HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

77
HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI KARENA BERBEDA AGAMA (Analisis Keputusan Ijtima‘ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V Tahun 2015) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) OLEH: MASRUR RAHMANSYAH NIM: 1110043100048 KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016 M / 1437 H

Transcript of HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

Page 1: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI

KARENA BERBEDA AGAMA

(Analisis Keputusan Ijtima‘ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V Tahun 2015)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

OLEH:

MASRUR RAHMANSYAH

NIM: 1110043100048

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2016 M / 1437 H

Page 2: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …
Page 3: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …
Page 4: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …
Page 5: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

iv

مـــــــــحيحمن الرم الله الرـــــــبس

KATA PENGANTAR

Alhamdu Lillahi Rabbi al-‘Alamin, segala puji hanya bagi Allah Swt,

yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia ni’mat-Nya kepada hamba-

Nya. Shalawat beriring salam tak luput selalu tercurahkan kepada Rasul pilihan

Baginda Nabi Besar Muhammad SAW.

Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban yang harus dijalankan untuk

setiap manusia, karena menuntut ilmu dapat menghantarkan manusia menuju

gerbang masa depan yang cerah. Disebabkan hal itu penulis mencoba untuk

menyelesikan suatu karangan ilmiyah yang merupaka salah satu syarat demi

menggapai masa depan tersebut dengan cara menyelesaikan skripsi ini. Namun

penulis sadar dalam menulis skripsi ini masih banyak kekurangan didalamnya,

akan tetapi penulis berharap hasil tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis

khususnya dan umumnya bagi orang banyak.

Perlu diketahui penulis tidaklah dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa

bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Fahmi Ahmadi, S.Ag, M.Si, selaku Ketua Program Studi Perbandingan

Mazhab Hukum dan Ibu Siti Hanna, S.Ag, Lc., M.A, selaku sekertaris

Page 6: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

v

Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Prof. Dr. H. Abdul Wahab Abd Muhaimin, Lc., M.A selaku dosen

pembimbing akademik sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah banyak

meluangkan waktu dan arahannya dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga

beliau senantiasa diberikan kesehatan oleh Allah SWT.

4. Para dosen Fakultas Syriah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis semasa kuliah

dahulu, semoga senantiasa dimudahkan segala urusannya.

5. Ayahanda dan Ibunda penulis, Bapak Chairul Hadist dan Ibu Siti Masyitoh,

yang senantiasa mendoakan dan memberikan semangat juga membimbing

penulis, serta adik-adik tercinta Adib Adzkari, Siti Chairu Widha, dan Ahmad

Haikal Asyraq semoga mereka senantiasa dalam lindungan Allah SWT.

6. Adinda tercinta Rahmawati yang selalu memberikan semangat kepada penulis

hingga terselesaikannya skripsi ini.

7. Para sahabat seperjuangan, teman-teman bertukar pikiran, PMH Angkatan

2010, Ahmad Munir, Ahmad Fatih, Syukria, Ibnu Rusdi, Abdul Mukti, Abdul

Aziz, yang selalu menyemangati penulis.

8. Adik-adik kelas, Angkatan 2011, Edi Jon, Fauzan Ocid, Syardi Hakim,

Ma’mu Siroj.

9. Dan seluruh pihak yang terkait dengan penulisan skripsi ini, yang tidak dapat

penulis sebutkan satu-persatu. Semoga senantiasa dalam lindungan Allah

SWT.

Page 7: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

vi

Hanya untaian kata terimakasih serta doa yang dapat penulis berikan.

Semoga semua pihak yang telah membikan semangat, motifasi serta arahannya

kepada penulis senantiasa diridhoi setiap langkah kehidupannya serta

mendapatkan balasan yang lebih baik di akhirat kelak.

Jakarta: 12 September 2016 M

10 Zulhijjah 1437 H

Penulis

Page 8: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

vii

ABSTRAK

Masrur Rahmansyah, NIM 1110043100048, “HAK ASUH ANAK TERHADAP

ORANG TUA YANG BERCERAI KARENA BERBEDA AGAMA” (Analisis

Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-indonesia V Tahun 2015),

konsenterasi Perbandingan Mazhab FIKIH, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta, 1437 H / 2014 M. 1-67 halaman.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pandangan hukum Islam di dalam hukum

hak asuh terhadap orang tua yang bercerai karena berbeda agama analisis

keputusan ijtima’ ulama komisi fatwa Se-Indonesia V tahun 2015, penyebab

difatwakannya tentang hak hadhanah bagi orang yang bercerai beda agama adalah

menyalahi kepada norma-norma agama yang saat ini banyak terjadi di Indonesia

hak asuh anak jatuh kepada orang non muslim setelah bercerai, bukan itu saja

penyebab lainnya yaitu banyak tindakan dikriminasi terhadap anak yang di asuh

oleh orang tuanya oleh karenanya MUI mebuat suatu fatwa yang mengatur hal itu

maka dalam hal ini penulis telah meneliti secara mendetail tentang keputusan

fatwa dan kasus tersebut.

Hasil penelitian menunjukan Pandangan MUI berdasarkan hukum Islam tentang

hak hadhanah terhadap orang tua yang bercerai karena berbeda agama hukumnya

mutlak harus diasuh oleh pengasuh yang beragama Islam hal ini diatur oleh al-

Qur’an dan Assunah. Adapun Metode isthinbath hukum MUI dalam memecahkan

permasalahan mengenai Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua yang Bercerai

Karena Berbeda Agama memakai sumber hukum Islam yang sifatnya qot’i yaitu

al-Qur’an, As-sunnah dan Ijma ulama mu’tabarah dan mengambil dari pendapat-

pendapat ulama yang rojih, maka sifat fatwa yang dikeluarkan MUI sangat kuat

dan tidak bisa di ganggu gugat.

Adapun penelitian skripsi ini menggunakan metode kuantitatif yag menekankan

pada kualitas ranah pemahaman terhadap keputusan Ijtima’ ulama komisi fatwa

Se-Indonesia V tahun 2015. Pendekatan yang penulis lakukan menggunakan

metode normatif dengan melihat objek hukum yang berkaitan dengan fatwa MUI.

Adapun bahan yang digunakan oleh penulis adalah bahan hukum primer dan

sekunder kemudian bahan pengelolaan hukum dilakukan dengan cara deduktif

yaitu menarik suatu kesimpulan dari permasalahan yang bersifat umum terhadap

permasalahan konkret yang di hadapi.

Kata Kunci : Hak Asuh, Anak, Bercerai, Beda Agama

Pembimbing :Prof. Dr. Abdul Wahab Abdul Muhaimin, Lc., M.A.

Daftar Pustaka : Tahun 1948 sampai tahun 2013

Page 9: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

viii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................................. i

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ ii

LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................... iii

KATA PENGANTAR .................................................................................................. iv

ABSTRAK .................................................................................................................... vi

DAFTAR ISI ................................................................................................................. viii

BAB I : PENDAHULUAN ..................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................. 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 5

D. Studi Riview Terdahulu ....................................................... 6

E. Metode Penelitian ................................................................ 7

F. Sistematika Penulisan .......................................................... 9

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH ...................... 10

A. Pengertian Hadhanah .......................................................... 10

B. Hukum Hadhanah ............................................................... 11

C. Syarat-syarat Hadhanah ...................................................... 16

D. Orang-orang yang Berhak Melakukan Hadhanah .............. 23

BAB III : KEPUTUSAN IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA SE-

INDONESIA V TAHUN 2015 TENTANG HAK ASUH

ANAK TEHADAP ORANG TUA BERCERAI SEBAB

BERBEDA AGAMA ................................................................ 28

A. Hadhanah Bagi Orang Tua Yang Tidak Cakap Perilaku .... 28

B. Metode Penetapan Fatwa ..................................................... 34

Page 10: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

ix

C. Fatwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Tentang Hak

Hadhanah Akibat Perceraian Beda Agama ......................... 39

BAB IV : ANALISIS TENTANG FATWA .............................................. 44

A. Metode Istinbath MUI ......................................................... 44

B. Dalil ..................................................................................... 50

C. Analisis Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Tentang

Hak Asuh Anak Akibat Orang Tua Bercerai Beda

Agama.................................................................................. 56

BAB V : PENUTUP ................................................................................. 62

A. Kesimpulan ............................................................................ 62

B. Saran ..................................................................................... 63

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 64

Page 11: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

44

BAB IV

ANALISIS TENTANG FATWA

A. Metode Istinbath MUI

Sejak dahulu kala, ulama memiliki posisi yang penting dan

menentukan di Indonesia. Pada masa colonial dan pada masa sebelumnya,

pada masa kerajaan Islam, ulama memiliki peran signifikan di masyarakat,

baik dalam bidang politik maupun sosial. Kerajaan Islam di Indonesia,

sebagian besar dimotori oleh para ulama dalam pendiriannya. Menurut

Mudzhar, pada abad ke-18, ketika kerajaan Islam telah dikuasai dan

dikendalikan oleh Penjajah Belanda, peran ulama dibatasi pada masalah

keagamaan dan isu-isu yang bersifat local, bahkan hanya boleh mengurusi

pesantren yang dimilikinya.1

Dasar-dasar dan Prosedur penetapan fatwa yang dilakukan oleh

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dirumuskan dalam Pedoman Penetapan

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: U-596/MUI/X/1997 yang ditetapkan

pada tanggal 2 Oktober 1997. Dasar-dasar penetapan fatwa dituangkan pada

bagian kedua pasal 2 yang berbunyi:2

1. Setiap Keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan

Sunnah Rasul yang mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan

kemaslahatan umat.

1Mohamad Atho Mudzhar, “Fatwas of The Council of Indonesian Ulama: A Study

of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975 -1988”, Disertasi, (Los Angels: University of

California, 1990), h. 92. 2

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji

Depag RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,( Jakarta: Direktorat Jenderal

Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, 2003), h. 4-5

Page 12: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

45

2. Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana

ditentukan pada pasal 2 ayat 1, Keputusan Fatwa hendaklah tidak

bertentangan dengan ijmă’, qiyas yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum

yang lain, seperti istihsan, maslahah mursalah, dan saddu al-dzarĭ’ah.

3. Sebelum pengambilan Keputusan Fatwa, hendaklah ditinjau pendapat-

pendapat para imam mazhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan

dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang

dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.

4. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil

keputusan fatwanya, dipertimbangkan.

Dasar-dasar penetapan istinbath hukum yang digunakan oleh MUI

tidak berbeda jauh dengan metode istinbath hukum yang digunakan oleh

ulama salaf. Sikap tersebut yang digunakan dalam menetapkan fatwa MUI

adalah perlunya memikirkan semua kemaslahatan umat disaat menetapkan

fatwa, di samping itu pula juga perlunya memperhatikan pendapat para ulama

mazhab fikih, baik itu pendapat yang mendukung maupun yang menentang,

sehingga diharapkan apa yang diputuskan tersebut tidaklah cenderung kepada

dua pendapat, tetapi lebih mencari jalan tengah antara dua pendapat yang

bertolak belakang tersebut. Solusi cemerlang yang diberikan oleh MUI dalam

menetapkan fatwa, adalah perlunya mengetahui pendapat para pakar di

bidang keilmuan tertentu sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan

fatwanya.3

3

http://zaenul-mahmudi.blogspot.co.id/2008/11/metode-istinbath-hukum-mui.html

di Akses Pada Tanggal 28 Juni 2016 Pukul 21. 00 WIB.

Page 13: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

46

Dari pembahasan diatas maka penulis berkesimpulan bahwa MUI

menetapkan Keputusan Komisi B1 Masalah Fikih Kontemporer (Masail

Fiqhiyah Mu’ashiroh) Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V Tahun

2015 Tentang Hak Pengasuhan Anak Bagi Orang Tua Yang Bercerai

Karena Berbeda Agama berdasarkan metode isntibath hukum yang

bersumber dari Al-quran dan As-Sunah yang kemudian dikaji lebih dalam

oleh ulama salaf terdahulu. Adapun dalil yang digunakan dalam

meistinbathkan hukum Hadhanah akibat bercerai karena berbeda agama

adalah sebagai berikut:

a. Al-Qur’an

Surat al-Baqarah ayat 233:

Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua

tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan

penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian

kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani

melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang

ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah

karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila

Page 14: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

47

keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan

kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada

dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan

oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu

memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah

kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat

apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah : 233)

Surat at-Tahrim ayat 6:

Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan

keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah

manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,

keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang

diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa

yang diperintahkan.”(QS. at-Tahrim: 6)

Surat an-Nisa ayat 141:

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang

akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika

terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata:

"Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika

orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan)

mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu, dan

membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan

memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah

sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir

untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-

Nisa: 141)

Page 15: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

48

b. As-Sunnah

عن عبد الرحن بن هرمز العرج، عن أب هري رة رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم , قال: "

يولد على الفطرة، فأب واه ي هودانه، أو ي نصرانه كل مولود 4يجسانه

Artinya: “Dari Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj dari Abi Hurairah

semoga Allah meridhainya bahwasannya Rasulullah SAW

bersabda: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua

orang tuanyalah yang membuatnyamenjadi Yahudi, Nasrani

atau Majusi.

ث نا عبد ث نا عيسى بن يونس، حد ث نا علي بن بر ، حد حد

الميد بن جعفر ، أخب رن أب، عن جدي، رافع بن سنان أنه

وسلم أسلم وأبت امرأته أن تسلم، فأتت النب صلى الله عليه

ف قالت: اب نت، وهي فطيم أو شب هه، وقال رافع: اب نت، ف قال

" وقال لا: " " اق عد ناحية له النب صلى الله عليه وسلم:

ن هما، ث قال: " ادعواها "، اق عدي ناحية " فأق عد الصبية ب ي

فمالت إل أمها، ف قال النب صلى الله عليه وسلم: " اللهم

.5. )رواه أحد(اهدها " فمالت إل أبيها فأخذها

4Abu Hanifah an-Nu’man, Musnad Abu al-Hashkafi, (Mesir: tp, th), Juz 1h. 513.

5Abu Abdillah Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, (Mesir: Muassasah

ar-risalah, 2001), Juz 39, h. 168.

