan guna

menunjang terlaksananya upaya-upaya pencegahan pembalakan liar. Kebijakan

tersebut berskala nasional dan mengacu pada target-target sasaran dengan

jangka waktu tertentu dengan tujuan menyeimbangkan kondisi industri dan

pasokan kayu legal. Selain itu terdapat upaya pencegahan yang bersifat

berkesinambungan seperti kegiatan-kegiatan dalam rangka menghilangkan

kesempatan timbulnya pembalakan liar itu sendiri terkait dengan penjagaan

kawasan hutan. usaha pemberdayaan masyarakat dan penyuluhan juga

merupakan salah satu upaya pencegahan yang dilaksanakan secara terus

menerus dan berkesinambungan.

Adapun upaya pemberantasan pembalakan liar merupakan upaya atau

penindakan secara hukum terhadap pelaku pembalakan liar. Rancangan

undang-Undang ini menyiapkan perangkat hukum materiil yang memuat jenis­

jenis kegiatan pembalakan liar baik secara langsung maupun tidak langsung,

melibatkan pejabat atau perseorangan, dengan pelaku individu maupun badan

hukum termasuk korporasi. Selain itu pada bab pemberantasan ini diatur pula

mengenai hukum formil sebagai landasan beracara dalam menyelesaikan

SS

., Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

perkara pembalakan liar muali dari penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di

siding pengadilan. Sebagai rujukan, RUU ini juga memuat ketentuan pidana

yang memiliki disparitas dalam penetapan berat ringannya hukuman sesuai

dengan tingkat kejahatan dan faktor-faktor pemberat dan peringan hukuman.

Sebagai pelaksana dan penanggung jawab secara nasional dari berbagai

upaya dan program pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar, RUU ini

mengamanatkan dibentuknya suatu tim koordinasi yang pada praktiknya

bukanlah suatu lembaga baru tetapi lebih pada mengefektifkan koordinasi dari

beberapa instansi terkait dibawah satu atap koordinasi. Tim ini berada di pusat

dan daerah tingkat provinsi. Guna mengefektifkan upaya pencegahan dan

pemberantasan pembalakan liar, tim tersebut diberi beberapa tugas dan

kewenangan. RUU ini dilengkapi pula dengan pengaturan mengenai bagaimana

masyarakat dapat berperan serta dalam upaya pencegahan dan pemberantasan

pembalakan liar, bentuk-bentuk kerjasama internasional yang dapat dilakukan

guna mendorong dan mensukseskan upaya pencegahan dan pemberantasan

pembalakan liar dengan melibatkan dunia internasional secara aktif. Dalam

rangka memberikan jaminan bagi pihak-pihak yang berjasa dalam membantu

upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar diatur pula ketentuan

mengenai pembiayaan dan insentif. Sedangkan bagi masyarakat yang bertindak

baik sebagai pelapor, informan maupun saksi, RUU ini juga mengatur tentang

perlindungan keamanan dan hukum bagi mereka beserta keluarga.

Secara berurutan, materi muatan dari RUU tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Pembalakan Liar ini mengatur tentang:

1. Konsiderans.

Konsiderans menimbang merupakan intisari dari landasan pemikiran yang

merupakan dasar filosofis, sosiologis dan yuridis dari pembentukan

Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Pembalakan Liar.

56

., Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

2. Dasar Hukum Mengingat.

Dasar hukum mengingat memuat dasar kewenangan pembentukan

Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Pembalakan Liar yakni Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 28H ayat (1 ), Pasal 33

ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

serta Undang-Undang yang memerintahkan dan terkait langsung dengan

pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Pembalakan Liar yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999

Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888)

dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok­

Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor

104 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043).

3. Ketentuan Umum.

Ketentuan umum dalam Rancangan Undang-Undang tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar berisi batasan pengertian

dan definisi dari beberapa istilah yang digunakan dalam rancangan undang­

undang yang berlaku bagi pasal-pasal berikutnya, disebut secara berulang­

ulang dan membutuhkan pengertian atau batasan yang jelas. Ketentuan

umum disusun secara berurut dari norma yang bersifat umum kepada yang

khusus dan dari norma yang diatur lebih dahulu dalam pasal. Ketentuan

umum tersebut antara lain:

a. Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber

daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam komoditas alam

lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan .

. b. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan

oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan

tetap.

c. Pembalakan liar adalah kegiatan pemanfaatan hutan secara tidak sah,

yang meliputi proses perizinan pemanfaatan hutan, penebangan,

57

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

pengangkutan, peredaran, penyelundupan, penjualan, danlatau

pemanfaatan kayu lebih lanjut.

d. Pencegahan pembalakan liar adalah segala upaya yang dilakukan untuk

menghilangkan kesempatan terjadinya pembalakan liar.

e. Pemberantasan pembalakan liar adalah segala upaya yang dilakukan

untuk menindak secara hukum pelaku pembalakan liar langsung atau

tidak langsung atau yang terkait lainnya.

f. Penyuluhan adalah kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan

pengetahuan dan keterampilan serta mengubah sikap dan perilaku

masyarakat agar mau dan mampu mendukung pembangunan kehutanan.

g. Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan,

memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan

bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara

optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga

kelestariannya.

h. lnsentif adalah pemberian sesuatu yang mempunyai nilai terhadap jasa

perseorangan, masyarakat, badan hukum, korporasi, dan/atau Pemerintah

Daerah dalam upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar.

