Home Visite DM Kiraa
description
Transcript of Home Visite DM Kiraa
Laporan Home Visit FK UWKS No. Berkas :
Berkas Pembinaan Keluarga No. RM : 8931
Puskesmas Gedangan Nama KK : Tn. Soeryono
Tanggal kunjungan pertama kali 31 september 2013,
Nama pembina keluarga pertama kali:I Gede Prawira Raharja, S.Ked
Tabel 1. CATATAN KONSULTASI PEMBIMBING (diisi setiap kali selesai satu periode pembinaan )
TanggalTingkat
PemahamanParaf Pembimbing Paraf Keterangan
KARAKTEHISTIK DEMOGRAFI KELUARGA
Nama Kepala Keluarga : Tn. Soeryono
Alamat lengkap : Jalan Gajah Mada no.52
Bentuk Keluarga : Nuclear Family
1
Tabel 2. Daftar Anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah
No NamaKedudukan
dalamkeluarga
L / PUmur Pendidikan Pekerjaan
PasienY / T
Ket.
1Tn.
SoeryonoKK L 62 S1
Pensiunan PNS
YDM tipe IIKasus lama
2 Susiatiningsih Istri P 56 SMKPensiunan
PNST -
3Daniar Adi
WijayaAnak L 29 S1 Wiraswasta T -
4 Rina Febriana Anak P 26 S1 Wiraswasta T -
Sumber : Data Primer, November 2013
2
LAPORAN KASUS KEDOKTERAN KELUARGA
BAB I
STATUS PENDERTTA
A. PENDAHULUAN
Laporan ini diambil berdasarkan kasus yang diambil dari seorang pendenta DM tipe
II, berjenis kelamin laki-laki dan berusia 62 tahun, dimana penderita merupakan salah satu
dari pendenta DM para yang berada di wilayah Puskesmas Gedangan, dengan berbagai
permasalahan yang dihadapi. Mengingat kasus ini masih banyak ditemukan di masyarakat
khususnya di daerah sekitar Puskesmas Gedangan beserta permasalahannya seperti masih
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang DM terutama masalah gizi dan penggunaan Obat
Anti Diabet. Oleh karena itu penting kiranya bagi penulis untuk memperhatikan dan
mencermatinya untuk kemudian bisa menjadikannya sebagai pengalaman di lapangan.
B. IDENTITAS PENDERITA
Nama
Umur
Jenis kelamin
Pekerjaan
Pendidikan
Agama
Alamat
Suku
Tanggal periksa
: Tn. Tn. Soeryono
: 62 tahun
: Laki-laki
: Pensiunan PNS
: S1
: Islam
: Jalan Gajah Mada no.52
: Jawa
: 31 september 2013
3
C. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Luka pada kaki kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluh luka pada kaki kiri sejak 15 hari yang lalu, pasien terluka karena
jatuh saat mengendarai sepeda motor. Pasien kemudian memeriksakan diri ke Puskesmas
untuk mendapatkan perawatan pada luka di kakinya. Pasien merasa khawatir dengan luka
di kakinya karena pasien menderita kencing manis, pasien merasa takut luka di kakinya
sulit sembuh dan menjadi borok. Pasien menderita kencing manis sejak ±14 tahun yang
lalu. Pasien mengetahui dirinya menderita kencing manis 14 tahun yang lalu saat
mengendarai sepeda motor, saat itu pasien merasa pusing dan pandangan menjadi kabur,
pasien terjatuh dari sepeda motor kemudian di bawa ke rumah sakit dan di periksa kadar
gula darahnya dan hasilnya tinggi. Saat itu pasien mengaku sering buang air kecil, dimana
pada malam hari pasien bisa kencing hingga >3 kali, sering merasa haus dan nafsu makan
pasien bertambah namun berat badan pasien lama-lama mengalami penurunan, namun
pasien tidak pernah memeriksakan kadar gula darahnya. Pasien juga sangat suka
mengkonsumsi makanan dan minuman yang manis-manis dan sangat malas berolahraga.
Saat ini luka pasien sudah agak mengering dan membaik, istri pasien membantu
merawat luka pasien. Selain rutin merawat luka di kakinya, pasien juga rutin meminum
obat diberikan dari Puskesmas. Pasien memeriksakan gula darahnya setiap 2 minggu
sekali di Puskesmas. Pasien mengaku belum bisa mengatur pola makannya, pasien makan
sehari tiga kali, tiga sampai 4 sendok makan dengan sayur dan lauk yang berganti-ganti
setiap hari, namun pasien masih sering ngemil kue dan kacang yang merupakan makanan
kesukaannya secara tidak terkontrol. Pasien biasanya berolahraga jalan santai di sekitar
perumahan tempat tinggalnya dua kali seminggu ditemani oleh istri dan cucunya.
Selain luka di kaki kiri yang dikhawatirkan oleh pasien, pasien juga mengeluhkan
tangan dan kakinya sering terasa kesemutan terutama saat bangun tidur, namun jika
digunakan untuk beraktivitas gejala tersebut tidak terlalu dirasakan oleh pasien, hal ini
dirasakan pasien sejak tiga bulan yang lalu.
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
- Riwayat batuk lama : tidak ada
- Riwayat sakit gula : ada
- Riwayat asma : tidak ada
- Riwayat alergi obat/makanan : tidak ada
- Riwayat penyakit jantung : tidak ada
4
4. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat keluarga dengan penyakit serupa : Ibu pasien menderita DM
- Riwayat keluarga sakit batuk lama : tidak ada
- Riwayat sakit sesak nafas : tidak ada
- Riwayat hipertensi : tidak ada
5. Riwayat Kebiasaan
- Riwayat merokok : ada
- Riwayat olah raga : cukup
- Riwayat pengisian waktu luang dengan berbincang bincang dengan keluarga
cukup, berekreasi cukup
- Riwayat kebiasaan makan makanan yang diinginkan : sering
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Penderita adalah seorang ayah dari 2 orang anaknya. Penderita mempunyai 2
anak, anak pertama belum menikah dan tinggaldi luar kota. Anak kedua belum menikah
tinggal bersama pasien, Sumber pendapatan keluarga didapatkan dari uang pensiun pasien
dan istrinya, sebulan sekitar Rp 5.000.000,-.
7. Riwayat Gizi.
Penderita makan sehari-harinya biasanya antara 3 kali dengan nasi sepiring, sayur,
dan lauk pauk seperti tahu/tempe, dan ikan lautdan ayam, sekali makan 3-4 sendok
makan. Penderita termasuk orang yang suka makan dan tidak memilih-milih makanan.
Sejak sakit penderita membatasi frekuensi makan nasi, namun belum bisa mengontrol
kebiasaan ngemil. Kesan status gizi cukup.
5
D. ANAMNESIS SISTEM
1. Kulit : warna kulit sawo matang, kulit gatal (-)
2. Kepala : sakit kepala (-), pusing (-), rambut kepala tidak rontok,
luka pada kepala (-), benjolan/borok di kepala (-)
3. Mata : pandangan mata berkunang-kunang (-), penglihatan
kabur (-), ketajaman baik
4. Hidung : tersumbat (-), mimisan (-)
5. Telinga : pendengaran berkurang (-), berdengung (-), keluar cairan (-)
6. Mulut : sariawan (-), mulut kering (-), lidah terasa pahit
7. Tenggorokan : sakit menelan (-), serak (-)
8. Pernafasan : sesak nafas (-), batuk lama (-), mengi
(-), batuk darah (-)
9. Kadiovaskuler : berdebar-debar (-), nyeri dada (-), ampeg (-)
10. Gastrointestinal : mual (-), muntah (-), diare (-), nafsu makan menurun (-),
nyeri perut (-), BAB tidak ada keluhan
11. Genitourinaria : BAK lancar, 3-4 kali/hari warna dan jumlah biasa
12. Neuropsikiatri : Neurologik : kejang (-), lumpuh (-)
Psikiatrik : emosi stabil, mudah marah (-)
13. Muskuloskeletal : kaku sendi (-), nyeri tangan dan kaki (-), nyeri otot (-)
14. Ekstremitas : Atas : kanan : bengkak (-), sakit (-),
kiri : bengkak (-), sakit (-),
Bawah : kanan : bengkak (-), sakit (-),
kiri : luka berwarna merah kecoklatan berukuran 2x1
cm
E. PEMERIKSAANFISIK
1. Keadaan Umum
Tampak cukup, kesadaran compos mentis (GCS E4V5M6), status gizi kesan cukup.
