HUBUNGAN AKTIVITAS KOGNITIF TERHADAP KEJADIAN …
Transcript of HUBUNGAN AKTIVITAS KOGNITIF TERHADAP KEJADIAN …
SKRIPSI 2017
HUBUNGAN AKTIVITAS KOGNITIF TERHADAP KEJADIAN DEMENSIA PADA LANSIA DI KELURAHAN TOTAKA
KECAMATAN UJUNGTANAH KOTA MAKASSAR
OLEH :
ALIFIAH PUTRI B
C111 14 533
Pembimbing:
Dr. dr. Susi Aulina Sp.S(K)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
MAKASSAR
2017
i
HUBUNGAN AKTIVITAS KOGNITIF TERHADAP KEJADIAN DEMENSIA PADA LANSIA DI KELURAHAN TOTAKA
KECAMATAN UJUNGTANAH KOTA MAKASSAR
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Hasanuddin
Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran
OLEH :
ALIFIAH PUTRI B
C111 14 533
Pembimbing:
Dr. dr. Susi Aulina Sp.S(K)
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
MAKASSAR
2017
ii
iii
iv
v
LEMBAR PERNYATAAN ANTI PLAGIARISME
Dengan ini saya menyatakan bahwa seluruh skripsi ini adalah hasil karya saya.
Apabila ada kutipan atau pemakaian dari hasil karya orang lain baik berupa tulisan,
data, gambar atau ilustrasi baik yang telah dipublikasi atau belum dipublikasi, telah
direferensi sesuai deganketentuan akademis.
Saya menyadari plagiarisme adalah kejahatan akademik dan melakukannya
akan menyebabkan sanksi yang berat berupa pembatalan skripsi dan sanksi akademik
yang lain.
Alifiah Putri B
vi
SKRIPSI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN 29 NOVEMBER, 2017
Alifiah Putri B, C111 14 533 Dr. dr. Susi Aulina Sp.S(K) HUBUNGAN AKTIVITAS KOGNITIF TERHADAP KEJADIAN DEMENSIA PADA LANSIA DI KELURAHAN TOTAKA KECAMATAN UJUNGTANAH KOTA MAKASSAR
ABSTRAK
Latar Belakang: Berkat kemajuan di bidang kesehatan dan kedokteran, umat manusia menikmati peningkatan harapan hidup. Keberhasilan ini membawa konsekuensi peningkatan jumlah penduduk berusia lanjut. Peningkatan jumlah penduduk berusia lanjut akan memunculkan berbagai masalah kesehatan. Selain masalah fisik, para lanjut usia juga sering mengalami kemunduran fungsi kognitif (demensia). Kemunduran fungsi kognitif dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah aktivitas kognitif.. Jumlah lansia di Kelurahan Totaka Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar tercatat sebanyak 63 orang, namun belum pernah ada penelitian yang melihat berapa angka kejadian demensia di daerah ini serta melihat apakah terdapat hubungan aktivitas kognitif dengan kejadian demensia.
Metode Penelitian: Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian observasional analitik dengan desain cross sectional. Teknik sampling yang digunakan adalah non probability sampling dengan metode purposive sampling.
Hasil Penelitian: Dari 59 sampel, didapatkan bahwa 21 responden (100%) dengan nilai aktivitas kognitif kurang dan sebanyak 18 responden (47,4%) dengan nilai aktivitas kognitif baik mengalami demensia. Hasil analisis uji Chi Square menunjukkan bahwa nilai p 0,000, sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan antara aktivitas kognitif dengan kejadian demensia.
Kesimpulan: Aktivitas kognitif yang kurang akan mengakibatkan kemungkinan terjadinya demensia pada lansia. Para lanjut usia disarankan untuk mempertahankan selama mungkin aktivitas yang merangsang dan/atau menggunakan fungsi kognitif.
Kata Kunci: demensia, aktivitas kognitif, lansia.
vii
THESIS FACULTY OF MEDICINE
HASANUDDIN UNIVERSITY 29 NOVEMBER, 2017
THE ASSOCIATION OF COGNITIVE ACTIVITIES WITH THE OCCURENCE OF DEMENTIA IN ELDERLY PEOPLE IN TOTAKA, DISTRICT UJUNG TANAH MAKASSAR
ABSTRACT
Background : Advances in health sector and medicine results in increased life-expectancy which gives rise to the number of elderly people. This wil cause various health problems. Besides physical problems, the elderly also undergo cognitive function impairment (dementia). This impairment resulted from various factors, one of them is cognitive activities. There are 63 erlderly people living in Totaka, district Ujung Tanah Makassar, however there was no research on the occurence of dementia in this area,and specifically to see whether or not there is an association between cognitive activities with the occurence of dementia
Method : This is an analytical observational research with cross-sectional design. The samples were determined using non-probability sampling with purposive sampling method.
Result : Out of 59 samples, 21 respondents (100%) with low cognitive activity and 18 respondents (47.4%) with normal cognitive activity found to have dementia. The result of Chi Square test analysis with p 0,000, shows that there is a positive association beetwen cognitive activity with the occurence of dementia.
Conclusion : Low cognitive activity will increase the probability of dementia in elderly. It is recommended to the elderly to maintain their cognitive using and stimulating activity as long as possible.
Keywords : Dementia, cognitive activity, elderly.
viii
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini sebagai
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin selama tahun 2014 – 2017.
Keberhasilan penyusunan skripsi ini adalah berkat bimbingan, kerjasama serta
bantuan moril dari berbagai pihak yang telah diterima penulis sehingga segala
rintangan yang dihadapi selama penelitian dan penyusunan ini dapat terselesaikan
dengan baik.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Kemampuan dan pengalaman penulis masih sangat terbatas untuk itu diharapkan saran
dan kritiknya yang positif serta masukan yang sifatnya makin memperluas khasanah
karya ini.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan
secara tulus dan ikhlas kepada yang terhormat :
1. Dr. dr. Susi Aulina Sp.S(K) selaku pembimbing yang dengan kesediaan,
keikhlasan, dan kesabaran meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan
arahan kepada penulis , mulai dari penyusunan proposal sampai pada penulisan
skripsi ini.
2. Dr. dr. Jumraini Tamasse, Sp.S dan dr. Muhammad Yunus Amran Ph.D, Sp.S
selaku penguji, atas kesediaan dan saran-saran yang diberikan pada saat seminar
proposal hingga seminar akhir yang sangat membantu dalam penyusunan skripsi ini.
ix
3. Orang tua penulis, H. Baharuddin dan Hj. Fittiah Rakib yang telah tanpa henti
memberikan dukungan dan doa dalam segala tahap pendidikan penulis.
4. Adik penulis satu-satunya, Muh Avila Zaky Ramadhan yang masih duduk di
bangku sekolah dasar, serta seluruh keluarga yang tak henti-hentinya mendoakan
penulis dalam menjalani pendidikan dan penyelesaian skripsi ini.
5. Ibu Rabiah, yang telah dengan ikhlas membantu dan menemani penulis
mengelilingi seluruh Kelurahan Totaka untuk mencari sampel penelitian.
6. Fecky Valentino Lie, teman bimbingan skripsi yang bersama-sama berjuang dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Khumaira, sahabat sekaligus tetangga yang selalu menemani penulis dalam situasi
apapun serta selalu membantu penulis dalam hal apapun, termasuk dalam
pembuatan dan penyusunan skripsi ini.
8. Teman seperjuangan penulis; GMGD dan ROOM 319 yang telah memberikan
bantuan moril maupun materil, baik selama masa perkuliahan maupun masa
penyusunan skripsi hingga akhir penulisan ini.
Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak sempat
disebutkan namanya satu per satu, penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang tinggi. Semoga Allah SWT. melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya kepada semua yang terlibat dan membantu penulisan skripsi ini.
Makassar, 29 November 2017
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN JUDUL ........................................................................... iv
LEMBAR PERNYATAAN ANTI PLAGIARISME .................................................. v
ABSTRAK ................................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ............................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................................. x
DAFTAR TABEL ....................................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 2
1.3.1. Tujuan Umum .............................................................................. 2
1.3.2. Tujuan Khusus ............................................................................. 3
1.4. Manfaat Penelitian..................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lanjut Usia ................................................................................................ 4
2.1.1. Definisi ........................................................................................ 4
2.1.2. Karakteristik Kesehatan Lanut Usia ............................................ 4
2.2. Demensia .................................................................................................. 8
2.2.1. Definisi ........................................................................................ 8
2.2.2. Epidemiologi ................................................................................ 8
2.2.3. Klasifikasi .................................................................................... 9
2.2.4. Patogenesis .................................................................................. 11
2.2.5. Faktor Risiko ............................................................................... 13
2.2.6. Diagnosis ..................................................................................... 15
2.3. Aktivitas Kognitif dan Demensia ............................................................. 22
xi
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Teori ......................................................................................... 23
3.2 Kerangka Konsep ...................................................................................... 24
3.3. Defenisi Operasional ................................................................................ 25
3.4. Hipotesis Penelitian ................................................................................... 26
3.4.1. Hipotesis Null (Ho) ...................................................................... 26
3.4.2. Hipotesis Alternatif ...................................................................... 26
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Jenis dan Desain Penelitian ...................................................................... 27
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 27
4.3. Populasi dan Sampel ................................................................................. 27
4.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi .................................................................... 28
4.4.1. Kriteria Inklusi ............................................................................. 28
4.4.2. Kriteria Eksklusi .......................................................................... 28
4.5. Jenis Data dan Instrumen Penelitian ........................................................ 28
4.6. Prosedur Penelitian ................................................................................... 28
4.6.1. Tahap Persiapan ........................................................................... 28
4.6.2. Tahap Pelaksanaan ....................................................................... 28
4.7. Pengolahan dan Analisis Data .................................................................. 29
4.7.1. Pengolahan Data .......................................................................... 28
4.7.2. Analisis Data ................................................................................ 28
4.8. Etika Penelitian ....................................................................................... 29
BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................. 30
5.1. Karakteristik Responden .......................................................................... 30
5.2. Gambaran Kejadian Demensia .................................................................. 31
5.3. Gambaran Aktivitas Kognitif .................................................................... 31
5.4. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Demensia ................................... 32
5.5. Hubungan Aktivitas Kognitif dengan Demensia ..................................... 33
BAB VI PEMBAHASAN
6.1. Karakteristik Responden .......................................................................... 35
xii
6.2. Gambaran Kejadian Demensia .................................................................. 36
6.3. Gambaran Aktivitas Kognitif .................................................................... 36
6.4. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Demensia ................................... 38
6.5. Hubungan Aktivitas Kognitif dengan Demensia ..................................... 38
6.6. Keterbatasan Penelitian ............................................................................. 40
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan ............................................................................................... 41
7.2. Saran ......................................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 42
LAMPIRAN .......................................................................................................... 48
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kemunduran dan Kelemahan lansia
Tabel 2.2 Kriteria Klinis untuk Diagnosis Demensia berdasarkan DSM IV
Tabel 5.1 Karakteristik Responden pada Lansia di Kelurahan Totaka Kecamatan
Ujungtanah Kota Makassar
Tabel 5.2 Kejadian Demensia pada Lansia di Kelurahan Totaka Kecamatan
Ujungtanah Kota Makassar
Tabel 5.3 Gambaran Aktivitas Kognitif pada Lansia di Kelurahan Totaka
Kecamatan Ujungtanah Kota Makassar
Tabel 5.4 Presentase Aktivitas Kognitif Lansia
Tabel 5.5 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Demensia pada Lansia
di Kelurahan Totaka Kecamatan Ujungtanah Kota Makassar
Tabel 5.6 Hubungan Aktivitas Kognitif dengan Kejadian Demensia pada Lansia
di Kelurahan Totaka Kecamatan Ujungtanah Kota Makassar
Tabel 5.7 Distribusi Kejadian Demensia berdasarkan Tingkat Pendidikan dan
Aktivitas Kognitif
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 : Mini Mental State Examination
Gambar 2.2 : MoCA INA
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Penelitian
Lampiran 2. Rekomendasi Persetujuan Etik
Lampiran 3. Kuesioner Penelitian
Lampiran 4. Data Hasil Uji Statistik
Lampiran 5. Biodata Penulis
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berkat kemajuan di bidang kesehatan dan kedokteran, umat manusia
menikmati peningkatan harapan hidup. Keberhasilan ini membawa konsekuensi
peningkatan jumlah penduduk berusia lanjut. Lanjut Usia adalah seseorang yang
mencapai usia 60 tahun ke atas, berdasarkan Undang Undang Nomor 13 Tahun
1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Secara global populasi lansia diprediksi
terus mengalami peningkatan. Diperkirakan pada tahun 2050 populasi lansia di
dunia akan mencapai 2 miliar. Penuaan populasi terjadi dengan cepat di Negara
berpenghasilan menengah ke bawah (WHO, 2015). Di Indonesia sendiri pada tahun
2000, jumlah lansia meningkat mencapai 9,99% dari seluruh penduduk Indonesia
(22.277.700 jiwa) dengan umur harapan hidup usia 65-70 tahun dan pada tahun
2020 diperkirakan akan mencapai 30 juta orang dengan umur harapan hidup 70-75
tahun.
