Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Pembentukan ...
Transcript of Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Pembentukan ...
J o u r n a l o f P s y c h o l o g y : H u m a n l i g h t | IAKN Manado
Volume 2, Nomor 1 - Juni 2021 | 48
Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Pembentukan Kepribadian Anak
Fienny M. Langi1), Feronica Talibandang2)
Institut Agama Kristen Negeri Manado
[email protected], [email protected]
Abstrak
Orang tua adalah pendidik pertama bagi anak – anak. Kepribadian seorang
anak dibentuk dari pola asuh yang diterimanya sejak dini. Anak sebagai peniru
ulung, mengimitasi perilaku orang tua, sehingga pola asuh yang diterapkan
berperan penting dalam pertumbuhan karakter anak. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan bagaimana pengaruh sistem pola asuh yang diterima anak pada
pembentukan kepribadian. Subjek penelitian adalah anak – anak dengan rentang
umur 5 sampai 7 tahun pada Jemaat GMIM Bukit Sion Taas Manado dan GMIM
Abraham Sario Sentra Manado. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Data diperoleh melalui
wawancara terhadap subjek penelitian, kemudian dilakukan observasi dan
pengamatan terhadap hasil data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang
diasuh oleh orang tuanya sendiri, memiliki perilaku yang berbeda dengan anak
yang tidak diasuh oleh orang tua sendiri, atau berada dalam keluarga yang tidak
harmonis. Anak cenderung meniru apa yang dilihatnya sehari – hari, dan
melampiaskan emosi pada sikap dan perilakunya. Dalam penelitian ini, ditemukan
bahwa adanya hubungan yang signifikan, antara pola asuh orang tua terhadap
pembentukan kepribadian anak. Pola asuh yang baik menjadikan anak memiliki
kepribadian yang baik dan disukai oleh lingkungan sekitar. Sedangkan orangtua
dengan sistem pola asuh yang salah, menciptakan anak dengan karakter yang
buruk dan cenderung bermasalah. Orang tua dituntut untuk mampu menciptakan
suasana yang menyenangkan dalam keluarga, sehingga tidak menimbulkan trauma
serta gangguan kepribadian saat anak beranjak dewasa.
Kata kunci: pola asuh, orang tua, kepribadian anak
J o u r n a l o f P s y c h o l o g y : H u m a n l i g h t | IAKN Manado
Volume 2, Nomor 1 - Juni 2021 | 49
Pendahuluan
Anak-anak adalah generasi penerus bangsa. Mereka berhak difasilitasi untuk
mendapatkan pendidikan yang layak, untuk nantinya mampu meningkatkan kualitas diri
mereka, dalam pengembangan kepribadian. Proses tumbuh kembang yang baik memastikan
anak memiliki kualitas diri yang baik pula. Mendidik anak dengan baik dan benar akan
mampu mengembangkan totalitas potensi anak secara wajar. Potensi jasmani anak
diupayakan melalui kebutuhan – kebutuhan jasmani, sedangkan potensi rohani anak
diupayakan perkembangannya lewat usaha pembinaan intelektual.
Hal ini tidak lepas dari peranan orang tua sebagai guru pertama bagi anak, dalam
keluarga. Orang-tua adalah pendidik kodrati bagi anak di dalam keluarga. Pengetahuan
orang-tua terhadap fase-fase pertumbuhan dan perkembangan anak sangat menentukan
terjadinya komunikasi dan interaksi yang baik antara anak dan orang-tua, dengan demikian
apa yang diinginkan orang-tua dalam pembentukan kepribadian anak menuju kepribadian
yang mandiri dapat tercapai. Anak – anak menghabiskan sebagian besar waktu mereka
bersama keluarga. Karena itu, komponen keluarga sangat penting, karena didalamnya ada
peran orang tua sebagai pemimpin yang memiliki otoritas tertinggi dalam keluarga serta
bertanggung jawab terhadap pembinaan pribadi anak-anaknya. Dalam kehidupan keluarga,
kehadiran orang tua yaitu ibu dan ayah memiliki arti yang besar bagi perkembangan
kepribadian seorang anak. Tetapi, pada hakekatnya kehadiran ayah dan in=bu saja belum
cukup. Hal yang penting dalam pengembangan kepribadian anak adalah bagaimana corak
hubungan yang terjalin antara orang tua dan anak, serta bagaimana hubungan emosional
antara mereka terjalin. Hubungan antara orang tua dan anak lebih diwarnai dengan sikap
bagaimana orang tua bertindak terhadap anak. Tetapi, kadang kondisi dan keadaan anak juga
ikut mempengaruhi sikap orang tua. Misalnya, orang tua akan cenderung bersikap
overprotected terhadap anak yang memiliki sistem imun yang lemah. Hal seperti ini tentunya
akan menimbulkan balasan sikap tertentu dari pihak anak.
Perhatian, kendali, dan tindakan orang tua merupakan salah satu bentuk pola asuh yang
mampu memberikan dampak panjang terhadap kelangsungan perkembangan fisik dan mental
anak. Pola asuh adalah suatu model perlakuan atau tindakan orang tua dalam membina dan
membimbing, serta memelihara anak agar dapat berdiri sendiri. Sistem pola asuh ini akan
membentuk watak dan karakter anak dimasa dewasanya, dimana untuk memahami orang
J o u r n a l o f P s y c h o l o g y : H u m a n l i g h t | IAKN Manado
Volume 2, Nomor 1 - Juni 2021 | 50
dewasa harus dilihat dari informasi pada masa kanak-kanaknya karena masa kanak – kanak
adalah masa pembentukan kepribadian (Dan Dreikurs, 1954 dalam Bacon, 1997).
