Tabung Haji Umroh, Haji Umroh Yulianto, Talangan Haji Umroh, Haji dan Umro
HAJI DAN KESADARAN HUMANISME -...
Transcript of HAJI DAN KESADARAN HUMANISME -...
HAJI DAN KESADARAN HUMANISME:
MAKNA SOSIAL KHUTBAH HAJI WADA’
(KAJIAN HADITS TEMATIK)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Khairun Nisa
NIM: 1113034000012
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2017 M
i
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada
buku pedoman penulisan skripsi yang terdapat dalam “Buku Pedoman Akademik
Program Strata 1 tahun 2013-2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”.
a. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h ha dengan garis di bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
d de dengan garis di bawah ض
ii
t te dengan garis di bawah ط
z zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
apostrof ` ء
y ye ي
b. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab sama halnya dengan vokal dalam bahasa Indonesia;
terdiri dari vokal tunggal dan vocal rangkap. Untuk vokal tunggal ketentuan alih
aksaranya sebagai berikut:
Tanda vokal arab Tanda vokal latin Keterangan
a fathah
i kasrah
iii
u dammah
Adapun untuk vokal rangka, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي ai a dan i
و au a dan u
Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad) yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ى
î i dengan topi di atas ى ي
û u dengan topi di atas ى و
Kata Sandang
Kata sandang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf yaitu ال, dialih
aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah.
Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-diwân bukan ad-diwân.
iv
Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau Tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ) ( dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi hal ini tidak berlaku
jika huruf yang diberi tanda syaddah itu berada setelah kata sandang yang diikuti oleh
huruf syamsiyyah. Misalnya kata رورة -tidak ditulis ad-darûrah melainkan al الض
darûrah, demikian seterusnya.
Ta Marbutah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang
berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialih aksrakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1).
Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (lihat
contoh 2). Namun jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf
tersebut dialih aksrakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
Contoh:
No. KATA ARAB ALIH AKSARA
Tarîqah طريقة .1
al-jâmi’ah al-islâmiyyah اجلامعة االسالمية .2
wahdat al-wujûd وحدة الوجود .3
v
Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk
menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan
lain-lain. Penting diperhatikan jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, buka huruf awal kata
sandangnya. Contoh: Abu Hâmid al-Ghazâlî bukan Abu Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi
bukan Al-Kindi.
vi
ABSTRAK
Khairun Nisa
Haji dan Kesadaran Humanisme: Makna Sosial Khutbah Haji Wada’ (Kajian
Hadits Tematik)
Kesenjangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Muslim merupakan
bukti belum optimalnya umat Muslim mengamalkan perintah dan anjuran al-Qur’an
maupun al-Sunnah. Padahal Islam dengan ajarannya merupakan agama yang sangat
memandang tinggi persoalan humanisme. Bahkan Nabi Muhammad Saw. dalam
khutbah haji wada’ telah memerintahkan untuk saling menjaga darah, harta dan
kehormatan sesama Muslim.
Oleh karena itu penulis menjelaskan makna khutbah haji wada’ melalui
pendekatan Muhammad Abed al-Jabiri dengan teori pengungkapan maknanya secara
burhani untuk mengetahui makna sosial yang terkandung dalam khutbah haji wada’
tersebut. Adapun untuk mengetahui hadits-hadits penjelas khutbah ini, penulis
menggunakan metode pemahaman hadits tematik dengan mengumpulkan hadits-hadits
satu tema sehingga penulis dapat mengungkap anjuran-anjuran Nabi Muhammad Saw.
terhadap umat Islam dalam kehidupan sosial.
Berdasarkan penelitian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ibadah haji
seharusnya memiliki implikasi terhadap kehidupan sosialnya karena setiap Muslim
yang telah melaksanakan ibadah haji tentu mengetahui bagaimana mulianya tempat
dan waktu pelaksanaan ibadah haji serta bagaimana aturan-aturan di tempat
pelaksanaan haji yang sangat menjunjung humanisme. Pelaksanaan ibadah haji
seharusnya tidak hanya menjadikan seseorang shaleh secara individu, namun juga
shaleh secara sosialnya. Karena dari segi ritual maupun filosofi ibadah haji, para
pelaksananya dituntut untuk menjaga hubungan baik dengan manusia serta menggali
manfaat-manfaat lebih dari ibadah haji, sehingga sepulangnya dari tanah suci ‘Haji’
tidak hanya sekedar gelar, namun menjadi pribadi bermanfaat seperti yang Rasulullah
Saw. harapkan melalui khutbah haji wada’nya.
Kata kunci: Burhani, Haji, Humanisme, Sosial, Wada’
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdu li Allah Rabbi al-‘Alâmîn, tidak ada yang dapat disampaikan selain
syukur kepada Allah Swt. yang senantiasa memberikan rahmat, ilmu dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Salawat dan salam
semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. yang menjadi teladan bagi
umatnya dalam segala hal begitupun dengan menuntut ilmu.
Penulisan dan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan
serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis
menyampaikan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Masri Mansoer, M. Ag.
beserta jajarannya, Ketua Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Dr.
Lilik Ummi Kaltsum, MA., serta sekretaris jurusan Dra. Banun
Binaningrum, M.Pd.
2. Pembimbing Skripsi saya, Drs. Harun Rasyid, MA. Yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing saya dalam menyelesaikan penulisan skripsi
ini.
3. Yang Tercinta kedua orangtua, Apa Irzal dan Ama Erdawati. Terimakasih
atas kasih sayang, pengorbanan moril dan materil, motivasi, serta do’a yang
tidak henti-hentinya diberikan demi kebahagiaan saya. Terimakasih atas
ridho-mu melepaskan anakmu menuntut ilmu di rantau orang. Sungguh
viii
tidak akan cukup kata terimakasihku atas apa yang telah Apa dan Ama
berikan selama ini. Tidak akan bisa pula anakkmu ini membalas semua
yang telah Apa dan Ama upayakan untukku. Semoga Allah selalu
memberikan kebahagiaan di setiap langkah Apa dan Ama; dunia dan
akhirat. I love U Apa-Ama
4. Seluruh keluarga tersayang; Kak Fitria Irawati, Uwan Israyedi, Kak
Desfiyanti, Kak Fitri Huriyani, Kak Hayatunnufus dan adikku Mawaddatul
Khairi yang selalu memberikan motivasi dan bantuan untuk terlaksananya
perkuliahan saya selama ini. Terimakasih telah memberikan dukungan
kepada saudarimu ini. Terimakasih juga kepada seluruh kerabat; Mamak,
Etek, Dunsanak yang selalu memberikan semangat sehingga saya dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Barakallâh fîk.
5. Seluruh dosen yang telah memberikan ilmu yang menjadi harta berharga
bagi saya yang dapat saya gunakan sebagai referensi dalam penulisan
skripsi ini. Seluruh pegawai tata usaha yang telah membantu saya mengurus
administrasi. Pegawai Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta serta pegawai Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah membantu penulis dalam pencarian sumber.
6. Teman-teman ATHA’13 Bekti, Dedeh, Zia, Nida, Aini, Teh Evi, Aulia,
Nelfi, Mbak Pijoh, Ayuk Ira, Gisda, Andrian, Mukhlis, Rino, Halim,
Muslih, Afif, Nasrul, Ihsan, Fadhil, Iqbal F, Iqbal Sahid, Faris, Salman,
Khoir dan teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu. Terimakasih Atha ’13 telah menemani perjuangan selama ini,
ix
menjadi teman belajar, teman bermain dan bertukar pikiran. Semoga kita
semua dapat mencapai kesuksesan. Allah Yuftah ‘Alaikum.
7. Teman-teman KKN Teropong 2016 yang telah menjadi rekan selama satu
bulan di tempat pengabdian yang hingga saat ini masih menjadi teman
berbagi tawa dan semangat. Terimaksih Alvi, Eza, Naya, Yulia, Lia, Ardi,
Anhar, Dandi, Satrio dan Ummi; kembaran dadakan di KKN yang selalu
memberikan semangat.
8. Terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu atas bantuan materil, moril, doa serta jasa sehingga saya dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Demikianlah ucapan terimakasih saya ucapkan. Semoga Allah Swt. membalas
jasa-jasa yang telah diberikan. Âmîn.
Jakarta, September 2017
Khairun Nisa
x
DAFTAR ISI
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................................. i
ABSTRAK .................................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ............................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................................ x
BAB I: PENDAHULUAN........................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ......................................................... 10
D. Metodologi Penelitian ......................................................................... 11
E. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 13
F. Sistematika Penulisan......................................................................... 15
BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG HAJI DAN HUMANISME ............... 16
A. Tinjauan Umum Haji ......................................................................... 16
1. Pengertian Haji............................................................................ 16
2. Filosofi Haji ................................................................................. 23
3. Haji Wada’ ................................................................................... 30
4. Dimensi Ibadah Haji ................................................................... 31
xi
B. Teori Sosial atau Humanisme ............................................................ 34
1. Teori Bayani ................................................................................ 35
2. Teori Irfani .................................................................................. 36
3. Teori Burhâni .............................................................................. 37
C. Humanisme dalam Islam ................................................................... 39
BAB III: HUMANISME DALAM KHUTBAH HAJI WADA’ ............................ 42
A. Khutbah Haji Wada’ .......................................................................... 42
1. Teks Hadits dan Terjemahan ..................................................... 42
2. Asbâb al-Wurûd al-Hadîts ........................................................... 43
3. Fiqh al-Hadits .............................................................................. 50
B. Makna Khutbah Haji Wada’............................................................. 51
1. Menjaga Darah ............................................................................ 52
a. Landasan al-Qur’an ................................................................... 52
b. Landasan al-Hadits .................................................................... 54
c. Pendekatan sosial ....................................................................... 58
2. Menjaga Harta ............................................................................ 60
a. Landasan al-Qur’ân ................................................................... 61
b. Landasan al-Hadîts .................................................................... 63
c. Pendekatan sosial ....................................................................... 66
3. Menjaga Kehormatan ................................................................. 68
xii
a. Landasan al-Qur’an ................................................................... 68
c. Pendekatan sosial ....................................................................... 73
BAB IV: PENUTUP .................................................................................................. 75
A. Kesimpulan.......................................................................................... 75
B. Saran-saran ......................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 77
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesadaran masyarakat Muslim dalam melaksanankan haji yang selalu
meningkat setiap tahunnya membuktikan bahwa ibadah haji merupakan ibadah yang
memiliki kedudukan istimewa di hati masyarakat Muslim. Ibadah haji merupakan salah
satu ibadah yang dapat dilakukan apabila memiliki kemampuan finansial yang cukup
serta fisik yang kuat, yang kita kenal dengan istilah istitâ’ah1. Karena keharusan
finansial yang cukup serta fisik yang kuat, maka wajarlah Allah Swt. memberikan janji-
janji berupa pahala maupun pengampunan dosa terhadap umat yang melaksanakan
ibadah ini sesuai tuntunan Islam. Salah satunya dapat kita temui dalam sebuah hadits
Nabi Muhammad Saw. yang menyatakan bahwa seseorang yang melaksanakan ibadah
haji sesuai tuntunan Islam, maka ia seperti pada hari di mana ia dilahirkan oleh ibunya
yakni bersih dari segala dosa.
ث ن ا ش عب ة ع ن م نص ور ع ن ث ن ا س ل يم ان بن ح رب ح د ال ال ر س ول أ ب ح از م ع ن أ ب ه ر ي ر ح د ي ال ع ن ة ر ا الب يت ف ل م ي ر و س لم م ن ح ج ه ذ ي فس ق ر ال ص لى ال ع ل ي ي وم ع ج ف ث و ل ت و ل د 2أ م
“Menceritakan kepada kami Sulaimân bin Harbin, menceritakan
kepada kami Syu’bah dari Manshûr dari Abi Hâzim dari Abû Hurairah r.a. ia
berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Siapa yang berhaji ke Baitullah, dan
1 Istitâ’ah berasal dari kata tâ’ah yang artinya taat atau patuh. Dalam kitab Lisan al-‘Arab jilid
8 halaman 242 (Beirut: Dar al-Sadr, 1863) dijelaskan bahwa istitâ’ah adalah berkuasa atau mempunyai
kekuasaan. 2 Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Ismâ’îl ibn Ibrâhim ibn al-Mughîrah al-Bukhâri, Al-Jâmi’ al-
Musnad al-Sâhih al-Mukhtashar min ‘Umûri Rasulullah SAW wa Sunanihi wa Ayyamihî (Beirut: Shadqi
Jamil al-‘athar, 1420 H) Kitab al-Hajj bab Firman Allah فال رفث , hal. 431 (terdapat juga dalam Sunan al-
Nasâ’i, Sunan Ibnu Mâjah, Sunan al-Darîmi, Musnad Ahmad, Sahîh Muslim)
2
tidak melakukan senggama (di waktu terlarang) dan tidak berbuat fasiq
(maksiat), maka ia kembali seperti hari ia dilahirkan.” (HR. al-Bukhari)
Hadits lainnya berkaitan dengan biaya keberangkatan haji yang dihitung sama
dengan ongkos dalam berjihad di jalan Allah dan dibalas dengan tujuh ratus kali lipat.
ث ن ا ع ط اء بن ا ث ن ا أ ب و ع و ان ة ح د ث ن ا ب كر بن ع يس ى ح د ث ن ا ع بد ال ح دث ن أ ب ح د سائ ب ع ن أ ب ز ه ي ع ن لح د ال ال ر س ول ال ة ع ن أ ب ي الن ف ق ة ف س ب يل ا » -صلى هللا علي وسلم-ع بد ال بن ب ر يد لن ف ق ة ف ال ج
عف «ال ب س بع م ائ ة “Menceritakan kepadaku Abdullah, menceritakan kepadaku ayahku,
menceritakan kepadaku Bakr bin ‘Isa, menceritakan kepadaku Abû ‘Awanah,
menceritakan kepadaku ‘Atha` Ibn Saib dari Abû Hurairah r.a. ia berkata:
Rasulullah SAW bersabda: “Biaya dalam haji itu seperti biaya jihâd fî sabîl
Allâh dilipatkan 700 kali lipat.3
Dibalik keutamaan-keutamaan di atas, sebagai umat Muslim sudah seharusnya
kita menggali manfaat ibadah-ibadah yang kita lakukan bagi lingkungan sekitar. Islam
mengharapkan umat Islam memiliki respon terhadap problema sosial, karena Islam
merupakan agama yang sangat memperhatikan hubungan sosial antar manusia atau
yang kita kenal dengan hablun min al-nâs. Hal ini juga sejalan dengan khutbah pertama
Nabi setelah hijrah ke Madinah yang memerintahkan untuk menebarkan salam, saling
memberi makan, menyambungkan silaturrahim, dan yang terakhir adalah
melaksanakan shalat selagi yang lainnya tertidur.4 Dari hadits tersebut, kita dapat
mengetahui perintah Rasulullah Saw. saat pertama kali berdakwah di Madinah ialah
3 Abû Abdullâh Ahmad bin Hanbal bin Hilâl bin Asad al-Syaibâni, Musnad Ahmad (Kairo:
Daar al-Ma’arif, 134 H) no 23702 (terdapat juga dalam Sunan al-Nasa’I dan Sunan al-Tirmidzi)
للي ل و الناس ن ي ام ث ادخ ل اجل نة ب س ال م 4 م ب ل األ رح ام و artinya أ فش السال م و أ طع م الطع ام و ص
“Tebarkanlah salam, berilah makan, sambungkanlah silaturrahmi dan dirikanlah shalat –malam- saat
manusia sedang tidur kemudian kamu akan masuk surga dengan selamat” (dalam musnad Ahmad, juz
17, hal. 183 nomor hadits: 8152)
3
amalan yang berkaitan dengan hubungan sosial masyarakat, dan ini menjadi bukti
bahwa Islam begitu mementingkan hubungan sosial antar masyarakat.
Di dalam Islam, agama tidak hanya sekedar ritual, namun agama juga
merupakan fenomena sosial. Aspek ritual haji berisi prosesi ritual haji yang
pelaksanaanya berdasar kepada tuntunan syariat. Sedangkan aspek spiritual haji adalah
berbagai makna dan pesan yang terkandung di dalam ibadah haji, baik makna historis,
sosial, keteladanan tokoh ataupun yang berkaitan dengan alam.5 Dalam prolog buku
Islam Sebagai Kritik Sosial, Muslim Abdurrahman menyatakan Islam transformatif
merupakan sikap teologis, yakni menghimpun kekuatan simbolik yang dimiliki setiap
orang Islam yang meyakini bahwa tujuan risâlah al-Islamiyyah pada intinya adalah
bagaimana membawa ide agama dalam pergulatan hidup secara kolektif untuk
menegakkan tatanan sosial yang adil, sebagai cita-cita ketakwaan.6 Agama sebagai
solusi dari problematika sosial harus jeli dalam melihat kondisi sosial umat sehingga
agama mampu melaksanakan amr bi al- ma’ruf dan nahi ‘an al-munkar7.
Dengan pelaksanaan ibadah haji, umat Islam yang melaksanakannya
diharapkan memiliki kepekaan sosial. Karena dalam pelaksanaannya, umat yang
melaksanakan ibadah haji dihadapkan pada kemajemukan karakter manusia dari
seluruh dunia. Ibadah haji diharapkan menjadikan pelaksananya memiliki kearifan
5 Lalu Muhammad Ariadi, Haji Sasak: Sebuah Potret Dialektika Haji dan Kebudayaan Lokal
(Ciputat: IMPRESSA Publishing, 2012), hal.32 6 Moeslim Abdurrahman, Islam sebagai Kritik Sosial, Sayyed Mahdi ed. (Jakarta:Erlangga,
2003), hal. vii 7 amr bi al- ma’ruf yaitu menyuruh kepada kebaikan dan nahi ‘an al-munkar yaitu melarang
kemungkaran. Hal ini berarti memerintahkan umat untuk melakukan tindakan menyuruh ataupun
melarang; tidak hanya melihat dan berdiam diri.
4
sosial yang ada dalam proses ibadah haji pra maupun pasca haji. Akan tetapi yang
terjadi pada saat sekarang ini, haji hanyalah sekedar ibadah haji, ibadah yang tak
mengajarkan nilai-nilai sosial kepada masyarakat.
Paradigma keberagamaan masyarakat berubah dari kesalehan sosial menjadi
bernuansa kesalehan individu. Pada tataran individu, keshalehan para “Haji”8
meningkat dengan rajinnya mereka beribadah ke masjid. Namun secara sosial, haji oleh
sebagian besar kalangan dijadikan alat untuk melegitimasi posisinya dalam wilayah
sosio-kultural, ekonomi dan politik, seperti pada penggunaan status haji untuk
meningkatkan pengaruh secara politik pada pemilihan kepala desa.9 Ibadah haji kini
seolah-olah menjadi ibadah kalangan kaum elit dengan peningkatan biaya
keberangkatan haji, atau juga dapat kita lihat sebagai ibadah prestis yang mampu
mengangkat citra seseorang. Alih-alih menjalankan ibadah ke tanah suci, haji dijadikan
ibadah yang membuat pelakunya menjadi sombong. Padahal haji merupakan ibadah
yang mengajarkan kesetaraan di semua kalangan.
Ibadah-ibadah yang dijalankan oleh umat Islam juga dipengaruhi oleh negara
dan pihak-pihak lainnya. Begitupula dengan ibadah haji yang tidak dapat kita pungkiri,
seiring berjalannya waktu melibatkan tangan-tangan kaum kapitalis. Kapitalisme ini
menjadi sangat berpengaruh terhadap pembentukan formasi sosial.10 Kita menyaksikan
pada zaman sekarang, bagaimana kapitalisme menguasai kehidupan masyarakat.
8 Gelar yang disematkan kepada orang Indonesia yang telah melaksankan ibadah haji. 9 Lalu Muhammad Ariadi, Haji Sasak: Sebuah Potret Dialektika Haji dan Kebudayaan Lokal
(Ciputat: IMPRESSA Publishing, 2012), hal. 5 10 Moeslim Abdurrahman, Islam sebagai Kritik Sosial, Sayyed Mahdi ed. (Jakarta:Erlangga,
2003), hal. 1
5
Kapitalisme mengajarkan kepada masyarakat untuk banyak mengkonsumsi yang
tentunya berpengaruh pada ekonomi, sosial, budaya dan politik. Ditambah lagi strategi-
strategi mereka dalam menggencarkan iklan sehingga membuat masyarakat merasa
rendah apabila tidak memiliki apa yang diiklankan, begitu pula dengan ibadah haji.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan agama; yang selama ini menjadi
tanda-tanda keshalehan, kini juga telah berubah fungsi. Cara berpakaian yang tidak
sembarangan dan menggunakan desain dari designer terkenal. Tidak hanya pakaian,
namun juga sebuah karya kaligrafi yang dihargai berpuluh juta, hanya karena
pertimbangan gengsi. Bahkan al-Qur’an pun sekarang menjadi sesuatu yang bernilai
ekonomis, yang dijual dengan berbagai macam harga sehingga dapat membuat
perbedaan tingkatan di kalangan masyarakat.
