HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

83
BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN DAN PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013 ) Oleh : Indah Triayu Irianti Pembimbing : dr. Naomi Pongtasik Supervisor : dr. Eddy Tiro, Sp.OG (K) DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK DI BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS 1 REFERAT SEPTEMBER 2013

description

HIV/aids dalam kehamilan dan penatalaksanaannya berdasarkan WHO juni 2013

Transcript of HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

Page 1: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGIFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN

DAN PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013 )

Oleh :

Indah Triayu Irianti

Pembimbing :

dr. Naomi Pongtasik

Supervisor :

dr. Eddy Tiro, Sp.OG (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

DI BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2013

1

REFERAT

SEPTEMBER 2013

Page 2: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN DAN PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

I. PENDAHULUAN

Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia

dan banyak negara di seluruh dunia. UNAIDS, badan WHO yang mengurusi

masalah AIDS, memperkirakan jumlah ODHA di seluruh dunia pada

Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang. Saat ini tidak ada negara yang

terbebas dari HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis secara

bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara,

krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain

HIV/AIDS menyebabkan krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS

memerlukan respons dari masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan

dan perawatan untuk individu yang terinfeksi HIV. 1

Pada tahun 2009, diperkirakan 860.000 wanita hamil ditemukan hidup

dengan HIV di Afrika Timur dan Selatan, lebih daripada di daerah lain di

dunia. Daerah ini juga mempunyai persentase yang tinggi, yaitu rata-rata

47% dari total keseluruhan anak yang hidup dengan HIV, dimana lebih 90%

yang terinfeksi melalui penularan vertikal dari ibu ke bayi selama kehamilan,

persalinan atau menyusui.2 Tanpa pengobatan, sekitar 25% -50% dari ibu

HIV-positif akan menularkan virus ke bayi mereka selama kehamilan,

bersalin, atau menyusui.3

Pada tahun 2007, lebih dari 2 juta anak di seluruh dunia yang hidup

dengan HIV /AIDS, dengan mayoritas berada di wilayah sub-Sahara Afrika.

Sekitar 400.000 bayi tertular HIV dari ibu mereka setiap tahun, yaitu sekitar

15% dari total kejadian global HIV. Tingkat infeksi HIV pediatrik di Afrika sub-

Sahara tetap tinggi, dengan lebih dari 1.000 bayi baru lahir terinfeksi HIV per

2

Page 3: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

hari.3 Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dikurangi sampai kurang

dari 5% melalui kombinasi langkah-langkah pencegahan penularan dari ibu

ke anak atau yang dikenal dengan PMTCT (Prevention Mother to Child

Transmission), termasuk terapi ARV (antiretroviral) untuk ibu hamil dan anak

yang baru lahir. PMTCT dimulai selama ANC (antenatal care), ketika wanita

melakukan tes HIV dan menerima hasilnya bahwa dia positif HIV.

Rekomendasi di bagian sub-Sahara Afrika adalah terapi ARV diberikan pada

wanita selama kehamilan, saat persalinan, dan selama masa nifas atau

sementara pemberian ASI eksklusif. Bayi juga harus menjalani tes HIV

secara berkala dan minum obat untuk mencegah penularan virus sementara

ia disusui.2

PMTCT dapat mengurangi risiko penularan vertikal HIV menjadi

kurang dari 1%. Penularan HIV dari ibu ke bayi hampir lenyap di Amerika

Serikat dan Eropa, tetapi terus menjadi masalah besar yang tak terkendali di

negara-negara Afrika. Pemanfaatan PMTCT di sub-Sahara Afrika telah

meningkat secara signifikan selama dekade terakhir, tetapi masih jauh dari

yang diharapkan. Pada tahun 2003, hanya 3% dari ibu hamil yang HIV-positif

di wilayah ini dimanfaatkan untuk melakukan PMTCT. Persentase ini

meningkat drastis menjadi 33% pada tahun 2007 dan 53% pada tahun 2010.

Sayangnya, ini masih menyisakan sekitar setengah dari semua perempuan

hamil yang HIV-positif tidak memanfaatkan PMTCT, menempatkan mereka

pada risiko tinggi untuk menularkan virus kepada bayi mereka. 3

II. EPIDEMIOLOGI

Penularan HIV/AIDS terjadi akibat kontak cairan tubuh yang

mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual

maupun heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi

komponen darah dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya,

Oleh karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS, misalnya

3

Page 4: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan pelanggannya, serta

narapidana.1

Namun infeksi HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan

masyarakat, baik kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika

pada awalnya, sebagian besar ODHA berasal dari kelompok homoseksual

maka kini telah terjadi pergeseran dimana persentase penularan secara

heteroseksual dan pengguna narkotika semakin meningkat. Beberapa bayi

yang telah terbukti tertular HIV dari ibunya menunjukkan tahap yang lebih

lanjut dari tahap penularan heteroseksual.1

Sejak tahun 1985 sampai tahun 1996, kasus AIDS masih amat jarang

ditemukan di Indonesia. Sebagian besar ODHA pada pariode itu berasal dari

kelompok homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin

meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan

tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik.

Sampai dengan terinfeksi HIV adalah pada akhir maret 2005 tercatat 6789

kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Jumlah itu tentu masih sangat jauh dari

jumlah sebenarnya. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002

memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah

antara 90.000 sampai 130.000 orang.1

Sebuah survei yang dilakukan di Tanjung Balai Karimun menunjukkan

peningkatan jumlah pekerja seks komersil (PSK) yang terinfeksi HIV yaitu

dari 1% pada tahun 1995/1996 menjadi lebih dari 8,3% pada tahun 2000.

Sementara itu survei yang dilakukan pada tahun 2000 menunjukkan angka

infeksi HIV yang cukup tinggi di lingkungan PSK di Merauke, yaitu 5-26,5%,

3,36% di Jakarta Utara, dan 5,5% di Jawa Barat.1

Fakta yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa peningkatan infeksi

HIV yang semakin nyata pada pengguna narkotika. Padahal sebagian besar

ODHA yang merupakan pengguna narkotika adalah remaja dan usia dewasa

4

Page 5: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

muda yang merupakan kelompok usia produktif. Pengguna narkotika suntik

mempunyai resiko tinggi untuk tertular oleh virus HIV yang dapat menular

melalui darah. Penyebabnya adalah penggunaan jarum suntik secara

bersamaan dan berulang yang lazim dilakukan oleh pengguna narkotika.

Survei yang dilakukan di RS Ketergantungan Obat di Jakarta menunjukkan

peningkatan kasus infeksi HIV pada pengguna narkotika yang sedang

menjalani rehabilitasi yaitu 15% pada tahun 1999, meningkat cepat menjadi

40,8 pada tahun 2000, dan 47,9 pada tahun 2001. Bahkan suatu survei di

sebuah kelurahan di Jakarta Pusat dilakukan oleh Yayasan Pelita Ilmu

menunjukkan 93% pengguna narkotika terinfeksi HIV. 1

Surveilens pada donor darah dan ibu hamil biasanya digunakan

sebagai indikator untuk menggambarkan infeksi HIV/AIDS pada masyarakat

umum. Jika pada tahun 1990 belum ditemukan darah donor di Palang Merah

Indonesia (PMI) yang tercemar HIV, maka pada periode selanjutnya

ditemukan infeksi HIV yang jumlahnya makin lama makin meningkat.

Persentase kantung darah yang dinyatakan tercemar HIV adalah 0,002%

pada periode 1992/1993, 0,003% pada periode 1994/1995, 0,004% pada

periode 1998/1999 dan 0,016% pada tahun 2000. Survei yang dilakukan

pada tahun 1999-2000 pada beberapa klinik KB, puskesmas dan rumah sakit

di Jakarta yang dipilih secara acak menemukan bahwa 6 (1,12%) ibu hamil

dari 537 orang yang bersedia menjalani tes HIV ternyata terinfeksi HIV.1

Mortalitas maternal pada penderita HIV/AIDS dihubungkan oleh

berbagai keadaan, yaitu hampir setengah dari 42 juta orang hidup dengan

HIV adalah wanita dengan usia reproduksi. Selain itu, lebih dari 2 juta yang

terinfeksi HIV adalah wanita hamil, lebih dari 90% dari mereka terdapat di

negara berkembang, sementara 600.000 wanita meninggal di awal tahun

karena komplikasi dari kehamilan dan persalinan.4 Infeksi HIV pada wanita

hamil berkisar dibawah 1% sampai 40% pada negara-negara yang berbeda.

5

Page 6: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

Peningkatan penderita AIDS yang tertinggi berada di negara afrika,

walaupun prevalensi di beberapa negara Asia patut dipertimbangkan.

Prevalensi angka kejadian telah menurun dibeberapa wilayah, seperti

Uganda dan diketahui bahwa penderita AIDS yaitu wanita yang mempunyai

usia yang lebih muda jumlahnya mulai menurun di negara Afrika Selatan,

tetapi prevalensi masih tinggi di wilayah lainnya. Terjadi peningkatan jumlah

wanita hamil yang terinfeksi oleh HIV dengan komplikasi yang berefek pada

angka mortalitas maternal.4

Saat ini terdapat 33 juta orang yang hidup dengan HIV/AIDS, 15 juta

diantaranya adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak dengan usia

kurang dari 15 tahun. Transmisi penularan HIV dari ibu ke anaknya dapat

dihitung dari besarnya infeksi yang didapat oleh anaknya sendiri. Penularan

dari ibu ke anak dapat terjadi melalui intrauterin, intrapartum dan selama

menyusui. Tanpa adanya pengobatan antiretroviral, faktor risiko infeksi pada

wanita yang dapat ditularkan ke anak berkisar antara 16 hingga 40%.

Menyusui merupakan faktor risiko penularan yang berperan hanya 10%.

Obat-obatan antivirus yang diberikan pada ibu hamil yang terinfeksi HIV dan

bayinya secara signifikan dapat mengurangi risiko penularan dari ibu ke

anak. Dengan pengobatan antriretroviral menyebabkan jumlah virus HIV

yang rendah, tidak menyusui dan operasi sesaria elektif, penularan HIV ke

anak dapat diturunkan sekitar 0 hingga 2%. 5

III. DEFINISI

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu penyakit

retrovirus epidemik, menular yang disebabkan oleh infeksi Human

Immunodeficiency Virus, yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai

depresi berat imunitas selular, dan mengenai kelompok risiko tertentu,

termasuk pria homoseksual atau biseksual, penyalahgunaan obat-obatan

intravena, penderita hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya,

6

Page 7: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

hubungan seksual dari individu yang terinfeksi HIV, dan bayi baru lahir dari

ibu yang terinfeksi virus tersebut. 6

IV. ETIOLOGI

Penyebab AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah

sejenis virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Ini adalah

suatu virus RNA berbentuk sferis dengan diameter 1000 angstrom yang

termasuk retrovirus dari family Lentiviridae. Strukturnya terdiri dari lapisan

luar atau envelop yang terdiri atas glikoprotein gp 120 yang melekat pada

glikoprotein gp 4. Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri dari

protein p17. Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p 24.

