HUBUNGAN OPTIMISME DAN SUBJECTIVE WELL-BEING …
Transcript of HUBUNGAN OPTIMISME DAN SUBJECTIVE WELL-BEING …
HUBUNGAN OPTIMISME DAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PASIEN
YANG SEDANG MENJALANI PROGRAM REHABILITASI MEDIK
Mentari Namira Pertiwi Isma dan Dra. Sugiarti Musabiq M.Kes
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini dilakukan pada 66 pasien yang sedang menjalani program rehabilitasi medik. Tujuan
penelitian ini adalah melihat gambaran optimisme dan subjective well-being serta hubungan
keduanya pada pasien yang sedang menjalani program rehabilitasi medik. Dari pengukuran
menggunakan Life Orientation Test-Revised dan Subjective Happiness Scale, hasil menunjukkan
tidak terdapat hubungan yan signifikan antara optimimse dan subjective well-being pada pasien
yang sedang menjalani program rehabilitasi medik. Secara umum, mereka memiliki optimisme
yang sedang dan tinggi, serta termasuk ke dalam kategori orang yang bahagia. Optimisme serta
subjective well-being tidak ditemukan berbeda berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan,
pendidikan, status pernikahan, serta jenis program rehabilitasi mereka.
Abstract
This research is conducted with 66 medical rehabilitation patients. The purposeis to describe
optimism, subjective well-being, and the relationship between the two in patients within a medical
rehabilitation program. Using the Life Orientation Test-Revised and Subjective Happiness Scale, the
result showed that optimism is not significantly correlated with subjective well-being among
patients in a rehabilitation program. Generally, the patients’ optimism are moderate and high, and
so does their subjective well-being. There was no optimism and subjective well-being diferrences
found in patients, based on their age, gender, occupation, education, marital status, and medical
rehabilitation program.
Keywords: Optimism, Subjective well-being, Medical Rehabilitation Program
Latar Belakang Masalah
Disability didefinisikan sebagai
ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sebuah
aktivitas (Kottke, Stillwell, Lehmann, 1982). Dalam
bidang pekerjaan, disability didefinisikan sebagai
ketidakmampuan seseorang dalam melakukan aktivitas
yang dibutuhkan dalam sebuah pekerjaan. (O’Young,
Young, dan Stiens, 2008). Pada tahun 1975,
Kementrian Kesehatan Republik Indonesi menjalani
studi kolaboratif bersama World Health Organization
(WHO) memperkirakan persentase penduduk dengan
disabilitas sebesar 10-12 % dari populasi keseluruhan.
Semenjak itu, persentase penduduk dengan disabilitas
Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013
terus meningkat. Pada tahun 2008 persentase ini
ditemukan meningkat menjadi 19.5%. Fenomena ini
diduga disebabkan oleh kondisi yang kurang memadai,
seperti minimnya kesadaran mengenai keselamatan lalu
lintas dan keselamatan kerja, meningkatnya jumlah
bencana alam, tingginya angka kekurangan gizi, serta
kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai pola
hidup sehat dan penyakit yang sifatnya degeneratif.
Dalam kategori penduduk dengan disabilitas di
Indonesia, pada tahun 2008 ditemukan bahwa
penduduk dengan hendaya fisik memiliki jumlah
paling besar yakni 274.880 (BPS, 2008). Angka ini
jauh lebih tinggi dibanding persentase penduduk
dengan disabilitas mental, kebutaan, ketulian, serta
kebisuan. Pada tahun 2009 pun ditemukan bahwa
kategori ini memiliki persentase yang paling besar,
yakni 33.75 % (Susenas, 2009).
Dengan adanya perubahan serta gangguan
fisik, pasien akan menghadapi berbagai perubahan
dalam keseharian mereka. Kemungkinan besar mereka
akan mengalami kesulitan atau keterbatasan dalam
menjalani aktivitas fisik sehari-hari, yang dapat
mempengaruhi produktivitas mereka. Untuk membantu
pasien dapat kembali ke dalam performa fungsionlanya
secara optimal inilah yang menjadikan masa
rehabilitasi penting. Hal tersebut sejalan dengan tujuan
yang diutamakan pada masa ini, yakni kemampuan diri
pasien, independensi, edukasi, serta produktivitas
dalam kehidupan pasien. Setelah menjalani masa
rehabilitasi, nilai keberhasilan program tersebut
tercerminkan pada level peningkatan fungsi pada diri
pasien, serta kualitas hidup pasien (Kottke, Stillwell,
Lehmann, 1982). Tujuan tersebut sejalan dengan visi
departemen kesehatan yakni masyarakat yang mandiri
untuk hidup sehat dengan misi membuat rakyat sehat
(Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor : 378/Menkes/SK.IV/2008).
Menurut sejarahnya, rehabilitasi bertujuan
untuk menengahi masa “tempat tidur” dengan tahap
“pekerjaan”, yakni masa sebelum pasien dapat siap
untuk kembali ke rutinitasnya setelah mengalami
kecelakaan yang menyebabkan adanya gangguan fisik
pada dirinya. Masa rehabilitasi ini merupakan bagian
yang penting dalam proses menangani penyakit kronis
dan hendaya. Rehabilitasi sendiri merupakan tahap
ketiga dalam penanganan medis, yang mengikuti tahap
pencegahan, serta tahap pengobatan dan operasi
(Kottke, Stillwell, Lehmann, 1982).
Setiap pasien memiliki kemampuan, progres
kemajuan fungsi, dan pulih secara berbeda-beda. Untuk
itulah individualisasi program rehabilitasi dianggap
penting (Magee, Zachazewski, dan Quillen, 2007).
Pada awal masa rehabilitasi, praktisi klinis akan
menyusun program rehabilitasi yang akan dijalani oleh
tiap pasien. Pada penyusunanannya akan dilihat apa
saja kebutuhan pasien, hal ini dilaksanakan dengan
melakukan analisis kebutuhan. Selanjutnya akan
direncanakan siapa saja yang akan terlibat dalam
program ini, kapan waktu terbaik untuk memulai dan
melakukan latihan, serta tujuan-tujuan atau goal yang
harus dipenuhi oleh pasien secara berkala dalam
pemulihannya.
Saat awal pasien mengalami hendaya pada
tubuhnya, dapat terjadi reaksi psikologis serta
emosional dalam menanggapi perubahan pada fisiknya,
seperti misalnya kehilangan salah satu anggota tubuh,
dan perubahan pandangannya mengenai citra tubuhnya
(Magee et al., 2007). Selain perubahan fisik, rasa sakit
yang dirasakan sehubungan dengan hendaya fisik
mereka pun dapat memberikan dampak psikologis,
seperti stres. Selain rasa sakit, program rehabilitasi
yang memerlukan waktu yang cukup lama yang harus
pasien jalani juga dapat memicu stres (Garvin &
Vaccaro, 1997). Dalam penanganan pasien, kondisi
psikologis pasien juga turut dipertimbangkan sebagai
hal yang penting. Achterberg (dalam Magee et al.
2007), mengemukakan mengenai pentingnya hubungan
“psycho-physiology” dalam rehabilitasi pasien yang
holistik, yakni pemahaman mengenai kondisi
psikologis pasien yang turut berperan dalam proses
penyembuhannya.
Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
program rehabilitasi medik serta peningkatan
fungsional tiap pasien berbeda-beda (Magee et al.
2007). Pasien yang menjalani program untuk waktu
yang panjang dapat merasa jenuh dan berakibat pada
keaktifan mereka dalam menjalani program
rehabilitasi. Hal ini dapat berujung pada keputusasaan
dan akhirnya mereka berhenti dari program rehabilitasi
mereka, atau biasa disebut drop out. Kondisi ini justru
dapat memperburuk kondisi pasien karena tidak
menjalani program pemulihan, sehingga disabilitas
yang mereka alami dapat menjadi permanen. Dalam
menyikapi banyaknya kasus pasien yang berhenti
sebelum masa program rehabilitasi selesai, Menteri
Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan surat
keputusan Nomor: 129/Menkes/SK/II/2008 mengenai
standar pelayanan minimal rumah sakit, yang
menyebutkan bahwa kejadian drop out pasien terhadap
pelayanan rehabilitasi medik yang di rencanakan
adalah kurang dari 50 %. Salah satu contoh yang
menggambarkan keputusasaan ini terlihat pada kasus
Ibu Y yang akhirnya memutuskan untuk berhenti dari
program rehabilitasinya.