Dalam sebuah dunia yang telah dikuasai oleh kapitalisme, segala sesuatu
menjadi sesuatu yang diperebutkan. Setiap orang berkeinginan menjadi yang terbaik,
terkaya, dan dipuji terhadap sesuatu yang dimilikinya. Ibadah haji pun juga ikut
dijadikan sesuatu yang meningkatkan martabatnya sebagai umat Islam yang shaleh.
Mereka berangkat haji berulang kali dengan niat haji sunnah, namun tidak jarang niat
haji itu menjadi melenceng. Kesombongan justru menggerogoti hati para pelaksana
haji Sunnah yang berkali-kali tersebut. Mereka menganggap keshalehan mereka telah
sempurna dengan melaksanakan haji berulang kali.
Pada era ini, masyarakat Muslim terobsesi melaksanakan Haji berulang kali
yang berpahala sunah, namun menelantarkan kewajibannya sebagai saudara se-iman.
Di Indonesia dapat dengan mudah kita menyaksikan masyarakat seringkali tak peduli
6
terhadap ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat. Mereka pun tidak
memperdulikan anak yatim yang terlantar, orang miskin yang tidak makan beberapa
hari dan saudara-saudara seiman yang begitu membutuhkan kedermawanan saudara
seimannya. Padahal tidak sulit untuk menemukan masyarakat yang membutuhkan
bantuan, namun kita masih saja enggan memberikan santunan kepada mereka dan tidak
memperdulikan mereka.
Ibadah haji merupakan sebuah ibadah yang telah dilegitimasi sebagai rukun
Islam yang harus dilaksanakan oleh umat Islam dengan syarat istitha’ah. Ibadah-ibadah
yang dilaksanakan oleh umat Islam hendaknya memiliki implikasi terhadap
kehidupannya, begitu pula dengan pelaksanaan ibadah Haji. Umat Islam yang
melaksanakan haji, tentunya berkeinginan ibadah haji ini menjadi ibadah yang diterima
oleh Allah dan berdampak pada kehidupannya atau yang kita sebut dengan Haji
mabrur. Zainuddin dalam bukunya mengatakan bahwa ibadah haji merupakan ibadah
yang memiliki nilai egaliter dan ukhuwah, melarang sikap arogan, dikriminatif dan
sikap korup lainnya. Kenyataan tersebut secara implisit telah disampaikan Nabi
Muhammad SAW. ketika berkhutbah saat haji wada’. Dalam khutbahnya, Nabi
menekankan akan pentingnya makna persamaan, keharusan memelihara jiwa, harta dan
kehormatan orang lain.11 Adapun hadits tersebut ialah:
ث ن ا ف ض يل بن غ ح ث ن ي ي بن س ع يد ح د ث ن ا ع ل ي بن ع بد ال ح د ث ن ا ع كر م ة د زو ان ح دا أ ن ر س ول ال ص لى ال ع ي ال ع ن ه م و س لم خ ط ب الناس ي وم ل ع ن ابن ع باس ر ي
ال ف أ ي ب ل د ه :النحر ف ق ال ال وا ي وم ح ر ام ا ال وا ب ل د ي أ ي ه ا الناس أ ي ي وم ه ذ ا ذ
11 M. Zainuddin, MA, Kesalehan Normatif dan Kesalehan Sosial (Malang; UIN-Malang Press,
2007), hal.70
7
م و أ مو ال ف إ ن د م اء ال وا ش هر ح ر ام ا ال ف أ ي ش هر ه ذ ك م ع ل يك م اح ر ام ل ك م و أ عر اا م ر ارا ث ر ف ا ف أ ع اد ه ا ف ش هر م ه ذ م ه ذ ا ف ب ل د ف ق ال ح ر ام ح رم ة ي وم ك م ه ذ ع ر أس
12الله م ه ل ب لغت الله م ه ل ب لغت Menceritakan kepada kami ‘Alî bin Abdillâh, menceritakan
kepadaku Yahyâ bin Sa’îd, menceritakan kepada kami Fudhail bin
Ghazwân, menceritakan kepada kami Ikrimah dari Ibnu ‘Abbâs r.a.
sesungguhnya Rasulullah Saw. berkhutbah pada hari Nahr. Beliau
bersabda: “Wahai manusia! Hari apakah ini?” Mereka menjawab: “Hari
haram.” Beliau bertanya: “Negeri apakah ini?” Mereka menjawab:
“Negeri (tanah) haram.” Beliau bertanya: “Bulan apakah ini?” Mereka
menjawab: “Bulan haram.” Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya
darah, harta, dan kehormatan kalian haram sesperti haramnya hari
kalian ini di negeri ini dan bulan ini.” Beliau mengulangnya beberapa
kali. Kemudian beliau mendongakkan kepalanya dan berdo’a, “Ya
Allah, bukankah aku telah menyampaikannya? Ya Allah, bukankah aku
telah menyampaikannya?”
Umat Islam membutuhkan pedoman dalam kehidupan berupa al-Qur’an dan
Sunnah. Maka hadits di atas dapat dijadikan acuan dalam memunculkan kesadaran
humanisme dengan mengungkap makna sosial yang terkandung dalam hadits di atas.
Sebagai umat Islam yang menjadikan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai
pedoman hidup, sudah sepatutnya kita melaksanakan perintah Rasulullah Saw. di atas.
Dalam hal khutbah Nabi Muhammad Saw. saat haji wada’ perlu kita teliti apa yang
dimaksud oleh Rasulullah di dalam hadits tersebut, baik dari segi bahasa maupun
pendapat ulama-ulama maupun pakar sosial serta hubungan dan implikasinya terhadap
jamaah haji. Kita perlu menelisik makna khutbah Nabi Muhammad Saw. yang
12 Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Ismâ’il ibn Ibrâhîm ibn al-Mughîrah al-Bukhâri, Al-Jâmi’ al-
Musnad al-Sahîh al-Mukhtashar in ‘Umûri Rasulullah SAW wa Sunanihi wa Ayyamihi (Beirut: Shadqi
Jamil al-‘athar, 1420 H), Kitab al-Hajj no 1739, (terdapat juga dalam Sahîh Muslim, Sunan Al-Tirmidzi,
Sunan Ibnu Majah, Sunan al-Darimi, Musnad Ahmad)
8
disampaikan saat pelaksanaan haji wada tersebut dari berbagi aspek, terlebih dari aspek
sosial. Karena permasalahan umat saat ini sangat dipengaruhi oleh faktor sosial.
Untuk itu penulis mencoba membahas lebih luas lagi dan spesifik dalam bentuk
karya ilmiah, sebuah skripsi dengan judul “Haji Dan Kesadaran Humanisme:
Makna Sosial Dalam Khutbah Haji Wada’ (Kajian Hadits Tematik)”.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Adapun identifikasi masalah dari tema ini antara lain:
a. Apa saja nilai sosial yang dapat diambil dari pelaksanaan ibadah
haji?
b. Apakah persoalan ekonomi menjadi penghalang pelaksanaan ibadah
haji?
c. Bagaimana kebijakan pemerintah dalam mengelola keberangkatan
ibadah haji?
d. Apa saja makna yang terkandung dalam khutbah haji wada’?
e. Apakah ada dalil yang memerintahkan untuk meningkatkan
kesadaran humanisme?
f. Apakah Islam mengatur hubungan sosial masyarakat?
g. Apakah makna sosial yang terdapat dalam khutbah haji wada?
9
2. Pembatasan Masalah
Berpijak dari latar belakang dan identifikasi masalah yang telah
dijabarkan di atas, maka penulis membatasi penelitian ini pada beberapa poin
dalam identifikasi masalah yakni makna sosial yang terdapat dalam khutbah
Nabi Muhammad ketika Haji Wada’ yang seharusnya menjadi pedoman bagi
umat Islam dalam kehidupan sosialnya terutama yang telah melaksanakan
ibadah haji di tanah suci. Pembatasan ini didasarkan pada urgensi kesadaran
sosial dalam hidup bermasyarakat yang hadir di kalangan umat Islam.
Ketimpangan sosial menjadi alasan mengapa permasalahan ini dibahas.
Karena ketimpangan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dapat
mempengaruhi kualitas ibadah dan dapat menjadikan kewajiban-kewajiban
sesama saudara seiman tertelantarkan. Permasalahan dalam penelitian ini juga
dibatasi dengan khutbah Nabi Muhammad Saw. ketika haji Wada’nya. Khutbah
Nabi Muhammad Saw. ketika haji wada’ menjadi batasan dalam penelitian ini
dikarenakan terdapat anjuran-anjuran menjaga sesama muslim.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dari
topik ini adalah Makna apakah yang terdapat dalam Khutbah haji wada’ yang
dapat meningkatkan kesadaran Humanisme umat Islam yang melaksanakan
Haji? Pertanyaan ini saya pilih agar dapat mengungkap makna sosial dari
10
Ibadah haji melalui khutbah Nabi Muhammad Saw. ketika melaksanakan haji
wada’.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Sebagaimana yang telah tertuang dalam rumusan masalah sebelumnya, maka
tujuan yang hendak saya capai dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui hadits-hadits Nabi Muhammad Saw. mengenai humanismeserta
khutbah Nabi Saw. saat haji wada’.
2. Mengetahui makna khutbah Nabi Muhammad Saw. ketika haji wada’ dari
perpektif sosial.
Ketika tujuan penelitian ini terealisasi, maka hasil penelitian ini diharapkan
memberikan manfaat, antara lain:
1. Memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa Ibadah haji memiliki nilai
sosial yang bermanfaat bagi kehidupan.
2. Memberikan pemahaman bahwa umat Islam harus memberikan manfaat bagi
umat Islam lainnya.
3. Menyampaikan kepada umat Islam bahwa pedoman dalam hidup bersosial
dapat dipahami salah satunya melalui ritual ibadah haji serta anjuran-anjuran
Nabi Muhammad Saw. dalam hadits-hadits yang disampaikan oleh beliau.
4. Mengungkap bahwa melalui khutbah haji wada, Nabi Muhammad Saw. ingin
menyampaikan bahwa hubungan sosial merupakan hal yang utama.
11
5. Tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi khazanah keilmuan, serta
persoalan yang dihadapi dewasa ini.
D. Metodologi Penelitian
1. Sumber Data
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah hadits yang terdapat
dalam Jami’ al-Sahîh al Bukhâri karangan al-Bukhari. Kitab ini dipilih karena
telah mendapatkan legitimasi dari para ulama sebagai kitab yang paling sahih
di antara kitab-kitab hadits lainnya. Sahîh al Bukhâri juga merupakan kitab
kedua setelah al-Qur’an yang menjadi rujukan umat Muslim. Dalam memahami
hadits ini, penulis mengumpulkan data sekunder dari syarah kitab sahîh al-
Bukhari yakni Kitab Fath al-Bâri karangan Ibnu Hajar al-Asqalâni. Di samping
kitab Shahîh al Bukhâri, penulis juga menggunakan 5 kitab hadits utama
lainnya yaitu, Shahîh Muslim, Sunan Abû Dâud, Sunan Ibnu Mâjah, Sunan al-
Nasâ’i, Sunan al-Tirmîdzi.
Kemudian penulis menggunakan buku-buku yang memuat persoalan
haji, serta permasalahan sosial sehingga penelitian ini dapat diterima masyaakat
dan mudah dipahami. Buku terbitan kementrian agama yang berjudul
“Dinamika dan Perspektif Haji Indonesia” juga menjadi rujukan utama penulis
dalam mengetahui perkembangan haji serta dampaknya bagi masyarakat.
12
2. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode penelitian
kepustakaan (library research). Metode penelitian kepustakaan dilakukan
untuk memperoleh data dan referensi dari sumber-sumber kepustakaan primer
berupa enam kitab hadits utama yang dijadikan rujukan utama setelah al-
Qur’an. Kemudian ada referensi sekunder berupa kitab syarah hadits.
Berbagai referensi juga digunakan penulis untuk membantu
terwujudnya penelitian yang ilmiah serta akurat. Penulis akan menggunakan
buku-buku yang membahas sosiologi ataupun buku yang membahas kehidupan
sosial masyarakat. Buku sosiologi sangat dibutuhkan dalam penelitian ini
karena tulisan ini bertujuan mengungkap makna sosial khutbah Nabi sehingga
bermanfaat bagi kehidupan sosial.
3. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode
pemahaman hadits secara tematik, yaitu memahami hadits dengan
mengumpulkan hadits-hadits satu tema dan mengkajinya dari berbagai aspek13
sehingga permasalahan yang ada dapat terselesaikan. Sedangkan pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan al-Jabiri. Pendekatan
ini dipilih agar penulis dapat mengungkap sisi sosial dalam khutbah haji wada
ini. Adapun metode penulisan, penulis mengacu pada buku pedoman akademik
13 Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadits (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 141
13
program Strata 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2013/2014.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam penelusuran pustaka yang penulis lakukan, penulis menemukan
beberapa karya yang membahas tema ibadah haji. Di antara skripsi yang membahas
tema haji adalah Skripsi Rina Kurnia, tahun 2014 M yang berjudul Manfaat Ibadah
Haji (Telaah Terhadap Surat Al-Hajj Ayat : 29). Di sini ia menjelaskan manfaat ibadah
Haji dalam al-Qur’an menurut M. Quraish Shihab, Sayyid Qutb dan Hamka. Dia
menjelaskan dalam skripsinya bahwa ibadah haji baik dari sisi perniagaan (jual-beli)
maupun dalam rangka kemajuan umat Islam. Menurutnya, ada dua manfaat dari Ibadah
Haji, yaitu sebagai motivasi spiritual, dan manfaat dalam aspek sosial-ekonomi.
Lalu Muhammad Ariadi juga menulis sebuah buku mengenai Haji yang dalam
salah satu babnya juga membahas fenomena sosial para Hujjaj yang ada di kalangan
suku Sasak dengan judul bukunya Haji Sasak: Sebuah Potret Dialektika Haji dan
Kebudayaan Lokal. Buku ini diterbitkan di Ciputat pada tahun 2012. Beberapa
penelitian mengenai haji lebih banyak diminati oleh jurusan Manajemen dakwah
seperti skripsi Dzul Kifli, sarjana UIN Jakarta tahun 2010 yang berjudul Manajemen
Pelayanan Jama’ah Haji dan Umrah PT. Patuna Tour dan Travel. Penelitian ini hanya
berfokus pada bagaimana pelayanan sebuah agen travel haji dan umrah.
K.H. Ali Mustafa Ya’kub juga menulis buku mengenai haji, yaitu Haji
Pengabdi Setan dan Mewaspadai Provokator Haji. Dalam kedua bukunya ini beliau
14
mengungkapkan bagaimana ibadah haji menjadi berubah makna di beberapa kalangan
masyarakat. Menurutnya ibadah haji telah beralih fungsi dari ibadah yang mendekatkan
seseorang kepada Allah kepada ibadah yang mengangkat derajat seseorang di mata
manusia.
Sama halnya dengan skripsi Furqan Mukminin Sarjana UIN Semarang tahun
2015 yang berjudul Manajemen Pelayanan Biro Perjalanan Haji dan Umrah (Studi
Kasus di Sultan Agung Tor & Travel Semarang skripsi ini juga membahas pelayanan
sebuah agen travel haji dan umrah. Selanjutnya ada skripsi Ragil Purnomo yang juga
sarjana jurusan manajemen dakwah di UIN Yogyakarta yang meneliti Manajemen
Pelayanan Calon Jama’ah Haji (Studi Kasus Panitia Penyelenggara Ibadah Haji
Embarkasi Solo Of City Muslim Haji Tahun 2015).
Kajian dalam tulisan Rina Kurnia hanya mengungkap manfaat dari ibadah haji
dalam perspektif surah al-Hajj ayat 29 namun tidak membahas fungsi sosial
pelaksanaan ibadah haji secara mendalam. Sedangkan buku Lalu Muhammad Ariadi
membahas pengaruh kebudayaan suku Sasak terhadap haji. Sedangkan beberapa
penelitian yang ditulis oleh sarjana Jurusan Manajemen Dakwah hanya membahas
bagaimana pelayanan sebuah agen travel haji dan Umrah terhadap pelanggannya.
Berbeda dengan penelitian-penelitian di atas, maka dapa dilihat belum adanya
sebuah penelitian yang berfokus pada humanismedalam haji. Maka dalam tulisan ini,
penulis akan mengungkap hikmah yang terkandung dalam pelaksanaan ibadah haji
terutama dari perspektif anjuran Nabi Muhammad Saw. yang disampaikan pada
khutbahnya saat haji wada’.
15
F. Sistematika Penulisan
Pembahasan dalam penelitian ini akan disusun secara keseluruhan terdiri dari
empat bab, satu bab pendahuluan, dan dua bab isi, kemudian ditutup dengan satu bab
penutup yang memuat kesimpulan dari hasil penelitian ini.
Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang permasalahan yang
menjabarkan motivasi penulis mengangkat tema ini. Dalam bab ini juga dikemukakan
pembatasan dan rumusan masalah yang ingin dijawab oleh penelitian ini. Kemudian
ada tujuan dan manfaat penulisan, metodologi penulisan, tinjauan pustaka dan
sistematika penulisan.
Bab kedua terdiri dari dua pembahasan. Pembahasan pertama berisi gambaraan
secara umum mengenai haji dan humanisme, yaitu pengertian haji, filosofi haji, haji
wada’, dimensi ibadah haji dan pembahasan kedua berisi gambaran umum mengenai
pengertian humanisme, pendekatan al-Jabiri berupa teori-teori humanisme.
Bab ketiga, penulis menjelaskan hadits yang disampaikan Nabi Muhammad
Saw. berupa khutbah beliau saat melaksanakan haji wada’ yaitu teks hadits dan
terjemahannya, asbâb al-wurûd al-hadîts. Kemudian penulis mencantumkan hadits-
hadits mengenai humanisme beserta pemahaman mengenai humanisme dengan
menggunakan pendekatan al-Jabiri sebagai pengungkap makna sosial khutbah haji
wada’.
Bab keempat merupakan penutup yang berisi kesimpulan akhir dari penelitian
ini dan saran-saran.