4. Asas dan Tujuan

Upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar berlandaskan

pada asas-asas:

a. tanggung jawab negara;

b. keberlanjutan;

c. keadilan dan kepastian hukum;

d. bertanggung gugat;

e. prioritas; dan

f. keterpaduan dan koordinasi.

58

. Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

Adapun tujuan dari upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan

liar:

a. menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan dengan tetap menjaga

kelestarian dan tidak merusak lingkungan serta ekosistem sekitarnya;

b. mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan dengan

memperhatikan keseimbangan fungsi hutan guna terwujudnya masyarakat

sejahtera;

c. meningkatkan kemampuan dan koordinasi aparat penegak hukum dan

pihak-pihak terkait dalam menangani pencegahan dan pemberantasan

pembalakan liar; dan

d. memberikan efek jera bagi pelaku pembalakan liar.

5. Pencegahan Pembalakan Liar

Pencegahan pembalakan liar dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah

daerah, selain itu masyarakat, badan hukum, dan/atau korporasi yang

memperoleh izin pemanfaatan hutan juga dapat ikut berpartisipasi dalam

pencegahan pembalakan liiar.

Dalam rangka pencegahan pembalakan liar Pemerintah membuat

kebijakan berupa:

a. rasionalisasi industri pengolahan kayu;

b. penetapan sumber kayu alternatif;

c. promosi dan perlindungan perdagangan kayu legal;

d. perbaikan tata kelola, transparansi, dan akuntabilitas dibidang kehutanan;

dan

e. klarifikasi peranan dan kewenangan dari berbagai tingkatan pemerintahan

di bidang pengelolaan hutan.

Selain membuat kebijakan, usaha pencegahan pembalakan liar dilakukan

dengan menghilangkan kesempatan timbulnya pembalakan liar,

pemberdayaan masyarakat, dan penyuluhan. Untuk menghilangkan

kesempatan timbulnya pembalakan liar dilakukan melalui kegiatan:

59

· ... Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

a. pemantapan kawasan hutan;

b. menjaga kawasan hutan dan hasil hutan;

c. patroli;

d. koordinasi ;

e. meningkatkan kapasitas jaringan informasi;

f. meningkatkan produktivitas masyarakat;

g. memfasilitasi terbentuknya kelembagaan masyarakat; dan

h. mendorong terciptanya alternatif mata pencaharian masyarakat.

Sedangkan pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui:

a. membentuk hutan desa;

b. membentuk hutan kemasyarakatan; atau

c. membangun kemitraan.

6. Pemberantasan Pembalakan Liar.

Pemberantasan pembalakan liar dilakukan dengan cara menindak

secara hukum pelaku pembalakan liar langsung, tidak langsung, atau yang

melibatkan pejabat. Tindakan secara hukum meliputi penyidikan, penuntutan,

dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Mengingat kekhususan dari perkara

pembalakan liar, selain mengacu pada KUHAP, RUU ini membuat beberapa

aturan khusus yang mengesampingkan ketentuan hukum acara pidana yang

berlaku. Perkara pembalakan liar termasuk perkara yang didahulukan dari

perkara lain untuk diajukan ke sidang pengadilan guna penyelesaian

secepatnya (asas prioritas).

Bab pemberantasan ini memuat norma-norma larangan mengenai

kategori dan jenis kegiatan pembalakan liar dari hulu sampai hilir, kegiatan

yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dan keterlibatan pejabat

baik secara langsung langsung maupun tidak langsung dengan pelaku

individu, pejabat maupun badan hukum termasuk korporasi. Pada bagian

60

.. Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

selanjutnya diatur mengenai hukum acara menyangkut proses dan

mekanisme penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

1) Kegiatan pembalakan liar (secara llansung) meliputi:

a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak

sesuai izin pemanfaatan hutan;

b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki

izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang;

c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak

sah;

d. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai,

dan/atau memiliki hasH pembalakan liar;

e. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau

patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam

kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;

f. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,

memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin

pejabat yang berwenang;

g. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil

pembalakan liar;

h. mengedarkan kayu hasil pembalakan liar dan/atau menyelundupkan

kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia melalui darat, perairan atau udara; dan/atau

i. menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan,

dan/atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal

dari pembalakan liar.