Page 16: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

49

Artinya: “Telah menceritakan kepada Ali bin Bahr telah menceritakan

kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami

Abdul hamid bin Ja’far telah mengabarkan kepadaku ayahku

dari kakekku yaitu Rafi bin Shinan bahwa ia telah masuk Islam

sedangkan isterinya menolak untuk masuk Islam. Kemudian

wanita tersebut datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi

wasallam dan berkata; anak wanitaku ia masih menyusu -atau

yang serupa dengannya. Rafi' berkata; ia adalah anak

wanitaku. Beliau berkata kepada wanita tersebut; duduklah di

pojok. Dan mendudukkan anak kecil tersebut diantara mereka

berdua, kemudian beliau berkata; panggillah ia. Kemudian

anak tersebut menuju kepada ibunya. Lalu Nabi shallallahu

'alaihi wasallam berdoa: "Ya Allah, berilah dia petunjuk!"

kemudian anak tersebut menuju kepada ayahnya. kemudian

Rafi' bin Sinan membawa anak tersebut. (HR. Ahmad)

c. Ijma’ Ulama

Ulama sepakat bahwa syarat seseorang dapat mengasuk anak adalah

sebagai berikut:

1) Berakal sehat.

2) Dewasa (baligh)

3) Memiliki kemampuan untuk mengasuh, merawat dan mendidik

anak.

4) Dapat dipercaya (amanah) dan berbudi pekerti yang baik.

5) Beragama Islam.

Apabila salah satu persyaratan tidak terpenuhi, maka yang

bersangkutan tidak berhak untuk mengasuh anak dan hak asuh

berpindah pada anggota keluarga yang muslim dan memenuhi

ketentuan persyaratan orang yang akan mengasuh anak tersebut

diatas.

Page 17: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

50

Akan tetapi dari persyaratan diatas ulama fikih berbeda pendapat

mengenai syarat seseorang yang mengasuh beragama Islam. Berpendapat

kalangan dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah tidak disyaratkan orang

yang memelihara anak harus beragama Islam akan tetapi jika non muslim

itu kitabiyah atau ghairu kitabiyah boleh menjadi hadhanah baik itu

sendiri maupun orang lain.6

Kemudian ulama berbeda pendapat juga

dipemasalahan ketika hak itu merupakan hak anak (mahdun). Menurut

sebagian mazhab Hanafi hadhanah adalah hak anak karena anak dapat

menentukan pilihannya ia akan di didik dan dipelihara dengan baik atau

tidak. Jika ia menginginkannya tentulah itu baik, jika ia tidak ingin

dipelihara oleh hadhin maka hadin tidak boleh untuk memaksanya karena

hak hadhanah itu milik si anak.7

Mazhab Syafi‘iyah dan Mazhab Hanabilah berpendapat bahwa

hādinlah yang berhak atas itu, apabila hādin tidak bersedia melaksanakan

hadhanah, maka ia tidak dapat dipaksa untuk melakukan atau tidak. Oleh

karena itu apabila mengasuh seorang anak dilakukannya dengan secara

paksa, maka dikhawatirkan anak akan terlantar pendidikan dan

pemeliharaannya

B. Dalil

1. Al-Qur’an

Surat al-Baqarah ayat 233:

6Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jlid 10, Penerjemah Abdul Hayyie

Al-Katani, dkk:, h. 67 7Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,

Ilmu Fikih, Jilid 2, (Jakarta: IAIN, 1983), h.212.

Page 18: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

51

Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua

tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan

penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian

kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani

melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang

ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah

karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.

apabilakeduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan

kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada

dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan

oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu

memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah

kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat

apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah : 233)

Pada ayat ini MUI mengambiil Istinbatul ahkam dari sepenggal ayat

yaitu:

Penulis berpendapat pada potongan ayat tersebut sudah dapat diketahui

bahwa wajib bagi orang tua memberikan nafkah dari rizki yang halal.

Kewajiban tersebut dapat diketahui dari lafaz ‘ala yang diantaranya

memberikan faidah lilisti’la dan littaukid artinya wajib dilaksanakan

Page 19: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

52

secara syar’i. Maka tidak dapat dipungkiri MUI memberikan fatwa atau

syarat bahwa seorang pengasuh wajib memberikan rizki yang sifatnya

halal. Jika bertolak belakang dengan fatwa ini maka tidak boleh mengasuh

anak.

Surat at-Tahrim ayat 6:

Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan

keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah

manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,

keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang

diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa

yang diperintahkan.”(QS. at-Tahrim: 6)

Pada ayat ini MUI memenggal potongan ayat yaitu jumlah

artinya adalah wajib bagi orang yang beriman agar menjaga

dirinya dan keluarganya dari api neraka. Maksudnya adalah lafaz qû itu

berbentuk amar yang memberikan artian wajib mengerjakan (Lithalab)

sebagaimana qaidah ushuliyah mengatakan:

8ه ف ل ى خ ل ع ل ي ل الد ل اد م ل إ ب و ج و ل ل ر م ال ف ل ص ل ا Asal perkara di suatu perintah itu wajib kecualai ada dalil yang

memberikan prbedaannya.

8 Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah, (Jakarta: ttp, tth), h. 6.

Page 20: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

53

Surat an-Nisa ayat 141:

Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang

akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika

terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata:

"Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika

orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan)

mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu, dan

membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan

memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah

sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir

untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-

Nisa: 141)

Menurut penulis MUI mengambil ayat ini sebagai dasar

seorang pengasuh tidak boleh beragama non Islam karena alasannya

adalah dilihat dari lafaz lan mengandung arti meniadakan untuk zaman

akan datang maka dapat difahami bahwa hubungan antara manhtûq dan

mafhum menyimpulkan pada masa akan datang non muslim tidak berhak

mengasuh anak yang beragama Islam apalagi untuk saat ini maka mutlak

tidak boleh untuk mengasuh anak. Hal ini dapat difahami pula dari lafaz

sabila yang bentuk lafaznya isim mufrad sedangkan lafaz mufrad

maknanya umum (tidak tertentu dan tidak dapat diketahui), maka

kesimpulan pemahaman penulis MUI mengambil dasar hukum dari ayat

Page 21: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

54

ini adalah hukum Islam tidak mentolelir bagi seorang non muslim untuk

mengasuh anaknya yang beragama Islam dalam seluruh aspek.

2. As-sunnah

رضي عن عبد الرحن بن هرمز العرج، عن أب هري رة الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم , قال: " كل مولود يولد على الفطرة، فأب واه ي هودانه، أو ي نصرانه

9يجسانه Artinya: “Dari Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj dari Abi Hurairah

semoga Allah meridhainya bahwasannya Rasulullah SAW

bersabda: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua

orang tuanyalah yang membuatnyamenjadi Yahudi, Nasrani

atau Majusi.

Menurut MUI Hadis ini menunjukkan bahwa orang tua yang

mengasuh anak sangat mempengaruhi agama yang akan dipeluk anaknya.

Oleh karena itu, hendaknya pihak yang akan mengasuh anak harus

beragama Islam sehingga anaknya menjadi generasi muslim, tetapi penulis

memahami dari makna pemahaman MUI ialah jika pihak yang akan

mengasuh anak tersebut harus beragama Islam maka pemahaman ini jika

dikaji dalam ushul fikih mengandung makna Dilālah Iltizāmiyah yaitu

dilalah yang mesti harus dipenuhi seacara akal, Karena dari konteks

susunan kalam yang pada hadits tersebut menunjukan kedua orangtuangya

harus menanamkan jiwa dan dasar-dasar syariat Islam, karena di dalam

fikihpun seorang pengasuh (orangtua) wajib menananmkan dasar-dasar

9Abu Hanifah an-Nu’man, Musnad Abu al-Hashkafi, (Mesir: tp, th), Juz 1h.

513.

Page 22: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

55

pondasi Islam seperti mengenal rukun Islam dan rukun Imam sejak dini

maka pemahaman MUI terhadap hadits ini menjadi sesuai dengan

pendapat ulama yang terdahulu sampai saat ini.

ث نا عبد ث نا عيسى بن يونس، حد ث نا علي بن بر ، حد حدالميد بن جعفر ، أخب رن أب، عن جدي، رافع بن سنان أنه

امرأته أن تسلم، فأتت النب صلى الله عليه وسلم أسلم وأبت ف قالت: اب نت، وهي فطيم أو شب هه، وقال رافع: اب نت، ف قال

" وقال لا: " " اق عد ناحية له النب صلى الله عليه وسلم: ن هما، ث قال: " ادعواها "، اق عدي ناحية " فأق عد الصبية ب ي

فمالت إل أمها، ف قال النب صلى الله عليه وسلم: " اللهم .10) رواه أحد(اهدها " فمالت إل أبيها فأخذها

Artinya: “Telah menceritakan kepada Ali bin Bahr telah menceritakan

kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami

Abdul hamid bin Ja’far telah mengabarkan kepadaku ayahku

dari kakekku yaitu Rafi bin Shinan bahwa ia telah masuk Islam

sedangkan isterinya menolak untuk masuk Islam. Kemudian

wanita tersebut datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi

wasallam dan berkata; anak wanitaku ia masih menyusu -atau

yang serupa dengannya. Rafi' berkata; ia adalah anak

wanitaku. Beliau berkata kepada wanita tersebut; duduklah di

pojok. Dan mendudukkan anak kecil tersebut diantara mereka

berdua, kemudian beliau berkata; panggillah ia. Kemudian

anak tersebut menuju kepada ibunya. Lalu Nabi shallallahu

'alaihi wasallam berdoa: "Ya Allah, berilah dia petunjuk!"

kemudian anak tersebut menuju kepada ayahnya. kemudian

Rafi' bin Sinan membawa anak tersebut. (HR. Ahmad)

Hadist ini menunjukkan bahwa Rasulullah menghendaki

pengasuhan anak dilakukan oleh orang tua yang muslim.

10

Abu Abdillah Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, (Mesir:

Muassasah ar-risalah, 2001), Juz 39, h. 168.

Page 23: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

56

C. Analisis Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Tentang Hak Asuh Anak

Akibat Orang Tua Bercerai Beda Agama

Allah SWT menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasangan

sehingga Allah SWT memberikan Syariat manusia harus menikah sebagai

karunia dan nikmat yang besar dari Allah SWT. Namun didalam suatu ikatan

perkawinan banyak cobaan dan kesengan pula, sehingga tidak sedikit dari

manusia yang runtuh rumah tangganya akibat permasalahan yang berujung

perceraian.Perceraian terjadi karena ada bermacam-macam sebab diantaranya

kasus ketika seseorang yang bercerai akibat perbedaan agama anatara suami

isteri. Tetapi akibat setelah perceraian tersebut ialah jika pasangan suami isteri

tersebut mengsilkan keturunan yang hak asuhnya belum bisa ditentukan, maka

dalam hal permasalahan ini penulis ingin meneliti lebih lanjut tentang

permaslahan tersebut dengan bahan penelitian hasil fatwa MUI di dalam

hukum hak asuh anak akibat orang tua bercerai beda agama. Penulis sangat

menyadari bahwa MUI sangat hati-hati dalam memutuskan fatwa lebih-lebih

fatwa ini sifatnya untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia oleh karena itu

penulis mendapatkan suatu kesimpulan tentang fatwa tersebut dan menyatakan

setuju dengan keputusan tersebut bahwa seorang pengasuh harus beragana

Islam. Adapun alasan penulis setuju dengan fatwa MUI adalah sebagai

berikut:

Pertama, sebagaimana yang kita ketahui bahwa ulama adalah para

pewaris Nabi sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:

Page 24: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

57

، ل السلم ، عليهم النبياء ، وأن النبياء العلماء ورثة ا و ه ر ا ول د ا دينار و ث ر و ي ذ أخ ه ذ أخ ن فم م ل الع وا ث ر ا، وإن

11ر اف و ظ ب

Artinya: “Ulama adalah pewaris para Nabi dan bahwasannya para Nabi

mereka tidak mewariskan dinar dan tidak pula hanya saja

mereka mewarisi ilmu maka siapapun yang mengambil ilmu

maka dapatkanlah dengan tulisan (ilmu) dengan wadah yang

luas”.

Dari hadits tersebut dapat diambil pemahaman bahwa didalam diri

ulama membawa kemaslahatan untuk umat karena ulamalah yang

menerusakan risalah para Nabi-Nabi. Maka dari hadits ini dapat diambil

kesimpulan apa yang sudah diputuskan oleh MUI sudah benar kebenarannya

terlebih lagi penulis membaca dan mendapatkan pendapat-pendapat ulama

terdahulu seperti mazhab 4 mu’tabarah yang menyinggung tentang hak asuh

anak bagi pengasuh yang non muslim sehingga dari istinbath hukum yang

diputusakan oleh mujtahid mutlak tersebut sesuai dengan fatwa yang sudah

diputuskan oleh MUI. Sebab dikatakan oleh imam nawawi al-Bantani dalam

kitab an-Nihayatu az-Zain bahwa mazhab 4 salah satunya al-Imam Syafi’I di

juluki sebagai hudatul ummah Fil Furu’.

Dari pendapat penulis pada alasan pertama disana terdapat perbedaan

pendapat antara MUI dan penulis. Adapun perbedaan tersebut ialah penulis

lebih menjelaskan kepada sifat yang melekat pada ulama yaitu sifat

11

Abu Muhammad Mahmud, ‘Umdatu al-Qari Syarh as-Shahih al-Bukhari,

(Lebanon: Dar el-Tsurûs, th), Jilid 2, h. 39.

Page 25: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

58

kepercayaan yang mana pasti benar apapun yang di tetapkan oleh ulama.

Sedangkan MUI tidak menjelaskan tentang hal tersbut, tetapi mereka lebih

cenderung kepada inti istinbath hukum.

Kedua,MUI mensyaratkan wajibnya pengasuh harus beragama Islam

alasannya menurut penulis adalah ketika seseorang mengasuh anaknya wajib

bagi ia mengenalkan arkanu al-Islam dan arkanu al-Imam. Alasan penulis ini

berdasarkan perkataan Imam zainuddin al-Malibari didalam kitab Qurratu al-

‘Ain:

ث ع ب لى الله عليه وسلما صد م ا م ن ي ب ن ن أ ه م ي ل ع ت اء ب ى ال ل ع ب اج و ل و أ و 12. ة ن ي د م ال ب ن ف د و ة ك ب

Artinya: “Wajib bagi para orang tua mengajarkan anaknya bahwa Nabi

kita Muhammad SAW diutus di Makkah dan dikuburkan di

Madinah.”

Imam an-Nawawi al-Bantani berpendapat bahwa mengajarkan

anak tentang arkanu al-Islam adalah hukumnya fardu al-Kifayah.Dari

perkataan imam Zainuddin dapat diambil faham bahwa bukan hanya

mengenal Nabi Muhammad SAW saja tetapi wajib mengajarkan dan

mengenal Allah SWT dan yang lain sebagainya. Dari alasan penulis ini

maka tepat keputusan MUI mensyaratkan bahwa seorang pengasuh

hendaklah beragama Islam sebab jika seorang pengasuh beragama non

Muslim dikawatirkan ia tidak kenal kepada rukun Islam dan rukun iman

12

Abu Bakar ‘Utsman, I’anah at-Thalibin, (Lebanon: Dar El-Kutub Islamiyah,

2012), Jilid 1, h. 44.

