HUBUNGAN OPTIMISME DAN SUBJECTIVE WELL-BEING …

13
HUBUNGAN OPTIMISME DAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PASIEN YANG SEDANG MENJALANI PROGRAM REHABILITASI MEDIK Mentari Namira Pertiwi Isma dan Dra. Sugiarti Musabiq M.Kes Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Penelitian ini dilakukan pada 66 pasien yang sedang menjalani program rehabilitasi medik. Tujuan penelitian ini adalah melihat gambaran optimisme dan subjective well-being serta hubungan keduanya pada pasien yang sedang menjalani program rehabilitasi medik. Dari pengukuran menggunakan Life Orientation Test-Revised dan Subjective Happiness Scale, hasil menunjukkan tidak terdapat hubungan yan signifikan antara optimimse dan subjective well-being pada pasien yang sedang menjalani program rehabilitasi medik. Secara umum, mereka memiliki optimisme yang sedang dan tinggi, serta termasuk ke dalam kategori orang yang bahagia. Optimisme serta subjective well-being tidak ditemukan berbeda berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, status pernikahan, serta jenis program rehabilitasi mereka. Abstract This research is conducted with 66 medical rehabilitation patients. The purposeis to describe optimism, subjective well-being, and the relationship between the two in patients within a medical rehabilitation program. Using the Life Orientation Test-Revised and Subjective Happiness Scale, the result showed that optimism is not significantly correlated with subjective well-being among patients in a rehabilitation program. Generally, the patients’ optimism are moderate and high, and so does their subjective well-being. There was no optimism and subjective well-being diferrences found in patients, based on their age, gender, occupation, education, marital status, and medical rehabilitation program. Keywords: Optimism, Subjective well-being, Medical Rehabilitation Program Latar Belakang Masalah Disability didefinisikan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sebuah aktivitas (Kottke, Stillwell, Lehmann, 1982). Dalam bidang pekerjaan, disability didefinisikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam melakukan aktivitas yang dibutuhkan dalam sebuah pekerjaan. (O’Young, Young, dan Stiens, 2008). Pada tahun 1975, Kementrian Kesehatan Republik Indonesi menjalani studi kolaboratif bersama World Health Organization (WHO) memperkirakan persentase penduduk dengan disabilitas sebesar 10-12 % dari populasi keseluruhan. Semenjak itu, persentase penduduk dengan disabilitas Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013

Transcript of HUBUNGAN OPTIMISME DAN SUBJECTIVE WELL-BEING …

Page 1: HUBUNGAN OPTIMISME DAN SUBJECTIVE WELL-BEING …

HUBUNGAN OPTIMISME DAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PASIEN

YANG SEDANG MENJALANI PROGRAM REHABILITASI MEDIK

Mentari Namira Pertiwi Isma dan Dra. Sugiarti Musabiq M.Kes

Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini dilakukan pada 66 pasien yang sedang menjalani program rehabilitasi medik. Tujuan

penelitian ini adalah melihat gambaran optimisme dan subjective well-being serta hubungan

keduanya pada pasien yang sedang menjalani program rehabilitasi medik. Dari pengukuran

menggunakan Life Orientation Test-Revised dan Subjective Happiness Scale, hasil menunjukkan

tidak terdapat hubungan yan signifikan antara optimimse dan subjective well-being pada pasien

yang sedang menjalani program rehabilitasi medik. Secara umum, mereka memiliki optimisme

yang sedang dan tinggi, serta termasuk ke dalam kategori orang yang bahagia. Optimisme serta

subjective well-being tidak ditemukan berbeda berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan,

pendidikan, status pernikahan, serta jenis program rehabilitasi mereka.

Abstract

This research is conducted with 66 medical rehabilitation patients. The purposeis to describe

optimism, subjective well-being, and the relationship between the two in patients within a medical

rehabilitation program. Using the Life Orientation Test-Revised and Subjective Happiness Scale, the

result showed that optimism is not significantly correlated with subjective well-being among

patients in a rehabilitation program. Generally, the patients’ optimism are moderate and high, and

so does their subjective well-being. There was no optimism and subjective well-being diferrences

found in patients, based on their age, gender, occupation, education, marital status, and medical

rehabilitation program.

Keywords: Optimism, Subjective well-being, Medical Rehabilitation Program

Latar Belakang Masalah

Disability didefinisikan sebagai

ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sebuah

aktivitas (Kottke, Stillwell, Lehmann, 1982). Dalam

bidang pekerjaan, disability didefinisikan sebagai

ketidakmampuan seseorang dalam melakukan aktivitas

yang dibutuhkan dalam sebuah pekerjaan. (O’Young,

Young, dan Stiens, 2008). Pada tahun 1975,

Kementrian Kesehatan Republik Indonesi menjalani

studi kolaboratif bersama World Health Organization

(WHO) memperkirakan persentase penduduk dengan

disabilitas sebesar 10-12 % dari populasi keseluruhan.

Semenjak itu, persentase penduduk dengan disabilitas

Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013

Page 2: HUBUNGAN OPTIMISME DAN SUBJECTIVE WELL-BEING …

terus meningkat. Pada tahun 2008 persentase ini

ditemukan meningkat menjadi 19.5%. Fenomena ini

diduga disebabkan oleh kondisi yang kurang memadai,

seperti minimnya kesadaran mengenai keselamatan lalu

lintas dan keselamatan kerja, meningkatnya jumlah

bencana alam, tingginya angka kekurangan gizi, serta

kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai pola

hidup sehat dan penyakit yang sifatnya degeneratif.

Dalam kategori penduduk dengan disabilitas di

Indonesia, pada tahun 2008 ditemukan bahwa

penduduk dengan hendaya fisik memiliki jumlah

paling besar yakni 274.880 (BPS, 2008). Angka ini

jauh lebih tinggi dibanding persentase penduduk

dengan disabilitas mental, kebutaan, ketulian, serta

kebisuan. Pada tahun 2009 pun ditemukan bahwa

kategori ini memiliki persentase yang paling besar,

yakni 33.75 % (Susenas, 2009).

Dengan adanya perubahan serta gangguan

fisik, pasien akan menghadapi berbagai perubahan

dalam keseharian mereka. Kemungkinan besar mereka

akan mengalami kesulitan atau keterbatasan dalam

menjalani aktivitas fisik sehari-hari, yang dapat

mempengaruhi produktivitas mereka. Untuk membantu

pasien dapat kembali ke dalam performa fungsionlanya

secara optimal inilah yang menjadikan masa

rehabilitasi penting. Hal tersebut sejalan dengan tujuan

yang diutamakan pada masa ini, yakni kemampuan diri

pasien, independensi, edukasi, serta produktivitas

dalam kehidupan pasien. Setelah menjalani masa

rehabilitasi, nilai keberhasilan program tersebut

tercerminkan pada level peningkatan fungsi pada diri

pasien, serta kualitas hidup pasien (Kottke, Stillwell,

Lehmann, 1982). Tujuan tersebut sejalan dengan visi

departemen kesehatan yakni masyarakat yang mandiri

untuk hidup sehat dengan misi membuat rakyat sehat

(Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor : 378/Menkes/SK.IV/2008).

Menurut sejarahnya, rehabilitasi bertujuan

untuk menengahi masa “tempat tidur” dengan tahap

“pekerjaan”, yakni masa sebelum pasien dapat siap

untuk kembali ke rutinitasnya setelah mengalami

kecelakaan yang menyebabkan adanya gangguan fisik

pada dirinya. Masa rehabilitasi ini merupakan bagian

yang penting dalam proses menangani penyakit kronis

dan hendaya. Rehabilitasi sendiri merupakan tahap

ketiga dalam penanganan medis, yang mengikuti tahap

pencegahan, serta tahap pengobatan dan operasi

(Kottke, Stillwell, Lehmann, 1982).

Setiap pasien memiliki kemampuan, progres

kemajuan fungsi, dan pulih secara berbeda-beda. Untuk

itulah individualisasi program rehabilitasi dianggap

penting (Magee, Zachazewski, dan Quillen, 2007).

Pada awal masa rehabilitasi, praktisi klinis akan

menyusun program rehabilitasi yang akan dijalani oleh

tiap pasien. Pada penyusunanannya akan dilihat apa

saja kebutuhan pasien, hal ini dilaksanakan dengan

melakukan analisis kebutuhan. Selanjutnya akan

direncanakan siapa saja yang akan terlibat dalam

program ini, kapan waktu terbaik untuk memulai dan

melakukan latihan, serta tujuan-tujuan atau goal yang

harus dipenuhi oleh pasien secara berkala dalam

pemulihannya.