2) Kegiatan pembalakan liar (secara tidak langsung) meliputi:

a. menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan pembalakan liar;

b. turut serta melakukan atau membantu terjadinya pembalakan liar;

61

. · Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

c. melakukan permufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar;

d. mendanai pembalakan liar secara langsung atau tidak langsung;

e. menggunakan dana yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar;

f. mencuci kayu hasil pembalakan liar seolah-olah menjadi kayu yang

sah untuk dijual kepada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar

negeri;

g. menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan,

menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar

negeri, dan/atau menukarkan yang diketahuinya atau patut diduga

merupakan hasil pembalakan liar; dan/atau

h. menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang diketahui

atau patut diduga berasal dari hasil pembalakan liar sehingga seolah­

olah menjadi harta kekayaan yang sah.

3) Kegiatan pembalakan liar yang melibatkan pejabat antara lain:

a. menerbitkan izin pemanfaatan di dalam kawasan hutan yang tidak

sesuaikewenangnya;

b. menerbitkan izin pemanfaatan di dalam kawasan hutan yang yang

tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. melindungi pelaku pembalakan liar;

d. turut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar;

e. melakukan permufakatan untuk terjadinya pembalakan liar;

f. menerbitkan SKSHH tanpa hak; dan/atau

g. melakukan pembiaran dan/atau kelalaian dalam melaksanakan tugas.

4) Kegiatan lain yang terkait proses pembalakan liar:

a. mencegah, merintangi, dan/atau menggagalkan secara langsung

maupun tidak langsung upaya pemberantasan pembalakan liar.

62

, N9skah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

b. memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar yang berasal dari kawasan

konservasi.

c. menghalang-halangi dan/atau menggagalkan penyelidikan,

penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan tindak

pidana pembalakan liar.

d. melakukan intimidasi dan/atau ancaman terhadap keselamatan

petugas yang mellakukan pencegahan dan pemberantasan

pembalakan liar

e. memalsukan surat izin pemanfaatan hutan.

f. menggunakan surat izin palsu pemanfaatan hutan

g. memalsukan SKSHH.

h. menggunakan SKSHH palsu

i. melakukan penyalahgunaan dokumen angkutan hasil hutan hutan

yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.

j. merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan yang terkait

dengan pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar

k. merusak, memindahkan dan menghilangkan pal batas hutan dengan

negara lain.

Pada bagian hukum acara menyangkut proses dan mekanisme

penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan memuat

mengenai kewenangan penyidik, penuntut umum dan hakim dalam

kepentingan proses beracara tersebut, jangka waktu penyelesaian perkara,

alat bukti, penyitaan dan penyimpanan barang sitaan dan proses berpekara

di siding pengadilan.

Dalam rangka penyidikan, RUU ini memberikan kewenangan kepada

PPNS sebagai berikut:

63

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan

berkenaan dengan tindak pidana pembalakan liar;

b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang

diduga melakukan tindak pidana pembalakan liar;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum

sehubungan dengan peristiwa tindak pidana pembalakan liar;

d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain

berkenaan dengan tindak pidana pembalakan liar;

e. melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat bahan

bukti, pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan

penyitaan terhadap bahan dan barang hasil kejahatan yang dapat

dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana pembalakan liar; dan

f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan

tindak pidana pembalakan liar.

Selain itu untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di

sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang :

a. meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka

atau terdakwa.

b. meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik

tersangka atau terdakwa yang diduga sebagai hasil penebangan liar.

c. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa

kepada unit kerja terkait.

d. meminta bantuan kepada Pusat dan Pelaporan dan Analisis Transaksi

Keuangan untuk melakukan penyelidikan atau data keuangan tersangka.

e. menetapkan seseorang sebagai tersangka dan dimasukkan dalam daftar

pencarian orang;

f. meminta kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan

sementara tersangka dari jabatannya.

64

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

Adapun alat bukti dalam pemeriksaan perkara pembalakan liar, meliputi:

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana;

b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau

disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu;

dan/atau

c. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau

didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu

sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain

kertas, atau yang terekam secara elektronik, berupa:

1) tulisan, suara atau gambar;

2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; dan/atau

huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau

dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau

memahaminya

Adapun penyelesaian perkara pembalakan liar di tingkat penyidikan

adalah 45 (empat puluh lima) hari sejak dimulainya penyidikan dan

tambahan 30 (tiga puluh) hari untuk penyidikan lanjutan. Sedangkan di

tingkat pengadilan perkara pembalakan liar diperiksa dan diputus oleh

pengadilan dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak

tanggal penerimaan pelimpahan perkara dari penuntut umum. Untuk

banding, diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 40 (empat

puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh

Pengadilan Tinggi. Untuk kasasi, diperiksa dan diputus dalam jangka waktu

paling lama 50 (lima puluh hari) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas

perkara diterima oleh Mahkamah Agung.