Gaya pola asuh yang dilakukan orang tua terhadap anak adalah salah satu aspek penting
dalam hubungan orang tua dan anak itu sendiri. Pola asuh adalah suatu proses yang ditujukan
untuk meningkatkan serta mendukung perkembangan fisik, emosional, sosial, dan intelektual
seorang anak sejak bayi sampai dewasa. Baumrind (dalam Silalahi, 2010: 8-9), mengatakan
bahwa gaya pola asuh orangtua ada empat tipe yaitu otoriter, demokratis, permisif,
uninvolved. Dijelaskan pada pola asuh otoriter, ditandai dengan adanya aturan-aturan yang
kaku dari orang-tua, cenderung untuk menentukan peraturan tanpa berdiskusi dengan anak-
anak mereka terlebih dahulu. Pada pola asuh demokratis, orang-tua lebih mendorong
kemandirian pada batasan tertentu, hangat dan penuh kasih sayang sehingga anak mampu
berkompeten secara sosial, mampu bergantung pada diri sendiri bertanggung jawab secara
sosial. Karena itu, penenaman bimbingan orang tua terhadap anak harus ditekankan sesuai
dengan pola asuh, terutama dalam mendidik anak.Mendidik anak secara tepat berarti
menumbuhkembangkan totalitas potensi anak secara wajar. Perlakuan orang tua terhadap
seorang anak akan berakibat pada anak, bagaimana ia memandang segala sesuatu, menilai,
juga mengambil sikap.Pembelajaran dan pendidikan anak harus berjalan secara ilmiah, tidak
boleh didesak dan ditekan, hanya untuk memenuhi keinginan orang tua saja. Belajar dalam
lingkungan merupakan proses yang terjadi dalam otak manusia, dikumpulkan oleh sel-sel
saraf, dan disusun sebagai hasil belajar. (Sobur, 2003). Sehingga, apapun stimulus yang
diterima oleh anak, adalah suatu proses belajar, yang mempengaruhi keprbadian. Proses
belajar terjadi bukan hanya saat anak menginjak bangku sekolah saja, tetapi dimulai sejak
usia dini.
Anak usia dini sering disebutkan sebagai masa Golden Age, pada masa keemasan ini
anak mulai sensitive /peka dalam menerima berbagai ransangan, anak yang baru dilahirkan
ibarat secarik kertas kosong, Locke mengemukakan dengan istilah “Tabula Rasa”. Anak usia
dini dikatakan sebagai usia meniru tapi pada masa meniru ini, anak juga menunjukan
kreativitasnya dalam bermain artinya bahwa tidak semua hal yang anak tiru. Adapun peran
orang tua sangat penting terhadap pembentukan kepribadian anak, karena segala hal yang
menjadi kebiasaan orang tua dapat ditiru oleh anak, orang tua merupakan figur bagi seorang
anak, berbicara mengenai anak, dan orang tua bisa dikatakan keluarga nah keluargalah yang
menyiapkan perkembangan kepribadian anak sejak dini, pemikiran dan perilaku anak
J o u r n a l o f P s y c h o l o g y : H u m a n l i g h t | IAKN Manado
Volume 2, Nomor 1 - Juni 2021 | 51
tergantung bagaimana orangtua mendidik. Dalam mendidik anak banyak sebagian besar
orangtua rela menghabiskan waktunya bekerja daripada mendidik anak, memberi kasih
sayang, memberi perhatian, sehingga berdampak pada kepribadian serta emosi anak nantinya
setelah dia tumbuh dewasa anak akan menjadi orang yang mood swing, melanggar aturan
disekolah misalnya bolos hanya untuk mendapat perhatian dari orangtuanya, / membuat onar
dan lain sebagainya.
Pada usia di bawah lima tahun, umumnya anak – anak memiliki sifat imitasi yang
sangat kuat. Mereka mampu mengingat dan menyerap dengan cepat apa yang dilihat dan
didengarnya, tidak perduli hal itu baik atau buruk. Dalam proses ini, sang anak tidak tahu dan
tidak mengenal apakah kejadian tersebut bermanfaat bagi dirinya atau tidak. Karena itu, pada
usia inilah saat yang tepat untuk memberikan latihan dan pembiasaan tentang segala sesuatu,
sambil tetap diiringi oleh contoh dari orangtua dan lingkungan sekitar, sehingga anak
menyerap dan mengikuti hal – hal yang baik yang dilihatnya. Pembentukan dan pendidikan
agama dan moral dalam keluarga terjadi secara tidak formil sebelum anak masuk sekolah.
Pendidikan agama anak pada masa Golden Age terjadi lewat semua pengalaman anak, baik
melalui ucapan yang didengarnya, tindakan, perbuatan dan sikap yang dilihatnya, maupun
perlakuan yang dirasakannya. Oleh karena itu peran dan keadaan kedua orang tua dalam
kehidupan anak sehari-hari (keluarga) mempunyai pengaruh yang sangat besar. Maka dari itu
orang tua harus mengerti serta memahami apa yang menjadi tugas tanggung jawab mereka
sebagai orang tua.
Faktor lingkungan juga berpengaruh pada pembentukan kepribadian anak. Menurut
Megawangi (2003), anak – anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter, apabila
dibesarkan pada lingkungan berkarakter juga. Hal ini juga mengingat bahwa lingkungan yang
dimaksud bukan saja lingkungan yang bersifat mikro, tetapi juga lingkungan yang bersifat
maksro, seperti tempat tinggal dan sekolah. Orang tua yang bergaul pada lingkungan yang
tidak sehat, secara tidak langsung membawa pengaruh tersebut pada lingkungan keluarganya
juga. Anak pada fase awal perkembangan, sangat mudah meniru dan menyerap apa yang
didapatkan di lingkungan sekitar. Karena itulah, untuk mengembangkan generasi penerus
bangsa yang berkarakter diperlukan tanggung jawab semua pihak, termasuk juga lingkungan
sekeliling dimana anak – anak tinggal dan dibesarkan.
GMIM Bukit Sion Taas dan GMIM Abraham Sario Sentra adalah lingkungan yang
menjadi tempat penelitian yang dipilih oleh peneliti. Gereja Masehi Injili di Minahasa Jemaat
J o u r n a l o f P s y c h o l o g y : H u m a n l i g h t | IAKN Manado
Volume 2, Nomor 1 - Juni 2021 | 52
Bukit Sion Taas ini terbagi atas 14 kolom dan berada di wilayah pelayanan Manado Timur 4.
Gereja Bukit Sion Taas dibangun dan disahkan pada tanggal 23 Februari 1996, setelah
dimekarkan dari GMIM Bukit Moria Tikala Baru. Ketua BPMJ yang pertama adalah Pdt.
Olga Ruru Kawung, S.Th, dan sekarang diketuai oleh Pdt. Evelin Massie-Lintang, S.Th.