Page 26: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

59

dan yang dikhawartikan pula bahwa anak tersebut akan pindah akidahnya

kepada agama non Islam. Maka dari hal itu MUI sangat menegaskan

didalam fatwa tersebut apabila tidak memenuhi persyaratan pengasuh

beragama Islam tidak berhak mendapatkan hak asuh.

Adapun perbedaan pendapat didalam pemikiran antara penulis

dan MUI yaitu penulis ingin menunjukan tahap pertama yang harus dilalui

atau dipenuhi oleh seorang pengasuh secara mendetail. Tahap tersebut

ialah agar seorang pengasuh untuk memperkenalkan pendidikan agama

Islam kepada si anak. Sedangkan MUI hanya menjelaskan beragama Islam

adalah syarat pertama yang harus penuhi tetapi tidak secara mendetail

seperti MUI tidak menyebutkan pendapat ulama bahwa seorang pengasuh

harus memperkenalkan arkanu al-Islam atau arkanu al-Iman.

Ketiga, ketika hak asuh anak jatuh kepada pengasuh yang beragama

non Islam maka hal ini menyalahi aturan firman Allah:

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan

terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi

bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami

(turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir

mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah

Page 27: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

60

Kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang

mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di

hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada

orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”

(QS. An-Nisa: 141)

Ayat diatas menyatakan bahwa Allah tidaklah Allah memberikan

jalan bagi orang kafir dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam hal

mengasuh anak yang beragama Islam dan sabda Nabi yang mengatakan فأب واه

merupakan dilalah lazimiyah yang artinya wajib seorang ي نصرانه أو ي هودانه،

pengasuh beragama Islam. MUI memfatwakan syarat seorang pengasuh harus

beragama Islam faidahnya adalah agar anak tersebut dapat membuat Islam

menjadi kuat karena jika banyak pengikut Islam maka agama Islam menjadi

kokoh dan tidak dapat tergoyahkan oleh sesuatu apapun. MUI mengharuskan

seorang pengasuh bergama Islam gunanya juga adalah agar ia dapat mecetak

generasi yang bebudi pekerti yang baik karena Islam adalah agama yang

menjunjung tinggi tentang akhlak dan tatakrama yang luhur, dapat

melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangannya

dengan dibekali al-Quran dan hadits.

Di dalam pendapat yang ketiga ini penulis ingin mencoba

membedakan pola fikir antara penulis dan MUI dari segi dilalah lazimiyah.

Menurut penulis firman Allah SWT dan

hadis nabi ،يجسانه ي نصرانه أو فأب واه ي هودانه merupakan dilalah lazimiyah. Yang

Page 28: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

61

artinya harus dipenuhi oleh seluruh manusia menjalakan perintah Allah SWT,

seperti manusia harus tahu dan menanamkan dihatinya bahwa Allah SWT

tidak meridhai bagi orang kafir, yahudi, nasrani dan majusi untuk

mendapatkan posisi sedikitpun didalam agama Islam sekalipun ia

mendapatkan posisi didalam agama Islam seperti ia mendidik anak atau

mengasuh maka semua itu dimata Allah SWT merupakan sesuatu hal yang

sia-sia karena di dalam firman Allah tersebut terdapat kalimat “lan” yang

makna kata tersebut ialah “tidak akan”. Alasan inilah yang membedakan pola

pemikiran anatara MUI dengan penulis.

Page 29: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di dalam hukum Islam banyak aturan-aturan yang sudah diatur oleh

Allah SWT baik itu dari hal terkecil sampai hal yang terbesar. Semua aturan

tersebut berasal dari kalamullah dan hadits Nabi Muhammad SAW baik yang

bersifat qauliyah, fi’liyah maupun takririyah. Maka se bagai aturan yang harus

ditaati ulama membuat suatu sistem disiplin ilmu yang kemudian di

kelompok-kelompokan pada tempatnya masing-masing. Seperti salah satu

hukum syariat Islam yang sudah diatur secara sistematis yaitu tentang

perkawinan. Allah mensyariatkan pernikahan bertujuan agar manusia tidak

melakukan perbuatan-perbuatan keji dan yang Allah murkai, bukan hanya itu

saja, Allah SWT mensyariatkan pernikahan karena Allah menciptakan

makhluk-Nya dalam keadaan berpasang-pasangan sebagai rasa kasih sayang

Allah SWT kepada umatnya dan sebagai rahmat untuk alam semesta ini.

Membicarakan pernikahan, Hukum pernikahan didalam Islam diatur

pada firman Allah SWT surat An-Nisā ayat 3:

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-

hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka

kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau

empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil,

Page 30: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

2

Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.

yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

(QS. An-Nisā :3)

Kemudian hadits nabi Muhammad SAW mengatur pula tentang hukum

pernikahan:

منكم الباءة فليتزوج, فإنه أغض للبصر, اعيا معشر الشباب, من استط1وأحصن للفرج, ومن لم يستطع فعليه بالصوم, فإنه له وجاء. )متفق عليه(

Artinya:“Wahai para pemuda barang siapa diantara kamu yang sudah

mampu maka menikahlah, sesungguhnya pernikahan itu mencegah

penglihatan dan menjaga kemaluan, dan barang siapa yang belum

mampu menikah maka wajib bagi kamu berpuasa. Sesungguhnya

puasa itu dapat mencegah nafsu (zina) untuk kamu” (HR. Al-

Bukhari dan Musim)

Pada firman Allah SWT dan hadits Nabi Muhammad SAW jelas

bahwa hukum pernikahan mandub apabila seseorang telah mampu untuk

menikah. Menurut ulama menikah mempunya itujuan-tujuan antara lain

menjadikan seseorang sempurna dalam kehidupannya, terhin dari perbuatan

zina, dan mendapatkan keturunan.

Di dalam Islam mendapatkan seorang keturunan dari pernikahan

adalah suatu karunia yang besar karena anak adalah buah dari rasa cinta antara

kedua orang tua yang akan membawanya kesurga.

Namun kita tidak dapat dipungkiri bahwa di dunia ini banyak

permasalahan-permasalahan dalam perkawinan seperti ketika seseorang

menikah yang setatus asal keduanya beragama Islam kemudian bercerai

disebabkan istri telah murtad, sedangkan dari perkawinan tersebut

menghasilkan anak yang belum mumayyiz, maka dari hal ini timbul

1Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim, Shohih al- Bukhori, (Lebanon:

Dar el Fikri, 1981), Juz III, h. 116-117.

Page 31: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

3

permasalahan baru tetang hak mengasuh anak tersebut. Dalam hal ini ulama

sepakat bahwa dalam hal-hal mendidik anak mempunyai persyaratan-

persyaratan yang harus dipenuhi oleh orang tua sebagaimana yang telah

tercantum dalam hasil Fatwa Majelis Ulama Indonesia Komisi B1 Masalah

Fikih Kontemporer tentang” Hak Pengasuhan Anak Karena Orang Tua Yang

Bercerai Berbeda Agama”, yang berisikan mengenai persyaratan orang yang

akan mengasuh anak :

a. Berakal Sehat.

b. Dewasa (baligh)

c. Memiliki kemampuan untuk mengasuh, merawat dan mendidik anak.

d. Dapat dipercaya (amanah) dan berbudi pekerti yang baik.

e. Beragama Islam.

Apabila salah satu persyaratan tidak terpenuhi, maka yang

bersangkutan tidak berhak untuk mengasuh anak dan hak asuh berpindah pada

anggota keluarga yang muslim dan memenuhi ketentuan persyaratan orang

yang akan mengasuh anak tersebut diatas.2

Selanjutnya penulis mendapatkan pemahaman dari fatwa tersebut

bahwa hak asuh anak jatuh kepada orang tua yang beragama Islam. Namun

hadits nabi yang mengatakan: ب أ ، ع ن د ي ل و ا ال ن ث د ح ي م ل الس د ال خ ن ب د و م ا م ن ث د : ح د او د و ب أ ل اق الل د ب ع ه د ج ن ع ه ي ب أ ن ع ب ي ع ش ن و ب ر م ع ن ث د ح ي اع ز و ال ن و، ي ع ر م ع اء ع و ه ل ن ط ب ا كان هذ ن اب ن إ الل ل و س ا ر ي ت ال ق ة أ ر ام و أن ر م ع ن ب

2Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunah, Jilid II, (al-Maktabah Asy-syamilah) h. 341.

Page 32: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

4

، ن م ه ع ز ت ن ي ن أ اد ر أ و ن ق ل ط باه أ ن إ و اء و ح ه ل ي ر ج ح و اء ق س ه ل ي ي د وث )رواه ي ح ك ن ت ا لم م ه ب ق ح أ ت ن صلى الل عليه وسلم أ الل ل و س ا ر ل لقاف

3.أبو داود(Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid As-sulami,

telah menceritakan kepada kami Al-Walid dari abu Amr Al-Auza’I,

telah menceritakan kepada kami Amr bin Syuaib, dari ayahnya dari

kakeknya yaitu Abdullah bin Amr bahwa seorang wanita berkata:

Whai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah

tempatnya, dan putting susuku adalah tempat minumnya, dan

pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan ayahnya telah

mecraikannya dan ingin merampasnya dariku. Kemuadian

Rasulullah SAW bersabda: “Engkau lebih berhak terhadapnya

selama engkau belum menikah. (HR. Abu Daud)

Hadits tersebut tidak mencantumkan bahwa agama bukan hak tetap

untuk menjadikan dasar berhaknya mendidik anak. Sedangkan dari kasus

diatas anak tersebut lebih memilih Ibunya yang telah murtad, dikarenakan

sang Ayah dinilai tidak pantas untuk mendidik anak. Dengan kata lain, ia tidak

cakap hukum dalam pandangan ajaran agama Islam.

Dari uraian diatas penulis masih ingin meneliti lebih lajut tentang

permasalahan mendidik anak dalam prerspektif fatwa MUI dengan memilih

judul“Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua Yang BerceraiI Karena Berbeda

Agama” Analisis Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-indonesia V

tahun 2015.”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

a. Pembatasan Masalah

Dalam penulisan ini penulis akan mengemukakan seputar

permasalahan hak asuh anak bagi orang tua yang bercerai akibat berbeda

3Al-Khatabi, Ma’alimu As-sunan, (Lebanon: Al-mathba’ah Al-alamiyah, 1932),

Juz 3 h. 282

Page 33: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

5

agama. Mengingat luasnya pembahasan mengenai hak asuh anak maka

penulis hanya fokus pada analisa kasus metode MUI dalam

mengistinbatkan hukum hak pengasuhan anak tehadap orang tua yang

bercerai karena berbeda agama dan pandangan hukum Islam terhadap Hak

Asuh Anak Terhadap Orang Tua Yang Bercerai Karena Berbeda Agama”

Analisis Hasil Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-indonesia

V tahun 2015.

b. Perumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang diatas, setidaknya terdapat

permasalahan yang dapat dicari kemudian diteliti dan ditemukan

jawabannya didalam penulisan skripsi ini. Adapun permasalahan tersebut

dapat dirumuskan oleh penulis sebagai berikut:

1. Bagaimanakah metode MUI dalam mengistinbatkan hukum hak

pengasuhan anak tehadap orang tua yang bercerai karena berbeda agama?

2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap Hak Asuh Anak Terhadap

Orang Tua Yang Bercerai Karena Berbeda Agama” Analisis Hasil Keputusan

Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-indonesia V tahun 2015” ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penulisan ini mempunyai tujuan untuk mengkaji secara mendalam

dengan mengharapkan bahwa hasil tulis skripsi ini dapat memberikan suatu

pengetahuan dan bernilai terhadap pemahaman lebih lanjut tengan hukum hak

asuh anak hasil keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Disamping

itu untuk menambah wawasan bagi penulis dan dapat diambil suatu pelajaran

Page 34: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

6

yang berharga bagi pembaca. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan

skripsi ini sebgai berikut:

1. Untuk mengetahui metode MUI dalam mengistinbatkan hukum hak

pengasuhan anak tehadap orang tua yang bercerai sebab berbeda agama.

2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap Hak Asuh Anak

Terhadap Orang Tua Yang Bercerai Karena Berbeda Agama” Analisis Hasil

Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-indonesia V tahun 2015

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah berharap agar

memberikan suatu kajian yang bermanfaat mengenai hak asuh anak akibat

orang tua yang bercerai beda agama, yang di tunjukkan untuk para pembaca

dan kepada mahasiswa yang berkecimpung dibidang ilmu hukum Islam.

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Penelitian ini merupakan suatu penelitian yang dilakukan diruang

perpustakaan untuk menghimpun dan menganalisis data yang bersumber dari

perpustakaan, baik berupa buku-buku, priodikal-priodikal, seperti majalah-

majlah ilmiah yang diterbitkan secara berkala, kisah-kisah sejarah, dokumen-

dokumen dari materi perpustakaan lainnya yang dapat dijadikan sumber

rujukan untuk menyusun suatu laporan ilmiah. 4

Penelitian ini juga berpedoman dan mengacu pada:

1. Sumber Data

Yaitu data yang bersumber dari Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa

MUI Se- Indonesia V Tahun 2015tentang hak asuh anak akibat orang tua

yang bercerai beda agama.

4Abdurrahman Fathoni, Methodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi,

(Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2006), h. 95.

Page 35: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

7

2. Teknik Pengumpulan Data

Penggunaan penilitian bahan dilapangan seperti buku, kitan-kitab,

dokumen-dokumen, internet dan sebagainya dengan cara dibeca kemudian

dikaji dan disimpulkan sesuai dengan kelompok masalah-masalah yang

terdapat dalam skripsi ini.

3. Pengolahan dan Analisis Data

Setelah data diolah dengan menggunakan cara dikumpulkan,

kemudian di kaji dan dikelompokkan, lalu penulis menganalisanya dengan

metode-metode sebagai berikut:

a. Metode komperatif yaitu metode perbandingan antara hukum Islam

dan fatwa MUI yang membahas tentang pembahasan yang ada

b. Metode Induktif yaitu suatu cara dalam menganalisis datanya yang

bertitik tolak dari data-data yang mana data tersebut bersifat umum

kemudian ditarik dan diambil dengan bersifat khusus, atau data yang

bersifat khusus kemudian ditarik dan diambil dengan bersifat umum.

Teknik penulisan skripsi ini berpacu kepada buku pedoman

penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu

(PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

E. Study Refiew Terdahulu

Dari beberapa literatur skripsi yang berada di fakultas Syariah dan

Hukum serta Perpustakaan Utama, penulis menemukan sejumlah skripsi yang

Page 36: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

8

membahas masalah hak asuh anak akibat orang tua yang bercerai beda agama.

