Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

56
HUJAN BULAN JUNI Sapardi Djoko Damono PENGANTAR Sajak-sajak dalam buku ini saya pilih dari sekian ratus sajak yang saya hasilkan selama 30 tahun, antara 1964 sampai dengan 1994. Sajak saya pertama kali dimuat diruangan kebudayaan sebuah tabloid di Semarang pada tahun 1957, sewaktu saya masih menjadi murid SMA; namun, ini tidak berarti bahwa ratusan sajak yang ditulis selama 1957-1964 tidak saya pertimbangkan untuk buku ini. Sajak-sajak itu untuk dikumpulkan di buku lain, yang suasananya – atau entah apanya – agak berbeda dari buku ini. Ini berarti bahwa ada juga sesuatu yang mengikat sajak-sajak ini menjadi satu buku. Saya sendiri tidak tahu apakah selama 30 tahun itu ada perubahan stilistik atau tematik dalam puisi saya. Seorang penyair belajar dari banyak pihak: keluarga, penyair lain, kritikus, teman, pembaca, tetangga, masyarakat luas , koran, televisi, dan sebagainya. Pada dasarnya, penyair memang tidak suka diganggu, namun sebenarnya ia suka juga, mungkin secara sembunyi-sembunyi, nguping pendapat pembaca. Itulah merupakan tanda bahwa puisi yang ditulis benar-benar ada. Sebagian besar sajak dalam buku ini pernah terbit dalam beberapa kumpulan sajak pernah dimuat di koran dan majalah, satu-dua sajak belum pernah dipublikasikan. Hampir dua tahun lamanya saya mempertimbangkan penerbitan buku ini, bukan karena sajak-sajak saya berceceran dan sulit dilacak, tetapi karena saya suka meragukan keuntungan yang mungkin bisa didapat oleh pembaca maupun penerbit buku ini. Alam hal ini yang terakhir itu sudah selayaknya saya mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Pamusuk Eneste dari Penerbit PT Grasindo yang tidak jemu-jemunya meyakinkan saya akan perlunya menerbitkan sepilihan sajak ini. Terima kasih tentu saja saya sampaikan juga kepada siapa pun yang telah

description

Kumpulan Puisi (Sajak) oleh Sapardi Djoko Damono

Transcript of Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

Page 1: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

HUJAN BULAN JUNISapardi Djoko Damono

PENGANTAR

Sajak-sajak dalam buku ini saya pilih dari sekian ratus sajak yang saya hasilkan selama 30 tahun, antara 1964 sampai dengan 1994. Sajak saya pertama kali dimuat diruangan kebudayaan sebuah tabloid di Semarang pada tahun 1957, sewaktu saya masih menjadi murid SMA; namun, ini tidak berarti bahwa ratusan sajak yang ditulis selama 1957-1964 tidak saya pertimbangkan untuk buku ini. Sajak-sajak itu untuk dikumpulkan di buku lain, yang suasananya – atau entah apanya – agak berbeda dari buku ini. Ini berarti bahwa ada juga sesuatu yang mengikat sajak-sajak ini menjadi satu buku.

Saya sendiri tidak tahu apakah selama 30 tahun itu ada perubahan stilistik atau tematik dalam puisi saya. Seorang penyair belajar dari banyak pihak: keluarga, penyair lain, kritikus, teman, pembaca, tetangga, masyarakat luas , koran, televisi, dan sebagainya. Pada dasarnya, penyair memang tidak suka diganggu, namun sebenarnya ia suka juga, mungkin secara sembunyi-sembunyi, nguping pendapat pembaca. Itulah merupakan tanda bahwa puisi yang ditulis benar-benar ada.Sebagian besar sajak dalam buku ini pernah terbit dalam beberapa kumpulan sajak pernah dimuat di koran dan majalah, satu-dua sajak belum pernah dipublikasikan. Hampir dua tahun lamanya saya mempertimbangkan penerbitan buku ini, bukan karena sajak-sajak saya berceceran dan sulit dilacak, tetapi karena saya suka meragukan keuntungan yang mungkin bisa didapat oleh pembaca maupun penerbit buku ini.

Alam hal ini yang terakhir itu sudah selayaknya saya mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Pamusuk Eneste dari Penerbit PT Grasindo yang tidak jemu-jemunya meyakinkan saya akan perlunya menerbitkan sepilihan sajak ini. Terima kasih tentu saja saya sampaikan juga kepada siapa pun yang telah memberi dan merupakan ilham bagi sajak-sajak ini; tentang apa lagi puisi kalau tidak tentang mereka, manusia.

Jakarta, Juni 1994

Sapardi Djoko Damono

Page 2: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

PADA SUATU MALAM (Hal.1)

ia pun berjalan ke barat. selamat malam, solo,katanya sambil menunduk.seperti didengarnya sendiri suara sepatunyasatu persatu.barangkali lampu-lampu masih menyala buatku, pikirnya. kemudian sambil menarik nafas panjang.ia sendiri saja, sahut-menyahut dengan malam,sedang dibayangkannya sebuah kapal di tengah lautan yang memberontak terhadap kesunyian.

sunyi adalah minuman keras. beberapa orang membawa perempuan,beberapa orang bergerombol, dan satu-dua orang menyindir diri sendiri; kadang memang tak ada lelucon lain.barangkali sejuta mata itu memandang ke arahku, pikirnya;ia pun berjalan ke barat, merapat ke masa lampau.

selamat malam, gereja. hei, kaukah anak kecilyang dahulu menangis di depan pintuku itu?ia ingat kawan-kawannya pada suatu hari natal dalam gereja itu, dengan pakaian serba baru,bernyanyi; dan ia di luar pintu. ia pernah ingin sekali bertemu Yesus, tapi ayahnya bilangYesus itu anak jadah. ia tak pernah tahu apakah ia pernah sungguh-sungguh mencintai ayahnya.

(Hal.2)

barangkali malam ini Yesus mencariku, pikirnya. tapi ia belum pernah berjanji kepada siapa pun untuk menemui atau ditemui;ia benci kepada setiap kepercayaan yang dipermainkan.ia berjalan sendiri di antara orang ramai.seperti didengarnya seorang anak berdoa; ia tak pernahdiajar doaia pun suatu saat ingin meloloskan dirinya ke dalam doa,tetapi tak pernah mengetahui awal dan akhir sebuah doa; ia tak pernah tahu kenapa,barangkali seluruh hidupku adalah sebuah dosa yang panjang,

katanya sendiri; ia merasa seperti tentram dengan jawabannya sendiri:hidup adalah doa yang panjang.

Page 3: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

pagi tadi ia bertemu seseorang, ia sudah lupa namanya,lupa wajahnya: berdoa sambil berjalan...ia ingin berdoa malam ini, tapi tak bisa mengakhiri, tak bisa menemukan kata penghabisan.

ia selalu merasa sakit dan malu setiap kali berpikir tentang dosa; ia selalu akan pingsankalau berpikir tentang mati dan hidup abadi.barangkali tuhan seperti kepala sekolah, pikirnyaketika dulu dia masih di sekolah rendah. Barangkali tuhan akan mengeluarkan dan menghukum murid yang nakal,membiarkannya bergelandangan dimakan iblis.barangkali tuhan sedang mengawasi aku dengan curiga pikirnya malam ini, mengawasi seorang yang selalu gagal berdoa.

apakah ia juga pernah berdoa, tanyanya ketika berpapasandengan seorang perempuan. perempuan itu setangkai bunga;apakah ia juga pernah bertemu Yesus, atau barangkali pernah juga dikeluarkan dari sekolahnya dulu.