2. Tanda Vital dan Status Gizi
• Tanda Vital
Nadi : 108 x/menit, reguler, kuat angkat
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,3 oC
Tensi : 130/80 mmHg
6
• Status gizi :
BB : 55 kg
TB : 165 cm
IMT : BB/TB2 = 55/(1,65)2 = 20,3
Status Gizi Gizi Cukup
3. Kulit
Warna : Sawo matang, ikterik (-), sianosis (-)
Kepala : Bentuk bulat lonjong simetris, tidak ada luka, rambut tidak mudah
dicabut, atrofi m. temporalis(-), makula (-), papula (-), nodula (-),
kelainan mimik wajah/bells palsy (-)
4. Mata
Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm), reflek kornea
(+/+), wama kelopak (coklat kebitaman), katarak (-/-), radang/conjunctivitis/uveitis
(-/-)
5. Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksls (-), deformitas hidung (-),
hiperpigmentasi (-), sadle nose (-)
6. Mulut
Bibir pucat (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), papil lidah atrofi (-), tepi lidah
hiperemis (-), tremor (-)
7. Telinga
Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-), pendengaran berkurang (-), cuping telinga dalam
batas normal
8. Tenggorokan
Tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-)
9. Leher
JVP tidak meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran
kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-)
10. Thoraks
Simetris, retraksi interkostal (-), retraksi subkostal (-)
- Cor : I : ictus cordis tak tampak
P: ictus cordis teraba di
P: batas kiri : Mid Clavicula Line ICS 5 Sinistra
7
batas kanan : Para Sternal Line ICS 2 Dextra
batas jantung kesan tidak melebar
A: S1 S2 tunggal, regular, murmur (-)
- Pulmo : Statis (depan dan belakang)
I : pengembangan dada kanan sama dengan kiri
P : fremitus raba kiri sama dengan kanan
P : sonor/sonor
A: suara nafas vesikuler (+/+)
Rhonci (-/-), whezing (-/-)
Dinamis (depan dan belakang)
I : pergerakan dada kanan sama dengan kiri
P : fremitus raba kiri sama dengan kanan
P : sonor/sonor
A: suara nafas vesikuler (+/+)
Rhonci (-/-), whezing (-/-)
11. Abdomen
I : flat
A : bising usus (+) normal
P : timpani seluruh lapang perut
P : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba
12. Sistem Collumna Vertebralis
I : deformitas (-), skoliosis (-), kiphosis (-), lordosis (-)
P : nyeri tekan (-)
P : Nyeri Ketok CV(-)
13. Ektremitas: palmar eritema(-/-)
akral dingin oedem
Status Lokalis :
Cruris Sinistra : ulkus 2x1 cm, warna merah kecoklatan, contusio (+)
14. Sistem genetalia: dalam batas normal
15. Pemeriksaan Neurologik
Fungsi Luhur : dalam batas normal
Fungsi Vegetatif : dalam batas normal
8
Fungsi Sensorik : dalam batas normal
Fungsi motorik
16. Pemeriksaan Psikiatrik
Penampilan : sesuai umur, perawatan diri cukup
Kesadaran : kualitatif tidak berubah; kuantitatif compos mentis
Afek : appropriate
Psikomotor : normoaktif
Proses pikir : bentuk : realistik
isi : waham(-), halusinasi (-), ilusi(-)
arus : koheren
Insight : baik
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan GDA : 316 mg/dl
Pemeriksaan GDP : tidak dilakukan
Pemeriksaan 2jamPP : tidak dilakukan
Pemeriksaan Hba1c : tidak tersedia
Pemeriksaan urine : tidak dilakukan
G. RESUME
Seorang laki-laki 62tahun dating dengan keluhan luka pada kaki kirinya. Luka
ketika jatuh saat mengendarai sepeda motor. Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes
melitus. Ibu pasien juga memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan keadaan umum cukup, compos mentis, status gizi cukup. Tanda vital T:
130/80 mmHg, N: 108 x/menit, RR: 20 x/menit, S:36,3°C, BB:55 kg, TB:165 cm, status
gizi : Gizi cukup. Dari pemeriksaan fisik pada cruris sinistra ditemukan ulcus berukuran 2
x 1 cm berwarna merah kecoklatan dan terdapat contusio pada pinggir ulcus, dan
pemeriksaan gula darah acak terakhir adalah 316 mg/dl
9
H. PATIENT CENTERED DIAGNOSIS
Diagnosis Biologis
1. DM tipe II Kasus lama
2. Ulcus diabetikum cruris sinistra
I. PENATALAKSANAAN
Non Medika mentosa
1. Diet DM 1800 Kalori
Diharapkan agar penderita makan makanan yang bergizi dan seesuai dengan
kebutuhan kalori yang disesuaikan dengan kondisi pasien. Selain itu pasien
dilarang mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung gula secara
berlebihan.
2. Olah raga
Diharapkan penderita dapat menjaga kesehatan tubuhnya dengan melakukan olah
raga ringan seperti jalan pagi hari di lingkungan sekitar.
3. Mengurangi stress tertentu
Diharapkan penderita mendapat motivasi yang adekuat dari keluarga untuk
kesembuhan penderita salah satunya dengan cara lebih banyak memberikan
perhatian dan meluangkan waktu untuk berbincang-bincang dan lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Medikamentosa
Obat Anti Diabet (OAD) dari dokter yang terdiri atas :
1. Glibenclamid 5 mg 1 tablet sehari sebelum makan
2. Metformin 500 mg 3 kali sehari bersamaan saat makan atau sesudah makan.
3. Vitamin B kompleks dengan dosis 3 tablet/hari.
J. FOLLOW UP
Tanggal 2 November 2013
S : Luka sudah mulai mengering, kesemutan (+) terutama saat bangun tidur, badan
lemas (-), cepat lelah (-)
Sering kencing (-), nafsu makan meningkat (-), sering haus (-)
10
O : KU cukup, compos mentis, gizi cukup
Tanda vital : T : 130/70mmHg R :20x/menit
N :110x/menit S :36,2°C
Status Generalis : dalam batas normal
Status Lokalis : Cruris Sinistra: ulkus 2x1 cm, warna merah kecoklatan, contusio
(+)
Status Neurologis : dalam batas normal.
Status Mentalis : dalam batas normal
A : DM tipe II Kasus lama dengan ulcus diabetikum cruris sinistra
P : Terapi medikamentosa berupa OAT dan rawat luka , non medika mentosa berupa
kontrol pola makan dan rajin olahraga selain itu juga dilakukan patient centered
management : dukungan psikologis dan edukasi tentang penggunaan obat dan pola
makan.
FLOW SHEET
Nama : Tn. Soeryono
Diagnosis : DM tipe II.
NOTGL
TensimmHg
BB
Kg
TB
Cm
StatusGizi
GDA Kesemutan
Luka
KET
1 12-7-2013 130/80 55 165 Cukup 316 + membaik
214-7-2013 130/70 55 165 Cukup - +
membaik
11
BAB II
IDENTIFIKASI FUNGSI- FUNGSI KELUARGA
A. FUNGSI KELUARGA
1. Fungsi Biologis.
Keluarga terdiri dari penderita, istri penderita, anak penderita (Tn. Damiar 29 th,
Nn Rina 26 th)
2. Fungsi Psikologi.
Tn. S tinggal serumah dengan istrinya, satu anaknya (Nn. Rina). Hubungan
keluarga mereka terjalin cukup akrab, terbukti dengan permasalahan-permasalahan
yang dapat diatasi dengan baik dalam keluarga ini. Hubungan diantara mereka cukup
dekat antara satu dengan yang lain, bahkan juga dengan keluarga besar. Sehari-hari
penderita lebih banyak menghabiskan waktunya dengan istri.
Permasalahan yang timbul dalam keluarga dipecahkan secara musyawarah dan
dicari jalan tengah, serta dibiasakan sikap saling tolong menolong baik fisik, mental,
maupun jika ada salah seorang di antaranya yang menderita kesusahan. Penghasilan
mereka cukup, dan mereka hidup bahagia dan memasrahkan semuanya kepada Tuhan.
3. Fungsi Sosial
Penderita adalah warga yang tergolong sepuh dalam lingkungan disekitar rumah
Dalam masyarakat penderita hanya sebagai anggota masyarakat biasa, tidak
mempunyai kedudukan sosial tertentu dalam masyarakat. Dalam kesehariannya
penderita bergaul akrab dengan masyarakat di sekitamya seperti halnya anggota
masyarakat yang lain.
4. Fungsi Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan
Penghasilan keluarga berasal dari penghasilan pensiunan penderita dan istrinya
dan penghasilan 1 orang anaknya dengan total penghasilan sebesar Rp 5.000.000,00
per bulannya.Penghasailan tersebut juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan
rumah.
5. Fungsi Penguasaan Masalah dan Kemampuan Beradaptasi
Penderita termasuk personal yang terbuka sehingga bila mengalami kesulitan
atau masalah penderita sering bercerita kepada istri dan anak-anaknya.