Saat awal pasien mengalami hendaya pada

tubuhnya, dapat terjadi reaksi psikologis serta

emosional dalam menanggapi perubahan pada fisiknya,

seperti misalnya kehilangan salah satu anggota tubuh,

dan perubahan pandangannya mengenai citra tubuhnya

(Magee et al., 2007). Selain perubahan fisik, rasa sakit

yang dirasakan sehubungan dengan hendaya fisik

mereka pun dapat memberikan dampak psikologis,

seperti stres. Selain rasa sakit, program rehabilitasi

yang memerlukan waktu yang cukup lama yang harus

pasien jalani juga dapat memicu stres (Garvin &

Vaccaro, 1997). Dalam penanganan pasien, kondisi

psikologis pasien juga turut dipertimbangkan sebagai

hal yang penting. Achterberg (dalam Magee et al.

2007), mengemukakan mengenai pentingnya hubungan

“psycho-physiology” dalam rehabilitasi pasien yang

holistik, yakni pemahaman mengenai kondisi

psikologis pasien yang turut berperan dalam proses

penyembuhannya.

Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan

program rehabilitasi medik serta peningkatan

fungsional tiap pasien berbeda-beda (Magee et al.

2007). Pasien yang menjalani program untuk waktu

yang panjang dapat merasa jenuh dan berakibat pada

keaktifan mereka dalam menjalani program

rehabilitasi. Hal ini dapat berujung pada keputusasaan

dan akhirnya mereka berhenti dari program rehabilitasi

mereka, atau biasa disebut drop out. Kondisi ini justru

dapat memperburuk kondisi pasien karena tidak

menjalani program pemulihan, sehingga disabilitas

yang mereka alami dapat menjadi permanen. Dalam

menyikapi banyaknya kasus pasien yang berhenti

sebelum masa program rehabilitasi selesai, Menteri

Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan surat

keputusan Nomor: 129/Menkes/SK/II/2008 mengenai

standar pelayanan minimal rumah sakit, yang

menyebutkan bahwa kejadian drop out pasien terhadap

pelayanan rehabilitasi medik yang di rencanakan

adalah kurang dari 50 %. Salah satu contoh yang

menggambarkan keputusasaan ini terlihat pada kasus

Ibu Y yang akhirnya memutuskan untuk berhenti dari

program rehabilitasinya.

Berdasarkan komunikasi personal dengan Ibu

Y (48 tahun) yang menderita paraplegia, beliau

menceritakan bahwa beliau adalah seorang petugas

administrasi di rumah sakit. Kondisi fisiknya

mengaharuskan beliau untuk hidup menggunakan kursi

roda. Setelah beberapa tahun hidup dengan

menggunakan kursi roda, ia mulai mengalami cedera

Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013

Page 3: HUBUNGAN OPTIMISME DAN SUBJECTIVE WELL-BEING …

decubitus pada bagian belakang tubuhnya sebagai

akibat dari tekanan yang terus menerus pada satu

bagian tubuhnya. Ia pun harus menjalani operasi pada

bulan Oktober tahun 2012 lalu. Setelah beberapa bulan

pasca operasi, ia kembali mengalami cedera yang sama

dan harus menjalani kembali prosedur operasi yang

sama pada Desember 2012. Pada masa rehabilitasi

pasca operasinya, ia diharuskan melakukan beberapa

jenis latihan agar dapat mencapai tingkat kepulihan

yang maksimal. Namun, ia mulai terlihat mengalami

perubahan-perubahan dalam kesehariannya. Ibu Y

sudah tidak semangat melakukan latihan yang

diperlukan dalam masa rehabilitasinya, dan akhirnya

memutuskan untuk berhenti saja. Hal ini tentu

berakibat pada memburuknya cedera yang ia alami.

Perubahan lainnya yang juga disadari oleh orang-

orang sekitarnya adalah kinerjanya yang jauh lebih

menurun. Salah satu contoh yang mereka rasakan

adalah bertambahnya waktu yang beliau butuhkan

dalam menyelesaikan tugas, serta kinerjanya secara

keseluruhan. Pada saat mengalami banyak tekanan

sehubungan dengan akreditasi yang sedang dijalani

rumah sakit, Ibu Y dibutuhkan untuk turut aktif demi

keberhasilan bersama. Namun ia terlihat depresi dan

hanya terdiam memandangi layar komputer, serta

kurang dapat diajak berkomunikasi. Beliau pun

menjadi sering mengeluhkan keseluruhan hidupnya dan

mengatakan bahwa Ia ingin segera bertemu dengan

malaikat pencabut nyawa. Perubahan yang dialami oleh

Ibu Y membuat rekan-rekan kerjanya terus berusaha

untuk menyemangati beliau dan menyarankan beliau

untuk kembali ke program rehabilitasinya serta

menjalani rehabilitasi psikologis agar ia dapat kembali

semangat dalam menjalani kehidupannya.

Dalam menghadapi berbagai perbedaan serta

kesulitan dalam lingkungan, manusia akan

mengahadapi berbagai emosi, baik semangat, rasa mau

berusaha, marah, cemas, bahkan depresi. Dalam

beradapatasi terhadap perubahan dalam kehidupannya,

tentu diperlukan adanya penerimaan atau acceptance

dari dalam diri pasien sendiri terlebih dahulu

(Millinder, Louis, dan Simmons, 1992). Dalam

menjalani perubahan ini pun, ada kemungkinan

dialaminya kebingungan serta perasaan kurangnya

kontrol diri yang bila tidak diatasi dapat berakibat pada

keputusasaan. Cummins (1995 dalam Migliorini dan

Tonge, 2009) menyatakan bahwa penerimaan dan

keputusasaan ini berhubungan dengan subjective well-

being seseorang. Mengenai hubungannya dengan

pasien rehabilitasi medik, penelitian yang dilakukan

oleh Migliorini dan Tonge (2009) menemukan bahwa

pasien tidak memiliki kehidupan yang memuaskan.

Kepuasan ini berhubungan erat dengan subjective well-

being atau kesejahteraan subjektif seseorang. Meskipun

subjective well-being berkorelasi dengan psychological

well-being, keduanya merupakan konsep yang berbeda.

Psychological well-being memiliki cakupan yang lebih

luas, dan merefleksikan keterlibatan serta partisipasi

penuh dalam tantangan serta kesempatan dalam hidup

(Linley dan Joseph, 2004). Psychological well-being

ini sendiri didefinisikan sebagai keterlibatan dalam

tantangan-tantangan eksistensial dalam kehidupan

(Keyes, Shmotkin, dan Ryff, 2002 dalam Linley dan

Joseph, 2004)

Kesejahteraan subjektif, atau yang seringkali

disebut sebagai kebahagiaan terdiri dari dua aspek;

yakni afektif serta kognitif. Aspek yang pertama terdiri

dari faktor afektif yang merepresentasikan pengalaman

emosional positif. Aspek yang kedua terdiri dari

evaluasi kognitif mengenai kepuasaan terhadap

berbagai domain dalam hidup. Kedua aspek ini tidak

saling bergantung satu sama lain (Carr, 2004). Namun,

keseluruhan kebahagiaan bergantung pada evaluasi

kognitif terhadap kepuasaan bebagai domain

kehidupan, di mana di dalamnya terdapat aspek

pengalaman afektif, yakni penilaian afeksi negatif

ataupun positif dalam pengalaman secara umum (Carr,

2004; Diener, Lucas, & Oishi, 2005 dalam Smedema,

Catalano, dan Ebener, 2010 ). Dalam komponen

kognitif, Diener, dkk memasukkan domain diri sendiri,

keluarga, teman sekelompok, kesehatan, keuangan,

pekerjaan, serta kesenangan. Dalam domain-domain

tersebut terdapat pandangan-pandangan subjek baik

mengenai masa lalu, saat ini, maupun masa yang akan

datang. Kesejahteraan diri pasien seringkali

diperhitungkan dalam proses penyembuhan.