(Hal.3)

selamat malam, langit, apa kabar selama ini?barangkali bintang-bintang masih berkedip buatku, pikirnya ia pernah membenci langit dahulu,ketika musim kapal terbang seperti burungmenukik: dan kemudian ledakan-ledakan (saat itu pulalah terdengar olehnya ibunya berdoadan terbawa pula namanya sendiri )kadang ia ingin ke langit, kadang ia ingin mengembara sajake tanah-tanah yang jauh; pada suatu saat yang dinginia ingin lekas kawin, membangun tempat tinggal.

ia pernah merasa seperti si pandir menghadapi angka-angka ... ia pun tak berani memandang dirinya sendiri ketika pada akhirnya tak ditemukannya kuncinyapada suatu saat seorang gadis adalah bunga,tetapi di lain saat menjelma sejumlah angka yang sulit. ah, ia tak berani berkhayal tentang biara.

ia takut membayangkan dirinya sendiri. ia pun ingin lolos dari lampu-lampu dan suara-suara malam hari,dan melepaskan genggamannya dari kenyataan;tetapi disaksikannya: berjuta orang sedang berdoa,para pengungsi yang bergerak ke kerajaan tuhan,

Page 4: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

orang-orang sakit, orang-orang penjara,dan barisan panjang orang gila.ia terkejut dan berhenti, lonceng kota berguncang seperti sedia kalarekaman senandung duka nestapa.

seorang perempuan tua tertawa ngeri di depannya, menawarkan sesuatu.ia menolaknya.ia tak tahu kenapa mesti menolaknya.barangkali karena wajah perempuan itu mengingatkannyakepada sebuah selokan, penuh dengan cacing;barangkali karena mulut perempuan itu menyerupai penyakit lepra; barangkali karena matanya seperti gula-gula yang dikerumuni beratus semut.dan ia telah menolaknya, ia bersyukur untuk itu.kepada siapa gerangan tuhan berpihak, gerutunya.

(Hal. 4)

ia menyaksikan orang-orang berjalan, seperti dirinya, sendiri;atau membawa perempuan, atau bergerombol,wajah-wajah yang belum ia kenal dan sudah ia kenal,wajah-wajah yang ia lupakan dan ia ingat sepanjang zaman,wajah-wajah yang ia cinta dan ia kutuk,semua sama saja.barangkali mereka mengangguk padaku, pikirnya;barangkali mereka melambaikan tangan padaku setelah lama berpisahatau setelah terlampau sering bertemu. ia berjalan ke barat.

selamat malam. ia mengangguk, entah kepada siapa;barangkali kepada dirinya sendiri. barangkali hidup adalah doa yang panjang, dan sunyi adalah minuman keras.ia merasa tuhan sedang memandangnya dengan curiga;ia pun bergegas.barangkali hidup adalah doa yang...barangkali sunyi adalah...barangkali tuhan sedang menyaksikannya berjalan ke arah barat.

1964

Page 5: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

TENTANG SEORANG PENJAGA KUBUR YANG MATI (Hal.5)

bumi tak pernah membeda-bedakan. seperti ibu yang baik, diterimanya kembali anak-anaknya yang terkucil dan membusuk, seperti halnya bangkai binatang; padasuatu hari seorang raja, atau jenderal, atau pedagang,atau klerek - sama saja;

dan kalau hari ini si penjaga kubur, tak ada bedanya. ia seorang tua yang rajin membersihkan rumputan,menyapu nisan, mengumpulkan bangkai bunga dandaunan; dan bumi pun akan menerimanya seperti ia telah menerima seorang laknat, atau pendeta, atau seorang yang acuh tak acuh kepada bumi, dirinya.

toh akhirnya semua membusuk dan lenyap. yang mati tanpagenderang, si penjaga kubur ini, pernah berpikir:apakah balasan bagi jasaku kepada bumi yang telah kupelihara dengan baik; barangkali sebuah sorga atauampunan bagi dusta-dusta masa mudanya. tapi sorga belum pernah terkubur dalam tanah.

dan bumi tak pernah menbeda-bedakan, tak pernahmencinta atau membenci; bumi adalah pelukan yangdingin, tak pernah menolak atau menanti, tak akanpernah membuat janji dengan langit.

lelaki tua yang rajin itu mati hari ini; sayang bahwa ia takbisa menjaga kuburnya sendiri.

1964

SAAT SEBELUM BERANGKAT (Hal.6)

mengapa kita masih juga bercakaphari hampir gelapmenyekap beribu kata di antara karangan bungadi ruang semakin maya, dunia purnama

Page 6: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

sampai tak ada yang sempat bertanyamengapa musim tiba-tiba redakita di mana. Waktu seorang bertahan di sinidi luar para pengiring jenazah menanti.

1967

BERJALAN DI BELAKANG JENAZAH (Hal.7)

berjalan di belakang jenazah angin pun redajam mengerdiptak terduga betapa lekassiang menepi, melapangkan jalan dunia

di samping: pohon demi pohon menundukkan kepaladi atas: matahari kita, matahari itu jugajam mengambang diantaranyatak terduga begitu kosong waktu menghirupnya

(1967)

SEHABIS MENGANTAR JENAZAH(Hal. 8)

masih adakah bayang akan kautanyakantentang hal itu? Hujan pun sudah selesaisewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakapdi bawah bunga-bunga menua, matahari yang senja

pulanglah dengan payung di tangan, tertutupanak-anak kembali bermain di jalanan basahseperti dalam mimpi kuda-kuda meringkik di bukit-bukit jauhbarangkali kita tak perlu tua dalam tanda tanya

masih adakah? Alangkah angkuhnya langitalangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kitaseluruhnya, seluruhnya kecuali kenanganpada sebuah gua yang akan menjadi sepi tiba-tiba

1967

LANSKAP (Hal.9)

sepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tuawaktu hari hampir lengkap, menunggu senjaputih, kita putih memandangnya setiasampai habis semua senja

Page 7: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

1967

HUJAN TURUN SEPANJANG JALAN (Hal. 10)

hujan turun sepanjang jalanhujan rinai waktu musim berdesik-desik pelankembali bernama sunyikita pandang: pohon-pohon di luar basah kembali

tak ada yang menolaknya. kita pun mengerti, tiba-tibaatas pesan yang rahasiatatkala angin basah tak ada bermuat debutatkala tak ada yang merasa diburu-buru

1967

KITA SAKSIKAN (Hal.11)

kita saksikan burung-burung lintas di udarakita saksikan awan-awan kecil di langit utarawaktu cuaca pun senyap seketikasudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya

di antara hari buruk dan dunia mayakita pun kembali mengenalnyakumandang kekal, percakapan tanpa kata-katasaat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia.

1967

DALAM SAKIT (Hal.12)

waktu lonceng berbunyi percakapan merendah, kita kembali menanti-nantikau berbisik: siapa lagi akan tibasiapa lagi menjemputmu berangkat berduka

di ruangan ini kita gaib dalam gema. Di luar malam harimengendap, kekal dalam rahasiakita pun setia memulai percakapan kembaliseakan abadi, menanti-nanti lonceng berbunyi

Page 8: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

1967

SONET: HEI! JANGAN KAUPATAHKAN (Hal.13)

Hei! Jangan kaupatahkan kuntum bunga ituia sedang mengembang; bergoyang-goyang dahan-dahannyayang tuayang telah mengenal baik, kau tahu,segala perubahan cuaca.

Bayangkan: akar-akar yang sabar menyusup dan menjalarhujan pun turun setiap bumi hampir hangus terbakardan mekarlah bunga itu perlahan-lahandengan gaib, dari rahim Alam.

Jangan; saksikan saja dengan teliti bagaimana Matahari memulasnya warna-warni, sambil diam-diammembunuhnya dengan hati-hati sekali dalam Kasih-sayang, dalam rindu-dendam Alam;lihat: ia pun terkulai pelahan-lahandengan indah sekali, tanpa satu keluhan.