Didalam inti terdapat komponen penting berupa dua buah rantai RNA dan

enzim reverse transcriptase.7

Dikenal dua serotipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut

Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), dimana virus ini pertama kali

diisolasi oleh Luc M4ontagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun

1983. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) yang

tersering, penyebarannya lebih luas di hampir di seluruh dunia,sedangkan

HIV 2 ditemukan pada pasien-pasien dari Afrika barat dan Portugal dahulu

dikenal juga sebagai human T cell-lymphotropic virus tipe III (HTLV-III),

lymphadenophaty associated virus (LAV) dan AIDS associated virus. HIV 2

lebih mirip dengan monkey virus yang disebut SIV (Simian Immunodeficiency

Virus), antara HIV 1 dan HIV 2 intinya mirip , tetapi selubungnya berbeda.7

Genom HIV mengkode sembilan protein yang esensial untuk setiap

aspek siklus hidup virus. Dari segi struktur genom, virus-virus memiliki

perbedaan yaitu bahwa protein HIV-1,Vpu, yang membantu pelepasan virus,

tampaknya diganti oleh protein Vpx pada HIV-2. Vpx meningkatkan

infekstivitas (daya tular) dan mungkin merupakan duplikasi dari protein lain,

Vpr. Vpr diperkirakan meningkatkan trasnkripsi virus. HIV-2 yang pertama kali

7

Page 8: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

diketahui dalam serum ini para perempuan Afrika Barat (warga Senegal)

pada tahun 1985, menyebabkan penyakit klinis tetapi tampaknya kurang

patogenik dibandingkan dengan HIV-1.8

Gambar 4.1 Struktur dasar virus HIV 9

V. PATOGENESIS

Limfosit CD4 merupakan target utama infeksi HIV karena virus

mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4

berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting.

Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang

progresif. Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut

Simian Immunodeficiency Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4

dan monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh antigen presenting cells

ke kelenjar getah bening regional. Pada model ini, virus dideteksi pada

kelenjar getah bening dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar

getah bening yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan hibridasi in

situ dalam 7 sampai 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari

setelah infeksi.1

8

Page 9: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah

bening berhubungan dengan puncak antigenemia p26. Jumlah sel yang

mengekspresikan virus di jaringan limfoid kemudian menurun secara cepat

dan dihubungkan sementara dengan pembentukan respon imun spesifik.

Insiden dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8.

Walaupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respon sel limfosit CD8

menyebabkan kontrol optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada

pada keadaan “steady state” beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini

bertahan relatif stabil selama beberapa tahun, namun lamanya sangat

bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan

demikian juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu, adalah heterogenitas

kapasitas replikatif virus dan heterogenitas intrinsik pejamu.1

Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi.

Namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus

telah menurun sampai ke level “steady state”. Walaupun antibodi ini

umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus,

namun ternyata tidak dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar dari

netralisasi oleh antibodi dengan melakukan adaptasi pada envelopnya,

termasuk kemampuannya mengubah situs glikosilasinya, akibatnya

konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga netralisasi yang diperantarai

antibodi tidak dapat terjadi.1

Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala

tertentu. Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut,

3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri

menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare atau batuk.

Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa

tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada

sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat

9

Page 10: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya lambat (non-

progressor). Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA

mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat

badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah

bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes.1

Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak

menunjukkan gejala, secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang

terinfeksi HIV akan memburuk, dan akhirnya pasien menunjukkan gejala

klinik yang makin berat, pasien masuk tahap AIDS. Manifestasi awal dari

kerusakan kekebalan tubuh adalah kerusakan mikro arsitektur folikel kelenjar

getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid, yang dapat dilihat

dengan pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian besar replikasi HIV terjadi

di kelenjar getah bening, bukan diperedaran darah tepi. 1

Siklus Replikasi HIV adalah sebagai berikut : 10

1. Terjadi fusi dari sel HIV ke permukaan sel inang.

2. Dengan bantuan enzim reverse transcriptase, RNA HIV terintegrasi dan

virus protein lainnya memasuki sel inang.

3. DNA virus terbentuk akibat proses transkripsi terbalik.

4. DNA virus diangkut melintasi inti dan terintegrasi ke dalam DNA inang.

5. RNA virus baru digunakan sebagai RNA yang digunakan untuk membuat

protein virus.

6. RNA virus baru dan protein pindah ke permukaan sel yang baru dan

masih imatur, terbentuklah virus HIV baru.

7. Virus matang oleh enzim protease HIV dan melepaskan protein individu.

10

Page 11: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

Gambar 5.1 Siklus Replikasi HIV.10

Respon Imun Terhadap Infeksi HIV

Segera setelah terpajan HIV, individu akan melakukan perlawanan

immun yang intensif. Sel-sel B menghasilkan antibodi-antibodi spesifik

terhadap berbagai protein virus. Di temukan antibodi netralisasi terhadap

regio-regio di gp120 selubung virus dan bagian eksternal gp 41. Deteksi

antibodi adalah dasar bagi berbagai uji HIV (misalnya, enzyme linked

immunosorbant assay /ELISA). Di dalam darah dijumpai kelas antibodi

immunoglobulin G (IgG) maupun immunoglobulin M (IgM), tetapi seiring

dengan menurunnya titer IgM, titer IgG (pada sebagian besar kasus) tetap

tinggi sepanjang infeksi. Antibodi IgG adalah antibodi utama yang digunakan

dalam uji HIV. Antibodi terhadap HIV dapat muncul dalam 1 bulan setelah

infeksi awal dan pada sebagian besar orang yang terinfeksi HIV muncul

dalam 6 bulan setelah terinfeksi. 8

11

Page 12: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

Produksi immunoglobulin diatur oleh limfosit T CD4, dimana sel limfosit

T CD4 diaktifkan oleh sel penyaji antigen (APC) untuk menghasilkan

berbagai sitokin seperti IL-2 yang membantu merangsang sel B untuk

membelah dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Sel plasma ini kemudian

menghasilkan immunoglobulin yang spesifik untuk antigen yang

merangsangnya. Sitokin IL-2 penting dalam aktivitas intrasel. CD4 berfungsi

untuk mengeluarkan berbagai sitokin yang memperlancar proses-proses

misalnya produksi immunoglobulin dan pengaktifan sel T tambahan dan

makrofag. Dua sitokin spesifik yang dihasilkan oleh limfosit ( CD4,IL-2 dan

interferon gamma berperan dalam imunitas seluler. Pada kondisi normal,

limfosit CD4 mengeluarkan interferon gamma yang menarik makrofag dan

mengintensifkan reaksi immun terhadap antigen. Namun apabila limfosit CD4

tidak berfungsi dengan benar maka produksi interferon gamma akan

menurun. IL-2 penting untuk memfasilitasi tidak saja produksi sel plasma

tetapi juga pertumbuhan dan aktivitas antivirus sel CD8 dan replikasi limfosit

CD4. Limfosit CD4 tidak mampu membelah diri sehingga timbul fenomena

yang disebut anergi. 8

Teori lain menyatakan adanya peran pembentukan sinsitium. Pada

pembentukan sinsitium, limfosit CD4 yang tidak terinfeksi berfusi dengan sel-

sel yang terinfeksi sehingga mengalami banyak sel yang tidak terinfeksi.

Akhirnya, menurunnya jumlah limfosit CD4 mungkin disebabkan oleh

terbentuknya virus-virus baru melalui proses pembentukan tunas, virus-virus

tersebut menyebabkan rupturnya membran limfosit CD4 yang secara efektif

mematikan sel tersebut. Apapun teori yang menjelaskan berkurangnya

limfosit CD4, gambaran utama pada infeksi HIV tetaplah deplesi sel-sel

tersebut. Deplesi limfosit CD4 tersebut bervariasi di antara para pengidap

infeksi HIV. Sebagian faktor yang mempengaruhinya adalah fungsi sistem

12

Page 13: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

imun pejamu (misalnya : penyakit kongenital, metabolik, defisiensi gizi) atau

perbedaan strain virus.8

VI. PENGARUH HIV/AIDS PADA KEHAMILAN

Penularan HIV-1 dapat terjadi di dalam rahim (intrauterin), pada saat

persalinan (intrapartum), atau postnatal melalui menyusui. Bukti transmisi

dalam rahim yaitu terjadi dalam 8 minggu kehamilan, infeksi berasal dari

deteksi HIV-1, dimana virus di isolasi yang diambil dalam spesimen janin dan

jaringan plasenta, didapatkan sekitar 20% -60% dari bayi yang terinfeksi

pada saat lahir, didapatkan antigen p24 diserum janin. Bukti dalam transmisi

intrapartum di dapat dari pengamatan kelahiran bayi kembar, yang

menemukan bahwa bayi kembar yang lahir pertama kali memiliki risiko dua

kali lipat lebih tinggi tertular HIV-1 dibandingkan dengan bayi kembar yang

lahir kedua. 11

Paparan janin terhadap virus dalam cairan serviko-vaginal diperkirakan

sangat berperan. Selain itu, laporan terbaru menunjukkan bahwa cara

persalinan dapat mempengaruhi tingkat transmisi. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa pecahnya ketuban lebih dari 4 jam dapat meningkatkan

risiko penularan HIV. Sekitar setengah dari bayi yang terinfeksi, akan

memiliki studi virus negatif pada waktu kelahiran. Transmisi postnatal lebih

banyak ditemukan di negara Afrika.11

Kontribusi masing-masing transmisi dari keseluruhan tampaknya belum

menunjukkan bahwa penularan di dalam rahim jarang terjadi dan sebagian

besar infeksi terjadi pada saat persalinan atau pada akhir kehamilan.

Kesimpulan ini berdasarkan tidak ditemukannya sindrom dismorfik HIV-1,

kurangnya manifestasi infeksi HIV-1 pada kelahiran dan temuan bahwa HLV-

1 terdeteksi pada minggu pertama kehidupan. Virus terdeteksi dalam waktu

48 jam setelah lahir, keadaan ini dianggap bayi telah terinfeksi selama

kehamilan. Sedangkan infeksi intrapartum diasumsikan jika studi virus negatif

13

Page 14: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

selama minggu pertama kehidupan, namun akan menjadi positif antara 7 dan

90 hari kemudian. 11

Tabel 5.1 Faktor Yang Mempengaruhi Transmisi HIV dari Ibu ke Janin. 11

VIRUS Genotip dan fenotip virus

Resistensi virus & jumlah virus

MATERNAL Status immunologis ibu

Status nutrisi ibu

Faktor perilaku

Pengobatan ART

OBSTETRI Pecah ketuban (>4 jam)

Cara persalinan

Perdarahan intrapartum

Prosedur obstetric

FETAL Prematuritas

BAYI Menyusui

Faktor traktus gastrointestinal

Sistem immun immature

1. FAKTOR VIRUS

Transmisi penularan virus HIV meningkat dengan adanya peningkatan

viremia ibu. Pengamatan klinis dengan pengembangan teknik baru untuk

pengukuran virus, seperti Polymerase kuantitatif Chain Reaction (PCR) DNA

dan RNA, telah terbukti bahwa adanya peningkatan viral load ibu dan risiko

penularan dari ibu ke anak. Lebih dari setengah perempuan dengan viral load

> 50 000 RNA/ml pada saat persalinan telah terbukti dapat menularkan virus.

14

Page 15: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

Dalam sebuah studi Prancis, tingkat penularan meningkat dengan

meningkatnya viral load yaitu 12% pada mereka yang mempunyai jumlah

viral load kurang dari 1000 RNA/ ml dibandingkan dengan 29% pada mereka

dengan yang mempunyai jumlah viral load >10.000 RNA/ml. Viral load lokal

dalam sekresi cairan serviko-vaginal dan dalam ASI juga penting dalam

penentu risiko intrapartum dan menyusui.11

Adanya penyakit menular seksual, peradangan, kekurangan respon

imun lokal dapat mempengaruhi virus. Transmisi pasca kelahiran dikaitkan

dengan kehadiran virus HIV-1 yang terinfeksi dalam ASI. Pemberian ART

pada ibu selama kehamilan diperkirakan dapat mengurangi penularan virus,

ditandai dengan pengurangan viral load, meskipun mekanismenya mungkin

juga termasuk post-exposure prophylaxis pada anak setelah lahir, seperti

penggunaan AZT telah terbukti dapat mengurangi penularan. ART mungkin

lebih efektif dalam mencegah penularan.11

Sejumlah sub tipe HIV-1 atau kelompok clade telah di identifikasi,

dengan perbedaan distribusi geografis. Terdapat sedikit bukti tentang

pengaruh sub tipe pada infeksi atau transmisi, meskipun beberapa penelitian

telah menunjukkan peningkatan kemampuan in vitro dari sub tipe E untuk

menginfeksi sel epitel dari vagina dan leher rahim. Sub tipe dapat

mempengaruhi sel tropisme virus, dan pada gilirannya dapat mempengaruhi

infektifitas melalui rahim ataupun melalui infeksi genital atau dalam ASI.

