HUBUNGAN KEPEMIMPINAN EFEKTIF KEPAL RUANGAN …
Transcript of HUBUNGAN KEPEMIMPINAN EFEKTIF KEPAL RUANGAN …
i
TESIS
HUBUNGAN KEPEMIMPINAN EFEKTIF KEPAL RUANGAN
DENGAN PENERAPAN KESELAMATAN PASIEN OLEH
PERAWAT PELAKSANA DI RS DR.WAHIDIN
SUDIROHUSODO MAKASSAR
RELATIONSHIP BETWEEN EFFECTIVE LEADERSHIP OF
ROOM HEADS WITH THE APPLICATION OF PATIENT
SAFETY BY ASSOCIATE NURSES IN DR.WAHIDIN
SUDIROHUSODO MAKASSAR
LORANTINA.A
P4200212022
PROGRAM PASCA SARJANA
MANAJEMEN ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2014
ii
HUBUNGAN KEPEMIMPINAN EFEKTIF KEPAL RUANGAN
DENGAN PENERAPAN KESELAMATAN PASIEN OLEH
PERAWAT PELAKSANA DI RS DR.WAHIDIN
SUDIROHUSODO MAKASSAR
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Magister Ilmu Keperawata
Disusun dan Diajukan oleh
LORANTINA.A
P4200212022
Kepada
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :
Nama : Lorantina.A
Nim : P4200212023
Program Studi : Manajemen Ilmu Keperawatan
Fakultas : Kedokteran
Judul Tesis : Hubungan Kepemimpinan Efektif Kepala Ruang Dengan
Penerapan Keselamatan Pasien Oleh Perawat Pelaksana Di
Rumah Sakit Dr.Wahidin Sudirohusoso Makassar
Menyatakan bahwa tesis saya ini asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik Magister baik di Universitas Hasanuddin maupun di
Perguruan Tinggi lain. Dalam tesis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama dan dicantumkan
dalam daftar rujukan.
Apabila dikemudian hari ada klaim dari pihak lain maka akan menjadi
tanggung jawab saya sendiri, bukan tanggung jawab dosen pembimbing atau
pengelola Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Unhas dan saya bersedia
menerima sanksi akademik sesuai dengan peraturan yang berlaku, termasuk
pencabutan gelar Magister yang telah saya peroleh.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan
dari pihak manapun
Makassar,
Yang menyatakan,
Lorantina.A
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan baik yang berjudul hubungan
kepemimpinan efektif kepala ruang dengan penerapan keselamatan pasien oleh perawat
pelaksana di RS Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis dapat diselesaikan atas bantuan berbagai
pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :
1. Ibu Dr.Elly L.Sjattar.,S.Kp.,M.Kes selaku pembimbing I yang telah memberikan
pembimbingan dalam menyelesaikan proposal usulan penelitian.
2. Prof. dr. Veny Hadju, Ph.D selaku pembimbing II yang telah memberikan
pembimbingan dalam menyelesaikan proposal usulan penelitian
3. Ibu Hapsah, S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku pendamping yang telah mendampingi
dalam penyelesaian proposal usulan penelitian ini.
4. Direktur RS Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar, kepala instalasi ruang Lontara 2
dan Lontara 3 dan teman sejawat perawat di ruang rawat inap bagian bedah RS
Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar , yang telah memberikan ijin dan bersedia
menjadi responden/sumber informasi dalam penelitian ini.
5. Orang tua, saudara-saudara, suami dan buah hatiku Kei Layuk B Ma’dika yang
senantiasa memberikan doa, semangat dan harapan sehingga studi ini berjalan
dengan lancar
vi
6. Teman-teman mahasiswa khususnya angkatan III program magister Manajemen
Keperawatan yang telah berbagi ilmu dan pengalaman selama proses
perkuliahan di universitas Hasanuddin Makassar.
7. Semua pihak yang telah banyak membantu yang penulis tidka dapat
menyebutkan satu persatu.
Penulis menyadari tesis ini masih memerlukan masukan untuk bahan
penyempurnaan. Untuk itu saran dan kritik dari semua pihak yang membangun sangat
penulis harapkan.
Makassar, November 2014
Penulis
vii
ABSTRAK
LORANTINA.A.. Hubungan Kepemimpinan Efektif Kepala Ruangan dengan
Penerapan Keselamatan Pasien oleh Perawat Pelaksana di RS Dr.Wahidin
Sudirohusodo, Makassar (dibimbing oleh Elly L.Sjattar dan Veni Hadju)
Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan kepemimpinan efektif kepala ruangan dengan penerapan keselamatan
pasien oleh perawat pelaksana di RS Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Metode yang digunakan yakni analitik observasional dengan pendekatan
kajian potong lintang. Penyampelan menggunakan teknik sampel total sehingga
diperoleh 81 orang perawat yang bekerja di ruang rawat inap bagian bedah sebagai
responden. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan lembar observasi. Data
dianalisis dengan chi-Square dengan uji alternative uji Phiser’s serta regresi logistik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan kepemimpinan
efektif kepala ruangan dengan penerapan keselamatan pasien oleh perawat pelaksana
(p= 0,000). Komponen kepemimpinan efektif kepala ruangan yang tidak
berhubungan dengan penerapan keselamatan pasien oleh perawat pelaksana, yaitu
kesadaran diri kepala ruangan (p = 0,491 ) dan penggunaan energi kepala ruangan (p
= 0,543 ).
Berdasarkan analisis multivariat, komponen kepemimpinan efektif kepala
ruangan yang paling dominan berhubungan dengan penerapan keselamatan pasien
oleh perawat pelaksana, yaitu komunikasi (p = 0,009).
Kata kunci : Kepemimpinan efektif , Penerapan keselamatan pasien.
viii
ABSTRACT
LORANTINA A. Relationship Between Effective Leadership of Room Heads with
the Apllication of Patient Safety by Associate Nurses in Dr. Wahidin Sudirohusodo
Hospital of Makassar (supervised by Elly L. Sjattar and Veni Hadju).
Patient safety is a system to make patient care become safer. The aim of the
reasech was to find out the relationship between affective leadership of room heads
and the application of patient safety by associate nurses in Dr.Wahidin Sudirohusodo
Hospital of Makassar.
The research was an observational analytic study with cross sectional
approach. The sample was selected using total sampling method consisting of 81
nurses working in patient rooms of surgical wards. The data were obtained using
questionnaires and observation sheets. The data were analyzed using chi square test
with alternative Fisher’s test and logistic regression.
. The result of the research indicate that there is a relationship between
affective leadership of room heads and the application of patient safety by associate
nurses with the value of p = 0,008. Effective components of rooms heads which is not
related to the application of patient safety by associate nurses are room heads’ self-
awareness with the value of p = 0,491 and room heads’ energy usage with the value
of p =0,543.
Based of multivariate analysis effective leadership component of room heads
which is dominanty related to the application of patient safety by associate nurses is
communication with the value of p = 0,009.
Key words : Effective leadership, The applications of patient safety
ix
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................. i
ABSTRAK ................................................................................................. iii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... viii
DAFTAR SKEMA ………………/………………………………………. x
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………….. xi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................ 7
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 8
D. Manfaat Penelitian ................................................................ 10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Keselamatan ............................................................ 11
B. Keselamatan Pasien .............................................................. 13
C. Kepemimpinan Efektif ......................................................... 40
D. Hubungan Kepemimpinan Efektif dengan Penerapan Keselamatan
Pasien ………………………………………………………. 48
E. Manajemen Keperawatan ...................................................... 49
F. Kerangka Teori .................................................................... 57
x
BAB III. KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep ................................................................ 58
B. Variabel Penelitian ………………………………………… 59
C. Hipotesis .............................................................................. 59
D. Defenisi Operasional ........................................................... 60
BAB IV. METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian ................................................................. 63
B. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................. 63
C. Populasi dan Sampel ............................................................ 63
D. Instrumen Penelitian ............................................................. 64
E. Validitas dan Reliabilitas ..................................................... 66
F. Teknik Pengumpilan Data ................................................... 68
G. Alur Penelitian ..................................................................... 69
H. Pengolahan Data …………………………………………… 70
I. Analisa Data ........................................................................ 70
J. Etika Penelitian .................................................................... 71
BAB V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .................................................................... 74
B. Pembahasan ........................................................................... 91
C. Keterbatasan Penelitian ........................................................ 109
D. Implikasi …………………………………………………… 109
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .......................................................................... 111
xi
B. Saran .................................................................................... 112
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xii x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Faktor-faktor yang berkontribusi pada insiden keselamatan dalam pelayanan
kesehatan ( Henriksen, Hughes, Carayon, dkk,2008; Cahyono, 2008)
xiii x
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Definisi operasional ………………………………….
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi karakteristik responden … ……
Tabel 5.2 Distribusi frekuensi karakteristik responden
berdasarkan umur dan lama kerja ………………….....
Tabel 5.3 Distribusi frekuensi kepemimpinan efektif kepala
ruang ………………………………………………….
Tabel 5.4 Distribusi responden penerapan keselamatan pasien
oleh perawat berdasarkan data hasil dari kuesioner .…
Tabel 5.5 Distribusi responden penerapan keselamatan pasien
oleh perawat pelaksana berdasarkan hasil
observasional …………………………………………
Tabel 5.6 Hubungan kepemimpinan efektif dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat berdasarkan hasil
kuesioner ……………………………………………..
Tabel 5.7 Hubungan kepemimpinan efektif dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat berdasarkan hasil
observasi ………………………………………...……
Tabel 5.8 Hubungan penentuan tujuan kepala ruangan dengan
penerapan keselamatan pasien oleh perawat
berdasarkan kuesioner ………………………………..
Tabel 5.9 Hubungan penentuan tujuan kepala ruangan dengan
penerapan keselamatan pasien oleh perawat
berdasarkan observasional ……………………………
Tabel 5.10 Hubungan pengetahuan kepala ruangan dengan
penerapan keselamatan pasien oleh perawat
berdasarkan kuesioner ………………………………..
Tabel 5.11 Hubungan pengetahuan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat berdasarkan
observasional ……………………………………..…..
Tabel 5.12 Hubungan kesadaran diri kepala ruangan dengan
penerapan keselamatan pasien oleh perawat
berdasarkan kuesioner ……………………………….
52
68
69
69
70
71
72
72
73
74
75
75
76
xiv xi
DAFTAR SKEMA
Skema 2.1 Kerangka Teori Penelitian
Skema 3.1 Kerangka konsep penelitian
xv xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Penjelasan penelitian
Lampiran 2 : Surat pernyataan persetujuan sebagai responden penelitian
Lampiran 3 : Kuesioner A : Identitas responden
Lampiran 4 : Kuesioner B : Kepemimpinan efektif kepala ruang
Lampiran 5 : Kuesioner C : Penerapan keselamatan pasien
Lampiran 6 : Lembar observasional
Lampiran 6 : Rekomendasi persetujuan etik
Lampiran 7 : Master tabel Penelitian
Lampiran 8 : Output analisa data
xvi
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR…………………………………………… ............ i
ABSTRAK ................................................................................................. iii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... viii
DAFTAR SKEMA ………………………………………………………. x
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………….. xi
BAB I. PENDAHULUAN
E. Latar Belakang ...................................................................... 1
F. Rumusan Masalah ................................................................ 7
G. Tujuan Penelitian ................................................................. 8
H. Manfaat Penelitian ................................................................ 10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
G. Konsep Keselamatan ............................................................ 11
H. Keselamatan Pasien .............................................................. 13
I. Kepemimpinan Efektif ......................................................... 40
J. Hubungan Kepemimpinan Efektif dengan Penerapan Keselamatan
Pasien ………………………………………………………. 48
K. Manajemen Keperawatan ...................................................... 49
L. Kerangka Teori .................................................................... 57
xvii
BAB III. KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DEFINISI OPERASIONAL
E. Kerangka Konsep ................................................................ 58
F. Variabel Penelitian ………………………………………… 59
G. Hipotesis .............................................................................. 59
H. Defenisi Operasional ........................................................... 60
BAB IV. METODE PENELITIAN
K. Desain Penelitian ................................................................. 63
L. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................. 63
M. Populasi dan Sampel ............................................................ 63
N. Instrumen Penelitian ............................................................. 64
O. Validitas dan Reliabilitas ..................................................... 66
P. Teknik Pengumpilan Data ................................................... 68
Q. Alur Penelitian ..................................................................... 69
R. Pengolahan Data …………………………………………… 70
S. Analisa Data ........................................................................ 70
T. Etika Penelitian .................................................................... 71
BAB V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
E. Hasil Penelitian .................................................................... 74
F. Pembahasan ........................................................................... 91
G. Keterbatasan Penelitian ........................................................ 109
H. Implikasi …………………………………………………… 109
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
C. Kesimpulan .......................................................................... 111
xviii
D. Saran .................................................................................... 112
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Keselamatan merupakan hal utama dalam pelayanan kesehatan. Selain
menjaga mutu (quality assurance) dari pelayanan kesehatan yang diberikan,
keselamatan (safety) juga merupakan isu global yang menjadi perhatian serius
pengelola/penyedia pelayanan kesehatan termasuk juga untuk rumah sakit
(Sarbaguna, 2004).
Rumah sakit merupakan pelayanan yang bersifat integratif dengan melibatkan
sejumlah tenaga kesehatan yang secara bersama-sama memberikan pelayanan
kepada pasien sebagai konsumen dalam pelayanan (Komisi Disiplin Ilmu
Kesehatan, 2002). Rumah sakit sebagai organisasi padat modal, teknologi dan
karya dihadapkan pada tantangan untuk meningkatkan kualitas pelayanannya
yang bersifat multi dimensi dengan berbagai kompleksitas masalah yang
menyertai, termasuk masalah keselamatan.
Ada lima isu penting yang terkait dengan keselamatan di rumah sakit yang
ditetapkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia, yaitu : keselamatan
pasien (patient safety), keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan
bangunan dan peralatan di rumah sakit yang dapat berdampak terhadap
keselamatan pasien dan petugas, keselamatan lingkungan (green productivity)
2
yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan, dan keselamatan “bisnis”
rumah sakit yang terkait dengan kelangsungan hidup rumah sakit. (Depkes,
2008).
Keselamatan pasien merupakan prinsip dasar dari pelayanan kesehatan yang
memandang bahwa keselamatan merupakan hak bagi setiap pasien dalam
menerima layanan kesehatan (Kemenkes RI, 2011). Program keselamatan pasien
telah menjadi isu global dan menjadi bagian dari program kesehatan dunia sejak
tahun 2004 setelah World Health Organization (WHO) memulai program tersebut
melalui World Alliance for Patient Safety. Pada program ini juga dinyatakan
bahwa keselamatan pasien merupakan prinsip fundamental pelayanan pasien dan
merupakan sebuah komponen kritis dalam manajemen mutu (WHO, 2004).
Kebijakan mengenai penerapan enam sasaran keselamatan pasien merupakan
suatu sistem yang dibuat untuk mencegah atau mengurangi cedera pasien dan
meningkatkan keselamatan pasien secara lebih nyata (Kemenkes RI, 2011).
Layanan kesehatan yang diterima oleh pasien di rumah sakit merupakan
layanan yang kompleks. Tenaga kesehatan dari berbagai disiplin ilmu, berbagai
prosedur pengobatan, alat dan teknologi terlibat dalam pemberian layanan
kesehatan bagi pasien. Kondisi ini berpotensi menyebabkan kejadian tidak
diharapkan (KTD) apabila tidak dilakukan dengan hati-hati (Depkes RI, 2008).
Kejadian yang tidak diharapkan (KTD) berdasarkan dua penelitian yang
dilakukan, yang satu di Colorado dan Utah dan lainnya di New York ditemukan
angkah kejadian tak diharapkan (KTD) sebesar 2,9% dan 3,7% pada pasien rawat
inap. Di Colorado dan Utah angkah kematian akibat kejadian tak diharapkan
3
sebesar 6,6% dibanding dengan angka kematian akibat kejadian tak diharapkan di
New York 13,6% (IOM, 2008 ; Kohrn, Corrigan & Donaldson, 2000). Di
Indonesia tak diharapkan (KTD) dan kejadian nyaris cedera (KNC) belum banyak
dilaporkan oleh rumah sakit di Indonesia. Data berdasarkan RS provinsi : Banten
125 laporan, DKI Jakarta 105 laporan, Jawa tengah 88 laporan, Yogyakarta 51
laporan, Jawa Timur 88 laporan, Jawa Barat 22 laporan, Sumatra Selatan 12
laporan, Riau 5 laporan, Sumatra Barat 5 laporan. Berdasarkan kepemilikan RS;
pemerintah pusat 81 laporan, pemerintah daerah 27 laporan, swasta 290 laporan,
TNI/POLRI 9 laporan (KKP-RS, 2012).
Insiden keselamatan pasien di RS Dr.Wahidin Sudirohuso Makassar yang
didapatkan melalui studi dokumen yaitu, pada tahun 2011 kejadian tidak
diharapkan (KTD) sebanyak 14 kejadian, 5 kejadian nyaris cidera (KNC), 11
kejadian tidak cidera (KTC). Pada tahun 2012 didapatkan : 14 kejadian tidak
diharapkan (KTD), 13 kejadian nyaris cidera (KNC), 24 kejadian tidak cidera
(KTC), 1 kejadian sentinel (KS), sedangkan pada tahun 2013 didapatkan terjadi
peningkatan kejadian tidak diharapkan dari tahun ke tahun yaitu sebanyak 35
kejadian, untuk KNC diadapatkan 5 kejadian, 8 KTC dan 1 KS. Data ini
memberikan gambaran masih adanya insiden keselamatan pasien di RS
Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar yang perlu menjadi perhatian mengingat
insiden keselamatan pasien dirumah sakit diharapkan pada nilai zero defect
(tingkat insiden 0%).
Insiden keselamatan pasien dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling
berinteraksi dalam sistem kesehatan. Menurut WHO (2009) dan Henriksen et al
4
(1993) dalam Henriksen et al., (2008), faktor yang berpengaruh terhadap
keselamatan bukan hanya faktor budaya organisasi tetapi faktor manusia;
manajemen, karakterik individu petugas kesehatan; lingkungan fisik; psikologis
individu petugas kesehatan; sifat dasar pekerjaan; dan faktor sosial, serta faktor
penyatuan sistem dengan manusia (human system interfaces).
Rumah sakit Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar merupakan rumah sakit tipe
A, sebagai rumah sakit rujukan di Provinsi Sulawesi Selatan dan Indonesia bagian
timur. RS Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar memiliki 684 kapasitas tempat
tidur di ruang rawat inap, tenaga keperawatan sebanyak 452 orang. Distribusi
tenaga keperawatan berdasarkan latar belakang pendidikaan di runag rawat inap
adalah sebagai berikut : 317 orang pendidikan DIII Keperawatan, 18 orang DIV
Keperawatan, 109 orang S1 Keperawatan/kesehatan masyarakat dan 8 orang S2
kesehatan masyarakat. Rumah sakit Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar
merupakan rumah sakit padat tenaga kesehatan termasuk perawat di dalamnya
baik perawat tetap, honorer dan praktikan perawat. Jika perawat tidak dibekali
ilmu yang sesuai dengan keselamatan pasien maka mereka berisiko memberikan
pelayanan yang tidak aman bagi pasien.
Di RS Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar, keselamatan pasien telah
dicanangkan sejak tahun 2008 dengan menerapkan 6 sasaran keselamatan pasien
yaitu (1) ketepatan identifikasi pasien, (2) peningkatan komunikasi efektif, (3)
peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai, (4) ketepatan tepat-lokasi,
tepat-prosedur, dan tepat-pasien operasi, (5) pengurangan resiko infeksi, dan (6)
5
pengurangan resiko pasien jatuh (Komite mutu RS Dr.Wahidin Sudirohusodo
Makassar, 2014).
Sasaran keselamatan pasien dirumah sakit dimaksudkan untuk mendorong
perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien. Namun dalam penerapannya
terdapat tantangan yang menurut Canadian Nurse Association, (2004) bahwa
faktor-faktor yang menjadi tantangan bagi perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan yang aman dan memberikan kontribusi dalam keselamatan pasien
dan dirinya yaitu lingkungan klinik, isu ketenagaan, kerja sama tim, komunikasi,
perspektif perawat tentang keselamatan pasien, perspektif pasien tentang
keselamatan pasien, teknologi, dan budaya menyalahkan terhadap kejadian
kesalahan. Hal ini ditambahkan oleh Leape (1995) dalam Buerhaus (2004) yang
menyatakan bahwa salah satu hambatan yang paling penting dalam pelaksanaan
program keselamatan pasien adalah kurangnya komitmen kepemimpinan. Peran
kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien juga telah menjadi
standar kelima dalam standar keselamatan pasien rumah sakit di Indonesia(
Kemenkes RI, 2011).
Pengelolaan keselamatan pasien di ruang rawat inap yang dipimpin oleh
kepala ruang sebagai manajer lini pertama berhubungan langsung dengan
penerapan keselamatan pasien. Kepala ruang sebagai manajer lini pertama
menggunakan upaya-upaya efektif sebagai salah satu kunci keberhasilan program
di ruang rawat (Shaw, 2007). Kepala ruang memiliki peran yang kritis dalam
mendukung keselamatan pasien dengan kepemimpinan efektif dalam menciptakan
lingkungan yang positif bagi keselamatan pasien. Chase (2010) mengatakan
6
bahwa kepala ruangan sebagai manajer menyediakan perawat professional
berkinerja tinggi, efektif, dan efisien dalam perawatan pasien. Peran kepala ruang
menetapkan suatu tujuan ruang rawat dengan memberdayakan staf perawat di
bawah tanggung jawabnya (Sitorus dan Panjaitan, 2011).
Kepemimpinan efektif ditentukan oleh kemampuan seorang pemimpin untuk
mempengaruhi dan mengarahkan bawahannya dalam organisasi. Karakter
kepemimpinan efektif meliputi penentuan tujuan, pengetahuan, kesadaran diri,
komunikasi, penggunaan energi, dan pengambilan tindakan (Tappen, 2004).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nyoman (2002), menyatakan bahwa
terdapat hubungan signifikan antara kepemimpinan efektif (tujuan, pengetahuan,
kessadaran diri, komunikasi, energi dan tindakan ) dengan keberhasilan
pelaksanaan pencegahan infeksi nosokomial khususnya tindakan mencuci tangan
dan perawatan infuse di RSUP Persahabatan Jakarta. Penelitian tentang
kepemimpinan efektif juga dilakukan oleh Setiowati (2010), yang menyatakan
bahwa ada hubungan positif antara kepemimpinan efektif (pengetahuan,
kesadaran diri, komunikasi, penentuan tujuan,penggunaan energi, dan
pengambilan tindakan ) head nurse dengan penerapan budaya keselamatan pasien
(kerja sama tim, komunikasi terbuka, respon tidak menghukum terhadap
kesalahan, dan pelaporan kejadian) di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Penerapan keselamatan pasien di rumah sakit membutuhkan kepemimpinan
efektif dalam mempengaruhi dan menggerakkan perawat. Kepala ruangan
berperan sebagai seorang manajer sekaligus sebagai seorang pemimpin (Suyanto,
2009). sebagai seorang pemimpin secara langsung dan tidak langsung dapat
7
mempengaruhi motivasi dan kinerja perawat yang mengutamakan keselamatan
pasien .