65

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

7. Koordinasi Pencegahan dan Pemberantasan Pembalaka Liar

RUU ini mengamanatkan pembentukan suatu sistem koordinasi dalam

upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar secara fungsional

dan terkoordinasi lintas departemen dan instansi pemerintahan, baik di

tingkat Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi. Dalam pelaksanaannya,

Presiden membentuk Tim Koordinasi P3L yang dikoordinasikan oleh Menteri

Koordinator Politik dan Keamanan dan Menteri Kehutanan dengan

mengendalikan departemen dan badan-badan terkait di bidang:

a. kehutanan;

b. lingkungan hidup;

c. pemerintahan dalam negeri;

d. hubungan luar negeri;

e. sosial;

f. pengembangan usaha kecil menengah;

g. ketenagakerjaan;

h. perdagangan;

i. perindustrian;

j. pertanian;

k. keuangan;

I. perhubungan;

m. pertahanan dan keamanan;

n. Kepolisian Negara RepubHk Indonesia;

o. Kejaksaan Agung Republik Indonesia;

p. Tentara Nasional Indonesia;

q. Badan lntelijen Negara; dan

r. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

Tim Koordinasi P3L memiliki tugas:

a. mengkoordinasikan instansi yang terkait dalam penyusunan kebijakan dan

pelaksanaan di bidang pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar;

b. mengkoordinasikan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan

pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar;

66

.. Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

c. melaksanakan penegakan hukum pembalakan liar;

d. melaksanakan pembinaan pencegahan dan pemberantasan pembalakan

liar;

e. melaksanakan kerja sama internasional dalam pencegahan dan

pemberantasan pembalakan liar;

f. melaksanakan kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi;

g. melaksanakan kerja sama dengan lembaga keuangan dalam rangka

pemberantasan pembalakan liar; dan

h. menetapkan sistem pelaporan pelaksanaan kegiatan pencegahan dan

pemberantasan pembalakan liar.

Dalam melaksanakan tugasnya Tim Koordinasi P3L diberi wewenang:

a. merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi

pencegahan pembalakan liar;

b. melaksanakan kampanye anti pembalakan liar;

c. membangun dan mengembangkan sistem informasi pencegahan dan

pemberantasan pembalakan liar;

d. membangun, mengembangkan, dan membina jejaring sosial anti

pembalakan liar;

e. melakukan kerja sama dengan para pihak terkait dalam kegiatan

pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar;

f. melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana pembalakan liar;

dan

g. memantau penanganan perkara pembalakan liar.

Dalam menjalankan tugasnya Tim P3L pusat berkewajiban memberikan

laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat setiap 6 (enam) bulan sedangkan

Tim P3L daerah berkewajiban memberikan laporan kepada Tim P3L Pusat

setiap 3 (tiga) bulan.

67

. Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan don Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

8. Peran Serta Masyarakat

Kesadaran hukum masyarakat yang tinggi sangat menunjang upaya

penegakan hukum, karena masyarakat menyadari dan memahami hak dan

kewajibannya sebagai warga negara secara selaras, serasi dan seimbang.

Kesadaran hukum yang dimiliki masyarakat seperti itu mengarah pada dua

hal yakni pertama, kepatuhan terhadap hukum karena menyadari bahwa

pada dasarnya kehidupan yang tertib, teratur, aman dan tentram itu tidak

terlepas dari adanya hukum dan tegaknya hukum. Kedua, kemauan untuk

turut memikul tanggung jawab dalam menegakkan hukum karena menyadari

bahwa tegaknya hukum merupakan kepentingan dan keperluan bersama.

Dalam penegakkan hukum untuk memberantas kegiatan pembalakan liar

pihak yang berwenang, baik Dinas Kehutanan maupun Kepolisian setempat

banyak dibantu oleh masyarakat/partisipasi masyarakat melalui pemberian

informasi baik Iisan maupun tulisan (menggunakan SMS atau website),

Iaporan tertulis atau laporan dalam bentuk penyampaian pendapat. Peran

serta masyarakat tersebut merupakan respons batik terhadap dibukanya

akses informasi yang disediakan oleh Tim Koordinasi P3L untuk menerima

semua laporan dari masyarakat berkaitan dengan pemberantasan

pembalakan liar.

Cara lain yang dapat ditempuh oleh masyarakat dalam memberantas

pembalakan liar adalah dengan bergabung dengan Organisas/Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kehutanan atau

lingkungan hidup yang terdapat di daerah. Dengan demikian peran serta

masyarakat merupakan inti keberhasilan dalam memberantas penebangan

pohon di dalam hutan secara tidak sah dan dalam mengembalikan kualitas

hutan yang sudah rusak. Apabila ketiga fungsi hutan (fungsi ekonomi, fungsi

sosial, dan fungsi lingkungan) sudah berjalan sebagaimana mestinya, maka

masyarakat dapat memanfaatkan hasil hutan secara optimal sehingga dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan itu sendiri

68

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

9. Kerjasama lnternasional.

Menyadari bahwa isu pembalakan liar telah menjadi permasalahan global,

maka RUU ini merekomendasikan Pemerintah maupun pemerintah daerah

untuk melakukan kerjasama internasional baik di tingkat bilateral, regional

maupun multilateral dalam upaya pencegahan dan pemberantasan

pembalakan liar. Dalam upaya pencegahan terdapat beberapa bentuk

kerjasama yang mungkin dilakukan antara lain:

a. pelaksanaan konservasi;

b. pelaksanaan pengelolaan hutan yang berkelanjutan;

c. peningkatan forest carbon stock; dan

d. pemberdayaan masyarakat.