Mayoritas profesi jemaat adalah pekerja swasta dan buruh. Untuk Gereja Masehi Injili di
Minahasa Jemaat Abraham Sario Sentra sendiri terbagi atas 15 kolom dan berada di wilayah
pelayanan Manado Tititwungen. Yang menjadi ketua jemaat saat ini adalah Pdt. Detty
Pangemanan – Kewas. Mayoritas profesi jemaat adalah pekerja swasta dan Aparatur Sipil
Negara. Sebagai jemaat yang berdomisili di wilayah pusat kota, kebanyakan orang tua fokus
dengan pekerjaan, sehingga anak – anak kebanyakan dititipkan kepada pengasuh pengganti
lainnya, seperti kakek nenek atau babysitter. Sistem pola asuh yang bervariasi, menjadi latar
belakang dan alasan peneliti untuk melihat lebih lanjut, bagaimana pengaruh pola asuh orang
tua terhadap pembentukan kepribadian anak.
Penelitian ini melengkapi beberapa penelitian sebelumnya, seperti penelitian dari Ani
Siti Anisah tentang Pola Asuh Orang Tua dan Implikasinya terhadap Pembentukan Karakter
Anak, serta Penelitian dari Anggraini, Pudji Hastuti, dan Afifatus Sholihah mengenai
Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Kepribadian Siswa SMA di Kota Bengkulu. kedua
penelitian ini sama – sama membahas mengenai pola asuh. Hanya saja, penelitian dari Siti
Anisah memfokuskan penelitiannya pada anak usia dini, dan penelitan Anggraini dan kawan
– kawan memfokuskan penelitiannya pada anak remaja. Dalam penelitiannya, Siti Anisah
berpendapat bahwa pendidikan karakter hendaknya dilakukan secara komprehensif, mulai
dari persiapan anak sejak lahir sampai kepada upaya memperkuat kemampuan jasmani dan
rohani anak. Anak harus menerima nasihat yang disampaikan dengan baik, serta dengan
proses pembiasaan terhadap hal – hal yang baik, sehingga berimplikasi pada kepribadian
anak dimasa dewasa. Anggraini dan kawan kawan juga berpendapat bahwa adanya hubungan
positif antara pola asuh yang diterapkan pada anak, terhadap kepribadian yang dimilki siswa-
siswi SMA di kota Bengkulu. Hal ini membuktikan teori tentang pola asuh yang diterima
anak sejak dini berpengaruh pada pembentukan kepribadian anak saat dewasa.
Hal ini menguntungkan bagi peneliti sendiri, sehubungan dengan judul penelitian kali
ini, yang meneliti tentang pengaruh pola asuh terhadap kepribadian. Dari pembandingan
penelitian terdahulu, peneliti dapat mempelajari perubahan perilaku akibat tindakan dan
perlakuan yang diterima anak pada masa lalu yang berdampak pada masa depan.
J o u r n a l o f P s y c h o l o g y : H u m a n l i g h t | IAKN Manado
Volume 2, Nomor 1 - Juni 2021 | 53
Landasan Teori
Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh merupakan pola atau bentuk pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua
terhadap anak, dan termasuk dalam pengaruh mikrosistem perkembangan (Santrok, 2003).
Sedangkan orang tua adalah orang yang bertanggung jawab dalam suatu keluarga atau rumah
tangga, yang dalam kehidupan sehari – hari dikenal dengan panggilan “ibu” dan “ayah”.
Dengan tidak memperdulikan balasan apa yang akan diterimanya nanti, orang tua adalah
orang – orang yang bersedia mengorbankan apa saja, untuk kepentingan anaknya (Hasan,
2011).
Dari dua pengertian dan teori tersebut, dapat dikatakan bahwa pola asuh orang tua
adalah model dan bentuk pengasuhan orang tua, yang mempunyai tanguung jawab dalam
memelihara anak – anaknya. Pola asuh orang tua juga merupakan interaksi antara anak dan
orang tua, bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan fisik (sandang, pangan, dan papan)
atau kebutuhan psikis (rasa aman, kasih sayang, dan lain sebagainya), tetapi juga
mengajarkan norma – norma yang berlaku dimasyarakat sehingga anak mampu selaras
beradaptasi dengan lingkungan sekelilingya.
Ada empat macam bentuk pola asuh yang bisa diterapkan dalam pengembangan
karakter anak, seperti yang dikemukakan Baumrind (dalam Santrock, 2002), berikut ini :
1. Pola asuh Otoriter.
Pola asuh jenis ini adalah bentuk pola asuh yang menuntut agar anak patuh dan tunduk
terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat oleh orangtua, tanpa adanya kebebasan
bagi anak untuk bertanya atau mengemukakan pendapat sang anak sendiri. Orang tua
otoriter cenderung berusaha menjalankan rumah tangga dengan didasarkan pada
struktur dann tradisi, meskipun terdapat banyak tekanan mengenai keteraturan dan
pengawasan yang sangat membebani anak. (Shapiro, 1992).
2. Pola asuh demokratif.
Dalam bentuk pola asuh ini, orangtua mendorong anak – anaknya untuk mandiri
dengan tetap memberikan batas – batas pengendalian atas semua tindakan anak.
Diskusi dan musyawarah verbal dilakukan dengan menunjukkan kehangatan dan kasih
J o u r n a l o f P s y c h o l o g y : H u m a n l i g h t | IAKN Manado
Volume 2, Nomor 1 - Juni 2021 | 54
sayang, lewat tutur kata yang baik. Anak – anak yang hidup dalam keluarga dengan
bentuk pengasuhan secara demokratif memiliki harga diri dan kepercayaan diri yang
tinggi, serta menunjukkan perilaku yang baik. Saphiro (1999) mengemukakan bahwa
orang tua yang demokratif menghargai kemandirian serta memberikan dorongan dan
pujian pada anak. Penerapan pola asuh yang identik dengan penanaman nilai – nilai
demokrasi, seperti mengutamakan diskusi daripada instruksi, menghargai dan
menghormati hak – hak anak, memberi kebebasan berpendapat, mampu menjadi
motivasi tersendiri bagi anak untuk menjadi lebih baik.
3. Pola asuh penelantaran.
Pola asuh penelantaran adalah bentuk pengasuhan dimana orang tua menjadi sangat
tidak terlibat dalam kehidupan anak. Pola asuh tipe ini pada umumnya memberikan
waktu dan biaya yang sangat minim untuk anak – anaknya. Waktu orangtua banyak
digunakan untuk keperluan pribadi mereka seperti bekerja, dan kadang terlalu
menghemat biaya untuk anak – anaknya. Orang tua dengan jenis pengasuhan ini
mengembangkan perasaan bahwa aspek – aspek lain kehidupan orangtua lebih penting
daripada anak – anak. Orangtua lebih cenderung membiarkan anak – anaknya
dibesarkan tanpa kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan fisik yang cukup.