Berdasarkan komunikasi personal dengan Ibu
Y (48 tahun) yang menderita paraplegia, beliau
menceritakan bahwa beliau adalah seorang petugas
administrasi di rumah sakit. Kondisi fisiknya
mengaharuskan beliau untuk hidup menggunakan kursi
roda. Setelah beberapa tahun hidup dengan
menggunakan kursi roda, ia mulai mengalami cedera
Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013
decubitus pada bagian belakang tubuhnya sebagai
akibat dari tekanan yang terus menerus pada satu
bagian tubuhnya. Ia pun harus menjalani operasi pada
bulan Oktober tahun 2012 lalu. Setelah beberapa bulan
pasca operasi, ia kembali mengalami cedera yang sama
dan harus menjalani kembali prosedur operasi yang
sama pada Desember 2012. Pada masa rehabilitasi
pasca operasinya, ia diharuskan melakukan beberapa
jenis latihan agar dapat mencapai tingkat kepulihan
yang maksimal. Namun, ia mulai terlihat mengalami
perubahan-perubahan dalam kesehariannya. Ibu Y
sudah tidak semangat melakukan latihan yang
diperlukan dalam masa rehabilitasinya, dan akhirnya
memutuskan untuk berhenti saja. Hal ini tentu
berakibat pada memburuknya cedera yang ia alami.
Perubahan lainnya yang juga disadari oleh orang-
orang sekitarnya adalah kinerjanya yang jauh lebih
menurun. Salah satu contoh yang mereka rasakan
adalah bertambahnya waktu yang beliau butuhkan
dalam menyelesaikan tugas, serta kinerjanya secara
keseluruhan. Pada saat mengalami banyak tekanan
sehubungan dengan akreditasi yang sedang dijalani
rumah sakit, Ibu Y dibutuhkan untuk turut aktif demi
keberhasilan bersama. Namun ia terlihat depresi dan
hanya terdiam memandangi layar komputer, serta
kurang dapat diajak berkomunikasi. Beliau pun
menjadi sering mengeluhkan keseluruhan hidupnya dan
mengatakan bahwa Ia ingin segera bertemu dengan
malaikat pencabut nyawa. Perubahan yang dialami oleh
Ibu Y membuat rekan-rekan kerjanya terus berusaha
untuk menyemangati beliau dan menyarankan beliau
untuk kembali ke program rehabilitasinya serta
menjalani rehabilitasi psikologis agar ia dapat kembali
semangat dalam menjalani kehidupannya.
Dalam menghadapi berbagai perbedaan serta
kesulitan dalam lingkungan, manusia akan
mengahadapi berbagai emosi, baik semangat, rasa mau
berusaha, marah, cemas, bahkan depresi. Dalam
beradapatasi terhadap perubahan dalam kehidupannya,
tentu diperlukan adanya penerimaan atau acceptance
dari dalam diri pasien sendiri terlebih dahulu
(Millinder, Louis, dan Simmons, 1992). Dalam
menjalani perubahan ini pun, ada kemungkinan
dialaminya kebingungan serta perasaan kurangnya
kontrol diri yang bila tidak diatasi dapat berakibat pada
keputusasaan. Cummins (1995 dalam Migliorini dan
Tonge, 2009) menyatakan bahwa penerimaan dan
keputusasaan ini berhubungan dengan subjective well-
being seseorang. Mengenai hubungannya dengan
pasien rehabilitasi medik, penelitian yang dilakukan
oleh Migliorini dan Tonge (2009) menemukan bahwa
pasien tidak memiliki kehidupan yang memuaskan.
Kepuasan ini berhubungan erat dengan subjective well-
being atau kesejahteraan subjektif seseorang. Meskipun
subjective well-being berkorelasi dengan psychological
well-being, keduanya merupakan konsep yang berbeda.
Psychological well-being memiliki cakupan yang lebih
luas, dan merefleksikan keterlibatan serta partisipasi
penuh dalam tantangan serta kesempatan dalam hidup
(Linley dan Joseph, 2004). Psychological well-being
ini sendiri didefinisikan sebagai keterlibatan dalam
tantangan-tantangan eksistensial dalam kehidupan
(Keyes, Shmotkin, dan Ryff, 2002 dalam Linley dan
Joseph, 2004)
Kesejahteraan subjektif, atau yang seringkali
disebut sebagai kebahagiaan terdiri dari dua aspek;
yakni afektif serta kognitif. Aspek yang pertama terdiri
dari faktor afektif yang merepresentasikan pengalaman
emosional positif. Aspek yang kedua terdiri dari
evaluasi kognitif mengenai kepuasaan terhadap
berbagai domain dalam hidup. Kedua aspek ini tidak
saling bergantung satu sama lain (Carr, 2004). Namun,
keseluruhan kebahagiaan bergantung pada evaluasi
kognitif terhadap kepuasaan bebagai domain
kehidupan, di mana di dalamnya terdapat aspek
pengalaman afektif, yakni penilaian afeksi negatif
ataupun positif dalam pengalaman secara umum (Carr,
2004; Diener, Lucas, & Oishi, 2005 dalam Smedema,
Catalano, dan Ebener, 2010 ). Dalam komponen
kognitif, Diener, dkk memasukkan domain diri sendiri,
keluarga, teman sekelompok, kesehatan, keuangan,
pekerjaan, serta kesenangan. Dalam domain-domain
tersebut terdapat pandangan-pandangan subjek baik
mengenai masa lalu, saat ini, maupun masa yang akan
datang. Kesejahteraan diri pasien seringkali
diperhitungkan dalam proses penyembuhan.
Dalam pengukuran kualitas kehidupan dari
orang yang disertai hendaya tubuh, banyak ahli yang
menyarankan pengukuran subjective well-being mereka
(Chapin, Miller, Ferrin, Chan, & Rubin, 2004; Dijkers,
1997 dalam Smedema, Catalano, Ebener, 2010). Bila
dihubungkan dengan kesehatan, kualitas kehidupan
seseorang kemungkinan bergantung pada perawatan
diri dalam menjalani hidup sehari-hari (Hergenroder &
Blank, 2009). Hal ini berhubungan juga dengan
penyesuaian dan pembiasaan diri pasien dengan
hendaya yang ia miliki (Leahy, Chan, Saunders, 2003
dalam Smedema, Catalano, Ebener, 2010). Bila pasien
dapat melakukan penyesuaian yang positif terhadap
reaksi psikologis yang dialami, hasil program
penyembuhan dapat menjadi lebih baik dan
kesejahteraan subjektif yang lebih baik (Irving,
Cheavens, Snyder, Gravel, Hanke, Hilberg, & Nelson,
2004 dalam Smedema, Catalano, Ebener, 2010). Dalam
upaya mencapai kesejahteraan psikologis ini, seseorang
harus berusaha untuk dapat menghadapi stres yang
mereka alami. (Scheier, Carver, & Bridges dalam
Chang, 2001) mendukung pernyataan ini, Garvin &
Vaccaro (1997) meneyebutkan bahwa dalam menjalani
proses pemulihan pasien, perlu dilaksanakan screening
test untuk melihat adanya kebutuhan bagi pasien untuk
mengikuti asesmen kesehatan mental. Distres subjektif
pasien merupakan salah satu hal yang diukur dalam
asesmen tersebut. Dengan adanya positive coping
Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013
dalam menghadapi distres yang pasien alami, pasien
akan lebih terlibat dan proaktif dalam menjalani
programnya demi mencapai kepulihan yang optimal
(Magee, Botterill, Flint, dan Levleva, 2007 dalam
Magee et al. , 2007). Lin (2003) menyebutkan bahwa
depresi yang dialami pasien rehabilitasi seringkali tidak
terdeteksi, sehingga tidak dapat ditangani dengan baik.