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HAJI DAN HUMANISME
A. Tinjauan Umum Haji
1. Pengertian Haji
Haji secara etimologi berasal dari kata الج (al-Hajju) yang berarti
maksud1 atau sengaja. Kata al-Hajj yang berarti maksud digunakan dalam
kata ذا yang artinya dia bermaksud demikian. Maka haji (hajja kadzâ) حج
adalah sengaja mengunjungi Ka’bah untuk melaksanakan serangkaian
amal ibadah sesuai dengan syarat dan rukun tertentu.2
Adapun menurut syari’at, haji merupakan bentuk ibadah kepada
Allah Swt., dengan menunaikan manasik (prosesi ibadah haji) secara
khusus pada waktu yang telah dikhususkan.3 Dalam syari’at Islam, haji
diketahui sebagai salah satu rukun dari rukun-rukun Islam. Maka Haji
menjadi ibadah yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam Dalam kamus
besar bahasa Indonesia juga disebutkan bahwa haji merupakan rukun Islam
kelima (kewajiban beribadah) yang harus dilakukan oleh orang Islam yang
mampu berziarah ke Bait Allâh pada bulan haji (Zulhijjah) dan
1 Ibnu Manzhûr, Lisan al-‘Arâb (Kairo: Daar al-Ma’arif), juz 9 hal. 778 2 Dr. Hj. Zurinal Z dan Drs. Aminuddin, M.Ag. Fiqih Ibadah (Jakarta: Lembaga Penelitian
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), hal. 185 3 Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Sifat Haji Nabi SAW - Pembahasan dari Kitab
Fath Dzi al-Jalal wa al-Ikram Syarah Bulughul Maram (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2014), hal. vii
17
melaksanakan amalan-amalan haji seperti ihram, tawaf, sa’i, dan wukuf di
Arafah.4
Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam dan hukum
melaksanakannya adalah wajîb ‘ain satu kali seumur hidup. Kewajiban
menunaikan ibadah haji bagi umat Islam yang mampu dijelaskan dalam al-
Qu’an surah Ali Imran ayat 97
ه ههولل هلع ههٱنلاسل يبتلهحلج ههٱلب تطاعهمنل ههٱسب 5إللبهلهسبليلا“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan
ke Baitullah.” (Q.S.Ali Imran : 97)
Dalam tafsir al-Qurthubi dijelaskan bahwa perintah haji dalam
ayat ini merupakan penegasan kewajiban haji, dan pengagungan atas
kesucian haji.6 Dalam hadits Nabi Muhammad Saw., dijelaskan juga
mengenai menunaikan ibadah haji merupakan kewajiban umat Islam
ث ن ا ع ب يد ال بن نظ ل ة بن أ ب س ح د ال أ خب ر ن ح في ان ع ن ع كر م ة بن م وس ى ال ر س ول ال ص لى ال ع ال ي ال ع ن ه م ا و س لم خ ال د ع ن ابن ع م ر ر ل ي
م ع ل ى خ س ش ه اد ة أ ن ال إ ل إ ال سال ب ن ال مدا ر س ول ال و إ ام ال و أ ن اة و ال ج و ص وم ر م ض ان ة و إ يت اء الز 7الصال
“Menceritakan kepada kami ‘Ubaid bin Mûsâ ia berkata
telah mengabarkan kepada kami Hanzholah bin Abi Sufyân dari
Ikrimah bin Khâlid dari Ibnu Umar r.a. Ia berkata Rasulullah
4 Departemen Pendidkan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 473 5 Al-Qur’an al-Karim surah Ali Imran ayat 97 6 Al-Qurthubi, Terjemahan Tafsir al-Qurthubi, (Jakarta:Pustaka Azzam, 2008), hal. 365 7 Abû Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhim bin al-Mughîrah al-Bukhâri, Al-Jâmi’ al-
Musnad al-Shâhih al-Mukhtasar min ‘Umûri Rasulullah SAW wa Sunanihi wa Ayyamihi (Beirut: Dar
El-Fiker, 1420 H), hal. 22
18
Saw. telah bersabda “Islam ditegakkan di atas lima perkara;
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad
Saw. merupakan Utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, mengerjakan haji dan berpuasa di bulan Ramadhan.”
(H.R. al-Bukhari)
Ulama berbeda pendapat tentang waktu diwajibkannya ibadah
haji bagi umat Muslim. Menurut pendapat terkuat jumhur ulama, ibadah
haji diwajibkan pada tahun ke enam Hijriyyah8. Menunaikan ibadah haji
diwajibkan satu kali seumur hidup bagi setiap muslim yang telah
memenuhi syarat wajib haji. Adapun syarat-syarat wajib haji tersebut
ialah:9
a. Islam
Haji merupakan ibadah yang bertujuan mendekatkan diri
kepada Allah Swt., dan haji memerlukan niat untuk melaksanakan
perintah Allah Swt. maka haji diwajibkan hanya untuk orang-orang
yang beriman kepada Allah, dan tidak diwajibkan bagi orang kafir
begitu pula dengan orang yang murtad karena tidak memiliki
keimanan kepada Allah Swt.
8 Sulaiman Ahmad Yahya al-Faifi, Al-Wajiz Fii Fiqh al-Sunnah al-Sayyid Sabiq, penerjemah
Ahmad Tirmidzi dkk. (Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 2015), hal.336 9 Dr. A. Rahman Ritonga, M.A. dan Dr. Zainuddin, M.A., Fiqh Ibadah, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002), hal. 217
19
b. Baligh
Kata ini telah digunakan dalam bahasa Indonesia yakni
diartikan dengan cukup umur.10 Baligh merupakan syarat bagi setiap
orang yang dipikulkan beban hukum kepadanya (taklîf).
c. Berakal
Kedudukan akal dalam taklîf tidak berbeda dengan kedudukan
baligh. Taklif tidak diberikan kepada orang yang tidak berakal,
karena dengan akal seseorang dapat melaksanakan perintah Allah
dengan kesadaran. Orang yang gila tidak berkewajiban
melaksanakan ibadah haji, sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits Nabi Muhammad Saw. berikut:
ث ن ا ي ز يد بن ه ار ون أ خب ر ن ح اد ب ة ح د ي ث ن ا ع ثم ان بن أ ب ش بن س ل م ة ع ن ح دا أ ن ر س ول ال ي ال ع ن ه ص لى ح اد ع ن إ ب ر اه يم ع ن األ سو د ع ن ع ائ ش ة ر
ال و س لم ث ة ع ن النائ م ح ت ال ع ل ي ت ل ى ر ف ع الق ل م ع ن ث ال ي ست يق و و ع ن الم ب ح ت ي كب ر 11ح ت ي ب ر أ و ع ن الصب
“Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmân bin Abî Syaibah,
telah menceritakan kepada kami Yazîd bin Hârun, telah
mengabarkan kepada kami Hammâd bin Salamah dari Ibrahîm dari
al-Aswâd, dari ‘Âisyah r.a. sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda:
diangkatkan dosa dari tiga hal, yaitu dari orang yang tidur sampai ia
bangun, dari orang gila hingga ia sembuh, dan anak kecil hingga ia
dewasa.”
10 Departemen Pendidkan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal 126 11 Abu Dâud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar al-Fikar, 2003),
juz 2 hal.345
20
d. Merdeka
Para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa orang yang wajib
melaksanakan ibada haji adalah orang-orang yang merdeka. Seorang
hamba sahaya tidak diwajibkan haji karena ibadah haji melibatkan
fisik dan membutuhkan harta, sedangkan ia memiliki kewajiban
melaksanakan hak-hak tuannya.
e. Istitâ’ah
Istitâ’ah yaitu mampu. Yang dimaksud dengan istitâ’ah di sini
adalah berbadan sehat, aman perjalanan pulang dan pergi, bekal yang
cukup untuk ongkos perjalanan termasuk belanja di Mekkah dan
biaya hidup keluarga yang ditinggalkan, serta mempunyai mahram
bagi perempuan yang akan melaksanakan ibadah haji.12 Sayyid Sâbiq
menambahkan satu kriteria lagi dalam hal istitâ’ah yaitu tidak ada
hal-hal yang mencegah untuk berangkat haji, seperti ditahan, atau
takut ancaman sultan (penguasa) yang zalim yang melarang manusia
melaksanakannya.13 Untuk syarat mahram bagi perempuan ini
dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya:
ث ن ا ح اد بن ز يد ع ن ع مرو ع ن أ ب م عب د ث ن ا أ ب و الن عم ان ح د م ول ابن ح د ص لى ال ال النب ال ا ي ال ع ن ه م و س لم ع باس ع ن ابن ع باس ر ع ل ي
ر م و ال ي دخ ل ع ل ي ه ا ر ج ل إ ال و م ع ه رأ ة إ ال م ع ذ ي ر م ال ت س اف ر الم ا
12 Dr. Hj. Zurinal Z dan Drs. Aminuddin, M.Ag. Fiqih Ibadah (Jakarta: Lembaga Penelitian
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), hal.186 13 Sulaiman Ahmad Yahya al-Faifi, Al-Wajiz Fii Fiqh al-Sunnah al-Sayyid Sabiq, penerjemah
Ahmad Tirmidzi dkk. (Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 2015), hal.339
21
ا و ف ق ال ر ج ل ي ر س ذ ا و امر أ ت ر يد ول ال إ ن أ ر يد أ ن أ خر ج ف ج يش ذ 14ال ج ف ق ال اخر ج م ع ه ا
“Telah menceritakan kepada kami Abû al-Nu’mân telah
menceritakan kepada kami Hammâd bin Zaid dari ‘Amri dari
Abî Ma’bad maula Ibnu Abbâs dari Ibnu Abbâs ra. Nabi
Muhammad Saw. telah bersabda: “Janganlah berpergian
seorang perempuan kecuali bersama mahramnya dan tidak
boleh pula bagi seorang laki-laki mendatangi perempuan
selain apabila ia bersama mahramnya.” Berkata seorang laki-
laki, “Ya Rasulullah! Sesungguhnya saya bermaksud akan
pergi perang, sedangkan istri saya bermaksud melaksanakan
haji.” Rasulullah Saw. menjawab: “Pergilah bersama-sama
dengan istrimu (naik haji)” (HR. al-Bukhâri)
Haji diwajibkan bagi yang mampu, baik biaya, fisik, maupun
kendaraan atau perjalanannya. Karena itu jika seseorang tidak
memiliki kemampuan untuk berhaji sampai akhir hayatnya, maka hal
tersebut tidak mengurangi kualitas keislamannya. Di sinilah letak
kelenturan dan fleksibelitas syariat Islam yang salah satu prinsipnya
adalah ‘adam al-harâj (peniadaan dosa), semacam toleransi bagi
yang tidak mampu. 15
Peletakan ibadah haji pada posisi terakhir dari rukun Islam
menurut A. Husnul Hakim- Dekan Fakultas Ushuluddin Perguruan
Tinggi Ilmu Al-Quran Jakarta, bukanlah tanpa alasan. Menurutnya,
14 Abû Abdullah Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhim bin al-Mughîrah al-Bukhâri, Al-Jâmi’
al-Musnad al-Shâhih al-Mukhtashar min ‘Umûri Rasulullah SAW wa Sunanihi wa Ayyamihî (Beirut:
Dar El- Fiker, 1420 H), hal. 441 15 A. Husnul Hakim, “Haji Mabrur: Antara Teologis dan Sosiologis.” Dalam Dinamika dan
Perspektif Haji Indonesia (Jakarta: Direktorat Jendral Penyelanggaraan Haji dan Umrah Kementrian
Agama Republik Indonesia, 2012) hal. 268
22
secara filososfis, syahadatain merupakan jenjang pertama yang harus
ditempuh umat Islam dalam mencari keyakinan. Sedangkan shalat
adalah bukti pertama atas keimanannya. Zakat menumbuhkan
kesadaran umat Muslim bahwa ia adalah makhluk sosial yang tidak
dapat hidup sendiri dan membutuhkan bantuan orang lain. Ibadah
puasa merupakan ibadah yang mengajarkan manusia menahan hawa
nafsu. Tidak hanya menahan lapar dan haus, namun juga menjaga
diri agar tetap berada dalam koridor Islam. Puasa juga menjadi sarana
memahami kehidupan manusia yang lebih miskin; yang seringkali
menahan rasa lapar karena kekurangan materi. Maka haji sebagai
rukun Islam yang terakhir menjadi sarana mengembalikan manusia
kepada kesadaran fitrahnya yaitu makhluk yang lemah.
Melaksanakan ibadah haji ke Baitullah merupakan dambaan
setiap Muslim karena banyaknya keutamaan ibadah ini. Haji
merupakan ibadah utama yang diwajibkan Allah kepada umat
Muslim. Hal ini dijelaskan dalam salah satu sabda Rasulullah:
يم ب ث ن ا إ ب ر اه ث ن ا أ ح د بن ي ون س و م وس ى بن إ س اع يل اال ح د ن س عد ح ده اب ع ن س ع يد بن الم س يب ع ن أ ب ه ر ي ر ة أ ن ث ن ا ابن ش ر س ول ال ح د
و س لم س ئ ل أ ي ل و ر س ول الع م ل أ فض ال ص لى ال ع ل ي ل ف ق ال إ مي ان ب ال اجل ه اد ف س ب يل ال يل ث م اذ ا ال ح ج م ب ر ور يل ث م اذ ا
“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunûs
dan Mûsâ bin Ismâ'il keduanya berkata, telah menceritakan
kepada kami Ibrâhim bin Sa'd berkata, telah menceritakan
23
kepada kami Ibnu Syihâb dari Sa'id bin Al Musayyab dari
Abû Hurairah ra., Rasulullah Saw. ditanya ‘Amalan apa yang
paling utama?’ Beliau menjawab: ‘Iman kepada Allah dan
Rasulnya’ kemudian ditanya lagi, ‘lalu apa lagi?’ Beliau
menjawab: ‘Kemudian Jihad di jalan Allah’ Kemudian
ditanya lagi, ‘lalu apa lagi?’ Beliau menjawab: ‘Kemudian
Haji mabrur’.” 16
Ibadah haji memiliki aturan-aturan tersendiri sebagaimana
aturan ibadah-ibadah lain. Jika dalam shalat ada rukun, syarat wajib,
syarat sah dan sunnah-sunnah, maka dalam melkasanakan ibadah
haji pun demikian. Seluruh aturan tersebut menjaga umat Islam tetap
dalam koridor sehingga tidak aka terjadi perpecahan antar umat
manusia. Sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai persaudaraan
dan kemanusiaan, maka sudah seharusnya Ibadah-ibadah dalam
agama Islam memperhatikan aspek-aspek yang berhubungan dengan
hubungan sesama manusia.
2. Filosofi Haji
Haji bukanlah sekedar ibadah yang membutuhkan tenaga ataupun
kekuatan fisik, namun haji juga membutuhkan kesiapan mental yang
menjadikan umat dapat melaksanakan dan memahami ibadah haji sebagai
suatu ibadah yang sangat bernilai. Haji memiliki nilai spiritual yang sangat
penting, hal ini dapat kita lihat dalam tata cara pelaksanaan haji yang telah
ditentukan.
16 Abû Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhim bin al-Mughîrah al-Bukhâri, Al-Jâmi’
al-Musnad al-Shâhih al-Mukhtashar min ‘Umûri Rasulullah SAW wa Sunanihi wa Ayyamihî, (Beirut:
Dar el-Fikar, 1420 H), hal. 26
24
Allah Swt. mensyariatkan ibadah haji sehingga umat Islam
berkumpul di suatu tempat dengan berbagai jenis bangsa, suku atau ras.
Mereka datang dari segalan penjuru dunia membanjiri tanah haram,
sebagaima firman Allah:
ذلنههوأ هفل لههٱنلاسل جلهب
هعمليقههٱلب هفج لتلنيهملنهك
بهضاملرهيأ ل
هك هولع توكهرلجالاب ٢٧17يأ
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan
haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki,
dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru
yang jauh.” (QS. al-Maidah : 27)
Adapun hikmah dan filosofi pelaksanaannya disebutkan oleh
Mulyadhi Kertanegara dalam tulisannya sebagai berikut:18
a. Mengenakan pakaian ihram
Mengenakan pakaian ihram merupakan pertanda dimulainya
ibadah haji. Sejak dimulainya memakai pakaian ihram, maka ada
larangan-larangan khusus yang tidak boleh dilakukan saat
menunaikan ibadah haji hingga saat selesai tahallul. Hikmah dari
pemakaian kain ihram ini adalah untuk menunjukkan bahwa Allah-
lah yang berkuasa secara penuh. Hal ini akan mengingatkan kita pada
hari akhir, di mana hanya Allah yang berkuasa atas segala sesuatu.
Dalam memakai kain ihram, kita dapat melihat musâwah19
17 Al-Qur’an al-Karim surah Al-Maidah ayat 27 18 Mulyadhi Kertanegara, “Filosofi Haji.” Dalam Dinamika dan Perspektif Haji Indonesia
(Jakarta: Direktorat Jendral Penyelanggaraan Haji dan Umrah Kementrian Agama Republik Indonesia,
2012), hal.2 19 Drs. Ishak Farid, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999),
hal. 79
25
(kesetaraan) antar manusia. Seberapa banyak pun harta dari sesorang,
saat memulai ibadah haji, ia tetap menggunakan selembar kain ihram.
Setinggi apapun jabatan seseorang, ia tetap mengenakan sehelai kain
ihram. Manusia tidak dapat memilih akan memakai pakaian berlapis
emas ataupun perak, pakaian designer terkenal yang dijual dengan
harga puluhan bahkan jutaan rupiah. Di sini, setiap orang sama-sama
menggunakan kain ihram.
b. Tawaf mengelilingi Ka’bah
Tawaf berarti berjalan mengelilingi Ka’bah. Ka’bah merupakan
Baitullah yang menjadi arah Kiblat umat Islam. Setiap muslim di
segala penjuru dunia mengahadapkan wajahnya ke Kiblat ketika
melaksanakan shalat. Bertawaf mengandung arti berkunjung ke
rumah Allah. Namun untuk dapat merasakan kehadiran Allah Swt.
kita harus merasakan cinta kepada-Nya. Hikmah dari pelaksanaan
Thawaf ialah kesatuan umat Islam. Kesatuan umat Islam akan
dirasakan ketika manusia berkumpul dalam jumlah yang besar; tawaf
dan menyembah Allah Swt. Sebagaimana shalat berjama’ah yang
melambangkan kesatuan umat Islam, Thawaf saat haji menjadi tanda
persatuan umat Islam yang paling besar.
c. Sa’i antara Safa dan Marwa
Pelaksanaan sa’i berawal dari kisah perjuangan Siti Hajar yang
mencarikan air minum untuk putranya yang masih bayi yaitu Ismail.
Peristiwa ini mengajarkan kita tentang keseimbangan usaha dan
26
tawakkal. Siti Hajar berusaha berlari-lari kecil antara Shafa dan
Marwa, sedangkan putranya ia serahkan kepada Allah,. Maka dapat
kita ambil hikmah dari sejarah sa’i bahwa perjuangan harus disertai
dengan tawakkal. Kemudian dari penamaan Safa dan Marwa juga
memiliki makna yang dalam. Safa diartikan suci dan marwa berarti
kebaikan. Maka jika kita berlari menuju Safa dan Marwa, kita harus
mengingat sudah ditingkat mana kesucian dan kebaikan kita.
Sedangkan jumlah sa’i yang tujuh kali tersebut dijelaskan oleh
Mulyadhi Kertanegara bahwa tujuh kali dalam seminggu hendaknya
selalu melakukan hal-hal yang menjadikan diri kita dekat dengan
kebaikan dan kesucian, sehingga setelah kita melaksanakan ibadah
haji akan terjadi transformasi jiwa dan moral sebagai buah manis dari
pelaksanaan ibadah haji sekaligus sebagai tanda tercapainya haji yang
mabrur. Jika tidak, ibadah haji kita tidak akan memberi pengaruh
positif dalam kehidupan.20
d. Wukuf di Arafah dan Bermalam di Muzdalifah
Wukuf merupakan inti dari ibadah haji itu sendiri.
Melaksanakan haji tanpa wukuf di Arafah akan membuat ibadah haji
seseorang tidak bernilai haji. Hal ini disebutkan Rasulullah Saw.
dalam sabdanya:
20 Mulyadhi Kertanegara, “Filosofi Haji.” Dalam Dinamika dan Perspektif Haji Indonesia
(Jakarta: Direktorat Jendral Penyelanggaraan Haji dan Umrah Kementrian Agama Republik Indonesia,
2012), hal. 9
27
ث ن ا س في ان ع يع ال ح د ال أ ن ب أ ن و ي بن أ خب ر ن إ سح ق بن إ ب ر اه يم ن ب ك ر ال ش ه دت ر س ول ال ص لى ال ع و س لم ع ط اء ع ن ع بد الرح ن بن ي عم ل ي
س ف س أ ل وه ع ن ال ج ف ق ال ر س ول ال ص لى ال ع ل ي ه ن و س لم ال ج ع ر ف ة ف أ ت ل ة ع ل ة ج ع ف ق ف م ن أ در ك ل ي ن ل ي ر ف ة بل ط ل وع الف جر م 21.د ت ح ج
“Telah mengabarkan kepada kami Ishaq bin Ibrahîm, ia
berkata; telah memberitakan kepada kami Wâki’, ia berkata;
telah menceritakan kepada kami Sufyân dari Bukair bin ‘Atha’
dari Abdur Rahmân bin Ya'mar, ia berkata; saya menyaksikan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam didatangi manusia
kemudian bertanya kepadanya mengenai haji, lalu Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Inti Haji adalah wukuf
di Arafah, barang siapa yang mendapatkan malam Arafah
sebelum terbit fajar dari malam jam' (waktu sore pada hari
Arafah maka hajinya telah sempurna."
Wukuf adalah berhenti sejenak untuk intropeksi diri
sebagaimana Nabi Adam dahulu memohon ampunan Allah atas dosa
yang ia lakukan. Karena itu, ketika melaksanakan wukuf di Padang
Arafah, kita dapat melakukan muhasabah atas dosa-dosa dan amalan-
amalan yang telah kita lakukan, serta memohon ampunan kepada
Allah Swt.