4. Pola asuh permisif.
Pola asuh jenis ini tidak menuntut anak – anaknya dengan target khusus, juga tidak
menetapkan sasaran yang jelas bagi anakknya. Mereka yakin bahwa anak – anak
seharusnya berkembang sesuai dengan kecenderungan alamiahnya. Orangtua permisif
berusaha menerima dan mendidik anaknya sebaik mungkin, tetapi cenderung sangat
pasif saat menanggapi masalah ketidakpatuhan anak (Shapiro, 1999). Covey (2007)
mengatakan bahwa orang tua dengan pola asuh jenis ini cenderung ingin selalu disukai
anak, tanpa pengertian mendalam mengenai standard dan harapan, juga tanpa
komitmen pribadi untuk disiplin dan bertanggung jawab. Karenanya, dapat dikatakan
bahwa pola asuh permisif tidak dapat menanamkan perilaku moral yang sesuai dengan
standar sosial pada anak, karena orangtua bersifat longgar dan menuruti semua
keinginan anak.
J o u r n a l o f P s y c h o l o g y : H u m a n l i g h t | IAKN Manado
Volume 2, Nomor 1 - Juni 2021 | 55
Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi jenis pola pengasuhan orang tua,
seperti yang diuraikan menurut teori E.B. Hurlock (2002) berikut ini:
1. Budaya
Orangtua cenderung mempertahankan konsep tradisional mengenai peran orang tua.
Mereka merasa bahwa orang tua mereka sebelumnya berhasil mendidik mereka dengan
baik, maka mereka cenderung menggunakan teknik dan sistem pengasuhan yang
serupa, dalam mendidik anak – anak mereka.
2. Pendidikan Orang Tua
Orang tua yang memiliki pengetahuan lebih banyak dalam mengasuh anak, mampu
mengerti kebutuhan anak, serta mampu menemukan cara untuk tetap memenuhi
kebutuhan anak dari segi psikis dan fisik.
3. Status Sosial Ekonomi
Orang tua dari kelas menengah dikatakan cenderung lebih keras atau lebih permisif
dalam mengasuh anak. Faktor kebutuhan dan faktor ekonomi menjadi alasan
kebanyakan orang tua bersikap keras dalam mendidik anak.
4. Pengalaman
Setiap orang tua memiliki pengalaman atau latar belakang yang berbeda – beda.
Orangtua yang memiliki trauma masa kecil ataupun memiliki pengalaman masa kecil
yang buruk, cenderung mewariskan pengalaman buruk tersebut kepada anak – anak
penerus mereka. Akan tetapi, apabila diberi penanganan yang tepat, trauma masa kecil
orang tua dapat diatasi, sehingga anak – anak sebagai generasi penerus tidak merasakan
hal yang sama.
Teori Imitasi dari Albert Bandura
Menurut Bandura, Imitasi adalah proses belajar dengan mengamati tingkah laku atau
perilaku dari orang lain disekitar kita. Hasil dari Imitasi atau peniruan tersebut cenderung
menyerupai bahkan sama perilakunya dengan perilaku orang yang ditiru tersebut. Teori ini
J o u r n a l o f P s y c h o l o g y : H u m a n l i g h t | IAKN Manado
Volume 2, Nomor 1 - Juni 2021 | 56
memberi banyak penekanan terhadap efek – efek dari isyarat pada perilaku, dan proses
mental yang terjadi secara internal.
Bandura yakin bahwa dengan mengamati, manusia memberikan ruang bagi dirinya
sendiri untuk belajar tanpa berbuat apapun. Manusia belajar dengan mengamati perilaku
orang lain. Apabila orang dapat belajar dengan mengamati, maka mereka pasi mampu untuk
memfokuskan perhatiannya, mengkonstruksi gambaran, mengingat, menganalisis, dan
membuat keputusan – keputusan yang mampu mempengaruhi karakter dan kepribadian.
Individu mengamati model apabila ia percaya bahwa dirinya mampu mempelajari atau
melakukan perilaku yang dimodelkan. Pengamatan terhadap model yang mirip, berpengaruh
terhadap self-efficacy, dan hal ini berperan penting dalam pembentukan kepribadian anak.
Albert Bandura juga mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara
manusia dengan lingkungannya. Pembentukan karakter terjadi dalam keterkaitan antara tiga
pihak, yaitu lingkungan, perilaku, dan faktor – faktor pribadi. Atas dasar inilah, maka teori
Bandura disebut teori imitasi karena membentuk perilaku melalui proses imitasi atau
peniruan terhadap perilaku di lingkungan sekitar, sehingga sesuai dengan keadaan diri
seseorang atau tujuannya.
Anak meniru apa yang dilihatnya sehari – hari. Apabila anak melihat perilaku yang
baik, maka anak akan mencontoh perilaku yang baik tersebut, untuk terapkannya dalam
karakter dan kepribaniannya. Jika yang disaksikannya setiap hari adalah hal yang buruk,
maka karakter yang buruklah yang akan melekat pada kepribadian anak.
Teori Hirearki kebutuhan dari Abraham Maslow
Menurut maslow kebutuhan manusia tersusun dalam suatu hirearki dikatakan hirearki
karena memang manusia memenuhi kebutuhannya secara berjenjang, menurut maslow
pribadi / kepribadian seseorang akan baik ketika kebutuhannya terpenuhi maka dari itu
maslow membuat ada lima kebutuhan hirearki menurut Maslow:
- Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan paling mendasar dari hirearki Maslow,
bisa dikatakan juga kebutuhan primer seperti makan, minum, pakaian, dan tempat
tinggal.
J o u r n a l o f P s y c h o l o g y : H u m a n l i g h t | IAKN Manado
Volume 2, Nomor 1 - Juni 2021 | 57
- Kebutuhan rasa aman merupakan kebutuhan kedua kebutuhan ini meliputi rasa aman
dan perlindungan.
- Kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang (love needs) kebutuhan ini
meliputi keinginan memiliki pasangan, dekat dengan keluarga dan diberikan kasih
sayang dari orang lain seprti keluarga, sahabat, dan pasangan
- Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs) setelah kebutuhan dicintai telah
tercukupi selanjutnya manusia akan bebas mengejar egonya maslow mengemukakan
bahwa setiap orang memiliki dua kategori mengenai kebutuhan penghargaan yaitu
kebutuhan yang lebih rendah dan lebih tinggi. Kebutuhan rendah adalah kebutuhan
untuk menghormati oranglain, kebutuhan akan status, ketenaran, kemuliaan,
pengakuan, perhatian, reputasi, apresiasi, martabat dan dominasi, kebutuhan yang
tinggi adalaj kebutuhan akan harga diri, termasuk perasaan keyakinan, kompetensi,
penguasaan, kemandirian, dan kebebasan.
- Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs) ini adalah tingkatan terakhir
yaitu aktualisasi diri yaitu kebutuhan untuk membuktikan dan menunjukan dirinya
kepada oranglain, Maslow mengibaratkan kebutuhan ini sebagai hasrat untuk semakin
menjadi diri sepenuh kemampuannya snediri dan menjadi apa saja menurut
kemampuannya.
Teori Hirarki Abraham Maslow dapat dilihat dari gambar diagram berikut ini :
J o u r n a l o f P s y c h o l o g y : H u m a n l i g h t | IAKN Manado
Volume 2, Nomor 1 - Juni 2021 | 58
Pengertian Kepribadian
Kepribadian adalah cara unik individu untuk menunjukkan perilaku bersama segala
sifatnya, yang menjadikan individu tersebut dapat dibedakan dengan individu lainnya.
Eysenk (dalam Alwisol, 2009) berpendapat bahwa dasar umum sifat – sifat kepribadian
berasal dari keturunan. Semua tingkah laku yang dipelajari dari lingkungan dan kepribadian,
merupakan keseluruhan pola tingkah laku dari manusia sendiri, sebagaimana diturunkan oleh
keturunan, dan dipengaruhi oleh lingkungan. Kepribadian mencakup keseluruhan pikiran,
perasaan, tingkah laku, kesadaran, dan ketidaksadaran. Kepribadian membimbing manusia
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Kepribadian
berpotensi membentuk kesatuan antara semua elemen.
Cattel (dalam Sumandi, 2001) menyatakan bahwa kepribadian manusia terdiri dari sifat
– sifat yang sudah ada, atau bawaan sejak lahir, dan dianggap sebagai pemberian Tuhan.
Kepribadian adalah dinamika dari setiap sikap yang sudah ada. Sikap positif, seperti sabar,
suka menolong, berprestasi, memiliki rasa ingi tahu yang tinggi, mengikuti aturan, suka
bergaul, menerima pendapat orang lain, dan sikap positif lainnya, adalah perilaku yang
muncul dari kepribadian yang baik. Sedangkan sikap negatif yang ditunjukkan seseorang,
adalah bentuk berlawanan dari sikap positif, yang berasal dari pendidikan karakter yan
kurang tepat.
Adapun faktor yang mempengaruhi kepribadian anak adalah sebagai berikut;
1. Faktor internal
2. Faktor eksternal
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri anak/bawaan misalnya
seperti kata pepatah bahwa “buah tidak jatuh jauh dari pohon” baik berupa hal-hal yang
bersifat kejiwaan, atau sifat turunan dari salah satu orangtua. Faktor eksternal merupakan
faktor yang berasal dari luar yang mempengaruhi kepribadian anak seperti faktor lingkungan
keluarga, atau teman-temannya cntohnya kedua orangtua yang sering marah, dan terlalu
otoriter tidak pernah mendengar usulan,ide, kemauan anak hal ini tentunya berpengaruh
kepada emosional si anak dan kepribadian si anak. Anak akan menjadi pendiam dan lain -
lain. Bisa juga keluarga itu harmonis saling menyayangi kemudian anak akan menjadi
seorang yang hatinya tulus, lembut, mudah berempati dan simpati kepada setiap orang.
J o u r n a l o f P s y c h o l o g y : H u m a n l i g h t | IAKN Manado
Volume 2, Nomor 1 - Juni 2021 | 59
Metode Penelitian
Untuk bisa meneliti, mencermati, memahami, dan menganalisis data, peneliti
menggunakan metode kualitatif sebagai tolak ukur dan metode dalam penelitian, dengan
pendekatan studi kasus. Penelitian kualitatif menghasilkan dan mengolah data yang bersifat
deskriptif. untuk bisa mengukur hubungan dan mengukur kecenderungan pada data
(Moleong, 2002).
Data yang dihasilkan dalam penelitian ini berupa transkripsi wawancara dan hasil
observasi terhadap sampel penelitian. Teknik sampel yang digunakan pada penelitian ini
adalah Simple Random Sampling, dimana peneliti mengambil anggota sampel secara acak
dari populasi subjek penelitian, tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi tersebut
(Sugiyono, 2017).
Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama 3 minggu, dengan lokasi penelitian difokuskan pada
dua tempat, yaitu di lingkungan Gereja Masehi Injili di Minahasa khususnya di Jemaat Bukit
Sion Taas Lingkungan I, Manado, dan Gereja Masehi Injili di Minahasa Jemaat Abraham
Sario Sentra.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah anak sekolah minggu Kolom 7 dan 8 untuk GMIM Bukit
Sioan Taas, dan kolom 12 untuk GMIM Abraham Sario Sentra. Data dalam penelitian ini
diambil sampel acak anak – anak sekolah minggu berjumlah 7 orang yang memiliki rentang
umur 4 sampai 7 tahun.
Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini menggunakan metode analisis data secara deskriptif. Data diperoleh
melalui wawancara terhadap 7 orang responden sebagai sampel, yang diambil secara acak
lewat teknik random sampling. Hasil data adalah sebagai berikut:
J o u r n a l o f P s y c h o l o g y : H u m a n l i g h t | IAKN Manado
Volume 2, Nomor 1 - Juni 2021 | 60
No. Nama
Jenis
Kelamin Umur Pendidikan
Orang Tua Diasuh
Oleh Perilaku
Ayah Ibu
1. BM L 5 thn SD v v Ibu - Pemalu
- Manja
- Cengeng
- Susah diajak
bicara
- Takut dengan
orang baru.
- Sopan
2 JD P 7 thn SD v v Oma
&
Opa
- Pemarah
- Kasar dalam
berbicara.
