Hipertensi
-
Upload
reza-rahardian -
Category
Documents
-
view
44 -
download
0
description
Transcript of Hipertensi
STATUS PENDERITA
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny.P
Umur : 48 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jatinegara 5/1 Sempor
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : PNS
Tanggal masuk RS : 16 Maret 2014
No.CM : 212506
II. ANAMNESIS
1. Keluhan utama : Pusing
2. Keluhan tambahan : Leher cengeng, mual dan kembung
3. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke IGD RS PKU Muhammadiyah Gombong pada
tanggal 16 Maret 2014 jam 11.50 dengan keluhan utama pusing. Keluhan
dirasakan mendadak sejak tadi pagi. Selain hal tersebut pasien merasakan
leher cengeng, perut mual dan kembung. Pasien menyangkal jika dadanya
berdebar debar, nyeri dada kiri, sesak, serta lemah pada kaki dan
tangannya. Pusing bertambah berat saat pasien beraktivitas dan berkurang
apabila pasien istirahat (tidur).
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat Hipertensi : sejak 2 tahun yang lalu
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
e. Riwayat Mondok dg keluhan serupa : 2 tahun yang lalu
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat Hipertensi : ayah pasien
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
e. Riwayat penyakit stroke : disangkal
6. Riwayat Sosial Ekonomi.
a. Diet
Sebelum pasien sakit, biasanya pasien makan 3 kali dalam sehari dan
memiliki kebiasaaan ngemil serta minum kopi.
b. Drug
Pasien tidak rutin meminum obat penurun tensi, terakhir konsumsi dan
cek tekanan darah 2 tahun yang lalu dan diberi obat amlodipin
1x10mg.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Vital Sign : TD : 180/100 mmHg
N : 88x/menit
RR : 20 x/menit
S : 36,30C
Tinggi Badan : 160 cm
Berat Badan : 75 kg
Status Gizi : overweight
A. Status Generalis
1. Pemeriksaan kepala
Bentuk kepala : Mesocephal, Simetris, Venektasi Temporal (-)
Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusi
merata.
Mata : simetris, Konjungtiva Anemis -/-, Sklera Ikterik
-/-, Refleks Pupil +/+ Normal, Isokor, diameter 3/3
mm, Edema Palpebra -/-
Telinga : discharge -/-, deformitas -/-
Hidung : discharge -/-, deformitas -/-
Mulut : bibir sianosis -/-
2. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), tidak teraba pembesaran kelenjar tyroid dan kelenjar
lymponodi, JVP 5+2 cm H2O.
3. Pemeriksaan Toraks
a. Paru
Inspeksi : dada simetris, ketinggalan gerak (-)
Palpasi : Vokal Fremitus paru kanan = paru kiri
Ketinggalan gerak (-)
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : SD vesikuler, RBH -/-, RBK -/-, Wh -/-
b. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tampak SIC V 2 jari Medial LMCS
Palpasi : Ictus Cordis tampak SIC V 2 jari Medial LMCS
Ictus Cordis kuat angkat (-)
Perkusi : Batas Jantung
Kanan atas SIC II LPSD
Kiri atas SIC II LPSS
Kanan bawah SIC IV LMCD
Kiri bawah SIC V 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2, Iregular, Murmur (-), Gallop (-)
4. Pemeriksaan Abdomen
Inspkesi : Cembung
Auskultasi : BU (+) N
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, Nyeri Tekan (+) epigastric
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
5. Pemeriksaan ekstermitas
Superior : Edema (-/-), Pucat (-/-), Sianosis -/-
Inferior : Edema (-/-), Pucat (-/-), Sianosis -/-
6. Status neurologi : Dalam batas normal
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil EKG tanggal 16 Maret 2014
Normal sinus rhytm
Hasil laboratorium tanggal 16 Maret 2014
Darah rutin
Hb : 13,4 g/dl
Leukosit : 4,49x103/ul
Eritrosit : 4,86 x103/ul
Trombosit : 197x103/ul
Hematocrit : 39,8%
Hitung jenis leukosit
B/E/N/L/M : 0,2/2,2/54,6/38,3/4,7
GDS : 97 mg/dl
Kol total : 201 mg/dl ↑
Trigliserida : 111 mg/dl
V. RESUME
1. Anamnesis
a. Pusing
b. Leher cengeng
c. Perut terasa mual dan kembung
d. RPD: riwayat hipertensi sejak 2 th yll pengobatan tidak teratur
(terakhir 2 th yll dengan diberi pengobatan berupa amlodipine
1x10mg)
e. RPK: ayah pasien juga menderita hipertensi
f. RPSOS: memiliki kebiasaan ngemil dan minum kopi dikala waktu
senggang
2. Pemeriksaan Fisik
a. KU/Kes : Tampak Sakit Sedang/ Compos Mentis
b. Vital Sign : Hipertensi Grade II
c. Status gizi : Overweight
d. Abdomen : Nyeri tekan epigastrium (+)
3. Pemeriksaan Penunjang
Peningkatan sedikit kolesterol total dari nilai normal
VI. DIAGNOSIS
Hipertensi grade II dan dyspepsia
VII.PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan di IGD
a. IVFD RL 20 tpm
b. Nifedipin 5mg (P.O)
2. Penatalaksanaan untuk di Bangsal
a. IVFD RL 20 tpm
b. Inj. Ranitidin 2x1 Ampul (I.V)
c. Captopril 2x25 mg (P.O)
d. Antasida syr 3x2 cth (P.O)
VIII. CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal Cat perkembangan Terapi
16/3/14
12.15
S: Pusing, leher cengeng,
mual dan kembung
O: KU/Kes:Sdg/CM
TD 140/90
Th/
C: S1>S2 reg M- G-
P: SDVes +/+ ST –
Abd: NT Epigastric +
A: HT Grade II dengan
perbaikan dan dyspespsia
IVFD RL 20 tpm
Inj. Ranitidin 2x1
Ampul (I.V)
Captopril 2x25 mg
(P.O)
Antasida syr 3x2 cth
(P.O)
17/3/14 S: pusing berputar, mual,
batuk
O: KU/Kes:Sdg/CM
TD 123/70
Th/
C: S1>S2 reg M- G-
P: SDVes +/+ ST –
Abd: NT Epigastric +
A: HT Grade II dengan
perbaikan, dyspespsia, dan
vertigo
Terapi dokter SpPD
IVFD RL 20 tpm
Inj. Ranitidin 2x1
Ampul (I.V)
Antasida syr 3x2 cth
(P.O)
Mertigo 3x1 tab (P.O)
Analsik 3x1 tab (P.O)
18/3/14 S: pusing berputar, batuk
O: KU/Kes:Sdg/CM
TD 137/80
Th/
C: S1>S2 reg M- G-
P: SDVes +/+ ST –
Abd: NT Epigastric -
A: HT Grade II dengan
Terapi pulang dari
dokter SpPD
Antasida syr 3x2 cth
(P.O)
Mertigo 3x1 tab (P.O)
Analsik 3x1 tab (P.O)
Ambroxol 3x1 tab
(P.O)
perbaikan, dyspespsia
dengan perbaikan, dan
vertigo
IX. PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
Ad Functionam : dubia ad bonam
HIPERTENSI
I. DEFINISI
Hipertensi adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan curah
jantung dan atau kenaikan pertahanan perifer (Soemantri dan Nugroho, 2006).