12
B. APGAR SCORE
ADAPTATION
Selama ini dalam menghadapi masalah keluarga, pasien selalu pertama kali
membicarakannya kepada istri dan anak-anaknya dan mengungkapkan apa yang
diinginkannya dan menjadi keluhannya. Dukungan keluarga dekat , menantu dan anak-
anaknya dan juga cucunya yang menjaganya sangat memberinya motivasi untuk sembuh,
teratur minum obat, dan mematuhi larangan karena penderita dan keluarga yakin
penyakitnya bisa sembuh total bila ia mematuhi aturan pengobatan sampai sakitnya
benar-benar sembuh dan tidak sampai terjadi komplikasi. Hal ini menumbuhkan
kepatuhan penderita dalam mengkonsumsi obat .
PARTNERSHIP
Tn. S Rmengerti bahwa ia adalah panutan dan sebagai suami dan orang tua yang
disayangi oleh anak-anaknya. Selain itu keluarganya meyakinkannya bahwa pasien bisa
melakukan aktifitas sehari-hari, komunikasi antar anggota keluarga masih berjalan
dengan baik
GROWTH
Tn. S sadar bahwa ia harus bersabar menghadapi penyakitnya
AFFECTION
Tn. S merasa hubungan kasih sayang dan interaksinya dengan istri,anak-anaknya
dan cucunya cukup. Bahkan perhatian yang dirasakannya bertambah. pasien menyayangi
keluarganya, begitu pula sebaliknya.
RESOLVE
Tn. S merasa cukup puas dengan kebersamaan dan waktu yang ia dapatkan dari
istri, dan anak-anaknya, walaupun waktu yang tersedia tidak banyak karena anak-anak
penderita harus bekerja.
APGAR Ny. Susiatiningsih Terhadap KeluargaSering/ selalu
Kadang-kadang
Jarang/tidak
A Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga
saya bila saya menghadapi masalah
√
P Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan
membagi masalah dengan saya
√
13
G Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan
mendukung keinginan saya untuk melakukan
kegiatan baru atau arah hidup yang baru
√
A Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresi-
kan kasih sayangnya dan merespon emosi saya
seperti kemarahan, perhatian dll
√
R Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya
membagi waktu bersama-sama
√
Total poin = 10 fungsi keluarga dalam keadaan baik
Ny.Susiatiningsih merupakan pensiunan PNS dan saat ini hanya mengerjakan
pekerjaan rumah.
APGAR Nn. Rina Terhadap KeluargaSering/ selalu
Kadang-kadang
Jarang/tidak
A Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga
saya bila saya menghadapi masalah
√
P Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan
membagi masalah dengan saya
√
G Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan
mendukung keinginan saya untuk melakukan kegiatan
baru atau arah hidup yang baru
√
A Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan
kasih sayangnya dan merespon emosi saya seperti
kemarahan, perhatian dll
√
R Saya puas dengan cara kelnarga saya dan saya
membagi waktu bersama-sama
√
Total poin = 9, fungsi keluarga dalam keadaan baik
Nn.Rina bekerja sebagai wiraswasta sehingga memiliki waktu untuk bersama-
sama.
Secara keseluruhan total poin dari APGAR keluarga Tn. S adalah 19, sehingga
rata-rata APGAR dari keluarga Tn. S adalah 9,5. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi
fisiologis yang dimiliki keluarga TN. S dengan istri dan anak-anaknya dalam keadaan
baik. Hubungan antar individu dalam keluarga tersebut terjalin baik.
14
C. SCREEM
SUMBER PATHOLOGY KETSosial Interaksi sosial yang baik antar anggota
keluarga juga dengan saudara partisipasi mereka dalam masyarakat baik
_
Cultural Kepuasan atau kebanggaan terhadap budaya baik, hal ini dapat dilihat dari pergaulan sehari-hari baik dalam keluarga maupun di lingkungan, banyak tradisi budaya yang masih diikuti. Sering mengikuti acara-acara yang bersifat hajatan, sunatan, dll. Menggunakan bahasa jawa, tata krama dan kesopanan
_
ReligiusAgama menawarkan pengalaman spiritual yang baik untuk ketenangan individu yang tidak didapatkan dari yang lain
Pemahaman agama cukup. Pasien dan keluarganya sering mengikuti acara yang diadakan di masjid.
-
Ekonomi Ekonomi keluarga ini tergolong menengah ke atas, untuk kebutuhan primer, sekunder dan tersier sudah bisa terpenuhi
-
Edukasi Pendidikan anggota keluarga memadai. Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua tinggi.
_
MedicalPelayanan kesehatan puskesmas memberikan perhatian khusus terhadap kasus penderita
Pasien meminta rujukan dari Puskesmas untuk melanjutkan pemeriksaan di RSAL
_
Keterangan
Tidak terdapat masalah dalam bidang social, cultural, religius, ekonomi, edukasi
maupun medical
D. KARAKTERISTIK DEMOGRAFI KELUARGA
Alamat lengkap : Jalan Gajah Mada no.52
Bentuk Keluarga : Nuclear Familly
15
Diagram 1. Genogram Keluarga Tn S, Dibuat November 2013
Sumber : Data Primer, November 2013Keterangan:Ny. Susiatiningsih : Istri PenderitaTn. Damiar : Anak PenderitaNn. Rina : Anak Penderita
16
- Ny.Susiatiningsih- 60 th- ♀- Pensiunan PU- etnis Jawa
- Tn. Damiar- 29 tahun- ♂- Karyawan Bank- etnis Jawa
-Tn. Mas Rudianto-72 th-♂-Pensiunan PU-etnis Jawa
-Nn. Rina-26 tahun-♀- Karyawan Pabrik-etnis Jawa
E. INFORMASI POLA INTERAKSI
Keluarga
Hubungan antara Tn. S, istri, dan anaknya baik dan dekat. Dalam keluarga ini
tidak sampai terjadi konflik atau hubungan buruk antar anggota keluarga.
F. PERTANYAAN SIRKULER
1. Ketika penderita jatuh sakit apa yang harus dilakukan oleh anak-anak penderita ?
Jawab : Istri dan anak anak akan bergantian untuk merawat dan menjaga penderita
2. Ketika anak penderita bertindak seperti itu apa yang dilakukan anggota keluarga lainnya ?
Jawab : turut membantu dan saling mendukung.
3. Kalau butuh dirawat/operasi ijin siapa yang dibutuhkan ?
Jawab : Ny. Susiatiningsih (istri)
4. Siapa anggota keluarga yang terdekat dengan penderita ?
Jawab : Ny. Susiatiningsih (istri)
5. Selanjutnya siapa ?
Jawab : Nn. Rina
6. Siapa yang secara emosional jauh dari penderita ?
Jawab : Tn. Damiar
7. Siapa yang selalu tidak setuju dengan pasien ?
Jawab : Tidak ada
8. Siapa yang biasanya tidak setuju dengan anggota keluarga lainnya ?
Jawab : Tidak ada
17
Tn. Soeryono62 th
Ny. Susiatiningsih56 th
Nn. Rina 26 th
BAB III
IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI KESEHATAN
A. Identiflkasi Faktor Perilaku dan Non Perilaku Keluarga
1. Faktor Perilaku Keluarga
Tn. S adalah seorang ayah dari 2 anaknya. Pendidikan terakhir penderita adalah
S1, saat ini pasien merupakan pensiunan PNS dan hanya mengurus rumah dan kebutuhan
sehari-hari. Pasien merasa kesehatanya terganggu sejak 14 tahun yang lalu namun tidak
ada keluhan. Keluhan mulai muncul saat 3bulan yang lalu. Anak-anak penderita saling
bergantian menjaga penderita apabila kondisi pasien mulai tidak enak. Menurut semua
anggota keluarga ini, yang dimaksud dengan sehat adalah keadaan terbebas dari sakit baik
jasmani maupun rohani. Keluarga ini menyadari pentingnya kesehatan. Keluarga ini
meyakini bahwa sakitnya disebabkan oleh kebiasaan makan yang kurang sehat, bukan
dari guna-guna, sihir, atau supranatural/ takhayul. Mereka tidak terlalu mempercayai
mitos, apalagi menyangkut masalah penyakit, lebih mempercayakan pemeriksaan atau
pengobatannya pada dokter .
Keluarga ini sangat menjaga kebersihan lingkungan rumahnya misalnya dengan
menyapu rumah dan halaman paling tidak sehari dua kali, pagi dan sore dan menata
perabotan yang ada di rumah.
Keluarga ini memiliki fasilitas air PDAM yang digunakan untuk memasak,
minum dan mandi.
2. Faktor Non Perilaku
Dipandang dari segi ekonomi, keluarga ini termasuk keluarga menengah ke atas.