Penelitian ini berupaya untuk membuktikan keterkaitan antara kepemimpinan
efektif kepala ruang dengan penerapan keselamatan pasien. Variabel yang
memiliki keterkaitan yang kuat akan membuktikan asumsi yang disusun peneliti
terkait dengan fenomena yang terlihat, dan diharapkan dapat memberikan
kontribusi bagi rumah sakit Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar dalam
melakukan perbaikan demi tercapainya zero defect (tingkat insiden 0%) di rumah
sakit.
B. Rumusan masalah
Penerapan program keselamatan pasien dalam pelayanan keperawatan
merupakan salah satu aspek penting dalam mutu pelayanan keperawatan yang
mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan. Mengidentifikasi dan mengurangi
terjadinya kesalahan dan meningkatkan keselamatan dan kualitas pelayanan
kesehatan menjadi isu prioritas pelayanan kesehatan diseluruh dunia (Cahyono,
2008). Keselamatan harus mendapat perhatian yang serius dalam pelayanan
kesehatan di rumah sakit.
Rumah sakir Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar yang telah meraih
akreditasi nasional dari Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) paripurna
dengan bintang lima dituntut untuk lebih meningkatkan kualitas pelayanan
dengan insiden keselamatan pasien dirumah sakit diharapkan pada nilai zero
defect (tingkat insiden 0%).
8
Peningkatan kualitas perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yang
berkualitas yang mengutamakan keselamatan pasien dan memperhatikan
keselamatan dirinya sendiri membutuhkan kepemimpinan efektif dalam
mempengaruhi dan menggerakkan perawat. Kepala ruangan berperan sebagai
seorang manajer sekaligus sebagai seorang pemimpin (Suyanto, 2009). Penelitian
tentang hubungan kepemimpinan efektif kepala ruang dan penerapan keselamatan
pasien di ruang rawat inap belum pernah dilakukan di RS Dr.Sudirohusodo
Makassar.
Pertanyaan penelitian yang penelliti rumuskan adalah “Apakah ada
hubungan antara kepemimpinan efektif kepala ruang dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di rumah sakit Dr.Wahidin
Sudirohusodo Makassar?”.
C. Tujuan penelitian
1. Tujuan umum
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi hubungan kepemimpinan efektif
kepala ruang dengan penerapan keselamatan pasien di RS Dr.Wahidin
Sudirohusodo Makassar.
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui:
a. Gambaran kepemimpinan efektif kepala ruangan di RS Dr.Wahidin
Sudirohusodo Makassar.
9
b. Gambaran penerapan keselamatan pasien (enam sasaran keselamatan
pasien) di RS Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
c. Hubungan antara penentuan tujuan kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
d. Hubungan antara pengetahuan kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
e. Hubungan antara kesadaran diri kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
f. Hubungan antara komunikasi kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
g. Hubungan antara penggunaan energi kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
h. Hubungan antara pengambilan tindakan kepala ruangan dengan
penerapan keselamatan pasien di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar.
i. Hubungan kepemimpinan efektif kepala ruangan yang terdiri dari
penentuan tujuan, pengetahuan, kesadaran diri, komunikasi, energi, dan
pengambilan tindakan dengan penerapan keselamatan pasien (enam
sasaran keselamatan pasien) di RS Dr.Wahidin Sudirohusodo
Makassar.
j. Komponen kepemimpinan efektif kepala ruangan yang paling dominan
berhubungan dengan penerapan keselamatan pasien di RS Dr.Wahidin
Sudirohusodo Makassar
10
D. Manfaat penelitian
1. Manfaat Aplikasi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukanbagi
upaya pengembangan sumber daya manusia khususnya para kepala ruangan
sebagai pemimpin, dalam mendukung penerapan keselamatan pasien (enam
sasaran keselamatan pasien) dan dapat memberi gambaran kepada pihak
manajemen keperawatan mengenai persepsi perawat pelaksana terhadap
kepemimpinan efektif kepala ruang dalam kaitannya dengan penerapan
keselamatan pasien (enam sasaran keselamatan pasien).
2. Manfaat pengembangan keilmuan
Memperkaya khasanah ilmu keperawatan khususnya dalam teori
kepemimpinan dan keselamatan pasien di ruma sakit. Hasil penelitian ini
dapat menjadi acuan atau bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Keselamatan
1. Konsep keselamatan
Keselamatan merupakan perihal selamat, kesejahteraan atau
keamanan. Keselamatan dan keamanan merupakan kebutuhan dasar manusia.
Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh
manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologi maupun psikologis.
Kebutuhan dasar manusia yang kedua menurut Maslow dalam Potter dan
Perry (2006) adalah kebutuhan rasa aman dan nyaman. Keamanan adalah
keadaan bebas dari cedera fisik dan psikologis atau bisa juga keadaan aman
dan tentram.Keselamatan juga merupakan hal yang sangat penting dalam
setiap pelayanan kesehatan, sehingga dapat dikatakan bahwa keselamatan
merupakan tanggung jawab dari pemberi jasa pelayanan kesehatan.
Rumah sakit sebagai industri yangm termasuk dalam kategori High
Reliability Organizations (HRO), memungkinkan menjalankan pelayanan
sebaik mungkin, walaupun memiliki kompleksitas proses dalam organisasi
(Cahyono, 2008). Hughes (2008) menyatakan bahwa langkah awal
memperbaiki pelayanan yang berkualitas adalah keselamatan, sedang kunci
12
dari pelayanan bermutu dan aman adalah membangun budaya keselamatan
pasien.
2. Faktor yang mempengaruhi keselamatan
Faktor yang mempengaruhi keselamatan manusia menurut (Perry dan Potter,
2005; Kozier dan Erb, 2008) meliputi:
a. Umur dan perkembangan
Individu belajar untuk melindungi dirinya dari berbagai bahaya melalui
pengetahuan dan pengkajian akurat tentang lingkungan.
b. Gaya hidup
Faktor gaya hidup yang menempatkan seseorang dalam resiko bahaya
diantaranya lingkungan kerja yang tidak aman, tinggal didaerah dengan
tingkat kejahatan tinggi, ketidakcukupan dana untuk membeli
perlengkapan keamanan,adanya akses dengan obat-obatan atau zat aditif
berbahaya
c. Kemampuan mobilitas adan status kesehatan
Seseorang dengan kerusakan mobilitas akibat paralisis, kelemahan otot,
gangguan keseimbangan/koordinasi memiliki resiko untuk terjadinya
cedera.
d. Perubahan sensori persepsi
Sensori persepsi yang akurat terhadap stimulus lingkungan sangat
penting bagi keamanan seseorang. Seseorang dengan gangguan persepsi
rasa, dengar, raba, cium, dan lihat, memiliki resiko tinggi untuk cedera.
13
e. Kesadaran kognitif
Kesadaran adalah kemampuan untuk menerima stimulus lingkungan,
reaksi tubuh, dan berespon tepat melalui proses berfikir dan tindakan.
f. Status emosi
Status emosi yang ekstrim dapat mengganggu kemampuan sesorang
menerima bahaya lingkungan. Contohnya situasi penuh stres dapat
menurunkan konsentrasi dan menurunkan kepekaan pada simulus
eksternal.
g. Kemampuan berkomunikasi
Seseoarg dengan penurunan kemampuan untuk menerima dan
mengemukakan informasi juga beresiko untuk cedera. Klien afasia, klien
dengan keterbatasan bahasa, dan klien yang buta huruf, atau tidak bisa
mengartikan simbol-simbol tanda bahaya
h. Toleransi dan adaptasi stress
Faktor kecemasan dan depresi menurunkan kemampuan seseorang dalam
mengenali adanya bahaya dan mengikuti petunjuk keselamtan.
Mekanisme koping seseorang terhadap stress berhubungan dengan
kemamuannya untuk mencapai keselamatan.
i. Faktor lingkungan
Lingkungan dengan perlindungan yang minimal dapat beresiko menjadi
penyebab cedera. Contoh temperatur, radiasi, bahan-bahan kimia dan
lain-lain.
14
B. Keselamatan pasien
1. Pengertian keselamatan pasien
Keselamatan pasien adalah bagian dari mutu. Diantara enam sasaran
mutu, keselamatan merupakan sasaran yang paling dapat dirasakan oleh
pasien. Pelayanan yang bermutu sudah pasti tidak akan mencederai pasien.
Layanan bermutu sudah pasti aman. Keselamatan pasien (patient safety)
rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien
lebih aman. Sistem tersebut meliputi : assessmen risiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan
analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindaklanjutnya serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem tersebut
diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan
tindakan yang seharusnya dilakukan (Depkes RI, 2006). Menurut IOM
(2000) dalam Cahyono (2008) mendifinisikan keselamatan pasien sebagai
layanan yang tidak mencenderai atau merugikan pasien (safety is defined as
freedom from accident injury). Institute of medicine (IOM), 2000) lebih
lanjut menyatakan bahwa dalam menjamin keselamatan pasien diperlukan
sistem operasional dan proses yang meminimalkan kemungkinan terjadinya
kesalahan dan memaksimalkan tindakan untuk mencegah kesalahan.
Kesalahan dalam pelayanan kesehatan merupakan konsekuensi dari
kompleksitasnya pelayanan kesehatan yang diberikan, namun bukan berarti
kesalahan tidak dapat dicegah. Menurut Reason (2005), kesalahan medis
15
dapat didefinisikan sebagai kegagalan menyelesaikan apa yang sudah
direncanakan, atau menggunakan rencana yang salah untuk mencapai
maksud tertentu. Kesalahan terjadi dalam dua bentuk yaitu commission yaitu
suatu kesalahan yang terjadi karena seseorang tidak melakukan dengan
benar, dan bentuk yang kedua adalah omission error yang berarti tidak
melakukan suatu prosedur atau tindakan yang seharusnya dilakukan.
Kesalahan dapat menyebabkan kejadian tak diharapkan dan kejadian nyaris
cedera (Cahyono, 2008).
Kejadian tidak diharapkan merupakan kejadian yang tidak diharapkan
atau kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan
tindakan yang seharusnya dilakukan dan bukan oleh proses penyakit yang
mendasarinya (Baker dan Norton, 2004; Depkes, 2008).
2. Tujuan keselamatan pasien
Keselamatan pasien merupakan langkah kritis pertama untuk
memperbaiki kualitas pelayanan dan merupakan prasyarat utama dalam
proses pelayanan. Tujuan pengembangan keselamatan pasien di rumah sakit
menurut IOM (2002) dalam Cahyono (2008) yaitu (1) keselamatan pasien
(safety), (2) pelayanan yang efektif berdasarkan hasil penelitian, (3)
pelayanan yang efesien dalam menggunakan sumber daya yang ada, (4)
pelayanan yang tepat waktu dalam memberikan pelayanan kepada pasien, (5)
pelayanan yang berfokus pada pasien berdasarkan kebutuhan dan nilai-nilai
16
pasien, dan (6) adil yang berarti memberikan pelayanan yang tidak berbeda-
beda. Sedangkan tujuan keselamatan pasien yang dikembangkan oleh
DepKes RI (2011) yaitu (1) Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah
sakit, (2), Meningkatnya akutanbilitas rumah sakit terhadap pasien dan
masyarakat, (3) Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah
sakit, dan (4) Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak
terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan.
3. Insiden keselamatan pasien
Insiden keselamatan pasien merupakan kejadian yang tidak diharapkan
dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang
dapat dicegah pada pasien (Permenkes No 1691, 2011). Insiden keselamatan
pasien juga merupakan akibat dari melaksanakan suatu tindakan
(Commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
(omission) (Depkes RI, 2008).
Insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut insiden adalah
setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau
berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien. Insiden
keselamatan pasien rumah sakit berdasarkan Permenkes No.1691 Tahun
2011, tentang keselamatan pasien rumah sakit, terdiri dari :
a. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)
Insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien. Insiden tersebut dapat
terjadi di semua tahapan dalam perawatan dari diagnosis, pengobatan dan
pencegahan (Reason, 2005).
17
a. Kejadian Nyaris Cedera (KNC)
Insiden yang belum sampai terpapar ke pasien.
b. Kejadian Tidak Cedera (KTC)
Insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul cedera.
c. Kondisi Potensial Cedera (KPC)
Kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum
terjadi insiden.
d. Kejadian Sentinel
Suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera yang serius.
4. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap insiden keselamatan pasien
Penemuan kesalahan yang terkait human error, baru merupakan
langkah awal dalam mencari akar penyebab masalah, karena terjadinya
adverse event atau KTD bersifat multifaktorial. Kesalahan manusia, biasanya
lebih merupakan proximate cause (penyebab langsung) dan bukan
merupakan akar masalah. Institute of Medicine (IOM) dalam Cahyono
(2008), menyimpulkan bahwa penyebab KTD lebih banyak kesalahan sistem
daripada individu.
Dalam pendekatan sistem, suatu kesalahan dipandang sebagai suatu
konsikuensi kegagalan sistem. Sasaran pendekatan sistem dalam mencari
penyebab dan pemecahan tidak semata-mata hanya faktor personal,
melainkan juga faktor kerja sama tim, tempat kerja dan peralatan, task (SOP,
18
pedoman), kepemimpinan dan proses manajerial serta bagaimana komitmen
manajerial dalam program (Cahyono, 2008).
Menurut Cleland dan King (2007) dalam Cahyono (2008), sistem
adalah kumpulan bagian-bagian yang saling bergantung dan berinteraksi
secara teratur dan membentuk kesatuan yang utuh. Sehingga apabila kita
melihat kesalahan sebagai suatu kesalahan manusia, harus dilihat secara
sistem. Dengan demikian, suatu KTD atau cedera medis harus dilihat secara
sistem.
Dengan perspektif sistem, fokus adalah pada interaksi dan
kebergantungan di antara banyak komponen dan tidak berarti hanya
komponen di dalam sistem tersebut saja. Beberapa peneliti telah
mengusulkan beberapa model sistem dengan faktor, antara lain teori Wood
dalam (Cahyono, 2008), melalui teori blunt end (sisi tumpul) dan sharp end
(sisi tajam), dimana sisi yang tumpul menggambarkan penampilan
organisasi, kebijakan, dan prosedur yang berfungsi sebgai pelindung atau
pencegah kesalahan. Sementara, para praktisi seperti dokter dan perawat
yang secara langsung berhubungan dengan pasien berada pada sisi sharp end,
yang dipengaruhi oleh faktor resources dan containts (suatu pembatasan
terhadap pilihan-pilihan yang ada untuk menjaga agar perilaku petugas dalam
menjalankan tugas masih dalam zona yang aman, seperti prosedur, protokol,
kebijakan,dan sebagainya).
Teori Reason (2005) dalam Cahyono (2008) yaitu Reason “Swiss
Cheese” Model of Human Error, yang menjelaskan bahwa hampir semua
19
KTD yang terjadi melibatkan kombinasi antara kegagalan sistem
pertahanan, kegagalan aktif/kegagalan petugas, kondisi yang memudahkan
terjadinya kesalahan dan kondisi laten (kegagalan organisasi dan manajemen.
Menurut Reason (2005) , setiap organisasi termasuk rumah sakit demi
menghindari KTD pasti menerapkan suatu sistem pengaman atau sistem
barier. Sistem ini diciptakan atau disusun lapis demi lapis agar tidak terjadi
suatu insiden (KTD). Suatu KTD baru terjadi apabila sistem barier tersebut
tidak berfungsi atau dilanggar oleh individu yang melakukan kesalahan atau
pelanggaran. Reason menggambarkan terjadinya insiden dengan
menggunaan “Swiss Cheese” atau model kue keju Swiss. Dimana dalam
kondisi ideal, potongan-potongan Swiss Cheese tersebut (yang dapat
mengibaratkan sistem barier atau mekanisme pertahanan terhadap kesalahan
yang dilakukan oleh manusia) berada dalam keadaan utuh tanpa lubang.
Wujud nyata dari potongan kue tersebut dapat berupa pengaruh organisasi
(proses manajemen, kepemimpinan, kebijakan, dan prosedur), pengawasan
yang aman, kondisi lingkungan yang mendukung kesematan (kejasama tim,
peralatan, komunikasi, serta lingkungan yang aman dan nyaman), dan
perilaku yang mendukung keselamatan psien (profesionalisme, disiplin, taat
terhadap peraturan) (Cahyono, 2008). Lubang pada potongan kue ini berarti
sistem barier dalam suatu organisasi tidak berfungsi secara optimal. Tidak
berfungsinya satu barier atau terbentuknya satu atau dua lubang (barier
dilanggar) belum akan menimbulkan kecelakaan. Kecelakaan baru akan
terjadi apabila diseluruh barier terbentuk lubang secara linear Reason (2005).
20
Depkes (2008) mengungkapkan bahwa faktor yang berkontribusi
terhadap terjadinya insiden keselamatan pasien adalah : faktor eksternal/luar
rumah sakit, faktor organisasi dan manajemen, faktor lingkungan kerja,
faktor tim, faktor petugas dan kinerja, faktor tugas, faktor pasien dan faktor
komunikasi. Ditambahkan Canadian Nurse Association, (2004) bahwa
faktor-faktor yang menjadi tantangan bagi perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan yang aman dan memberikan kontribusi dalam
keselamatan pasien dan dirinya yaitu lingkungan klinik, isu ketenagaan, kerja
sama tim, komunikasi, perspektif perawat tentang keselamatan pasien,
perspektif pasien tentang keselamatan pasien, teknologi, dan budaya
menyalahkan terhadap kejadian kesalahan. Hal ini ditambahkan oleh Leape
dalam Buerhaus (2004) yang menyatakan bahwa salah satu hambatan yang
paling penting dalam pelaksanaan program keselamatan pasien adalah
kurangnya komitmen kepemimpinan.
21
Gambar 2.1 Faktor-faktor yang berkontribusi pada insiden keselamatan dalam pelayanan
kesehatan ( Henriksen, Hughes, Carayon, et all ,2008; Cahyono, 2008)
22
Pada gambar 2.1 menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
kesalahan dalam pelayanan kesehatan. Gambar tersebut menunjukkan
bagaimana setiap faktor berinteraksi satu sama lain. Faktor tersebut meliputi
faktor lingkungan eksternal, faktor manajemen, lingkungan fisik, faktor
human-system interfaces, lingkungan sosial, sifat dasar pekerjaan dan
karakteristik individu.
a. Karakteristik Individu
Pada gambar 2.1 memperlihatkan karakteristik individu berdampak
langsung terhadap mutu pelayanan. Karakteristik individu mencakup
semua kualitas yang dimiliki individu dalam bekerja. Karakteristik
individu tersebut meliputi : pengetahuan, tingkat keterampilan,
pengalaman, kecerdasan, kemampuan sensorik, pelatihan, dan pendidikan
serta sikap seperti kesadaran, kelelahan, dan motivasi.
1) Tingkat pendidikan
Pendidikan suatu metode pengembangan organisasi, dimana staf
mendapatkan pengetahuan dan keterampilan, untuk tujuan yang ositif
dan staf mendapat pengetahuan yang pentingg untuk penampilan
kinerjanya dalam kognitif, psikomotor, dan sikap. Pendidikan
merupakan indikator yang menunjukkan kemampuan individu dalam
menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya (Hasibuan,
2008).
23
2) Masa kerja
Masa kerja dapat mencerminkan pengetahuan kerja yang dapat
meningkatkan pengetahuan terhadap sesuatu hal. Individu yang sama
kerjanya lebih lama akan mendapatkan pengetahuan yang lebih
banyak daripada individu yang masih baru oleh karena itu kinerja
individu yang senior menjadi role model bagi junior sehingga dapat
membentuk budaya organisasi. (Huber, 2010).
3) Pelatihan
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi hingga
mungkin
mentiadakan kecelakaan adalah dengan memberikan pelatihan.
Pelatihan adalah proses sistemik pengubahan perilaku para pengawai
dalam suatu arah guna meniigkatkan tujuan-tujuan organisasi
(Sulistyani dan Rosidah, 2003).
Marguis dan Huston (2010) mendefinisikan pelatihan sebagai metode
yang terorganisir untuk memastikan bahwa individu memiliki
pengetahuan dan keterampilan tertentu dan individu memperoleh
engetahuan yang baik mengenai kewajiban dalam pekerjaannya.
Pengetahuan tersebut dapat meningkatkan kemampuan afektif,
psikomotor, dan kognitif sehingga akan diperoleh suatu peningkatan
produktifitas atau hasil yang baik.
b. Sifat dasar pekerjaan
24
Sifat dasar pekerjaaan mengacuh pada karakteristik pekerjaan itu sendiri
dan sejauh mana prosedur yang ada dimanfaatkan dengan baik, alur kerja,
beban kerja yang tinggi atau tidak, kehadiran maupun ketidakhadiran, ada
atau tidak adanya kerja tim, kompleksitas perawatan, fungsi peralatan,
persyaratan fisik/kognitif untuk melakukan pekerjaan.
c. Faktor human-system interfaces
Faktor human-system interfaces merupakan dua subsistem yaitu manusia
dan peralatan berinteraksi atau berkomunikasi dalam ruang lingkup
sistem. Faktor ini meliputi: peralatan medis, penempatan peralatan,
pengontrolan alat, pwngontrolan perangkat lunak, penguasaan teknologi.
Kesalahan medis sangat jarang disebabkan oleh kesalahan manusia secara
individu, namun lebih banyak disebabkan karena kesalahan system di
rumah sakit yang menyebabkan rantai dalam system terputus.
d. Faktor lingkungan fisik
Menekankan pentingnya lingkungan fisik dalam pelayanan kesehatan,
untuk mendukung keamanan dan kualitas pelayanan. Faktor lingkungan
fisik meliputi : pencahayaan, kebisingan, temperatur atau suhu ruangan,
susunan tata ruang. Standarisasi sistem fasilitas, peralatan, kamar pasien,
penempatan fasilitas kebersihan tangan, pengaturan ventilasi, mingkatkan
penanganan pasien, transpotasi dan pencengahan pasien jatuh,
e. Faktor organisasi/lingkungan sosial
Faktor ini meliputi iklim organisasi, norma kelompok, moral, otoritas
tinggi, komunikasi.