- Mood yang
berubah-ubah.
- Sulit berteman.
- Cenderung egois
- Suka mengalah
pada saudara
yang lebih kecil.
3 JL L 7 thn SD v v Orangtua - Sopan
- Baik dalam tutur
kata
J o u r n a l o f P s y c h o l o g y : H u m a n l i g h t | IAKN Manado
Volume 2, Nomor 1 - Juni 2021 | 61
- Mendengarkan
pendapat orang
lain
- Pemalu
- Mudah
berinteraksi
dengan orang
yang sudah
dikenal.
- Suka mengalah
pada saudara
yang lebih kecil.
4 AH P 5 thn - v v Oma
&
Opa
- Pemarah
- Suka membantah
orang lain.
- Hanya menuruti
ayah dan ibunya
saja.
- Ketergantungan
gawai sangat
tinggi.
- Ceria.
- Suka bergaul
5 TM L 6 thn SD v v Orangtua - Egois
- Tidak suka
berbagi
J o u r n a l o f P s y c h o l o g y : H u m a n l i g h t | IAKN Manado
Volume 2, Nomor 1 - Juni 2021 | 62
- Tidak mau
mendengar
nasihat orang lain
- Cerdas
- Mudah bergaul.
6 CS P 5 thn TK v v Orangtua
dan
Nenek
- Manja
- Cengeng
- Gampang
menangis
- Belum mandiri
- Banyak hal yang
belum bisa
dilakukan sendiri.
7 SR L 7 thn SD v - Kakek
&
Nenek
- Suka berkelahi
- Suka memukul
teman
- Mendengarkan
nasihat guru
sekolah minggu
- Sering di bully
anak – anak yang
usianya lebih tua.
- Tidak segan
meminta maaf.
J o u r n a l o f P s y c h o l o g y : H u m a n l i g h t | IAKN Manado
Volume 2, Nomor 1 - Juni 2021 | 63
Subjek penelitian yang pertama (BM) adalah seorang anak laki – laki berusia 5 tahun.
BM duduk di bangku Sekolah Dasar, dan masih mempunyai ayah dan ibu. Orang tuanya
sudah dua tahun hidup terpisah, karena ayah BM bekerja di luar kota. BM diasuh dan tinggal
bersama ibunya disebuah kamar kost. Ibu BM sering menghabiskan waktu di dalam kamar
bersama dengan BM, dan kurang bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. BM sendiri jarang
bermain dengan teman – teman sebaya, karena dilarang oleh ibunya. Akibatnya, BM kurang
berinteraksi dengan orang lain dan tidak memiliki banyak teman sebaya. Kendati demikian,
BM adalah anak yang sopan dalam bertutur kata, walaupun terbatas hanya pada orang yang
sudah dikenalnya sejak lama. Pola asuh yang diterapkan oleh ibu BM berdampak pada
perilaku yang ditunjukkan BM sebagai subjek penelitian. Subjek menjadi pemalu, susah
dalam berkomunikasi, dan takut bertemu dengan orang yang baru pertama kali dilihatnya.
Subjek cenderung bersikap sangat manja, dan memiliki ketergantungan yang berlebihan
terhadap ibunya.
Orang tua yang tidak memperbolehkan anak bersosialisasi dan bergaul dengan teman –
temannya, cenderung membentuk kepribadian anak menjadi pemalu dan sulit untuk
menyampaikan apa yang ada dalam pikiran anak. Dalam kasus subjek JD, orang tua JD bisa
dikategorikan sebagai orang tua dengan pola asuh penelantaran, karena meskipun orang tua
mampu memenuhi kebutuhan dasar anak, tetapi dukungan dalam hal – hal yang bersifat
emosional tidak ada. Akibatnya, anak cenderung tidak memiliki kemampuan untuk
mengontrol diri, dan cenderung manja. Kurangnya kehadiran sosok ayah juga sangat
berperan dalam menjadikan anak kurang percaya diri dan tidak berani untuk bertemu dengan
orang lain selain ibunya sendiri. Anak merasa bahwa ibunya akan selalu melakukan apa yang
dikehendaki, sehingga tidak mau untuk melakukan kegiatan secara mandiri.
Subjek selanjutnya adalah anak perempuan (JD), siswa Sekolah Dasar yang berusia 7
tahun. Walaupun JD masih memiliki orang tua yang lengkap, JD diasuh oleh kakek dan
neneknya, karena kedua orang tua JD sudah berpisah. Ayah JD sudah menikah lagi dan
punya keluarga baru. Ibu JD juga sudah memiliki keluarga baru, sehingga ayah dan ibu JD
menitipkan JD pada kakek dan nenek dari pihak ibu JD. Ayah JD bekerja sebagai pekerja
swasta dan Ibu JD bekerja di luar kota Manado. Dalam kesehariannya, JD yang diasuh oleh
kakek dan neneknya sering menerima kata – kata makian yang kasar, yang dilontarkan oleh
nenek JD saat memarahi JD. Nenek JD mengasuh JD secara otoriter dan tegas. Akibatnya JD
tumbuh menjadi anak yang pemarah, memiliki temperamen yang berubah – ubah, juga suka
J o u r n a l o f P s y c h o l o g y : H u m a n l i g h t | IAKN Manado
Volume 2, Nomor 1 - Juni 2021 | 64
berkata kasar. JD sulit bergaul dengan teman – teman di lingkungan sekitarnya, karena
perilakunya yang cenderung bersikap kasar terhadap teman – temannya. Akan tetapi, dalam
bersikap terhadap saudara kandung yang lebih kecil, JD menunjukkan simpati dan empati
dengan sering mengalah kepada adiknya.
Pola asuh otoriter yang diterapkan pada anak membuat orang tua cenderung bersifat
keras, dan menuntut anak untuk selalu menuruti apa yang diinginkan orang tua atau
pengasuhnya. Anak tidak diberikan kesempatan untuk berpendapat, sehingga anak cenderung
melampiaskan emosi dan perasaannya dengan cara lain, seperti misalnya marah – marah atau
menggunakan kata – kata kasar. Hal ini tidak terlepas dari perlakuan kasar pengasuh terhadap
anak, yang diterima anak setiap hari, sehingga anak menjadikan perlakuan dan kata – kata
kasar tersebutlah yang ada dalam pikiran alam bawah sadar anak. Karena itu, apabila anak
hendak melampiaskan emosi dan perasaannya, anak menggunakan referensi sikap perilaku
yang sering diterima dan dilihatnya sehari – hari, yakni sikap dan kata – kata yang kasar juga.