Keluarga ini memiliki sumber penghasilan dari uang pensiuanan Tn. S dan istrinya serta
penghasilan dari anaknya. Dari total semua penghasilan tersebut keluarga dapat
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Rumah yang dihuni keluarga ini cukup memadai dan
memenuhi standar kesehatan..
18
B. Identifikasi Lingkungan Rumah
Gambaran Lingkungan
Keluarga ini tinggal di sebuah rumah berukuran 400x600m2. Memiliki
pekarangan rumah di bagian depan dan belakang dan pagar pembatas. Terdiri dari ruang
kamar tamu, ruang keluarga dan ruang menonton TV, tiga kamar tidur, satu kamar
makan, dapur, gudang dan kamar mandi yang memilki fasilitas jamban. Terdiri dari 1
pintu keluar Jendela ada 3 buah, dikamar tamu dan 3 buah di ruang keluarga dan disetiap
kamar tidurnya.
Di depan rumah terdapat garasi dan teras. Lantai rumah seluruhnya terbuat dari
keramik. Ventilasi dan penerangan rumah cukup. Atap rumah tersusun dari genteng dan
ditutup langit-langit. Masing-masing kamar memiliki dipan untuk meletakan kasur.
Dinding rumah terbuat dari batubata dan dicat. Perabotan rumah tangga cukup. Sumber
air untuk kebutuhan sehari-harinya keluarga ini berasal dari PDAM. Secara keseluruhan
kebersihan rumah cukup. Sehari-hari keluarga memasak menggunakan gas LPG 6 kg.
Denah Rumah :
Dapur Gudang
T. cuci ruang makan
ruang keluarga
R. Tamu Km. Tidur
Keterangan:
: Satu Pintu
: Tembok Bata
: Papan pembatas
19
Km. tidur
Km. Tidur
BAB IV
DAFTAR MASALAH
1. Masalah Aktif :
a. DM tipe II Kasus lama
b. Ulcus diabeticum
2. Faktor resiko:
a. Sering mengkonsumsi makanan yang manis
b. Aktivitas fisik yang kurang
c. Faktor usia (>45 tahun)
DIAGRAM PERMASALAHAN PASIEN
(Menggambarkan hubungan antara timbulnya masalah kesehatan yang ada dengan
faktor-faktor resiko yang ada dalam kehidupan pasien)
20
DM tipe II Kasus lama +
Ulcus diabetikumFaktor usia (> 45 tahun)
Aktifitas yang kurang
Konsumsi yangmanis-manis
BAB V
PATIENT MANAGEMENT
A. PATIENT CENTERED MANAGEMENT
1. Suport Psikologis
Pasien memerlukan dukungan psikologis mengenai faktor-faktor yang dapat
menimbulkan kepercayaan baik pada diri sendiri maupun kepada dokternya. Antara lain
dengan cara:
a. Memberikan perhatian pada berbagai aspek masalah yang dihadapi.
b. Memberikan perhatian pada pemecahan masalah yang ada. Memantau kondisi fisik
dengan teliti dan berkesinambungan.
c. Memantau kondisi fisik dengan teliti dan berkesinambungan.
d. Timbulnya kepercayaan dari pasien, sehingga timbul pula kesadaran dan
kesungguhan untuk mematuhi nasihat-nasihat dari dokter.
Pendekatan Spiritual, diarahkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan
YME, misalnya dengan rajin ibadah, berdoa dan memohon hanya kepada Tuhan.
Dukungan psikososial dari keluarga dan lingkungan merupakan hal yang harus
dilakukan. Bila ada masalah, evaluasi psikologis dan evaluasi kondisi sosial, dapat
dijadikan titik tolak program terapi psikososial.
2. Penentraman Hati
Menentramkan hati diperlukan untuk pasien dengan problem psikologis antara
lain yang disebabkan oleh persepsi yang salah tentang penyakitnya, kecemasan,
kekecewaan dan keterasingan yang dialami akibat penyakitnya. Faktor yang paling
penting untuk kesembuhannya adalah ketekunan dalam menjalani pengobatan sesuai
petunjuk dokter. Selain itu juga didukung dengan makan makanan yang bergizi tinggi
meskipun sederhana, istirahat yang cukup. Diharapkan pasien bisa berpikir positif, tidak
berprasangka buruk terhadap penyakitnya, dan membangun semangat hidupnya
sehingga bisa mendukung penyembuhan dan meningkatkan kualitas hidupnya.
3. Penjelasan, Basic Konseling dan Pendidikan Pasien
Diberikan penjelasan yang benar mengenai persepsi yang salah tentang
Diabetes Mellitus. Pasien Diabetes Mellitus dan keluarganya perlu tahu tentang
penyakit, pengobatannya dan pencegahan. Sehingga persepsi yang salah dan
merugikan bisa dihilangkan. Hal ini bisa dilakukan melalui konseling setiap kali
21
pasien kontrol dan melalui kunjungan rumah baik oleh dokter maupun oleh petugas
Yankes.
Beberapa persepsi yang harus diluruskan yaitu:
a.Penyakit Diabetes Mellitus tidak dapat disembuhkan.
Maka pasien harus diberi pengertian untuk terus mengupayakan
kesembuhannya melalui program pengobatan dan rehabilitasi yang dianjurkan oleh
dokter. Juga harus dilakukan pendalaman terhadap berbagai masalah penderita
termasuk akibat penyakitnya terhadap hubungan dengan keluarganya, pemberian
konseling jika dibutuhkan. Penderita juga diberi penjelasan tentang pentingnya
menjaga diet DM yang benar dalam rangka mencapai berat badan ideal, pentingnya
olah raga yang teratur dan sebagainya.
4. Menimbulkan rasa percaya diri dan tanggung jawab pada diri sendiri
Dokter perlu menimbulkan rasa percaya dan keyakinan pada diri pasien bahwa
ia bisa melewati berbagai kesulitan dan penderitaannya. Selain itu juga ditanamkan
rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri mengenai kepatuhan dalam jadwal kontrol,
keteraturan minum obat, diet yang dianjurkan dan hal-hal yang perlu dihindari serta
yang periu dilakukan.
5. Pengobatan
Medika mentosa dan non medikamentosa seperti yang tertera dalam
penatalaksanaan.
6. Pencegahan dan Promosi Kesehatan
Hal yang tidak boleh terlupakan adalah pencegahan dan promosi kesehatan
berupa perubahan tingkah laku (mengatur pola makan), menjaga kebersihan
lingkungan sekitar rumah agar tidak menimbulkan sumber penyakit yang dapat
menjadi penyakit ke 2 yang memperberat penyakit yang mendasarinya. Dengan
demikian paradigma yang salah tentang penyakit Diabetes Mellitus di masyarakat
dapat diluruskan.
22
BAB VI
TINJAUAN PUSTAKA
A. LATAR BELAKANG
Diabetes Mllitus tipe 2 (DM tipe 2) merupakan penyakit metabolik yang
prevalensinya meningkat dari tahun ketahun. Indonesia dengan jumlah penduduk yang
melebihi 200.000.000 jiwa, sejak awal abad ini telah menjadi negara dengan jumlah
penderita DM nomor 4 terbanyak didunia (Hawkins M & Rossetti L, 2005). DM tipe 2
merupakan penyakit progresif dengan komplikasi akut maupun khronik. Dengan
pengelolaan yang baik, angka morbiditas dan mortalitas dapat diturunkan. Dalam
pengelolaan DM tipe 2, diperlukan juga usaha mengkoreksi faktor-faktor risiko penyakit
kardiovaskuler yang sering menyertai DM tipe 2, seperti hipertensi, dislipidemia, resistensi
insulin dan lain-lain. Walaupun demikian pengendalian kadar glukosa darah tetap menjadi
fokus utama (Arifin,2008).
B. DEFINSI
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis
dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan
gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi
insulin (Tjokroprawiro A et al, 2007).
Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak
penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1, terutama terjadi pada orang dewasa tetapi
kadang-kadang juga terjadi pada remaja. Penyebab dari DM tipe 2 karena sel-sel sasaran
insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal, keadaan ini disebut
resietensi insulin. ( Tjokroprawiro A et al, 2007).
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM tipe 2 dapat juga timbul gangguan
gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian,
tidak terjadi pengrusakan sel-sel β langerhans secara autoimun sebagaimana terjadi pada
DM tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya
bersifat relatif, tidak absolut. ( Tjokroprawiro A et al, 2007).
