Haji Hasan Mustapa -...
Transcript of Haji Hasan Mustapa -...
Laporan Penelitian Individual
KONSEP MARTABAT TUJUH
Haji Hasan Mustapa
Oleh:
Wiwi Siti Sajaroh
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1435 H/2013 M
DAFTAR ISI
A. I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Perumusan Masalah
C. Metode Pembahasan
D. Tujuan Penelitian
E. Landasan Teori dan Kerangka konseptual
F. Kajian Penelitian Sebelumnya
G. Sistematika Pembahasan
II. MELACAK AKAR SEJARAH TEORI MARTABAT TUJUH
A. Al-Tuhfah al-Mursalah karya al-Burhanpuri: Sumber Awal
B. Konsep-konsep Utama dalam Doktrin Martabat Tujuh
III. BIOGRAFI HAJI HASAN MUSTAPA
a. Perjalanan pendidikan Haji Hasan Mustapa
b. Hasan Mustapa Sang Penyair dari Priangan
IV. AJARAN TASAWUF HAJI HASAN MUSTAPA
A. Ajaran Ma’rifat, sebagai Tonggak Ajaran Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa
B. Doktrin Martabat Tujuh dalam Ajaran Haji Hasan Mustapa: “Elmu Kama’ripatan
Ka Allah Ta’ala”
V. PENUTUP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu ilmu yang berkembang pesat dalam khazanah ilmu keislaman adalah ilmu
tasawuf. Ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari bagaimana menjalin hubungan
harmonis antara manusia dengan Tuhan, dan manusia dg mahkluk lainnya. Intisari dari
ajaran tasawuf ini adalah terwujudnya komunikasi antara manusia dengan Tuhan yang besifat
ruhaniyah.
Tasawuf atau sufisme adalah istilah khusus bagi mistisisme dalam Islam.Tujuannya
adalah untuk memperoleh hubungan langsung dan lebih dekat dengan Tuhan, sehingga
seseorang merasakan benar bahwa dirinya sedang berada di depan-Nya. Intisari tasawuf
adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia-Tuhan denganjalan
mengasingkan diri dan berkontemplasi.1Ada dua aliran tasawuf dalam Islam.2Pertama, aliran
tasawuf amali (praktis, lahiriyah maupun batiniyah), dimana para penganutnya selalu
memagari tasawuf dengan timbangan syariat yang berlandaskan al-Quran dan al-Sunah, serta
mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah dengan keduanya. Kedua, aliran tasawuf falsafi
(teoritis), yakni tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi
rasional. Tasawuf ini lahir akibat persentuhan tasawuf dengan filsafat. Karenanya maka
1Harun Nasution, Falsafat clan Mystisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, , 1973). h.56. 2Hal ini sejalan dengan adanya pembagian dua tipe mistik utama oleh para ahIi, yaitu pertama, mistik
ketakterhinggaan (mysticism of infinity), yang memandang Tuhan sebagai realitas yang absolute dan tak terhingga. Manusia dipandang bersumber dari Tuhan (emanasi) dan dapat mencapai penghayatan kesatuan kembali dengan-Nya. Tipe mistik ini seringkali mendapat serangan cukup sengit karena dianggap menghasilkan faham pantheisme dan monisme. Tipe mistik kedua menekankan aspek personal bagi manusia dan Tuhan. Pada tipe kedua ini, hubungan manusia dan Tuhan dilukiskan sebagai hubungan antara kawula dengan tuannya, antara makhluk dengan Penciptanya atau antara si pernabuk cinta dengan kekasihnya. Tipe ini juga berdasar pada konsep creatio ex nihilo. (Iihat Annemarie Schimmel, Dimensi Mtstik dalam Islam, terj. Supardi Djoko Damono dkk. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986) h. 3
dalam pengungkapannya menggunakan terminologi filosofis yang berasal dari bermacam-
macam ajaran filsafat, yang telah mempengaruhi para tokohnya. Dua tipe mistik ini sejalan
dengan pendapat para ahli , yaitu, pertama mistik ketakterhinggaan (mysticism of infinity),
yang memandang Tuhan sebagai realitas yang absolute dan tak terhingga. Manusia
dipandang bersumber dari Tuhan (emanasi) dan dapat mencapai penghayatan kesatuan
kembali dengan-Nya. Tipe mistik ini seringkali mendapat serangan cukup sengit karena
dianggap menghasilkan faham pantheisme dan monism. Tipe mistik kedua menekankan
aspek personal bagi manusia dan Tuhan. Pada tipe kedua ini, hubungan manusia dan Tuhan
dilukiskan sebagai hubngan antara kawula dengan tuannnya, anatara makhluk dengan
Penciptanya atau antara si pemabuk cinta dengan kekasihnya. Tipe inipun berdasar pada
konsep Creatio ex nihilo. 3 Walaupun demikian keorisinilannya sebagai tasawuf tetap tidak
hilang, karena para tokohnya –meski mempunyai latar belakang kebudayaan dan
pengetahuan berbeda--mereka tetap berusaha menjaga kemandirian ajarannya, dan
terminologi ajaran-ajaran filsafat yang dipakai disesuaikan dengan ajaran tasawufyang
mereka anut.4
Ciri umum tasawuf falsafi ini ialah kesamaran-keajarannya, akibat banyaknya
ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang mendalami.
Pada masa-masa permulaan, perkembangan pemikiran tasawuf di Indonesia diwamai dengan
corak tasawuf falsafi, yang dapat dikategorikan sebagai tipe mistik ketakterhinggaan. Mistik
model ini sangat identik dengan faham Wahddt al-Wujud atau Wujudiyah yang merupakan
pengembangan dari teori Tajalliat Ibnu Arabi. Pada abad 17, khususnya di aceh, doktrin
wujudiyah ini pemah menjadi bahan perdebatan di kalangan para ulama. Selain karena
3Ibid, Schimmel, h. 3 4Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Raft Usrnani(Bandung:
PustakaFirdaus, 1985) h. 187.
adanya faktor sosial politik yang mempengaruhi masing-masing pihak yang berselisih,
kontroversi seputar doktrin wujudiyah ini juga diakibatkan adanya perbedaan dalam
penafsiran doktrin tersebut.
Perkembangan pemikiran Islam di Indonesia dalam sejarah tercatat memiliki mata
rantai yang cukup panjang dan melibatkan kompleksitas hubungan yang sangat rumit antara
penuntut ilmu dari Nusantara dengan banyak ulama Timur Tengah. Hal ini terbukti dari
proses perjalanan dan penyebaran Islam di Nusantara sejak awal kedatangannya yang
memakan waktu cukup lama, hingga akhir abad ke 18.5
Sejak awal abad ke-16 dan mencapai puncaknya abad ke-17, merupakan periode
paling penting dalam proses pembentukan tradisi pemikiran Islam. Ketika itu perdagangan
internasional semakin luas, seiring dengan fakta kejayaan beberapa kerajaan di Nusantara,
antara lain: Aceh, Mataram, Banten, Makassar / Gowa-Tallo dan Ternate. Pada masa itu,
landasan tradisi intelektual dan politik diletakkan. Tampak upaya salin-menyalin kitab,
penyebaran ide-ide keagamaan antar kerajaan yang direkam oleh historiografi tradisional.
Pada masa itu pula terlihat penciptaan komunitas kognitif Islam sebagai tema utama yang
disusul dengan munculnya suasana kosmopolitan. Dalam suasana seperti itu maka muncul
perenungan pribadi tentang hubungan manusia sebagai makhluk dengan sang Maha Pencipta.
Dalam konteks inilah muncul Aceh sebagai “pusat penghasil” pemikiran cemerlang dalam
sejarah pemikiran Islam di Asia Tenggara.
Dalam abad ke-17, perkembangan kerajaan-kerajaan di Nusantara, memperlihatkan
kecenderungan pandangan sufistik. Paham ini menggambarkan hubungan yang diikat oleh
5Kajian mendalam tentang hubungan antara penuntut ilmu dari Nusantara dengan ulama TimurTengah serta dampak yang ditimbulkan terhadap perkembangan pemikiran keagamaan ini telah dikupas secara mendalam dan komprehensif oleh Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara A bad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1994).
tali kasih, antara “hamba” dan “tuan” antara “raja” dan “rakyat”. Landasannya adalah
mengenai keharusan keharmonisan dan kesatuan semesta. Maka dirumuskanlah pemikiran
makhluk terhadap Khalik. Dalam konteks itulah Hamzah al-Fansuri menyusun pemikiran
sufistik dengan sistematika kosmogoni “martabat tujuh” sebagaimana yang ditulis
Muhammad ibn Fad al-Burhanpuri (1590). Hamzah Fanzuri dan Syams-ad-Din Al-
Sumatrani, memainkan peran besar dan penting dalam membentuk pemikiran dan praktik
keagamaan kaum Muslim di Melayu-Indonesia. Meskipun tidak banyak diketahui
menyangkut kehidupannya, Hamzah seorang Melayu yang berasal dari Fansur (Barus), pusat
pengetahuan Islam di Aceh Barat Daya, hidup dalam masa sebelum dan selama pemerintahan
Sultan Aceh bernama ‘Ala‘ Al-Din Ri‘ayat Syah, berkuasa tahun 1589-1602 (Azra 1994:
166). Syam ad-Din adalah murid Ham zah. Mereka pendukung terkemuka penafsiran
mistiko-filosofis wahdat al-wujud dari tasawuf (Azra 1994: 168).
Interaksi yang terjadi antara kaum muslimin dari kedua wilayah ini pada awalnya
lebih berbentuk hubungan ekonomi, disusul kemudian hubungan politik, untuk selanjutnya
hubungan intelektual keagamaan.Tasawuf merupakan tema keagamaan yang cukup dominan
dan sangat akrab dalam wacana keislaman di Indonesia. Hal ini dikarenakan Islam datang ke
bumi Nusantara sejak abad 13 diperkenalkan oleh guru-guru pengembara yang belakangan
banyak menghasilkan karya-karya tertulis--karakteristik sufi yang kental.6
Tokoh terkenal penganut faham wujudiyah ini adalah Syekh Harnzah Fansuri dan
muridnya Syekh Syamsuddin Sumatrani.7 Mereka masing-masing telah banyak mengupas
tentang Wahdat al-Wujud, diantaranya: "Ruba'i Harnzah Fansuri". Kitab ini disarahkan oleh
6Ibid, h. 33 7Ia berasal dari Samudra Pasai, lahir di sana pada penghujung abad VI darti keluarga ulama. Guru
utamanya Syekh Hamzah fansuri. Ia juga pernah belajar pada pangeran Bonang. Lihat Hawash Abdullah. Perkembangan Tasawuf dan Tokohnya di Nusantara.(Surabaya: Al-Ikhlas, 1980) .h. 34
muridnya, Syekh Syamsuddin Sumatrani dengan nama "Syarah Ruba'i Fansuri". Doktrin
Wahdat al-Wujud ini terpusat pada ajaran tentang penciptaan alam dan manusia melalui
penampakan Diri Tuhan dalam tujuh martabat. Konsep ini kemudian dikenal dengan teori
Martabat Tujuh yang terdiri dari Ahadiyah, Wahdah, Wahidiyah, Alam Mitsal.. Alam Arwah,
Alam Ajsam, dan lnsan Kamil. Sistematilka Martabat Tujuh ini ide dasarnya berasal dari
Muhammad ibn Radhullah al-Burhanpuri' 8yang telah menyusun buku kecil (tidak lebih dari
sembilan halaman) mengenai emanasi yang terdiri dari tujuh martabat. Buku keeil ini
kemudian dikenal dengan "Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi'' yang disusun pada tahun
1590, yang kemudian dibawa ke kepulauan Indonesia.
Salah seorang tokoh tasawuf yang ikut serta mengembangkan konsep Martabat Tujuh
di Nusantara, khususnya di Jawa Barat adalah Haji Hasan Mustapa. Beliau dilahirkan di kota
Garut, Jawa Barat, 1268 H/3 Juni 1852 M – Bandung, 1348 H/13 Januari 1930. Selain
dikenal sebagai seorang sufi, beliu dikenal juga sebagai seorang ulama dan pujangga Islam
yang banyak menulis masalah agama dan tasawuf dalam bentuk guritan (puisi yang berirama
dalam bahasa Sunda). Beliau pernah menjadi kepala penghulu di Aceh pada zaman Hindia
Belanda. Haji Hasan Mustafa lahir dan hidup dalam lingkungan menak (bangsawan sunda),
namun keluarga yang mengutamakan akan pentingnya pendidikan agama, sehingga ayahnya
waktu itu mengirim Haji hasan Mustafa bukan ke bangku sekolah, melainkan
mengirimkannya ke pesantren. Beliau belajar agama mulai dari mengajar ngaji kepada orang
8Seorang sarjana keturunan Arab, dilahirkan di Arab, dilahirkan di ranir,terletak dekat Surat diGujarat. Tidak diketahui tahun kelahirannya. Mula-mula belajar agama di Gujarat, melanjutkan ke tarim (Arab Selatan) sebagai pusat studi ilmu agama pada tahun 1030 H. (1621 M). iajuga seorang Syekh tarekat Rifaiyyah. (lihat Dr. Ahmad Daudy, Allah dan Manusia. (Jakarta: CV.Rajawali, 1983 h. 360. Ia tiba di Aceh pada 6 Muharram 1047H (31 Mei 1637 M) pada masa Sultan Iskandar Tsani
tuanya, belajar Qira’ah pada seorang ulama Garut, kemudian dikirim ke pesantren, sampai
belajar Bahasa arab di Makkah ketika ikut Ibdah Haji dengan ayahnya.9
Salah satu keistimewaan Haji Hasan Mustapa dalam mengajarkan Tasawufnya adalah
ajaran Islam melalui karya-karya seninya yang sangat berlainan dengan karya-karya seni
Sunda pada masa itu. Sekitar tahun 1900 ia menulis lebih dari 10.000 bait dangding yang
mutunya dianggap sangat tinggi oleh para pengeritik sastra Sunda. Karya tersebut umumnya
membahas masalah suluk, terutama membahas hubungan antara hamba (kaula) dengan
Tuhan (Gusti). Diantara karya-karyanya yang besar itu, beliau menjelaskan tentang konsep
Martabat Tujuh.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis ingin menelliti dan mengetahui secara mendalam
bagaimana ajaran Martabat Tujuh yang dianut oleh Haji Hasan Mustapa. Selain itu penulis
akan melihat lebih jauh, apakah konsep Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa ada perbedaan
atau persamaan dengan tokoh-sufi yang lainnya dalam menjelaskan konsep Martabat Tujuh.
Jika ada perbedaan, apa yang mempengaruhinya.
C. Metode Pembahasan
Penelitian ini menggunakan studi Kepustakaan. Sumber utama yang menjadi
kajiannya adalah 2(dua) naskah konsep martabat Tujuh yang ditulis oleh Haji Hasan
Mustapa. Naskah yang pertama berjudul “Adji Wiwitan Martabat Tujuh, Undak-undukna
Manusa”. Kedua, naskah tanpa judul, tapi isi naskah tersebut menjelaskan tentang ajaran
9Ki Santri, Haji Hasan Mustafa, 1 Pébruari 2008, diunduh tanggal 25 maret 2013 jam 11.00
Tasawuf Haji Hasan Mustapa, yang disalin ulang pada Bulan Desember 1990 Masehi, yang
juga penyalinnya tidak mencantumkan nama. Naskah-naskah tersebut akan dikaji dan diteliti
dengan menggunakan kajian filologi, sejarah, atau yang lainnya. Peneliti akan melihat setiap
naskahdengan detail, baik dari sistematika isi naskah, simbol-simbol yang digunakan, tema
yang dimunculkan, dan term/nama yang digunakan. Selain itu peneliti akan mencoba untuk
mengungkap kekhasan martabat tujuh Haji Hasan Mustapa, yang terdapat dalam dua sumber
tersebut, yang diperkirakan ada pengaruh budaya, sosial pada isi naskah tersebut. Selain itu
peneliti juga menggunakan data skunder seperti buku, laporan, artikel, kamus, dan
ensiklopedi yang ada relevansinya dengan pembahasan ini.
Data-data tersebut dipahami dan dianalisis secara sistimatis dan komprehensif serta
memadukannya dengan konsep-konsep atau teori tasawuf lainnya, kemudian disimpulkan
sehingga makna dari data-data tersebut bisa ditemukan.
D. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui secara mendalam konsep Martabat Tujuh yang dianut oleh Haji
Hasan Mustapa
2. Untuk menelusuri secara historis bagaimana teori martabat tujuh diterima oleh Haji
Hasan Mustapa
E. Landasan Teori dan Kerangka konseptual
Menurut bahasa, martabat tujuh berarti tujuh tingkatan atau tahapan. Sedangkan
menurut istilah , martabat tujuh merupakan teori yang digunakan untuk menjelaskan tentang
terjadinya alam semesta dalam kerangka sistem emanasi.Teori tersebut walaupun
dikemukakan dalam berbagai bentuk dan versi, namun semuanya besifat monistik dan
didasarkan pada pandangnan dunia yang sama, yaitu bahwa dunia yang nampak ini mengalir
dari Yang Tunggal. Dunia yang nampak memperlihatkan dunia yang tidak nampak, tak
terpisahkan dan terikat padanya, serta manunggal dalam Ada .10 Teori martabat tujuh ini
adalah bentuk lain dari faham wahdat al-wujud yang merupakan corak tasawuf pertama yang
banyak dianut dan berkembang di Nusantara sekitar abad XVII M. Oleh karenanya
martabat tujuh ini juga bisa diartikan sebagai satu wujud dengan tujuh martabatnya.
