Grand Strategi Udang - eprints.stiperdharmawacana.ac.ideprints.stiperdharmawacana.ac.id/211/1/Grand...

60
GRAND STRATEGY PENGEMBANGAN BUDIDAYA UDANG DI SULAWESI TENGAH DINAS PERIKANAN DAN KELAUTAN PROVINSI SULAWESI TENGAH 2007

Transcript of Grand Strategi Udang - eprints.stiperdharmawacana.ac.ideprints.stiperdharmawacana.ac.id/211/1/Grand...

GRAND STRATEGY

PENGEMBANGAN BUDIDAYA UDANG

DI SULAWESI TENGAH

DINAS PERIKANAN DAN KELAUTAN

PROVINSI SULAWESI TENGAH

2007

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 2

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar dengan panjang garis

pesisir sekitar 81,000 km memiliki potensi besar untuk pengembangan

budidaya air payau sesuai kebijakan umum Departemen Kelautan dan

Perikanan, yaitu "pengendalian penangkapan, pengembangan akuakultur

dan peningkatan nilai tambah hasil perikanan” (Numberi, 2007).

Salah satu komoditas unggulan yang bernilai tinggi serta memiliki

pasar ekspor maupun dalam negeri yang besar dapat dikembangkan adalah

udang, terutama udang windu (Penaeus monodon, tiger prawn) dan udang

vaname (Litopenaeus vanamei, western white prawn). Pada tahun 2005, luas

wilayah yang dimanfaatkan sekitar 132.800 Ha., dengan produski sekitar

300.000 ton. Sasaran Program Revitalisasi Perikanan Budidaya pada tahun

2009 adalah 540.000 ton produksi dengan luas areal budidaya 262.500 Ha.

Kontribusi yang diharapkan dari Propinsi Sulawesi Tengah mencakupi 3672

Ha khusus udang vaname dan 3093 Ha. khusus udang windu dengan

peningkatan produksi udang menjadi sekitar 14,000 ton pada tahun 2009

(Anonymous, 2006).

Peningkatan tersebut hendak dicapai terutama melalui revitalisasi

secara bertahap terhadap areal tambak yang telah terbentuk namun tidak

berfungsi atau belum optimal. Revitalisasi tersebut melalui

penyediaan/penyiapan lahan yang baik, penyediaan sarana produksi (benih,

pupuk, pakan, kapur, pestisida dan alat mesin), penyediaan prasarana dan

penyiapan tenaga kerja serta pemasarannya. Disamping itu perlu didukung

dengan pembinaan yang dilakukan secara intensif dan berkelanjutan serta

fasilitas perkreditan yang tepat bagi untuk usaha budidaya udang

(Anonymous, 2006).

Pada Program Revitalisasi, pengembangan budidaya udang secara

bertanggung jawab dan berkelanjutan diarahkan melalui penerapan Standar

Nasional Indonesia (SNI), Standard Operational Procedures (SOP), serta

penerapan Better Management Practices (BMP) dan dalam Kepmen Ditjen

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 3

Perikanan Budidaya No. 01/DPB.0/HK.150.154/S4/II/2007 tentang Good

Aquaculture Practices (GAP), penerapan pengawasan dan sertifikasi cara

pembudidayaan yang baik telah ditetapkan. Sedangkan penerapan tingkat

teknologi (intensif, semi intensif dan sederhana) budidaya disesuaikan

dengan potensi lahan dan daya dukung lahan, kemampuan SDM dan

ketersediaan sarana dan prasarana produksi. Budidaya udang windu akan

diarahkan melalui penerapan teknologi budidaya sederhana dengan sistem

organik pada tambak rakyat. Sedangkan pengembangkan udang vaname

berdasarkan penilaian bahwa komoditas ini lebih adaptif terhadap

lingkungan, lebih tahan penyakit dan mampu mencapai produktivitas yang

tinggi.

Walaupun komoditas udang sangat berpotensil, namun

perkembangan budidaya udang sampai saat ini mengalami banyak kendala,

yang dampaknya antara lain kerusakan lingkungan dan sumberdaya pesisir

serta kerugian finansil dan potensi konflik sosial. Dengan demikian, dalam

pengembangan budidaya udang ke depan, secara monokultur maupun

polikultur, dinilai penting adanya upaya nyata untuk menjamin kelestarian

lingkungan dan sumberdaya perikanan air payau serta perhatian khusus

terhadap aspek sosial.

Dalam rangka mencapai ataupun melebihi sasaran program nasional

demi kesejahteraan masyararakan dan ekonomi Daerah dan negara,

Pemerintah Daerah (PEMDA) Propinsi Sulawesi Tengah melalui Dinas

Perikanan dan Kelautan merencanakan program yang intinya memberi

manfaat ekonomi berkelanjutan berdasarkan pemanfaatan lestari

sumberdaya alam yang berada di kawasan pesisir, khususnya sumberdaya

perikanan air payau, melalui Program Grand Strategy Komoditas Unggulan

Udang di Sulawesi Tengah.

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 4

1.2. Tujuan dan Manfaat

Tujuan umum dari program multi-tahun Grand Strategy Komoditas

Unggulan Udang di Sulawesi Tengah adalah peningkatan kesejahteraan

masyarakat dan ekonomi Daerah serta mendukung Program revitalisasi

Perikanan Budidaya melalui pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya air

payau, khususnya pengembangan budidaya udang yang berkelanjutan dari

aspek ekologi dan ekonomi

Manfaat yang diharapkan antara lain peningkatan kemampuan

masyarakat perikanan budidaya terhadap akses inovasi, permodalan dan

pasar dalam rangka meningkatkan produktivitas dan pendapatan

masyarakat, penyerapan tenaga kerja, serta peningkatan daya saing dan

ekspor.

1.3. Sasaran

Tujuan khusus atau sasaran program multi-tahun tersebut antara

lain:

• Penerapan beberapa pola budidaya udang yang rama lingkungan

dan menguntungkan baik monokultur maupun polikultur termasuk

penerapan SNI, SOP, GAP, HACCP dan lainnya sesuai ketentuan

nasional/internasional

• Peningkatan produksi udang dan komoditas air payau lainnya

khusus ekspor dan pemanfaatan dalam negeri dengan mutu

sesuai tuntutan pasar global

• Penyediaan induk dan bibit yang bermutu dalam jumlah yang

mencukupi serta sarana/prasarana dan dukungan modal yang

memadai

• Pemanfaatan optimal hasil budidaya, termasuk pengembangan

pemanfaatan limbah pabrik olahan udang

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 5

• Kelestarian sumberdaya/lingkungan air payau, termasuk

habitat/lahan dan sumber induk dan bibit lokal (khususnya udang

dan sumberdaya perikanan lainnya yang dapat dibudidayakan

secara polikultur bersama dengan udang) melalui pelestarian dan

rehabilitasi kawasan (bekas) budidaya.

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 6

BAB II. GAMBARAN UMUM

2.1. Overview Pengembangan Budidaya Udang di Indonesia

Secara umum, udang yang di budidayakan di daerah tropis adalah

udang laut dari Famili Penaeidae. Spesies udang utama yang dibudidayakan

di Indonesia adalah Penaeus monodon (Fabricius, 1798), yang memiliki

distribusi luas di kawasan Indo-Pasifik, termasuk perairan Indonesia, dengan

nama lokal udang windu dan nama umum tiger prawn. Jenis introduksi yang

sedang dikembangkan adalah Litopenaeus vanamei, dengan nama lokal

udang vaname dan nama umum western white prawn. Sedangkan udang air

tawar dari Famili Palaemonidae, Genus Macrobrachium dengan nama lokal

udang galah dapat pula dibudidayakan, namun sampai saat ini kurang

dikembangkan.

Komoditas udang memiliki nilai jual yang tinggi dan permintaan global

meningkat secara terus-menerus seiring dengan pertumbuhan populasi dan

peningkatan taraf hidup masyarakat global. Produksi udang hasil perikanan

tangkap pada umumnya stagnasi ataupun menurun sejak tahun 1980-an

akibat overfishing dengan alat tidak ramah lingkungan seperti trawl (pukat

harimau), sedangkan produksi hasil budidaya meningkat tajam. Dalam

perdagangan internasional pada tahun 1996 udang hasil budidaya telah

melebihi produksi hasil perikanan tangkap (Hagler, 1997). Sentra produksi

budidaya utama adalah Asia Tenggara, termasuk Vietnam sebagai produsen

terbesar sampai saat ini, dan Indonesia sebagai negara ASEAN dengan

potensi lahan budidaya udang terluas.

Pertumbuhan budidaya udang di Indonesia pada awalnya pesat dan

cenderung tak terkendali dan tanpa proses perencanaan ataupun penataan

ruang sehingga cenderung menimbulkan beberapa masalah dari aspek

lingkungan maupun sosial, antara lain kerusakan hutan mangrove,

pencemaran serta konflik pemanfaatan/kepemilikan lahan, bahkan luas lahan

yang dikonversi tidak selalu diketahui oleh instansi pemerintah yang

berwenang (Tobey dkk., 2002).

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 7

Terjadinya wabah penyakit, pembukaan lahan yang tidak sesuai dan

beberapa permasalahan lainnya, sebagian usaha tidak berlanjut, namun

dengan rehabilitasi habitat dan teknologi yang tepat sebagian besar lahan

yang terdegradasi atau tidak layak dengan metode tradisional dapat

dimanfaatkan dan/atau direhabilitasi (Mackintosh dkk., 2002; Anonymous,

2000).

Dalam rangka mewujudkan pengembangan budidaya udang secara

berkelanjutan, maka pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Perikanan

Budidaya telah menyusun Program Revitalisasi Perikanan Budidaya dimana

salah satu komoditas utama adalah udang. Melalui program tersebut

diharapkan bahwa produksi dan kontribusi terhadap kesejahteraan

masyarakat dan ekonomi negara akan meningkat serta lingkungan budidaya

akan terjaga. Maka dalam program tersebut penekanan utama adalah

terhadap pemberdayaan usaha budidaya yang mengunakan teknologi

sederhana dan pendekatan organik serta rehabilitasi lahan budidaya

(Anonymous, 2006).

2.2. Sekilas Bioekologi Penaeus monodon

Menurut GSMFC (2003), habitat P. monodon pada fase juvenil adalah

perairan dangkal disekitar muara sungai, sedangan udang dewasa

ditemukan di perairan sampai kedalaman 110 m atau lebih dengan substrat

yang didominasi oleh pasir dan/atau lumpur. Pemijahan P. monodon terjadi

di perairan lepas pantai, dan larva serign ditemukan pada perairan tersebut,

namun dapat bertahan hidup di perairan payau ataupun di air tawar. Salinitas

ideal bagi juvenil sekitar 20-30 ppt.

Makanan utama berupa krustasea dan moluska, sedangkan makanan

lainnya termasuk tumbuhan (alga, dan lain-lain), cacing, ikan, dan detritus,

maka secara alami udang windu lebih bersifat pemangsa karnivora dibanding

dengan detrivora. Namun udang windu adalah omnivora yang dapat

beradaptasi pada makanan yang tersedia di lingkungannya, termasuk

berbagai formulasi pakan buatan. Dalam kondisi kekurangan pakan dan/atau

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 8

perbedaan besar dalam ukuran udang-udang yang dibudidayakan,

kanibalisme dapat terjadi.

Gambar 2.1. Penaeus monodon

Pertumbuhan udang betina cenderung lebih laju dibandingkan udang

jantan. Ukuran pada kematangan seksual pertama khusus udang jantan

sekitar 37 mm carapace length (CL) atau panjang karapas, dengan berat

badan sekitar 35 g, sedangkan khusus betina sekitar 47 mm CL dengan

berat badan sekitar 67.7 g. Pertumbuhan panjang P. monodon berkisar

antara 0,3 mm - 1 mm per hari, dan udang windu dapat mencapai ukuran

dewasa dalam beberapa bulan saja, tergantung dari kondisi lingkungan.

Larva P. monodon bersifat planktonik selama sekitar 3 minggu

sebelum memasuki daerah asuhan di estuaria selama beberapa bulan,

kemudian menuju perairan lebih dalam pada ukuran sekitar 20 mm CL.

Berperilaku nokturnal, udang windu lebih aktif pada malam hari, namun

tingkat aktivitas dipengaruhi juga oleh siklus pasang-surut. pemangsa utama

termasuk cumi-cumi, ikan lele, dan beberapa jenis ikan demersal lainnya

(Anonymous, 1993)..

Seperti Krustasea pada umumnya, sewaktu-waktu kulit udang perlu

diganti, baik pada fase larva/juvenil dimana terjadi perubahan bentuk,

maupun pada fase juvenil besar dan dewasa seiring dengan

pertumbuhannya. Proses tersebut disebut Moulting. Sebelum moulting, kulit

baru telah terbentuk, namun masih lembek. Maka pasca moulting, udang

dengan mudah menjadi mangsa organisme lain, termasuk bangsannya

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 9

sendiri. Untuk menghindari pemangsaan, pasca moulting udang biasanya

menyembunyikan diri dalam lumpur/pasir. Udang juvenil/mudah lebih sering

mengganti kulitnnya.

Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan termasuk:

• Kondisi lingkungan luar: intensitas sinar matahari, suhu air, kadar

garam (salinitas), kadar oksigen (BOD), pH, dan lain-lain

• Ketersediaan dan kualitas makanannya (termasuk kadar Ca, P dan

cholesterol yang terkait dengan proses moulting)

• Jenis kelamin: pertumbuhan betina rata-rata lebih cepat (jumlah

makanannya juga lebih besar)

• Pada saat moulting, udang hampir tidak makan. Nafsu makan besar

dan pertumbuhan paling cepat terjadi setelah proses moulting

2.3. Status Budidaya Udang di Sulawesi Tengah

Lahan Budidaya

Potensi luas lahan di Propinsi Sulawesi Tengah yang dapat

dimanfaatkan untuk budidaya udang sangat luas dan tersebar di berbagai

kabupaten. Tercantum pada tabel di bawah adalah beberapa data luas lahan

yang dapat dimanfaatkan serta luas lahan yang termanfaat.