Adapun daftar skripsi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ibrohim, Moh. Anas Maulana. Dengan judul skripsi Pelimpahan Hak

AsuhAnak Kepada Bapak Kandung, PerkaraNomor:

345/Pdt.G/2007/PA.Bks.

Skripsi ini berisi tentang tentang hal-hal yang berkaitan dengan

pelimpahan hak asuh anak kepada bapak Perkara Nomor:

345/Pdt.G/2007/PA.Bks. pada skripsi ini penulis memilih Pengadilan

Agama Bekasi yang mana penulis ingin mengetahui hal-hal yang

menyebabkan pelimpahan anak kepada bapak kandungnya sebagai akibat

peceraian, yang seharusnya hak asuh anak itujatuh kepada Ibu

kandungnya.

2. Muawanah. Dengan judul skripsi Penetapan Hak Asuh Anak oleh Bapak:

Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor :

171/Pdt.G/2010/PAJT.

Skripsi ini berisikan tentang cara Hakim memutuskan hak asuh anak

kepada Bapak padahal Ibunya mampu mendidik dan mengasuh anak

tersebut.

3. Nahrowi. Dengan judul skripsi Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat

Perceraian Menurut Undah-Undang No.23 th 2002 Tentang Perlindungan

Anak: ( Analisis Putusan Perkara Mahkamah Agung no.349 K/AG/2006) .

Skripsi ini berisikan tentang Hadhanah atau pemeliharaan anak dalam

hokum perkawinan di Indonesia pada dasarnya tidak menentukan siapa

Page 37: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

9

yang lebih berhak dalam mendapatkan hak pemeliharaan anak, hal tersebut

kembali kepada kepentingan anak yang didasari pada putusan pengadilan.

Dari beberapa judul tersebut, maka jelas berbeda pembahasannya

dengan skripsi yang akan dibahas oleh penulis. Penulis akan mencoba

membahas Hukum Hak Asuh Anak Tehadap Orang Tua Yang Bercerai Karena

Berbeda Agama Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia V Tahun 2015

Tentang Hak Asuh Anak.

F. Sistematika Penulisan

Agar dapat mempermudah pada penulisan skripsi ini, maka penulis

membagi pembahasan skripsi menjadi beberapa bab yang dapat diuraikan

sistematikanya sebagai berikut:

Bab I. Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penulisan, study riview terdahulu, dan sistematika penulisan.

Bab II. Berisikan tentang tinjauan umum yang meliputi

pembahasan,pengertian, hukum Hadhanah, Syarat-syarat Hadhanah

dan Orang-orang yang Berhak Melakukan Hadhanah

Bab III. Berisikan tentang Hadhanah bagi orang tua yang tidak cakap

perilaku dan HasilFatwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Tentang

Hak Hadhanah Akibat Perceraian Beda Agama.

Bab IV. Berisikan tentang pembahasan metode istinbath MUI, dalil-dalil, dan

analisi Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI.

Bab V. Bab ini berisi tentang penutup, kesimpulan dan saran dari isi

penulisan skripsi ini.

Page 38: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

10

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH

A. Pengertian Hadhanah

Hak asuh anak menurut Hukum Islam dikenal dengan istilah

hadhanah. Hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara, mendidik anak

hingga ia dewasa atau mampu menjaga dirinya sendiri.1

Sayyid Sabiq memberikan definisi Hadhanah adalah berasal dari

kata hidnan yaitu lambung. Seperti susunan kalimat bahasa Arab “hadhana

ath-thaairu baidhahu”, burung itu menghimpit telur dibawah sayapnya, maka

dari kalimat ini bias dipahami bahwa seorang Ibu menhimpit anaknya.2

Adapun menurut Abdurrahman Ghazaly yang dimaksud dengan hadhanah

yaitu merawat dan mendidik anak kecil yang belum mumayyiz sampai ia

mampu mengatur dirinya sendiri.3

Ulama fikih mendefinisikan hadhanah adalah melakukan

pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan,

atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang

menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang merusak dan

menyakitinya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya, agar kelak mampu

berdiri sendiri mengahadi hidup dan memikul tanggung jawabnya.4

1 Departemen Agama RI. Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: tp, 1996), h.4

2 As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunah, (Jakarta: Dar as-Saqafah, tth), Jilid 2, h. 218.

3 Abdrahman Ghazali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2013), h.175.

4Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih

Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: kencana Pranada Media Group, 2009).

h. 326.

Page 39: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

11

Hadhanah dalam Ensiklopedi Hukum Islam adalah mengasuh anak

yang belum mumayyiz hal keadaan ia belum mampu mengurus dirinya sendiri

(belum mandiri).5 Menurut Sa’ani, hadhanah adalah memelihara anak yang

belum mampu mandiri. Pendidikannya dan pemeliharaannya dari segi sesuatu

yang membinasakannya atau membahayakannya.6

Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa

pemeliharaan anak adalah merangkap kepada seluruh keperluan-keperluan

anak, baik itu yang bersifat jasmani ataupun rohani. Ulama mazhab fikih

berbeda pendapat mengenai masa pengasuhan anak. Imam Hanafi berpendapat

masa asuhan adalah tujuh tahun untuk laki-laki dan Sembilan tahun untuk

perempuan. Imam Hanbali bahwa masa asuhan untuk ank laki-laki dan

perepuan adalah 7 tahun dan setelah ia telah mumyayiz dibebaskan untuk

memilih. Imam Syafi’i berpendapat bahwa masa asuh itu 7 tahun dan 8 tahun.

Sedangkan Imam Malik berpendapat batas usia anak mumayyiz adalah 7

tahun.7

B. Hukum Hadhanah

Memelihara, merawat, dan mendidik anak kecil diperlukan

kesabaran, kebijaksaan, pengertian, kasih sayang, sehingga seseorang tidak

dibolehkan mengeluh dalam menghadapai berbagai persoalan anak tersebut,

bahkan Rasulullah SAW sangat mengancam orang-orang yang merasa bosan

5Abdul Azziz Dahlan, Dkk, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van

Hoeva, 1992), h. 137 6 Sa’ani, Subulu as-Salam, (Surabaya: al-Ikhlas, 1995), h. 37.

7 Syaikh Hasan Ayub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006),

h. 45.

Page 40: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

12

dan kecewa dengan tingkah laku anak-anak mereka.8 Oleh karena itu hukum

mengasuh anak adalah wajib. Hal ini sesuai yang dikatakan oleh Imam As-

Syirazi:

ه ي و ب أ ن ع د ر ف ن ي ن أ ههل ف د ي ش ر غ ال ب د ل او م ل هو ان ج و الز ق ر ت ااف ذ إ ههن ل ل او م ههن ع د ر ف ن ي ل ن أ بهح ت س مهل او ة ال ف لك ا و ة ان ض ال ن ع ن غ ت س مهو م ههن ع ههر ب ع ط ق ي أ ل ه ر كهة ي ار ج ت ان ك ن إ ا د ر ف ن ت ن ا إ ه ن ل اذ اد ل او م ل هان ك ن إ او ه دهس ف ي هن ام ه ي ل ع ل خهد ي ن أ ن م ؤ ي هل ت د ر ف ان ن س ع ب س ن و دهههل ي ذ ال و ههو زهي ه ل ر ي غ ص و أ ن و ن هم ت ب ج و ي 9ك ل ه و اع ض ههتهان ض ح ك ر ت ن هإ تهان ض ح

Artinya: “Apabila telah berpisah suami isteri sedangkan mereka mempunyai

anak yang berakal dan balig maka boleh ia memilih dari salah satu

orang tuanya, karena ia butuh kepada pengasuhan, penjagaan dan

dianggap sunah apabila ia mandiri tidak tergantung dengan

orangtuanya dan tidak memutuskan kebaktian ia kepada kedua

orangtuanya jika ia seorang gadis maka makruh bagi ia

mengosongkan asuhan dari kedua orangtuanya karena apabila ia

mengkosongkan ditakutkan akan ada orang yang menyakitinya, dan

jika ada bagi kedua orangtua yang berpisah sedangkan ia memiliki

anak yang gila atau kecil yang belum mumayyiz (yang belum sampai

7 tahun umurnya) maka wajib bagi salah satu kedua orangtuanya

mengasuhnya karena jika ia tidak mengasuhnya dikhwatirkan ia

akan menderita”

Adapun dasar hukum tentang hadhanah Allah berfirman didalam al-

Qur’an surat Al-baqarah ayat 233:

8Andi Syamsul Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam,

(Jakarta: Kencana, 2008), h. 115-116. 9As-syirāzi, Al-Muhadzdab fi Fiqh al-Imam As-syafi’I, (Lebanon: Dar El-Kutub

Alamiyah, tth), Juz 2, h. 164.

Page 41: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

13

Artinya:“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun

penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan

kewajiban Ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu

dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut

kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita

kesengsaraan Karena anaknya dan seorang Ayah Karena anaknya,

dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin

menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan

permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika

kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa

bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.

bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha

melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-baqarah : 233)

Ayat diatas menjelaskan mengenai hukum penyusuan anak ketika

terjadinya talak, dapat diartikan bahwa keluarga mengandung arti hubungan

yang tidak dapat lepas dari kedua suami dan siteri yang bersangkutan yaitu,

tentang anak yang masing-masing punya andil padanya dan terikat dengannya.

Apabila dalam kehidupan rumah tangga kedua orangtua itu bubar, maka si

kecil ini harus diberi jaminan secara terperinci yang harus dipenuhi oleh kedua

orangtuanya dalam setiap keadaannya. Kemudian seorang Ibu yang telah

diceraikan itu mempunyai kewajiban terhadap anaknya yang msih menyusui,

Page 42: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

14

hal tersebut merupakan kewajiban yang telah ditetapkan oleh Alah SWT dan

tidak dibiarkan oleh Allah meskipun fitrah dan kasih sayang untuk anak

berkurang akibat perceraian kedua orangtuanya, sehingga Allah SWT

mewajibakan bagi seorang Ibu untuk menyusui anaknya selama sua tahun

penuh. Karena Ibu mengetahui bahwa masa usia anak ketika dua tahaun

merupakan waktu yang paling ideal ditinjau dari segi kesehatan maupun jiwa

anak dan pada masa usia tersebut merupakan kebutuhan yang vital bagi

pertumbuhan anak baik mengenai kesehatan maupun mentalnya.10

Kemudian Allah SWT berfirman di dalam surat At-tahrim Ayat 6:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu

dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;

penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak

mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada

mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-

Tahrim: 6)

Pada ayat ini orangtua diperintahakan Allah SWT untuk memelihara

keluarganya dari api neraka, dengan memberitahaukan kepada keluarganya

untuk selalu taat kepada Allah SWT dan menjauhi segala yang dilarang-Nya,

termasuk anggota keluarga disini adalah anak. Kewajiban membiayai anak

yang masih kecil bukan hanya belaku selama Ayah dan Ibu masih terikat

dalam tali perkawinan saja, namun berlanjut setelah perceraian.11

10

Sayid Quthub, Tafsir Fi Zhilāli Al-qur’an. (Beirut: Dar Syuruq: 1992)

penerjemah As’ad Yasin, dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 301-302. 11

Al-Makhrûzi, Tafsir Mujahid, (Beirut: Dar el-Fikri, 1989), h. 237.

Page 43: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

15

Didalam Tafsir Wādhih dijelaskn bahwa ayat tersebut menjelaskan

Allah SWT memerintahkan agar menjaga diri manusia meninggalkan dari

segala kemaksiatan melaksanakan ketaan, meninggalkan segala larangan yang

dibenci oleh Allah SWT dan rasul-rasul-Nya. Menjaga pula keluarga kita dari

segala kemaksiatan, larangan dan melaksanakan perintah Allah SWT,

mengerjakan amal baik, dan menjalankan syariat sesuai dengan tuntunan al-

Qur’an. Adapun yang dimaksud dengan keluarga disini adalah anak dan

orang-orang yang terdekat. Allah benar-benar telah tegas mengatakan:12

ال ق ر ب ي ير ت ك ع ش ب الص لاة و اص ط ب ع ل ي ها،و أ ن ذ ر ل ك أ ه و أ مهر

Kemudian hadits Nabi:

ح د اوهد و ب هأ ل اق م ن ث د : ال ن ث د ح ي م ل الس د ال خ نهب دهو مها ع ن دهي ل و ا أ ، ب ي ع و،ر م ع ث د ح ي اع ز و ال ن الل د ب ع ه د ج ن ع ه ي ب أ ن ع ب ي ع شهنهوب ر م ع ن أن ر م ع ن ب ر ي ت ال ق ة أ ر ام و اب ن إ الل ل و سها كان هذ ن ط ب ا اء ع و ههل ن

ق ل ط باههأ ن إ و اء و ح ههل ي ر ج ح و اء ق س ههل ي ي د وث ،ن م ههع ز ت ن ي ن أ اد ر أ و ن .ي ح ك ن ت ال م ه ب ق ح أ ت ن صلىاللعليهوسلمأ الل لهو سهار ل لقاف

13 Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid As-sulami,

telah menceritakan kepada kami Al-Walid dari abu Amr Al-Auza’I,

telah menceritakan kepada kami Amr bin Syuaib, dari Ayahnya dari

kakeknya yaitu Abdullah bin Amr bahwa seorang wanita berkata:

Whai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah

tempatnya, dan putting susuku adalah tempat minumnya, dan

pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan Ayahnya telah

mecraikannya dan ingin merampasnya dariku. Kemudian Rasulullah

SAW bersabda: “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau

belum menikah. (HR. Abu Daud)

12

Muhammad Mahmud, Tafsir Wadhi, (Beirut: Dar Jil al-Jadidi, 1413 H), Juz 3 h.

705. 13

Al-Khatabi, Ma’alimu As-sunan, (Lebanon: Al-Mathba’ah Al-alamiyah, 1932),

Juz 3, h. 282.

Page 44: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

16

Dari hadits ini bependapat imam al-Qurtubi al-Baji al-Andalusi,

bahwa anak kecil tidak mampu mengurus dirinya sendiri maka butuh

pengasuh, sedangkan pengasuh untuk anak yang lebih utama adalah Ibunya

karena seorang Ibu lebih benar, lebih sabar, lebih menjaga dan mengerti

kepada kebutuhan anaknya, sedangkan Ayahnya tidak ampu melakukan hal

itu. Maka Ibulah yang lebih berhak mengasuh anaknya selam ia belum

mencapai umur 7 tahun.14

Kemudian Imam Māwardĭ yang menjelaskan alasan Ibu tidak

mendapatkan hak asuh dengan alasan sebagai berikut :15

1. Pernikahan mencegah mendapatkan hak asuh karena dikhawatirkan jkia si

Ibu menyibukkan diri mengurus anak maka hak suami tidak terpenuhi.

