HUBUNGAN KADAR SERUM ASAM LEMAK DENGAN ... · Web viewPeningkatan kejadian penyakit atopi dan...
Transcript of HUBUNGAN KADAR SERUM ASAM LEMAK DENGAN ... · Web viewPeningkatan kejadian penyakit atopi dan...
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Peningkatan kejadian penyakit atopi dan obesitas dari tahun ke tahun menjadi
masalah kesehatan global yang menimbulkan beban fisik, sosial dan ekonomi.1,2
Kejadian asma pada anak usia diatas 4 tahun meningkat 1,5 kali, kejadian dermatitis
atopi meningkat dua sampai tiga kali lipat, serta kejadian alergi kacang di Amerika
meningkat dua kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir.3
Berdasarkan data WHO tahun 2002, obesitas merupakan salah satu masalah
kesehatan penting di dunia dengan jumlah mencapai mencapai 110 juta. Peningkatan
kejadian obesitas terutama terjadi di negara-negara Barat terkait dengan maraknya
gaya hidup modern dan tingginya asupan makanan murah tinggi kalori.4
Kecenderungan peningkatan kejadian obesitas pada anak juga terjadi di Indonesia.
Hasil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada tahun 1989 kejadian
obesitas pada balita mengalami peningkatan baik di perkotaan maupun pedesaan. Di
perkotaan pada tahun 1989 didapatkan 4,6% laki-laki dan 5,9% perempuan,
meningkat menjadi 6,3% laki-laki dan 8% perempuan pada tahun 1992 dan di
pedesaan pada tahun 1989 didapatkan 2,3% laki-laki dan 3,8% perempuan,
meningkat menjadi 3,9% laki-laki dan 4,7% perempuan pada tahun 1992.5
Hubungan antara obesitas dengan kejadian atopi masih kontroversi. Penelitian
oleh Huang dkk menunjukkan anak perempuan usia sekolah dengan indeks massa
tubuh (IMT) tinggi mengalami peningkatan risiko menderita gejala asma, rinitis dan
atopi. Suatu survey oleh Irey dkk6 pada siswa usia 13 sampai 15 tahun di Taiwan
menunjukkan adanya hubungan antara IMT dengan kejadian atopi pada siswa
perempuan namun tidak pada siswa laki-laki. Penelitian oleh Baizhuang dkk7
menemukan bahwa tingkat kenaikan kejadian atopi lebih rendah pada anak dari
daerah pedesaan yang rata-rata bertubuh lebih kurus dan pendek dengan lemak tubuh
yang lebih sedikit. Penelitian oleh Musaad dkk8 menunjukkan bahwa sensitisasi
makanan berperan dalam kejadian atopi. Analisis berkesinambungan antara IMT
dengan kadar imunoglobulin E (IgE) mendukung konsep kenaikan berat badan
sejalan dengan peningkatan predisposisi penyakit atopi.
Schachter dkk menggabungkan data dari tujuh penelitian epidemiologis pada
anak-anak di Australia dan menemukan bahwa IMT hanya berhubungan dengan atopi
pada anak perempuan. European Community Respiratory Health Survey tidak
menemukan adanya hubungan antara IMT dengan keadaan atopi pada dewasa muda.7
Penelitian oleh Chen dkk9 pada anak sekolah di Cina tidak menemukan adanya
perbedaan antara kejadian atopi pada anak dengan berat badan lebih atau obesitas
dengan anak berat badan normal.
Dalam dua dekade terakhir, terdapat dua hipotesis umum yang diajukan dalam
berbagai literatur dalam hubungan dengan peningkatan kejadian atopi pada anak.
Pertama adalah terdapat beberapa faktor risiko baru yang belum diketahui pada
2
beberapa dekade lalu yang menjadi berhubungan dengan nutrisi, paparan lingkungan
dan gaya hidup. Kedua, faktor pelindung yang berhubungan dengan gaya hidup
tradisional pada masa lampau telah hilang, yang menyebabkan kerentanan lebih
tinggi terhadap penyakit atopi. Pola kehidupan di negara Barat ditandai dengan
peningkatan kejadian obesitas dan berkurangnya paparan terhadap mikroba yang
berhubungan dengan kejadian rinitis alergi yang lebih tinggi.10
Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan terdapat kemungkinan bahwa
obesitas dapat menyebabkan atopi atau inflamasi serta terdapat beberapa faktor yang
merupakan predisposisi terhadap baik obesitas dan atopi. Leptin merupakan suatu
regulator penting yang mencerminkan massa jaringan adiposa, yang jumlahnya
sebandingkan dengan massa lemak. Trigliserida adalah salah satu jenis lipid dalam
darah yang jumlahnya meningkat pada keadaan obesitas yang diinduksi diet.
Trigliserida yang terkandung dalam darah diduga dapat menghambat leptin memasuki
sawar darah otak. Apabila jumlahnya berlebih seperti dalam keadaan obesitas maka
akan terjadi resistensi leptin kemudian menyebabkan hiperleptinemia sehingga terjadi
gangguan regulasi leptin yang salahsatu fungsinya adalah menjaga keseimbangan
regulasi sistem imunitas ke arah kecenderungan atopi. Atopi ditandai oleh
terbentuknya imunoglobulin akibat paparan alergen dosis rendah. Penelitian ini
bertujuan untuk meninjau peranan leptin dalam peningkatan kejadian obesitas dan
atopi pada anak.
3
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
Apakah terdapat peranan leptin dalam peningkatan kejadian obesitas dan atopi
pada anak ?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
Menilai apakah leptin berperan dalam peningkatan kejadian obesitas dan atopi
pada anak.
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1. Kegunaan Ilmiah
Penelitian ini diharapkan dapat menyumbang tambahan informasi aktual tentang
adanya peranan leptin dalam peningkatan kejadian obesitas dan atopi pada anak.
1.4.2. Kegunaan Praktis
Kejadian obesitas dan penyakit atopi didasari oleh genetik dan juga lingkungan.
Asupan makanan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya
trigliserida yang jumlahnya meningkat pada anak dengan obesitas. Intervensi diet,
pengaturan asupan makanan dan monitoring berat badan ideal yang dilakukan sedari
4
dini diharapkan dapat menurunkan kejadian penyakit atopi dan obesitas sehingga
meningkatkan kualitas hidup anak.