Tabel 2.1. Potensi Luas Lahan Budidaya Udang di Sul awesi Tengah

Kabupaten Potensi Lahan (ha)*

Lahan Termanfaatkan 2006 (ha)*

Tambak terbuka tahun 2005 (ha)**

Banggai 6,925 1,794 1,133

Morowali 7,295 977 2,552

Poso 245 147 149

Donggala 5,150 2,250 4,080

Toli-Toli 3,399 904 904.3

Buol 8,350 469 75

Parigi Moutong 10,306 3,734 5,680

Tojo Una-Una 425 64 370

Total 42,095 10,339 14,943.3

Sumber: * Data Diskanlut Propinsi Sulawesi Tengah, 2007 (pemanfaatan tahun 2006) ** Data BPDAS Palu-Poso, 2007 (berdasarkan citra satelit tahun 2005 & groundtruthing)

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 10

Data luas potensi lahan pada Tabel 2.1 sangat tinggi apabila

dibanding dengan luas mangrove di Sulawesi Tengah yang pada tahun 2005

hanya tersisa sekitar 29,600 ha dengan hampir 20,000 ha pada kawasan

hutan (data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Palu-Poso, 2007),

sedangkan pada tahun 1994 berdasarkan data BKSDA (1994), mangrove

pada kawasan hutan saja adalah 46,000 ha, sehingga terjadi penurunan

lebih dari 50%. Bahkan khususnya di kawasan pesisir Sulawesi Tengah

sekeliling Teluk Tomini (Zona II), diperkirakan bahwa mangrove yang tersisa

di bawah 1/3 dari luas 15-20 tahun lalu.

Sedangkan seperti pada beberapa daerah lainnya di Indonesia

ataupun di kawasan Indo-Pasifik, sebagian besar ataupun hampir semua

pembukaan lahan untuk tambak yang telah terjadi di Sulawesi Tengah

adalah pada kawasan yang sebelumnya ditumbuhi oleh hutan mangrove.

Pembukaan tersebut pada umumnya tidak memperhatikan aturan, terutama

aturan tentang "green belt" atau jalur hijau. Dengan demikian, selain dampak

nyata pada ekosistem pesisir dan sumberdaya perikanan, telah cukup

banyak tambak yang nyaris hilang akibat abrasi.

Selain itu, tanah pada kawasan mangrove cenderung kurang kondusif

untuk budidaya tambak, baik dari aspek keasaman (pH) yang cenderung

tergolong tinggi maupun dari aspek tekstur tanah. Misalnya banyak lahan

terbuka yang tanahnya ternyata mengandung kadar pasir cukup tinggi

sehingga porous dan tidak mampu menahan air (Anonymous, 2002;

Anonymous, 2003; observasi). Fenomena pembukaan lahan tidak layak

merupakan salah satu penyebab utama perbedaan antar luas tambak yang

termanfaatkan dan luas yang terbuka.

Walaupun dapat diragukan perkiraan potensi luas begitu besar, dan

dapat diprediksi bahwa akan menimbulkan dampak lingkungan nyata apabila

semuanya termanfaat, namun hal tersebut tidak perlu menghawatirkan

berkaitan dengan potensi pengembangan komoditas udang. Luas tambak

yang telah terbuka dan difungsikan cukup besar, bahkan telah jauh melebihi

sasaran luas tambak pada program Revitalisasi Perikanan Budidaya Udang

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 11

khusus Sulawesi Tengah, yaitu hanya 6.765ha, 3672 Ha khusus udang

vaname dan 3093 Ha. Hanya saja, kondisi lahan dan pola pemanfaatannya

cenderung jauh dibawah optimal.

Data statistik perkembangan luas tambak budidaya tahun 2003-2006

serta lahan tambak kotor/luas air pada tahun 2005 tercantum pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Data statistik perkembangan luas tambak

Wilayah Luas Tambak 2005 Luas Tambak (Ha) %perubahan

Kotor Air 2003 2004 2005 2006* luas tambak

Propinisi 10,403 9,427 9,994.2 10,022.0 9,746.6 10,339 3.5%

Banggai 2,026 1,823 915.0 915.0 1,823.4 1,794 96.1%

Bangkep 0 0 0.0 0.0 0.0 0 0.0%

Poso 93 85 91.2 85.0 85.0 147 61.2%

Morowali 900 819 2,512.0 2,512.0 818.7 977 -61.1%

Donggala 2,250 2,053 2,050.0 2,053.0 2,053.0 2,250 9.8%

Parigi-Moutong

3,760 3,550 3,527.0 3,550.0 3,550.0 3,734 5.9%

Tolitoli 904 697 572.0 572.0 697.3 904 58.0%

Buol 470 399 327.0 335.0 399.2 469 43.4%

Tojo Unauna 0 0 TAD TAD 320 64 TAD

Kota Palu 0 0 0 0 0 0 0.0%

Sumber: Statistik Diskanlut Propinsi Sulawesi Tengah 2003, 2004, 2005 * Data Diskanlut Propinsi Sulawesi Tengah, 2007 (pemanfaatan tahun 2006)

Data pada Tabel 2.2. menunjukkan bahwa luas lahan yang

dimanfaatkan cenderung berubah, baik luas secara keseluruhan maupun

penyebarannya diantar Kabupaten. Pada Kabupaten Banggai, Poso, Tolitoli

dan Buol terjadi perluasan yang relatif besar sedangkan Donggala dan

Parigi-Moutong hampir stabil dan di Morowali terjadi penurunan besar.

Penyebab perubahan-perubahan tersebut tidak diketahui dengan jelas.

Namun fluktuasi ini sesuai dengan indikator dari data BPDAS Palu-Poso dan

beberapa studi lainnya (misalnya Anonymous, 2002; Anonymous, 2003)

bahwa luas lahan yang terbuka untuk tambak melebihi luas lahan yang

termanfaatkan dan bahwa sebagian ternyata tidak layak untuk usaha

pertambakan.

Berdasarkan perhitungan kasar dapat diperkirakan bahwa lahan yang

perlu direhabilitasi sekurang-kurangnya 4,000 ha. Ini merupakan tantangan

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 12

yang besar dan kiranya tidak dapat tertangani secara keseluruhan dalam

jangka waktu 3 tahun namun perlu perhatian dan usaha nyata.

Produksi budidaya Air Payau

Tambak yang berada di Sulawesi Tengah tidak semuanya

diperuntukkan untuk suatu komoditas tertentu. Selain adanya polikultur,

terutama ikan bandeng dan udang, para petani tambak cenderung merubah

komoditas sesuai dengan kesempatan yang ada, baik dari aspek

ketersediaan bibit maupun permintaan pasar, dan statistik perikanan tidak

selalu membedakan komoditas. Dengan demikian, sebagian data yang

tersedia bukan khusus budidaya udang secara utuh namun mengacu pada

perikanan budidaya air payau (di tambak) secara umum.

Data produksi budidaya udang dari Dinas Perikanan dan Kelautan

Propinsi Sulawesi Tengah tahun 2003-2006 tercantum pada Tabel 2.3.

Nampak bahwa pada tahun 2006, Kabupaten Banggai merupakan

kabupaten dengan produksi udang paling tinggi, sekitar 50% dari produksi

total Sulawesi Tengah. Kabupaten tersebut juga satu-satunya yang telah

mengembangkan budidaya udang vaname, sebagian besar hasil budidaya

udang pada tahun 2006 dari spesies tersebut.

Tabel 2.3. Produksi Budidaya Udang, Tahun 2003-2006

Wilayah

Produksi Udang (ton) Udang windu Vaname Total

2003 2004 2005 2006* 2006* 2006* Banggai 431.0 440.0 1,525.7 941.04 1,757.8 2698.84 Morowali 237.9 232.5 220.0 17.4 0 17.4 Poso 3.4 5.1 5.0 5.2 0 5.2 Donggala 307.5 326.7 382.2 406.8 0 406.8 Toli-Toli 47.0 45.4 1,178.0 1178 0 1178 Buol 27.3 30.9 95.5 97.2 0 97.2 Parigi Moutong 830.0 853.0 921.2 965.4 0 965.4 Tojo Una-Una TAD TAD 3.5 12.8 0 12.8

Propinsi 1,884.1 1,933.6 4,331.1 3,623.8 1,757.8 5,381.6 Sumber: Statistik Diskanlut Propinsi Sulawesi Tengah 2003, 2004, 2005 * Data Diskanlut Propinsi Sulawesi Tengah, 2007 (pemanfaatan tahun 2006)

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 13

Khusus produktivitas, statistik terbaru yang tersedia adalah khusus

tahun 2005, dimana jenis udang yang dibudidayakan adalah P. monodon,

(udang windu) dan jenis lainnya yang dibudidayakan di tambak yang tercatat

hanya ikan bandeng, Chanos chanos. Produksi tahun 2005 tercantum paada

Tabel 2.4. mencakup semua komoditi budidaya air payau, dimana dua

komoditas utama adalah udang dan ikan bandeng. Ini karena tidak diketahui

luas tambak yang diperuntukkan untuk masing-masing komoditas.

Tabel 2.4. Produksi dan Produktivitas Budidaya Air Payau, Tahun 2005

Wilayah Jumlah RTN

Luas Tambak

(ha)

Produksi (ton)

Nilai Produksi

(Rp. 1000)

Produktivitas (ton/ha)

Pendapatan rata:rata/RTN

(Rp)

Propinisi 5,853 9,427 9,287 182,139,825 0.99 31,119,054 Banggai 669 1,823 1,628 61,555,875 0.89 92,011,771 Bangkep 0 0 0 0 0.00 0 Poso 114 85 22 187,800 0.25 1,647,368 Morowali 889 819 986 11,245,750 1.20 12,649,888 Donggala 599 2,053 1,572 17,259,200 0.77 28,813,356 Parigi-Moutong

2,770 3,550 2,583 39,167,700 0.73 14,139,964

Tolitoli 633 697 2,207 48,947,500 3.17 77,326,224 Buol 158 399 280 3,641,000 0.70 23,044,304 Tojo Unauna

21 0 10 135,000 0.00 6,428,571

Kota Palu 0 0 0 0 0.00 0 Sumber: Statistik Diskanlut Propinsi Sulawesi Tengah 2005

Menarik bahwa pada tahun 2003 dan 2004 beberapa komoditi lainnya

dikembangkan di tambak, walaupun dalam jumlah relatif kecil, termasuk ikan

belanak dan kakap serta kepiting bakau (Scylla sp.), rajungan (Portunus sp.)

dan udang putih (Penaeus merguensis). Tidak diketahui penyebab sehingga

jenis tersebut tidak dibudidayakan lagi atau tidak tercatat. Sedangkan

rumput laut jenis Gracillaria sp. hanya mulai tercatat pada tahun 2006,

dimana sebagian kecil berada di Kabupaten Banggai (187.5 ton), Poso (18

ton) dan Morowali (85 ton) dan bagian terbesar di Kabupaten Morowali

(36,824.6 ton).

Dari aspek produktivitas dan keuntungan ekonomi, terlihat perbedaan

nyata antar kabupaten, dimana Kabupaten Tolitoli sangat menonjol dengan

produktivitas maupun pendapatan yang tinggi, dan Kabupaten Poso memiliki

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 14

performance terburuk. Sedangkan dari aspek ekonomi, Kabupaten Banggai

menunjukkan performance ekonomi sangat tinggi, diperkirakan sebagian

besar pada 4 perusahaan pertambakan udang.

Walaupun tidak khusus komoditas udang saja, data tersebut

menunjukkan bahwa potensi untuk meningkatka produksi dan profitabilitas

usaha pertambakan di Sulawesi Tengah sangat besar, tanpa perlu adanya

pembukaan lahan baru, namun dengan melakukan perbaikan terhadap pola

pemanfaatan, dan secara khusus, pola produksi.

Rumah Tangga Nelayan – Skala Usaha

Jumlah rumah tangga nelayan (RTN) yang terlibat dalam usaha

budidaya air payau menurut statistik Diskanlut Sulawesi Tengah tahun 2005

tercantum pada tabel dibawah. Data lebih up-to-date belum tersedia.

Tabel 2.5. Jumlah RTN Menurut Areal Usaha Budidaya Tahun 2005

Jumlah RTN menurut Luas Areal Usaha Luas Rata-rata

Total < 2 Ha. 2-5 Ha. 5-10 Ha. tambak (ha) ha/RTN Propinisi 5,853 5,415 428 10 9,979 1.70 Kab. Banggai 669 661 5 3 1,794 2.68 Kab. Bangkep - - - - Kab. Poso 114 97 17 - 147 1.29 Kab. Morowali 889 875 14 - 977 1.10 Kab. Donggala 599 543 49 7 2250 3.76 Kab. Parigi-Moutong 2,770 2,466 304 - 3374 1.22 Kab. Tolitoli 633 633 - - 904 1.43 Kab. Buol 158 140 18 - 469 2.97 Kab. Tojo Unauna 21 - 21 - 64 3.05 Kota Palu - - - - Sumber: Data Statistik Diskanlut 2005

Apabila dibanding jumlah RTN dengan luas tambak yang termanfaat

kelihatan bahwa secara rata-rata petambak di Sulawesi Tengah hanya

mengusahakan sekitar 1,7 ha per RTN. Namun apabila dibandingkan

dengan luas tambak yang terbuka, maka luas rata-rata per RTN adalah 2.55

ha/RTN, dengan hampir 7 ha/RTN di Donggala, hampir 3ha/RTN di Morowali

dan lebih dari 2 ha/RTN di Parigi-Moutong.

