Hadis Tentang Pembunuhan Yang Tidak Diancam Hukuman Qisas
-
Upload
ahmad-khoirudin -
Category
Documents
-
view
74 -
download
0
description
Transcript of Hadis Tentang Pembunuhan Yang Tidak Diancam Hukuman Qisas
-
HADIS TENTANG PEMBUNUHAN YANG TIDAK
DIANCAM HUKUMAN QISAS
MAKALAH
Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hadits Hukum Pidana Islam
Dosen pembimbing :
Saoki, S.HI., M.HI.
Oleh Kelompok 2 :
1. Agus Winarko (C03212004)
2. Ahmad Khoiruddin (C03212005)
3. Ahmad Saiful Haq (C03212006)
PRODI SIYASAH JINAYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2014
-
1
: :
:
Dari Umar bin Al-Khaththab Radhyiyallahu Anhu berkaya, Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Seorang ayah tidak dituntut karena membunuh
anaknya.(HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Ibnu Al-Jarud dan
Al-Baihaqi. At-Tirmidzi mengatakan hadits ini mudhtharib)
Penjelasan Kalimat
Sanad hadits ini yang diriwayatkan At-Tirmidzi ini, terdapat Al-Hajjaj bin Arthah,
bentuk idhthirabnya: Ulama berbeda pendapat terhadap rawi Amr bin Syuaib dari ayahnya,
dari kakeknya. Ada yang berpendapat: dari Umar, inilah yang disebut dengan meriwayatkan
dari kitab (catatan). Ada yang berpendapat: dari Suraqah. Ada yang berpendapat: tidak ada
perantara dalam menerima hadits ini, namun ada rawi yang bernama Al-Mutsanna bin Ash-
Shabah yang dikenal dhaif. At-Tirmidzi berkata, Diriwayatkan dari Amr bin Syuaib secara
mursal, hadits ini ada, idhthirabnya, dan dijadikan dasar pengamalan oleh pakar ilmu.
Asy-Syafii berkata, Semua jalan sanad rawinya munqathi.
Abdul Haq berkata, Semua hadits ini malul (illah) tidak ada yang shahih.
Tafsir Hadits
Hadits ini merupakan dalil bahwa bapak tidak diqishash apabila membunuh anaknya.
Asy-Syafii berkata, Saya bertemu dengan beberapa ulama dan mereka menyatakan bahwa
bapak tidak diqishash apabila membunuh anaknya, namun dalam masalah tersebut ada
beberapa pendapat ulama. Jumhur shahabat dan yang lainnya seperti Al-Hadawiyyah, Al-
Hanafiyyah, Ash-Syafiiyyah, Ahmad dan Ishaq berpendapat tidak diqishash secara mutlak
-
2
bapak yang membunuh anaknya berdasarkan hadits ini, mereka berkata, Karena bapak
penyebab keberadaan anak, maka anak tidak bisa menjadi penyebab hilangnya nyawa bapak.
Al-Battiy berpendapat bapak juga diqishash secara mutlak apabila membunuh anaknya
berdasarkan keumuman firman Allah, jiwa (dibalas) dengan jiwa. (QS. Al-Maidah: 45)
pendapat ini dibantah bahwa ayat tersebut ditakhshish (dikecualikan) dengan hadits, namun
mungkin hadits tersebut tidak shahih menuruntnya. Malik berpendapat bahwa bapak diqishash
apabila membunuh anaknya dengan cara dibaringkan lalu disembelih (seperti hewan qurban),
lalu ia berkata, Karena itu benar-benar sengaja ingin membunuhnya dan tidak mungkin
bermaksud lainnya, karena zhahirnya orang yang memakai alat yang bisa menciderai; pastilah
sengaja ingin membunuh, faktor kesengajaan tidak bisa ditetapkan kecuali dengan zhahirnya
keadaan yang mendukung.
Apabila caranya tidak seperti yang tersebut di atas yang mungkin tidak menghilangkan
nyawanya, namun untuk memberi pelajaran walaupun hukuman tersebut tidak berkaitan
dengan lainnya; tetap dihukumi dengan sengaja. Hanya saja dibedakan antara hukuman yang
diberikan bapak dengan lainnya, karena seorang bapak biasanya dalam memberikan hukuman
diiringi dengan kasih sayang dan benar-benar untuk memberi pelajaran karena ia melakukan
hal-hal yang membuat marah bapak, inilah pendapat Malik. Akan tetapi, apabila ada nash yang
menjelaskan hal tersebut; maka pendapat itu tidak bisa dijadikan dasar hukum. Umar juga
memutuskan hal serupa pada kasus Al-Madlaji, lalu mewajibkan bapak membayar diyat serta
tidak mendapatkan bagian dari harta diyat itu, dan berkata, Seorang pembunuh tidak berhak
mendapatkan bagian sesuatu apapun , maka ia tidak berhak mendapatkan warisan berdasarkan
ijma ulama, dan jumhur ulama menambahkan juga dari harta-harta lainnya. Seorang kakek
dan ibu sama kedudukannya dengan bapak menurut jumhur ulama dalam gugurnya hukuman
qishash.
