Gizi Buruk Doc
-
Upload
frans-simanjuntak -
Category
Documents
-
view
23 -
download
0
description
Transcript of Gizi Buruk Doc
Langkah nyata
Karya nyata
Semangat Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah gizi merupakan masalah yang ada di tiap-tiap negara, baik negara miskin, negara
berkembang dan negara maju. Negara miskin cenderung dengan masalah gizi kurang, hubungan
dengan penyakit infeksi dan negara maju cenderung dengan masalah gizi lebih (Soekirman,
2000).
Saat ini di dalam era globalisasi dimana terjadi perubahan gaya hidup dan pola makan,
Indonesia menghadapi permasalahan gizi ganda. Di satu pihak masalah gizi kurang yang pada
umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, kurang baiknya kualitas
lingkungan, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi. Selain itu masalah gizi lebih yang
disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu disertai dengan kurangnya
pengetahuan tentang gizi (Azrul,2004).
Penanganan gizi buruk sangat terkait dengan strategi sebuah bangsa dalam menciptakan
sumber daya manusia yang sehat, cerdas, dan produktif. Upaya peningkatan sumber daya
manusia yang berkualitas dimulai dengan cara penanganan pertumbuhan anak sebagai bagian
dari keluarga dengan asupan gizi dan perawatan yang baik. Dengan lingkungan keluarga yang
sehat, maka hadirnya infeksi menular ataupun penyakit masyarakat lainnya dapat dihindari. Di
tingkat masyarakat faktor-faktor seperti lingkungan yang higienis, ketahanan pangan keluarga,
pola asuh terhadap anak dan pelayanan kesehatan primer sangat menentukan dalam membentuk
anak yang tahan gizi buruk.
Secara makro, dibutuhkan ketegasan kebijakan, strategi, regulasi, dan koordinasi lintas
sektor dari pemerintah dan semua stakeholders untuk menjamin terlaksananya poin-poin penting
seperti pemberdayaan masyarakat, pemberantasan kemiskinan, ketahanan pangan, dan
pendidikan yang secara tidak langsung akan mengubah budaya buruk dan paradigma di tataran
bawah dalam hal perawatan gizi terhadap keluarga termasuk anak.
Keberhasilan pembangunan nasional yang diupayakan oleh pemerintah dan masyarakat
sangat ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia. Indikator yang digunakan untuk
mengukur tinggi rendahnya kualitas sumber daya manusia antara lain Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM). Pada umumnya IPM dan IKM
mempunyai komponen yang sama, yaitu angka harapan hidup (tingkat kesehatan), penguasaan
ilmu pengetahuan (tingkat pendidikan) dan standar kehidupan yang layak (tingkat ekonomi).
Pada IPM, standar hidup layak dihitung dari pendapatan per kapita, sementara IKM diukur
dengan persentase penduduk tanpa akses terhadap air bersih, fasilitas kesehatan, dan balita
kurang gizi.
Tiga faktor utama penentu IPM yang dikembangkan UNDP adalah tingkat pendidikan,
kesehatan, dan ekonomi. Ketiga faktor tersebut erat kaitannya dengan status gizi masyarakat.
Pada tahun 2003 IPM Indonesia pada peringkat 112 dari 175 negara, sementara IKM pada
peringkat 33 dari 94 negara. Jika dibandingkan dengan Negara ASEAN lainnya, dapat dilihat
pada tabel berikut:
Salah satu prioritas pembangunan nasional di bidang kesehatan adalah upaya perbaikan
gizi yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal. Kurang gizi akan
berdampak pada penurunan kualitas SDM yang lebih lanjut dapat berakibat pada kegagalan
pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan kecerdasan, menurunkan produktivitas,
meningkatkan kesakitan serta kematian. Visi pembangunan gizi adalah “Mewujudkan keluarga
mandiri sadar gizi untuk mencapai status gizi masyarakat/keluarga yang optimal”.