Walaupun tidak membedakan petani udang dan komoditas lain, data ini

menunjukkan bahwa sebagian besar usaha tambakan berskala kecil, dengan

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 15

beberapa usaha skala menengah, terutama di Kabupaten Donggala, dan

hanya sedikit usaha relatif besar.

Petambakan udang skala industrial atau komersil murni dengan

investasi (penanaman modal) relatif besar hanya terdapat di Kabupaten

Banggai, dengan adanya 4 perusahaan pertambakan yaitu PT Banggai

Sentral Shrimp (BSS), PT Sentral Sari Windu (SSW), PT Firton Windu Utama

dan PT Minahaki Alam Indah.

Investasi

Dari aspek investasi, menurut data Biro Infokom Sulawesi Tengah

(http://infokom-sulteng.go.id/, 2 September 2007), terdapat 2 perusahaan

dalam negeri yaitu PT Sentral Sari Windu dengan realisasi luas 360 Ha dan

rencana modal investasi Rp. 15,6 milliard dan PT Fitron Windu Utama

dengan rencana luas 40 ha dan rencana modal investasi Rp. 8.75 milliard,

keduanya di Kabupaten Banggai. Sedangkan investor asing terdiri dari PT

Banggai Sentral Shrimp di Kabupaten Banggai dengan realisasi luas lahan

99 Ha dan modal investasi $ 10.587.000, termasuk pembekuan udang; dan

PT Beestar Samudera Sulawesi dengan rencana luas lahan 92 ha dan modal

investasi $ 3.67 juta di Kabupaten Parigi Moutong.

Sedangkan dilihat dari bidang usaha, perusahaan di bidang budidaya

dan pengolahan udang di Sulawesi Tengah tercantum pada Tabel 2.6.

Kelihatan bahwa semuanya berlokasi di Kabupaten Banggai.

Tabel 2.6. Perusahaan Perikanan Udang di Sulawesi T engah

Bidang usa ha/ Wilayah

Pembibitan (hatchery) Pertambakan Pengola han

(Cold Storage) Kabupaten

Banggai PT. Banggai

Sentral Shrimp

CV Indomina Jaya

CV Fitro Windu Utama

CV Rata Mentawa

PT. Banggai Sentral Shrimp

PT Sentral Sari Windu

CV Fitron Windu Utama

CV Minahaki Alam Indah

PT. Banggai Sentral Shrimp

CV Fitron Windu Utama

Sumber: Data Diskanlut Propinsi Sulawesi Tengah, 2007

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 16

2.4. Prospek Pasar

Tidak diragukan bahwa permintaan masyarakat dunia terhadap

komoditas udang sangat besar dan cenderung berkembang. Selain itu,

khusunya di Sulawesi Tengah, terdapat beberapa perusahaan yang relatif

maju dan melakukan pemasaran ekspor yang memadai. Namun khusus

masyarakat pembudidaya secara umum, pemasaran cenderung masih

kurang optimal. Informasi pasar cenderung lemah, dan proses budidaya

maupun pengolahan seringkali belum memenuhi standar internasional.

Pada tingkat nasional, udang sampai sekarang merupakan komoditas

andalan sektor perikanan dan kelautan untuk ekspor. Selama periode

Januari–Desember 2004, kontribusi ekspor udang budidaya mencapai

139.450 ton dengan nilai US $ 887,13 juta (Anonymous, 2006). Pada dua

dekade terakhir, terbukti usaha tersebut memiliki keterkaitan dari hulu hingga

hilir yang cukup luas bagi aktivitas ekonomi masyarakat.

Memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas serta

berkembangnya isu-isu internasional akhir-akhir ini, beberapa tantangan-

tantangan yang akan dihadapi dalam pengembangan usaha akuakultur

secara umum dan budidaya udang secara khusus antara lain: (1)

perdagangan global yang sangat kompetitif, (2) ketatnya persyaratan mutu

dan keamanan pangan yang ditetapkan oleh negara pengimpor, (3) tuntutan

konsumen dalam dan luar negeri terhadap mutu, penganekaragaman jenis,

bentuk produk dan cara penyajian, (4) tuntutan untuk melaksanakan tatacara

budidaya yang bertanggungjawab (responsible aquaculture).

Untuk merespon pada tuntuan tersebut, pemasaran yang efektif perlu

didukung oleh aspek teknis (berikut) serta sistem informasi pasar dan

kelembagaan yang memadai.

Khusus Sulawesi Tengah, perkembangan dalam nilai produksi undang

dan harga udang rata-rata pada tahun 2003-2005 tercantum pada Tabel 2.7.,

data 2006 belum tersedia sehingga pengaruh adanya budidaya udang

vaname tidak dapat terlihat.

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 17

Tabel 2.7. Perkembangan Nilai Produksi dan Harga Ud ang 2003-2005

Kabupaten Nilai Produksi (Rp. 1000) Harga rata-rata (Rp./kg) 2003 2004 2005 2003 2004 2005

Banggai 14,007,500 14,410,000 61,028,000 32,500 32,750 40,000 Morowali 6,363,825 6,277,500 6,270,000 26,750 27,000 28,500 Tojo Una-Una 0 0 105,000 0 0 30,000 Poso 95,500 102,000 105,300 28,088 20,000 21,060 Parigi Moutong 26,145,000 27,040,100 30,860,200 31,500 31,700 33,500 Donggala 8,533,125 9,147,600 10,892,700 27,750 28,000 28,500 Tolitoli 1,584,600 1,509,550 41,230,000 33,715 33,250 35,000 Buol 737,100 834,300 2,626,250 27,000 27,000 27,500 Propinsi 57,466,650 59,321,050 153,117,450 30,501 30,679 35,353 Sumber: Data Diskanlut Propinsi Sulawesi Tengah, 2007

Data diatas menunjukkan bahwa harga rata-rata berbeda secara

signifikan antar wilayah. Harga tertinggi tercapai di Kabupaten Banggai

kemudian di Kabupaten Tolitoli dan Parigi-Moutong. Ketersediaan fasilitas

pengolahan pasca panen serta pola pemasaran per Kabupaten tercantum

pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8. Fasilitas Pengolahan dan Pola Pemasaran Udang tahun 2006

Kabupaten Fasilitas Pengola han Pola Pemasaran

Banggai Cold Storage (2 unit)

Ekspor (Perancis, Belgia dan lain-lain)

Antar Pulau 5Jatim, Sulsel) Lokal

Poso Tidak ada Antar Pulau (Sulsel)

Lokal

Morowali Tidak ada Donggala Tidak ada Parigi-Moutong Tidak ada Tolitoli Tidak ada Buol Tidak ada

Lokal Tojo Unauna Tidak ada Sumber: Data Diskanlut Propinsi Sulawesi Tengah, 2007

Data pada tabel-tabel di atas mengindikasikan bahwa pemasaran

belum optimal pada sebagian besar darah dan kesejahteraan masyarakat

maupun pendapatan daerah dapat ditingkatkan melalui perbaikan terhadap

sektor hilir, terutama pengolahan pasca panen (termasuk secara khusus cold

chain) dan pemasaran.

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 18

2.5. Teknis Budidaya

Sektor Hulu

Dasar paling utama bagi kegiatan budidaya adalah ketersediaan biota

yang hendak dibudidayakan. Khusus budidaya (grow-out ) udang, input

utama adalah benih udang, yang disebut nener. Sedangkan ketersediaan

sarana lainnya untuk memperbaiki kondisi wadah budidaya (lahan/air),

menunjang kesehatan biota yang dibudidaya dan mutu hasil serta menjaga

kelestarian lingkungan sangat diperlukan.

Sebagian benih tetap diperoleh dari alam, umumnya melalui

penangkapan skala kecil, yang kerapkali melibatkan kaum perempuan.

Penangkapan tersebut cenderung kurang berwasan lingkunan, terutama dari

aspek by-catch berupa benih jenis biota laut lainnya yang terbuang

(umumnya di darat, bukan di laut) dan mati percuma. Usaha penangkapan

tersebut juga terancam oleh degradasi lingkungan terutama sekitar muara

sungai-sungai, baik dari kerusakan di wilayah pesisir/muara, maupun

degradasi DAS di hulu. Benur yang tertangkap sebagian besar udang windu,

namun sebagian terdiri pula dari jenis udang lain.

Seiring dengan perkembagan teknologi, semakin besar jumlah benur

yang berasal dari hatchery, baik udang windu maupun (dalam kurung waktu

sekitar 2 tahun terakhir) udang vaname. Ketersediaan fasilitas pembenihan

serta kondisi dan kapasitas menurut Kabupaten tercantum pada Tabel 2.9.

Kelihatan bahwa terjadi ketidak-seimbangan geografis dalam ketersediaan

benih. Sedangkan selain 5 unit swasta di Kabupaten Banggai, kapasitas riil,

sekarang ataupun setelah semua unit beroperasi, belum diketahui.

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 19

Tabel 2.9. Fasilitas Pembenihan di Sulawesi Tengah

Wilayah Nama/Tipe Lokasi Kepe-milikan

Kapasitas (ekor/tahun)

Banggai

PT Banggai Sentral Shrimp Batui Swasta 22 juta

Windu & Vaname CV Indomina

Raya Koyoan

Kec. Luwuk Swasta 6 juta Windu

CV Fitro Windu Utama

Kec. Bualemo Swasta 17 juta

Widu & Vaname CV Rata Mentawa

Minahaki Kec. Toili Swasta 4 juta

Windu Backyard hatchery Toili Swasta 2 juta

Windu Poso Tidak ada

Morowali BBU Pebotoa Pemerintah Belum operasional

Donggala HSRT Mamboro Kota Palu Pemerintah Tidak ada data

kapasitas

Parigi-Moutong BBIP Kampal Pemerintah Tidak ada data kapasitas

Tolitoli BBU Sabang Pemerintah Belum operasional

Buol BBU Lakea Dua Pemerintah Belum operasional

Tojo Unauna Tidak ada Propinsi 10 unit 5S/5P 51+ juta Sumber: Data Diskanlut Propinsi Sulawesi Tengah, 2007

Khusus data statistik (kuantitatif) mengenai production inputs, data

terbaru adalah dari tahun 2005, namun khusus jumlah nener data terbaru

adalah data tahun 2004. Data tersebut tercantum pada Tabel 2.10.

Perubahan yang menarik adalah bahwa pada tahun 2003 dan 2004

pengunaan pupuk terutama pupuk anorganik, sedangkan pada tahun 2005

pupuk organik meningkat. Pengunaan pupuk tercatat sangat tinggi di

Kabupaten Donggala, namun produksi per hectare (produktivitas) tetap

dibawah beberapa Kabupaten lainnya, dan dapat diragukan akurasi

beberapa angka pada data tersebut.

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 20

Tabel 2.10. Data Penggunaan Inputs tahun 2003-2005

Wilayah Penguna an Pupuk

Anorganik (ton) Pengunaan Pupuk

Organik (Ton) 2003 2004 2005 2003 2004 2005

Propinisi 0 3,772 5,089 0 37 65,612 Banggai 0 503 1,610 0 0 2,446 Bangkep 0 0 0 0 0 0 Poso 0 30 0 0 1 3 Morowali 0 961 9 0 0 16 Donggala 0 662 0 0 34 62,832 Parigi-Moutong 0 1,310 2,741 0 0 237 Tolitoli 0 188 29 0 2 36 Buol 0 118 700 0 0 42 Tojo Unauna TAD TAD 0.04 TAD TAD 0.4 Kota Palu 0 0 0 0 0 0

Wilayah Pengunaan Pesticida Jumlah Benur (ekor)

2003 (liter)

2004 (liter)

2005 (liter/ha) 2003 2004 2005

Prop inisi 3,722 4,034 1.31 198,290 200,465 TAD Banggai 370 370 0.33 78,800 79,500 TAD Bangkep - 0 0 0 TAD Poso 65 65 0 980 1,125 TAD Morowali 377 685 2.24 29,100 25,800 TAD Donggala 442 443 4.19 20,200 21,750 TAD Parigi-Moutong 2,185 2,185 0.33 60,100 63,425 TAD Tolitoli 183 183 0.03 5,950 5,630 TAD Buol 100 103 0.4 3,160 3,235 TAD Tojo Unauna TAD TAD 0.0025 TAD TAD TAD Kota Palu - - 0 0 0 TAD * Sumber: Kabupaten Tojo Una-Una dalam Angka, 2005

Sumber: Data Statistik Diskanlut 2003, 2004, 2005

Sektor Produksi

Data tentang teknis produksi pada budidaya udang relatid terbatas.

Namun berdasarkan skala usaha maupun produktivitas dapat diperkirakan

bahwa hampir semua pembudidaya menggunakan teknologi sederhana serta

teknologi tersebut tidak diterapkan secara optimal.

Khusus di Kabupaten Banggai terdapat dua perusahaan yang

menerapkan budidaya intensif yaitu PT Banggai Sentral Shrimp dan PT

Sentral Sari Windu dan dua perusahaan yang menerapkan pola budidaya

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 21

semi-intensif yaitu CV Fitron Windu Utama dan CV Minahaki Alam Windu. .

Luas total tidak ada data dari Diskanlut namun data menurut Biro Infokom

Sulawesi Tengah tercantum pada Tabel 2.11.

Tabel 2.11. Data Luas dan Jenis Usaha Budidaya Udan g

Wilayah Nama Perusa haan Teknologi Luas ( ha)

Banggai

PT Sentral Sari Windu Intensif 360 PT Banggai Sentral

Shrimp Intensif 99

CV Fitron Windu Utama Semi-intensif 40 CV Minahaki Alam Indah Semi-intensif ??

Parigi-Moutong

PT Beestar Samudera Sulawesi ??? 92

Sulteng Intensif

2 unit (mungkin 3?) Vaname & Windu 459

(mungkin lebih) Sulteng Semi-

Intensif 2 unit

(mungkin 3?) Windu & Vaname

diperkirakan melebihi 100ha

Sumber: Biro Infokom Sulawesi Tengah (http://infokom-sulteng.go.id/, 2 September 2007)

Dari tabel diatas menonjol bahwa di Sulawesi Tengah saat ini luas

budidaya udang intensif melebihi luas budidaya semi-intensif. Dari data

Diskanlut, semua 4 perusahaan di Kabupaten Banggai membudidayakan

udang windu maupun vaname. Potensi produksi sangat bergantung dari

produktivitas. Porduktivitas kedua jenis udang berdasarkan teknologi yang

diterapkan tercantum pada Tabel 2.12.

Tabel 2.12 Produktivitas Udang Windu dan Vaname (to n/ha)

Teknologi Produktivitas Udang Windu

Produktivitas Udang Vaname

Sederhana/tradisional plus (mono/polikultur)

1 1

Semi-intensif 3 5 Intensif 6 30

Sumber: Anonymous (2006)

Dengan pola budidaya intensif, produktivitas udang vaname dapat 5 kali

lipat dibanding udang windu, dan hampir dua kali lipat dengan penggunaan

teknologi pertambakan semi-intensif. Dengan demikian pada sub-sektor ini

diprediksi bahwa luas budidaya intensif/semi-intensif udang vaname akan

meningkat sedangkan luas budidaya udang windu secara intensif/semi-

intensif akan stabil ataupun menurun.

Khusus budidaya sederhana baik polikultur maupun monokultur,

produktivitas kedua jenis nudang tidak jauh beda, sehingga diprediksi bahwa

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 22

peggunaan akan lebih dipengaruhi oleh ketersediaan benih. Benih dari alam

tentu saja tetap didominasi oleh udang windu.

Sektor Hilir

Sektor hilir yang dapat dinilai relatif maju di Sulawesi Tengah terbatas

pada dua perusahaan yang melakukan pengolahan sederhana kemudian

cold storage/pembekuan. Pada sebagian besar wilayah produksi, fasilitas

pengolahan pasca panen sangat minim ataupun tidak ada.

Dari aspek potensi produk atau diversifikasi, peluang pasar terutama

udang beku dan produk olahan udang yang dibekukan (prawn tails, breaded

shrimp, dan lain-lain) serta udang segar yang berkualitas. Produk olahan lain

sebagian besar bernilai rendah dibanding dengan udang beku/segar dan

lebih ditujuhkan pada skala global terhadap udang berukuran kecil atau

kurang berkualitas.

Fasilitas umum yang dapat menunjang adalah fasilitas cold chain yang

memadai, yang sekaligus dapat bermanfaat dalam pengolahan dan

pemasaran hampir semua jenis hasil perikanan. Sedangkan fasilitas spesifik

seperti pabrik membutuhkan modal besar atau dengan kata lain tergantung

ketertarikan para pemodal (investor) pada sub-sektor tersebut. Selain itu,

mutu produk sangat ditentukan oleh penanganan yang baik. Para

pembudidaya dan pihak lain yang terlibat dalam semua tahapan produksi

dan pasca panen, sekecil atau sesederhana apapun perannya, memerlukan

pengetahuan dan ketrampilan yang memadai serta wawasan atau perilaku

bersifat profesional.

Peluang yang cukup besar terdapat pada sektor pengolahan limbah

pengolahan udang, antara lain sebagai pakan (ikan, udang dan lain-lain),

atau sebagai sumber chitin.

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 23

BAB III. RUMUSAN MASALAH

Budidaya udang dilakukan dalam rangka pemanfaatan lahan payau,

utamanya melalui budidaya udang di tambak. Untuk mencapai produksi yang

memadai, penerapan teknologi budidaya udang harus dilakukan secara

komprehensif, meliputi penyediaan lahan yang baik, penyediaan dan

penggunaan sarana produksi (benih, pupuk, pakan, kapur, probiotik dan

vitain, pestisida dan alat mesin, bibit Gracillaria khusus polikultur/biofiltrase,

dan lain-lain) prasarana dan tenaga kerja yang memadai. Sedangkan jenis

teknologi (intensif, semi intensif dan sederhana) budidaya perlu diterapkan

secara tepat agar disesuaikan dengan potensi lahan dan daya dukung lahan,

kemampuan SDM dan ketersediaan sarana dan prasarana produksi pada

setiap lokasi. Pada ujungnya, keberhasilan usaha ditentukan pada saat

panen dan pemasaran, sehingga subsistem hilir perlu perhatian yang serius.

Budidaya udang di Sulawesi Tengah telah berkembang secara

alamiah, sebagian besar tanpa intervensi atau dengan arahan dan

pengendalian dari pemerintah yang umumnya relatif minim. Beda dengan

beberapa hasil perikanan lainnya, pemasaran jarang menjadi masalah,

permintaan pasar tetap besar dan asal mutu udangnya baik, harga umumnya

fair. Namun seperti di beberapa Daerah lainnya pengembangan "liar"

tersebut cenderung berdampak negatif terhadap sustainability usaha

budidaya udang serta terhadap sektor lainnya, dengan timbulnya beberapa

masalah antara lain:

� Pembukaan lahan, terutama di kawasan hutan mangrove, yang tidak

layak secara teknis atau hanya dapat dimanfaatkan dengan investasi

yang besar (modal, tenaga kerja dan lain-lain) yang menjadi lahan

kritis, terutama lahan dengan tanah berpasir atau sulfat masam

� Pembukaan tambak tanpa mengikuti aturan yang berlaku, terutama

aturan mengenai jalur hijau (green belt) sehingga terjadi abrasi pantai,

penurunan sumberdaya perikanan (tangkap dan budidaya) dan

penurunan kualitas lingkungan, termasuk kualitas air baik di tambak

maupun di laut

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 24

� Kepemilikan lahan seringkali tidak jelas (petani tidak memiliki

surat/akte tanah yang sah) atau kontroversil (misalnya konflik antar

hak adat dan perusahaan yang mendapatkan ijin dari instansi

pemerintah pusat atau daerah)

� Persiapan tambak dan perawatan udang yang dipelihara yang tidak

sesuai disebabkan oleh kurang pegetahuan, ketekunan/ketelitian

dan/atau kekurangan modal, termasuk penyalah gunaan inputs.

Berdampak negatif terhadap survival rate dan pertumbuhan udang,

bahkan apabila kualitas air menurun drastis atau terjadi wabah

penyakit dapat mengakibatkan kegagalan total.

� Pengelolaan sumberdaya air yang belum memadai, dari aspek

pasokan/pengantian air laut/air tawar dan pengolahan air limbah.

Antara lain dapat menimbulkan potensi konflik dengan pemakai air

lain (misalnya petani sawah) dan menyebabkan pencemaran

(eutrofikasi dan bahan kimiawi seperti pestisida) ataupun menjadi

korban pencemaran (misalnya pengunaan pesticida oleh petani

sawah, coklat dan sebagainya)

� Ketersediaan bibit bermutu pada waktu dan lokasi yang tepat

� Cenderung menimbulkan masalah keamanan (misalnya risiko

pencurian) dan kecemburuan sosial

� Cenderung memberi kontribusi relatif minim terhadap pengatasan

kemiskinan karena pihak yang terlibat pada umumnya bukan dari

golongan masyarakat pesisir yang miskin melainkan pihak lokal dan

luar yang umumnya telah relatif sejahtera. Namun kegagalan dapat

meningkatkan kemiskinan

Selain kendala yang dihadapai, beberapa peluang perkembangan positif

yang belum tersosialisasi/teraplikasi atau belum optimal antara lain:

� Teknologi tepat guna khusus pengendalian dampak negatif dan

mempertahankan kondisi lingkungan yang baik seperti budidaya

polikultur dengan rumput laut dari jenis Gracillaria sp.

� Peluang polikultur dengan beberapa biota low food chain seperti

kerang-kerangan, teripang ataupun termasuk soft shell kepiting bakau

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 25

� Peluang pengembangan silvikultur, misalnya berbasis teknologi

tradisional empang parit dimana pohon-pohon mangrove

termanfaatkan sebagai bagian integral dari sistem budidaya

� Pengembangan pembibitan udang dan biota yang dapat

dikembangkan secara polikultur bersama dengan udang (selain ikan

bandeng)

� Peluang pemanfaatan limbah hasil olahan udang, misalnya kepala

(pakan ikan dan lain-lain) dan cangkang (sumber chitin dan lain-lain)

� Secara khusus dalam rangka program revitalisasi, peluang melalui

introduksi jenis udang vaname

Semua faktor ini dapat dibagi pada beberapa subsistem, yaitu

subsistem hulu, produksi, hilir, serta subsistem pendukung dan

kelembagaan.

3.1. Subsistem Produksi

Kontribusi yang diharapkan dari Propinsi Sulawesi Tengah dalam

program Revitalisasi mencakupi 3672 Ha khusus udang vaname dan 3093

Ha. khusus udang windu, sedangkan luas wilayah tambak yang telah

berfungsi adalah sekitar 10,000 Ha dan lahan yang telah dibuka melebihi

14,000 ha. Namun di luar beberapa perusahaan pertambakan, produktivitas

rendah dan penerapan konsep SCHM (Shrimp Culture Health Management)

masih minim.

Dari aspek jumlah produksi, walaupun target lahan 2009 telah tercapai

ataupun terlewati, peningkatan produksi udang menjadi sekitar 14,000 ton

memerlukan peningkatan besar dalam produktivitas. Pada 2005, produksi

udang baru mencapai 4.331 ton, sehingga produktivitas perlu ditingkatkan

lebih dari 3 kali lipat. Melihat perkembangan di Kabupaten Tolitoli, asal

memang data yang tersedia adalah data akurat, sasaran tersebut walaupun

tinggi diperkirakan tidak mustahil untuk dicapai.

Dalam pemanfaatan tambak, pada tahun 2004 sekitar 67% RTN

melakukan budidaya polikultur dengan udang windu serta ikan bandeng,

sedangkan 15% hanya membudidayakan ikan bandeng dan 18%

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 26

mengandalkan udang windu secara monokultur. Maka 85% atau dapat

diperkiranan lebih dari 8000 Ha. telah dimanfaatkan untuk budidaya udang

secara monokultur atau polikultur. Dengan demikian, seharusnya sasaran

pembangunan dapat tercapai tanpa pembukaan lahan baru, namun dengan

adanya perubahan dalam pola budidaya yaitu peningkatan profesionalisme

masyarakat pembudidaya secara umum dan pergeseran pada

pembudidayaan udang vaname.

Untuk budidaya udang windu pengembangan diarahkan terutama

melalui penerapan teknologi budidaya sederhana dengan sistem organik

pada tambak rakyat, namun budidaya lebih teknis yang telah berkembang

tetap dapat dipertahankan dan diberdayakan. Sedangkan pengembangan

udang vaname, komoditas lebih adaptif terhadap lingkungan, menguntungan

terutama pada budidaya semi-intensif dan intensif. Teknologi budidaya jenis

ini lebih mudah, udang vaname lebih tahan penyakit dan mampu mencapai

produktivitas yang tinggi.

Mengingat bahwa produktivitas rata-rata di Sulawesi Tengah sangat

jauh dibawah 1 ton/ha, maka dengan perbaikan dalam pola budidaya udang

sederhana serta peningkatan relatif kecil persentase luas lahan yang

dimanfaatkan dengan metode semi-intensif ataupun intensif (dengan

memperhatikan daya dukungan lingkungan) produksi udang Sulawesi

Tengah dapat lipat berkali-kali tanpa adanya pembukaan lahan tambak.

Bahkan tambak yang tidak layak kiranya dapat direhabilitasi.

Jalur untuk mencapai peningkatan produksi tersebut adalah melalui

penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI), Standar Operasional

Prosedur (SOP), serta penerapan Better Management Practices (BMP)

untuk mewujudkan pengembangan budidaya udang secara bertanggung

jawab dan berkelanjutan serta menguntugkan. Disamping itu perlu didukung

adanya pembinaan yang dilakukan secara intensif dan berkelanjutan serta

memberikan fasilitas perkreditan yang diperlukan untuk usaha budidaya

udang yang akan dibahas selanjutnya.

Secara singkat, rumusan masalah khusus subsistem produksi

tercantum pada Tabel 3.1.

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 27

Tabel 3.1. Rumusan Subsistem Produksi

Isu Kendala Peluang Intervensi

Luas dan kondisi Lahan Tambak

Sebagian signifikan lahan tambak tidak layak dan/atau melanggar aturan (terutama green belt)

Lahan tambak telah melebihi sasaran Adanya berbagai teknologi rehabilitasi tambak dan rehabilitasi lahan (terutama mangrove)

Rehabilitasi/renovasi/ perbaikan terhadap tambak yang berpotensi layak Rehabilitasi lahan (terutama mangrove) tambak tidak layak

Kepemilikan lahan tambak

Seringkali tidak jelas dan/atau menimbulkan konflik

Adanya aturan khusus dan umum Tata-ruang (Propinsi, Kabupaten) Berbagai sistem adat Kekuatan Desa/PERDES

Penegakan aturan (green belt dan lain-lain) Pengakuan hak adat dimana berlaku Fasilitasi terhadap proses penguruan surat tanah, Fasilitasi tata ruang Desa/PERDES

Teknologi pertambakan

Cenderung kurang memadai (faktor SDM, sektor hulu/hilir, pemodalan, dan lain-lain) Penyalahgunaan inputs dari aspek jenis, dosis, waktu dan lain-lain

Adanya beberapa usaha profesional sebagai contoh/ sumber keahlian Adanya tenaga penyuluh Adanya banyak lahan pertambakan yang dapat dijadikan demplot

Pembentukan DEMPLOT terutama khusus budidaya sederhana/organik yang memadai dan polikultur dengan berbagai jenis ekonomis lainnya serta silvikultur Ekstensi teknologi pada pembudidaya Penerapan intrumen dan standar nasional/ internasional seperti SNI, SOP, GAP, HACCP dan lainnya secara matang, termasuk sertifikasi GAP

Permodalan pertambakan, Menejemen usaha budidaya

Pemodalan dan kemampuan kewirausahaan yang kurang memadai

Lihat subsector-subsector berikut

Keamanan Pencurian hasil Sistem dan kelompok pengawasan masyarakat dapat dibentuk dan didukung oleh aparat

Pengembangan siswasmas/pokwasmas serta sistem pendukung dari aparat

Pengelolaan sumberdaya air

Berbagai permasalahan teknis dan sosial dengan pasokan air tawar Pencemaran lingkungan oleh air linbah

Adanya wadah PPA (petani pmakai air) di beberapa daerah Teknologi ramah lingkungan (termasuk polikultur dengan gracillaria) Aturan tentang pencemaran lingkungan

Perbaikan teknis Fasilitasi terhadap proses conflict resolution Demplot, pelathan, penyuluhan dan lain-lain ttg teknologi ramah llingkungan Pengawasan dan pengendalian terhadap pencemaran

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 28

Selain itu, pengembangan teknologi polikultur dapat sangat

menguntungkan, terutama polikultur udang dengan rumput laut Gracillaria.