Menurut The Joint National Commitee of Prevention, Detection, Evaluation
and Treatment of The Blood Pressure (2004) dikatakan hipertensi jika
tekanan darah sistolik yang lebih besar atau sama dengan 140 mmHg atau
peningkatan tekanan darah diastolik yang lebih besar atau sama dengan 90
mmHg. Umumnya tekanan darah normal seseorang 120 mmHg/80 mmHg.
Hasil pemeriksaan tersebut dilakukan 2 atau lebih pemeriksaan dan dirata-
rata.
II. KLASIFIKASI HIPERTENSI
A. BERDASARKAN DERAJAT
Tabel 1.Klasifikasi derajat hipertensi berdasarkan JNC VII
Klasifikasi Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)
Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
HT gr 1 140-159 90-99
HT gr 2 ≥160 ≥100
B. BERDASARKAN ETIOLOGI
1. Hipertensi primer atau esensial
Hipertensi primer atau yang disebut juga hipertensi esensial
atau idiopatik adalah hipertensi yang tidak diketahui
etiologinya/penyebabnya.
Sebab-sebab yang mendasari hipertensi esensial masih belum
diketahui. Namun sebagian besar disebabkan oleh ketidaknormalan
tertentu pada arteri. Yakni mereka memiliki resistensi yang semakin
tinggi (kekakuan atau kekurangan elastisitas) pada arteri-arteri yang
kecil yang paling jauh dari jantung (arteri periferal atau arterioles), hal
ini seringkali berkaitan dengan faktor-faktor genetik, obesitas, kurang
olahraga, asupan garam berlebih, bertambahnya usia, dll (Gardner,
2007). Secara umum faktor-faktor tersebut antara lain:
a. Faktor Genetika (Riwayat keluarga)
Hipertensi merupakan suatu kondisi yang bersifat menurun
dalam suatu keluarga. Anak dengan orang tua hipertensi memiliki
kemungkinan dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi
daripada anak dengan orang tua yang tekanan darahnya normal
(Kumar dan Clark, 2004).
b. Ras
Orang-orang afro yang hidup di masyarakat barat mengalami
hipertensi secara merata yang lebih tinggi daripada orang berkulit
putih. Hal ini kemungkinan disebabkan karena tubuh mereka
mengolah garam secara berbeda (Beevers, 2002).
c. Usia
Hipertensi lebih umum terjadi berkaitan dengan usia,
khususnya pada masyarakat yang banyak mengkonsumsi garam.
Wanita premenopause cenderung memiliki tekanan darah yang
lebih tinggi daripada pria pada usia yang sama, meskipun
perbedaan diantara jenis kelamin kurang tampak setelah usia 50
tahun. Penyebabnya, sebelum menopause, wanita relatif terlindungi
dari penyakit jantung oleh hormon estrogen. Kadar estrogen
menurun setelah menopause dan wanita mulai menyamai pria
dalam hal penyakit jantung (Beevers, 2002).
d. Jenis kelamin
Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita
hipertensi daripada wanita. Hipertensi berdasarkan jenis kelamin
ini dapat pula dipengaruhi oleh faktor psikologis. Pada pria
seringkali dipicu oleh perilaku tidak sehat (merokok, kelebihan
berat badan), depresi dan rendahnya status pekerjaan Sedangkan
pada wanita lebih berhubungan dengan pekerjaan yang
mempengaruhi faktor psikis kuat (Hariwijaya dan Sutanto, 2007).
e. Stress psikis
Stress meningkatkan aktivitas saraf simpatis, peningkatan ini
mempengaruhi meningkatnya tekanan darah secara bertahap.
Apabila stress berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah
menjadi tetap tinggi. Secara fisiologis apabila seseorang stress
maka kelenjer pituitary otak akan menstimulus kelenjer endokrin
untuk mengahasilkan hormon adrenalin dan hidrokortison ke dalam
darah sebagai bagian homeostasis tubuh. Penelitian di AS
menemukan enam penyebab utama kematian karena stress adalah
PJK, kanker, paru-paru, kecelakan, pengerasan hati dan bunuh diri
(Hariwijaya dan Sutanto, 2007).
f. Obesitas
Pada orang yang obesitas terjadi peningkatan kerja pada
jantung untuk memompa darah agar dapat menggerakan beban
berlebih dari tubuh tersebut. Berat badan yang berlebihan
menyebabkan bertambahnya volume darah dan perluasan sistem
sirkulasi. Bila bobot ekstra dihilangkan, TD dapat turun lebih
kurang 0,7/1,5 mmHg setiap kg penurunan berat badan (Tan dan
Kirana, 2003). Mereduksi berat badan hingga 5-10% dari bobot
total tubuh dapat menurunkan resiko kardiovaskular secara
signifikan (Saseen dan Carter, 2005).
g. Asupan garam Na
Ion natrium mengakibatkan retensi air, sehingga volume
darah bertambah dan menyebabkan daya tahan pembuluh
meningkat. Juga memperkuat efek vasokonstriksi noradrenalin.