Secara umum di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama, yaitu kurang gizi mikro dan
kurang gizi makro. Kurang gizi makro pada umumnya disebabkan oleh kekurangan asupan
energi dan protein dibanding kebutuhannya yang menyebabkan gangguan kesehatan, sedangkan
kurang gizi mikro disebabkan kekurangan zat gizi mikro (Dinkes Purworejo,2006). Gizi buruk
adalah bentuk terparah dari proses terjdinya kekurangan gizi menahun. Anak balita sehat atau
kurang gizi secara sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan
menurut umurnya dengan rujukan (standar) yang telah ditetapkan. Apabila berat badan menurut
umur sesuai dengan standar, anak disebut gizi baik. Kalu sedikit dibawah standar disebut gizi
kurang. Apabila jauh dibawah standar disebut gizi buruk. Menurut Departemen Kesehatan, pada
tahun 2003 terdapat sekitar 27,5% (5 juta balita kurang gizi), 3,5 juta anak (19,2%) dalam tingkat
gizi kurang dan 1,5 juta anak gizi buruk (8,3%). WHO tahun 1999 mengelompokan wilayah
berdasarkan prevalensi gizi kurang ke dalam empat kelompok, yaitu rendah (<10%), sedang (10-
19%), tinggi (20-29%) dan sangat tinggi (>30%).
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Gizi buruk adalah bentuk terparah (akut), merupakan keadaan kurang gizi tingkat berat
yang disebabkan oleh rendahnya tingkat konsumsi energi, protein serta makanan sehari-hari dan
terjadi dalam waktu yang cukup lama. Itu ditandai dengan status gizi sangat kurus ( menurut BB
terhadap TB ) dan hasil pemeriksaan klinis menunjukkan gejala marasmus, kwashiorkor atau
marasmic-kwashiorkor. Ada beberapa cara untuk mengetahui seorang anak terkena busung lapar
(gizi buruk) yaitu :
1. Dengan cara menimbang berat badan secara teratur setiap bulan. Bila perbandingan berat
badan dengan umurnya dibawah 60% standar WHO-NCHS, maka dapat dikatakan anak tersebut
terkena busung lapar (Gizi Buruk).
2. Dengan mengukur tinggi badan dan Lingkar Lengan Atas (LILA) bila tidak sesuai dengan
standar anak yang normal waspadai akan terjadi gizi buruk.
2.2 Faktor Penyebab Gizi Buruk
Banyak faktor yang yang mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk. Penyebab gizi
buruk terdiri dari penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung terjadinya gizi
buruk, yaitu: Kurangnya asupan gizi dari makanan.
Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak
memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yaitu kemiskinan. Bayi
dan balita tidak mendapat makanan yang bergizi, dalam hal ini makanan alamiah terbaik bagi
bayi yaitu air susu ibu, dan sesudah usia enam bulan anak tidak mendapat makanan pendamping
ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya. MP-ASI yang baik tidak hanya cukup
mengandung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin
B, serta vitamin dan mineral lainnya. MP-ASI yang tepat dan baik dapat disiapkan sendiri di
rumah. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah sering kali
anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita
karena ketidaktahuan.
Akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi.
Hal ini disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa
menyerap zat-zat makanan secara baik. Terjadinya kejadian infeksi penyakit ternyata
mempunyai hubungan timbal balik dengan gizi buruk. Anak yang menderita gizi buruk akan
mengalami penurunan daya tahan sehingga anak rentan terhadap penyakit infeksi. Disisi lain
anak yang menderita sakit infeksi akan cenderung menderita gizi buruk cakupan pelayanan
kesehatan dasar terutama imunisasi, penanganan diare, tindakan cepat pada balita yang tidak naik
berat badan, pendidikan, penyuluhan kesehatan dan gizi, dukungan pelayanan di posyandu,
penyediaan air bersih, kebersihan lingkungan akan menentukan tinggi rendahnya kejadian
penyakit infeksi. Mewabahnya berbagai penyakit menular akhir-akhir ini seperti demam
berdarah, diare, polio, malaria, dan sebagainya secara hampir bersamaan dimana-mana,
menggambarkan melemahnya pelayanan kesehatan yang ada di daerah. Berbagai penelitian
membuktikan lebih dari separuh kematian bayi dan balita disebabkan oleh keadaan gizi yang
jelek. Resiko meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak
yang normal. WHO memperkirakan bahwa 54% penyebab kematian bayi dan balita didasari oleh
keaadaan gizi anak yang jelek.
Ada berbagai penyebab tidak langsung yang menyebabkan gizi kurang diantaranya yaitu:
1. Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai.
Setiap keluarga diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota
keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya. Namun kemiskinan
kadang menjadikan hambatan dalam penyediaan pangan bagi keluarga.