1967

ZIARAH (Hal.14-15)

Kita berjingkat lewatjalan kecil inidengan kaki telanjang; kita berziarahke kubur orang-orang yang telah melahirkan kitaJangan sampai terjaga mereka!Kita tak membawa apa-apa. Kitatak membawa kemenyan ataupun bungakecuali seberkas rencana-rencana kecil(yang senantiasa tertunda-tunda) untukkita sombongkan kepada mereka.Apakah akan kita jumpai wajah-wajah bengis, atau tulang-belulang, atau sisa-sisa jasad merekadi sana? Tidak, mereka hanya kenangan.Hanya batang-batang cemara yang menusuk langityang akar-akarnya pada bumi keras.Sebenarnya kita belum pernah mengenal mereka;

Page 9: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

ibu-bapa kita yang mendongengtentang tokoh-tokoh itu, nenek-moyang kita itutanpa menyebut-nyebut nama.Mereka hanyalah mimpi-mimpi kita,kenangan yang membuat kita merasapernah ada.Kita berziarah; berjingkatlah sesampaidi ujung jalan kecil ini:sebuah lapangan terbukabatang-batang cemaraangin.Tak ada bau kemenyan tak ada bunga-bunga;mereka telah tidur sejak abad pertama,semenjak Hari Pertama itu.Tak ada tulang-belulang tak ada sisa-sisajasad merekaIbu-bapa kita sungguh bijaksana, terjebakkita dalam dongengan nina-bobok.Di tangan kita berkas-berkas rencana,di atas kepalasang Surya.

1967

DALAM DOA: II (Hal. 16)

kupandang ke sana: Isyarat-isyarat dalam cahaya kupandang semesta ketika Engkau seketika memijar dalam Kata terbantun menjelma gema. Malam sibuk di luar suara

kemudian daun bertahan pada tangkainya ketika hujan tiba. Kudengar bumi sediakala tiada apa pun di antara Kita: dingin semakin membara sewaktu berhembus angin

(1968)

DALAM DOA: II (Hal.17)

saat tiada pun tiadaaku berjalan (tiada-gerakan, serasa

Page 10: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

isyarat) Kita pun bertemu

sepasang Tiadatersuling (tiada-gerakan, serasanikmat): Sepi meninggi

(1968)

DALAM DOA: III (Hal. 18)

jejak-jejak Bunga selalu: betapa tergodakita untuk berburu, terjundi antara raung warnasebelum musim meninggalkan daun-daun

akan tersesat di mana kita(terbujuk jejak-jejak Bunga) nantinya; atauterjebak juga bayang-bayang Cahayadalam nafsu yang kita risau

1968

KETIKA JARI-JARI BUNGA TERBUKA (Hal. 19)

ketika jari-jari bunga terbuka mendadak terasa: betapa sengitcinta Kitacahaya bagai kabut, kabut cahaya; di langit

menyisih awan hari ini; di bumimeriap sepi yang purba;ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata, suatu pagidi sayap kupu-kupu, di sayap warna

swara burung di ranting-ranting cuaca,bulu-bulu cahaya; betapa parahcinta Kitamabuk berjalan, diantara jerit bunga-bunga rekah

1968

SAJAK PERKAWINAN (Hal.20)

Page 11: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

cahaya yang ini, Siapakah?(kelopak-kelopak malamberguguran) kaki langit yang kaburdalam kamar, dalam Persetubuhan

butir demi butir(Kau dan aku, akudan serbuk malam) tergelincirmenyatu

Perkawinan tak di mana pun, takkapan punkelopak demi kelopak terbukamalam pun sempurna

1968

GERIMIS KECIL DI JALAN JAKARTA, MALANG (Hal. 21)

seperti engkau berbicara di ujung jalan(waktu dingin, sepi grimis tiba-tibaseperti engkau memanggil-manggil di kelokan ituuntuk kembali berduka)

untuk kembali kepada rindupanjang dan cemasseperti engkau yang memberi tanda tanpa lampu-lampusupaya menyahut, Mu

1968

KUPANDANG KELAM YANG MERAPAT KE SISI KITA (Hal. 22)

kupandang kelam yang merapat ke sisi kita;siapa itu disebelah sana, tanyamu tiba-tiba(malam berkabut seketika); barangkali menjemputkubarangkali berkabar penghujan itu

kita terdiam saja di pintu; menungguatau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu;kenalkah ia padamu, desakmu (kemudian sepiterbata-bata menghardik berulang kali)

bayang-bayangnya pun hadir sampai di sini; janganucapkan selamat malam; undurlah perlahan(pastilah sudah gugur hujan

Page 12: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

di hulu sungai itu); itulah Saat itu, bisikku

kukecup ujung jarimu; kaupun menatapku:bunuhlah ia, suamiku (kutatap kelam itubayang-bayang yang hampir lengkap mencapaikulalu kukatakan: mengapa Kau tegak di situ)

1968

BUNGA-BUNGA DI HALAMAN (Hal. 23)

mawar dan bunga rumputdi halaman: gadis yang kecil(dunia kecil, jari begitukecil) menudingnya

mengapakah perempuan suka menangisbagai kelopak mawar; sedangrumput liar semakin hijau swaranyadi bawah sepatu-sepatu

mengapakah pelupuk mawar selaluberkaca-kacca; sementara tangan-tangan lembuthampir mencapainya (wahai, meriap rumput di tubuh kita)

1968

PERTEMUAN (Hal.24)

perempuan mengirim air matanyake tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulanke landasan cakrawala; kepalanya di atas bantallembut bagai bianglala

lelaki tak pernah menolehdan di setiap jejaknya; melebat hutan-hutan,hibuk pelabuhan-pelabuhan; di pelupuknya sepasang mataharikeras dan fana

dan serbuk-serbuk hujantiba dari arah mana saja (cadarbagi rahim yang terbuka, udara yang jenuh0ketika mereka berjumpa. Di ranjang ini

Page 13: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

1968

SONET:X (Hal.25)

siapa menggores di langit birusiapa meretas di awan lalusiapa mengkristal di kabut itusiapa mengertap di bunga layusiapa cerna di warna ungusiapa bernafas di detak waktusiapa berkelebat setiap kubuka pintusiapa mencair di bawah pandangkusiapa terucap di celah kata-katakusiapa mengaduh di bayang-bayang sepikusiapa tiba menjemputku berburu siapa tiba-tiba menyibak cadarkusiapa meledak dalamku: siapa Aku

1968

SONET Y (Hal.26)

walau kita sering bertemudi antara orang-orang melewat ke kubur itudi sela-sela suara birubencah-bencah kelabu dan unguwalau kau sering kukenangdi antara kata-kata yang lama tlah hilangterkunci dalam bayang-bayangdendam remangwalau kau sering kusapadi setiap simpang cuacahijau menjelma merah menyaladi pusing jantra:ku tak tahu kenapa merindutergagap gugup di ruang tunggu

1968

JARAK (Hal. 27)

dan Adam turun di hutan-hutan

Page 14: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

mengabur dalam dongengandan kita tiba-tiba di sinitengadah ke langit: kosong-sepi...

1968

HUJAN DALAM KOMPOSISI 1 (Hal. 28)

"Apakah yang kautangkap dari swara hujan, dari daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela? Apakah yang kautangkap dari bau tanah, dari ricik air yang turun di selokan?"Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan,membanyangkan rahasia daun basah serta ketukan yang berulang."Tak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di balik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa di pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit dari titik air menggelincir dari daun dekat jendela itu. Atau memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu tidur."barangkali sudah terlalu sering dia mendegarnya dan tak lagi mengenalnya.

1969

HUJAN DALAM KOMPOSISI 2 (Hal. 29)

Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara tinggi, ringan dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa pohon jambu itu; tergelincir dari daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah dan jatuh ke bumi.

Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di jalan yang panjang, menyusurnya, dan tergelincir masuk selokan kecil, mericik swaranya, menyusur selokan, terus mericik sejak sore, mericik juga di malam gelap ini, bercakap tentang lautan.

Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di lautan. Selamat tidur,

1969

HUJAN DALAM KOMPOSISI 3 (Hal. 30)

dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya terpisah dari hujan

1969

VARIASI PADA SUATU PAGI (Hal.31)

Page 15: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

(i)sebermula adalah kabut; dan dalam kabutsenandung lonceng, ketika selembar daun luruh,setengah bermimpi, menepi ke bumi, luput(kaudengarkah juga seperti Suara mengaduh?)