Dalam pengukuran kualitas kehidupan dari

orang yang disertai hendaya tubuh, banyak ahli yang

menyarankan pengukuran subjective well-being mereka

(Chapin, Miller, Ferrin, Chan, & Rubin, 2004; Dijkers,

1997 dalam Smedema, Catalano, Ebener, 2010). Bila

dihubungkan dengan kesehatan, kualitas kehidupan

seseorang kemungkinan bergantung pada perawatan

diri dalam menjalani hidup sehari-hari (Hergenroder &

Blank, 2009). Hal ini berhubungan juga dengan

penyesuaian dan pembiasaan diri pasien dengan

hendaya yang ia miliki (Leahy, Chan, Saunders, 2003

dalam Smedema, Catalano, Ebener, 2010). Bila pasien

dapat melakukan penyesuaian yang positif terhadap

reaksi psikologis yang dialami, hasil program

penyembuhan dapat menjadi lebih baik dan

kesejahteraan subjektif yang lebih baik (Irving,

Cheavens, Snyder, Gravel, Hanke, Hilberg, & Nelson,

2004 dalam Smedema, Catalano, Ebener, 2010). Dalam

upaya mencapai kesejahteraan psikologis ini, seseorang

harus berusaha untuk dapat menghadapi stres yang

mereka alami. (Scheier, Carver, & Bridges dalam

Chang, 2001) mendukung pernyataan ini, Garvin &

Vaccaro (1997) meneyebutkan bahwa dalam menjalani

proses pemulihan pasien, perlu dilaksanakan screening

test untuk melihat adanya kebutuhan bagi pasien untuk

mengikuti asesmen kesehatan mental. Distres subjektif

pasien merupakan salah satu hal yang diukur dalam

asesmen tersebut. Dengan adanya positive coping

Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013

Page 4: HUBUNGAN OPTIMISME DAN SUBJECTIVE WELL-BEING …

dalam menghadapi distres yang pasien alami, pasien

akan lebih terlibat dan proaktif dalam menjalani

programnya demi mencapai kepulihan yang optimal

(Magee, Botterill, Flint, dan Levleva, 2007 dalam

Magee et al. , 2007). Lin (2003) menyebutkan bahwa

depresi yang dialami pasien rehabilitasi seringkali tidak

terdeteksi, sehingga tidak dapat ditangani dengan baik.

Hal ini dapat berdampak pada perkembangan pasien

dalam program pemulihannya, konsentrasi, serta

motivasinya dalam menyelesaikan program.

Magee, Botterill, Flint, dan Levleva (2007,

dalam Magee et al. , 2007) menyatakan bahwa dalam

menghadapi keadaan yang dapat menimbulkan stres

tersebut, penyelesaian masalah secara proaktif oleh

pasien akan menghasilkan penyesuaian diri yang lebih

baik pada pasien dengan hendaya. Berhubungan

dengan keaktifan yang diharapakan dari pasien itu

sendiri, diperlukan adanya motivasi dalam diri pasien

untuk memacu dirinya agar dapat menyelesaikan

masalahnya. Sehubungan dengan itu, motivasi untuk

dapat mencapai keberhasilan ditemukan berhubungan

dengan lebih sedikitnya tingkat depresi, hasil terapeutik

yang lebih positif, serta kesejahteraan diri yang lebih

baik (Elliott, Witty, Herrick, & Hoffman, 1991; Irving

et al., 2004 dalam Smedema, Catalano, Ebener, 2010).

Motivasi untuk mencapai tujuan yang dimiliki

tiap orang berbeda. Motivasi tersebut dapat

dipengaruhi oleh kepercayaan diri serta nilai mengenai

kepentingan tujuan tersebut bagi tiap orang (Carr,

2004). Kepercayaan diri serta nilai dari tujuan ini

merupakan dua aspek yang menurut Scheier dan

Carver berhubungan erat dengan optimisme.

Optimisme dilihat sebagai sebuah ekspektasi bahwa hal

baik akan terjadi di masa yang akan datang,

dibandingkan dengan hal buruk (Scheier dan Carver,

1985). Scheier dan koleganya berargumentasi bahwa

ketika menghadapi kesulitan, orang yang optimis akan

tetap berusaha untuk mencapai tujuan mereka dan

meregulasi diri, serta menggunakan strategi yang

efektif dalam menghadapi stres yang mereka alami.

Dengan begitu, mereka cenderung akan mencapai

tujuan yang mereka miliki (Scheier, Carver, dan

Bridges, 2000 dalam Carr, 2004). Sedangkan

mengenai orang yang cenderung pesimis, ia akan

memandang bahwa mereka tidak memiliki harapan

mengenai pencapaian tujuannya (Chang, 2001).

Optimisme dan pesimisme ini berhubungan dengan

kesehatan manusia, di mana pandangan mereka akan

mempengaruhi tingkah laku mereka dalam menjalani

aktivitas dalam upaya menjaga kesehatan mereka

(Chang, 2001).

Optimisme, atau keyakinan akan hasil yang

baik yang akan tercapai dapat mempengaruhi

berjalannya proses rehabilitasi yang dijalani oleh

pasien rehabilitasi medik. Optimisme dihubungkan

dengan motivasi, pencapaian, kesehatan fisik, serta

gejala depresi yang lebih sedikit (Chang, 2001). Bila

pasien optimis, mereka akan menggerakkan diri

mereka menuju tujuan mereka, yang dalam hal ini

merupakan penyelesaian program pemulihan atau

rehabilitasi. Program rehabilitasi yang

terindividualisasi terdiri dari tujuan-tujuan yang harus

mereka capai, baik tujuan-tujuan sederhana dan

bertahap setiap harinya, ataupun tujuan utama yakni

penyelesaian program. Hal ini didukung dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Shepperd, Maroto, &

Pbert (1996) terhadap pasien yang sedang menjalani

masa rehabilitasi. Dalam penelitian ini ditemukan

bahwa optimisme di antara para pasien-pasien tersebut

berhubungan dengan kondisi tubuh yang lebih baik,

serta peningkatan dalam kegiatan berlatih selama

periode rehabilitasi. Optimisme tersebut membantu

pasien untuk tetap berusaha, serta menyadarkan mereka

bahwa tujuan akhir mereka adalah mendapatkan

memaksimalkan fungsi untuk mencapai tingkat

independensi yang tertinggi kembali (Rieg, Mason, dan

Preston, 2006). Lawan dari optimisme adalah

pesimisme, di mana orang memandang bahwa mereka

tidak memiliki harapan mengenai pencapaian

tujuannya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh

Scioli, dkk (1997), ditemukan bahwa tingkat

optimisme yang rendah berkorelasi dengan tingkat

keparahan penyakit yang lebih tinggi.

Dalam menjalani program rehabilitasi,

pandangan mereka mengenai harapan akan

keberhasilan pencapaian tujuan proses rehabilitasi. Saat

masa rehabilitasi dilaksanakan, pasien seharusnya

dapat secara aktif terlibat dalam program rehabilitasi

sehingga dapat menjadi dorongan untuk melangkah ke

depan (Kottke, Stillwell, Lehmann, 1982) sekaligus

untuk dapat mencapai pemulihan yang lebih baik serta

mempromosikan kesejahteraan dalam diri pasien

(Aspinwall, 1997; Aspinwall & Taylor, 1997 dalam

Chang, 2010). Bila melihat kisah Ibu Y di atas, terlihat

gambaran seorang pasien yang mengalami distres pada

lingkungan kerjanya dan keputusasaan yang turut

berdampak pada motivasinya dalam menyelesaikan

program rehabilitasinya. Dengan stres serta

keputusasaan yang ia rasakan, ia tidak lagi merasa

optimis mengenai kemampuannya menyelesaikan

program rehabilitasinya, sehingga motivasi untuk

menyelesaikan programnya pun berkurang, dan

akhirnya berdampak pada drop out. Drop out ini

sendiri menggambarkan kondisi pasien yang meyakini

bahwa kegagalanlah yang akan mereka dapatkan,

sehingga mereka menjauhkan diri, menjadi pasif

(Scheier dan Craver, 1985 dalam Herero dan

Extremera, 2010) serta berhenti berusaha mengejar

goal yang telah ditentukan sebelumnya (Scheier dan

Carver, 1985 dalam Lucas, Diener, dan Suh, 1996).

Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013

Page 5: HUBUNGAN OPTIMISME DAN SUBJECTIVE WELL-BEING …

Dengan perubahan yang pasien alami pada

kondisi fisiknya, pasien harus berusaha untuk mencapai

integrasi antara dirinya yang dahulu dan dirinya yang

sekarang, serta menemukan makna dan tujuan yang

baru dalam hidupnya ( Rieg, Mason, dan Preston,

2006). Dalam upayanya ini, optimisme dinilai memiliki

peran penting dalam membantu pasien untuk mencapai

tujuannya ini. Dengan pemahaman praktisi klinis

mengenai kepercayaan atau keyakinan pasien, mereka

dapat lebih mudah memahami pasien mereka dengan

lebih baik, serta selanjutnya membantu pasien untuk

mencapai tujuannya. Segerstrom (2006 dalam Carver,

Scheier, dan Segerstrom, 2010) menyatakan bahwa

optimisme bersifat relatif stabil. Namun, Wetherelle,

Sorrell, Thorp, dan Patterson (dalam Hirsch, Walker,

Chan, dan Lyness, 2012) menyebutkan bahwa

optimisme atau pesimisme seseorang dapat diubah

melalui psycho-education dengan strategi terapi

cognitive-behavioral, di mana pandangan pasien

mengenai keterbatasan fisiknya serta asumsi mengenai

dampak masalah fisiknya akan diubah (Hirsch, Walker,

Chan, dan Lyness, 2012). Selain itu, disebutkan pula

bahwa orang yang pesimis dapat diupayakan untuk

menjadi lebih optimis melalui terapi-terapi kognitif, di

mana pikiran-pikiran serta perasaan-perasaan negatif,

yang dapat memberhentikan orang dari tetap berusaha

untuk mencapai tujuan mereka, akan diubah menjadi

lebih positif sehingga mereka akan berusaha dan

berpikir seperti orang yang optimis (Carver, Scheier,

dan Segerstrom, 2010). Hal ini dianggap penting dalam

menangani pasien dalam bidang medis ( Hirsch, et al.,

2012.), termasuk dalam pembuatan program

rehabilitasi medik untuk masing-masing pasien

(Magee, Zachazewski, dan Quillen, 2007).

Berdasarkan pemaparan kondisi di atas, dalam

penelitian ini, yang merupakan bagian dari payung

penelitian mengenai optimisme, peneliti ingin melihat

optimisme pasien dalam upayanya mencapai tujuan-

tujuan dalam program rehabilitasinya. Selain itu,

dengan kondisi pasien dan lingkungan sekitarnya yang

dapat menjadi distres tersendiri, terpaparkan bahwa

coping yang dilakukan oleh pasien berkaitan erat

dengan subjective well-being mereka sehingga peneliti

ingin melihat subjective well-being pada pasien dalam

menghadapi hendayanya serta dalam menjalani

program rehabilitasinya. Dalam Lin (2003) disebutkan

bahwa keberhasilan program rehabilitasi dapat dengan

mudah terganggu atau dirusak oleh faktor-faktor

seperti kecemasan, depresi, serta ketidakjelasan

komunikasi. Dengan keterkaitan kedua konstruk pada

pasien yang sedang menjalani program rehabilitasi

medik, serta pemaparan mengenai pentingnya

pemahaman mengenai kondisi psikologis pasien dalam

perawatan yang holistik, peneliti ingin melihat

hubungan antara optimisme pada pasien rehabilitasi

medik serta hubungannya dengan kesejahteraan

subjektif mereka dalam upaya mereka menyelesaikan

program rehabilitasi mereka.

Rumusan Masalah Penelitian

1. Bagaimana gambaran optimisme pada

pasien yang sedang menjalani program

rehabilitasi medik?

2. Bagaimana gambaran subjective well-

being pada pasien yang sedang menjalani

program rehabilitasi medik

3. Apakah terdapat hubungan antara

optimisme dengan subjective well-being

pada pasien yang menjalani program

rehabilitasi medik?

Acuan Teori

Optimisme

optimisme adalah pengharapan yang

cenderung stabil pada diri seseorang dalam

memperkirakan terjadinya hal yang baik di masa yang

akan datang (Scheier dan Carver, 1985). Scheier dan

Carver (2005) menjelaskan optimisme menggunakan

pendekatan expectancy-value, yang mengasumsikan

bahwa tingkah laku manusia terorganisasi dalam upaya

pencapaian tujuan (goal) . Tujuan adalah kualitas yang

menggambarkan penilaian seseorang terhadap sesuatu

sebagai hal yang diinginkan (desirable) atau tidak

diinginkan (undesirable). Seseorang akan

menyesuaikan tingkah laku mereka ke arah tujuan yang

mereka inginkan, dan akan berusaha menyesuaikan

tingkah laku mereka untuk menghindari atau

menjauhkan diri dari tujuan yang tidak diinginkan.

Semakin penting tujuan, baik yang diinginkan maupun

yang tidak diinginkan, bagi seseorang, semakin besar

pengaruh value atau nilai terhadap motivasi seseorang

dalam mengarahkan tingkah laku mereka terkait

dengan tujuan-tujuan tersebut. Tanpa adanya tujuan

yang berarti atau dinilai penting bagi seseorang, maka

ia tidak memiliki alasan untuk bertindak.

Konsep kedua dari pendekatan ini adalah

pengaharapan (expectancy). Pengharapan ini

didefinisikan sebagai rasa percaya diri atau keraguan

seseorang mengenai pencapaian tujuannya. Bila

seseorang kurang percaya diri dalam pemenuhan

tujuannya, maka ia tidak akan bertindak dalam upaya

pencapaian tujuan tersebut. Keraguan ini dapat

mempengaruhi seseorang sebelum mengambil tindakan

atau selama proses berjalannya tindakan pencapaian

tujuan tersebut. Kepercayaan diri yang cukup akan

menggerakkan seseorang dalam mengambil tindakan,

dan hanya mereka yang mampu mempertahankan

kepercayaan diri tersebutlah yang dapat bertahan dalam

Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013

Page 6: HUBUNGAN OPTIMISME DAN SUBJECTIVE WELL-BEING …

upaya pencapaian tujuannya. Ketika seseorang

memiliki kepercayaan diri mengenai hasil dari usaha

mereka, maka mereka akan terus berusaha meskipun

mereka menghadapi kesulitan dalam usahanya. Dalam

mengahadapi kesulitan, Scheier dan koleganya

menyatakan bahwa orang yang optimis akan terus

berusaha untuk tetap mengejar tujuannya dan

meregulasi diri dengan menggunakan strategi

penyelesaian masalah demi mencapai tujuan mereka

(Scheier, Carver, dan Bridges,2000 dalam Carr, 2004).

Subjective Well-Being

Definisi subjective well-being, atau yang seringkali

disebut sebagai kebahagiaan atau happiness dalam

keseharian (Linley dan Joseph, 2004; Diener, 2009)

didefinisikan berdasarkan beberapa kategori. Kategori

yang pertama adalah definisi subjective well-being

berdasarkan kriteria eksternal. Subjective well-

being menurut pandangan ini didefinisikan sebagai

kepemilikan seseorang akan kualitas yang diinginkan.

Definisi ini dipandang bersifat normatif karena mereka

harus mendefinisikan apa saja yang dapat disebut

desirable atau diinginkan (Coan, 1997 dalam Diener,

2009).

Definisi yang kedua melihat subjective well-

being berdasarkan penilaian individu mengenai apa

saja standar yang mereka gunakan untuk mendapatkan

kehidupan yang baik, di mana seringkali definisi ini

dikaitkan dengan kepuasan hidup. Shin dan Johnson

(1978 dalam Diener, 2009) mendefinisikan subjective

well-being sebagai penilaian global seseorang

mengenai kalitas hidupnya menurut kriterianya sendiri.

Selain itu, Chekola (1975 dalam Diener, 2009)

mendefinisikan subjective well-being sebagai sebuah

harmoni kepuasan dari keinginan serta tujuan atau goal

seseorang. Definisi subjective well-being menurut

kategori ini didasarkan oleh hasil penelitian Andrews

dan Withey (1976 dalam Diener, 2009) yang

menemukan bahwa 99% partisipannya memang

melakukan asesmen atau penilaian mengenai

kehidupannya berdasarkan kriteria mereka masing-

masing.

Kriteria yang ketiga dalam mendefinisikan

subjective well-being menekankan pada gambaran

emosi positif yang jauh lebih banyak dibandingkan

emosi negatif (Bradburn, 1996 dalam Diener, 2009).

Definisi pada pandangan ini menekankan pada

pengalaman emosional seseorang, di mana seseorang

biasanya mengalami emosi yang menyenangkan dalam

periode kehidupannya, sehingga menjadi sebuah

predisposisi dalam dirinya meskipun mereka sedang

mengalami hal atau emosi yang tidak menyenangkan

(Diener, 2009).