Peningkatan jumlah penduduk berusia lanjut akan memunculkan berbagai
masalah kesehatan. Selain masalah fisik, para lanjut usia juga sering mengalami
kemunduran fungsi intelektual termasuk fungsi kognitif, fungsi utama untuk
memelihara peran dan interaksi yang adekuat dalam lingkungan sosial.
Kemunduran fungsi kognitif dapat dimulai dari bentuk yang paling ringan berupa
mudah-lupa (forgetfulness). Jika penduduk berusia lebih dari 60 tahun di Indonesia
berjumlah 7% dari seluruh penduduk, maka keluhan mudah-lupa tersebut diderita
oleh setidaknya 3% populasi di Indonesia. Mudah-lupa bisa berlanjut menjadi
Gangguan Kognitif Ringan (Mild Cognitive Impairment-MCI) sampai ke Demensia
sebagai bentuk klinis paling berat, berupa kemunduran intelektual berat dan
progresif yang mengganggu fungsi sosial, pekerjaan, dan aktivitas harian seseorang
(Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003)
Menurut Alzheimer’s Disease International, demensia merupakan suatu
sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif yang menyebabkan
deteriorasi kognitif dan fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan fungsi
2
sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. Kemunduran fungsi kognitif dipengaruhi
oleh berbagai faktor; di samping faktor individu seperti usia, pendidikan dan
penyakit yang pernah diderita (Bassuk, et al., 1999; Fenny, et al., 2014) faktor
lingkungan diduga ikut memengaruhi risiko kemunduran fungsi kognitif, seperti
hubungan/keterlibatan sosial (social engagement) dan aktivitas, baik aktivitas fisik
maupun aktivitas kognitif (Fratiglioni , et al., 2004).
Aktivitas untuk mengisi waktu senggang pada lansia dapat menurunkan
risiko demensia. Jenis aktivitas tersebut melibatkan fungsi kognitif dan fisik. Pada
lansia yang melakukan aktivitas melibatkan fungsi kognitif dapat menurunkan
risiko demensia (Verghese, et al., 2003). Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Wreksoatmodjo, 2014 di Jakarta, Aktivitas kognitif yang buruk
memperbesar risiko fungsi kognitif buruk di kalangan lanjut usia.
Jumlah lansia di Kelurahan Totaka Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar
tercatat sebanyak 58 orang, namun belum pernah ada penelitian yang melihat
berapa angka kejadian demensia di daerah ini serta melihat apakah terdapat
hubungan aktivitas kognitif dengan kejadian demensia. Demensia pada lansia bila
dideteksi dan dicegah sejak dini dapat membuat golongan usia lanjut tersebut tetap
bisa menjalani hidup dengan optimal dengan produktivitas yang relatif baik di
usianya. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini
adalah “Apakah ada hubungan antara aktivitas kognitif dengan kejadian demensia
pada lansia di Kelurahan Totaka Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar?”
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara aktivitas kognitif terhadap kejadian demensia
pada lansia di Kelurahan Totaka Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran karakteristik responden (umur, jenis kelamin dan
tingkat pendidikan) pada lansia di Kelurahan Totaka Kecamatan Ujung
Tanah Kota Makassar.
3
b. Mengetahui angka kejadian Demensia pada lansia di Kelurahan Totaka
Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar.
c. Mengetahui gambaran aktivitas kognitif pada lansia di Kelurahan Totaka
Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar.
d. Mengetahui hubungan tingkat pendidikan terhadap kejadian demensia
pada lansia di Kelurahan Totaka Kecamatan Ujung Tanah Kota
Makassar.
e. Mengetahui hubungan aktivitas kognitif terhadap kejadian demensia
pada lansia di Kelurahan Totaka Kecamatan Ujung Tanah Kota
Makassar.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Mahasiswa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan
mengenai hubungan aktivitas kognitif dan karakteristik responden (umur, jenis
kelamin dan tingkat pendidikan) terhadap kejadian demensia pada lansia di
Kelurahan Totaka Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar.
1.4.2 Peneliti
Penelitian ini dapat menjadi acuan dan sumber bacaan untuk penelitian-
penelitian berikutnya serta menambah pengetahuan mengenai demensia.
1.4.3 Tenaga Kesehatan
Penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam intervensi
penyuluhan atau pelayanan khusus pada lansia yang dapat dilakukan untuk
mempertahankan atau memperbaiki status kesehatan serta kualitas hidup lansia.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lanjut usia
2.1.1 Definisi
Usia lanjut adalah kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses
perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade (Notoatmodjo,
2010).
Berdasarkan WHO , lansia dibagi menjadi tiga golongan:
1. Umur lanjut (Elderly): usia 60 – 75 tahun
2. Umur tua (Old): usia 76 – 90 tahun
3. Umur sangat tua (Very Old): usia > 90 tahun
Departemen Kesehatan membagi lansia menjadi 3 kelompok berdasarkan
usia yaitu pra lansia adalaah kelompok usia 45- 59 tahun, lansia adalah kelompok
usia 60 tahun atau lebih, dan lansia berisiko tinggi adalah kelompok usia 70 tahun
atau lebih. (Depkes, 2004)
Undang No. 13 Tahun 1998 dinyatakan bahwa usia 60 tahun ke atas adalah
yang paling layak disebut lansia. Usia biologis adalah usia yang sebenarnya. Di
mana biasanya diterapkan kondisi pematangan jaringan sebagai indeks usia
biologis.
2.1.2 Karakteristik Kesehatan Lanjut Usia
Kesehatan lansia dipengaruhi proses menua. Proses menua didefinisikan
sebagai perubahan yang terkait waktu, bersifat universal, intrinsik, progresif, dan
detrimental. Keadaan ini menyebabkan kemampuan beradaptasi terhadap
lingkungan dan kemampuan bertahan hidup berkurang. Proses menua setiap
individu dan setiap organ tubuh berbeda, hal ini dipengaruhi gaya hidup,
lingkungan, dan penyakit degeneratif (Setiati , et al., 2006)
Proses menua pada berbagai organ seperti komposisi tubuh, otak, jantung,
paru, ginjal dan saluran kemih, gastrointestinal, serta muskulosketal pada lansia
dijelaskan sebagai berikut (Arisman, 2004; Setiati , et al., 2006; Lumbantobing,
2011) .
1. Komposisi tubuh
5
Akibat penuaan pada lansia massa otot berkurang sedangkan massa lemak
bertambah. Massa tubuh yang tidak berlemak berkurang sebanyak 6.3%, sedangkan
sebanyak 2% massa lemak bertambah dari berat badan perdekade setelah usia 30
tahun (Arisman, 2004). Jumlah cairan tubuh berkurang dari sekitar 60% berat badan
pada orang muda menjadi 45% dari berat badan wanita lanjut usia. Akibat
osteoporosis, tinggi badan orang lansia dapat lebih rendah dibandingkan tinggi
badan saat usia muda.
2. Otak
Berat otak menurun dengan bertambahnya usia. Berat otak pada usia 90
tahun berkurang 10% dibandingkan saat masih muda. Jumlah sel neuron berkurang
kira-kira sebanyak 100.000 sel sehari. Pada lansia sehat sekitar 10% mengalami
atrofi otak difus.
Bila dibandingkan seseorang yang berusia 25 tahun, lansia 75 tahun
menunjukkan kemunduran sebesar 20-45% dalam kecepatan menulis tangan,
memasang kancing, dan memotong dengan pisau. Selain itu, akibat hilangnya
mekanisme autoregulasi otak banyak lansia menjadi rentan terhadap iskemia otak
apabila tekanan darahnya di bawah 80 mmHg. Kondisi lain yang berubah adalah
melambatnya proses informasi, menurunnya daya ingat jangka pendek,
berkurangnya kemampuan otak untuk membedakan stimulus atau rangsang yang
datang, dan kemampuan kalkulasi. Namun demikian, banyak lansia tetap
mempertahankan fungsi intelektual dengan baik sampai mereka berusia 80 tahun.
3. Jantung
Akibat proses menua denyut jantung berubah, antara lain berkurangnya
frekuensi jantung, respon terhadap stres, dan compliance ventrikel kiri. Lansia sehat
dapat meningkatkan curah jantung secara efektif sebagai tanggapan terhadap
latihan jasmani. Frekuensi denyut jantung maksimal menurun pada lansia
(frekuensi denyut jantung = 220 – umur), curah jantung yang meningkat sebagai
tanggapan terhadap stres sangat tergantung pada volume sekuncup (stroke volume),
dan kinerja jantung lansia akan lebih rentan terhadap kondisi kekurangan cairan
seperti pada keadaan dehidrasi dan perdarahan.
Sklerosis dan kalsifikasi dapat menyebabkan disfungsi katup terutama pada
stenosis aorta. Fibrosis pada nodus AV dan sistem konduksi merupakan
predisposisi henti jantung dan gangguan irama jantung lainnya. Elastisitas jaringan
6
penyambung pembuluh darah berkurang dan kejadian aterosklerosis meningkat.
Keadaan ini akan mengakibatkan resistensi pembuluh darah perifer. Respon otot
polos pembuluh darah terhadap stimulasi adrenergik beta menurun sehingga
menyebabkan relaksasi dan vasodilatasi berkurang. Selain menambah stres pada
jantung, perubahan ini dapat meningkatkan prevalensi penyakit aterosklerosis
sehingga menempatkan lansia pada risiko tinggi mengalami morbiditas dan
mortalitas akibat kegawatan jantung dan pembuluh darah.
4. Paru
Pada paru-paru lansia terjadi hal-hal berikut compliance paru dan rongga
dada menurun, aktivitas silia menurun, volume residu meningkat, kapasitas vital
berkurang, refleks batuk menurun, volume ekspirasi paksa menit pertama (FEV1)
berkurang 25 ml/tahun setelah usia 30 tahun, pertukaran gas terganggu, dan
kekuatan otot pernapasan berkurang. Akibatnya tekanan oksigen berkurang (PaO2),
arus udara ekspirasi melambat, retensi dahak, dan menurunnya sensitivitas terhadap
hipoksia dan hiperkarbia.
5. Ginjal dan Saluran kemih
Meningkatnya jumlah usia seseorang sebanding dengan berkurangnya
jumlah darah yang difiltrasi oleh ginjal. Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah
darah yang sampai ke ginjal, karena gangguan jantung dan aterosklerosis. Keadaan
ini juga disebabkan oleh bekurangnya jumlah dan ukuran glomerulus sebagai
tempat menyaring plasma. Proses menua menyebabkan kapasitas
untuk mengeluarkan air dalam jumlah besar berkurang karena ketidakmampuannya
untuk mengeluarkan urin yang encer. Akibatnya dapat terjadi pengenceran natrium
serum sampai dengan hiponatremia yang mengakibatkan timbulnya rasa lelah,
letargi, kelemahan non spesifik, dan bingung
6. Gastrointestinal
Motilitas lambung dan pengosongan lambung menurun seiring dengan
meningkatnya usia. Lapisan lambung lansia menipis. Di atas usia 60 tahun, sekresi
HCL dan pepsin berkurang. Akibatnya penyerapan vitamin B12 dan zat besi
menurun. Absorpsi karbohidrat juga menurun, namun absorpsi protein tampaknya
tidak terganggu. Produksi 1-25 dihidroksivitain D menurun sehingga berpengaruh
pada kejadian osteoporosis dan osteomalasia pada lansia.
7
Berat total usus halus (diatas usia 40 tahun) berkurang, namun penyerapan
zat gizi pada umumnya masih dalam batas normal, kecuali kalsium (diatas usia 60
tahun) dan zat besi. Motilitas usus halus tidak terganggu, sedangkan motilitas usus
besar tidak jelas terganggu walaupun konstipasi sering terjadi pada lansia.