Kebanyakan penelitian tentang varian virus pada ibu dan anak-anak telah

menunjukkan bahwa strain di bayi adalah bagian dari virus ibu. Fenotip virus

yang berbeda menunjukkan perbedaan tropisme jaringan. Makrofag tropik

non syncytium inducing (NSI) muncul dan diwariskan kepada anak ataupun

cucu ketika strain ibu yang dominan adalah syncytium inducing. 11

2. FAKTOR MATERNAL

15

Page 16: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

Pemaparan berulang terhadap strain virus yang berbeda melalui

kehamilan terjadi melalui hubungan seksual dan merupakan mekanisme

yang bertanggung jawab atas peningkatan yang diamati dalam setiap kasus

HIV. Perkembangan resistensi terhadap AZT selama kehamilan telah terbukti

jarang, tetapi keprihatinan telah diungkapkan bahwa kemungkinan

pengembangan strain yang resisten terhadap HIV-1 pada wanita yang

menerima monoterapi AZT selama kehamilan dapat berakibat lebih tinggi

pada penularan kehamilan berikutnya. 11

Penularan dari ibu ke anak lebih mungkin disebabkan oleh penurunan

status kekebalan ibu, tercermin dari jumlah CD4. Studi Kolaboratif Eropa

(ECS) menemukan bahwa ada peningkatan risiko penularan dari ibu ke anak

jika CD4 ibu jumlahnya berada di bawah 700/mm3. Transmisi meningkat

hampir linear dengan penurunan jumlah CD4. Terdapat hasil yang

bertentangan tentang peran antibodi dalam mencegah transmisi. Beberapa

penelitian telah menunjukkan bahwa peningkatan antibodi ibu adalah terkait

dengan menurunnya transmisi. Wanita yang menularkan virus HIV dalam

rahim mungkin memiliki tingkat antibodi yang autologous daripada mereka

yang tidak menularkan, atau pada wanita-wanita di mana penularan terjadi

secara intrapartum. 11

Satu laporan menyatakan bahwa ada korelasi antibodi ibu pada

wilayah karboksi gp41 envelop glikoprotein dengan berkurangnya transmisi

vertikal. Keterlibatan imunitas sel-T spesifik dalam patogenesis transmisi ibu

ke anak belum dapat ditentukan. Sedikit yang mengetahui tentang peran

antibodi mukosa HIV-1 dan pelepasan virus dalam saluran kelamin yang

dapat mempengaruhi tingkat penularan intrapartum. Infeksi melalui menyusui

dikaitkan dengan kurangnya IgM dan IgA dalam ASI.11

Serum vitamin A dengan ibu yang terinfeksi positif HIV-1 menunjukkan

adanya korelasi dengan risiko transmisi dalam studi Malawi. Rata-rata tingkat

16

Page 17: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

vitamin A pada ibu yang menularkan virus ke anak-anak mereka secara

signifikan lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak tertular. Wanita yang

mempunyai kadar vitamin A yang rendah, yaitu 1,4 umol/l memiliki risiko

tinggi 4,4 kali lipat tertular. Dalam suatu studi AS menunjukkan terdapat

hubungan antara rendahnya kadar vitamin A dengan tingkat penularan,

sedangkan penelitian kohort lain memang menunjukkan adanya korelasi.

Mekanisme efek vitamin A belum diketahui secara pasti, tetapi terdapat

pengaruh vitamin A pada integritas mukosa vagina atau plasenta dan sifat

stimulasi kekebalan vitamin.11

Beberapa faktor perilaku telah dikaitkan dengan peningkatan penularan

dari ibu ke anak, termasuk merokok dan penggunaan obat-obatan. Hubungan

seks selama kehamilan telah dikaitkan dengan peningkatan risiko penularan

dari ibu ke anak. Penularan 30% ditunjukkan pada wanita yang memiliki lebih

dari 80 episode hubungan seks tanpa kondom selama kehamilan

dibandingkan dengan mereka yang terlindungi sebesar 9,1%. Hal ini mungkin

disebabkan oleh peningkatan konsentrasi atau keanekaragaman jenis virus

HIV-1, atau efek dari serviks atau peradangan vagina atau lecet. Peningkatan

terjadinya korioamnionitis sebelumnya telah dilaporkan terkait dengan

aktivitas seksual pada kehamilan. Adanya penyakit menular seksual selama

kehamilan telah berkorelasi dengan peningkatan risiko transmisi, dan PMS

telah terbukti meningkatkan pelepasan virus melalui sekresi cairan serviko-

vaginal.11

Faktor plasenta telah terlibat dalam penularan virus dari ibu ke anak.

Infeksi plasenta dengan HIV-1 ditandai dengan adanya sel Hofbauer, dan sel-

sel trofoblas yang mengekspresikan CD4 + yang rentan terhadap infeksi.

Sebuah asosiasi antara peningkatan transmisi dan adanya korioamnionitis

digambarkan di awal epidemi. Infeksi plasenta lain dan kondisi non-menular

seperti solusio plasenta juga telah terlibat. Merokok dan penggunaan narkoba

17

Page 18: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

dapat meningkatkan transmisi melalui gangguan pada plasenta. Di daerah

tinggi prevalensi malaria, infeksi plasenta umum terjadi selama kehamilan.11

3. FAKTOR OBSTETRI

Mayoritas penularan dari ibu ke bayi terjadi pada saat persalinan, faktor

obstetrik merupakan penentu penting penularan. Mekanisme yang terjadi

pada saat intrapartum adalah kontak kulit secara langsung, yaitu kontak

antara selaput lendir bayi dan ibu melalui sekresi cairan serviko-vaginal

selama persalinan. HIV-1 yang terdapat dalam cairan sekresi serviko-vaginal

akan meningkat empat kali lipat selama kehamilan. Semakin tinggi tingkat

infeksi pada anak kembar sulung mungkin karena pemaparan yang lama oleh

sekresi cairan serviko-vaginal. Dalam penelitian kohort menyatakan bahwa

kelahiran prematur, perdarahan intrapartum dan prosedur persalinan terkait

dengan risiko penularan. Faktor-faktor lain seperti tindakan episiotomi dan

persalinan operatif telah terlibat dalam beberapa studi.11

Pecahnya ketuban dalam waktu yang lama telah dikaitkan dengan

peningkatan risiko penularan pada sejumlah penelitian dan merupakan faktor

risiko yang penting. Dalam studi di Amerika, durasi pecahnya ketuban lebih

dari empat jam hampir dua kali lipat terjadinya risiko infeksi. Persalinan

melalui operasi sesaria elektif dapat menyebabkan tingkat transmisi kurang

dari 1%. 11

4. FAKTOR JANIN

Faktor genetik janin mungkin memainkan peran dalam transmisi. Sedikit

yang belum mengetahui tentang peran faktor-faktor genetik seperti delesi

CCR-5 delta 32 dan HLA kompatibilitas ibu dan bayi dalam penentuan risiko

penularan. Kesesuaian HLA antara bayi dan ibu telah dikaitkan dengan

peningkatan risiko penularan. Telah dilaporkan bahwa bayi prematur

mempunyai tingkat penularan HIV-1 yang lebih tinggi. Wanita dengan jumlah

18

Page 19: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

CD4 yang rendah lebih cenderung memiliki kelahiran prematur, yang

mungkin mempengaruhi temuan ini. Peningkatan infeksi terlihat pada anak

kembar sulung dan telah banyak dilaporkan sebagai bukti transmisi

penularan secara intrapartum. Faktor janin lain mungkin termasuk koinfeksi

dengan patogen lain, nutrisi janin dan status kekebalan janin.11

5. FAKTOR BAYI

Menyusui merupakan faktor yang sangat berperan dalam penularan virus

dari ibu ke anak, dimana lebih dari 30% infeksi HIV perinatal akan terjadi

melalui ASI. Keadaan ini kurang umum di dapatkan pada negara maju,

dimana sebagian besar perempuan HIV-positif tidak akan menyusui. Faktor-

faktor pelindung dalam ASI yaitu mucin, antibodi HIV, laktoferin, dan

sekretorik leukosit PI (SLPI). Sebuah meta analisis studi penularan melalui

menyusui menunjukkan risiko tambahan penularan melalui menyusui menjadi

antara 7 hingga 22%, setara dengan dua kali lipat dari tingkat penularan.

Sebuah studi Soweto telah menunjukkan tingkat transmisi 18% pada susu

formula bayi dibandingkan dengan 42% pada ASI. 11

Selama menyusui, risiko penularan yang diperkirakan sekitar 30%. Risiko

penularan melalui ASI juga mungkin tergantung pada faktor-faktor lain,

seperti stadium penyakit ibu, abses payudara, mastitis, puting yang retak,

kadar vitamin A pada ibu dan sariawan pada anak. Di negara Zimbabwe,

sebuah penelitian menunjukkan bahwa 31% ibu yang menyusui yang telah

terinfeksi HIV-1 terbukti memiliki penyakit puting aktif. Penularan terjadi pada

akhir transmisi postnatal, setelah usia enam bulan, telah dijelaskan dalam

sejumlah studi, di Abidjan, 12% bayi yang lahir dari ibu HIV-1 positif

didiagnosis setelah usia enam bulan, tetapi mungkin telah terinfeksi

sebelumnya. 11

19

Page 20: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

Risiko penularan postnatal juga mungkin berkaitan dengan faktor-faktor

lain pada bayi baru lahir. Masuknya HIV dapat terjadi melalui saluran

gastrointestinal setelah proses pencernaan virus dalam rahim atau saat lahir.

Terdapat penurunan keasaman, berkurangnya lendir, dan aktivitas IgA lebih

rendah yang dapat mempermudah penularan. Bayi baru lahir dengan sistem

kekebalan tubuh yang rendah yaitu kekurangan makrofag dan sel T

menyebabkan mudah terjadinya infeksi. 11

VII. TANDA & GEJALA

VII.1 HIV positif tanpa gejala

Banyak orang dengan HIV-positif tidak memperlihatkan

gejala. Seringkali orang hanya mulai merasa sakit ketika masuk pada

periode AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Kadang-kadang

orang hidup dengan HIV melalui periode sakit dan kemudian merasa baik-

baik saja.12

Sementara virus itu sendiri kadang-kadang dapat menyebabkan orang

merasa sakit, sebagian besar gejala yang parah dan penyakit HIV berasal

dari infeksi oportunistik yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Penting

untuk diingat bahwa beberapa gejala infeksi HIV mirip dengan gejala penyakit

pada umumnya, seperti flu, atau infeksi saluran pernapasan atau

pencernaan.12

VII.2 Tanda dan Gejala Tahap Awal Infeksi HIV

Pada 2-4 minggu awal setelah terpapar HIV (sampai 3 bulan

kemudian), seseorang dapat mengalami penyakit akut, sering digambarkan

sebagai flu berat. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut (ARS),

atau Infeksi primer HIV, ini merupakan respon alami tubuh terhadap infeksi

HIV. Selama infeksi primer HIV, terjadi peningkatan virus yang beredar dalam

20

Page 21: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

darah, yang berarti bahwa orang dapat lebih mudah menularkan virus kepada

orang lain. Gejalanya bisa berupa :12

1. Demam2. Ruam3. Panas dingin4. Ruam5. Berkeringat di malam hari6. Nyeri otot7. Sakit tenggorokan8. Kelelahan9. Pembengkakan kelenjar getah bening10.Ulkus di mulut

a. Infeksi Akut

Terjadi segera setelah infeksi HIV, antibodi anti-HIV tidak terdeteksi,

sementara terdapat RNA HIV atau antigen p24. Infeksi baru terjadi pada

umumnya hingga 6 bulan setelah infeksi selama antibodi anti-HIV

terdeteksi. Sepanjang tahap ini merupakan infeksi awal HIV atau merujuk ke

infeksi HIV akut atau baru.13

Sekitar 40% sampai 90% diperkirakan pasien dengan infeksi HIV akut

akan mengalami gejala sindrom retroviral akut, ditandai dengan demam,

limfadenopati, faringitis, ruam kulit, mialgia/arthralgia, dan gejala

lainnya. Bagaimanapun juga infeksi HIV sering tidak terkenali karena mirip

dengan banyak infeksi virus lainnya, seperti influenza dan infeksi

mononukleosis. Infeksi akut juga dapat tanpa gejala.13

Selama periode infeksi, sejumlah besar virus sedang diproduksi dalam

tubuh. Virus ini menggunakan sel CD4 untuk meniru dan menghancurkan sel.