Secara statistika, ternyata bahwa pada kelompok penduduk yang
mengkonsumsi terlalu banyak garam terdapat lebih banyak
hipertensi daripada orang-orang yang memakan hanya sedikit
garam (Tan dan Kirana, 2003).
2. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang terjadi sebagai
akibat suatu penyakit, kondisi dan kebiasaan. Karena itu umumnya
hipertensi ini sudah diketahui penyebabnya (Shankie, 2001). Terdapat
10% orang menderita apa yang dinamakan hipertensi sekunder
(Saseen dan Carter, 2005).
III. KRISIS HIPERTENSI
A. HIPERTENSI EMERGENSI
Ditandai dengan TD Diastolik >120 mmHg, disertai kerusakan
berat dari organ sasaran yang disebabkan oleh satu atau lebih
penyakit/kondisi akut. Keterlambatan pengobatan akan menyebabkan
timbulnya sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas
tertentu dalam satu sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di
ruangan intensive care unit atau (ICU) (Majid, 2005).
Penanggulangan hipertensi emergensi :
Pada umumnya kondisi ini memerlukan terapi obat antihipertensi
parenteral. Tujuan terapi hipertensi darurat bukanlah menurunkan
tekanan darah ≤ 140/90 mmHg, tetapi menurunkan tekanan arteri rerata
(MAP) sebanyak 25 % dalam kurun waktu kurang dari 1 jam. Apabila
tekanan darah sudah stabil, tekanan darah dapat diturunkan sampai 160
mmHg/100-110 mmHg dalam waktu 2-6 jam kemudian. Selanjutnya
tekanan darah dapat diturunkan sampai tekanan darah sasaran (<140
mmHg atau < 130 mmHg pada penderita diabetes dan gagal ginjal
kronik) setelah 24-48 jam (Saseen dan Carter, 2005).
B. HIPERTENSI URGENSI
Hipertensi mendesak ditandai dengan TD diastolik >120 mmHg
dan dengan tanpa kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD
harus diturunkan secara bertahap dalam 24 jam sampai batas yang aman
memerlukan terapi oral hipertensi.
Penanggulangan hipertensi urgensi :
Pada umumnya, penatalaksanaan hipertensi mendesak dilakukan dengan
menggunakan atau menambahkan antihipertensi lain atau meningkatkan
dosis antihipertensi yang digunakan, dimana hal ini akan menyebabkan
penurunan tekanan darah secara bertahap. Penurunan tekanan darah yang
sangat cepat menuju tekanan darah sasaran (140/90 mmHg atau 130/80
mmHg pada penderita diabetes dan gagal ginjal kronik) harus dihindari.
Hal ini disebabkan autoregulasi aliran darah pada penderita hipertensi
kronik terjadi pada tekanan yang lebih tinggi pada orang dengan tekanan
darah normal, sehingga penurunan tekanan darah yang sangat cepat dapat
menyebabkan terjadinya cerebrovaskular accident, infark miokard dan
gagal ginjal akut (Saseen dan Carter, 2005).
IV. PATOGENESIS HIPERTENSI
Gambar 1. Pengaruh Renin Angiotensin Aldosteron Terhadap
Kenaikan Tekanan Darah (Dipiro, 2005)
V. PENGOBATAN HIPERTENSI
A. Pedoman Umum Pengobatan Hipertensi
Penatalaksanaan pengobatan hipertensi harus secara holistik
dengan tujuan menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi
dengan menurunkan tekanan darah seoptimal mungkin sambil
mengontrol faktor-faktor resiko kardiovaskular lainnya, memilih obat
yang rasional sesuai dengan indikasi dan mempunyai efek samping yang
kecil, untuk ini dianjurkan pemberian obat kombinasi, dan harus
disesuaikan dengan kemampuan penderita (Soemantri dan Nugroho,
2006).
Berdasarkan pertimbangan manfaat dan kerugian ini maka JNC
VII-2004 menggunakan rekomendasi berikut untuk memulai pengobatan
hipertensi pada orang dewasa.
Tabel 2. Rekomendasi Follow Up Berdasarkan Pemeriksaan Tekanan Darah Pertama Pada Penderita Dewasa Tanpa Di ikuti Kerusakan Organ.
B. Prinsip Penggunaan Obat Antihipertensi
Menurut Dipiro (2005) tanpa mempertimbangkan jenis obat
antihipertensi yang digunakan, ada beberapa prinsip yang mendasari
penggunaan obat antihipertensi, yaitu :
1. Mulailah dengan dosis terkecil untuk menghindari reaksi yang tidak
dikehendaki. Bila terdapat respon tekanan darah yang baik dan obat
ditoleransi dengan baik, dosis dapat ditingkatkan secara bertahap
sampai tekanan darah sasaran tercapai. fokus utama adalah
pencapaian target TDS. Tekanan darah target adalah <140/90
mmHg yang berhubungan dengan penurunan komplikasi penyakit
kardiovaskuler. Pada pasien dengan hipertensi dan diabetes atau
penyakit ginjal, target tekanan darahnya adalah <130/80 mmHg.
2. Gunakan kombinasi obat untuk memaksimalkan respon tekanan
darah dan meminimalkan reaksi yang tidak dikehendaki.
3. Gantilah dengan kelas obat yang berbeda bila dosis awal dari obat
tidak memberikan efek yang berarti atau ada masalah efek samping
obat.
4. Gunakan formulasi yang minimal memberikan kontrol tekanan darah
selama 24 jam. Hal ini penting untuk menjaga kepatuhan pasien dan
untuk memastikan tekanan darah terkontrol pada pagi hari ketika
terjadi peningkatan tekanan darah. Menghindari variasi tekanan
darah sepanjang hari yang membantu menghindari kerusakan organ
sasaran
Menurut Gardner (2007) obat-obat yang dapat menurunkan tekanan
darah tinggi dapat dianjurkan :
1. Bila perubahan gaya hidup saja tidak mengendalikan tekanan darah.
2. Bila penurunan tekanan darah tinggi secara cepat dan drastis
diperlukan.