25
f. Fakor manajemen
Berdasarkan gambar 2.1 di atas yang termasuk dalam manajemen meliputi
: Beban pasien, pengaturan staf, ketersedian sumber daya,
pengorganisasian, struktur, budaya keselamatan, akses yang mudah,
pengembangan karyawan dan peran kepemimpinan.
Perencanaan yang buruk, ragu dalam pengambilan keputusan, kelalaian
manajer sebagai pengambil keputusan merupakan faktor laten dalam suatu
organisasi (Henriksen.K, et all, 2008). Dimana kondisi ini akan
berdampak terhadap ketenagaan, komunikasi, beban kerja, jadwal pasien,
pencapaian karyawan, penempatan tekonologi baru dan kualitas
pelayanan. Keputsan yang dibuat oleh pihak manajer sering tidak fokus,
kurang tepat. Karena konsikuensi pengambilan keputusan bertambah terus
menerus, dan berinterkasi dengan variabel lain, tidak muda untuk
ditentukan,orang-orang yang membuat kebijakan organisasi, membentuk
budaya organisasi, dan melaksanakan keputusan manajerial jarang
bertanggung jawab atas tindakan mereka. Sebgaai contoh, tidak adanya
komitmen yang serius untuk meningkatkan kualitas dan keamanan
pelayanan pada level manajemen adalah sebuah kondisi laten atau sulit
diubah yang bisa menjadi semu pada waktu dimana konsikuensi insiden
hanya ketika “pertimbanagn kesalahan” menyelaraskan atau membiasakan
diri dengan variabel sistem lain seperti beban dan gangguan kerja yang
berelebihan, pemasangan peralatan yang dirancang buruk, dan jawal cepat
dan padat dalam melayani pasien (Henriksen.K, dkk. 2008).
26
g. Faktor lingkungan ekternal
Dari perspektif sistem , tidak boleh hanya mempersalahkan dan
meletahkan semua masalah pelayanan kesehatan pada pihak manajemen.
Karena pelayanan kesehatan merupakan sistem terbuka dimana setiap
tingkatan pada sistem akan mempengaruhi sistem yang lebih rendah dan
dipengaruhi oleh sistem yang lebih tinggi sebagai timbal baliknya.
Lingkungan ekternal rumah sakit dapat mempengaruhi keselamatan pasien
dan kualitas pelayanan. Faktor lingkungan ekternal seperti tekanan
ekonomi, iklim politik dan kebijakan, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan demografi yang terbuka.
5. Sasaran keselamatan psaien
Setiap rumah sakit wajib mengupayakan pemenuhan sasaran
keselamatan pasien. Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk
diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi
Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life-Saving
Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang digunakan
juga oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKPRS PERSI),
dan dari Joint Commission International (JCI) (Permenkes, 2011).
Maksud dari Sasaran Keselamatan Pasien adalah mendorong
perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian-
bagian yang bermasalah dalam pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti
serta solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian atas permasalahan ini.
Diakui bahwa desain sistem yang baik secara intrinsik adalah untuk
27
memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi, sedapat
mungkin sasaran secara umum difokuskan pada solusi-solusi yang
menyeluruh. (Permenkes, 2011). Sasaran keselamatan pasien meliputi: (1)
ketepatan identifikasi pasien; (2) peningkatan komuniksai yang efektif; (3)
peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai; (4) kepastian tepat-
lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi; (5) pengurangan resiko infeksi
terkait pelayanan kesehaatan, dan (6) pengurangan resiko pasien jatuh.
Elemen penilaian sasaran keselamatan pasien menurut Permenkes (2011)
adalah sebagai berikut :
a. Elemen penilaian sasaran 1: Ketepatan identifikasi pasien
1) Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh
menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien.
2) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk
darah.
3) Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain
untuk
pemeriksaan klinis.
4) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan
tindakan/prosedur.
5) Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang
konsisten pada semua situasi dan lokasi.
28
b. Elemen penilaian sasaran 2 : Peningkatan komunikasi yang efektif
1) Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil
pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah.
2) Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan dibacakan
kembali secara lengkap oleh penerima perintah.
3) Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah
atau yang menyampaikan hasil pemeriksaan
4) Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi
keakuratan komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten.
c. Elemen penilaian sasaran 3 : Peningkatan keamanan obat yang perlu
diwaspadai
1) Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses
identifikasi, menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan
elektrolit konsentrat.
2) Implementasi kebijakan dan prosedur.
3) Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali
jika dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah
pemberian yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan.
4) Elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan pasien
harus diberi label yang jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi
ketat (restricted).
d. Elemen penilaian sasaran 4 : Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur,
tepat-pasien operasi
29
1) Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti
untuk identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam
proses penandaan.
2) Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk
memverifikasi saat preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat
pasien dan semua dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia,
tepat, dan fungsional.
3) Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur
“sebelum insisi/time-out” tepat sebelum dimulainya suatu
prosedur/tindakan pembedahan.
4) Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung proses
yang seragam untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan
tepat pasien, termasuk
e. Elemen penilaian sasaran 5 : Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan
kesehatan
1) Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene
terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum (al.dari
WHO Patient Safety).
2) Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif.
3) Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan
pengurangan secara berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait
pelayanan kesehatan.
30
f. Elemen penilaian sasaran 6 : pengurangan risiko pasien jatuh
1) Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien terhadap
risiko jatuh dan melakukan asesmen ulang pasien bila diindikasikan
terjadi perubahan kondisi atau pengobatan, dan lain-lain.
2) Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi
mereka yang pada hasil asesmen dianggap berisiko jatuh.
3) Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan
pengurangan cedera akibat jatuh dan dampak dari kejadian tidak
diharapkan.
4) Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan
pengurangan berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di
rumah sakit.
6. Standar keselamatan pasien
Standar selamatan pasien yang disusun oleh Departemen Kesehatan
Republik Indonesia (2006) sebagai pedoman bagi seluruh rumah sakit di
Indonesia dalam menerapkan keselamatan pasien mengacuh pada ”Hospital
Patient Safety Standards” yang dikeluarkan oleh Joint Commision on
Accreditation of Health Organizations, Illinois, USA, tahun 2002, yang
disesuaikan dengan situasi dan kondisi perumahsakitan di Indonesia (Depkes
RI, 2006).
Standar keselamatan pasien terdiri dari 7 (tujuh) standar, yaitu : (1)
hak pasien. Hak pasien dan keluarganya untuk mendapatkan informasi
tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemugkinan terjadinya
31
kejadian tidak di harapkan (KTD), (2) mendidik pasien dan keluarganya
tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien, (3)
keselamatan pasien dan kesinambungan dalam pelayanan dengan menjamin
kesinambungan pelayanan dan mejamin koordinasi antar tenaga dan antar
unit pelayanan, (4) penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk
melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien, (5) peran
kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien, (6) medidik staf
tentang keselamatan pasien, dan standar keenam yaitu komunikasi
merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien (Kemenkes
Ri, 2011).
7. Langkah-langkah menuju keselamatan pasien
Pada tahun 2001 The NSPA (National Patient Safety Agency)
menerbitkan tujuh langkah menuju keselamatan pasien. Tujuh langkah
keselamatan pasien ini dapat digunakan sebagai daftar tilik dalam membantu
merencanakan kegiatan dan mengukur keberhasilan penerapan program
keselamatan pasien.
Tujuh langkah yang dapat di tempuh dalam menerapkan keselamatan
pasien tersebut (Cahyono, 2008; Depkes, 2008; NPSA 2009) yaitu :
a. Membangun budaya keselamatan pasien.
Rumah sakit merupakan organisasi kesehatan dan untuk membangun
budaya dalam suatu organisasi perlu diingat bahwa budaya organisasi
merupakan sistem nilai-nilai, keyakinan, dan kebiasaan bersama dalam
organisasi yang berinteraksi dengan struktur formal, untuk menghasilkan
32
norma perilaku. Budaya yang harus dibangun dalam suatu organisasi
untuk mendukung penerapan keselamtan pasien yaitu : (1) nilai-nilai
atau keyakinan (core value), (2) bekerja tim, (3) melibatkan pasien dalam
pengambilan keputusan, (4) memandang kesalahan dalam kerangka
sistem, (5) pengambilan keputusan medis, dan (6) berani mengungkapkan
kesalahan yang terjadi.
Bagi rumah sakit
1) Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang mejabarkan apa yang
harus dilakukan staf segera setelah terjadi insiden, bagaimana
langkah-langkah pengumpulan fakta harus dilakukan dan dukungan
apa yang harus diberikan kepada staf, pasien dan keluarga.
2) Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang menjabarkan peran
dan akuntabilitas individual bilamana ada insiden.
3) Tumbuhkan budaya pelaporan dan belajar dari insiden yang terjadi
di rumah sakit.
4) Lakukan asesmen dengan menggunakan survei penilaian
keselamatan pasien.
Bagi unit/Tim
1) Pastikan rekan sekerja anda merasa mampu untuk berbicara
mengenai kepedulian mereka dan berani melaporkan bilamana ada
insiden.
2) Demonstrasikan kepada tim anda ukuran-ukuran yang dipakai di
rumah sakit anda untuk memastikan semua laporan dibuat secara
33
terbuka dan terjadi proses pembelajaran serta pelaksanaan
tindakan/solusi yang tepat. Membangun budaya keselamatan dalam
organisasi rumah sakit yang baik salah satunya adalah dimana staf
memiliki kesadaran .
b. Pimpinan dan dukungan terhadap staf
Pemimpin adalah pemegang kunci perubahan karena memiliki
tanggung jawab untuk memimpin perubahan. Pemimpin bekomitmen dan
memberikan contoh yang dinyatakan dalam tindakan untuk keberhasilan
program keselamatan pasien ( Bennet dan Brachman, 2007). Langkah
penerapannya :
Bagi Rumah Sakit :
1) Memastikan ada anggota Direksi atau Pimpinan yang bertanggung
jawab atas Keselamatan Pasien.
2) Mengidentifikasi di tiap bagian rumah sakit, orang-orang yang
dapat diandalkan untuk menjadi”penggerak” dalam gerakan
Keselamatan Pasien.
3) Memprioritaskan Keselamatan Pasien dalam agenda rapat
Direksi/Pimpinan maupun rapat-rapat manajemen rumah sakit.
4) Memasukkan Keselamatan Pasien dalam semua program latihan
staf rumah sakit anda dan pastikan pelatihan ini diikuti dan diukur
efektivitasnya.
34
Bagi Unit/Tim :
1) Menominasikan ”penggerak” dalam tim anda sendiri untuk
memimpin Gerakan Keselamatan Pasien.
2) Menjelaskan kepada tim anda relevansi dan pentingnya serta
manfaat bagi mereka dengan menjalankan gerakan Keselamatan
Pasien.
3) Menumbuhkan sikap kesatria yang menghargai pelaporan insiden.
c. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan resiko dengan mengembangkan
sistem dan proses pengelolaan resiko, serta melakukan identifikasi dan
assesmen hal yang potensial bermasalah. Langkah penerapannya :
Bagi Rumah Sakit :
1) Memastikan ada anggota Direksi atau Pimpinan yang bertanggung
jawab atas Keselamatan Pasien.
2) Mengidentifikasi di tiap bagian rumah sakit, orang-orang yang
dapat diandalkan untuk menjadi ”penggerak” dalam gerakan
Keselamatan Pasien.
3) Memprioritaskan Keselamatan Pasien dalam agenda rapat
Direksi/Pimpinan maupun rapat-rapat manajemen rumah sakit.
4) Masukkan Keselamatan Pasien dalam semua program latihan staf
rumah sakit anda dan memastikan pelatihan ini diikuti dan diukur
efektivitasnya.
35
Bagi Unit/Tim :
1) Menominasikan ”penggerak” dalam tim anda sendiri untuk
memimpin Gerakan Keselamatan Pasien.
2) Menjelaskan kepada tim anda relevansi dan pentingnya serta
manfaat bagi mereka dengan menjalankan gerakan Keselamatan
Pasien.
3) Menumbuhkan sikap kesatria yang menghargai pelaporan insiden.
d. Mengembangkan sistem pelaporan dengan memberikan masukan pada
staf dengan mudah melaporkan kejadian/insiden serta rumah sakit dan
mengatur pelaporan kepada Komite Keselamatan Rumah Sakit (KKP-
RS). Langkah penerapannya:
Bagi Rumah Sakit :
1) Melengkapi rencana implementasi sistem pelaporan insiden ke
dalam maupun ke luar, yang harus dilaporkan ke KPPRS - PERSI.
Bagi Unit/Tim :
1) Memberikan semangat kepada rekan sekerja anda untuk secara aktif
melaporkan setiap insiden yang terjadidan insiden yang telah
dicegah tetapi tetap terjadi juga, karena mengandung bahan
pelajaran yang penting.
e. Melibatkan dan komunikasi dengan psien dengan mengembangkan cara
komunikasi yang terbuka dengan pasien. Langkah penerapannya:
Bagi rumah sakit
36
1) Memastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang secara jelas
menjabarkan cara-cara komunikasi terbuka tentang insiden dengan
para pasien dan keluarga.
2) Memastikan pasien dan keluarga mereka mendapat informasi yang
benar dan jelas bilamana terjadi insiden.
3) Memberikan dukungan, pelatihan dan dorongan semangat kepada
staf agar selalu terbuka kepada pasien dan keluarganya.
Bagi unit/Tim
1) Memastikan tim anda menghargai dan mendukung keterlibatan
pasien dan keluarganya bila telah terjadi insiden.
2) Memprioritaskan pemberitahuan kepada pasien dan keluarga
bilamana terjadi insiden, dan segera berikan kepada mereka
informasi yang jelas dan benar secara tepat.
3) Memaastikan bahwa segera setelah kejadian, tim menunjukkan
empati kepada pasien dan keluarganya.
f. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien dengan
mendorong staf untuk melakukan analisis akar masalah untuk belajar
bagaiman dan mengapa kejadian ini timbul. Langkah penerapannya:
Bagi rumah sakit
1) Memastikan staf yang terkait telah terlatih untuk melakukan kajian
insiden secara tepat, yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
penyebab.
37
2) Mengembangkan kebijakan yang menjabarkan dengan jelas kriteria
pelaksanaan Analisis Akar maasalah (Root Cause Analysis/RCA)
atau Failure Modes and Effects Analysis (FMEA) atau metoda
analisis lain, yang harus mencakup semua
insiden yang telah terjadi dan minimum satu kali per tahun
untuk proses risiko tinggi.
Bagi unit/Tim
1) Mendiskusikan dalam tim anda pengalaman dari hasil analisis
insiden.
2) Mengidentifikasi unit atau bagian lain yang yang mungkin
terkena dampak dimasa depan dan membagi pengalaman
tersebut secara lebih luas.
g. Mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien
dengan menggunakan informasi yang ada tentang kejadian/masalah
untuk melakukan perubahan pada sistem pelayanan. Langkah
penerapannya :
Bagi rumah sakit
1) Penggunaaan informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari
sistem pelaporan, asesmen risiko, kajian insiden, dan audit serta
analisis, untuk menentukan solusi setempat.
2) Solusi tersebut dapat mencakup penjabaran ulang sistem (struktur
dan proses), penyesuaian pelatihan staf dan/atau kegiatan klinis,
38
termasuk penggunaan instrumen yang menjamin keselamatan
pasien.
3) Melakukan asesmen risiko untuk setiap perubahan yang
direncanakan
4) Mensosialisasikan solusi yang dikembangkan oleh KKPRS -
PERSI
5) Memberi umpan balik kepada staf tentang setiap tindakan yang
diambil atas insiden yang dilaporkan
Bagi unit/Tim
1) Melibatkan tim dalam mengembangkan berbagai cara untuk
membuat asuhan pasien menjadi lebih baik dan lebih aman.
2) Menelaah kembali perubahan-perubahan yang dibuat tim anda dan
pastikan pelaksanaannya.
3) Memastikan tim menerima umpan balik atas setiap tindak lanjut
tentang insiden yang dilaporkan.
8. Peran perawat dalam keselamatan pasien
Keselamatan pasien tetap menjadi salah satu masalah kritis dan vital
dalam pelayanan keperawatan. Perawat sebagai tenaga professional
kesehatan paling mungkin berperan dalam mencegah kesalahan dan
kecelakaan pada pasien. Untuk meningkatkan kualitas dan keamanan
pelayanan, merupakan tanggung jawab semua dokter, semua penyedia
pelayanan kesehatan, semua tenaga kesehatan dan pemimpin keperawatan
serta manajer keperawatan (Hughes, 2008).
39
Perawat merupakan bagian integral dari keselamatan pasien (Clancy,
Barqubar dan Collins, 2005). Nurrachmah (2000) memperjelas bahwa
dalam sistem pemberian pelayanan kesehatan, keperawatan menduduki
posisi yang sangat penting dalam kualitas kesehatan.
Elemen penting lainnya dalam manjemen keperawatan adalah peran
perawat (Marquis dan Houston, 2010). Berbagai peran dijalankan oleh
perawat saat memberikan asuhan, salah satunya sebagai pembela pasien
(client asvocate). Peawat diharapkan mampu membantu mempertahankan
lingkungan yang aman bagi pasien dan mengambil tindakan, untuk
mencegah terjadinya kecelakaan dan melindungi pasien dari kemungkinan
efek yang tidak diinginkan dari suatu tindakan diagnostic atau pengobatan
(Potter dan Perry, 2005).
Dalam memberikan pelayanan kesehatan perawat merupakan salah
satu profesi kesehatan yang membantu pasien mencapai kesehatannya
secara optimal. Oleh karena itu pada saat memberikan asuhan keperawatan
kepada pasien, perawat harus mampu memastikan bahwa pelayanan
keperawatan yang diberikannya mengutamakan keselamatan pasien.
Peran perawat terhadap keselamatan pasien menurut International
Council of Nurses (2002) adalah sebagai berikut :
a. Menginformasikan kepada pasien dan keluarga tentang resiko yang
potensial terjadi.
b. Melaporkan KTD secara cepat dan tepat kepada pengambil kebijakan.
40
c. Mengambil peran serta dan aktif dalam mengkaji keselamtan dan mutu
perawatan.
d. Mengembangkan komunikasi dengan pasien dan tenaga professional
kesehatan yang lain.
e. Melakukan negosiasi untuk pemenuhan kebutuhan staf yang adekuat.
f. Mendukung langkah-langkah pengembangan keselamatan pasien.
g. Meningkatkan program pengendalian infeksi yang tepat.
h. Melakukan negosiasi terhadap standarisasi kebijakan dan protokol
pengobatan untuk meminimalkan kesalahan.
i. Mempertanggungjawabkan profesionalisme dengan melibatkan tenaga
farmasi, dokter dan lainnya untuk mengembangkan pengemasan dan
penamaan obat-obatan.
j. Berkolaborasi dengan sistem pelaporan nasional untuk mencatat,
menganalisis dan belajar dari KTD.
k. Mengembangkan suatu mekanisme, misalnya melalui akreditasi, untuk
menilai karakteristik penyedia layanan kesehatan sebgai standar yang
digunakan untuk mengukur kesempurnaan dalam keselamatan pasien.
C. Kepemimpinan efektif
1. Pengertian kepemimpinan
Menurut Gillies (1994) dalam Arani (2006) mendefinisikan
kepemimpinan berdasarkan kata kerjanya yaitu, to lead yang berarti
41
beragam seperti, untu membantu (to guide), untuk menjalankan arahan
tertentu (to run in specific direction), untuk mengarahkan (to direct),
berjalan didepan menjadi yang pertama dan cenderung ke hasil yang pasti.
Kepemimpinan terjadi setiap kali seseorang mencoba untuk mempengaruhi
perilaku individu atau kelompok dari tingkat atas, bawah atau ke samping
dalam organisasi terlepas dari alasan pribadi atau untuk tujuan orang lain,
dimana tujuan-tujuan ini mungkin atau tidak mungkin sama Hersey dan
Campbell (2004) dalam Tappen, (2004). Definisi kepemimpinan lainnya
dikemukakan oleh Hughes (2006), yaitu fenomena kompleks yang
melibatkan tiga hal utama, yaitu pemimpin, pengikut, dan situasi.
Dari pengertian diatas kepemimpinan mengandung beberapa unsur
pokok antara lain:
1) Kepemimpinan melibatkan orang lain dan adanya situasi kelompok
atau organisasi tempat pemimpin dan anggotanya berinteraksi,
2) Di dalam kepemimpinan terjadi pembagian kekuasaan dan proses
mempengaruhi bawahan oleh pemimpin, dan
3) Adanya tujuan bersama yang harus dicapai.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kepemimpinan adalah
kemampuan untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau sekelompok
orang untuk mencapai tujuan tertentu pada situasi tertentu
42
2. Kepemimpinan efektif
Kepemimpinan efektif merupakan faktor kunci dan kesuksesan
organisasi. Kepemimpinan efektif merupakan keterampilan manajerial
dalam pelaksanaan pekerjaan bersama atau melalui orang lain. Pengertian
lain Kepemimpinan efektif menurut Hawawi dan Hadari (2012) merupakan
proses yang dinamis, karena berlangsung di lingkungan suatu organisasi
sebagai sistem kerjasama sejumlah manusia untuk mencapai tujuan tertentu,
yang bersifat dinamis pula. Kepemimpinan perawat efektif adalah
kepemimpinan yang menginspirasi orang lain untuk bekerjasama dalam
mencapai tujuan bersama. Tujuan yang dapat memberikan pelayanan
keperawatan yang baik kepada pasien.
3. Komponen kepemimpinan efektif
Komponen kepemimpinan efektif meliputi (1) menentukan tujuan
yang jelas, (2) memiliki pengetahuan tentang kepemimpinan dan dalam
bidang profesinya, (3) memiliki kesadaran diri dalam memahami kebutuhan
sendiri dan orang lain, (4) berkomunikasi dengan jelas dan efektif, (5)
penggunaan energi yang cukup untuk kegiatan kepemimpinan, dan (6)
mengambil tindakan (Tappen, 2004). Uraian komponen kepemimpinan
efektif sebagai berikut :
1) Penentuan tujuan
Tindakan awal bila kita ingin menjadi seorang pemimpin efektif
ialah menetukan visi dan misi yang jelas. Seorang pemimpin yang
43
efektif selalu dapat menetapkan tujuan, menetapkan prioritas, dan dapat
memelihara standar organisasi.
Menentukan tujuan merupakan kunci kepemimpinan efektif.