(ii)dan cahaya (yang membasuhmu pertama-tama)bernyanyi bagi capung, kupu-kupu, dan bunga; Cahaya(yang menawarkan kicau burung) susut tiba-tibapada selembar daun tua, pelan terbakar, tanpa sisa

(iii)menjelma bayang. Bayang-bayang yang tiba-tiba tersentakketika seekor burung, menyambar capung(selamat pagi pertama bagi matahari), risau bergerak-gerakketika sepasang kupu-kupu merendah ke bumi basah, bertarung

1970

MALAM ITU KAMI DI SANA (Hal.32)

"Kenapa kaubawa aku ke mari, Saudara?"; sebuah stasiundi dasar malam. Bayang-bayang putih di sudut peronmenyusur bangku-bangku panjang; jarum-jarum jam tak letihnyameloncat, merapat ke Sepi. Barangkali saja

kami sedang menanti kereta yang biasa tibasetiap kali tiada seorang pun siap memberi tanda-tanda;barangkali saja kami sekedar ingin berada disiniketika tak ada yang bergegas, yang cemas, yang menanti-nanti;

hanya nafas kami, menyusur batang-batang rel, mengeras tiba-tiba;sinyal-sinyal kejang, lampu-lampu kuning yang menyusut di udarasementara bayang-bayang putih di seluruh ruangan,"Tetapi katakan dahulu, Saudara, kenapa kaubawa aku kemari?"

1970

DI BERANDA WAKTU HUJAN (Hal.33)

Kausebut kenanganmu nyanyian (dan bukan matahariyang menerbitkan debu jalanan, yang menajamkanwarna-warni bunga yang dirangkaikan) yang menghapusjejak-jejak kaki, yang senantiasa berulangdalam hujan. Kau di beranda,

Page 16: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

sendiri, "Ke mana pula burung-burung itu (yang bahkantak pernah kaulihat, yang menjelma semacam nyanyian,semacam keheningan) terbang; ke mana pula siut daunyang berayun jatuh dalam setiap impian?"

(Dan bukan kemarau yang membersihkan langit,yang pelahan mengendap di udara) kausebut cintamupenghujan panjang, yang tak habis-habisnyamembersihkan debu, yang bernyanyi di halaman.Di beranda kau duduk, sendiri, "Di mana pula sekawanan kupu-kupu itu,menghindar dari pandangku; di mana pula(ah, tidak!) rinduku yang dahulu?"

Kau pun di beranda, mendengar dan tak mendengar kepada hujan,sendiri,"Di manakah sorgaku itu: nyanyianyang pernah mereka ajarkan padaku dahulu,kata demi kata yang pernah kuhafalbahkan dalam igauanku?" Dan kausebut hidupmu sore hari (dan bukan siangyang bernafas dengan sengityang tiba-tiba mengeras di bawah matahari) yang basah,yang meleleh dalam senandung hujan,yang larut.Amin.

1970

KARTU POS BERGAMBAR: TAMAN UMUM, NEW YORK (Hal.34)

Di sebuah taman kausapa New York yang memutih rambutnyaduduk di bangku panjang, berkisahdengan beberapa ekor merpati. Tapi tak disahutnyaanggukmu; tak dikenalnya sopan santun itu.

New York yang senjakala, yang Hitam panggilannya,membayangkan dirinya turun dari keretadari Selatan nun jauh. Beberapa bunga ceri jatuhdi atas koran hari ini. Lonceng menggoreskan akhir musim semi.

1971

NEW YORK, 1971 (Hal.35)

Page 17: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

Hafalkan namamu baik-baik di sini. Setelah bajadan semen yang mengatur langkah kita, lampu-lampudan kaca. Langit hanya dalam batin kita,tersimpan setia dari lembah-lembah di mana kau dan akulahir, semakin biru dalam dahaga.Hafalkan namamu. Tikungan demi tikungan,warna demi warna tanda-tanda jalanan yang menunjukke arah kita, yang kemudian menjanjikan arah yang kaburke tempat-tempat yang dulu pernah adadalam mimpi kanak-kanak kita. Berjalanlah merapat temboksambil mengulang-ulang menyebut nama tempat dan tanggal lahirmu sendiri, sampai di persimpangan ujung jalan itu, yang menjurus ke segala arahsambil menolak arah, ketika semakin banyak jugaorang-orang di sekitar kita, dan terasa bahwasepenuhnya sendiri. Kemudian bersiaplahdengan jawaban-jawaban itu.Tetapi kaudengarkah swara-swara itu?

1971

DALAM KERETA BAWAH TANAH, CHICAGO (Hal.36)

"Siapakah namamu?" Barangkali aku setengah tertidurwaktu kautanyakan itu lagi. Bangku-bangku yangseparo kosong, beberapa wajah yang seperti matatombak, dan dari jendela: siluet di atas dasar hitam.Aku pun tak pernah menjawabmu, bahkan ketika kautanyakan jam berapa saat kematianku, sebab kautoh tak pernah ada tatkala aku sepenuhnya terjaga

Baiklah, hari ini kita namakan saja ia ketakutan, atau apasajalah. Di saat lain barangkali ia menjadi milik seorang pahlawan, atau seorang budak, atau Pak Guruyang mengajar anak-anak bernyanyi - tetapi manakahyang lebih deras denyutnya, jantung manusia atauarloji (yang biasa menghitung nafas kita), ketikaseorang membayangkan sepucuk pestol teracu kearahnya? Atau tak usah saja kita namakan apa-apa;kau pun sibuk mengulang-ulang pertanyaan yangitu-itu juga, sementara aku hanya separo terjaga.

Page 18: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

Seandainya -

1971

KARTU POS BERGAMBAR: JEMBATAN "GOLDEN GATE" SAN FRANCISCO (Hal.37)

kabut yang likat, dan kabut yang pupurlekat dan grimis pada tiang-tiang jembatanmatahari menggeliat dan kembali gugurtak lagi di langit! berpusing di pedih lautan.

1971

*tambahanHujan bulan juni Datang lagi tanpa permisi menghujam kerontanya bumi membisiki jelaga hati

absurd, katamu sentimentil, paparku

kabuti sembabku, malam tadi...

JANGAN CERITAKAN (Hal.38)

bibir-bibir bunga yang pecah-pecahmengunyah matahari,jangan ceritakan padaku tentang dinginyang melengking malam-malam - lalu mengembun

1971

TULISAN DI BATU NISAN (Hal.39)

tolong tebarkan atasku bayang-bayang hidup yang lindapkalau kau berziarah ke maritak tahan rasanya terkubur, megapdi bawah terik si matahari

Page 19: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

1971

MATA PISAU (Hal.40)

mata pisau itu tak berkerjap menatapmu;kau yang baru saja mengasahnyaberpikir: ia tajam untuk mengiris apelyang tersedia di atas mejasehabis makan malam;ia berkilat terbayang olehnya urat lehermu.

1971

TENTANG MATAHARI (Hal.41)

Matahari yang di atas kepalamu ituadalah balon gas yang terlepas dari tanganmuwalau kau kecil, adalah bola lampu yang ada di atas meja ketika kau menjawab surat-suratyang teratur kauterima dari sebuah Alamat,adalah jam weker yang berderingsaat kau bersetubuh, adalah gambar bulan yang dituding anak kecil itu sambil berkata:"Ini matahari! Ini matahari!" -Matahari itu? Ia memang di atas sanasupaya selamanya kau menghela bayang-bayangmu itu.

1971

BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI (Hal.42)

waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakangaku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depanaku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayangaku dan bayanng-bayang tidak bertengkar tentang siapa diantara kami yang harus berjalan di depan

1971

Page 20: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

CAHAYA BULAN TENGAH MALAM (Hal. 43)

aku terjaga di kursi ketika cahaya bulan jatuh di wajahku dari genting kacaadakah hujan sudah reda sejak lama?masih terbuka koran yang tadi belum selesai kubacaterjatuh di lantai; di tengah malam itu ia nampak begitu dingin dan fana

1971

NARCISSUS (Hal. 44)

seperti juga aku: namamu siapa, bukan?pandangmu bening di permukaan telaga dan rindumu dalamtetapi jangan saja kita bercintajangan saja aku mencapaimu dan kau padaku menjelma

atau tunggu sampai angin melepaskan selembar daundan jatuh di telaga: pandangmu berpendar, bukan?cemaskah aku kalau nanti air hening kembali?cemaskah aku kalau gugur daun demi daun lagi?