3. Bila penderita tekanan darah tinggi juga mengalami kondisi medis
yang menyertainya.
Metode yang paling baik dan aman untuk mengendalikan tekanan
darah adalah dengan melakukan perubahan-perubahan gaya hidup. Jika
perubahan-perubahan ini tidak membawa nilai tekanan darah yang
diinginkan, maka obat antihipertensi dapat diberikan.
C. Jenis Terapi Obat Anti Hipertensi
Gambar 2. Terapi Hipertensi (Dipiro, 2005)
1. Diuretik
Diuretik jenis tiazide telah menjadi dasar pengobatan
antihipertensi pada hampir semua hasil percobaan. Percobaan-
percobaan tersebut sesuai dengan percobaan yang telah
dipublikasikan baru-baru ini oleh ALLHAT (Antihipertensive and
Lipid Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial), yang
juga memperlihatkan bahwa diuretik tidak dapat dibandingkan
dengan kelas antihipertensi lainnya dalam pencegahan
komplikasi kardiovaskuler. Selain itu, diuretik meningkatkan
khasiat penggunaan regimen obat antihipertensi kombinasi, yang
dapat digunakan dalam mencapai tekanan darah target, dan lebih
bermanfaat jika dibandingkan dengan agen obat antihipertensi
lainnya. Meskipun demikian, sebuah pengecualian didapatkan pada
percobaan yang telah dilakukan oleh Second Australian National
Blood Pressure yang melaporkan hasil penggunaan obat awal
ACEI sedikit lebih baik pada laki-laki berkulit putih
dibandingkan pada pasien yang memulai pengobatannya dengan
diuretik. Obat diuretik jenis tiazide harus digunakan sebagai
pengobatan awal pada semua pasien dengan hipertensi, baik
penggunaan secara tunggal maupun secara kombinasi dengan
satu kelas antihipertensi lainnya (ACEI, ARB, BB, CCB) yang
memperlihatkan manfaat penggunaannya pada hasil percobaan
random terkontrol. Jika salah satu obat tidak dapat ditoleransi
atau kontraindikasi, sedangkan kelas lainnya memperlihatkan
khasiat dapat menurunkan resiko kardiovaskuler, obat yang
ditoleransi tersebut harus diganti dengan jenis obat dari kelas
berkhasiat tersebut.
Semua kelas diuretik menyebabkan peningkatan ekskresi
natrium oleh ginjal (natriuresis) dimana efek ini bertanggung jawab
terhadap aktivitas antihipetensi dari diuretik. Diuretik tiazid
memiliki efek natriuresis sedang dan merupakan diuretik yang paling
banyak digunakan dalam pengobatan hipertensi. Loop diuretic
memiliki efek natriuresis besar dan hanya digunakan bila diuretik
thiazid tidak efektif atau dikontraindikasikan untuk penderita.
Potassium sparing diuretic memiliki efek natriuresis yang rendah,
dan umumnya digunakan dalam bentuk kombinasi dengan diuretik
thiazid atau loop diuretik mengurangi ekskresi kalium atau untuk
mencegah hypokalemia. Suatu meta-analysis dari 42 percobaan
klinis pada tahun 2003 membuktikan bahwa diuretik dosis rendah
merupakan antihipertensi pilihan pertama yang paling efektif untuk
mencegah mortalitas kardiovaskular (Saseen dan Carter, 2005).
a. Diuretik thiazid
Kelas Obat Dosis
penggunaan
(mg/hari)
Frekuensi
penggunaan/hari
Diuretic
tiazid
Klorotiazide
Klortalidone
125-500
12,5-25
1-2
1
Hidroklorotiazide
Polythiazide
Indapamide
Metalazone
12,5-50
2-4
1,25-2,5
0,5-1,0
1
1
1
1
Indikasi
Diuretik thiazid merupakan pilihan pertama untuk terapi
hipertensi. Thiazid dapat digunakan dalam bentuk tunggal
maupun kombinasi dengan antihipertensi lain. Kombinasi dengan
ACEI atau β-bloker merupakan kombinasi yang umum digunakan
(Dipiro, 2005).
Mekanisme kerja
Pada penggunaan jangka pendek, diuretik thiazid menurunkan
volume darah yang berdampak pada penurunan cardiac output.
Pada penggunaan jangka panjang, diuretik thiazid juga
menurunkan tahanan perifer, yang tampaknya berperan dalam
efek antihipertensi jangka panjang dari obat ini (Dipiro, 2005).
Perhatian
Hipokalemia dapat terjadi pada penggunaan diuretik tiazid.
Hipokalemia berbahaya pada pasien PJK dan yang sedang
menerima obat cardiac glycosides. Seringkali untuk mengatasi
efek hipokalemia penggunaannya dikombinasi dengan potasium
sparing diuretik atau suplement potasium (Dipiro, 2005).
b. Loop diuretik
Kelas Obat Dosis
penggunaan
(mg/hari)
Frekuensi
penggunaan/hari
Loop
Diuretik
Bumetanide
Furosemide
Torsemid
0,5-2
20-80
2,5-10
2
2
1
Indikasi
Loop diuretik digunakan pada pasien pulmonary oedema akibat
gangguan pada ventrikel kiri, pada pasien CHF (Chronic Heart
Failure), dan juga pasien diuretic-resistant oedema (Dipiro, 2005).
Mekanisme kerja
Loop diuretik terutama bekerja pada bagian menaik dari loop of
Henle dengan menghambat reabsorbsi elektrolit sehingga
meningkatkan ekskresi natrium (Dipiro, 2005).
Perhatian
Hipokalemia dapat terjadi pada penggunaan furosemid.