Hal ini dapat berdampak pada perkembangan pasien
dalam program pemulihannya, konsentrasi, serta
motivasinya dalam menyelesaikan program.
Magee, Botterill, Flint, dan Levleva (2007,
dalam Magee et al. , 2007) menyatakan bahwa dalam
menghadapi keadaan yang dapat menimbulkan stres
tersebut, penyelesaian masalah secara proaktif oleh
pasien akan menghasilkan penyesuaian diri yang lebih
baik pada pasien dengan hendaya. Berhubungan
dengan keaktifan yang diharapakan dari pasien itu
sendiri, diperlukan adanya motivasi dalam diri pasien
untuk memacu dirinya agar dapat menyelesaikan
masalahnya. Sehubungan dengan itu, motivasi untuk
dapat mencapai keberhasilan ditemukan berhubungan
dengan lebih sedikitnya tingkat depresi, hasil terapeutik
yang lebih positif, serta kesejahteraan diri yang lebih
baik (Elliott, Witty, Herrick, & Hoffman, 1991; Irving
et al., 2004 dalam Smedema, Catalano, Ebener, 2010).
Motivasi untuk mencapai tujuan yang dimiliki
tiap orang berbeda. Motivasi tersebut dapat
dipengaruhi oleh kepercayaan diri serta nilai mengenai
kepentingan tujuan tersebut bagi tiap orang (Carr,
2004). Kepercayaan diri serta nilai dari tujuan ini
merupakan dua aspek yang menurut Scheier dan
Carver berhubungan erat dengan optimisme.
Optimisme dilihat sebagai sebuah ekspektasi bahwa hal
baik akan terjadi di masa yang akan datang,
dibandingkan dengan hal buruk (Scheier dan Carver,
1985). Scheier dan koleganya berargumentasi bahwa
ketika menghadapi kesulitan, orang yang optimis akan
tetap berusaha untuk mencapai tujuan mereka dan
meregulasi diri, serta menggunakan strategi yang
efektif dalam menghadapi stres yang mereka alami.
Dengan begitu, mereka cenderung akan mencapai
tujuan yang mereka miliki (Scheier, Carver, dan
Bridges, 2000 dalam Carr, 2004). Sedangkan
mengenai orang yang cenderung pesimis, ia akan
memandang bahwa mereka tidak memiliki harapan
mengenai pencapaian tujuannya (Chang, 2001).
Optimisme dan pesimisme ini berhubungan dengan
kesehatan manusia, di mana pandangan mereka akan
mempengaruhi tingkah laku mereka dalam menjalani
aktivitas dalam upaya menjaga kesehatan mereka
(Chang, 2001).
Optimisme, atau keyakinan akan hasil yang
baik yang akan tercapai dapat mempengaruhi
berjalannya proses rehabilitasi yang dijalani oleh
pasien rehabilitasi medik. Optimisme dihubungkan
dengan motivasi, pencapaian, kesehatan fisik, serta
gejala depresi yang lebih sedikit (Chang, 2001). Bila
pasien optimis, mereka akan menggerakkan diri
mereka menuju tujuan mereka, yang dalam hal ini
merupakan penyelesaian program pemulihan atau
rehabilitasi. Program rehabilitasi yang
terindividualisasi terdiri dari tujuan-tujuan yang harus
mereka capai, baik tujuan-tujuan sederhana dan
bertahap setiap harinya, ataupun tujuan utama yakni
penyelesaian program. Hal ini didukung dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Shepperd, Maroto, &
Pbert (1996) terhadap pasien yang sedang menjalani
masa rehabilitasi. Dalam penelitian ini ditemukan
bahwa optimisme di antara para pasien-pasien tersebut
berhubungan dengan kondisi tubuh yang lebih baik,
serta peningkatan dalam kegiatan berlatih selama
periode rehabilitasi. Optimisme tersebut membantu
pasien untuk tetap berusaha, serta menyadarkan mereka
bahwa tujuan akhir mereka adalah mendapatkan
memaksimalkan fungsi untuk mencapai tingkat
independensi yang tertinggi kembali (Rieg, Mason, dan
Preston, 2006). Lawan dari optimisme adalah
pesimisme, di mana orang memandang bahwa mereka
tidak memiliki harapan mengenai pencapaian
tujuannya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Scioli, dkk (1997), ditemukan bahwa tingkat
optimisme yang rendah berkorelasi dengan tingkat
keparahan penyakit yang lebih tinggi.
Dalam menjalani program rehabilitasi,
pandangan mereka mengenai harapan akan
keberhasilan pencapaian tujuan proses rehabilitasi. Saat
masa rehabilitasi dilaksanakan, pasien seharusnya
dapat secara aktif terlibat dalam program rehabilitasi
sehingga dapat menjadi dorongan untuk melangkah ke
depan (Kottke, Stillwell, Lehmann, 1982) sekaligus
untuk dapat mencapai pemulihan yang lebih baik serta
mempromosikan kesejahteraan dalam diri pasien
(Aspinwall, 1997; Aspinwall & Taylor, 1997 dalam
Chang, 2010). Bila melihat kisah Ibu Y di atas, terlihat
gambaran seorang pasien yang mengalami distres pada
lingkungan kerjanya dan keputusasaan yang turut
berdampak pada motivasinya dalam menyelesaikan
program rehabilitasinya. Dengan stres serta
keputusasaan yang ia rasakan, ia tidak lagi merasa
optimis mengenai kemampuannya menyelesaikan
program rehabilitasinya, sehingga motivasi untuk
menyelesaikan programnya pun berkurang, dan
akhirnya berdampak pada drop out. Drop out ini
sendiri menggambarkan kondisi pasien yang meyakini
bahwa kegagalanlah yang akan mereka dapatkan,
sehingga mereka menjauhkan diri, menjadi pasif
(Scheier dan Craver, 1985 dalam Herero dan
Extremera, 2010) serta berhenti berusaha mengejar
goal yang telah ditentukan sebelumnya (Scheier dan
Carver, 1985 dalam Lucas, Diener, dan Suh, 1996).
Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013
Dengan perubahan yang pasien alami pada
kondisi fisiknya, pasien harus berusaha untuk mencapai
integrasi antara dirinya yang dahulu dan dirinya yang
sekarang, serta menemukan makna dan tujuan yang
baru dalam hidupnya ( Rieg, Mason, dan Preston,
2006). Dalam upayanya ini, optimisme dinilai memiliki
peran penting dalam membantu pasien untuk mencapai
tujuannya ini. Dengan pemahaman praktisi klinis
mengenai kepercayaan atau keyakinan pasien, mereka
dapat lebih mudah memahami pasien mereka dengan
lebih baik, serta selanjutnya membantu pasien untuk
mencapai tujuannya. Segerstrom (2006 dalam Carver,
Scheier, dan Segerstrom, 2010) menyatakan bahwa
optimisme bersifat relatif stabil. Namun, Wetherelle,
Sorrell, Thorp, dan Patterson (dalam Hirsch, Walker,
Chan, dan Lyness, 2012) menyebutkan bahwa
optimisme atau pesimisme seseorang dapat diubah
melalui psycho-education dengan strategi terapi
cognitive-behavioral, di mana pandangan pasien
mengenai keterbatasan fisiknya serta asumsi mengenai
dampak masalah fisiknya akan diubah (Hirsch, Walker,
Chan, dan Lyness, 2012). Selain itu, disebutkan pula
bahwa orang yang pesimis dapat diupayakan untuk
menjadi lebih optimis melalui terapi-terapi kognitif, di
mana pikiran-pikiran serta perasaan-perasaan negatif,
yang dapat memberhentikan orang dari tetap berusaha
untuk mencapai tujuan mereka, akan diubah menjadi
lebih positif sehingga mereka akan berusaha dan
berpikir seperti orang yang optimis (Carver, Scheier,
dan Segerstrom, 2010). Hal ini dianggap penting dalam
menangani pasien dalam bidang medis ( Hirsch, et al.,
2012.), termasuk dalam pembuatan program
rehabilitasi medik untuk masing-masing pasien
(Magee, Zachazewski, dan Quillen, 2007).