Selanjutnya, bermalam di Muzdalifah selain untuk
mengumpulkan batu, kegiatan ini juga dimaksudkan untuk
bermuhasabah serta berzikir kepada Allah Swt. waktu malam adalah
waktu yang paling tepat untuk berkomunikasi dengan Allah karena
21 Al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’I (Beirut: Dar al-Fikar, 2005), juz 3, hal. 262
28
kesunyian malam berpotensi membawa kekhusyukan saat
berinteraksi dengan Allah.
e. Melontar Jumrah di Mina
Ritual melontar berjumrah berawal dari sejarah Nabi Ibrahim
yang melempar batu kepada setan yang terus saja menggodanya untuk
tidak melaksanakan perintah Allah menyembah putranya Ismail.
Namun dalam ritual melontar jumrah ini oleh para sufi bukan
diartikan secara lahiriyah di mana setan yang menjadi sasaran
pelemparan tersebut. Melontar jumrah diartikan sebagai upaya-upaya
melenyapkan segala bentuk jiwa syathâniyyah yang bersarang di
dalam hati manusia. Maka secara filosofis, orang yang telah pulang
dari haji akan bersih hatinya sehingga berdampak pada perilakunya
yang baik dan tulus setelah pulang dari Baitullah.
f. Kurban
Kurban adalah salah satu ibadah yang disyariatkan dalam Islam
yang merupakan bentuk kepasrahan seorang hamba kepada Allah Swt.
untuk mendekatkan diri kepada-Nya.22 Ibadah ini dilaksanakan dalam
rangkaian ibadah haji sehingga kurban memiliki nilai penting dalam
pelaksanaan ibadah haji.
22Syahruddin El Fikri, Sejarah Ibadah, Menelusuri Asal-Usul Memantapkan Penghambaan
(Jakarta: Republika, 2014), hal. 112
29
Kata kurban berasal dari kata رب yang berarti dekat. Karena
itu tujuan dari berkurban adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah
Swt. Perintah berkurban diberikan oleh Allah Swt. kepada Nabi
Ibrahim melalui mimpi yang terjadi berulang-ulang sehingga Nabi
Ibrahim sangat yakin mimpinya adalah perintah dari Allah Swt.,
yakni ia harus mengorbankan anak kesayangannya yaitu Ismail.
Mengorbankan Ismail berarti mengorbankan sesuatu yang sangat
dicintainya, mengingat penantian panjang Nabi Ibrahim terhadap
kelahiran Ismail.
Dalam pandangan sufi, berkurban bukan hanya
mengorbankan hewan, akan tetapi maknanya lebih tinggi dari itu,
yaitu mengorbankan segala nafsu hewani yang ada dalam diri kita.
pengorbanan ini akan memberikan dampak besar terhadap
kemaslahatan umat.23
Ibadah haji merupakan momen besar atau muktamar agung24 yang telah
disiapkan Allah Swt. bagi manusia, agar setiap umat dari berbagai penjuru
dunia berkumpul sehingga satu sama lain dapat mengambil manfaat dari yang
lainnya. Dari kejadian perkumpulan umat Muslim terbesar ini, maka kita dapat
23 Mulyadhi Kertanegara, “Filosofi Haji.” Dalam Dinamika dan Perspektif Haji Indonesia
(Jakarta: Direktorat Jendral Penyelanggaraan Haji dan Umrah Kementrian Agama Republik Indonesia,
2012), hal.12 24 Drs. Ishak Farid, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999),
hal. 80
30
mengenal negara dan sistem-sistem yang berlaku di negara seseorang yang
tentu dapat memberikan pengajaran bagi kita. Hal ini sesuai dengan firman
Allah Swt.:
هدوا ه كروا ههلليشب هويذب مهمنفلعهلهمب هماهرزقهمهملنهبهليمةلههاللههٱسب هلع لومت عب يامهم
هأ فل
نبعمل ه علموا ههٱلب طب
لسهفكوا هملنبهاهوأ ائ
٢٨25هٱلبفقليههٱلب
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka
dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah
ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa
binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan
(sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang
sengsara dan fakir”. (Q.S. al-Hajj: 28)
3. Haji Wada’
Haji wada’ adalah haji yang dilaksanakan oleh Rasul Saw. pada
tahun 10 H. Dinamakan demikian karena ketika saat itu Nabi Muhammad
Saw. berpamitan dengan umatnya dengan pernyataan perpisahan beliau. Haji
Rasul ini disamping dikenal dengan nama haji wada’, dan dinamai juga
dengan beberapa nama lainnya, antara lain:
a. Hajjat al-Islâm karena inilah haji nabi yang pertama dan terakhir sesuai
dengan tuntutan Islam. Haji inilah yang menjadi rujukan kaum Muslimin
dalam pelaksanaan ibadah haji.
b. Hajjat al-Balâghah/ Haji Penyampaian. Dinamakan demikian karena
salah satu yang beliau tanyakan kepada jamaah dalam khutbahnya ketika
25 Al-Qur’an al-Karim surah Al-Hajj ayat 28
31
berhaji ini adalah “ ؟هل بلغت ” Apakah aku telah menyampaikan? Yakni
ajaran Islam. Dan secara khusus Nabi Muhammad Saw. menyampaikan
rincian ibadah haji secara lisan maupun praktik.
c. Hajjat at-Tamâm/ Haji Kesempurnaan. Ini dikarenakan pada hari Arafah
saat nabi wukuf, turun penegasan Allah tentang kesempurnaan agama dan
kecukupan nikmat-Nya dalam surah Al-Maidah ayat 3.26
Rasulullah mengumumkan niatnya untuk menunaikan ibadah haji,
maka manusia pun berbondong-bondong datang dan bersiap untuk mengikuti
ibadah haji bersama Rasulullah Saw. Dalam pelaksanaan ibadah haji wada
ini, Nabi Muhammad Saw. mencontohkan secara sempurna tata cara berhaji.
Dalam peristiwa haji wada’ ini, Nabi Muhammad Saw. menyampaikan
berbagai ketetapan Allah dan kesempurnaan ajaran Islam saat khutbah di
Arafah. Nabi Muhammad Saw. juga menyampaikan penjagaan Allah
terhadap umat Muslim dari gangguan orang-orang kafir, sehingga pada hari
itu hilanglah kekhawatiran umat Muslim.
4. Dimensi Ibadah Haji
Syari’at yang diperintahkan oleh Allah kepada umat manusia
memiliki dimensi yang berbeda. Ada ibadah yang berdimensi vertical, ada
yang berdimensi horizontal. Akan tetapi kebanyakan dari syari’at Islam,
memiliki dua dimensi sekaligus. Ibadah yang memiliki dimensi vertical
26 M. Quraisy Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW dalam Sorotan al-Qur’an dan
Hadits-Hadits Sahîh (Tangerang: Lentera Hati, 2012), hal. 1043
32
adalah Syahadat. Yang menjadikan diri kita dekat kepada Allah, mengimani
Allah dan Rasulullah dengan sepenuh hati. Adapun ibadah yang berdimensi
vertikal dan horizontal adalah ibadah shalat. Disamping mendekatkan diri
kepada Allah, shalat juga dapat menjaga seseorang dari perbuatan keji dan
mungkar. Begitu pun dengan puasa, zakat yang juga dapat mendekatkan diri
kepada Allah namun juga menciptakan keakraban dengan umat manusia.
Seperti halnya dengan shalat, puasa dan zakat, haji juga memiliki dua dimensi
tersebut.
Haji memiliki dimensi vertikal karena haji merupakan aktivitas
seseorang yang berhubungan langsung kepada Allah. Di sini antara hamba
dengan Allah tidak seorang pun mengetahuinya. Sebab hal tersebut berkaitan
dengan hati, ruh dan perasaan hamba. Tingkat ketakwaan dan keikhlasan
dalam pelaksanaan haji hanya dapat diketahui dan dirasakan oleh orang
tertentu. Dia menyembah Ka’bah yang terbuat dari batu ataukah semata
menyembah Allah, dia mengangungkan air zam-zam yang isa
menyembuhkan penyakit ataukah mengakui kebesaran Allah, dan dia
meyakini keberkahan Jabal Rahmah dalam mendapatkan jodoh ataukah
hanya Allah penentu jodoh seseorang, merupakan rahasia antara hati, ruh dan
perasaan hamba dengan Allah. Inilah haji sebagai dimensi ritual atau ibadah
vertical atau disebut dengan hablun min Allah.27
27 Dr. H. Ali Rokhmad, M.Pd dan Dr. H. Abdul Cholic MT., M.Ag, HAJI Transformasi Profetik
Menuju Revolusi Mental (Jakarta: Anggota IKAPI, 2015), hal.51
33
Adapun dimensi horizontal ibadah haji dapat kita lihat dari runtutan
cara pelaksanaan ibadah haji, pun dengan nasehat-nasehat Rasulullah ketika
berhaji yang dimuat dalam hadits-haditsnya. Dalam hal ini, segala sesuatu
yang berkaitan dengan haji dapat menjadi acuan bahwa haji memiliki dimensi
horizontal yang menuntut umat Islam menjaga hubungan baik dengan
manusia. Salah satunya kita lihat pada pemilihan tempat pelaksanaan ibadah
haji yang terpusat.
Ibadah haji memiliki perbedaan dari rukun Islam yang lainnya. Jika
empat dari rukun Islam tidak memberi pembatasan tempat pelaksanaan, maka
ibadah haji menentukan tempat berhaji. Tidak diperbolehkan melaksanakan
ibadah haji di Turki bahkan Indonesia. Haji hanya dilaksanakan di Makkah-
Saudi Arabia. Ketentuan ini menjadikan umat Islam dari berbagai daerah,
suku, adat-kebiasaan dan negara bekumpul disebuah tanah suci.
Berkumpulnya kelompok-kelompok yang berbeda biasanya dapat memicu
konflik, baik karena benturan fisik ataupun hati. Namun Islam mengajarkan
umat manusia untuk saling menjaga perbedaan agar terciptanya kedamaian.
Jabatan pun menjadi tak berarti saat melaksanakan ibadah haji.
Seberlimpah apapun kekayaan seseorang, tetap saja mereka hanya
menggunakan kain ihram. Sungguh, dalam Islam tidak ada perbedaan antara
manusia kecuali tingkat ketaqwaannya. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
34
ها يأ ههٱنلاسههي عارفوا للهلل هشعوبااهوقبائ هوجعلبنكمب نث
هوأ نكمهملنهذكر إلناهخلقب
هعلنده رمكمب كبهأ ههاللهإلن هإلن تبقىكمب
هأ ١٣28يهعلليمهخبلههال
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Q.S.
Al-Hujurat: 13)
Dalam Islam hanyalah taqwa yang membedakaan seseorang. Bukan
jabatan, harta, bukan pula umur. Yang paling taqwa, dialah yang utama.
Begitu pula dalam Haji, tidak ada apapun yang dapat membedakan seorang
hamba. Semuanya tunduk hanya kepada Allah.
B. Teori Sosial atau Humanisme
Dalam menjelaskan makna suatu teks dari segi sosial, sya menggunakan teori
Muhammad Abed al-Jabiri yang merupakan salah seorang intelektual Muslim yang
membicarakan epistimologi, termasuk di dalamnya teori sosialnya yaitu burhani.
Muhammad Abed al-Jabiri merupakan seorang intelektual Muslim kelahiran 1936 M29.
Dia lahir dan tumbuh di Negeri Magribi yang kini mencakup Negara Maroko, Aljazair,
dan Tunisia. Maroko merupakan negara yang memiliki dua bahasa resmi, yaitu bahasa
Arab dan Perancis, sehingga para sarjana Maroko mudah mengenal warisan Perancis
yang kelak berguna dalam proses penggalian ilmu pengetahuan.30
28 Al-Qur’an al-Karim surah al-Hujurat ayat 13 29 Muhammad Abed al-Jabiri, Post Traditionalisme Islam, penerjemah Ahmad Baso
(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2000), hal. xii 30 Muhammad Abed al-Jabiri, Post Traditionalisme Islam, penerjemah Ahmad Baso
(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2000), hal. xvi
35
Al-Jabiri dikenal dengan tiga epistimologinya dalam memahami suatu teks,
yaitu bayani, irfani, dan burhani. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1. Teori Bayani
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan
otoritas teks (nas), secara langsung atau tidak langsung dan dijustifikasi
oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlâl). Secara langsung
artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung
mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran.31 Dalam teori ini, akal
seseorang tidak dapat memberikan penalaran kecuali merujuk kepada teks.
Istilah bayâni berasal dari kata bayân yang berarti penjelasan.
Adapun secara terminology bayan mempunyai dua arti, yaitu sebagai
aturan-aturan penafsiran wacana (qawânîn tafsîr al-khitâb) dan syarat-
syarat memproduksi wacana (syurût intaj al-khitâb). Seiring berjalannya
waktu, pengertian bayan semakin berkembang. Dalam metodologi ushul
fiqh Al-Syafi’I membagi bayan menjadi lima bagian dan tingkatan; yang
pertama bayân yang tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut, yang
kedua bayân yang beberapa bagiannya masih global sehingga
membutuhkan penjelasan sunnah, yang ketiga bayan yang keseluruhannya
membutuhkan penjelasan sunnh, yang keempat bayan sunnah sebagai
uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan yang kelima
31Dr. H.A. Khudori Soleh, M.Ag., Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013) hal. 237
36
bayan ijtihad yang dilakukan dengan qiyâs atau sesuatu yang tidak terdapat
dalam al-Qur’an maupun sunnah.32
Melihat kepada pernyataan di atas, maka dapat kita pahami bahwa
memahami teks dengan metode bayani yaitu menjelaskan secara tekstual,
yaitu berdasarkan pada teks atau nas.
2. Teori Irfani
Istilah irfan berasal dari kata ‘arafa yang semakna dengan makrifat
yaitu pegetahuan tetapi berbeda dengan ilmu.33 Pegetahuan irfan tidak
didasarkan atas teks seperti bayani, juga tidak kekuatan rasioanl seperti
burhani, tetapi pada kasyf tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh
Tuhan. Karena itu pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis
teks atau keruntutan logika, tetapi berdasarkan atas terlimpahnya
pengetahuan secara langsung dari Tuhan, ketika hati sebagai sarana
pencapaian pengetahuan Irfan siap untuk menerimanya.34
Metode ini berkaitan erat dengan Tasawuf di mana terdapat maqam
yang harus ditempuh untuk menjadikan diri dapat menerima pengetahuan
dari Tuhan. Adapun jumlah tahapan atau maqamât memiliki perbedaan di
kalangan ulama. Namun ada tujuh maqamât yang paling umum digunakan
32 Dr. H.A. Khudori Soleh, M.Ag., Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013) hal.237-239 33 Dr. H.A. Khudori Soleh, M.Ag., Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013) hal. 253 34 Dr. H.A. Khudori Soleh, M.Ag., Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013) hal. 261
37
oleh kebanyakan penulis, yaitu taubat35, wara’36, zuhud37, faqir38, sabar,
tawakal, dan rida39. Setelah mencapai tingkatan tertentu dalam spiritual,
maka seseorang akan mendapat limpahan pengetahuan langsung dari
Tuhan.40
3. Teori Burhâni
Menurut al-Jabiri burhâni dapat diartikan sebagai suatu aktivitas
berpikir untuk menetapkan kebenaran proposisi melalu pendekatan dduktif
dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan yang telah terbukti
kebenarannya secara aksiomatik. Menurutnya, metode ini pertama kali
dibangun oleh Aristoteles yang dikenal dengan istilah metode analitik
(tahlili) yaitu suatu sistem berpikir (pengambilan keputusan) yang
didasarkan atas proposisi tertentu. 41
Berbeda dengan teori bayani yang mendasarkan diri pada teks dan
irfâni yang mendasarkan diri pada intuisi atau oengalaman spiritual, maka
35 Meninggalkan segala perbuatan yang kurang baik disertai penyesalan mendalam yang
kemudian diiringi dengan perilaku-perilaku terpuji yang disenangi Allah Swt. 36 Menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak jelas statusnya (syubhat). 37 Tidak tamak dan tidak mendahulukan urusan dunia dari pada akhirat. 38 Mengosongkan pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini dan hanya mengharapkan
Allah Swt. 39 Hilangnya rasa ketidakenangan di dalam hati sehingga yang tersisa hanya kegembiraan
terhdap apa yang telah ditetapkan Allah Swt. 40 Dr. H.A. Khudori Soleh, M.Ag., Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013) hal. 261-263 41 Dr. H.A. Khudori Soleh, M.Ag., Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013) hal. 275, lihat juga Al-Jabiri, Bunyat al-‘Aql al-‘Arabi (Beirut: al-
Markaz al-Tsaqafah al-‘Arabi, 1991), hal. 383
38
burhâni menyandarkan diri pada kekuatan rasio dan akal42 atau secara
kontekstual. Salah satu persoalan yang dikaji dan muncul dalam teori
burhani adalah masalah bahasa dan logika. Dalam memecahkan suatu
permasalahan, teori burhani menggunakan logika untuk memberikan
penilaian dan keputusan terhadap sesuatu tersebut.
Sistem yang digunakan dalam burhani adalah silogisme yang dalam
bahasa Arab diartkan sebagai qiyas. Secara istilah silogisme berarti suatu
bentuk argument d mana dua proposisi yang disebut premis, dirujukkan
bersama sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah konkulsi
(kesimpulan). Sebelum melakukan silogisme ada tiga tahapan yang harus
dilalui, yaitu tahap pengertian (ma’qulât),tahap pernyataan (ibarât) dan
tahap penalaran (tahlîlât). Setelah mengetahui pengertian-pengertian yang
didapat dari abstraksi objek eksternal yang masuk ke dalam pikiran,
dilanjutkan dengan pembentukan premis atau proposisi dengan
mempertimbangk lima kriteria (alfâz al-khamsah) yaitu nau’, jins, fasl,
khas dan aradh.43 Berdasarkan metode silogisme di atas, maka didapati
bahwa teori burhani sangat mengoptimalkan kerja akal untuk memahami
suatu teks. Melalui premis-premis yang didapat maka logika bekerja untuk
42 Dr. H.A. Khudori Soleh, M.Ag., Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013) hal. 275 43 Dr. H.A. Khudori Soleh, M.Ag., Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013) hal. 280-281
39
mencari kebenaran dan menjawab persoalan-persoalan serta kebutuhan
umat masa kini.
C. Humanisme dalam Islam
Humanisme secara bahasa terdiri dari dua kata yaitu human yang artinya
bersifat manusiawi atau berperikemanusiaan dan isme yang berarti aliran. Maka
humanisme berarti aliran yang bertujuan menghidupkan rasa kemanusiaan dan
mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik.44 Berbicara mengenai humanisme
berarti kita berbicara permasalahan sosial. Karena tujuan humanisme untuk
menghidupkan rasa kemanusiaan, maka kehidupan sosial-lah yang menjadi objeknya.
Ilmu sosial yang menjadi penghubung humansime telah diberi legalitas sebagai
suatu displin ilmu dari satu abad yang lalu. Di kebanyakan universitas, ilmu-ilmu ini
mencakup lima disiplin ilmu yaitu sosiologi, antropologi, ilmu politik, ekonomi, dan
sejarah. Dua disiplin ilmu lainnya memiliki status ganda, yaitu ilmu geografi dan
psikologi.45 Ilmu-ilmu ini menjadi jalan bagi kita untuk menggali lebih jauh pengaruh
kehidupan sosial dalam kehidupan. Ilmu sosial juga dapat membantu kita
menyelesaikan permasalahan dalam bermasyarakat.
Tidak hanya ilmu umum yang membahas persoalan kemanusian, Islam juga
merupakan suatu peradaban yang memberikan konsep khusus tentang manusia,
menentukan tempatnya dalam masyarakat dan menunjukkan eksprimen yang mengatur
44 Departemen Pendidkan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 512 45 Abu Bakar A. Bagader, Islam and Sociological Perspectives, penerjemah Machnun Husein,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996)
40
antar bangsa. Selain dari pada itu Islam bersedia dengan sungguh-sungguh untuk
memberi jawaban terhadap problema perorangan, sosial, dan antar negara.46 Islam
merupakan agama yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Hal ini dibuktikan
dengan syari’at Islam yang begitu detail mengatur persoalan umat. Dalam Islam,
umatnya dituntut untuk menghargai sesama, bahkan menjaga hubungan baik antar
manusia dan lingkungan menjadi kewajiban tersendiri bagi umat Islam.