Sedangkan di bidang pemberantasan dan penegakan hukum, kerjasama

dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang sudah

mengatur hal tersebut mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan. Dalam

hal ini pemerintah juga dapat berperan aktif dan melakukan tindakan atau

upaya hukum dalam hal terjadinya perkara timber money laundering yang

melibatkan Negara lain.

10. Pembiayaan dan Pemberian lnsentif

Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan Undang-Undang ini dibebankan

kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah, hasil lelang, dan sumber dana lainnya yang sah.

Kemudian Untuk lebih meningkatkan peran serta masyarakat dalam

memberantas penebangan pohon di dalam hutan secara tidak sah, maka

masyarakat perlu digugah untuk terus berperan serta, caranya antara lain

dengan memberikan penghargaan (reward) kepada mereka. Pemberian

insentif ini juga berlaku bagi seluruh pihak yang berjasa dalam upaya

pencegahan dan pemberantasan pembaiakan liar baik perseorangan, badan

69

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

hukum, pihak penegak hukum sendiri bahkan Pemerintah daerah yang dinilai

berhasil dalam upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar

diberi insentif berupa hak anggaran tambahan.

11. Perlindungan Saksi, Pelapor dan lnforman.

Agar peran serta masyarakat dapat bermanfaat dan dilakukan secara

berkesinambungan, maka pihak berwenang harus segera menindaklanjuti

laporan tersebut, antara lain dengan melakukan pengecekan terhadap

kebenaran dari setiap iaporan tersebut. Masyarakat baik yang melapor,

menjadi saksi maupun informan juga harus dilindungi identitasnya demi

keselamatan hidupnya. Perlindungan tersebut mencakup perlindungan

keamanan dan perlindungan hukum. Pelaksanaan dan mekanisme

perlindungan ini pada hakikatnya diatur sesuai peraturan perundang­

undangan yang berlaku.

1!2. Ketentuan Pidana

Dalam menentukan besaran dan disparitas sanksi pidana terhadap tindak

pidana yang dilanggar telah dilakukan simulasi dan perbandingan dengen

beberapa peraturan perundang-undangan lain.

Mengingat rangkaian kegiatan pembalakan liar sendiri terdiri dari

beberapa kegiatan dan melibatkan beberapa macam pelaku maka setidaknya

terdapat tiga pengelompokan besar:

Untuk kategori pelanggaran terhadap norma larangan menyangkut

kegiatan pembalakan liar secara langsung yang dilakukan oleh setiap orang

baik perseorangan maupun badan hukum (baik yang berada di dalam atau di

luar wilayah Negara Republik Indonesia) dikenai pidana penjara mulai dari 1

(satu) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun dengan denda mulai dari

Rp. 500 000 000,- sampai dengan Rp. 15 000 000 000,-. Adapun untuk

kategori pelanggaran terhadap norma larangan menyangkut kegiatan

pembalakan liar secara tidak langsung yang dilakukan oleh setiap orang baik

70

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan don Pemberantasan Pembalakan liar-2008

pe_r:s~o_r~n_g~n maupun badan hukum (baik yang berada di dalam atau di luar

wilayah Negara Republik Indonesia) dikenai pidana penjara mulai dari .1 O

(sepuluh) tahun sampai dengan 25 (dua puluh lima) tahun dengan denda

mulai dari Rp. 10 000 000 000,- sampai dengan Rp.100 000 000 OOd,-.

Dengan ketentuan bahwa selain sanksi pidana, bagi pelaku badan hukl)m

termasuk korporasi yang melakukan kegiatan pembalakan liar yang

menimbulkan kerusakan lingkungan dikenai pidana administratif berupa:

a. paksaan pemerintah;

b. uang paksa; dan/atau

c. pencabutan izin

Dalam hal pejabat melanggar norma larangan menyangkut penerbitan i~in

dan hal-hal yang terkait dengan kewenagannya dipidana dengan pidana

penjara mulai 1 (satu) tahun sampai 10 (sepuluh) tahun, dengan denda mu!ai '

dari Rp. 500 000 000,- sampai dengan Rp.10 000 000 000,-. Sedangkan

pejabat yang melakukan kegiatan pembalakan liar baik langsung maupun

tidak langsung, pidanya diperberat 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidaha

pokoknya. Selain penjatuhan sanksi pidana, dikenakan juga uang pengga~ti,

dan apabila tidak terpenuhi, maka terdakwa dapat dikenakan hukuman

badan.