Berdasarkan pemaparan kondisi di atas, dalam
penelitian ini, yang merupakan bagian dari payung
penelitian mengenai optimisme, peneliti ingin melihat
optimisme pasien dalam upayanya mencapai tujuan-
tujuan dalam program rehabilitasinya. Selain itu,
dengan kondisi pasien dan lingkungan sekitarnya yang
dapat menjadi distres tersendiri, terpaparkan bahwa
coping yang dilakukan oleh pasien berkaitan erat
dengan subjective well-being mereka sehingga peneliti
ingin melihat subjective well-being pada pasien dalam
menghadapi hendayanya serta dalam menjalani
program rehabilitasinya. Dalam Lin (2003) disebutkan
bahwa keberhasilan program rehabilitasi dapat dengan
mudah terganggu atau dirusak oleh faktor-faktor
seperti kecemasan, depresi, serta ketidakjelasan
komunikasi. Dengan keterkaitan kedua konstruk pada
pasien yang sedang menjalani program rehabilitasi
medik, serta pemaparan mengenai pentingnya
pemahaman mengenai kondisi psikologis pasien dalam
perawatan yang holistik, peneliti ingin melihat
hubungan antara optimisme pada pasien rehabilitasi
medik serta hubungannya dengan kesejahteraan
subjektif mereka dalam upaya mereka menyelesaikan
program rehabilitasi mereka.
Rumusan Masalah Penelitian
1. Bagaimana gambaran optimisme pada
pasien yang sedang menjalani program
rehabilitasi medik?
2. Bagaimana gambaran subjective well-
being pada pasien yang sedang menjalani
program rehabilitasi medik
3. Apakah terdapat hubungan antara
optimisme dengan subjective well-being
pada pasien yang menjalani program
rehabilitasi medik?
Acuan Teori
Optimisme
optimisme adalah pengharapan yang
cenderung stabil pada diri seseorang dalam
memperkirakan terjadinya hal yang baik di masa yang
akan datang (Scheier dan Carver, 1985). Scheier dan
Carver (2005) menjelaskan optimisme menggunakan
pendekatan expectancy-value, yang mengasumsikan
bahwa tingkah laku manusia terorganisasi dalam upaya
pencapaian tujuan (goal) . Tujuan adalah kualitas yang
menggambarkan penilaian seseorang terhadap sesuatu
sebagai hal yang diinginkan (desirable) atau tidak
diinginkan (undesirable). Seseorang akan
menyesuaikan tingkah laku mereka ke arah tujuan yang
mereka inginkan, dan akan berusaha menyesuaikan
tingkah laku mereka untuk menghindari atau
menjauhkan diri dari tujuan yang tidak diinginkan.
Semakin penting tujuan, baik yang diinginkan maupun
yang tidak diinginkan, bagi seseorang, semakin besar
pengaruh value atau nilai terhadap motivasi seseorang
dalam mengarahkan tingkah laku mereka terkait
dengan tujuan-tujuan tersebut. Tanpa adanya tujuan
yang berarti atau dinilai penting bagi seseorang, maka
ia tidak memiliki alasan untuk bertindak.
Konsep kedua dari pendekatan ini adalah
pengaharapan (expectancy). Pengharapan ini
didefinisikan sebagai rasa percaya diri atau keraguan
seseorang mengenai pencapaian tujuannya. Bila
seseorang kurang percaya diri dalam pemenuhan
tujuannya, maka ia tidak akan bertindak dalam upaya
pencapaian tujuan tersebut. Keraguan ini dapat
mempengaruhi seseorang sebelum mengambil tindakan
atau selama proses berjalannya tindakan pencapaian
tujuan tersebut. Kepercayaan diri yang cukup akan
menggerakkan seseorang dalam mengambil tindakan,
dan hanya mereka yang mampu mempertahankan
kepercayaan diri tersebutlah yang dapat bertahan dalam
Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013
upaya pencapaian tujuannya. Ketika seseorang
memiliki kepercayaan diri mengenai hasil dari usaha
mereka, maka mereka akan terus berusaha meskipun
mereka menghadapi kesulitan dalam usahanya. Dalam
mengahadapi kesulitan, Scheier dan koleganya
menyatakan bahwa orang yang optimis akan terus
berusaha untuk tetap mengejar tujuannya dan
meregulasi diri dengan menggunakan strategi
penyelesaian masalah demi mencapai tujuan mereka
(Scheier, Carver, dan Bridges,2000 dalam Carr, 2004).
Subjective Well-Being
Definisi subjective well-being, atau yang seringkali
disebut sebagai kebahagiaan atau happiness dalam
keseharian (Linley dan Joseph, 2004; Diener, 2009)
didefinisikan berdasarkan beberapa kategori. Kategori
yang pertama adalah definisi subjective well-being
berdasarkan kriteria eksternal. Subjective well-
being menurut pandangan ini didefinisikan sebagai
kepemilikan seseorang akan kualitas yang diinginkan.
Definisi ini dipandang bersifat normatif karena mereka
harus mendefinisikan apa saja yang dapat disebut
desirable atau diinginkan (Coan, 1997 dalam Diener,
2009).
Definisi yang kedua melihat subjective well-
being berdasarkan penilaian individu mengenai apa
saja standar yang mereka gunakan untuk mendapatkan
kehidupan yang baik, di mana seringkali definisi ini
dikaitkan dengan kepuasan hidup. Shin dan Johnson
(1978 dalam Diener, 2009) mendefinisikan subjective
well-being sebagai penilaian global seseorang
mengenai kalitas hidupnya menurut kriterianya sendiri.
Selain itu, Chekola (1975 dalam Diener, 2009)
mendefinisikan subjective well-being sebagai sebuah
harmoni kepuasan dari keinginan serta tujuan atau goal
seseorang. Definisi subjective well-being menurut
kategori ini didasarkan oleh hasil penelitian Andrews
dan Withey (1976 dalam Diener, 2009) yang
menemukan bahwa 99% partisipannya memang
melakukan asesmen atau penilaian mengenai
kehidupannya berdasarkan kriteria mereka masing-
masing.
Kriteria yang ketiga dalam mendefinisikan
subjective well-being menekankan pada gambaran
emosi positif yang jauh lebih banyak dibandingkan
emosi negatif (Bradburn, 1996 dalam Diener, 2009).
Definisi pada pandangan ini menekankan pada
pengalaman emosional seseorang, di mana seseorang
biasanya mengalami emosi yang menyenangkan dalam
periode kehidupannya, sehingga menjadi sebuah
predisposisi dalam dirinya meskipun mereka sedang
mengalami hal atau emosi yang tidak menyenangkan
(Diener, 2009).
Dalam Diener (2009) dikemukakan mengenai
tiga kriteria spesifik dalam menjelaskan subjective
well-being. Yang pertama adalah subjective well-being
bersifat subjektif, dan ada dalam pengalaman tiap
individu (Campbell, 1976 dalam Diener, 2009). Yang
kedua adalah pengukuran subjective well-being
menggunakan pengukuran yang bersifat positif, dan
tidak hanya terfokus pada ketidakhadiran faktor-faktor
negatif. Yang ketiga adalah pengukuran subjective
well-being yang biasanya menekankan pada penilaian
individu secara menyeluruh mengenai keseluruhan
aspek kehidupannya. Meskipun aspek afeksi serta
kepuasan hidup kemungkinan akan turut diukur, namun
pada akhirnya akan tetap ditekankan mengenai
penilaian kehidupan seseorang yang terintegrasi
(Diener, 2009). Dalam kesimpulannya, subjective well-
being merepresentasikan penilaian atau evaluasi
seseorang mengenai kualitas dari kehidupan mereka, di
mana penilaian tersebut didasari kriteria mereka
masing-masing mengenai arti dari hidup yang baik
(Shin dan Johnson, 1978 dalam Diener, 2009)
Hal yang sering dikaitkan dengan subjective
well-being adalah kepuasan individu mengenai ranah
yang spesifik dalam kehidupannya, serta kepuasan
hidup secara menyeluruh. Dalam mengukur kepuasan
hidup sehubungan dengan subjective well-being
seseorang, Pavot dan Diener (1993) beranggapan
bahwa pengukuran kepuasan hidup secara menyeluruh
lebih efektif dibandingkan pengukuran kepuasan hidup
dalam domain-domain tertentu. Mereka menyatakan
bahwa tiap individu memiliki “standar” kesuksesan
yang berbeda untuk tiap domain yang berbeda,
sehingga pengukuran yang dikhususkan pada domain
tertentu seringkali menjauhi hasil yang didapat dari
gambaran kepuasan utuh individu tersebut. Hasil
pengukuran kepuasan hidup juga ditemukan lebih
stabil dan konsisten, serta lebih dapat menggambarkan
perspektif individu dalam jangka panjang. Kepuasan
hidup sendiri didefinisikan sebagai proses penilaian
individu terhadap keseluruhan kualitas hidup mereka
berdasarkan kriteria mereka masing-masing (Shin dan
Johnson, 1978 dalam Pavot dan Diener, 1993).