Selain memeberi hasil tambahan, polikultur tersebut juga berguna dalam

penjagaan kualitas lingkungan budidaya. Rumput laut tersebut menyerap

berbagai nutrien dan senyewa hasil metabolisme udang yang jika

terakumilasi dapat menurunkan kualitas air di tambak dan jika terlepas pada

lingkungan diluar tambak dapat menimbulkan pencemaran, termasuk

eurtofikasi yang dapat berdampak sangat negatif terhadap ekosistem

terumbu karang. Dengan adanya Grand Strategy rumput laut, ada peluang

untuk bersinergi dalam hal penyediaan bibit Gracillaria.

3.2. Subsistem Hulu

Pengembangan budidaya udang sangat ditentukan oleh ketersediaan

input terutama benih dan sarana produksi yang memadai. Kendala dan

peluang utama yang teridentifikasi serta intervensi yang dinilai tepat dalam

rangka Grand Strategy Udang tercantum pada Tabel 3.1. dibawah.

Tabel 3.2. Rumusan Subsistem Hulu

Isu Kendala Peluang Intervensi

Ketersediaan benih dari hatchery (vaname dan windu)

Belum memenuhi kriteria tepat jumlah, mutu, harga dan waktu

Adanya beberapa fasilitas pembenihan yang operasional maupun belum operasional

pengefektifan semua sarana pembenihan yang telah/sedang dibangun Evaluasi berkala terhadap kebutuhan pembenihan Apabila perlu, peningkatan fasilitas

Ketersediaan benih alam

Penyediaan benih dari alam terancam oleh degradasi linkungan (mislanya lingkungan muara sungai) Cenderung dilakukan dengan pola penangkapan/penanganan kurang memadai, termasuk aspek by-catch

Adanya program-program rehabilitasi lahan (mangrove dan lain-lain) baik di DPK maupun di instansi lain (pemerinth dan NGO) Adanya tenaga pendamping (DPK dan NGO/linnya)

Rehabilitasi lahan Sosialisasi dan penyuluhan terhadap kaum penangkap benur/nener

Ketersediaan sarana produksi yang memadai

Inputs seringkali sulit diperoleh, tidak disediakan secara layak (misalnya sediaannya tidak dilengkapi dengan petunjuk lengkap dalam bahasa Indonesia)

Adanya beberapa koperasi, kedai (program PEMP) dan lain-lain Adanya sistem pengawasan mutu, SOP dan lain-lain

Pemberdayaan suppliers Pemberdayaan tenaga pengawasa/penyuluh Sosialisasi dan penerapan aturan mutu dan lain-lain

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 29

3.3. Subsistem Hilir

Walaupun penting, susbistem hilir lebih sukar diatur oleh program

pemerintah karena pada intinya digerak oleh pasar dunia. Namun beberapa

aspek memerlukan perhatian dan intervensi nyata.

Tabel 3.3. Rumusan Subsistem Hilir

Isu Kendala Peluang Intervensi

Persyaratan mutu oleh pasar

Mutu hasil tidak selalu sesuai persyaratan

Adanya SNI, SOP, GAP, HACCP dan lainnya, termasuk sistem sertifikasi GAP

Sosilisasi dan penerapan intrumen dan standar nasional/internasional seperti SNI, SOP, GAP, HACCP dan lainnya secara matang, termasuk sertifikasi GAP

Ketersedaan infrastruktur pendukung

Pada sebagian besar wilayah produksi, infrastruktur pendukung pengolahan dan pemasaran belum memadai

Infrastruktur terdapat di Kabupaten Banggai

Pengembangan atau fasilitasi terhadap pengembangan infrastruktur Pengembangan kemitraan

Kemampuan kewirausahaan

Posisi tawar (bargaining position) petani yang lemah

Lihat subsector berikut

Pemanfaatan hasil secara optimal

Limbah udang cenderung terbuang

Pemanfaatan limbah hasil olahan udang, misalnya kepala (pakan ikan dan lain-lain) dan cangkang (sumber chitin dan lain-lain)

Evaluasi potensi Demplot dan sosialisasi pemanfaatan limbah udang

3.4. Subsistem Pendukung dan Kelembagaan

Pengembangan budidaya udang membutuhkan dukungan dari sektor

jasa finansil serta kelembagaan yang memadai. Sebenarnya, usaha

budidaya tambak cenderung memberi kontribusi relatif minim terhadap

pengatasan kemiskinan karena pihak yang terlibat pada umumnya bukan

dari golongan masyarakat pesisir asli yang miskin. Mereka pada umumnya

berasal dari pihak lokal dan luar yang sebelumnya relatif sejahtera, secara

obyekti atau minimalnya dibanding dengan banyak masyarakat pesisir

lainnya disekitarnya. Namun kegagalan dapat meningkatkan kemiskinan, dan

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 30

sukses pembudidaya dapat meningkatkan ekonomi lokal, daerah dan

nasional.

Tabel 3.4. Rumusan Subsistem Pendukung dan Kelembag aan

Isu Kendala Peluang Intervensi

Skala usaha Skala usaha umumnya kecil sehingga tidak mampu bersaing dalam pemasaran, sukar memperoleh atau memanfaatkan jasa lainnya

Adanya sistem/ program pendukung kelompok nelayan pembudidaya Adanay berbagai asosiasi (misalnya MAI)

Pembentukan/penguatan kelompok-kelompok pembudidaya Sosialisasi dan pemberdayaan asosiasi (misalnya MAI)

Akses Terhadap Pemodalan

Budidaya udang dinilai berisiko tinggi sehingga tidak mudah bagi pembudidaya untuk mendapatkan modal/kredit dari lembaga keuangan seperti Bank Banyak usaha kecil, tidak bankable

Berbagai program khusus pemodalan dari pemerintah dan swasta Bankability lebih baik melalui kelompok

Memfasilitasi (dan mengawasi) para petambak dalam akses terhadap program-program pemodalan yang berada, terutama yang kemitraan antar pemerintah dan swasta

Kebijakan Belum adanya kebijakan terpadu dari pemerintah yang mendukung berkembangnya agribisnis di Indonesia.

Otonomi Daerah Kebijakan lokal yang kondusif

Kewirausahaan Kemampuan berwirausaha yang rendah

Adanya tenag penyuluh dan pendamping (DPK, LSM dan lain-lain)

Penguatan, terutama terhadap kelompok

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 31

BAB IV. STRATEGI PENGEMBANGAN

4.1. Strategi Pengembangan Secara Makro

Secara umum Kebijakan program multi-tahun Grand Strategy

Komoditas Unggulan Udang di Sulawesi Tengah terdiri dari tiga tahapan

yaitu:

� Tahap Persiapan: termasuk pengembangan percontohan jangka

panjang (permanent demplots) dan pusat/sistem informasi,

pendataan dan pengkajian, peningkatan kapasitas sumberdaya

manusia

� Tahap Pengembangan (Development): pematangan percontohan

dan fase awal penerapan hasil percontohan berdasarkan hasil

pendataan/pengkajian dengan mengunakan kapasitas yang telah

terbangun

� Tahap Konsolidasi: perluasan dan penyempurnaan penerapan

dengan penanganan terhadap kendala yang dihadapi dan

penguatan sistem jaringan pendukung termasuk pemanfaatan

demplots, sistem informasi dan lain sebagainya

Ketiga tahapan tersebut berlangsung masing-masing satu tahun,

sehingga program secara keseluruhan berjalan selama 3 tahun. Akhir

program, diharapkan bahwa telah tercapai pengembangan nyata dalam

pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya air payau, terutama komoditas

unggulan udang, yang memberi dampak positif terhdap kesejahteraan

masyarakat serta ekonomi Daerah dan negara. Untuk memaksimalkan

dampak secara berkelanjutan, hendak menyusun strategy pengembangan

budidaya air payau terpadu lanjutan sebagai salah satu output dari program.

Gambaran umum pendekatan program tercantum pada Gambar 4.1.

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 32

Gambar 4.1. Diagram Alir Strategy Pengambangan Udan g

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 33

4.2. Strategi Pengembangan Secara Mikro

Sistem pengembangan komoditas perikanan khususnya Komoditas

Udang di Sulawesi Tengah yang merupakan proses kegiatan usaha

budidaya dari sejak tingkat pra produksi sampai tingkat pemasaran. Oleh

karena itu dalam pengembangan komoditas udang di Sulawesi Tengah

pemenuhan beberapa sistem Aquabisnis adalah sebagai berikut :

1. Subsistem Hulu

2. Subsistem Produksi

3. Subsistem Hilir

4. Subsistem Penunjang

4.2.1. Subsistem Hulu

• Ketersediaan bibit: terutama, pengefektifan hatchery dan backyard

hatchery udang windu dan vannamei. Apabila diperlukan,

memfasilitasi pembangunan fasilitas tambahan. Selain itu, upaya yang

memunkingkan termasuk upaya domistikasi Induk udang, impor induk,

kerjasama antar propinsi/kabupaten penghasil benur, peningkatan

koordinasi dengan UPT Pusat.

• Mutu bibit: Standarisasi/Pengawasan kesehatan induk / bibit (benur),

dan sarana lainnya, proses produksi, dan distribusinya

• Sarana Produksi: peningkatan kualitas dan ketersediaan (availability)

input lainnya seperti pupuk, obat-obatan (kapur, pro-biotik, vitamin dan

lain-lain) dan pakan, termasuk pengawasan terhadap mutu dan pola

penyebaran (misalnya penyimpanan, kemasan, apakah selalu disertai

dengan petunjuk lengkap dalam Bahasa Indonesia)

• Polikultur: untuk mendukung polikultur ramah lingkungan penyediaan

bibit rumput laut (Gracillaria) berkualitas (kebun bibit, sinergi dengan

GS RL) dan komoditas lain sesuai potensi lokal

4.2.2. Subsistem Produksi

• Inventarisasi potensi riil: pemetaan kawasan budidaya udang

berdasarkan daya dukung lingkungan dan kondisi sosio-ekonomi

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 34

• Percontohan teknis budidaya: mengidentifikasi atau membangun

percontohan GAP (pola bududaya yang baik) khusus berbagai

teknologi budidaya tambak intensif, semi-intensif dan sederhana,

termasuk monokultur dan polikultur, sesuai potensi lokal

• Infrastruktur: perbaikan teknis terhadap tambak yang kurang memadi

agar layak khusus budidaya udang ((bertahap)

• Daya dukung Linkungan: rehabilitasi lahan yang terbuka sebagai

tambak namun tidak layak, dengan reboisasi mangrove dan lain-lain,

fokus utama pada green belt dan muara-muara sungai

• Pengembangan/Ekstensi: penerapan berbagai jenis teknologi

budidaya udang di tingkat masyarakat/usaha budidaya sesuai daya

dukung lingkungan dan situasi sosio-ekonomi dengan pendekatan

kawasan dan mengacu pada SCHM (Shrimp Culture Health

Management)

4.2.3. Subsistem Hilir

Pengolahan:

• peningkatan kualitas produk melalui penanganan mutu sejak di panen

sampai ke Processing Plant atau Pabrik melalui standarisasi,

sosialisasi dan pengawasan

• Diversifikasi olahan Secara Vertikal maupun Horisontal, termasuk

upaya memfasilitasi pembangunan fasilitas olahan pada kawasan

yang belum memilikinya (rantai dingin, pabrik skala kecil hingga besar,

dan lain-lain), termasuk pemanfaatan limbah udang

Pemasaran :

• Market feasibility study khusus potensi pasar dan produk olahan

• Pengembangan network pemasaran dan promosi (branding)

• Penyediaan data/informasi akurat dan tepat bagi calon investor

Penyuluhan/Pengawasan:

• Peningkatan kemampuan dalam penerapan dan pengawasan Quality

Control, SOP, HACCP, dan lain-lain

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 35

4.2.4. Subsistem Penunjang

Pembiayaan

Dalam pengembangan Komoditas budidaya udang di Sulawesi

Tengah salah satu kendala adalah permodalan. Oleh karena itu ada

beberapa strategy pengembangan yang dapat dilaksanakan untuk komoditas

udang tersebut :

• Keuangan mikro swadaya: Memberdayakan kelompok swadaya

masyarakat dan kelompok tani menjadi lembaga keuangan mikro

informal ataupun formal

• PPL/LPUM: Memberdayakan PPL menjadi pendamping kelompok

tani/kelompok swadaya masyarakat di bidang usaha dan

pembiayaan, serta membentuk LPUM (Lembaga Pendampingan

Usaha Mikro) di tingkat kecamatan

• Sektor perbankan:

- Menerapkan pola HBK (Hubungan Bank dengan Kelompok) untuk

menjamin pembiayaan usaha tani kecil

- Memastikan Lembaga Keuangan Bank mengalokasikan portofolio

kredit untuk UKM (Usaha Kecil dan Mikro) dan UMB (Usaha

Menengah dan Besar) di bidang Aquabisnis dengan

memberlakukan Undang-Undang Perkreditan dan Undang-Undang

Keuangan Mikro

• Permodalan: stimulan perkuatan modal dikawasan percontohan

budidaya, hatchery dan backyard hatchery, dan usaha penunjang

lainnya

• Kemitraan: Fasilitasi akses ke lembaga keuangan (Bank dan non

Bank) bagi program perorangan / UKM dan massal melalui

pendekatan kemitraan

Kelembagaan dan Manajemen Usaha

Aspek kelembagaan dan manajemen usaha akan sangat menentukan

keberhasilan atau kegagalan strategy pengembenagan komoditi apapun, dan

secara khusus komoditi udang. Penguatan perlu dilakukan di tingkat pihak

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 36

yang terlibat langsung yaitu masyarakat dan pengusaha/pemodal serta di

tingkat pihak pendukung yaitu terutama pemerintah dan para pakar.