F. Kajian Penelitian Sebelumnya
Penelitian tentang Haji Hasan Mustapa sudah dilakukan oleh Jajang Jahroni dalam
tesisnya, dengan judul "Haji Hasan Mustapa (1852-1930) as The Great Sundanese Mystic"
(Haji Hasan Mustapa (1852-1930) Seorang Sufi Besar Sunda), sebuah penelitian tentang
karakteristik dan tipologi pemikiran tasawuf K.H. Hasan Mustapa sebagai salah seorang
tokoh sufi Sunda. Tulisan ini merupakan tugas akhir studinya di Belanda untuk mendapat
gelar M.A. Jajang adalah seorang Dosen Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jajang menjelaskan bahwa Haji Hasan Mustapa telah berhasil merelasikan antara tradisi
mistik lokal Jawa-Sunda dan tradisi tasawuf klasik Islam. Hal tersebut, katanya, tampak
dalam membandingkan antara term-term kosmologi Jawa-Sunda baik dalam mitologi
maupun pewayangan dengan term-term yang dikenal dalamtasawuf.Naskah Martabat Tujuh-
nya Haji Hasan Mustapa menjelaskan fase lanjutan dari fase-fase yang dilalui dalam Gelaran
Sasaka di Kaislaman. Suatu fase puncak dalam sikap dan cara pandang keagamaan yang
10Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Suatu Studi Filsafat,( Jakarta: Gramedia, 1991) h. 115-127.
berakhir pada maqomat Insan Kamil. Maqom yang tidak lagi melihat perbedaan dan
pertentangan dalam kehidupan di dunia sebagai kenyataan hakikiah.
Perbedaan yang paling menonjol dari tesis Jajang Jahroni dengan penelitian yang
akan peneliti lakukan adalah, Jajang Jahroni menyoroti ajaran Haji Hasan Mustopa dalam
ajaran Tasawuf secara umum, sedangakan yang akan peneliti lakukan dalam penelitian ini
adalah mengupas dengan detail dan mendalam khusus tentang ajaran Martabat Tujuh Haji
Hasan Mustapa.
Selain itu ada penelitian yang berjudul “Kinanti (Tutur Teu Kacatur Batur): Tasawuf
Alam Kesundaan Haji Hasan Mustapa (1852-1930)”. Penelitian ini memfokuskan pada aspek
nuansa alam kesundaan yang menjadi wadah tasawuf Haji Hasan Mustapa. Meski dalam
beberapa kajian nama Hasan Mustapa sudah mulai dikenal, namun nuansa lokal Sunda
sebagai wadah interpretasi tasawufnya belum banyak dieksplorasi. Sementara penelitian lain
yang sama-sama mengkaji tokoh Haji Hasan Mustapa, seperti Kajian Abas (1976), dan
Gibson (2005) misalnya, cenderung melihat sisi pemikiran tasawuf Haji Hasan Mustapa
dihubungkan dengan genealogi tasawuf yang mempengaruhinya.
G. Sistematika Pembahasan
Laporan Penelitian ini terdiri dari lima Bab. Bab Pertama adalah Pendahuluan, yang
akan menjelasakan latar belakang mengapa penelitian ini dilaksanakan, dengan
mengemukakan rumusan masalah, metode pembahasan dan tujuan dari penelitian ini. Selain
itu pada bab pertama ini, juga dijelaskan tentang landasan teori dan kerangka konseptual dari
penelitian ini, dan memunculkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan oleh bebrapa
peneliti yang mempunyai tema yang bersinggungan dengan penelitian ini.
Bab kedua hasil penellitian ini menelusuri akar sejarah dari kemunculan teori
martabat tujuh, dengan mengemukakan tokoh yang pertama kali membawa teori martabat
tyujuh ini masuk ke Nusantara kemudian diikuti dan disebarkan oleh tokoh-tokoh tasawuf di
Nusantara, mulai dari Syamsuddin Sumatrani, Abdul Rauf al-Sinkili, dan masuk ke tataran
Pulau Jawa dikembangkan oleh seorang tokoh tasawuf terkenal yaitu Syaikh Abdul Muhyi.
Pada Bab ketiga, mengupas biografi Haji Hasan Mustapa. Bab ini mengupas
perjalanan hidup dan pendidikannya, orang-orang yang berada di sekelilingnya, maupun
perjalan spiritualnya.
Pada Bab keempat yang merupakan inti dari penelitian ini, bicara tentang konsep
martabat tujuh Haji Hasan Mustapa. Yang berbeda darri martabat tujuhnya Haji Hasan
Mustapa ini diantaranya adalah konsep ajaran tasawufnya yang dikemas dalam bentuk syair-
syair berbahasa sunda, yang sangat kental dengan nilai-nilai budaya lokal kesundaan. Hal ini
yang dimungkinkan, penyebab diterimanya konsep martabat tujuh oleh berbagai kalangan
masyarakat sunda pada masa itu.
Bab kelima merupakan bab terakhir yang menutup seluruh rangkain dari pernelitian,
dengan memeberikan kesimpulan dari hasil penelitian ini .
BAB II
MELACAK AKAR SEJARAH TEORI MARTABAT TUJUH DI TATAR SUNDA
A. Al-Tuhfah al-Mursalah karya al-Burhanpuri: Sumber Awal
Sistematika martabat tujuh berasal dari Muhammad Ibnu Fadlillah al
Burhanpuri11(w. 1620) yang telah menyusun sebuah buku kecil (dalam ukuran separoh
kwarto dan tidak lebih dari dari sembilan halaman) megenai emanasi menurut tujuh
martabat. Buku kecil yang kemudian dikenal dengan Tuhfah al-Mursalah ila ruh al-nabi
“Persembahan kepada jiwa nabi” tersebut telah disusun pada tahun 1590.12 Tuhfa adalah
karya yang ringkas, hampir semacam kumpulan dari aphorisme. Burhanpuri menyebutnya
dengan nubdha, ringkasan atau ikhtisar ajaran-ajaran sufi sehingga bersifat eklektis.
Landasan ajaran Tuhfa adalah bahwa Tuhan merupakan Wujud (being) dan wujud itu
mengalir ke dunia kasat mata melalui tahapan emanasi namun tanpa melibatkan perubahan
dalam proses tersebut. Tahapan pertama adalah ketersembunyian Tuhan (Ahadiya) dan enam
tahapan berikutnya yang mengalir darinya adalah Wahda, Wahidiyya, Alam Arwah, (dunia
Jiwa), alam al-mitsal (dunia ide), alam al-jism(dunia tubuh), dan alam al-insan kamil (dunia
manusia sempurna). Wahda dan Wahidiyya bersama-sama Ahadiya membentuk tiga
serangkai primer seperti dalam pemikiran plotinus dan tidak melibatkan manifestasi luaran
(eksterior). Sedangkan empat tahapan lainnya dikelompokkan sebagai wujud luaran
11Sedikit sekali informasi mengenai dirinya selain ia telah menulis Tuhfa dan syarhnya yang diberi judul “al-hakika al-muwafika li al-syari’a . Karyanya ini menunjukkan suatu usaha di kalangan tradsisi sufi ortodoks untuk menahan kecenderungan ekstrim beberapa kelompok mistik India. Selain itu karya ini bertuijuan untuk menjamin pemahaman dan praktek yang benar akan elemen-elemen ajaran Islam. (lihat A.H.Johns, The Gift Addressed To The Spirit of The Prophet , (Canberra: The Australian National University, 1965) h.5
12Karel A. Steanbrink,. Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat. Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia.(Jogjakarta, IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988) h. 180-182.
(eksterior). Manusia merupakan tahapan final dalam proses itu dan dapat mencapai
kesempurnaan ketika pengetahuan yang ada pada dirinya telah mencapai pengetahuan Tuhan
dan memahami dari mana berasal dan kemana akan kembali, sehingga ia hidup sesuai
ajaran syari’at. Manusia merupakan mikrokosmos dan terdiri dari lima tingkatan emanasi di
atasnya dan rtitik balik dimana pemikiran Tuhan yang telah melewati berbagai tahapan
tersebut kembali kepada keabsolutan diri-nya. Simpul-simpul ajaran ini adalah (a) Tuhan
merupakan sumber segala sesuatu (b) tidak ada sesuatupun selain Tuhan yang mewujud
sendiri (c) benda-benda individual yang saling dibedakan (mufassal) antara satu dengan
lainnya tidak dapat disejajarkan dengan Tuhan, meskipun sebelum adanya penciptaan mereka
menyatu di dalam-Nya. Maka harus dicatat bahwa hal ini tidak tidak berlawanan dengan
doktrin Kesatuan Wuijud (unity of Being) yang menjadi elemen pokok pemikiran sufi,
tetapi menolak seluruh kecenderungan antinomian dan ekstrim.13
Ajaran al-Burhanpuri yang tertuang dalam karyanya Tuhfa al-Mursalah ini,
dimungkinkan telah dikenal di Indonesia semasa ia masih hidup. Drewes telah
menunjukkan bahwa Ibrahim al-Kurani (w.1689) telah menyusun komentar terhadap karya
tersebut bagi muslim Indonesia atas permintaan Ahmad al-Kushashi, gurunya di Madinah,
gumna memberikan pemahaman yang benar terhadap karya ini. Karena al-Kushashi wafat
tahun 1661, maka komentar itu kemungkinan besar ditulis sebelum itu itu meski tidak
dikenal secara pasti. Namun penggunaan komentar karya ini mensyaratkan pengetahuan
terhadapnya terlebih dulu sehingga dugaan bahwa Tuhfa (ditulis sekitar 1590) telah
dikenal di Indonesia sekitar tahun 1619 atau sebelum itu jelas tidak memaksakan fakta.14
13A.H Johns, op-cit h.6 14Ibid, h. 8
Terdapat empat orang pengarang muslim utama yang karyanya kita kenal dandianggap
mendapat pengaruh dari al-Burhanpuri. Mereka menulis dalam bahasa Melayu dan merka
hidup pada kurun abad ke-17. Tiga diantaranya adalah orang Sumatra dan yang keempat dari
Gujarat, yakni al-Raniri. Meskipun terbilang orang asing, al-Raniri, dapat menulis
menggunakan bahasa Melayu dengan baik. Adapun tiga orang Sumatra itu ialah Shamsu al-
Din Pasai, Abdul Rauf Singkel, dan Hamzah Fansuri. Shamsu al-Din wafat tahun 1630 tapi
tahun kelahirannya tidak diketahui. Abdul Rauf Singkel lahir sekitar tahun 1617 dan wafat
sekitar tahun 1690. Sedangkan Hamzah Fansuri tidak diketahui lahir dan wafatnya namun
sepertinya ia hidup dan menulis beberapa tahun sebelum Shamsu al-Din. Dari keempat orang
tersebut Hamzah dan Shams al-din dianggap mewakili kelompok sufi heterodoks
berdasarkan paham panteisme mereka. Sementara al-Raniri dan Abdul Rauf Singkel
termasuk kelompok ortodoks. Al-Raniri mencapai kemasyhurannya ketika menjabat hakim di
pemerintahan Iskandar Tsani, penguasa Aceh 1636-1641 yang menjatuhkan hukuman
terhadap mereka yang dituduh musyrik dan membakar karya-karya Hamzah sehingga
beberapa orang pengikutnya dihukum.
Hamzah fansuri, al-Raniry, Shamsu al-Din, dan Abdul Rauf Singkel telah menggunakan
Tuhfa dalam karya-karya mereka dan memakai pemikiran mengenai tujuh tingkatan wujud.15
Shams al-Din menggunakannya dalam beberapa karyanya sehingga hal ini membuktikan
bahwa Tuhfa telah dikenal di Aceh sebelum tahun 1630. Secara ekstensif al-Raniri juga
mengutip Tuhfa dalam beberapa karyanya. Dan juga Abdul Rauf Singkel yang karya-
karyanya ditulis antara tahun 1661sampai 1686 menggunakan terminologi dari Tuhfa yang ia
duga para muridnya telah akrab dengan pemikiran itu dengan sistem yang berbeda. Secara
15Walaupun sistematika, ketujuh alam tersebut yang mereka pakai tidak persis sama dengan pencetus utamanya, yaitu al-Burhanpuri
khusus Hamzah penting untuk dicatat karena ia menggunakan sistem pemikiran yang sangat
dekat dengan sistem pemikiran al-Jilli yang pada beberapa segi hal ini menunjukkan
beberapa titik temu dengan Ibn Fadlillah dan karyanya.
Meskipun tahun 1630 adalah tahun paling akhir bagi pengenalan Tuhfa di Sumatra
Utara, namun beberapa tahun sebelumnya ia telah dikenal. Ia mulai dikenal setelah satu
tahun musim haji sesudah karya ini ditulis karena Gujarat dan pelabuhan dagangnya seperti
Surat dapat ditempuh sekitar satu atau dua bulan perjalanan dari Aceh. Akan lebih sulit untuk
mengetahui kapan Tuhfa mulai dikenal di Jawa. Karena tidak terdapat jejak yang ditemukan
pada dua karya muslim paling awal di Jawa yakni: Het Boek van Bonang (kitab undang-
undang Bonang) dan Een Javaansche Primbon uit de zeitiende eeuw (kitab primbon Jawa).
Demikian pula tidak ditemukan bagian dari Tuhfa dalam ajaran-ajaran para Wali Songo yang
menurut tradisi merupakan para penyebar Islam pertama di Jawa.
Namun terdapat alasan yang kuat untuk menduga bahwa Abdul Rauf Singkel
memainkan peran yang penting dalam menyebarkannya di Jawa. Pertama, ia menghabiskan
masa sekitar 19 tahun di Mekkah dimana saat itu Mekkah sendiri banyak dipengaruhi oleh
pemikiran mistik muslim India.Artinya, Abdul Rauf mungkin telah memiliki akses terhadap
Tuhfa dan menjadikannya sebagai dasar pengajarannya sendiri di sana. Kedua, ia dikenal
sangat dekat dengan dua orang khalifah Tareqat Syattariyah yakni Ahmad Qusyasyi dan
Mulla Ibrahim al-Kurani. Dari Ibrahim sendiri ia mendapatkan ijin untuk medirikan tareqat
ini ketika ia kembali ke Sumatra pada tahun 1661. Selain itu, ia telah mencapai kedudukan
yang tinggi di Mekkah dan menjadi guru bagi ratusan bahkan ribuan muslim Indonesia yang
datang ke sana dari berbagai kepulauan. Sebagian dari mereka bahkan diinisiasi ke dalam
Tareqat Syattariyah. Hal inilah yang mungkin menjadi sebab bagi cepatnya perkembangan
tareqat ini di Indonesia sekembalinya Abdul Rauf sekaligus menjadi bukti bahwa Tuhfa
sangat dikenal, khusunya di Jawa. Di Aceh sendiri ia mengajar sekitar 30 tahun dan meraih
reputasi tinggi sehingga dihormati sebagai “rasul” pertama ke Indonesia. Patut diingat bahwa
Aceh merupakan tempat persinggahan bagi para jamaah haji dalam perjalanannya ke Mekkah
dan beberapa jamaah asal Jawa sempat bermukim di sana saat pergi maupun kembali dari
Tanah Suci. Selain itu, mereka juga mempelajari agama sehingga dapat dipastikan sebagian
dari mereka tentu menjalin hubungan bahkan benar-benar belajar dengan Abdul rauf. Karena
itu, bukan suatu kebetulan jika sebagian besar interpolasi (penambahan) dalam teks Jawa
berupa kutipan dari karya-karya teoritis penting Abdul Rauf atau setidaknya semangat karya
itu sangat dekat dengan karyanya.
Rinkes memberikan informasi menarik mengenai perkembangan Tareqat Syattariyah
yang juga sesuai dengan asumsi kita di atas.Dalam artikelnya Saints of Java (para wali Jawa)
ia menyebutkan bahwa Abdul Muhyi (penyebar Islam di wilayah Priangan) telah bertemu
dengan Abdul Rauf di Aceh saat ia kembali dari haji dan setelah itu menyebarkan ajaran-
ajaran Syattariyah di Jawa. Dalam hal ini ia diikuti oleh murid utamanya yaitu Bagus
Nurdjain dari Cirebon (yang tidak jauh dari Tegal dimana teks Jawa Tuhfa ini ditulis) dan
juga anaknya yaitu Bagus Anom (Mas Pekik Ibrahim) dan Haji Abdullah. Maka tidaklah
berlebihan untuk menduga bahwa perkembangan Tareqat Syattariyah dan pengenalan
terhadap Tuhfa seiring dengan keadaan yang disebut di atas sehingga, secara teoritis, versi
Jawa dari Tuhfa telah ada setidaknya sejak 1680.16
16Ibid, h.9-12
B. Konsep-konsep Utama dalam Doktrin Martabat Tujuh
Menurut bahasa martabat tujuh berarti tujuh tingkatan atau tahapan. Sedangkan menurut
istilah, martabat tujuh merupakan teori yang digunakan untuk menjelaskan tentang terjadinya alam
semesta dalam kerangka sistem emanasi.Teori tersebut walaupun dikemukakan dalam berbagai
bentuk dan versi, namun semuanya besifat monistik dan didasarkan pada pandangnan dunia yang
sama, yaitu bahwa dunia yang nampak ini mengalir dari Yang Tunggal. Dunia yang nampak
memperlihatkan dunia yang tidak nampak, tak terpisahkan dan terikat padanya, serta manunggal
dalam Ada.17 Teori martabat tujuh ini adalah bentuk lain dari faham wahdat al-wujud yang
merupakan corak tasawuf pertama yang banyak dianut dan berkembang di Nusantara sekitar abad
XVII M. Oleh karenanya martabat tujuh ini juga bisa diartikan sebagai satu wujud dengan tujuh
martabatnya.
