HUBUNGAN UPAYA PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN YANG …repository.utu.ac.id/404/1/BAB I_V.pdf · diare...
Transcript of HUBUNGAN UPAYA PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN YANG …repository.utu.ac.id/404/1/BAB I_V.pdf · diare...
HUBUNGAN UPAYA PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN YANGDILAKUKAN IBU PADA BALITA TERHADAP PENYAKIT
DIARE DI PUSKESMAS MEUREUBOKABUPATEN ACEH BARAT
SKRIPSI
Oleh:ARSHY DUANNA
08C10104072
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKATFAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TEUKU UMAR2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Indonesia sebagai “Negara Tropis” merupakan kawasan endemic
berbagai penyakit menular, seperti malaria, TBC, Filariasis, Diare dan
sebagainya (Achmadi, 2005). Salah satu penyakit menular yang endemis
adalah diare yang merupakan penyakit saluran pencernaan. Diare adalah
sindroma klinik yang penyebabnya berbeda-beda dan berhubungan dengan
sering buang air besar, kehilangan cairan, muntah dan demam. Keadaan ini
merupakan gejala infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit maupun
intoksikasi bahan kimia (Benenson, 1990).
Diare termasuk penyakit pembunuh anak-anak nomor tiga teratas di
Negara berkembang dan diperkirakan sekitar tiga juta anak meninggal setiap
tahun karena diare. Secara epidemiologis, penyakit diare dapat terjadi pada
semua orang dan tidak terbatas pada kelompok umur, gender maupun social
(Depkes RI, 2000).
Di Negara maju walaupun sudah terjadi perbaikan kesehatan dan
ekonomi masyarakat tetapi insiden diare infeksi tetap tinggi dan masih
menjadi masalah kesehatan. Tingginya kejadian diare di Negara Barat ini oleh
karena foodborne infections dan waterborne infections yang disebabkan
bakteri salmonella spp, campylobacter jejuni, staphylococcus aureus, bacillus
2
cereus, clostridium perfringens dan enterohemorrhagic Escherichia coli
(EHEC).
Di Negara maju diperkirakan insiden diare 0,5-2 episode/orang/tahun
sedangkan dinegara berkembang lebih dari itu. Di USA dengan penduduk
sekitar 200 juta diperkirakan 99 juta episode diare akut pada dewasa terjadi
setiap tahunnya. Berdasarkan laporan organisasi kesehatan dunia (WHO,
2000), di Bangladesh selama kurun waktu 10 tahun (1974-1984) angka
kejadian diare berkisar 1,93%-4,2%, dan di Thailand dari seluruh pasien rawat
jalan anak di rumah sakit ditemukan 20% merupakan penderita diare. Di
Negara berkembang, diare infeksi menyebabkan kematian sekitar 3 juta
penduduk setiap tahun. Di Afrika anak-anak terserang diare infeksi 7 kali
setiap tahunnya.
Hasil survey Depkes RI tahun 2000 memperlihatkan angka kesakitan
diare pada semua usia mencapai 301 per 1000 penduduk. Kebanyakan kasus
diare muncul pada dua tahun pertama usia anak dan proposi tertinggi terjadi
pada kelompok usia 6-11 bulan saat dimulainya pemberian makanan
pendamping ASI atau makanan sapihan “case fatality rate-nya saat KLB
mencapai 1,6%.
Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 2004
angka kematian akibat diare di Indonesia mencapai 23 orang per 100 ribu
penduduk untuk dewasa dan 75 per 100 ribu balita. Angka kejadian itu
termaksud masih cukup tinggi dibandingkan Negara lain.
Hasil survey Depkes RI, pada 2006 menunjukkan bahwa kejadian
diare pada semua usia di Indonesia adalah 423 per 1000, dan frekwensi 1-2
3
kali per tahun pada anak-anak berusia dibawah 5 tahun. Pada 2001, angka
kematian rata-rata yang diakibatkan diare adalah 23 per 100.000 penduduk,
sedangkan angka yang lebih tinggi terjadi pada kelompok anak berusia di
bawah 5 tahun, yaitu 75 per 100.000 orang. Sementara kematian anak berusia
dibawah tiga tahun akibat diare dengan CFR 19%.
Di Indonesia angka insiden diare selama kurun waktu 4 tahun dari
tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 mempunyai kecendrungan menurun
dari 21,9 per 1000 pada tahun 2000 menjadi 10,6 per 1000 pada tahun 2003.
Namun dalam kurun waktu dua tahun berakhir terjadi peningkatan hampir 2
kali lipat yakni 6,7 per 1000 pada tahun 2003 menjadi 10,6 per 1000 pada
tahun 2003 (Depkes RI, 2004).
Kondisi kejadian diare pada balita di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam pada tahun 2004 sebanyak 32.466 balita, untuk tahun 2005
berjumlah 37.801 balita, yang berarti terjadi peningkatan sebesar 16,43% pada
tahun 2006 kejadian diare pada balita berjumlah 36.960 balita. Bila
dibandingkan dengan tahun 2005 terjadi penurunan sebesar 2,2% (Dinkes
NAD, 2007). Namun demikian penurunan ini tidak dapat disimpulkan insiden
diare menurun, tetapi karena cakupan penerimaan laporan juga menurun. Dari
seluruh kejadian diare pada balita di Nanggroe Aceh Darussalam pada tahun
2006 yang berjumlah 36.960 balita, 18%.
Di Aceh Barat Jumlah pasien diare untuk semua golongan umur yang
dilaporkan pada periode tahun 2010 mencapai 7.342 sedikit menurun bila
dibandingkan tahun 2011 yang jumlah kunjungannya mencapai 3.667. pada
tahun 2012 jumlah penderita diare yang berobat di Puskesmas yang ada di
4
Aceh Barat sebanyak 177 pasien dengan total kunjungan 3.136. Pada lokasi
penelitian jumlah kunjungan pasien diare Tahun 2012 di Puskesmas Meurebo
berjumlah 2867 kunjungan pasien, 477 diantaranya berusia dibawah 5 tahun.
Jumlah total balita pada tahun 2013 di wilayah kerja Puskesmas Meurebo
berjumlah 1092 balita.
Tingginya kasus diare dapat disebabkan oleh faktor lingkungan dan
perilaku masyarakat karena penyakit diare merupakan salah satu penyakit
yang berbasis lingkungan (Depkes RI, 2000). Selain itu faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya diare dapat berupa lingkungan, gizi, kependudukan,
pendidikan, social ekonomi, dan faktor perilaku (www.dinkes-dki.go.id).
Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, pemerintah telah
mendirikan rumah sakit dan puskesmas. Dalam system manajemen, kesehatan
puskesmas adalah salah satu ujung tombak pelayanan kesehatan kepada
masyarakat. Puskesmas merupakan pelaksana pelayanan kesehatan dasar.
Untuk hal tersebut tersebut dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang optimal, puskesmas harus dapat menetapkan program,
mepertahankan jangkauan dan pemerataan serta meningkatkan mutu
pelayanan (Depkes RI, 1999).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nielsen di Pakistan tahun 2001
didapatkan bahwa persepsi ibu yang keliru tentang penyebab terjadinya diare.
Menurut ibu terjadinya diare pada balita disebabkan oleh terlalu banyaknya
mengkonsumsi cairan, tidak seimbangnya antara dietnya makanan panas dan
dingin, ASI ibu yang buruk, pemberian makanan pada bayi berusia lebih dari
6 bulan, dan juga terjadi diare bila bayangan melewati anak (Nielsen, 2001).
5
Penelitian yang dilakukan oleh litbang Dinkes RI tahun 2001 pada 86
ibu balita tentang perilaku ibu mengobati anaknya yang menderita daire
adalah pernah mengobati sendiri sebasar 46,6%, berobat ke dukun/tabib
sebesar 0,9%, sedangkan yang berobat ketenaga kesehatan sebesar 52,5%.
Dari keseluruha ibu yang membawa anaknya yang berobat kepelayanan
kesehatan, 29% dibawa ke puskesmas dan pustu, praktek petugas kesehatan
16,7% dan praktek dokter 6,8%.
1.2.Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka penulis merumuskan masalah apakah
ada hubungan upaya pengobatan dan pencegahan yang dilakukan ibu pada
balita terhadap penyakit diare di Puskesmas Meureubo Kabupaten Aceh
Barat.
1.3.Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan upaya pengobatan dan
pencegahan yang dilakukan ibu pada balita terhadap penyakit diare di
Puskesmas Meureubo Kabupaten Aceh Barat.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui hubungan upaya pengobatan yang dilakukan
ibu pada balita terhadap penyakit diare di Puskesmas Meureubo
Kabupaten Aceh Barat.
6
2. Untuk mengetahui hubungan upaya pencegahan yang dilakukan
ibu pada balita terhadap penyakit diare di Puskesmas Meureubo
Kabupaten Aceh Barat.
1.4.Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Sebagai bahan informasi baru tentang hubungan upaya
pengobatan dan pencegahan yang dilakukan ibu pada balita terhadap
penyakit diare di Puskesmas Meureubo Kabupaten Aceh Barat yang
dapat digunakan sebagai dasar penelitian dimasa yang akan datang.
1.4.2. Manfaat Aplikatif
Maanfaat bagi tenaga kesehatan, pemerintah/pengambil
keputusan dapat member informasi tentang hubungan upaya
pengobatan dan pencegahan yang dilakukan ibu terhadap balita
terhadap penyakit diare di Puskesmas Meureubo kabupaten Aceh
Barat yang dapat digunakan sebagai dasar untuk pengambilan
keputusan dalam menentukan kebijakan untuk pencegahan dan
penanganan kejadian diare.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diare
2.1.1. Pengertian Diare
Diare adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme
termasuk bakteri, virus dan parasit lainnya seperti jamur, cacing, dan protozoa.
(Amirudin 2008) Diare ditandai dengan buang air besar dalam bentuk cairan lebih
dari tiga kali dalam satu hari dan biasanya berlangsung selama dua hari atau lebih.
Pada bayi, volume tinja lebih dari 15 g/kg/24 jam disebut diare. Pada umur 3
tahun, yang volume tinjanya sudah sama dengan volume orang dewasa, volume
lebih dari 200 g/24 jam disebut diare. (Behrman dkk, 2003)
Sedangkan American Academy of Pediatrics (AAP) mendefinisikan diare
dengan karakteristik peningkatan frekuensi dan atau perubahan konsistensi, dapat
disertai atau tanpa gejala dan tanda seperti mual, muntah, demam atau sakit perut
yang berlangsung selama 3 – 7 hari. (Subijanto dkk, 2005)
Disamping itu ada juga klasifikasi yang lain berdasarkan organ yang terkena
infeksi yaitu:
a. Diare infeksi eksternal atau diare karena infeksi di usus (bakteri, virus,
parasit).
b. Diare infeksi parental atau diare karena infeksi diluar usus (otitis,
media, infeksi saluran pernapasan, infeksi saluran urin dan lainnya).
(Suharyono, 2008).
8
Departemen Kesehatan (2000), mengklasifikasikan jenis diare enjadi 4
kelompok yaitu:
1. Diare akut: yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya
kurang dari 7 hari).
2. Disentri: yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya,
3. Diare persisten: yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara
terus menerus.
4. Diare dengan masalah lain, anak yang menderita diare (diare akut dan
persisten) mungkin juga disertai penyakit lain seperti demam, gangguan
gizi atau penyakit lainnya.
2.1.2. Etiologi
Penyebab diare dapat berupa:
1. Faktor infeksi
a. Infeksi enteral, infeksi saluran pencernaan makaan yang merupakan
penyebab utama diare pada anak, memiputi:
1) Infeksi bakteri vibrio, E.Coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter,
Yersinia, Aeromonas, dan sebagainya.
2) Infeksi virus seperti Enterovirus (virus ECHO, Coxsackie,
Polimyelitis) Adeno-virus, Rotavirus, dan lain-lain
3) Infeksi parasit sperti cacing, protozoa, dan jamur.
b. Infeksi parenteral ialah infeksi di luar alat pencernaan amakanan seperti
otitis media kaut (OMA), tonsilofaringitis, bronkopneumonia, ensefalitis,
9
dan sebagainya. Keadaaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak
berumur dibawah 2 tahun.
2. Faktor malabsorbsi
a. Malabsorbsi, karbohidrat, monosakarida. Pada anak bayi dan anak yang
terpenting dan tersering intoleransi laktosa.
b. Malabsorbsi lemak
c. Malabsorbsi protein
3. Faktor makanan
4. Faktor psikologis, rasa takut dan cemas (Ngastiyah, 2005).
Etiologi diare, pada 25 tahun yang lalu sebagian besar belum diketahui,
akan tetapi kini, telah lebih dari 80% penyebabnya telah diketahui. Pada saat ini
telah dapat diindetifikasi tidak kurang dari jenis 25 jenis mikroorganisme yang
dapat menyebabkan diare pada bayi dan anak. Penyebab itu dapat digolongkan
lagi kedalam penyakit ditimbulkan adanya virus, bakteri, dan parasit usus.