: : :
" : .
-
3
" :
. .
Dari Abu Juhaifah, ia berkata, Aku bertanya kepada Ali, Adakah padamu sesuatu dari
wahyu selain Al-Quran? Ia menjawab, Tidak. Demi Rabb yang menumbuhkan bijian dan
menciptakan makhluk, kecuali pemahaman yang dianugerahkan Allah kepada seseorang
dalam memahami Al-Quran. Aku bertanya, Apa yang terdapat dalam lembaran ini?Ia
berkata,Denda bunuh [diyat], membebaskan tawanan, dan orang muslim tidak boleh dibunuh
karena membunuh orang kafir. (HR. Al-Bukhari)
Ahmad, Abu Dawud, dan An-Nasai, meriwayatkan dari jalan lain bahwa Ali Radhiyallahu
Anhu berkata, orang mukmin itu sama hak darahnya, orang yang terpandang rendah
diantara mereka boleh melakukan sesuatu atas tanggungan mereka; mereka bagaikan satu
tangan melawan orang lain; orang mukmin tidak boleh dibunuh karena membunuh orang
kafir, demikian pula orang kafir yang masih terikat dengan perjanjiannya (ia tidak boleh
bunuh karena membunuh orang kafir). (Hadits shahih menurut Al-Hakim)
Penjelasan Kalimat
Diyat disebut dengan Aql karena mereka menikat onta (sebagai diyat) di halaman rumah
korban. Orang mukmin itu sama hak darahnya maksudnya diantara mereka berlaku
ketentuan yang sama dalam hal qishash, dan diyat pada perkara yang menyangkut masalah
darah.
Tafsir Hadits
Penulis kitab berkata, Abu Juhaifah bertanya kepada Ali tiada lain; karena ada
sekelompok Syiah beranggapan bahwa Ahli Bait Ridhwanullah Alaihim- mendapatkan
wahyu khusus yang tidak disampaikan kepada yang lainnya terutama Ali. Selain Abu Juhaifah,
Ali pernah juga ditanya yang lainnya, lalu zhahirnya yang ditanyakan itu adalah masalah yang
berkaitan dengan hukum-hukum syariat yang terdapat dalam Al-Quraan dan Sunnah Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam; kedua-duanya yang disebut dengan wahyu, dijelaskan dalam
firman Allah, Dan tiadalah yang ducapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya. (QS. An-Najm: 3) berlaku umum tidak hanya sebatas yang terdapat Al-Quran,
ditunjukkan dengan pertanyaannya Apa yang terdapat dalam lembaran ini? Bukan berarti
tidak menisbatkan kepada Ali Radhiyallahu Anhu yang berasal dari Jafar dan lainnya. Ada
-
4
yang berpendapat bahwa hal itu termasuk dalam sabda Nabi, Pemahaman yang
dianugerahkan Allah kepada seseorang dalam memahami Al-Quran ungkapan ini
dinisbatkan kepada siapa saja yang diberi ilmu oleh allah, dimudahkan bashirahnya memahami
sehingga bisa menginstinbath firman-firman Allah, dan jika tidak demikian; maka ia terperosok
ke dalam kebodohan yang sangat.
Hadits ini mencakup beberapa masalah:
Pertama: Al-Aql, yaitu diyat, akan dijelaskan penetapannya.
Kedua: membahas tawanan, yaitu hukum yang berkaitan dengan membebaskan tawanan
dari tangan musuh, ada beberapa hadits yang menganjurkan akan hal tersebut.
Ketiga: seorang muslim tidak diqishash apabila membunuh orang kafir. Inilah pendapat
jumhur ulama, demikian pula orang kafir yang masih terikat dengan perjanjiannya (ia tidak
boleh dibunuh karena membunuh orang kafir), orang yang masih terikat perjanjian itu adalah
seseorang yang berasal dari Dar Al-Harb (daerah yang memerangi kaum muslimin) yang
masuk kedaerah Islam setelah mendapatkan jaminan keamanan, maka haram hukumnya
membunuhnya sampai ia kembali kedaerahnya, seandainya ia dibunuh oleh orang Islam.