2. Pola pengasuhan anak kurang memadai.
Setiap keluarga dan mayarakat diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan
terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan baik baik fisik, mental dan sosial. Di masa
modern ini pengasuhan anak kadang kita serahkan kepada pembantu yang belum tentu tahu
perkembangan dan kebutuhan makan anak.
3. Pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai.
Sistim pelayanan kesehatan yang ada diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih
dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan.
Berbagai kesulitan air bersih dan akses sarana pelayanan kesehatan menyebabkan kurangnya
jaminan bagi keluarga. Pokok masalah gizi buruk di masyarakat yaitu kurangnya pemberdayaan
keluarga dan kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat berkaitan dengan berbagai faktor
langsung maupun tidak langsung. Hal ini dapat ditanggulangi dengan adanya berbagai kegiatan
yang ada di masyarakat seperti posyandu, pos kesehatan.
Ketiga faktor tidak langsung tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan,
dan keterampilan keluarga. Semakin tinggi pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan, terdapat
kemungkinan semakin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, semaikin baik pola pengasuhan
anak, dan semakin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada.
Berbagai faktor langsung dan tidak langsung di atas, berkaitan dengan pokok masalah
yang ada di masyarakat dan akar masalah yang bersifat nasional. Pokok masalah di masyarakat
antara lain berupa ketidakberdayaan masyarakat dan keluarga mengatasi masalah kerawanan
ketahanan pangan keluarga, ketidaktahuan pengasuhan anak yang baik, serta ketidakmampuan
memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia. Akar masalah gizi buruk adalah kurangnya
pemberdayaan wanita dan keluarga serta kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat
terkait dengan meningkatnya pengangguran, inflasi dan kemiskinan yang disebabkan oleh krisis
ekonomi, politik dan keresahan sosial yang menimpa Indonesia. Keadaan tersebut telah memicu
munculnya kasus-kasus gizi buruk akibat kemiskinan dan ketahanan pangan keluarga yang tidak
memadai.
2.3 Tipe Gizi Buruk
Menurut situs Dinas Kesehatan Pemda Ibukota Jakarta,keadaan gizi buruk ini secara
klinis dibagi menjadi 3 tipe:
1. Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah suatu keadaan di mana tubuh kekurangan protein dalam jumlah
besar. Selain itu, penderita juga mengalami kekurangan kalori. Nama kwashiorkor berasal dari
suatu daerah di Afrika, artinya “penyakit anak yang terlantar” atau disisihkan karena ibunya
mengandung alergi dan tidak lagi memberikan air susu ibu padanya. Tanpa mengganti air susu
ibu dan dapat tambahan pangan yang seimbang anak (umumnya berumur kurang lebih 18 bulan)
kurang mendapat protein. Jenis penyakit ini sering dijumpai pada bayi dan anak usia 6 bulan
sampai 5 tahun pada keluarga berpenghasilan rendah, dan umumnya kurang
sekali pendidikannya. Kurang protein pangan adalah penyebab utama kwashiorkor sedang zat
pangan pemberi tenaga mungin cukup diperolehnya atau bahkan berlebihan.
Kasus ini sering dijumpai di daerah miskin, persediaan makanan yang terbatas, dan
tingkat pendidikan yang rendah. Penyakit ini menjadi masalah di negara-negara miskin dan
berkembang di Afrika, Amerika Tengah, Amerika Selatan dan Asia Selatan. Di negara maju
seperti Amerika Serikat kwashiorkor merupakan kasus yang langka. Berdasarkan SUSENAS
(2002), 26% balita di Indonesia menderita gizi kurang dan 8% balita menderita gizi buruk. Anak
dengan kwashiorkor akan lebih mudah untuk terkena infeksi dikarenakan lemahnya sistem imun.
Tinggi maksimal dan kempuan potensial untuk tumbuh tidak akan pernah dapat dicapai oleh
anak dengan riwayat kwashiorkor. Bukti secara statistik mengemukakan bahwa kwashiorkor
yang terjadi pada awal kehidupan (bayi dan anak-anak) dapat menurunkan IQ secara permanen.
Penanganan dini pada kasus-kasus kwashiorkor umumnya memberikan hasil yang baik.