13. Ketentuan Peralihan

Untuk mengantisipasi kekosongan hukum akibat peralihan dari peratur~n

perundang-undangan yang lama, maka pada saat Undang-Undang ini mul,ai

berlaku, semua perkara tindak pidana pembalakan liar yang telah dilakukan

penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan berdasarkan Undang­

Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Tah~n

1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888) tet~p

dilanjutkan sampai memperoleh putusan pengadilan yang memiliki kekuatan

hukum tetap.

71

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan don Pemberantasan Pemba/akan Liar-2008

14. Ketentuan Penutup

Selain menyatakan mulai berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan

penutup juga menyatakan tidak berlaku dan dicabutnya beberapa peraturan

perundang-undangan yang secara substansi sudah dirubah oleh Undang­

Undang ini.

B. Usulan Sistematika Rancangan Undang-Undang

Naskah akademis ini mengusulkan sistematika RUU tentang Pencegahan

dan Pemberantasan Pembalakan Liar sebagai berikut:

JUDUL RUU

Konsiderans Menimbang

Dasar Hukum Mengingat

Diktum persetujuan

BAB I: KETENTUAN UMUM

BAB II: ASAS DAN TUJUAN

BAB Ill: PENCEGAHAN PEMBALAKAN LIAR

Bagian Kesatu: Umum

Bagian Kedua: Kebijakan Pencegahan Pembalakan Liar

Bagian Ketiga: Upaya Pencegahan Pembalakan Liar

Bagian Keempat: Pemberdayaan Masyarakat dan Penyuluhan

Paragraf 1: um urn

Paragraf 2: Pemberdayaan Masyarakat

Paragrat 3: Penyuluhan

72

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pemba/akan Liar-2008

BAB IV: PEMBERANTASAN PEMBALAKAN LIAR

Bagian Kesatu: Umum

Bagian Kedua: Larangan

Bagian Ketiga: Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di

Sidang Pengadilan

Paragraf 1 : penyidikan dan Penuntutan

Paragraf 2·. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

BAB V: KOORDINASI PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN

PEMBALAKAN LIAR

BAB VI: PERAN SERTA MASYARAKAT

BAB VII: KERJASAMA INTERNASIONAL

BAB VIII: PEMBIAYAAN DAN PEMBERIAN INSENTIF

Bagian Kesatu: Pembiayaan

Bagian Kedua: Pemberian lnsentif

BAB IX: PERLINDUNGAN SAKSI PELAPOR DAN INFORMAN

BAB X: KETENTUAN PllDANA

BAB XI: KETENTUAN PERALIHAN

BABX: KETENTUANPENUTUP

73

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan don Pemberantasan Pemba/akan Liar-2008

BABV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan beberapa hal terkait dengan

pencegahan dan pemberantas pembalakan liar sebagai berikut :

'

1. Upaya yang komprehensif yang dilakukan dalam rangka pencegahan dc:tn

pemberantasan pembalakan liar dilakukan mulai dari upaya pencegah~n yakni dengan mengeluarkan kebijakan pencegahan yang sifatnya

mendesak dengan sasaran jangka pendek. Kebijakan-kebijakan ini terkait i

dengan pengamanan pasokan kayu legal di tingkat nasional melalui

rasionalisasi industri pengolahan kayu yang juga didukung dengan

kebijakan guna mengantisipasi akibat langsung dari kebijakan rasionalis~si

tersebut. Selain itu dilakukan pula upaya pencegahan pembalakan liar ya~g

dilakukan secara regular dan berkesinambungan untuk meghilangkc;m

kesempatan terjadinya pembalakan liar. Upaya ini meliputi penjagaan dan

pemantapan kawasan hutan, pemberdayaan masyarakat serta

meningkatkan penyuluhan. Selain upaya pencegahan juga dilakukan upaya

pemberantasan yang dilakukan melalui penegakan hukum pemberantasan

pembalakan liar dengan membuat norma-norma larangan yaryg

menyangkut kegiatan pembalakan liar baik yang dilakukan oleh

perseorangan, badan hukum termasuk korporasi maupun pejabat yang

melakukan atau terlibat pembalakan liar. Upaya yang komprehensif ini juga

dilengkapi dengan pengaturan mengenai hukum acara mulai dari hukum

acara penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Upaya lain yang dilakukan adalah dengan kerjasama internasional dalam

pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar dengan mengedepankan I

prinsip resiprokal atau timbal balik dan itikad baik sesuai dengan ketentuan

hukum internasional yang berlaku dalam kerjasama internasional serta

74

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pemba/akan Liar-2008

menggiatkan peran serta masyarakat. Dalam rangka meningkatkan peran

serta masyarakat dan seluruh pihak yang berjasa, maka upaya pencegahan

dan pemberantasan pembalakan liar juga menganut sistem reward dengan

memberikan penghargaan atau insentif.