• Masyarakat pembudidaya: Pembentukan dan/atau pemberdayaan

kelompok pembudidaya udang (polikultur/monokultur) dan lembaga

masyarakat lainnya (misalnya asosiasi seperti MAI, KSM) dari aspek

kelembagaan dan manajemen usaha

• Perusahaan/investor/pemodal: memfasilitasi (dan mengawasi)

perusahaan/pemodal yang ada atau tertarik untuk masuk di Sulawesi

Tengah, termasuk dalam perkuatan kemitraan dengan pembudidaya,

aspek kebijakan pemerintah dan lainnya

• Pemerintah/Sumber kealihan:

- Pembentukan/penguatan Satuan Tugas (Satgas) Propinsi dan di

tingkat Kabupaten khusus perencanaan, operasional dan

pengendalian semua aspek pembudidayaan udang

- Satgas Propinsi dan Kabupaten senantiasa berkoordinasi dalam

Perencanaan, Opersional dan Pengendalian

- Satgas terdiri dari instansi terkait, Lembaga keuangan, pakar sesuai

kompentensinya dan Asosiasi terkait

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 37

BAB V. WILAYAH PENGEMBANGAN

Dalam menentukan wilayah pengembangan budidaya udang di

Sulawesi Tengah secara terpadu, maka perlu mengacu pada keadaan fisik

dan sosio-ekonomi saat ini serta pada Rencana Strategys yang telah

disahkan dan semua peraturan yang berlaku.

Luas dan sebaran tambak baik yang difungsikan maupun yang tidak

perlu dijadikan dasar perencanaan. Selain data dari Dinas Perikanan dan

Kelautan (data statistik terakhir yaitu tahun 2005 dan data terbaru 2007),

Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Palu Poso memiliki data

luas dan sebaran tambak menurut Kabupaten dan (khusus beberapa

Kabupaten) menurut Kecamatan, berdasarkan citra satelit tahun 2005 serta

ground-truthing pada tahun 2006/2007.

Tabel 5.1. Data Luas Tambak

Luas Tambak data Diskanlut Luas Tambak : data BPDAS

PaluPoso (citra setelit 2005)

Data 2005 Data terbaru Kotor Air

Propinsi 10,403 9,427 10,340 14,943

Kab. Banggai 2,026 1,823 1,794 Teluk Tomini

581.5 Teluk Tolo

551.5 Kab. Bangkep 0 0 0 0

Kab. Poso 93 85 147 149

Kab. Morowali 900 819 977 2,552

Kab. Donggala 2,250 2,053 2,250 4,080

Kab. Parimo 3,760 3,550 3,734 5,680

Kab. Tolitoli 904 697 904.3 904.3

Kab. Buol 470 399 469.7 75

Kab. Tojo Unauna 320* 64 370

Kota Palu 0 0 0 0

* Khusunya Kabupaten Tojo Unauna, luas tambak pada tahun 2005 nol menurut data Diskanlut, namun berdasarkan Kabupaten dalam Angka 2005, terdapat 320 Ha, namun tidak diketahui apakah luas kotor atau luas air.

Ketiga dataset tersebut berbeda, menunjukkan bahwa wilayah yang

memiliki luas tambak besar sehingga patut menjadi prioritas dalam

pengembangan budidaya udang terutama Kabupaten Parigi Moutong,

Donggala, Banggai, Morowali dan Tolitoli. Sedangkan Kabupaten pada

urutan kedua adalah Buol, Tojo Una-Una dan Poso. Kota Palu dan

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 38

Kabupaten Banggai Kepulauan belum memiliki tambak dan tidak dirasa tepat

untuk dikembangkan.

Apabila dilihat dari aspek produksi, hanya Banggai dan Tolitoli yang

memiliki produksi yang layak dibanding dengan luas tambak yang dimiliki.

Sedangkan dari aspek pasca panen, hanya Banggai yang memiliki fasilitas

pengolahan yang memadai. Sedangkan pada bagian hulu, belum ada

produsen input produksi. Selain benur dari alam yang jumlahnya cenderung

menurun seiring dengan degradasi lingkungan pesisir, fasilitas hatchery yang

memadai terdapat di Kabupaten Banggai (5 unit, kapasitas 51 juta

ekor/tahun). BBIP di Kabupaten Parigi-Moutong dan HSRT di Kota Palu tidak

diketahui kapasitasnya, sedangkan Kabupaten Morowali, Tolitoli dan Buol

masing-masing memiliki satu unit BBU namun semuanya belum operasional.

Melihat kondisi ini, hanya Kabupaten Banggai yang telah memiliki fasilitas

pendkung hulu maupun hilir yang memadai.

5.1. Subsistem Hulu

Agar subsistem hulu berkembang dan dapat mendukung

perkembangan pada subsistem downstream, maka perlu adanya perhatian

terhadap hatchery dan ketersediaan saran produksi lainnya.

Pembenihan

Fasilitas pembenihan di Kabupaten Parigi-Moutong, Kota Palu

(melayani Kabupaten Donggala), Tolitoli dan Buol yang telah terbangun perlu

dibina dan apabila ternyata belum memenuhi kebutuhan, perlu ditingkatkan

kapasitas produksi. Di Kabupaten Banggai, tekanan utama pada

pengawasan mutu dan penerapan GAP. Kapasitas produksi benur saat ini

sekitar 50-an juta ekor/tahun, yang hampir semuanya terproduksi di

Kabupaten Banggai. Sedangkan apabila penebaran dilakukan sesuai

petunjuk khusus budidaya udang windu tradisional plus, yaitu 25,000

ekor/Ha, maka dengan luas tambak sekitar 9,500 Ha dengan 3 siklus per

tahun maka dibutuhkan sekitar 70 juta ekor/tahun atau peningkatan sekitar

20 juta ekor yaitu sekitar 40%. Jika sebagian tambak dikelola secara intensif

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 39

ataupun semi-intensif, maka kebutuhan tersebut akan meningkat pula,

apalagi jika ditebarkan udang vaname, dengan kepadatan sampai 2 kali lipat.

Namun apabila semua fasilitas yang telah ada dimanfaatkan secara

maksimal, kemungkinan besar akan mampu menyediakan kebutuhan benur,

meningat bahwa sebagian benur masih bersumber dari alam. Peta wilayah

pengembangan pembenihan tercantum pada Gambar 4.1.

Gambar 5.1. Peta Wilayah Pengembangan Pembenihan Ud ang

Selama ini, jenis yang dikembangkan terutama undang windu, namun 2

hatchery di Kabupaten Banggai telah menghasilkan benur udang vaname.

Udang tersebut dapat dijadikan sumber pengembangan udang vaname pada

kawasan lainnya, namun dengan pengawasan mutu yang memadai.

Selain hatchery, kelestarian benih alam perlu perhatian antara lain

melalui pemeliharaan/rehabilitasi kawasan mangrove, lamun dan estuaria

serta perbaikan pola penangkapan.

Dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem dan kelestarian

sumberdaya perikanan secara umum, perlu mengurangi mortalitas by catch

yang kerap kali berkali-kali lipat dengan hasil tangkapan sasaran. Umumnya

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 40

bibit ikan dan biota lain yang ikut tertangkap bersama benur dibuang di

pasir/darat sehingga mati percuma, sedangkan seharusnya sebagian besar

dapat dilepaskan kembali ke laut dalam keadaan hidup. Fokus geografis

utama di Pantai Barat dan Timur (Kabupaten Donggala, Parigi Moutong,

Tolitoli).

Sarana Produksi Lainnya

Ketersediaan sarana produksi lainnya seperti pupuk, obat-obatan

(vitamin, pro-biotik, kapur, disinfektan, pestisida dan lain-lain), pakan dan

sebagainya dapat didukung melalui pembinaan terhadap koperasi perikanan

umum/budidaya dan lembaga lainnya disertai dengan pengawasan terhadap

mutu, termasuk pola penyimpanan dan penjualan (misalnya disertai dengan

petunjuk yang lengkap, dalam Bahasa Indonesia).

Tahapan dan Kawasan Prioritas

Prioritas dalam pengembangan sistem hulu tercantum pada Tabel 4.2.

Tabel 5.2. Kawasan Prioritas Pengembangan Sistem Hu lu

Wilayah Prioritas Hatchery Sarana Keterangan

Parigi Moutong 1 Efektifkan hatchery

Pembinaan koperasi dan atau penyedia sarana lainnya Pengawasan mutu sarana (penyimpanan, pengemasan, petunjuk dan lain-lain)

Apabila kapasitas tidak cukup, hatchery tambahan atau pengluasan hatchery menjadi prioritas (Parimo/Dongggala)

Donggala 1 Efektifkan

hatchery di Palu

Morowali 1 Efektifkan hatchery

Banggai 2 Pengawasan

mutu (5 hatchery) Sumber vaname

Tolitoli 1 Efektifkan hatchery

Buol 2 Efektifkan

hatchery

Selain itu, penerapan GAP, SOP, dan pengawasan terhadap standar

mutu benih perlu diterapkan pada semua hatchery.

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 41

5.2. Sub Sistem Produksi

Berdasarkan program revitalisasi yang diterbitkan oleh Dirijen Jenderal

Perikanan Budidaya, maka produksi udang tradisional plus adalah 1 ton/ha,

semi-intensif 3 ton/ha dan intensif 6 ton/ha. Sedangkan produksi rata-rata di

Sulawesi Tengah dibawah 1 ton/ha, itupun hampir 50/50 udang dan

bandeng. Hal ini menunjukkan bahwa sistem produksi perlu dibenahi.

Berdasarkan luas areal tambak dan hasil yang telah diperoleh, maka prioritas

pengembangan tercantum pada Tabel 4.3. dan Gambar 4.2.

Selain itu, luas tambak yang terbuka, yang layak dan dimanfaatkan,

yang layak dan tidak dimanfaatkan serta yang tidak layak (dari aspek teknis

dan/atau aturan yang berlaku serta pertimbangan lingkungan) tidak diketahui

dengan jelas. Maka pendataan luas, kondisi dan pemanfaatan tambak

sangat diperlukan sebagai dasar penetapan kawasan dan kegiatan

pengembangan secara lebih mendetail.

Tabel 5.3. Kawasan Prioritas Pengembangan Sistem P roduksi

Wilayah Kecamatan Prioritas Keterangan

Parigi Moutong Sausu/Parigi Moutong/Tomini

Banyak tambak yang menyalahi aturan green belt dan sudah/akan terancam oleh abrasi atau tidak termanfaat karena tidak layak karena tanah dan lain-lain.

Perlu pengefektifan tambak yang layak

Rehabilitasi tambak yang tidak layak/menyalahi aturan dan hindari perluasan, terutama pada kawasan mangrove.

Pembinaan khusus sarana/prasarana fisik serta mutu dan GAP

Donggala Banawa Selatan,

Balaesang, Damsol, Sojol

Morowali Petasia, Bumiraya, Witaponda

Tolitoli Tolitoli Utara,

Dakopamean, Galang, Baolan, Ogo Deide

Banggai

Teluk Tomini: Nuhon, Bualemo

Teluk Tolo: Luwuk Timur, Batui,

Toili

Produksi di dominasi oleh usaha besar. Perlu pembinaan terhadap usaha berskala kecil dan pengawasan terhadap mutu/GAP khusus usaha besar.

Hindari perluasan, terutama di kawasan mangrove, rehabilitasi tambak yang terbuka namun tidak layak/menyalahi aturan.

Buol Bukan kawasan prioritas utama untuk

pengembangan produksi namun dapat menjadi prioritas pada kegiatan pelestarian

sumberdaya (PROLINDA)

Perkembangan di Buol sesuai produksi hatchery – yang dapat diarahkan pula pada daerah lain (misalnya Parimo dan Tolitoli).

Menghindari perluasan pada kawasan mangrove/bekas mangrove dan perbaikan terhadap kawasan tambak/mangrove rusak.

Pembinaan petani pada tambak yang layak.

Tojo Una-Una

Poso

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 42

Gambar 5.2. Kawasan Prioritas Perkembangan Produksi Udang

Tabel 5.4. Sasaran Pengembangan Lahan dan Produksi Tahun 2008 - 2010

Parameter Luas 2008 2009 2010 Luas budidaya udang tradisional (plus) termasuk polikultur dengan rumput laut, bandeng dan lain-lain

4500 5000 5000

Luas budidaya windu semi-intensif 100 150 150 Luas budidaya windu intensif 250 300 300 Luas budidaya vaname semi-intensif 50 250 400 Luas budidaya vaname intensif 250 400 650 Total luas lahan budidaya udang 5150 6100 6500 Luas rehabilitasi tambak 500 800 800 Luas rehabilitasi lahan (green belt, daerah pemijahan/asuhan udang)

500 800 800

Tambak 2007 (Data BPDAS Palu-Poso) 14,600 14,600 14,600 Setelah rehabilitasi lahan kritis 14,100 13,300 12,500 Sisa lahan tambak exisiting (rehabilitasi, reboisasi atau peruntukan lain)

8,950 7,200 6,000

Parameter Produksi 2008 2009 2010 Produksi vaname 5,150 8,750 14,200 Produksi windu intensif/semi intensif 1,200 1,500 1,500 Produksi udang tradisional (plus) 2,250 3,750 5,000 Produksi total 8,600 14,000 20,700 Perkiraan nilai produksi (harga 40,000/Kg) (Juta Rp.) 344,000 560,000 828,000

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 43

Tabel 5.4. bukan berdasarkan harapan bahwa hasil dapat langsung

mencapai produktivitas yang diharapkan oleh program revitalisasi, meningat

bahwa sarana/prasarana tentu belum sempurna, tenaga penyuluh dan

pendamping terbatas, dan lain sebagaignya. Maka dalam perhitungan

digunakan beberapa asumsi yang cukup realis, antara lain:

� Produktivitas budidaya tradisional: 0.5 ton/h (2008); 0.75 ton/ha

(2009); 1ton/ha (2010). Kenaikan akibat intrnvensi seperti perbaikan

teknis, penyuluhan, penyebaran informasi, penguatan kelompok,

perbaikan mutu dan ketersediaan bibit dan lain-lain

� Produktivitas budidaya windu: intensif 4 ton/ha; semi-intensif 2 ton/ha,

edangkan secara teoretis dapat mencapai masing-masing 6 dan 3

ton/ha.

� Produktivitas budidaya vaname: intensif 20 ton/ha; semi-intensif 4

ton/ha, sedangkan secara teoretis dapat mencapai masing-masing 30

dan 5 ton/ha.

Perhitungan atau proyeksi tersebut memperlihatkan bahwa untuk mencapai

ataupun melewati sasaran Revitalisasi khusus Sulawesi Tengah, tidak perlu

adanya perluasan lahan tambak, bahkan dapat melakukan rehabilitasi lahan

telah terbuka yang ternayata tidak sesuai (green belt, tambak yang tidak

layak).

5.3. Subsistem Hilir

Subsistem hilir terutama pengolahan dan pemasaran. Dalam

pengembangan subsistem hilir, Sulawesi Tengah dapat dibagi dalam 2

kawasan seperti tercantum pada Gambar 4.3

Pengolahan

Sampai saat ini, pengolahan yang berujung pada peningkatan mutu dan

nilai tambah hanya dilakukan di Kabupaten Banggai dengan adanya dua

pabrik pengolahan. Sedangkan pada Kabupaten lainnya belum ada fasilitas

pengolahan, sehingga hasil dijual sebagai udang segar.

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 44

Prioritas pengembangan adalah pada peningkatan mutu udang segar

dan pengawasan terhadap mutu produk olahan. Sedangkan untuk

mengadakan olahan lanjutan di wilayah Barat Sulawesi Tengah, perlu

adanya investor yang tertarik sehingga pra-feasibility study dapat dijadikan

prioritas.

Gambar 5.3. Wilayah Pengembangan Sub-sistem Hilir

Pemasaran

Para pengusaha di Kabupaten Banggai melakukan ekspor ke Perancis

serta antar-pulau dalam negeri. Pemasaran tersebut adalah inisiatif dari

pihak swasta dan tidak memerlukan intervensi selain menjaga agar kebijakan

tetap kondusif serta pengawasan terhadap mutu dan SOP.

Sedangkan hasil dari Kabupaten lainnya umumnya dijual melalui

pemasaran lokal atau ke Sulawesi Selatan, seperti banyak hasil laut,

pertanian dan perkebunan lainnya. Selain permintaan pasar, sebagian

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 45

signifikan pemilik tambak di beberapa daerah berasal dari Sulawesi Selatan,

hal yang mendukung pola pemasaran tersebut.

Apabila produksi meningkat, maka potensi untuk tembus ke pasar

lainnya baik domestik maupun ekspor semakin besar, namun erat kaitannya

dengan permintaan konsumen, termasuk pola pengolahan, sehingga pra-

feasibility study di atas yang berfokus terutama pada wilayah Barat Sulawesi

Tengah sebaiknya memperhatikan aspek pengolahan dan pemasaran

secara terpadu.

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 46

VI. IMPLEMENTASI STRATEGI PENGEMBANGAN

6.1. Tahun I

Tahun pertama merupakan tahap persiapan, dimana landasan yang

kuat tercipta sehingga tahapan berikut dapat mencapai hasil yang optimal

dan terutama agar dampak positif dari program akan berlangsung secara

berkesinambungan setelah waktu tiga tahun pelaksanaan berakhir. Aktivitas

pada Tahun I sebagai berikut:

A. Penyediaan Data dan Informasi

Data dasar dan informasi yang diperlukan sebagian telah tersedia

(dari data sekunder) sedangkan sebagian besar perlu pendataan primer.

Cakupan data dan informasi antara lain:

• Data lokasi/luas tambak yang berfungsi maupun tidak berfungsi

(misalnya lahan kritis bekas tambak/terbuka namun gagal

dimanfaatkan sebagai tambak oleh karen alasan teknis, pemodalan

atau lainnya)

• Karakteristik fisik lahan tersebut termasuk jenis tanah, pH,

ketersediaan/kualitas air (laut dan tawar), dan sebagainya

• Jenis/kondisi konstruksi/infrastruktur seperti pematangan, saluran,

pintu air, dan lain-lain

• Kondisi dan permasalahan/tantangan sosio-ekonomi dan budaya

dalam pengembangan budidaya udang/air payau

• Pengembangan IPTEK berkaitan dengan budidaya udang/air payau

baik monokultur maupun polikultur, kelestarian sumberdaya

udang/pesisir, pemanfaatan hasil budidaya/olahan udang dan aspek

lainya yang berkaitan dengan pengembangan budidaya udang secara

berkelanjutan

Pengkajian terhadap data dan informasi diharapkan menghasilkan antara

lain:

• Kesesuaian lahan khusus budidaya intensif, semi-intensif, sederhana

dengan pola monokultur atau polikultur, ataupun khusus restorasi

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 47

• Kebutuhan restorasi dalam rangka penerapan aturan jalur hijau,

peningkatan mutu tambak yang berfungsi/layak difungsikan dan

penghijauan lahan yang tidak layak sebagai tambak

• Identifikasi peluang pengembangan budidaya udang dan nilai tambah

berkaitan dengan usaha budidaya udang melalui perbaikan teknis,

diversifikasi (polikultur), pemanfaatan limbah olahan dan lain

sebagainya

• Identifikasi lokasi-lokasi percontohan (Demplot) dimana peluang-

peluang tersebut telah atau dapat diterapkan dan disempurnakan

melalui riset terapan jangka panjang bekerja-sama dengan

stakeholders

• Identifikasi kendala sosial, ekonomi dan budaya serta mitra potensil

(instansi/lembaga yang relevan) dalam penanganan/resolusi

Pembentukan Pusat/Sistem Data dan Informasi:

Pusat/sistem data dan informasi budidaya udang/air payau terdiri dari:

• Sarana prasarana fisik termasuk lokasi, perangkat komputer keras

dan lunak, fasilitas perpustakaan dan sebagainya

• Data dan informasi (dalam bentuk cetak, elektronik atau lainnya) yang

terkandung dalam suatu sistem teratur (data base), termasuk

metadata (data tentang ketersediaan/keberadaan data dan informasi

di luar pusat tersebut)

• Sumberdaya manusia, baik yang berada pada pusat maupun jaringan

yang dapat berfungsi dalam penyebaran data dan informasi pada

stakeholders ataupun dapat melakukan pencaharian data dan

informasi tertentu apabila diperlukan

B. Penyediaan Sumberdaya Manusia dan Infrastruktur:

Needs Assessment:

Identifikasi kekuatan yang ada dan kebutuhan dalam pelaksanaan

strategy pengembangan budidaya udang, berdasarkan hasil pendataan dan

pengkajian pada Bagian A yang meliputi:

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 48

• Sumberdaya manusia (SDM) baik kualitas/ketrampilan maupun

kuantitas, ditindaklanjuti langsung dengan penyelengaraan pelatihan,

magang atau aktivitas lainnya guna meningkatkan kapasitas SDM

sesuai kebutuhan (perkiraan 5 paket)

• Infrastruktur (misalnya hatchery udang vaname, laboratorium, cold

storage/cold chain atau lainnya), termasuk spesifikasi/jumlah: output

adalah perencanaan detail paket pembangunan padan tahun/tahap II

(perkiraan 4 paket)

Capacity Building khusus SDM

Fokus utama pada pengembangan internal dan pada para mitra

pelaksana program (TOT), sesuai hasil needs assessment, misalnya melalui:

• Persiapan pembentukkan Satgas khusus budidaya udang, termasuk

networking/informasi pasar

• Magang pada lokasi/pusat keahlihan budidaya udang secara

berkelanjutan (rama lingkungan), polikultur udang (misalnya dengan

rumput laut dan/atau invertebrata lainnya seperti moluska, kepiting

bakau, teripang dan lain-lain) dan restorasi lahan yang terdegradasi

• Pelatihan (jika perlu oleh para ahli nasional/internasional) untuk

meninkatkan SDM dalam IPTEK yang ternyata masih berkurang

ataupun belum tersedia di kalangan para pelaksana program,

misalnya pengendalian pencemaran/perbaikan kualitas air pada

budidaya udang dengan pemanfaatan organisme lainnya sebagai

biofilter, pelaksanaan dan pengawasan GAP (Good Aquaculture

Practices), SOP, HACCP dan standar lainnya berkaitan dengan

persyaratan mutu, dan lain-lain

• Penerapan keterampilan di atas dalam penyuluhan dan penyedian

jasa konsultasi pada masyarakat pembudidaya untuk meningkatkan

produksi budidaya secara berkelanjutan

• Identifikasi dan pemberdayaan kelembagaan, termasuk kelompok

pembudidaya, sistem dan kelompok pengawasan masyarakat,

asosiasi (mislanya MAI), koperasi/kedai, dan lain-lain

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 49

• Pemberdayaan sistem mikro-kredit & pemodalan lainnya (PPL, LPUM

dan lain-lain)

Infrastruktur & Lingkungan

Infrastruktur yang telah ada perlu dimanfaatkan secara optimal. Pada

tahun I aktivitas yang diharapkan:

• Pengefektifan semua unit produksi benih pemerintah yang telah

terbangun, termasuk tiga yang belum beroperasi dan penilaian

terhadap kemampuannya dalam penyediaan kebutuhan benih selama

program dan pasca program (target: 5 unit operasional)

• Pengefektifan tambak yang seharusnya layak namun memerlukan

perbaikan/rehabilitasi fisik (target: 500 ha)

• Secara berkolaborasi dengan program dan instansi lainnya (misalnya

Dinhut/BKSDA/BPDAS Palu-Poso, Bapedalda, SUSCLAM dan lain-

lain) rehabilitasi lahan tambak yang tidak layak (restorasi green belt,

lahan kritis dengan fokus pada muara sungai) (targat: 500 ha)

C. Pembangunan Percontohan:

Secara detail, pentetapan jenis dan lokasi percontohan yang tepat

akan dilaksanakan berdasarkan hasil pendataan dan pengkajian namun

mencakupi:

� Percontohan restorasi lahan kritis bekas tambak/lahan yang ternyata

tidak layak sebagai tambak dengan pola silvofishery

� Percontohan perbaikan tambak yang tidak layak namun dapat diolah

menjadi layak

� Percontohan polikultur udang dengan rumput laut guna pengendalian

kualitas air serta dengan sekurang-kurangnya satu jenis invertebrata

� Percontohan budidaya udang sederhana, semi-intensif dan intensif

� Percontohan pengunaan limbah olahan udang

Percontohan atau Demplot hendak sejauh mungkin terbangun

bersama stakeholders namun apabila perlu dapat dibangun sebagai sarana

milik pemerintah. Dimana relevan, hendak menerapkan standar

nasional/internasional seperti GAP, SOP, HACCP dan sebagainya.

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 50

6.2. Tahun II

Tahun kedua merupakan tahap pengembangan, dimana landasan

aktivitas pada Tahun I menjadi basis kuat untuk melakukan tindakan

lanjutan. sebagai berikut:

A. Data dan Perencanaan:

Aktivitas berkaitan dengan pengolahan dan penyebaran data dan

informasi hendak dikembangkan melalui pusat/sistem yang terbangun.

Antara lain melalui:

� Penyediaan jasa serupa dengan perpustakaan

� Jasa konsultasi

� Pembuatan dan distribusi bahan dan materi

� Pembentukan jaringan/penyusunan strategy khusus aspek teknis dan

lingkungan

� Pembentukan jaringan/penyusunan strategy khusus kendala sosial,

ekonomi dan budaya (sosekbud), termasuk aspek pemasaran

� dan sebagainya

Selain itu, data dan informasi hendak digunakan sebagai dasar

penyusunan perencanaan detail khusus tahap/tahun III bersama dengan

stakeholders kunci.

B. Pengembangan Teknis

Pengembangan/Pemanfaatan Percobaan/Demplot:

Demplot yang telah terbangun pada tahap I dimanfaatkan antara lain

sebagai:

� Sarana riset terapan

� Sebagai lokasi pelatihan dan magang

� Sarana sosialiasi dan ekstensi

Infratruktur dan Lingkungan

• Pembangunan infrastruktur sesuai perencanaan yang tersusun

pada Tahap I (pembenihan, pengolahan dan lain-lain)

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 51

• Pengefektifan tambak yang seharusnya layak namun memerlukan

perbaikan/rehabilitasi fisik (target: 800 ha)

• Secara berkolaborasi dengan program dan instansi lainnya

(misalnya Dinhut/BKSDA/BPDAS Palu-Poso, Bapedalda,

SUSCLAM dan lain-lain) rehabilitasi lahan tambak yang tidak layak

(restorasi green belt, lahan kritis dengan fokus pada muara sungai)

(targat: 800 ha)

Penerapan di Masyarakat

Sosialisasi dan penerapan perbaikan teknis yang telah teruji pada

Demplot ataupun pada lokasi lainnya, termasuk:

� Restorasi dan pelestarian lingkungan budidaya

� Penerapan GAP, SOP, HACCP dan standar lainnya

� Penerapan pola polikultur yang menguntungkan dari aspek ekonomi

dan ekologi

� Bejerka-sama dengan sektor swasta untuk meningkatkan luas lahan

budidaya semi-intensif dan intensif

� Dan lainnya sesuai hasil pengkajian dan perkembangan program,

misalnya penanganan kendala sosekbud seperti kepemilikan lahan

dan permodalan

Pada semua aktivitas ekstensi, pendampingan termasuk perhatian

terhadap dampak pada masyarakat setempat bukan hanya sebatas para

pembudidaya, merupakan salah satu kunci keberhasilan. Antara lain:

• Pembentukkan dan pengefektifan Satgas khusus budidaya udang,

termasuk networking/informasi pasar

• Pemberdayaan kelembagaan, termasuk kelompok pembudidaya,

sistem dan kelompok pengawasan masyarakat, asosiasi (mislanya

MAI), koperasi/kedai, dan lain-lain

• Pemberdayaan sistem mikro-kredit & pemodalan lainnya (PPL, LPUM

dan lain-lain)

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 52

6.3. Tahun III

Tahun ketiga merupakan tahap konsolidasi, dimana aktivitas pada

Tahun I dan II dimantapkan agar sustainable dan diperluaskan terutama dari

cakupan geografis. Sebagian aktivitas merupakan persiapan untuk tindak

lanjut pasca program. Aktivitas tersebut dapat berubah sesuai

perkembangan program, namun sejumlah kegiatan yang dapat direncanakan

adalah sebagai berikut:

A. Data dan Perencanaan:

Pusat dan Networking:

Penguatan dan pematangan pusat/sistem data dan informasi serta

networking berjalan terus-menerus.

Perencanaan:

Perencanaan lanjutan minimalnya mencakup:

� Penggunaan sarana/prasarana dan fasilitas lainnya pasca program

� Strategy umum (minimal 3 tahun) pembangunan lanjutan budidaya air

payau dan pelestarian sumberdaya pesisir berkaitan dengannya

� Proses perencanaan melibatkan stakeholders (partisipatif)

Sosialisasi:

Sosialisasi hasil program dan lessons learned melalui antara lain:

� Makalah dan artikel pada jurnal ilmiah dan umum yang relevan

� Presentase pada acara-acara relevan (seminar, konperensi dan lain-

lain)

� Publikasi (pedoman dan lain-lain)

� Internet (website yang relevan atau khusus)

� Dan lain-lain.

B. Pengembangan Teknis dan Sosekbud

Infratruktur dan Lingkungan

• Pembangunan infrastruktur sesuai perencanaan yang tersusun

pada Tahap II (pembenihan, pengolahan dan lain-lain)

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 53

• Pengefektifan tambak yang seharusnya layak namun memerlukan

perbaikan/rehabilitasi fisik (target: 800 ha)

• Secara berkolaborasi dengan program dan instansi lainnya

(misalnya Dinhut/BKSDA/BPDAS Palu-Poso, Bapedalda,

SUSCLAM dan lain-lain) rehabilitasi lahan tambak yang tidak layak

(restorasi green belt, lahan kritis dengan fokus pada muara sungai)

(targat: 800 ha)

Pematangan Demplot:

Demplot tetap berfungsi sebagai sarana riset maupun ekstensi.

Kegiatan riset terapan yang telah dirancang/dilaksanakan pada Tahun I dan

Tahun II tetap berlangsung, dengan menerapkan siklus adaptif agar

menghasilkan prosedur yang aplikatif dan masukan-masukan bagi

penyempurnaan lanjutan.

Ekstensi:

Dibanding dengan tahun/tahap II, diharapkan bahwa penerapan hasil

program dapat dilaksanakan pada cakupan geografis lebih luas dan/atau

khusus lebih banyak aspek berkaitan dengan budidaya udang/air payau.

Apabila demplot dan usaha masyarakat telah berhasil, dengan

sendirinya teknologi budidaya yang terbukti menguntungkan akan cenderung

berkembang, namun oleh karena memerlukan input dari alam, berupa induk

dan/atau benih, pakan dan lainnya serta memiliki dampak seperti potensi

pencemaran, perkembangannya ke depan akan perlu diawasi atau

difasilitasi.

Pada tahapan ini, hendak adanya perhatian lebih mendalam terhadap

kendala sosekbud yang teridentifikasi, agar pengembangan budidaya udang

akan berkelanjutan bukan hanya secara ekologis tetapi pula dari aspek

sosekbud dan memberi manfaat sebesar mungkin bagi masyarakat.

Pada semua aktivitas ekstensi, pendampingan yang memadai

merupakan salah satu kunci keberhasilan. Antara lain:

• Pengefektifan Satgas khusus budidaya udang, termasuk

networking/informasi pasar

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 54

• Pemberdayaan kelembagaan, termasuk kelompok pembudidaya,

sistem dan kelompok pengawasan masyarakat, asosiasi (mislanya

MAI), koperasi/kedai, dan lain-lain

• Pemberdayaan sistem mikro-kredit & pemodalan lainnya (PPL, LPUM

dan lain-lain)

Pengawasan Mutu dan Sertifikasi

Pada tahapan ini, diharapkan bahwa penerapan dan pengawasan

terhadap GAP, SOP, SCHM, dan lain-lain pada semua tahapan produsksi

telah berjalan, minimla pada sebagian besar wilayah produksi, dan proses

menuju sertifikasi berjalan ataupun tercapai.

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 55

BAB VII. PENUTUP

Grand Strategy Komoditas Unggulan Udang di Sulawesi Tengah

merupakan hasil sebuah proses sehingga tidak dapat diprediksi secara utuh

ataupun dijamin, namun hasil yang diharapkan antara lain sebagai berikut:

• Pusat/sistem pengelolahan dan penyebaran data dan

informasi berkaitan dengan budidaya udang secara khusus dan

budidaya air payau secara luas yang berfungsi dan berguna

bagi stakeholders

• Beberapa demplot permanen sebagai sarana riset dan ekstensi

khusus berbagai pola budidaya udang (mono/polikultur),

restorasi tambak/ mangrove, olahan limbah udang, dan lain-

lain

• Peningkatan produski budidaya udang secara berkelanjutan

dari aspek volume maupun mutu serta peningkatan hasil

budidaya air payau lainnya (diversifikasi) – target Revitalisasi

tercapai ataupun terlewat

• Peningkatan dalam mutu dan keragaman produk udang serta

nilai jual hasil produksi/olahan melalui peningkatan fasilitas

pengolahan dan perbaikan dalam pola pemasaran

• Peningkatan dalam kesejahteraan masyarakat dan pendapatan

daerah

• Keterlibatan aktif stakeholders dalam proses pemulihan

linkungan pesisir yang telah terdegradasi akibat aktivitas

berkaitan dengan budidaya udang/air payau, terutama jalur

hijau/hutan mangrove

• Kelembagaan (Satgas) yang menangani perencanaan/strategy

lanjutan khusus pengembangan budidaya air payau dengan

partisipasi stakeholders

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 56

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous (1993). Australian Fisheries Resources. Excerpt available through Google.

Anonymous (2000). Karakteristik dan Pengelolaan Tambak Tanah Sulfat Masam untuk Budidaya Udang. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros. CD.

Anonymous (2002). Laporan Final "Identifikasi Aktifitas Bagi Peningkatan Pendapatan Masyarakat Pesisir Dan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut di Lokasi MCMA". Yayasan Adi Citra Lestari kerjasama dengan BAPPEDA Propinsi Sulawesi Tengah, Palu, Indonesia. 355 hal. + Lampiran

Anonymous (2003). Penentuan Lokasi Pengembangan Budidaya Perikanan Pada Daerah MCMA Kabupaten Parigi Moutong. Kerjasama Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Parigi-Moutong dengan Yayasan Adi Citra Lestari, Palu Indonesia.

Anonymous (2006). Revitalisasi Perikanan Budidaya 2006-2009. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Indonesia

Fitzgerald W.J. (1997). Silvofisheries - an environmentally sensitive integrated mangrove forest and aquaculture system, Aquaculture Asia, July-September 1997, hal. 9-17

GSMFC (2003). Penaeus monodon (Fabricius, 1798). Gulf States Marine Fisheries Commission Factsheet. http://www.gsmfc.org/

Hagler M. (1997). Shrimp, the devastating delicacy. Greenpeace Report. http://www.dec.ctu.edu.vn/cdrom/cd6/projects/shrimp_greenpeace/

Macintosh D.J., Phillips M.J., Lewis III R.R. & Clough B. (2002). Annexes to the Thematic Review on Coastal Wetland Habitats and Shrimp Aquaculture. Case studies 7-13. Report prepared under the World Bank, NACA, WWF and FAO Consortium Program on Shrimp Farming and the Environment. 129 hal.

Numberi, F. 2007. Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan pada acara pembukaan Indonesia Aquaculture 2007, Juli 2007. 4 hal.

Nurjana M.L. (2006). Road Map Revitalisasi Perikanan Budidaya 2006-2009. Ditjen Perikanan Budidaya, Jakarta, Indonesia. Presentase powerpoint (69 slides).

Tobey J., Poespitasari H & Wiryawan B. (2002). Good Practices for Community-based Planning and Management of Shrimp Aquaculture in Sumatra, Indonesia. Proyek Pesisir, Lampung, Indonesia. 25 hal.

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 57

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 58

LAMPIRAN I – Rencana anggaran Biaya (RAB)

No. Program/Kegiatan Volume Satuan Usul Pembiayaan/Tahun (Rp.) Jumlah Total

I (2008) II (2009) III (2010) Rp.

1 2 3 4 5 6 7 8

1 Pendataan dan Sistem Data

Rancangan sistem pengelolaan data 1 paket 50,000,000 50,000,000

Rancangan sistem pengawasan dan monitoring SOP, GAP, mutu dll

1 paket 50,000,000 50,000,000

Inventarisasi luas, lokasi dan kondisi tambak (bertahap)

3 paket 95,000,000 95,000,000 95,000,000 285,000,000

Identifikasi lokasi prioritas perbaikan tambak dan rehabilitasi lahan

2 paket 40,000,000 40,000,000 80,000,000

Identifikasi lokasi DEMPLOT 1 paket 40,000,000 40,000,000

Pengumpulan dan pengolaan data & informasi (sektor hulu, produksi dan hilir)

3 paket 60,000,000 50,000,000 50,000,000 160,000,000

Studi kebutuhan pengolahan dan peluang pasar

3 paket 50,000,000 40,000,000 40,000,000 130,000,000

Penyusunan produk data (sosialisasi, penyuluhan, pra-feasibility investasi dll)

3 paket 80,000,000 80,000,000 80,000,000 240,000,000

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 59

No. Program/Kegiatan Volume Satuan Usul Pembiayaan/Tahun (Rp.) Jumlah Total

I (2008) II (2009) I (2008) II (2009)

1 2 3 4 5 6 5 6

2 Pengembangan IPTEK/Infrastruktur

Needs assessment 1 paket 25,000,000 25,000,000

Networking 3 paket 40,000,000 40,000,000 40,000,000 120,000,000

Magang/pengembangan SDM internal (teknis budidaya, penerapan SOP, GAP, SNI, dll)

1 paket 95,000,000 95,000,000

Pengembangan DEMPLOT 4 paket 225,000,000 75,000,000 300,000,000

Pegefektifan/menejemen Demplot 4 paket 75,000,000 25,000,000 100,000,000

Rehabilitasi lahan tambak (stimulan dan bantuan teknis)

3 paket 300,000,000 400,000,000 400,000,000 1,100,000,000

Rehabilitasi lahan kritis/reboisasi (artisipasi dengan program/instansi lain)

3 paket 200,000,000 200,000,000 200,000,000 600,000,000

Pengefektifan infrastruktur pembenihan 2 paket 75,000,000 50,000,000 125,000,000

3 Ekstensi & Kelembangaan

Pemberdayaan (pendampingan) kelompok 25 paket 125,000,000 250,000,000 250,000,000 625,000,000

Pemberdayaan kelembagaan pendukung (asosiasi seperti MAI dll)

3 paket 35,000,000 35,000,000 35,000,000 105,000,000

Pelatihan teknis (pembudidaya) 12 paket 100,000,000 100,000,000 100,000,000 300,000,000

Pembentukan dan pengefektifan POKJA Udang 3 paket 40,000,000 40,000,000 40,000,000 120,000,000

Penyebaran produk data/informasi dan sosialisasi lainnya

3 paket 35,000,000 50,000,000 50,000,000 135,000,000

LAPORAN AKHIR

Grand Strategy Pengembangan Budidaya Udang di Sulawesi Tengah 60

No. Program/Kegiatan Volume Satuan Usul Pembiayaan/Tahun (Rp.) Jumlah Total

I (2008) II (2009) I (2008) II (2009)

1 2 3 4 5 6 5 6

4 Sosialisasi hasil

Publikasi/jurnal (makalah, artikel dll) 1 paket 15,000,000 15,000,000

Publikasi/Internet 1 paket 15,000,000 15,000,000

Publikasi buku (pedoman dll) 1 paket 45,000,000 45,000,000

Partisipasi/presentase pada seminar, konperensi dll

2 paket 40,000,000 40,000,000

5 Persiapan pasca program

Perencanaan lanjutan riset budidaya udang 1 paket 25,000,000 25,000,000

Workshop evluasi dan perencanaan stakeholders

1 paket 75,000,000 75,000,000

Jumlah Keseluruhan 1,760,000,000 1,620,000,000 1,620,000,000 5,000,000,000