Gejala dan Penanganan Demam Tifoid.pdf

11
Gejala dan Penanganan Demam Tifoid (Tifus) Demam tifoid, tifus atau typhoid adalah penyakit infeksi yang paling sering dicemaskan bila seseorang menderita panas. Memang setiap tifus selalu terjadi manifestasi demam tetapi tidak semua demam harus didiagnosis tifus, justru penyebab paling sering demam adalah infeksi virus. Deteksi dan diagnosis tifus relatif tidak mudah karena pada awalnya manifestasi klinis penyakit ini tidak khas dan mirip berbagai penyakit lainnya. Apalagi pemeriksaan laboratorium yang sering dipakai saat ini tidak sensitif atau sering mengalami bias untuk mengenali tifus. Demam tifoid, atau typhoid adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi. Penyakit ini dapat ditemukan di seluruh dunia, dan disebarkan melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh tinja. Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s. Paratyphi A, dan S. Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh S. Typhi cenderung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yang lain. Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering, agfen farmakeutika an bahan tinja. Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adalah komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil panas. Kuman ini dapat hidup lama di air yang kotor, makanan tercemar, dan alas tidur yang kotor. Siapa saja dan kapan saja dapat menderita penyakit ini. Termasuk bayi yang dilahirkan dari ibu yang terkena demam tifoid. Lingkungan yang tidak bersih, yang terkontaminasi dengan Salmonella typhi merupakan penyebab paling sering timbulnya penyakit tifus. Kebiasaan tidak sehat seperti jajan sembarangan, tidak mencuci tangan menjadi penyebab terbanyak penyakit ini. Penyakit tifus cukup menular lewat air seni atau tinja penderita. Penularan juga dapat dilakukan binatang seperti lalat dan kecoa yang mengangkut bakteri ini dari tempat-tempat kotor. Masa inkubasi penyakit ini rata-rata 7 sampai 14 hari. Manifestasi klinik pada anak umumnya bervariasi. Demam adalah gejala yang paling utama di antara semua gejala klinisnya. Pada minggu pertama, tidak ada gejala khas dari penyakit ini. Bahkan, gejalanya menyerupai penyakit infeksi akut lainnya. Gejala yang muncul antara lain demam, sering bengong atau tidur melulu, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun, sakit perut, diare atau justru sembelit (sulit buang air besar) selama beberapa hari. Peningkatan suhu bertambah setiap hari. Setelah

Transcript of Gejala dan Penanganan Demam Tifoid.pdf

Page 1: Gejala dan Penanganan Demam Tifoid.pdf

Gejala dan Penanganan Demam Tifoid (Tifus)

Demam tifoid, tifus atau typhoid adalah penyakit infeksi yang paling sering

dicemaskan bila seseorang menderita panas. Memang setiap tifus selalu terjadi

manifestasi demam tetapi tidak semua demam harus didiagnosis tifus, justru

penyebab paling sering demam adalah infeksi virus. Deteksi dan diagnosis tifus

relatif tidak mudah karena pada awalnya manifestasi klinis penyakit ini tidak khas

dan mirip berbagai penyakit lainnya. Apalagi pemeriksaan laboratorium yang

sering dipakai saat ini tidak sensitif atau sering mengalami bias untuk mengenali

tifus.

Demam tifoid, atau typhoid adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri

Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi. Penyakit ini

dapat ditemukan di seluruh dunia, dan disebarkan melalui makanan dan minuman

yang telah tercemar oleh tinja.

Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s.

Paratyphi A, dan S. Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain.

Demam yang disebabkan oleh S. Typhi cenderung untuk menjadi lebih berat

daripada bentuk infeksi salmonella yang lain. Salmonella merupakan bakteri

batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak

berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk

menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa.

Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob

fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat dibunuh

dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F)

selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang

rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu

dalam sampah, bahan makanan kering, agfen farmakeutika an bahan tinja.

Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O

adalah komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas

sedangkan antigen H adalah protein labil panas. Kuman ini dapat hidup lama di

air yang kotor, makanan tercemar, dan alas tidur yang kotor. Siapa saja dan kapan

saja dapat menderita penyakit ini. Termasuk bayi yang dilahirkan dari ibu yang

terkena demam tifoid. Lingkungan yang tidak bersih, yang terkontaminasi dengan

Salmonella typhi merupakan penyebab paling sering timbulnya penyakit tifus.

Kebiasaan tidak sehat seperti jajan sembarangan, tidak mencuci tangan menjadi

penyebab terbanyak penyakit ini. Penyakit tifus cukup menular lewat air seni atau

tinja penderita. Penularan juga dapat dilakukan binatang seperti lalat dan kecoa

yang mengangkut bakteri ini dari tempat-tempat kotor.