Obesitas yang pada umumnya menyebabkan gangguan pada kerja insulin, merupakan
faktor risiko yang biasa terjadi pada diabetes tipe ini, dan sebagian besar pasien dengan
diabetes tipe 2 bertubuh gemuk. Selain terjadi penurunan kepekaan jaringan pada insulin,
yang telah terbukti terjadi pada sebagian besar dengan pasien diabetes tipe 2 terlepas pada
23
berat badan, terjadi pula suatu defisiensi jaringan terhadap insulin maupun kerusakan
respon sel α terhadap glukosa dapat lebih diperparah dengan meningkatya hiperglikemia,
dan kedua kerusakan tersebut dapat diperbaiki melalui manuve-manuver teurapetik yang
mengurangi hiperglikemia tersebut (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
C. EPIDEMIOLOGI
Sejak tahun 1964 sampai 2003 jumlah penderita DM yang berobat dan terdaftar di
RSU Dr. Soetomo meningkat menjadi 300 kali lipat (dari 133 menjadi 39.875), dengan
pertambahan rerata + 1.022 penderita pertahun. Menurut data tahun 1985, angka morbiditas
0,16-0,72% (rerata 0,30%), dan mortalitas 0,94-1,14% (rerata 1,05%). Jumlah penderita DM
yang terdaftar di poli Endokrinologi RSU Dr. Soetomo Surabaya yang didirikan pada tahun
1964 sampai tahun 2003 terdaftar 39.875 penderita. ( Tjokroprawiro A et al, 2007).
Analisis dari beberapa pusat kegiatan DM di seluruh Indonesia menunjukkan bahwa
prevalensi DM di Indonesia kurang lebih 1,5%, sehingga pada saat ini diperkirakan minimal
terdapat 4-5 juta penderita DM. menurut laporan WHO, jumlah penderita DM di dunia pada
tahun 1987 + 30 juta. Menyusul kemudian, laporan WHO November 1993, menyatakan
jumlah penderita DM di dunia meningkat tajam menjadi 100 juta lebih dengan prevalensi
sebesar 6%. Laporan terakhir oleh Mc Charty et al, 1994: jumlah penderita DM 1994 di dunia
110,4 juta, tahun 2000 meningkat + 1,5 kali lipat (+175,5 juta), tahun 2010 menjadi + 2 kali
lipat (239,3 juta), dan hingga tahun 2020 diperkirakan menjadi 300 juta. Perhitungan data
epiemiologi menurut data IDF 2003, jumlah pasien DM dari Indonesia menempati nomor 6 di
dunia. ( Tjokroprawiro A et al, 2007).
Prevalensi DM tipe 2 pada penduduk cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan di Kayu
Putih Jakarta Timur (daerah urban) didapatkan hasil 39,1% terjadi pada responden laki-laki
dan 52,3% terjadi pada wanita3, sedangkan berdasarkan sigi the second National Health and
Nutritional Examination Survey II (NHANES) periode 1976-1981 ditemukan 26% penduduk
dewasa atau sekitar 340 juta penduduk menderita Obesitas dan menjadi sepertiga jumlah
penduduk pada data NHNES III.4 Tetapi penelitian terakhir antara tahun 2001 dan 2005 di
daerah Depok menunjukkan angka 14,7% dan di Makasar 2005 mencapai 12,5% (Tjekyan S,
2007)
24
D. PATOFISIOLOGI DIABETES TIPE 2
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu:
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel β pancreas
Akhir-akhir ini banyak juga dibahas mengenai peran sel α pancreas, amilin dan
sebagainya. Resistensi insulin adalah keadaan dimana insulin tidak dapat bekerja optimal
pada sel-sel targetnya seperti sel otot, sel lemak dan sel hepar.Keadaan resisten terhadap efek
insulin menyebabkan sel β pancreas mensekresi insulin dalam kuantitas yang lebih besar
untuk mempertahankan homeostasis glukosa darah ,sehingga terjadi hiperinsulinemia
kompensatoir untuk mempertahankan keadaan euglikemia. Pada fase tertentu dariperjalanan
penyakit DM tipe 2, kadar glukosa darah mulai meningkat walaupun dikompensasi dengan
hiperinsulinemia; disamping itu juga terjadi peningkatanasam lemak bebas dalam darah
(Tjokroprawiro A et al, 2007).
Keadaan glukotoksistas dan lipotoksisitas akibat kekurangan insulin relative
(walaupun telah dikompensasi dengan hiperinsulinemia) mengakibatkan sel β pancreas
mengalami disfungsi dan terjadilah gangguan metabolisme glukosa berupa Glukosa Puasa
Terganggu, Gangguan Toleransi Glukosa dan akhirnya DM tipe 2 (Leahy JL, 2005).
Akhir-akhir ini diketahui juga bahwa pada DM tipe 2 ada peran sel β pancreas yang
menghasilkan glukagon. Glukagon berperan pada produksi glukosa di hepar pada keadaan
puasa. Pengetahuan mengenai patofisiologi DM tipe 2 masih terus berkembang, masih
banyak hal yang belum terungkap. Hal ini membawa dampak pada pengobatan DM tipe 2
yang mengalami perkembangan yang sangat pesat, sehingga para ahli masih bersikap hati-
hati dalam membuat panduan pengobatan (Leahy JL, 2005).
E. DIAGNOSIS DIABETES MELLITUS
Diagnosis DM biasanya diikuti dengan adanya gejala klasik seperti poliuria, polidipsia,
polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya
( Tjokroprawiro A et al, 2007).
Kriteria Diagonosis DM menurut Konsensus PERKENI 2002, dinyatakan DM apabila
terdapat:
1. Kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl, plus gejala klasik.
2. Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl, atau
3. Kadar glukosa plasma≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah makan atau beban glukosa 75
gram pada TTGO.
25
UJI LABORATORIUM
Darah
Orang normal : Glukosa Darah Puasa (GDP) < 100 mg/dl, 2j PP < 140 mg/dl. GDP
antara 100 dan 126 mg/dl disebut: Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) atau
Impaired Fasting Glucose (IGF). Untuk penderita DM: disebut normal atau regulasi baik
bila glukosa darah sebelum makan 90-130 mg/dl dan puncak glukosa darah sesudah
makan < 180mg/dl (Tjokroprawiro A et al, 2007).
Urine
Pada orang normal, reduksi urine: negative. Pemantauan reduksi urine biasanya 3x
sehari dan dilakukan kurang lebih 30 menit sebelum makan. Atau 4x sehari, yaitu 1x
sebelum makan pagi, dan 3x dilakukan setiap 2 jam sesudah makan. Pemeriksaan reduksi
3x sebelum makan lebih lazim dan lebih hemat. Pada metode Fehling, interpretasi
hasilnya adalah: (Tjokroprawiro A et al, 2007).
Normal : Biru
Bila terdapat glukosa dalam urine:
Hijau (+)
Kuning (++)
Merah (+++)
Merah Bata = coklat (++++)
26
Tabel VI.1 Tes Glukosa dan Interpretasinya
Sumber : AACE Diabetes Care Plan Guidelines, 2011
F. PENATALAKSANAAN
Pada penatalaksanaan diabetes mellitus, langkah pertama yang harus dilakukan
adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dalam
langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasi dengan
langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau
kombinasi keduanya (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
Menurut Tjokroprawiro (2007), Penatalaksanaan dasar terapi DM meliputi
pentalogi terapi DM yaitu:
Terapi Primer
1. Penyuluhan kesehatan masyarakat (PKM) tentang DM
2. Latihan Fisik (LF): primer dan sekunder
3. Diet
Terapi Sekunder
4. Obat hipoglikemi (OHO dan Insulin)
5. Cangkok Pankreas
30
1. Penyuluhan kesehatan masyarakat (PKM) tentang DM
PKM dapat dilaksanakan melalui: (Tjokroprawiro A et al, 2007).
a. Perorangan (antara dokter dengan penderita); bila tidak ada waktu, ber “PKM”lah
waktu memeriksa atau pun menulis resep.
b. Penyuluhan melalui TV
c. Kaset Video : penjelasan tentang DM, komplikasinya, terapi DM termasuk
peragaan macam-macam diet dengan berbagai jenis kandungan kalorinya.
d. Diskusi Kelompok
e. Poster
f. Leaflet, dan lain-lain.
2. Latihan Fisik (LF) untuk DM : LF Primer dan Sekunder
Berolah secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah
tetap normal. Prinsipya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan
secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan (Tjokroprawiro A et
al, 2007).
Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi,
bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olah raga akan memperbanyak jumlah
dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2005).
Semua penderita DM dianjurkan latihan ringan teratur setiap hari pada saat
1 atau 1 ½ jam sesudah makan, termasuk penderita yang dirawat di rumah sakit.
Misalnya, makan pagi jam 07.00, makan siang jam 12.30, makan malam jam 18.30,
maka latihan fisik harus dilakukan berturut-turut jam 08.00, 13.30, dan 19.30.
Latihan Fisik ini disebut LF Primer ( Tjokroprawiro A et al, 2007).
LF sekunder untuk penderita DM, terutama DM dengan obesitas. Selain LF
primer sesudah makan, juga dianjurkan LF sekunder agak berat setiap hari, pagi
dan sore (dengan tujuan menurunkan berat badan) sebelum mandi pagi dan sore.
Hal ini dilaksanakan pagi dan sore agar penderita tidak lupa ( Tjokroprawiro A et
al, 2007).
31
3. Diet DM
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat, protein dan lemak. ( Tjokroprawiro A et al, 2007).
Tujuan pengobatan diet pada diabetes adalah:
a) Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah mendekati
kadar normal.
b) Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.
c) Mencegah komplikasi akut dan kronik.
d) Meningkatkan kualitas hidup.
Diet DM pertama kali dihasilkan oleh Tjokroprawiro pada tahun 1978 yaitu Diet-B
dengan spesifikasi antara lain: ( Tjokroprawiro A et al, 2007).
1. Komposisi: 68% kal. Karbohidrat, 12% kal. Protein, 20% kal. Lipid.
2. Karbohidrat: kompleks, tidak mengandung gula.
3. Lipid: cholesterol < 300mg/hari, rasio P:S > 1,0, SAFA 5%, PUFA 5%,
MUFA 10%.
4. Protein: banyak mengandung asam amino esensial
5. Serat: 25-35 g/hari
6. Interval makanan: 6 makanan/hari, interval 3 jam. 3 makanan utama dan 3
makanan ringan diantaranya.
Untuk keberhasilan kepatuhan terhadap diet, perlu diingat “3K” dari pasien, yaitu
Kemauan, Kemampuan, dan Kesempatan. Dan dalam pelaksanaan diet, hendaknya
mengikuti 3J meliputi: ( Tjokroprawiro A et al, 2007).
J1 = jumlah kalori yang diberikan harus dihabiskan.
J2 = jadwal makan harus diikuti (interval 3 jam)
J3 = jenis gula dan yang manis harus dipantang.
Kalori yang diberikan kepada penderita harus “cukup” untuk bekerja sehari-hari
sesuai dengan jenis pekerjaan , dan sesuai untuk menuju ke berat badan “normal”.
Dalam praktek, pedoman jumlah kalori sehari yang diperlukan untuk diabetisi yang
bekerja biasa adalah: ( Tjokroprawiro A et al, 2007).
32
Kurus : Berat Badan x 40-60 kalori
Normal : Berat Badan x 30 kalori
Gemuk : Berat Badan x 20 kalori
Obesitas : Berat Badan x 10-15 kalori
Ket: Kriteria gizi penderita berdasarkan perhitungan Indeks Massa Tubuh
(IMT)
Tabel VI.2 Rekomendasi AACE Tentang Pola Makan Sehat Untuk Pasien Diabetes MelitusSumber : AACE Diabetes Care Plan Guidelines, 2011
33
4. Terapi Farmakologi (Obat Hipoglikemik Oral dan Insulin)
1. Insulin
Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel β pankreas dalam merespon
glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino tersusun dalam 2
rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin
mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian metabolisme, efek
kerja insulin adalah membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel (Tjokroprawiro A
et al, 2007).
Macam-macam sediaan insulin: (Tjokroprawiro A et al, 2007).
1. Insulin kerja singkat
Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru sesudah
setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin
Regular.
2. Insulin kerja panjang (long-acting)
Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di cairan
jaringan dan menghambat resorpsinya dari tempat injeksi ke dalam darah.
Metoda yang digunakan adalah mencampurkan insulin dengan protein atau
seng atau mengubah bentuk fisiknya, contoh: Monotard Human.
3. Insulin kerja sedang (medium-acting)
Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan
mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan,
contoh: Mixtard 30 HM
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2 kemudian akan
memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Untuk pasien yang
sudah tidak dapat dikendalikan kadar glukosa darahnya dengan kombinasi metformin dan
sulfonilurea, langkah selanjutnya yang mungkin diberikan adalah insulin (Tjokroprawiro A
et al, 2007).
2. Obat Antidiabetik Oral
Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu penanganan pasien diabetes
mellitus tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu
jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
34
a. Golongan Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dikelenjar pankreas,
oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans pankreas masih dapat
berproduksi Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian
senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh
kelenjar pankreas. Obat golongan ini merupakan pilihan untuk diabetes dewasa
baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami
ketoasidosis sebelumnya (Tjokroprawiro A et al, 2007).
Sulfonilurea generasi pertama
Tolbutamid diabsorbsi dengan baik tetapi cepat dimetabolisme dalam hati.
Masa kerjanya relatif singkat, dengan waktu paruh eliminasi 4-5 jam (Katzung,
2002). Dalam darah tolbutamid terikat protein plasma. Di dalam hati obat ini
diubah menjadi karboksitolbutamid dan diekskresi melalui ginjal (Tjokroprawiro A
et al, 2007).
Asektoheksamid dalam tubuh cepat sekali mengalami biotransformasi, masa
paruh plasma 0,5-2 jam. Tetapi dalam tubuh obat ini diubah menjadi 1-
hidroksilheksamid yang ternyata lebih kuat efek hipoglikemianya daripada
asetoheksamid sendiri. Selain itu itu 1-hidroksilheksamid juga memperlihatkan
masa paruh yang lebih panjang, kira-kira 4-5 jam (Tjokroprawiro A et al, 2007).
Klorpropamid cepat diserap oleh usus, 70-80% dimetabolisme di dalam hati
dan metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam darah terikat albumin,
masa paruh kira-kira 36 jam sehingga efeknya masih terlihat beberapa hari setelah
pengobatan dihentikan (Tjokroprawiro A et al, 2007).
Tolazamid diserap lebih lambat di usus daripada sulfonilurea lainnya dan
efeknya pada glukosa darah tidak segera tampak dalam beberapa jam setelah
pemberian. Waktu paruhnya sekitar 7 jam (Tjokroprawiro A et al, 2007).
Sulfonilurea generasi kedua
Gliburid (glibenklamid) khasiat hipoglikemisnya yang kira-kira 100 kali
lebih kuat daripada tolbutamida. Sering kali ampuh dimana obat-obat lain tidak
efektif lagi, risiko hipoglikemia juga lebih besar dan sering terjadi. Pola kerjanya
berlainan dengan sulfonilurea yang lain yaitu dengan single-dose pagi hari mampu
35
menstimulasi sekresi insulin pada setiap pemasukan glukosa (selama makan) (Tjay
dan Rahardja, 2002). Obat ini dimetabolisme di hati, hanya 21% metabolit diekresi
melalui urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan ginjal ( Tjokroprawiro A et
al, 2007).
Glipizid memiliki waktu paruh 2-4 jam, 90% glipizid dimetabolisme dalam
hati menjadi produk yang aktif dan 10% diekskresikan tanpa perubahan melalui
ginjal ( Tjokroprawiro A et al, 2007).
Glimepiride dapat mencapai penurunan glukosa darah dengan dosis paling
rendah dari semua senyawa sulfonilurea. Dosis tunggal besar 1 mg terbukti efektif
dan dosis harian maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg. Glimepiride mempunya
waktu paruh 5 jam dan dimetabolisme secara lengkap oleh hati menjadi produk
yang tidak aktif ( Tjokroprawiro A et al, 2007).
b. Golongan Biguanida
Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin menurunkan
glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular dan
menurunkan produksi gula hati. Metformin juga menekan nafsu makan hingga
berat badan tidak meningkat, sehingga layak diberikan pada penderita yang
overweight (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
c. Golongan Tiazolidindion
Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang luas dan
berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan
bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya penyerapan glukosa
ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Tiazolidindion diharapkan dapat lebih
tepat bekerja pada sasaran kelainan yaitu resistensi insulin tanpa menyebabkan
hipoglikemia dan juga tidak menyebabkan kelelahan sel β pankreas. Contoh:
Pioglitazone, Troglitazon ( Tjokroprawiro A et al, 2007).
d. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase
alfa di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan hiperglikemia
postprandrial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia
36
dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Contoh: Acarbose ( Tjokroprawiro
A et al, 2007).