Penyebab utama oleh virus yang terutama ialah Rotavirus (40-60%) sedangkan
virus lainya ialah virua Norwalk, Astrovirus, Calcivirus, Coronavirus,
Minirotavirus dan virus bulat kecil.
2.1.3. Gejala Diare
Diare dapat menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit,
terutama natrium dan kalium dan sering disertai dengan asidosis metabolic.
Dehidrasi dapat diklasifikasikan berdasarkan deficit air dan kseseimbangan serum
elektrolit. Setiap kehilangan berat badan yang melampai 1% dalam sehari
10
merupakan hilangnya air dari tubuh. Kehidupan bayi jarang dapat dipertahankan
apabila defisit melampaui 15% (Soegijanto, 2002).
Gejala diare adalah tinja encer dengan frekuensi 4 kali atau lebih dalam
sehari, yang kadang disertai muntah, badan lesu atau lemah, panah, tidak nafsu
makan, dan lendir dalam kotoran, rasa mual dan muntah-muntah dapat
mendahului diare yang disebabkan oleh infeksi virus. Infeksi bisa secara tiba-tiba
menyebabkan diare, muntah, tinja berdarah, demam, penurunan nafsu makan atau
kelesuan. Selain itu, dapat pua mengalami sakit perut dan kejang perut, serta
gejala-gejala ain seperti flu misalnya agak demam, nyeri otot atau kejang, dan
sakit sakit kepala. Gangguan bakteri dan parasit kadang-kadang menyebabkan
tinja mengandung darah atau demam tinggi (Amiruddin, 2007).
Menurut Ngastisyah (2005) gejala diare yang sering ditemukan mula-mula
pasien cengeng, gelisah, suhu tubuh meninkat, nafsu makan berkurang, tinja
mungkin disertai lendir atau darah, gejala muntah dapat timbul sebelum dan
sesudah diare. Bila penderita banyak kehilangan cairan dan elektrolit, gejala
dehidrasi mulai Nampak, yaitu berat badan menurun, tugor berkuran, mata dan
ubun-ubun besar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak
kering.
2.2. Penanganan dan Pengobatan Diare
2.2.1. Mencegah Terjadinya Dehidrasi
Mencegah terjadinya dehidasi dapat dilakukan mulai dari rumah dengan
memberikan minum lebih banyak dengan cairan rumah tangga yang dianjurkan
seperti air tajin , kuah sayur, atau air sup. (Depkes RI, 2005.)
Macam cairan yang dapat digunakan akan tergantung pada :
11
a. Kebiasaan setempat dalam mengobati diare
b. Tersedianya cairan sari makanan yang cocok
c. Jangkauan pelayanan kesehatan
d. Tersedianya oralit
2.2.2. Menangani Dehidrasi
Penggantian cairan dan elektrolit merupakan elemen yang penting dalam
terapi efektif diare akut. (Hiswani 2003) WHO mengatur pemberian rehidrasi oral
harus mengandung natrium 90 mEq/L, kalium klorida 20 mEq/L, dan glukosa 111
mEq/L. (Kliegman dkk, 2007) Gula dapat digunakan sebagai sumber kalori
dan juga sebagai bagian dari cairan rehidrasi. Akan tetapi ukuran gula yang
digunakan haruslah tepat, yaitu 5 gram per 200 ml air. Jika terlalu banyak gula
diberikan akan terjadi diare osmosis. Glukosa diperlukan dengan absorbsi 1
molekul NaCl memerlukan 1 mol glukosa, sehingga perbandingan antara gula
dan garam adalah 1 gram garam dan 5 gram gula dalam 200 cc air masak.
(Depkes n.d.) Sebelum melakukan rehidrasi oral, hal yang harus dilakukan adalah
menentukan derajat dehidrasi, agar penanganannya sesuai dengan keadaan klinis
anak. (WHO 2000).
a. Diare tanpa dehidrasi
Anak dengan diare tanpa dehidrasi dapat diberikan cairan lebih banyak
untuk mencegah dehidrasi. Anak harus tetap diberikan makanan sesuai
dengan umurnya dan menerima ASI. (WHO 2000)
Perawatan anak di rumah dengan diare tanpa dehidrasi.
1) Berikan cairan tambahan
12
a) Berikan anak lebih banyak cairan daripada biasanya untuk mencegah
dehidrasi. Gunakan cairan rumah tangga yang dianjurkan, seperti
larutan oralit, makanan yang cair (seperti sup,air tajin ) dan kalau
tidak ada cairan tersebut, dapat diberikan hanya air matang.
b) Jika anak menyusui ASI, maka harus tetap diberikan.
c) Jika anak mendapatkan/diberikan ASI eksklusif, berikan cairan
rehidrasi oral (CRO) atau air minum tambahan pada ASI. Setelah
diare berhenti, ASI ekslusif dapat diteruskan.
d) Jika sudah melewati masa ASI eksklusif, maka dapat berikan:
1. Cairan rehidrasi oral
2. Makanan yang banyak mengandung air (sup, bubur)
3. Air matang
4. Aturan untuk memberikan cairan tambahan untuk mencegah
dehidrasi
5. Anak < 2 tahun 50– 100 ml setiap setelah buang air besar.
6. Anak ≥ 2 tahun 100 – 200 ml setiap setelah buang air besar.
(Depkes RI, 2005)
2) Berikan suplemen zink
a) Dosis zink yang harus diberikan:
1. ≤ 6 bulan ½ tablet (10 mg) per hari.
2. > 6 bulan 1 tablet (20 mg) per hari.
b) Cara memberikan suplemen zink
1. Pada bayi, larutkan tablet dalam sedikit air lalu campurkan pada
susu atau CRO.
13
2. Anak yang lebih besar, tablet dapat langsung diminum atau
dilarutkan.
c) Suplemen zink diberikan selama 10-14 hari. (Depkes RI, 2005).
3) Anak tetap diberikan makanan
Kebiasaan penderita diare dipuasakan dapat memperburuk keadaan
penderita. Oleh karena itu, pemberian makanan pada penderita diare
harus tetap dilakukan. Jika anak masih menyusu maka selama anak
menderita diare menunjukkan bahwa 80% makanan masih dapat diserap
oleh dinding usus. Karana itu, pemberian makanan harus tetap dilakukan
walaupun ini berarti memperbanyak feses anak. Selain dapat
mempertahankan tingkat gizi anak, juga anak dapat sembuh lebih cepat.
(Hiswani 2003).