2. Bentuk kelembagaan yang tepat sebagai penanggungjawab upaya

pembalakan liar secara nasional yakni suatu bentuk koordinasi antar

lembaga pemerintah yang mempunyai kewenangan yang tegas dan jelas

baik dalam melaksanakan fungsinya sebagai kelembagaan yang

mengkoordinasikan pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar

maupun dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum yakni melakukan

penyelidikan dan penyidikan. Kelembagaan tersebut di bentuk di tingkat

pusat dan di tingkat daerah sehingga dalam penanganan illegal logging

dapat dilakukan secara terpadu dan terintegrasi.

3. Pengaturan sanksi yang dilakukan dalam pemberantasan illegal logging

menggunakan bentuk sanksi minimal dan maksimal dan dengan konsep

penjatuhan sanksi ini diharapkan dapat menimbulkan efek jera terhadap

pelaku kejahatan pembalakan liar. Selain itu dalam pengaturan dan

disparitas sanksi juga didasarkan pada kriteria atau standar penghukuman,

akibat tindakan bahkan keterlibatan unsur pejabat. Selain penjatuhan

sanksi pidana, dikenakan juga uang pengganti, dan apabila tidak terpenuhi,

maka terdakwa dapat dikenakan hukuman badan. Sedangkan untuk pelaku

badan hukum atau korporasi yang melakukan pembalakan liar dan

mengakibatkan kerusakan lingkungan dikenai pula sanksi administrative

seperti paksaan pemerintah,, uang paksa dan pencabutan izin.

B. Saran

Naskah akademik ini memandang perlu dibentuknya Undang-Undang

tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan liar dimana dalam

pembentukan dan penyusunannya sebaiknya memperhatikan konsep

pembuatan hukum yang efektif.

75

,Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Uar-2008

-

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ahmad, Rival Gulam, dkk. Manual Perancangan Peraturan Untuk Transformasi Sosial, Jakarta: PSHK, 2005.

Ahmed, Abdullah An Nairn. Dekonstruksi Syari'ah. Yogyakarta: LkiS dan Pusta Pelajar, 1990.

Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembang Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.

Arief, Barda Nawawi. Kebijakan Legislatif dalatn Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Semarang: CV Ananta, 1994.

Dworkin, Ronald, Legal Research, (Daedalus: Spring), 1973

Concklin, John E. The Impact of Crime. New York: Macmillan Publishing Co. Inc., 1975.

Erawati, Elly, dkk. Keterampilan Perancangan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.

Evans, William dalam Lawrence M Friedman, Law and Society (Prentile-Hall,lnc, Engleewood,Cliffs, New Jersey,07632,tanpa tahun

D. Prasetyo, Illegal Logging, Suatu Malpraktek Bidang Kehutanan, makalah pada Semiloka lnisiatif Daerah dalam Penanggulangan Illegal Logging, 9 Januari 2003

Hanidjo Soemitro, Ronny. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.

Hardjasumantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan,Cet. Ke-17, edisi ke-7,Gadjah Mada University Press-Yogyakarta, 1999

Hidayati, Rahmi, et al. Pemberantasan Illegal Logging dan Penyelundupan Kayu: Menuju Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutana Banten: Wana Aksara, 2006.

Kadish, Sanford H. (Ed). Encyclopaedia of Crime and Justice, Volume 1. London: Collier Macmillan Publication Co, 1990.

76

. Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan liar-2008

Kartodihardjo, Harijadi, dkk, Structural Problems in Implementing New Foresty Polices, in Resosudarmo, Isa Aju Pradnja and Carol J. Pierce Golfer (eds) Which Way Forward: Forest, People and Public Policy, CIFOR. Bogar: 2003.

Kartodihardjo, Harijadi, dkk. Di Bawah Satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jakarta: Suara Bebas. 2005

M. Colchester, et.al, Justice in the Forest: Rural Livelihoods and Forest Law Enforcement, Bogor, Indonesia: Center for lnternasional Forestry Research. 2006.

Marmosodjono, Sukarton. Penegakan Hukum Di Negara Pancasi/a. Jakarta; Pustaka Karting. 1989

Muladi dan Barda Nawawi. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1992.

Murtijo,, Agung Nugraha, Antropologi Kehutanan, Wana Aksara, Banten, Indonesia, 2005.

Peters, A.AG. dan Koesriani Siswosoebroto. Hukum dan Perkembangan Sosial- Buku teks Sosiologi Hukum Buku Ill .. Jakarta: Sinar Harapan, 1990.

Priyono dan Pranarka (penyunting), Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan lmplementasi, Jakarta: CSIS, 1996,

Purnianti dan Moh. Kemal Darmawan. Mazhab Dan Penggolongan Teori Da/ar Kriminologi, Bandung Citra Aditya Bakti, 1994.

Saleh, Roeslan. Beberapa Catatan Sekitar Perbuatan Dan Kesalahan Dalar Hukum Pidana. Yakarta: Aksara Baru, 1985.