Hipokalemia berbahaya pada pasien PJK berat dan yang sedang
menerima obat cardiac glycosides. Resiko hipokalemia dapat
meningkat pada penggunaan furosemid dosis tinggi apalagi bila
diberikan dalam bentuk sediaan injeksi. Seringkali untuk
mengatasi efek hipokalemia penggunaannya dikombinasi dengan
potasium sparing diuretik atau suplement potasium (Dipiro,
2005).
c. Aldosterone Antagonist
Kelas Obat Dosis
penggunaan
(mg/hari)
Frekuensi
penggunaan/hari
Aldosterone
antagonist
Eplerenone
Spironolakton
50-100
25-50
1
1
Indikasi
Aldosteron antagonis diindikasikan untuk oedema, pada dosis
rendah memiliki efek kerja pada penderita gagal jantung dan juga
digunakan pada penderita primary hyperaldosteronism.
Pemberian jangka lama aldosteron antagonis umumnya
direkomendasikan pada penderita post STEMI tanpa gangguan
fungsi ginjal yang berat atau hiperkalemia LEVF (Left Ventricle
Ejection Fraction) pada penderita gagal jantung dan diabetes
(Dipiro, 2005). Spironolacton adalah antagonis aldosteron yang
paling banyak digunakan.
Mekanisme kerja
Aldosterone antagonist bekerja pada bagian distal tubulus renal
sebagai antagonis kompetitif dari aldosteron (Dipiro, 2005).
Perhatian
Untuk jenis obat spironolacton harus dihindari pada gangguan
fungsi ginjal dan hati-hati bila dikombinasikan dengan ACE
inhibitor/ARB, akan menyebabkan hiperkalemia (Soemantri dan
Nugroho, 2006).
2. β-blocker
Kelas Obat Dosis
penggunaan
(mg/hari)
Frekuensi
penggunaan/hari
β blocker Atenolol
Betaxolol
Bisoprolol
Metaprolol
Nadolod
Propanolol
Timolol
25-100
5-20
2,5-10
50-100
40-120
40-160
20-40
1
1
1
1-2
1
2
2
Indikasi
Beta bloker pertama kali direkomendasikan oleh JNC-7 sebagai
terapi ’first line’ alternatif dari diuretik. Pilihan terapi pada semua
bentuk iskemik heart disease kecuali pada angina varian vasospastic
prinzmetal. Beta bloker merupakan pilihan terapi pada angina, baik
angina stabil maupun angina tidak stabil, dapat menurunkan resiko
mortalitas pada fase akut infark miokard dan setelah periode infark
dan juga pilihan terapi untuk kondisi lainnya seperti hipertensi,
arrhythmia’s serius dan cardiomyopathy. Pada peningkatan titrasi
dosis secara hati-hati diketahui memiliki efek mengurangi resiko
mortalitas pada pasien gagal jantung. Pada dosis kecil β-bloker
cardioselektif dapat digunakan pada pasien bronkospasme atau
chronic lung disease. Pada angina dan hipertensi penggunaan β-
bloker cardioselektif lebih efektif dibandingkan dengan
noncardioselektif, sedangkan β-bloker noncardioselektif memiliki
efek antiarrhytmics yang lebih baik dibandingkan dengan
cardioselektif. Bisoprolol merupakan agent β1 yang selektif, tidak
memiliki ISA (Intrinsik Sympathomimetic Activity) dan bekerja
lama, dipakai secara luas dan berhasil dalam studi besar pada
populasi gagal jantung dimana terjadi penurunan yang besar yang
tidak hanya pada mortalitas namun juga sudden cardiac death.
(Fisher dan Williams, 2005). β-bloker direkomendasikan untuk
penderita hipertensi dengan infark miokard karena obat ini
mempunyai keuntungan sebagai anti hipertensi, anti iskemia, anti
aritmia dan mampu mengurangi remodelling ventrikel. Dosis awal
dari beta bloker umumnya kecil dan pelan-pelan dinaikkan sampai
dosis target (berdasarkan trial klinis yang besar), peningkatan ini
tergantung pada individual. Kontraindikasi harus diawasi, seperti
asma bronkial, severe bronkial disease, bradikardia simptomatik dan
hipotensi (Dipiro, 2005).
Mekanisme kerja
Secara umum β-bloker menghambat aksi noradrenalin pada reseptor
adrenergik β-1 di jantung dan jaringan lain sehingga menyebabkan
penurunan cardiac output melalui penurunan denyut jantung dan
kontraktilitas. β-bloker juga menghambat sekresi renin dari sel-sel
juxtaglomerular ginjal yang mengakibatkan penurunan pembentukan
angiotensin II dan rilis aldosteron (Fisher dan Williams, 2005).
Perhatian
Penghentian mendadak terapi beta blocker menyebabkan gejala
putus obat (withdrawl) yang dapat memperburuk PJK. Dapat
dilakukan tindakan preventif dengan pengurangan bertahap dosis
beta blocker sebelum terapi dihentikan. Penggunaan beta blocker
bersamaan dengan verapamil menyebabkan risiko hipotensi dan
asystole yang dapat meningkatkan risiko gagal jantung pada
penderita penyakit jantung koroner (Fisher dan Williams, 2005).
3. ACE inhibitor ( ACEI )
Kelas Obat Dosis
penggunaan
(mg/hari)
Frekuensi
penggunaan/hari
ACEinh Benazepril
Captopril
Enalapril
Fosinopril
lisinopril
moexipril
perindopril
quinapril
ramipril
trandolapril
10-40
25-100
5-40
10-40
10-40
7.5-30
4-8
10-80
2.5-20
1-4
1
2
1-2
1
1
1
1
1
1
1
Indikasi
ACE inhibitor merupakan antihipertensi alternatif pilihan pertama
apabila diuretik atau β-bloker dikontraindikasi atau tidak ditoleransi
dengan baik. ACEI terutama direkomendasikan pada penderita gagal
jantung, disfungsi ventrikel kiri dan EF <40%, hipertensi disertai
dengan diabetes tipe 2 (Dipiro, 2005). ACE inhibitor juga sangat
bermanfaat bila diberikan terutama pada infark luas, infark dengan
penurunan fungsi ventrikel kiri, infark dengan edema paru akut dan
infark miokard dengan hipertensi. Umumnya dipilih jenis obat
dengan lama kerja pendek dan mempunyai gugus sulfhidril. Dalam
meminimalisir risiko hipotensi dan kerusakan pada ginjal, terapi
ACE inhibitor hendaknya dimulai dari dosis kecil dan kemudian
dilanjutkan dengan titrasi dosis sampai dosis target. Fungsi renal dan
konsentrasi potasium harus dievaluasi dalam 1-2 minggu setelah
dimulai pemberian secara perodik, terutama setelah dosis
ditingkatkan (Dipiro, 2005).
