HAK POLITIK MANTAN KORUPTOR DALAM PANDANGAN …repository.radenintan.ac.id/7920/1/SKRIPSI.pdf5....
Transcript of HAK POLITIK MANTAN KORUPTOR DALAM PANDANGAN …repository.radenintan.ac.id/7920/1/SKRIPSI.pdf5....
HAK POLITIK MANTAN KORUPTOR DALAM PANDANGAN
HUKUM ISLAM DAN KONSTITUSI
(Studi tentang Putusan MA No. 46P/Hum/2018)
SKRIPSI
Skripsi Digunakan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Dalam Ilmu Syariah
Oleh:
ADI SAPUTRA
NPM : 1521020003
Program Studi : Siyasah Syar‟iyyah (Hukum Tata Negara)
Pembimbing I : Dr.Alamsyah, S. Ag., M. Ag.
Pembiimbing II : Dr. Liky Faizal S. Sos., M.H.
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
1440 H/2019M
ABSTRAK
HAK POLITIK MANTAN KORUPTOR DALAM PANDANGAN HUKUM
ISLAM DAN KONSTITUSI
(Studi tentang Putusan MA No.46P/HUM/2018)
Oleh
Adi Saputra
Mahkamah Agung akhirnya memutuskan pengujian Peraturan Komisi
Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang mantan
narapidana korupsi untuk menjadi calon legislatif. Isi putusan Mahkamah Agung
menyatakan bahwa ketentuan ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilu. Konsekuensi yuridis dari putusan Mahkamah Agung
ini, hak politik mantan koruptor terselamatkan, dan mereka diperbolehkan untuk
mencalonkan diri sebagai calon legislatif. Namun terjadi pro dan kontra di tengah
masyarakat terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut. Statement negatif
muncul dari masyarakat yang menganggap bahwa dengan ditetapkannya putusan
tersebut, hakim Mahkamah Agung berarti memperbolehkan mantan koruptor yang
notabennya adalah sosok yang telah berkhianat kepada rakyat dan negara
sehingga menurut masyarakat mereka tidak cocok untuk diberi amanah sebagai
wakil rakyat.
Dalam Islam, hak politik sejatinya merupakan bagian instrinsik dari hak-hak
dasar yang dimiliki setiap individu. Setiap manusia memiliki hak yang sama
sesuai kapasitas dan kapabilitas masing-masing untuk mengaktualisasikan hak-
hak dasariahnya, Demikian pula, hak-hak mereka yang bersifat prinsip harus
mendapat perlindungan yang sama. Tidak ada yang dapat memasang dan
mereduksi hak-hak dasar yang melekat pada manusia, termasuk hak-hak politik
kecuali karena alasan-alasan yang dapat dipertanggung jawabkan yang mengacu
secara jelas kepada nilai-nilai etika moral kemanusiaan dan ajaran substansial
agama.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apa dasar hukum dan
pertimbangan yang digunakan Hakim Mahkamah Agung dalam putusan
Mahkamah Agung No. 46P/Hum/2018 tentang Hak politik mantan koruptor dan
Bagaimana analisis hukum islam dan konstitusi di Indonesia terhadap Putusan
Mahkamah Agung No. 46P/Hum/2018 tentang hak politik mantan koruptor.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dan memahami dasar
hukum dan pertimbangan yang digunakan dalam putusan Mahkamah Agung
tentang Hak Politik Mantan Koruptor serta untuk mengkaji pandangan Hukum
Islam dan konstitusi terhadap putusan Mahkamah Agung No. 46P/Hum/2018
tentang Hak Politik Mantan Koruptor.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research) yakni
menelaah buku-buku yang ada relevansinya dengan masalah yang akan diteliti
dan dibahas, Adapun cara yang ditempuh dengan cara membaca, mencatat, dan
mengutip serta menyusun data yang diperoleh menurut pokok bahasan.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Mahkamah Agung
dalam putusannya, pertama, berdasarkan hukum Islam Putusan Mahkamah Agung
tersebut telah sesuai karena telah melindungi hak seseorang (hak politik) dalam
hal ini adalah mantan koruptor. Kedua, putusan Mahkamah Agung membatalkan
ketentuan dalam pasal 4 ayat (3) pasal 11 ayat (1) huruf d dan pakta integritas B.3
pada frasa “korupsi” peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 karena dinilai
bertentangan dengan undang-undang dan juga menghilangkan hak politik
seseorang. Pembatalan mengakibatkan ketentuan pasal tersebut tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat. Ditambah lagi dalam hukum positif di Indonesia
rumusan peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 tersebut diatas pada frasa “korupsi”
tidak sesuai dengan syarat yang harus dipenuhi dalam pasal 240 ayat (1) huruf g
UU No. 7 Tahun 2017 Tentang pemilu.
MOTTO
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap
dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin,
maka Allah lebih tau kemaslahatannya. Maka jangnlah kamu mengikuti hawa
nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar
balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah
adalah maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakaqn. (Q.s. An-Nisaa :135)1
1Departement Agama RI, Al- Quran Tajwid dan Terjemah (Bandung, CV Penerbit
Diponegoro, 2011), h. 100.
PERSEMBAHAN
Sembah sujudku kepada Allah SWT dan shalawat serta salam tercurahkan pada
Nabi Muhammad SAW semoga kita mendapatkan syafaatnya. Ucapan terima kasihku
semua pihak yang sudah memberikan semangat dan kemudahan dalam penyusunan
skripsi ini.
Skripsi ini kupersembahkan kepada :
1. Kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda Burhanudin dan Ibunda Yuliyana,
atas ketulusan mereka dalam mendidik, membesarkan, dan
membimbing penulis dengan penuh kasih sayang, kesabaran serta
keikhlasan didalam do’a sehingga menghantarkan penulis menyelesaikan
pendidikan di UIN Raden Intan Lampung.
2. Nenekku Sofiah dan Adikku tersayang M. Nizam Dwi Saputra, serta
saudara-saudara penulis yang selalu memberi motivasi, dukungan dan
semangat yang begitu berharga kepada penulis.
3. Sahabat-sahabat seperjuanganku di UIN Raden Intan Lampung , UKMF
GEMAIS, dan Tim Pejantan Tangguh yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu yang selalu memberikan dukungan, semangat dan dorongan
semasa kuliah hingga terselesainya skripsi ini.
4. Almamaterku tercinta UIN RADEN INTAN LAMPUNG
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Adi Saputra dilahirkan di Bandarlampung, pada tanggal 14
September 1997, sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak
Burhanudin dan Ibu Yuliyana.
Penulis mengawali pendidikan formal pada tahun 2002 di Taman Kanak-kanak
(TK) Handayani Lampung dan diselesaikan tahun 2003. Pada tahun yang sama, penulis
melanjutkan pendidikan di SDN 8 Gedong Air hingga 2009. Kemudian di tahun yang
sama penulis melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 10 Bandar Lampung,
diselesaikan pada tahun 2012. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMA
Negeri 16 Bandarlampung,diselesaikan pada tahun 2015.
Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Syariah
UIN Raden Intan Lampung Program Strata 1 (satu) jurusan Siyasah dan telah
menyelesaikan skripsi dengan judul “Hak Politik Mantan Koruptor Dalam Pandangan
Hukum Islam dan Konstitusi (Studi tentang Putusan MA No.46P/Hum 2018)”
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT, Sang Maha
Pencipta semesta alam yang telah memberikan nikmat pemahaman, kesehatan, serta
hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini, dengan judul
“HAK POLITIK MANTAN KORUPTOR DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
DAN KONSTITUSI (Studi tentang Putusan MA Nomor 46P/Hum 2018” sebagai
persyaratan guna mendapatkan gelar sarjana hukum dalam Siyasah (Hukum Tata
Negara) Fakultas Syari‟ah UIN Raden Intan Lampung.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak dapat diselesaikan tanpa
adanya bimbingan, bantuan, motivasi, dan fasilitas yang diberikan. Untuk ini penulis
mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalam kepada semua pihak yang telah
membantu baik moril maupun materil sehingga terselesainya skripsi ini, rasa hormat dan
terimakasih penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Moh. Mukri, M. Ag., selaku Rektor UIN Raden Intan
Lampung.
2. Bapak Dr. Alamsyah, S.Ag., Selaku Dekan Fakultas Syari‟ah UIN Raden
Intan Lampung dan juga Pembimbing I penulis yang telah mencurahkan
perhatiannya untuk memberikan ilmu pengetahuan dan wawasan kepada
penulis.
3. Bapak Drs. Susiadi AS., M.Sos., I., selaku Ketua Jurusan dan Bapak Frenki.
M.Si., selaku Sekretaris Jurusan, serta Bapak Muhammad Irfan S.H.I., M.Sy, dan
Bapak Agus Hermanto S.H.I., M.H.I, selaku pegawai di Jurusan Siyasah Fakultas
Syari‟ah UIN Raden Intan Lampung.
4. Bapak : Dr. Liky Faizal S. Sos., M.H selaku pembimbing II, yang penuh
kesabaran memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh Dosen-dosen Syari‟ah yang telah memberikan pengarahan dan ilmu di
bangku kuliah hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Kedua orang tua ayahanda (Burhanudin) dan ibunda (Yuliyana) dan adik-
adikku tersayang, yang turut mendoakan, mensupport serta mengarahkan
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Pegawai perpustakaan pusat dan Fakultas Syari‟ah yang telah menyediakan
waktu dan fasilitas dalam rangka pengumpulan data penelitian ini.
8. Keluarga Besar UKMF GEMAIS yang telah memberi semangat dalam
menyelesaikan skripsi ini.
9. Teman baikku juga Dias Fatma Sari dan Sahabat-sahabatku angkatan 2015
Siyasah (Hukum Tata Negara), Ahmad Sobari, Alfa Ridho, Ari Sudarman,
Rahmatulloh, Teguh Budiono, Oksi Juan Firnando yang telah memberikan
motivasi kepadaku, semangat, dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Almamater UIN Raden Intan Lampung tercinta.
Semoga atas bantuan semua pihak baik yang disebutkan maupun yang tidak
disebutkan, semoga mendapatkan balasan dari Allah SWT atas kebaikannya selama ini,
semoga menjadi amal sholeh, Amin.
Akhirnya harapan penulis, semoga skripsi ini dapat mendatangkan manfaat bagi
penulis khususnya dan para pembaca yang budiman umumnya, kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.
Bandarlampung, 10 Juli 2019
Penulis
ADI SAPUTRA
NPM.1521020003
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................. i
ABSTRAK ................................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................ iv
PENGESAHAN ......................................................................... v
MOTTO ..................................................................................... vi
PERSEMBAHAN ...................................................................... vii
RIWAYAT HIDUP ................................................................... viii
KATA PENGANTAR ............................................................... ix
DAFTAR ISI .............................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul ........................................................ 1
B. Alasan Memilih Judul ............................................... 3
C. Latar Belakang Masalah ............................................ 3
D. Fokus Penelitian ........................................................ 8
E. Rumusan Masalah ..................................................... 8
F. Tujuan Penelitian ...................................................... 9
G. Signifikansi Penelitian .............................................. 9
H. Metode Penelitian...................................................... 10
BAB II KAJIAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Pengertian Hak Politik dan Macamnya ............... 13
2. Kemampuan, Syarat dan Faktor Penghapusan Hak Politik
dalam Hukum Islam
a) Pengertian Kemampuan (Ahliyah) ................ 22
b) Macam-macam Kemampuan (Ahliyah) ......... 23
c) Sebab-sebab Hilangnya Keahlian (Awarid Ahliyah) 29
3. Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam Konstitusi
a) Pengertian Konstitusi .................................... 35
b) Konstitusi di Indonesia .................................. 36
c) Pengertian , macam Hak dan Kewajiban ....... 38
d) Penyebab Hilangnya Hak-hak Warganegara . 41
B. Tinjauan Pustaka ....................................................... 51
BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG, LATAR BELAKANG, ISI
DAN ARGUMENTASI
A. Gambaran Umum Tentang Putusan Mahkamah Agung No.
46p/Hum/2018 ........................................................... 53
1. Pemohon dan Kepentingan Hukum ..................... 53
2. Tentang Pokok Perkara ....................................... 56
3. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara 57
B. Pendapat Hakim Mahkamah Agung dan Pokok Permohonan 61
C. Amar Putusan ............................................................ 65
BAB IV PEMBAHASAN DAN TEMUAN
A. Analisis dasar hukum dan pertimbangan yang digunakan Hakim
Mahkamah Agung dalam putusan Mahkamah Agung No.
46P/Hum 2018 ........................................................... 67
B. Analisis Putusan Mahkamah Agung No.46P/Hum/2018 Tentang
Hak Politik Mantan Koruptor dalam Hukum Islam dan Konstitusi
................................................................................... 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................ 77
B. Rekomendasi ............................................................. 79
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul
Sebagai kerangka awal menghilangkan kesalahpahaman pembaca dalam
skripsi ini, maka secara singkat penulis akan menguraikan istilah-istilah dari judul
ini. Adapun judul yang dibahas adalah Hak Politik Mantan Koruptor Dalam
Pandangan Hukum Islam Dan Konstitusi (Studi tentang Putusan MA Nomor
46P/Hum/2018).
Judul tersebut terdiri dari beberapa istilah pokok, yaitu sebagai berikut :
1. Hak Politik adalah hak-hak yang diperoleh seseorang dalam kapasitasnya
sebagai seorang anggota organisasi politik, seperti hak memilih dan
dipilih, mencalonkan diri dan memegang jabatan umum dalam negara.
Hak politik juga dapat didefinisikan sebagai hak-hak dimana individu
dapat memberi andil, melalui hak tersebut, dalam mengelola masalah-
masalah negara atau pemerintahannya.2
2. Mantan adalah bekas (pemangku jabatan, kedudukan, dan sebagainya).3
3. Koruptor adalah orang yang melakukan korupsi; orang yang
menyelewengkan (menggelapkan) uang negara (perusahaan, organisasi,
yayasan, dan sebagainya) tempat kerjanya.4
2 Mujar Ibnu Syarif, Hak –hak politik Non Muslim dalam Komunitas Islam, (Bandung :
Angkasa, 2005)h. 30. 3 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2008) , h 876. 4Ibid, h 73
4. Hukum Islam adalah “peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu
Allah dan rosul tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat
dibebani kewajiban).5
5. Konstitusi adalah Istilah konstitusi berasal dari bahasa inggris yaitu
“Constitution” dan berasal dari bahasa belanda “constitue” dalam bahasa
latin (contitutio,constituere) dalam bahasa prancis yaitu “constiture”
dalam bahsa jerman “vertassung” dalam ketatanegaraan RI diartikan sama
dengan Undang – undang dasar. Konstitusi adalah keseluruhan peraturan
baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat
cara suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat suatu
negara.6
Berdasarkan penjelasan-penjelasan kalimat diatas maka makna dari judul
“Hak Politik Mantan Koruptor Dalam Pandangan Hukum Islam Dan
Konstitusi (Studi tentang Putusan MA Nomor 46P/Hum/2018)” adalah hak
mantan koruptor dalam kapasitas nya sebagai seorang anggota organisasi
politik seperti hak memilih dan dipilih, mencalonkan diri dan memegang
jabatan umum untuk menjadi anggota legislatif yang merupakan penduduk
sebuah negara, dalam putusan mahkamah agung No.46P/Hum/2018 yang akan
dianalisis dalam hukum Islam dan Konstitusi.
5Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Jakarta : Rajawali Pers, 2013) h 42.
6Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2013) h 96.
B. Alasan Memilih Judul
Ada beberapa alasan yang menarik sehingga penulis terdorong untuk
membahas masalah ini dalam bentuk proposal antara lain:
1. Alasan Objektif
a. Karena terjadi pro dan kontra dalam masyarakat tentang Hak Politik
mantan koruptor pasca Putusan Mahkamah Agung
No.46P/Hum/2018 yang membolehkan mantan koruptor
mencalonkan diri sebagai legislatif.
b. Untuk mengkaji lebih dalam dan menganalisis Putusan Mahkamah
Agung No. 46P/Hum/2018.