1971

CATATAN MASA KECIL, 1 (Hal. 45)

Ia menjenguk ke dalam sumur mati itu dan nampak garis-garispatah dan berkas-berkas warna perak dan kristal-kristal hitamyang pernah disaksikannya ketika ia sakit dan mengigau danmemanggil-manggil ibunya. Mereka bilang ada ular menjaga di dasarnya. Ia melemparkan batu ke dalam sumur mati itudan mendengar suara yang pernah dikenalnya lama sebelumia mendengar tangisnya sendiri yang pertama kali. Merekabilang sumur mati itu tak pernah keluar airnya.

Ia mencoba menerka kenapa ibunya tidak pernah mempercayai mereka.

1971

CATATAN MASA KECIL, 2 (Hal.46)

Ia mengambil jalan lintas dan jarum-jarum rumputberguguran oleh langkah-langkahnya. Langit belum berubah

Page 21: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

juga. Ia membayangkan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga lalu berpikir apakah burung yangtersentak dari ranting lamtara itu pernah menyaksikanrahang-rahang laut dan rahang-rahang bungaterkam-menerkam. Langit belum berubah juga. Angin begitu ringan dan bisa meluncur ke mana pun dan bisa menggodalaut sehabis menggoda bunga tetapi ia bukan angin dan iakesal lalu menyepak sebutir kerikil. Ada yang terpekik dibalik semak. Ia tak mendengarkannya.

Ada yang terpekik di balik semak dan gemanyamenyentuh sekuntum bunga lalu tersangkut pada angin danterbawa sampai ke laut tetapi ia tak mendengarkannya dan ia membayangkan rahang-rahang langit kalau hari hampirhujan. Ia sampai di tanggul sungai tetapi mereka yang berjanji menemuinya ternyata tak ada. Langit sudahberubah. Ia memperhatikan ekor srigunting yang senantiasabergerak dan mereka yang berjanji mengajaknya ke seberangsungai belum juga tiba lalu menyaksikan butir-butir hujanmulai jatuh ke air dan ia memperhatikan lingkaran-lingkaran itu melebar dan ia membayangkan mereka tiba-tiba mengepungnya dan melemparkannya ke air.

Ada yang memperhatikannya dari seberang sungai tetapi ia tak melihatnya. Ada.

1971

CATATAN MASA KECIL,3 (Hal.47)

Ia turun dari ranjang lalu bersujingkat dan membukajendela lalu menatap bintang-bintang seraya bertanya-tanyaapa gerangan yang di luar semesta dan apa gerangan yang di luar luar semesta dan terus saja menunggu sebab serasaada yang akan lewat memberitahukan hal itu padanya dania terus bertanya-tanya sampai akhirnya terdengar ayam jantan berkokok tiga kali dan ketika ia menoleh nampak ibunya sudah berdiri di belakangnya berkata "biar kututupjendela ini kau tidurlah saja setelah semalam suntuk terjagasedang udara malam jahat sekali perangainya"

1971

Page 22: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

AKUARIUM (Hal.48)

kau yang mengatakan: matanya ikan!kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya danpundaknya ikan!kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya danpundaknya dan lengannya dan dadanya dan pinggulnyadan pahanya ikan!"Aku adalah air," teriakmu, "adalah ganggang adalah lumut adalah gelembung udara adalah kaca adalah..."

1972

SAJAK, 1, (Hal.49)

Begitulah, kami bercakap sepanjang malam: berdiang padasuku kata yang gosok-menggosok dan membara."Jangan diam, nanti hujan yang mengepung kita akan menidurkan kita dan menyelimuti kita dengan kainputih panjang lalu mengunci pintu kamar ini!"Baiklah, kami pun bercakap sepanjang malam: "Tetapi begitucepat kata demi kata menjadi abu dan mulaibeterbangan dan menyesakkan udara dan..."

1973

SAJAK, 2 (Hal.50)

Telaga dan sungai itu kulipat dan kusimpan kembalidalam urat nadiku. Hutan pun gundul. Demikianlah makakawanan kijang itu tak mau lagi tinggal dalam sajak-sajakkusebab kata-kata di dalamnya berujud anak panah yangdilepas oleh Rama.

Demikianlah maka burung-burung tak betah lagi tinggal dalam sarang di sela-sela kalimat-kalimatku sebab sudah begitu rapat sehingga tak ada lagi tersisa ruang.Tinggal beberapa orang pemburu yang terpisah dari anjingmereka menyusur jejak darah, membalikkan dan menggeser setiap huruf kata-kataku, mencari binatang korban yangterluka pembuluh darahnya itu.

1973

Page 23: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

DI KEBUN BINATANG (Hal.51)

Seorang wanita muda berdiri terpikat memandang ularyang melilit sebatang pohon sambil menjulur-julurkan lidahnya; katanya kepada suaminya, "Alangkah indahnyakulit ular itu untuk tas dan sepatu!"

Lelaki muda itu seperti teringat sesuatu, cepat-cepatmenarik lengan istrinya meninggalkan tempat terkutuk itu.

1973

PERCAKAPAN MALAM HUJAN (Hal.52)

Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, danpayung, berdiri di samping tiang listrik. Katanyakepada lampu jalan, "Tutup matamu dan tidurlah. Biarkujaga malam."

"Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serbasuara desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi;kembalilah, jangan menggodaku tidur. Aku sahabat manusia. Ia suka terang."

1973

TELUR, 1 (Hal.53)

Ada sebutir telur tepat di tengahtempat tidurmu yang putihrapih. Kau, tentu saja, terkejut ketika pulangmalam-malam dan melihatnya di situ. Barangkali itulah telur yang kadang hilang kadang nampak ditangan tukang sulap yang kautonton sore tadi.

Barangkali telur itu sengaja ditaruh di situ oleh anak gadismu atau istrimu atau ibumu agar bisa tenteramtidurmu didalamnya.

1973

Page 24: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

TELUR, 2 (Hal.54)

dalam setiap telur semoga ada burung dalam setiapburung semoga ada engkau dalam setiap engkau semoga adayang senantiasa terbang menembus silau matahari memecah udara dingin memuncak ke lengkung langit menukikmelintas sungaimerindukan telur

1973

SEHABIS SUARA GEMURUH (Hal.55)

sehabis suara gemuruh itu yang tampak olehku hanyalahtubuhmu telanjang dengan rambut teruraimengapung di permukaan air bening yang mengalir tenang - tak kau sahut panggilanku

1973

MUARA (Hal.56)

Muara yang tak pernah pasti sifatnya selalu mengajak lautbercakap. Kalau kebetulan dibawanya air dari gunung,katanya, "Inilah lambang cinta sejati, sumber denyutkehidupan. "Kalau hanya sampah dan kotoran yang dimuntahkan ia berkata, "Tentu saja bukan maksudku mengotori hubungan kita yang suci, tentu saja aku tak menghendaki sisa-sisa ini untukmu.

Dan ketika pada suatu hari ada bangkai manusia terapung di muara itu, di sana-sini timbul pusaran air, dan tepi-tepi muara itu tiba-tiba bersuara ribut, "Tidak!Bukan aku yang memberinya isarat ketika ia tiba-tibaberhenti di jembatan itu dan, tanpa memejamkan mata, membiarkan dirinya terlempar ke bawah dan,sungguh, aku tak berhak mengusutnya sebab bahkanlubuk-lubukku, dan juga lubuk-lubukmu, tidaklah sedalam...

Page 25: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

1973

SEPASANG SEPATU TUA (Hal.57)

sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang, berdebuyang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan - keduanya telah jatuhcinta kepada sepasang telapak kaki itu.yang kini menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempatsampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang kanan mengira mungkin besok mereka diangkut truksampah itu dibuang dan dibiarkan membusuk bersama makanan sisasepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua.