Dalam Diener (2009) dikemukakan mengenai

tiga kriteria spesifik dalam menjelaskan subjective

well-being. Yang pertama adalah subjective well-being

bersifat subjektif, dan ada dalam pengalaman tiap

individu (Campbell, 1976 dalam Diener, 2009). Yang

kedua adalah pengukuran subjective well-being

menggunakan pengukuran yang bersifat positif, dan

tidak hanya terfokus pada ketidakhadiran faktor-faktor

negatif. Yang ketiga adalah pengukuran subjective

well-being yang biasanya menekankan pada penilaian

individu secara menyeluruh mengenai keseluruhan

aspek kehidupannya. Meskipun aspek afeksi serta

kepuasan hidup kemungkinan akan turut diukur, namun

pada akhirnya akan tetap ditekankan mengenai

penilaian kehidupan seseorang yang terintegrasi

(Diener, 2009). Dalam kesimpulannya, subjective well-

being merepresentasikan penilaian atau evaluasi

seseorang mengenai kualitas dari kehidupan mereka, di

mana penilaian tersebut didasari kriteria mereka

masing-masing mengenai arti dari hidup yang baik

(Shin dan Johnson, 1978 dalam Diener, 2009)

Hal yang sering dikaitkan dengan subjective

well-being adalah kepuasan individu mengenai ranah

yang spesifik dalam kehidupannya, serta kepuasan

hidup secara menyeluruh. Dalam mengukur kepuasan

hidup sehubungan dengan subjective well-being

seseorang, Pavot dan Diener (1993) beranggapan

bahwa pengukuran kepuasan hidup secara menyeluruh

lebih efektif dibandingkan pengukuran kepuasan hidup

dalam domain-domain tertentu. Mereka menyatakan

bahwa tiap individu memiliki “standar” kesuksesan

yang berbeda untuk tiap domain yang berbeda,

sehingga pengukuran yang dikhususkan pada domain

tertentu seringkali menjauhi hasil yang didapat dari

gambaran kepuasan utuh individu tersebut. Hasil

pengukuran kepuasan hidup juga ditemukan lebih

stabil dan konsisten, serta lebih dapat menggambarkan

perspektif individu dalam jangka panjang. Kepuasan

hidup sendiri didefinisikan sebagai proses penilaian

individu terhadap keseluruhan kualitas hidup mereka

berdasarkan kriteria mereka masing-masing (Shin dan

Johnson, 1978 dalam Pavot dan Diener, 1993).

Hubungan Optimisme dan Subjective Well-Being

Pada Pasien yang sedang Menjalani Program

Rehabilitasi Medik

Pada tingkatan dewasa muda dan madya,

fungsi fisik manusia akan mencapai puncaknya, yang

selanjutnya secara perlahan menurun. Pada usia ini

juga terdapat pengaruh dari gaya hidup terhadap

kesehatan mereka. Dari segi perkembangan kognitif,

pola pikir mereka sudah bersifat kompleks serta

kemampuan mental mencapai puncaknya pada masa

ini. Dalam usia ini juga terdapat pengambilan

keputusan penting mengenai pendidikan dan pekerjaan.

Perkembangan emosi dalam usia ini secara relatif

stabil, namun tahapan kehidupan serta kejadian penting

dapat menyebabkan terjadinya perubahan secara

Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013

Page 7: HUBUNGAN OPTIMISME DAN SUBJECTIVE WELL-BEING …

emosional. Dari segi optimisme, disebutkan bahwa

pada usia dewasa madya, orang cenderung optimis

mengenai masa lalu, masa sekarang, serta masa depan

mereka (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Optimisme

dilihat sebagai sebuah ekspektasi bahwa hal baik akan

terjadi di masa yang akan datang, dibandingkan dengan

hal buruk. Scheier dan koleganya berargumentasi

bahwa ketika menghadapi kesulitan, orang yang

optimis akan tetap berusaha untuk mencapai tujuan

mereka dan meregulasi diri, serta menggunakan

strategi yang efektif dalam menghadapi stres yang

mereka alami. Dengan begitu, mereka cenderung akan

mencapai tujuan yang mereka miliki (Scheier, Carver,

dan Bridges, 2000 dalam Carr, 2004). Sedangkan

mengenai orang yang cenderung pesimis, ia akan

memandang bahwa mereka tidak memiliki harapan

mengenai pencapaian tujuannya (Chang, 2001).

Dengan keyakinan mereka bahwa kegagalanlah yang

akan mereka dapatkan, mereka pun berhenti berusaha

dan pasif dalam usaha pencapaian tujuan mereka.

Dengan karakteristik seperti yang telah

disebutkan, terlihat bahwa kondisi fisik mereka dapat

menunjang keseharian mereka terutama dalam

pendidikan dan pekerjaan. Bila terdapat masalah pada

kondisi fisik mereka, kemungkinan pekerjaan mereka

akan mengalami hambatan. Dengan optimisme yang

terdapat pada diri pasien, hal ini dapat menunjang

penyelesaian program rehabilitasi yang sedang mereka

jalani. Mengenai segi emosi yang relatif stabil,

peristiwa yang penting seperti kecelakaan yang

menyebabkan mereka harus menjalani masa

rehabilitasi medik dapat mengubah kestabilan emosi

tersebut. Ranah emosi ini dapat berdampak pada

subjective well-being orang tersebut.

Aspek psikologis dari bagaimana individu

menghadapi kecelakaan serta perubahan fisik yang

dialaminya merupakan hal yang sangat penting, namun

seringkali terabaikan. Kecelakaan serta penyakit yang

dialami seseorang dapat menimbulkan reaksi

emosional dengan jangkauan yang luas. Tiap individu

berbeda dalam banyak hal, di antaranya adalah dalam

ambang rasa sakit yang dimiliki, kooperasi serta

kepatuhan, sifat kompetitif, pembantahan mengenai

hendaya, depresi, motivasi interinsik dan eksterinsik,

rasa marah, rasa takut, rasa bersalah, serta kemampuan

untuk membiasakan diri terhadap kecelakaan yang

dialami. Dalam (Carver, Scheier, dan Segerstrom,

2010) disebutkan bahwa saat menghadapi masalah,

optimisme dan pesimisme mempengaruhi bagaimana

individu menghadapi masalah serta kesulitan yang

dialaminya. Disebutkan pula bahwa emosi individu

memiliki rentang dari antusiasme, marah, cemas,

hingga depresi. Saat seperti inilah optimisme berperan,

di mana saat menghadapi kesulitan pun individu tetap

meyakini hasil baik yang akan didapat sehingga ia

terus berusaha. Dalam bukunya, Prentice (2011)

menyebutkan bahwa keyakinan dari pasien untuk dapat

kembali ke aktivitas mereka juga sangat penting dalam

program rehabilitasi. Dengan optimisme, pasien akan

yakin bahwa tujuan-tujuan yang telah ditetapkan pada

program rehabilitasinya dapat dicapai.

Terdapat bukti yang konsisten bahwa stres

kronis dapat mengarahkan individu pada learned

helplessness serta depresi (Hiroto & Seligman,1975

dalam Linley & Joseph, 2004). Namun, di sisi lain,

optimisme (Segerstrom, Taylor, Kemeny, & Fahey,

1998 dalam Linley & Joseph, 2004) serta kegigihan

(Maddi & Kobasa, 1984 dalam Linley & Joseph, 2004)

mempromosikan emosi yang positif dan telah

terbuktikan berhubungan dengan outcome kesehatan

yang lebih positif. Fredrickson dan Joiner (2002 dalam

Linley & Joseph, 2004) mendemonstrasikan bahwa

afek positif terasosiasikan dengan coping yang lebih

efektif serta hasil yang lebih baik. Coping yang mereka

lakukan akan menggerakkan pasien untuk menjalani

berbagai program latihan yang harus mereka jalani,

termasuk saat di rumah, di mana mereka tidak diawasi

oleh praktisi klinis. Dengan begitu, terlihat bahwa

subjective well-being serta afeksi positif dapat menjadi

sarana untuk mengurangi efek dari stres kronis, di

mana pengurangan ini selanjutnya dapat mengurangi

risiko distres ataupun penyakit baik psikologis ataupun

fisik. Selanjutnya, Carver, Scheier, dan Segerstrom

(2010) mengutarakan bahwa coping dan subjective

well-being berasosiasi dengan optimisme, termasuk

saat menghadapi berbagai kesulitan serta masalah pada

kesehatan fisik. Selain kesehatan fisik, kesehatan

psikologis yang lebih baik juga diasosiasikan dengan

subjective well-being yang lebih tinggi (Linley &

Joseph, 2004). Karena keterkaitan tersebut, peneliti

ingin melihat hubungan antara optimisme dan

subjective well-being yang dimiliki pasien yang sedang

menjalani program rehabilitasi medik. Dengan

keterkaitan kedua konstruk dengan hasil atau outcome

program yang dijalani pasien, pemahaman mengenai

hubungan dari kedua konstruk ini diharapkan dapat

memberikan gambaran yang utuh mengenai kondisi

psikologis pasien yang dapat membantu menunjang

keoptimalan berjalannya program rehabilitasi mereka

secara keseluruhan, mengingat adanya kemungkinan

resiko drop out dari stres serta kejenuhan yang pasien

alami.