Oleh karena jumlah CD4 dapat menurun dengan cepat, akhirnya respon imun

memulai untuk membawa virus dalam tubuh kembali ke suatu tingkat yang

disebut set point virus , yang merupakan tingkat relatif stabil virus dalam

21

Page 22: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

tubuh. Pada titik ini, jumlah CD4 mulai meningkat, tapi mungkin tidak kembali

ke tingkat pra-infeksi.12

b. Diagnosis Infeksi HIV akut

Infeksi HIV akut biasanya didefinisikan sebagai terdeteksinya RNA HIV

atau antigen p24, yang terakhir sering digunakan saat ini adalah tes antigen

atau antibodi (Ag/Ab), tes kombinasi HIV dalam serum atau plasma. Ketika

sindrom retroviral akut dicurigai pada pasien dengan hasil tes antibodi HIV

negatif atau tak tentu, tes RNA HIV harus dilakukan untuk mendiagnosis

infeksi akut . Tingkat RNA HIV-positif yang rendah (<10.000 kopi/ mL)

mungkin merupakan hasil tes positif palsu karena nilai-nilai dalam infeksi akut

umumnya sangat tinggi (> 100.000 kopi / mL).13 

Sebuah diagnosis dugaan infeksi HIV akut dapat dilakukan atas dasar

hasil tes antibodi HIV negatif atau tak tentu dan hasil tes RNA HIV

positif. Namun, jika hasil tes RNA HIV rendah-positif, tes harus diulang

menggunakan spesimen yang berbeda dari pasien yang sama. Hal ini sangat

tidak mungkin bahwa tes kedua akan memproduksi hasil positif

palsu.  Skrining rutin untuk infeksi akut merupakan pilihan untuk penggunaan

Ag/Ab, tes HIV sebagai tes skrining HIV primer atau untuk menguji semua

sampel negatif antibodi HIV RNA.13

Kombinasi tes HIV Ag/Ab (ARCHITECT HIV Ag/Ab Combo dan GS HIV

Combo Ag/Ab) sekarang disetujui oleh Food and Drug Administration, namun

tes yang tersedia saat ini tidak membedakan antara hasil tes antibodi yang

positif dan hasil antigen positif. Jadi HIV Ag/spesimen Ab-reaktif harus diuji

dengan uji antibodi, dan jika hasil tes negatif atau tak tentu dan jika dicurigai

adanya infeksi HIV akut, lebih lanjut dilakukan tes RNA HIV.  Pasien yang

didiagnosis dugaan dengan infeksi HIV akut harus memiliki pengujian

22

Page 23: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

serologis diulang selama 3 sampai 6 bulan ke depan untuk mengetahui

adanya serokonversi.13

VII.3 Tanda dan Gejala Tahap Kronis atau Fase Laten Infeksi HIV

Setelah infeksi awal, virus menjadi kurang aktif dalam tubuh. Selama

periode ini , banyak orang tidak memiliki gejala infeksi HIV . Periode ini

disebut "periode kronis" atau "fase laten". Periode ini bisa bertahan

sampai 10 tahun kadang-kadang lebih lama. 12

Periode Laten terjadi setelah tahap akut infeksi HIV, penyakit

bergerak ke tahap yang disebut  latency klinis . Periode ini kadang-kadang

disebut infeksi HIV tanpa gejala atau infeksi HIV kronis. Selama fase ini,

diproduksi virus HIV yang rendah, meskipun masih aktif. Seseorang dapat

bertahan dengan terdeteksinya viral load dan jumlah CD4 yang sehat tanpa

menggunakan obat selama tahun-tahun pada awal fase ini. Seseorang

mungkin tidak memiliki gejala atau infeksi oportunistik . Periode ini bisa

bertahan hingga 8 tahun atau lebih. Penting untuk diingat bahwa tubuh masih

bisa menularkan HIV kepada orang lain selama fase ini. Menjelang

pertengahan dan akhir periode ini, viral load mulai meningkat dan jumlah

CD4 mulai turun. Oleh karena itu tubuh akan mulai mengalami gejala

konstitusional HIV sebagai peningkatan virus dalam tubuh.12

VII.4 AIDS

Seseorang akan didiagnosis AIDS Karena jumlah sel CD4 mulai

menurun di bawah 200 sel/mm3 dalam darah (< 200 sel/mm3), (Jumlah CD4

normal adalah antara 500 dan 1.600 sel/mm3.) Ini adalah tahap infeksi yang

terjadi ketika sistem kekebalan tubuh rusak parah dan tubuh akan menjadi

rentan terhadap infeksi oportunistik. Tanpa pengobatan, orang yang

didiagnosis dengan AIDS biasanya bertahan sekitar 3 tahun. Setelah

23

Page 24: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

seseorang memiliki infeksi oportunistik yang berbahaya, harapan hidup jatuh

sekitar 1 tahun.12

VIII. PENEGAKAN DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis dilakukan dengan menggunakan sistem CDC (

centers for disease control dan prevention classification system) dan WHO

(World Health Organization). Dikatakan AIDS jika telah terinfeksi virus HIV

dengan jumlah CD4 < 200 sel/ul atau persentase CD4 < 14% yang

dihubungkan dengan tanda dan gejala dari adanya infeksi kuman HIV.

Sistem CDC digunakan untuk kepentingan klinik dan penelitian epidemiologi.

Berbeda dengan sistem WHO, klasifikasi dari sistem WHO digunakan

berdasarkan manifestasi klinik yang ditemukan.14

VIII.1 Klasifikasi Diagnosis Infeksi HIV Menurut Sistem CDC

Kategori CDC HIV/AIDS diambil berdasarkan adanya penurunan sel

CD4 dan kondisi yang berhubungan dengan diagnosis HIV. Sebagai contoh,

jika pasien ditemukan dengan kondisi yang termasuk kriteria kategori B tetapi

tanpa gejala, pasien tersebut dapat dimasukkan ke dalam kategori B.

Sebagai tambahan, pengkategorian berdasarkan kondisi spesifik, sesuai

indikasi di bawah. Pasien yang termasuk kategori A3,B3 dan C1-C3 dianggap

terdiagnosis HIV.14

Tabel 8.1 Sistem Klasifikasi CDC pada Infeksi HIV pada Anak & Remaja.14

Jumlah Sel CD4 Kategori klinik

ATanpa gejala, HIV fase akut atau PGL

B*Bergejala, tidak termasuk kategori A atau C

C#

AIDS-sesuai dengan indikasi

(1) ≥500 cells/µL A1 B1 C1(2) 200-499 cells/µL A2 B2 C2(3) <200 cells/µL A3 B3 C3

24

Page 25: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

1. Kategori B Kondisi bergejala

Kategori B dengan kondisi bergejala merupakan kondisi yang terjadi saat

infeksi HIV pada remaja dan dewasa yang ditemukan pada kriteria, yaitu :

mereka yang terkait dengan infeksi HIV atau terindikasi memiliki kelainan

pada imunitas sel mediated dan mereka yang termasuk memilliki gejala

klinik atau pertimbangan terapi bagi mereka yang telah mengalami

komplikasi akibat infeksi HIV. Contoh yang termasuk kriteria adalah

dibawah ini :14

1. Angiomatosis basiler2. Candidiasis orofaring (thrush)3. Candidiasis vulvovaginalis, persisten atau resisten4. Pelvic inflammatory disease (PID)5. Cervical dysplasia (sedang atau berat) atau (cervical carcinoma in situ)6. Hairy leukoplakia oral7. Herpes zoster, melibatkan dua atau lebih kekambuhan atau

setidaknya satu dermatom8. Purpura Idiopathic thrombocytopenia9. Constitutional symptoms, seperti demam (>38.5ºC) atau diare >1

bulan10.Neuropati perifer

2. Kategory C (AIDS Indikator bergejala)14

1. Bakterial pneumonia, bersifat rekuren (dua atau lebih episode dalam 12 bulan)

2. Kandidiasis pada bronkus, trakhea, atau paru-paru

3. Kandidiasis esofagus

4. Cervical carcinoma invasive, dikonfirmasi dengan biopsi

5. Coccidioidomycosis, yang telah menyebar atau terdapat diluar paru

6. Cryptococcosis ekstrapulmoner

7. Cryptosporidiosis kronik intestinal (durasi >1 bulan)

8. Penyakit Cytomegalovirus

9. Ensefalopati, yang terkait HIV

25

Page 26: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

10.Herpes simpleks: Ulkus kronik (durasi >1 bulan), atau bronkhitis,

pneumonitis, atau esophagitis

11.Histoplasmosis, yang telah menyebar atau terdapat diluar paru

12. Isosporiasis kronik intestinal (durasi >1 bulan)

13.Sarkoma Kaposi

14.Limfoma Burkitt, immunoblastik, atau primary central nervous system

15.Mycobacterium avium complex (MAC) atau Mycobacterium kansasii,

disseminated atau ekstrapulmoner

16.Mycobacterium tuberculosis, pulmonary or extrapulmonary

17.Pneumocystis jiroveci (formerly carinii) pneumonia (PCP)

18.Progressive multifokal leukoencephalopathy (PML)

19.Salmonella septicemia, rekuren (non tifoid)

20.Toxoplasmosis di otak

21.Wasting syndrome karena HIV (hilangnya berat badan >10 kg )

disertai dengan diare kronik

VIII.2 Klasifikasi Diagnosis Infeksi HIV Menurut Sistem WHO

Penentuan stadium berdasarkan penemuan klinis yang didapatkan

dari diagnosis, evaluasi dan pengelolaan HIV/AIDS yang tidak disertai hasil

CD4. Sistem stadium ini banyak digunakan dibanyak negara untuk

menentukan kelayakan penggunaan ART (anti retrovirus). Stadium klinis

dikategorikan dari stadium 1 sampai 4. Tahap ini ditentukan oleh kondisi

klinis dan gejala tertentu dan tidak bergantung oleh jumlah CD4. Sistem

stadium digunakan di berbagai negara untuk pertimbangan pemberian terapi

antiretrovirus. Stadium klinis dikategorikan dari stadium 1 sampai stadium 4,

yang dimulai saat terjadi infeksi HIV primer. Dibawah ini adalah kondisi klinis

atau gejala dan tanda yang didapatkan pada pasien yang terinfeksi HIV.