7. Muskuloskeletal
Komposisi otot berubah sepanjang waktu saat miofibril digantikan oleh
lemak, kolagen, dan jaringan parut. Aliran darah ke otot berkurang sebanding
dengan meningkatnya usia seseorang, hal ini diikuti berkurangnya jumlah zat-zat
gizi dan energi yang tersedia untuk otot sehingga kekuatan otot berkurang. Pada
usia 60 tahun, kehilangan total adalah 10-20% dari kekuatan otot yamg dimiliki
pada usia 30 tahun. Massa tulang umumnya berkurang setelah usia 45 tahun, pada
wanita kehilangan sekitar 25% dan pada pria sekitar 12%. Reabsorpsi tulang terjadi
lebih besar daripada formasi tulang. Akibatnya kekuatan dan stabilitas tulang
menurun, terutama pada tulang trabekular. Penurunan kekuatan dan stabilitas tulang
terutama ditemukan pada tulang vertebra, pergelangan, dan paha. Kejadian
osteoporosis dan fraktur meningkat pada area tulang tersebut.
Akibat perubahan fisiologis lansia mengalami beberapa kemunduran dan
kelemahan. Hal ini digambarkan pada Tabel 2.1 Proses menua pada berbagai organ
seperti komposisi tubuh, otak, jantung, paru, ginjal dan saluran kemih,
gastrointestinal, serta muskulosketal pada lansia dijelaskan sebagai berikut
(Arisman, 2004; Setiati , et al., 2006; Lumbantobing, 2011)
Tabel 2.1 Kemunduran dan Kelemahan lansia
Kemunduran dan kelemahan lansia
1. Pergerakan dan kestabilan terganggu
2. Intelektual terganggu (demensia)
3. Isolasi diri (depresi)
4. Inkontinensia dan impotensia
5. Defisiensi imunologis
6. Infeksi, konstipasi, dan malnutrisi
7. Iatrogenesis dan insomnia
8
8. Kemunduran penglihatan, pendengaran, pengecapan,
pembauan, komunikasi, dan integritas kulit
9. Kemunduran proses penyembuhan.
Sumber: Masalah kesehatan pada golongan lanjut usia, oleh R. Boedhi Darmodjo
(Arisman, 2004)
2.2 Demensia
2.2.1 Definisi
Demensia merupakan suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual
progresif yang menyebabkan deteriorasi kognitif dan fungsional, sehingga
mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari
(Alzheimer‟s Association, 2016).
2.2.2 Epidemiologi
Diperkirakan pada tahun 2050 populasi lansia di dunia akan mencapai 2
miliar. Penuaan populasi terjadi dengan cepat di Negara berpenghasilan menengah
ke bawah. Efek negatif dari penuaan populasi tersebut adalah meningkatnya jumlah
penderita demensia. Meskipun demensia menyerang orang lanjut usia, tapi itu
bukan merupakan hal normal dari penuaan (WHO, 2015)
Prevalensi demensia sedang hingga berat bervariasi pada tiap kelompok
usia. Pada kelompok diatas 65 tahun prevalensi demensia sedang hingga berat
mencapai 5%, sedangkan pada kelompok usia diatas 85 tahun prevalensinya
mencapai 20-40%. Dari seluruh pasien yang menderita demensia, 50-60%
diantaranya menderita jenis demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia
tipe Alzheimer (Alzheimer’s diseases). Jenis demensia yang paling lazim ditemui
berikutnya adalah demensia vaskuler, yang secara kausatif dikaitkan dengan
penyakit serebrovaskuler. Demensia vaskuler meliputi 15-30% dari seluruh kasus
demensia. Demensia vaskuler paling sering ditemui pada seseorang yang berusia
antara 60 hingga 70 tahun dan lebih sering pada laki-laki daripada wanita. Sekitar
10-15% pasien menderita kedua jenis demensia tersebut.
Belum ada data penelitian nasional mengenai prevalensi demensia di
Indonesia. Namun demikian Indonesia dengan populasi lansia yang semakin
9
meningkat, akan ditemukan kasus demensia yang banyak. Demensia Vaskuler (DV)
diperkirakan cukup tinggi di negeri ini, data dari Indonesia Stroke Registry 2013
dilaporkan bahwa 60,59 % pasien stroke mengalami gangguan kognisi saat pulang
perawat dari rumah sakit (Fenny, et al., 2014). Tingginya prevalensi stroke usia
muda dan faktor risiko stroke seperti hipertensi, diabetes, penyakit kardiovaskuler
mendukung asumsi di atas.
2.2.3 Klasifikasi
Klasifikasi Demensia (Anam Ong, et al., 2015):
2.2.3.1 Penyakit Alzheimer
Penyakit Alzheimer (PA) masih merupakan penyakit neurodegeneratif yang
tersering ditemukan (60-80%). Karateristik klinik berupa berupa penurunan
progresif memori episodik dan fungsi kortikal lain. Gangguan motorik tidak
ditemukan kecuali pada tahap akhir penyakit. Gangguan perilaku dan
ketergantungan dalam aktivitas hidup keseharian menyusul gangguan memori
episodik mendukung diagnosis penyakit ini. Penyakit ini mengenai terutama lansia
(>65 tahun) walaupun dapat ditemukan pada usia yang lebih muda. Diagnosis klinis
dapat dibuat dengan akurat pada sebagian besar kasus (90%) walaupun diagnosis
pasti tetap membutuhkan biopsi otak yang menunjukkan adanya plak neuritik
(deposit β- amiloid40 dan β-amiloid42) serta neurofibrilary tangle
(hypertphosphorylated protein tau). Saat ini terdapat kecenderungan melibatkan
pemeriksaan biomarka neuroimaging (MRI struktural dan fungsional) dan cairan
otak (β-amiloid dan protein tau) untuk menambah akurasi diagnosis.
2.2.3.2 Demensia Vaskuler
Vascular cognitive impairment (VCI) merupakan terminologi yang memuat
defisit kognisi yang luas mulai dari gangguan kognisi ringan sampai demensia yang
dihubungkan dengan faktor risiko vaskuler. Penuntun praktik klinik ini hanya fokus
pada demensia vaskuler (DV). DV adalah penyakit heterogen dengan
patologi vaskuler yang luas termasuk infark tunggal strategi, demensia multi-infark,
lesi kortikal iskemik, stroke perdarahan, gangguan hipoperfusi, gangguan hipoksik
dan demensia tipe campuran (PA dan stroke / lesi vaskuler). Faktor risiko mayor
kardiovaskuler berhubungan dengan kejadian ateroskerosis dan DV. Faktor risiko
vaskuler ini juga memacu terjadinya stroke akut yang merupakan faktor risiko
untuk terjadinya DV.7 CADASIL (cerebral autosomal dominant arteriopathy with
10
subcortical infarcts and leucoensefalopathy), adalah bentuk small vessel disease
usia dini dengan lesi iskemik luas white matter dan stroke lakuner yang bersifat
herediter.
2.2.3.3 Demensia Lewy Body
Demensia Lewy Body (DLB) adalah jenis demensia yang sering ditemukan.
Sekitar 15-25% dari kasus otopsi demensia menemui kriteria demensia ini. Gejala
inti demensia ini berupa demensia dengan fluktuasi kognisi, halusinasi visual yang
nyata (vivid) dan terjadi pada awal perjalanan penyakit orang dengan Parkinsonism.
Gejala yang mendukung diagnosis berupa kejadian jatuh berulang dan sinkope,
sensitif terhadap neuroleptik, delusi dan atau halusinasi modalitas lain yang
sistematik. Juga terdapat tumpang tindih temuan patologi antara DLB dan PA.1
Namun secara klinis orang dengan DLB cenderung mengalami gangguan fungsi
eksekutif dan visuospasial sedangkan performa memori verbalnya relatif baik jika
dibanding dengan PA yang terutama mengenai memori verbal.
2.2.3.4 Demensia Penyakit Parkinson
Demensia Penyakit Parkinson (DPP) adalah bentuk demensia yang juga
sering ditemukan. Prevalensi DPP 23-32%, enam kali lipat dibanding populasi
umum (3-4%). Secara klinis, sulit membedakan antara DLB dan DPP. Pada DLB,
awitan demensia dan Parkinsonism harus terjadi dalam satu tahun sedangkan pada
DPP gangguan fungsi motorik terjadi bertahun-tahun sebelum demensia (10-15
tahun).
2.2.3.5 Demensia Frontotemporal
Demensia Frontotemporal (DFT) adalah jenis tersering dari Demensia
Lobus Frontotemporal (DLFT). Terjadi pada usia muda (early onset
dementia/EOD) sebelum umur 65 tahun dengan rerata usia adalah 52,8 - 56 tahun.
Karakteristik klinis berupa perburukan progresif perilaku dan atau kognisi pada
observasi atau riwayat penyakit. Gejala yang menyokong yaitu pada tahap dini (3
tahun pertama) terjadi perilaku disinhibisi, apati atau inersia, kehilangan
simpati/empati, perseverasi, steriotipi atau perlaku kompulsif/ritual,
hiperoralitas/perubahan diet dan gangguan fungsi eksekutif tanpa gangguan
memori dan visuospasial pada pemeriksaan neuropsikologi.
2.2.3.6 Demensia Tipe Campuran
11
Koeksistensi patologi vaskuler pada PA sering terjadi. Dilaporkan sekitar
24-28% orang dengan PA dari klinik demensia yang diotopsi.12 Pada umumnya
pasien demensia tipe campuran ini lebih tua dengan penyakit komorbid yang lebih
sering. Patologi Penyakit Parkinson ditemukan pada 20% orang dengan PA dan
50% orang dengan DLB memiliki patologi PA.
2.2.4 Patogenesis
Komponen utama patologi penyakit Alzheimer adalah plak senilis dan
neuritik, neurofibrillary tangles, hilangnya neuron/sinaps, degenerasi
granulovakuolar, dan Hirano bodies. Plak neuritik mengandung b-amyloid
ekstraseluler yang dikelilingi neuritis distrofik, sementara plak difus (nonneuritik)
adalah istilah yang kadang digunakan untuk deposisi amiloid tanpa abnormalitas
neuron. Deteksi adanya Apo E di dalam plak B-amyloid dan studi mengenai ikatan
high avidity antara Apo E dengan B-amyloid menunjukkan bukti hubungan antara
amiloidogenesis dan Apo E. Plak neuritik juga mengandung protein komplemen,
mikroglia yang teraktivasi, sitokin-sitokin, dan protein fase akut, sehingga
komponen inflamasi juga diduga terlibat pada pathogenesis penyakit Alzheimer.
Gen yang mengkode the amyloid precursor protein (APP) terletak pada kromosom
21, menunjukkan hubungan potensial patologi penyakit Alzheimer dengan sindrom
down (trisomy-21), yang diderita oleh semua pasien penyakit Alzheimer yang
muncul pada usia 40 tahun (Setiati , et al., 2006).
Diagnosis penyakit Alzheimer dapat ditegakkan dengan adanya plak senilis
dalam jumlah tertentu. Jumlah plak meningkat seiring bertambahnya usia, dan plak
ini juga muncul di jaringan otak usia lanjut yang tidak demensia. Hal ini juga
dilaporkan bahwa satu dari tiga orang berusia 85 tahun yang tidak demensia
mempunyai deposisi amyloid yang cukup di korteks serebri untuk memenuhi
kriteria diagnosis penyakit Alzheimer, namun apakah ini mencerminkan fase
preklinik dari penyakit masih belum diketahui (Setiati , et al., 2006).
Neurofibrillary tangles merupakan struktur intraneuron yang mengandung
tau yang terhiperfosforilasi pada pasangan filamen heliks. Individu usia lanjut yang
normal juga diketahui mempunyai neurofibrillary tangles di bebrapa lapisan
hipokampus dan korteks entohirnal, tapi struktur ini jarang ditemukan di neokorteks
12
pada seseorang tanpa demensia. Neurofibrillary tangles ini tidak spesifik untuk
penyakit Alzheimer dan juga timbul pada penyakit lain, seperti subacute sclerosing
panencephalitis (SSPE), demensia pugilistika (boxer’s dementia), dan the
parkinsonian dementia complex of Guam (Setiati , et al., 2006).