Al-Hanafiyyah berkata, Orang Islam diqishash jika membunuh orang kafir dzimmi
tanpa sebab yang hak, dan tidak diqishash apabila membunuh orang kafir yang mendapatkan
jaminan keamanan; berdasarkan hadits, Demikian pula orang kafir yang masih terikat dengan
perjanjiannya (ia tidak boleh dibunuh karena membunuh orang kafir), masih ada hubungan
dengan sabda Nabi: Mukmin maka kalimat yang kedua harus ditentukan sebagaimana
kalimat yang pertama, maka kalimatnya adalah demikian juga orang kafir yang masih terikat
perjanjiannya tidak diqishash apabila membunuh orang kafir, dan juga harus menentukan
maksud orang kafir dengan menghubungkan dengan lafazh harbi; karena dzimmi diqishash
apabila membunuh kafir dzimmi dan juga orang muslim. Apabila kalimat tersebut bisa
dihubungkan, tentu kalimat penghubungnya bisa juga untuk ditentukan; maka kalimatnya
menjadi: Dan tidak boleh orang mukmin diqishash apabila membunuh orang kafir harbi, dan
mafhum harbi bahwa ia diqishash apabila membunuh orang kafir dzimmi berdasarkan mafhum
mukhlafah, walaupun Al-Hanafiyyah tidak berdasarkan mafhum, namun mereka berpendapat
bahwa hadits tersebut menunjukkan bahwa tidak diqishash orang muslim apabila membunuh
kafir harbi, akan tetapi diqishash apabila membunuh kafir dzimmi berdasarkan keumuman
firman Allah, Jiwa (dibalas) dengan jiwa (QS. Al-Maidah: 45) dan berdasarkan hadits yang
diriwayatkan Al-Baihaqi: Bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengqishash seorang
-
5
muslim yang membunuh kafir yang masih terikat perjanjiannya, lalu bersabda, Saya
memuliahkan seseorang yang menunaikan hak-hak dzimmi, hadits ini mursal dari hadits
Abdurrahman Al-Bailamani.
Pernah juga diriwayatkan marfu, Al-Baihaqi berkomentar: itu salah. Ad-Daraquthni
berkata, Ibnu Al-Bailamani dhaif, hadits riwayatnya tidak bisa dijadikan hujjah walaupun
maushul (marfu), lalu bagaimana jika hadits riwayatnya dikatakan mursal?! Abu Ubaid Al-
Qasim bin salam berkata, Hadits ini tidak ada sanadnya, maka tidak boleh dijadikan dasar
hukum untuk menumpahkan darah kaum muslimin.
Asy-Syafii menyebutkan dalam kitab Al-Umm: bahwa hadits dari Ibnu Al-Bailamani itu
tentang kisah orang kafir yang dijamin keamanannya lalu dibunuh Amar bin Umayyah Adh-
Dhamri, lali berkomentar, Seandainya hadits ini benar, namun mansukh; karena hadits:
Tidak diqishash orang muslim apabila membunuh orang kafir disampaikan Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika penaklukan kota Makkah sebagaimana dalam riwayat
Amar bin Syuaib, sedangkan kisah Amar bin Umayyah lebih dahulu terjadi sebelum
penaklukan kota Makkah.
Sedangkan penjelasan Al-Hanafiyyah yang mengharuskan penentuan kalimat yang
sesuai, maka pendapat mereka dibantah; karena kalimatnya tidak membutuhkan kalimat
lainnya untuk menyempurnakan maknanya, karena sabda Nabi, Demikian pula orang kafir
yang masih terikat dengan perjanjiannya (ia tidak boleh dibunuh karena membunuh orang
kafir) adalah kalimat yang sempurna, tidak membutuhkan lagi kalimat tambahan; karena
bertentangan dengan kalimat asalnya; dan tidak mungkin diberikan kalimat tambahan kecuali
dharurat (tidak bisa dipahami) maka artinya adalah larangan membunuh orang kafir yang
masih terikat perjanjian. Pendapat mereka, sesungguhnya larangan membunuh orang kafir
yang masih terikat perjanjian itu maklum diketahui, kecuali apabila ia membahayangkan, maka
hal itu pun tidak perlu diberitahukan?
Jawaban: jika ada penambahan kalimat (penyempurna) itu melalui ketentuan syariat,
kalau memang sudah sempurna dan tidak membutuhkan kalimat sempurna; maka sebetulnya
lafadz zhahir berlaku secara umum yang berarti boleh membunuhnya, seandainya penambahan
kalimat kafir pada jumlah yang kedua benar, akan tetapi tidak berarti pengecualian yang
pertama dengan kafir harbi; karena kata sambung menunjukkan status hukum yang sama
secara mutlak, dan bukan berarti harus sama pengertiannya dari segala segi.
-
6
Makna sabda Nabi: Orang yang terpandang rendah diantara mereka boleh melakukan
sesuatu atas tanggungan mereka apabila seorang muslim memberikan jaminan keamanan
kepada kafir harbi sama halnya seluruh kaum muslimin memberikan jaminan keamanan
kepadanya, walaupun yang memberikan jaminan itu seorang wanita sebagaimana kisah Ummu
Hani. Akan tetapi, disyaratkan si pemberi keamanan itu mukallaf (melakukan syariat dengan
merdeka) sama halnya kaum muslimin memberikan jaminan keamanan; maka tidak boleh
dilanggar. Sabda Nabi, Mereka bagaikan satu tangan melawan orang lain yaitu mereka
bersatu melawan musuhnya dan tidak boleh memisahkan diri dari mereka, bahkan mereka
saling tolong menolong melawan musuh-musuh Islam yang diibaratkan seperti satu tangan dan
perbuatan mereka merupakan implementasi dari semuannya.