26

Page 27: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

Pada sistem stadium menurut WHO, remaja dan orang dewasa di definisikan

sebagai individu yang berusia lebih dari atau sama dengan usia 15 tahun.14

Tabel 8.2 STADIUM KLINIS HIV/AIDS UNTUK REMAJA DAN DEWASA

BERDASARKAN WHO.15

STADIUM KLINIS I

Asimptomatik Limfadenopati Generalisata Persisten

STADIUM KLINIS II

Penurunan berat badan bersifat sedang yang tak diketahui penyebabnya (<10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)

Infeksi saluran pernafasan yang berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis media, faringitis)

Herpes zoster Keilitis angularis Ulkus mulut yang berulang Papular pruritic eruption Infeksi jamur pada kuku Dermatitis seboroik

STADIUM KLINIS III

Penurunan berat badan bersifat berat yang tak diketahui penyebabnya (lebih dari 10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)

Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1 bulan

Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya (bersifat intermitten atau konstan lebih dari 1 bulan)

Kandidiasis pada mulut yang menetap Oral hairy leukoplakia Tuberkulosis paru Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema,

meningitis, piomiositis, infeksi tulang atau sendi, meningitis, bakteremia)

Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis

27

Page 28: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

Anemia yang tak diketahui penyebabnya (<8g/dl), netropenia (<0.5 x 109/l) dan/atau trombositopenia kronis (<50 x 10 9/l)

STADIUM KLINIS IV

Sindrom wasting HIV Pneumonia Pneumocystis jiroveci Pneumonia bakteri berat yang berulang Infeksi herpes simplex kronis (orolabial,genital, atau anorektal

selama lebih dari 1 bulan atau viseral di bagian manapun) Kandidiasis esofageal (atau kandidiasis trakea, bronkus atau paru) Tuberkulosis ekstra paru Sarkoma Kaposi Penyakit Cytomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain ) Toksoplasmosis di sistem saraf pusat Ensefalopati HIV Kriptokokus ekstrapulmoner, termasuk meningitis Infeksi mycobacteria non tuberkulosis yang menyebar Leukoensepfalopati multifokal progresif Cyrptosporidiosis kronis Isosporiasis kronis Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis) Limfoma (serebral atau Sel B non-Hodgkin) Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV yang simtomatik Septikemi yang berulang (termasuk Salmonella non-tifoid) Karsinoma serviks invasif Leishmaniasis diseminata atipikal

IX. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK HIV

Rekomendasi: 

Tes laboratorium diagnostik HIV harus dilakukan secara lengkap.

Pengujian asam nukleat HIV (NAT) untuk mendeteksi RNA HIV atau DNA

HIV dianjurkan untuk menetapkan diagnosis infeksi pada bayi yang lahir dari

ibu yang terinfeksi HIV-1. Dokter harus menggunakan tes antibodi HIV

dengan konfirmasi Western blot atau uji imunofluoresensi secara tidak

langsung untuk menetapkan diagnosis infeksi HIV kronis. Tes skrining

28

Page 29: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

antibodi HIV termasuk enzim immunoassay (ELISA/EIA), chemiluminescent

immunoassay (CIAS), dan Rapid tes.16

Pasien dengan hasil tes antibodi HIV negatif, harus melakukan

pengulangan tes selanjutnya pada 3 bulan kemudian. Bagi individu yang

pada tes HIV mempunyai hasil negatif pada 3 bulan tetapi terus terlibat dalam

perilaku risiko tinggi, maka dokter harus mendiskusikan strategi harm

reduction yang berorientasi pada tujuan, termasuk rujukan untuk layanan

konseling, dan pengulangan tes HIV setidaknya setiap 3 bulan. Dokter harus

mengevaluasi pasien infeksi HIV akut, terutama ketika mereka datang

dengan demam, flu, atau seperti penyakit yang tidak dapat dijelaskan.

Termasuk mereka yang datang dengan kriteria dibawah ini : 16

1. Mereka yang melaporkan telah melakukan kontak seksual dengan

pasangan yang diketahui terinfeksi HIV atau pasangan yang tidak

diketahui status HIVnya terdahulu.

2. Pria yang melaporkan memiliki hubungan seksual yang tidak aman

dengan pria lain.

3. Mereka yang pernah melakukan penggunaan jarum suntik secara

bergantian. 

4. Mereka yang datang dengan infeksi menular seksual yang baru di

diagnosa.

5. Mereka yang datang dengan meningitis aseptik.

6. Pasien hamil atau menyusui.

Jika diduga infeksi HIV akut, maka dilakukan tes skrining serologis HIV

yaitu tes HIV RNA plasma assay, tes RNA plasma assay dilakukan jika tes

skrining serologis adalah negatif. Dilakukan tes kombinasi generasi keempat

yang merupakan tes skrining serologis, jika :16

29

Page 30: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

1. Deteksi HIV RNA atau tidak adanya antibodi HIV harus dianggap

sebagai hasil positif awal, tes HIV RNA dari spesimen baru harus

diulang segera untuk mengkonfirmasi adanya HIV RNA.

2. Tes HIV RNA harus diulang untuk menyingkirkan hasil positif palsu

ketika hasil kuantitatif memberikan hasil yang rendah (<5.000 kopi /

mL) dari tes HIV RNA dilaporkan tidak adanya bukti serologis infeksi

HIV.

Tes HIV serologis harus diulang 2 sampai 3 minggu setelah diagnosis.

Tes HIV RNA dilakukan untuk mengkonfirmasi infeksi. Namun, dokter tidak

harus menunggu hasil tes serologis untuk konfirmasi adanya infeksi HIV dan

untuk memulai terapi ARV. Ketika wanita hamil didiagnosis dengan infeksi

HIV akut melalui tes HIV RNA disarankan untuk segera memberikan terapi

ARV.16

Teknologi immunoassay HIV telah berkembang untuk memasukkan

antigen dalam meningkatkan deteksi varian virus, seperti deteksi HIV-1 dan

HIV-2. Penggunaan kombinasi HIV-1 atau HIV-2 melalui pemeriksaan enzim

immunoassay (EIA atau ELISA), chemiluminescent immunoassay (CIAS),

dan Rapid tes dapat mendeteksi jenis HIV-1 dan HIV-2.  Ketika dicurigai

infeksi HIV akut, segera lakukan tes viral load HIV, diikuti oleh tes antibodi.

Kemudian dilakukan konfirmasi 3 sampai 6 minggu. Kebanyakan tes HIV

RNA akan mendeteksi infeksi HIV akut 7 sampai 14 hari setelah terpapar

HIV. 16

IX.1. Tes Antibodi

30

Page 31: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

Deteksi antibodi HIV adalah metode yang paling umum untuk

mendiagnosis infeksi HIV pada orang dewasa dan anak-anak yang berusia >

18 bulan.  Antibodi ini biasanya terdeteksi dalam waktu 3 sampai 6 minggu

setelah infeksi, dan hampir semua individu serokonversi terjadi pada minggu

ke-12.  Namun, dalam kasus yang jarang terjadi, antibodi mungkin tidak

terdeteksi selama berbulan-bulan. Jika keadaan ini terjadi, maka tes harus

ditindaklanjuti dengan tes antibodi HIV pada 3 bulan kemudian untuk

mengidentifikasi infeksi HIV pada individu dengan eksposur baru. 16

Pengujian serologis saat ini dilakukan dengan alat tes skrining yang

sangat sensitif (yaitu, ELISA / EIA, CIA, atau Rapid tes), dan spesimen positif

awal ditindaklanjuti dengan uji konfirmasi yang sangat spesifik (yaitu,

Western Blot). Tes antibodi juga dapat dilakukan pada cairan oral dan sampel

urin.  Istilah "reaktif," "tidak reaktif," dan "tak tentu" digunakan untuk

menggambarkan hasil pemeriksaan dari tes konfirmasi. 16

31

Page 32: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

1. Tes Skrining Antibodi HIV-1

Tes skrining serologi antibodi relatif mudah untuk dilakukan. Semua

rapid tes yang tersedia saat ini yang paling komersial dan program skrining

kesehatan masyarakat mengandalkan teknologi berbasis ELISA. FDA telah

menyetujui tes cairan tubuh selain tes darah untuk mendeteksi antibodi

terhadap HIV-1 dan HIV-2.  Tes Sensitivitas dan spesifisitas tergantung pada

prevalensi HIV. Cairan biologis yang diperiksa (yaitu, seluruh darah, plasma,

serum, cairan mulut, urin, dll). Selama bertahun-tahun, kemajuan teknologi

telah meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas tes ini, namun, metodologi

tes umum tetap sama.16

ELISA dapat digunakan secara kombinasi untuk mendeteksi antibodi

atau antigen virus sebagai reagen deteksi. ELISA generasi keempat, yang

sebelumnya telah digunakan hanya dalam penyaringan darah, dengan

menggabungkan kedua antigen dan metodologi deteksi antibodi.  Generasi

keempat ini, ELISA menggabungkan deteksi antigen p24 HIV dan antibody

HIV-1 atau HIV-2. Karena antigen HIV p24 dihasilkan oleh virus, akan

mungkin terdeteksi sebelum seorang individu menghasilkan antibodi

terhadap HIV, waktu untuk deteksi HIV akan menurun dengan pengujian ini.

Alat tes skrining yang tersedia (yaitu, rapid tes, ELISA, dan CIAS) dengan

menggunakan antigen rekombinan dan telah nyata memperpendek jangka

waktu antara infeksi dan deteksi antibodi, deteksi antibodi terhadap infeksi

HIV-1 sekarang rata-rata 21 hari setelah terpapar, sekitar 1 minggu lebih

lama dari deteksi oleh NAT.16

32

Page 33: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

Sampel yang reaktif dengan ELISA diuji lebih lanjut dengan alat yang

lebih spesifik untuk mengkonfirmasi infeksi. Sampel reaktif dengan ELISA

dilaporkan memberikan hasil negatif untuk HIV. Tidak ada pengujian lebih

lanjut untuk sampel dilaporkan sebagai hasil yang negatif. Antibodi terhadap

HIV-1 juga terdeteksi dalam urin. FDA berlisensi bahwa HIV-1 pada

pemeriksaan ELISA tersedia untuk mendeteksi antibodi, seperti pada tes

skrining antibodi, metode ini membutuhkan konfirmasi dengan WB.16

2.  Konfirmasi Tes antibodi HIV-1

Tes konfirmasi untuk spesifisitas HIV akan meningkat jika digunakan

bersama dengan tes skrining. Manfaat dari tes konfirmasi antibodi HIV-1 ini

adalah untuk memastikan bahwa orang yang telah di tes skrining

memberikan hasil yang reaktif dan untuk membuktikan tidak adanya

kesalahan dalam identifikasi infeksi HIV. Salah satu tes antibodi HIV-1

adalah konfirmasi Western blot. Konfirmasi Western blot (WB) merupakan

standar emas untuk tes diagnostik HIV. Antibodi serum pada pasien HIV

dapat mengikat protein dalam membran. Tiga band virus utama HIV adalah

protein inti p24 dan dua protein envelop gp41 dan gp 120 atau gp

160. Dikatakan Western blot reaktif jika terdapat antibodi terhadap dua dari

tiga band utama. Spesimen yang reaktif dengan ELISA dan reaktif oleh uji

konfirmasi Western blot dilaporkan sebagai hasil yang positif yaitu terdapat

antibodi terhadap HIV-1. 16

33

Page 34: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

Sampel yang berulang kali reaktif dengan ELISA tetapi tidak reaktif

dengan uji konfirmasi Western blot menandakan hasil yang negatif untuk

antibodi terhadap HIV-1. Untuk tindak lanjutnya jika hasil negatif adalah

mengulangi tes antibodi HIV dalam 1 bulan kemudian. 16

3.  Skrining Antibodi HIV-2

Rekomendasi: 