2. Karena pernikahan menceah untuk sibuk mendidik anak yang bukan

berasal dari suaminya.

3. Karena anak tersebut tidak dianggap oleh suami baru Ibunya.

Imam Nawawi berkata ketika seorang Ibu tidak mendapatkan hak

asuh anak karena ia menikah lagi, maka ia akan di sibukkan beristimta dengan

suaminya, sehingga tugas penting dari hadhanah terabaikan.16

C. Syarat-syarat Hadhanah

Syarat-syarat hadhanah menurut Imam Taqiyuddin didalam kitabnya

Kifayatu Al-akhyar menyebutkan ada 7 syarat:

14

al-Kurtubi al-Baji al-Andalusi, Al-Muntahi Syarh al-Muatha, (Mesir:

Mathba’ah as-Sa’adah, 1332 H), Juz 6, h. 186. 15

Al- Māwardhĭ, Al-hawi Al-kabir, (Beirut: Dar El-Kutub Alamiyah, 1999), Juz 1,

h. 505. 16

An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazab, (Lebanon: Dar El-Fikri, tth),

Juz 18, h. 321.

Page 45: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

17

1. Berakal

Berakal merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi bagi orang

yang ingin mendidik anaknya, karena berakal merupakan salah satu indikasi

seseorang dapat dikenakan hukum syariat, maka tidak berhak bagi orang

yang gila baik itu gila dari lahir atau gilanya orang tersebut dapat mungkin

sadar dengan memakan waktu yang lama. Tetapi Imam Taqiyuddin

berpendapat lain yaitu jika gilanya tersebut tidak lama (sebentar) seperti

sehari maka tidaklah menggugurkan hak hadhanah tersebut, seperti halnya

orang yang sakit kemudian sembuh dengan waktu yang sesaat. Adapun

alasan seseorang yang gila tidak boleh mendidik anak (hadhanah) karena

tidak mungkin seorang yang gila menjaga anak sedangkan ia sendiri

membutuhkan kepada penjagaan bagaimana mungkin ia dapat menjaga /

mendidik anak.

2. Merdeka

Tidaklah boleh bagi seorang budak mendidik anak sekalipun ia di

izinkan oleh tuannya, sedangkan alasan tidak dibolehkannya bagi seorang

budak mendidik anak: pertama, budak haknya adalah melayani tuannya

(kemanfaatan bagi tuannya) bagaimana mungkin ia melayani tuannya dan

tuannya dapat mengambil kemanfaatan darinya sedangkan ia disIbukkan

untuk mendidik anak. Kedua, tidak ada hak sama sekali bagi seorang budak

untuk mendidik anak.

Page 46: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

18

3. Beragama Islam

Keadaan perempuan tersebut beragama islam tetapi jka ada anak yang di

didik tersebut beragama islam yang mengikuti agama bapaknya maka bagi

seorang perempuan yang kafir tidak boleh mendidiknya.

4. Cakap akhlaknya, terpercaya, tidak bersuami.

5. Mampu

Apabila salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah

hadhanah. Namun berbeda dengan imam Husain al-hanafiy mengatakan

bahwa seorang Ibu majusi dan kitabiyah berhak mendapatkan hak pengsuh

karena tidak ada perbedaan dari segi agama,17

maka hadhanah lebih berhak

didapatkan oleh seorang isteri sebagaimana dijelaskan didalam kitab

raudhatu At-Thālibĭn:18

ل ههأ ص لا إ ن ا ت ي يز ل م ن ح ق ف ب ال ض ان ة م ن ال ب هم أ ح ق يه ك مهب أ ن ال Artinya: “Hanyalah ibu yang lebih berhak untuk mengash anaknya

dibandingkan dengan Ayahnya selama anak tersebut belum

tamyyiz sedikitpun”

Imam Fakhruddin berpendapat apabila tidak ada keluarga yang

mengasuh dengan bahwa ada Ibunya itu seorang yang fasik, atau ia sering

keluar rumah kemudian ia meninggalkan anak asuhannya dan tak kembali

kerumah atau ia seorang budak atau anak budak perempuan atau yang

mengatur kehidupan anak asuhan atau Ibunya seorang budak mukatabah yang

17

Badru ad-Din, Al-InAyah Syarh al-HidAyah, (Lebanon: Dar El-Kutub Al-

‘alamiyah, 2000), Juz, 5, h. 644. 18

Abu Zakariya, Raudhatu at-Thālibĭn Wa Umdatu Al-Mutaqin, (Beirut: Al-

Maktab Al-Islami, 1991), Juz 9, h.103.

Page 47: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

19

ia melahirkan seorang anak sebelum menjadi budak mukatabah atau ia

menikah dengan seseorang yang bukan mahramnya, sedangkan dilain sisi

bapaknya sulit dan Ibunya pergi tidak mau mengasuh anaknya jika tidak diberi

upah sedangkan ada seorang budak yang ingin mengasuhnya tanpa harus

dibayar maka budak perempuan tersebut lebih baik dibandingkan Ibunya.

Pendapat ini lebih baik menurut mazhab Hanafi.19

Syarat hadhanah disebutkan pula didalam kitab al-Iqna’:20

و ةهف ع ال و نهي الد و ةهي ر ال هو لهق ع ل ا ة ع ب س ي ه و ةهان ض ل ا ةهام ق ال و ةهان م ال

ج و ز ن م و لهال هو

Artinya: “Hadhanah itu ada tujuh syarat: berakal, merdeka, beragama Islam,

terjaga, terpercaya, dan tidak ada ikatan dalam pernikahan”

Abi Suja’ mengatakan:

و ةهف ع ال و نهي الد و ةهي ر ال هو لهق ع ل ا ع ب س ة ان ض ال طهائ ر ش و و لهال هو ةهام ق ال و ةهان م ال .ت ط ق س ط ر اش ه ن م ل ت اخ ن إ ف ج و ز ن م

Artinya: “Hadhanah itu ada tujuh syarat: berakal, merdeka, beragama Islam,

terjaga, terpercaya, dan tidak ada ikatan dalam pernikahan jika

cacat satu syarat dari 7 tersebut maka gugurlah”21

ع ت س ن اض ال طهر ش و ل ق ، و م ل س مهل ل م لا س إ و ة ي ر حه، و ة ان م أ ، اعهض ر إ ،

ههل ق ح ل ن م ت ح ك ن ن إ و ر ص ب و ع ي ض الر ب ة ان ض ال ف ن إ ا،و ه ق ح ل ط ، .اه ط ر ش د و ع ك اد ع ت ق ل ط

19

Fakhru ad-Din, Tabyiinu al-Haqaiq syarh kanzu ad-Daqaiq Wa Hasyiyah As-

syilbi, Juz 3,(Lebanon: Dar El-Kutub al-Alamiyah, tth), h.46. 20

Al-mawardi, al-Iqna fi fiqh as-Syafi’I, (Ttp: Tp, tth), Jilid I, h. 160. 21

Abi Syuja’, al-Ghayah Wa At-taqrib, (Surabaya: Alim Al-Kutub, tth), h. 36.

Page 48: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

20

Artinya: “Syarat bagi orang yang mengasuh anknya itu ada 6: berakal,

merdeka, beragama Islam, terpercaya, baik budi pekertinya (ibu

sesusuan) dan mengerti. Jika ibunya menikah lagi maka tidak ada

hak asuhan bagi ibunya, dan jika ia tertalak lagi maka kembalilah

haknya jika anak tersebut belum mumayyiz”

Maka dari syarat yang disebutkan diatas hak hadhanah lebih pantas

jatuh kepada Ibu sebagaimana di dalam kitab Al-lubab dijelaskan:22

هأ ن م ة ان ض ال ب ل و أ م ل ل م ب ال ن س ع ب س دهل و ال غ لهب ي ا ف ل إ ي "د ل و ال كهس م اأ ن ا:"أ م ههن م د اح و لهكهل و قهي ن اأ ه دهح أ ل ائ س م ان ث ف أ ةهي ان والث ل و أ بهال ن و كهي ن : دهن و مهأ م بهال هن و ا أ ةهث ال الث و م ال ن : ةهي ر ال هل مهك ت ل هف ن و كهي و م ال اف ذ إ ةهع اب الر و ار حهبهال ارهالد ق ر ت اف م ب ا إ ةهس ام ال و . ل و أ ب ال ت ذ : هف م الهت ج و ز ا .ل و أ ب ال إ ةهس اد الس و ك ذ : ان ا و م ل س مهب ال ها ك ذ إ ةهع اب الس و .ة ي م ذ م ال ان ا

و م ل س مهب ال ها هن و كهت ن أ ةهن ام الث و .ة د ت ر مهم ال ب س الن ة ل و ههم م ال هاءهس ن ف ان ت اب ر القهت ع م ت ااج ذ إ و .ان س ن ل ق الر ب ت ر ق أ ف ن م ل و أ م ال اء س ن هت خ أهن و كهت ن أ ل إ ب ال ل ت خ أهع م م ا ك م أهو ب ل ت ان ،

ه ل تهخ ال هو ب ل ل و أ م ال Artinya: “Adapun ibu lebih utama kepada hak hadhanah selama anak belum

sampai kepada umur 7 tahun kecuali dalam 8 perkara:

1. Mengatakan setiap dari keduanya “aku mengambil anakku” maka yang

lebih utama adalah bapaknya.

2. Bahwa Ayahnya lebih terjaga dibandingankan dengan ibunya.

3. Bahwa tidak sempurna kemerdekaan ibunya sedangakan Ayahnya lebih

merdeka ketimbang ibunya.

4. Jika berbeda tempat yang sangat jauh antara keduanya maka Ayahlah

yang lebih berhak

5. Jika ibunya telah menikah maka yang lebih berhak bapaknya

6. Jika bapaknya muslim dan ibunya kafir zimmi maka yang berhak Ayahnya

22

Abu al-Hasan Al-Mahamili, al-Lubab Fi Fiqh As-syafi’I, Juz I, (Madinah

Munawarah, Dar Al-Bukhar, 1998), h. 347.

Page 49: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

21

7. Jika Ayahnya muslim dan ibunya murtad

8. Jika ibunya tidak mempunyai kerabat lagi sedangkan ia merupakan budak

seseorang maka Ayahnya yang lebih berhak.

Adapun syarat bagi anak yang diasuh:23

1. Si anak masih dalam usia kanak-kanak dan belum dapat mengurus dirinya

sendiri.

2. Si anak sempurna akalnya.

Akan tetapi dari persyaratan diatas ulama fikih berbeda pendapat

mengenai syarat seseorang yang mengasuh beragama Islam. Berpendapat

kalangan dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah tidak disyaratkan orang yang

memelihara anak harus beragama Islam akan tetapi jika non-muslim itu

kitabiyah atau ghairu kitabiyah boleh menjadi hadhanah baik itu sendiri

maupun orang lain.24

Kemudian ulama berbeda pendapat juga dipemasalahan

ketika hak itu merupakan hak anak (mahdun). Menurut sebagian mazhab

Hanafi hadhanah adalah hak anak karena anak dapat menentukan pilihannya ia

akan di didik dan dipelihara dengan baik atau tidak. Jika ia menginginkannya

tentulah itu baik, jika ia tidak ingin dipelihara oleh hadhin maka hadin tidak

boleh untuk memaksanya karena hak hadhanah itu milik si anak.25

Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali berpendapat bahwa hadhin

yang berhak atas itu, apabila hadin tidak bersedia melaksanakan hadhanah,

maka ia tidak dapat dipaksa untuk melakukan atau tidak. Oleh karena itu

apabila mengasuh seorang anak dilakukannya dengan secara paksa, maka

23

Sayyid Sabiq, Fikih Sunah Jilid 2, h. 242. 24

Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jlid 10, Penerjemah Abdul

Hayyie Al-Katani, dkk, h. 67. 25

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,

Ilmu Fikih, (Jakarta: IAIN, 1983), Jilid 2, h.212.

Page 50: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

22

dikhawatirkan anak akan terlantar pendidikan dan pemeliharaannya. Pada

hakikatnya hadhanah berkaitan dengan tiga hak terpadu, hak Ibu, hak anak

dan hak Ayah, maka ketiganya harus terwujud jika saling bertentanagn yang

didahulukan adalah hak si anak.26

Imam Syarbini mengatakan apabila si hadhin tidak mempunyai harta

maka wajib bagi orang yang wajib menafkahkan harus menafkahkan si

mahdun, jika tidak maka wajib bagi orang Islam untuk menafkahkannya. Dari

perkataan imam Syarbini dapat difahamibahwa menafkahkan anak yang

diasuh itu wajib untuk semua orang Islam tetapi tentu dengan catatan yang

tertentu.27

Menurut imam al-Sarkhisi apabila seorang Ibu merasa anak tidak

butuh kepada hadhanah maka tetaplah berlaku bagi seorang yang mempunyai

hak mengasuh untuk membiayai ia dalam pendidikan, kebutuhan makannya,

dan menyucikan bajunya, karena semua itu dIbutuhkan bagi si anak.28

Adapun urutan orang-orang yang berhak menerima hadhanah

menurut Abu Al-Fadhil Al-Hanafi yaitu: Ibu kandung, Ibu sebapak, Saudara

perempuan seIbu sebapak, Saudara perempuan seibu, Saudara perempuan

sebapak, Bibi, Ponakan perempuan dari saudara perempuan lebih bagus dari

pada anak ponakan perempuan dari saudara laki-laki. Apabila yang disebutkan

diatas menikah maka gugurlah hak asuhan baginya.29

26

Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha,

(Jakarta: Rajawali Pres, 2012), h.210. 27

Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, (Beirut: Dar El-kutub Al-‘alamiyah, 1994), Juz 5, h.

196. 28

As-Sarkhisi, Al-Mabsuth, (Beirut: dar El-Ma’rifah, 1993), Juz 5, h. 207. 29

Abu al-Fadhil al-Hanafi, Al-Ikhtiyaru Lita’li Al-Mukhtar, (Beirut: Dar El-Kutub

Alamiyah, 1937), Juz 4, h. 15.