Masa inkubasi penyakit ini rata-rata 7 sampai 14 hari. Manifestasi klinik pada

anak umumnya bervariasi. Demam adalah gejala yang paling utama di antara

semua gejala klinisnya. Pada minggu pertama, tidak ada gejala khas dari penyakit

ini. Bahkan, gejalanya menyerupai penyakit infeksi akut lainnya. Gejala yang

muncul antara lain demam, sering bengong atau tidur melulu, sakit kepala, mual,

muntah, nafsu makan menurun, sakit perut, diare atau justru sembelit (sulit buang

air besar) selama beberapa hari. Peningkatan suhu bertambah setiap hari. Setelah

Page 2: Gejala dan Penanganan Demam Tifoid.pdf

minggu kedua, gejala bertambah jelas. Demam yang dialami semakin tinggi, lidah

kotor, bibir kering, kembung, penderita terlihat acuh tidak acuh, dan lain-lain.

S. typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar.

Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke

usus halus. Setelah mencapai usus, Salmonella typhosa menembus ileum

ditangkap oleh sel mononuklear, disusul bakteriemi I. Setelah berkembang biak di

RES, terjadilah bakteriemi II. Interaksi Salmonella dengan makrofag

memunculkan mediator-mediator. Lokal (patch of payer) terjadi hiperplasi,

nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul gejala panas, instabilitas vaskuler, inisiasi

sistem beku darah, depresi sumsum tulang dan lain lain. Imunulogi Humoral

lokal, di usus diproduksi Iga sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya

salmonella pada mukosa usus. Humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk

memudahkan fagositosis Salmonella oleh makrofag. Seluler berfungsi untuk

membunuh Salmonalla intraseluler

Banyak orang yang tidak terlihat sakit tapi berpotensi menyebarkan penyakit tifus.

Inilah yang disebut dengan pembawa penyakit tifus. Meski sudah dinyatakan

sembuh, bukan tidak mungkin mantan penderita masih menyimpan bakteri tifus

dalam tubuhnya. Bakteri bisa bertahan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.

Sebagian bakteri penyebab tifus ada yang bersembunyi di kantong empedu. Bisa

saja bakteri ini keluar dan bercampur dengan tinja. Bakteri ini dapat menyebar

lewat air seni atau tinja penderita.

Manifestasi klinis

Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu

ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ.

Secara klinis gambaran penyakit Demam Tifoid berupa demam berkepanjangan,

gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat.

1. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan panas yang makin hari

makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus

terutama pada malam hari.

2. Gejala gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan

kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.

3. Gejalah saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan

sampai koma.

Berbagai tanda dan gejala yang bisa timbul :

Demam tinggi dari 39° sampai 40 °C (103° sampai 104 °F) yang

meningkat secara perlahan.

Tubuh menggigil.

Denyut jantung lemah (bradycardia)

Badan lemah (weakness)

Sakit kepala

Nyeri otot myalgia

Kehilangan nafsu makan

Page 3: Gejala dan Penanganan Demam Tifoid.pdf

Konstipasi

Sakit perut

Pada kasus tertentu muncul penyebaran vlek merah muda (“rose spots”)

Penyakit yang mirip (Diagnosis Banding)

o Influenza

o Malaria

o Bronchitis

o Sepsis

o Broncho Pneumonia

o I.S.K (Infeksi Saluran kencing)

o Gastroenteritis (infeksi Saluran Cerna: muntah atau diare)

o Keganasan : – Leukemia

o Tuberculosa – Lymphoma

Diagnosis

Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis

yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini

masih dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode

diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha

penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh

Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari

cara yang cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas

dan spesifisitas yang tinggi. Hal ini penting untuk membantu usaha

penatalaksanaan penderita secara menyeluruh yang juga meliputi

penegakan diagnosis sedini mungkin dimana pemberian terapi yang sesuai

secara dini akan dapat menurunkan ketidaknyamanan penderita, insidensi

terjadinya komplikasi yang berat dan kematian serta memungkinkan usaha

kontrol penyebaran penyakit melalui identifikasi karier.

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam

tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : pemeriksaan darah tepi;

pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; uji serologis;

dan pemeriksaan kuman secara molekuler.

Identifikasi kuman melalui isolasi atau biakan

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi

dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari

rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih

mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan

pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor.

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi jumlah darah yang

Page 4: Gejala dan Penanganan Demam Tifoid.pdf

diambil; perbandingan volume darah dari media empedu; dan waktu pengambilan

darah.