G. DASAR-DASAR PENGOBATAN DIABETES TIPE 2
Resistensi insulin merupakan dasar dari diabetes tipe 2, dan kegagalan sel β
mulai terjadi sebelum berkembangnya diabetes yaitu dengan terjadinya
ketidakseimbangan antara resistensi insulin dan sekresi insulin. De Fronzo
menyatakan bahwa fungsi sel β menurun sebesar kira-kira 20% pada saat terjadi
intoleransi glukosa. Dengan demikian jelas bahwa pendekatan pengobatan diabetes
tipe 2 harus memperbaiki resistensi insulin dan memperbaiki fungsi sel β.Hal yang
mendasar dalam pengelolaan Diabetes mellitus tipe 2 adalah perubahan pola hidup
yaitu pola makan yang baik dan olah raga teratur. Dengan atau tanpa terapi
farmakologik, pola makan yang seimbang dan olah raga teratur (bila tidak ada
kontraindikasi) tetap harus dijalankan (Arifin 2008; American Diabetes Association,
2008)
ADA 21thConference on Diabetes 2012
37
Target glikemik
Penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) dan Studi
Kumamoto pada pasien DM tipe 2 menunjukkan target glikemik terapi DM tipe 2 yang
menghasilkan perbaikan prognosis jangka panjang. Hasil penelitian klinik dan
epidemiologik menunjukkan bahwa dengan menurunkan kadar glukosa maka kejadian
komplikasi mikrovaskuler dan neuropati akan menurun. Target kadar glukosa darah yang
terbaik berdasarkan pemeriksaan harian dan A1C sebagai index glikemia khronik belum
diteliti secara sistematik. Tetapi hasil penelitian DCCT (pada pasien diabetes tipe 1) dan
UKPDS (pada pasien diabetes tipe 2) mengarahkan gol pencapaian kadar glikemik pada
rentang nondiabetik. Akan tetapi pada kedua studi tersebut bahkan pada grup pasien yang
mendapat pengobatan intensif ,kadar A1C tidak dapat dipertahankan pada rentang
nondiabetik . Studi tersebut mencapai kadar rata-rata A1C ~7% yang merupakan 4SD
diatas rata-rata non diabetic (UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group, 1998).
Target glikemik yang paling baru adalah dari ADA (American Diabetes
Association) yang dibuat berdasarkan kepraktisan dan projeksi penurunan kejadian
komplikasi , yaitu A1C <7% (UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group, 1998).
Konsensus ini menyatakan bahwa kadar A1C > 7% harus dianggap sebagai alarm
untuk memulai atau mengubah terapi dengan gol A1C < 7%. Para ahli juga menyadari
bahwa gol ini mungkin tidak tepat atau tidak praktis untuk pasien tertentu, dan penilaian
klinik dengan mempertimbangkan potensi keuntungan dan kerugian dari regimen yang
lebih intensif perlu diaplikasikan pada setiap pasien. Faktor-faktor seperti harapan hidup,
risiko hipoglikemia dan adanya CVD perlu menjadi pertimbangan pada setiap pasien
sebelum memberikan regimen terapi yang lebih intensif (UK Prospective Diabetes Study
(UKPDS) Group, 1998).
Metformin
Efek utama metformin adalah menurunkan “hepatic glucose output” dan
menurunkan kadar glukosa puasa. Monoterapi dengan metformin dapat menurunkan A1C
sebesar ~ 1,5%. Pada umumnya metformin dapat ditolerir oleh pasien. Efek yang tidak
diinginkan yang paling sering dikeluhkan adalah keluhan gastrointestinal. Monoterapi
metformin jarang disertai dengan hipoglikemia; dan metformin dapat digunakan secara
aman tanpa menyebabkan hipoglikemia pada prediabetes. Efek nonglikemik yang penting
dari metformin adalah tidak menyebabkan penambahan berat badan atau menyebabkan
38
panurunan berat badan sedikit. Disfungsi ginjal merupakan kontraindikasi untuk
pemakaian metformin karena akan meningkatkan risiko asidosis laktik ; komplikasi ini
jarang terjadi tetapi fatal (Nathan MN et al, 2008).
Sulfonilurea
Sulfonilurea menurunkan kadar glukosa darah dengan cara meningkatkan sekresi
insulin.Dari segi efikasinya, sulfonylurea tidak berbeda dengan metformin, yaitu
menurunkan A1C ~ 1,5%. Efek yang tidak diinginkan adalah hipoglikemia yang bisa
berlangsung lama dan mengancam hidup. Episode hipoglikemia yang berat lebih sering
terjadi pada orang tua. Risiko hipoglikemia lebih besar dengan chlorpropamide dan
glibenklamid dibandingkan dengan sulfonylurea generasi kedua yang lain. Sulfonilurea
sering menyebabkan penambahan berat badan ~ 2 kg. Kelebihan sulfonylurea dalam
memperbaiki kadar glukosa darah sudah maksimal pada setengah dosis maksimal , dan
dosis yang lebih tinggi sebaiknya dihindari (Nathan MN et al, 2008).
Glinide
Seperti halnya sulfonylurea, glinide menstimulasi sekresi insulin akan tetapi
golongan ini memiliki waktu paruh dalam sirkulasi yang lebih pendek dari pada
sulfonylurea dan harus diminum dalam frekuensi yang lebih sering. Golongan glinide
dapat merunkan A1C sebesar ~ 1,5 % Risiko peningkatan berat badan pada glinide
menyerupai sulfonylurea, akan tetapi risiko hipoglikemia nya lebih kecil (Nathan MN et al,
2008).
Penghambat α-glukosidase
Penghambat α-glukosidase bekerja menghambat pemecahan polisakharida di usus
halus sehingga monosakharida yang dapat diabsorpsi berkurang; dengan demikian
peningkatan kadar glukosa postprandial dihambat. Monoterapi dengan penghambat α-
glukosidase tidak mengakibatkan hipoglikemia. Golongan ini tidak seefektif metformin
dan sulfonylurea dalam menurunkan kadar glukosa darah; A1C dapat turun sebesar 0,5 –
0,8 %. Meningkatnya karbohidrat di colon mengakibatkan meningkatnya produksi gas dan
keluhan gastrointestinal. Pada penelitian klinik, 25-45% partisipan menghentikan
pemakaian obat ini karena efek samping tersebut (Nathan MN et al, 2008).
39
Thiazolidinedione (TZD)
TZD bekerja meningkatkan sensitivitas otot, lemak dan hepar terhadap insulin baik
endogen maupun exogen. Data mengenai efek TZD dalam menurunkan kadar glukosa
darah pada pemakaian monoterapi adalah penurunan A1C sebesar 0,5-1,4 %. Efek samping
yang paling sering dikeluhkan adalah penambahan berat badan dan retensi cairan sehingga
terjadi edema perifer dan peningkatan kejadian gagal jantung kongestif (Nathan MN et al,
2008).
Insulin
Insulin merupakan obat tertua iuntuk diabetes, paling efektif dalam menurunkan
kadar glukosa darah. Bila digunakan dalam dosis adekuat, insulin dapat menurunkan setiap
kadar A1C sampai mendekati target terapeutik. Tidak seperti obat antihiperglikemik lain,
insulin tidak memiliki dosis maximal. Terapi insulin berkaitan dengan peningkatan berat
badan dan hipoglikemia (Nathan MN et al, 2008).
Dipeptidyl peptidase four inhibitor (DPP4 Inhibitor)
DPP-4 merupakan protein membran yang diexpresikan pada berbagai jaringan
termasuk sel imun.DPP-4 Inhibitor adalah molekul kecil yang meningkatkan efek GLP-1
dan GIP yaitu meningkatkan “glucose- mediated insulin secretion” dan mensupres sekresi
glukagon. Penelitian klinik menunjukkan bahwa DPP-4 Inhibitor menurunkan A1C sebesar
0,6-0,9 %. Golongan obat ini tidak meninmbulkan hipoglikemia bila dipakai sebagai
monoterapi (Nathan MN et al, 2008).
Algoritme pengelolaan Diabetes Mellitus tipe 2 menurut ADA/EASD
Panduan dan algoritme pengobatan dari ADA & EASD ini menyampaikan hal
berikut : (ADA 21thConference on Diabetes, 2012)
1. Mencapai dan mempertahankan kadar mendekati normoglikemia (A1C < (7%).
2. Terapi dimulai dengan intervensi pola hidup dan metformin
3. Bila target glikemik tidak tercapai atau tidak dapat dipertahankan maka
ditambahkan obat-obat baru dan diubah jadi regimen baru.
4. Pada pasien yang tidak mencapai target glikemik maka diberikan terapi insulin
secara lebih dini.
40
Algoritme dibuat dengan memperhatikan karakteristik intervensi individual, sinergisme
dan biaya. Tujuannya adalah untuk mencapai dan mempertahankan A1C < 7% dan
mengubah intervensi secepat mungkin bila target glikekemik tidak tercapai (Arifin, 2008).
Tier 1 : “well validated core therapy”
Intervensi ini merupakan cara yang terbaik dan paling efektif, serta merupakan strategi
terapi yang “cost-effective” untuk mencapai target glikemik. Algoritme tier1 ini
merupakan pilihan utama terapi pasien diabetes tipe 2 (Arifin, 2008).