Page 51: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

23

Muhammad al-Hadadi al-‘Ubadiy az-Zabidiy mengatakan apabila

Ibu kandung tidak ada atu telah menikah maka yang lebih utama mengasuh

anak tersebut adalah nenek Ibu kandung lebih utama di banding dengan Ibu

sebapak, dan jika jauh dari nasab keturunan maka Ibu sebapak lebih utama

daripada saudara perempuan. Maka apabila Ibu kandung tidak mempunyai

nenek maka saudara perempuanlah yang lebih utama daripada bibi.30

D. Orang-orang yang Berhak Melakukan Hadhanah

Pada dasarnya pelaksana hadhanah dalam keluarga adalah suami

isteri atas hadhanah anak-anaknya. Apabila karena adanya sesuatu hal yang

menyebabkan orang tua tidak dapat melaksanakan hadhanah, maka hadhanah

terhadap anaknya itu diserahkan kepada orang lain dalam lingkungan keluarga

yang sekiranya mampu dan memenuhi syarat untuk melaksanakan hadhanah

tersebut. Menurut Ibnu Rusyd, hadhanah diberikan berdasarkan kedekatan dan

kelemah lembutan bukan dengan dasar kekuatan perwalian, seperti nikah,

mawali, wala’, walad dan warisan.31

Bisa saja orang tidak mewarisi tetapi berhak hadhanah seperti orang

yang diberi wasiat, adik perempuan Ayah, adik perempuan Ibu, anak saudara

laki-laki dan anak saudara perempuan. Sementara menurut Al Hamdani bahwa

orang yang berhak pengasuhan anak adalah orang yang lebih mampu

mengasuh dan mendidik anak tersebut, karena orang yang mengabaikan

pemeliharaan anak atau tidak bertanggungjawab terhadap anak tidak layak

mendapatkan hak pengasuhan anak.32

30

Muhammad Az-zabidi, Al-jauharah an-Nirah, (Lebanon: mathba’ah Khirah,

1322 H), Juz 2, h. 90. 31

Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terjemahan Imam Ghazali Said, (Jakarta:Pustaka

Amani, 2007), Jilid II, h. 526. 32

Al Hamdani, Risalah Nikah, Terjemahan Agus Salim, Jakarta: Pustaka Amani, 1989),

h. 265.

Page 52: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

24

Ulama memberikan urutan dan skala prioritas hak hadhanah atas

anak bagi para wanita, sesuai dengan kemaslahatan anak tersebut. Menurut

mereka naluri keIbuan lebih sesuai untuk merawat dan mendidik anak, serta

adanya kesabaran dalam menghadapi permasalahan kehidupan anak-anak

lebih tinggi dibanding kesabaran seorang laki-laki. Selanjutnya ulama fikih

juga mengemukan bahwa apabila anak tesebut telah mencapai usia tertentu,

maka pihak laki-laki dapat dianggap lebih sesuai dan lebih mampu untuk

merawat, mendidik, dan menghadapi berbagai persoalan anak tersebut sebagai

pelindung. Oleh sebab itu maka ulama fikih lebih mendahulukan kaum wanita

daripada kaum pria.33

Urutan mereka yang berhak melaksanakan tugas hadhanah anak,

menurut ulama fikih adalah sabagai berikut:

1. Ibu dari si anak, Ibu lebih berhak mengasuh anak apabila terjadi perceraian

atau meninggalnya suaminya, sebab ia merupakan orang yang paling

sayang dan lembut terhadap si anak daripada orang lain.34

2. Jika hak hadhanah seorang Ibu telah gugur, maka hak pengasuhan anak

pindah kepada Ibunya istri (nenek si anak). Selain itu, seorang nenek

adalah keluarga terdekat setelah Ibu. Selanjutnya biasanya nenek lebih

menjaga dan menyayangi anak yang diasuhnya dibanding yang lainnya.35

3. Selanjtunya setelah hak asuh Ibu dan nenek (Ibu dari Ibu) tiada, maka hak

tersebut di ambil alih oleh nenek (Ibu dari Ayah) dari anak tersebut.

33

Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu (Hak-Hak Anak, Wasiat, Wakaf,

Warisan) Jilid 10, Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta:Darul fikir, 2011) h. 61. 34

Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu (Hak-Hak Anak, Wasiat, Wakaf,

Warisan) Jilid 10, Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta:Darul fikir, 2011) h. 61 35

Al- Fauzan Saleh Fikih Sehari-hari, Terjemahan Abdul Hayyie Al-Kattani, (Jakarta:

Gema Insani, 2006), h.750.

Page 53: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

25

Penyebab nenek dari Ibu (Ibu dari Ibu) lebih diutamakan dari pada nenek

dari Ayah (Ibu dari Ayah), meskipun kedua-duanya sama-sama dekat

namun karena nenek dari Ibu merupakan kerabat dari Ibu si anak,

sedangkan hak hadhanah atas anak lebih diutamakan pada garis keturunan

Ibu, sehingga kerabat dari Ibu lebih diutamakan

4. dibanding kerabat dari pihak Ayah. Namun hal yang berbeda dikemukan

oleh Saleh al- Fauzan, menurutnya jika setelah hak asuh Ibu dan nenek

(Ibu dari Ibu) tiada, maka hak tersebut diambil ahli oleh Ayah kandung si

anak. Hal ini karena Ayah juga memiliki kedekatan dengan anaknya di

banding yang lain setelah Ibu dan nenek. Setelah orang-orang telah di

sebutkan di atas gugur haknya, maka yang seterusnya yang melaksanakan

tugas hadhanah adalah saudara kandung perempuan dari Ibu si anak.

Sebab, mereka memiliki hubungan yang lebih kuat dengannya dalam

masalah warisan. Kemudian baru saudara perempuan seibu, yang dianggap

keibuan, sebab Ibu lebih diutamakan dibandingkan Ayah, baru kemudian

saudara perempuan seayah.

5. Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung selanjutnya barulah

anak perempuan dari saudara seayah.

6. Bibi yang sekandung dengan Ayah

7. Bibi yang seibu dengan Ayah

8. Bibi yang seayah dengan Ayah

9. Bibinya Ibu dari pihak Ibunya

10. Bibinya Ayah dari pihak Ibunya

Page 54: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

26

11. Bibinya Ibu dari pihak Ayahnya

12. Bibinya Ayah dari pihak Ayah.

13. Kakek dari pihak Ayah dan terus ke atas ( Ayah dari Ayah si anak)

14. Saudara laki-laki sekandung

15. Saudara laki-laki seayah

16. Saudara laki-laki dari saudara laki-laki sekandung

17. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah

18. Paman yang sekandung dengan Ayah

19. Paman yang seayah dengan Ayah

20. Pamannya Ayah yang sekandung

21. Pamannya Ayah yang seayah dengan Ayah

22. Jika tidak ada seorangpun kerabat dari muhrim laki-laki tersebut di atas

maka hak hadhanah beralih pada muhrim-muhrimnya yang laki-laki selain

kerabat dekat yaitu diantaranya:

23. Ayah Ibu (kakek)

24. Saudara laki-laki seibu

25. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu

26. Paman yang seibu dengan Ayah

27. Paman yang sekandung dengan Ibu Paman yang seayah dengan Ibu

28. Paman yang seayah dengan Ayah

Page 55: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

27

Akan tetapi jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat baik dari sisi

Ibu maupun sisi Ayah, maka hakim yang akan menunjuk seorang wanita yang

sanggup dan patut mengasuh serta mendidiknya.36

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang

berhak mendapatkan hak asuh anak itu berjumlah 28 pihak. Akan tetapi yang

paling utama yang berhak adalah jalur dari sanak keluarga dari si Ibu.

36

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam,( Jakarta:Al-HidAyah, 1968),

h.395.

Page 56: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

28

BAB III

KEPUTUSAN IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA SE-INDONESIA V

TAHUN 2015 TENTANG HAK PENGASUHAN ANAK TEHADAP

ORANG TUA BERCERAI SEBAB BERBEDA AGAMA

A. Hadhanah Bagi Orang Tua Yang Tidak Cakap Perilaku

Islam merupakan agama rahmatan lil’alamin yang mengadung nilai-

nilai bagus didalamnya sehingga banyak aturan-aturan dan persyaratan yang

harus dipenuhi. Didalam pernikahan apabila terjadi perceraian antara suami

istri maka butuh pengasuhan anak yang layak agar menjadikan anak tersebut

berguna bagi agama dan negaranya, oleh karena itu lembaga fatwa MUI

(Majelis Ulama Indonesia) membuat aturan tentang kepengasuhan anak.

Adapun aturan tersebut di sebutkan dalam Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi

Fatwa Se-Indonesia V Tahun 2015 Tentang Hak Pengasuhan Anak Tehadap

Orang Tua Bercerai Sebab Berbeda Agama diantara persyaratan tersebut MUI

menyebutkan bahwa seorang pengasuh harus dapat dipercaya (amanah) dan

berbudi pekerti yang baik.

Hasil persyaratan pengsuh yaitu dapat dipercaya (amanah) dan

berbudi pekerti yang baik jika dianalisa MUI mengambil dari berbagai sumber

hukum Islam di antaranya:

Page 57: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

29

1. Pandangan Ulama Fikih

Pada umumnya fukaha sepakat bahwa Ibu mempunyai keutamaan

hak hadhanah. Namun hak hadhanah dapat dicabut dengan sebab murtad,

berperilaku tidak terpuji seperti berzinah, mencuri, tidak dapat dipercaya,

sering keluar rumah dan mengabaikan anak yang diasuhnya. Tujuan dari

adanya sifat-sifat tersebut adalah dalam upaya memelihara dan menjamin

kesehatan, pertumbuhan moral dan perkembangan psikologis anak.1

Sejalan dengan pendapat diatas, Ibnu Qudamah mengemukakan, bahwa

pencabutan hak hadhanah sebagaimana pendapat al-Jundi bahwa perinsip

dasar yang dapat dijadikan alasan pencabutan hak hadhanah Ibu adalah

adanya situasi dan kondisi pada Ibu yang dapat merugikan kepentingan

dan kesejahteraan serta membahayakan agama anak. Dasar dan orientasi

dalam hadhanah adalah kemashlahatan dan kemanfaatan bagi anak tanpa

memperhatikan hak Ibu atau Ayahnya. Hak hadhanah Ibu atau Ayah dapat

gugur apabila anak dikumpulkan dengan orang yang dibencinya.2

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa fikih klasik tidak

mengatur secara rinci tentang hal yang dapat mengugurkan dan

pencabutan terhadap hak-hak hadhanah. Namun pencabutan hak

hadhanah dapat difahami dari persyaratan-persyaratan terhadap pemegang

hak hadhanah. Adapun alasan-alasan digugurkan dan dicabutnya

hadhanah seseorang antara lain:3

1Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar El-Fikr,

1997), h. 7306. 2Anwar Al-Jundi, Mabadi al-Qadha al-Syar’I, (Kairo: Dar El-Fikri Al-Arabi,

1978), h. 373-374. 3Andi Syamsu Alam, Muhammad Fauzan, Hukum Pengankatan Anak

Perspektif Islam, (Jakarta: KENCANA PREDANA MEDIA, 2008), h. 132.

Page 58: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

30

1. Hal-hal yang disepakati yaitu:

a. Tidak bisa dipercaya

b. Berperilaku tidak terpuji

c. Membahayakan kepentingan anak

2. Hal-hal yang masih diperdebatkan yaitu:

a. Kafir dan murtad

b. Isteri menikah lagi dengan laki-laki lain.

Di dalam kitab Al-HidAyah ‘Ala Mazhabi Al-Imami Ahmad

memberikan keterangan bahwa bagi orang tua yang tidak cakap perilaku

tidak berhak mendidik anaknya kecuali telah kembali sifat akhlaknya yang

bagus dan tidak fasik maka berhak medapatkan kembali hak sebagai

pengasuh.4 Alasan hak tersebut kembali ialah hilangnya pencegah yang

menyebabkan pengasuh tidak berhak mengasuh anak tersebut seperti fasik,

kafir dan tidak merdeka,5

Dari pemaparan pengarang kitab Al-HidAyah ‘Ala Mazhabi Al-

Imami Ahmad dapat difahami wanita pengasuh harus memiliki sifat adil

dan tidak fasik. Tidak ada alasan untuk memasukan sifat adil dan tidak

fasik sebagai salah satu syarat mendapatkan hak mengasuh anak jika

kedua hal ini menjadi syarat pengasuhan anak, maka pastilah ada

keterangan dan perbuatan yang dinukil tentang maslah ini. Sebab, sejak

Allah SWT mengutus Rasulullah SAW sampai hari kiamat kelak anak-

4Mahfuz Ibn Ahmad, Al-hidAyah ‘Ala Mazhab al-Imam Ahmad, (Ttp:

Muassasah Gharas li An-nasyr Wa At-tauzi’, 2004), Jilid 1, h. 500. 5Abdurrahman Ibn Ibrahim, Al-iddah Syarh ‘Umdah,, (Beirut: Dar El-

Hadits, 2003), Jilid 1, h. 479.

Page 59: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

31

anak kalangan fasik dirawat oleh mereka dan tidak ada seorang pun yang

menghalangi mereka meskipun mereka berjumlah banyak. Kemudian,

dalam sejarah juga tidak pernah disebutkan ada anak yang dicabut urutan

(keturunannya) dari kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya

lantaran kefasikannya fenomena sehari-hari juga menunjukan bahwa orang

yang fasik sekalipun akan selalu berhati-hati merawat anaknya dan tidak

mau menyia-yiakannya, dan selalu berusaha sekuat tenaga demi kebaikan

si anak. Dengan demikian apabila ada seorang yang fasik merawat anak

maka batal hak asuhnya seklipun ia berhati-hati merawat anaknya.6

Muhammad Nur Abdul Hafiz menjelaskan ada beberapa sifat

mendasar yang diupayakan untuk bisa dimiliki oleh setiap

pengasuh.Semakin banyak sifat dibawah ini yang bisa dimiliki, maka

semakin besar pula kemungkinan bisa mengasuh anak sesuai dengan

metode yang dijalankan oleh para rasul yang memang hanya para

Rasulullah yang memang memilki sifat kesempurnaan. Walaupun seorang

tidak memiliki kemampuan untuk memiliki sifat para rasul namun mereka

dituntut untuk berupaya semaksimal mungkin agar mampu mendekati

sifat-sifat mereka. Dengan adanya akhlak seorang pengasuh yang baik ini,

insya Allah setiap generasi baru akan melihat contoh yang baik dalam diri

pengasuhnya sehingga merekapun akan mengikutinya dengan penuh

kesadaran. Adapun sifat tersebut sebagai berikut:7

6Muhammad Ibn Wahab, Zad Al-Ma’ad, (Beirut: Dar Al-rayan al-Qahirah,

1987), Jilid 5, h. 461. 7Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah,

(Bandung: Al-Bayan, 1997), h. 52.