Hal ini sejalan dengan teori Imitasi dari Bandura, yang mengatakan bahwa anak mengamati
dan meniru apa yang selalu dilihatnya.
Subjek yang ketiga yaitu JL, adalah seorang anak laki – laki berusia 7 tahun. JL anak
keempat dari lima bersaudara, memiliki ayah dan ibu, dan diasuh oleh kedua orang tua JL
sendiri. Kedua orang tua JL berperan aktif dalam proses pengasuhan JL sendiri. Mereka
mengajarkan JL dan kakak beradiknya, untuk selalu bersikap baik terhadap orang lain,
memberi salam bila berpapasan di tengah jalan, hormat kepada orang yang lebih tua, bertutur
kata yang lembut, dan diajarkan untuk saling mengalah dan berbagi terhadap saudaranya
sendiri. Perlakuan yang diterima subjek penelitian (JL), menjadikan subjek tumbuh dengan
sikap yang sopan terhadap orang lain, serta baik dalam bertutur kata. Walaupun pemalu dan
belum percaya diri, subjek mudah berinteraksi dengan orang lain, serta memiliki sikap mau
berbagi. Subjek juga bersikap terbuka terhadap orang lain serta mudah menyalurkan emosi
diri, karena adanya rasa percaya terhadap orang – orang dan lingkungan sekitar.
Pola asuh jenis ini masuk dalam kategori pola asuh demokratif. Orang tua memberi
kepercayaan pada anaknya, juga mendorong anak untuk bersikap positif serta ditanamkan
untuk memiliki kebiasaan yang baik. Rasa percaya yang ditanamkan orang tua,
menghilangkan keraguan anak terhadap dunia sekitar dan membangkitkan rasa percaya diri
anak. Dalam perkembangannya, orang tua juga memberikan contoh dan teladan untuk
J o u r n a l o f P s y c h o l o g y : H u m a n l i g h t | IAKN Manado
Volume 2, Nomor 1 - Juni 2021 | 65
bersikap. Dengan melihat apa yang dilakukan orang tua, secara otomatis anak meniru dan
melakukan hal yang sama dengan apa yang dilihatnya.
Sampel subjek penelitian yang terakhir adalah AH, seorang anak perempuan berusia 5
tahun dan belum duduk di bangku sekolah. AH masih memiliki kedua orang tua, namun
diasuh oleh kakek dan neneknya. Pada subjek ini, kedua orang tua tinggal bersama – sama
dengan kakek dan nenek dalam 1 rumah. Hal ini menjadikan sering adanya perbedaan pola
asuh antara orang tua AH dan kakek neneknya. Orang tua AH yang sibuk dengan pekerjaan,
cenderung bersikap permisif, dan selalu menuruti keinginan AH. Sedangkan kakek nenek AH
lebih bersikap otoriter terhadap AH. Apabila orang tua AH tidak ada, AH diasuh oleh kakek
nenek, dengan sistem pengsuhan yang tegas. Sedangkan jika AH bersama orangtuanya, AH
cenderung menerima pola pengasuhan permisif, karena orang tua selalu mengikuti seluruh
kemauan anak.
Perbedaan pola asuh yang diterima oleh anak, menjadikan anak kehilangan pegangan
untuk diikuti dan bingung dengan dirinya sendiri. Anak cenderung pemarah karena melihat
contoh dari sikap dan pengasuhan yang otoriter dan kasar, tetapi juga sekaligus menjadi sulit
diatur karena terbiasa diikuti seluruh keinginannya. Perbedaan budaya dan sudut pandang
pengasuhan antara orang tua dan kakek nenek, menyebabkan adanya dua jenis pola
pengasuhan yang diterapkan pada anak. Hal ini menjadikan anak memiliki sikap dan perilaku
yang berbeda saat bersikap terhadap orang tua, dan saat bersikap terhadap kakek neneknya.
Tidak adanya contoh dan model yang tepat, menjadikan anak sulit memilih model
percontohan dalam bersikap.
Subjek penelitian selanjutnya adalah seorang anak laki – laki (TM) berumur 6 tahun
dan duduk di kelas 1 bangku sekolah dasar. Orang tua TM memiliki karir yang bagus dalam
pekerjaan, tetapi jarang berada di rumah, sehingga TM diasuh oleh kakek dan neneknya.
Dalam kesehariannya, TM adalah anak yang baik dalam bertutur kata, suka bergaul dan
cerdas. Tetapi, dalam kehidupan pergaulan TM, TM masih kesulitan dalam berbagi sesuatu
dengan teman sepantarannya atau juga dengan orang lain. TM juga sering tidak mau
meminjamkan mainannya atau bahkan tidak mengembalikan mainan yang dipinjamnya dari
anak lain. Dalam hal otoritas, TM hanya mendengar nasihat orang tuanya, dan tidak perduli
pada pendapat dari orang lain.
J o u r n a l o f P s y c h o l o g y : H u m a n l i g h t | IAKN Manado
Volume 2, Nomor 1 - Juni 2021 | 66
Orang tua denga pola pengasuhan seperti ini menggnakan sistem pengasuhan dengan
pola permisif, dengan tidak memberikan target khusus terhadap anak – anaknya. Dalam kasus
TM, orang tua TM selalu mengabulkan keinginan TM tanpa memberikan tekanan dan target
khusus akan pencapaian anak dan apa yang harus dilakukan oleh sang anak. Perlakuan seperti
ini menjadikan anak cerdas dan kreatif karena adanya kebebasan bagi anak untuk berkreasi.
Tetapi, anak menjadi egois dan memiliki rasa tidak ingin berbagi, karena dibiasakan untuk
memiliki sendiri apa yang diinginkan. Anak tidak menuruti pengasuh pengganti orang tua,
karena menganggap bahawa yang memiliki otoritas pada diri anak hanyalah kedua orangtua.
