HASIL PENELITIAN ANALISIS FAKTOR PRAKTIK HYGIENE...
Transcript of HASIL PENELITIAN ANALISIS FAKTOR PRAKTIK HYGIENE...
ANALISIS FAKTOR PRAKTIKTERHADAP KEJADIAN KECACINGANSEKOLAH DASAR DI
BAGIAN KESEHATAN LINGKUNGANFAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
1
HASIL PENELITIAN
ANALISIS FAKTOR PRAKTIK HYGIENE PERORANGANTERHADAP KEJADIAN KECACINGAN PADA MURIDSEKOLAH DASAR DI PULAU BARRANG LOMPO
KOTA MAKASSAR
ANDI CENDRA PERTIWIK111 09 319
BAGIAN KESEHATAN LINGKUNGANFAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR
2013
PERORANGANPADA MURID
PULAU BARRANG LOMPO
BAGIAN KESEHATAN LINGKUNGANFAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
2
KATA PENGANTAR
Segala puji senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT yang tiada henti
menganugerahkan rahmat dan hidayah kepada hamba-Nya serta memberikan nikmat
berkah yang begitu besar di dalam langkah perjalanan panjang yang begitu berarti.
Salam dan salawat tidak lupa penulis kirimkan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta para keluarga, sahabat dan pengikutnya. Sebuah nikmat yang tiada ternilai
manakala penulisan skripsi yang berjudul ”Analisis Faktor Praktik Hygiene
Perorangan Terhadap Kejadian Kecacingan Pada Murid Sekolah Dasar Di
Pulau Barrang Lompo Kota Makassar”, dapat terselesaikan dengan baik walaupun
banyak kendala yang dihadapi namun berkat bantuan dan dukungan berbagai pihak
akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.
Kuhadiahi skripsi ini terkhusus untuk Ayahanda tercinta Ir. Andi
Pamessangi yang telah mejadi orang tua tunggal dalam mendidik anak-anaknya serta
saudara-saudaraku tersayang A. Purnama, SE, A. Surya Cipta, SE, A. Nurul
Fausiah, dan A. Alief Akbar kuucapkan terima kasih atas segala pengorbanan,
kesabaran, dukungan, semangat dan do’a restu di setiap langkah panjang yang tak
mudah ini dan yang tak ternilai ini, penulis menyadari bahwa ini masih langkah awal
dari usaha menuju kesuksesan yang telah kalian amanahkan namun ini adalah salah
satu pembuktian janji penulis akan meraih kesuksesan dengan menyelesaikan studi di
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Kiranya amanah dan
nasehat yang diberikan kepada penulis tidak tersia-siakan dan akan terus penulis
3
ingat hingga kesuksesan yang lebih hebat berikutnya. Dalam kesempatan ini pula
dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan penghargaan dengan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. DR. Dr. H. M. Alimin Maidin, MPH sebagai dekan Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin beserta seluruh staf akademik
atas bantuannya selama penulis mengikuti pendidikan.
2. Bapak DR. Ridwan M. Thaha, sebagai Penasehat Akademik yang banyak
memberikan bimbingan dan motivasi selama menempuh studi di Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
3. Bapak dr. Hasanuddin Ishak, M.Sc, Ph.D sebagai Ketua Bagian Kesehatan
Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
4. Bapak Ruslan, SKM, MPH sebagai pembimbing I dan sebagai tim pengajar
pada Bagian Kesehatan Lingkungan FKM UNHAS atas segala ketulusan dan
kesabaran yang rela meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan
arahan hingga selesainya penulisan skripsi ini.
5. Bapak dr. H. Makmur Selomo, MS, sebagai pembimbing II yang telah banyak
memberikan arahan dan kebijakan hingga selesainya penulisan skripsi ini.
6. Bapak Agus Bintara Birawida, S.Kel, M.Kes, ibu Indra Fajarwati Ibnu,
SKM, MA dan Ibu Rahmah, SKM, M.Sc (PH), selaku tim penguji yang telah
banyak memberikan masukan guna penyempurnaan penulisan skripsi ini.
4
7. Dosen FKM UNHAS dan terutama Dosen Bagian Kesehatan Lingkungan
yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berharga selama
penulis mengikuti pendidikan di FKM UNHAS.
8. Kepala Puskesmas Barrang Lompo, Kepala Sekolah SDN Barrang Lompo,
Kepala Sekolah SD Inp. Barrang Lompo beserta staf dan guru yang telah
banyak memberikan bantuan selama pelaksanaan penelitian.
9. Kepala Laboratorium Terpadu FKM UNHAS beserta staf yang telah
membantu penulis dalam melakukan pemeriksaan laboratorium.
10. Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Penyakit Berbasis Binatang
dan staf yang telah menerima, membimbing dan mendidik dalam pelaksanaan
magang serta memberikan buah pikiran dalam pengembangan pelaksaan skripsi
penulis.
11. Muh. Ihramsyah Nur yang telah setia memberikan bantuan dan dukungan
dalam situasi dan kondisi apapun serta menjadi sahabat seperjuangan penelitian
dalam penyelesaian skripsi ini.
12. Para Rangers (Kak Cua, Kak Suti, Kak Deddy, Kak Fafa, Kak Tilka, Kak
Fitri, Kak Irda, Ide) yang telah mengajarkan betapa berharganya sebuah
kerjasama dalam melewati proses kehidupan, tetap jaga silahturahmi dan
kekompakan dalam meraih kesuksesan yang sudah diimpikan bersama-sama.
13. Teman-teman di Bagian Kesehatan Lingkungan angkatan 2009 serta Dinda-
dinda angkatan 2010 dan 2011.
5
14. Posko PBL RW 03 Mariso, Posko KKN Desa Campagaya serta Teman-
teman galeter angkatan 2009 FKM UNHAS.
15. Ucapan terima kasih untuk semua orang yang tidak sempat penulis sebutkan satu
per satu yang telah mendukung, membantu dan memberikan motivasi selama ini.
Semoga segala bantuan, dukungan, do’a dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT. Akhirnya menyadari sepenuhnya
bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga saran dan kritik
penulis sangat harapkan demi penyempurnaan skripsi ini. Iman, Ilmu dan Amal padu
mengabdi.
Makassar, Mei 2013
Penulis
6
7
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN... ...................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................... iii
RINGKASAN ... ................................................................................ iv
KATA PENGANTAR....................................................................... . v
DAFTAR ISI......................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR............................................................................ viii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ xi
BAB I
PENDAHU
LUAN
A. Latar Belakang ... ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah... ............................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian................................................................................ 7
D. Manfaat Penelitian.............................................................................. 8
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Hygiene Perorangan ..................................... 10
B. Tinjauan Umum Tentang Faktor Praktik Hygiene Perorangan ............. 13
C. Tinjauan Umum Tentang Kawasan Pesisir dan Kepulauan .................... 22
D. Tinjauan Umum Tentang Kejadian Kecacingan (Helminthiasis) ........... 23
E. Tinjauan Umum Tentang Cacing Soil Transmitted Helminths (STH) 24
F. Tinjauan Umum Tentang Pencegahan Infeksi Kecacingan .................... 33
G. Kerangka Teori........................................................................................ 34
8
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikiran Variabel yang diteliti ............................................ 36
B. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif ..................................... 38
BAB IV
METO
DE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian.................................................................................. 42
B. Lokasi dan Waktu Penelitian............................................................. 42
C. Populasi, Sampel dan Besar Sampel ................................................. 43
D. Instrumen Penelitian.......................................................................... 48
E. Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 48
F. Pengolahan Data dan Penyajian Data................................................ 50
G. Analisis Data ..................................................................................... 51
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ............................................................................... 55
B. Pembahasan...................................................................................... 77
C. Keterbatasan Penelitian .................................................................... 87
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................... 88
B. Saran ................................................................................................... 89
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
9
10
RINGKASANUNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKATKESEHATAN LINGKUNGAN
SKRIPSI, MEI 2013ANDI CENDRA PERTIWI“ANALISIS FAKTOR PRAKTIK HYGIENE PERORANGAN TERHADAPKEJADIAN KECACINGAN PADA MURID SEKOLAH DASAR DI PULAUBARRANG LOMPO KOTA MAKASSAR”( xi + 80 Halaman + 17 Tabel + 8 Gambar + 11 Lampiran)
Kecacingan merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesiakarena prevalensi kejadian yang tinggi. Jenis cacing usus yang mempunyai prevalensitinggi adalah cacing jenis Soil Transmitted Heminths dengan angka prevalensi yangbervariasi antara1% sampai dengan lebih dari 90% terutama pada kelompok umurbalita dan anak usia sekolah dasar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuihubungan antar faktor praktik hygiene perorangan yakni kebiasaan cuci tangan pakaisabun, kebiasaan memakai alas kaki, kebiasaan memotong kuku dan kebiasaan buangair besar pada tempatnya terhadap kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar diPulau Barrang Lompo Kota Makassar
Jenis penelitian ini adalah observasional dengan pendekatan cross sectionalstudy. Populasinya adalah seluruh murid sekolah dasar di Pulau Barrang Lompo.Sampel penelitian ini adalah sebanyak 239 responden yang diambil dengan metodeproporsional systematic random sampling. Data diperoleh melalui uji laboratorium,wawancara dan observasi dengan menggunakan panduan kuesioner. Analisishubungan dilakukan dengan menggunakan uji chi-square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian kecacingan pada murid sekolahdasar di Pulau Barrang Lompo Kota Makassar sebanyak 181 murid (75,7%). Hasil ujichi-square kebiasaan cuci tangan pakai sabun, kebiasaan memakai alas kaki,kebiasaan memotong kuku dan kebiasaan buang air besar pada tempatnya memiliki pvalue =0,000 ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna terhadapkejadian kecacingan.
Penelitian ini menyimpulkan, bahwa semua faktor praktik hygiene peroranganmemiliki resiko tinggi terhadap kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar diPulau Barrang Lompo. Penelitian ini menyarankan perlunya memberikan pemahamanmengenai pentingnya memperhatikan dan memperbaiki perilaku kesehatan untukmencegah dan mengendalikan kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar diPulau Barrang Lompo.
Daftar Pustaka : 34 (2000 – 2012)Kata kunci : Murid sekolah dasar , Kecacingan , Praktik Hygiene
Perorangan.
11
ABSTRACTHASANUDDIN UNIVERSITYPUBLIC HEALTH FACULTYENVIRONMENTAL HEALTH
Thesis, MAY 2013ANDI CENDRA PERTIWI"ANALYSIS FACTOR PERSONAL HYGIENE PRACTICES OF PEOPLE ONHELMINTHIASIS DISEASES OF ELEMENTARY SCHOOL STUDENTS INTHE BARRANG LOMPO ISLAND MAKASSAR CITY 2013"(xi + 80 Pages + 17 Table + 8 Picture + 10 Appendix Figure)
Helminthiasis is one of public health problem in Indonesia because of the highprevalence. Types of intestinal worms that have a high prevalence of Soil TransmittedHelminths is a worm types with varying prevalence between 1% to more than 90%,especially in the age group of toddlers and elementary school age children. Thisstudy aims to determine the relationship between the practice of personal hygienefactor that handwashing with soap, wearing custom footwear, custom cut nails andbowel habits in place on the incidence of worm infestation in elementary schoolstudents in Barrang Lompo Island.
The study was observational with cross sectional approach. Its population isaround the elementary school students on the Barrang Lompo island. The sample wastaken as 239 respondents with proportional systematic random sampling method.Data obtained through laboratory test, interviews and observations by using thequestionnaire. Relationship analysis performed using the chi-square test.
The results showed that the incidence of worm infestation in elementary schoolchildren on the Barrang Lompo island of Makassar as many as 181 students (75.7%).Chi-square test results of handwashing with soap, wearing custom footwear, customcut nails and bowel habits in place has p value = 0.000 shows that there is asignificant relationship to the incidence of worm infestation.
This study concluded that all factors personal hygiene practices are high riskfor the incidence of worm infestation in primary school children on the BarrangLompo island. This study suggests the need to provide an understanding of theimportance of attention to and improve health behaviors to prevent and control theincidence of worm infestation in primary school children on the Barrang Lompoisland.
Bibliography : 34 (2000 - 2012)Keywords : Elementary school students, Helminthiasis, Personal Hygiene
Practices.
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi Kecacingan merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia yang masih tinggi prevalensinya terutama pada kelompok umur balita
dan anak usia sekolah dasar terutama di daerah pedesaan dan daerah kumuh
perkotaan (Mardiana dan Djarismawati, 2008). Salah satu infeksi Kecacingan
yang menjadi masalah kesehatan masyarakat adalah infeksi cacing yang
ditularkan melalui tanah dan yang paling sering menyerang saluran pencernaan
manusia.
Penyakit ini tidak selalu menyebabkan kematian atau bahkan penyakit yang
berat, namun dalam keadaan yang bersifat kronis pada penderitanya dapat
menyebabkan gangguan absorbsi dan metabolisme zat-zat gizi yang berujung pada
kekurangan gizi dan menurunnya daya tahan tubuh. Sedangkan pada anak usia
sekolah, khususnya keadaan ini akan berakibat pada kurangnya kemampuan
mereka dalam mengikuti pelajaran di sekolah serta dapat mempengaruhi
pertumbuhan fisik dan mentalnya, dan pada orang dewasa akan berakibat pada
menurunnya tingkat produktifitas kerjanya (Texando, 2008).
Definisi infeksi Kecacingan menurut WHO (2011) adalah sebagai infestasi
satu atau lebih cacing parasit usus yang terdiri dari golongan nematoda usus atau
biasa disebut dengan Kecacingan . Kecacingan ini umumnya ditemukan di daerah
13
tropis dan subtropis dan beriklim basah dimana hygiene dan sanitasinya
buruk,Penyakit ini merupakan penyakit infeksi paling umum menyerang kelompok
masyarakat ekonomi lemah dan ditemukan pada berbagai golongan usia (WHO,
2011).
Golongan nematoda yang paling sering menginfeksi kelompok usia anak
sekolah dasar adalah kelompok nematode usus yakni jenis Ascaris lumbricoides,
Trichuris trichuira, dan Hookworm (Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus) yang banyak diperoleh di daerah tropis dan subtropis yang keadaan
daerahnya menunjukkan kebersihan dan lingkungan yang kurang baik. Semua
jenis cacing tersebut adalah termasuk ke dalam jenis Soil Transmitted Helminths
(STH) yaitu siklus perkembangbiakannya dilakukan di dalam tanah untuk menjadi
infektif terhadap manusia (Irianto, 2009).
Indonesia merupakan salah satu daerah endemis untuk cacing jenis STH, hal
ini dibuktikan oleh penelitian epidemiologi yang telah dilakukan di seluruh
provinsi di Indonesia terutama pada anak sekolah dan didapatkan angka prevalensi
tinggi yang bervariasi antara 60 % sampai dengan 90 % tergantung pada lokasi
dan sanitasi lingkungannya dan menunjukkan murid laki-laki yang terinfeksi
cacing lebih banyak dibandingkan murid perempuan (Hadijaya, 1994 dalam
Mardiana dan Djarismawati, 2008). Hal tersebut didukung oleh penelitian
Marleta, Harijani dan Marwoto (2005) di beberapa wilayah di Indonesia juga
menunjukkan prevalensi yang tinggi yakni Kecacingan ditemukan pada semua
golongan umur, namun tertinggi pada usia anak SD yakni 90 – 100% akibat dari
14
pengaruh tindakan hygiene perorangan anak tersebut seperti kebiasaan mencuci
tangan, membersihkan kuku, memakai alas kaki, dan buang air besar (BAB) tidak
pada tempatnya
Sebagian besar Kecacingan terjadi di daerah tropis yaitu negara-negara
dengan kelembaban tinggi dan terutama menginfeksi kelompok masyarakat
dengan hygiene dan sanitasi yang kurang (Lalandos dan Kareri, 2008). Hygiene
memegang peranan yang sangat penting, karena hygiene individu yang kurang
baik akan cenderung menimbulkan terjadinya berbagai macam penyakit termasuk
penyakit yang disebabkan oleh cacing STH seperti yang dikemukakan oleh Blum
(1974) bahwa status kesehatan masyarakat merupakan hasil interaksi dari faktor-
faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan serta faktor hereditas (Blum,
1974 dalam Utama, 2012). Sedangkan dari penelitian yang dilakukan oleh Idris
(2008) menyebutkan bahwa perilaku hygiene seseorang mempengaruhi
pengetahuan seseorang dalam mencegah suatu penularan penyakit. Dari kedua
pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor perilaku dalam hal ini
hygiene perorangan memiliki pengaruh yang besar terhadap timbulnya penyakit.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di masyarakat dan fasilitas
kesehatan serta sumber data lainnya oleh Kementrian Kesehatan RI didapatkan
bahwa masyarakat yang berperilaku hidup bersih dan sehat di Indonesia mencapai
angka 52,89% dimana Sulawesi Selatan khususnya menempati urutan ke 26
dengan presentase 46,60% masyarakatnya telah menggalakkan perilaku hidup
bersih dan sehat (Depkes RI, 2012). Di penelitian lain yang dilakukan di 3
15
kabupaten di Provinsi Bengkulu menyebutkan bahwa yang terinfeksi
A.lumbricoides 65%, T.trichuira 55%, dan Hookworm 22% akibat dari perilaku
masyarakat yang kurang memperhatikan kesehatan pribadi dan lingkungannya
(Marleta, Dewi,dan Marwoto, 2005).
Keadaan perilaku kesehatan masyarakat tersebut juga dialami di Makassar
dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan di Makassar mengenai infeksi ini
juga pernah dilakukan tepatnya di daerah kumuh Mariso yang merupakan salah
satu bekas tempat pembuangan akhir sampah dengan subyek penelitiaannya adalah
pemulung yang bermukim di daerah ini dan hasil yang diperoleh prevalensi yang
terinfeksi adalah 92,1 % (Hadju, 1992 dalam Fausiah, 2006), ini juga didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Rahma (2006) di Kelurahan Kalukuang Kota
Makassar yang hasilnya menunjukkan bahwa yan terinfeksi Kecacingan
prevalensinya lebih banyak (71,4%) sedangkan yang tidak terinfeksi Kecacingan
lebih sedikit (28,%) dikarenakan oleh masyarakat yang kurang memperhatikan
kesehatan pribadi dan lingkungannya.
Dari data yang ada disimpulkan bahwa cacing usus yang mempunyai
prevalensi tinggi adalah cacing jenis STH dengan angka prevalensi yang
bervariasi antara1% sampai dengan lebih dari 90%. Dari data tersebut, sudah
dapat dilihat bahwa di beberapa tempat cukup tinggi prevalensi kecacingan ini
yakni lebih dari 90% (Marleta, Harijani dan Marwoto, 2005).
Irianto (2009) dalam bukunya menyarankan bahwa perlu diadakan
pendidikan di sekolah-sekolah melalui peragaan audio visual sehingga dengan cara
16
ini akan mudah dimengerti oleh anak sekolah dasar seperti bagaimana cara
mencuci tangan yang baik, memotong kuku, memakai alas kaki yang benar dan
perlu adanya reahabilitasi sarana pemukiman yang menjurus pada perbaikan
hygiene dan sanitasi seperti penyediaan jamban keluarga agar anak-anak tidak
melakukan BAB sembarangan, mengingat masih tingginya perevalensi kejadian
Kecacingan yang menginfeksi golongan anak usia sekolah dasar. Tingginya
prevalensi infeksi ini dapat memberikan dampak pada kesehatan masyarakat,untuk
itu dalam upaya merencanakan program pemberantasan penyakit Kecacingan di
masyarakat sangat diperlukan data tentang kejadian Kecacingan .
Pulau Barrang Lompo merupakan salah satu daerah kepulauan kecil di
perairan Kota Makassar dan termasuk dalam daerah pesisir Kota Makassar yang
memiliki 4125 jiwa penduduk dimana sebagian besar kepala keluarganya
berprofesi sebagai nelayan (Puskesmas Barrang Lompo, 2011). Iklim tropis di
pulau ini mendukung siklus perkembangbiakan dari cacing jenis ini selain itu juga
didukung oleh kondisi hygiene perorangan penduduk disana yang buruk. Hasil
observasi yang dilakukan keadaan sosial ekonomi warga di sana rendah dengan
pekerjaan tetap sebagai nelayan. Keadaan inilah yang membuat perilakunya tidak
seimbang antara pengetahuan mengenai kebersihan diri serta lingkungan dan
praktik hygiene perorangannya sehari-hari.
Tidak banyak studi kasus tentang masalah kesehatan masyarakat kepulauan
karena memang tidak banyak ahli kesehatan yang tertarik kepada masalah yang
satu ini (Achmadi, 2008). Ini dibuktikan dari data Puskesmas Barrang Lompo
17
yang ada selama berdirinya puskesmas tidak pernah dilakukan pencatatan
mengenai Kecacingan , karena tidak pernah ada pemeriksaan khusus data kejadian
Kecacingan terhadap masyarakat disana. Untuk menyusun program kesehatan
kepulauan harus berdasarkan fakta atau informasi terpercaya, maka dari itulah
penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Kecacingan ini dengan
menganalisis faktor hubungan praktik hygiene perorangannya terhadap semua
murid sekolah dasar yang ada di Pulau Barrang Lompo yakni SD Negeri Barrang
Lompo dan SD Inpres Barrang Lompo.
B. Rumusan Masalah
Telah banyak dilakukan penelitian Kecacingan namun hanya dilakukan di
pulau-pulau besar di Indonesia, sedangkan di pulau-pulau kecil seperti Pulau
Barrang Lompo tidak dilakukan penelitian Kecacingan . Padahal masyarakat
pulau-pulau kecil memiliki masalah hygiene perorangan yang buruk. Hygiene
perorangan mencakup berbagai hal diantaranya adalah kebiasaan mencuci tangan,
kebiasaan memotong kuku, kebiasaan memakai alas kaki, kebiasaan buang air
besar (BAB) dan lain-lain. Berdasarkan masalah dan uraian itulah, penulis
merumuskan masalah yakni :
1. Apakah faktor praktik kebiasaan mencuci tangan pakai sabun berhubungan
terhadap kejadian Kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau Barrang
Lompo Kota Makassar?
18
2. Apakah faktor praktik kebiasaan memakai alas kaki pada saat keluar rumah
berhubungan terhadap kejadian Kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau
Barrang Lompo Kota Makassar?
3. Apakah faktor praktik memotong kuku berhubungan terhadap kejadian
Kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau Barrang Lompo Kota
Makassar?
4. Apakah faktor praktik kebiasaan buang air besar (BAB) pada tempatnya
berhubungan terhadap kejadian Kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau
Barrang Lompo Kota Makassar?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk menganalisis faktor praktik hygiene perorangan yang berhubungan
terhadap kejadian Kecacingan pada semua murid sekolah dasar di Pulau
Barrang Lompo Kota Makassar.
2. Tujuan Khusus
a) Untuk mengetahui kejadian Kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau
Barrang Lompo Kota Makassar.
b) Untuk mengetahui hubungan kebiasaan mencuci tangan pakai sabun
terhadap kejadian Kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau Barrang
Lompo Kota Makassar.
19
c) Untuk mengetahui hubungan kebiasaan memakai alas kaki jika keluar
rumah terhadap kejadian Kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau
Barrang Lompo Kota Makassar.
d) Untuk mengetahui hubungan kebiasaan memotong kuku terhadap kejadian
Kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau Barrang Lompo Kota
Makassar.
e) Untuk mengetahui hubungan kebiasaan BAB pada tempatnya terhadap
kejadian Kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau Barrang Lompo
Kota Makassar.
D. Manfaat penelitian
1. Manfaat Ilmiah
Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai bahan bacaan untuk mendapatkan
informasi dan pengetahuan mengenai konsep dan teori Kecacingan dilihat dari
faktor-faktor hygiene perorangan.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini dapat membuahkan pokok-pokok pikiran yang
kemudian dapat dikembangkan dan disumbangkan untuk menurunkan angka
kejadian Kecacingan .
3. Manfaat bagi institusi pemerintah
Dengan adanya hasil penelitian diharapkan dapat memberikan bahan
informasi dan pertimbangan bagi pemerintah yakni instansi terkait khususnya
Dinas Kesehatan Kota Makassar dan Puskesmas Barrang Lompo dalam usaha
20
pencegahan permasalahan kesehatan lingkungan yang berhubungan dengan
kejadian Kecacingan dilihat dari aspek faktor-faktor hygiene perorangan.
4. Bagi masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai faktor –faktor yang
berpengaruh terhadap terjadinya Kecacingan , sehingga masyarakat dapat
mengetahui dan melakukan upaya pencegahan.
5. Manfaat bagi peneliti
Sebagai wadah pengaplikasian ilmu selama menempuh pendidikan dan
melatih penulis dalam mencari dan menambah pengetahuan masalah kesehatan
khususnya masalah kesehatan lingkungan selain itu juga sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Hasanuddin.
21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Hygiene Perorangan.
Kesehatan lingkungan merupakan salah satu unsur penting yang tidak bisa
dipisahkan dari status derajat kesehatan masyarakat, sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Winslow bahwa ‘Apabila ingin meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat, maka yang harus diperbaiki terlebih dahulu adalah
kesehatan lingkungan’. Tingkat derajat kesehatan masyarakat merupakan
cerminan dan gambaran dari kemampuan masyarakat dalam mengusahakan
dirinya dan lingkungannya menjadi sehat yang mengacu pada usaha kesehatan
lingkungannya (Daud, 2005).
Usaha kesehatan lingkungan yang dimaksud dalam hal ini adalah hygiene
yakni segala usaha dan upaya dalam memperbaiki atau mengoptimunkan
lingkungan hidup manusia agar tercapai media yang baik untuk terwujudnya
tingkat kesehatan yang optimum bagi manusia yang hidup di dalamnya dengan
menitik beratkan pada perilaku kesehatan manusia itu sendiri (Notoatmojo, 2007).
Perilaku kesehatan adalah hal-hal yang dilakukan oleh manusia yang
didasari oleh pengetahuan, sikap dan kemampuan yang dapat berdampak positif
atau negatif terhadap kesehatan. Keadaan perilaku masyarakat yang berpengaruh
terhadap derajat kesehatan digambarkan melalui indikator-indikator persentase
22
rumah tangga dan salah satunya adalah berperilaku hidup bersih dan sehat
mencakup hygiene perorangan (Dinkes Provinsi Sulsel, 2010).
Hygiene adalah usaha kesehatan yang mencakup tentang pemeliharaan
kesehatan, dengan usaha aturan-aturan hidup dan prinsip-prinsip untuk melindungi
kesehatan dan pemeliharaanya. Selain itu hygiene juga bertujuan untuk
mempertinggi derajat kesehatan badan dan jiwa baik untuk umum maupun untuk
perorangan (Daud, 2005).
Hygiene perorangan adalah perawatan diri seseorang untuk memelihara dan
memperbaiki dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri, mencegah timbulnya
penyakit, serta usaha kebersihan yang menekankan pada manusia secara personal
atau masyarakat umum dan dipengaruhi oleh nilai serta keterampilannya (Utama,
2012). Sedangkan menurut Jalaluddin (2009) hygiene perorangan ini adalah
tindakan-tindakan pencegahan terutama yang menyangkut tanggung jawab
perorangan untuk memelihara kesehatan dan mencegah atau membatasi
penyebaran penyakit infeksi utamanya penyakit menular langsung. Adapun
tindakan-tindakan tersebut meliputi :
1. Mencuci tangan pakai sabun dan air sesudah buang air dan juga setiap akan
mengolah makanan dan minuman.
2. Menjauhkan tangan dari segala benda yang sudah digunakan atau kotor pada
saat ingin membersihkan mulut, hidung, mata, telinga, dan luka.
3. Menghindarkan diri dari keterpaparan percikan dari hidung atau mulut orang
lain seperti bersin dan batuk.
23
4. Selalu membersihkan diri dengan mandi yang cukup dengan menggunakan
sabun dan air.
Ruang lingkup yang mencakup usaha hygiene perorangan ini dapat
dikelompokkan dalam tiga bagian, yaitu (Adam, 1992 dalam Fausiah, 2006) :
1. Hygiene badan, contohnya memelihara kebersihan kuku tangan dan kaki,
perawatan rambut, gigi, mulut, dan lain-lain.
2. Hygiene pakaian dan peralatan lain, contohnya menghindari penggunaan
pakaian dalam kotor, menghindari penggunaan handuk atau sikat gigi secara
bergantian, dan lain-lain.
3. Hygiene makanan dan minuman, contohnya pemilahan bahan makanan hingga
penyajiannya, kebiasaan tidak jajan sembarangan, mencuci sayur mentah
sebelum diolah dengan menggunakan air yang mengalir.
Hygiene perorangan yang kurang baik merupakan salah satu faktor utama
yang mempermudah penularan kecacingan baik di lingkungan keluarga maupun di
masyarakat, karena ini berkaitan dengan tindakan-tindakan konkret yang harus
menjadi kebiasaan seseorang dalam menjaga dan memelihara kesehatan dirinya
sendiri. Hygiene perorangan ini merupakan tindakan pencegahan primer yang
spesifik dan bersifat penting karena dengan adanya hygiene perorangan yang baik
akan meminimalisir pintu masuk (port the entry) berbagai organisme-organisme
yang ada dimana-mana dan pada akhirnya akan mencegah seseorang terkena
penyakit (Utama, 2012).
24
Dari pengertian-pengertian di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa hygiene
merupakan usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi
lingkungan terhadap kesehatan manusia seacara individu maupun sosial. Upaya
pencegahan timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan serta membuat
kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga dapat dihuni dengan nyaman dan
tenteram oleh manusia itu sendiri.
Hygiene perorangan yang berhubungan dengan kejadian Kecacingan dalam
penelitian ini hanya dibatasi pada beberapa faktor saja dalam hal praktik kebiasaan
seseorang dalam kesehariannya yakni kebiasaan mencuci tangan pakai sabun
(CTPS), kebiasaan memakai alas kaki pada saat keluar rumah, kebiasaan
memotong kuku, dan kebiasaan buang air besar (BAB) pada tempatnya.
B. Tinjauan Tentang Faktor-faktor Praktik Hygiene Perorangan
Dalam kaitannya dengan timbulnya suatu penyakit, hygiene memegang
peranan sangat penting. Biasanya hygiene individu yang kurang baik cenderung
akan menimbulkan terjadinya berbagai macam penyakit termasuk penyakit yang
disebabkan oleh infeksi cacing jenis STH. Namun, pada dasarnya hygiene itu
sangat tergantung oleh kebiasaan individu sendiri dalam menjaga kesehatan.
Kebiasaan hidup sehari-hari atau faktor-faktor hygiene perorangan yang
berhubungan dengan kejadian kecacingan yaitu (Rauf, 2006) :
1. Kebiasaan mencuci tangan pakai sabun (CTPS)
Mencuci tangan yang dimaksud dalam hal ini adalah mencuci tangan
yang bukan hanya sekedar pernyataan kebersihan saja, melainkan penting
25
karena tidak ada bagian tubuh lain yang paling sering kontak dengan benda lain
kecuali tangan. Alasan inilah yang mendasar pentingya seseorang untuk
membiasakan dirinya mencuci tangan. Hasil penelitian yang dilakukan di TPA
Antang Kota Makassar memperlihatkan bahwa responden yang terinfeksi
cacing lebih banyak tidak biasa mencuci tangan sebelum makan yakni 60,2 %
dibanding responden yang selalu mencuci tangan (Fauziah, 2006).
Anak-anak adalah golongan yang sering terinfeksi penyakit cacingan ini
karena walaupun sudah mencuci tangan mereka melakukan kebiasaan ini
dengan seadanya saja seperti hanya menggunakan air tanpa memakai sabun
dalam mencuci tangan. Sehingga menyebabkan kuman-kuman masih ada yang
menempel pada jari-jari tangannya dan tanpa disadari pada saat waktu makan
atau setelah bermain-main kontak dengan tanah jari-jari tangan mereka akan
dimasukkan ke dalam mulut (Mardiana dan Djarismawati, 2008)
Usaha mencegah terjadinya Kecacingan ini adalah salah satunya dengan
memberikan pengetahuan kepada anak-anak mengenai cuci tangan yang baik
dan benar seperti tangan hendaknya dibersihkan sebelum dan sesudah buang air
besar, sesudah makan, sesudah bermain-main yang berhubungan dengan kontak
tanah, dicuci di bawah air mengalir kemudian gosok dengan gerakan memutar
pada pergelangan tangan menggunakan sabun. Cara tersebut dapat menghindari
kontaminasi makanan atau minuman yang masuk ke dalam tubuh serta dapat
menghindar resiko terjadinya kecacingan (Nurhaedah, 2006).
26
2. Kebiasaan memakai alas kaki pada saat keluar rumah
Kesehatan anak sangat penting karena kesehatan semasa kecil
menentukan kesehatan pada masa dewasa, begitupun dengan perilaku dan
kebiasaan yang terbentuk sejak kecil seperti pada kebiasaan pemeliharaan dan
perawatan kaki. Untuk menghindari risiko Kecacingan ini salah satunya adalah
dengan membiasakan diri memakai alas kaki seperti sepatu atau sandal pada
waktu keluar rumah (Sumanto, 2010). Kulit merupakan salah satu tempat
masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh, maka dari itu apabila kebersihan serta
pemeliharaan kaki tidak diperhatikan dapat menjadi sasaran pintu masuknya
penyakit dalam tubuh seperti Kecacingan (Adam, 1992 dalam Fauziah, 2006).
Adanya kontak pejamu dengan larva filariform yang infektif
menyebabkan terjadinya penularan. Anak usia sekolah merupakan kelompok
rentan terinfeksi cacing tambang karena pola bermain anak pada umumnya
tidak dapat dilepaskan dari tanah sementara itu pada saat anak bermain
seringkali lupa menggunakan alas kaki. Maryanti (2006) melakukan studi di
Desa Tegal Badeng Timur, Bali menemukan bahwa penggunaan alas kaki
berhubungan dengan kejadian infeksi cacing tambang memiliki peluang 9 kali
lebih besar terinfeksi kecacingan apabila tidak menggunakan alas kaki.
3. Kebiasaan memotong kuku
Sebagian besar Kecacingan ditularkan oleh tangan yang kotor dimana
proses masuknya penyakit melalui mulut. Kuku tangan adalah salah satu faktor
yang dapat menimbulkan penyakit jika tidak rajin untuk dipotong. Kuku tangan
27
yang panjang dan kotor seringkali terselip telur cacing jika sehabis kontak
dengan tanah.
Penelitian yang dilakukan oleh Sofiana, Sumarni dan Ipa (2011)
menyebutkan bahwa salah satu faktor hygiene yang membuat tingginya tingkat
kejadian kecacingan adalah kebiasaan menggigit jari-jari tangan yang kotor
dengan presentase angka sebesar 23,1 % pada siswa sekolah dasar di
Yogyakarta. Kondisi ini tentunya sangat sering terjadi pada anak-anak yang
sering bermain di tanah maupun pada orang dewasa yang bekerja di kebun atau
di sawah. Secara siklus hidup,telur cacing yang berada di tanah dapat berpindah
dan terselip ke dalam kuku kaki atau kuku tangan (Fauziah, 2006).
Kuku sebaiknya selalu dipotong pendek untuk menghindari penularan
cacing dari tangan ke mulut,karena ini adalah salah satu faktor risiko timbulnya
penyakit infeksi cacing jenis STH (Gandahusada, 2006).
4. Kebiasaan buang air besar (BAB) pada tempatnya
Perilaku BAB yang kurang baik dan di sembarang tempat diduga menjadi
faktor risiko dalam infeksi cacing tambang. Secara teoritik, telur cacing
tambang memerlukan media tanah untuk perkembangannya. Adanya telur
cacing tambang pada tinja penderita yang melakukan aktifitas BAB di tanah
terbuka semakin memperbesar peluang penularan larva cacing tambang pada
masyarakat di sekitarnya. Di Kabupaten Jembrana Bali, ditemukan bahwa
kebiasaan BAB sembarangan merupakan salah satu faktor yang berhubungan
dengan kejadian Kecacingan (jenis cacing Hookworm)dengan peluang risiko 6
28
kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak BAB sembarangan (Sumanto,
2010)
Buang air besar tidak pada tempatnya seringkali diakibatkan oleh
kurangnya penyediaan air bersih dan fasilitas kesehatan lainnya, kondisi seperti
inilah yang akan berakibat buruk terhadap kesehatan selain itu juga dapat
mengakibatkan pencemaran lingkungan pada sumber air dan bau busuk serta
estetika. Banyaknya masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan,
pengetahuan, kebiasaan serta pendapatan yang rendah membuat mereka belum
sepenuhnya mengetahui apa sebenarnya manfaat melakukan buang air besar
pada jamban keluarga sehingga membuat mereka seenaknya saja BAB di
sembarang tempat (Daud, 2005).
C. Tinjauan Tentang Kawasan Pesisir dan Kepulauan
Wilayah pesisir merupakan daerah interaksi antara daratan dan laut yang
sangat penting artinya bagi bangsa dan ekonomi Indonesia. Indonesia adalah
negara kepulauan terbesar yang ada di belahan bumi dan memiliki daerah-daerah
pesisir yang mempunyai tingkat potensi yang sangat tinggi. Dilihat dari segi
potensi wilayah ini bukan hanya merupakan sumber pangan yang diusahakan
melalui kegiatan perikanan dan pertanian, tetapi merupakan pula lokasi bermacam
sumber daya alam, seperti mineral, gas dan minyak bumi serta pemandangan alam
yang indah, yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia, perairan
pesisir juga penting artinya sebagai alur pelayaran yang berakibat pada transmisi
29
penyakit infeksi baik menular langsung maupun tidak langsung (Pagoray, 2003
dalam Samad, 2012).
Dalam teori kesehatan lingkungan penduduk yang bermukim di kawasan ini
akan terisolasi sehingga dalam menghadapi berbagai masalah kesehatan terutama
yang berhubungan dengan kondisi lingkungan dan perilaku (Achmadi, 2008).
Perilaku penduduk di daerah salah satu contohnya adalah kebiasaan membuang air
besar di sembarang tempat seperti di laut memberikan pengaruh yang besar
terhadap gangguan kesehatan utamanya kejadian Kecacingan (Achmadi, 2008).
Kecacingan di daerah pulau kecil akan semakin tinggi prevalensinya jika
tidak didukung oleh perilaku penduduk setempat dalam mencegah infeksi ini
akibatnya keadaan ini membuat siklus hidup dari cacing jenis STH ini sangat
cocok di daerah yang berpasir, ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Knopp et al (2008) di Kepulauan Zanzibar, menunjukkan bahwa telur cacing
jenis STH tetap infektif dalam jangka waktu yang lama di tanah berpasir, memiliki
curah hujan dan paparan sinar matahari yang tinggi.
Derajat kesehatan masyarakat di pulau-pulau kecil dan pesisir sudah lama
dilupakan dan tidak mendapatkan perhatian khusus. Namun komitmen masyarakat
setempat yang menjadi titik tolak dalam menciptakan derajat kesehatan mereka
sendiri agar berkehidupan secara layak dan sehat (Achmadi, 2008).
D. Tinjauan Tentang Kejadian Kecacingan
Cacing adalah mahluk bersel banyak yang pada umumnya memiliki badan
yang panjang namu ada yang jelas bagian kepalanya dan ekornya serta ada pula
30
yang yang tidak jelas seperti kepala dan ekornya sama saja, tetap bila diteliti lebih
jauh akan terlihat jelas perbedaan pada badannya yang terdiri atas ekor, kepala,
alat pengisap dan giginya (Adam, 1992 dalam Nurhaedah 2006).
Cacing pada umumnya mempunyai sifat yang tidak baik atau bersifat parasit.
Sifat parasit adalah sifat yang hidupnya menumpang dan bertempat tinggal pada
hostnya dan menimbulkan malapetaka bagi hostnya. Hasilnya cacing parasit
manusia bertempat tinggal di dalam usus dan hidup dengan menghisap darah dan
makanan yang diperlukan oleh tubuh manusia hingga akhirnya akan menderita
sakit dan kekurangan darah. Penyakit parasitik yang termasuk ke dalam neglected
diseases tersebut merupakan penyakit tersembunyi atau silent diseases, dan kurang
terpantau oleh petugas kesehatan (Sumanto, 2010).
Beberapa spesies cacing melalui berbagai stadium perkembangannya
membutuhkan beberapa jenis hospes yang berbeda. Hospes atau hostnya antara
lain manusia atau hewan vertebrata contohnya burung untuk memberi
penghidupan atau tempat tinggal bagi parasit cacing ini seperti menghisap darah
dan makanan yang diperlukan oleh tubuh manusia namun diisap oleh cacing ini
sehingga menyebabkan berbagai penyakit misalnya anemia. Penyakit yang
disebabkan oleh cacing ini biasa disebut Kecacingan dimana media transmisi dari
cacingnya adalah tanah (Entjang, 2011).
Penyakit akibat cacing banyak ditemukan di seluruh dunia, hal ini berkaiatan
dengan faktor cuaca dan tingkat sosial ekonomi masyarakat terutama pada daerah
tropis dan subtropis seperti Indonesia, sedangkan penyebarannya yaitu telur cacing
31
keluar bersama tinja penderita, yang kemudian akan mengontaminasi tanah, air
dan tanaman (Entjang, 2001).
Salah satu jenis penyakit dari kelompok ini adalah Kecacingan yang
diakibatkan oleh infeksi cacing kelompok nematoda usus yakni cacing jenis STH,
yaitu kelompok cacing yang siklus hidupnya melalui tanah dan ditularkan melalui
tanah. Berdasarkan cara penularannya, nematoda usus dapat dikelompokkan
menjadi (Irianto, 2009):
1. Ancylostomata duodenale.
2. Ascaris lumbricoides.
3. Trichuri trichuria.
4. Necator americanus.
Kejadian Kecacingan ini lebih menyebabkan ketidakmampuan (disability)
dibandingkan kematian, beban yang ditanggung masyarakat diukur menggunakan
disability-ajused life years (DALY) (WHO, 2002).
E. Tinjauan Tentang Soil Transmitted Helminths (STH)
Cacing merupakan salah satu parasit yang hidup di dalam tubuh manusia
atau hean yang tentunya bersifat merugikan,dimana hospes untuk beberapa jenis
cacing yang termasuk nematoda usus adalah manusia (Waluyo, 2009). Diantara
nematoda usus ada sejumlah spesies yang penularannya melalui tanah atau biasa
disebut dengan cacing jenis STH yaitu A.lumbricoides, N.americanus, T.trichuira
dan A.duodenale (Gandahusada, 2006).
1. Ascaris lumbricoides
Ascaris lumbricoides
halus manusia dan merupakan parasit terbanyak menyerang manusia di seluruh
dunia terutama daerah tropis dan subtropis. Manusia yang terinfeksi oleh cacing
ini biasa disebut sebagai penderita
a) Morfologi
Gambar 1. Telur dan Cacing dewasa
Gambar di atas menunjukkan yakni, cacing jantan dari jenis
ini berukuran 10
berbentuk silindris dengan ujung anterior yang meruncing, terdapat tiga buah
bibir yang berkembang serta terdapat garis
mudah dilihat ada sepasang dan warnanya memutih sepanjang tubuhnya.
Gambar telur yang dibuahi (
60-70 x 30-50 mikron. Telur yang baru dikeluarkan tidak bersifat infektif
dan berisi satu sel
vitelin yang tipis untuk meningkatkan daya tahan telur cacing tersebut
Ascaris lumbricoides
Ascaris lumbricoides adalah cacing bulat yang besar dan hidup dalm usus
halus manusia dan merupakan parasit terbanyak menyerang manusia di seluruh
terutama daerah tropis dan subtropis. Manusia yang terinfeksi oleh cacing
ini biasa disebut sebagai penderita Ascariasis.
Gambar 1. Telur dan Cacing dewasa A.lumbricoides(Sumber : CDC, 2010)
Gambar di atas menunjukkan yakni, cacing jantan dari jenis
ini berukuran 10-30 cm, sedangkan yang betinanya berukuran 22
berbentuk silindris dengan ujung anterior yang meruncing, terdapat tiga buah
bibir yang berkembang serta terdapat garis-garis lateral yang biasanya
mudah dilihat ada sepasang dan warnanya memutih sepanjang tubuhnya.
Gambar telur yang dibuahi (fertilized) berbentuk oval dengan ukuran
50 mikron. Telur yang baru dikeluarkan tidak bersifat infektif
dan berisi satu sel tunggal. Sel tunggal tersebut dikelilingi suatu
yang tipis untuk meningkatkan daya tahan telur cacing tersebut
32
adalah cacing bulat yang besar dan hidup dalm usus
halus manusia dan merupakan parasit terbanyak menyerang manusia di seluruh
terutama daerah tropis dan subtropis. Manusia yang terinfeksi oleh cacing
A.lumbricoides
Gambar di atas menunjukkan yakni, cacing jantan dari jenis Ascaris
30 cm, sedangkan yang betinanya berukuran 22-35 cm
berbentuk silindris dengan ujung anterior yang meruncing, terdapat tiga buah
aris lateral yang biasanya
mudah dilihat ada sepasang dan warnanya memutih sepanjang tubuhnya.
) berbentuk oval dengan ukuran
50 mikron. Telur yang baru dikeluarkan tidak bersifat infektif
tunggal. Sel tunggal tersebut dikelilingi suatu membrane
yang tipis untuk meningkatkan daya tahan telur cacing tersebut
terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga dapat bertahan hidup sampai satu
tahun (Irianto, 2009).
Stadium dewasa hidup di rongg
dewasa dapat bertelur 100.000
telur yang dibuahi dan tidak dibuahi sedangkan cacing jantan
warna yang sama dengan cacing betina, tetapi mempunyai ekor yang
melengkung kearah ventral, kepalanya mempunyai 3 bibir pada ujung
interior (bagian depan) dan mempunyai ujung gigi
pada pinggirnya, bibirnya dapat ditutup atau dipanja
memasukkan makanan (Irianto, 2009).
b) Daur hidup
Gambar 2. Sik
Gambar di atas menujukkan manusia merupakan satu
defenitif A.lumbricoides
melepaskan larva infektif dan menembus dinding usus masuk kedalam ve
vorto hati yang kemudian bersama dengan aliran darah menuju jantung
terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga dapat bertahan hidup sampai satu
tahun (Irianto, 2009).
Stadium dewasa hidup di rongga usus muda dan seekor cacing betina
dewasa dapat bertelur 100.000-200.000 butir perharinya yakni terdiri dari
telur yang dibuahi dan tidak dibuahi sedangkan cacing jantan
warna yang sama dengan cacing betina, tetapi mempunyai ekor yang
g kearah ventral, kepalanya mempunyai 3 bibir pada ujung
interior (bagian depan) dan mempunyai ujung gigi-gigi kecil atau dentikel
pada pinggirnya, bibirnya dapat ditutup atau dipanja
memasukkan makanan (Irianto, 2009).
Gambar 2. Siklus hidup A.lumbricoides (Sumber : CDC, 2010)
Gambar di atas menujukkan manusia merupakan satu-satunya hospes
A.lumbricoides ini, jika tertelan oleh manusia telur akan pecah dan
melepaskan larva infektif dan menembus dinding usus masuk kedalam ve
vorto hati yang kemudian bersama dengan aliran darah menuju jantung
33
terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga dapat bertahan hidup sampai satu
a usus muda dan seekor cacing betina
200.000 butir perharinya yakni terdiri dari
telur yang dibuahi dan tidak dibuahi sedangkan cacing jantan mempunyai
warna yang sama dengan cacing betina, tetapi mempunyai ekor yang
g kearah ventral, kepalanya mempunyai 3 bibir pada ujung
gigi kecil atau dentikel
pada pinggirnya, bibirnya dapat ditutup atau dipanjangkan untuk
: CDC, 2010)
satunya hospes
ini, jika tertelan oleh manusia telur akan pecah dan
melepaskan larva infektif dan menembus dinding usus masuk kedalam vena
vorto hati yang kemudian bersama dengan aliran darah menuju jantung
34
kanan selanjutnya melalui arteri pulmonalis ke paru-paru dengan masa
migrasi berlangsung selama sekitar 15 hari (Ginting, 2008).
Larvanya akan menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah
atau saluran limfe lalu dialirkan ke jantung kemudian mengikuti aliran darah
ke paru-paru. Larva yang berada di paru-paru akan menembus dinding
pembuluh darah dan dinding alveolus. Larva yang tertelan dan mencapai
usus halus kemudian akan berkembang menjadi cacing dewasa
(Gandahusada, 2006).
Siklus cacing Ascaris mempunyai masa yang cukup panjang, dua
bulan sejak infeksi pertama terjadi, seekor cacing betina mulai mampu
mengeluarkan 200.000-250.000 butir telur tiap harinya, waktu yang
diperlukan adalah 3-4 minggu untuk tumbuh menjadi bentuk infektif.
Menurut penelitian stadium ini merupakan stadium larva, dimana telur
bersama tinja manusia dan di luar akan mengalami perubahan dari stadium
larva I sampai stadium III yang bersifat infektif (Fauziah, 2006).
c) Epidemiologi
A.lumbricoides ini dijumpai di seluruh dunia dan diperkiran lebih dari
1 milyar orang pernah terinfeksi oleh cacing ini, namun ada beberapa
diantaranya yang menderita infeksi campuran antara Ascaris dan Trichuris.
Jumlah telur Ascaris yang cukup besar dan dapat hidup selama beberapa
tahun maka larva dapat tersebar dimana-mana, menyebar melalui tanah, air,
ataupun melalui binatang. Maka bila makanan atau minuman yang
35
mangandung telur Ascaris Infektif masuk ke dalam tubuh maka siklus hidup
cacing akan berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi cacing. Jadi larva
cacing Ascaris hanya dapat menginfeksi tubuh melalui makanan yang tidak
dimasak ataupun melalui kontak langsung dengan kulit (Entjang, 2001).
Di Indonesia sendiri prevalensi Ascariasis ini cukup tinggi yakni
frekuensinya antara 60 % sampai 90 %, karena daerah di seluruh Indonesia
yang beriklim tropis dan berpasir sehingga memudahkan perkembangbiakan
dari jenis cacing ini, selain itu Ascariasis ini tidak membedakan kelompok
umum,semua umur dapat terinfeksi oleh cacing ini (Fauziah, 2006).
d) Patofisiologi atau manifestasi klinik
Infeksi yang disebabkan oleh Ascaris adalah kejadian kecacingan yang
sangat umum, kebanyakan penderitanya adalah anak-anak. Infeksi ini dapat
menimbulkan kematian akibat dari banyaknya larva ataupun cacing dewasa
dalam tubuh (irianto, 2009).
Larva cacing yang masuk ke paru-paru dapat menyebabkan
pendarahan pada dinding alveolus, sedangkan gangguan yang disebabkan
oleh cacing dewasa biasanya ringan kadang penderita mengalami gangguan
nafsu makan, mual, diare, dan konstipasi serta malnutrisi. Dalam keadaan
yang serius atau infeksi berat jumlah cacing yang banyak di dalam usus
halus akan menyebabkan terjadinya penyumbatan pada usus (illeus
obstructive) dan juga hepatitis dikarenakan larva cacing menembus dinding
36
usus dan terbawa aliran darah vena ke hati dan menimbulkan kerusakan hati
(Surat Kepmenkes 424/MENKES/SK/VI, 2006).
e) Gejala klinis
Gejala penyakit Ascariasis ini tidak begitu jelas karena biasanya
dibarengi dengan penyakit lain, namun biasanya pada permulaan penderita
akan mengalami batuk dan eosinofilia. Penderita biasanya lesu dan tidak
bersemangat, pada anak-anak khususnya perutnya akan keliatan
buncit,matanya pucat dan kotor seperti sakit mata. Penderita pada dasarnya
masih bisa melakukan aktifitas namun secara biologis adanya pengaruh
cacing ini dalam perut mengurangi kemampuan belajar anak dan
produktifitas kerja seseorang (Surat Kepmenkes 424/MENKES/SK/VI,
2006).
f) Diagnosis
Diagnosis dari penyakit ini sendiri dapat ditegakkan dengan
menemukan telur dalam tinja dan cacing dewasa yang keluar melalui mulut /
anus setelah penderita meminum obat cacing, sedangkan untuk
pemerikasaan larvanya dapat dilakukan dengan Rontgenologis dan dapat
pula memeriksa dahak yang keluar (Irianto, 2009).
2. Trichuris trichuira
a) Morfologi
Gambar di atas menunjukkan cacing jantan dari jenis ini panjangnya
lebih 4 cm sekitar 30
dan bagian ekornya melingkar sedangkan cacing betina panjangnya kurang
lebih 5 cm sekitar 35
betina bentuknya membulat tumpul dan pada cacing jantan melingkar dan
terdapat satu spec
sekum dan bagian anteriornya yang seperti cambuk masuk ke dalam mukosa
usus.
Telurnya berukuran kurang lebih 50 x 20 mikron berbentuk tempayan
dengan kedua ujung menonjol dan berdinding tebal.
diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3.000
(Soedarmo, 2008).
Trichuris trichuira
Gambar 3. Telur dan cacing dewasa T.trichiura(Sumber : CDC, 2010)
Gambar di atas menunjukkan cacing jantan dari jenis ini panjangnya
lebih 4 cm sekitar 30-45 mm, dengan bagian anterior halus seperti cambuk
dan bagian ekornya melingkar sedangkan cacing betina panjangnya kurang
lebih 5 cm sekitar 35-40 mm dengan bagian ekor yang kurus
betina bentuknya membulat tumpul dan pada cacing jantan melingkar dan
terdapat satu speculum. Cacing dewasa ini hidup di kolon asendens dan
sekum dan bagian anteriornya yang seperti cambuk masuk ke dalam mukosa
Telurnya berukuran kurang lebih 50 x 20 mikron berbentuk tempayan
dengan kedua ujung menonjol dan berdinding tebal. Seekor cac
diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3.000
(Soedarmo, 2008).
37
T.trichiura
Gambar di atas menunjukkan cacing jantan dari jenis ini panjangnya
rior halus seperti cambuk
dan bagian ekornya melingkar sedangkan cacing betina panjangnya kurang
40 mm dengan bagian ekor yang kurus. Pada cacing
betina bentuknya membulat tumpul dan pada cacing jantan melingkar dan
ulum. Cacing dewasa ini hidup di kolon asendens dan
sekum dan bagian anteriornya yang seperti cambuk masuk ke dalam mukosa
Telurnya berukuran kurang lebih 50 x 20 mikron berbentuk tempayan
Seekor cacing betina
diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3.000-10.000 butir
b) Daur hidup
Gambar 4. Siklus hidup
Gambar di atas mengenai siklus hidup cacing ini yakni, telur yang
dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur tersebut menjadi matang
dalam waktu 3 sampai 6 minggu di tanah yang lembab dan teduh. Telur
matang berisi larva dan secara langsung akan
jika tidak sengaja tertelan. Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke
dalam usus halus, setelah menjadi dewasa cacing akan turun ke bagian distal
dan masuk ke daerah kolon terutama sekum. Jadi cacing jenis ini tidak
memiliki iklus hidup di paru
perkembangbiakan cacaing ini mulai dari telur hingga menjadi cacing
dewasa sekitar 30
c) Epidemiologi
T.trichuira
di daerah yang beriklim panas dan lembab. Di Asia
ditemukan dengan prevalensi lebih 50 % di daerah pedesaan (Soedarmo,
Gambar 4. Siklus hidup T.trichiura (Sumber: CDC, 2010)
Gambar di atas mengenai siklus hidup cacing ini yakni, telur yang
dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur tersebut menjadi matang
dalam waktu 3 sampai 6 minggu di tanah yang lembab dan teduh. Telur
matang berisi larva dan secara langsung akan menginfeksi hospes (manusia)
jika tidak sengaja tertelan. Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke
dalam usus halus, setelah menjadi dewasa cacing akan turun ke bagian distal
dan masuk ke daerah kolon terutama sekum. Jadi cacing jenis ini tidak
liki iklus hidup di paru-paru berbeda dengan A.lumbricoides
perkembangbiakan cacaing ini mulai dari telur hingga menjadi cacing
dewasa sekitar 30-90 hari (Gandahusada, 2006).
T.trichuira ini tersebar di seluruh dunia tetapi lebih banyak
di daerah yang beriklim panas dan lembab. Di Asia Trichuriasis
ditemukan dengan prevalensi lebih 50 % di daerah pedesaan (Soedarmo,
38
: CDC, 2010)
Gambar di atas mengenai siklus hidup cacing ini yakni, telur yang
dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur tersebut menjadi matang
dalam waktu 3 sampai 6 minggu di tanah yang lembab dan teduh. Telur
menginfeksi hospes (manusia)
jika tidak sengaja tertelan. Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke
dalam usus halus, setelah menjadi dewasa cacing akan turun ke bagian distal
dan masuk ke daerah kolon terutama sekum. Jadi cacing jenis ini tidak
A.lumbricoides. Masa
perkembangbiakan cacaing ini mulai dari telur hingga menjadi cacing
ini tersebar di seluruh dunia tetapi lebih banyak ditemukan
Trichuriasis danyak
ditemukan dengan prevalensi lebih 50 % di daerah pedesaan (Soedarmo,
39
2008), khususnya di Indonesia yakni beberapa daerah pedesaan frekuensi
Trichuriasis ini berkisar antara 30-90 %.
Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan
pengobatan penderita Trichuriasis, pembuatan jamban yang baik dan
pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan terutama pada anak.
mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik sayuran yang
dimakan mentah adalah penting apalagi di negara-negara yang memakai
tinja sebagai pupuk (Irianto, 2009).
d) Patofisiologi atau manifestasi klinik
Cacing ini akan memasukkan kepalanya ke dalam usus sehingga akan
terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan pada mukosa usus.
Di samping itu cacing ini akan menghisap darah hospesnya sehingga
menyebabkan anemia, sakit perut, menurunnya bobot tubuh serta tinja yang
yang keluar bercampur butir-butir merah (Surat Kepmenkes
424/MENKES/SK/VI, 2006).
Pada infeksi berat terutama pada anak, cacing ini tersebar di seluruh
kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang
mengalami prolapsus akibat mengejarnya penderita pada waktu defekasi
(Irianto, 2009).
e) Gejala klinis
Penderita Trichuriasis terutama anak-anak dengan infeksi berat akan
menunjukkan gejala-gejala yang nyata dan terlihat seperti diare yang
40
diselingi anemia, berat badan tururn, hingga sindrom disentri (Gandahusada,
2006).
f) Diagnosis
Diagnosis dari penyakit ini sendiri dapat ditegakkan dengan
menemukan telur dalam tinja dengan metode pemeriksaan konsentrasi jika
hanya infeksi ringan (Irianto, 2009).
3. Hookworm (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)
Cacing ini telah dikenal sejak zaman mesir kuno dan mengenai
penyakitnya telah ditulis di beberapa negara. Penyakit-penyakit yang
ditimbulkan dinamakan Ankilostomiasis. Cacing tambang dikenal 2 jenis pada
manusia,yakni A.duodenale dan N.americanus (Irianto, 2009)
Hookworm (cacing tambang) berada didalam usus halus, sehingga orang
yang terinfeksi cacing ini akan mengeluarkan telur cacing bersama dengan tinja
yang kemudian telur tersebut akan menetas di tanah dan akan menginfeksi
orang lain (WHO, 2010).
a) Morfologi
Cacing dewasa berbentuk silindris dengan kepala membengkok tajam
ke belakang. Cacing jantan lebih kecil dari cacing dewasa. Spesies cacing
tambang dapat dibedakan terutama karena rongga mulutnya dan susunan
rusuknya pada bursa. Namun telur – telurnya tidak dapat dibedakan. Telur –
telurnya berbentuk ovoid dengan kulit yang jernih dan berukuran 74 –76 μ x
36 – 40 μ. Cacing betina (9- 13x 0,35 - 0,6 mm) lebih besar daripada yang
41
jantan (5 - 11 x 0,3 - 0,45 mm). A.duodenale lebih besar dari pada N.
americanus. Cacing ini mempunyai kutikilum yang relative tebal. Pada
ujung posterior terdapat bursa kopulatrik yang dipakai untuk memegang
cacing betina selama kopulasi. Bentuk badan N. americanus biasanya
menyerupai huruf S, sedangkan A. duodenale mempunyai huruf C (Sumanto,
2010). Berikut ini adalah gambar perbedaan morfologi antara cacing dewasa
jenis ini secara bentuk morfologi :
(a) (b)
Gambar 5. Cacing dewasa (a) A.duodenale (b) N.americanus(Sumber : CDC, 2010)
b) Daur hidup
Gambar 6. Siklus hidup Hookworm (Sumber : CDC, 2010)
42
Gambar di atas menunjukkan manusia merupakan satu-satunya hospes
definitive. Telur yang infektif keluar bersama tinja penderita. Telur-telur ini
dikeluarkan perhari berkisar 25.000-30.000 (Sumanto, 2010).
Di dalam tanah, dalam waktu 2 hari menetas menjadi larva filariform
yang infektif. Kemudian larva filaform menembus kulit lalu memasuki
pembuluh darah dan jantung kemudian akan mencapai paru-paru.
Larva ini naik ke bronkus dan trachea dan kahirnya tertelan dan masuk
ke dalam usus. Migrasi larva melalui darah dan paru-paru ini berlangsung
kira-kira 1 minggu, selama periode ini larva mengalami perubahan ketiga
dan mempunyai rongga mulut sementara yang memungkinkan cacing
dewasa yang muda ini mengambil makanan. Setelah perubahan keempat
kira-kira pada hari ke-13, cacing ini akan menjadi cacing betina dewasa yang
bertelur ditemukan di dalam waktu 5 sampai 6 minggu setelah infeksi.
Larva Filaformis masuk ke dalam hospes melaui folikel rambut pori-
pori. Tanah yang basah dan melekat mempermudah penularan. Biasanya
tempat infeksi adalah bagian dorsal kaki atau atau di antara jari-jari kaki
pada penambang dan pada petani mungkipn dapat terinfeksi melalui tangan,
terutama melalui tangan, terutama sela-sela jari. Kadang-kadang infeksi
dapat terjadi melalui mulut, bila larva masuk ke dalam badan dengan
perantara air minum atau makanan yang terkontaminasi.
43
c) Epidemiologi
Telur cacing ini untuk pertumbuhannya memerlukan temperatur
terendah sekitar 18º C dan tanah yang lembab. Dngan demikian suatu
kenyataan bahwa daerah panas merupakan tempat penyebaraanya (Irianto,
2009).
N.americanus adalah spesies yang terdapat di belahan dunia barat,
Afrika tengah dan selatan Indonesia, Australia dan Kepulauan Pasifik.
Sedangkan Ancylostoma adalah spesies yang dominan di daerah lautan
tengah, Asia Utara dan pantai Barat Amerika. Ancylostoma juga ditemukan
dalam jumlah kecil di daerah-daerah dimana Necator banyak ditemukan.
d) Patofisiologi
Masa inkubasi mulai dari bentuk dewasa pada usus sampai dengan
timbulnya gejala klinis seperti nyeri perut, berkisar antara 1-3 bulan. Untuk
meyebabkan anemia diperlukan kurang lebih 500 cacing dewasa. Pada
infeksi yang berat dapat terjadi kehilangan darah sampai 200 ml/hari,
meskipun pada umumnya didapatkan perdarahan intestinal kronik yang
terjadi perlahan-lahan. Gejala klinis nekatoriasis dan ankilostomosis
ditimbulkan oleh adanya larva maupun cacing dewasa. Apabila larva
menembus kulit dalam jumlah banyak, akan menimbulkan rasa gatal-gatal
dan kemungkinan terjadi infeksi sekunder.Gejala klinik yang disebabkan
oleh cacing tambang dewasa dapat berupa nekrosis jaringan usus, gangguan
gizi dan gangguan darah (Sumanto, 2010).
44
e) Gejala klinis
Anemia defisiensi besi akibat infeksi cacing tambang menyebabkan
hambatan pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak. Pada wanita yang
mengandung, anemia defisiensi besi menyebabkan peningkatan mortalitas
maternal, gangguan laktasi dan prematuritas. Infeksi cacing tambang pada
wanita hamil dapat menyebabkan bayi dengan berat badan lahir rendah
(Sumanto, 2010).
f) Diagnosis
Diagnosis dari penyakit ini sendiri dapat ditegakkan dengan
menemukan telur dalam tinja dan cacing dewasa yang keluar melalui mulut /
anus (Hadidjaya, 2008).
F. Pencegahan Infeksi Kecacingan
Cara yang terbaik untuk mengatasi infeksi kecacingan adalah dengan
melakukan pencegahan, cara-cara yang dapat dilakukan antara antara lain adalah :
1. Pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention) yang meliputi (Kepmenkes
RI No.424) :
a) Membuang kotoran (tinja) di jamban.
b) Membuang sampah pada tempatnya.
c) Menjaga kebersihan rumah.
d) Mencuci tangan dengan bersih sebelum makan/menjamah sebelum
memasak, sebelum menyuapi anak atau setelah buang air besar.
e) Memotong kuku secara teratur seminggu sekali.
45
f) Memasak air yang akan diminum.
g) Membiasakan diri memakan lalapan mentah yang sudah dicuci bersih helai
demi helai dengan air yang mengalir.
h) Menghindari pemakaian bersama terhadap pakaian dalam
i) Mencuci seprai, menjemur secara berkala kasur, bantal dan guling.
2. Pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention) meliputi :
a) Melakukan diagnosa dini, misalnya dengan melakukan pemeriksaan
laboratorium terhadap feses anak.
b) Melakukan pengobatan segera
3. Pencegahan tingkat ketiga (Tertiery Prevention) meliputi :
a) Memberantas binatang yang dapat menyebabkan telur cacing misalnya lalat,
kecoa, tikus dan lain-lain.
b) Membiasakan diri memakai alas kaki bila berjalan ke mana-mana.
c) Membiasakan diri tidak menggigit/ menghisap jari tangan.
d) Membiasakan anak-anak tidak bermain-main di tanah.
e) Menghindari jajan panganan yang tak tertutup saji atau yang terpegang-
pegang oleh banyak tangan.
G. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian ini dirangkum berdasarkan tinjauan teori
umum yang ada, khususnya mengenai hubungan antar satu faktor risiko dengan
faktor risiko yang lain yang mempengaruhi terjadinya infeksi cacing STH. Faktor-
46
faktor yang beresiko terhadap kejadian Kecacingan ini akan dijelaskan di dalam
kerangka teori berikut ini :
Kebiasaanmenggunakan alas
kaki
Kejadiankecacingan
Lingkungan
Agent dan vektor
Sosek
perilaku
Perilaku pengobatansendiri
Kebiasaan mainditanah
Kebiasaan mandi
Kebiasaan memotongkuku
Kebiasaan mencucitangan dengan sabun
Pendikan orang tua
Pekerjaan orang
Penghasilan orang tua
Jenis kelamin
Imuunitas
Umur
Keberadaantelur cacing
Keberadaan telurcacing pada
makanan
Lalat sebagaivektor/pemindah
telur cacing
Tekstur tanah
Kelembaban tanah
Adanya lahanpertanian
Sanitasi ling. sekolah
Salitasi ling. Rumah
Kebiasaan BAB
host
Sumber : Sumanto, 2010 (dimodifikasi)
Gambar 7. Kerangka teori
47
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikiran Variabel Yang Diteliti
Suatu penyakit terjadi tidak bergantung pada satu sebab yang berdiri sendiri
melainkan sebagai akibat dari serangkaian sebab akibat (Mukono,2002 dalam
Utama,2012). Sama dengan terjadinya kejadian kecacingan tidak hanya
dipengaruhi cacing itu sendiri, tetapi dapat juga dipengaruhi oleh faktor lain baik
faktor agent, host, maupun lingkungan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian kecacingan ini adalah faktor
host yakni mencakup kebiasaan hygiene perorangan. Hygiene perorangan ini
merupakan salah satu penyumbang faktor terbesar dalam penularan penyakit
melalui mulut dan tangan khususnya infeksi cacing ini. Variabel-variabel bebas
yang akan diteliti adalah praktek hygiene perorangan sedangkan variabel
terikatnya adalah kejadian kecacingan, yang akan dijelaskan sebagai berikut :
1. Kejadian Kecacingan
Soil Transmitted Helminths (STH) adalah nematoda usus yang daur
hidupnya memerlukan tanah untuk berkembangbiak secara sempurna dan untuk
menjadi bentuk infektif pada manusia. Kejadian Kecacingan dapat terjadi
dengan melalui telur cacing karena kontak mulut dengan berbagai makanan
atau minuman dan kontak langsung dengan tubuh anak-anak pada saat mereka
bermain di tanah.
48
2. Kebiasaan cuci tangan pakai sabun (CTPS)
Tangan adalah salah satu bagian tubuh yang paling sering kontak dengan
benda-benda lain,untuk itulah kebersihan tangan sangat penting dijaga dari
segala macam kotoran. Salah satu caranya adalah dengan mencuci tangan
meggunakan air dan menggosoknya dengan sabun. Cara ini adalah cara yang
paling efektif mencegah penularan penyakit.
3. Kebiasaan memakai alas kaki pada waktu keluar rumah
Risiko kecacingan pada anak sekolah dasar sangat besar jika tidak
dibiasakan memakai alas kaki pada waktu keluar rumah. Ini dikarenakan kulit
juga merupakan salah satu jalur masuknya penyakit di dalam tubuh untuk itulah
perlu adanya pelingdung kaki pada saat ingin keluar rumah khususnya bermain-
main.
4. Kebiasaan memotong kuku
Kuku yang panjang jika tidak terjaga kebersihannya dapat menyebabkan
tertumpuknya kotoran dan kuman penyakit khususnya pada anak-anak yang
baru saja kontak dengan tanah. Akibatnya jika tidak dibersihkan atau dipotong
akan tertelan bersama makanan yang masuk ke dalam mulut.
5. Kebiasaan BAB pada tempatnya
Pembuangan kotoran manusia merupakan salah satu masalah pokok yang
harus sedini mungkin diatasi. Tidak adanya sarana jamban keluarga yang
tersedia memaksa seseorang untuk membuang tinjanya di sembarang tempat
terutama pada masyarakat kepulauan yang meskipun telah tersedia jamban
49
namun kebiasaan mereka buang air besar di laut atau di pasir tetap
dipertahankan. Kebiasaan BAB tidak pada tempatnya akan menyebabkan lalat
pembawa telur cacing hinggap di makanan dan tanpa disadari akan termakan
oleh manusia.
Berdasarkan konsep pemikiran di atas disusun kerangak konsep penelitian
sebagai berikut :
Gambar 8. Kerangka Konsep Penelitian
B. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif
Definisi operasional dalam penelitian ini meliputi :
1. Infeksi kecacingan
Yaitu infeksi cacing usus tang ditularkan melalu tanah adalah terdapatnya
telur cacing A.lumbricoides, dan atau cacing T.trichuira, dan atau cacing
tambang (A.duodenale dan N.americanus) dalam semua feses anak sekolah
dasar di Pulau Barrang Lompo Kota Makassar.
Kebiasaan mencuci tanganpakai sabun
Kebiasaan memotong kuku
Kebiasaan memakai alaskaki
Kebiasaan BAB padatempatnya
Kejadiankecacingan
PraktekHygiene
Perorangan
50
Kriteria Obyektif
Skala yang digunakan adalah skala ordinal
a. Positif apabila terdapat 1 atau lebih telur cacing pada feses
b. Negatif apabila tidak terdapat telur cacing pada feses
2. Kebiasaan cuci tangan pakai sabun (CTPS)
Yaitu kebiasaan responden (anak) dalam membersihkan tangannya dari
kotoran baik yang nampak atau tidak nampak dengan menggunakan air
mengalir dan sabun yang dilakukan dengan baik pada 5 kriteria waktu penting
melakukan kebiasaan CTPS ini yakni setelah bermain, dan atau sebelum
makan, dan atau setelah BAB, dan atau setelah menyentuh binatang, dan atau
setelah menjamah bahan makanan.
Kriteria Obyektif
Skala yang digunakan adalah skala ordinal
Praktik kebiasaan mencuci tangan memakai sabun dalam penelitian ini
dinyatakan :
a. Selalu CTPS, air yang mengalir, dan memiliki tindakan cuci tangan yang
baik pada waktu berikut :
1) Setelah bermain
2) Sebelum makan
3) Setelah BAB
4) Setelah menyentuh binatang
5) Sebelum menjamah bahan makanan
51
b. Tidak selalu CTPS, jika jawaban responden tidak melakukan CTPS pada
waktu yang disebutkan pada kriteria di atas.
3. Kebiasaan memakai alas kaki
Yaitu kebiasaan responden (anak) yang memakai alas kaki berupa sandal
dan atau sepatu pada saat keluar rumah.
Kriteria Obyektif
Skala yang digunakan adalah skala ordinal
Kebiasaan memakai alas kaki dalam penelitian ini dinyatakan :
a. Selalu memakai alas kaki, apabila responden menjawab selalu memakai alas
kaki pada saat keluar rumah.
b. Tidak selalu memakai alas kaki, apabila responden menjawab kadang-
kadang memakai alas kaki atau tidak pernah memakai alas kaki pada saat
keluar rumah.
4. Kebiasaan memotong kuku
Yaitu kebiasaan responden yang berkenaan dengan kebiasaan selalu
memotong kuku minimal sekali dalam seminggu atau dua kali seminggu secara
rutin.
Kriteria Objektif
Skala yang digunakan adalah skala ordinal
Kebiasaan memotong kuku dalam penelitian ini diinyatakan :
a. Selalu memotong kuku, apabila responden menjawab selalu memotong kuku
secara rutin minimal sekali seminggu atau dua kali seminggu secara rutin.
52
b. Tidak selalu memotong kuku, apabila responden menjawab tidak pernah
secara rutin memotong kuku dalam waktu lebih dari seminggu atau dua kali
seminggu.
4. Kebiasaan BAB pada tempatnya
Yaitu kebiasaan responden yakni melakukan kebiasaan BAB di jamban
yang memenuhi syarat kesehatan, berupa :
a. Kondisi jamban dalam keadaan bersih
b. Tersedianya sumber air bersih
c. Tidak mencemari sumber air bersih yaitu jarak septic tank minimal 10
meter dari sumber air bersih.
Kriteria Objektif
Skala yang digunakan adalah skala ordinal
Kebiasaan BAB dalam penelitian ini dinyatakan :
a) Selalu melakukan BAB pada tempatnya, apabila responden menjawab
melakukan BAB di jamban keluarga atau fasilitas jamban umum yang
memenuhi syarat kesehatan.
b) Tidak selalu melakukan BAB pada tempatnya, apabila responden menjawab
melakukan BAB di jamban atau tempat lainnya yang tidak sesuai dengan
syarat kesehatan.
53
C. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini merupakan jawaban sementara yang
kebenarannya akan dibuktikan melalui hasil penelitian yang dilakukan. Adapun
hipotesis penelitian dari penelitian ini adalah :
1. Hipotesis Nol (Ho)
a. Tidak ada hubungan antara praktik kebiasaan mencuci tangan pakai sabun
dengan kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau Barrang
Lompo.
b. Tidak ada hubungan antara praktik kebiasaan memakai alas kaki pada saat
keluar rumah dengan kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau
Barrang Lompo
c. Tidak ada hubungan antara praktik kebiasaan memotong kuku dengan
kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau Barrang Lompo
d. Tidak ada hubungan antara praktik kebiasaan BAB pada tempatnya dengan
kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau Barrang Lompo.
2. Hipotesis Alternatif (Ha)
a. Ada hubungan antara praktik kebiasaan menucuci tangan pakai sabun
dengan kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau Barrang
Lompo.
b. Ada hubungan antara praktik kebiasaan memakai alas kaki pada saat keluar
rumah dengan kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau
Barrang Lompo.
54
c. Ada hubungan antara praktik kebiasaan memotong kuku dengan kejadian
kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau Barrang Lompo.
d. Ada hubungan antara praktik kebiasaan BAB pada tempatnya dengan
kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau Barrang Lompo.
55
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional analitik
dengan pendekatan cross sectional study yaitu suatu rancangan penelitian yang
diarahkan untuk mempelajari etiologi suatu penyakit yakni melihat hubungan
faktor risiko (independen) dengan faktor efek (dependen) dimana kedua varibel ini
diukur dalam waktu yang bersamaan pada saat wawancara (Riyanto, 2009)
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Pulau Barrang Lompo Kota Makassar.
Pemilihan lokasi didasarkan karena hasil observasi di Pulau Barrang Lompo
menemukan bahwa tidak pernah dilakukan surveilans baik aktif maupun pasif
terhadap penyakit Kecacingan .
Pulau Barrang Lompo terdiri dari 4 RW dan 21 RT, dengan jumlah
penduduk 4125 orang dengan jumlah anak usia sekolah sebanyak 699 orang.
Datanya dapat dilihat pada tabel berikut ini:
56
Tabel 1
Data murid sekolah dasar Pulau Barrang Lompo
Kota Makassar Tahun 2012
KelasSD Negeri Barrang
LompoSD Inpres Barrang
LompoJumlah
I
II
III
IV
V
VI
55
68
71
73
64
49
55
44
53
57
64
46
110
112
124
130
128
95
TOTAL 380 319 699
Sumber : Data Sekunder 2012
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 10 November 2012 – 28 April 2013.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua murid sekolah dasar di Pulau
Barrang Lompo yang terdiri dari dua sekolah dasar yakni SD Negeri Barrang
Lompo sebanyak 380 orang dan SD Inpres Barrang Lompo sebanyak 319 orang
jadi total keseluruhan yakni sebanyak 699 orang.
2. Sampel
Sampel pada penelitian ini berasal dari murid sekolah dasar dari kedua
sekolah di Pulau Barrang Lompo Kota Makassar yakni sebanyak 249 orang
namun terdapat sampel yang drop out sebanyak 10 orang sehingga yang
57
menjadi sampel hanya 239 orang. Sampel ini terdiri dari 2 sekolah yang
sifatnya heterogen yang dibedakan atas 2 yakni SDN Barrang Lompo dan SD
Inp.Barrang Lompo dikarenakan perbedaan karakteristik sekolahnya yakni
perbedaan jumlah murid, tenaga pengajar serta kondisi lingkungan yang
berbeda.
3. Besarnya sampel
Besarnya sampel yang diambil dengan metode Proporsional Systematic
Random Sampling dengan cara menggunakan rumus pengambilan sampel
Lamenshow (Riyanto, 2011) :
n = .
2ݍ..
2
.൫ −1൯+2
ݍ..
dimana :
n : besarnya sampel
N : besarnya populasi = 699
Z : nilai sebaran normal baku, besarnya tergantung tingkat kepercayaan (TK),
jika TK 90% =1,64, TK 95% =1,96 dan TK 99% =2,57
P : proporsi kejadian yang diperkirakan terjadi pada populasi, jika tidak
diketahui dianjurkan =0,5
D : besarnya penyimpangan; 0,1, 0,05, dan 0,01
Q : 1 – p (1- 0,5 = 0,5)
Perhitungan untuk besar sampel penelitian, yaitu:
58
n = .
2ݍ..
2
.൫ −1൯+2
ݍ..
n =699(1,96)
2(0,5)(0,5)
(0,05)2൫699−1൯+൫1,96൯
2൫0,5൯(0,5)
n =699 3,8416ݔ 0,25ݔ
0,0025 3,8416+698ݔ 0,25ݔ
n =671,3196
1,745+0,9604
n =671,3196
2,7054
n = 248,14061
n = 249
Jadi, besar sampel yang diteliti yaitu sebanyak 249 orang.
Jumlah sampel tersebut akan ditarik secara proporsional dari masing-
masing kelas pada kedua sekolah dasar dengan menggunakan rumus:
Dimana:
ni = besar sampel untuk strata ke-i
Ni = populasi untuk strata ke-i
N = populasi total
n = besar sampel penelitian
Sehingga diperoleh besar sampel untuk tiap kelas di masing-masing sekolah
adalah sebagai berikut:
=
59
a. SD Negeri Barrang Lompo
n =ே
ே =
ଷ
ଽଽ(249) = 135
jadi, sampel untuk SD Negeri Barrang Lompo yaitu 136 orang dari 380
orang murid.
b. SD Inpres Barrang Lompo
n =ே
ே =
ଷଵଽ
ଽଽ(249) = 114
jadi, sampel untuk SD Inpres Barrang Lompo yaitu 114 orang dari 319 orang
murid. Besar sampel untuk masing-masing kelas dapat dilihat pada Tabel 2
di bawah ini :
Tabel 2Besar sampel masing-masing kelas murid sekolah dasar
di Pulau Barrang Lompo Kota Makassar
KelasSD Negeri Barrang
LompoSD Inpres Barrang
LompoNi n Ni n
I 55 20 55 20II 68 24 44 16III 71 25 53 18IV 73 25 57 21V 64 23 64 23VI 49 18 46 16
Total 380 135 319 114Sumber : Data Primer, 2013
Untuk menentukan sampel yang akan diteliti, metode sampling yang
digunakan adalah Systematic Random Sampling. Karena besar sampel yang
diinginkan berbeda-beda, maka besarnya kesempatan bagi tiap satuan elementer
untuk terpilih juga berbeda-beda. Dimana besar sampel yang diinginkan
60
sebanyak 192 dan 175 sampel. Besarnya populasi di SD Negeri Barrang Lompo
yaitu 380 orang, jadi 380 : 192 = 2, dan di SD Inpres Barrang Lompo yaitu 319
orang, jadi 319 : 175 = 2.
Maka anggota populasi yang menjadi sampel adalah setiap elemen yang
mempunyai nomor kelipatan 2 di lembar absensi, yakni 2,4,6,8,10 dan seterusnya
hingga mencapai besar sampel yang ditentukan untuk masing-masing sekolah.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Pot tinja yang digunakan untuk pengambilan sampel feses.
2. Kuesioner digunakan untuk memperoleh data mengenai praktek hygiene
perorangan.
E. Pengumpulan Data
1. Data primer
Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan
menggunakan panduan kuesioner yang tersedia secara door to door. Adapun
data yang diperoleh dari teknik ini adalah kebiasaan CTPS, kebiasaan
memakai alas kaki pada saat keluar rumah, kebiasaan memotong kuku,
kebiasaan BAB pada tempatnya.
Untuk mengetahui murid yang terinfeksi Kecacingan dilakukan
dengan pengambilan spesimen feses.
61
a. Cara pengambilan spesimen feses
Guru maupun murid-murid terlebih dahulu diberikan penjelasan
tentang maksud penelitian ini dan juga mengenai Kecacingan ,
selanjutnya diberi penjelasan tentang cara pengambilan feses segarnya.
Para murid disarankan mengambil fesesnya disarankan pada pagi
hari sebelum berangkat ke sekolah sebanyak kurang lebih seujung sendok
kayu yang sudah disediakan bersama pot tinja atau sekitar 100 mg.
Setelah semuanya jelas, murid kemudian dibagikan pot tinja yang telah
diberi kode sesuai dengan kode yang tertulis pada kuesioner. Pada saat
pembagian pot tinja, juga dilakukan pencatatan alamat tempat tinggal
sampel untuk dilakukan wawancara kuesioner. Keesokan harinya pot-pot
tinja tersebut dikumpulkan kemudian dibawah ke laboratorium dan
langsung diperiksa dengan metode Direct slide method.
b. Metode pemeriksaan Direct slide method
Pemeriksaan yang dilakukan merupakan pemeriksaan kualitatif
berupa positif atau negatif Kecacingan . Pemerikasaan ini dilakukan
dengan metode sederhana yakni Direct slide method sesuai standar
pemeriksaan Subdit Diare, Kecacingan dan Infeksi Saluran Pencernaan
Departemen Kesehatan Indonesia (2010). Adapun Bahan dan alat yang
digunakan yakni feses/tinja, object glass, cover glass, mikroskop, reagen
Eosin 2%, pipet tetes, lidi. Sedangakan cara pembuatan preparatnya
adalah sebagai berikut :
62
a) Object glass dibersihkan sampai bebas dari debu dan minyak.
b) Larutan eosin 2% diletakkan sebanyak 2 tetes di atas objek glass.
c) Tinja diletakkan di atas larutan eosin 2% dengan menggunakan lidi.
d) Dicampur dan diaduk dengan rata.
e) Tutup dengan menggunakan cover glass.
f) Diperiksa dibawah mikroskop.
2. Data Sekunder
Data sekunder di peroleh dari Dinas Kesehatan Kota Makassar dan
Puskesmas Barrang Lompo berupa tidak adanya data atau pencatatan
mengenai kejadian Kecacingan terhadap penduduk di Pulau Barrang Lompo
sedangkan data jumlah murid sekolah dasar di Pulau Barrang Lompo
didapatkan di masing-masing sekolah yakni SD Inpres Barrang Lompo dan
SD Negeri Barrang Lompo.
F. Pengolahan Data dan Penyajian Data
Data yang telah diperoleh diolah dengan program Software Statistical
Package for Sosial Science (SPSS) versi 17. Langkah pengolahan data sebagai
berikut:
1. Editing
Editing adalah penyuntingan yang dilakukan secara langsung terhadap kuesioner
serta hasil pemerikasaan di laboratorium, untuk memastikan bahwa data yang
diperoleh yaitu kuesionerna semua telah diisi dan dapat dibaca dengan baik.
2. Coding
63
Setelah seluruh data terkumpul dan selesai diedit di lapangan, selanjutnya
dilakukan pengkodean untuk menyederhanakan data yang diperoleh
berdasarkan buku kode yang telah disusun sebelumya dan telah dipindahkan
keformat aplikasi program SPSS di komputer.
3. Entry data
Data diimput ke dalam lembar kerja SPSS untuk masing-masing variabel.
diurut berdasarkan nomor responden dalam kuesioner dan coding yang sudah
dilakukan.
4. Cleaning data
Cleaning dilkukan pada semua lembar kerja untuk membersihkan
kesalahan yang mungkin terjadi selama proses input data. Proses ini dilakukan
melalui analisis frekuensi pada semua variabel. Data missing dibersihkan
dengan menginput data yang benar.
5. Analisis
Proses analisis dilakukan dengan menggunakan program analisis data
yang telah tersedia dalam program SPSS.
6. Penyajian data
Data yang telah diolah dan dianalisis lebih lanjut disajikan dalam bentuk
tabel yakni dalam bentuk tabel sederhana/tabel frekuensi untukanalisis univariat
yang disertai narasi atau penjelasan mengenai variabel yang diteliti serta
analisis bivariatnya.
G. Analisis data
64
Data dianalisis dan di interpretasikan lebih lanjut untuk menguji hipotesis
dengan menggunakan analisis univariat dan bivariat. Berikut dijelaskan kedua
analisis ini :
1. Analisis univariat
Analisis ini adalah analisis yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran
karakteristik umum penelitian dengan cara mendeskripsikan tiap-tiap variabel
dan melihat gambaran distribusi frekuensi serta persentase yang terkait dengan
tujuan peelitian ini berdasarkan hasil data kuesioner yang sudah diinput.
2. Analisis bivariat
Analis bivariat adalah analisis yang dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara variabel dependen dan varibel independent dengan
menggunakan uji analisis Chi-Square dengan batas kemaknaan yang digunakan
adalah 5% berdasarkan perhitungan nilai Prevalensi Ratio (PR), hasil
perhitungan menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara kedua variabel
jika nilai p yang diperoleh < 0, 05. Intepretasi perhitungan PR juga didukung
dengan nilai interval kepercayaan atau Confidence Interval (CI) sebesar 95% (
Riyanto, 2011). Berikut rumus Chi-Square yang akan digunakan (Sabri, 2011) :
x2 = ∑()మ
Dimana :
x2 : Chi-Square
∑ : sigma (jumlah)
65
O : Nilai observasi
E : Nilai Expended (harapan)
Dikoreksi dengan Yetes Corection dengan rumus :
x2 =୬(ୟ ୠୡ ,ହ୬)మ
(ୟାୠ)(ୡା)(ୟାୡ)(ୠା)
Dimana :
N : jumlah sampel
a, b, c, d : nilai sampel dalam tabel 2x2
Bila ada nilai expenden lebih kecil dari 5 maka digunakan uji Fisher exact
dengan rumus:
p =(ୟାୠ)!(ୡା)!(ୟାୡ)!(ୠା)!
!ୟ!ୠ!ୡ!!
Dasar pengambilan keputusan penerimaan hipotesis dengan tingkat
kepercayaan 95% :
a. Jika nilai sig p > 0,05 maka hipotesis alternatif (Ha) diterima dan hipotesis
nol (Ho) ditolak.
b. Jika nilai sig p ≤ 0,05 maka hipotesis alternatif (Ha) ditolak dan hipotesis nol
(Ho) di terima.
66
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Barrang Lompo Kota Makassar dengan
melakukan pengumpulan data mulai tanggal 10 November 2012 sampai dengan 28
April 2013 mengenai analisis faktor praktik hygiene perorangan yang berhubungan
dengan kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau Barrang Lompo
Kota Makassar. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan secara primer
dengan cara wawancara langsung terhadap responden menggunakan instrumen
kuesioner dan pemeriksaan laboratorium terhadap feses murid sekolah dasar
mengenai kejadian kecacingan di Laboratorium Terpadu Kesmas FKM Unhas.
Populasi dalam penelitian ini adalah 699 murid dari kedua sekolah dasar
yang terletak di Pulau Barrang Lompo dan sampel diambil dengan teknik
Proporsional Systematic random sampling maka jumlah sampel yang telah
dirandom adalah sebanyak 249 orang. Namun terdapat sampel drop out sebanyak
10 orang, diakibatkan oleh dalam pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
sampel tersebut tidak dapat diidentifikasi fesesnya sehingga tidak dilakukan
analisis data lebih lanjut sehingga jumlah sampel pada penelitian ini adalah 239
orang. Seluruh data yang diperoleh kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk
tabel frekuensi dan crosstab (tabulasi silang) dengan hasil sebagai berikut :
67
1. Analisis Karakteristik Responden
a. Umur
Umur adalah lama hidup seseorang sejak dilahirkannya sampai pada
saat menjadi responden dalam penelitian ini yang dinyatakan dalam tahun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rentan umur 239 responden yakni
mulai dari umur 5 hingga 15 tahun dengan presentase umur terbanyak pada
umur 9 tahun yaitu 43 (18%) masing-masing dari SDN Barrang Lompo 30
(22,9%) dan SD Inp.Barrang Lompo 14 (13,0%) sedangkan presentase umur
paling sedikit yaitu umur 5, 6, 14, dan 15 yang masing-masing berjumlah 1
(4%). Hal ini dapat terlihat pada Tabel 3 di bawah ini :
Tabel 3Distribusi Responden Berdasarkan Umur Murid Sekolah Dasar
Di Pulau Barrang Lompo Kota MakassarTahun 2013
UmurSDN SDI Total
n % N % n %
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
1
1
12
18
30
19
19
15
15
1
0
8
8
9,2
13,7
22,9
14,5
14,5
11,5
11,5
8
0
0
0
11
15
14
16
20
20
11
0
1
0
0
10,2
13,9
13,0
14,8
18,5
18,5
10,2
0
9
1
1
23
34
44
35
39
35
26
1
1
4
4
9,6
13,8
18,4
14,6
16,3
14,6
10,9
4
4
Total 131 100 108 100 239 100
Sumber : Data Primer,2013
68
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin dilihat secara ciri biologisnya dibedakan atas laki-laki
dan perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 239 responden
terdapat responden yang berjenis kelamin perempuan di SDN Barrang
Lompo presentasenya lebih banyak yaitu sebanyak 71 (54,2%) sedangkan
yang paling sedikit adalah responden laki-laki di SD Inp.Barrang Lompo
yaitu 50 (46,3%). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini :
Tabel 4Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Murid Sekolah Dasar
Di Pulau Barrang Lompo Kota MakassarTahun 2013
Jenis KelaminSDN SDI Total
n % N % n %
Laki-laki
Perempuan
60
71
45,8
54,2
50
58
46,3
53,7
110
129
46,0
54,0
Total 131 100 108 100 239 100
Sumber : Data Primer, 2013
c. Kelas dan Sekolah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 239 responden pada sekolah
dasar di Pulau Barrang Lompo terbagi atas enam tingkatan kelas yakni kelas
1 sampai dengan kelas 6 dengan 131 responden terbanyak berasal dari kelas
2, 3 dan 4 SDN Barrang Lompo yaitu 24 (18,3%). Sedangkan responden
yang paling sedikit yaitu sebanyak 15 (13,9%) berasal dari kelas 2 dan 6 SD
Inp. Barrang Lompo dari 108 responden. Distribusi ini ditunjukkan pada
Tabel 5 berikut ini :
69
Tabel 5Distribusi Responden Berdasarkan Kelas dan Sekolah Murid Sekolah
Dasar di Pulau Barrang Lompo Kota MakassarTahun 2013
KelasSDN SDI Total
N % n % n %
1
2
3
4
5
6
19
24
24
24
22
18
14,5
18,3
18,3
18,3
16,8
13,7
18
15
19
19
22
15
16,7
13,9
17,6
17,6
20,4
13,9
37
39
43
43
44
33
15,5
16,3
18,0
18,0
18,4
13,8
Total 131 100 108 100 239 100
Sumber : Data Primer, 2013
2. Analisis Deskriptif Variabel Yang Diteliti
a. Kejadian Kecacingan
1) Infestasi cacing
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium terhadap feses 239
responden menunjukkan yang positif terinfeksi kecacingan lebih banyak
yakni 181 responden (75,7%) dibanding yang negatif terinfeksi kecacingan
hanya 58 responden (25,3%). Hal ini dilihat pada Tabel 6 di bawah ini :
Tabel 6Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian Kecacingan Pada MuridSekolah Dasar di Pulau Barrang Lompo Kota Makassar Tahun 2013
Kejadian Kecacingan Jumlah (n) Persen (%)
Positif
Negatif
181
58
75,7
25,3
Total 239 100
Sumber : Data Primer, 2013
70
2) Jenis Telur
Dari hasil pemeriksaan laboratorium terhadap feses responden yang
positif terinfeksi kecacingan menunjukkan bahwa dari 181 orang
responden yang positif kecacingan, terdapat jenis telur cacing yang
terbanyak yaitu jenis A. lumbricoides menginfeksi sebanyak 66 (27,6%)
sedangkan yang paling sedikit yaitu mix antara ketiga jenis telur cacing
ini yakni sebanyak 2 (1,1%). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah
ini :
Tabel 7Distribusi Berdasarkan Jenis Telur Cacing Pada Murid SekolahDasar di Pulau Barrang Lompo Kota Makassar Tahun 2013
Jenis Telur Cacing Jumlah(n) Persen (%)
Ascaris lumbricoides
Trichuris trichiura
Hookworm
A.lumbricoides+T.trichuira
A.lumbricoides+Hookworm
A.lumbricoides+T.trichuira+Hookworm
T.trichuira+Hookworm
66
50
8
42
3
2
10
36,5
27,6
4,4
23,2
1,7
1,1
5,5
Total 181 75,7
Sumber : Data Primer, 2013
3) Kejadian Kecacingan Menurut Jenis Kelamin
Hasil penelitian menunjukkan bahwa laki-laki maupun perempuan
memiliki peluang dapat terinfestasi cacing. Dari 181 yang positif
kecacingan, presentase tertinggi berasal dari jenis kelamin laki-laki yaitu
93 responden (84,5%). Sedangkan dari 58 responden yang negatif
kecacingan, presentase tertinggi berasal dari jenis kelamin perempuan
71
yaitu 41 responden (31,8%). Hasil ini dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah
ini :
Tabel 8Distribusi Kejadian Kecacingan Berdasarkan Jenis Kelamin PadaMurid Sekolah Dasar Di Pulau Barrang Lompo Kota Makassar
Tahun 2013
Jenis KelaminKejadian kecacingan
TotalPositif Negatif
N % N % n %Laki-laki
perempuan9388
84,568,2
1741
15,531,8
110129
100100
Total 181 75,7 58 24,3 239 100Sumber : Data Primer, 2013
4) Kejadian Kecacingan Berdasarkan Kelas
Tahap ini dilakukan analisis distribusi frekuensi mengenai kejadian
kecacingan berdasarkan kelas dan sekolah. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui kategori kelas dan sekolah mana yang tingkat kejadian
kecacingan terbanyak. Dari 181 responden yang positif kecacingan,
presentase tertinggi berasal dari kelas 4 yaitu 37 responden (86%)
Sedangkan dari 58 responden yang negatif kecacingan, presentase
tertingggi berasal dari kelas 6 yaitu 20 responden (60,6%) Hal ini dapat
dilihat pada tabel 9 berikut ini:
72
Tabel 9Distribusi Kejadian Kecacingan Berdasarkan Kelas Pada Murid
Sekolah Dasar Di Pulau Barrang Lompo Kota MakassarTahun 2013
KelasKejadian kecacingan
TotalPositif Negatif
n % N % n %1
2
3
4
5
6
32
32
34
37
33
13
85,5
82,1
79,1
86
75
39,4
5
7
9
6
11
20
13,5
17,9
20,9
14
25
60,6
37
39
43
43
44
33
100
100
100
100
100
100
Total 181 75,7 58 24,3 239 100Sumber : Data Primer, 2013
b. Hubungan Kebiasaan Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) Terhadap
Kejadian Kecacingan
Tahap ini dilakukan analisis jumlah responden yang melakukan
kebiasaan CTPS dimana kebiasaan CTPS dalam hal ini adalah responden
yang selalu melakukan kebiasaan CTPS pada 5 waktu CTPS yakni sebelum
makan, setelah bermain, setelah buang air besar, setelah menyentuh hewan
dan sebelum menjamah bahan makanan menggunakan sabun dan air yang
mengalir, hal ini dapat pada Tabel 10 berikut ini :
Tabel 10Distribusi Responden Berdasarkan Praktik Kebiasaan CTPS Murid
Sekolah Dasar di Pulau Barrang Lompo Kota Makassar Tahun 2013Kebiasaan CTPS Jumlah (n) Persen (%)
Selalu
Tidak Selalu
10
229
4,2
95,8
Total 239 100
Sumber : Data Primer, 2013
73
Tabel 10 di atas menunjukkan bahwa presentase responden yang tidak
selalu CTPS lebih banyak yaitu 230 (96,2%) dibanding dengan yang selalu
melakukan kebiasaan CTPS yakni 9 (3,8%).
Sedangkan analisis hubungan kebiasaan cuci tangan pakai sabun
(CTPS) dan kejadian kecacingan yang dapat dilihat pada Tabel 11 di bawah
ini :
Tabel 11Distribusi Kejadian Kecacingan Menurut Praktik Kebiasaan CTPS
Pada Murid Sekolah Dasar Di Pulau Barrang LompoKota Makassar Tahun 2013
Kebiasaan CTPSKejadian Kecacingan
TotalP
ValuePositif Negatif
n % n % N %Tidak Selalu CTPS
Selalu CTPS1810
79,00
4810
21,0100
22910
100100 0,000
Total 181 75,7 58 24,3 239 100Sumber : Data Primer, 2013
Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa 181 (79,0%) responden yang
positif kecacingan memiliki kebiasaan tidak selalu cuci tangan pakai sabun
sedangkan dari 58 responden yang negatif kecacingan presentase tertinggi
juga berasal dari responden yang memiliki kebiasaan tidak selalu cuci tangan
pakai sabun yakni 49 (84,5%).
Hasil uji statistik dengan uji Chi-Square dan dipertegas dengan Yate’s
Corecction diperoleh p value = 0,000 lebih kecil dari nilai α = 0,05.
Sehingga hipotesis nol (Ho) ditolak dan hipotesis alternative (Ha) diterima,
74
ini berarti bahwa ada hubungan antara kebiasaan CTPS dengan kejadian
kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau Barrang Lompo.
c. Hubungan Kebiasaan Memakai Alas Kaki Pada Saat Keluar Rumah
Terhadap Kejadian Kecacingan
Penelitian ini praktik kebiasaan memakai alas kaki diketahui melalui
instrumen kuesioner yang menanyakan tentang kebiasaan responden
memakai alas kaki pada saat keluar rumah yakni saat bermain dan pada saat
ke sekolah dikategorikan menjadi selalu dan tidak selalu melakukan
kebiasaan memakai alas kaki. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 12 di bawah
ini :
Tabel 12Distribusi Responden Berdasarkan Praktik Kebiasaan Memakai Alas
Kaki Murid Sekolah Dasar di Pulau Barrang LompoKota Makassar Tahun 2013
Kebiasaan Memakai Alas Kaki Jumlah (n) Persen (%)
Selalu memakai Alas Kaki
Tidak Selalu memakai Alas Kaki
67
172
28,0
72,0
Total 239 100
Sumber : Data Primer, 2013
Tabel 12 di atas menunjukkan bahwa presentase responden yang
tidak selalu memakai alas kaki pada saat keluar rumah lebih banyak yaitu
172 (72,0%) disbanding dengan yang selalu melakukan kebiasaan
memakai alas kaki yakni 67 (28,0%).
75
Tahap ini dilakukan analisis hubungan kebiasaan memakai alas kaki
pada saat keluar rumah dan kejadian kecacingan yang dapat dilihat pada
Tabel 13 berikut ini :
Tabel 13Distribusi Kejadian Kecacingan Menurut Kebiasaan Memakai Alas
Kaki Pada Murid Sekolah Dasar Di Pulau Barrang Lompo KotaMakassar Tahun 2013
KebiasaanMemakai Alas
Kaki
Kejadian KecacinganTotal
PValue
Positif Negatifn % n % n %
Tidak SelaluSelalu
16912
98,317,9
355
1,782,1
17267
100100 0,000
Total 181 75,5 58 24,3 239 100Sumber : Data Primer, 2013
Tabel 12 di atas menunjukkan bahwa 181 responden yang positif
kecacingan presentase tertinggi berasal dari responden yang memiliki
kebiasaan tidak selalu pakai alas kaki pada saat keluar rumah yakni 169
(93,4%). Sedangkan dari 58 responden yang negatif kecacingan presentase
tertinggi berasal dari responden yang memiliki kebiasaan selalu memakai
alas kaki pada saat keluar rumah yakni 55 (94,8%).
Hasil uji statistik dengan uji Chi-Square dan dipertegas dengan Yate’s
Corecction diperoleh p value = 0,000 lebih kecil dari nilai α = 0,05.
Sehingga hipotesis nol (Ho) ditolak dan hipotesis alternative (Ha) diterima,
ini berarti bahwa ada hubungan antara kebiasaan memakai alas kaki dengan
kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau Barrang Lompo.
76
d. Hubungan Kebiasaan Memotong Kuku Terhadap Kejadian Kecacingan
Kebiasaan memotong kuku dalam penelitian ini dinyatakan sebagai
selalu maupun tidak selalu responden melakukan kebiasaan memotong kuku
secara rutin sekali seminggu dan atau dua kali seminggu. Kebiasaan
memotong kuku ini dapat dilihat pada Tabel 14 berikut ini :
Tabel 14Distribusi Responden Berdasarkan Praktik Kebiasaan Memotong
Kuku Murid Sekolah Dasar di Pulau Barrang LompoKota Makassar Tahun 2013
Kebiasaan Potong Kuku Jumlah (n) Persen (%)
Selalu Potong kuku
Tidak Selalu Potong kuku
106
133
44,5
55,5
Total 239 100
Sumber : Data Primer, 2013
Tabel 14 di atas menunjukkan bahwa dari 239 responden yang tidak
selalu melakukan kebiasaan potong kuku lebih banyak presentasenya yakni
133 responden (52,7%) dibanding dengan yang selalu melakukan kebiasaan
potong kuku presentasenya hanya 106 responden (44,5%).
Tahap ini dilakukan analisis hubungan kebiasaan memotong kuku dan
kejadian kecacingan yang dapat dilihat pada Tabel 15 berikut ini :
77
Tabel 15Distribusi Kejadian Kecacingan Menurut Praktik Kebiasaan
Memotong Kuku Pada Murid Sekolah Dasar Di Pulau Barrang LompoKota Makassar Tahun 2013
KebiasaanMemotong Kuku
Kejadian KecacinganTotal
PValue
Positif Negatifn % n % N %
Tidak SelaluSelalu
12853
96,250,0
553
3,850,0
133106
100100 0,000
Total 181 75,7 58 24,3 239 100Sumber : Data Primer, 2013
Tabel 15 di atas menunjukkan bahwa 181 responden yang positif
kecacingan presentase tertinggi berasal dari responden yang memiliki
kebiasaan tidak selalu memotong kuku yakni 128 (70,7%). Sedangkan dari
58 responden yang negatif kecacingan presentase tertinggi berasal dari
responden yang memiliki kebiasaan selalu memotong kuku yakni 53
(91,4%).
Hasil uji statistik dengan uji Chi-Square dan dipertegas dengan Yate’s
Corecction diperoleh p value = 0,000 lebih kecil dari nilai α = 0,05.
Sehingga hipotesis nol (Ho) ditolak dan hipotesis alternative (Ha) diterima,
ini berarti bahwa ada hubungan antara kebiasaan memotong kuku dengan
kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau Barrang Lompo.
e. Hubungan Kebiasaan Buang Air Besar (BAB) Pada Tempatnya
Terhadap Kejadian Kecacingan
Dalam penelitian ini kebiasaan BAB pada tempatnya adalah kebiasaan
responden melakukan BAB pada tempat BAB yang memenuhi syarat
78
kesehatan yakni jamban yang digunakan berada dalam kondisis bersih,
tersedianya air bersih, dan jarak septic tank ke sumber air bersih lebih dari
10 meter. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 16 berikut ini :
Tabel 16Distribusi Responden Berdasarkan Praktik Kebiasaan BAB di
Tempatnya Pada Murid Sekolah Dasar di Pulau Barrang LompoKota Makassar Tahun 2013
Kebiasaan BAB Pada
TempatnyaJumlah (n) Persen (%)
Selalu BAB Pada Tempatnya
Tidak Selalu BAB Pada Tempatnya
60
179
25,1
74,9
Total 239 100
Sumber : Data Primer, 2013
Tabel 16 menunjukkan bahwa dari 239 responden, presentase tertinggi
berasal dari responden yang memiliki kebiasaan tidak selalu BAB pada
tempatnya yakni 179 (74,9%) dibanding responden yang memiliki kebiasaan
selalu BAB pada tempatnya hanya 60 (25,1%).
Tahap ini dilakukan analisis hubungan kebiasaan memotong kuku dan
kejadian kecacingan yang dapat dilihat pada Tabel 17 di bawah ini :
Tabel 17Distribusi Kejadian Kecacingan Menurut Kebiasaan BAB Pada
Tempatnya Pada Murid Sekolah Dasar Di Pulau Barrang Lompo KotaMakassar Tahun 2013
Kebiasaan BAB PadaTempatnya
Kejadian KecacinganTotal
PValue
Positif Negatifn % n % n %
Tidak Selalu BABSelalu BAB
14833
82,755,0
3127
17,345,5
17960
100100 0,000
Total 181 75,7 58 24,3 239 100Sumber : Data Primer, 2013
79
Tabel 17 di atas menunjukkan bahwa 181 responden yang positif
kecacingan presentase tertinggi berasal dari responden yang memiliki
kebiasaan tidak selalu BAB pada tempatnya yakni 148 (81,8%). Sedangkan
dari 58 responden yang negatif kecacingan presentase tertinggi berasal dari
responden yang memiliki kebiasaan tidak selalu BAB pada tempatnya yakni
31 (53,4%).
Hasil uji statistik dengan uji Chi-Square dan dipertegas dengan Yate’s
Corecction diperoleh p value = 0,000 lebih kecil dari nilai α = 0,05.
Sehingga hipotesis nol (Ho) ditolak dan hipotesis alternative (Ha) diterima,
ini berarti bahwa ada hubungan antara kebiasaan BAB pada tempatnya
dengan kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau Barrang
Lompo.
B. Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengetahui hubungan
faktor praktik hygiene perorangan terhadap kejadian kecacingan pada murid
sekolah dasar di Pulau Barrang Lompo.
Pemeriksaan feses pada penelitian ini berjumlah 249 sampel, namun
terdapat 10 orang yang di drop out akibat dari fesesnya tidak bisa
diidentifikasi karena banyaknya terdapat mineral-mineral pasir yang
menghalangi pembacaan hasil pada mikroskop. Jadi hasil pemeriksaan feses
di laboratorium berjumlah 239 sampel masing-masing berasal dari SDN
Barrang Lompo berjumlah 108 orang dan SD Inp.Barrang Lompo berjumlah
80
131 orang dengan rentan umur responden dimulai dari umur 5 tahun sampai
dengan umur 15 tahun dengan jumlah responden terbanyak berasal dari umur
9 tahun yang berjumlah 43 orang (18%).
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan pada Tabel 8
perbandingan jumlah murid yang positif terinfeksi kecacingan ini lebih
banyak yakni 181 orang (75,7%) dimana yang berjenis kelamin laki-laki
jumlahnya tertinggi terinfeksi kecacingan yakni 93 orang (51,4%) sedangkan
yang negatif terinfeksi kecacingan yakni berjumlah 58 orang (24,3%) dimana
berdasarkan jenis kelamin perempuan adalah yang tertinggi tidak terinfeksi
yakni 47 orang (70,7%) sejalan dengan penelitian Mardiana (2008) yang
mengemukakan bahwa yang terinfeksi banyak ditemukan pada laki-laki
daripada perempuan.
Semua responden ini juga berasal dari tingkatan kelas yang berbeda-
beda dari kedua sekolah tersebut yakni kelas 1 sampai dengan kelas 6 dimana
yang menjadi responden terbanyak hasil randomisasi adalah kelas 5 sebanyak
43 orang (18,4%) dari kedua sekolah di Pulau Barrang Lompo. Jika dilihat
dari tingkatan kelas dan sekolah terhadap kejadian kecacingan ini berdasarkan
Tabel 9 presentase jumlah murid yang positif terinfeksi helmithiasis ini
tertinggi dialami oleh murid di kelas 4 sebanyak 37 orang (86%) sedangkan
yang negatif terinfeksi kecacingan ini tertinggi dialami murid kelas 1
sebanyak 5 orang (13,5%)
81
Selain hasil pemeriksaan laboratorium yang menyatakan tentang
positif atau negatifnya responden terhadap kecacingan, hasil pemeriksaan juga
melihat jenis-jenis telur cacing masing-masing responden yang positif
mengalami kecacingan apakah fesesnya mengandung telur cacing
A.lumbricoides, atau T.trichuira, atau Hookworm atau bahkan mix antara
ketiga jenis telur cacing ini. Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa dari 181
responden yang positif terinfeksi kecacingan jenis telur cacing yang paling
banyak menginfeksi adalah jenis telur cacing A.lumbricoides dan T.trichuira,
ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Santos (2005) bahwa intensitas
infeksi kedua jenis telur cacing ini terbesar didapatkan pada anak yang berusia
5-15 tahun dan akan menurun pada usia dewasa begitupun dengan penelitian
yang dilakukan Aswathi (2003) yang juga mengatakan anak yang berusia 5-15
tahun ini rentan terhadap telur ini karena memiliki resiko paling tinggi untuk
terjadinya manifestasi klinis dari infeksi ini akibat hygiene perorangan yang
buruk seperti jika terdapat telur kedua jenis cacing ini dalam jumlah besar
dalam usus akan mengakibatkan penderitanya mengalami malabsorpsi, diare
bahkan anemia. Dari hasil pemeriksaan juga terdapat dua responden yang
dalam fesesnya terdapat mix antara ketiga jenis telur cacing, ini justru akan
membahayakan si penderita karena akan semakin cepat mengalami anemia
bahkan kekurangan gisi akibat diisap oleh cacing-cacing ini
Sedangkan jenis telur cacing yang paling sedikit adalah jenis
Hookworm yang hanya menginfeksi 8 orang (3,3%) responden yang positif
82
terinfeksi, jumlah jenis telur cacing ini dikatakan sedikit melihat daur hidup
dari jenis ini membutuhkan kondisi tanah yang lembab dan berhumus
sedangkan kondisi tanah di Pulau Barrang Lompo berpasir. Selain faktor itu,
jenis cacing ini hanya menginfeksi seseorang dengan intensitas maksimum
antara usia 20-25 tahun namun juga bisa menginfeksi usia sekolah dasar
dalam jumlah telur yang sedikit jika anak-anak malas memakai alas kaki
keluar rumah (Supriastuti, 2006).
Hal ini juga didukung oleh penelitian Paula dkk (1999) bahwa
Hookworm menginfeksi 18 orang (40,3%) dengan rentan usia antara 17-68.
Meskipun jenis Hookworm ini hanya menginfeksi sedikit responden, namun
dari ketiga jenis cacing tersebut yang memiliki tingkat bahaya dalam tubuh
paling tinggi dari jenis ini karena cacing ini menginfeksi manusia dengan cara
larva infektifnya yang menembus kulit dan melewati setiap rongga di dalam
tubuh dan tidak hanya hidup di dalam usus halus saja melainkan setia pdaur
hidupnya mulai dari larva hingga menjadi dewasa akan berkembang mulai
dari permukaan tubuh hingga mencapai paru-paru, sehingga kebanyakan
akibat yang disebabkannya adalah selain anemia defisiensi zat besi juga
kurangnya hemoglobin dalam darah akibat dari zat oksigen yang diisap oleh
cacing ini, serta kehilangan protein secara kronik namun khusus pada anak
sekolah dasar akan mengakibatkan malnutrisi, penurunan tingkat kecerdasan
bahkan membuat lesu ketika menerima pelajaran (Mardiana, 2010).
83
Banyaknya responden yang terinfeksi kecacingan ini disebabkan oleh
faktor praktik hygiene perorangan yang buruk, ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Basuki (2000) yang menemukan bahwa yang terinfeksi
cacingan lebih besar akibat dari kondisi sanitasi lingkungan dan praktik
hygiene perorangan yang buruk. Maka dari itu seseorang harus
memperhatikan praktik hygiene untuk mencegah terjadinya infeksi ini karena
ini termasuk dalam pencegahan primer yang spesifik untuk meminimalisir
pintu masuk (port of entry) organisme-organisme pathogen yang ada dimana-
mana.
Adapun faktor praktik hygiene perorangan dalam penelitian di Pulau
Barrang Lompo ini adalah yang berhubungan dengan kebiasaan cuci tangan
pakai sabun (CTPS), kebiasaan memakai alas kaki pada saat keluar rumah,
kebiasaan memotong kuku, dan kebiasaan buang air besar (BAB) pada
tempatnya serta pembahasannya berdasarkan analisis hubungan dengan
kejadian kecacingan selengkapnya berikut ini :
1. Kebiasaan Mencuci Tangan Pakai Sabun (CTPS)
Masih banyaknya anak-anak usia sekolah dasar yang terinfeksi
kecacingan meskipun telah melakukan kebiasaan mencuci tangan namun
tanpa menggunakan air bersih yang mengalir dan sabun, mengakibatkan
masih banyaknya organisme-organisme pathogen yang melekat pada
tangan. Analisis menyatakan dari 239 responden yang cuci tangan
menggunakan air bersih dari yang ditampung adalah 179 orang (75%),
84
sedangkan yang memakai sabun pada presentasenya hanya 74 orang
(31,9%).
Sebagian dari mereka juga tidak memperhatikan waktu-waktu yang
seharusnya mereka harus melakukan kebiasaan cuci tangan. Cuci tangan
memakai sabun dan air mengalir pada 5 waktu CTPS yakni sebelum
makan, setelah bermain, setelah BAB, setelah menyentuh hewan, dan
sebelum menjamah bahan makanan adalah cuci tangan yang baik dan sehat
yang harus diperhatikan oleh semua orang terutama masa usia sekolah
dasar. Jika dihubungkan antara kebiasaan CTPS dengan kejadian
kecacingan ini, hasil penelitian terlihat bahwa dari 181 yang positif
terinfeksi kecacingan 100% tidak selalu melakukan CTPS, sedangkan dari
58 yang negatif terinfeksi hanya 9 orang (15,5%) yang selalu melakukan
CTPS (Tabel 11).
Hasil uji statistik menujukkan bahwa ada hubungan antara kebiasaan
CTPS dengan kejadian kecacingan, hasil penelitian ini juga sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Marhadi (2004) yang menemukan bahwa
ada hubungan bermakna antara kebiasaan CTPS dengan kejadian
kecacingan pada anak SD Purnakang di Tanralili Maros.
Tangan hendaknya selalu dibersihkan sebelum melakukan kegiatan
apapun dengan air bersih yang mengalir dan sabun karena cara tersebut
akan menghidarkan terjadinya kontaminasi segala sesuatu di luar tubuh
untuk masuk ke dalam tubuh.
85
2. Kebiasaan Memakai Alas Kaki
Pemeliharaan dan perawatan kaki dengan cara memakai alas kaki
pada saat keluar rumah adalah salah satu hal yang sangat penting agar tidak
menjadi tempat masuknya dan melekatnya organisme-organisme di luar
tubuh terutama melekatnya telur-telur cacing yang berada di tanah yang
akan menembus kulit yang tidak terlindung karena tidak memakai alas
kaki, namun jika membiasakan diri memakai alas kaki kemanapun jika
keluar rumah maka kaki tidak akan kotak langsung dengan tanah sehingga
terhindar dari infeksi kecacingan.
Kebiasaan memakai alas kaki pada saat keluar rumah yang
dimaksudkan adalah kebiasaan responden memakai sepatu dan atau sandal
ketika keluar bermain dan ke sekolah, Dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa 100 % responden memakai alas kaki jenis sepatu dan sandal.
Jika dilihat dari hasil analisis pada Tabel 13 antara kebiasaan
memakai alas kaki pada saat keluar rumah yang ditunjukkan, presentase
murid yang positif terinfeksi kecacingan dialami oleh yang memiliki
kebiasaan tidak selalu memakai alas kaki pada saat keluar rumah adalah
yang tertinggi yakni 169 (93,4%) sedangkan yang negatif terinfeksi
kecacingan presentase tertinggi adalah yang memiliki kebiasaan selalu
memakai alas kaki pada saat keluar rumah yakni 55 (94,8%).
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara
kebiasaan memakai alas kaki pada saat keluar rumah dengan kejadian
86
kecacingan ,hal ini disebabkan oleh karena responden hanya memakai alas
kaki pada saat ke sekolah sedangkan pada saat bermain tidak. Hasil uji ini
juga didukung oleh penelitian Fausiah (2006) yang menunjukkan ada
hubungan antara kebiasaan memakai alas kaki pada saat keluar rumah
dengan kejadian kecacingan pada pemulung di TPA Antang Makassar.
3. Kebiasaan Memotong Kuku
Praktik kebiasaan memotong kuku pada penelitian ini dinyatakan
sebagai salah satu perawatan dan pemeliharaan kuku dengan cara
memotong kuku sekali seminggu dan atau dua kali seminggu secara rutin.
Kebersihan kuku adalah salah satu hal yang harus diperhatikan untuk
pencegahan kejadian kecacingan karena kuku yang panjang dan kotor
terdapat banyak mikroorganisme yang menyebabkan penyebaran penyakit
termasuk cacing. Menurut Mardiana dkk (2000) salah satu cara penularan
cacing usus adalah melalui kuku yang tercemar oleh telur cacing infektif
terutama pada anak usia sekolah dasar.
Dari hasil penelitian yang ada dilihat pada murid sekolah dasar di
Pulau Barrang Lompo yang positif terinfeksi kecacingan dari 179 yang
kondisi kukunya kotor presentasenya tertinggi yakni 176 (97,2%),
sedangkan yang negatif terinfeksi kecacingan dari 60 yang kondisi
kukunya bersih yakni 55 (94,8%). Penelitian ini juga sama dengan hasil
penelitian Fausiah (2006) yang menemukan bahwa kondisi kuku kotor
lebih banyak terinfeksi kecacingan dibading yang kondisi kukunya bersih.
87
Jika dilihat dari kebiasaan memotong kuku terhadap kejadian
kecacingan ini ditunjukkan pada Tabel 15 yang menyatakan bahwa yang
positif terinfeksi presentase tertinggi berasal dari 133 responden yang tidak
selalu memotong kuku yakni 128 (70,7%) sedangkan yang negatif
terinfeksi presentase tertinggi berasal dari 106 responden yang selalu
memotong kuku yakni 53 (91,4%). Ini tentunya disebabkan oleh frekuensi
memotong kuku responden paling banyak yang tidak dilakukan secara rutin
yakni dua kali sebulan, sekali sebulan, bahkan tiga kali dalam sebulan
sesuai Tabel 15.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara
kebiasaan memotong kuku dengan kejadian kecacingan, penelitian ini juga
didukung oleh penelitian Misbah (2003) yang mengatakan bahwa ada
hubungan bermakna antara kebiasaan memotong kuku dengan kejadian
kecacingan.
4. Kebiasaan Buang Air Besar (BAB) Pada Tempatnya
Kebiasaan BAB dalam hal ini yang dimaksudkan adalah responden
selalu melakukan BAB pada tempatnya yang memenuhi syarat kesehatan.
Tempat pembuangan BAB yang memenuhi syarat kesehatan yakni jamban
berada dalam kondisi bersih, tersedianya air bersih dan jarak septic tank
lebih dari 10 meter.
Menurut Soemirat (2000) feses memegang peranan yang sangat
penting sebagai jalur utama pada transmisi penyebaran penyakit baik
88
menular maupun tidak menular seperti kecacingan yang dapat ditularkan
melalui tanah akibat dari aktifitas BAB sembarangan.
Hasil penelitian pada menunjukkan bahwa semua responden
melakukan BAB di jamban rumah sendiri namun tempat BAB yang tidak
memenuhi syarat kesehatan lebih banyak yakni 179 (74,9%) dan positif
terinfeksi kecacingan sebanyak 148 (81,8%), sedangkan yang BAB pada
tempat yang memenuhi syarat kesehatan hanya 60 (25,1%) dengan
presentase terbanyak negatif terinfeksi kecacingan yakni 27 (46,6%).
Jika dilihat Tabel 17 mengenai hubungan antara kebiasaan BAB pada
tempatnya terhadap kejadian kecacingan, uji statistik menunjukkan bahwa
ada hubungan antara kebiasaan BAB pada tempatnya terhadap kejadian
kecacingan, hal ini juga didukung oleh penelitian Sumanto (2010) yang
menyatakan bahwa kebiasaan BAB pada tempatnya berhubungan sangat
signifikan dengan kejadian kecacingan.
Kecacingan ini akan berdampak pada pertumbuhan anak dan juga
berdampak pada peningkatan prestasi belajar siswa di sekolah khususnya di
Pulau Barrang Lompo. Oleh karena itu kejadian maupun penularan ini
harus dapat dicegah dengan melakukan praktik hygiene perorangan
meliputi kebiasaan CTPS, kebiasaan memakai alas kaki, kebiasaan
memotong kuku dan kebiasaan BAB pada tempatnya.
89
C. Keterbatasan Penelitian
Dalam pelaksanan penelitian ini tidak terlepas dari hambatan dan
keterbatasan-keterbatasan yang terjadi serta kemungkinan terjadinya bias yang
tidak dapat dihindari walaupun telah diupayakan untuk mengatasinya. Namun
peneliti menyadari jika kurangnya pengalaman dalam penelitian, hasilnya
tentu juga kurang sempurna dan masih memiliki kekurangan.
Keterbatasan tersebut diantaranya adalah :
1. Instrumen kuesioner yang digunakan ini belum distandarisasi sehingga
berpengaruh pada validitas data.
2. Adanya murid yang berhenti sekolah dan tidak hadir pada saat peneliti ke
sekolah sehingga mengakibatkan randomisasi awal urutan jumlah sampel
diubah kembali dengan randomisasi ulang urutan sampel.
90
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisis faktor praktik hygiene
dengan kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau Barrang
Lompo Kota Makassar, maka diperoleh keseimpulan sebagai berikut :
1. Jumlah responden yang positif mengalami kecacingan sebanyak 181 (75,7%)
sedangkan yang negatif mengalami kecacingan 58 (24,3%) pada murid
sekolah dasar di Pulau Barrang Lompo Kota Makassar.
2. Kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau Barrang Lompo
Kota Makassar lebih banyak berjenis kelamin laki-laki yakni 93 (84,5%)
3. Kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau Barrang Lompo
Kota Makassar paling banyak pada kelas 4 sebanyak 37 (86%)
4. Kebiasaan mencuci tangan pakai sabun (CTPS) merupakan faktor risiko
tinggi terhadap kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau
Barrang Lompo Kota Makassar.
5. Kebiasaan memakai alas kaki merupakan faktor risiko tinggi terhadap
kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau Barrang Lompo
Kota Makassar.
91
6. Kebiasaan memotong kuku merupakan faktor risiko tinggi terhadap kejadian
kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau Barrang Lompo Kota
Makassar.
7. Kebiasaan buang air besar (BAB) pada tempatnya merupakan faktor risiko
tinggi terhadap kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau
Barrang Lompo Kota Makassar.
B. Saran
Setelah melakukan penelitian tentang analisis faktor praktik hygiene
perorangan terhadap kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar di Pulau
Barrang Lompo Kota Makassar, maka dikemukakan beberapa saran yakni :
1. Bagi petugas kesehatan setempat, sebaiknya sering dilakukan penyuluhan
mengenai perilaku hidup bersih kepada murid sekolah dasar terutama
mengenai praktik kebiasaannya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Perlu adanya kerjasama antara pihak sekolah maupun pihak petugas
kesehatan setempat dalam melakukan pemeriksaan kecacingan.
3. Perlu adanya kerjasama pihak petugas kesehatan setempat dalam
memberikan bimbingan kepada orang tua mengenai perbaikan PHBS dan
sanitasi lingkungan, serta pemberian obat cacing secara teratur bagi anak-
anak.
4. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai kecacingan ini pada murid
sekolah dasar di Pulau Barrang Lompo Kota Makassar mengingat penelitian
ini adalah penelitian pertama tentang kecacingan .
92
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U. 2008. Horison baru kesehatan masyarakat di Indonesia. Jakarta :Rineka Cipta.
Candra, B. 2006. Pengantar kesehatan lingkungan. Jakarta: EGC.
CDC. 2010. Parasities soil transmitted helminths. Diakses pada tanggal 13November 2012 <http://www.cdc.gov/parasites/sth/>.
Daud, A dan Anwar. 2005. Dasar-dasar kesehatan lingkungan. Makassar : CV.Healthy and sanitatation.
Depkes RI. 2006. Pedoman pengendalian cacing. Permenkes RI Nomor424/MENKES/SK/VI/2006.
Depkes RI. 2012. Profil data kesehatan Indonesia tahun 2011.Daikses tanggal 12november 2012<<http://www.depkes.go.id/downloads/PROFIL_DATA_KESEHATAN_INDONESIA_TAHUN_ 2011.pdf>>.
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan .2010. Profil kesehatan Sulawesi Selatan2009. eds. Sudarianto dkk. Makassar: Dinas Kesehatan Profinsi Sulawesi Selatan.
Entjang, I. 2001. Mikrobiologi dan parasitologi untuk akademi keperawatan.Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Fauziah. 2006. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakitAscariasis, Trichuriasis, dan Anchilostomiasis pada pemulung di TempatPembuangan Akhir (TPA) di Antang Makassar 2006. Skripsi. Fakultas KesehatanMasyarakat. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Gandahusada. 2006. Parasitologi kedokteran. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Ginting, A. 2009. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kecacingan padaanak sekolah dasar di desa tertinggal kecamatan pangururan kabupaten samosir tahun2008. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatra Utara, Medan.Diakses
93
Pada Tanggal 31 Oktober 2012<http://www.respository.usu.ac.id/cover/123456789/21538/1.pdf>.
Hendratno. 1999. Kotoran di bawah kuku dikaitkan dengan penyebaran cacing usus.Kongres Nasional VIII P41. Makassar
Irianto, K. 2009. Parasitologi berbagai penyakit yang mempengaruhi kesehatanmanusia. Bandung : Yrama widya.
Ishak, H dkk. 2012. Panduan penulisan skripsi. Makasaar : Bagian KesehatanLingkungan FKM Unhas.
Jalaluddin. 2009. Pengaruh sanitasi lingkungan, personal hygiene dan karakteristikanak terhadap infeksi kecacingan pada murid sekolah dasar di Kecamatan BlangMangat Kota Loksumawe. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Universitas Sumatra Utara,Medan.
Kasjono, HS dan Yasril. 2009. Teknik sampling untuk penelitian kesehatan. Edk. 1.Yogyakarta: Graha Ilmu
Keputusan Menteri Kesehatan No.424. Pedoman pengendalian cacing.Diakses padatanggal 31 oktober 2012<http://wwww.hukor.depkes.go.idup_prod_kepmenkes/KMK%20No.%20424%20ttg%20Pedoman%20Pengendalian%20Cacingan.pdf>
Knopp, S, et al.. 2008. Spatial distribution of soil-transmitted helminths, includingStrongyloides stercoralis, among children in Zanzibar. Geospatial Health. No. 3. Vol.1. Diakses pada tanggal 6 Desember 2012.<http://www.geospatialhealth.unina.it/articles/v3i1/gh-v3i1-06-knopp.pdf>.
Lalandos,DJ &Dyah,K. 2008.Prevalensi infeksi cacing usus yang ditularkan melaluitanah pada siswa SD GMIM LAHAI ROY MALALAYANG’,Jurnal MKM,Vol. 3no. 2. diakses pada tanggal 20 September 2012<<http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/32088691_08526974.pdf>>
Mardiana dan Djarismawati. 2008. Prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasarwajib belajar pelayanan gerakan terpadu pengentasan kemiskinan daerah kumuh diwilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan, Vol. 7 No. 2. diakses pada tanggal20 September 2012<http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%207/5.Mardiana.pdf>.
94
Marleta, R, Harijani, D dan Marwoto, A. 2005. Faktor lingkungan dalampemberantasan penyakit cacing usus di Indonesia. Jurnal ekologi kesehatan, vol. 4no. 3. diakses pada tanggal 31 Oktober 2012,<http://www.isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/4305290295_1412-4025.pdf>.
Maryanti. 2006. Hubungan perilaku pemakaian APD dan kebersihan diri dengankejadian infeksi cacing tambang. Diakses pada tanggal 10 April2013,http://[email protected]
Muhardi. 2004. Hubungan sanitasi lingkungan dan hygiene perorangan dengankejadian kecacingan pada anak usia SD di Desa Purnakang Kec. Taralili KabMaros.Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Makassar.
Mukono. HJ. 2000. Prinsip dasar kesehatan lingkungan. Surabaya: AirlanggaUniversity Press.
Notoatmojo, S. 2007. Kesehatan masyarakat : ilmu dan seni. Eds. revisi. Jakarta: PT.Rineka cipta, hal. 165-197.
Nurhaedah. 2006. Hubungan antara sanitasi lingkungan dan hygiene perorangandengan kejadian kecacingan pada murid Sekolah Dasar Al-Akhyar di PesantrenPondok Madinah Sudiang Makassar. Fakultas Kesahatan Masyarakat. UniversitasHasanuddin, Makassar.
Riyanto, A. 2011. Aplikasi metodologi penelitian kesehatan. Yogyakarta : Nuhamedika.
Samad, MA. 2012. Gambaran faktor yang berhubungan dengan penderita penyakitkusta di Pulau Barrang Lompo dan Pulau Lumu-lumu Kota Makassar. FakultasKesehatan Masyarakat. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Sofiana,L.,Sri S dan Marap I 2011,’Fingernail bitting increase the risk of soiltransmitted helminthes (STH) infection in elementary school children, Jurnal HealthScience Indonesian,vol.2,no.2,hal.81-86,<<ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/HSJI/article/view/87>>
Sumanto, D. 2010. Faktor risiko infeksi cacing tambang pada anak sekolah (studikasus control di Desa Rejosari, Karangawen, Demak. Tesis. Program studiEpidemiologi Pascasarjana. Universitas Diponegoro. diakses pada tanggal 15Oktober 2012, <http://www.eprints.undip.ac.id/23985/1/DIDIK_SUMANTO.pdf>.
95
Sumanto, D. 2012. Uji paparan cacing tambang pada tanah halaman rumah (studipopulasi di RT. 05 RW. III Rimbulor Desa Rejosari, Karangawen, Demak. Seminarhasil-hasil penelitian, LPPM Unimus. diakses pada tanggal 19 Oktober 2012,<http://www//.jurnal.unimus.ac.id/index.php/psn12012010/article/view/518/567>.
Supriastuti. 2006. Infeksi soil transmitted helminth : ascariasis, trichuriasis dancacing tambang. Universa medicina. vol. 25 No. 2. diakses pada tanggal 19 Oktober2012 <http://www.univmed.org/wp-content/uploads/201204/Tutik.pdf>.Waluyo, L. 2009. Mikro-biologi ingkungan. Edk. 2. Malang : UMM Press.
WHO, 2002. Prevention control of Schistosomiasis and Soil transmittedhelminthiasis. Geneva : Word Health Organization.
WHO. 2005. Deworming for health and development.Diakses pada tanggal 31Oktober 2012 <<http://whqlibdoc.who.int/hq/2005/WHO_CDS_CPE_PVC_2005.14.pdf>>
WHO. 2012. Soil transmitted helminths. Word Health Organisation. Diakses padatanggal 31 Okotober 2012 <http://www.who.int/intestinal_worms/en/>.
96
DOKUMENTASI
Pembagian Pot tinja di sekolah Wawancara responden
Kebiasaan main tidak menggunakanalas kaki
Kuku responden
97
Alat dan bahan pemeriksaan tinja Pembuatan preparat
Sampel tinjaTampilan mikroskopik sampel
positif
98