Hubungan Optimisme dan Subjective Well-Being
Pada Pasien yang sedang Menjalani Program
Rehabilitasi Medik
Pada tingkatan dewasa muda dan madya,
fungsi fisik manusia akan mencapai puncaknya, yang
selanjutnya secara perlahan menurun. Pada usia ini
juga terdapat pengaruh dari gaya hidup terhadap
kesehatan mereka. Dari segi perkembangan kognitif,
pola pikir mereka sudah bersifat kompleks serta
kemampuan mental mencapai puncaknya pada masa
ini. Dalam usia ini juga terdapat pengambilan
keputusan penting mengenai pendidikan dan pekerjaan.
Perkembangan emosi dalam usia ini secara relatif
stabil, namun tahapan kehidupan serta kejadian penting
dapat menyebabkan terjadinya perubahan secara
Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013
emosional. Dari segi optimisme, disebutkan bahwa
pada usia dewasa madya, orang cenderung optimis
mengenai masa lalu, masa sekarang, serta masa depan
mereka (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Optimisme
dilihat sebagai sebuah ekspektasi bahwa hal baik akan
terjadi di masa yang akan datang, dibandingkan dengan
hal buruk. Scheier dan koleganya berargumentasi
bahwa ketika menghadapi kesulitan, orang yang
optimis akan tetap berusaha untuk mencapai tujuan
mereka dan meregulasi diri, serta menggunakan
strategi yang efektif dalam menghadapi stres yang
mereka alami. Dengan begitu, mereka cenderung akan
mencapai tujuan yang mereka miliki (Scheier, Carver,
dan Bridges, 2000 dalam Carr, 2004). Sedangkan
mengenai orang yang cenderung pesimis, ia akan
memandang bahwa mereka tidak memiliki harapan
mengenai pencapaian tujuannya (Chang, 2001).
Dengan keyakinan mereka bahwa kegagalanlah yang
akan mereka dapatkan, mereka pun berhenti berusaha
dan pasif dalam usaha pencapaian tujuan mereka.
Dengan karakteristik seperti yang telah
disebutkan, terlihat bahwa kondisi fisik mereka dapat
menunjang keseharian mereka terutama dalam
pendidikan dan pekerjaan. Bila terdapat masalah pada
kondisi fisik mereka, kemungkinan pekerjaan mereka
akan mengalami hambatan. Dengan optimisme yang
terdapat pada diri pasien, hal ini dapat menunjang
penyelesaian program rehabilitasi yang sedang mereka
jalani. Mengenai segi emosi yang relatif stabil,
peristiwa yang penting seperti kecelakaan yang
menyebabkan mereka harus menjalani masa
rehabilitasi medik dapat mengubah kestabilan emosi
tersebut. Ranah emosi ini dapat berdampak pada
subjective well-being orang tersebut.
Aspek psikologis dari bagaimana individu
menghadapi kecelakaan serta perubahan fisik yang
dialaminya merupakan hal yang sangat penting, namun
seringkali terabaikan. Kecelakaan serta penyakit yang
dialami seseorang dapat menimbulkan reaksi
emosional dengan jangkauan yang luas. Tiap individu
berbeda dalam banyak hal, di antaranya adalah dalam
ambang rasa sakit yang dimiliki, kooperasi serta
kepatuhan, sifat kompetitif, pembantahan mengenai
hendaya, depresi, motivasi interinsik dan eksterinsik,
rasa marah, rasa takut, rasa bersalah, serta kemampuan
untuk membiasakan diri terhadap kecelakaan yang
dialami. Dalam (Carver, Scheier, dan Segerstrom,
2010) disebutkan bahwa saat menghadapi masalah,
optimisme dan pesimisme mempengaruhi bagaimana
individu menghadapi masalah serta kesulitan yang
dialaminya. Disebutkan pula bahwa emosi individu
memiliki rentang dari antusiasme, marah, cemas,
hingga depresi. Saat seperti inilah optimisme berperan,
di mana saat menghadapi kesulitan pun individu tetap
meyakini hasil baik yang akan didapat sehingga ia
terus berusaha. Dalam bukunya, Prentice (2011)
menyebutkan bahwa keyakinan dari pasien untuk dapat
kembali ke aktivitas mereka juga sangat penting dalam
program rehabilitasi. Dengan optimisme, pasien akan
yakin bahwa tujuan-tujuan yang telah ditetapkan pada
program rehabilitasinya dapat dicapai.
Terdapat bukti yang konsisten bahwa stres
kronis dapat mengarahkan individu pada learned
helplessness serta depresi (Hiroto & Seligman,1975
dalam Linley & Joseph, 2004). Namun, di sisi lain,
optimisme (Segerstrom, Taylor, Kemeny, & Fahey,
1998 dalam Linley & Joseph, 2004) serta kegigihan
(Maddi & Kobasa, 1984 dalam Linley & Joseph, 2004)
mempromosikan emosi yang positif dan telah
terbuktikan berhubungan dengan outcome kesehatan
yang lebih positif. Fredrickson dan Joiner (2002 dalam
Linley & Joseph, 2004) mendemonstrasikan bahwa
afek positif terasosiasikan dengan coping yang lebih
efektif serta hasil yang lebih baik. Coping yang mereka
lakukan akan menggerakkan pasien untuk menjalani
berbagai program latihan yang harus mereka jalani,
termasuk saat di rumah, di mana mereka tidak diawasi
oleh praktisi klinis. Dengan begitu, terlihat bahwa
subjective well-being serta afeksi positif dapat menjadi
sarana untuk mengurangi efek dari stres kronis, di
mana pengurangan ini selanjutnya dapat mengurangi
risiko distres ataupun penyakit baik psikologis ataupun
fisik. Selanjutnya, Carver, Scheier, dan Segerstrom
(2010) mengutarakan bahwa coping dan subjective
well-being berasosiasi dengan optimisme, termasuk
saat menghadapi berbagai kesulitan serta masalah pada
kesehatan fisik. Selain kesehatan fisik, kesehatan
psikologis yang lebih baik juga diasosiasikan dengan
subjective well-being yang lebih tinggi (Linley &
Joseph, 2004). Karena keterkaitan tersebut, peneliti
ingin melihat hubungan antara optimisme dan
subjective well-being yang dimiliki pasien yang sedang
menjalani program rehabilitasi medik. Dengan
keterkaitan kedua konstruk dengan hasil atau outcome
program yang dijalani pasien, pemahaman mengenai
hubungan dari kedua konstruk ini diharapkan dapat
memberikan gambaran yang utuh mengenai kondisi
psikologis pasien yang dapat membantu menunjang
keoptimalan berjalannya program rehabilitasi mereka
secara keseluruhan, mengingat adanya kemungkinan
resiko drop out dari stres serta kejenuhan yang pasien
alami.