Terdapat tujuh tingkatan (martabat) yang tertuang dalam teori Martabat Tujuh Al-
Burhanpuri. Konsep –konsep uatamanya adalah sbb:
1. Ahadiyya
2. Wahda
3. Wahidiyya
4. Alam al-Arwah
5. Alam al-Mitsal
6. Alam al-Ajsam
7. Insan al-Kamil
17Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Suatu Studi Filsafat,( Jakarta: Gramedia, 1991) h. 115-127. Lihat juga Tesis, Wiwi Siti Sajartoh, Martabat Tujuh Syaikh Abdul Muhyi, Pascasrjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001
Ajaran al-Burhanpuri yang dijadikan sebagai ladasan munculnya Teori Martabat
Tujuh adalah pendapatnya, seperti yang tertuang dalam Tuhfah al-Mursalah18 sebagai
berikut :
“Wujud ini memiliki tingkatan-tingkatan yang banyak. Tingkatan pertama adalah Non-
determinasi (al-lata’ayun),Kemutlakan,dan Esensi Murni, tidak dalam pengertian bahwa
batasan melekat dalam istilah mutlak, dan implikasi dari non-determinasi melekat pada
tingkatan ini. Namun dalam pengertian, bahwa Wujud dalam tingkatan ini terlepas dari
determinasi-determinasi dan sifat-sifat serta melampaui setiap batasan bahkan
kemutlakan itu sendiri. Tingkatan ini disebut Ahadiyya dan merupakan Esensi Terdalam
Tuhan Yang Maha Suci dan Maha Mulia dan tidak di atasnya tingkatan lain bahkan
semua tingkatan lainnya berada di bawahnya. Tingkatan kedua adalah tingkatan
Determinasi Pertama (at-ta’ayun al-awaal) yang berarti pengetahuan Tuhan akan Dzat-
Nya dan Sifat-Nya serta seluruh yang ada secara umum tanpa pembedaan antara satu
dengan yang lain. Tingkatan ini disebut Wahda dan Hakekat Muhammadiyah. Tingkatan
ketiga adalah Determinasi Kedua (at-ta’ayun atsani), yakni pengetahuan Tuhan akan
Dzat-Nya dan Sifat-Nya serta segala yang ada secara terperinci dengan pembedaan antara
satu dengan yang lain. Tingkatan ini disebut Wahdadan Hakekat Insaniyah. Ketiga
tingkatan ini seluruhnya bersifat tidak diciptakan (qadim) dan pendahuluan (taqdim) serta
pengakhiran (ta’khir) adalah bersifat logis,bukan temporal. Tingkatan keempat adalah
tingkatan Alam al-Arwah yang berarti sesuatu yang alami, mandiri, dan sederhana yang
memanifestasikan diri pada dirinya sendiri atau ide-ide. Tingkatan kelima adalah
tingkatan Alam al-Mitsal yang berarti sesuatu yang alami,tersusun,dan lembut yang tidak
18teks Arab Tuhfa yang dimuat dalam A.H.Johns, ibid. h. 130
mengalami pembagian,pemisahan,penyisipan,dan penambahan. Tingkatan keenam adalah
tingkatan Alam al-Ajsam yang berarti sesuatu yang alami,tersusun,dan padat serta
memungkinkan pembagian dan pemisahan. Tingkatan ketujuh ialah Tingkatan yang
memadukan seluruh tingkatan yang disebutkan:bendawi dan spiritual;Wahidiyya dan
Wahda;dan ia adalah manifestasi dari bagian-bagian akhir dan keadaan-keadaan (ilbas),
yaitu Manusia.
Demikian ketujuh tingkatan itu. Yang pertama dari ketujuh tingkatan itu adalah non-
determinasi (ladzuhur) dan yang enam lainnya adalah keadaan universal dari manifestasi.
Dan yang paling terakhir, yakni manusia, ketika dalam dirinya termanifestasi atau terjadi
seluruh tingkatan yang terdahulu dalam bentuk yang tidak tersembunyi, maka hal itu disebut
tingkatan Manusia Sempurna (al-Insan al-Kamil). Dan termanifestasi dan terjadinya semua
itu secara paripurna adalah pada diri Nabi kita SAW sehingga, karena hal ini, ia menjadi
penutup para nabi.
Konsep yang ditawarkan oleh al-Burhanpuri tentang Martabat Tujuh ini, banyak
diadopsi oleh Syamsussin Sumatrani, sebagaimana tertuang dalam kitabnya Jauhar –al-
Haqaiq. Jika dibandingkan dengan Hamzah Fansuri sebagai pendahulunya, Syamsuddin
berbeda dengan Hamzah. Ia menggunakan istilah lain untuk menguraikan pangkat-pangkat
atau martabat pengaliran ke luar Zat Mutlak itu dengan cara yang sistematis. Menurut
Syamsuddin (tidak jauh berbeda dengan Burhanpuri dalam pengunaan istilah), pangkat-
pangkat atau martabat dari pengaliran ke luar Zat yang Mutlak itu adalah :
1. Ahadiyya, Martabat ini disebut juga dengan istilah la ta’ayyun (tanpa pembeda-bedaan).
Di sini Zat yang Mutlak masih berada dalam keadaan yang semula, yaitu masih bebas
dari segala hubungan (belum memiliki hubungan dengan apapun). Lebih lanjut
Syamsuddin menjelaskan sebagai berikut :
“Dan wujud itu pada martabat tanpa penampakan diri, ketidakterbatasan, dan keesaaan
semata, suci dari relasi sifat dan dari segala batasan, bahkan juga dari batasan
ketidakterbatasan. Hakikat-Nya tidak diketahui oleh selain Dia. Perngetahuan tentang
wujud pada martabat ini paling sulit untuk dibicarakan, paling rumit untuk dipikirkan,
dan paling sukar untuk disebut. Pengetahuan Sang ‘Arif tentang martanvbat itu merujuk
kepada penyucian dan pengudusan.19
Sementara Hamzah menggambarkan Martabat pertama ini--seperti diungkapkan di atas--
digambarkan sebagai laut yang tak bergerak. Nama “Allah” yang dipakai oleh Hamzah
untuk mencirikan pangkat ini adalah “Huwa”. Mernurut hamzah nama Allah adalah
sepangkat lebih rendah dari pada nama “Huwa”, tetapi Zat adalah lebih tinggi dari pada
nama “Huwa”. Jika berbicara tentang Zat maka Zat itu dibicarakan secara objektif, tetapi
jika berbicara tentang “Huwa”, di sini Zat yang Mutlak dilihat dari segi penjelmaan.
Nama “Allah adalah nama yang konkrit, tetapi nama ”Huwa” itu berada pada taraf Allah
masih berada pada Diri-Nya sendiri. Nama “Allah” adalah nama Yang didalamnya
terdapat pernyataan wahda.20
2. Wahda. Syamsuddin berpendapat, bahwa pengetahuan itu sebenarnya sudah ada di
dalam pangkat ahadiyya, yang mendahului pangkat wahda ini. Tetapi pada taraf ini yang
menilik yang ditilik (‘alim dan ma’lum) masih merupakan daya terpendam, keduanya
19Lihat Azis Dahlan, Tasawuf Syamsuddin al-Sumatrani, Disertasi, Tidak diterbitkan, 1992, IAIN Jakarta. h. 71.
20Hadiwidjono. Op-cit h. 31
masih disimpan di dalam pengetahuan (‘ilm), belum dibeda-bedakan. Pada martabat ini
keduanya dibentangkan : Pembentangan ini diibaratkan sebagai penyinaran cahaya.
Hasil pembentangan itu atau hasil penjelmaan itu adalah model-model pertama dari
segala makhluk, yang masih berada secara akali, halus, tak dapat diraba yang disebuit
‘ayan tsabita. Sementara Hamzah menggambarkan martabat kedua ini sebagai gerak
ombak dan disebut sebagai pembeda-bedaan yang pertama (ta’ayyun awwal). Pembeda-
bedaan yang pertama ini adalah pangkat dimana yang mengenal(‘alim) menilik DiriNya
sendiri, sehingga timbullah hal yang dikenal (ma’lum).
Sebutan lain dari martabat wahda ini adalah “cahaya Muhammad” atau relitas
Muhammad”(Haqiqat Muhammad). Pengetahuan (‘ilm) yang melihat ma’lumat atau ide
adalah relitas Muhammad. Tempat asal Nur Muhammad adalah diantara yang mengenal
dan yang dikenal. Di sini kepada Muhammad diberikan tempat sebagai perantara
diantara Zat yang Mutlak dan dunia. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Nur
Muhammad bersinar dari pada Zat Allah.
Hamzah dan Syamsuddin berpendapat bahwa sifat Allah dijelmakan atau dimunculkan
pada nmartabat kedua ini. Oleh karenanya martabat wahda disebut kunhi sifat atau
hakekat sifat yang sebenarnya.21
3. Wahidiyya. Martabat ini disebut juga sebagai ta’ayyun tsani (pembeda-bedaan kedua).
Syamsuddin mengemukakan bahwa wahidiyya adalah pangkat rupa yang nyata di dalam
cermin, atau gambar yang dipantulkan oleh Zat. Sedangkan Hamzah Fansuri seperti
diungkapakan di atas menggambarkan martabat ini dengan asap. Jadi Wahidiyya –
menurut Syamsuddin--adalah pembentangan apa yang sudah berada secara terpendam di
21Ibid, h. 31-37.
dalam Zat. Zat itu mrndapatkan bentuk, sekalipun masih secara akali. Demikian
gambaran ketiga martabat pertama , atau turunnya Zat yang Mutlak ke dalam
pembeda-bedaan yang pertama dan yang kedua. Semuanya itu sebenarnya adalah satu
dan kekal., dan satu di dalam eksitensinya. Sedangkan perbedaaannya adalah ahadiyya
adalah martabat dimana belum terdapat pembeda-bedaan, wahda adalah pembeda-bedaan
yang pertama, dan wahidiyya adalah martabat pembeda-bedaan yang kedua. Sekalipun
terdapat perbedaaan semuanya masih tetap satu, dan ketiga penjelmaan ini semuanya
masih terjadi di dalam eksistensi ilahi. Ketiganya disebut maratib ilahi (pangkat ilahi).
Martabat pertama, kedua, dan ketiga, menurut pengajaran Syamsuddin Sumatrani, seperti
dalam pengajaran al-Burhanpuri, adalah sama-sama qadim (dahulu tanpa permulaan atau
tanpa didahului oleh tiada). Ini berarti bahwa dari segi waktu keberadaan martabat kedua
tidaklah lebih kmudian dari keberadaan martabat kedua. Urutan pertama, kedua, dan
ketiga itu tidaklah mengacu urutan waktu (zaman), tetapi mengacu kepada penetapan
akal tentang aspek mana yang menjadi dasar bagi aspek yang lain.22
4. Alam Arwah. Martabat ini merupakan tajalli Tuhan tahap ketiga yang tidak lagi
berlanghsung dalam diri-Nya, tetapi pada bukan selain diri-Nya (fi ghairihi). Ini berarti ia
harus menciptakan alam. Menurutnya, penciptaan alam oleh Tuhan berawal dengan
penciptaan makhluk pertama. Makhluk pertama itu adalah nur (cahaya), yang dalam
pengajaran Ayamsuddin disebut dengan sejumlah nama, diantaranya: Ruh Muhammad,
Nur Muhammad, Akal, al-Qalam al-‘Ala (Pena tertinggi). Selain itu dikemukakan bahwa
segenap alamlainnya diciptakan Tuhan dari Nur Muhammad. Jika Nur Muhammad
berasal dari cahaya , maka segenapa alam lainnya berasal darui Nur Muhammad.
22Azis Dahlan, Op-cit h. 77
Namun kendatipun segenapa makhluk atau alam itu berasal dari cahaya Tuhan juga, ini
tidaklah berarti dengan sendirinya bahwa senmua makhluk itu sama derajat atau
martabatnya. Menurut Syamsuddin, Nur muhammad adalah makhluk yang paling tinggi
martabatnya. Mengenai martabat keempat ini Hamzah memberikan penjelasan; realitas
yang terpendam yang di dalam pangkat wahidiyya berkumpul sebagai awan, sekarang
mengalir ke luar sebagai roh. Oleh karena itu sebutan yang biasa bagi martabat ini
adalah “alam arwah”. Selanjutnya ia mengemukakan, Hujan terdiri dari abanyak air.
Maka hujan adalah suatu kejamakan, sekalipun demikian hujan adalah suatu kesatuan,
karena kejamakan itu berada di dalam kesatuan. Sekalipun titik air itu bisa berbeda-beda
besarnya, tetapi semuanya satu, yaitu : hujan.
5. Alam Mitsal. Alam ini merupakan sesuatu yang murakkab (tersusun), lathif (halus),
ghair mutajazzi (tidak mengandung bagian-bagian), la muba’adh (tidak dapat dibagi), la
mukhraq (tidak bisa dipisah-pisah), la muiltaim (tidak bersatu dengan yang lain, dan
masih termasuk alam ghaib, yakni tidak dapat ditangkap panca indra lahir. Jasad-jasad
alam mitsal ini tidak seperti jasad-jaad materi yang dapat dicerai-beraikan dan disatukan
dengan jasad lain. Alam mitsal ini alam cita atau ide . Alam ini adalah daerah perbatasan
alam arwah dan alam segala tubuh. Alam ini tidak terdiri dari benda, sekalipun demikian
terdapat dimensi juga. Alam ini bercirikan warna seperti alam impian.
6. Alam Ajsam. Alam ini menurut Syamsuddin mempunyai kriteria sebagai berikut: tubuh
yang tebal, tersusun, bisa dibagi-bagi, bisa dipadukan, dan bisa ditangkap dengan indra
lahir. Dalam hal ini Syamsuddin tidak menunjukkan apa saja yang termasuk dalam
katagori alam empiris ini. Namun dari pengajarannya yang diberikan dapat ditangkap
suatu isyarat bahwa yang dimaksud adalah ‘arasy, kursy, surga, neraka, langit, dan bumi.
7. Alam al-Insan. Martabat yang ketujuh ini merupakan pembicaraan yang sangat penting
dalam ajaran Martabat Tujuh Syekh Syamsudin Sumatrani. Alam manusia yang
dikategorikan sebagai martabat ketujuh disebut juga syai al-jami’, yaitu sesuatu yang
menghimpun semua martabat. Secara lahiriah manusia memiliki unsur yaitu tanah, air,
udara, dan api. Dengan komponen itu ia disebut al-insan a-basyari (manusia lahir).
Adapun secara bathiniyah memiliki unsur-unsur wujud, ilm, nur dan syuhud. Dengan
ilmu adalah sifat-sifat, dengan nur adalah nama, dan dengan syuhud adalah perbuatan.
Dan dengan komponen ini ia disebut al-insan al-haqiqi (manusia haqiqi/sejati). Berkaitan
dengan manusia haqiqi ini, Syekh Syamsuddin sumatrani memberikan penjelasan bahwa
sebagaimana Tuhan memiliki Dzat, sifat-sifat, nama-nama, dan perbuatan-perbuatan,
begitu juga manusia haqiqi yang ruhnya memiliki empat unsur tersebut. Tapi mesti
dipahami bahwa semua yang dimiliki manusia itu hanyalah ciptaan, pemberian, atau
pinjaman dari Tuhan dan berfungsi sebagai tajalli bagi Tuhan. 23
Untuk lebih mendapat gambaran yang lebih dalam tentang konsep Martabat
Tujuh, di sini akan kita lihat sumber akarv teoriny adalah konsep Konsep Wahdat al-
Wujud Ibnu ‘Arabi, kemudian dikembangnkan oleh muridnya sekaligus mantu dari Ibnu
‘Arabi yaitu al-Qunawi (w. 673/1274)24. Al-Qunawi memberikan penjelasan konsep
Wahdat al-Wujud dan sekaligus mengembangkannya dengan teori “Lima Kehadiran
Tuhan”.
23Azis Dahlan, op-cit h.
24Al-Qunawi adalah salah seorang murid (pengikut) utama Ibnn al-Arabi dan dibandingkan dengan pengikut lainnya ia dikenal sebagai murid yang bertanggungjawab atas sistematisasi ide-ide Ibn Arabi dan menunjukkan keselarasan penting ide-ide tersebut dengan al-Qur’an dan Hadits sehingga menjadikannya lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam secara luas. Ia seorang penulis yang telah menghasilkan hampir 30-an karya yang sebagian besar berbahasa Arab dan beberapa diantaranya berbahasa Persia.(ibid)
Toeri Lima Kehadieran Tuhan tsb, dijelaskan sbb : PertamaKehadiran
pengetahuan atau Batin (hadrat al-batin), yang mencajup nama-nama Tuhan, sifaty-
sifat-Nya, dan entitas-entitas abadi. Di hadapan Kehadiran Pertama dalam posisi yang
berlawanan, adalah Dunia Persepsi atau Kehadiran Lahir (hadrat al-dhahir). Di antara
keduanya adalah Kehadiran Pusat yang mencakup dua sisi yang secara akslusif
berkenaan dengan manusia paripurna. Kemudian di sisi kanan dari kehadiran pusat,
antara ia dan Ketuhanan Yang Ghaib adalah Kekadiran Ruh. Terakhir, di sisi kiri
Kehadiran Pusat antara ia dan dunia Nyata adalah Dunia Kesan. 25
Kelima Kehadiran tersebut bisa juga digambarkan dalam skala menurun atau
naik. Dalam Pengetahuan Tuhan, sebagai tingkat pertama, entitas-entitas bersifat “tiada”
(ma’dum) meskipun segala keabadian diketahua oleh Tuhan. Tingkkatan Kedua, yaitu
tingkatan Ruh, entitas-entitas menjadi erksistensi sebagai weujud-wujud “cahaya”
(nurani) yang hidup dalam kedekatan dengan Tuhan, namun tetap terpisah dari-Nya. Pada
tingkatan berikutnya yaitu pada tingkatan ketiga, adlah tingkatan Imajinasi, entitas-entitas
masih terbentuk cahaya namun dalam tingkatan yang lebih rendah dan saat itu mereka
tidak lagi bersifat “sederhana’ (basit) dan tidak tersusun. Ia sudah merupakan susunan
dari bagia-bagian. Dalam Dunia Imajinasi dan kesan inilah pandangan (musyahadah)
orang-orang saleh dapat terjadi. Di sini Ruh dapat memanifestasikan dirinya dalam
bentuk-bentuik indrawi dan di sini pila, setelah peristiwa kematian, kualitas amal dan
opral manusia menerima bentu-bentuk jasmaniah. Akhirnya samapai pada tingkat
terendah yakni manifestasi luar Wujud, yakni berupa Dunia Indrawi yang bersifat
kegelapan (zulamni) dan tersusun (murakkab).