Dalam humanisme, kesatuan juga menjadi hal yang sangat penting. Dan kesatuan
ini tercakup dalam ajaran-ajaran Islam. Kewajiban-kewajiban ibadah selalu
mengajarkan tentang kesatuan dan kebersamaan. Misalnya, ibadah shalat yang
memerintahkan umat Islam shalat di waktu yang sama ke arah kiblat yang sama.47
Ibadah puasa juga mengajarkan bagaimana kita merasakan penderitaan saudara muslim
lain yang menahan lapar karena tidak memiliki makanan dan minuman. Kewajiban
zakat juga demi kemaslahatan bagi umat Islam seluruhnya.
Hikmah yang tersembunyi dari ibadah fisik adalah untuk menunjukkan kesatuan
manusia secara spiritual ataupun material. Melalui syariat-syariat, umat muslim dapat
meningkatkan rasa kemanusiaan yang akan menjadikan setiap pribadi menjadi lebih
baik. Dengan landasan iman yang sama, maka telah cukup bagi seorang mukmin
menghargai umat muslim lainnya.
46 Prof. Dr. Marcel A. Boisard, L’ Humanisme De L’ Islam penerjemah Prof. Dr. H. M. Rasjidi,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 40 47 Prof. Dr. Marcel A. Boisard, L’ Humanisme De L’ Islam penerjemah Prof. Dr. H. M. Rasjidi,
hal. 81
41
Dalam kehidupan, Islam memang tidak hanya mengutamakan soal ibadah,
namun juga hubungan antar sesama. Bahkan di dalam Islam ada keutamaan tersendiri
menjaga hubungan baik dengan manusia. Segala bentuk ibadah pun tidak luput dari
interaksi maupun hubungan dengan manusia. Aqidah, ibadah dan mu’amalah memang
syari’at Islam yang tidak dapat dipisahkan. Ketika iman telah mantap di hati, ibadah
akan terjaga melalui keyakinan, dan Mu’amalah pun tidak dapat dihindari.
Tidak sedikit ajaran Islam yang menuntut umat Islam menjaga hubungan baik
dengan sesama manusia. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
ل ع ان ي عن ابن ب ال ث ن ا ابن و هب ع ن س ل يم ث ن ا الرب يع بن س ل يم ان الم ؤ ذ ن ح د ث ي بن ز يد ح د ن ال الم و س لم ح ع ن أ ب ه ر ي ر ة ع ن ر س ول ال ص لى ال ع ل ي رةة الم ؤم ن ع ن الو ل يد بن ر ب ؤم ن م
و ي وط م ن و ر ائ ي ع ت 48و الم ؤم ن أ خ و الم ؤم ن ي ك ف ع ل ي
“Telah menceritakan kepada kami Ar Rabi' bin Sulaiman Al Muadzdzin
berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb dari Sulaiman -maksudnya
Sulaiman bin bilal- dari katsir bin Zaid dari Al Walid bin Rabah dari Abu
Hurairah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang
mukmin itu cermin bagi mukmin lainnya, dan seorang mukmin itu saudara bagi
mukmin lainnya nya; ia membantunya saat kehilangan (ikut menanggung
kesulitannya) serta menjaganya (membelanya) dari belakang.”
Dengan mengikuti perintah Allah dan anjuran Rasulullah, maka akan terwujud
keharmonisan antar manusia sehingga humanisme dalam Islam dapat senantiasa
terjaga. Humanisme dalam Islam adalah wujud dari Islâm Rahmatan li al-‘Âlamîn, oleh
karena itu setiap Muslim harus mewujudkan humanisme dalam dirinya masing-masing.
48 Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar al-Fikar, 2003),
juz 2 hl. 466
42
BAB III
HUMANISME DALAM KHUTBAH HAJI WADA’
A. Khutbah Haji Wada’
1. Teks Hadits dan Terjemahan
Khutbah haji wada’ diabadikan di dalam banyak kitab hadits dan
kitab sejarah Nabi Muhammad Saw. Khutbah lengkap Nabi Muhammad
Saw. saat melaksanakan haji wada’ dimuat di dalam Sunan Abi Dâwud dan
Sirah Nabawiyyah riwayat Ibnu Hisyam. Sedangkan kitab hadits lainnya
hanya mencantumkan potongan khutbah tersebut. adapun potongan
khutbah haji wada tersebut yaitu:
ث ن ا ف ض يل ب ح ث ن ي ي بن س ع يد ح د ث ن ا ع ل ي بن ع بد ال ح د ث ن ا د ن غ زو ان ح دي ال و س لم خ ط ب ع ن ه م ا أ ن ر س ول ال ص لى ا ع كر م ة ع ن ابن ع باس ر ل ع ل ي
ال وا ي وم ح ر ا :الناس ي وم النحر ف ق ال ا ا الناس أ ي ي وم ه ذ ال ف أ ي ب ل د ي أ ي ه م ال ا هر ه ذ ال ف أ ي ش ال وا ب ل د ح ر ام ا ال ف ه ذ م و أ مو ال ك م وا ش هر ح ر ام إ ن د م اء
ا ف ش هر م ه ذ م ه ذ ا ف ب ل د ك م ع ل يك م ح ر ام ح رم ة ي وم ك م ه ذ ا و أ عر ا ا ف أ ع اد ه ل ب لغت الله م ه ف ق ال الله م ه 1 ب لغت ل م ر ارا ث ر ف ع ر أس
“Menceritakan kepada kami ‘Alî bin Abdillâh,
menceritakan kepadaku Yahyâ bin Sa’îd, menceritakan kepada
kami Fudhail bin Ghazwân, menceritakan kepada kami Ikrimah
1 Melalui kata د م اء yang dicari dengan kitab Mu’jam Mufahras, maka didapati hadits-hadits
dengan lafadz ر ام ك م ع ل يك م ح م و أ مو ال ك م و أ عر ا -yaitu: Shahih al-Bukhari, kitab ‘ilmu, bab 37, 9. Kitab al ,ف إ ن د م اء
hajj bab 132, kitab maghazi bab 77, kitab adab 43, kitab adhaha bab 5, kitab hudud bab 9, kitab fatan
bab 8, kitab tauhid bab 24, Shahih Muslim, kitab hajj nomor 147, kitab qasamah bab 29 dan 30, Sunan
al-Tirmidzi, kitab fatan bab 6, kitab tafsir surah 9 bab 2, Sunan al-Nasa’I kitab qadhah bab 36, Sunan
Ibnu Majah kitab manasik bab 34, 72
43
dari Ibnu ‘Abbâs r.a. sesungguhnya Rasulullah Saw. berkhutbah
pada hari Nahr. Beliau bersabda: “Wahai manusia! Hari apakah
ini?” Mereka menjawab: “Hari haram.” Beliau bertanya: “Negeri
apakah ini?” Mereka menjawab: “Negeri (tanah) haram.” Beliau
bertanya: “Bulan apakah ini?” Mereka menjawab: “Bulan haram.”
Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan
kalian haram seperti haramnya hari kalian ini di negeri ini dan
bulan ini.” Beliau mengulangnya beberapa kali. Kemudian beliau
mendongakkan kepalanya dan berdo’a, “Ya Allah, bukankah aku
telah menyampaikannya? Ya Allah, bukankah aku telah
menyampaikannya?”2
2. Asbâb al-Wurûd al-Hadîts3
Haji wada’ adalah salah satu tanda perpisahan Rasulullah dengan
umat Islam dan dunia. Dinamakan dengan haji wada’ karena haji ini adalah
haji perpisahan yang Nabi Muhammad tunaikan. Banyak riwayat yang
memuat hadits tentang khutbah Nabi disaat haji wada. Sebagai renungan
bagi sahabat-sahabat Rasulullah Saw. mengenai perpisahan ini, Rasulullah
mengucapkan berkali-kali isyarat kepergian beliau. Dalam bukunya “Kitab
Sejarah Nabi Muhammad SAW.”, Abdurrahman bin Abdul Karim dalam
bukunya menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. berkali-kali berkata
saat haji wada’, “Mungkin aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian
setelah tahun ini, dan aku tidak akan berhaji lagi setelah tahun ini.”4
2 Abû Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhim bin al-Mughîrah al-Bukhâri, Al-Jâmi’ al-
Musnad al-Shâhih al-Mukhtasar min ‘Umûri Rasulullah SAW wa Sunanihi wa Ayyamihî (Beirut: Shadqi
Jamil al-‘athar, 1420 H), Kitab Haji no 1739 3 Asbâb al-Wurûd al-Hadîts artinya penyebab terjadinya sesuatu (dalam halini adalah hadits).
Urgensi keberadaan ilmu ini adalah untuk mengetahui secara pasti untuk apa hadits tersebut dikeluarkan
Nabi Saw. sehingga umat dapat mengetahui kekhususan atau keumuman hadits. 4 Abdurrahman ibn Abdul Karim, Kitab Sejarah Nabi Muhammad SAW.-dari sebelum masa
Kenabian Hingga Sesudahnya- (Yogyakarta:DIVA Press, 2013), hal. 523
44
Pada awal bulan Dzulqa’idah tahun 10 H, Nabi Muhammad
mengumumkan keberangkatan haji beliau dan mengajak umat Muslim
untuk ikut serta dalam ibadah haji ini. Nabi Muhammad Saw. bermaksud
ingin menunjukkan tata cara ibadah haji yang benar sesuai tuntutan Allah
Swt. kepada umat Islam. Ajakan beliau disambut dengan antusias oleh umat
Muslim sehingga umat Muslim dari berbagai penjuru berdatangan menuju
Baitullah untuk memenuhi panggilan Allah. Termasuk dalam rombongan
jama’ah haji tersebut Ummahât al-Mu’minîn.
Dalam sebuah kisah dikatakan bahwa pada tahun 10 H, Rasulullah
SAW menunaikan ibadah haji yang kemudian dikenal sebagai Haji Wada’
(Haji Perpisahan). Pada tanggal 9 Zulhijjah, ketika sampai di sebuah
lembah di Urana, masih di atas unta, Nabi berhenti dan kemudian
berkhutbah di depan lebih seratus ribu orang yang hadir saat itu. Sedangkan
Bilal bin Rabbah dan Rabi’ah bin Khalâf mengulangi kalimat-kalimat Nabi
agar dapat di dengar oleh jama’ah haji.5
Beberapa periwayat hadits mencantumkan beberapa atsar dari
sahabat di dalam sunannya mengenai Nabi Muhammad Saw. yang
menyampaikan khutbahnya saat berada di Arafah,
5 Ahmad Asnawi, Glosari Hadits, (Yogyakarta: Penerbit Jannah, 2013), hal 115
45
ث ن ا ي ي ع ن س في ان ع ن س ل م ة بن ن ب ي أ خب ر ن ع مر و بن ع ل ي ال ح د ط ع ن أ ب ي و س لم ي ط ب ع ل ى ج ل أ ح ر ب ع ر ف ة بل ال ر أ يت ر س ول ال ص لى ال ع ل ي
ة 6 .الصال
“Telah mengabarkan kepada kami 'Amr bin ‘Alî, ia
berkata; telah menceritakan kepada kami Yahyâ dari Sufyân dari
Salamah bin Nubaith dari ayahnya, ia berkata; saya melihat
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkhutbah di atas unta
merah di Arafah sebelum melakukan shalat.”
Ibnu Ishaq berkata: setelah Nabi Muhammad Saw. mengajarkan
manasik haji kepada kaum Muslimin, menjelaskan sunah-sunah haji kepada
mereka dan berkhutbah kepada mereka menjelaskan apa yang perlu ia
jelaskan.7 Khutbah beliau yaitu:
ا ب اأ ي ه ا ال ناس : إ س ع وا ول ف إ ن ال أ در ي ل ع ل ي ال أ لق ك م ب عد ع ام ي هذ و ف ذ امل
م و أ م و ال ك م ع ل يك م ح ر ام إ ل أ ن ت لق وا ر بك م أ ب دا. ، إ ن د م اء اال ناس ح رم ة أ ي ه ا.ي وم ك م هذ ا، و ح رم ة ش هر ت لق ون ر بك م ف ي س أ ل ك م ع ن م هذ و إ نك م س
ال ك م . أ عم د ب لغت ع ل ي و ن ه أ م ان ة ف ل ي ؤ د ه ا إ ل م ن ائ ت م ان ت ع ند و إ ن ه ا.ف م ن وع ، و ل ك ن ض ى هللا ون .ل ك م ر ؤ وس أ م و ال ك م ال ت ظل م ون و ال ت ظل م ل ر ب م و
وع ان ف .ل أ ن ال ر ب، و أ ن ر ب ع باس بن ع بد الم ط ل ب م و و أ ن ل د م ع ة بن ال ار ث بن ع د م ابن ر ب ي وع، و أ ن أ ول د م ائ ك م أ ل ية م و ع بد الم ط ل ب اجل اه
أ ب ه ز يل ف ه و أول م ا أبد عا ف ب ن ل يث, ف ق ت ل ت ان م ست ر .ن دماء اجل هليةمو ك م هذ ن أ ن ي عب د ب ر د ي ئ س م االناس ، ف إ ن الشيط ان ه أ ب دا. أ ما ب عد . أ ي ه
إ ن ي ط ع ف يم ي ب م ا ت حق ر ون م ن و ل ك ن ، ف ق د ر و ى ذل ك ال ك م، ف احذ ر وه ا س أ عم ف ع ل ى د ين ك م. د ة ف الك فر ي ض ل ب الذ ين ىء ز ي ، إ ن النس االن اس ر وا، ي حل ون أ ي ه
6 Abu Abdurrahmân Ahmad bin Syu’aib bin ‘Alî al-Syuhairi Al-Nasâ’i, Sunan al-Nasa’i,
(Beirut: Dar al-Fikar, 2005), juz 3, hal. 260 7 Ibnu Ishaq, Sirah Nabawiyah Sejarah lengkap kehidupan Rasulullah Saw. –tahqiq Ibnu
Hisyam, penerjemah Samson Rahman, (Jakarta: Akbar Media, 2015), hal. 728
46
لوا م ا ح ر م الل ع اما و ي ر م ن ع اما، ل ي و ي ح ر م وا م ا أ ح ل و اط ئ وا ع دة م اح ر م هللا ، ف ي ح ، و إ ي ئ ت ي وم خ ل ق هللا السمو ات و األ رض ه ار د اس ت د ة هللا . و إ ن الزم ان ن ع د
ن ه ا أ رب ع ة ح ر م، ث ال ث ة م ت الشه ور ع ند هللا اث ن ا ع ش ر ش ه و ا ل ي ة. و ر ج ب م فر د، را، م ، ف إ ن ل ك م ع ل ى ن س ائ ك م ح ق الذ ي ب ي ج اد ى و ش عب ان . ا ال ناس ا، أ ما ب عد . أ ي ه
ا ت كر ه ون ، و ع ل ي ه ن أ ال ن ف ر ش ك م أ ح د و ل ه ن ع ل يك م ح ق ا. ل ك م ع ل ي ه ن أ ال ي وط ئ د أ ذ ن ل ك م أ ن ت هج ر ش ة م ب ي ن ة. ف إ ن ف ع لن ، ف إ ن هللا ت ي ب ف اح ، ي ع و ه ن ف الم ض اج
ر م ب رح. ف إ ن ان ت ه ي ف رب غ ي سو ت ه ن ل ه ن ر و ت ضر ب و ه ن . ز ه ن و لم عر وف ب ه ن ش أل ن ف س ل ك ن م ع و ان ال مي را، ف إ ن ه ن ع ند ي الن س اء خ ئا. و إ نك م إ ا و است وص وا ب ي
، هللا .ك ل م ات أ خ ذت وه ن ب م ان ة هللا ، و است حل لت م ف ر وج ه ن ب ف اعق ل وا أ ي ه ا الناس ول لوا أ ت ف يك م م اإ ن اعت ص مت م ب ف ل ن ت ض د ت ر ، و د ب لغت ب دا، أ مرا ب ي ن تا : ف إ ن
. ت اب هللا و س نة ر س ول ، إ س ع وا ول ا الناس أ ن ل م سل م و اعق ل وه ، ت عل م ن أ ي ه ، و أ ن الم سل م ي إ خو ة، أ خ ل لم سل م ي ن أ خ مر ىء م إ ال م ا أ عط اه ع ن ف ال ي ل ال
ل ب لغت ، ف ال ت ظل م ن أ ن ف س ك م. الله م ه ن 8؟ط يب ن فس م
“Wahai manusia sekalian! perhatikanlah kata-kata ini! Aku
tidak tahu, kalau-kalau sesudah tahun ini, dalam keadaan seperti
ini, tidak lagi akan bertemu dengan kamu sekalian. Wahai manusia
sekalian! Sesungguhnya darah kamu dan harta-benda kamu
sekalian adalah suci buat kamu, seperti hari ini dan bulan ini yang
suci sampai datang masanya kamu sekalian menghadap Tuhan.
Dan pasti akan menghadap Tuhan; pada waktu itu kamu dimintai
pertanggung jawaban atas segala perbuatanmu. Ya, aku sudah
menyampaikan ini! Barang siapa telah diserahi amanat,
tunaikanlah amanat itu kepada yang berhak menerimanya.
Ketahuilah bahwa semua riba sudah tidak berlaku. Tetapi kamu
berhak menerima kembali modalmu. Janganlah kamu berbuat
aniaya terhadap orang lain, dan jangan pula kamu teraniaya. Allah
telah menentukan bahwa tidak boleh ada lagi riba dan bahwa riba
‘Abbas bin Abdul-Muthalib semua sudah tidak berlaku. Bahwa
semua tuntutan darah selama jahiliyah tidak berlaku lagi, dan
bahwa tuntutan darah pertama yang kuhapuskan ialah darah Ibnu
Rabi’ah bin Al-Harith bin Abdul-Muthalib. Dulu ia mencari wanita
yang menyusui di Bani Laits lalu ia dihabisi oleh orang-orang
8 Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sajastani, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar al-Fikar, 2003),
juz 2 hal. 182
47
Huzail. Ia lah yang pertama kali kuhapuskan darahnya pada masa
jahiliyyah. Kemudian dari pada itu wahai manusia!. Hari ini nafsu
syetan yang minta di sembah di negeri ini sudah putus untuk
selama-lamanya. Tetapi, kalau kamu turutkan dia walaupun dalam
hal yang kamu anggap kecil, yang berarti merendahkan segala amal
perbuatanmu, niscaya akan senanglah dia. Oleh karena itu
peliharalah agamamu ini baik-baik. Wahai manusia sekalian!
Menunda-nunda larangan di bulan suci berarti memperbesar
kekufuran. Dengan itu orang-orang kafir itu tersesat. Pada satu
tahun meraka langgar dan pada tahun lainnya mereka sucikan,
untuk di sesuaikan dengan jumlah yang sudah disucikan Tuhan.
Kemudian mereka menghalalkan apa yang sudah diharamkan
Allah dan mengharamkan mana yang di sudah di halalkan. Zaman
itu berputar sejak Allah menciptakan langit dan bumi ini. Jumlah
bilangan menurut Tuhan ada dua belas bulan, empat bulan di
antaranya ialah bulan suci, tiga bulan berturut-turut dan bulan
Rajab itu antara bulan Jumadilakhir dan Sya’ban. Kemudian dari
pada itu wahai manusia! Sebagaimana kamu punya hak atas istri
kamu, juga istrimu sama mempunyai hak atas kamu. Hak kamu
atas mereka ialah untuk tidak mengizinkan orang yang kamu tidak
sukai menginjakan kaki di atas rumahmu, dan jangan sampai
mereka secara jelas membawa perbuatan keji. Kalau mereka
sampai melakukan itu Tuhan mengizinkan kamu berpisah tempat
tidur dengan mereka dan boleh memukul mereka dengan satu
pukulan yang tidak sampai menyakiti. Bila mereka sudah tidak lagi
melakukan itu, maka kewajiban kamulah memberi nafkah dan dan
pakaian kepada mereka dengan baik. Berlaku baiklah terhadap
istri-istri kamu, mereka itu kawan-kawan yang membantumu,
mereka tidak memiliki sesuatu untuk diri mereka. Kamu
mengambil mereka sebagai amanat Tuhan, dan kehormatan mereka
di halalkan buat kamu dengan nama Tuhan. Perhatikanlah kata-
kataku ini, wahai manusia! Aku sudah menyampaikan ini. Ada
masalah yang sudah jelas kutinggalkan di tangan kamu, yang jika
kamu pegang teguh kamu tidak akan sesat selama-lamanya;
Kitabullah dan sunnah rasul. Wahai manusia sekalian! Dengarkan
kata-kataku ini dan perhatikan! Kamu akan mengerti, bahwa setiap
Muslim adalah saudara Muslim yang lain, dan kaum Muslimin
semuanya bersaudara. Tetapi seseorang tidak dibenarkan
(mengambil sesuatu) darai saeudaranya, kecuali jika dengan
senang hati diberikan kepadanya. Janganlah kamu menganiaya diri
sendiri. Ya Allah, sudah kusampaikan?”