Berikan makanan selama diare untuk memberikan gizi pada
penderita terutama pada anak tetap kuat dan tumbuh serta mencegah
berkurangnya berat badan. Berikan cairan termasuk oralit dan makanan
sesuai yang dianjurkan. Anak yang masih mendapatkan ASI harus lebih
sering diberi ASI. Anak yang minum susu formula diberikan lebih sering
dari biasanya. Anak usia 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah
mendapat makanan padat harus diberikan makanan yang mudah dicerna
sedikit sedikit tetapi sering. Setelah diare berhenti pemberian makanan
ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu pemulihan berat
badan anak. (Depkes RI, 2005)
4) Bawa anak kepada petugas kesehatan bila anak tidak membaik dalam 3
hari atau menderita sebagai berikut:
14
a. Buang air besar cair lebih sering
b. Muntah berulang
c. Rasa haus yang nyata
d. Makan atau minum sedikit
e. Demam
f. Tinja berdarah (Depkes RI, 2005.) .
b. Diare dengan dehidrasi ringan – sedang
Pada umumnya, anak dengan dehidrasi ringan diberikan CRO.
1. Untuk 4 jam pertama, pemberian CRO yang sesuai berdasarkan
kilogram berat badan anak.
2. Menentukan jumlah CRO yang diberikan pada 4 jam pertama.
3. Jika anak kehausan dan ingin minum, maka berikan minum lebih
4. Memberikan CRO dengan cara yang baik dan benar. Untuk anak di
bawah 2 tahun berikan 1 sendok teh setiap 1-2 menit dan beberapa
teguk dari cangkir untuk anak yang lebih besar
5. Jika anak muntah, tunggu 10 menit kemudian lanjutkan pemberian
CRO perlahan-lahan (satu sendok makan setiap 2-3 menit).
6. Jika kelopak mata membengkak, hentikan CRO dan segera berikan air
minum atau ASI
7. Beri ASI jika anak menginginkannya
8. Memberikan suplemen zink dengan dosis sebagai berikut dan diberikan
selama 10-14 hari:
a) ≤ 6 bulan ½ tablet (10 mg) per hari
b) > 6 bulan 1 tablet (20 mg) per hari
15
9. Lanjutkan pemberian makanan, karena nutrisi sangat penting dalam tata
laksana diare.
a) Dalam 4 jam pertama, jangan memberikan makanan kecuali ASI.
Menyusui ASI diberikan setiap selesai diare.
b) Setelah 4 jam, jika anak tetap dehidrasi ringan dan tetap berikan
CRO, berikan makanan setiap 3-4 jam.
c) Setiap anak antara 4-6 bulan seharusnya diberikan sedikit makanan.
d) Anak dianjurkan makan sebanyak 6 kali per hari. Beri makanan yang
sama setelah diare berhenti dan berikan makanan ekstra sehari dalam
2 minggu (Satriya 2008).
c. Diare dengan dehidrasi berat
Penderita dengan dehidrasi berat, yaitu dehidrasi lebih dari 10% untuk
bayi dan anak dan menunjukkan gangguan tanda-tanda vital tubuh
(somnolen-koma, pernafasan Kussmaul, gangguan dinamik sirkulasi)
memerlukan pemberian cairan elektrolit parenteral. (Depkes RI, 2005.).
2.2.3. Pemilihan jenis cairan parenteral
Cairan parenteral dibutuhkan terutama untuk dehidrasi berat dengan
atau tanpa syok, sehingga dapat mengembalikan dengan cepat volume
darahnya, serta memperbaiki renjatan hipovolemiknya. (Satriya 2008).
Cairan Ringer Laktat (RL) adalah cairan yang banyak diperdagangkan
dan mengandung konsentrasi natrium yang tepat serta cukup laktat yang akan
dimetabolisme menjadi bikarbonat. Namun demikian kosentrasi kaliumnya
16
rendah dan tidak mengandung glukosa untuk mencegah hipoglikemia.
(Satriya 2008).
Cairan NaCL dengan atau tanpa dekstrosa dapat dipakai, tetapi tidak
mengandung elektrolit yang dibutuhkan dalam jumlah yang cukup. Jenis
cairan parenteral yang saat ini beredar dan dapat memenuhi kebutuhan
sebagai cairan pengganti diare dengan dehidrasi adalah Ka-EN 3B. Sejumlah
cairan rehidrasi oral dengan osmolalitas 210 – 268 mmol/1 dengan Na
berkisar 50 – 75 mEg/L, memperlihatkan efikasi pada diare anak dengan
kolera atau tanpa kolera.(Satriya 2008).
2.2.4. Mengobati Kausa Diare
Sebagian besar kasus diare tidak memerlukan pengobatan dengan
antibiotika oleh karena pada umumnya sembuh sendiri “self limiting”. Antibiotika
hanya diperlukan pada sebagian kecil penderita diare misalnya Cholera, Shigella,
karena penyebab terbesar dari diare pada anak adalah virus (Rotavirus). Kecuali
pada bayi berusia di bawah 2 bulan karena potensi terjadinya sepsis oleh karena
bakteri mudah mengadakan translokasi ke dalam sirkulasi, atau pada anak/bayi
yang menunjukkan secara klinis gejala yang berat serta berulang atau yang
menunjukkan gejala diare dengan darah dan lendir yang jelas atau gejala sepsis.
(Subijanto dkk, 2005).
1. Rumah Sakit
Fungsi rumah sakit selain yang diatas juga merupakan pusat pelayanan
rujukan medic spesialistik dan sub spesialistik dengan fungsi utama
menyediakan dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat
penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitative).
17
Rumah sakit merupakan salah satu sistem penyelenggaraan pelayanan
kesehatan. Menurut Wolpen dan Pena (Azwar, 1997), rumah sakit adalah
tempat orang sakit mencari dan menerima pelyanan kedokteran serta
tindakan, penelitian klinis untuk mahasiswa kedokteran, perawat dan berbagai
tenaga profesi kesehatan lainnya diselenggarakan. Dari batasan tersebut
diatas, fungsi dan kegiatan rumah sakit saat ini mengalami berbagai
perkembangan. Jika dahulu fungsi rumah sakit hanya untuk menyembuhkan
orang sakit (nasocomium/hospital), mak pada saat ini telah berkembang
menjadi tempat pendidikan.
2. Puskesmas
Depkes RI (2000), mendefinisikan puskesmas sebagai suatu kesatuan
organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan
kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat di samping
memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat
diwilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok.