1973

DI BANJAR TUNJUK, TABANAN (Hal.58)

pemukul gendang itu membayangkan dirinya Rama yangmengiring Sita memasuki hutanpemukul gendang itu membayangkan dirinya Garuda yangmencengkeram Sita di antara kuku-kukunyapemukul gendang itu membayangkan dirinya Rawana yang memperkosa Sita di Taman Rajaketika gong dipukul keras di tengah cerita ia tiba-tibamerasa beratus-ratus kera berloncatan mengepungnyadan merobek-robek tubuhnya dan menguburkannya dibawah tumpukan batu di dasar laut

1973

SUNGAI, TABANAN (Hal.59)

kami berhenti dan memandang ke arah sungaipara perempuan sedang menebarkan bibit-bibit kabut di arusyang riciknya terdengar dari kejauhankami berteriak, "apa nama sungai itu?"; tetapi hanya tawamereka menyahut, berderai

Page 26: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

dan ketika kami mencapai tepi sungai, para perempuan ituternyata tak ada - dan kabut menutupi arus sungai sehingga kami tak tahu ia mengalir ke selatan atau utara

KEPADA I GUSTI NGURAH BAGUS (Hal.60)

dewa telah menciptakan butir-butir padidewa telah menciptakan bungadewa telah menciptakan gadis yang menjunjung untaian padidi kepala dan menyematkan bunga di telingadewa akan berdiri di gerbang pura pada suatu hari nantidan menegur perempuan yang berjalan lewat itukatanya:"perempuan tua, tumpuklah padimu dilumbung dan hanyutkan bunga itu di sungai; biarkuperintahkan orang-orang itu membuat api di tanahlapang agar terbakar sempurna jasadmu mengabu"

1973

BOLA LAMPU (Hal.61)

Sebuah bola lampu menyala tergantung dalam kamar. Lelakiitu menyusun jari-jarinya dan bayang-bayangnyatampak bergerak didinding; "Itu kijang," katanya."Hore!" teriak anak-anaknya, "sekarang harimau!""Itu harimau." Hore! Itu gajah, itu babi hutan, itu kera..."

Sebuah bola lampu ingin memejamkan dirinya. Ia merasa berada di tengah hutan. Ia bising mendengar hingar-bingar kawanan binatang buas itu. Ia tiba-tibamerasa asing dan tak diperhatikan.

1973

PADA SUATU PAGI HARI (Hal.62)

Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangissambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagiitu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa

Page 27: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang yangbertanya kenapa.

Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya inginmenangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujanrintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.

1973

BUNGA, 1 (Hal.63)

(i)

Bahkan bunga rumput itu pun berdusta. Ia rekah di tepipadang waktu hening pagi terbit; siangnya cuaca berdenyut ketika nampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu; malam harinya iamendengar seru serigala.

Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, paramanusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"

(ii)

Bahkan bunga rumput itu pun berdusta. Ia kembang disela-sela geraham batu-batu gua pada suatu pagi, danmalamnya menyadari bahwa tak nampak apa pundalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dantercium bau sisa bangkai dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakardan setelah api ...

Teriaknya, "Itu semua pemandangan bagi kalian saja, paramanusia. Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!"

1975

BUNGA, 2 (Hal.64)

mawar itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika

Page 28: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

pemiliknya memetiknya hari ini; tak ada alasan kenapaia ingin berkata jangan sebab toh wanita-wanita itu takmengenal isaratnya - tak ada alasan untuk memahamikenapa wanita yang selama ini rajin menyiramnya danselalu menatapnya dengan pandangan cinta itu kiniwajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknyaselembar demi selembar dan membiarkannya berjatuhanmenjelma pendar-pendar di permukaan kolam

1975

BUNGA, 3 (hal.65)

seuntai kuntum melati yang di ranjang itu sudah berwarnacoklat ketika tercium udara subuh dan terdengarketukan di pintutak ada sahutanseuntai kuntum melati itu sudah kering; wanginya mengerasdi empat penjuru dan menjelma kristal-kristal di udaraketika terdengar ada yang memaksa membuka pintulalu terdengar seperti gema "hai siapa gerangan yangmembawa pergi jasadku?"

1975

PUISI CAT AIR UNTUK RIZKI (Hal.66)

angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon itu, "aku rindu, aku ingin mempermainkanmu.!"kabel telpon memperingatkan angin yang sedangmemungut daun itu dengan jari-jarinya gemas, "jangan brisik, mengganggu hujan!"hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam, hardiknya, "lepaskan daun itu!"

1975

LIRIK UNTUK LAGU POP (Hal.67)

jangan pejamkan matamu: aku ingin tinggal di hutan yanggerimis - pandangmu adalah seru butir air tergelincir

Page 29: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

dari duri mawar (begitu nyaring!); swaramu adalahkertap bulu burung yang gugur (begitu hening!)aku pun akan memecahkan pelahan dan bertebaran dalam hutan; berkilauan serbuk dalam kabut - nafasmuadalah goyang anggrek hutan yang mengelopak (begitutajam!)aku akan berhamburan dalam gerimis dalam seru butir airdalam kertap bulu burung dalam goyang anggrek - ketika hutan mendadak gaibjangan pejamkan matamu:

1975

TIGA LEMBAR KARTU POS (Hal.68)

/1/soalnya kau tak pernah tegas menjelaskan keadaanmu,tak pernah tegas mengakui bahwa harus menyelesaikan perkaramu dengan-Ku

suratmu dulu itu entah di mana, tidak di antarabintang-bintang, tidak di celah awan, tidak di sela-sela sayapmalaikat

masih Kuingat benar: alamat-Ku kautulis dengan sangattergesa, Kubayangkan tanganmu gemetar, tanda bahwa adayang lekas-lekas kausampaikan pada-Ku

/2/kau di mana kini? sebenarnya saja: pernahkah kautulis suara itu? pernahkah sekujur tubuhmu mendadak dinginketika kaulihat bayang-bayang-Ku yang tertinggal dikamarmu?

mungkin Aku keliru, mungkin selama ini kau tak pernahmerasa memelihara hubungan dengan-Ku, tak pernah ingatakan percakapan Kita yang panjang perihal topeng yangtergantung di dinding itu

bagaimanapun Aku ingin tahu di mana kau kini

/3/anakmu yang tinggal itu menulis surat, katanya antara lain, "...alamat-Mu kudapati di tong sampah, di antara surat-surat yang dibuang Ayah; hanya sekali ia pernahmenyebut-nyebut nama-Mu, yakni ketika aku meraung

Page 30: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

karena dihalanginya mengenakan topeng yang..."

rupanya ia ingin mengajak-Ku bercakap tentang mengapaAku sengaja memberimu hadiah topeng di hari ulangtahunmu dulu itu

siasatnya pasti siasatmu juga; menatap tajam sambil menuduh bahwa kunfayakun-Ku sia-sia belaka

1975

SANDIWARA, 1 (Hal.69)

untuk Yudhis

masih ada sebuah lampu panggung menyala; jaga malam itutertidur, lupa mematikannyaenam ratus kursi kosong menonton sepi yang lebih perkasadari cicit kelelawarbeberapa mikrofon yang tergantung di panggung sepertimendengar kalimat yang tak boleh diucapkan ditengah-tengah para tahanan yang berteriak-teriak itu,"Apakah sudah meyakinkan permainanku sebagai sipirbisu ini, Paduka?"seperti semakin lantang swaranya -

1976

SANDIWARA, 2 (Hal.70)

untuk Putu Wijaya

Mula-mula adalah seorang lelaki tua di panggung, di ataskursi goyang. Meja, kursi, kopi yang sudah dingin,lampu gantung, dan surat-surat bertebaran di lantai.Bergoyang-goyang.

Ia bergoyang sambil mengutuk beberapa nama yang tak kitakenal, mengejek kursi dan surat-surat itu - dan kitaketawa

Mendadak ia berdiri dan masuk - dari dalam iamemanggil-manggil nama, tanpa sahutan. Kursi masihbergoyang-goyang. Tapi kenapa kita ketawa?

Page 31: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

Bahkan ketika suaranya terdengar semakin serak dan lampusemakin redup - kursi itu tetap bergoyang. Kita,penonton, harus pulang sebelum sempat lagi ketawa.