Tugas kepemimpinan adalah menentukan tindakan dari tujuan yang ada
dan untuk membantu kelompok atau organisasi untuk mencapai tujuan
kelompok atau organisasi, namun sebelumnya melakukan diskusi
dengan bawahan.
Pemimpin berperan dalam mempengaruhi dirinya sendiri dan
pengikutnya untuk mencapai tujuan. Terdapat tiga tingkat tujuan yang
perlu ditetapkan pemimpin dalam mengelola suatu program yaitu
tujuan pribadi, tujuan kelompok, serta tujuan organisasi (Dollan dan
Sellwood, 2008). Pemimpin yang efektif memiliki visi untuk masa
depan, dimana visi itu dikomunikasikan kepada kelompok dan
melibatkan semua orang dalam bekerja menuju visi yang dapat
membuat orang terinspirasi ketika mengahdapi kesulitan. Dengan
melibatkan orang lain dalam menentukan visi, tidak hanya akan
memuaskan bagi karyawan tetapi juga memiliki potensi untuk
memperoleh hasil yang paling kreatif dan inovatif (Kerfott (2000) di
kutib dalam Tappen, 2004). Tujuan yang membantu membuat
pekerjaan lebih bermakna.
2) Pengetahuan
Seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan yang luas tentang
kepemimpinan dan ilmu tentang ruang lingkup kerja profesinya (dalam
44
hal ini pengetahuan tentang keperawatan). Para pemimpin yang efektif
tidak hanya terus belajar tetapi juga mendorong orang lain untuk
melakukan hal yang sama. Kadang-kadang para pemimpin berfungsi
sebagai guru. Dilain waktu peran pemimpin terutama untuk mendorong
dan membimbing orang lain untuk mencari lebih banyak pengetahuan.
Jeli, reflektif, praktisi analitis tahu bahwa pembelajaran terjadi setiap
hari jika satu sama lain saling terbuka .
Pengetahuan yang harus dimiliki oleh pemimpin efektif menurut
Tappen (2004) meliputi pengetahuan kepemimpinan dalam hal
mempengaruhi bawahan untuk berperilaku, kepemimpinan terhadap
dirinya sendiri, kepemimpinan terhadap lingkungan sekitar, proses
manajemen dan organisasi, dan pengetahuan dalam berinteraksi dengan
bawahan untuk mengetahui penilaian kinerja. Pengetahuan lainnya
adalah pengetahuan tentang proses keperawatan dan keterampilan
keperawatan. Untuk meningkatkan kompetensinya pemimpin
mengikuti seminar, pelatihan dan pendidikan.
3) Kesadaran diri
Seorang pemimpin harus mampu mengetahui, memahami dan
menerima dirinya sendiri dan orang lain. Orang yang tidak memahami
diri sendiri, akan kurang memahami bagaimana memotivasi orang lain,
bahkan mampu menipu diri sendiri dibandingkan dengan orang yang
mampu memahami dirinya sendiri. Menyadari bahwa anda seperti
45
beberapa orang lain yang lebih baik dari yang lain merupakan langkah
pertama dalam mencegah perlakuan yang tidak adil (Tappen, 2004).
Kesadaran diri juga bisa diartikan kepercayaan diri yang dimiliki
pemimpin. Kepercayaan diri beraarti seseorang percaya dengan dirinya
sendri, apa yang dilakukan, menjadikan visi jelas bagi orang lain, dan
percaaya pada misi yang dibuat (Shaw, 2007). Kanter dalam Shaw
(2007) kepercayaan diri seorang pemimpin berperan dalam
menciptakan hubungan yang nyaman di tempat kerja sehingga bawahan
dapat bekerja dengan baik. Kepercayaan diri adalah harapan sukses
seseorang yang menghubungkan harapan dan kinerja.
4) Komunikasi
Komunikasi sendiri adalah inti dari kepemimpinan. Seorang
pemimpin harus memiliki kemampuan yang lebih untuk berkomunikasi
ke sesama teman maupun bawahannya. Karena komunikasi yang baik
merupakan salah satu strategi dalam mempengaruhi orang lain dan
dapat juga menciptakan hubungan yang positif antara bawahan dan
atasan, sehingga tercipta lingkungan kerja yang baik.
Salah satu aspek kunci dari kepemimpinan yang baik berkaitan
dengan bagaimana berkomunikasi dengan orang lain. Para pemimpin
yang efektif harus mampu untuk berbicara dengan baik dan
menginspirasi orang, baik di di depan satu orang atau di depan
khalayak umum yang besar. Setiap percakapan adalah kesempatan
untuk melibatkan orang-orang dengan ide dan menginspirasi mereka
46
untuk mengambil tindakan. Hal ini penting untuk diingat bahwa
kepemimpinan bukanlah tentang mengendalikan orang, tapi tentang
inspirasi mereka cuku puntuk membuat mereka ingin mengikuti
Anda. Tapi Anda juga harus mampu untuk mendengar apa yang
dikatakan orang lain. Tanpa mendengarkan dengan hati-hati dan
secara aktif kepada orang lain, itu mudah bagi pemimpin untuk
kehilangan kontak dengan pendukung mereka.
Komunikasi secara verbal, tertulis, maupun lisan.
Kepemimpinan tidak dapat terjadi tanpa interaksi dengan orang lain.
Hal ini menjadikan pentingnya menjaga keberlangsungan dalam
berinteraksi. Keterampilan komunikasi dapat berubah mendengar
aktif mendorong saluran informasi, asertif, memberikan umpan
balik, upaya menciptakan perantara apabila terdapat masalah dalam
komunikasi, membentuk jaringan, menyatakan komunikasi sebagai
visi (Tappen, 2004).
5) Energi
Kepemimpinan membutuhkan energi. Kepemimpinan
merupakan pekerjaan yang sulit tapi untuk hasil yang memuaskan
membutuhkan upaya dari pemimpin, yang pula untuk pengikut
bawahan. (Tappen, 2004). Untuk mempertahankan prestasi tinggi
dan maju, pemimpin harus memiliki banyak energi. Pekerjaan
seorang pemimpin merupakan pekerjaan yang membuthakan waktu
yang lebih panjang sehingga membutuhkan vitalitas fisik, mental,
47
dan emosional. Pemimpin memiliki tingkat energi yang tinggi dan
stamina dan secara umum aktif, hidup, dan sering gelisah,
dibandingkan seseorang yang bukan pemimpin. Pemimpin telah
dicirikan sebagai “seseorang yang kuat, aktif, bersemangat serta
memiliki vitalitas fisik untuk mempertahankan kinerja yang proaktif
" (Kirkpatrick dan Locke, 2005).
Pemimpin harus mampu memotivasi dan memberikan
semangat kepada bawahannya untuk bertindak positif. Penggunaan
energi merupakan keberanian pemimpin untuk mau mengambil
resiko yang tepat dan komitmen yang jelas untuk memotivasi nilai
dan keyaakinan staf yang tidak jelas (Shaw, 2007). Welch (2006)
dalam Cahyono (2008) menambahkan pemimpin perlu
mempengaruhi kehidupan orang lain, memamcarkan energi positif
dan optimisme.
6) Mengambil tindakan
Pemimpin efektif adalah pemimpin yang proaktif. Pemimpin
membuat pilihan dan mengambil tindakan yang mengarah pada
perubahan bukan hanya bereaksi terhadap peristiwa atau menunggu
hal-hal terjadi, tetapi menunjukkan inisiatif tingkat tinggi
(Kirkpatrick dan Locke, 1991).
Tindakan pemimpin efektif harus memperhatikan hal-hal yang
meliputi, pemimpin beorientasi pada kemampuan sebelum
melakukan tindakan; tidak perlu menunggu oranag lain dalam
48
melakukan tindakan; melakukan perencanaan sebelum bertindak;
bekerjasama dengan orang lain dalam bertindak; bertindak secara
professional, mampu mengambil keputusan, mampu memberikan
ide-ide; menggunakan teknik-teknik kepemimpinan dalam bertindak
(Tappen, 2004).
D. Hubungan kepemimpinan efektif dengan penerapan keselamatan pasien
Kepemimpinan menurut Vincent (2003) dalam Cahyono (2008)
merupakan salah satu faktor laten yang dapat mempengaruhi tgangimbulnya
kejadian tidak diharapkan. Pemimpin adalah pemegang kunci perubahan
karena memiliki tanggung jawab untuk memk memimpin perubahan.
Pemimpin mempunyai tugas untuk membangun visi dan misi,
mengkomunikasikan ide-ide perubahan Cahyono (2008).
Membangun budaya keselamatan pasien yang memungkinkan seluruh
tim pendukung dan meningkatkan keselamatan pasien dipengaruhi oleh
kepemimpinan yang kuat. Lingkup kepemimpinan dalam penerapan budaya
keselamatan pasien salah satunya adalah kepemimpinan kepala ruangan.
Upaya kepala ruang dalam melaksanakan kepemimpinan efektif diruangan
mempengaruhi penerapan keselamatan pasien. Kepala ruang akan dapat
mempengaruhi strategi dan upaya menggerakkan perawat dalam lingkup
wewenangnya untuk bersama-sama menerapkan keselamatan pasien. Kepala
ruang memiliki peran kritis dalam mendukung penerapan keselamatan pasien
49
dengan kepemimpinan efektif dalam menciptakan lingkungan yang positif
bagi keselmaatan pasien.
Kepemimpinan efektif merupakan kemampuan seorang pemimpin dalam
memberikan keseimbangan antara pemberian tugas dan pengelolaan
ketenagaan, serta memfasilitasi pemecahan masalah dalam kesenjangan antara
kemampuan, prosedur, struktur dan motivasi. Komponenen kepemimpinana
efektif yang terdiri dari penentuan tujuan, pengetahuan, kesdaran diri,
komunikasi, penggunaan energi dan pengambilan tindakan. Penelitian
Setiowati (2011) menyatakan, ada hubungan kepemimpinan efektif kepala
ruangan dengan budaya keselamatan pasien.
E. MANAJEMEN KEPERAWATAN
Manajemen merupakan suatu proses dalam menyelesaikan masalah pekerjaan
melalui orang lain, Gillies (2005). Manajemen tersebut mencakup kegiatan
planning, organizing, actuating, controlling (POAC) terhadap staf, sarana dan
prasarana dalam mencapai tujuan organisasi.
Gillis (2005) menjelaskan manajemen keperawatan adalah suatu proses
bekerja melalui anggota staf keperawatan untuk memberikan asuhan
keperawatan secara professional.
Manajemen keperawatan adalah penggunaan waktu yang efektif,
keberhasilan rencana perawat manajer klinis, yang mempunyai teori atau
sistematik dari prinsip dan metode yang berkaitan pada instusi yang besar dan
organisasi keperawatan di dalamnya, termasuk setiap unit. Teori ini meliputi
50
pengetahuan tentang misi dan tujuan dari institusi tetapi dapat memerlukan
pengembangan atau perbaikan termasuk misi atau tujuan devisi keperawatan.
Dari pernyataan pengertian yang jelas perawat manajer mengembangkan tujuan
yang jelas dan realistis untuk pelayanan keperawatan (Swanburg, 2000).
Proses Manajemen keperawatan sejalan dengan proses keperawatan
sebagai satu metode pelaksanaan asuhan keperawatan secara professional,
sehingga diharapkan keduanya dapat saling mendukung. Sebagaimana proses
keperawatan, manajemen keperawatan terdiri atas : pengumpulan data,
identifikasi masalah, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil. Karena
manajemen keperawatan mempunyai kekhususan terhadap mayoritas tenaga dari
seorang pegawai, maka setiap tahapan dalam proses manajemen lebih rumit jika
dibandingkan dengan proses keperawatan (Panjaitan & Sitorus, 2011).
FUNGSI MANAJEMEN
1. Perencanaan
Perencanaan dapat didefinisikan sebagai upaya memutuskan apa yang
akan dilakukan; siapa yang melakukan; dan bagaimana, kapan dan dimana
hal tersebut dilakukan. Definisi tersebut menyiratkan bahwa perencanaan
adalah proses yang proaktif dan memiliki tujuan. Perencanaan merupakan
fungsi dituntut dari semua manajer sehingga tujuan dan kebutuhan individu
maupun organisasi dapat terpenuhi. (Marquis & Huston, 20010).
Perencanaan mencerminkan aktivitas spesifik yang mengarah pada
51
pencapaian tujuan. Perencanaan sangat berguna dan bersifat proaktif.
Perencaaan proaktif meminimalkan resiko dan ketidakpastian .
Perencanaan yang adekuat mendorong pengelolaan terbaik sumber
daya yang ada. Dalam perencanaan yang efektif, manajer harus
mengidentifikasi tujuan jangka pendek dan tujuan jangkah panjang serta
melakukan perubahan yang diperlukan untuk menjamin kontinuitas
pencapaian tujuan oleh unit.
Perencanan merupakan tahap yang sangat penting dan menjadi
prioritas di antara fungsi manajemen yang lain. Tanpa perencanaan yang
adekuat, proses manajemen akan mengalami kegagalan. (Marquis &
Huston, 2010).
Keuntungan perencanaan yang efektif adalah kesempatan
menyelesaikan pekerjaan dengan kualitas yang lebih tinggi secara tepat
waktu dan kemungkinan penggunaan modal dan sumber daya manusia
yang terbaik. Karena perencanaan sangat penting, manajer harus mampu
mengatasi hambatan perencanaan. Untuk mencapai keberhasilan
perencanaan organisasi, manajer harus mengingat beberapa hal berikut,
(Marquis & Houston, 2010) ;
- Organisasi dapat menjadi lebih efektif jika staf diarahkan pada tujuan
umum dan tujuan khusus yang spesifik
- Perencanaan harus pleksibel dan memungkinkan untuk peyesuaian
kembali saat dihadapkan pada kejadian yang tidak diharapkan.
52
- Melibatkan staf dan unit terkait dalam proses perencanaan yang dapat
dipengaruhi oleh alur tindakan
- Rencana harus spesifik, sederhana dan realistis.
- Kendali waktu yang tepat untuk melakukan perencanaan.
- Perencanaan yang baik terintegrasi dengan alat evaluasi sehingga
koreksi dapat dilakukan selama pelaksanaan terhadap sesuatu yang
tidak diharapkan.
Peran Kepemimpinan berhubungan dengan perencanaan strategis:
1) Mengkaji lingkungan internal dan ekternal organisasi dalam
meramalkan dan mengidentifikasi kekuatan pendorong dan hambatan
terhadap perencaan strategis.
2) Menampilkan visi, dan berpikir kreatif serta inovatif dalam
perencanaan orgnisasi dan unit sehingga tercipta perencanaan
proaktif, bukan reaktf.
3) Memengaruhi dan menginspirasi anggota kelompok reagar secara
aktif terlibat dalam perencanaan jangkah panjang.
4) Secara periodic melakukan klarifikasi nilai untuk meningkatkan
kesadaran diri.
5) Mengarahkan bawahan pada klasifikasi nilai melalui mendengarkan
aktif dan memberikan umpan-balik.
6) Mengomunikasikan dan mengklarifikasi tujuan dan nilai organisasi
kepada bawahan.
53
7) Memotivasi bawahan untuk terlibat dalam membuat kebijakan,
termasuk mengembangkan, mengimplementasikan, serta menelaah
filosofi, tujuan umum, tujuan khusus, kebijakan, prosedur, dan aturan
dalam unit.
8) Terbuka untuk ide baru dan berbagai ide
9) Menjadi model peran dalam menerapkan metode perencanaan
proaktif bagi bawahan.
2. PENGORGANISASIAN
Pengorganisasian adalah pengelompokan aktivitas untuk mencapai
tujuan melalui penugasan suatu kelompok tenaga keperawatan, menentukan
cara pengorganisasian aktivitas yang tepat baik verrtikal maupun horizontal
yang bertanggung jawab untuk mencapai tujuan organisasi.
Tugas-tugas khususnya mencakup rancangan organisasional,
spesialisasi pekerjaan, deskripsi kerja, spesifikasi kerja, rentang kendali,
kesatuan komando, koordinasi, rancangan pekerjaan dan analisis kerja
Tujuan pengorganisasian adalah mencapai upaya yang terkoordinasi
dengan cara menentukan tugas dan hubungan otoritas. Pengorganisasian
berarti penentuan siapa yang melakukan apa dan siapa yang harus memberi
pertanggungjawaban kepada siapa.
54
Fungsi pengorganisasian manajemen dapat dikelompokkan ke dalam
tiga aktivitas berurutan : pemecah-mecahan tugas ke alam pekerjaan
(spesialisasi kerja), penggabungan pekerjaan ke dalam departemen
(departementalisasi), pendelegasian otoritas. Pemecah-mecahan tugas ke
dalam pekerjaan membutuhkan deskripsi kerja dan spesifikasi kerja.
3. PENGARAHAN
Merupakan penerapan perencanaan dalam bentuk tindakan untuk
mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Istilah
lainnya yang digunakan sebagai padanan pengarahan adalah
pengorganisasian dan pengaktifan yaitu melaksanakan kegiatan yang telah
direncanakan sebelumnya (Marquis & Houston, 2010).
Dalam pengarahan, jika perlu dilakukan pendelegasian, pekerjaan
diuraikan dalam tugas-tugas yang mampu dikelola. Untuk
memaksimalkan pelaksanaan pekerjaan oleh staff, seorang manajer harus
melakukan upaya (marquis & houston, 2003) berikut :
a. Menciptakan iklim motivasi
Peran keemimpinan dengan menciptakan iklim motivasi :
a. Mengenali setiap pengawai sebagai individu yang termotivasi oleh
hal yang berbeda.
b. Mengidentifikasi sistem nilai individu daan bersama di unit tersebut,
serta menerapkan sistem penghargaan yang konsisten dengan nilai
tersebut.
55
c. Mendegarkan dengan penuh perhatian terhadap nilai dan sikap
individu dan bersama untuk mengidetifikasi kebutuhan yang tidak
terpenuhi yang dapat meneyebabkan ketidakpuasan
d. Mendorong pekerja untuk “meregangkan” diri merek dalam upaya
untuk meningkatkan pertumbuhan diri dan aktualisasi diri.
e. Mempertahankan citra yang positif dan antusias sebagai seorang
model peran untuk pengawai di lingkungan klinis.
f. Mendorong pembianaan, dukungan, dan bimbingan pada pengawai.
g. Menyediakan waktu dan tenaga untuk menciptakan suatu lingkungan
yang bersifat mendukung dan memberika semangat pada individu
yang tidak bersemangat.
h. Mengembangkan filosofi unit yang memahami keunikan setiap
pengawai dan meningkatkan sistem penghargaan yang membuat
setiap pengawai merasa menjadi seorang pemenang.
i. Membrikan keprcayaan kepada pegawai bahwa mereka diharapkan
dapat memenuhi tujuan orgnajisasi, yang ditunjukkan melalui
tindakan dan kata-kata.
j. Sadar diri mengenai antusiasme diri dalam bekerja dan melakukan
langkah-langkah untuk memotivasi diri kembali jika dibutuhkan.
b. Mengelola waktu secara efisien
c. Mendemonstrasikan keterampilan komunikasi yang terbaik
Komunikasi dalam organisasi harus sistematis, mempunyai
kontinuitas, dan terintegrasi penuh kedalam struktur organisasi dengan
56
mendorong pertukaran pandangan dan gagasan. Berkomunikasi
merupakan salah satu fungsi pokok manajemen khusunya pengarahan.
Setiap orang berkomunikasi dalam suatu organisasi. Komunikasi yang
kurang baik dapat mengganggu kelancaran organisasi dalam mencapai
tujuan organisasi. Komunikasi adalah proses tukar-menukar pikiran,
perasaan, pendapat dan saran yang terjadi antara dua manusia atau lebih
yang bekerja sama (marquis & houston, 1998).
Cara Komunikasi
- Komunikasi tertulis
- Komunikasi tatap muka
- Komunikais nonverbal
4. PENGENDALIAN
Proses terakhir dari manajemen adalah pengendalian (controlling) atau
kontrol. Fayyol (1998) mendefinisikan kontrol sebagai pemeriksaan
mengenai apakah segala sesuatunya terjadi sesuai dengan rencana yang telah
disepakati, instruksi yang dikeluarkan, dan prinsip-prinsip yang ditentukan,
yang bertujuan menunjukkan kekuarangan dan kesalahan agar dapat
diperbaiki dan tidak terjadi lagi. Pengendalian harus dilakukan untuk
mengetahui fakta yang ada sehingga apabila muncul isu dapat segera
direspon dengan didiskusikan bersama.
57
Pengendalian manajemen adalah proses untuk memastikan bahwa
aktivitas sebenarnya sesuai dengan aktivitas yang direncanakan dan
berfungsi untuk menjamin kualitas serta mengevaluasi penampilan.
58
F. KERANGKA TEORI
Pendekatan sistem
dalam keselamatan
pasien ( Henriksen,
Hughes, Carayon,
dkk,2008; Cahyono,
2008)
Faktor yang
mempengaruhi dalam
keselamatan pasien :
1. Karakteristik
individu petugas
2. Sifat dasar pekerjaan
3. Faktor human-
system interfaces
4. Lingkungan
fisik/kondisi
lingkungan kerja
5. Faktor
organisasi/lingkunga
n sosial
6. Faktor manajemen
7. Faktor lingkungan
ekternal
( Henriksen,
Hughes, Carayon,
dkk,2008; Cahyono,
2008)
Faktor Manajemen :
1. Beban pasien
2. Pengaturan sataf,
3. Ketersedian
sumber daya
4. Pengorganisasia
n,
5. Struktur
6. Budaya
keselamatan,
7. Akses yang
muda,
8. Pengembangan
karyawan
9. Peran
kepemimpinan.
( Henriksen, Hughes,
Carayon, dkk,2008;
Cahyono, 2008)
kepemimpinan
efektif :
1. Tujuan
2. Pengetahuan
3. Kesadaran diri
4. Komunikasi
5. Energi
6. Tindakan
(Trapper, 1989;
Tappen, 2004).
Penerapan
keselamatan
pasien
(Permenkes RI,
2011)
Peran
kepemimpinan
Faktor-faktor yang menjadi
tantangan perawat dalam
memberikan pelayanan yang
aman yang berkontribusi dalam
keselamatan pasien (Canadian
Nurse Association, 2004)
Perspektif perawat tentang
keselamatan pasien,
perspektif pasien tentang
keselamatan pasien.
Penerapan 6 sasarn
keselamatan pasien :
1. Ketepatan
identifikasi pasien
2. Peningkatan
komunikasi yang
efektif
3. Peningkatan
keamanan obat
4. Kepastian tepat-
lokasi, tepat-
prosedur, tepat-
pasien operasi
5.Pengurangan
resiko infeksi
6.Pengurangan
resiko pasien
jatuh
59
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep
yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian. Kerangka ini memberikan
visualisasi hubungan atau kaitan antara variabel yang satu dengan variavel yang
lain dan masalah yang ingin diamati. (Notoatmodjo, 2010).