Dengan hubungan yang telah terpaparkan,
diasumsikan bahwa optimisme pada pasien dapat
mendorong dirinya untuk melakukan usaha dalam
menyelesaikan program rehabilitasinya agar dapat
kembali ke lingkungannya dengan fungsi seoptimal
mungkin. Hal ini sejalan dengan subjective well-
beingnya yang dapat meningkat dengan teratasinya
stres mengenai hendaya serta berbagai perubahan
lainnya dalam kehidupan pasien. Dalam proses
penyelesaian program rehabilitasi, yang telah
Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013
disebutkan dapat menjadi distres tersendiri bagi pasien,
kesejahteraan ini pun sebenarnya memiliki peran
penting. Dengan teratasinya kejenuhan yang beresiko
pada keputusasaan, pasien diharapakan lebih optimis
dalam menilai tujuan akhir program rehabilitasi ini dan
termotivasi untuk secara proaktif berusaha
menyelesaikan programnya.
MetodePenelitian
Sampel penelitian adalah pasien yang sedang
menjalani program rehabilitasi medik dengan rentang
usia 20-65 tahun. Pengambilan data sampel
menggunakan teknik non-probability sampling, dengan
metode convenience sampling.
Variabel 1 atau independent variable pada penelitian
ini adalah optimisme. Pengukuran optimisme pada
penelitian ini menggunakan Life Orientation Tes-
Revised yang dikembangkan oleh Scheier, Carver dan
Bridges pada tahun 1994. Alat ukur ini menggunakan
pendekatan expectancy-value yang dikemukakan oleh
Scheier dan Carver untuk mengukur pengharapan
secara langsung, dengan item-item yang meminta
partisipan untuk memilih apakah mereka meyakini
hasil akhirnya akan baik atau buruk (Scheier dan
Carver,1985 dalam Scheier, Carver, & Bridges, 2001)
Variabel 2 atau dependent variable dalam penelitian ini
adalah subjective well-being. Pengukuran subjective
well-being, atau yang seringkali disebut kebahagiaan,
menggunakan alat ukur Subjective Happiness Scale
yang dikembangkan oleh Lyubomirski dan Lepper
pada tahun 1997. Alat ukur ini terdiri dari 4 item, di
mana pada tiap item subjek diminta untuk memilih satu
dari tujuh skala yang paling menggambarkan dirinya.
Dua item pertama merupakan penilaian subjek secara
absolut dan bila dibandingkan dengan teman-
temannya. Dua item lainnya mengambarkan deskripsi
dari seseorang yang bahagia dan tidak bahagia,
kemudian subjek diminta untuk memilih satu dari 7
skala yang paling menggambarkan dirinya bila
dibandingkan dengan deskripsi tersebut.
Kemudian, dalam metode pengolahan data, penelitian
ini menggunakan perhitungan statistik melalui program
SPSS (Statistical Package for Social Science) dengan
teknik analisis statistik deskriptif, Pearson Product
Moment, serta Independent Sample t-test dan Kruskal-
Wallis.
Hasil Penelitian
Gambaran optimisme pada pasien yang sedang
menjalani program rehabilitasi medik diperoleh dari
penghitungan statistik deskriptif pada program SPSS (
Statistical Package for Social Science) dengan
memasukkan total skor LOT-R dari tiap partisipan.
Dari hasil perhitungan statistik deskriptif optimisme
partisipan ditemukan bahwa dari 66 partisipan
penelitian, diperoleh skor optimisme terendah adalah
17 dan skor optimisme tertinggi adalah 30. Skor rata-
rata optimisme yang diperoleh adalah sebesar 23.36
dengan standar deviasi sebesar 2.79. hal ini
menunjukkan bahwa true score optimisme yang
dimiliki partisipan berkisar antara nilai rata-rata ±
standar deviasi, yakni 20.57-26.15.
Tabel 1 Persebaran Skor Optimisme pada Pasien yang
sedang menjalani program Rehabilitasi Medik
Jumlah
Partisipan
Skor
Terendah
Skor
Tertinggi
Rata-
rata
Standar
Deviasi
66 17 30 23.36 2.799
Selanjutnya, gambaran subjective well-being pada
pasien yang sedang menjalani program rehabilitasi
medik diperoleh dari penghitungan statistik deskriptif
pada program SPSS ( Statistical Package for Social
Science) dengan memasukkan total skor SHS dari tiap
partisipan. Dari hasil perhitungan, didapatkan bahwa
dari 66 partisipan penelitian, terdapat skor terendah
subjective well-being yakni 2.00 dan skor tertinggi
sebesar 6.25. Rata-rata dari seluruh skor partisipan
adalah sebesar 4.82 dengan standar deviasi sebesar
0.91. Ini menunjukkan bahwa true score partisipan
berkisar dalam rentang antara 3.91 - 5.73.
Tabel 2 Persebaran Skor Subjective Well-being pada
Pasien yang sedang Menjalani Program Rehbailitasi
Medik
Jumlah
Partisipan
Nilai
Terendah
Nilai
Tertinggi
Rata-
rata
Std.
Deviasi
66 2 6.25 4.82 .91
Dari jabaran hasil perhitungan korelasi antara
optimisme dan subjecdtididapatkan nilai korelasi (r)
sebesar 0.184, yang berarti 3.38 % varians optimisme
diasosiasikan dengan subjective well-being. Korelasi
ini bersifat positif, byang berarti bahwa kenaikan skor
pada variabel optimisme akan diikuti oleh kenaikan
pada skor variabel subjective well-being. Namun,
berdasarkan penggolongan kekuatan hubungan
menurut Cohen (1988), r=0.184 termasuk ke dalam
kategori rendah. Sehubungan dengan signifikansi
hubugan antara optimisme dan subjective well-being ,
didapat p sebesar 0.139. Karena p>0.05, maka
Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013
hubungan yang ada tidaklah signifikan. Dengan begitu,
dapat dikatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara optimisme dengan subjective well-
being. Maka dari itu, hipotesis null (Ho) dari penelitian
diterima dan hipotesis alternatif (Ha) ditolak.
Tabel 3 Korelasi antara Optimisme dengan Subjective
Well-being
Variabel 1 Variabel 2 Pearson
Correlation
(r)
Signifikansi
Optimisme Subjective
well-being
.184 .139
Peneliti juga mencoba menambahkan perhitungan
korelasi antara skor optimisme dengan skor pada data
partisipan mengenai kepuasan hidupnya. Dari
perhitungan yang dilakukan, didapatkan nilai r sebesar
.105 dengan signifikansi sebesar .402. Dari hasil
tersebut, terlihat bahwa terdapat hubungan yang positif
antara optimisme dan kepuasan hidup partisipan.
Namun, korelasi ini termasuk korelasi yang rendah dan
tidak signifikan.
Tabel 4 Korelasi antara Optimisme dengan
Mood dan Kepuasan hidup
Variabel 1 Variabel 2 Pearson
Correlation
(r)
Signifikansi
Optimisme Kepuasan
hidup
.105 0.402
Hasil Analisis Tambahan
Dengan menggunakan metode perhitungan t-
test dan Kruskal-Wallis, perhitungan ini dilakukan
untuk melihat hubungan antara rata-rata skor
optimisme dengan jenis kelamin, usia, jenis
rehabilitasi, pendidikan terakhir, pekerjaan, serta
kepuasan hidup partisipan. Dari hasil perhitungan
tersebut, ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan
mean optimisme yang signifikan pada partisipan
berdasarkan jenis kelamin, usia, jenis rehabilitasi,
pendidikan terakhir, pekerjaan, serta kepuasan hidup
mereka.
Selain itu, Perhitungan ini juga dilakukan
untuk melihat hubungan antara jenis kelamin, usia,
jenis rehabilitasi, pendidikan terakhir, pekerjaan, serta
kepuasan hidup partisipan dengan skor rata-rata
subjective well-being. Dari perhitungan tersebut,
ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan mean
subjective well-being partisipan berdasarkan jenis
kelamin, usia, jenis rehabilitasi, pendidikan terakhir,
serta perkerjaan mereka. Selain itu, ditemukan pula
bahwa terdapat perbedaan mean subjective well-being
yang signifikan pada partisipan berdasarkan kepuasan
hidup mereka.