Page 60: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

32

a. Memiliki sifat lemah lembut dan berbudi luhur.

b. Ramah dan menjauhi sifat bengis

c. Hati yang penuh kasih sayang

d. Mengambil yang termudah dari 2 urusan selama tidak mengandung

dosa

e. Bersifat fleksibel

f. Menjauhakn diri dari amarah

Dari pemaparan point pertama dapat simpulkan MUI memutuskan

persyaratan seorang pengasuh harus Dapat dipercaya (amanah) dan

berbudi pekerti yang baik karena dalam agama Islam, akhlak,

perilaku dan dan sikap yang baik merupakan buah dari pendidikan

keimanan yang baik kepada anak. Jika orang tua sudah mampu

menanamkan pendidikan iman pada anak, niscaya ia akan tumbuh

menjadi manusia yang senantiasa menjaga kemashlahatan agamanya.

Seseorang anak, sejak terlahir dari Rahim Ibunya, lalu ia tumbuh di

lingkungan yang selalu menanamkan keimanan, mendidiknya agar

bertakwa dan takut kepada Allah yang menginformasikan bahwa

Allah SWT adalah zat yang selalu mengawasi, menyaksikan,

menolong, dan menerima taubat bagi hamba-Nya yang bertaubat,

niscaya anak akan mampu mengarungi kehidupan dunia ini dengan

keberhasilan yang berpihak kepadanya. Ia akan senantiasa

memperlihatkan kepada masyarakat akhlak yang terpuji, perilaku

Page 61: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

33

dan sikap yang layak untuk dijadikan tauladan bagi umat lainnya.

Hati dan jiwanya akan senantiasa mengintrospeksi setiap kesalahan

yang diperbuatnya lalu ia segera memperbaiki dirinya.8

2. Al-Qur’an dan Hadits

Allah telah mengatur hukum tentang pengasuhan anak yang

menerangkan bahwa seorang pengasuh harus cakap akhlaknya dan tidak

fasik seperti firman Allah SWT:

Artinya: “Para Ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua

tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.

dan kewajiban Ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para

Ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan

menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang Ibu

menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang Ayah

karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila

keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan

keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas

keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang

lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan

8Mahmud, Heri Gunawan dan Yuyun Yulianingsih, Pendidikan Agama Islam

Dalam Keluarga, (Jakarta: Akademika, 2013), h. 88-89.

Page 62: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

34

pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada

Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu

kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233)

Al-Lukman ayat 13:

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di

waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah

kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan

(Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (QS. Al-

Lukman: 13)

Menurut Ibnu Kasir ayat di atas dikisahkan bahwa Lukman

adalah seorang hamba shaleh yang dikarunia oleh Allah SWT pemahaman

di dalam memahami agama. Kemudian lukman mengajarkan kepada

anaknya agar selalu ingat kepada Allah dan melarangnya untuk

mensekutukan Allah.9

B. Metode Penetapan Fatwa

MUI mempunyai sistem dan prosedur penetapan fatwa yang dikenal

dengan metode istibath (pemahaman, penggalian, dan perumsan) hukum.

Metode penetapan fatwa ini berlaku dalam penetapan ketiga kategori fatwa,

yaitu fatwa-fatwa ekonomi syariah, produk halal, dan keagamaan, kecuali

apabila disebutkan secara spesifikasi.10

9Ibnu Kasir, Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim, (Lebanon: Dar el-Kutub, tth), Juz 6, h.

300. 10

Asrorun Ni’am Sholeh, Metodoloi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,

(Jakarta: Emir, 2016), h. 116.

Page 63: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

35

System dan prosedur yang diterapkan dalam penetapan fatwa MUI

merupakan bagian dari ijtihad, sebagaimana telah diperkenalakan oleh para

ahli ilmu ushul fiqh. Jalan ijtihad ditempuh untuk mengetahui atau

menjelaskan hokum Islam yang belumdiketahui secara jelas. Para ahli ilmu

ushul fiqh berbeda pebdapat, sekalipun tidak begitu tajam, dalam merumuskan

apa yang dimksud dengan ijtihad, antara lain, dikatakan sebagai:

الفقيه الوسع لتحصيل ظن بحطم شرعيإستفراغ “(Ijtihad ialah) pencurahan segenap kemampuan secara maksimal yang

dilakukan oleh seorang ahli fikih (faqih) untuk mendapatkan pengetahui

tingkat zhan (dugaan kuat) mengenai hokum syar’i.”11

Rumusan ahmpir serupa dengan sedikit penambahan di ungkapkan

oleh al-Amidi sebagai berikut:

طلب الظن بشئ من الأحكام الشرعية على وجه يحس من النفس العجز الوسع فىإستفراغ يهعن المزيد ف

“(Ijtihad ialah) pencurahan segenap kemampuan secara maksimal dalam

mencari mencari pengetahuan tingkat zhan mengenai hokum syar’I, dalam

batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya itu.”12

Kedua definisi diatas saling melengkapi dari kedua definisi sebut

dapat difahami, yaitu: pertama, pelaku ijtihad atau mujtahid harus ahli dalam

bidang hukum fiqih / hukum Islam (faqih) bukan yang lain. Kedua, sasaran

11

Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalli, Syarh ‘ala Matn Jam’I al-Jawami, (Mesir:

Musthafa al-Babi al-Halabi, t.t), Juz II, h. 379. 12

Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Kairo: Muassasah al-Halabi wa Syirkah,

t.t), Juz IV, h. 141.

Page 64: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

36

yang ingin dicapai dalam ijtihad adalah hukum syar’i yang berhubungan

dengan aktifitas dan perbuatan mukallaf. Artinya, ijtihad tidak berlaku dalam

bidang lain seperti akidah dan akhlak.13

Ketiga, status hukum syar’I yang

dilakukan melalui ijtihad bersifat zhani. Istilah zhani dikalangan hukum islam

dimaknai sebagai salah satu yang mendekati kebenaran (dianggap benar). Dari

sana pula dapat disimpulkan bahwa hasil ijtihad seorang mujtahid bersifat

relatif yang belum tentu mutlak kebenaran.

Secara profesional fatwa-fatwa MUI ditetapkan dengan pedoman

penetapan fatwa yang memuat empat ketentuan dasar,14

yaitu pertama setiap

keputusan fatwa harus dasar di dalam al-Qur’an dan hadits yang mu’tabar,

serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.

Kedua, jika fatwa yang akan ditetapkan hukumnya tidak terdapat di

dalam al-Qur’an maupun hadits , maka fatwa tersebut hendaknya tidak

bertentangan dengan ijma’, qiyas, yang mu’tabardan dalil-dalil hukum yang

seperti istihsan, mashlahah mursalah, dan sad adz-zari’ah. Dalam hal ini,

dalil hukum yang berasal dari penalaran mendapatkan tempat dalam proses

penetapan hukum.

Ketiga, sebelum fatwa diputuskan, dilakukan penelusuran data

dengan merujuk pada pendapat-pendapat para imam mazhab terdahulu, bik

yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan

13

Ibrahim Hosen, “Memecahkan Permasalahan Hukum Baru” Dalam Haidar

Bagir (Ed), Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1988), h.23. 14

Pedoman Penetapan Fatwa yang ditetapkan berdasarkan SK. Dewan Pimpinan

MUI Nomor U-596/MUI/X/1997 tanggal 2 oktober 1997.

Page 65: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

37

dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat dengannya.

Jika material hukumnya berbeda maka masih dapat ditempuh dengan

menganalogikan hukum material yang telah ditetapkan oleh ulama mazhab,

dengan melihat pada kesamaan ‘illat . jika dengan cara itu tidak ditemukan

juga kesamaannya, maka metodologi yang digunakan para imam mazhab

diadopsi agar dapat digunakan sebagai pisau analisis dalam memecahkan

suatu masalah.

Keempat, fatwa-fatwa MUI selalu mempertimbangkan pandangan

tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya. Hal

ini nmapak sekali dalam proses penetapan fatwa terhadap masalah-masalah

kontempporer, terutama yang terkait dengan ilmu pengetahuan dan teknologi

seperti dalam penetapan hukum cloning, aborsi, khitan perempuan,

transplantasi orgtan tubuh, dan termasuk penetapan fatwa produk halal.

Sedangkan secara metodologis, penetapan MUI ditempuh dalam

lima tahap.15

Tahapan Pertama, sebelum fatwa ditetapkan akan ditinjau lebih

terdahulu pendapat para imam mazhab tentang masalah yang akan difatwakan

tersebut, secra saksama berikut dalil-dalilnya. Dari sini dapat dimengerti

mengapa fatwa-fatwa MUI mempunyai transisi dan kesinambungan dengan

masalah yang difatwakan oleh para imam mazhab. Metode ini meneguhkan

MUI sebagai pewaris tradisi keilmuan ulama generasi sebelumnya, sekaligus

meneguhkan konsistensi MUI dalam menjalankan fungsi sebagai pewaris para

15

Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta:

Sekretariat MUI, 2001).

Page 66: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

38

nabi (warasah al-anbiya), dengan mengikuti tradisi dan keilmuan ulama

terdahulu atau (salaf ashalih).

Tahapan kedua, untuk masalah-masalah yang telah jelas hukumnya

(al-ahkam al-qat’iyah), maka disampaikan sebagaiaman adanya. Hal ini

sebagai manifestasi dan penggunakan pendekatan nash qath’I disamping

qauli’ dan manhaji.

Tahapan ketiga, terkait masalah-masalah yang diperselisihkan

(khilafiyah) dikalangan mazhab, akan ditempuh dalam dua acara:

a. Menemukan titik temu antara bergabagi mazhab melalui metode al-jam’u

wa at-taufiq (menggabung dan menyesuaikan persamaan); dan

b. Jika upaya al-jam’u wa at-taufiq tidak bisa dilakukan maka pendapat

fatwa didasarkan tarjih (memiih pendapat yang argumentasinya paling

kuat diantara argumentasi-argumentasi yang telah ada) melalui metode

muqaronat al-mazahib (perbandingan mazhab) menggunakan kaidah-

kaidah ushul al-fiqh al-muqaran (ushul fiqh perbandingan).

Tahap keempat, terkait dengan masalah-masalah yang tidak temukan

pendapat hukumnya dikalangan mazhab maka penetapan fatwa MUI

didasarkan pada hasil ijtihad jama’I (kolektif) melalui metode bayani, talili

(qiyasi, istihsani, ilhaqi), istishlahi dan sad adz-zari’ah.

Tahapan kelima, penetapan fatwa harus senantiasa memperlihatkan

kemaslahatan umum (mashalih amah) dan maqasid as-syariah komisi fatwa

Page 67: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

39

MUI terkesan sangat hati-hati dalam penetapan fatwa, karena

mempertimbangankan mashalih amah dan maqasid asy-syariah (maksud-

maksud syariah) hal ini tidak jarang menimbulkan kesan MUI agak lamban

dalam merespon persoalan yang merebak ditengah-tengah masyarakat. MUI

sendiriberpandangan bahwa untuk mengeluarkan sebuah fatwa yang harus

dilandasi perinsip kehati-hatian, serta memperhatikan situasi dan kondisi yang

ada sehingga fatwa yang dikeluarkan benar-benar membawa kemaslahatan

umum bagi masyrakat, sebgaimana menjadi tujuan pensyariatan hukum Islam

(maqasid at-tasyri’).

C. Fatwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Tentang Hak Hadhanah Akibat

Perceraian Beda Agama.

MUI mendefinisikan Hadhanah adalah aktifitas melakukan

pengasuhan anak yang masih kecil, baik laki-laki atau perempuan atau yang di

bawah pengampuan yang belum mumayyiz dan tidak dapat mengurus semua

urusannya dengan cara menyiapkan segala sesuatu yang mendatangkan

kemaslahatannya, menjaganya dari segala sesuatu yang dapat menyakiti dan

membahayakannya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu secara

mandiri dalam menghadapi kehidupan dan memikul tanggung jawab.

16Sebagaimana yang telah kita ketahui salah satu syarat berhaknya seorang

pengasuh mengasuh anaknya yaitu harus beragama Islam sebagaimana Nabi

Muhammad SAW bersabda:

16

Majelis Ulama Indonesia Komisi B1 Masail Fiqhiyah, Hak Asuh Nak

Bagi Orang Tua yang Bercerai Akibat Berbeda Agama, (Jakarta: Ttp, 2015), h. 50.

Page 68: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

40

عن عبد الرحن بن هرمز الأعرج، عن أب هري رة رضي الله قال: " كل مولود عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ,

رانه سانه يولد على الفطرة، فأب واه ي هودانه، أو ي نص 17او يج

Artinya: “Dari Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj dari Abi Hurairah

semoga Allah meridhainya bahwasannya Rasulullah SAW

bersabda: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua

orang tuanyalah yang membuatnyamenjadi Yahudi, Nasrani atau

Majusi.”

Abu Hurairah berpendapat lafaz fitrah adalah permulaan (lembut)

yang jatuh pada awal makhluk diciptakan berlaku pula pada fitrah akal.

Adapun lafaz yahudu adalah agama Yahudi yang menjadi pondasi orang kafir,

lafaz yumajisu adalah pondasi agama Majusi sebagaimana yang telah kita

ketahu. Adapun ikrar yang pertama (Islam) yaitu sesuatu yang didalamnya

terdapat hukum atau pahala. Maka fikirkanlah olehmu bahwa seorang anak

kecil dari agama musyrik dihukumi sebagaimana agama kedua orangtuanya.18

Abu Abdullah Muhammad al-Maliki berpendapat lafaz al-fitrah itu

adalah fitrahnya islam (agama yang benar) sebagaimana fitrahnya akal

memikirkan. tetapi hanya saja tidak mengakuinya akal seseorang agama Islam

itu tidak benar adalah suatu penyakit dan itu tergantung bagaimana kedua

orangtuanya beragama Islam, Yahudi, atau Majusi.19

Rasulullah besabda pula:

17

Abu Hanifah an-Nu’man, Musnad Abu al-Hashkafi, (Mesir: tp, th), Juz 1,

h. 513.

18

Yahya Ibn Hurairah, al-Ifshah ‘an Ma’ani as-Shahah, (ttp: Dar El-wathan, 1417

H), Jilid 6, h. 181. 19

Abu Abdullah Muhammad al-Maliki, al-Mu’alim bi Fawaidi al-Muslim, (Ttp:

dar El-taunisiyah an-Nasyr, 1998), Juz 3, h. 318.