Pada khutbah ini, Nabi Muhammad menjelaskan dengan lengkap
mengenai Islam serta aturan-aturannya. Dimulai dari larangan membunuh
48
jiwa dan mengambil harta orang lain tanpa hak, kewajiban untuk
meninggalkan kebiasaan kaum jahiliyah mengenai pembunuhan dan riba,
mewaspadai gangguan setan dan kewajiban menjaga agama, larangan
mengharamkan yang dihalalkan dan sebaliknya, kewajiban memuliakan
wanita (isteri), kewajiban berpegang teguh pada al-Qur’an dan as-Sunnah,
kewajiban taat kepada pemimpin siapapun dia selama masih berpegang
teguh pada al qur’an, kewajiban berbuat baik kepada hamba sahaya, umat
islam adalah bersaudara antara satu dengan lainnya, dan yang terakhir
kewajiban menyampaikan khutbah rasulullah saw kepada orang lain
Haji perpisahan ini diiringi oleh firman Allah yang berisi
pemberitahuan mengenai penyempurnaan agama dan keridhoan Allah
terhadap Islam, yakni surah al-Ma’idah ayat 3:
ه بميبتةهعليبكمههحرلمتب مهوههٱل مههٱدل لزنليرلهولبلههٱلب هللغيب هلل
لهلههاللهوماهأ بمنبخنلقهوههۦب هةهٱل
بموبقوذةهوه بمتدليةهوههٱل ههٱنلطليحةهوههٱل كلهأ بعهوما ههٱلس هلع لح هذب هوما يبتمب
هذك هما إللههٱنلصبله نهت
موا هسبهوأ سل لههتقب لمل هب زب
ههٱلب ق هفلسب وبمهذللكمب لسههٱلب لينهيئ نهكفروا هملههٱلهوه هتبشوبهمب هفل نل هدلينلكمب شوب وبمههٱخب تههٱلب تبممب
هوأ هدلينكمب هلكمب ملبت كب
أ
ه هلكم يت هورضل متل لعب هن لمهعليبكمب لسبههٱلب ا هدلينا طرهفمنل ههٱضب هفل يب ه بمصة ه
ه ثبمهفإلن ل همتجانلفهلل يمهال فورهرحل ٣
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging
babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,
yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih
untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan
anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
49
kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk
(mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada
mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa
sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang “ (Q.S. Al-Maidah[5]:3)
Meski tidak turun sesaat setelah Nabi Muhammad Saw.
berkhutbah, namun ayat ini menguatkan khutbah beliau. Surah al-Maidah
ayat 3 ini memberikan gambaran secara lengkap mengenai apa yang
dihalalkan dan apa yang diharamkan. Maka dengan syari’at-syari’at dari
Allah itulah disempurnakan agama Allah dan Allah telah ridho terhadap
Islam yang disampaikan olrh Rasulullah Saw. Tidak berbeda dengan
surah al-Maidah, Rasulullah dalam khutbahnya juga menyampaikan
secara lengkap perintah-perintah yang mesti dilaksanakan dan larangan
yang harus ditinggalkan. Maka pada hari itu telah jelaslah apa yang gelap
dan apa yang terang.
Mengenai sebab dikeluarkannya khutbah Nabi Saw. saat haji
wada’ ini, tidak lain karena saat itulah Nabi berkesempatan
menyampaikan kelengkapan agama Allah. Karena tidaklah beliau melihat
perintah berhaji ini kecuali sebagai tanda dekatnya ajal Nabi Saw. dan
sebagai panduan menunaikan ibadah haji yang benar bagi umat Muslim.
Urgensi isi khutbah Nabi Saw. ini dapat dilihat dalam Sirah Nabawiyyah
yang ditulis oleh Syaikh Shafiy al-Rahman al-Mubarakfury. Di dalam
bukunya ia menuliskan bahwa nabi Saw. mengulang khutbah yang sama
50
hingga tiga kali, yaitu 9 Dzulhijjah, 10 Dzulhijjah dan salah satu hari
tasyrik.9
3. Fiqh al-Hadits
Secara eksplisit tidak ada keterkaitan khutbah haji wada dengan pelaku
haji. Akan tetapi penggunaan kata haram yang disampaikan Nabi Muhammad
Saw. menjadikan khutbah haji wada dan pelaku haji ini berkaitan. Sebagaimana
yang telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya, pelaku haji yang telah
menginjakkan kakinya di tanah haram akan merasakan suasana di mana Nabi
Saw. meng-haram-kan darah, harta dan jiwa pada bulan haji ini.
Dalam kitabnya, Ibnu Hajar al-Asqalâni tidak menjelaskan makna
tentang keharaman darah, harta dan kehormatan, akan tetapi beliau membahas
tentang syariat khutbah pada hari, bulan dan tempat Nabi Muhammad Saw.
berkhutbah.10 Maka menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, berkhutbah pada hari
tersebut disyariatkan untuk tahun-tahun setelahnya. Dengan demikian,
hendaknya umat Islam yang melaksanakan haji mengetahui tentang syariat ini,
serta memahami isi dari khutbah yang telah disampaikan Nabi Muhammad
Saw. ketika haji wada’.
9 Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury, al-Rahiqu al-Makhtum- Batsun Fi al-Sirah al-
Nabawiyyah ‘ala Shahabibiha Afdhal al-Shalatu wa al-Salam penerjemah Kathur Suhardi
(Jakarta;Pustaka al-Kautsar, 2009), hal. 546-549 10Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari Syarah Sahîh al-Bukhari, penerjemah Amiruddin Lc,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jilid 9, hal.435
51
Hari ‘haram’, bulan ‘haram’dan tanah ‘haram’ yang dimaksud oleh
Nabi Saw. merupakan waktu dan tempat pelaksanaan ibadah haji. Umat yang
melaksanakan haji sudah barang tentu mengetahui bagaimana sucinya hari,
bulan dan tanah tempat pelaksanaan ibadah haji. Berbagai aturan yang
diterapkan dalam haji bertujuan untuk menjaga kesucian waktu dan tempat
tersebut. Haramnya membunuh, merusak lingkungan dan aturan-aturan lainnya
mengharuskan pelaku haji was-was dengan apa yang dilakukannya dan
hendaknya kewajiban saling menjaga tersebut terlaksanakan juga di dala
kehidupan bermasyarakat.
Nabi Muhammad Saw. menyetarakan keharaman darah, harta dan
kehormatan setiap muslim dengan keharaman hari dan bulan serta tanah di
mana Nabi Muhammad Saw. berkhutbah saat itu. Sebagaimana yang telah
dijelaskan pada bab sebelumnya, kita dapat mengetahui bahwa hadits ini
disampaikan pada hari Arafah di bulan Dzulhijjah yakni saat Nabi Muhammad
Saw. melaksanakan haji wada’. Menurut pandangan penulis, penyetaraan ini
merupakan penegasan Nabi Muhammad Saw. terhadap pentingnya saling
menjaga antar umat Muslim.
B. Makna Khutbah Haji Wada’
Berdasarkan khutbah Nabi Muhammad Saw. saat haji wada’, maka penulis
menemukan tiga hal yang diwajibkan kepada sesama Muslim, yaitu menjaga darah,
harta dan kehormatan. Selanjutnya penulis akan mencantumkan hadits-hadits terkait
dengan humanisme, dalam hal ini menjaga darah, harta dan kehormatan.
52
1. Menjaga Darah
Jiwa atau darah merupakan salah satu dari dharariyat al-khams
yang harus menjadi prioritas utama manusia. Tanpa jiwa, syariat Islam tidak
akan berjalan. Maka keberadaannya menjadi sesuatu yang wajib untuk
dijaga. Nabi Muhammad Saw. menyebutkan dalam khutbah haji wada`
yang dihimpun Abi Dâwud dalam sunannya11, bahwa umat muslim dilarang
melakukan pembunuhan dalam upaya belas dendam. Darah atau jiwa
merupakan salah satu dari dharûriyat al-khams yang harus dijaga oleh
setiap orang. Selanjutnya akan dijelaskan dengan beberapa aspek, yaitu:
a. Landasan al-Qur’an
Islam dengan tegas mengharamkan terjadinya pembunuhan.
Keharaman ini terliat dalam firman Allah Swt. berikut:
اهفجزاؤهههومن تعملدا اهم ملنا همؤب تلب بهۥهيقب اهفليهاهوغضل ا هوهۥهعليبهلهولعنهههالهجهنمهخلل عدأ
اههۥله يما ٩٣عذاباهعظل“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan
sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan
Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab
yang besar baginya” (Q.S. al-Nisa’ : 93)
11 Khutbah lengkap Nabi Muhammad Saw. hanya terdapat dalam sunan Abu Daud yang juga
dikutip oleh ibnu Ishaq dan ditahqiq oleh Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyahnya. Sedangkan
muhadditsin lainnya hanya mengutip satu potongan khutbah saja sebagaimana yang penulis gunakan
dalam skripsi ini.
53
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Swt. memerintahkan untuk
menjauhi pembunuhan mukmin dengan sengaja.sayyid Qutb dalam
tafsirnya menyatakan tidak ada sesuatu yang setara dengan darah
seorang muslim yang ditumpahkan oleh muslim lainnya dengan
sengaja. Hubungan yang dibangun Islam antar sesama Muslim ini
sangat kuat dan mulia sehingga Islam tidak reala sama sekali bila
hubungan ini diciderai sekecil apapun. Eksistensi seorang muslim
merupakan nikmat yang besar sehingga sulit dibayangkan jika jika
seorang musim berani menghilangkan nikmat ini dan melakukan dosa
besar ini secara sengaja dan terencana. Karena Allah telah menyatukan
mereka dengan ikatan aqidah dan menyatukan hati mereka.12
Kemudian Allah juga menjelaskan dalam firmannya mengenai
upaya penjagaan kelangsungan hidup melalui hukuman qisâs.
ههولكمبه هفل ههٱلبقلصاصل لل و لبببلهحيوةهيأ
هتتقونههٱلب ١٧٩لعلكمب“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (Q.S.
al-Baqarah : 179)
Di dalam pensyariatan qisâs -yaitu membunuh orang yang
membunuh- terdapat hikmah yang amat besar yaitu kelangsungan
hidup dan pemeliharaannya. Karena apabila orang yang ingin
12 Sayyid Qutb, Fi zilal al-Qur`an penerjemah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Lc dan Khoirul
Halim, Lc (Jakarta: Robbani Press, 2002), jilid 3 hal. 260
54
membunuh mengetahui bahwa dia akan dibunuh setelahnya, maka
niscaya dia akan menahan diri dari perbuatan tersebut. Sehingga di
dalam hal itu jelas terdapat kelangsungan hidup bagi banyak jiwa.13
Ulasan pada akhir ayat di atas terdapat isyarat taqwa yang
membangkitkan kepekaan dan perasaan akan Allah Swt. di dalam hati.
Seruan ini ditujukan kepada orang yang beriman untuk
membangkitkan rasa taqwa di hati mereka dan mengamalkan apa yang
telah diperintahkan oleh Allah Swt.14
b. Landasan al-Hadits
Berdasarkan pencarian penulis dalam kitab Miftah Kunuz al-
Sunnah15 dalam tema al-dâm (darah), maka ditemukan beberapa hadits
nabi mengenai keharaman darah seorang Muslim, di antaranya dalam
Shahih al-Bukhari Penjagaan terhadap keberlangsungan hidup ini
dijelaskan dalam beberapa hadits Nabi Muhammad Saw., di antaranya:
مد بن ع بد ال ب ب ة و إ سح ق بن إ ب ر اه يم و ي ث ن ا ع ثم ان بن أ ب ش ن ي ج يعا ع ن ح د يع ع ن األ عم ش ث ن ا ع بد ة بن و و ب ة ح د ي ث ن ا أ ب و ب كر بن أ ب ش يع ع ن ح د س ل يم ان و و
و األ ال ر س ول ال ص لى ال ع ل ي ال أ ول م ا س لم عم ش ع ن أ ب و ائ ل ع ن ع بد ال ث ث ن ا ع ب يد ال بن م ع اذ ح د ث ن ن ا أ ب و ي قض ى ب ي الناس ي وم الق ي ام ة ف الد م اء ح د ح د
ث ن ا خ ال د ي عن ابن ال ار ث و ي ب يب ح د ال د ح د ح دث ن ي بن ح مد ب شر بن خ ث ن ا
13 Syaikh Ahmad Syakir, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir penerjemah Agus Ma`mun dkk,
(Jakarta: Darus Sunnah Press, 2014) jilid 1 hal.480 14Sayyid Qutb, Fi zilal al-Qur`an penerjemah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Lc dan Khoirul
Halim, Lc (Jakarta: Robbani Press, 2002), jilid 1, hal.478-480 15 Kitab takhrij hadits menggunakan tema.
55
ث ن ا ابن أ ب ع د ي و بن ج عف ر ث ن ا ابن الم ث ن و ابن ب شار اال ح د له م ع ن ش عب ة ح د و س ع ن األ عم ص لى ال ع ل ي لم ب ثل غ ي ر أ ن ش ع ن أ ب و ائ ل ع ن ع بد ال ع ن النب
ال ع ن ش عب ة ي قض ى و ب عض ه م ال ي ك م ب ي الناس 16ب عض ه م
“Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah
dan Ishaq bin Ibrahim dan Muhammad bin Abdullah bin Numair
semuanya dari Waki' dari Al A'masy. (dalam jalur lain disebutkan)
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah
menceritakan kepada kami 'Abdah bin Sulaiman dan Waki' dari Al
A'masy dari Abu Wa`il dari Abdullah dia berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesuatu yang pertama kali
diputuskan di antara manusia kelak di hari Kiamat adalah masalah
darah." Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Mu'adz telah
menceritakan kepada kami Ayahku. (dalam jalur lain disebutkan) Telah
menceritakan kepadaku Yahya bin Habib telah menceritakan kepada
kami Khalid yaitu Ibnu Harits. (dalam jalur lain disebutkan) Telah
menceritakan kepadaku Bisyr bin Khalid telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Ja'far. (dalam jalur lain disebutkan) Telah
menceritakan kepada kami Ibnu Al Mutsanna dan Ibnu Basyar
keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu 'Adi
semuanya dari Syu'bah dari Al A'masy dari Abu Wa`il dari Abdullah
dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti hadits di atas. Namun
sebagian mereka menyebutkan dari Syu'bah "Di putuskan", dan
sebagian yang lain mengatakan, "Dihukumi di antara manusia"”17
Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam al-Nawai menyatakan
hadits ini adalah pernyataan yang menyiratkan larangan keras
membunuh, sebab tindak kriminal inilah yang pertama kali dituntaskan
oleh Allah pada hari kiamat kelak. Hal ini dikarenakan begitu besarnya
16 Berdasarkan penelusuran takhrij al-hadits melalui kitab Mu’jam Mufahras li Alfaz al-Hadîts
al-Nabawi dengan lafadz الد م اء maka penulis menemukan bahwa hadits ini terdapat dalam Shahih Bukhari
kitab diyat bab 1, kitab riqaq bab 48, Shahih Muslim Kitab Qasam nomor 28, Sunan al-Tirmidzi kitab
diyat bab 8, Sunan al-Nasa’i kitab Tahrim bab 2, Sunan Ibnu Majah Kitab diyat bab 1. Lihat: A. J
Wensinck, Mu’jam Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi, penerjemah Muhammad Fu’ad Abdu al-
Bani (Madinah: Maktabah Baril, 1936), juz 2 hal 148 17Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al- Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim (Beirut: Dar al-
‘Ilmiyah, 1991), hal 1304
56
masalah yang akan terjadi di antara manusia. Hadits ini juga tidak
menyalahi hadits “Hal pertama yang akan diperhitungkan dari seorang
hamba adalah shalat”. Karena hadits ini terkait dengan hubungan
vertikal dengan Allah, sedangkan hadits mengenai darah ini merupakan
hubungan horizontal antar sesama manusia.18
Hadits selanjutnya yang berbicara tentang penjagaan darah
atau jiwa adalah:
ث ن ا األ عم ش ع ن ع بد ال بن م رة ع ن ث ن ا أ ب ح د ث ن ا ع م ر بن ح فص ح د م سر وق ع ن ح د و س لم ال ر س ول ال ص لى ال ع ل ي ال إ ل م سل م ي شه د أ ن ال ل د م امر ال ي ع بد ال
لن فس و الث ي ب الزان ث الن فس ب ن الد ين إ ال ال و أ ن ر س ول ال إ ال ب حد ى ث ال و الم ار ق م 19التار ك ل لج م اع ة
“Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh, telah
menceritakan kepada kami bapakku, telah menceritakan kepada kami
Al A'masy, dari 'Abdullah bin Murrah dari Masruq dari Abdullah
mengatakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Darah
seorang muslim yang telah bersyahadat laa-ilaaha-illallah dan mengakui
bahwa aku utusan Allah terlarang ditumpahkan selain karena alasan di
antara tiga; membunuh, berzina dan dia telah menikah, dan
meninggalkan agama, meninggalkan jamaah muslimin.”20
18 Al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim penerjemah Thoriq Abdul Aziz al-Tamimi dan Fathoni
Muhammad (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2013) jilid 8, hal.308 19 Berdasarkan penelusuran penulis melalui kitab Mu’jam Mufahras li Alfaz al-Hadîts al-
Nabawi melalui lafadz ي ل, hadits ini terdapat dalam Shahih Bukhari kitab diyat bab 6, Shahih Muslim
kitab Qasam nomor 25 dan 25, Sunan Abu Daud kitab hudud bab 1, Sunan al-Tirmidzi bab 15, Sunan
al-Nasai kitab Tahrim bab 5, 11 dan 14. Lihat A. J Wensinck,, Mu’jam Mufahras li Alfadz al-Hadits al-
Nabawi, penerjemah Muhammad Fu’ad Abdu al-Bani (Madinah: Maktabah Baril, 1936), juz 1 hal. 492. 20 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari, Al-Jami’ al-
Musnad al-Shahih al-Mukhtashar in Umuri Rasulullah SAW wa Sunanihi wa Ayyamihi,(Beirut: Shadqi
Jamil al-‘athar, 1420 H), hal. 284
57
Hadits ini menjelaskan siapa yang disebut dengan Muslim, yaitu
orang yang bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah Swt. maka
darahnya haram untuk ditumpahkan. Hadits ini dapat dipahami juga
sebagai penjelasan bahwa syahadat merupakan pengikat darah
seseorang sehingga dia tidak boleh dibunuh.21 Akan tetapi ada tiga hal
yang menjadikan seorang Muslim boleh dibunuh yaitu qishash, orang
yang sudah menikah kemudian berzina dan orang murtad dari agama
Allah Swt.
Selanjutnya mengenai terbunuhnya seorang muslim yang
diungkapkan lebih besar dari hilangnya dunia.
ث ن ا م ل د بن ي ز يد ع ن س في ان ع ن م نص ور ع ن ي عل ى بن أ خب ر ن ع مر و بن ه ش ام ال ح د ال ع ن ع بد ال بن ع مرو ن ز و ال الد تل الم ؤم ن أ عظ م ع ط اء ع ن أ ب ي 22ن ي اع ند ال م
“Telah mengabarkan kepada kami 'Amr bin Hisyam, ia berkata;
telah menceritakan kepada kami Makhlad bin Yazid dari Sufyan dari
Manshur dari Ya'la bin 'Atho` dari ayahnya dari Abdullah bin 'Amr, ia
berkata; terbunuhnya seorang mukmin lebih besar bagi Allah daripada
hilangnya dunia.”23
21 Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari, penerjemah Amiruddin Lc,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jilid 33, hal. 510 22 Dalam penelusuran kata ز و ال melalui kitab Mu’jam Mufahras li Alfaz al-Hadîts al-Nabawi,
maka penulis menemukan kbradaan hadits ini di dalam Sunan al-Nasai kitab tahrim bab 2. Hadits
semakna dengan redaksi yang berbeda juga ditemukan dalam Sunan al-Tirmidzi kitab diyat bab 7, Sunan
Ibnu Majah kitab diyat bab 1, dan Sunan al-Nasai kitab tahrim bab 2. Lihat A. J Wensinck,, Mu’jam
Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi, penerjemah Muhammad Fu’ad Abdu al-Bani, (Madinah:
Maktabah Baril, 1936), juz 2 hal. 368 23 Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali al-Syuhairi Al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i
(Beirut: Dar al-Fikar, 2005), kitab tahrim, hal. 617
58
Hadits ini menyatakan bahwa nyawa seorang Muslim lebih
berharga dari pada dunia dan seisinya. Ini adalah isyarat Nabi
Muhammad Saw. agar setiap muslim menghargai nyawa muslim
lainnya. Maka dapat dipahami bahwa Islam melarang seorang Muslim
membunuh saudaranya.