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Obesitas
Obesitas yaitu suatu kelainan atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan
jaringan lemak dalam tubuh secara berlebihan11,12 yang dapat menyebabkan gangguan
kesehatan.12 Secara klinis, anak obes mudah dikenali karena mempunyai ciri-ciri yang
khas, antara lain wajah bulat dengan pipi tembem dan dagu rangkap, leher relatif
pendek, dada membusung dengan payudara membesar, perut membuncit (pendulous
abdomen) dan striae abdomen. Pada anak laki-laki dapat ditemukan penis yang
tenggelam sehingga tampak kecil (buried penis), dan ginekomastia. Anak yang obes
dapat mengalami pubertas dini, genu valgum (tungkai berbentuk “x”) dengan kedua
pangkal paha bagian dalam saling menempel dan bergesekkan yang dapat
menyebabkan laserasi kulit.12
Pengukuran antropometri seperti indeks massa tubuh, pengukuran lingkar perut
atau pinggang, dan penaksiran lemak tubuh dengan mengukur tebal lipatan kulit pada
tempat-tempat tertentu dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis obesitas pada
anak.12 Alat ukur obesitas pada anak yang ideal harus memenuhi beberapa kriteria
sebagai berikut yaitu sederhana, mudah digunakan, dan biayanya terjangkau.13 Pada
tahun 2005, US Preventive Services Task Force14 sepakat bahwa penggunaan IMT
6
sesuai usia dan jenis kelamin merupakan alat ukur yang disukai untuk menilai berat
badan pada anak dan dewasa muda karena mudah digunakan, terpercaya dan dapat
memperkirakan kejadian obesitas pada dewasa. Walaupun tidak secara langsung
mengukur lemak tubuh, namun IMT dapat memperkirakan persentil lemak tubuh
dengan baik. Cara menghitung IMT yaitu berat badan (kg) dibagi dengan tinggi
badan (meter) dikuadratkan.15 Seseorang dikatakan obesitas bila indeks massa tubuh
>3SB berdasarkan WHO 2007.16
2.1.2 Etiopatogenisis obesitas
Penyebab obesitas multifaktorial, secara umum terjadi berkaitan dengan
keseimbangan energi di dalam tubuh. Keseimbangan energi ditentukan oleh asupan
energi yang berasal dari zat gizi penghasil energi yaitu karbohidrat, lemak dan protein
serta kebutuhan energi yang ditentukan oleh kebutuhan energi basal, aktvitas fisik
dan thermic effect of food (TEF) yaitu energi yang diperlukan untuk mengolah zat
gizi menjadi energi. 17
Keseimbangan energi di dalam tubuh dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang
berasal dari dalam tubuh yaitu regulasi fisiologis dan metabolisme maupun dari luar
tubuh yang berkaitan dengan gaya hidup (lingkungan) yang akan mempengaruhi
kebiasaan makan dan aktivitas fisik. Regulasi fisiologis dan metabolisme dipengaruhi
oleh genetik dan juga oleh lingkungan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
obesitas ±70% dipengaruhi oleh lingkungan dan ±30% oleh genetik.17
7
Proses terjadinya obesitas dimulai dengan penimbunan lemak dalam sel lemak
sehingga terjadi hipertrofi sel tersebut. Bila hipertrofi sel lemak (adipositas) ini
mencapai tingkat tertentu akan terjadi rangsangan pembentukan sel lemak baru dari
bakal sel lemak (preadiposit) sehingga terjadi perbanyakan atau hiperplasia. Belum
diketahui secara tepat faktor apa yang merangsang terjadinya diferensiasi preadiposit
ini menjadi adipositas. Protein tertentu yang diproduksi reticulum endoplasmic sel
lemak yaitu adipose differentiation related protein (ADRP) dan perilipin diduga
berperan dalam diferensiasi adipositas. Regulasi negatif yang berfungsi untuk
membatasi diferensiasi adipositas dan akumulasi lipid dilakukan oleh hasil fosforilasi
faktor transkripsi peroxisome-proliferation-activated-receptor γ2 (PPAR γ2). Mutasi
pada gen PPAR γ2 akan mengaselerasi diferensiasi adiposit dan menjadi salah satu
faktor penyebab obesitas. 12
2.1.3 Jaringan adiposa
Secara fungsi biologis jaringan adiposa dibagi menjadi jaringan adiposa putih dan
jaringan lemak coklat, dan yang dimaksud dengan lemak adalah jaringan adiposa
putih yang merupakan cadangan terbesar dalam tubuh dan ditemukan pada daerah
subkutan dan visera. Hasil penelitian terakhir menemukan bahwa jaringan adiposa
juga berperan sebagai jaringan endokrin yang mensekresi hormon leptin yang
diharapkan dapat digunakan untuk terapi obesitas karena kadar leptin dapat
menggambarkan jumlah cadangan lemak tubuh, tetapi juga sebagai prediktor
ketidakseimbangan energi dalam tubuh.17
8
Pada tahun 1994 Freedman dkk menemukan temuan besar ketika mereka
mengidentifikasi gen obes, mutasi pada tikus strain ob/ob. Gen obes (ob) ini
mengkode leptin, suatu peptida 16 KD yang ditoleransikan oleh sel lemak. Tempat
kerja utama leptin adalah di hipotalamus untuk menghambat asupan makanan dan
meningkatkan penggunaan energi. Pada tikus db/db, tikus dengan fenotip obesitas,
ditemukan resistensi leptin. Hal serupa juga ditemukan pada manusia.17
Lipid dalam tubuh terdiri dari kolesterol dan trigliserida (tiga asam lemak yang
menempel terhadap satu gliserol). Kolesterol memiliki beberapa fungsi penting dalam
tubuh, antara lain yaitu sebagai komponen struktural dari membran sel, prekursor
sintesis steroid, dan digunakan untuk pebentukan asam empedu. Fungsi utama
trigliserida adalah sebagai penyimpan energi (dalam bentuk lemak) dan sebagai
pengguna energi (asam lemak yang bebas diambil oleh otot saat puasa dan olah raga
dan atau pembentukan keton).18
Lemak tidak dapat larut di dalam air (plasma), sehingga lipid ini bergabung
dengan lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL), lipoprotein densitas rendah
(LDL) dan lipoprotein densitas tinggi (HDL). Fungsi–fungsi dari lipoprotein ini yaitu
untuk mengangkut kolesterol dan trigliserida dari tempat asalnya ke tempat
penyimpanan atau penggunaan seperti hati, otot dan jaringan lemak.
Adipositas berihubungan dengan gangguan pada profil lipid, yang sangat penting
utnuk menentukan apakah profil lipid secara bebas berhubungan dengan sensitisasi
alergi atau memediasi suatu hubungan antara adipositas dengan sensitisasi alergi.
Ouyang dkk4 menemukan bahwa persentase lemak tubuh berhubungan dengan
9
sensitisasi alergi pada pria namun tidak pada wanita. Perbedaannya antara lain yaitu
pada prevalensi sensitisasi alergi dan regulasi sitokin Th1 dan Th2. Selain itu,
terdapat hubungan terbalik antara HDL dengan sensitisasi alergi. Wanita memiliki
persentase lemak tubuh dan HDL yang lebih tinggi daripada pria. LDL berhubungan
dengan risiko sensitisasi alergi yang lebih tinggi pada pria setelah disesuaikan dengan
persentase lemak tubuh. Hubungan ini dapat dijelaskan sebagian dengan faktor
genetik umum yang dapat disesuaikan baik dengan sensitisasi alergi dan regulasi
persentase lemak tubuh dan kadar lipid serum.4
Pada anak, HDL berhubungan dengan risiko sensitisasi alergi yang lebih rendah
menurut the Third National Health and Nutrition Examination Survey. Sebaliknya
pada penelitian di Jerman, HDL yang lebih tinggi berhubungan dengan risiko
sensitisasi yang lebih besar pada dewasa namun hubungan ini hilang setelah hasil
disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin.16
2.1.4 Hormon dan sitokin pada jaringan adiposa
Jaringan adiposa berfungsi sebagai penyimpan lemak dan mensuplai energi ke
seluruh tubuh.19 Jaringan adiposa terdiri dari beberapa macam tipe sel, yang
terbanyak yaitu sel adiposit. Sel-sel adiposit mensekresi adipokin seperti leptin dan
adiponektin yang merupakan sinyal-sinyal protein serta sitokin dan kemokin seperti
TNF α, IL-6, IL-10, IL-1β. Tabel 1 menjelaskan beberapa mediator yang dilepaskan
oleh jaringan adiposa.20
10
Tabel 2 Mediator yang Dilepaskan oleh Jaringan Adiposa
Mediator Lemak viseral Lemak subkutanLeptin + ++TNF α + +IL-6 ++ +PAI-1 ++ +Insulin-like Growth Factor 1 + +
Sumber: Bergeron1
Keadaan obesitas merupakan suatu keadaan inflamasi kronis derajat rendah.
Pendapat ini didasari oleh adanya beberapa penanda inflamasi seperti IL-6, IL-8,
leptin, CRP, PAI-1 dan haptoglobin yang meningkat pada individu dengan obesitas
yang berkurang seiring penurunan berat badan. Normalnya, sepertiga dari kadar IL-6
yang beredar dalam sirkulasi perifer berasal dari jaringan adiposa. Keadaan
peningkatan berat badan seperti pada obesitas akan meningkatkan jumlah IL-6 yang
diproduksi oleh jaringan adiposa. TNFα yang merupakan salah satu sitokin utama
yang diproduksi oleh jaringan adiposa menyebabkan peningkatan produksi dari
sitokin Th2 seperti IL-4 dan IL-5.21
Hipotesis ini menyatakan bahwa obesitas, salah satu ciri khas dari gaya hidup
Barat, berasal dari perubahan imunologis akibat berkurangnya toleransi imunologis
terhadap antigen sehingga mengarahkan sistem imun untuk lebih condong terhadap
sitokin Th2 yang meningkatkan risiko alergi. Hal ini dapat dijelaskan pada gambar 1.
Pada individu normal, jaringan adiposa mensekresikan lebih sedikit IL-6, leptin dan
lebih banyak adiponektin. IL-6 dan leptin memiliki efek inhibisi pada sel T regulator
daan adiponektin menginduksi sekresi IL-10. Sebaliknya pada obesitas, jaringan
adiposa mensekresi lebih banyak IL-6, leptin dan sejumlah kecil adiponektin.
11
Konsentrasi adiponektin meregulasi umpan balik produksi IL-10 dari jaringan
adipose. IL-10 merupakan sitokin anti inflamasi yang berperan penting dalam
menjaga toleransi imunologis. 21
Gambar 2.1 Mekanisme Gangguan Sistem Imun pada Obesitas Sumber: Hersoug21
2.1.4.1 Leptin
Leptin berasal dari bahasa Yunani leptos yang berarti kurus,22 ditemukan tahun 1994
pada tikus obesitas (gen ob/ob).23 Leptin merupakan suatu hormon yang diproduksi
sebagian besar oleh jaringan adiposa22,24 yang bekerja sebagai suatu sensor massa
lemak sebagai bagian dari suatu umpan balik yang menjaga set point simpanan lemak
tubuh. Konsentrasi leptin dalam sirkulasi bersifat paralel terhadap indeks massa
tubuh, persentase lemak tubuh dan berat lemak tubuh total, dan kadarnya lebih tinggi
secara signifikan pada obesitas.23 Fungsi utama leptin yaitu untuk menyediakan sinyal
simpanan energi (adiposa) yang ada dalam tubuh pada sistem ssaraf pusat sehingga
12
otak dapat melakukan penyesuaian yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan asupan
energi dan pengeluaran.24 Sebagian besar individu obesitas memiliki kadar leptin
yang tinggi, namun tidak merangsang hilangnya massa lemak yang diharapkan.25
Leptin mempengaruhi sejumlah besar fungsi biologis antara lain metabolisme lipid
dan glukosa, sintesis glukokortikoid, insulin dan proliferasi limfosit CD4+, sekresi
sitokin, fagositosis, dan transimisi sinaps seperti yang terlihat pada gambar 2.26
Gambar 2.2. Efek pleiotrofik leptin
Sumber: Matarese26
2.1.4.2 Reseptor dan Pensinyalan Leptin
Reseptor leptin merupakan suatu protein membran tunggal dengan struktur yang
memiliki kemiripan dengan keluarga reseptor sitokin kelas I. Reseptor leptin (ObR)
memiliki beberapa isoform dengan domain intraseluler yang khas. Isoform-isoform
ini ini diklasifikasikan berdasarkan panjang domain intraseluler menjadi pendek atau
panjang. Isoform pendek (ObRa, ObRb, ObRc, ObRd, ObRe dan ObRf) memiliki
13
kapasitas pensinyalan yang terbatas sedangkan isoform ObRb panjang dipercaya
menjadi bentuk pensinyalan primer dari reseptor. ObRa dan ObRc diekspresikan pada
kadar tinggi di mikrovena serebri yang berada pada sawar darah otak dan berperan
penting terhadap transpor leptin ke dalam susunan saraf pusat. Struktur reseptor leptin
dijelaskan pada gambar 3. Transpor leptin terganggu pada tikus yang kekurangan
ObR dan tikus obesitas yang diinduksi diet. Gangguan transport ini diduga berasal
dari saturasi transporter leptin akibat tingginya kadar leptin endogen pada tikus ini.27
Gambar 2.3 Struktur reseptor leptin bentuk panjang dan pendek (ObR). Sumber: Matarese26
Nukleus arkuata (ARC) di hipotalamus merupakan tempat utama pensinyalan
leptin dan ARC mentranduksikan sinyal perifel ke dalam respon neuronal.24 Nukleus
14
arkuata mengandung dua kelas populasi saraf yang memiliki kerja berlawanan pada
asupan makanan.24 Salah satu populasi mengekspresikan peptida anoreksigenik
(penahan nafsu makan), kokain- dan amphetamine-regulated transcript dan α-
melanocyte-stimulating hormone [α-MSH; berasal dari perkusor proopiomelanokortin
(POMC).24 Populasi lain mengekspresikan peptida oreksigenik (perangsang nafsu
makan), neuropeptida Y (NPY) dan peptide agouti-related (AgRP).24 Saraf-saraf pada
ARC secara berkesinambungan menginervasi berbagai second-order target
hipotalamik yang mengeskpresikan reseptor melanokortin-4 (MC4R) dan NPY.24
Leptin mengatur aktivitas saraf-saraf POMC dan AgRP. Leptin mengurangi ekspresi
mRNA NPY/AgRP dan menghambat aktivitas saraf AgRP/NPY dan sebaliknya
leptin mengaktivasi saraf POMC, yang ditunjukkan dengan meningkatknya ekspresi
mRNA POMC sehingga mendorong pelepasan α-MSH, anoreksigen kuat pada sentral
MC4R.24
Pensinyalan intraseluler dari bentuk panjang (ObRb) melibatkan jalur JAK-STAT
seperti halnya sebagian besar sitokin. Reseptor bentuk pendek (ObRa, c,d,e) sebagian
tidak mampu memberi sinyal ke dalam sel dan kemungkinan berperan sebagai
transporter dan molecular sink untuk katabolisme leptin.26 Ekspresi membran ObRb
sebagian diatur oleh protein Ob-R yang mengkontrol internalisasi endositik.
Berkurangnya ObRb fungsional bertanggung jawab untuk obesitas dan sindrom
metabolik yang diamati pada model tikus db/db.27
15
Aktivasi ObRb menginisiasi suatu jalur transduksi sinyal bertahap, defisit salah
satunya akan berperan penting dalam etiologi resistensi leptin. Jalur transducer
JAK/STAT (Janus kinases/signal transducers dan activators of transcription)
merupakan bagian penting. ObRb tidak memiliki aktivitas tirosin kinase intrinsik
sehingga harus mengikutsertakan cytoplasmic kinases terutama JAK2, sehingga
kemudian memfosforilasi sejumlah residu tirosin pada domain intraseluler. Walaupun
mekanisme pasti dari aktivasi dan pensinyalan JAK2 masih belum dapat dijelaskan,
terdapat sejumlah bukti yang mendukung ikatan leptin memicu agregasi ObRb
menjadi oligomers sehingga berikatan dengan molekul JAK2 yang dibawa dekat
dengan satu sama lain, sehingga memungkinkan autofosforilasi. Kemungkinan
terdapat tiga residu tirosin yang tersimpan di dalam domain intraseluler yang
terfosforilasi dan berkontribusi terhadap pensinyalan yaitu Y985, Y1138, dan Y1077.
Domain yang terfosforilasi menyediakan tempat ikatan yang sangat spesifik untuk src
homologi 2 (SH2) yang mengandung protein seperti STATs yang diaktivasi dan
ditranslokasikan ke dalam nukleus dan berlaku seperti faktor transkripsi. STAT3,
diketahui penting untuk keseimbangan energi, dan setelah berikatan dengan ObR
menjadi substrat untuk reseptor JAKs dan kemudian berdisosiasi dari reseptor
sebelum membentuk dimer aktif seperti yang terlihat pada gambar 4. 27
16
Gambar 2.4 Jalur utama pensinyalan leptinSumber: Oswal25
2.1.4.3 Peranan Leptin dalam Imunitas
Selama beberapa tahun, bukti-bukti percobaan menunjukkan efek leptin tidak hanya
pada fungsi neuroendokrin dan metabolik, tapi juga pada respon fase akut, fungsi
sumsum tulang, respon imun alamiah dan adaptif. Malnutrisi dan berkurangnya
massa lemak menyebabkan imunodefisiensi pada hewan dan manusia. Penelitian
yang ada menunjukkan bahwa defisiensi leptin bertanggungjawab atas terjadinya
imunosupresi dan atrofi timus yang diaamati selama kelaparan akut dan malnutrisi.
Pada keaadaan malnutrisi, kadar leptin darah menurun akibat berkurangnya lemak
tubuh menyebabkan gangguan fungsi imun.26
Hewan ob/ob dan db/db telah lama dijelaskan sebagai hewan percobaan dengan
obesitas, hiperfagia dan hiperinsulinemia. Tikus obesitas defisiensi leptin ob/ob
menunjukkan banyak abnormalitas yang serupa dengan hewan kelaparan dan
17
manusia kurang gizi, termasuk gangguan fungsi limfosit T CD4+. Hewan-hewan ini
menunjukkan gangguan imunitas yang diperantarai sel dan atrofi timus. Defisiensi
leptin kronis menentukan berkurangnya sekresi walaupun setelah stimulasi spesifik
antigen, pada sitokin proinflamasi T helper (Th) 1 seperti IL-2, interferon -γ26
Gambar 2.5 Efek leptin pada sistem imunitas. Leptin mempengaruhi fungsi timus dan pembentukan
limfosit T naïve. Pada perifer, adanya leptin mendorong terbentuknya respon Th1, setelah sel T CD4+
bertemu dengan antigen serta menghambat sitokin Th2. Berkurangnya kadar leptin pada saat priming
dengan antigen mengurangi respon imun proinflamasi
Sumber: Matarese26
2.1.4.4 Resistensi Leptin
Dalam konteks obesitas dan penyakit, resistensi leptin diawali oleh suatu ide bahwa
keadaan biomeolekuler tubuh menurunkan sensitivitas keseluruhan kerja leptin
menjadi normal atau peningkatan produksi leptin menyebabkan respon yang tidak
adekuat (defisiensi leptin relatif). Konsep ini didukung oleh pengamatan bahwa
hampir sebagian individu obesitas tidak berada dalam keadaan defisiensi leptin
18
bahkan memiliki konsentrasi leptin serum yang meningkat. 22 Mekanisme terjadinya
resistensi leptin antara lain :
1. Mutasi genetik
Resistensi leptin dapat diturunkan. Menurut hukum pensinyalan umpan balik, mutasi
gen ob menyebabkan produksi leptin namun tidak efektif pada pensinyalan sehingga
terjadi hiperleptinemia dan resistensi leptin. Hal yang serupa juga dapat terjadi pada
mutasi reseptor leptin. Tikus diabetes (db/db) dan tikus Zucker (fa/fa) mengalami
gangguan reseptor leptin sehingga menyebabkan hiperleptinemia dan resistensi
leptin.25
2. Gangguan transport leptin melewati sawar darah otak
Penelitian-penelitan menunjukkan sawar darah otak merupakan tempat penting
terjadinya resistensi leptin. Pada massa molekuler sebesar 16 kDa, leptin terlalu besar
untuk menjalani difusi transmembran dan ditransport ke dalam otak melalui sistem
transport saturasi. Walaupun leptin secara luas ditransport melalui SSP, region yang
paling intensif yaitu hipotalamus ARC. Beberapa faktor telah diidentifikasi untuk
mempengaruhi kecepatan transport leptin ke dalam SSP. Stimulasi α-adrenergi adalah
salahsatu contoh meningkatnya aktivitas transporter, yang dipengaruhi oleh
hipertrigliserida. Hipertrigliseridemia umumnya terjadi pada keadaan kelaparan lama
dan diduga kemampuan trigliserida untuk menghambat transport leptin merupakan
sebagian mekanisme untuk melawan propagasi sinyal anoreksia selama kekurangan
makanan. Sebaliknya, hipertrigliseridemia juga berhubungan degnan obesitas dan
19
sebagian bertanggung jawab atas gangguan transpor leptin yang diaamati pada
individu obesitas dan menjelaskan keadaan resistensi leptin perifer. 27
Rasio leptin dalam cairan serebrospinal terhadap konsentrasi leptin serum
menurun pada obesitas dibandingkan dengan orang normal. Kemampuan untuk
mentranspor leptin melewati sawar darah otak menentukan sensitivitas leptin.23
Trigliserida menginduksi resistensi leptin pada sawar darah otak. Pada kelaparan dan
tikus DIO (diet induced obesity) menunjukkan peningkatan konsentrasi trigliserida
serum, disertai dengan penurunan transpor leptin melewati sawar darah otak
sedangkan puasa jangka pendek menurunkan kadar serum trigliserida dan
meningkatkan transport leptin. 23 Trigliserida juga berkontribusi terhadap induksi
reduksi transport leptin melewati sawar darah otak tanpa menginduksi perubahan
ekspresi mRNA ObRa pada pembuluh darah mikro otak yang diisolasi. Data ini
menunjukkan pntingnya konsentrasi trigliserida dalam sirkulasi dalam perkembangan
resistensi leptin perifer. 23
3. Resistensi leptin perifer
Sinyal transduksi leptin intraseluler diperantarai oleh jalur fosforilasi Janus Kinase 2
(JAK2)-signal transducer dan activator of transcription 3 (STAT3). Pemberian leptin
sentral mengembalikan sebagian aktivasi STAT3 pada tikus diet induced obesity
(DIO), walaupun aktivasi STAT3 berkurang setelah pemberian leptin perifer.
Fosforilasi STAT3 pada nukleus arkuata hipotalamus resisten selektif pada tikus
DIO, yang menunjukkan peningkatan ekspresi suppressor of cytokine signaling
(SOCS3).23
20
Jalur JAK/STAT mengalami regulasi umpan balik oleh protein SOCS.
Pensinyalan leptin melalui Y1138 dan STAT3 menginduksi ekspresi mRNA SOCS3
di hipotalamus, dengan menghambat fosforilasi dan aktivasi JAK2 dan Y985.25
Kelebihan ekspresi dan aktivasi SOCS3 merupakan salah satu mekanisme yang
diajukan untuk resistensi leptin.25
Molekul penghambat lain yaitu protein tyrosine phosphatase (PTP)-1B juga
berperan dalam pengaturan pensinyalan reseptor leptin. PTP1B mendefosforilasi
leptin receptor-associated kinase, JAK2, dan pada tikus dengan defisiensi PTP1B
menunjukkan hipersensitivitas leptin. Ekspresi berlebihan PTP1B pada tikus
hypothalamic cell line, GTI-7, menunjukkan dose-dependent decrease pada JAK2
endogen dan STAT3 tyrosine dephosphorylation dan menyebabkan penurunan
akumulasi mRNA SOCS3. Tikus defisiensi leptin dengan kekurangan PTP1B
menunjukkan peningkatan respon efek leptin. Data ini menunjukkan bahwa PTP1B
merupakan salah satu molekul penting dalam pembentukan resistensi leptin sentral
selain STAT3 dan SOCS3. 23
Aktivasi insulin receptor substrate (IRS) memerantarai aktivasi
phosphatidylinositol 3-kinase (P13K). hypothalamus-specific IRS2 knockdown mice,
dimana ekspresi IRS2 pada nukleus arkuata sangat berkurang, menunjukkan obesitas
dan resistensi leptin, menunjukkan bahwa IRS2 penting bagi transduksi sinyal leptin
pada nukleus arkuata. Jalur P13K-phosphodiesterase 3b-cyclic AMP kemungkinan
berhubungan dengan pembentukan resistensi leptin sentral. Penemuan bahwa
21
pemberian sentral inhibitor P13K memblok anoreksia yang diinduksi leptin
menunjukkan pentingnya jalur ini. 23
SHP2 merupakan suatu regulator positif protein mitogen-activated (MAP) kinase
(ERK) pada reseptor leptin. SHP2 memberikan umpan balik negative dari aktivasi
JAK2/STAT3 oleh leptin di hipotalamus. Inhibisi hypothalamic AMP-activated
protein kinase (AMPK) diperlukan sebagai efek anoreksigenik leptin akibat ekspresi
dari AMPK akitif memblok efek induksi leptin. Penemuan terbaru bahwa inhibisi
aktivitas α2-AMPK oleh leptin tidak dijumpai pada hipotalamus medial, arkuata,
paraventrikuler tikus DIO menunjukkan bahwa respon defektif AMPK terhadap
leptin mungkin berkontribusi terhadap resistensi kerja leptin terhadap asupan
makanan dan keluaran energy dalam keadaan DIO.23
Pada beberapa tahun ini, JAK2 interacting protein telah diidentifikasi sebagai
regulator kunci sensitivitas leptin. SH2-B berikatan simultan terhadap JAK2 dan
IRS2, dan mendorong aktivasi jalur P13K yang distimulasi leptin pada sel kultur.
Leptin menstimulasi aktivasi JAK2 dan fosforilasi STAT3 dan IRS2 terganggu pada
hipotalamus tikus yang mengalami defisiensi SH2-B, dimana ekspresi reseptor leptin
bentuk panjang dan SOCS3 tidak berubah. Delesi dari SH2-B dapat mengganggu
sensitivitas leptin pada saraf hipotalamus NPY/AgRP. Ekspresi berlebihan dari SH2-
B melawan kerja PTP1B-mediated inhibition dari pensinyalan leptin pada sel kultur
menunjukkan bahwa SH2-B sangat diperlukan dalam memediasi efek leptin. 23
22
2.1.5 Atopi
Atopi berasal dari bahasa Yunanai atopos yang berarti di luar tempat,28 merupakan
suatu kecenderungan pribadi atau keluarga untuk membentuk antibodi imunoglobulin
E (IgE) sebagai respon terhadap paparan alergen dosis rendah.29 Penyakit atopi adalah
penyakit yang dilandasi oleh atopi, misalnya dermatitis atopi, asma, rinitis alergi dan
alergi makanan. Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diinisiasi oleh
mekanisme imunologis.3
2.1.5.1 Imunopatogenesis Atopi
Pada tahun 1986 ditemukan bahwa jika sel T helper naïf (CD4+) terstimulasi maka
sel ini dapat berkembang menjadi dua populasi yang sesuai dengan asal stimulus.
Populasi ini dibedakan berdasarkan tipe sitokin yang diproduksi. Salah satu populasi
dari sel CD4+, T helper 1 (Th1) memproduksi interleukin (IL)-2, interferon-γ (IFN-
γ), dan tumor necrosis factor-β (TNF-β). Populasi kedua, disebut T helper 2 (Th2)
akan memproduksi IL-4, IL-5,IL-6, dan IL-13. Sitokin yang menstimulasi sel Th
akan menentukan, jalur perkembangan sel Th selanjutnya. Bila sel T naïf terpapar
oleh IFN-γ maka akan berkembang menjadi Th1 dan terjadi inhibisi jalur untuk
menjadi Th2 (gambar 3).30
23
Gambar 2.6 Diferensiasi Sel T helper Sumber: McGeady30
Semua bayi dilahirkan dengan kecenderungan terhadap respon Th2 sebagai respon
terhadap antigen yang baru terpapar dan sementara waktu akan memproduksi
antibodi IgE. Hal ini terjadi karena modus Th2 mencegah terjadinya rejeksi saat
kehamilan. Pada bayi yang ditakdirkan menjadi individu atopi, terdapat lebih sedikit
produksi IFN-γ, dan bias Th2 menetap sehingga anak-anak ini akan terus
memproduksi antibodi IgE dalam jumlah banyak terhadap alergen makanan dan
lingkungan.31
Terdapat berbagai macam aeroalergen berupa serbuk bunga, tungau debu rumah
dan bulu kucing yang setiap hari dihirup oleh manusia. Individu secara umum baik
dewasa maupun anak-anak tanpa atopi akan mengalami respon imunologis derajat
rendah, berupa produksi antibodi IgG1 dan IgG4 yang spesifik terhadap alergen dan
secara in vitro sel Th1 akan berespon terhadap alergen dengan proliferasi dan
produksi IFN-γ derajat sedang. Pada individu dengan atopi, terjadi respon berlebihan
yang ditandai dengan produksi antibodI IgE spesifik allergen. Sel Th2 akan berespon
24
in vitro terhadap alergen berupa produksi sitokin seperti IL-4, IL-5, IL-13. Terdapat
berbagai macam variasi respon yang terjadi, namun tanda kunci imunopatologis
penyakit alergi yaitu infiltrasi jaringan yang terkena oleh sel Th2.29
2.1.6 Imunoglobulin E dan reseptornya
Imunoglobulin E (IgE) merupakan suatu imunoglobulin monomer yang berukuran
188 kDa. IgE memiliki dua kelas reseptor Fc yaitu FcεRI afinitas tinggi (45kDa) yang
dikeluarkan oleh sel mast dan basofil dan merupakan reseptor IgE klasik dan FcεRI
afinitas rendah (CD23, 45kDa) yang diekspresikan oleh leukosit dan limfosit. Rantai
α dari FcεRI merupakan suatu glikoprotein dan memiliki domain ekstraseluler yang
homolog terhadap domain imunoglobulin dan merupakan anggota superfamili
imunoglobulin.32
Gambar 2.7 Struktur Imunoglobulin E Sumber: Male32
FcεRII (CD23) merupakan reseptor berafinitas rendah. Dua bentuk dari CD23
pada manusia yaitu CD23a yang diekspresikan oleh sel B yang diaktivasi antigen dan
mempengaruhi produksi IgE dan CD23b yang ekspresinya diinduksi oleh sejumlah
25
besar sel IL-4. CD23a dan CD23b berbeda pada enam atau tujuh asam amino pada
sitoplasma terminal N dan terdiri dari beberapa motif signal yang berbeda fungsi.32
Reaksi alergi akut dihasilkan dari lepasnya preformed granule-associated
mediators, membrane derived lipid, sitokin dan kemokin saat terjadi interaksi alergen
dengan IgE yang berikatan dengan sel mast atau basofil pada rantai alfa dari reseptor
IgE yang berafinitas tinggi (FcεRI-α). Reseptor ini juga muncul pada antigen-
presenting cells, yang memfasilitasi IgE-dependent trapping dan presentasi alergen
terhadap sel T dan juga dimiliki oleh eosinofil namun hampir seluruhnya berada
dalam intrasel. Setelah terjadi degranulasi eosinofil, reseptor ini dapat membantu
meregulasi kadar lokal IgE.30
Perangsang produksi IgE yang terpenting adalah interleukin-4 (IL-4) dan
interleukin-13 (IL-13). Sitokin-sitokin ini menginisiasi transkripsi gen regio konstan
kelas epsilon (CЄ) pada immunoglobulin rantai berat. Produksi IgE juga
membutuhkan dua faktor trankripsi, yaitu faktor nuclear кB (melibatkan molekul
kostimulan CD40 dan ligan CD40 [CD154]) dan STAT-6 9 (teraktivasi bila IL-4
berikatan dengan rantai afinitas tinggi α dari reseptor IL-4.
Alergen, termasuk hasil produk dari beberapa mikroorganisme infeksius (misalnya
Aspergillus fumigatus) dan parasit helminth merangsang respon Th2 yang ditandai
oleh tingginya kadar serum IgE sementara antigen bakteri (seperti Listeria
monocytogenes dan Mycobacterium tuberculosis) merangsang respon yang
diperantarai Th1 yang didominasi oleh imunitas seluler (keberadaan sel T sitotoksik
dan hipersensitif tipe lambat). Organisme ini memiliki DNA yang mengandung
26
rangkaian nukleosida sitosin dan guanosin yang disebut CpG repeats. CpG repeats
dapat berikatan dengan reseptor antigen-presenting cells dan merangsang lepasnya
IL-12. Sitokin ini yang diproduksi hampir secara eksklusif oleh antigen presenting
cell, mendorong dan menjaga respon yang diperantarai Th1. Interferon γ yang
diproduksi oleh sel Th1 dan IL-18 yang diproduksi makrofag bersatu untuk menekan
produksi antibodi IgE. IL12, IL18 dan Interferon γ baik sendiri-sendiri atau
berkombinasi memiliki efek menghambat sintesis IgE. 28
Kadar serum IgE dalam tubuh manusia yaitu sekitar <0,05μg/mL. Jumlah serum
IgE merupakan 50% dari total IgE di dalam tubuh yang sisanya berikatan dengan sel
mast dan basofil melalui reseptor IgE afinitas tinggi FcεRI. Walaupun jumlahnya di
dalam serum relatif rendah dibandingkan imunoglobulin lain namun basofil dan sel
mast mengekspresikan reseptor yang spesifik IgE dengan afinitas yang sangat tinggi
sehingga secara terus menerus tersaturasi dengan IgE.32
Reseptor berafinitas tinggi FcεRI berada pada permukaan sel mast dan basofil
sebagai suatu ikatan kompleks dengan rantai β (33kDa) dan dua γ (99kDa) untuk
membentuk suatu unit reseptor αβγ2. FcεRI berikatan dengan IgE dengan suatu
afinitas yang mencapai sekitar 1010 L/mol sehingga walupun konsentrasi serum IgE
sangat rendah, namun reseptor ini tersaturasi permanen. Cross-linking dari ikatan IgE
dengan reseptor ini menyebabkan aktivasi histamin dan vasoaktif dan mediator
inflamasi lain. 32
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sekitar 40% populasi dari negara-negara
Barat menunjukkan kecederungan untuk terbentuknya respon terbentuknya IgE
27
terhadap sejumlah besar alergen di lingkungan umum. Hal ini disebut atopi, terjadi
terutama bila terdapat dasar keluarga yang kuat serta dipengaruhi oleh beberapa
lokus-lokus genetik. Individu atopi memiliki kadar total IgE yang lebih tinggi di
dalam sirkulasi dan kadar eosinofil lebih tinggi daripada normal. Selain itu, individu
atopi juga lebih rentan terhadap penyakit alergi seperti hay fever dan asma.
Lingkungan dan variasi genetik mempengaruhi sekitar 50% risiko penyakit alergi
seperti asma.32
Pemeriksaan IgE total dengan PRIST (paper radioimmunosorbent test) berguna
untuk menentukan status atopi penderita. Harga normal adalah 100 u/mL sampai
umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 300 u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa
penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun
seluler.32 Kadar IgE dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain penyakit parasit,
rokok, minuman beralkohol, yang dianggap dapat meningkatkan kadar IgE.33
Tabel 1 Kadar normal serum IgE total berdasarkan usia
Usia Geometric mean (KU/L)
Reference range REF
< 3 bulan 1,8 0,1-25 0,2-44-12 bulan 11,1 0,78-162 0,8-151-3 tahun 18 0,6-184 0,2-173-7 tahun 24 3-221 1-161
7-10 tahun 38,3 2,9-501 1-57110 -14 tahun 26,8 2-316 2-195
Sumber: Kardar 33
28
2.2 Kerangka pemikiran
Kejadian obesitas pada anak dan remaja pada dua decade terakhir telah meningkat
secara drastis. Obesitas pada anak menjadi masalah karena menjadi predisposisi
terhadap terjadinya obesitas pada dewasa serta timbulnya komorbiditas.12 Kejadian
penyakit atopi pada negara-negara Eropa, Amerika dan Australasia juga meningkat.28
Peningkatan kejadian penyakit atopi kemungkinan berkaitan dengan peningkatan
kejadian obesitas.34
Proses terjadinya obesitas dimulai dengan penimbunan lemak dalam sel lemak
sehingga terjadi hipertrofi sel tersebut. Bila hipertrofi sel lemak (adipositas) ini
mencapai tingkat tertentu akan terjadi rangsangan pembentukan sel lemak baru dari
bakal sel lemak (preadiposit) sehingga terjadi perbanyakan atau hiperplasia. Belum
diketahui secara tepat faktor apa yang merangsang terjadinya diferensiasi preadiposit
ini menjadi adipositas. 12 Jaringan adiposa putih yang merupakan cadangan terbesar
dalam tubuh mensekresi hormon leptin. 17 Sintesis leptin meningkat sebagai respon
terhadap infeksi akut, sepsis dan sekresi dari mediator inflamasi seperti IL1, TNFα.
Leptin juga berpengaruh pada sejumlah spektrum biologis penting seperti metabolism
glukosa dan lipid, sintesis glukokortikoid, insulin, proliferasi limfosit T CD4+,
sekresi sitokin, fagositosis dan transmisi sinaps.26 Leptin mempolarisasi produksi
sitokin ke arah proinflamasi (Th1, IFNγ,IL2) yang diaktivasi melalui jalur STAT3. 35
Konsentrasi leptin dalam sirkulasi berbanding lurus dengan indeks massa tubuh,
persentase lemak tubuh dan kadarnya secara signifikan lebih tinggi pada orang
obesitas.23 Obesitas dihubungkan dengan keadaan resistensi leptin yang dibuktikan
29
dengan adanya hiperleptinemia. Resistensi yang timbul dapat disebabkan oleh
gangguan transport leptin melewati sawar darah otak dan gangguan pada pensinyalan
reseptor leptin.36 Leptin ditransportasikan melewati sawar darah otak di nukleus
arkuata dan berikatan dengan reseptor spesifik yang merupakan anggota keluarga
sitokin kelas I23. Transpor leptin melalui sawar darah otak oleh saturable transporter,
dan gangguan transport dapat bersifat didapat, dan dapat mendahului defek
reseptor/pasca reseptor, semakin memburuk dengan bertambahnya obesitas dan pada
kadar tertentu bersifat reversibel. Penelitian oleh Banks dkk36 menunjukkan bahwa
diet yang diinduksi oleh obesitas dapat meningkatkan trigliserida sehingga
mengurangi transpor leptin melewati sawar darah otak. Hal ini didukung oleh
penelitian Chen dkk37 bahwa tikus dengan gangguan sintesis trigliserida terlindungi
terhadap terjadinya obesitas yang diinduksi diet dan obesitas yang diinduksi resistensi
leptin.
Transduksi sinyal intraseluler leptin diperantarai sebagian besar melalui fosforilasi
Janus kinase 2 (Jak2), yang merupakan jalur Signal Transducer and Activator of
Transcription 3 (STAT3). Fosforilasi STAT3 pada nukleus arkuata dihambat oleh
jalur SOCS3 sehingga berperan dalam umpan balik negatif intraseluler terhadap
transduksi sinyal leptin. 23,38 Resistensi leptin akan menyebabkan leptin tidak dapat
bekerja pada reseptornya. Resistensi leptin menyebabkan supresi dari produksi
sitokin Th1 dan sebaliknya akan terjadi peningkatan sekresi Th2 sehingga
menyebabkan produksi sitokin Th1 menurun, sebaliknya dengan produksi sitokin th2
seperti IL4, IL5 dan IL13 meningkat. Sekresi IL4 akan menyebabkan proses
30
switching pada limfosit B sehingga menyebabkan limfosit B menghasilkan IgE yang
merupakan penanda atopi.35
Berdasarkan hal di atas maka dapat dibuat alur kerangka pemikiran adalah sebagai
berikut:
Gambar 2.8 Alur Kerangka Pemikiran
31
Angka kejadian penyakit atopi dan obesitas dalam dua dekade terakhir telah meningkat pesat.
Obesitas dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, fisiologis dan
psikologis
Pada obesitas yang diinduksi diet terjadi peningkatan trigliserida
dalam darah
Hipertrigliseridemia menyebabkan gangguan transport leptin melalui
sawar darah otak
Gangguan keseimbangan Th1 dan Th2
Supresi sitokin sel Th1
Peningkatan sekresi sel Th2 seperti IL4, IL5 dan IL13
Obesitas ditandai dengan penimbunan jaringan lemak (adiposa) dalam tubuh
secara berlebihan
Jaringan adiposa berperan sebagai jaringan endokrin yang mensekresi berbagai hormon, antara lain adalah leptin
Pada obesitas terjadi hiperleptinemia dan gangguan reseptor leptin
Mekanisme resistensi leptin antara lain akibat gangguan transport leptin melewati sawar darah otak dan gangguan pada reseptor
leptin
Sekresi IL4 akan menyebabkan proses switching pada limfosit B sehingga menyebabkan limfosit B menghasilkan IgE yang merupakan penanda atopi.
2.3 Premis dan Hipotesis
2.3.1 Berdasarkan hal-hal tersebut, maka dapat disusun beberapa premis berakitan
antara obesitas dan atopi:
Premis 1
Angka kejadian penyakit atopi dan obesitas dalam dua dekade terakhir telah
meningkat pesat.39
Premis 2
Obesitas ditandai dengan penimbunan jaringan lemak (adiposa) dalam tubuh secara
berlebihan.11,12,17
Premis 3
Jaringan adiposa berperan sebagai jaringan endokrin yang mensekresi berbagai
hormon, antara lain adalah leptin.22-26,35,38
Premis 4
Pada obesitas terjadi hiperleptinemia dan gangguan reseptor leptin.22-24,38
Premis 5
Obesitas dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, fisiologis dan psikologis.
Premis 6
Pada obesitas yang diinduksi diet terjadi peningkatan trigliserida dalam darah.36
32
Premis 7
Hipertrigliseridemia menyebabkan gangguan transport leptin melalui sawar darah
otak.23,25,36
Premis 8
Mekanisme resistensi leptin antara lain akibat gangguan transport leptin melewati
sawar darah otak dan gangguan pada reseptor leptin. 22,23,25,38
Premis 9
Resistensi leptin menyebabkan gangguan keseimbangan Th1 dan Th2 berupa supresi
sitokin sel Th1 dan peningkatan sekresi sel Th2 seperti IL4, IL5 dan IL13.26,35
Premis 10
Sekresi IL4 akan menyebabkan proses switching pada limfosit B sehingga
menyebabkan limfosit B menghasilkan IgE yang merupakan penanda atopi.40
2.3.2 Hipotesis
Berdasarkan premis yang telah disusun sebelumnya, dapat dirumuskan hipotesis
sebagai berikut:
Pada anak obesitas terjadi peningkatan kadar serum leptin, trigliserida dan IgE total
(premis 1-10)
33
BAB III
SUBJEK DAN METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan lanjutan penelitian “Hubungan antara obesitas dan atopi
pada anak” yang dilakukan di beberapa sekolah dasar di Kotamadya Bandung, yang
telah mendapat persetujuan dari orangtua untuk mengikuti penelitian dan sudah
menandatangani persetujuan.
3.1 Subjek Penelitian
3.1.1 Kriteria Inklusi
1) Anak sehat secara fisik
2) Memenuhi kriteria obesitas dan gizi normal menurut WHO 2007
3) Mempunyai riwayat penyakit atopi dalam keluarga
4) Orangtua telah menandatangani persetujuan mengikuti penelitian “Hubungan
obesitas dengan atopi”.
3.1.2 Kriteria Eksklusi
1) Menggunakan obat jangka panjang (misalnya terapi steroid)
2) Anak sakit secara fisik
3) Anak dengan status gizi kurang atau overweight.
34
3.2 Metode Penelitian
3.2.1. Bentuk dan Rancangan Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah penelitian analitik komparatif dua kelompok post test
only.
3.2.2 Ukuran dan Cara Pemelihan Sampel
Populasi untuk penelitian ini adalah 160 anak yang telah mengikuti fase I
penelitian “Hubungan antara obesitas dengan atopi pada anak”. Berdasarkan
kelengkapan data penelitian pada fase I terdapat 160 anak yang dapat melanjutkan
penelitian ke fase berikutnya, yang terdiri dari 80 anak obesitas dan 80 anak gizi
normal.
Rumus besar sampel untuk analalisis korelasi yaitu :
n=(Zα+Zβ)2
{12
ln ( 1+r1−r )}
2 +3
Dengan memilih taraf kepercayaan 95% dan power test 80% ( Zα = 1,96, dan
Zβ= 0,84 dari tabel distribusi normal standar)
r = besarnya koefisien korelasi
sehingga,
r=0,6
n=(1,96+0,84)2
{12
ln( 1,60,4 )}
2 +3=20
35
H0: P1=P2
H1: P1 ≠ P2
Z= Z 1−Z 2
√ 1n 1−3
+ 1n2−3
Z 1=12
ln( 1+r11+r2 ) ; Z 2=1
2ln( 1+r1
1+r2 )
Jumlah sampel untuk masing-masing kelompok (obesitas dan gizi normal)
masing-masing minimal 20 sampel. Berdasarkan rule of thumb pada penelitian ini
terdapat 1 variabel tergantung, 1 variabel bebas, dan 2 variabel perancu, sehingga
besar sampel digunakan minimal 80 orang.
3.2.3 Tata cara pelaksanaan penelitian
Untuk mendapatkan subjek penlitian, pertama-tama dilakukan penilaian status gizi
terhadap semua naak berusia 6-11 tahun di berbagai SD di kotamadya Bandung.
Subjek terpilih untuk penelitan adalah anak sehat dengan status gizi obesitas dan
status gizi normal. Pada subjek terpilih dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis
kemudian dicatat identitasnya dalam formulir yang telah disediakan sebelumnya,
meliputi nama, usia, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, suku bangsa, tingkat
pendidikan orangtua dan pekerjaan orangtua. Orangtua subjek mengisi dan
menandatangani persetujuan.
36
Pada saat pelaksanaan penelitian orangtua diberi penjelasan secara terperinci
mengenai maksud dan tujuan penelitian, serta segala hal yang berhubungan dengan
penelitian yang akan dilakukan. Selanjutnya mengikutsertakan anak pada penelitan
ini, orantua tersebut menandatangani surat persetujuan. Kemudian dilakukan
pengisisan formulir catatan medis subjek oleh peneliti dengan cara melakukan
anamnesis menggunakan kuesinoner standar modifikasi The international study of
asthma and allergies in childhood (ISAAC) untuk alergi yang telah divalidasi guna
melihat manifestasi penyakit alergi pada anak. Untuk memudahkan orangtua
mengenali gejala penyakit alergi pada anaknya, digunakan alat bantu gambar
manifestasi penyakti alergi pada anak, sehingga diperoleh anak-anak obesitas dengan
riwayat atopi dalam keluarga positif dan negatif. Pada anak obesitas dan status gizi
normal akan dilakukan matching pada usia dan jenis kelamin. Anak obesitas dengan
riwayat atopi pada keluarga positif akan dilakukan uji tusuk kulit, kemudian anak
dengan status gizi normal dan riwayat atopi dalam keluarga negatif juga akan
dilakukan uji tusuk kulit. Setelah itu penderita dilakukan pengambilan darah
sebanyak 5 cc untuk pemeriksaan IgE serum total, leptin dan trigliserida. Setelah itu
dilakukan analisis data.
37
3.2.4 Bagan Alur Penelitian
3.2.5 Prosedur pemeriksaan
3.2.5.1. Penimbangan berat badan
Penimbangan berat badan dilakukan dengan penimbangan berdiri (platform
beam balance scale) yang telah ditera terlebih dahulu sebelum penelitian dilakukan
sampai ketepatan 100 gram dan subjek hanya menggunakan pakaian tipis.
Pengukuran tinggi badan dilakukan pada posisi berdiri dengan menggunakan alat
ukur tegak (microtaise) sampai ketepatan 0,1 cm. pada anamnesis ditanyakan
38
Murid-Murid SD di Kotamadya Bandung
Obesitas Gizi normalGizi kurang Overweight
Penilaian satatus gizi menurut WHO
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pengisian kuesionereksklusi eksklusi
Riwayat penyakit atopi dalam keluarga (+)
Uji tusuk kulit
positiff
negatifTidak
koperatif
Drop Out
Periksa kadar IgE total, leptin dan trigliserida serum
positif
negatif
Tidak koperatif
Drop Out
Riwayat penyakit atopi dalam keluarga (-)
Uji tusuk kulit
mengenai adanya keluhan-keluhan saat pemeriksaan dan juga mengenai riwayat
penyakit terdahulu. Kemudian dilakukan uji tusuk kulit untuk alergen. Pengukuran
antropometri, anamnesis, pemeriksaan fisis dan uji tusuk kulit dilakukan oleh peneliti.
3.2.3.3 Pemeriksaan IgE total, leptin dan trigliserida serum
Pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil darah vena sebanyak 5 mL
dan dimasukkan ke dalam tabung silikon berukuran 10 mL. Darah dibiarkan
mengendap dalam tabung selama 1 jam dalam suhu ruangan. Darah yang sudah
mengendap ini disentrifus selama 10-20 menit dengan kecepatan 2.500-3600 rpm
kemudian serum dipindahkan ke dalam tabung plastik yang telah diberi label leptin,
IgE total dan trigliserida. Spesimen in disimpan dalam suhu -20C sampai dilakukan
pemeriksaan.
Pemeriksaan IgE serum menggunakan metode ECLIA untuk menentukan
secara kuantitatif konsentrasi IgE serum dan plasma. Pada metode ini, IgE dalam
bahan pemeriksaan akan berikatan dengan anti-IgE spesifik antibodi biotin dan anti-
IgE antibody Ruthenium membentuk kompleks. Penambahan Streptavidin coated
micropartile akan menempel pada kompleks tersebut. Kompleks yang terikat akan
ditangkap oleh permukaan elektroda. Zat-zat yang tidak berikatan akan dicuci oleh
procell. Emisi chemiluminescent akan diukur oleh photo multiplier dan hasil
ditentukan menggunakan kurva kalibrasi. Daya baca alat terendah adalah 0,10 IU/ML
dan batas atasnya 2500 IU/mL.
39
Prinsip pemeriksaan leptin dengan menggunakan DSL-10-23100 active Human
Leptin ELISA dan merupakansuatu imunoassay tipe sandwich yang diamplifikasi
menggunakan enzim dua langkah (Diagnostic Systems Laboratories, Beckman
Caoulter Co, 445 Medical Center Vlvd., Webster, Texas 77598 USA)
3.2.6. Batasan variabel dan operasional penelitian
3.2.6.1 Batasan variabel penelitian
1) variabel bebas pada penelitian ini adalah obesitas
2) variabel tergantung pada penelitian ini adalah kadar IgE total, leptin dan
trigliserida serum.
3.2.6.2 Batasan operasional penelitian
- Anak sehat adalah anak yang tidak sedang dalam keadaan sakit dan tidak
mendapat terapi obat jangka panjang dan yang mempengaruhi kadar lemak seperti
obat golongan statin, steroid, gemfibrozil, serta mengalami gangguan metabolisme
lemak seperti diabetes, gangguan growth hormone.
- Usia 6-11 tahun adalah usia yang diperkirakan oleh National Health and
Nutritional Examination Surveys (NHNES) bahwa kejadian obesitas meningkat. Usia
dihitung dengan melihat akta kelahiran anak
- Indeks massa tubuh (IMT) dihitung melalui pembagian antra berat badan (kg) dan
kuadrat dari tinggi badan (m2), dipilih sebagai pengukuran yang sederhana dari berat
badan yang dihubungkan dengan tinggi badan.
40
- Obesitas adalah akumulasi lemak tubuh yang berlebihan. Seseorang dikatakan
obesitas bila indeks massa tubuh > 3 SB berdasarkan WHO 2007.
- Status gizi normal adalah indeks massa tubuh -1 sd 2 SB menurut WHO 2007
- Atopi adalah kecenderungan pribadi atau keluarga untuk membentuk IgE sebagai
respon terhadap paparan alergen dosis rendah.
- Riwayat penyakit atopi dalam keluarga adalah gejala penyakti atopi seperti
dermatitis atopi, asma, rinitis alergi pada satu atau lebih anggota keluarga
- Anggota keluarga adalah ayah ibu atau saudara kandung
3.2.7 Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.7.1 Tempat penelitian
Penelitian dilakukan di bagian anak RSHS Bandung
3.2.7.2 Waktu penelitian
Penelitian dilakukan mulai bulan November 2010
3.2.8 Analisis data
Seluruh data yang diperoleh dicatat dan ditabulasi. Data yang terkumpul diolah secara
statistik dengan menggunakan piranti lunak SPSS versi 18 for Window dan EpiInfo
2002. Analisis statisti yang akan digunakan pada penelitian ini adalah uji statistik
multipel logistik regresi. Kemaknaan hasilnya ditentukan berdasarkan p<0,05
41
3.3 Aspek etik penelitian
Berdasarkan bentuk dan rancangan penelitian, dari segi etika penelitian didapatkan
masalah berupa ketidaknyamanan pada subjek penelitian di saat dilakukan
pengambilan darah. Hal ini diusahakan diatasi dengan sebelumnya memberikan
penjelasan mengenai prosedur yang akan dilakukan dan keuntungan yang akan
didapatkan oleh subjek atau orangtua/wali subjek
Keuntungan yang akan didapatkan oleh subjek atau orangtua/wali subjek adalah
berupa pendeteksian terhadap kejadian atopi pada anaknya serta penambahan
wawasan orangtua tentang atopi, dislipidemia. Data yang diperoleh akan dirahasiakan
dan hanya untuk kepentingan penelitian. Orangtua/wali diberi kebebasan untuk
mencabut persetujuannya sewaktu-waktu dan tidak akan diberikan sangsi apapun
serta diberi kompensasi uang transportasi.
Penelitian ini dimulai setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RS Dr. Hasan Sadikin
Bandung.
42
DAFTAR PUSTAKA
1. Bergeron C, Boulet L-P, Hamid Q. Obesity, allergy and immunology. J allergy clin immunol 2005:1102-4.2. Scirica CV, Gold DR, Ryan L, Abulkerim H, Celedo JC, Platts-Mills TAE, et al. Predictors of cord blood IgE levels in children
at risk for asthma and atopy. J allergy clin immunol. 2007:82-8.3. Greer FR, Sicherer SH, Burks AW, Immunology CoNaSoAa. Effects of Early Nutritional Interventions on the Development of Atopic Disease in Infants and Children: The Role of Maternal Dietary Restriction, Breastfeeding, Timing of Introduction of Complementary Foods, and Hydrolyzed Formulas. Pediatrics. 2008;121:183-91.4. Cali AMG, Caprio S. Obesity in Children and Adolescents. J Clin Endocrinol Metab. 2008;93:s31-s6.5. Hidayati SN, Irawan R, Hidayat B. Obesitas pada anak.6. Irei A, Sato Y, Wang M, Chan Y, Hung N. Overweight in associated with allergy in school children of Taiwan and Vietnam but not Japan. J Med Invest 2005:33-40.7. Xu B, Järvelin M-R, Juha Pekkanen. Body build and atopy. J Allergy Clin Immunol. 2000;105:393-4.8. Musaad SMA, Patterson T, Ericksen M, Lindsey M, Dietrich K, Succop P, et al. Comparison of anthropometric measures of obesity in childhood allergic asthma: Central obesity is most relevant. J Allergy Clin Immunol. 2009;123:1321-7.9. Chen Y, Rennie D, Cormier Y, Dosman J. Association between Obesity and Atopy in Adults. Int Arch Allergy Immunol. 2010;153:372-7.10. Wahn U, Mutius Ev. Childhood risk factors for atopy and the importance of early intervention. J Allergy Clin Immunol. 2001;107:567-74.11. Sjarif D, editor. Obesitas pada anak dan permasalahannya. In: Hot Topics in Pediatrics II. Jakarta2002.12. Batubara JR, AAP BT, Pulungan AB, editors. Buku ajar endokrinologi anak. 1 ed. Jakarta2010.13. Yan W, Bingxian H, Hua Y, Jianghong D, Jun C, Dongliang G, et al. Waist-to-Height Ratio is an Accurate and Easier Index for Evaluating Obesity in Children and Adolescents. Obesity. 2007;15:748-52.14. US PSTF. Screening for Obesity in Children and Adolescents: US Preventive Services Task Force Recommendation Statement. Pediatrics. 2010;125:361-7.15. Falagas ME, Kompoti M. Obesity and infection. Lancet Infect Dis. 2006;6:438-46.16. Sheikh J, Kaplan M. Association of being overweight with greater asthma symptoms in inner city black and hispanic children. Ped J. 1999;104:376-405.17. Soegih R, Wiramihardja KK, editors. Obesitas: Permasalahan dan terapi praktis. Jakarta: Sagung seto; 2009.18. Brunzell JD, Chait A. Lipoprotein Metabolism: Structure and Function2002.19. Radon K, Schulze A. Adult obesity, farm childhood, and their effect on allergic sensitization. J Allergy Clin Immunol. 2006;118:1279-83.
43
20. Fern´andez-Riejos P, Najib S, Santos-Alvarez J, ConsueloMart´ın-Romero, P´erez-P´erez A, Gonz´alez-Yanes C, et al. Role of Leptin in the Activation of Immune Cells. Hindawi Publishing Corporation Mediators of Inflammation. 2010:1-8.21. Hersoug L-G, Linneberg A. The link between the epidemics of obesity and allergic diseases: does obesity induce decreased immune tolerance? Allergy. 2007;62:1205–13.22. Martin SS, Qasim A, Reilly MP. Leptin Resistance. J Am Coll Cardiol. 2008;52:2101-10.23. Shimizu H, Oh-I S, Okada S, Mori M. Leptin Resistance and Obesity. Endocrine Journal. 2007;54:17-26.24. Enriori PJ, Evans AE, sinnayah P, Cowley MA. Leptin Resistance and Obesity. Obesity. 2006;14:254-8.25. Oswal A, Yeo G. Leptin and the Control of Body Weight: A Review of Its Divrese Central Targets, Signaling Mechanisms, and Role in the Pathogenesis of Obesity. Obesity. 2010;18:221-9.26. Matarese G, Sanna V, Fontana S, Zappacosta S. Leptin as a Novel Therapeutic Target for Immune Intervention. Current Drug Targets-Inflammation & Allergy. 2002;I:13-22.27. Oswal A, Yeo G. Leptin and the Control of Body Weight: A Review of Its Diverse Central Targets, Signaling Mechanisms, and Role in the Pathogenesis of Obesity. Obesity. 2010;18:221-9.28. Mackay IR, Rosen FS. allergy and allergic diseases. NEJM. 2001:30-7.29. Kay AB. Allergy and allergic diseases. N Engl J Med. 2001;344:30-7.30. McGeady SJ. Immunocompetence and allergy. Pediatrics. 2004:1107-13.31. McGeady SJ. Immunocompetence and Allergy. Pediatrics. 2004;113:1107-13.32. Male D, Brostoff J, Roth DB, Roitt I. Immunology. seventh ed. Canada2006.33. Kardar GA, Pourpak Z, Fard GJ, Eshraghian MR, Shams S. Total IgE Levels in Healthy Children in Tehran, Iran. Iran J Med Sci. 2006;31(3):167-9.34. Shaheen S, Stern J, Montgomery S, Azima. Birth weight, body mass index and asthma in young adult. Thorax 1999;54:396-402.35. Matarese G, Moschos S, Mantzoros CS. Leptin in Immunology. J Immunol. 2005;174:3137-42.36. Banks WA, Coon AB, Robinson SM, Moinuddin A, Shultz JM, Nakaoke R, et al. Triglycerides induce leptin resistance at the blood brain barrier. Diabetes. 2004;53:1253-60.37. Chen H, Smith S, Ladha Z, jensen D, Ferreira L, Pulawa L, et al. Increased insulin and leptin sensitivity in mice lacking acyl Coa: diacylglycerol acyltransferase 1. J Clin Invest. 2002;109:1049-55.38. Pijl H. Leptin resistance. Ned Tijdschr klin Chem Labgeneesk. 2007;32:3-8.39. Eldin LB, Algamal AA, El-Dory GF, Rashad M, Arab SEE, Al-ella NAA, et al. Relation between obesity, lipid profile, leptin an datopic disorders in children. Egypt J Pediatr Allergy Immunol. 2008;6:27-34.40. Abbas A, Lichtman A, editors. Cellular and molecular immunology. 5 ed. Philadelphia: Elseviers Saunders; 2005.
44
45
i