Perbedaan mean subjective well-being dalam
kategori kepuasan hidup menghasilkan nilai H=
28.699dan signifikan pada L.o.S.0.01 (p=0.000). Hal
ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan mean skor
subjective well-being yang signifikan antara partisipan
yang tidak puas, agak tidak puas, netral, agak puas,
puas, dan sangat puas mengenai kehidupannya. Mean
skor yang tertinggi terdapat pada partisipan dalam
kategori agak sangat puas (M=5.70) dan mean skor
terendah pada partisipan yang termasuk dalam kategori
tidak puas (M=3.10).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan interpretasi data yang
telah didapatkan dari 66 partisipan diperoleh
kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara optimisme dengan subjective well-
being pada pasien yang sedang menjalani program
rehabilitasi medik. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi-
rendahnya optimisme tidak dapat dijelaskan dengan
tinggi-rendahnya subjective well-being.
Diskusi
Gambaran hasil optimisme yang dimiliki oleh pasien
yang sedang menjalani program rehabilitasi medik
sejalan dengan pernyataan Scheier, Carver, dan
Bridges (2000 dalam Carr, 2004),yang menyatakan
bahwa saat orang yang optimis menghadapi kesulitan,
mereka akan tetap berusaha untuk mencapai tujuan
mereka, serta akan meregulasi diri mereka
menggunakan strategi coping sehingga mereka
cenderung mencapai tujuan mereka. Hal ini terlihat
pada pasien yang menjalani program rehabilitasi medik
yang secara aktif mengikuti program latihan mereka
demi mencapai tujuan, yakni menyelesaikan program
rehabilitasi dan dapat kembali ke keseharian mereka
dengan fungsi seoptimal mungkin. Hal ini sesuai
dengan Cicarelli dan Myers (2006) yang menyatakan
bahwa orang yang optimis selalu mengharapkan hal
yang positif sebagai hasil dari upaya yang mereka
lakukan. Dengan usaha mereka untuk mencapai tujuan-
Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013
tujuan dari program rehabilitasi, terutama tujuan-tujuan
harian yang ditetapkan pada awal masa rehabilitasi,
mereka termasuk ke dalam kategori pasien yang dapat
pulih lebih cepat (Magee, Zachazewski, dan Quillen,
2007).
Selain melakukan latihan di rumah, pasien
juga melakukan berbagai terapi di rumah sakit bersama
dengan pasien-pasien lainnya. Menurut Botterill, Flint,
dan Levleva (dalam Magee et al., 2007) saat pasien
melihat pasien lain yang mengalami atau menghadapi
permasalahan yang serupa dengan mereka, dan melihat
pasien yang secara sukses menyelesaikan program
mereka, hal ini akan membuat mereka sadar bahwa
kepulihan atau kesembuhan bukanlah hal yang
mustahil. Dengan adanya kepercayaan diri dalam diri
mereka, mereka akan melakukan usaha-usaha untuk
pencapaian tujuan mereka. Hal ini sesuai dengan
pembahasan optimisme dilihat dari pendekatan
pengharapan atau expectancy miliki Scheier, Carver,
dan Bridges (2000 dalam Carr, 2004).
Dengan pengharapan serta keyakinan akan
kemampuan diri mereka untuk pulih, orang yang
optimis akan secara proaktif menjalani program
rehabilitasi. Sebaliknya, orang yang pesimis tidak akan
mengambil tindakan dalam upayanya untuk mencapai
tujuannya. Hal ini sesuai dengan Seligman (2002) yang
menyatakan bahwa orang yang optimis akan lebih
merawat kesehatan mereka, salah satunya adalah
dengan pergi ke dokter. Sebaliknya, orang yang
pesimis akan cenderung berhenti berusaha untuk
mencapai tujuan mereka. Hal ini menggambarkan
pasien-pasien yang drop out dari program rehabilitasi,
dan pasien yang optimis masih tetap berusaha untuk
menyelesaikan program. Hal ini sejalan dengan yang
dikatakan oleh Maxey dan Magnusson (2007) bahwa
keterlibatan pasien merupakan hal yang paling
ditekankan pelaksanaan program rehabilitasi.
Dilihat dari data demografis partisipan,
sebagaian besar partisipan merupakan pasien yang
masih aktif bekerja. Dengan hendaya yang mereka
alami, produktivitas mereka kemungkinan besar akan
menjadi sangat terganggu. Seperti yang dikatakan
Kottke, Stillwell, dan Lehmann (1982), hendaya yang
dialami pasien dapat menimbulkan kesulitan dalam
menjalani aktivitas mereka sehari-hari, termasuk
produktivitas mereka. Rehabilitasi merupakan tahapan
yang menengahi pasien untuk dapat kembali ke
pekerjaanya, dan produktivitas pasien merupakan
tujuan yang dianggap penting. Dengan tujuan pasien
untuk dapat kembali ke pekerjaan sehari-hari mereka
dengan produktivitas seoptimal mungkin, mereka
berupaya untuk menjalani program rehabilitasi sampai
tuntas. Dan dengan optimisme yang mereka miliki,
mereka cenderung akan tetap menjalani program ini
dan tidak putus asa walau menghadapi berbagai
kendala. Dengan adanya fokus untuk tujuan ini, hal ini
dianggap sebagai salah satu faktor yang dapat
mempercepat proses pemulihan (Magee, Zachazewski,
dan Quillen, 2007).
Dari gambaran subjective well-being pasien
yang sedang menjalani program rehabilitasi medik
pada penelitian ini, sehubungan keadaan pasien yang
mengalami hendaya, hal ini dapat menjadi distres
tersendiri pada pasien. Selain hendaya tersebut, proses
menyelesaikan program rehabilitasi yang memakan
waktu pun dapat memicu stres. Hiroto dan Seligman
(1975 dalam Linley dan Joseph, 2004) mengatakan
bahwa stres ini dapat mengarahkan individu pada
keputusasaan. Dengan pasien masih terlibat secara aktif
dalam program rehabilitasinya, dapat dikatakan bahwa
pasien melakukan coping terhadap stres yang mungkin
mereka alami. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Smedema, Catalano, dan Ebener
(2010) pada pasien dengan spinal cord injury yang
sedang menjalani masa rehabilitasi, di mana positive
coping mempengaruhi subjective well-being pasien.
Berhubungan dengan keterlibatan mereka
dalam berbagai aktivitas dalam program rehabilitasi
yang bertujuan untuk mencapai tingkat kepulihan yang
maksimal, hal ini sejalan yang disampaikan oleh
Diener, Lucas, dan Oishi yang menyatakan bahwa
invidu akan mencapai subjective well-being ketika ia
berada pada jalur yang mengarahkan mereka pada
tujuan yang mereka inginkan. Meski belum mencapai
tujua mereka, keterlibatan mereka dalam aktivitas yang
memiliki tujuan intrinsik (Sheldon,Ryan, dan Reis,
1997 dalam Diener et al.).