1976

LIRIK UNTUK IMPROVISASI JAZZ (Hal.71)

"Sayangku yang jauh,entah berapa kalitelah kukelilingi taman kota ini;telah tergolek di atas rumput, sobekan-sobekan kertas, embun, pecahan botol;telah bermantel sinar bintang-bintangdan angin yang panjang nafasnya; akutak pernah tidur, menunggumu.Si Tua, yang suka lewat sambil meludahdan menanyakan waktu itu, selalu mengatakan kau tak pernah mengingkari janjimu;tapi anjing kampung yang matanya selalumengantuk itu tak pernah menyahutsiulanku!"

Ia merasa seperti menyusuri lingkarantak menemukan bangku panjang.

1978

YANG FANA ADALAH WAKTU (Hal.72)

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:memungut detik demi detik, merangkainya seperti bungasampai pada suatu hari kita lupa untuk apa"Tapi,yang fana adalah waktu, bukan?"tanyamu. Kita abadi.

1978

TUAN (Hal.73)

Page 32: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,saya sedang keluar.

1980

CERMIN, 1 (Hal.74)

cermin tak pernah berteriak; ia pun tak pernahmeraung, tersedan, atau terisak,meski apa pun jadi terbalik di dalamnya;barangkali ia hanya bisa bertanya:mengapa kau seperti kehabisan suara?

1980

CERMIN, 2 (Hal.75)

mendadak kau mengabut dalam kamar, mencari-cari dalamcermin;tapi cermin buram kalau kau entah di mana, kalau kaumengembun dan menempel di kaca, kalau kaumendadak menetes dan tepercik ke mana-mana;dan cermin menangkapmu sia-sia

1980

DALAM DIRIKU (Hal.76)

Because the sky is blueIt makes me cry(The Beatles)

dalam diriku mengalir sungai panjang,darah namanya;dalam diriku menggenang telaga penuh darah,sukma namanya;dalam diriku meriak gelombang sukma,hidup namanya!dan karena hidup itu indah,aku menangis sepuas-puasnya.

1980

Page 33: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

KUHENTIKAN HUJAN (Hal.77)

Kuhentikan hujan. Kini mataharimerindukanku, mengangkat kabut pagi pelahan - ada yang berdenyut dalam diriku:menembus tanah basah,dendam yang dihamilkan hujandan cahaya matahari.

Tak bisa kutolak mataharimemaksaku menciptakan bunga-bunga.

1980

BENIH (Hal.78)

"Cintaku padamu, Adinda," kata Rama, "adalah laut yangpernah bertahun memisahkan kita, adalah langit yang senantisa memayungi kita, adalah kawanan kera yang di gua Kiskenda. Tetapi...," Sita yang hamil itu tetap diam sejak semula, "kau telah tinggal dalam sangkarraja angkara itu bertahun lamanya, kau telah tidur diranjangnya, kau bukan lagi rahasia baginya."

Sita yang hamil iru tetap diam: pesona. "Tetapi Raksasa ituayahandamu sendiri, benih yang menjadikanmu, apakah ia juga yang membenihimu, apakah..." Sitayang hamil itu tetap diam, mncoba menafsirkankehendak para dewa.

1981

DI TANGAN ANAK-ANAK (Hal.79)

Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbadyang tak takluk kepada gelombang, menjelma burungyang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan;di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci.

Page 34: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

"Tuan, jangan kauganggu permainanku ini."

1981

DI ATAS BATU (Hal.80)

ia duduk di atas batu dan melempar-lemparkan kerikil ke tengah kaliia gerak-gerakkan kaki-kakinya di air sehingga memercik ke sana ke mariia pandang sekeliling: matahari yang hilang timbul di sela goyang daun-daunan, jalan setapak yang mendakitebing kali, beberapa ekor capung - ia ingin yakin ia benar-benar berada di sini

1981

ANGIN, 3 (Hal.81)

"Seandainya aku bukan ..." Tapi kau angin! Tapi kau harustak letih-letihnya beringsut dari sudut ke sudut kamar,menyusup di celah-celah jendela, bekelebat di pundakbukit itu

"Seandainya aku ..." Tapi kau angin! Nafasmu tersengalsetelah sia-sia menyampaikan padaku tentangperselisihan antara cahaya matahari dan warna-warnabunga

"Seandainya ..." Tapi kau angin! Jangan menjerit:semerbakmu memekakkanku.

1981

CARA MEMBUNUH BURUNG (Hal.82)

bagaimanakah cara membunuh burung yang suka berkukukbersama teng-teng jam dinding yang tergantung sejak

Page 35: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

kita belum dilahirkan itu?soalnya ia bukan seperti burung-burung yang suka berkicau setiap pagi meloncat dari cahaya ke cahaya di sela-sela ranting pohon jambu (ah dunia diantara bingkaijendela!)soalnya ia suka mengusikku tengah malam, padahal akusering ingin sendiriansoalnya ia baka

1981

SIHIR HUJAN (Hal.83)

Hujan mengenal baik pohon, jalandan selokan - swaranya bisa di beda-bedakan;kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintudan jendela. Meskipun sudah kaumatikan lampu.

Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuhdi pohon, jalan, dan selokan - menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduhwaktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan.

1981

METAMORFOSIS (Hal.84)

ada yang sedang menanggalkan pakaianmu satu demi satumendudukkanmu di depan cermin, dan membuatmubertanya, "tubuh siapakah gerangan yang kukenakanini?"

ada yang sedang diam-diam menulis riwayat hidupmu,menimbang-nimbang hari lahirmu, mereka-reka sebab-sebab kematianmu -

ada yang sedang diam-diam berubah menjadi dirimu

1981

PERAHU KERTAS (Hal.85)

Page 36: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dankaulayarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang, danperahumu bergoyang menuju lautan.

"Ia akan singgah di bandar-bandar besar," kata seoranglelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala. sejak itu kaupun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahuyang tak pernah lepas dari rindumu itu.

Akhirnya kau dengar juga pesan dari Si Tua itu, Nuh,katanya, "Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuahbukit."

1981

KAMI BERTIGA (Hal.86)

dalam kamar ini kami bertiga:aku, pisau, dan kata -kalian tahu, pisau barulah pisau kalu ada darah di matanyatak peduli darahku atau darah kata

1982

TELINGA (Hal.87)

"Masuklah ke telingaku," bujuknya.Gila:ia digoda masuk ke telinganya sendiriagar bisa mendengar apapunsecara terperinci - setiap kata, setiap huruf,bahkan letupan dan desisyang menciptakan suara."Masuklah," bujuknya.Gila! Hanya agar bisa menafsir sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannyakepada dirinya sendiri.

1982

Page 37: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

TOPENG (Hal.88-89)

untuk Danarto

/1/

Ia gemar membuat topeng. Dikupasnyawajahnya sendiri satu demi satudan digantungkannya di dinding. "Akuingin memainkannya," kata seorang sutradara.

Malam hari, ketika lakon dimainkan, ia mencari wajahnya sendiri di antara topeng-topeng yang mendesah, yang berteriak,yang mengaduh: tapi tak ada. Ternyata ia masih

harus mengupas wajahnya sendiri satu demi satu.

/2/

"Di mana topengku?" tanyanya, entah kepada siapa. Dalam kamar rias: cermin retak, pemerahpipi, dan bedak berceceran di mana-mana;dan tak ada topeng. "Dimana

topengku?" tanyanya. Tegangan listrik yang rendah,sarang laba-laba di langit-langit,dan obat penenang di telapak tangan. Tak adatopeng itu. Mungkin maksud sutradara: Sang Tiran

harus menciptakan topeng dari wajahnya sendiri

/3/

Tapi topeng tak boleh menjelma manusia;ia, tentu saja, hafal sabda rajadan sekarat hulubalang. Ia kenal benar sorot mata dan debar jantung penonton. Ia, ya Allah,

tak pernah tercantum dalam buku acara,tak menerima upah, dan digantung saja di dindingjika lakon usai. Tinggal berdua di belakang panggungyang ditinggalkan, sutradara tak juga menegurnya.

Page 38: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

Ia tak berhak menjelma manusia.