Salah satu kegiatan pokok puskesmas dalam upaya pengobatan
penyakit menular, termasuk diare adalah: mengumpulkan dan mngenalisa
data tentang penyakit diare, melaporkan kasus penyakit diare, menyelidiki
dilapangan untuk melihat benar atau tidaknya laporan yang masuk untuk
menemukan kasus-kasus baru, dan untuk mengetahui sumber-sumber
penularan, tindakan sesegera mungkin untuk mencegah perkembangan
penyakit secara luas, mengobati penderita sehingga tidak lagi menjadi sumber
penularan penyakit, pemberian imunisasi, pemberantasan vector, serta
memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat (Effendy, 1998).
18
Upaya pengobatan yang dilakukan puskesmas yaitu melakukan
diagnose penyakit diare sedini mungkin meliputi: mengkaji riwayat penyakit,
mengadakan pemeriksaan fisik, mengadakan pemeriksaan laboratorium,
menegakkan diagnose diare. Setelah penentuan diagnose, maka dilakukan
tindakan pengobatan segera terhadap penderita diare. Melakukan upaya
rujukan bila dianggap perlu (Efendy, 1998).
Penanganan penderita diare dengan dehidrasi ringan atau sedang
dilakukan dengan pemberian oralit selama priode 3 (tiga) jam.
Kemudian ajarkan cara pemberian oralit kepada ibu yaitu:
a. Minuman sedikit-sedikit, tetapi sering
b. Jika anak muntah, tunggu 10 menit kemudian lanjutkan lagi
pemberian oralit
c. Lanjutkan pemberian ASI selama anak mau (Sudiharto, 2007).
3. Dokter praktek
Dokter praktek umum adalah kontrkator independen yang
memberikan serangkaian pelayanan medic yang menyeluruh selama
24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu kepada pasien praktik
mereka dan pasien diluar itu juga mengalami kedaruratan. Dokter
umum ini menetapkan target tertentu untuk imunisasi, sitologi dan
screening untuk usia lanjut dan juga menetapkan anggaran praktik.
4. Biaya
Perilaku seorang ibu dalam menangani anak balita yang sakit
banyak dipengaruhi oleh social diantaranya fasilitas kesehatan yang
diperlukan sangat jauh letaknya, para petugas kesehatan tidak
19
simpatik, judes, tidak responsive. Alasan lain adalah takut kepada
dokter, takut pergi kerumah sakit, dan takut akan biaya yang besar.
Katagori penggunaan pelayanan kesehatan juga dipengaruhi oleh
pendapatan keluarga. Ini berarti bahwa sumber pendapatan keluarga
menentukan kesanggupan untuk memperoleh pelayanan kesehatan
bagi anggota keluarganya (Notoatmodjo, 2003).
5. Cara pemberian obat
Diare yang diinduksikan oleh virus dan bakteri biasanya hanya
membutuhkan diet cair bersih serta peningkatan asupan cairan. Terapi
anti mikroba dapat diindikasikan bila ada darah dalam tinja. Zat-zat
anti diare yang menurunkan mobilitas usus dikontra indikasikan pada
penyakit infeksi parasit dan beberapa infeksi bakteri, karena
menghambat pengeluaran organism. Diare yang diinduksikan oleh
obat atau toksin paling baik diterapikan dengan menghentikan zat
penyebab bila memungkinkan (Olson, 2004).
Ada 3 patokan bagi seorang ibu untuk mngobati daire yaitu:
menambahkan cairan, makanan bagi sianak terus diberikan, jika tidak
membaik maka anak harus segera dibawa kepetugas kesehatan
(Andrianto, 1995).
Pemberian obat yang dilakukan oleh keluarga untuk
penyembuhan penyakit, cara pemberiannya dilakukan dengan
petunjuk tenaga medis dan kebiasaan masyarakat dalam pemberian
obat jika yang dimakan obat tradisional, sedangkan pemberian
makanan pada anak balita bertujuan untuk mendapatkan zat gizi yang
20
diperukan tubuh dan digunakan oleh tubuh untuk pertumbuhan dan
pengaturan faal tubuh. Disamping itu zat gizi yang berperan dalam
memelihara dan memulihkan kesehatan serta untuk melaksankan
kegiatan sehari-hari.
Pengasuhan merupakan serangkaian kegiatan yang intensif
dilakukanoleh orang tua dalam mengarahkan anak untuk memiliki
kecakapan hisup. Pengasuh harus memiliki ketrampilan dalam
memberikan rangsangan dan respon kepada anak apabila mengalami
kesulitan dalam hidupnya. Pengasuh harus merespon rangsangan yang
bersumber dari anak baik dalam makanan, kebersihan dan dalam
permainan anak (Sunarti, 2004).
2.3. Pencegahan Penyakit Diare
Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum yakni:
pencegahan tingkat pertama, yang meliputi promosi kesehatan dan pencegahan
khusus, pencegahan tingkat kedua yang meliputi diagnosis dini serta pengobatan
yang tepat, dan pencegahan tingkat ketiga yang meliputi pencegahan terhadap
cacat dan rehabilitasi (Nasry Noor, 1997).
2.3.1. Pencegahan primer
Pencegahan penyakit diare dapat ditujukan pada faktor penyebab
lingkungan dan faktor penjamu. Untuk faktor penyebab dilakukan berbagai upaya
agar mikroorganisme penyebab diare dihilangkan. Peningkatan air bersih dan
sanitasi lingkungan, perbaikan lingkungan biologis dilakukan untuk memodifikasi
lingkungan. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh dari penjamu maka dapat
dilakukan peningkatan status gizi dan pemberian imunisasi
21
2.3.2. Pencegahan sekunder
Pencegahan tingkat kedua ini ditujukan kepada sianak yang telah menderita
diare atau yang terancam akan menderita yaitu dengan menentukan diagnosa dini
dan pengobatan yang cepat dan tepat, serta untuk mencegah terjadinya akibat
samping dan komplikasi.
2.3.3. Pencegahan tersier
Pencegahan tingkat ketiga adalah penderita jangan sampai mengalami
kecatatan dan kematian akibat dehidrasi. Jadi pada tahap ini penderita diare
diusahakan pengambilan fungsi fisik, psikologis semaksimal mungkin. Pada
tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat
samping dari diare (Nasry Noor, 1997).
2.4. Kerangka Teori
Gambar 2.1. Kerangka Teori
Upaya Pengobatan (Depkes RI, 2005)- Kebiasaan dalam mengobati
diare- Tersedia cairan sari makanan
yang cocok- Jangkauan pelayanan kesehatan- Tersedianya oralit
Upaya Pencegahan (Nasry Noor,1997)
- Pencegahan Primer- Pencegahan Sekunder- Pencegahan Tersier
Penyakit diarepada balita
22
2.5. Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.2. Kerangka Konsep
2.6. Hipotesis Penelitian
1. Adanya hubungan upaya pengobatan dengan penyakit diare pada balita
2. Adanya hubungan upaya pencegahan dengan penyakit diare pada balita
Upaya Pengobatan
Upaya Pencegahan
Penyakit diarepada balita
23
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah bersifat Survey Analitik dengan desain Cross
Sectional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan upaya pengobatan dan
pencegahan yang dilakukan ibu pada balita terhadap penyakit diare di Puskesmas
Meureubo Kabupaten Aceh Barat (Notoatmodjo, 2010).