Dengan hubungan yang telah terpaparkan,

diasumsikan bahwa optimisme pada pasien dapat

mendorong dirinya untuk melakukan usaha dalam

menyelesaikan program rehabilitasinya agar dapat

kembali ke lingkungannya dengan fungsi seoptimal

mungkin. Hal ini sejalan dengan subjective well-

beingnya yang dapat meningkat dengan teratasinya

stres mengenai hendaya serta berbagai perubahan

lainnya dalam kehidupan pasien. Dalam proses

penyelesaian program rehabilitasi, yang telah

Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013

Page 8: HUBUNGAN OPTIMISME DAN SUBJECTIVE WELL-BEING …

disebutkan dapat menjadi distres tersendiri bagi pasien,

kesejahteraan ini pun sebenarnya memiliki peran

penting. Dengan teratasinya kejenuhan yang beresiko

pada keputusasaan, pasien diharapakan lebih optimis

dalam menilai tujuan akhir program rehabilitasi ini dan

termotivasi untuk secara proaktif berusaha

menyelesaikan programnya.

MetodePenelitian

Sampel penelitian adalah pasien yang sedang

menjalani program rehabilitasi medik dengan rentang

usia 20-65 tahun. Pengambilan data sampel

menggunakan teknik non-probability sampling, dengan

metode convenience sampling.

Variabel 1 atau independent variable pada penelitian

ini adalah optimisme. Pengukuran optimisme pada

penelitian ini menggunakan Life Orientation Tes-

Revised yang dikembangkan oleh Scheier, Carver dan

Bridges pada tahun 1994. Alat ukur ini menggunakan

pendekatan expectancy-value yang dikemukakan oleh

Scheier dan Carver untuk mengukur pengharapan

secara langsung, dengan item-item yang meminta

partisipan untuk memilih apakah mereka meyakini

hasil akhirnya akan baik atau buruk (Scheier dan

Carver,1985 dalam Scheier, Carver, & Bridges, 2001)

Variabel 2 atau dependent variable dalam penelitian ini

adalah subjective well-being. Pengukuran subjective

well-being, atau yang seringkali disebut kebahagiaan,

menggunakan alat ukur Subjective Happiness Scale

yang dikembangkan oleh Lyubomirski dan Lepper

pada tahun 1997. Alat ukur ini terdiri dari 4 item, di

mana pada tiap item subjek diminta untuk memilih satu

dari tujuh skala yang paling menggambarkan dirinya.

Dua item pertama merupakan penilaian subjek secara

absolut dan bila dibandingkan dengan teman-

temannya. Dua item lainnya mengambarkan deskripsi

dari seseorang yang bahagia dan tidak bahagia,

kemudian subjek diminta untuk memilih satu dari 7

skala yang paling menggambarkan dirinya bila

dibandingkan dengan deskripsi tersebut.

Kemudian, dalam metode pengolahan data, penelitian

ini menggunakan perhitungan statistik melalui program

SPSS (Statistical Package for Social Science) dengan

teknik analisis statistik deskriptif, Pearson Product

Moment, serta Independent Sample t-test dan Kruskal-

Wallis.

Hasil Penelitian

Gambaran optimisme pada pasien yang sedang

menjalani program rehabilitasi medik diperoleh dari

penghitungan statistik deskriptif pada program SPSS (

Statistical Package for Social Science) dengan

memasukkan total skor LOT-R dari tiap partisipan.

Dari hasil perhitungan statistik deskriptif optimisme

partisipan ditemukan bahwa dari 66 partisipan

penelitian, diperoleh skor optimisme terendah adalah

17 dan skor optimisme tertinggi adalah 30. Skor rata-

rata optimisme yang diperoleh adalah sebesar 23.36

dengan standar deviasi sebesar 2.79. hal ini

menunjukkan bahwa true score optimisme yang

dimiliki partisipan berkisar antara nilai rata-rata ±

standar deviasi, yakni 20.57-26.15.

Tabel 1 Persebaran Skor Optimisme pada Pasien yang

sedang menjalani program Rehabilitasi Medik

Jumlah

Partisipan

Skor

Terendah

Skor

Tertinggi

Rata-

rata

Standar

Deviasi

66 17 30 23.36 2.799

Selanjutnya, gambaran subjective well-being pada

pasien yang sedang menjalani program rehabilitasi

medik diperoleh dari penghitungan statistik deskriptif

pada program SPSS ( Statistical Package for Social

Science) dengan memasukkan total skor SHS dari tiap

partisipan. Dari hasil perhitungan, didapatkan bahwa

dari 66 partisipan penelitian, terdapat skor terendah

subjective well-being yakni 2.00 dan skor tertinggi

sebesar 6.25. Rata-rata dari seluruh skor partisipan

adalah sebesar 4.82 dengan standar deviasi sebesar

0.91. Ini menunjukkan bahwa true score partisipan

berkisar dalam rentang antara 3.91 - 5.73.

Tabel 2 Persebaran Skor Subjective Well-being pada

Pasien yang sedang Menjalani Program Rehbailitasi

Medik

Jumlah

Partisipan

Nilai

Terendah

Nilai

Tertinggi

Rata-

rata

Std.

Deviasi

66 2 6.25 4.82 .91

Dari jabaran hasil perhitungan korelasi antara

optimisme dan subjecdtididapatkan nilai korelasi (r)

sebesar 0.184, yang berarti 3.38 % varians optimisme

diasosiasikan dengan subjective well-being. Korelasi

ini bersifat positif, byang berarti bahwa kenaikan skor

pada variabel optimisme akan diikuti oleh kenaikan

pada skor variabel subjective well-being. Namun,

berdasarkan penggolongan kekuatan hubungan

menurut Cohen (1988), r=0.184 termasuk ke dalam

kategori rendah. Sehubungan dengan signifikansi

hubugan antara optimisme dan subjective well-being ,

didapat p sebesar 0.139. Karena p>0.05, maka

Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013

Page 9: HUBUNGAN OPTIMISME DAN SUBJECTIVE WELL-BEING …

hubungan yang ada tidaklah signifikan. Dengan begitu,

dapat dikatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara optimisme dengan subjective well-

being. Maka dari itu, hipotesis null (Ho) dari penelitian

diterima dan hipotesis alternatif (Ha) ditolak.

Tabel 3 Korelasi antara Optimisme dengan Subjective

Well-being

Variabel 1 Variabel 2 Pearson

Correlation

(r)

Signifikansi

Optimisme Subjective

well-being

.184 .139

Peneliti juga mencoba menambahkan perhitungan

korelasi antara skor optimisme dengan skor pada data

partisipan mengenai kepuasan hidupnya. Dari

perhitungan yang dilakukan, didapatkan nilai r sebesar

.105 dengan signifikansi sebesar .402. Dari hasil

tersebut, terlihat bahwa terdapat hubungan yang positif

antara optimisme dan kepuasan hidup partisipan.

Namun, korelasi ini termasuk korelasi yang rendah dan

tidak signifikan.

Tabel 4 Korelasi antara Optimisme dengan

Mood dan Kepuasan hidup

Variabel 1 Variabel 2 Pearson

Correlation

(r)

Signifikansi

Optimisme Kepuasan

hidup

.105 0.402

Hasil Analisis Tambahan

Dengan menggunakan metode perhitungan t-

test dan Kruskal-Wallis, perhitungan ini dilakukan

untuk melihat hubungan antara rata-rata skor

optimisme dengan jenis kelamin, usia, jenis

rehabilitasi, pendidikan terakhir, pekerjaan, serta

kepuasan hidup partisipan. Dari hasil perhitungan

tersebut, ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan

mean optimisme yang signifikan pada partisipan

berdasarkan jenis kelamin, usia, jenis rehabilitasi,

pendidikan terakhir, pekerjaan, serta kepuasan hidup

mereka.