Kerangka konsep penelitian
Skema 3.1
Kerangka konsep penelitian
Variabel Dependen
Penerapan keselamatan pasien (6
sasaran keselamatan pasien) :
7. Ketepatan identifikasi pasien
8. Peningkatan komunikasi yang
efektif
9. Peningkatan keamanan obat
10. Kepastian tepat-lokasi, tepat-
prosedur, tepat-pasien operasi
11. Pengurangan resiko infeksi
12. Pengurangan resiko pasien
jatuh
Variabel Independent
Kepemimpinan efektif kepala
ruangan :
1. Penentuan tujuan
2. Pengetahuan
3. Kesadaran diri
4. Komunikasi
5. Penggunaan energi
6. Pengambilan tindakan
60
B. Variabel penelitian
Variabel penelitian ini terdiri atas dua variabel yaitu variabel bebas (Independent),
dan variabel terikat (Dependent).). Variabel Independent dalam penelitian ini
adalah kepemimpinan efektif kepala ruangan. Variabel kepemimpinan efektif
kepala ruangan terdiri atas: (1) penentuan tujuan, (2) pengetahuan, (3) kesadaran
diri, (4) komunikasi, (5) penggunaan energi, dan (6) pengambilan tindakan.
Variabel Dependent adalah penerapan keselamatan pasien.. Kerangka konsep
penelitian digambarkan pada skema 3.1
C. Hipotesis
Hipotesis adalah suatu pernyataan yang dikemukakan oleh peneliti sebagai suatu
jawaban mengenai hubungan antar variabel yang bersifat sementara (Dharma,
2011). Hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Ada hubungan antara penentuan tujuan dengan penerapan keselamatan pasien
di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
2. Ada hubungan antara pengetahuan dengan penerapan keselamatan pasien di
RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
3. Ada hubungan antara kesadaran diri dengan penerapan keselamatan pasien di
RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
4. Ada hubungan antara komunikasi dengan penerapan keselamatan pasien di RS
Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
5. Ada hubungan antara penggunaan energi dengan penerapan keselamatan
pasien di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
61
6. Ada hubungan antara pengambilan tindakan dengan penerapan keselamatan
pasien di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
7. Ada hubungan kepemimpinan efektif kepala ruangan yang terdiri dari
penentuan tujuan, pengetahuan, kesadaran diri, komunikasi, energi, dan
pengambilan tindakan dengan penerapan keselamatan pasien (enam sasaran
keselamatan pasien) di RS Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
8. Terdapat karakter kepemimpinan kepala ruangan yang paling dominan
berhubungan dengan penerapan keselamatan pasien di RS Dr.Wahidin
Sudirohusodo Makassar.
D. Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Alat dan cara ukur Hasil ukur Skala ukur
Variabel Independent
Kepemimpina
n efektif
Penilaian perawat
pelaksana terhadap
kemampuan kepala
ruangan di masing-
masing ruang rawat inap
bedah dalam
menggunakan penentuan
tujuan, pengetahuan,
kesadaran diri,
komunikasi,
penggunaan energi dan
pengambilan tindakan
dalam penerapan 6
sasaran keselamatan
pasien oleh perawat
pelaksana
Kuesioner B dengan jumlah
30 item pernyataan, dengan
pilihan sangat setuju,
setuju, tidak setuju, sangat
tidak setuju
- Kepala ruangan
kurang memiliki
kemampuan
kepemimpinan efektif
jika skore jawaban
responden ≤ 75
- Kepala ruang memiliki
kemampuan
kepemimpinan efektif
jika skore jawaban
responden ≥75
ordinal
1. Penentuan
tujuan kepala
ruangan
Penilaian perawat
pelaksana terhadap
kemampuan kepala
ruangan dalam
menentukan tujuan
Kuesioner B
dengan jumlah 5 item
pernyataan pada nomor 9,
15, 18, 20 dan 29
diukur dengan
- Kurang mampu
menentukan tujuan
jika skore <12,5
- Mampu menentukan
tujuan jika skore >12,5
ordinal
62
penerapan keselamatan
pasien
menggunakan skala Likert :
4 = sangat setuju
3 = setujuh
2 = tidak setuju
1 = sangat tidak setuju
2. Pengetahuan
kepala
ruangan
Penilaian perawat
pelaksana terhadap
pengetahuan kepala
ruangan tentang
penerapan keselamatan
pasien
Kuesioner B
dengan jumlah 5 item
pernyataan pada nomor 1,
3, 6, 24 dan 25
diukur dengan
menggunakan skala Likert :
4 = sangat setuju
3 = setujuh
1 = tidak setuju
1 = sangat tidak setuju
- Pengetahuan kurang
jika skore jawaban
responden < 12,5
- baik jika skore
jawaban responden >
12,5
-
ordinal
3. Kesadaran
diri kepala
ruangan
Penilaian perawat
pelaksana terhadap
kemampuan kepala
ruangan mengenal
dirinya sendiri baiak
kelebihan maupun
kelemahan dalam
berinteraksi dengan
orang lain dalam
penerapan keselamatan
pasien.
Kuesioner B
dengan jumlah 5 item
pernyataan pada nomor 5,
11, 16, 22 dan 27
diukur dengan
menggunakan skala Likert :
4 = sangat setuju
3 = setujuh
2 = tidak setuju
1 = sangat tidak setuju
- Kesadaran diri
kurang jika skore
jawaban responden
< 12,5
- Kesadaran diri baik
jika skorejawaban
responden > 12,5
ordinal
4. Komunikasi
kepala
ruangan
Penilaian perawat
pelaksana terhadap
kemampuan kepala
ruangan dalam
mengkomunikasikan
penerapan keselamatan
pasien
Kuesioner B
Kuesioner B
dengan jumlah 5 item
pernyataan pada nomor 2,
7, 8, 14 dan 26
diukur dengan
menggunakan skala Likert :
4 = sangat setuju
3 = setujuh
2 = tidak setuju
1 = sangat tidak setuju
- Kemampuan
komunikasi kurang
jika skore jawaban
responden < 12,5
- Kemampuan
komunikasi cukup jika
skore jawaban
responden > 12,5
ordinal
5. Penggunaan
energi kepala
ruangan
Penilaian perawat
pelaksana terhadap
kekutaan kepala ruangan
baik fisik, psikis dan
sosial dalam
mempengaruhi orang
lain menerapkan
keselamatan pasien
Kuesioner B
dengan jumlah 5 item
pernyataan pada nomor 10,
12, 13, 17 dan 28
diukur dengan
menggunakan skala Likert :
4 = sangat setuju
3= setujuh
2= tidak setuju
1 = sangat tidak setuju
- Kemampuan
menggunakan energi
kurang jika skore
jawaban responden
< 12,5
- Kemampuan
menggunakan energi
baik jika skore
jawaban responden
> 12,5
ordinal
63
6. Mengambil
tindakan
kepala
ruangan
Penilaian perawat
pelaksana terhadap
kemampuan kepala
ruangan dalam
mengambil tindakan
yang berkaitan dengaan
penerapan keselamatan
pasien
Kuesioner B
dengan jumlah 5 item
pernyataan pada nomor 4,
19, 21, 23 dan 30
diukur dengan
menggunakan skala Likert :
4 = sangat setuju
3 = setujuh
2 = tidak setuju
1 = sangat tidak setuju
- Kemampuan
mengambil tindakan
kurang jika skore
jawaban responden <
12,5
- Kemampu
anmengambil tindakan
baik jika skore
jawaban responden >
12,5
ordinal
Variabel Dependent
Penerapan
keselamatan
pasien
Persepsi perawat
pelaksana terhadap
dirinya sendiri dalam
melaksanakan asuhan
pasien lebih aman dan
mencegah terjadinya
cedera dengan
menggunakan 6 sasaran
keselamatan pasien
rumah sakit
Kuesioner C yang terdiri
dari 38 pernyataan
diukur dengan
menggunakan skala Likert
1-4
4 = tidak pernah
3 = sering
2 = jarang
1 = tidak pernah
dikategorikan
berdasarkan cut of point
(COP) nilai median
menjadi :
1. Penerapan
keselamatan
pasien kurang
jika skor
jawaban
responden <95
2. Penerapan
keselamatan
pasien baik jika
skor jawaban
responden ≤ 95
Ordinal
Tabel 3.1.
Definisi Operasional
64
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian non-eksperimental, dengan
pendekatan kuantitatif, dan pendekatan potong lintang (cross sectional). Cross
sectional dilakukan dengan observasi atau pengukuran variabel pada satu saat
tertentu. Studi analitik Cross sectional mempelajari hubungan antara faktor resiko
dengan efek, observasi atau pengukuran terhadap variabel bebas dan terikat dilakukan
sekali dalam waktu yang bersamaan (Sastroasmoro & Ismael, 2002). Penelitian ini
menganalisis hubungan antara variabel bebas yaitu kepemimpinan efektif kepala
ruangan, dengan variabel terikat yaitu penerapan keselamatan pasien oleh perawat
pelaksana di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
B. Tempat dan waktu penelitian
Tempat penelitian adalah di ruang rawat inap bagian bedah RS Dr Wahidin
Sudirohusodo Makassar. Penelitian dilaksanakan pada bulan 12 Agustus s/d 26
september 2014.
65
C. Populasi dan teknik Sampel
1. Populasi
Populasi merupakan keseluruhan dari karakteristik atau unit hasil pengukuran
yang menjadi subjek penelitian (Sugiono, 2007). Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh perawat pelaksana ruang rawat inap bagian bedah RS Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar yang berjumlah 81 orang.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut (Sugiono, 2012). Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam
penelitian ini ialah total sampling yakni semua perawat pelaksana di ruang rawat
inap bagian bedah di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar yang berjumlah
81 orang.
D. Instrument penelitian
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer yang
diperoleh secara langsung dari responden dengan menggunakan kuesioner penelitian,
dan lembar observasional. Kuesioner berisi daftar pernyatan yang sudah ada tersusun
dengan baik dan responden hanya memberikan jawaban atau dengan memberikan
tanda-tanda tertentu (Notoatmojo, 2010). Kuesioner dalam penelitian ini meliputi :
1. Kuesioner A
Kuesioner A berisi identitas perawat pelaksana ruang rawat inap terdiri dari usia,
jenis kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan, dan pelatihan keselamatan pasien
66
yang pernah diikuti. Kuesioner ini tidak mencantumkan nama responden akan
tetapi kode responden yang diisi peneliti untuk menjamin kerahasiaan data.
2. Kuesioner B
Kuesioner B untuk mendapatkan data mengenai kepemimpinan efektif kepala
ruang meliputi penentuan tujuan, pengetahuan, kesadaran diri, komunikasi,
penggunaan energi, dan pengambilan tindakan. Penelitian ini memodifikasi
instrument yang telah digunakan dalam penelitian tesis yang dilakukan oleh
Setiowati (2013) tentang hubungan kepemimpinan efektif head nurse dengan
penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat pelaksanan di RSUPN
Dr.Mangunkusumo Jakarta dengan hasil valid dengan nilai r tabel dengan
Prearson Product Moment yaitu r > 0.361 dan koefisien korelasi r Cronbach’s
Alpha 0.889 dengan demikian instumen tersebut valid dan reliable. Kuesioner ini
terdiri dari 36 item pernyataan dengan pilihan sangat setuju, setuju, tidak setuju
dan sangat tidak setuju (kuesioner terlampir).
Kuesioner B dimodifikasi karena peneliti beranggapan perbedaaan karakteristik
responden pada penelitian sebelumnya, yaitu perbedaan wilayah tempat
penelitian. Peneliti melakukan modifikasi pada jumlah pernyataan keseluruhan
pada sub variabel kepemimpinan efektif sehingga didapatkan 30 pernyataan.
3. Kuesioner C
Dirancang untuk mendapatkan data mengenai penerapan keselamatan pasien (6
sasaran keselamatan pasien). Disusun mengacu pada pedoman penerapan
keselamatan pasien yang dirumuskan oleh WHO (2004, 2007), Depkes RI (2008)
mengenai 9 (sembilan langkah keselamatan pasien); dan sasaran keselamatan pasien
67
yang dikeluarkan oleh Komisi Akreditasi Rumah sakit (KARS) serta Safe Staffing
and Safe Lives oleh International Council Of Nursing (ICN, 2006).
4. Kuesioner D
Lembar observasi merupakan daftar pernyataan yang dirancang untuk mengukur
variabel dependen yaitu penerapan keselamatan pasien. lembar observasi dirancang
untuk mendukung hasil data kuesioner C Lembar observasi disusun mengacu pada
pedoman penerapan keselamatan pasien yang dirumuskan oleh WHO (2004, 2007),
Depkes RI (2008) mengenai 9 (sembilan langkah keselamatan pasien); dan sasaran
keselamatan pasien yang dikeluarkan oleh Komisi Akreditasi Rumah sakit (KARS)
serta Safe Staffing and Safe Lives oleh International Council Of Nursing (ICN,
2006).
Lembar observasi terdiri dari 37 item pernyataan dengan skala Gutmann, yaitu
: 1 = bila tidak dilakukan; 2 = bila dilakukan.
E. Validitas dan Reliabilitas
1. Uji Validitas
Uji validitas dilakukan untuk menguji apakah alat ukur yang dipakai
(kuesioner) benar dapat mengukur item yang akan diukur (Sugiono, 2012). Uji
validitas dilakukan di RS Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar terhadap 30
perawat pelaksana yang bekerja di ruang rawat inap bagian penyakit dalam. Uji
validitas dilakukan dengan cara melakukan korelasi antara skor masing-masing
variabel dengan skor total. Teknik korelasi menggunakan korelasi Pearson
product moment (Hastono, 2007). Dimana pernyataan dikatakan valid bila r
68
hitung yang didapat lebih besar dari r tabel (ketetapan sesuai dengan jumlah
responden) dalam hal jumlah responden 30 orang dengan tingkat kemaknaan 5%
maka nilai r tabel 0,361.
Hasil uji validitas untuk kuesioner B (kepemimpinan efektif kepala
ruang) didapatkan 6 pernyataan tidak valid (r hasil < 0,361). Selanjutnya
pernyataan yang tidak valid tersebut dihilangkan karena dianggap dengan
pernyataan yang sudah valid sudah mewakili untuk variabel kepemimpinan
efektif. Hasil uji validitas kuesioner C (penerapan keselamatan psien) didapatkan
3 pernyataan tidak valid (r hasil= 0,041-0,089). Selanjutnya pernyataan yang
tidak valid tersebut dihilangkan karena dianggap dengan pernyataan yang sudah
valid sudah mewakili untuk variabel penerapan keselamatan pasien.
Kuesioner yang telah valid digunakan dalam penelitian ini dengan hasil
validitas pada kuesioner B r hitung = 0,445-0,798 lebih besar dari r tabel (0,361)
, sedangkan kuesioner C didapatkan nilai r hitung = 0,379-0,892.
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah suatu pengukuran yang menunjukan sejauh mana hasil
pengukuran tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih
terhadap gejala dan alat ukur yang sama. Pada penelitian ini uji reliabilitas akan
dilakukan setelah semua pertanyaan telah valid pada uji pearson, kemudian
dilanjutkan dengan uji Alpha Cronbach dan dikatakan reliabel jika nilai Alpha > 0,6)
dengan mengambil objek sampel n yang memiliki karakteristik sama dengan objek
penelitian sebenarnya.
69
Hasil Uji reliabilitas dengan kuesioner B didapatkan nilai alpha sebesar 0,947,
kuesioner C didapatkan nilai alpha sebesar 0,965, sehingga dapat disimpulkann
berdasarkan uji reliabilitas bahwa kuesioner pada penelitian ini reliabel.
F. Teknik pengumpulan data
1. Prosedur administrasi
Prosedur administrasi dilakukan sebelum melaksanakan penelitian di RS
Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
2. Prosedur teknis
Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada responden
penelitian. Waktu untuk menemui responden disesuaikan dengan waktu luang
perawat. Peneliti memberikan penjelasan tentang tujuan, manfaat dan prosedur
penelitian kepada responden secara tertulis. Responden yang telah memahami
penjelasan penelitian dan bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian
menyatakan persetujuan dengan menandatangani lembar informed consent.
Responden diberi keleluasaan untuk mengisi kuesioner sesuai dengan petunjuk
pengisian. Responden yang tidak bisa langsung mengisi kuesioner diperbolehkan
untuk membawa pulang kuesioner. Setelah waktu yang disepakati maka peneliti
mengambil kuesioner yang telah diisi oleh responden dan memeriksa kembali
kelengkapan pengisian kuesioner. Di waktu yang sama peneliti bersama
enumerator mengamati perawat pelaksana dalam menerapkan keselamatan pasien
untuk tiga kali observasi untuk setiap sasaran keselamatan pasien.
70
G. Alur penelitian
Menentukan populasi
Menentukan sampel metode proporsional random
sampel : perawat pelaksana di ruang rawat inap bagian
bedah dengan jumlah sampel sebanyak 80 orang
Uji Validitas dan realibilitas
Informant consent
Menjelaskan dan meminta persetujuan responden
Pemberian instrument dan observasi
Analisa data dengan uji statistik yang
sesuai
Penyajian hasil
Kesimpulan
71
H. Pengolahan data
Pengolahan data akan dilaksanakan setalah data yang diperlukan terkumpul. Proses
yang akan dilakukan meliputi editing, coding, entry, dan cleaning dengan penjelasan
sebagai berikut :
1. Editing
Editing atau penyuntingan dilakukan setelah semua data terkumpul kemudian
dilakukan kelengkapan data, kesinambungan data dan keseragaman data.
2. Coding
Untuk memudahkan pengolahan data maka semua jawaban atau data diberi kode.
Pengkodean ini dilakukan dengan memberi nomor responden, nomor pertanyaan,
nomor variabel dan nama variabel.
3. Entry
Setelah kuesioner terisi penuh dan benar serta telah melewati tahap
pengkodingan maka langkah selanjutnya adalah memproses data agar dianalisa.
4. Cleaning
Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang telah dientry untuk
mengetahui ada kesalahan atau tidak.
I. Analisis data
1. Analisis univariat
Analisis ini digunakan untuk mendeskripsikan karateristik responden (usia, jenis
kelamin, pendidikan, lama kerja, dan pelatihan) dan sub variabel dalam variabel
72
dependen penerapan keselamatan pasien (sub variabel 6 sasaran keselamatan
pasien). Hasil analisis disajikan dalam bentuk frekuensi atau presentase. Data
yang berupa data numeric menggunakan nilai mean, median, standar deviasi,
nilai minimal, maksimal dan nilai confidence interval (CI). Data yang berupa
data kategorik menggunakan distribusi frekuensi dengan persentase atau populasi
(Hastono, 2007).
2. Analisis bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mengidentifikasi antara dua variabel
(Notoatmodjo,2010). Pemilihan uji statistik yang digunakan berdasarkan pada
jenis data serta jumlah variabel yang diteliti. Analisi bivariat pada penelitian ini
menggunakan uji Chi Quare dan sebagai uji alternatif yaitu uji Preadman .
3. Analisis multivariat
Analisis multivariat bertujuan untuk mengetahui variabel independen yang paling
berhubungan terhadap variabel dependen. Uji statistik yang digunakan adalah uji
regresi logistik ganda. Uji regresi logistik digunakan untuk menganalisis
hubungan satu atau beberapa variabel dependen berbentuk kategorik dan variabel
independen campuran antara variabel kategorik dan numerik (Hastono, 2007)
J. Etika Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip etik pen
elitian, yakni sebelumnya peneliti telah mendapatkan rekomendasi etik dari k
omisi etik fakultas kedokteran universitas Hasanuddin Makassar dengan nom
73
or 0931/H4.8.4.5.31/PP36-KOMETIK/2014 dan selanjutnya mendapat izin pe
nelitian dari bagian SDM dan pendidikan dengan nomor : LB.02.01/II.2.2/313/
2014 serta izin dari masing-masing kepala ruang bagian bedah.
Pada saat pelaksaan penelitian ini penulis mempertimbangkan prinsip
etik dengan memperhatikan aspek etik sebagai berikut :
1. Informed consent
Sebelum lembar persetujuan diberikan kepada responden, peneliti memb
erikan penjelasan terlebih dahulu maksud dan tujuan penelitian yang aka
n dilakukan, setelah pertanyaan dari responden dijawab dengan tuntas d
an jika menyetujui, maka responden diminta untuk menandatangani surat
persetujuan.
2. Menentukan sendiri
Responden diberikan kebebasan secara pribadi untuk menentukan pilihan pribadi
nya dalam keterlibatannnya sebagai subjek peneliti secara sukarela dan sewaktu-
waktu dapat mengundurkan diri dari kegiatan penelitian ini jika responden meng
hendaki.
3. Pravacy and anonimity
Peneliti mempertahankan kerahasian pada saat mengumpulkan data dengan tidak
menuliskan atau mencantumkan nama responden pada lembar kuesioner dan seba
gai gantinya peneliti menggunakan nama kode nomor pada setiap responden.
4. Confidentialityl
Peneti tetap menjaga kerahasiaan identitas responden dan informasi yang diberik
an, peneliti hanya mengelompokkkan data sesuai dengan kebutuhan. Semua catat
74
an tentang karakteristik responden yang telah diberikan sebagai dokumentasi hasi
l penelitian.
5. Juastice
Semua tindakan yang dilakukan akan diberikan dan diterima secara sama oleh se
mua responden.
6. Protection from discomfort
Penelitian ini menghindari ketidaknyamanan fisik ataupun mental dari responden
dan lebih mengutamakan asas manfaat. Peeliti juga menjaga kerahasiaan informa
si yang diberikan oleh responden dan dan tidak akan mempengaruhi responden d
an penelitian kerja dari responden. Informasi yang didapatkan semata-mata untuk
kepentingan penelitian.
BAB V
75
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Analisa Univariat
a. Distribusi frekuensi karakteristik responden
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi karakteristik responden di instalasi rawat inap
bagian bedah RS DR Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2014 (n = 81)
Karakteristik Responden n
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
25
56
30.9
69.1
Tingkat Pendidikan
DIII
SI
S2
59
21
1
72.8
25.9
12
Status Pelatihan
Tidak Pernah
Pernah
81
100
Sumber : Data Primer 2014
Tabel 5.1 Menunjukkan responden dalam penelitian ini didominasi oleh
perawat perempuan sebanyak 56 orang (69.1%), dengan tingkat pendidikan
mayoritas DIII keperawatan sebanyak 59 orang (72.8%) dan seluruh
responden pernah mengikuti pelatihan yaitu 100%.