Page 69: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

41

ث نا عبد الميد بن ث نا عيسى بن يونس، حد ث نا علي بن بحر، حد حدي، رافع بن سنان أنه أسلم وأبت امرأته جعفر، أخب رن أب، عن جد

وسلم ف قالت: اب نت، وهي فطيم أن تسلم، فأتت النب صلى الله عليه " أو شب هه، وقال رافع: اب نت، ف قال له النب صلى الله عليه وسلم:

ن هما، ث اق عد ناحية " وقال لا: " اق عدي ناحية " فأق عد الصبية ب ي ها، ف قال النب صلى الله عليه وسلم: قال: " ادعواها "، فمالت إل أم

.20" اللهم اهدها " فمالت إل أبيها فأخذها

Artinya: “Telah menceritakan kepada Ali bin Bahr telah menceritakan kepada

kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami Abdul hamid

bin Ja’far telah mengabarkan kepadaku Ayahku dari kakekku yaitu

Rafi bin Shinan bahwa ia telah masuk Islam sedangkan isterinya

menolak untuk masuk Islam. Kemudian wanita tersebut datang

kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata; anak

wanitaku ia masih menyusu -atau yang serupa dengannya. Rafi'

berkata; ia adalah anak wanitaku. Beliau berkata kepada wanita

tersebut; duduklah di pojok. Dan mendudukkan anak kecil tersebut

diantara mereka berdua, kemudian beliau berkata; panggillah ia.

Kemudian anak tersebut menuju kepada Ibunya. Lalu Nabi

shallallahu 'alaihi wasallam berdoa: "Ya Allah, berilah dia

petunjuk!" kemudian anak tersebut menuju kepada Ayahnya.

kemudian Rafi' bin Sinan membawa anak tersebut.

Imam al-Khattab berpendapat pada hadits tersebut bahwasannya

seorang anak yang kecil apabila martabatnya diantara muslim dan kafir maka

agama muslim lebih berhak ia pilih sebagaimana berpendapat hal ini pula

imam as-Syafi’I. Berkata shahIbu ar-Ra’I (al-Mundzir) didalam permasalahan

suami isteri yang bercerai karena berbeda agama. Suaminya beragama Islam

dan isterinya kafir dzimi. Ketika di dalam pengasuhan maka yang lebih berhak

20

Abu Abdillah Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal (Mesir: Muassasah

ar-risalah, 2001), Juz 39, h. 168.

Page 70: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

42

adalah Ibu selama ia belum menikah maka dalam permasalahan ini tidak ada

perbedaan antara kafir dzimi dan beragama Islam.21

Allah SWT berfirman:

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan

terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi

bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami

(turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir

mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata:

"Bukankah Kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari

orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di

antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan

memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan

orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 141)

Syekh Musthafa al-Maragi berpendapat bahwa lafaz lan

yaj’alallahu lil kafiriina ‘ala mu’minina sabila adalah selalu berpegang

teguhnya orang mukmin terhadap agamanya didalam melaksanakan perintah

Allah dan menjauhi segala larangannya yang berupa dari persiapan hatinya

yang teguh sehingga mereka tidak dapat mengalahkan oleh orang musyrik dan

tidak akan Allah menjadikan orang musyrik sebagai pemimpin.22

21

Al-Abbadi, ‘Aunu al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, (Beirut: dar El-Kutub al

Alamiyah, 1998), Juz 6, h. 238 22

Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maragi, (Mesir: Musthafa al-Babi, 1946),

Juz 5, h. 186.

Page 71: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

43

Abu Ja’far at-Thabari berpendapat lafaz lan yaj’alallahu lil kafiriina

‘ala mu’minina sabila adalah sebuah hujjahnya orang mukmin ketika di hari

kiamat nanti oleh karena itu menjadikannya Allah orang musyrik sebagai

musuhnya orang mukmin agar mereka (orang musrik) tidak termasuk

golongan orang yang mauk surga begitupun orang mukmin bukan termasuk

golongan orang munafik.23

Fukaha berbeda pendapat tentang boleh apa tidaknya anak diasuh

oleh non muslim. Ulama mazhab Syafi’I dan Hanbali mensyaratkan bahwa

pengasuh seorang muslimah atau muslim karena non muslim tidak punya

wewnang dalam mengasuh dan memimpin orang Islam disamping itu juga

dikhwatirkan pengasuh akan menyeret anak masuk kedalam agamanya. Kalu

orang islam tidak ada maka (menurut mazhab Hanbali) diperbolehkan kepada

kafir dzimmi karena kafir dzimmi lebih dapat dipercaya dibandingkan kafir

harbi akan tetapi ulama mazhab hanafi dan Maliki tidak mensyaratkan

pengasuh harus muslimah, jika anak tersebut juga wanita. Alasan mereka

adalah sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulallah SAW menyuruh

memilih pada anak untuk berada dibawah asuhan Ayahnya yang muslim atau

pada Ibunya yang musyrik tetapi anak tersebut memilih Ibunya.24

23

Abu Ja’far at-Thabari, Tafsir at-Tabari, (Mesir: Muassasah ar-Risalah, 2000),

Juz 3, h. 324. 24

Abdurrahman Al-jaziri, Al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikri,

th), h. 596-598.

Page 72: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

62

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari penelitian dan pembahasan mengenai Hak Asuh Anak

Terhadap Orang Tua yang Bercerai Karena Berbeda Agama terhadap

Keputusan Komisi B1 Masalah Fikih Kontemporer (Masail Fiqhiyah

Mu’ashiroh) Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V Tahun 2015

Tentang Hak Pengasuhan Anak Bagi Orang Tua Yang Bercerai Karena

Berbeda Agama dapat di simpulkan bahwa:

1. Metode istinbat hhukum MUI dalam memecahkan permasalahan

mengenai Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua yang Bercerai Karena

Berbeda Agama terhadap Keputusan Komisi B1 Masalah Fikih

Kontemporer (Masail Fiqhiyah Mu’ashiroh) Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa

Se-Indonesia V Tahun 2015 Tentang Hak Pengasuhan Anak Bagi Orang

Tua Yang Bercerai Karena Berbeda Agama memakai sumber hukum slam

yang sifatnya qatht’iyaitu Al-Qur’an, Assunah dan Ijma ulama terdahulu

yang sifatnya mu’tabarah danmengambildari pendapat-pendapat ulama

yang rojih makasi fat fatwa yang dikeluarkan MUI sangat kuat dan

tidakbisa di ganggu gugat.

2. Pandangan MUI berdasarkan hukum Islam tentang hak hadhanah terhadap

orang tua yang bercerai karena berbeda agama hukumnya mutlak harus di

asuh oleh pengasuh yang beragama Islam hal ini di atur di dalam al-

Page 73: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

63

Qur’an dan As-Sunah. Adapun manfaat MUI mensyaratkan pengasuh

harus beragama Islam yaitu sebagai berikut:

a. Agar pengasuh dapat mencetak generasi yang bebudi pekerti yang baik

karena Islam adalah agama yang menjunjung tinggi tentang akhlak dan

tatakrama yang luhur, dapat melaksanakan segala perintah Allah SWT

dan menjauhi segala larangannya dengan di bekali al-Quran dan hadits. b. Menjadikan pengasuh agar sadar bahwa wajib menafkahi anak dan

mengajarka nmengenal Allah SWT dan yang lain sebagainya, dari

alas an ini maka tepat keputusan MUI mensyaratkan bahwa

seorang pengasuh beragama Islam sebab jika seorang pengasuh

beragama non Muslim di khawatirkan ia tidak kenal kepada rukun

Islam dan rukun iman dan yang dikhawatirkan pula yaitu anak

tersebut akan pindah akidahnya kepada agama non Islam. Maka

dari hal itu MUI sangat menegaskan di dalam fatwa tersebut

apabila tidak memenuhi persyaratan pengasuh beragama Islam

tidak berhak mendapatakan hak asuh.

B. Saran

Seyogyanya MUI bisa lebih mempublikasikan atau

mensosialisasikan atas fatwa-fatwa yang sudah di terbitkann karena masih

banyak permasalahan kontemporer yang masyarakat belum mengetahui

solusinya agar tidak terjadi kesalahfahaman berfikir di lingkungan

masyarakat. Bagi para Da’i dan Da’iyah untuk lebih mensosialisasikannya.

Page 74: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

64

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah Ahmad, Abu, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal Juz 39, Mesir:

Muassasah ar-risalah, 2001.

Abdul Hafizh, Muhammad Nur, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Bandung:

Al-Bayan, 199.

Abu al-Hasan, Al-Mahamili, , Al-lubab Fi Fiqh As-syafi’I, Juz I, Madinah

Munawarah, Dar Al-Bukhar, 1998.

Ad-Din, Badru, Al-binayah Syarh al-Hidayah, Juz, 5,Lebanon: Dar El-Kutub Al-

‘alamiyah, 2000.

al-Andalusi, al-Kurtubi al-Baji, Al-Muntahi Syarh al-Muatha, Juz 6, Mesir:

Mathba’ah as-Sa’adah, 1332 H.

al-Hanafi, Abu al-Fadhil, Al-Ikhtiyaru Lita’li Al-Mukhtar, Juz 4, Beirut: Dar El-

Kutub Alamiyah, 1937.

Al-jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikri,

th.

Al-Jundi, Anwar, Mabadi al-Qadha al-Syar’I, Kairo: Dar El-Fikri Al-Arabi,

1978.

Al-Khatabi, Ma’alimu As-sunan, Juz 3, Lebanon: Al-mathba’ah Al-alamiyah,

1932.

Al-Makhruzi, Tafsir Mujahid, Beirut: Dar el-Fikri, 1989.

Al-Mawardhi, Al-hawi Al-kabir, Juz 1, Beirut: Dar El-Kutub Alamiyah, 1999.

Al-mawardi, Al-iqna fi fiqh As-syafi’I, Jilid I, Ttp: Tp, tth.

an-Nu’man, Abu Hanifah, Musnad Abu al-Hashkafi juz 1, Mesir: tp, th.

As-Sarkhisi, Al-Mabsuth, Juz 5, Beirut: dar El-Ma’rifah, 1993.

As-syirazi, Al-Muhazab fi Fiqh Imam As-syafi’I, Juz 2, Lebanon: Dar El-Kutub

Alamiyah, tth.

at-Thabari, Abu Ja’far, Tafsir at-Tabari juz 3, Mesir: Muassasah ar-Risalah, 2000.

Ayub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.

Az-zabidi, Muhammad, Al-jauharah an-Nirah, juz 2, Lebanon: mathba’ah Khirah,

Page 75: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

65

1322 H.

Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar El-Fikr, 1997.

Bintania, Aris, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al-

Qadha, Jakarta: Rajawali Pres, 2012.

Departemen Agama RI. Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 1996.

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,

Ilmu Fiqih, Jilid 2, Jakarta: IAIN, 1983.

Dkk, Abdul Azziz Dahlan, , Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van

Hoeva, 1992.

Fakhru ad-din, Tabyiinu al-Haqaiq syarh kanzu ad-Daqaiq Wa Hasyiyah As-

syilbi, Juz 3,Lebanon: Dar El-Kutub al-Alamiyah, tth.

Fathoni, Abdurrahman, Methodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi,

Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2006.

Fauzan, Andi Syamsul Alam, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam,

Jakarta: Kencana, 2008.

Ghazali, Abdrahman, Fiqih Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2013.

Ibn Ahmad, Mahfuz, Al-hidayah ‘Ala Mazhab al-Imam Ahmad Jilid 1, Ttp:

Muassasah Gharas li An-nasyr Wa At-tauzi’, 2004.

Ibn Hurairah, Yahya, al-Ifshah ‘an Ma’ani as-Shahah, jilid 6, ttp: Dar El-wathan,

1417 H.

Ibn Ibrahim, Abdurrahman, Al-iddah Syarh ‘Umdah Jilid 1, Beirut: Dar El-

Hadits, 2003.

Ibn Wahab, Muhammad, Zad Al-Ma’ad Jilid 5, Beirut: Dar Al-rayan al-Qahirah,

1987.

Ismail Ibn Ibrahim, Abu Abdillah Muhammad Ibn, Shohih al- Bukhori, Juz III,

Bab al- Nikah Lebanon: Dar el Fikri, 1981.

Mahmud, Muhammad, Tafsir Wadhi, juz 3, Beirut: Dar Jil al-Jadidi, 1413 H.

Mudzhar, Mohamad Atho, “Fatwas of The Council of Indonesian Ulama: A Study

of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975 -1988”, Disertasi, Los

Angels: University of California, 1990.

Page 76: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

66

Muhammad al-Maliki, Abu Abdullah, al-Mu’alim bi Fawaidi al-Muslim, Juz 3,

Ttp: dar El-taunisiyah an-Nasyr, 1998.

Muhammad Mahmud, Abu, ‘Umdatu al-Qari Syarh as-Shahih al-Bukhari Jilid 2,

Lebanon: Dar el-Tsurus, th.

Mustafa al-Maraghi, Ahmad, Tafsir al-Maragi Juz 5, Mesir: Musthafa al-Babi,

1946.

Quthub, Syahid Sayid, Tafsir Fi Zilali Al-qur’an. (Beirut: Dar Syuruq: 1992)

penerjemah As’ad Yasin, dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

Sa’ani, Subulu As-salam, Surabaya: Al-ikhlas, 1995.

Sabiq, As-sayid, Fiqh As-sunah Jilid 2, Jakarta: Dar As-saqafah, tth.

Syamsu Alam, Andi, Muhammad Fauzan, Hukum Pengankatan Anak Perspektif

Islam, Jakarta: KENCANA PREDANA MEDIA, 2008.

Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, Juz 5, Beirut: Dar El-kutub Al-‘alamiyah, 1994.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih

Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: kencana Pranada

Media Group, 2009.

Syuja, Abi’, Al-ghayah Wa At-taqrib, Surabaya: Alim Al-Kutub, tth.

Zakariya, Abu, Raudhatu At-thalibin Wa Umdatu Al-Mutaqin, Juz 9, Beirut: Al-

Maktab Al-Islami, 1991.

Al- Fauzan, Saleh Fiqih Sehari-hari, Terjemahan Abdul Hayyie Al-Kattani,

Jakarta: Gema Insani, 2006.

Hamdani, Risalah Nikah, Terjemahan Agus Salim, Jakarta: Pustaka Amani, 1989.

Al-Abbadi, ‘Aunu al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud Juz 6, Beirut: dar El-Kutub

al-Alamiyah, 1998.

An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazab, juz 18, Lebanon: Dar El-Fikri, tth.

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,

Ilmu Fiqih, Jilid 2, Jakarta: IAIN, 1983.

http://zaenul-mahmudi.blogspot.co.id/2008/11/metode-istinbath-hukum-mui.html

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta:Al-Hidayah, 1968.

Mahmud, Heri Gunawan dan Yuyun Yulianingsih, Pendidikan Agama Islam

Page 77: HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI …

67

Dalam Keluarga, Jakarta: Akademika, 2013.

Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid II, Terjemahan Imam Ghazali Said,

Jakarta:Pustaka Amani, 2007.