Hadits-hadits mengenai keharaman darah ini menjelaskan
kepada kita untuk menghormati kehidupan seseorang, bahkan menjadi
peringatan bagi manusia untuk tidak menumpahkan darah seorang
Muslim.
c. Pendekatan sosial
Menjaga jiwa berarti menjaga keberlangsungan hidup yang
damai, tentram tanpa adanya konflik yang bernilai atau bahkan
mengakibatkan saling membunuh. Kehidupan sangat tidak mungkin
terjadi tanpa adanya konflik karena konflik merupakan suatu realitas
sosial yang harus dihadapi dengan profesional24 untuk mencegah
terjadinya hal yang tidak diinginkan. Hal ini dikarenakan konflik yang
terjadi menimbulkan rasa benci yang dapat berakhir dengan saling
menyakiti bahkan saling menghilangkan nyawa. Kebencian terhadap
seseorang bisa saja menjadikan nafsu lebih menang dari pada akal
24Martino Sardi, “Bertindak Aktif Tanpa Kekerasan Demi Perdamaian yang
Berkesinambungan” Dalam Hilman Latief dan Zezen Zaenal Mutaqin, ed. Islam dan Urusan
Kemanusiaan (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2015), hal. 195
59
sehingga manusia berbuat tanpa memikirkan segala sesuatu terlebih
dahulu. Untuk itulah, manusia diharapkan mencegah terjadinya konflik.
Pencegahan ini menjadi langkah utama dalam menghindari terjadinya
pertumpahan darah antar manusia.
Sejak zaman Nabi Muhammad Saw. hingga saat ini, membunuh
tanpa alasan yang dibenarkan adalah hal yang dilarang baik dari segi
Agama maupun kemanusiaan. Di zaman yang telah diatur oleh
perundang-undangan HAM maka seharusnya tidak terjadi lagi
penghilangan nyawa seorang manusia. adapun jika tidak mengacu ada
peraturan, maka rasa kemanusiaan hendaknya menjadi penghalang dari
pembunuhan.
Humanisme atau rasa kemanusiaan hendaknya menjadi penjaga
manusia untuk saling menjaga keberlangsungan hidup. Menjaga
keberlangsungan hidup ini bukan hanya dari tidak membunuh manusia
lainnya secara eksplisit, melainkan menjaga agar manusia lainnya tidak
terperosok ke dalam kemisikinan.
Kita dapat melihat bagaimana tidak seimbangnya kehidupan di
Indonesia dan negara-negara lainnya. Banyak orang kaya yang dapat
hidup dengan tenang, namun lebih banyakm agi masyarakat miskin
yang tidak dapat mencicipi kekayaan negaranya. Sebagai makhluk
sosial yang memiliki ilmu agama maka sepatutnya kita ikut
60
memperhatikan nasib masyarakat lainnya atas nama agama dan
humanisme.
Upaya menjaga darah atau jiwa yang harus dilakukan setiap
umat Islam dapat dilakukan dengan beberapa bentuk pengaplikasian.
Menjaga darah atau jiwa disini bukan saja tidak membunuh secara kasat
mata, namun juga tidak adanya upaya-upaya dalam mensejahterakan
umat. Menjadi seseorang yang beragama dan memiliki rasa
persaudaraan antar sesama Muslim, ditambah lagi dengan pengalaman
haji yang memberi banyak nilai-nilai kemanusiaan, maka hendaknya
masyarakat muslim memahami urgensi penjagaan jiwa atau darah agar
terciptanya kehidupan yang nyaman.
2. Menjaga Harta
Harta juga merupakan salah satu yang harus dijaga demi
tejalankannya syari’at agama Allah. Harta menjadi salah satu prioritas Islam
dalam kehidupan, karena dengan memiliki harta maka lebih banyak syariat
Islam yang dapat dilaksanakan, seperti zakat, sedekah, haji, umrah dan lain
sebagainya. Harta juga merupakan sumber kehidupan yang pasti akan
ditanya pertanggung jawabannya di akhirat kelak. Maka wajib bagi setiap
manusia mendapatkan harta dengan jalan yang baik. Dalam mengungkap
makna menjaga harta maka penulis akan mengungkapkannya dari beberapa
aspek:
61
a. Landasan al-Qur’ân
توا ههوله فهاءهتؤب ولكمههٱلس مبهأ تل
اهوههالهجعلههٱل هقليما سوهمبهفليهاهوههزقوهمبهٱربهلكمب هٱكب
اه روفا عب هم لا هقوب ٥وقولوا هلهمب
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang
belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)
yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja
dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-
kata yang baik” (Q.S. al-Nisa’ : 5)
Salah satu upaya penjagaan harta darti hal-hal yang bathil
adalah dengan menahan harta seseorang belum sempurna akalnya.
Upaya ini menjaga harta tersebut tidak digunakan untuk hal-hal yang
sia-sia. Maka ketika seorang muslim dititipkan harta anak yatim, maka
ia harus menjaganya hingga anak yatim tersebut berakal dan mampu
mengatur hartanya.
Harta merupakan salah satu yang harus dimiliki dalam
menjalankan kehidupan, karena itulah Islam memerintahkan untuk
menjaga harta. Ini juga dimaksudkan tidak membuang-buang harta
untuk sesuatu ang tidak diperlukan. Seperti firman Allah Swt. berikut,
62
بهذاههوءاتله هههٱلبقرب كلنيهوههۥحق بملسب بليللههٱببنهوههٱل يراههٱلس هتببذل رب رلينههإلنه ٢٦ولهتبذل مبذلب هٱل
ونه يطلنيل هكنوا هإلخب يبطنهوكنههٱلش لهلههٱلش لرب اههۦل ٢٧كفورا
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan
haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan
dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya” (Q.S. al-Isra’ :
26-27)
Islam juga memiliki hukum yang tegas terhadap sesorang yang
mengambil harta yang bukan haknya atau disebut dengan pencuri.
ارلقه ارلقةهوههوٱلس طعوا هفههٱلس ههٱقب هملن هنكلا هكسبا لما هب هجزاء يهما يبدلعزليزههٱلهوههاللهأ
٣٨حكليمه“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. al-Maidah : 38)
Allah Swt. mengatur kehidupan manusia dengan sangat
bijaksana. Termasuk aturan-aturan mengenai harta seorang manusia.
Allah telah berjanji memberi jaminan kehidupan kepada umat-Nya,
63
maka tidak sepatutnya seorang Muslim mencuri harta saudaranya.25
Hukum potog tangan sejatinya memiliki satu tujuan dengan hukum
qisas yang menjadi jalan untuk mengurangi perbuatan yang dilarang
oleh Allah. Ketika seseorang diberi hukuman potong tangan saat
mencuri, maka tidak aka nada orang yang akan mencuri.
Islam menentukan dan mengatur dengan tegas sarana
mendapatkan harta. Untuk mendapatkan harta hendaknya dengan cara
yang halal. Islam dengan ajaran-ajarannya membina hati manusia
sehingga pikiran mereka tertuju pada jalan positif untuk memperoleh
harta atau hal lainnya.26
b. Landasan al-Hadîts
Ada banyak hadits mengenai bagaimana manusia
menggunakan hartanya, serta tidak menyalahgunakannya. Di
antaranya adalah hadits tentang pertanggungjawaban harta, yaitu:
ث ن ا أ ب و ب ك ر ح د ث ن ا ع بد ال بن ع بد الرح ن أ خب ر ن األ سو د بن ع ام ر بن ع ياش ع ن ح د ال ال ر س ول ال األ عم ش ع ن س ع يد بن ع بد ال بن ج ر يج ع ن أ ب ب رز ة األ سل م ي
و س لم ال ت ز ول د م ا ع بد ي وم الق ي ام ة ح ت ي سأ ل ع ن ع م ر ه ف يم ا أ ف ن اه ص لى ال ع ل ي ت س ب ف يم ف ع ل و ع ن م ال م ن أ ين ا ف و ف يم أ ن ف و ع ن ع لم سم و ع ن ج ه ق ال يم أ بال
25 Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur`an penerjemah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Lc dan Khoirul
Halim, Lc (Jakarta: Robbani Press, 2002), jilid 3 hal. 604 26 Sayyid Qutb, Fi zilal al-Qur`an penerjemah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Lc dan Khoirul
Halim, Lc (Jakarta: Robbani Press, 2002), jilid 3 hal. 605
64
يح و س ع يد بن ع بد ال بن ج ر يج ه و ب صر ي و ه و م ا ح د يث ح س ن ص ح ول أ ب ه ذ 27ب رز ة و أ ب و ب رز ة اس ن ضل ة بن ع ب يد
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin
Abdurrahman telah menceritakan kepada kami Al Aswad bin 'Amir
telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakar bin Ayyasy dari Al
A'masy dari Sa'id bin Abdullah bin Juraij dari Abu Barzah Al Aslami
berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Kedua
telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat
sampai ditanya tentang umurnya untuk apa dia habiskan, tentang
ilmunya untuk apa dia amalkan, tentang hartanya dari mana dia
peroleh dan kemana dia infakkan dan tentang tubuhnya untuk apa dia
gunakan." Dia berkata: Hadits ini hasan shahih, adapun Sa'id bin
Abdullah bin Juraij dia adalah orang Bashrah dan dia adalah yang
dimerdekakan Abu Barzah, sedangkan Abu Barzah namanya adalah
Nadlah bin 'Ubaid”28
Hadits ini menjelaskan pertanggug jawaban seorang hamba
di hadapan Allah Swt. pada hari akhir nanti. Setiap manusia akan
ditanya tentang untuk apa umur, ilmu, harta dan tubuhnya digunakan
selama di dunia ini. Di hari akhir kelak juga akan ditanya dari mana
dia memperoleh harta dan untuk apa digunakan. Sabda Nabi
Muhammad Saw. ini menjadi peringatan agar manusia senantiasa
memperhatikan setiap langkah yang diambilnya.
27 Berdasarkan penulusuran penulis melalui kitab Mu’jam Mufahras li Alfaz al-Hadîts al-
Nabawi dengan kata سأل maka hadits ini ditemukan dalam Sunan al-Tirmidzi kitab qiyamat bab 1. Lihat
A. J Wensinckk, Mu’jam Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi, penerjemah Muhammad Fu’ad Abdu
al-Bani, (Madinah: Maktabah Baril, 1936), juz 2, hal. 380 28 Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah al-Tirmdzi, Jami’ al-Tirmidzi (Jordan: Bait al-Afkar
al-dauliyah) hal. 396
65
Kemudian Rasulullah pernah bersabda mengenai balasan
untuk daging yang tumbuh dari harta yang haram. Haditsnya sebagai
berikut:
ث ن ا ع بد ال ث ن ا ع ب يد اح د ح د الك وف د الق ط و ان ث ن ا غ ال ب بن أ ب ز ي ل بن م وس ى ح ده اب ع ن أ ب و ب شر ع ن أ يوب بن ع ائ ذ الطائ ي ع ن يس بن م سل م ع ن ط ار ق بن ش
ال ال ل ر س عب بن ع جر ة و س لم أ عب ول ال ص لى ال ع ل ي ل ي ع يذ ك ب ه م ف ي أ ب و اب ه م ف ص د ن غ ش ن أ م ر اء ي ك ون ون م ن ب عد ي ف م ذ ب م و أ ع ان ه م بن ع جر ة م
و ال ن م ف ل يس م ن و ل ست م ي أ ب و اب ه م أ و ل ي ر د ع ل ي ال وض و م ع ل ى ظ لم ه ن غ ش م ف ه و م ن و أ ن م ذ ب م و ل ي ع ن ه م ع ل ى ظ لم ه و س ي د ع ل ي ي غش ف ل م ي ص د ه م ف ن
ان و الصوم ة ب ره عب بن ع جر ة الصال ة ت طف ئ ال ط يئ ة ج نة ح ص ال وض ي ين ة و الصد م عب بن ع جر ة إ ن ال ي رب و ل اء النار ي ا ي طف ئ الم م ان ت ن ب ت م ن س حت إ ال
ا النار أ ول ب ن ه ذ ا ح د يث ح س ن غ ر يب م لو ج ال ن عر ف إ ال ا ال أ ب و ع يس ى ه ذ ان ي ر ى م ن ح د يث ع ب يد ال بن م وس ى و أ يوب بن ع ائ ذ الطائ ي ي ض عف و ي ق ال إ ال م ن ح د يث ع ب ا ال د يث ف ل م ي عر ف مدا ع ن ه ذ اء و س أ لت رج بن يد ال ر أي ال
ث ن ا ابن ي ع ن ع ب يد ال بن م مد ح د ال ا و د وس ى ع ن غ ال ب م وس ى و است غر ب ج ا 29ب ذ
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abu Ziyad
Al Qathawani Al Kufi telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah
bin Musa telah menceritakan kepada kami Ghalib Abu Bisyr dari
Ayyub bin 'A`idz Ath Tha'i dari Qais bin Muslim dari Thariq bin
Syihab dari Ka'ab bin 'Ujrah dia berkata, Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wasallam bersabda kepadaku: "Wahai Ka'ab, saya memohon
perlindungan kepada Allah untukmu dari perbuatan para penguasa
setelahku. Barang siapa yang mendatangi mereka lalu mempercayai
kedustaan mereka serta membantu mereka dalam berbuat zalim,
maka dia bukan dari golonganku juga tidak dapat melewati Haudlku
29 Berdasarkan penelusuran takhrij al-hadits melalui kitab Mu’jam Mufahras dengan kata سحت,
hadits ini hanya terdapat dalam Sunan al-Tirmidzi kitab Jum’at bab 79. Lihat A. J Wensinck,, Mu’jam
Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi, penerjemah Muhammad Fu’ad Abdu al-Bani, (Madinah:
Maktabah Baril, 1936) juz 2, hal. 434
66
(telaga) kelak. Dan barang siapa yang mendatangi mereka atau tidak
mendatangi mereka dan tidak membenarkan kedustaan mereka juga
tidak membantu mereka dalam berbuat zalim, maka dia termasuk
dari golonganku dan saya termasuk dari golongannya serta dapat
mendatangi Haudku (telaga) kelak. Wahai Ka'ab bin 'Ujrah, shalat
merupakan tanda keimanan, puasa ialah tameng yang kokoh, serta
sedekah dapat menghapuskan dosa sebagaimana air memadamkan
api. Wahai Ka'ab bin 'Ujrah, tidaklah daging manusia tumbuh dari
barang yang haram kecuali Neraka lebih berhak atasnya." Abu 'Isa
berkata, hadits ini gharib melalui sanad ini dan tidak kami ketahui
kecuali dari haditsnya Ubaidullah bin Musa dan Ayyub bin 'A`idz
Ath Thai' dilemahkan bahkan dikabarkan dia menganut paham
Murji`ah. Saya bertanya kepada Muhammad, akan tetapi dia tidak
mengetahuinya kecuali dari hadits Ubaidullah bin Musa, bahkan
hadits ini terasa asing baginya. Muhammad juga berkata, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Numair dari Ubaidullah bin Musa
dari Ghalib seperti hadits di atas.”30
Ketika manusia mencari harta untuk menghidupi dirinya dan
keluarganya, makaa hendaknya ia memperoleh dari usaha yang halal.
Ketika harta yang diperoleh dengan cara yang tidak halal, maka
daging yang tumbuh pun menjadi halal dimasukkan ke dalam api
neraka. Mengenai harta yang haram ini adalah harta yang diperoleh
dari jalan yang bathil misalnya mencuri, memakan harta anak yatim,
dan cara lain yang tidak dibenarkan agama.
c. Pendekatan sosial
Manusia hidup di dunia ini membutuhkan harta yang
dijadikan modal untuk bertahan hidup. Ketika seorang manusia
30 Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah al-Tirmdzi, Jami’ al-Tirmidzi (Jordan: Bait al-Afkar
al-dauliyah), hal 121
67
diberikan rezeki berupa harta kepada manusia, berarti Allah Swt.
memberikan titipan yang harus dijaga.
Islam mengatur berbagai upaya dalam menjaga harta. Salah
satunya adalah dengan memanfaatkan harta untuk hal-hal kebaikan.
Persoalan harta tentunya berhubungan dengan kehidupan orang
banyak yang mana asal-muasal harta dan penggunaanya menjadi
sorotan penting yang harus diperhatikan setiap manusia.
Apabila di zaman Rasulullah Saw. dan khulafâ` al-râsyidîn
memiliki bait al-mâl untuk mengelola harta, maka sejak zaman itu
hingga saat ini zakat telah diwajibkan kepada setiap muslim. Islam
mengajarkan kepada kita agar orang-orang yang diberikan kelebihan
harta atau kaya memberikan sebagian hartanya kepada orang-orang
yang kurang mampu bahkan karib kerabat sesuai kadar yang telah
ditetapkan oleh syara’.31 Syariat ini menjadi bukti pentingnya
pengelolaan harta dalam kehidupan, di mana cara memperoleh harta
haruslah dengan keridhoan dan penggunaanya pun untuk hal
kebaikan. Tidak dapat diterima oleh agama dan masyarakat apabila
suatu harta didapatkan melalui cara yang batîl; yang tentunya
merugikan salah satu pihak. Oleh karena itu kehidupan sosial sepakat
bahwa harta semestinya dijaga dari segala keburukan.
31 Sudarto, Wacana Islam Progresif, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2014), hal.71
68
Harta hendaknya juga digunakan untuk perkembangan
semangat kemanusiaan yang terwujud dalam berbagai bentuk amal
usaha, seperti panti asuhan yati dan rumah miskin, serta santunan
terhadap kaum dhu’afa`.32 Maka harta sudah sepatutnya digunakan
untuk hal-hal yang bermanfaat sehingga menimbulkan ketentraman
antar manusia. Dengan kedermawaan, maka manusia akan dapat
hidup dengan rukun dan saling menghargai.
3. Menjaga Kehormatan
a. Landasan al-Qur’an
ها يأ لينههي لبوا هءامنوا ههٱل تن اهملنههٱجب ضههنلهٱلظهكثليا هبعب نلهإلن سوهٱلظ ا هإلثبمهوهلهتس
تموهه يهلهميبتااهفكرلهب خلكلهلبمهأ
بنهيأ
هأ حدكمب
هأ يلب
ضاهأ ضكمهبعب تبهبعب ولهيغب
قوا هوه يمهاله إلنههالهههٱت ابهرحل ١٢تو
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-
sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa.
Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu
yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang” (Q.S. al-Hujurat : 12)
32 Budi Setiawan, “Menafsirkan Spirit al-Ma`un dan Aktivisme Kemanusiaan Muhammadiyah”
Dalam Hilman Latief dan Zezen Zaenal Mutaqin, ed. Islam dan Urusan Kemanusiaan (Jakarta: PT
Serambi Ilmu Swmesta, 2015), hal.312
69
Islam begitu menyeluruh mengatur kehidupan manusia.
Bahkan persoalan sikap sesama muslim yang sekiranya dapat
melukai kehormatan saudara seiman juga diatur dalam al-Qur’an.
Islam memiliki kepedulian yang tinggi terhadap hubungan dan
perasaan antar manusia, karena setiap manusia yang hidup di muka
bumi ini memiliki pemikiran.33
b. Landasan al-Hadîts
Ada beberapa hal yang harus dilakukan ketika kita menjaga
kehormatan saudara Muslim. Di antaranya menjaga rahasia saudara
Muslim lainnya.