Identifikasi kuman melalui uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam

tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S.

typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang

diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke

dalam tabung tanpa antikoagulan.4 Beberapa uji serologis yang dapat

digunakan pada demam tifoid ini meliputi : uji Widal; tes TUBEX®;

metode enzyme immunoassay (EIA), metode enzyme-linked

immunosorbent assay (ELISA),dan pemeriksaan dipstik.

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai

penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih

didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas

pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis

antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak

antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau

monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut

dalam perjalanan penyakit).

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan

sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara

antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami

pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H)

yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi.

Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan

titer antibodi dalam serum.

Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan

(slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara

cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung

membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk

konfirmasi hasil dari uji hapusan.

Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang

sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel

yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan

dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya

ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam

diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan

tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,

beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai

sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.

Metode Enzyme Immunoassay Dot didasarkan pada metode untuk

melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S.

typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam

tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam

tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana

didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi

Page 5: Gejala dan Penanganan Demam Tifoid.pdf

peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan

antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M®

yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan

inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif

dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.4

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-

tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila

dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh

karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal

positif.2,8 Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji

Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan

diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan

spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi

silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen

dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus

sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai

fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman.

Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan

nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6

bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu

3 jam setelah penerimaan serum pasien.

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk

melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi

IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S.

typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S.

typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA.

Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian

lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila

dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu

diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda

dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S.

typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung

antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human

immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan

komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik

dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas

laboratorium yang lengkap.

Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan

mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan

gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana

penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan

kultur secara luas.

Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah

mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah

dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara

polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang

spesifik untuk S. typhi.

Page 6: Gejala dan Penanganan Demam Tifoid.pdf

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi

risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila

prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam

spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin

dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen

feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk

melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang

memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam

laboratorium penelitian.

Tes Widal yang tidak akurat sumber kesalahan diagnosis

Di Indonesia pemeriksaan widal sebagai pemeriksaan penunjang untuk

menegakkan diagnosis tifus paling sering digunakan. Meskipun ternyata

pemeriksaan ini sering menimbulkan kerancuan dan mengakibatkan

kesalahan diagnosis. Dalam penelitian penulis didapatkan infeksi virus

yang sering menjadi penyebab demam pada anak dan orang dewasa

ternyata juga terjadi peningkatan hasil widal yang tinggi pada minggu

pertama.

Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara

lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti

status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan

antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis

atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang

digunakan.9,13

Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta

sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam

penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang

positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid

(penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh

dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan

karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point).

Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar

(baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis

seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada

anak-anak sehat.

Dalam penelitian kecil yang dilakukan terhadap 29 anak didapatkan hasil

widal yang tinggi pada hari ke tiga hingga ke lima antara 1/320 hingga

1/1280. Setelah dilakukan follow up dalam waktu demam pada minggu ke

dua hasil widal tersebut menurun bahkan sebagian kasus menjadi negatif.

Padahal seharusnya pada penderita tifus nilai widal tersebut seharusnya

semakin meningkat pada minggu ke dua. Dalam follow up pada minggu ke

dua ternyata hasil nilai widal menghilang atau jauh menurun. Padahal

seharusnya akan pada penderita tifus seharusnya malahan semakin

meningkat. Karakteristik penderita adalah usia 8 bulan hingga 5 tahun,

dengan rata-rata usia 2,6 tahun. Jenis kelamin laki-laki 41% dan

perempuan 59%. Semua penderita menunjukkan hasil kultur darah gall

degatif dan semua penderita tidak diberikan antibiotika dan mengalami

Page 7: Gejala dan Penanganan Demam Tifoid.pdf

self limiting disease atau penyembuhan sendiri. Hal ini menunjukkan

bahwa penyebab infeksi pada kasus tersebut adalah infeksi virus.

Yang menarik dalam kasus tersebut 10 penderita (34%) sebelumnya

mengalami diagnosis penyakit tifus sebanyak 2-4 kali dalam setahun.

Sebagian besar penderita atau sekitar 89% pada kelompok ini adalah

kelompok anak yang sering mengalami infeksi berulang saluran napas.

Dan sebagian besar lainnya atau sekitar 86% adalah penderita alergi.

Penelitian lain yang dilakukan penulis pada 44 kasus penderita demam

beradarah, didapatkan 12 (27%) anak didapatkan hasil widal O berkisar

antara 240-360 dan 15 (34%) anak didapatkan hasil widal O 1/120. Semua

penderita tersebut menunjukkan hasil kultar darah gall negatif dan tidak

diberikan terapi antibiotika membaik.

Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada infeksi virus pada

penderita tertentu terutama penderita alergi dapat meningkatkan nilai

Widal. Banyak penderita alergi pada anak yang mengalami peningkatan

hasil widal dalam saat mengalami infeksi virus tampak menarik untuk

dilakukan penelitian lebih jauh. Diduga mekanisme hipersensitif atau

proses auto imun yang sering terganggu pada penderita alergi dapat ikut

meningkatkan hasil widal. Dengan adanya penemuan awal tersebut

tampaknya sangat berlawanan dengan pendapat yang banyak dianut

sekarang bahwa peningkatan hasil widal terjadi karena Indonesia

merupakan daerah endemis tifus. Fenomena ini perlu dilakukan penelitian

lebih jauh khusus dalam hal biomolekuler dan imunopatofisiologi.

Banyak akibat atau konsekuensi nyang ditimbulkan bila terjadi

”overdiagnosis tifus”. Pertama penderita harus mengkonsumsi antibiotika

jangka panjang padahal infeksi yang terjadi adalah infeksi virus.

Konsekuensi lain yang diterima adalah penderita seringkali harus

dilakukan rawat inap di rumah sakit. Hal lain yang terjadi seringkali

penderita seperti ini mengalami diagnosis tifus berulang kali. Semua

kondisi tersebut diatas akhirnya berakibat peningkatan biaya berobat yang

sangat besar padahal seharusnya tidak terjadi. Belum lagi akbat efek

samping pemberian obat antibiotika jangka panjang yang seharusnya tidak

diberikan.

Penanganan

Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari

pengobatan suportif melipu+ti istirahat dan diet, medikamentosa, terapi

penyulit (tergantung penyulit yang terjadi). Istirahat bertujuan untuk

mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah

baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurag lebih

selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya

kekuatan pasien.

Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan

bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan

tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan

bahwa pemberian makanan tingkat dini yaitu nasi dengan lauk pauk

rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan

Page 8: Gejala dan Penanganan Demam Tifoid.pdf

dengan aman. Juga perlu diberikan vitamin dan mineral untuk mendukung

keadaan umum pasien.

Pada penderita penyakit tifus yang berat, disarankan menjalani perawatan

di rumah sakit. Antibiotika umum digunakan untuk mengatasi penyakit

tifus. Waktu penyembuhan bisa makan waktu 2 minggu hingga satu bulan.

Tifus dapat berakibat fatal. Antibiotika, seperti ampicillin, kloramfenikol,

trimethoprim-sulfamethoxazole, dan ciproloxacin sering digunakan untuk

merawat demam tipoid di negara-negara barat. Obat-obat pilihan pertama

adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin dan kotrimoksasol. Obat

pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan ketiga

adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon. Kloramfenikol

diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali

pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari. Bilamana terdapat indikasi

kontra pemberian kloramfenikol , diber ampisilin dengan dosis 200

mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum

dapat minum obat, selama 21 hari, atau amoksisilin dengan dosis 100

mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, oral/intravena selama

21 hari kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam

2-3 kali pemberian, oral, selama 14 hari.

Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali

dan diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena,

selama 5-7 hari. Pada kasus yang diduga mengalami MDR, maka pilihan

antibiotika adalah meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon.

Bila tak terawat, demam tifoid dapat berlangsung selama tiga minggu

sampai sebulan. Kematian terjadi antara 10% dan 30% dari kasus yang

tidak terawat. Vaksin untuk demam tifoid tersedia dan dianjurkan untuk

orang yang melakukan perjalanan ke wilayah penyakit ini biasanya

berjangkit (terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin).

Pengobatan penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat dan dengan

manifestasi nerologik menonjol, diberi Deksametason dosis tinggi dengan

dosis awal 3 mg/kg BB, intravena perlahan (selama 30 menit). Kemudian

disusul pemberian dengan dosis 1 mg/kg BB dengan tenggang waktu 6

jam sampai 7 kali pemberian. Tatalaksana bedah dilakukan pada kasus-

kasus dengan penyulit perforasi usus

Komplikasi :

Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :

1. Komplikasi intestinal

1. Perdarahan usus

2. Perforasi usus

3. Ileus paralitik

2. Komplikasi ekstraintetstinal

1. Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer

(renjatan/sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.

Page 9: Gejala dan Penanganan Demam Tifoid.pdf

2. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau

koagulasi intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.

3. Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.

4. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.

5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.

6. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.

7. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis,

polineuritis perifer, sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom

katatonia.

Pada anak-anaka dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi.

Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan

umum, bila perawatan pasien kurang sempurna.