Mekanisme kerja
ACE inhibitor menghambat Angiotensin Converting Enzym
sehingga menyebabkan vasodilatasi, penurunan resistensi perifer dan
penurunan kadar hormon aldosteron (Fisher dan Williams, 2005).
Perhatian
Pada penggunaan ACE inhibitor yang harus diperhatikan yaitu
meningkatnya kadar K+ dalam tubuh (hiperkalemia) bila digunakan
bersamaan dengan potasium sparing diuretik, oleh karena itu selama
penggunaan perlu dilakukan monitoring kadar K+ dalam tubuh.
Pada penggunaan kombinasi pertamakali dengan diuretik efek
hipotensi dapat muncul dengan tiba-tiba sehingga diuretik perlu
dihentikan satu hari saat menggunakan ACE inhibitor. ACE
inhibitor juga dapat meningkatkan serum kreatinin, sehingga pada
pasien dengan risiko renal impairment selama penggunaan harus
hati-hati dan dilakukan monitoring serum kreatinin ( Gardner, 2007).
4. Angiotensin Receptor Bloker (ARB)
Kelas Obat Dosis
penggunaan
(mg/hari)
Frekuensi
penggunaan/hari
ARB candesartan
eprosartan
irbesartan
losartan
olmesartan
telmisartan
valsartan
8-32
400-800
150-300
25-100
20-40
20-80
80-320
1
1-2
1
1-2
1
1
1-2
Indikasi
Angiotensin II Receptor Antagonist merupakan alternatif pilihan
antihipertensi untuk penderita yang tidak mentoleransi ACEI karena
efek samping yang berupa batuk kering dan angioedema (Fisher dan
Williams, 2005). ARB dapat diberikan pada penderita STEMI yang
intoleren terhadap ACEI, dimana penderita tersebut secara klinis dan
radiologis menunjukkan kondisi gagal jantung atau fraksi ejeksi
<0.40 untuk itu biasanya direkomendasikan penggunaan valsartan
dan candesartan (Dipiro, 2005).
Mekanisme kerja
ARB merupakan antagonis kompetitif dari angiotensin II pada
reseptor AT1, yang menyebabkan penurunan resistensi perifer tanpa
adanya reflek peningkatan denyut jantung dan menurunkan kadar
aldosteron. ARB tidak menimbulkan efek bradikinin yang
menyebabkan munculnya efek samping batuk seperti pada
penggunaan ACEI (Dipiro, 2005).
Perhatian
Monitoring konsentrasi plasma potasium terutama pada pasien
lansia dan pasien dengan renal impairment, karena efek
hiperkalemianya (Fisher dan Williams, 2005).
5. Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium dibagi menjadi dua subclass yaitu
dihydropyridine dan non dihydropyridine. Dihydropyridine
mempengaruhi baroreseptor dengan refleks takikardia karena
efeknya yang kuat dalam mengakibatkan vasodilatasi perifer.
Dihydropyridine tidak mempengaruhi konduksi nodal
atrioventrikular dan tidak efektif pada supraventrikular
tachyarrhytmias, Sedangkan non dihydropyridine menyebabkan
penurunan heart rate dan memperlambat konduksi nodal
atrioventrikular, sama dengan golongan beta bloker obat ini dapat
digunakan pada supraventrikular tachyarrhytmias (Dipiro, 2005).
a. Dihydropyridine
Kelas Obat Dosis
penggunaan
Frekuensi
penggunaan/hari
(mg/hari)
CCB
dyhdropyridin
e
Amlodipine
Nifedipine
2,5-10mg
10-20mg
1
3
Indikasi
Jika angina stabil dan tekanan darah tidak dapat dikontol dengan
beta bloker atau jika terjadi kontraindikasi dengan beta bloker
maka dapat menggunakan golongan calcium channel bloker.
Calcium channel bloker dapat mengurangi total resisten perifer
dan resistensi koroner sehingga dapat menurunkan tekanan darah.
Seringkali beta bloker dan calcium channel bloker
dikombinasikan (Fisher dan Williams, 2005).
Mekanisme aksi
CCB bekerja dengan mengintervensi pemindahan ion kalsium
melalui kanal kalsium di membran sel, dimana bertanggung
jawab menjaga plaeau phase potensi aksi. Depolarisasi jaringan
lebih bergantung kepada influks kalsium ketimbang natrium,
terutama pada otot polos vaskular, sel-sel myokardial, dan sel-sel
yang terdapat dalam nodus-nodus sinoatrial dan atrioventrikular.
Blokade pada kanal kalsium mengakibatkan vasodilatasi koroner
dan perifer, aksi inotropik negatif, mereduksi denyut jantung, dan
memperlambat konduksi ventrikular (Dipiro, 2005).
Perhatian
Nifedipine short acting tidak direkomendasikan pada penderita
angina atau untuk terapi jangka panjang pada penderita hipertensi,
karena efeknya yang dapat menyebabkan hipotensi dan reflek
takikardia. Nifedipine memiliki efek inotropik negatif sehingga
tidak disarankan pada pasien gagal jantung dengan efek
mereduksi kerja dari ventrikel kiri. Penghentian mendadak terapi
calcium channel blocker menyebabkan gejala putus obat
(withdrawl) yang dapat memperburuk angina (Fisher dan
Williams, 2005).
b. non Dihydropyridine
Kelas Obat Dosis
penggunaan
(mg/hari)
Frekuensi
penggunaan/hari
CCB Non-
dihydropyridin
e
Diltiazem
Verapamil
180-360mg
80-320mg
3
2
Indikasi
Sama dengan antagonis kalsium dihydropyridine.