Selanjutnya peneliti mengobservasi CS, seorang anak perempuan berusia 5 tahun dan
diasuh oleh neneknya karena kedua orang tuanya sibuk bekerja. CS berperilaku manja dan
tidak mandiri untuk anak seusianya. Dalam pergaulan dengan teman – teman sebaya, CS
belum bisa mengimbangi dari segi kecerdasan motorik, sehingga jika CS kalah dan tertinggal
dalam permainan anak – anak, CS mudah menangis dan kurang bisa mengontrol dirinya. Hal
ini menjadikan CS dijauhi oleh anak – anak lainnya, karena sikap dan perilaku CS yang
mudah menangis, bahkan untuk hal – hal kecil sekalipun.
Sikap dan perilaku anak dalam kasus CS dikarenakan sistem pola asuh orang tua
(dalam hal ini nenek CS) yang terlalu melindungi anak dan bersikap overprotected. Anak
yang terlalu dimanjakan, menjadi kurang mandiri dalam banyak hal. Anak merasa orang tua
atau pengasuh akan selalu ada disampingnya dan melakukan hal – hal tersebut untuk diri sang
anak. Dalam perkembangan mental, anak mudah merasa sedih dan sakit hati, sehingga
melampiaskan perasaan kecewanya dengan menangis.
Sampel dari subjek penelitian yang terakhir adalah SR, anak laki – laki berusia 7 tahun,
dan duduk di kelas 1 SD. Orang tua SR sudah bercerai, dan SR diasuh oleh Neneknya. Ibu
SR tidak pernah mengunjungi SR lagi, karena pindah di luar kota Manado sesudah bercerai.
Ayah SR bekerja sebagai tukang ojek online untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari
keluarga mereka. Dalam kesehariannya, SR temasuk anak yang rajin datang ke sekolah
minggu, dan menurut apabila mendapat nasihat dari guru – guru sekolah minggu. SR sendiri
adalah anak yang aktif dan ceria, tetapi juga suka berkelahi dan memukul teman. SR
beberapa kali mngalami perundungan oleh anak – anak dengan usia yang lebih tua. Nenek SR
sangat memperhatikan SR terutama dalam memenuhi kebutuhan primer seperti makanan,
tempat tinggal, dan pakaian, juga pemenuhan kebutuhan sekunder seperti pendidikan dan
hiburan anak. SR sering dibelikan mainan anak – anak apabila SR meminta.
J o u r n a l o f P s y c h o l o g y : H u m a n l i g h t | IAKN Manado
Volume 2, Nomor 1 - Juni 2021 | 67
Ketimpangan hadirnya orang tua, mengakibatkan pengasuh pengganti orang tua
berusaha memenuhi semua kebutuhan anak, yang dianggap tidak cukup. Jenis pola asuh
penelantaran, bukan hanya tidak mencukupkan kebutuhan anak dari segi materi, tetapi juga
dari segi emosi. Anak tidak didampingi dalam tumbuh kembangnya, sehingga anak
cenderung bersikap seenaknya tanpa adanya pemeberitahuan dan penjelasan lebih lanjut dari
orang tua bahwa apa yang dilakukan anak adalah salah.
Orang tua pada lingkungan perkotaan sering mengasuh anak secara permisif, dengan
menuruti keinginan anak. Apabila anak rewel atau berusaha menunjukkan emosi dan
perasaannya, hal yang dilakukan orang tua adalah langsung menuruti keinginan anak, atau
memberikan handphone kepada anak agar anak diam. Anak – anak harus dilatih untuk bisa
mengungkapkan perasaannya dengan baik melalui komunikasi terhadap orang tuanya. Hal ini
hanya akan terwujud apabila orang tua dan pengasuh bersikap aktif dan terbuka juga terhadap
anak, sehingga anak mampu melihat contoh perilaku yang baik, yang ditunjukkan oleh
keluarga sebagai lingkungan terdekat anak.
Kesimpulan Dan Saran
Kehidupan keluarga inti yang terdiri dari seorang ayah dan ibu merupakan pusat paling
awal dan sangat menentukan dalam proses pembinaan, pendidikan dan pembentukan
kepribadian anak sejak dini bahkan sejak masih dalam kandungan sekalipun. Dari
keluargalah anak memperoleh pengalaman dan sentuhan pendidikan untuk pertama kalinya,
baik secara fisik maupun secara moral spiritual. Pada akhirnya, pengalaman-pengalaman
tersebut akan sangat mewarnai corak kehidupan dan kepribadian anak di masa-masa
selanjutnya, karena segala sesuatu yang pernah di alami oleh anak semasa kecil sejak dari
dalam kandungan, akan tertanam didalam jiwa dan rohaninya sedemikian kuat.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, penulis menyarankan supaya orang tua
perlu memiliki pemahaman yang benar sehubungan dengan pola asuh anak, demi terciptanya
kehangatan dan hubungan yang harmonis dalam keluarga, antara anak dan orang tua. Hal ini
dapat dikaji lebih dalam lagi lewat penelitian lanjutan yang akan dilakukan. Dalam penelitian
selanutnya, peneliti dapat menambah jumlah populasi dan subjek penelitian, sehingga data
yang diperoleh bisa lebih luas dan variatif.
J o u r n a l o f P s y c h o l o g y : H u m a n l i g h t | IAKN Manado
Volume 2, Nomor 1 - Juni 2021 | 68
Daftar Pustaka
Afifatus, Soliha & Anggraini. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Kepribadian Siswa
di Kota Bengkulu. Consilia: Jurnal Ilmiah Bimbingan dan Konseling, Vol. 01 No. 01.
2017.
Alwisol. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press. 2009.
Anisah, Siti Ani. Pola Asuh Orang Tua dan Implikasinya Terhadap Pembentukan Karakter
Anak. Jurnal Pendidikan Universitas Garut, Vol. 05 No .01. 2011
Beaty, Janice, J. Observasi Perkembangan Anak Usia Dini. Jakarta:. Prenadamedia Group.
2013
Gunarsa, Singgih, D. 2016. Dasar dan Teori Kepribadian Anak cetakan ke 7. Jakarta; Libri.
2016
Mashar, Riana. Emosi Anak Usia Dini Dan Strategi Pengembangannya. Jakarta;.
Prenadamedia Group. 2011.
Moleong, J. Lexy. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.
Fudyartanta, Ki. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Pustaka Belajar. 2012
Singgih D. Gunarsa. Dasar Dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2006
Sobur, Alex. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia. 2003.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta, C.V
2017.
Tandri, Novita. Buku Pintar Perilaku Anak cetakan ke 1. Jakarta. Libri. 2011