Tes skrining antibodi HIV-2 dilakukan jika tes skrining kombinasi HIV-1

atau HIV-2 menghasilkan hasil reaktif dan tes Western Blot HIV-1

menghasilkan hasil yang tak tentu atau tidak reaktif, maka diperlukan

pengujian tambahan dengan ELISA untuk mendeteksi HIV-2. Spesimen yang

secara khusus reaktif untuk antibodi HIV-2 memerlukan tes konfirmasi HIV-

2.16

XI.2 Tes Identifikasi Virus

1.  DNA Polymerase Chain Reaction (PCR DNA)

Rekomendasi:

Pemeriksaan PCR DNA digunakan hanya untuk mendeteksi infeksi

pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1. Semua PCR DNA dengan

hasil positif harus dikonfirmasi dengan tes PCR DNA kedua pada spesimen

terpisah.  Tes PCR DNA merupakan cara yang paling terkenal untuk

amplifikasi asam nukleat. Prosedur kualitatif ini sangat sensitif karena dapat

mendeteksi antara 1 dan 10 salinan provirus DNA HIV-1 per sampel. Karena

sensitivitas yang sangat tinggi dalam pengujian ini, sejumlah kecil masalah

noise dalam lingkungan atau kontaminasi selama proses di laboratorium

dapat menyebabkan amplifikasi produk yang dapat menghasilkan reaksi

34

Page 35: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

positif palsu.  Semua hasil awal PCR DNA yang bernilai positif memerlukan

konfirmasi dengan tes PCR DNA kedua pada spesimen terpisah. Saat ini,

penggunaan diagnostik PCR DNA HIV-1 hanya direkomendasikan untuk

mendeteksi infeksi pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1.16

2.  Tes HIV RNA Plasma

Rekomendasi: 

Merupakan tes viral load HIV yang harus digunakan bersamaan dengan

tes antibodi HIV-1, tes ini berguna untuk mendiagnosis infeksi HIV akut atau

primer. Riwayat alami terinfeksi HIV akut dapat beraneka ragam sehingga

antibodi mungkin tidak terbentuk pada saat timbulnya gejala (2 sampai 6

minggu setelah paparan). Tes antibodi dari pasien ini akan sering

memberikan hasil negatif lemah atau positif lemah pada pemeriksaan ELISA

dan negatif pada pemeriksaan Western Blot. Namun, tingkat viral load yang

sangat tinggi selama infeksi akut, biasanya mulai dari 100.000 sampai lebih

dari 10 juta kopi / mL, dan terdeteksi sekitar 2 minggu sebelum

serokonversi. 16

Penggunan kedua pemeriksaan yaitu HIV assay RNA plasma dan tes

antibodi digunakan untuk menegakkan diagnosis. Rendahnya tingkat virus

(cut off sering < 5000 kopi / mL) mungkin menunjukkan hasil positif palsu dan

tidak bisa dianggap terdiagnosis infeksi HIV primer. Tes antibodi standar

harus diulang dalam 3 sampai 6 minggu . Tingkat viral load HIV selama

serokonversi tidak terlihat berbeda secara signifikan pada pasien yang

memiliki gejala akut dibandingkan dengan mereka yang tidak menunjukkan

gejala. 16

X. PENATALAKSANAAN

1. Konseling dan Tes Antibodi HIV terhadap Ibu

35

Page 36: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

Petugas yang melakukan perawatan antenatal di Puskesmas maupun

di tempat perawatan antenatal lain sebaiknya mulai mengadakan

pengamatan tentang kemungkinan adanya ibu hamil yang berisiko untuk

menularkan penyakit HIV kepada bayinya. Anamnesis yang dapat dilakukan

antara lain dengan menanyakan apakah ibu pemakai obat terlarang, perokok,

mengadakan hubungan seks bebas, dan lain-lainnya. Bila ditemukan kasus

tersebut di atas, harus dilakukan tindakan lebih lanjut. Risiko penularan HIV

secara vertikal dapat berkurang sampai 1-2% dengan melakukan tata

laksana yang baik pada ibu dan anak. Semua usaha yang akan dilakukan

sangat tergantung pada temuan pertama dari ibu-ibu yang berisiko.17

Oleh karena itu, semua ibu usia reproduksi yang akan hamil sebaiknya

diberi konseling HIV untuk mengetahui risiko, dan kalau bisa, sebaiknya

semua ibu hamil disarankan untuk melakukan tes HIV-1 sebagai bagian dari

perawatan antenatal, tanpa memperhatikan faktor risiko dan prevalensi HIV-1

di masyarakat. Akan tetapi, ibu hamil sering menolak untuk dilakukan tes

HIV, karena belum ada peraturan yang memaksa ibu hamil untuk di tes HIV.

Cukup banyak ibu hamil sudah terinfeksi HIV-1 pada saat masa pancaroba

dan dewasa muda yang justru pada masa ini mereka tidak terjangkau oleh

sistem pelayanan kesehatan. Padahal pada masa-masa ini banyak terjadi

penularan melalui hubungan seks bebas, dan juga banyak karena

penggunaan obat terlarang. Sebaiknya mereka harus diberi konseling dan

disarankan untuk dilakukan tes infeksi HIV-1.17

Kemudian, jika ditemukan ada ibu hamil yang terinfeksi HIV dan

sebagai pengguna obat terlarang, maka harus dimasukkan ke dalam program

pengobatan atau program detoksifikasi. Ibu yang sudah diketahui terinfeksi

HIV sebelum hamil, perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui jumlah

virus di dalam plasma, jumlah sel T CD4+, dan genotip virus. Juga perlu

diketahui, apakah ibu tersebut sudah mendapat antiretrovirus (ARV) atau

36

Page 37: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

belum. Data tersebut kemudian dapat digunakan sebagai bahan informasi

kepada ibu tentang risiko penularan terhadap pasangan seks, bayi, serta

cara pencegahannya. Selanjutnya, ibu harus diberi penjelasan tentang faktor

risiko yang dapat mempertinggi penularan infeksi HIV-1 dari ibu ke bayi.17

2. Pencatatan dan Pemantauan Ibu Hamil

Banyak ibu terinfeksi HIV hamil tanpa rencana. Ibu hamil sangat jarang

melakukan perawatan prenatal. Di samping itu, ibu-ibu ini sering terlambat

untuk melakukan perawatan prenatal. Kelompok ibu-ibu ini juga sangat

jarang melakukan konseling dan tes HIV pada waktu prenatal, sehingga

mereka tidak dapat dicatat dan dipantau dengan baik. Catatan medis yang

lengkap sangat perlu untuk ibu hamil terinfeksi HIV termasuk catatan tentang

kebiasaan yang meningkatkan risiko dan keadaan sosial yang lain,

pemeriksaan fisik yang lengkap, serta pemeriksaan laboratorium untuk

mengetahui status virologi dan imunologi. Pada saat penderita datang

pertama kali harus dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan ini

akan digunakan sebagai data dasar untuk bahan banding dalam melihat

perkembangan penyakit selanjutnya. Pemeriksaan tersebut adalah darah

lengkap, urinalisis, tes fungsi ginjal dan hati, amilase, lipase, gula darah

puasa, VDRL, gambaran serologis hepatitis B dan C, subset sel T , dan

jumlah salinan RNA HIV .17

Selanjutnya, ibu harus selalu dipantau. Cara pemantauan ibu hamil

terinfeksi HIV sama dengan pemantauan ibu terinfeksi HIV tidak hamil.

Pemeriksaan jumlah sel T CD4+ dan kadar RNA HIV -1 harus dilakukan

setiap trimester (yaitu,setiap 3-4 bulan) yang berguna untuk menentukan

pemberian ARV dalam pengobatan penyakit HIV pada ibu. Bila fasilitas

37

Page 38: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

pemeriksaan sel T CD4+ dan kadar HIV-1 tidak ada maka dapat ditentukan

berdasarkan kriteria gejala klinis yang muncul.17

3. Pengobatan dan Profilaksis Antiretrovirus (ARV) Pada Ibu yang

Terinfeksi HIV

Untuk mencegah penularan vertikal dari ibu ke bayi maka ibu hamil

terinfeksi HIV harus mendapat pengobatan atau profilaksis antiretrovirus

(ARV). Tujuan pemberian ARV pada ibu hamil, di samping untuk mengobati

ibu, juga untuk mengurangi risiko penularan perinatal kepada janin atau

neonatus. Ternyata ibu dengan jumlah virus sedikit di dalam plasma (<1000

salinan RNA/ml), akan menularkan HIV ke bayi hanya 22%, sedangkan ibu

dengan jumlah muatan virus banyak menularkan infeksi HIV pada bayi

sebanyak 60%. Jumlah virus dalam plasma ibu masih merupakan faktor

prediktor bebas yang paling kuat terjadinya penularan perinatal. Karena itu,

semua wanita hamil yang terinfeksi HIV harus diberi pengobatan

antiretrovirus (ARV) untuk mengurangi jumlah muatan virus.17

Pemilihan antiretrovirus untuk ibu hamil terinfeksi HIV sama dengan ibu

yang tidak hamil. Yang harus diketahui dari ibu hamil terinfeksi HIV adalah

status penyakit HIV (beratnya penyakit AIDS ditentukan berdasarkan

perhitungan sel T CD4+, perkembangan infeksi ditentukan berdasarkan

jumlah muatan virus, antigen p24 atau RNA/DNA HIV di dalam plasma),

riwayat pengobatan antiretrovirus saat ini dan sebelumnya, usia kehamilan,

dan perawatan penunjang yang diperlukan seperti perawatan psikiater,

nutrisi, aktivitas seksual harus memakai kondom, dan lain-lain. ARV cukup

aman diberikan kepada ibu hamil. Obat ini tidak bersifat teratogenik pada

manusia, dan tidak bersifat lebih toksik pada ibu hamil dibandingkan dengan

ibu tidak hamil. Walaupun demikian, pemantauan jangka pendek dan jangka

38

Page 39: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

panjang tentang toksisitas dari paparan sampai penggunaan kombinasi ARV

untuk janin di dalam kandungan dan pada bayi adalah sangat penting, karena

keterbatasan informasi, dan data yang ada sering tidak sesuai.17

Indikasi pemberian antiretrovirus pada wanita hamil sama dengan pada

wanita tidak hamil. Untuk wanita hamil yang sudah mendapat pengobatan

antiretrovirus, keputusan untuk mengganti obat adalah sama dengan wanita

tidak hamil. Rejimen kemoprofilaksis ZDV diberikan tunggal atau bersama

dengan antiretrovirus lain, mulai diberikan pada usia kehamilan 14 minggu

dan jangan ditunda. Karena dengan menunda maka efektivitasnya akan

menurun. Hal ini harus didiskusikan dan ditawarkan kepada seluruh ibu hamil

yang terinfeksi agar risiko penularan HIV perinatal berkurang.17

Walaupun keputusan pemilihan dan penggunaan ARV berbeda-beda,

umumnya keputusan dibuat berdasarkan pertimbangan : 1) risiko penyakit

berkembang pada ibu bila tanpa pengobatan, 2) manfaat untuk menurunkan

jumlah virus, agar risiko penularan perinatal berkurang, 3) kemungkinan

terjadi toksisitas obat, 4) kemungkinan ada infeksi oleh virus yang sudah

resisten obat, dan 5) efek paparan obat jangka panjang pada bayi dalam

kandungan.17

3.1 Golongan Obat ARV

Golongan obat anti-HIV pertama adalah nucleoside reverse

transcriptase inhibitor atau NRTI, juga disebut analog nukleosida. Obat

golongan ini menghambat perubahan genetik HIV dari bentuk RNA menjadi

bentuk DNA. Obat dalam golongan ini yang disetujui di AS dan masih dibuat

adalah :18

1. Lamivudine (3TC)

2. Abacavir (ABC)

3. Zidovudine (AZT/ZDV)

39

Page 40: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

4. Stavudine (D4T)

5. Didanosine (Ddl)

6. Emtricitabine (FTC)

7. Tenofovir (TDF)

Golongan obat kedua menghambat langkah yang sama dalam siklus

hidup HIV, tetapi dengan cara lain. Obat ini disebut nonnucleoside reverse

transcriptase inhibitor atau NNRTI, diantaranya adalah : 18

1. Delaviridine (DLV)

2. Evavirens (EFV)

3. Etravirine (ETV)

4. Nevirapine (NVP)

5. Rilpivirine (RPV)

Golongan ketiga ARV adalah protease inhibitor (PI). Obat golongan

ini menghambat pematangan virus. Obat golongan PI yang disetujui dan

masih dibuat di AS:18

1. Atazanavir (ATV)

2. Darunavir (DRV)

3. Fosamprenavir (FPV)

4. Indinavir (IDV)

5. opinavir (LPV)

6. Nelfinavir (NFV)

7. Ritonavir (RTV)

8. Saquinavir (SQV)

9. Tipranavir (TPV)

Golongan ARV keempat adalah fusion inhibitor. Obat golongan ini

mencegah pengikatan HIV pada sel. Dua obat golongan ini sudah disetujui di

AS:18

1. Enfuvirtide (T-20)

40

Page 41: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

2. Maraviroc (MVC)

Golongan ARV terbaru adalah integrase inhibitor (INI). Obat golongan

ini mencegah pemaduan kode genetik HIV dengan kode genetik pada sel.