Mekanisme aksi
Sama dengan antagonis kalsium dihydropyridine.
Perhatian
Verapamil tidak boleh diberikan bersamaan dengan beta bloker
karena efek kronotropik dan inotropik negatif nya yang kuat,
sehingga harus diberikan dengan hati-hati pada penderita gagal
jantung atau yang sedang diterapi dengan beta bloker.
Penghentian mendadak terapi calcium channel blocker
menyebabkan gejala putus obat (withdrawl) yang dapat
memperburuk angina (Fisher dan Williams, 2005).
D. Penatalaksanaan Krisis Hipertensi
Tujuan pengobatan Hipertensi emergency adalah memperkecil
kerusakan organ target akibat tingginya tekanan darah dan menghindari
pengaruh buruk akibat pengobatan. Berdasarkan prinsip ini maka obat
antihipertensi pilihan adalah yang bekerja cepat, efek penurunan tekanan
darah dapat dikontrol dan dengan sedikit efek samping. Tujuan
pengobatan menurunkan tekanan arteri rata-rata (MABP) sebanyak 25 %
atau mencapai tekanan darah diastolik 100 – 110 mmHg dalam waktu
beberapa menit sampai satu atau dua jam. Kemudian tekanan darah
diturunkan menjadi 160/100 mmHg dalam 2 sampai 6 jam. Tekanan
darah diukur setiap 15 sampai 30 menit. Penurunan tekanan darah yang
terlalu cepat dapat menyebabkan iskemia renal, cerebral dan miokardium.
Pada stroke penurunan tekanan darah hanya boleh 20 % dan khusus pada
stroke iskemik penurunan tekanan darah secara bertahap bila tekanan
darah > 220/130 mmHg (Saseen dan Carter, 2005).
Tujuan pengobatan Hipertensi Urgency adalah penurunan tekanan
darah sama seperti Hipertensi emergency, hanya dalam waktu 24 sampai
48 jam. Setelah target tercapai harus diikuti program terapi Hipertensi
jangka panjang. Antihipertensi yang dipilih dapat per oral atau parenteral
sesuai fasilitas yang tersedia (Saseen dan Carter, 2005).
Pengobatan yang sering diberikan dahulu seperti pemberian
nifedipin sublingual sudah tidak disarankan lagi karena penurunan
tekanan darahnya yang drastis dalam waktu singkat dapat menyebabkan
hipotensi berat, acute myocard infark, afasia, hemiparesis, penurunan
kesadaran, perubahan EKG hingga AV blok. Grossmman (1996)
melaporkan 2 dari 16 kasus krisis hipertensi yang diberikan nifedipin SL
mengalami acute myocard infark, dan pada 1 kasus pemberian nifedipin
SL pada PEB menyebabkan fetal distress.
Tabel 3. Obat-obat hipertensi emergensi dan urgensi
No Nama
Obat
Cara Kerja Dosis Onset Durasi Efek
Samping
Catatan
1 Natrium
Nitropusid
Vasodilator 0.25-10
µg/kg/menit
Drip IV
(Max
10menit)
Segera 3 – 5
menit
Mual,
muntah,
tremor,
berkerin
gat,
hipotensi
Hati-hati
dengan
TTIK atau
azotemia
2 Labetalol
Hidroklorid
a
α dan β
Blocker
20 – 40 mg
tiap 10
menit
IV bolus
sampai
300mg,
0,5 – 2,0 mg
infus
5 – 10
menit
3 – 6
jam
GI Tract,
bronkosp
asme,
hipotensi
,
bradikar
dia, blok
jantung
Kecuali
Gagal
Jantung
3 Nikardipin
Hidroklorid
a
Calcium
Channel
Blocker
5 mg/jam,
dinaikan 1 –
2,5 mg/jam
setiap 15
menit
sampai 15
mg/jam
1 – 5
menit
3 – 6
jam
Takikardi
a, sakit
kepala,
flushing,
flebitis
lokal
Dapat
presipita
si
iskemia
miokard
4 Fenoldopa
m mesilat
Agonis
dopamin
reseptor
0,1-1,6
µg/kg/menit
IV
4-5
menit
<10
menit
Takikardi
a
Hipotens
i
Peningka
tan
tekanan
intra
okuler
Hati-hati
pada
glaukom
a
5 Nitrogliseri
n
Vasodilator 0,25-5
µg/kg/menit
IV
2-5
menit
2-5
menit
Mual
Muntah
Sakit
kepala
Met-
Hemoglo
bulinuria
Indikasi
khusus
pada
iskemia
miokard
6 Enalaprilat ACE
Inhibitor
1,25-5 mg
setiap 6 jam
IV
15 menit 6 jam Respon
bervarias
i
Indikasi
khusus
pada
gagal
ventrikel
kiri,
hindari
BFG
PEMBAHASAN
I. DIAGNOSIS
Diagnosis kerja pasien ketika masuk IGD adalah hipertensi grade 2
dan dyspepsia dikarenakan sesuai pembagian menurut JNC VII tekanan darah
pasien 180/100 mmHg termasuk golongan hipertensi grade 2. Faktor resiko
penyakit hipertensi yang dimiliki pasien adalah genetic, kebiasaan minum
kopi, tidak rutin pengobatan hipertensi, dan overweight. Selain hipertensi
pasien menderita dyspepsia didapatkan dari keluhan pasien berupa perut mual
dan kembung disertai tanda nyeri tekan epigastrium.
Diagnosis kerja pasein ketika pulang dari RS bertambah dengan
vertigo yang dapat disebabkan karena hipertensi yang telah lama dideritanya.