76
Tabel 5.2. Distribusi frekuensi karakteristik responden di ruang rawat inap
bagian bedah RS DR Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2014 (n = 81)
Karakteristik Mean Median SD Min-Max
Umur 31.79 30 7.65 20-55
Masa kerja 6.39 4.00 6.13 1-32 Sumber : Data Primer 2014
Berdasarkan tabel 5.2 rata-rata perawat berumur 31.79 tahun dengan standar
deviasi 7.65 tahun. Usia termudah 20 tahun dan tertua 55 tahun dengan masa
kerja rata-rata 6.39 tahun.
b. Distribusi frekuensi gambaran data dari tiap variabel penelitian
1. Distribusi frekuensi kepemimpinan efektif
Tabel 5.3. Distribusi frekuensi kepemimpinan efektif kepala ruangan menurut
perawat pelaksana di ruang rawat inap bagian bedah RS DR Wahidin
Sudirohusodo Makassar Tahun 2014 (n = 81)
Kepemimpinan efektif n %
Penentuan Tujuan
Kurang
Baik
11
70
13.6
86.4
Pengetahuan
Kurang
Baik
8
73
9.9
90.1
Kesadaran Diri
Kurang
Baik
18
63
22.2
77.8
Komunikasi
Kurang
Baik
11
70
13.6
86.4
Penggunaan Energi
Kurang
Baik
13
68
16.0
84.0
Pengambilan Tindakan
Kurang
Baik
12
69
14.8
85.2 Sumber :Data Primer 2014
77
Tabel 5.3. Menunjukkan kemampuan kepemimpinan efektif kepala ruangan
menurut perawat pelaksana dalam menentukan tujuan baik sebanyak 70 0rang
(86.4%), pengetahuan kepala ruangan baik sebanyak 73 orang (90.1%), memiliki
kesadaran diri baik sebanyak 63 orang (77.8%), memiliki komunikasi yang baik
sebanyak 70 orang (86.4%), penggunaan energi baik sebanyak 68 orang (84%) dan
kemampuan dalam pengambilan tindakan dinilai baik oleh perawat pelaksana
sebanyak 69 orang (85.2%).
c. Distribusi frekuensi penerapan keselamatan pasien
Tabel 5.4. Distribusi responden penerapan keselamatan pasien oleh perawat
pelaksana berdasarkan hasil dari kuesioner di ruang rawat inap bagian bedah
RS DR Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2014 (n = 81)
Penerapan keselamatan pasien n %
Penerapan keselamatan pasien
Kurang
Baik
17
64
21
79
Ketepatan identifikasi pasien
Kurang
Baik
4
77
4.9
95.1
Peningkatan komunikasi yang efektif
Kurang
Baik
0
81
0
100
Peningkatan keamanan obat
Kurang
Baik
0
81
0
100
Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur,
tepat-pasien operasi
Kurang
Baik
2
79
2.5
97.5
Pengurangan resiko infeksi
Kurang
Baik
0
81
0
100
Pengurangan resiko pasien jatuh
Kurang
Baik
0
81
0
100
78
Sumber : Data Primer 2014
Tabel 5.4 memberi gambaran perawat yang mempersepsikan dirinya
menerapkan keselamatan pasien secara baik sebanyak 64 orang ( 79%) dan
masih ada perawat yang persepsikan dirinya menerapkan keselamatan pasien
secara kurang yaitu sebanyak 17 orang (21%).
Tabel 5.5. Distribusi responden penerapan keselamatan pasien oleh perawat
pelaksana berdasarkan hasil observasional di ruang rawat inap bagian bedah
RS DR Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2014 (n = 81)
Penerapan keselamatan pasien
n
%
Penerapan keselamatan pasien
Kurang
Baik
35
46
43.2
56.8
Ketepatan identifikasi pasien
Kurang
Baik
37
44
45.7
54.3
Peningkatan komunikasi yang efektif
Kurang
Baik
19
62
23.5
76.5
Peningkatan keamanan obat
Kurang
Baik
12
69
14.8
85.2
Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur,
tepat-pasien operasi
Kurang
Baik
16
65
19.8
80.2
Pengurangan resiko infeksi
Kurang
Baik
3
78
3.7
96.3
Pengurangan resiko pasien jatuh
Kurang
Baik
15
66
18.5
81.5
Tabel 5.5 memberi gambaran perawat yang menerapkan keselamatan
pasien secara baik berdasarkan observasi oleh peneliti dan enumerator
79
sebanyak 46 orang ( 56.8%) dan perawat yang menerapkan keselamatan
pasien secara kurang yaitu sebanyak 35 orang (43.2%).
2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk menganalisis hubungan antara variabel
independen dan variabel dependen dengan menggunakan menggunakan uji chi
square dengan uji alternatif uji Fisher’s.
a. Hubungan kepemimpinan efektif kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana
Tabel 5.6. Hubungan kemimpinan efektif kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana berdasarkan hasil data kuesioner
di ruang rawat inap bagian bedah RS DR Wahidin Sudirohusodo Makassar
Tahun 2014 (n = 81)
Penerapan keselamatan
pasien
Total p*
Kurang Baik
n % n % n %
Kepemimpinan
efektif kepala
ruangan
Kurang 8 72.7 3 27.3 11 100 0,000
Baik 9 12.9 61 87.1 70 100
Uji Fisher’s
Tabel 5.7 Hubungan kepemimpinan efektif dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap bagian bedah
RS DR Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2014 (n = 81) berdasarkan
hasil observasional
Penerapan keselamatan
pasien
Total p*
Kurang Baik
n % n % n %
Kepemimpinan
efektif kepala
ruangan
Kurang 9 81.8 2 18.2 11 100 0,008
Baik 26 37.1 44 62.9 70 100
Uji Fisher’s
80
Tabel 5.6 menunjukkan bahwa perawat yang menilai kemampuan
kepemimpinan efektif kepala ruangan kurang, menerapkan keselamatan
pasien secara baik sebanyak 3 orang (27.3%), dan yang menilai
kepemimpinan kepala ruangan baik, mempersepsikan diri menerapkan
keselamatan pasien baik sebanyak 61 orang (87.1%). Sedangkan hasil
observasi pada tabel 5.7 menunjukkan perawat yang mempersepsikan
kepemimpinan efektif kepala ruangan baik menerapkan keselamatan pasien
kurang sebanyak 26 orang (37.1%). Hasil uji chi F’sishe diperoleh nilai p <
0,05 artinya nilai p lebih kecil dari α 0,05 maka dapat disimpulkan terdapat
hubungan signifikan antara kepemimpinan efektif kepala ruangan dengan
penerapan keselamatan pasien oleh perawat pelaksana baik berdasarkan hasil
analisa data kuesioner maupun hasil observasi.
b. Hubungan antara penentuan tujuan kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana
Tabel 5.8. Hubungan penentuan tujuan kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap bagian bedah
RS DR Wahidin SudirohusodoMakassar Tahun 2014 (n = 81) berdasarkan
kuesioner
Penerapan keselamatan
pasien
Total p*
Kurang Baik
n % n % n %
Penentuan tujuan
kepala ruangan
Kurang 7 63.6 4 36.4 11 100 0,001
Baik 10 14.3 60 85.7 70 100
Uji Fisher’s
81
Tabel 5.9 Hubungan penentuan tujuan kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap bagian bedah
RS DR Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2014 (n = 81) berdasarkan
hasil observasional
Penerapan keselamatan
pasien
Total p*
Kurang Baik
n % n % n %
Penentuan tujuan
kepala ruangan
Kurang 10 90.9 1 9.1 11 100 0.001
Baik 25 35.7 45 64.3 70 100 Uji Fisher’s
Tabel 5.8 diperoleh bahwa perawat yang menilai kemampuan kepala
ruangan dalam menentukan tujuan kurang, mempersepsikan diri menerapkan
keselamatan pasien secara baik sebanyak 4 orang (36.4%), dan yang menilai
kemampuan kepala ruangan dalam menentukan tujuan baik, mempersepsikan
diri menerapkan keselamatan pasien kurang sebanyak 10 orang (14.3%%)
sedangkan hasil observasi pada tabel 5.9 perawat yang menilai kemampuan
kepala ruangan dalam menentukan tujuan baik, menerapkan keselamatan
pasien kurang sebanyak 26 orang (37.1%%) Hasil uji alternatif uji Fisher’s
diperoleh nilai p = 0,001 baik berdasarkan data kuesioner dan observasi
sehingga disimpulkan terdapat hubungan signifikan antara kepemimpinan
efektif kepala ruangan dalam hal ini penentuan tujuan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana.
82
c. Hubungan antara pengetahuan kepala ruangan dengan penerapan keselamatan
pasien oleh perawat pelaksana
Tabel.5.10 Hubungan pengetahuan kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap bagian bedah
RS DR Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2014 (n = 81) berdasarkan
hasil data kuesioner
Penerapan keselamatan
pasien
Total p*
Kurang Baik
n % n % n %
Pengetahuan
kepala ruangan
Kurang 5 62.5 3 37.5 8 100 0,009
Baik 12 16.4 61 83.6 73 100 Uji Fisher’
Tabel 5.11 Hubungan pengetahuan kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap bagian bedah
RS DR Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2014 (n = 81) berdasarkan
hasil observasional
Penerapan keselamatan
pasien
Total p*
Kurang Baik
n % n % n %
Pengetahuan
kepala ruangan
Kurang 7 87.5 1 12.5 8 100 0.018
Baik 28 38.4 45 41.5 73 100 Uji Fisher’s
Tabel.5.10 menunjukkan sebanyak 3 orang (37.5%) yang menilai pengetahuan
kepala ruangan kurang, mempersepsikan diri menerapkan keselamatan pasien
secara baik, dan 83.6% perawat yang menilai pengetahuan kepala ruangan
baik mempersepsikan diri menerapkan keselamatan pasien secara baik.
Berdasarkan hasil observasi pada tabel 5.11 terdapat 28 (38.4%) perawat
mempersepsikan pengetahuan kepala ruangan baik namun kurang menerapkan
83
keselamatan pasien. Hasil analisis statistik menunjukkan adanya hubungan
yang bermakna antara pengetahuan kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana.baik berdasarkan analisis data dari
kuesdioner yaitu p = 0,000 dan hasil analisis data observasional yaitu p =
0,018.
d. Hubungan kesadaran diri kepala ruangan dengan penerapan keselamatan
pasien oleh perawat pelaksana
Tabel.5.12 Hubungan kesadaran diri kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap bagian bedah
RS DR Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2014 (n = 81)
Penerapan keselamatan
pasien
Total p*
Kurang Baik
n % n % n %
Kesadaran diri
kepala ruangan
Kurang 6 33.3 12 66.7 18 100 0,190
Baik 11 17.5 52 82.5 63 100 Uji Fisher’s
Tabel 5.13 Hubungan kesadaran diri kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap bagian bedah
RS DR Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2014 (n = 81) berdasarkan
hasil observasional
Penerapan keselamatan
pasien
Total p*
Kurang Baik
n % n % n %
Kesadaran diri
kepala ruangan
Kurang 6 33.3 12 66.7 18 100 0,491
Baik 29 46.0 34 54.0 63 100 Chi square
Tabel 5.12 dan tabel 5.13 didapatkan sebanyak 12 (66.7%) perawat
mempersepsikan kesadaran diri kepala ruangan kurang namun menerapkan
84
keselamatan pasien secara baik. Hasil analisis statistik pada tabel 5.12
menunjukkan p = 0,190 dan tabel 5.13 diperoleh nilai p = 0,491 yang berarti
tidak ada hubungan kesadaran diri kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana baik data berdasarkan kuesioner
maupun observasional.
e. Hubungan komunikasi kepala ruangan dengan penerapan keselamatan pasien
oleh perawat pelaksana
Tabel 5.14 Hubungan komunikasi kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap bagian bedah
RS DR Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2014 (n = 81) berdasarkan
data kuesioner
Penerapan keselamatan
pasien
Total p*
Kurang Baik
n % n % n %
Komunikasi
kepala ruangan
Kurang 5 45.5 6 54.5 11 100 0,047
Baik 12 17.1 58 82.9 70 100 Uji Fisher’s
Tabel 5.15. Hubungan komunikasi kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap bagian bedah
RS DR Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2014 (n = 81) berdasarkan
hasil observasional
Penerapan keselamatan
pasien
Total p*
Kurang Baik
n % n % n %
Komunikasi
kepala ruangan
Kurang 9 81.8 2 18.2 11 100 0,008
Baik 26 37.1 44 62.9 70 100 Uji Fisher’s
85
Dari hasil uji Fisher pada tabel 5.16 diperoleh nilai p = 0.047 dan tabel
5.17 p = 0,008 artinya nilai p lebih kecil dari nilai α = 0,05 maka dapat
disimpulkan ada hubungan antara komunikasi kepala ruangan dengan
penerapan keselamtan pasien oleh perawat pelaksana.
f. Hubungan penggunaan energi kepala ruangan dengan peneraapan
keselaamatan pasien oleh perawat pelaksana
Tabel 5.16 Hubungan penggunaan energi kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap bagian bedah
RS DR Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2014
(n = 81) berdasarkan data kuesioner
Penerapan keselamatan
pasien
Total p*
Kurang Baik
n % n % n %
Penggunaan energi
kepala ruangan Kurang 6 46.2 7 53.8 13 100 0,025
Baik 11 16.2 57 83.8 68 100 Uji Fisher’s
Tabel 5.17. Hubungan penggunaan energi kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap bagian bedah
RS DR Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2014
(n = 81) berdasarkan hasil observasional
Penerapan keselamatan
pasien
Total p*
Kurang Baik
n % n % n %
Penggunaan energi
kepala ruangan
Kurang 7 53.8 6 46.2 13 100 0,543
Baik 28 41.2 40 58.8 68 100 Chi square
Pada tabel 5.16 diketahui bahwa dari hasil uji Fisher’s diperoleh nilai p =
0.025 (p < 0,05) artinya terdapat hubungan yang signifikan antara penggunan
energi kepala ruangan dengan penerapan keselamatan pasien oleh perawat
86
pelaksana berdasarkan data kuesioner sedangkan berdasarkan hasil
observasional pada tabel 5.17 diperoleh nilai p = 0,543 yang berarti tidak ada
hubungan penggunaan energi kepala ruangan dengan penerapan keselamatan
psien oleh perawat pelaksana
g. Hubungan pengambilan tindakan kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana
Tabel 5.18 Hubungan pengambilan tindakan kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap bagian bedah
RS DR Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2014 (n = 81) berdasarkan
data kuesioner
Penerapan keselamatan
pasien
Total p*
Kurang Baik
n % n % n %
Pengambilan tindakan
kepala ruangan
Kurang 7 58.3 5 41.7 12 100 0,002
Baik 10 14.5 59 85.5 69 100 uji Fisher’s
Tabel 5.19. Hubungan pengambilan tindakan kepala ruangan dengan
penerapan keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap
bagian bedah RS DR Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2014
(n = 81) berdasarkan hasil observasional
Penerapan keselamatan
pasien
Total p*
Kurang Baik
n % n % n %
Pengambilan tindakan
kepala ruangan
Kurang 9 75.0 3 25.0 12 100 0,036
Baik 26 37.7 43 62.3 69 100 Chi square
Hasil analisis Fisher’s pada tabel 5.18 diperoleh nilai p = 0.002 dan hasil
uji chi square pada tabel 5.19 diperoleh p = 0,036 artinya terdapat hubungan
yang signifikan antara pengambilan tindakan kepala ruangan dengan
87
penerapan keselamatan pasien oleh perawat pelaksana baik berdasarkan data
kuesioner maupun observasional.
3. Analisis Multivariat
Analisis multivariat digunakan untuk melihat sub variabel independen yaitu
komponen kepemimpinan efektif kepala ruangan yang paling berhubungan
dengan variabel dependen yaitu penerapan keselamatan pasien. Analisis
multivariat dengan menggunakan uji statistik regresi logistik ganda.
Langkah yang dilakukan
a. Seleksi analisi bivariat
Anilisis multivariat diawali dengan analisis bivariat antara variabel
independen (kepemimpinan efektif kepala ruangan meliputi : penentuan
tujuan, pengetaahuan, kesadaran diri, komunikasi, penggunaan energi dan
pengambilan tindakan) dengan variabel dependen (penerapan keselamatan
pasien). Yang menjadi kandidat untuk masuk pemodelan multivariat. Variabel
yang diikutsertakan dalam pemodelan adalah variabel dengan uji bivariat
menunjukkan p < 0,25. Hasil seleksi bivariat dapat dilihat pada tabel 5.20.
88
Tabel 5.20. Hasil seleksi anlisis bivariat untuk kandidat kepemimpinan efektif
kepala ruang dengan penerapan keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di
ruang rawat inap bagian bedah RS DR Wahidin Sudirohusodo Makassar
Tahun 2014 (n = 81) berdasarkan data kuesioner
Variabel p
Penentuan Tujuan
Pengetahuan
Kesadaran Diri
Komunikasi
Penggunaan energi
Pengambilan tindakan
0,001*
0,009*
0,190*
0,047*
0,025*
0,002*
*variabel dengan p < 0,25
Tabel 5.21. Hasil seleksi anlisis bivariat untuk kandidat kepemimpinan efektif
kepala ruang dengan penerapan keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di
ruang rawat inap bagian bedah RS DR Wahidin Sudirohusodo Makassar
Tahun 2014 (n = 81) berdasarkan hasil observasional
Variabel p
Penentuan Tujuan
Pengetahuan
Kesadaran Diri
Komunikasi
Penggunaan energi
Pengambilan tindakan
0,001*
0,018*
0,491
0,008*
0,590
0,036*
*variabel dengan p < 0,25
Sub variabel kepemimpinan efektif kepala ruangan yang menjadi kandidat
dalam pemodelan multivariat berdasarkan data kuesioner pada tabel 5.20 yaitu
penentuan tujuan, pengetahuan, kesadaran diri, komunikasi, penggunaan
energi dan pengambilan tindakan sedangkan berdasarkan data observasional
pada tabel 5.21 yaitu penentuan tujuan, pengetahuan, komunikasi dan
pengambilan tindakan.
89
b. Pemodelan akhir
Tahap pemodelan multivariat menggunakan regresi logistik ganda. Metode ini
dimulai dengan memasukkan semua variabel kandidat secara bersama-sama,
kemudian secara otomatis sistem komputer akan mengeluarkan variabel satu
persatu dari model jika p > 0,25 hingga diperoleh pemodelan akhir.
Tahap pemodelan pada variabel kepemimpinan efektif meliputi 4 tahap yaitu :
1. Pertama adalah memasukkan variabel bebas yang memiliki nilai p < 0,25
berdasar hasil seleksi bivariat secara bersama-sama. Variabel yang masuk
dalam pemodelan berdasarkan data kuesioner yaitu meliputi penentuan
tujuan, pengetahuan, kesadaran diri, komunikasi, penggunaan energi dan
pengambilan tindakan dan berdasarkan data obervasional yaitu :
penentuan tujuan, pengetahuan, komunikasi, pengambilan tindakan.
2. Tahap kedua, sistem komputer secara otomatis mengeluarkan variabel
yang memiliki nilai p > 0,25, yaitu variabel yang memiliki nilai p paling
besar. Pada tahap kedua baik berdasarkan data dari kuesioner dan
obervasional sub variabel yang tidak berhubungan dan dikeluarkan dari
pemodelan yaitu sub variabel penggunaan energi dengan p = 0,930 dan
0,428.
3. Tahap ketiga, sub variabel penentuan tujuan dikeluarkan dari pemodelan
(p = 0.359) untuk data hasil dari kuesioner dan untuk data hasil observasi
yakni kesadaran diri dengan p= 0,351.
4. Tahap keempat, sub variabel penentuan tujuan dikeluarkan dari
pemodelan (p= 0,230) untuk data hasil observasi
90
5. Pemodelan akhir diperoleh variabel komponen kepemimpinan efektif yang
berhubungan dengan penerapan keselamatan pasien oleh perawat
pelaksana yakni variabel pengetahuan, komunikasi dan pengambilan
tindakan untuk data hasil observasi dan data kuesioner yaitu pengetahuan,
kesadaran diri, komunikasi dan pengambilan tindakan.
Tabel 5.22 Pemodelan akhir hasil analisis multivariat regresi logistik pada
variabel kepemimpinan efektif kepala ruang dengan penerapan keselamatan
pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap bagian bedah RS DR
Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2014 (n = 81) hasil data kuesioner
Variabel Koefisien p OR (IK 95%)
Pengetahuan -3.229 0.001 0,040 (0,006-0,283)
kesadaran diri -1.693 0,036 0,184 (0,038-0894)
Komunikasi -1.814 0.033 0,163 (0,031-0,865)
Pengambilan
tindakan -2.957 0.001 0,052 (0,009-0,285)
Konstanta -11.760 <0.000 27.885
Regresi logistik
Tabel 5.23 Pemodelan akhir hasil analisis multivariat regresi logistik pada
variabel kepemimpinan efektif kepala ruang dengan penerapan keselamatan
pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap bagian bedah RS DR
Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2014 (n = 81) hasil data observasional
Variabel Koefisien p OR (IK 95%)
Pengetahuan -2.734 0.015 0,065 (0,007-0,59)
Komunikasi -2.240 0.009 0,106 (0,020-0,57)
Pengambilan
tindakan -1.820 0.016 0,162 (0.037-0,711)
Konstanta 1.064 0,001 2.897
Regresi logistik
Tabel 5.22 menunjukkan bahwa sub variabel kepemimpinan efektif kepala
ruangan yang paling dominan berhubungan dengan penerapan keselamatan
pasien yaitu pengambilan tindakan (p < 0,001; α 0,005) dengan nilai OR =
91
sehingga dapat disimpulkan bahwa pengetahuan merupakan faktor yang paling
berpengaruh terhadap penerapan keselamatan pasien. Hasil OR = 0,052 yang
dapat diartikan bahwa perawat pelaksana yang mempersepsikan pengetahuan
kepala ruang baik akan berpeluang untuk melakukan penerapan keselamatan
pasien secara baik sebesar 0,052 kali lebih tinggi dibandingkan dengan perawat
yang mempersepsikan pengetahuan kepala ruangan kurang, namun
berdasarkan hasil observasional sub variabel yang paling dominan
berhubungan dengan penerapan keselamatan pasien yaitu komunikasi kepala
ruangan dengan nilai p = 0,009.