Langkah pertama : Intervensi pola hidup dan metformin.
Berdasarkan bukti-bukti keuntungan jangka pendek dan jangka panjang bila berat
badan turun dan aktivitas fisik yang ditingkatkan dapat tercapai dan dipertahankan serta
“cost effectiveness” bila berhasil, maka konsensus ini menyatakan bahwa intervensi pola
hidup harus dilaksanakan sebagai langkah pertama pengobatan pasien diabetes tipe 2 yang
baru (Arifin, 2008).
Intervensi pola hidup juga untuk memperbaiki tekanan darah, profil lipid, dan
menurunkan berat badan atau setidaknya mencegah peningkatan berat badan, harus selalu
mendasari pengelolaan pasien diabetes tipe 2., bahkan bila telah diberi obat-obatan. Untuk
pasien yang tidak obes ataupun berat badan berlebih, modifikasi komposisi diet dan tingkat
aktivitas fisik tetap berperan sebagai pendukung pengobatan (Arifin, 2008).
Para ahli membuktikan bahwa intervensi pola hidup saja sering gagal mencapai
atau mempertahankan target metabolik karena kegagaaln menurunkan berat badan atau
berat badan naik kembali dan sifat penyakit ini yang progresif atau kombinasi faktor-
faktor tersebut (Arifin, 2008).
Oleh sebab itu pada konsensus ini ditentukan bahwa terapi metformin harus
dimulai bersamaan dengan intervensi pola hidup pada saat diagnosis. Metformin
direkomendasikan sebagai terapi farmakologik awal , pada keadaan tidak ada
kontraindikasi spesifik, karena efek langsungnya terhadap glikemia, tanpa penambahan
berat badan dan hipoglikemia pada umumnya, efek samping yang sedikit, dapat diterima
oleh pasien dan harga yang relatif murah. Penambahan obat penurun glukosa darah yang
lain harus dipertimbangkan bila terdapat hiperglikemia simtomatik persisten (Arifin,
2008).
41
Langkah kedua : menambah obat kedua
Bila dengan intervensi pola hidup dan metformin dosis maksimal yang dapat
ditolerir target glikemik tidak tercapai atau tidak dapat dipertahankan, sebaiknya ditambah
obat lain setelah 2-3 bulan memulai pengobatan atau setiap saat bila target A1C tidak
tercapai. Bila terdapat kontraindikasi terhadap metformin atau pasien tidak dapat
mentolerir metformin maka perlu diberikan obat lain. Konsensus menganjurkan
penambahan insulin atau sulfonylurea (Arifin, 2008).
Yang menentukan obat mana yang dipilih adalah nilai A1C. Pasien dengan A1C >
8,5% atau dengan gejala klinik hiperglikemia sebaiknya diberi insulin; dimulai dengan
insulin basal (intermediate-acting atau long –acting). Tetapi banyak juga pasien DM tipe 2
yang baru masih memberi respons terhadap obat oral (Arifin, 2008).
Langkah ketiga : penyesuaian lebih lajut
Bila intervensi pola hidup, metformin dan sulfonilurea atau insulin basal tidak
menghasilkan target glikemia, maka langkah selanjutnya adalah mengintesifkan terapi
insulin. Intensifikasi terapi insulin biasanya berupa berupa suntikan “short acting” atau
“rapid acting” yang diberikan sebelum makan. Bila suntikan-suntikan insulin dimulai maka
sekretagog insulin harus dihentikan (Arifin, 2008).
Tier 2 : less well-validated therapies
Pada kondisi-kondisi klinik tertentu algoritme tingkatan kedua ini dapat
dipertimbangkan. Secara spesifik bila hipoglikemia sangat ditakuti (misalnya pada mereka
yang melakukan pekerjaan yang berbahaya), maka penambahan exenatide atau
pioglitazone dapat dipertimbangkan. Bila penurunan berat badan merupakan pertimbangan
penting dan A1C mendekati target (<8%), exenatide merupakan pilihan. arifin
Bila inervensi ini tidak efektif dalam mencapai target A1C, atau pengobatan
tersebut tidak dapat ditolerir oleh pasien, maka penambahan dengan sulfonilurea dapat
dipertimbangkan. Alternatif lain adalah bahwa “tier 2 intervention” dihentikan dan dimulai
pemberian insulin basal (Arifin, 2008).
42
Tabel Comprehensive Diabetes Care Treatment Sumber: Goals AACE Diabetes Care Plan Guidelines, 2011
43
BAB VII
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Segi Biologis :
Tn. S (62 tahun), menderita penyakit Diabetes Mellitus tipe II Kasus lama
dan ulcus diabetikum cruris sinistra
2. Segi Psikologis :
Hubungan antara anggota keluarga dan anggota masyarakat yang terjalin
cukup akrab, harmonis, dan hangat.
Pengetahuan akan Diabetes Mellitus yang cukup yang berhubungan dengan
tingkat pendidikan yang tergolong tinggi.
Tingkat pemahaman dalam mengkonsumsi obat yang baik, mendukung
untuk penyembuhan penyakit tersebut
B. SARAN
1. Untuk masalah medis (DM) dilakukan langkah-langkah :
Preventif : penderita diharapkan agar penderita makan makanan yang bergizi dan
sesuai dengan kebutuhan kalori yang disesuaikan dengan kondisi pasien. Selain itu
pasien dilarang mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung gula secara
berlebihan. Diharapkan penderita dapat menjaga kesehatan tubuhnya dengan
melakukan olah raga ringan seperti jalan pagi hari di lingkungan sekitar. Selain itu
diharapkan penderita mendapat motivasi yang adekuat dari keluarga untuk
kesembuhan penderita salah satunya dengan cara lebih banyak memberikan
perhatian dan meluangkan waktu untuk berbincang-bincang dan lebih mendekatkan
diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Promotif : edukasi penderita dan keluarga mengenai Diabetes Mellitus dan
pengobatannya oleh petugas kesehatan atau dokter yang menangani.
Kuratif :
1. Glibenclamid 5 mg 1 tablet sehari sebelum makan
44
2. Metformin 500 mg 3 kali sehari bersamaan saat makan atau sesudah
makan.
3. Vitamin B kompleks dengan dosis 3 tablet/hari.
C. Rehabilitatif : mengembalikan kepercayaan diri Tn. S sehingga tetap memiliki
semangat untuk sembuh dan dapat beraktivitas seperti biasa.
45
DAFTAR PUSTAKA
AACE Diabetes Care Plan Guidelines, 2011, Endocr Pract, 17:pp 6-25.
ADA 21thConference on Diabetes 2012 April 28, 2012
American Diabetes Association: Standards of medical care in diabetes – 2008 (Position statement), Diabetes Care;31 (Suppl.1):S12-54.
Diabetes Mellitus, 2005, Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, Departemen Kesehatan RI.
Arifin AL, Panduan Terapi Diabetes Mellitus Tipe 2 Terkini, Sub Bagian Endokrinologi & Metabolisme Bagian / UPF Ilmu Penyakit Dalam FakultasKedokteran UNPAD/ RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung
Hawkins M, Rossetti L, 2005, Insulin Resistance and Its Role in the Pathogenesis of Type 2 Diabetes, In : Kahn CR, King GL, Moses AC, Weir GC, Jacobson AM, Smith RJ (Eds) Joslin’s Diabetes Mellitus. Lippincott Williams & Wilkin. Philadelphia, Pg 425-448.
Leahy JL, 2005, β-cell Dysfunction in Type 2 Diabetes In : Kahn CR, King GL, Moses AC, Weir GC, Jacobson AM, Smith RJ (Eds) Joslin’s Diabetes Mellitus. Lippincott Williams & Wilkin. Philadelphia. Pg 449-462.
Nathan MN, Buse JB, Mayer BD, Ferrannini E, Holman RR, Sherwin R et al, 2008, Medical management of Hyperglycemia in Type 2 Diabetes A consebsus Algorithm for the Initiation and Adjustment of Therapy. A consensus statement of the American Diabetes Association and the European Association for the Study of Diabetes. Diabetes Care; 31:1-11.
Tjekyan S, 2007, Risiko Penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Kalangan Peminum Kopi Di Kotamadya Palembang Tahun 2006-2007, Makara Kesehatan, Vol. 11: 54-60.
Tjokroprawiro A et al, 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Airlangga University Press, Surabaya.
UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group: Intensive blood glucose control with sulphonylureas or and insulin compared with conventional treatment and risk of complication in patients with type 2 diabetes (UKPDS 33), 1998, Lancet; 352: 837-853.
46
Gambar 1. Tampak Depan Rumah
Gambar 2. Ruang Makan
47
Gambar 3. Gudang
Gambar 4. Kamar Mandi
48
Gambar 5. Tempat Cuci
49