Pencegahan

Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan

khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan

higiene dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat

menurunkan insidensi demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan

dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa

yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella

typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap

penjual (keliling) minuman/makanan. (Darmowandowo, 2006)

Vaksinasi tifoid sangat dianjurkan untuk mencegah penyakit. Apalagi jika

si kecil terkenal doyan jajan. Juga, anak balita yang sudah pandai

�nenangga�, atau yang belum bisa cebok dengan benar. Vaksinasi harus

diperkuat setiap 3 tahun. Ini karena setelah kurun waktu itu, kekebalan

terhadap penyakit tifus akan berkurang. Umumnya, seusai divaksinasi,

tubuh akan kebal, atau kalupun terkena maka penyakit yang menyerang

tidak sampai membahayakan anak

Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah

vaksin yang diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi.

Yang kedua adalah vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan

secara oral. Pemberian vaksin tifoid secara rutin tidak direkomendasikan,

vaksin tifoid hanta direkomendasikan untuk pelancong yang berkunjung

ke tempat-tempat yang demam tifoid sering terjadi, orang yang kontak

dengan penderita karier tifoid dan pekerja laboratorium.

Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada

anak-anak kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi,

oleh karena itu haruslah diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum

bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis

ulangan diperlukan setiap dua tahun untuk orang-orang yang memiliki

resiko terjangkit.

Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada

anak-anak kurang dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara

terpisah diperlukan untuk proteksi. Dosis terakhir harus diberikan

sekurang-kurangnya satu minggu sebelum bepergian supaya memberikan

Page 10: Gejala dan Penanganan Demam Tifoid.pdf

waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap 5

tahun untuk orang-orang yang masih memiliki resiko terjangkit.

Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau

harus menunggu. Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi

(per injeksi) adalah orang yang memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi

dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh mendapatkan vaksin dengan

dosis lainnya. Orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid yang

dilemahkan (per oral) adalah : orang yang mengalami reaksi berbahaya

saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis

lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas yang lemah maka tidak

boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin

tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita HIV/AIDS atau

penyakit lain yang menyerang sistem imunitas, orang yang sedang

mengalami pengobatan dengan obat-obatan yang mempengaruhi sistem

imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita

kanker dan orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan sinar X

atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24

jam bersamaan dengan pemberian antibiotik.

Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan

problem serius seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang

menyebabkan bahaya serius atau kematian sangatlah jarang terjadi.

Problem serius dari kedua jenis vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin

tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah : demam

(sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per 100)

kemerahan atau pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang per

100). Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat terjadi

adalah demam atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak enak, mual,

muntah-muntah atau ruam-ruam (jarang terjadi).

Daftar pustaka

Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The

diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World Health

Organization, 2003;7-18.

Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002;347(22):1770-82.

Pang T. Typhoid Fever : A Continuing Problem. Dalam : Pang T, Koh CL,

Puthucheary SD, Eds. Typhoid Fever : Strategies for the 90’s. Singapore :

World Scientific, 1992:1-2.

Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunter’s

Textbook of Pediatrics, edisi 7. Philadelphia : WB Saunders, 1991:344-58.

Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the

management of typhoid fever. MJAFI 2003;59:130-5.

Lim PL, Tam FCH, Cheong YM, Jegathesan M. One-step 2-minute test to

detect typhoid-specific antibodies based on particle separation in tubes. J

Clin Microbiol 1998;36(8):2271-8.

Purwaningsih S, Handojo I, Prihatini, Probohoesodo Y. Diagnostic value

of dot-enzyme-immunoassay test to detect outer membrane protein antigen

in sera of patients with typhoid fever. Southeast Asian J Trop Med Public

Health 2001;32(3):507-12. [Abstract]

Page 11: Gejala dan Penanganan Demam Tifoid.pdf

Hatta M, Goris MG. Simple dipstick assay for the detection of Salmonella

typhi-specific IgM antibodies and the evolution of the immune response in

patients with typhoid fever. Am J Trop Med Hyg 2002;66(4):416-21.

[Abstract]

Pang T. Molecular biology as a diagnostic tool in Salmonellosis. Dalam :

Sarasombath S, Senawong S, Eds. Second Asia-Pacific symposium on

typhoid fever and other Salmonellosis. Thailand : SEAMEO Regional

Tropical Medicine and Public Health Network, 1995:213-6.

Massi MN, Shirakawa T, Gotoh A, Bishnu A, Hatta M, Kawabata M.

Rapid diagnosis of typhoid fever by PCR assay using one pair of primers

from flagellin gene of Salmonella typhi. J Infect Chemother

2003;9(3):233-7