92
B.PEMBAHASAN
1. Gambaran penerapan keselamatan pasien
Penerapan keselamatan pasien di ruang rawat inap bagian bedah RS Dr
Wahidin Sudirohusodo Makassar berdasarkan persepsi perawat dan hasil
observasi peneliti berada pada kategori baik, dimana terdapat sebanyak 64 (79%)
perawat pelaksana mempersepsikan diri menerapkan keselamatan pasien secara
baik, dan berdasarkan hasil observasi peneliti terdapat sebanyak 46 (56.8%)
perawat pelaksana menerapkan keselamatan pasien dengan baik. Hal ini
menunjukkan gambaran perawat pelaksana dalam menerapkan keselamatan
pasien perlu mendapatkan perhatian dari pihak manajemen rumah sakit khususnya
bagian keperawatan, meskipun persentase perawat yang menerapkan keselamatan
pasien secara baik lebih tinggi dari pada perawat yang kurang menerapkan
keselamatan pasien, namun hal ini menandakan belum seluruh perawat pelaksana
menerapkan keselamatan pasien secara baik yang dibuktikan dengan masih ada
35 (43.2%) perawat yang kurang menerapkan keselamatan pasien berdasarkan
hasil obervasi langsung oleh peneliti.
Berdasarkan hasil observasi penerapan keselamatan pasien yang kurang
diterapkan oleh perawat pelaksana terjadi pada semua sasaran keselamatan
pasien, dan paling tinggi persentasenya pada sasaran pertama yaitu ketepatan
pengidentifikasian pasien yaitu sebanyak 37 (45.7%) kemudian peningkatan
komunikasi yang efektif sebanyak 19 (23.5%).
93
Penerapan keselamatan pasien yang masih kurang pada sasaran pertama meliputi
pengidentifikasian pasien tidak berdasarkan nomor kamar dan mengidentifikasi
pasien menggunakan dua identitas pasien seperti nama lengkap dan tanggal lahir.
Pengidentifikasian pasien dengan benar dimaksudkan untuk menghindari
kesalahan karena keliruan pasien yang bisa terjadi disemua aspek diagnosis dan
pengobatan (Depkes,R, 2008).
Pada sasaran kedua atau peningkatan komunikasi yang efektif yang masih
kurang diterapkan yaitu serah terima pasien dengan perawat shif berikutnya
diruang pasien dan melibatkan pasien dalam operan dinas. Perawat harus selalu
berkomunikasi dan melibatkan pasien dalam proses serah terima pasien sehingga
pasien maupun keluarga memahami rencana perawatan pasien. Menurut National
Patient Safety Agency (2004), pasien berperan dalam memutuskan perawatan
yang tepat, memastikan perawatan dan pengobatan telah dikelola dan
dilaksanakan dengan baik oleh petugas kesehatan, mengidentifikasi kejadian tidak
diharapkan dan mengambil tindakan yang sesuai.
Komunikasi memiliki peran penting dalam interaksi antar petugas
kesehatan dalam pemberian asuhan kesehatan kepada pasien. Kesenjangan dalam
komunikasi saat serah terima/pengoperan pasien yang terjadi baik dalam satu tim
pelayanan maupun antar tim pelayanan dapat mengakibatkan terputusnya
kesinambungan layanan dan berisiko menyebabkan kesalahan pada pelayanan
kesehatan pasien. Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ, 2003)
dalam (Cahyono, 2008) melaporkan akar masalah KTD sebesar 65% disebabkan
oleh masalah komunikasi .
94
Keselamatan merupakan hal penting dalam pelayanan kesehatan dirumah
sakit termasuk didalamnya pelayanan keperawatan. Keselamatan dinyatakan
sebagai komponen paling besar, vital dan utama dari kualitas pelayanan kesehatan
dan keperawatan (Ballard, 2003; ICN, 2002). Keselamatan pasien rumah sakit
merupakan suatu sistem yang membuat asuhan ke pasien lebih aman (Depkes RI,
2008), yaitu bebas dari cidera, meminimalkan kemungkinan kesalahan/resiko
bahaya dan memaksimalkan kemungkinan mencegah terjadinya kesalahan/insdien
(IOM, 2000).
Keperawatan sebagai bagian integral dalam pelayanan kesehatan di rumah
sakit, memiliki peran penting dalam menjamin keselamatan pasien. Perawat
berperan penting dalam keselamatan pasien di semua aspek pelayanan
keperawatan yang diberikan. Perawat memiliki tanggung jawab yang luas dalam
aspek keselamatan pasien tidak hanya terbatas pada menghindari kesalahan
pengobatan maupun mencegah pasien jatuh. Konstribusi perawat penting dalam
upaya keselamatan pasien adalah kemampuan dalam melakukan koordinasi dan
integrasi berbagai aspek untuk mendukung kualitas dalam pelayanan yang
diberikan oleh perawat maupun tenaga kesehatan yang lain (Mitchell, 2008).
2. Hubungan antara kepemimpinan efektif kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana
Hasil penelitian terhadap kepemimpinan efektif kepala ruangan
menunjukkan perawat memiliki persepsi yang baik terhadap kemampuan
penentuan tujuan, pengetahuan, kesadaran diri, komunikasi penggunaan energi
dan pengambilan tindakan kepala ruangan. Hasil menunjukkan bahwa perawat
95
lebih banyak mempersepsikan kepemimpinan efektif kepala ruangan baik. Hal ini
menjadi modal kepala ruangan untuk memimpin dan menggerakkan perawat
dalam memberikan asuhan keperawatan yang menjamin keselamatan pasien.
Persepsi seseorang akan mempengaruhi perilaku atau tindakannya.
Seseorang yang memiliki persepsi baik terhadap orang lain memiliki
kecenderungan akan melakukan hal-hal yang diarahkan oleh orang yang
dipersepsikan baik. Kepala ruangan sebagai pemimpin memiliki peran yang besar
dalam melakukan perubahan untuk itu pemimpin harus mampu menggunakan
kemampuan kepemimpinan efektifnya. Kepemimpinan efektif merupakan
kemampuan pemimpin dalam dalam mempengaruhi bawahan dalam pencapaian
tujuan organisai.
Kepemimpinan efektif kepala ruangan merupakan salah satu faktor yang
berperan dalam keberhasilan penerapan keselamatan pasien. Kepala ruang sebagai
manajer lini pertama memiliki peran yang kritis dalam mendukung penerapan
keselamatan pasien, dengan kepemimpinan efektif dalam menciptakan
lingkungan yang positif bagi keselamatan pasien. Hal ini didukung oleh penelitian
yang dilakukan Wagner et al. (2009), bahwa perawat manajer memiliki persepsi
yang positif terhadap budaya keselamatan pasien pada perawatan rehabilitasi
dibandingkan perawat pelaksana di Amerika Serikat dan Kanada.
Penelitian ini memberikan gambaran bahwa kepemimpinan efektif kepala
ruang sudah dilaksanakan secara baik dan tidak menjadi hambatan dalam
penerapan keselamatan pasien. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan
keselamatan pasien juga menjadi standar kelima dalam standar keselamatan
96
pasien rumah sakit di Indonesia (Depkes RI, 2008). IOM (2000) di kutip dalam
Canadian Nurse Association (2004), menjelaskan tindakan perawat dalam
lingkup keselamatan pasien akan dipengaruhi oleh lingkungan kerja perawat.
Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien juga menjadi
standar kelima dalam standar keselamatan pasien rumah sakit di Indonesia
(Depkes RI, 2008).
a. Hubungan penentuan tujuan dengan penerapan keselamatan pasien
Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan 11 perawat menilai
kemampuan kepala ruangan dalam menentukan tujuan kurang, namun
terdapat 4 (36,4%) perawat yang mempersepsikan diri menerapkan
keselamatan pasien secara baik.
Hal ini disebabkan karena manajemen rumah sakit telah menetapkan
tujuan yakni setiap perawat dapat menerapkan sasaran keselamatan pasien
dengan baik dalam memberikan asuhan keperawatan yang aman. Adanya
tuntutan ini sehingga perawat cenderung menilai positif dirinya dalam
menerapkan seleamatan pasien, padahal berdasarkan hasil observasi hanya
terdapat 1 (9.1) yang menerapkan keselamatan pasien secara baik.
Hasil analisis data observasional didapatkan 25 (35.7%) dari 70
perawat yang menilai penentuan tujuan kepala ruangan baik, namun kurang
menerapkan keselamatan secara baik. Hal ini disebabkan oleh karena kepala
ruangan tidak memiliki tujuan harian tentang target penerapan sasaran
keselamatan pasien di hari itu. Tujuan harian kepala ruangan akan menjadi
acuan perawat pelaksana dalam menyelesaikan tugasnya sepanjang shif kerja
97
dalam hal ini memberikan asuhan keperawatan aman yaitu bebas dari kejadian
yang tidak diharapkan.
Kepala ruangan sebagai pemimpin dan juga sebagai manajer di ruang
rawat inap yang langsung berhubungan dengan pelayanan kesehatan di ruang
rawat inap harus mampu menjalankan fungsi manajemen sehingga tujuan
organisasi dalam hal ini rumah sakit dapat tercapai.
Penentuan tujuan termasuk dalam fungsi perencanaan. Perencanaan
yang baik dapat menjadi pedoman dasar dalam mencapai tujuan. Marquis dan
Huston (2003), menjelaskan bahwa perencanaan akan memberikan pandangan
kedepan mengenai hal yang akan dikerjakan dalam mencapai tujuan.
Perencanaan ditujukan untuk menjawab apa yang akan dilakukan, siapa yang
melakukan, bagaimna, kapan, dan dimana hal tersebut dilaksanakan.
Perencanaan kepala ruangan yang baik dan dipahami oleh staf perawat akan
mendukung pencapaian tujuan pelayanan keperawatan. Perencanaan kepala
ruang dalam keselamatan pasien (Yahya, 2006), adalah menyusun
“deklarasi/pernyataan” awal gerakan keselamatan pasien atau “perancanagan”
tentang tekat untuk memulai aktivitas keselamatan pasien. Isi pernyataan
mengandung elemen : pernyataan bahwa keselamtan pasien sangat penting
dan menjadi prioritas; komitmen tentang tanggung jawab eksekutif dalam
keselamatan pasien; aplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang mutahir;
berlakukan pelaporan yang jujur.
Penelitian Dewi (2011), menyatakan terdapat hubungan yang
bermakna antara perencanaan dengan penerapan keselamatan pasien (p =
98
0,032). Setiowati (2010), menyatakan ada hubungan antara penentuan tujuan
kepemimpinan efektif kepala ruangan dengan penerapan budaya keselamtan
pasien di RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta.
b. Hubungan pengetahuan dengan penerapan keselamatan pasien
Berdasarkan hasil analisis data didapatkan 73 perawat menilai
pengetahuan kepala ruangan baik, namun terdapat 12 (16.4%) diantaranya
mempersepsikan diri kurang menerapkan keselamatan pasien. Hal ini menurut
asumsi peneliti dikarenakan perawat pelaksana rata-rata berumur 31 tahun
artinya berada pada tahap dewasa, yang dapat pula di artikan sudah matang
jiwanya sehingga akan juga mengakui bahwa dalam dirinya terdapat
kelemahan dalam melakukan tindakan dalam hal ini penerapan keselamatan
pasien. Hal ini akan memudahkan perawat tersebut menerima masukan atau
kritikan dari kepala ruangan maupun dari rekan kerja. Siagian (2012),
menjelaskan bahwa pengenalan ciri-ciri positif dan negatif yang terdapat
dalam diri seseorang akan merupakan dorongan kuat bagi dirinya untuk lebih
meningkatkan kemampuan kerja, baik dengan menggunakan cirri-ciri positif
sebagai modal maupun dengan usaha yang sistimatik untuk menghilangkan,
atau paling sedikit mengurangi, ciri-ciri negatifnya.
Namun berdasarkan hasil observasi didapatkan lebih banyak perawat
yang kurang menerapkan keselamatan pasien meskipun menilai pengetahuan
kepala ruangan baik yakni sebanyak 28 (38.4%) perawat. Hal ini disebabkan
karena tidak ada waktu yang digunakan oleh kepala ruangan untuk berdiskusi
99
dengan perawat pelaksana untuk mendiskusikan hal-hal yang berkaitan
dengan insiden keselamatan pasien seperti kejadian tidak diharapkan yaitu
flebitis yang masih banyak dimana dalam satu hari 1-2 pasien mengalami
plebitis walaupun infus baru terpasang satu sampai dua hari. Dengan adanya
waktu untuk berdiskusi, maka kepala ruangan dapat mentranfer atau berbagai
pengetahuan yang dimiliki kepada perawat pelaksana sehingga setiap perawat
dapat menerapkan keselamatan pasien secara baik.
Transfer pengetahuan pemimpin kepada bawahan akan memberikan
informasi kepada bawahan akan apa yang pemimpin lakukan dan ketahui
yang memberikan arah kepada bawahan dalam melakukan tindakan yang tepat
(Wise dan Kowalski, 2006). Kepala ruangan diharapkan dapat berpikir kritis
dalam menghadapi dan mencari solusi terbaik terhadap permasalahn yang
timbul, dan hal ini hanya dapat dilakukan jika kepala ruang mempunyai
pengetahuan tinggi (Tappen 2004).
Seorang pemimpin perawat yang efektif harus memiliki pengetahuan
tentang kepemimpinan dan asuhan keperawatan (Tappen, 2004). Hal ini
didukung oleh hasil pertemuan 25 pemimpin keperawatan dalam konferensi
keperawatan di Texas yang mendiskusikan evaluasi kompetensi perawat
profesional bahwa kompetensi yang harus dimiliki pemimpin perawat
diantaranya pengetahuan umum tentang keperawatan dan kemampuan menilai
kemampuan klinik pemimpin perawat itu sendiri (Alien et al. 2008).
Pengetahuan yang harus dimiliki pemimpin didapatkan dengan
pendidikan dan pelatihan. Pendidikan dan pelatihan ini akan menambah
100
kompetensi dasar dan keterampilan seorang pemimpin sebagai kekuatan
pribadi dalam meningkatkan kemampuan untuk melakukan perubahan, dan
sebagai agen perubahan yang efektif (Shaw, 2007).
Peningkatan pengetahuan seorang kepala ruangan adalah pengetahuan
tentang fungsi pengorganisasian. Pengorganisasian dalam keselamatan pasien
adalah dengan tim keselamatan pasien di rumah sakit (Yahya, 2006). Fungsi
manajemen pada pengorganisasian adalah pengetahuan tentang struktur
organisasi, termasuk uraian tugas staf dan departemen (Marquis dan Houston,
2003).
c. Hubungan kesadaran diri dengan penerapan keselamatan pasien
Hasil analisis data didapatkan 18 perawat menilai kesadaran diri
perawat kurang, namun 12 (66,7%) diantaranya menerapkan keselamatan
pasien secara baik, baik yang berdasarkan persepsi perawat sendiri maupun
hasil observasi peneliti. Hal ini dikarenakan perawat pelaksana sudah
memiliki kesadaran sendiri akan pentingnya keselamatan pasien, dan juga
seluruh perawat pelaksanan telah mengikuti pelatihan tentang keselamatan
pasien, dengan pelatihan tersebut meningkatkan kesadaran diri akan
pentingnya menerapkan keselamatan secara baik.
Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan kesadaran diri
kepala ruangan dengan penerapan keselamatan pasien oleh perawat
pelaksana. Peneliti berasumsi bahwa seseorang melakukan pekerjaan yang
baik atau buruk merupakan kecenderungan tujuan motivasi sesorang dalam
101
melakukan pekerjaanya, sehingga baik atau kurangnya penerapan keselamatan
pasien oleh perawat pelaksana sangat di pengaruhi oleh kesadaran diri
perawat itu sendiri. Namun di samping itu perawat pelaksana dalam
menerapkan keselamatan pasien sangat dipengaruhi bagaimana kesadaran diri
pemimpin dalam menerapkan keselamatan pasien yang dapat menjadi contoh
kepasa perawat pelaksana.
Wise dan Kowalski (2006), menjelaskan kesadaran diri merupakan
salah satu kemampuan emosional pemimpin juga merupakan bentuk
kesadaran pemimpin selain pengaturan diri sendiri, motivasi diri sendiri,
empati, kemampuan bersosialisasi. Seorang pemimpin harus mampu
mengendalikan suasana hati, emosi dan faktor lain yang bisa berpengaruh
pada perasaan dan perilaku pemimpin. Hal ini karena dapat berpengaruh
terhadap orang lain termasuk bawahan, karena seorang pemimpi adalah sosok
panutan bagi bawahan.
Pengenalan akan diri sendiri adalah langkah penting untuk menjadi
pemimpin yang efektif (Tappen, 2004). Kesadaran diri merupakan
pengetahuan dan pemahaman tentang diri sendiri, tentang pikiran, perasaan
dalam berinteraksi dengan dunia yang selalu berubah, pengetahuan secara
penuh tentang emosi baik suka maupun duka, kesenangan dan cinta.
Pemimpin juga harus menyadari gejala-gejala kecemasan dan mengenalinya.
Pemimpin harus mempunyai integritas, prinsip, komitmen, dan kejujuran
dalam menjalankan peran dan fungsinya (Dollan dan Sellwood, 2008).
102
Membangun kesadaran diri akan nilai keselamatan pasien, diperlukan
pemimpin dalam menciptakan budaya terbuka dan adil yang merupakan
langkah pertama dalam menerapkan keselamatan pasien rumah sakit (DepKes
RI,2008).
d. Hubungan komunikasi dengan penerapan keselamatan pasien
Kemampuan komunikasi kepala ruangan dinilai baik oleh perawat
pelaksana sebanyak 70 perawat, namun berdasarkan hasil observasi terdapat
26 (37.1%) kurang menerapkan keselamatan. Namun demikian persentase
lebih tingga pada perawat yang menilai kemampuan komunikasi kepala
ruangan baik dan menerapkan keselamatan secara baik. Hal ini menunjukkan
komunikasi kepala ruangan terhadap perawat pelaksana memiliki pengaruh
besar dalam penerapan keselamatan pasien.
Arwani (2002), menjelaskan komunikasi sangat penting dilakukan
demi tercapainya kesepahaman antara pemimpin dengan orang yang
dipimpinnya. Menurut Sunarto (2007) komunikasi adalah proses penyampaian
informasi dari seseorang ke orang lain agar informasinya dapat dipahami.
Pemimpin yang baik akan mampu menularkan optimisme dan
pengetahuan yang dimilikinya agar staf dibawahannya dapat melaksanakan
pekerjaan dengan baik. Dalam melaksanakan pekerjaan, perawat pelaksana
tidak lepas dari komunikasi dengan kepala ruangan. Komunikasi yang baik
dari kepala ruangan dapat menjadi sarana yang tepat dalam meningkatkan
kemampuan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yang aman..
103
Mengingat banyaknya waktu yang digunakan oleh manajer untuk
berkomunikasi (mendengar dan berbicara), sehingga jelas bahwa manajer
harus mempunyai keterampilan komunikasi interpersonal yang baik. Manajer
harus berkomunikasi dengan staf, pasien dan atasan setiap hari. Praktek
keperawatan adalah praktek yang berorientasi dengan kelompok/hubungan
interpersonal dalam mencapai suatu tujuan organisasi, maka untuk itu
menciptakan komitmen dan rasa komitmen dan rasa kebersamaan perlu
ditunjang keterampilan manajer dalam berkomunikasi (Nursalam, 2007).
Keterampilan komunikasi seringkali dianggap sebagai sesuatu yang
wajar dan diterima begitu saja. Bagaimna seorang manajer berkomunikasi
dengan staf dan apa yang dikomunikasikannya terhadap staf adalah faktor-
faktor yang sangat menentukan efektivitas kerja manajer. Manajer harus
mengembangkan keterampilan komunikasi asertif, dan keterampilan
mendengar (Robbin, 2007).
Komunikasi adalah tindakan yang dilakukan oleh satu/lebih yang
mengirim dan menerima yang terdistorsi oleh noise (gangguan), terjadi dalam
konteks tertentu, memiliki pengaruh tertentu, dan ada kesepakatan untuk
melakukan umpan balik. Berdasarkan definisi diatas dapat dilihat bahwa
komunikasi merupakan interaksi antara manusia yang bisa digunakan untuk
mengirim pesan, baik secara verbal maupun nonverbal sehingga terjalin
hubungan dengan orang lain dalam kehidupan di masyarakat.
Komunikasi yang efektif adalah ketika pesan yang disampaikan dapat
dipahami oleh penerima tepat pada waktunya. Komunikasi yang efektif
104
berhubungan dengan proses komunikasi. Proses komunikasi akan membantu
seorang pemimpin dalam menyampaikan dan menerima pesan dari para
anggota dan orang-orang yang terlibat disekitarnya sehingga pesan yang
disampaikan dan diterima bisa memberikan hasil yang memuaskan bagi
semua pihak yaitu pencapaian tujuan.
Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien dengan
mendorong dan menumbuhkan komunikasi melalui pengambilan keputusan
tentang keselamatan pasien menjadi standar keselamatan pasien (Depkes RI,
2008).
Penelitian Setiowati (2010) menyatakan, ada hubungan positif
komunikasi kepala ruangandengan penerapan keselamatan pasien oleh
perawat pelaksana. Dewi (2012) menyatakan, ada peningkatan yang bermakna
tentang pelaksanaan timbang terima dan penerapan keselamatan pasien
sebelum dan sesudah perawat pelaksana diberikan pelatihan timbang terima
dengan pendekatan komunikasi efektif yang diintegrasikan dengan penerapan
keselamatan pasien.
Komunikasi merupakan salah satu bentuk fungsi pengarahan dalam
fungsi manajemen keperawatan. Fungsi pengarahan manajer dalam
pelaksanaan keselamatan pasien adalah ronde keselamatan pasien yang terdiri
dari perawat senior dan 1-2 perawat ruangan, dilakukan supervisi setiap
minggu pada area yang berbeda di rumah sakit dan berfokus hanya pada
masalah keselamatan pasien (Yahya, 2006).
105
Bentuk lain dari fungsi pengarahan pimpinan adalah dengan
melakukan briefing tim dan diimbangi dengan debriefing. Yahya (2006)
menyatakan bahwa briefing tim adalah cara sederhana bagi staf untuk berbagi
informasi tentang isu-isu keselamatan pasien yang potensial dapat terjadi
sehari-hari. Pemimpin bertanggungjawab menciptakan suasana kerja yang
kondusif, dimana staf perlu untuk bisa berbagi isu tentang keselamatan pasien
dalam lingkungan yang terbuka dan perlakuan yang adil.
e. Hubungan penggunaan energi dengan penerapan keselamatan pasien
Penggunaan energi kepala ruangan dinilai kurang oleh perawat
pelaksana sebanyak 13 perawat, terdapat 7 (53,8%) diantaranya
mempersepsikan diri menerapkan keselamatan pasien secara baik namun
berdasarkan observasi terdapat 6 (46.2%) diantaranya menerapkan
keselamatan pasien secara baik. Hal ini disebabkan perawat pelaksana pada
umumnya lebih muda daripada kepala ruangan yang memiliki energi dan
semangat lebih, sehingga mampu menerapkan keselamatan pasien dengan
baik.