2. Alasan subyektif
a. Pembahasan ini sangat relevan dengan disiplin ilmu pengetahuan
yang penyusun pelajari di Fakultas Syariah Jurusan Siyasah (Hukum
Tata Negara).
b. Serta tersedianya literatur yang menunjang sebagai referensi kajian
dan data dalam usaha menyelesaikan karya ilmiah ini.
C. Latar Belakang
Kepentingan yang paling mendasar dari setiap Negara adalah perlindungan
terhadap hak-haknya sebagai manusia. Hak asasi manusia merupakan konsep
kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di
seluruh penjuru dunia.7 Oleh karena itu, hak asasi manusia merupakan materi inti
dari naskah Undang-undang dasar Negara modern.
Hak-hak politik pada hakikatnya mempunyai sifat melindungi individu
terhadap penyalahgunan kekuasaaan oleh pihak penguasa. Jadi untuk
melaksanakan hak-hak politik itu sebenernya cukup dengan mengatur peranan
pemerintah melalui perundang-undangan, agar campur tangannya dalam
kehidupan warga masyarakat tidak melampaui batas-batas tertentu.8
Hak politik juga mengandaikan adanya kesempatan untuk ikut turut serta
dalam pemerintahan. Dengan demikian, tidak hanya hak tetapi juga kesempatan.
Negara harus menyediakan perangkat yang memberikan kesempatan pada warga
negaranya untuk turut serta dalam pemerintahan. Jika negara membuat aturan
yang membatasi hak politik warga negara, berarti negara telah mencederai hak
asasi warganya.9
Dalam konteks berpolitik di Indonesia, Pemilihan umum merupakan
sebuah perwujudan kedaulatan rakyat di Indonesia. Sebagai salah satu bentuk
demokrasi, pemilihan umum harus terselenggara dengan memenuhi prinsip
langsung, umum, bersih, jujur dan adil. Hal ini sesuai dengan amanat pasal 22 E
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.” Pasal 22 E ayat (5)
7Alwi Wahyudi, Ilmu Negara dan Tipologi Kepemimpinan Negara (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2014) h. 203. 8Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2009) h. 123. 9Ahmad Sukarja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam Perspektif
Fiqh Siyasah (Jakarta : Sinar Grafika, 2014) h. 201.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga telah
mengatur bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu lembaga Komisi
Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Oleh karena itu untuk
melaksanakan amanat pasal 22 E UUD 1945 tersebut Lembaga Komisi Pemilihan
Umum mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban untuk melaksanakan
pemilihan umum.10
Untuk melaksanakan pemilihan umum Lembaga Komisi Pemilihan Umum
memiliki kewenangan untuk membentuk suatu produk hukum sendiri yaitu berupa
Peraturan Komisi Pemilhan Umum sebagai peraturan pelaksana pemilihan umum
dan terbentuk dari perintah undang-undang pemilihan umum. Lembaga Komisi
Pemilihan Umum sendiri telah membentuk Peraturan Pemilihan Umum Nomor 20
Tahun 2018 yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Tetapi dalam pembentukan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20
Tahun 2018, Komisi Pemilihan Umuum dinilai telah melakukan penyimpangan
sistem norma hukum di Indonesia, sehingga diputuskan bertentangan oleh
Mahkamah Agung dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilihan Umum yang kedudukanya lebih tinggi dari pada Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018. Putusan terhadap Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 telah diputuskan oleh Mahkamah Agung
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan
Umum yang isinya “Bahwa mantan terpidana kasus korupsi dilarang untuk
mencalonkan dirinya lagi sebagai anggota legislatif pada pemilihan umum tahun
10 Pasal 22 E ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2019”, dan isi subtansi pasal 4 ayat (3) tersebut dinilai bertentangan dengan
undang-undang yang lebih tinggi yaitu pasal 240 ayat (1) huruf (g) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang menyatakan
“Bahwa bakal calon DPR, DPR Provinsi, dan DPRD Kabupten/Kota adalah warga
Negara Indonesia yang harus memenuhi syarat tidak pernah dipidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan tetap karena melakukan tindak pidana yang di
ancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan
jujur mengemukan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan narapidana.11
Berdasarkan dikeluarkannya putusan Nomor 46/P/HUM/2018 sehingga Komisi
Pemilihan Umum harus segera melaksanakan keputusan Mahkamah Agung
tersebut.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum yang melarang mantan koruptor untuk
ikut mencalonkan diri sebagai anggota legislatif juga, bertentangan dengan prinsip
Hak Asasi Manusia yang termaktub dalam Pasal 28D (3)
“setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan”.12
Berarti pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap warga negara Indonesia
mempunyai hak asasi atau mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan
perlakuan yang sama didalam dan dimata hukum, pemerintahan dan hak politik.
Yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (memilih dan dipilih)
dalam pemilihan umum, maka dari itu setiap warga negara Indonesia berhak untuk
memilih ataupun dipilih tanpa terkecuali.
11 Pasal 140 huruf (g) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
12 UUD 1945 Pasca Amandemen
Pro dan kontra terhadap putusan Mahkamah Agung muncul dari berbagai
kalangan masyarakat. Masyarakat menilai bahwa Mahkamah Agung abai terhadap
etika publik yang menghendaki input demokrasi yang bersih, keinginan publik
yang mau menyeleksi sejak awal caleg-caleg yang pernah tersangkut kasus
korupsi untuk mencegah kambuhnya praktik korupsi di legislatif. Kemudian lebih
lanjut, Peraturan KPU yang melarang mantan koruptor maju sebagai caleg
dianggap sebagai upaya menyelamatkan lembaga parlemen dari praktik-praktik
kotor seperti korupsi.
Teori tentang politik dalam Islam telah banyak dikemukakan oleh para
ulama baik di masa lampau atau pun di masa kini. Hal ini mudah dipahami, karena
masalah politik termasuk ruang lingkup ijtihad yang memungkinkan kepada para
ulama untuk mengkaji setiap masa.
Dalam hal ini al-Quran dan al- Sunnah tidak memberikan ketentuan yang
pasti mengenai politik. Dalam al-Quran tidak ditemukan konsep tentang politik
umat Islam untuk diaplikasikan pada setiap tempat dan zaman. Karena jika hal ini
ada, berarti al-Quran menghambat dinamika perkembangan umat. Adalah suatu
kebijaksanaan al-Quran untuk membiarkan hal ini dipecahkan oleh nalar manusia
sebagai suatu kemampuan dan perkembangan zaman. Kendati demikian al-Quran
memberikan prinsip-prinsip dasar bagi kehidupan bermasyarakat.
Hak politik dalam Islam adalah hak hak warga negara dalam negara Islam
dimana individu dapat ikut andil melalui hak tersebut, dalam mengelola masalah-
masalah negara atau pemerintahannya, misalnya hak untuk memilih dan dipilih,
hak untuk berkumpul dan hak berserikat (membentuk partai politik), hak untuk
mengeluarkan pendapat termasuk mengawasi dan mengkritisi pemerintah apabila
terjadi penyalahgunaan kewenangan, kekuasaan atau membuat kebijakan yang
bertentangan dengan aspirasi rakyat.13
Tidak ada perbedaan yang mendasar antar hak sesama manusia. Perbedaan
mereka dalam jenis, warna kulit, dan keturunan merupakan rahmat dari Allah,
sebab kebijaksanaan Allah telah memutuskan bahwa maksud perbedaan ini adalah
untuk saling mengenal dan saling membantu antara umat dan bangsa.
“Wahai Manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan, Kemudian Kami jadikan kamu berbangsa- bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah
Maha Mengetahui, Maha teliti.”14
Lebih lanjut tentang kemampuan seseorang untuk menerima suatu urusan
(hukum) dalam kajian ushul fiqh disebut dengan Ahliyah. Adapun ketika ahliyah
nya itu terganggu atau rusak (Awaridh Ahliyah) akan ada hukumannya bagi
seseorang yang sudah bisa dibebankan hukum. Dan hukuman atau sanksi yang
13 Mujar Ibnu Syarif, Op. Cit, h. 51. 14
Departement Agama RI, Op.Cit, h. 517.
diberikan adalah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Walaupun itu sampai
kepada hukuman tambahan yaitu penghilangan hak politik seseorang. Tapi dalam
ajarannya, Islam sangat menjaga dan melindungi hak asasi manusia yang salah
satunya hak politik.
D. Fokus Penelitian
Fokus penelitian pada penelitian ini adalah dasar dan pertimbangan
Mahkamah Agung dalam menetapkan putusan. Kemudian pandangan Hukum
Islam dan konstitusi terhadap putusan Mahkamah Agung tentang hak politik
mantan koruptor untuk dapat mencalonkan diri sebagai calon legislatif dalam
kontestasi Pemilu.
E. Rumusan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam skripsi ini, maka diberikan rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Apa dasar hukum dan pertimbangan yang digunakan Hakim Mahkamah
Agung dalam putusan Mahkamah Agung No. 46p/Hum/2018 tentang Hak
Politik Mantan Koruptor untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif?
2. Bagaimana analisis Hukum Islam dan konstitusi terhadap putusan
Mahkamah Agung No. 46p/Hum/2018 tentang Hak Politik Mantan
Koruptor untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif ?
F. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengkaji dan memahami dasar hukum dan pertimbangan yang
digunakan dalam putusan Mahkamah Agung tentang Hak Politik Mantan
Koruptor.
2. Untuk mengkaji pandangan Hukum Islam dan konstitusi terhadap putusan
Mahkamah Agung No. 46p/Hum/2018 tentang Hak Politik Mantan
Koruptor.
G. Signifikansi dan Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis (Keilmuan)
Pembahasan terhadap permasalahan-permasalahan sebagaimana
diuraikan diatas, diharapkan sebagai sumbangan ilmu pengetahuan kepada
pembaca mengenai hak bekas koruptor dalam pandangan hukum Islam dan
Konstitusi Indonesia studi tentang Putusan Mahkamah Agung Nomor
46p/Hum/2018.
2. Secara Praktis (bagi masyarakat)
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfarat bagi semua kalangan
masyarakat karena terjadi nya kesimpang siuran informasi terkait putusan
Mahkamah Agung ini, dan juga terutama setiap orang yg ingin memperdalam
Ilmu Hukum Tata Negara di Perguruan Tinggi Fakultas Hukum. maupun
Fakultas Syariah.
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian
a. Dilihat dari jenisnya, penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan
(library research) yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan
membaca buku, literatur dan menelaah dari berbagai macam teori
dan pendapat yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang
diteliti.15
Dalam hal ini penulis membaca dan mengambil teori-teori
dari buku yang berkaitan dengan masalah Hak Politik dan
menetapkan hukum dan menyimpulkan hasil penelitian dari berbagai
macam buku tersebut.
b. Dilihat dari sifatnya, penelitian ini termasuk penelitian hukum
yuridis normatif. Adapun bentuk penelitian yuridis normatif adalah
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka. Penelitian ini dilakukan atau diajukan hanya pada
peraturan-peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum
lainnya.
2. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data yang
diperoleh dengan cara studi kepustakaan. Data sekunder terdiri dari bahan
hukum primer, sekunder dan tersier.
a. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat.
Dalam penelitian ini bahan hukum primer adalah amandemen nash
15
Ranny Kautur, Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi (Bandung : Taruna Grafika
2000) h. 38
Al-Qur‟an, as-Sunnah, dan ilmu Fiqh Siyasah Undang-undang Dasar
1945, putusan Mahkamah Agung nomor 46p/hum/2018.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan primer. Dalam penelitian ini bahan hukum
sekunder terdiri dari buku-buku, skripsi, media masa, dan
sebagainya.16
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum sekunder.
3. Metode Pengumpulan Data
a. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara
mengumpulkan berbagai data yang terdapat dalam buku-buku
literatur, makalah, artikel ilmiah, karya-karya ilmiah, dan peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan objek yang akan
diteliti.
b. Dokumentasi adalah untuk mencari data mengenai hal-hal untuk
variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah dan
sebagainya. Dalam penelitian ini penulis mencari data mengenai
putusan Mahkamah Agung No. 46p/Hum/2018, dokumen yang
berkaitan dengan permasalahan.
4. Teknik Pengolahan Data
Secara umum pengolahan data setelah data terkumpul dapat dilakukan:
16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta : Universitas Indonesia, UI-
Press, 2007), h. 52.
a. Pemeriksaan data (editing) yaitu memeriksa ulang kesuaian dengan
permasalahan yang akan diteliti setelah data tersebut terkumpul.
b. Penandaan data (coding) yaitu memberi catatan data yang
menyatakan jenis dan sumber data baik itu sumber al-Quran dan as-
Sunnah.
c. Rekonstruksi data yaitu menyusun ulang secara beratur berurutan
logis, sehingga mudah dipahami sesuai dengan permasalahan
kemudian ditarik kesimpulan sebagai tahap akhir dari proses
penelitian.
5. Metode Analisis Data
Untuk menganalisa data dilakukan secara kualitatif komparatif dengan
pendekatan kualitatif. Penelitian Komparatif adalah penelitian yang
membandingkan keberadaan satu variabel atau lebih pada dua atau lebih
sampel yang berbeda.17
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode kualitatif dengan
pendekatan komparatif yaitu menggambarkan permasalahan peristiwa melalui
Putusan Mahkamah Agung maupun sumber data lainnya yang ada kaitannya
dengan hukum Islam dan Konstitusi.
17
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek (Jakarta: Sinar Grafika,2002), h.
77.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Pengertian Hak Politik Macamnya
Kata hak politik terdiri dari dua kata yaitu hak dan politik. Dalam
kamus besar bahasa indonesia kata hak berarti benar, milik, kewenangan,
kekuasaan, untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan oleh undang-undang
untuk menuntut sesuatu dan hak juga berarti derajat atau martabat.18
Sedangkan kata politik, dalam bahasa Arab disebut Siyasah berasal dari
perkataan bahasa Yunani Purba yaitu “polis”. Polis adalah kota yang dianggap
negara yang terdapat dalam kebudayaan Yunani Purba, yang pada saat itu kota
dianggap identik dengan negara. Dengan demikian, “polis” “Kata ini terambil
dari kata latin politicus dan bahasa yunani politicos yang berarti relating to
citizen.19
Kedua kata tersebut juga berasal dari kata polis yang bermakna “city”
yang berarti kota, politic kemudian diserap kedalam Bahasa Indonesia dengan
arti, yaitu: segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya).
Mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat
atau kelicikan dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin
pengetahuan, yaitu ilmu politik.20
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia politik diartikan sebagai ilmu
18
Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit , h. 474. 19 Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), h. 23. 20
Abd Muin Salim, Fiqh Siyasah, : Konsepsi Kekuatan Politik dalam Al-Quran (Jakarta :
PT Raja Grafindo, 1995, Cet II) h. 34.
pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, segala urusan dan
tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara
atau terhadap negara lain, kebijakan cara bertindak dalam menghadapi atau
menangani suatu masalah.21
Politik merupakan kata kolektif yang mempunyai pemikiran-pemikiran
yang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan. Pada umumnya dapat dikatakan
bahwa politik (politics) adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan
yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa
masyarakat kearah kehidupan bersama yang harmonis.22
Menurut Miriam Budiardjo, politik adalah bermacam-macam kegiatan
dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses menentukan
tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Selanjutnya
sebagai suatu sistem politik adalah suatu konsepsi yang berisikan ketentuan-
ketentuan siapa sumber kekuasaan negara,siapa pelaksana kekuasaan tersebut,
apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan serta kepada siapa
kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan, kepada siapa pelaksana
kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya.23
Pada dasarnya politik mempunyai ruang lingkup negara, membicarakan
politik pada dasarnya membicarakan negara, karena teori politik menyelidiki
negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi hidup masyarakat, jadi
negara dalam keadaan bergerak. Selain itu politik juga menyelidiki ide-ide,
21
Tim Penyusun Kamus Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, Balai Pustaka, 2000), h. 292. 22
Miriam Budiardjo, Op.Cit , h. 14. 23
Ibid. h. 13.
azas-azas sejarah pembentukan negara, hakekat negara serta bentuk dan tujuan
negara.24
Politik adalah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat
dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan
mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia. Mengacu pada
pengertian tersebut politik yang berasal dari kata polis yang berarti negara bisa
yang baik, karenanya setiap negara harus memiliki suatu aturan main yang
disebut undang-undang juga diartikan sebagai bentuk kumpulan yang sengaja
dibentuk untuk mendapatkan suatu atau hukum, pemegang otoritas hukum
yang kemudian disebut sebagai politicos atau raja, dan yang melaksanakan
aturan pemerintahan dalam hal ini semua lapisan masyarakat yang mengakui
kekuasaan seorang pemimpin.