1985

TOPENG (Hal.88-89)

untuk Danarto

/1/

Ia gemar membuat topeng. Dikupasnyawajahnya sendiri satu demi satudan digantungkannya di dinding. "Akuingin memainkannya," kata seorang sutradara.

Malam hari, ketika lakon dimainkan, ia mencari wajahnya sendiri di antara topeng-topeng yang mendesah, yang berteriak,yang mengaduh: tapi tak ada. Ternyata ia masih

harus mengupas wajahnya sendiri satu demi satu.

/2/

"Di mana topengku?" tanyanya, entah kepada siapa. Dalam kamar rias: cermin retak, pemerahpipi, dan bedak berceceran di mana-mana;dan tak ada topeng. "Dimana

topengku?" tanyanya. Tegangan listrik yang rendah,sarang laba-laba di langit-langit,dan obat penenang di telapak tangan. Tak adatopeng itu. Mungkin maksud sutradara: Sang Tiran

harus menciptakan topeng dari wajahnya sendiri

/3/

Tapi topeng tak boleh menjelma manusia;ia, tentu saja, hafal sabda rajadan sekarat hulubalang. Ia kenal benar sorot mata dan debar jantung penonton. Ia, ya Allah,

tak pernah tercantum dalam buku acara,

Page 39: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

tak menerima upah, dan digantung saja di dindingjika lakon usai. Tinggal berdua di belakang panggungyang ditinggalkan, sutradara tak juga menegurnya.

Ia tak berhak menjelma manusia.

1985

HUJAN BULAN JUNI (Hal.90)

tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan junidirahasiakannya rintik rindunyakepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijakdari hujan bulan junidihapusnya jejak-jejak kakinyayang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif dari hujan bulan junidibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu

1989

AKU INGIN (Hal.91)

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:dengan kata yang tak sempat diucapkankayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

1989

SAJAK-SAJAK EMPAT SEUNTAI (Hal.92)

/1/kukirim padamu beberapa patah kata

Page 40: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

yang sudah langka -jika suatu hari nanti mereka mencapaimu,rahasiakan, sia-sia saja memahamiku

/2/ruangan yang ada dalam sepatah kataternyata mirip rumah kita:ada gambar, bunyi, dan gerak-gerik di sana - hanya saja kita diharamkan menafsirkannya

/3/bagi yang masih percaya pada kata:diam pusat gejolaknya, padam inti kobarnya -tapi kapan kita pernah memahami laut?memahami api yang tak hendak surut?

/4/apakah yang kita dapatkan di luar kata:taman bunga? ruang angkasa?di taman, begitu banyak yang tak tersampaikandi angkasa, begitu hakiki makna kehampaan

/5/apa lagi yang bisa ditahan? beberapa kata bersikeras menerobos batas kenyataan -setelah mencapai seberang, masihkah bermakna,bagimu, segala yang ingin kusampaikan?

/6/dalam setiap kata yang kaubaca selalu adahuruf yang hilang - kelak kau pasti akan kembali menemukannyadi sela-sela kenangan penuh ilalang

1989

DI RESTORAN (hal.93)

Kita berdua saja duduk. Aku memesanilalang panjang dan bunga rumput - kau entah memesan apa. Aku memesan batu di tengah sungai terjal yang deras -

kau entah memesan apa. Tapi kita berduasaja, duduk. Aku memesan rasa sakityang tak putus dan nyaring lengkingnya,

Page 41: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

memesan rasa lapar yang asing itu.

1989

DALAM DOAKU (Hal.94)

dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalamantak memejamkan mata, yang meluas bening siapmenerima cahaya pertama, yang melengkung heningkarena akan menerima suara-suara

ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalamdoaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijausenantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukanpertanyaan muskil kepada angin yang mendesau entahdari mana

dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gerejayang mengibas-ngibaskan bulunya dalam gerimis, yanghinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bungajambu, yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggapdi dahan mangga itu

maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turunsangat pelahan dari nun di sana, bersinjingkat di jalankecil itu, menyusup di celah-celah jendela dan pintu,dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku

dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yangdengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yangentah batasnya, yang setia mengusut rahasia demirahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi bagikehidupanku

aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesaikeselamatanmu

1989

Page 42: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

PADA SUATU HARI NANTI (Hal.95)

pada suatu hari nantijasadku tak akan ada lagitapi dalam bait-bait sajak inikau takkan kurelakan sendiri

pada suatu hari nantisuaraku tak terdengar lagitapi di antara larik-larik sajak inikau akan tetap kusiasati

pada suatu hari nanti impianku pun tak dikenal laginamun di sela-sela huruf sajak inikau takkan letih-letihnya kucari

1991

SITA SIHIR (Hal.96)

Terbebas juga akhirnya aku - entah dari cakar Garudaatau lengan DasamukaSendiridi menara tinggi,kusaksikan di atas:langityang tak luntur dingin birunya;dan di bawah:apiyang disulut Rama - berkobar bagai rindu abadi

"Terjunlah, Sita," bentak-Mu,"agar udara,air, api, dan tanah,kembali murni."

Tapi aku ingin juga terbebas dari sihir Rama.

1990

Page 43: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

BATU (Hal.97-98)

/1/

Aku pun akhirnya berubahmenjadi batu. Kau pahatkan,"Di sini istirah dengan tenteram sebongkah batu,yang jauh, berlabuh di bandar-bandar besar, dan dikenaldi delapan penjuru angin;akhirnya ia pilihkutukan, ia pilihketenteraman itu.Di sini."

Tetapi kenapa kaupahat jugadan tidak kaubiarkan sajaaku sendiri, sepenuhnya?

/2/

Jangan kaudorong akuke atas bukit itukalau hanya untuk berguling kembalike lembah ini.Aku tak mau terlibatdalam helaan nafas, keringat,harapan, dan sia-siamu.

Jangan kau dorong akuke bukit itu; aku tak tahandigerakkan dari diamku ini.Aku batu, dikutuk untuk tenteram.

/3/

Di lembah ini aku tinggalmenghadap jurang, mencoba menafsirkanrasa haus yang kekal:ketenteraman ini,sekarat ini.

1991

Page 44: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

MAUT (Hal.99)

maut dilahirkan waktu fajaria hidup dari mata air;itu sebabnya ia tak pernahmengungkapkan seluk-beluk karatyang telah mengajarinya bertarungmelawan hidup; ia juga takkan mau menjawab teka-teki senjakalayang telah mengnahbiskannyamenjadi penjaga gerbang itu

maut mencintai fajardan mata angin, dengan tulus

1991

HUJAN, JALAK, DAN DAUN JAMBU (Hal.100)

Hujan turun semalaman. Paginyajalak berkicau dan daun jambu bersemi;mereka tidak mengenal gurindamdan peribahasa, tapi menghayatiadat kita yang purbatahu kapan harus berbuat sesuatuagar kita, manusia, merasa bahagia. Merekatidak pernah bisa menguraikanhakikat kata-kata mutiara, tapi tahukapan harus berbuat sesuatu, agar kitamerasa tidak sepenuhnya sia-sia.

1992

AJARAN HIDUP (Hal.101)

hidup telah mendidikmu dengan kerasagar bersikap sopan - misalnya buru-buru melepaskan topiatau sejenak menundukkan kepala -jika ada jenazah lewat

Page 45: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

hidup juga telah mengajarkanmu merapikanrambutmu yang sudah memutih,membetulkan letak kacamatamu,dan menggumamkan beberapa larik doajika ada jenazah lewat

agar masih dianggap menghormatilambang kekalahannya sendiri

1992

TERBANGNYA BURUNG (Hal.102)

terbangnya burunghanya bisa dijelaskandengan bahasa batubahkan cericitnyayang rajin memanggil fajaryang suka menyapa hujanyang melukis sayap kupu-kupuyang menaruh embun di daunyang menggoda kelopak bungayang paham gelagat cuacahanya bisa disadurke dalam bahasa batuyang tak berkosa katadan tak bernahulebih luas dari fajarlebih dalam dari langitlebih pasti dari maknasudah usai sebelum dimulaidan sepenuhnya abaditanpa diucapkan sama sekali

1994