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Meureubo Kabupaten
Aceh Barat dan penelitian ini direncanakan pada bulan 19 September sampai 04
Oktober 2013.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah 1092 ibu-ibu yang
memiliki anak balita di yang terdiri dari 26 desa wilayah kerja Puskesmas
Meureubo Kabupaten Aceh Barat yaitu:
No Nama Desa1 Peunaga cut ujong2 Gunong kleng3 Peunaga Pasi4 Peunaga rayeuk5 Paya Peunaga6 Langung7 Meureubo
24
8 Ujong Drien9 Pasi Pinang10 Ujong Tanjong11 Bukit Jaya12 Buloh13 Ranto panyang timur14 Ranto panyang barat15 Mesjid tuha16 Ujong tanoh darat17 Ranup dong18 Pasi mesjid19 Pulo teungoh20 Balee21 Sumber batu22 Pasi aceh baroh23 Pasi aceh tunong24 Reudeup25 Pucok redep26 Paya baro
3.3.2 Sampel
Cara pengambilan sampel adalah dengan menggunakan rumus Slovin :
n = 21 dN
N
Keterangan : N = Populasi
n = Sampel
d = Tingkat Kepercayaan (0,1)
n = 21.010921
1092
=92.101
1092
=92.11
1092
=91
25
Jadi jumlah sampel sebanyak 91 responden, cara pengambilan sampel ini
menggunakan Cluster Sampling adalah sampel yang berkarakteristik dari populasi
yaitu ibu-ibu yang memiliki balita di wilayah kerja puskesmas Meureubo
Kebapaten Aceh Barat.
3.4. Metode Pengumpulan Data
Setelah data dikumpulkan penulis melakukan pengolahan data dengan
langkah-langkah sebagai berikut :
1. Editing, yaitu : penulis memeriksa kembali data-data yang diperoleh baik dari
hasil wawancara maupun laporan yang didapat untuk menilai tingkat
kesesuaian.
2. Coding, yaitu : pengkodean data yakni untuk mempermudah dalam
pengolahan dan menganalisis data memberikan kode dalam bentuk angka.
3. Tabulating, yaitu : data yang telah terkumpul ditabulasikan dalam bentuk
master tabel.
3.4.1. Jenis dan sumber data
1. Data primer
Diperoleh dengan melaksanakan metode wawancara dengan
menggunakan kuesioner yang berisikan daftar pertanyaan.
2. Data sekunder
Data sekunder diperoleh dari Puskesmas Meureubo Aceh Barat
yang berhubungan dengan data penyakit diare pada balita.
26
3.5. Definisi Operasional
Tabel 3.5 Definisi OperasionalNo Variabel Keterangan Variabel Independen1 Pengobatan Definisi Penanganan pada penderita
diare dengan cara medisseperti memberikan obat-obatan dan ke pelayanankesehatan.
Cara ukur WawancaraAlat ukur KuesionerHasil ukur 1. Baik
2. Tidak baikSkala ukur Ordinal
2 Pencegahan Definisi Hal-hal yang dilakukan ibukepada balita agar terhindardari penyakit diare.
Cara ukur WawancaraAlat ukur KuesionerHasil ukur 1. Baik
2. Tidak baikSkala ukur OrdinalVariabel Dependen
5 Penyakit Diare PadaBalita
Definisi Penyakit yang yang diderita balita yangdisebabkan oleh infeksimikroorganisme.
Cara ukur WawancaraAlat ukur KuesionerHasil ukur 1. Tidak Diare
2. DiareSkala ukur Ordinal
3.6 Aspek Pengukuran Variabel
1. Pengobatan
Baik : jika responden menjawab ≥ 50% dari pertanyaan
Tidak baik : jika responden menjawab < 50% dari pertanyaan
2. Pencegahan
27
Baik : jika responden menjawab ≥ 50% dari pertanyaan
Tidak baik : jika responden menjawab < 50% dari pertanyaan
3. Penyakit Diare pada balita
Baik : jika responden menjawab ≥ 50% dari pertanyaan
Tidak baik : jika responden menjawab < 50% dari pertanyaan
3.7. Tenik Analisa Data
3.7.1. Analisis Univariat
Data dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui distribusi dari
variabel-variabel yang diteliti.
3.7. 2. Analisis Bivariat
Analisis ini digunakan untuk mengetahui hipotesis dengan menentukan
hubungan antara variabel independen (variabel bebas) dengan variabel Dependen
(variabel terikat) dengan menggunakan uji statistic chi-square (X2) (Budiarto,
2001).
Kemudian untuk mengamati derajat hubungan antara variabel tersebut
akan dihitung nilai odd ratio (OR).
Aturan yang berlaku pada Chi–Square adalah :
a. Bila pada 2 x 2 dijumpai nilai expected (harapan) kurang dari 5, maka yang
digunakan adalah“Fisher’s Exact Test”
b. Bila tabel 2 x 2, dan tidak ada nilai E < 5, maka uji yang dipakai
sebaiknya“Continuity Correction (a)”
28
c. Bila tabel lebih dari 2 x 2, misalnya 3 x 2, 3 x 3, dsb, maka digunakan
uji“Pearson Chi-Square”
d. Uji“Likelihood Ration” dan “Linear-by-Linear Asscaiton”, biasanya
digunakan untuk keperluan lebih spesifik, misalnya analisa stratifikasi pada
bidang epidemiologi dan juga untuk mengetahui hubungan linier dua variabel
katagori, sehingga ke dua jenis ini jarang digunakan.
Analisa data dilakukan dengan menggunakan perangkat komputer untuk
membuktikan hipotesa yaitu dengan ketentuan p value < 0,05 (Ho ditolak)
sehingga disimpulkan ada hubungan yang bermakna (Budiarto, 2001).
29
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1. Gambaran Umum
UPTD Puskesmas Meureubo berdiri pada tahun 1992 dan merupakan Unit
Pelaksanaan Tugas Dinas dengan sistem pelayanan rawat jalan yang beralamat di
jalan Datoek Janggoet Meuh Gampong Meuruebo Kecamatan Meureubo dengan
luas wilayah kerja 199,43 Ha.