Contoh dua obat ini adalah :18

1. Raltegravir (RGV)

2. Elvitegravir (EGV)

3.2 Pemberian Terapi Antiretrovirus (ARV) Berdasarkan WHO 2013

3.2.1 Kapan memulai pemberian ARV

Pemberian pengobatan secara dini dikaitkan dengan manfaat

pencegahan klinis HIV, keadaan ini dapat meningkatkan kelangsungan hidup

dan mengurangi kejadian infeksi HIV pada tingkat masyarakat. Pada

pedoman WHO 2013 merekomendasikan bahwa program HIV nasional yaitu

memberikan ART bagi semua orang dengan diagnosis HIV konfirmasi

dengan jumlah CD4 ≤ 500 sel/mm3, Pedoman ini memberikan prioritas untuk

memulai ART bagi mereka dengan penyakit HIV berat atau jumlah ≤ CD4

350 cells/mm3. Hal ini juga dianjurkan untuk memulai ART pada orang

dengan penyakit TB aktif dan koinfeksi HBV dengan penyakit hati yang berat,

semua wanita hamil dan menyusui dengan HIV, semua anak dengan usia

lima tahun hidup dengan HIV dan semua orang dengan HIV dalam hubungan

serodiskordan, tanpa memandang jumlah CD4.15

3.2.2 Pemberian ARV Pada Ibu Hamil & Menyusui

Rekomendasi Terbaru

1. Semua wanita hamil dan menyusui dengan HIV harus memulai triple

ARV yang harus dipertahankan selaa terdapat risiko penularan dari ibu ke

anak. Wanita yang memenuhi kriteria diatas dan mendapatkan

pengobatan ARV harus dilanjutkan seumur hidup.15

41

Page 42: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

2. Untuk alasan program dan operasional, semua wanita hamil dan

menyusui dengan HIV harus memulai ARV sebagai pengobatan seumur

hidup. 15

3. Di beberapa negara, pada wanita yang tidak memenuhi syarat untuk

pemberian ARV disarankan untuk menghentikan rejimen ARV selama

risiko penularan dari ibu ke anak risiko telah berhenti.15

Tabel 10.1 Rekomendasi Awal Pemberian ART Pada Remaja, Orang Dewasa, Ibu Hamil dan Menyusui dan Anak-anak.15

42

Page 43: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

Tabel 10.2 Pilihan Pemberian Terapi ARV

43

Page 44: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

Latar Belakang

Obat ARV yang digunakan untuk wanita hamil dan menyusui dengan

HIV bertujuan untuk menjaga kesehatan ibu dan mencegah anak terinfeksi.

Manfaat lainnya untuk mencegah penularan HIV secara seksual. Pedoman

WHO PMTCT 2010 merekomendasikan penggunaan ARV seumur hidup

untuk perempuan yang memenuhi syarat dalam pengobatan (berdasarkan

kriteria kelayakan 2010, yaitu jumlah CD4 ≤ 350 sel/mm3 atau berdasarkan

WHO stadium klinis penyakit 3 atau 4 ) dan pemberian ARV profilaksis untuk

PMTCT bagi wanita dengan HIV yang tidak memenuhi syarat untuk

mendapatkan pengobatan. Bagi mereka yang tidak memenuhi syarat untuk

44

Page 45: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

dua rejimen profilaksis yang direkomendasikan adalah “Opsi A”, yaitu AZT

untuk ibu selama kehamilan, dan dosis tunggal NVP ditambah AZT dan 3TC

untuk ibu saat melahirkan dan dilanjutkan selama seminggu postpartum, dan

"Opsi B" yaitu (triple obat ARV) bagi ibu selama kehamilan dan selama

menyusui. Profilaksis direkomendasikan untuk dimulai sedini mungkin, yaitu

pada usia kehamilan 14 minggu, dan pilihan penggunaan profilaksis

dilakukan selama empat sampai enam minggu peripartum, yaitu diberikan

obat NVP atau AZT untuk bayi, terlepas dari apakah ibu sedang menyusui.15

Pada tahun 2011, di Malawi dilaksanakan program pendekatan terbaru

untuk terapi ARV, yaitu pemberian terapi ARV seumur hidup bagi semua ibu

hamil dan menyusui dengan HIV tanpa melihat jumlah CD4 atau status klinis,

program tersebut dimasukkan dalam "Opsi B+". Pedoman 2013

merekomendasikan terapi ARV (triple ARV) untuk semua ibu hamil dan

menyusui dengan HIV selama periode risiko penularan dari ibu ke bayi dan

terapi ARV digunakan seumur hidup. Opsi A tidak lagi dianjurkan.15

Lini Pertama Pemberian ART Untuk Ibu Hamil dan Menyusui dan Obat

ARV Pada Bayi

Rekomendasi Terbaru

1. Dosis tetap kombinasi dari TDF + 3TC (atau FTC) + EFV yang

direkomendasikan sebagai lini pertama ART pada wanita hamil dan

menyusui adalah diberikan sekali sehari, termasuk wanita hamil pada

trimester pertama kehamilan dan wanita usia reproduksi. Rekomendasi ini

berlaku untuk pengobatan seumur hidup dan pemberian ART untuk

PMTCT dan kemudian dihentikan.15

2. Bayi dari ibu yang mendapatkan ART dan sedang menyusui harus

mendapatkan terapi profilaksis dengan NVP harian selama enam minggu.

Jika bayi menerima makanan pengganti, mereka harus diberikan terapi

45

Page 46: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

profilaksis harian selama empat sampai enam minggu dengan NVP harian

(atau AZT dua kali sehari). Profilaksis pada bayi harus dimulai pada saat

lahir atau ketika didapatkan HIV saat postpartum.15

Tabel 10.2 Pemberian Lini Pertama ART untuk Remaja, Dewasa, Ibu Hamil dan Menyusui dan Anak-anak.15

Tabel 10.3 Dosis Rekomendasi Pemberian Obat Antiretroviral.15

46

Page 47: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

Latar Belakang

47

Page 48: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

Berdasarkan pedoman WHO tahun 2010 pada PMTCT direkomendasikan

bahwa terdapat empat pilihan rejimen yang berbeda untuk wanita hamil dan

menyusui dengan HIV, yaitu : AZT + 3TC atau TDF + 3TC (atau FTC)

ditambah NVP atau EFV. Pemberian obat NVP dikhawatirkan karena dapat

memberikan efek toksik pada wanita hamil, maka rejimen yang dianjurkan

adalah triple ARV pada PMTCT yaitu : AZT + 3TC atau TDF + 3TC (atau

FTC) + EFV sebagai rejimen NNRTI. Rejimen alternatif adalah AZT + 3TC

ditambah LPV/r atau ABC.15

Berdasarkan pedoman WHO 2010 direkomendasikan bahwa pemberian

profilaksis yaitu NVP (atau AZT) selama empat sampai enam minggu sebagai

post exposure profilaksis diberikan kepada semua bayi baru lahir dari ibu

yang menerima rejimen triple ARV bertujuan untuk keperluan pengobatan

dan pencegahan. Pemberian profilaksis NVP harian pada bayi baru lahir dan

selama menyusui direkomendasikan jika ibu tidak menerima pengobatan

triple ARV.15

Alasan & Bukti Pendukung

Rejimen lini pertama yang ideal untuk wanita hamil dan menyusui dengan

HIV yaitu tersedia sebagai kombinasi dosis tetap, aman bagi wanita hamil

dan menyusui dan pada bayi mereka. Rejimen TDF + 3TC (atau FTC) + EFV

tersedia sebagai kombinasi dosis tetap sekali sehari dan merupakan

rekomendasi rejimen lini pertama untuk orang dewasa karena mudah

terjangkau. Keselamatan pada bayi merupakan isu penting untuk wanita

hamil dan menyusui dan pada bayi mereka serta wanita yang akan hamil.

Meskipun data menyebutkan bahwa pemberian EFV dan TDF digunakan

terbatas pada ibu hamil, lebih banyak data telah tersedia sejak tahun 2010

dan memberikan peningkatan jaminan untuk merekomendasikan TDF + 3TC

48

Page 49: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

(atau FTC) + EFV sebagai lini pertama rejimen ARV untuk wanita hamil dan

menyusui.15

Tabel 10.4 Dosis Rekomendasi Pemberian Profilaksis Pada Bayi Baru lahir : NVP.15

Infant age Daily dosing

Birtha to 6 weeksb

1. Birthweight 2000-2499 g2. Birthweight ≥ 2500 g

10 mg once daily15 mg once daily

> 6 weeks to 6 monthsc 20 mg once daily

> 6 months to 9 months 30 mg once daily

> 9 months until breastfeeding ends

40 mg once daily

a infants weighing <2000 g should receive mg/kg dosing; the suggested starting dose is 2 mg/kg once daily.

b recommended for 6 weeks, but 4 weeks may be considered in setting with replacement feeding.

c dosing beyond 6 weeks of age in special situations in which prolonged dosing of to 12 weeks should be considered

(such as the mother had limited ART and not being likely to be virally suppressed;the infants is identified as HIV

exposed after birth and is breastfeeding. This is based on the dosing required to sustain exposure among infants

of>100ng/ml with the least dose change

Tabel 10.5 Dosis Rekomendasi Profilaksis Pada Bayi Baru Lahir.19

Tidak ada data baru menginformasikan perubahan dalam rekomendasi

pada profilaksis pada bayi. Untuk bayi menyusui, dianjurkan pemberian NVP

49

Page 50: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

selama enam minggu, karena bayi menerima makanan pengganti empat

sampai enam minggu, pemberian NVP atau AZT tetap direkomendasikan.