Kondisi hipertensi digambarkan dengan kondisi terjadinya peningkatan
resistensi pembuluh darah yang akan menyebabkan perfusi ke jaringan pun
akan berkurang, sehingga mempengaruhi keseimbangan cairan endolimfe
pada telinga dalam dan akan membuat system keseimbangan tubuh terganggu
(Arkh, 2005).
II. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana yang diberikan di IGD berupa pemberian nifedipin 5mg
dan setelah pemberiannya tekanan darah pasien turun menjadi 140/90 mmHg.
Cara kerja nifedipin adalah dengan mengintervensi pemindahan ion kalsium
melalui kanal kalsium di membran sel, dimana bertanggung jawab menjaga
plaeau phase potensi aksi. Depolarisasi jaringan lebih bergantung kepada
influks kalsium ketimbang natrium, terutama pada otot polos vaskular, sel-sel
myokardial, dan sel-sel yang terdapat dalam nodus-nodus sinoatrial dan
atrioventrikular. Blokade pada kanal kalsium mengakibatkan vasodilatasi
koroner dan perifer, aksi inotropik negatif, mereduksi denyut jantung, dan
memperlambat konduksi ventrikular (Dipiro, 2005).
Terapi untuk hipertensi grade 2 sesuai JNC VII sebaiknya adalah
kombinasi dari diuretic tiazid dengan ACEI/ ARB/ β blocker. Jadi, ada
baiknya jika pemberian terapi pasien berupa kombinasi hidroklorotiazide
1x25mg dengan captopril 2x12,5mg atau irbesartan 1x150mg atau
propranolol 2x40mg.
Setelah pemberian terapi IGD tekanan darah pasien menjadi 140/90
mmHg. Tekanan darah masih perlu diturunkan hingga < 140/90mmHg sesuai
dengan target pengobatan hipertensi untuk mengurangi resiko kardiovaskuler.
Sehingga terapi hanya diperlukan terapi tunggal obat anti hipertensi. Pada
kasus pasien diberikan captopril 2x25mg hal ini dapat diberikan namun
alangkah baiknya jika mengikuti prosedur JNC VII pasien lebih diutamakan
diberi hidroklorotiazid 1x25mg.
Setelah pemberian 1 hari captopril tekanan darah pasien mulai turun
perlahan namun pasien mengeluhkan batuk jadi diputuskan untuk
menghentikan pemberian captopril namun sebaiknya diberikan terapi anti
hipertensi lain dengan dosis minimal contoh untuk hidroklorotiazid 1x25mg
tetap menjaga kestabilan tekanan darah dan menambah pemberian obat batuk
seperti pada kasus diberikan ambroxol 3x1tab. Terapi lain berupa pemberian
mertigo dikarenakan kondisi pasien yang mengalami vertigo dan pemberian
antasida syrup untuk mengatasi dyspepsia yang dideritanya.
Pada kasus ini dikarenakan pasien menderita hipertensi grade 2 maka
disarankan agar kontrol tekanan darah tiap 1 minggu sekali untuk
maintenance tekanan darah agar tidak naik kembali dan mencegah terjadinya
kerusakan target organ.
PRESENTASI KASUSHIPERTENSI
Disusun oleh :
dr. Fatiha Sri Utami TamadDokter Internship RS PKU Muhammadiyah Gombong
Narasumber :
dr. Agus Pamuji, SpAn
Pembimbing:
Dr. Nur Hidayani
PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIARUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG
KEBUMEN – JAWA TENGAH
2014
DAFTAR PUSTAKA
Arkh, Ter. 2005. Differential diagnosis and treatment of vertigo in hypertensive patients. Pubmed. 77(1):56-9.
Beevers, D.G. 2002. Seri Kesehatan Bimbingan Dokter Anda Tekanan Darah. Jakarta: Dian Rakyat Jakarta.
DiPiro, J.T. 2005. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. McGraw-Hill Companies: USA
Fisher, N. D. L. & Williams, G. H. 2005. Hypertensive Vascular Disease. Dalam : Braunwald et al., Editors : Harrison's Principles of Internal Medicine. 16 th
ed. Volume 2. New York : McGraw Hill. p. 1463-1468, 1470-1475.
Gardner, F. S. 2007. Smart Treatment for High Blood Pressure. Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher. Hal 1, 53, 60, 103-172
Grossman E, Messerli F, Grodzicki T, Kowey P. 1996. Should a moratorium be place on sublingual nifedipine capsules given for hypertensive emergencies and pseudoemergencies. JAMA. 276, 1328-1331.
Kumar, P., and Clark, M., 2004. Clinical Medicine. 6th ed. London, UK: Elseveir Saunders: 1153-1154.
Majid, Abdul, dr., 2005. Fisiologi Kardiovaskular. Edisi 2, Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.
Saseen, J.J, dan Carter, B.L., 2005, Hypertension, in DiPiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M., (Eds.), Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 6th Edition, 202-210, McGraw-Hill Companies, USA
Soemantri D, Nugroho J. Hipertensi. Standar diagnosis dan terapi penyakit jantung dan pembuluh darah Ed.4 editor: Mochammad Soetomo, Achmad Lefi 2006; 21-35
Sutanto, hariwijaya m. 2007. Pencegahan dan pengobatan penyakit kronis. Jakarta :EDSA Mahkota
Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya Edisi Keenam. Jakarta: Elex Media Komputindo.
BERITA ACARA PRESENTASI KASUS
Pada hari , 2014 telah dipresentasikan kasus portofolio oleh :
Nama : dr. Fatiha Sri Utami Tamad
Judul/topik : Hipertensi
Nama Pendamping : dr. Nur Hidayani
Nama wahana : RS PKU Muhammadiyah Gombong
Daftar peserta yang hadir :
No. Nama peserta presentasi Keterangan Tanda tangan
1. dr. Fatiha Sri Utami Tamad Presentan
2. dr. Dimas Gatra Diantoro Dokter internship
3. dr. Suli Astuti Dokter internship
4. dr. Ema Supriyatin Dokter internship
5. dr. Akhmad Faudzan Dokter internship
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan sesungguhnya.
Dokter Pendamping Presentan
dr. Nur Hidayani dr. Fatiha Sri Utami Tamad