مد أ خب ر ن ع بد ال بن الم ب ار ك ع ن ابن أ ب ذ ئب ث ن ا أ ح د بن ال أ خب ر ن ع بد ح د الرح ن بن ع ط اء ع ن ع بد الم ل ك بن ج اب ر بن ع ت يك ع ن ج اب ر بن ع بد ال ع ن النب
ال إ ذ ا ح دث الرج ل ال د يث ث الت ف ت ص ل و س لم ال أ ب و ف ه ي أ م ان ة ى ال ع ل يا ح د يث ح س ن و إ ا ن عر ف م ن ح د يث ابن أ ب ذ ئب 34ع يس ى ه ذ
“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad,
telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Mubarak dari Ibnu
Abu Dzi`b ia berkata, Telah mengabarkan kepadaku Abdurrahman
bin Atha` dari Abdul Malik bin Jabir bin Atik dari Jabir bin Abdullah
dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Jika
seseorang bercerita tentang sesuatu kata lalu ia berpaling (agar
perkataannya tidak tersebar), maka ungkapkannya itu adalah
33 Sayyid Qutb, Fi zilal al-Qur`an penerjemah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Lc dan Khoirul
Halim, Lc (Jakarta: Robbani Press, 2002), juz 11 hal. 256 34 Berdasarkan penelusuran melalui kata ح دث dengan kitab Mu’jam Mufahras, maka penulis
mendapati hadits ini hanya dimuat dalam Sunan al-Tirmidzi kitab al-birr bab 39. Lihat A. J Wensinck,
Mu’jam Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi, penerjemah Muhammad Fu’ad Abdu al-Bani
(Madinah: Maktabah Baril, 1936), juz 1, hal.433
70
amanah." Abu Isa berkata; Ini adalah hadits Hasan, namun kami
hanya mengetahuinya dari haditsnya Ibnu Abu Dzi`b.”35
Hadits di atas menjelaskan kepada kita agar menjaga rahasia
saudara seiman. Ketika seorang datang kepada kita menceritakan
suatu hal dan dia berpaling (mengisyaratkan bahwa dia tidak ingin
orang lain mengetahuinya), maka hendaklah kita menjaga
rahasianya. Karena dengan menjaga rahasia tersebut kita berarti
menjaga kehormatannya.
Upaya selanjutnya yaitu tidak melakukan tahassus dan
tajassus sebagaimana hadits berikut:
عف ر بن ر ب يع ة ع ن األ عر ج ث ن ا الليث ع ن ج ث ن ا ي ي بن ب ك ي ح د ال أ ب و ه ر ي ر ة ح د ال م و الظن ف إ ن الظن أ ال إ ي و س لم ص لى ال ع ل ي ث ر ع ن النب ذ ب ال د يث ي
طب ة ت سس وا و ال ت سس وا و ال ت ب اغ ض وا و ون وا إ خو ان و ال ي ط ب الرج ل ع و ال ل ى خ ح ت ي نك ح أ و ي ت ر ك ي 36أ خ
“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair Telah
menceritakan kepada kami Al Laits dari Ja'far bin Rabi'ah dari Al
A'raj ia berkata; Abu Hurairah berkata; Satu warisan dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Jauhilah oleh kalian
perasangka, sebab perasangka itu adalah ungkapan yang paling
dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula
saling menebar kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang
35 Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah al-Tirmdzi, Jami’ al-Tirmidzi (Jordan: Bait al-Afkar
al-dauliyah) hal. 328 36 Berdasarkan penelusuran dengan kata تسس melalui kitab Mu’jam Mufahras, penulis
menemukan hadits ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari kitab Nikah bab 45, kitab Faraidh bab 2, kitab
Adab bab 57 dan 58, Shahih Muslim bab Birrun nomor 28 dan 30, Sunan Abu Daud kitab Adab bab 37
dan 48. Lihat A. J Wensinck,, Mu’jam Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi, penerjemah Muhammad
Fu’ad Abdu al-Bani (Madinah: Maktabah Baril, 1936), juz 1, hal. 347
71
bersaudara. Janganlah seorang laki-laki meminang atas pinangan
saudaranya hingga ia menikahinya atau meninggalkannya.”37
Hadits Nabi di atas merupakan peringatan bagi umat muslim
agar senantiasa menjaga hubungan baik dengan saudara seiman.
Rasulullah memerintahkan umatnya agar menjadi saudara dan tidak
membuat keretakan dalam hubungan persaudaraannya. Setiap orang
harus menghargai saudaranya sehingga tidak perlu mencari-cari
kesalahannya, tidak berprasangka buruk, tidak menebar kebencian
serta tidak meminang seseorang yang berada di dalam pinangan
saudaranya.
Selanjutnya terdapat hadits mengenai larangan merendahkan
saudara, haditsnya sebagai berikut:
ث ن ا د او د ي عن ابن يس ع ن أ ة بن عن ب ح د ث ن ا ع بد ال بن م سل م ب س ع يد م ول ح د و س ل ال ر س ول ال ص لى ال ع ل ي ال ر يز ع ن أ ب ه ر ي ر ة ر بن م ال ت اس د وا و ال ع ام
اب ر وا و ال ي ب ع ب عض ك م ع ل ى ب يع ب عض و ت ن ا ون وا ع ب اد ال ج ش وا و ال ت ب اغ ض وا و ال ت د ل و ال ي ق ر ه الت قو ى ه اه ن و ال ي ذ ي إ ل إ خو ان الم سل م أ خ و الم سل م ال ي ظل م ا و ي ش
ث ل ال ص در ه ث ال اه الم سل م ن الشر أ ن ي ق ر أ خ م سل م ع ل ى م رات ب سب امر م و م ال و ع ر ر أ ح د بن ع مر و بن س رح ح د .الم سل م ح ر ام د م ث ن أ ب و الطاه ث ن ا ح د
ر يز بن ز يد أ ن س ع أ ب س ع يد م ول ع بد ال ابن و هب ع ن أ س ام ة و ه و ا بن ع ام ر بن و س لم ف ال ر س ول ال ص لى ال ع ل ي و ح د يث ي ق ول س عت أ ب ه ر ي ر ة ي ق وال ر ذ
37 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari, Al-Jami’ al-
Musnad al-Shahih al-Mukhtashar in Umuri Rasulullah SAW wa Sunanihi wa Ayyamihi (Beirut: Shadqi
Jamil al-‘athar, 1420 H), hal. 1322
72
م و ال إ د او د و ز اد و ن ق ص و م ا ز اد ف إ ن ال ال ي نظ ر إ ل أ جس اد ل ص و ر م و ل ك ن ي 38ي نظ ر إ ل ل وب ك م و أ ش ار ب ص اب ع إ ل ص در ه
“Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Maslamah
bin Qa'nab; Telah menceritakan kepada kami Dawud yaitu Ibnu Qais
dari Abu Sa'id yang dimerdekakakan 'Amir bin Kuraiz dari Abu
Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: 'Janganlah kalian saling mendengki, saling memfitnah,
saling membenci, dan saling memusuhi. Janganlah ada seseorang di
antara kalian yang berjual beli sesuatu yang masih dalam penawaran
muslim lainnya dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling
bersaudara. Muslim yang satu dengan muslim yang lainnya adalah
bersaudara tidak boleh menyakiti, merendahkan, ataupun menghina.
Takwa itu ada di sini (Rasulullah menunjuk dadanya), Beliau
mengucapkannya sebanyak tiga kali. Seseorang telah dianggap
berbuat jahat apabila ia menghina saudaranya sesama muslim.
Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya. hartanya,
dan kehormatannya." Telah menceritakan kepadaku Abu At Thahir
Ahmad bin Amru bin Sarh Telah menceritakan kepada kami Ibnu
Wahab dari Usamah yaitu Ibnu Zaid Bahwa dia mendengar Abu Sa'id
- yang dimerdekakan- dari Abdullah bin Amir bin Kuraiz berkata;
aku mendengar Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: -kemudian perawi menyebutkan Hadits yang
serupa dengan Hadits Daud, dengan sedikit penambahan dan
pengurangan. Di antara tambahannya adalah; "Sesungguhnya Allah
tidak melihat kepada tubuh dan rupa kalian, akan tetapi Allah melihat
kepada hati kalian. (seraya mengisyaratkan telunjuknya ke dada
beliau).”39
Hadits di atas berbicara tentang seorang Muslim dengan
Muslim lain bersaudara. Persaudaraan ini terbentuk karena adanya
ikatan aqidah yang menjadikan hubungan setiap Muslim sebagai
hubungan yang mulia.
38 Berdasarkan penelusuran takhrij al-hadits melalui kata خذل dengan kitab Mu’jam Mufahras,
maka hadits ini ditemukan dalam Shahih al-Bukhari kitab Ikrah bab 7, Shahih Muslim kitab birrun
nomor 32, Sunan al-Tirmidzi kitab birrun bab 18. Lihat A. J Wensinck,, Mu’jam Mufahras li Alfadz al-
Hadits al-Nabawi, penerjemah Muhammad Fu’ad Abdu al-Bani (Madinah: Maktabah Baril, 1936), juz
2 hal. 16 39Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al- Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim (Beirut: Dar al-
‘Ilmiyah, 1991) hal. 1986
73
Seorang Muslim tidak dibenarkan untuk menzaliminya,
menghinakannya serta meremehkannya. Menghinakan seorang
Muslim berarti tidak membantu ketika saudaranya membutuhkan
bantuan. Sedangkan meremehkan seorang Muslim berarti
menganggapnya kecil40 padahal derajat manusia itu sama disisi Allah
Swt. kecuali dalam hal taqwa.
c. Pendekatan sosial
Menjaga kehormatan adalah hal penting yang harus
diperhatikan setiap manusia. Masyarakat mengenal hukum timbal
balik dalam kehidupan, di mana ketika seseorang berbuat baik maka
orang lain akan berbuat baik pula. Ketika seseorang menjaga
kehormatan saudaranya, maka ia akan mendapatkan kehormatan
pula.
Dalam kehidupan bersosial, sangat dianjurkan untuk saling
menjaga perasaan saudara sehingga tidak ada rasa benci di dalam hati
setiap individu. Hal ini berkaitan erat dengan upaya menjaga
kehormatan manusia di mana penjagaan terhadap kehormatan ini
menjadikan setiap manusia terhindar dari rasa rendah diri.
40 Al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim penerjemah Thoriq Abdul Aziz al-Tamimi dan Fathoni
Muhammad (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2013) jilid 11 hal. 625
74
Setiap manusia mempunyai peluang yang sama, maka
meremehkannya adalah bentuk pelanggaran terhadap
kehormatannya. Sebagai makhluk sosial, jauh lebih baik memberi
dukungan moril dan materil kepada sesame manusia dibandingkan
membeberkan keburukannya, menghina dan menjatuhkannya.
Hendaknya sesama manusia saling menjaga kehormatan manusia
lainnya.
Makna sosial hadits Nabi Muhammad Saw. saat haji wada’ telah dijelaskan
dengan landasan al-Qur’an, hadits dan teori sosial. Dari penjabaran di atas maka dapat
kita katakana Nabi Muhammad Saw. mengharapkan umat Muslim menjadi umat yang
bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya dan hidup dalam kerukunan sebagaimana
rukunnya masyarakat saat melaksanakan ibadah haji. Keharaman-keharaman serta
aturan-aturan dalam berhaji telah menjadikan suasana yang tertib selama waktu
pelaksanaanya dan hendaknya memiliki dampak untuk dikemudian hari.
Pengalaman ibadah haji hendaknya juga menjadi acuan untuk lebih peka
terhadap kondisi masyarakat Muslim yang ada di sekitarnya. Ketika kita melihat
maknanya dengan teori burhani/ kontekstual, maka haram bagi umat Muslim
membunuh Muslim lainnya, memakan harta muslim lainnya atau menyalahgunakan
hartanya, dan haram merendahkan umat Muslim lainnya serta
75
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa
khutbah Nabi Muhammad Saw. saat haji wada’ menjelaskan nilai humanisme yang
harus dimiliki setiap Muslim terutama yang telah melaksanakan ibadah haji yaitu
menjaga darah, harta dan kehormatan yang mana keharamannya disetarakan dengan
keharaman hari, bulan dan tanah suci; tempat dan waktu pelaksanaan haji. Penyetaraan
keharaman ini hendaknya menjadi motivasi bagi umat Islam yang telah melaksanakan
haji karena mereka telah merasakan bagaimana sucinya tempat dan waktu haji serta
mengerti keharaman-keharaman yang dilarang di tanah suci dan mempraktikannya
dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman ibadah haji hendaknya juga menjadi acuan
untuk lebih peka terhadap kondisi masyarakat Muslim yang ada di sekitarnya. Ketika
kita melihat maknanya dengan teori burhani/ kontekstual, maka haram bagi umat
Muslim membunuh Muslim lainnya, memakan harta muslim lainnya atau
menyalahgunakan hartanya, dan haram merendahkan umat Muslim lainnya serta
B. Saran-saran
Berdasarkan penelitian di atas, maka penulis menyampaikan saran-saran
sebagai berikut:
1. Sebagai makhluk sosial hendaknya manusia saling menjaga
keberlangsungan kehidupan sosial.
76
2. Dibutuhkan peran dari pemerintah untuk memaksimalkan penyebaran
jamaah haji agar lebih merata sehingga umat yang belum pernah
menunaikan ibadah haji dapat sesegera mungkin menuju Bait Allah untuk
melaksanakan ibadah haji.
3. Diharapkan para da’i dan tokoh masyarakat memberikan pemahaman
mengenai kewajiban berhaji satu kali seumur hidup, sehingga kemampuan
finansialnya dapat digunakan untuk membantu saudara seiman yang masih
memiliki kekurangan dalam kehidupannya.
4. Hendaknya umat Muslim selalu menjadikan hadits Nabi Muhammad Saw.
sebagai pedoman hidup.
5. Penulis berharap seluruh umat Islam dan juga penulis dapat menjalankan
ibadah haji sebagaimana yang dituntut Rasulullah dengan memperhatikan
setiap aspek baik, teologis maupun sosiologis.
77
DAFTAR PUSTAKA
al-Qur’an al-Karim
Abdurrahman, Moeslim, Islam sebagai Kritik Sosial ed- Sayyed Mahdi.
Jakarta:Erlangga, 2003
Ariadi, Lalu Muhammad, Haji Sasak: Sebuah Potret Dialektika Haji dan Kebudayaan
Lokal. Ciputat: IMPRESSA Publishing, 2012
Asnawi, Ahmad. Glosari Hadits. YogyakartaL Penerbit Jannah, 2013
al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fathu al-Bari Syarah Sahîh al-Bukhari, terj. Amiruddin.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2008
Bagader, Abu Bakar A. Islam and Sociological Perspectives. -terj. Machnun Husein.
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996
Boisard, Marcel A. L’ Humanisme De L’ Islam –terj. Prof. Dr. H. M. Rasjidi. Jakarta:
Bulan Bintang, 1980
al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah , Al-
Jami’ al-Musnad al-Sahîh al-Mukhtashar in Umuri Rasulullah SAW wa
Sunanihi wa Ayyamihi. Beirut: Shadqi Jamil al-‘athar, 1420 H
Departemen Pendidkan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008
al-Faifi, Sulaiman Ahmad Yahya. AL-Wajiz Fii Fiqh al-Sunnah al-Sayyid Sabiq. -terj.
Ahmad Tirmidzi dkk. Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 2015
Farid, Ishak. Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999
Fikri, Syahruddin El. Sejarah Ibadah-Menelusuri Asal-Usul Memantapkan
Penghambaan. Jakarta: Republika, 2014
Hakim, A. Husnul. “Haji Mabrur: Antara Teologis dan Sosiologis.” Dalam Dinamika
dan Perspektif Haji Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Penyelanggaraan
Haji dan Umrah Kementrian Agama Republik Indonesia, 2012
Ishaq, Ibnu. Sirah Nabawiyah Sejarah lengkap kehidupan Rasulullah Saw. –tahqiq
Ibnu Hisyam. Jakarta: Akbar Media, 2015
al-Jabiri, Muhammad Abed, Post Traditionalisme Islam. penerjemah Ahmad Baso.
Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2000
78
Karim, Abdurrahman bin Abdul. Kitab Sejarah Nabi Muhammad SAW.dari sebelum
masa Kenabian Hingga Sesudahnya. Yogyakarta:DIVA Press, 2013
Kertanegara, Mulyadhi. “Filosofi Haji.” Dalam Dinamika dan Perspektif Haji
Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Penyelanggaraan Haji dan Umrah
Kementrian Agama Republik Indonesia, 2012
Khon, Abdul Majid. Takhrij dan Metode Memahami Hadits. Jakarta: Amzah, 2014
Manzhur, Ibnu. Lisan al-‘Araab. Kairo: Daar al-Ma’arif, tt
al-Mubarakfury, Shafiyyur Rahman. al-Rahiqu al-Makhtum- Batsun Fi al-Sirah al-
Nabawiyyah ‘ala Shahabibiha Afdhal al-Shalatu wa al-Salam –terj. Kathur
Suhardi. Jakarta;Pustaka al-Kautsar, 2009
al-Nasa’i, Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali al-Syuhairi. Sunan al-
Nasa’i. Beirut: Dar al-Fikar, 2005
al-Naisaburi, Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al- Qusyairi. Sahîh Muslim. Beirut: Dar
al-‘Ilmiyah, 1991
Al-Nawawi. Syarah Sahîh Muslim penerjemah Thoriq Abdul Aziz al-Tamimi dan
Fathoni Muhammad. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2013
al-Qurthubi, Terjemahan Tafsir al-Qurthubi. Jakarta:Pustaka Azzam, 2008
Qutb, Sayyid. Fi zilal al-Qur`an penerjemah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid dan Khoirul
Halim. Jakarta: Robbani Press, 2002
Ritonga, A. Rahman dan Zainuddin. Fiqh Ibadah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002
Rokhmad, Ali dan Abdul Cholic MT. HAJI Transformasi Profetik Menuju Revolusi
Mental. Jakarta: Anggota IKAPI, 2015
al-Sijastani, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats. Sunan Abi Daud. Beirut: Dar al-Fikar,
2003
Sardi, Martino. “Bertindak Aktif Tanpa Kekerasan Demi Perdamaian yang
Berkesinambungan” Dalam Hilman Latief dan Zezen Zaenal Mutaqin, ed.
Islam dan Urusan Kemanusiaan. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2015
Setiawan, Budi. “Menafsirkan Spirit al-Ma`un dan Aktivisme Kemanusiaan
Muhammadiyah” Dalam Hilman Latief dan Zezen Zaenal Mutaqin, ed.
Islam dan Urusan Kemanusiaan. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2015
Shihab, M. Quraisy. Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW dalam Sorotan al-Qur’an
dan Hadits-Hadits Sahîh. Tangerang: Lentera Hati, 2012
79
Soleh, H.A. Khudori, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2013
Sudarto, Wacana Islam Progresif. Yogyakarta: IRCiSoD, 2014
al-Syaibani, Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad. Musnad Ahmad,
Kairo: Daar al-Ma’arif, 134 H
Syakir, Ahmad. Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir penerjemah Agus Ma`mun dkk.
Jakarta: Darus Sunnah Press, 2014
al-Tirmdzi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah. Jami’ al-Tirmidzi. Jordan: Bait
al-Afkar al-dauliyah, tt
al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Sifat Haji Nabi SAW – Pembahasan dari Kitab
Fath Dzi al-Jalal wa al-Ikram Syarah Bulughul Maram. Jakarta: Darus
Sunnah Press, 2014
Wensinck, A. J. Mu’jam Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi, terj. Muhammad
Fu’ad Abdu al-Bani. Madinah: Maktabah Baril, 1936
Yaqub, Ali Mustafa. Mewaspadai Provokator Haji. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009
-------- Haji Pengabdi Setan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008
Z, Zurinal dan Aminuddin. Fiqih Ibadah. Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008
Zainuddin, M. Kesalehan Normatif dan Kesalehan Sosial, Malang; UIN-Malang Press,
2007
DATA DIRI
Nama : Khairun Nisa
Tempat/ Tanggal Lahir : Koto Tuo, 24 Januari 1995
Alamat : Jorong Pincuran Tinggi Panyalaian
Kecamatan X Koto Kabupaten Tanah
Datar Sumatera Barat
Email : [email protected]
No. Telp : +6281285358642
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Tinggi/Berat Badan : 147 Cm/ 45 Kg
Golongan Darah : AB +
Kewarganegaraan : Indonesia
Riwayat Pendidikan
o 2001-2007 : SDN 23 Pincuran Tinggi Panyalaian
o 2007-2010 : MTsN Padang Panjang
o 2010-2013 : MAN/MAKN Koto Baru Padang Panjang
o 2013-2017 : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta