Hasil Six Sigma
-
Upload
helni-comp -
Category
Documents
-
view
150 -
download
0
Transcript of Hasil Six Sigma
PENGARUH PROYEK SIX SIGMA
TERHADAP INOVASI DAN KINERJA PERUSAHAAN
Abstrak
Makalah ini mengembangkan dasar teoritis pengaruh proyek Six Sigma
terhadap inovasi dan kinerja perusahaan. Telah dikemukakan bahwa rancangan Six
Sigma meningkatkan inovasi teknologi perusahaan, namun, rancangan tersebut
bermanfaat bagi perusahaan dalam lingkungan yang stabil. Karena program Six
Sigma difokuskan pada pengurangan varians dan efisiensi, inisiatif ini tidaklah cukup
efektif dalam lingkungan yang dinamis, di mana tingkat perubahan teknologi bersifat
dramatis. Dengan penekanan pada pengurangan varian dan efisiensi program Six
Sigma bisa efektif dalam meningkatkan inovasi inkremental. Selain itu, karena fokus
dari rancangan Six Sigma pada pelanggan yang sudah ada, rancangan ini mungkin
menghambat inovasi untuk pelanggan baru. Oleh karena itu, pelaksanaan rancangan
Six Sigma di lingkungan yang tinggi dalam hal inovasi dan perubahan mungkin
menjadi tantangan, dan tidak mungkin mendapatkan hasil yang diharapkan.
Membangun sesuai teori yang membentuk manajemen proses dan manajemen
kualitas makalah ini akan mengemukakan beberapa proposisi untuk mengatasi
pengaruh dari rancangan Six Sigma terhadap inovasi dan kinerja perusahaan.
Diterbitkan oleh Elsevier Ltd dan IPMA.
Kata kunci: Six Sigma, manajemen proyek, manajemen Proses, Inovasi teknologi,
Eksplorasi, Eksploitasi
1. Pendahuluan
Dalam mengejar efektivitas operasional dan kinerja organisasi yang lebih
tinggi, para sarjana dan praktisi mencari pendekatan baru untuk meningkatkan
kinerja operasional, meningkatkan profitabilitas, dan meningkatkan daya saing.
Sebagai sebuah metodologi terstruktur yang muncul dari manajemen mutu, program
Six Sigma mendapat banyak perhatian dalam perkembangan perbaikan proses yang
tidak pernah berakhir (Linderman et al, 2003, 2006;.. Choo et al, 2007a, b).
Setelah dikembangkan dari filosofi manajemen mutu (Goeke dan Offodile,
2005), Six Sigma menarik perhatian untuk penelitian akademis dalam beberapa tahun
terakhir (Raisinghani et al, 2005; Schroeder et al, 2008). Dan telah diidentifikasi
sebagai pendekatan perbaikan proses yang secara dramatis meningkatkan kinerja,
meningkatkan kemampuan proses, dan menghasilkan output terpenting bagi
organisasi (Dasgupta, 2003;. Linderman et al, 2003;. Pantano et al, 2006). Evans dan
Lindsay (2005) mendefinisikan Six Sigma sebagai pendekatan perbaikan proses
bisnis yang berusaha untuk menemukan dan menghilangkan penyebab cacat dan
kesalahan, mengurangi waktu siklus dan biaya operasi, meningkatkan produktivitas,
lebih memenuhi harapan pelanggan, dan mencapai pemanfaatan aset dan pendapatan
yang lebih tinggi. Menurut Hammer (2002) Six Sigma menggunakan metodologi
berbasis proyek untuk memecahkan masalah kinerja tertentu yang diakui oleh
organisasi. Fokus dari Six Sigma adalah pada pelanggan bukan produk (Douglas dan
Erwin, 2000).
Walaupun para ahli dan praktisi telah menyebutkan banyak contoh tentang
pengaruh positif dari proyek Six Sigma terhadap kinerja perusahaan (misalnya Hoerl,
1998; Rucker, 2000; Roberts, 2004; Johnson, 2005; Foster, 2007) ada kekhawatiran
dan kritik tentang efektivitas dan dampak dari proyek Six Sigma. Dalam industri
perbankan AS, Bank of America dan Citigroup yang dianggap sebagai organisasi
yang berinvestasi sangat besar dalam Six Sigma dan mengambil manfaat dari itu
(Rucker, 2000; Roberts, 2004). Disamping popularitas program Six Sigma ada
sedikit dukungan teoritis tentang efektivitas dari proyek Six Sigma pada kinerja
organisasi. Beberapa diantaranya berpendapat bahwa Six Sigma hanyalah sebuah
pengemasan ulang dari manajemen mutu tradisional yang tunduk pada keterbatasan
dan kritik akan kualitas program (Dahlg-Aard dan Dahlgaard-Park, 2006). Oleh
karena itu, ada kebutuhan untuk lebih memahami variabel organisasi dan kontekstual
yang memfasilitasi atau menghambat pelaksanaan yang efektif dari proyek Six
Sigma.
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengembangkan kerangka teoritis
untuk mengetahui pengaruh program Six Sigma terhadap inovasi dan kinerja
perusahaan. Untuk melakukannya, dasar dari Six Sigma dan asumsi yang
mendasarinya akan dibahas. Selain itu, peran dari proyek Six Sigma dalam
menangani baik perubahan inkremental (eksploitasi) maupun perubahan radikal
(eksplorasi) juga akan dibahas. Yang terakhir, makalah ini memberikan wawasan
tentang variabel eksternal yang dapat memberikan pengaruh terhadap dampak
program Six Sigma terhadap kinerja perusahaan.
2. Manajemen mutu dan manajemen proyek
Prinsip dan dasar pemikiran manajemen proyek telah berkembang dari waktu
ke waktu. Secara tradisional, manajemen proyek telah disusun sebagai rencana
terorganisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dalam waktu yang
ditentukan (Laszlo, 1994). Dalam hal ini, trade-off antara sudut pandang waktu,
biaya, dan kualitas tak terelakkan (Khang dan Myint, 1999). Pemikiran terbaru dalam
manajemen proyek menempatkan proyek sebagai himpunan praktek yang bertujuan
menyediakan produk dan/atau jasa dengan kualitas yang lebih baik kepada pelanggan
melalui integrasi dengan praktek organisasi lainnya dan pemanfaatan sumber daya
yang efektif (Cicmil, 2000).
Prinsip, pedoman dan teknik manajemen proyek dapat memberikan
kontribusi bagi keberhasilan proyek yang terkait dengan kualitas (Somasundaram
dan Badiru, 1992). Hal ini menunjukkan hubungan antara manajemen mutu dan
manajemen proyek karena kepuasan pelanggan dianggap sebagai salah satu prinsip
utama dalam manajemen mutu (Dean dan Bowen, 1994). Antilla (1992)
mengemukakan bahwa pemanfaatan konsep yang diusulkan oleh standar mutu dan
sistem mutu (misalnya ISO-9000) cukup signifikan dalam membangun kualitas
proyek. Dalam hal ini, penelitian tentang hubungan antara manajemen mutu dan
manajemen proyek akan memberikan wawasan tentang bagaimana konsep kualitas
dapat secara efektif digunakan dalam manajemen proyek.
Penelitian tentang manajemen mutu dan manajemen proyek justru masih
langka. Cicmil (2000) membahas kurangnya penelitian tentang kualitas proyek, dan
menekankan perlunya melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengintegrasikan
konsep kualitas dengan manajemen proyek. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan
multi-perspektif manajemen proyek akan membawa hasil proyek yang lebih baik
(Cicmil dan Terziowski, 1999). Pandangan ini menunjukkan integrasi dan inklusi
perhatian yang bermacam-macam dan berbagai tingkat akan kualitas dalam
manajemen proyek dengan menyeimbangkan harapan para stakeholder proyek yang
berbeda-beda. Dengan menggunakan kerangka kerja berbagai perspektif manajemen
proyek (PM-MP), Cicmil (2000) mengidentifikasi tiga bidang utama untuk
manajemen proyek yang sukses: konteks proyek, isi proyek dan perilaku organisasi.
Konteks proyek berkaitan dengan konteks organisasi, pengaturan industri yang
spesifik, dan strategi organisasi atau bisnis. Fokus utama dari isi proyek adalah untuk
memastikan tujuan proyek dan metode untuk mencapainya telah didefinisikan secara
tepat dalam tahap awal proyek (Turner dan Cochrane, 1993). Aspek perilaku
organisasi menyangkut dalam hal merancang struktur proyek yang efektif, terutama
berurusan dengan unsur manusia dalam manajemen proyek (Anderson, 1992).
Perhatian terhadap karakteristik ini akan memastikan bahwa proyek dapat mencapai
tujuan yang diinginkan dan akan mendorong adanya proyek-proyek berkualitas
tinggi.
Meskipun beberapa studi sebelumnya telah mengungkapkan faktor kunci
keberhasilan proyek dan mempertajam wawasan kita mengenai bagaimana
merancang dan merencanakan proyek-proyek yang efektif, kualitas dan isu-isu
inovasi dalam manajemen proyek mendapat sedikit perhatian. Selain itu, hubungan
antara proses organisasi dan manajemen proyek diabaikan dalam penelitian
sebelumnya. Untuk mengisi kesenjangan ini dalam literatur, makalah ini akan
berfokus pada proyek Six Sigma. Proyek Six Sigma terutama proyek-proyek
perbaikan mencoba untuk meningkatkan perbaikan dalam proses organisasi dan
rutinitas yang secara menyeluruh berfokus pada tujuan khusus yang telah ditentukan
sebelumnya. Makalah ini terutama difokuskan pada efek dari proyek Six Sigma pada
inovasi dan kinerja perusahaan. Karena proyek Six Sigma dikarakterisasi menurut
manajemen mutu, fokus pada proyek Six Sigma dapat berkontribusi terhadap
pemahaman kita tentang hubungan antara kualitas, inovasi dan manajemen proyek.
Oleh karena itu, diyakini bahwa pandangan akan proyek Six Sigma dapat
meningkatkan pemahaman kita tentang pelaksanaan yang efektif dari manajemen
proyek dan hasil proyek.
3. Apa yang khusus tentang Six Sigma?
Perbedaan mendasar antara Six Sigma dan program perbaikan proses lainnya
(seperti TQM, Lean, dan model Baldrige) berhubungan dengan kemampuan Six
Sigma dalam memberikan konteks organisasi yang memfasilitasi pemecahan
masalah dan eksplorasi di seluruh organisasi. Sementara program Six Sigma
memiliki akar dalam gerakan mutu, yang berbeda dari program mutu lainnya (sistem
Lean misalnya atau ISO-9000) karena terbatasnya kerangka waktu, tujuan terukur
dan kuantitatif serta struktur proyek (Andersson et al., 2006, Dahlgaard dan
Dahlgaard-Park, 2006).
Telah dinyatakan bahwa Six Sigma memungkinkan organisasi untuk menjadi
lebih pintar dalam mengubah struktur, bertindak secara organik saat dihadapkan
dengan ide-ide baru dan beroperasi secara mekanis dalam memfokuskan pada
efisiensi (Schroeder et al., 2008). Organisasi yang pintar mengelola trade-odd antara
tujuan yang saling bertentangan (penyelarasan dan adaptasi) dengan memanfaatkan
dan melaksanakan "struktur ganda". Dalam bentuk organisasi saat beberapa unit
bisnis berfokus pada efisiensi, unit bisnis lainnya menekankan inovasi dan perubahan
(Duncan, 1976, Gibson dan Birkinshaw, 2004). Struktur ganda memungkinkan
organisasi untuk fokus pada eksploitasi dan eksplorasi, menangani efisiensi maupun
inovasi (Maret, 1991). Namun, kemampuan Six Sigma untuk mencapai efisiensi dan
inovasi telah dihadapkan dari perspektif yang berbeda.
Pertama, Six Sigma yang dikarakterisasi menurut kelompok program
manajemen proses (Hammer, 2002; Benner dan Tushman, 2003; Evans dan Lindsay,
2005). Benner dan Tushman (2003) berpendapat bahwa penggunaan metodologi
manajemen proses mendukung inovasi inkremental (eksploitatif) pada biaya-biaya
peniadaan inovasi radikal (eksploratif). Program seperti TQM, Business Process
Reengineering dan Six Sigma semua berfokus pada peningkatan, rasionalisasi, dan
perbaikan proses organisasi (Hammer dan Champy, 1993; Powel, 1995, Harry dan
Schroeder, 2000). Dengan penekanan pada perbaikan proses dan pengurangan
varians Six Sigma akan menghambat inovasi produk dan perubahan radikal.
Kedua, proyek Six Sigma berfokus terutama pada pemahaman dan
identifikasi karakteristik penting kepada pelanggan yang sudah ada (existing)
(Harry, 1998; Dasgupta, 2003; Linderman et al, 2003;. Evans dan Lindsay, 2005).
Perhatian spesifik kepada pelanggan existing, ditambah dengan fokus pada upaya
perbaikan terus-menerus dalam proses organisasi dan rutinitas dapat dicapai dengan
mengorbankan kemampuan perusahaan untuk mengidentifikasi pelanggan baru dan
memperkenalkan produk-produk dan/atau jasa baru. Seperti dibuktikan oleh Benner
dan Tushman (2003) inovasi proses inkremental (seperti Six Sigma) pada dasarnya
dirancang untuk memenuhi kebutuhan pelanggan existing.
Ketiga, sebagai spin-off dari manajemen mutu, Six Sigma mempertahankan
penekanan kuat pada menetapkan tujuan khusus (Linderman et al., 2003). Menurut
Pande et al. (2000) penetapan tujuan yang jelas merupakan inti dari Six Sigma.
Kebutuhan pelanggan dijabarkan ke dalam pengembangan tujuan proyek Six Sigma
(Schroeder et al, 2008.) Namun, fokus pada menentukan target yang terukur pada Six
Sigma ini sangat berbeda dengan pandangan para pendiri manajemen mutu (Deming,
1986;. Linderman et al, 2003.). mengenai hal tersebut, ada yang berpendapat bahwa
program Six Sigma tidak dapat memulai, mengembangkan, dan memelihara sistem
mutu yang berkelanjutan, dan tidak bisa mengatasi prinsip-prinsip pokok dari
manajemen mutu seperti budaya belajar, perbaikan proses berkelanjutan, dan
pandangan sistem organisasi.
Dengan demikian ada kebutuhan untuk menyelidiki ruang lingkup,
keterbatasan, dan dasar pemikiran proyek Six Sigma, dan mengetahui pengaruhnya
terhadap kinerja perusahaan. Karena Six Sigma telah dikategorikan menurut program
perbaikan proses, diyakini bahwa pandangan Six Sigma dari perspektif manajemen
proses dapat memberikan wawasan tentang bagaimana program Six Sigma
meningkatkan proses organisasi dan kinerja perusahaan.
4. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini ada dua. Pertama, menyelidiki pengaruh proyek Six
Sigma pada inovasi perusahaan.
Menggunakan teori dari proses manajemen dan inovasi, makalah ini mencoba
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
a. Apakah proyek Six Sigma meningkatkan inovasi perusahaan?
b. Jika demikian, bagaimana proyek Six Sigma bisa meningkatkan kemampuan
inovasi perusahaan?
Kedua, makalah ini membahas pengaruh dari Six Sigma terhadap kinerja
perusahaan. Dengan mengaitkan proyek Six Sigma ke variabel eksternal pokok
makalah ini mengkaji peran faktor lingkungan sebagai moderating variable yang
dapat mempengaruhi efek Six Sigma terhadap kinerja perusahaan.
5. Tinjauan literatur: manajemen proses
Tema sentral dari manajemen operasi adalah manajemen proses. Karena
kompleksitas dan kedinamisan yang melekat dalam pengelolaan proses dalam
penelitian penentuan operasi dalam proses manajemen masih menjadi tantangan
dalam bidang manajemen operasi (Buffa, 1980). Di sisi lain, dampak dari sumber
ketidakpastian dan variabilitas internal maupun eksternal yang terkait dengan
manajemen operasi mempersulit manajemen, koordinasi dan efektivitas proses
(Klassen dan Menor, 2007).
Proses manajemen memiliki implikasi strategis dan operasional yang
berinteraksi dengan semua tingkatan dalam organisasi (Benner dan Tushman, 2003).
Pada tingkat strategis, penelitian menunjukkan bahwa program manajemen proses
(misalnya TQM, model Baldrige, Business Process Reengineering) berdampak
positif pada hasil bisnis dan meningkatkan profitabilitas (Powel, 1995; Hendricks
dan Singhal, 1996; Easton dan Jarrell, 1998; Das et al, 2000;. Douglas dan Judge,
2001; Hendricks dan Singhal, 2001a, b; Kaynak, 2003). Pada tingkat operasional,
transformasi input (misalnya bahan baku, tenaga kerja) dengan output (misalnya
produk dan/atau jasa) menjadi fokus utama manajemen operasi, yang bertanggung
jawab terhadap evaluasi, integrasi dan koordinasi kegiatan yang mentransformasikan
input menjadi output (Silver, 2004). Menurut Klassen dan Menor (2007) manajemen
proses yang efektif memerlukan trade-off baik pada tingkat operasional maupun
strategis, yaitu keseimbangan antara dampak strategis dari proses (jangka panjang)
vs. aspek operasional (jangka pendek). Misalnya, manajemen persediaan
memerlukan perhitungan biaya dalam persediaan (operasi), sementara pada saat yang
sama memikirkan stok yang aman untuk mempertahankan tingkat kepuasan
pelanggan yang dapat diterima (strategis).
Masalah penting dalam manajemen proses adalah keselarasan antara strategi
operasi perusahaan dan trade-off manajemen proses (misalnya biaya vs. kualitas).
Dikemukakan bahwa kemampuan perusahaan untuk merespon perubahan pasar yang
sangat dinamis dan terus berkembang akan beresiko jika manajemen proses
mempertahankan lingkup operasi yang sempit dan ketat. Sebagai contoh, jika sebuah
perusahaan berfokus sepenuhnya pada pengurangan persediaan dan efisiensi dalam
sistem penanganan bahan saat menghadapi pasar yang sangat berkembang,
kemampuannya untuk menjawab tuntutan pelanggan dan perubahan pasar akan
terancam. Bahkan, keselarasan strategis antara pasar dan manajemen proses adalah
kunci dalam pengambilan keputusan manajemen proses (Bower dan Christensen,
1995; Klassen dan Menor, 2007). Pandangan ini berbeda dengan pandangan
tradisional tentang manajemen proses yang utamanya berhadapan dengan
pengurangan variabilitas operasi perusahaan (Pannirselvam et al, 1999;. Silver,
2004). Manajemen proses yang efektif dalam pasar di mana preferensi pelanggan
berubah dengan cepat dan tingkat inovasi produk/jasa tinggi tidak dapat
dipertahankan dengan penekanan pada efisiensi dan pengurangan varians.
Sebaliknya, itu memerlukan fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi.
Pembahasan di atas menegaskan bahwa konteks teknologi dan organisasi
memoderasi pengaruh manajemen proses terhadap tujuan operasional (jangka
pendek) dan tujuan bisnis (jangka panjang) dari suatu perusahaan. Terlalu banyak
penekanan pada manajemen proses dapat menghambat kemampuan perusahaan akan
inovasi dan daya tanggap terhadap pelanggan baru (Sterman et al., 1997). Karena Six
Sigma dikategorikan di bawah payung program manajemen proses, konteks
teknologi dan organisasi memoderasi pengaruh proyek Six Sigma terhadap hasil
operasional dan bisnis.
5.1. Proses organisasi
Dengan fokus program Six Sigma pada perbaikan proses, pemahaman
tentang berbagai jenis proses dalam suatu perusahaan akan memberikan wawasan
tentang bagaimana Six Sigma dan perbaikan proses yang terkait. Proses dapat
didefinisikan dalam tiga kategori: Proses kerja, proses perilaku, dan proses
perubahan (Garvin, 1998). Proses kerja fokus pada menyelesaikan tugas-tugas.
Proses ini dapat dibagi menjadi proses yang menghasilkan barang/jasa (proses
operasional) dan yang mendukungnya (proses administrasi). Perbaikan operasional
terjadi ketika proses kerja didesain ulang dan direstrukturisasi. Untuk mendapatkan
proses kerja terbaik untuk proses operasional maupun proses administrasi harus
ditingkatkan. Kategori proses berikutnya adalah proses perilaku. Setelah berakar
pada dinamika teori dan kelompok organisasi, proses perilaku fokus pada pola-pola
perilaku dalam seluruh organisasi.
Tiga pola proses perilaku yang berbeda adalah pengambilan keputusan,
komunikasi, dan proses pembelajaran. Yang terakhir, proses perubahan adalah apa
yang berkenaan dengan urutan kegiatan dari waktu ke waktu. Yang menggambarkan
bagaimana individu, kelompok, dan organisasi bertindak, tumbuh dan berkembang
dari waktu ke waktu.
Sedangkan proses kerja dan proses perilaku mengambil pandangan statis dari
proses organisasi, proses perubahan yang menunjukkan tampilan yang dinamis dari
proses, berkenaan dengan pola dan dinamika perubahan dari waktu ke waktu.
Terlepas dari kenyataan bahwa perbaikan bertahap dan incremental pada setiap jenis
proses bisa dicapai, untuk mendapatkan inisiatif perbaikan proses yang terbaik
organisasi perlu melihat pada interaksi dan keterkaitan antara ketiga jenis proses.
Misalnya, peningkatan yang signifikan dalam efisiensi produksi tidak bisa terjadi
tanpa memperbaiki proses administratif pendukungnya, cara keputusan dibuat dalam
organisasi (proses perilaku), dan memahami sifat dan pola perubahan organisasi dari
waktu ke waktu (proses perubahan).
Dengan mengacu pada program Six Sigma sebagai inisiatif manajemen
proses, tampak bahwa inisiatif tersebut sangat terfokus pada peningkatan proses kerja
(terutama proses tugas). Ada sedikit pemahaman tentang implementasi Six Sigma
pada peningkatan atau pembentukan kembali proses perilaku dan perubahan.
Bahkan, ada dua tantangan untuk menerapkan program Six Sigma untuk proses
perilaku dan perubahan. Pertama, program Six Sigma mempertahankan fokus yang
kuat pada menentukan target yang terukur dan kuantitatif (Linderman et al., 2003).
Sementara pada kasus proses kerja (terutama proses tugas) yang mungkin dicapai,
ada sedikit bukti tentang cara untuk menentukan tujuan yang spesifik dan terukur
untuk meningkatkan dan/atau merestrukturisasi proses perilaku dan perubahan.
Kedua, program Six Sigma yang dikembangkan melalui penerjemahan suara
pelanggan (terutama pelanggan eksternal) untuk proyek-proyek perbaikan yang
spesifik. Mengacu pada berbagai jenis proses dalam sebuah organisasi, bisa
dikatakan bahwa proses tugas memiliki keuntungan dalam menerima masukan dari
pelanggan eksternal. Hal itu tidak terjadi pada proses perilaku dan perubahan, di
mana suara pelanggan eksternal tidak dapat didengar. Bahkan, seperti hubungan
antara suara pelanggan eksternal, dan proses perilaku dan perubahan belum
ditetapkan. Tempatkan hal tersebut secara berbeda, sejauh bahwa proyek Six Sigma
gagal untuk memenuhi suara pelanggan internal, mereka gagal untuk memperbaiki
proses dan perubahan perilaku. Oleh karena itu, program Six Sigma tidak dapat
mengembangkan, memelihara, dan menetapkan program perbaikan proses
berkelanjutan sejak Six Sigma program belum dirancang untuk mengintegrasikan
semua proses dalam upaya perbaikan mereka proses.
5.2. Manajemen proses dan kinerja perusahaan
Ketika pendukung manajemen proses memetik banyak manfaat dari program
perbaikan proses, efek manajemen proses terhadap kinerja perusahaan telah berbaur,
dan gagal memberikan hasil yang menjanjikan (Benner dan Tushman, 2003). Para
peneliti gagal menemukan hubungan yang signifikan antara program manajemen
proses dan kinerja perusahaan (Powel, 1995; Samson dan Terziovski, 1999). Selain
itu, saat program manajemen proses telah mampu meningkatkan kinerja dalam
industri otomotif, program tersebut nampaknya menurunkan kinerja dalam industri
komputer (Ittner dan Larcker, 1997). Orang bisa berargumen bahwa program
manajemen proses sangat tepat diterapkan di pasar yang stabil (misalnya industri
otomotif) sedangkan penerapannya di pasar yang cepat berubah masih terbatas
(industri komputer misalnya).
Sebagian besar penelitian tentang manajemen proses telah dilakukan di
bawah payung manajemen mutu. Penelitian dalam manajemen mutu dan kinerja
perusahaan tidak memberikan jawaban yang jelas tentang pengaruh manajemen mutu
terhadap kinerja perusahaan. Studi empiris menunjukkan bahwa praktek manajemen
mutu (sebagai program manajemen proses terpadu) meningkatkan kinerja perusahaan
(Hendricks dan Singhal, 1996; Easton dan Jarrell, 1998; Kaynak, 2003). Sebaliknya,
penelitian lain menunjukkan bahwa pelaksanaan program manajemen mutu telah
meningkatkan kinerja operasional dalam jangka pendek, tetapi gagal
mempertahankan pada jangka panjang (Sterman et al, 1997.) Tidak ada bukti bahwa
kinerja perusahaan-perusahaan yang sukses telah meningkat berkat pelaksanaan
program manajemen mutu; perusahaan yang memiliki tingkat kinerja yang tinggi
menyatakan bahwa tingkat kinerja setelah menerapkan program manajemen mutu,
dan penerapan manajemen mutu itu bukan faktor utama untuk menjaga keunggulan
kompetitif mereka (York dan Miree, 2004).
Untuk mengatasi inkonsistensi dalam temuan di atas, beberapa proposisi telah
dibuat. Salah satu argumen yang mungkin bisa digunakan adalah bahwa perusahaan
tidak mengadopsi semua kebutuhan manajemen mutu dan gagal untuk
menerapkannya secara penuh (Westphal et al, 1997; Easton dan Jarrell, 1998;
Zbaracki, 1998). Penjelasan lainnya adalah ketidaksesuaian antara manajemen mutu
dan budaya perusahaan (Sterman et al, 1997; Cameron dan Barnett, 2000).
Kegagalan manajemen mutu juga disebabkan kesenjangan antara retorika
manajemen puncak tentang niat mereka terhadap kualitas dan realitas implementasi
di masing-masing subunit. Ini menjadi lebih rumit apabila organisasi gagal untuk
mengatasi keseimbangan antara meningginya kontrol (perbaikan proses) dan
komitmen dan motivasi yang tinggi terhadap inovasi (Beer, 2003).
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa peningkatan program seperti
manajemen mutu dapat menghadirkan perusahaan dengan trade-off antara manfaat
jangka pendek dan jangka panjang (Sterman et al., 1997). Pertanyaan mendasar
tentang perbaikan proses untuk menentukan apakah perusahaan yang menekankan
program manajemen proses dapat mencapai tujuan ganda dalam jangka pendek
(efisiensi) dan kinerja jangka panjang (inovasi). Selanjutnya, sejauh mana
perusahaan melaksanakan program perbaikan proses (seperti Six Sigma), bagaimana
tujuan ganda yakni kontrol (efisiensi) dan pembelajaran (inovasi) dilaksanakan? Di
sini, tujuannya adalah untuk melihat Six Sigma, dan menentukan bagaimana ia dapat
meningkatkan kemampuan perusahaan untuk mencapai paradoks kontrol
(eksploitasi) dan pembelajaran (eksplorasi).
6. Six Sigma sebagai metodologi manajemen proses terpadu
Penelitian tentang Six Sigma terutama telah difokuskan pada bukti anekdot
dan studi kasus (Schroeder et al, 2008). Penelitian akademik tentang Six Sigma
dipercepat dalam beberapa tahun terakhir (Linderman et al, 2003; McAdam dan
Lafferty, 2004).. McAdam dan Lafferty (2004) berpendapat bahwa keberhasilan
pelaksanaan Six Sigma membutuhkan perhatian terhadap perspektif proses
(metodologi) maupun perspektif orang (perilaku). Sedangkan penelitian awal tentang
Six Sigma telah difokuskan pada sisi teknis Six Sigma dalam hal peralatan, teknik
dan metodologi, studi terbaru memperhatikan sisi psikologis, kontekstual dan
kemanusiaan dari Six Sigma seperti sistem reward untuk Six Sigma (Buch dan
Tolentino, 2006), penetapan tujuan (Linderman et al, 2006), konteks organisasi
(Choo et al, 2007a), dan pengaman psikologis (Choo et al., 2007b).
Six Sigma secara tradisional berfokus pada pengurangan biaya dan efisiensi,
namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa ia dapat digunakan sebagai
metodologi untuk meningkatkan profitabilitas (Sodhi dan Sodhi, 2005), dan juga bisa
mendorong kreativitas (Biedry, 2001), meningkatkan pembelajaran organisasi
(Wilklund dan Wilklund, 2002), dan memfasilitasi inovasi (Byrne et al, 2007).
Dalam hal variasi kinerja, sisi kemanusiaan dari Six Sigma menunjukkan tingkat
variasi tertinggi antara kelompok yang berbeda dalam sebuah organisasi (Fleming et
al, 2005 ) Selain itu, ia juga membutuhkan komitmen manajemen atas, pendekatan
yang sangat disiplin, dan pelatihan (Hahn et al., 2000).
Kerangka teoritis yang berbeda telah digunakan untuk memahami penerapan
Six Sigma. Membangun di atas literatur teori tujuan, Linderman et al. (2003)
membahas peran dalam menentukan tujuan yang menantang untuk proyek Six
Sigma, di mana proyek Six Sigma dengan tujuan yang menantang menghasilkan
besaran kinerja yang lebih besar. Selain itu juga menunjukkan bahwa penggunaan
metode terstruktur (dalam proyek Six Sigma) meningkatkan kinerja. Dalam studi
lain, Linderman et al. (2006) secara empiris menunjukkan bahwa tujuan dapat
menjadi efektif bila proyek Six Sigma menggunakan tools dan metode Six Sigma.
Namun, tujuan yang tidak realistis dan sangat menantang akan kontraproduktif,
mengakibatkan frustrasi dan kurangnya motivasi bagi anggota tim.
Dari perspektif manajemen pengetahuan, Choo et al. (2007a)
mengembangkan kerangka kerja berbasis pengetahuan untuk proyek Six Sigma.
Dengan berfokus pada dua sumber penciptaan pengetahuan yang saling melengkapi
dalam proyek Six Sigma - metodologi yang ditentukan dan konteks organisasi -
mereka berpendapat bahwa proyek Six Sigma dapat membuat keseimbangan antara
pelaksanaan yang efektif dari metodologi yang ditentukan (misalnya alat dan teknik
seperti kendali mutu) dan konteks (misalnya kepemimpinan, budaya organisasi, dan
Black Belt role) dapat menghasilkan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Sejauh
mana perusahaan dapat mengelola keseimbangan, keunggulan kualitas yang
berkelanjutan akan dipertahankan.
Studi sebelumnya tentang Six Sigma membahas peran Six Sigma sebagai
pendekatan yang sangat terstruktur dan disiplin terhadap proses perbaikan. Meskipun
ada kesepakatan tentang kemampuan Six Sigma pada peningkatan kinerja
operasional (misalnya perbaikan proses) ada sedikit pemahaman tentang pengaruh
Six Sigma pada peningkatan kinerja perusahaan dari waktu ke waktu (Foster, 2007).
Selain itu, literatur tidak memberikan wawasan tentang peran variabel organisasi dan
kontekstual terhadap efektivitas program Six Sigma.
7. Six Sigma, manajemen proses, dan inovasi
Pengembangan dan pengenalan dari setiap inisiatif inovasi (seperti Six Sigma
sebagai program manajemen proses) dapat dilihat sebagai mekanisme untuk adaptasi
organisasi karena mereka digunakan atau diperkuat oleh organisasi sebagai respon
terhadap perubahan lingkungan (Brown dan Eisenhardt, 1997). Meskipun perbedaan
antara program manajemen proses (seperti TQM, Baldrige Award, Six Sigma) dalam
hal ruang lingkup, metodologi dan pendekatan semuanya memiliki misi yang sama:
memperbaiki proses organisasi (Hammer dan Champy, 1993; Ittner dan Larcker,
1997; Harry dan Schroeder, 2000).
Karena fokus program manajemen proses dalam pengurangan varians
(efisiensi) upaya untuk meningkatkan operasi dan perbaikan terus-menerus dari
kegiatan perusahaan, penekanan lebih pada program ini mempengaruhi
keseimbangan antara eksploitasi dan eksplorasi (Benner dan Tushman, 2003).
Dengan kata lain, terlalu banyak fokus pada manajemen proses akan memiliki efek
negatif pada inovasi, yang dapat berpengaruh negatif terhadap kinerja perusahaan
jangka panjang (Garvin, 1991; Hill, 1993). Untuk mengetahui dampak dari
manajemen proses terhadap kinerja perusahaan baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang, kita perlu melihat lebih dekat pengaruh manajemen proses pada
inovasi.
7.1. Manajemen proses dan inovasi
Manajemen proses mempengaruhi inovasi perusahaan dalam beberapa hal.
Pertama, ia mencoba untuk menyeimbangkan alokasi sumber daya untuk kegiatan
dalam perusahaan (Christensen dan Bower, 1996; Klassen dan Menor, 2007). Kedua,
manajemen proses berkenaan dengan meminimalkan sumber variabilitas dalam
kegiatan internal dan eksternal (Pannirselvam et al., 1999; Silver, 2004). Hal ini
dapat mengakibatkan adanya fokus pada jenis tertentu inovasi yang konsisten dengan
mengurangi variabilitas dalam proses (Henderson dan Clark, 1990). Itu adalah hal
berkenaan dengan program Six Sigma yang ditujukan untuk inovasi dalam desain.
dan proses pengembangan (Harry dan Schroeder, 2000).
Untuk memahami pengaruh dari Six Sigma pada inovasi kita harus familiar
dengan berbagai jenis inovasi. Para peneliti melihat inovasi dari perspektif yang
berbeda. Inovasi bisa mempengaruhi basis teknologi dari perusahaan, subsistem/
rutinitas/prosedur, dan pasar/pelanggan yang dilayani perusahaan tersebut.
Abernathy dan Clark (1985) mengklasifikasikan inovasi teknologi menjadi dua
dimensi: (1) sejauh mana mereka dekat dengan jalur teknologi saat ini dan (2) derajat
kedekatan mereka dengan pasar/pelanggan yang ada. Sementara perubahan
inkremental dibangun di atas kemampuan teknologi perusahaan saat ini, dengan
mengubah secara fundamental basis teknologi terkini perusahaan dapat menunjukkan
perubahan radikal (Green et al., 1995). Inovasi teknologi mempengaruhi sistem dan
proses dalam perusahaan (Tushman dan Murmann, 1998).
Mereka mungkin. mempengaruhi subsistem, rutinitas atau proses tanpa
mempengaruhi integrasi dan keterkaitan antara proses dan rutinitas, yang
menghasilkan inovasi modular. Di sisi lain, mereka dapat membawa inovasi
arsitektur, mengubah cara subsistem, rutinitas, dan prosedur terkait, dan benar-benar
merestrukturisasi konfigurasi dan keterkaitan antara prosedur dan rutinitas
perusahaan.
Inovasi teknologi juga dapat mempengaruhi pasar/pelanggan yang dilayani
perusahaan. Mereka dapat memenuhi kebutuhan pelanggan/pasar yang ada atau
pelanggan dan/atau pasar yang baru/muncul (Christensen dan Bower, 1996).
Sementara peningkatan dalam basis teknologi terkini cocok untuk menangani
kebutuhan pelanggan/pasar yang sudah ada, produk dan/atau jasa yang dirancang
untuk pelanggan/pasar baru membutuhkan berbagai jenis kemampuan teknologi,
teknologi yang secara fundamental berbeda dari lintasan teknologi terkini perusahaan
(Christensen, 1998). Karena program Six Sigma menerjemahkan suara pelanggan ke
dalam proyek-proyek perbaikan proses yang independen, mereka meningkatkan
inovasi teknologi perusahaan. Oleh karena itu, dikemukakan bahwa:
P: program Six Sigma secara signifikan meningkatkan inovasi teknologi
perusahaan.
Keputusan kunci tentang program Six Sigma adalah untuk menentukan
dampaknya terhadap (1) basis teknologi perusahaan (incremental vs. radikal), (2)
proses, prosedur, dan rutinitas dalam perusahaan (modular vs. arsitektur), dan (3)
pelanggan/pasar baru atau konsumen/pasar yang telah ada (mempertahankan vs.
meminggirkan teknologi).
7.2. Pengaruh Six Sigma pada inovasi dan kinerja perusahaan
Program Six Sigma berusaha untuk memperbaiki proses pada perusahaan
dengan fokus pada pengurangan variabilitas dalam proses dan rutinitas organisasi
(Linderman et al, 2003; Schroeder et al, 2008). Kerangka kerja populer untuk Six
Sigma adalah DMAIC yang meliputi fase Desain, Pengukuran, Analisa, Perbaikan,
dan Kontrol (Hammer, 2002; Linderman et al, 2003, 2006; Knowles et al, 2005).
Metodologi terstruktur ini membantu program Six Sigma untuk mengidentifikasi
akar penyebab masalah, mencari solusi, dan memperbaiki proses.
Perlu dicatat bahwa dalam mencari perbaikan pada rutinitas dan prosedur
organisasi, upaya-upaya Six Sigma terutama difokuskan pada peningkatan efisiensi
dalam basis teknologi perusahaan yang sudah ada (Benner dan Tushman, 2003).
Karena fokus program perbaikan proses pada perubahan terus menerus dan bersifat
incremental, mereka sebaiknya memperbaiki jalur teknologi yang ada dalam
perusahaan. Dalam mengejar pengurangan variabilitas dan meningkatkan efisiensi,
program Six Sigma memastikan bahwa inovasi teknologi baru (dalam proses atau
sistem) itu sangat dekat dengan basis teknologi perusahaan saat ini. Oleh karena itu,
P1: program Six Sigma secara positif berpengaruh terhadap inovasi
incremental perusahaan.
Program Six Sigma meningkatkan prosedur dan rutinitas organisasi. Six
Sigma mengasumsikan bahwa proses organisasi saat ini berpengaruh tapi masih
memerlukan perbaikan kecil (incremental) untuk menjadi efisien (Hammer, 2002).
Six Sigma tidak mengubah integritas dan keterkaitan proses organisasi, sebaliknya,
akan meningkatkannya.
P2: Program Six Sigma berpengaruh positif terhadap inovasi modular dalam
perusahaan.
Menurut Douglas dan Erwin (2000) Six Sigma adalah konsep yang lebih
berkonsentrasi pada pelanggan ketimbang produk. Target utama upaya perbaikan Six
Sigma adalah pelanggan yang sudah ada (existing). Informasi dan data dari
pelanggan yang sudah ada ini dikumpulkan dan dianalisis, dan proyek Six Sigma
didefinisikan untuk meningkatkan proses dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan
pelanggan. Organisasi berusaha untuk menurunkan atau menghilangkan jumlah
keluhan pelanggan yang diterima dengan persepsi bahwa semakin sedikit keluhan
sama artinya kepuasan pelanggan meningkat. Hal ini akan mengakibatkan
pengenalan produk dan/atau jasa baru yang ditujukan kepada pelanggan yang sudah
ada dapat dilakukan. Oleh karena itu,
P3: Program Six Sigma secara positif meningkatkan inovasi untuk pelanggan
yang sudah ada.
Pengetahuan tentang persepsi dan sikap pelanggan terkait dengan organisasi,
dan produk dan/atau jasanya akan sangat meningkatkan peluang untuk membuat
keputusan bisnis yang lebih baik. Harry (1998) menyatakan bahwa filosofi Six
Sigma mengakui bahwa ada korelasi langsung antara jumlah cacat, biaya operasional
yang terbuang, dan tingkat kepuasan pelanggan.
Fokus dari Six Sigma adalah untuk memenuhi kebutuhan pelanggan existing
(Linderman et al, 2003;. Evans dan Lindsay, 2005). Kebutuhan pelanggan dijabarkan
ke dalam tujuan kuantitatif. Kwak dan Anbari (2006) menyatakan bahwa
implementasi yang efektif dari proyek Six Sigma membutuhkan fokus pelanggan
yang kuat. Bahkan, dalam proses DMAIC (Desain, Pengukuran, Analisa, Perbaikan,
dan Kontrol) memahami kebutuhan dan harapan pelanggan yang perlu ditangani.
Pande et al. (2000) merekomendasikan bahwa organisasi lebih dulu melihat masalah
dari sisi pelanggan ketika berhadapan dengan suatu masalah. Hal ini diyakini bahwa
sebuah perusahaan yang berorientasi pelanggan akan fokus pada mengintegrasikan
masukan dari pelanggan ke dalam proyek Six Sigma-nya, di mana ia akan menangani
proyek-proyek yang memiliki dampak tertinggi pada kepuasan pelanggan (Johnson,
2005). Semua hal di atas menegaskan fokus Six Sigma pada penanganan suara
pelanggan yang sudah ada (existing). Oleh karena itu,
P4: program Six Sigma meningkatkan kepuasan pelanggan bagi pelanggan
existing.
Seperti yang ditunjukkan sebelumnya proyek Six Sigma fokus pada
pengurangan variabilitas dari proses dan rutinitas organisasi. Organisasi
menggunakan inisiatif Six Sigma untuk menangani masalah tertentu. Dalam hal ini,
mereka menyesuaikan proses upaya perbaikan untuk mengatasi masalah tertentu
yang diajukan oleh pelanggan yang sudah ada. Dalam menuntut atas proses
perbaikan, organisasi meningkatkan produk/jasa yang ada untuk memenuhi atau
melebihi harapan pelanggan. Perbaikan incremental tersebut bisa memiliki dua
manfaat bagi perusahaan, pertama, meningkatkan kepuasan pelanggan bagi
pelanggan yang sudah ada, dan kedua, bisa menarik pelanggan baru karena
perubahan yang mereka buat pada produk. Oleh karena itu, pada tahap awal
penerapan Six Sigma, perusahaan memiliki kesempatan untuk meningkatkan basis
pelanggan mereka baik melalui fokus mereka pada pelanggan yang sudah ada
ataupun menangani kebutuhan pelanggan baru. Tantangan bagi perusahaan pada
tahap awal mereka menggunakan inisiatif Six Sigma adalah apakah akan
melanjutkan upaya mereka untuk memperbaiki produk/jasa yang ada (berfokus pada
pelanggan yang sudah ada) atau merestrukturisasi proses yang ada (yang bertujuan
untuk pelanggan baru). Oleh karena itu, diharapkan pada tahap awal proyek Six
Sigma organisasi mengembangkan kemampuan untuk mengembangkan produk atau
jasa baru, produk ini bisa berupa dalam jalur teknologi perusahaan yang sudah ada
(inovasi incremental) atau mengikuti jalur teknologi yang sama sekali baru (inovasi
radikal). Bahkan, karena cara mereka menerjemahkan dan mengintegrasikan
kebutuhan pelanggan, proyek Six Sigma menyediakan perusahaan landasan untuk
secara bertahap mengembangkan proses yang ada ataupun secara radikal mengubah
proses mereka secara keseluruhan. Dalam hal tersebut, karena perusahaan
mencurahkan sumber daya dan perhatian untuk meningkatkan proses dan rutinitas
yang ada dengan fokus pada pelanggan yang sudah ada, mereka dapat mengabaikan
inovasi radikal. Dengan kata lain, saat berada pada tahap awal Six Sigma perusahaan
dapat termotivasi untuk merestrukturisasi proses dan rutinitas untuk mencapai
inovasi radikal, terlalu banyak penekanan pada proyek Six Sigma mengubah arah
perusahaan untuk secara bertahap memperbaiki jalur teknologi mereka saat ini. Oleh
karena itu,
P5: program Six Sigma memiliki efek bipolar pada inovasi radikal dari
perusahaan. Orientasi pelanggan perusahaan (yang ada vs. pelanggan yang baru
muncul) memoderasi efek dari Six Sigma pada inovasi radikal.
Konsisten dengan proposisi sebelumnya, proyek Six Sigma (pada tahap awal
implementasi mereka) memberikan perusahaan dasar untuk memenuhi kebutuhan
para pelanggan yang ada dan pelanggan baru (yaitu kesempatan untuk menuju pada
perbaikan proses dan inovasi). Namun, karena organisasi berfokus terlalu banyak
pada proyek Six Sigma, mereka secara sistematis berfokus pada kebutuhan basis
pelanggan mereka. Oleh karena itu, orang bisa berharap bahwa terlalu banyak
penekanan pada proyek Six Sigma dapat melumpuhkan organisasi dalam
mengembangkan produk/jasa baru untuk pelanggan baru mereka. Oleh karena itu,
P6: program Six Sigma memiliki efek bipolar pada inovasi bagi pelanggan
baru. Fokus pada pelanggan yang sudah ada memoderasi efek dari Six Sigma pada
inovasi bagi pelanggan baru.
Hubungan di antara Six Sigma, inovasi dan kinerja perusahaan telah disajikan
pada Gambar 1. Proyek Six Sigma memiliki efek positif pada inovasi inkremental
perusahaan (P1). Kepuasan pelanggan bagi pelanggan yang sudah ada meningkat
karena organisasi berinvestasi lebih pada proyek Six Sigma mereka (P4). Karena
hasil dari peningkatan kepuasan pelanggan seiring dengan kinerja inovasi
incremental kinerja perusahaan akan meningkat.
8. Six Sigma dan kinerja perusahaan
Tingkat dimana program Six Sigma bisa efektif dapat bergantung pada
stabilitas basis pelanggan atau lingkungan. Ketika organisasi melayani basis
pelanggan tertentu dan basis pelanggan tersebut diperkirakan akan tetap stabil
sepanjang waktu, program Six Sigma dapat mempertahankan fokus yang kuat pada
menerjemahkan suara pelanggan ke proyek-proyek perbaikan. Hal ini disebabkan
oleh fakta bahwa dalam basis pelanggan yang stabil, kebutuhan pelanggan
diperkirakan akan tetap stabil sepanjang waktu. Pola yang sama bisa dibayangkan
dalam pasar/lingkungan yang stabil. Dalam lingkungan seperti itu, tingkat inovasi
dan perubahan dapat diprediksi, dan pola inovasi dan perubahan dapat dengan mudah
diproyeksikan. Lebih khusus lagi, fokus inovasi dan perubahan terletak pada
peningkatan proses organisasi (efisiensi) daripada meningkatkan produk baru
(inovasi). Industri perminyakan bisa menjadi contoh yang baik basis pelanggan yang
stabil. Saat harga minyak berfluktuasi secara dramatis dari waktu ke waktu, SPBU
menyediakan produk standar dan produk spesifik. Untuk meningkatkan efektivitas
organisasi dalam lingkungan tersebut perusahaan perlu fokus pada peningkatan
efektivitas operasional mereka untuk mengurangi biaya operasional, sehingga
mengurangi variabilitas dalam proses dan prosedur. Sebaliknya, dalam produk
elektronika konsumen, produk dan layanan baru yang ditawarkan begitu sering
memerlukan restrukturisasi, mendesain ulang dan mengevaluasi kembali proses dan
rutinitas oleh organisasi. Oleh karena itu, dikemukakan bahwa,
P7: Selama basis pelanggan stabil, program Six Sigma berpengaruh positif
terhadap kinerja perusahaan. Dengan kata lain, basis pelanggan memoderasi efek Six
Sigma program terhadap kinerja perusahaan.
Gambar. 1. Efek proyek Six Sigma terhadap kinerja perusahaan.
Telah ditunjukkan bahwa variabel kontekstual seperti struktur industri dan
persaingan mempengaruhi pelaksanaan program manajemen proses (Das et al, 2000;.
Lai dan Cheng, 2003;. Zhao et al, 2004). Ketika pasar berkembang tingkat inovasi
dan perubahan dalam pasar yang dramatis stabil menunjukkan sedikit perubahan
dalam struktur industri dan intensitas persaingan. Pasar yang terus berkembang
memerlukan perubahan konstan dalam mengembangkan produk dan layanan baru, di
mana perusahaan dipaksa untuk memperkenalkan produk dan layanan baru untuk
tetap kompetitif. Lokus inovasi dalam pasar yang dinamis adalah inovasi produk/
layanan (jasa). Kecenderungan terhadap daya saing membutuhkan eksplorasi dan
pembelajaran ketimbang eksploitasi dan kontrol. Sebaliknya, pasar/lingkungan yang
stabil yang ditandai dengan adanya produk/jasa yang mapan (established), di mana
hanya sedikit perhatian diberikan untuk mengembangkan produk dan/atau jasa baru.
Dalam lingkungan seperti itu, organisasi harus fokus pada perbaikan dan efisiensi
proses ketimbang inovasi karena sumber keunggulan kompetitif adalah perbaikan
proses. Oleh karena itu, dikemukakan bahwa,
P8: Selama lingkungan stabil, program Six Sigma berpengaruh positif
terhadap kinerja perusahaan. Dengan kata lain, lingkungan memoderasi pengaruh
program Six Sigma terhadap kinerja perusahaan.
9. Pembahasan
Program manajemen proses yang efektif mengintegrasikan sudut pandang
pelanggan ketika mendefinisikan inisiatif perbaikan mereka. Sementara beberapa
program (misalnya BPR) dirancang untuk merestrukturisasi operasi internal
perusahaan yang lainnya (misalnya TQM) dengan secara bertahap mengubah kinerja
operasional mereka (Herzog et al., 2007). Terlepas dari jenis, lingkup, dan janji
program manajemen proses, perbedaan mendasar antara program manajemen proses
adalah sejauh mana mereka dapat tetap baik dalam kompetensi inti organisasi yang
ada atau memberikan kesempatan bagi organisasi untuk mengejar basis teknologi
yang baru dan radikal.
Telah dikatakan bahwa program manajemen proses seperti TQM tidak dapat
menyediakan perusahaan dengan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Secara
tradisional program ini telah dikembangkan untuk meningkatkan karakteristik
tertentu dalam proses untuk mencapai tingkat efisiensi operasional yang lebih tinggi,
dengan respek terhadap suara pelanggan. Argumen yang disajikan dalam makalah ini
menunjukkan bahwa kegagalan program manajemen proses seperti Six Sigma dapat
dikaitkan dengan ketidakmampuan mereka untuk mengatasi inovasi radikal dengan
baik. Dengan menerjemahkan suara pelanggan menjadi proyek-proyek yang layak
program Six Sigma meningkatkan karakteristik proses yang sangat penting untuk
pelanggan. Agar efektif dan membawa hasil terbaik, program Six Sigma harus
memenuhi kebutuhan para pelanggan yang ada dan pelanggan masa depan. Namun,
fokus yang demikian secara tradisional belum dikaitkan dengan Six Sigma, yaitu
menerjemahkan suara pelanggan dikaitkan dengan sudut pandang pelanggan yang
sudah ada.
Pada tingkat yang lebih konseptual, proyek Six Sigma berkenaan dengan
tugas, proses dan operasi. Sebagaimana yang dinyatakan Garvin (1998) tampak
bahwa proyek ini dirancang sangat tepat untuk menangani proses tugas. proses Six
Sigma tidak dapat menangani proses perilaku karena proses ini tidak dapat
memberikan input untuk program Six Sigma. Perbaikan dalam pengambilan
keputusan, komunikasi, dan proses pembelajaran tidak dapat dicapai dengan proyek
Six Sigma karena mereka dirancang untuk berkenaan dengan tujuan perbaikan yang
spesifik, kuantitatif dan terukur. Selain itu, proyek Six Sigma gagal untuk mengatasi
pola dan evolusi perusahaan dari waktu ke waktu. Penerapan Six Sigma yang efektif
membutuhkan perhatian untuk ketiga jenis proses dalam organisasi. Program Six
Sigma telah menunjukkan sedikit bukti untuk meyakinkan kita akan kemampuannya
untuk menangani proses perilaku dan perubahan. Oleh karena itu, perbaikan proses
radikal dan berkelanjutan tidak dapat dicapai dari proyek Six Sigma karena
kurangnya perhatian terhadap proses perilaku dan perubahan.
9.1. Implikasi untuk praktik
Hasil dalam makalah ini akan bermanfaat bagi organisasi yang memfokuskan
pada Six Sigma dan proyek-proyek perbaikan. Organisasi perlu mengembangkan
pedoman pemilihan proyek untuk memastikan mereka mendapatkan keuntungan dari
proyek Six Sigma mereka. Ini berarti bahwa organisasi harus menentukan proyek Six
Sigma mereka dengan mengacu pada strategi bisnis mereka. Jika penekanannya pada
efisiensi dan mengurangi biaya, proyek Six Sigma memiliki tingkat keberhasilan
yang sangat tinggi, dengan asumsi sumber daya untuk proyek (sumber daya manusia
dan modal) dijamin. Manajer proyek dapat berharap mendapatkan keuntungan
banyak dari proyek Six Sigma jika dua kondisi terpenuhi: (1) perusahaan (atau unit
bisnis) berfokus pada efisiensi dan (2) tingkat perubahan dalam industri rendah
(industri yang stabil). Pelaksanaan proyek Six Sigma dalam lingkungan yang sangat
dinamis dan berkembang dengan tingkat inovasi dan perubahan yang tinggi sangat
berisiko karena ketidakmampuan proyek Six Sigma dalam mengatasi perubahan
radikal. Oleh karena itu, dalam mendefinisikan dan mengembangkan proyek Six
Sigma organisasi harus berhati-hati dalam memilih proyek yang memenuhi kondisi
di atas.
9.2. Keterbatasan dan penelitian di masa depan
Makalah ini membahas dampak dari proyek Six Sigma pada inovasi dan
kinerja perusahaan dengan menggunakan teori dari manajemen proses dan inovasi.
Diyakini bahwa penelitian empiris diperlukan untuk lebih memvalidasi proposisi.
Disarankan bahwa jenis industri (jasa, manufaktur), lingkungan (stabil, dinamis) dan
basis pelanggan (stabil, berkembang) harus diperhitungkan. Selain itu, besarnya
organisasi harus dipertimbangkan sebagai variabel kontrol dalam penelitian masa
depan.
Salah satu tantangan dalam melakukan penelitian dalam Six Sigma adalah
untuk secara jelas membedakan antara proyek Six Sigma dan inisiatif proses
perbaikan lainnya. Organisasi dapat merujuk kepada program-program perbaikan
proses mereka dengan program Six Sigma, yang pada kenyataannya belum tentu
proyek Six Sigma yang tepat. Oleh karena itu, perhatian harus ditujukan pada
memilih secara cermat organisasi yang menerapkan program Six Sigma.
Cara lain yang memungkinkan untuk penelitian ini adalah mengetahui
pengaruh inisiatif kualitas lainnya pada keberhasilan proyek Six Sigma. Pelaksanaan
program manajemen mutu (seperti Lean atau model Baldrige) menyediakan kepada
organisasi kemampuan untuk secara lebih sistematis fokus pada proses organisasi
sehingga mereka dapat secara efektif menerapkan filosofi kualitas total (Dahlgaard
dan Dahlgaard-Park, 2006). Oleh karena itu, akan sangat menarik untuk melihat
apakah ada perbedaan dalam hal kinerja antara organisasi yang telah menerapkan
program kualitas lain dengan organisasi yang hanya terfokus pada Six Sigma.
10. Kesimpulan
Program Six Sigma telah dimanfaatkan sebagai metodologi terstruktur untuk
memperbaiki proses organisasi. Dengan fokus mereka pada sudut pandang
pelanggan, mereka secara sistematis menerjemahkan karakteristik menganggap
penting kualitas ke dalam proyek-proyek perbaikan. Meskipun telah dikemukakan
bahwa program Six Sigma memungkinkan perusahaan untuk menjadi lebih ‘pintar’
melalui fokus ganda mereka pada efisiensi (eksploitasi) dan inovasi (eksplorasi)
penelaahan terhadap literatur mengenai manajemen proses mengungkapkan bahwa
proyek ini justru dapat menghambat kemampuan perusahaan akan adanya inovasi
radikal, memaksa perusahaan untuk mengejar jalur teknologi terbaru. Selain itu,
karena perusahaan memanfaatkan program Six Sigma mereka, kemampuan mereka
dalam mengidentifikasi, memantau, dan memahami kebutuhan pelanggan masa
depan mereka mungkin akan lumpuh.
Untuk mendapatkan hasil terbaik dari program Six Sigma, organisasi perlu
hati-hati memenuhi kebutuhan pelanggan mereka saat ini sambil melakukan
pemantauan akan pembentukan pasar dan/atau pelanggan baru. Dalam bentuk yang
sekarang, program Six Sigma tidak menjamin keunggulan kompetitif yang
berkelanjutan bagi perusahaan karena fokus mereka pada proses, produk, dan
pelanggan yang sudah ada. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa mereka belum
dikembangkan untuk mengatasi peningkatan radikal dalam proses dan rutinitas
organisasi. Tidak ada keraguan bahwa organisasi dapat memperoleh manfaat dari
program Six Sigma, namun, manfaat tersebut tidak berkelanjutan sampai program
Six Sigma mengembangkan mekanisme untuk mengatasi inovasi produk, pola
perubahan dalam basis pelanggan, dan ketidakpastian lingkungan sambil
meningkatkan/memperbaiki proses organisasi.