25William C.Chittick dan Peter Lamborn Wilson, Fakhruddin Iraqi.(New York: Paulist Press, 1982) h. 14
Itulah empat tingkatan dasar dari eksistensi yang mengacu secara berurutan
sebagai “supra-formal” (ma’nawi, yakni berhubungan dengan “makna-makna” yang
berada dalam Pengetahuan Tuhan. Sementara istilah “makna” (ma’na) sama dengan
entitas abadi) yaitu “spiritual” (ruhani); “imajinal” (mithal) dan “inderawi” (hissi). Yang
pertama (tingkatan pengetahuan Tuhan) tidak diciptakan dan ketiga sisanya yang lain
(tingkatan jiwa, dunia imajinal, dan dunia inderawi) diciptakan.
Sedangkan Manusia Paripurna mencakup keempat tingkatan eksistensi tersebut.
Manusia biasa juga mencakup keempat tingkatan eksistensi itu. Setidaknya, dalam
pengertian bahwa keempatnya terefleksi dalam dirinya. “Realitas” dirinya atau “makna”,
yakni tingkatan Ketuhanan, adalah entitas yang abadi Manusia Paripurna. Ruhnya
berhubungan dengan Dunia Ruh, jiwanya dengan Dunia Imajinasi, dan badannya dengan
Dunia Inderawi. Selanjutnya sebagai sebuah kesatuan dia akan merefleksikan Manusia
Paripurna (al-insan al-kamil).26
Alasan al-Qunawi membagi Kehadiran-Kehadiran pada lima tingakatan dapat
dirangkumkan sebagai berikut. Terdapat dua kehadiran dasar, yakni Yang Ghaib dan
Yang Nyata. Namun terdapat hal yang lebih bersifat ghain dari p[ada yang lain,
sebagaimana terdapat pula beberpa hal yang lebih nyata dari pada yang lain. Maka setiap
kehadiran dibagi ke dalam “nyata” (haqiqi) dan “nisbi” (idhafi). Yang Nyata ghaib
adalah Tuhan berikut nama-nama dabn sifat-sifat-Nya. Yang ghaib nisbi adalah Dunia
Ruh. Yang benar-benar nyata adalah dunia inderawi dan yang nyata nisbi adalah dunia
Imajinal. Terakhir, Manusia Paripurna mencakup keempat kehadiran tersebut.
26,Chittick, The Five Divine Presences, h. 112-113
Untuk bahan perbandingan dapat dilihat teori lima kehadiran Tuhan yang
dikemukan oleh al-Qaysari sbb: Skema al-Qaysari secara umum sesuai dengan skema
yang dibuat al-Qunawi. Dia menulis dalam pengantarnya terhadap komentar Fusus:”
Kehadiran universal pertama ialah (1) Kehadiran Yang Ghaib Yang Tak Terbatas. Dunia
Kehadirannya adalah entitas-entitas abadi dalam Kehadiran Pengetahuan. Berhadapan
dengannya di tempat yang berlawanan ialah (2) Kehadiran Yang Nyata Yang Tak
Terbatas yang dunia Kehadirannya adalah Kerajaan (al-mulk) {Dunia Persepsi-Pengertian
(alam al-hiss)}. Kemudian terdapat Yang Ghaib yang nisbi. Ia dibagi menjadi dua bagian,
yakni: Pertama (3) yang terdekat dengan Yang Ghaib Yang Tak terbatas. Dunianya ialah
Ruh-Ruh Kerajaan yang sangat besar (al-malakut) dan Kekuasaan (al-jabarut), yakni
dunia Intelak dan Jiwa yang tidak digunakan (mujarrad). Kedua, bagian Yang Ghaib
Yang Nisbi (4) yang terdekat dengan Yang Nyata. Dunianya ialah Kesan-Kesan Adapun
alasan mengapa Yang Ghaib Yang Nisbi terbagi dua adalah bahwa Ruh-Ruh memiliki
bentuk-bentuk imajinal yang mempunyai kesesuaian dengan Dunia Yang Nyata Yang
Tak Terbatas, intelektual, dan bentuk-bentuk tak terpakai yang memiliki kesesuaian
dengan Yang Ghaib Yang Tak Terbatas. Kelima (5) adalah Kehadiran yang mencakup
empat Kehadiran sebelumnya. Dunianya ialah dunia manusia yang mencakup seluruh
dunia dan segala sesuatu dalam dirinya”.
Pada pernyataan yang langsung mengikuti ungkapan di atas, al-Qaysari kemudian
melihat Kehadiran-Kehadiran dari sudut pandang lain dan juga mengikuti skema-skema
lainnya yang telah kita bahas:” Maka (1) Dunia Kerajaan (al-mulk) adalah tempat
manifestasi bagi (2) Dunia Kerajaan yang sangat besar (al-malakut) yang merupakan
Dunia Imajinal Tanpa Batasan. Selanjutnya ia menjadi tempat manifestasi bagi (3) Dunia
Kekuasaan (al-jabarut), yakni Dunia Realitas-Realitas Yang Tak Terpakai. Dan dunia ini
adalah tempat manifestasi bagi (4) Dunia Entitas-Entitas Abadi yang menampakkan (5)
Nama-Nama Ketuhanan atau Kehadiran Kesatuan Inklusif (al-wahidiyya/al-wahdaniyya)
yang ia sendiri merupakan tempat manifestasi bagi (6) Kesatuan Eksklusif (al-
ahadiyya)”.
Dalam klasifikasi kedua ini al-Qaysari masalah Manusia Paripurna dan membagi
Kehadiran Pertama al-Qunawi menjadi tiga tingkatan, yakni: tingkatan Kesatuan Eksklusif
(al-ahadiyya), Kesatuan Inklusif (al-wahidiyya/al-wahdaniyya), dan entitas-entitas Abadi
(al-maujudaat al-abadiyya). Al-Qaysari samasekali tidak membahas tentang tingkatan
Esensi atau Yang Tak Terbatasi sebagaimana dalam dua skema di atas. Tapi nampaknya,
seperti halnya al-Qunawi dan juga gurunya sendiri al-Kashani, al-Qaysari menganggap
Esensi atau Yang Tak Terbatasi sebagai sumber semua entifikasi dan hal ini di luar skema
manapun.27
Jika ditelusuri lebih jauh, akar konsep martabat tujuh ini sangat dimungkinkan
dipengaruhi oleh konsep-konsep tasawuf yang muncul sebelumnya, diantaranya: pertama
ajaran Tasawuf yang dikemukakan oleh Husayn ibn Mansur al-Hallaj (858-922), yang
dikenal dengan konsep al-Hulul. Menurut al-Hallaj, Allah adalah Zat yang Pertama, asal
dan pusat dunia. Allah menciptakan Adam dalam gambarNya sendiri. Gambar dari kasih
Allah yang kekal itu dipantulkan dari Diri Allah sendiri, agar Ia dapat melihat Diri-Nya
sendiri di dalam cermin. “Terpujilah Dia yang menyatakan rahasia dari sinar ilahi-Nya di
dalam manusia (yaitu Adam)28 . Menurut al-Hallaj, Tuhan Allah tidak bisa bersatu
27Ibid, h. 123-124 28R.A Nicholson, The Mystics of Islam, (London, 1914) hl.150; Bandingkan A.E.Affifi, The Mysstical
Philosophy of Muhyid Din Ibnu al-Arabi,(Cambridge, 1939) h. 78 catatan 4.
dengan manusia, kecuali dengan cara demikian, bahwa Roh ilahi menjadi hulul (berpadu),
artinya bahwa ketuhanan (Lahut) menjelma ke dalam diri insan. Oleh karenanya para sufi
harus berusaha melepaskan diri dari gerak yang mengaburkan, yang datang dari dunia
yang beraneka ragam dan bersifat fana.Lebih lanjut al-Hallaj mengemukakan bahwa
manusia yang makin erat mempersatukan dirinya dengan Allahnya, akan semakin sering
Allah menampakkan Diri serta bertindak di dalam pusat hati atau sirr manusia itu.
Sehingga akhirnya orang akan mengalami suatu persekutuan rahasia dalam tarap
tertinggi. Di sini orang akan mengalami Huwa (Ia), yaitu Zat yang tanpa akhir itu. Di
dalam keadaan yang demikian itu Allah bisa berbicara dengan perantaraan manusia,
sebagai umpama ungkapan “Ana al-Haqq”.29 Ungkapan demikian nampaknya tidak boleh
dipandang sebagai ungkapan manusia, melainkan ungkapan Allah yang ada di dalam
manusia itu. Allah bagi al-Hallaj transsenden dan immmanen. Dan Allah tidak identik
dengan manusia. Yang ini jelas dari ucapan nya ketika ia diadili di hadapan hakim.
Diantaranya ia pernah berkata, bahwa ia sama sekali tidak menganggap dirinya berhak
menduduki tempat Allah atau nabi, sebab nabi adalah manusia yang menyembah Allah,
yang melipatgandakan puasa dan perintah Allah dan mengetahui hal yang lain kecuali
itu.30Lebih lanjut al-Hallaj menjelaskan behwa di dalam hulul terkandung kefanaan total
kehendak manusia dalam kehendak ilahi, sehingga setiap tindakan manusia berasal dari
Allah. Manusia menurutnya, “sebagaimana dia tidak memiliki asal tindakannya, begitu
juga dia tidak memiliki tindakannya”. Kedua, konsep tasawuf yang kemukakan oleh Ibnu
‘Arabi, dan dipopulerkan oleh al-Jilli, yakni Insan Kamil.Menurut Ibnu ‘Arabi manusia
29Ibid, h.151 30Harun Hadiwijono, Kebatinan Isam Dalam Abad Enambelas, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, T.YH) h. 17-
18
adalah tempat tajalli Tuhan yang paling sempurna,karena dia adalah akaun al-jami’, atau
dia merupakan sentral wujud, yakni alam kecil (mikrokosmos) yang tercermin padanya
alam besar (makrokosmos); dan tergambar padanya sifat-sifat ketuhanan. Oleh karena
itulah manusia diangkat sebagai khalifah.31 Menurut Ibnu ‘Arabi Insan Kamil merupakan
miniatur dan relitas ketuhanan dalam tajalli-Nya pada jagat raya. Oleh karena itu, ia
menyebutnya sebagai al-‘alam al-shagir (mikrokosmos), yang pada dirinya tercermin
bagian-bagian dari jagat raya (makrokosmos). Esensi insan kamil merupakan cermin dari
esensi Tuhan, jiwanya sebagai gambaran dari al-nafs al-kulliyah (jiwa universal),
tubuhnya mencerminkan arasy, pengetahuannya mencerminkan pengetahuan Tuhan:
hatinya berhubungan dengan bait al-Ma’mur, kemampuan mental spiritualnya terkait
dengan malaikat; daya ingatannya dengan saturnus (zuhal), daya inteleknya dengan
yupiter ( al-Musytari), dan lain-lain.32Proses yang harus dilakukan untuk menjadi Insan
Kamil adalah melalui apa yang diistilahkan Ibnu ‘Arabi dengan
(berakhlaklah dengan akhlak Allah). Takhalluq berarti menafikan sifat-sifat manusia dan
menegaskan sifat-sifat Allah yang telah ada pada kita. Selain itu Takhalluq juga berarti
menafikan wujud kita dan menekankan wujud Allah karena kita dan sesuatu selain Allah
tidak mempunyai wujud kecuali dalam arti majazi. Ketika manusia menafikan wujudnya,
ia kembali pada sifat aslinya, yaitu ketiadaan (adam), dan pada saat yang sama ia berada
dalam keadaan ketentraman abadi. Di samping itu takhalluq juga berarti menerima dan
mengambil nama-nama Allah yang telah ada pada diri kita, yang masih dalam bentuk
potensial. Takhallluq dicontohkan secara sempurna oleh Nabi Muhammad
31abdul Qadir Mahmud, Al-Falsafah Al-Sufiyah fi al-Islam, Dar al-Fikr al-arabi, Cairo, t.t h. 575 32Ibnu ‘Arabi, Al-Futuhat al-Makiyah. Ibid.h.118
SAW.33Kesempurnaan insan kamil itu pada dasarnya disebabkan karena pada dirinya
Tuhan ber tajalli secara sempurna melalui hakikat Muhammad (al-haqiqah al-
muhammadiyah). Hakikat Muhammad merupakan wujud tajalli tuhan parupurna, dan
merupakan makhluk yang paling pertama diciptakan oleh Tuhan. Ia telah ada sebelum
penciptaan Adam. Oleh karena itu Ibnu ‘Arabi menyebutnya dengan akal pertama. Dialah
yang menjadi sebab penciptaan alam semesta dan sebab terpeliharanya. Hakikat
Muhammadiyah seperti yang dikutip Harun Hadiwijono bisa dikatakan juga sebagai
aspek yang mistis dari logos. Ia bukan Muhammad sang nabi, melainkan hakekat
Muhammad, roh Muhammad. Manusia Muhammad dari Mekah dan segala nabi,
termasuk Musa, Ibrahim dan Yesus adalah penjelmaan individual dari haqiqat Muhammad
tadi. Oleh Ibnu ‘arabi ia disebut Qutb(kutub), yaitu kepala rohani darin susunan
pemerintahan nabi dan wali. Ia adalah yang menyatakan Allah, yang meneruskan segala
pengetahuan Allah kepada semua orang yang memilikinya dan yang menjadi sebab dari
segala penjadian. Ia sama dengan roh kudus dan aktivitas Allah yang menciptakan
(haqiqatu al-Makhlisu bihi).34
Demikian sekilas gambaran tentang konsep utama Teori Martabat Tujuh, yang
merupakan pengembangan dari faham Wahdat al-wujud yang kemudian berkembang
menjadi teori “Lima Kehadiran Tuhan. Dan jika ditelusuri lebih jauh, teori martabat tujuh
ini diinspirasioleh konsep tasawuf yang muncul sebelumnya, diantaranya konsep hulul
dan Insan Kamil. Teori Martabat Tujuh ini di Nusantara dianut dan dikembangkan oleh
33Kautsar. Op-cit. h. 139 34Hadiwijono, Op-cit, h. 20
banyak tokoh tasawuf diantaranya oleh Syamsuddin Sumatrani (Abad XVII di Aceh),
hingga abad XX, salah satu tokoh yang mengembangkannya yaitu Hasan Mustopa.
Faham Martabat Tujuh ini, memang sangat sulit dipahami oleh orang awam,
hanya orang-orang yang berilmu luaslah yang mudah memahaminya. Oleh karena itu
pada masa Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani masih hidup, faham Wahdat al-
Wujud itu dapat dipertahankan berjalan di atas garisnya, namun setelah kedua ulama
terkenal itu wafat, faham ini ada yang disalhpahami, bahkan cebderung diselewengkan
menjurus ke arah menyesatkan.
BAB III
BIOGRAFI HAJI HASAN MUSTAPA
A. Perjalanan pendidikan Haji Hasan Mustapa
Haji Hasan Mustapa (lahir di Garut, Jawa Barat, 1268 H/3 Juni 1852 M – wafat di kota
Bandung, 1348 H/13 Januari 1930) adalah salah seorang tokoh Tasawuf yang berasal dari
kalangan elite pribumi, dari keluarga camat perkebunan di Cikajang, Garut. Ia pernah menjabat
sebagai penghuluPenghulu Besar (hoefd panghulu)di Aceh dan Bandung(Parijs Van Java),35
sampai beliau pensiun.