Jika terjadi efek toksisitas dari NVP pada bayi maka harus dilakukan

penghentian obat, obat tersebut dapat digantikan dengan 3TC. Beberapa

studi telah aman digunakan profilaksis bayi selama menyusui dengan 3TC.15

Aturan pengobatan Alternatif: toksisitas, intoleransi atau kurangnya ketersediaan rejimen yang direkomendasikan. 15

      AZT direkomendasikan sebagai NRTI alternatif bagi wanita yang tidak

hamil dan yang tidak bisa menerima TDF. Mengingat bahwa AZT bersifat

aman pada wanita hamil dan menyusui. Untuk wanita yang tidak hamil dan

yang tidak bisa menggunakan EFV, yang direkomendasikan adalah NNRTI

alternatif, yaitu NVP. Namun, karena ART (triple ARV) sekarang dianjurkan

untuk wanita hamil dan menyusui tidak memandang jumlah CD4,

kekhawatiran pemberian NVP tetap tinggi pada ibu hamil dengan jumlah

CD4 yang tinggi. 15

Meskipun pedoman 2010 menyatakan bahwa manfaat dari NVP

sangat berisiko untuk wanita dengan jumlah CD4 250-350 sel/mm3. Data

keamanan pada perempuan dengan jumlah CD4 ≥ 350 sel/mm3 sangat

terbatas, dan telah ditemukan efek toksik pada hepar yang mengancam

nyawa ketika NVP digunakan setelah terpapar infeksi HIV dengan jumlah

CD4 yang tinggi. Namun, tinjauan sistematis baru-baru ini menyebutkan

bahwa risiko toksisitas nevirapin pada wanita hamil menunjukkan frekuensi

efek samping yang tidak lebih tinggi dari populasi dewasa umumnya.15

50

Page 51: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

Tabel 10.6 Perbedaan Pemberian ARV Profilaksis Pada Ibu dan Bayi Berdasarkan Skenario Klinik.15

51

Page 52: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

Tabel 10.7 Algoritma Rekomendasi untuk Wanita Hamil dan Menyusui Menurut WHO 2013. 15

52

Page 53: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

Tabel 10.8 Algoritma Rekomendasi untuk Wanita Hamil dan Menyusui Menurut WHO 2013. 15

53

Page 54: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

10.9 Algoritma Rekomendasi 2013 Penatalaksanaan HIV pada Remaja dan Dewasa.15

54

Page 55: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

XI. PERAWATAN

55

Page 56: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

XI.1 Perawatan Sebelum Kehamilan

Wanita yang terinfeksi HIV harus berkonsultasi adengan dokter

spesialisasi HIV sebelum mencoba untuk hamil. Beberapa obat HIV tidak

aman untuk dikonsumsi selama kehamilan, dan perlu dipertimbangkan

sebelum mencoba untuk hamil. Wanita yang terdeteksi tidak ada virus yang

dalam darah, memiliki risiko jauh lebih rendah menularkan virus HIV ke bayi

mereka daripada wanita yang memiliki virus yang terdeteksi dalam darah

mereka. Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk lebih memahami

bagaimana infeksi HIV dan pengobatan HIV mempengaruhi kesehatan

perempuan dan bayi. Kehamilan tampaknya tidak memperburuk HIV atau

meningkatkan risiko kematian akibat HIV. Hal ini tidak jelas apakah

pengobatan HIV atau HIV meningkatkan risiko komplikasi kehamilan, seperti

prematuritas, berat badan lahir rendah, dan kelahiran mati. 19

Namun, sangat jelas bahwa obat HIV tertentu, seperti AZT (ZDV atau

AZT) dan obat lain yang melewati plasenta, secara signifikan dapat

mengurangi risiko bahwa bayi akan terinfeksi HIV ketika obat tersebut

diminum selama kehamilan dan persalinan, dan kemudian diberikan kepada

bayi setelah melahirkan. Itulah sebabnya pedoman pengobatan HIV sangat

merekomendasikan kombinasi obat untuk mencegah penularan HIV kepada

bayi yang baru lahir dari ibu yang terinfeksi HIV. Umumnya, AZT diberikan

dengan obat lain sebagai bagian dari rejimen tiga jenis obat. Beberapa obat-

obatan HIV, seperti efavirenz, tidak boleh digunakan pada wanita yang

sedang merencanakan kehamilan. Bicarakan dengan dokter anda tentang

risiko dan manfaat dari penggunaan obat HIV selama kehamilan.19

X.2 Perawatan Selama Kehamilan

56

Page 57: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

Perempuan dengan HIV biasanya membutuhkan bantuan dari

beberapa penyedia layanan kesehatan selama kehamilan, termasuk seorang

spesialis HIV, penyedia layanan kesehatan primer, dan penyedia perawatan

kebidanan. Evaluasi awal setelah kehamilan dikonfirmasi, pasien harus

bertemu dengan spesialis HIV dan dokter kandungan dan selama kunjungan

tersebut akan membahas bagaimana mengatasi HIV selama kehamilan dan

mengurangi risiko penularan HIV ke bayi .19

Selama pemeriksaan awal, akan dilakukan tes darah untuk menentukan

jumlah virus HIV dalam darah (misalnya, viral load HIV) dan kekuatan sistem

kekebalan tubuh (misalnya, jumlah sel T CD4 ). Selain itu, juga dilakukan tes

darah lain untuk mengevaluasi kesehatan umum dan untuk memantau efek

samping obat. Selama kehamilan, kebanyakan wanita dengan HIV

disarankan untuk mengambil rejimen antiretroviral dengan menggunakan tiga

obat HIV. Bila mungkin, zidovudine (AZT) disertakan karena telah terbukti

secara signifikan mengurangi risiko penularan HIV ke bayi dan dianggap

aman untuk dikonsumsi selama kehamilan. Studi menunjukkan bahwa wanita

yang memulai pengobatan HIV pada awal kehamilan lebih mungkin untuk

memiliki jumlah virus yang rendah dalam darah. Namun, beberapa wanita

mungkin lebih suka untuk memulai setelah trimester pertama kehamilan

untuk menghindari paparan obat yang tidak perlu pada bayi. Pengobatan HIV

terus berlanjut sepanjang kehamilan untuk mencegah penularan HIV ke

bayi.19

Bahkan jika AZT tidak digunakan selama kehamilan, masih dianjurkan

bagi beberapa wanita selama proses melahirkan dan bayi yang baru lahir

selama enam minggu setelah kelahiran. Ada beberapa obat HIV yang tidak

boleh digunakan dalam kehamilan: meliputi kombinasi stavudine (d4T) dan

ddI (ddI) digunakan bersama-sama. Nevirapine umumnya tidak dimulai pada

perempuan dengan jumlah CD4 > 250/mm3. Efavirenz tidak harus dimulai

57

Page 58: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

selama trimester pertama kehamilan. Namun, wanita yang hamil selama

memakai efavirenz dapat melanjutkan pengobatan itu. Penggunaan USG

biasanya dianjurkan pada kehamilan 18 sampai 20 minggu untuk

mengevaluasi pertumbuhan janin. Tindak lanjut USG sering dianjurkan

selama trimester kedua atau ketiga untuk memonitor pertumbuhan janin.19

Obat HIV yaitu AZT diberikan selama persalinan ketika seorang

wanita tidak memiliki jumlah HIV yang rendah dalam darah dan telah

mendekati waktu persalinan, AZT membantu mengurangi risiko penularan

HIV. Wanita yang mengkonsumsi kombinasi obat HIV harus dilakukan terus

menerus mengikuti jadwal selama persalinan dimulai atau sebelum operasi

sesaria, hal ini membantu untuk memberikan perlindungan maksimal kepada

ibu dan bayi dan untuk meminimalkan risiko terjadinya resistensi obat.19

Cara paling aman untuk perempuan dengan HIV untuk melahirkan bayi

(yaitu dengan operasi sesaria elektif), dan tergantung pada viral load HIV

selama kehamilan. Manfaat dari kelahiran sesaria yang dijadwalkan adalah

dapat meminimalkan paparan bayi dari darah ibu dan cairan vagina di jalan

lahir. Risikonya bahwa kelahiran dengan sesaria dapat mengakibatkan

komplikasi pada ibu (perdarahan, infeksi, dll), dan mungkin lebih sulit untuk

pulih setelah operasi sesaria dibandingkan dengan persalinan normal. Wanita

hamil dengan HIV yang telah mengkonsumsi obat HIV selama kehamilan dan

memiliki viral load yang tidak terdeteksi pada 34-36 minggu kehamilan dapat

memilih untuk melakukan persalinan normal. 19

Wanita hamil dengan HIV yang telah mengkonsumsi obat HIV selama

kehamilan, tetapi memiliki viral load di atas 1.000/ mL pada 34-36 minggu

kehamilan biasanya disarankan untuk melakukan kelahiran dengan operasi

sesaria daripada persalinan pervaginam. Dalam situasi ini, operasi sesaria

biasanya dijadwalkan pada 38 minggu kehamilan. Wanita dengan viral load

antara 0 dan 1000 kopi / mL yang telah mengkonsumsi obat HIV selama

58

Page 59: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

kehamilan dapat memilih antara persalinan normal atau operasi sesaria.

Tidak ada informasi yang cukup dari studi untuk mengetahui apakah

persalinan sesaria mengurangi risiko penularan HIV ke bayi yang baru lahir.19

XI.3 Perawatan Setelah Persalinan

Setelah melahirkan, perempuan yang mengkonsumsi obat HIV selama

kehamilan harus mendiskusikan manfaat yang obat HIV. Layanan perawatan

dan dukungan yang berkelanjutan, termasuk perawatan medis terkait HIV,

dukungan psikososial, dan bantuan dengan keluarga berencana dan

pengendalian kelahiran, dapat membantu wanita untuk merawat kebutuhan

dirinya dan keluarganya. Perempuan HIV yang menyusui dapat menularkan

HIV kepada bayi. Dalam salah satu penelitian terhadap lebih dari 600

pasangan ibu-bayi dari Malawi, risiko penularan HIV ke bayi melalui ASI

adalah 7% untuk bayi yang disusui selama satu tahun dan 10% untuk bayi

yang disusui selama dua tahun.19

Di Amerika Serikat dan negara-negara kaya sumber daya alam

lainnya, air bersih dan susu formula sudah tersedia dan alternatif yang aman

untuk menyusui. Oleh karena itu, Amerika Serikat Public Health Service

merekomendasikan bahwa wanita di negara-negara kaya sumber daya yang

terinfeksi HIV tidak menyusui bayi mereka, bahkan jika wanita tersebut

memakai obat HIV. Sementara risiko penularan HIV melalui ASI dapat

diturunkan dengan obat HIV.19

Bayi yang baru lahir dari ibu HIV biasanya diobati dengan AZT

selama enam minggu pertama kehidupan. AZT dapat membantu untuk

mencegah bayi terinfeksi HIV sebagai akibat dari paparan darah ibu selama

persalinan. Biasanya, orang dewasa dan anak-anak menjalani tes antibodi

HIV untuk melihat apakah mereka terinfeksi HIV. Namun, tes antibodi HIV

tidak akurat pada bayi sejak antibodi HIV dapat ditransfer dari ibu ke bayi. Hal

ini dapat mengakibatkan bayi yang memiliki hasil tes HIV positif. Namun, ini

59

Page 60: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

tidak berarti bahwa bayi tentu memiliki infeksi HIV.Untuk alasan ini, tes

khusus yang secara langsung mengukur virus itu sendiri dilakukan pada bayi

untuk melihat apakah mereka terinfeksi yaitu tes virus khusus,tes PCR

(disebut PCR tes HIV) , jika hasilnya adalah negatif, maka bayi tidak

terinfeksi HIV.19

Studi pada bayi yang terkena AZT dan tidak terinfeksi HIV belum

menunjukkan peningkatan risiko masalah serius dengan pertumbuhan,

sistem kekebalan tubuh, fungsi otak, kanker, atau masalah lain untuk hingga

enam tahun. Namun, data jangka panjang mengenai keamanan obat HIV

selama kehamilan, terutama rejimen kombinasi, tidak tersedia. Akibatnya,

bayi dan anak-anak yang terkena obat antiretroviral selama kehamilan ibu

mereka harus dipantau selama hidupnya.19

60

Page 61: HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

61