Selain itu, Perhitungan ini juga dilakukan

untuk melihat hubungan antara jenis kelamin, usia,

jenis rehabilitasi, pendidikan terakhir, pekerjaan, serta

kepuasan hidup partisipan dengan skor rata-rata

subjective well-being. Dari perhitungan tersebut,

ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan mean

subjective well-being partisipan berdasarkan jenis

kelamin, usia, jenis rehabilitasi, pendidikan terakhir,

serta perkerjaan mereka. Selain itu, ditemukan pula

bahwa terdapat perbedaan mean subjective well-being

yang signifikan pada partisipan berdasarkan kepuasan

hidup mereka.

Perbedaan mean subjective well-being dalam

kategori kepuasan hidup menghasilkan nilai H=

28.699dan signifikan pada L.o.S.0.01 (p=0.000). Hal

ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan mean skor

subjective well-being yang signifikan antara partisipan

yang tidak puas, agak tidak puas, netral, agak puas,

puas, dan sangat puas mengenai kehidupannya. Mean

skor yang tertinggi terdapat pada partisipan dalam

kategori agak sangat puas (M=5.70) dan mean skor

terendah pada partisipan yang termasuk dalam kategori

tidak puas (M=3.10).

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan interpretasi data yang

telah didapatkan dari 66 partisipan diperoleh

kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara optimisme dengan subjective well-

being pada pasien yang sedang menjalani program

rehabilitasi medik. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi-

rendahnya optimisme tidak dapat dijelaskan dengan

tinggi-rendahnya subjective well-being.

Diskusi

Gambaran hasil optimisme yang dimiliki oleh pasien

yang sedang menjalani program rehabilitasi medik

sejalan dengan pernyataan Scheier, Carver, dan

Bridges (2000 dalam Carr, 2004),yang menyatakan

bahwa saat orang yang optimis menghadapi kesulitan,

mereka akan tetap berusaha untuk mencapai tujuan

mereka, serta akan meregulasi diri mereka

menggunakan strategi coping sehingga mereka

cenderung mencapai tujuan mereka. Hal ini terlihat

pada pasien yang menjalani program rehabilitasi medik

yang secara aktif mengikuti program latihan mereka

demi mencapai tujuan, yakni menyelesaikan program

rehabilitasi dan dapat kembali ke keseharian mereka

dengan fungsi seoptimal mungkin. Hal ini sesuai

dengan Cicarelli dan Myers (2006) yang menyatakan

bahwa orang yang optimis selalu mengharapkan hal

yang positif sebagai hasil dari upaya yang mereka

lakukan. Dengan usaha mereka untuk mencapai tujuan-

Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013

Page 10: HUBUNGAN OPTIMISME DAN SUBJECTIVE WELL-BEING …

tujuan dari program rehabilitasi, terutama tujuan-tujuan

harian yang ditetapkan pada awal masa rehabilitasi,

mereka termasuk ke dalam kategori pasien yang dapat

pulih lebih cepat (Magee, Zachazewski, dan Quillen,

2007).

Selain melakukan latihan di rumah, pasien

juga melakukan berbagai terapi di rumah sakit bersama

dengan pasien-pasien lainnya. Menurut Botterill, Flint,

dan Levleva (dalam Magee et al., 2007) saat pasien

melihat pasien lain yang mengalami atau menghadapi

permasalahan yang serupa dengan mereka, dan melihat

pasien yang secara sukses menyelesaikan program

mereka, hal ini akan membuat mereka sadar bahwa

kepulihan atau kesembuhan bukanlah hal yang

mustahil. Dengan adanya kepercayaan diri dalam diri

mereka, mereka akan melakukan usaha-usaha untuk

pencapaian tujuan mereka. Hal ini sesuai dengan

pembahasan optimisme dilihat dari pendekatan

pengharapan atau expectancy miliki Scheier, Carver,

dan Bridges (2000 dalam Carr, 2004).

Dengan pengharapan serta keyakinan akan

kemampuan diri mereka untuk pulih, orang yang

optimis akan secara proaktif menjalani program

rehabilitasi. Sebaliknya, orang yang pesimis tidak akan

mengambil tindakan dalam upayanya untuk mencapai

tujuannya. Hal ini sesuai dengan Seligman (2002) yang

menyatakan bahwa orang yang optimis akan lebih

merawat kesehatan mereka, salah satunya adalah

dengan pergi ke dokter. Sebaliknya, orang yang

pesimis akan cenderung berhenti berusaha untuk

mencapai tujuan mereka. Hal ini menggambarkan

pasien-pasien yang drop out dari program rehabilitasi,

dan pasien yang optimis masih tetap berusaha untuk

menyelesaikan program. Hal ini sejalan dengan yang

dikatakan oleh Maxey dan Magnusson (2007) bahwa

keterlibatan pasien merupakan hal yang paling

ditekankan pelaksanaan program rehabilitasi.

Dilihat dari data demografis partisipan,

sebagaian besar partisipan merupakan pasien yang

masih aktif bekerja. Dengan hendaya yang mereka

alami, produktivitas mereka kemungkinan besar akan

menjadi sangat terganggu. Seperti yang dikatakan

Kottke, Stillwell, dan Lehmann (1982), hendaya yang

dialami pasien dapat menimbulkan kesulitan dalam

menjalani aktivitas mereka sehari-hari, termasuk

produktivitas mereka. Rehabilitasi merupakan tahapan

yang menengahi pasien untuk dapat kembali ke

pekerjaanya, dan produktivitas pasien merupakan

tujuan yang dianggap penting. Dengan tujuan pasien

untuk dapat kembali ke pekerjaan sehari-hari mereka

dengan produktivitas seoptimal mungkin, mereka

berupaya untuk menjalani program rehabilitasi sampai

tuntas. Dan dengan optimisme yang mereka miliki,

mereka cenderung akan tetap menjalani program ini

dan tidak putus asa walau menghadapi berbagai

kendala. Dengan adanya fokus untuk tujuan ini, hal ini

dianggap sebagai salah satu faktor yang dapat

mempercepat proses pemulihan (Magee, Zachazewski,

dan Quillen, 2007).

Dari gambaran subjective well-being pasien

yang sedang menjalani program rehabilitasi medik

pada penelitian ini, sehubungan keadaan pasien yang

mengalami hendaya, hal ini dapat menjadi distres

tersendiri pada pasien. Selain hendaya tersebut, proses

menyelesaikan program rehabilitasi yang memakan

waktu pun dapat memicu stres. Hiroto dan Seligman

(1975 dalam Linley dan Joseph, 2004) mengatakan

bahwa stres ini dapat mengarahkan individu pada

keputusasaan. Dengan pasien masih terlibat secara aktif

dalam program rehabilitasinya, dapat dikatakan bahwa

pasien melakukan coping terhadap stres yang mungkin

mereka alami. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

yang dilakukan oleh Smedema, Catalano, dan Ebener

(2010) pada pasien dengan spinal cord injury yang

sedang menjalani masa rehabilitasi, di mana positive

coping mempengaruhi subjective well-being pasien.

Berhubungan dengan keterlibatan mereka

dalam berbagai aktivitas dalam program rehabilitasi

yang bertujuan untuk mencapai tingkat kepulihan yang

maksimal, hal ini sejalan yang disampaikan oleh

Diener, Lucas, dan Oishi yang menyatakan bahwa

invidu akan mencapai subjective well-being ketika ia

berada pada jalur yang mengarahkan mereka pada

tujuan yang mereka inginkan. Meski belum mencapai

tujua mereka, keterlibatan mereka dalam aktivitas yang

memiliki tujuan intrinsik (Sheldon,Ryan, dan Reis,

1997 dalam Diener et al.).