Unit Pelayanan Puskesmas Induk dibantu dengan lima Puskesmas
pembantu, satu puskesmas pembantu daerah transmigrasi local SP VI dan enam
unit polindes atau poskesdes yang terdiri dari 71 tenaga kesehatan berbagai
disiplin ilmu dan 10 bidan PTT
Secara geografis, wilayah kerja UPTD Puskesmas Meureubo terbagi
dalam dua wilayah, yaitu: (1) wilayah pesisir terdiri dari 16 gampong, dan (2)
wilayah pegunungan sebanyak 11 gampong. Adapun batasan-batasan kerja
adalah:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas
Peureume Kecamatan Kaway XVI Kab.Aceh Barat.
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Hindia.
3. Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Padang
Rubek Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan raya.
4. Sebelah Barat berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Johan
Pahlawan Kecamatan Johan Pahlawan Kab.Aceh Barat.
30
Berikut ini adalah karekteristik dari responden berdasarkan Umur,
Pendidikan dan Pekerjaan.
Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur Ibu Balita Di PuskesmasMeureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2013.
No Umur Frekuensi %1 22 1 1,12345678910111213141516171819
232425262728293031323334353637384145
541311021411871674231
5,54,414,31,111,02,21,14,41,11,18,87,717,67,74,42,23,31,1
Total 91 100Sumber: dari data primer (diolah tahun 2013)
Dari Tabel 4.1. diketahui bahwa dari total 91 Responden umur ibu yang
paling banyak adalah ibu berumur 35 tahun yaitu sebanyak 16 orang (17,6%).
Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Ibu Balita DiPuskesmas Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2013.
No Pendidikan Frekuensi %1 PT 10 11,0234
SMASMPSD
50238
54,925,38,8
Total 91 100Sumber: dari data primer (diolah tahun 2013)
31
Dari Tabel 4.2. diketahui bahwa dari total 91 Responden berdsarkan
pendidikan responden yang paling banyak tamatan dari SMA yaitu sebanyak 50
orang (54,9%).
Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Ibu Balita DiPuskesmas Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2013.
No Pekerjaan Frekuensi %1 Bekerja 22 24,22 Tidak Bekerja 69 75,8
Total 91 100Sumber: dari data primer (diolah tahun 2013)
Dari Tabel 4.3. diketahui bahwa dari total 91 Responden berdasarkan
pekerjan responden yang paling banyak adlh responden yang tidak bekerja yaitu
sebanyak 69 orang (75,8%).
4.1.2. Analisis Univariat
Sebelum dilakukannya analisis bivariat untuk melihat hubungan antar
variabel maka terlebih dahulu dibuat analisis univariat dengan tabel distribusi
frekuensi dari masing-masing variabel yang di teliti.
1. Pengobatan
Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Pengobatan Yang DilakukanIbu Pada Balita Terhadap Penyakit Diare Di PuskesmasMeureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2013.
No Pengobatan Frekuensi %1 Baik 57 62,62 Tidak Baik 34 37,4
Total 91 100Sumber: dari data primer (diolah tahun 2013)
Dari Tabel 4.1. diketahui bahwa pengobatan diare oleh ibu yang dilakukan
dengan baik sebanyak 62,6% sedangkan yang tidak baik 37,4%.
32
2. Pencegahan
Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Pencegahan Yang DilakukanIbu Pada Balita Terhadap Penyakit Diare Di PuskesmasMeureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2013.
No Pencegahan Frekuensi %1 Baik 49 53,82 Tidak Baik 42 46,2
Total 91 100Sumber: dari data primer (diolah tahun 2013)
Dari Tabel 4.1. diketahui bahwa pencegahan diare oleh ibu yang dilakukan
dengan baik sebanyak 53,8% sedangkan yang tidak baik 46,2%.
3. Penyakit Diare Pada Balita
Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Penyakit Diare Pada Balita DiPuskesmas Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2013.
No Penyakit Diare PadaBalita
Frekuensi %
1 Tidak Diare 56 61,52 Diare 35 38,5
Total 91 100Sumber: dari data primer (diolah tahun 2013)
Dari Tabel 4.1. diketahui bahwa balita yang tidak mengalami diare
sebanyak 61,5% sedangkan yang mengalami diare sebanyak 38,5%.
4.1.2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan variabel independen dan
dependen. Penguji ini menggunakan uji chi-square. Dikatakan ada hubungan yang
bermakna secara statistik jika diperoleh nilai p< 0,05.
33
a. Pengobatan Dengan Penyakit Diare Pada Balita
Tabel 4.4. Hubungan Pengobatan Dengan Penyakit Diare Di PuskesmasMeureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2013.
Sumber: data primer (diolah tahun 2013)
Dari tabel di atas di ketahui bahwa dari 57 responden yang pengobatannya
baik 75,4% tidak mengalami diare sedangkan dari 34 responden yang
pengobatannya tidak baik 61,8% mengalami diare. Dari hasil uji chi square di
dapat nilai P Value = 0,001 dan ini lebih kecil dari α= 0,05 sehingga terdapatnya
hubungan yang signifikan antara pengobatan dengan penyakit diare di Puskesmas
Meureubo Kabupaten Aceh Barat
Dilihat dari nilai OR 4,962 maka dapat diartikan bahwa pengobatan yang
baik memiliki peluang 5 kali tidak mengalami diare dari pada ibu dengan
pengobatan yang tidak baik.
b. Pencegahan Dengan Penyakit Diare Pada Balita
Tabel 4.5. Hubungan Pencegahan Dengan Penyakit Diare Di PuskesmasMeureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2013.
Sumber: data primer (diolah tahun 2013)
Dari tabel di atas di ketahui bahwa dari 49 responden yang pencegahannya
baik 77,6% tidak mengalami diare sedangkan dari 42 responden yang
PengobatanPenyakit Diare Pada
BalitaTotal
PTidak diare Diaren % n % n % OR
Baik 43 75,4 14 24,6 57 100 0,001 4,962Tidak baik 13 38,2 21 61,8 34 100 (1,982-12,421)Jumlah 56 61,5 35 38,5 91 100
PencegahanPenyakit Diare Pada
BalitaTotal
PTidak diare Diaren % n % n % OR
Baik 38 77,6 11 22,4 49 100 0,001 4,606Tidak baik 18 42,9 24 57,1 42 100 (1,858-11,416)Jumlah 56 61,5 35 38,5 91 100
34
pencegahannya tidak baik 57,1% mengalami diare. Dari hasil uji chi square di
dapat nilai P Value = 0,001 dan ini lebih kecil dari α= 0,05 sehingga terdapatnya
hubungan yang signifikan antara pencegahan dengan penyakit diare di Puskesmas
Meureubo Kabupaten Aceh Barat
Dilihat dari nilai OR 4,606 maka dapat diartikan bahwa pencegahan yang
baik memiliki peluang 5 kali tidak mengalami diare dari pada ibu dengan
pencegahan yang tidak baik.