Penanganan yang terlambat (late stages) mungkin dapat memperbaiki status kesehatan anak
secara umum, namun anak dapat mengalami gangguan fisik yang permanen dan gangguan
intelektualnya. Kasus-kasus kwashiorkor yang tidak dilakukan penanganan atau penanganannya
yang terlambat, akan memberikan akibat yang fatal. Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah
inadekuatnya intake protein yang berlansung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan hal
tersebut diatas antara lain:
a. Pola makan
Protein adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh dan berkembang.
Meskipun intake makanan mengandung kalori yang cukup, tidak semua makanan
mengandung protein/asam amino yang memadai. Bayi yang masih menyusui
umumnya mendapatkan protein dari ASI yang diberikan ibunya, namun bagi yang
tidak memperoleh ASI protein dari sumber-sumber lain (susu, telur, keju, tahu dan
lain-lain) sangatlah dibutuhkan. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan
nutrisi anak berperan penting terhadap terjadinya kwashiorkhor, terutama pada masa
peralihan ASI ke makanan pengganti ASI.
b. Faktor sosial
Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keadaan sosial dan
politik tidak stabil, ataupun adanya pantangan untuk menggunakan makanan tertentu
dan sudah berlansung turun-temurun dapat menjadi hal yang menyebabkan terjadinya
kwashiorkor.
c. Faktor ekonomi
Kemiskinan keluarga/penghasilan yang rendah yang tidak dapat memenuhi kebutuhan
berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak terpenuhi, saat dimana ibunya pun
tidak dapat mencukupi kebutuhan proteinnya.
d. Faktor infeksi dan penyakit lain
Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan infeksi. Infeksi
derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan sebaliknya MEP, walaupun
dalam derajat ringan akan menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi.
Tanda dan gejala klinis yang timbul pada kwashiorkor antara lain:
1) Rambut tipis berwarna merah seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa
menimbulkan rasa sakit.
2) Edema pada seluruh tubuh terutama pada punggung kaki dan bila ditekan akan
meninggalkan bekas.
3) Kelainan kulit (dermatosis) seperti timbulnya ruam berwarna merah muda yang meluas
dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas.
4) Wajah membulat dan sembab (moon face).
5) Pandangan mata sayu.
6) Pembesaran hati.
7) Sering disertai penyakit infeksi akut, diare, ISPA, dll.
8) perubahan status mental menjadi cengeng, rewel, kadang apatis.
9) Otot mengecil (hipotrofi) dan menyebabkan lengan atas kurus sehingga ukuran LILA-
nya kurang dari 14 cm.
Dari sekian banyak gejala klinis, ada beberapa gejala klinis tersebut yang khas pada penderita
kwashiorkor. Tanpa gejala klinis yang khas ini, penegakkan diagnosis kwashiorkor tidak dapat
ditegakkan. Gejala yang khas tersebut adalah edema, rambut yang tidak hitam, mudah rontok,
jarang dan tipis, perut buncit karena hepatomegali, dan crazy pavement dermatosis. Karena
adanaya edema, maka kwashiorkor bisa disebutedematous protein calorie malnutrition.
2. Marasmus
Marasmus adalah bentuk malnutrisi kalori protein yang terutama akibat kekurangan
kalori yang berat dan kronis terutama terjadi selama tahun pertama kehidupan dan
mengurusnya lemak bawah kulit dan otot (Dorland, 1998:649). Yang mencolok pada
keadaan nutritional marasmus ialah pertumbuhan yang berkurang atau terhenti disertai
atrofi otot dan menghilangnya lemak bawah kulit. Pada permulaan kelainan demikian
merupakan proses fisiologik. Untuk berlangsungnya hidup jaringan, maka tubuh
memerlukan energi yang tidak dapat dipenuhi oleh makanan yang diberikan, sehingga
harus didapat dari tubuh sendiri, sehingga cadangan protein dipakai juga untuk memenuhi
energi. Penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang dapat terjadi karena
diet yang tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat, karena kelainan metabolik atau
malformasi kongenital (Nelson,1999). Marasmus dapat terjadi pada segala umur, akan
tetapi yang sering dijumpai pada bayi yang tidak mendapat cukup ASI dan tidak diberi
makanan penggantinya atau sering diserang diare. Marasmus juga dapat terjadi akibat
berbagai penyakit lain seperti infeksi, kelainan bawaan saluran pencernaan atau jantung,
malabsorpsi, gangguan metabolik, penyakit ginjal menahun dan juga gangguan pada saraf
pusat (Dr. Solihin, 1990:116). Tanda dan gejala yang terjadi seperti:
1) Wajah seperti orang tua.