Dari penjelasan diatas, secara garis besar hak politik dapat diartikan
sebagai suatu kebebasan dalam menentukan pilihan yang tidak dapat diganggu
atau diambil oleh siapapun dalam kehidupan bermasyarakat disuatu negara.
Menurut para ahli hukum hak politik adalah hak yang dimiliki dan diperoleh
seseorang dalam kapasitasnya sebagai anggota organisasi (negara), seperti hak
memilih dan dipilih, mencalonkan diri dan memegang jabatan umum dalam
negara.25
Hak politik itu adalah hak dimana individu memberi andil melalui
hak tersebut dalam mengelola masalah-masalah negara atau memerintahnya.
Hak politik merupakan hak asasi setiap warga negara untuk berkumpul dan
24 Ibid. h.17. 25
A.M.Saefuddin, Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim (Jakarta, gema insani press, 1996)
cet 1, h.17.
berserikat (membentuk partai) dan hak untuk mengeluarkan pendapat termasuk
mengawasi dan dan mengkritisi pemerintah apabila terjadi penyalahgunaan
kewenangan kekuasaan atau membuat kebijakan yang bertentangan dengan
aspirasi rakyat.
Pemilu adalah sebuah mekanisme politik untuk mengartikulasikan
aspirasi dan kepentingan warga negara. Hak politik digunakan dalam
pelaksanaan pemilu baik dari pemilih maupun yang dipilih. Setidaknya ada
empat fungsi Pemilu yang terpenting: legistimasi politik, terciptanya
perwakilan politik, sirkulasi elite politik, dan pendidikan politik. Melalui
Pemilu, legistimasi pemerintah/penguasa dikukuhkan karena ia adalah hasil
pilihan warga negara yang memiliki kedaulatan. Keberadaan serta kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah akan memperoleh dukungan dan sanksi yang kuat
karena keduanya berlandaskan sepenuhnya pada aspirasi rakyat dan bukan
karena pemaksaan dari atas. Selanjutnya melalui pemilu seleksi kepemimpinan
dan perwakilan rakyat dilakukan secara lebih fair karena keterlibatan warga
negara.
Macam-macam hak politik warga negara Indonesia dibidang politik
,yaitu:
1. Hak untuk dipilih menjadi anggota eksekutif dan legislatif
2. Hak untuk memilih anggota eksekutif dan legislatif
3. Hak untuk mempunyai kebebasan ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
4. Hak untuk mendirikan partai politik
5. Hak untuk membuat organisasi-organisasi pada bidang politik
6. Hak untuk menyampaikan pendapat yang berupa usulan petisi
Adapun pada tahun 1986 silam, muncul konsep hak asasi manusia yang
baru, yaitu mengenai hak untuk pembangunan atau right to development.
Hak/atau untuk pembangunan ini mencangkup persamaan hak atau kesempatan
untuk maju yang berlaku bagi segala bangsa, dan termasuk hak setiap orang
yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa tersebut.26
Yang termasuk
hak-hak asasi manusia antara lain:
1. Hak untuk menentukan nasib sendiri
2. Hak untuk hidup
3. Hak untuk tidak dihukum mati
4. Hak untuk tidak disiksa
5. Hak untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang
6. Hak untuk peradilan yang adil, independen, dan tidak berpihak
7. Hak untuk berekpresi atau menyampaikan pendapat
8. Hak untuk berkumpul dan berserikat
9. Hak untuk mendapatkan persamaan perlakuan di depan hukum
10. Hak untuk memilih dan dipilih
Dalam Islam, Politik atau siyâsah mempunyai makna mengatur
urursan umat, baik secara dalam maupun luar negeri. Politik dilaksanakan baik
26
Mohammad Ryan Bakry, Implementasi Hak Asasi Manusia Dalam Konsep Good
governance Di Indonesia, (Jakarta: Erlangga: 2010), h. 26.
oleh negara (pemerintah) maupun umat (rakyat), negara adalah institusi yang
mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat atau rakyat
mengoreksi (muhasabah) pemerintah dalam melakukan tugasnya.
Persamaan hak antara manusia seluruhnya tampak pada dalil nash al-
quran berikut:
1. Satu dalam taklif (pembebanan). Allah SWT memerintahkan kepada
manusia dengan taklif yang sama, sebab mereka semuanya sama dalam
kesiapan untuk menerima taklif itu. Sedangkan dasarnya adalah akidah
tauhid yang dibawa oleh para rasul-Nya dan terkandung dalam Qs. An-
Nisa:165 yaitu:
“(mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah
Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”.27
2. Satu dalam asal. Manusia sama pada asal kejadian yang terkandung
dalam Qs.An-Nisa:1 yaitu
27 Departemen Agama RI , Op. Cit, h. 104.
"
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptaka
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.”28
Persamaan antara manusia dalam dua dasar ini menuntut tidak
menjadikan perbedaan mereka dalam jenis, warna kulit, dan keturunan sebagai
tolak ukur keutamaan atau permusuhan, sebab kebijaksanaan Allah telah
memutuskan bahwa maksud perbedaan ini adalah untuk saling mengenal dan
saling membantu antara umat dan bangsa. Allah SWT berfirman dalam Qs. Al-
Hujurat:13 yaitu:
“Wahai Manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan, Kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-
28
Ibid, h. 77.
bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh
Allah Maha Mengetahui, Maha teliti.”29
Allah menjadikan takwa kepada-Nya sebagai tolak ukur keutamaan
atau kemuliaan di sisi-Nya. Di antara sikap takwa kepada-Nya adalah berbuat
baik dan berlaku adil di antara manusia. Oleh karena itu, tidak bertindaknya
mereka untuk membantu orang yang terzalimi dan menolak pelanggaran
terhadap nilai kemanusiaan, manusia mana saja merupakan dukungan untuk
orang yang berbuat zalim dan peneguhan bagi kezaliman. Apa saja yang
dilakukan oleh organisasi-organisasi pembela hak asasi manusia baik secara
internasional atau regional dianggap sebagai perwujudan makna saling
mengenal dan mewujudkan tujuannya.30
Terdapat beberapa pendapat dari ahli politik tentang hak-hak politik.
Menurut Al-Maududi paling tidak ada enam macam hak politik yang diakui
dalam Islam, yaitu:31
1. Hak kebebasan untuk mengeluarkan pokok pikiran, pendapat, keyakinan.
Hal ini lanjut Maududi, meliputi hak kebebasan untuk mengkritik
pemerintah dan pejabatnya, termasuk kepala negara.
2. Hak untuk berserikat dan berkumpul.
3. Hak untuk memilih dan dipilih sebagai kepala negara.
4. Hak untuk menduduki jabatan umum dalam pemerintahan negara.
29 Ibid,h. 417. 30 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam. (Jakarta:Amzah, 2005)h. 223. 31 Mujar Ibnu Syarif, Op.Cit, h.65
5. Hak untuk memilih dan dipilih sebagai ketua atau anggota Dewan
Permusyawaratan Rakyat (DPR).
6. Hak untuk memberikan suara dalam pemilu.
Dengan rincian yang agak sedikit berbeda, Abd- al-Karim Zaidan
juga mengemukakan enam macam hak politik yang bisa dinikmati oleh
rakyat/warga negara sebuah komunitas Islam. Keenam hak politik yang
dimaksud itu adalah sebagai berikut:32
1. hak untuk memilih dan dipilih sebagai kepala negara, baik langsung
maupun melalui perwakilan,
2. hak musyawarah/hak untuk ikut berpartisipasi dalam memberikan ide,
saran, dan kritik yang konstruktif kepada para penyelenggara negara
terpillih, utamanya kepala negara, agar tidak melakukan hal-hal yang
membahayakan umat/rakyat,
3. hak pengawasan/hak untuk mengontrol dan meluruskan penyimpangan
yang dilakukan oleh para penyelenggara negara,
4. hak memecat atau mencopot kepala negara dari jabatannya bila tidak
dapat menjalankan dengan baik tugas yang di amanatkan umat/rakyat
kepadanya,
5. hak untuk mencalonkan diri untuk jabatan kepala negara/presiden, dan
6. hak untuk menduduki jabatan umum dalam pemerintahan.
Mengenai hak politik yang terakhir, yakni hak untuk menduduki jabatan-
32
Ibid, h.54.
jabatan umum tertentu dalam pemerintahan Abd al-karim Zaidan berkomentar,
siapa saja yang memiliki keahlian punya hak untuk duduk dalam jabatan-
jabatan umum permerintahan. Siapapun yang cocok, mesti ditunjuk tanpa
memandang ada atau tidaknya hubungan kekerabatan dan atau yang lainnya.
Bila dalam proses pengangkatan tersebut terdapat unsur-unsur kolusi dan
nepotisme, pelakunya dipandang telah melakukan pengkhianatan dan
menghacurkan amanat yang dipercayakan kepadanya, yang antara lain
menuntutnya melimpahkan jabatan-jabatan kenegaraan umum kepada orang-
orang yang tidak tepat
Argumentasi yang dimajukan Zaidan sehubungan dengan hal tersebut
adalah hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berikut ini,
إذا ضي عت األمانة فان تظر الساعة. قال: كيف إضاعت ها يا رسول اهلل؟
قال: إذا أسند األمر إلى غير أهله فان تظرالساعة
“Jika amanat disia-siakan maka tunggulah saat kehancuran. Ada yang
bertanya, “Bagaimana menyia-nyiakannya?” Beliau bersabda, “Jika urusan
diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (HR
Al Bukhari)
2. Kemampuan, Syarat dan Faktor Penghapusan Hak Politik dalam
Hukum Islam
a. Pengertian Kemampuan Keahlian (Ahliyah)
Dari segi etimologi ahliyah berarti “kecakapan menangani suatu
urusan”, Misalnya seseorang dikatakan ahli untuk menduduki suatu
jabatan/posisi, berarti dia mempunyai kemampuan untuk itu.33
Secara istilah, para ahli ushul fiqh mendefinisikan ahliyah dengan :
ي تشريع لخطاب صالحا محل تجعله الشخص في الشارع ي قدرها صفة
“Suatu sifat yang dimiliki seserorang, yang dijadikan oleh syar‟i
untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara.”34
Maksudnya, ahliyah adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah
sempurna jasmani dan akhlaknya, sehingga seluruh tindakannya dapat
dinilai oleh syara‟. Apabila seseorang telah mempunyai sifat ini, maka ia
dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang
bersifat pemindahan hak milik kepada orang lain, atau transaksi yang
bersifat menerima hak dari orang lain.
Melalui definisi di atas ini dipahami bahwa ahliyah merupakan sifat
yang mengindikasikan seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya
sehingga semua perbuatannya dapat dikenai taklif.
b. Macam-macam Kemampuan (Ahliyah)
Ulama ushul membagi keahlian ini kepada dua bagian.
1) Ahliyah al-Wujub, yakni kelayakan seseorang untuk ada padanya hak
dan kewajiban. Dasar dari ahliyah ini adalah sebab-sebab khusus yang
dijadikan Allah pada manusia. Sebab khusus itu oleh para fuqaha
33
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Pustaka Amani, 2003) h. 191. 34
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh (Bekasi: Sinar Grafika
Offset , 2005), h. 2.
disebut al-zimmah, yaitu sifat firiyah insaniyah yang ada pada setiap
manusia, baik laki-laki atau perempuan, janin atau anak-anak,
mumayyiz atau baligh, pintar atau bodoh, waras atau gila, dan sakit
atau sehat.35
Pokoknya, selama ia disebut manusia,selama itu pulalah
keahlian itu ada padanya. Dengan kata lain, keahlian wujud adalah
kemanusiaanya itu sendiri. Tidak ada manusia yang tidak memiliki
ahliyyah al-wujûb, karena ahliyyah al- wujûb adalah sifat
ke”manusia”annya. Para ahli ushul fikih membagi ahliyyah al- wujûb
kepada dua bagian, yaitu:
a) Ahliyyah al-wujûb al-nâqishah
Atau kecakapan dikenai hukum secara lemah, yaitu kecakapan
seorang manusia untuk menerima hak, tetapi tidak menerima
kewajiban, atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak
pantas menerima hak.36
Sifat lemah pada kecakapan ini disebabkan
oleh karena hanya salah satu kecakapan pada dirinya diantara dua
kecakapan yang harus ada padanya.
Contoh kecakapan untuk menerima hak, tetapi tidak untuk
menerima kewajiban adalah bayi dalam kandungan ibunya. Bayi atau
janin itu telah berhak menerima hak kebendaan seperti warisan dan
wasiat meskipun ia belum lahir. Realisasi dari hak itu berlaku setelah
ternyata ia lahir dalam keadaan hidup. Bayi dalam kandungan itu
tidak dibebani kewajiban apa pun, karena secara jelas ia belum
35
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta: Rajawali Pers, 2014) h. 151. 36
Abdul Wahhab Khallaf, Op.cit, h. 192
bernama manusia.
Contoh kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak cakap
menerima hak adalah orang yang meninggal dunia tetapi masih
meninggalkan hutang. Dengan kematiannya itu ia tidak akan
mendapatkan hak apa pun lagi, karena hak hanyalah untuk menusia
yang hidup. Tetapi ia tetap dikenai kewajiban untuk membayar
hutang yang dibuatnya semasa ia masih hidup. Kewajiban itu
tentunya yang menyangkut harta benda yang dapat dilakukan oleh
orang lain
b) Ahliyyah al-wujûb al-kâmilah
Atau kecakapan dikenai hukum secara sempurna, yaitu
kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga untuk
menerima hak.37
Adanya sifat sempurna dalam bentuk ini karena
kepantasan berlaku untuk keduanya sekaligus. Kecakapan ini dimiliki
oleh setiap orang sejak dilahirkan. Yakni sejak usia kanak-kanak, usia
mumayyiz, sampai sesudah usia baligh (dewasa), dalam keadaan dan
kondisi lingkungan yang bagaimanapun.
Contoh ahliyyah al-wujûb al-kâmilah adalah anak yang baru
lahir, disamping ia berhak secara pasti menerima warisan dari orang
tua atau kerabatnya, ia juga telah dikenai kewajiban seperti zakat
fitrah yang pelaksanaannya dilakukan oleh orang tua atau walinya.
Demikian pula orang yang sedang berada di ujung kematian
37
Ibid, h. 193.
(sakarat almaut). Disamping ia berhak menerima harta warisan dari
orang tua atau kerabatnya yang lebih dulu meninggal, ia juga dibebani
kewajiban zakat atas hartanya yang telah memenuhi syarat untuk
dizakatkan.