Hasil analisis data menunjukkan dari 68 perawat yang menilai
penggunaan energi kepala ruangan baik, 40 diantaranya mrenerapkan
keselamatan pasien dengan baik hal ini menunjukkan bahwa pengaruh
semangat kerja oleh kepala ruangan terhadap perawat pelaksana memiliki
persentasi yang tinggi dibandingkan dengan yang menilai penggunaan enerhi
kepala ruangan baik namun kurang menerapkan keselamatan pasien.
106
Hal ini sejalan dengan pendapat Tappen (2004), yang menjelaskan
penggunaan energi dan semangat yang dimiliki oleh seseorang akan dapat
ditularkan ke orang lain, sehingga dapat menjadi motivasi bagi bawahan
untuk meningkatkan motivasi dan produktivitas kerjanya.
Semangat pemimpin terkait dengan fisik, emosional, dan antusias.
Semangat pemimpin dalam bekerja mempunyai pengaruh potensial yang kuat
terhadap orang lain. Pada saat berinteraksi dengan orang, tingkat energi akan
berpengaruh saat memberikan respon. Semangat yang tinggi akan
meningkatkan keefektifan pemimpin.
Berdasarkan analisis dari data hasil observasional menunjukkan tidak
ada hubungan antara penggunaan energi dengan penerapan keselamatan
pasien oleh perawat pelaksana. Hasil observasional ini sesuai dengan
penelitian Setiowati (2010) yang menyatakan, tidak terdapat hubungan antara
penggunaan energi kepala ruang dengan penerapan budaya keselamatan
pasien oleh perawat pelaksana. Mulyadi (2005) juga menyatakan, tidak
terdapat hubungan tentang penggunaan energi dengan kinerja perawat
pelaksana dalam mengendalikan mutu pelayanan keperawatan diruang rawat
inap RSKM Cilegon.
Oleh karena itu kepala ruangan harus tetap meningkatkan semangat
kinerja agar dapat mempengaruhi kinerja setiap perawat pelaksana dalam
menerapkan keselamatan pasien sebagaimana yang dijelaskan Welch (2006)
dalam Cahyono (2006), bahwa pemimpin perlu mempengaruhi kehidupan
orang lain, memancarkan energi positif dan optimisme. Seorang pemimpin
107
juga perlu melakukan pemberian inspirasi untuk berani mengambil resiko dan
belajar dengan memberikan teladan serta merayakan keberhasilan. Pemberian
semangat pada bawahan diartikan memberikan sesuatu yang terbaik,
menyemangati, dan mempengaruhi pola pikir bawahan yang positif (Wise dan
Kowalski, 2006).
f. Hubungan pengambilan tindakan dengan penerapan keselamatan pasien
Pengambilan tindakan kepala ruangan dinilai perawat kurang sebanyak
12 perawat, namun mempersepsikan diri menerapkan keselamatan pasien
secara baik sebanyak 5 (41.7%), sedangkan hasil observasi hanya terdapat 3
(25%) menerapkan keselamatan pasien dengan baik. Hal ini disebabkan
karena kepala ruangan jarang berada di ruangan sementara perawat harus
tetap memberikan asuhan keperawatan yang aman dengan menerapkan
keselamatan pasien.
Hasil analisis di dapatkan pula sebanyak 26 (37.7) dari 69 perawat
yang menilai pengambilan tindakan kepala ruangan baik namun kurang
menerapkan keselamatan pasien berdasarkan hasil observasi. Hal ini menurut
observasi peneliti pengambilan tindakan kepala ruangan hanya terjadi pada
saat ada kejadian yang tidak diharapkan. Sedangkan sebagai seoarang
pemimpin tidak hanya mengambil tindakan saat ada kejadian yang tidak di
harapkan namun harus mampu mengambil tindakan untuk mengatasi masalah.
Pimpinan efektif memperkarsai tindakan, ide-ide, saran-saran dan
perencanaan yang harus dilaksanakan. Pemimpin harus mengetahui waktu
108
yang tepat untuk memulai tindakan. Sebagai pemimpin berani mengambil
resiko karena setiap tindakan pemimpin memiliki resiko, memperbaiki
seseorang jika mereka salah, dan membantu orang lain.
Pemimpin efektif adalah berorientasi pada penentuan tindakan.
Tindakan pemimpin efektif harus memperhatikan : pemimpin beorientasi pada
kemampuan sebelum melakukan tindakan, tidak perlu menunggu orang lain
dalam melakukan tindakan, bekerja sama dengan orang lain dalam bertindak,
bertindak secara professional, mampu mengambil keputusan, mampu
memberikan ide-ide, dan mengggunakan teknik-teknik kepemimpinan dalam
bertindak (Tappen, 2004).
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara
pengambilan tindakan kepala ruang dengan penerapan keselamatan pasien
oleh perawat pelaksana baik berdasarkan hasil analisis data dari kuesioner
yaitu p = 0,002 dan berdasarkan hasil obsevasional menunjukkan nilai p =
0,036. Penetian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Setiowati
(2010 yang menyatakan, ada hubungan pengambilan tindakan kepala ruang
dengan penerapan keselamatan pasien oleh perawat pelaksana. Marpaung
(2005) juga menyatakan, terdapat hubungan bermakna antara pengambilan
tindakan kepala ruang dengan budaya kerja perawat pelaksana.
Pemimpin yang baik adalah seseorang yang pandai dalam mengambil
keputusan yang tepat dan berorientasi pada tindakan. Pengambilan keputusan
merupakan bagian dari fungsi pengendalian dalam manajemen keperawatan.
Pengendalian dalam penerapan keselamatan pasien adalah dengan
109
memberikan umpan balik kepada staf, audit pelaporan terhadap kejadian,
kesalahan, pengambilan tindakan, koreksi/perbaikan baik sebelum maupun
sesudah terjadi kesalahan (Callahan dan Ruchin, 2003)
3. Hubungan kepemimpinan efektif kepala ruangan yang terdiri dari penentuan
tujuan, pengetahuan, kesadaran diri, komunikasi, penggunaan energi dan
pengambilan tindakan yang paling dominan berhubungan dengan penerapan
keselamatan pasien
Hasil analisis multivariat data dari kueseioner didapatkan komponen
kepemimpinan efektif kepala ruangan yang dominan berhubungan dengan
penerapan keselamatan pasien oleh perawat pelaksana yaitu pengambilan
tindakan p = 0,001, sedangkan hasil observasional yaitu komunikasi dengan nilai
p = 0,009.
Komunikasi merupakan salah satu elemen manajemen yang penting dalam
suatu orgnaisasi karena menyebarkan fungsi manajemen, yaitu merencanakan,
mengorganisasikan, mengarahkan dan mengendalikan. Pengambilan tindakan
merupakan bagian dari fungsi pengendalian dalam manajemen keperawatan yang
membutuhkan kemampuan komunikasi manajer dalam hal ini kepala ruangan.
Sehingga peneliti mengambil kesimpulan bahwa komunikasi paling dominan
berhubungan dengan penerapan kelamatan pasien.
110
Komunikasi merupakan bagian penting dalam keberhasilan penerapan budaya
keselamatan pasien (Callahan dan Ruchlin, 2003). Pendapat ini diperkuat oleh
Cahyono (2008), bahwa proses komunikasi memengangperan sentral dalam
pelayanan medis.
C. Keterbatasan Penelitian
Kurangnya penelitian dan referensi terkait kepemimpinan efektif dan
keselamatan pasien di tingkat nasional, sehingga sulit untuk mencari pembanding
untuk memperkaya pembahasan. Dari segi pengambilan data, kuesioner yang
digunakan untuk penelitian adalah kuesioner yang dikembangkan oleh peneliti
sendiri. Solusi yang dilakukan peneliti dalam hal ini adalah dengan melakukan uji
validitas dan reliabilitas data pada instrument yang digunakan. Serta keterbatasan
waktu dalam melakukan observasi.
D. Implikasi Keperawatan
1. Implikasi terhadap pelayanan keperawatan
Penelitian ini menunjukkan penerapan keselamatan pasien pada keenam sasaran
keselamatan pasien masih ada perawat yang kurang menerapkan. Hal ini dapat
sebagai masukan bagi kepala ruang maupun manajemen rumah sakit untuk
meningkatkan monitoring dan evaluasi kaitannya dengan penerapan
keselamatan pasien dalam pemberian asuhan keperawatan.
111
2. Implikasi keilmuan
Hasil penelitian ini menambah kepustakaan keterlibatan perawat dalam
keberhasilan program keselamatan pasien.Sumber kepustakaan mengenai
kepemimpinan efektif dan penerapan keselamatan pasien khususnya oleh
perawat pelaksana di Indonesia masih kurang
112
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ada hubungan antara kepemimpinan efektif kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap bagian bedah
RS Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
2. Ada hubungan antara penentuan tujuan kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap bagian bedah
RS Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
3. Ada hubungan antara pengetahuan kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap bagian bedah
RS Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
4. Tidak ada hubungan antara kesadaran diri kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap bagian bedah
RS Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
5. Ada hubungan antara komunikasi kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap bagian bedah
RS Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
6. Tidak ada hubungan antara penggunaan energi kepala ruangan dengan
penerapan keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap
bagian bedah RS Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
113
7. Ada hubungan antara pengambilan tindakan kepala ruangan dengan penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap bagian bedah
RS Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
8. Komunikasi merupakan komponen kepemimpinan efektif kepala ruangan yang
paling berhubungan dengan penerapan keselamatan pasien oleh perawat
pelaksana di ruang rawat inap bagian bedah RS Dr.Wahidin Sudirohusodo
Makassar.
B. Saran
1. Bagi RS Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar
Penanggung jawab keselamatan pasien di setiap ruangan melakukan observasi
langsung secara berkala dan konsisiten terhadap penerapan keselamatan
pasien yang dilakukan oleh perawat. Perawat diharapkan dapat menigkatkan
penerapan keselamatan pasien dalam pemberian asuhan keperawatan dengan
melaksanakan Sembilan pedoman keselamatan pasien
2. Bagi peneliti selanjutnya
Peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan keselamatan pasien
maupun penerapan keselamatan perawat
114
DAFTAR PUSTAKA
Agency for Healthcare Research and Quality . (2003). Patient safety culture surveys.
Diakses tanggal 04 Oktober, 2014 dari website:
http://www.ahrq.gov/qual/patientsafetyculture
Alien, P., Lauchner, K., Bridges, RA., Francia-Johnson, P., McBride, S.G., &
Olivarez, A. (2008). Evaluating continuing competency : A challenge for
nursing. The journal of contuining education in nursing. 39 (2), 81-84.
Diakses tanggal 10 Februari, 2014 dari website:
http://web.ebscohost.com/ehost/
Arwani & Supriyatno, H. (2006). Manajemen bangsal. Jakarta.EGC
Ballard, K.A. (3003). Patient safety:A Shared responsibility. Online Journal of Issues
in Nursing.Vol.8 No.3
Baker, G.S., & Norton, P.G. (2004). Adverse events and patient safety in Canadian
health care. Canadian medical association or its licensors. Vol. 170 (3)
pp.353-354. Diakses tanggal 11 Februari, 2014 dari website:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
Bannet, N.B & Brachman’s. (2007). Hospital infections. Edisi 5. Philadelphia :
Williams & Wilkins
Buerhaus, P. (2004). Lucian Leape on patient safety in U.S hospitals. Journal nursing
of scholarship, 4 (36), 366-370. Diakses tanggal 10 Februari, 2014 dari
website: http://www.proquest.com/pqdweb
Cahyono, S.B. (2008). Membangun budaya keselamatan pasien dalam praktik
kedokteran. Jogyakarta : Kanisius
115
Callahan, M.A & Ruchlin, H. (2003). The role of nursing leadership in establishing a
safety culture. Proguest health management. 6 (21), 296-297. Di akses
tanggal 28 Oktober, 2014 dari website: http://www.proquest.com
Canadian Nurse Association. (2004). Nurses and patient safety : Discussion paper.
Canadian Nurse Association and University of Toronto Faculty of Nursing.
Diakses tanggal 10 Februari, 2014 dari website: http://www.cna-
nurses.ca/CNA/practice/
Canadian Nurse Association. (2009). Position statement patient safety.
http://www.cnaaiic.ca_Safety-pdf
Chase, L.K. (2010). Nurse manager competencies. Thesis the University of IOWA.
Diakses tanggal 14 Februari, 2014 dari website: www.proquest.com
Clancy, C.M., Farqubar, M.B.,& Collins, B.A. (2005). Patient safety in nursing
practice. J Nuers Care Qual.Vol 20, No.3, pp. 193-197
DepKes, RI. (2006). Pedoman pengembangan jenjang karir profesional perawat.
Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan, Depkes RI
DepKes, RI. (2008). Panduan nasional keselamatan pasien rumah sakit :Utamakan
keselamatan pasien. Edisi 2.Jakarta: Depkes RI. Diakses tanggal 11 Februari,
2014 dari website: www.inapatsafety-persi.or.id
DepKes, RI. (2009). Undang-undang Republik Indonesia nomor 44 tahun 2009
tentang rumah sakit. Jakarta : Depkes RI
Dewi, S.D. (2011). Hubungan fungsi manajemen kepala ruang dan karakteristik
perawat dengan penerapan keselamatan pasien dan perawat di IRNA 1 RSUP
Dr.Sardjito Yogyakarta. Tesis Tidak dipublikasikan
Dewi, M. (2012). Pengaruh pelatihan timbang terima pasien terhadap penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di RSUB. Jurnal health dan
116
sport.vol 5 nomor 3-8-2012. Di akses tanggal 01 November, 2014 dari website:
www.jurnal.ung.ac.id
Dharma, K.K. (2011). Metodologi penelitian keperawatan. Jakarta : Trans info Media
Dollan, J., & Sellwood, M. (2008). How be an effective leader. Friend and Earth
.Issue 72. Diakses tanggal 12 Februari, 2014 dari website:
http://www.highbeam.com
Gillies, D.A. (1994). Nursing management: a system approach 3rd
ed. Phyladelphia:
WB. Saunders Company
Handayani, H. (2003) . Hubungan peran dan fungsi manajemen kepala ruang dengan
keberhasilan uaya pengendalian infeksi nosokomial di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta. Tesis tidak dipublikasikan. FIK UI
Hasibuan, M.S.P. (2008).Manajemen sumber daya manusia. Edisi
kedua.Jakarta:EGC
Hastono, S.P. (2007). Analisis data kesehatan. Jakarta: FKM-UI
Henriksen,K., Dayton.E., Keyes.M.A., Carayon.P., & Hughes,R.G. (2008).
Understanding adverse event a human framework : Patient safety and Quality
: An avidence based handbook for nurses Vol.1. Diakses tanggal 10 Februari,
2014 dari website: www.proquest.com/pqdauo
Henriksen, K., Carayon, P., Hughes, R.G. (2008). Understanding adverse event: A
human factors framework. Rockville : US Department of Health and Human
Service
Hikmah, S. (2008). Persepsi staf mengenai “patient safety” di UGD RSUP
Fatmawati. Sripsi tidak dipublikasikan. FKM UI
Huber, D. (2010). Leadership and nursing care management. Edisi keempat.
Philadelphia : Saunders Elsevier
117
Hughes, R.G, (2008). Patient safety and Quality : An evidence based handbook for
nurse vol 1. Diakses tanggal 20 Februari, 2014 dari website:
www.proquest.com/pqdauto. 2014.02.20
International Council of Nurse. 2002). Position statement. Patient safety : Rights of
resgistered nurses when considering a patient assigment. Diakses tanggal 13
Februari, 2014 dari website: http://www.icn.ch
International Council Of Nurse. (2006). International nursing day, safe staffing and
saves lives: information and action tool kit. Diakses tanggal 20 Februari, 2014
dari website: http://www.icn.ch
Institute of Medicine. (2000). To err is human: Building a safer health system. Kohn,
Corrigan dan Donaldson. Washington DC: National Academy Press. Diakses
tanggal 13 Februari, 2014 dari website: www.nap.edu/html/to_err_is_human/
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia no 1691/Menkes//Per/VIII/2011 tentang
Keselamatan Pasien Rumah Sakit
Kirkpatrick, S.A., & Locke,E.A. Direct and Indirect of Three Core Charismatic
Leadership Component on Performance and Attitudes. Journal Of Applied
Psycology, hal 236-51
KKP-RS. (2012). Panduan nasional keselamatan pasien rumah sakit. Jakarta:
Depkes RI
Kohrn, L.T., Corrigan, J.M., & Donaldson, M.S. (2000). To err is human : Building a
safer healTh system. Committee on quality of health care in America. IOM:
National Academy of Science. Diakses tanggal 10 Februari, 2014 dari website:
www.nap.edu
Komisi Disiplin Ilmu Kesehatan. (2002). Praktek keperawatan ilmiah. Jakarta : The
Author
118
Kozer, B., & Erb, G. (2008). Fundamental of nursing: concepts. Process, and
practice. Edisi ketujuh. New Jersey : Prentice Hall
Marpaung, J. (2005). Persepsi perawat pelaksana tentang kepemimpinan efektif kepla
ruang dan hubungannnya dengan budaya kerja perawat pelaksana dalam
pengendalian mutu pelayanan keperawatan di ruang rawat inap RSUP Adam
Malik Medan. FIK UI. Tesis tidak dipublikasikan
Marquis, B.L & Huston, C.J. (2010). Kepemimpinan dan manajemen keperawatan :
Teori dan aplikasi. Edisi keempat. Jakarta: EGC
Mitchell, P.H. (2008). Defining patient safety and quality care. Dalam Hughes R.G
(Ed), Patient safety and quality: An evidence-based handbook for nurse.
Rockville : US Departement of Health and Human Services. Diakses tanggal
15 Oktober, 2014 dari website: www.proquest.com/pqdauto
Mulyadi, (2005). Hubungan kepemimpinan efektif kepala ruang dengan kinerja
perawat pelaksana dalam pengendalian mutu pelayanan keperawatan di
ruang rawat inap RSKM Cilegon. FIK UI tesis tidak dipublikasikan
National Patient Safety Agency. (2009). The full reference quide. Seven step to
patient safety. 2014.02.13. Diakses tanggal 13 Februari, 2014 dari website:
http://www.nrls.npsa.nhs.uk
Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: PT Rineka
Cipta
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nurrachmah, E. (2000). Pentingnya komite keperawatan dalam pengembangan
profesi. Jurnal Manajemen dan Administrasi RS Indonesia. Vol.2.pp 73-78
Nursalam, M. (2007). Manajemen keperawatan: Aplikasi dan praktik keperawatan
professional. Ed.2. Jakarta. Salemba Medika
119
Nyoman. (2002). Hubungan kepemimpinan efektif kepala ruang dengan perilaku
kerja perawat pelaksana dalam pencegahan infeksi nosokomial di ruang
rawat inap RSUP.Persahabatan Jakarta. Tesis tidak dipublikasikan
Potter, P.A & Perry, A.G, (2005). Fundamentals of nursing. Edisi keenam. Missouri:
Mosby
Potter, P.A & Perry, A.G, (2006). Buku ajar fundamental: konsep, proses dan
praktik. Jakarta :EGC
Purwanto. (2012). Pengaruh penggunaan pedoman perencaan kepala ruang terhadap
pelaksanaan keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di RS Haji Jakarta.
Tesis tidak dipublikasikan
Reason, J. (2005). Safety in the operating theatre-part 2 : Human error and
organizational failure. Qual saf health care. Vol 14.pp. 56-61. Diakses
tanggal 10 Februari, 2014 dari website: http://www.qualitysafety.bmj.com
Robbins, S.P. (2001). Perilaku organisasi versi bahasa Indonesia : Konsep,
kontroversi. Edisi kedelapan aplikasi. Jakarta :Prenhallindo
Robbins, S.P. (2003). Perilaku Organisasi. Jilid I. Edisi Kesembilan. Alih Bahasa:
PT. Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta
Sabarguna, B.S (2004). Quality assurance pelayanan rumah sakit. Konsorsium RSU
Islam Jateng. Joyakarta
Sastroasmoro & Ismail, (2010). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi :
ketiga. Jakarta: Sagung Seto
Setiowati, D. (2013). Kepemimpinan efektif head nurse dengan penerapan budaya
keselamatan pasien oleh perawat di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo
Jakarta. Makara Seri Kesehatan. 17 (2). pp. 55-60. Doi :
10.7454/msk.v7i2.xxxx.
120
Shaw, S. (2007). International CounciL of nurses :Nursing leadership. Oxford:
Blackwell
Siagian, S.P. (2012). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Bumi Aksara
Sitorus, R., & Panjaitan, R. (2011). Kepemimpinan dan manajemen keperawatan di
ruang rawat, Jakarta: Sagung Seto
Standar Akreditasi
Sugiyono. (2007). Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif dan R & D.Bandung:
Alfabeta
Sugiyono. (2012). Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif dan R & D.Bandung:
Alfabeta
Suharsimi. (2002). Metodologi penelitian. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Sulistiyani, A.T., & Rosidah. (2003). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta:
Graha Ilmu
Suyanto, (2009). Mengenal kepemimpinan dan manajemen keperawatan di rumah
sakit. Jogyakarta : Mitra Cendikia Press
Tappen, R.M. (2004). Esssensial of nursing leadership and management: edisi ketiga.
Philadelpia:F.A Davis Company
Yahya, A.A. (2006). Konsep dan program patient safety. Disampaikan pada Konvensi
Naional Mutu RS Ke VI Bandung. Diakses tanggal 10 Februari, 2014 dari
website: http:///www.pdpersi.co.id
Wagner, L.M., Capezuti, E. & Rice, J.C. (2009). Nursing perceptions of safety
culture in long term setting. Jurnal of bursing scholarship. 2 . Diakses tanggal
10 Agustus, 2014 dari website: http://proquest.umi.com
121
Wise, P.S & Kowalski, K.E. (2006). Beyond leading and managing :Nursing
administration for the future. Missouri : mosby Year book
WHO. (2004), World alliance for patient safety, format program. Diakses tanggal 9
Februari, 2014 dari website: http://www.who.int
WHO. (2007). Nine life saving patient safety solution. Diakses tanggal 09 Februari,
2014 dari website: http://www.who