4.2. Pembahasan
4.2.1. Pengobatan Dengan Penyakit Diare
Menurut Ngastisyah (2005) gejala diare yang sering ditemukan mula-mula
pasien cengeng, gelisah, suhu tubuh meninkat, nafsu makan berkurang, tinja
mungkin disertai lendir atau darah, gejala muntah dapat timbul sebelum dan
sesudah diare. Bila penderita banyak kehilangan cairan dan elektrolit, gejala
dehidrasi mulai Nampak, yaitu berat badan menurun, tugor berkuran, mata dan
ubun-ubun besar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak
kering.
Ada 3 patokan bagi seorang ibu untuk mngobati daire yaitu: menambahkan
cairan, makanan bagi sianak terus diberikan, jika tidak membaik maka anak harus
segera dibawa kepetugas kesehatan (Andrianto, 1995). Pemberian obat yang
dilakukan oleh keluarga untuk penyembuhan penyakit, cara pemberiannya
dilakukan dengan petunjuk tenaga medis dan kebiasaan masyarakat dalam
pemberian obat jika yang dimakan obat tradisional, sedangkan pemberian
makanan pada anak balita bertujuan untuk mendapatkan zat gizi yang diperukan
tubuh dan digunakan oleh tubuh untuk pertumbuhan dan pengaturan faal tubuh.
35
Pada penelitian yang peneliti lakukan di Puskesmas Meureubo dimana dari
57 responden yang pengobatannya baik 75,4% tidak mengalami diare sedangkan
dari 34 responden yang pengobatannya tidak baik 61,8% mengalami diare, ini
dapat diartikan bahwa semakin baik pengobatan ibu semakin kecil pula kejadian
diare pada balita begitu sebaliknya semakin tidak baik pengobatan diare oleh ibu
maka semakin banyak pula anak yang mengalami diare. Dapat disimpulkan upaya
pengobatan mempuanyai hubungan yang signifikan terhadap penyakit diare pada
balita.
4.2.2. Pencegahan Dengan Penyakit Diare
Diare adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme
termasuk bakteri, virus dan parasit lainnya seperti jamur, cacing, dan protozoa
(Amirudin 2008). Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara
umum yakni: pencegahan tingkat pertama, yang meliputi promosi kesehatan dan
pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua yang meliputi diagnosis dini serta
pengobatan yang tepat, dan pencegahan tingkat ketiga yang meliputi pencegahan
terhadap cacat dan rehabilitasi (Nasry Noor, 1997).
Dari hasil penelitian diketahui bahwa pencegahan memiliki hubungan
yang erat dengan terjadinya diare dimana diperkuat dengan hasil uji chi square di
dapat nilai P Value = 0,001 dan ini lebih kecil dari α= 0,05 sehingga terdapatnya
hubungan yang signifikan antara pencegahan dengan penyakit diare di Puskesmas
Meureubo Kabupaten Aceh Barat.
36
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Dari 57 responden yang pengobatannya baik 75,4% tidak mengalami
diare sedangkan dari 34 responden yang pengobatannya tidak baik 61,8%
mengalami diare.
2. Adanya hubungan antara pengobatan dengan penyakit diare pada balita
dengan nilai P Value lebih kecil dari α= 0,05 yaitu 0,001.
3. Dari 49 responden yang pencegahannya baik 77,6% tidak mengalami
diare sedangkan dari 42 responden yang pencegahannya tidak baik 57,1%
mengalami diare.
4. Adanya hubungan antara pencegahan dengan penyakit diare pada balita
dengan nilai P Value lebih kecil dari α= 0,05 yaitu 0,001.
5.2. Saran
1. Kepada Puskesmas Meureubo agar lebih meningkatkan lagi penyuluhan
terhadap penanganan dan pencegahan penyakit diare pada balita serta
meningkatkan kinerja pelayanan dalam mengangani penyakit diare khususnya
pada balita
2. Kepada orang tua agar lebih meningkatkan kesadarannya akan pentingnya
pencegahan diare serta mencari informasi-informasi tentang penanganan dan
pencegahan penyakit diare agar balita terhindar dari penyakit diare
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi & Soleh, 2005. Psikologi Perkembangan. Rineka Cipta. Jakarata
Amiruddin, R. 2007. Current Issue Kematian Anak (Penyakit Diare).Universitas Hasanuddin, Makasar
Andrianto, P., 1995. Penatalaksanaan dan Pencegahan Diare Akut. EGC,Jakarta
Azwar, A., 1997. Puskesmas dan Usaha Kesehatan Pokok, Akodoma, Jakarta
Budiarto,E. 2001. Pengantar Epidemiologi Edisi kedua. EGC. Jakarta.
Depkes RI, 2000. Buku Pedoman Pelasanaan Pemberantasan Penyakit Diare,Ditjen Pmm & Plp, Jakarta.
________. Data survelens 2000-2003, ditjen dan PL, Jakarta.
________, 2005. Tatalaksana Penderita Diare, www.Depkes.go.id
Diktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular Dan Penyehatan LingkunganPemukiman. Buku Ajar Diare. Depkes RI, 1999 3_11, 53-59, 71-80,Jakarta.
Effendy, N., 1998. Dasar-sadar Keperawatan Kesehatan Masyarakat, EGC.Jakarta
Hiswani 2003. Diare Merupakan Salah Satu Masalah Kesehatan MasyarakatYang Kejadiannya Sangat Erat Dengan Keadaan SanitasiLingkungan, USU. Medan.
Nasry Noor, N., 1997. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. RienekaCipta. Jakarta
Ngastiyah, 2005. Perawatan Anak Sakit, EGC. Jakarta
Notoatmodjo, S., 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rieneka Cipta.Jakarta.
_________., 2005. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Rieneka Cipta. Jakarta.
Olson, J. 2004. Belajar Mudah Farmokologi. EGC. Jakarta.
Sudiharto, 2007. Asuhan Keperawatan Keluarga dengan PendekatanKeperawatan Transkultural. EGC. Jakarta.
Suharyono, 2008, Diare Akut, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UniversitasIndonesia. Jakarta
Sunarti, E., 2004. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada Universitas Press.Yogyakarta
WHO, 2000. WHO Recommended Survelance Standars, Second Edition,Genewa.