Pada pasien yang baru menjalani program
rehabilitasi medik, peneliti menduga bahwa optimisme
pasien tergambarkan pada ekspektasi mereka yang
positif pada program yang akan mereka jalani. Selain
itu, Hubungan optimisme dan subjective well-being
yang dimiliki pasien dapat terlihat pada bagaimana
pasien melakukan coping dalam menghadapi stress
yang mereka alani, di mana stress ini bisa saja mereka
alami pada saat pertama kali mengalami hendaya, serta
saat menjalani proses pemulihan yang dapat membuat
jenuh. Dengan subjective well-being pada diri mereka,
mereka berusaha melakukan coping untuk menghadapi
stress yang mereka alami. Seiringan dengan coping
yang mereka lakukan, optimisme yang mereka miliki
turut membantu mereka dalam tetap bertahan dan aktif
dalam program, serta gigih berusaha dalam pencapaian
keberhasilan program rehabilitasi mereka untuk
menghadapi hendaya yang mereka miliki tersebut. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Hiroto & Seligman (1975
dalam Linley & Joseph, 2004), serta Segerstrom,
Taylor, Kemeny, & Fahey (1998 dalam Linley &
Joseph, 2004) , dan Maddi & Kobasa (1984 dalam
Linley & Joseph, 2004) yang menyatakan bahwa dalam
Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013
mengahadapi stress yang individu alami, optimisme
dan kegigihan dapat membantu menunjang positive
coping yang dilakukan individu dalam menghadapi
stresnya. Hubungan ini pun ditermukan
mempromosikan emosi yang positif dan telah
terbuktikan berhubungan dengan outcome kesehatan
yang lebih positif. Fredrickson dan Joiner (2002 dalam
Linley & Joseph, 2004), yang dapat terlihat dari
keaktifan pasien dalam menjalani program
rehabilitasinya di rumah sakit. Sehubungan dengan
outcome kesehatan yang lebih baik dslam menghadapi
kesulitan fisik, hal ini ditemukan memang berhubungan
dengan optimism dan subjective well-being seseorang
(Carver, Sheier, dan Segerstrom, 2010; Linley dan
Joseph, 2004)
Diskusi Hail Tambahan Penelitian
Dari hasil analisis tambahan mengenai
perbedaan subjective well-being berdasarkan data
demografis partisipan, tidak ditemukan perbedaan
subjective well-being yang signifikan pada partisipan
berdasarakan jenis kelamin, usia, pendidikan,
pekerjaan, status pernikahan, ataupun jenis rehabilitasi.
Hal ini sesuai dengan yang disampaikan dalam Diener
(2009) bahwa hanya terdapat sedikit perbedaan
subjective well-being berdasarkan jenis kelamin
(Andrews & Withey, 1976; Campbell et al., 1976;
Goodstein, Zautra, & Goodhart,1982; Gurin et al.,
1960; Olsen, 1980; Palmore & Kivett, 1977; Sauer,
1977; Toseland & Rasch, 1979–1980 dalam Diener,
2009), pekerjaan,ataupun pendidikan. Selain itu,
ditemukan bahwa terdapat perbedaan subjective well-
being yang signifikan pada partisipan berdasarakan
kepuasan hidup mereka. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Carr (2004) yang menyatakan bahwa
kepuasan hidup mempengaruhi keseluruhan
kebahagiaan seseorang.
Daftar Pustaka
Anastasi, A. & Urbina, S. (1997). Psychological
Testing 7th ed. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Carr, A. (2004). Positive Psychology : The Science of
Happiness and Human Strengths. Great
Britain: Brunner- Routledge
Carver, C.S.,Scheier, M.F., Segerstrom, S.C. (2010)
Optimism. Clinical Psychology Review, 30:
879-889
Chang, E.C., (2001) Optimism & Pessimism:
Implications for Theory, Research, and
Practice. Wagington, DC: American
Psychological Association
Chang, E.C., Sanna, L. J., dan Yang, K-M (2003)
Optimism, Pessimism, Affectivity, and
Psychological Adjustment in US and Korea: a
Test of a Mediation Model. Personality and
Individual Differences: 34, 1195-1208
Ciccarelli, S. K. & Meyer, G. E. (2006). Psychology.
New Jersey: Pearson Education, Inc.
Diener, E. (2009) Culture and Well-Being. New York:
Springer
Eddington, N., Shuman, R. (2005) Subjective Well-
Being (Happiness). California: Cotinuing
Psychology Education
Gravetter, F. J. & Forzano, Lori-Ann. B. (2009).
Research Methods for the Behavioral Sciences
3rd ed. Ontario: Wardsworth Cengage
Learning.
Gravetter, F.J. & Wallnau, L.B. (2007) Statistics for
the Behavioral Sciences 7th ed. Ontario:
Thomson Learning, Inc.
Guilford, J. P., & Frutcher, B. (1981). Fundamental
Statistic in Psychology and Education 6th ed.
New York: McGraw-Hill, Inc.
Hirsch, J. K., Walker, K.L., Chang, E.C., dan Lyness,
J.M. (2012) Illness Burden and Symptoms of
Anxiety in Older Adults: Optimism and
Pessimism as Moderartors. International
Psychogeriatrics: 1-8
Hoppenfeld, S., Murthy, V.L. (2000). Treatment and
Rehabilitation of Fractures. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor : 129/Menkes/ SK/II/2008 (diunduh
pada tanggal 13 Juni 2013)
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor : 378/Menkes/SK.IV/2008 (diunduh
pada tanggal 13 Juni 2013)
Kerlinger, F.N. & Lee, H.B. (2000) Foundations of
Behavioral Research 4th ed. Philadelphia:
Harcourt College Publishers.
Kottke, F.J., Stillwell, G.K., Lehman, J.F. (1982)
Krusen’s Handbook of Physical Medicineand
Rehabilitation, 3rd ed. Philadelphia: W.B.
Saunders
Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013
Kumar, R. (1996). Research Methodology: Step-by-
Step Guide for Beginners. California: Sage
Publication, Inc.
Lin, V. W. (2003) Spinal Cord Medicine, Principles
and Practice. New York:Demos
Linley, P.A., Joseph, S. (2004). Positive Psychology in
Practice. New Jersey: John Wiley & Sons,
Inc.
Lyubomirsky, S & Lepper, H.S. (1997). Measures of
Subjective Happiness: Preliminary Reliability
and Construct Validation. Social Indicators
Research 46:1337-155.
Magee, D. J. Zachazewski, Quillen (2007) Scientific
Foundations and Principles of Practice in
Musculoskeletal Rehabilitation. Missouri:
Saunders Elsevier
Maxey, L., Magnusson, J. (2007). Rehabilitation for
The Postsurgical Orthopedic Patient.
Missouri: Mosby Elsevier
Migliorini, C. Dan Tonge, B.(2009) Reflecting on
Subjective Well-Being and Spinal Cord
Injury. J Rehabil Med: 41: 445-450
Millender, L.H., Louis, D. S., dan Simmons, B., P.
(1992) Occupational Disorders of the Upper
Extremity. New York: Churchill Livingston
Nunnally, J. C., & Bernstein, I. H. (1994).
Psychometric Theory - Third Edition. New
York: McGraw-Hill.
O’ Young, B. J. , O’Young, M. Y., Stiens. S. A.
(2008). Physical Mdicine and
Rehabilitation. China: Mosby Elsevier
Papalia, D.E., Olds, S.W., Feldman, R.D. (2008).
Human Development 10th Ed. New
York: Mc-Graw Hill
Rieg, L.S., Mason, C. H., Preston, K. (2006) Spiritual
Care: Practical Guidelines for
Rehabilitation Nurses. USA: Cotinuing
Education
Scheier, M. F., & Carver, C. S. (1985). Optimism,
Coping, and Health: Assessment and
Implications of generalized outcome
expectancies. Health Psychology, 4, 219 – 247
Scheier, M. F., Carver, C. S., & Bridges, M. W. (2001).
Optimism, Pessimism, and Psychological
Well-Being. In Optimism & Pessimism:
Implication for Theory, Research, and
Practice. Edited by Chang, E. C. American
Psychological Association. 395: 189 – 216
Scioli, A., Samor, C. M., Campbel, T. L., Chamberlin,
C. M., Lapointe, A. B., & Macleod, A. R.
(1997). A Prospective Study of Hope,
Optimism, and Health. Psychological
Reports, 81 723-733
Setiadi, B.N., Matindas, R. W., & Seniati, L. (2003).
Pedoman Penulisan Skripsi Psikologi.
Jakarta: LPSP3 UI
Shepperd, J.A., Maroto, J. J. Dan Pbert, L.A. (1996)
Dispositional Optimism as a Predictor of
Health Changes Among CardiacPatients.
Journal of Research in Personality: 30, 517-
534
Smedema, S.M., Catalano, D. Dan Ebener, D.J. (2010)
The Relationship of Coping, Self-Worth, and
Subjective Well-Being: A Structural
Equation Model. Rehabilititation
Counselling Bulletin: 53(3) 131-142
Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013
Hubungan optimisme..., Mentari Namira Pertiwi Isma, FPsi UI, 2013