2) Ahliyah al Ada‟, yaitu kelayakan seorang mukallaf untuk dianggap sah
segala ucapan dan tindakannya menurut syara‟. Artinya, apabila itu
seseorang mukalaf melakukan suatu tindakan, tindakan itu dianggap
sah menurut syara‟ dan mempunyai konsekuensi hukum.38
Misalnya,
bila ia mengadakan transaksi bisnis, tindakannya itu dipandang sah
dan ada konsekuensi hukumnya. Bila ia melakukan shalat, puasa atau
melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya, perbuatannya dianggap
sah oleh syara‟ bila cukup rukun dan syaratnya dan menggugurkan
kewajiban mukallaf tersebut. Begitu juga bila ia melakukan
pelanggaran terhadap orang lain, ia akan dikenai sanksi hukum
pidana, baik pidana badan maupun harta. Pokoknya, ahliyat al-ada‟
adalah soal pertanggungjawaban yang didasarkan oleh akal atau
kecakapan pribadi.
Kecakapan berbuat hukum atau ahliyyah al-adâ‟ terdiri dari tiga
tingkat. Setiap tingkat ini dikaitkan kepada batas umur seorang
manusia. Ketiga tingkat itu adalah:
a) Adim Al-Ahliyyah (tidak memiliki kecakapan)
38 Alaiddin Koto, Op. Cit h. 152.
Adapun yang dimaksud dengan adim al-ahliyyah yaitu seseorang
yang sama sekali tidak memiliki kecakapan bertindak secara hukum.39
Mereka ini adalah yang berusia antara nol sampai mencapai umur
tamyiz sekitar umur tujuh tahun. Pada usia ini seorang anak belum
sempurna akalnya atau belum berakal, sedangkan taklif dikaitkan
kepada sifat berakal. Karena itu anak semumur ini belum disebut
mukallaf atau belum dituntut melaksanakan hukum. Selain anak kecil,
keadaan ini juga dimiliki oleh orang yang gila sebab akalnya juga
tidak sempurna. Keduanya tidak dapat menimbulkan akibat hukum
dalam ucapan maupun perbuatannya, akad dan pengelolaannya batal.
b) Ahliyyah Al-Adâ‟ Al-Nâqishah (kecakapan bertindak tidak
sempurna)
Ahliyyah Al-Adâ‟ Al-Nâqishah adalah seseorang yang sudah
mencapai umur tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa.
Penamaan nâqishah (lemah) dalam bentuk ini oleh karena akalnya
masih lemah dan belum sempurna. Manusia dalam batas umur ini
dalam hubungannya dengan hukum, sebagian tindakannya telah
dikenai hukum dan sebagian lagi tidak dikenai hukum. Mereka juga
belum dipandang mukallaf, namun semua perbuatan ibadahnya
dipandang sah.
Adapun semua perbuatannya yang pasti menguntungkan
baginya dipandang sah, meskipun tanpa persetujuan dari walinya,
39
Ibid, h. 193.
seperti menerima hibah dan wasiat. Sebaliknya semua perbuatannya
yang pasti merugikan baginya, dipandang batal demi hukum, seperti
memberi hibah dan berwasiat. Akan tetapi, jika ia melakukan
transaksi atau akad yang berpeluang menimbulkan keuntungan atau
kerugian, misalnya melakukan jual beli, maka keabsahan tindakannya
itu tergantung pada persetujuan walinya.40
c) Ahliyyah Al-Adâ‟ Al-Kâmilah (kecakapan bertindak secara
sempurna)
Yang dimaksud dengan ahliyyah al-adâ‟ al-kâmilah yaitu
seseorang yang telah memiliki akal yang sempurna, yaitu yang telah
mencapai usia dewasa, sehingga ia dipandang telah mukallaf.41
Para ulama ushul fikih menyatakan bahwa yang menjadi ukuran
dalam menentukan seseorang telah memiliki ahliyyah al-adâ‟ adalah
„aqil, baligh dan cerdas. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
surah An-Nisa : 6
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
40
Ibid, h. 194. 41
Ibid, h, 194.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-
hartanya.”42
Menurut para ulama ushul fikih, kalimat “cukup umur” dalam
ayat ini menunjukkan seseorang yang telah bermimpi dengan
mengeluarkan mani untuk pria dan haid untuk wanita. Orang
yang seperti ini telah dianggap cakap untuk melakukan tindakan
hukum sehingga seluruh perintah dan larangan syara‟ dapat ia
pikirkan sebaik-baiknya dan dapat dapat ia laksanakan secara benar.
Apabila perintah itu tidak ia laksanakan dan larangan tetap ia langgar,
maka ia bertanggungjawab baik di dunia maupun di akhirat.
Dari penjelasan tentang ahliyyah al-wujûb dan ahliyyah al-
adâ‟ di atas dapat diketahui bahwa semua manusia memiliki
kecakapan secara hukum untuk dikenakan kewajiban dan diberi hak
(ahl li al-wujûb), tetapi tidak semua manusia dipandang cakap untuk
bertindak secara hukum (ahl li al-adâ‟). Seseorang baru dipandang
cakap bertindak secara hukum, apabila ia telah mencapai kedewasaan
dari segi usia dan akalnya serta tidak ditemukan cacat atau kurang
pada akalnya. Dalam keadaan seperti ini barulah seseorang dapat
disebut sebagai mukallaf.
42
Departmen Agama RI , Op.Cit, h. 77.
c) Sebab-sebab Hilangnya Keahlian (Awarid Ahliyah)
Meskipun sejak lahirnya, seseorang telah memiliki kecakapan
menerima kewajiban dan hak (ahl li al-wujub), dan sejak dewasa dari segi
usia dan akalnya, memiliki kecakapan untuk bertindak secara hukum (ahl
li al-ada), namun terkadang pada waktu tertentu terdapat faktor-faktor
yang menghalanginya untuk dapat dipandang cakap bertindak secara
hukum. Faktor-faktor penghalang tersebut ada yang berasal dari dalam
dirinya, dan ada pula yang berasal dari luar dirinya. Faktor-faktor
penghalang itu disebut dengan istilah „awarid al-ahliyah (penegasi-
penegasi kecakapan) atau mawani at-taklif (penghalang-
penghalang taklif).
Faktor-faktor penghalang taklif itu dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu: al-awaridh as-samawiyyah dan al-awaridh al-muktasabah.
a) Al-awaridh as-samawiyyah
Adapun yang dimaksud dengan al-awaridh as-samawiyyah ialah,
halangan kecakapan bertindak secara hukum yang timbul dari luar diri
seseorang yang bukan merupakan akibat dari kehendak dan perbuatannya.
Halangan ini terdiri atas beberapa macam, diantaranya sebagai berikut:43
(1) Gila (al-junun)
Keadaan gila ialah, hilangnya akal untuk mempertimbangkan suatu
tindakan logis. Gila menghalangi seseorang untuk berbicara dan bertindak
43
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2014), h. 101.
wajar. Keadaan gila pada diri seseorang dapat dibedakan dari segi waktu,
yaitu sebagai berikut.
(a) Gila yang berlangsung dalam waktu yang lama dan berkelanjutan
(al-junun al-muabbad). Keadaan gila ini menghilangkan kewajiban
dalam ibadah yang bersifat fisik, seperti sholat dan puasa.
(b) Gila yang berlangsung sementara dan tidak berkelanjutan (al-junin
al-muaqqaf). Keadaan gila ini tidak menghalangi beban taklif.
(2) Lemah Akal (al-„atah)
Yaitu Kelemahan dalam akal sehingga meracau omongannya,
kadang seperti omongan orang yang sehat, kadang seperti omongan orang
yang gila dan begitu pula urusan-urasan yang lain. Hukum orang yang
ma‟tuh (kurang akal) sama dengan anak kecil dalam masa tamyiz dalam
seluruh urusannya.
(3) Kelupaan (An-Nis-yan)
Yaitu tidak mampu menampilkan sesuatu dalam ingatan pada
waktu diperlukan. Ketidakmampuan ini menyebabkan tidak ingat akan
beban hukum yang dipikulnya. Adapun hak-hak yang menyangkut lupa ini
berbagi menjadi dua, yaitu hak-hak Allah dan hak-hak manusia atau
hamba.Hukum lupa berkaitan dengan kadua hak itu tidaklah sama. Dalam
menyangkut hak manusia, hak tidak gugur karena lupa. Dengan kata lain,
lupa tidak dapat dijadikan alasan untuk menghindarkan diri dari suatu hak.
(4) Tidur
Yaitu halangan taklif bersifat temporer yang dalam waktu itu
seseorang tidak dapat memahami tuntutan hukum. Keadaan orang tidur
sama dengan keadaan orang jahil yang tidak punya kehendak dan tidak
punya kesadaran. Oleh karena itu tertidur termasuk salah satu sebab
diantara sebab-sebab gugurnya tuntutan hukum sejauh yang menyangkut
hak Allah.44
(5) Pingsan
Yaitu halangan yang mencegah pemahaman khitob lebih banyak
daipada pencegahan tidur terhadapnya, maka berlakulah padanya apa yang
berlaku dalam keadaan tidur karena ia lebih banyak daripadanya,
menjadikan membatalkan wudhu dalam keadaan bahkan dalam sholat.
(6) Penyakit
Penyakit tidak bertentangan dengan ahliyah hukum dan ibadah,
karena tidak ada kekurangan dalam tanggungjawab, akal dan ucapan.
Karna itu mengandung kelemahan disyariatkanlah ibadah menurut kadar
kemampuannya.
(7) Haid dan Nifas
Haid dan Nifas ini tidak menggugurkan ahliyah kewajiban maupun
penunaian. Tetapi ditetapkan bahwa bersuci merupakan syarat dari sahnya
sholat dan puasa, maka tidak mungkin menunaikan keduanya. Tidak
berlaku qodlo sembahyang, karena mengandung kesempitan berlainan
dengan puasa dan karna adanya larangan menunaikan puasa dalam
44
Amir Syarifuffin, Ushul Fiqh 1 (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 370.
keadaan haid dan nifas. Karena mustahil bahwa satu hal dari satu segi
dilarang dan diwajibkan penunaiannya, sedangkan qodlo diwajibkan
karena adanya sebab yaitu penyaksian bulan.
(8) Kematian
Kematian menggugurkan hukum-hukum dunia taklif seperti zakat,
puasa dan haji dan lain-lainya, dan tinggallah dosa kewajiban yang disia-
siakannya.45
Bila sebelum mati ada kewajiban berupa hak orang lain yang
bersangkutan dengannya dalam bentuk meteri maka hak itu tetap berlaku
selama materi itu masih ada. Seperti amanat, titipan, barang rampasan, dan
barang yang dibeli belum dibayar. Yang dimaksud dengan kewajiban
disini adalah kembalinya hak tersebut kepada pemiliknya. Ini harus
berlaku meskipun yang berkewajiban sudah mati. Adapun bila orang yang
mati mempunyai hutang dan meninggalkan harta maka wajib dibayar, dan
orang yang mati mempunyai hutang dan tidak meninggalkan harta maka
gugurlah tuntutan terhadap orang mati itu. Dalam hal ini menurut Abu
Yusuf dan Muhammad Ibn Hasan Al-Syaibani dan Imam Mujtahid
berpendapat bahwa jaminan yang diberikan sesudah kematian adalah sah,
karena orang mati bebas dari kewajiban membayar hutang. Karnanya ia
dituntut menyelesaikan hutangnya bila ada hartanya. Bila ada penjamin
untuk membayar hutang maka pihak berpiutang boleh mengambil.
b) Al-awaridh al-muktasabah
45
Abd Rahman Dahlan, Op. Cit, h. 105.
Adapun yang dimaksud dengan al-mawaridh al-muktasabah ialah
halangan kecakapan bertindak secara hukum yang timbul dari dalam diri
seseorang yang merupakan akibat dari kehendak dan perbuatannya.
Halangan ini terdiri atas beberapa macam, diantaranya sebagai berikut:
(1) Mabuk.
Yaitu tertutupnya akal disebabkan oleh meminum atau memakan
sesuatu yang memengaruhi daya akal, baik dalam bentuk cairan atau
bukan. Mabuk menyebabkan pembicaraan tidak menentu seperti igauan
orang tidur dan secara fisik ia sehat.46
(2) Safih (bodoh)
Yaitu kelemahan yang terdapat pada seseorang yang menyebabkan
ia berbuat dalam hartanya menyalahi apa yang dikehendakai oleh akal
yang sehat. Safih tidak meniadakan sesuatu pun dari hukum syara‟.
Terhadapnya berlaku tuntutan syara‟, baik yang berhadapan dengan hak-
hak Allah maupun yang berhadapan dengan hak-hak hamba karena ia
mukallaf secara penuh. Apabila ia mengerjakan suatu kejahatan, ia dikenai
oleh sanksi hukum sebagaimana yang berlaku terhadap orang yang tidak
safih dengan tidak kurang sedikitpun. Safih dapat perlindungan syara‟ atas
hartanya dari kerusakan hanya karena kelemahan pada dirinya.
46
Amir Syarifudin, Op. Cit, 371
Apabila sifat safih mengiringi kedewasaannya, ia dihalangi
bertindak atas hartanya. Dalam hal ini para ulama bersepakat. Dasarnya
adalah Firman Allah dalam surat al-Nisa ayat 5 yang artinya47
“Jangan kamu berikan harta kepada orang safih yang Allah telah
menjadikanmu sebagai pemeliharanya”.
Kemudian Allah dalam surat berikutnya menggantungkan
penyerahan harta kepadanya dengan sifat cerdas, sebagaimana terdapat
dalam surat al-Nisa ayat 6 yang artinya : “Ujilah anak yatim (anak-anak)
itu sampai ia mencapai umur dewasa; jika kamu telah mengetahui ia
cerdas berikanlah harta (nya) kepadanya.”
Jahil terbagi menjadi dua bentuk, Yaitu :
(a) Pengetahuan bersifat umum yang tidak mungkin seseorang
mengatakan ketidaktahuannya, kecuali orang yang akalnya tidak
memungkinkan untuk mengetahuinya; seperti shalat lima waktu,
puasa Rhamadhan, ibadah haji dan zakat.
47 Departmen Agama RI , Op.Cit, h. 77.
(b) Pengetahuan secara khusus yaitu menyangkut furu‟ ibadat atau
pengetahuan yang tidak mungkin dicapai kecuali oleh orang-orang
yang secara khusus mempelajarinya atau ulama.48
(4) Perjalanan (safar)
Perjalanan tidaklah menyalahi ahliyah hukum, akan tetapi As-
Syar‟i menjadikannya sebab keringanan. Maka disyariatkan shalat dua
rokaat dan diijinkan dalam perjalanan meninggalkan puasa. Walaupun
perjalanan baru dimulai ia boleh berbuka atau berpuasa, tapi jika berbuka
ia tidak perlu membayar khafarah karena kemungkinan timbulnya syubhat.
Ditetapkannya qashar atas empat rokaat dengan sekedar memulai
perjalanan bukan diharuskan sesudah menempuh perjalanan, karena
perjalanan dianggap terwujud setelah berjalan selama tiga hari tiga malam
atau jarak yang sama dengan itu.49
(5) Tersalah (khatha‟)
Yaitu menyengaja melakukan suatu perbuatan pada tempat yang
dituju oleh suatu kejahatan. Umpamanya seseorang berkumur-kumur
dalam keadaan sedang berpuasa, dan tanpa sengaja air masuk kedalam
perutnya.
(6) Terpaksa/ Paksaan (Ikroh)
Ialah menghendaki seseorang melakukan tindakan yang
bertentangan dengan keinginannya.50
Atau menyuruh orang lain berbuat
sesuatu yang tidak desenanginya baik perkataan maupun perbuatan
48
Amir Syarifudin, Op. Cit, 375. 49
Ibid, h. 384. 50
Abd. Rahman Dahlan, Op.Cit, h. 110
sehingga andaikata ia dibiarkan niscaya tidaklah dilakukannya. Dalam
hukum terdapat dua kata yaitu ikhtiar dan ridho, yang dimaksud dengan
ikhtiar yaitu mengutamakan pelaksanaan suatu perbuatan dari pada
meninggalkannya dan ridho yaitu kesenangan melakukan sesuatu.
3. Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam Konstitusi
a) Pengertian Konstitusi
Konstitusi berasal dari kata constitution (bahasa Inggris) – constituate
(Bhs. Belanda), constituer (Bhs. Prancis), yang berarti membentuk,
menyusun, menyatakan. Dalam bahasa Indonesia, konstitusi diterjemahkan
dan disamakan artinya dengan UUD. Konstitusi menurut makna katanya
berarti dasar susunan suatu badan politik yang disebut negara. Konstitusi
menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara, yaitu
berupa kumpulan peraturan untuk membentuk, mengatur, atau
memerintah negara.
Menurut Soemantri Martosoewignjo, istilah konstitusi berasal dari
perkataan “Constitution”, yang dalam bahasa Indonesia jika kita jumpai
dengan istilah hukum yang lain, yaitu Undang-Undang Dasar dan/atau
Hukum Dasar. Seragam dengan pendapat diatas, Nyoman Dekker
mengemukakan bahwa konstitusi didalam pemahaman Anglo-Saxon
dengan Undang-Undang Dasar.51
Berdasarkan suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat
didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut
51
Astim Riyanto, Teori Konstitusi (Bandung: Yogyakarta, 2000), h. 17.
dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat,
maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku
adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku
tidaknya suatu konstitusi, hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai
constituent power yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan
sekaligus di atas sistem yang diaturnya. Karena itu, di lingkungan negara-
negara demokrasi, rakyatlah yang dianggap menemukan berlakunya
suatu konstitusi.52
Fungsi dasar konstitusi ialah mengatur pembatasn kekuasaan
dalam negara. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Bagir Manan
bahwa konstitusi oleh sekelompok ketentuan yang mengatur organisasi
negara dan susunan pemerintahan suatu negara.
Konstitusi didalam suatu negara dianggap penting karena
konstitusi tersebut merupakan aturan dari penyelenggaran negara,oleh
karena itu di Indonesia sudah beberapa kali melakukan perubahan pada
kontistusinya.
b) Konstitusi di Indonesia
Konstitusi secara umum memiliki sifat-sifat formil dan materiil.
Konstitusi dalam arti formil dan materiil. Konstitusi dalam arti formil
berarti konstitusi yang tertulis dalam suatu ketatanegaraan suatu negara.
Dalam pandangan ini suatu konstitusi baru bermakna apabila konstitusi
52
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika
: 2011), h. 18.
tersebut telah berbentuk naskah tertulis dan diundangkan, misalnya UUD
1945.
Konfigurasi politik tertentu akan mempengarungi perkembangan
ketata negaraan suatu bangsa, begitu juga di Indonesia yang telah
mengalami perkembangan politik pada beberpa periode tertentu akan
memengaruhi perkembangan ketenegaraan Indonesia. Perkembangan
ketatanegaraan tersebut juga sejalan dengan perkembangan dan perubahan
konstitusi di Indonesia seperti berikut ini :
(1) Periode 18 Agustus 1945 sd 27 Desember 1949, masa berlakunya
Undang-Undang Dasar 1945.(Yang digunakan adalah UUD 1945)
(2) Periode 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950, maka
berlakunya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat.
(Yang diguunakan adalah UUD RIS)
(3) Periode 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959, maka
berlaku Undang Undang Sementara tahun 1950. (Yang digunakan
adalah UUDS 1950)
(4) Periode 5 Juli 1959 sampai dengan 19 Oktober 1999, masa
berlaku Undang-Undang Dasar 1945. (Yang digunakan adalah
UUD 1945).
(5) Periode 19 Oktober 1999 sampai dengan 10 Agustus 2002, masa
berlaku Undang-Undang Dasar 1945.
(6) Periode 10 Agustus 2002 sampai dengan sekarang masa berlaku
Undang-Undang Dasar 1945, setelah mengalami perubahan.
Jika dilihat diatas, perubahan konstitusi sangat dimungkinkan jika
dalam kondisi pemerintahan yang kacau dan konstitusi tidak sesuai lagi
dengan perkembangan zaman. Karena di dalam UUD 1945 sendiri
mengatur prinsip dan mekanisme perubahan UUD 1945, yaitu termuat
dalam perubahan UUD 1945, yaitu dalam pasal 37 UUD 1945. Adapun
yang tidak bisa diubah seperti termaktup dalam pasal 37 ayat (5) UUD
1945 ialah : “khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”.
c) Pengertian, macam Hak dan Kewajiban
Suatu negara tentu memiliki hak dan kewajiban bagi warga
negaranya. Begitupula dengan warga negara, memiliki hak dan kewajiban
terhadap negaranya. Sebagai warga negara yang baik, kita wajib
melaksanakan hak dan kewajiban dengan tertib sesuai ketentuan yang
berlaku. Hak adalah segala sesuatu yang memang harus didapatkan oleh
setiap manusia sejak ia masih berada didalam kandungan. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, hak adalah sesuatu hal yang benar, milik,
kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuatu sesuatu. dearajat atau
martabat.53
Sedangkan kewajiban adalah segala sesuatu yang harus dilakukan
atau dilaksanakan oleh masing-masing individu sehingga bisa
mendapatkan haknya secara layak. suatu kewajiban dapat dikatakan
53
Departmen Pendidikan Nasional, Op.Cit, h, 474.
sebagai hutang yang harus dilunasi untuk memperoleh apa yang harus
seorang miliki.54
Dalam konteks Indonesia, hak warga negara terhadap negaranya
sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan
lainnya. Sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD 1945 pada pasal 28,
yang menetapkan bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat
dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan
sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang. Pasal ini
mencerminkan bahwa negara Indonesia bersifat demokrasi.55
Hak warga negara Indonesia :
1) Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak:“Tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”(pasal 27 ayat 2).
2) Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan: “setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya.” (pasal 28A).
3) Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah (pasal 28B ayat 1).
4) Hak atas kelangsungan hidup. “Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan Berkembang”
5) Hak untuk mengembangkan diri dan melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya dan berhak mendapat pendidikan, ilmu pengetahuan dan
54
Ibid, h. 1266. 55
Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan (Demokrasi, Hak Asasi Manusia,
Masyarakat Madani (ICCE UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, 2003), h. 83.
teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi
kesejahteraan hidup manusia. (pasal 28C ayat 1)
6) Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. (pasal
28C ayat 2).
7) Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.(pasal 28D ayat
1).
8) Hak untuk mempunyai hak milik pribadi, Hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun. (pasal 28I ayat 1).
Kewajiban Warga Negara Indonesia :
1) Wajib menaati hukum dan pemerintahan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
berbunyi : segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
2) Wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 27 ayat (3)
UUD 1945 menyatakan : setiap warga negara berhak dan wajib ikut
serta dalam upaya pembelaan negara”.
3) Wajib menghormati hak asasi manusia orang lain. Pasal 28J ayat 1
mengatakan : Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia
orang lain.
4) Wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang. Pasal 28J ayat 2 menyatakan : “Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya,setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.”
5) Wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Pasal
30 ayat (1) UUD 1945. menyatakan: “tiap-tiap warga negara berhak
dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.”
Hak dan Kewajiban telah dicantumkan dalam UUD 1945 pasal 26, 27,
28, dan 30, yaitu :
1) Pasal 26, ayat (1), yang menjadi warga negara adalah orang-orang
bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan
dengan undang-undang sebagai warga negara. Dan pada ayat (2),
syarat-syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan undang-
undang.
2) Pasal 27, ayat (1), segala warga negara bersamaan dengan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahannya, wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu. Pada ayat (2), taip-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
3) Pasal 28, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
4) Pasal 30, ayat (1), hak dan kewajiban warga negara untuk ikut serta
dalam pembelaan negara. Dan ayat (2) menyatakan pengaturan lebih
lanjut diatur dengan undang-undang.
d) Penyebab Hilangnya Hak-hak Warganegara
Undang-undang Dasar Negara Indonesia sebagai constitutional right,
menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang salah satu elemen
dasarnya adalah pemenuhan, pengakuan dan perjanjian atas hak hak dasar
warga negara. Dari berbagai literatur hukum tata negara maupun ilmu
politik kajian tentang ruang lingkup paham konstitusi terdiri dari:
a. Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum
b. Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia
c. Peradilan yang bebas dan mandiri
d. Pertanggungjawaban kepada rakyat (Akuntabilitas Publik) sebagai
sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.56
Sri Soemantri menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai Konstitusi
tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi:57
a. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau
56 Dahlan Thaib, Jazim Hamadi, dan Ni‟matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi
(Jakarta : Rajawali Pers, 2001), h. 2. 57
Dasril Rajab, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2005),h. 52.
b. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan kaatanegaraan bangsa
c. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak mewujudkan, baik untuk
waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang
d. Suatu keinginan, dengan nama perkembangan kehidupan
ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Fenomena tersebut menjadikan konstitusi sebagai hukum yang
tertinggi (supremacy of law) yang harus ditaati oleh rakyat maupun oleh
alat-alat kelengkapan negara, siapakah yang akan menjamin bahwa
ketentuan konstitusi atau Undang-Undang Dasar benar-benar
diselenggarakan menurut jiwa dan kata-kata dari naskah baik oleh badan
eksekutif maupun badan pemerintah lainnya.58
TAP MPR-Rl No.XVII MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia,
menyatakan Pembukaan UUD Tahun 1945 telah mengamanatkan
pengakuan, penghormatan, dan kehendak bagi pelaksanaan Hak Asasi
Manusia dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat internasional
patut menghormati hak asasi manusia yang temaktub dalam Universal
Declaration of Human Rights serta instrumen intemasional lainnya
mengenai Hak Asasi Manusia.
Hak Asasi Manusia dan demokrasi memiliki kaitan yang sangat erat.
Demokrasi memberikan pengakuan lahirnya keikutsertaan publik secara
luas dalam pemerintahan, peran serta publik mencerminkan adanya
58
Ibid, h. 87.
pengakuan kedaulatan. Aktualisasi peran publik dalam ranah pemerintahan
memungkinkan untuk terciptanya keberdayaan publik. Perlindungan dan
pemenuhan Hak Asasi Manusia melalui rezim yang dcmokratis berpotensi
besar mewujudkan kesejahteraan rakyat.59
Manusia dan hak-hak warga negara (citizen‟s rights) hak-hak
konstitusional warga negara (the citizen‟s constitutional righls) dapat
terlaksana. Hak memberi suara atau memilih (right to vote) merupakan hak
untuk memilih dan dipilih (basicright) setiap individu atau warga negara
yang harus dijamin pemenuhannya oleh negara.60
Hak politik warga negara mencakup hak untuk memilih dan dipilih,
penjaminan hak dipilih ,cara tersurat dalam UUD 1945 mulai Pasal 27 ayat (
1) dan (2): Pasal 28, Pasal 280 ayat (3); Pasal 28E ayat (3). Sementara hak
memilih juga diatur dalam Pasal l ayat (2); Pasal 2 ayat (l); Pasal 6A ayat
(1); Pasal l9 ayat (1) dan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945. Perumusan pada
Pasal. pasal tersebut sangat jelas bahwa tidak dibenarkan adanya
diskriminasi mengenai ras, kekayaan, agama, dan keturunan.
Setiap warga negara mempunyai hak-hak yang sama dan
implementasinya hak dan kewajibanpun harus bersama-sama. Konkritisasi
dari ketentuan-ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam peraturan
perundang-undangan dibawahnya, sesuai ketentuan yang ada dalam Undang
Undang tentang peraturan perundang-undangan di Indonesia.
59
Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya,(Jakarta : PT Rajawali Pers , 2008) h. 45. 60
Moh Mahfud, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi (Jakarta: Rajaawali
Pers, 2011) h. 160.
Penegasan konstitusi hak politik warga negara, tertuang dalam
Undang Undang tentang HAM khusus Pasal 43:
1. Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam
pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan
suara (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan
langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan
menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
3. Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan
pemerintahan.
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) menyebutkan bahwa
negara Indonesia mengakui dan melindungi hak setiap warga negara untuk
mengambil bagian dalam pelaksanaan urusan-urusan publik, hak memilih
dan dipilih, serta hak atas akses terhadap pelayanan publik.61
Pada tanggal
28 Oktober 2005, Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil
And Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik dengan disahkannya Undang-Undang tentang Ratifikasi
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Kovenan ini
mengukuhkan pokok-pokok hak asasi manusia sipil dan politik yang
61
Tim Pengajajar HTN FH Unila, Hukum Tata Negara (Bandarlampung: Justice
Publisher, 2014) h. 144.
tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia) sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang
mengikat secara hukum dan penjabarannya mencakup pokok-pokok lain
yang terkait, Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan dan Pasal-pasal yang
mencakup 6 Bab dan 53 Pasal.
International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR) pada
dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan
oleh aparat represif negara, khususnya aparatur represif negara yang
menjadi Negara-Negara Pihak dalam International Covenant on Civil And
Political Rights (ICCPR), Maka yang terhimpun didalamnya juga sering
disebut sebagai hak-hak negatif (negatif rights). Artinya hak-hak dan
kebebasan yang dijamin didalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran
negara terbatasi atau terlihat minus. Tetapi apabila negara berperan
intervensionis, tak bisa dielakkan hak-hak dan kebebasan yang diatur
didalamnya akan dilanggar oleh negara. Inilah yang membedakan dengan
model legislasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya (KIHESB) yang justru menuntut peran maksimal negara. Negara
justru melanggar hak-hak yang dijamin didalamnya apabila negara tidak
berperan secara aktif atau menujukkan peran yang minus. Kovenan
Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) karena itu
sering disebut hak-hak positif (positive right).62
62
Ifdhal Kasim, Hak Sipil dan Politik Esai-Esai Pilihan, (Jakarta : Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, 2001) h. 49.
Negara-negara pihak dalam International Covenant on Civil And
Political Rights (ICCPR) diperbolehkan memperbolehkan mengurangi atau
mengadakan penyimpangan atas kewajiban dalam memenuhi hak-hak
tersebut. Tetapi penyimpangan itu hanya dapat dilakukan apabila sebanding
dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif, yaitu demi
menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan umum
atau moralitas umum; dan menghormati hak atau kebebasan orang lain.
Rosalyn Higgin menyebut ketentuan ini sebagai ketentuan “clawback”, yang
memberikan suatu keleluasaan kepada negara yang dapat disalahgunakan
oleh negara. Untuk menghindari hal ini International Covenant on Civil And
Political Rights (ICCPR) menggariskan bahwa hal-hal tersebut tidak boleh
dibatasi melebihi dari yang ditetapkan oleh kovenan ini. Selain diharuskan
menyampaikan alasan-alasan mengapa pembatasan tersebut dilakukan
kepada semua Negara-Negara Pihak International Covenant on Civil And
Political Rights (ICCPR).
Gugurnya hak politik pada dasarnya merupakan tambahan atas
hukuman yang sudah ada. Dengan keputusan itu, seseorang yang terkena
pidana kehilangan hak memilih dan dipilih selain menduduki jabatan publik.
Dasar hukum yang menyebabkan hilangnya hak politik terdapat pada
pasal 10 KUHP. Dan juga pasal 18 UU Tipikor Ayat 1 mengenai pidana
tambahan, bisa berupa pencabutan seluruh atau sebagian hak tertentu.
Banyak ahli hukum berpandangan bahwa hilangnya hak asasi seseorang
bukan termasuk pelanggaran karena masuk dalam derogable right, hak yang
bisa dilanggar dalam rangka penegakkan hukum.
Kemudian, hak-hak yang bisa dicabut sesuai pasal 35 Ayat (1)
(KUHP, adalah; (i) Hak memegang jabatan tertentu; (ii) Hak memasuki
angkatan bersenjata; (iii) Hak memilih dan dipilih; (iv) Hak menjadi
penasihat, hak menjadi wali pengawas, pengampu atau pengawas atas orang
yang bukan anak sendiri; (v) Hak menjalankan kekuasaan bapak,
menjalankan perwaakilan atau pengampu atas anak sendiri; dan (vi) Hak
menjalankan pekerjaan tertentu. Pada masa lalu, hukuman tambahan
tersebut bisa berupa kematian perdata (mort civile) bagi pelaku kejahatan
berat, namun sekarang umumnya tidak diberlakukan. Hukuman tambahan
lebih dimaksudkan mencegah seseorang menyalahgunakan hak tersebut,
agar kejahatan serupa tidak terulang lagi.
Dari segi teori sering dikatakan, bahwa pemilu merupakan wujud
langsung dari peran serta politik masyarakat. Sesuai dengan fungsi yang
diembannya, ketentuan-ketentuan yang ada didalamnya tidak membatasi
keterlibatan pemilih di dalam praktek pemilu. Dalam pemilu misalnya,
ditentukan bahwa setiap warga negara yang sudah cukup dewasa
mempunyai hak sepenuhnya untuk memilih maupun dipilih. Pemilu tidak
membedakan latar belakang sosial budaya, politik dan ekonomi dari para
pemilih. Sejauh mereka sudah memenuhi persyaratan formal, tidak
seorangpun berhak untuk mencabut haknya.
Hak politik pada hakekatnya mempunyai sifat melindungi individu
dari penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa. Karena itu dalam
mendukung persamaannya peranan pemerintah perlu diatur melalui
perundang-undangan,agar campur tangannya dalam kehidupan warga
masyarakat melampaui batas-batas tertentu. Hak politik biasanya ditetapkan
dan diakui sepenuhnya oleh konstitusi berdasarkan keanggotaan sebagai
warga negara. Artinya, hak-hak ini kecuali bagi warga negara setempat,
bukan warga asing.
Prinsip hak asasi manusia universal menyebutkan negara wajib
menjamin hak memilih (right to vote) dan hak dipilih (right to be elected).
Karenanya setiap negara diminta untuk menerbitkan peraturan perundang-
undangan dan upaya lain yang diperlukan untuk memastikan setiap warga
negara tanpa diskriminasi berdasarkan apapun memperoleh kesempatan
yang efektif menkmati hak ini supaya tercapailah kepastian hukum,
keadilan, dan kemanfaatan.
Lebih luas, Indonesia sudah mengeluarkan produk hukum yang
berisi tentang penyebab hilangnya hak-hak warga Negara. Dalam pasal 23
UU No. 12 Tahun 2006 , dinyatakan kewarganegaraan Republik Indonesiaa
hilang , jika yang bersangkutan :
a. memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri;
b. tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain,
sedangkan orang yang bersangkutan mendapatkan kesempatan untuk
itu;
c. dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas
permohonan sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 (delapan
belas) tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan
dengan dinyatakan hilang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak
menjadi tanpa kewarganegaraan;
d. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari
Presiden;
e. secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam
dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara
Indonesia;
f. secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia
kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut;
g. tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang
bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing;
h. mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing
atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang
masih berlaku dari negara lain atas namanya; bertempat tinggal di luar
wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun terus
menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan
dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi
Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu
berakhir, dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak
mengajukan pernyataan untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia
Kepada Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan
Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan secara tertulis
kepada yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan tidak
menjadi tanpa kewarganegaraan.
i. Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki
warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia
jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri
mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan
tersebut.
j. Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan
warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia
jika menurut hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan suami
mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut.
Atau jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat
mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat
atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat
tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut
mengakibatkan kewarganegaraan ganda. Surat pernyataan dapat
diajukan oleh perempuan setelah 3 (tiga) tahun sejak tanggal
perkawinannya berlangsung. Setiap orang yang memperoleh
Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan keterangan yang
kemudian hari dinyatakan palsu atau dipalsukan, tidak benar, atau
terjadi kekeliruan mengenai orangnya oleh instansi yang berwenang ,
dinyatakan batal kewarganegaraannya. Menteri mengumumkan nama
orang yang kehilangan Kewaranegaraan Republik Indonesia dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
B. Tinjauan Pustaka
Setelah peneliti melakukan telaah terhadap beberapa penelitian, ada
beberapa yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang peneliti lakukan.
Penelitian yang pertama yang berhasil peneliti temukan adalah penelitian yang
dilakukan oleh Dewi Fortuna DM yang berjudul“Analisis Fiqh Siyasah Tergadap
Putusan Mahkamah Konstitusi No.04/PUU-VII/2009 tentang Pencalonan Mantan
Narapidana Sebagai Anggota Legislatif”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengkaji dan memahami dasar hukum dan pertimbangan yang digunakan dalam
putusan Mahkamah Konstitusi tentang pencalonan mantan narapidana sebagai
anggota Legislatif. Pengambilan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan.
Adapun tiga jenis pengumpulan data yaitu dari dokumentasi, observasi, interview,
dan. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisa secara kualitatif, dan
menggunakan metode berfikir induktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi
No.04/PUU-VII/2009 bahwa mantan narapidana boleh mencalonkan sebagai
anggota legislatif apabila memenuhi syarat-syarat tertentu, ada 4 (empat) syarat:
(i) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected official); (ii) berlaku
terbatas jangka waktu hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai
menjalani hukumannya. (iii) dikecualikan bagi mantan narapidana yang secara
terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang besangkutan mantan
terpidana; (iv) bukan sebagai sebagai pelaku kejahatan yang berulang-berulang.
Penelitian yang kedua yang berhasil peneliti temukan adalah penelitian dari
Gita Kumala Sari yang berjudul Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor.04/PUU-VII/2009 Tentang Pencabutan Hak Politik.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pertimbangan hukum dan
dampak yuridis dari putusan Mahkamah Konstitusi No. 40/PUU-VII/2009 Tentang
Pencabutan Hak Politik untuk mencalonkan sebagai anggota legislatif.
Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan. Adapun metode yang
digunakan dalam menganalisis data adalah metode deskriptif-analisis. Hasil
penelitian menunjukkan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi No.04/PUU-VII/2009 adalah Mahkamah Konstitusi mengemukakan
bahwa norma hukum persyaratan untuk menduduki jabatan-jabatan publik yang
tersebar di berbagai undang-undang pernah diputus oleh Mahkamah Konstitusi
dalam Putusan Nomor 14-17/PUU-V/2007 dan Putusan Nomor 15/PUU-VI/2008
dengan amar putusan permohonan ditolak, maka menurut pemerintah,
permohonan dalam Perkara Nomor 4/PUU-VII/2009 yang tidak memiliki alasan-
alasan konstitusionalitas yang berbeda dengan permohonan sebelumnya,
merupakan norma hukum yang bersifat inkonstitusional bersyarat (conditionally
unconstituonal). Dan dampak yuridis terhadap hak-hak konstitutional narapidana
sebagai warga negara atas perlakuan, jaminan, perlindungan dan hak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana dijamin
dalam UUD 1945.
Dari kedua penelitian diatas, terdapat beberapa perbedaan dengan skripsi
yang saya kerjakan. Pertama, Judul yang saya angkat berbeda karena di kedua
skripsi di atas keduanya menganalisis putusan Mahkamah Konstitusi sedangkan
saya menganalisis putusan Mahkamah Agung. Kedua, teori yang digunakan pada
kedua skripsi diatas yaitu kebanyakan teori fiqh siyasah. Di skripsi yang saya
buat, menambahkan teori ushul fiqh tentang ahliyah. Ketiga, metode penelitian
yang saya gunakan yaitu metode kualitatif komparatif.
BAB III
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG, LATAR BELAKANG, ISI DAN
ARGUMENTASI
D. Gambaran Umum Tentang Putusan Mahkamah Agung No.
46p/Hum/2018
Pemohon telah mengajukan permohonan dengan bertanggal 9 Juli 2018
yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Agung dan diregister dengan nomor
46P/HUM/2018, telah mengajukan permohonan keberatan Hak Uji Materiil
terhadap
-Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
-Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Undang-undangan.
-Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Kewenangan Mahkamah Agung pada pasal 24 A ayat (1) Perubahan
Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun1945 juncto Pasal
31 Undang-undang nomor 3 Tahun 2009 menyatakan bahwa Mahkamah Agung
berwenang mengadili dan menguji pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-Undang terhadap Undang-undang.
1. Pemohon dan Kepentingan Hukum
Bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung pasal
31A ayat (2) menyatakan “Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh
berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, yaitu:
a. Perorangan Warga Negara Indonesia
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang
c. Badan hukum publik atau badan hukum privat
Singkatnya menurut pemohon adalah perseorangan warga negara
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 31A ayat (2) UU MA,
beranggapan pemberlakuan pada sebagian pasal dalam Peraturan Komisi
Pemilihan Umum tentang syarat pencalonan sebagai calon anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota tidak sesuai dengan perintah
konstitusi. Norma tersebut jelas dan nyata melanggar hak konstitusional
pemohon yang diberikan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilihan Umum kepada pemohon karena Pemohon yang pernah menjalani
hukuman pidana penjara korupsi, padahal dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tidak mengatur larangan bagi mantan narapidana korupsi untuk
mengikuti Pemilihan Umum, sehingga Pemohon merasa hak dan/atau
kewenangan konstitusi dirugikan dengan berlakunya Peraturan Komisi
Pemilihan Umum tersebut.
Pemohon adalah warga negara Indonesia yang pernah dijatuhi pidana
penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana korupsi, sama sekali tidak ada
Pidana Tambahan yang melarang Pemohon untuk dipilih dan/atau memilih
atau untuk aktif dalam kegiatan politik atau dalam suatu jabatan politik
dan/atau menduduki jabatan di pemerintahan, atau dengan kata lain melarang
Pemohon untuk menjadi calon wakil rakyat di DPR atau DPRD.
Bahwa dalam Pasal 4 ayat (3) PKPU nomor 20 Tahun 2018, berbunyi,
“dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak menyertakan mantan terpidana bandar
narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.” Pasal 11 ayat (1)
huruf d, yang berbunyi,” Dokumen persyaratan pengajuan bakal calon
sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) berupa ... d. Pakta integritas
yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik sesuai dengan tingkatannya
dengan menggunakan formulir Model B.3” dan Lampiran Model B.3 Pakta
Integritas Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR/DPRD Provinsi/ DPRD
Kabupaten/Kota.
Berlakunya ketentuan yang membatasi berupa persyaratan
perseorangan calon Dewan Perwakilan Rakyat , Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Kabupaten/Kota tersebut telah serta merta menghukum dan membatasi hak
seseorang, padahal suatu norma yang terdapat di dalam undang-undang tidak
bisa diberlakukan begitu saja. Norma tersebut hanya berlaku dan dijalankan
melalui putusan pengadilan. Bahwa seseorang hanya bisa dihukum dengan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap. Jika aturan tersebut
diberlakukan menunjukkan tidak adanya kepastian hukum terhadap diri
pemohon.
Pemohon adalah warga negara Republik Indonesia yang pernah
dinyatakan bersalah dan terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap oleh Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1164 K/Pid.Sus/2010 tanggal 9 Juni 2010. Dalam
putusan tersebut pemohon dijatuhi pidana kurungan penjara karena
melakukan tindak pidana korupsi. Di dalam putusan tersebut tidak ada
hukuman tambahan yang melarang Pemohon untuk aktif dalam kegiatan
politik, dipilih, atau memilih dalam suatu Pemilihan Umum. Namun demikian
dengan adanya aturan yang terdapat dalam PKPU yang diuji tersebut
menjadi mustahil bagi pemohon untuk mencalonkan diri dalam proses
pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Kabupaten
Probolinggo.
Pemohon yang telah menjalani hukuman pidana sesuai dengan
aturan, kemudian kembali ke tengah-tengah masyarakat untuk beraktifitas
dan menjalani kehidupan sehari-hari. Melakukan kegiatan seperti sediakala
seperti sebelum menjalani hukuman pidana penjara.
Bahwa pada saat ini Pemohon bermaksud untuk kembali berperan
dalam membangun daerahnya dalam hal ini menjadi Anggota DPRD di
Kabupaten Probolinggo. Namun demikian hak nya terhalang dengan adanya
norma yang terdapat dalam pasal 4 ayat (3) , Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan
Lampirana Model B.3 PKPU Momor 20 Tahun 2018 telah membatasi hak
konstitusional Pemohon dalam rangka memajukan dirinya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
2. Tentang Pokok Perkara
Fokus perhatian Pemohon adalah salah satu persyaratan menjadi
anggota calon anggota DPR,DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota PKPU
Nomor 20 Tahun 2018 yakni pasal 4 ayat (3), pasal 11 ayat (1), dan Lampiran
Model B.3.
a. Pasal 4 ayat (3) PKPU nomor 20 Tahun 2018, berbunyi, “dalam
seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak menyertakan mantan terpidana bandar
narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.”
b. Pasal 11 ayat (1) huruf d, yang berbunyi, ”Dokumen persyaratan
pengajuan bakal calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat
(1) berupa ... d. Pakta integritas yang ditandatangani oleh pimpinan
partai politik sesuai dengan tingkatannya dengan menggunakan
formulir Model B.3”
c. dan Lampiran Model B.3 Pakta Integritas Pengajuan Bakal Calon
Anggota DPR/DPRD Provinsi/ DPRD Kabupaten/Kota.
Beberapa pasal dalam PKPU tersebut menurut Pemohon bertentangan
dengan :
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
b. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234);
c. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3614)
3. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara
Adapun sebelum mahkamah melakukan pertimbangan terhadap
permohonan yang diajukan, Mahkamah Agung memandang perlu untuk
mepertimbangkan terlebih dahulu penundaan pemeriksaan permohonan, hal ini
dikarenakan undang-undang yang menjadi dasar dari pemohonan sedang
menjalani proses pengujian di Mahkamah Konstitusi.
Hal ini didasarkan kepada pasal 55 undang-undang nomor 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan undang-
undang nomor 8 tahun 2011 tentang perubahan atas undang-undang nomor 24
tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto putusan Mahkamah
Konstitusi nomor 93/PUU-XV/2017, tanggal 20 Maret 2018, yang amarnya
menyatakan "pengujian peraturan perundangundangan dibawah undang-
undang yang seeding dilakukan di Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila
apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut
sedang dalam proses pengujian di Mahkamah Konstitusi".
Hingga turun surat pemberitahuan dari Mahkamah Konstitusi nomor
24/HK.06/9/2018, tanggal 12 September 2018, perihal permintaan data, yang
ternyata dasar pengujian yaitu undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang
pemilihan umum yang dimaksud tidak ada pasal atau norma yang berkaitan
dengan dasar pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang oleh Mahkamah Agung, untuk itu penetapan penundaan pemeriksaaan
permohonan sudah tidak relevan lagi untuk dipertahankan sehingga
pemeriksaan dilanjutkan pada pokok permohonan.
Pokok permohonan terkait larangan bagi mantan terpidana korupsi
untuk mencalonkan diri pada pasal 4 ayat (3), pasal 11 ayat (1) huruf d dan
pakta integritas B.3 Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, untuk itu berdasarkan pengakuan pemohon yang mengakui
bahwa dirinya merupakan mantan terpidana korupsi dan telah mendapatkan
hukuman serta tidak terkait dengan mantan terpindana bandar narkoba dan
kejahatan seksual terhadap anak sehingga dalam hal ini yang menjadi persoalan
terdapat pada frasa "korupsi".
Hakim menilai Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 pada frasa tersebut
tidak menjamin hak dasar warga negara yang telah dijamin dalam konstitusi
yaitu hal memilih dan dipilih yang terdapat dalam pasal 28 UUD NRI Tahun
1945 dan peraturan perundang-undangan pasal 43 ayat (1) dan pasal 73
undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selanjutnya
adapun pengakuan terdahap hak politik ini diakui dalam kovenan internasional
hak-hak sipil dan politik (international covenant on civil and political rights
disingkat ICCPR) yang ditetapkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
berdasarkan resolusi 2200A sebagaimana telah diratifikasi melalui undang-
undang nomor 12 tahun 2005 tentang pengesahan international covenant on
civil and political rights.
Untuk itu sangat jelas bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang
sama untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum dan kalaupun ada
permbatasan terhadap hak tersebut maka harus ditetapkan dalam undang-
undang atau berdasarkan putusan hakim yang mencabut hak politik seseorang
yang disebut didalam hukuman tambahan.
Selanjutnya menurut Mahkamah Agung norma yang diatur dalam
ketentuan yang disebutkan diatas bertentangan dengan pasal 240 ayat (1) huruf
g undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum. Ketentuan
dalam pasal tersebut tidak menyebutkan norma atau aturan larangan
mencalonkan diri bagi mantan terpidana korupsi sebagaimana yang tercantum
dalam peraturan KPU nomor 20 tahun 2018.
Meskipun maksud dari KPU rumusan norma tersebut ditujukan kepada
pimpinan partai politik pasa saat melakukkan proses seleksi internal parpol
terhadap bakal calon anggota legislatif, agar tidak mengikut sertakan mantan
terpidana korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak,
menurut Mahkamah tetap saja hal tersebut pada intinya membatasi hak politik
seseorang yang akan mencalonkan diri sebagai bakal calon anggota legislatif
dalam pemilihan umum.
Selanjutnya pasal 4 ayat (3), pasal 11 ayat (1) huruf d dan pakta
integritas B.3 Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota bertentangan pula dengan pasal 12 huruf d dan tidak sejalan
dan berbenturan atau tidak memenuhi asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik sebagaimana yang dijelaskan dalam undang-
undang nomor 12 tahun 2011. Adapun rumusan pasal 12 huruf d undang-
undang nomor 12 tahun 2011 menentukan "peraturan dibawah undang-undang
berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya"
sehingga menurut Mahkamah Agung KPU telah membuat ketentuan yang tidak
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan diatasnya.
Mahkamah Agung berpendapat penyelegaraan pemilu yang adil dan
berintegritas sebagaimana menjadi semangat Peraturan KPU No. 20 Tahun
2018 merupakan sebuah keniscayaan bahwa pencalonan anggota legislatif
harus berasal dari figure yang bersih dan tidak pernah memiliki rekam jejak
cacat integritas, namun kembali ditegaskan bahwa pembatasan terhadap hak
politik seorang warga negara dimuat dalam undang-undang bukan diatur dalam
peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang in casu Peraturan
KPU No. 20 Tahun 2018.
E. Pendapat Hakim Mahkamah Agung dan Pokok Permohonan
Bahwa objek permohonan yang dimohonkan pengujian adalah norma
tentang larangan bagi mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual
terhadap anak, dan korupsi menjadi Bakal Calon Anggota Legislatif sebagaimana
diuraikan dalam Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (PKPU No. 20/2018);
Bahwa Pemohon adalah mantan terpidana kasus korupsi berdasarkan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan telah dibebaskan
serta telah aktif dalam kegiatan bermasyarakat (bukti P-2). Pemohon tidak terkait
dengan mantan terpidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak.
Oleh karena itu, Pemohon hanya relevan untuk mempersoalkan pengujian frasa
mantan terpidana korupsi tersebut;
Bahwa hak memilih dan dipilih sebagai anggota Legislatif merupakan hak
dasar di bidang politik yang dijamin oleh Konstitusi yaitu Pasal 28 Undang-
Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Pengakuan hak politik ini juga diakui
dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant
on Civil and Political Rights disingkat ICCPR) yang ditetapkan Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa berdasarkan Resolusi 2200A (XXI) pada tanggal 16
Desember 1966 sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political
Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik);
Bahwa lebih lanjut pengaturan mengenai hak politik diatur dalam Pasal 43
ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU
HAM), yang menyatakan “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih
dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara
yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”. Pasal 73 Undang-Undang tersebut juga
menentukan “Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-Undang ini hanya
dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk
menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta
kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan
bangsa”;
Bahwa dalam UU HAM di atas sangat jelas diatur bahwa setiap warga
negara mempunyai hak yang sama untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan
umum dan kalaupun ada pembatasan terhadap hak tersebut maka harus ditetapkan
dengan undang-undang, atau berdasarkan Putusan Hakim yang mencabut hak
politik seseorang tersebut di dalam hukuman tambahan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap sesuai ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
juncto Pasal 35 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
mengatur mengenai pencabutan hak politik (hak dipilih dan memilih);
Bahwa Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018, Pasal
4 ayat (3), menentukan, “Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar
narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.”
Bahwa “Pasal 11 ayat (1) huruf d, menentukan “Dokumen persyaratan
pengajuan bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) berupa ...
d. Pakta integritas yang ditandatangani oleh Pimpinan Partai Politik sesuai dengan
tingkatannya dengan menggunakan formulir Model B.3”;
Bahwa Lampiran Model B.3 berisi tentang Pakta Integritas Pengajuan
Bakal Calon Anggota DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota, PKPU
Nomor 20 Tahun 2018;
Bahwa menurut Mahkamah Agung, norma yang diatur dalam Pasal 4 ayat
(3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 bertentangan
dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum, yang menyatakan:
“Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:
a. “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara
terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan
mantan terpidana”;
Bahwa dari ketentuan Pasal 240 ayat (1) huruf g tersebut tidak ada norma
atau aturan larangan mencalonkan diri bagi Mantan Terpidana Korupsi
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d dan
Lampiran Model B.3 Pakta Integritas Pengajuan Bakal Calon Anggota
DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota, Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 20 Tahun 2018;
Bahwa meskipun maksud Komisi Pemilihan Umum mencantumkan Pasal 4
ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d dan Lampiran Model B.3 ditujukan kepada
pimpinan partai politik pada saat melakukan proses seleksi internal parpol
terhadap Bakal Calon Anggota Legislatif agar tidak mengikutsertakan mantan
terpidana koruptor, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak, akan
tetapi hal tersebut pada intinya membatasi hak politik seseorang yang akan
mencalonkan diri sebagai Bakal Calon Legislatif dalam Pemilihan Umum;
Bahwa Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d dan Lampiran Model B.3
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 bertentangan pula
dengan Pasal 12 huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang
menentukan, “peraturan di bawah undang-undang berisi materi untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Komisi Pemilihan Umum
telah membuat ketentuan yang tidak diperintahkan oleh peraturan perundang-
undangan di atasnya;
Bahwa Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d dan Lampiran Model B.3
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tidaksejalan,
berbenturan, atau tidak memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik, sebagaimana yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
Bahwa penyelenggaraan Pemilu yang adil dan berintegritas sebagaimana
menjadi semangat Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018
(objek hak uji materiil) merupakan sebuah keniscayaan bahwa pencalonan
anggota legislatif harus berasal dari figur yang bersih dan tidak pernah memiliki
rekam jejak cacat integritas. Namun pengaturan terhadap pembatasan hak politik
seorang warga negara harus dimuat dalam undang-undang, bukan diatur dalam
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang in casu Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018;
Bahwa Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d dan Lampiran Model B.3
yang mengatur tentang hak politik warga Negara, merupakan norma hukum baru
yang tidak diatur dalam Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dalam
hal ini Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, maka
ketentuan Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3
PKPU Nomor 20 Tahun 2018 sepanjang frasa “mantan terpidana korupsi” harus
dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
F. Amar Putusan
Amar Putusan Keputusan Mahkamah Agung Nomor 46p/Hum/2018
Tentang Pencalonan Mantan Koruptor Sebagai Calon Legislatif mengadili dan
menyatakan;
1. Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon
JUMMANTO tersebut;
2. Menyatakan Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran
Model B.3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2018 tanggal 2 Juli 2018 tentang Pencalonan Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2018 Nomor 834) sepanjang frasa “mantan terpidana
korupsi” bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, karenanya tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum;
3. Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan
petikan putusan ini kepada Percetakan Negara untuk dicantumkan dalam
Berita Negara;
4. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung pada hari Kamis, tanggal 13 September 2018 oleh Dr. H. Supandi,
S.H., M.Hum., Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai
Ketua Majelis, Dr. Irfan Fachruddin, S.H., C.N., dan Dr. H. Yodi Martono
Wahyunadi, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua
Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan oleh Kusman,
S.IP., S.H., M.Hum., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
BAB IV
A. Analisis dasar hukum dan pertimbangan yang digunakan Hakim
Mahkamah Agung dalam putusan Mahkamah Agung No. 46P/Hum
2018
Pasca putusan Mahkamah Agung No. 46p/Hum/2018, hal tersebut
disebabkan atas permohonan yang diajukan oleh Jumanto calon anggota legislatif
untuk DPRD Probolinggo, Jawa Timur yang gagal karena terganjal kasus pidana.
Dia menyatakan bahwa adanya ketentuan Pasal pasal 4 ayat (3) , Pasal 11 ayat
(1) huruf d, dan Lampirana Model B.3 PKPU Momor 20 Tahun 2018 tentang
syarat pencalonan legislatif telah berlaku tidak adil padanya. Padahal secara
potensial sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28 serta UU Pemilu No. 7
tahun 2017.
Keputusan Mahkamah Agung tentang diperbolehkannya mantan
narapidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif
(DPR,DPD,DPRD) ternyata mengundang kontroversi di kalangan masyarakat
Indonesia. Berbagai argumen tentang putusan Mahkamah Agung tersebut muncul
di berbagai media masa baik elekronik maupun media cetak.
Banyak masyarakat yang beragumentasi bahwa untuk menjadi pegawai
saja diperlukan surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian, apalagi untuk
menduduki jabatan pemerintahan, apa jadinya jika sebuah pemerintahan dipegang
oleh orang-orang yang tidak mempunyai moral yang baik, pasti akan sering
berbuat hal-hal yang merugikan rakyat.
Ditambah lagi dengan survey berdasarkan data dari lingkaran survey
Indonesia (LSI) pada tanggal 18 juni-5 juli 2018 jumlah respon mencapai 1200
orang Indonesia dan hanya 65 persen respon yang percaya terhadap DPR
sementara 25,5 persen tidak percaya dan 9,5 persen tidak menjawab. Dan
penyebab terjadi hal ketidak percayaan masyarakat kepada calon anggota Dewan
Perwakilan Rakyat salah satunya adalah sering terjadi praktik korupsi di
parlemen.63
Menurut penulis argumentasi tersebut hanya melihat dari segi
negatifnya saja tanpa melihat dari segi positifnya dari seorang mantan narapidana.
Menurut penulis tentang dasar hukum yang digunakan Mahkamah Agung
dalam memutuskan perkara No.46p/Hum/2018 sudah tepat. Keputusan yang
akhirnya dijatuhkan oleh Mahkamah Agung yang didasarkan pada konstitusi yang
ada di negara kita UUD 1945 yakni pasal 28 UUD NRI Tahun 1945 tentang hak
politik warga negara dan peraturan perundang-undangan pasal 43 ayat (1) dan
pasal 73 undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta
Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum.
Berdasarkan dasar-dasar hukum tersebut, akhirnya Mahkamah Agung
menyatakan bahwa norma hukum:
Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d dan Lampiran Model B.3 yang
mengatur tentang hak politik warga Negara, merupakan norma hukum baru yang
tidak diatur dalam Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dalam hal ini
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, maka ketentuan
63
“Survey LSI: DPR, Lembaga Negara dengan Tingkat Kepercayaan terendah”, (On-
line) https://nasional.kompas.com/read/2018/07/31/17242921/survei-lsi-dpr-lembaga-negara-
dengan-tingkat-kepercayaan-terendah?page=all (20 Juni 2011).
Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 PKPU Nomor
20 Tahun 2018 sepanjang frasa “mantan terpidana korupsi” harus dinyatakan
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum.
Pada tahun 2017 Undang-undang pemilu telah mengalami pembaharuan,
Undang-Undang yang mengatur persyaratan bagi setiap warga negara yang ingin
menjadi calon anggota legislatif baik DPD, DPR, dan DPRD, persyaratan tersebut
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Bahwa salah satu
persyaratan untuk menjadi anggota legislatif yakni dalam Pasal 240 ayat (1) huruf
g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017:
“Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah
Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:
a. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara
terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan
mantan terpidana.
Undang-undang inipun telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal
15 agustus 2017, terdiri atas 573 pasal, penjelasan, dan 4 lampiran.
Atas beberapa dasar pertimbangan yang didasarkan pada dalil-dalil
pemohon, alat bukti surat, keterangan ahli yang diajukan, keterangan pemerintah
dan pihak pemohon. Akhirnya Mahkamah Agung memutuskan mengabulkan
seluruh permohonan dari pemohon.
Menurut penulis tentang kasus diatas apabila seseorang telah menjalani
penjara atau pemasyarakatan masih tidak dapat disamakan dengan orang yang
belum pernah dipenjara, maka itu merupakan pengakuan sistem pemasyarakatan
Indonesia yang gagal. Artinya proses pemasyarakatan selama ini yang dilakukan
oleh negara tidak berhasil mengembalikan kedudukan mantan narapidana sebagai
anggota masyarakat yang normal. Seorang mantan narapidana adalah orang yang
dulu pernah melakukan perbuatan kejahatan/tindakan kriminal dan telah
menjalani hukuman pidana.
B. Analisis Putusan Mahkamah Agung No.46P/Hum/2018 Tentang Hak
Politik Mantan Koruptor dalam Hukum Islam dan Konstitusi
Berdasarkan penelitian para ahli Ushul Fiqh bahwa Allah telah menurunkan
syari„at Islam dengan beberapa tujuan (Muqasid al Tasyri atau Muqasid al
Syari‟ah). Yang secara garis besar terdiri dari tiga hal, yakni dharuriat (tujuan
pokok), yaitu hal-hal penting yang harus dipenuhi untuk kelangsungan hidup
manuasia. Bila mana hal tersebut tidak dipenuhi, maka akan terjadi kerusakan,
kerusuhan dan kekacauan hidup manusia; hajiat (tujuan sekunder), yaitu hal-hal
dibutuhkan oleh manusia untuk mendapatkan kelapangan dan kemudahan dalam
hidup di dunia. Bila mana hal tersebut tidak dipenuhi, maka manusia akan
mengalami kesulitan; dan tahzinayat (tujuan tersier), yaitu hal-hal perlengkapan
yang terdiri dari kebiasaan dan akhlak baik.
Tujuan pokok atau dharuriyat meliputi perlindungan terhadap agama, jiwa,
akal, nasab, dan harta (al muhafadlah,ala al-din, wa al-mafz, wa al-„aql, wa al
nasl, wa al mal), kedudukan manusia di muka bumi ini di topang oleh lima hal
ini.64
Manusia tidak akan meraih kehidupan yang mulia tanpa memelihara hal
tersebut, karena kemuliaan manusia itu terketak pada terjaganya lima perkara
tersebut.
Dalam ilmu Ushul Fiqh, kemampuan seseorang untuk menerima suatu
hukum disebut juga dengan ahliyah. Ahliyah berarti “kecakapan menangani suatu
urusan”, Misalnya seseorang dikatakan ahli untuk menduduki suatu jabatan/posisi,
berarti dia mempunyai kemampuan untuk itu.
Secara istilah, para ahli ushul fiqh mendefinisikan ahliyah dengan :
ي تشريع لخطاب صالحا محل تجعله الشخص في الشارع ي قدرها صفة
“Suatu sifat yang dimiliki seserorang, yang dijadikan oleh syar‟i untuk
menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara.”
Maksudnya, ahliyah adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah
sempurna jasmani dan akhlaknya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh
syara‟. Apabila seseorang telah mempunyai sifat ini, maka ia dianggap telah sah
melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak
milik kepada orang lain, atau transaksi yang bersifat menerima hak dari orang
lain.
Melalui definisi di atas ini dipahai bahwa ahliyah merupakan sifat yang
mengindikasikan seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya sehingga semua
64
Y Yubsir, Maqashid Al-Syariah Sebagai Metode Interpretasi Teks Hukum: Telaah
Filsafat Hukum Islam, Jurnal Al Adalah, Vol 11, 2013, (Bandar Lampung: Fakultas Syariah UIN
Raden Intan Lampung, 2019), h. 242. (on-line). Tersedia di
http://ejournal.radenintan.ac.id/doi.org/10.24042/adalah.v11i2.265 (22 Juni 2019), dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
perbuatannya dapat dikenai taklif.
Ulama ushul membagi keahlian ini kepada dua bagian.
a. Ahliyah al-Wujub, yakni kelayakan seseorang untuk ada padanya hak dan
kewajiban. Dasar dari ahliyah ini adalah sebab-sebab khusus yang dijadikan
Allah pada manusia.
b. Ahliyah al Ada‟, yaitu kelayakan seorang mukallaf untuk dianggap sah segala
ucapan dan tindakannya menurut syara‟. Artinya, apabila itu seseorang
mukalaf melakukan suatu tindakan, tindakan itu dianggap sah menurut syara‟
dan mempunyai konsekuensi hukum.
Kecakapan berbuat hukum atau ahliyyah al-adâ‟ terdiri dari tiga tingkat.
Setiap tingkat ini dikaitkan kepada batas umur seorang manusia. Ketiga
tingkat itu adalah:
a) Adim Al-Ahliyyah (tidak memiliki kecakapan) yaitu seseorang yang sama
sekali
tidak memiliki kecakapan bertindak secara hukum. Mereka ini adalah yang
berusia antara nol sampai mencapai umur tamyiz sekitar umur tujuh tahun.
Pada usia ini seorang anak belum sempurna akalnya atau belum berakal,
sedangkan taklif dikaitkan kepada sifat berakal.
b) Ahliyyah Al-Adâ‟ Al-Nâqishah (kecakapan bertindak tidak sempurna)
Ahliyyah Al-Adâ‟ Al-Nâqishah adalah seseorang yang sudah mencapai umur
tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa. Penamaan nâqishah (lemah)
dalam bentuk ini oleh karena akalnya masih lemah dan belum sempurna.
c) Ahliyyah Al-Adâ‟ Al-Kâmilah (kecakapan bertindak secara sempurna)
Yang dimaksud dengan ahliyyah al-adâ‟ al-kâmilah yaitu seseorang
yang telah memiliki akal yang sempurna, yaitu yang telah mencapai usia
dewasa, sehingga ia dipandang telah mukallaf.
Dari penjelasan tentang ahliyyah al-wujûb dan ahliyyah al-adâ di atas
dapat diketahui bahwa semua manusia memiliki kecakapan secara hukum
untuk dikenakan kewajiban dan diberi hak (ahl li al-wujûb), tetapi tidak
semua manusia dipandang cakap untuk bertindak secara hukum (ahl li al-
adâ). Seseorang baru dipandang cakap bertindak secara hukum, apabila ia
telah mencapai kedewasaan dari segi usia dan akalnya serta tidak ditemukan
cacat atau kurang pada akalnya. Dalam keadaan seperti ini barulah seseorang
dapat disebut sebagai mukallaf.
Dalam hal seseorang yang hendak mencalonkan diri sebagai anggota
dewan, orang tersebut telah dikenakan taklif. Bahkan termasuk golongan
ahliyyah al ada karena telah memiliki akal yang sempurna, yaitu yang telah
mencapai usia dewasa, dan dapat disebut sebagai mukallaf.
Mantan terpidana koruptor yang pernah melakukan pidana atau
kesalahan, dalam kajian ushul fiqh hal tersebut dapat menyebabkan rusak
bahkan hilangnya keahlian (awarid ahliyah) .
Meskipun sejak lahirnya, seorang mantan koruptor tadi telah memiliki
kecakapan menerima kewajiban dan hak (ahl li al-wujub), dan sejak dewasa
dari segi usia dan akalnya, memiliki kecakapan untuk bertindak secara hukum
(ahl li al-ada).
Faktor-faktor yang menghalanginya untuk dapat dipandang cakap
bertindak secara hukum ada yang berasal dari dalam dirinya, dan ada pula
yang berasal dari luar dirinya.
Adapun dalam putusan Mahkamah Agung No.46P/Hum/2018 tentang
mantan koruptor yang diperbolehkan mencalonkan diri sebagai legistlatif.
Dalam kajian ilmu ushul fiqh seorang tadi terkena penghalang kecakapan
dalam berbuat hukum yang berasal dari luar dirinya („Awaridh Muktasabah)
yaitu safah (bodoh) dan jahil (ketidaktahuan tentang adanya hukum).
Safah yaitu kelemahan yang terdapat pada seseorang yang
menyebabkan ia berbuat sesuatu menyalahi apa yang dikehendaki oleh akal
yang sehat. Perbuatan safah (bodoh) tidak meniadakan sesuatu pun dari
hukum syara‟. Terhadapnya berlaku tuntutan syara‟, baik yang berhadapan
dengan hak-hak Allah maupun yang berhadapan dengan hak-hak hamba
karena ia mukallaf secara penuh. Apabila ia mengerjakan suatu kejahatan, ia
dikenai oleh sanksi hukum sebagaimana yang berlaku terhadap orang yang
tidak safih dengan tidak kurang sedikitpun.
Dalan hal mantan koruptor yang hendak mencalonkan diri sebagai
anggota legislatif, menurut penulis mereka termasuk golongan orang yang
sudah dikenakan kewajiban mereka terkena penghalang kecakapan (ahliyah)
golongan safih (bodoh) yang harus mendapatkan sanksi hukuman sampai
habis hukumannya berdasarkan peraturan yang berlaku. Namun untuk
menghilangkan hak politiknya penulis merasa tidak perlu, apabila dia sudah
bertaubat dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya lagi. Apalagi ditambah
dengan peraturan tambahan dalam UU Pemilu tentang pengumuman calon
legislatif mantan narapidana secara terbuka dan jujur mengemukan kepada
publik bahwa yang bersangkutan mantan narapidana.
Kemudian alasan kedua yakni menggolongkan mantan koruptor tadi
menjadi golongan yang terkena penghalang kecakapan jahil. Jahil adalah
ketidaktahuan tentang adanya suatu hukum karena bisa jadi ketika dia
melakukan perbuatan korupsi, dia tidak mengetahui hal hal (misal tentang
administrasi) yang menjadikannya terkena tindak pidana korupsi. Dan jika
benar hal demikian, maka seorang tersebut tidak dapat dihukum selamanya
termasuk dengan menghilangkan hak politik.
Islam tidak membedakan dalam hal kedudukan, ras, agama maupun
status sosialnya dalam masyarakat. Sehingga mantan narapidana maupun
bukan mantan narapidana mempunyai hak-hak yang sama dalam pandangan
Islam apabila ia benar-benar bertaubat. Ketika seorang yang pernah
melakukan kejahatan kemudian ia bertaubat sungguh-sungguh yakni dengan
tidak mengulang kembali kejahatan yang dulu pernah diperbuatnya, maka
sesungguhnya kebaikan itu dapat menghapus dosa.
Dalam aturan konstitusi yang berlaku di Indonesia, putusan
Mahkamah Agung No.46P/Hum/2018 yang membolehkan mantan koruptor
sebagai anggota legislatif, Mahkamah menilai peraturan KPU tersebut
bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi yaitu undang-undang
No. 7 tahun 2017 Tentang pemilihan umum dan undang-undang No. 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan serta telah
melanggar hak asasi manusia sebagai warga negara yang dijamin dalam UUD
RI Tahun 1945.
Menurut penulis, dari penjelasan diatas dapat dipetik satu hal bahwa
putusan Mahkamah Agung No.46p/Hum/2018 telah mengembalikan hak-hak
rakyat yakni hak seorang mantan koruptor untuk ikut serta berpartisipasi
dalam politik dan hak yang sama dihadapan hukum. Sebab dia sudah
bertaubat dan telah membayar semua kesalahannya di masa lalu yaitu dengan
dipidana penjara.
Sebab tujuan pemidanaan adalah membebaskan narapidana secara
mental dan spiritual. Dengan tujuan pembebasan tersebut narapidana seolah-
olah mengalami kelahiran kembali secara mental dan spiritual dan akan
melepaskan segala cara berpikir, kebiasaan, dan gaya kehidupan yang lama.
Pemulihan kembali hak-hak dan kebebasan tersebut ditujukan agar orang
yang telah menjalani hukuman dapat berperan aktif dalam pembangunan dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung
jawab. Dengan demikian seorang mantan narapidana koruptor boleh menjadi
anggota legislatif.
Selanjutnya, putusan Mahkamah Agung Nomor 46P/Hum/2018 yang
memperbolehkan mantan koruptor mencalonkan diri sebagai anggota
legislatif sudah tepat dengan konstitusi yang ada di Indonesia sesuai dengan
hierarki peraturan perundang-undangan. Adapun dalam putusannya, tidak
sepenuhnya menjamin bahwa mantan koruptor tersebut dapat mengulang
kejahatannya kembali, untuk lebih baiknya, kedepan Undang-undang Pemilu
harus diperbaharui terlebih mengenai larangan mantan koruptor untuk
mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Agar ada aturan yang jelas dan
tidak menjadi polemik yang berkelanjutan di masyarakat.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan skripsi yang telah diuraikan diatas, penulis dapat
mengambil beberapa kesimpulan untuk menjawab pertanyaan dari rumusan
masalah sebagaimana berikut:
1. Putusan Mahkamah Agung No.46P/Hum/2018 yang mengabulkan uji
materiil tentang peraturan tersebut dan menimbulkan akibat hukum
diperbolehkannya mantan koruptor untuk mencalonkan sebagai anggota
legislatif sesuai dengan UU Pemilu, dengan dasar pertimbangan, Peraturan
KPU tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi di atasnya
yakni pada UUD 1945 yakni pada pasal 28, peraturan perundang-undangan
pasal 43 ayat (1) dan pasal 73 undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia serta UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 Pasal 240 ayat (1)
huruf g yang berbunyi:
“Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:
a. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih,
kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa
yang bersangkutan mantan terpidana.
Keputusan yang membatalkan peraturan KPU adalah agar terdapat kepastian
hukum dalam negara yang berasaskan hukum. Oleh karenanya putusan
Mahkamah Agung telah mempertimbangkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang ada.
2. Berdasarkan kajian hukum Islam Putusan Mahkamah Konstitusi
No.46p/Hum/2018 yang memperbolehkan mantan koruptor mencalonkan
sebagai anggota legislatif adalah sejalan dengan konsep Islam yang
mencangkup hak-hak umat. Sebab mantan koruptor juga termasuk umat yang
harus dilindungi hak-haknya apabila telah bertaubat. Sekalipun kecakapannya
(ahliyah) pernah terhalang akibat kebodohan (safih) atau jahil akibat
perbuatan yang diperbuatnya. Namun disamping itu, Indonesia merupakan
negara hukum yaitu negara yang berlandaskan kepada hukum (hukum
positif). Dan juga dalam konstitusi di Indonesia rumusan Peraturan KPU tidak
sesuai dengan hierarki yang ditentukan dalam undang-undang no. 12 tahun
2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dan menjadi
pedoman dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Selain itu
Peraturan KPU ini pula bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 tentang hak
dasar seseorang di bidang politik. Pembatasan hak politik seseorang
seharusnyaa dimuat di dalam undang-undang bukan peraturan dibawah
undang-undang Oleh sebab itu, walaupun KPU memiliki semangat untuk
memberantas korupsi dilingkungan para wakil rakyat hal ini tetap harus
berlandaskan kepada undang-undang yang lebih tinggi. Maka putusan
Mahkamah Agung merupakan putusan yang sudah selayaknya diberlakukan.
B. Rekomendasi
1. Putusan Mahkamah Agung No. 46/P/Hum/2018 yang membatalkan
Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, menjadi konsekuensi
yang harus dipatuhi. Untuk itu sebagai warga negara yang taat hukum
maka sudah seharusnya mematuhi putusan yang dikeluarkan oleh
Mahkamah Agung.
2. Berdasarkan uraian diatas maka, sudah seharusnya undang-undang No. 7
Tahun 2017 tentang pemilihan umum untuk segera di revisi oleh lembaga
pembentuk undang-undang serta mengsyaratkan bagi bakal calon pejabat
penyelenggara negara bebas dari praktik-praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme khususnya kepada bakal calon wakil rakyat. Agar pelaksanaan
pemilihan umum pada masa yang akan datang mampu menghadirkan
para wakil rakyat yang kompeten dan berintegritas bebas dari praktik-
praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Sehingga pemilihan umum
mampu terlaksana lebih sempurna sesuai dengan asas, langsung, umum,
bebas, jujur dan adil.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Khaliq, Farid , Fikih Politik Islam. Jakarta:Amzah, 2005.
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam Jakarta : Rajawali Pers, 2013.
Al Awasim , Alquran Tajwid Kode Tranliterasi Perkata Terjemah Perkata Bekasi
: Cipta Bagus Segara, 2013.
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia , Jakarta: Sinar
Grafika : 2011.
Asshiddiqie, Jimly , Pengantar Hukum Tata Negara Jakarta: Rajawali Pers,
2013.
Azra, Azyumardi , Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, Hak Asasi
Manusia, Masyarakat Madani , ICCE UIN Syarief Hidayatullah Jakarta,
2003.
Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2009.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Dahlan Thaib, Jazim Hamadi, dan Ni‟matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi
,Jakarta : Rajawali Pers, 2001.
El Muhtaj, Majda , Dimensi-Dimensi HAM mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya, Jakarta: PT Rajawali Pers , 2008.
HR, Ridwan, Fiqh Politik Gagasan, Harapan dan Kenyataan ,Yogyakarta : FH
UII Press, 2007.
Kasim, Ifdhal , Hak Sipil dan Politik Esai-Esai Pilihan, (Jakarta : Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat, 2001
Kautur, Ranny, Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi , Bandung : Taruna
Grafika 2000.
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Amani, 2003.
Koto, Alaiddin , Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh ,Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Mahfud, Moh , Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi ,Jakarta:
Rajaawali Pers, 2011.
Rahman Dahlan, Abd . Ushul Fiqh ,Jakarta: Amzah, 2014
Rajab, Dasril , Hukum Tata Negara Indonesia ,Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Riyanto, AstimTeori Konstitusi ,Bandung: Yapemdo, 2000.
Saefuddin, A.M, Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim ,Jakarta, gema insani
press, 1996
Salim, Abd Muin, Fiqh Siyasah, : Konsepsi Kekuatan Politik dalam Al-Quran
(Jakarta : PT Raja Grafindo, 1995, Cet II.
Sukarja, Ahmad, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negaradalam
Perspektif Fiqh Siyasah Jakarta : Sinar Grafika, 2014.
Syafiie, Inu Kencana , Ilmu Politik ,Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010.
Syarif, Mujar Ibnu , Hak –hak politik Non Muslim dalam Komunitas Islam,
Bandung : Angkasa, 2005.
Tim Penyusun Kamus Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta, Balai Pustaka,
2000.
Tim Pengajajar HTN FH Unila, Hukum Tata Negara ,Bandarlampung: Justice
Publisher, 2014.
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh Bekasi: Sinar
Grafika Offset , 2005.
Wahyudi, Alwi, Ilmu Negara dan Tipologi Kepemimpinan Negara ,Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,2014.
Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek ,Jakarta: Sinar
Grafika,2002.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Amandemen.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Perraturan Komisi Pemilihan
Umum.
Y Yubsir, Maqashid Al-Syariah Sebagai Metode Interpretasi Teks Hukum:
Telaah Filsafat Hukum Islam, Jurnal Al Adalah, Vol 11, 2013, (Bandar
Lampung: Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung, 2019), h. 242.
(on-line). Tersedia di
http://ejournal.radenintan.ac.id/doi.org/10.24042/adalah.v11i2.265 (22
Juni 2019), dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
“Survey LSI: DPR, Lembaga Negara dengan Tingkat Kepercayaan
terendah”, (On-line)
https://nasional.kompas.com/read/2018/07/31/17242921/survei-lsi-
dpr-lembaga-negara-dengan-tingkat-kepercayaan-terendah?page=all
(20 Juni 2011).