Pada pasien yang baru menjalani program

rehabilitasi medik, peneliti menduga bahwa optimisme

pasien tergambarkan pada ekspektasi mereka yang

positif pada program yang akan mereka jalani. Selain

itu, Hubungan optimisme dan subjective well-being

yang dimiliki pasien dapat terlihat pada bagaimana

pasien melakukan coping dalam menghadapi stress

yang mereka alani, di mana stress ini bisa saja mereka

alami pada saat pertama kali mengalami hendaya, serta

saat menjalani proses pemulihan yang dapat membuat

jenuh. Dengan subjective well-being pada diri mereka,

mereka berusaha melakukan coping untuk menghadapi

stress yang mereka alami. Seiringan dengan coping

yang mereka lakukan, optimisme yang mereka miliki

turut membantu mereka dalam tetap bertahan dan aktif

dalam program, serta gigih berusaha dalam pencapaian

keberhasilan program rehabilitasi mereka untuk

menghadapi hendaya yang mereka miliki tersebut. Hal

ini sesuai dengan pernyataan Hiroto & Seligman (1975

dalam Linley & Joseph, 2004), serta Segerstrom,

Taylor, Kemeny, & Fahey (1998 dalam Linley &

Joseph, 2004) , dan Maddi & Kobasa (1984 dalam

Linley & Joseph, 2004) yang menyatakan bahwa dalam

Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013

Page 11: HUBUNGAN OPTIMISME DAN SUBJECTIVE WELL-BEING …

mengahadapi stress yang individu alami, optimisme

dan kegigihan dapat membantu menunjang positive

coping yang dilakukan individu dalam menghadapi

stresnya. Hubungan ini pun ditermukan

mempromosikan emosi yang positif dan telah

terbuktikan berhubungan dengan outcome kesehatan

yang lebih positif. Fredrickson dan Joiner (2002 dalam

Linley & Joseph, 2004), yang dapat terlihat dari

keaktifan pasien dalam menjalani program

rehabilitasinya di rumah sakit. Sehubungan dengan

outcome kesehatan yang lebih baik dslam menghadapi

kesulitan fisik, hal ini ditemukan memang berhubungan

dengan optimism dan subjective well-being seseorang

(Carver, Sheier, dan Segerstrom, 2010; Linley dan

Joseph, 2004)

Diskusi Hail Tambahan Penelitian

Dari hasil analisis tambahan mengenai

perbedaan subjective well-being berdasarkan data

demografis partisipan, tidak ditemukan perbedaan

subjective well-being yang signifikan pada partisipan

berdasarakan jenis kelamin, usia, pendidikan,

pekerjaan, status pernikahan, ataupun jenis rehabilitasi.

Hal ini sesuai dengan yang disampaikan dalam Diener

(2009) bahwa hanya terdapat sedikit perbedaan

subjective well-being berdasarkan jenis kelamin

(Andrews & Withey, 1976; Campbell et al., 1976;

Goodstein, Zautra, & Goodhart,1982; Gurin et al.,

1960; Olsen, 1980; Palmore & Kivett, 1977; Sauer,

1977; Toseland & Rasch, 1979–1980 dalam Diener,

2009), pekerjaan,ataupun pendidikan. Selain itu,

ditemukan bahwa terdapat perbedaan subjective well-

being yang signifikan pada partisipan berdasarakan

kepuasan hidup mereka. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Carr (2004) yang menyatakan bahwa

kepuasan hidup mempengaruhi keseluruhan

kebahagiaan seseorang.

Daftar Pustaka

Anastasi, A. & Urbina, S. (1997). Psychological

Testing 7th ed. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Carr, A. (2004). Positive Psychology : The Science of

Happiness and Human Strengths. Great

Britain: Brunner- Routledge

Carver, C.S.,Scheier, M.F., Segerstrom, S.C. (2010)

Optimism. Clinical Psychology Review, 30:

879-889

Chang, E.C., (2001) Optimism & Pessimism:

Implications for Theory, Research, and

Practice. Wagington, DC: American

Psychological Association

Chang, E.C., Sanna, L. J., dan Yang, K-M (2003)

Optimism, Pessimism, Affectivity, and

Psychological Adjustment in US and Korea: a

Test of a Mediation Model. Personality and

Individual Differences: 34, 1195-1208

Ciccarelli, S. K. & Meyer, G. E. (2006). Psychology.

New Jersey: Pearson Education, Inc.

Diener, E. (2009) Culture and Well-Being. New York:

Springer

Eddington, N., Shuman, R. (2005) Subjective Well-

Being (Happiness). California: Cotinuing

Psychology Education

Gravetter, F. J. & Forzano, Lori-Ann. B. (2009).

Research Methods for the Behavioral Sciences

3rd ed. Ontario: Wardsworth Cengage

Learning.

Gravetter, F.J. & Wallnau, L.B. (2007) Statistics for

the Behavioral Sciences 7th ed. Ontario:

Thomson Learning, Inc.

Guilford, J. P., & Frutcher, B. (1981). Fundamental

Statistic in Psychology and Education 6th ed.

New York: McGraw-Hill, Inc.

Hirsch, J. K., Walker, K.L., Chang, E.C., dan Lyness,

J.M. (2012) Illness Burden and Symptoms of

Anxiety in Older Adults: Optimism and

Pessimism as Moderartors. International

Psychogeriatrics: 1-8

Hoppenfeld, S., Murthy, V.L. (2000). Treatment and

Rehabilitation of Fractures. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor : 129/Menkes/ SK/II/2008 (diunduh

pada tanggal 13 Juni 2013)

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor : 378/Menkes/SK.IV/2008 (diunduh

pada tanggal 13 Juni 2013)

Kerlinger, F.N. & Lee, H.B. (2000) Foundations of

Behavioral Research 4th ed. Philadelphia:

Harcourt College Publishers.

Kottke, F.J., Stillwell, G.K., Lehman, J.F. (1982)

Krusen’s Handbook of Physical Medicineand

Rehabilitation, 3rd ed. Philadelphia: W.B.

Saunders

Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013

Page 12: HUBUNGAN OPTIMISME DAN SUBJECTIVE WELL-BEING …

Kumar, R. (1996). Research Methodology: Step-by-

Step Guide for Beginners. California: Sage

Publication, Inc.

Lin, V. W. (2003) Spinal Cord Medicine, Principles

and Practice. New York:Demos

Linley, P.A., Joseph, S. (2004). Positive Psychology in

Practice. New Jersey: John Wiley & Sons,

Inc.

Lyubomirsky, S & Lepper, H.S. (1997). Measures of

Subjective Happiness: Preliminary Reliability

and Construct Validation. Social Indicators

Research 46:1337-155.

Magee, D. J. Zachazewski, Quillen (2007) Scientific

Foundations and Principles of Practice in

Musculoskeletal Rehabilitation. Missouri:

Saunders Elsevier

Maxey, L., Magnusson, J. (2007). Rehabilitation for

The Postsurgical Orthopedic Patient.

Missouri: Mosby Elsevier

Migliorini, C. Dan Tonge, B.(2009) Reflecting on

Subjective Well-Being and Spinal Cord

Injury. J Rehabil Med: 41: 445-450

Millender, L.H., Louis, D. S., dan Simmons, B., P.

(1992) Occupational Disorders of the Upper

Extremity. New York: Churchill Livingston

Nunnally, J. C., & Bernstein, I. H. (1994).

Psychometric Theory - Third Edition. New

York: McGraw-Hill.

O’ Young, B. J. , O’Young, M. Y., Stiens. S. A.

(2008). Physical Mdicine and

Rehabilitation. China: Mosby Elsevier

Papalia, D.E., Olds, S.W., Feldman, R.D. (2008).

Human Development 10th Ed. New

York: Mc-Graw Hill

Rieg, L.S., Mason, C. H., Preston, K. (2006) Spiritual

Care: Practical Guidelines for

Rehabilitation Nurses. USA: Cotinuing

Education

Scheier, M. F., & Carver, C. S. (1985). Optimism,

Coping, and Health: Assessment and

Implications of generalized outcome

expectancies. Health Psychology, 4, 219 – 247

Scheier, M. F., Carver, C. S., & Bridges, M. W. (2001).

Optimism, Pessimism, and Psychological

Well-Being. In Optimism & Pessimism:

Implication for Theory, Research, and

Practice. Edited by Chang, E. C. American

Psychological Association. 395: 189 – 216

Scioli, A., Samor, C. M., Campbel, T. L., Chamberlin,

C. M., Lapointe, A. B., & Macleod, A. R.

(1997). A Prospective Study of Hope,

Optimism, and Health. Psychological

Reports, 81 723-733

Setiadi, B.N., Matindas, R. W., & Seniati, L. (2003).

Pedoman Penulisan Skripsi Psikologi.

Jakarta: LPSP3 UI

Shepperd, J.A., Maroto, J. J. Dan Pbert, L.A. (1996)

Dispositional Optimism as a Predictor of

Health Changes Among CardiacPatients.

Journal of Research in Personality: 30, 517-

534

Smedema, S.M., Catalano, D. Dan Ebener, D.J. (2010)

The Relationship of Coping, Self-Worth, and

Subjective Well-Being: A Structural

Equation Model. Rehabilititation

Counselling Bulletin: 53(3) 131-142

Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013

Page 13: HUBUNGAN OPTIMISME DAN SUBJECTIVE WELL-BEING …

Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013