Perjalanan pendidikan Haji Hasan Mustopa dilaluinya di kota Makkah, ketika ia pertama
kali menginjakkan kakinya di tanah suci pada usia 8 tahun bersama ayahnya, untuk menunaikna
ibadah haji dan kemudian bermukim di sana untuk mempelajari agama, khususnya untuk
belajar bahasa arab dan membaca al-Qur’an. Sesampaianya di tanah aiar, kemudia ia
melanjutkan pendidikannya dengan mengunjungi Sepulangnya dari Mekah di masukkan ke
berbagai pesantren di Garut dan Sumedang. Ia belajar dasar-dasar ilmu syaraf dan nahwu (tata
bahasa Arab) kepada Rd. H Yahya, seorang pensiunan penghulu di Garut. Kemudian ia pindah
ke Abdul Hasan, seorang kiai dari Sawahdadap, Sumedang. Dari Sumedang ia kembali lagi ke
Garut untuk belajar kepada Kiai Muhammad Irja, murid Kiai Abdul Kahar, seorang kiai
terkenal dari Surabaya dan murid dari Kiai Khalil Madura, pemimpin Pesantren Bangkalan,
Madura. Pada tahun 1874, ia berangkat untuk kedua kalinya ke Mekah guna memperdalam
ilmu-ilmu keagamaan Islam. Kali ini ia bermukim di Mekah selama 8 tahun. Ketika berada di
Mekah ia berkenalan dengan Christiaan Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang
35Dalam sejarah Perjuangan Rakyat Indonesia, kota Bandung mempunyai banyak kenangan. Hal ini bias kita lihat dengan hadirnya beberapa monumen yang telah didirikan dalam rangka memperingati memperingati beberapa peristiwa bersejarah, diantaranya; Monumen Perjuangan Jawa Barat, Monumen Bandung Lautan Api, Monumen Penjara Banceuy, Monument Kereta Api, dan Taman Makam Pahlawan.
sedang meneliti masyarakat Islam di Mekah. Pertemuan itu membuat hubungan keduanya akrab
sampai Haji Hasan Mustafa meninggal dunia dan Snouck Hurgronje kembali ke negerinya
setelah menunaikan tugas pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia36
Kedudukan dan posisi beliau ini yang menjadi salah satu penyebab Snouck Hurgronje
menempatkan ia sebagai salah satu tokoh kunci yang dianggap dapat membuka informasi untuk
memperoleh pengetahuan tentang Islam lokal. Seperti dikemukskakan oleh Laffan, ia dijadikan
sebagai salah satu informan pribumi yang memberi kemudahan tertentu yang mengetahui secara
mendalam tentang Islam, dan sekaligus dapat memeberikan gambaran yang lebih jelas tentang
Muslim pada waktu itu di Hindia Belanda.37
Sejarah hidup Haji Hasan Mustopa, salah satu diantaranya bisa diperoleh dari beberapa
karyanya yang menyisipkan tentang perjalanan hidupnya. Dalam salah satu karyanya disebutkan
bahwa beliau mempunyai kedekatan dengan sosok C. Snouck Hurgronje. Sosok Haji Hasan
Mustopa sudah masuk ke dalam lingkaran strategi Hurgronje yang menjadikan aristokrasi
pribumi sebagai kelas sosial pertama yang ditarik ke dalam lingkaran kolonial. Ada alasan lain
yang menyebabkan Snouck menjadikan Haji Hasan Mustopa sebagai informan penting,
diantaranya adalah :
1. Haji Hasan Mustopa dianggap sebagai model perpaduan antara pribadi santri dan kaum
menak yang mengalami kolonisasi. Dari latar belakang keluargamenak dan santri ini, ia
menjadi pemimpin pribumi potensial yang dicari Belanda untuk menduduki jabatan penting
36Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid 1, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, cet-9, 2003, hal. 183-184.
37 Michael Francis Laffan.Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, The Umma below the Winds. London-New York: Routledge Curzon, 2003. p. 82-84; Burhanudin, 2012: 158.
yaitu sebagai elite penghulu Priangan sekaligus masuk ke dalam lingkaran kaummenak dan
pada perjalanan kemudian masuk pada lingkaran kolonial.38
2. Haji Hasan Mustopa mempunyai kemampuan dalam bidang budaya Sunda, yang kemudian
Snouck menariknya ke dalam birokrasi Belanda. Hal ini dilatarbelakangi oleh obsesi yang
kuat dari Snouck tentang hukum adat (adat-recht),39.
3. Haji Hasan Mustopa mempunyai dua kekuatan yang melekat pada dirinya, yaitu sebagai
seorang “menak“ sunda dan sebagai seorang santri. Dua factor ini merupakan dua hal yang
berbeda, bahkan dalam konteks kesundaan, terjadi “kesenjangan” antara kaum ménak dan
ulama atau santri dari kalangan pesantren, yang dihasilkan dari kebijakan colonial. Hal ini
secara tidak langsung menyebabkan secara tidak langsung berdampak pada perbedaan
orientasi budaya. Haji Hasan Mustopa mewakili sosok ménak yang sangat kuat bergumul
dengan aktifitas sastra dan budaya Sunda. Sementara factor lain yang dimiliki oleh ahji hasan
Mustopa sebagai seorang santri dianmggap mampu mengembangkan tradisi lokal pesantren
yang didominasi oleh tradisi Islam.40
Latar belakang hidup yang mempengaruhi karya-karya sufistik Haji Hasan Mustopa
dimungkinkan disebabkan oleh beberapa hal; pertama, Haji Hasan Mustopa berasal dari
keluragapesantren sekaligus keluarga yang akrab dengan seni budaya Sunda. Seperti
diungkapakan Kartini, Tidak sedikit dari keluarganya, terutama dari pihak ibunya yang menjadi
38 Informasi ttg kedudukan Haji hasan Mustopa dapat dilihat, dalam karya Mikihiro Moriyama.Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak dan Kesastraan Sunda Abad ke-19. trans. Suryadi. Jakarta: KPG, 2005, juga dlm karya Nina H. Lubis. Kehidupan Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998.
39Snouck berpandangan bahwa signifikansi Islam terletak dalam sebuah sistem budaya tertentu dan menegakkan supremasi adat atas syariat. Ini berbeda dengan ulama pesantren—sebagai inti dari komunitas Jawi di Timur Tengah—tetap menjadi kelompok lain yang independen dan berada di luar sistem kekuasaan kolonial..
40Salah satu contoh yang dapat kita lihat dalam aktifitas ngalogat (Jawa: ngapsahi)misalnya, hanya berkembang dalam tradisi pesantren. Kalangan ulama pesantren kiranya menggunakan budaya Sunda hanya terbatas pada fungsi bahasa sebagai sarana komunikasi dan pengajaran. Lihat Iip Dzulkifli Yahya. “Ngalogat di Pesantren Sunda: Menghadirkan yang Dimangkirkan” Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Ed. Henri Chambert-Loir. Jakarta: KPG, 2009. p. 363-378.
ulama dan menjadi gurunya seperti Kyai Haji Hasan Basri (Kiarakoneng, Garut) dan Kyai
Muhammad (Cibunut, Garut). Sedangkan dari keluarga ibunya banyak yang menjadi bujangga
Sunda, panayagan dan pencipta lagu.Bahkan dikemukakan bhwa pada masa remajanya Haji
Hasan Mustopa dikenal nakal dan sering ikut menari ronggéng ketuk tilu.41Kedua, menurut
Jajang dalam tesisnya, Haji Hasan Mustopa pernah pergi ke Mekah sebanyak tiga kali.42Haji
Hasan Mustopa mengunjungi Makkah terbagi pada 3 periode. Keberangkatan pertama ketika
HHM pada usia delapan tahun,diperkirakan ia berada di Makkah tidak lebih dari dua tahun.
Keberangkatan ke Makkah yang kedua, setelah ia dewasa selama tiga samapai empat tahun, dan
ketika itu ia menikah dengan Nyi Mas Liut. Peride ketiga Haji Hasan Mustopa berada di Makkah
selama lima tahun, dan ini merupkan kunjungan terakhir.43Setelah itu, Haji Hasan Mustopa ikut
serta berkeliling Jawa, pernah bertugas di Aceh sebagai penghulu, dan kemudian menetap lama
di Bandung juga bertugas menjadi penghulu. Sampai beliau pensiun. Beberapa sarjana meyakini
bahwa ketertarikannya pada mistisisme sudah terbangun sejak berada di Mekah, bahkan
dimungkinkan ia sudah masuk ke dalam jaringan tarekat. Walaupun Haji Hasan Mustopa sendiri
tidak secara jelas menyebutkannya, karena ia cenderung lebih konsern pada tradisi keilmuan
Islam terutama fiqih. Ketertarikan pada mistisisme lebih dalam dan menggelutinya secara serius
dimungkinkan berkembang kemudian.44
Hal ini diperkuat dengan salah satu karya puisinya sbb: Tadi aing nu kapahung Tilu puluh taun leuwih
41Kartini, 1985: 13.Tini Kartni, Ningrum Djulaeha, Saini K.M. dan Wahyu Wibisana. Biografi dan Karya Pujangga Haji Hasan Mustapa.Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud Jakarta, 1985. p. 13 42 Haji Hasan Mustopa mengunjungi Makkah terbagi pada 3 periode. Keberangkatan pertama ketika HHM pada usia delapan tahun, diasumdikan ia berada di Makkah tidak lebih dari dua tahun . Keberangkatan ke Makkah yang kedua, 43Jajang Jahroni.“The Life and Mystical Thought of Haji Hasan Mustafa (1852-1930).” Thesis Leiden University. 1999. p. 17
44Jajang Jahroni, p. 22.
Dina rasaning kadunyan Beurat birit salah indit Ayeuna di walagrina Indit birit mawa bibit Artinya :
Barusan aku yang tersesat Tiga puluh tahun lebih Dalam perasaan keduniaan Malas karena salah pergi Sekarang merasakan bahagianya Pergi membawa benih
Puisi di atas menggambarkan perjalan hidupnya yang mengalami perjalanan panjang
dalam menempuh kehidupan yang dia rasa tersesat dalam keduniawian. Selama tiga puluh tahun
lebih beliau merasakan salah melangkah atau yang beliau sebut dengan istilah tibalik paesan jati
(terbaliknya nilai).45Kenyatan ini memeberikan gambaran, bahwa dimungkinmkan bahwa Haji
Hasan Mustopa tidak sedari awalsudah memiliki kesadaran mistisisme bahkan menjadi pengikut
tarekat. Karena baru beberapa tahun kemudian, ia mengakui dirinya sebagai pengikut tarekat
Shattariyah. Dimungkinkan ketika beliau berada di Makkah , tradisi keilmuan Islam yang
dimilikinya belum merasa menemukan pengalaman spiritual yang memuaskan. Oleh karena itu,
keseriusan Haji Hasan Mustopa dalam mendalami mistisisme tidak jauh dari beberapa karya
yang disusunnya dalam berbagai guguritan mistik, yaitu sekitar tahun 1900-1902. Oleh
karenanaya karir dan jabatannya selama di Aceh dengan tradisi mistisisme Islam Nusantara
(seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, Nuruddin Al-Raniri dan Abdurra’uf Al-
Singkili), sangat dimungkinkan dapat memepengaruhi perjalanan kehidupan dan kary-karya
mistiknya. Walaupun menurut Jajang Jahroni besar kemungkinan ia juga sudah mengetahui
45 Puisinya ini ditulis dalam bentuk puisi Kinanti Kulu-kulu di Lalayu Cod. Or. 7875e bait 58, Haji Hasan Mustapa. Kinanti Kulu-kulu. Bandung: Kiblat, 2009. p. 28-30.
tentang tradisi tasawuf Timur Tengah (Ibn ‘Arabi, Al-Jili, Al-Ghazali, dan Al-Burhanfuri)
selama dua belas tahun karirnya di Mekah (1860-1862, 1869-1873, 1877-1882).46
Haji Hasan Mustopa sebagaimana dikemukakan Jajang meninggal pada hari senin 13
Januari 1030, pada usia 78 tahun.47 Dimakamkan di karang Anyar, Bandung. Sepanjang
hidupnya ia mendedikasikan dirinya untuk karir, masyarakat, dan kesusastraan sunda.
Secara kronologis dapat kita lihat perjalanan hidup Haji Hasan Mustopa sbb:
1. Tanggal 3 Juni 1982 lahir di Cikajang Garut. 2. 1860 – 1862, Peride pertama ia pergi ke Makkah bersama ayahnya 3. Tiga atau empat tahun, periode kedua ia berkunjung ke Makkah, yakni setelah ia dewasa 4. 1877 -1882 , peride berikutnya ia berangkat ke Makkah 5. 1882 -1887 , guru di Masjid Agung di Garut periode I 6. 1887 – 1889, mengikuti dan menyertai perjalannya dengan C. Snouck Hurgronje 7. 1889 -1091, Guru di Masjid Agung Garut periode II 8. 1892 – 1895, diangkat sebagai penghulu di Kutaraja 9. 1895 – 1917, diangkat sebagai hoofd penghulu di Bandung 10. 1917, berhenti dari jabatannya sebagai penghulu 11. Tanggal 13 januari 1930, Haji Hsan Mustopa tutup usia.48
B. Hasan Mustapa Sang Penyair dari Priangan
Sosok Haji Hasan Mustopa dikenal sebagai Sastrawan sekaligus tokoh tasawuf, yang
mencurahkan seluruh perasaan batinnya dalam bait-bait puisi/guritan49. Dikemukakan oleh
peneliti karya Haji Hasan Mustopa, diantaranya Ajip Rosidi bahwa karya-karyanya mempunyai
kekhasan tersendiri, yakni:
1. Mengandung simbol-simbol dan citra kesundaan, mengalir dengan mudah, kerntal mewarnai
perenungan mistiknya, sehingga ide-ide mistisnya lebih mudah dicerna oleh berbagai
46 Jahroni, 1999: 24, 41. 47 Jahroni, p. 40 48 Jahroni, hal. 42
49 guritan (puisi yang berirama dalam bahasa Sunda), Ia dikenal sebgai seorang ulama dan pujangga Islam yang banyak menulis masalah agama dan tasawuf dalam bentuk puisi
kalangan masyarakat. Hasil perenungannya tersebut, terlihat dalam kary-karya puisinya yang
bermel;odi dan sarat dengan pesan-pesan sufistik.50
2. Berkualitas tinggi, memunculkan banyak asosiasi, seolahj-aolah mengalir secara alami.
Sehingga terasa wajar, dan tetap memeperhatihkan dan memepertahankan kaidah-kaidah
puisi kesundaan yang cukup rumit. 51
3. Memiliki kekuatan konsep sufistik, yang dalam pengungkapannya dihadirkan tentang
hubungan dirinya (kuring, kaula, aing)dengan Tuhan (Gusti, Pangeran)yang berakar pada
alam kehidupan budaya lingkungannya, yaitu alam kesundaan.
4. Bernuansa alam kesundaan terutama flora dan fauna, misalnya menggunakan tema tumbuh-
tumbuhan dan hewan tertentu sebagai metafor untuk menggambarkan konsep tasawufnya.
mengandung eberapa karakter puisi guguritan HHM, nuansa alam kesundaan beberapa kali
ditemukan dalam karyanya, terutama flora dan fauna. Naskah KTKB misalnya menggunakan
tema tumbuh-tumbuhan dan hewan tertentu sebagai metafor untuk menggambarkan konsep
tasawufnya. Simbol hewan memang tidak sesering tumbuhan.
5. Menggunakan citra dan simbol alam Sunda yang subur. Misalnya penggunaan simbol flora
berupa bambu (bambusa Sp.div) dengan aneka jenisnya. Ia menyebut angklung52 yang
50Ajip Rosidi.Guguritan.Bandung: Kiblat, 2011. p. 18-20; bisa dilihat juga dalam tulisan Hawe Setiawan. “Cangkang Suluk Dangding HHM sebagai Wadah Mistisisme Islam”, paper in Sawala Mesek Karya HHM, UIN Bandung, 2009. p. 2.
51Karenanya membaca guguritan HHM sebagai sajak bermatra (metrical verse)harus diletakkan dalam konteks suasana saat itu yang membaca dengan bersuara dan menyanyikannya dalam lagu, bukan membaca dalam hati (silent reading) dan mendaraskannya. Meskipun konsekuensinya, kadang ketatnya aturan puisi berakibat pada sebaran makna sufistik yang tidak terkendali dalam banyak guguritan-nya yang umumnya tidak beranjak dari tema pencarian dan pencapaian spiritual. Satu konsep diulang-ulangnya di berbagai tempat. Meskipun konsekuensinya, kadang ketatnya aturan puisi berakibat pada sebaran makna sufistik yang tidak terkendali dalam banyak guguritan-nya yang umumnya tidak beranjak dari tema pencarian dan pencapaian spiritual. Satu konsep diulang-ulangnya di berbagai tempat. Lihat Jajang A Rohmana Kinanti [Tutur Teu Kacatur Batur]: Tasawuf Alam Kesundaan Haji Hasan Mustapa (1852-1930), h. 5
52Angklung adalah salah satu instrumen musik Sunda yang terbuat dari bambu. Ia dianggap sebagai instrumen musik asli dari Priangan. Terdiri dari dua atau tiga bambu pendek berukuran
sengaja dibedakan dengan bambu biasa (awi) ketika menggambarkan keserasian kondisi
dirinya dengan Tuhan.
Puguh angklung ngadu angklung Bisa uni teu jeung awi Balukarna lalamunan Mun hiji misah ti hiji Ngan kari pada capétang Ngawayangkeun abdi Gusti Artinya:
Jelas angklung mengadu angklung Bisa bunyi (indah) dengan bambu Sebabnya dari lamunan Kalau yang satu pisah dari yang satu Cuma sekedar pandai berbicara Penggunaan metafor flora dan fauna, bagi Haji Hasan Mustopa merupakan upaya untuk
memperkaya horizon penafsiran sufistik yang disenyawakan dengan suasana alam Sunda.
Dengan keterampilan dan kemampuan yang sangat kuat dalam mengolah dan memilih bahasa
yang baik, ia mampu mempertemukan nilai keislaman dengan kekhasan lokal Sunda. Bahasa
Sunda diperlakukan Haji Hasan Mustopa sebagai media untuk mencari kemungkinan makna-
makna baru yang tak terduga, dinamis, kaya dan terbuka. Ia bisa memainkan simbol alam
sekelilingnya yang ditemuinya untuk kemudian dibawa ke dalam alam pemikiran mistisnya.
sedang yang diletakkan dalam bingkai persegi empat. Cara memainkannya adalah dengan menggoyak-goyangkannya. Bunyi dihasilkan dari getaran bambu-bambu yang saling beradu. Pada masyarakat Baduy, angklung dipertunjukkan pada acara hiburan atau ritual tertentu
BAB IV
AJARAN TASAWUF HAJI HASAN MUSTAPA
A. Ma’rifat: Tonggak Ajaran Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa
Ajaran Ma’rifat bagi Haji Hasan Mustafa merupakan suatu hal yang wajib dipejalajari dan
diketahui bagi semua umat manusia yang sudah mukallaf, dan baligh. Semua manusia mau tidak mau
harus berma’rifat pada Allah Swt. Hal ini berlandaskan pada hadis Rasulullah yang berbunyi : “
awwalu dini Ma’rifatullahi ta’ala”. Artinya mula-mulanya agama itu adalah harus menegetahui
terlebih dahulu pada Allah.