Pada demensia vaskular patologi yang dominan adalah adanya infark
multipel dan abnormalitas sunstansia alba. Infark jaringan otak yang terjadi setelah
stroke dapat menyebabkan demensia bergantung pada volume total korteks yang
rusak dan hemisfer mana yang terkena. Umumnya demensia muncul pada stroke
yang mengenai beberapa bagian otak/multi-infract dementia/atau hemisfer kiri
otak. Sementara abnormalitas substansia alba (diffuse white matter disease atau
leukoaraiosis atau penyakit Binswanger) biasanya terjadi berhubungan dengan
infark lakunar. Abnormalitas substansia alba ini dapat ditemukan pada pemeriksaan
MRI pada daerah subkorteks bilateral, berupa gambaran hiperdens abnormal yang
umumnya tampak di beberapa tempat. Abnormalitas substansia alba ini juga dapat
timbul pada suatu kelainan genetik yang dikenal sebagai cerebral autosomal
dominant artheriopathy with subaortical infarcts and
leukoencephalopathy/CADASIL, yang secara klinis terjadi demensia yang
progresif yang muncul pada dekade kelima sampai ketujuh kehidupan pada
beberapa anggota keluarga yang mempunyai riwayat migrain dan stroke berulang
tanpa hipertensi (Setiati , et al., 2006).
2.2.5 Faktor Risiko
2.2.5.1 Faktor Risiko Yang Tidak Dapat Dimodifikasi
Faktor yang tidak dapat dimodifikasi diantaranya adalah usia, jenis kelamin, dan
genetic (Anam Ong, et al., 2015).
1. Usia
Usia diketahui sebagai faktor resiko terkuat dari demensia. Meskipun demensia
dapat terjadi lebih dini. hanya 1 dari 20 orang mengalami demensia di bawah
usia 65 tahun. Di atas usia 65, resiko seseorang mengalami penyakit Alzheimer
atau demensia vaskuler meningkat dua kali lipat dalam setiap 5 tahun.
Diperkirakan bahwa satu dari 14 orang berusia di atas 65 tahun dan satu dari 6
orang di atas 80 tahun mengalami demensia (Alzheimer‟s Association, 2016).
13
2. Jenis Kelamin
Wanita memiliki kecenderungan menderita penyakit Alzheimer dibanding pria,
meskipun terdapat fakta bahwa rerata usia harapan hidup wanita lebih tinggi.
Alasan yang mendasari hal ini belum dapat dijelaskan dengan baik. Terdapat
pernyataan bahwa terjadinya penyakit Alzheimer pada wanita berkaitan dengan
berkurangnya hormon estrogen setelah menopause terjadi. Untuk sebagian
besar jenis demensia lain selain penyakit Alzheimer, pria dan wanita memiliki
resiko yang serupa. Untuk demensia vaskuler, pria sebenarnya memiliki resiko
yang sedikit lebih tinggi dibanding wanita. Hal ini dikarenakan pria lebih rentan
terkena penyakit stroke dan penyakit jantung, yang dapat menyebabkan
demensia vaskuler dan demensia campuran. (Alzheimer‟s Association, 2016).
3. Genetik
Beberapa pasien demensia memiliki gen demensia. Namun, sebagian orang
yang memiliki gen demensia hanya sedikit yang berkembang gen nya menjadi
demensia (Alzheimer‟s Association, 2016).
2.2.5.2 Faktor Risiko Yang Dapat Dimodifikasi
A. Faktor Kardiovaskular
Berbagi studi kohort dan tinjauan sistematis menunjukkan bahwa faktor
resiko vaskular berkontribusi terhadap meningkatnya resiko DV dan PA. Secara
khusus, hipertensi usia pertengahan, hiperkolesterolemia pada usia pertengahan,
diabetes mellitus dan stroke semuanya telah terbukti berhubungan dengan
peningkatan resiko kejadian dementia. (Anam Ong, et al., 2015)
B. Gaya Hidup
Gaya hidup yang tidak sehat dapat menimbulkan masalah kesehatan seperti
demensia. Gaya hidup yang dimaksud adalah :
1. Aktivitas Fisik dan Kognitif
Berdasarakan penelitian Verghese, dkk (2003) dilaporkan bahwa demensia
berhubungan dengan berkurangnya partisipasi dalam mengisi waktu
senggang. Jenis aktifitas tersebut melibatkan aktivitas kognitif dan fisik.
Aktivitas fisik yang dapat dilakukan antara lain bermain tenis, bersepeda,
14
berjalan kaki, atau mengerjakan pekerjaan rumah. Aktivitas kognitif terdiri
dari 2 macam aktivitas yaitu leisure time activity (aktivitas waktu luang)
terdiri dari membaca koran, menulis, menonton televisi(berita), mengisi
teka-teki silang dan hoby activity terdiri dari bermain catur, bermain music
(Logan & Gottlieb et al, 2013).
2. Asupan Zat Gizi
Gizi dilihat sebagai salah satu faktor untuk mencegah penyakit Alzheimer
atau jenis demensia lain. Bayak penelitian menunjukkan bahwa stress
oksidatif dan akumulasi radikal bebas terlibat dalam patofisiologi penyakit.
Radikal bebas yang melampaui batas bertanggung jawab terhadap
peroksidasi lemak berlebihan, hal ini dapat mempercepat proses degenerasi
saraf. Harapan hidup meningkat terutama berhubungan dengan menurunnya
patologi penyakit degeneratif, terutama memperlambat munculnya penyakit
degeneratif otak (Nourhashemi, et al., 2000)
3. Kebiasaan Merokok
Mekanisme terjadinya fungsi kognitif lansia pada perokok salah satunya
melalui tahap aterosklerosis. Merokok dapat meningkatkan kadar asam
lemak bebas dalam darah, selanjutnya asam lemak bebas tersebut akan
diubah menjadi LDL (Low Densisty Lipoprotein) atau kolesterol jahat. Hal
ini akan memicu pembentukan atheroma atau proses aterogenesis di
pembuluh darah, sehingga kelenturan pembuluh darah akan berkurang.
Kekakuan pembuluh darah juga akan berdampak buruk pada penyampaian
oksigen ke otak. Jika otak mengalami hipoksia yang lama akan
menimbulkan efek yang buruk pada otak karena gangguan perfusi sehingga
nantinya akan mengakibatkan kematian jaringan otak yang berdampak pada
penurunan fungsi kognitif pada lansia (Snochat, Lucchessi, 2006). Pecandu
rokok terlalu lama (>20 tahun) memiliki resiko lebih besar mengalami
penurunan kemampuan kognitif (Herzig, 2010).
C. Tingkat Pendidikan
Pada beberapa penelitian melaporkan bahwa tingkat pendidkan
berhubungan signifikan dengan kejadian demensia. Menurut The Canadian Study
of Health and Aging Tahun 1994 dalam Purnakarya tahun 2008 dijelaskan bahwa
15
lansia dengan tingkat pendidikan yang rendah berpeluang 4 kali mengalami
demensia dibandingkan lansia berpendidikan tinggi (Purnakarya, 2008).
2.2.6 Diagnosis
Evaluasi terhadap pasien dengan kecurigaan demensia harus dilakukan dari
berbagai segi, karena selain menetapkan seorang pasien mengalami demensia atau
tidak, juga harus ditentukan berat ringannya penyakit, serta tipe demensianya. Hal
ini harus didukung oleh penilaian objektif melalui bedside cognitive tests dan/atau
penilaian (Anam Ong, et al., 2015) Pedoman Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders- IV (DSM-IV) sering digunakan sebagai gold standar untuk
diagnosis klinis dementia. Kriteria ini termasuk adanya gangguan memori dan tidak
adanya salah 1 dari gangguan kognitif seperti afasia, apraksia, agnosia dan
gangguan fungsi eksekutif .
Tabel 2.2 Kriteria Klinis untuk Diagnosis Demensia berdasarkan DSM IV
Domain kognitif Pertanyaan
Amnesia
Apakah sering lupa? perlahan-lahan atau mendadak
gejalanya?Apakah semakin betambah berat?Jika
ya,apakah gejala dirasa hilang
timbul/stepwise/menurun perlahan- lahan?jangka
waktu pendek/panjang?
Dan salah satu di bawah ini:
Afasia Apakah sulit menemukan kata-kata atau kesulitan
dalam berkomunikasi?
Apraksia Adakah kesulitan dalam mengancingkan/ memakai
baju?Adakah kesulitan dalam menggunakan
peralatan makan saat makan?
Agnosia Adakah kesulitan mengenali keluarga?
16
Disfungsi eksekutif Apakah ada keluhan mengenai pengaturan
uang?sering kehilangan uang?Adakah perubahan
dalam kemampuan mengambil keputusan?Apakah
pekerjaan menjadi tidak terorganisasi?
Kecacatan yang
signifikan pada fungsi
social dan pekerjaan
Apakah pasien menjadi kurang mandiri dalam:
- Komunitas?
- Merawat rumah?
- Perawatan diri?
Sumber : American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistic Manual of
Mental Disorders, 1994
2.2.6.1 Anamnesis
Anamnesis meliputi onset gejala, perjalanan penyakit, pola gangguan
kognisi, serta keberadaan dan pola gejala non kognisi. Riwayat penyakit dari
informan yang dapat dipercaya sangat diperlukan.
2.2.6.2 Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan fisik dan neurologis pada pasien dengan demensia dilakukan
untuk mencari keterlibatan sistem saraf dan penyakit sistemik yang mungkin dapat
dihubungkan dengan gangguan kognitifnya . Umumnya penyakit Alzheimer tidak
menunjukkan gangguan sistem motorik kecuali pada tahap lanjut. Kekakuan
motorik dan bagian tubuh aksial, hemiparesis, parkinsonisme, mioklonus, atau
berbagai gangguan motorik lain umumnya timbul pada demensia frontotemporal,
lewy body dementia, atau demensia multi-infark. Penyebab sistemik seperti
defisiensi vitamin B12, intoksikasi logam berat, dan hipotiroidisme dapat
menunjukkan gejala yang khas. Yang tidak boleh dilupakan adalah adanya
gangguan pendengaran dan penglihatan yang menimbulkan kebingungan dan
disorientasi pada pasien yang sering disalahartikan sebagai demensia
(Lumbantobing, 2011) .
17
2.2.6.3 Pemeriksaan Kognisi Sederhana
Pemeriksaan status mental harus terlebih dulu dilakukan sebelum
melakukan pemeriksaan fungsi kognisi. Ada banyak tes fungsi kognitif singkat
yang dapat digunakan untuk mengukur gangguan kognisi.
a. MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE)
Mini Mental State Examination (MMSE) adalah metode pemeriksaan untuk
menilai fungsi kognitif yang telah digunakan secara luas oleh para klinisi untuk
praktek klinik maupun penelitian. Tes ini meliputi pemeriksaan orientasi, registrasi,
atensi dan kalkulasi, mengingat kembali (recall) serta bahasa. Pasien dinilai secara
kuantitatif pada fungsi-fungsi tersebut, nilai sempurna adalah 30.
Faktor- faktor yang memengaruhi nilai MMSE menurut (Folstein, et al.,
1975) adalah umur dan tingkat pendidikan. Pemeriksaan MMSE mudah dilakukan
yaitu dengan memberi nilai untuk beberapa fungsi kognitif. Tes ini dapat dilakukan
oleh dokter, perawat, atau orang awam dengan sedikit latihan dan membutuhkan
waktu hanya sekitar 10 menit. Reliabilitasnya untuk pasien-pasien psikiatrik dan
neurologik telah diuji oleh National Institute of Mental Health USA. Sensitivitasnya
87% dan spesifitasnya 82% untuk deteksi demensia (Tatemichi , et al., 1997).
Skor MMSE berkisar antara 0-30. Orang normal menunjukkan skor 24-30.
Secara keseluruhan jika skor kurang dari 24, maka dikatakan telah ada gejala
demensia (Harsono, 2009) Terdapat beberapa perbedaan pendapat diantara para
ahli dalam menentukan klasifikasi penilaian MMSE, Grut et al. dan Folstein et al.
mendapatkan nilai normal MMSE adalah lebih besar atau sama dengan 27,
sedangkan Wind (1994) mendapatkan nilai MMSE normal (27-30), curiga
gangguan fungsi kognitif (22-26), pasti gangguan fungsi kognitif (<21).
Menurut Turana & Handayani (2011) skor MMSE harus disesuaikan
dengan tingkat pendidikan terakhir yang ditamatkan responden. Dinilai baik jika
nilainya: ≥ 13 jika tidak sekolah, jika tidak tamat SD ≥19, tamat SD ≥ 23, tamat
SLP ≥ 25, tamat SLA ke atas ≥ 26. Dinilai buruk jika nilainya: < 13 jika tidak
sekolah, tidak tamat SD < 19, tamat SD < 23, tamat SLP < 25, dan jika tamat SLA
ke atas < 26.
18
Gambar 2.1. Mini Mental State Examination
Sumber : Folstein, dkk. 1975
b. CLOCK DRAWING TEST
Pertama kali penelitian tentang Clock Drawing Test (CDT) tahun 1983. Saat
itulah tes tersebut digunakan di berbagai macam setting. Tes tersebut memerlukan
kemampuan pemahaman, kemampuan visual spasial, kemampuan merekonstruksi,
konsentrasi, pengetahuan angka, ingatan visual dan fungsi eksekutif. Meskipun tes
tersebut mampu untuk menguji aspek kognitif yang luas, CDT tidak terlalu
menekankan pada aspek pengetahuan dibandingkan dengan tes lain misalnya The
Mini Mental State Examination (MMSE) (Henderson , et al., 2007).
Tes ini dapat dilakukan dengan cara menggambar mengikuti perintah atau
meniru gambar yang ada. CDT mempunyai kelemahan terbesar karena tidak sesuai
untuk orang-orang yang mengalami gangguan neurologis lengan bagian atas seperti
kelumpuhan atau tremor serta yang memiliki gangguan penglihatan. Beberapa ahli
berpendapat bahwa umur dan pendidikan menyebabkan bias pada penilaian CDT,
19
meskipun ahli lain mengatakan sebaliknya. Di sisi lain, CDT mempunyai banyak
keuntungan dibandingkan dengan metode skrining gangguan kognitif yang lain
yaitu tidak terpengaruh dengan suasana hati, bahasa atau budaya, selain itu tidak
membutuhkan pengetahuan yang tidak semestinya. Selain itu, CDT biasanya
menarik perhatian para penderita karena tidak terlalu lama dan mudah diterima.
(Henderson , et al., 2007)
c. MONTREAL COGNITIVE ASSESSMENT (MoCA)
Tes Montreal Cognitive Assessment (MoCA) merupakan tes penapisan yang
sederhana yang lebih baik dalam mengidentifikasi MCI dan awal DA dibandingkan
dengan MMSE MoCA juga cukup sensitif untuk mendeteksi MCI pada pasien
dengan Penyakit Parkinson (PP) (Nazem, et al., 2009)
Nilai normal MoCA INA sudah pernah diteliti di Universitas Indonesia, dan
ternyata hasilnya dipengaruhi oleh usia, tingkat pendidikan dan jenis kelamin.
Sebaiknya tes ini dipakai pada mereka dengan pendidikan > 6 tahun. Median nilai
MoCA INA untuk tingkat pendidikan >6 tahun berkisar antara 22 – 27. Maka untuk
penggunaan praktis sebaiknya dipakai cut off 24. Bila nilai kurang dari 24 dianggap
ada gangguan. (Prasetyo, et al., 2011)
20
Gambar 2.2 MoCA INA
Sumber : (Prasetyo, et al., 2011).
2.2.6.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendapatkan data yang dapat
memberikan nilai tambah dalam pencegahan, diagnosis, terapi, prognosis dan
rehabilitasi.
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis
demensia ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia khususnya pada
demensia reversible, walaupun 50% penyandang demensia adalah demensia
Alzheimer dengan hasil laboratorium normal, pemeriksaan laboratorium rutin
sebaiknya dilakukan.
21
Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain: pemeriksaan
darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium darah, ureum, fungsi hati,
hormone tiroid, kadar asam folat. Guideline SIGN tidak merekomendasikan
pemeriksaan darah yang spesifik sehingga mengindikasikan bahwa tes-tes tersebut
harus dipilih berdasarkan anamnesis dan kondisi klinis yang dimiliki penderita.
b. Neuroimaging
Meliputi computed tomography (CT Scan) dan magnetic resonance imaging
(MRI) yang dapat mengidentifikasi penyebab demensia non neurodegeneratif yang
berpotensi untuk diterapi (Arisman, 2004). Berdasarkan rekomendasi guideline
NICE dan SIGN, peran neuroimaging struktural adalah untuk menyingkirkan
kemungkinan patologi intraserebral dan membantu menentukan subtipe demensia.
MRI serial dapat mengidentifikasi perubahan di otak sebelum awitan klinis
demensia. Meski bukan untuk diagnostik, scan serial dapat membantu penilaian
klinis .
c. Elektroensefalografi
Peran Electroencephalogram (EEG) dalam mendiagnosis demensia masih
terbatas. Rekomendasi PERDOSSI menyebutkan penggunaan EEG hanya untuk
kasus-kasus tertentu di mana ada kecurigaan kejang, Creutzfeldt-Jakob disease atau
delirium.
d. Biomarka
Biomarka menjadi penting untuk diagnosis dini, untuk mengukur patologi
yang terjadi, penanda prognosis untuk mereka yang berisiko serta memonitor terapi
obat (Sunderland, et al., 2006). Biomarka dapat dideteksi di otak (cairan
serebrospinal (CSS) atau neuroimaging reseptor amyloid), darah, atau kombinasi
keduanya. Biomarka dari sistem saraf pusat (SSP) antara lain β-amyloid1-42, β-
amyloid1-40, total tau, dan hyperphosphorylated tau (p-tau) dari CSS. Pada pasien
DA didapatkan penurunan kadar β-amyloid dan peningkatan kadar tau CSS
(Sunderland, et al., 2003)
2.3 Aktivitas Kognitif dan Demensia
Aktivitas kognitif adalah aktivitas yang melibatkan kegiatan berfikir.
Selama ini dianggap bahwa aktivitas yang menstimulasi mental dapat secara
langsung meningkatkan kapasitas otak. Studi menunjukkan bahwa aktivitas
22
kognitif dapat menghasilkan reorganisasi jaringan neurokognitif (Cabeza, et al.,
2002), menekan efek merugikan dari hormon stres ke otak (Cracchiolo, et al., 2007
; Costa, et al., 2007). Terlibat dalam aktivitas kognitif dapat memperbaiki
kompensasi otak terhadap patologi dengan cara meningkatkan cadangan otak
sehingga dapat melindungi/memperlambat onset klinis gangguan kognitif dan
demensia (Hughes & Ganguli M, 2009). Studi pada tikus menunjukkan bahwa
aktivitas mental merangsang neurogenesis (Brown , et al., 2003 ; Kempermann, et
al., 1997) dan sinaptogenesis (Briones , et al., 2004), meningkatkan reaktivitas
sinaps hipokampus (Cracchiolo, et al., 2007), memperbaiki vaskulari- sasi otak
(Black , et al., 1987)dan mengurangi deposisi beta amiloid di otak (Cracchiolo, et
al., 2007 ; Costa, et al., 2007).
23
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Teori
24
3.2 Kerangka konsep
Keterangan:
DEMENSIA
Aktivitas Kognitif
Variabel Independen
Variabel Dependen
Tinggi
(↑)
Rendah (↓)
• Neurogenesis ↓ • Sinaptogenesis ↓ • 𝛽 amyloid ↑ • Neurotransmiter ↓
(Norepinefrin, Dopamin dan Serotonin)
• Neurogenesis ↑ • Sinaptogenesis ↑ • 𝛽 amyloid ↓ • Neurotransmiter ↑
(Norepinefrin, Dopamin dan Serotonin)
TIDAK DEMENSIA
Variabel Antara
25
3.3 Definisi Opersional
No Variabel Definisi Cara
Ukur
Alat Ukur Skala
Ukur
Hasil Ukur
1. Demensia Kemunduran
kapasitas
intelektual
diakibatkan
oleh penyakit
di otak.
Sindrom ini
ditandai oleh
gangguan
kognitif,
emosional,
dan
psikomotor.
Wawa
ncara
MMSE
(Mini
Mental
State
Examinati
on)
Ordinal 1. Demensia :
nilai < 24
2.Tidak
demensia :
niali 24 – 30
(Folstein, dkk,
1975)
2. Aktivitas
Kognitif
Frekuensi
aktivitas
responden
yang
melibatkan
funsi otak
dalam 1
tahun
terakhir.
Wawa
ncara
Kuesioner
Aktivitas
kognitif
(Bassuk
SS dkk,
1999 di
modifikasi
oleh
Wreksoat
modjo,
2014)
Ordinal 1.Aktivitas
Kognitif
kurang <6
2.Aktivitas
Kognitif baik
≥6
26
3 Karakteri
stik
Responde
n
Umur
Jenis
Kelamin
Pendidikan
Wawa
ncara
Wawa
ncara
Wawa
ncara
Kuesioner
Kuesioner
Kuesioner
Ordinal
Nomina
l
Ordinal
1. 60-69 tahun
2. ≥70 tahun
1. Laki-laki
2. Wanita
1.Rendah ≤ 9
tahun (tidak
tamat SD,
tamat SD, dan
tamat SMP)
2.Tinggi > 9
tahun (tamat
SMA dan tamat
perguruan
tinggi)
3.4 Hipotesis Penelitian
3.4.1 Hipotesis Null (Ho)
Tidak terdapat hubungan antara aktivitas kognitif terhadap kejadian
demensia pada lansia di Kelurahan Totaka Kecamatan Ujungtanah Kota
Makassar.
3.4.2 Hipotesis Alternatif
Terdapat Hubungan antara aktivitas kognitif terhadap kejadian demensia
pada lansia di Kelurahan Totaka Kecamatan Ujungtanah Kota Makassar. Semakin
tinggi aktivitas kognitif seseorang maka akan mengurangi risiko demensia.
27
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian observasional analitik
dengan desain cross sectional untuk mengetahui hubungan aktivitas kognitif dengan
kejadian demensia pada lansia di Kelurahan Totaka Kecamatan Ujung Tanah Kota
Makassar.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Totaka, Kecamatan Ujung Tanah,
Kota Makassar, mulai bulan Oktober sampai November 2017.
4.3 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah warga yang berusia ≥60 tahun yang
bertempat tinggal di Kelurahan Totaka pada bulan September sampai Oktober
2017. Jumlah Sampel dalam penelitian ini diambil dari populasi dengan metode
purposive sampling yang telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.
Menurut Nursalam (2011) jika besar populasi ≤ 1000, maka sampel bisa diambil
20-30%, dan jika besar populasi < 1000, maka dapat digunakan rumus Slovin
sebagai berikut:
n = #$%#(())
Keterangan :
n = Besar sampel
N = Besar populasi
d = tingkat signifikasi (p)
Dengan menggunakan rumus tersebut, perhitungan jumlah sampel yang dibutuhkan
dalam penelitian ini adalah
28
n = +,$%+,(-,-/))
n = 54.43
n ≈ 54 orang
Dari perhitungan, jumlah sampel minimal yang dibutuhkan adalah 54 orang
4.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi
4.4.1 Kriteria Inklusi
- Laki-laki atau perempuan berusia ≥60 tahun di Kelurahan Totaka
- Bersedia menjadi responden
- Responden berada di tempat pada saat pengumpulan data
4.4.2 Kriteria Ekslusi
- Menderita gangguan jiwa psikosis; gangguan fungsi luhur seperti
afasia, apraksia; riwayat gangguan peredaran darah otak (stroke)
- Mereka yang diketahui telah menderita atau didiagnosis demensia
4.5 Instrumen Penelitian
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen penelitian.
Instrumen dalam penelitian ini adalah :
1) Kuesioner Mini mental State Examination (MMSE)
2) Kuesioner aktivitas kognitif (Bassuk, et al., 1999)
3) Kuesioner karakteristik responden (umur, jenis kelamin serta
tingkat pendidikan)
4.6 Prosedur Penelitian
4.6.1 Tahap Persiapan
Tahap persiapan dalam penelitian ini, dilakukan kegiatana sebagai berikut :
1) Peneliti menyusun proposal penelitian
2) Peneliti mengajukan perizinan berupa surat izin etik penelitian dan
perizinan melakukan penelitian di Kelurahan Totaka Kecamatan
Ujungtanah Kota Makassar.
29
3) Peneliti mempersiapkan instrumen penelitian untuk pengambilan
sampel penelitian.
4.6.2 Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan dalam penelitian ini, dilakukan sebagai berikut :
1) Kunjungan ke lokasi pengambilan sampel.
2) Peneliti mendatangi rumah-rumah lansia yang akan dijadikan
sampel penelitian.
3) Peneliti meminta kesedian lansia untuk menjadi sampel penelitian.
4) Peneliti melakukan wawancara menggunakan instrumen penelitian
4.7 Pengolahan dan Analisis Data
4.7.1 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan memasukkan data ke dalam program computer
Statistical Package for Social Science (SPSS) untuk diolah lebih lanjut dengan
tahapan coding, editing, structuring, entry, dan cleaning.
4.7.2 Analisis Data
Dalam hal analisis data, baik variable dependen maupun variable indepeneden
merupakan variable kategorik. Analisis untuk jenis masalah seperti ini yang dapat
digunakan adalah uji Chi Square.
4.8 Etika Penelitian
Telah mendapatkan persetujuan rekomendasi etik, berdasarkan SK nomor :
898 / H4.8.4.5.31 / PP36-KOMETIK / 2017
30
BAB 5
HASIL PENELITIAN
Penelitian mengenai hubungan aktivitas kognitif terhadap kejadian
demensia pada lansia, telah dilakukan di Kelurahan Totaka Kecamatan Ujungtanah
Kota Makassar pada bulan Oktober sampai November 2017. Subjek penelitian
berjumlah 63 lansia, tetapi yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi berjumlah
59 lansia. Jumlah lansia di Kelurahan Totaka sebanyak 6,2% dari total jumlah
penduduk.
5.1 Karakteristik Responden
Berdasarkan data tentang identitas sampel, dapat diketahui
karakteristik sampel berdasarkan umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan
seperti yang akan dipaparkan pada tabel 5.1 berikut :
Tabel 5.1 Karakteristik Responden pada Lansia di Kelurahan Totaka
Kecamatan Ujungtanah Kota Makassar
Dari tabel 5.1 dapat dilihat jumlah lansia paling banyak pada kelompok
umur 60-69 tahun yaitu sebanyak 33 orang (55,9%). Karakteristik jenis kelamin
responden memiliki perbedaan yang signifikan. Jumlah responden perempuan
Karakteristik
Responden
Jumlah
(59)
Presentase
(100%)
Umur . 60-69 tahun
≥ 70 tahun
33
26
55,9 %
44,1 %
Jenis
Kelamain
. Laki-laki
Perempuan
18
41
30,5 %
69,5 % Tingkat
Pendidikan
Rendah
Tinggi
50
9
84,7 %
15,3 %
31
(69,5%) lebih banyak dibanding laki-laki (30,5%). Sebagian besar responden
memiliki tingkat pendidikan yang rendah (84,7%).
5.2 Kejadian Demensia
Angka kejadian demensia di Kelurahan Totaka didapatkan berdasarkan
hasil wawancara menggunakan Mini Mental State Examination (MMSE). Hasil
tersebut dapat dilihat pada tabel 5.2 berikut :
Tabel 5.2 Kejadian Demensia pada Lansia di Kelurahan Totaka Kecamatan
Ujungtanah Kota Makassar
Variabel Dependen Jumlah (59) Presentase (100%)
Demensia
Tidak Demensia
39
20
66,1%
33,9%
Tabel 5.2 memperlihatkan dari 59 responden, didapatkan 39 lansia (66,1%)
mengalami demensia dan 20 lansia (33,9%) lainnya tidak mengalami
demensia. Hasil tersebut didapatkan dari wawancara menggunakan Mini Mental
State Examination (MMSE).
5.3 Gambaran Aktivitas Kognitif
Selain menilai skor MMSE responden, penelitian ini juga menilai aktivitas
kognitif responden. Nilai aktivitas kognitif responden didapatkan berdasarkan hasil
wawancara peneliti menggunakan kuesioner aktivitas kognitif Bassuk, dkk. Hasil
tersebut dapat dilihat pada tabel 5.3 .
32
Tabel 5.3 Gambaran Aktivitas Kognitif pada Lansia di Kelurahan Totaka
Kecamatan Ujungtanah Kota Makassar
Variabel Independen Jumlah (59) Presentase (100%)
Aktivitas Kognitif
1. Kurang
2. Baik
21
38
35,6
64,4
Selain menilai skor MMSE responden, penelitian ini juga menilai aktivitas
kognitif responden. Tabel 5.3 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden
memiliki aktivitas kognitif yang baik (64,4%).
Tabel 5.4 Presentase Aktivitas Kognitif Lansia
No Aktivitas Kognitif Persentase (100%)
1 Masak sendiri 18,9
2 Mengerjakan Hobi 8,7 3 Baca Buku, Majalah, Koran dan
Al-quran
22,1
4 Nonton Siaran TV Berita 24,7
5 Nonton Siaran TV Hiburan 25,0
6 Main Kartu, Catur, Halma, TTS,
Sudoku
0,6
Dari tabel 5.4 didapatkan, aktivitas kognitif yang terbanyak dilakukan oleh
responden adalah menonton siaran TV hiburan (25,0%) sedangkam bermain kartu,
catur, halma, TTS, sudoku merupakan aktivitas kognitif yang kurang dilakukan
oleh responden.
33
5.4 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Demensia
Tabel 5.5 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Demensia pada
Lansia di Kelurahan Totaka Kecamatan Ujungtanah Kota
Makassar
Tingkat
Pendidikan
Demensia Total P value Tidak Demensia Demensia
n % n % n % Rendah
Tinggi
12
8
24,0
88,9
38
1
76,0
11,1
50
9
100
100
0.000
0.000
Chi-Square (P < 0,05)
Tabel 5.5 menunjukkan bahwa, terdapat 38 responden (76%) dengan tingkat
pendidikan rendah, dan 1 responden (11,1%) dengan tingkat pendidikan tinggi
mengalami demensia. Berdasarkan hasil uji statistik (tabel 5.7) diperoleh nilai p
0,000 (p value <0,05), maka dapat disimpulkan ada hubungan bermakna antara
tingkat pendidikan dengan demensia.
5.5 Hubungan Aktivitas Kognitif dengan Kejadian Demensia
Tabel 5.6 Hubungan Aktivitas Kognitif dengan Kejadian Demensia pada
Lansia di Kelurahan Totaka Kecamatan Ujungtanah Kota
0,Makassar
Variable
Independen
Demensia Total P
value
Ods
Ratio Tidak
Demensia
Demensia
Aktifitas
Kognitif
b
n % n % n %
Kurang
2. Baik
0
20
0
52,6
21
18
100
47,4
21
38
100
100
0.000
0.000
0,474
Chi-Square (P < 0,05)
34
Tabel 5.6 menunjukkan bahwa terdapat 21 responden (100%) dengan nilai
aktivitas kognitif kurang dan sebanyak 18 responden (47,4%) dengan nilai aktivitas
kognitif baik mengalami demensia. Hasil analisis uji Chi Square (tabel 5.6)
menunjukkan bahwa nilai p 0,000 (p value <0,05) maka Ho ditolak sehingga dapat
disimpulkan terdapat hubungan antara aktivitas kognitif dengan kejadian demensia.
Hasil ods ratio adalah 0,474 artinya lansia yang memiliki aktifitas kognitif yang
kurang memiliki risiko 0,474 kali mengalami demensia.
Tabel 5.7 Distribusi Kejadian Demensia berdasarkan Tingkat Pendidikan dan
Aktivitas Kognitif
Dari tabel 5.7 diperoleh data bahwa dari 9 responden yang memiliki tingkat
pendidikan tinggi, mereka juga memiliki aktivitas kognitif baik, dan 8 (88,9%)
diantaranya tidak mengalami demensia, sedangkan responden yang memiliki
tingkat pendidikan rendah, dan memiliki aktivitas kognitif yang kurang, seluruhnya
mengalami demensia (100,0%).
Tingkat
Pendidikan
Aktivitas
Kognitif
Demensia Total
Tidak
Demensia
Demensia
n % n % n %
Tinggi Baik
Kurang
8
0
88,9
0
1
0
11.1
0
9
0
100
0 Rendah Baik
Kurang
12
0
41,4
0
17
21
58,6
100
29
21
100
100
35
BAB 6
PEMBAHASAN
6.1 Pembahasan Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan di Kelurahan Totaka
Kecamatan Ujungtanah Kota Makassar mengenai hubungan aktivitas kognitif
terhadap kejadian demensia pada lansia, diperoleh data sebagaimana yang telah
disajikan pada tabel-tabel di bab 5.
Pada penelitian ini didapatkan karakteristik responden (Tabel 5.1) menurut
umur menunjukkan jumlah lansia paling banyak pada kelompok umur 60-69
tahun (55,9%). Hal ini serupa dengan penelitian Hidayaty (2012) di Sukabumi
bahwa jumlah lansia paling banyak pada kelompok umur 60-69 sebanyak 56 orang
(55,4%), demikian juga penelitian Handajani (2006) di Jakarta bahwa lansia pada
kelompok umur 60 – 69 tahun sebanyak 64,6 %. Umur tertinggi yang didapatkan
dalam penelitian ini adalah 90 tahun.
Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin (Tabel 5.1)
didapatkan jumlah lansia perempuan (69,5%) lebih banyak dibanding laki-laki
(30,5%). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2014, jumlah lansia perempuan
lebih besar daripada laki-laki, yaitu 10,77 juta lansia perempuan dan lansia laki-laki
berjumlah 9,47 juta. Hal ini menunjukkan bahwa umur harapan hidup perempuan
lebih tinggi. Hasil Sensus Penduduk 2010 mencatat angka harapan hidup
perempuan sebesar 71,74 tahun, lebih tinggi daripada laki-laki yang sebesar 67,51
tahun (Badan Pusat Statistik, 2014). Penelitian yang dilakukan Nafidah (2014) di
Jakarta Selatan juga menemukan bahwa dari 118 responden (lansia), 60,2%
perempuan sedangkan laki-laki 39,8%.
Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan (Tabel 5.1)
terbanyak adalah berpendidikan rendah sebanyak 50 orang (84,7%)
sedangkan tingkat pendidikan tinggi sebanyak 9 orang (15,3%). Hal ini disebabkan
karena pada jaman dahulu pendidikan masih rendah. Hanya orang-orang tertentu
saja yang bisa sekolah sampai melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Distribusi
36
kategori tingkat pendidikan (tabel 5.2) responden. Hasil ini tidak jauh beda dengan
penelitian Hidayaty (2012) di Sukabumi bahwa sebesar 60,4% lansia bependidikan
rendah dengan rincian tidak tamat SD sebanyak 19,8% , tamat SD 35,6% dan tamat
SMP 5,0%.
Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 5.3) memperlihatkan dari 59 responden,
didapatkan 39 responden (66,1%) mengalami demensia dan 20 responden
(33,9%) lainnya tidak mengalami demensia. . Penelitian yang dilakukan di Jakarta
oleh Handajani (2006) hasilnya tidak jauh beda dengan penelitian ini, yaitu lansia
yang mengalami demensia sebesar 62,5 % dari 103 responden. Angka kejadian
tersebut lebih tinggi dibandingkan penelitian Hidayaty (2012) di Sukabumi bahwa
53,5% lansia mengalami demensia dari 101 responden. Hasil tersebut didapatkan
dari wawancara menggunakan MMSE. Dilihat dari skor MMSE, responden
memiliki rerata skor 21,17. Nilai skor MMSE tertinggi adalah 30 sedangkan yang
terendah adalah 8.
Tamher dan Noorkasiani (2009) menyatakan bahwa salah satu masalah
kesehatan yang terjadi pada lansia adalah intellectual impairment (gangguan
intelektual atau demensia). Demensia merupakan keadaan menurunnya
kemampuan intelektual seseorang yang dapat mengakibatkan kemunduran fungsi
kognitif (Zulsita, 2010).
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki aktivitas
kognitif yang baik (64,4 %). Penilaian aktivitas kognitif berdasarkan enam
komponen aktivitas tersebut, secara keseluruhan dinilai masih baik karena
didapatkan bahwa sebagian besar responden lanjut usia relatif masih aktif
mengerjakan kegiatan yang melibatkan fungsi kognitif. Nilai terendah aktivitas
kognitif pada lansia yang didapatkan dalam penelitia ini adalah 0. Hal tersebut
dikarenakan lansia tersebut hanya melakukan aktivitas seperti makan-tidur-
berjalan, sedangkan nilai tertinggi aktivitas kognitif pada lansia adalah 10. Nilai
tersebut didapatkan dari kuesioner aktivitas kognitif Bassuk SS dkk (1999) yang
telah dimodifikasi oleh Wreksoatmodjo (2014).
Dari kuesioner yang kami berikan aktivitas kognitif yang paling dominan
dilakukan oleh lansia di Kelurahan Totaka adalah Nonton siaran TV hiburan (25%)
37
disusul dengan Nonton siaran TV berita (24,7%). Berdasarkan hasil wawancara
nonton siaran tv hiburan yang sering ditonton oleh lansia adalah sinetron, film india,
dan acara musik dangdut.
Baca Buku, Majalah, Koran dan Al-quran mendapatkan presentase 22,1%
dan berdasarkan hasil wawancara kebanyakan lansia melakukan aktivitas membaca
Al-quran. Dilihat dari segi agama yang dianut oleh responden, sebagian besar
responden beragama Islam. Membaca Al-Qur’an secara rutin dapat meningkatkan
daya ingat dan fungsi kerja otak. Energi positif dari ayat-ayat Al-Qur’an ini dapat
menjadi nutrisi otak yang lebih berharga dari sebuah obat (Purwanto, 2007).
Sebagian besar yang melakukan aktivitas masak sendiri (18,9%) adalah
perempuan. Mengerjakan hobi mendapatkan presentase 8,7%. Berdasarkan hasil
wawancara, peneliti mendapatkan lansia yang masih memiliki hobi menganyam
bunga dari bambu, kemudian peneliti juga mendapatkan lansia yang masih sering
melakukan aktivitas menjahit dikarenakan profesi lansia tersebut, dan sedikit yang
masih sering melakukan hobi menyanyi. Aktivitas kognitif Main Kartu, Catur,
Halma, TTS, Sudoku hanya mendapatkan presetase 0,5%. Hal ini dikarenakan
budaya di Kelurahan Totaka jauh berbeda dengan budaya di Negara Barat tempat
Bassuk SS melakukan penelitian. Dari penelitian ini didapatkan juga bahwa
mengisisi TTS merupakan kegiatan yang biasa dilakukan lansia di Kelurahan
Totaka dan seluruhnya adalah laki-laki.
Dari tabel 5.3 didapatkan bahwa ada sebanyak 38 lansia (76%) dengan
tingkat pendidikan rendah, dan 1 lansia (11,1%) dengan tingkat pendidikan tinggi
mengalami demensia. Berdasarkan hasil uji statistik (tabel 5.7) diperoleh nilai p
0,000 (p value <0,05), maka dapat disimpulkan ada hubungan bermakna antara
tingkat pendidikan dengan demensia.
Hasil ini juga serupa dengan penelitian yang dilakukan Maryam, dkk.
(2015) di Jakarta bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan
demensia. Semakin rendah pendidikan seseorang maka semakin tinggi risiko
terjadinya demensia (Rachmawati & Warih, 2009).
Pendidikan mampu mengkompensasi semua tipe neurodegenerative dan
38
gangguan vaskular, dan juga mempengaruhi berat otak. Orang yang berpendidikan
tinggi, memiliki berat otak yang lebih dan mampu menghadapi perbaikan kognitif
serta neurodegenerative dibanding orang yang berpendidikan rendah (Larasati,
2013). Penelitian yang dilakukan oleh EClipSE (Epidemiological
Clinicopathological Studies in Europe) mengemukakan bahwa responden yang
memiliki level pendidikan yang lebih tinggi sebelumnya dapat mengurangi risiko
untuk mengalami demensia pada usia tuanya.
Berdasarkan tabel 5.6 ditemukan sebanyak 21 lansia (100%) dengan nilai
aktivitas kognitif kurang dan sebanyak 18 lansia (47,4%) dengan nilai aktivitas
kognitif baik mengalami demensia. Hasil analisis uji Chi Square (tabel 5.6)
menunjukkan bahwa nilai p value 0,000 (p value <0,05). Hasil tersebut
menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara aktivitas kognitif dengan
demensia. Lansia yang memiliki aktifitas kognitif yang kurang memiliki risiko
0,474 kali mengalami demensia.
Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian Hidayaty (2012) di
Sukabumi bahwa ada hubungan bermakna antara aktivitas kognitif dengan
demensia. Lansia dengan aktivitas kognitif rendah memiliki kemungkinan 4 kali
untuk mengalami demensia dibandingkan lansia dengan aktivitas kognitif tinggi.
Penelitian yang dilakukan Karp, dkk (2006) juga melaporkan bahwa komponen
mental, fisik, dan social dalam mengisi waktu luang dapat menurunkan kejadian
demensia. Karp, dkk juga menjelaskan bahwa aktivitas kognitif berfungsi melatih
otak untuk menjaga fungsi kognitif dan memperlambat berkembangnya demensia.
Menurut penelitian yang dilakukan Wreksoatmodjo (2014) di Jakarta bahwa
kegiatan yang paling berpengaruh terhadap fungsi kognitif di kalangan lanjut usia
adalah kegiatan masak sendiri, mereka yang tidak pernah masak sendiri 2 kali lebih
berisiko mempunyai fungsi kognitif buruk dibandingkan dengan mereka yang
mengerjakannya sedikitnya satu kali seminggu, dan mereka yang tidak pernah
menonton siaran TV berita 2 kali lebih berisiko dibandingkan dengan mereka yang
menonton sedikitnya sekali seminggu.
Tabel 5.7 memperlihatkan bahwa lansia yang memiliki tingkat pendidikan
tinggi cenderung melakukan aktivitas yang menggunakan otak seperti aktivitas
39
kognitif sehingga hal tersebut membuat 88,9% responden tidak mengalami
demensia. Berbeda dengan lansia yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah,
dan cenderung jarang melakukan aktivitas yang menggunakan otak seperti aktivitas
kognitif hal tersebut membuat 100% responden mengalami demensia. Sehingga
dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa antara tingkat pendidikan,
aktivitas kognitif dan demensia saling mempengaruhi.
Peranan aktivitas kognitif memang sudah lama menjadi kajian, pada
umumnya menunjukkan manfaat protektif terhadap risiko penurunan fungsi
kognitif. Studi menunjukkan bahwa aktivitas mental/kognitif merangsang
neurogenesis dan sinaptogenesis, meningkatkan reaktivitas sinaps hipokampus,
memperbaiki vaskularisasi otak dan mengurangi deposisi beta amiloid di otak. Oleh
sebab itu, aktivitas kognitif bisa menjadi salah satu alternatif untuk membantu
mengoptimalkan fungsi otak lansia (Supardjiman, 2005). Dengan melakukan
aktivitas kognitif tersebut maka gejala pikun pada lansia dapat dikurangi sehingga
lansia menjadi lebih produktif
40
6.2 Keterbatasan penelitian
Penelitian ini memiliki keterbasan-keterbasam yang dapat mempengaruhi
hasil penelitian, beberapa keterbatasan dalam penelitian ini yaitu :
1. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional (potong lintang) yaitu
penelitian yang hanya memotret dan menganalisis suatu keadaan dalam
suatu saat tertentu saja, pengukuran semua variabel yang diteliti
dilakukan pada saat bersamaan. Hal ini mengakibatkan kekuatan
hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen
ditegakkan berdasarkan asumsi dari responden.
2. Penelitian ini mengunakan kuesioner aktivitas kognitif Bassuk SS dkk
(1999) yang dibuat berdasarkan aktivitas lansia di Negara Barat. Hal ini
dapat menjadi bias, dikarenakan penelitian yang dilakukan di Kelurahan
Totaka ini, sangat kental dengan budaya Timur, khususnya dalam hal
aktivitas.
41
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1.1 Kesimpulan
7.1.2 Gambaran karakteristik responden (umur, jenis kelamin dan tingkat
pendidikan) didapatkan mayoritas kelompok umur 60-69 tahun, berjenis
kelamin perempuan dan tingkat pendidikan rendah.
7.1.3 Angka kejadian demensia di Kelurahan Totaka Kecamatan Ujung Tanah
Kota Makassar adalah sebesar 66,1 %.
7.1.4 Mayoritas responden memiliki aktivitas kognitif yang tinggi.
7.1.5 Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan angka kejadian
demensia di Kelurahan Totaka Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar.
7.1.6 Terdapat hubungan antara aktivitas kognitif dengan angka kejadian
demensia di Kelurahan Totaka Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar.
7.1.7 Saran
7.1.8 Para lansia disarankan untuk mempertahankan selama mungkin aktivitas
yang merangsang dan/atau menggunakan fungsi kognitif, pada penelitian
ini yang terlihat adalah pengaruh menonton siaran berita, kegiatan masak
sendiri, mengerjakan hobi dan kegiatan membaca buku maupun surat kabar.
7.1.9 Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel lebih besar,
tempat penelitian yang lebih luas, dan dengan desain studi yang berbeda.
42
DAFTAR PUSTAKA
Alzheimer's Research UK, 2016. Treatments For Dementia. [Online]
Available at: http://www.alzheimersresearchuk.org/wp-
content/uploads/2015/01/Treatments-for-dementia.pdf
[Accessed 19 august 2017].
Alzheimer‟s Association, 2016. Alzheimer's Facts and Figures. [Online]
Available at: https://www.alz.org/documents_custom/2016-facts-and-figures.pdf
[Accessed 3 july 2017].
Anam Ong, P. et al., 2015. Panduan Nasional Praktik Klinik Diagnosis dan Penatalaksanaan
Demensia. In: Jakarta: PERDOSSI.
Arisman, 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan. In: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: EGC.
Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003. Konsensus Nasional Pengenalan dan Penatalaksanaan
Demensia Alzheimer dan Demensia Lainnya. Jakarta, Asosiasi Alzheimer
Indonesia.
Bassuk, S., Glass, T. & Berkman, L., 1999. Social disengagement and incident cognitive
decline in community-dwelling elderly persons. 131(3), pp. 165-73.
Black , J., Sirevaag, A. & Greenough , W., 1987. Complex experience promotes capillary
formation in young rat visual cortex. Neurosci Lett., 83(3), pp. 351-5.
Boustani, M. & Richard, 2007. Primary Care Geriatrics Alzheimer’s Disease and other
Dementias. Elsevier Health Sciences.
43
Briones , T., Klintsova, A. & Greenough, W., 2004. tability of synaptic plasticity in the adult
rat visual cortex induced by complex environment exposure. Brain Res, 1018(1),
pp. 130-5.
Brown , J., Cooper-Kuhn, C. & Kempermann , G., 2003. Enriched environment and physical
activity stimulate hippocampal but not olfactory bulb neurogenesis. Eur J Neurosc,
17(10), pp. 2042-6.
Cabeza, R., Anderson, N., Locantore , J. & McIntosh, A., 2002. Aging gracefully:
Compensatory brain activity in high-performing older adults.. Neuroimage, 17(3),
pp. 1394-402.
Carlson, M. et al., 2008. Midlife activity predicts risk of dementia in older male twin pairs.
Alzheimer’s & Dementia, 4(5), pp. 324-31.
Costa, D. et al., 2007. Enrichment improves cognition in AD mice by amyloid-related and
unrelated mechanisms. Neurobiol Aging, 28(6), pp. 831-44.
Cracchiolo, J. et al., 2007. Enhanced cognitive activity – aver and above social or physical
activity – is required to protect Alzheimer’s mice against cognitive impairment,
reduce abeta deposition, and increase synaptic immunoreactivity. Neurobiol Learn
Mem, 88(3), pp. 277-94.
Crowe, M. et al., 2003. Does participation in leisure activities lead to reduced risk of
alzheimer’s disease? A prospective study of Swedish twins. J Gerontol, 58(5), pp.
249-55.
Fenny, Y. et al., 2014. Neurology. [Online]
Available at: http://www.neurology.org/content/82/10_Supplement/S12.003
[Accessed 3 july 2017].
44
Folstein, M., Folstein, S. & Mchugh, P., 1975. Mini-mental state - practical method for
grading cognitive state of patients for clinician. Journal of Psychiatric Research,
Volume 12, pp. 189-98.
Fratiglioni , L., Pailard-Borg , S. & Winblad, B., 2004. An active and socially integrated
lifestyle in late life might protect against dementia. 3(6), pp. 343-53.
Handajani, Y. (2006). Indeks Pengukuran Disabilitas dan Prediksi Kualitas Hidup Pada
Masyarakat Usia Lanjut di DKI Jakarta, (Disertasi). Depok: Program Pasca sarjana
Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM UI.
Harsono, 2009. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Henderson , M., Scot, S. & Hotopf, M., 2007. Use of the clock-drawing test in a hospice
population. Palliative Medicine, Volume 21, pp. 559-565.
Hidayaty, D. (2012). HUBUGAN AKTIVITAS FISIK DAN AKTIVITAS KOGNITIF
TERHADAP KEJADIAN DEMENSIA PADA LANSIA DI KELURAHAN
SUKABUMI SELATAN TAHUN 2012. Retrieved june 25, 2017, from
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25533/1/Dian%20Fithri
a%20Hidayaty%20-%20fkik.pdf
Hughes, T. & Ganguli M, 2009. Modi able midlife risk factors for late-life cognitive
impairment and dementia. Curr Psychiatr Rev, 5(2), pp. 73-92.
Hultsch, D., Hertzog, C., Small, B. & Dixon, R., 2005. Use it or lose it: Engaged lifestyle as
a bu er of cognitive decline in aging?. Psychol Aging, 14(2), pp. 245-63.
Kempermann, G., Kuhn, H. & Gage, F., 1997. More hippocampal neurons in adult mice
living in an enriched environment. Nature, 386(6624), pp. 493-5.
45
Lumbantobing, 2011. In: Neurogeriatri. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Nafidah, N. (2014). Hubungan Antara Aktivitas Fisik Dengan Tingkat Kognitif Lanjut Usia
Di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia Margaguna Jakarta Selatan (Skripsi).
Retrieved Nov 2, 2017, from
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25628/1/NUR%20NAF
IDAH%20-%20fkik.pdf
Nazem, S., Sideworf, A. & Duda, J., 2009. Montreal Cognitive Assessment Performance in
Patients with Parkinson’s Disease with ‘‘Normal’’ Global Cognition According to
Mini-Mental State Examination Score. J Am Geriatr Soc., Volume 57, pp. 304-8.
Notoatmodjo, S., 2010. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. In: Jakarta: Rineka cipta.
Nourhashemi, F., Guyonnet, S. & Andrieu, S., 2000. Alzheimer Disease : protective factors.
The American Journal of Clinical Nutrition, Feb, 71(2), pp. 643S-649S.
Prasetyo, B., Lumempouw, S., Ramli, Y. & Herqutanto, 2011. Nilai normal Montreal
Cognitive Assesment versi indonesia (MoCA- INA). Neurona, 29(1).
Purnakarya, I., 2008. Analisa Pola Makan dan Faktor Lainnya yang Berhubungan dengan
Kejadian Demensia Pada Lansia di Wilayah Jakarta Barat, (Tesis).. In: Depok:
Program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM UI.
Setiati , S., Harimurti, K. & Govinda, A., 2006. Proses Menua dan Implikasi Kliniknya. In:
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Sunderland, T., Hampel, H. & Takeda, M., 2006. Biomarkers in the diagnosis of Alzheimers
disease: Are we ready?. J Geriatr Psychiatry Neurol, Volume 19, pp. 172-9.
46
Sunderland, T., Linker, G. & Mirza, N., 2003. Decreased betaamyloid1-42 and increased tau
levels in cerebrospinal fluid of patients with Alzheimer disease. JAMA, Volume
289, pp. 2094-103.
Tatemichi , T. et al., 1997. Cognitive Impairment After Stroke : Frequency, Patterns, and
Relationship to Functional Abilities. Journal Neurol Neurosurg and Psychiatry,
Volume 57, pp. 202-207.
Turana, Y. & Handayani, Y., 2011. Nilai Mini-Mental State Examination (MMSE)
berdasarkan usia dan tingkat pendidikan pada masyarakat lanjut usia di Jakarta..
Medika, 37(5), pp. 307-10.
Verghese, J., Lipton, R. & Katz, M., 2003. Leisure Activities and the Risk of Dementia in
the Elderly. 73(11), pp. 2508-16.
WHO, 2015. Ageing And Health. [Online]
Available at:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/186463/1/9789240694811_eng.pdf
[Accessed 29 6 2017].
Wreksoatmodjo, B. R., 2014. Pengaruh Social Engagement terhadap Fungsi Kognitif Lanjut
Usia di Jakarta. CDK-214, 41(3).
47
Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Penelitian
48
Lampiran 2. Rekomendasi Persetujuan Etik
49
Lampiran 3. Kuesioner Penelitian
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS KEDOKTERAN KOMITE ETIK PENELITIAN KESEHATAN
Sekretariat : Lantai 2 Gedung Laboratorium Terpadu JL.PERINTIS KEMERDEKAAN KAMPUS TAMALANREA KM. 10, Makassar 90245
Contact person dr. Agussalim Bukhari,Ph.D,Sp.GK (HP. 081241850858), email: agussalimbukhari@ yahoo.com
Kepada Yth
Bapak/Ibu Responden
Di Tempat
Sebagai persyaratan tugas akhir mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, saya Alifiah Putr i B akan melakukan penelitian mengenai “Hubungan Aktivitas Kognitif Terhadap Kejadian Demensia di Kelurahan Totaka Kecamatan Ujungtanah Kota Makassar”. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara aktivitas kognitif terhadap kejadian demensia di kelurahana Totaka dan untuk keperluan tersebut saya mohon (bersedia/ tidak bersedia *) Bapak/Ibu untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Selanjutnya saya mohon Bapak/Ibu untuk mengisi kuesioner yang tersedia sesuai dengan apa adanya sesuai apa yang dialami oleh Bapak/Ibu. Identitas serta jawaban yang dicantumkan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti.
Demikian lembar persetujuan ini saya buat. Atas bantuan dan partisipasinya saya ucapkan terimakasih.
Makassar, ............................... 2017
Responden
(………………………)
Penanggung Jawab, Peneliti Utama
Nama : Alifiah Putri B
Alamat : Jl. Cakalang No 30
No. Telpon : 085932014737
50
A. Karakteristik Responden
1. Kode responden : …………………………………..
2. Nama : ………………………………….
3. Alamat : ………………………………….
4. Nomor Telepon/Hp :………………………………….
5. Jenis Kelamin : …………………………………..
6. Tanggal lahir : …………………………………..
7. Umur : …………………………………..
8. Pendidikan formal terakhir bapak/ibu:
1) Tidak Sekolah/Tidak tamat SD
2) Tamat SD atau sederajat
3) Tamat SMP atau sederajat
4) Tamat SMU atau sederajat
5) Tamat akademi atau perguruan tinggi
9. Status pernikahan bapak/ibu:1) Menikah 2) Janda3) Duda 4) Tidak menikah
10. Status pekerjaan semasa aktif: 1) Tidak bekerja/rumah tangga 2) Wiraswasta3) Pegawai swasta 4) PNS/BUMN/TNI/Polri5) Petani98) Lainnya, sebutkan………………………….
51
C. Kuosioner Aktivitas Kognitif (Bassuk SS dkk, 1999 dengan modifikasi)
No Aktivitas Kognitif ≥ 1 kali / minggu
(2)
< 1 kali / minggu
(1)
Tidak Pernah
(0)
1 Masak Sendiri
2 Mengerjakan Hobi
3 Baca Buku, Majalah, Koran
4 Nonton Siaran TV Berita
5 Nonton Siaran TV Hiburan
6 Main Kartu, Catur, Halma, TTS, Sudoku
52
D. Mini Mental State Examination (MMSE)
NO LANGKAH/KEGIATAN (TES) NILAI MAKS
NILAI
I. ORIENTASI 1 Sekarang (tahun), (musim), (bulan),
(tanggal), (hari) apa? 5
2 Kita berada dimana? (negara), (propinsi), (kota), (rumah sakit), (lantai/kamar)
5
II. REGISTRASI 3 Sebutkan 3 buah nama benda (apel, meja,
koin), tiap benda 1 detik, klien diminta mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai 1 untuk tiap nama benda yang benar. Ulangi sampai pasien dapat menyebutkan dengan benar dan catat jumlah pengulangan
3
III. ATENSI DAN KALKULASI 4 Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap
jawaban yang benar. Hentikan setelah 5 jawaban. Atau disuruh mengeja terbalik kata ”WAHYU” (nilai diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan; misalnya uyahw = 2 nilai)
5
IV. MENGINGAT KEMBALI (RECALL) 5 Klien disuruh menyebut kembali 3 nama
benda di atas 3
V. BAHASA 6 Klien disuruh menyebutkan nama benda
yang ditunjukkan (pensil, buku) 2
7 Klien disuruh mengulang kata-kata: ”namun”, ”tanpa”, ”bila”
1
8 Klien disuruh melakukan perintah: ”Ambil kertas ini dengan tangan anda, lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai”
3
9 Klien disuruh membaca dan melakukan perintah ”Pejamkanlah mata anda”
1
10 Pasien disuruh menulis dengan spontan
Gangguan menulis disebut agrafia
1
VI. KONSTRUKSI
11 Klien dminta meniru gambar ini
1
53
Lampiran 4. Data Hasil Uji Statistik
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Umur .147 59 .003 .903 59 .000
MMSE .136 59 .008 .932 59 .003
a. Lilliefors Significance Correction
Analisis univariat
Kelompok umur
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
60-69 tahun 33 55.9 55.9 55.9
≥ 70 tahun 26 44.1 44.1 100.0
Total 59 100.0 100.0
54
Jenis_kelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
Laki-laki 18 30.5 30.5 30.5
Perempuan 41 69.5 69.5 100.0
Total 59 100.0 100.0
55
Kategori pendidikan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
Tinggi 9 15.3 15.3 15.3
Rendah 50 84.7 84.7 100.0
Total 59 100.0 100.0
56
Kategori demensia
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
Demensia 39 66.1 66.1 66.1
Tidak Demensia 20 33.9 33.9 100.0
Total 59 100.0 100.0
57
Kategori kognitif
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
Baik 38 64.4 64.4 64.4
Kurang 21 35.6 35.6 100.0
Total 59 100.0 100.0
58
Analisis bivariat
Kategori kognitif * Kategori demensia Crosstabulation
Kategori demensia Total
Demensia Tidak Demensia
Kategori kognitif
Baik Count 18 20 38
% within Kategori kognitif 47.4% 52.6% 100.0%
Kurang Count 21 0 21
% within Kategori kognitif 100.0% 0.0% 100.0%
Total Count 39 20 59
% within Kategori kognitif 66.1% 33.9% 100.0%
Chi-Square Tests
59
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 16.721a 1 .000
Continuity Correctionb 14.454 1 .000
Likelihood Ratio 22.988 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 16.437 1 .000
N of Valid Cases 59
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.12.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
For cohort Kategori demensia = Demensia .474 .339 .662
N of Valid Cases 59
Kategori pendidikan * Kategori demensia
Crosstab
Kategori demensia Total
Demensia Tidak Demensia
Kategori pendidikan
Tinggi Count 1 8 9
% within Kategori pendidikan 11.1% 88.9% 100.0%
Rendah Count 38 12 50
% within Kategori pendidikan 76.0% 24.0% 100.0%
Total Count 39 20 59
% within Kategori pendidikan 66.1% 33.9% 100.0%
Chi-Square Tests
60
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 14.332a 1 .000
Continuity Correctionb 11.583 1 .001
Likelihood Ratio 14.175 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 14.089 1 .000
N of Valid Cases 59
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.05.
b. Computed only for a 2x2 table
61
Kategori kognitif * Kategori demensia * Kategori pendidikan Crosstabulation
Kategori pendidikan Kategori demensia
Demensia Tidak Demensia
Tinggi
Kategori kognitif Baik
Count 1 8 9
% within Kategori kognitif 11.1% 88.9% 100.0%
Total
Count 1 8 9
% within Kategori kognitif 11.1% 88.9% 100.0%
Rendah
Kategori kognitif
Baik Count 17 12 29
% within Kategori kognitif 58.6% 41.4% 100.0%
Kurang
Count 21 0 21
% within Kategori kognitif 100.0% 0.0% 100.0%
Total
Count 38 12 50
% within Kategori kognitif 76.0% 24.0% 100.0%
Total
Kategori kognitif
Baik
Count 18 20 38
% within Kategori kognitif 47.4% 52.6% 100.0%
Kurang
Count 21 0 21
% within Kategori kognitif 100.0% 0.0% 100.0%
Total
Count 39 20 59
% within Kategori kognitif 66.1% 33.9% 100.0%
62
Lampiran 5. Biodata Penulis
BIODATA PENELITI
Nama Lengkap : Alifiah Putri B
NIM : C111 14 533
TTL : Toli-toli, 19 Desember 1995
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan
Jurusan/Fakultas : Pendidikan Dokter/Fakultas Kedokteran
Nama Orangtua :
Ayah : H. Baharuddin Abubakar S.E
Ibu : Hj. Fittiah Rakib
Alamat : Jl. Cakalang No. 30 Kelurahan Tabaringan, Kecamatan Ujungtanah, Kota Makassar
Telepon : 085932014737
Email : [email protected]
Riwayat pendidikan :
SD Negri Sudirman I (2001-2007)
SMP Islam Athirah Makassar (2007-2010)
SMA Islam Athirah Makassar (2010-2013)
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (2013-2014)
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (2014-sekarang)
Pengalaman Organisasi
Medical Youth Research Club & Medical Muslim Family
1