Salim, HS. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

Sholehuddin, M. Sistem Sanksi Dalatn Hukum Pidana - Ide Dasar Double Trac, System Dan lmplementasinya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta : Rajawali Pers, 1983

Soeprapto, Maria Farida lndrati. I/mu Perundang-undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius, 1998.

Suarga, Riza, dkk. Mencari Supremasi Hukum. cetakan kedua. Jakarta: Arivco Press. 2004

77

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

Suarga, Riza. Pemberantasan Illegal Logging. Optimisme di Tengah Praktek Premanisme Global. Banten: Wana Aksara, 2005.

Sukardi. Penebangan Pohon di Dalam Hutan Secara Tidak Sah Dalam Prespektil Po/itik Hukum Pidana (Kasus Papua). Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2005.

Makalah

Direktur Penyidikan dan Perlindungan Hutan Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan,"Pemberantasan Illegal logging Membangkitkan Ekonomi Indonesia," Makalah disampaikan pada Seminar Upaya Mengatasi //legal logging Di Indonesia, Jakarta 3 April 2006.

Gede, Ngurah. Apakah Perlu RUU Khusus untuk Memberantas Illegal Logging: Suatu Kajian. Maka/ah untuk Tim Kerja Perancangan RUU Penebangan Pohon di Dalam Hutan Secara Tidak Sah. Jakarta, 2006.

Kartodihardjo, Harijadi. Kajian Aspek social-Ekonomi dan lnstitusi Mengatasi Illegal logging di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Upaya Mengatasi Illegal logging di Indonesia. Jakarta, 3 April 2006.

Laode, M. Kamaludin., 2005. Kerugian Negara yang Oitimbulkan Akibat Illegal Logging dan Antisipasi Oitinjau dari Aspek Ekonomi dan Ekologi, Makalah disampaikan pada acara Seminar Nasional "Illegal Logging, Permasalahan dan Penanggulangannya di Indonesia, Tinjauan Hukum, Ekonomi, dan Manajemen, diselenggarakan oleh Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, 16 Mei 2005

Manan, Bagir. Politik Perundang-undangan. Makalah disampaikan pada Penataran Dasen Fakultas Hukum/Sekolah Tinggi Hukum PTS se Indonesia, diselenggarakan oleh Dit Gutiswa Ditjen Dikti di Cisarua. Bogar, Tanggal 26 September s/d Oktober 1993.

Padhista, Chai, "Theorical,Terminological, and Philosophical Issue in Qualitative Research", dalam Attig.et.al, A Field Manusal an Selected Qualitative Research Methods, (Thailand: Institute for Population and Social Research, Mahidol University) 1991

Rianto, Bibit S. Kata Sambutan Universitas Bhayangkara Jakarta Raya. Makalah disampaikan pada Seminar Illegal logging, Permasalahan dan Penangannya di Indonesia. Jakarta: 16 Mei 2005.

78

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

Rizal, Jufrina. Sosiologi Perundang-undangan. Makalah disampaikan pada Pendidl:kan dan Latihan Tenaga Teknis Perundang-undangan Sekretariat Jenderal DPR

1

, RI .. Jakarta: Tahun 2003.

Saleh, Roeslan. Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi. Makalah disampaikan padaSeminar Kriminalisasi dan Dekriminalisasi Dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia di Fakultas Hukum Ull. Yogyakarta: 15 Juli 1993.

Suparna, Nana. Illegal Logging Dari Sisi Sistem Pengelolaan Hutan, Makalah disampaikan pada seminar Nasional mengenai Illegal Logging, Permasalahan dan Upaya Penanggulangannya di Indonesia Didekati dari aspek Hukum, Ekondmi, d'an Manajemen, Jakarta: 16 Mei 2005.

Sist, Plinio, Robert Fimbel, Douglas Sheil, Robert Nasi, and Marie-Helene Chevalliier. "Towards Sustainable Management of Mixed Dipterocarp Forests of South-east Asia: Moving beyond Minimum Diameter Cutting Limits." Environmental Conservation 30 (4): 2003.

Sist, Plinio,Timothy Nolan, Jean-Guy Bertault, and Dennis Dykstra. "Harvest,ing Intensity versus Sustainability in Indonesia." In Forest Ecology and Management, 1998.

Tabah, Anton. Mengurai Anatomi Illegal Logging Dan Deforestasi Di lndone~ia. Makalah pada Seminar Nasional di Manggala Wana Bhakti. Jakarta: 16 Mei 2005.

Peraturan Perundang-Undangan

Anonimous. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

____ . Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Vang.

____ . Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. ·

____ . Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

____ . Undang-Undang Nomor41Tahun1999 tentang Kehutanan. 79

.Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan liar-2008

____ . Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

____ . Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

____ . Undang-Undang tentang Nomor 1 Tahun 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

____ . Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok­Pokok Agraria.

____ . Undang-Undang No.11Tahun1967 tentang Pertambangan Umum.

____ . Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

____ . Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

____ . Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.

____ . Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan.

____ . lnstruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara I/legal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.

80

Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar-2008

,.....