Lebih lanjut Hasan Mustafa mengingatkan tentang pengertian dan pentingnya ilmu,
bahwa artinya ilmu itu adalah pengetahuan, tapi bukan hanya harus tahu pada syarat sahnya
ibadah saja, tetapi harus mengetahui (ma’rifat) pada Allah dan Rasulullah. Hasan mustapa
menganalogikan Ma’rifat seperti tempat atau gudang untuk tempatnya amal ibadah.
Melakukan amal ibadah, artinya kita sedang mengumpulkan perabotan dan hiasan rumah,
meja, kursi, lemari, dan lain sebagainya. Sementara ma’rifat diibaratkan kita mempunyai
bangunan rumah yang kokoh. Dengan adanya ma’rifat, kita bisa menempatkan perkakas dan
perabotan yang telah kita usahkan dengan susah payah ini, bisa ditempatkan pada tempat yang
layak dan pantas. Hal ini dapat memberikan dampak pada orang yang menempati rumah
tersebut menjadi merasa nyaman. Karena logikanya kalau kita punya perabotan yang bagus
dan mahal, jika tidak ada tempatnya, maka barang-barang tersebut menjadi tidak berharga,
dan tentunya bisa cepat rusak, dan lapuk, akhirnya tidak akan diambil manfaat dengan sebaik-
baiknya, dan tidak akan memeberikan kenikmatan seperti yag diiharapkan. 53
Jalan-jalan Ma’rifat.
53 Hasan Mustapa, Copi naskah, Tanpa Judul, ditulis dui Bandung, Mei 1931, disalin ulang di Bayah (Banten Girang) pada bulan Desember tahun 1990 M. h. 2-3
Menurut Hasan Mustafa, Ma’rifat pada Allah SWT ada dua jalan:
Pertama, dari bawah ke atas, yaitu dengan menjalani mesantren (belajar/ mendalami ilmu
keagamaan) terlebih dahulu, yaitu dengan membaca kitab Qur’an, kemudian melaksanakan
ibadah dengan melaksanakan rukun Islam yang lima perkara. Hal seperti itu adalah jalan
untuk mencapai ma’rifat pada Allah. Menurut Hasan Mustafa, sayangnya banyak orang tidak
menyampaikannnya pada tingkatan ma’rifat karena sudah merasa nimat dalam “Pal Nunjuk”
nya. Padahal kalau dilanjutkan ma’rifat pada sifat Allah ta’ala, pasti akan menemukan
kenikmatan, karena baru sampai pada Asma nya saja sudah begitu nikmatnya.
Kedua, jalan dari atas ke bawah, yakni memenuhi dalil yang telah disebutkan sebelumnya,
yaitu, “Awwalu Dinni Ma’rifatullahi Ta’ala, selain “mesantren”, juga harus bisa
menghisab(menghitung atau introspeksi) diri dengan cara mencari guru yang mursyid, kalau
kita tidak akan tahu tanpa melalui guru. Oleh karena itu harus segera menyusul tarekatnya
para wali, itulah yang akan sampai pada ma’rifat pada sifatnya Allah ta’la yang disebut “Johar
Awal”, yakni hakekatnya Muhammad, dengan tujuan agar semua kembali pada Allah Ta’la.
Karena pada hakekatnya kita akan kembali kepada Allah “Inna Lillahi wa inna ilahi Roji’un.”
Kita berasal dari Allah dan akan kembali pada Allah.54
Dalam naskah yang sama Hasan Mustapa mengemukakan beberapa dalil-dalil Qur’an
maupun Hadis Nabi, yang menjelaskan tentang hal- hal yang harus dilakukan untuk memulai
mengenal Tuhan.55 Diantaranya :
man tolabal.....(2)
54 Hasan Mustapa, h. 4 55 Hasan Mustopa, h. 6-8
artinya : Siapa saja orang yang mencari Tuhan keluar dari dirinya sendiri, maka teman-teman
termasuk orang yang tersesat, karena dalam tekadnya merasa lebih jauh dengan Allah Ta’ala,
karena ada dalil yang menjelskan :
wa nahnu aqrobu .......(3)
artinya : Aku tidak ada perantara lagi dengan kamu sekalian, walaupun dibandingkan dengan
urat leher nadi kamu sendiri, masih lebih dekat dengan-Ku, oleh karenanya manusia lebih
dimuliakan oleh Allah Ta’la. Hal ini sejalan dengan ayat al Qur’an yang berbunyi :
walaqod karomna bani adama....(4) cari ayat berp ya ?
artinya: kami sudah menuliakan anak cucu Adam.
Diperkuat dengan ayat lain yang berbunyi :
Laqod holakna fi ahsani taqwiim.......Q/S Attin (5)
Artinya : Manusia itu paling baik dan paling sempurna dibanding dengan makhluk Allah Ta’ala
yang lain .
Dalam hal ini Haji Hasan Mustopa ingin menegaskan bahwa Apabila manusia mengetahui
dirinya sendiri, maka akan mengetahui kemuliaan yang ada dalam badannya.sendiri.
Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW;
man arofa nafsahu faqod arofa robbahu........(6)
artinya : siapa yang mengetahui dirimu sendiri, sudah apasti akan mengetahui Tuhannya
waman arofa robbahu, faqod jahilan nafsahu.......(7)
artinya : dan siapa yang mengetahui Tuhannya, maka dah pasti dirinya merasa bodoh, karena
mengetahui jasadnya tidak akan bisa bulak balik jika tanpa ada daya dan kekutan dari
Tuhannya.
Dalam penejelasan di sini, Haji Hasan Mustopa ingin menunjukkan bahwa jasad manusia
hanya sekedar rangkanya saja. Oleh karenanya jika manusia ngajipun jangan mengaji kitab
yang terkena rusak, tapi ngaji kitab yang langgeng/abadi, sebagaimana dalam hadits :
iqro kitabaka kafa binafsika alyauma alaika hasiba. ......(8)
artinya : Kalian harus ngaji kitab yang abadi, yakni harus ngaji kitab abadi yang terdapat dalam
dirimu sendiri.
Haji Hasan Mustopa menganjurkan untuk segera mencari qudrat irodat Tuuhan, dalam diri kita
sendiri,dengan alasan : pertama, lebih nyata kekuasaan Tuhan itu dalam diri kita sendiri, dan
lebih nyata keinginan Tuhan dalam dirinya sendiri. Kedua, lebih nyata ilmun Tuhan dalam
dirinya sendiri, dan lebih nyata hidupnya Tuhan dalam dirinya sendiri, ketiga, dan lebih nyata
melihat Tuhan dalam dirinya sendiri, keempat lebih nyata pendengaran Tuhan dalam diri nya
sendiri, kelima, lebih nyata perkataan Tuhan dalam diri kita sendiri. seperti dalam dalilnya :
wahuwa ma’akum ainama kuntum :........(9)
artinya : Allah Ta’ala selalu menyertai ummatnya dimanapun meereka berada., aku disana
berada. Tapi sesungguhnya yang dimaksud dibarengi oleh Allah ta’ala yaitu dengan qudrat
dan irodatnya serta dengan ilmunya.
Hal ini sejalan dengan sifat 20 yang merangkap-rangkap.
Seperti : Hayat dan hayan
Hayat artinya hidup
Hayan Artinya yang hidup
Sama dan sami;an
Sama artinya mendengar
Sami’an artinya yang mendengar
Basar dan basiron
Basar artinya melihat
Basiron artinya yang melihat
Kalam dan mutakaliman
Kalam artinya bicara
Mutakaliman artinya yang bicara
Qudrat dan irodat
Qudrat artinya Kuasa
Irodat artinya yang maha kuasa
Dalam menjelaskan tentang Ma’rifat ini, Haji Hasan Mustopa mempertanyakan
tentang “Apa yang kuasa dalam diri kita ?” kemudian ia mencoba menjawab, bahwa Yang
kuasa dalam diri kita kecuali hidup, juga dibuktikan dengan kemampuan kita untuk bergerak.
Irodat artinya kuasa, buktinya : Mata bisa melihat, Telinga bisa mendengar, Hidung bisa
mencium, Mulut bisa bicara, Ini untuk membuktikan bahwa tidak terpisahkan antara qudrat
dan irodat.
Demikian penjaelasan Haji Hasan Mustopa tentang Ma’rifat yang dijadikan sebagai
tonggak awal untuk mengetahui dan mengenal Tuhan
B. Doktrin Martabat Tujuh dalam Ajaran Haji Hasan Mustapa
Hasan Mustapa menjelaskan ajaran Martabat Tujuh secara rinci, mulai dari
menjelaskan cara pengucapan Allah dan Muhammad dihubungkan dengan ketujuh
tingkatan dalam Martabat Tujuh, seperti tercantum dalam naskahnya yang ditulis di
Bandung pada bulan Mei tahun 1931. Dalam Naskah itu disebutkan bahwa tulisan ini
sudah disalin lagi di Bayah (banten Girang) pada bulan Desember 1990 M.
Dalam bab ini akan dimuat naskah utuh yang menjelaskan konsep Martabat Tujuhnya
Haji Hasasn Mustopa, kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
Martabat Alam Tujuh
Nerangkeun Martabat Alam Tujuh
(nganggo rucatan engangna kecap)
1. Alam Ahadiat hurup Al 2. Alam Wachdat hurup lah 3. Alam Wahidiat hurup Mu 4. Alam Arwah hurup ham 5. Alam Ajsam hurup mad 6. Alam misal hurup A 7. Alam Insan Kamil hurup dam
Buktina Alam Dunya oge eusina ngan tujuh powe, hakekatna nyaeta tina Alam anu kasebut di luhur, tegesna Alam nu tujuh teh lalakon Allah, Muhammad, Adam, kusabab eta wajib dikanyahokeunana ku sarerea. Upama urang arek nyusul kana asal, sabab lamun teu dikanyahokeun ti ayeuna jalan-jalanna jeung barang-barangna, atuh tangtu bakal sasab, momoal bisa balik deui kana Asal, sabab teu kapanggih deui jeung jalanna waktu tadi urang turun-turunna ti Aherat ka Alam Dunya. Ayeuna eta martabat Alam tujuh teh ku jisim kuring rek diterangkeun sarta make ibarat kalawan dibuktikeun ku Gambar supaya gampang dihartoskeunana.
Artinya :”Buktinya Alam dunia juga isinya hanya tujuh hari, hakekatnya adalah dari alam yang disebut di
atas, tegasnya alam yang tujuh itu perjalanan (perbuatan )Allah, Muhammad, Adam, oleh karenanya
wajib diketahui oleh semuanya. Jika kita mau menyusul pada asal, tetapi tidak diketahui jalan-jalan dan
barang-barangnya, tentu akan nyasar, tadk akan bias balik lagi ke asal, kareana tidak ketemu lagi dengan
jalannya waktu tadi kita turunnya dari akhirat kea lam dunia. Sekarang Alam Martabat Tujuh akan saya
terangkan serata menggunakan ibarat dan dibuktikan dengan gambar supaya mudah tuk difahaminya.
Jadi Allah
Jadi Muhammad
Jadi Adam
Selaian itu Hasan Mustafa menjelaskan Martabat Tujuh disempurnakan dengan mencantumkan
gamabar sbb:
GAMBAR
Tafsirna (Katerangan Gambar)
Tafsir gambar
Katerangan A
(Alam Ahadiyat)
Nyaeta Alam Ahadiat, martabat nu Maha Suci, dalilna Dat laesa kamislihi, hartina Dat anu teu aya upamana
Artinya : (Yaitu alam ahadiyat, Martabat Yang Maha Suci, dalilnya Dat Laisa Kamislihi artinya Dat yang tidak ada persamaannya )
Bakat ku kumaha atuh anu matak teu beunang di umpamakeun teh? Naha bakating ku kawasana? Atawa bakating ku Agungna? Atawa bakating ku hiji-hijina?
Artinya: kenapa samapai tidak bias diumpamakan ? Apakah karena kekuasaan-Nya? Atau karena keagungan-Nya?)
Upama bakating ku Kawasana, kapan dina jaman eta mah teu acan aya dadamelanana, karana ngaran kawasa teh kudu bukti heula nu didamelna, kapan dina Alam Ahadiat mah sumawona manusa; Aherat jeuang Alam Dunya oge teu acan aya.
Artinya: Apabila karean kekuasaannya, kan waktu itu belum ada perbuatannya?, karena naamanya buasa harus terbukti dulu perbuatannya, sementara di Alam Hadiyat itu jangankan manusia akherat dan alam dunia saja belum ada).
Upama bakating ku Agungna, da tacan aya anu hina dina Alam Ahadiat mah karana aya basa Agung teh sanggeusna aya anu hina.(Apabila karena keagungan-Nya< belum ada yang hina di dalam alam ahadiyat, karena ada bahasa Agung itu setelah ada yang hina)
Upama bakating ku Hiji-hijina, da kapan tacan aya dua jaman eta mah, sabab aya hiji teh
sanggeus aya nu loba. (Apabila karebna satu-satunya, kan waktu itu belum ada dua, sebab ada satu itu setelah ada yang banyak )
Kumaha atuh pihartieunana? Supaya eta dalil Dat Laesa kamislihi teh jadi uni, kieu upamana mupakat mah, numatak Alam Ahadiat ku dalil Dat Laesa Kamislihi, hartina Dat anu teu aya upamana, sategesna nyaeta ku bakating Suci, hartina beresih teu aya sifat-sifatna acan sumawona jenenganana, naha rek diupamakeun jeung naon upama teu aya Sifatna, sabab di Saksian deui ku Dalil nu Maha Suci teh Billa haeffin hartina teu wana teu rupa, teu bereum, teu hideung, teu powek, teu caang, Billa Maqanin hartina teu arah, teu anggon, teu di kulon, teu di wetan, teu di kaler, teu di kidul, teu di luhur, teu di handap, tah kitu kateranganana, anu matak nu Maha Suci teh teu beunang diupama-upama, sumawon di enggon-enggon atawa dituduh-tuduh di ditu di dieu, lantaran kaburu lain. Sabab kalangan ku bukti. (Bagaimana pengertiannya ? agar dalail ttg laisa Kamislihi menjadi bunyi, begini jika mupakat, Penyebab Alam AHdiyat dengan dalil LAisa Kamisluhi, artinya dat yang tidak ada semisalnya, sesungguhnya adalah karena begitu sucinya, artinya bersih, tidak ada sifat-sifatnya, apalagi namanya,
apakah mau diumpamakan dengan apa yang tidak ada sidfatnya, sebab disaksikan lagi dengan dalil yang MAha Suci itu Billa Haefin artinya tidak ada warna tidak ada rupa, tidak merah, tidak hitam, tidak gelap, tidak terang, BILLa Maqonin, artinya Tidak ada arah, tidak tempat, tidak barat, tidak timur, tidak utara, tidak selatan, tidak di atas tidak di bawah, ityulah penjelasannya, oleh karenanya Yang Maha Suci itu tidah bias diumpamakan, begitu juga ditempatkan, atau dituduh-tuduh di sana sini sebab kaburu lain, sebab terhalang oleh bukti
Katerangan B
Alam Wachdat, martabat Sifatna nu Maha Suci, jadi dina Alam Wachdat mah nu Dat Laesa Kamislihi teh jadi Dat Sifat, rupana Caang Padang nyaeta nu kasebut Johar Awal, Johar hartina Caang, Awal hartina mimiti, jadi nyaeta nu pangheula-heulana aya samemeh Bumi jeung Langit; sumawona manusa, tah eta Johar Awal teh nu kasebut Hakekat Muhammad tea Kapan ceuk hadis oge Muhammad teh awal-awalna pisan, sabab Johar Awal teh Nur, tegesna Cahayana nu Maha Suci, malah ceuk para Wali mah Sagara Hirup, atawa Sajatining Sahadat, karana gulungna Dat jeung Sifat atawa Allah Muhammad dina Hakekatna.( Alam Wahdat, martabat sifatnya Yang MAha Suci, Jadi dalam alam wahdat yang Dat laisa kamislihi menjadi dat sifat, rupanya terang yaitu tesebut degan Johar Awal, johar artinmya terang, awal artinya pertama, jadi yaitu paling dahulu ada yang mula Bumi dan langit; begitu juga manusia, nah itu johar awal itu Nur, tegasnya cahaya yang maha suci, malah kata para wali adalah samudra hidup, atau sejatinya sahadat, karena gulungnya dat dan sifat atau Allah Muhammmada dalam hakikatnya.
Katerangan C
(Alam Wahdat)
Alam Wahidiat, martabatna Asmana nu Maha Suci. Kejadian tina Johar Awal Alam Wachdat tadi bijil Sorotna jadi Cahaya opat rupa, nyaeta: { Alam Wahidiat, martabatnya asmanya Yang Maha Suci. Kejadian dari Johar Awal alam wahdat tadi keluar dari cahaya empat rupa, yaitu : )
1. Narun cahaya Beureum 2. Hawaun cahaya Koneng 3. Maun cahaya Bodas 4. Turobun cahaya Hideung
(1. Nurun cahaya merah, hawaun, cahaya kuning, Maun cahaya putih, turobuh cahaya hitam ) Jadi eta cahaya nu opat perkara teh nu disebut Nur Muhammad tea, ari Muhammadna mah
Johar Awal, barang eta. Nur Muhammad cahaya nu opat perkara teh disebutna Hakekat Adam, nyaeta Asmana nu Maha Suci. (itu Jadi cahaya yang empat perkara yang disebut Nur Muhammad, kalau Muhammadnya jauhar awal, barang itu, Nur Muhammad cahaya yang empat perkara disebutnya Hakekat Adam, yaitu asmanya Yang Maha Suci)
Cahaya anu Beureum jadi hakekatna lapad Alip ( ا )
Cahaya yang merah hakikatnya lafad Alif ( ا )
Cahaya anu Koneng jadi hakekatna lapad Lam-awal ( ل )
Cahaya yang kuning jadi hakikatnya lafad lam awal ( ل )
Cahaya anu Bodas jadi hakekatna lapad Lam-ahir ( ل )
Cahjaya yang putih jadi hakikatnya lafad lam akhir ( ل )
Cahaya anu Hideung jadi hakekatna lapad He ( ه )
Cahaya yang hitam jadi hakikatnya lafad ha ( ه )
Johar Awal jadi hakekatna lapad Tasjid ( ّ◌ )
Johar awal jadi hakikatnya lafad tasdid ( ّ◌ )
Sareatna nya jadi lapad Allah, jadi eta Cahaya nu kasebut di luhur teh, nu ngajadikeun bibit Tujuh Bumi, Tujuh Langit sarawuh eusina kabeh Sanajan Agama oge asalna tidinya bae.
Jadi sariatnya lapad allah, jadi cahaya yang disebut di atas, yang menjadikan bibit tujuh bumi, tujuh langih dan seluruh isinya, walaupun agama asalnya dari situ juga.
1. Ayana Sahadat nyaeta ku ayana Johar Awal 2. Ayana Solat nyaeta ku ayana Cahaya Beureum 3. Ayana Jakat nyaeta ku ayana Cahaya Koneng 4. Ayana Puasa nyaeta ku ayana Cahaya Bodas 5. Ayana M. Haji nyaeta ku ayana Cahaya Hideung -adanya sahadat yaitu karena adanya johar awal -adanya solat yaitu karena adanya cahaya merah -adanya zakat yaitu karena adanya cahaya kuning -adanya puasa yaitu karena adanya cahaya putih - adanya M; haji yaitu karena adanya cahaya hitam
Sanajan waktu oge aya lima waktu: Walaupun waktu juga ada lima waktu
1. Subuh bagian Nabi Adam 2. Lohor bagian Nabi Ibrohim 3. Asar bagian Nabi Enoh 4. Magrib bagian Nabi Isa 5. Isa bagian Nabi Musa - Subuh bagian nabi adam, - Dhuhur bagian anbi Ibrahim - Asar bagian nabi Nuh - Maghrib bagian nabi Isa - Isa bagian nabi Musa
Pertingkahna Solat (Sembahyang) oge 5 perkara:
Prilaku shalat juga 5 perkara
1. Nangtung 2. Takbiratul Ihrom 3. Ruku 4. Sujud 5. Lungguh - Berdiri - Takbiratul ihrom - Ruku - Sujud - Duduk
Sahabat oge aya 4 ka 5 Kanjeng Nabi
Sahabat juga ada 4 dan ke 5 Nabi Muhammad
1. Sahabat Abubakar 2. Sahabat Umar 3. Sahabat Usman 4. Sahabat Ali 5. Kanjeng Rasulullah - Sahabat Abu Bakar - Sahabat Umar - Sahabat Usman - Sahabat Ali - Rasulullah -
Di Mekah aya Imam Opat ka Lima Baetullah
Di Makkah ada empat imam dan yang kellima baetullah
1. Imam Maliki 2. Imam Hanapi 3. Imam Sapi’i 4. Imam Hambali 5. Baetullah
Imam Maliki Imama hanfi Imam Syafi’i Imam Hambali Baeullah
Tah geuning sidik kabeh oge tina Asmana Allah, hakekatna nyaeta Nur Muhammad cahaya opat perkara ka lima Johar Awa. Di sini jelas, bahwa semuanya itu dari asma Allah, hakikatnya yaitu Nur Muhammad, cahaya empat perkara yang kelima Johar Awal. .
Katerangan D
Alam Arwah, martabat Af’alna nu Maha Suci; nyaeta Af’alna Allah ta’ala ngajadikeun ieu alam Dunya, kieu ceuk elmu akal mah ngadamelna teh Ibarat dina Bioscoop mah nyaeta Istijradna bangsa Walanda, Alam Wachdat nyaeta Johar Awal teh lir ibarat Listrikna, ari Nur Muhammad Alam Wahidiat ibarat kacana.
Alam Arwah. Martabat af’alnya yang Maha suci, yaitu Af’alna Allah Ta’ala yang menjadilakn alam dunia, ilmu akal mengatakan membuatnya itu diibaratkan di bioskop itu adalah istijradnya bangsa Belanda, Alam Wachdat yaitu Johar Awal, seperti listriknya, Nur Muhammad alam wahidiyat seperti cerminnya.
Narun ibarat kaca Beureum
Hawun ibarat kaca Koneng
Maun ibarat kaca Bodas
Turobun ibarat kaca Hideung
Narun seperti kaca merah
Hawun seperti kscs kuning
Maun seperti kaca putih
Turobun seperti kscs hitam
Barang eta kaca nu opat rupa disorot ku Johar Awal, kajadian bijil kalangkangna.
Tina kaca Beureum jadi Seuneu Alam Dunya
Tina kaca Koneng jadi Angin Alam Dunya
Tina kaca Bodas jadi Cai Alam Dunya
Tina kaca Hideung jadi Bumi Alam Dunya
Apabila kaca yang empat itu disorot oleh Jaohar Awal maka akan keluar bayangannya,
Dari kaca merah menjadi api alam dunia
Dari kaca kuning menjadi angin alam dunia
Dari kaca putih menjadi air alam dunia
Ari kaca hitam menjadi bumi alam dunia
Ku kawasa-kawasana Allah ta’ala bleg bae jadi ieu Alam Dunya, nyaeta Jagat kabir, jadi sategesna Alam Dunya teh kajadian tina Nur Muhammad.
Karena kekuasaan Allah Ta’la maka jadilah alam dunia, yaitu jagad raya a9kabir), jadi tegasnya alam dunia itu kejadiannya dari Nur Muhammad.
Katerangan E
Alam ajsam; martabat manusa, sanggeusna ngadeg ieu Alam Dunya, Gusti nu Maha Suci bade ngersakeun deui midamel Adam Majaji, terus nimbalan ka Malaikat, miwarang turun ka Alam Dunya kudu nyokot aci seuneu, aci angin, aci cai, aci bumi, gancangna geus beunang eta aci-aci anu opat perkara teh terus didamel:
Alam Ajsam: martabat manusia, setelah berdirinya alam dunia, Tuhan yang Maha Suci ingin menciptakan Adam Majaji, kemudian memanggil Malaikat, memerintahkan untuk turun ke alam dunia untuk mengambil saripati (aci) api, saripati angin, saripati air, saripati bumi, dan setelah dapat saripati yang empat itu kemudian dibuat:
Aci Bumi kajadian kulit bulu Adam
Aci Seuneu kajadian getih daging Adam
Aci Cai kajadian urat balung Adam
Aci Angin kajadian otot sungsum Adam
Saripati bumi menjadi kulit bulu adam
Saripati Api menjadi darah daging adam
Saripati air menjadi urat tulang adam
Saripati angin menjadi otot sungsum adam
Ku kawasana Allah ta’ala, jleg bae jadi dalil Muhammad; nyaeta Mim ( م ), He ( ه ), Mim ( م ), Dal ( د ):
Cahaya nu Hideung jadi hakekat lafad Mim - awal
Cahaya nu Bodas jadi hakekat lafad He
Cahaya nu Koneng jadi hakekat lafad Mim - ahir
Cahaya nu Bereum jadi hakekat lafad Dal
Johar Awal jadi hakekat lafad Tasjid
Dengan kekuasaaan Allah maka jadilah dalil Muhammad, yaitu Mim ( ), Ha ( ), mim ( ), dal ( ):
Cahaya yang hitam jadi hakikat lafad mim – awal
Cahaya yang putih menjadi hakikat lafad ha
Cahaya kuning, menjadi hakikat lafad mim – akhir
Cahaya merah menjadi hakikat lafad dal
Johar awal jadi hakikat lafad tasdid
Sare’atna nya jadi lafad Muhammad atawa sabalikna tina Lafad Allah.
Mim awal lafad Muhammad tegesna Sirah
He lafad Muhammad tegesna Dada
Mim ahir lafad Muhammad tegesna Udel
Dal lafad Muhammad tegesna Suku
Sariatnya menjadi lafad Muhammad atau sebaliknya dari lafadz Allah
Mim awal lafad Muhammad tegasnya kepala
Ha lafadz Muhammad tegasnya dada
Mim akhir lafadz Muhammad tegasnya pusar
Dal lafadz Muhammad tegasnya kaki
Keterangan F
Tidak ada penjelasannya di dalam naskah ini
Ditemukan penjelasan dalam naskah lain: “Adji wiwitan Martabat Tujuh” dikemukakan, bahwa Alam misal “patunggalan nu UNGGUL jadi GUSTINA, unggal djisim anu badag nyembah kanu badag, nu ALUS nyembah kanu alus. Pada penjelesan lain disebutkan bahwa lautan missal “ disebutkan “ Loba djisim hidji rupa, asalna alam sahiji.
Artinya : Alam misal penyatuan uyang UNGGUL menjadi GUSTI-nya
Katerangan G
Alam Insan Kamil, martabat kasampurnaan, samangsa-mangsa manusa di Dunya geus bisa Ma’rifat kana sipatna Allah ta’ala nu kasebut Johar Awal tea, atawa Alam Wachdat (Katerangan B) tadi, eta Elmuna geus tepi kana Pangkat Insan Kamil, hartina Manusa Sampurna, engke dina maotna bakal jatoh kana Pangkat Kamil Mukamil, hartina Sampurnaning Sampurna, beak rasana, beak jasmanina, jadi Dat Laesa kamislihi deui, saperti waktu tadi samemeh urang turun ka Alam Dunya.
Katerangan G
Alam Insan Kamil, martabat kesempurnaan, ketika manusia di dunia sudah bisa ma’rifat sifatnya Allah ta’ala yang disebut Johal Awal, atau alam wahdat (keterangan B) yang disebut di atas. Itu ilmunya sudah sampai pada pangkat insan kamil, artinya manusia sempurna, nanti pada waktu meninggalnya adan menjadi pangkat kamil mukamil. Artinya sempunanya sempurna, abis rasanya, baik jasmaninya, menjadi zat laisa kamislihi lagi, seperti waktu sebelum kita turun kea lam dunia.
Dalam Naskah “Adji Wiwitan Martabat Tujuh” Haji Hasan Mustopa menjelaskan konsep Martabat Tujuh sbb:56
1. Ahadiat, Dat anu matak taya pamentana 2. Wahdat, Sipat nu matak menta kahidji, aya kana dat, sabab euweuh sifat henteu Datan. Datmah
teu sipatan. 3. Wahidiyat, eta asma, numatak menta dua, nya eta kana dat jeung sipat, sabab unggal asma boga
sipat, unggal sipat boga dat. Hartina unggal-unggal ngaran boga PATUT. Unggal PATUT teu engang tina DAT. Wahdaniat eta AFAL, nu matak menta tilu, nyaeta ahadiat, wahdat, wahidiat.
4. Arwah, hartina arwah nyawa 5. Misal hartina patut 6. Adjsam hartina bungkeuleukan 7. Insan Kamil hartina pepek, sampuna teu aya kakurang, sabab geus jadi pakumpulan martabat.
Artinya: Ahadiat, dat yang tidak ada permintaannya,
Wahdat, sifat yang menyebabkan minta pertama, ada pada dat, sebab tidak ada dat yang tidak ada datnya. Dat itu tidak ada sifatnya.
Wahidiyat, itu asama, yang menyebabkan minta dua, yakni pada dat dan sipat, sebab setiap asma mempunyai sipat, setiap sipat mempunyai dat. Aryinya setiap nama mempunyai PATUT. Setiap PATUT tidak lepas dari dat. Wahdaniat eta af’al, sehingga minta tiga, ahadiat, wahdat, wahidiat.
Arwah, artinya arwah jiwa
Misal , artinya patut, harus
Adjsam artinya fisik (badan kasar
Insan Kamil artinya lengkap , sempurna tidak ada kurang, sebab sudah menjadi kumpulnya martabat.
Haji Hasan Mustopa dalam kedua naskah ini mencoba menjelaskan konsep martabat tujuh dengan menafsirkan lafad Lailaha illallah dengan berbagai makna. Misalnya menguhubungkan huruf yang terdapat pada lafad lailahaillah dengan warna, rukun Islam, waktu shalat, gerakan shalat, dan nama-nama para sahabat nabi, dan nama imam madzhab. Hal ini dilakukan untuk mempermudah
56 Haji Hasan Mustopa, “Adji Wiwitan Martabat Tujuh”UndakUndukna Manusa, Kenging ngumpulkeun Wangsaatmadja, sareng Panitia, h. 1-2
pemahaman tentang konsep martabat tujuh yang sangat sulit dipahami oleh masyarakat awam. Pengunaan warna, nama sahabat, rukun Islam, dll, yang dijelaskan dalam naskah tersebut, karena istilah itu yang lebih akrab dan sering didengar oleh masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat sunda ketika itu.
Pengaetahuan tentang Ma’rifat bagi Haji Hasan Mustopa menjadi hal yang sangat penting di dalam mengawali pemahaman terhadap konsep Martabat tujuh. Karena konsep ini yang akan memudahkan dan mempercepat dalam mempelajari konsep martabat tujuh bagi masyarakat yang lebih luas.
jika kita mau bandungkan dengan penjelasan syaikh abdul muhyi tentang martabat tujuh dalam “martabat kang pipitu”, ia mengawalinya memberikan gamabaran yang sangat jelas bahwa ia ingin memggarisbawahi adanya perbedaan antara tuhan dan hamba dan memberikan vonis kafir billah bagi orang yang tidak beranggapan seperti itu.
nampaknya penegasan ini dilatarbelangi oleh beberapa hal :
a. AJARAN MARTABAT TUJUH YANG AKAN DISAMPAIKANNYA KHAWATIR DISALAHPAHAMI OLEH
PARA PENGIKUTNYA. BERDASARKAN PENGALAMAN PENDAHULUNYA YAKNI HAMZAH FANSURI
DAN SYAMSUDDIN SUMATRANI, AJARAN WAHDAT AL-WUJUD ATAU AJARAN MARTABAT TUJUH
INI (KARENA SULIT DIPAHAMI ARANG AWAM) BANYAK DISALAHPAHAMI. KESALAHPAHAMAN
TERHADAP AJARAN INI MENGAKIBATKAN MUNCULNYA TUDUHAN-TUDUHAN YANG
DIMAKSUDKAN UNTUK MENGHUJAT AJARAN WAHDAT AL-WUJUD. DIANTARA TUDUHAN-
TUDUHAN TERSEBUT57 DIKEMUKAKAN AL-RANIRY TERHADAP AJARAN HAMZAH FANSURI,
YAKNI:
b. syekh abdul muhyi ingin mengawali pembicaraan martabat tujuh, dengan ajaran tauhid
yang tentunya sangat berkaitan dengan tasawuf. ajaran tasawuf berlandaskan pada akidah
islam, sedangkan dalam akidah islam konsep tauhid merupakan salah satu aspek yang
dianggap paling vital, terutama dalam konteks hubungan manusia dengan tuhan (hablum min
allah). begitu pentingnya keberadaan tauihid dalam islam, seseorang yang tidak bertauhid
57SYED MUHAMMAD NAGUIB AL-ATTAS, THE MYSTICISM OF HAMZAH FANSURI, (KUALA LUMPUR: UNIVERSITY OF MALAYA PRESS, 1970) H..18. LIHAT JUGA SYED MUHAMMAD NAGUIB AL-ATTAS, RANIRY AND THE WUJUDIYYAH OF 17TH CENTURY ACHEH, (MBRAS, 1966) H. 31.
bisa dianggap sebagai orang kafir. tauhid bagi orang awam barangkali hanya merupakan
penegasan yang membedakan dirinya sebagai seorang mukmin dengan seorang kafir atau
musyrik (orang yang menduakan tuhan). akan tetapi bagi seorang sufi tauhid merupakan
pintu yang terbuka untuk memahami dan masuk dalam realitas hakiki, yaitu al-haqq, allah
swt.
c. SYEKH ABDUL MUHYI SEBAGAI MURID ABDUL RAUF SINGKEL BANYAK MENGIKUTI AJARAN
GURUNYA. ABDUL RAUF SINGKEL SEBAGAIMANA KITA KETAHUI DALAM MEMAHAMI AJARAN WAHDAT
AL-WUJUD MENGANUT KONSEP AL-FAID DAN AZ-ZIL. IA SANGAT HATI-HATI DALAM MENGEMUKAKAN
AJARAN TERSEBUT. IA MENCOBA UNTUK MENJAUHKAN PADA SATU PEMAHAMAN BAHWA WAHDAT AL-
WUIJUD MERUPAKAN DOKTRIN YANG MENGAJARKAN KESATUAN ANTARA TUHAN DAN ALAM SECARA
MUTLAK. ABDUL RAUF JUGA DIKENAL SEBAGAI TOKOH MODERAT DALAM MENANGGAPI AJARAN
WAHDAT AL-WUJUD. IA MENEKANKAN TERHADAP KESELARASAN DOKTRIN TERSEBUT DENGAN AL-
QUR’AN DAN HADITS NABI.58 HAL INI NAMPAKNYA TIDAK LEPAS DARI KONTEKS SOSIAL MASYARAKAT
ACEH SAAT ITU.59
Hal ini memberikan indikasi pada kita bahwa ada dua situasi yang berbeda, ketika zaman
Syaikh Abdul Muhyi dan Haji Hasan Mustopa menyebarkan teori Martabat Tujuh ini.
Pada masa Syaikh Bdul Muhyi masih sangat lekat pada masyarakat tentang konsep
Wahdat al-Wujud yang dianggap menyeleweng dan dianggap sesat. Sehingga ketika
teori Martabat Tujuh ini, dimasyarakatkan di khalayak umum, Syaikh Abdul MJUhyi
menganggap penting untuk menjaganya dengan memberikan pondasi tauhid yang
kuat.
58OMAN FATHURRAHMAN, MENYOAL WAHDATUL WUJUD KASUS ABDURRAUF SINGKEL DI ACEH ABAD 17, (JAKARTA: MIZAN, 1999) H. 51A
59KETIKA ABDUL RAUF BERANGHKAT KE MAKKAH SEKITAR TAHUIN 1642, DI ACEH SEDANG TERJADI PERTIKAIAN DAN KONTROVERSI ANTARA SEORANG ULAMA ORTODOKS, AL-RANIRY DENGAN PENGANUT DOKTRIN WUJUDIYAH HAMZAH FANSURI DAL SYAMSUDDIN SUMATRANI.
Sedangkan pada masa Haji Hasan Mustopa, situasinya sudah sedikit berbeda, tidak
terlalu menghawatirkan akan tuduhan kesesatan dan penyelewengan terhadap
pemahaman konsep Maertabat Tujuh dan wahdat al-wujud, tetapi yang menjadi fokus
utama adalah bagaimana konsep Martabat tujuh ini mudah dipahami dan dimengerti
oleh berbagai kalangan. Sehingga bahasa, yang digunakanpun yang sangat mudah dan
dekat dengan masyarakat umum.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
1. Haji Hasan Mustopa mencoba membumikan konsep Martabat Tujuh dengan pemahaman yang lebih
sederahana, supaya mudah dimengerti oleh masyarakat awam. Diantaramya dengan menggunakan
puisi yang mengandung nada dan berbahasa sunda (guritan), agar enak didengarm mudah diingat,
dan mudah dipahami.
2. Haji Hasan Mustapa salah seorang tokoh Tasawuf yang berasal dari kalangan elite
pribumi, dari keluarga camat perkebunan di Cikajang, Garut. Ia mempunyai dua
kekuatan yang melekat pada dirinya, yaitu sebagai seorang “menak“ sunda dan
sebagai seorang santri. Dua factor ini merupakan dua hal yang berbeda, bahkan dalam
konteks kesundaan, terjadi “kesenjangan” antara kaum ménak dan ulama atau santri
dari kalangan pesantren, yang dihasilkan dari kebijakan colonial. Hal ini secara tidak
langsung menyebabkan secara tidak langsung berdampak pada perbedaan orientasi
budaya. Haji Hasan Mustopa mewakili sosok ménak yang sangat kuat bergumul
dengan aktifitas sastra dan budaya Sunda. Sementara factor lain yang dimiliki oleh
ahji hasan Mustopa sebagai seorang santri dianmggap mampu mengembangkan
tradisi lokal pesantren yang didominasi oleh tradisi Islam.
Daftar Pustaka
Abady, HM. Yusrie. “Naskah Kuno yang Bernafaskan Islam di Propinsi Jawa Barat”, dalam
Musda Mulia, dkk. (edit.), Katalog Naskah Kuno yang Bernafaskan Islam di Indonesia II, Jakarta: Balitbang Agama Depag, 1998
Abdullah, Muhammad. “Paham Wahdat al-Wujud dalam Naskah Satariyah Karya Syeikh Abdurrouf Singkel: Suntingan Teks dan Pengungkapan Isinya”, Jakarta: Penelitian,1995).
______. “Doktrin Wahdah al-Wujud Ibn ‘Arabi dalam Naskah Syattariyah: Suntingan dan Kajian Isi Teks”, Jakarta: Tesis UI, 1996
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Jakarta: Prenada, 2004. edisi revisi.
Behrend (penyunt.), T.E. Katalog Induk Naskah –naskah Nusantara Jilid 4, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta: YOI-EFDO, 1998
Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1999. cet. III
Christomy, Tommy. “Shattariyyah Tradition in West Java: the Case of Pamijahan”, Studia Islamika, 8/2: 2001
______. Signs of the Wali: Narratives at The Sacred Sites in Pamijahan, West Java, Australia: ANU Press, 2008
Ekadjati, Edi S. dan Undang A. Darsa. Oman Fathurrahman (penyunt.) Jawa Barat Koleksi Lima Lembaga. Jakarta: YOI-EFEO, 1999.
Fariza, Atiek. “Tarekat Syattariah di Keraton Kanoman Cirebon”, Jakarta: Skripsi UI, 1989 Fathurrahman, Oman. Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks Jakarta: Prenada, 2008
Haeri, Syaikh Fadhlallah. Jenjang-jenjang Sufisme, penterj. Ibnu Burdah dan Shohifullah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Muhaimin, AG. The Islamic Traditions of Cirebon: Adat and Among Javanese Muslims, Australia: ANU Press, 1995
_____. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, penterj. A. Suganda. Jakarta: Logos, 2002, cet. II
Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. “Kodikologi Melayu di Indonesia”, Lembar Sastra edisi khusus No. 24 Fakultas Sastra UI Depok;
Mustapa, Hasan, Elmu Kama’rifatan ka Allah Ta’ala, Bandung, 1993, Naskah disalin lagi di Bayah, (Banten Girang) pada bulan Desember 1990 M.
_____________, Adji Wiwitan Martabat Tudjuh Undak Usukna Manusa, dikumpulkan oleh Wangsaatmadja dan Tim, Tp.tahun
_____________, 16 bundel Naskah, yang akan dijadikan bahan penelitian
Nicholson, Reynold A. Mistik dalam Islam, penterj. tim BA. Jakarta: Bumi Aksara, 1998
Pudjiastuti, Titik. Naskah dan Studi Naskah: Sebuah Antologi. Bogor: Akademia, 2006
Rahman, Fazlur. Islam, penterj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1997. cet. III. Robson, S.O. Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia, penterj. Kentjanawati Gunawan. Jakarta: RUL,
1994
Safari, Achmad Opan. “Tarekat Sattariyah Kraton Kaprabonan Suatu Kajian Filologis”, Bandung: Tesis Unpad, 2010
Schimmel, Annemarie. DimensiMistik dalam Islam, penterj. Sapardi Djoko Damono, dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009. cet. III.
al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami. al-Qahirah: Dar al-Saqafah, 1983
_______. Sufi dari Zaman ke Zaman, penterj. Ahmad Rofi’ Utsmani. Bandung: Pustaka, 1985
Teeuw, A. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya, 2003. cet. III
Trimingham, J. Spencer The Sufi Orders in Islam. Oxford: Oxford University, 1971
Daftar Pustaka
Abady, HM. Yusrie. “Naskah Kuno yang Bernafaskan Islam di Propinsi Jawa Barat”, dalam
Musda Mulia, dkk. (edit.), Katalog Naskah Kuno yang Bernafaskan Islam di
Indonesia II, Jakarta: Balitbang Agama Depag, 1998
Abdullah, Muhammad. “Paham Wahdat al-Wujud dalam Naskah Satariyah Karya Syeikh
Abdurrouf Singkel: Suntingan Teks dan Pengungkapan Isinya”, Jakarta:
Penelitian,1995).
______. “Doktrin Wahdah al-Wujud Ibn ‘Arabi dalam Naskah Syattariyah: Suntingan dan
Kajian Isi Teks”, Jakarta: Tesis UI, 1996
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &
XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Jakarta: Prenada, 2004. edisi revisi.
Behrend (penyunt.), T.E. Katalog Induk Naskah –naskah Nusantara Jilid 4, Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia, Jakarta: YOI-EFDO, 1998
Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di
Indonesia. Bandung: Mizan, 1999. cet. III
Christomy, Tommy. “Shattariyyah Tradition in West Java: the Case of Pamijahan”, Studia
Islamika, 8/2: 2001
______. Signs of the Wali: Narratives at The Sacred Sites in Pamijahan, West Java, Australia:
ANU Press, 2008
Ekadjati, Edi S. dan Undang A. Darsa. Oman Fathurrahman (penyunt.) Jawa Barat Koleksi
Lima Lembaga. Jakarta: YOI-EFEO, 1999.
Fariza, Atiek. “Tarekat Syattariah di Keraton Kanoman Cirebon”, Jakarta: Skripsi UI, 1989
Fathurrahman, Oman. Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks
Jakarta: Prenada, 2008
Haeri, Syaikh Fadhlallah. Jenjang-jenjang Sufisme, penterj. Ibnu Burdah dan Shohifullah.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Muhaimin, AG. The Islamic Traditions of Cirebon: Adat and Among Javanese Muslims,
Australia: ANU Press, 1995
_____. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, penterj. A. Suganda. Jakarta:
Logos, 2002, cet. II
Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. “Kodikologi Melayu di Indonesia”, Lembar Sastra edisi khusus
No. 24 Fakultas Sastra UI Depok;
Mustapa, Hasan, Elmu Kama’rifatan ka Allah Ta’ala, Bandung, 1993, Naskah disalin lagi di
Bayah, (Banten Girang) pada bulan Desember 1990 M.
_____________, Adji Wiwitan Martabat Tudjuh Undak Usukna Manusa, dikumpulkan oleh
Wangsaatmadja dan Tim, Tp.tahun
_____________, 16 bundel Naskah, yang akan dijadikan bahan penelitian
Nicholson, Reynold A. Mistik dalam Islam, penterj. tim BA. Jakarta: Bumi Aksara, 1998
Pudjiastuti, Titik. Naskah dan Studi Naskah: Sebuah Antologi. Bogor: Akademia, 2006
Rahman, Fazlur. Islam, penterj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1997. cet. III.
Robson, S.O. Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia, penterj. Kentjanawati Gunawan. Jakarta:
RUL, 1994
Safari, Achmad Opan. “Tarekat Sattariyah Kraton Kaprabonan Suatu Kajian Filologis”,
Bandung: Tesis Unpad, 2010
Schimmel, Annemarie. DimensiMistik dalam Islam, penterj. Sapardi Djoko Damono, dkk.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009. cet. III.
al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami. al-Qahirah: Dar
al-Saqafah, 1983
_______. Sufi dari Zaman ke Zaman, penterj. Ahmad Rofi’ Utsmani. Bandung: Pustaka, 1985
Teeuw, A. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya, 2003. cet. III
Trimingham, J. Spencer The Sufi Orders in Islam. Oxford: Oxford University, 1971
Abou al-Bakr, Omaima. “The Symbolic Function of Metaphor in Medieval Sufi Poetry: The Case of Shushtari”, Alif: Journal of Comparative Poetics. 12 (1992): 40-57.
Akkach, Samer. “The World of Imagination in Ibn 'Arabi's Ontology”, British Journal of Middle Eastern Studies, 24.1 (1997): 97-113.
Azra, Azyumardi. The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulama>’ in the seventeenth and eighteenth centuries. Honolulu: ASAA-Allen & Unwin and University of Hawai’i Press, 2004.
Braginsky, V. I. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19. trans. Hersri Setiawan. Jakarta: INIS, 1998.
___. “Some remarks on the structure of the Syair Perahu by Hamzah Fansuri.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 131.4 (1975): 407-426.
Brouwer, M.A.W. Perjalanan Spiritual dari Gumujeng Sunda, Eksistensi Tuhan, sampai Siberia. Jakarta: KPG, 2003.
Burckhardt, Titus. Introduction to Sufi Doctrine. Indiana: World Wisdom, 2008. Burhanudin, Jajat. Ulama & Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia.
Bandung: Mizan, 2012. Chittick, William C. “The Spiritual Path of Love in Ibn al-'Arabi and Rumi”, MysticsQuarterly.
19.1 (1993): 4-16. ___. Ibn ‘Arabi Heir to the Prophet. Oxford: One World, 2005.
Christomy, Tommy. Signs of the Wali: Narratives at the Sacred Sites in Pamijahan, West Java. Canberra: ANU E Press, 2008.
Coolsma, S. Soendaneesch-Hollandsch Woordenboek. Leiden: A. W. Sijthoff’s Uitgevers-Maatschappij, 1913.
___. Tata Bahasa Sunda. trans. Husein Widjajakusumah dan Yus Rusyana. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1985.
Ekadjati, Edi S. Naskah Sunda. Bandung: Lembaga Penelitian Unpad-The Toyota Foundation, 1988.
___. Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta: Pustaka Jaya, 2009. Fathurahman, Oman. Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Thariq al-Qusyasyiyy: Tanggapan Al-
Sinkili terhadap Kontroversi Doktrin Wujudiyyah di Aceh pada Abad XVII (Suntingan Teks dan Analisis Isi). Thesis. Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998.
___. Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Jakarta: Prenada Media, EFEO, PPIM, KITLV, 2008. ___. Filologi dan Islam Indonesia. Jakarta: Kementerian Agama RI Balitbangdiklat Puslitbang
Lektur Keagamaan Jakarta, 2010. Halligan, Fredrica R. “The Creative Imagination of the Sufi Mystic, Ibn 'Arabi.” Journal of
Religion and Health. 40.2 (2001): 275-287. Jahroni, Jajang. “The Life and Mystical Thought of Haji Hasan Mustafa (1852-1930).” Thesis
Leiden University. 1999. Johns, A.H. “Sufism in Southeast Asia: Reflections and Reconsiderations.” Journal of Southeast
Asian Studies 26.1 (1995): 169-183. Kartni, Tini, Ningrum Djualeha, Saini K.M. dan Wahyu Wibisana. Biografi dan Karya Pujangga
Haji Hasan Mustapa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud Jakarta, 1985.
Keeler, Annabel. “Sufi tafsir as a mirror: al-Qushayrī the murshid in his Laṭāʾif al-ishārāt”, Journal of Qur'anic Studies. 8.1 (2006): 1-21.
Kunto, Haryoto. Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung: PT. Granesia, 1986. Laffan, Michael Francis. Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, The Umma below the
Winds. London-New York: Routledge Curzon, 2003. Lubis, Nina H. Kehidupan Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan
Sunda, 1998. ___. ed. Sejarah Tatar Sunda. Vol. I. Bandung: Lembaga Penelitian Unpad, 2003. Millie, Julian Patrick. “Splashed by the Saint: Ritual Reading and Islamic Sanctity in West
Java.”Diss. Leiden University. 2006. Moriyama, Mikihiro. Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak dan Kesastraan Sunda Abad
ke-19. trans. Suryadi. Jakarta: KPG, 2005. Muhaimin, A. G. The Islamic Traditions of Cirebon. Canberra: ANU E Press, 2006. Mustapa, Haji Hasan. Gendingan Dangding Sunda Birahi Katut Wirahmana Djilid A. Bandung:
Jajasan Kudjang, 1976. ___. Kinanti Kulu-kulu. Bandung: Kiblat, 2009. Nasr, Seyyed Hossein, Three Muslims Sages. New York: Caravan Books, 1997. Nicholson, Reynold A. The Mystics of Islam. Indiana: World Wisdom, 2002. Rigg, Jonathan. A Dictionary of the Sunda Langage of Java, Kamus Sunda-Inggris. Bandung:
Kiblat, 2009.
Rikin, W. Mintardja. Peranan Sunat dalam Pola Hidup Masyarakat Sunda. Bogor: S.N., 1994. Rosidi, Ajip. Ngalanglang Kesusastran Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983. ___. Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana. Bandung: Pustaka, 1989. ___. Manusia Sunda. Bandung: Kiblat Pustaka Utama, 2009. ___. Guguritan. Bandung: Kiblat, 2011. ___. ed. Ensiklopedi Sunda, Alam, Budaya, dan Manusia. Jakarta: Pustaka Jaya, 2003. Santrie, Aliefya M. “Martabat Alam Tujuh Karya Syaikh Abdul Muhyi.” Warisan Intelektual
Islam Indonesia Telaah atas Karya-Karya Klasik. Ed. Ahmad Rifa’i Hassan.Bandung: Mizan, 1992.
Satjadibrata, R. Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat, 2005. Sells, Michael. “Ibn 'Arabi's Polished Mirror: Perspective Shift and Meaning Event”,
StudiaIslamica. 67 (1988): 121-149. Setiawan, Hawe, “Cangkang Suluk Dangding HHM sebagai Wadah Mistisisme Islam”, paper in
Sawala Mesek Karya HHM, UIN Bandung, 2009. Simuh. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita. Jakarta: UI-Press, 1988. Soebardi, S. The Book of Cebolek. Leiden: KITLV-The Hague-Martinus Nijhoof, 1975. Spiller, Henry. Gamelan, The Traditional Sound of Sunda. California: ABC-CLIO, 2004. Tim Peneliti IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, "Wawacan Nasehat Haji Hasan Mustafa."
Naskah Klasik Keagamaan Nusantara II: Cerminan Budaya Bangsa. Ed. Fadhal Bafadal & Asep Saefullah. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, MORA, 2006.
Yahya, Iip Dzulkifli. “Ngalogat di Pesantren Sunda: Menghadirkan yang Dimangkirkan” Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Ed. Henri Chambert-Loir. Jakarta: KPG, 2009.
Wessing, Robert. “Cosmology and Social Behavior in A West Javanese Settlement.” Diss. the University of Illinois at Urbana-Champaign, 1974.
Wildan, Dadan. Sunan Gunung Jati antara Fiksi dan Fakta: Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural.Bandung: Humaniora Press, 2002.
Zoetmulder, P. J. Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. trans. Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.