2) Mudah menangis/cengeng dan rewel.
3) Sering disertai penyakit infeksi (diare, umumnya kronis berulang, TBC).
4) Badan nampak sangat kurus seolah-olah tulang hanya terbungkus kulit.
5) Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (pakai celana
longgar-baggy pants).
6) Perut cekung.
7) Iga gambang.
8) Karena tidak ada edema, maka marasmus sering disebut non edematous protein calorie
malnutrition.
3. Marasmic-Kwashiorkor
Penyakit ini merupakan gabungan dari marasmus dan kwashiorkor dengan gabungan
gejala yang menyertai seperti:
a) Berat badan penderita hanya berkisar di angka 60% dari berat normal. Gejala khas
kedua penyakit tersebut nampak jelas, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit dan
sebagainya.
b) Tubuh mengandung lebih banyak cairan, karena berkurangnya lemak dan otot.
c) Kalium dalam tubuh menurun drastis sehingga menyebabkan gangguan metabolik seperti
gangguan pada ginjal dan pankreas.
d) Mineral lain dalam tubuh pun mengalami gangguan, seperti meningkatnya kadar natrium
dan fosfor inorganik serta menurunnya kadar magnesium.
e) Gejala klinis Kwashiorkor-Marasmus tidak lain adalah kombinasi dari gejala-gejala
masing-masing penyakit tersebut.
2.4 Akibat Gizi Buruk
a) Menyebabkan kematian bila tidak segera ditanggulangi oleh tenaga kesehatan.
b) Kurang cerdas.
c) Berat dan tinggi badan pada umur dewasa lebih rendah dari normal.
d) Sering sakit infeksi seperti batuk,pilek,diare,TBC,dan lain-lain.
2.5 Pencegahan Gizi Buruk
1. Beberapa cara untuk mencegah terjadinya gizi buruk pada anak, yaitu:
a. Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan. Setelah
itu, anak mulai dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai pendamping ASI
yang sesuai dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah berumur 2 tahun.
b. Anak diberi makanan yang bervariasi, seimbang antara kandungan protein, lemak,
vitamin dan mineralnya. Perbandingan komposisinya untuk lemak minimal 10%
dari total kalori yang dibutuhkan, sementara protein 12% dan sisanya karbohidrat.
c. Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program
posyandu. Cermati apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar di atas. Jika
tidak sesuai, segera konsultasikan hal itu ke dokter.
d. Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan kepada
petugas pola dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang dari
rumah sakit.
e. Jika anak menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori yang
tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan untuk proteinnya
bisa diberikan setelah sumber-sumber kalori lainnya sudah terlihat mampu
meningkatkan energi anak. Berikan pula suplemen mineral dan vitamin penting
lainnya. Penanganan dini sering kali membuahkan hasil yang baik. Pada kondisi
2. yang sudah berat, terapi bisa dilakukan dengan meningkatkan kondisi kesehatan secara
umum. Namun, biasanya akan meninggalkan sisa gejala kelainan fisik yang permanen
dan akan muncul masalah intelegensia di kemudian hari.
2.6 Masalah Gizi di Indonesia
Secara umum di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama yaitu kurang gizi makro
dan kurang gizi mikro. Kurang gizi makro pada dasarnya merupakan gangguan kesehatan yang
disebabkan oleh kekurangan asupan energi dan protein. Masalah gizi makro adalah
masalah gizi yang utamanya disebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan
asupan energi dan protein. Kekurangan zat gizi makro umumnya disertai dengan kekurangan
zat gizi mikro.
Kesepakatan global dalam bidang pangan dan gizi terutama World Summit for Children
1990, international Conference on Nutrition 1992 di Roma dan World Food Summit 1996
menetapkan sasaran program pangan dan perbaikan gizi yang harus dicapai oleh semua negara.
Sasaran global tersebut sampai saat ini menjadi salah satu acuan pokok di dalam pembangunan
program pangan dan gizi di semua negara termasuk Indonesia. Pembangunan program pangan
dan gizi di Indonesia selam 30 tahun terakhir menunjukan hasil yang positif. Analisis penyediaan
pangan tahun 1999 secara makro disimpulkan bahwa persediaan energi dan protein per
kapita/hari masing-masing sebesar 2.890 Kkal dan 62,7 gram, telah memenuhi kecukupan yang
dianjurkan. Masalah pangan baru terlihat pada tingkat konsumsi rumah tangga. Data tahun 1998
menunjukan bahwa antara 49% sampai 53% rumah tangga di berbagai daerah mengalami defisit
energi (konsumsi < 70% kebutuhan energi). Defisit pangan di tingkat rumah tangga disertai
distribusi pangan antar anggota keluarga yang tidak baik didasari pengetahuan atau perilaku gizi
yang belum memadai berakibat munculnya masalah kurang gizi.
Gambaran makro perkembangan keadaan gizi masyarakat menunjukan kecenderungan
yang sejalan. Prevalensi kurang energi protein pada balita turun dari 37,5% pada tahun 1989
menjadi 26,4% pada tahun 1999. Penurunan serupa juga terjadi pada prevalensi masalah gizi
lain. Prevalensi gangguan akibat kurang yodium, kurang vitamin A, dan anemia gizi pada tahun
1998 masing-masing 9,8%, 0,3%, dan 50,9%. Dibandingkan dengan sasaran global yang
disepakati, keadaan gizi masyarakat di Indonesia masih jauh ketinggalan. Sebagai contoh, pada
tahun 2005 diharapkan terjadi penurunan prevalensi kurang energi protein menjadi 20%,
gangguan akibat kurang yodium menjadi 5%, anemnia gizi menjadi 40%, dan bebas masalah
kebutaan akibat kurang vitamin A.
Krisis ekonomi yang terjadi sejak 1997 semakin memperburuk keadaan gizi masyarakat.
Selama krisis, ada kecenderungan meningkatnya prevalensi gizi kurang dan gizi buruk terutama
pada kelompok umur 6-23 bulan. Munculnya kasus-kasus marasmus, kwashiorkor merupakan
indikasi adanya penurunan ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Upaya untuk mencegah
semakin memburuknya keadaan gizi masyarakat di masa mendatang harus dilakukan segera dan
direncanakan sesuai masalah daerah sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan
desentralisasi. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-
Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Provinsi sebagai daerah otonom, mengatur kewenangan pemerintahan daerah dalam
merencanakan dan melaksanakan pembangunan termasuk pembangunan di bidang pangan dan
gizi. Iklim baru ini merupakan peluang untuk percepatan pencapaian sasaran nasional dan global.
Adanya kebijakan dan strategi yang tepat, program yang sistematis mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan akan sangat mendukung pencapaian sasaran
nasional.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gizi buruk adalah bentuk terparah (akut), merupakan keadaan kurang gizi tingkat berat
yang disebabkan oleh rendahnya tingkat konsumsi energi dan protein dan makanan sehari-hari
dan terjadi dalam waktu yang cukup lama. Penyebab gizi buruk terdiri dari penyebab langsung
dan tidak langsung. Penyebab langsung, yaitu kurangnya asupan gizi dari makanan, akibat
terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi. Sedangkan penyebab tidak langsungnya yaitu
ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai, pola pengasuhan anak kurang memadai,
pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai. Tipe gizi buruk terdiri dari marasmus,
kwashiorkor, marasmic-kwashiorkor.
3.2 Saran
Ketidakseriusan pemerintah terlihat jelas ketika penanganan kasus gizi buruk terlambat.
Seharusnya penanganan pelayanan kesehatan dilakukan disaat penderita gizi buruk belum
mencapai tahap membahayakan. Setelah kasus gizi buruk merebak barulah pemerintah
melakukan tindakan (serius). Keseriusan pemerintah tidak ada artinya apabila tidak didukung
masyarakat itu sendiri. Sebab, perilaku masyarakat yang sudah membudaya selama ini
adalah,anak-anak yang menderita penyakit kurang mendapatkan perhatian orang tua. Anak-anak
itu hanya diberi makan seadanya, tanpa peduli akan kadar gizi dalam makanan yang diberikan.
Apalagi kalau persediaan pangan keluarga sudah menipis. Tanpa data dan informasi yang cermat
dan lengkap sebaiknya jangan terlalu cepat menyimpulkan bahwa adanya gizi buruk
identik dengan kemiskinan. Dan seharusnya para ibu mengupayakan sesuatu yang terbaik untuk
anaknya yang nantinya anak tersebut dapat menolong sang ibu.